laporan diskusi kasus 1 kelompok ! bhl 5

34
LAPORAN DISKUSI KASUS 1 BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW V ( BLOK BHL V ) Tutor : dr. Retno Widiastuti, MS Oleh : Kelompok 1 Prasastie Gita W (G1A009023) Gizza Dandy Pradana (G1A009024) Yulita Swandani Aziz (G1A009032) Bagus Sanjaya H (G1A009033) Masrurotut Daroen (G1A009036) Sudjati Adhinugroho (G1A009051) Femy Indriani (G1A009052) Siska Lia Kisdiyanti (G1A009065) Herlinda Yudi Saputri (G1A009080) Handiana Samanta (G1A009100) Argo Mulyo (G1A009111) UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Upload: siska-lia-kisdiyanti

Post on 06-Aug-2015

85 views

Category:

Documents


12 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

LAPORAN DISKUSI KASUS 1

BLOK BIOETHICS AND HEALTH LAW V

( BLOK BHL V )

Tutor :

dr. Retno Widiastuti, MS

Oleh :

Kelompok 1

Prasastie Gita W (G1A009023)Gizza Dandy Pradana (G1A009024)Yulita Swandani Aziz (G1A009032)Bagus Sanjaya H (G1A009033)Masrurotut Daroen (G1A009036)Sudjati Adhinugroho (G1A009051)Femy Indriani (G1A009052)Siska Lia Kisdiyanti (G1A009065)Herlinda Yudi Saputri (G1A009080)Handiana Samanta (G1A009100)Argo Mulyo (G1A009111)

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER

PURWOKERTO

2012

Page 2: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

BAB 1 LATAR BELAKANG

Istilah euthanasia ini berasal dari bahasa Yunani yaitu “EUTHANATOS”.

Eu berarti baik tanpa derita dan Thanatos berarti mati, arti harfiahnya adalah mati

baik . Jadi dapat disimpulkan bahwa euthanasia itu adalah mati dengan tenang,

atau dapat didefinisikan sebagai “a good in dead” (Nadeak, 2004).

Sejauh ini Indonesia belum mengatur secara spesifik mengenai euthanasia.

Euthanasia atau menghilangkan nyawa atas nama permintaan diri sendiri sama

dengan perbuatan pidana menghilangkan nyawa seseorang. Dan sejauh ini masih

menjadi perdebatan pada beberapa kalangan yang menyetujui tentang euthanasia

dan pihak yang tidak setuju tentang euthanasia.

Menurut PP no.18/1981 pasal 1g menyebutkan bahwa: “Meninggal dunia

adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran yang berwenang, bahwa

fungsi otak, pernapasan, & atau denyut jantung seseorang telah berhenti”. Definisi

mati ini merupakan definisi yang berlaku di  Indonesia.

Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti:

1. Berpindahnya  ke alam baka dengan tenang & aman tanpa penderitaan, buat

yang beriman dengan ama Tuhan di bibir.

2. Waktu hidup akan berakhir, diringankan penderitaan si sakit dengan memberi

obat penenang.

3. Mengakhiri penderitaan & hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri & keluarganya.

Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis & mudah dimengerti

adalah:

A. Euthanasia aktif, tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga

kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan

tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat

peraturan perundangan.

B. Euthanasia pasif, dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi)

memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya

Page 3: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

menghentikan pemberian infus, makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau

menunda operasi.

C. Auto euthanasia, seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk

menerima perawatan medis & dia mengetahui bahwa hal ini akan

memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia

membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto euthanasia pada

dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.

Pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan

untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan

dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan

sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.

Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344

KUHP.

Page 4: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

BAB II PEMBAHASAN

Kasus 1 :

The Brain-Dead Patient And The Family's Dilemma

Physician: There is a patient in the ward who is on ventilator. He is around 40-45

years. He suffered major injuries is now brain dead. The family members have

been explained everything. They are in a dazed state and don't know what to do.

Probably, their heart does not allow them to let their loved one go and take the

responsibility of switching off the ventilator.

Interviewer: So what do your colleagues have to say on that?

