laporan kasus mata dara

43
BAB I PENDAHULUAN Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah. Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya disebabkan oleh alergi. 1 Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri dan toksik. Di negara- negara maju, 20-30% populasi mempunyai riwayat alergi, dan 50% individual tersebut mengidap konjungtivitis alergi. Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan ringan seperti konjungtivitis alergi musiman atau bentuk kronik yang berat seperti keratokonjungtivitis alergi. 2,3 Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi jarang menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian 1

Upload: rahman-rais

Post on 09-Apr-2016

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

lapsus stase mata

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi bagian

putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut menyebabkan

timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata merah.

Konjungtivitis disebabkan oleh berbagai hal diantaranya disebabkan oleh alergi.1

Konjungtivitis alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi

alergi terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasanya dan

reaksi lambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat,

bakteri dan toksik. Di negara-negara maju, 20-30% populasi mempunyai riwayat

alergi, dan 50% individual tersebut mengidap konjungtivitis alergi.

Konjungtivitis alergi bisa berlangsung dari peradangan ringan seperti

konjungtivitis alergi musiman atau bentuk kronik yang berat seperti

keratokonjungtivitis alergi.2,3

Komplikasi sangat jarang ditemukan pada konjungtivitis alergi. Penyulit

yang bisa terjadi adalah keratokonus dan tukak kornea. Konjungtivitis alergi

jarang menyebabkan kehilangan penglihatan. Prognosis penderita konjungtivitis

baik karena sebagian besar kasus dapat sembuh spontan (self-limited disease),

namun dapat pula prognosis penyakit ini menjadi buruk bila terjadi komplikasi

yang diakibatkan oleh penanganan yang kurang baik.4

Oleh karena itu, penulisan ini akan membahas secara umum tentang

konjungtivitis alergi itu sendiri dan bagaimana penanganan yang baik untuk

konjungtivitis tersebut sehingga tidak terjadi komplikasinya dan mendapatkan

prognosis yang baik ke depannya.

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA2.1. Definisi konjungtivitis alergi

Konjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi

bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut

menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata

merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata berair

sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis

dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,

misalnya kontak lensa.5

Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi. Konjungtivitis

alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi alergi atau

hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh kali lebih

sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan kulit.5

2.2. Anatomi dan fisiologi konjungtiva

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan

dengan kulit pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel

kornea limbus.2

Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh sel

goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.

Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :

Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar

digerakkan dari tarsus.

Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di

bawahnya.

2

Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan tempat

peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.

Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat longgar

dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak.1

Gambar 1. Anatomi Konjungtiva

Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :

Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima lapisan sel

epitel silinder bertingkat, superficial dan basal. Lapisan epitel

konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula, dan di dekat

persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-sel

epitel skuamosa.

Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang

mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel goblet ke tepi dan

diperlukan untuk dispersi lapisan air mata secara merata diseluruh

prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat daripada sel-sel

superficial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen.

Stroma konjungtiva, dibagi menjadi :

3

Lapisan adenoid (superficial)

Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa

tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa sentrum

germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah

bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan mengapa

konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler bukan folikuler

dan mengapa kemudian menjadi folikuler.

Lapisan fibrosa (profundus)

Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang melekat

pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan gambaran reksi papiler

pada radang konjungitiva. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada

bola mata.

Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring), yang struktur

dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Sebagian

besar kelenjar krause berada di forniks atas, dan sedikit ada di forniks

bawah. Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas.2

2.3. Epidemiologi

Konjungtivitis alergi dijumpai paling sering di daerah dengan alergen

musiman yang tinggi. Keratokonjungtivitis vernal paling sering di daerah tropis

dan panas seperti daerah mediteranian, Timur Tengah, dan Afrika.

Keratokonjungtivitis vernal lebih sering dijumpai pada laki-laki dibandingkan

perempuan, terutamanya usia muda (4-20 tahun). Biasanya onset pada dekade

pertama dan menetap selama 2 dekade. Gejala paling jelas dijumpai sebelum

onset pubertas dan kemudian berkurang. Keratokonjungtivitis atopik umumnya

lebih banyak pada dewasa muda.6

2.4. Etiologi

Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1

a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

4

b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara

c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang.

