laporan direct learning 1

28

Click here to load reader

Upload: rizka-rahmaharyanti

Post on 05-Dec-2014

100 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Direct Learning 1

LAPORAN DIRECT LEARNING 1

POTRET WILAYAH DAN MASYARAKAT BANYUMAS

KOTA DAN DESA

KELOMPOK 2

Nita Sri Mulyantini G1D010008Rizka Rahmaharyanti G1D010007Alifah Dewi Purwaningsih G1D010043Sekar Sari Prasetyowati G1D010061Ikke Nova Zusmia G1D010054Indah Setya Wahyuningsih G1D010032Yuliana Dyah K. G1D010012Moh. Cakra H. G1D010057Hisna Adilla G1D010006Dian Febri G1D010030Desti Nur Hasanah G1D010035Shifa Ayyu Azhari S. G1D010031Dhea Prayunita G1D010070

BLOK RURAL HEALTH NURSING

SEMESTER V

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEPERAWATAN

PURWOKERTO

2012

PENDAHULUAN

Page 2: Laporan Direct Learning 1

Laporan direct learning 1 ini berjudul “Potret Wilayah dan Masyarakat Banyumas Kota dan

Desa” , tentunya akan membahas tentang masyarakat Banyumas berkaitan dengan blok Rural Health

Nursing yang memfokuskan pada keperawatan komunitas.

Universitas Jenderal Soedirman yang terletak di Kecamatan Purwokerto, menjadikan

Banyumas yang merupakan Kabupatennya sebagai cakupan wilayah yang ideal untuk melakukan

berbagai kegiatan kemahasiswaan yang berorientasi pada masyarakat, dalam hal ini ialah ranah

keperawatan komunitas. Keperawatan komunitas yang berorientasi pada komunitas, baik secara

individu, keluarga maupun masyarakat, dalam menjalankan peran dan fungsinya dibutuhkan suatu

proses keperawatan komunitas yang didalamnya terdapat pengkajian. Pengkajian yang dimaksud ialah

suatu cara dimana perawat komunitas tersebut dapat mengetahui apa yang terjadi pada individu,

keluarga serta masyarakat hingga dapat menentukan masalah keperawatan komunitas berupa faktor

resiko terjadinya penyakit atau yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan komunitas tersebut.

Pengkajian yang lengkap dan mendalam akan lebih memperkaya data tentang komunitas tersebut,

termasuk pengetahuan tentang wilayah, kebudayaan, kebiasaan dan karakter masyarakat yang akan

mempermudah dalam penyusunan rencana asuhan keperawatan komunitas dengan implementasi

melalui strategi pendekatan pada masyarakat baik di desa maupun di kota. Seluruh aspek tersebut

akan dibahas lebih lanjut dalam laporan Direct Learning ini.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Karakter Masyarakat Banyumas

Page 3: Laporan Direct Learning 1

Karakteristik masyarakat di kabupaten Banyumas antara lain :

1. Masyarakat egaliter

Yang dimaksud masyarakat egaliter, dimana masyarakat Banyumas menganggap

semua orang itu sama. Mereka tidak membedakan dari status social atau ekonomi.

Masyarakat Banyumas kadang-kadang tidak memperhatikan sebutan yang erat dengan status

social. Asalkan ia mengenal dengan baik nama orang itu, maka ia berperilaku penuh dengan

keakraban.. Hal ini tampak dalam kehidupan sehari-hari. Orang menyebut dengan ‘inyong”

untuk dirinya sendiri dan “ko”, “kono”, “kowe”, atau “rika” untuk orang lain. Padahal seseorang

akan merasa lebih dihargai apabila dia dipanggil dengan sebutan nama. Namun dengan

kehidupan sehari-hari masyarakat Banyumas yang demikian membuktikan bahwa mereka

menyamaratakan kedudukan dan mengakrabkan diri dengan orang lain.

2. Orang-orang yang bebas

Kebebasan dalam masyarakat Banyumas sangat jelas terlihat. Kebebasan tercermin

dalam kehidupan sehari-hari, misalnya berbicara dengan nada yang cowag dan terkesan

seperti orang yang sedang berantem. Orang-orang luar daerah yang mengetahuinya

memberikan kesan bahwa mereka berbicara dengan nada yang sangat keras dan kasar.

Padahal menurut orang Banyumas sendiri hal tersebut merupakan hal yang sangat biasa.

Selain itu, kebebasan juga terlihat dari pemakaian kata yang bervariasi. Contohnya, ada

pemakaian kata kepriben, kepriwen, keprimen, dan keprigen . pada dasarnya maksud dari

bebrapa kata tersebut adalah sama yang berate “bagaimana”. Dari situ ada kesan bahwa

masyarakat Banyumas dalam berbahasa sering sakarepe dhewek sehingga variasi kata

semakin kaya.

