laporan kinerja pusat ketersediaan dan kerawanan pangan...

89
BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN LAPORAN KINERJA PUSAT KETERSEDIAAN DAN KERAWANAN PANGAN TAHUN 2016

Upload: nguyendien

Post on 16-Mar-2019

251 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BADAN KETAHANAN PANGAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

LAPORAN KINERJA

PUSAT KETERSEDIAAN DAN KERAWANAN PANGAN

TAHUN 2016

Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan i

RINGKASAN EKSEKUTIF

Dalam mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan

(BKP) Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan telah

menyelenggarakan fungsinya dalam : (1) Penyiapan koordinasi di bidang peningkatan

ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan;

(2) Pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta

penurunan kerawanan pangan; (3) Penyiapan perumusan kebijakan di bidang

peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan

pangan; (4) Pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan

akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; (5) Pelaksanaan pemantapan di

bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan

kerawanan pangan; (6) Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di

bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan

kerawanan pangan; (7) Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang

peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan

pangan; (8) Pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang

peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan

pangan.

Mengacu visi, misi, arah, dan kebijakan BKP Kementerian Pertanian, disusun Visi

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2015-2019, yaitu: “Pemantapan

ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis sumberdaya

lokal untuk mewujudkan peningkatan kedaulatan pangan.”

Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

mengemban misi, yaitu: (1) Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan

perumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan

pangan, (2) Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya

local, (3) Memantapkan penurunan kerawanan pangan, (4) Membangun model-model

pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan secara

partisipatif dan transparan, (5)Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya

manusia pertanian

Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,

maka tujuan yang ingin dicapai adalah: (1) Menyusun dan menganalisis bahan rumusan

kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan , (2)

Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal, (3)

Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan, (4) Mengembangkan desa

dan kawasan mandiri pangan, (5) Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan

sumberdaya manusia pertanian.

Berdasarkan visi, misi, dan tujuan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,

serta mengakomodasi berbagai perubahan yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan

Pangan, disusun rencana kerja tahunan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Tahun 2016 dengan sasaran strategis yang hendak dicapai, yaitu : (1) Tersedianya

Laporan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan ii

bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan

pangan, (2) Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya

lokal; (3)Menurunnya persentase penduduk rawan pangan; (4) Berkembangnya desa

dan kawasan mandiri pangan; (5) Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan

sumberdaya manusia pertanian.

Meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan penanganan rawan pangan,

yang diukur dengan indikator kinerja: (1) Analisis Neraca Bahan Makanan sebanyak 34

laporan; (2) Sistem kewaspadaan pangan dan gizi pada 35 lokasi; (3) Kajian responsif

dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan sebanyak 1 judul; (4) Peta

ketahanan dan kerentanan pangan sebanyak 1 peta; (5) Kawasan mandiri pangan pada

187 kawasan; (6) Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan pada 33 lokasi; (7)

Pemberdayaan petani kecil dan gender pada 33.600 KK; (8) Dukungan produksi

pertanian dan pemasaran pada 26.880 KK; (9) Pengembangan rantai nilai tanaman

perkebunan pada 224 desa; (10) Dukungan manajemen dan administrasi SOLID

sebanyak 12 bulan layanan.

Tujuan dan sasaran strategis tersebut dicapai melalui Kebijakan ketahanan

pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan yang diarahkan untuk: (a)

Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi sumber daya

lokal; dan (b) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah

penduduk miskin dan kelaparan.

Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan

pangan dan penanganan rawan pangan, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran

sebesar Rp.250.064.227.000,00 telah direalisasikan sebesar Rp. 228.991.719.899,00

atau 91,57 persen yang dilaksanakan melalui Satker BKP Kementerian Pertanian, untuk

kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp. 17.524.834.000,00

telah direalisasikan sebesar Rp 13.237.639.642,00 atau 75,54 persen dan di daerah

sebesar Rp. 233.577.267.000,00 telah terealisasi sebesar Rp. 216.669.974.442,00 atau

92,76 persen.

Dalam hal akuntabilitas keuangan, laporan baru dapat menginformasikan realisasi

penyerapan anggaran, dan belum dapat menginformasikan adanya efisiensi

penggunaan sumberdaya. Hal ini diakibatkan oleh sistem penganggaran yang belum

sepenuhnya berbasis kinerja, sehingga salah satu komponen untuk mengukur efisiensi,

yaitu standar analisis biaya belum ditetapkan oleh instansi yang berwenang.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan iii

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN EKSEKUTIF i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

KATA PENGANTAR vi

BAB

I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi 1

II PERENCANAAN KINERJA 4

2.1 Rencana Strategis

1. Visi

2. Misi

3. Tujuan

4. Sasaran Strategis

5. Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran

6. Program

7. Rencana Kinerja Tahun 2016

4

4

4

4

5

5

6

8

III AKUNTABILITAS KINERJA 10

3.1 Capaian Kinerja 10

3.2 Realisasi Anggaran 20

3.3 Hasil Kinerja Tahun 2016 23

3.4 Capaian Kinerja Lainnya

3.5 Dukungan Instansi Lain

60

62

IV Penutup

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

64

64

65

LAMPIRAN

66

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan iv

Lampiran

Pernyataan Penetapan Kinerja Tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Formulir Penetapan Kinerja Tingkat Unit Organisasi Eselon II Kementerian/Lembaga

Matriks Rencana Aksi Pencapaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016

Matriks Target dan Realisasi Capaian Kinerja Berdasarkan PK Triwulan I-IV Tahun 2016

Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016

Tabel Perbandingan Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan v

DAFTAR TABEL

Tabel

Halaman

1 Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun

Anggaran 2016 9

2 Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016 11

3 Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016 14

4 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 21

5 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Daerah

22

6 Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Pusat dan Daerah

23

7 Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri

Pangan Tahun 2013-2016 24

8 Jumlah Sampel Per Provinsi Berdasarkan Kapasitas Penggilingan 53

9 Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel

55

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan vi

KATA PENGANTAR

Laporan Kinerja (LAKIN) ini disusun sebagai pertanggung jawaban atas

pelaksanaan Tugas Pokok dan Fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,

Badan Ketahanan Pangan selama menjalankan tugas-tugas kedinasan dan

dimaksudkan untuk mengetahui seberapa besar prestasi yang telah dicapai.

Melalui LAKIN ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada semua pihak

yang berkepentingan mengenai kinerja Pusat ketersediaan dan Kerawanan Pangan

yang telah dicapai dalam Tahun 2016. Terkait dengan hal itu diharapkan adanya

masukan-masukan sebagai umpan balik yang bermanfaat dan alternatif pemecahan

masalah-masalah yang dihadapi, yang semuanya mengarah pada peningkatan kinerja

aparat.

Kami menyadari bahwa laporan ini belum sepenuhnya sempurna, karena itu

saran konstruktif untuk pelaksanaan tugas dimasa mendatang sangat diharapkan.

Semoga laporan ini bermanfaat bagi peningkatan kinerja Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan.

Jakarta, Januari 2017

Kepala Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Dr. Benny Rachman, APU

NIP. 19590210 198603 1001

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan merupakan salah satu unit kerja Eselon II pada

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, sesuai Peraturan Menteri Pertanian Nomor

43/Permentan/OT.010/8/2015 tanggal 3 Agustus 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja

Kementerian Pertanian. Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mempunyai tugas

melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di

bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan. Sesuai dengan Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah,

mewajibkan setiap instansi pemerintah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan negara

untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas pokok dan fungsinya serta kewenangan

pengelolaan sumberdaya, pelaksanaan kebijakan, dan program dengan menyusun laporan

akuntabilitas melalui proses penyusunan rencana strategis, rencana kinerja, dan pengukuran

kinerja. Sehubungan dengan Inpres tersebut, setiap penyelenggara negara dan pemerintah

wajib melaporkan akuntabilitas kinerjanya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya

sehingga terjadi sinkronisasi antara perencanaan ideal yang direncanakan dengan keluaran

dan manfaat yang dihasilkan.

Untuk memberikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan (pemberi mandat dan

publik) tentang visi dan misi, tujuan dan sasaran yang akan dicapai, serta tingkat capaian

sasaran tersebut melalui program dan kegiatan yang telah ditetapkan, maka disusun Laporan

Akuntabilitas Kinerja (LAKIN) Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016.

LAKIN disusun sebagai : (1) pertanggungjawaban Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan dalam melaksanakan program dan kegiatannya selama tahun 2016; (2) untuk

mengetahui tingkat pencapaian atau keberhasilan program dan kegiatan yang dilakukan oleh

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan; (3) bahan untuk mengevaluasi kinerja Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016, termasuk permasalahan, penyelesaian

permasalahan dan saran masukan serta perbaikan kinerja Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan di masa datang.

1.2 Tugas Fungsi dan Struktur Organisasi

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 43/Permentan/OT.010/8/2015 tentang

Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan mempunyai tugas melaksanakan koordinasi, pengkajian, penyiapan perumusan dan

pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 2

pangan. Dalam melaksanakan tugas tersebut, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

menyelenggarakan fungsi :

1. penyiapan koordinasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta

penurunan kerawanan pangan;

2. pengkajian di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan

kerawanan pangan;

3. penyiapan perumusan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses

pangan serta penurunan kerawanan pangan;

4. pelaksanaan kebijakan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan

serta penurunan kerawanan pangan;

5. pelaksanaan pemantapan di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan akses pangan

serta penurunan kerawanan pangan;

6. penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria di bidang peningkatan ketersediaan

pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan;

7. pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang peningkatan ketersediaan pangan dan

akses pangan serta penurunan kerawanan pangan; dan

8. pelaksanaan pemantauan, evaluasi dan pelaporan kegiatan di bidang peningkatan

ketersediaan pangan dan akses pangan serta penurunan kerawanan pangan.

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan terdiri atas :

1. Bidang Ketersediaan Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Ketersediaan Pangan dan

Subbidang Sumberdaya Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan

koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan

norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan,

dan evaluasi di bidang peningkatan ketersediaan pangan;

2. Bidang Akses Pangan terdiri dari Subbidang Analisis Akses Pangan dan Subbidang

Pengembangan Akses Pangan yang mempunyai tugas melaksanakan penyiapan

koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan, pemantapan, penyusunan

norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian bimbingan teknis, pemantauan,

dan evaluasi di bidang akses pangan;

3. Bidang Kerawanan Pangan terdiri dari Subbidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan

Kerawanan Pangan dan Subbidang Mitigasi Kerawanan Pangan yang mempunyai tugas

melaksanakan penyiapan koordinasi, pengkajian, penyusunan dan pelaksanaan kebijakan,

pemantapan, penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria, serta pemberian

bimbingan teknis, pemantauan, dan evaluasi di bidang penurunan kerawanan pangan;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 3

4. Kelompok Jabatan Fungsional terdiri atas jabatan fungsional Analis Ketahanan Pangan,

dan dikoordinasikan oleh pejabat fungsional senior yang ditunjuk Kepala Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Tugasnya melakukan kegiatan sesuai dengan

jabatan fungsional berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan tugas dan fungsinya, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada Tahun

Anggaran 2016 telah berupaya mengoptimalkan tugas dan fungsinya melalui dukungan

sumberdaya manusia baik teknis maupun non teknis. Adapun dukungan sarana/prasarana

lainnya berupa biaya, data/informasi, alat pengolah data/komputer, dana khususnya dalam

melaksanakan pemantauan, pengkajian, dan perumusan kebijakan ketahanan pangan. Data

pendukung yang terkait diantaranya adalah data statistik (penduduk, statistik pertanian,

konsumsi/Susenas, status gizi, kemiskinan, industri, ekspor/impor, stok pangan, dan lain-lain)

secara series, serta data primer dan sekunder dari instansi terkait yang ada di pusat dan

daerah (provinsi dan kabupaten/kota).

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 4

BAB II

PERENCANAAN KINERJA

2.1 Rencana Strategis

Penyusunan LAKIN Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengacu pada Renstra

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019. Renstra yang disusun Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan untuk melaksanakan program dan kegiatan,

berdasarkan visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan sebagai berikut :

1. Visi

Visi merupakan suatu gambaran tentang keadaan masa depan yang berisikan cita dan

citra yang ingin diwujudkan. Visi adalah suatu harapan dan tujuan yang akan dicapai,

dalam mencapai visi tersebut memerlukan waktu yang panjang dan kerja keras, karena

akan berkembang sesuai dengan kondisi lingkungan pertanian khususnya pembangunan

ketahanan pangan.

Untuk itu, visi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019, yaitu :

“Pemantapan ketersediaan pangan dan penurunan kerawanan pangan berbasis

sumberdaya lokal untuk mewujudkan kedaulatan pangan dan kemandirian

pangan.”

2. Misi

Untuk mencapai visi di atas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

mengembangkan misi dalam tahun 2015 - 2019, yaitu :

a. Membangun koordinasi yang sinergi dan efektif untuk bahan perumusan kebijakan

peningkatan ketersediaan, akses dan penurunan kerawanan pangan

b. Memantapkan ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal

c. Memantapkan penurunan kerawanan pangan

d. Memantapkan akses pangan masyarakat

e. Membangun model-model pengembangan ketersediaan, akses dan penurunan

kerawanan pangan secara partisipatif dan transparan

f. Membangun kapasitas aparatur dan sumberdaya manusia pertanian

3. Tujuan

Sebagai penjabaran visi dan misi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, maka

tujuan yang ingin dicapai adalah :

a. Menyusun dan menganalisis bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan,

akses dan penurunan kerawanan pangan;

b. Meningkatkan penyediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal;

c. Menurunkan persentase jumlah penduduk rawan pangan;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 5

d. Mengembangkan Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;

e. Meningkatkan kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.

4. Sasaran Strategis

Sasaran strategis merupakan indikator kinerja dalam mencapai tujuan yang hendak

dicapai. Sasaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tahun 2015-2019 adalah:

a. Tersedianya bahan rumusan kebijakan peningkatan ketersediaan, akses dan

penurunan kerawanan pangan;

b. Meningkatnya ketersediaan pangan yang beragam berbasis sumber daya lokal;

c. Menurunnya persentase penduduk rawan pangan;

d. Berkembangnya Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;

e. Meningkatnya kualitas kinerja aparatur dan sumberdaya manusia pertanian.

5. Cara Pencapaian Tujuan dan Sasaran

Tujuan dan sasaran strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan tersebut,

ditempuh melalui strategi, kebijakan, program, dan kegiatan sebagai berikut :

a. Strategi

Memperhatikan strategi Badan Ketahanan Pangan yang meliputi : (1)

Memprioritaskan pembangunan ekonomi berbasis pertanian dan pedesaan untuk

meningkatkan produksi pangan domestik, menyediakan lapangan kerja dan

meningkatkan pendapatan masyarakat; (2) Pemenuhan pangan bagi kelompok

masyarakat terutama masyarakat miskin kronis dan transien (akibat bencana alam,

sosial, ekonomi) melalui pendistribusian bantuan pangan; (3) Pemberdayaan

masyarakat supaya mampu memanfaatkan pangan beragam, bergizi, seimbang dan

aman (B2SA) berbasis sumber daya dan kearifan lokal; (4) Promosi dan edukasi

kepada masyarakat untuk memanfaatkan pangan B2SA berbasis sumber daya lokal;

dan (5) Penanganan keamanan pangan segar.

Adapun strategi yang akan ditempuh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

2015-2019 untuk peningkatan ketersediaan dan penurunan kerawanan pangan

meliputi:

1) Memobilisasi dan mengoptimalkan sumberdaya dan kemampuan (experties)

yang ada (birokrasi, masyarakat, dan pakar setempat);

2) Memobilisasi sumberdaya (alam, finansial, sosial, teknologi) - daerah dan

masyarakat;

3) Memanfaatkan bantuan teknis dari negara-negara asing dan lembaga

internasional.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 6

Strategi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam pengembangan

ketersediaan dan penanganan rawan pangan diimplementasikan melalui langkah-

langkah operasional sebagai berikut :

(a) Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan Dan Gizi (SKPG);

(b) Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah;

(c) Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan;

(d) Model Desa dan Kawasan Mandiri Pangan;

(e) Peningkatan kapasitas aparat;

(f) Menggerakkan berbagai komponen masyarakat dan pemerintah untuk

memobilisasi sumber daya untuk meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga

dan masyarakat.

b. Kebijakan

Kebijakan ketahanan pangan dalam aspek ketersediaan dan kerawanan pangan

difokuskan pada :

1) Peningkatan ketersediaan pangan yang beraneka ragam berbasis potensi

sumber daya lokal; dan

2) Memantapkan penanganan kerawanan pangan untuk mengurangi jumlah

penduduk miskin dan rawan pangan.

6. Program

Program yang dilaksanakan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun

2015–2019 sesuai dengan program Badan Ketahanan Pangan tahun 2015-2019 yaitu

“Program Peningkatan Diversifikasi dan Ketahanan Pangan Masyarakat”.

Dalam rangka mencapai sasaran program Badan Ketahanan Pangan tersebut, sasaran

program yang hendak dicapai oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan adalah

pengembangan model-model peningkatan ketersediaan dan penanganan kerawanan

pangan. Hal ini dilakukan dengan menggerakkan berbagai komponen masyarakat dan

pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat untuk memobilisasi,

memanfaatkan, dan mengelola aset setempat (sumberdaya alam, sumberdaya manusia,

sumberdaya finansial, sumberdaya fisik/teknologi serta sumberdaya sosial) untuk

meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga dan masyarakat, dengan kegiatan

strategis yang terdiri dari :

a. Penguatan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi, adalah kegiatan yang

dilakukan untuk pencegahan dan penanggulangan terjadinya bencana rawan pangan

kronis dan transien. Penanganan kerawanan pangan kronis dilakukan dengan

penerapan instrumen Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG), melalui tahap

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 7

pengumpulan data, analisis, pemetaan, investigasi dan intervensi. Sedangkan untuk

penanganan kerawanan pangan transien dilakukan melalui investigasi dan intervensi.

b. Model Kawasan Mandiri Pangan, merupakan kegiatan pemberdayaan masyarakat

miskin yang mempunyai potensi komoditas unggulan di kawasan rawan pangan,

khususnya di wilayah kepulauan dan perbatasan, untuk mewujudkan ketahanan

pangan masyarakat dengan pendekatan penguatan kelembagaan masyarakat,

pengembangan sistem ketahanan pangan dan koordinasi lintas sektor, selama empat

tahun secara berkesinambungan. Model kawasan mandiri pangan merupakan

pengembangan kegiatan desa mandiri pangan yang telah dilaksanakan sebelumnya.

c. Analisis ketahanan dan kerentanan pangan wilayah (Peta Ketahanan dan

Kerentanan Pangan/Food Security and Vulnerability Atlas, FSVA), adalah

kegiatan yang dilakukan untuk menyediakan informasi bagi pengambil keputusan

dalam perencanaan program, penentuan sasaran/lokasi, penanganan kerawanan

pangan dan gizi di tingkat provinsi, kabupaten, dan kecamatan dan desa.

d. Kajian ketersediaan, akses dan kerawanan pangan, adalah kegiatan dalam

rangka penyediaan data dan informasi serta hasil analisis, secara berkala dan

berkelanjutan untuk perumusan kebijakan dan program ketersediaan, rawan pangan

dan akses pangan, antara lain melalui pemantauan ketersediaan pangan,

sinkronisasi sub sektor dan lintas sektor, penyusunan neraca bahan makanan,

penyusunan dan analisis sumberdaya pangan, monitoring dan analisis situasi akses

pangan, pengembangan akses pangan, penyebarluasan informasi ketersediaan,

kerawanan dan akses pangan.

e. Peningkatan kapasitas aparat, adalah rangkaian kegiatan untuk meningkatkan

kemampuan apparat dalam metode pengumpulan, pengolahan, dan analisis data

serta evaluasi kegiatan dalam pelaksanaan pemantauan produksi, penanggulangan

rawan pangan, pengembangan akses pangan bagi aparat di daerah dan pusat.

Indikator sasaran output kegiatan pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan

daerah rawan pangan pada tahun 2016 adalah : (a) Hasil analisis ketersediaan pangan

34 laporan; (b) Pengembangan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 lokasi;

(c) Hasil kajian responsif dan antisipatif ketersediaan dan kerawanan pangan 1 judul;

(d) Hasil Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 peta FSVA;

(e) Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan di 188 kawasan; (f) Hasil pemantauan

ketersediaan, akses dan kerawanan pangan 33 lokasi; (g) pemberdayaan petani kecil dan

gender di 33.600 KK; (h) Pengembangan Kepala Keluarga yang mendukung produksi

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 8

pertanian dan pemasaran 26.880 KK; (i) Desa yang mengembangkan rantai nilai

tanaman perkebunan 224 desa; (j) Kelancaran dukungan manajemen dan administrasi

SOLID 12 bulan layanan.

7. Rencana Kinerja Tahun 2016

Rencana kinerja pada tahun 2016 merupakan implementasi rencana jangka menengah

yang dituangkan kedalam rencana kerja jangka pendek, yang mencakup tujuan, sasaran

kegiatan dan indikator kinerja berikut :

a. Sasaran Kinerja Tahun 2016

Berdasarkan visi, misi dan tujuan strategis Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan Tahun 2016 yang masih mengacu pada Renstra Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan Tahun 2015-2019, serta mengakomodasi berbagai perubahan

yang terjadi di lingkup Badan Ketahanan Pangan, disusun sasaran strategis Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 yang hendak dicapai, dengan

indikator kinerja sebagai berikut :

1) Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan 34 Laporan

2) Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi 35 Lokasi

3) Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan 1 Judul

4) Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 1 Peta FSVA

5) Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 188 kawasan

6) Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan 33

lokasi

7) Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender 33.600 KK

8) Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran26.880 KK

9) Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan 224 Desa

10) Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID 12 bulan layanan

b. Penetapan Kinerja

Sebagai tindaklanjut Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian

Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi

Pemerintah, Badan Ketahanan Pangan telah menyusun Penetapan Kinerja (PK)

Tahun 2016 sebagai acuan tolok ukur evaluasi akuntabilitas kinerja yang akan

dicapai pada tahun 2016, sebagai berikut :

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 9

Tabel 1. Penetapan Kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Tahun 2016

Unit Organisasi Eselon II : Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Tahun Anggaran : 2016

Sasaran Strategis Indikator Kinerja Target

(1) (2) (3)

1. Meningkatnya pemantapan ketersediaan

dan penanganan rawan pangan

1. Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan

2. Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan

Pangan dan Gizi 3. Jumlah Hasil Kajian Responsif dan

Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan 4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan

Kerentanan Pangan

5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan 6. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan,

Akses dan Kerawanan Pangan

7. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender

8. Jumlah KK yang mendukung produksi

pertanian dan pemasaran 9. Jumlah desa yang mengembangkan

rantai nilai tanaman perkebunan

10. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID

34 Laporan 35 Lokasi

1 Judul

1 Peta FSVA

188 kawasan 33 lokasi

33.600 KK

26.880 KK 224 Desa

12 Bulan Layanan

Jumlah Anggaran :

Kegiatan Pengembangan Ketersediaan Pangan dan Penanganan Kerawanan

Pangan sebesar Rp. 250.064.227.000,--

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 10

BAB III

AKUNTABILITAS KINERJA

3.1 Capaian Kinerja

Sasaran program dan kegiatan yang dilaksanakan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan yang digunakan pada tahun 2016 mengacu pada sasaran yang telah disusun pada

Rencana Strategis (Renstra), Indikator Kinerja Utama (IKU) dan Penetapan Kinerja (PK), serta

mengikuti perubahan kebijakan dan lingkungan strategis Badan Ketahanan Pangan

Kementerian Pertanian. Berdasarkan Indikator Kinerja Utama Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan telah ditetapkan satu sasaran strategis, yaitu meningkatnya pemantapan

ketersediaan dan penanganan rawan pangan. Sasaran tersebut selanjutnya diukur dengan

menggunakan 8 (delapan) indikator kinerja. Pengukuran tingkat capaian kinerja Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan Tahun 2016 dilakukan dengan cara :

1. Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016

Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dapat dilihat dari realisasi

kinerja yang telah dilakukan selama satu tahun terhadap target yang telah disusun dalam

penetapan kinerja (Renstra). Perbandingan tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. Perbandingan Target dan Realisasi Kinerja Tahun 2016

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja Target Realiasi % Capaian Kinerja

1 2 3 4 5

Meningkatnya pemantapan ketersediaan dan penanganan rawan pangan

1. Jumlah Hasil Analisis Ketersediaan Pangan

2. Jumlah Lokasi Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi

3. Jumlah Hasil Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

4. Jumlah Analisis Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

5. Jumlah Kawasan Mandiri Pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan)

34 Laporan 35 Lokasi 1 Judul 1 Peta FSVA 107 kawasan

34 Laporan 35 Lokasi 1 Judul 1Peta FSVA 103 kawasan

100 100 100 100 96.26

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 11

6. Jumlah Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan reguler

7. Jumlah Hasil Pemantauan Ketersediaan, Akses dan Kerawanan Pangan

8. Jumlah KK pemberdayaan petani kecil dan gender

9. Jumlah KK yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran.

10. Jumlah desa yang mengembangkan rantai nilai tanaman perkebunan.

11. Dukungan Manajemen dan Administrasi SOLID

85 kawasan 33 lokasi 33.600 KK 26.880 KK 224 Desa 12Bulan

Layanan

85 kawasan 33 lokasi 33.600 KK 26.880 KK 224 Desa 12Bulan Layanan

100 100 100 100 100 100

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa target Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan yang telah ditetapkan sebelumnya, telah terlaksana seluruhnya dengan capaian

kenerja sebesar 100 persen untuk setiap target yang telah ditetapkan, namun untuk

kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di Papua dan Papua Barat, Kepulauan Perbatasan

target capaian 96,26%. Hal ini disebabkan 4 kabupaten pelaksana Kawasan mandir

Pangan di Mahakam Hulu (Kalimantan Timur), Kawasan di Kabupaten Nunukan

(Kalimantan Timur), Indragiri Hulu (Riau), Kawasan di Kabupaten Rote Ndao (NTT) tidak

melaksanakan kgiatan. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja Pusat Ketersediaan dan

Kerawanan Pangan dapat dikatakan berhasil (capaian kinerja antara 80 hingga 100 %).

Kawasan di Mahakam Hulu (Kaltara), disebabkan oleh pemekaran wilayah yang semula

wilayah Kawasan merupakan bagian dari wilayah admnistratif di Kaltim dengan

pemekaran provinsi wilayah tersebut menjadi wilayah Kaltara. Sedangkan Kawasan di

kabupaten Inhil (Riau), tidak terlaksana disebabkan SDM Aparat kabupaten kurang siap

dalam melaksanakan kegiatan sehingga proses pendampingan tidak terlaksana. Untuk

Kawasan di Kabupaten Rote ndao (NTT), kawasan tidak terlaksana disebabkan

pemanfaatan dana tidak sesuai dengan RUK yang dibuat kelompok. Kawasan di

Kabupaten Nunukan (kaltim) dana bansos tidak dicairkan disebabkan karena tidak

adanya tenaga pendamping sehingga kelompok yang ditumbuhkan tidak paham maksud

dan tujuan kegiatan.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 12

Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara

Peningkatan Kesejahteraan Petani Kecil (SOLID) di Maluku dan Maluku Utara. Kegiatan

tersebut antara lain pemberdayaan petani kecil dan Gender, dan kegiatan rumah tangga

yang mendukung produksi pertanian dan pemasaran. Program SOLID dilaksanakan di

224 desa dan dirasakan manfaatnya oleh 217 desa atau 92,72% , yang terdiri dari 33.600

KK (100% dar target sasaran 33.600 KK) dan tergabung ke dalam 26.363 Kelompok

Mandiri (KM) (98% dari target sasaran 26.880 KM). Fasilitas permodalan dalam bentuk

dana hibah prestasi atau Matching Fund (MF) dan dana bergulir atau Revolving Fund

(RF) diberikan kepada KM untuk membiayai usaha produktif yang dijalankan oleh KM

maupun anggota KM. Sampai dengan akhir tahun 2016, total dana MF dan RF yang

disalurkan kepada KM masing-masing sebesar Rp. 30.352 Milyar dan Rp. 72.840 Milyar.

Selain Fasilitasi permodalan pada tahun 2016 KM menerima fasilitasi pelatihan-pelatihan

teknik, demplot, sekolah lapang, anjang karya, serta bantuan sarana dan prasarana untuk

KM. Fasilitasi permodalan pelatihan pengembangan kapasitas serta sarana dan

prasarana yang diberikan kepada KM berpengaruh terhadap perkembangan kegiatan

produktif yang diusahakan oleh KM.

Berdasarkan hasil survei tahun 2016, peningkatan hasil produksi pertanian dialami oleh

hamper semua responden SOLID. Peningkatan produksi pertanian responden tersebut

terjadi pada hamper semua komoditi/produk yang diusahakan, kecuali produk olahan

pala. Peningkatan tersebut terkait dengan penggunaan teknologi baru, teknologi

perbanyakan benih, teknik budidaya tanaman dan lain-lain. Meskipun produksinya

dilaporkan meningkat hanya 59% responden yang menyatakan bahwa pendapatan

mereka naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Adanya peningkatan produksi pertanian dan pendapatan tersebut berpengaruh terhadap

situasi ketahanan pangan responden SOLID. Dari seluruh responden, hanya 25% yang

melaporkan mengalami kekurangan pangan selama 12 bulan terakhir. Akan tetapi

responden tersebut sebagian besar mengalami kekurangan pangan selama 1-2 minggu

(Grafik A), relative lebih singkat apabila dibandingkan dengan durasi kekurangan pangan

yang dialami oleh sebagian besar responden pada tahun 2012 dan 2014..

Kendala SOLID : (1) Beberapa kegiatan yang harus dilakukan di awal tahun harus

tertunda karena adanya pemblokiran ; (2) Pencairan dana di tahun 2015 masih disalurkan

di tahun 2016; (3) Proses identifikasi yang agak terlambat karena belum siapnya

masyarakat dalam penyusunan Rencana Usaha .

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 13

Total anggaran yang dialokasikan untuk mencapai keberhasilan indicator penurunan

jumlah penduduk rawan pangan adalah sebesar Rp. 250.064.227.000 dengan realisasi

anggaran sebesar Rp. 244.304.341.000 atau 91,57%

2. Perbandingan Realisasi Kinerja Serta Capaian Kinerja Tahun Ini Dengan Beberapa

Tahun Terakhir

Penetapan indikator kinerja untuk mencapai sasaran strategis mengalami perubahan dari

tahun 2012 – 2014. Hal tersebut terkait dengan perubahan organisasi Badan Ketahanan

Pangan berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 61/Permentan/OT.140/10/2010

tanggal 14 Oktober 2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Pertanian.

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengalami perubahan struktur organisasi

yaitu dari yang sebelumnya terdiri dari Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang Kerawanan

Pangan dan Bidang Cadangan Pangan menjadi Bidang Ketersediaan Pangan, Bidang

Kerawanan Pangan dan Bidang Akses Pangan.

Capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga dapat dilihat dari

realisasi kinerja selama lima tahun terakhir berdasarkan Rencana Strategis Jangka

Menengah Tahun 2012-2016. Capaian tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 14

Tabel 3. Perbandingan Realisasi Kinerja dan Capaian Kinerja Tahun 2012-2016

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Kinerja (%)

2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)

1. Jumlah desa yang diberdayakan Demapan (reguler dan kawasan 2013)

3.414 1.625 798 - - 3.414 1.625 798 100 100 100

2. Analisis penanganan daerah/lokasi rawan pangan, SKPG

444 455 455 456 444 455 455 456 100 100 100 100

3. Jumlah hasil penyusunan FSVA Provinsi

100 1 15 1 58 100 1 15 1 58 100 100 100 100 100

4. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan

34 36 36 72 1

37 1

34 36 36 72 1

37 1

100 100 100 100 100

100 100

5. Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat

132 8 7 2 1 132 8 7 2 1 100 100 100 100 100

6. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan

429 - 429 - 100 -

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 15

Sasaran Strategis

Indikator Kinerja Target Realisasi Capaian Kinerja (%)

2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016 2012 2013 2014 2015 2016

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11) (12) (13) (14) (15) (16) (17)

14. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua dan Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang diberdayakan)

107 107 107 103 100 96,26

15. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2015

- - - 85 85 - - - 85 85 - - - 100 100

16. Pengembangan akses pangan

- - - 3 1 - - - 3 1 - - - 100 100

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 16

Berdasarkan tabel diatas walaupun realisasi kinerja mengalami perubahan satuan maupun jumlah

target di setiap tahunnya, akan tetapi capaian kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

menunjukkan capaian 80-100 persen di setiap tahun untuk masing-masing target. Adanya

perubahan yang terjadi ditahun-tahun tertentu dapat dijelaskan sebagai berikut:

- Capaian kinerja untuk kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sampai dengan tahun 2016 secara

keseluruhan terealisasi dari segi keprograman, namun pada tahun 2016 terjadi penurunan

sasaran yang dikarenakan terjadinya pemotongan anggaran dan perubahan kelembagaan di

daerah.

- Pada tahun 2016, Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Papua-Papua Barat, Kepulauan dan

Perbatasan telah memasuki Tahap Kemandirian. Alokasi dana bansos sebesar 200 juta di 107

kawasan Mandiri Pangan, 59 Kabupaten di 13 Provinsi (Aceh, Sumut, Riau, Kepri, Babel,

Kalbar, Kaltim, Sulut, NTT, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat). Sedangkan kegiatan

Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar wilayah Papua-Papua Barat, Kepulauan dan

Perbatasan) yang ditumbuhkan tahun 2015 telah memasuki Tahap Penumbuhan. Jumlah

lokasi kawasan yang diberdayakan sebanyak 85 kawasan, 85 kabupaten dan di 24 Provinsi.

Hasil capaian kinerja baik di Pusat maupun di daerah telah mencapai 100 persen untuk

kegiatan Kawasan Mandiri Pangan.

Kawasan Mandiri Pangan tahun tidak mencapai 100 % atau sebesar 98,16 %, karena ada 2

(dua) kawasan yang tidak terbentuk karena tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum

Pengembangan Kawasan mandiri Pangan yaitu di Kabupaten Rote Ndao yaitu kawasan Rote

Barat Daya dan Rote Barat.

Pada tahun 2015, kegiatan Desa Mandiri Pangan tetap dikembangkan dalam 2 (dua) model,

yaitu (1) Kegiatan Desa Mapan Reguler yang merupakan kelanjutan pembinaan dari desa

yang sudah ada, dan (2) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di 192 kawasan dengan jumlah

desa rata-rata 3 desa per kawasan. Realisasi pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan

sebanyak 150 kawasan atau 78,40%, karena ada 42 kawasan yang tidak terlaksana karena

tidak sesuai dengan CPCL atau Pedoman Umum Pengembangan Kawasan mandiri Pangan,

perpindahan lokasi sasaran pada pertengahan tahun 2015, pemekaran wilayah desa.

- Kegiatan Desa Mandiri Pangan telah memasuki tahap kemandirian sesuai target keprograman

pada tahun 2015 dan merupakan tahun terakhir kegiatan Desa Mandiri Pangan yang dibiayai

dari anggaran APBN, keberlanjutan pembinaan akan dilakukan oleh Provinsi dan Kabupaten.

- Capaian kinerja untuk penyusunan FSVA dari tahun 2010 hingga tahun 2014 ini secara

keseluruhan berturut-turut telah terealisasi 100 persen. Perbedaan jumlah realisasi kerja untuk

setiap tahunnya disebabkan karena perbedaan output dan sasaran penyusunan FSVA.

Pada tahun 2010, penyusunan FSVA ditujukan pada tingkat provinsi, sehingga dihasilkan

14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2011,

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 17

penyusunan FSVA merupakan kelanjutan dari FSVA 2010, sehingga dihasilkan 18

laporan di tingkat provinsi (bagi provinsi yang belum menyusun FSVA pada tahun 2010)

dan 1 laporan di tingkat pusat. Pada tahun 2012 telah disusun FSVA tingkat kabupaten,

sehingga di hasilkan 100 laporan untuk kabupaten yang masuk dalam prioritas satu

hingga tiga berdasarkan FSVA Nasional 2009. Pada tahun 2013, disusun kembali FSVA

tingkat Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai

dengan level kabupaten, sehingga diperoleh 1 laporan. Sedangkan pada tahun 2014 ini,

penyusunan FSVA ditujukan untuk pemutakhiran data FSVA provinsi tahun 2010

sehingga dihasilkan 14 laporan di tingkat provinsi dan 1 laporan di tingkat pusat.

Sedangkan pada tahun 2015, penyusunan peta ketahanan dan kerentanan pangan

(FSVA) Nasional yang menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai

dengan level kabupaten (pemutahiran data FSVA tahun 2013). Kegiatan penyusunan

FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA Nasional sebanyak 1

Buku atau terealisasi 100 persen. Kemudian pada tahun 2016 menyusun 58 FSVA

kabupaten, terdiri dari 44 kabupaten prioritas 1 dan 14 kabupaten prioritas 2 berdasarkan

FSVA Nasional tahun 2015.

- Kegiatan pengembangan akses pangan tahun 2016 terdiri dari kegiatan peningkatan kapasitas

sumber daya pertanian (1 dokumen), peningkatan akses pangan (1 dokumen) serta

pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND (1 dokumen).

- Pelaksanaan SKPG dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2015 dilaksanakan di seluruh

provinsi dan kabupaten, sedangkan untuk tahun 2016 hanya di 34 Provinsi yang mendapatkan

kegiatan SKPG yang dialokasikan dana APBN.

- Hasil kajian ketersediaan pangan, rawan pangan, dan akses pangan :

Pada tahun 2010 dan 2011 output dari indikator ini berupa provinsi yang menyusun

analisis ketersediaan pangan yaitu sebanyak 33 provinsi.

Sedangkan pada tahun 2012 hingga 2016 output dari indikator ini berupa laporan.

Laporan pada tahun 2012 ditujukan pada penyusunan Neraca Bahan Makanan di tingkat

provinsi sejumlah 33 buku dan di tingkat nasional sejumlah 1 buku serta satu laporan

Analisis Situasi Akses Pangan dan satu laporan Pengembangan Akses Pangan, sehingga

secara keseluruhan berjumlah 36 laporan. Walaupun dalam penetapan kinerja tahun

2012 hanya tertulis target sebanyak 34 laporan tetapi dihasilkan 36 laporan. Hal tersebut

juga terjadi pada tahun 2013 dan 2014.

Untuk tahun 2016, indikator ini berupa laporan dan dokumen. Hasil kajian ketersediaan

pangan, rawan pangan, dan akses pangan pada tahun 2016 terdiri dari 35 laporan

penyusunan NBM, 1 laporan analisis situasi akses pangan, 35 laporan kajian evaluasi

dampak desa mandiri pangan, 1 laporan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan

dan 1 dokumen Kemandirian Pangan dalam mendukung Swasembada Pangan.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 18

Pada TA.2016, hasil Kajian Responsive dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan, outputnya barupa bahan rekomendasi pengembangan ketahanan pangan dan

energi untuk kawasan perbatasan.

- Penguatan kapasitas aparat dan masyarakat

Pada tahun 2016 peningkatan kapastas aparat Kabupaten dan Provinsi berupa : pelatihan

penyusunan analisis penanganan kerawanan pangan melalui Sistem Kewaspadaan

Pangan dan Gizi (SKPG) untuk 34 provinsi dimana setiap provinsi diwakili oleh 2 aparat

sehingga secara keseluruhan berjumlah 116 aparat. Output yang diharapkan berupa

tersedianya laporan hasil situasi kerawanan pangan din gizi.

Peningkatan kapasitas pendamping, pengurus LKK/pengurus FKK kegiatan Kawasan

Mandiri Pangan dilaksanakan 2 kali, yaittu bagi pelaksana kegiatan kawasan Mandiri

Pangan wilayah Perbatasan, Kepulauan, Papua-Papua Barat dan pelaksana Kawasan

Mandiri Pangan regular diluar wilayah tersebut. Output yang diharapkan adalah

terlaksananya kegiatan Kawasan Mandiri Pangan sesuai tujuan dan sasaran kegiatan pada

wilayah pelaksana KMP.

3. Analisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta

alternatif solusi yang telah dilakukan;

Analisis penyebab keberhasilan jika dilihat dari kedua tabel di atas dapat disimpulkan hal-hal

sebagai berikut :

a. Hambatan dan Permasalahan

Dari hasil evaluasi kinerja berbagai kegiatan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan,

ditemui beberapa permasalahan dan kendala utama dalam pelaksanaan kegiatan selama

tahun 2016 sebagai berikut :

1) Kesulitan dalam memperoleh data dan informasi untuk menghasilkan analisis yang

akurat, karena data dan informasi sering dianggap bukan kegiatan prioritas;

2) Terbatasnya dukungan anggaran untuk pelaksanaan pembinaan, monitoring dan

evaluasi menyebabkan petugas Kabupaten/Kota jarang melakukan kunjungan

lapangan ke kelompok sasaran;

3) Tingginya mutasi pegawai di daerah, sangat mempengaruhi kinerja daerah dan

kemampuan pegawai daerah dalam melakukan berbagai kegiatan yang terkait dengan

pengembangan ketersediaan pangan dan penanganan kerawanan pangan;

4) Kawasan Mandiri Pangan: (a) jumlah KK miskin hasil DDRT tidak semua menjadi

anggota kelompok afinitas, karena alokasi anggaran terbatas; (b) koordinasi provinsi

dan kabupaten melalui forum Dewan Ketahanan Pangan (DKP) belum optimal; (c)

pembinaan pandamping masih belum optimal; dan (d) kurangnya dukungan daerah

dalam keterpaduan/sinergitas kegiatan untuk mempercepat pembangunan di lokasi;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 19

5) Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan SKPG diantaranya yaitu :

a) Ketersediaan data untuk analisis SKPG yaitu data yang sesuai dengan indikator

SKPG yang ditetapkan, tidak seluruhnya dapat tersedia disetiap wilayah;

b) Terkait Tim Pokja SKPG dan koordinasinya : (i) beberapa provinsi dan kabupaten

belum membentuk Tim SKPG; (ii) efektifitas kerja Tim SKPG belum berjalan

optimal. Hal ini berdampak pada proses analisis data dan pelaporan rutin oleh

provinsi; (iii) Koordinasi dengan dinas terkait dalam melakukan pemantauan dan

mengumpulkan data tidak semuanya berjalan dengan baik;

c) Aparat di beberapa daerah masih belum memahami kegiatan SKPG sebagai sistem

pemantauan pangan dan gizi serta alat analisis;

d) Sering terjadinya mutasi pejabat/pegawai yang menangani kegiatan SKPG,

sehingga menghambat proses analisis SKPG.

6) Hambatan dan permasalahan dalam penyusunan analisis ketersediaan pangan di

daerah antara lain :

a) Kurangnya SDM atau aparat yang menangani analisis ketersediaan pangan di

daerah yang mengakibatkan terhambatnya penyusunan analisis ketersediaan

pangan.

b) Belum semua Provinsi/Kabupaten terbentuknya tim NBM sehingga sulit untuk

berkoordinasi lintas instansi dalam hal pengumpulkan data.

c) Belum adanya angka konversi wilayah (Provinsi/Kabupaten/Kota) yang lebih bisa

menggambarkan kondisi wilayah setempat.

d) Banyak komoditas atau jenis pangan lokal yang belum masuk dalam NBM padahal

komoditas tersebut merupakan potensi wilayah.

e) Belum dimanfaatkannya hasil analisis ketersediaan pangan sebagai dasar

mengambil kebijakan.

f) Kurangnya dukungan dana APBD untuk kegiatan analisis ketersediaan pangan,

walaupun hasil analisis tersebut sangat bermanfaat sebagai bahan kebijakan atau

perencanaan.

7) Beberapa permasalahan berkaitan dengan pemanfaatan dana hibah AGFUND:

a) LKD Naka Mura Desa Madukoro

- Pemahaman pengurus tentang isi AD/ART yang telah disepakati oleh seluruh

anggota LKD Nakamura masih kurang,

- Anggota kelompok yang meminjamkan dana di LKD Naka Mura yang berasal

dari luar Desa Madukoro tidak berasal dari desa pelaksana program Desa

Mandiri Pangan maupun Desa Replika Mandiri Pangan.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 20

- Usaha produktif yang dibiayai dari pinjaman dana AGFUND tidak hanya untuk

sektor pertanian dalam arti luas, tetapi juga berbagai sektor usaha.

- SDM yang mengelola dana hibah AGFUND masih sangat terbatas

pengetahuannnya terutama dalam administrasi.

b) LKD Muntuk Lestari, Desa Muntuk

- Anggota kelompok LKD Munthuk Lestari sebagian besar merupakan pengrajin,

sehingga apabila pemanfaatannya lebih besar untuk usaha produktif pertanian

dikhawatirkan tingkat kegagalannya tinggi (resiko tinggi) karena tidak punya

pengalaman dalam bidang pertanian.

- Untuk kelompok budidaya tanaman padi dan budidaya perikanan, pencairan

dana AGFUND sedikit mundur. Hal ini disebabkan karena pemanfaatan dana

menunggu datangnya musim hujan yang datangnya terlambat.

8) Beberapa permasalahan pada kegiatan monitoring akses pangan di tingkat

penggilingan antara lain : (a) Pengklasifikasian kapasitas penggilingan berdasarkan

ketentuan BPS berbeda dengan kondisi di lapangan; (b) Ada beberapa penggilingan

berhenti beroperasi; (c) Data tidak dapat dikumpulkan sebagaimana yang diharapkan,

karena pergantian beberapa enumerator kabupaten.

b. Upaya yang dilakukan

Berbagai upaya yang dilakukan oleh Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan dalam

rangka mengatasi permasalahan antara lain :

1) Meningkatkan koordinasi lintas sektor terkait penyediaan data dan informasi dan

meningkatkan koordinasi antara Pusat dan Daerah;

2) Untuk kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan, disarankan untuk (a)

Peninjauan metodologi; dan (b) Peninjauan klasifikasi kapasitas penggilingan.

3.2 Realisasi Anggaran

Untuk mendukung pelaksanaan kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan TA.

2016 telah dialokasikan anggaran melalui Satker BKP Kementerian Pertanian untuk alokasi

anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan sebesar Rp.17.524.834.000 telah

direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen dengan rincian per kegiatan

sebagai berikut :

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 21

Tabel 4. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

KETERANGAN

BKP PUSAT

PAGU REALISASI %

Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan - - -

Penguatan sistem kewaspadaan pangan

dan gizi

750,000,000

641,073,750 85.48

Kajian Responsif dan Antisipatif

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

345,060,000

113,768,358 32.97

Peta ketahanan dan kerentanan pangan

600,000,000

420,833,180 70.14

Kawasan Mandiri Pangan

993,140,000

905,105,475 91.14

Pemantauan ketersediaan dan

kerawanan pangan

2,538,635,000 1,895,055,741 74.65

Dukungan manajemen dan administrasi

SOLID

11,260,125,000 8,345,908,953 74.12

Dukungan manajemen dan administrasi

PUSAT

1,037,874,000

915,894,185 88.25

TOTAL

17,524,834,000 13,237,639,642 75.54

Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan

penanganan rawan pangan di daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran sebesar

Rp. 233,577,267,000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 216,669,974,442 atau 92.76 persen

dengan rincian sebagai berikut :

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 22

Tabel 5. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Daerah

KETERANGAN

BKP DAERAH

PAGU REALISASI %

Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan 1,815,081,000

1,707,994,700 94.10

Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi

5,079,897,000

4,612,029,419 90.79

Kawasan Mandiri Pangan 26,524,051,000

23,726,999,058 89.45

Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan

5,638,363,000

5,104,152,510 90.53

Pemberdayaan petani kecil dan gender 19,588,600,000

18,681,073,000 95.37

Dukungan produksi pertanian dan pemasaran

130,578,050,000

121,034,192,549 92.69

Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan

4,953,150,000

4,712,413,000 95.14

Dukungan manajemen dan administrasi SOLID

39,400,075,000

37,091,120,206 94.14

TOTAL 233,577,267,000

216,669,974,442 92.76

Untuk mendukung sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan

penanganan rawan pangan di Pusat dan Daerah, pada tahun 2016 dialokasikan anggaran

sebesar Rp. 250.064.227.000 dan telah terealisasi sebesar Rp. 228.991.719.899 atau

91,57 persen dengan rincian sebagai berikut :

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 23

Tabel 6. Pagu dan Realisasi Anggaran Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Pusat dan Daerah

KETERANGAN

BKP PUSAT DAN DAERAH

PAGU REALISASI %

Hasil Analisis Neraca Bahan Makanan

1,815,081,000

1,707,994,700 94.10

Penguatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi

5,829,897,000

5,253,103,169 90.11

Kajian Responsif dan Antisipatif Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

345,060,000

113,768,358 32.97

Peta ketahanan dan kerentanan pangan

600,000,000

420,833,180 70.14

Kawasan Mandiri Pangan

27,517,191,000

24,632,104,533 89.52

Pemantauan ketersediaan dan kerawanan pangan

8,176,998,000

6,999,208,251 85.60

Pemberdayaan petani kecil dan gender

19,588,600,000

18,681,073,000 95.37

Dukungan produksi pertanian dan pemasaran

130,578,050,000

121,034,192,549 92.69

Pengembangan rantai nilai tanaman perkebunan

4,953,150,000

4,712,413,000 95.14

Dukungan manajemen dan administrasi SOLID

50,660,200,000

45,437,029,159 89.69

TOTAL

250,064,227,000

228,991,719,899 91.57

3.3 Hasil Kinerja Tahun 2016

Hasil kinerja Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan pada tahun 2016 adalah sebagai

berikut :

1) Kawasan Mandiri Pangan

Dalam rangka pengurangan kemiskinan dan penanggulangan kerawanan pangan

khususnya rawan pangan kronis, BKP mengembangkan kegiatan Kawasan Mandiri

Pangan yang menjadi salah satu kegiatan strategis di BKP. Kawasan Mandiri Pangan

(KMP) adalah kawasan yang dibangun dengan melibatkan keterwakilan masyarakat yang

berasal dari desa-desa atau kampung-kampung terpilih (terdiri dari 5 kampung/desa), untuk

menegakkan masyarakat miskin di daerah rawan pangan menjadi kaum mandiri. Tujuan

umum kegiatan KMP adalah mewujudkan ketahanan pangan masyarakat berlandaskan

kemandirian dan kedaulatan pangan. Secara keprograman, kegiatan KMP dilaksanakan

melalui 5 tahapan yang meliputi: Tahap Persiapan, Penumbuhan, Pengembangan,

Kemandirian dan Keberlanjutan (Exit Strategy). Untuk mendukung kegiatan pemberdayaan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 24

dalam KMP maka dialokasikan dana bantuan sosial bansos/bantuan pemerintah (banper)

serta anggaran pembinaan dan pendampingan bagi daerah.

Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan dimulai pada tahun 2013 di Kawasan

Perbatasan, Kepulauan dan Papua-Papua Barat yang bertujuan untuk: (1)

mengembangkan perekonomian kawasan adat di Papua-Papua Barat; (2)

mengembangkan perekonomian kawasan perbatasan antar negara; dan (3)

mengembangkan cadangan pangan masyarakat kawasan kepulauan. Selanjutnya pada

tahun 2015 dikembangkan Kawasan Mandiri Pangan yang hingga saat ini dilaksanakan di

85 kawasan pada 84 kabupaten di 24 provinsi. Untuk KMP Perbatasan, Kepulauan, Papua

dan Papua Barat dialokasikan dana bansos senilai Rp. 200 juta per kawasan yang

dialokasikan pada Tahap Persiapan, Penumbuhan dan Pengembangan; selanjutnya untuk

KMP yang dimulai pada tahun 2015, dialokasikan dana banper senilai Rp. 100 juta per

kawasan yang dialokasikan pada Tahap Penumbuhan, Pengembangan, dan Kemandirian

(mengingat pengalaman menunjukkan bahwa pada masyarakat perlu dipersiapkan terlebih

dahulu pada Tahun I/Tahap persiapan). Pemanfaatan dana banper I pada Tahun II/Tahap

Penumbuhan diarahkan untuk kegiatan budidaya dan kegiatan pendukung lainnya; banper

II pada Tahun III/Tahap Pengembangan diarahkan untuk pengolahan dan kegiatan

pendukungan lainnya; dan banper III pada Tahun IV/Tahap Kemandirian diarahkan untuk

pemasaran dan kegiatan pendukung lainnya.

Tabel 7 Perkembangan Dana Bansos/Banper dan Realisasi Kawasan Mandiri

Pangan Tahun 2013–2016

Tahun 2013 2014 2015 2016 Total Rata-

rata/tahun

Bansos/Banper

(Rp.000.000) 21.800 21.400 20.600 7.800

71.600 14.320

Penerima

Manfaat

(kawasan)

109 107 188 181

585 146

Sasaran kegiatan Kawasan Mandiri Pangan di tahun 2016 beradi di 192 kawasan di

145 Kabupaten/Kota pada 31 Provinsi yang terdiri dari 107 Kawasan Kepulauan,

Perbatasan, Papua dan Papua Barat serta 85 Kawasan Mandiri Pangan regular (diluar

wilayah Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat). Pelaksanaan kegiatan KMP

tahun 2016, (yakni KMP yang dimulai pada tahun 2015) terdapat perbedaan antara target

dan capaian, dimana target pelaksanaan KMP diawal tahun 2016 adalah sebanyak 192

kawasan dan terealisasi sebanyak 181 kawasan atau 94,27% (yang terdiri dari 103

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 25

Kawasan Kepulauan, Perbatasan, Papua dan Papua Barat dan 78 KMP). Penyebab

terjadinya hal tersebut antara lain karena :

Terjadi pemekaran di salah satu wilayah Provinsi Kalimantan Timur menjadi Provinsi

Kalimanatan Utara sehingga berpengaruh terhadap kesiapan provinsi baru dalam

proses administrasi pencairan bansos dan pembinaan kegiatan;

Tantangan dari segi geografis di beberapa daerah di mana jarak antar lokasi yang jauh

dan tidak hanya dihubungkan oleh daratan (tetapi juga perairan) sehingga dibutuhkan

sumber daya (termasuk keuangan) yang besar untuk pelaksanaan monev oleh aparat

kabupaten dan provinsi;

Kapasitas SDM/aparat yang masih kurang di tingkat kabupaten;

Terdapat daerah yang tidak melakukan survei Data Dasar Rumah tangga (DDRT) pada

Tahap Persiapan;

Penetapan lokasi pelaksanaan kegiatan tidak sesuai sasaran lokasi dan kriteria yang

sudah ditentukan.

Selain itu tantangan lain yang dihadapi adalah: terjadinya refocusing kegiatan dan

anggaran, mutasi pejabat/pegawai, serta pendamping yang tinggal diluar desa binaan.

Selain itu untuk mendukung kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahun 2016 dilaksanakan

kegiatan (a) Sosialisai Kawasan Mandiri Pangan, (b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan,

(c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan.

a) Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan

Sosialisasi Kawasan Mandiri Pangan dilaksanakan pada tanggal 10 Maret 2016.

Peserta terdiri dari eselon III/IV dari 34 provinsi dan perwakilan kabupaten/kota yang

menangani kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Dari undangan yang hadir telah

mencapai target 100 persen yang sesuai dengan sasaran di 34 Provinsi. Kawasan

mandiri pangan tahun 2016 masuk dalam tahap penumbuhan dimana kegiatan kawasan

sudah mulai mencairkan dana bantuan pemerintah sebesar 100 juta dan fokus dana

pemanfaatannya pada kegiatan budidaya pertanian, peternakan, perikanan, holtikultura.

b) Apresiasi Kawasan Mandiri Pangan

Kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan bertujuan memberikan pemahaman bagi

tenaga pendamping kawasan dalam pengelolaan kegiatan kawasan mandiri pangan,

pengelolaan pemanfaatan dana bansos dalam rangka peningkatan kesejahteraan

masyarakat miskin dan pengembangan usaha sesuai lokal spesifik; memberikan

pelatihan pemberdayaan masyarakat kepada petugas di lapangan mengenai pembuatan

RUK dan RPWK dan melakukan penguatan dan pengembangan dinamika serta usaha

produktif kelompok, pengembangan fungsi kelembagaan, pengembangan potensi pasar,

peningkatan dukungan sarana dan prasarana.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 26

Apresiasi kawasan mandiri pangan dilaksanakan dua kali yaitu di wisma hijau pada

tanggal 21 – 24 Maret 2016 yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian

yang beradi di 107 kawasan, 58 kabupaten, 13 provinsi dan pada tanggal 28 – 31 Maret

di Diandara Bogor yang diikuti oleh petugas pendamping/penyuluh pertanian, di 85

kawasan, 84 kabupaten, 24 provinsi, undangan yang hadir telah mencapai target 100 %

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam apresiasi kawasan mandiri pangan dan

tindak lanjut yang harus dilakukan oleh pelaksana kegiatan di kawasan mandiri pangan

yaitu :

Konsep Kawasan Mandiri Pangan adalah Kawasan yang terdiri dari 5 desa

berdekatan yang dibangun dengan melibatkan masyarakat miskin yang berasal dari

desa-desa terpilih dalam satu kecamatan, untuk menegakkan masyarakat

miskin/rawan pangan menjadi kaum mandiri. Adapun sasaran kegiatannya adalah

rumah tangga miskin yang berada dalam Kawasan Mandiri Pangan yang mempunyai

potensi wilayah untuk dikembangkan dan mengupayakan penyelesaian masalah

untuk mewujudkan ketahanan pangan.

Kegiatan pemberdayaan masyarakat, yang dilakukan meliputi : (a) Pemanfaatan SDA

(khususnya penyehatan lahan, pengelolaan air, pengelolaan limbah, pengembangan

bibit/benih lokal spesifik); (b) meningkatkan kegiatan usahatani kelompok melalui

budidaya pertanian/peternakan/perikanan sampai pengolahan dalam rangka

memenuhi ketiga manfaat pertanian sebagai sumber bahan pangan, sumber enerji,

dan bahan baku industri; (c) Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro untuk

mendukung kegiatan usaha.

Sebagai tindak lanjut kegiatan apresiasi Kawasan Mandiri Pangan :

1) Aparat/Pendamping/LKK/FKK yang sudah mendapatkan pelatihan pada kegiatan

ini berkoordinasi dan menyampaikan materi kepada penangungjawab kegiatan di

Provinsi maupun Kabupaten, selanjutnya peserta sebagai Trainer di kawasan

masing-masing.

2) Aparat/Pendamping/LKK/FKK menindaklanjuti hasil pelatihan dengan pelatihan

teknis spesifik lokasi dengan metode demplot dan sekolah lapangan.

3) Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan tahap penumbuhan segera menentukan titik

tumbuh kawasan sebagai pusat perekonomian di kawasan secara terintgrasi

dengan mempertingkan prioritas kegiatan.

4) Pemanfaatan bantuan pemerintah untuk kegiatan usaha di kawasan meliputi

kegiatan budidaya, pengolahan, pemasaran dan teknologi tepat guna

5) Penyuluh/pendamping berkoordinasi LKK, FKK dan aparat kabupaten/provinsi

untuk meningkatkan kinerja kelembagaan dan kelompok.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 27

6) Seluruh pengelolaan keuangan dana bantuan pemerintah kawasan dilakukan oleh

LKK. Untuk itu, sebelum LKK memberikan dana pinjaman kepada kelompok, LKK

harus memenuhi administrasi umum, seperti: (1) AD/ART; (2) Buku Simpan

Pinjam; (3) Buku Tabungan; dan (4) Buku Administrasi Keuangan.

7) Syarat untuk pencairan bantuan pemerintah ke KPPN dilengkapi SK penetapan

lokasi kawasan, kelompok penerima manfaat, usulan RUK, no rekening, SPTJB

(Surat Pernyataan Tanggung Jawab Belanja), SPTJM, Pakta integritas yang

dibuat kelompok dengan PPK

8) Mekanisme pencairan bantuan pemerintah melalui rekening kelompok, yang

selanjutnya ada proses serah terima kepada pengelolaan LKK untuk dilakukan

pencatatan oleh pengurus LKK. Pengurus LKK akan memonitor perkembangan

pemanfaataan Dana Bantuan Pemerintah.

9) Melakukan monitoring, evaluasi kegiatan secara bertingkat di tingkat Desa dan

kawasan, serta menyampaikan laporan secara berjenjang dari Desa, Kawasan

sampai dengan Pusat dalam rangka penyempurnaan kegiatan.

c) Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan

Untuk mengoptimalkan kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melaksanakan kegiatan

Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan yang bertujuan untuk: (1) mengevaluasi

pelaksanaan kegiatan KMP khususnya untuk Tahap Kemandirian pada KMP

Perbatasan, Kepulaun, Papua dan Papua Barat dan tahap penumbuhan pada kawasan

mandiri pangan serta, (2) merencanakan tindak lanjut kegiatan KMP.Kegiatan workshop

ini dilaksanakan pada tanggal 2 – 4 November 2016 di Hotel Sukajadi Bandung, yang

diikuti oleh 31 Provinsi hasil diskusi evaluasi kegiatan kawasan mandiri pangan sebagai

berikut:

Konsep penajaman kegiatan Kawasan Mandiri Pangan melalui pertanian terpadu dan

berkelanjutan perlu dijelaskan lebih lanjut didalam pedoman teknis kawasan mandiri

pangan tahap pengembangan.

Kegiatan pendampingan oeh pendamping kawasan dan pendamping swakarsa perlu

dukungan pendanaan dari APBD I dan APBD II mengingat okasi binaan jauh dari

pusat kota dan merupakan basis/sentra kerawanan.

Kegiatan kawasan yang sudah tahap kemandirian selanjutnya tahun depan

diserahkan sepernuhnya kepada pemerintah daerah, baik segi pendanaan maupun

kegiatan keberlanjutan.

Pemanfaatan dana Banper kawasan mandiri pangan tahap pengembangan akan

diprioritaskan pada pengolahan hasil pertanian dan kegiatan pendukung lainnya,

yang dapat meningkatkan nilai tambah bagi produk hasi pertanian.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 28

Hasil dari akhir kegiatan Workshop Akhir Kawasan Mandiri Pangan dibuat suatu

rumusan untuk ditindak lanjuti daerah dan sebagai acuan daerah untuk melaksanakan

kegiatan Kawasan Mandiri Pangan. Adapun rumusan Workshop Akhor KMP 2016

adalah sebagai berikut :

1) Penajaman KMP dengan menerapkan Konsep Pertanian Terpadu dan

Berkelanjutan untuk meningkatkan manfaat bagi masyarakat:

2) Pendekatan pemberdayaan diarahkan pada pemenuhan kepentingan bersama

melalui kegiatan secara berkelompok. Oleh sebab itu usaha yang dilakukan oleh

kelompok adalah usaha bersama melalui Rencana Usaha Kelompok (RUK).

3) Pelaksanaan Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Pengembangan:

Pendekatan ekonomi masyarakat secara berkelompok untuk meningkatkan

kesejahteraan (pendapatan) bersama dengan memanfaatkan semua potensi

sumberdaya lokal dari hulu sampai hilir (zero waste);

Pemerintah daerah melakukan monitoring proses pencairan dan pemanfaatan

dana Banper sampai kelompok penerima dan dilengkapi dokumen administrasi.

4) Pelaksanaan Kawasan Mandiri Pangan Keberlanjutan:

Lembaga Keuangan Kawasan/LKK diharapkan berkembang menjadi lembaga

keuangan formal sesuai dengan aturan yang berlaku dan bersinergi dengan

lembaga keuangan lain dilingkup desa/kecamatan.

Kegiatan Kawasan Mandiri Pangan Tahap Keberlanjutan (tahun 2017) tidak

dibiayai oleh APBN dan sudah diserahkan kepada daerah. Komponen kegiatan

utama yang perlu dibiayai antara lain: honor pendamping kawasan dan

swakarsa, honor FKK dan LKK, pelatihan lanjutan bagi kelompok.

2) Pengembangan Akses Pangan

Untuk mendukung kegiatan pengembangan akses pangan, dilakukan beberapa kegiatan

pertemuan yang bertujuan memberikan masukan untuk penyusunan kebijakan, dimana

kegiatan ini meliputi :

a. Peningkatan kapasitas sumber daya pertanian

Tujuan dari kegiatan pertemuan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian adalah

meningkatkan pengetahuan dan keterampilan pengurus LKD dalam pengelolaan

keuangan agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan dapat

dipertanggungjawabkan pemanfaatannya.

Kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya pertanian dilaksanakan pada tanggal 28

– 30 November 2016 di Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Convention Hotel

Yogyakarta, Jalan Demangan Baru No. 8 Yogyakarta dengan peserta sebanyak 20

orang yang terdiri dari 5 pengurus dan anggota LKD Muntuk Lestari, 5 pengurus dan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 29

anggota LKD Naka Mura dan 10 anggota LKD di luar penerima bantuan dana hibah

AGFUND.

Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah :

1) Lembaga Keuangan Desa Mandiri Pangan (LKD) merupakan lembaga keuangan

non bank milik masyarakat desa yang bersepakat untuk bekerja sama saling

menolong dengan melaksanakan penghimpunan dana melalui tabungan dan

menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada kelompok masyarakat untuk

tujuan produktif dan kesejahteraan;

2) LKD memiliki fungsi sebagai sarana pemberdayaan ekonomi masyarakat desa

rawan pangan, sarana untuk pengembangan usaha mikro, kecil dan menengah,

memberikan layanan permodalan untuk usaha produktif serta mengembangkan

kapasitas masyarakat dan membangun jaringan usaha. Prinsip LKD dalam

menjalankan fungsinya adalah mandiri, transparan, profesional dan prudential

(MANTAP). Dalam perkembangannya, LKD diharapkan bisa menjadi lembaga

keuangan berbadan hukum berbentuk koperasi;

3) Dalam mencapai tujuan LKD atau koperasi, perlu ada nilai-nilai yang harus

dijunjung tinggi bersama dan diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional

sehari-hari. Salah satunya adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh

anggota dan pengurus, dimana anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus

pada keputusan bersama yang diambil, memikul segala resiko dan konsekuensinya

dan menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses untuk mencapai

tujuan bersama;

4) Prinsip pengelolaan usaha LKD atau koperasi adalah orientasi pelayanan pada

anggota, dimana anggota adalah segala-galanya, kepuasan anggota adalah yang

utama dan memberikan nilai lebih kepada anggota adalah penting. Pelayanan

kepada anggota diterapkan untuk meningkatnya keinginan dan harapan anggota,

untuk LKD atau koperasi dapat eksis dan berkembang dan untuk mendukung

kinerja keuangan LKD atau koperasi;

5) Hal yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan dana adalah melakukan analisis

kelayakan usaha untuk menentukan kelayakan besaran pinjaman yang akan

disalurkan terhadap jenis-jenis usaha yang diajukan anggota melalui kelompok.

Beberapa hal pokok yang menjadi dasar dalam pemilihan jenis usaha adalah jangka

waktu usaha, jumlah pengusahaan, potensi produksi dan waktu proses produksi.

Penilaian kelayakan usaha dalam pemilihan jenis kegiatan usaha dilihat dari

cakupan daerah pemasaran, cara pemasaran, persaingan pasar, permintaan pasar,

penentuan harga, cara pembayaran, penguasaan teknologi, tenaga kerja, sarana

dan prasarana serta cara dan tempat pengelolaan usaha dilakukan;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 30

6) Peluang usaha dapat dilihat dari adanya kebutuhan pasar akan suatu barang atau

jasa yang dapat diberikan. Peluang usaha juga dapat diciptakan dengan memberi

nilai tambah pada suatu objek yang menjadi kebutuhan pasar. Dibutuhkan

pengalaman bisnis yang cukup baik dan waktu yang lama agar naluri bisnis menjadi

tajam dalam melihat peluang usaha serta dibutuhkan kreativitas untuk menciptakan

peluang usaha;

7) Faktor penting yang menentukan keberlanjutan suatu LKD adalah kinerja keuangan

yang baik. Jika layanan internal baik, dan layanan ke anggota atau pihak eksternal

lainnya baik, maka diharapkan kinerja keuangannya akan baik. Dari aspek

pengelolaan keuangan, dibutuhkan kemampuan pengurus dalam mengelola

keuangan, menyusun laporan keuangan dan mengintepretasikan hasil laporan

keuangan untuk penyusunan rencana usaha;

8) Tertib administrasi atau pencatatan keuangan sangat penting sebagai laporan

penerimaan dan pemanfaatan uang LKD atau koperasi sehingga keuntungan yang

diperoleh atau kerugian yang dialami dapat dikontrol dan pengelolaan dana yang

berkembang secara keseluruhan dapat dipertanggungjawabkan dengan baik.

Aplikasi berbasis sistem android yang dapat digunakan untuk mempermudah

pencatatan keuangan adalah SI APIK;

9) Manajemen resiko kredit adalah manajemen resiko kerugian karena pihak peminjam

tidak dapat dan/atau tidak mau memenuhi kewajiban untuk membayar kembali dana

yang dipinjamnya secara penuh pada saat jatuh tempo atau sesudahnya. Kerangka

manajemen resiko kredit terdiri dari : (1) Pencegahan resiko kredit yaitu desain

produk kredit, seleksi nasabah dan analisis kredit, komite kredit; dan (2)

Pengendalian resiko kredit yaitu manajemen tunggakan dan pemantauan resiko

kredit;

10) Prinsip seleksi nasabah dalam pencegahan resiko kredit adalah 5C, yaitu : (1)

Character, yaitu informasi kepribadian nasabah; (2) Capacity, yaitu kemampuan

nasabah dalam mengelola dana yang dipinjam; (3) Condition, yaitu kondisi ekonomi

yang mempengaruhi kelayakan pinjaman; (4) Capital, yaitu aset atau kekayaan

yang dimiliki oleh nasabah; dan (5) Collateral yaitu jaminan atau agunan yang

dimiliki oleh nasabah;

11) Permasalahan umum yang dihadapi dalam pemberian modal usaha adalah

nasabah tidak dapat mengembalikan pinjaman tepat waktu atau gagal bayar. Untuk

mengantisipasi resiko gagal bayar, LKD atau koperasi dapat menyiapkan dana

cadangan resiko yang disisihkan dari keuntungan yang diterima setiap bulan atau

diambil dari SHU tahunan sesuai dengan akumulasi kerugian yang dialami;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 31

12) Sejak penerimaan tahun pertama pada tahun 2014, dana hibah AGFUND yang

dikelola LKD Nakamura sampai Oktober tahun 2016 berkembang dari

Rp.547.938.500,- menjadi Rp.688.068.053 (26%), sedangkan LKD Munthuk Lestari

dari Rp. 543.680.000,- menjadi Rp. 830.298.409,- (53%), yang digunakan untuk

mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian pertanian

dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu, mebel, ternak

kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung sembako dan olahan

pangan seperti mie, susu kedelai, nata de casava, geplak dan tempe;

13) Selain kepada anggotanya, LKD penerima dana hibah AGFUND diharapkan dapat

melakukan kerja sama dengan memberikan pinjaman modal kepada LKD lain yang

membutuhkan penguatan modal usaha produktifnya. Hal ini juga dapat dilakukan

oleh LKD lain yang modalnya sudah berkembang, sehingga dapat membantu LKD

lain yang membutuhkan penguatan modal.

b. Pembinaan dan pemantauan pemanfaatan dana hibah AGFUND

Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota

Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah

AGFUND.

Pertemuan Peningkatan Kapasitas LKD Pemanfaatan Dana Hibah AGFUND Tahun

2016, dilaksanakan tanggal 27 – 29 Juli 2016, di Asrama Haji Transit Yogyakarta, Jl.

Ringroad Utara Siduadi, (Depan SD Al-Azhar), dengan peserta penerima dana hibah

AGFUND, yaitu LKD Desa Mandiri Pangan di Desa Madukoro, Kecamatan Kajoran

Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah dan Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo

Kabupaten Bantul Provinsi D.I Yogyakarta, dan pendamping.

Adapun rumusan hasil pertemuan ini adalah :

a) Pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas pengurus dan anggota

Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam pemanfaatan dan pengelolaan dana hibah

AGFUND. Sasarannya adalah pengurus dan anggota LKD yang menerima dana

hibah AGFUND, yaitu LKD Munthuk Lestari, Desa Munthuk, Kecamatan Dlingo,

Kabupaten Bantul, Provinsi DI. Yogyakarta dan LKD Nakamura, Desa Madukoro,

Kecamatan Kajoran, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah;

b) LKD sebagai suatu organisasi memiliki tujuan bersama yang ingin dicapai yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya secara khusus dan masyarakat

sekitarnya secara umum. Dalam pembentukannya, LKD diharapkan dapat

mengelola dan mengembangkan dana yang dimiliki melalui berbagai usaha atau

kegiatan yang dilaksanakan anggotanya;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 32

c) Dalam mencapai tujuan LKD, perlu ada nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dan

diterapkan dalam pelaksanaan kegiatan operasional sehari-hari. Salah satunya

adalah komitmen yang harus dibangun oleh seluruh anggota dan pengurus, dimana

anggota dan pengurus berpegang teguh dan fokus pada keputusan yang diambil,

kemudian memikul segala resiko dan konsekuensinya tanpa mengeluh, dan

menjalaninya penuh rasa syukur sebagai bagian dari proses kehidupan untuk

mencapai tujuan bersama;

d) Ketrampilan teknis pengelolaan keuangan menjadi salah satu hal yang harus dimiliki

oleh pengurus LKD agar dana yang dikelola dapat berkembang dengan baik dan

dapat dipertanggungjawabkan pemanfaatannya. Administrasi pembukuan atau

akuntansi koperasi/LKD harus dilakukan dengan cermat, tertib dan tepat, sehingga

laporan keuangan yang disusun dapat memberikan gambaran yang baik mengenai

arus kas yang masuk dan keluar, jumlah dana yang dipinjam dan dikembalikan

anggota serta jumlah hasil usaha yang diperoleh LKD;

e) Keberhasilan usaha yang dilakukan koperasi juga ditentukan oleh kemampuan

membangun jaringan usaha dan kemitraan. Karakteristik yang harus dimilki seorang

wirausaha/pengurus LKD adalah 1). adanya kemauan; 2). memiliki keberanian; 3).

mampu membela usahanya dan mitranya; 4). Jujur dan amanah (bisa dipercaya);

5). hemat; 6). tepat guna didalamnya termasuk menempatkan orang sesuai dengan

kemampuannya; 7). mencintai usahanya dan 8). pantang menyerah;

f) Dalam menjalin kemitraan, prinsip utama yang harus dipegang adalah saling

memperkuat, saling memerlukan dan saling menguntungkan;

g) Untuk mewujudkan berkembangnya koperasi, koperasi harus melayani anggota

melalui pemahaman atas kebutuhan anggotanya yaitu dengan memenuhi sarana

dan prasarana yang dibutuhkan untuk kemajuan usaha anggotanya, sehingga

diversifikasi usaha dari koperasi di Nakamura dan Munthuk dapat dilakukan

berdasarkan pemenuhan kebutuhan anggota;

h) Sejak penerimaan dana hibah AGFUND oleh 2 LKD pada tahun 2014,

perkembangan dana maupun organisasi desa telah meningkat, sebagai berikut:

(1) Dana hibah AGFUND yang dikelola oleh LKD Munthuk Lestari dan LKD

Nakamura sampai tahun 2016 telah berkembang masing-masing dari

Rp.543.680.000,- menjadi Rp. 792.560.730,- (45,8 persen) dan

Rp. 547.938.500,- menjadi Rp. 821.050.000,- (50 persen) yang digunakan

untuk mengembangkan berbagai usaha anggotanya dalam bidang pertanian

pertanian dalam arti luas dan turunannya diantaranya untuk kerajinan bambu,

mebel, ternak kambing, ternak sapi, budidaya padi, perikanan lele, warung

sembako dan olahan pangan seperti mie des, susu kedelai, nata de casava,

geplak dan tempe;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 33

(2) Di samping itu modal dari bantuan program Desa Mandiri Pangan (Demapan)

yang diterima LKD Muntuk sebesar 100.000.000,- pada tahun 2006

berkembang sampai saat ini sebesar Rp. 465.472.000,- dan LKD Nakamura

Desa replikasi sebesar Rp. 25.000.000,- pada tahun 2011 berkembang menjadi

Rp. 30.000.000,- di samping berbagai kegiatan produktif yang sampai saat ini

masih dilakukan oleh anggota kelompok afinitas;

(3) Terkait dengan kelembagaan LKD Muntuk Lestari, sejak tanggal 15 Oktober

2015, No. 26/BH/XV.I/X/2015 telah berbadan hukum menjadi Koperasi,

sedangkan LKD Nakamura sedang mengajukan proses untuk menjadi koperasi.

3) Penanganan Rawan Pangan, Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG)

SKPG merupakan serangkaian proses untuk mengantisipasi kejadian rawan

pangan dan gizi melalui pengumpulan, pemrosesan, penyimpanan, analisis, dan

penyebaran informasi situasi pangan dan gizi. Penerapan SKPG sampai saat ini masih

dirasakan sangat penting sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38

Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan

Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota, dimana sebagian aspek-

aspek penanganan kerawanan pangan merupakan urusan daerah. Pemerintahan Propinsi

mempunyai kewajiban: (1) pencegahan dan pengendalian masalah pangan akibat

menurunnya ketersediaan pangan di daerah karena berbagai sebab; (2) pencegahan dan

penanggulangan masalah pangan sebagai akibat menurunya mutu, gizi dan keamanan

pangan; (3) peningkatan dan pencegahan penurunan akses pangan masyarakat; dan (4)

penanganan dan pengendalian kerawanan pangan di wilayah provinsi.

Kegiatan SKPG bertujuan untuk menganalisis situasi pangan dan gizi;

meningkatkan kemampuan petugas dalam menganalisis situasi pangan dan gizi; dan

mengantisipasi terjadinya rawan pangan. Sasaran kegiatan SKPG terpetakannya situasi

pangan dan gizi dan terantisipasinya kejadian rawan pangan secara dini di 455 lokasi, yang

terdiri dari pusat, 33 provinsi dan 421 kabupaten/kota. Untuk tahun 2016 kegiatan SKPG

hanya dilakukan di Provinsi, sedangkan Kabupaten untuk menganalisis kegiatan SKPG

dengan pembinaan di APBD Kabupaten.

Pelaksanaan kegiatan SKPG pada tahun 2016 sebagai berikut:

a. Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG

Kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam Analisis SKPG dilaksanakan

guna meningkatkan pemahaman dan kemampuan pejabat/aparat provinsi dan

kabupaten/kota dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya melalui

SKPG. Terlaksananya kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas Aparat dalam

Analisis SKPG diharapkan dapat memberikan pemahaman aparat pelaksana kegiatan

SKPG mengenai analisis SKPG sehingga mampu meningkatkan kemampuan aparat

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 34

yang menangani SKPG dalam menganalisis situasi pangan dan gizi di wilayahnya.

Kegiatan ini dilaksanakan dengan metode pemaparan materi, praktik analisis SKPG

bulanan dan tahunan, pembuatan laporan SKPG, serta pembuatan peta dengan

menggunakan Quantum GIS.

Hal-hal yang dapat disampaikan berdasarkan kegiatan Pertemuan Penguatan Kapasitas

Aparat dalam Analisis SKPG sebagai berikut:

1) Aparat provinsi dan kabupaten/kota harus meningkatkan pemahaman tentang

konsepsi ketahanan pangan, kemandirian pangan, dan kedaulatan pangan

berdasarkan UU No 18 tahun 2012, sehingga pelaksanaan pencegahan kerawanan

pangan melalui SKPG dapat terlaksana lebih baik.

2) Pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG) pada tahun 2016 masih

berdasarkan Permentan No. 43 Tahun 2010, sedangkan ujicoba aplikasi berbasis

website digunakan untuk penyempurnaan sistem pada Permentan baru sebagai

pengganti Permentan No. 43 Tahun 2010. Sehingga kabupaten/kota tetap

menyampaikan laporan analisis SKPG tahun 2016 ke provinsi dan pusat berupa

laporan tahunan dan bulanan yang dimulai dari bulan Januari 2016.

3) Provinsi dan kabupaten/kota yang memiliki karakteristik khusus (non sentra pertanian,

Papua&Papua Barat, Maluku&Maluku Utara, NTT, dan Gorontalo) harus dibahas lebih

lanjut oleh daerah masing-masing untuk merumuskan dan menentukan indikator yang

akan digunakan dalam analisis SKPG.

4) Beberapa masukan untuk penyusunan permentan baru sebagai pengganti Permentan

No 43 Tahun 2010:

a) Wilayah perkotaan yang memiliki luas lahan pertanian pangan dan dapat mencukupi

kebutuhan wilayahnya tetap menggunakan indikator dari aspek ketersediaan.

b) SKPG tahunan merupakan akumulasi dari analisis bulanan sehingga laporan

bulanan diharapkan dilaporkan setiap bulannya

c) Untuk data D (data balita ditimbang terkoreksi) terdapat beberapa daerah yang tidak

memiliki data

5) Dalam rangka pelaksanaan ujicoba pelaporan SKPG berbasis website:

a) Aparat kabupaten/kota dan provinsi yang menangani entry data SKPG berbasis

website diharapkan tidak berganti-ganti selama proses uji coba tahun 2016.

b) Kabupaten/kota melakukan entry data mulai bulan Januari 2016, sedangkan

provinsi berkewajiban mendapingi pelaksanaan entry data. Namun demikian, jika

kabupaten/kota mengalami kendala dalam pengisian dan upload data, aparat

provinsi membantu berdasarkan kabupaten/kota yang menjadi tanggung jawabnya;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 35

c) Kabupaten/kota dan provinsi membuat email yang akan digunakan sebagai

username sesuai format yang telah disepakati, provinsi membuat tabulasi dan

melaporkan username ke pusat melalui email: [email protected];

d) BKP Pusat membuat password untuk login dan formulir input data selanjutnya

disampaikan kembali hasilnya kepada provinsi melalui email provinsi, selanjutnya

provinsi menyampaikan password dan formulir input ke kabupaten/kota masing-

masing.

6) Aplikasi SKPG berbasis website yang telah didemonstrasikan perlu penyempurnaan,

diantaranya:

a) Pada tampilan perlu ditambahkan menu cetak dan download hasil tabulasi (.xls)

setiap indikator;

b) Upload data SKPG dipisahkan per tahun agar dapat terlihat hasil analisis setiap

tahunnya;

c) Update data diharapkan dapat dilakukan berdasarkan data terakhir yang diupload

kedalam website.

7) Database SKPG sebaiknya dilengkapi dengan instrumen berikut: (1) peta analisis; (2)

fungsi download data dan analisisnya; dan (3) fungsi pembuatan pelaporan.

b. Rapat Koordinasi Tim/Pokja SKPG Pusat

Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat dilaksanakan dalam rangka untuk merumuskan

bahan kebijakan terkait dengan penanganan rawan pangan dan gizi. Hal lain adalah

Konsolidasi antar anggota Pokja, terkait tugas dan fungsi masing-masing instansi dan

perannya terhadap kegiatan analisis SKPG serta mengevaluasi pelaksanaan program

SKPG terkait dengan situasi pangan dan gizi di propinsi dan kabupaten/kota.

Terlaksananya Rapat Koordinasi Pokja SKPG Pusat diharapkan dapat meningkatkan peran

serta Tim Pokja SKPG dalam memberikan rekomendasi dan masukan terkait kegiatan

SKPG.

Pada Tahun 2016 telah dilaksanakan 2 kali Rapat Koordinasi Tim Pokja dengan uraian

sebagai berikut:

a) Rapat Koordinasi Tim Pokja I

Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 25 Januari 2016

di Ruang Nusantara 1 Lantai II yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat dari: (1)

Kementerian Dalam Negeri; (2) Kementerian Sosial; (3) Bappenas; (4) BPS; (5)

Kementerian Perdagangan; (6) Tanaman Pangan Kementerian Pertanian; (7)

Pusdatin, Kementerian Pertanian, (7) BNPB; dan Pejabat lingkup Pusat Ketersediaan

dan Kerawanan Pangan serta perwakilan dari World Food Programme (WFP). Rapat

dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan dengan pemaparan materi

hasil Kajian Ujicoba Perubahan Indikator SKPG oleh Dr. Ir. Drajat Martianto, M.Si,

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 36

dan dilanjutkan dengan diskusi dan masukan dari Tim Pokja SKPG pusat dan peserta

lainnya. Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal

penting sebagai berikut:

1) Perlunya memahamkan kepada pimpinan daerah tentang SKPG dengan metode

dan bahasa yang dapat dipahami atau re-branding, sehingga diharapkan

pimpinan daerah tertarik dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan

rekomendasi kebijakan terkait permasalahan penanganan kerawanan pangan.

Hal lain adalah perlunya indikator positif terkait upaya dan pencapaian

penanganan kerawanan pangan yang dapat dibandingkan dengan

perkembangan yang perlu ditindaklanjuti.

2) Perlunya SKPG menjadi perhatian bersama atau lintas sector seperti forum DKP,

sehingga dapat menjadi penguat dalam pelaksanaan dan sebagai fungsi

rekomendasi. Salah satu hal yang dapat ditindaklanjuti adalah bahwa perlu

adanya reward and punishment bagi pelaksana kegiatan SKPG yang

menunjukan kinerja yang baik, sehingga dapat memotivasi bagi daerah dalam

melaksanakan kegiatan SKPG..

3) Pada wilayah khusus seperti wilayah kepulauan, perkebunan, Papua, Maluku

dan NTT memerlukan indikator khusus, dan berdasarkan hasil kajian sudah

diusulkan mengenai hal tersebut yang diharapkan dapat memperkuat analisis

dan memperoleh informasi yang tepat berdasarkan indicator yang digunakan.

4) Sistem SKPG adalah bersifat terbuka yaitu bahwa apabila terdapat kabupaten

yang mengalami kerentanan maka bisa dapat bantuan dari daerah/kabupaten

sekitarnya. Hal ini karena fungsi SKPG adalah sebagai deteksi dini, dan hasil

analisis yang menunjukan rawan dapat disebabkan oleh banyak faktor termasuk

alih fungsi lahan (lahan baku sawah) atau perubahan komoditas (dari padi ke

lainnya), tetapi hasil akhirnya sama yaitu produksi menurun akan menunjukan

indikasi rawan pangan.

5) SKPG masih diperlukan sesuai dengan amanat UU Pangan sehingga merupakan

tanggungjawab pusat, provinsi dan kabupaten melalui Dewan Ketahanan

Pangan.

6) Pusat menyediakan data dalam bentuk dashboard sehingga memudahkan

daerah mengakses dan mempublikasi datanya. Pusat dapat membuat berupa

dashboard yang komprehensif agar kabupaten bisa mencontoh nya.

7) Perlunya memasukan SKPG dalam konsep kebijakan yang besar KS RANPG,

sehingga dapat dengan mudah di implementasikan di daerah karena ada

instruksi khusus dari presiden.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 37

b) Rapat Koordinasi Tim Pokja II

Rapat koordinasi Tim Pokja SKPG Pusat dilaksanakan pada tanggal 27 Juni 2016 di

Ruang Nusantara I Lantai 2 yang dihadiri anggota Tim Pokja SKPG Pusat yaitu: (1)

Sub Direktorat Statistik Rumah Tangga, Direktorat Statistik Kesejahteraan Rakyat,

BPS; (2) Bidang Data Non Komoditas, Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian,

Kementerian Pertanian, (3) Direktorat Bahan Pokok dan Barang Strategis,

Kementerian Perdagangan; (4) Seksi Pengolahan Statistik Tanaman Pangan,

Direktorat Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan, BPS, (5) Bidang

Perencanaan dan Bidang Konsumsi pada Badan Ketahanan Pangan, (6) Pejabat

lingkup Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan serta (7) World Food

Programme (WFP). Rapat dibuka Kepala Bidang Kerawanan Pangan dan dilanjutkan

dengan pemaparan materi konsep panduan penyusunan analisis SKPG dan juga

disampaikan oleh Dr. Drajat Martianto dari IPB tentang hasil visibility study kegiatan

SKPG.

Berdasarkan paparan dan diskusi oleh peserta pertemuan, diperoleh hal-hal penting

sebagai berikut:

1) Hasil ujicoba perubahan indikator SKPG menunjukkan bahwa terdapat indikator

yang perlu disesuaikan dengan kondisi saat ini, sehingga hasil dari analisis SKPG

dapat dimanfaatkan secara maksimal dan dapat dijadikan dasar penyusunan

Pedoman Pelaksanaan SKPG Tahun 2016;

2) Hasil kajian feasibility study SKPG yang dilaksanakan oleh Tim dari BKP

bekerjasama dengan WFP dengan tenaga ahli Dr. Drajat Martianto (IPB)

menunjukkan bahwa pada kegiatan SKPG terdapat beberapa kendala dalam

pelaksanaan SKPG di daerah seperti kuantitas dan kapasitas SDM di daerah yang

kurang, keterlambatan data analisis, dan kurangnya dukungan pemerintah daerah;

3) Terkait dukungan pemerintah daerah, perlu adanya advokasi dalam rangka

pemahaman kegiatan SKPG baik melalui koordinasi maupun melalui forum-forum

resmi seperti rapat Dewan Ketahanan Pangan (DKP) di provinsi maupun

kabupaten/kota;

4) Perlu adanya payung hukum yang kuat dan mengikat untuk pemerintah daerah,

sehingga keberadaan SKPG menjadi hal penting. Kebijakan bersama antara

Kementan dan Kemendagri atau Inpres tentang SKPG diharapkan memperkuat

terhadap keterlibatan lembaga/instansi terkait, dukungan dan prioritas anggaran;

5) Adanya penghargaan/reward terhadap pengambil kebijakan (gubernur dan

bupati/walikota) dan pelaksana kegiatan SKPG di daerah. Penghargaan ini dapat

diintegrasikan dengan kegiatan lain (misalnya integrasi dengan Penghargaan

Adhikarya Pangan Nusantara) atau secara mandiri. Hal ini sebagai bentuk

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 38

apresiasi dan semangat kepada pemerintah daerah atas perhatiannya terhadap

upaya pencegahan/deteksi dini kerawanan pangan melalui SKPG;

6) Pelaksanaan kegiatan analisis SKPG berkaitan erat dengan kebijakan dan

ketersediaan data, oleh karena itu perlu upaya dan langkah bersama serta

pengembangan media atau alat analisis. Pengembangan aplikasi SKPG berbasis

website perlu disempurnakan sehingga dapat difungsikan lebih optimal.

c. Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG

Pertemuan dalam rangka Pembahasan Panduan Penyusunan SKPG dihadiri oleh: (1)

Pimpinan dan Staf Bidang Kerawanan Pangan Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan (2) perwakilan dari Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian Kementan; (1) Tim

Pengembangan Aplikasi SKPG berbasis website dan (4) World Food Programme (WFP).

Pembahasan tentang Panduan Analisis SKPG antara lain :u sulan bahwa perlu adanya

kesepakatan oleh stakeholder terkait di provinsi dalam menetapkan indikator yang akan

digunakan dalam analisis SKPG. Hal ini berkaitan dengan agregat yang akan dihasilkan

oleh provinsi nantinya agar seragam atau sama, perlunya menggunakan istilah yang lebih

tepat, dimana selama ini menggunakan istilah Aman, Waspa dan dan Rawan sebagai hasil

analisis SKPG, usulan menggunakan istilah Aman, Waspada dan Rentan dalam analisis

SKPG dan perlunya pemahaman bersama mengenai konsep dan pelaksanaan SKPG, baik

secara istilah maupun dalam pelaksanaan analisis.

d. Penyusunan Analisis SKPG

Kegiatan Penyususnan Analisis SKPG dilaksanakan di Wisma Hijau, Depok. Penyusunan

Analisis SKPG dilaksanakan dalam rangka mengetahui perkembangan analisis SKPG

bulanan dari provinsi. Metode yang digunakan adalah dengan menganalisis perkembangan

laporan SKPG bulanan masing-masing provinsi selama tahun 2016. Laporan tersebut

diamati perkembangan data ditiap bulannya, kemudian dianalisis faktor yang

mempengaruhinya, sehingga menjadi analisis yang komperhensif.

Beberapa hal yang dapat dilaporkan dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut:

a). Perlunya data dan laporan SKPG bulanan dari provinsi yang rutin sehingga dapat

dianalisis dengan baik

b). Masih adanya provinsi yang belum mengirimkan laporan yang disebabkan oleh

keterlambatan data dari instansi terkait. Hal ini perlu ditindaklanjuti dengan koordinasi

dengan provinsi sehingga data dasar yang digunakan untuk analisis provinsi dapat

terpenuhi.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 39

c). Data yang dikirim oleh provinsi masih memerlukan konfirmasi ulang. Hal ini

dikarenakan data yang dikirim tidak seluruhnya lengkap dan sesuai dengan format

analisis SKPG.

4) Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and

Vulnerability Atlas) FSVA

Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and

Vurnerability Atlas - FSVA) mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu:

ketersediaan pangan, keterjangkauan pangan dan konsumsi (pemanfaatan) pangan, dan

digambarkan secara lebih rinci kedalam beberapa indikator yang terkait dengan masalah

ketahanan pangan. Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) diharapkan dapat

memfasilitasi kebutuhan informasi mengenai lokasi keberadaan wilayah yang memiliki

kerentanan terhadap kerawanan pangan.

Kegiatan penyusunan FSVA pada tahun 2016, dilakukan analisisi FSVA sampai

dengan tingkat Kabupaten dengan cakupan analisis sampai dengan wilayah desa. Analisis

FSVA Kabupaten ini dilakukan terhadap 58 kabupaten yang masuk prioritas 1 dan 2 hasil

FSVA Nasional 2015. Karena kabupaten yang masuk dalam kedua prioritas tersebut dinilai

atau dikelompokkan dalam kategori kerentanan tinggi terhadap kerawanan pangan. Dari

analisis FSVA Kabupaten 2016 diharapkan akan meningkatkan efektifitas pemantauan dan

penanganan kerawanan pangan, sekaligus dijadikan referensi untuk memformulasikan

kebijakan ketahanan pangan yang tepat.

Kabupaten yang termasuk kedalam prioritas 1 dan 2 yaitu sebanyak 58 terdapat di

Provinsi Papua (26 Kabupaten), Sumatera Utara (4 kabupaten), Sumatera Barat (1

Kabupaten), Kepulauan Riau (1 Kabupaten), Nusa Tenggara Timur (9 Kabupaten), Maluku

(7 Kabupaten), Maluku Utara (1 Kabupaten), dan Papua Barat (9 Kabupaten).

Agar pelaksanaan penyusunan FSVA berjalan dengan baik, termasuk penyiapan

metodologi, ketersediaan data, maka diperlukan beberapa kegiatan seperti pemantapan

serta pertemuan untuk pembahasan draf dan pemantapan penyusunan FSVA Kabupaten.

Selain itu juga dilakukan sosialisasi panduan penyusunan FSVA Kabupaten ke aparat

daerah dan ditindaklanjuti dengan pembinaan/bimbingan teknis ke daerah untuk koordinasi,

sinkronisasi kegiatan dan peningkatan kapasitas aparat di daerah dalam rangka

penyusunan FSVA Kabupaten.

Indikator-indikator yang telah ditetapkan untuk penyusunan FSVA Kabupaten

sebanyak 9 (sembilan) indikator baru yang digunakan dalam penyusunan yaitu: (1) Rasio

Warung terhadap Rumah Tangga; (2) Rasio Toko terhadap Rumah Tangga; (3) Rasio

Penduduk dengan Tingkat Kesejahteraan Terendah; (4) Rasio Rumah Tangga Tanpa

Akses Listrik; (5) Desa tanpa akses penghubung yang memadai; (6) Rasio Anak Tidak

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 40

Bersekolah; (7) Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses ke Air Bersih; (8) Rasio Tenaga

Kesehatan terhadap Penduduk; dan (9) Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas Tempat

Buang Air Besar (BAB).

Metodologi yang digunakan dalam analisis FSVA Kabupaten adalah metode

pembobotan yang terdiri atas dua tahapan yaitu :

Penentuan Cut Off Point Indikator Individu

Cut off point indikator individu bisa menjadi dasar suatu kabupaten melihat

perkembangan kondisi desa-desa di wilayahnya. Masing-masing indikator nantinya

akan dikelompokkan kedalam empat prioritas. Prioritas 1 dan 2 merupakan desa-desa

yang cenderung rentan terhadap suatu indikator (warna merah). Sedangkan prioritas 3

dan 4 adalah kelompok desa-desa yang yang cenderung tahan terhadap suatu

indikator (warna hijau).

Penentuan cut off point indikator individu menggunakan metode sebaran empiris

dengan mencari nilai pada titik potong 25%, 50% dan 75%. Sehingga jika nilai pada

titik-titik potong tersebut diketahui, maka cut off point untuk masing-masing indikator

akan mudah ditentukan.

Penentuan Cut Off Point Skor Komposit

Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) kabupaten terdiri atas

sembilan indikator. Dengan indikator yang banyak tersebut kita akan menemui banyak

kesulitan untuk mengelompokkan satu desa dengan desa yang lain, sehingga desa-

desa dalam satu kelompok memiliki karakteristik yang sama dibandingkan dengan

desa-desa yang berada dalam kelompok lainnya.

Untuk mengakomodir kebutuhan tersebut, diperlukan suatu metode komposit yang

berguna untuk menjawab permasalahan tersebut. Dalam perkembangannya, metode

komposit yang digunakan dalam penyusunan FSVA baik di tingkat nasional, provinsi

dan kabupaten mengalami perubahan disesuaikan dengan perkembangan

permasalahan yang ada. Sehingga muncul analisis komposit dengan metode

pembobotan. Metode pembobotan ini merupakan suatu metode sederhana yang bisa

digunakan untuk menentukan suatu daerah atau desa masuk kedalam kategori rentan

atau tahan pangan.

Analisis komposit dengan metode pembobotan digunakan untuk menghilangkan atau

mengurangi kelemahan-kelemahan pada metode-metode komposit sebelumnya.

Kelemahan tersebut antara lain: tidak ada cut off point dalam penentuan prioritas

komposit, pengelompokan dilakukan hanya berdasarkan tingkat kemiripan karakteristik

data-data indikator, daerah-daerah yang di prioritas rendah/tinggi akan selalu berada

pada posisi tersebut (konstan) untuk tahun-tahun mendatang, dan adanya kerancuan

tingkat pemahaman terkait hasil analisis komposit pada tahun yang berbeda. Oleh

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 41

karena itu, metode pembobotan dapat dijadikan sebagai salah satu cara pendekatan

yang baik untuk mengurangi kelemahan-kelemahan tersebut.

2. Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan

Kajian ketersediaan pangan, rawan pangan dan akses pangan terdiri dari :

a. Penyusunan Neraca Bahan Makanan

Informasi situasi ketersediaan pangan di suatu wilayah dapat menjadi bahan

penyusunan kebijakan ketersediaan pangan wilayah dalam rangka mewujudkan

ketahanan pangan berkelanjutan. Dalam upaya untuk mendapatkan informasi tersebut

dilakukan penyusunan Neraca Bahan Makanan (NBM) yang telah dilakukan di tingkat

pusat dan 34 Provinsi. Penyusunan Neraca Bahan Makanan bertujuan untuk

memperoleh data ketersediaan pangan per kapita dalam bentuk energi, protein dan

lemak. Pada tahun 2016, telah disusun Buku NBM Indonesia 2014-2016 yang berisi

data 2014 Angka Tetap, 2015 Angka Sementara dan 2016 Angka Sangat Sementara.

Hasil analisis NBM berdasarkan Angka Tetap 2014, Angka Sementara 2015 dan 2016

Angka Sangat Sementara sebagai berikut :

1) Tingkat ketersediaan energi dan protein pada periode tahun 2014 – 2015 sudah

melebihi anjuran Angka Kecukupan Energi (AKE) 2.200 Kalori/kapita/hari, dan

Angka Kecukupan Protein 57 gram/kapita/hari. Total ketersediaan zat gizi per kapita

tahun 2014 yaitu energi sebesar 3.834 kkalori/hari, protein 91,83 gram/hari, dan

lemak 63,63 gram/hari. Pada Tahun 2015 (angka sementara), ketersediaan zat gizi

untuk energi menjadi 3.835 kkalori/hari, protein 94,85 gram/hari dan 57,81 gram/hari

lemak. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016

masing-masing sebesar 4.017 kkalori, 83,07 gram, dan 79,64 gram.

2) Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan

0,03% dibanding tahun 2014, dari 3.834 kkal menjadi 3.835 kkal. Ketersediaan

protein per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami peningkatan sebesar 3,29%

dibanding tahun 2014, dari 91,83 gram menjadi sebesar 94,85 gram. Sedangkan

ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2015 mengalami penurunan

sebesar 9,15% dibanding tahun 2014 dari 63,63 gram turun menjadi 57,81 gram.

3) Ketersediaan energi per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan

4,73% dibanding tahun 2015, dari 3.835 kkal menjadi 4.017 kkal. Ketersediaan

protein per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami penurunan sebesar 12,42%

dibanding tahun 2015, dari 94,85 gram menjadi sebesar 83,07 gram. Sedangkan

ketersediaan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 mengalami peningkatan

sebesar 37,78% dibanding tahun 2015 dari 57,81 gram naik menjadi 79,64 gram.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 42

4) Ketersediaan energi, protein dan lemak pada tahun 2014, 2015 dan 2016 masih di

dominasi bahan pangan sumber nabati. Pada tahun 2014 kontribusi energi pangan

nabati sebesar 95,51%, protein sebesar 80,65% dan lemak sebesar 84,58% dari

total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2015 kontribusi energi, protein dan

lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar 95,38%, 80,68%

dan 82,53% dari total energi, protein dan lemak. Pada tahun 2016 kontribusi energi,

protein dan lemak dari bahan pangan sumber nabati masing-masing sebesar

95,95%, 79,13% dan 88,18% dari total energi, protein dan lemak.

5) Ketersediaan energi kelompok padi-padian pada tahun 2015 lebih tinggi dari tahun

2014, yaitu 2.294 kkal/kap/hari menjadi 2.362 kkal/kap/hari atau meningkat sebesar

68 kkalori (2,96%). Demikian pula ketersediaan protein dan lemak per kapita per

hari meningkat dari 55,57 gram menjadi 57,13 gram protein, dan lemak meningkat

dari 12,82 gram menjadi 13,11 gram, atau meningkat masing-masing sebesar 1,56

gram (2,81%) dan 0,29 gram (2,26%). Sedangkan ketersediaan kelompok padi-

padian tahun 2016 menurun dari tahun 2015 yaitu 2.362 kkal/kap/hari menjadi 2.258

kkal/kap/hari atau menurun sebesar 104 kkalori.

6) Kelompok makanan berpati, kelompok pangan ini adalah ubi jalar, ubi kayu dan

sagu. Kelompok pangan ini mensuplai untuk ketersediaan per kapita per hari energi,

protein, dan lemak yang cukup tinggi, namun mengalami penurunan pada tahun

2015 dibandingkan tahun 2014, yaitu dari 272 kkal menjadi 262 kkal, 1,37 gram

menjadi 1,28 gram dan 1,05 gram menjadi 1,00 gram. Tahun 2016 dari kelompok

makanan berpati yaitu masing-masing sebesar 228 kkal, 1,05 gram dan 0,87 gram

masih lebih rendah dibanding 2015. Hal tersebut belum bisa dijadikan acuan karena

ketersediaan pada tahun 2016 masih mengalami perubahan.

7) Kelompok gula, terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok Kelompok ini

terdiri dari komoditas gula pasir dan gula mangkok. Gula pasir merupakan

komoditas penyumbang energi terbesar. Ketersediaan energi per kapita per hari

dari kelompok gula pada tahun 2015 meningkat dibanding tahun 2014, yaitu dari

227 kkal menjadi 250 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak relatif sama.

Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari

kelompok gula yaitu masing-masing 158 kkal, 0,09 gram dan 0,31 gram.

8) Kelompok buah/biji berminyak yang termasuk dalam kelompok ini adalah kacang

tanah, kedelai, kacang hijau dan kelapa. Ketersediaan energi dan protein per kapita

per hari kelompok ini pada tahun 2015 mengalami peningkatan dibanding tahun

2014, masing-masing dari 224 kkal menjadi 230 kkal, 14,08 gram menjadi 15,11

gram, sedangkan untuk lemak ketersediaan per kapita per hari mengalami

penurunan dari 15,34 gram menjadi 15,26 gram. Ketersediaan energi, protein dan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 43

lemak per kapita per hari pada tahun 2016 dari kelompok buah biji berminyak, yaitu

masing-masing 153 kkal, 7,40 gram dan 11,50 gram, masih lebih rendah dari dua

tahun sebelumnya karena data yang masuk belum lengkap dan sebagian besar

masih angka sementara, estimasi dan angka sasaran.

9) Kelompok buah-buahan, Kontribusi energi per kapita/hari pada tahun 2015 sama

dengan tahun 2014 yaitu sebesar 71 kkal. Sedangkan untuk protein dan lemak

mengalami peningkatan masing-masing dari 0,76 gram menjadi 0,77 gram dan 0,44

gram menjadi 0,47 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari

pada tahun 2016 dari kelompok buah-buahan untuk sementara tidak jauh berbeda

dengan dua tahun sebelumnya namun akan mengalami perubahan apabila data

sudah menjadi angka sementara ataupun angka tetap.

10) Kelompok sayur-sayuran, Kontribusi energi, protein dan lemak per kapita per hari

pada tahun 2015 mengalami penurunan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing

dari 35 kkal menjadi 32 kkal, dari 1,65 gram menjadi 1,50 gram dan dari 0,33 gram

menjadi 0,30 gram. Ketersediaan energi, protein dan lemak per kapita per hari

kelompok sayur-sayuran pada tahun 2016, tidak jauh berbeda dengan dua tahun

sebelumnya yaitu masing-masing 32 kkal, 1,50 gram dan 0,32 gram, namun data ini

akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka sementara atau angka

tetap.

11) Kelompok daging, Pada tahun 2015 ketersediaan per kapita per hari untuk energi,

protein dan lemak mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 masing-masing

dari 61 kkal (1,59%) menjadi 62 kkal (1,62%) dari total ketersediaan, 4,10 gram

menjadi 4,12 gram dan 4,83 gram menjadi 4,95 gram. Ketersediaan energi, protein

dan lemak dari kelompok daging pada tahun 2016 kemungkinan akan mengalami

kenaikan, dan saat ini tersedia naik masing-masing sebesar 63 kkal, 4,17 gram dan

5,03 gram, dan akan mengalami perubahan apabila sudah menjadi angka

sementara dan angka tetap.

12) Kelompok telur, kelompok ini antara lain telur ayam buras, telur ayam ras dan telur

itik. Kelompok telur memberikan kontribusi ketersediaan energi, protein dan lemak

cukup tinggi. Pada tahun 2015 kontribusi per kapita per hari mengalami peningkatan

dibanding tahun 2014, yaitu masing-masing dari 22 kkal (0,57%) menjadi 24 kkal

(0,63%), dari 1,68 gram menjadi 1,80 gram, dan dari 1,60 gram menjadi 1,71 gram.

13) Kelompok susu, pada tahun 2015 tidak mengalami perubahan dari tahun 2014

yaitu sebesar 24 kkal, sedangkan untuk protein dan lemak mengalami peningkatan

yaitu masing-masing dari 1,24 gram menjadi 1,25 gram dan dari 1,35 gram menjadi

1,37 gram. Sedangkan tahun 2016 yaitu masing-masing 9 kkal, 0,48 gram dan 0,53

gram.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 44

14) Kelompok ikan, Produksi perikanan berasal dari produksi ikan tangkap dan

budidaya, baik air tawar maupun laut, termasuk rumput laut. Pada tahun 2015,

kontribusinya mengalami peningkatan dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing

dari 177 kkal menjadi 213 kkal, dari 11,25 gram menjadi 11,78 gram dan dari 1,69

gram menjadi 1,83 gram. Tahun 2016 ketersediaan per kapita per hari energi,

protein masing-masing sekitar 213 kkal, 11,48 gram dan 1,85 gram.

15) Kelompok minyak dan lemak terdiri dari minyak nabati dan lemak hewani. Minyak

nabati terdiri dari minyak yang berasal dari kacang tanah, kopra dan sawit,

sedangkan lemak hewani merupakan bagian dari kelompok daging. Pada tahun

2015 ketersediaan energi dan lemak per kapita per hari mengalami penurunan

dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 426 kkal menjadi 307 kkal dan dari

23,86 gram menjadi 17,50 gram, sedangkan untuk ketersediaan protein tidak

mengalami perubahan yaitu tetap sebesar 0,03 gram.

Kontribusi kelompok minyak nabati terhadap ketersediaan energi dan lemak per

kapita per hari merupakan yang terbesar, pada tahun 2015 mengalami penurunan

dibanding tahun 2014 yaitu masing-masing dari 419 kkal menjadi sebesar 299 kkal

dan dari 23,06 gram menjadi sebesar 16,67 gram, sedangkan untuk ketersediaan

protein tetap tidak mengalami perubahan yaitu 0,02 gram. Sementara itu pada

tahun 2016, ketersediaan per kapita per hari energi, protein dan lemak masing-

masing sekitar 809 kkal, 0,05 gram dan 44,18 gram.

b. Analisis Situasi Akses Pangan

Secara konsep akses pangan dipengaruhi oleh aspek fisik, ekonomi dan sosial.

Aspek fisik dicirikan oleh ketersediaan pangan disuatu wilayah baik sebagai hasil

produksi setempat maupun pasokan pangan dari tempat lain yang kondisinya sangat

tergantung pada jalur distribusi dan prasarana infrastruktur dasar seperti jalan dan

pasar, aspek ekonomi terkait dengan daya beli masyarakat terhadap bahan pangan, dan

aspek sosial meliputi pendidikan dan modal sosial masyarakat.

Permasalahan akses pangan dapat bersifat sesaat (transien) maupun kronis.

Permasalahan yang bersifat sesaat (transien) biasanya disebabkan oleh adanya

gangguan terhadap potensi sumberdaya seperti konflik sosial dan bencana alam

sedangkan yang bersifat kronis yang umumnya terjadi didaerah rawan pangan dapat

disebabkan karena adanya ketimpangan pada salah satu aspek tersebut diatas atau

bahkan pada ketiga-nya, sehingga penanganan yang harus diambil akan berbeda

sesuai dengan penyebab timbulnya masalah aksesibilitas pangan tersebut.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 45

Untuk menciptakan kondisi sebagaimana pengertian akses pangan bahwa akses

pangan merupakan kemampuan masyarakat, kelompok, rumah tangga atau individu

untuk untuk memenuhi kecukupan pangan setiap saat, baik dari produksi sendiri,

pembelian, pemberian atau bantuan berdasarkan sumber daya yang dikuasai

(teknologi, finansial, sosial, alam dan manusia) dengan cara-cara yang tidak

bertentangan dengan keyakinan dapat terpenuhi, maka langkah awal adalah

mengetahui individu atau kelompok yang mengalami rawan pangan, penyebab

timbulnya kondisi tersebut, dan sumber daya yang mereka kuasai yang dapat dijadikan

modal untuk memperkuat aksesibilitas pangan mereka, sehingga langkah dan kebijakan

yang akan disusun berdasarkan kondisi, permasalahan, kebutuhan dan potensi

setempat.

Tujuan kegiatan Analisis Situasi Akses Pangan adalah :

Mengetahui rumah tangga/kelompok rumah tangga yang mengalami masalah

aksesibiltas pangan;

Mengetahui penyebab rendahnya akses pangan rumah tangga/kelompok rumah

tangga;

Menyediakan bahan rumusan kebijakan penguatan aksesibilitas pangan

masyarakat.

Hasil analisis situasi akses pangan dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Kegiatan analisis akses pangan telah dilakukan di Desa Tanah Abang Kecamatan

Batanghari Leko Kabupaten Musi Banyuasin. Pemilihan desa berdasarkan FSVA

dan SKPG Kabupaten. Pelaksanaan dilakukan 2 (dua) tahap pengumpulan data

dan informasi yaitu tahap identifikasi dan tahap investigasi. Tahap identifikasi

dilaksanakan dengan menyebar KAP-RT (Kartu Akses Pangan-Rumah Tangga)

kepada seluruh penduduk Desa Tanah Abang yang berjumlah 500 orang. KAP-RT

berisi informasi keberagaman makanan yang dikonsumsi RT setiap hari selama dua

minggu, pada tahap ini semua rumah tangga mengisi KAP-RT sesuai dengan

konsumsi rumah tangga yang bersangkutan, sedangkan tahap investigasi dilakukan

kepada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami masalah aksesibilitas pangan

(kategori rendah), untuk mengetahui penyebab terjadinya masalah aksesibilitas

pangan di rumah tangga terduga, baik dari aspek fisik, ekonomi maupun sosial,

dengan menggunakan kuesioner investigasi;

2. Berdasarkan identifikasi aksesibilitas pangan rumah tangga yang dilakukan dengan

menggunakan KAP-RT untuk 500 kepala keluarga, diperoleh status aksesibilitas

akses pangan yang masuk dalam kategori baik 129 kepala keluarga, kategori

sedang 239 kepala keluarga, kategori rendah 53 kepala keluarga atau 10,6 % dan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 46

79 kepala keluarga tidak ada data. Jumlah keluarga yang termasuk pada kategori

aksesibilitas pangan rendah sebesar 10,6 %, mendekati angka kemiskinan BPS

sebesar 11,22 % (Maret 2015);

3. Hasil monitoring pada rumah tangga dengan aksesibiitas pangan rendah mencatat

hal-hal berikut :

a) Berdasarkan analisa distribusi pengeluaran untuk pangan dan stok pangan

rumah tangga, pada 53 rumah tangga yang teridentifikasi mengalami

aksesibilitas pangan tersebut, diperoleh data bahwa rumah tangga yang benar-

benar mengalami masalah aksesibilitas pangan hanya sebesar 16% atau

sebanyak 9 orang, sisanya sebanyak 44 orang berkecenderungan memiliki akses

pangan sedang sampai baik;

b) Tidak ditemukan korelasi yang signifikan antara usia produktif kepala rumah

tangga, jumlah anggota keluarga serta jenis kelamin kepala rumah tangga

dengan kondisi aksesibilitas pangan rumah tangga bersangkutan, namun

mengingat identifikasi aksesibilitas rumah tangga ini berdasarkan keberagaman

asupan makanan, maka perlu dikaji sejauh mana intervensi kepala rumah tangga

pria dalam menentukan menu keluarganya;

c) Keberadaan warung pangan di sekitar pemukiman penduduk dapat

mencerminkan ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau. Jumlah warung

yang cukup banyak dan jarak yang relatif dekat membantu masyarakat

memperoleh bahan pangannya dengan mudah, dapat dikatakan bahwa

ketersediaan bahan pangan di daerah ini cukup, serta dengan harga yang relatif

tidak berbeda jauh dengan harga di kota kecamatan;

d) Penyebab masalah aksesibilitas pangan di Desa Tanah Abang Kecamatan

Batanghari Leko adalah sebagai berikut :

1) Keterbatasan pendidikan (tidak tamat SD)

Pada rumah tangga yang teridentifikasi mengalami akses pangan rendah,

komposisi terbesar pendidikan kepala rumah tangga adalah belum tamat

SD;

2) Mata pencaharian kepala rumahtangga dan anggota keluarga lainnya

Keterbatasan pendidikan dan ketrampilan yang dimiliki kepala keluarga

mengakibatkan tidak adanya pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh,

umumnya pekerjaan mereka adalah buruh di kebun karet maupun buruh

serabutan lainnya, pekerjaan tersebut tidak memberi mereka pendapatan

yang cukup, sehingga sebagian besar pendapatannya hanya digunakan

untuk memenuhi kebutuhan pangan saja;

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 47

3) Tidak dimilikinya aset, baik aset produksi maupun aset yang mudah

dicairkan yang dapat digunakan untuk membantu pemenuhan pangan

keluarga;

4) Peran dan fungsi hubungan sosial belum maksimal dimanfaatkan terutama

terkait dengan ketahanan pangan keluarga. Keaktifan berkelompok untuk

peningkatan produksi kebun hanya diikuti oleh 18,6 % buruh, di luar itu

kelompok untuk dana kematian diikuti oleh 39,5 %;

5) Berdasarkan topografi wilayah dan kultur setempat, tersedia potensi yang

dapat dimanfaatkan untuk mendukung peningkatan aksesibilitas masyarakat

desa tersebut.

c. Kajian Responsif Antisipatif Kerawanan Pangan

Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan melaksanakan

kegiatan Kajian Responsif Antisifatif dalam rangka mitigasi penanganan Kerawanan

Pangan yang difokuskan pada pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi,

dengan sasaran kegiatan di Provinsi Kalimantan Utara (Kaltara), Maluku Utara,

Kepuluan Riau (Natuna). Dari hasil pemetaan FSVA wilayah Maluku, Kep. Riau dan

Kaltara, merupakan daerah rentan karena faktor akses dan sarana prasana. Sedangkan

potensi wilayahnya sangat mendukung untuk dikembangkan. Tahun 2016 kegiatan

pengembangan kawasan terpadu pangan dan energi rencana dilaksanakan di Provinsi

Kalimantan utara. dimana Energi listrik merupakan salah satu infrastruktur utama

yang menyangkut keberlangsungan hidup masyarakat. Kebutuhan penyediaan energi

listrik harus dapat menjamin ketersediaannya dalam jumlah yang cukup, sehingga dapat

menggerakan perekonomian masyarakat. Semakin meningkatnya tingkat ekonomi pada

suatu daerah maka konsumsi energi listrik juga akan semakin meningkat. Kurangnya

pasokan listrik di Kalimantan Utara menyebabkan pemadaman bergilir sewaktu-

waktu.

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mengadakan kajian melalui FGD

(Focus Discusion Group) sebagai berikut:

1) FGD pertama dilaksanakan pada tannggal 14 – 15 Juli 2016 di Wisma Sapphire

Pertamina dengan peserta yang hadir dari unsur pemerintah (swasta). Unsur

pemerintah terdiri dari Dinas/Kantor/Badan Ketahanan Pangan Provinsi Maluku,

Maluku Utara, Kalimantan Utara, Kabupaten Natuna, dan Kabupaten Blora.

Sedangkan dari swasta dan Perguruan Tinggi dari perwakilan PT. Megadaya, PT.

Paduka Tani Mulia serta UNWAHA Jombang. Dari hasil FGD ini, untuk

pengembangan kawasan perpadu pangan dan energi dengan melihat

pengembangan daerah kawasan memerlukan infrastruktur dan sarana yang

memadai. Inovasi teknologi yang terjangkau dan sesuai dengan kondisi daerah

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 48

seperti penggunaan mikroba untuk penyuburan tanah, penggunaan Soil Stabilizer

untuk pengerasan sarana jalan dan pengadaan energi listrik dari bahan bakar

biomassa dapat diterapkan untuk pengembangan daerah kawasan dan untuk

mengimpelentasikan upaya tersebut, maka diperlukan kerjasama dari seluruh sektor

baik pemerintah maupun non pemerintah.

2) FGD Kedua melanjutkan pembahasan Kawasan Mandiri Pangan terpadu untuk

daerah perbatasan di Provinsi Kaliamantan Utara, FGD ini dilaksanakan di Ruang

Rapat Nusantara II tanggal 3 Agustus 2016 dengan hasil bahasan bahwa di

perbatasan Provinsi Kalimantan Utara banyak daerahnya berada di wilayah

pedalaman sehingga pemenuhan pangan dengan harga terjangkau dan penyediaan

energi listrik masih kurang. Dengan melimpahnya ketersediaan sumberdaya lokal

merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kawasan

terpadu pangan dan energi diwilayah perbatasan. Potensi sumberdaya lokal yang

ada tersebut merupakan peluang untuk dimanfaatkan dalam penyediaan listrik dari

biomassa. Produksi energi dari biomassa tersebut juga merupakan salah satu output

yang tidak terpisahkan dari pengembangan sektor pertanian khususnya pangan.

3) FGD Ketiga dilaksanakan pada tanggal 10 Agustus 2016 di Ruang Rapat Kapus

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan bertujuan untuk: (1) menggali informasi dan

permasalahan serta potensi SDA maupun SDM di wilayah perbatasan Kaltara; (2)

mendapatkan masukan dari nara sumber dan praktisi yang terkait untuk

pengembangan potensi pangan dan energi terbaharukan dalam rangka

pembangunan ketahanan pangan di kawasan perbatasan di Kaltara; dan (3)

merumuskan upaya untuk mengembangkan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk

Daerah Perbatasan

Beberapa hal yang menjadi perhatian dan arah pengembangan Kawasan Mandiri

Pangan terpadu untuk Daerah Perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara yaitu:

a. Pertanian berkelanjutan dengan memanfaatkan sumberdaya lokal diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan masyarakat yang tidak hanya mencakup pangan tetapi juga

kebutuhan lainnya seperti energi. Teknologi yang dapat digunakan untuk

mewujudkan hal tersebut adalah pemanfaatan mikroba baik untuk di sektor

pertanian untuk meningkatkan penyediaan dan akses pangan untuk masyarakat

maupun untuk memproduksi listrik dari biomassa; di mana biomassa ini banyak

tersedia di Provinsi Kalimantan Utara.

b. Fokus pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu untuk Daerah Perbatasan

di Kalimantan Utara meliputi: (1) Pemanfaatan pertanian berkelanjutan; (2)

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 49

pembangunan infrastruktur pendukung sarana prasarana pertanian dan

pemukiman, (3) penyediaan listrik tenaga melalui PLTBM (Pembangkit Listrik

Tenaga Biomassa); dam, 4) Pengembangan SDM misalnya melalui pembangunan

politeknik kerjasama dengan perguruan tinggi lainnya.

4) FGD Keempat dilaksanakan di Cipayung pada tanggal 14 -1 5 November 2016 Focus

Group Discussion (FGD) ini merupakan upaya meningkatkan pemahaman

stakeholder terkait dan aparat daerah dalam memanfaatkan sektor pertanian dan

sumberdaya lokal lainnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah

perbatasan melalui pengembangan Kawasan mandiri Pangan Terpadu.

Untuk memperkuat Kajian Kawasan Mandiri Pangan terpadu ini maka ditambah

peran Pokja Ahli DKP dan Dewan Pakar Provinsi Kalimantan Utara. Dai hasil FGD

sebagai berikut :

a. Untuk mewujudkan kehidupan yang layak, maka perlu dilakukan perubahan

paradigma dalam pertanian terkait kedaulatan/ketahanan pangan, yakni pertanian

digunakan untuk memenuhi penghidupan (livelihood); artinya pertanian tidak

hanya untuk memenuhi pangan tetapi juga memenuhi kebutuhan hidup lainnya

seperti bahan sandang, papan, obat-obatan, dll. Contoh realisasi konsep ini

meliputi contoh sebagai berikut:

- Pemanfaatan jamur mikoriza untuk menyehatkan dan mempertahankan

kesuburan lahan;

- Pemanfaatan mikroorganisme untuk ketersediaan pangan seperti ganggang

mikro spirulina;

- Pemanfaatan pertanian untuk bahan infrastruktur seperti membuat tembok

dari serat tanaman dan bahan pengeras jalan (yang berfungsi seperti aspal);

- Eceng gondok/tanaman lainnya yang dianggap gulma dimanfaatkan sebagai

bahan bioetanol;

- Landscaping pertanian untuk meningkatkan produksi, pendapatan dan

kemandirian petani. Contoh lanscaping pertanian adalah: memanfaatkan arah

sinar matahari, penyediaan air di setiap lahan petani, serta penerapan sistem

zero waste dalam kegiatan pertanian.

b. Upaya untuk melakukan pemerataan pembangunan melalui optimalisasi potensi

sumberdaya yang belum dimanfaatkan. Nilai APBN Indonesia saat ini adalah

sekitar Rp. 3.000 trilyun, yang merupakan 5% dari ekonomi Indonesia secara

keseluruhan. Sementara 95% dari keseluruhan ekonomi Indonesia yang sering

tidak diperhatikan, merupakan potensi yang perlu dikelola.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 50

c. Untuk daerah perbatasan/kepulauan yang memiliki tantangan tertentu, maka

diperlukan penyelesaian yang sesuai dengan kondisinya masing-masing.

Penyelesaian tantangan dan permasalahan perlu dipikirkan untuk daerah yang

biasanya jauh dari perhatian ini. Pemanfaatan pertanian untuk memenuhi

penghidupan sebagaimana dijelaskan sebelumnya, perlu dilakukan untuk

menghadapi tantangan tersebut. Berbagai tantangan yang dihadapi antara lain:

- Masih rendahnya kapasitas SDM (baik aparat maupun masyarakat);

- Keterbatasan sarana dan pra sarana produksi pertanian untuk menghasilkan

pangan;

- Keterbatasan penyediaan energi listrik dan bahan bakar untuk masyarakat.

- Beberapa jalan keluar yang ditawarkan dalam rangka menghadapi tantangan

tersebut (baik dari sisi teknis maupun kebijakan), adalah sebagai berikut:

Kebijakan:

Perlu ada leading sector yang dapat mengkoordinasi upaya penyelesaian

masalah ini;

Perlunya dukungan politik dari masing-masing daerah untuk merealisasikan

upaya yang direncanakan.