2.5. Patofisiologi konjungtivitis alergi secara umum

Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda

asing ke dalam konjunctiva akan memicu suatu kompleks kejadian yang

dinamakan respon radang atau inflamasi. Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada

umumnya adalah kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan

fungsiolesa. Masuknya benda asing ke dalam konjungtiva tersebut pertama kali

akan di respon oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata. Air mata diproduksi

oleh Apartus Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan konjungtiva dan kornea

sebagai Film air mata. Fungsi air mata:

1. Menghaluskan permukaan air kornea

2. Memberi nutrisi pada kornea

3. Anti bakteri

4. Perlindungan mekanik terhadap benda asing

5. Lapisan Akuos (berada di tengah)

Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan

vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi

(vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga

mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan velocity aliran darah ke

lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi

peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel

pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke

jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi dan

ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah membanjiri jaringan kapiler

jaringan memerah (RUBOR) dan memanas (KALOR), peningkatan permeabilitas

kapiler, masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan

(eksudat) dan bengkak (edema), peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan

5

velocity darah dan peningkatan adhesi, dan migrasi leukosit (terutama fagosit)

dari kapiler ke jaringan.

Inflamasi diawali oleh kompleks interaksi mediator-mediator kimiawi

yakni:

1. Histamin

Dilepaskan oleh sel merangsang vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

kapiler.

2. Lekotrin

Dihasilkan dari membran sel meningkatkan kontraksi otot polos mendorong

kemotaksis untuk netrofil.

3. Prostaglandin

Dihasilkan dari membran sel meningkatkan vasodilatasi, permeabilitas

vaskuler mendorong kemotaksis untuk neutrofil.

4. Platelet aggregating factors

Menyebabkan agregasi platelet mendorong kemotaksis untuk neutrofil.

5. Kemokin

Dihasilkan oleh sel pengatur lalu lintas lekosit di lokasi inflamasi) beberapa

macam kemokin: IL-8 (interleukin-8), RANTES (regulated upon activation

normal T cell expressed and secreted), MCP (monocyte chemoattractant

protein).

6. Sitokin

Dihasilkan oleh sel-sel fagosit di lokasi inflamasi pirogen endogen yang

memicu demam melalui hipotalamus, memicu produksi protein fase akut

oleh hati, memicu peningkatan hematopoiesis oleh sumsum tulang

leukositosis beberapa macam sitokin yaitu: IL-1 (interleukin-1), IL-6

(interleukin-6), TNF-a (tumor necrosis factor alpha).

7. Mediator lain (dihasilkan akibat proses fagositosis).

Beberapa mediator lain: nitrat oksida, peroksida dan oksigen radikal.

Oksigen dan nitrogen merupakan intermediat yang sangat toksik untuk

mikroorganisme.

6

Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting

disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :

1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-

zat anti mikrobial

2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak

kelenjar limfoid

3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti

4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata,

sehingga perkembangbiakan mikroorganisme terhambat

5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata

6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi

sel-sel goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air mata

Pada konjungtivitis alergi dapat berupa reaksi hipersensitivitas tipe 1 (tipe

cepat) yang berlaku apabila individu yang sudah tersentisisasi sebelumnya

berkontak dengan antigen yang spesifik. Respon alergi pada mata merupakan

suatu rangkaian peristiwa yang dikoordinasi oleh sel mast. Beta chemokins seperti

eotaxin dan MIP-alpha diduga memulai aktifasi sel mast pada permukaan mata.

Ketika terdapat suatu alergen, akan terjadi sensitisasi yang akan mempersiapkan

sistem tubuh untuk memproduksi respon antigen spesifik. Sel T yang

berdiferensisasi menjadi sel TH2 akan melepaskan sitokin yang akan merangsang

produksi antigen spesifik imunoglobulin E (IgE). IgE akan berikatan dengan IgE

reseptor pada permukaan sel mast. Kemudian smemicu pelepasan sitokin,

prostaglandin dan platelet activating factor. Sel mast menyebabkan peradangan

dan gejala-gejala alergi yang diaktivasi oleh sel inflamasi. Ketika histamin

dilepaskan oleh sel mast. Histamin akan berikatan dengan reseptor H1 pada ujung

saraf dan menyebabkan gejala pada mata berupa gatal. Histamin juga akan akan

berikatan dengan reseptor H1 dan H2 pada pembuluh darah konjungtiva dan

menyebabkan vasodlatasi. Sitokin yang dipicu oleh sel mast seperti chemokin,

interleukin IL-8 terlibat dalam memicu netrofil.Sitokin TH2 seperti IL-5 akan

7

memicu eosinofil dan IL-4, IL-6,IL-13 yang akan memicu peningkatan

sensitivitas.5

2.6. Manifestasi klinik dan pemeriksaan penunjang konjungtivitis alergi

secara umum

Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan

panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah

terdapatnya papil besar pada konjungtiva, injeksi konjungtiva, datang bermusim,

yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyaki alergi konjungtiva sering

sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan

pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma,

limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi

untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.1,2

2.7. Klasifikasi konjungtivitis alergi

Konjungtivitis alergi merupakan reaksi antibody humoral yang dimediasi

oleh IgE terhadap alergen, biasanya terjadi pada individu dengan riwayat atopi.

Semua gejala pada konjungtiva akibat dari konjungtiva bersifat rentan terhadap

benda asing. Terdapat beberapa jenis konjungtivitis yakni konjungtivitis demam

jerami, keratokonjungivitis atopik, konjungtivitis musiman, vernal konjungtivitis,

Giant papilary konjungtivitis dan konjungtivitis flikten. Konjungtivitis dapat

diklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya yakni konjungtivitis yang bersifat

akut yakni konjungtivitis alergi musiman dan konjungtivitis parennial sedangkan

konjungtivitis kronis yakni keratokonjungtivitis vernal dan keratokonjungtivitis

atopik.1

a. Konjungtivitis hay fever (konjungtivitis demam jerami/konjungtivitis

simpleks)

Konjungtiva adalah permukaan mukosa yang sama dengan mukosa

nasal. Oleh karena itu, allergen yang bisa mencetuskan rhinitis allergi juga

dapat menyebabkan konjuntivitis alergi. Alergen airborne seperti serbuk

8

sari, rumput, bulu hewan dan lain-lain dapat memprovokasi terjadinya

gejala pada serangan akut konjuntivitis alergi.

Perbedaan konjungtivitis alergi sesonal dan perennial adalah waktu

timbulnya gejala. Gejala pada individu dengan konjungtivitis alergi

seasonal timbul pada waktu tertentu seperti pada musim bunga di mana

serbuk sari merupakan allergen utama. Pada musim panas, allergen yang

dominan adalah rumput dan pada musim dingin tidak ada gejala karena

menurunnya tranmisi allergen airborne. Sedangkan individu dengan

konjungtivitis alergi perennial akan menunjukkan gejala sepanjang tahun.

Alergen utama yang berperan adalah debu rumah, asap rokok, dan bulu

hewan.

Gambaran patologi pada konjunktivitis hay fever berupa:

1) respon vascular di mana terjadi vasodilatasi dan meningkatnya

permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya

eksudasi.

2) respon seluler berupa infiltrasi konjungtiva dan eksudasi eosinofil,

sel plasma dan mediator lain.

3) respon konjungtiva berupa pembengkakan konjungtiva, diikuti

dengan meningkatnya pembentukan jaringan ikat.5

b. Konjungtivitis vernal

Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral dan

berulang (recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi alergi.

Penyakit ini juga dikenal sebagai “konjungtivitis musiman” atau

“konjungtivitis musim kemarau”. Sering terdapat pada musim panas di

negeri dengan empat musim, atau sepanjang tahun di negeri tropis

(panas).1,2

Etiologi dan Predisposisi

Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I

yang mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan riwayat

keluarga yang kuat alergi.1,2,7

9

Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin

sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun.

Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala alergi

terhadap tepung sari rumput-rumputan.1

Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:

Tipe I : Reaksi Anafilaksi

Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan antibodi,

dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel basofil dengan

akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe

cepat.

Tipe II : reaksi sitotoksik

Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal ini

IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan

antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut. Reaksi

ini merupakan reaksi yang cepat menurut Smolin (1986), reaksi

allografi dan ulkus Mooren merupakan reaksi jenis ini.

Tipe III : reaksi imun kompleks

Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen

membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan

neurotrophichemotactic factor yang dapat menyebabkan terjadinya

peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada pembuluh

darah kecil. Pengejawantahannya di kornea dapat berupa keratitis herpes

simpleks, keratitis karena bakteri.(stafilokok, pseudomonas) dan jamur.

Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis Herpes simpleks.

Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah

antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah

limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler. Limfosit T peka

(sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan antigen, dan menyebabkan

terlepasnya mediator (limfokin) yang jumpai pada reaksi penolakan pasca

10

keratoplasti, keraton- jungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan

keratitis diskiformis.

Manifestasi Klinis

Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain yang

menyertai meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa pedih

terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang masuk. Penyakit ini

cukup menyusahkan, muncul berulang, dan sangat membebani aktivitas

penderita sehingga menyebabkan ia tidak dapat beraktivitas normal.1,2,7

Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :

Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal

superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (cobble stone)

yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah

hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat

dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak

sebagai tonjolan bersegi banyak (polygonal) dengan permukaan

yang rata dan dengan kapiler ditengahnya.1,2

Gambar 2. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral

Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior yang dapat

membentuk jaringan hiperplastik gelatin (nodul mukoid), dengan

11

Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau

eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus,

dengan sedikit eosinofil.1,2

Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk limbal

Patofisiologi

Pada bentuk palpebral, perubahan struktur konjungtiva erat

kaitannya dengan timbulnya radang insterstitial yang banyak

didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan

dijumpai hiperemia dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan

diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan

pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan

diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva

sehingga terbentuklah gambaran cobbles tone. Jaringan ikat yang

berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga

konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik

pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like

granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang

mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus yang berat akan

disertai keratitis serta erosi epitel kornea.

12

Pada bentuk limbal terdapat perubahan yang sama, yaitu:

perkembangbiakan jaringan ikat, peningkatan jumlah kolagen, dan

infiltrasi sel plasma, limfosit, eosinofil dan basofil ke dalam stroma.

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi

dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Penggunaan jaringan yang

dilapisi plastik yang ditampilkan melalui mikroskopi cahaya dan

elektron dapat memungkinkan beberapa observasi tambahan. Basofil

sebagai ciri tetap dari penyakit ini, tampak dalam jaringan epitel

sebagaimana juga pada substansi propria. Walaupun sebagian besar sel

merupakan komponen normal dari substansi propia, namun tidak

terdapat jaringan epitel konjungtiva normal.

Walaupun karakteristik klinis dan patologi konjungtivitis vernal

telah digambarkan secara luas, namun patogenesis spesifik masih belum

dikenali.2,5

Gambaran Histopatologik

Tahap awal konjungtivitis vernalis ditandai oleh fase prehipertrofi. D

alam kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan

pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan

degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil

serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan

dengan infiltrasi stroma oleh sel-sel PMN, eosinofil, basofil, dan sel

mast.Hasil penelitian histopatologik terhadap 675 konjungtivitis vernalis

mata yang dilakukan oleh Wang dan Yang menunjukkan infiltrasi limfosit

dan sel plasma pada konjungtiva. Prolifertasi limfosit akan membentuk

beberapa nodul limfoid. Sementara itu, beberapa granula eosinofilik

dilepaskan dari sel eosinofil, menghasilkan bahan sitotoksik yang berperan

dalam kekambuhan konjungtivitis.

Dalam penelitian tersebut juga ditemukan adanya reaksi

hipersensitivitas. Tidak hanya di konjungtiva bulbi dan tarsal, tetapi juga

13

di fornix, serta pada beberapa kasus melibatkan reaksi radang pada iris dan

badan siliar. Fase vaskular dan selular dini akan segera diikuti dengan

deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih

mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan.

Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan

terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada

pemeriksaanklinis. Hiperplasia jaringan ikat meluas ke atas

membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas.

Kolagen maupun pembuluh darah akan mengalami hialinisasi.

Epiteliumnya berproliferasi menjadi 5–10 lapis sel epitel yang edematous

dan tidak beraturan. Seiring dengan bertambah besarnya papil, lapisan

epitel akan mengalami atrofi di apeks sampai hanya tinggal satu lapis sel

yang kemudian akan mengalami keratinisasi.1,2,5

Pada limbus juga terjadi transformasi patologik yang sama berupa

pertumbuhan epitel yang hebat meluas, bahkan dapat terbentuk 30-40 lapis

sel (acanthosis). Horner-Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian

besar terdiri atas eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun

masih ada sel PMN dan limfosit.

Gambar 4. Histologi Konjungtivitis Vernal Terlihat Banyak Sel Radang

Terutama Eosinofil

14

Pemeriksaan Penunjang

Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa terdapat

banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas. Pada pemeriksaan darah

ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar serum IgE.

Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel yang

secara rutin tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan yang lebih baik

adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan plastik, dan ditampilkan

pada media sehingga dapat memungkinkan untuk menghitung jumlah

sel ukuran 1 berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per

kubik milimeter tidak melampaui jumlah normal. Diperkirakan bahwa

peradangan sel secara maksimum seringkali berada dalam kondisi

konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi lebih banyak sel

dalam proses peradangan konjungtivitis vernal, maka jaringan akan

membesar dengan cara peningkatan jumlah kolagen dan pembuluh

darah.

Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat pasien

konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat imun, yaitu: dua

dari empat pasien mengandung spesimen IgA-, IgG-, dan IgE- secara

berlebih yang akhirnya membentuk sel plasma. Sel-sel tersebut tidak

ditemukan pada konjungtiva normal dari dua pasien lainnya.

Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel serum

11 pasien konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol telah menemukan

bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara air mata dengan level

kandungan serum pada kedua mata. Kandungan IgE pada air mata

diperkirakan muncul dari serum kedua mata, kandungan IgE dalam

serum (1031ng/ml) dan pada air mata (130ng/ml) dari pasien

konjungtivitis vernal melebihi kandungan IgE dalam serum (201ng/ml)

dan pada air mata (61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE

secara spesifik ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran

antibodi pada serum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang

15

memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang menjadi butiran pada

air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis antibodi ini pada air

matanya maupun serumnya. Hasil pengamatan ini menyimpulkan

bahwa baik IgE- dan IgG- akan menjadi perantara mekanisme imun

yang terlibat dalam patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis

lokal antibodi terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini

ditemukan negatif pada orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi

pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan dengan

antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi IgE.

Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien

konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi daripada

kandungan histamin air mata pada 13 orang normal (10ng/ml, P<0.05).

Hal ini sejalan dengan pengamatan menggunakan mikroskopi elektron

yang diperkirakan menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit

dalam substantia propia daripada dengan pengamatan yang

menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit ini

terdapat pada air mata dengan level histamin yang lebih tinggi.

Kikisan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi

menunjukkan adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik.

Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap pembesaran 25x dengan sifat

khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal. Tidak ditemukan

adanya akumulasi eosinofil pada daerah permukaan lain pada level

ini.5,7

c. Konjungtivitis atopi

Konjungtivitis atopi sering diderita oleh pasien dermatitis atopi. Tanda

dan gejalanya berupa sensasi terbakar, kotoran mata berlendir, merah dan

fotofobia. Terdapat papil halus tetapi papil raksasa tidak ditemukan

seperti pada konjungtivitis vernal. Kerokan konjungtiva menampakan

eosinofil meski tidak sebanyak terlihat pada keratokonjungtivitis vernal.1

d. Giant papilary konjungtivitis

16

Giant papilary konjungtivitis dengan tanda dan gejala mirip dengan

konjungtivitis vernal dapat timbul pada pasien yang menggunakan mata

buatan dari plastik atau lensa kontak terutama jika memakainya melewati

waktunya. Konjungtivitis Giant Papillarry diperantarai reaksi imun yang

mengenai konjungtiva tarsalis superior. Konjungtivitis ini mungkin

merupakan reaksi hipersensitivitas tipe lambat kaya basofil dan mungkin

dimediasi oleh IgE. Keluhan berupa mata gatal dan berair. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan hipertrofi papil. Pada awal penyakit,

papilnya kecil (sekitar 0,3 mm diameter). Bila iritasi terus berlangsung,

papil kecil akan menjadi besar ( giant) yaitu sekitar 1 mm diameter.1

e. Konjungtivitis flikten

Konjungtivitis flikten disebabkan oleh karena alergi (hipersensitivitas

tipe IV) terhadap bakteri atau antigen tertentu, seperti tuberkuloprotein

pada penyakit tuberkolosis, infeksi bakteri (stafilokok, pneumokok,

streptokok, dan Koch Weeks), virus (herpes simplek), toksin dari

moluskum kontagiosum yang terdapat pada margo palpebra, jamur

(kandida albikan), cacing (askaris, tripanosomiasis), limfogranuloma

venereal, leismaniasis, infeksi parasit dan infeksi di tempat lain dalam

tubuh. Konjungtivitis flikten biassanya dimulai dengan munculnya lesi

kecil berdiameter 1-3 mm yang keras, merah, menimbul dan dikelilingi

zona hiperemis. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks

mengarah kornea.1,2

2.8. Penatalaksanaan

Penanganan dari konjungtivitis alergi adalah berdasar pada identifikasi

antigen spesifik dan eliminasi dari pathogen spesifik. Pengobatan suportif seperti

lubrikan dan kompres dingin dapat membantu meredakan gejala yang dirasakan

oleh pasien. Obat-obatan yang menurunkan respon imun juga digunakan pada

kasus konjungtivitis alergi untuk menurunkan respon imun tubuh dan meredakan

gejala inflamasi.

17

Obat –obat berikut ini berguna dalam mengobati konjungtivitis alergi:

Steroid topikal. Kortikosteroid menghambat proses inflamasi (misalnya, edema,

dilatasi kapiler, dan proliferasi fibroblast). Obat tersebut juga membatasi migrasi

makrofag dan neutrofil untuk daerah meradang serta memblokir aktivitas

fosfolipase A2 dan selanjutnya induksi asam arakidonat cascade. Obat ini

digunakan dalam pengobatan penyakit mata akut alergi, steroid efektif dalam

mengurangi gejala alergi akut, namun, penggunaannya harus dibatasi karena

potensi efek samping dengan biala lama digunakan. Penggunaan kortikosteroid

topikal jangka panjang dapat menyebabkan komplikasi: katarak subkapsular

posterior dan peningkatan tekanan intraokular (TIO).