Physician: We cannot do anything. We may discuss it among ourselves but it is

pointless. Switching off the ventilator is euthanasia which is not permitted. It also

depends upon the family. If they are well educated and reconciled to the idea, then

some of them do decide that, OK, you can switch off the support system. But it

can go on for days or weeks. In the past, whenever this situation came up, it has

gone on like this. Ultimately, when the patient's heart failed, Nature took the final

decision.

Questions

1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in this

case if it is needed by another patient?

2. Should the group be assisted by a person with legal expertise?

3. Discuss legal versus ethical issues in this case.

Page 5: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

Terjemahan

Pasien Mati Batang Otak Dan Dilemma Keluarganya

Dokter: ada seorang pasien di bangsal yang dipasangi ventilator, usianya

sekitar 40-45 tahun. Dia mengalami mati batang otak. Keluarga pasien telah

diberitahukan mengenai keadaan ini. Mereka dilemma dan tidak tahu tahus

berbuat apa. Mungkin, hati nurani mereka belum mengiklaskan kepergian orang

yang mereka cintai, dan menolak untuk melepaskan ventilator

Pewawancara: jadi bagaimana sudut pandang rekan kerjamu?

Dokter: kamipun tidak dapat melakukan apapun. Kamipun sudah

mendiskusikan ini semua, tapi berakir buntu. Menghentikan ventilator sama saja

dengan euthanasia, yang tidak diijinkan. Selain itu, keputusan ini juga sangat

bergantung keluarga pasien. Jika mereka telah memahami keadaan, dan beberapa

bersedia untuk menghentikan ventilator, maka kami bisa menghentikan ventilator

pasien ini. Tapi untuk mengambil keputusan semacam ini, keluarga pasien bisa

menghabiskan waktu beberapa hari hingga berminggu-minggi. Akhirnya, jika

sampai waktunya jantung berhenti berdetak, maka takdirlah yang dapat

memutuskan.

Questions (Pertanyaan)

1. Can a group of physicians take a decision to switch off the ventilator in

this case if it is needed by another patient? Dapatkah sekelompok dokter

mengambil keputusan dalam melepas ventilator pada kasus ini jika ventilator

tersebut dibutuhkan oleh pasien lain?

Jawab

Untuk memutuskan penghentian ventilator pada pasien tersebut tidak

bisa diputuskan hanya oleh beberapa dokter saja, tetapi diperlukan keterlibatan

dari pihak hukum atau instansi yang terkait dengan mempertimbangkan aspek

Page 6: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

etik, social dan agama, meskipun ada pasien lain yang memerlukan ventilator

tersebut. Kalau memang pasien tersebut sudah mati batang otak dan tidak ada

harapan untuk sembuh lagi, Dokter harus menjelaskan hal ini kepada keluarga

pasien dan memberi pengertian bahwa evaluasi menunjukkan pemberian

peralatan tersebut perlu dihentikan, dan ada pasien yang lebih membutuhkan

alat ventilator tersebut.

Penghentian ventilator ini bisa dianggap sebagai euthanasia pasif.

Euthanasia menurut KODEKI pasal 12 bab II adalah melakukan perbuatan

yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri atau

keluarganya. Ada tiga jenis pelaksanaan euthanasia, yaitu euthanasia pasif,

euthanasia non-aktif, dan euthanasia aktif. Istilah lain untuk euthanasia pasif

ialah euthanasia tidak langsung, sedangkan euthanasia non-aktif dan aktif bisa

dianggap euthanasia langsung. Euthanasia pasif diartikan sebagai euthanasia

yang dilakukan dengan cara menghentikan pemberian obat atau pemberian obat

yang terbukti mempunyai kemungkinan untuk membunuh, tetapi juga

diperlukan untuk membantu pasien menjadi sembuh. Euthanasia non-aktif 

ialah euthanasia yang dilakukan dengan cara mematikan mesin life support,

yang sudah tentu akan menyebabkan kematian pasien.

Bagi orang beragama, euthanasia merupakan tindakan immoral dan

bertentangandengan kehendak Tuhan.Mereka berpendapat bahwa hidup adalah

semata-mata diberikan oleh Tuhan sendiri sehingga tidak ada seorang pun atau

institusi manapun yang berhak mencabutnya, bagaimanapun keadaan

penderitatersebut.Dikatakan bahwa manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan

tidak memiliki hak untuk mati. Oleh karena itu di Negara Indonesia, euthanasia

masih dilarang. Apabila dokter terpaksa harus melakukan ini, maka benar-

benar harus dengan persetujuan keluarga pasien dengan menandatangani

informed consent dan disertai dengan keterlibatan instansi terkait, baru

ventilator bisa dihentikan meskipun ada pasien yang lebih membutuhkan.

Page 7: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

2. Should the group be assisted by a person with legal expertise? Haruskah

kelompok tersebut dibantu oleh orang yang mempunyai keahlian dalam bidang

hukum?

Jawab

Harus, karena kapasitas untuk mengambil keputusan merupakan aspek

etik dan hukum yang sangat rumit. Dasar dari penilaian kapasitas pengambilan

keputusan penderita tersebut haruslah dari kapasitas fungsional penderita dan

bukan atas dasar label diagnosis.

Apabila keputusan yang diharapkan bantuannya bukan saja mengenai

aspek medis, tetapi mengenai semua aspek kehidupan (hokum, harta benda dll)

maka sebaiknya terdapat suatu badan pemerintah yang melindungi kepentingan

penderita yang disebut badan perlindungan hokum (guardianship board).

Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi

dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif &

dianggap sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan

nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang

dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang

dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas

permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan

pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum

diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati

bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, &

tidak menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut,

tanpa dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebenarnya telah cukup antisipasif dalam

menghadapi perkembangan iptekdok, antara lain dengan menyiapkan

perangkat lunak berupa SK PB IDI no.319/PB/4/88 mengenai “Pernyataan

Dokter Indonesia tentang Informed Consent”. Disebutkan di sana, manusia

dewasa & sehat rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak

Page 8: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis

yang bertentangan dengan kemauan pasien, walau untuk kepentingan pasien itu

sendiri.

Kemudian SK PB IDI no.336/PB/4/88 mengenai “Pernyataan Dokter

Indonesia tentang Mati”. Sayangnya SKPB IDI ini tidak atau belum

tersosialisasikan dengan baik di kalangan IDI sendiri maupun di kalangan

pengelola rumah sakit. Sehingga, tiap dokter & rumah sakit masih memiliki

pandangan & kebijakan yang berlainan.Apabila diperhatikan lebih lanjut, pasal

338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna larangan untuk

membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan

dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa

dikatakan sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan

berencana. Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni

pasal 338 & 344 KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut ‘concursus

idealis’ yang diatur dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:

(1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang

dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbeda-beda

yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.

(2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum

diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus

itulah yang dikenakan.

Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas ‘lex specialis derogat legi

generalis’, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan peraturan yang

sifatnya umum.

3. Discuss legal versus ethical issues in this case. (Diskusikan masalah hukum

dan masalah etika yang ada pada kasus ini)

Page 9: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

Jawab

Dalam kasus ini, issue ethic yang dilanggar dokter adalah:

a. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak

untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri.

Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi apabila pasien

dalam keadaan koma dan tidak kompeten dalam mengambil keputusan

maka dibantu oleh pendapat keluarga dekat. Pada kasus ini apabila dokter

menghentikan ventilator tersebut maka melanggar hak otonomi pasien, dan

apabila ventilator ini tetap dipasang tidak dihentikan pihak dokter juga

melanggar hak otonomi pasien lain yang lebih membutuhkan.

b. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan harus memberikan perlakuan yang sama

bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita

secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang

tidak relevan. Dalam kasus ini keadilan baik bagi pasien dengan

penghentian ventilator dilanggar, begitu juga sebaliknya apabila pasien yang

lebih membutuhkan ventilator tersebut tidak mendapatkan pelayanan yang

menjadi haknya.

Pasal-pasal dalam KUHP menegaskan bahwa euthanasia baik aktif

maupun pasif tanpa permintaan adalah dilarang. Demikian pula dengan

euthanasia aktif dengan permintaan. Berikut adalah bunyi pasal-pasal dalam

KUHP tersebut (Hanafiah, 1999 ; Samil, 2001):

a. Pasal 338: “Barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain

karena pembunuhan biasa, dihukum dengan hukuman penjara selama-

lamanya lima belas tahun.”

b. Pasal 340: “Barangsiapa dengan sengaja & direncanakan lebih dahulu

menghilangkan jiwa orang lain, karena bersalah melakukan pembunuhan

berencana, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau

penjara sementara selama-lamanya duapuluh tahun.”

Page 10: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

c. Pasal 344: “Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan

orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata & sungguh-sungguh

dihukum penjara selama-lamanya duabelas tahun.”

d. Pasal 345: “Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang lain untuk bunuh

diri, menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya

untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun, kalau

orang itu jadi bunuh diri.”

e. Pasal 359: “Menyebabkan matinya seseorang karena kesalahan atau

kelalaian, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun atau

pidana kurungan selama-lamanya satu tahun”

Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa tindakan perawatan medis

yang tidak ada gunanya seperti misalnya pada kasus pasien ini, secara yuridis

dapat dianggap sebagai penganiayaan. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran

dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan

medis. Dengan kata lain, apabila suatu tindakan medis dianggap tidak ada

manfaatnya, maka dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis,

& dapat dijerat hokum sesuai KUHP pasal 351 tentang penganiayaan yang

berbunyi :

(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun

delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus

rupiah.

(4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.

Hubungan hukum  dokter-pasien juga dapat ditinjau dari sudut perdata,

yaitu pasal 1313, 1314, 1315, & 1319 KUHPer tentang perikatan-perikatan

yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian. Pasal 1320 KUHPer menyebutkan

bahwa untuk mengadakan perjanjian dituntut izin berdasarkan kemauan bebas

dari kedua belah pihak. Sehingga bila seorang dokter melakukan tindakan

medis tanpa persetujuan pasien, secara hukum dapat dijerat Pasal 351 KUHP

tentang penganiayaan. Tindakan menghentikan perawatan medis yang

dianggap tidak ada gunanya lagi, sebaiknya dimaksudkan untuk mencegah

Page 11: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

tindakan medis yang tidak lagi merupakan kompetensinya, dan bukan maksud

untuk memperpendek atau mengakhiri hidup pasien

Kasus 2 :

The Terminal Patient Who Did Not Die

Physician: We had a patient with chronic obstructive airway disease who

developed pneumothorax and she was put on a ventilator. She was in her early

sixties and able to communicate. We managed her on the ventilator, but it was

very difficult to wean her away from the ventilator. Ultimately we discussed with

the patient's relatives that she may not make it. If the relatives agreed, we could

switch off the ventilator. The husband of the patient said: "You see, she is going

to die if you switch off the ventilator. But I will not be able to excuse myself if I

let you remove the life support. For my whole life I will feel guilt. So please,

continue the ventilator till she improves or dies." To my surprise she recovered

very well and I have subsequently discharged her.

This case is a good example of a conflict between limited resources and the nature

of the disease itself. We can say that we cannot waste our resources by pulling on

with a patient for a long time. This was a collective decision. All involved staff

thought that it was wise to switch off the ventilator, but, retrospectively, I can see

that it would have been a wrong decision.

Questions

1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean off the

patient from the ventilator at the time they made it, in light of the scarce

resources available?

2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to wean

off a patient from the ventilator, expecting the patient to subsequently die, if

the patient is not brain-dead?

Page 12: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

Terjemahan

Seorang pasien menderita chronic obstructive airway disease yang

berkembang menjadi pneumothoraks dan dia memakai ventilator. Pasien ini

berumur 60-an tahun. Dokter beranggapan sulit untuk menyapih pasien jauh dari

ventilator. Pada akhirnya, dokter berdiskusi dengan keluarga pasien bahwa ia sulit

untuk bertahan. Jika keluarga setuju, maka dokter akan mematikan ventilator.

Namun suami pasien tetap menginginkan ventilator dipasang sampai pasien

sembuh atau meninggal. Ternyata pasien tersebut sembuh dengan baik dan dapat

kembali ke rumah.

Kasus ini adalah contoh yang baik dari konflik antara sumber daya yang

terbatas dan sifat suatu penyakit. Dokter dapat mengatakan bahwa kita tidak dapat

membuang-buang sumber daya yang terbatas untuk dipakai seorang pasien dalam

jangka waktu lama. Ini adalah keputusan kolektif. Semua staf yang terlibat

berpikir bahwa mematikan ventilator adalah hal yang tepat. Tapi secara

retrospektif, keputusan itu akan menjadi keputusan yang salah.

Questions (Pertanyaan)

1. Do you think that the physicians were justified in their decision to wean

off the patient from the ventilator at the time they made it, in light of the

scarce resources available? Apakah anda berfikir bahwa dokter dibenarkan

dalam keputusan mereka untuk menyapih pasien dari ventilator, mengingat

sumber daya yang langka tersedia?

Jawab

Kami tidak sependapat dengan tindakan yang dilakukan oleh dokter

tersebut, mengingat pasien masih bisa berkomunikasi, tidak mati batang otak,

dan pihak keluarga pun tidak menyetujui tindakan penyapihan tersebut. Jika

Page 13: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

dokter tetap melepas ventilator tersebut maka tindakan dokter tersebut dapat

dianggap sebagai euthanasia aktif yang mana hal tersebut dilarang di

Indonesia, menurut IDI dan KUHP.

KODEKI pasal 7D yang berbunyi “Setiap dokter harus senantiasa

mengingat akan kewajiban melindungi hidup nmakhluk insani”, pada

penjelasan dan pedoman pelaksanaannya secara jelas tertulis sebagai berikut:

“Baik menurut agama, Undang-Undang Negara, maupun Etik

Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan (KODEKI, 2004):

a. Menggugurkan kandungan (abortus provocatus)

b. Mengakhiri hidup seorang pasien yang menurut ilmu dan pengetahuan

tidak mungkin akan sembuh lagi (euthanasia)

Menurut penjelasan dari pasal 7D KODEKI, dokter harus mengerahkan

segala kepandaiannya dan kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan

memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya.

Menurut KODEKI pula, Indonesia sebagai negara yang berazaskan

Pancasila, dengan sila pertama adalah Ketuhana Yang Maha Esa, tidak dapat

menerima tindakan euthanasia aktif. Mengenai euthanasia pasif masih

merupakan daerah kelabu atau ambigu. Di satu sisi dapat dianggap sebagai

perbuatana amoral, namun disisi lain dianggap perbuatan yang mulia karena

dimaksudkan untuk tidak memperpanjang atau mengakhiri penderitaan pasien,

dengan membiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah

(KODEKI, 2004).

Saat menghadapi pasien di akhir hayatnya, dimana ilmu dan teknologi

kedokteran sudah tidak berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan,

hendaknya dokter berpegang pada pedoman sebagai berikut (KODEKI, 2004):

a. Sampaikan kepada pasien dan atau keluarganya keadaan yang sebenarnya

dan sejujur-jujurnya mengenai penyakit yang diderita pasien.

b. Dalam keadaan dimana ilmu dan teknologi kedokteran sudah tidak

berdaya lagi untuk memberikan kesembuhan, maka upaya perawatan

pasien bukan lagi ditujukan untuk memperoleh kesembuhan melainkan

Page 14: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

lebih ditujukan untuk memperoleh kenyamanan dan meringankan

penderitaan.

c. Bahwa tindakan menghentikan usia pasien pada tahap menjelang ajalnya,

tidak dapat dianggap sebagai suatu dosa, bahkan patut dihormati. Namun

dokter wajib untuk terus merawatnya.

d. Beban yang menjadi tanggungan keluarga pasien harus diusahakan

seringan mungkin dan apabila pasien meninggal, seyogyanya bantuan

diberikan kepada keluarga yang ditinggalkan.

e. Bahwa dalam menghadapi pasien yang secara medis tidak memungkinkan

lagi untuk disembuhkan, disarankan untuk memberikan perawatan hospis

(hospice care).

