laporan diskusi tutorial skenario 2
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI TUTORIALBLOK 1 BUDAYA ILMIAH
SKENARIO 2
PENEGAKAN DIAGNOSIS BERDASARKANPRINSIP EVIDENCE BASED MEDICINE
Disusun Oleh :
Kelompok 8
Aulia Muhammad Fikri (G 0011045)
Azzam Sakif D (G 0011049)
Hermawan Andhika K (G 0011107)
Lina Kristanti (G 0011127)
Martha Oktavia Dewi (G 0011133)
Mega Aini Rahma (G 0011135)
Melinda Didi Y (G 0011137)
Mira Rizki Ramadhan (G 0011139)
Nadya Kemala Amira (G 0011145)
Reyhana M. B (G 0011167)
Sausan Hana Maharani (G 0011193)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET2011
I. PENDAHULUAN
Saat ini ilmu kedokteran berkembang sangat pesat. Hal ini menuntut para
pekerja medis untuk meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat,
sehingga kualitas kesehatan masyarakat membaik. Dalam menegakkan diagnosis,
seorang dokter harus menggunakan prosedur yang tepat serta menerapkan prinsip
Evidence Based Medicine (Kedokteran berbasis bukti).
Evidence Based Medicine adalah integrasi hasl-hasil penelitian terbaru dengan
subjek pasien dan kejadian klinik dalam membuat keputusan klinik. EBM
merupakan integrasi dari bukti-bukti riset terbaik (best research evidence),
ketrampilan klinis, dan nilai-nilai yang ada pada diri pasien (patient value).
Kasus dalam skenario 2 ini ada seorang wanita umur 45 tahun datang ke
Pusekesmas Rawat Inap dengan keluhan sesak napas. Riwayat penyakit sekarang
adalah tiga hari sebelum datang ke Puskesmas, penderita merasakan demam, kepala
pusing, batuk-batuk disertai dahak, badan terasa sakit semua dan 2 hari yang lalu
mulai merasakan sesak napas. Penderita tidak pernah merasa sakit seperti ini
sebelumnya. Penderita bekerja di peternakan ayam, dimana banyak ternak mati
mendadak. Pasien lalu dibawa ke Puskesmas dimana dokter A sedang bertugas.
Dokter A melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena sarana penunjang di
Puskesmas tidak lengkap, maka dokter A merujuk pasien untuk melakukan
pemeriksaan penunjang di laboratorium rumah sakit.
Pasien merasa keberatan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium ataupun
dirujuk ke Rumah Sakit, maka pasien datang ke praktek swasta dokter B. dokter B
melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik dan langsung menentukan sendiri
diagnosis dan obatnya.
Dalam kasus ini EBM diterapkan dalam menegakkan diagnosis yang sering
disebut Evidence Based Diagnosis (EBD), dimana setiap penegakan diagnosis
harus selalu didasarkan pada pertimbangan ilmiah yang tidak hanya menyangkut
jenis terapi yang akan digunakan setelah penegakkan diagnosis, tetapi juga faktor-
faktor yang memungkinkan adanya suatu pendekatan diagnosis. Sehingga akhirnya
dapat memberikan hasil yang optimal. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah
keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,riwayat penyakit dahulu, riwayat
penyakit keluarga, riwayat psikososial, dan informasi umum mengenai situasi
tempat tinggal pasien. Dengan demikian, pengambilan keputusan diagnosis menjadi
bagian penting dari keseluruhan proses yang bertujuan untuk menyembuhkan
penyakit, mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala penyakit, hingga
memperbaiki kualitas hidup pasien.
I. DISKUSI DAN STUDI PUSTAKA
A. DISKUSI
Skenario kedua ini membahas tentang penegakan diagnosis berdasarkan
prinsip-prinsip Evidence Based Medicine. Dalam kasus ini ada dua orang
dokter yang melakukan langkah yang berbeda dalam menegakkan
diagnosis. Dokter pertama atau dokter A menegakkan diagnosis dengan
tahapan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yaitu
pemeriksaan laboratorium. Sedangkan dokter B menegakkan diagnosis
dengan cara anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Kami menerapkan
prinsip seven jumps untuk dapat mengidentifikasi masalah ini. Hasilnya
adalah sebagai berikut :
Langkah 1: Klarifikasi istilah
Anamnesis : pengambilan data yang dilakukan
oleh seorang dokter dengan cara melakukan wawancara kepada
pasien dan keluarga pasien.
Pemeriksaan fisik : Merupakan pemeriksaan yang
umumnya dimulai dengan pemeriksaan vital sign, diikuti oleh
pemeriksaan anggota gerak dan organ utama(inspeksi, palpasi,
perkusi, auskultasi). Pemeriksaan fisik ini akan menghasilkan
diagnosis fisikal.
Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan yang dilakukan,
apabila setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik belum bisa
mendiagnosis penyakit tersebut secara valid. Tujuan pemeriksaan
penunjang adalah untuk menunjang anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Contoh-contoh pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan
laboratorium dan penyinaran (USG).
Riwayat penyakit sekarang : gejala-gejala tidak normal yang
dialami pasien mulai ketika dirasakannya keluhan sampai dengan
pasien memeriksakan diri ke dokter.
Evidence Based Diagnosis : integras hasil-hasil penelitian
terbaru dengan subjek pasien dan kejadian klinik dalam membuat
keputusan klinik
Diagnosis : kesimpulan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan Laboraturium : salah satu contoh pemeriksaan
penunjang yang dilakukan di laboratorium
Keluhan pasien : hal yang dirasakan sebelum
pasien memeriksakan diri ke dokter
Langkah 2 : Merumuskan permasalahan
1. Apa definisi EBM dan apa saja prinsip-prinsip EBM diagnosis?
2. Apa langkah-langkah EBM?
3. Dari kasus di atas terjadi perbedaan keputusan, tindakan dari dokter
manakah yang benar?
4. Mengapa EBM perlu diterapkan pada masyarakat?
5. Apakah pemeriksaan penunjang itu perlu dilakukan?
6. Apa saja manfaat EBM?
7. Bagaimana hubungan antara keluhan pasien dan riwayat penyakit di
lingkungan?
8. Bagaimana pelaksanaan pemeriksaan penunjang untuk masyarakat
yang tidak mampu?
9. Dari kasus dalam skenario di atas apakah keputusan dari masing-
masing dokter memiliki risiko?
10. Apa manfaat dari sensitifitas dan spesifisitas?
Langkah 3 : Analisis Masalah
1. EBM (Evidence Based Medicine) adalah proses secara sistematik melakukan
penelaahan, penilaian, dan menggunakan temuan-temuan/hasil penelitian
kesehatan/kedokteran mutakhir untuk membantu pengambilan keputusan dalam
pelayanan kepada pasien. Dalam praktek EBM, memadukan antara kemampuan
dan pengalaman di bidang kesehatan/kedokteran, dengan penemuan bukti-bukti
ilmiah terbaru yang dapat dipercaya. Hal tersebut digunakan dalam
pengambilan keputusan klinik dalam penanganan pasien. Tujuan EBM adalah
membantu para klinisi dan praktisi dalam pengambilan keputusan klinik, dengan
berdasarkan pada bukti-bukti yang terpercaya dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Prinsip-prinsip EBM:
- Bukti klinis: bukti riset yang baik, riset yang dipublikasiakan/ jurnal-jurnal,
- Ketrampilan klinis: mendiagnosis dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik
- Nilai-nilai dan ekspetasi pasien: kepedulian dan harapan terhadap pasien
karena EBM berorientasi pada pasien (patient oriented).
2. Langkah- langkah EBM :
o Menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berhubungan
dengan masalah (ask)
o Penelusuran informasi dan bukti-bukti ilmiah yang berkaitan dengan
masalah (acquire)
o Penelaahan terhadap bukti-bukti yang ada (appraise)
o Menerapkan hasil penelaahan ke dalam praktik pengambilan keputusan
klinis (apply)
o Melakukan evaluasi terhadap efektivitas dan interferensi (audit)
3. Dari kasus pada skenario kali ini dokter A dan dokter B sama-sama benar dalam
menangani pasien. Hanya saja penanganannya berbeda. Dokter A menerapkan
prinsip EBM, sedangkan dokter B hanya berdasarkan pada informasi yang
diterima dari pasien. Dalam hal ini pengalaman dan skills juga ikut berpengaruh.
4. Tujuan dari EBM sendiri adalah membantu para klinisi dan praktisi dalam
pengambilan keputusan klinik, dengan berdasarkan pada bukti-bukti yang
terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan. Tentunya dengan penerapan
prinsip-prinsip EBM kualitas pelayanan medis pada masyarakat akan semakin
membaik. Sehingga kualitas kesehatan masyarakat juga pasti meningkat.
5. Pemeriksaan penunjang merupakan suatu pemeriksaan yang dilakukan ketika
seorang klinisi masih ragu akan diagnosis penyakit. Pemeriksaan penunjang ini
dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis setelah dilakukan anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Jadi pemeriksaan sangat diperlukan ketika diagnosis
belum kuat.
6. Manfaat dari EBM diantaranya untuk menghindari hal yang tidak diinginkan
(bertambah buruknya keadaan pasien), mendapatkan efek yang sudah
diperhitungkan, melaksanaakan penanganan yang tepat, menghindari adanya
spekulasi serta menghindari trial and error.
7. Lingkungan sangat mempengaruhi keadaan pasien. Seperti pada kasus di atas,
dengan lingkungan yang seperti itu ada kemungkinan diagnosis yang berbeda.
Karena lingkungan bisa saja menjadi sumber dari penyakit atau mungkin
menjadi tempat penyebaran/penularan suatu penyakit.
8. Ketika seorang dokter memerlukan suatu pemeriksaan penunjang untuk
memperkuat diagnosis, tentunya dokter juga telah memberikan keputusan yang
terbaik kepada pasien. Misalnya dengan merujuk pasien ke rumah sakit yang
telah difasilitasi oleh pemerintah untuk melayani pelayanan kesehatan bagi
warga kurang mampu.
9. Pada dokter A, apabila dilakukan pemeriksaan penunjang dan ternyata hasilnya
sama dengan diagnosis sebelumnya tentu pemeriksaan penunjang yang
dilakukan dirasa buang-buang waktu, dan tenaga. Bahkan bisa saja malah
memperparah kondisi pasien karena terlalu lamanya penanganan.
Sedangkan pada dokter B yang langsung memberikan terapi kepada pasien hal
ini tentunya sangat berisiko ketika diagnosisnya salah. Risiko bertambah
parahnya penyakit atau bahkan kematian juga semakin besar.
10. Sensitivitas, spesifitas, likelihood ratio, dan predictive value
Keempat komponen di atas digunakan untuk mengukur akurasi dari sebuah tes
diagnostik. Akurasi ini akan berhubungan dengan penentuan bukti klinis terbaik
yang akan diterapkan pada pasien.
Langkah 4 : inventarisasi masalah
1. Pemeriksaan pada pasien sangat tergantung pada kondisi pasien.
2. Pemeriksaan penunjang diterapkan jika dokter masih kurang yakin akan
diagnosisnya. Dalam hal ini skills, science dan experience sangat berpengaruh
dalam penegakkan diagnosis. Selain itu dokter juga harus mampu
meyakinkan pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang ketika hal itu
sangat diperlukan.
KERANGKA BERPIKIR
Langkah 5: LO
1. Perumusan masalah ketika seorang dokter berhadapan pada pasien ketika
praktek.
2. Menganalisa hasil-hasil statistik EBM dalam rangka menentukan pemeriksaan
penunjang.
3. Langkah-langkah dalam menentukan diagnosis
4. Mengkritisi suatu sumber yang ada relevansinya dengan pasien
5. Pengambilan keputusan klinis berdasarkan EBM dan informasi
Anamnesis Pem. Fisik Pem. Penunjang Artikel Ilmiah Jurnal Ilmiah Teks book
MASALAH KLINIS
THERAPY
DIAGNOSIS
CRITICALS APPRAISAL
5. Evaluasi Hasil Penerapan
4. Penerapan Hasil Penelaahan
3. Penelaahan Bukti-bukti Ilmiah
2. Penelusuran Informasi/Bukti-bukti Ilmiah
1. Perumusan Pertanyaan
Langkah 6: mencari referensi jurnal ilmiah untuk menjawab LO
Langkah 7 : Menjawab LO
1. Rumusan masalah ketika berhadapan dengan pasien meliputi :
a. Mengidentifikasi data (introduction) pasien
Data yang dimaksudkan berupa nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan status perkawinan
b. Melakukan anamnesis (biasanya berupa keluhan utama yang dirasakan)
dan meminta keterangan mengenai riwayat pasien, yang meliputi:
i. Keterandalan
Keterandalan adalah kemampuan pasien mendeskripsikan apa yang
dirasakan berdasarkan daya ingat, tingkat kepercayaan, dan emosi
pasien. Keterandalan mencerminkan mutu informasi yang didaptakan
dari pasien.
ii. Keluhan utama
Keluhan utama biasanya mencakup satu atau lebih gejala yang
menyebabkan pasien pergi ke dokter
iii. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang meliputi:
a. Penjelasan mengenai keluhan utama
b. Pikiran dan perasaan pasien mengenai penyakitnya
c. Tinjauan sistem tubuh yang dilakukan oleh dokter
d. Penggunaan obat, alergi, kebiasaan merokok dan minum minuman
beralkohol
iv. Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit dahulu biasanya mencakup :
a. Daftar penyakit yang dialami pada masa kanak-kanak
b. Daftar penyakit saat dewasa, yang mencakup pembedaan obstetric,
ginekolohi, psikiatri, dan empat kategori medis
c. Praktik pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, tes skrining, dan
masalah gaya hidup
v. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga dapat mencakup catatan mengenai ada tidaknya
penyakit spesifik dalam keluarga.
vi. Riwayar personal dan sosial
vii. Tinjauan sistem tubuh
2.
Gambar : Perhitungan sensitivitas , specifisitas, dan predictive
value
1. Sensitivitas
Sensitivitas didefinisikan sebagai kemampuan dari suatu tes diagnostik
untuk mengidentifikasi mereka yang benar-benar sakit. Sensitivitas
adalah perbandingan yang dirumuskan sebagai berikut:
Sensistivitas : A/ (A+C)
2. Spesifisitas
Spesifisitas adalah kemampuan dari tes diagnostic untuk
mengidnetifikasi mereka yang benar-benar tidak sakit. Perhitungan
spesifitas dirumuskan sebagai berikut
Spesifisitas : D / (B+D)
3. Predictive value
Predictive value menentukan seberapa berguna tes diagnostik tersebut
dalam aplikasi klinisnya. Ada dua jenis predictive value yaitu positive
predictive value dan negative predictive value. Keduanya dirumuskan
sebagai berikut:
Postive Predictive Value : A / (A+B)
Negative Predictive Value: D/ (C+D)
4. Likelihood ratio
Jika Likelihood Ratio bernilai lebih besar dari satu menunjukkan bahwa
hasil tes terkait dengan penyakit tersebut, sedangkan jika Likelihood
Ratio bernilai kurang dari satu menunjukkan bahwa hasil etrsebut terkait
dengan tidak adanya penyakit.
Ada 2 jenis Likelihood Ratio, yaitu:
Likelihood Ratio + : Sensitivitas / (1-Spesifisitas)
Likelihood Ratio - : (1-Sensistivitas)/ Spesificitas
Postive Likelihood Ratio menunjukkan adanya kemungkinan penyakit
bila tes diagnosisnya positif, sedangkan Negative Likelihood Ratio
menunjukkan kemungkinan penykait bila tes diagnosisnya negatif.
3. Alur diagnosis :
a. Examination
Seorang dokter memeriksa pasien dengan mencari informasi
mengenai riwayat penyakit pasien, melakukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan apabila diperlukan melakukan
pemeriksaan penunjang.
b. Evaluation
Seorang dokter memberikan keputusan klinis terhadap
pemeriksaan yang telah dilakukan.
c. Diagnosis
Seorang dokter mendefinisikan kelompok, sindroma atau
katagori yang dapat membantu dalam prognosis dan terapi.
d. Prognosis (Including plan of care)
Dokter menentukan level optimal dari perubahan yang akan
dicapai melalui intervensi dan jumlah waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai level tersebut. Rencana
perawatan yang diambil akan menentukan intervensi yang
digunakan beserta frekuensi dan waktunya.
e. Intervention
Pemeriksaan ulang oleh dokter untuk menentukan metode
atau tehnik yang akan digunakan untuk merubah kondisi
pasien.
f. Outcomes
Hasil dari dampak terapi berupa kelebihan, kekurangan,
maupun kecacatan.
4. Mengkritisi suatu sumber yang ada relevansinya dengan pasien :a. Asking an answerable question
Dokter menanyakan riwayat penyakit pasien dan menggali
informasi mengenai pasien. Selain itu dokter kemudian
menyusun suatu pertanyaan yang bisa dijawab sendiri oleh
dirinya mengenai diagnosa sementara mengenai penyakit
pasien.
b. Selecting an evidence resources
Memilih sumber referensi bukti penelitian ilmiah yang sudah
diuji kebenarannya.
c. Executing the search strategy
Dokter memilih strategi yang tepat dalam penelusuran
pustaka ilmiah, sehingga dapat efisien waktu dan
energi.
d. Examining the evidence summary
Memeriksa validitas suatu pustaka ilmiah dengan
mengetahui “Level of Evidence”
e. Application of the evidence
Mengaplikasikan apa yang didapat dari penelusuran pustaka
ilmiah terhadap pasien.
5. Pengambilan keputusan klinis berdasarkan EBM dan informasi
Pada skenario ini ,masalah yang dihadapi adalah bagaimana menggunakan
prinsip-prinsip EBM dalam menegakkan diagnosis. Ada perbedaan cara yang
dilakukan oleh dua orang dokter untuk menangani masalah pasien. Dokter A
merujuk pasien untuk melakukan pemeriksaan penunjang, sedangkan Dokter B
langsung menentukan obatnya. Dalam konteks ini, pemeriksaan penunjang
diperlukan untuk akurasi diagnosis. Jadi, dokter yang telah menerapkan prinsip-
prinsip EBM adalah Dokter A yang meninjau secara sistematik,
mengapresiasikan, dan memakai hasil penelitian untuk membantu mendapatkan
terapi klinik yang paling optimal untuk pasien sesuai dengan pengertian EBM
itu sendiri. Langkah-langkah : pengumpulan data (anamnesis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang); pengolahan data; pengembangan daftar masalah.
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang dalam
mendukung anamnesis dan pemeriksaan fisik.
B. STUDI PUSTAKA
A. Evidence-Based Medicine
Evidence Based Medicine (EBM) adalah suatu proses
sistematis dalam pencarian, penilaian, dan penggunaan temuan
penelitian kotemporer sebagai dasar dalam membuat
keputusan klinis. Sederhananya, EBM adalah penggunaan
secara bijaksana bukti terbaru dan terbaik dalam pembuatan
keputusan perawatan seorang pasien. (Kathmandu University
Medical Journal, 2006)
EBM merupakan integrasi dari 3 unsur, yaitu bukti klinis
(research evidence), keterampilan klinis (clinical expertise),
serta Patient Values. Bukti klinis (research evidence) adalah
bukti yang berdasarkan hasil riset klinis yang berorientasi
kepada pasien. Keterampilan klinis (clinical expertise) adalah
kemampuan kita untuk mengaplikasikan kemampuan klinis dan
pengalaman kita. Patients values adalah pilihan, kepedulian,
dan harapan dari setiap pasien. (Sackett, et al, 2001)
Menurut Sackett et al dalam Selvaraji et al (2010), pelaksanaan EBM
memiliki langkah-langkah sebagai berikut:
a. Langkah 1 : Menentukan pertanyaan klinis (PICO)
1) Patient
2) Intervention
3) Comparison
4) Outcome
b. Langkah 2 : Mencari bukti klinis yang dapat menjawab pertanyaan
klinis tersebut
c. Langkah 3 : Menelaah dan menilai apakah bukti tersebut valid dan
penting
Kriteria penilaian bukti klinis yang valid dapat ditentukan
berdasarkan:
1) Apakah dilakukan suatu pembanding yang independen dan blind
dengan standar referensi diagnosis ?
2) Apakah tes diagnosis ini dievaluasi pada spektrum pasien yang
tepat (seperti pada pasien yang biasanya kita ukur dengan tes
tersebut ?
3) Apakah standar referensi diaplikasikan terlepas dari hasil tes
diagnosis ?
4) Apakah tes (atau kelompok tes) divalidasi dalam kelompok
pasien yang kedua yang independen ?
d. Langkah 4 : Menerapakan bukti klinis terbaik tadi kepada pasien
e. Langkah 5: Menilai dan mengevaluasi langkah 1 -4
B. Evidence-Based Diagnostics
Diagnosis adalah penentuan suatu sifat penyakit dan mencakup kemampuan
dalam membedakan penyakit yang satu dengan yang lain. (Kamus Kedokteran
Dorland edisi 31). Sedangkan yang dimakasud dengan clinical diagnosis adalah
suatu proses dalam menemukan dan menentukan karakteristik suatu penyakit
berdasarkan tanda-tanda, gejala, dan pemeriksaan laboratorium. (Kiran Reddy)
Diagnosis suatu penyakit harus didasarkan pada
gejala,tanda, pemeriksaan fisik dan beberapa pemeriksaan
penunjang. Informasi tentang karakteristik dan penggunaan
prosedur dan test diagnostik pada pemeriksaan penunjang
dapat membantu klinisi menentukan diagnosis yang tepat. Test
diagnostik membantu seorang klinisi untuk memperkirakan
suatu penyakit.
Tes diagnostik yang tepat berdasarkan pada:
a. Informasi tentang karakteristik tes diagnostik.
b. Penggunaan prosedur tes diagnostik.
c. Jenis tes diagnostik.
(Sugiarto, dr., Sp. PD, 2011)
Berdasarkan pendapat Kiran Redy, ada beberapa langkah dalam
melakukan diagnosis, yaitu:
a. Mengidentifikasi data (introduction) pasien
Data yang dimaksudkan berupa nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,
dan status perkawinan
b. Melakukan anamnesis (biasanya berupa keluhan utama yang
dirasakan) dan meminta keterangan mengenai riwayat pasien, yang
meliputi:
1) Riwayat penyakit dahulu
2) Riwayat penyakit sekarang
3) Riwayat pemakaian obat
4) Riwayat penyakit keluarga
5) Riwayat sosial
c. Melakukan pemeriksaan fisik
Seorang klinisi akan mengawali pemeriksaan fisik dengan
pemeriksaan fisik umum yang dilakukan menggunakan langkah
berikut:
1) Inspeksi : Mengamati pasien dari atas sampai bawah untuk
melihat tanda-tanda klinis
2) Palpasi : Meraba bagian tubuh pasien
3) Perkusi : Menemukan tanda keabnormalan pada pasien dengan
mendengarkan resonansi pada tubuh pasien (menggunakan jari
tengah)
4) Auskultasi : Menemukan suara-suara abnormal dari tubuh pasien
dengan menggunakan stetoskop
Setelah melakukan pemeriksaan fisik umum, klinisi akan melakukan
langkah pemeriksaan sistemaik yang meliputi pemeriksaan rambut,
kulit, THT, CNS,CVS, GI, dan lain-lain.
d. Menganalisa data pasien
e. Melakukan differential diagnosis dan provisional diagnosis
f. Melakukan pemeriksaan lebih lanjut (pemeriksaan penunjang),
meliputi pemeriksaan laboratorium
Langkah ini dilaksanakan apabila benar-benar diperlukan. Tes
penunjang ini dapat memperkuat diagnosis klinisi dan menentukan
terapi apa yang bisa diterapkan untuk pasien.
g. Menegakkan diagnosis kepada pasien
C. SIMPULAN
a. Untuk memilih sumber informasi yang akan dipilih dalam mengobati
pasien, kita harus melihat validitas dari sumber tersebut
b. Langkah-langkah dalam mendiagnosis pasien yaitu pemeriksaan fisik,
evaluasi, diagnosis, prognosis, intervensi dan hasil.
c. Dalam memberikan terapi kepada pasien, digunakan metode Evidence
Based Medicine yang berbeda-beda kepada setiap pasien dan tergantung
pada kondisi pasien
d. Dokter A dan dokter B sama-sama benar dalam menangani pasien, tetapi
masing-masing menggunakan metode yang berbeda. Dokter A
berdasarkan Evidence Based Medicine sedangkan dokter hanya berdasar
pada informasi dari pasien.
D. SARAN
a. Dokter A sudah benar dalam menangani pasien, karena sudah
berdasarkan metode Evidence Based Medicine. Akan tetapi, dokter A
kurang terampil dalam berkomunikasi dengan pasiennya. Sehingga
pasien tidak menuruti anjuran dokter A. Seharusnya dokter A bisa
meyakinkan pasien untuk periksa ke laboratorium Rumah Sakit.
b. Dokter B juga sudah benardalam menangani pasien. Akan tetapi dia
memberikan terapi berdasarkan informasi pasien, anamnesis,
pemeriksaan fisik tanpa pemeriksaan penunjang. Hal ini dapat berbahaya
jika ternyata pasien memiliki gejala penyakit lain/alergi obat. Sebaiknya
sebelum memberikan terapi, dokter B melakukan pemeriksaan lebih
lanjut untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Hendaknya seorang dokter menerapkan prinsip Evidence Based Medicine
(EBM) dalam menegakkan diagnosis sehingga dapat menentukan terapi
klinik yang paling optimal untuk pasien. Selain itu perlu adanya fasilitas
dan sarana klinik yang memadai dalam menerapkan Evidence Based
Medicine (EBM).
DAFTAR PUSTAKA
Belsey, Jonathan. 2009. What is evidence-based medicine?http://www.medicine.ox.ac.uk/bandolier/painres/download/whatis/ebm.pdf [diakses pada 20 September 2011]
Bickley, Lynn S. 2009. Bates Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan Edisi 8. Jakarta: Jakarta EGC
Campbell, Earl W. 1990. The Physical Examination. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK361/pdf/ch4.pdf [diakses pada 20 September 2011]
Dorlan, W.A Newman. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC
Israni, Ruben K. 2007. Guide to Biostatistic. http://www.medpagetoday.com/Medpage-Guide-to-Biostatistics.pdf [diakses pada 20 September 2011]
Mangunnegoro, Hadiarto. 2009. Pedoman Diagnosis dan PenatalaksanaanInfluenza A Baru (H1N1). www.depkes.go.id/ h1n1 [diakses pada 20 September 2011]
McQuay, Henry. 2001. Evidence-based medicine: What is the evidence that it has made a difference? http://pmj.sagepub.com/content/25/5/394.abstract [diakses pada 20 September 2011]
Selvaraj, Sanchaya. 2010. Evidence-based medicine - a new approach to teach medicine: a basic review for beginners. http://biolmedonline.com/Articles/vol2_1_1-5.pdf [diakses pada 20 September 2011]
Wijaya Rahmadi. 2007. Penggunaan Sistem Pakar dalam Pengembangan portal Informasi untuk Spesifikasi Jenis Penyakit Infeksi. http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-informatika/article/.../pdf [diakses pada 20 September 2011]
Zakowski, Laura. 2004. Evidence-based medicine: Answering Questions of Diagnosis. http://www .ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1069073/ [diakses pada 20 September 2011]