Teknis:

Pemanfatan limbah pertanian/perikanan/peternakan menjadi bahan yang

bernilai ekonomis, seperti pemanfaatan limbah perikanan untuk bahan

pengenyal dan pengawet makanan, pemanfaatan gulma untuk bahan

bioetanol;

Pemanfaatan embung bertingkat dalam rangka menyediakan air untuk

kegiatan pertanian sekaligus menahan air selama mungkin sebelum kembali

ke laut;

Penyediaan tanaman pelindung disekitar embung, untuk mengatasi evaporasi

yang tinggi pada musim kemarau;

Penyediaan benih bagi petani oleh petani itu sendiri.

d. Rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan antara lain :

Sosialisasi kepada stakeholder di Daerah Perbatasan (Provinsi Kepulauan

Bangka Belitung, Kalimantan Utara, dan Maluku Utara);

Pembagian peran (pengorganisasian);

Persiapan teknis;

Pengembangan Kemitraan dan peran lembaga kemasyarakatan, pemerintah

dan swasta.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 51

5) FGD kelima di laksanakan pada tanggal 16 November 2016 dengan membahas isu-

isu strategis yang dibahas a) Fokus utama proyek pengembangan kawasan mandiri

pangan terpadu daerah perbatasan di Provinsi Kalimantan Utara, b) rencana lokasi

proyek pengembangan kawasan mandiri pangan terpadu daerah perbatasan di

Provinsi Kalimantan Utara, penyiapan bahan-bahan terkait rencana audiensi dengan

jajaran pemerintah Provinsi Kalimantan Utara.

Hasil FGD yang perlu diperhatikan adalah : a) fokus utama pengembangan Kawasan

Mandiri Pangan Terpadu diarahkan pada pemantapan sistem pertanian dengan

menggunakan pendekatan landscaping yang mampu mempertahankan dan

meningkatkan kesuburan tanah, sehingga dapat dihasilkan produk-produk

pertanian/pangan yang berdaya saing dan sebagai bonus pemanfaatan dengan

penerapan prinsip zero easte maka didapat energi (termasuk listrik). b) melalui

pendekatan landscaping tersebut, Kawasan Mandiri Pangan Terpadu dapat

dikembangkan secara berkelanjutan dengan berbasis pemanfaatan sumberdaya

lokal; c) kegiatan pengembangan Kawasan Mandiri Pangan Terpadu tersebut dapat

melibatkan swasta dengan tetap memfokuskan kepada peningkatan kesejahteraan

masyarakat; d) dalam rangka persiapan pelaksanaan kegiatan pengembangan

Kawasan Mandiri Pangan Terpadu, akan segera disusun proposal mengenai

kegiatan dimaksud; e) untuk mempercepat pelaksanaan audiensi dengan jajaran

Pemprov Kaltara, selama satu minggu kedepan Tim akan berkoordinasi dengan

pemangku kepentingan di Provinsi Kalimantan Utara;

d. Monitoring Akses Pangan di Tingkat Penggilingan

Penggilingan padi merupakan bagian dari aktivitas produksi, pasca panen,

pengolahan dan pemasaran gabah/beras, sehingga merupakan mata rantai penting

dalam suplai beras nasional. Industri penggilingan padi dituntut dapat memberikan

kontribusi dalam penyediaan beras, baik dari segi kuantitas maupun kualitas untuk

mendukung ketahanan pangan nasional. Penggilingan memiliki peranan penting antara

lain: (1) sebagai penyedia kebutuhan masyarakat, (2) menjadi titik sentral dari suatu

kawasan industri produksi padi, karena mampu berfungsi sebagai titik pertemuan antara

perubahan bentuk padi menjadi hasil utama berupa beras, (3) kontribusinya dalam

menentukan jumlah ketersediaan beras, mutu dan kualitas beras, (4) tingkat harga dan

pendapatan yang diperoleh petani serta tingkat harga yang harus dibayar oleh

konsumen, dan (5) mampu membuka lapangan pekerjaan di daerah pedesaan. Selain

itu, penggilingan merupakan salah satu pintu masuk untuk memperkirakan antara lain

jumlah/kuantitas beras yang tersedia pada waktu tertentu.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 52

Berdasarkan hasil survei ekonomi yang dilakukan oleh BPS pada tahun 2012

data jumlah penggilingan yang ada di Indonesia sebanyak 182.175 unit terdiri dari

167.840 unit dengan kapasitas kecil, 8.624 unit dengan kapasitas sedang, 2.117 unit

dengan kapasitas besar, dan sebanyak 3.594 unit tidak tercatat golongan

kapasitasnya.

Jumlah penggilingan padi tergantung pada kondisi lingkungan setempat dimana

biasanya semakin tinggi produksi padi di suatu wilayah semakin banyak pula jumlah

penggilingan padi di wilayah tersebut. Saat ini sebanyak 53% jumlah penggilingan padi

di Indonesia berada di pulau Jawa. Berdasarkan tempat usaha, penggilingan padi

dibedakan menjadi dua yaitu penggilingan padi tetap dan penggilingan padi keliling.

Lokasi penggilingan padi tetap selalu menetap di suatu wilayah sedangkan penggilingan

padi keliling umumnya bergerak mengikuti konsumen dari jasa penggilingan tersebut.

Jumlah penggilingan padi keliling di Indonesia mencapai 11,5 % dari total seluruh

penggilingan. Munculnya penggilingan padi keliling mempermudah petani untuk

menggiling padi tanpa harus memikirkan pengangkutan hasilnya.

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui stok gabah dan beras yang

ada di penggilingan sebagai indikasi ketersediaan beras di masyarakat. Jumlah sampel

pada kegiatan monitoring akses pangan sebanyak 970 penggilingan yang terdapat pada

97 kabupaten di 22 provinsi di Indonesia. Tiga kabupaten yaitu Kabupaten Toba

Samosir, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Lampung Tengah (30 penggilingan) tidak

dimasukkan dalam pengolahan data karena kendala di lapangan sehingga kabupaten-

kabupaten tersebut tidak dapat mengirimkan data.

Sampel penggilingan terdiri dari 514 penggilingan dengan kapasitas besar, 357

penggilingan kapasitas sedang, dan 99 penggilingan kapasitas kecil. Persentase

penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan dengan populasi

jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya adalah sebagai berikut

penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang 4,3%, dan penggilingan kecil

sebesar 0,06%.

Hasil kegiatan monitoring akses pangan di tingkat penggilingan tahun 2016

adalah sebagai berikut :

(1) Jumlah Sampel Per Provinsi

Persentase penggilingan responden dari masing-masing skala usaha dibandingkan

dengan populasi jumlah penggilingan di Indonesia berdasarkan kapasitasnya

adalah sebagai berikut : penggilingan besar sebesar 25%, penggilingan sedang

4,3%, dan penggilingan kecil sebesar 0,06%. Pengambilan sampel pada

penggilingan skala besar lebih banyak dari penggilingan skala lainnya karena

keragaman kapasitas terpasang pada skala tersebut relatif tinggi. Berikut jumlah

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 53

populasi sampel dan jumlah sampel berdasarkan kapasitas penggilingan per

provinsi pada kegiatan monitoring akses pangan tahun 2016.

Tabel 8. Jumlah sampel per provinsi berdasarkan kapasitas penggilingan

No. Provinsi Jumlah Sampel

Jumlah Besar Sedang Kecil

1 Bali 13 5 2 20

2 Banten 12 24 4 40

3 DI Yogyakarta 6 3 1 10

4 Jawa Barat 96 48 16 160

5 Jambi 11 5 4 20

6 Jawa Tengah 70 56 14 140

7 Jawa Timur 72 36 12 120

8 Kalimantan Barat 29 26 5 60

9 Kalimantan Selatan 17 9 4 30

10 Kalimantan Tengah 11 7 2 20

11 Kalimantan Timur 12 6 2 20

12 Lampung 9 18 3 30

13 Nanggroe Aceh Darussalam

18 9 3 30

14 Nusa Tenggara Barat 24 12 4 40

15 Nusa Tenggara Timur 8 10 2 20

16 Riau 1 8 1 10

17 Sulawesi Barat 11 7 2 20

18 Sulawesi Selatan 50 31 9 90

19 Sulawesi Tenggara 1 8 1 10

20 Sumatera Barat 15 12 3 30

21 Sumatera Selatan 22 14 4 40

22 Sumatera Utara 6 3 1 10

Total 514 357 99 970

a. Tingkat Rendemen Penggilingan Sampel

1) Faktor yang berpengaruh terhadap tingkat rendemen

Rendemen giling adalah persentase berat beras sosoh terhadap berat

gabah yang digiling. Beras sosoh adalah gabungan beras kepala, beras

patah, dan menir. Langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung

rendemen adalah dengan mengambil sampel gabah dan ditimbang kemudian

dimasukkan ke mesin penggiling dengan konfigurasi mesin yang telah

ditentukan. Beras hasil penggilingan ditimbang dan dipisahkan dari kotoran

atau benda asing. Nilai rendemen merupakan hasil perbandingan antara berat

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 54

beras sosoh yang dihasilkan dari penggilingan dengan berat gabah sebelum

digiling.

Rendemen merupakan salah satu faktor mutu yang penting. Rendemen

dikatakan baik apabila dari gabah digiling diperoleh minimum 70% beras

giling, terdiri dari ± 50% beras kepala dan 20% beras pecah.

Faktor-faktor yang menentukan rendemen giling antara lain : varietas,

penerapan budidaya, lingkungan atau agroekosistem, penanganan pasca

panen, teknik penggilingan, peralatan penggilingan, dan kemampuan sumber

daya manusia yang melakukan proses penggilingan.

Upaya untuk menekan susut dan meningkatkan rendemen giling telah

dilakukan pemerintah dengan meluncurkan program Peningkatan Produksi

Beras Nasional (P2BN) dan gerakan penanganan pasca panen dan

pemasaran gabah/beras (GP4GB) dengan target menghasilkan tambahan

produksi dua juta ton beras atau setara 3,15 juta ton GKG (gabah kering

giling). Dalam kegiatan pascapanen upaya tersebut ditempuh melalui

pengadaan dan rehabilitasi alat mesin pascapanen (sabit bergerigi, terpal,

pedal thresher dan power thresher) dan revitalisasi penggilingan padi kecil

(PPK) atau rice milling unit (RMU) dengan tujuan utama menekan susut

pascapanen dan meningkatkan rendemen giling. Jika dalam penanganan

pascapanen dapat ditekan susut sebesar 3 persen maka usaha tersebut

dapat meningkatkan produksi gabah sebesar 1,8 juta ton GKG atau setara

1,14 juta ton beras. Di lain pihak, dalam penggilingan jika dapat meningkatkan

rendemen sebesar 3 persen akan dapat meningkatkan ketersediaan beras

nasional sekitar 1,14 juta ton beras. Dengan demikian sekitar 2,28 juta ton

beras dapat diselamatkan dengan menekan susut dan meningkatkan

rendemen giling.

2) Keragaan rendemen setiap kabupaten

Hasil pemantauan menunjukkan bahwa tingkat rendemen berkisar

antara 41% - 75 % dengan rata-rata rendemen 55 %. Keragaan rendemen

setiap kabupaten dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 55

Tabel 9 . Tingkat rendemen penggilingan sampel

b. Jumlah Penggilingan Yang Memberikan Data Selama Juli – Desember 2016

Persentase tertinggi jumlah penggilingan yang memberikan data terjadi pada

bulan Juli 2016 yaitu sebesar 83,09%, dan terendah pada bulan Desember 2016

yaitu 69,38%, rata-rata data yang masuk setiap bulan sebesar 76,82%.

Berdasarkan wilayah, provinsi yang memberikan laporan data stok gabah

dan beras secara penuh (100%) adalah provinsi Bali, Jambi, Kalimantan Selatan,

No. Kabupaten Rata-Rata Rendemen

1 Lima Puluh Kota 48 %

2 Indragiri Hilir 60 – 65 %

3 Kerinci 55 – 65 %

4 Banyuasin 55 – 66 %

5 Lampung Timur 56 – 66 %

6 Tanggamus 50 %

7 Serang 50 – 59 %

8 Lebak 55 – 62 %

9 Pandeglang 48 – 63 %

10 Tangerang 55 – 65 %

11 Cianjur 43 – 64 %

12 Bogor 52 – 65 %

13 Karawang 53 – 60 %

14 Majalengka 60 – 65 %

15 Pati 49 – 60 %

16 Ponorogo 60 – 66 %

17 Banyuwangi 51 – 55 %

18 Ngawi 55 – 65 %

19 Malang 50 – 55 %

20 Pasuruan 46 – 53 %

21 Lumajang 53 – 58 %

22 Bantul 60 %

23 Lombok Tengah 60 – 62 %

24 Bima 60 – 66 %

25 Lombok Barat 50 – 75 %

26 Kubu Raya 64 – 68 %

27 Hulu Sungai Tengah 60 – 67 %

28 Hulu Sungai Selatan 66 %

29 Takalar 65 %

30 Gowa 55 – 65 %

31 Bantaeng 60 – 70 %

32 Maros 41 – 65 %

33 Wajo 50 – 57 %

34 Bulukumba 55 – 65 %

35 Polewali Mandar 57 – 60 %

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 56

Riau dan Sumatera Utara, sedangkan provinsi Sulawesi Tenggara merupakan

provinsi yang terendah dalam memberikan laporan (0%). Tren pengumpulan data

semakin menurun. Hal ini antara lain disebabkan oleh :

1) Perubahan kelembagaan yang menangani ketahanan pangan di daerah,

salah satu diantaranya mutasi enumerator ke dinas lain;

2) Respon dari penggilingan yang menjadi sampel semakin lama semakin

turun, hal ini diduga karena responden merasa bosan. Sehingga

pengumpulan data mengalami keterlambatan atau bahkan tidak ada data

sama sekali.

c. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan pada Bulan Juli – Desember 2016

Berdasarkan pengumpulan data yang dilakukan dari bulan Juli – Desember

2016, diperoleh data stok gabah tertinggi terdapat pada bulan Agustus 2016

yaitu sebesar 3.828.810 ton, dan stok terendah terjadi pada bulan November

2016 yaitu sebesar 2.964.067 ton. Stok beras tertinggi terjadi pada bulan

September 2016 yaitu sebesar 1.762.296 ton, dan stok terendah pada bulan Juli

2016 yaitu sebesar 1.529.048 ton. Stok tersebut tersebar di penggilingan besar,

sedang maupun kecil.

d. Stok Gabah dan Beras di Penggilingan Berdasarkan Kapasitasnya pada

bulan Juli – Desember 2016

1) Stok gabah dan beras di penggilingan berdasarkan kapasitas besar pada

bulan Juli – Desember 2016

Berdasarkan hasil survei Juli - Desember 2016 diperoleh data stok

gabah di penggilingan kapasitas besar tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016

yaitu sebanyak 291.342,60 ton, sedangkan stok beras tertinggi pada bulan

Oktober 2016 yaitu sebesar 454.271,78 ton.

2) Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas sedang pada bulan Juli –

Desember 2016

Berdasarkan hasil survey Juli - Desember 2016 diperoleh data stok

gabah di penggilingan kapasitas sedang tertinggi terjadi pada bulan

Desember 2016 yaitu sebanyak 398.072,80 ton dan stok beras tertinggi juga

terjadi pada bulan Desember 2016 sebesar 192.110,23 ton.

3) Stok gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil pada bulan Juli –

Desember 2016

Berdasarkan hasil survey Juli – Desember 2016 diperoleh data stok

gabah dan beras di penggilingan kapasitas kecil tertinggi terjadi pada bulan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 57

Agustus 2016 yaitu dimana stok gabah sebanyak 3.260.289 ton dan stok

beras tertinggi terjadi pada bulan Juli 2016 sebanyak 1.268.680 ton.

e. Perkiraan Ketersediaan dan Kebutuhan Beras Nasional

Perkiraan ketersediaan beras nasional tahun 2016 sebesar 46,028.6 ribu ton

dan perkiraan kebutuhan beras nasional tahun 2016 sebesar 33,842.4 ribu.

Kebutuhan beras nasional dihitung sebesar 124,89 kg/kap/thn. Dengan stok akhir

tahun 2015 sebesar 8.906,6 ribu ton maka pada tahun 2016 tidak perlu ada

import. Jumlah penduduk tahun 2016 sebanyak 258.705.000 jiwa (proyeksi

penduduk Indonesia 2010 – 2035, Bappenas – BPS).

f. Hubungan Antara Ketersediaan Dan Stok Beras Di Penggilingan Pada

Bulan Juli – Desember 2016

Apabila dibuat perbandingan perkiraan ketersediaan beras dan stok beras di

penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 terdapat hubungan yang cukup

signifikan antara ketersediaan beras dan stok beras di penggilingan, dimana hasil

uji korelasi menunjukan nilai r = 0,889. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi

hubungan yang kuat antara ketersediaan beras dengan stok beras di

penggilingan. Sedangkan arah hubungan adalah positif karena nilai r positif,

berarti semakin tinggi perkiraan ketersediaan beras per bulan maka stok beras di

penggilingan per bulan juga meningkat.

g. Hubungan Antara Perkiraan Kebutuhan Dan Stok Beras Di Penggilingan

Pada Juli – Desember 2016

Berdasarkan hasil pengumpulan data monitoring akses pangan di tingkat

penggilingan dari bulan Juli – Desember 2016 jumlah stok beras di penggilingan

hampir selalu lebih rendah dibanding perkiraan kebutuhan beras.

h. Hubungan Antara Perkiraan Ketersediaan Beras, Stok Beras Di

Penggilingan, Dan Perkiraan Kebutuhan Beras Bulan Juli – Desember 2016

Perkiraan kebutuhan beras untuk tahun 2016 cenderung stabil dari bulan ke

bulan, sedangkan perkiraan ketersediaan beras bersifat fluktuatif tergantung

pada musim, dimana pada saat musim panen seperti bulan Maret perkiraan

ketersediaan berasnya sangat tinggi. Namun apabila dilihat dari jumlah stok

beras di penggilingan, jumlahnya juga cukup stabil tidak terlalu terpengaruh oleh

musim panen walaupun pada musim-musim panen jumlahnya cenderung tinggi

namun meningkatnya tidak terlalu signifikan dibanding bulan-bulan lainnya.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 58

Stabilnya jumlah stok beras di penggilingan diduga karena pada umumnya

apabila di suatu wilayah tidak terdapat stok gabah untuk digiling maka

pengusaha penggilingan akan berusaha mencari gabah dari daerah-daerah lain

untuk digiling, sehingga perusahaan penggilingan tersebut cenderung stabil.

Secara umum, ketersediaan dan stok beras di penggilingan masih dapat

memenuhi kebutuhan beras setiap bulan pada tahun 2016.

e. Kemandirian Pangan dalam Mendukung Swasembada Pangan

Untuk mencapai kemandirian pangan kemampuan penyediaan pangan

berdasarkan produksi lokal merupakan suatu keharusan. Oleh karena itu swasembada

pangan harus terus diupayakan. Penyediaan pangan yang dapat memenuhi kebutuhan

pangan dalam negeri sangat ditentukan oleh luas dan produktivitas lahan yang dikelola,

keterbatasan lahan dan rendahnya produktivitas mengakibatkan ketergantungan pangan

kepada pihak luar, kondisi tersebut akan sangat membahayakan kedaulatan suatu

bangsa.

Ekstensifikasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan-lahan yang selama

ini tidak digunakan karena berbagai sebab, antara lain minimnya unsur hara yang

berakibat pada rendahnya produktivitas sebagaimana yang terjadi di lahan kritis yang di

dalamnya termasuk lahan bekas galian tambang. Jaringan advokasi tambang (Jatam)

memperkirakan 70% kerusakan lingkungan Indonesia disebabkan operasi

pertambangan. Sekitar 3,97 juta ha kawasan lindung terancam pertambangan termasuk

keragaman hayatinya. Tak hanya itu, kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat

aktivitas pertambangan juga meningkat dalam 10 tahun terakhir, dari sekitar 4.000 DAS

di Indonesia, 108 rusaknya rusak parah.

Pengelolaan lahan dengan benar pada lahan-lahan kritis dan tidak

termanfaatkan tersebut dapat memenuhi 2 (dua) hal yang dibutuhkan untuk penyediaan

pangan secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan lahan harus diupayakan tanpa

menyebabkan kerusakan terhadap lingkungan maupun menurunkan kualitas sumber

daya lahan, dan sebaiknya diarahkan pada perbaikan struktur fisik, komposisi kimia dan

aktivitas biota tanah yang optimum bagi tanaman, yang selanjutnya dapat menjamin

keberlangsungan usaha tani.

Pertemuan Penyusunan Panduan Pembinaan Keberlanjutan Kemandirian

Pangan

Pertemuan ini dilaksanakan pada tanggal 21 – 22 April 2016 di Wisma BIN,

Cipayung, Bogor dengan peserta sebanyak 12 orang yang terdiri dari Kepala Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan, Kepala Bidang Akses Pangan, Kepala Sub

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 59

Bidang Analisis Akses Pangan, Kepala Sub Bidang Pengembangan Akses Pangan

dan staf Bidang Akses Pangan.

Tujuan dari pertemuan ini adalah menyusun panduan pembinaan keberlanjutan

kemandirian pangan.

Output yang dihasilkan pada pertemuan ini adalah Panduan Pembinaan

Keberlanjutan Kemandirian Pangan – SOP Penyehatan Lahan Bekas Galian

Tambang.

