laporan akhir penelitian hibah bersaing · 2.2 jaminan kesehatan nasional (jkn) 10 ... penerapan...
TRANSCRIPT
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH BERSAING
PENYUSUNAN MODEL
SISTEM MANAJEMEN PENGETAHUAN
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL
UNTUK PENYAKIT TUBERKULOSIS
Dr. Ir. Leony Lidya, MT (NIDN: 0412106802)
Dr. Yuce Sariningsih, Dra., Msi (NIDN: 0416056701)
Dibiayai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Surat Perjanjian No. 1014/K4/KM/2015 NOMOR DIPA 023.04.1.673453
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS PASUNDAN
NOVERMBER, 2015
Kode/ Nama Rumpun Ilmu: 458/Teknik Informatika
1
HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR
PENELITIAN HIBAH BERSAING
Judul Penelitian : Penyusunan Model Sistem Manajemen Pengetahuan
Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Penyakit Tuberkulosis
Kode/Nama Rumpun Ilmu : 458/ Teknik Informatika
Ketua Peneliti
a. Nama Lengkap : Dr. Ir. Leony Lidya, MT
b. NIDN : 0412106802
c. Jabatan Fungsional : Lektor
d. Program Studi : Teknik Informatika
e. Nomor HP : 081214595568
f. Alamat surel (email) : [email protected]
Anggota Peneliti (1)
a. Nama Lengkap : Dr. Yuce Sariningsih, Dra., MSi
b. NIDN : 0416056701
c. Perguruan Tinggi : Universitas Pasundan
Lama Penelitian Keseluruhan : 2 tahun
Penelitian Tahun ke : satu
Biaya Penelitian Keseluruhan : Rp 149,200,000.00
Biaya Tahun Berjalan : - diusulkan ke DIKTI Rp 74.600.000,00
- disetujui DIKTI Rp 55.000.000,00-
- dana internal PT/institusi lain/inkind Rp -
2
DAFTAR ISI
RINGKASAN 3
BAB I. PENDAHULUAN 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 7
2.1 Penatalaksanaan Tuberkulosis 7
2.2 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) 10
2.3 Manajemen Pengetahuan 15
2.4 Metodologi Pengembangan Sistem Manajemen Pengetahuan 16
2.5 Work System Framework 18
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 19
3.1 Tujuan 19
3.2 Manfaat Penelitian 20
BAB IV. METODE PENELITIAN 21
4.1 Road Map 21
4.2 Luaran Penelitian 22
BAB V. HASIL YANG DICAPAI 23
5.1 Target Pencapaian Tahun Pertama dan Langkah Pencapaian 23
5.2 Pengertian Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan 23
5.3. Identifikasi Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan TB Dengan JKN 24
5.3.1 Proses Bisnis di PPK 24
5.3.2 Analisis Sistem Kerja di PPK-1 27
5.4. Analisis Permasalahan Partisipan 36
5.2.5 Rancangan Kuesioner Bagi Pasien TB 36
BAB VI RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA 44
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 45
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1. Artikel Ilmiah
Lampiran 2. Luaran Penelitian
3
RINGKASAN
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) / BPJS kesehatan telah diimplementasikan sejak 1
Januari 2014 di semua fasilitas kesehatan di Indonesia. Dengan diluncurkannya program ini,
pemerintah berharap derajat kesehatan masyarakat semakin meningkat dan penyakit-
penyakit infeksi khususnya tuberkulosis (TB) paru dan luar paru akan menurun jumlahnya.
Harapan itu muncul karena pemerintah yakin bahwa pelayanan ini bersifat menyeluruh,
layak dan gratis sesuai dengan amanat UU No.40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN). Namun baru beberapa minggu JKN diimplementasikan, banyak keluhan
dari masyarakat. Yang sangat mendasar adalah regulasi operasional seperti peraturan
pemerintah, peraturan presiden dan peraturan menteri kesehatan terlambat dikeluarkan dan
disosialisasikan yang menimbulkan berbagai persoalan mulai dari registrasi peserta, besar
iuran, sampai pelayanan operasional di fasilitas kesehatan. Hal ini bertambah ketika petugas
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di beberapa daerah belum mampu
mengakomodasi keluhan dan kebingungan calon peserta.
Manajemen pengetahuan (knowledge management/KM) merupakan suatu konsep untuk
meningkatkan performansi organisasi melalui praktik penciptaan pengetahuan dan berbagi
pengetahuan melalui interaksi dan komunikasi dan fasilitas untuk mengektraksi,
membungkus dan mendistribusikan pengetahuan menjadi pengetahuan organisasi. Sistem
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management System/KMS) merupakan sebuah sistem
yang menerapkan konsep manajemen pengetahuan beserta teknologi informasi dan
komunikasi yang mendukung. Dengan menerapkan KMS di lingkungan organisasi penyedia
layanan kesehatan dengan JKN, diharapkan dapat membantu pemerintah dalam
mengefektifkan pelaksanaan JKN. Penyakit tuberkulosis (TB) dipilih karena merupakan
penyakit infeksi dengan jumlah penderita terbanyak di Indonesia, yaitu 60% pasien penyakit
paru pada berbagai tingkat badan penyedia layanan kesehatan. Selain itu, penyakit
tuberkulosis juga menimbulkan berbagai problema kesehatan pada masyarakat.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi partisipan, interaksi dan pertukaran
pengetahuan yang terjadi pada setiap tingkat badan layanan kesehatan penyakit TB beserta
problema dan kendalanya. Data dikumpulkan dengan metode survey menggunakan
kuesioner, wawancara, dan FGD (focus group discussion). Penelitian ini menghasilkan
model dan prototip perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai rujukan untuk
mengembangkan Sistem Manajemen Pengetahuan Jaminan Kesehatan Nasional untuk
berbagai jenis penyakit lainnya.
4
BAB I
PENDAHULUAN
Jaminan Kesehatan Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial kesehatan telah diimplementasikan sejak 1 Januari 2014 di semua fasilitas kesehatan
di Indonesia. Dengan diluncurkannya program ini, pemerintah berharap derajat kesehatan
masyarakat akan semakin meningkat dan penyakit-penyakit infeksi khususnya tuberkulosis
(TB) paru dan luar paru akan menurun jumlahnya. Harapan itu muncul karena pemerintah
yakin bahwa pelayanan ini bersifat menyeluruh, layak dan gratis (Munir, 2014). UU No.40
tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), mengamanatkan bahwa
jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). UU No.40 tahun 2004 tentang
SJSN merupakan penjabaran pasal 34 ayat 1 dan 2 UUD 45 yang berbunyi fakir miskin dan
anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara dan negara mengembangkan sistem jaminan
sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat lemah dan tidak mampu sesuai
dengan martabat manusia.
Sayangnya, baru beberapa minggu diimplementasikan, banyak keluhan masyarakat
yang kita dapatkan lewat media massa tentang implementasi JKN ini. Yang sangat mendasar
adalah regulasi operasional seperti peraturan pemerintah, peraturan presiden dan peraturan
menteri kesehatan terlambat dikeluarkan dan disosialisasikan. Permasalahan yang
dikeluhkan muncul mulai dari registrasi peserta, besar iuran, sampai pelayanan operasional
di fasilitas kesehatan. Permasalahan ini bertambah ketika petugas BPJS di beberapa daerah
belum mampu mengakomodasi keluhan dan kebingungan calon peserta (Munir, 2014).
Sistem pelayanan kesehatan dengan sistem rujukan baru yang dimulai dari
puskesmas “rujukan bertingkat” juga menjadi permasalahan karena tidak disosialisasikan
terlebih dahulu sebelum dilaksanakan sistem JKN. Apalagi di masyarakat kita telah muncul
stigma yang buruk terhadap pelayanan puskesmas seperti dokter sering tidak ada, sibuk
rapat, akses sulit, petugas judes, tidak ada alat canggih dan tidak ada tempat tidur. Pasien
kebingungan dan pontang panting mencari rujukan demi mendapatkan pelayanan kesehatan.
Rujukan berjenjang dan terbagi tiga tingkat, yang awalnya ditujukan untuk mengoptimalkan
sistem rujukan, menjadi menyiksa dan menambah penderitaan pasien (Munir, 2014).
5
Sistem pembayaran dengan INA-CBGs pun bukan tanpa masalah. Penerapan tarif
yang dilakukan BPJS sepertinya terburu-buru dan tidak melibatkan organisasi profesi
kesehatan. Besaran pembiayaan kacau balau dan banyak mendapat protes dari rumah sakit
dan organisasi profesi. Sebagai contoh, biaya bedah sesar kelas 3 regional A Rp 5.484.728
lebih rendah daripada khitan Rp 15.633.431. Padahal, tingkat kesulitan dan risiko medis
bedah sesar jauh lebih tinggi daripada khitan (Munir, 2014).
Besaran klaim juga sangat rendah. Hal ini memaksa para dokter dan profesi
kesehatan memberi pelayanan jauh dibawah standar profesi dan standar prosedur
operasional dan sedikit-sedikit merujuk ke fasilitas yang lebih lengkap. Ketidaksiapan
mental dokter dan perawat dalam menghadapi perubahan sistem pembayaran jasa medisnya
juga akan menambah kegaduhan. Hal lain adalah kualitas dan kuantitas obat yang tersusun
dalam formularium nasional, sangat terbatas dan jauh dari standar pelayanan minimal
(Munir, 2014).
Minimnya pengetahuan akibat kompleksitas informasi yang diterima oleh dokter
dan perawat (pemberi layanan kesehatan) maupun pasien sebagai penerima layanan akan
mempengaruhi proses implementasi program (Azwar, 2013, hlm.63). Pengetahuan yang
minim tentang JKN, dapat menimbulkan sikap (kecenderungan perilaku) yang “keliru” atau
negatif atau kurang mendukung (Notoatmodjo, 2011). Sikap kurang mendukung dari
pemberi layanan akan menurunkan produktivitas kerja, kualitas layanan, terhambatnya
pemecahan masalah dan pengembangan hubungan antar manusia, timbulnya ketegangan,
konflik atau mungkin demonstrasi/menolak dalam melayani pasien-pasiennya. Jika hal ini
terjadi pada dokter dan perawat dapat menimbulkan underdiagnosis atau overdiagnosis,
kurang tepat memberikan pengobatan dan asuhan keperawatannya. Jika situasi ini terjadi
pada pasien tuberkulosis (TB) BTA positif; dapat menimbulkan kasus TB resisten obat (TB
MDR); diketahui bahwa penanganan kasus tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama
dan biaya yang lebih besar (Kementerian Kesehatan RI, 2011). Hal ini sangat berlawanan
sekali dengan prinsip dan tujuan JKN yaitu kendali mutu dan kendali biaya. Padahal untuk
suksesnya implementasi JKN sangat ditentukan oleh pemberi pelayanan yaitu dokter dan
perawat. Berbagai permasalahan yang terkait dengan implementasi JKN dapat disimpulkan
berhubungan dengan rendahnya pengetahuan (informasi) penerima (pasien) dan pemberi
layanan (dokter, perawat, petugas) akibat kurangnya penyampaian informasi (sosialisasi)
tentang JKN.
6
Manajemen pengetahuan (knowledge management/KM) merupakan suatu konsep
untuk meningkatkan performansi organisasi melalui praktik penciptaan pengetahuan dan
berbagi pengetahuan melalui interaksi dan komunikasi dan fasilitas untuk mengektraksi,
membungkus dan mendistribusikan pengetahuan menjadi pengetahuan organisasi. Sistem
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management System/KMS) merupakan sebuah sistem
yang menerapkan konsep manajemen pengetahuan beserta teknologi informasi dan
komunikasi yang mendukung. Berdasarkan pengalaman dari penelitian terdahulu, peneliti
memandang bahwa KM beserta KMS dapat digunakan sebagai sebuah pendekatan untuk
menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan kurangnya interaksi dan
komunikasi antar personal serta lemahnya manajemen data dan informasi di dalam
organisasi. Dimulai dengan mengidentifikasi permasalahan, menyusun solusi dan
mengembangkan intervensi KMS (model dan teknologi) yang sesuai untuk menyelesaikan
permasalahan yang berhubungan dengan implementasi JKN ini.
Dengan menerapkan KMS di lingkungan organisasi penyedia layanan kesehatan
dengan JKN, diharapkan dapat membantu pemerintah dalam mengefektifkan pelaksanaan
JKN. Penyakit tuberkulosis (TB) dipilih karena merupakan penyakit infeksi dengan jumlah
penderita terbanyak di Indonesia, yaitu 60% pasien penyakit paru pada berbagai tingkat
badan penyedia layanan kesehatan dan menimbulkan berbagai problema kesehatan pada
masyarakat.
Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi partisipan, interaksi dan pertukaran
pengetahuan yang terjadi pada setiap tingkat badan layanan kesehatan penyakit TB beserta
problema dan kendalanya. Data dikumpulkan dengan metode survey menggunakan
kuesioner, wawancara, observasi dan FGD (focus group discussion). Penelitian ini
menghasilkan model dan prototip perangkat lunak yang dapat digunakan sebagai rujukan
untuk mengembangkan Sistem Manajemen Pengetahuan Jaminan Kesehatan Nasional untuk
berbagai jenis penyakit lainnya.
7
BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 Penatalaksanaan Tuberkulosis
2.1.1. Epidemiologi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium
Tuberculosis. Kuman TB dapat menyerang berbagai bagian tubuh seperti ginjal, tulang, otak
dan paru. Paru merupakan organ yang paling sering dikenai. WHO memperkirakan, di
Indonesia setiap tahun terdapat 500.000 kasus baru; 200.000 kasus (40%) terdapat disekitar
Puskesmas, 250.000 (50%) kasus ditemukan pada pelayanan Rumah Sakit atau Klinik
Pemerintah dan Swasta, sedangkan sisanya 10% belum terjangkau unit pelayanan
kesehatan.(Manaf, 1994) Angka kematian TB sekitar 175.000 pertahun. TB paru dapat
menyerang semua kelompok umur; sebagian besar (75-80%) kelompok usia produktif (15-
49 tahun) dan masyarakat ekonomi lemah (Aditama, 1997).
2.1.2. TB dan Strategi DOTS
Sejalan dengan meningkatnya kasus TB, pada awal tahun 1990-an WHO dan
IUATLD mengembangkan strategi pengendalian TB yang dikenal dengan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course) yang terdiri dari lima komponen, yaitu
komitmen politis dengan peningkatan dan kesinambungan pendanaan, penemuan kasus
melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis, pengobatan yang standar dengan supervisi
pasien (DOT), sistem pengelolaan dan ketersediaan OAT yang efektif dan sistem monitoring
pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan
pasien dan kinerja program. Sejak tahun 2000 strategi DOTS dilaksanakan secara Nasional
di seluruh Fasyankes terutama Puskesmas yang diintegrasikan dalam pelayanan kesehatan
dasar. Satu studi cost benefit yang dilakukan di Indonesia menggambarkan bahwa dengan
menggunakan strategi DOTS, setiap dolar yang digunakan untuk membiayai program
pengendalian TB akan menghemat sebesar US$ 55 selama 20 tahun. Karena itu, integrasi ke
dalam pelayanan kesehatan dasar sangat dianjurkan demi efisiensi dan efektifitas. Sampai
tahun 2009, 98% Puskesmas telah terlibat dalam program Pengendalian TB dengan
menggunakan Strategi DOTS, sementara Rumah Sakit Umum, BBKPM dan BKPM
mencapai sekitar 50%.
8
2.1.3. Kebijakan Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia
Ada beberapa kebijakan yang dilakukan pemerintah dalam pengendalian penyakit
TB di Indonesia, yaitu:
a. Pengendalian TB di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi dengan Kabupaten/kota sebagai titik berat manajemen program,
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin
ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana).
b. Pengendalian TB dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
c. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah
terhadap program pengendalian TB
d. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan
mutu pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga
mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB.
e. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasyankes, meliputi Puskesmas, Rumah Sakit Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan,
Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas kesehatan lainnya.
f. Pengendalian TB dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan
diantara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta dan masyarakat dalam wujud
Gerdunas TB.
g. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan.
h. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma
dan dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin
ketersediaannya.
i. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk
meningkatkan dan mempertahankan kinerja program.
j. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB.
k. Pasien TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya.
l. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
2.1.4. Kegiatan Pengendalian Tuberkulosis dan Organisasi Pelaksanaan
Ada tiga kegiatan penting dalam pengendalian TB di Indonesia, yaitu:
9
1. Tatalaksana dan pencegahan, berupa penemuan kasus, pengobatan, pemantauan hasil
pengobatan, pengendalian infeksi.
2. Manajemen program, berupa perencanaan, monitoring dan evaluasi, manajemen
logistik, pengembangan ketenagaan dan promosi program.
3. Pengendalian komprehensif, berupa penguatan layanan laboratorium TB, Public-
Private Mix (keterlibatan semua Fasyankes), kolaborasi TB-HIV, pemberdayaan
masyarakat dan pasien TB, pendekatan kolaborasi dalam kesehatan paru, manajemen
TB resisten obat dan penelitian TB.
Agar pelaksanan kegiatan berjalan sesuai dengan perencanaan, ada 2 hal yang perlu
diorganisir yaitu aspek manajemen program dan aspek tatalaksana pasien TB. Aspek
manejemen program:
a. Tingkat Pusat. Upaya pengendalian TB dilakukan melalui Gerakan Terpadu
Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas-TB) yang merupakan forum
kemitraan lintas sektor dibawah koordinasi Menko Kesra. Menteri Kesehatan R.I.
sebagai penanggung jawab teknis upaya pengendalian TB. Dalam pelaksanaannya
program TB secara Nasional dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, cq. Sub Direktorat Tuberkulosis.
b. Tingkat Propinsi. Di tingkat propinsi dibentuk Gerdunas-TB Propinsi yang terdiri
dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan
dengan kebutuhan daerah.
c. Tingkat Kabupaten/Kota. Di tingkat kabupaten/kota dibentuk Gerdunas-TB
kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur
organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota.
2.1.5. Aspek tatalaksana pasien TB
Penatalaksanaan pasien TB dilaksanakan oleh Puskesmas, rumah sakit dan rumah
sakit paru, BKPM dan BBKPM, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas layanan lainnya.
Secara umum konsep pelayanan di Balai Pengobatan dan DPS sama dengan pelaksanaan
pada rumah sakit dan Balai Pengobatan (klinik). Dalam Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter
di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer (2013), dinyatakan bahwa penyakit TB dimasukkan
ke dalam tingkat kemampuan 3A, dimana pada tingkat ini lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat
darurat; mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya
dan mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
10
2.1.6. Tatalaksana Pasien Tuberkulosis
Dalam program TB nasional, diagnosis TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB melalui pemeriksaan dahak mikroskopis (SPS). Sedangkan
pemeriksaan penunjang seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat dilakukan sesuai
dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan
foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB
paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis atau underdiagnosis.
Untuk mendiagnosis TB luar paru, agak sulit. Gejala dan keluhan tergantung organ
yang terkena, misalnya kaku kuduk pada meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas
tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis pasti ditegakkan
dengan pemeriksaan klinis, bakteriologis dan atau histopatologi yang diambil dari jaringan
tubuh yang terkena.
2.2 Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
2.2.1. Kebijakan JKN
Lahirnya Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.40 tahun 2004
menunjukkan rencana pemerintah untuk menerapkan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
JKN merupakan program pemerintah dan masyarakat dengan tujuan memberikan kepastian
jaminan kesehatan yang menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia agar penduduk Indonesia
dapat hidup sehat, produktif dan sejahtera. Sistem jaminan ini merupakan bentuk
perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya yang layak. Kesehatan sebagai salah satu kebutuhan dasar menjadi bagian dalam
sistem ini. SJSN akan dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) sesuai
UU No.24 tahun 2011, akan melakukan kontrak kerja dengan badan hukum pemilik rumah
sakit. Rumah sakit yang akan dikontrak BPJS adalah rumah sakit yang memberikan kualitas
layanan terbaik dengan tarif yang terjangkau.
2.2.2. Dampak BPJS
Dampak BPJS bisa dirasakan secara langsung masyarakat. Masyarakat mendapat
pelayanan sesuai dengan penyakitnya tanpa harus memikirkan biayanya, karena biaya
kesehatan tersebut telah ditanggung bersama secara gotong royong oleh keseluruhan peserta,
11
sehingga tidak memberatkan secara orang per orang. Sebaliknya, masyarakat yang
sepanjang hayatnya tidak pernah sakit wajib mengikhlas premi yang dibayarkannya setiap
bulan untuk digunakan orang lain yang sakit.
Bagi dokter dan RS, BPJS bisa menimbulkan dampak yang positif maupun yang
negatif. Dampak positifnya adalah pelayan medis bisa lebih jeli dan teliti dalam
mengidentifikasi masalah-masalah yang dihadapi pasien dan melakukan pemeriksaan atau
tindakan sesuai indikasinya, “tidak asal conteng”, karena BPJS hanya akan membayarkan
klaim sesuai dengan apa yang tertulis dalam ICD-10 (diagnosis penyakit) dan ICD-9 CM
(tindakan/prosedur). Dampak negatifnya, perhitungan klaim dianggap masih kurang sesuai.
Hal ini berarti bahwa dokter atau RS bekerja tanpa dibayar.
2.2.3. Manfaat BPJS
Manfaat jaminan kesehatan terdiri atas manfaat medis dan manfaat non medis.
Manfaat medis tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan, sedangkan manfaat non
medis meliputi manfaat akomodasi dan ambulans. Manfaat pelayanan promotif dan
preventif meliputi pemberian pelayanan penyuluhan kesehatan perorangan, imunisasi dasar,
keluarga berencana dan skrining kesehatan. Penyuluhan kesehatan perorangan meliputi
paling sedikit penyuluhan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup
bersih dan sehat. Pelayanan skrining kesehatan diberikan secara selektif yang ditujukan
untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit
tertentu (jenis penyakit, dan waktu pelayanan skrining kesehatan). Pelayanan kesehatan yang
dijamin meliputi pelayanan tingkat pertama dan pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjut.
Terdapat juga beberapa pelayanan kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS.
2.2.4. Rujukan Bertingkat
Pemilik kartu BPJS mempunyai hak untuk memeriksakan kesehatan dan berobat
melalui sistim rujukan bertingkat. Tak ada halangan dan kesulitan bagi pemegang
kartu BPJS Kesehatan untuk menggunakan manfaat asuransinya sepanjang prosedur
rujukan berjenjang mulai dari tingkat layanan dasar Puskesmas (PPK-1), RS sekunder tipe
D, C (PPK-2), B dan A (PPK-3). Rumah sakit pendidikan, tempat pendidikan profesi dokter
ataupun pendidikan spesialis (RS tipe B atau A), termasuk pelayanan tertier. BBKPM
merupakan fasilitas pelayanan kesehatan yang setara dengan RS tipe C (PPK-2). Sistem
rujukan bertingkat berlaku untuk kasus rawat inap maupun kasus rawat jalan, tetapi tidak
12
berlaku untuk kasus gawat darurat seperti batuk darah (hemoptisis), pneumotoraks (dispneu
dan atau nyeri dada pada sisi yang sakit). (Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi FKUI, 2010).
Pada layanan tingkat pertama di Puskesmas, pasien dilayani oleh dokter umum. Jika
pasien membutuhkan pelayanan lanjutan (baik sarana maupun SDM yang lebih spesialistik)
terkait indikasi medis yang tidak bisa ditangani Puskesmas, maka akan dirujuk ke
RS sekunder tipe D dan tipe C. Selanjutnya, jika pada RS tipe C tidak dapat ditangani,
pasien akan dirujuk ke RS tipe B hingga akhirnya akan dirujuk ke tipe A. Sistim pelayanan
bertingkat diprogramkan, untuk mengoptimalkan fasilitas pelayanan kesehatan dan peran
masing-masing RS dalam menangani berbagai jenis penyakit. Bagi peserta tertentu, prosedur
itu dianggap rumit dan mempersulit mereka untuk mendapatkan pelayanan.
2.2.5. Pembayaran Fasilitas Kesehatan oleh BPJS
Besaran pembayaran kepada fasilitas kesehatan ditentukan berdasarkan kesepakatan
BPJS kesehatan dengan asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah (regionalisasi) tersebut
dengan mengacu pada standar tarif yang ditetapkan oleh Menteri. Peserta tidak boleh dikenai
biaya tambahan, kecuali bagi peserta yang tidak mengikuti standar peraturan yang telah
ditetapkan. Berdasarkan tingkat kemahalan masing-masing daerah (regional), Indonesia
dibagi empat regional yaitu: regional-1 untuk wilayah Jawa-Bali, regional-2 untuk wilayah
Sumatra, regional-3 untuk wilayah Kalimantan-Sulawesi-NTB), dan regional-4 untuk
wilayah Papua-Maluku-NTT.
Pelayanan kesehatan kepada peserta Jaminan Kesehatan harus memperhatikan mutu
pelayanan, berorientasi pada aspek keamanan pasien, efektifitas tindakan, kesesuaian dengan
kebutuhan pasien, serta efisiensi biaya. Efisiensi pembiayaan pelayanan terhadap peserta
BPJS akan tercipta melalui standarisasi pelayanan dengan membuat clinical pathway.
Dengan clinical pathway, kita dapat melakukan unit cost per service, bukan unit cost per-
day. (Nazar, 2013)
2.2.6. Sistem Pembayaran INA-CBGs
Sebelum era JKN, pembiayaan kesehatan pasien di sarana pelayanan kesehatan
adalah sistem pembayaran retrospektif atau fee for service (FFS); dimana provider layanan
kesehatan menarik biaya untuk tiap jenis pelayanan yang diberikan kepada pasien tersebut.
Setiap pemeriksaan dan tindakan akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang ada di
13
rumah sakit tersebut. Tarif total ditentukan setelah pelayanan medis dilakukan. Dengan
sistem FFS, kemungkinan moral hazard oleh pihak rumah sakit relatif besar, karena tidak
ada perjanjian dari awal antar pihak rumah sakit dengan pasien, tentang standar biaya
maupun standar lama perawatan (length of stay)(Nazar, 2013).
Dalam era JKN, terjadi perubahan paradigma pembiayaan dari retrospektif menjadi
prospektif. Dengan sistem prospektif, pembayaran pelayanan dilakukan sebelum pelayanan
diberikan. Kapitasi dan INA-CBG’s merupakan sistem pembayaran prospektif. INA-CBGs
merupakan singkatan dari Indonesian Case Base Groups. George Palmer, Beth Reid (dalam
Basirun, 2014) mendefinisikan INA-CBG’s adalah suatu pengklasifikasian atau
pengelompokkan dari perawatan holistik pasien yang dirancang untuk menciptakan kelas-
kelas yang relatif homogen dalam hal sumber daya yang akan digunakan dan berisikan
pasien-pasien dengan karakteristik klinis yang sejenis. Dengan kata lain, INA-CBG’s
merupakan cara pembayaran keseluruhan biaya perawatan pasien berdasarkan diagnosis atau
kasus yang relatif sama. Klasifikasi diagnosis menggunakan ICD-10, sedangkan klasifikasi
prosedur/tindakan digunakan ICD-9-CM. Termasuk penambahan, diagnosis sekunder,
penyakit penyerta dan komplikasi ataupun penyulit, yang langsung dikaitkan dengan
pembiayaan pelayanan kesehatan (termasuk jasa medis).
Sistem paket pelayanan INA-CBG’s mengharuskan rumah sakit untuk memberikan
pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan pasien dan menghindarkan
rumah sakit dari risiko keuangan akibat pembengkakan biaya perawatan karena munculnya
komplikasi medis. Pelayanan berkualitas artinya pelayanan didasarkan pada standar
pelayanan medik yang baku, sesuai dengan bukti ilmiah yang terkini dan terbaik. Sesuai
kebutuhan artinya pasien dihindrkan dari duplikasi pemeriksaan, pemeriksaan yang tidak
diperlukan dan pengobatan yang belum terbukti khasiatnya. Tanpa memandang tempat
tinggal dan pendapatan, artinya pasien dengan kondisi klinik yang serupa, seyogianya
mendapat pelayanan yang sama.
Bagi pemberi pelayanan, terutama dokter spesialis, sistem Casemix INA-CBG’s,
ditenggarai merugikan karena jasa medis atau jasa tindakan dokter tidak dipisahkan dari unit
cost lainnya, yaitu masuk dalam jasa pelayanan maksimal sebesar 44 persen dari total
pembayaran. Perubahan paradigma pembayaran dari retrospektif menjadi prospektif,
potensial memicu meningkatnya sengketa antara manajemen rumah sakit dengan dokter
karena distribusi jasa medis sangat tergantung pada kebijakan direktur. Pembayaran fee for
14
service yang telah berjalan selama ini, baik untuk jasa pelayanan maupun jasa tindakan
medis dokter masih diasumsikan lebih menguntungkan pelaku tindak medis secara finansial,
karena dokter spesialis sebelum era SJSN mendapatkan penghasilan 80-90% dari pasien
swasta (umum), sedangkan di-era SJSN akan terbalik yaitu pendapatannya 80-90% dari
BPJS dan 10-20% dari pasien kaya yang membayar sendiri. (Nazar, 2013)
Penerapan kebijakan program Casemix INA-CBG’s memberikan manfaat secara
medis dan ekonomi. Dari segi medis, para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien
secara komprehensif, langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien.
Secara ekonomi, dalam hal ini keuangan (costing), menjadi lebih efisien dan efektif dalam
penganggaran biaya kesehatan, karena sarana pelayanan kesehatan akan menghitung dengan
cermat dan teliti dalam penganggarannya.
2.2.7. Clinical Pathway
Proses perawatan pasien adalah proses yang sarat seni bernilai tinggi. Dalam
merawat pasien, dokter kadang memberikan pelayanan yang bervariasi sesuai dengan ilmu
pengetahuan dan pengalaman yang dimilikinya. Variasi memang diperlukan, mengingat
setiap pasien TB, memiliki kondisi tubuh yang bervariasi saat bereaksi terhadap penyakit TB
yang diderita maupun OAT yang diminumnya. Namun tidak jarang, variasi yang diberikan
dokter malah tidak perlu dan bahkan berisiko menambah beban biaya atas pelayanan yang
diberikan. Untuk mengendalikan kondisi yang bervariasi diperlukan clinical pathway.
(Rahma, 2013)
Clinical pathway (CP) adalah alur/pedoman kolaboratif yang menunjukkan secara
detail tahap-tahap penting dari pelayanan kesehatan termasuk hasil yang diharapkan dalam
merawat pasien yang berfokus pada diagnosis. CP, alur yang menggambarkan proses mulai
saat penerimaan pasien hingga pemulangan pasien. CP menyediakan standar pelayanan
minimal dan memastikan bahwa pelayanan tersebut tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat
waktu. Pedoman kolaboratif ini dijabarkan dari Panduan Praktek Klinik (PPK); PPK
merupakan “aplikasi” dari Standar Praktek Kedokteran (SPK). Pengelompokan ini mengacu
pada ICD-10 untuk diagnosis dan ICD-9-CM untuk prosedur atau tindakan.
Pengelompokkan ini dikenal dengan grouping dan coding. Untuk mencegah terjadinya
kesalahan dalam coding maupun grouping, diperlukan adanya “verifikator” yang dapat
menentukan apakah rekam medis yang meliputi penulisan diagnosis utama, penyerta,
15
komorbid dan komplikasi-penyulit sudah layak maupun sesuai. Konsep ini, dapat mencegah
suatu tindakan moral hazard yang dapat saja dilakukan oleh dokter.
2.3 Manajemen Pengetahuan
Manajemen Pengetahuan (Knowledge management/KM) bukan sekedar teknologi,
petunjuk atau strategis bisnis. Penerapan KM membutuhkan budaya untuk meningkatkan
keyakinan dalam hal berbagi dan berpikir secara kolektif. Oleh karena itu, kajian mengenai
penerapan KM di sebuah lingkungan bisnis tidak dapat dipandang hanya dari dimensi
teknologi semata tetapi juga dari dimensi manusia dan organisasional. Memandang KM
dari sudut pandang manusia akan memudahkan kita untuk memahami hakekat pengetahuan
dan proses-proses alami pengetahuan yang meliputi penciptaan, transformasi pengetahuan
dan berbagi (sharing) pengetahuan, termasuk berbagai faktor yang mempengaruhinya.
Improved Organizational
Performance
Konowledge Generation Knowledge Sharing
Facilitating
Connections
Between People
Extracting, Packaging
& Distributing
Knowledge
Communities of
PracticeKM Systems
Voluntary
Informal
Shared Interest
Share & Create
Knowledge
In-house
"white pages"
Lessons Learned
Best Practices
Data Mining
Knowledge workers
Technology
Global Competition
New Work Requirements/Environments
Culture Technology ResoucesLeadership
Continuos
Improvement
Collaborative
Work
Incentives for
Knowledge
Sharing &
Creating
Contact
Management
Data Warehouse
Groupware
Document
Management
Intranets
Knowledge Management
Goal
Purpose
Activities
Methods
Characteristics Component of
Characteristics Examples
Success Factors
Influence By
Gambar 1 Konsep Manajemen Pengetahuan
16
Organisasional merupakan segala sesuatu yang berhubungan dengan organisasi,
yaitu lingkungan interaksi yang mengkombinasikan sistem sosial dan teknologi untuk
mewujudkan tujuan bisnis. Dengan memandang KM dari sudut pandang organisasional
akan memandu kita dalam merencanakan strategi Sistem Manajemen Pengetahuan
(Knowledge Management System/KMS) dengan mengacu pada konsep KM yaitu
meningkatkan performansi organisasional melalui penciptaan pengetahuan (knowledge
generation) dan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) yang didukung oleh komunitas
praktek dan KMS. Gambaran lengkap dari konsep KM ini dapat dilihat pada gambar 1.
2.4 Metodologi Pengembangan Sistem Manajemen Pengetahuan
Vlok(2004) mengemukakan sebuah cara untuk menilai lingkungan pemrosesan
pengetahuan dalam sebuah oraganisasi. Penilaian dilakukan untuk mengukur gap antara
sistem yang berjalan sekarang dan sistem yang dikendaki. Penilaian ini diperlukan
menyusun model sistem manajemen pengetahuan dan intervensi yang diperlukan.
McElroy, M.W. (2002) mengemukan model siklus hidup pengetahuan (knowledge
:ife Cycle/KLC) di dalam organisasi yang terdiri atas lingkungan bisnis dimana
permasalahan muncul, diidentifikasi dan lingkungan pemrosesan pengetahuan yang
merupakan lingkungan tempat terjadinya interaksi yang memungkinkan terjadinya
pertukaran dan transfer pengetahuan dari individu ke organisasi, dari organisasi ke individu
dan antar individu. Pengetahuan yang diperoleh untuk menjalankan tugas maupun
pengalaman/pengetahuan yang diperoleh dari menjalankan proses bisnis/ tugas sehari-hari.
Pada lingkungan pemrosesan pengetahunan inilah proses-proses pengetahuan seperti
penciptaan dan berbagi pengetahuan terjadi yang memperkaya pengetahuan individu dan
organisasi. Selanjutnya pengetahuan yang dihasilkan dinilai, divalidasi dan disimpan dalam
database pengetahuan organisasi agar dapat diakses oleh siapapun yang berkepentingan
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang muncul dari lingkungan bisnis. Gambar
memuat
17
Experential feedback
Business Processing
Behaviours of
Interacting Agent
Broad
casting
Searching
Sharing
Teaching
OK
Knowledge Production Knowledge Integration
Information
acquisition
Knowledge
claim
formulation
CKC
UKC
SKC
FKC
Info about
UKC
Info about
FKC
Info about
SKC
Knowledge
claim
evaluation
Business Processing Environment
= Knowledge Process = Knowledge Sets
CKC = Codified Knowledge Claims
DOKB = Distributed Organizational Knowledge Base
FKC = Falsified Knowledge Claims
OK = Organizational Knowledge
SKC = Surviving Knowledge Claim
UKC = Undecided Knowledge Claim
External inputs
Individual &
Group
Learning
Feedback
(including the
detection of
problems)
DOKB ‘Containers’
Agents (Indiv & Groups)
Artifact (docs, IT, etc.)
DOKB
· Objective knowledge
· Subjective knowledge
Gambar 7. Knowledge Life Cycle
(Sumber: McElroy, 2002)
KLC terdiri dari tiga komponen yaitu lingkungan bisnis, lingkungan pemrosesan
pengetahuan (knowledge production + knowledge integration) dan DOKB (repository yang
menyimpan pengetahuan organisasi).
Sveiby (2001) mengemukakan bahwa KM merupakan studi yang bersifat multi disiplin
dan multiperspektif, mengelompokkan kontribusi atas dua jalur dan dua level. Jalur
teknologi informasi (TI) menerapkan KM sebagai manajemen informasi dimana
pengetahuan merupakan objek yang dapat diidentifikasi dan dikelola dalam sistem
informasi. Sedangkan jalur manusia (People) menerapkan KM sebagai manajemen untuk
penilaian, perubahan dan peningkatan keahlian dan perilaku individu, bagi mereka
pengetahuan adalah proses. Oleh sebab itu peneliti harus berhati-hati dalam
mengembangkan sistem manajemen pengetahuan agar tidak terjebak dalam konsep bahwa
manajemen pengetahuan sama dengan manajemen informasi tetapi menggunakan
pendekatan yang lebih seimbang dengan menggunakan kedua perspektif ini yaitu
manajemen informasi dan manajemen manusia karena pengetahuan tidak sama dengan
informasi. Pada pengetahuan ada sifat tacit (tidak terstruktur dan tersembunyi) sehingga
tidak mudah dikelola seperti mengelola informasi dan sifat ini harus diperhatikan ketika
menyusun intervensi sistem manajemen pengetahuannya.
18
Untuk memodelkan sistem manajemen pengetahuan, selama ini belum ada sebuah
metodologi terdefinisi untuk menyelesaikannya. Lidya (2005) mengemukakan gagasan
untuk menggunakan beberapa pendekatan dan framework yang biasanya digunakan dalam
pengembangan sistem informasi, antara lain Business System Planning (BSP), Worksystem
Framework, dsb.
2.5 Work System Framework
Proses bisnis merupakan langkah-langkah yang berhubungan dengan waktu dan tempat,
mempunyai suatu permulaan dan akhir dan mempunyai masukan dan keluaran. Proses bisnis
sering dihubungkan dengan area bisnis fungsional dari suatu organisasi, tetapi proses bisnis
adalah suatu gagasan yang lebih pokok untuk pemahaman bagaimana bisnis melaksanakan
pekerjaannya dan menghasilkan nilai-nilai untuk pelanggan.
Framework adalah suatu petunjuk singkat dari ide asumsi untuk sebuah proses berfikir
organisasi mengenai organisasi dari benda atau situasi. Work system merupakan sistem yang
partisipan terdiri dari manusia atau mesin yang melaksanakan bisnis proses dengan
menggunakan informasi, teknologi, dan sumberdaya lain untuk menghasilkan suatu produk
dan atau layanan untuk internal atau external customer. Sistem kerja dapat diidentifikasi
dengan memotret beberapa hal seperti yang tercantum dalam work system framework yaitu:
customer, product, and service, participants, information, and technologi.
Customer
Business Process
Participant Information Technology
Products
Context Infrastructure
Gambar 2 Work System Framework
(Sumber: Alter, 2002)
19
Pada gambar 2 terdapat elemen - elemen yang membangun sebuah Work System
Framework, yaitu:
1. Customer, orang atau organisasi yang menerima dan menggunakan produk atau jasa
yang dihasilkan oleh sistem (perusahaan) baik secara langsung maupun tidak langsung.
2. Product and service, gabungan dari benda fisik, informasi dan layanan yang dihasilkan
oleh sistem (perusahaan).
3. Business Process, kumpulan dari tahapan-tahapan kerja atau aktivitas-aktivitas dalam
sistem (perusahaan) yang dibutuhkan untuk menghasilkan produk atau jasa sampai
produk atau jasa tersebut diterima oleh konsumen.
4. Participants, orang atau organisasi yang muncul/ terlibat dan dibutuhkan untuk
menjalankan tahapan kerja dan aktivitas proses bisnis dari sistem
5. Information, semua informasi yang dibutuhkan oleh participant dalam menjalankan
proses bisnis.
6. Technology, berupa hardware, software dan perlengkapan lainnya yang digunakan
oleh participant dalam menjalankan proses bisnis.
7. Context, organisasi, pesaing, pendukung teknis, dan pengaturan yang membuat sistem
bekerja.
8. Infrastructure, orang-orang dan dukungan teknis lain yang tidak terlibat secara
langsung pada sistem. Misalnya infrastruktur informasi seperti share database dan
infrastructure teknis seperti jaringan dan teknologi pemrograman
20
BAB III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan Penelitian
1. Memahami tatalaksana sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan
permasalahannya.
2. Mengetahui penyakit Tuberkulosis (TB), tatalaksana pengobatan TB dan
permasalahannya
3. Mengetahui faktor-faktor yang mendukung efektifitas implementasi JKN
khususnya untuk penyakit TB.
4. Memahami kerangka kerja Sistem Manajemen Pengetahuan dalam meningkatkan
performansi organisasi untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi.
5. Mengembangkan model Sistem Manajemen Pengetahuan yang dapat mendukung
efektifitas implementasi JKN untuk penyakit TB.
6. Mengembangkan model kesiapan penerapan Sistem Manajemen Pengetahuan.
3.2 Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan peneliti mengenai JKN, tatalaksana dan permasalahannya,
khususnya untuk penyakit TB.
2. Kontribusi keilmuan, berupa pengalaman dan kemampuan penerapkan konsep dan
metoda manajemen pengetahuan untuk mengembangkan model dan prototipe
Sistem Manajemen Pengetahuan pada sebuah organisasi yang berhubungan dengan
kebijakan dan layanan publik yaitu Sistem JKN untuk penyakit tuberkulosis.
3. Memberi masukan terhadap pemerintah berupa model Sistem Manajemen
Pengetahuan untuk meningkatkan efektifitas sistem JKN, khususnya untuk
penyakit TB.
4. Mengetahui kesiapan penerapan Sistem Manajemen Pengetahuan untuk sistem
JKN, khususnya untuk penyakit TB.
5. Memberi masukan terhadap pemerintah berupa prototipe Sistem Manajemen
Pengetahuan sistem JKN untuk penyakit TB.
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Road Map Penelitian
Road map penelitian ini disederhanakan seperti pada Gambar 3. Penelitian penyusunan
model Sistem Manajemen Pengetahuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) penyakit
Tuberkulosis (TB) ini merupakan kajian multi displin. Setidaknya melibatkan tiga bidang
ilmu yaitu rekayasa khususnya sistem informasi dan manajemen pengetahuan, serta
rekayasa perangkat lunak dalam hal ini diwakili oleh peneliti utama (Dr. Ir. Leony Lidya,
MT). Penelitian ini juga memerlukan peneliti dalam bidang sosiologi dan kebijakan publik,
dalam hal ini diwakili oleh anggota peneliti yang merupakan pakar sosiologi dan kebijakan
sosial (Dr. Yuce Sariningsih, Dra., Msi). Dalam penelitian ini kami bekerjasama dengan
dokter ahli paru sebagai nara sumber (dr. Yun Amril, Spp) yang merupakan dokter ahli paru
di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Bandung, Jl. Cibadak No 214
Bandung.
LU
AR
AN
Produk Model konseptual Sistem
Manajemen Pengetahuan (Knowledge Mangement
System/KMS) yang lebih
sesuai dengan sifat dan karakteristik pengetahuan.
Model Penerapan KMS Model lingkungan
pemrosesan pengetahuan Sistem Jaminan Kesehatan
Nasional untuk penyakit
tuberkulorsis
Model KMS Sistem
Jaminanan Kesehatan Nasional untuk penyakit
tuberkulorsis
Temuan Hakikat pengetahuan,
hakikat KM, kerangka
kerja pengembangan KMS, pendekatan multi
perspektif
Framework SI untuk
penerapan KMS di
organisasi bisnis
Alur proses pengetahuan
dan interaksi, serta tingkat
kesiapan (readniness)
Model Inisiatif KMS yang
sesuai
Tulisan/
Rupa
karya
Disertasi, Jurnal Nasional
& Seminar Ilmiah Nasional &Internasional
Terakreditasi
Tugas akhir mahasiswa
yang dibimbing, Seminar Ilmiah
Nasional
Seminar nasional dan jurnal
nasional
Seminar nasional dan jurnal
nasional
ME
TO
DO
LO
GI
Aplikasi Model teorititk KMS yang
dijustifikasi dengan fenomena dunia nyata
dalam hal ini lingkungan perguruan tinggi, baik
pada level individu
maupun organisasi
Model-model KMS
untuk mendukung layanan bisnis utama
pada industri garmen, sekolah/ program studi,
koperasi susu, dsb.
Model pemrosesan
pengetahuan untuk kebijakan dan layanan
publik dengan skala yang lebih luas dari sebuah
organisasi bisnis
Model KMS untuk kebijakan
dan pelayanan publik yang skalanya lebih luas dari
sebuah organisasi bisnis
Proses
Pengola
han
Pendekatan inovatif (multi perspektif, kombinasi IT-
Track dan People Track,
baik pada level individu dan level organisasi) ,
menggunakan
- Identifikasi partisipan, proses bisnis, dan
aliran data/informasi
/pengetahuan - Mendefinisikan siklus
pemrosesan bisnis dan
siklus pemrosesan pengetahuan
- Menyusun
rekomendasi KMS inisiatif
- Pengumpulan data dan studi literatur
- Identifikasi partisipan,
proses bisnis, dan aliran data/informasi
/pengetahuan pada setiap
level penyedia layanan - Mendefinisikan siklus
pemrosesan bisnis dan
siklus pemrosesan pengetahuan sistem
berjalan dan target
- Evaluasi gap dan kesiapan penerapan
- Penyusunan model KMS - Pembuatan dan pengujian
prototip KMS
- Penyusunan rekomendasi
22
Metode
Analisis
&
Desain
- Pendekatan kualitatif,
- Sumber data: sintesis
pengetahuan teoritik dari berbagai disipllin ilmu
(filsafat ilmu, psikologi,
organisasi, manajemen, IT), pengalaman dan
pengamatan,
- Analisis: fenomenologi dan hermeunetika
- Rekayasa KMS:
memanfaatkan framework Sistem
Informasi
Sumber data: survey
(wawancara, observasi)
untuk identifikasi lingkungan, kuesioner
untuk evaluasi.
Rekayasa KMS: memanfaatkan
framework Sistem
Informasi (work system framework, BSP, dll)
dan Knowledge Life
Cycle.
Sumber data: survey
(wawancara, observasi)
untuk identifikasi lingkungan yang sekarang
dan target (diharapkan),
kuesioner untuk evaluasi. Rekayasa KMS:
memanfaatkan framework
Sistem Informasi (work system framework, BSP, dll)
dan Knowledge Life Cycle.
Rekayasa KMS:
memanfaatkan framework
Sistem Informasi (work system framework, BSP, dll)
dan Knowledge Life Cycle
Rekayasa perangkat lunak, pembuatan prototipe dan
evaluasi
TU
JU
AN
Tujuan
Khusus
Mengembangkan model
representasi pengetahuan & model konseptual KMS
Mengembangkan
metoda identifikasi lingkungan pemrosesan
pengetahuan dan
evaluasi penerapan KMS.
Mengembangkan model
lingkungan pemrosesan pengetahuan dan evaluasi
penerapan KMS Sistem
Jaminan Kesehatan Nasional untuk Penyakit
Tuberkulosis.
Mengembangkan model KMS
Sistem Jaminan Kesehatan Nasional untuk Penyakit
Tuberkulosis.
Kontrib
usi
Kejelasan dan ketegasan
dalam landasan teori KM, khususnya tentang teori
pengetahuan dan konsep
KM, metode dan model dasar bagi pengembangan
komponen KMS untuk tata kelola (governance)
Model Penerapan KM
dan KMS di organisasi dan model penilaian
kesiapan (readiness)
penerapan KMS.
Model lingkungan
pemrosesan pengetahuan untuk tatakelola kebijakan
dan layanan publik
(government). Model penilaian kesiapan
dan informasi kesiapan penerapan KMS
Model KMS untuk Sistem
Jaminana Kesehatan Nasional Model KMS untuk tatakelola
kebijakan dan layanan publik
(government)
TAHUN
KEGIATAN
2003-2008
2009-2014
2015
2016
Gambar 3. Peta jalan penelitian “Sistem Manajemen Pengetahuan Jaminan Kesehatan
Nasional untuk Penyakit Tuberkulosis”
4.2. Luaran Penelitian
Hasil dari penelitian ini adalah model sistem manajemen pengetahuan BPJS Penyakit
Tuberkulosis (TB) dan prototipe perangkat lunak diperlukan. Hasil penelitian tersebut akan
dipublikasikan pada jurnal nasional yang terakreditasi dan proceeding.
Pada tahun pertama, hasil yang diperoleh adalah analisis lingkungan pemrosesan bisnis
sistem JKN dan sistem layanan kesehatan untuk penyakit TB dengan JKN. Mencakup model
proses bisnis terkait mulai dari registrasi hingga layanan kesehatan pada setiap level Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK), identifikasi peserta, alur interaksi/ pertukaran informasi dan
identifikasi pengetahuan yang dibutuhkan dan dihasilkan yang direpresentasikan dalam
worksystem framework.
Pada tahun kedua, dilakukan analisis lingkungan pemrosesan pengetahuan dan
pengembangan prototip sistem manajemen pengetahuan beserta perangkat lunak pendukung
manajemen pengetahuan Jaminan Kesehatan Nasional untuk penyakit Tuberkulosis.
23
BAB V
HASIL YANG DICAPAI
5.1 Target Pencapaian Tahun Pertama dan Langkah Pencapaian
Pada tahun pertama ini, target penelitian yang hendak dicapai sesai dengan peta jalan
penelitian adalah memahami model lingkungan pemrosesan pengetahuan Sistem Jaminan
Kesehatan Nasional untuk penyakit tuberkulosis (TB) dengan temuan antara lain alur proses
bisnis dan alur proses pengetahuan dan interaksi yang terjadi antar partisipan, serta tingkat
kesiapan (readiness) untuk implementasi sistem manajemen pengetahuan.
Proses pengelolaan dilakukan sebagai berikut: melakukan pengumpulan data (baik data
primer maupun sekunder) dan studi literatur, dari hasil pengumpulan data tentang JKN dan
penyakit TB (sebagai lingkungan bisnis, dalam hal ini Pemberi Pelayanan Kesehatan, PPK-1
dan PPK-2) selanjutnya dilakukan identifikasi partisipan, proses bisnis, dan aliran
data/informasi /pengetahuan pada setiap level penyedia layanan; dilanjutkan dengan
mendefinisikan siklus pemrosesan bisnis dan siklus pemrosesan pengetahuan dari sistem
berjalan dan sistem manajemen pengetahuan yang menjadi target; dan diakhiri dengan
evaluasi gap dan kesiapan penerapan.
Data tentang sistem JKN dan penyakit TB diperoleh lewat studi dokumen dan literatur
dengan melakukan pencarian pada dokumen-dokumen terkait yang sudah ada di internet,
atau di literatur. Pengumpulan data tentang kebijakan, prosedur/proses yang berjalan, dll
juga dilakukan dengan metoda wawancara, observasi dan kuesioner. Analisis dan desain
menuju model selanjutnya memanfaatkan konsep/framework rekayasa Sistem Manajemen
Pengetahuan (Knowledge Management System/KMS) antara lain work system framework,
BSP, Knowledge Life Cycle, dll.
5.2 Pengertian Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan
Dalam menerapkan konsep manajemen pengetahuan, peneliti perlu memahami hakikat
pengetahuan, sehingga tidak keliru dalam memahami bahwa manajemen pengetahuan =
manajemen informasi, dan Knowledge Management System (KMS) tidak sama dengan
sistem informasi. Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan yang didefinisikan dalam
24
Knowledge Life Cycle (KLC), merupakan dimensi lingkungan yang perlu ditumbuhkan dan
dirawat di dalam sebuah organisasi untuk mendukung knowledge creating dan knowledge
sharing. Tumbuh suburnya kedua jenis aktifitas ini merupakan karakteristik dari organisasi
yang menerapkan manajemen pengetahuan (Knowledge Management/KM).
Menurut FireStone dan McElroy(2002), siklus hidup pengetahuan (knowledge life
cycle/KLC) dalam sebuah organisasi dapat digambarkan dalam sebuah siklus seperti pada
pada gambar 7. KLC terdiri dari tiga komponen yaitu lingkungan pemrosesan bisnis,
lingkungan pemrosesan pengetahuan (knowledge production + knowledge integration) dan
DOKB (repository yang menyimpan pengetahuan organisasi). Lingkungan pemrosesan
pengetahuan dibangun dengan mendefinisikan proses dan stuktur organisasi yang
mendukung penyelesaian masalah proses bisnis sehari-hari secara organisasional dan
terdokumentasi di dalam DOKB sehingga mudah diakses kembali oleh pihak yang
berkepentingan. Berdasarkan konsep KLC ini, pendekatan analisis untuk lingkungan
pemrosesan pengetahuan pada PPK-1 dan PPK-2 dilakukan dengan terlebih dahulu
memahami dan memodelkan lingkungan bisnis yang berhubungan dengan penatalaksanaan
penyakit TB di Indonesia dengan sistem JKN. Lingkungan bisnis ini dimodelkan dengan
menggunakan pendekatan analisis dan tools untuk sistem informasi.
5.3 Identifikasi Lingkungan Bisnis Pengobatan TB dengan JKN
Pembahasan subbab ini mencakup hasil pengumpulan data (baik data primer maupun
sekunder) tentang JKN, penyakit TB, dan alur proses bisnis terkait dengan pengobatan TB
pada setiap Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang direpresentasikan dalam model
proses bisnis menggunakan swimlane diagram.
5.3.1 Proses Bisnis di PPK
Alur proses pengobatan penyakit TB dengan JKN pada Pemberi Pelayanan Kesehatan
(PPK) mulai dari PPK-1, PPK-2 hingga PPK-3 ditentukan oleh jenis/kasus dan tingkat
kegawatan penyakit sesuai dengan hasil pemeriksaan kesehatan pasien dan diagnosis dokter.
Gambar 4 menggambarkan alur pendaftaran peserta JKN/BPJS Kesehatan, gambar 5
menggambarkan alur proses registrasi pasien untuk mendapatkan layanan medik sedangkan
gambar 6 dan 7 mewakili alur diagnosis dan pengobatan TB di PPK.
25
Alur Proses Pendaftaran Peserta JKN
Alur Proses Administrasi
Petugas BPJSPeserta
Mengambil nomor antrean dan menunggu pemanggilan
Memberikan formulir Daftar Isian Peserta (DIP)
Formulir DIP Kosong
Mengisi formulir
Formulir DIP Terisi
Menyerahkan formulir DIP & lampiran
Dokumen Resmi Peserta
Menginputkan data calon peserta BPJS kesehatan & create virtual
account
Mendapatkan nomor virtual account (VA)
Dokumen Virtual Account
Dokumen Pembayaran
Pembayaran peserta BPJS Kesehatan
Fotocopy KTP/Pasport, Kartu Keluarga, Buku Tabungan, pasfoto 3x4)
Gambar 4 Alur Proses Pendaftaran JKN
Alur Proses Registrasi Pasien
Mengambil
nomor antrean di
loket BPJS
Pasien Baru?
Menyimpan
kartu berobat
dikotak kartu
Menunggu
panggilan
Pasien Baru?
Mencari rekam
medis pasien
Memanggil
pasien sesuai
dengan nomor
antrean
Mengecek
eligibilitas
peserta BPJS
Peserta JKN
aktif
Pasien Petugas Regisrasi
Peserta
Terdaftar?
Peserta Baru?
Mengisi data
identitas pasien
baru BPJS
Menerima kartu
berobat
Menandatangani
klaim
Melakukan
pelayanan RJTP
1X kontak/
penjamin pribadi
Melakukan
pelayanan RJTP
Mengantarkan rekam
medis pada poli
sesuai kebutuhan
pasien
Menunggu di ruang
tunggu poli yang
dituju
Kartu Berobat
Kartu Berobat
Klaim
Rekam Medis
Pasien
Formulir
Peserta
Data Eligibilitas
Peserta BPJS
YT
Y
T
Y
T
Y
T
Gambar 5 Alur Proses Registrasi pasien
26
Alur Proses Pemeriksaan Medik di PPK-1
Alur Proses Pemeriksaan Pasien TB di PPK-1
Dokter Umum PPK-1 Unit Penunjang Petugas Penyuluhan
Anamnesa & pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Dahak/ Sputum mikroskopis Memberikan Penyuluhan
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan sputum mikroskopis Materi Penyuluhan TB
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Data ada tapi membingungkan?
Membuat Rujukan ke PPK-2
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Surat Rujukan ke PPK-2
Resep
Tidak
Gambar 6 Alur Proses Pemeriksaan Medik PPK-1
Dilihat dari alur proses ini, dokter umum di PPK-1 diharapkan dapat menegakkan diagnosis
penyakit TB dengan kasus BTA+, yaitu jika hasil anamnesa:+, sputum/BTA:+, berarti dapat
dilanjutkan dengan pengobatan tetapi jika anamnesa +, tetapi BTA- (membingungkan,
diduga TB tetapi BTA-) maka dokter PPK-1 dapat membuat surat rujukan ke PPK-2.
Alur Proses Pemeriksaan Medik di PPK-2
Alur Proses Pemeriksaan Pasien TB di PPK-2
Dokter Umum PPK-2 Unit Penunjang Dokter Spesialis ParuPetugas
Penyuluhan
Anamnesa &pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Dahak/Sputum
Memberikan Penyuluhan
Hasil Pemeriksaan Dahak Materi Penyuluhan TB
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Data ada tapi membingungkan?
Membuat Rujukan ke dokter spesialis
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Tidak
Resep
Membuat Rujukan Balik Ke PPK-1
Surat Rujukan ke spesialis
Pemeriksaan Rontgen foto
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Uji Spirometri
Pemeriksaan Cairan (Biopsi)
Hasil rontgen foto
Hasil Patologi Anatomi
Hasil Uji Spirometri
Hasil Biopsi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anamnesa & pemeriksaan fisik
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Perlu operasi/rawat inap?
Membuat Rujukan ke PPK-3
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Tidak
Resep
Surat Rujukan Balik ke PPK-1
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Surat Rujukan ke PPK-3
Pemeriksaan Darah
Hasil Pemeriksaan Darah
Gambar 7 Alur Proses Pemeriksaan Medik PPK-2
27
Di PPK-2, setelah melakukan registrasi, pasien terlebih dahulu ditangani oleh dokter
umum di PPK-2. Dokter umum disini sudah dilengkapi dengan kemampuan untuk membaca
rontgen foto (dapat menangani kasus TB BTA-). Disini dilakukan pemeriksaan ulang
sputum mikroskopis (bisa menggunakan yang dari PPK-2 jika yakin), dan radiologi/foto
rontgen (foto toraks). Jika hasil foto toraks (membingungkan/ dokter tidak yakin) maka
dokter umum di PPK-2 dapat merujuk ke dokter spesialis paru, jika hasil foto toraks + maka
dilanjutkan dengan pengobatan dan pasien dirujuk balik ke PPK-1.
Dokter spesialis paru melakukan pemeriksaan kembali dari awal dan dapat meminta
pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan laju endap darah (LED), hispatologi jaringan
dengan melakukan biopsi, biasanya untuk kasus TB yang di luar paru (TB ekstra paru).
Selain pengobatan, dokter spesialis juga mungkin melakukan beberapa tindakan medis non
obat seperti punksi yaitu pemasangan slang (WSD) untuk mengeluarkan cairan. Jika hasil
diagnosis menyatakan pasien butuh operasi atau rawat inap maka pasien akan dirujuk ke
PPK-3.
Kasus tuberkulosis resisten obat anti TB (OAT) atau multi drug resistance (MDR TB),
disebabkan pengobatan yang tidak adekuat. Ditangani langsung oleh dokter spesialis di
PPK-2, dengan prosedur khusus di ruangan khusus.
Pedoman lengkap dalam melakukan diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia telah
tersedia dalam bentuk cetakan (buku), yang dikeluarkan oleh Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia. Buku ini berisi standar-standar untuk menegakkan diagnosis TB, standar untuk
pengobatan TB dan standar untuk kesehatan masyarakat8. Menjadi acuan bagi seluruh dokter
spesialis paru di Indonesia. Pada buku ini juga dibahas berbagai pengobatan TB pada
keadaan khusus, yaitu: i) TB Millier, ii) Eufusi Pleura TB, iii) TB paru dengan Diabetes
Melitus, iv) TB paru dengan HIV/ AIDs, v) TB Paru Pada Kehamilan, Menyusui dan
Pemakai Kontrasepsi Hormonal, vi) TB Paru pada gagal Ginjal, vii) TB Paru dengan
Kelainan Hati. Juga kasus TB dengan beberapa komplikasi baik sebelum pengobatan
maupun setelah pengobatan yang harus dirujuk ke fasilitas yang memadai.
5.3.2 Analisis Sistem Kerja di PPK
Analisis sistem kerja menggunakan pendekatan Work System Framework (WSF) yang
biasanya digunakan dalam proses analisis kebutuhan sistem informasi. Work System
Framework (WSF) merupakan suatu kerangka fikir yang menggambarkan suatu sistem kerja
secara ringkas namun signifikan berdasarkan elemen-elemen pentingnya (Alter, 2002). WSF
dalam hal ini digunakan memetakan setiap proses bisnis terhadap elemen-elemen lainnya,
28
khususnya elemen informasi dan partisipan untuk memahami model interaksi, komunikasi
serta kebutuhan informasi dan pengetahuan. Pemetaan ini selanjutnya dirangkum dalam
sebuah tabel. Contoh: Pendaftaran Peserta BPJS, partisipan terkait adalah petugas BPJS dan
peserta BPJS, informasi yang diperlukan persyaratan dan alur pendaftaran, teknologi yang
digunakan website BPJS.
Berdasarkan hasil studi dokumen dan observasi, Sistem kerja di PPK-1 termasuk unit
layanan informasi publik yang disediakan BPJS Kesehatan untuk mendukung JKN
dimodelkan menggunakan WSF seperti pada gambar 8. WSF Sistem Kerja PPK-1 terdiri
dari elemen-elemen berikut:
1. Customer
Penerima layanan kesehatan atau biasa di sebut Peserta BPJS Kesehatan.
2. Product and service
Produk dan jasa yang dihasilkan berupa jasa pelayanan kesehatan, penanganan
gawat darurat, pelayanan resep obat, pengecekan laboratorium, penjaminan dan
pelayanan ambulan.
3. Business process
Proses bisnis yang terdapat dalam PPK-1 yaitu, pendaftaran peserta BPJS Kesehatan,
pendaftaran pasien di faskes tingkat pertama, pelayanan farmasi, penjaminan dan
pelayanan ambulan, rawat jalan, rawat inap, diagnosis TB Paru, Tata laksana pasien
TB anak pada PPK-1.
4. Participant
Untuk menjalankan proses bisnis yang ada dibutuhkan keterlibatan participant,
diantaranya peserta BPJS Kesehatan, petugas loket faskes tingkat 1, petugas apotek,
apoteker, dokter jaga, bagian operasional ambulan, bagian pelayanan kesehatan
primer BPJS, apoteker faskes tingkat 1, petugas loket pengambilan obat, petugas
pendaftaran peserta BPJS, teller bank yang bekerjasama dengan BPJS.
5. Information
Informasi yang dikelola maupun dibutuhkan meliputi informasi tentang pendaftaran
peserta BPJS Kesehatan, pendaftaran pasien faskes tingkat pertama, pengambilan
obat jenjang PPK-1, penjaminan dan pelayanan ambulan, rawat inap, rawat jalan,
penggunaan aplikasi primary care, penggunaan aplikasi e-catalog obat.
6. Technology
29
Teknologi memiliki peran dalam mendukung berjalannya proses bisnis yang ada di
PPK-1 . Teknologi yang telah di implementasikan dan di kembangkan oleh BPJS
yang memanfaatkan media elekronik adalah sebagai berikut:
A. Website JKN, merupakan website yang berperan dalam menyebarkan
informasi berupa informasi seputar kegiatan JKN
B. Website BPJS Kesehatan, merupakan website yang menyediakan informasi
seputar BPJS Kesehatan dan penyediaan layanan aplikasi yang ada dalam
website BPJS Kesehatan, diantaranya:
a. E-Registration (E-ID), Merupakan sub website/ sub layanan dari
bpjs.go.id yang berfungsi sebagai pendaftaran online, calon peserta
bpjs Kesehatan bisa mendaftarkan dirinya secar online tanpa harus
mendaftar melalui jalur konfensional.
b. Health Facilities, Merupakan sub website/ sub layanan dari bpjs.go.id
yang berfungsi untuk mencari fasilitas – fasilitas kesehatan yang ada
di indonesia yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan.
c. Contribution Payment Check, Merupakan sub website/ sub layanan
dari bpjs.go.id yang berfungsi untuk melakukan pengecekan transkip
pembayaran peserta BPJS Kesehatan.
d. Complaint Statement, Merupakan sub website/ sub layanan dari
bpjs.go.id yang berfungsi sebagai testimoni dari layanan BPJS yang
telah berjalan.
C. Aplikasi Primary Care (P-Care), Merukan aplikasi berbasis web yang
berfungsi untuk melakukan input data pasien yang melakukan pengobatan
pada layanan di puskesmas.
D. Aplikasi E – Catalog Obat, Merupakan aplikasi yang berbasis web yang
berfungsi sebagai pemerataan harga obat dan bisa sebagai reverensi harga
obat yang ada di indonesia.
30
Gambar 8 Work System Framework PPK-1 Sistem JKN
Semua proses bisnis yang ada di PPK-1 mempunyai derajat kepentingan yang sama
yang saling terkait antar yang satu dengan yang lain dalam mewujudkan penyampaian
informasi yang baik pada customer. Berdasarkan analisis Sistem Kerja PPK-1, dapat
diidentifikasi proses bisnis utama pada PPK-1 dan interaksi antar proses bisnis dengan
elemen-elemen lainnya. Proses bisnis di PPK-1 meliputi:
1. Pendaftaran peserta BPJS Kesehatan , kegiatan yang dilakukan oleh calon peserta BPJS
Kesehatan untuk melakukan registrasi agar dapat terdaftar dalam anggota aktif BPJS.
2. Pendaftaran pasien di faskes tingkat pertama, kegiatan yang dilakukan untuk melakukan
registrasi atau pendataan calon pasien yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan.
3. Pelayanan Farmasi, merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memilih obat yang tepat
untuk pasien sesuai dengan resep yang dilakukan oleh dokter.
4. Penjaminan dan pelayanan ambulan, kegiatan yang dilakukan dalam rangka memenuhi
pelayanan kesehatan pasien dibidang transportasi khusus pasien.
31
5. Rawat Jalan, merupakan pelayanan untuk pasien yang diperbolehkan untuk pulang
sesuai hasil pemeriksaan dokter.
6. Rawat Inap, merupakan pelayanan untuk pasien yang mengharuskan pasien untuk
menginap sesuai hasil pemeriksaan dokter.
7. Diagnosis TB Paru, merupakan layanan kesehatan khusus untuk pasien yang terkena
TB Paru.
8. Tata laksana pasien TB anak pada PPK-1, merupakan layanan kesehatan khusus untuk
pasien anak yang terkena TB Paru pada PPK-1.
Tabel 1 menggambarkan hubungan proses bisnis dengan seluruh elemen WSF. Tabel ini
selanjutnya digunakan untuk mengidentifikasi pengetahuan yang diperlukan partisipan
dalam interaksi yang terjadi sebagaimana yang dapat dilihat pada Tabel 2.
27
Tabel 1 Hubungan Proses bisnis dan Elemen Work System di PPK-1 Sistem JKN
No Business Process Participant Information Technology Customer
1. Pendaftaran peserta
BPJS Kesehatan
· Petugas pendaftaran peserta BPJS
· Peserta BPJS Kesehatan
· Teller bank bekerjasama dengan BPJS
· Persyaratan dan alur pendaftaran peserta BPJS Kesehatan
· Website JKN
· Website BPJS Kesehatan · Peserta BPJS Kesehatan
2. Pendaftaran pasien di
PPK-1 · Petugas loket faskes tingkat 1
· Peserta BPJS Kesehatan
· Persyaratan dan alur pendaftaran p Keberadaan aplikasi primary care asien PPK-1
· Primary care · Peserta BPJS Kesehatan
3. Pelayanan Farmasi · Petugas apotek
· Apoteker
· Peserta BPJS Kesehatan
· Persyaratan dan alur pengambilan obat jenjang PPK-1
· Keberadaan aplikasi e-catalog obat · E-catalog Obat · Peserta BPJS kesehatan
4. Penjaminan dan
Pelayanan Ambulan
· Peserta BPJS Kesehatan
· Petugas loket faskes tingkat-1
· Dokter jaga
· Bagian operasional ambulan
· Bagian pelayanan kesehatan primer BPJS
· Persyaratan dan proses penjaminan dan pelayanan ambulan
· Website BPJS · Peserta BPJS kesehatan
5 Rawat jalan · Peserta BPJS Kesehatan
· Dokter jaga
· Apoteker faskes tingkat 1
· Petugas loket pengambilan obat
· Persyaratan dan proses pendaftaran pasien rawat jalan PPK-1
· Primary Care · Peserta BPJS kesehatan
6 Rawat inap · Peserta BPJS Kesehatan
· Dokter jaga
· Persyaratan pendaftaran pasien rawat inap PPK-1 · Primary Care · Pesrta BPJS kesehatan
7 Diagnosis TB Paru · Peserta BPJS Kesehatan
· Dokter Jaga
• Proses diagnosis penyakit TB
• Penggunaan aplikasi primary care
• Keberadaan aplikasi e-catalog obat
· Primary Care
· E-catalog Obat · Peserta BPJS kesehatan
8 Tatalaksana pasien TB
anak pada PPK-1 · Peserta BPJS Kesehatan
· Dokter jaga
• Proses diagnosis penyakit TB Anak
• Keberadaan aplikasi primary care, dan aplikasi e-catalog obat
· Primary Care
· E-catalog Obat · Peserta BPJS kesehatan
28
Tabel 2 Hubungan Proses Bisnis dengan Kebutuhan Informasi dan Pengetahuan
Proses Bisnis Informasi Pengetahuan
Pendaftaran peserta BPJS Kesehatan · Persyaratan dan alur pendaftaran peserta BPJS Kesehatan Alur pendaftaran
Pendaftaran layanan di PPK-1 · Persyaratan dan alur pendaftaran pasien PPK-1
· Keberadaan aplikasi primary care
Alur pendaftaran pasien PPK-1
Pelayanan Farmasi · Persyaratan dan alur pengambilan obat jenjang PPK-1
· Keberadaan aplikasi e-catalog obat
Alur pengambilan obat, obat-obatan ,
pembiayaan oleh BPJS
Penjaminan dan pelayanan ambulan · Persyaratan dan proses penjaminan dan pelayanan ambulan Alur pelayanan ambulan
Rawat jalan · Persyaratan dan proses pendaftaran pasien rawat jalan PPK-1 Alur pasien rawat jalan
Rawat inap · Persyaratan pendaftaran pasien rawat inap PPK-1 Alur pasien rawat inap
Diagnosis TB Paru · Proses diagnosis penyakit TB
· Penggunaan aplikasi primary care
· Keberadaan aplikasi e-catalog obat
Penyakit TB dan pengobatannya, Alur
penanganan diagnosis TB Paru, INA-CBGs
Tatalaksana pasien TB anak · Proses diagnosis penyakit TB Anak
· penggunaan aplikasi primary care
· Keberadaan aplikasi e-catalog obat
Penyakit TB anak dan pengobatannya, Alur
penanganan diagnosis TB anak, INA-CBGs
29
Proses Bisnis di PPK-1
Untuk berbagai keperluan, proses bisnis dapat digambarkan lebih detil seperti pada diagram pada Gambar 10 sd gambar 17.
Gambar 10 Proses Bisnis Pendaftaran Peserta BPJS Kesehatan
30
Gambar 11 Proses Bisnis Pendaftaran Pasien Faskes Tingkat Pertama
31
Gambar 12 Proses Bisnis Pelayanan Farmasi
32
Gambar 13 Proses Bisnis Penjaminan dan Pelayanan Ambulan
33
Gambar 14 Proses Bisnis Rawat Jalan
34
Gambar 15 Proses Bisnis Rawat Inap
35
Gambar 16 Proses Bisnis Diagnosis TB Paru
36
Gambar 17 Proses Bisnis Tatalaksana Pasien TB Anak pada PPK-1
36
5.4 Analisis Permasalahan Partisipan
Analisis ini dilakukan untuk mengetahui permasalahan/ kendala yang dihadapi oleh
partisipan dalam proses bisnis tertentu yang disebabkan karena kurangnya informasi/
pengetahuan. Data untuk melakukan analisis ini juga belum dilakukan dan menjadi bagian
dari penelitian selanjutnya. Contoh permasalahan yang dimaksud adalah: i) dokter PPK-1,
harus menguasai 145 jenis penyakit sehingga bisa lupa/ tidak tahu, menyebabkan hasil
diagnosis tidak akurat atau tidak tepat merujuk ke PPK-2.
5.4 Analisis Lingkungan Pemrosesan Pengetahuan
Analisis lingkungan pemrosesan pengetahuan pada PPK-1 dan PPK-2 belum tuntas
dilakukan dan menjadi bagian dari penelitian selanjutnya 2. Pada tahap ini diperlukan
beberapa data primer dan sekunder untuk memahami proses-proses pengetahuan pada level
individu, level organisasi dan antar organisasi: siapa saja yang terlibat, informasi dan
pengetahuan apa yang diperlukan oleh setiap partisipan, bagaimana pengetahuan dikelola,
bagaimana proses penciptaan dan berbagi pengetahuan terjadi, bagaimana dukungan
teknologi, dsb. Analisis ini merupakan fase yang penting untuk memodelkan kebuhan
Sistem Manajemen Pengetahuan yang diperlukan.
5.5 Rancangan Kuesioner Bagi Pasien TB
Kuesioner bagi pasien TB ini merupakan salah satu alat untuk menilai lingkungan
pemrosesan pengetahuan pada sistem kerja tata laksana TB dengan JKN. Kuesioner ini akan
digunakan untuk mengidentifikasi dan menguji pengetahuan pasien baik tentang medik
(penyakit TB) maupun layanan administratif (layanan kesehatan dan layanan finansial oleh
BPJS). Tabel 4 berisi operasionalisasi variabel sedangkan Tabel 5 berisi rancangan
kuesioner untuk pasien TB.
Tabel 3 Operasionalisasi Variabel
Variabel Dimensi Indikator Item pertanyaan
1. Pengetahuan
tentang
Tuberkulosis
/ TB (B.1.)
1.Gejala
(B.1.1.)
1. GejalaUmum
2. Gejala spesifik (lab)
1. Batuk
2. Sesak nafas
3. Keringat dingin
4. Dahak darah
5. Pemeriksaan dahak
6. Pemeriksaan toraks
37
Variabel Dimensi Indikator Item pertanyaan
2. Pengobatan
(B.1.2.)
1. Kepatuhan berobat
7. Memastikan resep obat
8. Disiplin minum obat
9. Lama pengobatan
2. Proses
penyembuhan
10. Riwayat kesehatan
11. Rencana medis.
12. Berani bertanya kepada
dokter jika ada hal yang tidak
jelas.
13. Melibatkan keluarga dalam
pengobatan
3. Penularan
(B.1.3.)
1. Media penularan 14. Udara
15. Peralatan makan
2. Bentuk 16. Bersin
17. Batuk
4. Pencegahan
(B.1.4)
1. Mencegah untuk
tidak tertular
18. Memperbaiki gizi
19. Sirkulasi udara
2. Mencegah untuk
tdak menularkan
20. Masker
21. Menutup mulut ketika batuk
5. Sumber
informasi
tentang
tuberkulosis
(B.1.5.)
1. Informasi dari
Puskesmas
22. Informasi dari banner di
Puskesmas
23. Informasi dari dokter di
Puskesmas
2. Informasi dari
media cetak dan
media massa
24. Informasi dari poster
25. Informasi dari brosur
26. Informasi dari media radio
27. Informasi dari media TV
2. Pengetahuan
tentang
administrasi
JKN (B.2)
1. Kebijakan
JKN
berkaitan
dengan
syarat
administra-
tif, iuran
dan
prosedur
(B.2.1.)
1. Syarat
administratif
28. KTP
29. KK
2. Iuran
30. Besar iuran
31. Waktu pembayaran iuram
JKN
32. Pembayaran iuran di JKN
setempat
33. Pembayaran iuran JKN
melalui ATM
3. Prosedur
34. Masa tunggu layanan
35. Mengetahui alur rujukan
36. Proses rujukan mudah
37. Layanan di Puskesmas
terdekat
2. Fasilitas
obat dan
ambulans
(B.2.2.)
1. Fasilitas obat
38. Prosedur
39. Mendapat penjelasan
penggunaan obat
40. Jenis obat yang diperoleh
dengan gratis
41. Informasi besarnya selisih
bayar
38
Variabel Dimensi Indikator Item pertanyaan
2. Fasilitas ambulans 42. Prosedur
43. Informasi Biaya
3. Fasilitas
rawat jalan,
rawat inap
dan rujukan
(B.2.3.)
1. Rawat jalan
44. Syarat rawat jalan
45. Mengetahui rekam medis
46. Waktu kontrol
47. Disiplin melalukan kontrol
2. Rawat inap 48. Syarat rawat inap
49. Mengetahui rekam medis
3. Rujukan
50. Syarat rujukan
51. Mengetahui alasan rujukan
ke tenaga medis lain
52. Manfaat rujukan
39
Tabel 4 Kuesioner Untuk Pasien TB
KUESIONER UNTUK PASIEN TB
PENYUSUNAN MODEL SISTEM MANAJEMENPENGETAHUAN JAMINAN
KESEHATAN NASIONAL UNTUK PENYAKIT TUBERKULOSIS
Petunjuk: Para enumerator/surveyor terlebih dahulu menjumpai Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM), RS Paru dr. Rotinsulu dan Puskesmas Sukasari Kota Bandung untuk memperkenalkan diri, menjelaskan
tujuan survei dan memohon ijin untuk melaksanakan pengumpulan data dari pasen TB sebagai responden, serta
menjelaskan bahwa identitas responden akan dijaga kerahasiaannya. Untuk pertanyaan terbuka responden diminta
menjawab dengan kata atau kalimat yang jelas dan untuk pertanyaan tertutup (pilihan) harap memilih satu jawaban
dengan melingkarinya.
BAGIAN A. GAMBARAN UMUM RESPONDEN
A.1. Identitas Responden
A1 ID Responden
Diisi oleh petugas data entry.
A2 Nama Responden
Tulis dengan Huruf Besar pada kolom
sebelah kanan.
A3 Jenis Kelamin Responden
Harap memilih satu jawaban saja
dengan melingkarinya.
1. Laki – laki
2. Perempuan
A4 Umur Responden
Harap menuliskan jawaban tahun di
kolom sebelah kanan.
A5 Pendidikan Terakhir Responden
Harap memilih satu jawaban saja
dengan melingkarinya.
1. Tidak bersekolah
2. SD/MI dan sederajat
3. SMP/MTs dan sederajat
4. SMU/SMK/MA dan sederajat
5. PerguruanTinggi/Universitas
A6 PekerjaandanPendapatanResponden
Harap memilih satu jawaban saja dengan melingkarinya.
A6.1 Pekerjaan 1. PNS
2. Swasta
3. Pedagang
4. IbuRumahTangga
5. Lain-lain
(sebutkan)…………………………………
A6.2 Rata-rata Pendapatan per
Bulan
1. < Rp. 1.000.000,-
2. Rp. 1.000.000,- sd Rp. 2.500.000,-
3. Rp. 2.500.000,- sd Rp. 4.000.000,
4. Rp. 4.000.000 sd Rp. 5.500.000,-
5. > Rp. 5.500.000,-
A.2. Lokasi Klien
A7 Kelurahan
Tulis dengan Huruf Besar pada
40
kolom sebelah kanan.
A8 Kecamatan
Tulis dengan Huruf Besar pada
kolom sebelah kanan.
A9 Kota/Kabupaten A9.1 Nama Kota/Kabupaten:
A9.2 ID Kota/Kabupaten:
A10 Tanggal Pelaksanaan Wawancara
A11 Nama
Enumerator:
Tandatangan Enumerator:
A12 ID Enumerator:
A13 Nama Validator: Tandatangan Validator:
A14 ID Validator:
41
BAGIAN B. (I. TINGKAT PENGETAHUAN RESPONDEN TTG MEDIS (TB)
Petunjuk pilihan alternatif jawaban:
SS : Sangat Setuju
S : Setuju
KS : Kurang Setuju
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
Kode PERNYATAAN ALTERNATIF JAWABAN Score
SS S KS TS STS
B.1.1.1 Batuk selama 2 minggu adalah salah satu gejala
umum TB.
B.1.1.2 Sesak nafas sebagai salah satu tanda TB
B.1.1.3 Keringat dingin adalah salah satu gejala TB.
B.1.1.4 Dahak berdarah tidak perlu diwaspadai sebagai
cirri TB
B.1.1.5 Pemeriksaan darah diperlukan untuk diagnosa
TB
B.1.1.6 Pemeriksaan toraks diperlukan untuk diagnosa
TB
B.1.2.1 Mengetahui jenis obat untuk pengobatan TB
B.1.2.2 Disiplin minum obat tepat waktu sangat penting
dalam proses pengobatan TB
B.1.2.3 Lama pengobatan TB selama 6 bulan
B.1.2.4 Riwayat kesehatan perlu disampaikan kepada
dokter
B.1.2.5 Rencana medis proses pengobatan merupakan
pengetahuan penting selama pengobatan TB
B.1.2.6 Berani bertanya bertanya tentang TB kepada
Dokter jika ada yang kurang jelas.
B.1.2.7 Keterlibatan keluarga sangat penting dalam
peengobatan TB
B.1.3.1 Udara adalah salah satu media penularan TB
B.1.3.2 Peralatan makan hendaknya terpisah dengan
orang lain untuk mencegah penularan TB
B.1.3.3 Kuman TB dapat menyebar ketika bersin dengan
hidung tidak ditutup
B.1.3.4 Kuman TB dapat menyebar ketika batuk dengan
mulut tidak ditutup
B.1.4.1 Memperbaiki kualitas gizi buruk adalah salah
satu upaya agar tidak tertular TB
B.1.4.2 Sirkulasi udara yang baik di lingkungan rumah
sebagai upaya pencegahan TB
B.1.4.3 Penggunaan masker selama masa penyembuhan
penting bagi penderita TB
B.1.4.4 Kebiasaan untuk menutup mulut ketika batuk
42
merupakan salah satu cara pencegahan penularan
TB
B.1.5.1 Informasi tentang TB diperoleh dari banner yang
dipajang di Puskesmas
B.1.5.2 Informasi tentang TB diperoleh dari dokter
Puskesmas
B.1.5.3 Informasi tentang TB diperoleh dari poster
B.1.5.4 Informasi tentang TB diperoleh dari brosur
B.1.5.5 Informasi tentang TB diperoleh dari media radio
B.1.5.6 Informasi tentang TB diperoleh dari media TV
BAGIAN B. (II. TINGKAT PENGETAHUAN RESPONDEN TTG ADMINISTRASI JKN)
Kode PERNYATAAN ALTERNATIF JAWABAN Score
SS S KS TS STS
B.2.1.1 KTP adalah syarat administratif pendaftaran JKN.
B.2.1.2 KK adalah syarat administratif pendaftaran JKN.
B.2.1.3 Manfaat pelayanan kesehatan berdasarkan
besarnya iuran JKN
B.2.1.4 Peserta JKN harus membayar iuran sebelum
jatuh tempo
B.2.1.5 Pembayaran iuran dapat dilakukan di JKN
setempat
B.2.1.6 Pembayaran iuran JKN dapat dilakukan melalui
ATM
B.2.1.7 Terdapat masa tunggu layanan setelah mendapat
kartu
B.2.1.8 Mengetahui alur rujukan
B.2.1.9 Proses rujukan mudah
B.2.1.10 Pelayanan awal untuk mendapatkan pengobatan
adalah di Puskesmas terdekat dengan domisili
tempat tinggal.
B.2.2.1 Prosedur pengambilan obat mudah
B.2.2.2 Mendapat penjelasan dengan baik dari petugas
apotik tentang tata cara penggunaan obat
B.2.2.3 Obat yang tersedia di apotik diperoleh dengan
gratis
B.2.2.4 Petugas menginformasikan sebelumnya jika
terdapat selisih bayar harga obat.
B.2.2.5 Prosedur pengajuan ambulans mudah
B.2.2.6 Biaya jasa layanan ambulans dibayar oleh JKN
B.2.3.1 Rawat jalan untuk pasien TB yang tidak
memerlukan alat khusus.
B.2.3.2 Pasien rawat jalan mengetahui rekam medis
B.2.3.3 Mengetahui waktu kontrol kesehatan sangat
penting untuk pasen rawat jalan
B.2.3.4 Disiplin melakukan kontrol kesehatan untuk
mengetahui kemajuan pengobatan dapat
mempercepat kesembuhan
B.2.3.5 Syarat rawat inap salah satunya adalah pasien
memerlukan alat khusus(seperti oksigen, infuse,
43
dsj)
B.2.3.6 Pasien rawat inap mengetahui rekam medis
B.2.3.7 Rujukan diperlukan apabila tidak ada fasilitas
kesehatan yang tersedia
B.2.3.8 Mengetahui alasan dirujuk ke tenaga medis ybs.
B.2.3.9 Mengetahui manfaat rujukan
Petunjuk: Ucapkan terima kasih kepada responden atas kesediaannya untuk wawancara.
44
BAB VI
RENCANA TAHAPAN BERIKUTNYA
Rencana Tahapan Penelitian Berikutnya:
1. Melakukan pengumpulan data primer dan sekunder untuk memahami lingkungan
pemrosesan pengetahuan pada PPK sambil terus melengkapi pemehaman tentang
lingkungan bisnisnya. Salah satu alat yang digunakan adalah kuesioner untuk pasien
TB dengan JKN, mengolah hasil kuesioner dan membuat panduan FGD, dan segala
hal yang terkait, melakukan FGD dan mengolah hasil FGD untuk mendapatkan
informasi lebih detil.
2. Menganalisis kebutuhan Sistem Manajemen Pengetahuan, mengembangkan model
dan menguji model.
45
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari proses dan hasil penelitian yang telah dilakukan:
1. Simpulan terhadap sistem kerja dan proses bisnis di PPK-1 terkait JKN:
a. Informasi yang disedikan oleh BPJS tentang layanan medis sudah cukup
lengkap contohnya website BPJS Kesehatan tetapi informasi ini kurang sampai
ke peserta/ peserta tidak mengakses informasi yang telah disediakan.
b. Sharing pengetahuan yang dilakukan di PPK-1 terhadap penerima layanan
kesehatan / anggota BPJS kesehatan masih belum baik sehingga pengetahuan
peserta BPJS Kesehatan tentang prosedur maupun informasi yang ada di lingkup
PPK-1 masih renda.
c. Tidak adanya bagian khusus penanganan informasi bagi peserta BPJS Kesehatan
yang berada di PPK-1, membuat peserta menjadi kesulitan dalam proses
pencarian informasi dan berujung pada kurangnya pengetahuan peserta.
d. Masih diperlukan pengumpulan data primer, baik melalui kuesioner, wawancara
atau FGD untuk mendapatkan informasi yang lebih detil terkait dengan
pengetahuan partisipan dan kebutuhan untuk mendapatkan layanan informasi
dan edukasi.
2. Simpulan terhadap hasil: penelitian ini telah menghasilkan pemahaman terhadap
lingkungan bisnis pengobatan TB dan proses-proses bisnis yang dilakukan di PPK-1
dan PPK-2 (model proses bisnis, model sistem kerja, dan model kebutuhan
pengetahuan). Data diperoleh lewat observasi, wawancara dan studi dokemen terkait
(baik dari internet maupun buku). Pendekatan analisis yang digunakan untuk
menganalisis lingkungan bisnis dan kebutuhan informasinya, mengadopsi
pendekatan analisis sistem informasi (siklus pengembangan sistem informasi lewat
analisis proses bisnis, analisis sistem kerja, dsb). Sedangkan kerangka fikir mengenai
Sistem Manajemen Pengetahuan mengadopsi konsep Siklus Hidup Pengetahuan
(knowledge life cycle/KLC).
3. Masih diperlukan pengumpulan data primer, untuk mengetahui tingkat pengetahuan
partisipan dan model kebutuhan layanan informasinya.
46
4. Telah dihasilkan dan disubmit sebuah luaran berupa jurnal terakreditasi nasional
dengan judul: Manajemen Pengetahuan Layanan Pengobatan Penyakit Tuberkulosis
Dengan Jaminan Kesehatan Nasional.
5. Masih diperlukan pengumpulan data primer untuk memodelkan lingkungan
pemrosesan pengetahuan yang berjalan dan yang diusulkan untuk setiap PPK.
6. Masih diperlukan pengembangan model dan prototipe Sistem Manajemen
Pengetahuan.
7. Salah satu alat untuk pengumpulan data primer yaitu kuesioner untuk Pasien TB
dengan JKN sudah selesai dirancang dan diuji tetapi belum sempat digunakan.
8. Luaran untuk proceeding belum sempat diselesaikan.
9. Ternyata pengumpulan data pada institusi kesehatan tidak mudah untuk dilakukan
karena membutuhkan proses perijinan khusus seperti surat ijin ethical clearance
yang dikeluarkan oleh instansi tertentu. Ketiadaan surat ini menjadi kendala ketika
mengajukan ijin penelitian di RS paru Rotinsulu, mewakili PPK-3.
7.2 Saran
Berdasarkan proses dan pencapian hasil penelitian tahun pertama ini, saran yang perlu
dipertimbangkan adalah:
1. Agar pengempulan data berjalan lebih lancar, persiapan (mulai dari proposal hingga
perijinan dilakukan lebih teliti, lengkap dan tepat waktu, termasuk persiapan untuk
Focus Group Discussion (FGD).
2. Penelitian perlu dilanjutkan ke tahap tahun kedua agar memperoleh hasil yang lebih
konkrit dan bermanfaat bagi masyarakat dan pemerintah termasuk bagi instansi
dimana penelitian dilakukan.
47
DAFTAR PUSTAKA
Azwar, S. 2013. Struktur dan Perubahan Sikap. Dalam: Sikap Manusia, Teori dan
Pengukurannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Edisi ke-2, hlm. 23-38.
Cahyono, Suharjo.B, 2013, Menjadi Pasien Cerdas: Kiat Memperoleh Layanan Medis
Terbaik dan Aman, Kompas Gramedia.
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI. 2010. Batuk darah
(hemoptisis) & Pneumotoraks. Pulmonologi Intervensi dan Gawat Darurat Napas, hlm..28-
71.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta. Edisi
2.
KM Conceptually, defcon.sdsu.edu/1/objects/km/home/index.htm
McElroy, M.W. (2002), The New Knowledge Management : Complexity, Learning, and
Sustainable Innovation, Butterworth-Heinemann, Burlington.
Munir, B. 2014. JKN, Madu dan Racun. Kompas, 12 Februari 2014.
http:perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/filedigital/130325-5B. Diunduh 22 Maret
2014, jam 21.35.
Nazar, HN. 2013. BPJS – InaCBG’s: Yang Seyogyanya Harus Kita Ketahui. Bulletin IKABI,
Agustus 2013. Ikatan ...www.ikabi.org/bpjs-ina-cbgs-yang-seyogyanya-harus-kita-
ketahui/. Diunduh 21 Maret 2014 jam 21.20 WIB
Notoatmodjo, S. 2011. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Kesehatan Masyarakat: Ilmu dan
Seni. PT Rineka Cipta, Jakarta, Edisi Revisi, hlm.109-67.
Rahma, PA. 2013. Implementasi Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu dan Kendali
...www.mutupelayanankesehatan.net/index.php/component/content/.../208 Majalah
Dental & Dental. Edisi Januari-Februari. Diunduh 22 Maret 2014 jam 21.05 WIB
Sveiby, K.E., (2001), What is Knowledge Management,www.sveiby.com/articles.
Vlok, D. (2004), An Assesment of the Knowledge Processing Environment in an
Organisation – A Case Study, MBA Thesis, Rhodes University, 10-24.
48
LAMPIRAN-LAMPIRAN
49
50
51
Manajemen Pengetahuan Layanan Pengobatan
Penyakit Tuberkulosis Dengan Jaminan Kesehatan Nasional
Leony Lidya1, Yuce Sariningsih2
1Leony Lidya, Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Teknik,
Universitas Pasundan, Bandung, Indonesia.
Email : [email protected]
2Yuce Sariningsih, Jurusan Kesejahteraan Sosial, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik,
Universitas Pasundan, Bandung, Indonesia.
Email : [email protected]
Abstrak
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/ Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan
telah diimplementasikan sejak 1 Januari 2014.
Dengan diluncurkannya program ini, pemerintah
berharap derajat kesehatan masyarakat semakin
meningkat dan penyakit-penyakit infeksi
khususnya tuberkulosis (TB) akan menurun
jumlahnya. Implementasi JKN membawa
perubahan tidak hanya pada sistem pembayaran
tetapi juga pada sistem pelayanan kesehatan. Sejak
JKN diimplementasikan, berbagai permasalahan
muncul disebabkan kurangnya sosialisasi dan
kesiapan stakeholders. Data, informasi,
pengetahuan merupakan bentuk transformasi
pengetahuan yang menjadi dasar pengambilan
keputusan untuk menyelesaikan permasalahan.
Manajemen pengetahuan (knowledge management/
KM) merupakan suatu konsep untuk meningkatkan
performansi organisasi melalui praktik penciptaan
pengetahuan dan berbagi pengetahuan melalui
interaksi dan komunikasi dan fasilitas untuk
mengektraksi, membungkus dan mendistribusikan
pengetahuan menjadi pengetahuan organisasi.
Jurnal ini membahas hasil pengumpulan data,
pemodelan proses bisnis pengobatan TB bagi
pengguna JKN, analisis permasalahan dan model
kebutuhan sistem manajemen pengetahuan untuk
sistem pengobatan TB dengan JKN.
Kata kunci: diagnosis dan pengobatan, jaminan
kesehatan nasional, manajemen pengetahuan,
tuberkulosis, pemodelan proses bisnis
Abstract
National Health Insurance (Jaminan Kesehatan
Nasional/JKN) has been implemented since
January 1st, 2015. The aim and purpose of this
program is to improve the degree of community
health, and to decrease the infection diseases
especially tuberculosis (TB). Implementation of
JKN has shown a significant effect, not only in
budget covering that needed in TB treatment but
also improved the health services itself. However,
there are several problems which caused by the
lack of program socialization and the readiness of
stakeholders. Data, information and knowledge as
some important components of knowledge
transformation which is used in decision making
process. Knowledge management is a concept to
improve the organization performance by
practicing of knowledge creation and knowledge
sharing. In this context, it shared knowledge by
using effective communication, interaction to
extract, wrap and distribute the knowledge into
organization knowledge. This paper discussed the
result of data compilation, modeling of JKN’s
patient tuberculosis treatment, their analysis and
model knowledge management system properly
for treatment of tuberculosis patient which used
JKN facilities.
Keywords: diagnosis and treatment, National
Health Insurance, knowledge management,
tuberculosis, business process modelling
1. Pendahuluan
Sejak 1 Januari 2014, sesuai dengan
amanat UU No.40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN),
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
kesehatan mulai diimplementasikan di
semua fasilitas kesehatan di Indonesia.
Dengan diluncurkannya program ini,
pemerintah berharap derajat kesehatan
masyarakat semakin meningkat dan
penyakit-penyakit infeksi khususnya
tuberkulosis (TB) paru dan luar paru akan
menurun jumlahnya. Sayangnya,
implementasi JKN masih memiliki
37
kekurangan dan mendatangkan berbagai
keluhan dari masyarakat.
Beberapa permasalahan yang
terindentifikasi pada implementasi JKN
sebagai berikut:1 1) regulasi operasional
seperti peraturan pemerintah, peraturan
presiden dan peraturan menteri kesehatan
terlambat dikeluarkan dan disosialisasikan
sehingga muncul keluhan mulai dari
registrasi peserta, besar iuran, sampai
pelayanan operasional di fasilitas
kesehatan; 2) Sistem pelayanan kesehatan
dengan sistem rujukan baru, rujukan
bertingkat dimulai dari puskesmas juga
menjadi permasalahan. Rujukan
berjenjang dan terbagi tiga tingkat, yang
awalnya ditujukan untuk mengoptimalkan
sistem rujukan, menjadi menyiksa dan
menambah penderitaan pasien; 3) Sistem
pembayaran dengan INA-CBGs.
Penerapan tarif yang dilakukan BPJS
sepertinya terburu-buru dan tidak
melibatkan organisasi profesi kesehatan.
Besaran pembiayaan kacau balau dan
banyak mendapat protes dari rumah sakit
dan organisasi profesi; 4) Besaran klaim
juga sangat rendah. Hal ini memaksa para
dokter dan profesi kesehatan memberi
pelayanan jauh dibawah standar profesi
dan standar prosedur operasional dan
sedikit-sedikit merujuk ke fasilitas yang
lebih lengkap; 5) Kualitas dan kuantitas
obat yang tersusun dalam formularium
nasional, sangat terbatas dan jauh dari
standar pelayanan minimal.
Minimnya pengetahuan akibat
kompleksitas informasi yang diterima oleh
dokter dan perawat (pemberi layanan
kesehatan) maupun pasien sebagai
penerima layanan dapat mempengaruhi
proses implementasi program.2
Pengetahuan yang minim tentang JKN,
dapat menimbulkan sikap (kecenderungan
perilaku) yang “keliru” atau negatif atau
kurang mendukung.3 Sikap kurang
mendukung dari pemberi layanan akan
menurunkan produktivitas kerja, kualitas
layanan, terhambatnya pemecahan
masalah dan pengembangan hubungan
antar manusia, timbulnya ketegangan,
konflik atau mungkin
demonstrasi/menolak dalam melayani
pasien-pasiennya. Jika hal ini terjadi pada
dokter dan perawat dapat menimbulkan
underdiagnosis atau overdiagnosis,
kurang tepat memberikan pengobatan dan
asuhan keperawatannya. Jika situasi ini
terjadi pada pasien tuberkulosis (TB) BTA
positif; dapat menimbulkan kasus TB
resisten obat (TB MDR) yang penanganan
kasusnya membutuhkan waktu yang lebih
lama dan biaya yang lebih besar. Hal ini
sangat berlawanan sekali dengan prinsip
dan tujuan JKN yaitu kendali mutu dan
kendali biaya.
Berbagai persoalan yang muncul
terutama bersumber dari perubahan pada
sistem pembayaran dan perubahan pada
sistem pelayanan kesehatan yang
menerapkan sistem rujukan bertingkat.
Perubahan ini tentu saja membutuhkan
kesiapan stakeholders khususnya operator
pelaksana JKN baik pada level individu
maupun organisasi. Individu dan
organisasi perlu dibekali informasi dan
pengetahuan yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas dengan efektif dan
efisien.
Manajemen pengetahuan (knowledge
management/KM) merupakan suatu
konsep untuk meningkatkan performansi
organisasi melalui praktik penciptaan
pengetahuan dan berbagi pengetahuan
melalui interaksi dan komunikasi dan
fasilitas untuk mengektraksi,
membungkus dan mendistribusikan
pengetahuan menjadi pengetahuan
organisasi. Berdasarkan konsep KM,
dapat dikembangkan Sistem Manajemen
Pengetahuan (Knowledge Management
System/ KMS) yang memberikan
dukungan terhadap implementasi KM
dengan memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi.
Dengan menerapkan KMS di
lingkungan organisasi penyedia layanan
kesehatan dengan JKN, diharapkan dapat
membantu pemerintah dalam
mengefektifkan pelaksanaan JKN,
khususnya untuk penyakit tuberkulosis
38
(TB). Penyakit TB dipilih karena
merupakan penyakit infeksi dengan
jumlah penderita terbanyak di Indonesia,
juga menimbulkan berbagai problema
kesehatan pada masyarakat.
Jurnal ini membahas hasil penelitian
tahun pertama dari penelitian
berkelanjutan (multi years) untuk
pengembangan KMS sistem layanan
pengobatan TB dengan JKN. Pembahasan
selanjutnya dari jurnal ini adalah sebagai
berikut: metode penelitian yang
digunakan, hasil pengumpulan data untuk
memahami sistem yang berjalan dan
permasalahannya yang direpresentasikan
dalam bentuk model proses bisnis
pengobatan TB dengan JKN dan analisis
permasalahan dalam layanan pengobatan
TB dengan JKN; dan analisis model KMS
yang dibutuhkan.
2. Metode
Pengumpulan data untuk penelitian ini
dilakukan di dua tempat yaitu Puskesmas
Kecamatan Sukasari, Bandung, Jawa
Barat, mewakili PPK-1 dan BBKPM
Cibadak, Bandung, Jawa Barat, mewakili
PPK-2. Pada awalnya juga direncanakan
untuk melakukan pengambilan data di RS
Paru Rotinsulu, Bandung mewakili PPK-3
tetapi ditunda karena pihak RS meminta
surat ethical clearance yang
pengurusannay membutuhakn waktu dari
instansi yang berwenang. Pengumpulan
data dilakukan antara bulan Juli hingga
Oktober 2015.
Pengumpulan data dilakukan lewat
observasi, wawancara mendalam dengan
dokter spesialis paru di BBKPM Cibadak,
serta studi dokumen terkait dari internet
maupun di tempat penelitian. Analisis
dilakukan dua tahap: 1) untuk memahami
sistem yang berjalan (lingkungan
pemrosesan bisnis) menggunakan
pendekatan analisis sistem informasi yang
menghasilkan model proses bisnis sistem
layanan pengobatan TB dengan JKN; 2)
memahami kebutuhan informasi dan
pengetahuan menggunakan pendekatan
worksystem framework.
Proses bisnis adalah suatu gagasan
untuk memahami bagaimana bisnis
melaksanakan pekerjaannya untuk
menghasilkan nilai-nilai bagi pelanggan.
Proses bisnis ini disajikan dalam diagram
alur proses, jenis swimlane diagram yang
memperlihatkan aktor, alur proses dan
dokumen.
Work System Framework (WSF)
merupakan suatu kerangka fikir yang
menggambarkan suatu sistem kerja secara
ringkas namun signifikan berdasarkan
elemen-elemen pentingnya.4 WSF ini
dapat digunakan untuk memetakan
elemen-elemen sistem dan menilai apakah
sudah optimal atau belum. Hasil analisis
ini selanjutnya digunakan untuk
merencanakan peningkatan sistem
(improvements), antara lain lewat
pemanfaatan teknologi informasi dan
sistem informasi.
Work system merupakan sistem,
dimana partisipan manusia atau mesin
melaksanakan bisnis proses dengan
menggunakan informasi, teknologi, dan
sumberdaya lain untuk menghasilkan
suatu produk dan atau layanan bagi
internal atau external customer. Elemen-
elemen yang membangun work system
framework:4 i) customer (orang/organisasi
yang menerima/ menggunakan produk/
jasa yang dihasilkan oleh sistem baik
langsung maupun tidak langsung), ii)
product/ service (gabungan benda fisik,
informasi dan layanan yang dihasilkan
oleh sistem), iii) business process
(kumpulan tahapan kerja atau aktivitas
dalam sistem yang dibutuhkan untuk
menghasilkan produk/jasa hingga diterima
oleh konsumen), iv) participants (orang
atau organisasi yang terlibat dalam
menjalankan tahapan kerja), v)
information (semua informasi yang
dibutuhkan oleh partisipan dalam
menjalankan proses bisnis), vi) technology
39
(hardware, software dan perlengkapan
lainnya yang digunakan oleh partisipan
dalam menjalankan proses bisnis); vii)
context (organisasional, persaingan,
teknikal, dan regulasi terkait, sebagai
faktor lingkungan yang mempengaruhi
performansi sistem); viii) infrastructure
(sumber daya bersama baik manusia
maupun sumber daya teknikal lain
meskipun dikelola di luar sistem, seperti
staf training, infrastruktur informasi,
jaringan dan database).