Vasokonstriktor topikal / antihistamin. Agen ini menyebabkan penyempitan

pembuluh darah, menurunkan permeabilitas pembuluh darah, dan mengurangi

mata gatal-gatal dengan memblokir histamin H1 receptors

Antihistamin topikal. Anithistamines kompetitif terikat dengan reseptor histamin

dan dapat mengurangi gatal dan vasodilatasi. Levocabastine hidroklorida 0,05%,

sebuah H1 selektif topikal antagonis reseptor histamin, efektif dalam mengurangi

tanda-tanda dan gejala alergi lain conjunctivitis. H1 selektif antagonis, azelastine

hidroklorida 0,05%, efektif dalam mengurangi gejala yang terkait dengan alergi,

difumarate 0,05%, suatu antagonis H1 selektif, mungkin lebih efektif

dibandingkan levocabastine dalam mengurangi chemosis, kelopak mata

bengkak,dan tanda-tanda dan gejala yang berhubungan dengan konjungtivitis

alergi musiman pada pasien dewasa dan anak.

Non-steroid anti-inflamasi nonsteroid (OAINS) topikal.Obat ini menghambat

aktivitas siklooksigenase, salah satu yang bertanggung jawab untuk konversi asam

arakidonat ke enzim prostaglandins. Ketorolac trometamin 0,5% dan diklofenak

natrium 0,1% efektif dalam mengurangi tanda-tanda dan gejala berhubungan

dengan konjungtivitis alergi, meskipun Makanan dan Drug Administration (FDA)

telah menyetujui hanya ketorolac untuk pengobatan konjungtivitis alergi.

18

Stabilisator sel mast topikal. Agen ini menghambat degranulasi sel mast,

sehingga membatasi pelepasan inflamasi mediator, termasuk histamin, neutrofil

dan eosinofil faktor chemotactic, dan platelet-activating factor.

Imunosupresan. Siklosporin A adalah agen imunosupresan sistemik ampuh

digunakan untuk mengobati berbagai immunemediated kondisi. Sistemik

diberikan siklosporin A dapat menjadi pengobatan yang efektif untuk pasien

dengan keratokconjugtiviits atopik yang berat.

Antihistamin sistemik. Agen ini berguna dalam kasus-kasus tertentu respon

alergi dengan edema, dermatitis, rinitis, atau sinusitis. Mereka harus digunakan

dengan hati-hati karena penenang yang dan efek antikolinergik dari beberapa

antihistamin generasi pertama obat-obatan. Pasien harus memperingatkan efek

samping potensial. Antihistamin baru yang jauh lebih kecil kemungkinannya

untuk menyebabkan sedasi, tetapi penggunaannya dapat mengakibatkan

kekeringan okular meningkat permukaan.3,4,6

Penanganan khusus untuk konjungtivitis vernal berupa :

a. Terapi lokalis

- Steroid topical – penggunaannya efektif pada keratokonjungtivitis vernal,

tetapi harus hati-hati kerana dapat menyebabkan glaucoma. Pemberian

steroid dimulai dengan pemakaian sering (setiap 4 jam) selama 2 hari dan

dilanjutkan dengan terapi maintainance 3-4 kali sehari selama 2 minggu.

Steroid yang sering dipakai adalah fluorometholon, medrysone,

betamethasone, dan dexamethasone. Fluorometholon dan medrysone

adalah paling aman antara semua steroid tersebut.1,2,7

- Mast cell stabilizer seperti sodium cromoglycate 2%

- Antihistamin topical

- Acetyl cysteine 0,5%

- Siklosporin topical 1%

b. Terapi sistemik;

- Anti histamine oral untuk mengurangi gatal

19

- Steroid oral untuk kasus berat dan non responsive

c. Terapi lain dan pencegahan

- Apabila terdapat papil yang besar, dapat diberikan injeksi steroid

supratarsal atau dieksisi. Eksisi sering dianjurkan untuk papil yang sangat

besar.

- Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau jari

tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari

mediator -mediator sel mast. Di samping itu, juga untuk mencegah super

infeksi yang pada akhirnya berpotensi ikut menunjang terjadinya

glaukoma sekunder dan katarak.

- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga  membawa

serbuk sari dan hindari penyebab dari alergi itu sendiri.

- Kaca mata gelap untuk fotofobia dan untuk mengurangi kontak dengan

alergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak justru harus dihindari

karena lensa kontak akan membantu retensi allergen.

- Kompres dingin dapat meringankan gejala.

- Pengganti air mata (artifisial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berf

ungsi protektif karena membantu menghalau allergen.

- Pasien dianjurkan pindah ke daerah yang lebih dingin yang sering

juga disebut sebagai climato-therapy.