Disamping dari segi bahasa, kebebasan juga tercermin di bidang kesenian. Musik

gamelan, suara penyayi yang lugas, teriakan-teriakan gembira atau tepukan tangan para

penabuh gamelan mencerminkan karakter kebebasan gaya Banyumasan. Tembang –

tembang Banyumasan seperti Kembang Glepang atau Ilogondhang menggambarkan dialog

yang terbebas dari kekangan seni yang dianggap luhur sebagaimana yang dilakukan para

seniman keraton.

3. Orang-orang fulgar

Masyarakat Banyumas termasuk orang-orang yang suka “blak-blakan”. Mereka sangat

terbuka dalam membicarakan masalah, termasuk membicarakan masalah seks. Hal ini

terbukti dengan adanya karya sastra Banyumasan yang berupa teks Babad Pasir dan

Pakunden yang menceritakan tentang “adegan panas” model sastra kakawin yang

berkembang pada abad ke-9 sampai ke-15 masehi.

4. Mencari kejayaan dan keemasan

Page 4: Laporan Direct Learning 1

Karakter demikian sudah diturunkan dari nenek moyang masyarakat Banyumas.

Dimana saat merebut kekuasaan daerah Banyumas yang sebelumnya dikuasai oleh Toyareka.

Mereka tidak pantang menyerah. Mereka melambangkan kemenangan itu adalah emas. Maka

dari itu mereka selalu termotivasi untuk mendapat apapun yang diinginkan.

5. Orang-orang Banyumas suka memberontak

Dari karakter masyarakat Banyumas yang cenderung bebas menjadikannya sering

berbeda pendapat dengan penguasa atau atasannya, mereka tidak ingin dikekang. Apabila

memiliki pendapat dan keinginan tertentu yang tidak sesuai dengan apa yang telah ditetapkan

oleh pemimpinnya mereka akan memberontak dan mempertahankan pendapatnya.

6. Orang Banyumas sering konflik

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat Banyumas ditemukan

banyaknya konflik antarkelompok atau antarkeluarga yang wilayahnya bisa antardesa di dalam

satu kecamatan, antardesa yang berasal dari dua kecamatan yang berbeda, antardesa yang

berada di dua kabupaten. Wilayah konflik itu kemungkinan dahulu tidak dipisahkan secara

administrative politik seperti sekarang. Realitas tersebut sangat mencolok, terutama pada

masyarakat Banyumas yang tinggal di sebelah utara atau barat sungai Serayu. Sebab-sebab

munculnya konflik bermacam-macam, seperti masalah perkawinan, adu kesaktian, tuduhan

kepada pihak lain melakukan kecurangan, kasus pembunuhan, pemfitnahan, curiga, atau

persaingan keluarga.

7. Orang Banyumas suka bekerja keras

Ungkapan yang sering didengar untuk menggambarkan tentang kerja keras pada

masyarakat Banyumas adalah sikil nggo endhas, endhas nggo sikil. Sikil berarti kaki dan

endhas berarti kepala Sebenamya, antara kepala dengan kaki dipakai sebagai symbol

kehormatan dan kekuasaan. Secara simbolik, kepala dan kaki mencerminkan binary opposition

antara elite dengan orang kebanyakan, antara keja otak dengan kerja kasar, dan setemsnya.

Dilihat dari kualitasnya, keja otak memang dihargai lebih mahal daripada keja kasar. Namun,

ketika keja otak dipadukan dengan keja kasar, maka hasilnya akan lebih maksimal (Priyadi,

2003).

B. Budaya Banyumasan

Kesehatan Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di

bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri

keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok

sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat

kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang

Page 5: Laporan Direct Learning 1

ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar

dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang

bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga

perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan

masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga

mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah

ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya

agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia

sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah

salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang

tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman

budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak membawa

perubahan terhadap kehidupan manusia baik dalam hal perubahan pola hidup maupun tatanan

social termasuk dalam bidang kesehatan yang sering dihadapkan dalam suatu hal yang

berhubungan langsung dengan norma dan budaya yang dianut oleh masyarakat yang bermukim

dalam suatu tempat tertentu.

Pengaruh social budaya dalam masyarakat memberikan peran penting dalam mencapai

derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Perkembangan social budaya dalam masyarakat

merupakan suatu tanda bahwa masyarakat dalam suatu daerah tersebut telah mengalami suatu

perubahan dalam proses berfikir. Perubahan social dan budaya bisa memberikan dampak positif

maupun negative.

