laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

87
Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat P enyusunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah” 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Prestasi pembangunan hukum di Indonesia khususnya dalam pembangunan materi hukum (legal substance) lebih didasarkan pada prestasi jumlah undang-undang yang dihasilkan. Sebagai ilustrasi sejak terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997, pada era Presiden Habibie jumlah undang-undang yang dihasilkan mencapai angka yang cukup mencengangkan. Pada akhir tahun 1998-1999 hampir kurang lebih 90-an undang-undang dapat diterbitkan. Namun demikian apakah prestasi dari sisi kuantitas tersebut juga diikuti dengan telah dipenuhinya unsur yuridis, filosofis dan sosiologis dari undang-undang tersebut. Karena dengan telah dipenuhinya unsur tersebut akan dapat membantu implementasinya dalam masyarakat. Dalam kenyataannya jumlah undang-undang yang diterbitkan menjadi indikator suksesnya Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah apakah undang-undang yang dikeluarkan tersebut benar-benar diperlukan oleh masyarakat; apakah kerangka berpikir atau landasan

Upload: murniantik

Post on 06-Jul-2015

344 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Prestasi pembangunan hukum di Indonesia khususnya dalam

pembangunan materi hukum (legal substance) lebih didasarkan pada

prestasi jumlah undang-undang yang dihasilkan. Sebagai ilustrasi sejak

terjadinya reformasi pada pertengahan tahun 1997, pada era Presiden

Habibie jumlah undang-undang yang dihasilkan mencapai angka yang

cukup mencengangkan. Pada akhir tahun 1998-1999 hampir kurang

lebih 90-an undang-undang dapat diterbitkan. Namun demikian apakah

prestasi dari sisi kuantitas tersebut juga diikuti dengan telah

dipenuhinya unsur yuridis, filosofis dan sosiologis dari undang-undang

tersebut. Karena dengan telah dipenuhinya unsur tersebut akan dapat

membantu implementasinya dalam masyarakat. Dalam kenyataannya

jumlah undang-undang yang diterbitkan menjadi indikator suksesnya

Pemerintah dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari uraian di atas adalah

apakah undang-undang yang dikeluarkan tersebut benar-benar

diperlukan oleh masyarakat; apakah kerangka berpikir atau landasan

Page 2: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

2

berpikir telah dibuat untuk memberikan justifikasi bahwa suatu

permasalahan sangat membutuhkan pengaturan dalam bentuk undang-

undang atau cukup dengan peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang; apakah sudah menjadi asumsi umum bahwa dengan

dikeluarkannya suatu undang-undang, maka dengan sendirinya

undang-undang tersebut akan berjalan efektif dan implementatif;

apakah sebelum menyusun rancangan undang-undang tersebut telah

diantisipasi kebutuhan-kebutuhan adanya peraturan pelaksanaan, atau

apabila tidak diperlukan aturan pelaksanaan maka bagaimana

merancang suatu undang-undang yang langsung dapat

diimplementasikan di dalam masyarakat. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut sebenarnya dapat dijawab dengan melalui suatu penelitian

awal yang hasilnya nanti akan dituangkan dalam bentuk naskah

akademik sebagai dokumen pendukung dari suatu rancangan undang-

undang.

Sebagian orang berpendapat bahwa tidak semua undang-

undang memerlukan suatu naskah akademik, karena sifat

pengaturannya yang bervariasi. Namun sebagian lain berpendapat

bahwa naskah akademik merupakan suatu keharusan karena suatu

undang-undang mengandung substansi yang sifatnya abstrak dan

umum. Oleh karenanya tidak mudah bagi semua orang untuk

memahami dasar filosofis, dasar yuridis dan dasar sosiologis hanya

Page 3: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

3

dengan menuangkan dalam konsideran Menimbang dari suatu undang-

undang.

Pengalaman dari berbagai pembahasan rancangan undang-

undang baik di tingkat interdep maupun di DPR memperlihatkan

tingkat kualitas dari rancangan undang-undang sedikit banyak

tergantung pada apakah instansi pemrakarsa menguasai permasalahan

dan landasan dasar urgensi diajukannya suatu rancangan undang-

undang. Namun diakui bahwa adanya suatu naskah akademik itu pun

juga belum menjadi jaminan suatu undang-undang dapat berjalan

efektif di masyarakat, karena masih terdapat pihak-pihak terkait lainnya

yang juga perlu mendukung agar pelaksanaan undang-undang dapat

berjalan sebagaimana mestinya. Namun adanya naskah akademik

dirasakan akan lebih menguntungkan bagi pemangku kepentingan,

karena paling tidak landasan berpikir mengenai urgensi kebutuhan

undang-undang yang akan dikeluarkan tetap dapat menjadi referensi

dikemudian hari.

Permasalahan lain sehubungan dengan kebutuhan adanya suatu

naskah akademik adalah adanya anggapan bahwa suatu rancangan

undang-undang yang diajukan oleh lembaga/instansi seolah-olah

menjadi hak paten dari instansi/lembaga yang bersangkutan. Hal

tersebut berimplikasi bahwa pembuatan naskah akademik diserahkan

kepada instansi/lembaga pemrakarsa apakah mereka menganggap

penting atau tidak untuk membuat naskah akademik. Bahkan seringkali

Page 4: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

4

terjadi rancangan undang-undang dibuat terlebih dahulu berdasarkan

tuntutan masyarakat sesaat atau kebutuhan dari instansi/lembaga

untuk dapat lebih meningkatkan kewenangannya sendiri (ego sektoral).

Di kemudian hari apabila mereka menghadapi kesulitan dalam

pembahasan rancangan undang-undang tersebut, barulah naskah

akademik dibuat. Hal tersebut jelas kurang mencerminkan pembuatan

suatu undang-undang yang baik, yaitu memenuhi syarat filosofis,

sosiologis dan yuridis, karena terlihat instansi/lembaga tidak siap

dalam mengajukan suatu rancangan undang-undang. Kecenderungan

yang ada selama ini terjadi adalah semata-mata untuk mendapatkan

alokasi anggaran pembangunan dan secara paralel disusun rancangan

undang-undang atau jika dibutuhkan maka dibuat naskah

akademiknya.

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan tidak mengatur mengenai kebutuhan

dibuatnya naskah akademik. Pengaturan mengenai adanya suatu

naskah akademik tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun

2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU. RPP, Perpres yang hanya

mencantumkan kata “dapat”, kata “dapat” diartikan bahwa boleh

dibuat dan boleh tidak dibuat. Pengaturan tersebut perlu dikaji lebih

lanjut apakah kata “dapat” perlu diubah dengan kata “wajib”.

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 hanya mengatur

mengenai Tata Cara Penyusunan Rancangan Undang-Undang,

Page 5: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

5

Rancangan Peraturan Pemerintah, Rancangan Peraturan Presiden, yang

artinya hanya peraturan di tingkat pusat, sedangkan untuk Tata Cara

Penyusunan peraturan di tingkat daerah tidak diatur lebih lanjut. Pasal

27 UU No. 10 Tahun 2004 menyebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut

mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang

berasal dari gubernur atau bupati/walikota diatur dengan Peraturan

Presiden, namun hingga kini Peraturan Presiden tersebut belum juga

lahir. Oleh karena itu, untuk penyusunan peraturan di tingkat daerah

belum ada aturan yang mewajibkan naskah akademik ada dalam setiap

penyusunan peraturan di tingkat daerah.

Walaupun ketentuan tentang pembuatan naskah akademik bagi

setiap penyusunan rancangan peraturan daerah belum ada

pengaturannya, namun untuk menjaga agar pelaksanaan atau

implementasi Perda tidak menjadi bermasalah di kemudian hari, perlu

adanya ketentuan yang menjaga proses pembentukan Perda supaya

dapat menampung dan sesuai dengan aspirasi masyarakat yang ada.

Pada kenyataannya, banyak sekali Perda yang dalam pelaksanaannya

tidak efektif di lapangan sehingga tujuan pengaturan dari suatu Perda

menjadi tidak terlaksana. Perda-perda tentang larangan membuang

sampah, perda-perda tentang larangan merokok di tempat umum dan

perda-perda yang membatasi aktivitas kaum perempuan yang banyak

diterbitkan di daerah-daerah dapat dijadikan contoh peraturan yang

sulit pelaksanaannya dan lemah penegakan hukumnya. Kelemahan

Page 6: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

6

pada pengundangan perda tersebut, umumnya, terjadi karena lemahnya

pemetaan masalah yang ingin ditangani dan lemahnya kemampuan

pembuat peraturan untuk memahami kondisi sosiologis masyarakat

yang hendak diatur melalui perda-perda tersebut. Jika penyusunan

perda-perda tersebut didahului dengan naskah akademik yang

memadai seharusnya kelemahan-kelemahan tersebut dapat lebih

teratasi.

B. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka

rumusan permasalahan yang akan dijawab dalam kajian ini adalah

sebagai berikut:

1. Sejauhmana urgensi pembuatan naskah akademik menjadi

prasyarat bagi instansi/lembaga untuk mengajukan suatu RUU dan

RAPERDA;

2. Bagaimanakah standar muatan naskah akademik yang ideal bagi

pengajuan suatu RUU dan RAPERDA;

3. Bagaimanakah seharusnya mekanisme pembentukan dan

penggunaan naskah akademik dalam pengajuan suatu RUU dan

RAPERDA

C. Tujuan dan Manfaat

Page 7: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

7

Tujuan dan Manfaat dilakukannya kajian Kebijakan Penetapan

Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-

undang adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis tentang urgensi peran naskah

akademik sebagai prasyarat bagi proses penyusunan rancangan

undang-undang dan RAPERDA

2. Mengetahui dan menganalisis tentang standar muatan naskah

akademik yang ideal bagi pengajuan RUU dan RAPERDA.

3. Mengetahui dan menganalisis bagaimana seharusnya mekanisme

penyusunan naskah akademik dalam pengajuan RUU dan

RAPERDA

D. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari Kajian ini lebih dibatasi kepada

permasalahan atau faktor-faktor yang terkait dengan kepentingan

pembuatan Naskah Akademik dalam penyusunan rancangan undang-

undang yang dibuat (di tingkat pusat), serta membandingkannya

dengan proses penyusunan rancangan peraturan daerah (tingkat

daerah)

E. Metodologi

Metodologi yang digunakan dalam pelaksanaan kajian ini

adalah :

Page 8: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

8

a. Metode Pengumpulan Data :

1) Melaksanakan wawancara yakni mengadakan tanya jawab

langsung dengan responden atau informan penelitian (key

informan) yang dilakukan secara terstruktur dengan

menggunakan pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan

untuk memperoleh data primer yang relevan dan sistematis.

2) Studi pustaka: dengan mempelajari referensi untuk memperoleh

kerangka teoritis maupun teknis yang dapat dijadikan bahan

acuan dalam analisis dan pembahasan selanjutnya.

b. Metode Analisis Data :

Adalah metode analisis deskriptif yaitu dengan menjabarkan,

menganalisis dan membandingkan data atau informasi yang diperoleh

melalui konsep-konsep teori yang relevan.

F. Sistimatika Penulisan

Dengan latar belakang dan hakikat permasalahan serta tujuan

dan manfaat sebagaimana diuraikan di atas, maka kajian ini akan

disusun dengan sistimatika penulisan sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Page 9: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

9

Menguraikan tentang latar belakang, rumusan permasalahan, maksud

dan tujuan, ruang lingkup, kerangka konseptual, metodologi serta

sistematika penulisan kajian.

Bab II : Kerangka Pemikiran Naskah Akademik

Membahas mengenai landasan konseptual dan teori-teori yang

mengatur tentang naskah akademik dalam penyusunan peraturan

perundang-undangan, selain itu membahas peraturan perundang-

undangan dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang naskah

akademik dan selain itu membahas tentang urgensitas penggunaan

Naskah Akademik dalam penyusunan RUU dan Raperda.

Bab III : Landasan Hukum Pengaturan Naskah Akademik

dalam Pembentukan Undang-Undang

Bab ini menguraikan dan menganalisis tentang pengaturan mengenai

penyusunan dan penggunaan Naskah Akademik, pengaturan tentang

Materi Naskah Akademik, serta Klausul Imperatif dalam Pengaturan

Naskah Akademik serta penempatan pengaturan Naskah Akademik

dalam Produk Hukum.

Bab IV : Analisis Permasalahan

Bab ini menguraikan dan menganalisis tentang perbandingan muatan

Naskah Akademik dari berbagai sumber, termasuk perbandingan di

Page 10: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

10

beberapa negara. Selain itu menganalisis tentang penggunaan dan

peranan Naskah Akademik dalam pembentukan atau penyusunan

RUU/Raperda serta menganalisis tentang muatan standar suatu Naskah

Akademik yang ideal dan efektif bagi pembentukan RUU/Raperda.

Bab V : Kesimpulan dan Rekomendasi

Bab ini menguraikan mengenai kesimpulan dan rekomendasi yang

perlu ditindaklanjuti bagi pembentukan dan penyusunan RUU dan

Raperda di masa mendatang.

G. Lokasi Pengumpulan Data

Untuk memperoleh informasi dan data terkait, maka akan

diadakan ke beberapa instansi terkait antara lain :

1. Kementerian/lembaga negara terkait di tingkat pusat seperti

Departemen Hukum dan HAM, Badan Pembinaan Hukum Nasional,

Komisi Hukum Nasional, Sekretariat Kabinet, Badan Legislatif DPR

RI;

2. Biro Hukum Pemerintah Daerah;

3. DPR dan DPRD;

4. Lembaga Penelitian dan Universitas.

H. Hasil yang Diharapkan

Page 11: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

11

Berupa laporan yang memuat rekomendasi tentang sejauhmana

peranan naskah akademik dalam proses penyusunan RUU/Raperda,

sehingga produk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkan

dapat diimplementasikan dan berlaku efektif di kemudian hari serta

memberikan gambaran secara umum tentang naskah akademik yang

ideal bagi penyusunan peraturan perundang-undangan.

Page 12: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

12

BAB II

URGENSI NASKAH AKADEMIK DALAM PENYUSUNAN RUU

A. Landasan Teoritis dan Konseptual tentang Naskah Akademik

Sejak Indonesia merdeka, perkembangan pembentukan sistem

dan proses legislasi nasional masih terus berjalan sesuai dengan

perkembangan pemikiran dan kesadaran politik warga negara. Di masa

Orde Baru, penentuan kebijakan dilakukan sangat terpusat dan berada

pada satu tangan. Iklim sosial politik yang melingkupi pemerintahan

saat itu telah menghadirkan atmosfer pemerintahan yang anti kritik.

Kondisi ini telah pula menghadirkan masyarakat yang minim

keterlibatannya dalam proses pengambilan kebijakan nasional termasuk

proses pembentukan peraturan perundang-undangan.

Pasca reformasi, gagasan akan pentingnya partisipasi publik

dalam proses legislasi berkali-kali digulirkan oleh berbagai kalangan

sebagai perwujudan bentuk pelibatan masyarakat dalam penentuan

kebijakan yang akan mengikat mereka di mana pun berada. Namun,

sistem yang terbentuk selama pemerintahan Orde Baru telah

mewujudkan birokrasi pemerintahan yang seolah-olah tidak

mempedulikan keinginan masyarakat, bahkan proses pembentukan

Page 13: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

13

peraturan perundang-undangan dilakukan tanpa sandaran prioritas

yang jelas.

Berbagai kekeliruan yang terbentuk sebagai warisan masa lalu itu

diperparah dengan lemahnya pemahaman akan pentingnya peran

proses dan hasil legislasi dalam masa transisi. Ann dan Robert Siedman

dalam Legislative Drafting for Democratic Social Change mengingatkan,

dalam proses pembentukan undang-undang (law making process) ada

enam kategori penting yang harus diperhatikan: (1) a bill‟s origins, (2)

the concept paper, (3) prioritization, (4) drafting the bill, (5) research,

dan (6) who has access and supplies input into the drafting process.1

Dalam konteks Indonesia, keenam kategori tersebut dapat

ditinjau melalui, Pertama, asal-muasal rancangan peraturan perundang-

undangan. Dari mana suatu rancangan peraturan perundang-undangan

berasal sangat menentukan garis kebijakan yang hendak dicapai. Pasca

reformasi, berbagai rancangan peraturan perundang-undangan yang

kerap muncul dari masyarakat menandakan tingkat kesadaran

masyarakat yang membaik dalam proses pembentukan hukum negara.