2.9. Komplikasi

Komplikasi pada penyakit ini yang paling sering adalah ulkus pada kornea

dan infeksi sekunder. Sedangkan, komplikasi konjungtivitis vernal adalah

pembentukan jaringan sikratik dapat mengganggu penglihatan.8

2.10. Prognosis

20

Prognosis penderita konjungtivitis baik karena sebagian besar kasus dapat

sembuh spontan (self-limited disease), namun komplikasi juga dapat terjadi

apabila tidak ditangani dengan baik.2,6

BAB III

21

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. A

Usia : 78 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Swasta

Agama : Islam

Alamat : Jeulingke

3.2. ANAMNESIS

Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 18 September 2015 pukul 11.30

WIB.

Keluhan Utama: Mata gatal di mata kiri sejak ± 1 minggu yang lalu.

Keluhan Tambahan: Terasa megganjal dan sedikit berair.

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Poli RS Zainal Abidin dengan keluhan gatal di mata kiri

sejak ± 1 minggu yang lalu. Pasien mengaku awalnya setelah bangun pagi, pasien

merasa mata kiri gatal. Kemudian pasien menggosok-gosok matanya sehingga

keluhan pasien saat ini matanya merah dan terasa mengganjal serta berair. Pasien

juga mengeluh saat bangun pagi mata pasien sulit dibuka disebabkan kotoran

yang menempel, pandangan mata sebelah kiri pasien kabur dan silau saat melihat

cahaya. Pasien menyangkal keluhan nyeri, sakit tenggorok, dan demam. Riwayat

trauma pada mata disangkal. Keluarga dan teman yang mempunyai keluhan yang

sama disangkal. Riwayat alergi disangkal. Mata kiri pasien belum diobati.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien sudah sering berobat mata sebelumnya dengan keluhan yang sama

dan sering berulang. Riwayat diabetes mellitus dikeluhkan pasien sejak 5 tahun

yang lalu tidak terkontrol. Riwayat hipertensi disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluhan yang sama seperti pasien.

3.3. Status Generalis

22

Tanda vital

Tekanan darah : 130/80 mmHg

Frekuensi nadi : 86 kali/menit

Frekuensi napas : 18 kali/menit

Suhu : 36,5 o C

Pemeriksaan fisik lain : Dalam batas normal

3.4 Status Ophtalmologis

Okular Dextra Okular Sinistra

VOD : 5/9 VOS : 5/24

Pergerakan Bola Mata

Lapangan pandang normal Lapangan pandang normal

Keterangan (OD) Komponen Keterangan (OS)

23

Normal Palpebra Superior Edema

Normal Palpebra Inferior Edema

Anemis (-) Konj. Tarsal Superior Anemis (-)

Anemis (-) Konj. Tarsal Inferior Anemis (-)

Infiltrat (+) Konj. Bulbi Infiltrat (+)

Keruh Kornea Keruh

Dalam COA Dalam

Isokor (+), 3 mm, RCL

(+), RCTL (+)Pupil

Isokor (+), 3 mm, RCL (+),

RCTL (+)

Keruh Lensa Keruh

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Slit lamp

Refraksi

3.6 Diagnosis

Konjungtivitis Alergi

3.7 Penatalaksanaan

Cendo xytrol ED 4 gtt OS

Catariens ED 4 gtt I OS

24

3.8 Prognosis

- Quo ad Vitam : Dubia ad bonam

- Quo ad Functionam : Dubia ad malam

- Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam

25

BAB IV

ANALISA KASUSKonjungtivitis adalah peradangan pada selaput bening yang menutupi

bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut

menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah mata

merah. Penyakit ini bervariasi mulai dari hyperemia ringan dengan mata berair

sampai konjungtivitis berat dengan banyak sekret purulen kental. Konjungtivitis

dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi, atau kontak dengan benda asing,

misalnya kontak lensa.

Salah satu bentuk konjungtivitis adalah konjungtivitis alergi.

Konjungtivitis alergi adalah peradangan konjungtiva yang disebabkan oleh reaksi

alergi atau hipersensitivitas tipe humoral ataupun sellular. Konjungtiva sepuluh

kali lebih sensitif terhadap alergen dibandingkan dengan kulit.

