laporan diskusi kasus 1 kelompok ! bhl 5
TRANSCRIPT
LAPORAN DISKUSI KASUS 1
BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW V
( BLOK BHL V )
Tutor :
dr. Retno Widiastuti, MS
Oleh :
Kelompok 1
Prasastie Gita W (G1A009023)Gizza Dandy Pradana (G1A009024)Yulita Swandani Aziz (G1A009032)Bagus Sanjaya H (G1A009033)Masrurotut Daroen (G1A009036)Sudjati Adhinugroho (G1A009051)Femy Indriani (G1A009052)Siska Lia Kisdiyanti (G1A009065)Herlinda Yudi Saputri (G1A009080)Handiana Samanta (G1A009100)Argo Mulyo (G1A009111)
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER
PURWOKERTO
2012
BAB 1 LATAR BELAKANG
Istilah euthanasia ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “EUTHANATOS”.
Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos berarti mati, arti harfiahnya adalah mati
baik . Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia itu adalah mati dengan tenang,
atau dapat didefinisikan sebagai “a good in dead” (Nadeak, 2004).
Sejauh ini Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia.
Euthanasia atau menghilangkan nyawa atas nama permintaan diri sendiri sama
dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan sejauh ini masih
menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia
dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.
Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia
adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa
fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi
mati ini merupakan definisi yang berlaku di Indonesia.
Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat
yang beriman dengan ama Tuhan di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi
obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan
pasien sendiri & keluarganya.
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti
adalah:
A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga
kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan
tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat
peraturan perundangan.
B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya
menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau
menunda operasi.
C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk
menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia
membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada
dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan
untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan
sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344
KUHP.
BAB II PEMBAHASAN
Kasus 1 :
The Brain-Dead Patient And The Family's Dilemma
Physician: There is a patient in the ward who is on ventilator. He is around 40-45
years. He suffered major injuries is now brain dead. The family members have
been explained everything. They are in a dazed state and don't know what to do.
Probably, their heart does not allow them to let their loved one go and take the
responsibility of switching off the ventilator.
Interviewer: So what do your colleagues have to say on that?
Physician: We cannot do anything. We may discuss it among ourselves but it is
pointless. Switching off the ventilator is euthanasia which is not permitted. It also
depends upon the family. If they are well educated and reconciled to the idea, then
some of them do decide that, OK, you can switch off the support system. But it
can go on for days or weeks. In the past, whenever this situation came up, it has
gone on like this. Ultimately, when the patient's heart failed, Nature took the final
decision.
Questions
1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in this
case if it is needed by another patient?
2. Should the group be assisted by a person with legal expertise?
3. Discuss legal versus ethical issues in this case.
Terjemahan
Pasien Mati Batang Otak Dan Dilemma Keluarganya
Dokter: ada seorang pasien di bangsal yang dipasangi ventilator, usianya
sekitar 40-45 tahun. Dia mengalami mati batang otak. Keluarga pasien telah
diberitahukan mengenai keadaan ini. Mereka dilemma dan tidak tahu tahus
berbuat apa. Mungkin, hati nurani mereka belum mengiklaskan kepergian orang
yang mereka cintai, dan menolak untuk melepaskan ventilator
Pewawancara: jadi bagaimana sudut pandang rekan kerjamu?
Dokter: kamipun tidak dapat melakukan apapun. Kamipun sudah
mendiskusikan ini semua, tapi berakir buntu. Menghentikan ventilator sama saja
dengan euthanasia, yang tidak diijinkan. Selain itu, keputusan ini juga sangat
bergantung keluarga pasien. Jika mereka telah memahami keadaan, dan beberapa
bersedia untuk menghentikan ventilator, maka kami bisa menghentikan ventilator
pasien ini. Tapi untuk mengambil keputusan semacam ini, keluarga pasien bisa
menghabiskan waktu beberapa hari hingga berminggu-minggi. Akhirnya, jika
sampai waktunya jantung berhenti berdetak, maka takdirlah yang dapat
memutuskan.
Questions (Pertanyaan)
1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in
this case if it is needed by another patient? Dapatkah sekelompok dokter
mengambil keputusan dalam melepas ventilator pada kasus ini jika ventilator
tersebut dibutuhkan oleh pasien lain?
Jawab
Untuk memutuskan penghentian ventilator pada pasien tersebut tidak
bisa diputuskan hanya oleh beberapa dokter saja, tetapi diperlukan keterlibatan
dari pihak hukum atau instansi yang terkait dengan mempertimbangkan aspek
etik, social dan agama, meskipun ada pasien lain yang memerlukan ventilator
tersebut. Kalau memang pasien tersebut sudah mati batang otak dan tidak ada
harapan untuk sembuh lagi, Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga
pasien dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian
peralatan tersebut perlu dihentikan, dan ada pasien yang lebih membutuhkan
alat ventilator tersebut.
Penghentian ventilator ini bisa dianggap sebagai euthanasia pasif.
Euthanasia menurut KODEKI pasal 12 bab II adalah melakukan perbuatan
yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau
keluarganya. Ada tiga jenis pelaksanaan euthanasia, yaitu euthanasia pasif,
euthanasia non-aktif, dan euthanasia aktif. Istilah lain untuk euthanasia pasif
ialah euthanasia tidak langsung, sedangkan euthanasia non-aktif dan aktif bisa
dianggap euthanasia langsung. Euthanasia pasif diartikan sebagai euthanasia
yang dilakukan dengan cara menghentikan pemberian obat atau pemberian obat
yang terbukti mempunyai kemungkinan untuk membunuh, tetapi juga
diperlukan untuk membantu pasien menjadi sembuh. Euthanasia non-aktif
ialah euthanasia yang dilakukan dengan cara mematikan mesin life support,
yang sudah tentu akan menyebabkan kematian pasien.
Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan
bertentangandengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup adalah
semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau
institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan
penderitatersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan
tidak memiliki hak untuk mati. Oleh karena itu di Negara Indonesia, euthanasia
masih dilarang. Apabila dokter terpaksa harus melakukan ini, maka benar-
benar harus dengan persetujuan keluarga pasien dengan menandatangani
informed consent dan disertai dengan keterlibatan instansi terkait, baru
ventilator bisa dihentikan meskipun ada pasien yang lebih membutuhkan.
2. Should the group be assisted by a person with legal expertise? Haruskah
kelompok tersebut dibantu oleh orang yang mempunyai keahlian dalam bidang
hukum?
Jawab
Harus, karena kapasitas untuk mengambil keputusan merupakan aspek
etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan
keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan
bukan atas dasar label diagnosis.
Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai
aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll)
maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan
penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi
dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif &
dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan
nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, &
tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,
tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam
menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan
perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan
Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia
dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis
yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu
sendiri.
Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter
Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum
tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan
pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki
pandangan & kebijakan yang berlainan.Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal
338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk
membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa
dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan
berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni
pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus
idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda
yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus
itulah yang dikenakan.
Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi
generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang
sifatnya umum.
3. Discuss legal versus ethical issues in this case. (Diskusikan masalah hukum
dan masalah etika yang ada pada kasus ini)
Jawab
Dalam kasus ini, issue ethic yang dilanggar dokter adalah:
a. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak
untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.
Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi apabila pasien
dalam keadaan koma dan tidak kompeten dalam mengambil keputusan
maka dibantu oleh pendapat keluarga dekat. Pada kasus ini apabila dokter
menghentikan ventilator tersebut maka melanggar hak otonomi pasien, dan
apabila ventilator ini tetap dipasang tidak dihentikan pihak dokter juga
melanggar hak otonomi pasien lain yang lebih membutuhkan.
b. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan harus memberikan perlakuan yang sama
bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita
secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang
tidak relevan. Dalam kasus ini keadilan baik bagi pasien dengan
penghentian ventilator dilanggar, begitu juga sebaliknya apabila pasien yang
lebih membutuhkan ventilator tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang
menjadi haknya.
Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif
maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan
euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam
KUHP tersebut (Hanafiah, 1999 ; Samil, 2001):
a. Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain
karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun.”
b. Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu
menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan
berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau
penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”
c. Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan
orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh
dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”
d. Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh
diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau
orang itu jadi bunuh diri.”
e. Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau
kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau
pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”
Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis
yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis
dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran
dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan
medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada
manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis,
& dapat dijerat hokum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan yang
berbunyi :
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun
delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Hubungan hukum dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata,
yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan
yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan
bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas
dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan
medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP
tentang penganiayaan. Tindakan menghentikan perawatan medis yang
dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah
tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, dan bukan maksud
untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien
Kasus 2 :
The Terminal Patient Who Did Not Die
Physician: We had a patient with chronic obstructive airway disease who
developed pneumothorax and she was put on a ventilator. She was in her early
sixties and able to communicate. We managed her on the ventilator, but it was
very difficult to wean her away from the ventilator. Ultimately we discussed with
the patient's relatives that she may not make it. If the relatives agreed, we could
switch off the ventilator. The husband of the patient said: "You see, she is going
to die if you switch off the ventilator. But I will not be able to excuse myself if I
let you remove the life support. For my whole life I will feel guilt. So please,
continue the ventilator till she improves or dies." To my surprise she recovered
very well and I have subsequently discharged her.
This case is a good example of a conflict between limited resources and the nature
of the disease itself. We can say that we cannot waste our resources by pulling on
with a patient for a long time. This was a collective decision. All involved staff
thought that it was wise to switch off the ventilator, but, retrospectively, I can see
that it would have been a wrong decision.
Questions
1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean off the
patient from the ventilator at the time they made it, in light of the scarce
resources available?
2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to wean
off a patient from the ventilator, expecting the patient to subsequently die, if
the patient is not brain-dead?
Terjemahan
Seorang pasien menderita chronic obstructive airway disease yang
berkembang menjadi pneumothoraks dan dia memakai ventilator. Pasien ini
berumur 60-an tahun. Dokter beranggapan sulit untuk menyapih pasien jauh dari
ventilator. Pada akhirnya, dokter berdiskusi dengan keluarga pasien bahwa ia sulit
untuk bertahan. Jika keluarga setuju, maka dokter akan mematikan ventilator.
Namun suami pasien tetap menginginkan ventilator dipasang sampai pasien
sembuh atau meninggal. Ternyata pasien tersebut sembuh dengan baik dan dapat
kembali ke rumah.
Kasus ini adalah contoh yang baik dari konflik antara sumber daya yang
terbatas dan sifat suatu penyakit. Dokter dapat mengatakan bahwa kita tidak dapat
membuang-buang sumber daya yang terbatas untuk dipakai seorang pasien dalam
jangka waktu lama. Ini adalah keputusan kolektif. Semua staf yang terlibat
berpikir bahwa mematikan ventilator adalah hal yang tepat. Tapi secara
retrospektif, keputusan itu akan menjadi keputusan yang salah.
Questions (Pertanyaan)
1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean
off the patient from the ventilator at the time they made it, in light of the
scarce resources available? Apakah anda berfikir bahwa dokter dibenarkan
dalam keputusan mereka untuk menyapih pasien dari ventilator, mengingat
sumber daya yang langka tersedia?
Jawab
Kami tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter
tersebut, mengingat pasien masih bisa berkomunikasi, tidak mati batang otak,
dan pihak keluarga pun tidak menyetujui tindakan penyapihan tersebut. Jika
dokter tetap melepas ventilator tersebut maka tindakan dokter tersebut dapat
dianggap sebagai euthanasia aktif yang mana hal tersebut dilarang di
Indonesia, menurut IDI dan KUHP.
KODEKI pasal 7D yang berbunyi “Setiap dokter harus senantiasa
mengingat akan kewajiban melindungi hidup nmakhluk insani”, pada
penjelasan dan pedoman pelaksanaannya secara jelas tertulis sebagai berikut:
“Baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik
Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan (KODEKI, 2004):
a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)
b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan
tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)
Menurut penjelasan dari pasal 7D KODEKI, dokter harus mengerahkan
segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan
memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.
Menurut KODEKI pula, Indonesia sebagai negara yang berazaskan
Pancasila, dengan sila pertama adalah Ketuhana Yang Maha Esa, tidak dapat
menerima tindakan euthanasia aktif. Mengenai euthanasia pasif masih
merupakan daerah kelabu atau ambigu. Di satu sisi dapat dianggap sebagai
perbuatana amoral, namun disisi lain dianggap perbuatan yang mulia karena
dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau mengakhiri penderitaan pasien,
dengan membiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah
(KODEKI, 2004).
Saat menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan teknologi
kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan,
hendaknya dokter berpegang pada pedoman sebagai berikut (KODEKI, 2004):
a. Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya
dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.
b. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak
berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, maka upaya perawatan
pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan
lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan
penderitaan.
c. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,
tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun
dokter wajib untuk terus merawatnya.
d. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan
seringan mungkin dan apabila pasien meninggal, seyogyanya bantuan
diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan.
e. Bahwa dalam menghadapi pasien yang secara medis tidak memungkinkan
lagi untuk disembuhkan, disarankan untuk memberikan perawatan hospis
(hospice care).
Euthanasia, baik euthanasia pasif maupun aktif, dalam pandangan hukum
positif di Indonesia belum mendapat tempat yang diakui. Hal tersebut dapat
dilihat secara tersirat dari berbagai pasal KUHP di bawah ini (Rohim, no date):
a. Pasal 344 KUHP:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang
itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
pidana penjara paling lama 12 tahun.”
Secara tersirat pada pasal tersebut menjelaskan bahwa sekalipun
pengakhiran hidup atas permintaan orang itu sendiri (euthanasia) akan
tetap dijatuhi hukuman penjara.
b. Pasal 340 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu
merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana,
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama 20 tahun”
c. Pasal 356 (3) KUHP:
“penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang
berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”
d. Pasal 304 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan
seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku
baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,
perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana
penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau dengan paling banyak tiga ratus
rupiah.”
Tindakan dokter yang menginginkan ventilatior dilepas dengan
alasan kekurangan sumber daya pun patut dipertanyakan, apakah rumah
sakit yang kekurangan fasilitas ventilator bisa disebut sebagai rumah sakit
yang layak. Kalaupun dokter menginginkan pelepasan ventilator, maka
dokter harus mengajukan permohonan tersebut ke pengadilan. Namun, dari
beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia mengenai permohonan
euthanasia, belum ada yang mendapat ijin dari pengadilan.
2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to
wean off a patient from the ventilator, expecting the patient to
subsequently die, if the patient is not brain-dead? Dalam keadaan apa (jika
ada) yang Anda menemukannya etis dibenarkan untuk menyapih pasien dari
ventilator, mengharapkan pasien untuk kemudian mati, jika pasien tidak mati
otak?
Jawab
Penyapihan adalah proses pelepasan dukungan mesin ventilator dan
mengembalikan kerja pernafasan dari ventilator ke pasien. Kriteria bernafas
spontan adalah kriteria untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dari
percobaan penyapihan. Keberhasilan penyapihan berarti pasien mampu
mempertahankan pernafasan spontan untuk periode waktu tertentu. Kegagalan
penyapihan berarti pasien harus kembali mendapat dukungan mesin ventilasi
sesudah satu periode tertentu dengan pernafasan spontan yang tidak terus-
menerus (Hanafie, 2006).
Jika konteks menyapih dalam hal ini berfungsi untuk mengembalikan
kerja pernafasan seperti semula, yaitu nafas spontan, maka hal tersebut
dibenarkan dengan kriteria penyapihan sebagai berikut (Hanafie, 2006):
Category Examples Values
Ventilatiry criteria PaCO2 <50 mmHg with normal
pH
Vital capacity >10-15 ml/kg
Spontaneous Vr >5-8 ml/kg
Spontaneous RR (f) <30/min
Minute ventilation <10L
Oxygenation criteria PaO2 without PEEP >60 mmHg
PaO2 with PEEP >100 mmHg
SaO2 >90%
Qs/Qt <20%
P(A-a)O2 <350 mmHg
PaO2/FiO2 >200 mmHg
Pulmonary reserve Max.voluntary vent. 2x/min
Max. insp.essure >-20 to n-30 cm H2O in
20 sec.
Pulmonary
measurements
Static compliance >30 ml/cm H2O
Airway resistance Obeserve trend
VD/VT <60%
Tabel 1. Kriteria Penyapihan
Namun apabila tanda-tanda penyapihan gagal terjadi, ventilator harus
segera dipasang kembali. Tanda-tanda awalnya adalah takpneu dan pergerakan
otot perut yang paradoxal, dispneu, chest pain, dada-perut asinkron, dan
diaphoresis (Hanafie, 2006). Apabila konteks penyapihan berarti penghentian
pemasangan ventilator maka tindakan tersebut tidak dibenarkan secara hukum
maupun etik di Indonesia.
Pada negara lain seperti Belanda dan negara bagian Amerika yaitu
Oregon memiliki kriteria penyapihan selain karena mati batang otak, yaitu:
a. Penyakit susah untuk diobati
b. Penyakit stage terminal
c. Sakit amat sangat, sehingga hanya dengan morfin, sakit tersebut dapat
berkurang
d. Penilaian dokter spesialis minimal 2
Kasus 3 :
The Terminal Cancer Patient
Physician: I have been seeing a patient for the last 10 days. This patient has
carcinoma. Six months ago when he was operated outside, the impression given
by the surgeon to the patient was that there was some kind of a blockage in the
intestine and that it had been corrected. Five months later, he came up with a lump
in the abdomen and after that he developed jaundice. He has now come to us with
a huge lump with jaundice. There are different options available but none of them
is very safe and none of them is going to help on a long-term basis. I am sure he is
going to die. He has a confirmed cancer. It is not curable, and it is not treatable.
So, should you palliate his symptoms and to what extent. In this case, his relatives
are very keen that he is not told what is happening to him. I can't give him any
hope and I feel very bad telling him that I can't do anything. I have already told
the relatives. But if he asks me directly, "Am I going to live? Am I going to die?
Do I have a cancer?", then I will tell him the truth. But if he doesn't, then I will
probably end up telling only his relatives.
There have been occasions when after the patient has spent about 40 to 50,000 or
100,000 and goes back home, the relatives ask you the question: "have we
achieved anything after we have spent so much money, and should we continue to
spend not knowing when it will end?" I often tell myself that I cannot play God.
Here you come across situations where a poor man has 40,000 in his bank, he's
got a house and if he dies he's going to leave behind three children and a wife who
doesn't earn. So is it worth that his family spends all of that on him and then be
out on the street after he dies?
Questions
1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the patient
himself the choice of treatment?
2. Does it make a difference that the treatment is very expensive?
Terjemahan :
Pasien Kanker Terminal
Dokter: Saya telah melihat pasien selama 10 hari terakhir. Pasien ini
memiliki karsinoma. Enam bulan lalu ketika ia dioperasi di luar, hasil yang
diberikan oleh ahli bedah untuk pasien ini adalah bahwa ada semacam
penyumbatan pada usus dan bahwa hal itu telah ditangani. Lima bulan kemudian,
ia datang dengan benjolan di perut disertai dengan ikterik. Dia kini datang kepada
kami (dokter) dengan benjolan yang sudah besar disertai dengan ikterik. Ada
pilihan yang tersedia tetapi tidak satupun dari pilihan itu yang aman dan tidak
satupun dapat menolong pasien dalam jangka panjang. Saya yakin pasien ini akan
meninggal. Dia telah terkonfirmasi kanker. Hal ini tidak dapat disembuhkan, dan
tidak dapat diobati. Jadi, sebaiknya kami meringankan gejala dan melihat sampai
sejauh mana. Dalam hal ini, keluarganya menyarankan bahwa pasien tidak
diberitahu apa yang terjadi padanya. Saya tidak bisa memberinya harapan dan
saya merasa sangat tidak enak mengatakan kepadanya bahwa saya tidak dapat
melakukan apapun. Saya sudah mengatakan kepada keluarganya. Tapi jika ia
menanyakan secara langsung, "apakah saya akan hidup, apakah saya akan mati?
apakah saya kanker?", Maka saya akan mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika
dia tidak bertanya, maka saya mungkin akan hanya memberitahu keluarganya.
Ada kesempatan ketika setelah pasien telah menghabiskan sekitar 40
sampai 50.000 atau 100.000 dan pulang ke rumah, keluarga menanyakan: "apa
yang telah kita capai setelah kita menghabiskan begitu banyak uang, dan haruskah
kita terus menghabiskan yang kita punya dan tidak tahu kapan semua itu akan
berakhir? "Saya sering mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tidak dapat
berperan sebagai Tuhan. Di sini kita menemukan situasi di mana orang miskin
hanya memiliki 40.000 di bank, dia punya sebuah rumah dan jika dia meninggal
dia akan meninggalkan tiga anak dan seorang istri. Jadi apakah itu layak bahwa
keluarganya menghabiskan semua itu untuknya dan kemudian keluar di jalan
setelah kepala keluarganya meninggal?
Questions (Pertanyaan)
1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the
patient himself the choice of treatment? Apakah Anda setuju dengan posisi
dokter di sini bahwa dia tidak akan memberikan pasien sendiri pilihan
pengobatan?
Jawab
Dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya
pada pasien. Jika pasien tidak kompeten, maka harus diberitahukan kondisi
pasien pada keluarga pasien. Sedangkan pada kasus, dokter mau
memberitahukan pada pasien tentang kondisinya jika pasien tersebut bertanya
pada dokter. Namun jika pasien tidak bertanya, dokter tidak akan
memberitahukan pada pasien tentang kondisinya. Hal ini disebabkan keluarga
pasien tidak memperbolehkan dokter memberitahukan pasien tentang
kondisinya sekarang. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban dokter,
dimana dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya.
Namun, hal ini juga tergantung minat pasien. Jika pasien tidak ingin tahu
tentang kondisi kesehatannya, dokter tidak perlu memberitahukan kondisi
kesehatan pasien pada pasien.
Jika pasien ingin tahu informasi tentang penyakitnya tetapi dokter tidak
mau memberitahukan informasi penyakit pasien, dokter tersebut tidak
memberikan hak pasien yaitu memberikan informasi terhadap kondisi pasien,
maka dokter tersebut akan melanggar KODEKI pasal 7c, “seorang dokter
harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga
kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien”.
Jika dokter akan mengambil tindakan, pasien dan keluarga harus diberi
pengetahuan tentang biaya, tujuan, manfaat, kerugian tindakan tersebut agar
dapat mengambil keputusan yang tepat. Tetapi menurut KUHP pasal 351,
perawatan medis yang tidak ada manfaatnya termasuk penganiayaan karena
merusak kesehatan.
2. Does it make a difference that the treatment is very expensive? Apakah itu
membuat perbedaan bahwa pengobatan ini sangat mahal ?
Jawab
Jika harga terapi mahal, dokter jangan merendahkan pasien untuk
pilihan terapi yang mungkin. Meskipun terlihat kurang mampu, dokter harus
tetap memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang biaya, tujuan, manfaat,
kerugian tindakan tersebut agar dapat mengambil keputusan yang tepat.
BAB III KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan
Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Hanafiah, M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3.
Jakarta : EGC
Hanafie, Achsanudin. 2006. Strategi Penyapihan dari Mechanical Ventilation.
Majalah Kedokteeran Nusantara Volume 39 NO.3: USU Sumatra Utara
available at URL: repository.usu.ac.id/bitstream/.../mkn-sep2006-%20sup
%20(25).pdf . Diakses pada tanggal 2 Juli 2012
KODEKI, 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan
Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Indonesia (MKEK)
Nadeak P.Gonzales. 2004. Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia.Medan: Bina
Media Perintis Hukum-Kesehatan.web.id
Rohim, Abdal. No date. Euthanasia Perspektif dan Hukum Pidanan Indonesia.
Available at URL:
http://www.stikku.ac.id/wp-content/uploads/2011/02/EUTHANASIA-
PERSEPETIF-MEDIS-DAN-HUKUM-PIDANA-INDONESIA.pdf.
Diakses pada tanggal 2 Juli 2012
Samil, Ratna Supraptil. 2001. Etika Kedokteran Indonesia Edisi 2 Cetakan 1.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2005. Panduan Gerontologi, Tinjauan Dari
Berbagai Aspek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama