laporan kafein kelompok 2 -revisi
TRANSCRIPT
ISOLASI KAFEIN DARI TEH HIJAU DAN TEH HITAM
Laporan Praktikum Organik Lanjut
Disusun Oleh:
Dian Anggreani (07109200xx)
Ari Widiagarini (07109200xx)
Novelia Kharisma E. (0710920021)
Nugroho Bomo P. (0710920025)
Zahra Ramadhany H. (0710920027)
Almarita Indah N. (0710920028)
JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2010
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dasar Teori
2.1.1. Teh
Tanaman teh berasal dari negara Cina, dapat tumbuh di daerah tropis dan subtropis, seperti India,
Sri Lanka, Kenya, Uganda, Turki, Argentina, dan masuk ke Indonesia pada tahun 1690 (Leung, 1980).
Teh merupakan bahan minuman yang secara universal dikonsumsi di banyak negara serta di
berbagai lapisan masyarakat. Teh hitam diproduksi oleh lebih dari 75% negara di dunia, sedangkan teh
hijau di produksi kurang lebih di 22% negara di dunia. Selain itu di negara-negara Barat, lebih dari setengah
asupan flavonoid berasal dari teh hitam (Tuminah, 2004).
Gambar :Fandi, khasiat the hijau,2010, http://fandi.student.umm.ac.id/category/kesehatan
Menurut Graham HN (1984); Van Steenis CGGJ (1987) dan Tjitrosoepomo G (1989), tanaman teh
Camellia sinensis O.K.Var.assamica (Mast) diklasifikasikan sebagai berikut
Divisi : Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub divisi : Angiospermae (tumbuhan biji terbuka)
Kelas : Dicotyledoneae (tumbuhan biji belah)
Sub Kelas : Dialypetalae
Ordo (bangsa) : Guttiferales (Clusiales)
Familia (suku) : Camelliaceae (Theaceae)
Genus (marga) : Camellia
Spesies (jenis) : Camellia sinensis
Varietas : Assamica
Berdasarkan penanganan pasca panen, teh dibagi menjadi 3 (tiga) macam, yaitu: teh hijau, teh
hitam dan teh oolong (Tuminah, 2004).
1. Teh Hijau
Teh hijau diperoleh tanpa proses fermentasi; daun teh diperlakukan dengan panas
sehingga terjadi inaktivasi enzim. Pemanasan ini dilakukan dengan dua cara yaitu dengan
udara kering dan pemanasan basah dengan uap panas (steam). Pada pemanasan dengan suhu
85 °C selama 3 menit, aktivitas enzim polifenol oksidase tinggal 5,49 %. Pemanggangan (pan
firing) secara tradisional dilakukan pada suhu 100-200 °C sedangkan pemanggangan dengan
mesin suhunya sekitar 220-300 °C. Pemanggangan daun teh akan memberikan aroma dan
flavor yang lebih kuat dibandingkan dengan pemberian uap panas. Keuntungan dengan cara
pemberian uap panas, adalah warna teh dan seduhannya akan lebih hijau terang.
Gambar . via, 2009, Miracle, http://via-christ.blogspot.com/2009/11/udah-pada-tahu-
belum-manfaat-dari-teh.html
Gambar , patomi, 2008, Ini Teh…, http://patomi.wordpress.com/2008/10/15/ini-teh…/
2. Teh Hitam
Teh hitam diperoleh melalui proses fermentasi. Dalam hal ini fermentasi tidak
menggunakan mikrobia sebagai sumberenzim, melainkan dilakukan oleh enzim polifenol
oksidase yang terdapat di dalam daun teh itu sendiri. Pada proses ini, katekin (flavanol)
mengalami oksidasi dan akan menghasilkan thearubigin. Caranya adalah sebagai berikut: daun
teh segar dilayukan terlebih dahulu pada palung pelayu, kemudian digiling sehingga sel-sel
daun rusak. Selanjutnya dilakukan fermentasi pada suhu sekitar 22-28 °C dengan kelembaban
sekitar 90 %. Lamanya fermentasi sangat menentukan kualitas hasil akhir; biasanya dilakukan
selama 2-4 jam. Apabila proses fermentasi telah selesai, dilakukan pengeringan sampai kadar
air teh kering mencapai 4-6%.
Gambar. Tumiel, 2009, Teh Hitam Cegah Sakit Jantung, Kanker dan Diabetes,
http://tumiel.wordpress.com/category/uncategorized/
Gambar. Tim sehat HNI, 2010, Teh Hitam Kurangi Risiko Jantung,
http://www.hermawan.net/index.php?action=news.detail&id_news=4399
3. Teh Oolong
Teh oolong diproses secara semi fermentasi dan dibuat dengan bahan baku khusus, yaitu
varietas tertentu yang memberikan aroma khusus. Daun teh dilayukan lebih dahulu, kemudian
dipanaskan pada suhu 160-240 °C selama 3-7 menit untuk inaktivasi enzim, selanjutnya
digulung dan dikeringkan.
Gambar. Joker, 2009, manfaat minum teh,
http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/10/manfaat-minum-teh.html
Selain dari jenis 3 teh diatas, terdapat juga jenis teh yang lain yaitu teh putih. Teh ini dalam
pengolahannya tidak melalui proses oksidasi. Saat di pohon, daun teh juga terlindung dari sinar
matahari agar tidak menghasilkan klorofil atau zat hijau daun. Karena diproduksi lebih sedikit, harganya
lebih mahal (Joker, 2009, manfaat minum teh, http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/10/manfaat-
minum-teh.html).
Gambar . Joker, 2009, manfaat minum teh,
http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/10/manfaat-minum-teh.html.
Berikut ini merupakan komposisi dari teh hijau (Tuminah, 2004):
No. Komponen % Berat Kering
1. Kafein 7,43
2. Epicatechin 1,98
3. Epicatechin gallat 5,20
4. Epigallocatechin 8,42
5. Epigallocatechin gallat 20,29
6. Flavonol 2,23
7. Theanin 4,70
8. Asam glutamate 0,50
9. Asam aspartat 0,50
10. Arginin 0,74
11. Asam amino lain 0,74
12. Gula 6,68
13. Bahan yang dapat mengendapkan alcohol 12,13
14. Kalium (potassium) 3,96
Tabel di bawah ini menunjukkan komposisi dari teh hitam (Tuminah, 2004):
No. Komponen % Berat Kering
1. Kafein 7,56
2. Theobromin 0,69
3. Theofilin 0,25
4. Epicatechin 1,21
5. Epicatechin gallat 3,86
6. Epigallocatechin 1,09
7. Epigallocatechin gallat 4,63
8. Glikosida flavonol Trace
9. Bisflavanol Trace
10. Asam Theaflavat Trace
11. Theaflavin 2,62
12. Thearubigen 35,90
13. Asam gallat 1,15
14. Asam klorogenat 0,21
15. Gula 6,85
16. Pektin 0,16
17. Polisakarida 4,17
18. Asam oksalat 1,50
19. Asam malonat 0,02
20. Asam suksinat 0,09
21. Asam malat 0,31
22. Asam akonitat 0,01
23. Asam sitrat 0,84
24. Lipid 4,79
25. Kalium (potassium) 4,83
26. Mineral lain 4,70
27. Peptida 5,99
28. Theanin 3,57
29. Asam amino lain 3,03
30. Aroma 0,01
2.1.2 Kafein
Kafein adalah derivat xantinselain teofiln dan aminofilin yang merupakan dioksi purin dengan
struktur mirip dengan asam urat (Ganiswara dkk,1995). Pembuatan asam urat dalam tubuh, yang
merupakan hasil metabolisme puren yang diawali dengan pembentukan xantin yang diubah oleh enzim
xantin oxidase menjadi asam urat (Harper,1979). Kafein ialah alkaloid yang tergolong dalam famili
methylxanthine bersama-sama senyawa teofilin dan teobromin. Kafein ialah serbuk putih yang pahit.
Kafein memiliki berat molekul 194.19 dengan rumus kimia C8H10N8O2 dan pH 6.9 (larutan kafein 1% dalam
air) (Siswono, 2007) :
Gambar 1. Struktur Molekul Kafein (NCyberAutism, 2008, Kafein,
http://www.egamesbox.com/viewthread.php?action=printable&tid=5137)
Kafein ialah senyawa kimia yang dijumpai secara alami di dalam makanan contohya biji kopi, teh,
biji kelapa, buah kola (Cola nitida), guarana, dan maté. Ia terkenal dengan rasanya yang pahit dan berlaku
sebagai perangsang sistem saraf pusat, jantung, dan pernafasan. Kafein juga bersifat diuretik (dapat
dikeluarkan melalui air kencing) (Anonim1,2006)
Kafein adalah zat yang secara alamiah diproduksi dedaunan dan biji-bijian tumbuhan. Kafein juga
diproduksi secara artificial dan ditambahkan kedalam beberapa produk makanan. Kafein terdapat didalam
daun teh, biji kopi, coklat, obat penghilang rasa sakit. Pada minuman ringan juga sering ditambah kafein.
