laporan kasus dhf

76
LAPORAN KASUS: SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN DENGUE HEMORRHAGIC FEVER (DHF) Pembimbing : dr. Herry Susanto, Sp.A Disusun oleh : Adelita Yuli Hapsari 030.10.003

Upload: adelita-yuli-hapsari

Post on 05-Dec-2015

69 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

dhf

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS:

SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN DENGUE

HEMORRHAGIC FEVER (DHF)

Pembimbing :

dr. Herry Susanto, Sp.A

Disusun oleh :

Adelita Yuli Hapsari

030.10.003

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH

PERIODE 10 AGUSTUS 2015 s/d 16 OKTOBER 2015

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul

” SEORANG ANAK PEREMPUAN DENGAN DENGUE

HEMORRHAGIC FEVER (DHF)”

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing, dr. Herry Susanto, Sp.A

sebagai syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak

di RSUD Kardinah periode 10 Agustus 2015 – 16 Oktober 2015

Tegal, Oktober 2015

(dr. Herry Susanto,Sp.A)

STATUS PASIEN LAPORAN KASUS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARDINAH KOTA TEGAL

Nama Mahasiswa : Adelita Y.H Dokter Pembimbing: dr.Herry S.Sp.A

NIM : 030.10.003 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN

DATA PASIEN AYAH IBU

Nama An. A Tn. D Ny. S

Umur 10 bulan 30 tahun 28 tahun

Jenis Kelamin Perempuan Laki-laki Perempuan

Alamat Debong tengah RT 01 RW 06

Agama Islam Islam Islam

Suku Bangsa Jawa Jawa Jawa

Pendidikan - SMA SMA

Pekerjaan - Swasta Ibu Rumah Tangga

Penghasilan - Rp.1.500.000,-/bulan Rp.-

Keterangan Hubungan orangtua dengan anak adalah anak kandung

Asuransi Umum

No. RM 797867

II. ANAMNESIS

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada hari

Jumat, tanggal 22 September 2015, pukul 14.30 WIB, di bangsal Wijaya Kusuma RSU

Kardinah.

a. Keluhan Utama

Kejang

b. Keluhan tambahan

Demam, batuk, sesak nafas

a. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien diantar dengan kedua orang tuanya ke RSU Kardinah pada tanggal

17 September 2015 pukul 06.35 WIB dengan keluhan kejang sejak 15 menit

SMRS. Kejang terjadi selama ± 15 menit, 1x, tanpa penurunan kesadaran,

kejang terjadi disertai demam tinggi, mulut berbusa (-). 1 hari sebelum kejang

pasien mengalami demam terus menerus, tidak turun dengan obat penurun

panas, selain itu juga pasien mengalami batuk, nafsu makan menurun, BAB cair

1x, ampas (+), lendir (-), darah (-), busa (-), muntah dan gangguan BAK

disangkal. Ibu pasien juga menyangkal adanya mimisan, bintik merah, gusi

berdarah. Setelah dilakukan perawatan pasien tidak timbul kejang, namun

demam masih naik turun, dan hari ke 4-5 perawatan pasien mulai tampak sesak.

b. Riwayat penyakit dahulu

Kejang baru dialami pertama kali, tidak ada riwayat operasi, alergi, asma,

penyakit ginjal atau penyakit tertentu.

c. Riwayat penyakit keluarga

Tidak ada anggota yang memiliki keluhan serupa atau penyakit tertentu.

d. Riwayat lingkungan rumah

Kepemilikan rumah : rumah nenek pasien

Keadaan rumah :

Rumah berukuran 6 x 10 m, ditempati oleh 3 orang terdiri dari 2 kamar tidur

dan 1 kamar mandi. Beratap genteng, berdinding tembok, berlantai keramik.

Cahaya dapat masuk dari jendela, dan lampu tidak dinyalakan pada siang hari,

rumah tidak pengap ataupun lembab. Jarak antara septik tank ± 10 meter.

Sumber air dari PAM, Penerangan dari listrik. Air limbah disalurkan kedalam

selokan, aliran lancar dan dibersikhkan 1 kali sebulan.

Kesan : kondisi rumah dan sanitasi lingkungan cukup baik.

c. Riwayat sosial ekonomi

Ayah pasien bekerja sebagai swasta dengan gaji 1.54 juta perbulan,

sedangkan ibu pasien seorang ibu rumah tangga. Ayah pasien sebagai kepala

rumah tangga dan menghidupi 1 orang anak dan 1 orang istri.

Kesan : riwayat sosial ekonomi cukup

d. Riwayat kehamilan dan prenatal

Ibu memeriksana kehamilan rutin 1x/bulan dan mendapatkan

suntikan TT 1x. Riwayat perdarahan, demam, trauma selama kehamilan

disangkal. Ibu pasien hanya minum vitamin dan tidak pernah

mengkonsumsi obat-obatan tanpa resep dokter.

e. Riwayat kelahiranTempat kelahiran : Bidan

Penolong persalinan : Bidan

Cara persalinan : Pervaginam

HPHT/ TP : Lupa

Masa gestasi : Cukup bulan (9 bulan)

Air ketuban : Jernih

Berat badan lahir : 2500 gram

Panjang badan lahir : 49 cm

Lingkar kepala : lupa

Langsung menangis : Ya

Nilai APGAR : tidak tahu

Plasenta : tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesan: neonatus aterm, lahir spontan, bayi dalam keadaan sehat.

f. Riwayat pemeliharaan post-natalPemeliharaan setelah kelahiran dilakukan di bidan secara rutin dan

tidak ada keluhan.

g. Corak reproduksi ibuIbu P1A0, anak pertama (pasien) usia 10 bulan

h. Riwayat keluarga berencanaIbu pasien mengaku sedang menggunakan KB suntik

i. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak Pertumbuhan

BBL/PB/LK : 2.5 kg / 49 cm / lupaBBS/TB/LK : 8.2 kg /70cm /47 cm

Perkembangano Senyum : Ibu lupa

o Tengkurap : 6 bulan

o Mengangkat kepala : ibu lupa

o Duduk : 7 bulan

o Merangkak : 8 bulan

o Berdiri / merambat : 10 bulan

o Berjalan : belum

o Berlari : belum

Kesan: Riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak tidak terlambat dan sesuai dengan usia

j. Riwayat Makan dan Minum Anak

Ibu memberiksan ASI sampai saat ini (usia 10 bulan) sudah mulai

diberikan susu fornula dan bubur bayi sejak usia 6 bulan. Saat ini sudah

diberikan makanan lunak beserta sayur, daging lunak, dan buah-buahan

Kesan : kualitas makanan cukup baik

k. Riwayat imunisasi

VAKSIN DASAR (umur) ULANGAN (umur)HEPATITIS B 0 bulan 1 bulan - - - -

POLIO 0/2 bulan 4 bulan - - - -

BCG 0 bulan - - - - -

DTP/ DT 2 bulan 4 bulan - - - -

CAMPAK - - 9 bulan - - -

Kesan : Ibu pasien mengatakan imunisasi dasar pasien lengkap

Silsilah Keluarga

Keterangan: Laki-laki Perempuan Pasien

III. PEMERIKSAAN FISIKPemeriksaan dilakukan di Poli anak RSUD Kardinah pada tanggal 22 september 2015, pukul 15.00 WIB.

Kesan Umum : Compos Mentis, Tampak Sakit sedang, tampak sesak

Tanda Vital

Nadi : 140 x/menit, reguler, isi cukup, kuat

Laju nafas : 70x/menit, reguler

Tekanan darah : tidak dilakukan

Suhu : 36.7˚C (aksila)

Data Antropometri

Berat badan : 8.2 kg

Tinggi badan : 70 cm

Status Internus

Kepala : mesocephali, LK 47cm

Rambut : rambut warna hitam, penyebaran merata, tidak mudah dicabut.

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), oedem

periorbital(-/-),

mata cowong (-/-)

Hidung : bentuk normal, simetris, septum deviasi(-),sekret (-/-) napas

cuping hidung (-/-)

Telinga : bentuk dan ukuran normal, discharge (-/-),

Mulut : bibir kering (-), bibir sianosis (-), stomatitis (-)

Tenggorok : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1 hiperemis (-), detritus (-)

Leher : simetris, pembesaran KGB (-)

Thorax :

Paru

Depan Belakang

Inspeksi

Kiri Simetris saat statis dan dinamis, retraksi minimal

Simetris saat statis dan dinamis

Kanan Simetris saat statis dan dinamis

Retraksi minimal

Simetris saat statis dan dinamis

PalpasiKiri Vocal fremitus SDE Vocal fremitus SDE

Kanan Vocal fremitus SDE Vocal fremitus SDE

PerkusiKiri Tdak dilakukan

Kanan Tdak dilakukan

Auskultasi

Kiri Suara vesikuler normal

Wheezing (-), ronchi basah halus (+)

Suara vesikuler normal

Wheezing (-/-),ronchi basah halus (+)

Kanan Suara versikuler normal

Wheezing (-), ronchi basah halus (+)

Suara versikuler normal

Wheezing (-/-),ronchi basah halus (+)

Cor :

Inspeksi Tidak terlihat pulsasi ictus cordis

Palpasi Teraba ictus cordis 1 cm medial linea midklavikula kiri sela iga V

Perkusi Tidak dilakukan

Auskultasi Bunyi jantung I & II reguler, Gallop (-), Murmur (-)

AbdomenInspeksi Datar, simetris, tampak sedikit buncit

Auskultasi Bising usus (+) 3x/menit

Palpasi Dinding perut: Supel, NT (-), tampak sidikit buncit

Turgor kulit : Baik

Hati : Hepatomegali : 1/3 – 1/3

Limpa : splenomegali (-)

Ginjal : ballotment (-/-), nyeri ketuk CVA (-/-)

Perkusi Timpani, shifting dullness (-)

Genitalia : jenis kelamin perempuan, tidak ada kelainan

Anorektal : tidak ada kelainan

Ekstremitas :

Superior Inferior

Akral Dingin -/- -/-

Akral Sianosis -/- -/-

CRT <2” <2”

Oedem -/- -/-

Tonus Otot Normotonus normotonus

Trofi Otot Normotrofi normotrofi

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

17 September 2015 WK atas

Pemeriksaan 17/09 21/09 22/09 Satuan Nilai Rujukan

Hemoglobin 9.6↓ 10.5↓ 10.8 g/dL 10.7-13.1

Lekosit 8.8 4.5↓ 10.9 103/ul 6.0-17.5

Hematokrit 29.5↓ 31.7 32.5 % 31-41

Trombosit 272 52↓ 22↓ 103/ul 229-553

Eritrosit 3.6 4.0 4.1 106/ul 3.6-5.2

RDW 14.1 14.9 14.8 % 11.5-14.5

MCV 82.4 80.3 80.0 U 80-96

MCH 26.8 26.6 26.6 Pcg 28-33

MCHC 32.5 33.1 33.2 g/dl 28-32

ELEKTROLIT

Natrium 134.6 mmol/l 132-145

Kalium 4.31 mmol/l 3.1-5.1

Klorida 101.6 mmol/l 96-111

SEROIMUNOLOGI – ANTI DENGUE

IgG - Negatif

IgM + Negatif

V. PEMERIKSAAN KHUSUS

Data Antropometri Pemeriksaan Status Gizi

Anak perempuani usia 10 bulan

Berat badan 8.2 kg

Tinggi badan 70 cm

Lingkar kepala 47 cm

Pertumbuhan persentil anak menurut CDC

adalah sebagai berikut:

1. BB/U = 8.2/8.4 x 100% =97.6% (berat badan normal menurut usia)

2. TB/U = 70/72 x 100% = 97.2% (tinggi badan normal sesuai usia)

3. BB/TB = 8.2/8.4 x 100% = 97.6% (Gizi

normal)

Kesan: Anak perempuan, 10 bulan, status gizi normal

Pemeriksaan Lingkar Kepala

LK : 47 cm

Kesan : mesocephali

VI. DAFTAR MASALAH

- Kejang

- Demam

- Batuk

- Sesak

- Trombositopeni

- Leukopeni

- Hepatomegali

VII. DIAGNOSIS BANDING

1. Kejang

demam

infeksi

ekstrakranial

- KDS (kejang

demam simpleks)

- KDK (kejang

demam komplek)

- DHF

- Demam dengue

- Demam Tifoid

- Malaria

- ISPA (brpn,

bronkiolitis)

Infeksi

intrakranial

- Meningitis

- Ensefalitis

- Meningoensefalitis

-SOL

-Perdarahan

-Metabolik

2. Batuk

Sesak

Intrapulmonal:

-Efusi Pleura

-Edema Paru

- ISPA

Ekstrapulmonal

-Aspirasi benda asing

-Penyakit jantung

3. Status

gizi

- Normal

- Kurang

- Buruk

VIII. DIAGNOSIS KERJA

- Kejang demam simpleks

- DHF (Dengue Hemorrhagic Fever)

- Efusi pleura.

- Gizi normal

IX. PENATALAKSANAAN

a. Medikamentosa

IVFD KAEN 3A 15 tpm

Inj. Amoxicilin 3 x 1/3 gr UI

Inj. Vit C 1x100gr UI

PCT syr 3 x 0.9cc (k/p)

b. Nonmedikamentosa

Pengawasan keadaan umum, sesak nafas dan tanda vital

Diet kebutuhan kalori = 8.2 x 100 820 kkal

kebutuha protein = 2g/kg 16.4gr

kebutuhan cairan = 100 x 8.2 820cc – 10% = 738 cc/hari

O2 nasal 2 lpm

Edukasi tentang penyakit pasien, komplikasi, pengobatan serta pemeriksaan

yang akan dilakukan.

X. PROGNOSIS

Quo ad vitam : ad bonam

Quo ad sanationam : ad bonam

Quo ad functionam : dubia ad bonam

XI. SARAN PEMERIKSAAN

- Pemeriksaan SADT

- Pemeriksaan darah rutin ulang

- Rontgen thorax AP ulang

3 x nasi1 x buah3 x sayur

PERJALANAN PENYAKIT

Tanda-Tanda vital

17-Sep 18-Sep 19-Sep 20-Sep 22-Sep 23-Sep

T NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN

RR NaN NaN NaN NaN NaN NaN NaN

HR 124 120 128 140 140 134 NaN

112.5

117.5

122.5

127.5

132.5

137.5

142.5

124

120

128

140 140

134

Chart TitleT RR HR

Follow Up Pasien

17/09/2015 18/09/2015 19/09/2015

S Demam h-1, batuk Demam h-2, batuk, sedikit pilek, BAB cair 1x

Demam h-3, batuk <<, pilek<<, BAB menceret (-)

O Ku : tss, kejang (-), sesak (-) Ku : tss, kejang (-), sesak (-)

Ku : tss, kejang (-). Sesak (-)

A Kejang demam sederhana (KDS) Dx/KDS,

Dd/ ISPA

Dx/KDS

Dd/ISPA

P - IVFD RL 10 tpm- P.O luminal 10 mg

Diazepam 1.5gr- PCT syr 3 x 0.9cc (k/p)

Terapi lanjutkan - IVFD KAEN 3A 15 tpm- P.O rhinos neo 3x0.5cc- Inj. Sanmol 3x100mg - Inj, amoxicilin 3x 1/3 gr

3 x 1 Pulv.

21/09/2015 22/09/2015 23/09/2015

S Demam h-5, batuk (+), pilek (+), bersin-bersin

Demam h-6, batuk, pilek (-), sesak

Demam h-7, batuk <<, pilek<<, BAB menceret (-)

O Ku : tss, kejang (-), sesak (-)

Abd : hepatomegali 1/3-1/3

Ku : tss, kejang (-), sesak (+)

Thoraks: RH +/+

Abd : hepatomegali 1/3-1/3

Ku : tss, kejang (-). Sesak (+)

Thoraks: RH +/+

Abd : hepatomegali 1/3-1/3

A Dx/

- Kejang demam sederhana (KDS)

- Demam dengue

Dd/ ISPA

Dx/:

-KDS-DHF-Efusi pleura dx

Dx/:

-KDS-DHF- Efusi pleura dx

P - IVFD KAEN 3A 15 tpm- P.O rhinos neo 3x0.5cc- Inj. Sanmol 3x100mg - Inj, amoxicilin 3x 1/3 gr- Inj. Colsan 3 x 300

Program: - cek darah rutin- IgG dan IgM dengue

- IVFD KAEN 3B 15 tpm- P.O rhinos neo 3x0.5cc- Inj.amoxicilin 3x 1/3 gr- Inj. Vit C 1 x 100gr- Inj. Extra lasix 5mg

O2 nasal 2Lpm

Program : Ro thorax AP/RLD

- IVFD KAEN 3B 15 tpm- P.O rhinos neo 3x0.5cc- Inj. amoxicilin 3x 1/3 gr- Inj. Vit C 1 x 100gr-Pengawasan KU/ttv, tanda syok

-O2 nasal 2Lpm

TINJAUAN PUSTAKA

INFEKSI VIRUS DENGUE

DEFINISI

Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang

bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness),

demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai

syok (dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini

memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat

di RS sebagai puncak gunung

EPIDEMIOLOGI

Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan

oleh David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue

menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse

koorts) kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut

demikian karena demam yang terjadimenghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri

pada sendi, nyeri otot, dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia

Tenggara hanya merupakan penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.

Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan manifestasi

klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini menyebar ke

negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun 1968

penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat

tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD

sangat kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak

terencana & tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di

daerah endemis, dan (4) Peningkatan sarana transportasi. Morbiditas dan mortalitas

infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain status imunitas pejamu,

kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan (virulensi) virus dengue,

dan kondisi geografis setempat. Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus

dengue di Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran

penyakit terjadi peningkatan yang pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh

propinsi di Indonesia, dan 200 kota telah melaporkan adanya kejadian luar biasa.

Incidence rate meningkat dari 0,005 per 100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi

berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk. Pola berjangkit infeksi virus dengue

dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara. Pada suhu yang panas (28-32°C) dengan

kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap bertahan hidup untuk jangka waktu

lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban tidak sama di setiap tempat, maka

pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap tempat. Di Jawa pada

umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat terus sehingga

kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.

ETIOLOGI

Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm

dan mengandung RNA rantai tunggal. jHingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu

DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari

subgenus Stegomya. Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting

disamping spesies lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan

vektor sekunder dan epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes

aegypty.

PATOGENESIS

Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan

plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan

hematokrit dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam

dengue dan demam berdarah dengue.

Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas. Beberapa teori dan hipotesis yang

dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :

1. Teori virulensi virus

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

2. Teori imunopatologi

3. Teori antigen antibodi

4. Teori infection enchancing antibody

5. Teori mediator

6. Teori endotoksi

7. Teori limfosit

8. Teori trombosit endotel

9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing antibody

dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami.

Teori secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat

memicu DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku

pada anak berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak

dibawah 1 tahun ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig

G anti dengue dari ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan

sel T memori berperan penting dalam patofisiologi DBD.

Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory

Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Belaiau mengajukan dasar

imunopatologi DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama

perjalanan infeksi sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear

yang terinfeksi virus dengue. Berdasarkan data epuidemiologi dan studi in vitro, teorui

ini saat ini dikenal sebagai ”antibody dependent enhancement” (ADE) yang dianut untuk

menjelaskan patogenesis DBD/DSS. Hipotesisi ini juga mendukung bahwa pasien yang

menderita infeksi sekunder dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih

tinggi mengalami DBD dan DSS.

Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan

masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :

- Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc

dan masuk dalam monosit

- Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan

sumsum tulang (terjadi viremia).

- Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai

sistem humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen),

sitokin dan tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan

mengaktivasi faktor koagulasi.

Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:

- Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)

- Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing

antibody).

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks

imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari

bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian

in vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan

dalam monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan

virus tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah

monosit terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun

meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa

kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek

sinergistik dari IFN-γ, TNF-α dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di

seluruh tubuh.

Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus membentuk

kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit

(makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC

memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-γ) yang

mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc

dan ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain

seperti aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNFα, IL-1,IL-6) akan

menyebabkan eksaserbasi kaskade inflamasi.

PERJALANAN PENYAKIT

Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi

yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah.

Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti

dengan tiga fase berikut – demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery).

Meskipun perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,

penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam

penyelamatan hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju

prognosis yang baik ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul

selama fase yang berbeda. Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan

diharapkan dapat menurunkan angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat

menyelamatkan hidup pasien dengan infeksi virus dengue. Berikut merupakan fase

infeksi virus dengue:

1. Fase febris

Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 –

7 hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada

badan yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia,

eksantem yang mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien

menunjukkan manifestasi berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi

konjungtiva. Anoreksia, mual, dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk

membedakan secara klinis penyakit dengue dengan non-dengue saat-saat awal

demam, namun hasil tes torniquet yang positif lebih mengindikasikan ke arah

dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang ditunjukkan tidak

menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat penting untuk

mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam rangka

memahami proses ke arah fase kritis.

Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran mukosa

dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada lokasi

injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga

terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal

setelah beberapa hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah

lengkap yaitu menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien

akan menunjukkan kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti

masuk sekolah, belajar, bermain, maupun berinteraksi sosial.

2. Fase Kritis

Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya

peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini.

Jika tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan

permeabilitas kapiler, dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya,

kebanyakan merupakan akibat dari kebocoran plasma.

Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.

Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 – 38 C

atau kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 – 8. Leukopenia

progresif diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran

plasma. Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda

tambahan. Periode kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 – 48

jam. Tingkat kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului

perubahan pada tekanan darah dan volume nadi.

Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan

kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan

intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat

dideteksi seteah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang

berat. Foto toraks posisi lateral dekubitus atau USG yang memperlihatkan air

fluid level pada toraks dan abdomen, maupun edema pada dinding vesika fellea

dapat menjadi deteksi dini. Disamping kebocoran plasma, manifestasi perdarahan

seperti mudah memar, dan hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.

Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran, maka

sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika

syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi

akan mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC

(disseminated Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan

perdarahan berat, yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat).

Leukosit dapat meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.

Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul setelah

fase demam, biasanya pada hari 3 – 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat

adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki

keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami

hipotensi postural selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran

mukosa atau pada daerah suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang

membesar dan kenyal biasanya dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat

dideteksi jika kehilangan plasma signifikan atau setelah penanganan dengan

cairan intravena. Penurunan yang cepat dan progresif pada hitung trombosit

hingga 100.000 sel/mm kubik dan peningkatan hematokrit diatas normal mungkin

menjadi tanda paling awal dari kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului

kejadian leukopenia (≤5000 sel/mm kubik).

3. Fase Penyembuhan

Ketika pasien bertahan hidup 24 – 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari

cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 – 72 jam berikutnya. Keadaan

umum membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis

menjadi stabil. Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut ‘Pulau Putih

diatas Laut Merah’. Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus. Hitung

hematokrit akan normal atau rendah karena efek dilusional dari cairan yang

tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya mulai meningkat. Hitung trombosit

biasanya secara khas lebih akhir daripada sel darah putih. Distres respirasi dari

efusi pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun jika terapi intravena

diberikan secara berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan, terapi

cairan yang berlebihan berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal jantung

kongestif.

Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat disimpulkan

ke dalam tabel berikut.

Tabel 1 Fase Infeksi Dengue

1 Fase febris Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan

gangguan neurologis dan kejang demam pada

anak-anak yang lebih muda

2 Fase kritis Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang

berat; kegagalan fungsi organ

3 Fase penyembuhan Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV

berlebihan)

4. Severe Dengue

Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma

yang mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau

tanpa distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ

berat.

Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan

tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi

perifer disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan

CRT yang menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan

sistolik dan tekanan nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi

perifer. Syok hipotensif yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat

megakibatkan kegagalan multi-organ.

Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara tekanan

sistolik dengan diastolik) ≤ 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda dari

perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi

yang meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang

sering berkomplikasi pada perdarahan besar.

Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi,

namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika

perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan

kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan

organ multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok

berkepanjangan pada pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau

kortikosteroid.

Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko

infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 – 7 hari ditambah berapapun dari

tanda-tanda dibawah ini:

- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit

yang tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok

atau gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik,

denyut nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada

syok lanjut, tekanan darah yang tak terukur).

- Ada perdarahan yang bermakna

- Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)

- Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut

bertambah hebat, ikterik)

- Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut,

ensefalopati atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim,

kardiomiopati)

MANIFESTASI KLINIS

Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:

1. Silent dengue atau undifferentiated fever

2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2

– 7 hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita,

mialgia, ruam kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue

meliputi demam tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya

mencapai 39 – 40 C, dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 – 7 hari,

tetapi pada penelitian selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua

pasien sehingga tidak dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan

kemerahan dan ercak merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama

separuh pertama periode demam dan kemungkinan makulopapular atau

menyerupai demam skarlatina yang muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam

timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik pertama kali (hari sakit ke -3 – 5) dan

berlangsung selama 3 – 4 hari. Anoreksia dan obstipasi sering dilaporkan. Gejala

klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk, epistaksis, dan disuria. Kelenjar

limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 – 77% kasus atau dikenal sebagai

Castelani’s sign yang bersifat patognomonik. Beberapa bentuk perdarahan lain

dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hitung leukosit

biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir periode

demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor pembekuan.

Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum biokimia

(enzim) biasanya normal.

3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4

manifestasi berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3)

hepatomegali 4) kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji

torniket positif, memar dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus

tersebar di anggota gerak, muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis

dan perdarahan membran mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan

perdarahan saluran pencernaan hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak

dapat diatasi. Hati biasanya teraba pada awal fase demam, bervariasi mulai dari

teraba 2 – 4 cm dibawa arkus costae kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan

dengan parahnya penyakit tapi sering ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri

tekan pada daerah hepar terasa tetapi biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada

pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan adanya trombositopenia sedang

hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan patofisiologis utama yang

menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah gangguan hemostasis dan

kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar hematokrit). Tabel

berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.

Tabel 2 Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis

dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan

frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg),

hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

Gambar 2 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis.

Metode diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi

adanya virus, asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik

ini. Setelah onset penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel

darah yang berirkulasi, serta pada jaringan lain, selama 4 – 5 hari. Selama tahap pertama

dari penyakit, isolasi virus, asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk

mendiagnosis infeksi. Di akhir fase akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk

diagnosis.

Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu.

Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya

dengan flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan

mengalami respon antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari

antibodi spesifik. IgM merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi

ini terdteksi 50% pada hari 3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99%

pada hari ke-10 (Gambar 3). Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset

gejala dan umumnya menurun hingga tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat

dideteksi pada kadar rendah di akhir minggu pertama sakit, kemudian meningkat

perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa bulan, bahkan mungkin seumur hidup.

Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi

sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus non-

dengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap

berbagai macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi

pada kadar yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan

seumur hidup. Pada tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah

pada infeksi sekunder dan mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan

infeksi primer atau sekunder dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum

daripada uji hemoaglutinin-inhibisi (uji HI).

Gambar 3 Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan teknologi

kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang senstif

mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan

mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi.

Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah tidak

spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya. Sebelum

hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi virus

pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT),

atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan

kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat

mendeteksi RNA virus dalam 24 – 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan

dan reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk

mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan

peralatan yang terbatas dan mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi

antigen dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari

satu jam. Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi

mengenai biaya dan keakuratannya. Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat

dari metode diagnostik untuk infeksi dengue.

Tabel 3 Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan

munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien

selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di

negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah

karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.

Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus atau

deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel

yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-

minggu atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang

terdeteksi – atau sama sekali tidak ada – pada beberapa infeksi sekunder, menurukan

keakuratan uji IgM ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang

diukur oleh IgG ELISA atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut.

Bagaimana pun, menunggu serum saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat

tidak berguna untuk diagnosis dan penatalaksanaan.

Tabel 4 Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi,

selaa periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma,

dan sel-sel mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening,

timus, dan sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman

sampel harus dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode

yang luas dipakai untuk mengisolasi virus.

2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya

harus di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain

Reaction) lebih sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 – 100%. Positif palsu

dapat terjadi jika kontaminasi saat proses amplifikasi.

3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut

jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-

virus sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang

fokus pada antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-

struktural -1 (NS-1) menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen

ini dalam pembentukan kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan

infeksi primer maupun sekunder dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit.

Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh flavivirus dan disekresikan dari sel-sel

mamalia. NS1 menghasilkan respon imun humoral yang kuat. Banyak penelitian

yang telah fokus menggunakan deteksi NS1 untuk diagnosis dini infeksi virus

dengue.

4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked

immunosorbent assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi

spesifik anti rantai-u yang dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue

(DEN-1 hingga 4) terikat dengan IgM anti-dengue yang ‘terperangkap’ tadi.

Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue monoklonal atau poliklonal yang

terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan mengubah substat tak berwarna

menjadi produk berwarna, yang diukur melalui spektrometer. Serum, darah, dan

saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari atau lebih setelah onset demam.

MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang baik namun hanya jika

digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah onset demam. Banyak

penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya lebih baik

performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada pasien

dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.

IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau

sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau

plasma dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer

atau sekunder.

Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan

(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat

menghambat terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji

HI. Sampel seru diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-

spesifik, dan kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk

menghilangkan aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI

membutuhkan serum yang diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit

(sudah sembuh), atau dengan serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan

tujuh hari. Respon terhadap infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi

pada serum fase akut (sebelum hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer

antibodi HI kemudian. Selama infeksi dengue sekunder, antibodi HI meningkat

secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280. Nilai yang lebih rendah dari ini

umumnya diobservasi pada serum pada masa penyembuhan dari pasien dengan

respon primer.

Gambar 4 Uji Hemaagutinasi-inhibisi

5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama

fase akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah

100.000 per uL per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini

merupakan tanda yang tetap pada demam berdarah dengue (DBD).

Trombositopenia biasanya dijumpai pada periode antara hari-3 dan 8 menjelang

onset sakit.

Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang

dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena

peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.

KRITERIA DIAGNOSIS

Kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue

yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah

kesehatan masyarakat dengan angka kematian yang tinggi. Kriteria diagnosis DBD ialah

dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris, yaitu trombositopenia dan

hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan dikonfirmasi lagi

dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO tahun 1997

ialah:

Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama 2

– 7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,

epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat

dan lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia

(100.000/ul atau kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).

Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:

- Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniket positif atau mudah memar

- Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan

dapat terjadi di kulit atau pada tempat lain.

- Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi

lemah, tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit

lembab, dan gelisah

- Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.

PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan

plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan.

Pasien DD dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa.

Tetapi pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Untuk dapat

merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang terampil, sarana

laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah yang

senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera

dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka

kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada

waktu masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan

tidak tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para

dokter untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu

(fase kritis, fase syok) dengan baik.

Demam dengue

Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkan

Tirah baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.

Untuk menurunkan suhu menjadi < 39°C, dianjurkan pemberian parasetamol.

Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh karena dapat

meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.

Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu,

disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.

Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.

Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat

terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan

kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak

jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD

terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada

DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila

terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat perdarahan kulit serta

mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal

tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah

sakit. Penerangan untuk orang tua tertera pada Lampiran 1. Pada pasien yang tidak

mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi.

Tatalaksana DD tertera pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

Demam Berdarah Dengue

Ketentuan Umum

Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD dan penyakit lain adalah adanya

peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan gangguan

hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak,

diastesis hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan

tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu

turun (the time of defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan

sirkulasi, dengan melakukan observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma

dan gangguan hemostasis. Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya

perembesan plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis

pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai

<100.000/pl atau kurang dari 1-2 trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi

sebelum peningkatan hematokrit dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan

hematokrit 20% atau lebih mencermikan perembesan plasma danmerupakan indikasi

untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik atau ringer laktat sebagai cairan awal

pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian

khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit yang terus menerus danpenurunan

jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD derajat I danII dapat dirawat di

Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B

dan A.

Fase Demam

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simtomatik

dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral

tidak dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang

berlebihan, maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang

diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama

demam pada 7BD. Parasetamoi direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di

sederhanakan seperti tertera pada Tabel 5.

Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan

muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta

larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama.

Setelah keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB

dalam 24 jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping

larutan oiarit. Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif

selama demam.

Tabel 5 Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode kritis

adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.

Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang

terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat

kebocoran plasma dan pedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada

umumnya terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan nadi.

Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal

kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin

dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif. Untuk Puskesmas

yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan dengan menggunakan Hb.

Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume Plasma

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan

suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian

volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan

dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam

pertama, sedangkan pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).

Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar

hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,

seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang

dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan,

apabila (1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak

rnungkin diberikan minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga

mempercepat terjadinya syok. (2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada

pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari derajat dehidrasi

dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%.

Bila terdapat asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus

perlahan-lahan. Apabila terdapat hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis

cairan yang diberikan harus sama dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang

diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan

rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti tertera pada tabel 6 dibawah ini.

Tabel 6 Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat badan

pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.

Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak

umur yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.

Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)

=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan

plasma tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun),

maka volume cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan

plasma, yang dapat diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume

yang bedebihan danterus menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.

Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi reabsorbsi

cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itucairan tidak

dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat

dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas

dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau

kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar

hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena. Jenis Cairan

(rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:

Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL)

Larutan ringer asetat (RA)

Larutan garam faali (GF)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)

Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)

Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan

yang mengandung dekstran)

Koloid.

Dkstran 40

Plasma

Albumin

Sindrom Syok Dengue

Syok merupakan Keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama

yang berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat

mengalami syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita

SSD dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan

kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan

menjadi 10 ml/kg BB.

Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer

laktat > 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak

dengan berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg

BB/jam, bila tidak ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.

Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan

10 ml/kg BB/jam bila tidak ada perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan

koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg BB/jam. Pada umumnya pemberian koloid

tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak

diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan resusitasi kristaloid dankoloid

syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun, diduga sudah terjadi perdarahan;

maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila kadar hematokrit tetap >

tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam) dapat diulang sampai

30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus dikurangi bertahap

sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.

Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar

hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam

dankemudian disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48

jam. Pemasangan CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak

dianjurkan lagi. Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun,

dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan

indikasi bahwa keadaaan sirkulasi membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan

lagi setelah 48 jam syok teratasi. Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang

berlebih pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan

penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan rumatan), maka akan

menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal jantung. Penurunan

hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda perdarahan,

tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal, diuresis

cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.

Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik

sering menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus

selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu

terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.

Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan dilakukan

koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak

akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua

pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus

diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker

oksigen.

Transfusi Darah. Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada

setiap pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock).

Pemberian transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.

Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal haemorrhage) apabila

disertai hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% me.njadi 40%)

tanpa perbaikan klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan

tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi

pendarahan karena cukup mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembesar

trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna untuk pasien dengan KID

dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan menyebabkan

perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.

Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan

fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi

terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan

prognosis.

Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara

teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring

adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit

atau lebih sering, sampai syok dapat teratasi.

Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien

stabil.

setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan,

jumlah, dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah

mencukupi.

Jumlah dan frekuensi diuresis.

Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume intravaskuler

telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1 ml/kg/BB,

sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload antara

lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat

diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan.

Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat

terkoreksi dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD

Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya

dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan.

Ruang perawatan khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk

memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam.

Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis

dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang diminum

maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta mencatat

jumlahnya.

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis

Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik

Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)

Hematokrit stabil

Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl

Tiga hari setelah syok teratasi

Nafsu makan membaik

TATALAKSANA ENSEFALOPATI DENGUE

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi

cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus

segera dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl

(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5

mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya

kortikosteroid tidak diberikan. Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K

intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah

terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu

diberikan diuretik), koreksi asidosis dan elektrolit. Perawatan jalan nafas dengan

pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan

neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan

(misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati.

Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu

dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan asam amino rantai

pendek.

Mengingat pada saat awal pasien datang, kita belum selalu dapat menentukan diagnosis

DD/DBD dengan tepat, maka sebagai pedoman tatalakasana awal dapat dibagi dalam 3

bagan yaitu

Tatalaksana kasus tersangka DBD, termasuk kasus DD, DBD derajat I dan DBD

derajat II tanpa peningkatan kadar hematokrit. (Bagan 2 dan 3)

Tatalaksana kasus DBD, temasuk kasus DBD derajat II dengan peningkatan kadar

hematokrit (Bagan 4)

Tatalaksana kasus sindrom syok dengue, termasuk DBD derajat III dan IV

(Bagan 5)

Keterangan Bagan 2

Tatalaksana Kasus Tersangka DBD

Pada awal perjalanan penyakit DBD tanda/gejalanya tidak spesifik, oleh karena itu orang

tua/anggota keluarga diharapkan untuk waspada jika meiihat tanda/gejala yang mungkin

merupakan gejala awal penyakit DBD. Tanda/gejala awal penyakit DBD ialah demam

tinggi 2-7 hari mendadak tanpa sebab yang jelas, terus menerus, badan terasa lemah/anak

tampak lesu.Pertama-tama ditentukan terlebih dahulu (1) Adakah tanda kedaruratan yaitu

tanda syok (gelisah, nafas cepat, bibir biru, tangan dan kaki dingin, kulit lembab),

muntah terus menerus, kejang, kesadaran menurun, muntah darah, berak darah, maka

pasien perlu dirawat (tatalaksana disesuaikan dengan bagan 3,4,5) (2) Apabila tidak

dijumpai tanda kedaruratan, periksa uji tourniquet/uji Rumple Leede/uji bendung dan

hitung trombosit;

a. Bila uji tourniquet positif dan/ atau trombosit <_ 100.000/pl, pasien di observasi

(tatalaksana kasus tersangka DBD ) Bagan 3

b. Bila uji tourniquet negatif dengan trombosit >_ 100.000/pl atau normal , pasien boleh

pulang dengan pesan untuk datang kembali setiap hari sampai suhu turun. Pasien

dianjurkan minum banyak seperti air teh, susu, sirup, oralit, jus buah dll serta diberikan

obat antipiretik golongan parasetamol jangan golongan salisilat. Apabila selama di rumah

demam tidak turun pada hari sakit ketiga, evaluasi tanda klinis adakah tanda-tanda syok

yaitu anak menjadi gelisah, ujung kaki/tangan dingin, sakit perut, berak hitam, kencing

berkurang; bila perlu periksa Hb, Ht, dantrombosit. Apabila terdapat tanda syok atau

terdapat peningkatan Hb/Ht danatau penurunan trombosit, segera kembali ke rumah sakit

(lihat Lampiran 1 formulir untuk orang tua)

Keterangan Bagan 3

Tatalaksana Kasus tersangka DBD (Lanjutan Bagan 2)

Pasien dengan keluhan demam 2-7 hari, disertai uji tourniquet positif (DBD derajat I)

atau disertai perdarahan spontan tanpa peningkatan hematokrit (DBD derajat II) dapat

dikelola seperti tertera pada Bagan 2

Apabila pasien masih dapat minum, berikan minum sebanyak 1-2 liter/hari atau 1 sendok

makan setiap 5 menit. Jenis minuman yang dapat diberikan adalah air putih, teh manis,

sirop, jus buah, susu atau oralit. Obat antipiretik (parasetamol) diberikan bila suhu >

38.5°C. Pada anak dengan riwayat kejang dapat diberikan obat anti konvulsif. Apabila

pasien tidak dapat minum atau muntah terus menerus, sebaiknya diberikan infus NaCL

0,45% : dekstrosa 5% dipasang dengan tetesan rumatan sesuai berat badan. Disamping

itu perlu dilakukan pemeriksaaan Ht, Hb 6 jam dan trombosit setiap 2 jam. Apabila pada

tindak lanjut telah terjadi perbaikan klinis dan laboratorium anak dapat dipulangkan;

tetapi bila kadar Ht cenderung naik dan trombosit menurun, maka infus cairan diganti

dengan ringer laktat dan tetesan disesuaikan seperti pada Bagan 3.

Keterangan Bagan 4

Tatalaksana Kasus DBD

Pasien DBD apabila dijumpai demam tinggi mendadak terus menerus selama <_ 7 hari

tanpa sebab yang jelas, disertai tanda perdarahan spontan (tersering perdarahan kulit

danmukosa yaitu petekie atau *mimisan) disertai penurunan jumlah trombosit !

_100.000/pl, danpeningkatan kadar hematokrit.

Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid ringer laktat/NaCI 0,9 % atau dekstrosa

5% dalam ringer laktat/NaCl 0,9 % 6-7 ml/kg BB/jam. Monitor tanda vital dankadar

hematokrit serta trombosit tiap 6 jam. Selanjutnya evaluasi 12-24 jam

1. Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu anak nampak tenang, tekanan

nadi kuat, tekanan darah stabil, diuresis cukup, dankadar Ht cenderung turun minimal

dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam.

Apabila dalam observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan dikurangi menjadi

3ml/kgBB/jam danakhirnya cairan dihentikan setelah 24-48 jam.

2. Perlu diingat bahwa sepertiga kasus akan jatuh ke dalam syok. Maka apabila keadaan

klinis pasien tidak ada perbaikan, anak tampak gelisah, nafas cepat (distres pernafasan),

frekuensi, nadi meningkat, diuresis kurang, tekanan nadi < 20 mmHg memburuk, disertai

peningkatan Ht, maka tetesan dinaikkan menjadi 10 ml/kgBB/jam, setelah 1 jam tidak

ada perbaikan tetesan dinaikkan menjadi 15 ml/kgBB/jam. Apabila terjadi distres

pernafasan dan Ht naik maka berikan cairan koloid 20-30 ml/kgBB/jam; tetapi apabila Ht

turun berarti terdapat perdarahan, berikan tranfusi darah segar 10 ml/kgBB/jam. Bila

keadaan klinis membaik, maka cairan disesuaikan seperti ad 1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Setiabudi D. Evalution of Clinical Pattern and Pathogenesis of Dengue

Haemorrhagic Fever. Dalam : Garna H, Nataprawira HMD, Alam A, penyunting.

Proceedings Book 13th National Congress of Child Health. KONIKA XIII.

Bandung, July 4-7, 2005. h. 329- 333

2. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam

Berdarah Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N,

penyunting. Current Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-

3. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman

RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17.

Philadelphia : WB Saunders.2004.h.1092-4

4. Soedarmo SSP. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak. Jakarta : UI Press 1988

5. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent

enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;

54(3):h.171-79

6. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada

Penderita Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13

September 1998.h.

7. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era

2003. Surabaya : Airlangga University Press 2004.h.1-9

8. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and

Control of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive

Guidelines. New Delhi : WHO.1999

9. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam :

Hadinegoro SRS, Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah

Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit

Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-

43

10. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib

Aap, Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan

Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis

Berbagai Penyakit Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55

11. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam

Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi

Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana

Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.h. 80-135

12. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H,

Hadinegoro SRS, penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi &

Penyakit Tropis. Edisi pertama. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208

13. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras.

Cermin Dunia Kedokteran 2000; 126 : 5-13

14. Panbio. Dengue. Didapatkan dari : URL: http://www.panbio.com.au/

modules.php? name= ontent&pa=showpage&pid=33. Diunduh pada tanggal 27

Juni 2006.

15. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD.

Edisi 1 Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.