Hubungan antara budaya dan kesehatan sangatlah erat hubungannya sebagai salah

satu contoh suatu masyarakat desa yang sederhana dapat bertahan dengan cara pengobatan

tertentu sesuai dengan tradisi mereka. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan

respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang

tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan

kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan

bagaimana meluruskan keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.

Di Indonesia, utamanya di daerah Banyumas berlaku begitu banyak mitos (larangan)

seputar dengan kehamilan, melahirkan, dan pasca melahirkan. Dari segi makanan, keseharian,

tindak-tanduk ataupun semua hal yang berkaitan dengan keseharian si ibu ataupun si jabang bayi.

Tradisi ini sangat kuat diterapkan di masyarakat. Beberapa mitos bahkan dipercaya sebagai

amanah/ pesan dari nenek moyang yang apabila tidak ditaati akan menimbulkan suatu dampak/

karma yang tidak menyenangkan.

Page 6: Laporan Direct Learning 1

Padahal, apabila kita nalar dengan akal sehat, diteliti dari segi medis, ataupun dari segi

aqidah, banyak mitos yang tidak berhubungan. Walaupun maksud dari nenek moyang itu adalah

baik namun tidak semua dari nasihat atau pantangan yang diberitahukan benar secara medis

ataupun ilmiah.

Pada dasarnya, tujuan orang-orang terdahulu menciptakan mitos yang beraneka ragam

ialah untuk menjaga keselamatan si ibu dan bayinya. Tujuannya untuk menciptakan kehamilan

yang sehat, sehingga dapat menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Terutama yang berhungan

dengan kebiasaan, konsumsi bahan makan, dan sebagainya.

Kultur dan Kebudayaan Pada Saat Kehamilan, Persalinan, dan Pasca Persalinan

1. Saat Kehamilan

Pada masyarakat yang telah dikaji oleh kelompok, masyarakat tersebut masih

melakukan tradisi dan ritual peninggalan leluhur yang mungkin tidak masuk akal dan

bahkan tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.

Pada masyarakat desa Gandatapa, mereka masih melakukan ritual selamatan

pada masa kehamilan 4 bulan dan masa kehamilan 7 bulan. Selamatan pada usia

kehamilan ke-4 disebut juga dengan ritual “Ngupati” yang menurut penuturan warga

setempat merupakan peringatan atas mulai terbentuknya organ pada calon bayi. Selamatan

pada usia 7 bulan kehamilan disebut juga dengan “Mitoni”, tujuannya adalah untuk

mendoakan ibu dan bayi agar saat kelahiran tidak ada halangan dan diberi keselamatan.

Agar persalinan lancar, pada Upacara 7 Bulanan, calon ibu dan calon ayah diminta

meloloskan ikan atau belut melalui kain sarung yang dikenakan ibu. Ada juga ritual dalam

masyarakat yang sudah jarang dilakukan seperti “Bandeman”, yaitu ritual yang dilakukan

bersamaan dengan “mitoni”. “Bandeman” dilakukan dengan melemparan batu atau buah

timun ke ranjang atau kamar ibu yang sedang melahirkan. Ritual ini dilakukan oleh anak-

anak kecil yang diundang oleh keluarga yang sedang hajatan. Menurut kepercayaan warga,

hal ini dilakukan untuk mengusir atau melindungi ibu dari gangguan-ganguan makhluk

astral.

Sebagian besar masyarakat desa masih menghindari makanan-makanan yang

dianggap pantangan bagi orang hamil, seperti melinjo mulai dari daun hingga buahnya,

durian, nanas, pete, jengkol, uwi, tape dan sate. Semua makanan itu mereka hindari karena

mereka percaya kalau memakan makanan itu dapat terjadi hal yang tidak diinginkan pada

kehamilannya. Makanan lain yang menjadi pantangan bagi masyarakat desa Gandatapa

saat kehamilan ialah pantangan untuk memakan lele. Hal ini dikarenakan pada lele terdapat

patil, dimana patil ini dipercaya dapat membahayakan kandungannya.

Page 7: Laporan Direct Learning 1

Hal lain yang menjadi kebudayaan pada masyarakat Desa Gandatapa ialah

sering memukul pinggang setelah duduk. Hal ini dilakukan untuk mencegah agar plasenta

tidak lengket saat proses persalinan.

Kebudayaan lain yang dianut oleh masyarakat Desa Gandatapa saat kehamilan

ialah memasang gunting kecil atau pisau kecil pada pakaian dalam agar janin terhindar dari

marabahaya, terutama terkait makhluk astral. Mitos seperti ini justru membahayakan ibu

hamil.Gunting atau pisau yang tidak disimpan hati-hati justru bisa menusuk tubuh ibu.

Kekhawatiran akan bahaya makhluk astral sebenarnya dikarenakan jaman dulu masih

banyak orang-orang yang mempelajari ilmu hitam dan membutuhkan janin bayi untuk syarat

menambah ilmu.

2. Saat Persalinan

Pada masyarakat di Desa Gandatapa, tidak begitu banyak kebiasaan yang

dilakukan terkait dengan proses melahirkan. Namun, banyak masyarakat Indonesia

terutama suku Jawa yang menganggap bahwa dengan banyak meminum air kelapa akan

dapat mempercepat proses persalinan.

Dalam budaya Jawa, kelahiran seorang anak manusia ke dunia, selain

merupakan anugerah yang sangat besar, juga mempunyai makna tertentu. Oleh karena itu,

pada masa mengandung bayi hingga bayi lahir, masyarakat Jawa mempunyai beberapa

uapacara adat untuk menyambut kelahiran bayi tersebut. Upacara-upacara tersebut antara

lain adalah mitoni, upacara mendhem ari-ari, brokohan, upacara puputan, sepasaran dan

selapanan.

Selapanan dilakukan 35 hari setelah kelahiran bayi. Pada hari ke 35 ini, hari

lahir si bayi akan terulang lagi. Misalnya bayi yang lahir hari Rabu Pon (hari weton-nya),

maka selapanannya akan jatuh di Hari Rabu Pon lagi. Pada penanggalan Jawa, yang

berjumlah 5 (Wage, Pahing, Pon, Kliwon, Legi) akan bertemu pada hari 35 dengan hari di

penanggalan masehi yang berjumlah 7 hari. Logikanya, hari ke 35, maka akan bertemu

angka dari kelipatan 5 dan 7. Di luar logika itu, selapanan mempunyai makna yang sangat

kuat bagi kehidupan si bayi. Berulangnya hari weton bayi, pantas untuk dirayakan seperti

ulang tahun. Namun selapanan utamanya dilakukan sebagai wujud syukur atas kelahiran

dan kesehatan bayi.

Mitos-mitos yang ada dalam proses persalinan ialah :

1. Saat air ketuban pecah mitos mengatakan bayi akan segera lahir. Menandakan bahwa

bayi harus segara dilahirkan agar tidak terinfeksi bakteri dari vagina ibu.

2. Ibu tidak boleh menutup mata (tertidur) saat proses persalinan. Mitos mengatakan bahwa

hal ini dapat menyebabkan kematian pada ibu.Namun sebenarnya hal ini bertujuan

Page 8: Laporan Direct Learning 1

untuk mengontrol perdarahan pada ibu agar ketika terjadi perdarahan maka ibu merasa

adanya perdarahan dan dapat tertangani dengan baik.

3. Saat partus lama maka semua jendela harus dibuka. Mitos mengatakn bahwa agar

persalinannya dilancarkan, tidak ada halangan. Sedangkan faktanya, saat partus lama

maka ibu memerlukan banyak udara.

4. Saat persalinan ibu dilarang memakai perhiasan. Mitos mengatakan bahwa bila memakai

perhiasan dapat menghambat persalinan, namun fakta mengatakan bahwa perhiasan

dapat menghambat aliran darah.

3. Saat Pasca Persalinan

Beberapa kultur kebudayaan yang sering dikaitkan dengan masa post partum pada

masyarakata di desa Gandatapa antara lain:

a. Pantangan Untuk Memakan Bunga Kecombrang

Bunga kecombrang atau biasa juga dikenal dengan nama bunga siantan atau

honje, di negara Jiran Malaysia dikenal dengan nama bunga kantan, memiliki nama

latin Etlingera elatior, sinonim lainnya adalah Nicolaia elatior, Phaeomeria magnifica,

Nicolaia speciosa, Phaeomeria speciosa, Alpinia elatior, Alpinia magnifica. Tanaman ini

berwarna kemerahan seperti tanaman hias pisang-pisangan dan jika batangnya telah

tua maka bentuk tanamannya mirip jahe dengan tinggi mencapai + 5 m.

Masyarakat di desa Gandatapa mempunyai pantangan untuk memakan bunga

kecombrang setelah melahirkan. Mereka beranggapan bahwa apabila memakan

kecombrang setelah melahirkan dapat menghentikan pengeluaran ASI.

b. Melakukan Pijat Bayi

Pada masyarakat di Desa Gandatapa mereka sering melakukan pemijatan pada

bayi-bayi yang baru dilahirkan hingga usia bayi 40 hari. Hal ini dimaksudkan untuk

menjaga kesehatan si bayi. Selain itu juga pemijatan bayi ini dilakukan untuk

membentuk bagian tubuh bayi agar telihat lebih indah, misalnya saja dilakukan

pemijatan pada bagian kepala agar kepala bayi lebih terlihat bagus ketika bayi sudah

dewasa.

Pemijatan bayi ini biasanya dilakukan oleh dukun-dukun bayi. Pemijatan dilakukan

bersamaan dengan dilakukan pemijatan pada ibu postpartum.

c. Pantangan untuk memakan semua jenis buah-buahan yang bentuknya bulat, seperti

nangka, durian, kluih, talas, ubi, waluh, duku dan kentang karena dianggap akan

menyebabkan perut menjadi gendut seperti orang hamil.

d. Kebiasaan Menyimpan Tali Pusat Bayi Yang Sudah Terlepas

Page 9: Laporan Direct Learning 1

Menyimpan tali pusat yang telah terlepas merupakan salah satu kebiasaan yang

dilakukan oleh masyarakat Gandatapa. Tali pusat tersebut kemudian digunakan oleh

mereka untuk menyembuhkan anak-anak mereka ketika sedang demam.

C. Kebiasaan Masyarakat Banyumas

Tradisi (Bahasa Latin: traditio, "diteruskan") atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling

sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan untuk sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan

suatu kelompok masyarakat, biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau agama yang sama.

Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke

generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

Kebiasaan juga dapat diartikan sesuatu yang dilakukan secara periodik atau terus-menerus.

Kebiasaan erat hubungannya dengan tingkah laku, pada pembahasan ini dikhususkan pada

bidang kesehatan di wilayah Banyumas. Kebiasaan yang paling sering terlihat dari masyarakat

Banyumas antara lain :

a. Mekong (Mepe Bokong)

Merupakan kebiasaan yang dilakukan orang pedesaan secara bersama-sama di

pinggir sungai untuk melakukan BAB. Menurut kepercayaan orang pedesaan yang masih

melakukan hal ini adalah untuk mempermudah kegiatan BAB. Jika dilakukan di jamban

orang-orang harus menyiram dan dilakukan sendirian (tidak bisa sambil mengobrol),

sedangkan jika dilakukan mekong ini, masyarakat merasa praktis, tidak perlu menyiram,

selain itu karena banyak teman yang melakukan hal tersebut orang-orang menganggap hal

ini menarik mereka dapat melakukan BAB sambil mengobrol dengan teman yang ada di

sebelahnya.

Menurut pandangan kesehatan, kebiasaan ini tentu merugikan karena jika BAB

dilakukan bersama-sama dan berjejer di sungai yang memiliki satu aliran, maka resiko

penularan penyakit fekal-oral (bakteri, virus, parasit) akan sangat tinggi. Tingkat

kebersihan diri juga terganggu karena BAB dilakukan tanpa pembersihan dengan sabun

setelahnya, hanya dengan aliran air sungai, dari segi lingkungan juga pastinya tercemar

karena kemungkinan besar air sungai tersebut juga digunakan untuk memenuhi kebutuhan

yang lainnya.

b. Nginang

Nginang (bahasa banyumas) adalah mengunyah daun sirih yang biasanya ditambah

kapur, biji pinang / jambe, gambir. Nginang dilakukan untuk membersihkan gigi

menggunakan tembakau dengan cara digosok-gosokan.

Salah satu hal yang dibutuhkan saat nginang ialah tembakau. Berbeda dengan

merokong, tembakau disini dinikmati dengan cara dikunyah bersama daun sirih. Meski

Page 10: Laporan Direct Learning 1

tidak berasap, nginang ternyata memiliki risiko kesehatan yang sama dengan merokok.

Saat nginang, tembakau tidak digunakan sendirian melainkan ada campurannya,di

antaranya adalah endapan kapur (Jawa: njet), buah pinang, daun gambir dan tidak lupa

daun sirih. Masyarakat meyakini, tradisi ini memberikan manfaat bagi kesehatan gigi dan

mulut. Meski belum banyak penelitian tentang dugaan tersebut, kebanyakan penginang

memang memiliki mulut yang sehat serta gigi yang kuat meski berwarna agak kekuningan.

Nginang mungkin memberikan manfaat dalam bidang kesehatan sebab beberapa

campurannya yakni gambir serta daun sirih dikenal sebagai antiseptik. Senyawa fitokimia

yang terkandung di dalamnya dapat mencegah pertumbuhan kuman-kuman penyebab

sakit gigi dan bau mulut. Selain itu nginang juga menggunakan endapan kapur sebagai

campuran. Endapan yang telah membentuk pasta ini mengandung kalsium, yang diyakini

punya manfaat bagi kesehatan gigi dan tulang. Penjelasan tersebut membuat manfaat

nginang belum terbantahkan, namun masih ada satu komponen lagi yang masih

kontroversial, yakni tembakau.

Menurut penelitian oleh National Board of Health and Welfare (1997), pada smokeless

tobacco (produk tembakau non-rokok) termasuk nginang, dijumpai risiko kesehatan yang

sama dengan merokok meski sedikit lebih kecil. Risiko penyakit jantung dan pembuluh

darah pada smokeless tobacco meningkat 2 kali lipat dibandingkan ketika tidak

mengonsumsi tembakau. Sedangkan pada rokok, risiko terebut meningkat 3 kali lipat.

Selain itu, smokeless tobacco dapat meningkatkan tekanan darah sehingga memperbesar

risiko hipertensi (National Board of Health and Welfare, 1997).

Hal yang sama juga terjadi pada rokok, karena dampak negatifnya lebih kecil, dalam

hal ini nginang bisa dikatakan lebih aman dibandingkan rokok. Apalagi dampak tersebut

hanya dialami oleh yang bersangkutan, tidak seperti rokok yang mengenal istilah perokok

pasif. Jika dari sisi kesehatan dampak negatif nginang sudah ditemukan, dampak negatif

dari sisi lingkungan sebenarnya juga ada. Salah satu komponen dalam nginang adalah

pinang, yang mengandung alkaloid bernama arecoline. Senyawa ini akan memberi warna

yang khas pada air liur saat nginang, yakni merah terang. Kebiasaan buruk di desa-desa

adalah meludah sembarangan, dengan warna air liur yang semacam itu, kebiasaan itu

tentu saja akan meninggalkan noda berupa bercak merah di mana-mana.

D. Perbedaan Masyarakat Desa Dan Kota Banyumas

Masyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah sekelompok orang yang membentuk

sebuah sistem semi tertutup (atau semi terbuka), dimana sebagian besar interaksi adalah antara

individu-individu yang berada dalam kelompok tersebut. Menurut Selo Sumardjan masyarakat adalah

orang-orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan. Horton dan Hunt (2006:59)

Page 11: Laporan Direct Learning 1

mendefinisikan masyarakat sebagai sekumpulan manusia yang secara relative mandiri, yang secara

bersama-sama cukup lama, yang mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama,

dan melakukan sebagian besar kegiatannya dalam kelompok tersebut. Berdasarkan definisi di atas

dapat disimpulkan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan orang yang berada pada wilayah

tertentu yang saling berinteraksi dan memilki tujuan yang sama dan saling bekerjasama untuk

mencapai tujuan tersebut (Murdiyatmoko, 2007).

Dalam masyarakat modern, sering dibedakan antara masyarakat pedesaan (rural community)

dan masyarakat perkotaan (urban community). Menurut Soekanto (1994), per-bedaan tersebut

sebenarnya tidak mempunyai hubungan dengan pengertian masyarakat sederhana, karena dalam

masyarakat modern, betapa pun kecilnya suatu desa, pasti ada pengaruh-pengaruh dari kota.

Perbedaan masyarakat pedesaan dan masyarakat perkotaan, pada hakekatnya bersifat gradual

(Oktaviana, 2006).

Masyarakat perkotaan sering disebut urban community. Pengertian masyarakat kota lebih

ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat

pedesaan. Ada beberap ciri yang menonjol pada masyarakat kota yaitu (Murdiyatmoko, 2007):

1. kehidupan keagamaan berkurang bila dibandingkan dengan kehidupan keagamaan di desa

2. orang kota pada umumnya dapat mengurus dirinya sendiri tanpa harus bergantung pada orang

lain. Yang penting disini adalah manusia perorangan atau individu

3. pembagian kerja di antara warga-warga kota juga lebih tegas dan mempunyai batas-batas

yang nyata

4. kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan juga lebih banyak diperoleh warga

kota dari pada warga desa

5. interaksi yang terjai lebih banyak terjadi berdasarkan pada faktor kepentingan daripaa faktor

pribadi

6. pembagian waktu yang lebih teliti dan sangat penting, untuk dapat mengejar kebutuhan

individu

7. perubahan-perubahan sosial tampak dengan nyata di kota-kota, sebab kota biasanya terbuka

dalam menerima pengaruh dari luar.

Berbeda dengan masyarakat kota, masyarakat desa memiliki ciri-ciri atau dalam hidup

bermasyarakat, yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Beberapa karakteristik

masyarakat desa yang masih sering dijumpai terutama di kabupaten Banyumas, antara lain

(Oktaviana, 2006):

a. Sederhana.

Sebagian besar Masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan, kesederhanaan ini terjadi

karena dua hal :

1) Secara ekonomi memang tidak mampu.