Kafein merupakan zat stimulant ringan yang dapat menyebabkan jantung menjadi berdebar dan
menghilangkan rasa kantuk. Banyak orang yang setelah mengkonsumsi kafein menjadi lebih energetic dan
besemangat. Dalam bentuk aslinya, kafein itu rasanya sangat pahit. Namun banyak minuman yang
memakai kafein telah melalui proses yang panjang untuk mengklamufase rasa pahit tersebut. Pada soft
drink selain terdapat kafein, juga terdapat gula dan zat artifisial lainnya (P.T Indointernet,2000).
Berbeda dengan kopi yang mempunyai kandungan kafein lebih tinggi, kandungan kafein teh sekitar
sepertiga kandungan kafein di kopi, yaitu sekitar 25,5 mg hingga 34 mg per 170 mL.Beberapa faktor yang
mempengaruhi kandungan kafein dalam teh adalah jenis daun, iklim, kondisi topografi, tempat tumbuh
teh, dan proses pengolahan (Anonim2,2007).
2.1.3 Metode Isolasi
2.1.3.1 Ekstraksi
Ekstraksi adalah metode pemisahan yang melibatkan proses pemindahan satu atau lebih senyawa
dari satu fasa ke fasa lain dan didasarkan pada prinsip kelarutan, Jika kedua fasa tersebut adalah zat cair
yang tidak saling bercampur, disebut ekstraksi cair-cair. Dalam ekstrasi ini secara umum prinsip
pemisahannya adalah senyawa tersebut kurang larut dalam pelarut yang satu dan sangat larut dalam
pelarut yang lain. Biasanya air digunakan sebagai pelarut polar, pelarut lainnya adalah pelarut yang tidak
bercampur dengan air. Syarat lainnya adalah pelarut organik harus memiliki titik didih jauh lebih rendah
daripada senyawa terekstrasi, tidak mahal dan tidak bersifat racun (Anonim3,2009).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut merupakan salah satu metode pemisahan yang baik dan
populer karena dapat dilakukan untuk tingkat mikro maupun makro. Ekstraksi terdiri dari dua macam yaitu
ekstraksi padat-cair dan cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan suatu pemisahan yang didasarkan pada
perbedaan kelarutan komponen dua pelarut yang tidak saling bercampur. Alat yang digunakan adalah alat
yang sederhana yaitu corong pisah. Pelarut yang umumnya digunakan dalam suatu ekstraksi adalah n-
heksana, eter, petroleum eter, benzene, toluene, dan kloroform( Day dan Underwood, 1989).
Pada proses pengisolasian kafein dari daun teh, digunakan beberapa metode ekstraksi yaitu (Basset, J. dkk,
1994):
a. ekstraksi padat cair
Proses ini merupakan proses yang bersifat fisik karena komponen terlarut kemudian
dikembalikan lagi ke keadaan semula tanpa mengalami perubahan kimiawi. Ekstraksi dari bahan padat
dapat dilakukan jika bahan yang diinginkan dapat larut dalam solven pengekstraksi. Ekstraksi
berkelanjutan diperlukan apabila padatan hanya sedikit larut dalam pelarut. Namun sering juga
digunakan pada padatan yang larut karena efektivitasnya. Teh yang telah diukur beratnya, dimasukan
dalam beaker glass ditambah dengan natrium karbonat dan air kemudian dididihkan diatas pemanas
air sampai mendidih.
b. ekstraksi cair-cair
Ekstraksi cair-cair senyawa kafein dilakukan dengan kloroform didalam corong pisah,
kemudian dikocok, pengocokan tidak boleh terlalu keras untuk menghindari terbentuknya emulsi.
digunakan kloroform karena kafein mempunyai koefisien distribusi di kloroform lebih besar daripada
di air. Sedangkan digunakan corong pisah adalah untuk mengeluarkan gas yang dihasilkan.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika optimalisasi model dan pengoperasian proses ekstraksi adalah
(Anonim4,2006):
a. Pemilihan Pelarut
Kemampuan pelarut dalam ekstraksi berbeda, tergantung pada struktur kimianya dan struktur
kimia zat terlarut.
b. Pemilihan Kondisi
Tergantung pada proses ekstraksi alami, suhu, pH, dan waktu pendiaman mengakibatkan pada
hasil dan selektifitas. Suhu dapat juga digunakan sebagai variabel untuk mengubah selektifitas.
Perubahan pH berari pada ekstraksi logam dan bio ekstraksi. Waktu pendiaman sangat penting
sebagai parameter dalam proses ekstraksi reaktif dan dalam proses yang melibatkan komponen
yang berumur pendek.
c. Pemilihan Model Operasi
Ekstraktor dapat dioperasikan dalam model erros current or counter current.
d. Pemilihan Tipe Ekstraktor
Ekstraktor dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Mixer-settlers, kebanyakan digunakan dalam industri logam dimana intensitas pencampuran
dan lamanya waktu pendiaman diperlukan dalam proses ekstraksi reaktif
Centrifugal Devices
Centrifugal Contractor (static)
Column Contractor (agitated)
Gambar. Corong pisah, (heruanto, 2010, Corong Pisah Kimia,
http://lain-lain.iklanmax.com/2010/02/11/corong-pisah-kimia.html)
2.1.3.2 Sublimasi
Sublimasi adalah perubahan fase suatu zat langsung dari fase padat ke fase gas tanpa melalui fase
cairnya dan bila didinginkan akan langsung berubah menjadi fase padat kembali. Senyawa padat yang
dihasilkan akan lebih murni daripada senyawa padat semula karena saat dipanaskan hanya senyawa
tersebut yang menyublim, kotoran tetap tinggal dalam tabung ( Sudja, 1990 ).
Padatan kafein hasil ekstraksi dimurnikan melalui proses sublimasi yaitu padatan kafein
dimasukkan dalam tabung sublimator, kemudian tabung tersebut ditanamkan dalam pasir untuk
dipanaskan dengan kondensor yang telah dipasang dalam tabung sublimator. Pada metode ini harus vakum
dimana pada proses ini terjadi suatu perubahan senyawa dari fase padat ke fase padat kembali tanpa
melewati fase cair. Pada saat pemanasan berlangsung kondensor dialiri air agar kafein yang berubah
menjadi uap kembali ke bentuk padatnya ( Williamson, 1999).
Cara kerja sublimasi adalah zat yang akan disublimasi dimasukkan dalam cawan / gelas piala untuk
keperluan sublimasi, ditutup dengan gelas arloji, corong / labu berisi air sebagai pendingin, kemudian
dipanaskan dengan api kecil pelan – pelan. Zat padat akan menyublim berubah menjadi uap, sedangkan zat
pencampur tetap padat. Uap yang terbentuk karena adanya proses pendinginan berubah lagi menjadi
padat yang menempel pada dinding alat pendingin. Bila sudah tidak ada lagi zat yang menyublim,
dihentikan proses pemanasan dan dibiarkan dingin supaya uap yang terbentuk menyublim semua
kemudian zat yang terbentuk dikumpulkan, dikerok dan diperiksa kemurniannya. Bila kurang murni ulang
proses sublimasi sampai didapatkan zat yang murni ( Sudja, 1990 ).
Gambar, anonim6, 2010, www.erowid.org/library/books_onl...ys.shtml
2.1.3 Metode Identifikasi
2.1.3.1 Titik Lebur
Pada umumnya suat senyawa organik yang berbentuk kristal memiliki suatu titk lebur yang
tertentu dan tepat. Suhu tetap disaat zat padat berada dalam keseimbangan dengan fase cairnya pada
tekanan standart. Disaat suhu itulah zat padat akan melebur. Zat-zat padat ionik umumnya memiliki titk
leleh tinggi, jauh lebih tinggi dari titk leleh zat padat yang gaya-gayanya kovalen. Range titik lebur
(perbedaan antara temperatur dimana kristal tersebut mulai melebur dan temperatur dimana sampel
menjadi cairan sempurna) tidak lebih dari 0,5ºC. Titik lebur dipengaruhi oleh hadirnya zat-zat pencemar
yang akan menekan titik leleh, serta kriteria kemurnian. Sedikit saja diintervensi oleh impuritis sudah
mampu memperlebar irayel, titik leburnya menyebabkan suhu awal terjadinya pelelehan lebih
rendah/tinggi dari pada titik lebur sebenarnya (Arsyad,2001)
Metode ekspeimennya dalam beberapa penggunaan adalah memanaskan sejumlah kecil substansi
dalam pipa kapler yng dimasukan kedalam melting point apparatus yang sesuai dan menentukan
temperatur dimana peleburan terjadi (Vogel,1994).
2.1.3.2 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa
murninya dan mengetahui kuantitasnya yang menggunakan. Kromatografi juga merupakan analisis cepat
yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya (Anonim5, 2009).
Pelaksaanan kromatografi lapis tipis menggunakan sebuah lapis tipis silika atau alumina yang
seragam pada sebuah lempeng gelas atau logam atau plastik yang keras. Jel silika (atau alumina)
merupakan fase diam. Fase diam untuk kromatografi lapis tipis seringkali juga mengandung substansi yang
mana dapat berpendarflour dalam sinar ultra violet, alasannya akan dibahas selanjutnya. Fase gerak
merupakan pelarut atau campuran pelarut yang sesuai ( Jim, Clark, 2007).
KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida-
lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk
mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom,
identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil (Anonim5, 2009).
Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis.
Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi–pereaksi yang
lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk
identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa
standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan
jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0 (Jim
Clark, 2007).
Cara kerja kromatografi lapis tipis adalah (Anonim5, 2009)
a. Fase diam-jel silika
Jel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen
dalam struktur kovalen yang besar. Namun, pada permukaan jel silika, atom silikon berlekatan pada
gugus -OH.Jadi, pada permukaan jel silika terdapat ikatan Si-O-H selain Si-O-Si. Gambar ini
menunjukkan bagian kecil dari permukaan silika. Permukaan jel silika sangat polar dan karenanya
gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa yang sesuai disekitarnya,
sebagaimana halnya gaya van der Waals dan atraksi dipol-dipol.. Fase diam lainnya yang biasa
digunakan adalah alumina-aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan juga memiliki gugus -
OH. Jel silica yang digunakan, dapat diganti dengan alumina.
b. Senyawa-senyawa pemisah dari Kromatogram
Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa
dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak
pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut.
Faktor yang mempengaruhi cepatnya senyawa-senyawa bergerak ke atas lempengan adalah (Jim
Clark, 2007):
Kelarutan senyawa dalam pelarut. Tergantung pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa
dengan pelarut.
Senyawa melekat pada fase diam, misalnya jel silika.
Hal tersebut tergantung pada besarnya interaksi antara senyawa dengan jel silika. Senyawa yang
dapat membentuk ikatan hidrogen akan melekat pada jel silika lebih kuat dibanding senyawa lainnya yang
mengalami interaksi van der Waals. Sehingga dapat dikatakan bahwa senyawa ini terserap lebih kuat dari
senyawa yang lainnya. Terdapat perbedaan bahwa ikatan hidrogen pada tingkatan yang sama dan dapat
larut dalam pelarut pada tingkatan yang sama pula. Ini tidak hanya merupakan interaksi antara senyawa
dengan jel silika. Interaksi antara senyawa dan pelarut juga merupakan hal yang penting karena hal ini akan
mempengaruhi mudahnya suatu senyawa ditarik pada larutan keluar dari permukaan silika. Penyerapan
pada kromatografi lapis tipis bersifat tidak permanen, terdapat pergerakan yang tetap dari molekul antara
yang terjerap pada permukaan jel silika dan yang kembali pada larutan dalam pelarut.
Dengan jelas senyawa hanya dapat bergerak ke atas pada lempengan selama waktu terlarut dalam
pelarut. Ketika senyawa diserap pada jel silika untuk sementara waktu proses penyerapan berhenti dimana
pelarut bergerak tanpa senyawa. Itu berarti bahwa semakin kuat senyawa dijerap, semakin kurang jarak
yang ditempuh ke atas lempengan. Hal ini memungkinkan senyawa-senyawa tidak terpisahkan dengan baik
ketika anda membuat kromatogram. Dalam kasus itu, perubahan pelarut dapat membantu dengan baik
termasuk memungkinkan perubahan pH pelarut.
Dalam metode kromatografi ini masalah penting yang perlu diperhatikan adalah pemilihan fase
gerak (eluen) dan fase diam (padatan penyerapan) yang digunakan sehingga menghasilkan suatu
pemisahan yang terbaik. Sifat–sifat senyawa yang dipisahkan, menentukan bahan penyerap yang
digunakan dari fase gerak yang dipilih. Masing–masing komponen yang mempunyai sifat yang khas dalam
hal kelarutan maupun daya serapnya, tergantung dari gugus yang dimilikinya. Fase diam yang sangat polar
akan mengikat senyawa–senyawa polar dengan kuat. Fase gerak biasanya kurang polar dari bahan
penyerap dan dengan mudah melarutkan komponen yang kurang polar bahkan non polar. Jika pelarut yang
digunakan bersifat non polar, komponen yang sangat polar akan bergerak naik ke atas dengan pelan atau
tidak bergerak sama sekali. Sedangkan komponen non polar akan bergerak lebih cepat (Gritter,et all,1991).
Parameter dalam analisis KLT adalah harga Rf ( Retardation factor) yang dirumuskan sebagai
berikut (Sastrohamidjojo,1985):
Harga Rf= jarak yang ditempuh oleh senyawajarak yang ditempuh oleh pelarut
Harga Rf senyawa murni dapat dibandingkan dengan harga Rf senyawa standart. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi harga Rf adalah (Sastrohamidjojo,1985):
1. JumLah cuplikan yang ditotolkan, jika terlalu banyak akan memberikan tendensi penyebaran noda-
noda dengan kemungkinan terbentuknya ekor, sehingga menimbulkan kesalahan dalam
perhitungan Rf
2. derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembang
3. kemurnian eluen
4. perbandingan yang tepat dari eluen bila digunakan eluen campuran
5. ukuran partikel, rata-rata dan tidak adanya penyerap
6. suhu, dimana sebaiknya pemisahan dilakukan pada suhu yang tetap untuk mencegah perubahan-
perubahan dalam komposisi pelarut yang disebabkan penguapan atau perubahan-perubahan fase.
Fase diam yaitu sebuah matriks spesial yang berdasar halus (gel silika, alumina, atau bahan sejenis)
yang dilapiskan pada plate kaca, logam atau film plastik sebagai lapis tipis (0,25 nm). Dalam penambahan
bahan pengikat seperti gipsum dicampurkan dalam fase diam untuk membuatnya batangan supaya mudah
dipasang. Dalam beberapa kasus, bubuk fluorescen di campurkan dalam fase diam untuk
menyederhanakan visualisasi selanjutnya (berwarna hijau terang ketika dikenai sinar UV pada 254 nm)
(Anonim5, 2008). Kromatografi lapis tipis dapat ditunjukkan pada gambar 3 (( Jim, Clark, 2007))
Gambar 3. Kromatografi Lapis Tipis
2.1.3.3 Spektrofotometri UV-Vis
Spektrofotometri UV-Vis didasarkan pada interaksi antara energi elektromagetik dengan moleku l.
Interaksi tersebut menyebabkan penyerahan energi radiasi elektromagnetik, dimana serapan ini bersifat
spesifik untuk setiap molekul tersebut (suatu aspek kualitatif). Disamping itu banyaknya serapan
berbanding lurus dengan banyaknya zat kimia (aspek kuantitatif) (Pescock, et all,1970).
Gugus yamg diserap pada daerah UV adalah kromofor yang menyatakan gugus tak jenuh kovalen
yang dapat menyerap radiasi dalam daerah UV dan tampak. Penyerapan sejumLah energi menimbulkan
percepatan dari elektron dalam orbital berenergi yang lebih tinggi dalam keadaan tereksitasi
(Sastrohamidjojo, 1985).
Radiasi UV-Vis berada pada daerah panjang gelombang 200-700 nm, dimana absorbansi molekul
dalam daerah ini sangat tergantung struktur elektronik dari molekul-molekul itu sendiri. Energi yang
diserap tergantung pada perbedaan energi antara tingkat energi dasar dengan energi tingkat eksitasi,
makin kecil beda energi maka semakin besar panjang gelombang dari molekul tersebut (Sastrohamidjojo,
1985).
2.1.3.4 Spektrofotometri Infra Merah
Spektrofotometri Infra Red atau Infra Merah merupakan suatu metode yang mengamati interaksi
molekul dengan radiasi elektromagnetik yang berada pada daerah panjang gelombang 0,75 – 1.000 µm
atau pada Bilangan Gelombang 13.000 – 10 cm-1. Radiasi elektromagnetik dikemukakan pertama kali oleh
James Clark Maxwell, yang menyatakan bahwa cahaya secara fisis merupakan gelombang elektromagnetik,
artinya mempunyai vektor listrik dan vektor magnetik yang keduanya saling tegak lurus dengan arah
rambatan (Febri, 2007). Spektroskopi Infra Merah merupakan teknik analisis kimia yang metodenya
berdasarkan pada penyerapan sinar infra merah (IR) oleh molekul senyawa. Panjang gelombang IR
tergolong pendek, yakni sekitar 0.78-1000 µm, sehingga tidak mampu mentransisikan elektron, melainkan
hanya menyebabkan molekul bergetar (vibrasi) (Khopkar, 1984).
Semakin rumit struktur suatu molekul, semakin banyak bentuk-bentuk vibrasiyang mungkin terjadi.
Akibatnya kita akan melihat banyak pita-pita absorbsi yang diiperoleh pada spektrum IR. Perlu diketahui
bahwa atom-atom dengan massa rendah cenderung lebih mudah bergerak dari pada atom yang massanya
lebih tinggi. Contohnya vibrasi yang melibatkan atom hidrogen sangat berarti (Hendayana, 1994).
Bagian Molekul yang sesuai bila berinteraksi dengan sinar IR adalah ikatan di dalam molekul. Proses
interaksi menghaslkan proses interaksi energi vibrasi. Dalam aturan seleksi, proses interksi positif (yang
menyerap sinar IR hanya terjadi pada molekul yang perubahan momen dipolnya sama dengan nol misalnya
nitrogen tidak menyerap sinar IR atau disebut IR tidak aktif (Hendayana, 1994).
Mula-mula sinar infra merah dilewatkan melalui sampel dan larutan pembanding, kemudian
dilewatkan pada monokromator untuk menghilangkan sinar yang tidak diinginkan (Stay radiation). Berkas
ini kemudian didispersikan melalui prisma atau grating. Dengan melewatkannya melalui slit, sinar tersebut
dapat difokuskan pada detector yang akan mengubah berkas sinyal menjadi sinyal listrik yang selanjutnya
direkam oleh detektor (Khopkar, 1984).
Secara keseluruhan, analisis menggunakan Spektrofotometri FTIR memiliki dua kelebihan utama
dibandingkan metoda konvensional lainnya, yaitu (Febri, 2007):
1. Dapat digunakan pada semua frekwensi dari sumber cahaya secara simultan sehingga analisis
dapat dilakukan lebih cepat daripada menggunakan cara sekuensial atau scanning.
2. Sensitifitas dari metoda Spektrofotometri FTIR lebih besar daripada cara dispersi, sebab radiasi
yang masuk ke sistim detektor lebih banyak karena tanpa harus melalui celah (slitless).
2.2 Tinjauan Bahan
2.2.1 Kloroform
Merupakan larutan tak berwarna yang sangat reaktif, volatine dan berbau khas. Titik didih 61,2 °C,
densitas 1,48 gr/mL, Konstanta dielektrik 4,806 dapat larut dalam alcohol, eter dan benzen, sedikit larut
dalam air, tidak mudah terbakar, terbakar padasuhu yang tinggi. Berbahaya untuk peernafasan, anestesi,
karsinogen. Digunakan sebagai pelarut, industri plastik, insektisida dan fumigant ( Sax and Lewis, 1987 ).
2.2.2 Na2CO3
Serbuk putih yang menggumpal jika berada di udara akibat pembentukan hidrat. Larut di air tidak
larut dalam alkohol. Memiliki densitas 1,55 dan kehilangan air 109 °C, titik lelehnya 851 °C. Senyawa ini
dapat dibuat melalui prose Sulvay atau proses kristalisasi yang cocok dari sejumlah endapan alami.
Digunakan dalam fotografi, pembersihan, pengendalian pH air dan pengawetan tekstil, kaca, sebagai aditif
pangan serta reagen volumetrix ( Sax and Lewis, 1987).
2.2.3 Na2SO4 anhidrat
Merupakan bubuk kristal putih yang tidak berbau, berasa pahit, larut dalam air dan gliserol, tidak
larut dalam alkohol dan tidak mudah terbakar. Densitas 2,671 gr/mL, titik lelehnya 888 °C. Digunakan
dalam industri pembuatan kertas, papan kertas, aditif makanandan gelas ( Sax and Lewis, 1987 ).
2.2.4 Aquades
Merupakan larutan elektrolit lemah, cairan tidak berwarna, tidak berasa, tidak berbau, bersifat
polar dengan konstanta dielektrik 81 pada suhu 17 °C. Viskositas 0,01002 poise. Digunakan sebagai pelarut
universal ( Sax and Lewis, 1987 ).
2.2.5 Etanol
Merupakan cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tidak berwarna,dan memiliki rumus
molekul C2H5OH, densitas 0,789 g/cm3, titik leleh -114,3 °C dan titik didih 78,4° C (Sax and Lewis, 1987).
2.2.6 Asam Asetat Glasial
Merupakan senyawa kimia dengan rumus molekul CH3COOH, termasuk cairan higroskopis tak
berwarna, dan memiliki titik beku 16,7°C. Digunakan sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam
makanan (Sax and Lewis, 1987).
2.3 Tinjauan Hasil
2.3.1 Kafein
Kafein adalah komponen minor dari sejumLah makanan termasuk kopi, teh, soft drink dan coklat.
Merupakan stimulan yang bertindak sebagai “Appatite Suppresant” dan efek “Diuretic”. Kafein
diklafisifikasikan sebagai alkaloid. Dapat diisolasi dari tanaman. Ekstraknya harus memperhatikan
keasaman, ekstraksi kafein kedalam pelarut organik dan anion pada lapisan air (Williamson, 1999).
Kafein dikenal sebagai trimethylxantine dengan rumus kimia C8H10N4O2 dan termasuk jenis
alkaloida. Nama lengkap kafein adalah 3,7-dihydrotrimethyl-1H-purine-2,6-dione. Bentuk alami kafein
adalah kristal putih, prisma heksagonal, dan berbobot molekul 194,19 dalton. Kafein memiliki titik leleh
238oC dan mengalami sublimasi pada suhu 178oC (Anonim1, 2006).
BAB III
METODOLOGI
3.1 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara lain teh hijau dan the hitam, aquadest, Na2CO3, Na2SO4
anhidrat, kloroform, etanol, asam asetat glacial, serta pasir silica.
3.2 Alat
Alat-alat yang digunakan antara lain neraca analitik, spatula, gelas beaker 500 ml, corong Buchner,
corong pisah, botol semprot, serangkaian alat sublimator, serangkaian alat kondensor, gelas arloji, pipit
ukur 10 ml, karet penghisap, water bath, spektrofotometri UV –Vis, spektrofotometri IR, melting point
apparatus, dan kromatografi lapis tipis.
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Ekstraksi Kafein
Daun Teh
- Ditimbang sebanyak 50 – 60 gram dengan neraca analitik- Dimasukan ke dalam 500 mL air yang mendidih dalam beaker glass- Ditunggu selama kurang lebih 10 menit- Disaring
Filtrat Residu
- Ditambahkan 100 mL Pb(CH3COO)2 10 % sambil diaduk- Disaring dengan penyaring Buchner
Filtrat Residu
- Diuapkan hingga tersisa 100 mL- Didinginkan
Filtrat Dingin
- Diekstrak dengan 25 mL Kloroform sebanyak 3 kali
Cairan Ekstrak
- Ditambahkan Na2SO4 anhidrit sedikit- Disaring
Filtrat Residu
- Dipanaskan dalam water bath
Padatan Kafein
- Ditimbang- Dilakukan perhitungan
Prosentase Kafein Kasar
3.3.2 Proses Sublimasi
Padatan Kafein
- Ditimbang sebanyak 20 – 30 gram dengan neraca analitik- Dimasukan pada tabung dasar diluar tabung kondensor
Padatan Kafein Dalam Rangkain Alat
- Dialiri air es pada kondensor- Dicelupkan pada penangas minyak sedalam 2 – 2,5 cm- Dibiarkan hingga dingin
Padatan Pada Tabung Kondensor
- Dikerok- Ditimbang dengan neraca analitik- Dilakukan perhitungan
Prosentase Kafein Murni
3.3.3 Identifikasi Kafein
3.3.3.1 Uji Fisik
Padatan Kafein Murni
- diambil sedikit- dimasukan ke dalam pipa kapiler- ditentukan titik leburnya dengan melting point apparatus
Hasil
3.3.3.2 Identifikasi dengan Spektrofotometri UV-Vis
0,01 g Padatan Kafein
- dilarutkan dalam 10 mL kloroform
Larutan Kafein
- dimasukan dalam kuvet- dibuat spectrum pada daerah 200 – 800 nm- dibuat spectrum untuk kafein standard
Hasil
3.3.3.3 Identifikasi dengan Spektrofotometri Infra Merah
Padatan Kafein
- Digerus dengan mortar hingga halus
- Dicampur dengan serbuk KBR (KBr : Kafein = 3:1)
Campuran Kafein + KBr
- dimasukan diantara dua plat baja mengkilat (micro pellet) menggunakan spatula
Alat Pembuat Pellet
- dihubungkan dengan pompa vakum menggunakan selang karet
- dimulai pemvakuman dengan pompa hidrolik selama ± 10 – 20 menit
- dimatikan pompa vakum dan dilepaskan selang karet
- dikurangi tekanan hingga micro pellet dapat dikeluarkan dari system pompa hidrolik
Mikro pellet
- ditekan keluar pellet KBr dalam silinder secara pelan-pelan melalui tongkat tekan pompa
hidrolik
- dijepit dengan pellet holder
- dimasukan ruang sampel
- dianalisis
Hasil
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Hasil Pengamatan
4.1.1 Teh Hijau
Tanggal No. Perlakuan Pengamatan15-4-10 1. Dimasukkan 500 mL akuades ke
dalam beaker glass.Akuades dalam beaker glass.
2. Ditimbang teh hijau sebanyak 60 gram.
Teh hijau berupa daun kering berwarna hijau pucat.
3. Dididihkan akuades di atas penangas.
Akuades mendidih.
4. Dimasukkan teh hijau ke dalam akuades yang telah mendidih sambil diaduk.
Filtrat berwarna merah bata.
5. Didiamkan selama 15 menit. Filtrat menjadi hangat.6. Disaring menggunakan corong
buchner.Teh dan filtrat terpisah, filtrat berwarna cokelat muda sebanyak ± 250 mL.
22-4-10 7. Disaring menggunakan corong buchner karena masih terdapat endapan.
Endapan dan filtrat terpisah, filtrat berwarna cokelat muda sebanyak ± 250 mL.
8. Ditambahkan 5,284 gram Na2CO3
pada filtrat.Warna filtrat menjadi cokelat pekat dan aroma berubah.
9. Disaring menggunakan corong buchner.
Warna filtrat tidak berubah, tetapi masih terdapat endapan yang tersaring di kertas saring. Filtrat yang diperoleh < 250 mL.
29-4-10 10. Diuapkan di atas penangas. Diperoleh filtrat berwarna cokelat pekat sebanyak ± 160 mL.
5-5-10 11. Diuapkan di atas penangas. Diperoleh filtrat berwarna cokelat pekat sebanyak ± 100 mL.
6-5-10 12. Diekstraksi 4 x 30 mL kloroform menggunakan corong pisah kemudian didiamkan dan dipisahkan antara fasa air dan fasa organik.
Ketika kloroform ditambahkan ke dalam filtrat terbentuk 2 fasa, yaitu fasa organik (kloroform) pada bagian bawah dan fasa air (filtrat) pada bagian atas. Setelah dikocok dan didiamkan, diperoleh kembali 2 fasa tersebut. Kemudian dipisahkan antara fasa air dan organik, dimana fasa organik tidak berwarna. Hal ini dilakukan sebanyak 4 kali. Pada ekstraksi ketiga dan keempat, hanya sedikit fasa organik yang terpisah dalam corong pisah, fasa organik berbusa. Fasa organik dan fasa air disimpan dalam botol yang berbeda.
7-5-10 13. Didiamkan dan dipisahkan kembali Fasa organik (kloroform) dan fasa air
fasa air dalam corong pisah karena masih terdapat fasa organik.
(filtrat) terpisah, fasa organik bening sedangkan fasa air berwarna cokelat kehitaman. Fasa organik yang terpisah dicampurkan dengan fasa organik yang telah diperoleh sebelumnya.
14. Ditambahkan 1 gram Na2SO4
anhidrat ke dalam ekstrak teh hijau (fasa organik) sambil diaduk.
Ekstrak teh bening sedangkan padatan Na2SO4 berwarna putih kecokelatan dan tidak larut.
15. Didekantasi. Filtrat dan endapan terpisah, filtrat tak berwarna dan endapan berwarna putih kecokelatan.
16. Dipanaskan dalam lemari asam. Filtrat menguap, terbentuk padatan kasar berwarna putih.
17. Didinginkan dan ditimbang. Berat total : 99,94 gramBerat beaker glass: 99,55 gramBerat padatan kasar : 0,39 gram
12-5-10 18. Disublimasi menggunakan subli-mator dengan memasukkan padatan kasar ke dasar tabung di luar tabung kondensor kemudian dialiri kondensor dengan air dan dicelupkan tabung ke dalam pasir.
Diperoleh kristal berwarna putih yang sebagian menempel pada tabung kondensor.
19. Ditimbang. Berat total : 5,84 gramBerat botol sampel : 5,64 gramBerat kafein : 0,20 gram
20-5-10 20. Dimasukkan sedikit kafein ke dalam pipa kapiler untuk diuji titik lelehnya.
Titik leleh kafein 180 C.
21. Dibuat larutan pengembang dengan komposisi kloroform : asam asetat glasial : etanol 2:4:4 dan didiamkan selama 1 hari.
Larutan pengembang bening.
22. Dilakukan uji menggunakan spektroskopi IR pada padatan kafein.
Diperoleh spektrum dari padatan kafein yang telah diisolasi.
21-5-10 23. Dilarutkan 0,01 gram kafein dalam 10 mL kloroform.
Kafein larut dalam kloroform.
24. Dilakukan uji menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada larutan kafein.
Diperoleh spektrum.
25. Diteteskan larutan kafein menggunakan pipa kapiler pada batas bawah kertas saring kemudian dimasukkan dalam larutan pengembang dan dilihat nodanya menggunakan sinar UV (uji KLT).
Tidak terdapat noda pada kertas saring.
26-5-10 26. Dibuat larutan pengembang dengan komposisi kloroform : asam asetat glasial : etanol 3:4:3 dan 2:5:3 dan didiamkan selama 1 hari.
Larutan pengembang bening.
27-5-10 27. Diteteskan larutan kafein menggunakan pipa kapiler pada batas bawah kertas saring kemudian dimasukkan dalam larutan pengembang dan dilihat nodanya menggunakan sinar UV (uji KLT).
Tidak terdapat noda pada kertas saring.
4.1.2 Teh Hitam
Tanggal No. Perlakuan Pengamatan15-4-10 1. Dimasukkan 500 mL akuades ke
dalam beaker glass.Akuades dalam beaker glass.
2. Ditimbang teh hitam sebanyak 60 gram.
Teh hitam berupa serbuk kasar berwarna hitam.
3. Dididihkan akuades di atas penangas.
Akuades mendidih.
4. Dimasukkan teh hijau ke dalam akuades yang telah mendidih sambil diaduk.
Filtrat berwarna hitam.
5. Didiamkan selama 15 menit. Filtrat menjadi hangat.22-4-10 6. Disaring menggunakan corong
buchner.Teh dan filtrat terpisah, filtrat berwarna hitam sebanyak ± 300 mL.
7. Ditambahkan 5,28 gram Na2CO3
pada filtrat.Warna filtrat menjadi lebih hitam pekat daripada warna semula.
8. Disaring menggunakan corong buchner.
Terdapat busa pada filtrat saat dilakukan penyaringan. Filtrat yang diperoleh < 300 mL.
29-4-10 9. Diuapkan di atas penangas. Diperoleh filtrat berwarna hitam sebanyak 100 mL.
10. Diekstraksi 5 x 30 mL kloroform menggunakan corong pisah kemudian didiamkan dan dipisahkan antara fasa air dan fasa organik.
Ketika kloroform ditambahkan ke dalam filtrat terbentuk 2 fasa, yaitu fasa organik (kloroform) pada bagian bawah dan fasa air (filtrat) pada bagian atas. Setelah dikocok dan didiamkan, diperoleh kembali 2 fasa tersebut dan terbentuk juga busa pada lapisan tengah yang berwarna cokelat yang lama-kelamaan semakin berkurang. Kemudian dipisahkan antara fasa air dan organik, dimana fasa organik tidak berwarna. Hal ini dilakukan sebanyak
5 kali. Fasa organik dan fasa air disimpan dalam botol yang berbeda.
5-5-10 11. Didiamkan dan dipisahkan kembali fasa air dalam corong pisah karena masih terdapat fasa organik.
Fasa organik (kloroform) dan fasa air (filtrat) terpisah, fasa organik bening kecokelatan sedangkan fasa air berwarna cokelat pekat. Terdapat busa pada fasa air. Fasa organik yang terpisah dicampurkan dengan fasa organik yang telah diperoleh sebelumnya.
6-5-10 12. Ditambahkan 1 gram Na2SO4
anhidrat ke dalam ekstrak teh hijau (fasa organik) sambil diaduk.
Ekstrak teh berwarna kuning bening sedangkan padatan Na2SO4 berwarna putih dan tidak larut.
13. Didekantasi. Filtrat dan endapan terpisah, filtrat berwarna kuning bening dan endapan berwarna putih.
14. Dipanaskan dalam lemari asam. Filtrat menguap, terbentuk padatan kasar berwarna putih kekuningan.
15. Didinginkan dan ditimbang. Berat total : 104,92 gramBerat beaker glass: 104,37 gramBerat padatan kasar : 0,55 gram
16-5-10 16. Disublimasi menggunakan subli-mator dengan memasukkan padatan kasar ke dasar tabung di luar tabung kondensor kemudian dialiri kondensor dengan air dan dicelupkan tabung ke dalam pasir.
Diperoleh kristal berwarna putih yang sebagian menempel pada tabung kondensor.
17. Ditimbang. Berat total : 6,12 gramBerat botol sampel : 5,64 gramBerat kafein : 0,48 gram
20-5-10 18. Dimasukkan sedikit kafein ke dalam pipa kapiler untuk diuji titik lelehnya.
Titik leleh kafein 205 C.
19. Dilakukan uji menggunakan spektroskopi IR pada padatan kafein.
Diperoleh spektrum dari padatan kafein yang telah diisolasi.
21-5-10 20. Dilarutkan 0,01 gram kafein dalam 10 mL kloroform.
Kafein larut dalam kloroform.
21. Diteteskan larutan kafein menggunakan pipa kapiler pada batas bawah kertas saring kemudian dimasukkan dalam larutan pengembang dan dilihat nodanya menggunakan sinar UV (uji KLT).
Tidak terdapat noda pada kertas saring.
22. Dilakukan uji menggunakan spektrofotometri UV-Vis pada larutan kafein.
Diperoleh spektrum.
27-5-10 23. Diteteskan larutan kafein menggunakan pipa kapiler pada batas bawah kertas saring kemudian dimasukkan dalam larutan pengembang dan dilihat nodanya menggunakan sinar UV (uji KLT).
Tidak terdapat noda pada kertas saring.
4.2.Pembahasan
4.2.1 Analisa Prosedur
4.2.1.1 Isolasi Kafein dari Daun Teh
Prinsip percobaan ini adalah menentukan persentase kafein murni dari daun teh hijau dan teh
hitam dengan cara mengisolasi kafein dari daun teh yaitu dengan mengekstraksi filtrat daun teh dengan
kloroform sehingga kafein berada pada fasa organiknya lalu diuapkan seluruh kloroform sehingga diperoleh
padatan yang selanjutnya disublimasi. Selanjutnya dilakukan identifikasi sifat fisik yaitu pengujian titik leleh
padatan kafein menggunakan melting point apparatus, serta identifikasi padatan kafein menggunakan
kromatografi lapis tipis (KLT), spektrofotometri UV-Vis, dan spektrofotometri IR.
Langkah pertama yang dilakukan pada percobaan ini adalah mengisolasi kafein yang berasal dari
daun teh. Langkah awal adalah mendidihkan 500 mL air lalu memasukkan 60 gram daun teh hitam dan
daun teh hijau masing-masing ke dalam air yang telah mendidih pada wadah yang berbeda kemudian
dipanaskan sambil diaduk selama ± 10 menit. Proses ini disebut dengan proses maserasi, atau proses
ekstraksi padat-cair. Pada proses pemanasan, kafein yang terkandung dalam daun teh akan larut karena
kafein larut pada temperatur 80oC. Selanjutnya campuran terssebut disaring dengan corong Buchner dalam
keadaan panas.
Prinsip penyaringan vakum ini adalah adanya perbedaan antara tekanan di dalam sistem dengan
lingkungan, dimana tekanan di luar sistem lebih besar daripada tekanan di dalam sistem sehingga tekanan
luar akan mendorong larutan ke dalam labu filtrat dengan cepat dan proses penyaringan berjalan lebih
cepat. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan kafein yang larut dalam air panas dengan sisa daun
teh dan pengotor-pengotor lainnya. Saat penyaringan harus dilakukan dalam keadaan panas agar kafein
tetap larut dalam air dan diperoleh filtrat yang mengandung kafein. Bila tidak dilakukan dalam keadaan
panas maka dikhawatirkan terjadi pengendapan kafein dalam air sehingga kafein tidak ikut tersaring
sebagai filtrat.
Selanjutnya ditambahkan 100 mL larutan Na2CO3 10% (10 gram padatan Na2CO3 dilarutkan dalam
100 mL aquades) yang berfungsi untuk mengikat komponen lain (pengotor) selain kafein yang ikut
tersaring bersama filtrat, pengotor tersebut akan mengendap sebagai karbonat. Pengotor yang dimaksud
antara lain: xantin, theobromin, theophylen, dimetilxanthin, hipoxantin dan tanin. Tanin meupakan suatu
asam yang akan terprotonasi dalam keadaan basa sehingga akan terbentuk anionnya (Willamson, 1999).
Anion dari tanin akan lebih larut dalam air sehingga akan lebih mudah memisahkannya dari larutan kafein.
Pada saat penambahan Na2CO3, juga dilakukan pengadukan untuk mempercepat pengikatan pengotor -
pengotor oleh Na2CO3. Setelah ditambahkan Na2CO3, campuran disaring lagi dengan corong Buchner
sehingga didapatkan filtrat yang mengandung kafein dari teh hitam maupun teh hijau yang telah terpisah
dari pengotornya.
Selanjutnya bahan diuapkan sampai 100 mL dengan tujuan untuk mengurangi jumlah pelarut
aquades sehingga untuk proses ekstraksi cair- cair tidak membutuhkan pelarut organik yang sangat banyak.
Ketika pelarut (air) dalam filtrat tesebut terkurangi, larutan menjadi semakin pekat. Kafein yang
ditambahkan pelarut organik akan lebih banyak terdistribusi ke dalam fase tersebut. Pada saat penguapan
titik didih air lebih rendah dari kafein sehingga kafein tidak akan menguap bersama air.
Untuk mendapatkan kafein dilakukan pemisahan kafein dari senyawa- senyawa yang ikut larut
dalam fase air tetapi tidak ikut larut dalam fase organik. Pemisahan ini melalui ekstraksi cair – cair, dimana
fase organiknya berupa kloroform. Kafein akan larut dalam kloroform karena kafein bersifat non-polar
sehingga akan larut ke dalam pelarut non-polar sesuai dengan prinsip like disolve like yaitu senyawa polar
akan cenderung larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan larut dalam pelarut non polar. Pada
saat ekstraksi terbentuk dua lapisan yang tidak saling campur yaitu lapisan atas berupa fase air dan lapisan
bawah berupa fase organik.
4.2.1.2 Pemurnian Kafein dengan Metode Sublimasi
Pemurnian kafein yang diperoleh dapat dilkaukan dengan metode sublimasi. Sublimasi adalah
proses perubahan fase padat menjadi fase gas tanpa melalui fase cair dan bila didinginkan akan langsung
berubah menjadi fase padat kembali. Senyawa padat yang dihasilkan setelah sublimasi akan lebih murni
daripada senyawa padat sebelum dilakukan sublimasi. Metode ini memanfaatkan perbedaan titik sublimasi
dari padatan kafein dan pengotor – pengotornya, dimana padatan kafein harus memiliki titik sublimasi
yang lebih rendah dari pengotor – pengotornya agar dapat dipisahkan. Selain itu juga dapat dipisahkan
berdasarkan sifat yang dimiliki oleh pengotornya yaitu tidak memiliki titik sublimasi sehingga tidak ikut
tersublimasi. Padatan kafein memiliki titik sublimasi sebesar 178 C.
Pada proses sublimasi ini, padatan kafein dari teh hijau dan teh hitam dimasukkan ke dalam tabung
secara terpisah di luar tabung kondensor yang dialiri air yang berfungsi untuk mempercepat proses
pengkondensasian (membentuk padatan). Kemudian sublimator dimasukkan ke dalam wadah yang berisi
pasir ang telah dipanaskan. Diusahakan agar 3/4 dari tabung sublimator terendam dalam pasir. Pasir ini
memiliki titik leleh yang cukup tinggi daripada kafein dan mampu mengalirkan energi kalor ( panas )
sehingga kafein akan lebih cepat tersublimasi. Hasil sublimasi yang diperoleh berupa padatan putih yang
menempel di tabung kondensor. Setelah itu padatan tersebut dikerok dan ditimbang serta diuji titik
lelehnya dengan melting point aparatus untuk mngetahui titik leleh kafein setelah dimurnikan. Selanjutnya
padatan ini disebut sebagai kafein murni.
4.2.1.3 Identifikasi Spektrofotometri IR, Spektrofotometri UV-Vis, dan Kromatografi Lapis Tipis
Prinsip pengukuran menggunakan spektroskopi inframerah adalah pengukuran besarnya persen
transmitansi (%T)terhadap bilangan gelombang spektra, dimnana data diperoleh melalui pengukuran
sampel menggunakan spektroskopi inframerah. Sumber cahaya inframerah yang dilewaatkan melalui suatu
cermin lalu diteruskan cahaya tersebut mengenai senyawa analit organik sehingga sejumlah radiasi yang
mengenai sampel akan sebagian akan diserap oleh partikel-partikel sampel dan sebagian akan diteruskan
melewati sampel. Adanya radiasi inframerah yang mengenai sampel membuat atom-atom yang berikatan
melakukan suatu vibrasi ulur (stretching) dan vibrasi ulur (bending). Perbandingan antara intesnitas radiasi
inframerah yang diserap molekul terhadap intensitas radiasi inframerah mula-mula merupakan persen
transmitansi (%T).
Langkah awal dalam analisis senyawa kafein hasil isolasi menggunakan spektroskopi inframerah
adalah preparasi sampel. Karena kafein berupa serbuk putih yang menunjukkan fasa padatan, sehingga
preaparasi sampel dilakuakn dengan mencampur serbuk kafein dengan senyawa KBr. Alat-alat yang
digunakan antara lain adalah spatula logam tahan karat, vibrating mill, pellet die, tang, dan spektrometer
inframerah. Preaparasi sampel diawali dengan membuat pelet. Pelet ini dibuat dari campuran antara
serbuk kafein dengan serbuk KBr dengan perbandingan massa sebanyak 1:3, dimana campuran terdiri atas
1 takar spatula logam yang dicampur dengan 3 takar spatula logam. Perbandingan massa tersebvut
digunakan untuk mendapatkan hasil analisis yang baik.
Campuran padatan kafein dan Kbr dicampur dengan mengaduk keduanya di atas alat vibrating mill.
Pada proses pencampuran tidak digunakan mortar karena vibrating mill terbuat dari batuan onix yang
memiliki permukaan yang halus sehingga serbuk tidak menempel di bagian dinding vibrating mill. Lain
halnya jika digunakan mortar. Mortar memiliki permukaan yang berpori sehiongga dikhawatirkan sebagian
serbuk campuran akan tertahan dalam pori dinding mortar. Selanjutnya serbuk campuran tersebut
dimasukkan sebanyak 3 takar spatula logam ke dalam pellet die. Pellet die merupakan tempat
pembentukan pelet dan sekaligus sebagai kompartemen pelet dalam analisis menggunakan spektrometer
IR. Digunakan massa srbuk campuran sebanyak 3 takar karena massa tersebut telah memberikan bentuk
pelelt yang baik. Karena besar-kecilnya massa campuran yang digunakan dalam pembuatan pelet tersebut
berpengaruh pada ketebalan pelet. Jika massa serbuk kafein dengan KBr bernilai besar maka akan
diperoleh pelet yang terlalu tebal sehingga menyulitkan radiasi inframerah menembus pellet. Sedangkan
jika takaran campuran terlalu sedikit, dikhawatirkan pellet yang terbentuk mudah pecah oleh sedikit
guncangan.
Pellet yang telah terbentuk dipadatkan dengan menjepit kedua sisi pellet die menggunakan scrup
besar dengan arah yang berlawanan, sehingga akan diperoleh pelet yang kokoh dan memiliki ketebalan
yang cukup. Pellet tersebut diletakkkan dalam kompartemen secara tegak lurus dan dipastikan dapat
terkenai sinar inframerah. Selanjutnya dilakukan analisis sampel secara komputerisasi menggunakan
software yang khusus untuk menganalisis spektra inframerah. Terdapat dua menu utama dalam analisis
spektroskopi inframerah, yakni menu BKG dan menu sampel. Pada menu BKg dihgunakan untuk penentuan
energi radiasi inframerah yang digunakan. Sedangkan pada menu sampel digunakan untuk analisi sampel.
Menu perintah (command) yang digunakan adalah pemilihan besarnya persen transmitansi yang digunakan
sebagai data output, pemilihan resolusi dimana dipilih sebesar 2,0 dengan range bilangan gelombang
sebesar 4000-400 cm-1. Setelah pengaturan secara komputerisasi selesai dilakukan, maka diperoleh spektra
hubungan antara bilangan gelombang dan %T.
Sementara itu, prinsip identifikasi kafein menggunakan spektrofotometer Uv-Vis adalah
mengidentifikasi kafein dengan penentuan absorbansi kafein yang berdasarkan interaksi antara energi
elektromagnetik dengan molekul dari senyawa kafein, dimana interaksi tersebut menyebabkan penyerahan
energi radiasi elektromagnetik yang menghasilkan serapan yang bersifat spesifik untuk setiap molekul.
Gugus-gugus yang menyerap radiasi pada daerah uv-vis disebut gugus kromofor yang menyerap energi
sehingga mengalami eksitasi, dimana setelah molekul mengalami eksitasi ke tingkat energi yang lebih tinggi
maka akan kembali ke keadaan semula (ground state) dan memancarkan energi yang terdeteksi oleh
instrumen.
Pada proses idenfitikasi kafein dengan spektrofotometer UV-Vis, mula-mula diambil 0,01 gram
kafein yang berasal dari masing-masing sampel teh hijau dan teh hitam hasil sublimasi, kemudian
dilarutkan dalam 10 mL kloroform. Hasil pengenceran dari kafein sampel teh hijau dan teh hitam dianalisa
dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 200-800 nm untuk mengetahui
nilai aborbansi maksimum dan panjang gelombang maksimumnya. Dipilih range pada 200-800 nm adalah
karena besarnya energi yang dibutuhkan untuk terjadinya transisi elektronik yang akan menghasilkan
absorbansi maksimum adalah pada daerah panjang gelombang tersebut.
Identifikasi dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis dilakukan dengan cara mula-mula
dilakukan tahapan base line dengan menggunakan larutan blanko, yaitu kloroform. Larutan blanko yang
digunakan adalah kloroform karena pelarut yang digunakan untuk melarutkan kafein pada percobaan ini
adalah kloroform. Tahapan base line ini berfungsi agar absorbansi pelarut tidak dapat mempengaruhi
absorbansi senyawa yang dianalisis, selain itu juga untuk membuat nilai absorbansi pelarut menjadi nol
sehingga di dalam pengukuran tidak terjadi pencampuran absorbansi pelarut dengan sampel yang
dianalisis.
Pada dasarnya kromatografi digunakan untuk memisahkan substansi campuran menjadi
komponen-komponennya dimana terdapat fase diam dan fase gerak. Pemisahan antara fasa-fasa
komponen dilakukan dalam wadah lapis tipis yang biasanya berbentuk plat persegi panjang dari gelas. Fase
gerak mengalir melalui fase diam dan membawa komponen-komponen yang terdapat dalam campuran.
Komponen-komponen yang berbeda bergerak pada laju yang berbeda. Fase gerak dalam percobaan ini
adalah 3 jenis pelarut yaitu kloroform, etanol, dan asam asetat glacial yang dilakukan berbagai variasi
volume untuk melihat pada volume berapakah kafein yang diperoleh pada hasil sublimasi akan bergerak
terpisah dari komponen pengikat lainnya. Kafein yang merupakan senyawa non-polar akan larut dalam
kloroform dan terbawa kebawah kertas whatman-40 dan terpisah dari komponen lainnya.
Langkah pertama yang dilakukan adalah volume kecil (0,01 g) dari padatan hasil sublimasi yang
akan diidentifikasi dilarutkan dalam 10 ml pelarut yang mudah menguap yakni kloroform, dan kemudian
ditotolkan dengan pipa kapiler pada 1-2 cm dari ujung kertas whatman-40 sebagai fase diam. Kloroform
digunakan karena sama halnya dengan kafein yang merupakan senyawa non-polar sehingga kafein dapat
larut dalam kloroform sesuai dengan prinsip like-dissolve-like. Lalu kertas whatman tersebut dimasukkan
dalam wadah lapis tipis yang telah diisi dengan 3 macam pelarut sesuai dengan variasi volume yang telah
dijenuhkan selama sehari. Kemudian dibiarkan selama kurang lebih 30 menit agar pemisahan dapat terjadi.
Selanjutnya kertas whatman dikeluarkan dan diletakkan dibawah lampu sinar UV karena kafein dan
pelarutnya merupakan larutan yang tak berwarna sehingga tidak dapat dilihat pemisahannya melalui kasat
mata. Sehingga dapat terlihat apakah terdapat noda yang menunjukkan pemisahan yang terjadi antara fase
gerak dan fase diam.
4.2.2 Analisa Hasil
Setelah dilakukan pemurnian melalui metode isolasi, ekstraksi dan sublimasi didapatkan berat
kafein murni dari sampel teh hijau sebesar 0,20 gram dengan nilai titik lelehnya 180 oC ,sedangkan kafein
murni dari sampel teh hitam sebesar 0,48 gram dengan titik lelehnya 205 oC. Dari data tersebut dapat
dihitung persentase kafein dari masing – masing sampel, untuk sampel teh hijau diperoleh persentase
kafein murni sebesar 0,33 % dalam 60 gram sampel teh hijau sedangkan untuk sampel teh hitam diperoleh
persentase kafein murni sebesar 0,8 % dalam 60 gram sampel teh hitam.
Setelah dilakukan analisis dari hasil spektrofotometri UV-Vis, maka dapat diketahui bahwa panjang
gelombang maksimum untuk kafein dari daun teh hijau adalah 277 nm dengan absorbansi 0,1895,
sedangkan untuk kafein dari daun teh hitam memiliki panjang gelombang maksimum pada 276 nm dengan
aborbansi 1,3887. Sedangkan berdasarkan literatur, panjang gelombang maksimum kafein adalah 0,2. Jika
dibandingkan dengan literatur, terdapat perbedaan hasil pengukuran pada percobaan ini dapat disebabkan
karena masih ada senyawa lain maupun pengotor yang mempengaruhi absorbansi sampel. Selain itu, dapat
dilihat bahwa absorbansi kafein dari kedua daun teh tidak berada pada range absorbansi yang sesuai
dengan hukum lambert beer, yaitu pada 0,2 – 0,8. Hal ini dapat dikarenakan karena pengenceran yang
kurang kuantitatif sehingga menghasilkan absorbansi pada panjang gelombang yang berbeda. Juga dapat
dilihat dari spektrum yang dihasilkan adalah terdapat beberapa puncak tajam dan sempit, hal ini dapat
disebabkan karena pengenceran yang dilakukan masih terlalu pekat sehingga perlu dilakukan pengenceran
lagi sehingga dihasilkan 1 puncak.
Berdasarkan hasil analisis secara spektroskopi IR, maka diperoleh spektra hubungan antara
bilangan gelombang dengan %T, baik pada senyawa kafein dari teh hijau, teh hitam maupun spektra
senyawa kafein standar sebgaai pembanding. Di setiap spekta terdapat garis pembatas pada bilangan
gelombang 2000 cm-1, dimana garis batas tersebut memisahkan antara daerah gugus fungsi yang terletak di
sebelah kiri dengan daerah sidik jari yang terletak di sebelah kanan. Berdasarkan prosedur dalam
penyidikan gugus fungsi, maka pada tahapan pertama yakni penentuan gugus karbonil di daerah 1700 cm -1
maka di ketiga spektra didapati gugus karbonil di daerah 1700,13 cm -1 dengan corak spektra yang tajam.
Spektra karbonil tersebut behimpitan dengan spektra gugus C=N pada daerah bilangan gelombang 1650
cm-1. Selain itu terdapat spektra gugus C=C yang muncul di daerah sekitar 1750 cm -1, tetapi spektra
tersebut tidak terlihat karena overlap dengan spektra gugus karbonil. Serapan pada bilangan gelombang
sekitar kurang dari 3000 cm-1 juga muncul di ketiga spektrum IR dari kafein. Daerah tersebut menunjukan
adanya gugus metil (-CH3). Beberapa spektra gugus-gugus metil juga terlihat di daerah sidik jari dimana
terdapat serapan pada bilangan gelombang sekitar 745 cm-1 yang menunjukkan adanya ikatan C-H (CH3)
bending, selain itu juga terdapat gugus C-O (karbonil) pada 1200 cm -1 dan gugus C-N (amina) pada bilangan
gelombang sekitar 1000cm-1. Dari spektrum IR kafein standar diperoleh spektra gugus-gugus tersebut
dengan gambaran yang tajam dan jelas. Perbedaan karakter spektra tersebut dapat diakibatkan adanya
pengotor organik lain yang ikut terbaca frekuensinya bersama dengan kafein. Selain itu, resolusi yang
kurang baik dapat memepengaruhi hasil analisis IR. Karena kafein dalam teh juga berada bersama dengan
teobromin dan hipoxantin yang dimungkinkan ikut teranalisis pada spektrometer inframerah.
Dalam metode identifikasi kromatografi lapis tipis, dilakukan beberapa variasi larutan pelarut
kloroform: etanol: asam asetat glacial. Hal ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui volume yang
dibutuhkan untuk memisahkan kafein dari komponen lainnya seperti zat pengotor. Variasi yang dilakukan
adalah kloroform: etanol: asam asetat glacial= 2: 4: 4, 2: 3: 5, dan 3: 4: 3. Fase gerak akan bergerak kearas
fase diam berdasarkan kapilaritas komponen dan pada laju yang berbeda karena perbedaan derajat
interaksi antara matrik dan kelarutan pelarut. Akan tetapi meskipun telah dilakukan beberapa variasi
pelarut, tetap tidak tampak noda yang menunjukkan bahwa kafein telah terpisah dari komponen
pengikutnya. Hal ini dapat dikarenakan karena pemilihan pelarut yang kurang sesuai, dimana diperlukan
pelarut yang lebih non-polar dibandingkan kloroform agar kafein dapat terlarut dalam pelarut non-polar
tersebut dan terpisah dari pelarut polar sehingga dapat bergerak mengalir cepat ke bawah.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim1,2006, Kafein, http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-7480.htmL, diakses tanggal 19
Mei 2009
Anonim2, 2007, Mild Stimulant Kafein, http://forumkimia.multiply.com/reviews/item/16, diakses
tanggal 24 Mei 2009
Anonim3, 2009, Pemisahan Senyawa Organik, http://www.wordpress.com/2009/03/09/ pemisahan-
senyawa-organik.htmL, diakses tanggal 17 Mei 2009
Anonim4, 2006,Liquid-liquid Extraction, http://en.wikipedia.org/wiki/liquid-liquid-extraction, diakses
tanggal 24 Mei 2009
Anonim5, 2009, Kromatografi Lapis Tipis, http://greenhati.blogspot.com/2009/01/ kromatografi-lapis-
tipis.htmL, diakses tanggal 30 Mei 2009
Anonim6, 2010, www.erowid.org/library/books_onl...ys.shtml
Arsyad, Natsir, 2001, Kamus Kimia dan Penjelasan Arti Ilmiah, Erlangga, Jakarta
Basset, J. Dkk, 1994, Buku Ajar Vogel Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik, Penerbit Buku Kedokteran
EGC, Jakarta
Day, R.A.Jr dan Underwood.A.L, 1989, Analisis Kimia Kuantitatif, Edisi kelima, Erlangga Jakarta
Fandi, 2010, khasiat teh hijau, http://fandi.student.umm.ac.id/category/kesehatan
Febri, T., 2007, Spektrofotometri, http://teguh-febri.blogspot.com/2007/09/ spektrofotometri.htmL,
diakses tamggal 5 Juni 2009
Ganiswara, G,dkk, 1995, Farmakologi dan Terapi, Lab Farmakologi, FKUI, Jakarta
Graham, H.N., 1984, Tea: Teh Plant And Its Manufacture: Chemistry And Consumption Of Teh Beverage,
In Liss Ar. Teh Methylxanthine Beverages And Foods: Chemistry, Consumption, and Health Effects.
Prog Clin Biol Rev
Gritter,et al,1991, Introduction of Cromatography, ITB, Bandung
Harper, Harold A., 1979, Review of Physiological Chemistry, Marazen Asia PTE,LTD, Singapura
Hendayana,S., 1994, Kimia Analitik Instrumen Edisi Kesatu, IKIP Semarang Press, Semarang
Heruanto, 2010, Corong Pisah Kimia, http://lain-lain.iklanmax.com/2010/02/11/corong-pisah-kimia.html
Jim, Clark, 2007, Kromatografi lapis Tipis, http://www.chem-is-try.org/materi_kimia/
instrumen_analisis/kromatografi1/kromatografi_lapis_tipis.htmL, diakses tanggal 30 Mei
2009
Joker, 2009, manfaat minum teh, http://ayodonkbaby.blogspot.com/2009/10/manfaat-minum-teh.html
Khopkar,S.M., 1984, Konsep Dasar Kimia Analitik (Terjemahan), Bombay: Analytical Laboratory
Departement of Chemistry Indian Institute of Technology Bombay
Leung,A.Y.,1980,Encyclopedia of Common Natural Ingredient,John Willey and Sons Inc.,New York.
NCyberAutism, 2008, Kafein, http://www.egamesbox.com/viewthread.php?action=printable&tid=5137
Pescock, R.L.,et al,1970, Modern Methods of Chemical Analysis,John Willey and Sons Inc., NewYork
PT Indointernet Copyright © 2000
Sastrohamidjodjo, H., 1985,Spektroskopi, Penerbit Liberty, Yogyakarta
Sax and Lewis, 1987,
Siswono, 2007, Kafein, www.gizi.net, diakses tanggal 19 Mei 2009
Sudja, W.A.,1990, Penentuan Percobaan Pengantar Kimia Organik, Karya Nusantara, Bandung
Tim sehat HNI, 2010, Teh Hitam Kurangi Risiko Jantung, http://www.hermawan.net/index.php?
action=news.detail&id_news=4399
Tjitrosoepomo, G., Taksonomi Tumbuhan ( Spermatophyta), UGM Press, Yogyakarta,
Tumiel, 2009, Teh Hitam Cegah Sakit Jantung, Kanker dan Diabetes,
http://tumiel.wordpress.com/category/uncategorized/
Tuminah, S., 2004, Teh (Camellia Sinensis O.K. Var Assamica (Mast) Sebagai Salah Satu Sumber
Antioksidan, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/144_16AntioxidantTea.pdf/
144_16AntioxidantTea.htmL, diakses tanggal 19 Mei 2009
Van Steenis, C.G.G.J., 1987, Flora Untuk Sekolah Di Indonesia, PT. Pradnya Paramita, Jakarta
Via, 2009, Miracle, , http://via-christ.blogspot.com/2009/11/udah-pada-tahu-belum-manfaat-dari-
teh.html
Vogel, 1991, Vogel’s Text Book Of Quantitative In Organic Analysis Including Elementery Instrumental
Analysis, Longman Group, UK Limited, London
Williamson, 1999