laporan akhir peningkatan keterampilan ......tangga miskin yaitu apabila konsumsi per hari kurang...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN AKHIR
PENINGKATAN KETERAMPILAN RUMAH TANGGA MISKIN
DI KABUPATEN BULELENG
Oleh :
Ketua Peneliti : Drs I Gede Wardana, MSi
Anggota : Dr. I Gede Sujana Budhiasa, SE., MS.i
Anggota : Drs. I Made Jember, MS.i
Dibiayai oleh Pemerintah Kabupaten Bulelelng
Tahun Anggaran 2014/2015
FAKULTAS EKONOI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
2
AB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perjalanan pembangunan ekonomi pada tahun 1970-an membuktikan bahwa tidak
semua Negara berhasil mencapai prestasi pertumbuhan ekonomi yang dibarengi dengan
pemerataan pendapatan. Laporan dari Wold Bank (2013) menyajikan bahwa arah
perkembangan rumah tangga miskin sebagian besar masih terdapat di kawasan Negara
ASIA dan Pasific. Bank Dunia memberikan batasan tentang kriteria kelompok rumah
tangga miskin yaitu apabila konsumsi per hari kurang dari $ USD 1.75. Tantangan yang
semakin bear bagi sejumlah Negara untuk mengurangi penduduk miskin adalah bagian
dari misi pembangunan yang seharusnya menjadi pusat perhatian pemerintah di banyak
Negara dalam upaya meningkatkan prestiasi pertumbuhan ekonomi dengan sasaran
yang semakin meluas untuk mengurangi rumah tangga miskin.
Sen (1993) mengembangkan gagasan tentang pendekatan multi-dimensional dalam
memahami karakter keolmpok miskin, karena disadari kemiskinan tidak saja disebabkan
oleh terbatasnya peluang untuk hidup layak, tetapi juga terdapat persoalan multi-
komplek yang menyebabkan kemiskinan harus dipetakan dalam pendekatan ekonomi
dan non ekonomi.
Konsep tentang multi-dimensional criteria sebagaimana dikembagkan oleh Amartya
Sen (1982) termasuk konsep pengukuran human development index (HDI) adalah
konsep pengukuran criteria miskin yang berbasis pada pendekatan multi-dimensi, yaitu
miskin dalam pengertian rendahnya kesehatan, gizi dan rendahnya pendidikan formal (
3
Worl Bank Report, 2010). Berdasarkan sejumlah kajian, Badan Pusat Statistik Jakarta (
BPS, 2011) menyatakan adanya tiga kriteria pengentasan kemiskinan, yang dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
Kelompok 1: sangat miskin ,
Merupakan kelompok program penanggulangan kemiskinan Bantuan Sosial
berbasis keluarga. Kelompok program penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan
dan perlindungan social bertujuan untuk melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan
beban hidup, serta perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin. Fokus pemenuhan hak
dasar ditujukan untuk memperbaiki kualitas kehidupan masyarakat miskin untuk
kehidupan lebih baik, seperti pemenuhan hak atas pangan, pelayanan kesehatan, dan
pendidikan.
Kelompok 2 ; Miskin ,
Merupakan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Bantuan Sosial
berbasis Pemberdayaan Masyarakat. Upaya penanggulangan kemiskinan tidak cukup
hanya dengan memberikan bantuan secara langsung pada masyarakat miskin karena
penyebab kemiskinan tidak hanya disebabkan oleh aspek-aspek yang bersifat
materialistik semata, akan tetapi juga karena kerentanan dan minimnya akses untuk
memperbaiki kualitas hidup masyarakat miskin. Pendekatan pemberdayaan
dimaksudkan agar masyarakat miskin dapat keluar dari kemiskinan dengan
menggunakan potensi dan sumberdaya yang dimilikinya.
Kelompok 3 : rentan miskin
Merupakan Kelompok Program Penanggulangan Kemiskinan Bantuan Sosial berbasis
Pemberdayaan Usaha ekonomi Mikro dan Kecil. Program penanggulangan kemiskinan
berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil adalah program yang bertujuan untuk
memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku usaha berskala mikro dan kecil.
Aspek penting dalam penguatan adalah memberikan akses seluas-luasnya kepada
masyarakat miskin untuk dapat berusaha dan meningkatkan kualitas hidupnya
4
Berasarkan uraian kriteria miskian sebagaimana dijelaskan diatas, tampak bahwa
kabupaten Buleleng sedang dalam upaya menurunkan agka kelomok miskin yang saat
ini tersebar jumlahnya di wilayah 9 kecamatan yang ada di kabupaten Buleleng. (lihat
Tabel 1.1).
Tabel 1.1
Jumlah Kepala Rumah Tangga Miskin Yang Bekerja Menurut Wilayah Kecamatan
Kabupaten Buleleng , 2013
WILAYAH Pertanian Horti- Perke- Perikanan Perikanan Peter- Kehutanan Pertam- Industri
Sub-
Total
KECAMATAN/ Tanaman kultura Bunan tangkap budidaya nakan pertanian bangan pengolah
SEKTOR PKJAAN Pangan lainnya pegglian an
GEROKGAK 1605 279 346 463 340 2879 27 10 159 6108
SERIRIT 2030 14 297 185 8 700 452 71 204 3961
BUSUNGBIU 378 9 1986 12 1 70 20 0 55 2531
BANJAR 997 194 1236 43 4 573 18 31 898 3994
SUKASADA 823 180 1894 9 2 314 37 9 137 3405
BULELENG 854 7 69 95 1 62 2 5 187 1282
SAWAN 870 37 569 90 4 220 9 14 218 2031
KUBUTAMBAHAN 856 271 1280 187 3 913 9 24 94 3637
TEJAKULA 238 965 830 257 2 710 80 24 60 3166
TOTAL 8651 1956 8507 1341 365 6441 654 188 2012 30115
Sumber : PMD, Popinsi Bali. 2014
Berdasarkan data pada Tabel 1.1 tampak bahwa sebagian terbesar dari rumah
tangga miskin yang tersebar di Sembilan kecamatan kabupaten Buleleng bekerja di
sektor pertanian tanaman pangan (dataran rendah) serta tanaman perkebunan (wilayah
dataran tinggi), serta peternakan adalah kombinasi dari dataran rendah dan dataran
tinggi, sementara pada sector nelayan justru jumlahnya relative lebih sedikit. Kecamatan
Grokgak dan Tejakula memiliki rumah tangga miskin yang relative dominan bekerja di
sektor perikanan tangkap (nelayan) dibandingkan engan 7 kecamatan lainnya. Hal ini
sekaligus menunjukkan bahwa lahan persawahan di wilayah Tejakula dan Grokgak
5
relative lebih sedikit, sehingga perikanan laut menjadi pilihan sebagai mata pencaharian
rumah tangga miskin.
Informasi maa pencaharan rumah tangga miskin di kabupaten Bueleleng juga
terkonsentrasi pada sektor bangunan dan konstruksi. (Lihat Tabel 1.2). Fakta demikian
menunjukkan sebagian besar rumah tangga miskin terdiri dari tenaga kerja tidak
terampil, serta tenaga kerja yang terampil tetapi tidak mandiri dalam membangun usaha,
keterbatasan modal serta keterbatasan lain yang menjadi kendala mereka dalam
menerobos peluang untuk keluar dari kemiskinan.
Tabel 1.2
Jumlah Kepala Rumah Tangga Yang Bekerja Menurut Wi layah Kecamatan
Kabupaten Buleleng , 2013 (LanjutanTabel 1.1)
WILAYAH
Listrk Bangunan/ Perdaga- Htl dan Transprts Informasi Keungan Jasa
Lainnya Sub-l Grand- KECAMATAN/ Gas konstruksi ngan R Mkn dan peng- komuni- dan Total Total
SEKTOR PKJAAN
gudangan kasi asuransi
GEROKGAK 10 1080 235 101 574 4 13 198 99 2314 8422
SERIRIT 10 1070 402 48 407 1 13 488 186 2625 6586
BUSUNGBIU 1 308 65 3 117 2 4 50 15 565 3096
BANJAR 12 872 174 39 141 2 4 239 157 1640 5634
SUKASADA 9 799 243 33 76 3 8 272 196 1639 5044
BULELENG 16 1684 547 107 321 5 13 803 198 3694 4976
SAWAN 6 696 214 19 172 3 11 919 26 2066 4097
KUBUTAMBAHAN 7 1360 137 18 150 1 4 318 259 2254 5891
TEJAKULA 2 892 97 18 112 1 4 204 80 1410 4576
TOTAL 73 8761 2114 386 2070 22 74 3491 1216 18207 48322
Sumber : PMD, Popinsi Bali. 2014
Berdasarkan Tabel 1.2 tampak bahwa kecamatan Grokgak merupakan sentra
terbanyak RTM di wilayah kabupaten Buleleng, yaitu sebesar 8422 rumah tangga
dibandingkan denga wilayah kecamatan lainnya. Berdasarkan pertimbangan jumlah
RTM, tantangan sumber daya alam yang mereka hadapi, serta wilayah kecamatan
Grokgak sebagai kawasan perbatasan pintu masuk Bali dari wilayah Jawa Timur, maka
studi penelitian kaji tindak (action research) ini ditetapkan dilaksanakan atas kerja sama
6
tim peneliti dari Pusat Analisis Data Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Udayana dengan Badan Perencanaan Daerah kabupaten Buleleng pada
tahun anggaran 2015.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Modal Sosial
Bourdieu dan Wacquant (1992) menyatakan modal sosial adalah jumlah
sumberdaya, aktual atau maya yang berkumpul pada seseorang individu atau kelompok
karena memiliki jaringan tahan lama berupa hubungan timbal balik perkenalan dan
pengakuan yang sedikit banyak terinstitusionalisasikan. Field (2010) mengemukakan
bahwa teori modal sosial Bourdieu secara jelas melihat modal sosial sebagai hak milik
eksklusif elite (berupa aset) yang didesain untuk mengamankan posisi elite tersebut.
Jika modal sosial Bourdieu ( 1992) menitik beratkan sebagai aset individu dan modal
sosial merupakan hasil, maka Coleman (1994) dalam (Field 2010) mendefinisikan
modal sosial sebagai seperangkat sumber daya yang melekat pada hubungan keluarga
dan dalam organisasi sosial komunitas dan yang berguna pada perkembangan kognitif
atau sosial anak atau idividu. Pernyataan tersebut lebih sarat akan makna karena di
dalamnya ia menggambarkan nilai hubungan bagi semua aktor, individu, dan kolektif
baik yang berkedudukan istimewa maupun yang kedudukannya tidak menguntungkan.
7
Coleman melihat modal sosial sebagai sumberdaya karena dapat memberi kontribusi
terhadap kesejahteraan individu.
Putnam (1996) modal sosial adalah bagian dari kehidupan sosial jaringan, norma
dan kepercayaan yang mendorong partisipan bertindak bersama secara lebih efektif
untuk mencapai tujuan bersama. Putnam (1996) memaparkan pembahasan Putnam
selanjutnya. Putnam berpendapat bahwa gagasan inti dari teori modal sosial adalah
bahwa jaringan memiliki nilai kemudian kontak sosial akan memengaruhi produktivitas
individu dan kelompok. Pengertian lain yakni oleh Fukuyama (1995) yang dikutip oleh
Cahyono dan Adhiatma (2012) bahwa modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau
norma-norma informal yang dimiliki bersama diantara para anggota suatu kelompok
yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka. Fukuyama (1995) dalam
Inayah (2012) menyatakan modal sosial timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam
sebuah komunitas.
Modal sosial dapat didefinisikan sebagai serangkaian nilai dan norma informal
yang dimilki bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang
memungkinkan terjadinya kerjasama diantara mereka (Francis Fukuyama, 2002: xii).
Tiga unsur utama dalam modal sosial adalah trust (kepercayaan), reciprocal (timbal
balik), dan interaksi sosial. Trust (kepercayaan) dapat mendorong seseorang untuk
bekerjasama dengan orang lain untuk memunculkan aktivitas ataupun tindakan bersama
yang produktif. Trust merupakan produk dari norma-norma sosial Cooperation yang
sangat penting yang kemudian memunculkan modal sosial.
Fukuyama (2002), menyebutkan trust sebagai harapan-harapan terhadap
keteraturan, kejujuran, perilaku kooperatif yang muncul dari dalam sebuah komunitas
yang didasarkan pada norma-norma yang dianut bersama anggota komunitas-komunitas
itu. Trust bermanfaat bagi pencipta ekonomi tunggal karena bisa diandalkan untuk
mengurangi biaya (cost), hal ini melihat dimana dengan adanya trust tercipta kesediaan
seseorang untuk menempatkan kepentingan kelompok diatas kepentingan individu.
Adanya high-trust akan terlahir solidaritas kuat yang mampu membuat masing-
masing individu bersedia mengikuti aturan, sehingga ikut memperkuat rasa
8
kebersamaan. Bagi masyarakat low-trust dianggap lebih inferior dalam perilaku
ekonomi kolektifnya. Jika low-trust terjadi dalam suatu masyarakat, maka campur
tangan negara perlu dilakukan guna memberikan bimbingan (Francis Fukuyama, 2002:
xiii).
Unsur penting kedua dari modal sosial adalah reciprocal (timbal balik), dapat
dijumpai dalam bentuk memberi, saling menerima dan saling membantu yang dapat
muncul dari interaksi sosial (Soetomo, 2006: 87). Unsur yang selanjutnya yakni
interaksi sosial. Interaksi yang semakin meluas akan menjadi semacam jaringan sosial
yang lebih memungkinkan semakin meluasnya lingkup kepercayaan dan lingkup
hubungan timbal balik. Jaringan sosial merupakan bentuk dari modal sosial. Jaringan
sosial yakni sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban
serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan ini bisa dibentuk karena
berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama, hubungan
genealogis,dan lain-lain .
Jaringan sosial tersebut diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang memberikan
perlakuan khusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan untuk mendapatkan
modal sosial dari jaringan tersebut (Pratikno dkk: 8). Dilihat dari tindakan ekonomi,
jaringan adalah sekelompok agen individual yang berbagi nilai-nilai dan norma-norma
informal melampaui nilai-nilai dan norma-norma yang penting untuk transaksi pasar
biasa. Melalui pemahaman ini dapat dijelaskan bahwa modal sosial dapat bermanfaat
bukan hanya dalam aspek sosial melainkan juga ekonomi (Pratikno dkk: 88).
2.2 Kemiskinan
Kotze (2004) menyatakan bahwa masyarakat miskin memiliki kemampuan yang
relatif baik untuk memperoleh sumber melalui kesempatan yang ada. Kendatipun
bantuan luar kadang-kadang digunakan, tetapi tidak begitu saja dapat dipastikan
sehingga masyarakat bergantung pada dukungan dari luar. Pendekatan pemberdayaan
ini dianggap tidak berhasil karena tidak ada masyarakat yang dapat hidup dan
9
berkembang bila terisolasi dari kelompok masyarakat lainnya. Pengisolasian ini
menimbulkan sikap pasif, bahkan keadaan menjadi semakin miskin.
Supriatna (1997:90) menyatakan bahwa kemiskinan adalah situasi yang serba
terbatas yang terjadi bukan atas kehendak orang yang bersangkutan. Suatu penduduk
dikatakan miskin bila ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan, produktivitas kerja,
pendapatan, kesehatan dan gizi serta kesejahteraan hidupnya, yang menunjukkan
lingkaran ketidakberdayaan. Kemiskinan bisa disebabkan oleh terbatasnya sumber daya
manusia yang ada, baik lewat jalur pendidikan formal maupun nonformal yang pada
akhirnya menimbulkan konsekuensi terhadap rendahnya pendidikan informal.
Emil Salim (1997) mengemukakan lima karakteristik penduduk miskin. Kelima
karakterisktik penduduk miskin tersebut adalah: 1) Tidak memiliki faktor produksi
sendiri, 2) Tidak mempunyai kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan
kekuatan sendiri, 3) Tingkat pendidikan pada umumnya rendah, 4) Banyak di antara
mereka yang tidak mempunyai fasilitas, dan 5) Di antara mereka berusia relatif muda
dan tidak mempunyai keterampilan atau pendidikan yang memadai.
Bank Dunia (1990) dalam laporannya di hadapan anggota PBB bertitel "Poverty
and Human Development' mengatakan bahwa: "The case for human developemnt is not
only or even primarily an economic one. Less hunger, fewer child death, and better
change of primary education are almost universally accepted as important ends in
themselves" (pembangunan manusia tidak hanya diutamakan pada aspek ekonomi, tapi
yang lebih penting ialah mengutamakan aspek pendidikan secara universal bagi
kepentingan diri orang miskin guna meningkatkan kehidupan sosial ekonominya).
Booth dan Me Cawley (Dalam Moeljarto T., 1993) menyatakan bahwa "di banyak
negara memang terjadi kenaikan tingkat kesejahteraan masyarakat yang diukur dari
pendapatan perkapitanya, tetapi itu hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil
masyarakatnya, sedangkan sebagian besar masyarakat miskin kurang memperoleh
manfaat apa-apa, bahkan sangat dirugikan".
Untuk memecahkan masalah ini, perlu kebijaksanaan yang tepat dengan
mengidentifikasi golongan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan berikut
10
karakteristiknya lebih dulu. Umumnya, suatu keadaan disebut miskin bila ditandai oleh
kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar manusia. Kemiskinan
tersebut meliputi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar yang mencakup aspek primer dan
sekunder. Aspek primer berupa miskinnya aset pengetahuan dan keterampilan,
sedangkan aspek sekunder berupa miskinnya jaringan sosial, sumber-sumber keuangan,
dan informal, seperti kekurangan gizi, air, perumahan, perawatan kesehatan yang
kurang baik dan pendidikan yang relatif rendah.
Tidak sedikit penjelasan mengenai sebab-sebab kemiskinan. Kemiskinan massal
yang terjadi di banyak negara yang baru saja merdeka setelah Perang Dunia II
memfokuskan pada keterbelakangan dari perekonomian negara tersebut sebagai akar
masalahnya (Hardiman dan Midgley, dalam Kuncoro, 1997:131). Penduduk negara
tersebut miskin menurut Kuncoro (1997:131) karena menggantungkan diri pada sektor
pertanian yang subsistem, metode produksi yang tradisional, yang seringkali dibarengi
dengan sikap apatis terhadap lingkungan.
Sharp, et.al (dalam Kuncoro, 1997:131) mencoba mengidentifikasi penyebab
kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro, kemiskinan muncul
karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumberdaya yang menimbulkan
distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya
dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah. Kedua, kemiskinan muncul akibat
perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumberdaya manusia yang
rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah.
Rendahnya kualitas sumberdaya manusia ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang
kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan. Ketiga, kemiskinan
muncul akibat perbedaan akses dalam modal.
Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan
(vicious circle of poverty) menurut Nurkse (dalam Kuncoro, 1997:132): adanya
keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan
rendahnya produktifitas. Rendahnya produktivitasnya mengakibatkan rendahnya
pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada
11
rendahnya tabungan dan investasi. Rendahnya investasi berakibat pada keterbelakangan,
dan seterusnya.
2.3 Kebijakan Pemerintah
Doglas North seorang sejarawan ekonomi terkemuka mendefinisikan kelembagaan
sebagai batasan-batasan yang dibuat untuk membentuk pola interaksi yang harmonis
antara individu dalam melakukan interaksi politik, sosial dan ekonomi (North, 1990).
Senada dengan North, Schmid (1972) mengartikan kelembagaan sebagai sejumlah
peraturan yang berlaku dalam sebuah masyarakat, kelompok atau komunitas, yang
mengatur hak, kewajiban, tanggung jawab, baik sebagai individu mauapun sebagai
kelompok. Sedangkan menurut Schotter (1981), kelembagaan merupakan regulasi atas
tingkah laku manusia yang disepakati oleh semua anggota masyarakat dan merupakan
penata interaksi dalam situa tertentu yang berulang.
Mirip dengan definisi ini diungkapkan oleh Hamilton (1932) yang menganggap
kelembagaan merupakan cara berfikir dan bertindak yang umum dan berlaku, serta telah
menyatu dengan kebiasaan dan budaya masyarakat tertentu. Menurut Jack Knight
(1992), kelembagaan adalah serangkaian peraturan yang membangun struktur interkasi
dalam sebuah komunitas. Sedangkan Ostrom (1990) mengartikan kelembagaan sebagai
aturan yang berlaku dalam masyarakat (arena) yang menentukan siapa yang berhak
membuat keputusan, tindakan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, aturan apa
yang berlaku umum di masyarakat, prosedur apa yang harus diikuti, informasi apa yang
mesti atau tidak boleh disediakan dan keuntungan apa yang individu akan terima
sebagai buah dari tindakan yang dilakukannya.
