laporan akhir penelitian pnbp fakultas mipa · ekstrak hasil preparatif fraksi 10-6 memilki nilai...
TRANSCRIPT
i
LAPORAN AKHIR PENELITIAN
PNBP FAKULTAS MIPA
Determinasi Struktur Molekul Senyawa Antibakteri dari Actinomycetes
Endofit serta Karakterisasi Molekular Gen Penciri Spesies Terseleksi
Ketua/Anggota Tim:
Dr. Alimuddin Ali, S.Si, M.Si (NIDN. 0031126906)
Dr. A. Mu’nisa, S.Si, M.Si (NIDN. 0026057203)
Andi Irma Suryani, S.Pd, M.Si (NIDN. 0001108701)
Dibiayai oleh:
DIPA Universitas Negeri Makassar
Nomor: SP DIPA – 042.01:2.400964/2017, tanggal 7 Desember 2016.
Sesuai Surat Keputusan Rektor Universitas Negeri Makassar
Nomor: 2324/UN36/LT/2017 tanggal 02 Mei 2017
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
OKTOBER 2017
brought to you by COREView metadata, citation and similar papers at core.ac.uk
provided by Repository Universitas Negeri Makassar
ii
iii
RINGKASAN
Karst (limestone) merupakan daerah yang termasuk ekologi langka karena
tidak semua negara memiliki ekosistem unik ini. Indonesia, khususnya Sulawesi
Selatan dikenal sebagai wilayah yang memiliki ekosistem karst terbesar kedua
setelah Cina. Keragaman dan keunikan tanaman yang tumbuh pada daerah ini
menjadi sumber menarik untuk melakukan eksplorasi mikrobia khususnya mikrobia
Actinomycetes endofit tanaman karst.
Keragaman Actinomycetes endofit yang sangat tinggi menyebabkan kesulitan
untuk mengidentifikasi baik pada aras genus maupun spesies. Secara konvensional,
identifikasi bakteri termasuk Actinomycetes membutuhkan waktu lama dan biaya
mahal. Berbagai pendekatan dilakukan untuk melakukan identifikasi dan skrining
mikrobia yang lebih efektif dan efisien. Pendekatan melalui analisis gen untuk
identifikasi mikrobia merupakan salah satu teknik identifikasi yang digunakan untuk
menemukan mikrobia penghasil senyawa bioaktif yang potensial (Muramatsu, 2008).
Penggunaan metode analisis gen tertentu dapat digunakan untuk membedakan
kelompok mikrobia, baik pada aras genus, spesies maupun strain. Metode yang telah
banyak digunakan adalah sidik jari DNA (DNA fingerprinting). Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka langkah yang dilakukan
antara lain mengamplifikasi gen target PKS dan gen 16SrRNA untuk selanjutnya
dilakukan sekuensi dan ditentukan homologi dengan gen yang telah diketahui pada
data gene bank. Isolat Actinomycetes target digunakan untuk produksi dan purifikasi
senyawa antifungi. Selanjutnya dilakukan purifikasi senyawa antifungi untuk proses
determinasi dan kecocokan antara homologi gen dengan antifungi yang diperoleh.
Purifikasi dilakukan dengan menggunakan metode purifikasi standar dengan
pendekatan tingkat kepolaran senyawa target. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
waktu optimum produksi senyawa antibakteri terbaik sebagai antibakteri dalam
menghambat pertumbuhan S.aureus yaitu pada hari ke 11 dengan diameter zona
hambatan sebesar 31,57 dan berat biomassa 0,204 gram. Ekstrak hasil preparatif
fraksi 10-6 memilki nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) sebesar
0,0009765625 mg/mL (0,0587 µg/ paper disc) dengan luas zona hambat sebesar 8,2
mm terhadap bakteri S. aureus. Uji fitokimia senyawa antibakteri berbentuk kristal
jarum dan berwarna kuning keemasan menunjukkan hasil positif terhadap pereaksi
Meyer dan wagner yang tergolong senyawa alkaloid. Dan analisis spektrofotometer
FT-IR menunjukkan bahwa senyawa tersebut mengandung gusus –CH alifatik, C≡N,
ikatan rangkap C=C aromatik, C-N dan gugus –NH. Keberadaan atom N merupakan
salah satu ciri khusus senyawa alkaloid.
iv
PRAKATA
Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah, SWT, Tuhan Yang
Maha Kuasa atas berkah dan karuniaNya, sehingga Laporan Kemajuan Penelitian ini
dapat diselesaikan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Penelitian ini
merupakan upaya untuk mengeksplorasi kelompok Actinobacteria endofit dari
tumbuhan ekosistem karst yang berpotensi menghasilkan senyawa antimikroba.
Penulis berharap hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang
berkepentingan.
Penelitian ini dapat terlaksana dan diselesaikan atas bantuan dari berbagai
pihak, oleh karena itu Tim Peneliti mengucapkan banyak terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. Rektor Universitas Negeri Makassar, selaku penanggungjawab institusi untuk
pelaksanaan kegiatan penelitian
2. Ketua Lembaga Penelitian (Lemlit) Universitas Negeri Makassar, yang telah
memberi bantuan dalam pelaksanaan penelitian.
3. Dekan dan Ketua Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar, atas izin
dan fasilitasi yang diberikan sehingga penelitian ini dapat terlaksana.
4. Bapak/Ibu Laboran di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi, Jurusan
Biologi FMIPA Universitas Negeri Makassar atas bantuan teknis yang diberikan
selama kegiatan penelitian ini dilakukan
5. Kepada semua pihak terutama rekan-rekan yang tidak dapat dituliskan satu-per
satu atas segala bantuan baik secara langsung maupun tidak.
Akhirnya, semoga penelitian ini dapat memberi manfaat yang sebesar-besarnya
bagi semua pihak.
Makassar, 27 Oktober 2017
TIM PENELITI PNBP UNM
v
DAFTAR ISI
Hal.
HALAMAN PENGESAHAN ii
RINGKASAN iii
PRAKATA iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan Penelitian 1
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2
A. Karakteristik Actinomycetes 4
B. Actinomycetes sebagai Penghasil Antibakteri. 5
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 6
BAB IV. METODE PENELITIAN 7
A. Prosedur Penelitian 7
B. Penentuan waktu produksi antibakteri Actinomycetes sp. 7
C. Fermentasi dan ekstraksi senyawa antibakteri 8
D. Pengujian kromatografi lapis tipis (KLT) 9
E. Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Cair Vakum (KKCV) 9
F. Pengujian Minimum Inhibitory Concentration (MIC) 10
G. Karakterisasi genotipe isolat Actinobacteria terpilih 11
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 12
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 30
DAFTAR PUSTAKA 31
LAMPIRAN 34
vi
DAFTAR TABEL
No Tabel Uraian Hal
1 5.1 Pengaruh lama waktu fermentasi dengan aktivitas senyawa
antibakteri dan jumlah biomassa yang dihasilkan.
13
2 5.2 Fraksinasi Kromatografi Kolom Cair Vakum (KKCV)
menggunakan eluen dengan perbandingan yang berbeda.
16
3 5.3 Fraksi hasil gabungan dari fraksi KKCV 17
4 5.4 Uji Golongan sampel F10-6 dan fraksi 111 hasil
kromatografi flash
18
5 5.5 Nilai Konsentrasi Hambatan Minimum/Minimum
Inhibitory Concentration (MIC) ekstrak KMR-1E terhadap
bakteri uji S. aureus
21
6 5.6 Interpretasi Spektrum Infra Merah 22
vii
DAFTAR GAMBAR
No Gambar Uraian Hal
1 5.1 Hasil uji antagonis terhadap bakteri uji: (A)
Staphylococcus aureus, (B) Escherichia coli
12
2 5.2 Grafikkorelasi lama fermentasi terhadap luas zona
hambatan dan berat biomassa yang dihasilkan Isolat
Actinomycetes sp. Strain KMR-1E.
13
3 5.3 Hasil uji aktivitas ekstrak etil asetat isolat Actinomycetes
spstrain KMR 1E dengan waktu fermentasi berbeda
terhadap bakteri uji: (A) Staphylococcus aureus; (B)
Escherichia coli
14
4 5.4 Ekstrak hasil fermentasi:(A) Ekstrak dari biomassa
dengan pelarut metanol; (B) Ekstrak dari medium
fermentasi dengan pelarut etil asetat.
14
5 5.5 Kromatogram KLT sebelum kromatografi kolom vacum
cair (KKCV)dengan eluen etil asetat: n-heksan (8:2).
15
6 5.6 Kromatogram fraksi hasil KKCV yang dielusi dengan
eluen etil asetat: n-hexane (8:2, v/v).
16
7 5.7 Fraksi gabungan hasil fraksinasi A) Vial 1, F-10; vial 2,
F-6; B) Vial 1: hasil penguapan F-10; Vial 2: Kristal hasil
penguapan F-6.
17
8 5.8 Uji pereaksi meyer dan wagner: A) Sampel F10-6; B)
Sampel fraksi 111 hasil kromatografi flash
18
9 5.9 Hasil KLT-Bioautografi ekstrak kasar etil asetat KMR-1E
terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus:Kombinasi
eluen yang digunakan: A) Etil asetat: metanol (8:2); B)
Etil asetat: metanol (9:1); C) Etil asetat: metanol (6:4).
19
10 5.10 Kromatogram yang telah dielusi dan hasil uji KLT-
bioautografi ekstrak hasil flash. A) Kromatogra hasil
elusi etil asetat 100%; B) Noda dibawah UV λ 254; C)
Noda dibawah UV λ 366; C) Hasil KLT-Bioautografi hasil
flash.
20
11 5.11 Zona bening yang terbentuk disekeliling paper disc
menggunakan mikroba uji S. aureus. Ekstrak diencerkan
hingga 11 kali pengenceran.
21
12 5.12 Profil spektrum Infra Red (IR) 22
viii
DAFTAR LAMPIRAN
No Lampiran Uraian Hal
1 Lamp 1 Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan
Pembagian Tugas
34
2 Lamp 2 Surat Kontrak Penelitian
35
3 Lamp 3 Surat Izin Penelitian
36
4 Lamp 4 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
37
1
BAB I. PENDAHULUAN
Penyebaran penyakit infeksi masih menempati peringkat teratas pada negara-
negara berkembang seperti Indonesia, sehingga dibutuhkan biaya penanggulangan
yang cukup besar terutama untuk pengadaan obat-obat golongan antibiotika. Selama
ini antibiotika yang umum digunakan adalah golongan antibakteri dan antifungi.
Pengobatan penyakit infeksi dengan pemberian antibiotika tertentu ditemukan
beberapa masalah terutama hipersensitif dan kecenderungan resistensi mikrobia
penyebab infeksi. Beberapa jenis mikrobia (bakteri dan fungi) telah mengembangkan
sistem resistensi terhadap berbagai jenis antibiotika. Mikrobia berusaha dengan
berbagai strategi untuk mencegah efek penghambatan terhadap antibiotika serta
memiliki perangkat yang sangat efisien untuk menyebarkan sifat resistensi tersebut
pada turunanya sehingga menimbulkan terbentuknya patogen resisten (Giamarellou
& Antoniadou, 1997). Sistem resistensi tersebut dikembangkan oleh mikrobia
melalui beberapa mekanisme misalnya penghambatan pembentukan dinding sel
bakteri (Allen dan Nicas, 2003), penghambatan sintesis ribosom bakteri (Krist &
Showsh, 2007) perubahan struktur senyawa antibiotika melalui pembentukan -
Laktamase (Baquero et al, 1997; Melano et al, 2003), perubahan struktur gen dalam
selnya (Witte, 1997; Davelos et al, 2004) serta gangguan pembentukan sterol
membran sel fungi (Lemriss et al, 2003).
Penelitian untuk mencari antimikrobia baru yang aman dan memiliki potensi
besar merupakan salah satu tantangan bagi industri farmasi saat ini, khususnya yang
berkaitan dengan peningkatan infeksi opurtunistik pada inang (Badji et al, 2006).
Ketersediaan antibiotik dan senyawa-senyawa kemoterapi lainnya merupakan suatu
hal yang menggembirakan baik saat ini maupun yang akan datang, akan tetapi hal
tersebut tidaklah mencukupi. Permasalahan utama yaitu harus tersedia bahan-bahan
pengobatan baru yang memiliki potensi lebih baik dibanding dengan yang ada saat
ini (Allen dan Nicas, 1997). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
melakukan skrining senyawa bioaktif pada berbagai organisme atau melakukan
modifikasi terhadap senyawa yang sudah ada (Breithaupt, 1999).
Actinomycetes merupakan salah satu sumber metabolit bioaktif yang sangat
menarik. Meski laju penemuan senyawa baru cenderung menurun akibat kajian
secara ekstensif pada kelompok actinomycetes, namun penemuan spesies-spesies
2
baru justru berpotensi besar ditemukan pula metabolit baru (Suzuki et al, 2000;
Takahashi dan Omura, 2004). Sejarah penemuan obat-obatan baru menunjukkan
adanya fakta bahwa dalam banyak kasus, rangka molekul baru justru ditemukan
berasal dari golongan actinomycetes (Badji et al, 2006). Mikami et al, 2000,
actinomycetes tidak hanya dihasilkan oleh golongan yang non patogen tetapi juga
dihasilkan oleh actinomycetes patogen opurtunistik.
Secara konvensional, upaya identifikasi bakteri termasuk actinomycetes
membutuhkan waktu yang sangat lama, biaya dan kerja yang sangat banyak. Upaya
yang dilakukan adalah pendekatan berbasis biologi molekuler, misalnya analisis dan
determinasi gen kunci yang bertanggung jawab terhadap pembentukan suatu
metabolit sekunder. Selain itu pengembangan teknik skrining mikrobia penghasil
senyawa bioaktif seperti antimikrobia telah dilakukan melalui pendekatan molekuler
untuk menghasilkan metode yang efektif dan efisien (Muramatsu, 2008). Secara
umum senyawa bioaktif khususnya antimikrobia merupakan kelompok senyawa
poliketida dan non ribosomal peptida (Mc Daniel et al., 2005). Kajian molekuler
menunjukkan adanya gen-gen tertentu yang bertanggung jawab terhadap biosintesis
senyawa bioaktif pada kelompok actinomycetes. Actinomycetes menghasilkan
sebagaian besar senyawa bioaktif yang merupakan senyawa tergolong poliketida dan
non ribosomal peptida. Ayuoso dan Genilloud (2005) melaporkan hasil amplifikasi
terhadap kedua gen tersebut dan diketahui mikrobia yang memiliki kedua gen
tersebut mempunyai keragaman metabolit sekunder dan keragaman genetik yang
berbeda.
3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian untuk mencari senyawa baru atau senyawa penuntun (guide
compounds) yang memiliki potensi bioaktif merupakan salah satu tantangan besar
industri farmasi saat ini, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan prevalensi
penyakit infeksi, degeneratif maupun penyakit metabolisme (Badji et al, 2006). Salah
satu upaya yang dapat dilakukan adalah melakukan skrining senyawa bioaktif pada
berbagai jenis organisme khususnya kelompok Actinomycetes (Breithaupt, 1999).
Actinomycetes merupakan salah satu sumber metabolit bioaktif yang sangat
menarik. Meski laju penemuan senyawa baru cenderung menurun akibat kajian
secara ekstensif pada kelompok Actinomycetes, namun penemuan spesies-spesies
baru justru berpotensi besar ditemukan pula metabolit baru (Suzuki et al, 2000;
Takahashi dan Omura, 2004). Sejarah penemuan obat-obatan baru menunjukkan
fakta bahwa dalam banyak kasus, rangka molekul baru justru ditemukan berasal dari
golongan Actinomycetes (Badji et al, 2006). Barrakate et al, 2002 menyatakan bahwa
diperkirakan dua pertiga senyawa antibiotika telah diisolasi dari mikrobia ini,
sehingga perlu upaya untuk terus dilakukan skrining senyawa bioaktif baru dari
kelompok mikrobia ini.
Meskipun sumber mikrobia telah banyak dieksplorasi khususnya di negara
non-tropis, akan tetapi sumber mikrobia dari negara tropis justru belum banyak
dieksplorasi padahal keragaman mikrobianya sangat tinggi. Menurut Wang et al.,
1999 Actinomycetes di negara tropis sangat besar peluang ditemukan metabolit baru
karena beragamnya spesies mikrobia, namun diperlukan strategi khusus untuk
menemukan Actinomycetes penghasil senyawa bioaktif tersebut. Hal yang menarik
adalah mikrobia yang berasosiasi dengan jaringan tumbuhan yang disebut endofit.
Mikrobia endofit dinyatakan sebagai mikrobia yang hidup pada jaringan tumbuhan
inang dan memiliki kontribusi interaksi antar keduanya dalam bentuk asosiasi yang
saling menguntungkan.
Mikrobia endofit memiliki keunikan karena tidak menyebabkan kerugian pada
tanaman sehingga interaksi ini menjadi perhatian utama periset untuk menemukan
mikrobia penghasil senyawa bioaktif. Keragaman tanaman maupun mikrobia pada
wilayah tertentu menjadi dasar pencarian mikrobia penghasil senyawa bioaktif
seperti daerah temperate dan tropis. Penelitian endofit tropika dipicu oleh peranan
4
yang cukup penting dari mikrobia ini terhadap prakiraan keragaman mikrobia global
dan dinamika komunitas tanaman sebagai sumber senyawa bioaktif baru serta agen
pengendalian biologik untuk penggunaan agrohutani tropik (Hawksworth, 2001;
Arnold, 2001). Penemuan mikrobia endofit umumnya difokuskan pada tanaman yang
berasal dari daerah iklim sedang (temperate), namun sejumlah peneliti mulai
memfokuskan pada tanaman daerah tropik (Rodrigues and Petrini, 1997).
Karakteristik Actinomycetes
Actinomycetes merupakan mikrobia yang pada awalnya digolongkan dalam
kelompok fungi karena morfologi dan perkembangannya yang mirip dengan fungi
yang dilihat dari miseliumnya, sehingga Actinomycetes juga disebut ray fungi
(Kuster, 1958).Actinomycetes memiliki sel berbentukbulat/coccus (Micrococcus) dan
rod-coccus cycle (Arthrobacter), bentuk hifa berfragmen (Nocardia, Rothia)
danmiselium bercabang yang berbeda-beda (Micromonospora dan Streptomyces).
Selain itu, Actinomycetes juga merupakan bakteri Gram-positif, bersifat anaeraob
atau fakultatif, tumbuh lambat dan membutuhkan temperatur 25oC-37
oC serta
memiliki struktur berupa filamen lembut yang sering disebut hyfa atau mycelia,
sebagai mana yang terdapat pada fungi memiliki konidia pada hyfa yang menegak,
ada yang bersifat saprofit namun ada yang bersifat parasit atau bersimbiosis
mutualisme dengan tumbuhan dan hewan (Goodfellow 1983).
Actinomycetes merupakan bakteri yang bereproduksi dengan pembelahan sel,
rentan terhadap penisilin tetapi tahan terhadap zat antifungi (Rollin & Joseph, 2000).
Spora Actinomycetes salah satunyaStreptomyces diketahui tahan terhadap pemanasan
kering hingga suhu 120°C, biasanya sifat ini dimanfaatkan dalam uji pendahuluan
untuk menghindari atau menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi,
2003). Dalam penelitian Omura (1977), diketahui spora dari Streptomyces
roseofulvus berukuran sekitar 1µ, memiliki pigmen berwarna kuning pucat keabu-
abuan atau coklat keabu-abuan yang terlihat pada medium yeast extract-malt extract
agar, oatmeal agar dan salt-starch agar.
Actinomycetesbanyak tersebar di alam seperti di tanah, tumbuhan (endofit),
perairan lautdan guakarst (Oskay et al, 2004; Yamac et al., 2011; Manasa et al.,
2014). Selain itu, jumlah Actinomycetesdi tanah dapat dipengaruhi olehlokasi
geografis, suhu tanah, jenis tanah, pHtanah, kandungan bahan organik, kegiatan
4
5
pertanian,aerasi, ketersediaan nutrisi, kelembabandan vegetasi tanah (Arifuzzaman et
al, 2010). Kebanyakan genus dari Actinomycetes yang hidup ditanah yaitu
Streptomycesmemiliki kemampuan dalam mengeluarkan bau yang khas seperti tanah
yaitu asam asetat, acetaldehida, etanol, isobutanol, dan isobutil asetat yang sekarang
ini sudah diidentifikasi sebagai aroma senyawa utama yang dihasilkan oleh
Streptomyces, bahkan hidrogen sulfida dipercaya berperan dalam pembentukan
aroma tanah yang dikeluarkannya (Goodfellow, 1983). Beberapa genus Streptomyces
memiliki pH optimum pada rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5 (James dan Edwards
1997).
Actinomycetes sebagai Penghasil Antibakteri.
Hampir 95% dari 2000 antibiotik yang ada dihasilkan oleh kelas
Actinomycetes, salah satu genusnya adalah Streptomyces (Okami dan Hotta, 1988).
Oskay et al. 2004, menemukan 50 strain Actinomycetes yang berbeda pada sampel
ladang pertanian yang diambil dari daerah Manisa di Turki. Ternyata 34% dari
keseluruhan isolat berpotensi sebagai penghasil antibiotik, dan 7 isolat menghasilkan
antibiotik baru. Saat ini Actinomycetes diketahui sebagai penghasil beberapa
metabolit bioaktif yang meliputi antibiotik, antiparasitik, antitumor, insektisida,
herbisida, alkaloid, inhibitor, peptide imunoaktif, perantara antitrombosit dan masih
banyak lagi (Zhang et al., 2000). Menurut Pandey (2004), Streptomyces dan
Micromonospora merupakan genus Actinomycetes yang dikenal sebagai penghasil
antibiotik terbesar. Sifat yang paling menarik dan dimiliki oleh Streptomyces adalah
kemampuan dalam menghasilkan metabolit sekunder seperti antifungi, antibakteri,
antivirus, antitumor, antihipertensi (Omura, 2001: Patzer, 2010).
Genus Streptomyces juga merupakan mikroba endofitik yang menjanjikan
sebagai penghasil antibiotik (Strobel 2003). Akhir-akhir ini, telah ditemukan strain
Streptomyces endofitik sebagai penghasil antibiotik pertama dari jenis munumbicin
yang diisolasi dari tanaman obat snake vine (Kennedia nigricans) yang digunakan
oleh suku aborigin Australia sebagaiobat dan membalut luka pendarahan (Castillo et
al, 2002).
6
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi gen penyandi biosintesis
metabolit bioaktif pada mikrobia actinomycetes endofit tumbuhan karst sebagai
upaya untuk menemukan mikrobia penghasil senyawa bioaktif dengan kategori
noveltis (baru).
7
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Prosedur Penelitian
Actinomycetes terpilih yang menunjukkan antibakteri kategori kuat
ditumbuhkan dalam medium Starch Nitrate Broth dengan komposisi: (soluble starch
20 g, 2 g KNO3, 2 g NaCl, 0,05 g MgSO4.7H2O, 0,01 g FeSO4.7H2O, 2 g K2HPO4,
aquades 1 L, pH 7,0-7,2 sebelum sterilisasi). Semua bahan dihomogenkan dalam 1
liter aquadest. Sterilisasi medium dengan menggunakan autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit dengan tekanan 2 atm.
B. Penentuan waktu optimum produksi antibakteri Actinomycetes sp.terpilih
Penentuan waktu optimum produksi senyawa metabolit sekunder sebagai
antibakteri dari isolat Actinomycetes sp. Strain terpilih diawali dengan
menginokulasikan isolat terpilih pada Erlenmeyer 250 mL sebanyak 6 buah dengan 2
kali ulangan yang masing-masing berisikan medium Starch Nitrate Broth (SNB)
sebanyak 50 mL dan diinkubasi pada suhu kamar dengan laju penggojokan 100 rpm.
Waktu fermentasi isolat Actinomycetes sp. Strain terpilih bervariasi yaitu 5, 7, 9, 11,
13 dan 15 hari. Setelah mencapai usia pertumbuhan, masing-masing kultur
fermentasi disaring untuk memisahkan biomassa dengan cairan fermentasi. Biomassa
yang telah diperoleh masing-masing ditimbang dan untuk cairan fermentasi yang
diperoleh masing-masing diekstraksi menggunakan pelarut etilasetat dengan
perbandingan (1:1 v/v) dan diuapkan. Hasil dari penguapan masing-masing
ditimbang kembali untuk mengetahui berat ekstrak yang diperoleh dari setiap kultur
fermentasi.
Ekstrak dilarutkan kembali dengan pelarut etilasetat dengan mengatur
konsentrasi hingga 1000 ppm, yang kemudian akan digunakan dalam pengujian
aktivitas antibakteri dengan metode biossay. Adapun data penentuan waktu optimum
produksi senyawa antibakteri dari isolat Actinomycetes sp. Strain terpilih dinyatakan
dalam kurva pertumbuhan yang terdiri atas hari atau lama fermentasi, biomassa (gr)
dan aktivitas antibakteri yaitu zona hambatan (mm).
8
C. Fermentasi dan ekstraksi senyawa antibakteri
Fermentasi diawali dengan membuat prekultur Isolat Actinomycetes sp. Strain
terpilih diinokulasikan pada medium cair SNB (soluble starch 20 g, 2 g KNO3, 2 g
NaCl, 0,05 g MgSO4.7H2O, 0,01 g FeSO4.7H2O, 2 g K2HPO4, aquades 1 L, pH 7,0-
7,2 sebelum sterilisasi) pada Erlenmeyer 1000 ml dengan volume medium 250 ml
dan diinkubasi pada suhu kamar selama 3 hari pada laju penggojokan 100 rpm.
Prekultur yang telah dibuat selanjutnya dipindahkan ke fermentor yang berisi
medium fermentasi sebanyak 4,5 liter. Medium difermentasi selama 14 hari dengan
pH 7 dandalam kondisi teragitasi pada laju penggojokan 100rpm.Setelah fermentasi
selama 14 hari, media pertumbuhan Actinomycetes sp. Strain terpilih disaring untuk
memisahkan biomassa dan cairan fermentasi (supernatan). Supernatan yang
diperoleh di ekstraksi dengan pelarut etil asetat (1:1 v/v) dalam corong pisah 250
mL. Hasil ekstraksi yang diperoleh selanjutnya diuapkan kemudian dilarutkan
kembali dengan etil asetat, lalu disimpan pada botol vial untuk digunakan pada
proses selanjutnya. Selanjutnya untuk biomassa (pelet) yang diperoleh diekstrak
dengan teknik maserasi menggunakan metanol selama 3x24 jam. Pelet dan metanol
dipisahkan dengan cara penyaringan menggunakan kertas saring dan ekstrak metanol
diuapkan sampai diperoleh ekstrak kering kemudian dilarutkan kembali dengan
sedikit metanol, lalu disimpan pada botol vial untuk digunakan pada proses
selanjutnya.
D. Pengujian kromatografi lapis tipis (KLT)
KLT dilakukan bertujuan untuk mengetahui pola kromatogram yang terbentuk
dari pemisahan senyawa organik pada sampel. Menurut Gritter dkk(1991), KLT juga
digunakan untuk mencari eluen yang akan digunakan untuk kromatgrafi kolom.
Adapun eluen yang digunakan pada pengujian ini merupakan kombinasi dari
beberapa pelarut seperti etil asetat, metanol dan n-heksan dengan perbandingan
tertentu dan telah dijenuhkan terlebih dahulu didalam chamber. Ekstrak etil asetat
yang diperoleh pada tahapan ekstraksi, ditotolkan pada lempeng KLT (Silica gel plat
Merck 60 F254) yang sebelumnya telah ditentukan batas awal dan batas akhir elusi,
kemudian lempeng dielusi di dalam chamber yang sebelumnya telah dikembangkan
dengan eluen etil asetat:n-hexane (8:2, v/v). Selanjutnya lempeng divisualisi di
9
bawah lampu UV λ254 nm dan λ366 nm dengan mengamati pola pemisahan senyawa
yang terbentuk dengan penggunaan eluen yang beragam. Pola yang terbentuk pada
lempeng KLT kemudian disemprot menggunakan penampak bercak serium sulfat
dan dikeringkan. Eluen yang menghasilkan pemisahan terbaik selanjutnya digunakan
sebagai eluen pada kromatografi kolom.
E. Fraksinasi dengan Kromatografi Kolom Cair Vakum (KKCV)
Fraksinasi dilakukan bertujuan untuk memisahkan golongan utama
kandungan yang satu dari golongan utama yang lain (Harborne, 1987). Fraksinasi
menggunakan dua macam pelarut yang tidak saling bercampur, dimana gabungan
dari dua macam pelarut tersebut, telah ditentukan pada saat pengujian KLT yang
sesuai, sebagai fasa gerak (eluen) dan silica gel sebagai fasa diam (adsorben). Proses
kromatografi kolom diawali dengan melarutkan ekstrak etilasetat sebanyak 0,5 gram
bersama dengan silica gel dengan sedikit pelarut etilasetat dan dihomogenkan.
Ekstrak yang telah homogen diletakkan pada permukaan silica gel kolom yang telah
dipadatkan sebelumnya dan dielusi menggunakan beberapa kombinasi pelarut
sebanyak 50 mL secara gradient dan eluen yang mampu berikatan dengan senyawa
tertentu yang terdapat pada ekstrak etil asetat akan mengalir melalui kolom.Beberapa
fraksi yang dihasilkan dari kromatografi kolom, selanjutnya di KLT kembali untuk
memperoleh senyawa murni dengan eluen terbaik yang kemudian hasil perolehan
senyawa murni akan digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri, uji fitokimia
serta penentuan gugus fungsi berdasarkan analisis FT-IR.
F. Pengujian antibakteri dan KLT-Bioautografi
Aktivitas antimikrobia dapat diketahui dengan metode uji hayati (bioassay
method) mengacu pada metode (Ali, 2009). Pengujian aktivitas mikrobia dilakukan
dengan mengunakan fraksi hasil dari Kromatografi Vakumcair (KVC) yang
mengandung senyawa murni terhadap bakteri uji. Menurut Ali (2009), sebanyak 15
μL maserat yang telah diketahui konsentrasinya dimasukkan ke dalam kertas cakram
(diameter6 mm) hingga jenuh. Selanjutnya setelah semua pelarut menguap, kertas
cakram diletakkan pada permukaan media tumbuh yang telah diinokulasikan dengan
mikrobia uji yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC
35218, kemudian disimpan didalam lemari es suhu 4oC selama satu jam bertujuan
agar senyawa yang terdapat pada kertas cakram dapat berdifusi dengan baik dalam
10
media tumbuh. Kemudian plate diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam.
Mengamati zona hambatan yang terbentuk disekitar kertas cakram. Zona hambatan
yang terbentuk menunjukkan adanya aktivitas antibakteri yang kemudian luas zona
hambatan diukur menggunakan jangka sorong. Pengujian KLT-Bioautografi yaitu
fraksi yang mengandung senyawa murni hasil dari KVC ditotolkan pada lempeng
KLT (silica gel plat Merck 60 F254) yang kemudian dielusi menggunakan pelarut
campuran tertentu. Selanjutnya pola yang telah terbentuk pada fasa diam ( silica gel )
dideteksi dibawah sinar UV λ254 dan λ365 nm. Lempeng KLT tersebut diletakkan
pada permukaan medium tumbuh yang sebelumnya telah diinokulasikan pada bakteri
uji yaitu Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Escherichia coli ATCC 35218.
Diinkubasi didalam ruang pendingin selama1 jam agar senyawa yang terdapat pada
setiap pola yang terbentuk dapat berdifusi dengan baik pada medium pertumbuhan
dan selanjutnya diinkubassi pada suhu 37o
C selama 2 x 24 jam. Zona hambat yang
terbentuk disekitar pola menandakan senyawa sersebut aktif sebagai antibakteri pada
bakteri uji.
G. Pengujian Minimum Inhibitory Concentration (MIC).
Penentuan nilai MIC dari senyawa antibakteri Actinomycetes sp. Strain terpilih
dilakukan dengan metode pengenceran bertingkat yang mengacu pada Ali (2009).
Fraksi yang telah dipreparatif dan mengandung senyawa antibakteri diencerkan
dengan pelarut etil asetat hingga diperoleh pengenceran tertinggi (11 pengenceran
terakhir). Selanjutnya, setiap hasil pengenceran diinjeksikan pada setiap papper disc
(Ø8 mm) dengan volume injek sebanyak 30 µL. Setiap papper disc yang telah
dijenuhkan kemudian diletakkan pada permukaan medium yang telah diinokulasikan
bakteri uji Staphylococcus aureus ATCC 25923. Selanjutnya plate diinkubasi
didalam ruang pendingin selama1 jam, hal ini dimaksudkan agar senyawa yang
terdapat pada papper disc mampu berdifusi sempurna pada medium tumbuh. Plate
kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Zona bening yang terbentuk
pada pengenceran terendah dinyatakan sebagai nilai MIC.
H. Karakterisasi genotipe isolat Actinobacteria terpilih
Sekuen gen 16S rRNA diamplifikasi dengan menggunakan metode PCR
dengan Taq DNA Polimerase dan primer 27f (5’AGAGTTTGATCCTGGCTCAG-
11
3’), dan 1492r (5’GGTTACCTTGTTACGACTT-3’). Kondisi mesin PCR diatur
sebagai berikut: denaturasi DNA target pada suhu 98oC selama 3 menit dilanjutkan
dengan 30 siklus pada suhu 94oC selama 1 menit, annealing primer pada suhu 54
oC
selama 1 menit, dan ekstensi primer pada suhu 72oC selama 5 menit. Pada akhir
siklus, reaksi pencampuran diatur pada suhu 72oC selama 5 menit dan selanjutnya
didinginkan pada suhu 4oC. Amplifikasi PCR dideteksi dengan gel elektroforesis
agaros dan divisualisasi pada UV iluminator setelah diwarnai dengan etidium
bromida.
Data sekuen gen 16S rRNA isolat Actinobacteria penghasil senyawa antifungi
yang terpilih dilakukan alignment sequence dengan menggunakan program
CLUSTAL-X versi 1.6 (Thompson et al., 1997). Pohon filogeni dikonstruksi dengan
membandingkan sekuen 16S rDNA yang diperoleh dari genebank DNA database
(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/).
Pohon filogeni dikonstruksi dengan menggunakan program Phylip versi 3.5
dengan algoritma neighbour joining (Saitou & Nei, 1987 cit.Kim et al., 2000;
Sembiring, 2009). Pohon filogeni divisualisasi dengan program Treeview. Posisi
akar pada pohon tanpa akar (unrooted) ditentukan berdasarkan metode neighbour
joining. Selanjutnya matrik similaritas dan perbedaan jumlah nucleotida gen 16S
rRNA antar tipe spesies dari database dianalisis dengan program Phydit (The
Phylogenetic Moleculaer Sequences Editor) versi 3,0 (Chun, 1999).
12
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Uji Antagonis Isolat Actinomycetes sp.Strain KMR-1terhadap Bakteri Uji
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli
Isolat yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari endofit tanaman
Ficussp. yang merupakan penciri kawasan karst yang diperoleh dari penelitian
sebelumnya. Dari hasil pengujian dengan menggunakan diffution agar block method
(Ali, 2009) terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus dan Escherichia
colimenujukkan jika isolat aktif menghambat kedua bakteri ujidengan rata-rata zona
hambat yang dihasilkan pada pengujian antagonis terhadap bakteri S. aureus sebesar
23,5 mm dan pada bakteri uji E. coli sebesar 9,8 mm.Profil hasil pengujian antagonis
dapat dilihat pada Gambar 5.1.
Gambar 5.1. Hasil uji antagonis terhadap bakteri uji: (A) Staphylococcus aureus,
(B) Escherichia coli
Penentuan Waktu Optimum Produksi Senyawa Antibakteri
Kultur isolat Actinomycetes sp. strain KMR-1E yang difermentasikan dengan
lama fermentasi 5, 7, 9, 11, 13 dan 15 hari, selanjutnya cairan fermentasi diekstraksi
menggunakan pelarut etil asetat dengan metode ekstraksi cair-cair (1:1,v/v). Data
yang menunjukkan korelasi antara lama waktu fermentasi terhadap aktivitas senyawa
antibakteri yang diproduksi serta berat biomassa dapat dilihat pada Tabel 5.1.
A B
13
Tabel 5.1. Pengaruh lama waktu fermentasi dengan aktivitas senyawa antibakteri
dan jumlah biomassa yang dihasilkan.
No Hari
ke-
Diameter Zona Hambatan (mm)
Biomassa (gr) Escherichia
coli
Staphylococcus
aureus
ATCC 35218 ATCC 25923
1 5 - 18.2 0.133
2 7 - 22.42 0.174
3 9 - 27.4 0.180
4 11 - 31.57 0.204
5 13 - 26.87 0.208
6 15 - 25.92 0.258 Keterangan: (-) = tidak ada aktivitas antimikroba
Hasil analisis yang menujukkan korelasi antara waktu optimum pertumbuhan
isolat Actinomycetes sp strain KMR-1E pada medium fermentasi dengan produksi
senyawa antibakteri dan berat biomassa selanjutnya disajikan dalam bentuk kurva
pertumbuhan yang ditampilkan pada Gambar 5.2.
Gambar 5.2 Grafikkorelasi lama fermentasi terhadap luas zona hambatan dan berat
biomassa yang dihasilkan Isolat Actinomycetes sp. Strain KMR-1E.
5 7 9 11 13 15
Biomassa 0.109 0.134 0.157 0.172 0.214 0.462
Aktivitas antibakteri 18.2 22.42 27.4 31.57 26.87 25.92
0
5
10
15
20
25
30
35
0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
Ber
at B
iom
assa
(gr
)
Luas
Zo
na
Ham
bat
an (
mm
)
11
14
Berdasarkan hasil pengujian yang telah dilakukan, maka tahap lanjutan yang
akan dilakukan dalam penelitian ini hanya difokuskan pada ekstrak etil asetat yang
memilki aktivitas antibakteri kategori kuat terhadap bakteri uji Staphylococcus
aureus. Profil hasil pengujian ekstrak isolatActinomycetes sp strain KMR-1E
terhadap bakteri uji ditampilkan pada Gambar 5.3.
Gambar 5.3. Hasil uji aktivitas ekstrak etil asetat isolat Actinomycetes spstrain KMR
1E dengan waktu fermentasi berbeda terhadap bakteri uji: (A)
Staphylococcus aureus; (B) Escherichia coli
Hasil Fermentasi dan Ekstraksi
Isolat Actinomycetes spstrain KMR-1E difermentasikan ke dalam medium SNB
(Starch Nitrate Broth) sebanyak 4,5 liter, kemudian diekstraksi menggunakan pelarut
etil asetat (cairan fermentasi) dan pelarut metanol (biomassa) dan dihasilkan berat
ekstrak masing-masing 0,231 gr dan 0,235 gr. Ekstrak yang dihasilkan dapat dilihat
pada Gambar 5.4.
Gambar 5.4. Ekstrak hasil fermentasi:(A) Ekstrak dari biomassa dengan pelarut
metanol; (B) Ekstrak dari medium fermentasi dengan pelarut etil
asetat.
A B
B A
5
7
9
11
13
15
5
7
11
9
15
13
15
Hasil Analisis Kromatografi Lapis Tipis dan kromatografi kolom
Sejumlah senyawa yang terdapat didalam ekstrak kasar isolat KMR-1E akan
dipisahkan melalui tahap fraksinasi yang bertujuan untuk memisahkan beberapa
senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya, dimana senyawa yang bersifat non-polar
akan turun terlebih dahulu melalui kolom kromatografi. Sebelum difraksinasi, kedua
ekstrak yang diperoleh dari hasil ektraksi cair-cair dan maserasi disatukan
menggunakan pelarut etil asetat dan diuji secara kromatografi lapis tipis (KLT),
dengan kombinasi pelarut etil asetat: n-heksan dan etil asetat: metanol. Hal ini
bertujuan untuk mencari eluen dengan pemisahan terbaik, yang selanjutnya
digunakan sebagai eluen dalam proses pemisahan senyawa dengan metode
kromatografi kolom. Hasil pemisahan senyawa terbaik melalui kromatografi lapis
tipis (KLT) adalah kombinasi eluen etil asetat: n-heksan dengan perbandingan 8:2
(v/v), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.5.
Gambar 5.5. Kromatogram KLT sebelum kromatografi kolom vacum cair
(KKCV)dengan eluen etil asetat: n-heksan (8:2).
Proses fraksinasi pertama menggunakan metode Kromatografi Kolom Cair
Vakum (KKCV). Eluen yang diperoleh dari uji KLT digunakan sebagai eluen
dengan ulangan sebanyak tiga kalipada metode KKCV yaitu etil asetat: n-heksan
(8:2). Metode KKCV menggunakan silika gel G 60 F254 7730 sebanyak 50 gr sebagai
fasa diam dan eluennya (fasa gerak) berupa eluen yang ditingkatkan kepolarannya
16
secara bergradien (Step Gradie Polarity). Jumlah fraksi yang diperoleh sebanyak 11
dan diidentifikasi menggunakan metode KLT,dapat dilihat pada Tabel 5.2.
Tabel 5.2. Fraksinasi Kromatografi Kolom Cair Vakum (KKCV) menggunakan
eluen dengan perbandingan yang berbeda.
Fraksi Eluen Perbandingan Warna
1 n-heksana 100% Tidak berwarna
2 n-heksana:etil asetat 1:4 Tidak berwarna
3 n-heksana:etil asetat 1:4 Tidak berwarna
4 n-heksana:etil asetat 4:46 Tidak berwarna
5 n-heksana:etil asetat 4:46 Kuning pucat
6 n-heksana:etil asetat 4:46 Orange kekuningan
7 etil asetat 100% Orange kekuningan
8 etil asetat: metanol 1:1 Kuning
9 etil asetat: metanol 1:1 Kuning
10 Metanol 100% Kuning
11 Metanol 100% Kuning
11 fraksi yang dihasilkan pada metode fraksinasi yaitu KKCV, selanjutnya di
uji KLT dengan tujuan untuk melihat pemisahan senyawa yang terbentuk
berdasarkan fasa diam (silika) dan fasa gerak (pelarut). Kromatogram KLT dengan
11 fraksi dapat dilihat pada Gambar 5.6.
Gambar 5.6.Kromatogram fraksi hasil KKCV yang dielusi dengan eluen etil asetat:
n-hexane (8:2, v/v).
Setiap fraksi yang telah di KLT dan menunjukkan profil noda yang sama
pada kromatogram hasil KLT, selanjutnya digabungkan sehingga diperoleh 2
fraksiyaitu fraksi F6 dan Fraksi F10. Fraksi F-6 merupakan fraksi hasil gabungan
3 4 5 6 7 8 9 10 11
17
dari fraksi 6, 7 dan 8, sedangkan untuk fraksi F10 merupakan fraksi gabungan dari
fraksi 9 dan 10, seperti yang terlihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3. Fraksi hasil gabungan dari fraksi KKCV
No Fraksi Warna Fraksi gabungan
1 6-8 Orange muda F6
2 9-10 Orange gelap F10
Kedua fraksi yang diperoleh yaitu F6 dan F10 selanjutnya diuapkan. Hasil
penguapan pada kedua fraksi tersebut menunjukkan bahwa pada fraksi F6
terlihatadanya kristal kompak berwarna orange kekungingan yang terbentuk
disekeliling diding vial. Profil fraksi hasil sebelum dan setelah penguapan dapat
dilihat pada Gambar 5.7.
Gambar 5.7. Fraksi gabungan hasil fraksinasi A) Vial 1, F-10; vial 2, F-6; B) Vial 1:
hasil penguapan F-10; Vial 2: Kristal hasil penguapan F-6.
Kristal yang terbentuk pada fraksi F6 hasil KKCV selanjutnya difraksinasi
kembali dengan metode kromatografi flash dengan bobot fraksi F6 yaitu 16 mg.
Fraksi yang diperoleh sebanyak 120 dandiidentifikasi kembali menggunakan metode
KLT. Sedangkan untuk fraksi F10 difraksinasi kembali dengan metode KKCV
dengan hasil fraksinasi sebanyak 11 fraksi. Fraksi ke 6 atau F10-6 yang merupakan
fraksi ke 6 dari fraksinasi F10, terlihat terbentuk kristal yang sama pada F6 yang
selanjutnya di preparatif dan diidentifikasi menggunakan metode KLT. Hasil
preparatif dari fraksi F10-6 dan fraksi 111 hasil kromatografi flash, selanjutnya diuji
golongan dengan penambahan pereaksi tertentu. Dan dari hasil pengujian golongan
untuk kedua fraksi menunjukkanbahwa kedua fraksi tersebut termasuk kedalam
A B
1 2 2 1
18
golongan senyawa alkaloid. Hal ini ditunjukkan dengan adanya reaksi positif pada
kedua fraksi setelah ditambahkan pereaksi Wagner yang ditunjukkan dengan adanya
endapan berwarna coklat tua dan pereaksi meyer dengan adanya endapan berwarna
putih kekuningan dapat dilihat pada Gambar 5.8.
Gambar 5.8. Uji pereaksi meyer dan wagner: A) Sampel F10-6; B) Sampel fraksi
111 hasil kromatografi flash
Penentuan golongan suatu senyawa atau uji fitokimia dapat dilakukan dengan
penambahan beberapa pereaksi tertentu seperti FeCl, Liebermann-Burchard, Meyer,
dan Wagner dengan tujuan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terdapat
didalam sampel yang diujikan. Hasil pengujian golongan dapat dilihat pada Tabel
5.4.
Tabel 5.4. Uji Golongan sampel F10-6 dan fraksi 111 hasi kromatografi flash
.
Sampel Pereaksi
Pengamatan Setelah
Penambahan Keterangan
F10-6
Liebermann-
Burchard Merah muda (-) Steroid
FeCl3 Warna kuning (-) Flavonoid
Meyer Endapan putih
kekuningan (+) Alkaloid
Wagner Endapan coklat (+) Alkaloid
111
Liebermann-
Burchard Merah muda (-) Steroid
FeCl3 Warna kuning (-) Flavonoid
Meyer Endapan putih
kekuningan (+) Alkaloid
Wagner Endapan coklat (+) Alkaloid
Wagner Meyer Wagner Meyer
A B
32
33
19
Hasil Uji KLT-Bioautografi Pada Bakteri Uji S. aureus Menggunakan
Ekstrak Kasar dan Hasil Kromatografi Flash
Pengujian KLT-Bioautografi dilakukan untuk mengetahui adanya senyawa
aktif sebagai antibakteri pada ekstrak kasar etil asetat yang diperoleh. Kromatogram
(Plat KLT Silica gel F 256) yang telah dielusi menggunakan 3 kombinasi pelarut
yang berbeda yaitu etil asetat: metanol (8:2), etil asetat: metanol (9:1) dan etil asetat:
metanol (6:4). divisualisasi di bawah penyinaran lampu UV λ254 nm dan λ366 nm
untuk melihat pemisahan senyawa serta warna yang dipendarkan yang ditunjukkan
pada lempeng KLT. Hasil pengujian menunjukkan jika noda aktif merupakan noda
berwarna orange kekuningan setelah divisualisasi dibawah lampu UV. Selain itu,
dari pengujian ini juga menunjukkan bahwa senyawa berwarna orange kekuningan
yang berpontensi sebagai antibakteri didunga merupakan senyawa yang bersifat
polar, dilihat dari posisi senyawa lebih diatas dari batas awal elusi setelah
dikembangkan dengan kombinasi pelarut etil asetat: metanol dengan perbandingan
tertentu. Menurut Pandey (2004), Bercak aktif dapat dideteksi sebagai zona jernih
diatas media tumbuh yang yang telah diinokulasikan mikrobia uji. Hasil pengujian
KLT-Bioautografi menggunakan ekstrak kasar terhadap bakteri uji S. aureus dapat
dilihat pada Gambar 5.9.
Gambar 5.9. Hasil KLT-Bioautografi ekstrak kasar etil asetat KMR-1E terhadap bakteri uji Staphylococcus aureus:Kombinasi eluen yang digunakan: A)
Etil asetat: metanol (8:2); B) Etil asetat: metanol (9:1); C) Etil asetat:
metanol (6:4).
A B C
20
Pemisahan senyawa pada fraksi gabungan 80-85 hasil kromatografi flash
menunjukkan bahwa ekstrak yang telah ditotolkan dan divisualisasi dibawah lampu
UV dan diujikan terhadap bakteri S. aureus menunjukkan adanya zona bening yang
terbentuk, dapat dilihat pada Gambar 5.10.
Gambar 5.10. Kromatogram yang telah dielusi dan hasil uji KLT-bioautografi
ekstrak hasil flash. A) Kromatogra hasil elusi etil asetat 100%; B)
Noda dibawah UV λ 254; C) Noda dibawah UV λ 366; C) Hasil KLT-
Bioautografi hasil flash.
Nilai Konsentrasi Hambatan Minimum/ Minumum InhibitoryConcentration
(MIC)
Metabolit sekunder yang berwarna orange kekuningandan aktif menghambat
pertumbuhan S. aureus ATCC 25923 diperoleh dengan cara fraksi 10-6 ditotol pada
lempeng KLT dan dikembangkan menggunakan pelarut etil asetat 100%. Hasil dari
pemisahan beberapa senyawa kemudian dipreparatif dan diujikan kembali untuk
mengetahui nilai Konsentrasi Hambatan Minimum/Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) menggunakan metode difusi agar. Ekstrak hasil preparatif
dilarutkan dengan pelarut etil asetat dengan konsentrasi awal 1 mg/mL, dan dibuat
deret pengencer hingga 11 kali dengan konsentrasi akhir 0,976 µg/mL. Selanjutnya
setiap pengenceran diinjeksikan ke papper disc blank (Merck Ø 8 mm) dengan
volume 30 μL dan diletakkan pada permukaan media yang telah diinokulasikan
bakteri S. aureus ATCC 25923 dan diinkubasi selama 24 jam. Hasil pengujian dapat
dilihat pada Tabel 5.5.
A B C D
36
21
Tabel 5.5. Nilai Konsentrasi Hambatan Minimum/MinimumInhibitory Concentration
(MIC) ekstrak KMR-1E terhadap bakteri uji S. aureus
No Konsentrasi
(mg/mL)
Konsentrasi
(µg/paper disc)
Diameter Zona
Hambatan (mm)
1 1 30 17,6
2 0,5 15 17,3
3 0,25 7,5 14,4
4 0,125 3,75 12,8
5 0,0625 1,875 11,2
6 0,03125 0,937 10,9
7 0,015625 0,469 9,3
8 0,0078125 0,234 8,5
9 0,00390625 0,117 8,3
10 0,001953125 0,0587 8,2
11 0,0009765625 - - Keterangan: (-) = tidak ada aktivitas antimikroba
Profil pengujian nilai MIC menggunakan metode difusi agar dapat dilihat
pada Gambar 5.11.
Gambar 5.11. Zona bening yang terbentuk disekeliling paper disc menggunakan
mikroba uji S. aureus. Ekstrak diencerkan hingga 11 kali
pengenceran.
Hasil Spektroskopi IR
Kristal yang telah diuji fitokimia yaitu fraksi ke-111 hasil kromatografi
flashselanjutnya diidentifikasi berdasarkan analisis spektroskopi Infra Red (IR)
menggunakan alat spektrofotometer FT-IR dengan metode pellet KBr. Analisis ini
bertujuan untuk menentukan gugus fungsional dari suatu senyawa. Berdasarkan
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
22
hasil analisis spektrofotometer FT-IR, interpretasi atau penafsiranspektrum infra
merahdapat ditentukan dengan menganalisa data berupa bilangan gelombang, bentuk
pita, intensitas dan gugus fungsi. Interpretasi Spektrum Infra Merah dapat dilihat
pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6. Interpretasi Spektrum Infra Merah
Pita serapan FT-IR (cm-1
) Bentuk
Pita
Penempatan Gugus
Terkait Intensitas
Isolat Pustaka
3444.87;
3421.72
3500 Tajam
-NH2 Primer Kuat
2924.09; 3000-2850 Tajam -CH alifatik (CH2) Sedang
1647.21 1600-1475 Tajam C=C aromatic Sedang
2380.16 2260-2240 Tajam C≡N Sedang
1026.13 1350-1000 Melebar C-N Sedang
Profil spektrum Infra Red dapat dilihat pada Gambar 5.12.
Gambar 5.12. Profil spektrum Infra Red (IR)
Antibakteri merupakan senyawa yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme
dan dalam konsentrasi kecil mampu menghambat bahkan membunuh proses
kehidupan bakteri. Berdasarkan sifat toksisitas selektifnya, antibakteri dapat
digolongkan sebagai bakteriostatik, dan bakterisida (Ganiswara dkk, 1995; Blair dkk,
38
23
2015).Setiap jenis antibakteri memiliki meknisme tersendiri dalam menghambat
pertumbuhan bakteri. Agen antimikroba dapat dikategorikan menurut mekanisme
kerjanya, yang meliputi gangguan sintesis dinding sel, penghambatan sintesis
protein, gangguan sintesis asam nukleat, penghambatan jalur metabolismedan
gangguan struktur bakteri membran (Tenover, 2006).
Meski demikian, bakteri dapat mengembangkan kemapuan resistensi secara
intrinsik ≥1 kelas agen antimikroba (Pantosti dkk, 2007) atau melalui akuisisi gen
resistensi dari organisme lain. Gen resistensi yang diperoleh dapat memungkinkan
bakteri untuk menghasilkan enzim yang merusak senyawa antibakteri,senyawa
antimikroba mencapai target intraseluler, mengubah target sasaran, atau
menghasilkan jalur metabolisme alternatif yang melewati aksi obat (Tanover, 2006).
Saat ini yang menjadi perhatian besar adalah penanganan terhadap infeksi
bakteri Gram-positif seperti Pneumococcus, Enterococci, dan Staphylococci
(Guilhelmelli dkk, 2014). Staphylococcusaureus merupakan flora normal tubuh
yang umumnya hidup di permukaan kulit dan saluran pernafasan. Mikroba ini
umumnya hanya menyebabkan infeksi ringan namun pada kondisi tertentu mikroba
ini mampu menyebabkan infeksi yang bersifat sistemik yang berujung kematian.
S. aureus memiliki kemampuan adaptasi yang cepat dibanding keseluruhan
jenis bakteripatogen lain di era antibakteri. Van Sorge dkk (2013), menyatakan
bahwa ketika penisislin pertama kali ditemukan pada tahun 1940-an, semua isolat S.
aureus menujukkan sifat yang sangat rentan terhadap penicilin, namun pada akhir
dekade, 28 % S. aureus yang ditemukan di Boston City Hospital menujukkan sifat
resiten terhadap penicilin. Saat ini, hampir seluruh isolat S. aureus yang ditemukan di
rumah sakit menujukkan sifat resiten terhadap penicilin. Sejak saat itu, berbagai
kelas antibiotik telah digunakan dalam pengobatan terhadap S. aureus namun bakteri
ini menunjukkan kemampuan yang unik yang memungkinkannya untuk merespon
dengan cepat terhadap semua kelas anibiotik (Pantosi dkk, 2007; Ling dkk 2015).
Ekosistem yang unik memungkinkan untuk menemukan jalur metabolisme
yang unik yang telah berevolusi dan memungkinkan mikroorganisme untuk
beradaptasi dan bertahan hidup prevalensinya semakin besar. Koleksi mikroba dari
ekosistem yang unik tersebut akan menyediakan sumber daya yang kaya untuk
penemuan obat-obatan baru (Knight dkk, 2003). Dari penelitian sebelumnya
24
diperoleh isolat Actinomycetes dengan kode KMR-1E (Pasmawati, 2015) yang
dianggap potensial karena kemampuannya menghambat bakteri dengan spektrum
luas dan daya hambat kategori tinggi.
Uji Antagonis
Kemampuan isolat Actinomycetes sp. strain KMR-1E dalam menghasilkan
senyawa antibakteri dapat dilihat pada Gambar 4.1. Pada uji antagonis menggunakan
diffution agar block method (Ali, 2009), hasil positif ditunjukkan pada kedua
mikroba uji yakni S. aureusmewakili bakteri gram positif dan E. colimewakili bakteri
gram negatif dengan masing-masing zona hambat sebesar 23,5 mm dan 9,8 mm.
Berdasarkan hasil pengujian diketahui bahwa aktivitas penghambatan yang
dihasilkan oleh isolat KMR-1E jauh lebih kuat terhadap bakteri S.
aureusdibandingkan dengan bakteri E. Colidan dari potensi ini maka
isolatActinomycetes strain KMR 1E dianggap potensial untuk diuji lebih lanjut
melalui tahap fermentasi senyawa menggunakan medium fermentasi Starch Nitrate
Broth(SNB) untuk memproduksi senyawa target dalam jumlah yang memadai.
Waktu optimum pertumbuhan
Produksi senyawa metabolit sekunder dari isolatActinomycetes strain
KMR-1E dapat diperoleh dengan cara menumbuhkannya pada media fermentasi
(Utami, 2011) Starch Nitrate Broth (SNB), dan diekstraksi menggunakan pelarut etil
asetat serta ekstrak yang diperoleh diujikan pada dua jenis bakteri uji yaitu S. aureus
dan E. coli. Selama proses kultur,terjadi perubahan warna kultur yaitu dari tidak
berwarna (hari ke-0) hingga kuning dimulai pada hari ke-5, hal ini dikarenakan
warna koloni Actinomycetes berbeda-beda serta produksi pigmen terlarut yang
berdifusi pada medium kultivasi (Lechevalier, 1980). Menurut Krieg &Holt (1994),
salah satu genus Actinomycetes yang dapat menghasilkan pigmen dengan kisaran
warna yang beragam, bergantung pada warna miselium vegetatif dan miselium udara
adalah Streptomyces sp. Optimasi waktu produksi metabolit sekunder dapat
ditentukan dengan membuat grafik hubungan antara waktu inkubasi dan diameter
zona hambat (Rante, 2010). Hasil penentuan waktu optimum pertumbuhan dalam
produksi senyawa antibakteri dapat dilihat pada Tabel 4.1 yang kemudian dibuat
dalam bentuk grafik pada Gambar 4.2 dan uji aktivitas pada Gambar 4.3. Senyawa
antibakteri yang diproduksi oleh isolatActinomycetes sp. Strain KMR 1E, hanya aktif
25
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus. Pada pengujian ini, produksi senyawa
antibakteri telah dimulai pada hari ke 5 dengan zona hambat 18,2 mm dan terus
meningkat hingga hari ke 11 dengan zona hambat 31,57 mm yang merupakan zona
hambat optimum dan penurunan aktivitas antibakteri dimulai pada hari ke 13 dan 15
dengan zona hambat 26, 87 mm dan 25,92 mm dan berat biomassa yang terus
meningkat. Menurut Sulistyani (2006), strategi Actinomycetes untuk dapat bersaing
dengan mikroba lainnya adalah dengan menghasilkan enzim-enzim ekstraseluler dan
senyawa antibiotik, dimana senyawa antibiotik berfungsi untuk menghambat
pertumbuhan mikroba kompetitor.
Penurunan aktivitas antibakteri dapat disebabkan oleh banyak faktor. Faktor
yang paling berperan adalah mekanisme dari biosintesis senyawa metabolit sekunder,
senyawa yang dimanfaatkan sebagai antibiotik. Metabolit sekunder dibentuk melalui
metabolisme sekunder, yaitu metabolisme yang melibatkan senyawa-senyawa
organik spesifik dan terjadi sangat terbatas di alam (Wulandari, 2015).Antibiotik
yang merupakan metabolit sekunder banyak dihasilkan pada akhir fase eksponensial
dan fase stasioner (Darwis, 1989).Senyawa metabolit sekunder juga dapat mengalami
biodegradasi dan dimanfaatkan kembali pada masa germinasi oleh organisme
penghasilnya (Wink, 1999). Hal ini juga bisa menjadi faktor yang menyebabkan
terjadinya penurunan aktivitas antibakteri. Pada kultur dengan nutrisi yang tetap,
setelah melewati fasestationary jumlah sel bakteri akan berkurangakibat menurunya
jumlah nutrisi. Nutrisi yang semakin berkurang sementara aktivitas reproduksi sel
masih berjalan dan yang tersedia hanya senyawa metabolit sekunder. Kondisi inilah
yang memicu terjadinya biodegradasi senyawa metabolit sekunder sehingga bisa
digunakan kembali untuk proses germinasi (Wulandari, 2015).
Fermentasi dan Ekstraksi
Metode fermentasi memungkinkan untuk meningkatkan konsentrasi senyawa
metabolit sekunder Actinomycetes yang berpotensi sebagaiantibakteri(Wulandari,
2015). Oleh karena itu, metabolit sekunder khususnya senyawa antibakteri yang
diproduksi oleh isolatActinomycetes sp. strain KMR-1E dapat diperoleh melalui
proses fermentasi dengan menggunakan media cair seperti Starch Nitrate Broth
(SNB) (Utami, 2011). Medium fermentasi yang dibuat sebanyak 4,5 L
diinokulasikan dengan prekultur Actinomycetes sp. strain KMR-1E yang telah
26
ditumbuhkan selama 7 hari pada medium SNB, kemudian diinkubasi selama 14 hari
dengan mengatur pH:7, suhu: 37oC dan laju penggojokan 100 rpm dengan tujuan
agar penyebaran oksigen dan penggunaan nutrien dalam medium lebih
efisien.Pemanfaatan metabolit sekunder yang diproduksi oleh Actinomycetes sp.
strain KMR-1E baru dapat dimanfaatkan setelah dilakukannya tahap ekstraksi dari
medium pertumbuhannya. Ekstraksi dalam hal ini merupakan kegiatan pemisahan
senyawa berdasarkan sifat pelarutnya.
Menurut Harborne (1987), salah satu usaha mengefektifkan isolasi senyawa
tertentu yaitu dengan pemilihan pelarut organik yang akan digunakan, dimana pelarut
polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya senyawa nonpolar
lebih mudah larut dalam pelarut nonpolar. Ekstraksi metabolit sekunder
Actinomycetes sp. strain KMR-1E dilakukan dengan menyaring medium
pertumbuhan mikroba, untuk memisahkan biomassa dan cairan fermentasi. Cairan
fermentasi diekstraksi cair-cair menggunakan pelarut etil asetat (1:1,v/v) didalam
corong pisah selama 20 menit, sedangkan biomassa yang diperoleh diektraksi dengan
metode maserasi, yaitu biomassa direndam menggunakan pelarut metanol 3x24 jam
dan setiap ekstrak yang diperoleh kemudian diuapkan. Profil perolehan metabolit
sekunder dapat dilihat pada Gambar 4.4 yang nampak berwarna kuning.
Analisis Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Fraksinasi dengan kromatografi
kolom
Ekstrak kasar yang mengandung senyawa aktif antibakteri selanjutnya
dipurifikasi. Prosespemisahan dan pemurnian senyawa dilakukan denganmetode
kromatografi kolom cair vakum (KKCV), kromatografi flash dan preparatif. Sebelum
dilakukannya pemisahan dan pemurnian berdasarkan kromatografi kolom, terlebih
dahulu dilakukan analisis kromatografi lapis tipis (KLT), yang bertujuan dalam
penentuan eluen terbaik terhadap pemisahan suatu senyawa.Berdasarkan hasil dari
analisis KLT menunjukkan bahwa eluen terbaik adalah etil asetat: n-heksan dengan
perbandingan 8:2 yang kemudian digunakan pada proses KKCV sebanyak 3 kali
ulangan, dimana komposisi eluen yang digunakan dimulai dari eluen yang bersifat
non polar hingga polar. Hasil dari KKCV diperoleh 11 fraksi yang kemudian
diidentifikasi kembali dengan uji KLT. Fraksi yang menujukkan pola pemisahan
senyawa yang sama, selanjutnya digabung menjadi 2 fraksi yaitu F6 dan F10 seperti
43
27
yang ditunjukkan pada Tabel 4.3. Hasil penguapan kedua fraksi menunjukkan bahwa
pada fraksi F6 terbentuk kristal berwarna orange dengan susunan yang kompak di
sekeliling diding vial, sedangkan untuk F10 tidak menunjukkan terbentuknya kristal
(Gambar 4.7). Selanjutnya F6 dengan bobot 16 mg kembali difraksinasi dengan
metode kromatografi flash dan menghasilkan 120 fraksi, dimana fraksi ke 111 yang
membentuk kristal berwarna kuning yang selanjutnya diuji golongan dan dianalisis
berdasarkan spektroskopi IR. Sedangkan untuk F10 difraksinasi kembali dengan
metode KKCV dan menghasilkan 11 fraksi, pada fraksi ke 6 atau F10-6 hasil
fraksinasi F10 terlihat adanya kristal yang terbentuk dengan kristal yang sama pada
F6 hasil KKCV pertama.
Kedua jenis fraksi yaitu Fraksi F10-6 yang telah dipreparatif dan fraksi 111
hasil kromatografi flash yang membentuk kristal serupa berwarna orange kekuning
selanjutnya diuji golongan yang menunjukkan hasil bahwa kedua jenis fraksi tersebut
termasuk kedalam senyawa alkaloid, dikarenakan pada saat ekstrak dilarutkan
dengan pelarut etil asetat dan ditambahkan dengan pereaksi Wagner, terlihat adanya
endapan yang terbentuk berwarna coklat tua dan pada penambahan pereaksi Meyer
juga terbentuk endapan berwarna putih kekuningan (Marliana, 2005).
Uji KLT-Bioautografi Pada Bakteri Uji S. aureus Menggunakan Ekstrak Kasar
dan Hasil Kromatografi Flash
Bioautografi merupakan suatu metode yang spesifik untuk mendeteksi bercak
kromatogram hasil kromatografi lapis tipis (KLT) yang mempunyai aktivitas
antibakteri.Bercak aktif dapat dideteksi sebagai zona jernih diatas media tumbuh
yangtelah diinokulasikan mikrobia uji (Pandey, 2004). Pada pengujian ini, ekstrak
yang digunakan merupakan ekstrak kasar dan ekstrak hasil kromatografi flash
gabungan fraksi 80-85. Pada awalnya ekstrak kasar diuji untuk mengetahui adanya
senyawa yang aktif sebagai antibakteri secara KLT-Bioautografi dan hasilnya dapat
dilihat pada Gambar 4.9. Ada tiga lempeng KLT yang digunakan pada pengujian
KLT-Bioautografi estrak kasar,yang dielusi dengan kombinasi pelarut yang sama
dengan perbandingan berbeda yaitu etil asetat: metanol perbandingan 8:2, 9:1 dan
6:4 (v/v). Hasil pengujian menunjukkan bahwa senyawa yang aktif adalah senyawa
yang berwarna orange kekuningan. Pengujian KLT-Bioautografi ekstrak hasil
kromatografi flash gabungan fraksi 80-85, ditotolkan pada lempeng KLT dan dielusi
28
dengan pelarut etil asetat 100%. Hasilnya menunjukkan bahwa dari titik awal
senyawa dielusi hingga letak pola senyawa orange kuningan pada saat lempeng
divisualisasi di bawah lampu UV terlihat adanya zona bening yang terbentuk
(Gambar 4.10). Pengujian ini pun dapat digunakan sebagai data pendukung bahwa
senyawa berwarna orange kekuningan merupakan senyawa yang berpotensi dalam
menekan pertumbuhan bakteri S. aureus dengan membentuk zona hambatan.
Nilai Konsentrasi Hambatan Minimum/ Minumum Inhibitory Concentration
(MIC)
Penentuan kosentrasi hambatan minimum atau Minimum inhibitory
concentration merupakan salah satu metode untuk mengetahui kemampuan
konsentrasi terendah suatu senyawa tertentu dalam menghambat aktivitas
pertumbuhan mikroba uji. Pada pengujian ini digunakan metode difusi agar. Ekstrak
yang berwarna orange kuningan yang aktif sebagai antibakteri diperoleh dengan cara
preparatif fraksi F10-6 dan diencerkan dengan pelarut etil asetat hingga pengenceran
11. Konsentrasi awal adalah 1 mg/mL dengan konsentrasi akhir 0,0009765625
mg/mL. Setiap paper disc diinjeksikan dengan senyawa yang telah diatur
konsentrasinya dengan volume 30 µL. Tingginya kemampuan suatu senyawa setelah
berdifusi pada media pertumbuhan, yaitu mampu menekan pertumbuhan suatu
mikroba uji yang ditentukan dengan besarnya zona hambat yang terbentuk, sehingga
menunjukkan bahwa mikroba uji sensitif terhadap senyawa antibakteri yang diujikan.
Hasil pengujian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa nilai MIC senyawa
antibakteri dari isolatActinomycetes sp. strain KMR-1E termasuk kategori senyawa
antimikrobia potensial mengingat kisaran penghambatannya yang mencapai 10 kali
pengenceran dengan konsentrasi 0,0009765625 mg/mL (0,0587 µg/ papper disc)
dengan luas zona hambat sebesar 8,2 mm (Tabel 4.5).Kegiatan eksplorasi kandidat
obat baru, semakin rendah nilai MIC suatu senyawa aktif, menunjukkan senyawa
tersebut semakin potensial sebagai bahan obat. Walaupun demikian, senyawa aktif
harus memiliki toksisitas rendah terhadap sel normal tubuh, jika pemanfaatnnya
sebagai obat pada manusia atau hewan (Nurkanto, 2012). Berdasarkan hasil
pengujian nilai MIC, dapat diasumsikan jika senyawa antibakteri yang dihasilkan
oleh isolat Actinomycetes sp strain KMR 1E termasuk senyawa baru agen
29
antimkrobia potensial namun hasil ini harus diperkuat dengan data analisis senyawa
lebih lanjut.
1. Uji Spektroskopi IR
Analisis spektroskopi inframerah berdasarkan Tabel 4.6 dan Gambar 4.12,
menunjukkan bahwa senyawa yang diperoleh mengandung gugus NH, khususnya
gugus NH primer karena terdapat runcingan ganda pada ujung pita yang ditunjukkan
pada serapan didaerah (v) 3444.87 dan 3421. 72 cm-1
, dengan Vibrasi ulur yang
diduga dari N-H (3310-3500 cm-1
) (bukan gugus –OH).
Serapan tajam dengan intensitas sedang tampak pada daerah 2924.09 cm-1
,
dan 2854.65 cm-1
yang merupakan vibrasi ulur C–H alifatik (gugus –CH2 atau
metilen). Sifat khas C-H alifatik ini ditandai dengan melihat adanya serapan pada
daerah v < 3000-2850 dan untuk serapan dekat dengan v 2853 dan 2926 cm-1
menunjukkan senyawa mengandung gugus metilen yang kemudian dibedakan
dengan sifat simetri dan asimetri. Intensitas sedang dan bentuk pita tajam yang
terletak dekat dengan daerah serapan 2250 cm-1
menunjukkan adanya gugus nitril
atau C≡N dengan serapan 2380. 16 cm-1
Selanjutnya untuk gugus C=C aromatik terlihat pada interpetasi spektrum yaitu
pada daerah serapan 1647.21 cm-1
dan daerah serapan gugus fungsi aromatik dapat
ditentukan dekat dengan 1650 cm-1
. Hal ini dibuktikan dengan adanya CH alifatik
yang terletak disebelah kanan daerah serapan 3000 cm-1
. Dan pada daerahserapan
v 1350 hingga 1000 cm-1
dengan intensitas sedangdapat menunjukkkan adanya gugus
C-N dengan daerah serapan 1026.13 cm-1
.
Berdasarkan data hasil analisis spektrofotometer infra merah menunjukkan
bahwa senyawa yang berbentuk kristal tersebut mengandung gusus –CH alifatik,
C≡N, ikatan rangkap C=C aromatik, C-N dan gugus –NH. Keberadaan atom N atau
nitrogen merupakan salah satu ciri khusus dari gologan senyawa alkaloid, dimana
atom N ditemukan sebagai gugus Amina atau Amida. Dugaan ini diperkuat pada uji
golongan menggunakan pereaksi Meyer dan Wegner yang menunjukkan hasil positif
merupakan senyawa alkaloid.
47
48
30
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Waktu optimum produksi senyawa antibakteri terbaik sebagai antibakteri dalam
menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yaitu pada hari ke 11 dengan
diameter zona hambatan sebesar 31,57 dan berat biomassa 0,204 gram.
2. Hasil KLT-Bioautografi menunjukkan bahwa metabolit yang aktif sebagai
antibakteri memiliki sifat polar dan berwarna orange kekuningan dalam
menghambat petumbuhan bakteriS. aureus.
3. Ekstrak hasil preparatif fraksi 10-6 memiliki nilai Minimum Inhibitory
Concentration (MIC) sebesar 0,0009765625 mg/mL (0,0587µg/paperdisc)
dengan luas zona hambat sebesar 8,2 mm terhadap bakteri
S. aureus.
4. Uji fitokimia senyawa antibakteri berbentuk kristal jarum dan berwarna kuning
keemasan menunjukkan hasil positif terhadap pereaksi Meyer dan wagner yang
tergolong senyawa alkaloid. Dan analisis spektrofotometer FT-IR menunjukkan
bahwa senyawa tersebut mengandung gusus –CH alifatik, C≡N, ikatan rangkap
C=C aromatik, C-N dan gugus –NH. Keberadaan atom N merupakan salah satu
ciri khusus senyawa alkaloid.
31
DAFTAR PUSTAKA
Ali, A. 2009. Skrining dan karakterisasi parsial senyawa antifungi dari Actinomycetes
asal limbah padat sagu terdekomposisi. Berk. Penel. Hayati: 14 (219–225).
Allen, N.E, and Nicas, T.I. 2003. Mechanism of action of oritavancin and related
glycopeptide antibiotics. 2003. FEMS Microbiol Rev, 26: 511-532.
Arifuzzaman, M., Khatun, M.R., Rahman, H. 2010. Isolation and screening of
actinomycetes from Sundarbans soil for antibacterial activity. Afr. J.
Biotechnol., 9: 4615-4619.
Ayuoso, A., Clark, D., Gonzales, I., Salazar, O., Anderson, A, and Genilloud, O.
2005. A novel Actinomycetes strain de-replication approach based on the
diversity of polyketide synthase and nonribosomal peptide synthetase
biosynthetics pathways. Appl Gen and Mol Biotec, 67: 795-806.
Badji, B., Zitouni,A., Mathieu,F., Lebrihi, A and Sabaou, N .2006. Antimicrobial
compounds produced by Actinomadura sp AC104 isolated from an Algerian
Sahara soil. Can J Microbiol, 55 (4): 373-382
Barakate, M., Ouhdouch, Y., Oufdou, K.H, and Beaulieu, C. 2002. Characterization
of rhizosperic soil Streptomyces from Moroccan habitats and their antimicrobial activities. World J Microb Biot, 18: 49-54.
Breitaupt, H. 1999. The new antibiotic: can novel antibacterial treatments combat the
rising tide of drug-resistant infectious? Nat Biotechnol, 17.
Castillo, Y., G.A. Strobel, and E.J. Ford. 2002. Munumbicins wide spectrum
antibiotics produced by Streptomyces munumbi, endophytic on Kennedia
nigriscans. Microbiology 148:2675-2685.
Chun, J. 1999. PHYDIT (The Phylogenetic Editor) Version 3.0. User’ Manual
Davelos, A.L.,Xiao, K., Flor, J.M, and Kinkel, L.L. 2004. Genetic and phenotypic
traits of streptomycetes used to characterized antibiotic activities of field-
collected microbes. Can J Microbiol, 50(2): 79-89.
Giamarellou, H., Antoniadou, A. 1997.The effect of monitoring of antibiotic use on
decreasing antibiotic resistant in the hospital. (Ciba Foundation Symposium
207). Antibiotic resistance: origins, evolution, selection and spread. John
Willey & Sons: 76-92.
Goodfellow. M. 1983. Ecology of Actinomycetes.Ann.Rev. Microbiol. 1983. 37:189-
216.
James PDA dan Edwards C. 1997.The effects of temperature on growth and
production of the antibiotic granaticin by a thermotolerantStreptomycete. J Gen
Microbiol135: 1997-2003.
Kim, B.S., Moon, S.S, and Hwang, B.K. 2000. Structure elucidation and antifungal
activity of an antracycline antibiotic, daunomycin, isolated from Actinomadura
rosela. J Agr Food Chem, 48: 1875-1881.
Kuster E. 1958. TheActinomycetes.didalam: Burger A, Raw F. 1967. Soil Biology.
London: Acad Press.
Lemriss, S., Laurent, F., Couble, A., Casoli, E., Lancelin, J.M., Bonaccio, D.S.,
Rifai, S., Fassaouane, A, and Boiron, P. 2003. Screening of nonpolyenic
antifungal metabolites produced by clinical isolates of Actinomycetes. Can J
Microbiol, 49 (11): 669-674.
32
Manasa, M., Pallavi, S., Onkarappa, R., & Prashith, K.T.R. 2014. Antibakterial
activity of bioactive Streptomyces species MPPO-02 against clinical isolates of
Burn, dental caries and urinary tract infections. Journal of Biological &
scientific Opinion.Volume 2 (1).
Mc Daniel, R., Welch, M, and Hutchinson, C.R. 2005.Genetic approaches to
polyketide antibiotics. Int Chem Rev, 105:543-558.
Muramatsu, H. 2008. Development of simple-identification method for
Actinomycetes based on partial 16S rDNA sequences as exemplified by a
comparative study of Malaysian and Japanese Actinomycetes.
Actinomycetologica, 22: 30-33.
Omura S., Ikeda H., Ishikawa J. 2001. Genome sequence of an industrial
microorganism Streptomyces avermitilis: deducing the ability of producing
secondary metabolites. Proc Natl Acad Sci. 98:12215–20.
Omura Satoshi, Yuzuru Iwai, Atsushi Hirano, Akira Nakagawa, Juichi Awaya, Hisae
Tsuchiya, Yoko Takahashi and RokurouMasuma. 1977. A New Alkaloid AM-
2282 OfStreptomycesOrigin Taxonomy, Fermentation, Isolation
AndPreminalary Characterization. The JounalOf Antibiotics.Vol 30. No. 4
Oskay, M., Tamer, A. U., & Azeri, C. 2004. Antibacterial activity of some
Actinomycetes isolated from farming soil of Turkey. African Journal
ofBiotechnology, 3(9) : 441-446.
Pandey B., Ghimirel P., Agrawal VP. 2004. Studies on the Antibacterial Activity of
the Actinomycetes Isolated from the Khumbu Region of Nepal. Brazilian
Journal ofMicrobiology. 67(4).
Patzer SI, Volkmar B. 2010. Gene cluster involved in the biosynthesis of
griseobactin, a catechol-peptide siderophore of Streptomyces sp. ATCC
700974. JBacteriol. 192:426–35.
Rollins, D. M. & Joseph, S. W.2000. Actinomycetes Summary.University of
Maryland. Diakses: kamis, 25 Februari 2016.
http://www.life.imd.edu/cllasroom/bsci424/PathogenDescriptions/
Actinomycetes.html
Saitou, N. & Nei, M. 1987. The Neighbour-joining method : A New Method for
Reconstructing Phylogenetic Trees, Mol Biol Evol, 4 : 406-426.
Sembiring, L. 2009. Molecular phylogenetic classification of Streptomycetes isolated
from the rhizosphere of tropical legume (Paraserianthes falcataria) (L.)
Nielsen. Hayati J Bios, 16 (3) : 100-108.
Strobel, G.A. 2002. Rain forest endophytes and bioactive products. Crit. Rev.
Biotechnol. 22:315-333. Strobel, G.A. 2003. Endophytes of bioactive products.
Microbes Infect. 5:535-544.
Suzuki, S.I., Okuda, T, dan Komatsubara, S. 2000. Selective isolation and
distribution of Actinobispora strain in soil. Can J Microbiol, 46: 708-715.
Takahashi, Y, and Omura, S. 2004. Isolation of new Actinomycetes strain for the
screening of new bioactive compounds. J Gen Appl Microbiol, 49: 141-154.
Takahashi Y, Satoshi O.2003. Isolation of new actinomycete galurs for the screening
of new bioactive compounds.J Gen Appl Microbiol 49:141-154.
33
Thompson, J.D., Higgins, D.G. & Gibson, T.J. 1994. Clustal X Version 1.6. User
Manual
Wang, Y., Zhang, J.S., Ruan, J.S.,Wang, Y.M, and Ali, S.M. 1999. Investigation of
Actinomycetes diversity in the tropical rainforests of Singapore. J Int Microb
Biotechnol, 23:178-187)
White, T.C., Marr, K.A, and Bowden, R.A.1998. Clinical, cellular, and molecular
factors that contribute to antifungal drug resistances. Clin Microbiol Rev,
11(2): 382-402
Yamac, M., Isik, K., andSahin, N.2011. Numerical classification of streptomycetes
isolated from karstic caves in Turkey. Turkish Journal of Biology, 35(4), 473-
484.
Zhang, L. 2000. Regulated gene expression in Staphylococcusaureusfor identifying
conditional lethal phenotypes and antibiotic mode of action. Journal
Actibiotics.Gene 255, 297–305.
34
LAMPIRAN 1. Susunan Organisasi Tim Peneliti/Pelaksana dan Pembagian Tugas
No Nama/NIDN Instansi
Asal Bidang Ilmu
Alokasi
Waktu
(Jam/
mgg)
Uraian Tugas
1 Dr. Alimuddin Ali, S.Si, M.Si
(NIDN. 0031126906)
FMIPA
UNM
Mikrobiologi
/Bioteknologi
15 Uji
pertumbuhan
mikroba,
produksi
senyawa
aktif,
Pembuatan
laporan
2 Dr. Andi Mu’nisa, S.Si, M.Si
(NIDN. 0026057203)
FMIPA
UNM
Fisiologi
Hewan
10 Uji aktivitas
antibkateri
dan
karakterisasi
senyawa
3 Andi Irma Suryani, S.Pd, M.Si
(NIDN. 0001108701)
FMIPA
UNM
Biokimia 10 Analisis
molekular
strain
35
LAMPIRAN 2. Surat Kontrak Penelitian
36
LAMPIRAN 3. Surat Izin Penelitian
37
LAMPIRAN 4. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
38
Isolation of Endophytic Actinomycetes Producing Antibacterial and
Characterization of Species Based on 16S rRNA gene.
Alimuddin Ali1, A. Mu’nisa
2, A. Irma Suryani
2, Shasmitha Irawan
3
1) Laboratory of Microbiology, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural
Sciences, Universitas Negeri Makassar. South Selatan, Indonesia 90234
2) Laboratory of Zoological, Department of Biology, Faculty of Mathematic and Natural
Sciences, Universitas Negeri Makassar. South Selatan, Indonesia 90234
3) Graduate School of Biology Department, FMIPA, Universitas Negeri Makassar, Indonesia
*Corresponding author Email: [email protected]
ABSTRACT
Strain KMR1E was isolated from the root tissue of karst plant and identified as
Streptomyces sp. on the basis of morphology, chemotaxonomy and 16SrDNA
sequencing. It was an antagonist of Gram positive bacteria; Staphylococcus aureus
ATCC25932, Escherichia coli ATCC83125. The inhibitory effect of the crude
extract from the strain KMR1E was examined based on the paper disc diffusion
method (5 mg per paper disc) with three replications. It has been shown to have
antibacterial activity. The major active ingredients from the crude extract were
purified by silica gel column chromatography, thin-layer chromatography and
identified to be alkaloid. Bioassay studies showed that these compounds had
antibacterial activity with the minimum inhibitory concentrations within the
0,0009765625 mg/mL.
Key words: antibacterial activity, endophyte, alkaloids, Streptomyces sp.
INTRODUCTION
The symbiosis of endophytic microorganisms favours metabolic interactions
with their host and their environment, thereby increasing the production of bioactive
compounds (Bacon and White, 2000). Some of actinomycete could be isolated from
the tissue of healthy plants which was called endophytic actinomycetes. Several
reports refer to endophytic actinomycetes produced secondary metabolites against
phytopathogenic fungi (Sardi et al., 1992; Shimizu et al., 2000, Taechowisan et al.,
2003), and also produced the novel antibiotics for example: Munumbicins from
Streptomyces sp. NRRL 30562, an endophyte of Kennedia nigriscans (Castillo et al.,
2002), Kakadumycins from Streptomyces sp. NRRL 30566, an endophyte of
Grevillea pteridifolia (Castillo et al., 2003), Coronamycins from Streptomyces sp.
39
MSU-2110, an endophyte of Monstera sp. (Ezra et al., 2004). In our previous
studies, many endophytic actinomycetes were isolated from plant tissues, some of
them produced the secondary metabolites against bacteria and phytopathogenic fungi
(Taechowisan et al., 2005, 2008, 2013). We report here the isolation of the roots of
karst plant of Streptomyces sp. KMR1E. Extraction of the culture medium of
Streptomyces sp. KMR1E afforded several alkaloid, which displayed strong
antibacterial activity.
40
MATERIALS AND METHODS
Isolation of endophytic strain
Streptomyces sp. KMR1E was isolated from the root tissues of karst plant was
collected in Maros regency, South Sulawesi. Root tissue was done by cutted into
small pieces after washed with running tap water. The surface-sterilization technique
using serial treatment of ethanol 70% (v/v) for 10 min, 1% sodium hypochlorite for 5
minute. Finally, root tissue was washed in sterilized distilated water, then dried using
sterile filter paper. Approximately 0.1 x 1 cm2 of plant tissue were cutted and
transferred onto starch casein (SC) agar supplemented with nystatin 100µg/mL. The
surface sterilization process was confirmed by spreading aliquots of the sterile
distilled water from the final rinse on SC agar medium, followed by incubation at
35°C. If there was no visible growth of microbe colony on the surface of agar plates,
the surface sterilization was assumed completed. Colonies of endophytic
actinomycetes appeared surrounding of plant sample tissue after incubation was
purified till obtained single colony.
Screening for antibacterial
Evaluation of antibacterial activity of strains were assesed by using dual assay
methods (Barakate et al., 2002). All isolates were obtained from isolation procces
spreaded onto SC agar medium and incubated 35oC for 7 days. A block agar of
isolates (6 mm in diameter) were tranferred onto the Nutrien agar plate, while the
tested bacteria was spreaded. The plates were incubated 30oC for 48 hrs. The
endophytic strain was showed clear zone in sorrounding of bacteria consedered as
endophytic actinomycetes producing antibacteria (Taechowisan et al., 2003).
Identification of the isolate to species level was based on morphology,
chemotaxonomy and also 16S rDNA sequencing as described by Taechowisan and
Lumyong (2003). Solid medium for sporulation used in this study was International
Streptomyces Project Medium 4 (ISP-4) and the culture medium used for secondary
metabolites production was ISP-2 (Shirling and Gottlieb, 1966).
41
Preparation of the crude extract
A spore suspension of Streptomyces sp. KMR1E was prepared in distilled
water from cultures grown on ISP-4 medium at 30°C for 10 days. The suspension,
108 spores per 100 ml of liquid medium, was added to ISP-2 broth in each 500-ml
Erlenmeyer flask. Cultures were kept on a shaker at 120 rpm at 30 °C for 48 h and
used as seed stocks. For large production of culture filtrates, the strain BT01 was
grown in a modified 3000 ml glass container containing 1500 ml of ISP-2 broth, and
incubated in an orbital shaker for 5 days in the same condition. The 5-day-old
cultures were filtrated by Whatman paper No. 1 under vacuum. The mycelial mats
were washed with distilled water and separated by centrifugation at 5000 rpm for 20
min. The culture filtrate and mycelial mats of the strain KMR1E were extracted three
times with 1/3 volumes of ethyl acetate. This organic solvent was pooled and then
taken to dryness under flash evaporation at 40oC. The yield of dry material per litre
was about 753 mg
Minimum inhibitory concentrations (MICs)
MICs of crude extract and purified compounds were determined by NCCLS
microbroth dilution methods (National Committee for Clinical Laboratory Standards,
1997). The crude extract and purified compounds were dissolved in DMSO. A
dilution suspension of bacteria was inoculated into each well of a 96-well microplate,
each containing a different concentration of the test agents.
We performed doubling dilutions of the test agents. The range of sample dilutions
was 256 to 0.50 μg/ml in nutrient broth supplement with 10% glucose (NBG) and a
final concentration of test agent that inhibited bacterial growth, as indicated by the
absence of turbidity. Test agent-free broth containing 5% DMSO was incubated as
growth control. Minimum bactericidal concentration (MBC) was determined by
inoculating on to nutrient agar plates, a 10 μl of medium from each of the well from
the MIC test which showed no turbidity. MBCs were defined as the lowest
concentration of test agent where was no microbial growth on the plates.
42
RESULTS AND DISCUSSION
Identification of microorganism
An endophyte designated Streptomyces sp. KMR1E was isolated from the root
tissue of karst plant. This strain was of great interest, because of its potent
antibacterial activity. Morphological observation of 21-day-old culture of KMR1E
grown on ISP-2 medium revealed that sporophores to be monopodially branched,
producing open spirals of oval-shaped spores (1x1.5 μm) with spiny surfaces.
The substrate mycelium was extensively branched with non-fragmenting
hyphae. The aerial mycelium was orange changing to brown with yellow soluble
pigment occasionally discernible. Based on results in morphological observation as
well as on the presence of LL-type diaminopimelic acid in the wholecell extracts,
endophytic actinomycetes KMR1E was identified as belonging to the genus
Streptomyces.
Almost the complete 16S rDNA sequence was determined for the endophytic
Streptomyces sp. KMR1E from position 25 to position 1425. BLAST search results
for strain BT01 came from GenBank; when reference sequences were chosen. The
BLAST search results and the phylogenetic tree generated from representative strains
of the related genera showed that strain KMR1E had high levels of sequence
similarity to species of Streptomyces emeiensis DSM 41884 (accession number:
DQ462649) (Figure 2).
The molecular taxonomy and phylogenetic analysis (Fig.6) reconstructed on
the basis of 16S rRNA gene sequences indicated that KMR-1 strain belonged to the
genus Streptomyces. KMR-1 strain shared similarity level was 97% with
Streptomyces tendae strain NBRC 12822. The strain was assigned toStreptomyces
albogriseolus strain DSM 40003 and Streptomyces violaceolatus strain NBRC
13101, the most closely related species.
43
Fig.6. Neighbour-joining phylogenetic tree inferred from 16S rRNA gene sequences. The phylogenetic tree shows the phylogenetic relationship of
endophytic bacteria KMR-1E strain with related genera. Bootstrap values are
expressed as percentages of 1000 replications. Bootstrap values ≥50% are
shown at branch points. Score bar represents 1 nucleotide substitution per 100
nucleotides.
Antibacterial activity
Ethyl acetate extract from the strain KMR1E was evaluated against S. aureus
ATCC25932, E. coli ATCC10536. The extract obtained from the culture medium
(blank) was tested in this assay and was not active, demonstrating that the positive
results were because of the secondary metabolites produced by the strain KMR1E.
The extract showed strong antibacterial activity against S.aureus with MIC value of
0,0009765625 mg/mL, but no activity against E.coli, respectively, as were presented
in Table 1.
0.1
Streptomyces fragilis strain NRRL 2424
Bacillus lindianensis strain 12-3
Acrocarpospora corrugata strain DSM 43316
Streptosporangium nondiastaticum strain IFO 13990
Streptosporangium pseudovulgare strain IFO 13991
100
100
100
Streptomyces luteosporeus strain NBRC 14657
Streptomyces roseoverticillatus subsp. melrosporus strain NRRL 3117
93
99
Streptomyces flavoviridis strain NBRC 12772
Streptomyces mutabilis strain NBRC 12800
Streptomyces geysiriensis strain NBRC 15413
Streptomyces rochei strain NRRL B-1559
63
Strain KMR1
Streptomyces tendae strain NBRC 12822
Streptomyces albogriseolus strain DSM 40003
Streptomyces violaceolatus strain NBRC 13101
Streptomyces althioticus strain NBRC 12740
Streptomyces variabilis strain NRRL B-3984
44
Tabel 1. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the crude extract of strain
KMR-1E against S. aureus
No Concentration
(mg/mL)
Concentration
(µg/paper disc)
Diameter of inhibitory
zone (mm)
1 1 30 17,6
2 0,5 15 17,3
3 0,25 7,5 14,4
4 0,125 3,75 12,8
5 0,0625 1,875 11,2
6 0,03125 0,937 10,9
7 0,015625 0,469 9,3
8 0,0078125 0,234 8,5
9 0,00390625 0,117 8,3
10 0,001953125 0,0587 8,2
11 0,0009765625 - - (-) = no activity
It has been reported to possess various biological activities, for example
antioxidant activity (Shi et al., 2012), and anti-inflammatory activity, etc. (Jiang et
al., 2005). In this study, 3'-hydroxydaidzein was active against Gram positive
bacteria: S.aureus, and E.coli with MIC value, and was weakly active against Gram
negative bacteria: E. coli ,respectively. Xenognosin (6) has been previously isolated
from plants for example: Astragalus membranaceus (Family Fabaceae) (Du et
al.,2006) and Dalbergia odorifera (Family Leguminosae) (Leung et al., 1991). It had
antibacterial activity less than 3'-hydroxydaidzein (5) and 2',7-dihydroxy-4',5'-
dimethoxyisoflavone (4). However it was active against Gram positive bacteria
greater than Gram negative bacteria.
Tabel 4.6. Interpretation of Infra Red Spectrum
Pita serapan FT-IR (cm-1
) Bentuk
Pita
Penempatan Gugus
Terkait Intensitas
Isolat Pustaka
3444.87;
3421.72
3500 Tajam
-NH2 Primer Kuat
2924.09; 3000-2850 Tajam -CH alifatik (CH2) Sedang
1647.21 1600-1475 Tajam C=C aromatic Sedang
2380.16 2260-2240 Tajam C≡N Sedang
1026.13 1350-1000 Melebar C-N Sedang
45
Figure 4. Profile of Infra Red (IR) spectrum of antibacterial compounds
This study indicated that Streptomyces sp. MKR1E, an endophyte in of produces
several antibacterial alkaloid. Since the flavonoids have been reported to have
multiple biological effects including anti-inflammatory activity, antioxidant activity
and anti-thrombotic activity, etc (Jiang et al., 2005, Shi et al., 2012), so it could be
benefit in this point, we would like to further investigate of these compounds.
ACKNOWLEDGEMENT
This work was supported by PNBP Faculty of Mathemathic and Natural
Sciences, Universitas Negeri Makassar 2017.
REFERENCES
Bacon, C.W., White, J.F. 2000. Microbial endophytes. MarcelDekker Inc., New
York.
Braz Fo, R., Gottlieb, O.R., Moraes, A.A. de, Pedreia, G.,Pinho, S.L.V., Magalhâes,
M.T., Ribeiro, M.N. de S. Isoflavonoids from Amazonian species. Lloydia,
1977; 40: 236-238.
46
Castillo, U.F., Harper, J.K., Strobel, G.A., Sears, J., Alesi, K.,Ford, E.J., Lin, J.,
Hunter, M., Maranta, M., Ge, H., Yaver, D., Jenson,J.B., Porter, H., Robison,
R., Millar, D., Hess, W.M., Condron, M.A.,Teplow, D.B. Kakadumycins,
novel antibiotics from Streptomyces NRRL30566, an endophyte of Grevillea
pteridifolia. FEMS Microbiology Letters 2003; 224: 183-190.
Castillo, U.F., Strobel, G.A., Ford, E.J., Hess, W.M., Porter, H.,Jenson, J.B., Albert,
H., Robison, R., Condron, M.A., Teplow, D.B.,Stevens, D., Yever, D.
Munumbicins, wide-spectrum antibiotics produced by Streptomyces NRRL
30562, endophytic on Kennedia nigriscans.Microbiology 2002; 148: 2675-
2685.
Chen, Y.C., Sugiyama, Y., Abe, N., Kuruto-Niwa, R., Nozawa, R., Hirota, A. DPPH
radical-scavenging compounds from dou-chi, a soybean fermented food.
Bioscience Biotechnology and Biochemistry 2005; 69: 999-1006.
Du, X., Bai, Y., Liang, H., Wang, Z., Zhao, Y., Huang, L.Solvent effect in 1H NMR
spectra of 3'-hydroxy-4'-methoxyisoflavonoids from Astragalus membranaceus
var. monggholicus. Magn Reson Chem 2006; 44: 708-712.
Ezra, D., Castillo, U.F., Strobel, G.A., Hess, W.M., Porter, H., Jensen, J.B., Condron,
M.A., Teplow, D.B., Sears, J., Maranta, M., Hunter, M., Weber, B., Yaver, D.
Coronamycins, peptide antibiotics produced by a verticillate Streptomyces sp.
(MSU-2110) endophytic on Monstera sp. Microbiology 2004; 150: 785-793.
Forbes, T.D.A., Clement, B.A., 2010. Chemistry of Acacia's from South Texas.,
Texas A&M Agricultural Research and Extension Center.
Funayama, S., Anraku, Y., Mita, A., Komiyama, K., Omura, S.Structural study of
isoflavonoids possessing antioxidant activity isolated from the fermentation
broth of Streptomyces sp. Journal of Antibiotics 1989; 42: 1350-1355.
Gábor, M., Eperjessy, E. Antibacterial effect of fisetin and fisetinidin. Nature 1966;
5067: 1273.Heinonen, S.M., Wähälä, K., Liukkonen, K.H., Aura, A.M.,
Poutanen, K., Adlercreutz, H. Studies of the in vitro intestinal metabolism of
isoflavones aid in the identification of their urinary metabolites. Journal of
Agricultural Food Chemistry 2004; 52: 2640-2646.
Jiang, R., Lau, K., Lam, H., Yam, W., Leung, L., Choi, K.,Waye, M., Mak, T.C.W.,
Woo, K., Fung, K. A comparative study on aqueous root extracts of Pueraria
thomsonii and Pueraria lobata by antioxidant assay and HPLC fingerprint
analysis. Journal of Ethnopharmacology 2005; 96: 133-138.
Kulling, S.E., Honig, D.M., Metzler, M. Oxidative metabolism of the soy isoflavones
daidzein and genistein in humans in vitro and in vivo. Journal of Agricultural
Food Chemistry 2001; 49: 3024-3033.
Kulling, S.E., Honig, D.M., Simat, T.J., Metzler, M. Oxidative in vitro metabolism
the soy phytoestrogens daidzein and genistein Journal of Agricultural Food
Chemistry 2000; 48: 4963-4972.
Leung, A.W., Mo, Z.X., Zheng, Y.S. Reduction of cellular damage induced by
cerebral ischemia in rats. Neurochem Res 1991; 16:687-692.
Liu, L., Shan, S,, Zhang, K., Ning, Z.Q., Lu, X.P., Cheng. Y.Y. Naringenin and
hesperetin, two flavonoids derived from Citrus aurantium up-regulate
transcription of adiponectin. Phytother Res. 2008; 22:1400-1403.
47
Olsen HT, Stafford GI, van Staden J, Christensen SB, Jäger AK. Isolation of the
MAO-inhibitor naringenin from Mentha aquatica L. J Ethnopharmacol.2008;
117: 500-502.
Sardi, P., Saracchi, M., Ouaroni, S., Petrolini, B., Borgonovoli, G.E., Merli, S.
Isolation of endophytic Streptomyces from surfacesterilized roots. Applied and
Environmental Microbiology 1992; 58: 2691- 2693.
Shafaghat, A., Salimi, F. Extraction and determining of chemical structure of
flavonoids in Tanacetum parthenium (L.) Schultz. Bip. from Iran. Journal of
Science I.A.U 2008; 18: 39-42.
Shi, S., Ma., Y., Zhang, Y., Liu, L., Liu, Q., Peng, M., Xiong, X. Systematic
separation and purification of 18 antioxidants from Pueraria lobata flower
using HSCCC target-guided by DPPH-HPLC experiment. Separation and
Purification Technology 2012; 89: 225-233.
Shimizu, M., Nakagawa, Y., Sato, Y., Furumai, T., Igarashi, Y., Onaka, H., Yoshida,
R., Kunoh, H. Studies on endophytic actinomycetes (I) Streptomyces sp.
isolated from Rhododendron and its antifungal activity. Journal of General
Plant Pathology 2000; 66: 360-366.
Taechowisan, T., Chanaphat, S., Ruensamran, W., Phutdhawong, W.S. Antibacterial
activity of 1-methyl ester-nigericin from Streptomyces hygroscopicus BRM10;
an endophyte in Alpinia galanga. Journal of Applied Pharmaceutical Science;
2013; 3: 104-109.
Taechowisan, T., Chuaychot, N., Chanaphat, S., Wanbanjob, A., Shen, Y. Biological
activity of chemical constituents isolated from Streptomyces sp. Tc052, an
endophyte in Alpinia galanga. International Journal of Pharmacology 2008; 4:
95-101.
Taechowisan, T., Lu, C., Shen, Y., Lumyong, S. 4- arylcoumarins from endophytic
Streptomyces aureofaciens CMUAc130 and their antifungal activity. Annals of
Microbiology 2005; 55: 63-66.
Taechowisan, T., Lumyong, S. Activity of endophytics actinomycetes from roots of
Zingiber officinale and Alpinia galanga against phytopathogenic fungi. Annals
of Microbiology 2003;53:291-298.
Taechowisan, T., Peberdy, J.F., Lumyong, S. Isolation of endophytic actinomycetes
from selected plants and their antifungal activity. World Journal of
Microbiology and Biotechnology 2003; 19: 381- 385.