Page 12: Laporan Direct Learning 1

2) Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.

b. Mudah CurigaMudah curiga

Secara umum, Masyarakat desa akan menaruh curiga pada :

1) Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya

2) Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”

c. Menjunjung tinggi Kesopanan

Sebagai orang timur, Orang desa sangat menjungjung tinggi kesopanan apabila :

1) Bertemu dengan tetangganya.

2) Berhadapan dengan pejabat.

3) Berhadapan dengan orang yang telah tua/dituakan

4) Berhadapan dengan orang yang telah mampu secara ekonomi.

5) Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya.

d. Kekeluargaan

Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa, terutama di Banyumas bahwa

suasana kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari

mereka.

e. Lugas

Berbicara apa adanya (jujur) itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa, mereka tidak

peduli apakah ucapanya menyakitkan atau tidak bagi orang.

f. Tertutup dalam hal keuangan.

Besarnya masyarakat desa akan menutup diri manakalah ada orang yang bertanya tentang

sisi ekonomi keluarga. Apabila jika orang tersebut belum begitu dikenalnya.

g. Perasaan “minder” terhadap orang kota.

Satu fenomena yang ditampakkan oleh masyrakat desa, baik secara langsung ketika

bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup besar. Biasanya

mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.

h. Menghargai orang lain.

Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimnya

sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam

wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa

disebut dengan “ngajeni”.

i. Jika diberi janji, akan selalu diingat.

Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapakan seseorang/komunitas tertentu akan

sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh

pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait

dengan program pembangunan di daerahnya.

Page 13: Laporan Direct Learning 1

j. Suka Gotong royong.

Salah satu cirri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampiri seluruh kawasan Indonesia

adalah gotong-royong.

k. Demokratis

Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi didesa, pengambilan keputusan

terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme mesyawarah

untuk mufakat.

l. Religius.

Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius, artinya dalam keseharian mereka taat

menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam

kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan.

Menurut Poplin (1972) perbedaan masyarakat desa dan kota sebagai berikut:

Masyarakat Desa Masyarakat Kota

Perilaku homogen

Perilaku yang dilandasi oleh konsep

kekeluargaan dan kebersamaan

Perilaku yang berorientasi pada tradisi dan

status

Isolasi sosial, sehingga statik

Kesatuan dan keutuhan kultural

Banyak ritual dan nilai-nilai sakral

Kolektivisme

Perilaku heterogen

Perilaku yang dilandasi oleh konsep

pengandalan diri dan kelembagaan

Perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan

fungsi

Mobilitas sosial, sehingga dinamik

Kebauran dan diversifikasi kultural

Birokrasi fungsional dan nilai-nilai sekular

Individualisme

Pada masyarakat Banyumas perbedaan-perbedaan karakteristik tersebut masih sering

ditemukan. Sebagai contohnya, pada masyarakat yang tngga di Desa Gandatapa mereka masih

sangat kental sekali dengan ritual-ritual dan nilai-nilai sakral, seperti sering diadakannya upacara

Ngupati ataupun Mitoni. Mereka berangapan dengan diadakan ritual-ritual seperti itu anak mereka

dapat menjadi anak yang sukses. Namun, apabila kita melihat masyarakat kota, terutama yang berada

di kawasan Purwokerto Kota, kita akan jarang menemukan ritual-ritual semacam itu.

Pada masalah kesehatan, masyarakat-masyarakat yang tinggal di desa Gandatapa mereka

dalam mengatasi demam yang dialami bayi mereka. Mereka menggunakan cara-cara tradisional

seperti menggunakan tali pusat bayi. Mereka percaya dengan cara semacam itu dapat menyembuhkan

Page 14: Laporan Direct Learning 1

anaknya. Minimnya pelayanan kesehtan yang ada di sana menjadi salah satu faktor bagi mereka untuk

menggunakan cara-cara tradisional.

Berbeda dengan dengan masyarakat kota, khususnya di Purwokerto, sangat mudah sekali

untuk mengakses layanan kesehatan. Sehingga masyarakat perkotaan lebih memilih untuk berobat di

pusat-pusat kesehatan yang ada daripada menggunakan cara-cara tradisional.

E. Strategi Pendekatan pada Masyarakat Desa dan Kota Banyumas

Dalam menyusun strategi sederhana pendekatan pada masyarakat desa atau kota Banyumas,

dapat dilihat dari karakter masyarakat. Strategi pendekatan sederhana yang dapat dilakukan pada

masyarakat desa atau kota Banyumas ialah strategi pendekatan edukatif dan strategi pendekatan

keperawatan komunitas. Strategi pendekatan edukatif memiliki tujuan untuk memecahkan masalah

yang dihadapi oleh masyarakat yang merupakan masalah keperawatan komunitas dan

mengembangkan kemampuan masyarakat untuk dapat memecahkan masalah tersebut secara gotong

royong (Dermawan, D, 2012).

Strategi dasar pendekatan edukatif dapat dilakukan dengan mengembangkan provider yaitu

pendekatan terhadap pemuka atau pejabat masyarakat. Hal ini bertujuan untuk memperoleh suatu

dukungan secara politis dan bijaksana dalam memecahkan suatu masalah yang dihadapi masyarakat

(Dermawan,D, 2012). Sedangkan strategi pendekatan keperawatan komunitas yaitu:

a. Kemitraan (Partnership)

Kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk dapat memecahkan suatu masalah berdasarkan

kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan atau memberi manfaat (Depkes, RI,

2005). Kemitraan dapat dilakukan perawat komunitas melalui upaya membangun dan

membina jejaring kemitraan dengan pihak-pihak yang terkait seperti profesi kesehatan yang

lainnya, stakes holder (Puskesmas, Dinas Kesehatan, Departemen Sosial, Pemerintah Kota),

dan tokoh masyarakat setempat.

b. Pemberdayaan (Empowerment)

Proses pemberian kekuatan, dorongan, atau dukungan kepada masyarakat untuk membentuk

pengetahuan baru, sehingga masyarakat dapat bekerja sama dalam membangun kesehatan

atau dalam memecahkan suatu masalah.

c. Pendidikan Kesehatan

Stategi utama dalam upaya pencegahan terhadap suatu kejadian. Pendidikan kesehatan

bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi disabilitas serta

mengaktualisasikan potensi kesehatan yang dimiliki oleh individu, keluarga, dan masyarakat.

d. Proses Kelompok

Salah satu strategi intervensi keperawatan yang dilakukan bersama-sama dengan masyarakat

melalui pembentukan sebuah kelompok. Tujuannya adalah untuk melakukan perubahan pada

Page 15: Laporan Direct Learning 1

individu, keluarga, dan masyarakat. Selain strategi tersebut, pengorganisasian masyarakat

juga dapat dilakukan sebagai suatu proses perubahan komunitas yang memberdayakan

individu dan kelompok beresiko (Swanson & Nies, 2007).

KESIMPULAN

Wilayah Banyumas merupakan region sebagian besar penelitian dan kegiatan kemahasiswaan

yang berorientasi pedesaan oleh mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman. Begitu pula mahasiswa

keperawatan, terutama pada mata kuliah atau stase profesi keperawatan komunitas yang

mengharuskan terjun langsung ke masyarakat.

Proses keperawatan masyarakat salah satunya ialah pengkajian dan orientasi wilayah agar

lebih mengenal daerah dan masyarakat yang akan dikelola demi terciptanya asuhan keperawatan

komunitas yang baik dan sesuai serta tercapainya tujuan. Pada laporan direct learning ini membahas

tentang potret wilayah dan masyarakat Banyumas Kota dan Desa, dimana di dalamnya terangkum

karakteristik, budaya, kebiasaan masyarakat Banyumas, perbedaan karakter masyarakat desa dan

kota hingga penyusunan strategi sederhana pendekatan pada masyarakat desa dan kota Banyumas.

Karakter masyarakat Banyumas yang sebagian besar bebas serta tidak terlalu perduli (acuh)

berpengaruh terhadap pemenuhan kesehatan secara individu, keluarga dan masyarakat secara

keseluruhan. Masih adanya budaya dan kebiasaan yang menyimpang dengan teori kesehatan saat ini

seperti yang dijelaskan pada pembahasan di atas menjadi alasan dapatnya dilakukan proses

keperawatan komunitas di daerah Banyumas. Adapun strategi sederhana pendekatan pada

masyarakat desa dan kota dapat berupa kemitraan (partnership), pemberdayaan (empowerment),

pendidikan kesehatan dan proses kelompok (Dermawan,D, 2012).

Page 16: Laporan Direct Learning 1

DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, Deden. (2012). Buku Ajar Keperawatan Komunitas. Yogyakarta: Gosyen Publishing

Murdiyatmoko, J. (2007). Sosiologi memahami dan mengkaji masyarakat. Bandung: Grafindo Media

Pratama.

National Board of Health and Welfare. (1997). Retrieved November 11, 2012, from ncbi.nlm.nih.gov

Oktaviana, M. (2006). Sosiologi komunikasi. Bogor: Percetakan Universitas Mercu Buana.

Priyadi, S. (2003). Beberapa Karakter Orang Banyumas. Bahasa dan Seni , 31.

Swanson & Nies. (2007). Community Health Nursing Promoting the Health of Aggregates Second

Edition. Philadelpia: W. B Saunders Company