Euthanasia, baik euthanasia pasif maupun aktif, dalam pandangan hukum

positif di Indonesia belum mendapat tempat yang diakui. Hal tersebut dapat

dilihat secara tersirat dari berbagai pasal KUHP di bawah ini (Rohim, no date):

a. Pasal 344 KUHP:

“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang

itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam

pidana penjara paling lama 12 tahun.”

Secara tersirat pada pasal tersebut menjelaskan bahwa sekalipun

pengakhiran hidup atas permintaan orang itu sendiri (euthanasia) akan

tetap dijatuhi hukuman penjara.

b. Pasal 340 KUHP:

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu

merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana,

dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu

tertentu paling lama 20 tahun”

c. Pasal 356 (3) KUHP:

“penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang

berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”

d. Pasal 304 KUHP:

Page 15: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

“Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan

seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku

baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan,

perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana

penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau dengan paling banyak tiga ratus

rupiah.”

Tindakan dokter yang menginginkan ventilatior dilepas dengan

alasan kekurangan sumber daya pun patut dipertanyakan, apakah rumah

sakit yang kekurangan fasilitas ventilator bisa disebut sebagai rumah sakit

yang layak. Kalaupun dokter menginginkan pelepasan ventilator, maka

dokter harus mengajukan permohonan tersebut ke pengadilan. Namun, dari

beberapa kasus yang telah terjadi di Indonesia mengenai permohonan

euthanasia, belum ada yang mendapat ijin dari pengadilan.

2. Under what circumstances (if any) do you find it ethically justifiable to

wean off a patient from the ventilator, expecting the patient to

subsequently die, if the patient is not brain-dead? Dalam keadaan apa (jika

ada) yang Anda menemukannya etis dibenarkan untuk menyapih pasien dari

ventilator, mengharapkan pasien untuk kemudian mati, jika pasien tidak mati

otak?

Jawab

Penyapihan adalah proses pelepasan dukungan mesin ventilator dan

mengembalikan kerja pernafasan dari ventilator ke pasien. Kriteria bernafas

spontan adalah kriteria untuk mengukur keberhasilan atau kegagalan dari

percobaan penyapihan. Keberhasilan penyapihan berarti pasien mampu

mempertahankan pernafasan spontan untuk periode waktu tertentu. Kegagalan

penyapihan berarti pasien harus kembali mendapat dukungan mesin ventilasi

sesudah satu periode tertentu dengan pernafasan spontan yang tidak terus-

menerus (Hanafie, 2006).

Page 16: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

Jika konteks menyapih dalam hal ini berfungsi untuk mengembalikan

kerja pernafasan seperti semula, yaitu nafas spontan, maka hal tersebut

dibenarkan dengan kriteria penyapihan sebagai berikut (Hanafie, 2006):

Category Examples Values

Ventilatiry criteria PaCO2 <50 mmHg with normal

pH

Vital capacity >10-15 ml/kg

Spontaneous Vr >5-8 ml/kg

Spontaneous RR (f) <30/min

Minute ventilation <10L

Oxygenation criteria PaO2 without PEEP >60 mmHg

PaO2 with PEEP >100 mmHg

SaO2 >90%

Qs/Qt <20%

P(A-a)O2 <350 mmHg

PaO2/FiO2 >200 mmHg

Pulmonary reserve Max.voluntary vent. 2x/min

Max. insp.essure >-20 to n-30 cm H2O in

20 sec.

Pulmonary

measurements

Static compliance >30 ml/cm H2O

Airway resistance Obeserve trend

VD/VT <60%

Tabel 1. Kriteria Penyapihan

Namun apabila tanda-tanda penyapihan gagal terjadi, ventilator harus

segera dipasang kembali. Tanda-tanda awalnya adalah takpneu dan pergerakan

otot perut yang paradoxal, dispneu, chest pain, dada-perut asinkron, dan

Page 17: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

diaphoresis (Hanafie, 2006). Apabila konteks penyapihan berarti penghentian

pemasangan ventilator maka tindakan tersebut tidak dibenarkan secara hukum

maupun etik di Indonesia.

Pada negara lain seperti Belanda dan negara bagian Amerika yaitu

Oregon memiliki kriteria penyapihan selain karena mati batang otak, yaitu:

a. Penyakit susah untuk diobati

b. Penyakit stage terminal

c. Sakit amat sangat, sehingga hanya dengan morfin, sakit tersebut dapat

berkurang

d. Penilaian dokter spesialis minimal 2

Kasus 3 :

The Terminal Cancer Patient

Physician: I have been seeing a patient for the last 10 days. This patient has

carcinoma. Six months ago when he was operated outside, the impression given

by the surgeon to the patient was that there was some kind of a blockage in the

intestine and that it had been corrected. Five months later, he came up with a lump

in the abdomen and after that he developed jaundice. He has now come to us with

a huge lump with jaundice. There are different options available but none of them

is very safe and none of them is going to help on a long-term basis. I am sure he is

going to die. He has a confirmed cancer. It is not curable, and it is not treatable.

So, should you palliate his symptoms and to what extent. In this case, his relatives

are very keen that he is not told what is happening to him. I can't give him any

hope and I feel very bad telling him that I can't do anything. I have already told

the relatives. But if he asks me directly, "Am I going to live? Am I going to die?

Do I have a cancer?", then I will tell him the truth. But if he doesn't, then I will

probably end up telling only his relatives.

Page 18: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

There have been occasions when after the patient has spent about 40 to 50,000 or

100,000 and goes back home, the relatives ask you the question: "have we

achieved anything after we have spent so much money, and should we continue to

spend not knowing when it will end?" I often tell myself that I cannot play God.

Here you come across situations where a poor man has 40,000 in his bank, he's

got a house and if he dies he's going to leave behind three children and a wife who

doesn't earn. So is it worth that his family spends all of that on him and then be

out on the street after he dies?

Questions

1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the patient

himself the choice of treatment?

2. Does it make a difference that the treatment is very expensive?

Terjemahan :

Pasien Kanker Terminal

Dokter: Saya telah melihat pasien selama 10 hari terakhir. Pasien ini

memiliki karsinoma. Enam bulan lalu ketika ia dioperasi di luar, hasil yang

diberikan oleh ahli bedah untuk pasien ini adalah bahwa ada semacam

penyumbatan pada usus dan bahwa hal itu telah ditangani. Lima bulan kemudian,

ia datang dengan benjolan di perut disertai dengan ikterik. Dia kini datang kepada

kami (dokter) dengan benjolan yang sudah besar disertai dengan ikterik. Ada

pilihan yang tersedia tetapi tidak satupun dari pilihan itu yang aman dan tidak

satupun dapat menolong pasien dalam jangka panjang. Saya yakin pasien ini akan

meninggal. Dia telah terkonfirmasi kanker. Hal ini tidak dapat disembuhkan, dan

tidak dapat diobati. Jadi, sebaiknya kami meringankan gejala dan melihat sampai

sejauh mana. Dalam hal ini, keluarganya menyarankan bahwa pasien tidak

diberitahu apa yang terjadi padanya. Saya tidak bisa memberinya harapan dan

saya merasa sangat tidak enak mengatakan kepadanya bahwa saya tidak dapat

melakukan apapun. Saya sudah mengatakan kepada keluarganya. Tapi jika ia

Page 19: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

menanyakan secara langsung, "apakah saya akan hidup, apakah saya akan mati?

apakah saya kanker?", Maka saya akan mengatakan yang sebenarnya. Tetapi jika

dia tidak bertanya, maka saya mungkin akan hanya memberitahu keluarganya.

Ada kesempatan ketika setelah pasien telah menghabiskan sekitar 40

sampai 50.000 atau 100.000 dan pulang ke rumah, keluarga menanyakan: "apa

yang telah kita capai setelah kita menghabiskan begitu banyak uang, dan haruskah

kita terus menghabiskan yang kita punya dan tidak tahu kapan semua itu akan

berakhir? "Saya sering mengatakan pada diri sendiri bahwa saya tidak dapat

berperan sebagai Tuhan. Di sini kita menemukan situasi di mana orang miskin

hanya memiliki 40.000 di bank, dia punya sebuah rumah dan jika dia meninggal

dia akan meninggalkan tiga anak dan seorang istri. Jadi apakah itu layak bahwa

keluarganya menghabiskan semua itu untuknya dan kemudian keluar di jalan

setelah kepala keluarganya meninggal?

