laporan pa

18
LAPORAN PEMERIKSAAN HASIL NEKROPSI SAPI Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Oleh AWANG YOGA PRATAMA NIM. 130130100111002

Upload: awangyogapratama

Post on 10-Feb-2016

66 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

laporan

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan PA

LAPORAN

PEMERIKSAAN HASIL NEKROPSI SAPI

Pemeriksaan dilakukan di Laboratorium Patologi Fakultas Kedokteran Hewan

Universitas Airlangga

Oleh

AWANG YOGA PRATAMA

NIM. 130130100111002

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2014

Page 2: Laporan PA

BAB 1. PENDAHULUAN

 

1.1   Latar Belakang

Autopsi atau nekropsi untuk melakukan  pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada  beberapa  sebab penyakit atau kematian  dari seekor hewan. Biasanya  untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan  hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit, penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum,  ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, sapi mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Keadaan serupa tadi memerlukan pemeriksaan lapangan untuk menentukan penyebab masalah.

Nekropsi  (pemeriksaan postmortem) dilakukan untuk menentukan kausa penyakit dengan melakukan diskripsi lesi makroskopis dan mikroskopis dari jaringan dan dengan melakukan pemeriksaan serologis dan mikrobiologis yang memadai.  Pemeriksaan postmortem dilakukan bila ditemukan adanya penurunan produksi, terdapat tanda-tanda yang jelas akan sakit atau diketahui adanya peningkatan jumlah kematian, dan atas permintaan klien.  Pada umumnya ada 2 macam cara nekropsi yaitu : (1). Seksi lengkap, dimana  setiap organ / jaringan dibuka dan diperiksa. (2) seksi tidak lengkap, bila kematian / sakitnya hewan diperkirakan menderita penyakit yang sangat menular/ zoonosis ( anthrax, AI, TBC, hepatitis dsb ). Nekropsi harus dilakukan sebelum bangkai mengalami  autolisis, jadi sekurang-kurang 6 – 8 jam setelah kematian.

Dengan adanya studi lapangan diharapkan mahasiswa dapat mendapat gambaran, pengetahuan, serta wawasan sehingga dapat menerapkan ilmu yang sudah didapat di bangku kuliah untuk dipraktikkan di lapangan.

1.2  Tujuan

Mengetahui cara dan teknik nekropsi pada hewan yang sakit atau mati.

Nekropsi untuk melakukan  pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa.

 1.3  Manfaat

Dapat mengerti, memahami dan menjelaskan kasus yang ditemui saat praktikum di lapangan.

Page 3: Laporan PA

BAB 2. METODELOGI

2.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Pelaksanaan nekropsi pada tanggal 5 Oktober 2014 dilakukan di Laboratorium Anatomi

Kedokteran Hewan Universitas Brawijaya dan teknik preparasi sampel, pembuatan histopatologi

pada tanggal 7 -10 Oktober 2014 dilakukan di Laboratorium Patologi Anatomi Kedokteran

Hewan Universitas Airlangga.

2.2 Alat dan Bahan

Hal-hal yang perlu kita persiapkan untuk melakukan nekropsi pada sapi yaitu:

a. Persiapan Alat:

1. Pisau

2. Gunting (Gunting Runcing, Gunting Tumpul dan Gunting Tulang)

3. Pinset dan Skalpel

4. Spoit untuk mengambil darah (khususnya untuk pemeriksaan darah sapi)

5. Kantong Plastik untuk Membungkus Organ Spesimen

6. Sabun

7. Wadah Spesimen seperti Pot yang ada Bahan Pengawet Formalin 10%

8. Kertas Label untuk memberi tanda pada masing-masing Spesimen Pot

9. Ember

b. Persiapan Bahan:

1. Sapi yang akan disembelih

2. Air

2.3 Cara Kerja Nekropsi

Langkah-langkah Kerja:

1. Amati keadaan umum hewan saat masih hidup

Page 4: Laporan PA

2. Euthanasi dengan dekapitasi

3. Rebahkan kiri left lateral rekumbency dengan kepala di sebelah kiri secan

4. Buat irisan dari mandibula sampai arcus ischiadichuis, hindari ambing dan penis /irisan kulit digaris median tubuh mulai dari leher, dada, perut

5. Lepaskan keempat tungkai (kaki) dari tubuh dengan cara membuat irisan pada ketiak dan dilipat paha sambil mematahkan sendi pangkal paha. Dengan demikian hewan lebih mudah terlentang.

6. Kuliti bagian ventral dan lateral , amati jaringan otot dan kelenjar limfe bawah kulit

7. Membuka rongga perut

Sayat otot sepanjang garis median perut (peritoneum ditusuk),

iris menyamping mulai dari ujung proc. Xipoideus mengikuti tulang rusuk terakhir sampai ditepi muka panggul.

Buat irisan tegak lurus terhadap irisan memanjang yang pertama, diantara tulang rusuk terakhir dan tubercoxae.

Potong otot dinding perut dan dilepaskan.

Selanjutnya amati diafragma, peritoneum dan organ viscera hewan, letak alat-alat tubuh di dalam rongga perut)

8.  Membuka rongga dada

Periksa diafragma (normal: melengkung kearah rongga dada)

Dinding rongga dada ditusuk diantara dua tulang rusuk

Potong costae pada daerah costochondral kanan dan kiri

Iris muskulus. intercostalis

Patahkan costae satu per satu

Dinding thorak di buka

Periksa rongga dada dengan memeriksa adanya cairan di dalamnya

Amati letak organ

9.      Mengeluarkan isi rongga dada

Page 5: Laporan PA

Isi rongga dada (jantung, paru2) dikeluarkan bersama-sama dengan lidah dan trachea

Keluarkan lidah, tulang lidah dipotong pada sendi rawan0

Trachea dilepaskan dari pertautan otot2 leher dan esophagus

Aorta dipotong pada tempat ia menyilang esophagus, kerongkongan dikeluarkan dan dipotong dipertengahan leher

Paru-paru dilepaskan, mulut dari belakang vena cava dipotong

Paru2, jantung trachea dan lidah dikeluarkan bersama

Pada dugaan pneumonia dilakukan uji apung pada paru-pari

Periksa keadaan dan isi pericardium (pembungkus jantung)

Amati jantung (normal: ujng meruncing), bandingkan dengan besar hewan

10.    Mengeluarkan isi rongga perut

Keluarkan usus dengan mengikat ganda rectum dan potong di antara kedua ikatan itu

Duodenum diikat kembar pada 2 tempat yaitu: di muka dan belakang lengkungan S (keluarkan bersama hati)

Setelah keluar lepaskan dari mesenterium (penggantung usus) dan dibuka

Lepaskan mesenterium dan kelenjar limfenya

Keluarkan keempat bagian lambung beserta esophagus dan limpa dari lambung besar ( letak limpa: sebelah kiri rumen)

Permulaan esophagus di ikat

Buka perut (dari rumen, reticulum, omasum, abomasums) periksa kemungkinan adanya cacing

11.    Mengeluarkan oragan uropoetika

Angkat organ urogenital dengan mengangkat ginjal beserta bagian bagian lain secara bersamaan, begitu pula dengan ovarium, uterus,dll. 12.    Periksa semua organ secara makroskopis

13.    Buat potongan tiap-tiap organ 1cm x 1cm x 1cm

14.    Masukkan ke dalam formalin 10%

Page 6: Laporan PA

15.    Buat kesimpulan dari seluruh pengamatan

2.4 Prosedur Histopatologi

Untuk pemeriksaan histopatologi, organ yang dicurigai mengalami perubahan

patologi dan diduga dapat membantu dalam meneguhkan diagnosa yaitu usus dan hepar

diamati kemudian dipotong dengan ukuran sekitar 3 x 2 x 2 cm dan disimpan didalam botol

yang berisi larutan formalin 10%. Usahakan untuk mengambil jaringan dari daerah yang

abnormal dan normal secara bersama-sama. Tahap berikutnya adalah pemotongan organ

untuk pembuatan gambaran histopatologi ( Lampiran 1 ).

Page 7: Laporan PA

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Signalemen

Ras                              : Limosin

Jenis Kelamin              : Jantan

Warna                          : Coklat kehitaman

Umur                           : ±2 tahun

Tanggal Nekropsi : 5 Oktober 2014

2.2. Anamnesa

Menurut peternak, sapi mengalami susah makan dan mengalami gelisah.

2.3. Temuan Klinis

Pemeriksaan Makroskopis

Page 8: Laporan PA

 Secara patologi anatomi hasil pemeriksaan adalah paru-paru tampak melisut dengan aspek

suram dan permukaan paru seperti ada gelembung-gelembung. Konsistensinya lunak dan ada krepitasi yang menandakan alveolnya mengalami empisema, serta jika dilakukan uji apung maka bagian paru tersebut akan mengapung. Berikut gambar histologinya;

Sistem Sirkulasi

Jantung Normal

Perikardium Terdapat perlemakan

Sistem Respirasi

Trakhea Normal

Paru-paru Terdapat bercak-bercak putih (Multifocal)

Sistem Digesti

Oral Normal

Oesophagus Normal

Rumen Tidak ada perubahan

RE Tidak ada perubahan

Omasum Tidak ada perubahan

Abomasum Tidak ada perubahan

Duodenum Terdapat perdarahan

Jejenum Terdapat perdarahan di beberapa area

Ileum Terdapat perdarahan

Caecum Sedikit perdarahan dan terjadi pembesaran

Colon Terdapat sedikit perdarahan

Hepar Ditemukan cacing Fasiola

Pankreas Normal

Page 9: Laporan PA

Gambar 1. Penampakan Histologi Paru-Paru (100x)

Gambar 2. Penebalan Pembuluh Darah (400x)

Page 10: Laporan PA

Gambar 3. Adanya Kongesti Septa Ada Eritrosit (400x)

Pemeriksaan mikroskopis dilakukan untuk memperkuat penegakan diagnosa sementara

dari penyakit hewan ini. Hasil histologi paru-paru sapi menunjukkan adanya penebalan septa

alveolus, atelektasis, penebalan pembuluh darah, ditemukan juga emfisema, dan juga kongesti

septa ada eritrosit.

Emfisema paru-paru adalah keadaan di mana paru-paru mengalami distensi yang

abnormal yang disebabkan rupturnya dinding alveoli dengan atau tanpa disertai lolosnya udara

ke jaringan interstisial sehingga menyebabkan berkurangnya ruang udara dan sulit bernapas

(Blood, 1963). Emfisema adalah suatu pelebaran kantung udara kecil (alveoli) di paru-paru, yang

disertai dengan kerusakan pada dindingnya. Dalam keadaan normal, sekumpulan alveoli yang

berhubungan ke saluran nafas kecil (bronkioli), membentuk struktur yang kuat dan menjaga

saluran pernafasan tetap terbuka. Pada emfisema, dinding alveoli mengalami kerusakan,

sehingga bronkioli kehilangan struktur penyangganya. Dengan demikian, pada saat udara

dikeluarkan, bronkioli akan mengkerut. Struktur saluran udara menyempit dan sifatnya menetap.

Atelektasis adalah suatu kondisi di mana paru-paru tidak dapat mengembang secara

sempurna.Atelektasis disebut juga Kolapsnya paru atau alveolus. Alveolus yang kolaps tidak

mengandung udara sehingga tidak dapat ikut serta di dalam pertukaran gas. Kondisi ini

mengakibatkan penurunan luas permukaan yang tersedia untuk proses difusi dan kecepatan

pernafasan berkurang. Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak

Page 11: Laporan PA

sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang terserang tidak

mengandung udara dan kolaps. Jadi, atelektasis merupakan suatu keadaan kolaps, dimana paru-

paru tidak dapat mengembang secara sempurna, tepatnya pada alveolus/alveoli paru yang tidak

mengandung udara.

Penyebab utama dari atelektasis adalah penyumbatan bronkus. Penyumbatan juga bisa

terjadi pada saluran pernafasan yang lebih kecil. Penyumbatan bisa disebabkan oleh adanya

gumpalan lendir, tumor atau benda asing yang terhisap ke dalam bronkus. Atau bronkus bisa

tersumbat oleh sesuatu yang menekan dari luar, seperti tumor atau pembesaran kelenjar getah

bening. Jika saluran pernafasan tersumbat, udara di dalam alveoli akan terserap ke dalam aliran

darah sehingga alveoli akan menciut dan memadat. Jaringan paru-paru yang mengkerut biasanya

terisi dengan sel darah, serum, lendir, dan kemudian akan mengalami infeksi (Subronto, 2003).

Emfisema paru-paru primer dapat disebabkan oleh trauma yang langsung mengenai dada

hingga sampai ke paru-paru. Tidak menutup kemungkinan, emfisema paru-paru diikuti oleh

emfisema subkutan di sebagian besar tubuh. Emfisema primer jarang sekali terjadi terutama pada

ternak besar karena paru-paru ternak dilindungi oleh tulang iga dan otot-otot yang kuat

(Subronto, 2003).  Emfisema sekunder seringkali terjadi pada sebagian besar ternak. Emfisema

sekunder merupakan kejadian lanjutan dari penyakit saluran pernafasan dan radang paru-paru,

misalnya pneumonia suppurativa, pneumonia verminosa, pneumonia interstisial, bronchitis dan

bronchiolitis. Kuda tua yang dirawat di kandang terus-menerus dengan kualitas pakan yang jelek

dan berdebu maka mudah menderita emfisema alveolaris yang kronik tanpa diketahui sebab-

sebabnya (heaves). Alergen yang tidak tersifat seperti debu kandang, spora jamur dan sebagainya

akan dapat memudahkan timbulnya emfisema bagi hewan-hewan yang peka (Subronto, 2003). 

Alveolus berkembangkempis sejak lahir sesuai batas elastisitas dindingnya.

Pengembangan alveoli yang berlebihan dalam waktu lama, misal oleh batuk paroxysmal dan

kronik, akan mengakibatkan penurunan elastisitas alveoli (Harrison, 1995). Adanya stenosis

saluran pernafasan, udara tidak dapat dikeluarkan semua, hingga terjadi kenaikan tekanan intra

alveolar. Tekanan intra alveolar meningkat pada suatu ketika mencapai batas maksimum hingga

alveoli akan dapat pecah dan mengakibatkan emfisema interstisial. Penurunan elastisitas yang

berlebihan akan menyebabkan emfisema alveolaris (Subronto, 2003). Emfisema terjadi pada

Page 12: Laporan PA

bagian paru-paru yang normal sebagai kompensasi atas ketidakmampuan untuk berfungsi dari

bagian paru-paru yang lain, misalnya karena abses, oedema, dan bronchopneumonia.

Jadi, dugaan paling kuat untuk penyebab penyakit ini adalah Intersitial pneumonia. Pada

pnemonia dan udema, paru-paru bengkak, bila paru-paru diketok denagn pisau atau jari maka

paru-paru akan menggelombang, warna pada bagian-bagian pneumonia biasanya berubah merah

kehitaman dan kelabu. Pada bagian pneumonia terasa padat, jadi tidak kenyal lagi. Selain itu

secara patologi anatomi paru-paru tampak melisut dengan aspek suram dan permukaan paru

seperti ada pembengkakan setempat. Konsistensinya lunak dan ada krepitasi yang menendakan

alveolnya mengalami emfisema. Gambaran histologi umum yang tampak adalah terjadinya

infiltrasi sel-sel radang dan edema terhadap jaringan interstitial paru. Septa alveolus menebal dan

berisi infiltrasi limfosit, histosit, sel plasma, neutrofil, bahkan eritrosit (Kumar, dkk., 2000). Pada

stadium lanjut akan tampak kistik, gambaran sarang lebah.

Penyebab tersering pneumonia bakterialis adalah bakteri (+) gram, Streptococcus

Pneumoniae yang menyebabkan pneumonia streptokokus (Songer,2004).Faktor-faktor

pengelolaan peternakan dan lingkungan hewan sangat berpengaruh terhadap terjadinya radang

paru-paru pada sapi. Penempatan sapi hanya dikandang saja yang lembab dan berdebu dengan

ventilasi yang jelek, overcrowding, pedet yang tidak cukup mendapatkan kolustrum, lingkungan

yang dingin serta transportasi merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya radang

paru-paru pada sapi. Pada lingkungan yang jelek sering terjadi infeksi bakteri Pasteurela sp dan

Streptococcus sp. Pneumonia yang disebabkan oleh virus pada hewan biasanya bersifat akut.

Pada kultur paru-paru hewan yang sudah mati disebabkan pneumonia sering dijumpai adanya

bakteri Corynobacterium pyogenes, hemolytic staphylococci dan Pseudomonas aeruginosa..

Pneumonia lain disebabkan oleh virus misalnya influenza. Pneumonia mikoplasma, suatu

pneumonia yang relatif  sering dijumpai yang disebabkan oleh suatu organisme yang berdasarkan

beberapa aspeknya berada diantara bakteri dan virus. Bakteri penyebab terisap perifer melalui

saluran nafas menyebabkan reaksi jaringan berupa edema, yang mempermudah poliferasi dan

penyebaran kuman. Bagian paru yang terkena mengalami konsolidasi, yaitu terjadinya serbukan

sel PMN (polimorfonuklear), febrin, eritrosit, cairan edema dan kuman di alveoli dan proses

fagositosis yang cepat.

Page 13: Laporan PA

KESIMPULAN

Autopsi atau nekropsi untuk melakukan  pemeriksaan yang cepat dan tepat dalam menetapkan diagnosa pada  beberapa  sebab penyakit atau kematian  dari seekor hewan. Biasanya  untuk melengkapi hasil diagnosa yang akurat harus ditunjang dengan  hasil pemeriksaan dari beberapa laboratorium penunjang, seperti bakteriolagi, virology, parasitologi, patologi klinik, toxicology dsb. Nekropsi tidak akan dapat mengungkapkan semua penyebab dari suatu penyakit, penyebab kejadian suatu penyakit, kebanyakan berhubungan dengan manajemen, termasuk pemenuhan nutrisi yang buruk, kekurangan pakan dan minum,  ventilasi yang tidak mencukupi, sanitasi yang buruk, sapi mengalami kedinginan atau kepanasan, dan populasi yang berlebihan. Berdasarkan temuan patologis yang didapatkan sapi mengalami suspect interstitial pneumonia.

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: Laporan PA

Blood, DC, JA Henderson.1963.Veterinary Medicine Second Edition.The Williams and   Wilkins

Company:Baltimore

Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC, 1995

 Kalender, H., A. Kilic, and E. ATH. 2007. Enterotoxaemia in a cow due to Clostridium

perfringens type A.Turk. J. Vet. Anim. Sci. 31(1):83-84.

 Levett, P.N. 1991. Anaerobic Microbiology. A Practical Approach. Oxford University Press,

New York.

 Price A. Sylvia &  Lorraine M. Wilson.2006. Patofisologi edisi 6,vol.2. Penerbit

bukukedokteran.EGC.Jakarta.

 Somantri Irman.2008. keperawatan medikal badah:asuhan keperawatan dengan gangguan

sistem pernapasan. Jakarta. Salemba medika

 Songer, J. G. and D. Miskimins. 2004. Clostridium perfringens type E Enteritis in calves: two

cases and brief review of the literature. Anaerobe 10:239-242.

 Subronto.2003.Ilmu Penyakit Ternak 1.Gadjah Mada University Press:Yogyakarta

Page 15: Laporan PA

Organ difiksasi dalam formalin 10 %

Lampiran 1. Pembuatan Preparat Histopatologi metode HE

Dipotong kecil Dicuci dengan air mengalir selama 30 menit

DehidrasiAlkohol 70 %Alkohol 80 %Alkohol 96%

Alkohol 96 % Alkohol absolute I 100% Alkohol absolute II 100%

Xylol I

Clearing

Xylol IIParaffin IParaffin II

Blocking Mikrotom Pewarnaan Mounting