laporan kuliah kerja lapangan penelitian sosial...

36
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN Penelitian Sosial, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor Desa Rejasari Kota Banjar 29-30 April 2010 Oleh: Kelompok Rejasari PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJAJARAN JATINANGOR 2010

Upload: ngokhuong

Post on 03-Mar-2018

229 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

LAPORAN

KULIAH KERJA LAPANGAN

Penelitian Sosial, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor

Desa Rejasari

Kota Banjar 29-30 April 2010

Oleh:

Kelompok Rejasari

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJAJARAN

JATINANGOR

2010

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Laporan Kuliah Kerja Lapangan

Penelitian Sosial Budaya, Geolinguistik Bahasa, dan Folklor

Desa Rejasari Kota Banjar 29-30 April 2010

Pembimbing : M. Adji, M. Hum.

Sugeng Riyanto, M. Hum.

Ketua : Indra Sisworo 180110070035

Anggota:

1. Gilang Praisa 180110065001

2. Wahyu Ristatiara 180110070008

3. Bisri Rais 180110070012

4. Devina Christania 180110070015

5. Nick Carter S 180110070018

6. Riska Asiah 180110070024

7. Nurul Wulan 180110070026

8. Adam 180110090001

9. N. Adia Wijaya 180110090011

10. Yana Herdian 180110090017

11. Risnasari Rosman 180110090021

12. Lia Ilyah 180110090022

13. Rizal 180110090026

14. Melinda 180110090030

15. Ilham Wibowo 180110090041

16. Elsa Selviana Rachman 180110090046

LAPORAN

KULIAH KERJA LAPANGAN

DI DESA REJASARI KECAMATAN LANGENSARI

KOTA BANJAR

Jatinangor, Juni 2010

mengesahkan :

Pembimbing 1

M. Adji, M. Hum.

Pembimbing 2

Sugeng Riyanto, M. Hum.

disetujui oleh :

Ketua Jurusan Sastra Indonesia

Tatang Suparman, M. Hum

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan, karena atas kehendak-

Nyalah laporan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini dapat terselesaikan.

Laporan ini merupakan hasil kerja dan wujud dari penerapan pelaksanaan

disiplin ilmu yang kami dapatkan di Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Sastra

Universitas Padjadjaran Bandung. Adapun penelitian yang kami lakukan adalah

segala sesuatu yang berkaitan dengan masalah bahasa, sastra (foklor), dan budaya di

Desa Rejasari Kecamatan Langensari Kota Banjar.

Kami mengucapkan terima kasih kepada pembimbing kami selama kami

melaksanakan KKL dan juga dalam menyusun laporan ini. Mereka yang selalu

dengan ikhlas menuntun, membimbing dan mengawasi kami dari mulai pencarian

data hingga selesainya laporan ini.

Tak lupa pula kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak Camat

Langensari, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, serta Bapak Kepala Desa Rejasari selaku

orang tua kedua kami di Desa Rejasari, juga kepada seluruh masyarakat Rejasari yang

telah menerima kehadiran kami.

Semoga laporan ini bermanfaat untuk pembaca, terlebih lagi penulis. Terima

kasih.

Jatinangor, Juni 2010

Penyusun,

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN......................................................................................i

KATA PENGANTAR............................................................................... .............. iii

DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1

1.2 Identifikasi Masalah .......................................................................... 1

1.3 Tujuan ............................................................................................... 2

1.4 Metode Penelitian ............................................................................. 2

1.5 Sumber Data ...................................................................................... 2

BAB II ISI ....................................................................................................... 4

2.1 Gamabaran Umum Daerah Penelitian .............................................. 4

2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam

Desa Rejasari................................................................. ........ 4

2.1.2 Sejarah Desa ........................................................................... 4

2.1.3 Pola Pemukiman............................................................ ........ 5

2.1.4 Sarana dan Prasaran Lingkungan ........................................... 6

2.1.5 Kependudukan ....................................................................... 7

2.1.6 Kebahasaan ............................................................................ 9

2.1.7 Sistem Kekerabatan .............................................................. 10

2.1.8 Sistem Pemerintahan ............................................................. 11

2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya ..................................................... 11

2.2 Geolinguistik Bahasa ....................................................................... 13

2.3 Folklor .............................................................................................. 24

2.3.1 Kesenian Tradisional ............................................................ 24

2.3.2 Permainan Anak .................................................................... 28

2.3.3 Mitos .................................................................................... 29

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 32

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan. Tujuh unsur kebudayaan

itu adalah sistem kepercayaan, sistem mata pencaharian, IPTEK, bahasa, kesenian,

sistem sosial, dan sistem pemerintahan.

Kuliah Kerja Lapangan merupakan salah satu jalan untuk menggali akar

budaya daerah yang`ada di Indonesia. Saat ini yang kami gali adalah Desa Rejasari,

Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Jawa Barat. Potensi budaya yang ada di Desa

Rejasari tersebut nampak setelah kita mendatanginya kemudian melakukan proses

pengumpulan dan pengkajian data yang diperoleh. Ragam data yang diteliti dan dikaji

tersebut meliputi bidang bahasa, budaya dan foklor.

1.2 Identifikasi Masalah

Sesuai dengan program Jurusan Sastra Indonesia program Studi Bahasa

Indonesia, kegiatan Kuliah Kerja Lapangan ini menggali khususnya segala sesuatu

yang berhubungan dengan mata kuliah jurusan kami di antaranya:

1. Geolinguistik bahasa

2. Folklor

3. Gambaran umum Desa Rejasari

Seluruh data yang kami telah dapat akan bermafaat untuk menambah

pengetahuan akan kekayaan budaya yang terdapat di Indonesia.

1.3 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui semua potensi yang dimiliki oleh Desa Rejasari dari bermacam

aspek, baik bahasa, kebudayaan, dan lainnya.

2. Mengetahui gejala-gejala kebahasaan yang timbul di daerah perbatasan Jawa

Barat dan Jawa Tengah.

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu metode pupuan

lapangan dan metode deskriptif. Metode pupuan lapangan terbagi atas dua cara

pengumpulan bahan yaitu:

1. Pencatatan langsung

2. Perekaman atau pencatatan langsung

Metode deskriptif dapat memberikan penyelesaian-penyelesaian dan gambaran

mengenai masalah atau fenomena-fenomena yang jelas. Selain itu, metode deskriptif

menggambarkan dan menguraikan data-data yang telah dihimpun oleh tim peneliti

yang disebut metode deskriptif, kemudian dianalisis guna memperoleh kesimpulan

sehingga data yang dihimpun dapat diperjelas sesuai dengan pengklasifikasian data.

Selain itu dengan metode deskriptif kita dapat mengetahui mengenai struktur cerita

yang didalamnya terdapat satuan-satuan unsur pembentuk dan aturan susunannya

1.5 Sumber Data

Data-data didapatkan di Desa Rejasari, Kecamatan Langensari, Kota Banjar,

Provinsi Jawa Barat.

Proses pencarian data-data tersebut melalui kerjasama antara pewawancara

dengan informan. Informan ini adalah orang yang banyak tau akan Desa Rejasari ini.

BAB II

ISI

2.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian

2.1.1 Geografi, Lokasi dan Keadaan Alam Desa Rejasari

Desa Rejasari terletak di Kecamatan Langensari, Kota Banjar, Provinsi Jawa

Barat. Desa ini berada di daerah pedalaman dengan tipologi berupa dataran. Desa ini

juga berada di wilayah paling timur Jawa Barat, dekat dengan sungai Citanduy yang

merupakan pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Keadaan alam di desa ini

masih terjaga keasriannya, kontur tanah serta iklim di daerah ini memungkinkan

sebagian besar masyarakat bisa bercocok tanam padi, karet serta aren.

2.1.2 Sejarah Desa

Pada tahun 1945, Desa Rejasari termasuk ke dalam Kecamatan Pataruman,

yang wilayahnya terbentang dari Citamiang hingga ke Ciroak Banjar. Kemudian,

dalam kesatuan kecamatan itu terjadi pemekaran desa menjadi enam wilayah bagian,

diantaranya adalah Desa Rejasari, Waringinsari, Langensari, Muktisari, Kujangsari,

Bojongkantong, dan Dirgasari. Di dalam wilayah Desa Rejasari, kemudian dipecah

lagi menjadi beberapa dusun, diantaranya yaitu Sindanggalih, Bantargawang,

Tamping, dan Rancabulus.

Pada zaman dahulu, desa ini merupakan perkebunan karet milik colonial

Belanda. Perusahaan ini beroperasional di bawah naungan seorang mandor yang

bernama Martinem. Mandor Martinem adalah seorang pengawas perkebunan karet

yang sangat baik hati, tegas, bijaksana, dan menjadi sosok panutan buruh-buruh

perkebunan. Sifat baik yang dimilikinya membuat kehidupan para buruh menjadi

lebih baik. Pemikiran kaum buruh menjadi lebih kooperatif untuk menerima saran dan

perubahan pada perkebunan, akhirnya perkebunan ini dibuka untuk lahan pemukiman

penduduk. Raden Endang sebagai camat pertama di desa ini orang pertama yang

banyak berjasa mendirikan Desa Rejasari. Sebagai rasa terimakasih dan

penghormatan, akhirnya nama Mandor Martinem di abadikan oleh penduduk sebagai

nama jalan. Selain jalan Mandor MArtinem, ada juga nama jalan lain yang memiliki

sejarah penamaan, yaitu jalan Wanalare. Dikisahkan, bahwa nama Wanalare berasal

dari kata Wana yang berarti leuweung (hutan) dan Lare yang berarti bocah (anak-

anak), Wanalare adalah jalan yang sering digunakan tempat bermain anak-anak pada

zaman dahulu.

Terlepas dari cerita tersebut, secara etimologi Rejasari berasal dari kata Reja/

Rejo yang berarti pecahan dan Sari yang berarti inti. Jadi Rejasari bisa diartikan

sebagai pecahan dari inti, hal ini sangat berkaitan dengan asal mula Desa Rejasari

yang menurut sejarah merupakan pecahan dari Kecamatan Pataruman.

Pataruman berasal dari kata patarungan. Masyarakat Pataruman meyakini

bahwa wilayah Pataruman adalah tempat bertempurnya lelakon orang- orang Budha

sewaktu penyebaran agama Budha menyebar ke wilayah Indonesia, khususnya Jawa

Barat.

2.1.3 Pola Pemukiman

Pemukiman penduduk di desa ini sangat teratur dan tertata rapi. Rumah-rumah

berpola membentuk barisan dan berhadap-hadapan. Rumah-rumah di desa ini

beragam, ada yang masih bertahan dengan kesederhanaan rumah tradisional namun

adapula yang sudah merenovasi rumah menjadi sedikit agak modern, namun secara

umum gaya arsitektur Jawa. Walaupun bentuk rumah sederhana namun sebagian

rumah di sana memiliki halaman yang luas, kolam ikan, lahan tempat menumbuk dan

menjemur padi, serta selokan kecil di depan rumah, rumah terdiri dari beberapa

ruangan dengan ruang tengah yang paling luas dan tidak berplafon. Batas antara

rumah ke rumah hanya ditandai dengan pohon atau batu. Ciri lain yang menjadi khas

pola pemukiman daerah ini adalah jalan raya yang tidak berkelok-kelok serta tidak

ada polisi tidur.

Hal yang paling menarik dan sangat menentukan dominasi penduduk yang

tinggal di tiap dusun desa ini adalah etnis. Empat dusun yang terdapat di Desa

Rejasari ini membentuk blok yang bergantung pada kaum minoritas atau mayoritas.

Sebagai contoh, Dusun Sindanggalih merupakan dusun yang percampuran etniknya

seimbang, masyarakat yang mendiami dusun ini 50% Sunda dan 50% Jawa, lain

halnya dengan dusun Rancabulus dan Bantargawang yang mayoritas wilayahnya

didominasi oleh etnis Sunda, sedangkan dusun Tamping, wilayah pemukiman

disominasi oleh etnis Jawa. Hal tersebut membuktikan bahwa etnis di Desa Rejasari

hidup berkoloni dengan etnisnya dan pola pemukiman pun bisa dilihat dari mayoritas

etnis yang mendominasi.

2.1.4 Sarana dan Prasarana Lingkungan

Desa ini memang terletak di pedalaman Ciamis, namun jangan salah,

modernisasi ternyata sudah masuk ke desa ini. Masyarakat tidak sulit mendapatkan

energi listrik dan air. Barang-barang elektronik tidak lagi tabu di mata masyarakat,

sarana dan prasarana yang mendukung aktivitas masyarakat pun cukup memadai.

Karena mayoritas masyarakat di desa ini adalah muslim, maka tempat peribadatan

yang ada di sesa ini adalah masjid dan mushola, sedangkan bagi umat non muslim

(Kristen) pergi ke gereja yang berada di desa lain. Masyarakat di desa ini cukup

agamais, sering sekali diadakan pengajian rutin setiap minggunya, pengetahuan

pendidikan agama yang semakin maju menjadikan masyarakat di desa ini perlahan

mulai sedikit demi sedikit meninggalkan tradisi leluhur yang tidak sesuai dengan

syariat, mayoritas masyarakat tidak lagi percaya pada takhayul dan lebih berpikir

rasional serta tidak lagi melakukan pemujaan terhadap batu atau pohon.

Kondisi jalan beraspal yang cukup baik menjadikan mobilitas masyarakat

Desa Rejasari berjalan dengan lancer Transportasi pun cukup memadai. Sebagian

besar masyarakat menggunakan kendaraan sepeda motor dalam mendukung

aktivitasnya, terdapat 276 sepeda motor yang terdata di desa ini, selain itu ada juga

kendaraan lain berupa kuda sebanyak 6 buah, gerobak 3 buah, becak 2 buah, perahu

17 buah, angkutan pedesaan 14 buah, truk 1 buah, dan colt sebanyak 4 buah.

Sarana lain yang mendukung kemajuan desa adalah tersedianya gedung

olahraga di kelurahan yang kerap dijadikan pula sebagai gedung serbaguna bahkan

gedung itu juga digunakan sebagai tempat berlangsungnuya program pemberantasan

buta huruf. Selain itu, di desa ini juga sudah terdapat gedung sekolah serta PAUD

(Pendidikan Anak Usia Dini).

2.1.5 Kependudukan

Berdasarkan data yang kami dapat dari kelurahan, penduduk di desa ini

berjumlah 9.374 jiwa, terdiri atas 4.776 laki-laki (50,94%) dan 4.598 perempuan

(49,06). Jumlah kepala keluarga sebanyak 2.609 KK. JIka dilihat berdasarkan umur,

penduduk dengan golongan usia 0-20 tahun adalah sebanyak 3.158 jiwa (33,7%), usia

20-40 tahun sebanyak 3.170 jiwa (33,8 %), dan usia 40 tahun ke atas sebanyak 3.046

jiwa (32,5%). Jumlah penduduk berdasarkan etnik adalah 5.156 jiwa (55%) suku

Jawa, dan 4.218 jiwa (45%) suku Sunda. Jumlah penduduk berdasarkan Agama

adalah 9.344 jiwa (99,7%) umat Islam, 11 jiwa (0,1%) umat Kristen Katolik, dan 19

jiwa (0,2%) umat Kristen Protestan. Selain ketiga agama tersebut, masyarakat

Rejasari ada yang memeluk Agama yang bernama KWN dan PBB. Agama ini

dianggap sesat karena mencampur adukkan Agama islam dengan Kristen.

Pendidikan, menurut masyarakat di desa ini adalah suatu hal yang penting. Hal

itu bisa dibuktikan dengan besarnya antusias warga, terutama para orang tua yang

dulunya tidak sempat mengenyam pendidikan mengikuti program pemberantasan buta

huruf pada sore hari, di Gedung Olah Raga (GOR) yang terletak di samping kantor

kelurahan Rejasari. Kesadaran akan pentingnya pendidikan pun terbiukti dengan data

kependudukan berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu tingkat SD sebanyak 4.073 jiwa

(63,3%), SMP sebanyak 1.491 jiwa (23,2%), SMA sebanyak 725 jiwa (11,3%),

Perguruan Tinggi (S1) sebanyak 127 jiwa (2%), Perguruan Tinggi (S2) sebanyak 1

jiwa (0,001%) dan Kursus-kursus sebanyak 13 jiwa (0,2%).

Pada umumnya masyarakat di desa ini memiliki kesibukan mengurus lahan

sawah dan perkebunan karet serta aren, namun menurut data yang kami dapat dari

kelurahan setempat mereka memiliki mata pencaharian tetap yang diantaranya adalah

sebagai berikut;

1. PNS : 62 Jiwa 11. Salon : 1 jiwa

2. BUMN : 12 jiwa 12. Penarik Becak : 4 jiwa

3. TNI : 4 jiwa 13. Kusir : 6 jiwa

4. POLRI : 2 jiwa 14. Dukun Bayi : 5 jiwa

5. Swasta : 214 jiwa 15. Tukang Pijat : 3 jiwa

6. Wiraswasta : 615 jiwa 16. Rias Pengantin : 2 jiwa

7. Bidan : 2 jiwa 17. Kenek : 6 jiwa

8. Wartawan : 1 jiwa 18. Tukang Kayu : 24 jiwa

9. Sopir : 18 jiwa 19. Tukang Tembok : 55 jiwa

10. Ojek : 21 jiwa

2.1.6 Kebahasaan

Sistem kebahasaan di desa Rejasari cukup menarik untuk ditelaah. Seperti

yang sudah kita ketahui bahwa di desa ini etrdapat dua suku (etnik), yaitu Jawa dan

Sunda. Begitu pun dengan bahasa yang digunakan ada dua, yaitu bahasa sunda dan

bahasa jawa. Jika orang Jawa dan orang Sunda terlibat dalam komunikasi, identitas

mereka tetap dipertahankan oleh masing-masing pihak. Misalnya, orang Jawa

menyapa dengan bahsa Jawa, maka orang Sunda yang diajak bicara menjawab dengan

bahasa Sunda, namun demikian, kedua masyarakat tersebut tetap mengerti apa yang

masing-masing katakan. Selain keunikan itu, tak jarang pula masyarakat

mencampuadukan kedua bahasa dalam suatu percakapan.

Pemakaian bahasa Indonesia di Desa Rejasari sering dipakai dalam acara-acra

formal, tetapi karena sudah terbiasa menggunakan bahasa daerahnya masing-masing

pada akhirnya mereka terkadang mencampur penggunaan bahasa Indonesia dengan

bahasa daerah. Terkadang sebagian dari masyarakat di desa ini beranggapan bahwa

seseorang yang menggunakan bahasa Indonesia adalah seorang yang sok kota, karena

yang mereka tahu, orang-orang yang tinggal di kota kebanyakan adalah orang yang

berilmu, maka mereka yang menggunakan bahasa Indonesia terkesan sok pintar,

padahal mereka hidup di pedesaan. Dampak dari penggunaan bahasa Indonesia adalah

rasa gengsi, akan tetapi, fungsi krusial kedudukan bahasa Indonesia ini sebenarnya

merupakan bahasa pemersatu, atau jembatan yang menghubungkan komunikasi

masyarakat etnis Sunda dan Jawa yang tak mengenal istilah atau kosakata masing-

masing etnis.

Situasi kebahasaan dapat dilihat dari lokasi kebahasaan menurut perbatasan

desa dengan daerah lain. Sebelah timur desa menggunakan bahasa campuran antara

bahasa Indonesia dan bahasa Sunda, sebelah barat desa berbahasa Sunda, sebelah

utara desa berbahasa Sunda, dan sebelah selatan desa berbahasa Jawa. Walaupun di

desa ini hidup dua bahasa yang berbeda, namun hal itu tak menimbulkan konflik

karena adanya salah pengertian dalam berkomunikasi.

2.1.7 Sistem Kekerabatan

Masyarakat di desa ini pada umumnya bersistem patrilineal atau biasa disebut

juga bilateral. Dalam sistem kekerabatan yang dimiliki, terdapat tujuh tingkatan

kekerabatan yaitu generasi ke atas dan generasi ke bawah, sebagai berikut:

Generasi ke atas: Generasi ke bawah:

1. Orang tua (kolot) 1. Anak

2. Embah/ Eyang (uyut) 2. Incu (putu)

3. Buyut 3. Buyut

4. Bao 4. Bao

5. Jangga Wareng 5. Jangga Wareng

6. Udeg-udeg 6. Udeg-udeg

7. Kait Siwur 7. Gantung Siwur

2.1.8 Sistem Pemerintahan

Sistem pemerintahan tertinggi di desa ini dipegang oleh kepala desa.

Masyarakat memanggil kepala desa dengan sebutan Kuwu. Di bawah kepala desa

terdapat beberapa orang kepala dusun yang memimpin empat dusun di desa Rejasari.

Selanjutnya tingkat pemerintahan turun ke tingkat Rukun Warga (RW) dan kemudian

Rukun Tangga (RT).

2.1.9 Kehidupan Sosial Budaya

Masyarakat Desa Rejasari mayoritas memeluk agama Islam, namun dalam hal

tersebut ada sebagian masyarakat yang menjalankan sistem kepercayaan lain

misalnya: bersemedi, menyediakan sesajen dan memohon berkat kepada benda

keramat tertentu, seperti di cadas gantung.

Dalam kehidupan lainnya masyarakat Desa Rejasari masih melaksanakan

upacara yang mengangkut daur hidup manusia, sperti upacara perkawinan, upacara

kemahmilan, upacara kelahiran dan upacara kemaitian.

1. Upacara perkawinan

Ritual yang dilakukan dalam upacara perkawinan yaitu

a. memilih tanggal atau hari baik

b. injak telur: mempelai pria menginjak telur dan mempelai wanita

membersihkan dengan air kendi, hal ini merupakan simbol pengabdian

seorang istri terhadap suami

c. sawer: kedua mempelai menyawer dengancara melemparkan beras

yang bercampur dengan uang kearah para tamu undangan, hal ini

merupakan simbol dari keberkahan dalam rumah tangga

d. menikahkan didepan jasad: ritual ini dilaksanakan apabila orang tua

mempelai meninggal dunia sebelum pernikahan dilaksanakan.

Mempelai melangsungkan akad didepan jenazah atau menunda

pernikahan selama 1 tahun.

Masyarakat di Desa ini pada umumnya memakai pakaian adat Jawa apabila

sedang melaksanakan pernikahan, namun tak jarang pula adanya percampuran

baju adat, hal itu dikarenakan kedua mempelai berasal dari etnik yang berbeda.

Ciri khas lain dalam acara pernikahan di Desa ini adalah tersedianya makanan

tradisional yaitu “jenang”. Jenang adalah makanan sejenis dodol yang ternuat

dari beras ketan, tepung beras dicampur dengan kelapa dan gula merah, lalu

dibungkus dengan daun pisang atau plastik.

2. Upacara kehamilan dan kelahiran

Ritual yang biasa dilakukan sebagai berikut:

a. 7 bulanan atau 4 bulanan: acara ini merupakan bentuk rasa syukut

orang tua atas janinnya. Biasanya acara ini diisi dengan pengajian dan

menyajikan bubur 7 rupa

b. penguburan ari-ari: setelah bai lahir, ari-ari bayi tersebut dimaskukkan

ke dalam kendi lalu dikubur, atau ari-ari yang telah dimasukkan ke

dalam kendi digantung di ujung rumah. Menurut kepercayaan

masyarakat, ari-ari adalah kembaran bayi yang hidup di alam lain.

Penguburan dan penggantungan ari-ari tersebut adalh simbol

keberadaan ari-ari tesebut yang akan menjaga bayi selama hidupnya

c. among-among: ketika usia bai menginjak 1-7 bulan, orang tua bayi

tersebut melaksanakan ritual ini dengan cara membagikan urap telur ke

tetangga dan kerabat.

3. Upacara kematian

Beberapa ritual yang menyangkut kematian sebagai berikut

a. tahlilan: yaitu pembacaan surat yasin pada saat 40 harian, 100 harian

hingga seterusnya, hal ini bertujuan untuk mendoakan jenazah

b. ritual ngolong: keluarga yng ditinggalkan harus berjalan dibawah

jenazah, hal ini bertujuan agar keluarga yang ditinggalkan ikhlas

menerima dan tidak larut dalam kedukaan

c. menabur gula merah dan membelah kelapa diatas kuburan.

2.2 Geolinguistik Bahasa

Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Pemakaian bahasa Jawa

dan Sunda yang cukup seimbang membuat pengguna bahasa terpengaruh oleh kedua

bahasa tersebut. Berikut adalah data yang kami dapatkan dari dua informan yang

berbeda:

1. Samudin, 55 tahun

No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa

001 Kakek Aki mbah kakuŋ

002 Nenek Nini mbah putri

003 Ayah bapa? bapa?

004 Ibu Mamah əma?/ mama

005 Paman tua Uwa pa?dԐ

006 Paman muda Mamaŋ pa?lԐ

007 Bibi tua Uwa budԐ

008 Bibi muda Bibi bulԐ

008a Laki-laki paməgət lanaŋ

008b Perempuan awԐwԐ wԐdↄ

009 Kakak laki-laki Aa mas

010 Kakak perempuan tԐtԐh/ öcö mba?/ mba? yu

011 Adik laki-laki adi lalaki adԐ lanaŋ

012 Adik perempuan adi awԐwԐ adԐ wԐdↄ

013 Anak Putra putra

014 Keponakan tua kəpↄnakan kəpↄna’an

015 Keponakan muda kəpↄnakan kəpↄna’an

016 Cucu Incu putu

017 Suami Salaki garwↄ

018 Istri Pamajikan strikulↄ

019 Mertua mitↄha mertuↄ

020 Menantu Minantu mantu

021 Besan bԐsan bԐsan

022 Ipar Ipar ipar

022a Panggilan untuk anak

022b Lk ujaŋ/ AsԐp naŋ/IԐ

022c Panggilan untuk anak nԐŋ ndↄ?

022d Pr

023 Tiri tԐrԐ kwalↄn

023a Nama ŋaran/ nami jənəŋ

024 Pegawai desa pamↄŋ dԐsa pəgawai dԐsa

025 Pesuruh di desa pəsuruh pəsuruh

026 Kepala desa Kuwu lurah

027 Kepala kampong kəpala gↄlↄŋan kəpala gↄlↄŋan

028 Juru tuis juru tulis carik

029 Penghulu amil/ naib pəŋhulu

030 Peronda rↄnda rↄnda

030a Dukun beranak induŋ bəraŋ dukun bayi

030b Dukun sunat dukun sunat dukun səbԐt

030c Arisan Arisan arisan

031 Selamatan (kenduri) kəndurԐn kəpuŋan

032 Kerja bakti kəridan kərja bakti

033 Kepala Sirah sirah

034 Otak ↄtak utək

034a Kening Taraŋ batu?

034b Mata# sↄca məripat

034c Bulu mata bulu sↄca idəp

035 Air mata# cimata/ cisↄca eluh

035a Hidung pangambuŋ iruŋ

036 Mulut# Baham tutu?

036a Air ludah# Dahdir ilər

036b Dahak# rəhak riak

037 Bibir Biwir lambԐ

038 Gigi Huntu untu

038a Geraham Geraham gəraham

039 Lidah lԐtah ilat

040 Telinga cəpil kupiŋ

040a Leher bəhəŋ gulu

041 Pundak tak-tak undak

042 Belikat Walikat wəlikat

042a Jari tangan ramↄ jari

042b Ibu jari jəmpↄl jəmpↄl

043 Telunjuk təlunjuk təlunjuk

043a Jari tengah jari təŋah jari təŋah

044 Jari manis jari manis jari manis

045 Kelingking Ciŋir jəntik

046 Tangan Panaŋan taŋan

047 Telapak tangan Dampal təlapak

048 Kuku Kuku kuku

048a Kaki Suku sikil

048b Paha piŋ-piŋ pupu

049 Lutut# tu’ur dəŋkul

050 Betis Bitis kԐmpↄl

051 Tulang kering Baluŋ baluŋ

052 Mata kaki mumuncaŋan ntↄ?-ntↄ?

052a Telapak kaki dampal suku təlapak sikil

052b Tulang Tulaŋ baluŋ

053 Rambut Rambut rambut

054 Alis Halis alis

054a Darah# gətih gətih

055 Sumsum# sum-sum sum-sum

Jantung Jantuŋ jantuŋ

Hati# Hati hati

2. Wasiatun, 45 tahun

No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa

001 Kakek Aki mbah kakuŋ

002 Nenek Nini mbah putri

003 Ayah bapa? bapa?

004 Ibu Mamah ema?/ mama

005 Paman tua Uwa pa?dԐ

006 Paman muda Mamaŋ pa?lԐ

007 Bibi tua Uwa budԐ

008 Bibi muda Bibi bulԐ

008a Laki-laki paməgət lanaŋ

008b Perempuan awԐwԐ wԐdↄ

009 Kakak laki-laki Aa mas

010 Kakak perempuan tԐtԐh/ öcö mba?/ mba? yu

011 Adik laki-laki adi lalaki adԐ lanaŋ

012 Adik perempuan adi awԐwԐ adԐ wԐdↄ

013 Anak Putra putra

014 Keponakan tua kəpↄnakan kəpↄna’an

015 Keponakan muda kəpↄnakan kəpↄna’an

016 Cucu Incu putu

017 Suami Salaki garwↄ

018 Istri Pamajikan strikulↄ

019 Mertua mitↄha mərtuↄ

020 Menantu Minantu mantu

021 Besan bԐsan bԐsan

022 Ipar Ipar ipar

022a Panggilan untuk anak

022b Lk ujaŋ/ AsԐp naŋ/IԐ

022c Panggilan untuk anak nԐŋ ndↄ?

022d Pr

023 Tiri tԐrԐ kwalↄn

023a Nama ŋaran/ nami jənəŋ

024 Pegawai desa pamↄŋ dԐsa pəgawai dԐsa

025 Pesuruh di desa pəsuruh pəsuruh

026 Kepala desa Kuwu lurah

027 Kepala kampong kəpala gↄlↄŋan kəpala gↄlↄŋan

028 Juru tuis juru tulis carik

029 Penghulu amil/ naib pəŋhulu

030 Peronda rↄnda rↄnda

030a Dukun beranak induŋ bəraŋ dukun bayi

030b Dukun sunat dukun sunat dukun sebԐt

030c Arisan Arisan arisan

031 Selamatan (kenduri) kəndurԐn kəpuŋan

032 Kerja bakti kəridan kərja bakti

033 Kepala Sirah sirah

034 Otak ↄtak utək

034a Kening Taraŋ batu?

034b Mata# sↄca məripat

034c Bulu mata bulu sↄca idəp

035 Air mata# cimata/ cisↄca əluh

035a Hidung pangambuŋ iruŋ

036 Mulut# Baham tutu?

036a Air ludah# Dahdir ilər

036b Dahak# rəhak riak

037 Bibir Biwir lambԐ

038 Gigi Huntu untu

038a Geraham gəraham gəraham

039 Lidah lԐtah ilat

040 Telinga cəpil kupiŋ

040a Leher bəhəŋ gulu

041 Pundak tak-tak undak

042 Belikat Walikat wəlikat

042a Jari tangan ramↄ jari

042b Ibu jari jəmpↄl jəmpↄl

043 Telunjuk təlunjuk təlunjuk

043a Jari tengah jari təŋah jari təŋah

044 Jari manis jari manis jari manis

045 Kelingking Ciŋir jəntik

046 Tangan Panaŋan taŋan

047 Telapak tangan Dampal təlapak

048 Kuku Kuku kuku

048a Kaki Suku sikil

048b Paha piŋ-piŋ pupu

049 Lutut# tu’ur dəŋkul

050 Betis Bitis kԐmpↄl

051 Tulang kering Baluŋ baluŋ

052 Mata kaki mumuncaŋan ntↄ?-ntↄ?

052a Telapak kaki dampal suku təlapak sikil

052b Tulang Tulaŋ baluŋ

053 Rambut Rambut rambut

054 Alis Halis alis

054a Darah# gətih gətih

055 Sumsum# sum-sum sum-sum

Jantung Jantuŋ jantuŋ

Hati# Hati hati

3.

Kedua informan tersebut memberikan data yang sama. Berbagai keunikan

kami dapatkan dalam penelitian geolinguistik kali ini. Pengucapan [?] seringkali

digunakan dalam kosa kata bahasa Jawa. Pelafalan kosa kata dalam bahasa Jawa pada

kata “idep” yakni [i][t][d][e][p]. Pelafalan kata tutul dalam bahasa Jawa yakni

[t][u][o][t][u][o][l], pelafalan [u] terdengar seperti [u][o]. Pelafalan kata “kuping”

dalam bahasa Jawa yakni [k][u][p][i][e][n][g], pelafalan [i] terdengar seperti [i][e].

Pelafalan kata “getih” dalam bahasa Jawa yakni [g][e][t][i][h], uniknya dalam bahasa

Jawa, [t] diucapkan lebih menggunakan tekanan sehingga terdengar seperti

[g][e][t][t][i][h].

Kosa kata bahasa Sunda yang kami dapatkan, tidak jauh berbeda dengan

bahasa Sunda yang ada di Bandung. Perbedaannya hanyalah pada logat yang

digunakan. Masyarakat di Desa Rejasari menggunakan bahasa Sunda yang sedikit

berlogat Jawa.

Ada sebuah perbedaan konsep yang kami dapatkan setelah penelitian ini. Kata

“amil” di Desa Rejasari kita terjemahkan sebagai “penghulu”. Berbeda dengan Desa

Muktisari yang menyebut “amil” adalah sebagai “ pemandi jenazah”.

2.3 Folklor

2.3.1 Kesenian Tradisional

Kesenian tradisional yang sangat terkenal di Kota Banjar antara lain:

a. Hadroh

Hadroh adalah sebuah kesenian khas islami yang berasal dari Kota Banjar.

Iramanya yang menghentak, rancak dan variatif membuat kesenian ini masih

banyak digandrungi oleh pemuda-pemudi hingga sekarang. Seni jenis ini bisa

disebut pula aset atau ekskul terbaik di pondok-pondok pesantren. Sampai

detik ini seni hadrah yang berasal dari kota Banjar ini bisa dibilang paling

konsisten dan paling banyak diminati oleh kalangan santri, bahkan saat ini di

beberapa kampus mulai ikut menyemarakkan jenis musik ini.

Hadroh masih merupakan jenis musik rebana yang mempunyai keterkaitan

sejarah pada masa penyebaran agama Islam oleh Sunan Kalijaga, Jawa.

Karena perkembangannya yang menarik, kesenian ini seringkali digelar dalam

acara-acara seperti Maulid Nabi, Isra' Mi'raj atau hajatan semacam sunatan

dan pernikahan. Alat rebananya sendiri berasal dari daerah Timur Tengah dan

dipakai untuk acara kesenian. Kemudian alat musik ini semakin meluas

perkembangannya hingga ke Indonesia, mengalami penyesuaian dengan

musik-musik tradisional baik seni lagu yang dibawakan maupun alat musik

yang dimainkan. Demikian pula musik gambus, kasidah dan hadroh adalah

termasuk jenis kesenian yang sering menggunakan rebana.

Keunikan musik rebana termasuk banjar adalah hanya terdapat satu alat musik

yaitu rebana yang dimainkan dengan cara dipukul secara langsung oleh tangan

pemain tanpa menggunakan alat pemukul. Musik ini dapat dimainkan oleh

siapapun untuk mengiringi nyanyian dzikir atau sholawat yang bertemakan

pesan-pesan agama dan juga pesan-pesan sosial budaya. Umumnya

menggunakan bahasa Arab, tapi belakangan banyak yang mengadopsi bahasa

lokal untuk kresenian ini.

Jadi, sebagai generasi penerus kita harusnya berbangga hati karena dapat

menjaga apa yang telah di ajarkan oleh nabi sebelumnya. Akhirnya, mari kita

bersama melestarikan kesenian islami ini.

b. Kuda kepang

Narasumber : Abdul Majid, Usia 75 tahun

Jenis Kesenian : Tradisional

Nama Kesenian : Kuda Kepang

Lokasi : Desa Rejasari

Sejarah

Pendiri : masyarakat

Motif pendirian : hiburan rakyat

Pewarisan : sanggar seni

Kondisi saat ini : masih terjaga

Peralatan

Nama peralatan : gong, kuda-kudaan, gendang, arang, kaca semprong.

Fungsi peralatan : sarana pertunjukan

Bahan pembuatan : besi, bambu, kaca

Bentuk peralatan : sesuai dengan alatnya sendiri

Cara menggunakan: sesuai dengan alatnya sendiri

Arena/tempat

Sifat arena : bebas

Luas arena : bebas

Pemain

Jumlah pemain : lebih dari lima belas orang

Umur pemain : sepuluh tahun ke atas

Jenis kelamin : bebas, namun mayoritas pria

Syarat lain : pemain harus terlatih

Penonton

Syarat menonton : tidak ada

Ritual

Nama ritual : tidak ada

Alasan dilakukan : memanggil para leluhur

Pelaku : pemimpin pertunjukan

Waktu melakukan : sebelum pertunjukan dimulai

Tempat melakukan: di arena pertunjukan

Syarat melakukan : hanya dilakukan oleh pemimpin pertunjukan

Pertunjukan

Sifat : sakral

Durasi : 15-30 menit

Cerita/ narasi

Pertunjukan ini diadakan semata-mata untuk hiburan rakyat saja. Di

desa Rejasari, sanggar untuk kesenian kuda kepang ini telah ada sejak desa

ini berdiri. Pada awal pertunjukan ini biasanya pemimpin pertunjukan

lebih dahulu mengadakan ritual untuk memanggil para leluhurnya,

biasanya dia membakar kemenyan. Setelah selesai, alunan musik daerah

mengalun, satu-persatu pemain memasuki arena pertunjukan sambil

menari mengikuti alunan musik. Sesaat kemudian ada pemain yang

ternyata telah kerasukan, bisa 2-3 pemain. Biasanya pemain yang telah

kerasukan bisa memakan bara api, kaca, hingga kebal terhadap senjata

tajam. Pemain berhenti kerasukan hanya pada saat pemimpin pertunjukan

tersebut menyentuh kepala pemain yang kerasukan. Suasana pertunjukan

bagi beberapa penonton acara ini menyenangkan, tetapi tidak sedikit juga

yang takut saat menyaksikannya.

2.3.2 Permainan Anak

Permainan anak di Banjar ternyata masih banyak yang bersifat

tradisional. Permainan itu antara lain:

1. Ucing dodok

2. Gundu

3. Congklak

4. Sondah

5. Bola bekel.

2.3.3 Mitos

Cadas Gantung

Mitos ini berasal dari Desa Rejasari, Kecamatan Langensari,

Kabupaten Banjar, Propinsi Jawa Barat. Cadas gantung memiliki makna

“batu gantung”, dimana ada sebuah batu yang tidak menempel pada tanah

tetapi dapat berdiri. Masyarakat setempat mempercayai bahwa batu

tersebut dapat memberi apa saja yang diminta, sehingga tempat itu

dijadikan tempat semedi bagi barangsiapa yang ingin meminta. Pada

jaman “togel” misalnya, banyak masyarakat yang datang dengan

membawa kotak korek api yang di bungkus dengan daun pisang. Setelah

bersemedi menurut cerita bila beruntung di dalam kotak korek api tersebut

telah tertulis angka yang akan keluar.

Menurut kesaksian tukang ojeg, dia pernah mengantarkan seorang

gadis ke Desa Rejasari dari kota Bandung. Selama di perjalanan tukang

ojeg tersebut sama sekali tidak merasakan hal-hal yang mencurigakan.

Sesampainya di Desa Rejasari, gadis itu meminta kepada tukang ojeg agar

berhenti tepat di depan batu gantung tersebut. Setelah member ongkos,

tukang ojeg itu kaget melihat ternyata wanita tersebut masuk ke dalam

batu tersebut. Tanpa piker panjang ia langsung kabur dari tempat tersebut

dan menceritakan kejadian tersebut pada warga Desa Rejasari keesokan

harinya.

Hingga saat ini batu itu masih ada, dan masih ada masyarakat setempat

yang bersemedi di tempat tersebut.

Mbah Bonar

Mbah bonar adalah seorang pawang buaya, menurut cerita masyarakat

ia dapat berbicara dengan buaya yang ada di sepanjang sungai.

Pekerjaannya sehari hari adalah menjaga manusia dari terkaman buaya.

Mbah bonar memiliki 4 orang anak, Suni, Iding, Unit, dan Iting. Mereka

tinggal di pinggir sungai.

Suatu hari ada seorang warga yang meminta tolong pada Mbah Bonar

karena salah satu anggota keluarganya hilang di sungai. Warga tersebut

takutkalau anggota keluarganya tersebut telah dimakan oleh buaya. Mbah

Bonar pun pergi ke hulu sungai, dia mengambil selembar daun sirih dan

mengucapkan mantera kemudian menjatuhkannya ke sungai. Perlahan

daun sirih tersebut mengalir mengikuti arus sungai diikuti oleh Mbah

Bonar. Tak beberapa lama kemudian, tiba-tiba daun sirih tersebut berhenti

pada suatu tempat, padahal arus sungai tetap mengalir. Mbah Bonar

langsung mengganti pakaiannya dan masuk ke dalam sungai tersebut.

Ketika sampai di dasar sungai, Mbah Bonar bertemu dengan sekumpulan

buaya, Mbah Bonar bertanya, “ Siapa di antara kalian yang telah memakan

manusia?”. Tak seekorpun dari buaya tersebut menjawabnya. Tak jauh dari

tempat kumpulan buaya tersebut ternyata ada seekor buaya yang

menyendiri. Mbah Bonar segera menghampiri buaya tersebut. Mbah Bonar

bertanya hal yang sama pada buaya tersebut, buaya tersebut kelihatan

ketakutan dan tak mau bergerak. Mbah Bonar melihat ada sesuatu yang

disembunyikan oleh buaya tersebut di bawahnya. Mbah Bonar

memerintahkan buaya tersebut agar beranjak dari tempatnya. Ternyata ada

gundukan pasir yang di dalamnya ada mayat manusia. Mbah Bonar

kemudian membujuk buaya tersebut agar mau ikut dengannya ke

permukaan. Mbah Bonar menjanjikan akan member buaya tersebut cincin

dan gelang emas apabila ia mau ke atas. Setelah me,beri mayat manusia

tersebut pada keluarganya, Mbah Bonar kemudian mengambil rotan dan

mengikat keempat kaki buaya tersebut. Setelah mengikatnya, Mbah Bonar

menarik rotan tersebut dan megikat rotan tersebut pada empat pohon

sesuai dengan letak kaki buaya tersebut. “Jika kamu kuat, cobalah dengan

sekuat tenagamu untuk melepaskan diri!” perintah Mbah Bonar. Buaya

tersebut meronta-ronta, tapi ia tak dapat melepaskan diri. Mbah Bonar

mengambil rotan yang lainnya dan memukul buaya tersebut. Buaya itu

hanya diam, dan meneteskan satu air mata kemudian dia mati.

Beberapa tahun kemudian Mbah Bonar meninggal dunia. Mbah Bonar

terkena kutukan karena pekerjaannya sebagai pawang buaya, maka setelah

ia meninggal maka ia akan berganti wujud menjadi seekor buaya.

Setelah tiga tahun meninggalnya Mbah Bonar, keempat anaknya

mengadakan selamatan untuk Mbah Bonar. Suatu hari iding bermimpi

tentang ayahnya, Mbah Bonar. Dalam mimpinya Mbah Bonar menyuruh

iding untuk tetap tinggal di tepi sungai, dan mencari penghasilan dari

sungai. Iding pun mematuhi permintaan ayahnya, pagi-pagi sekali dia

pergi ke sungai mencari ikan. Setiap dia melempar jalanya, selalu ada saja

ikan yang menempel di jalanya. Begitulah setiap harinya, Iding selalu

membawa ikan yang banyak untuk keperluan hidupnya. Pada saat hendak

mencari ikan, Iding berjumpa seekor buaya tepat di depannya. Buaya

tersebut anehnya tidak memiliki ekor, dan buaya tersebut hanya diam

meratap Iding. Iding teringat akan kutukan yang diterima ayahnya, ia

berkata pada buaya tersebut “jika kamu adalah ayahku, maka kamu jangan

bergerak, karena aku akan membuatkan kamu sebuah rumah!”. Buaya

tersebut hanya diam dan pasrah, Iding merasa pasti bahwa buaya tersebut

adalah jelmaan ayahnya. Iding mengangkat buaya tersebut dan

menaruhnya di dasar sungai yang paling dalam, namanya Pedungjama.

Banyak dari nasyarakat percaya kebenaran dari cerita ini, karena

hingga saat ini tidak pernah ada seorangpun anggota warga Desa Rejasari

yang di makan oleh buaya. Masyarakat percaya bahwa Mbah Bonar selalu

menjaga masyarakat di sekitar sungai dari terkaman buaya-buaya yang

datang dari desa-desa lain.

Iding, hingga sekarang masih tinggal di dekat sungai, dan merupakan

saksi kunci dari mitos ini. Sayangnya penulis tidak dapat bertemu langsung

dengan Iding karena jaraknya yang terlalu jauh.

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kota Banjar adalah kota kecil yang sudah cukup maju jika dilihat dari

segala aspek. Baik pemerintahan, pendidikan, kondisi setiap desa,

maupun ekonomi.

2. Kondisi kebahasaan di Kota Banjar ini bilingualisme. Penduduk

menggunakan bahasa Jawa dan Sunda. Hal ini disebabkan oleh

keadaan wilayah ini yang merupakan daerah perbatasan Jawa Barat

dan Jawa Timur. Keduanya saling memengaruhi.

3. Folklor di Kota Banjar ini masih ada namun sudah mulai pudar.

Folklor itu berupa mitos-mitos, kesenian daerah dan permainan anak

yang masih tradisional dan merupakan ciri khas Kota Banjar ini.

4. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini membawa dampak

yang sangat besar bagi kehidupan manusia, baik dari segi pekerjaan,

budaya, kebiasaan, adat-istiadat, dsb. Desa Rejasari misalnya,

kebiasaan dan budaya di masa lalu telah banyak ditinggalkan oleh

generasi saat ini. Generasi saat ini lebih nyaman dengan sarana dan

prasarana yang telah maju. Dapat kita lihat dari cara berpakaian, alat

komunikasi, internet, hingga permainannya sendiri. Permainan anak

yang sangat jelas terlihat, hanya beberapa terlihat jenis permainan

tradisional, mayoritas anak lebih menyukai permainan elektronik

seperti playstation.

5. Saya melihat hal ini dapat mengurangi nilai sosial atau kebersamaan di

wilayah tersebut, sifat egois dari manusia tersebut semakin lama

semakin besar seiring bergulirnya waktu. Kesenian yang saat ini masih

ada di Desa Rejasari tinggal beberapa saja, pemain kesenian tersebut

semakin sedikit. Hanya ada satu sanggar seni di Desa Rejasari, dan di

sanggar seni tersebut lebih berfungsi untuk menyimpan alat-alat

pertunjukan sedangkan untuk latihan hanya dipakai pada saat akan

diadakannya pertunjukan.

6. Peran pemerintah daerah sangat diperlukan untuk tetap menjaga

kesenian agar tidak hilang. Dapat dimulai dari pengadaan festival

kesenian masyarakat yang dapat memicu kembali kesadaran

masyarakat akan pentingnya menjaga kesenian tersebut. Kemudian

mengadakan penyuluhan, hingga membuat anggaran untuk peralatan

kesenian tersebut.

7. Kehidupan masyarakat di desa hanya akan kita dapatkan di desa saja,

kita tidak akan mendapatkan kehidupan tersebut saat di kota, tapi apa

yang akan terjadi saat kehidupan di desa telah terkontaminasi dengan

kehidupan kota yang penuh dengan keegoisan?

DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan

Awal). Jakarta: Rineka Cipta.

KETERANGAN INFORMAN

1. Nama : Samudin

Usia : 55 tahun

Pendidikan : D3 Pertanian

Pekerjaan : Ketua RT

Agama : Islam

2. Nama : Wasiatun

Usia : 45 tahun

Pendidikan : SMP

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Agama : Islam

3. Nama : Ade Suherman

Usia : 47 tahun

Pendidikan : SD

Pekerjaan : Kepala Dusun

Agama : Islam