laporan bioetik

30
BAB I PENDAHULUAN Pemicu X, 39 tahun, dan Y, 46 tahun, merupakan pasangan yang sudah menikah selama 13 tahun dan belum dikaruniai anak. Y merasakan kesepian dalam kehidupannya karena tak kunjung dapat menimang buah hati. X yang melihat kemurungan hati suaminya itu kemudian mengusulkan untuk menjalani bayi tabung. Y merasa bahagia dengan ide yang dilontarkan istrinya. Mereka kemudian mengkonsultasikan hal tersebut kepada salah seorang dokter kandungan di kota mereka. Sang dokter menyarankan untuk dilakukan fertilisasi buatan dengan cara bayi tabung. Setelah menjalani beberapa minggu program, pembuahan dinyatakan berhasil, dokter mendapatkan 10 buah embrio. Sejak awal mengikuti program ini X dan Y memang menghendaki seorang anak saja. X dan Y merasa sudah cukup tua untuk merawat anak lebih dari seorang. Dokter menanamkan hanya satu embrio pada rahim X X dan Y sangat bahagia dengan kehamilan X. Akhirnya yang menjadi keinginan mereka selama ini terkabul. X dan Y rajin memeriksa kehamilan. X dan Y juga tidak menolak dilakukan pemeriksaan genetik

Upload: ivo-afiani

Post on 28-Dec-2015

101 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

tugas kampus

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN BIOETIK

BAB I

PENDAHULUAN

Pemicu

X, 39 tahun, dan Y, 46 tahun, merupakan pasangan yang sudah menikah

selama 13 tahun dan belum dikaruniai anak. Y merasakan kesepian dalam

kehidupannya karena tak kunjung dapat menimang buah hati. X yang melihat

kemurungan hati suaminya itu kemudian mengusulkan untuk menjalani bayi

tabung. Y merasa bahagia dengan ide yang dilontarkan istrinya.

Mereka kemudian mengkonsultasikan hal tersebut kepada salah seorang

dokter kandungan di kota mereka. Sang dokter menyarankan untuk dilakukan

fertilisasi buatan dengan cara bayi tabung. Setelah menjalani beberapa minggu

program, pembuahan dinyatakan berhasil, dokter mendapatkan 10 buah embrio.

Sejak awal mengikuti program ini X dan Y memang menghendaki seorang

anak saja. X dan Y merasa sudah cukup tua untuk merawat anak lebih dari

seorang. Dokter menanamkan hanya satu embrio pada rahim X

X dan Y sangat bahagia dengan kehamilan X. Akhirnya yang menjadi

keinginan mereka selama ini terkabul. X dan Y rajin memeriksa kehamilan. X dan

Y juga tidak menolak dilakukan pemeriksaan genetik terhadap janinnya. Bagai di

sambar petir di siang bolong, X dan Y merasa kaget karena mendapati penjelasan

dokter bahwa bayinya kemungkinan akan lahir cacat karena kelainan genetik.

X merasa begitu terpukul dengan penjelasan dokter tersebut. Y tidak kalah

bersedih. Mereka merasa bimbang untuk menentukan nasib si bayi selanjutnya.

Mempertahankan bayi, dengan kemungkinan bayi akan terlahir cacat, sesuai

penjelasan dokter. Atau menggugurkannya, sembari mempertimbangkan sudah

berbagai usaha yang mereka lakukan untuk mendapatkan kehamilannya itu.

Page 2: LAPORAN BIOETIK

Rumusan Masalah

Terjadi kelainan genetik pada bayi tabung dan dipetimbangkan terminasi

Analisis Masalah

Hipotesis

Tidak boleh dilakukan aborsi atau terminasi

Bayi Tabung

Kelainan Genetik

Pertimbangan terminasi

Hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung dan aborsi atau terminasi

Kaidah Dasar Bioetika

Keputusan Akhir

Primafaci

Page 3: LAPORAN BIOETIK

Pertanyaan Diskusi

1. Jelaskan mengenai Kaidah Dasar Bioetika

2. Jelaskan hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung

3. Jelaskan hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau terminasi

4. Analisis Kaidah Dasar Bioetika pada kasus

5. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung

6. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau terminasi

7. Primafaci dan pengambilan keputusan

Page 4: LAPORAN BIOETIK

BAB II

PEMBAHASAN

1. Kaidah Dasar Bioetika

Prinsip-Prinsip Etika (Kaidah Dasar Bioetik)

Prinsip-prinsip etika adalah aksiom yang mempermudah penalaran etik.

Prinsip-prinsip tersebut harus spesifik. Pada prakteknya, satu prinsip dapat

dipertimbangkan dengan prinsip lain. Pada beberapa kasus, satu prinsip dapat

bersifat lebih penting dari prinsip lainnya.1

Beauchamp dan Childress (1994) menguraikan ( Empat prinsip etika

Eropa ) bahwa untuk mencapai ke suatu keputusan ETIK diperlukan 4 Kaidah

Dasar Moral / Kaidah Dasar Bioetik (Moral Principle) dan beberapa rules atau

kriteria dibawahnya. Keempat Kaidah Dasar Moral tersebut adalah1 :

1. Prinsip “Autonomy” (self-determination)

Yaitu prinsip yang menghormati hak-hak pasien, terutama hak

otonomi pasien (the rights to self determination) dan merupakan kekuatan

yang dimiliki pasien untuk memutuskan suatu prosedur medis. Prinsip

moral inilah yang kemudian melahirkan doktrin Informed consent. Prinsip

ini menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk

menentukan keputusannya, dalam konteks orang tersebut adalah orang

yang dianggap mampu untuk mengambil keputusan sendiri.

2. Prinsip tidak merugikan “Non-maleficence”

Adalah prinsip menghindari terjadinya kerusakan atau prinsip

moral yang melarang tindakan yang memperburuk keadaan pasien. Prinsip

ini dikenal sebagai “primum non nocere” atau “above all do no harm”.

3. Prinsip murah hati “Beneficence”

Yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan

ke kebaikan pasien atau penyediaan keuntungan dan menyeimbangkan

Page 5: LAPORAN BIOETIK

keuntungan tersebut dengan risiko dan biaya. Dalam Beneficence tidak

hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan saja, melainkan juga perbuatan

yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar daripada sisi buruknya (mudharat).

Prinsip etika yang dapat digunakan adalah minus malum dan double effect.

Apabila kita terpaksa memilih diantara dua pilihan yang buruk, maka

harus dipilih suatu pilihan yang mempunyai nilai konsekuensi kejahatan

paling minimum.

4. Prinsip keadilan “Justice”

Yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan

dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive

justice) atau pendistribusian dari keuntungan, biaya dan risiko secara adil.

2. Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Bayi Tabung

Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Bayi Tabung

Beberapa masalah hukum dapat muncul dari teknologi reproduksi,

diantaranya menyangkut pelaksananya (dokter, peneliti, ilmuwan), suami, istri,

donor sperma, donor ovum, ibu pengganti (surrogate mother), dan bayi yang

dilahirkan/diciptakan dengan proses tersebut. Secara legal, harus pula dijabarkan

beberapa definisi yang jelas,misalnya: ayah legal (sah secara hokum), ayah

biologis (ayah genetis), ayah tiri, ibulegal (sah menurut hukum), ibu biologis I

(yang mengandung janin pada permulaan),ibu biologis II (yang mengandung

selanjutnya dan melahirkan), ibu tiri, ibu surrogate,anak kandung, anak tiri, anak

biologis I, anak biologis II, anak angkat, anak cloning atau genetic engineering . 2

Inseminasi Buatan (Artificial Insemination).

Pada inseminasi buatan, sperma dimasukkan dalam rahim (uterus) dengan

cara mekanis buatan (injeksi). Proses pembuahan, penyuburan, kehamilan,

persalinan, dan kelahiran selanjutnya berjalan seperti pada inseminasi normal.

Inseminasi buatan dapat dilakukan dengan sperma dari suami (Artificial

Page 6: LAPORAN BIOETIK

Insemination Husband /AIH atau inseminasi buatan homolog) atau dengan

sperma laki-laki lain/donor (Artificial Insemination Donor /AID atau inseminasi

buatan heterolog), atau dapat juga digunakan campuran sperma suamidan donor

(Combined Artificial Insemination/ CAI).2

Etik dan Hukum Reproduksi Buatan di Indonesia

Di Indonesia hukum dan perundangan yang mengatur tentang teknik reproduksi

buatan di atur di dalam:

A. Undang-undang kesehatan No. 23 tahun 1992, pasal 16, yang

menyebutkan antara lain:

1. Kehamilan di luar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir

untuk membantuk suami-isteri mendapatkan keturunan.

2. Upaya kehamilan di luar cara alami sebagai mana dimaksud dalam ayat

(1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami-isteri yang sah dengan

ketentuan:

a. Hasil pembuahan sperma dan ovum dari suami-isteri yang

bersangkutan, ditanam dalam rahim isteri dari mana ovum berasal.

b. Dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan

kewenangan untuk itu.

c. Pada sarana kesehatan tertentu.

3. Keputusann mengenai persyaratan penyelenggaraan kehamilan di luar

cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

B. Keputusan menteri Kesehatan NO. 72/ Menkes/Per/II/1999 tentang

Penyelenggaraan Teknologi Reproduksi Buatan, yang berisikan tentang:

Ketentuan Umum, perizinan, Pembinaan dan Pengawasan, Ketentuan

Peralihan, dan ketentuan Penutup.

Selanjutnya, atas keputusan Menkes RI tersebut diatas, dibuat pedoman

Pelayanan Bayi tabung di Rumah Sakit, oleh Direktorat Rumah Sakit Khusus dan

Swasta, Departemen kesehatan RI yang menyatakan bahwa3:

Page 7: LAPORAN BIOETIK

1. Pelayanan Teknologi Buatan hanya dapat dilakukan dengan sel telur

dan sperma suami-isteri yang bersangkutan.

2. Pelayanan Reproduksi Buatan merupakan bagian dari pelayanan

infertilitas, sehingga kerangka pelayanannya merupakan bagian dari

pengelolaan pelayanan infertilitas secara keseluruhan.

3. Embrio yang dapat dipindahkan satu waktu ke dalam rahim isteri tidak

lebih dari tiga; boleh dipindahkan empat embrio pada kesehatan:

a Rumah sakit memiliki 3 tingkat perawatan intensif bayi baru

lahir.

b Pasangan suami-isteri sebelumnya sudah mengalami sekurang-

kurangnya dua kali prosedur teknologi reproduksi yang gagal,

atau

c Isteri berumur lebih dari 35 tahun.

4. Dilarang melakukan surogasi dalam bentuk apapun.

5. Dilarang melakukan jual beli embrio, ova dan spermatozoa.

6. Dilarang menghasilkan embrio manusia semata-mata untuk penelitian.

Penelitian atau sejenisnya terhadap embrio manusia hanya dilakukan

kalau tujuan penelitiannya telah dirumuskan dengan sangat jelas.

7. Dilarang melakukan penelitian terhadap atau dengan menggunakan

embrio manusia yang berumur lebih dari 14 hari sejak tanggal

fertilisasi.

8. Sel telur manusia yang dibuahi dengan spermatozoa manusia tidak

boleh dibiak in-vitro lebih dari 14 hari (tidak termasuk hari-hari

penyimpanan dalam suhu yang sangat rendah atau simpan beku).

9. Dilarang melakukan penelitian atau eksperimentasi terhadap atau

dengan menggunakan embrio, ova dan atau spermatozoa manusia

tanpa izin khusus dan dari siapa sel telur atau spermatozoa itu

diperoleh.

10. Dilarang melakukan fertilisasi trans-spesies kecuali apabila fertilisasi

trans-spesies diakui sebagai cara untuk mengatasi atau mendiagnosis

Page 8: LAPORAN BIOETIK

infertilisasi pada manusia. Setiap hybrid yang terjadi akibat fertilisasi

trans-spesies harus segera diakhiri pertumbuhannya pada tahap 2 sel.

Dapat disimpulkan dari pasal tersebut bahwa hasil pembuahan sperma dan

sel telur diluar cara alami dari suami atau istri yang bersangkutan harus

ditanamkan dalam rahim istri dari mana sel telur itu berasal. Pelaksanaan

inseminasi buatan yang diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang

sah, lalu menggunakan sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang

kemudian embrionya ditanam dalam rahim isteri. Pernyataan ini menjawab

pertanyaan tentang kemungkinan dilakukannya pendonoran embrio. Hal ini

dilakukan untuk menjamin status anak tersebut sebagai anak sah dari pasangan

suami isteri tersebut. 4

Inseminasi Buatan dari Segi Hukum di Luar Indonesia

Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, di luar negeri, seperti di Australia

misalnya, masalah hukum biasanya lebih banyak menyertai praktek inseminasi

buatan AID, bukannya AIH karena sperma yang digunakan adalah berasal bukan

dari suami. Masalah hukum diantaranya seperti hak anak, hak orangtua pendonor,

hak pemeliharaan, perawatan, dan hak mewaris. Anak dari pasangan yang telah

menikah dan lahir dari proses AID memiliki posisi hukum yang berbeda

dibandingkan dengan anak yang lahir dari hubungan seksual. Anak tersebut bukan

anak biologis dari suami ibunya dan oleh karena itu dipandang haram di depan

hukum. Di depan hukum, anak juga sebaiknya tidak diikutsertakan dalam warisan

yang diturunkan ‘ayah kepada anaknya’ dan tidak ikut mengklaim tanah milik si

ayah setelah si ayah meninggal. Sebagai tambahan, sebaiknya ayah tidak

diikutsertakan dalam merawat si anak jika suatu saat orangtua berpisah. Pada

hukum secara umum, yang memiliki hak dan tanggung jawab tersebut adalah

pendonor sperma.

Pada Oktober 1983, pemerintah Australia mengamandemen Family Law

Act 1975. Dari seksi 5A(1) dan (3) pada Family Law Amandement Act 1983,

dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang lahir melalui proses AID dapat

Page 9: LAPORAN BIOETIK

dipandang sebagai anak sah dari ayah sosialnya, apabila prosedur medis itu

dilakukan dengan persetujuan ayah atau dibawah suatu UU/peraturan negara anak

itu dipandang anak dari ayahnya. Yang dimaksud sebagai prosedur medis disini

adalah inseminasi buatan atau implantasi sebuah embrio dalam tubuh

seorangwanita.

Di negara bagian New South Wales, the Artificial Conception Act pada

tahun 1984 dan Status of Children ( Amandement) Act tahun 1984 di Victoria,

Australia mengatakan bahwa anak yang lahir dari pasangan yang secara de facto

telah menikah dan hasilfertilisasi-in-vitro atau pembuahan oleh donor akan

diperlakukan, untuk segala keperluan hukum sebagai anak dari orang tua sosial

mereka. Pendonor sperma atau sel telur, berdasarkan undang undang tersebut

untuk segala maksud, tidak diakui sebagai ayah atau ibu dari anak manapun yang

lahir sebagai hasil dari kehamilan yang terjadi.

Yuridiksi pertama di dunia yang mengatur secara komprehensif apa yang

boleh atau tidak boleh dilakukan oleh praktisi medis dalam prosedur fertilisasi-in-

vitro adalah Infertility (Medical Procedures) Act tahun 1984 di Victoria,

Australia. UU tersebut secara tegas menjatuhkan sanksi, termasuk hukuman

hingga empat tahun penjara kepada pelaku yang melakukan fertilisasi-in-vitro

atau bereksperimen dengan embriomanusia tidak berdasarkan UU. Ketetapan itu

termasuk:

Prosedur fertilisasi-in-vitro hanya bisa dilaksanakan di rumah sakit

yang telah disetujui.

Melaksanakan fertilisasi-in-vitro atau pembuahan oleh donor, oleh

orang yang bukan praktisi kedokteran adalah dilarang

Hanya pasangan yang telah menikah dan memiliki hubungan secara

de facto (seksi 3(22)) dapat mengikuti program fertilisasi-in-vitro.

Semua pasien, dalam kurun waktu dua belas bulan sebelum program

fertilisasi-in-vitro dimulai, telah berusaha mencari pengobatan untuk

infertilitas danmenerima konseling.

Menggunakan donor sperma, telur, atau embrio adalah pilihan terakhir

dandiijinkan hanya jika tidak ada kemungkinan yang rasional untuk

Page 10: LAPORAN BIOETIK

terjadinyakehamilan, atau anak yang akan dilahirkan oleh wanita

tersebut didugamengidap penyakit keturunan.

Tidak ada pembayaran untuk sperma, telur, atau embrio, selain yang

telahditentukan untuk pengeluaran medis atau biaya perjalanan yang

dikeluarkan pendonor.

Pembekuan embrio diperbolehkan, pelaksanaannya bertujuan untuk

mengimplantasikan embrio tersebut di masa yang akan datang.

Standing Review and Advisory Committeeditetapkan beranggotakan

delapan orang. Dimana para anggotanya termasuk dua orang praktisi

kedokteran dan duaanggota mewakili lembaga keagamaan.

Pencatatan kelahiran bayi melalui proses fertilisasi-in-vitro harus

dilakukan daninformasi yang tidak memihak diberikan kepada

pendonor, pasien, serta anak yang lahir dari proses fertilisasi-in-vitro

Eksperimen pada embrio tidak diijinkan, kecuali telah disetujui oleh

Standing Review and Advisory Committe.

Penggunaan sel gamet yang dihasilkan oleh orang dibawah umur 18

tahun dan belum menikah adalah melanggar UU.

Komersialisasi ibu pengganti (surrogate mother) tidak dapat

dibenarkan secarahukum dan dapat dikenakan sanksi dua tahun

penjara jika memberi ataumenerima pembayaran sebagai ibu

pengganti.

Memasang iklan untuk mencari ibu pengganti atau untuk

memberitahukankeberadaan jasa ibu pengganti adalah melanggar UU.

Kloning dan pembuahan antar spesies adalah melanggar UU.Pada

bagian 10,11,12,13, dan 13A dari Infertility (Medical Procedures) Act

tahun1984 di Victoria telah jelas disebutkan bahwa ‘wanita dan

suaminya’ harus memberikan persetujuan secara tertulis untuk

mengimplantasikan embryo dan tidak dapat membatalkannya di

kemudian hari. Dampak dari ketentuan ini tampak jika pasangan

inimemutuskan untuk berpisah dan suami berkeberatan dilakukannya

Page 11: LAPORAN BIOETIK

implantasi embriomaka implantasi embrio pada ibu tidak dapat

dilakukan.

3. Hukum dan Profesionalisme Medikolegal Aborsi atau Terminasi

Abortus telah dilakukan oleh manusia selama berabad-abad, tetapi selama

itu belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindakan abortus.

Peraturan mengenai hal ini pertama kali dikeluarkan pada tahun 4 M di mana telah

ada larangan untuk melakukan abortus. Sejak itu maka undang-undang mengenai

abortus terus mengalami perbaikan, apalagi dalam tahun-tahun terakhir ini di

mana mulai timbul suatu revolusi dalam sikap masyarakat dan pemerintah di

berbagai negara di dunia terhadap tindakan abortus.

Hukum abortus di berbagai negara dapat digolongkan dalam beberapa

kategori sebagai berikut:

Hukum yang tanpa pengecualian melarang abortus, seperti di Belanda.

Hukum yang memperbolehkan abortus demi keselamatan kehidupan

penderita (ibu), seperti di Perancis dan Pakistan.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi medik, seperti di

Kanada, Muangthai dan Swiss.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosio-medik, seperti

di Eslandia, Swedia, Inggris, Scandinavia, dan India.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi sosial, seperti di

Jepang, Polandia, dan Yugoslavia.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas permintaan tanpa

memperhatikan indikasi-indikasi lainnya (Abortion on requst atau

Abortion on demand), seperti di Bulgaris, Hongaria, USSR, Singapura.

Hukum yang memperbolehkan abortus atas indikasi eugenistis (aborsi

boleh dilakukan bila fetus yang akan lahir menderita cacat yang serius)

misalnya di India

Page 12: LAPORAN BIOETIK

Hukum yang memperbolehkan aborsi atas indikasi humanitarian (misalnya

bila hamil akibat perkosaan) seperti di Jepang,

Negara-negara yang mengadakan perubahan dalam hukum abortus pada

umumnya mengemukakan salah satu alasan/tujuan seperti yang tersebut di

bawah ini:

Untuk memberikan perlindungan hukum pada para medisi yang

melakukan abortus atas indikasi medik.

Untuk mencegah atau mengurangi terjadinya abortus provocatus

criminalis.

Untuk mengendalikan laju pertambahan penduduk.

Untuk melindungi hal wanita dalam menentukan sendiri nasib

kandungannnya.

Untuk memenuhi desakan masyarakat.

Di Indonesia, baik menurut pandangan agama, Undang-Undang Negara,

maupun Etik Kedokteran, seorang dokter tidak diperbolehkan untuk melakukan

tindakan pengguguran kandungan (abortus provokatus). Bahkan sejak awal

seseorang yang akan menjalani profesi dokter secara resmi disumpah dengan

Sumpah Dokter Indonesia yang didasarkan atas Deklarasi Jenewa yang isinya

menyempurnakan Sumpah Hippokrates, di mana ia akan menyatakan diri untuk

menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan.

Dari aspek etika, Ikatan Dokter Indonesia telah merumuskannya dalam

Kode Etik Kedokteran Indonesia mengenai kewajiban umum, pasal 7d: :Setiap

dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk

insani. Pada pelaksanaannya, apabila ada dokter yang melakukan pelanggaran,

maka penegakan implementasi etik akan dilakukan secara berjenjang dimulai dari

panitia etik di masing-masing RS hingga Majelis Kehormatan Etika Kedokteran

(MKEK). Sanksi tertinggi dari pelanggaran etik ini berupa "pengucilan" anggota

dari profesi tersebut dari kelompoknya. Sanksi administratif tertinggi adalah

pemecatan anggota profesi dari komunitasnya.

Page 13: LAPORAN BIOETIK

Ditinjau dari aspek hukum, pelarangan abortus justru tidak bersifat

mutlak. Abortus buatan atau abortus provokatus dapat digolongkan ke

dalam dua golongan yakni:

A. Abortus buatan legal

Yaitu pengguguran kandungan yang dilakukan menurut syarat dan cara-

cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Alasan yang mendasar untuk

melakukannya adalah untuk menyelamatkan nyawa ibu. Abortus atas indikasi

medik ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 36

Tahun2009 tentang Kesehatan5:

PASAL 75

1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi

2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan

berdasarkan:

a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini

kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/ atau janin, yang

menderita penyakit genetik berat dan/ atau cacat bawaan, maupun

yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut

hidup di luar kandungan; atau

b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma

psikologis bagi korban perkosaan

3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan

setelah melalui konseling dan/ atau penasehatan pra tindakan dan diakhiri

dengan konseling pasca tindakan yang dilakukan oleh konselor yang

kompeten dan berwenang.

4) Ketentuan lebih lanjut mengenai indikasi kedaruratan medis dan

perkosaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan

Peraturan Pemerintah.

PASAL 76:

Aborsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 hanya dapat dilakukan:

a. sebelum kehamilan berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari petama

haid terakhir, kecuali dalamhal kedaruratan medis;

Page 14: LAPORAN BIOETIK

b. oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan kewenangan yang

memiliki sertifikat yangditetapkan oleh menteri;

c. dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan;

d. dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan

e. penyedia layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh

Menteri.

PASAL 77:

Pemerintah wajib melindungi dan mencegah perempuan dari aborsi sebagaimana

dimaksud dalam Pasal75 ayat (2) dan ayat (3) yang tidak bermutu, tidak aman,

dan tidak bertanggung jawab serta bertentangandengan norma agama dan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

B. Abortus buatan illegal ( Abortus Provocatus Criminalis)

Yaitu pengguguran kandungan yang tujuannya selain untuk menyelamatkan atau

menyembuhkansi ibu, dilakukan oleh tenaga yang tidak kompeten serta tidak

memenuhi syarat dan cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang. Abortus

golongan ini sering juga disebut dengan abortus provocatus criminalis karena di

dalamnya mengandung unsur kriminal atau kejahatan.11 Beberapa pasal yang

mengatur abortus provocatus dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP):6,7

PASAL 299

1) Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh

supayadiobati, dengan diberitahukan atau ditimbulkan harapan, bahwa

karena pengobatan itu hamilnya dapatdigugurkan, diancam dengan

pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak

empatpulu ribu rupiah.

2) Jika yang bersalah, berbuat demikian untuk mencari keuntungan, atau

menjadikanperbuatan tersebut sebagai pencaharian atau kebiasaan atau

jika dia seorang tabib, bidan atau juru obat,pidananya dapat ditambah

sepertiga.

Page 15: LAPORAN BIOETIK

3) Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalammenjalankan

pencaharian, maka dapat dicabut haknya untuk melakukan pencaharian.

PASAL 346

Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau

menyuruh orang lain, untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama

empat tahun.

PASAL 347

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan

seorang wanita tanpa persetujuan, diancam dengan pidana penjara paling

lama dua belas tahun.

2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakan

pidana penjara paling lama lima belas tahun.

PASAL 348

1) Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan

seseorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara

paling lama lima tahun enambulan.

2) Jika perbuatan tersebut mengakibatkan matinya wanita tersebut,

dikarenakan pidana penjarapaling lama tujuh tahun.

PASAL 349

Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang

tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu

kejahatan yang diterangkandalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang

ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengn sepertigadan dapat dicabut hak

untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.

PASAL 535

Barang siapa secara terang-terangan mempertunjukkan suatu sarana

untuk menggugurkan kandungan, maupun secara terang-terangan atau tanpa

diminta menawarkan, ataupunsecara terang-terangn atau dengan menyiarkan

tulisan tanpa diminta, menunjuk sebagai bias didapat,sarana atau perantaraan yang

demikian itu, diancam dengan kurungan paling lama tiga bulan atau dendapaling

banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Page 16: LAPORAN BIOETIK

4. Analisis Kaidah Dasar Bioetika pada Kasus

1. Autonomy

Secara autonomy, pasien dapat memiliki keinginan untuk mempertahankan

bayi tersebut atau menggugurkan kehamilan tersebut. Bila pasien

mempertahankan bayi tersebut, maka itu merupakan hak pasien. Bila pasien

memilih menggugurkan kehamilan tersebut, sebenarnya pasien telah melanggar

autonomy dari calon bayi yang akan dilahirkannya, karena bagaimanapun juga,

janin telah memiliki kehidupan dan berhak untuk mempertahankan kehidupannya,

meskipun mengalami cacat genetik. Dalam hal ini dokter harus menjelaskan

secara rinci kepada pasien, mengenai kondisi bayi, dan mengenai tidak

diperbolehkannya abortus tanpa indikasi.

2. Non-Maleficence

Pada kondisi ini, kemungkinan cacat genetik yang dialami oleh janin tidak

sampai membahayakan kehamilan. Dalam kondisi ini, aborsi justru dapat

membahayakan nyawa pasien. Hal ini akan berbeda jika kelainan genetik pada

janin membahayakan nyawa pasien, maka akan dikaji ulang menurut dan

mempertimbangkan kaidah dasar bioetik yang lain.

3. Beneficence

Dalam kaidah beneficence, keuntungan pasien harus disesuaikan dengan

risiko. Jika aborsi dirasakan tidak membawa manfaat bagi ibu maupun janin,

sebaiknya tidak dilakukan, karena justru akan membahayakan nyawa ibu dan

merenggut nyawa janin.

4. Justice

Dalam justice, dokter harus memberikan keadilan, terutama kepada

kelompok yang rentan. Dokter harus dapat berlaku adil, terhadap pasien, maupun

terhadap janin yang dikandung pasien. Janin yang dikandung pasien memiliki hak

untuk hidup, dan perlu dibela kehidupan dan keadilannya.

Page 17: LAPORAN BIOETIK

5. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal bayi tabung

Teknologi inseminasi buatan di Indonesia telah diatur dalam pasal 16

Undang-Undang No.23/1992 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan

nomor 72 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Teknologi Reproduksi

Buatan. Dalam kedua peraturan tersebut pelaksanaan inseminasi buatan yang

diperbolehkan hanya kepada pasangan suami isteri yang sah, lalu menggunakan

sel sperma dan sel telur dari pasangan tersebut yang kemudian embrionya ditanam

dalam rahim isteri. Mengacu padaUU No.23/1992 tentang Kesehatan tersebut,

upaya yang dilakukan pasangan suami istri pada kasus untuk melakukan

bayi tabung diperbolehkan jika memenuhi syarat-syarat yang terteta pada

peraturan tersebut.

6. Analisis hukum dan profesionalisme medikolegal aborsi atau

terminasi

Pada kasus ini, secara undang-undang kandungan X harus tetap

dipertahankan. Kandungan X memiliki kelainan genetik, dan kemungkinan

mengalami kelainan atau cacat, namun kandungannya tidak memiliki indikasi

medis yang membahayakan si Ibu. Pengguguran kandungan yang tujuannya selain

untuk menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu, digolongkan sebagai abortus

provocatus criminalis karena di dalamnya mengandung unsur kriminal atau

kejahatan dan dapat dikenai hukuman.

7. Primafaci dan pengambilan keputusan

Berdasarkan pertimbangan aspek Kaidah Dasar Bioetika dan Hukum

Profesionalisme Medikolegal Aborsi atau Terminasi kandungan X tidak boleh

diterminasi.

Page 18: LAPORAN BIOETIK

Dari segi kaidah bioetika, terminasi melanggar non maleficence.

Melakukan terminasi pada kandungan berarti melanggar non maleficence dari

calon bayi yang akan dilahirkannya, karena bagaimanapun juga janin telah

memiliki kehidupan dan berhak untuk dipertahankan kehidupannya serta dengan

mempertahankan si-janin tidak akan membahayakan ibunya.

Selain itu secara medikolegal kasus bayi tabung ini tidak boleh dilakukan

terminasi. Karena terminasi pada tujuannya selain indikasi medis untuk

menyelamatkan atau menyembuhkan si ibu berarti termasuk Abortus Provocatus

Criminalis, dan dapat dikenai KUHP.

Page 19: LAPORAN BIOETIK

BAB III

Kesimpulan

Hipotesis diterima

Tidak boleh dilakukan aborsi atau terminasi

Page 20: LAPORAN BIOETIK

DAFTAR PUSTAKA

1. Beauchamp dan Childress. Principlers of biomedical ethics. New York:

Oxford University Press; 1994

2. Idries, AM. Aspek medikolegal pada Inseminasi Buatan/BayiTabung. Ed.1.

Jakarta : Binarupa Aksara; 1997.

3. Depkes. 2000. Pedoman Pelayanan Bayi Tabung di Rumah Sakit. Direktorat

Rumah Sakit Khusus Dan Swasta, Direktur Jenderal Pelayanan Medik,

Departemen Kesehaan RI.

4. Kansil, CST. Suplemen Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet.2 Jakarta :

Pradnya Paramita; 2003

5. 5.Juita SR, Heryanti, BR. Perlindungan Hukum Pidana Pada Korban

Perkosaan Yang MelakukanAbortus Provokatus. Jakarta : PT. Gramedia

Widiasarana Indonesia; 2002

6. Nainggolan LH. Aspek Hukum Terhadap Abortus Provokatus dalam

Perundang-undangan di Indonesia. Journal Equality Vol. 11 no. 2; 2006.4.

7. Budhiartie A. Legalisasi Abortus Provokatus Karena Pemerkosaan Sebagai

Implementasi Hak Asasi Perempuan. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri

Humaniora Vol. 13 No. 2; 2011.