Kegiatan pembinaan keberlanjutan kemandirian pangan hanya dilaksanakan melalui

kegiatan penyusunan panduan saja. Hal ini dikarenakan adanya pemotongan

anggaran.

3. Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat

a. Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan

Kegiatan Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan bertujuan untuk menyamakan

persepsi dan meningkatkan kemampuan aparat daerah dalam melakukan analisis

ketersediaan pangan wilayah (provinsi dan kabupaten/kota). Sasaran dari kegiatan ini

adalah aparat daerah (provinsi dan kabupaten/kota) dalam melakukan analisis

ketersediaan pangan wilayah. Sedangkan output dari kegiatan ini adalah terlaksananya

apresiasi analisis ketersediaan pangan terhadap aparat dari 34 provinsi.Realisasi

pelaksanaan 100 persen.

Apresiasi Analisis Ketersediaan Pangan Tahun 2016 dilaksanakan dua kali pertemuan.

Pertemuan pertama di Kepulauan Bangka Belitung pada tanggal 15 – 17 Maret 2016,

diikuti oleh 16 provinsi. Pertemuan kedua di Jawa Timur pada tanggal 30 Maret – 1 April

2016, diikuti oleh 17 provinsi. Sedangkan Materi yang disampaikan dalam Apresiasi

Analisis Ketersediaan Pangan adalah Neraca Bahan Makanan (NBM), Angka

Kecukupan Gizi dan Pola Pangan Harapan (AKG & PPH), Pola Panen Bulanan, Hari

Besar Keagamaan Nasional (HBKN).

Berdasarkan hasil pemaparan, diskusi dan pembahasan selama apresiasi maka

diperlukan rencana tindak lanjut yang perlu dilakukan di tingkat daerah dan pusat,

diantaranya sebagai berikut:

a. Pemerintah Provinsi/Kabupaten/Kota, khususnya SKPD yang menangani ketahanan

pangan diharapkan dapat:

1) Memanfaatkan hasil analisis ketersediaan pangan sebagai bahan perumusan

kebijakan ketersediaan pangan di wilayahnya. Analisis Neraca Bahan Makanan

(NBM) dapat digunakan sebagai sarana evaluasi kinerja instansi lintas sektor

terkait yang menjadi sumber data dan informasi NBM.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 60

2) Membentuk Tim Neraca Bahan Makanan dengan melibatkan instansi lintas

sektor dalam rangka mempermudah koordinasi dan validasi data dari berbagai

instansi lintas sektor terkait, dengan menerbitkan SK Gubernur/Bupati/Walikota

selaku Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi/Kabupaten/Kota.

3) Melakukan kordinasi dengan SKPD, terkait komoditas yang belum masuk dalam

NBM. Dalam hal ini komoditas spesifik wilayah dimana komoditas tersebut

banyak dikonsumsi oleh mayarakat.

4) Menggunakan angka konversi dalam NBM sesuai dengan kondisi daerah

masing-masing berdasarkan hasil kajian yang dapat dipertanggungjawabkan dan

disepakati Tim NBM Provinsi dan Kabupaten/Kota.

5) Buku NBM diharapkan dapat distribusikan kepada seluruh SKPD terkait dan

anggota TIM NBM, sehingga diharapkan menjadi salah satu alat (informasi)

dalam pengambilan kebijakan Gubernur, Bupati dan walikota.

6) Menyusun Pola Pangan Harapan (PPH) sesuai dengan kondisi potensi wilayah,

khususnya di wilayah non sentra produksi beras atau wilayah dengan konsumsi

pangan pokok selain beras.

7) Dalam menyusun pola panen dan produksi bulanan, diharapkan Provinsi,

Kabupaten/Kota perlu melakukan kordinasi dengan BPS terkait dengan data sub-

round khususnya data sub-round pada tingkat Kabupaten.

8) Melaksanakan pelatihan analisis ketersediaan pangan dalam rangka

meningkatkan kapasitas dan kinerja aparat provinsi/kabupaten/kota dalam

analisis ketersediaan pangan.

b. Melakukan koordinasi lintas sektor untuk membahas kembali angka-angka konversi

yang digunakan dalam NBM.

c. Melakukan evaluasi terhadap hasil analisis NBM yang disusun oleh Provinsi dan

Kabupaten/Kota.

d. Melakukan koordinasi untuk mengalokasikan anggaran Tugas Pembantuan untuk

memfasilitasi analisis ketersediaan pangan di tingkat kabupaten.

3.4 Capaian Kinerja Lainnya

a. Updating FSVA Nasional

FSVA Nasional 2015 menyediakan bahan rekomendasi kepada pengambil

keputusan dalam mengidentifikasi daerah yang lebih rentan, dimana investasi dari

berbagai sektor seperti pelayanan jasa, pembangunan manusia dan infrastuktur yang

berkaitan dengan ketahanan pangan dapat memberikan dampak yang lebih baik terhadap

penghidupan, ketahanan pangan dan gizi masyarakat. FSVA Nasional 2015 ini

menganalisis tingkat ketahanan dan kerentanan pangan sampai dengan level kabupaten.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 61

Kegiatan penyusunan FSVA Nasional menghasilkan output berupa tersusunnya FSVA

Nasional sebanyak 1 Buku atau terealisasi 100 persen.

Kegiatan penyusunan FSVA bertujuan untuk: (1) Meningkatkan pemahaman

petugas pelaksana tentang pentingnya informasi ketahanan dan kerentanan pangan, (2)

Meningkatkan kemampuan petugas pelaksana dalam penyusunan peta ketahanan dan

kerawanan pangan (FSVA) provinsi/kabupaten, (3) Meningkatkan kemampuan petugas

pelaksana dalam pemanfaatan data/indikator peta ketahanan dan kerawanan pangan untuk

menyusun rencana program peningkatan ketahanan pangan dan penanggulangan

kerawanan pangan dan gizi.

FSVA Nasional 2015 mengacu pada tiga aspek ketahanan pangan, yaitu aspek

ketersediaan pangan, aspek akses pangan dan pemanfaatan pangan. Masing-masing

aspek tersebut diwakili dengan indikator-indikator yang mengimplementasikan aspek

ketersediaan pangan, akses pangan dan pemanfaatan pangan.

FSVA Nasional 2015 terdiri dari 13 indikator, dimana indikator tersebut terbagi

dalam 9 indikator kerawanan pangan kronis dan 4 kerawanan pangan transien. Indikator

kerawanan pangan kronis meliputi rasio konsumsi normatif terhadap ketersediaan produksi

bersih (padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar), persentase penduduk hidup di bawah garis

kemiskinan, persentase desa dengan akses penghubung yang kurang memadai,

persentase rumah tangga tanpa akses listrik, persentase perempuan buta huruf,

persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih, persentase desa dengan jarak lebih

dari 5 km dari fasilitas kesehatan, presentase tinggi badan balita dibawah standar (stunting)

dan angka harapan hidup pada saat lahir. Sedangkan kerawanan pangan transien meliputi

bencana alam yang terkait iklim, variabilitas curah hujan, hilangnya produksi padi dan

deforestasi yang secara rinci dapat dilihat pada tabel lampiran. Metodologi dalam analisis

komposit FSVA Nasional 2015 adalah menganalisis 9 indikator kerawanan pangan kronis

dengan menggunakan Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis), Analisis

Gerombol (Cluster Analysis) dan Analisis Diskriminan (Discriminant Analysis).

FSVA Nasional 2015 juga dapat menjawab tiga pertanyaan dasar, yaitu dimana

wilayah yang paling rentan terhadap kerawanan pangan, mengapa wilayah tersebut rentan

terhadap kerawanan pangan, dan berapa banyak orang yang terkena dampak (estimasi).

Berdasarkan hasil analisis ketahanan pangan komposit, dari total 398 kabupaten di

Indonesia dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Prioritas 1 sebanyak 14 kabupaten

(4%), Prioritas 2 sebanyak 44 kabupaten (11%), Prioritas 3 sebanyak 52 kabupaten (13%),

Prioritas 4 sebanyak 84 kabupaten (21%), Prioritas 5 sebanyak 85 kabupaten (21%) dan

Prioritas 6 sebanyak 119 kabupaten (30%). Dari 14 kabupaten yang termasuk kategori

Prioritas 1, semuanya berasal dari Provinsi Papua. Perlu diketahui bahwa Provinsi Papua

memiliki 28 kabupaten secara keseluruhan. Selanjutnya dari 44 kabupaten yang termasuk

kategori Prioritas 2, terdapat 12 kabupaten di Provinsi Papua, 9 kabupaten di Provinsi

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 62

Papua Barat, 9 kabupaten di Provinsi Nusa Tenggara Timur, 7 kabupaten di Provinsi

Maluku, 4 kabupaten di Provinsi Sumatera Utara dan 1 kabupaten masing-masing di

Provinsi Sumatera Barat, Riau dan Maluku Utara.

Karakteristik utama yang menyebabkan tingginya kerentanan terhadap kerawanan

pangan secara umum adalah: (1) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik, (2)

tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai (jalan darat

dan air), (3) tingginya jumlah keluarga yang tinggal di desa dengan jarak lebih dari 5 km

dari fasilitas kesehatan, (4) tingginya angka perempuan buta huruf, (5) tingginya jumlah

penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan, dan (6) tingginya rasio konsumsi terhadap

produksi.

Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 1

secara berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses

penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa

akses listrik, (3) tingginya angka perempuan buta huruf, (4) tingginya jumlah desa yang

tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan dalam jarak 5 km dan (5) tingginya angka

stunting pada balita.

Karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada Prioritas 2

berturut-turut adalah: (1) tingginya angka stunting pada balita, (2) tingginya jumlah rumah

tangga tanpa akses air bersih dan layak minum, (3) rendahnya angka harapan hidup, (4)

tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses listrik dan (5) tingginya angka perempuan buta

huruf.

Sedangkan karakteristik utama kerentanan terhadap kerawanan pangan pada

Prioritas 3 berturut-turut adalah: (1) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses

penghubung yang memadai (jalan darat dan air), (2) tingginya jumlah rumah tangga tanpa

akses listrik, (3) tingginya jumlah desa yang tidak memiliki akses ke fasilitas kesehatan

dalam jarak 5 km, (4) tingginya jumlah rumah tangga tanpa akses air bersih dan layak

minum dan (5) tingginya rasio konsumsi terhadap produksi.

3.5 Dukungan Instansi Lain

Pada tahun 2016 Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan mendapatkan dukungan dari

beberapa instansi terkait antara lain :

(1) Badan Pusat Statistik (BPS), (2) Kementerian Kesehatan, (3) Kementerian Perdagangan,

(4) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), (5) Badan Meteorologi Klimatologi dan

Geofisika (BMKG), (6) Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, (7) Badan Koordinasi

Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), (8) Kementerian Sosial, (9) Kementerian Dalam

Negeri, (10) Bank Indonesia, (11) Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (BPPN),

(12) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, (13) Kementerian Kelautan dan

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 63

Perikanan, (14) Perum Bulog, (15) Institut Pertanian Bogor (IPB) dan (16) World Food

Programme (WFP).

Dukungan yang diberikan berupa penyediaan data yang digunakan dalam analisis yang terkait

kegiatan di Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan. Selain itu, BAPPENAS juga

memberikan dukungan dengan menjadikan peta FSVA sebagai salah satu sumber wacana

dalam penentuan indikator pembangunan desa.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 64

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Secara umum, kinerja pelaksanaan tugas dan fungsi Pusat Ketersediaan dan Kerawanan

Pangan selama tahun 2016 telah berjalan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya, yang

tampak dari hasil pengukuran kinerja dengan sasaran meningkatnya kualitas analisis

ketersediaan dan akses pangan serta penanganan kerawanan pangan, yang ditetapkan melalui

8 indikator berikut:

1. Jumlah desa mandiri pangan regular yang diberdayakan di 429 desa dengan capaian 429

desa atau 100 persen;

2. Jumlah kawasan mandiri pangan (Papua, Papua Barat, Kepulauan dan Perbatasan yang

diberdayakan) di 107 lokasi dengan capaian 100 persen;

3. Jumlah pengembangan kawasan mandiri pangan 2016 sebanyak 85 laporan dengan

capaian 85 laporan atau 100 persen;

4. Analisis penanganan rawan pangan, SKPG sebanyak 456 laporan dengan capaian 456

laporan atau 100 persen;

5. Pengembangan akses pangan sebanyak 3 laporan dengan capaian 3 laporan atau 100

persen;

6. Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) sebanyak 1 laporan, dengan

capaian 1 laporan atau 100 persen;

7. Jumlah hasil kajian ketersediaan pangan, akses pangan dan penanganan rawan pangan

sebanyak 72 laporan dan 1 dokumen dengan capaian 72 laporan dan 1 dokumen atau 100

persen.

8. Jumlah laporan hasil penguatan kapasitas aparat dan masyarakat sebanyak 2 laporan

dengan capaian 7 laporan atau 100 persen.

Selain melakukan kegiatan diatas, Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan juga

melakukan kegiatan lain untuk menunjang sasaran strategis yaitu kajian cadangan beras dan

PPFS-APEC.

Untuk mencapai sasaran strategis meningkatnya pemantapan ketersediaan pangan dan

penanganan rawan pangan dialokasikan anggaran sebesar Rp.17.524.834.000 telah

direalisasikan sebesar Rp.13.237.639.642 atau 75,54 persen, yang dialokasikan pada di 9

kegiatan yang meliputi : Pengembangan Kawasan Mandiri Pangan, Penanganan Daerah

Rawan Pangan (SKPG), Penyusunan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA),

Kajian Ketersediaan Pangan, Akses Pangan dan Penanganan Rawan Pangan, dan

Penguatan Kapasitas Aparat dan Masyarakat.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan 65

4.2 Saran

1. Perlunya peningkatan koordinasi lintas sektor untuk mendukung kegiatan Pusat

Ketersediaan dan Kerawanan Pangan;

2. Perlunya peningkatan sosialiasi kegiatan Pusat ke daerah;

3. Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) di Pusat dan Daerah;

4. Perlunya dukungan anggaran di Pusat dan Daerah.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

LAMPIRAN

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Indikator, Definisi dan Sumber Data FSVA Kabupaten 2016

1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga

Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan dan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga.

Jumlah toko/warung kelontong adalah tempat usaha di bangunan tetap untuk menjual barang

keperluan sehari-hari secara eceran tanpa ada sistem pelayanan mandiri, sumber data:

PODES 2014 #1208, BPS.

Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.

2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga.

Adalah Rasio Jumlah Warung/Kedai Makanan Minuman terhadap Jumlah Rumah Tangga.

Jumlah warung/kedai makanan minuman adalah usaha pangan siap saji di bangunan tetap,

pembeli biasanya tidak dikenai pajak, sumber data: PODES 2014 #1207, BPS.

Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2014, hasil dari proyeksi SP 2010.

3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah.

Adalah Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah terhadap Total Penduduk.

Penduduk dengan Status Kesejahteraan Terendah adalah Jumlah Penduduk dengan Tingkat

Kesejahteraan pada Desil 1, Sumber data: PBDT 2015, TNP2K.

Jumlah Penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2015, hasil proyeksi dari SP 2010.

4. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik

Adalah rasio jumlah rumah tangga dengan sumber penerangan utama bukan listrik pada

semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok III #9a, TNP2K.

Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi 2010.

5. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai.

Adalah Desa Tidak Memiliki Jalan yang Dapat Dilalui Kendaraan Roda 4 atau Lebih, yaitu:

desa dengan sarana transportasi darat tidak dapat dilalui sepanjang tahun dan

desa yang tidak ada angkutan umum sarana transportasi air.

Sumber data: PODES 2014 #1001B2, BPS.

6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah.

Adalah Rasio Jumlah Anak yang Tidak Bersekolah (7-15 Tahun) terhadap Jumlah Anak

Bersekolah (7-15 Tahun) pada semua desil, sumber data: PBDT 2015, Blok IV #kolom15,

TNP2K.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

7. Rasio Rumah Tangga tanpa Akses Air Bersih.

Adalah Rasio Rumah Tangga Tidak Memiliki Akses ke Air Bersih. Air bersih adalah air yang

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat

diminum apabila telah dimasak (Permenkes 416 Tahun 1990).

Air minum yang berkualitas (layak) adalah air minum yang terlindung meliputi: air ledeng

(keran), keran umum, hydrant umum, terminal air, penampungan air hujan (PAH) atau mata air

dan sumur terlindung, sumur bor atau sumur pompa, yang jaraknya minimal 10 m dari

pembuangan kotoran, penampungan limbah dan pembuangan sampah. Tidak termasuk: air

kemasan, air dari penjual keliling, air yang dijual melalui tanki, air sumur dan mata air tidak

terlindung.

Rumah tangga tidak memiliki akses ke air bersih adalah rumah tangga dengan sumber air tidak

layak minum yaitu sumber air tidak terlindungi, terdiri atas (a) sumur tak terlindung; (b) mata air

tak terlindung (c) sungai/danau/waduk; (d) air hujan; (d) lainnya pada semua desil, sumber

data: PBDT 2015, Blok III #7, TNP2K.

Jumlah rumah tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.

8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk.

Adalah Rasio Jumlah Tenaga Kesehatan terhadap Jumlah Penduduk. Jumlah tenaga

kesehatan terdiri atas: (a) Dokter Umum/Spesialis (Pria/wanita), (b) Dokter Gigi, (c) Bidan dan

(d) Tenaga Kesehatan lainnya (apoteker/asisten apoteker, tenaga kesehatan masyarakat,

tenaga gizi, perawat), Sumber data: PODES 2014 #706a-#706d, BPS.

Jumlah penduduk adalah jumlah penduduk tahun 2014, hasil proyeksi dari SP 2010.

9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB (Buang Air Besar).

Adalah Rasio Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Buang Air Besar terhadap Jumlah

Rumah Tangga.

Rumah Tangga yang Tidak Memiliki Fasilitas Sanitasi Memadai adalah rumah tangga yang

tidak memiliki fasilitas tempat buang air besar pada semua desil, sumber data: PBDT 2015,

Blok III #11a, TNP2K.

Jumlah Rumah Tangga adalah jumlah rumah tangga tahun 2015, hasil dari proyeksi SP 2010.

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

Tabel Perbandingan Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan

No FSVA Nasional (2015) FSVA Provinsi FSVA Kabupaten (2016)

A. Aspek Ketersediaan Pangan

1 Rasio Konsumsi Normatif

per Kapita terhadap

Produksi Bersih

Sumber Data: Data

Produksi, BPS

Rasio Konsumsi Normatif

per Kapita terhadap

Produksi Bersih

Sumber Data: Data

Produksi, BPS

1. Rasio Warung terhadap Rumah Tangga

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

2. Rasio Toko terhadap Rumah Tangga

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

2 Persentase Penduduk

Miskin

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Persentase Penduduk

Miskin

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)

3. Rasio Penduduk dengan Status Kesejahteraan Tersendah

Sumber Data: PBDT 2015,

TNP2K

B. Aspek Akses terhadap Pangan

3 Persentase Desa dengan

Akses Penghubung Kurang

Memadai

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

Persentase Desa dengan

Akses Penghubung Kurang

Memadai

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

4. Desa yang Tidak Memiliki Akses Penghubung Memadai

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

4 Persentase Rumah Tangga

Tanpa Akses Akses Listrik

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Persentase Rumah Tangga

Tanpa Akses Akses Listrik

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)

5. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Listrik

Sumber Data: PBDT 2015,

TNP2K

C. Aspek Pemanfaatan Pangan

5 Persentase Perempuan Buta

Huruf

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Persentase Perempuan Buta

Huruf

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)

6. Rasio Anak yang Tidak Bersekolah terhadap Anak yang Bersekolah

Sumber Data: PBDT 2015,

TNP2K

Laporan Kinerja Instansi Pemerintah Tahun 2016

Pusat Ketersediaan dan Kerawanan Pangan

No FSVA Nasional (2015) FSVA Provinsi FSVA Kabupaten (2016)

6 Persentase Rumah Tangga

tanpa Akses Air Bersih

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Persentase Rumah Tangga

tanpa Akses Air Bersih

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)

7. Rasio Rumah Tangga Tanpa Akses Air Bersih

Sumber Data: PBDT 2015,

TNP2K

7 Persentase Desa dengan

Jarak lebih 5 km dari

Fasilitas Kesehatan

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

Persentase Desa dengan

Jarak lebih 5 km dari

Fasilitas Kesehatan

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

8. Rasio Tenaga Kesehatan terhadap Penduduk

Sumber Data: PODES 2014,

BPS

8 Persentase Balita Tinggi

Kurang (Stunting)

Sumber Data: RISKESDAS

2013, Kemkes

Persentase Balita Tinggi

Kurang (Stunting)

Sumber Data: RISKESDAS

2013, Kemkes

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)

9. Rasio Rumah Tangga Tanpa Fasilitas BAB

Sumber Data: PBDT 2015,

TNP2K

9 Angka Harapan Hidup

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Angka Harapan Hidup

Sumber Data: SUSENAS

2013, BPS

Diolah dengan Metode SAE

(Small Area Estimation)