Berdasarkan atas bentuknya (tertulis/tidak tertulis) North (1990) membagi
kelembagaan menjadi dua: informal dan formal. Kelembagaan informal adalah
kelembagaan yang keberadaannya di masyarakat umumnya tidak tertulis. Adat istiadat,
tradisi, pamali, kesepakatan, konvensi dan sejenisnya dengan beragam nama dan
sebutan dikelompokan sebagai kelembagaan informal. Sedangkan kelembagaan formal
adalah peraturan tertulis seperti perundang-undangan, kesepakatan (agreements),
12
perjanjian kontrak, peraturan bidang ekonomi, bisniss, politik dan lain-lain.
Kesepakatan-kesepakatn yang berlaku baik pada tingkat international, nasional, regional
maupun lokal termasuk ke dalam kelembagaan formal.
Menurut Wiliamson (2000), yang dimaksud kelembagaan formal adalah
kelembagaan yang kelahirannya umumnya dirancang secara sengaja seperti perundang-
undangan (konstitusi) yang dibuat oleh lembaga legislatif/pemerintah. Namun demikian,
hal ini bukan merupakan kriteria mutlak, karena banyak kasus kelembagaan formal
yang merupakan hasil evoluasi dari kelembagaan informal sebagaimana undang-undang
perikanan di Jepang yang berasal dari hukum adat atau tradisi yang hidup dan menyatu
dalam masyarakat selama ratusan tahun (Ruddle, 1993). Perubahan kelembagaan pada
level ini dapat berlangsung dalam kurun waktu 10 sampai 100 tahun (Williamson,
2000).
Menurut Marfai (2005) pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijakan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan
hidup. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
(Miler, 1995).
Operasional rule adalah aturan main yang berlaku dalam keseharian. Yaitu aturan
yang ditemukan dalam sebuah komunitas, organisasi atau kelompok masyarakat
mengenai bagaimana interaksi antar anggota komunitas tersebut seharusnya terjadi.
Terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam, operasional rule merupakan
instrument pembatas mengenai kapan, dimana, seberapa banyak dan bagaimana anggota
sebuah komunitas memanfaatkan sumberdaya alam. Pengawasan (monitoring) terhadap
tindakan setiap aktor, penegakan sanksi bagi para pelanggar dan pemberian reward
kepada mereka yang taat aturan semuanya diatur dalam operasional rule. Operasional
rule berubah seiring dengan perubahan teknologi, sumberdaya, budaya, keadaan
ekonomi dll (Ostrom, 1990)
13
Kelembagaan pada constitutional choice level mengatur, utamanya, mengenai siapa
yang berwenang bekerja pada level collective choice dan bagaimana mereka bekerja.
Constitutional rule merupakan aturan tertinggi yang tidak semua kelompok, organisasi
atau komunitas memilikinya. Collective choice rule berbeda dengan constitutional rule
walaupun aktor yang terlibat dalam pembuatannya kemungkinan sama. Menurut
kerangka analisis Ostrom, undang-undang yang mengatur tentang anggota legislatif
tersebut berada pada tingkat constitutional choice dan disebut constitutional rule.
Modal sosial dapat dipahami sebagai kepercayaan, norma, dan jaringan yang
memungkinkan anggota komunitas bertindak kolektif. Definisi modal sosial kelihatan
sederhana tapi perlu kritis melihatnya. Perlu diingat bahwa tidak semua orang dalam
sebuah komunitas mempunyai akses yang sama terhadap modal sosial (Portes 1998).
Ada orang yang pandai memanfaatkan modal sosial sehingga dapat mendorong
peningkatan kesejahteraan mereka. Namun ada juga yang tidak melihat peluang dengan
modal sosial sehingga mereka tidak bisa memanfaatkan bagi kesejahteraan keluarga
mereka.
Kita telah memahami bahwa modal sosial mempunyai hubungan positif dengan
kesejahteraan komunitas. Para ahli juga mendapati bahwa modal sosial memainkan
peran besar dalam menjelaskan perilaku individu pada aras mikro ekonomi. Namun
perlu diingat ada asumsi bahwa modal sosial dalam lingkungan yang sehat cenderung
menelorkan hasil yang positif bagi individu yang terlibat, namun sebaliknya modal
sosial rendah karena lingkungan yang kurang sehat akan menghasilkan individu yang
kurang berhasil. Hal ini dipakai untuk menjelaskan tentang jebakan kemiskinan yang
melilit anggota suatu keluarga secara turun temurun. Kemiskinan yang dialami orangtua
dapat menurun kepada generasi berikut karena mereka sudah terbiasa hidup dalam
lingkungan dengan modal sosial rendah. Memang pada mikro modal sosial selalu
dikaitkan dengan kesejahteraan individu (Iyer 2005).
Modal sosial sebagai suatu sistem jaringan antar individu jika dikoordinasi dengan
baik dapat mempercepat tumbuhnya lembaga lembaga kemasyarakatan dan
terbentuknya pasar. Hal ini menunjukan bahwa manajemen dan pemanfaatan jaringan
sangat penting dalam pembagian sumber yang tersedia. Jaringan dapat dimaknai sebagai
14
kepercayaan dan kelembagaan yang ada dalam masyarakat. Jaringan ini bisa positif jika
didasarkan pada keyakinan bersama namun bisa negatif misalnya dalam hal
kegiatan rent-seeking ekonomi yang sering dipraktekan oleh organisasi kriminal. Jika
hasil yang ingin dicapai jaringan tidak sesuai dengan tujuan masyarakat maka
pemerintah perlu campur tangan memperkuat kembali modal sosial. Misalnya,
pembentukan rukun warga (RW) atau rukun tangga (RT) seharusnya bisa merupakan
salah satu upaya mempercepat modal sosial di kalangan masyarakat.
Dalam masyarakat apa pun biasanya muncul banyak asosiasi atau perserikatan baik
atas dasar profesi maupun ikatan primordial yang lain. Kehadiran asosiasi ini selalu
mempunyai tujuan dan misi masing masing. Modal sosial biasanya diukur dari
keberadaan dan keterlibatan seseorang dalam asosiasi tertentu. Penelitian Putnam
menunjukan bahwa wilayah utara Itali lebih maju dari wilayah selatan karena lebih
banyak orang di utara terlibat dalam berbagai asosiasi daripada di selatan Itali. Hal ini
kemudian menyebabkan pertumbuhan ekonomi di wilayah utara lebih tinggi daripada di
selatan. Asosiasi sukarela di wilayah utara menjalin hubungan kerjasama yang intens
dengan pemerintah daerah setempat (Putnam 2000).
15
BAB III
KERANGKA PIKIR PENELITIAN
3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Teori pembangunan yang berkembang dewasa ini sangat ber-orientasi kepada
peranan modal, sumber daya terampil dan teknologi dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi. Meskipun sebagian besar dari strategi pembangunan telah mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang diinginkan, namun demikian, bahwa prestasi pertumbuhan
ekonomi sebagian besar gagal mencapai tingkat kesejahtraan masyarakat ( social cohesion for
society ) yang diperlukan dalam rangka pembangunan ekonomi berkelanjutan ( Knack dan
Keefer, 1997). Dalam rangka memperkuat fondasi ekonomi yang berkelanjutan, Putnam (
1993) telah menggagas penguatan sosial capital dala rangka kebersamaan. Narayan (1977)
menekankan pentingnya modal sosial dalam rangka pengurangi kesenjangan pendapatan dan
penurunan kemiskinan untuk mencapai kesejahtraan.
Granovetter (1995) menggaris-bawahi peranan modal sosial network sebaai basis
kekuatan masyarakat dalam membangun dirinya dari dalam. Modal sosial dan trust
(kepercayaan) memiliki kekuatan dalam strategi pembangunan yang mendorong semakin
efisiennya transaksi pada pelbagai sektor kegiatan ekonomi, serta mendorong peningkatan
16
arus informasi dalam rangka semakin mengefektiokan mobilitas sumsberdaya mencapai tinkat
pertumbuhan ekonomi dan kesejahtraan (Dasgupta. 1988). Rodrik, 1998) menyatakan
pandangan yang searah dengan Granovetter d(1995) dan Dasgupta bahwa social capital
memiliki peran yang sangat strategis dalam mengkoneksikan aktivitas kegiatan ekonomi
ditingkat mikro maupun makro.
Model kerangka pikir yang disampaikan sebagai basis pengembangan modal sosial
sebagaimana dibahas diatas, dikoneksikan berdasarkan tahap perencanaan dan
pengembangan alur model dari proses awal perencaan sampai padatahap implementasi moal
sosisl dalam upaya menurunkan angka kemiskinan dan uoaya meningkatkan lebih banyak
rumah tangga untuk ditingkatkan kesejahtraannya. (lihat Gambar 3.1)
Gambar 3.1 Kerangka Pikir Penelitian
Bagan Alir Penyusunan Rencana Induk, Rencana Aksi, dan Rencana Implementasi Penanggulangan Kemiskinan
OUTCOME 3
Implementasi
Desa/Kelurahan
Binaan
Kebijakan Pembangunan
Daerah
1. RPJM & RPJP 2. RENSTRA 3. Program Penanggulangan
Kemiskinan
Identifikasi
Permasalahan
Kemiskinan
Focus Group Discussion :
(Dinas, Badan, Kantor, KPK,
LSM)
n-depth Interview
(Kelompok Sasaran)
OUTPUT DATABASE
1. Permasalahan Kemiskinan 2. Profil Kemiskinan 3. Isue Strategis 4. Penetuan Desa/Kelurahan
Binaan Pilot Project
OUTCOME 1
Work Plan Penanggulangan
Kemiskinan Wilayah
Perbatasan
Buleleng Barat
17
Kebijakan pembangunan daerah yang dimulai dari tahap identifikasi rumah tangga
miskin mencakup karakteristik geografik ( pegunungan dan ataran rendah, serta karakter
demographic mencakup umur, penddikan, jemis kelaion dan mata pencaharian) adalah proses
awal pendataan, untuk kemudian ditindak-lanjuti dengan dukungan informasi lainnya. Dalam
rangka pengembangan ionformasi yang bersifat akademik dan berbasis pengembangan model
penelitian, maka kegiatan penelitian ini melakukan upaya mengkonstruksi kebijakan
pemerintah (govrment policy) sebagai policy variable yang mendorong peningkatan
kesejahtraan masyarakjat dan penurunan angka kemiskinan, serta konstruksi modal sosial
yang diajukan penelitian ini sebagai kerangka model; pendekatan yang ditawarkan dalam
rangka memecahkan persoalan kemiskinan dari dalam diri rumah tanga miskin tersebut. .(lihat
Gambar 3.2).
3.2 Kerangka Operasional Penelitian.
Penelitian ini melakukan konstruksi terhadap peran modal sosial sebagai poptensi
yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya pada lingkungan rumah tangga miskin, yang
diuharapkan dapat dikelola dan dibangkitkan kekuatannya dalam mendorong seluruh
potensi diri pribadi rumah tangga miskin yang seharusnya dapat membangun
kebersamaan dalam memebebaskan diri mereka dari belengguy kemiskinan menuju rumah
tangga yang lebih sejahtera.
Pendekatan pustaka yang dirujuk dalam pengembangan model penlitian tentang
peranan modal sosial didapatkan dari gagasan Putnam (1993) tentang peranan modal
sosial yang dibagi menjadi tiga komponen yaitu trust, network dan norm. Dengan demikian,
Tipologi Kemiskinan
1. Pegunungan 2. Dataran Rendah (Rural,
Urban)
OUTCOME 2
Recommendation Penanggulangan Kemiskinan
Kelompok RTM Wilayah Perbatasan
18
dimensi modal sosial akan diukur secara konsisten berdasarkan ketiga komponen yang
telah disebutkan diatas.
3.2.1 Modal sosial Network
Network atau membership adalah komponen modal sosial memuat pentingnya
kebersamaan dalam kehiduopan sosial kemasyarakatan. Fafchams dan Minten (1999)
menyatakab bahwa social network dapat berperan mengurangi transaction cost yang teradi
dalam praktek dan menjadi beban biaya masyarakat. Transaction cost terjadi karena
adanya imperfect information telah mengurangi kesejahtraan masyarakat. Perikatan dalam
sejumlah organisasi sosial dapat dinyatakjan sebagai social network kemasyarakatan yang
d[at menciptakan kekuatan dalam membangun hari depan yang lebih baik pada RTM.
Network dapat lebih dirinci menjadi bonding (lingkaran dalam) dan bridging (
menjembatani) (Putnam, 1993).
3.2.2 Social Trust
Social trust adalah salah satu dimensi social capital yang memiliki peran untuk
menciptakan kekuatan dalam kebersamaan. Cassidy (2001) menyatakan terdapat adanya
sejumlah dimensi yang dapat mencerminkan keberadan trust yaitu kepercayaan antar
warga masyarakat dalam sebiuah ikatan kemasyarakatan suku bangsa tertentu, serta
sejumlah pranata sosial kemasyarakatan yaitu pada struktir masyarakat padasebah ikatan
sosial pedesaan, organisasi profesi serta perikatan dalam organisasi pemeritahan, dunia
usaha dan seterusnya. Dalam rangka menggali informasi tentang social trust, Grootaert et
al 2003) melakukan pengukuran tentang social trust melalui penyusunan tiga jenis
intrumen petanyaan mencakup antara lain (a) most peole can be trust, (b) need to e
careful, (c) don’t know. Kawachi et al (1997) menemukan adanya sikap percaya kepada
19
orang lain pada klas masyarakat bawah justru lebih menguat dibandingkan dengan kelas
masyarakat atas.
3.2.3 Social capital Norm
Norma adalah komponen daro social capital yang berkaitan dengan cara pandang,
adat kebiasaan yang berlaku seragam dan dipatuhi padastuktur masyaraat tertentu
menjadi prilaku, sehingga dapat menggambarkan karakter individu yang menggambarkan
keterwakilan dari masyarakat tertentu. Kajisa (2002) menyatakan bahwa norma adalah
prilaku yang tergambarkan pada collective action, karena prilaku individu tergambarkan
dari pola prilaku yang dianut pada masyarakat tertentu,
Grootaert et al (2003) merumuskan collective action sebagai aspek yang sangat
p[enting dalam pengembanganb kemasyarakatan. Grootaert et al (2003)
merekomendasikan pengembangan pola pengukuran collective action yaitu (a) what
proportion of people in this village contribute time or money toward common development
goals, (b) How many days in the past 12 months did you you participate in community
activities?, (c) when measuring the extent of willingness to cooperate and participate in
collective action.
,
3.2.4 Kebijakan pemerintah
Pengembangan daya saing dunia usaha memerlukan kelembagaan dalam rangka
menciptakan framework conditions yang memungkinkan asset produktif berkembang
20
untuk mendapatkan pangsa pasar yang semakin bersaing. Dalam kerangka persfektif
pengembangan daya daing usaha, kebijakan pemerintah memegang peranan yang
menentukan sebagai fasilitator dalam pembinaan kelembagaan bersifat formal maupun
non formal ( North,1990). Peran kebijakan pemerintah sebagaimana disajikan
padaGambar 2.3 mencakup empat pola kebijakan pengembangan antara lain, Pola
kebijakan pemerintah diteorikan sebagai lembaga yang beroeran dalammemperkuat
posisi daya saing dunia usaha melalui sejumlah langkah kebijakan antara lain (a)
memfasilitasi pengembangan sumber daya produktif, (b) bantuan sarana pengembangan
teknologi yang lebih menghemat biaya produksi, (c) bantuan fasilitas pemberdayaan
organisasi bisnis yang mampu membangunb kinerja efektif dasn efisien, (d) bantuan
pola pemasaran dan kerja sama pengambangan pasar, (e) daya saing produk dan
pengembangan kelembagaan bisnis berkelanjutan.
Gambar 3.2
Kerangka Konsep Penelitian
Kebijakan Pemerintah Dan Potensi Modal Sosial
Kebijakan
Pemerintah
(X1)
Kesejah-
Traan
RTM
(Y1)
Trust
Y4
Network
Quality
(Y3)
Norma
(Y2)
Gambar 3.3
21
Kerangka Konsep Penelitian
Y1= α1 + β1Y2 + β2X1 + β3Y4 + β4Y3 + e1
Y2= α1 + β5X1 + e2
Y4= α1 + β6X1 + e3
Y3= α1 + β7X1 + e4
3.3 Hipotesis penelitian
a. Bahwa norma, kebijakan pemerintah, trust dan network quality berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kesejahtran masyarakat.
b. Bahwa kebijakan permintah berpoengaruh positif dn sig terhadap norma
masyarakat
c. Bahwa kebijakan permintah terhadap trust masyarakat
d. Untuk menganalisis engaruh kebijakan permintah terhadap network quality
e. Bahwa kebijakan pemermntah berpengaruh posotof dan signifikan terhadap
kesejahtraan RTM melalui Norma
f. Untuk menganalisis pengaruh kebijakan pemermntah terhadap kesejahtraan
RTM melalui Trust
g. Untuk menganalisis kebijakan pemermntah terhadap kesejahtraan RTM
melalui Network quality
1
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian berpedoman pada permasalahan penelitian dan hipotesis yang disusun
karena merupakan titik tolak dari setiap rancangan penelitian. Dalam penelitian ini, rancangan
penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif yang dilengkapi dengan dukungan hal-hal
yang bersifat deskriptif dan kualitatif.
Rancangan penelitian ini juga mempermudah penelusuran dan pengukuran antara variabel
bebas dengan variabel terikat, berdasarkan anggapan bahwa temuan-temuan sampel dapat
digeneralisasikan ke populasi penelitian.Untuk mencapai tujuan tersebut, rancangan penelitian
berbentuk explanatory research, yaitu penelitian yang bertujuan menjelaskan suatu generalisasi
sampel terhadap populasinya atau menjelaskan hubungan perbedaan atau pengaruh satu variabel
dengan variabel lainnya.
4.2 Lokasi Penelitian,Ruang Lingkup ,dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng. Lokasi ini dipilih
karena, (a) wilayah kecamatan Grokgak memiliki jumlah RTM terbesar dibandingkan dengan
delapan kecamatan lainnya, (b) kecamatan Gerokgak merupakan daerah perbatasan yang
penduduknya cukup heterogen dengan bentangan wilayah cukup luas ( gambar 4.1 ).
4.3 Indentifikasi Variabel Penelitian
2
Variabel adalah suatu sifat yang dapat memiliki bermacam nilai atau sesuatu yang bervariasi
(Kerlinger, 2006). Mendasari kerangka pemikiran dan tujuan studi yang hendak dicapai,
penelitian ini melakukan pengembangan dan pengukuran variabel yang tidak dapat diukur secara
langsung, dengan mempergunakan skala Likert ( 1,2,3,4,5). Pengukuran penelitian ini dinyatakan
sebagai konstruk yang didukung dengan indikator atau item-item pertanyaan yang diperoleh
melalui pengembangan daftar pertanyaan. Sehubungan dengan penelitian yang mempergunakan
teknik relasi yang interdependensi antara satu konstruk dengan konstruk lainnya dalam suatu
model structural, maka model persamaan yang dikembangkan mencakup diantaranya terdiri dari
konstruk endogen dan konstruk eksogen. Dinyatakan sebagai konstruk endigen, apabila konstruk
tersebut merupakan konstruk terikat dan mendapatkan tanda panah dari konstruk lainnya.
Konstruk eksogen adalah apabila konstruk yang hanya berfungsi sebagai pemberi tanda panah
kepada konstruk lainnya (Hair, et al 2010).
4.4 Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional, adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan
cara memberi arti atau menspesifikasikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang
diperlukan untuk mengukur variabel tersebut. Berdasarkan identifikasi terhadap variabel-variabel
yang digunakan untuk menghindari kesalahan dalam mengartikan variabel yang diteliti, berikut
ini dijelaskan definisi operasional dari masing-masing variabel. Berdasarkan identifikasi
variabel, selanjutnya diberikan definisi operasional variabel sebagai berikut.
1) Variabel Peran Pemerintah adalah upaya pemerintah dalam pengentasan kemiskinan
mencakup pemberdayaan, pendampingan masyarakat Kebijakan Pemerintah berupa
program - program yaitu berupa bantuan raskin, bantuan siswa miskin ,jaminan
kesehatan masyarakat ,program keluarga harapan. Satuannya adalah orang dengan skala
ratio.
3
2) Variabel jaringan sosial adalah kemampuan rumah tangga miskin dalam melibatkan diri
dalam suatu jaringan sosial melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan
. Jaringan sosial itu berupa sumberdaya ,lokasi ( dusun , desa, kecamatan, kota ) jaringan
dalam kelompok ,kualitas dari jaringan sosial. Satuannya adalah indeks
3) Variabel kepercayaan adalah suatu bentuk keinginan untuk mengambil resiko dalam
hubungan-hubungan sosialnya yang didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan
melakukan sesuatu seperti yang diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu
pola tindakan yang saling mendukung. Kepercayaan ini dapat dilihat bagaimana persepsi
masyarakat terhadap tokoh masyarakat, persepsi masyarakat terhadap pemerintahan desa,
persepsi masyarakat terhadap konflik dalam lingkungan masyarakat . Satuannya adalah
indeks
4) Variabel norma adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh
masyarakat dalam suatu entitas sosial tertentu. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat
berupa sikap gotong royong atau saling tolong menolong, perasaan senasib dan
sepenanggungan , sikap harmonis di kalangan masyarakat dan ada aturan kepatuhan
terhadap aturan. Satuannya adalah Indeks
5) Variabel jenis kelamin rumah tangga adalah jenis kelamin kepala rumah tangga unit
pengukurannya adalah 1 = laki-laki dan 0 =Perempuan
6) Variabel pendidikan kepala rumah tangga adalah ijazah yang dimiliki oleh kepala rumah
tangga unit pengukurannya tahun sekala ratio
7) Variabel lapangan usaha kepala rumah tangga adalah jenis pekerjaan rumah tangga .Unit
pengukurannya adalah 1 = pertanian dan 0 = lainnya
8) Variabel status penguasaan bangunan tempat tinggal adalah kepemilikan atas rumah yang
ditempati unit pengukurannya adalah 1 = milik sendiri, 2= kontrak /sewa, 3 = lainnya
9) Variabel jenis atap terluas adalah jenis bahan atap yang dipakai . Unit pengukurannya
adalah 1= beton, 2= genteng,3=sirap, 4 = seng, 5 = asbes,6 = ijuk/rumbai, 7= lainnya.
4
10) Variabel sumber air minum adalah asal air yang dikonsumsi . Unit pengukurannya adalah
1 = air kemasan, 2 = air ledeng , 3 = air terlindung, 4 = air tidak terlindung
11) Variabel sumber penerangan utama adalah penerangan yang dipakai sehari-hari . Unit
pengukurannya adalah 1 = listrik PLN , 2 = listrik non PLN, 3 = tidak ada listrik
12) Variabel fasilitas tempat air buang air besar adalah kepemilikan tempat pembuangan
hajat rumah tangga. Unit pengukurannya adalah 1= milik sendiri, 2 = bersama/umum ,3 =
tidak ada.
4.5 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang akan digunakan pada seluruh variabel dalam penelitian ini merupakan
data sekunder kuantitatif . Untuk menjawab tujuan penelitian ini data yang dianalisis adalah data
yang berasal dari BDT (Basis Data Terpadu) PPLS 2011 .Variabel bebasnya adalah peran
pemerintah berupa program yang diperoleh dari TNP2K berupa Program Bantuan Siswa Miskin
(BSM) , Program Beras Miskin (RASKIN) , program keluarga harapan (PKH) , jaminan
kesehatan masyarakat (jamkesmas). Sedangkan Variabel terikatnya adalah kepercayaan
,norma,jarimgan sosial dan kesejahteraan RTM . Variabel Moderator adalah kepercayaan, norma
dan jaringan .
4.6 Populasi, Sampel dan Metode Penentuan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik yang ditetapkan peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulan. Populasi dalam penelitian ini adalah rumah tangga miskin. Tabel 4.1 menyajikan
jumlah rumah tangga miskin di wilayah Kecamatan Grokgak Kabupaten Buleleng, sebagai
berikut:
5
Tabel 4.1 Jumlah RTM BDT ( Basis Data Terpadu )PPLS 2011
Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian Kecamtan Gerokgak
Sumber: BDT
2011( lihat
Lampiran 1)
Studi
penelitian ini
melakukan prediksi atas karakter rumah tangga miskin dengan mempergunakan metode SEM
PLS . Henseler et al (2010) merekomendasikan penarikan jumlah sampel antara 40 sampai
dengan 100 .penelitian ini mempergunakan jumlah seluruh sampel sebesar 99 yaitu rekomendasi
yang paling minimal yang direkomendasikan oleh Henseleret al (2010). Penarikan sampel
mempergunakan metode proporsional random sampling ( Emory, 2005 ), Greener (2010) . Hasil
perhitungan penarikan sampel dapat dilihat pada tabel 4.1 dimana jumlah penarikan sampel
ditentukan berdasarkan proporsi dari sub populasi rumah tangga miskin.
Berdasarkan data yang tersedia dilakukan dengan menggunakan rumus Cochran .W. untuk
menentukan sampel.Rumus tersebut adalah :
=
1+ e2=
2 5
1+ 2 5 1
1 2 =
2 5
1+ 2 5 1
1
= 2 5
1+ 2 5=
2 5
3 5= =
Di mana:
n = sampel
N = populasi
e = sampling error ditetapkan 10%
DESA POPULASI SAMPEL
SUMBER KLAMPOK 197 2
PEJARAKAN 1192 13
SUMBERKIMA 952 10
PEMUTERAN 915 10
BANYUPOH 133 1
PENYABANGAN 567 6
MUSI 372 4
SANGGALANGIT 563 6
GEROKGAK 841 9
PATAS 1391 15
PENGULON 389 4
TINGA TINGA 554 6
CELUKAN BAWANG 341 4
TUKAD SUMAGA 878 9
JUMLAH 9285 99
6
4.7 Metode Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Dikumpulkan dengan
cara meminta informasi pada instansi yang berwenang dalam hal ini Bappeda selaku sekretaris
TKPKD Kabupaten Buleleng (Tim Koordinasi penanggulangan Kemiskinan Daerah ). Data yang
kami peroleh merupakan berupa Basis Data Terpadu (BDT) PPLS 2011.
Basis Data Terpadu(BDT) PPLS 2011 merupakan data yang dikeluarkan oleh TNP2K tiga
tahun sekali. Adapun isi
1) Observasi
Untuk mendapatkan data sekunder digunakan cara observasi pada RTM di Desa Kecamatan
Gerokgak
2) Wawancara
Mengumpulkan keterangan atau informasi yang berhubungan dengan tujuan penelitian
dengan cara bertanya langsung kepada responden secara berstruktur berdasarkan daftar
pertanyaan yang telah disiapkan.
3) Kuesioner
Cara pengumpulan data dengan menggunakan daftar pertanyaan kepada responden untuk
dijawab berkaitan dengan pendapatan pedagang.
4.8 Instrumen Penelitian
4.8.1 Uji Validitas Instrumen
Validitas menunjukkan seberapa nyata suatu pengujian mengukur apa yang seharusnya
diukur. Pengujian ini berhubungan dengan ketepatan alat ukur untuk melakukan tugasnya
mencapai sasaran dan juga dengan tujuan dari pengukuran.Pengukuran dinyatakan valid jika
mengukur tujuan dengan nyata atau benar.Alat ukur yang tidak valid adalah yang memberikan
7
hasil ukuran menyimpang dari tujuannya. Variabel terukur dinyatakan valid jika memiliki
koefisien korelasi (rhitung) > 0,3 (Jogiyanto, 2007). Rumus validitas adalah sebagai berikut:
Ri =
……………………………………………..(1)
Keterangan:
Ri = Validitas
N = jumlah populasi
X = total skor butir-butir pernyataan percobaan pertama
Y = total skor butir-butir pernyataan kedua
4.8.2 Reliabilitas Instrumen Penelitian
Reliabilitas menunjukkan akurasi dan ketepatan dari pengukurnya.Suatu pengukur dikatakan
reliable jika hasil pengukurannya akurat dan konsisten. Dikatakan konsisten jika beberapa
pengukuran terhadap subyek yang sama diperoleh hasil yang tidak berbeda. Variabel dinyatakan
reliable apabila koefisien Alpha Cronbach > 0,6 . Rumus dari Alpha Cronbach adalah:
…………………………………………………………….(2)
Keterangan:
α = koefisien alpha cronbach
r = rata-rata korelasi diantara butir pertanyaan
k = jumlah butir pertanyaan dalam skala
4.9 Teknik Analisis Data
Berdasarkan data yang terkumpul sesuai konsep pemikiran awal maka akan dilanjutkan
dengan proses analisis. Teknik analisis dilakukan dengan menggunakan PLS (Partial Least
Squares).Proses analisisnya dilakukan dengan program PLS. Model persamaan dalam penelitian
ini adalah :
1. Y1= α1 + β1Y2 + β2X1 + β3Y4 + β4Y3 + e1
2. Y2= α1 + β5X1 + e2
3. Y4= α1 + β6X1 + e3
8
4. Y3= α1 + β7X1 + e4
Keterangan :
Y1
Y2
Y3
Y4
X1
β1-2
α
e
=
=
=
=
=
=
=
=
Kesejahteraan RTM
Norma
Network Quality
Trust
Kebijakan Pemerintah
Koefisien regresi yang menunjukkan variasi pada variable
terikat sebagai akibat perubahan pada variable bebas.
intersep
eror term
4.9.1 Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif adalah statistik yang digunakan untuk menganalisa data dengan cara
mendeskripsikan atau menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum atau generalisasi. Statistik deskriptif
dapat digunakan bila peneliti hanya ingin mendekripsikan data sample dan tidak ingin membuat
kesimpulan yang berlaku untuk populasi dimana sample tersebut diambil (Sugiyono, 2008).
4.1.1 Statistik Induktif
Pengertian penelitian induktif adalah penelitian yang bersifat pendalaman atas fenomena
tertentu berdasarkan metode kuantitatif statistik. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis
persamaan dan fakta – fakta dan sifat – sifat objek yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran
tertentu. Penelitian kuantitatif ingin mencari jawaban secara mendasar tentang sebab akibat,
dengan menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya ataupun munculnya suatu fenomena
tertentu.
4.9.3 Metode PLS
9
Partial Least Squares merupakan factor indeterminacy metode analisis yang powerful
meskipun dengan jumlah sample terbatas, karena focus penggunaan SEM PLS adalah untuk
prediksi dan pengembangan ilmu Hair, et al ( 2014). PLS dapat juga digunakan untuk
konfirmasi teori. SEM PLS memiliki sejumlah keunggulan yaitu antara lain (a) tidak diperlukan
asumsi normalitas, (b) dapat dipergunakan sample berukuran kecil, serta (c) konstruk dapat
dipetakan menjadi dimensi reflective dan formative Hair et al (2010). Model penelitian yang
telah dijabarkan dalam bentuk konsep pada BAB 3 dapat diuraikan secara lebih lengkap, dengan
menyajikan konstruk laten beserta indikatornya, sebagaimana disajikan pada Gambar 4.1.
Berdasarkan Gambar 4.2, peran pemerintah (X1) dinyatakan memiliki konstruk formatif,
selebihnya terdiri dari konstruk reflektif. Dinyatakan memiliki konstruk formatif, karena
kebijakan pemerintah mewakili data terindek, data bernuansa bilangan yang bukan merupakan
data persepsi murni, sehingga indikator berpotensi membentuk konstruk ( Hair, et al 2010).
Gambar 4.2 Kerangka Operasional Model Penelitian
10
4.9.4 Cara Kerja PLS
Seperti dijelaskan di atas tujuan PLS adalah membantu peneliti untuk mendapatkan nilai
variabel laten untuk tujuan prediksi. Model formalnya mendefinisikan variabel laten adalah
linear aggregate dari indikator-indikatornya. Weight estimate untuk menciptakan komponen skor
variabel laten didapat berdasarkan bagaimana inner model (model struktural yang
menghubungkan antar variabel laten) dan outer model (model pengukuran yaitu hubungan antara
indiktor dengan konstruknya) dispesifikasi. Hasilnya adalah residual variance dari variabel
dependen (keduanya variabel laten dan indikator) diminimumkan.
Trust
Y4
Network
Quality
(Y3)
Norma
(Y2)
Kesejahte-
raan RTM
(Y1)
Kebijakan
Pemerintah
(X1)
Y2.1 Y2.2 Y2.3 Y2.4
Y1.1
Y1.4
Y1.3
Y1.2
X1.1
X1.4
X1.3
X1.2
Y3.1 Y3.2 Y3.3 Y3.4
Y4.1
Y4.2
Y4.2
11
4.9.5 Model Pengukuran atau Outer Model
Covergent validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan
korelasi antara item score / component score dengan construct score yang dihitung dengan PLS.
Ukuran fefleksif individual dikatakan tinggi jika berkorelasi lebih dari 0.70 dengan konstruk
yang ingin diukur. Namun demikian untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala
pengukuran nilai loading 0.5 sampai 0.60 dianggap cukup (Chin; 1998).
Discriminant validity dari model pengukuran dengan refleksif indikator dinilai berdasarkan
cross loading pengukuran dengan konstruk. Jika korelasi konstruk dengan item pengukuran lebih
besar daripada ukuran konstruk lainnya,maka hal menunjukkan bahwa konstruk laten
memprediksi ukuran pada blok mereka lebih baik daripada ukuran pada blok lainnya. Metode
lain untuk menilai discriminant validity adalah membandingkan nilai square root of average
variance extracted (AVE) setiap konstruk dengan korelasi antara konstruk dengan konstruk
lainnya dalam model. Jika nilai akar kuadrat AVE setiap konstruk iebih besar daripada nilai
korelasi antara konstruk dengan konstruk lainnya dalam model, maka dikatakan memiliki nilai
discriminant validity yang baik (Fornell dan Larcker, 1981).berikut ini rumus menghitung AVE.
)var(ελ
λ AVE
i
2
i
2
i
i
.…………………………………………………….(4)
Dimana λ adalah component loading ke indikator dan var ( ε i) = 1- λ 12. Jika semua indikator di
standardized, maka ukuran ini sama dengan average communalities dalam blok. Fornnel dan
Larcker (1981) menyatakan bahwa pengukuran ini dapat digunakan untuk mengukur reliabilitas
component score variabel laten dan hasilnya lebih konservatif dibandingkan dengan composite
reliability (pc). Direkomendasikan nilai AVE harus lebih besar 0.50.
12
Composite reliability blok indikator yang mengukur suatu konstruk dapat dievaluasi dengan
dua macam ukuran yaitu internal consistency yang dikembangkan oleh Werts, Linn dan Joreskog
(1974) dan Cronbach’s Alpha. Dengan menggunakan output yang dihasilkan PLS maka
composite reliability dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
)var(ε)λ(
pc)λ( pc
i
2
i
2
i
i
…………………………………………………….(5)
Dimana λ adalah component loading ke indikator dan var( ε i) = 1- λ 12. Dibandingkan dengan
Cronbach Alpha, ukuran ini tidak mengasumsikan tau equivalence antar pengukuran dengan
asumsi semua indikator diberi bobot sama. Sehingga Cronbach alpha cenderung lower bound
estimate reliability, sedangkan PC merupakan closer approximation dengan asumsi estimasi
parameter adalah akurat. PC sebagai ukuran internal consistence hanya dapat digunakan untuk
konstruk dengan refleksif indikator.
4.9.6 Model Struktural atau Inner Model
Dalam PLS inner model juga disebut inner relation yang menggambarkan hubungan antar
variabel laten berdasarkan substansi teori. Model persamaan dalam penelitian ini sesuai dengan
Gambar 4.1 adalah:
Y1= α1 + β1Y2 + β2X1 + β3Y4 + β4Y3 + e1
Y2= α1 + β5X1 + e2
Y4= α1 + β6X1 + e3
Y3= α1 + β7X1 + e4
13
Keterangan:
X1 = Kebijakan pemerintah
Y1 = Kesejahteraan RTM
Y2 = Norma
Y3 = Networkquality
Y4 = Trust
β1, β5, dan β6 β7 = Koefisien jalur
e1 = inner residual
Evaluasi terhadap inner model dilakukan dengan melihat besarnya koefisien jalur
strukturalnya, dan juga nilai uji t statistiknya yang diperoleh dengan metode bootstrapping. Di
samping itu juga diperhatikan R2 untuk variabel laten dependen. Nilai R2 sekitar 0,67 dikatakan
baik, 0,33 dikatakan moderat, sedangkan 0,19 dikatakan lemah. Perubahan R2 dapat digunakan
untuk menilai pengaruh variabel laten tertentu terhadap variabel laten independen apakah
memiliki pengaruh yang substantive. Hal ini dapat dilakukan dengan menghitung f2. Nilai f2
sama dengan 0,02, 0,15 dan 0,35 dapat dikatakan bahwa prediktor variabel laten memiliki
pengaruh, kecil, menengah, dan besar terhadap model struktural.
Model Struktural dievaluasi dengan menggunakan R-square untuk konstruk dependen,
Stone-Geisser Q-square test untukpredictive relevance dan uji t serta signifikansi dari koefisien
parameter jalur struktural. Dalam menilai model dengan PLS kita mulai dengan melihat R-square
untuk setiap variabel laten dependen. Interpretasinya sama dengan interpretasi pada regresi.
Perubahan nilai R-squares dapat digunakan untuk menilai pengaruh variabel laten independen
tertentu terhadap variabel laten dependen apakah mempunyai pengaruh yang substantive.
Pengaruh besarnya f² dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
R1
R-R f
included2
excluded2
included2
2
……………………………………………………….(8)
14
Dimana R²included dan R²excluded adalah R-square dari variabel laten dependen ketika prediktor
variabel laten digunakan atau dikeluarkan didalam persamaan struktural. Nilai f² sama dengan
0.02, 0.15 dan 0.35 dapat diinterpretasikan bahwa prediktor variabel laten memiliki pengaruh
kecil, menengah, dan besar pada level struktural.
15
BAB V
SURVEY LAPANGAN DAN PENGUJIAN INSTRUMEN
5.1 Pengujian Karakter Responden
Kegiatan penelitian dan pemetaan awal tentang profile rumah tangga miskin di
wilayah desa Grokgak, desa Patas, desa Sumberkima, dan desa Tukad Sumaga. Ke empat
desa yang menjadi pusat kegiatan pemetaaan awal, adalah untuk melakukan identifikasi
dan verifikasi terkini tentang kondisi rumah tangga miskin pada ke empat desa, sekaligus
akan dipersiapkan kaji tindak sosialisasi dan pelatihan kelistrikan dan perbengkelan
dalam rangka mempersiapkan rumah tangga miskin dengan keterampilan yang semakin
membuka jalan bagi rumah tangga miskin yang bersangkutan untuk mendapatkan
peluang pangsa pasar kerja.
Tim peneliti telah mengunjungi Bapak camat Grokgak, hari Kamis, Tg. 20
Agustus 2015, sekaligus melakukan sejumlah wawancara dengan responden terpilih pada
wilayah empat desa yang disasar. Tim peneliti telah mempersiapkan acara sosialisasi dan
pelatihan tgl 11 September 2015, dengan melibatkan Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi pemerintah kabupaten Buleleng, serta Kepala UPTD. LLK UKM
Kabupaten Buleleng, dalam rangka mengisi agenda kegiatan pelatihan kelistrikan dan
perbengkelan, sedangkan Tim Peneliti dari PADEB FEB Universitas Udayana akan
melaksanakan sosialisasi materi kewiraswastaan dalam rangka mempersiapkan rumah
tangga miskin menjadi lebih mandiri melalui usaha mandiri berwiraswasta.
Tim yang terdiri dari empat tenaga peneliti telah melakukan survey awal
pemetaan, melaksanakan wawancara dengan responden terpilih tentang pola mata
16
pencaharian, peluag kerja dan tingkat penyerapan pasar local atas keterampilan yang
mereka miliki.
Rencana kerja telah disusun sesuai dengan tahapan pekerjaan, serta telah ditetapkan
pembagian tugas berdasarkan agenda kegiatan yang telah ditantatangi pihak peneliti FEB
Univ Udayana dengan Bappeda kabupaten Buleleng.
5.2 Kegiatan Penyusunan Instrumen Pengolahan Data dan Informasi
Kegiatan penelitian telah mengadakan rapat penyusunan instrument penelitian pada
Tgl. 10 Agustus 2015, dengan meliatkan 3 peneliti utama, satu staff administrasi dan 4
mahasiswa petugas peneliti lapangan yang akan ditugaskan mengumpulkan data di wilayah
empat desa terpilih yang menjadi lokasi penelitian yaitu pada desa Grokgak, desa Patas, desa
Sumberkima, desa Tinga-tinga dan desa Tukad Sumaga.
Rencana kerja yang tela berhasil ditetapkan adalah pemetaan lokasi ke lapangan
dengan tiga peneliti utama dan dua orang mahasiswa, dilaksanakan pada tgl. 20 Agustus
2015, dengan memilih sebanyak 10 responden terpilih sebagai obyek penelitian dalam rangka
menguji instrument penelitian, dengan akan dilaksanakan langkah penyempurnaan terhadap
daftar pertanyaan yang telah disusun, dilakukan perbaikan terhadap item-item pertanyaan
yang tidak tuntas difahami oleh responden.
Gambar 1.1 : Audiensi Tim Peneliti dengan Bapak Camat Grokgak
17
Kegiatan awal kunjungan tim peneliti ke lapangan telah bertemu dengan sejumlah
pejabat ditingkat kecamatan, serta sejumlah kepala desa terkait dengan kegiatan tim
peneliti dalam rangka pengembangan potensi rumah tangga miskin untk lebih mampu
memberdayakan diri ditengah situasu ekonomi yang berada pada kelambatan.
Kegiatan awal kunjungan tim peneliti ke lapangan pada tgl 20 Agstus 2015 telah
bertemu dengan sejumlah pejabat ditingkat kecamatan, serta sejumlah kepala desa terkait
dengan kegiatan tim peneliti dalam rangka pengembangan potensi rumah tangga miskin
untuk lebih mampu memberdayakan diri ditengah situasu ekonomi yang berada pada
kelambatan. Tim peneliti juga telah mengunjungi sejumlah responden untuk diwawancari
dalam rangka menguji instrument penelitian dan melengkapi data awal untuk kegatan
penelitian berikutnya.
18
Gambar 1.2
Tim Peneliti bersama Camat dan Staff
Gambar 1.3 menyajikan diskusi singkat antara anggota tim peneliti FEB
Universitas Udayana dengan Bapak kepala LPD desa Grokgak dalam rangka mendpatkan
sumber informasi terkait dengan peranan lembaga keuangan milik desa adat setempat dan
kemampuan pelayanan yang telah dapat diberikan oleh LPD desa adat Grokgak kepada
masyarakat pda wilayah desa bersangkutan. Wawancara dilaksanakan bersamaan dengan
kunjungan tim peneliti FEB Universitas Udayana ketika melakukan survey lanjutan Tgl
20 September 2015. Tim peneliti melakukan koordinasi sekaligus membahas peminjaman
tempat pelatihan, dengan mempersiapkan sebanyak 25 orang kader muda dari komponen
rumah tangga miskin untuk direkrut dan diberdayakan dalam program pelatihan
19
kelistrikan dan perbengkelan terjadwal tgl 11 dan 12 September 2015, dengan melibatkan
4 desa desa terpiih sebagaimana telah diuraikan diatas.
Gambar 1.3
Diskusi Tim Peneliti Dengan
Pengurus LPD Desa Adat Grokgak
Berdasarkan hasil survey potensi ekonomi kecamatan Grokgak, wilayah Buleleng
barat sebagian besar lahan pertanian tadah hujan, sehingga masyarakat hanya
mengandalkan tanaman seperti jagung, serta tanaman perkebunan seperti kelapa dan
tanaman mangga sebagai sumber mata pencaharian. Dengan panjangnya musim kemarau
seperti saat ini, sangat tampak bahwa lingkungan sangat berdebu (lihat Gambar 1.4).
Kawasan pemukiman ruma tangga miskin relatif tidak memenuhi standar
lingkungan sehat, disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain, adalah keterbatasan
sumber daya air serta sanitasi rumah yang tertutup, disebabkan oleh upaya penduduk
20
untuk melindungi rumah mereka dari debu dan udara yang relatif tidak bersih dalam
memasuki musim kemarau panjang.
Gambar 1.3
Kondisi Lingkungan Tinggal Rumah Tangga Miskin
Di Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
Keterbatasan sumber penghasilan rumah tangga miskin juga tercermin pada
beranda rumah yang memasang tali untuk penjemuran pakaian, yang sesungguhnya tidak
memenuhi syarat etis dan keindahan. Hal ini membuktikan, bahwa pada rumah tangga
miskin masih belum sampai kepada upaya menata lingkungan indah, tetapi adalah upaya
untuk memenuhi kebutuhan dasar yang menuntut mereka untuk mengabaikan hal-hal lan
yang dapat menyita waktu mereka, dalam mendapatkan sumber pendapatan lain, seperti
menjadi buruh tani dan pekerjaan sejenis lainnya.
21
Gambar 1.4
Kondisi rumah atap dan rumah tinggal Rumah Tangga Miskin
Di Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
Rumah tangga miskin yang memiliki mata pencaharian sebagai dagang atau
warung, sangat kental terlihat adanya keterbatasan sanitasi dinyatakan sehat, karena
ketidak-mampuan mereka dalam menata warung dengan sarana penunjang yang dapat
memnadjikan warung mereka menjadi sehat dan memenuhi syarat sanitasi yang baik.
Gambar 1.5 menyajikan kondisi warung yang dikelola oleh salah satu warga yang
termasuk dalamn kelompok rumah tangga miskin, memperlihatkan atap warung yang
sering bocor ketika musim hujan. Pada musim kemarau saat ini, warung dapat dipastikan
penuh dengan debu yang berterbangan, karena wilayah desa terdiri dari kawasan tegalan
yang kering. Penataan barang dagangan juga terlihat tidak beraturan dan belum
memenuhi syarat kesehatan yang baik.
22
Gambar 1.5
Tipe Usaha Kecil versi Rumah Tangga Miskin
Di Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
Gambar 1.5 mewakili karakter lingkungan dan kondisi usaha RTM yang belum
memenuhi syarat sanitasi, meskipun sebenarnya lokasi usaha berada pada lingkungan
jalan raya utama Gilimanuk – Singaraja, namun keterbatasan RTM untuk membangun
usaha pertokoan mereka dihadapkan kepada kemampuan keuangan pemilik usaha yang
terbatas. Kompleksitas permasalahan tampak terlihatpadawarga miskin, yaitu
keterbatasan sarana modal, sikap kewiraswastaan yang tidak berani mengambil resiko
atas tindakan investasi, akses pembeli dengan rata-rata pendapatan rendah, serta kendala
untuk bias bertahan hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, adalah tantangan yang
23
sulit difahami dengan perhitunga analisis rasional, karena itu pula persoalan RTM adalah
kabut misteri yang multi-komplek dan tidak mudah untuk difahami hanya dengan
perhitungan analisis ekonomi semata.
Gambar 1.6 menyajikan tentang kehidupan keseharian rumah tangga miskin yang
sebagan besar dari mereka mengandalkan sumur buatan sendiri dengan kedalaman sekitar
12 meter, mengambil sumber air sumur dengan cara manual, dengan mengerek air
mempergunakan timba. Karena pada kedalaman 12 meter, penduduk tidak mendapatkan
sumber air yang permanen, sehingga tidak mungkin sumber air yang tersedia dapat
dimanfaatkan dengan mempergunakan tenaga pompa listrik untuk memenuhi kebutuhan
bersama leih dari satu rumah tangga, karena sumur akan kehabisan sumber air. Dengan
demikian, fungsi sumur baru terbatas untuk memenuhi kebutuhan air minum dan mandi
untuk sebuah rumah tangga dengan keluarga kecil.
Gambar 1.6
Lingkungan Sanitasi dan Sumur Sebagai Sumber Air
RTM di Desa Gokgak Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
24
Berbeda dengan sarana kantor kepala desa Sumberkima, dan sejumlah kantor
kepala desa lainnya pada wilayah kecamatan Grokgak menunjukkan fasilitas yang cukup
memadai dalam rangka melaksanakan fungsi pelayanan pemerintahan desa, terkondisikan
sangat berbeda dengan lingkungan rumah tangga miskin yang masih tampak pada
kawasan pemukiman apa adanya, tidak memiliki lantai tegel, halaman tanah dan tidak
tersedia kamar mandi dan toilet dan jamban keluarga. Gambar 1.7 menyajikan kondisi
lingkungan kantor kepala desa Sumberkima yang memiliki memiliki gedung pelayanan
pemerintahan relative sangat memadai bagi pelaksanaan pelayanan pemerintahan warga
desa setempat.
Gambar 1.7
Fasilitas Kantor Kepala Desa
Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
25
Tim peneliti melakukan pemantauan lapangan, dengan mengunjungi responden
rumah tangga miskin di desa Grokgak kecamatan Grokgak. Musim kering telah
mengkondisikan pertanian lahan kering kurang berfungsi, sebagian dari tanah pertanian
seakan terbengkelai karena tidak mungkin dapat ditanami jagung, dan ketela pohon,
kecuali pada petani yang memiliki modal lebih besar, dengan menanam pohon kepala,
pohon mangga dan tanaman kering lainnya yang memerlukan modal awal ketika
menanam bibit kepala dan manga.
Gambar 1.8 menyajikan dialog langsung antara kepala keluarga RTM di lokasi
desa Grokgak, di kawasan rumah tinggal tegalan yang sekaligus menjadi rumah tinggal
RTM semi permanen, karena RTM yang bersangkutan ditunjuk sebagai pekerja penyakap
oleh pemilik tanah yang tidak berada pada lokasi tanag tegalan. RTM penyakap cukup
banyak jumlahnya di wilayah tegalan pada awasan yang memanjang dari desa
26
Sumberkima, Patas, dan desa lainnya. Gambar 1.8 mewakili RTM yang tinggal di
tegalan milik orang lain, yang tidak tinggal pada lahan tegalan bersangkutan, tetapi
adalah penyakap sekaligus menjadi pekerja dan pengelola lahan yang dimiliki pihak lain.
Pola hubungan patron-client sebagaimana digambarkan oleh Cliff Geertz (1960-an)
masih ditemukan sebagai pola hubungan kekerabatan dan saling ketergantugan satu sama
lainnya dalam kerangka relasi kepentingan ekonomi dan sosial, dalam hal mana pemilik
lahan memfungsikan penyakap mereka sebagai perpanjagan tangan dalam rangka
mendukung kegiatan hajat dan kegiatan social yang dilaksaakan oleh pemilik tanah,
dimana para penyakap hadir memberikan dukungan tenaga dan bantuan lainnya.
Pola hubungan patron-client ini tampak sangat menonjol dalam kerangka
hubungan kerja pada sektor pertanian tegalan,dan tampak melemah dan tidak berfungsi
pada sektor diluar pertanian. Putusnya link antar pekerja dan majikan diluar sektor
pertanian, juga menjadi kendala bagi perlindungan rumah tangga miskin untuk
mempertahankan kualitas kesejahteraan mereka melalui pola relasi patron-client.
Melemahnya network quality dalam kerangka relasi patron-client menjadikan
hilangnya peluang relasi kuasa atas pekerjaan dengan RTM sebagai penyedia tenaga
kerja, sehingga peluang pembentukan kesejahtraan melalui kerangka patron-client tidak
terwujud di sektor diluar pertanian.
Gambar 1.9
Lingkungan tanah tegalan sebagai pemukiman penduduk
Rumah Tangga Miskin Di Desa Grokgak
Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
27
Catatan lain dari survey awal yang telah dilaksanakan antara Bulan Agustus
sampai dengan pertengan bulan September 2015 adalah pola partisipasi gender dalam
upaya ikut serta berpartisipasi memperbaiki kesejahteraan RTM. Peran wanita pada
rumah tangga miskin pada musim paceklik telah memanfaatkan waktu luang mereka
dengan membuat canang dan perlengkapan sajen lainnya, yang dijual atas pesanan warga
setempat dan para pemangku pura yang berada disekitar lokasi rumah tangga miskin
bersangkutan. Ibu Dra Ni Made Sutarmiasih Wardana selaku mantan pimpinan dharma
wanita dan ibu PKK kabupaten Buleleng yang ikut serta sebagai pendamping kegiatan
penelitian ini, memiliki banyak akses atas binaan rumah tagga miskin khususnya di
wilayah Buleleng barat, sehingga sangat membantu dalam investigasi awal tim peneliti
untuk mendapatkan responden rumah tangga binaan. (lihat Gambar 1.10).
Gambar 1.10
Lingkungan tanah tegalan sebagai pemukiman penduduk
Rumah Tangga Miskin Di Desa Grokgak Kecamatan Grokgak Buleleng
28
( September 2015)
Pola hubungan patron-client jika berkembang menjadi pola hubungan relasi
strktural yang unik diluar sektor pertanian, RTM akan mendapatkan lebih banyak peluang
memperbaiki kesejahtraan melalui penetesan kebawah dari masyarakat elite sosial
ekonomi yang menjadi majikan mereka. Ketika keluar dari sektor pertanian, pola
hubungan patron-client tidak ditemukan pada masyarakat pedesaan pada empat desa yang
di survey penelitian ini, meki masih dalam gambaran kasar, karena focus kegiatan
penelitin ini leih ditujukan kepada action research yang tidak mendalami karakter pola
hubungan sektoral secara mendetail.
Survey singkat atas kondisi RTM di wilayah Buleleng barat sebagai wilayah
perbatasan, menunjukkan bahwa RTM merupakan masalah yang cukup serius sehingga
29
perlu dipolakan dimasa depan dengan prioritas kebijkan pemerintah kabupaten Buleleng,
mengingat wilayah perbatasan RTM menghadapi tantangan yang sangat besardalam
perebutan sumber daya yang terbatas dari penduduk lokal dan penduduk pendatang.
Berdasarkan hasilwawancara dengan sejunmlah responden terpilih terungkap
bahwa regenerasi dari penduduk miskin secara garis besar adalah para geneasi muda yang
telah dapat memenuhi kebutuhan sandang pangan secara minimal yang diperlukan untuk
bertahan hidup, namun menjadi masalah besar bagi mereka untuk mampu mewujudkan
sebuah rumah tinggal yang sehat dengan sanitasi baik. Type rumah tinggal RTM di
wilayah perbatasan Buleleng barat dapat dilihat pada Gambar 1.11 dengan kondisi batu
bata dan lantai tanah, yang mewakili kondisi rumah tinggal RTM dengan sarana air
minum dari sumur dan belum memiliki penerangan listrik.
Gambar 1.11
Lingkungan tanah tegalan sebagai pemukiman penduduk
Rumah Tangga Miskin Di Desa Grokgak Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
30
Bahan bakar utama yang dipergunakan rumah tangga miskin untuk memenuhi
kebutuhan konsumsi makanan dan minuman, masih sangat terkiat dengan bahan bakar
lokal seperti kayu hutan, dan kelapa seperti tampak pada Ganbar 1.11, dimana warga
menyimpan bahan bakar kayu untuk memenuhi keperluan aktivitas didapur. Hal ini
menunjukkan, bahwa rumah tagga miskin berpotensi melakukan pengrusakan lingkungan
hutan dalam jangka panjang. Keterbatasan sumber pendapatan rumah tangga miskin
menyebabkan belum bergesernya pola penggunaan bahan bakar ke tingkat yang lebih
maju, seperti penggunaan gas atau kompor minyak tanah.
Gambar 1.12
Rumah Tangga Miskin Dan Bahan Bakar Memasak
Rumah Tangga Miskin Di Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
31
Wawancara singkat tim peneliti dengan dua kepala rumah tangga terpilih di
kawaan desa desa Grokgak dan desa Sumberkima kecamatan Grokgak memberikan
gambaran awal bahwa untuk mendapatkan makan keseharian relatif tidak terlalu sulit yag
bersumber dari pekerjaan mereka. Meskipun demikian, beban keluarga yang rata-rata
dengan anak antara 3 sampai 5 orang, relative sulit untuk dapat menyediakan tempat
pemukiman yang layak.
Gambar 1.13
Rumah Tangga Miskin Dan Bahan Bakar Memasak
Rumah Tangga Miskin Di Desa Sumberkima Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
32
Responden kepala rumah tangga yang diwawancara tersebut seperti tampak pada
Gambar 1.10 adalah berprofesi sebagai penggali sumur manual, dengan alat-alat yang
sangat terbatas serta cangkul dan skop, serta mampu menggali dengan kedalaman sampa
50 meter. Keterbatasan modal dan dengan keterampian seadanya merupakan modal
utama mereka dalam mendapatkan peluang pekerjaan yang saat ini banyak dibutuhkan
masyarakat, terumata mereka yang memiliki lahan tegalan di kawasan Buleleng barat
khususnya.
Survey singkat juga telah dilakukan di desa Tukad Sumaga dan desa Patas.
Dibandingkan dengan desa Patas dan Grokgak serta desa Sumberkima, maka desa Tukad
Sumaga relative memiliki sumber daya pertanian sawah dengan sarana irigasi teknis.
Gambar 1.14 menunjukkan berkembangnya ternak sapi yang cukup potensial, serta dapat
33
memberikan lahan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Meskipun desa Tukad Sumaga
memiliki relative kondisi lebih baik dibandingkan dengan tiga desa lainnya, tetapi saja
rumah tangga miskin memiliki karakter yanbg tidak berbeda jauh dengan tiga desa
lainnya, baik dilihat dari peluang kesempatan kerja, maupun potensi pasar yang dapat
membebaskan mereka dari tekanan ekonomi saat ini.
Gambar 1.14
Pemeliharaan Ternak Sapi Rumah Tangga Miskin
Di Desa Tukad Sumaga Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
Survey awal dengan membandingkan sarana kantor kepala desa yang dimiliki oleh
empat desa yang menjadi focus pembinaan RTM di wilayah Buleleng Barat oleh Tim
Peneliti FEB Universitas Udayana adalah desa Grokgak, Patas, Tukad Sumaga dan desa
Sumberkima, menunjukkan gambaran tentang potensi desa dan tingkat kesejahteraan
masyarakat desa yang bersangkutan.
Gambar 1.15 menunjukkan sarana bangunan kantor kepala desa Patas yang
kondisinya relative sama dengan sarana gedung kepala desa Grokgak, sementara kantor
kepala desa Tukad Sumaga jauh lebih tampak anggun dan bercirikan bangunan Bali.
34
Berdasarkan wawancara dengan staf kepala desa Tukad Sumaga, bahwa sebagian dana
yang dipergunakan adalah bersumberdari swadaya masyarakat, sebuah gambaran potensi
modal sosial dan kegotong-royongan serta kondisi kesejahtraan masyarakat yang lebih
baik dibandingian dengan tiga desa lainnya. Wilayah desa Tukad Sumaga memiliki
sejumlah kawasan lahan beririgasi teknis, serta hasil perkebunan yang mendukung
tingkat kesejahtraan masyarakat setempat.
Gambar 1.15
Sarana Kantor kepala desa PATAS
Di Desa Patas Kecamatan Grokgak Buleleng
( September 2015)
Perbedaan sarana bangunan juga menggambarkan kondisi sosial
kemasyarakat yang lebih kompak dalam bekerja sama untuk mewujudkan sarana
kantor kepaladesa yang representative. Gambar 1.16 memberikan suasana kantor
yang tipikal bangunan Bali, yang tidak dapat dikembangkan di desa lainnya.
Gambar 1.16
Sarana Kantor kepala desa Tukad Sumaga
Di Desa Tukad Sumaga Kecamatan Grokgak Buleleng
( Agustus 2015)
35
Dalam kunjungan ke lapangan tahap kedua yang dilaksanakan dari tgl 24
Agustus 2015, telah berhasil menyusun agenda kegiatan tahap berikutnya, yaitu
mengkoordinasikan dengan Bapak Camat dan empat kepala desa binaan (desa Grokgak,
desa Patas, desa Sumberkima dan desa Tukad Sumaga) yang terkait dengan pola
pemetaan rumah tangga miskin, memperlihatkan pentingnya upaya untuk melakukan
konstruksi tentang kondisi, situasi dan karakter rumah tangga miskin. Pertama,
kecamatan Grokgak adalah wilayah perbatasan antara Bali barat dengan perbatasan Jawa
Timur, dalam hal mana pembenahan rumah tangga miskin dapat diartikan sebagai
pertahanan budaya lokal yang akan menjadi mudah tergerus apabila ekonomi rakyat
menjadi sangat lemah dan tiak berdaya.
36
Kedua, bahwa pemetaan rumah tangga miskin menjadi penting untuk ditelusuri,
mengingat dampak terjadinya kriminalitas, narkoba dan prostitusi seringkali bermula dari
tekanan ekonomi rakyat yang terdesak dan tidak berdaya menghadapi dinamika pengaruh
negative, dimana rakyat dengan pertahanan ekonomi lemah dengan mudah terpelosok
dengan kepentingan jangka pendek yang merugikan kepentingan ekonomi dan sosial
masyarakat lokal.
Ketiga, bahwa tanpa pemahaman dengan jelas atas persoalan kemiskinan yang
berkembang di masyarakat khususnya di wilayah 4 desa lokasi penelitian ini, maka dapat
terjadi pemecahan permasalahan menjadi parsial dan tidak terarah, sehingga akan
menghabiskan tenaga, waktu dan dana pemerintah dengan hasil keluaran yang tidak
membeikan kontribusi nyata bagi penurunan rumah tagga miskin di wilayah perbatasan,
khususnya pada desa Grokgak, desa Patas, desa Sumberkima dan desa Tukad Sumaga.
Keempat, bahwa laporan awal ini disampaikan sebagai gambaran awal tentang
karakter rumah tangga miskin, sera upaya untuk mengentaskan kemiskinan tersebut
melalui program jangka pendek seperti sosialisasi dan pembekalan kepada kader muda
rumah tangga miskin tentang bekal keterampilan khsusu seperti tenaga isntalatur
kelistrikan dan tenaga perbengkelan. Peningkatan kualitas sumber daya dari drop-out
sekolahan ke tenaga kerja siap pakai, adal;ah salah satu upaya untuk memperluas bidang
keterampilan kader muda dari rumah tangga miskin, sehingga dioharapkan dapat
mewujudkan pangsa pasar baru sejalan dengan keterampilan yang telah mereka miliki.
5.3 Hasil Analisis
37
Hasil analisis SEM PLS tidak disampaikan secara kronologis, mengingat sumber daya
pada pemerntah kabupaten Buleleng relative terbatas dala memahami karakter rumah
tanggai miskin berdasarkan analisis SEM PLS. Dengan demikian lapotan ini menyimpan
dokumen peyajian respot atas analisis SEM PLS, dengan menyajikan implementasi kaji
tindak, Peelitian tahap kedua, akan dijadikan landasan utama temuan persepsi rumah
tagga miskian, untuk kemudian dijadikan arahj pengembangan model yang lebih praktis.
Hasil analisis yangh tidak disajikan pada dokumen pelenitian ini tetap menjadi kerangka
bagi peecahan masalah nyata persoalan kemiskinan di wilayah perbatasan Buleeng barat,
38
khususnya di kecamatan Grokgak. Hasil implementasi kegiatan penelitian kemudian dirangkum
menjadi kaji tindak tahap kedua kegiatan ini, sebagaimana dilaporkan berikut ini,.
5.4 Kajin Tindak Penelitian dan Implementasi Pemecahan Masalah
Kaji tidak (action research) yang dilakukan atas kerja sama Badan perencanaan Daerah
(Bappeda) kabupaten Buleleng dengan Pusat Analisis Data Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Unioversitas Udayana menyasar pemberdayaan rumah tangga miskin (RTM) wilayah perbatasan
Bali barat yaitu pada wilayah perbatasan kecamatan Grokgak. Dalam rangka pemberdayaan
tersebut, peneliti memandang perlu memahami karakter RTM wilayah perbatasan Bali barat
tersebut, dinamika sosial ekonomi yang sedang bekembang, perkembangan arah pertumbuhan
rumah tangga miskin, dimensi dan tantangannya khususnya dalam melihat persaingan perebutan
sumber daya yang terbatas antara warga penduduk lokal dengan pendatang serta aspek kinerja
RTM dalam berpartisipasi pada pendidikan keluarga sebagai salah satu komponen kemajuan
yang dapat memberikan peluang alih generasi dari RTM untuk berpeluang keluar dari jalur mata
rantai kemiskinan antara lain melalui partisipasi pendidikan formal dari SD, SMP sampai dengan
SLTA.
Keterbatasan sumber pendanaan, alokasi waktu serta focus terhadap RTM untuk mampu
diberdayakan secara efektif dan efisien, Tim Peneliti telah sepakat hanya menyasar empat desa
terpilih yang mencerminkan keterwakilan wilayah RTM, yang dipertimbangkan berdasarkan
wilayah dataran tinggi ( desa TukadSumaga), dan wilayah pantai yaitu desa Grokgak,
Sumberkima dan desa Patas. Tabel 3.1 menyajikan kondisi terkini yang diperoleh dari sumber
pendataan PMD propinsi Bali, menunjukkan bahwa secara menyeluruh terdapat 14 desa yang
39
berada dalam lingkup kecamatan Grokgak, menggambarkan kondisi tentang banyaknya siswa
drop-out dan tidak melanjutkan ke sekolah setingkat SLTA.
Tabel 3.1
Posisi RTM Berdasarkan Partisipasi Pendidikan Siswa
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
SEKOLAH TIDAK SEKOLAH Jumlah
Desa 7-12 Thn 13-15 thn 16-18 thn 7-12 Thn 13-15 Thn 16-18 Thn
SUMBER KLAMPOK 127 62 37 1 7 21 255
PEJARAKAN 674 205 62 75 108 185 1309
SUMBERKIMA 544 222 97 20 28 104 1015
PEMUTERAN 459 178 74 23 42 110 886
BANYUPOH 64 11 3 12 10 15 115
PENYABANGAN 297 82 34 22 38 71 544
MUSI 176 67 39 23 14 31 350
SANGGALANGIT 251 102 55 32 19 39 498
GEROKGAK 428 165 63 13 44 109 822
PATAS 738 271 104 40 97 216 1466
PENGULON 182 63 15 34 33 75 402
TINGA TINGA 294 83 34 48 53 87 599
C. BAWANG 235 81 48 11 16 35 426
TUKAD SUMAGA 372 86 27 44 99 146 774
Jumlah 4841 1678 692 398 608 1244 9461
Berdasarkan Tabel 3.1 tercatat usia tidak sekolah antara umur 7 tahun sampai
dengan umur 12 tahun terdapat cukup besar 398 orang, jumlah yang relative besar dan
perlu dikurangi dimasa datang. Meskipun demikian, usia tidak sekolah ditemukan pola
kecenderungan yang relative sama dengan kabupaten/kota di daerah Bali, yaitu dengan
angka prosentase yang semakin besar pada usia tidak sekolah pada usia lebih tinggi, yaitu
dari angka sebesar 398 meningkat menjadi 608 orang pada usia 13 sampai dengan 15
tahun, serta menjadi 1244 pada usia antara 16 sampai dengan 18 tahun.
40
Besarnya jumlah RTM yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka
karena berbagai sebab menjadi focus perhatian penelitian ini, yang menyiratkan perlunya
pemerintah darah kabuoaten Buleleng mengadakan terobosan kebijakan dengan
mendorong semakin berkembangnya pendidikan keterampilan sebagai jalan pintas jangka
pendek untuk meningkatkan bekal keterampilan generasi muda RTM sebagai pemicu
bagi penurunan angka RTM dimasa depan. Berdasarkan Tabel 3.1 jika diperbandingkan
antara anak usia sekolah dengan mereka yang tidak sekolah untuk seluruh sebanyak 14
desa dalam lingkungan kecamatan Grokgak, ternyata generasi muda RTM yang
bersekolah tercatat sebanyak 7211 orang, sedangkan generasi muda RTM yang tidak
bersekolah tercatat sebanyak 2250 orang, yaitu sebesar 30% dari total generasi muda
RTM. Prosentase tersebut menunjukkan angka yang cukup besar bila dibandingkan
dengan era pengembangan berbagai fasilitas penunjang pendidikan, dengan dukungan
30% dari dana ABPN.
Berdasarkan Tabel 3.2, RTM tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara
kelompok perempuan dan kelompok laki-laki. Meskipun demikian, ternyata RTM di
wilayah Bulelelng barat memilki sebaran yang berbeda dilihat dari usia RTM, maupun
sebaran jumlah RTM dilihat per wilayah desa. Berdasarkan usia, ternyata pada usia 15-44
tahun konsentrasi kemiskinan lebih beser dibandingian dengan usia lebih kecil atau lebih
besar melewati usia 44 tahun. Indikasi ini membuktikan bahwa penurunan jumlah RTM
pada usia diatas 44 tahun dapat disebabkan oleh beban tanggungan pada usia diatas 44
tahun sudah mulai berkurang, sehingga ada tersedia sumber yang terbatas dapat
dimanfaatkan dalam penguatan keejahtraan RTM, sehingga banyak yang sudah berhasil
mendapatkn kesejahtraan lebih baik, sehingga tidak lagi terdaftar pada RTM. Bahwa
41
peran anak-anak mereka yang telah mandiri dan kemudian memberikan bantuan kepada
orang tua mereka, juga meruoakan kekuatan baru bagi RTM untuk mampu keluar dari
daftar RTM.
Tabel 3.2
Posisi RTM Berdasarkan Gender dan Usia RTM
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Desa Prmpn Laki2 Jumlah Prmpn Laki2 Jumlah Prmpn Laki2 Jumlah
6 Thn 6 Thn RTM 6-14 Thn 6-14 Thn RTM 15-44 Thn 15-44 Thn RTM
SUMBER KLAMPOK 60 52 112 101 100 201 196 204 400
PEJARAKAN 375 364 739 530 545 1075 1238 1254 2492
SUMBERKIMA 284 267 551 414 406 820 1034 1025 2059
PEMUTERAN 214 230 444 356 350 706 914 885 1799
BANYUPOH 46 44 90 49 51 100 125 133 258
PENYABANGAN 151 156 307 221 230 451 550 571 1121
MUSI 103 107 210 148 153 301 388 397 785
SANGGALANGIT 144 156 300 182 245 427 533 571 1104
GEROKGAK 225 245 470 316 354 670 818 895 1713
PATAS 327 348 675 568 560 1128 1482 1488 2970
PENGULON 94 109 203 139 178 317 429 467 896
TINGA TINGA 145 151 296 232 243 475 599 593 1192
CELUKAN BAWANG 109 128 237 191 159 350 408 361 769
TUKAD SUMAGA 157 172 329 309 298 607 784 798 1582
Jumlah 2434 2529 4963 3756 3872 7628 9498 9642 19140
Tabel 3.3
Posisi RTM Berdasarkan Gender dan Usia RTM
Kecamatan Grokgak Tahun 2014 (Lanjutan Tabel 3.2)
Desa Prmpn Laki2 Jumlah Prmpn Laki2 Jumlah
45-59 Thn 45-59 Thn RTM >59 Thn >59 Thn RTM
SUMBER KLAMPOK 47 51 98 32 34 66
PEJARAKAN 296 322 618 233 219 452
SUMBERKIMA 282 284 566 205 169 374
PEMUTERAN 252 259 511 173 171 344
BANYUPOH 32 22 54 32 36 68
PENYABANGAN 129 149 278 92 85 177
MUSI 87 86 173 73 60 133
SANGGALANGIT 132 134 266 112 100 212
GEROKGAK 248 263 511 131 119 250
PATAS 340 374 714 217 187 404
PENGULON 119 105 224 84 83 167
TINGA TINGA 179 183 362 130 109 239
CELUKAN BAWANG 88 98 186 66 65 131
TUKAD SUMAGA 234 250 484 148 135 283
Jumlah 2465 2580 5045 1728 1572 3300
Berdasarkan Tabel 3.2 dab Tabel 3.3 juga tampak bahwa RTM terbesar tersebar di
beberapa desa seperti Sumberkima, Patas, Pejarakan dan Pemuteran. Sebuah catatan
42
khusus, yang perlu mendapat perhatian bahwa berkembangnya desa Pemuteran menjadi
kawasan destinasi wisata internasional, tampaknya belum mampu memberikan solusi atas
penurunan jumlah RTM di kawasan desa tersebut, satu dan lain hal karena industry
pariwisata memerlukan tidak saja bekal p0endidikan yang cukup, tetapi juga kemampuan
dalam berkomunikasi dan keterampilan khusus lainnya sebagaimana diperlukan untuk
kualifkasi tenaga kerja pada industri pariwisata.
Jika dicermati arah perkembangan RTM berdasarkan sumber mata pencaharian RTM
di wilayah Buleleng barat, tampak bahwa sebagian besar RTM masih bermata
pencaharian sebagai petani padi palawija, sektorburuh bangunan dan konstruksi serta
sektor peternakan. (lihat Tabel 3.4).
Tabel 3.4
Posisi RTM Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
DESA Pertanian Horti- Perke- Perikanan Perikanan Pete- Khtanan/ Prtamn Industri
padi plwija kultura Bunan tangkap budidaya nakan Perkban pngglan pengolhn
SUMBER KLAMPOK 11 41 3 4 6 294 0 0 4
PEJARAKAN 32 1 3 36 18 2680 6 0 26
SUMBERKIMA 187 2 105 155 49 897 2 9 194
PEMUTERAN 1081 171 6 78 20 163 13 4 61
BANYUPOH 35 66 0 0 31 122 2 0 4
PENYABANGAN 4 0 15 32 259 627 0 0 28
MUSI 35 5 280 35 107 285 7 0 15
SANGGALANGIT 263 5 13 17 32 608 3 0 39
GEROKGAK 326 49 112 104 44 803 4 0 56
PATAS 542 162 45 132 41 1322 2 2 12
PENGULON 318 6 309 13 2 251 0 1 60
TINGA TINGA 148 2 4 14 0 770 0 0 30
CELKAN BAWANG 2 10 5 70 6 191 13 0 4
TUKAD SUMAGA 0 0 3 2 1 1974 1 1 11
JUMLAH 2984 520 903 692 616 10987 53 17 544
Tabel 3.5
43
Posisi RTM Berdasarkan Sumber Mata Pencaharian
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
(Lanjutan Tabel 3.4)
DESA Listrik Bngunan Perda- Hotel Trsmptsi Infmasi Keuangn Jasa Lainnya
Gas Konstksi gangan Rm Mkn Prgngan Komkasi Asrnsi Jasa
SUMBER KLAMPOK 0 15 21 8 11 1 1 9 0
PEJARAKAN 7 97 76 28 35 0 1 92 262
SUMBERKIMA 8 132 210 35 114 0 12 135 428
PEMUTERAN 3 146 52 231 24 1 3 79 38
BANYUPOH 4 35 9 0 7 0 5 16 1
PENYABANGAN 2 151 100 6 13 0 2 52 2
MUSI 0 26 19 8 4 2 4 50 79
SANGGALANGIT 0 207 50 8 15 0 8 48 7
GEROKGAK 2 231 127 10 27 1 6 36 2
PATAS 1 497 143 5 59 1 7 164 20
PENGULON 0 31 90 1 16 0 3 44 83
TINGA TINGA 0 24 46 2 412 0 3 3 2
CELUKAN BAWANG 0 55 121 3 79 0 1 110 12
TUKAD SUMAGA 1 132 71 1 14 1 1 24 3
JUMLAH 28 1779 1135 346 830 7 57 862 939
Berdasarkan Tabel 3.5, pola penyerapan lapangan kerja di sektor yang
memerlukan keterampilan khusus masih sanga terbatas dapat dimanfaatkan oeh RTM,
meskipun tercatat kemajuan sektor industry pariwisata khsusunya di sejumlah desa
seperti desa Pemuteran, serta transportasiu dan pergudangan mulai dapat menyerap
lapangan kerja bagi RTM pada desa Sumberkima dan desa Tinga-tinga. Bahwa
penurunan angka RTM sangat mungkin dilakukan apabila terdaoat kebijakan pemerintah
dalam membuka lebih banyak pendidikan non formal yang dapat memandu mereka
meingkatan keterampilan terutama atas sejumloah perkembangan sektor produksi diluar
pertnanian dan pertambangan yang sudah mulai berkembang pesat di wilayah Buleleng
barat.=, khususnya pada destinasi wisata dan sektor transportasi dan pergudangan.
Berdasarkan fasilitas kelistrian rumah tangga masih terdapat 490 RTM yang tidak
memiliki saluran listrik PLN, salah satu sebab karena rumah tidak permanen serta belum
terdapat pesangan tiang PLN. Fasilitas listrik tentu akan sangat strategis sebagai sarana
44
bagi pencerdasan para siswa yang sdang bersekolah, serta perlunya kebutuhan lain
berkaitan dengan penunjang hibuan televise dan seterusnya.
Tabel 3.5
Posisi RTM Berdasarkan Sumber Kelistrikan
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Desa Listrik Listrik
Tidak
ada
PLN Non PLN Listrik
SUMBER KLAMPOK 194 1 8
PEJARAKAN 1152 14 58
SUMBERKIMA 978 4 7
PEMUTERAN 915 3 19
BANYUPOH 147 0 5
PENYABANGAN 550 1 48
MUSI 373 1 16
SANGGALANGIT 552 1 56
GEROKGAK 856 2 15
PATAS 1342 3 94
PENGULON 398 0 6
TINGA TINGA 516 1 78
CELUKAN BAWANG 369 0 8
TUKAD SUMAGA 816 17 72
JUMLAH 9158 48 490
Sarana penunjang lain yang juga berdampak kuat terhadap tingkat kesejahteraan
adalah penunjang kebutuhan air minum. Berdasarkan Tabel 3.6 didapatkan sebagian
besar yaitu sebanyak 8343 RTM mempergunakan sumber air terlindung bukan air
PDAM, karena pegunungan cukup tersedia sumber air yang bias dikerjakan penduduk
seara swadaya, selebiuhnya sebesar 1109 RTM yang mempergunakan sumber air
bersumber dari sumur buatan sendiri dan sumber air lainnya yang tidak terlindungi
sanitasi dan kebersihannya. Beberapa desa sepertiPejarakan dan Pemuteran adalah
kawasan wilayah tegalan yang kering dan terbatas dalam sumber daya air.
45
Tabel 3.6
Posisi RTM Berdasarkan Sumber Air Minum
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Air Air Sumber Sumber
Desa Kemasan Ledeng Terlindung Tidak
Terlindung
SUMBER KLAMPOK 0 120 83 0
PEJARAKAN 5 15 707 497
SUMBERKIMA 0 15 964 10
PEMUTERAN 0 9 740 188
BANYUPOH 0 1 151 0
PENYABANGAN 2 31 556 10
MUSI 0 1 388 1
SANGGALANGIT 0 1 605 3
GEROKGAK 2 3 854 14
PATAS 1 0 1412 26
PENGULON 1 18 370 15
TINGA TINGA 1 4 583 7
CELKAN BAWANG 2 2 352 21
TUKAD SUMAGA 0 10 578 317
JUMLAH 14 230 8343 1109
Tabel 3.7
Posisi RTM Berdasarkan Penggunaan Bahan Bakar
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Desa Listrik/Gas Lainnya
SUMBER KLAMPOK 2 201
PEJARAKAN 54 1170
SUMBERKIMA 41 948
PEMUTERAN 72 865
BANYUPOH 5 147
PENYABANGAN 109 490
MUSI 19 371
SANGGALANGIT 6 603
GEROKGAK 25 848
PATAS 94 1345
PENGULON 30 374
TINGA TINGA 7 588
CELUKAN BAWANG 92 285
TUKAD SUMAGA 3 902
JUMLAH 559 9137
46
Tabel 3.8
Posisi RTM Berdasarkan Sumber Kelistrikan
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Desa
Jamban
Sendiri
Jamban
Umum
Tidak ada
Jamban
SUMBER KLAMPOK 77 36 90
PEJARAKAN 579 152 493
SUMBERKIMA 388 309 292
PEMUTERAN 501 151 285
BANYUPOH 67 4 81
PENYABANGAN 79 262 258
MUSI 169 6 215
SANGGALANGIT 156 17 435
GEROKGAK 386 102 385
PATAS 516 574 349
PENGULON 300 29 75
TINGA TINGA 224 31 340
CELUKAN BAWANG 221 93 63
TUKAD SUMAGA 105 26 773
JUMLAH 3768 1792 4134
Tabel 3.8
Posisi RTM Berdasarkan Penyakit Kronis
Kecamatan Grokgak Tahun 2014
Desa Prmpn Laki2 Permpn Laki2 Prmpn Laki2 Prmpn Laki2 SUB
< 15 < 15 15-44 15-44 45-59 45-59 >59 >59 JMLH
SMBR KLAMPOK 0 0 1 0 0 1 0 0 2
PEJARAKAN 0 0 5 13 7 11 23 19 78
SUMBERKIMA 1 0 5 2 7 7 7 15 44
PEMUTERAN 0 4 33 18 29 20 30 27 161
BANYUPOH 0 0 12 11 7 5 14 19 68
PENYABANGAN 0 0 3 4 13 10 53 39 122
MUSI 0 1 1 3 0 2 4 10 21
SANGGALANGIT 0 0 2 1 2 4 7 7 23
GEROKGAK 0 0 4 1 13 13 24 28 83
PATAS 1 2 10 8 21 20 34 28 124
PENGULON 0 0 1 0 0 1 0 3 5
TINGA TINGA 0 1 27 13 47 22 64 37 211
CLKAN BAWANG 10 6 40 27 34 33 35 25 210
TUKAD SUMAGA 2 4 19 19 10 21 22 23 120
JUMLAH 14 18 163 120 190 170 317 280 1272
47
5.5 Pelatihan on the job training Perbengkelan
Berdasarkan fakta yang tersedia dari uraian data sebelumnya, sebagian besar
RTM bermata pencaharian pada sektor pertanian, peternakan dan bangunan
konstruksi, dengan sangat kecil dari jumlah mereka memasuki industri dan
perdagangan serta pariwisata. Melalui gerakan pembinaan Tim Peneliti FEB
Universitas Udayana, penjaringan dalam rangka pengembangan skill dibidang
perbengkelan diupayakan bagi mereka para generasi muda yang dalam lingkungan
RTM untuk diberikan motivasi, pembenahan skill melalui pendidikan non formal,
dengan menghadirkan alat peraga secara langsung, sehingga dapat menjadi bekal
keterampilan generasi muda RTM dalam rangka memasuki segmen pasar diluar
sektor primer pertaian dan pertambangan. Tim peneliti juga menyiapkan sertifikat
pada pelatihan pendidikan non formal, sehingga kiranya dapat membangkitkan
semangat mereka dan keyakinan pada diri generasi muda untuk bangkit mendapatkan
segmen pasar dibidang perbengkelan, khususnya pada bengkjel sepeda motor.
Gambar 3.1 menyajikan kerangka pendekatan pemecahan masalah dengan
mempetakan rencana detail pengembangan pendidikan non formal melalui pelatihan
kerja perbengkelan khususnya pada bengkel sepeda motor.
Gambar 3.1.
Alur Proses Pengembangan Pendidikan Keterampilan
Bengkel Sepeda Motor
48
Pendidikan Non formal
(Perbengkelan)
Motivasi Untuk Bangkit
Dan Percaya diri
Meningkatnya keterampilan
Pemberian Sertifikan
Pelathan Kerja
Peluang Mendapatkan
Pekerjaan Bidang Perbengkelan
5.6 Pelatihan on the job training Perbengkelan
Pengembangan pendidikan non formal juga direncanakan pada bidang kelistrikan,
karena pembangunan infrastruktur mulai berkembang pesat baik di wilayah pedesaan
maupu di perkotaan didaerah Bali, sehingga dapat menjadi alternative segmen pasar
kerja yang baru setelah para generasi muda RTM ditingkatkan keterampilannya. Fata
yang tersedia berdasarkan data yang telah disampaikan sebelumnya, bahwa sebagian
besar konsentrasi mata pencaharian RTM adalah di sektor pertanian dan konstruksi
bangunan di level pekerjaan non skill, sehingga peuang mendapatkan imbalan gaji
yang lebih pantas tidak berhasil mereka dapatkan. Gambar 3.2 menyajikian alur
rencana pendidikan dan pelatihan kelistrikan sebagai bekal generasi muda RTM
49
membangun segmen bursa pasar kerja dibidang ionstalasi listrik dan hal-hal yang
berkaitan dengan kelistrikan.
Gambar 3.2
Alur Proses Pengembangan Pendidikan Keterampilan
Bidang Kelistrikan
Pendidikan Non formal
(Kelistrikan)
Motivasi Untuk Bangkit
Dan Percaya diri
Meningkatnya keterampilan
Bidang Instalasi Listrik
Pemberian Sertifikan
Pelathan Kerja
Peluang Mendapatkan
Usaha Mandiri Bidang Instalasi
Kelistrikan Tingkat Desa
5.7 Pelatihan Kewiraswastaan
Berdasarkan kajian data yang tersedia sertasejumlah survey yang telah
dilakukan dalam meengkapi data skunder yang diperoleh dari PMD propinsi Bali,
hasil analisis membuktikan bahwa generasi muda RTM sangat bergantung
kepadapihak lain dalam menyediakan lapagan kerja. Hal ini sejalan dengan rencana
50
kegiatan awal kaji tindak, bahwa sebagian besarpersoalan RTM tidak hanya terbatas
dalam tingkat kesejahtraan, tetapi juga sangat tidak mandiri dalam membangun
peluang kerja atas nama diri mereka sendiri. Dengan fakta demikian, maka rencana
pelatihan kewiraswastaan menjadi relevan untuk diteruskan ke tinkat sosialisasi dan
pelatihan tatap muka dengan generasi muda RTM yang disasar sebagai kelompok
sasaran yang dibina khusus pada 4 desa terplih yaitu desa Sumberkima, desa Patas,
desa Grokgak dan desa Tukad Sumaga. Alur rencana sosialisasi dan outcome yang
diharapkan dapat diwujudkan dapat dilihat pada Gambar 3.3.
Pelatihan kewiraswastaan mencakup didalamnya adalah motivasi dan proses
pendewasaan peserta pelatihan tentang proses mencapai kemandrian kewiraswastaan
yang dimulai dari pengenalan diri pribadi, memahami keterbatasan diri pribadi, serta
upaya yang perlu dilakukan untuk memperkuat basic kemandirian, yang tidak harus
dimulai dengan resiko usaha yang tinggi. Mengenali lingkungan, memahami
kebutuhan yang diperlukan lingkungan, merintis pola pasar, memahami karakter
segmen pembeli adalah prilaku yang harus dibentuk terlebih dahulu, sehingga
terdapat karakter pribadi yang tertarik untuk menjadi mandiri, merintis
pengembangan usaha dengan meniadakan rasa gengsi yang seringkali dimulai ketika
melakukan perintisan usaha yang baru. Membangun kemandirian dengan sentuhan
sosialisasi dan pelatihan akan menjadi awal pangkal tumbuh berkembangnya awal
kesadaran diripribadi bahwa kemandian dalam memulai sebuah usaha, adalah hal
yang menyenangkan.
51
Gambar 3.2
Alur Proses Pengembangan Pendidikan Keterampilan
Bidang Kewiraswastaan
Pendidikan Non formal
Kewiraswastaan
Motivasi Untuk Membangun
Kemampuan Membangun Peluang
Meningkatnya keterampilan
Bidang Pengelolaan Usaha Pribadi
Pemberian Sertifikan
Pelathan Kerja
Meningkatkan
Kemampuan Usaha Mandiri
Berwiraswasta
Pelatihan kelistrikan dimaksudkan sebagai terobosan dalam rangka membekali
keterampilan generasi muda RTM di wilayah 4 desa dalam lingkungan kecamatan Grokgak
mencakup desa Grokgak, desa Sumberkima, desa Patas dan desa Tukad Sumaga. Ke empat
desa terpilih mewakili wilayah ptototipe RTM yang mencakup kawasan terdekat dalam
wilayah sekitar Grokgak sehingga pada tingkat awal memudahkan dalam berkomunikasi,
jarak tempuh yang berdekatan serta keterwakilan RTM yang representative dari jumlah
penduduk, kondisi RTM dan kesiapan generasi muda yang ternyata paling berminat
52
mengikuti program pelatihan dan pemberdayaan kelistrikan sebagai bekal keterampilan
dalam berwiraswasta dibidang kelistrikan.
Pelatihan yang dipandu oleh Tim Instruktur dari Pusat Pelatihan ketenaga-kerjaan
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Buleleng, melibatkan undangan peserta sebanyak 30 peserta
yang mewakili ke empat desa tersebut diatas.
Pelatihan dilaksanakan pada hari Jum’at Tgl. 12 bulan September 2015 dalam sehari,
dimulai dari jam 09.00 berakhir sampai dengan jam 17.00 sore. Pelatihan kelistrikan pada
awal diberikan pengetahuan tentang kelistrikan oleh dua instruktur yang berbeda, kemudian
dilanjutkan dengan demo peralatan kelistrikan, pola pesangan kilometer, mengendalikan arus
tenaga listrik, cara penempatan kabel dan seterusnya, sehingga peserta dapat memahami
pengetahuan praktis tentang prosedur pemasangan listrik untuk rumah tangga. Bekal
pengetahuan dengan menyajikan praktek penggunaan alat peraga secara langsung telah
mengundang peserta pelatihan mengikuti pelatihan, terutama ketika praktek instalasi listrik
dilaksanakan dengan alat-alat listrik yang telah tersedia. Gambar 4.1 menyajikan acara
pembukaan pelatihan yang dibuka oleh Bapak cemat beserta perwakilan dari Bappeda
Kabupaten Buleleng.
53
Gambar 4.1
Pembukaan Acara Pelatihan Kelistrikan dan Perbengkelan
Di Kantor Camat Kecamatan Grokgak
Jumat, 11 Sepmebre 2015
Tim peneliti dari Universitas Udayana juga menyediakan sertifikat tanda ikut
pelatihan kelistrikan, dengan harapan dapat memberikan motivasi dan kepercayaan diri dari
generasi muda RTM, bahwa dengan sertifikat dari Universitas Udayana dapat dijadikan
referensi kepada para pengguna dan atau pemodal yang ingin memanfaatkan jasa para
gerenasi muda RTM dimasa datang sebagai salah satu tenaga setengah terampil bidang
instalasi kelistrikan. Target yang diharapkan tercapai dari kegiatan pelatihan ini adalah
sebagai berikut.
54
Gambar 4.2
Konstruksi Pembelajaran Dan Outcome yang Diharapkan
Proses Pembelajaran,
Memahami
Dan Mengerti
Atas teknik dan prosedur
Tahaopan pekerjaan
Kelistrikan
Terbentuknya
Sikap
(attitude)
Bersumber
dari proses
Pembelajaran
Keterampilan
Kelistrikan
Terwujudnya
Prilaku Terampil
Dan Menjadi
Pengetahuan
Yang dibarengi
Dengan penguatan
Skill terkait degan
Metode Instalasi Listrik
OUT-COME
Meningkatnya peluang kerja
RTM pada setor yag membutuhkan keterapilkan khusus
Pemasangan Instalasi Listrik
Sebagai Keterampilan baru
Berdasarkan Gambar 4.2 digambarkan bahwa out-come yang ingin dicapai dari
kegiatan pelatihan keterampilan kepada paragenerasi muda RTM mewakili 4 desa dengan 30
peserta pelatihan adalah terbentuknya sikap terampil, memahami pegetahuan teknik dalam
bidang instalasi kelistrikan, sehingga dapat diwujudkan dalam persaingan pasar kerja
bergesernya lebih banyak generasi muda RTM untuk memasuki pasar kerja yang
55
memerlukan keterampilan khusus, sehingga terdapat peluang dimasa depan untuk semakin
mengurangi angka pertumbuhan RTM di wiaah barat, khususnya sebanyak 30 peserta
sebagai pemicu bagi terobisan baru pangsa pasar kerja untuk semakin bergeser dari jenis
pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan khusus sepery yang selama ini sedang
berjalan di wilayah perbatasan Bali barat, khuusnya padawilayah kecamatan Grokgak yang
menjadi pintu masuk bagi pendatang dari Jawa Timur yang memasuki wilayah pabean
Gilimanuk.
Gambar 4.2 adalah proses awal kaji tindak dari Tim peneliti Pusat Analisis Data
Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universutas Udayana yang bekerja sama dengan
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) kabupaten Buleleng. Dimasa depan,
diharapkan pemerintah kabupaten Buleleng memfokuskan pengendalian dan penurunan RTM
di wilayah perbataan dengan melakukan pemberdayaan pelatihan keterampilan, mengingat
data yang tersedia menunjukkan bahwa drop-out pendidikan setingkat SDdan SLTP dan
SLTA termasuk dalam jumlah yang signifikan, untuk mana dapat diatasi dengan melakukan
pembekalan keterampilan yang sesuai dengan kebutuhan pasar yang sedang berkembang baik
dalam kawasan Buleleng barat maupun pada wilayah lainnya di Bai.
Pendekatan model pelatihan keterampilan dengan menampilkan alat peraga dan
praktek secara langsung atas jenis profesi sebagai instalatur kelistrikan ternyata memberikan
minat yang antusias dari peserta, karena tampaknya lebih mudah difahami ketimbang
diberikan teori-teori seperti padabangku kuliah. Pendekatan pendidikan keterampilan
kelistrikan dapat menjadi usaha awal untuk mewujudkan sikap pekerja yang lebih terampil,
sehingga berpeluang mendapatkan pekerjaan yang memerlukan keterampilan khusus.
56
Gambar 4.3
Suasana Kelas Pelatihan Kelistrikan
Kantor Camar Grokgak dengan peserta generaso muda RTM
Gambar 4.3 menampilkan suasana kelas yang tatap muka dengan instruktur
dengan mempergunakan LCD sebagai sarana penunjang alat peraga yanh diperlukan
dalam pemahaman prihal teknologi kelistrikan. Alat peraga secara visual diberikan pada
awal sesi pembekalan pelatihan yang lebih banyak ditujukan dalam rangka pemahaman
konsep tentang arus listrik lemah dan kuat, serta hal-hal terkait dengan medan arus
kelistrikan, mulai dari sumer enegri sampai dengan pengendalian tingkat gardu, sehingga
peserta dapat memahami terminal yang diperlukan dalam membagi arus listrik dan
57
mendistribusikan ke tempat yang memerlukannya. Pada tahap kedua sesi pelatihan
kelistrikan, diberikan pembekalan secara praktek dengan menampilkan alat peraga lampu
listrik dan stop kontak dan seterusnya sampai dapat digambarkan kebutuhan penyaluran
arus listirk sesuai dengan kebutuhan rumah tangga yang mempergunakannya.
Gambar 4.4
Suasana Kelas Pelatihan Kelistrikan
Kantor Camar Grokgak dengan peserta generaso muda RTM
Pelatihan keterampilan kelistrikan merupakan hal baru bagi peserta, sehingga
merupakan pendekatan pendidikan berbasis keterampilan yang diharapkan bermanfaat bagi
58
perintisan pasar kerja baru bagi generasi muda RTM untuk mendapatkjan segmen pasar kerja
yang berdampak kepada kesejahtraan mereka.
Pelatihan Perbengkelan
Berbeda dengan Pelatihan kelistrikan yang dolaksanakan padahari pertama, Jumat Tgl
12September 2015, maka pelatuihan perbengkelan dilaksanakan pada hari Sabtu, Tgl 13
September 2015, dengan peserta yang sama. Diharapkan peserta dapat mendalami kedua
jenis keterampilan secaramemadai, sehingga dapat dijadikan modal awal dalam membuka
usaha secara mandiri atau menawarkan jasa kepadacalon pemberi kerja, tentunya dengan
tiongkat keterampilan yang lebih baik.
Pelatihan perbengkelan membawa serta alat peraga sepeda motor sebagai demo atas
peragaan dan mempergunakanya sebagai media pembelajarn dan pelatihan. Pelatihan
perbengkelan dimaksudkan sebagai terobosan dalam rangka membekali keterampilan
generasi muda RTM di wilayah 4 desa dalam lingkungan kecamatan Grokgak mencakup
desa Grokgak, desa Sumberkima, desa Patas dan desa Tukad Sumaga. Ke empat desa terpilih
mewakili wilayah ptototipe RTM yang mencakup kawasan terdekat dalam wilayah sekitar
Grokgak sehingga pada tingkat awal memudahkan dalam berkomunikasi, jarak tempuh yang
berdekatan serta keterwakilan RTM yang representative dari jumlah penduduk, kondisi RTM
dan kesiapan generasi muda yang ternyata paling berminat mengikuti program pelatihan dan
pemberdayaan perbengkelan sebagai bekal keterampilan dalam berwiraswasta dibidang
perbengkelan atau kelistrikan.
Pelatihan tahap kedua adalah perbengkelan dan pelatuhan kewiraswastaan yang
dilaksanakan hari Sabtu tgl 12 September 2015 pada ruang yang sama, dengan peserta yang
59
sama dengan sehari sebelumnya, tetapi dengan instruktur yang berbeda. Instruktur
perbengkelan disampaikan oleh Saudata Totok dan S;amet Supardi dari LLK Dinas Tenaga
Kerja kabupaten Buleleng. Gambar 4.5 menyajikan suasana kelas yang mengundang
perhatian keingiun-tahuian peserta terhadap seluk beluk mekanik sepeda motor.
Gambar 4.5
Suasana Kelas Pelatihan Perbengkelan
Kantor Camar Grokgak dengan peserta generasi muda RTM
Alat peraga yang disampaikan adalah pengenalan mesin sepeda motor yang dapat
dipergunakan dalam berbagai keperluan termasuk sebagai sumber enegri penerangan rumah
tangga dalam situasi darurut yang dilengkapi dengan sambungan kabel dan lampu neon dan
jenis lampu listrik lainnya yang dapat disamungkan dengan mempergunakan mesin speda
motor sebagai penggerak sumber energy. Pelatihan ditunjukkan oleh instruktur bagaimana
60
membangun yang tampaknya tidak mungkin menjadi mungkin dan terwujud menjadi sebuiah
barang baru yaitu penerangan listrik untuk rumah tangga.
Gambar 4.6
Suasana Kelas Pelatihan Perbengkelan
Kantor Camar Grokgak dengan peserta generasi muda RTM
Pelatihan yang dipandu oleh Tim Instruktur dari Pusat Pelatihan ketenaga-kerjaan
Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Buleleng, melibatkan undangan peserta sebanyak 30 peserta
yang mewakili ke empat desa tersebut diatas, peserta yang sama seperti yang diundang hadir
pada pelatihan kelistrikan sehari sebelumnya.
Pelatihan dilaksanakan pada hari Jum’at Tgl. 12 bulan September 2015 dalam sehari,
dimulai dari jam 09.00 berakhir sampai dengan jam 12.30 siang, untuk dilanjutkan dengan
61
pelatihan tentang kewirasastaan dari Tim peneliti Pusat Analisis Data Fakultas Ekonomi dan
Bisnis Universitas Udayana. Pelatihan kelistrikan pada awal diberikan pengetahuan tentang
kelistrikan oleh seorang instruktur, kemudian dilanjutkan dengan demo peralatan
perbengkelan sepeda motor, seperti pengetahian perserta tentang mesin, bekerjanya mesin
sepeda motor, serta perangkat yang harus dipelihara dalam rangka mempertahankan tingkat
keamanan dalam berkendaraan sepeda motor dan seterusnya, sehingga peserta dapat
memahami pengetahuan praktis tentang cara pemeliharaan sepeda motor, fungsi-fungsi
penunjang mekanisme mesin sebagai penggerak jalannya sepeda motor.
Bekal pengetahuan dengan menyajikan praktek penggunaan alat peraga secara
langsung telah mengundang peserta pelatihan menjadi serius dan menunjukkan minatnya
secara sungguh sungguh, yang dapat memberikan pencerminan tentang peluang yang ingin
mereja dapatkan dalam pengembangan usaha sendiri atau menjadi tenaga bengkel sepeda
motor pada wilayah tertentu yang memerlukan jasa bengkel sepeda motor.
Tim peneliti dari Universitas Udayana juga menyediakan sertifikat tanda ikut
pelatihan perbengkelan yang digabung menjadi satu dengan pelatihan kelistrikan, dengan
harapan dapat memberikan motivasi dan kepercayaan diri dari generasi muda RTM, bahwa
dengan sertifikat dari Universitas Udayana dapat dijadikan referensi kepada para pengguna
dan atau pemodal yang ingin memanfaatkan jasa para generasi muda RTM dimasa datang
sebagai salah satu tenaga setengah terampil bidang perbengkelan upun bidang kelistrikan
yang telahdiberian sehari sebelumnya. Target yang diharapkan tercapai dari kegiatan
pelatihan ini adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 4.7, yaitu meingkatnya peluang
kerja berdasaran pendidikan keterampilan serta sertifikat yang dibagikan kepada peserta
sebagai tanda telah mengikuti pendidikan keterampilan.
62
Gambar 4.7
Pores Pembelajaran Dan Outcome Pelatihan
Peserta generasi muda RTM Kecamatan Grokgak
Proses Pembelajaran,
Memahami
Dan Mengerti
Atas teknik dan prosedur
Tahaopan pekerjaan
Perbengkelan
Sepeda motor
Terbentuknya
Sikap
(attitude)
Bersumber
dari proses
Pembelajaran
Keterampilan
Perbengkelan
Sepeda motor
Terwujudnya
Prilaku Terampil
Dan Menjadi
Pengetahuan
Yang dibarengi
Dengan penguatan
Skill terkait degan
Metode Instalasi Listrik
OUT-COME
Meningkatnya peluang kerja
RTM pada sektor yag membutuhkan
keterampilan khusus
Perbenkela Sepeda Motor
Sebagai Keterampilan baru
Pelatihan Kewiraswastaan
63
Pelatihan kewiraswastaan lebih banyak memberikan pembekalan secara praktis
tentang perintisan sejumlah pengusaha yang berhasil mencapai sukses diawali oleh
usaha kecil-kecilan, kemudian setekah produk ereka diterima pasar, secara bertahap
mengembangkannya dengan bantuan modal perbankan. Bahwa penekanan dalam pola
wiraswasta secara mandiri adalah berdasarkan dua jenis keterampilan yang
diasumsikan mereka akan memilih salah satu dari dua bidang usaha yaitu sebagai
instalatur listrik atau untuk membuka perbengkelan seped motor. Kedua jenis usaha
dimaksud adalah relevan dapat dilansakan oleh generasi muda RTM baik dengan cara
berkolaborasi dengan pemilik modal, atau dengan membuka sendiri, tentu disarankan
agar generasi muda RTM lebih memilih untuk bekerja terlebih dahulu pada salah satu
dari jenis usaha untuk mengenal lebih endalam tentang seluk beluk usaha serta cara
pengendalian pasar berikut pelayananya.
Hasil pengamatan dan sejumlah wawancara ketika pelatihan kewiraswastaan
menunjukkan bahwa sebagian besar peserta yang masih rata-rata berusia antara 20
sampai dengan 30 tahun tidak menampakkan kemandirian dalam membangun maa
depan. Sikap kewirswastaan tidak tampil mengemuka, disebebkan karena factor
lingkugan sosial dan kondisi ekonomi generasi muda RTM yang tidak memberikan
dukungan bagi tumuh berkembangnya sikap mandiri dan menciptakan peluang.
Pendidikan kewiraswastaan yang dipresentasikan dari Tim peneliti Pusat Analisis
Data dan Ekonomi Fakultas Ekonoi dan Bisnis Universitas Udayana menyajikan
materi yang juga didalamnya memberikan motivasi tentang peluang usaha mandiri
yang dapat dirintis dari peluang yang paling kecil sekaliun, menjadi beharga sebagai
investasi awal membagun masa depan yang bebas dari ketergantungan pihak lain.
64
Bahwa pelatihan kelistrikan dan perbengkelan yang telah dipresentasikan sebelum
materi kewiraswastaan diberikan, adalah merupakan pengantar tentang pemahaman
unit bisnis yang tidak mungkin dilaksanakan oleh siapaun tanpa terlebih dahulu
memahami jenis usaha yang akan digelutinya, baik sebagai usaha pribadi maupun
sebagai usaha kelompok. Gambar 4.8 menyajikan proses pendidikan keterampilan
kewirasastaan dan target yang diinginkan dalam jangka panjang.
Gambar 4.8
Pores Pembelajaran Dan Outcome Pelatihan
Pendidikan Kewiraswastaan dan Outcome yang diharapkan.
65
Proses Pembelajaran,
Memahami
Dan Mengerti
Aspek pegendalian
Resiko usaha
Memahami peluang pasar
Memahami pesaing terdekat
Memahami karakter pembeli
Inovasi pelayanan jasa
Terbentuknya
Sikap
(attitude)
Bersumber
dari proses
Pembelajaran
Aspek Berwiraswasta
Terwujudnya
Prilaku Terampil
Dan Menjadi Lebih mandiri
Memiliki Sikap Percaya diri
Membangun kemampuan
Bekerja Sama
Memahami Peluang Usaha
Sebagai Upaya
Memperbaiki Kesejahtraan
OUT-COME
Meningkatnya Kemandirian
Generasi Muda RTM
Dalam Menggali Peluang Usaha
Mandiri Percaya Diri Dan Sukses
Pendidikan kewiraswastaan yang dilaksanakan selama dari pukul 12.30
sampai dengan pukul 14.00 telah berhasil memberikan pemahaman tentang
strategi usaha mandiri yang tidak harus dimulai dengan model, tetapi dapat
dirancang pada tingkas gagasan, serta menawarkan gagasan tersebut kepada
network yang memiliki sarana permodalan, sehingga dapat dikolaborasikan.
Fakta lain yan tersedia, bahwa banyak wirausaha yang berhasil di Bali selatan
dimulai dari karier paling bawah sebagai karyawan restaurant, kemudian
66
membangun restaurant setelah mereka mendapatkan pengetahun praktis cara
pengelolaan restaurant, mengenal jaringan konsumen dan memahami cara
berkomunikasi dalam menjaring dan mendapatkan pelanggan. Hal yang tidak
dapat diabaikan adalah bagaimana mengkemas produk agar berdaya saing dan
dapat memuaskan pelangan, hal-hal yang akan terwujud jika calon pengusaha
tidak memiliki tingkat kemandirian yang tinggi.
Gambar 4.9
Pores Pembelajaran Dan Outcome Pelatihan
Pendidikan Kewiraswastaan dan Outcome yang diharapkan
Gambar 4.10
Pores Pembelajaran Dan Outcome Pelatihan
Antusias Peserta Pelatihan Dalam Diskusi dan Tanya Jawab
67
Peserta juga pada akhir pelatihan diminta mengisi daftar pertanyaan untuk
mengkonstruksi seberapa besar peluamng network yang mereka miliki saat ini
sebagai upaya mendapatkan informasi terkait peluang kerja yang mereka inginkan.
Analisis menunjukkan bahwa kualitas network mereka sangat dibatasi oleh
lingkung pergaulan ditingkat kecamatan, sehingga membatas ruang informasi yang
dapat mereka gali dalam mendapatkan segent pasar kerja diluat kecamatan. Hal lain
yang terungkap dalam kuestioner adalah bahwa kehadiran dan sentuhan pemerintah
terhadap generasi muda RTM sangat terbatas, dan bahkan hampir tidak tersentuh
sama sekali. Hal lain yang terungkap dalam pertanyaan juga meng-informasikan
rendahnya trust yang mereka ungkapkan terhadap keberadan pemerintah daerah.
Gambar 4.11 menyajikan kegiatan pengisian kuestioner peserta.
Gambar 4.11
Pores Pembelajaran Dan Outcome Pelatihan
Peserta Pelatihan Mengisi Dafar Pertanyaan (kuestioner)
68
4.3 Evaluasi Dan Monitoring Persepsi RTM
Kegiatan pelatihan dan tatap muka dengn generasi muda RTM memberikan suasana
persaudaraan yang semakin akrab antara bapak Camat selaku pimpinan pemerintahan tingkat
kecamatan dengan para peneliti FEB Universiyas Udayana serta peserta pelatihan. Komunikasi
sperti ini mamang seharusnya dapat dikembangkan dimasa depan. Tatap muka ini menunjukan
sekaligus kendala pada warga generasi muda RTM dalam berkomunikasi dan embangun gagasan
yang bermanfaat bagi pengembangan peluang mereka sebagai generasi muda untuk dapat
memutus dan membangun masa depan baru untuk keluar dari daftar RTM.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
69
5.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat disampaikan sehubungan dengan telah berakhirnya kegiatan
pelatihan dan pendampingan pembinaan bagi generasi muda RTM adalah sebagai berikut.
a. Bahwa generasi muda RTM yang terplih mengikuti pelatihan adalah sebanyak 30 orang
yang mewakili generasi muda RTM dari desa Grokgak, Patas, Sumberkima dan desa
Tukad Sumaga.
b. Bahwa tenyata pendidikan keterampilan kelistrikan dan perbengkelan serta pelatihan
kewiraswastaan yang telah dilaksanakan di kantor camat Grokgak teah mendapat
sambutan yang sangat baik, terbukti dari partisipasi peserta yang semuanya hadir selama
dua hari pelatihan, dilaksanakan dua hari penuh.
c. Ternyata sebagian bear peserta pelathan yang mengu=ikuti pelatihan terekam memalui
pengisian kuestioner bahwa lingkung jaringan (network) mereka terbatas dalam
lingkungan kecaatan Grokgak, sehingga menghambat informasi merejka dalam
mendapatkan peluang kerja yang terbak menurut potensi sumber daya yang mereka
miliki.
5.2 Saran-saran
Wilayah perbatasan Buleleng barat adalah wilayah perbatasan yang sarat dengan
persaingan penduduk lokal dengan pendatang dalam memperebutkan sumber daya yang
terbatas. Fenomena ini sangat berbeda dengan wilayah RTM di wilayah kecamatan lainnya di
kabupaten Buleleng, sehingga direkomendasikan kepada pemerintah kabupaten Buleleng
untuk memberikan prioritas kebijakan dalam pengendalian RTM. Persaingan yang ketat
70
dalam perebutan sumber daya, pada umumnya lebih memberikan keuntungan kepada
pendatang, karena terdaapatnya perbedaan dalam motivasi. Pendatang memiliki motivasi
yang lebh tinggi dalam mendapatkan peluang kerja dan kegiatan bisnis lainnya, sehingga
pendatang lebih seksama dan peniuh kesabaran dalam upaya mewujudkan network yang
lebih luas berdasaran motivasi yang kuat untuk menjadi lebih berhasil dalam mendapatkan
sumber daya kesejahtraan.
71
DAFTAR PUSTAKA
Baumol, Willam. 1993. Formal Entrepreneurship Theory in economics; Existence and Bounds.
Journal of Business Venturing, Vol. 8, pp. 197-210.3
Casson, M. 1991. The Entrepreneur: An Economic Theory. Aldershot, England: Gower House.
---------. 1995. Entrepreneurship and Business Culture: Studies in the Economics of Trust, Vol. 1
Edward Elgar.
Chamberlin, E. 1933. The Theory of Monopolistic Competition. Cambridge, MA: MIT Press.
Chandler, C. K.; Holden, J. M.; Kolander, C. A. 1992. Counseling for spiritual wellness: Theory
and practice. Journal of Counseling & Development, Vol. 71, pp. 168-175.
Ellison, C. W.; Smith, J. 1991. Toward an integrative measure of health and well-being. Journal
of Psychology and Theology, Vol. 19, pp. 35-48.
Porter, M. E. 1990. The Competitive Advantage of Nations. New York: The Free Press.
--------. 1995. The competitive advantage of the inner city. Harvard Business Review, pp. 55-71.
Putnam, R. D.; Feldstein, L. M. 2003. Better together: Restoring the American Community. New
York: Simon and Sehwster.
Schumpeter, Joseph A. 1934. The Theory of Economic Development. Cambridge, Mass: Harvard
University Press.
--------. 1942. Capitalism, Socialism and Democracy. New York: Harper & Brothers.
Smallbone, David; Welter, Friedcrike. 2001. The distinctiveness of entrepreneurship in transition
economies. Small Business Economics, Vol. 16 No. 4, pp. 249-202.
Bäckbrö J and Nyst Röm H. 2006, “Entrepreneurial Marketing: Innovative Value
Creation”, Master Thesis, Jönköping, Swedia, Jönköping International Business School
Ball, D., Coelho, P.S.; & Machas , A. 2004. The Role of Communication and Trust in
Explaining Customer Loyalty an Extension to The European Customer Satisfaction Index (ECSI)
Model, European.Journal of Marketing, 38(3), 1272-1293.
Baron, R.A., Tang, J., Hmieleski, K.M., 2011. The Downside of Being ‘Up’:
Entrepreneurs' Dispositional Positive Affect and Frm Performance. Strategic Entrepreneurship
Journal 5, 101–119
72
Belso-Martinez, J. A., Molina-Morales, F. X., & Mas-Verdu, F. 2013. Combining effects
of Internal Resources, Entrepreneur Characteristics and KIS on New Firms. Journal of Business
Research, 66, 2079-2089
Berry, Leonard L. 1995. ‘Relationship Marketing of Services – Growing Interest,
Emerging Perspectives’. Journal of the Academy of Marketing Science, 23(4), 236-245.
Berry, L.L. and Parasuraman, A. 1991, Marketing Services: Competing through Quality,
Free Press, New York, NY.
Bev Hulbert, Audrey Gilmore, David Carson. 2013. Sources of Opportunities Used by
Growth Minded Owner Managers of Small and Medium Sized Enterprises. Journal of
International Business Review 22, UK
Boier Rodica, 2014, Marketing And Innovation - A Relationship Approach, Studies and Scientific
Researches. Economics Edition, No 20
Brian G. Smith. 2013. ReviewThe Public Relations Contribution to IMC: Driving
Opportunities from Threats and olidifying Public Relations’ Future. Public Relations Review 39.
Brooks, K., & Nafukho, F. M. 2006. Human Resource Development, Social Capital,
Emotional intelligence,A ny link to Productivity?. Journal of European Industrial Training,
30(2), 117-128.
Burt, R. S. 1992. Structural Holes: The Social Structure of Competition. Harvard
University Press.
Burt, R. S. 2004. Structural Holes and Good Ideas. American Journal of Sociology, 110,
2 (September), 349-99.
Callaghan, M. B., McPhail, J., & Yau, O. H. M. 1995. Dimensions of a relationship
marketing orientation: An empirical exposition. Paper presented at the Seventh Biennial World
Marketing Congress, Melbourne, Australia
Chan, S. (2003). Relationship Marketing: InovasiPemasaran yang Membuat Pelanggan
Bertekuk Lutut. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Chen, C. & Huang, J. 2009. Strategic Human Resource Practices And Innovation
Performance-The Mediating Role of Knowledge Management Capacity. Journal of Business
Research, 62(1 ), 104-114.
Chen, X.P., Yao, X., Kotha, S., 2009. Entrepreneur Passion and Preparedness in Business
Plan Presentations: A Persuasion Analysis of Venture Capitalists' Funding Decisions. Academy
of Management Journal, 52, 199–214.
Cheng, C., Chen, J-S. and Tsou, H-T. 2012, ”Market-Creating Service Innovation:
Verification and its Associations with new Service Development and Customer Involvement”.
Journal of Service Marketing, Vol. 26, Issue. 6, pp. 444-457
73
Colombo, M., & Delmastro, M. 2002. How effective are technology incubators?
Evidence from Italy Research Policy, 31, 1103-1122.
Cooper , Robert G., 2000. Product Innovation and Technology Strategy, Journal
Research Technology Management, p. 38 -41
Covin, J. G., and Prescott, J.E. 1990. "Strategies, Styles, and Structures of Small Product
Innovative Firms in High and Low Technology Industries." The Journal of High Technology
Management Research 1(1): 39-56.
Crawford, C. Merle, and C. Anthony Di Benedetto. 2000. New products Management.
McGraw-Hill. USA
Daniel C. Bello, Ritu Lohtia, Vinita Sangtani. 2004. An Institutional Analysis Of Supply
Chain Innovations in Global Marketing Channels. Journal Industrial Marketing Management
33.USA: Department of Marketing, Georgia State University
Daniela Ionita. 2012. Entrepreneurial Marketing: A new Approach For Challenging
Times. Jurnal Management & Marketing Challenges for the Knowledge Socienty. Vol 7, No 1,
pp 131-150.Romania : Academy Of Economic Studies.
Deden A.Wahab Sya'roni, Janivita J. Sudirham. 2012. Kreativitas dan Inovasi Penentu
Kompetensi Pelaku Usaha Kecil. Jurnal Manajement Teknologi, Vol 11, No.1 . Jakarta: Fakultas
Pascasarjana Universitas Komputer Indonesia (UNIKOM)
Dwyer, F.R., Schurr, P. and Oh, S. 1987, “Developing buyer-seller relationships'',
Journal of Marketing, Vol. 51, pp. 11-27.
Edison, H., Ali, N. B., & Torkar, R. 2013. Towards Innovation Measurement in The
Software Industry. The Journal of Systems and Software, 86, 1390-1407.
Famoso, Valeriano-Sanchez., Amaia Maseda., Txomin Iturralde. 2014. The Role of
Internal Social Capital InOrganizational Innovation. An Empirical Study of Family Firms, Spain
Fauzul Mafasiya Fairoz, Takenouchi Hirobumi, Yukiko Tanaka.2010. Entrepreneurial
Orientation and Business Performance of Small and Medium Scale Enterprises of Hambantota
District Sri Lanka. Journal Asian Social Science Vol. 6, No. 3.Japan
Fiates, G. G., Fiates, J. E., Serra, F. A., & Ferreira, M. P. 2010. Innovation Environment
in Small Technology-Based Companies. Journal of Technology Management & Innovation, 5(3),
81-95.
Firmanzah, 2013. (http://www.old.setkab.go.id/berita-10377).
Florian Kohlbacher, Cornelius Herstatt, NilsLevsen. 2014. Golden opportunities for
silver innovation: How demographic changes give rise to entrepreneurial opportunities to meet
the needs of older people. Journal Technovation
74
Friedman, Samuel R., Pedro Mateu-Gelabert., Richard Curtis., Carey Maslow., Melissa
Bolyard., Milagros Sandoval., Peter L.Flom. 2007.social Capital Or Networks, Negotiations,
And Norms ? A Neighborhood Case Study, Journal of Preventive Medicine, American
Gatignon, Hubert and Jean-Marc Xuereb 1997. “StrategicOrientation of the Firm and
New Product Performance,” Journal of Marketing Research, 34 (February), 77–90.
Gerald E. Hills, Claes M. Hultman, and Morgan P. Miles. 2008. The Evolution and
Development of Entrepreneurial Marketing. Journal of Small Business Management 46(1), pp.
99–112
Gerry Veenstra.2002. Explicating Social Capital: Trust and Participation in the Civil
Space. Journal of Sociology/Cahiers canadiens de sociologie vol 27, no 4.
Gima, Atuahene, K. and Ko, Aathony 2001. An Empirical Investigation of the Effect of
Market Orientation and Entrepreneurship Orientation Alignment on Product Innovation.
Organizational Science. Vol. 13. No. 1. pp.54-74.
Goyal, A., & Ahkilesh, K. B. 2007. Interplay among innovativeness, cognitive
intelligence, emotional intelligence and social capital of work teams. Team Performance
Management, 13(7/8), 206-226
Gundlach, G. T., R. S. Achrol, and J. T. Mentzer. 1995.Thestructureof commitment in
exchange. Journal of Marketing 59 (1):78–92.
Gumusluoglu, L. and Ilsev, A. 2009. "Transformational Leadership and Organizational
Innovation: The Roles of Internal and External Support for Innovation", Journal of Product
Innovation Management, vol. 26, no. 3, pp. 264-277.
Gurhan Gunday, Gunduz Ulusoy, Kemal Kilica, Lutfihak Alpka. 2013. Effects Of
Innovation Types On Firm Performance. Turkey: Sabanci University, Faculty of Engineering
and Natural Sciences.
Hacioglu Gungor, Selim S. Eren, M. Sule Eren, & Hale Celikkan. 2012. The Effect of
Entrepreneurial Marketing on Firms’ Innovative Performance in Turkish SMEs, Procedia -
Social and Behavioral Sciences 58
Hadiyati., Ernani.2012. Kreativitas dan Inovasi Pengaruhnya Terhadap Pemasaran
Kewirausahaan Pada Usaha Kecil , Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan. Vol 1 hal 135-151.
Malang: Universitas Gajayana.
Hair, Joseph F.et al, 1998. Multivariate Data Analysis . New Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Hamel, G. and Prahaland, C.K. 1994. Competition for the Future. Massachusetts:
Harvard Business School Press.
Hartarto dan Muhajir. 2013. Pemberdayaaan Koperasi & UMKM Dalam Rangka
Peningkatan Perekonomian Masyarakat. Makalah. Disampaikan pada Rapat Koordinasi Nas
75
ional Kementerian Koperasi dan UKM dengan Dinas Koperasi dan UKM Seluruh Indonesia,
Selasa, 10 Desember 2013, Hotel Mercure, Convention Center, Taman Impian JayaAncol,,
Jakarta
Haryati, Siti Shaikh Ali.2011. Proactive vs Reactive Measures in Building Quality
Relationship withCustomers in Banking Sector. Interdisciplinary Journal Of Contemporary
Research in Business. Vol 3, No 5. Malaysia: Faculty of Business Management, University
Teknologi MARA
Henky Lisan Suwarno. 2013. Entrepreneurial marketing: Konsep dan Praktek
Pemasaran Baru Dalam Membujuk, Mendapatkan dan Mempertahankan Pelanggan. Bandung:
Universitas Kristen Maranatha
Hidayat, A. 2007. Strategi Six Sigma : Peta Pengembangan Kualitas dan Kinerja Bisnis.
PT Elex Media Komputindo, Jakarta
Hilde Coff, Benny Geys..2008. Measuring the Bridging Nature of Voluntary
Organizations The Importance of Association Size. Journal Sociology, Vol. 42, No. 2, pp. 357-
369.
Hill, J. and Wright, L.T. 2000. “Defining the scope of entrepreneurial marketing:
A qualitative approach,” Journal of Enterprising Culture, 8:1, 23-46.
Hills, Gerald E., Claes M. Hultman., Morgan P. Miles.2008. The Evolution and
Development of Entrepreneurial Marketing, Journal of Small Business Management
Hitt, M.A., Hoskisson, R.E. and Kim, H. 1997. International diversification: Effects on
innovation and firm performance in product-diversified firms, Academy of Management Journal,
40(4), 767-768.
Hsieh, M. H, & Tsai, K. H. 2007. Technological capability, social capital and the launch
strategy for innovative products. Industrial Marketing Management, 36(4), 493–502
Humas Pemprop Bali , 2014: http://www.seputarukm.com.
http://www.proweb.co.id.
Hurley, R. F., & Hult, G. T. 1998. Innovation, market orientation, and 385 organizational
learning: An integration and empirical examination.386 Journal of Marketing, 62, 42–54
Intarakumnerd, P. et al. 2002, “National Innovation System in Less Successful
Developing Countries: the Case of Thailand” Research Policy, 31 (8-9), 1445-1457.
Ivan F. I. Lim, Samuel P. D. Anantadjaya, Rudy Tobing. 2012. Entrepreneurial
Marketing Activities: Evidence In PQK in BSD city Branch Location .JAMS – Journal of
Management Studies
76
Jaworski, B.J. 1998. Toward Theory of Marketing Control: Environment Context,
Control Types and Consequences. Journal of Marketing. Vol. 52. No.3. July. pp. 23-39
Jeffrey P.Wallman.2014. Fields of opportunity: How marketers design the transaction
game with transaction field maps. Journal Industrial Marketing Management 43. The University
of Texas at Arlington
Jens Eklinder-Frick, Lars Torsten Eriksson, Lars Hallén.2014. Multidimensional social
capital as a boost or a bar to innovativeness. Journal Industrial Marketing Management. Sweden
Jens Eklinder-Frick, Lars-Torsten Eriksson, Lars Hallén.2011. Bridging and bonding
forms of social capital in a regional strategic network. Journal Industrial Marketing
Management 40
Jim Lawlor, Donncha Kavanagh.2004. Infighting and fitting in: Following innovation in
the stent actor–network.journal Industrial Marketing Management. Ireland
Jimenez, J. D., Valle, R. S., & Hernandez, M. E. 2008. Fostering Innovation, The role of
market orientation and organizational learning. European Journal of Innovation Management,
11(3), 389-412.
Jin, Bumsub., Lee Soobum.2013.Enhancing Community Capacity: Roles of Perceived
Bonding and Bridging Social Capital and Public Relations In Community Building, South Korea
Joachim Ramström.2008. Inter-organizational meets inter-personal: An exploratory study
of social capital processes in relationships between Northern European and ethnic Chinese firms.
Journal Industrial Marketing Management 37. Finland: Unit for Research and Development,
Sydväst University of Applied Science
John Finch, Beverly Wagner, Niki Hynes.2010. Trust and forms of capital in business-to-
business activities and relationships. Journal Industrial Marketing Management
Johne, A. 1999. Successful Market Innovation. European Journal of Innovation
Management. 2 (1), 6-11
Kamakura, W. A., C. F. Mela, A. Ansari, A. Bodapati, P. Fader, R. Iyengar, P. Naik, S.
A. Neslin, B. Sun, P. C. Verhoef. 2005. Choice Models and Customer Relationship Management.
Marketing Lett. 16(3–4) 279–2
Karkalakos, S. 2013. Identifying and Exploring Sources of Knowledge Spillovers in
European Union, Evidence from Patenting Data. SPOUDAI-Journal of Economics and Business,
61(3-4)
Kee-hung Lai., Y.H Venus Lun., Michael Browne., Christina W.Y. Wong., T.C.E.
Cheng. 2011. Examining The Influence of Firm Performance On Business Risk-Taking and The
Mediation Effect Of Scale Of Operations In The Container Terminal Industry, Hongkong and
London
77
Khalil, M. A., & Olafsen, E. (2010). Enabling innovative entrepreneurship through
business incubation. World Bank. Retrieved from http://www.innovation for development
report.org/Report2009/papers.html
Khoe Yao Tung. 1997. “Relationship Marketing Strategic kemampulabaan jangka
panjang”. Usahawan, No. 3 th. XXVI Maret, hal 6-10.
Kmieciak, Roman., Anna Michna.2012.Relationship Between Knowledge Management
and Market Orientation in SMES, Silesian University of Technology, Poland
Kocak, Akin & Abimbola, Temi. 2009. The Effects of Entrepreneurial Marketing on
Born Global Performance. International Marketing Review, Vol. 26 No. 4/5, pp. 439-452.
Kotler, Amstrong . 2010. Principles Of Marketing. 13 Edition. New Jersey . Upper
Saddle River: Pearson Prentic
Kotler, Philip. 2009. Manajemen Pemasaran : Analisis, Perencanaan, Implementasi, dan
Kontrol. Jakarta : PT. Prehallindo
Kotler, P. and Keller, K. L. 2005. Marketing Management. 12th
. Edition, Prentice Hall.
Kotler, Philip and Armstrong, Gray, 2001, Principles of Marketing, Prentice Hall, (9th
ed). 14. Pelsmacker, Patrick De. Maggle Geuens and Joeri Vanden Bergh
Kotler, Philip, 2000, Marketing Management, Prentice Hall of India, The Millennuim
Edition.
Kotler, P., 1997, Marketing Management : Analysis Planning implementation and
control, Englewood Gliffs, Nj: Prentice Hall,New Jersey.
Koziol Leszek, Wojciech Kozioł, Anna Wojtowicz, Radosław Pyrek, 2015, Diagnosis of
Innovation Enterprises – Study Theoretical and Empirical Results, Procedia - Social and
Behavioral Sciences, Volume 175, 12 February 2015
Kraus, Sascha., Harms, Rainer & Fink, Matthias. 2009. Entrepreneurial Marketing:
Moving Beyond Marketing In New Ventures. International Journal Entrepreneurship and
Innovation Management, Special Issue, @ Inderscience Enterprises Ltd.
Krush Michael T, Ravipreet S. Sohi, and Amit Saini, 2015. Dispersion of marketing
capabilities: Impact on marketing’s influence and business unit outcomes Published in Journal of
the Academy of Marketing Science 43 (2015), pp. 32–51
Kurgun, H., Bagiran, D., Ozeren, E., & Maral, B. 2011. “Entrepreneurial Marketing -
The Interface between Marketing and Entrepreneurship: A Qualitative Research
on Boutique Hotels,” European Journal of Social Sciences, 26:3, 340-357.
Lai, Kee-hung, T. C. E. Cheng, and Ailie KY Tang. “Green retailing: factors for
success.” California Management Review 52.2 (2010): 6-31.
78
Lavado, C. A., Cuevas-Rodríguez, G., & Cabello-Medina, C. 2010. Social and
organizational Capital, Building the Context for Innovation. Industrial Marketing Management,
39(4), 681–690.
Lembaga Administrasi Negara/ LAN:http://inovasi.lan.go.id/
Leonard-Barton Dororthy, 1992. Core Capabilities and Core Rigidities: A Paradox in
Managing New Product Developmen, Strategic Management Journal, Vol. 13, Special Issue:
Strategy Process: Managing Corporate Self-Renewal. pp. 111-125
Lu, C.D. X. Gangyi, J.R. Kawas. 2010. Organic Goat Production, Processing and
Marketing: Opportunities, Challenges and Outlook. Journal Small Ruminant Research 89.
Leszek Kozioł, Wojciech Kozioł, Anna Wojtowicz, Radoslaw Pyrek. 2014. Relationship
Marketing – A Tool for Supporting the Company’s Innovation Process. Journal Procedia - Social
and Behavioral Sciences 148. Poland: Malopolska School of Economics
Li, Tiger dan Calantone , Roger J, 1998. “The Impact of Market Knowledge Competence
on New Product Advanrage : Conceptualization and empirical Examination”, Journal of
Marketing, p. 13 - 29
Li, Y., Liu, X., Wang, L., Li, M., & Guo, H. 2009. How Entrepreneurial Orientation
Moderates the Effects of Knowledge Management on Innovation. Systems Research and
Behavioral Science, 26(6), 645-660
Longenecker, Justin G & dkk. 2001. Kewirausahaan Manajemen Usaha Kecil Buku I.
Jakarta: Salemba Empat
Lumpkin, G. T., & Dess, G. G. 1996. Clarifying the entrepreneurial Orientation Construct
and linking it to Performance. Academy of Management Review, 21(1), 135-172.
Ma’mun Sarma, Stevia Septiani, Farida Ratna Dewi, Edward H. Siregar. 2013. The
Impact of Entrepreneurial Marketing and Business Development on Business Sustainability:
Small and Household Footwear Industries in Indonesia. International Journal of Marketing
Studies; Vol. 5, No. 4. Bogor: Faculty of Economics and Management, Bogor Agricultural
University
Marcati, A., Guido, G., & Peluso, A. M., 2008. The role of SME Entrepreneurs’
Innovativeness and Personality in The Adoption of Innovations. Research Policy, 37, 1579-1590
Maria Wallnöfer, Fredrik Hacklin.2013. The business model in entrepreneurial
marketing: A communication perspective on Business Angels' Opportunity Interpretation.
Industrial Marketing Management 42. Switzerland: Department of Management, Technology,
and Economics.
Mariana Kristiyanti, 2012, Peran Strategis Usaha Kecil Menengah (UKM) Dalam
Pembangunan Nasional, Majalah Ilmiah INFORMATiKA Vol. 3 No. 1, Januari 2012
79
Martensen A, Dahlgaard JJ. 1999. Strategy and planning for Innovation Management –
supported by creative and learning Organizations International Journal of Quality and Reliability
Management 16(9):878–891
Martinez-Ruiz, A., & Aluja-Banet, T. (2009). Toward the definition of a structural
Equation Model of patent value: PLS Path Modeling with Formative Constructs. REVSTAT–
Statistical Journal, 7(3), 265-290.
Mateja Bodlaj.2010.The Impact of a Responsive and Proactive Market Orientation On
Innovation And Business Performance. Journal Economic and Business Review, Vol.12, No. 4,
Hal 241-261.Slovenia:University of Ljubljana, Faculty of Economics.
Matthew T. Seevers, Steven J. Skinner, Robert Dahlstrom.2010. Performance
Implications of a Retail Purchasing Network: The Role of Social Capital. Journal of Retailing
86, no. 4, pp 310–321. United States
Meeus, M., & Edquist, C. 2006. Introduction to Part I: Product and process innovation. In
J. H. M. M. Eds. (Ed.), Innovation, science, and institutional change: 23-37. Oxford: Oxford
University Press.
Meyer, J. P. & Allen, N. J. 1991. A Three-Component Conseptualization of
Organizational Commitment. Human ResourceManagement Review, 1 (1). pp.61-89
Michael Ehret, Vishal Kashyap, Jochen Wirtz. 2013. Business Models: Impact on
Business Markets and Opportunities for Marketing Research. Journal Industrial Marketing
Management 42.
Michael H. Morris, Minet Schindehutte, Raymond W. Laforge.2002. Entrepreneurial
Marketing: A Construct For Integrating Emerging Entrepreneurship And Marketing
Perspectives. Journal of Marketing Theory and Practice.
Michael Jay Polonsky.2011. Transformative Green Marketing: Impediments and
Opportunities. Journal of Business Research 64. Australia: School of Management and
Marketing, Deakin University
Miller, D and Friesen, Peter H. 2003. Innovation In Conservative and Entrepreneurial
Firms: Two Models of Strategic Momentum. Strategic Management Journal. Vol. 3. No.1. pp. 1-
25.
Miles, M.P., Darroch, J. 2006. Large firms, Entrepreneurial Marketing Processes, and the
Cycle of Competitive Advantage, European Journal of Marketing, 40 (5/6), pp. 485-501.
Miles, M., Paul, C. and Wilhite, A. 2003. “Modeling Entrepreneurship as Rent – seeking
Competition”, Technovation 23(5): 393-400.
Ming-Hung Hsieh, Kuen-Hung Tsai.2007. Technological capability, social capital and
the launch strategy for innovative products. Journal Industrial Marketing Management 36.
Taiwan.
80
Mirella Kleijnen, Ko de Ruyter , Martin Wetzels., 2007. An Assessment of Value
Creation in Mobile Service Delivery and the Moderating Role of Time Consciousness. Journal
of Retailing 83. Netherlands
Moorman C, Zaltman G, Deshpande R. 1993. Factors Affecting Trust in Market Research
Relationships. J Mark;57:81 –101.
Morgan, RM., and Hunt, S.D., 1994. The Commitment-Trust Theory of Relationship
Marketing. Journal of Marketing. 58 (July), 1994
Morgan P. Miles, Jenny Darroch. 2004. Large Firms, Entrepreneurial Marketing
Processes, and the Cycle of Competitive aAdvantage. Journal Entrepreneurial Marketing
Processes.USA
Morrish, S.C., & Deacon, J. 2009. Entrepreneurial Marketing: A Comparative Case
Study of 42Below Vodka and Pandering Whisky. Paper presented at the ICSB World Conference,
Seoul, South Korea.
Morris, H.M., Schindehutte, M., Laforge, R.W. 2002. Entrepreneurial Marketing: a
Construct for Integrating Emerging Entrepreneurship and Marketing Perspectives, Journal of
Marketing Theory and Practice (Fall), pp. 1-18.
Mort, Gillian Sullivan., Weerawardena, Jay., Liesch, Peter. 2012. Advancing
Entrepreneurial Marketing: Evidence from Born Global Firms. European Journal of Marketing
Vol. 46 No. 3/4, pp. 542-561.
Ngai, E.W.T., 2005. Customer Relationship Management Research (1992-2002).
Marketing Intelligence & Planning, 23(6), 582-605. ISSN: 0263-4503
Niammuad, Damrongrit, Kulkanya Napompech, Suneeporn Suwanmaneepong, 2014,
Entrepreneurial Product Innovation: A Second-Order Factor Analysis, The Journal of Applied
Business Research – January/February 2014 Volume 30, Number 1
Oliver, Richard L.1999. “Whence Consumer Loyalty?,” Journal of Marketing, 63 (4),
33–44.
Palmatier, R. W., Jarvs, C. B., Bechkoff, J. R. and Kardes, F. R. 2009. Role of Consumer
Gratitude in Relationship Marketing, 73, 1-45.
Pambudy, Rachmat dan Burhanuddin Rabbani. 2005. “Peluang dan Tantangan
Pengusaha Kecil Menghadapi Perdagangan Bebas” dalam Suara Pembaruan, Tanggal 7 Februari
2005.
Paul Taylor. 2013. The Effect of Entrepreneurial Orientation on The Internationalization
of Smes In Developing Countries. African Journal of Business Management Vol. 7(19). Jamaica:
University of the West Indies
81
Pearce, C. L., & Ensley, M. D. 2004. A Reciprocal and Longitudinal Investigation of
The Innovation Process: The Central Role of Shared Vision in Product and Process Innovation
Teams (PPITs). Journal of Organizational Behavior, 25(2), 259-278.
Petuskiene, E., & Glinskiene, R. 2011. Entrepreneurship As The Basic Element For The
Successful Employment of Benchmarking and Business Innovations. Engineering Economics,
22(1), 69-77.
Phyra Sok, Aron O’Cass, Keo Mony Sok.2013. Achieving Superior SME Performance:
Overarching Role of Marketing, Innovation, and Learning Capabilities. Australasian Marketing
Journal 21.Australia
Radas, S. & Božic, L. (2009). The Antecedents of SME Innovativeness In an Emerging
Transition Economy. Technovation, 29, 438-450.
Richard B., Aquilano, Nicholas J., and Jacobs, F. Robert. 2001, Operation Management
for Copetitive Advatage, Ninth Edition, McGraw-Hill Irwin, New York, USA.
Riddell, J. M. 2006. Adopting A Customer View: Moving From Yielding to Pricing,
Journal of Revenue and Pricing Management, 5, 2, 167–169.
Samantha Murdy, Steven Pike.2012. Perceptions of Visitor Relationship Marketing
Opportunities By Destination Marketers: an Importance-Performance Analysis. Journal Tourism
Management 33. Australia: School of Advertising, Marketing & Public Relations, Queensland
University of Technology
Slater, S.F. and Narver, J.C. 1996. Competitive Strategy in The Market-Focused
Business. Journal of Market-Focused Management 1, 159± 74.
Schulz, W.C. and Hofer, X. 1999. Creating Values Through Skill-Based Strategy and
Entrepreneurial Leadership. New York: Pergamon.
Sivadas, E. & Dwyer, F. 2000. An Examination of Organizational Factors Influencing
New Product Success in Internal and Alliance Based Processes. Journal of Marketing, 64, 3149.
Smith, Brock J. and Donald W. Barclay. 1997. “The Effects of Organizational
Differences and Trust on the Effectiveness of Seller Partner Relationships,” Journal of
Marketing, 61 (January), 3-21.
Srivastava RK, Shervani TA, Fahey L 1999. Marketing, Business Processes, and
Shareholder Value: an Organizationally Embedded View of Marketingactivities and The
Discipline of Marketing. Journal of Marketing, 63 (Special Issue), 168-179.
Stokes, David, 2000.Putting Entrepreneurship into Marketing: The Processes of Entrepreneurial
Marketing, Journal of Research in Marketing and Entrepreneurship, Vol. 2
Subramaniam, M., & Youndt, M. A. 2005. The influence of intellectual capital on the
types of innovative capabilities. Academy of Management Journal, 48(3), 450-463.
82
Soegoto, E. S. 2009. Entrepreneurship; Menjadi Pebisnis Ulung. Jakarta: Penerbit PT.
Elex Media Komputindo
Soekidjan, Soegiarto,. 2009. Komitmen Organisasi Apakah Sudah Dalam Diri Anda?
Jakarta: Rineka Cipta
Song, X. M. & Parry, M. E. 1996. What separates Japanese New Product Winners from
Losers. Journal of Product Innovation Management, 13 (5), 422–439.
Stevia Septiani, Ma’mun Sarma, Wilson H. Limbong. 2013. Pengaruh Entrepreneurial
Marketing dan Kebijakan Pemerintah terhadap Daya Saing Industri Alas Kaki di Bogor. Jurnal
Manajemen dan Organisasi Vol IV, No 2.Bogor: Departemen Manajemen, Fakultas Ekonomi
dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Suellen J. Hogan, Leonard V. Coote. 2014. Organizational culture, innovation, and
performance: A test of Schein's model. Journal of Business Research 67. Australia : The
University of Queensland
Suendro, Ginanjar, 2014. Analisis Pengaruh Inovasi Produk Melalui Kinerja Pemasaran
Untuk Mencapai Keunggulan Bersaing Berkelanjutan. Semarang: Fakultas Margister
Manajemen, UNDIP
Susanna Camps, Pilar Marques. 2014. Exploring how social capital facilitates innovation:
The role of innovation enablers. Journal Technological Forecasting & Social Change. Spain:
Department of Business Organization, Campus Montilivi, Universitat de Girona.
Suyana, Utama I Made. 2006. Pengaruh Perkembangan Pariwisata Terhadap Kinerja
Perekonomian dan Perubahan Struktur Ekonomi Serta Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi
Bali. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya.
Tanenhaus, M., Vinci, Chatelin, Y.M,. dan Carlo, L. 2005. PLS Path Modeling.
Computational Staistic and Data Analysis. 48: 159-205.
Tidd, J., Bessant, J. and Pavitt, K. 2005. Managing Innovation: Integrating
Technological, Market and Organizational Change, Third edition, Wiley.
Thomas, Lisa C., Painbéni, Sandra & Barton, Harry. 2013. Entrepreneurial Marketing
Within The French Wine Industry. International Journal of Entrepreneurial Behaviour &
Research, Vol. 19 No. 2, pp. 238-260.
Umar, Husein, 2005, “Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis”, Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada
Septiany W., Syamsul M, Yandra A., 2013. Manajemen Risiko Inovasi Produk Olahan
Susu Sapi Berdasarkan Tahapan Proses Manajemen Inovasi, Jurnal Teknik Industri ISSN: 1411-
6340
83
84