Questions (Pertanyaan)

1. Do you agree with the doctor's position here that he will not give the

patient himself the choice of treatment? Apakah Anda setuju dengan posisi

dokter di sini bahwa dia tidak akan memberikan pasien sendiri pilihan

pengobatan?

Jawab

Dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya

pada pasien. Jika pasien tidak kompeten, maka harus diberitahukan kondisi

pasien pada keluarga pasien. Sedangkan pada kasus, dokter mau

memberitahukan pada pasien tentang kondisinya jika pasien tersebut bertanya

pada dokter. Namun jika pasien tidak bertanya, dokter tidak akan

memberitahukan pada pasien tentang kondisinya. Hal ini disebabkan keluarga

pasien tidak memperbolehkan dokter memberitahukan pasien tentang

kondisinya sekarang. Hal ini sangat bertentangan dengan kewajiban dokter,

Page 20: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

dimana dokter berkewajiban memberitahukan kondisi pasien yang sebenarnya.

Namun, hal ini juga tergantung minat pasien. Jika pasien tidak ingin tahu

tentang kondisi kesehatannya, dokter tidak perlu memberitahukan kondisi

kesehatan pasien pada pasien.

Jika pasien ingin tahu informasi tentang penyakitnya tetapi dokter tidak

mau memberitahukan informasi penyakit pasien, dokter tersebut tidak

memberikan hak pasien yaitu memberikan informasi terhadap kondisi pasien,

maka dokter tersebut akan melanggar KODEKI pasal 7c, “seorang dokter

harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak tenaga

kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien”.

Jika dokter akan mengambil tindakan, pasien dan keluarga harus diberi

pengetahuan tentang biaya, tujuan, manfaat, kerugian tindakan tersebut agar

dapat mengambil keputusan yang tepat. Tetapi menurut KUHP pasal 351,

perawatan medis yang tidak ada manfaatnya termasuk penganiayaan karena

merusak kesehatan.

2. Does it make a difference that the treatment is very expensive? Apakah itu

membuat perbedaan bahwa pengobatan ini sangat mahal ?

Jawab

Jika harga terapi mahal, dokter jangan merendahkan pasien untuk

pilihan terapi yang mungkin. Meskipun terlihat kurang mampu, dokter harus

tetap memberitahukan pada pasien dan keluarga tentang biaya, tujuan, manfaat,

kerugian tindakan tersebut agar dapat mengambil keputusan yang tepat.

Page 21: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

BAB III KESIMPULAN

Page 22: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

DAFTAR PUSTAKA

Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. 2000. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan

Usia Lanjut), Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.

Hanafiah, M Jusuf. 1999. Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan Edisi 3.

Jakarta : EGC

Hanafie, Achsanudin. 2006. Strategi Penyapihan dari Mechanical Ventilation.

Majalah Kedokteeran Nusantara Volume 39 NO.3: USU Sumatra Utara

available at URL: repository.usu.ac.id/bitstream/.../mkn-sep2006-%20sup

%20(25).pdf . Diakses pada tanggal 2 Juli 2012

KODEKI, 2004. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan Pedoman Pelaksanaan

Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Majelis Kehormatan Etik

Kedokteran Indonesia (MKEK)

Nadeak P.Gonzales. 2004. Lebih Baik Mati?Menyorot Euthanasia.Medan: Bina

Media Perintis Hukum-Kesehatan.web.id

Page 23: Laporan Diskusi Kasus 1 Kelompok ! Bhl 5

Rohim, Abdal. No date. Euthanasia Perspektif dan Hukum Pidanan Indonesia.

Available at URL:

http://www.stikku.ac.id/wp-content/uploads/2011/02/EUTHANASIA-

PERSEPETIF-MEDIS-DAN-HUKUM-PIDANA-INDONESIA.pdf.

Diakses pada tanggal 2 Juli 2012

Samil, Ratna Supraptil. 2001. Etika Kedokteran Indonesia Edisi 2 Cetakan 1.

Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. 2005. Panduan Gerontologi, Tinjauan Dari

Berbagai Aspek. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama