laporan geh kelompok 6
DESCRIPTION
csbcvsznbc mzcbs ncbhsjdsbcsmbcjshc nvbchbcjsbcms nbb xmcb bmx ,xn , nnnvbdbcmzjhckszc nzbjc bbcnbcbjhcmsjhc hchckTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bayi dengan Ikterus bila dalam penanganannya kurang tepat dan benar bisa
mengakibatkan kejang, kerusakan otak seumur hidup bahkan sampai terjadi
kematian. Prinsip dasar Ikterus pada bayi baru lahir terdapat pada 25% - 50%
neonatus cukup bulan dan lebih tinggi lagi pada neonatus kurang bulan.
Ikterus pada bayi baru lahir dapat merupakan suatu gejala fisiologi atau dapat
merupakan hal yang patologis, misalnya pada Inkomptibilitas Rhesus dan Abo,
Sepsis, Penyumbatan Saluran empedu, dan sebagainya. Ikterus baru dapat
dikatakan fisiologi apabila sesudah pengamatan dan pemeriksaan. Selanjutnya
tidak nenunjukkan dasar patologis dan tidak mempunyai potensi berkembang
menjadi kern-ikterus.
Kasus ikterus/kuning merupakan salah satu kasus yang ditemukan dalam praktek
sehari-hari. Sehingga perlu dipelajari agar mahasiswa mampu untuk mengidentifikasikan,
membuat diagnosis, menganalisa, membuat rencana (plan of action), serta mampu
mengelola pasien dibidang gastroentero-hepatologi secara holistik dan memenuhi standar
pelayanan yang baku. Laporan ini dibuat sebagai rangkuman hasil diskusi kelompok PBL
yang disusun secara sistematis.
1.2 Tujuan
Tujuan Instruksional Umum (TIU)
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat
menjelaskan tentang patogenesa penyakit dengan gejala kuning, klasifikasi, agen
penyebab, pemeriksaan fisis dan penunjang, diagnosa banding, serta pengobatan dan
pencegahannya.
Tujuan Ikstruksional Khusus (TIK)
Setelah selesai mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan dapat :
1. Menjelaskan patomekanisme “ikterus”
1
anatomi dan histologi hepar dan saluran empedu
fisiologi sekresi dan eksresi billirubin
bilirubin direct dan indirect
pengelompokan ikterus berdasarkan mekanisme terjadiya
2. Menjelaskan agent penyebab infeksi pada ikterus parenkimatous
Virus : klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusnya
Bakteri : klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusnya
Parasit : klasifikasi, morfologi, daur hidup, dan distribusnya
3. Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit dengan ikterus parenkimatous
Menjelaskan tentang klasifikasi, patogenesa dan gejala klihnis hepatitis virus
Menjelaskan tentang patogenesa dan gejala klinis hepatitis bakterial
Menjelaskan tentang patogenesa dan gejala klinis abscess hepar akibat parasit
4. Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit dengan ikterus cholestasis
Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis cholelithiasis
Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis chirrosis hepatis
5. Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit ikterus hemolitik
Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit darah yang menyebabkan
hemolisis
Menjelaskan patogenesa dan gejala klinis penyakit infeksi yang menyebabkan
hemolisis
6. Menjelaskan langkah-langkah pemeriksaan untuk diagnosis penyakit dengan ikterus
Menjelaskan cara pemeriksaan klinis pada penyakit ikterus
Menjelaskan pemeriksaan laboratorium klinik yag diperlukan pada penyakit
dengan ikterus
Menjelaskan pemeriksaan radioogi yang diperlukan pada penyakit dengan
ikterus
Menjelaskan pemeriksaan serologis/biomolekuler yang diperlukan pada
penyakit dengan ikters
7. Menjelaskan penatalaksanaan bedah dan non bedah pada penyakit dengan ikterus
Menjelaskan pengobatan simptomatis pada penyakit dengan ikterus
Menjelaskan pengobatan kasual pada penyakit dengan ikterus sesuai jenis dan
dan penyebabnya
Menjelaskan penanganan tindakan operatif yang diperlukan pada penyakit
dengan ikterus
2
Menjelaskan aspek farmakologis obat-obatan yang digunakan pada penyakit
dengan ikterus
Menjelaskan obat-obatan yang sifatnya hepatotoksik
Menjelaskan asuhan gizi pada penyakit dengan ikterus
8. Menjelaskan epidemiologi dan pencegahan penyakit dengan mata kuning
Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus parenkimatous
Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus cholestasis
Menjelaskan tentang epidemiologi penyakit dengan ikterus hemolitik
BAB II
3
ANALISA MASALAH
2.1 Skenario
Seorang bayi perempuan berusia 1,5 bulan berat lahir 3250 gram diantar orang tuanya
ke klinik dengan keluhan utama tampak kuning sejak usia 2 hari dan tidak pernah hilang
sampai saat ini. Bayi mendapat ASI ekslusif sampai saat ini. Pasien tidak demam dan
tampak aktif. Buang air kecil kuning dan buang air besar biasa. Pasien lahir seksio secarea
karena KPD >24 jam.
2.2 Kata / Kalimat sulit : -
2.3 Kata/ Kalimat kunci :
1. Bayi perempuan 1,5 bln.
2. Berat lahir bayi 3250 gram
3. KU: tampak kuning sejak usia 2 hari-skrg.
4. BAK kuning
5. Lahir SC, KPD > 24 jam
6. Tidak demam
7. ASI eksklusif sampai saat ini
2.4 MIND MAP
4
2.5 Pertanyaan :
5
IKTERUS
ANATOMI KLASIFIKASI
PATOLOGI
FISIOLOGI
ALUR DIAGNOSIS
WD & DD
PENATALAKSANAAN
1. Jelaskan definisi dan etiologi dari ikterus!
2. Jelaskan mengenai ikterus fisiologis dan patologis pada bayi!
3. Jelaskan anatomi hepar dan saluran empedu!
4. Jelaskan hubungan ikterus dengan urin kuning!
5. Jelaskan adakah pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap penyakit yang diderita
bayi!
6. Jelaskan mengenai metabolisme bilirubin normal!
7. Adakah hubungan ikterus dengan BBL pada bayi? Jelaskan!
8. Adakah hubungan ikterus dengan kelahiran secara SC dengan KPD>24 jam?
Jelaskan!
9. Mengapa bayi tampak aktif meskipun terlihat gejala ikterik?
10. Diagnosa banding!
BAB III
6
PEMBAHASAN
3.1 Definisi dan klasifikasi dari ikterus.
Definisi ikterus
Ikterus adalah gejala kuning karena peninggian pigmen empedu, misalnya mulai
terlihat apabila kadar bilirubin serum lebih dari 3mg%. Dapat terjadi karena penyakit hati
atau hemolisis eritrosit.
Klasifikasi ikterus
a. Ikterus hemolitik
Ikterus hemolitik disebabkan oleh lisis (penguraian) sel darah merah yang berlebihan.
Ikterus hemolitik merupakan penyebab ikterus pra-hepatik karena terjadi akibat faktor faktor
yang tidak harus berkaitan dengan hati. Ikterus hemolitik dapat terjadi pada destruksi sel
darah merah yang berlebihan dan hati tidak dapat mengonjugasikan (sehingga tubuh tidak
dapat mengeksresi) semua billirubin yang dihasilkan. Ikterus ini dapat dijumpai pada reaksi
transfusi dan pada lisis sel darah merah akibat gangguan hemoglobin (mis; anemia sel sabit
dan thalassemia). Destruksi sel darah merah karena proses auotoimun juga dapat
menyebabkan ikterus hemolitik. Pada ikterus hemolitik, sebagian besar billirubin masih
terkonjugasi. Dengan demikian, warna urin dan tinja akan normal. Kadar billirubin tidak
terkonjugasi (disebut billirubin bebas atau hiperbillirubinemia indirect) meningkat, karena
kemampuan hati mengonjugasi billirubin tidak dapat menyamai besarnya destruksi sel darah
merah.
b. Ikterus intrahepatik
Penurunan ambilan, konjugai, atau eksresi billirubin akibat disfungsi hepatosit atau
obstruksi di kanalikulus biliaris dapat memicu terjadinya ikterus intrahepatik. Disfungsi hati
dapat terjadi apabila hepatosit terinsfeksi oleh virus misalnya pada hepatitis, atau apabila sel-
sel hati rusak akibat kanker atau sirosis. Sebagian kelainan kongenital juga memengaruhi
kemampuan hati untuk menangani billirubin. Obat-obat tertetu, termasuk hormon steroid,
sebagian antibiotik, dan anastetik halotan, dapat mengganggu fungsi sel hati. Apabila hati
tidak dapat mengonjugasi billirubin, maka kadar billirubin tidak terkonjugasi akan meningkat
sehingga timbul ikterus. Ikterus intrahepatik yang disebabkan oleh obstruksi kanalikulus
7
biliaris kecil dapat terjadi bersama tumor atau batu intrahepatik, atau dapat disebabkan oleh
inflamasi yang meluas. Meskipun hepatosit mengonjugasi billirubin, obstruksi pada
kanalikulus mengurangi penyaluran billirubin terkonjugasi ke duktus biliaris. Obstruksi ini
menyebabkan peningkatan jumlah billirubin yang terkonjugasi memasuki aliran darah. Feces
mungkin berwarna pucat atau hampir normal bergantung pada derajat obstruksi. Urin
berwarna gelap dan berbusa karena sejumlah besar billirubin dieksresi melalui rute ini.
c.Ikterus Obstruktif Ekstrahepatik
Sumbatan terhadap aliran empedu yang melalui duktus biliaris juga menyebabkan ikterus
obstruktif. Obstruksi ekstrahepatik dapat terjadi bila duktus biliaris tersumbat olaeh batu
empedu atau oleh tumor. Seperti telah dijeaskan diatas pada ikterus intrahepatik ynag
disebabkan oleh obstruksi, hati terus mengonjugasi bilirubin tetapi bilirubin tidak dapat
mencapai usus halus. Akibatnya adalah penuruna atau tidak adanya ekskresi urobilinogen
dalam tinja, yang menyebabkan tinja berwarna pekat. Bilirubin terkonjugasi tersebut masuk
ke aliran adarah dan sebagian besar diekskresikan melalui ginjal sehingga urine berwarna
gelap dan berbusa. Apabila obstruksi tersebut tidak diatasi, maka kanalikulus biliaris di hati
akhirnya mengalami kongesti dan ruptur sehingga empedu tumpah ke limfe dan aliran darah.
Gambaran Hemolitik Intra hepatik ObstruktifWarna kulit Kuning pucat Oranye-kuning
muda atau tuaKuning-hijau muda atau tua
Warna urine Normal Gelap GelapWarna fesses Normal atau gelap Pucat Warna dempulPruritus Tidak ada Tidak menetap Biasanya menetapBilirubin serum indirek
Meningkat Meningkat Meningkat
Bilirubin serum direk
Normal Meningkat Meningkat
Bilirubin urine Tidak ada Meningkat MeningkatUrobilinogen urin
Meningkat Sedikit meningkat menurun
8
3.2 Ikterus fisiologis dan patologis pada bayi.
9
3.3 Anatomi hepar dan saluran empedu.
A. Anatomi Dan Histologi Hati
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia
terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas,
yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan
atas terletak bersentuhan di bawah diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas
organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan
dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan
v.cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area.Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen
anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding ant. abd dan terletak di
antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan bagian
dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum sblh prox
ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat Aa.hepatica, v.porta dan duct.choledocus
communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri–kanan dan Lig coronaria posterior kiri-kanan
:Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum coronaria
anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium, dan
melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada orang
normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan lobus
kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi
hepar secara topografis bukan scr anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.
10
11
B. Fisiologi Hati
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi
tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fung hati
yaitu :
1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan 1
sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi
glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati
kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen
mjd glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber utama
glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui heksosa monophosphat
shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa mempunyai beberapa tujuan:
Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida, nucleic acid dan ATP, dan membentuk/
biosintesis senyawa 3 karbon (3C)yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus
krebs).
2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak.
12
3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi,
hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.Dengan proses transaminasi,
hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen.
4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan
koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X. Benda
asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsi, bila ada
hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik.Fibrin harus isomer
biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan
untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
6. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi,
reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti zat
racun, obat over dosis.
7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui
proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ - globulin sebagai imun
livers mechanism.
8. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/
menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25% dan di
dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh
faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu
exercise, terik matahari, shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan
aliran darah.
Kandung Empedu
13
Kandung empedu merupakan kantong otot kecil yang berfungsi untuk menyimpan
empedu (cairan pencernaan berwarna kuning kehijauan yang dihasilkan oleh hati).
Kandung empedu memiliki bentuk seperti buah pir dengan panjang 7-10 cm dan
merupakan membran berotot. Terletak didalam fossa dari permukaan visceral hati.
Kandung empedu terbagi kedalam sebuah fundus, badan dan leher.
Bagian-bagian dari kandung empedu :
a.Fundus vesikafelea, merupakan bagian kandung emepedu yang paling akhir setelah
korpus vesikafelea.
b. Korpus vesikafelea, bagian dari kandung empedu yang didalamnya berisis getah
empedu. Getah emepedu adalah suatu cairan yang disekeresi setiap hari oleh sel hati yang
dihasilkan setiap hari 500-1000 cc, sekresinya berjalan terus menerus, jumlah produksi
meningkat sewaktu mencerna lemak.
c.Leher kandung kemih. Merupakan leher dari kandung empedu yaitu saluran yang pertama
masuknya getah empedu ke badan kandung emepedu lalu menjadi pekat berkumpul dalam
kandung emepedu.
d. Duktus sistikus. Panjangnya kurang lebih 3 ¾ cm. berjalan dari leher kandung
emepedu dan bersambung dengan duktus hepatikus membentuk saluran empedu ke
duodenum.
e.Duktus hepatikus, saluran yang keluar dari leher.
f. Duktus koledokus, saluran yang membawa empedu ke duodenum.
Fungsi kandung empedu
1. Tempat menyimpan cairan empedu dan memekatkan cairan empedu yang ada
didalamnya dengan cara mengabsorpsi air dan elektrolit. Cairan empedu ini adalah cairan
elektrolit yang dihasilkan oleh sel hati. Untuk membuang limbah tubuh tertentu (terutama
pigmen hasil pemecahan sel darah merah dan kelebihan kolesterol) serta membantu
pencernaan dan penyerapan lemak.
2. Garam empedu menyebabkan meningkatnya kelarutan kolesterol, lemak dan vitamin
yang larut dalam lemak, sehingga membantu penyerapannya dari usus. Hemoglobin yang
berasal dari penghancuran sel darah merah dirubah menjadi bilirubin (pigmen utama dalam
empedu) dan dibuang ke dalam empedu.
14
Berbagai protein yang memegang peranan penting dalam fungsi empedu juga disekresi
dalam empedu.
Proses pembentukkan empedu
Empedu sebagian besar adalah hasil dari excretory dan sebagian adalah sekresi dari
pencernaan. Garam-garam empedu termasuk ke dalam kelompok garam natrium dan
kalium dari asam empedu yang berkonjugasi dengan glisin atau taurin suatu derifat/turunan
dari sistin, mempunyai peranan sebagai pengemulsi, penghancuran dari molekul-molekul
besar lemak menjadi suspensi dari lemak dengan diameter ± 1mm dan absorpsi dari lemak,
tergantung dari system pencernaannya. Terutama setelah garam-garam empedu bergabung
dengan lemak dan membentuk Micelles, kompleks yang larut dalam air sehingga lemak
dapat lebih mudah terserap dalam sistem pencernaan (efek hidrotrofik). Ukuran lemak yang
sangat kecil sehingga mempunyai luas permukaan yang lebar sehingga kerja enzim lipase
dari pankreas yang penting dalam pencernaan lemak dapat berjalan dengan baik. Kolesterol
larut dalam empedu karena adanya garam-garam empedu dan lesitin.
15
16
3.4 Hubungan ikterus dengan urin kuning
3.5 Pengaruh pemberian ASI eksklusif terhadap penyakit yang diderita bayi.
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI disebabkan oleh peningkatan bilirubin
indirek. Ada 2 jenis ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu:
1. Jenis pertama: ikterus yang timbul dini (hari kedua atau ketiga) dan disebabkan oleh
asupan makanan yang kurang karena produksi ASI masih kurang pada hari pertama.
Kurangnya bayi mendapat ASI eksklusif dapat mengakibatkan bayi ikterus. Ikterus ini
disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama,sehingga bayi
mengalami kekurangan asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai
usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan. Di
dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali
ke dalam darah,dibawa kembali ke dalam hati dan mengakibatkan peningkatan sirkulasi
enterohepatik. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan jangan diberi air putih atau
air gula karena jika diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar
akan mengurangi asupan susu.Monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air
kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.
17
2. Jenis kedua: ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat familial disebabkan
oleh zat yang ada di dalam ASI.
Ikterus karena ASI sangat jarang terjadi.Terjadinya ikterus tersebut karena hormone 3-
alfa20-beta-pregnandiol pada ASI mengadakan inhibisi pada enzim glukoronil-transferase
pada hepar bayi.Penyebab lain adalah asam lemak bebas-terutama asam linoleat-pada ASI
yang mengadakan inhibisi pada enzim glukoronil transferase.
Sekitar 1 dari 200 bayi cukup bulan yang menyusu ASI terdapat kenaikan bermakna
dari bilirubin tak terkonjugasi antara umur 4 dan 7 hari,mencapai kadar maksimal setinggi
10-30 mg/dL selama minggu ke-2 sampai ke-3.Jika pemberian ASI
dilanjutkan,hiperbilirubinemia secara bertahap menurun dan kemudian dapat menetap selama
3-10 minggu pada kadar yang lebih rendah.Jika pemberian ASI dihentikan,kadar bilirubin
serum turun degan cepat,biasanya mencapai normal dalam beberapa hari.Penghentian ASI
selama 1-2 hari dan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan
bilirubin serum dengan cepat,sesudahnya pemberian ASI dapat dimulai lagi dan
hiperbilirubinemia tidak kembali ke kadar yang tinggi seperti sebelumnya.Jadi pemberian
ASI dapat dilanjutkan karena walaupun kadar bilirubin serum dapat mningkat selama
beberapa hari tetapi akan turun secara bertahap.Pada suatu penelitian pengehntian ASI selama
50 jam(selama pemberian susu formula) tampak mempunyai efek penurunan bilirubin yang
sesuai dengan pemberian fototerapi.Penghentian ASI 24-48 jam berhasil menurunkan kadar
bilirubin serum dan menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81-87 bayi jaundice.Konseling
cermat dam pemberian dukungan dapat mencegah penghentian ASI sementara supaya tidak
dihentikan selamanya.
3.6 Metabolisme bilirubin normal.
METABOLISME BILIRUBIN
Bilirubin adalah produk akhir katabolisme protoporfirin besi atau heme, yang sebanyak 75% berasal dari hemoglobin dan 25% dari heme dihepar (enzim sitokrom, katalase dan heme bebas), myoglobin otot, serta eritopoiesis yang tidak efektif di sumsum tulang.
Tahap awal proses degradasi heme dikatalisis oleh enzim heme oksigenase mikrosom di dalam sel RE. Dengan adanya NADPH dan O2, enzim ini akan menambahkan gugus hidroksil ke jembatan metenil
18
diantara dua cincin pirol, bersamaan dengan oksidasi ion ferro (Fe+2) menjadi Fe+3 (ferri). Oksidasi selanjutnya oleh enzim yang menyebabkan pemecahan cincin porfirin. Ion ferri dan dan CO di lepaskan, sehingga menyebabkan pembentukan biliverdin yang berpigmen hijau. Biliverdin kemudian direduksi sehingga membentuk bilirubin yang bewarna merah jingga. Bilirubin dan turunannya bersama-sama disebut pigmen empedu.
PENGAMBILAN BILIRUBIN OLEH HATI
Bilirubin hanya sedikit larut dalam plasma, sehingga diangkut ke hati dengan berikatan dengan protein albumin secara nonkovalen. Bilirubin teruarai dari molekul pembawa albumin dan masuk ke dalam hepatosit, tempat bilirubin akan berikatan dengan protein intrasel, terutama protein liganin. Di dalam hepatosit, kelarutan bilirubin meningkat karena penambahan dua molekul asam glukoronat. Reaksi ini dikatalisis oleh bilirubin glukoniltransferase dengan menggunakan asam glukoronat UDP sebagai donor glukoronat. Bilirubin diglukoronid ditransport secara aktif dengan melawan gradien konsentrasi ke dalam kanalikuli biliaris dan kemudian ke dalam empedu. Proses ini memerlukan energi, merupakan tahapan yang membatasi laju dan rentan mengalami gangguan pada penyakit hepar.
Bilirubin yang tidak terkonjugasi normalnya diekskresikan. Bilirubin diglukoronid dihidrolisis dan direduksi oleh bakteri di usus untuk menghasilkan urobilinogen, senyawa yang tidak bernyawa. Sebagian besar urobilinogen dioksidasi oleh bakteri usus menjadi sterkobilin, memberi warna coklat pada feses. Namun, beberapa urobilinogen direabsorbsi oleh usus dan masuk ke dalam sirkulasi portal. Sebagian urobilinogen ini berperan dalam siklus urobilinogen intrahepatic yang akan di uptake oleh hepar kemudian diekskresikan kembali ke dalam empedu. Sisa urobilinogen diangkut oleh darah ke dalam ginjal, tempat urobilinigen diubah menjadi urobilin yang berwarna kuning dan diekskresikan sehingga memberikan warna yang khas pada urin.
19
3.7 Hubungan ikterus dengan BBL pada bayi.
Ikterus adalah keadaan dimana berubahnya warna kulit dan sklera pada mata karena
adanya peningkatan bilirubin dalam darah. Normalnya berat badan bayi yang baru lahir
berkisar 2500-4000 gram. Berat badan lahir rendah atau bayi dengan berat badan lahir <2500
gram beresiko mengalami hiperbilirubin disebabkan karena organ tubuhnya yang masih
lemah oleh karena fungsi hepar yang belum matang atau terdapat gangguan dalam fungsi
hepar seperti hipoksia, hipoglikemi, asidosis, sehingga mengakibatkan kadar bilirubin
meningkat. Sedangkan neonatus dengan berat badan > 4000 gram juga memiliki metabolisme
bilirubin yang tinggi karena hatinya sudah matur, tetapi cenderung mengalami trauma lahir.
Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam
fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil
transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi.
Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam
serum.
BBLR dibagi menjadi 2 yaitu BBLR kurang bulan dan BBLR cukup bulan. BBLR
kurang bulan atau prematur lebih mudah terkena komplikasi karena alat tubuh bayi prematur
belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, bayi prematur mengalami lebih banyak
kesulitan untuk hidup diluar uterus. Sedangkan BBLR cukup bulan memiliki kemampuan
untuk bertahan hidup lebih baik dari pada bayi premature karena alat tubuh sudah terbentuk
sempurna.
Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti
bila kadar bilirubin indirek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena
bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi
dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin
indirek mencapai 20 mg% pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh
neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai. Bayi BBLR kurang bulan
mengalami peningkatan risiko terhadap infeksi karena cadangan imunologlobulin maternal
menurun, kemampuan untuk membentuk antibodi rusak dan sistem integumen rusak (kulit
tipis dan kapiler rentan), hipoglikemia karena bayi prematur dan yang mengalami hambatan
pertumbuhan memiliki simpanan glikogen yang lebih rendah sehingga tidak dapat
memobilisasi glukosa secepat bayi aterm normal selama periode segera setelah lahir dan bayi
prematur memiliki respons hormon dan enzim yang imatur, dan hiperbilirubin disebabkan
20
oleh faktor kematangan hepar, hingga konjugasi bilirubin indirek menjadi direk belum
sempurna. Ikterus dapat diperberat oleh polisetemia, memar hemolisias dan infeksi karena
hiperbilirubin dapat menyebabkan kernikterus maka warna kulit bayi harus sering dicatat dan
bilirubin diperiksa, bila ikterus muncul dini atau lebih cepat bertambah coklat.
Sedangkan pada bayi BBLR cukup bulan lebih rentan mengalami hipoglikemia
karena cadangan glikogen telah ada pada awal trimester ketiga dan, akibat perubahan
transpor nutrien melalui plasenta selama masa ini, bayi yang tumbuh secara asimetris
mengalami penurunan cadangan glikogen pada hati dan otot skeletal. Otak bayi yang lebih
besar proporsinya daripada masa tubuh dan kecendrungan terhadap polisitemia meningkatkan
kebutuhan energi dan karena otak dan sel darah merah adalah pengguna glukosa obligatorik,
faktor ini dapat meningkatkan kebutuhan glukosa. Dan bayi BBLR cukup bulan dapat
mengalami hiperbilirubinemia disebabkan gangguan pertumbuhan hepar.
3.8 Hubungan ikterus dengan kelahiran secara SC dengan KPD>24 jam.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara ikterus dengan seksio sesarea, namun ada
kala nya kuning bisa disebabkan oleh masalah pada pemberian ASI (breastfeeding jaundice).
Hal ini biasanya terjadi pada bayi lahir lewat operasi caesar karena ibu kurang memproduksi
ASI.
Ikterus akibat ASI (breastmilk jaundice) juga bisa terjadi jika ASI mengandung
hormon progesteron yang mengganggu proses penguraian bilirubin. Keberadaan enzim
liprotein lipase pada ASI juga bisa meningkatkan kadar bilirubin. Dalam kondisi ini, ASI bisa
terus diberikan. Akan tetapi, jika kenaikan kadar bilirubin terlalu cepat, ASI bisa dihentikan
sementara. Serta kemungkinan lain ikterus pada bayi dikarenakan imaturasi hepar
3.9 Penyebab bayi tampak aktif meskipun terlihat gejala ikterik.
Bayi tersebut tetap aktif dan tidak demam dikarenakan ikterik yang terjadi pada bayi
bukan dikarenakan adanya infeksi, melainkan sebab – sebab lain seperti yang diuraikan diatas
( semisal breastmilk jaundice)
3.10 Diagnosa banding.
a. Ikterus Neonatorum
21
Definisi
Ikterus pada Bayi (Ikterus Neonatorum)
Ikterus pada bayi atau yang dikenal dengan istilah ikterus neonatorum adalah
keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit dan sklera akibat
akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebih. Pada orang dewasa, ikterus akan tampak
apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (>17 μmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak
apabila serum bilirubin > 5 mg/dL (>86 μmol/L).
Hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus
ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak
dikendalikan. Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong
non patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (‘Non Physiological Jaundice’) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >950/00 menurut Normogram Bhutani.
Ikterus adalah deskolorisasi kuning pada kulit, membrane mukosa, dan sclera akibat
peningkatan kadar biliribin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin
serum > 2 mg/dl, sedangkan pada neonatus kadar bilirubin > 5mg/dl.
Epidemiologi
Di Amerika Serikat, dari 4 juta bayi yang lahir setiap tahunnya, sekitar 65%
mengalami ikterus. Sensus yang dilakukan pemerintah Malaysia pada tahun 1998
menemukan sekitar 75% bayi baru lahir mengalami ikterus pada minggu pertama. Di
Indonesia, didapatkan data ikterus neonatorum dari beberapa rumah sakit pendidikan. Sebuah
studi cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional Cipto
Mangunkusumo selama tahun 2003, menemukan prevalensi ikterus pada bayi baru lahir
sebesar 58% untuk kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 29,3% dengan kadar bilirubin di atas
12 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. RS Dr. Sardjito melaporkan sebanyak 85% bayi
cukup bulan sehat mempunyai kadar bilirubin di atas 5 mg/dL dan 23,8% memiliki kadar
bilirubin di atas 13 mg/dL. Pemeriksaan dilakukan pada hari 0, 3 dan 5. Dengan pemeriksaan
kadar bilirubin setiap hari, didapatkan ikterus dan hiperbilirubinemia terjadi pada 82% dan
18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan
hiperbilirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128
kematian neonatal (8,5%) dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
hiperbilirubinemia.
22
Data yang agak berbeda didapatkan dari RS Dr. Kariadi Semarang, di mana insidens
ikterus pada tahun 2003 hanya sebesar 13,7%, 78% di antaranya merupakan ikterus fisiologis
dan sisanya ikterus patologis. Angka kematian terkait hiperbilirubinemia sebesar 13,1%.
Didapatkan juga data insidens ikterus pada bayi cukup bulan sebesar 12,0% dan bayi kurang
bulan 22,8%. Insidens ikterus neonatorum di RS Dr. Soetomo Surabaya sebesar 30% pada
tahun 2000 dan 13% pada tahun 2002. Perbedaan angka yang cukup besar ini mungkin
disebabkan oleh cara pengukuran yang berbeda. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo ikterus
dinilai berdasarkan kadar bilirubin serum total > 5 mg/dL; RS Dr. Sardjito menggunakan
metode spektrofotometrik pada hari ke-0, 3 dan 5 ;dan RS Dr. Kariadi menilai ikterus
berdasarkan metode visual.
Etiologi dan Faktor Risiko
1. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umum terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena:
Hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur
lebih pendek.
Fungsi hepar yang belum sempurna (jumlah dan fungsi enzim glukuronil transferase,
UDPG/T dan ligand dalam protein belum adekuat) -> penurunan ambilan bilirubin oleh
hepatosit dan konjugasi.
Sirkulus enterohepatikus meningkat karena masih berfungsinya enzim -> glukuronidase
di usus dan belum ada nutrien.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan (ikterus nonfisiologis) dapat disebabkan
oleh faktor/keadaan:
Hemolisis akibat inkompatibilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat.
Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin.
Polisitemia.
Ekstravasasi sel darah merah, sefalhematom, kontusio, trauma lahir.
Ibu diabetes.
Asidosis.
Hipoksia/asfiksia.
Sumbatan traktus digestif yang mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum:
23
a. Faktor Maternal
- Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
- Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
- Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
- ASI
b. Faktor Perinatal
- Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
- Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
- Prematuritas
- Faktor genetik
- Polisitemia
- Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
- Rendahnya asupan ASI
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia
Patofisiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan
oleh beberapa faktor. Secara garis besar, etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi:
1. Produksi yang berlebihan
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang
meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,golongan darah lain, defisiensi enzim
G6PD, piruvat kinase, perdarahan
tertutup dan sepsis.
2. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi
bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya
enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi
protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
3. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin
dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi
24
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah
yang mudah melekat ke sel otak.
4. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar
hepar biasanya diakibatkan kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi
atau kerusakan hepar oleh penyebab lain (Hassan et al, 2005).
Etiologi ikterus neonatorum, menurut waktu kemunculan
24 jam pertama Hari kedua-kelima Setelah akhir minggu kedua
Penyakit hemolisis
Inkompatibilitas rhesus
Inkompatibilitas ABO
Defisiensi G6PD
Sferositosis
Infeksi kongenital
Fisiologis
Infeksi
Hematoma
Galaktosemia dan kelainan
metabolik lain
Ikterus non-hemolitik
familial
Bayi dari ibu diabetes
Ikterus air susu ibu (breast milk
jaundice)
Hipertiroidisme
Hepatitis
Atresia bilier dan masalah
traktus biliaris lain
Stenosis pilorus
Adapun penyebab tersering dari hiperbilirubinemia adalah :
1. Hiperbilirubinemia fisiologis.
2. Inkompatibilitas golongan darah ABO.
3. ‘Breast Milk Jaundice’ .
4. Inkompatibilitas golongan darah rhesus.
5. Infeksi.
6. Hematoma sefal, hematoma subdural, ‘excessive bruising’.
7. IDM (‘Infant of Diabetic Mother’).
8. Polisitemia / hiperviskositas.
9. Prematuritas / BBLR.
10. Asfiksia (hipoksia, anoksia), dehidrasi – asidosis, hipoglikemia.
11. Lain-lain.
Sedangkan penyebab hiperbilirubinemia yang jarang terjadi adalah :
1. Defisiensi G6PD (Glucose 6 – Phosphat Dehydrogenase).
2. Defisiensi piruvat kinase.
3. Sferositosis kongenital.
25
4. Lucey – Driscoll syndrome (ikterus neonatorum familial).
5. Hipotiroidism.
Hemoglobinopathy
Langkah diagnostik
a) Anamnesis:
Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, DM, gawat janin,
malnutrisis intrauterin, infeksi intranatal)
Riwayat persalinan tindakan/komplikasi
Riwayat ikterus/terapi sinar/transfusi tukar pada bayi sebelumnya
Riwayat inkompatibilitas darah
Riwayat keluarga yang menderita anemia,pembesaran hepar dan limpa
b) Pemeriksaan fisik:
Kuning/ikterus
Tinja pucat
c) Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan laboratorium:
-bilirubin direk meningkat
-inkompatibilitas golongan darah dengan Coombs test positif
-ETCOc meningkat
a. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat
digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus
kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan
metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat
masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif
segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual,
sebagai berikut:
Pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari
dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila
dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada
pencahayaan yang kurang.
26
Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di
bawah kulit dan jaringan subkutan.
Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh
yang tampak kuning. (tabel 1)
b. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus
neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin
adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat
meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin
total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin
total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
c. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip
memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450
nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang
sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat
dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan
multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan
bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk
mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan
dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini
dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34
minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin
serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa
pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang
bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar,
sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan
pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu
tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
27
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan
skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan
bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai
tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam
mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
d. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini
menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi
bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas.
Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan
kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi
substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus
neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas
CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran
konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai
indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari pertama dan terlihat pada lengan,
tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua, maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan
memerlukan terapi sinar secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar
bilirubin serum untuk memulai terapi sinar.
Penatalaksanaan
28
Usia Kuning terlihat pada Tingkat keparahan ikterus
Hari
1
Hari
2
Hari
3
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
Berat
Penatalaksanaan
a) Mempercepat proses konjugasi pemberian fenobarbital
b) Substrat untuk transportasi atau konjugasi pemberian albumin, plasma, glukosa
untuk sumber energi
c) Terapi sinar / foto terapimenurunkan kadar bilirubin
d) Transfusi tukar dengan tujuan:
-mengganti eritrosit
-membuang antibodi yang menyebabakan hemolisis
-menurunkan kadar bilirubin indirek
Tatalaksana Awal Ikterus Neonatorum (WHO)
Mulai terapi sinar/fototerapi merupakan metode yang palin efektif dan relatif
aman untuk menurunkan kadar bilirubin indirek, terutama dimulai sebelum
peningkatan bilirubin serum mencapai kadar yang menyebabkan kernikterus
(ensefalopati bilirubin).
Tentukan apakah bayi memiliki faktor risiko berikut: berat lahir < 2,5 kg, lahir
sebelum usia kehamilan 37 minggu, hemolisis atau sepsis.
Ambil contoh darah dan periksa kadar bilirubin serum dan hemoglobin, tentukan
golongan darah bayi dan lakukan tes Coombs.
Bila kadar bilirubin serum di bawah nilai dibutuhkannya terapi sinar, hentikan
terapi sinar.
Bila kadar bilirubin serum berada pada atau di atas nilai dibutuhkannya terapi
sinar, lakukan terapi sinar
Bila faktor Rhesus dan golongan darah ABO bukan merupakan penyebab
hemolisis atau bila ada riwayat defisiensi G6PD di keluarga, lakukan uji saring
G6PD bila memungkinkan.
Tentukan diagnosis banding
Pertimbangkan terapi sinar pada:
NCB (neonatus cukup bulan) – SMK (sesuai masa kehamilan) sehat : kadar
bilirubin total > 12mg/dL
NKB (neonatus kurang bulan) sehat : kadar bilirubin total > 10 mg/dL
Pertimbangkan tranfusi tukar bila kadar bilirubin indirek > 20 mg/dL
Terapi sinar intensif
Terapi sinar intensif dianggap berhasil, bila setelah ujian penyinaran kadar
bilirubin minimal turun 1 mg/dL.
29
a. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab
Pendekatan saat timbulnya ikterus yang dikemukakan oleh “Harper dan Yoon”:
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama:
inkompatibilitas darah Rh,ABO/ golongan lain
infeksi intrauterin (virus,toksoplasma,kadang –kadang bakteri)
kadang-kadang defisiensi G6DP
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir:
fisiologis
masih kemungkinan inkompatibilitas darah
defisiensi G6DP
polisitemia
hemolisis perdarahan tertutup
hipoksia
dehidrasi asidosis
3. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama:
infeksi/sepsis
dehidrasi asidosis
defisiensi G6Dp
pengaruh obat
sindrom Criggler-Najjar
sindrom Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir pertama dan selanjutnya:
ikterus obstruktif
hipotiroidisme
Breast Milk jaundice
infeksi
neonatal hepatitis
Pencegahan
• Pemeriksaan antenatal yang baik
• Hindari obat2an pada masa kehamilan dan persalinan seperti:
- sulfa furazole
- novobiocin
30
- oksitosin
• Pencegahan dan atasi hipoksia pada janin dan neonatus
• Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
• Pemberian makanan yang dini
• Cegah infeksi
Prognosis
Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
b. Anemia Hemolitik
Anemia ialah berkurangnya jumlah eritrosit, konsentrasi hemoglobin atau kadar hematokrit
dalam darah tepi dibawah nilai-nilai normal untuk umur dan kelamin penderita sehingga
kemampuan darah untuk memberikan oksigen ke jaringan berkurang. Anemia secara
fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass) sehingga
tidak dapat memenuhi fungsinya membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan
perifer (penurunan oxygen carryng capacity). Anemia hanyalah kumpulan gejala yang
disebabkan oleh berbagai penyebab. Pada dasarnya anemia disebabkan oleh gangguan
pembentukaan eritrosit oleh sumsum tulang, kehilangan darah keluar dari tubuh (perdarahan),
dan proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya.
DEFINISI
Anemia hemolitik ialah anemia yang disebabkan karena kecepatan penghancuran sel darah
merah (eritrosit) lebih besar dari pada normal. Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi
lebih pendek (normal umur eritrosit 100-120 hari). Pada anemia hemolitik keadaan anemi
terjadi karena meningkatnya penghancuran dari sel eritrosit yang diikuti dengan
ketidakmampuan dari sumsum tulang dalam memproduksi sel eritrosit. Untuk mengatasi
kebutuhan tubuh terhadap berkurangnya sel eritrosit tersebut, penghancuran sel eritrosit yang
berlebihan akan menyebabkan terjadinya hiperplasi sumsum tulang sehingga produksi sel
eritrosit akan meningkat dari normal. Hal ini terjadi bila umur eritrosit berkurang dari 120
hari menjadi 15-20 hari tanpa diikuti dengan anemi. Namun bila sumsum tulang tidak
mampu mengatasi keadaan tersebut maka akan terjadi anemi.
31
Penghancuran Sel darah merah dalam sirkulasi dikenal dengan hemolisis yang dapat
disebabkan karena gangguan pada sel darah merah itu sendiri yang memperpendek umurnya
(instrinsik) atau perubahan lingkungan yang menyebabkan penghancuran eritrosit.
ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI
Penyakit anemia hemolitik dapat dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu:
1. Golongan dengan penyebab hemolisis yang terdapat dalam eritrosit sendiri. Umumnya
peneyebab hemiolisis ini adalah kelainan bawaan (kongenital).
2. Golongan dengan penyebab hemolisis ekstraseluler. Biasanya penyebabnya merupakan
faktor yang di dapat (acquired).3
Gangguan intrakorpuskular (kongenital)
Kelainan ini umumnya disebabkan karena adanya gangguan metabolisme dalam eritrosit itu
sendiri. Keadaan ini dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:
1. Gangguan pada struktur dinding eritrosit
Gangguan pada struktur didnding eritrosit terbagi menjadi:
a. Sferositosis
Kelainan kongenital ini sering terjadi pada orang Eropa Barat. Pada penyakit ini umur
eritrosit lebih pendek, kecil, bundar dan resistensinya terhadap NaCl hipotonis menjadi
rendah. Limpa membesar dan sering terjadi ikterus.jumlah retikulosit menjadi meningkat.
Hemolisis diduga disebabkan karena kelainan membran eritrosit. Pada anak gejala anemia
lebih menyolok dibanding ikterus. Kelainan radiologis ditemukan pada anak yang telah lama
menderita penyakit ini. 40-80% penderita sferositosis ditemukan kolelitiasis.
b. Ovalositosis (eliptositosis)
Pada penyakit ini 50-90% eritrositnya berbentuk oval. Penyakit ini diturunkan secara
dominan menurut hukum Mendel. Hemolisis tidak seberat sferositosis. Splenektomi biasanya
dapat mengurangi hemolisis.
c. A-beta lipoproteinemia
32
Pada penyakit ini terjadi kelainan bentuk eritrosit. Diduga kelainan bentuk ini disebabkan
oleh kelainan komposisi lemak pada dinding sel.
d. Gangguan pembentukan nukleotida
Kelainan ini menyebabkan dinding eritrosit mudah pecah, misalnya pada panmielopatia tipe
fanconi.
2. Gangguan enzim yang mengakibatkan kelainan metabolisme dalam eritrosit.
Setiap gangguan metabolisme dalam eritrosit akan menyebabkan umur erotrosit menjadi
pendek dan timbul anemia hemolitik.
a. Defisiensi glucose-6-Phosphate-Dehydrogenase(G-6PD)
Defisiensi G-6PD ditemukan pada berbagai bangsa di dunia. Kekurangan enzim ini
menyebabkan glutation tidak tereduksi. Glutation dalam keadaan tereduksi diduga penting
untuk melindungi eritrosit dari setiap oksidasi, terutama obat-obatan. Penyakit ini diturunkan
secara dominan melalui kromosom X. Proses hemolitik dapat timbul akibat atau pada:
- Obat-obatan. (asetosal, piramidon, sulfa, obat anti malaria, dll)
- Memakan kacang babi
- Bayi baru lahir.
b. Defisiensi glutation reduktase
Kadang disertai trombopenia dan leukopenia.
c. Defisiensi glutation
Penyakit ini diturunkan secara resesif dan jarang ditemukan.
d. Defisiensi piruvat kinase
Pada bentuk homozigot terjadi lebih berat. Khasnya terjadi peninggian kadar 2,3
difosfogliserat.
e. Defisiensi Triose Phosphate Isomerase
33
Gejala mirip dengan sferositosis, tetapi tidak terdapat fragilitas osmotik dan hasil darah tepi
tidak ditemukan sferositosis. Pada keadaan homozigot terjadi lebih berat dan bayi akan
meninggal di tahun pertama kehidupannya.
f. Defisiensi Difosfogliserat Mutase
g. Defisiensi heksokinase
h. Defisiensi gliseraldehid-3-fosfat dehidrogenase
3. Hemoglobinopatia
Hemoglobin orang dewasa normal terdiri dari HbA yang merupakan 98% dari seluruh
hemoglobinnya. HbA2 yang tidak lebih dari 2% dan HbF yang tidak lebih dari 3%. Pada bayi
baru lahir HbF merupakan bagian terbesar dari hemoglobinnya (95%), kemudianntrasi HbF
akan menurun, sehingga pada umur 1 tahun telah mencapai keadaan normal. Terdapat 2
golongan besar gangguan pembentukan hemoglobin yaitu:
a. Gangguan struktural pembentukan hemoglobin (hemoglibin abnormal) misalnya HbS,
HbE dan lain-lain.
Kelainan hemoglobin ini ditentukan oleh adanya kelainan genetik yang dapat mengenai HbA,
HbA2 atau HbF. Pada penyakit ini terjadi pergantian asam amino dalam rantai polipeptida
pada tempat-tempat tertentu atau tidak adanya asam amino atau beberapa asam amino pada
tempat-tempat tersebut. Kelainan yang paling sering terjadi pada rantai β dan δ.
b. Gangguan jumlah (salah satu atau beberapa rantai globin misalnya talasemia.
Talasemia merupakan penyakit anemia hemolitik yang herediter yang diturunkan secara
resesif . Di Indonesia, talasemia merupakan penyakit terbanyak di antara golongan anemia
hemolitik dengan penyebab intrekorpuskuler. Secara klinis talasemia dibagi menjadi 2
golongan yaitu talasemia mayor (homozigot) yang memberikan gejala klinis yang khas dan
talasemia minor yang biasanya tidak memberi gejala.
Gangguan ekstrakorpuskuler (acquired)
Gangguan ini biasanya didapat yang dapat disebabkan oleh:
34
1 Obat-obatan, racun ular, jamur, bahan kimia (bensin, saponin,air), toksin (hemolisin)
Streptococcus, virus, malaria, luka bakar.
2. Hipersplenisme. Pembesaran limpa apapun sebabnya dapat menyebabkan
penghancuran erotrosit.
3. Anemia oleh karena terjadinya penghancuran eritrosit akibat terjadinya reaksi
antigen-antibodi seperti:
a. Antagonisme ABO atau inkompatibilitas golongan darah lain seperti Rhesus dan MN
b. Alergen atau hapten yang berasal dari luar tubuh, tapi dalam tubuh melekat pada
permukaan eritrosityang merangsang pembuatan anti yang kemudian menimbulkan reaksi
antigen-antibodi yang menyebabkan hemolisis.
c. Hemolisis akibat proses autoimun.
EPIDEMIOLOGI
Sferositosis herediter merupakan anemia hemolitik yang sangat berpengaruh di Eropa
Barat, terjadi sekitar 1 dari 5000 individu. Sferositosis mengenai demua jenis etnis namun
pada ras non kaukasian tidak diketahui. Sferositosis herediter paling sering diturunkan
secara dominan autosomal. Pada beberapa kasus, sferositosis herediter mungkin
disebabkan karena mutasi atau anomali sitogenik. Di Amerika, prevalensi eliptospirosis
kira-kira 3-5 per 10.000. eliptospirosis paling sering pada orang Afrika dan Amerika.
Eliptospirosis sering terjadi pada daerah dengan endemik malaria. Di Afrika ppada area
ekuator, eliptospirosis terjadi sekitar 20,6%. Bentuk lain dari penyakit ini ditemukan pada
Asia Tenggara yang ditemukan sekitar 30% darai populasi. Penyakit ini diturunkan secara
dominan autosomal. Defisiensi G6PD dilaporkan di seluruh dunia. Frekuensi tertinggi
terjadi pada daerah tropis dan subtropis. Telah dilaporkan lebih dari 350 varian. Ada
banyak variasi pada expresi klinis pada varian enzim. Talasemia merupakan sindroma
kelainan darah herediter yang paling sering terjadi di dunia, sanagt umum terjadi di
sepanjang sabuk talasemia yang sebagian besar wilayahnya merupakan endemis malaria.
Gen talasemia sangat luas tersebar dan kelainan ini diyakini merupakan penyakit genetik
manusia yang paling prevalen. Di beberapa Asia Tenggara sebanyak 40% dari populasi
memiliki satu atau lebih gen talasemia. Daerah geografi dimana talasemia merupakan
prevalen yang sangat paralel dengan Plasmodium falciparum dulunya merupakan
35
endemik. Insiden anemia hemolitik autoimun kira-kira 1 dari 80.000 populasi. Pada
perempuan predominan terjadi tipe idiopatik. Tipe sekunder terjadi peningkatan pada
umur 45 tahun dimana variasi idiopatik terjadi sepanjang hidup. Kelainan hemolitik yang
terpenting dalam praktek pediatrik adalah eritroblastosis fetalis pada bayi baru lahir yang
disebabkan oleh trnsfer transplasenta antibodi ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu
anemia hemolitik isoimun. Eritroblastosis fetalis disebut Hemolitik Disease of the
Newborn (HDN).
PATOGENESIS
Proses hematopoesis pada embrio janin terjadi diberbagai tempat, termasuk hati,
limpa,timus,kelenjar getah bening, dan sumsum tulang. Sejak lahir sepanjang sisa hidupnya
terutama di sumsum dan sebagian kecil di kelenjar getah bening.
Dalam keadaan normal, sel-sel darah merah yang sudah tua difagositosis oleh sel-sel
retikuloendotelial, dan hemoglobin diuraikan menjadi komponen-komponen esensialnya.
Besi yang didapat dikembalikan ke transferin untuk pembentukan sel darah merah baru dan
asam-asam amino dari bagian globin molekul dikembalikan ke kompartemen asam amino
umum. Cincin protoporfirin pada heme diuraikan di jembatan alfa metana dan karbon alfanya
dikeluarkan sebagai karbon monoksida melalui ekspirasi. Tetrapirol yang tersisa
meninggalkan sel retikuloendotelial sebagai bilirubin indirek dan menjadi hati, tempat zat ini
terkonjugasi untuk ekskresi di empedu. Dui usus, biliruin glukoronida diubah menjadi
urobilinogen untuk eksresi di tinja dan urin.
Hemolisis dapat terjadi intravaskuler dan ekstravaskuler. Pada hemolisis intravaskuler,
destruksi eritrosit terjadi langsung di sirkulasi darah. Sel-sel darah merah juga dapat
mengalami hemolisis intravaskuler disertai pembebasan hemoglobin dalam sirkulasi.
Tetramer hemoglobin bebas tidak stabil dan cepat terurai menjadi dimer alfa-beta, yang
berikatan dengan haptoglobulin dan disingkarkan oleh hati. Hemoglobin juga dapat
teroksidasi menjadi methemoglobin dan terurai menjadi gugus globin dan heme. Sampai pada
tahap tertentu, heme bebas dapat terikat oleh hemopeksin dan atau albumin untuk selanjutnya
dibersihkan oleh hepatosit. Kedua jalur ini membantu tubuh menghemat besi untuk
menunjang hematopoiesis. Apabila haptoglobin telah habis dipakai, maka dimer hemoglobin
36
yang tidak terikat akan di eksresikan oleh ginjal sebagai hemoglobin bebas, methemoglobin,
atau hemosiderin.
Hemolisis yang lebih sering adalah hemolisis ekstravaskuler. Pada hemolisis ekstravaskuler
destruksi sel eritrosit dilakukan oleh sistem retikuloendotelial karena sel eritrosit yang telah
mengalami perubahan membran tidak dapat melintasi sistem retikuloendotelial sehingga
difagositosis dan dihancurkan oleh makrofag. Sejumlah bahan dan kelainan dengan
kemampuan dapat merusak eritrosit yang dapat menyebabkan destruksi prematur eritrosit. Di
antara yang paling jelas telah di pastikan adalah antibodi yang berikatan dengan anemia
hemolitik. Ciri khas penyakit ini adalah dengan uji Coombs direk positif, yang menunjukkan
imunoglobulin atau komponen komplemen yang menyelubungi permukaan eritrosit. Kelainan
hemolitik yang terpenting dalam praktek pediatrik adalah penyakit hemolitik bayi baru
lahir( eritroblastosis fetalis) atau HDN yang disebabkan oleh transfer transplasenta antibodi
ibu yang aktif terhadap eritrosit janin, yaitu anemia hemolitik isoimun. Pada Hemolytic
Disease of the Newborn (HDN) sering terjadi ketika ibu dengan Rh(-) mempunyai anak dari
seorang pria yang memiliki Rh(+). Ketika Rh bayi (+) seperti ayahnya, masalah dapat terjadi
jika sel darah merah si bayi dengan Rh(+) sebagai benda asing. Sistem imun ibu kemudian
menyimpan antibodi tersebutketika benda asing itu muncul kembali, bahkan pada saat
kehamilan berikutnya. Sekarang Rh ibu terpapar. Pada anemia hemolitik autoimun, antibodi
abnormal ditujukan kepada eritrosit, tetapi mekanisme patogenesisnya belum jelas.
Autoantibodi mungkin dihasilkan oleh respon imun yang tidak serasi terhadap antigen
eritrosit. Atau, agen infeksi dapat dengan sesuatu cara mengubah membran eritrosit sehingga
menjadi “asing” atau antigenik terhadap hospes.
DIAGNOSIS
Semua jenis anemia hemolitik ditandai dengan:
1. Peningkatan laju destruksi sel darah merah
2. Peningkatan kompensatorik eritropoiesis yang menyebabkan retikulositosis
3. Retensi produk destruksi sel darah merah oleh tubuh termasuk zat besi.
Karena zat besi dihemat dan mudah di daur ulang, regenerasi sel darah merah dapat
mengimbangi hemolisis. Oleh karena itu, anemia ini hampir selalu berkaitan dengan
hiperplasia aritroid mencolok di dalam sumsum tulang dan meningkatnya hitung retikulosit di
37
darah tepi. Apabila anemia berat dapat terjadi hematopoiesis ekstramedularis di limpa, hati,
dan kelenjar getah bening. Apapun mekanismenya, hemolisis intravaskuler bermanifestasi
sebagai hemoglobinemia, hemoglobinuria, jaundice dan hemosiderinuria. Gejala umum
penyakit ini disebabkan oleh adanya penghancuran eritrosit dan keaktifan sumsum tulang
untuk mengadakan kompensasi terhadap penghancuran tersebut. Bergantung pada fungsi
hepar, akibat pengancuran eritrosit berlebihan itu dapat menyebabkan peninggian kdar
bilirubin atau tidak. Sumsum tulang dapt membentuk 6-8 kali lebih banyak eritropoietik
daripada biasa, sehingga dalam darah tepi dijumpai banyak sekali eritrosit berinti, jumlah
retikulosit meninggi, polikromasi. Bahkan sering terjadi eritropoiesis ekstrameduler.
Kekurangan bahan sebagai pembentuk seperti vitamin, protein dan lain-lain atau adanya
infeksi dapat menyebabkan gangguan pada keseimbangan antara penghancuran dan
pembentukan sistem eritropoietik, sehingga keadaan ini dapat menimbulkan krisis aplastik.
Limpa umumnya membesar karena organ ini menjadi tempat penyimpanan eritrosit yang
dihancurkan dan tempat pembuatan sel darah ekstrameduler. Pada anemia hemolitik yang
kronis terdapat kelainan tulang rangka akibat hiperplasia sumsum tulang.
Gejala klinik
Salah satu dari tanda yang paling sering di kaitkan dengan anemia adalah pucat. Keadaan ini
umumnya diakibatkan karena berkurangnya volume darah, berkurangnya hemoglobin dan
vasokonstriksi untuk memaksimalkan pengiriman O2 ke organ-organ vital. Dispneu, nafas
pendek dan cepat lelah waktu melakukan aktifitas jasmani merupakan manifestasi
berkurangnya pengirirman O2. Sakit kepala, pusing, pingsan dan tinitus (telinga berdengung)
dapat mencerminkan berkurangnya oksigenasi pada sistem saraf pusat.
Pemeriksaan fisik
- Tampak pucat dan ikterus
- Tidak ditemukan perdarahan dan limfadenopat
- Dapat ditemukan hepatosplenomegali.
Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin, hematokrit, indeks eritrosit, DDR, hapusan darah tepi, analisa Hb, Coombs test,
tesfragilitas osmotik, urin rutin, feses rutin,pemeriksaan enzim-enzim.
38
PENATALAKSANAANOrang dengan anemia hemolitik yang ringan mungkin tidak membutuhkan pengobatan
khusus selama kondisinya tidak jelek. Seseorang dengan anemia hemolitik berat biasanya
membutuhkan pengobatan berkelanjutan. Anemia hemolitik yang berat dapat menjadi fatal
jika tidak diobati dengan tepat.
Tujuan pengobatan anemia hemolitik meliputi:
- Menurunkan atau menghentikan penghancuran sel darah merah.
- Meningkatkan jumlah sel darah merah
- Mengobati penyebab yang mendasari penyakit.
Pengobatan tergantung pada tipe, penyebab dan beratnya anemia hemolitik. Dokter mungkin
mempertimbangkan umur, kondisi kesehatan dan riwayat kesehatan.
Transfusi darah
Transfusi darah digunakan untuk mengobati anemia hemolitik berat.
Obat-obatan
Obat-obatan dapat memperbaiki beberapa tipe anemia hemolitik, khususnya anemia
hemolitik karena autoimun. Kortikosteroid seperti prednison dapat menekan sistem imun atau
membatasi kemampuannya untuk membentuk antibodi terhadap sel darah merah. Jika tidak
berespon terhadap kortikosteroid, maka dapat diganti dengan obat lain yang dapat menekan
sistem imun misalnya rituximab dan siklosporin. Jika ter jadi anemia sel sabit yang berat
maka diberikan hydroxiurea. Obat ini mempercepat pembentukan fetal hemoglobin. Fetal
hemoglobin membantu mencegah pembentukan sel sabit pada sel darah merah.
Plasmapheresis
Plasmapheresis merupakan prosedur untuk menghilangkan antibodi dari darah. Pengobatan
ini mungkin membantu jika pengobatan lain untuk anemia imun tidak bekerja.
Operasi
Beberapa oarang dengan anemia hemolitik mungkin memerlukan operasi untuk mengangkat
limpa.limpa pada orang normal yang sehat membantu melawan infeksi dan menyaring sel
darah yang telah tua dan menghancurkannya. Pembesaaran atau penyakit pada limpa dapat
39
menghilangkan lebih banyak sel darah merah dari jumlah yang normal sehingga
menyebabkan anemia. Pengankatan limpa dapat menghentikan atau menurunkan jumlah sel
darah merah yang mengalami destruksi.
Transpalantasi stem sel darah dan sumsum tulang belakang
Pada beberapa tipe anemia hemolitik seperti talasemia, sumsum tulang tidak dapat
membentuk sel darah merah yang sehat. Sel darah merah yang terbentuk dapat dihancurkan
sebelum waktunya. Transplantasi darah dan sumsum tulang mungkin dapat dipertimbangkan
untuk mengobati jenis anemia hemolitik ini.transplantasi ini mengganti stem sel yang rusak
dengan stem sel yang sehat dari donor.
Perubahan pola hidup
Jika seseorang menderita anemia hemolitik dengan antibodi reaktif terhadap dingin, coab
untuk hindari temperatur dingin. Seseorang yang lahir dengan defisiensi G6PD harus
menghindari hal yang dapat mencetuskan anemia misalnya fava beans, naftalena, dan obat-
obatan tertentu.
c. Hepatitis Neonatal
Definisi
Neonatal hepatitis merupakan peradangan hati yang terjadi pada awal masa bayi,
biasanya satu sampai dua bulan setelah lahir.
Epidemiologi
Hepatitis neonatal biasanya menyerang bayi sejak lahir hingga usia 2 bulan. Sekitar
20 persen dari bayi yang mengalami hepatitis neonatal terinfeksi dengan virus yang
menyebabkan peradangan hati baik sebelum lahir dari ibunya, atau segera setelah lahir.
Etiologi
Virus yang dapat menyebabkan hepatitis neonatal pada bayi termasuk
sitomegalovirus, rubella (campak), dan hepatitis A, B dan C. Bayi-bayi dapat terinfeksi
dalam kontak dengan wanita hamil karena mungkin bahwa wanita bisa menularkan virus
kepada anaknya yang belum lahir.
40
Patofisiologi
Yaitu perubahan morfologi yang terjadi pada hati, seringkali mirip untuk berbagai
virus yang berlainan. Pada kasus yang klasik, hati tampaknya berukuran basar dan berwarna
normal, namun kadang-kadang agak edema, membesar dan pada palpasi “terasa nyeri di
tepian”. Secara histologi. Terjadi kekacauan susunan hepatoselular, cedera dan nekrosis sel
hati dalam berbagai derajat, dan peradangan periportal. Perubahan ini bersifat reversibel
sempurna, bila fase akut penyakit mereda. Namun pada beberapa kasus nekrosis, nekrosis
submasif atau masif dapat menyebabkan gagal hati fulminan dan kematian
Gejala Klinis
Bayi dengan hepatitis neonatal biasanya memiliki penyakit kuning (mata kuning dan
kulit) yang muncul di 1-2 bulan. Bayi juga biasanya disertai demam, urin berwarna gelap dan
feses berwarna pucat. Jaundice terjadi ketika aliran empedu dari hati tersumbat karena adanya
peradangan atau obstruksi saluran empedu. Selama empedu penting dalam pencernaan proses
lemak dan penyerapan vitamin ikut larut dalam lemak, anak dengan hepatitis neonatal
mungkin tidak bisa menambah berat badan ataupun tumbuh secara normal. Bayi juga akan
memiliki pembesaran hati dan limpa.
Alur Diagnosis
Serologi IgM anti HVA
Biokimiawi peningkatan pada nilai SGOT, SGPT , Bilirubin direk kadang bilirubin
indirek, fosfatase alkali dan gama-GT
USG abdomen untuk menyingkirkan kemungkinan lain
Diagnosis hepatitis neonatal pada awalnya didasarkan pada tes darah yang bertujuan
untuk mengidentifikasi infeksi virus yang mungkin menyebabkan penyakit tersebut. Dalam
kasus di mana tidak ada virus yang teridentifikasi, biopsy pada organ hati dilakukan. Hal ini
melibatkan pengambilan sepotong kecil hati menggunakan jarum khusus untuk diperiksa di
bawah mikroskop. Hasil biopsi sering akan menunjukkan bahwa kelompok empat atau lima
sel hati telah bergabung bersama untuk membentuk sel-sel yang lebih besar. Namun sel-sel
besar tetap berfungsi, pertumbuhan sell abnormal ini pada tingkat yang lebih rendah daripada
sel hati normal. Jenis hepatitis neonatal kadang-kadang disebut hepatitis sel raksasa.
Komplikasi
41
Bayi dengan hepatitis neonatal disebabkan oleh rubella atau sitomegalovirus berada
pada risiko mengembangkan infeksi otak yang dapat menyebabkan retardasi mental atau
cerebral palsy. Banyak bayi juga akan menderita penyakit hati permanen karena kerusakan
sel hati dan jaringan parut yang dihasilkan (sirosis).
Bayi dengan hepatitis neonatal kronis tidak akan mampu mencerna lemak dan
menyerap vitamin larut lemak (A, D, E dan K) sebagai akibat dari aliran empedu yang kurang
dan kerusakan yang terjadi pada sel hati. Kurangnya vitamin D akan menyebabkan tulang
rapuh dan rakhitis. Kekurangan vitamin A dapat mempengaruhi pertumbuhan normal dan
indra penglihatan. Defisiensi vitamin K berhubungan dengan memar dan kecenderungan
untuk perdarahan, sedangkan kurangnya hasil vitamin E berakhibat dalam koordinasi yang
buruk. Empedu bertanggung jawab untuk penghapusan banyak racun dalam tubuh, hepatitis
neonatal juga dapat menyebabkan penumpukan racun dalam darah yang pada gilirannya
dapat menyebabkan gatal, letusan kulit dan sensitiv.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan khusus untuk hepatitis neonatal. Istirahat yang cukup dan
suplemen vitamin biasanya diresepkan dan banyak bayi diberikan obat yang meningkatkan
aliran empedu. Resep obat yang mengandung lemak lebih mudah dicerna oleh tubuh juga
diberikan.
Prognosis
Sebagian besar bayi dengan hepatitis sel raksasa akan pulih dengan sedikit atau tanpa
jaringan parut pada hati. Pola pertumbuhan mereka juga akan membuat normal aliran
empedu. Namun, sekitar 20 persen dari bayi yang terkena akan terus berkembang ke
tingkatan kronis (sedang berlangsung) penyakit hati dan sirosis. Pada anak-anak, kerja hati
menjadi sangat sulit karena jaringan parut, dan penyakit kuning tidak menghilang selama
enam bulan. Bayi yang mencapai titik ini dalam penyakit akhirnya membutuhkan
transplantasi hati.
42
BAB IV
KESIMPULAN
Ikterus yang dialami pasien dalam skenario pada hari kedua kelahiran sebenarnya
adalah ikterus fisiologis, namun seharusnya ikterus tersebut hilang maksimal pada hari ke14.
akan tetapi ikterus tersebut tidak kunjung hilang sampai 1,5bulan, maka hal ini dikatakan
patologis yang dimungkinkan karena konsumsi ASI.
43
DAFTAR PUSTAKA
Benson, Ralph C. 2008. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : EGC.
Behrmann, Kliegman, Arvin. Anemia Hemolitik.Dalam: Ilmu Kesehatan Anak Textbook
of Pediatric edisi 15. EGC
Corwin, Elizabeth J.buku saku patofisiologi.2009.EGC:Jakarta
Domeika M. 2009. Guidelines for The Laboratory Diagnosis of Chlamidya trachomatis
Infections in East European Countries. Journal of The European Academy of
Dermatology and Venerology.
Guyton & hall. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC
Hadi, Sujono.2013.Gastroenterologi edisi 7 cetakan ke 3. Jakarta : PT. Alumni.
Kliegman Behrman. 2005. Ilmu kesehatan anak. Jakarta : EGC
Marcdante, Karen J. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Ed.6. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI.
Moore, Keith L. dkk. 2002. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta: Hipokrates
McPhee,Stephen J.2002.Patofisiologi penyakit.EGC;Jakarta.
Price, Sylvia A.Patofisiologi.2012.EGC:Jakarta
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jakarta:
EGC
Sudoyo, Aru et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: EGC
44
45