Demikian pula dengan rancangan yang muncul melalui inisiatif DPR,

dari segi jumlah, RUU yang berasal dari inisiatif DPR jauh lebih banyak

dibanding dengan era sebelumnya. Apalagi bila mencermati rumusan

dan pergeseran paradigma yang ada dalam UUD 1945, DPR harus lebih

proaktif dalam membuat RUU.

1 Ann Seidman, Robert B. Seidman and Nalin Abeysekere, Legislative Drafting for Democratic

Social Change: A Manual for Drafters , (Boston: Kluwer Law International, 2001) hal. 22-24.

Page 14: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

14

Kedua, tersedianya naskah konsepsi atau naskah kebijakan. Secara

formal, sejak 1994 pemerintah Indonesia, melalui BPHN telah

menyadari kebutuhan suatu naskah kebijakan dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan, dengan sebutan naskah

akademik. Namun selama kurun waktu berjalan, aspek kegunaan

naskah akademik bisa dikatakan masih sebatas formalitas semata.

Dalam praktek, penyusunan naskah akademik dilakukan pada tahapan

yang berbeda-beda. Ada naskah akademik yang disusun sebelum

peraturan perundang-undangan dirancang, dan ada pula yang

dirumuskan setelah suatu rancangan undang-undang selesai dilakukan

proses drafting-nya. Bahkan ada pula yang baru mulai dibuat setelah

muncul permintaan dari anggota dewan agar pemerintah melengkapi

rancangan peraturan perundang-undangan yang disampaikan dengan

suatu naskah akademik. Akibatnya, naskah akademik yang

disampaikan semata-mata hanyalah sebagai pembenaran terhadap

norma yang telah dirancang dalam bentuk pasal-pasal, tanpa hasil

penelitian mendalam. Padahal, naskah akademik diperlukan guna

menjelaskan usulan RUU secara detail. Lebih dari itu, naskah akademik

diperlukan guna menjelaskan logika, alternatif pilihan kebijakan,

bahkan alasan yang mendukung pentingnya RUU dijadikan undang-

undang.

Ketiga, penentuan prioritas agenda pembahasan peraturan

perundang-undangan. Setelah diberlakukannya UU No. 10 tahun 2004,

Page 15: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

15

prioritas legislasi nasional yang terwujud dalam Prolegnas (Program

Legislasi Nasional) telah menjadi salah satu tolok ukur baru bagi politik

hukum perundang-undangan negara.2 Dalam perkembangannya,

Prolegnas tidak hanya berperan sebagai rencana hukum pembentukan

dan penggantian peraturan perundang-undangan, melainkan sekaligus

sebagai pedoman mekanisme pembatan UU yang mengikat.3 Artinya,

setiap RUU yang akan dibahas bersama oleh pemerintah dan DPR,

harus terlebih dahulu tercantum dalam Prolegnas. Menurut Mahfud

MD, suatu RUU dapat disisipkan ke dalam Prolegnas berdasarkan

kesepakatan antara DPR dan Pemerintah, sebagai pengecualian, dengan

mempertimbangkan kondisi-kondisi tertentu. Antara lain, (1) jika

Presiden mengeluarkan Perppu, (2) jika ada putusan MK yang

menyebabkan terjadinya kekosongan hukum atau menyebabkan

kompleksitas hukum tentang sesuatu, (3) jika ada perjanjian

internasional antara Indonesia dengan negara lain yang harus

diratifikasi dengan UU, dan (4) jika terjadi keadaan mendesak lainnya

yang memerlukan tindakan darurat yang harus dituangkan dalam UU. 4

Keempat, perancangan konsepsi RUU. Secara ideal, perancangan

konsepsi RUU dilakukan dengan merujuk pada naskah kebijakan yang

telah dirumuskan. Dengan demikian, RUU tersebut tidak hanya

2 Mahfud MD menganggap Prolegnas sebagai penjabaran politik hukum untuk mencapai tujuan

negara dalam periode tertentu, yang dibuat berdasarkan kesepakatan antara DPR dengan Pemerintah.

Lebih lanjut, lihat Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata NegaraPasca Amandemen Konstitusi, (Jakarta:

LP3ES, 2007), hal. 60. 3 Ibid.

4 Ibid.

Page 16: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

16

memiliki sandaran argumentasi yang kuat karena dirumuskan

berdasarkan penelitian yang mendalam, tapi juga memiliki visi yang

lebih jelas dan mudah dipahami dengan alur pikir yang telah dibangun

dalam naskah kebijakannya. Hal ini tentu membutuhkan tenaga

perancang yang capable dalam menterjemahkan kebijakan yang abstrak

menjadi norma hukum yang mengikat umum. Namun, sumber daya

yang memiliki kapabilitas sebagai legislative drafter pun masih sangat

minim. Keterbatasan tenaga perancang ini, di beberapa tempat

berdampak pada perilaku duplikasi peraturan yang berlaku di daerah

lain.

Kelima, penelitian. Ann dan Bob Seidman membedakan antara

concept paper dengan research.5 Sebutan yang pertama ditujukan untuk

dokumen resmi pemerintah yang berisi pilihan kebijakan yang hendak

diterapkan sebagai acuan dalam merumuskan suatu konsepsi RUU,

sementara penelitian yang dimaksud adalah upaya untuk menemukan

problem sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat,

sehingga dalam proses perumusan rancangan peraturan perundang-

undangan menjadi jelas perilaku bermasalah yang mana yang hendak

diperbaiki.

Keenam, siapa yang memperoleh akses dalam proses

perancangan. Ketika masih dalam tahap perancangan di tangan

pemerintah, berbagai bentuk partisipasi masyarakat berbeda-beda di

5 Seidman, Op. Cit., hal. 24.

Page 17: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

17

setiap negara. Mulai dari bentuk konsultasi pemerintah hanya dengan

para elit politik tanpa melibatkan masyarakat, sampai dengan bentuk

penyampaian aspirasi masyarakat secara langsung dengan

mengusulkan suatu rumusan rancangan peraturan perundang-

undangan dengan naskah akademiknya. Artinya, terbukanya akses

tersebut dapat berawal dari inisiatif pemerintah dengan menyampaikan

rencana kebijakannya kepada publik untuk mendapatkan respons, bisa

juga dilakukan berdasarkan inisiatif masyarakat dengan melakukan

audiensi, atau bahkan demonstrasi untuk mempengaruhi kebijakan.

Keenam kategori sebagaimana diuraikan tersebut, jika diterapkan

dalam proses legislasi di Indonesia, akan menghadirkan tahapan

komprehensif dalam proses penyiapan rancangan peraturan

perundang-undangan yang mengacu pada politik hukum perundang-

undangan negara.6 Kategori yang perlu pengaturan secara khusus di

antara keenam kategori tersebut adalah soal ketersediaan naskah

kebijakan. Meskipun telah disebutkan dalam UU No. 10 tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Presiden No. 68 tahun 2005, pedoman penyusunan naskah akademik

tidak secara jelas diatur. Bahkan pada prakteknya, masyarakat dapat

menemukan format naskah akademik yang berbeda-beda.

6 Mahfud MD menguraikan polit ik hukum perundang-undangan terkait dengan pengaturan dalam

konstitusi yang mencakup rangkaian proses pembentukan peraturan perundang -undangan mulai dari

pembentukan peraturna perundang-undangan sampai dengan pengujiannya untuk mencapai tu juan

negara. Lihat Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, (Jakarta: LP3ES, 2007), hal. 57.

Page 18: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

18

Jimly Asshiddiqie membedakan rancangan atau draft undang-

undang ke dalam kategori naskah akademik, naskah politik dan naskah

hukum.7 Suatu rancangan undang-undang masih berstatus sebagai

naskah akademik pada saat masih dalam tahap perencanaan dan masih

berada dalam lingkup tanggung jawab internal pemerintah.8 Naskah ini

kemudian berubah status sebagai naskah politis pada saat telah resmi

diputuskan oleh pemegang otoritas politik menjadi rancangan undang-

undang.9 Dan akhirnya, setelah mendapatkan pengesahan melalui

Rapat Paripurna DPR sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama

atas Rancangan Undang-Undang tersebut menjadi Undang-Undang,

naskah ini kemudian disebut sebagai naskah hukum.10

Dalam Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 diuraikan pengertian

naskah akademik sebagai berikut:

“naskah akademik adalah naskah yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai konsepsi yang berisi

latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan

dan lingkup, jangkauan, objek, atau arah pengaturan Rancangan

Undang-Undang.”11

7 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang di Indonesia, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 320. 8 Ibid, hal. 322.

9 Ibid, hal. 323.

10 Ibid, hal.326-327.

11 Pasal 1 butir 7 Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

Page 19: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

19

Dari pengertian tersebut, Maria Farida menyimpulkan bahwa naskah

akademik seharusnya disusun sebelum rancangan undang-undangnya

terbentuk.12 Dengan demikian, penyusunan naskah akademik yang

dilakukan setelah rancangan undang-undangnya dirumuskan,

meskipun dapat dipertanggungjawabkan secara imiah, namun secara

fungsional kurang memberikan arah pengaturan peraturan perundang-

undangan. Bahkan dalam hal tertentu dapat dinyatakan bahwa

penyusunan naskah akademik yang demikian hanyalah bersifat

formalitas belaka dan sekadar memberikan justifikasi akademis bagi

pembentuk peraturan perundang-undangan terhadap rancangan yang

telah disusunnya.

Lebih lanjut, Maria Farida memandang pentingnya pembentukan

risalah pembahasan yang dilakukan selama proses pembentukan

peraturan perundang-undangan tersebut berlangsung untuk mengukur

kesesuaian antara peraturan perundang-undangan yang dibentuk

dengan pilihan kebijakan yang direncanakan dan terumuskan dalam

naskah akademiknya.13 Risalah ini juga berguna sebagai bahan evaluasi

untuk mengetahui alasan-alasan yang mendasari setiap rumusan dalam

peraturan perundang-undangan tersebut.14

B. Urgensi Penggunaan Naskah Akademik

12

Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukkannya,

(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 249. 13

Maria Farida Ibid., hlm. 249. 14

Maria Farida Ibid., hlm. 249.

Page 20: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

20

Keunggulan naskah akademik menurut Jimly Asshiddiqie,

terletak pada pertimbangan-pertimbangan normatif yang mengandung

kebenaran ilmiah. Karena naskah rancangan akademik undang-undang

disusun sebagai hasil kegiatan penelitian yang bersifat akademik sesuai

dengan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, objektif

dan impersonal. Mengingat kegunaannya sebagai landasan berpikir

perumusan suatu rancangan perundang-undangan, maka para perumus

rancangan akademik harus dapat menggambarkan adanya berbagai

alternatif rumusan yang mungkin dipilih oleh pemegang otoritas politik

atas rancangan undang-undang itu, apabila terdapat beberapa

kemungkinan gagasan normatif.

Rancangan peraturan perundang-undangan yang disiapkan

pemerintah, lazimnya hanya terfokus pada bentuk atau format draft

RUU atau Raperda-nya saja. Padahal, menurut Ann dan Bob Seidman,

untuk memperkuat justifikasi terhadap substansi rancangan peraturan

perundang-undangan, perancang membutuhkan suatu laporan

penelitian, karena tiga alasan.15 Pertama, laporan penelitian yang

adequate akan memberikan pembenaran bagi proses pembentukan

kebijakan yang sedang berlangsung. Kedua, laporan penelitian atau

naskah akademik juga berfungsi sebagai peta yang akan memandu

perancang (drafter) dalam menghimpun dan mensistematisir kerangka

besar kebijakan yang akan diterapkan berdasarkan kondisi yang

15

Seidman, Op. Cit., hal.86.

Page 21: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

21

tersedia. Ketiga, kehadiran naskah akademik juga akan memastikan

bahwa perancang akan menyusun serangkaian norma yang terstruktur

secara logis.

Disamping itu, urgensi naskah akademik dalam proses

pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain juga untuk

memberikan gambaran bahwa rancangan undang-undang yang

bersangkutan tidaklah disusun karena kepentingan sesaat, kebutuhan

yang mendadak, atau karena pemikiran yang tidak mendalam.16

Dengan demikian, kehadiran naskah akademik berfungsi pula sebagai

quality control bagi suatu rancangan peraturan perundang-undangan.17

Hal ini terkait dengan berbagai informasi yang disediakan dalam

naskah akademik yang memberikan gambaran bagi para legislator dan

masyarakat pada umumnya perihal problem sosial yang akan

diperbaiki sebagai tujuan yang hendak dicapai dari diundangkannya

peraturan tersebut.18

Urgensitas pembuatan Naskah Akademik bagi pembentukan

peraturan daerah juga merupakan :19

1. Media nyata bagi peran masyarakat dalam proses pembentukan

peraturan daerah, bahkan inisiatif penyusunan Naskah

Akademik dapat berasal dari masyarakat. Hal ini merupakan

16

Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 321. 17

Seidman., Op. Cit., hal. 86. 18

Ibid. 19

“Pedoman Naskah Akademik PERDA Partisipatif (Urgensi, Strategi dan Proses Bagi

Pembentukan Perda yang Baik) oleh Dr. Jazim Hamid i, SH, MH dan kawan-kawan. Penerbit Total

Media, Yogyakarta, hlm 51

Page 22: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

22

keuntungan tersendiri, dengan terlibatnya masyarakat dalam

proses pembentukan peraturan daerah maka aspirasi-aspirasi

masyarakat akan lebih terakomodasi. Peran serta masyarakat ini

juga sesuai dengan perumusan Pasal 53 UU Nomor 10 Tahun

2004 jo Pasal 139 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

2. Bahwasanya bahwa Naskah Akademik memaparkan alasan-

alasan, fakta-fakta atau latar belakang tentang hal-hal yang

mendorong disusunnya suatu masalah atau urusan sehingga

sangat penting dan mendesak diatur dalam peraturan daerah.

Aspek yang perlu diperhatikan dalam latar belakang ini adalah

aspek ideologis, politis, budaya, sosial, ekonomi, pertahanan dan

keamanan (ekspoleksosbudhankam). Manfaat dari informasi

yang ada di dalam latar belakang bagi pembentuk peraturan

daerah adalah mereka bisa mengetahui dengan pasti tentang

mengapa perlunya dibuat sebuah peraturan daerah dan apakah

peraturan daerah tersebut memang diperlukan oleh masyarakat.

Page 23: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

23

BAB III

LANDASAN HUKUM PENGATURAN NASKAH AKADEMIK

DALAM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang merupakan dasar bagi pengaturan semua

pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak secara

khusus memberikan rumusan mengenai keberadaan naskah akademik

dalam pembentukan undang-undang ataupun peraturan perundang-

undangan lainnya. Namun dalam undang-undang tersebut terdapat

beberapa pasal yang memerintahkan pembentukan Peraturan Presiden

yang pada muatannya mengatur soal naskah akademik.20

Peraturan Presiden yang di dalamnya mengatur soal naskah akademik

yang telah diterbitkan dalam rangka memenuhi perintah UU No. 10 Tahun

2004 adalah Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional dan Peraturan

Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan

Presiden. Selain kedua Perpres tersebut dalam lingkup pemerintah juga

20

Satya Arinanto, Beberapa Catatan tentang Penyusunan Naskah Akademik, disampaikan dalam

Legal Draft ing Skills Train ing di Canberra, Australia 5 Juni – 26 Agustus 2006 dilaksanakan oleh

Australian Marine Science and Technology Limited bekerja sama dengan ANU College of Law The

Australian National University.

Page 24: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

24

terdapat panduan penyusunan naskah akademik yang dikeluarkan oleh

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yaitu Keputusan Kepala

BPHN No. G159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang Petunjuk Teknis Penyusunan

Naskah Akademis Peraturan Perundang-undangan. Namun, kelemahan

pada panduan ini adalah dikeluarkan sebelum lahirnya UU No. 10 tahun

2004. Dalam lingkup DPR juga terdapat pengaturan mengenai naskah

akademik yang dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR yang terdapat

dalam Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005-2006

Dari kesemua peraturan yang ada tersebut secara garis besar dapat

dibagi dalam dua bagian yaitu, pertama, ketentuan-ketentuan yang

mengatur soal mekanisme penyusunan dan penggunaan naskah akademik

dalam pembentukan peraturan perundang-undangan serta kedua,

ketentuan-ketentuan yang mengatur materi muatan yang seharusnya ada

dalam setiap naskah akademik.

A. Pengaturan mengenai Mekanisme Penyusunan dan Penggunaan

Naskah Akademik

Peraturan Presiden No. 68 tahun 2005 memberikan definisi

mengenai naskah akademik dengan menyatakan bahwa naskah

akademik adalah naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah mengenai konsepsi yang berisi latar belakang, tujuan

penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan dan lingkup jangkauan,

Page 25: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

25

obyek atau arah pengaturan RUU.21 Dari definisi di atas dapat diketahui

bahwa naskah akademik seharusnya dibuat sebelum rancangan

undang-undang terbentuk. Hal ini perlu ditegaskan, mengingat sering

kali terjadi naskah akademik dibuat justru setelah rancangan undang-

undangnya selesai dibuat.22

Selanjutnya Perpres No. 68 Tahun 2005 menunjuk pihak yang

seharusnya membuat naskah akademik. Disebutkan bahwa naskah

akademik dibuat oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Departemen

yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-

undangan. Dan juga disebutkan bahwa pelaksanaan pembuatan naskah

akademik dapat diserahkan kepada pihak ketiga yaitu kepada

perguruan tinggi atau pihak lain yang memiliki keahlian mengenai hal

tersebut.23

Dalam Perpres No. 61 Tahun 2005 disebutkan forum-forum di

lingkup pemerintah dalam proses legislasi yang memerlukan naskah

akademik sebagai bahan pembahasan. Dalam Pasal 13 disebutkan

bahwa dalam hal Menteri atau Pimpinan Lembaga Pemerintah

Nondepartemen telah menyusun Naskah Akademik RUU, maka

Naskah Akademik tersebut wajib disertakan dalam penyampaian

perencanaan pembentukan RUU. Selanjutnya juga disebutkan bahwa

dalam hal RUU disertai naskah akademik, maka naskah akademik

21

Pasal 1 butir 7 Perpres No. 168 Tahun 2005. 22

Op. Cit., Maria Farida, hlm. 249. 23

Pasal 5 ayat (2) Perpres No. 68 Tahun 2005.

Page 26: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

26

dijadikan bahan pembahasan dalam forum konsultasi24 yaitu forum

dilaksanakannya upaya pengharmonisasian, pembulatan dan

pemantapan konsepsi RUU25 yang dapat melibatkan para ahli dari

lingkungan perguruan tinggi dan organisasi di bidang sosial, politik,

profesi atau kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.26

Dalam lingkup DPR keberadaan naskah akademik juga

ditekankan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. DPR mensyaratkan setiap

pengajuan rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR,

Presiden atau DPD disertai dengan naskah akademik.27 Namun kalimat

dalam Peraturan Tata Tertib DPR tersebut tidak imperatif melainkan

tetap fakultatif yaitu: ”rancangan undang-undang... diajukan beserta

penjelasan, keterangan, dan/ atau naskah akademik.”28 Dengan

demikian, tidak berbeda terlalu jauh kewajiban penggunaan naskah

akademik baik di lingkungan pemerintah maupun DPR.

B. Pengaturan mengenai Materi Naskah Akademik

Pengaturan mengenai muatan naskah akademik dapat dilihat

dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 dan dalam Keputusan Kepala BPHN

No. G159.PR.00.10 Tahun 1994. Dalam Perpres No. 68 Tahun 2005

ditegaskan bahwa naskah akademik paling sedikit memuat dasar

24

Pasal 16 ayat (2) Perpres No. 61 Tahun 2005. 25

Pasal 16 ayat (1) Perpres No. 61 Tahun 2005. 26

Pasal 16 ayat (3) Perpres No. 61 Tahun 2005. 27

Pasal 121 ayat (3) dan (4), Pasal 125 ayat (1) dan Pasal 134 Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR

RI/I/2005-2006. 28

Pasal 121 ayat (5) Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/ I/2005-2006.

Page 27: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

27

filosofis, sosiologis, yuridis, pokok dan ruang lingkup materi yang akan

diatur.

Sedangkan dalam Keputusan Kepala BPHN No. G159.PR.00.10

Tahun 1994 muatan yang diharapkan ada dalam suatu naskah akademik

dibuat lebih rinci, yaitu: (1) hasil inventarisasi hukum positif (2) hasil

inventarisasi permasalahan hukum yang dihadapi (3) sebab-sebab

diperlukannya peraturan perundang-undangan yang baru (4) gagasan-

gagasan tentang materi hukum yang dituangkan ke dalam RUU/RPP

(5) konsepsi landasan, alas hukum dan prinsip yang akan digunakan (6)

pemikiran tentang norma-normanya yang telah dituangkan dalam

bentuk pasal-pasal dan (7) gagasan awal naskah RUU dan/atau RPP

yang disusun secara sistematis sesuai dengan teknik penyusunan

peraturan perundang-undangan.

C. Klausul Imperatif dalam Pengaturan Naskah Akademik

Dari kesemua ketentuan-ketentuan yang terdapat pada

peraturan-peraturan tentang naskah akademik tersebut tidak terdapat

klausul-klausul imperatif, baik mengenai mekanisme yang diwajibkan

dalam penyusunan dan penggunaan naskah akademik maupun

mengenai muatan yang diwajibkan dalam suatu naskah akademik.29

29

Menurut Chaerijah, S.H.,M.H., Phd, ketentuan-ketentuan mengenai naskah akademik dalam

berbagai peraturan bersifat fakultatif, memang terdapat klausul yang imperatif yaitu ketentuan yang

mengatakan bahwa apabila sudah terdapat naskah akademiknya, peng ajuan suatu RUU wajib

menyertakannya sebagai bahan pelengkap.Namun terhadap pendapat ini penulis beranggapan bahwa

kalimat ”apabila sudah terdapat naskah akademiknya” membuat ketentuan tersebut berkurang makna

imperatifnya. Pendapat Chaerijah S.H.,M.H.,P.hd.,dapat dilihat dalam Chaerijah, Penjelasan Umum

Page 28: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

28

Prof. Dr. Maria Farida Indarti, SH., Guru Besar Ilmu Perundang-

undangan Universitas Indonesia, menyatakan bahwa dapat dimengerti

belum ada pedoman yang baku dalam penyusunan suatu naskah

akademik sehingga cenderung dilakukan berdasarkan kebiasaan yang

berlaku karena naskah akademik sendiri bukan merupakan suatu

produk hukum.30 Selain itu, satu hal penting yang dapat dijadikan

alasan mengapa tidak terdapatnya klausul yang bersifat imperatif dalam

pengaturan mengenai mekanisme penyusunan dan penggunaan serta

materi muatan naskah akademik adalah karena keberadaan naskah

akademik sendiri juga tidak diwajibkan dalam setiap pembentukan

semua peraturan perundang-undangan, mulai dari undang-undang

dasar hingga peraturan daerah.31 Undang-undang No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sendiri yang

sekarang merupakan produk hukum tertinggi yang mengatur soal

pembentukan peraturan perundang-undangan tidak merumuskan soal

kewajiban untuk menyusun dan menggunakan naskah akademik dalam

pembentukan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan

perundang-undangan yang lain.

Fungsi dan Peran Naskah Akademik dalam Penyusunan Undang-Undang, makalah yang disampaikan

pada Diklat Teknis dan Penyusunan Naskah Akademik bagi Tenaga Fungsional Sekretariat DPR RI

tanggal 1 Agustus 2007. 30

Op. Cit., Maria Farida, hlm. 248-249. 31

Dalam perubahan UUD 1945 yang baru lalu, mulai dari perubahan Pertama di tahun 1999 hingga

perubahan keempat di tahun 2002 d ilakukan tanpa dibuatnya naskah akademik terleb ih dahulu. Lihat

Risalah-Risalah Rapat-Rapat Panitia Ad Hoc I MPR dari tahun 1999 – 2004 yang mempersiapkan usulan

Perubahan UUD 1945.

Page 29: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

29

Terhadap kewajiban penyusunan dan penggunaan naskah

akademik hingga saat ini memang terdapat berbagai pendapat yang

berbeda sehingga tidak berhasil dirumuskan mengenai kewajiban

penyusunan dan penggunaannya. Dalam berbagai momen pembahasan

mengenai hal ini, baik di tingkat pemerintah maupun Dewan

Perwakilan Rakyat perdebatan mengenai hal ini selalu mengemuka.

Mereka yang mendukung kewajiban keberadaan naskah akademik

mengemukakan argumentasi-argumentasi tentang urgensi naskah

akademik ini mulai dari perencanaan suatu peraturan perundang-

undangan, khususnya undang-undang, hingga pelaksanaannnya.32

Kelompok yang merasa keberatan terhadap kewajiban penyusunan dan

penggunaan naskah akademik sama sekali tidak membantah tentang

urgensi naskah akademik, namun memberikan catatan bahwa terdapat

beberapa kondisi, kewajiban keberadaan naskah akademik sulit untuk

dilakukan atau alasan efisiensi waktu, sumber daya manusia dan dana.

Prof. Dr. Maria Farida SH juga menyampaikan pendapat mengenai hal

ini, yaitu mempertanyakan apakah suatu naskah akademik harus

dilakukan terhadap setiap rancangan peraturan perundang-undangan,

oleh karena materi peraturan perundang-undangan tersebut seringkali

hanya peraturan yang bersifat atribusi atau delegasi dari undang-

undang yang merupakan peraturan pelaksanaannya.33

32

Mengenai urgensi naskah akademik dapat dilihat dalam Bab II tulisan ini. 33

Op. Cit, Maria, hlm. 250.

Page 30: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

30

D. Penempatan Pengaturan Naskah Akademik dalam Produk Hukum

Dalam Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden disebutkan bahwa pedoman

penyusunan naskah akademik pengaturannya akan dilakukan dalam

sebuah Peraturan Menteri. Jika dilihat dari Peraturan yang memerintah

dan jenis peraturan yang diperintahkan mengatur naskah akademik

jelas sekali pengaturan yang dimaksud hanya akan berlaku di lingkup

pemerintah saja. Dengan demikian, dalam hal pengajuan undang-

undang yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ataupun

oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD)34 pengaturan tersebut menjadi

tidak berlaku karena baik Peraturan Presiden apalagi Peraturan Menteri

tidak dapat mengikat DPR ataupun DPD.

Oleh karena itu memang yang terbaik adalah mengaturnya

dalam bentuk undang-undang karena undang-undang dapat mengatur

seluruh lembaga negara yang terlibat dalam proses legislasi. Namun,

jika tidak dimungkinkan karena perubahan UU No. 10 Tahun 2004

diperkirakan membutuhkan waktu yang panjang dan perdebatan yang

banyak sementara kebutuhan untuk mewajibkan keberadaan naskah

akademik serta pedoman mengenai penyusunannya dirasa cukup

34

Berdasarkan Perubahan Ketiga pada Pasal 22D ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun

1945 Dewan Perwakilan Daerah mendapatkan kewenangan mengajukan rancangan undang -undang

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,

pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

Page 31: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

31

mendesak, maka diperlukan jenis peraturan lain yang mengatur

mengenai hal ini.

Salah satu cara yang dianggap bisa mengatasi persoalan di atas

adalah dengan membuat pengaturan-pengaturan terutama mengenai

kewajiban penyusunan dan penggunaan naskah akademik bagi suatu

undang-undang dalam bentuk Peraturan Tata Tertib DPR. Peraturan

jenis ini yang sekarang dimuat dalam suatu Surat Keputusan DPR

memang merupakan peraturan yang mengikat internal di dalam DPR

saja (interne regelingen) namun karena semua pengajuan rancangan

undang-undang disampaikan ke DPR dan pembahasan rancangan

undang-undang semua dilakukan di DPR maka secara tidak langsung

semua lembaga negara yang terlibat legislasi, baik Pemerintah maupun

DPD, terikat dengan peraturan ini.35 Permasalahan akan timbul jika

peraturan ini tidak dibuat berdasarkan masukan dan koordinasi dari

lembaga-lembaga terkait baik di Pemerintah maupun di DPD. Keadaan

tersebut bisa saja terjadi mengingat Peraturan Tata Tertib DPR memang

hanya dibuat sepihak oleh DPR.

35

Dalam diskusi dengan Ronny Bako, seorang peneliti senior d i P3DI Sekretariat Jenderal DPR,

dalam rangka penelitian ini disebutkan bahwa DPR sedang mempersiapkan memas ukkan kewajiban

penyusunan dan penggunaan naskah akademik dalam setiap RUU yang akan dibahas di DPR. In formasi

disampaikan dalam focus group discussion tanggal oktober 2007 d i Bappenas, Jakarta.

Page 32: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

32

BAB IV

PENGGUNAAN DAN MUATAN NASKAH AKADEMIK

DALAM PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

A. Perbandingan Muatan Naskah Akademik dari berbagai Sumber

1. Ann Seidman, Robert B. Seidman dan Nalin Abeysekere36

Untuk membantu perancang dalam merumuskan hipotesa atas

masalah sosial yang sedang berkembang di masyarakat, Ann dan

Robert Siedman mengintrodusir suatu metodologi yang dikenal

sebagai Problem Solving Method dengan menggunakan alat ukur

ROCCIPI. Alat ukur ini digunakan sebagai instrumen untuk

mengidentifikasi problem sosial yang muncul yang telah terbentuk

melalui peraturan perundang-undnagan yang berlaku hingga saat

itu. Alat ukur tersebut terdiri dari:

a. Rule (peraturan);

Ketika seseorang memutuskan untuk patuh atau tidak patuh

terhadap suatu peraturan, ia tidak hanya berhadapan dengan suatu

peraturan. Apalagi hanya satu pasal atau dua pasal. Sesseorang

harus berhadapan dengan banyak peraturan yang mungkin

36

Seidman, Op. Cit., hal. 93-98, dan hal. 109.

Page 33: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

33

tumpang tindih antara satu dengan yang lainnya. Berbagai peraturan

yang ada mungkin juga tidak jelas, bisa ditafsirkan sesuka hati

masing-masing orang.

Setidaknya ada lima kelemahan yang membuat peraturan

menyebabkan perilaku bermasalah: (1) bahasa yang digunakan

peraturan rancu atau membingungkan. Peraturan tidak menjelaskan

apa yang harus dan dilarang untuk dilakukan. (2) beberapa

peraturan malah memberi peluang terjadinya perilaku bermasalah

bisa karena bertentangan atau saling tidak mendukung (3) peraturan

tidak menghilangkan penyebab-penyebab perilaku bermasalah.

Penyebab dihilangkan sebagian atau tidak sama sekali. (4) peraturan

membka peluang bagi periaku yang tidak transparan, tidak

akuntable dan tidak partisipatif, dan (5) peraturan mungkin

memberikan wewenang yang berlebihan kepada pelaksana

peraturan dalam mengatasi perilaku bermasalah.

b. Opportunity (Kesempatan);

Mungkin sebuah peraturan secara tegas melarang perilaku tertentu

namun jika terbuka kesempatan untuk tidak mematuhinya orang

dengan mudah melakukan perilau bermasalah.

c. Capacity (kemampuan);

Peraturan tidak dapat memerintahkan seseorang untuk melakukan

sesuatu yang dia tidak mampu. Dengan demikian kita mesti

mengetahui kondisi-kondisi yang berada dalam diri orang yang

Page 34: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

34

menjadi subyek peraturan. Kemampuan dalam diri orang dapat

dirinci ke dalam kemampuan politik, kemampuan ekonomi dan

kemampuan social budaya.

d. Communication (komunikasi);

Walaupun dalam ilmu hukum dikenal adanya fiksi hukum yang

menyatakan bahwa semua orang dianggap tahu hukum, namun

kenyataan fiksi ini tidak bisa diberlakukan begitu saja karena

masalah komunikasi seringkali muncul karena selama ini negara

tidak tertib dalam mengumumkan peraturannya. Media komunikasi

yang digunakanpun tidak menentu, bahkan kacaunya pengumuman

peraturan karena disengaja, supaya masyarakat tidak tahu cacat

yang ada dalam suatu peraturan.

e. Interest (kepetingan);

Interest terkait dengan manfaat bagi pelaku peran (pembuat

peraturan maupun yang akan terkena). Kepentingan ini bisa terdiri

dari kepentingan ekonomi, kepentingan politik dan kepentingan

sosial budaya.

f. Process (proses); dan

Adalah proses bagi pelaku peran untuk memutuskan apakah akan

memenuhi atau tidak akan mematuhi peraturan perundang-

undangan.

g. Ideology ( ideologi).

Page 35: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

35

Kategori ideologi secara umum diartikan sebagai kumpulan nilai

yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berfikir dan

bertindak. Termasuk didalamnya antara lain sikap mental,

pandangan tentang dunia, pemahaman keagamaan. Kadang-kadang

ideology juga disamakan dengan budaya yang sangat luas

cakupannya. Dalam masyarakat yang sangat plural seperti

masyarakat Indonesia, nilai-nilai yang ada sangat beragam, sebagian

malah saling bersaing, misalnya konflik norma hukum yang

dibentuk Negara dengan norma hukum adat.

Untuk mendapatkan sebuah peraturan perundang-undangan

yang baik, dalam proses penyusunan Naskah Akademik sangat

penting memperhatikan agenda ROCCIPI.37 Ketujuh kategori

tersebut berguna untuk mengarahkan para penentu kebijakan dalam

memandang permasalahan sosial yang sedang terjadi dan telah

terbentuk oleh berlakunya peraturan perundang-undangan yang

dibentuk belakangan.

Ketujuh kategori tersebut dibagi dalam dua faktor, yakni faktor

subjektif dan faktor objektif. Yang termasuk dalam faktor subjektif

antara lain Interest dan Ideoloy, sementara yang tergolong ke dalam

faktor objektif adalah Rule, Opportunity, Capacity, Communication

dan Process.

37

Seidman, hal. 116-121

Page 36: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

36

2. Hikmahanto Juwana38

Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD mengibaratkan

naskah akademik dalam proses penyusunan RUU seperti potret

ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan

perundang-undangan yang hendak diterbitkan. Dengan adanya

potret tersebut dapat ditentukan apakah suatu peraturan

perundangan akan melembagakan atau memformalkan apa yang telah

ada dan berjalan di masyarakat atau juga dapat mengubah apa yang

hidup di masyarakat. Pengertian seperti ini perlu disampaikan

karena, dalam praktiknya, sering terjadi suatu kesalahan persepsi

bahwa naskah akademik dianggap atau malah dibuat untuk

melegitimasikan suatu RUU tertentu, akibatnya naskah akademik

dibuat setelah RUU disiapkan. Bahkan, dalam beberapa kasus, naskah

akademik dianggap dibuat hanya untuk memenuhi syarat formal saja,

karena telah ada anggaran yang dialokasikan untuk itu.

Secara muatan, pada prinsipnya, naskah akademik memuat

mengenai hal-hal yang menjadi landasan filosofis tentang apa yang

akan diatur dalam suatu RUU. Naskah akademik diperlukan bagi

pemangku kepentingan dan perancang (drafter) untuk mengambil

38

Prof. Hikmahanto Juwana, SH, LLM, PhD adalah Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas

Indonesia dan juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Bagian ini merupakan rangkuman dari

Hikmahanto Juwana, “Penyusunan Naskah Akademik Sebagai Prasyarat dalam Perencanaan Pembentukan RUU,”

(Makalah disampaikan pada Rapat Pembahasan Tahunan Prolegnas Pemerintah Tahun 2006, Cisarua, 4-6 Juli

2006),

Page 37: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

37

keputusan apakah suatu substansi perlu atau tidak diatur dalam

suatu RUU.

Substansi-substansi yang harus ada dalam Naskah Akademik

antara lain:

a. Tujuan dibuatnya RUU

Naskah akademik harus memuat menge nai tujuan dibuatny a

suatu UU (politik hukum suatu UU). Politi k hu kum dapat

dibedakan dalam dua dimensi12. Pertama, politik hukum yang

menjadi alasan dasar dari diadakannya suatu peraturan

perundang-undangan (kebijakan dasar atau basic policy).

Contohnya adalah UU Hak Cipta yang memilki kebijakan dasar

untuk memberikan perlindungan bagi pencipta dan ciptaannya.

Kedua, tujuan atau alasan yang muncul di balik pemberlakuan

suatu peraturan perundang-undang an (kebij akan

pemberlakuan atau enactment policy). Misalnya, UU Hak Cipta

dibentuk tidak sekedar untuk melindungi pencipta atas hasil

ciptaannya, tetapi juga untuk memberi iklim investasi yang

kondusif bagi investor asing. Pembahasan tentang apa yang

akan diatur.

b. Pembahasan ini sebaiknya diuraikan secara tepat dan tajam

karena menentukan muatan materi yang akan diatur dalam

Rancangan Undang-Undang.

Page 38: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

38

c. Faktor berjalannya Rancangan Undang-Undang

Dalam bagian ini diuraikan keberadaan infrastruktur pendukung

untuk terlaksananya rancangan undang-undang bila menjadi

undang-undang nantinya. Hal ini dibutuhkan agar UU tersebut

berjalan secara efektif dan tidak hanya memiliki makna

simbolik. Misal ny a jika disebutkan bahwa setiap orang

berhak mendapatkan pendidikan wajib hingga tingkat Sekolah

Menengah Umum (SMU), harus dilihat apakah setiap daerah di

Indonesia telah memiliki infrastruktur sekolah yang memadai.

d. Penelusuran peraturan perundang-undangan yang berlaku dan

perjanjian internasional.

Penelusuran terhadap peraturan perundang- undangan

dilakukan untuk memastikan agar tidak ada ketentuan yang

saling bertentangan bila UU tersebut telah berlaku. Hal ini

diperlukan karena apabila ada UU yang saling bertentangan, akan

sulit untuk dicari penyelesaiannya. Penggunaan asas Lex

Spesialis derogat Lex Generalis ataupun asas peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi akan

mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah

tidak akan menyelesaikan peraturan perundang-undangan yang

saling bertentangan.

Page 39: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

39

e. Rujukan

Dalam naskah akademik perlu diuraikan tentang rujukan terkait

dengan RUU yang akan dibuat. Ada tiga rujukan yang

dapat digunakan. Yang pertama, mengambil peraturan dari luar

negeri yang mirip dengan RUU yang ak an dibu at. Kedua ,

merujuk model law yang dibuat oleh organisasi internasional.

Ketiga, merujuk kepada perjanjian-perjanjian internasional yang

belum diratifikasi oleh Indonesia.

3. Ronny Bako39

Menurut Ronny Bako, suatu naskah akademik idealnya berisi

pendahuluan, hasil pengkajian, hasil penelitian, pendapat hukum

dan usulan pengaturan. Pada bagian hasil pengkajian dimuat: (1)

dasar-dasar hukum yang berhubungan dengan permasalahan. Dasar

hukum ini tidak terbatas pada hukum nasional tetapi juga hukum-

hukum internasional. (2) hasil sinkronisasi terhadap dasar hukum

yang berhubungan dengan permasalahan. (3) hasil identifikasi

terhadap dasar hukum yang tidak sesuai dengan pokok

permasalahan. (4) pendapat hukum terhadap hasil sinkronsisasi. (5)

pendapat hukum terhadap hasil identifikasi.

39

Dr.Ronny Bako, S.H.,M.H. adalah penelit i di DPR RI dan juga dosen Ilmu Perundang -undangan

di Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Bagian ini diambil dari modul yang berjudul “Naskah

Akademik” yang merupakan bahan kuliah Ilmu Perundang -undangan di Fakultas Hukum Universitas

Pelita Harapan.

Page 40: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

40

Berdasarkan hasil pengkajian, kemudian dibuat suatu

penelitian dengan menggunakan metode perbandingan hukum dan

sejarah hukum. Perbandingan hukum berisikan perbandingan

pengaturan pokok masalah yang dibahas dengan pengaturan yang

ada di berbagai negara. Sedangkan dalam bagian sejarah hukum

dilakukan pemberian landasan historis terhadap pokok masalah

yang akan diatur. Pada setiap bagian penelitian tersebut, baik

dengan metode perbandingan hukum maupun sejarah hukum

menghasilkan pendapat-pendapat hukum yang akan digunakan

dalam usulan pengaturan. Selain itu, dalam bagian hasil penelitian,

perlu juga diteliti peristiwa-peristiwa hukum yang terkait dengan

permasalahan yang dibahas.

Pendapat-pendapat hukum yang dihasilkan melalui pengkajian

dan penelitian merupakan usulan norma-norma yang akan diatur

dalam rancangan peraturan yang akan dibuat. Usulan pengaturan

ini yang akan ditindaklanjuti menjadi rancangan peraturan yang

dibuat berdasarkan format dan mekanisme yang telah diatur dalam

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

B. Perbandingan di berbagai Negara

Dalam prakteknya di negara lain, dokumen yang serupa dengan

naskah akademik yang ada di Indonesia, umumnya dikenal secara

Page 41: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

41

beragam dengan sebutan policy paper, concept paper, green paper atau white

paper.40 Dokumen ini dimaksudkan sebagai dokumen kebijakan yang

mengidentifikasi permasalahan sosial yang akan diangkat, mulai dari

latar belakang permasalahan, fakta dan bukti di lapangan yang terkait

dengan permasalahan sosial tersebut, analisis penyebab dan usulan

kebijakan yang akan diambil untuk mengatasi permasalahan sosial

dimaksud. Selain menguraikan pilihan kebijakan yang akan diambil,

sebuah “policy paper” juga memaparkan secara komprehensif apa saja

instrumen kebijakan yang dibutuhkan, baik hal-hal yang terkait dengan

dukungan finansial maupun kampanye penyadaran publik untuk

menjelaskan program pemerintah yang akan dilaksanakan di masa

mendatang.41

Penggunaan policy paper di berbagai negara dapat dipandang

sebagai upaya pembentuk kebijakan untuk menuangkan argumentasi

atas pilihan kebijakan yang diambil sebagai latar belakang

pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini sejalan dengan

40

Berbagai istilah tersebut merupakan sebutan yang tidak baku untuk mengidentifikasi suatu naskah

kebijakan yang lazim dikenal masyarakat. Secara khusus, green paper ditujukan untuk naskah kebijakan

pemerintah yang masih berupa gagasan yang disampaikan kepada publik untuk memperoleh feed back

terhadap kebijakan yang hendak diterapkan. Setelah itu, kemudian pemerintah menangkap respon

tersebut sebagai bahan masukan yang kemudian dituangkan ke dalam white paper dalam bentuk

pernyataan resmi kebijakan pemerintah atau sebagai dokumen res mi pemerintah yang disampaikan ke

parlemen. Secara formal, penggunaan istilah tersebut berbeda-beda tergantung pada negara masing-

masing. Misalnya Inggris memilih istilah Command Paper, sementara di Amerika Serikat dikenal

dengan sebutan Legislative Proposal. Lebih lanjut, lihat Seidman, Op. Cit., hal. 24. Lihat juga Sarah

Waddell, “Terminology Pertain ing to Policy Papers”, art ikel d ipresentasikan pada Legal Draft ing Skills

Train ing di Canberra Australia. 41

Ann dan Bob Seidman bahkan menekankan bahwa selain untuk memberikan justifikasi terhadap

rancangan peraturan perundang-undangan yang hendak disampaikan, laporan penelitian yang diuraikan

dalam naskah kebijakan juga harus menampilkan fakta-fakta di lapangan untuk menguatkan argumentasi

bahwa kebijakan baru yang akan diterapkan nantinya akan dapat memperbaiki perilaku masyarakat.

Lebih lanjut, lihat Seidman, Op. Cit., hal. 87.

Page 42: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

42

pendapat Jimly Asshiddiqie, yang menyatakan bahwa prinsip-prinsip

ilmu pengetahuan yang rasional, kritis, objektif, dan impersonal yang

melingkupi suatu naskah akademik yang memiliki kebenaran ilmiah,

diharapkan dapat memperkuat argumentasi ide-ide normatif yang

hendak dilahirkan.42 Namun demikian, penulisan suatu naskah

akademik masih sering rancu dengan format penulisan ilmiah pada

umumnya yang sarat dengan landasan teoritis serta penuh dengan

catatan kaki.43

Hingga kini belum ada bentuk baku berupa pedoman muatan

maupun format penyajian naskah akademik yang hendak disampaikan

ke khalayak publik, selain Surat Keputusan Kepala BPHN No.

G159.PR.00.10 Tahun 1994 sebagaimana telah diuraikan sebelumnya.

Dalam prakteknya di negara lain, policy paper yang disampaikan oleh

pemerintah harus mengikuti guideline rules atau pedoman tentang

bagaimana cara penulisan dan bentuk penyajian suatu naskah

akademik.44 Pedoman inilah yang kemudian digunakan sebagai rujukan

utama bagi para pihak perumus rancangan peraturan perundang-

undangan untuk menyusun naskah kebijakan yang memadai, berikut

dengan materi yang hendak diatur. Guideline rules semacam ini juga

dijumpai di New Zealand yang memuat pedoman yang walaupun tidak

sedetail yang dimiliki pemerintah Inggris, namun pedoman ini cukup

42

Asshiddiqie, Op. Cit., hal. 320. 43

Ibid. 44

Kabinet Inggris membuat pedoman penulisan naskah kebijakan dalam How to Publish a

Command Paper: A Guide to What is a Command Paper and the Procedures for Printing, Publishing and

Presentation to Parliament.

Page 43: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

43

memberikan gambaran tentang apa yang seharusnya dimuat dalam

naskah kebijakan dan materi pengaturannya termasuk pengkategorian

materi-materi tertentu dalam primary legislation atau delegated

legislation.45

Kegunaan utama suatu naskah kebijakan di berbagai negara

adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat terkait dengan

kebijakan yang hendak diterapkan di masa yang akan datang. Dalam

policy paper tersebut antara lain diuraikan tentang capaian pemerintah

sebelumnya dalam sektor tertentu, dengan mengevaluasi paket

kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya. Sebagai contoh, dalam

Local Government White Paper46 yang dikeluarkan oleh pemerintah

Inggris pada tahun 2006, antara lain menampilkan berbagai kondisi

yang telah terbentuk melalui kebijakan pemerintah sebelumnya

termasuk peraturan perundang-undangan yang berlaku selama ini di

sektor terkait.

Format yang disajikan dalam policy paper ini sama sekali jauh dari

format naskah akademik yang biasa disiapkan berbagai kalangan di

tanah air, lantaran tampilan dan deskripsinya yang mudah dicerna serta

atraktif. Dengan demikian masyarakat serta para legislator dapat

45

Lebih lanjut, lihat Legislat ion Advisory Committee, Guideline on Process and Content of Legislation,

http://www.justice.govt.nz/lac/index.html. 46

Lihat Department of Communities and Local Government, Strong and Prosperous Societies: The

Local Government White Paper, 2006. Naskah kebijakan yang disampaikan kepada parlemen ini

menampilkan gambaran besar harapan yang hendak diwujudkan pemerintah dengan mengevaluasi

kebijakan yang telah dilaksanakan selama kurun waktu 10 tahun terakhir.

Page 44: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

44

menangkap dengan mudah maksud dari penentu kebijakan akan apa

yang hendak diwujudkan oleh warganya.

C. Penggunaan Naskah Akademik dalam Proses Pembentukan Undang-

Undang

Menurut UU No. 10 Tahun 2004 Pembentukan undang-undang

atau peraturan perundang-undangan pada intinya meliputi kegiatan

perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan,

pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.47 Dari kesemua

kegiatan tersebut, hampir semua kegiatannya memerlukan naskah

akademik sebagai salah satu bahan penting untuk melengkapi proses.

Namun demikian tingkat urgensi, materi yang dibutuhkan dan cara

penyajian yang dibutuhkan dalam setiap kegiatan tersebut bisa

dikatakan berbeda-beda. Perbedaan terjadi karena dalam setiap kegiatan

tersebut melibatkan pihak-pihak yang berbeda, model aktivitas yang

berbeda dan tujuan yang juga berbeda.

TAHAP PERENCANAAN

Pada tahap perencanaan, penyusunan undang-undang dibuat

dalam suatu Program Legislasi Nasional (Prolegnas).48 Menurut

pengertian yang diberikan oleh UU No. 10 tahun 2004, Prolegnas adalah

instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara

47

Pasal 1 angka 1 UU No. 10 Tahun 2004. 48

Pasal 15 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004.

Page 45: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

45

berencana, terpadu dan sistematis.49 Dalam Peraturan Tata Tertib DPR

dijelaskan lagi bahwa dalam prolegnas dimuat daftar rancangan

undang-undang (RUU) yang akan dibahas oleh DPR dan Pemerintah

untuk 5 (lima) tahunan dan 1 (satu) tahunan.50

Program legislasi nasional pada dasarnya hasil dari rumusan

atau kesepakatan bersama antara Pemerintah dan DPR. Oleh karena itu,

sebelum melahirkan satu program legislasi nasional, DPR dan

Pemerintah di lingkungannya masing-masing menyusun program

legislasi nasional. Di lingkungan DPR penyusunan program legislasi

nasional dikoordinasikan oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan cara

menginventarisasi masukan dari anggota Fraksi, Komisi, DPD dan

masyarakat,51 sedangkan penyusunan program legislasi nasional di

lingkungan pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri Hukum dan

HAM dengan cara menginventarisasi masukan dari departemen-

departemen, lembaga-lembaga pemerintah non-departemen dan juga

masyarakat.52 Setelah masing-masing pihak memiliki program masing-

masing dilakukan koordinasi penyusunan program legislasi nasional

antara DPR dan Pemerintah yang dilaksanakan oleh DPR melalui Badan

Legislasi DPR.53

49

Pasal 1 angka 9 UU No. 10 Tahun 2004. 50

Pasal 42 ayat (1) huruf a Surat Keputusan DPR RI No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan

Tata Tertib DPR. 51

Pasal 16 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2004. 52

Pasal 16 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2004. 53

Pasal 16 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004.

Page 46: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

46

Hasil diagnosis yang dilakukan oleh penelitian Komisi Hukum

Nasional terhadap penyusunan Prolegnas 1999 – 2004 dapat diketahui

ternyata perilaku penyusunan prolegnas masih dalam taraf mencatat

daftar keinginan, bukan daftar kebutuhan, karena terbukti belum

mampu secara optimal mengakomodasi kebutuhan riil masyarakat (para

stakeholders).54 Dalam penelitian tersebut diungkap bahwa salah satu

penyebab ketidakmampuan prolegnas mengakomodasi kebutuhan riil

masyarakat karena penyusunan prolegnas tidak dilakukan melalui

suatu penelitian hukum yang diorganisasi dengan baik untuk

menangkap aspirasi publik.55

Selain itu juga terungkap, sebagai sebuah program, indikator

yang digunakan dalam menyusun prolegnas juga sangat bervariasi yang

menunjukkan bahwa politik pembangunan hukum di Indonesia tidak

jelas atau minimal tidak dipahami dengan jelas oleh para pihak yang

berperan dalam penyusunan prolegnas.56

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tingkat urgensitas

penggunaan penelitian hukum dalam penyusunan prolegnas dapat

dilihat dari kemampuan prolegnas menangkap kebutuhan riil

masyarakat serta penggunaan indikator yang terencana dan sistemik

dalam penetapan prioritas dalam penyusunan prolegnas. Dengan kata

lain dapat disimpulkan bahwa naskah akademik dibutuhkan sejak dari

54

Lihat hasil penelitian Komisi Hukum Nasional tentang Program Legislasi Nasional (Jakarta:

KHN, 2002), h lm. 88. 55

Ibid, h lm. 66. 56

Ibid, h lm. 67

Page 47: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

47

penyusunan prolegnas yang sekurang-kurangnya berisikan arah politik

hukum, khususnya politik pembentukan hukum serta suatu penelitian

yang menggambarkan realitas kebutuhan masyarakat (para stakeholders)

terhadap pengaturan hukum.

TAHAP PEMBAHASAN

Pembahasan rancangan undang-undang menurut UUD Negara

RI tahun 1945 dilakukan bersama-sama antara DPR dan Presiden untuk

mendapatkan persetujuan bersama. Menurut Pasal 32 ayat (1) UU No.

10 tahun 2004 dalam pembahasan ini, pemerintah dapat diwakili oleh

Menteri yang ditugasi. Pembahasan rancangan undang-undang di DPR

dilakukan dalam 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu: Pembicaraan

Tingkat I dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Badan Legislasi, Rapat

Panitian Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus. Sedangkan Pembicaraan

Tingkat II dilakukan dalam sebuah Rapat Paripurna.57

Penggunaan naskah akademik dalam tahap pembahasan

undang-undang di DPR secara praktik memang dapat dikatakan belum

optimal. Terungkap bahwa sebagian besar anggota DPR kurang

memanfaatkan hasil penelitian dalam pembahasan undang-undang.58

Diantara penyebab tidak optimalnya para anggota DPR memanfaatkan

hasil penelitian adalah menyangkut tidak sesuainya hasil penelitian

57

Pasal 134 Tata Tertib DPR. 58

Pernyataan seperti ini bisa dilihat antara lain dalam “Pelayanan Riset di Bidang Legislatif”, penelitian

hasil kerjasama Komisi Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Andalas, 2003, h lm. 217

Page 48: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

48

dengan materi yang dibutuhkan para anggota DPR dan cara penyajian

dari penelitian yang sering kali tidak efektif menyampaikan pesan yang

dibutuhkan.

Materi yang dibutuhkan para anggota dewan khususnya dalam

proses legislasi memang disebut sangat beragam. Namun, secara garis

besar, materi utama yang selalu dianggap dibutuhkan dalam setiap

pembahasan undang-undang adalah mengenai politik hukum yang

menjadi urgensi dan argumentasi dari suatu undang-undang yang akan

dilahirkan.59 Selain itu, secara praktis para anggota DPR juga menyebut

analisis pasal per pasal yang disertai alternatif-alternatifnya menjadi

kebutuhan ketika dilakukan pembahasan tingkat pertama di DPR. Hasil

penelitian ini juga sejajar dengan penelitian yang dilakukan oleh FH

Unand pada tahun 2002 yang menyebut bahwa jenis penelitian yang

dibutuhkan para anggota DPR adalah penelitian dokumentasi untuk

mengetahui sinkronisasi dan politik hukum. Kajian tentang politik

hukum dianggap sangat penting dilakukan untuk menentukan

konsistensi arah yang dicitacitakan dicapai oleh keberadaan suatu

peraturan/undang-undang.60

Seperti telah disebut di atas, cara penyajian juga menentukan

apakah suatu hasil penelitian digunakan dan bermanfaat dalam setiap

pembahasan undang-undang di DPR. Dari penelitian ini juga terungkap

59

Penelitian dilakukan terhadap anggota-anggota DPR dalam rentang waktu Oktober sampai Desember

2008. 60

Loc. Cit., hlm. 213.

Page 49: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

49

bahwa penyampaian analisis yang paling disukai oleh para anggota

dewan adalah melalui cara verbal dengan diskusi dan berbagai

pertemuan antara para anggota dewan dengan pakar atau para peneliti.

Jika ingin disampaikan dengan cara tertulis, bentuk ringkasan adalah

yang paling banyak disukai. Walaupun juga terdapat beberapa anggota

DPR yang menginginkan hasil penelitian disampaikan dalam bentuk

standar akademis namun pertimbangannya bukan karena efektif dalam

penggunaan tetapi karena dapat dijadikan dokumen yang diperlukan

ketika undang-undang dimaksud diaplikasikan, untuk mengetahui

urgensi dan argumentasi mengapa pengaturan tersebut perlu

dilakukan.

Terdapat pula anggota DPR yang menyampaikan bahwa naskah

akademik perlu dibuat dalam beberapa jenis penyajian sesuai dengan

kebutuhan penggunaannya. Penyampaian dalam bentuk ringkasan

(executive summary) diperlukan ketika rapat-rapat pembahasan tingkat I,

bentuk standar akademik diperlukan sebagai dokumen pelengkap dari

undang-undang yang akan dibutuhkan ketika undang-undang

dimaksud sudah diberlakukan dan juga dibutuhkan naskah akademik

dalam bentuk tulisan populer yang dibutuhkan ketika dilakukan

penyebarluasan kepada masyarakat.

Secara garis besar, hasil-hasil penelitian di atas juga hampir

serupa dengan penelitian yang dihasilkan oleh FH Unand yang

menyebut 59,40 % anggota DPR yang diteliti menyebut penyampaian

Page 50: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

50

penelitian dalam bentuk ringkasan yang dibutuhkan dalam proses

legislasi. Berikut tabel hasil penelitian tersebut:

No Cara Menyediakan Hasil Penelitian

Frekuensi Persentase

1 . Dalam bentuk ringkasan 38 59,40 2 . Dalam bentuk hasil penelitian lengkap 13 20,30 3 . Hasil penelitian berkaitan dengan R U U 8 12,50 4 . Tidak menjawab 5 7,80

Total 64 100,00

TAHAP PENYERAPAN ASPIRASI

Penyerapan aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum

dan kunjungan kerja. Melalui kedua media tersebut, masyarakat dapat

menyampaikan feedback terhadap apa yang telah menjadi pilihan kebijakan

perumus peraturan perundang-undangan (legal policy option) kepada para

legislator. Selain akan semakin memperbesar akses publik, melalui forum

dengar pendapat umum, masyarakat juga akan selalu mendatangi lembaga

dewan dengan berbagai bentuk, baik audiensi, demontrasi atau melakukan

tekakan-tekanan politik, diluar saluran-saluran politik yang telah disediakan.

Disamping itu, pemerintah maupun legislator juga dapat menjemput

bola dalam melakukan penyerapan aspirasi masyarakat melalui kunjungan

kerja untuk mendengarkan suara masyarakat diluar agenda yang telah dimiliki

oleh lembaga dewan. Komisi Hukum Nasional mencatat bahwa media dengar

pendapat umum secara institusional perlu dilembagakan sebagai salah satu

Page 51: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

51

strategi yang akan membantu lembaga dewan untuk melakukan perumusan

dan rekomendasi suatu masalah, termasuk penyikapannya terhadap pilihan

kebijakan pemerintah. Pelembagaan yang dilakukan dengan memperluas

fungsi Sekretariat Jenderal DPR RI ini juga dimaksudkan untuk mempercepat

proses „pembudayaan‟ dengar pendapat umum menjadi lebih terarah,

kontinyu dan efisien, disamping itu juga mempunyai legitimasi membantu

lembaga DPR untuk lebih fokus di didalam menjalankan ketiga fungsi

utamanya, yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan.

Pada tahap ini, tersedianya naskah akademik akan menjadi sarana yang

paling efektif bagi masyarakat untuk memahami pilihan kebijakan pemerintah

dan kemudian mengkritisinya dengan standar dan argumentasi yang terukur.

Lebih lanjut, bila kebiasaan mengkritisi kebijakan ini berlangsung secara terus

menerus dan dibudayakan, maka proses pembentukan legislasi di masa yang

akan datang akan menjadi semakin partisipatif.

Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat dalam pembuatan Perda

dapat terjadi pada empat jenjang :61:

1. Partisipasi dalam proses pembuatan keputusan;

2. Partisipasi dalam pelaksanaan;

3. Partisipasi dalam pemanfaatan hasil;

4. Partisipasi dalam evaluasi

Tujuan dasar dari peran serta masyarakat adalah untuk menghasilkan

masukan dan persepsi yang berguna dari warga negara dan masyarakat yang

61

Dr. Jasim Hamid i, SH, MH, op.cit, h lm 41

Page 52: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

52

berkepentingan (public interest) dalam rangka meningkatkan kualitas

pengambilan keputusan, karena dengan melibatkan masyarakat yang potensial

terkena dampak akibat kebijakan dan kelompok kepentingan (interest group),

para pengambil keputusan dapat mengambil keputusan dapat menangkap

pandangan, kebutuhan dan pengharapan dari masyarakat dan kelompok

tersebut,, untuk kemudian menuangkannya ke dalam suatu konsep.

Pandangan dan rekasi masyarakat itu, sebaliknya akan menolong pengambil

keputusan (stake holder) untuk menentukan prioritas, kepentingan dan arah

yang pasti dari berbagai faktor. Di samping itu, partisipasi masyarakat juga

merupakan pemenuhan terhadap etika politik yang menempatkan rakayat

sebagai sumber kekuasaan dan kedaulatan.

TAHAP PENGUJIAN

Pada tahap pengujian, ketersediaan naskah akademik berpengaruh pada

pilihan sudut pandang hakim dalam melakukan penafsiran pada saat

dilakukannya proses pengujian terhadap suatu produk peraturan perundang-

undangan. Salah satu metode penafsiran yang dapat digunakan oleh hakim,

yakni historical method (original intent), dapat dikatakan menjadi salah satu

metode penafsiran yang sangat mengandalkan tersedianya naskah akademik.

Pendalaman yang dilakukan hakim terhadap naskah akademik dengan

menggunakan metode ini, hakim akan dapat lebih memahami maksud dari

pembuat peraturan perundang-undangan sejak dari dilakukannya penentuan

pilihan dari sekian banyak alternatif legal policy yang tersedia, sampai dengan

Page 53: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

53

ditetapkannya pilihan kebijakan tersebut oleh pemerintah. Dengan demikian,

tersedianya gambaran menyeluruh terhadap pilihan kebijakan tersebut akan

lebih memudahkan hakim dalam menentukan apakah peraturan perundang-

undangan dimaksud telah bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang berada di atasnya atau tidak.

D. Peranan Naskah Akademik dalam Penyusunan Peraturan Daerah

(contoh kunjungan lapangan ke Pemerintah Daerah Kabupaten

Jembrana Propinsi Bali, Kabupaten Sragen Propinsi Jawa Tengah,

Kabupaten Solok Propinsi Sumatera Barat, Propinsi Nusa Tenggara

Barat, Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Barat)

D.1. Kabupaten Jembrana, Propinsi Bali

Hasil kunjungan yang dilakukan ke Pemda Kabupaten Jembrana

(Bagian Hukum Organisasi dan Tatalaksana) Setda Kabupaten Jembrana secara

garis besar menunjukkan bahwa secara umum UU No. 10/2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diketahui dan dipahami.

Namun, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tatacara

Penyusunan RUU, RPP dan Perpres belum diketahui dan dipahami secara

utuh karena belum ada referensi yang mereka peroleh selama ini terkait

dengan ketentuan perundang-undangan tersebut.

Page 54: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

54

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, pertimbangan yang

dijadikan dasar adalah terutama berdasarkan aspirasi, (1) tuntutan atau

kebutuhan masyarakat (LSM) (2) instruksi pimpinan instansi pusat/daerah (3)

Tekanan pihak legislative/DPRD, (4) pertimbangan lainnya dan (5) kebutuhan

operasional unit kerja.

Pembuatan peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan

melakukan penyusunan Naskah Akademik yang bagi mereka penting untuk

dilakukan, namun tidak terhadap semua peraturan perundang-undangan

memerlukan naskah akademik. Di Kabupaten Jembrana sendiri terdapat tim

pembahas Raperda dan tim Legal Drafting (Universitas Udayana).

Dari hasil wawancara yang dilakukan, terdapat faktor-faktor dalam

proses penyusunan perundang-undangan yang secara efektif dan operasional

serta berdampak positif terhadap masyarakat lebih didominasi oleh instruksi

tertulis dari pimpinan, adanya kerangka acuan, adanya inisiatif/keterlibatan

dari masyarakat, dukungan pendanaan dan faktor lain contohnya tidak

bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Naskah akademik dianggap penting dan diperlukan untuk

menyelaraskan dan mengetahui apakah rancangan yang dibuat

bertentangan/tidak dengan aturan yang lebih tinggi dan berdasarkan

kebutuhan dari masyarakat.

Menurut mereka pembahasan yang diperlukan dalam setiap naskah

akademik adalah uraian tentang perilaku masalah yang ingin diselesaikan

dengan berlakunya suatu peraturan, politik hukum yang menjadi dasar

Page 55: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

55

pemberlakuan suatu peraturan, penelusuran peraturan perundang-undangan

dan perjanjian internasional terkait, perbandingan pengaturan permasalahan

yang dimaksud di beberapa negara, analisis kondisi dan respon masyarakat

jika RPP/Raperda berlaku, analisis tentang unsur-unsur yang mendukung

berjalannya suatu peraturan dan pembahasan apa saja yang akan diatur.

Berdasarkan wawancara pula menurut bahwa terdapat yang dirasakan

oleh Pemda Kabupaten Jembrana bahwa dalam proses pembuatan peraturan

perundang-undangan yang menggunakan naskah akademik dinilai tidak

mendapatkan kendala/hambatan dalam implementasinya (dengan contoh

pembuatan UU No. 22/1999).

Lebih lanjut dinyatakan bahwa Naskah akademik juga tidak selalu

harus dibuat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan baik

dalam situasi negara yang normal maupun dalam keadaan darurat. Menurut

mereka seharusnya sejak perencanaan penyusunan rancangan peraturan

perundang-undangan dapat diprediksi jika aturan yang disusun dapat/tidak

diterima di masyarakat. Diusulkan pula bahwa pihak-pihak yang terlibat

dalam proses penyusunan naskah akademik adalah biro hukum instansi

pemrakarsa/dinas daerah, instansi lainnya yang terkait dengan penyusunan

naskah akademik (di luar instansi pemrakarsa), Dephukham/Kanwil

Dephukham, tokoh masyarakat/LSM/perguruan tinggi dan DPR/D.

Prioritas yang ditetapkan dalam penyusunan RUU/Raperda tidak

selalu terkait dengan kebutuhan atau tuntutan masyarakat karena penyusunan

Page 56: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

56

rancangan tidak selalu memprioritaskan kebutuhan atau tuntutan masyarakat

atau hal-hal lainnya.

Adapun kendala-kendala yang dihadapi dalam melakukan penyusunan

Naskah Akademik adalah terkait dengan terbatasnya anggaran, waktu yang

lebih lama, kualitas dan kuantitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang

memadai, dan komitmen pimpinan, serta ketidakjelasan aturan. Pembahasan

Raperda di DPRD atau RUU di DPR dianggap tidak harus selalu dimulai

dengan pembahasan akademik, tergantung dari keperluan DPRD.

Sedangkan urgensi dan tujuan RUU/Raperda yang disusun diketahui

dari Naskah Akademik RUU/Raperda, dari konsideran RUU/Raperda, dan

dari pengarahan oleh pihak yang mengajukan RUU/Raperda, serta dari opini

yang berkembang di media massa.

Sinkronisasi peraturan yang dibuat dengan peraturan perundang-

undangan lainnya dilakukan antara lain dengan melakukan penelitian yang

dilakukan sebelum RUU/Raperda dibuat, melalui penelitian sendiri,

berdasarkan pendapat ahli ketika pembahasan RUU/Raperda, dan diskusi

pembahasan RUU/Raperda.

Cara yang digunakan oleh Bagian Hukum dan Organisasi dan

Tatalaksana untuk memastikan efektifitas ketentuan yang akan dibahas dalam

penerapannya adalah melalui penelitian sosiologis yang dilakukan sebelum

disusunnya Raperda/RUU, rapat dengar pendapat umum dengan kelompok-

kelompok masyarakat ketika pembahasan RUU/Raperda, dan pelaksanaan

studi banding ke daerah/negara yang sudah mempunyai ketentuan yang

Page 57: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

57

dimaksud. Pelaksanaan analisis yang dibutuhkan dalam proses pembahasan

RUU/Raperda adalah analisis terhadap perilaku bermasalah yang ingin

ditangani dan siapa pemilik perilaku yang bermasalah tersebut, melakukan

penelitian sosiologis untuk memahami realitas kesiapan masyarakat untuk

pelaksanaan ketentuan yang akan dibuat, sinkronisasi peraturan yang sedang

dibuat dengan peraturan-peraturan lainnya yang sudah ada, analisis tentang

infrastruktur yang dapat memastikan efektivitas ketentuan yang akan dibuat,

dan analisis tentang politik hukum dibuatnya peraturan tersebut.

Sebagai tambahan, Pemda Jembrana selama ini tetap mengikuti

ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur oleh

Departemen Dalam Negeri, yang membawahi pelaksanaan tugas Pemda.

Pemda Kabupaten Jembrana telah mencoba membuat peraturan perundangan

seperti ketentuan mengenai tata ruang dan sudah melakukan proses sosialisasi

dan sudah melalui proses konsultasi dengan Biro Hukum Depdagri. Namun

dalam konsultasi dengan Dinas Departemen Hukum dan Perundang-

undangan tidak pernah dilakukan karena tidak ada hubungan hirarki dan

kewajiban terkait.

D.2. Kabupaten Solok, Propinsi Sumatera Barat

Data yang diproleh adalah dari mengunjungi Biro Hukum Pemda Tk.II

Solok Provinsi Sumbar. Dari kunjungan tersebut, kami menemui bahwasannya

antara lain adalah:

Page 58: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

58

Biro Hukum Pemda Tk.II Solok Sumbar telah mengetahui dan

memahami UU.No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan. Namun walaupun Biro Hukum Pemda Tk.II Solok Sumbar

mengetahui tentang Perpres No.68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan

RUU, RPP, dan Perpres akan tetapi kurang memahaminya karena dalam

aplikasi proses legislasi daerah, Peraturan Presiden tersebut tidak dijadikan

pedoman.

Ketentuan tentang Naskah Akademik belum sepenuhnya

digunakan/diterapkan di Pemda TK.II Solok karena ada beberapa kendala

yaitu :

a. Keterbatasan Anggaran;

b. Keterbatasan SDM; dan

c. Keterbatasan waktu yang ada dalam melakukan proses legislasi

daerah.

Dalam proses legislasi Biro Hukum ikut memperhatikan serta

melibatkan keberadaan Kanwil Hukum dan HAM Depkumham khususnya

keberadaan Panitia Daerah RAN HAM.

Selain itu dalam proses legislasi daerah konsultasi publik serta hearing

dengan stake holder tetap dilakukan, selain itu dalam proses legislasi daerah

mereka memiliki yang disebut tim sinergi (SKPD Plus) yang berisikan

komponen stake holders dari produk legislasi daerah yang sedang dibuat,

misalnya unsur masyarakat, SKPD terkait, LSM, anggota DPRD, dan pemuka-

pemuka adat Nagari. Tim SKPD Plus ini bertugas memproses rancangan

Page 59: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

59

perda yang nantinya akan dibahas di DPRD. Sebenarnya peran Naskah

Akademik yang belum maksimal bisa di cover dengan keberadaan tim ini,

sehingga menyentuh kebutuhan dasar masyarakat.

Kekuatan proses legislasi peraturan daerah yang dikembangkan oleh

Kabupaten Solok berkaitan erat dengan sistem sosial yang berlaku. Dalam

kaitan ini pendekatan/sosialisasi awal yang dilakukan oleh kepala

daerah/bupati baik kepada anggota dewan dan kepala nagari serta

masyarakat merupakan kunci bagi suksesnya penerapan perda tersebut. Pasal

53 UU No. 10 Tahun 2004 yang mengatur tentang partisipasi publik telah

dioperasionalkan tidak hanya pada saat draft telah tersusun, akan tetapi jauh

lebih awal, yaitu sejak saat perumusan. Akibatnya yang dilakukan dewan

adalah acara formalnya saja. Selama ini Perda yang dihasilkan sebagian besar

masih merupakan inisiatif pihak eksekutif.

D.3. Propinsi Kalimantan Tengah

Di Propinsi Palangkaraya Tim melakukan kunjungan kepada Kepala

Bagian Peraturan Perundang-undangan pada Biro Hukum Setda Pemerintah

Daerah Provinsi Kalimantan Tengah dan didampingi oleh Kepala Bidang Tata

Ruang Bappeda Provinsi Kalimantan Tengah. Wawancara dilakukan

berdasarkan kuesioner yang telah disiapkan dan dari hasil wawancara tersebut

adalah sebagai berikut :

Page 60: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

60

Bahwa secara garis besar, responden menjawab bahwa yang

bersangkutan mengetahui dan memahami Undang-Undang Nomor 10 Tahun

2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan

Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU, RPP dan

Perpres.

Dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan, pertimbangan

yang melatarbelakangi umumnya adalah berdasarkan kebutuhan masyarakat.

Namun melalui wawancara, responden menyatakan bahwa untuk beberapa

hal tertentu, seperti permasalahan tanah adat memerlukan kajian khusus.

Penyusunan Raperda di Provinsi Kalimantan Tengah hampir

seluruhnya dilakukan karena berdasarkan perintah undang-undang sehingga

sebelumnya tidak pernah dilakukan kajian atau penelitian tertentu, tetapi

walaupun demikian perda-perda tersebut tetap akan memiliki daya ikat.

Melalui wawancara diketahui bahwa Biro Hukum Setda Pemprov Kalimantan

Tengah tidak memiliki dokumentasi mengenai Naskah Akademik ataupun

penelitian yang mendahului dibuatnya suatu Raperda. Hal tersebut juga

tercermin dari jawaban responden pada pertanyaan berkaitan dengan naskah

akademik.

Oleh karena itu, peran Naskah Akademik dalam penyusunan

RUU/Raperda baik negara dalam situasi normal atau negara dalam keadaan

genting atau darurat maupun pembahasan di tingkat DPRD ataupun DPR,

tidak begitu diperlukan karena prioritas yang digunakan adalah tetap hanya

berdasarkan kepada perintah undang-undang dan kebutuhan masyarakat.

Page 61: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

61

Namun tidak didapat keterangan mengenai bagaimana atau dalam bentuk apa

kebutuhan masyarakat tersebut disampaikan kepada pemerintah daerah

sehingga menjadi bahan pertimbangan dalam penyusunan Raperda.

Menurut pendapat Kabag Perundang-undangan Biro Hukum Setda

Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah selama ini, belum pernah ada

kajian mengenai produk hukum yang tidak bisa dilaksanakan karena tidak

adanya kajian akademik. Oleh karenanya, peranan Naskah Akademik

dianggap tidak penting karena yang dianggap paling berperan sebagai acuan

dalam penyusunan Raperda adalah aturan yuridis. Sehingga peranan Naskah

Akademik dalam pembuatan peraturan daerah tidak terlalu diutamakan untuk

dilakukan karena secara umum pelaksanaan dari peraturan daerah tersebut

tetap dapat dijalankan walaupun tanpa peran Naskah Akademik dalam awal

pembentukannya.

Apabila dari segi substansi, untuk mengetahui urgensi atau tujuan dari

penyusunan Raperda tersebut, umumnya dilihat dari konsiderannya.

Selain itu proses penyusunan Raperda di Kalimantan Tengah umumnya

melalui tahap konsultasi informal dan evaluasi. Tujuannya adalah untuk

mengharmonisasikan peraturan di tingkat pusat dan daerah. Dalam konsultasi

dan evaluasi tersebut, bahan yang dipakai untuk pembahasan adalah draft

Raperda, sehingga pembahasan yang dilakukan adalah langsung pasal per

pasal.

Sebagai contoh untuk pembentukan Raperda Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi di Kalimantan Tengah, sudah ada laporan penelitian yang

Page 62: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

62

dilakukan oleh tenaga ahli, yang digunakan pada saat pembahasan

pendahuluan (konsultasi) dengan stakeholder lainnya termasuk Pemerintah

Pusat. Sebagaimana umumnya peraturan daerah mengenai tata ruang, yang

menjadi substansi adalah pengaturan dalam penggunaan dan pemanfaatan

ruang. Perlu dikaji lebih lanjut apakah hal tersebut mencakup juga Regulatory

Impact Assessment atau dampak yang dihasilkan dari penggunaan dan

pemanfaatan ruang.

Namun sejauh ini menurut Kabag Perundang-undangan belum ada

pengaduan atau protes dari masyarakat terhadap Perda yang dihasilkan oleh

pemerintah daerah walaupun dalam pembentukan Perda tersebut tidak

menggunakan Naskah Akademik di dalamnya. Berdasarkan hal tersebut,

responden juga menggarisbawahi bahwa pertanyaan tersebut sebaiknya

ditujukan pada masyarakat langsung dan tidak kepada pemerintah daerah.

D.4. Propinsi Kalimantan Barat

Sebagai bagian dari kegiatan Kajian Kebijakan Mengenai Penetapan

Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-Undang

Dan Raperda, Tim melakukan wawancara kepada responden yang berada di

daerah untuk melihat sejauh mana peran dari naskah akademik dalam

penyusunan Raperda di Propinsi Pontianak. Instansi yang dikunjungi adalah

Biro Hukum Pemerintah Daerah tingkat I Pontianak. Sebagai responden adalah

Kepala Biro Hukum dan Kepala Bagian Penyusunan Kajian Hukum Biro

Page 63: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

63

Hukum Pemerintah Daerah Tingkat I Pontianak. Adapun hasil wawancara

tersebut adalah sebagai berikut:

Secara garis besar responden cukup memahami UU No. 10 Tahun 2004,

dijelaskan pula bahwa ketentuan yang mengatur mengenai tata cara

mempersiapkan Raperda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota

diatur dengan Peraturan Presiden, namun hingga kini Peraturan Presiden

tersebut belum ada. Oleh karena itu untuk penyusunan peraturan di tingkat

daerah belum ada aturan yang mewajibkan Naskah Akademik ada dalam

setiap penyusunan peraturan di tingkat daerah.

Responden juga cukup memahami Peraturan Presiden No. 68 Tahun

2005, dijelaskan bahwa peraturan ini hanya mengatur mengenai penyusunan

RUU, RPP dan Peraturan Presiden, sementara tata cara penyusunan peraturan

di tingkat daerah tidak diatur.

Secara umum faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam

pembuatan Peraturan Daerah adalah : (1) Aspirasi, tuntutan dan kebutuhan

masyarakat (LSM); (2) Inisiatif kepala unit kerja;

Dalam pengalaman penyusunan peraturan daerah, Biro Hukum Pemda

Propinsi Kalimantan Barat pernah mendahuluinya dengan pembuatan Naskah

Akademik, namun dilakukan dengan cara yang sangat selektif. Salah satu

alasannya adalah adanya keterbatasan anggaran karena apabila menggunakan

Naskah Akademik biasanya akan membutuhkan anggaran yang lebih besar,

meskipun biasanya Raperda yang ada Naskah Akademiknya akan lebih baik

karena akan memperhitungkan aspek sosiologis, filosofis dan yuridis. Raperda

Page 64: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

64

yang penyusunannya dimulai dengan Naskah Akademik biasanya terkait

dengan hal-hal yang menyangkut kepentingan umum seperti pembebanan

pajak dan retribusi.

Sedangkan faktor-faktor yang ada dalam setiap penyusunan peraturan

perundang-undangan agar perundang-undangan yang dibuat dapat efektif,

operasional (dapat diimplementasikan) dan mempunyai dampak positif yang

langsung untuk masyarakat adalah (1) adanya inisiatif dan/atau keterlibatan

masyarakat; (2) adanya instruksi tertulis dari pimpinan; (3) adanya kerangka

acuan; (4) adanya dukungan pendanaan.

Selain itu disampaikan bahwa Naskah Akademik dalam penyusunan

RUU/Raperda merupakan unsur penting termasuk juga dalam situasi negara

dalam kondisi darurat. Alasannya karena dengan adanya Naskah Akademik

dapat memenuhi prinsip-prinsip sosiologis, filosofis, dan yuridis, sehingga

pada saat pembahasan di DPRD tidak akan menemukan kesulitan.

Ditambahkan pula bahwa dalam penyusunan suatu Raperda perlu adanya

Naskah Akademik karena Raperda mengandung substansi yang sifatnya

abstrak dan umum sehingga apabila terdapat penjelasan yang

melatarbelakangi dibentuknya peraturan daerah yang akan dibentuk,

diharapkan akan lebih mempermudah bagi semua orang untuk

memahaminya.

Dari hasil wawancara disebutkan bahwa pada dasarnya suatu Naskah

Akademik harus berisi mengenai (1) Analisis tentang unsur-unsur yang

mendukung berjalannya suatu peraturan; (2) Analisis kondisi dan respon

Page 65: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

65

masyarakat jika diberlakukan RUU/Raperda dimaksud; (3) Uraian tentang

perilaku bermasalah yang ingin diselesaikan dengan berlakunya suatu

peraturan; (4) Penelusuran peraturan perundang-undangan dan perjanjian

internasional yang terkait.

Dari pengalaman yang ada terhadap Perda yang dimulai dengan

adanya Naskah Akademik mempunyai daya ikat dan efektifitasnya lebih baik

dibanding dengan Perda yang penyusunannya tidak dengan Naskah

Akademik. Sebagai contoh untuk Raperda tentang Transparansi meskipun

sifatnya sangat strategis namun tidak diawali dengan Naskah Akademik

akibatnya sampai sekarang belum bisa ditetapkan. Perda tentang Retribusi

Izin Pengangkatan laut Sungai dan Penyeberangan dalam Wilayah Propinsi

Kalimantan Barat merupakan contoh Perda yang diawali dengan Naskah

Akademik dan dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik.

Dalam penyusunan Naskah Akademik untuk suatu Raperda maka

pihak-pihak yang perlu dilibatkan adalah (1)Biro Hukum instansi

pemrakarsa/dinas daerah; (2) DPR/D; (3) Tokoh masyarakat/LSM/perguruan

tinggi; (4) Dephukham/Kanwil Dephukham, perlu diikutsertakan khususnya

yang terkait dengan HAM.

Untuk hasil wawancara tentang Urgensi dan Tujuan dari RUU/Raperda

yang sedang disusun dapat dilihat dari (1) Dari Pengarahan oleh Pihak yang

mengajukan RUU/Raperda tersebut; (2) Dari Naskah Akademik

RUU/Raperda yang dimaksud; (3) Dari Konsideran RUU/Raperda dimaksud;

(4) Dari Opini yang berkembang di media massa.

Page 66: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

66

Untuk melakukan sinkronisasi ketentuan yang sedang dibahas dengan

ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan lain yang sudah

ada (1) Penelitian yang dilakukan sebelum RUU/Raperda dibuat; (2) Pendapat

ahli ketika pembahasan RUU/Raperda; (3) Diskusi ketika pembahasan

RUU/Raperda; (4) Meneliti/mencari sendiri.

Dalam menyusun suatu Naskah Akademik untuk Raperda maka

kendala-kendala yang seringkali dihadapi adalah (1) Kualitas dan kuantitas

Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai; (2) Waktu yang lebih

lama; (3) serta kurangnya ketersediaan anggaran yang cukup memadai dalam

menggunakan Naskah Akademik .

Dasar untuk menentukan prioritas suatu Raperda adalah kebutuhan

masyarakat dengan melalui proses dialog dengan anggota masyarakat.

Untuk memastikan suatu ketentuan yang sedang dibahas akan efektif

pelaksanaannya di lapangan maka langkah-langkah yang biasanya dilakukan

adalah (1) Penelitian sosiologis yang dilakukan sebelum disusunnya

RUU/Raperda; (2) Pendapat ahli ketika sedang berlangsungya pembahasan;

(3) Studi banding ke daerah/negara yang sudah punya ketentuan yang

dimaksud; (4) Rapat Dengar Pendapat Umum dengan kelompok-kelompok

masyarakat ketika pembahasan RUU/Raperda

Dalam melakukan analisis atas suatu RUU/Raperda (1) Analisis

terhadap perilaku bermasalah yang ingin ditangani dan siapa pemilik perilaku

bermasalah tersebut; (2) Analisis tentang infrastruktur yang dapat memastikan

efektifnya ketentuan yang akan dibuat; (3) Penelitian sosiologis untuk

Page 67: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

67

memahami realitas kesiapan masyarakat untuk pelaksanaan ketentuan yang

akan dibuat; (4) Analisis tentang politik hukum dibuatnya peraturan

dimakasud; (5) Sinkronisasi Peraturan yang sedang dibuat dengan Peraturan-

peraturan lain yang sudah ada

D.5. Kabupaten Sragen, Propinsi Jawa Tengah

Di kabupaten Sragen, tim mengadakan wawancara dengan Bagian

Hukum dan Pertanahan Setda Kabupaten Sragen yang menyatakan antara lain

bahwa mengetahui tentang Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan namun kurang memahaminya

secara utuh.

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara

Penyusunan RUU, RPP dan Perpres pun responden mengetahui namun

kurang memahami karena Perpres tersebut hanya mengatur tentang tata cara

penyusunan RUU, Rancangan Perpu dan Rancangan Perpres, tetapi tidak

mengatur Rancangan Produk Hukum Daerah.

Pertimbangan-pertimbangan yang dijadikan dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan tersebut antara lain diurutkan dari yang

paling dominan adalah : 1). Aspirasi dan tuntutan atau kebutuhan masyarakat

(LSM); 2). Instruksi pimpinan instansi pusat/daerah; 3). Inisiatif kepala unit

kerja; 4). Kebutuhan operasional unit kerja; 5). Serta pertimbangan lainnya

yaitu tentang tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih

Page 68: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

68

tinggi. Sedangkan tekanan dari pihak legislatif tidak dimasukkan dalam

pertimbangan-pertimbangan untuk pembuatan peraturan perundang-

undangan karena selama ini hubungan antara eksekutif dan legislatif adalah

sejajar/mitra kerja sehingga tidak ada istilah penekanan.

Dalam pembuatan peraturan perundang-undangan kabupaten Sragen

menyatakan bahwa perlu dibuat Naskah Akademik atau semacamnya yang

berisikan informasi tentang latar belakang, urgensi atau alasan dibuatnya

peraturan perundang-undangan tersebut. Demikian pula dalam penyusunan

Rancangan Peraturan Daerah, Naskah Akademik diperlukan untuk

menghasilkan Peraturan Daerah yang rumusannya akan lebih efektif dalam

pelaksanaannya di lapangan. Pengalaman dari Kabupaten Sragen bahwa

dalam pembuatan peraturan daerah, telah dilakukan dengan menggunakan

metode Regulatory Impact Assesment (RIA) yang dilakukan oleh Tim RIA yang

anggotanya terdiri dari setiap Satuan Kerja di Pemerintah Daerah Sragen.

Contohnya dalam pembuatan Perda tentang Retribusi Tanda Daftar Industri

(TDI) dan Izin Usaha Industri (IUI) yang didalamnya memuat tentang

masukan-masukan ataupun rekomendasi serta hasil analisa mengenai manfaat

dan biaya yang perlu dikeluarkan serta penyelesaian alternatif tindakan yang

perlu dilakukan apabila peraturan daerah tersebut dilaksanakan. Namun tidak

semua hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim RIA tersebut disetujui sebagai

acuan dalam pembuatan peraturan daerah yang ada, karena tergantung

peranan dari Kepala Daerah (Bupati) tersebut.

Page 69: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

69

Menurut Kabag Hukum dan Pertanahan Sekretariat Daerah Kabupaten

Sragen bahwa faktor-faktor yang mendukung agar setiap penyusunan

peraturan perundang-undangan yang dibuat dapat lebih efektif dan dapat

diimplementasikan serta mempunyai dampak positif yang langsung untuk

masyarakat pada saat dilaksanakan. Hal ini dimulai dari faktor yang paling

dominan yaitu : 1) Kerangka acuan; 2) Inisiatif dan/atau keterlibatan

masyarakat; 3). Instruksi tertulis dari pimpinan; 4) Dukungan pendanaan; 5)

Faktor lainnya Sumber Daya Manusia yang tidak mampu dan mengetahui

materi Raperda tersebut.

Selain itu berdasarkan wawancara tersebut dinyatakan bahwa dalam

segi ketaatan masyarakat terhadap produk peraturan daerah yang dihasilkan,

antara yang menggunakan tahap pembuatan Naskah Akademik dengan yang

tidak menggunakan Naskah Akademik berpengaruh apapun, karena peraturan

daerah tersebut tetap diberlakukan sesuai ketentuan yang berlaku.

Namun dinyatakan bahwa dalam setiap proses penyusunan

RUU/Raperda, peran Naskah Akademik dirasakan sangat penting karena di

dalamnya akan memuat beberapa pertimbangan yang mendasari disusunnya

suatu peraturan perundang-undangan Pemerintah Daerah walaupun belum

ada format baku dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku. Sehingga untuk langkah ke depan, responden di Kabupaten Sragen

mengusulkan perlunya format baku yang diatur dalam ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Page 70: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

70

Lebih lanjut dinyatakan bahwa pembahasan yang perlu ada dalam

setiap Naskah Akademik dari bagian yang paling terpenting adalah :

1. Uraian mengenai perilaku bermasalah yang ingin diselesaikan dengan

berlakunya suatu peraturan;

2. Penelusuran peraturan perundang-undangan dan perjanjian

internasional yang terkait;

3. Politik hukum yang menjadi dasar pemberlakuan suatu peraturan;

4. Analisis kondisi dan respon masyarakat jika diberlakukan

RUU/Raperda dimaksud;

5. Pembahasan tentang apa saja yang akan diatur;

6. Analisis tentang unsur-unsur yang mendukung berjalannya suatu

peraturan;

7. Perbandingan pengaturan masalah yang dimaksud di beberapa negara.

Pihak-pihak yang secara umum terlibat dalam proses penyusunan

Naskah Akademik adalah 1) Biro Hukum Instansi pemrakarsa/ instansi

daerah; 2) DPRD; 3).Tokoh masyarakat/LSM/Perguruan Tinggi; 4). Institusi

lainnya, misalnya Biro Hukum Propinsi; dan 5) Depkumham/Kanwil

Depkumham.

Sedangkan kendala-kendala yang dihadapi dalam penyusunan Naskah

Akademik adalah :

1. Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang memadai baik dari segi

kualitas maupun kuantitas;

Page 71: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

71

2. Tidak adanya anggaran, karena jika menggunakan naskah akademik

memerlukan anggaran yang lebih besar dibandingkan jika tidak

menggunakan Naskah Akademik. Sehingga perlu ada tambahan biaya

dalam pembentukan produk hukum. Dalam praktek yang dilakukan di

Kabupaten Sragen kekurangan dana dari legislatif dimintakan dana

dari eksekutif;

3. Adanya komitmen pimpinan;

4. Adanya waktu yang lebih lama;

5. Adanya ketidakjelasan aturan.

Kabupaten inipun menyatakan bahwa dalam setiap pembahasan

Raperda di DPRD dan RUU di DPR harus dimulai dengan pembahasan

Naskah Akademik.

B. 6. Propinsi Nusa Tenggara Barat

Dalam kunjungan yang dilakukan ke Propinsi Nusa Tenggara Barat,

Narasumber kami adalah Kepala Biro Hukum Setda Pemerintah Daerah

Provinsi Nusa Tenggara Barat. Kami melakukan wawancara singkat dan

menyerahkan kuesioner yang telah diisi dan dikirimkan kembali kepada kami

melalui Andi Hadianto, Kabag Perundang-undangan Setda Pemprov NTB.

Terkait dengan kuesinoner yang diberikan, responden menjawab bahwa

yang bersangkutan telah mengetahui dan memahami Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan

Page 72: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

72

Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penyusunan RUU,

RPP dan Perpres.

Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam hal pembuatan peraturan

perundang-undangan, pertimbangan yang melatarbelakangi umumnya adalah

berdasarkan perintah undang-undang dan kebutuhan masyarakat. Namun

untuk memastikan hal tersebut, peran Naskah Akademik dipandang perlu

sebagai bagian dari akuntabilitas penyusunan peraturan perundang-

undangan.

Melalui wawancara diketahui bahwa Biro Hukum Setda Pemprov NTB

tidak memiliki dokumentasi mengenai Naskah Akademik ataupun penelitian

yang mendahului dibuatnya suatu Raperda. Hal tersebut juga tercermin dari

jawaban responden pada pertanyaan berkaitan dengan naskah akademik.

Namun, melalui jawaban kuesioner diketahui bahwa peran Naskah

Akademik dalam penyusunan RUU/Raperda baik negara dalam situasi

normal atau negara dalam keadaan genting atau darurat maupun pembahasan

di tingkat DPRD ataupun DPR, tetap diperlukan untuk mewujudkan Good

Governance.

Di Nusa Tenggara Barat, Perda yang dipermasalahkan pada umumnya

menyangkut Retribusi dan Ijin Usaha, terutama di Kabupaten Dompu dimana

banyak terdapat sumber daya alam dan Kota Mataram sebagai pusat

perdagangan di NTB. Namun sejauh ini, belum ada pengaduan atau protes

dari masyarakat terhadap Perda yang dihasilkan oleh pemerintah daerah.

Page 73: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

73

Program Legislasi Daerah belum berjalan sebagaimana mestinya,

sehingga peran Naskah Akademik dalam penyusunan Perda belum dapat

dikatakan berhasil mencapai tujuannya. Selain itu dalam wawancara

ditemukan bahwa Pemprov NTB mengalami kesulitan untuk berkomunikasi

dengan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal perancangan Perda

Kabupaten/Kota, sehingga kelengkapan pembuatan Perda seperti Naskah

Akademik seringkali tidak disampaikan. Namun, dalam hal hubungan dengan

Departemen Dalam Negeri, Pemprov merasa sudah cukup baik dan sampai

dengan saat ini tidak dipermasalahkan apakah suatu Perda dilengkapi dengan

Naskah Akademik atau tidak.

E. Analisa Penggunaan dan Muatan Naskah Akademik yang dibutuhkan

bagi Efektivitas Pembentukan RUU dan Raperda

Penggunaan Naskah Akademik bagi Pembentukan Rancangan Undang-

Undang menurut Prof. Hikmahanto 62 menekankan bahwa pembuatan Naskah

Akademik jika sesuai kebutuhan memang harus dibuat. Namun yang perlu

ditekankan bahwa pembuatan Naskah Akademik tidak boleh dijadikan

sebagai upaya legitimasi dari produk peraturan perundang-undangan yang

akan dibuat. Naskah Akademik juga perlu perlu dibuat dengan

62

Seperti yang disampaikan Prof. Hikmahanto Juwana, Guru Besar dan Dekan Fakultas Hukum UI pada makalahnya berjudul “Penyusunan Naskah Akademik sebagai Prasyarat dalam Perencanaan

Pembentukan RUU” pada Lokakarya Kebijakan Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

Penyusunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah tanggal 19 Desember 2007 di

Hotel Le Merid ien

Page 74: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

74

mempertimbangkan doktrin-doktrin yang ada. Naskah Akademik merupakan

potret tentang produk peraturan perundang-undangan tersebut jika

diimplementasikan pada masyarakat di masa mendatang. Pembuatan Naskah

Akademik merupakan hal yang penting tergantung dari kekuatan argumentasi

terhadap Naskah Akademik tersebut.

Lebih lanjut bahwa pembentukan Naskah Akademik 63 diusulkan untuk

tidak mewajibkan, namun perlu dibendung terlebih dahulu terhadap

permasalahan-permasalahan yang muncul, dan pentingnya pembuatan

Naskah Akademik diharapkan berdasarkan kebutuhan dan bukanlah suatu

kewajiban dan perlu dinilai sejauh mana kebutuhan tersebut. Selain itu bahwa

kepentingan untuk pembuatan Naskah Akademik perlu disosialisasikan

kepada masyarakat terlebih dahulu.

Menurut La Ode Ida 64 pembuatan Naskah Akademik merupakan

syarat alternatif, undang-undang pun tidak menyebutkan namun azas-asasnya

menggiring kita untuk menyimpulkan bahwa Naskah Akademik itu penting,

untuk dimasukkan dalam RUU yang akan dibuat.

Selain itu sebagai perbandingan bahwa pembuatan Naskah Akademik

di luar negeri memang ada, namun pembuatan Naskah Akademik bukan

merupakan persyaratan yang diwajibkan karena hal ini untuk mempermudah

63

Ibid 64

Disampaikan La Ode Ida, Wakil Ketua DPD RI dalam makalahnya berjudul “ Kebutuhan Naskah

Akademik dalam Penyusunan Perda” yang disampaikan pada Lokakarya Kebijakan Mengenai

Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan Undang-Undang pada tanggal 19

Desember 2007 d i Hotel Le Merid ien, Jakarta.

Page 75: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

75

stake holder dalam merancang peraturan perundang-undangan yang akan

dibuat.

Prof. Mahfud MD65 menyatakan bahwa berdasarkan pengalaman di

Badan Legislatif dengan mekanisme yang tidak sesuai alur, maka perlu

adanya kewajiban untuk membuat Naskah Akademik. Naskah Akademik

dapat dibuat secara sederhana formatnya dan mudah dipahami segala

kalangan. Lebih lanjut Naskah Akademik diperlukan dalam rangka proses

harmonisasi. Pro dan kontra dengan akan diberlakukannya produk peraturan

perundang-undangan yang baru dimasukkan ke dalam Naskah Akademik

sehingga pembaca dapat melihat dari berbagai sisi dari suatu kebijakan yang

akan dikeluarkan.

Namun disisi lain bahwa pembuatan Naskah Akademik bagi

pembentukan peraturan daerah adalah sangat mutlak diperlukan66. Hal ini

dalam rangka mempermudah kepada para pengambil kebijakan dalam

mengambil keputusan kepada opsi-opsi kebijakan yang ditawarkan, dan

adanya Naskah Akademik bukan sebagai pendukung dalam rangka

menetapkan semua Peraturan Daerah. Sehingga diusulkan perlu diwajibkan

dalam membuat Naskah Akademik bagi setiap pembentukan peraturan daerah

karena jika belum memakai Naskah Akademik akan mendapat permasalahan

lain yaitu antara lain sulit melihat latar belakang dibentuknya peraturan

65

Disampaikan Prof. Dr. H. Moh. Mahfud MD,SH.SU, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) dalam

makalahnya berjudul “Urgensitas Naskah Akademik dalam Penyusunan RUU” yang disampaikan pada

Lokakarya Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat Penyusunan Rancangan

Undang-Undang pada tanggal 19 Desember 2007 d i Hotel Le Merid ien, Jakarta. 66

La Ode Ida, opcit

Page 76: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

76

daerah yang akan dibentuk. Di sisi lain, usulan untuk mewajibkan pembuatan

Naskah Akademik tidaklah semata-mata untuk mendukung dibentuknya

Perda, karena pembuatan Naskah Akademik dapat sebagai penolakan

terhadap perlu tidaknya RUU itu dibuat. Jadi tidak selamanya pembuatan

Naskah Akademik menjadi pembenaran terhadap RUU yang akan dibentuk.

Lebih lanjut bahwa jika ada kewajiban pembuatan Naskah Akademik

bagi pembentukan peraturan daerah merupakan salah satu cara untuk

menghindari kepentingan-kepentingan politik dari para pemimpin di daerah,

karena dengan adanya kewajiban dalam pembuatan Naskah Akademik dalam

pembuatan peraturan daerah dapat mempunyai dampak kepada proses

kepemimpinan yang baik dan transparan serta memihak kepada kebutuhan

masyarakat.

Keadaan ini didukung berdasarkan penelitian67 bahwa ada

kecenderungan pandangan dari masyarakat yang menempatkan perundang-

undangan (peraturan daerah) sebagai suatu produk yang berpihak pada

kepentingan pemerintah (politik) sehingga implementasinya, masyarakat

tidak terlalu merasa memiliki dan menjiwai perundang-undangan tersebut.

Oleh karena itu Naskah Akademik diharapkan bisa digunakan sebagai

instrumen penyaring, menjembatani dan upaya meminimalisir unsur-unsur

kepentingan politik dari pihak pembentuk peraturan daerah, maksudnya

adalah bahwa melalui Naskah Akademik yang proses pembuatannya dengan

cara meneliti, menampung dan mengakomodasi secara ilmiah kebutuhan, serta

67

Dr. Jazim Hamid i, SH, MH dkk, op.cit. h lm 56

Page 77: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

77

harapan masyarakat, maka masyarakat merasa memiliki dan menjiwai

perundang-undangan tersebut.

Berdasarkan pengaturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur

tentang muatan Naskah Akademik, memang tidak ada keseragaman yang

dapat memenuhi keseluruhan aspek dan dapat berlaku bagi kalangan

eksekutif dan legislatif. Namun yang perlu menjadi perhatian dan untuk lebih

memudahkan melihat dampak sosiologis, yuridis dan filosofis seyogyanya

Naskah Akademik berisi alternatif-alternatif atau opsi-opsi kebijakan yang

perlu dilakukan jika peraturan perundang-undangan tersebut diberlakukan.

Semua kalangan baik pihak eksekutif, legislatif dan masyarakat diharapkan

dapat mengetahui maksud dan tujuan dengan akan diimplementasikannya

peraturan perundang-undangan tersebut.

Adapun Muatan Naskah Akademik yang diusulkan bagi efektifitas

pembentukan undang-undang antara lain memuat :

1. Landasan Filosofis yang berisikan tentang filsafat dan pandangan yang

menjadi cita-cita sewaktu menuangkannya suatu permasalahan ke dalam

peraturan perundang-undangan yang akan dibentuk

2. Landasan Yuridis yang berisikan tentang landasan hukum yang berasal

dari peraturan perundang-undangan lain untuk memberi kewenangan

bagi suatu instansi membuat aturan tertentu dan merupakan dasar

hukum untuk mengatur objek yang akan diatur.

Page 78: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

78

3. Landasan Sosiologis yaitu yang berisikan tentang latar belakang serta

realitas kondisi masyarakat serta nilai-nilai yang hidup dan berkembang

pada masyarakat.

4. Landasan politis yaitu yang berisikan tentang latar belakang

kebijaksanaan politik yang sedang berlaku pada saat itu sehingga menjadi

dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan di masa mendatang.

5. Landasan ekonomi an ekologi yaitu yang berisikan tentang

pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan dampak ekonomi jika

peraturan perundang-undangan tersebut diberlakukan. Diharapkan

perda yang sebelumnya telah dianalisa melalui Naskah Akademik dapat

memberikan dampak peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat.

6. Landasan ekologi yaitu berisikan tentang pertimbangan ekologi yang

berorientasi pada kepedulian lingkungan dan sumber daya alam, serta

pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan yang baik agar

tetap terjaga kelestariannya

7. Landasan atau aspek-aspek lain yang disesuaikan dengan materi

peraturan daerah yang akan dibentuk.

8. Bentuk dari Naskah Akademik seyogyanya berupa hasil penelitian yang

berupa ringkasan besar dan mudah dipahami oleh semua pihak terkait

baik di kalangan eksekutif, legislatif maupun masyarakat sendiri sebagai

penerima kepentingan dengan dikeluarkannya peraturan perundang-

undangan yang akan dibentuk.

Page 79: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

79

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

1. Kedudukan naskah akademik dalam proses pembentukan peraturan

perundang-undangan sangat penting untuk memberikah arah bagi para

pemangku peran maupun perancang untuk memahami secara utuh

kebijakan baru yang hendak ditawarkan kepada masyarakat sebagai

pengganti kebijakan sebelumnya. Disamping itu, ketersediaan naskah

akademik diharapkan juga dapat meningkatkan kualitas perumusan

peraturan perundang-undangan karena dengan tersedianya alur pikir

yang terstruktur terhadap rangkaian kebijakan yang menyeluruh, suatu

rancangan peraturan perundang-undangan akan dapat dipahami

dengan baik.

2. Dalam berbagai peraturan yang ada memang terdapat beberapa

pengaturan tentang naskah akademik. Dapat disimpulkan, pengaturan-

pengaturan yang ada berbicara mengenai, pertama. mekanisme

penyusunan dan penggunaan naskah akademik dan kedua, mengenai

muatan yang seharusnya ada dalam suatu naskah akademik.

Namun dari berbagai peraturan yang memberi pengaturan mengenai

naskah akademik tidak terdapat satu klausul pun yang bersifat

imperatif. Semua klausul yang ada berisikan norma-norma tanpa ada

Page 80: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

80

perintah untuk mewajibkan norma-norma tersebut baik dalam praktek

penyusunan, penggunaan maupun dalam menentukan muatan yang

seharusnya ada dalam setiap naskah akademik.

3. Naskah akademik juga harus memuat arah dan tujuan kebijakan pada

sektor yang hendak diatur dengan menampilkan politik hukum negara

tentang sesuatu yang hendak dicapai oleh para pemangku peran

dengan mengevaluasi kebijakan sebelumnya. Lebih lanjut, suatu naskah

akademik seyogyanya juga menampilkan pilihan kebijakan yang

hendak ditawarkan kepada masyarakat bahkan dilengkapi dengan

kemungkinan dampak yang mungkin timbul dari masing-masing

pilihan tersebut.

4. Proses pembentukan peraturan perundang-undangan yang dilakukan

dengan diawali oleh sebuah penelitian dan penentuan pilihan kebijakan,

akan semakin memperjelas alur kebijakan yang hendak dibentuk oleh

pemerintah bersama para legislator. Disamping itu, rangkaian besar

kebijakan sektor yang hendak diatur yang terhimpun dalam satu naskah

kebijakan, akan semakin memberikan potret yang menyeluruh tentang

permasalahan sosial yang hendak diselesaikan melalui berlakunya

peraturan perundang-undangan tertentu.

5. Mekanisme pembentukan dan penggunaan naskah akademik dalam

proses pembentukan peraturan perundang-undangan perlu diatur

dalam undang-undang untuk memberikan penekanan terhadap

pentingnya naskah akademik dalam mengawali proses pembentukan

Page 81: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

81

legislasi baik yang diprakarsai oleh pemerintah maupun lembaga

perwakilan.

6. Pedoman penyusunan naskah akademik yang akan menjadi acuan bagi

proses pembentukan peraturan perundang-undangan sangat

dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas legislasi nasional. Pedoman

tersebut harus memberikan acuan standar yang baku tidak hanya dalam

hal format dan bentuk naskah akademik, tapi juga menyangkut

bagaimana metodologi yang perlu dipertimbangkan dalam proses

penyusunan naskah kebijakan itu sendiri. Dengan demikian, naskah

akademik tidak semata-mata digunakan untuk memberikan justifikasi

bagi sebuah rancangan yang telah terlebih dahulu disusun oleh para

perancang.

7. Dalam proses pembentukan undang-undang, naskah akademik sudah

dibutuhkan sejak tahap perencanaan. Selanjutnya naskah akademik

diperlukan dalam tahap perancangan, pembahasan, penyerapan

aspirasi dan tahap penyebarluasan. Selain itu, dalam hal undang-

undang mengalami pengujian naskah akademik juga diperlukan

terutama untuk memahami politik hukum dibuatnya undang-undang

dimaksud dan untuk mengetahui original intent dari pembuat undang-

undang. Pada setiap tahapan-tahapan tersebut di atas penggunaan

naskah akademik perlu disesuaikan materi dan cara penyajiannnya

karena pada setiap tahapan kebutuhan dan aktor utamanya juga

berbeda.

Page 82: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

82

8. Penggunaan naskah akademik di tingkat daerah berdasarkan penelitian

di beberapa daerah menyatakan bahwa keperluan untuk menggunakan

naskah akademik belum merupakan suatu kewajiban atau keharusan

untuk dilakukan. Setiap daerah dapat secara inisiatif menggunakan

naskah akademik atau tidak tergantung dari kemampuan atau

ketersediaan sumber daya di masing-masing daerah tersebut. Hal ini

antara lain tidak ada atau belum ada ketentuan yang mengharuskan

untuk membuat naskah akademik dalam pembentukan peraturan

daerah. Jika daerah tersebut mempunyai kemampuan yang memadai

maka daerah tersebut akan membuat naskah akademik dalam

melakukan penyusunan peraturan daerah. Namun secara teori dan

pengalaman dari pelaksanaan pembentukan Raperda yang telah

dilakukan, adanya penggunaan naskah akademik dalam pembentukan

peraturan daerah di beberapa daerah menunjukkan tingkat yang lebih

baik dalam pengimplementasiannya di masyarakat.

B. Rekomendasi

1. Berdasarkan pengaturan-pengaturan mengenai naskah akademik dalam

berbagai peraturan yang ada perlu dilakukan beberapa perbaikan,

antara lain:

Page 83: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

83

a. Diperlukan sebuah klausul imperatif yang mewajibkan pembuatan

naskah akademik dalam setiap penyusunan rancangan undang-

undang.

b. Diperlukan pengaturan yang menentukan bahwa pembuatan

naskah akademik harus dilakukan pada tahap perencanaan dalam

suatu proses pembentukan undang-undang.

c. Diperlukan pengaturan tentang penggunaan naskah akademik,

terutama dalam tahap pembahasan dalam suatu proses

pembentukan undang-undang

d. Diperlukan pengaturan mengenai muatan standar suatu naskah

akademik.

2. Pengaturan-pengaturan mengenai naskah akedemik memang sebaiknya

dilakukan dalam bentuk undang-undang, namun jika terdapat berbagai

kendala dalam melakukan perubahan terhadap UU No. 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka

pengaturan-pengaturan mengenai hal-hal yang disebut di atas dapat

dilakukan dalam peraturan-peraturan yang mengatur internal masing-

masing lembaga kekuasaan. Pemerintah dapat mengaturnya dalam

Peraturan Presiden ataupun Peraturan Menteri yang merupakan

pendelegasian dari Perpres No. 68 Tahun 2005, sedangkan DPR dapat

mengaturnya dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Namun demikian

pengaturan dalam Peraturan Tata Tertib DPR memiliki kelebihan karena

mengaturnya dalam Peraturan Tata Tertib DPR membuat pemerintah

Page 84: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

84

juga terpaksa harus mengikuti pengaturan tersebut karena mekanisme

pembahasan suatu RUU terjadi di DPR

3. Bentuk pengaturan tentang ketentuan Naskah Akademik perlu penegasan

pengaturan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang

berlaku termasuk tentang keharusan atau ketegasan pengaturan

ketentuan untuk pembuatan naskah akademik bagi pembentukan

peraturan daerah. Sehingga dapat dijadikan acuan dalam membentuk

undang-undang maupun peraturan daerah.

Page 85: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

85

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Asshiddiqie, Jimly. Konstitutsi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:

Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, 2004.

_________. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat, Jakarta:

Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002.

_________. Perihal Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Bentham, Jeremy. “Teori Perundang-undangan: Prinsip-prinsip Legislasi,

Hukum Perdata dan Hukum Pidana”, Jakarta: Penerbit Nusamedia dan

Penerbit Nuansa, 2006.

Jazim Hamidi, dkk SH, MH, Dr. “Pedoman Naskah Akademik PERDA

Partipatif, Yogyakarta : Penerbit Kreasi Total Media, 2007

Kusumaatmadja, Mochtar. “Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan”,

Bandung: Alumni, 2006.

Rifai, Amzulian. “Pengantar Konstitusi Australia”, Jakarta: Gramedia, 1994.

Seidman, Ann, Robert B. Seidman dan Nalin Abeysekere. Penyusunan

Rancangan Undang-Undang Dalam Perubahan Masyarakat yang Demokratis,

terjemahan dari Legislative Drafting for Democratic Social Change, Jakarta:

Proyek Elips, 2001.

Page 86: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

86

Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan: Dasar-Dasar dan

Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 1998.

_________. “Ilmu Perundang-undangan (2): Proses dan Teknik

Pembentukannya”, Jakarta: Kanisius, 2007.

Staronova, Katarina and Katarina Mathernova, “Recommendations for the

Improvement of the Legislative Drafting Process in Slovakia: Final Policy

Paper”, Budapest: IP Fellows, 2003.

B. Peraturan Perundang-undangan

Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

_________. Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

UU No. 10 tahun 2004, LN No. 53 tahun 2004, TLN No. 4389.

_________. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan

Program Legislasi Nasional. Perpres No. 61 tahun 2005, Lembaran Lepas,

2005.

_________. Peraturan Presiden tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Perpres No. 68 tahun 2005, Lembaran Lepas, 2005.

__________. Keputusan Kepala BPHN No. G159.PR.00.10 Tahun 1994 tentang

Petunjuk Teknis Penyusunan Naskah Akademis Peraturan Perundang-

undangan

Page 87: Laporan pasca seminar na 19 des 07 tentang kajian tahun 2007

Laporan Akhir Kajian “Kebijakan Mengenai Penetapan Naskah Akademik sebagai Prasyarat

P eny usunan Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Daerah”

87

C. Situs Internet Non-Berita dan Tanpa Pengarang

www.legis.state.wi.us/senate/scc/kids/toppagel.htm

thomas.loc.gov

www.house.gov/house/Legproc.html

www.explore.parliament.uk