Konjungtivitis alergi dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti :1

a. reaksi alergi terhadap debu, serbuk sari, bulu binatang

b. iritasi oleh angin, debu, asap, dan polusi udara

c. pemakaian lensa kontak terutama dalam jangka panjang

Konjungtivitis terjadi karena kerusakan jaringan akibat masuknya benda

asing ke dalam konjunctiva akan memicu suatu kompleks kejadian yang

dinamakan respon radang atau inflamasi. Tanda-tanda terjadinya inflamasi pada

umumnya adalah kalor (panas), dolor (nyeri), rubor (merah), tumor (bengkak) dan

fungsiolesa. Masuknya benda asing ke dalam konjungtiva tersebut pertama kali

akan di respon oleh tubuh dengan mengeluarkan air mata. Air mata diproduksi

oleh Apartus Lakrimalis, berfungsi melapisi permukaan konjungtiva dan kornea

sebagai Film air mata. Fungsi air mata:

1. Menghaluskan permukaan air kornea

2. Memberi nutrisi pada kornea

3. Anti bakteri

4. Perlindungan mekanik terhadap benda asing

26

5. Lapisan Akuos (berada di tengah)

Terjadinya suatu peradangan pada konjungtiva juga akan menyebabkan

vasokonstriksi segera pada area setempat, peningkatan aliran darah ke lokasi

(vasodilatasi) dalam hal ini adalah a. ciliaris anterior dan a. palpebralis sehingga

mata terlihat menjadi lebih merah, terjadi penurunan velocity aliran darah ke

lokasi radang (leukosit melambat dan menempel di endotel vaskuler), terjadi

peningkatan adhesi endotel pembuluh darah (leukosit dapat terikat pada endotel

pembuluh darah), terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler (cairan masuk ke

jaringan), fagosit masuk jaringan (melalui peningkatan marginasi dan

ekstravasasi), pembuluh darah membawa darah membanjiri jaringan kapiler

jaringan memerah (RUBOR) dan memanas (KALOR), peningkatan permeabilitas

kapiler, masuknya cairan dan sel dari kapiler ke jaringan terjadi akumulasi cairan

(eksudat) dan bengkak (edema), peningkatan permeabilitas kapiler, penurunan

velocity darah dan peningkatan adhesi, , dan migrasi leukosit (terutama fagosit)

dari kapiler ke jaringan.

Biasanya penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya (self limiting

disease), hal ini disebabkan oleh faktor-faktor :

1. Konjungtiva selalu dilapisi oleh tears film yang mengandung zat-

zat anti mikrobial

2. Stroma konjungtiva pada lapisan adenoid mengandung banyak

kelenjar limfoid

3. Epitel konjungtiva terus menerus diganti

4. Temperatur yang relatif rendah karena penguapan air mata,

sehingga perkembangbiakan mikroorganisme terhambat

5. Penggelontoran mikroorganisme oleh aliran air mata

6. Mikroorganisme tertangkap oleh mukous konjungtiva hasil sekresi

sel-sel goblet kemudian akan digelontor oleh aliran air mata

Gejala utama penyakit alergi ini adalah radang (merah, sakit, bengkak, dan

panas), gatal, silau berulang dan menahun. Tanda karakteristik lainnya adalah

terdapatnya papil besar pada konjungtiva, injeksi konjungtiva, datang bermusim,

27

yang dapat mengganggu penglihatan. Walaupun penyaki alergi konjungtiva sering

sembuh sendiri akan tetapi dapat memberikan keluhan yang memerlukan

pengobatan. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan sel eosinofil, sel plasma,

limfosit, dan basofil yang meningkat. Dapat juga dilakukan pemeriksaan tes alergi

untuk mengetahui penyebab dari alerginya itu sendiri.

28

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S. Mata merah dengan penglihatan normal. Ilyas S, editor. Dalam: Ilmu

Penyakit Mata Edisi ke-3. Jakarta: FKUI; 2009. h116-46.

2. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Ofthalmologi Umum.

Edisi 14. Jakarta: Widya Medika ; 2000. h. 5-6, 115

3. Scott, IU. Alergy Conjunctivitis. 2011. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1191370-overview#showall. 25

November 2012.

4. Greg M., Peter M. Classifying and Managing Allergic Conjunctivitis.

Medicine Today. Volume 8, Number 11. November 2011.

5. Khurana AK. Diseases of the conjunctiva. Dalam : Khurana AK, editor.

Comprehensive Ophtalmology. Ed. 4. New Delhi: New Age ; 2010. h. 51-88.

6. Ventocillia M, Roy H. Allergic Conjunctivitis. 2012. Diunduh dari

http://emedicine.medscape.com/article/1191467-overview#a0104. 25

November 2012.

7. Medicastore. Konjungtivitis Vernalis. 2012.  Diunduh dari

http://www.medicastore.com/penyakit/865/Keratokonjungtivitis_Vernalis.ht

ml. 25 November 2012.

8. Konjungtivitis. 2010. Diunduh dari

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31458/4/Chapter%20II.pdf.

25 November 2012.

29