3. Hasil dan Pembahasan
Pembahasan subbab ini mencakup hasil
pengumpulan data (baik data primer
maupun sekunder) tentang JKN, penyakit
TB, dan alur proses bisnis terkait dengan
pengobatan TB pada setiap Pemberi
Pelayanan Kesehatan (PPK). Digunakan
sebagai dasar untuk mendefinisikan siklus
pemrosesan bisnis dan siklus pemrosesan
pengetahuan dari sistem berjalan dan
sistem manajemen pengetahuan yang
menjadi target.
3.1 Kebijakan dan Perubahan Layanan
Kesehatan JKN
Lahirnya Undang-Undang Sistem
Jaminan Sosial Nasional (SJSN) No.40
tahun 2004 menunjukkan rencana
pemerintah untuk menerapkan Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). JKN
merupakan program pemerintah dan
masyarakat dengan tujuan memberikan
kepastian jaminan kesehatan yang
menyeluruh bagi setiap rakyat Indonesia
agar penduduk Indonesia dapat hidup
sehat, produktif dan sejahtera. SJSN
dijalankan oleh Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS) sesuai UU No.24
tahun 2011, melakukan kontrak kerja
dengan badan hukum pemilik rumah sakit.
Rumah sakit yang dikontrak BPJS adalah
rumah sakit yang memberikan kualitas
layanan terbaik dengan tarif yang
terjangkau.
Manfaat jaminan kesehatan terdiri atas
manfaat medis dan manfaat non medis.
Manfaat medis tidak terikat dengan
besaran iuran yang dibayarkan, sedangkan
manfaat non medis meliputi manfaat
akomodasi dan ambulans. Manfaat
pelayanan promotif dan preventif meliputi
pemberian pelayanan penyuluhan
kesehatan perorangan, imunisasi dasar,
keluarga berencana dan skrining
kesehatan. Penyuluhan kesehatan
perorangan meliputi paling sedikit
penyuluhan mengenai pengelolaan faktor
risiko penyakit dan perilaku hidup bersih
dan sehat. Pelayanan skrining kesehatan
diberikan secara selektif yang ditujukan
untuk mendeteksi risiko penyakit dan
mencegah dampak lanjutan dari risiko
penyakit tertentu (jenis penyakit, dan
waktu pelayanan skrining kesehatan).
Pelayanan kesehatan yang dijamin
meliputi pelayanan tingkat pertama dan
pelayanan kesehatan rujukan tingkat
lanjut. Terdapat juga beberapa pelayanan
kesehatan yang tidak dijamin oleh BPJS.
Sistem Rujukan Bertingkat
Pemilik kartu BPJS mempunyai hak
untuk memeriksakan kesehatan dan
berobat melalui sistem rujukan bertingkat.
Tak ada halangan dan kesulitan bagi
pemegang kartu BPJS Kesehatan untuk
menggunakan manfaat asuransinya
sepanjang prosedur rujukan berjenjang
mulai dari tingkat layanan dasar
Puskesmas (Pemberi Pelayanan
Kesehatan/PPK-1), RS sekunder tipe D, C
(PPK-2), B dan A (PPK-3). Rumah sakit
pendidikan, tempat pendidikan profesi
dokter ataupun pendidikan spesialis (RS
tipe B atau A), termasuk pelayanan tertier.
BBKPM merupakan fasilitas pelayanan
kesehatan yang setara dengan RS tipe C
(PPK-2). Sistem rujukan bertingkat
berlaku untuk kasus rawat inap maupun
kasus rawat jalan, tetapi tidak berlaku
untuk kasus gawat darurat seperti batuk
darah (hemoptisis), pneumotoraks
40
(dispneu dan atau nyeri dada pada sisi
yang sakit).5
Sistem Pembayaran
Besaran pembayaran kepada fasilitas
kesehatan ditentukan berdasarkan
kesepakatan BPJS kesehatan dengan
asosiasi fasilitas kesehatan di wilayah
(regionalisasi) tersebut dengan mengacu
pada standar tarif yang ditetapkan oleh
Menteri. Peserta tidak boleh dikenai biaya
tambahan, kecuali bagi peserta yang tidak
mengikuti standar peraturan yang telah
ditetapkan. Berdasarkan tingkat
kemahalan masing-masing daerah
(regional), Indonesia dibagi empat
regional yaitu: regional-1 untuk wilayah
Jawa-Bali, regional-2 untuk wilayah
Sumatra, regional-3 untuk wilayah
Kalimantan-Sulawesi-NTB), dan regional-
4 untuk wilayah Papua-Maluku-NTT.
Pelayanan kesehatan kepada peserta
Jaminan Kesehatan harus memperhatikan
mutu pelayanan, berorientasi pada aspek
keamanan pasien, efektifitas tindakan,
kesesuaian dengan kebutuhan pasien, serta
efisiensi biaya. Efisiensi pembiayaan
pelayanan terhadap peserta BPJS tercipta
melalui standarisasi pelayanan dengan
membuat clinical pathway. Dengan
clinical pathway, kita dapat melakukan
unit cost per service, bukan unit cost per-
day.6
Paradigma Pembayaran, INA-CBGs Dalam era JKN, terjadi perubahan
paradigma pembiayaan dari retrospektif
menjadi prospektif. Dengan sistem
prospektif, pembayaran pelayanan
dilakukan sebelum pelayanan diberikan.
Kapitasi dan INA-CBG’s merupakan
sistem pembayaran prospektif. INA-CBGs
merupakan singkatan dari Indonesian
Case Base Groups. INA-CBG’s adalah
suatu pengklasifikasian atau
pengelompokkan dari perawatan holistik
pasien yang dirancang untuk menciptakan
kelas-kelas yang relatif homogen dalam
hal sumber daya yang akan digunakan dan
berisikan pasien-pasien dengan
karakteristik klinis yang sejenis. Dengan
kata lain, INA-CBG’s merupakan cara
pembayaran keseluruhan biaya perawatan
pasien berdasarkan diagnosis atau kasus
yang relatif sama. Klasifikasi diagnosis
menggunakan ICD-10, sedangkan
klasifikasi prosedur/tindakan digunakan
ICD-9-CM. Termasuk penambahan,
diagnosis sekunder, penyakit penyerta dan
komplikasi ataupun penyulit, yang
langsung dikaitkan dengan pembiayaan
pelayanan kesehatan (termasuk jasa
medis).
Clinical Pathway Proses perawatan pasien adalah proses
yang sarat seni bernilai tinggi. Dalam
merawat pasien, dokter kadang
memberikan pelayanan yang bervariasi
sesuai dengan ilmu pengetahuan dan
pengalaman yang dimilikinya. Variasi
memang diperlukan, mengingat setiap
pasien TB, memiliki kondisi tubuh yang
bervariasi saat bereaksi terhadap penyakit
TB yang diderita maupun OAT yang
diminumnya. Namun tidak jarang, variasi
yang diberikan dokter malah tidak perlu
dan bahkan berisiko menambah beban
biaya atas pelayanan yang diberikan.
Untuk mengendalikan kondisi yang
bervariasi diperlukan clinical pathway.7
Clinical pathway (CP) adalah
alur/pedoman kolaboratif yang
menunjukkan secara detail tahap-tahap
penting dari pelayanan kesehatan
termasuk hasil yang diharapkan dalam
merawat pasien yang berfokus pada
diagnosis. CP, alur yang menggambarkan
proses mulai saat penerimaan pasien
hingga pemulangan pasien. CP
menyediakan standar pelayanan minimal
dan memastikan bahwa pelayanan tersebut
tidak terlupakan dan dilaksanakan tepat
waktu. Pedoman kolaboratif ini dijabarkan
dari Panduan Praktek Klinik (PPK); PPK
merupakan “aplikasi” dari Standar Praktek
Kedokteran (SPK). Pengelompokan ini
mengacu pada ICD-10 untuk diagnosis
dan ICD-9-CM untuk prosedur atau
tindakan. Pengelompokkan ini dikenal
41
dengan grouping dan coding. Untuk
mencegah terjadinya kesalahan dalam
coding maupun grouping, diperlukan
adanya “verifikator” yang dapat
menentukan apakah rekam medis yang
meliputi penulisan diagnosis utama,
penyerta, komorbid dan komplikasi-
penyulit sudah layak maupun sesuai.
Konsep ini, dapat mencegah suatu
tindakan moral hazard yang dapat saja
dilakukan oleh dokter.
3.2 Tata Laksana Pasien TB
Penatalaksanaan pasien TB
dilaksanakan oleh Puskesmas, rumah sakit
dan rumah sakit paru, Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BKPM) dan
Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
(BBKPM), Dokter Praktek Swasta (DPS)
dan fasilitas layanan lainnya. Secara
umum konsep pelayanan di Balai
Pengobatan dan DPS sama dengan
pelaksanaan pada rumah sakit dan Balai
Pengobatan (klinik). Dalam Panduan
Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer (2013),
dinyatakan bahwa penyakit TB
dimasukkan ke dalam tingkat kemampuan
3A, dimana pada tingkat ini lulusan dokter
mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada
keadaan yang bukan gawat darurat;
mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya
dan mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan. Gambar 1
menunjukkan klasifikasi penyakit TB,
dimana dokter pada PPK-1 dianggap
dapat menangani penyakit TB kategori
BTA+.
TB
TB Paru
TB Ekstra Paru
TB Paru BTA (+)
TB Paru BTA (-)
Gambar 1 Klasifikasi Tuberkulosis8
Dalam program TB nasional, diagnosis
TB paru pada orang dewasa ditegakkan
dengan ditemukannya kuman TB melalui
pemeriksaan dahak mikroskopis (SPS).
Sedangkan pemeriksaan penunjang seperti
foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat
dilakukan sesuai dengan indikasinya.
Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja
karena foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada
TB paru, sehingga sering terjadi
overdiagnosis atau underdiagnosis. Untuk
mendiagnosis TB luar paru, lebih sulit.
Gejala dan keluhan tergantung organ yang
terkena, misalnya kaku kuduk pada
meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(pleuritis), pembesaran kelenjar limfe
superfisialis pada limfadenitis TB dan
deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya. Diagnosis
pasti ditegakkan dengan pemeriksaan
klinis, bakteriologis dan atau histopatologi
yang diambil dari jaringan tubuh yang
terkena.
3.3 Proses Bisnis di PPK
Alur proses pengobatan penyakit TB
dengan JKN pada pemberi pelayanan
kesehatan (PPK) mulai dari PPK-1, PPK-2
hingga PPK-3 ditentukan oleh jenis/kasus
dan tingkat kegawatan penyakit sesuai
dengan hasil pemeriksaan kesehatan
pasien dan diagnosis dokter. Gambar 2
menggambarkan alur pendaftaran peserta
JKN/BPJS Kesehatan, gambar 3
menggambarkan alur proses registrasi
pasien untuk mendapatkan layanan medik
sedangkan gambar 4 dan 5 mewakili alur
diagnosis dan pengobatan TB di PPK.
Alur Proses Pendaftaran Peserta JKN
42
Alur Proses Administrasi
Petugas BPJSPeserta
Mengambil nomor antrean dan menunggu pemanggilan
Memberikan formulir Daftar Isian Peserta (DIP)
Formulir DIP Kosong
Mengisi formulir
Formulir DIP Terisi
Menyerahkan formulir DIP & lampiran
Dokumen Resmi Peserta
Menginputkan data calon peserta BPJS kesehatan & create virtual
account
Mendapatkan nomor virtual account (VA)
Dokumen Virtual Account
Dokumen Pembayaran
Pembayaran peserta BPJS Kesehatan
Fotocopy KTP/Pasport, Kartu Keluarga, Buku Tabungan, pasfoto 3x4)
Gambar 2 Alur Proses Pendaftaran JKN
Alur Proses Registrasi Pasien
Mengambil
nomor antrean di
loket BPJS
Pasien Baru?
Menyimpan
kartu berobat
dikotak kartu
Menunggu
panggilan
Pasien Baru?
Mencari rekam
medis pasien
Memanggil
pasien sesuai
dengan nomor
antrean
Mengecek
eligibilitas
peserta BPJS
Peserta JKN
aktif
Pasien Petugas Regisrasi
Peserta
Terdaftar?
Peserta Baru?
Mengisi data
identitas pasien
baru BPJS
Menerima kartu
berobat
Menandatangani
klaim
Melakukan
pelayanan RJTP
1X kontak/
penjamin pribadi
Melakukan
pelayanan RJTP
Mengantarkan rekam
medis pada poli
sesuai kebutuhan
pasien
Menunggu di ruang
tunggu poli yang
dituju
Kartu Berobat
Kartu Berobat
Klaim
Rekam Medis
Pasien
Formulir
Peserta
Data Eligibilitas
Peserta BPJS
YT
Y
T
Y
T
Y
T
Gambar 3 Alur Proses Registrasi pasien
Alur Proses Pemeriksaan Medik di PPK-
1
Alur Proses Pemeriksaan Pasien TB di PPK-1
Dokter Umum PPK-1 Unit Penunjang Petugas Penyuluhan
Anamnesa & pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Dahak/ Sputum mikroskopis Memberikan Penyuluhan
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan sputum mikroskopis Materi Penyuluhan TB
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Data ada tapi membingungkan?
Membuat Rujukan ke PPK-2
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Surat Rujukan ke PPK-2
Resep
Tidak
Gambar 4 Alur Proses Pemeriksaan Medik PPK-1
Dilihat dari alur proses ini, dokter umum
di PPK-1 diharapkan dapat menegakkan
diagnosis penyakit TB dengan kasus
BTA+, yaitu jika hasil anamnesa:+,
sputum/BTA:+, berarti dapat dilanjutkan
dengan pengobatan tetapi jika anamnesa
+, tetapi BTA- (membingungkan, diduga
TB tetapi BTA-) maka dokter PPK-1
dapat membuat surat rujukan ke PPK-2.
Alur Proses Pemeriksaan Medik di PPK-
2
Alur Proses Pemeriksaan Pasien TB di PPK-2
Dokter Umum PPK-2 Unit Penunjang Dokter Spesialis ParuPetugas
Penyuluhan
Anamnesa &pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Dahak/Sputum
Memberikan Penyuluhan
Hasil Pemeriksaan Dahak Materi Penyuluhan TB
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Data ada tapi membingungkan?
Membuat Rujukan ke dokter spesialis
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Tidak
Resep
Membuat Rujukan Balik Ke PPK-1
Surat Rujukan ke spesialis
Pemeriksaan Rontgen foto
Pemeriksaan Patologi Anatomi
Uji Spirometri
Pemeriksaan Cairan (Biopsi)
Hasil rontgen foto
Hasil Patologi Anatomi
Hasil Uji Spirometri
Hasil Biopsi
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Anamnesa & pemeriksaan fisik
Menegakkan Diagnosis, Mengisi Rekam Medis
Perlu operasi/rawat inap?
Membuat Rujukan ke PPK-3
Pengobatan (Obat & Non-Obat)
Hasil Diagnosis
Ya
Tidak
Resep
Surat Rujukan Balik ke PPK-1
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Hasil Anamnesa & Pemeriksaan Fisik
Surat Rujukan ke PPK-3
Pemeriksaan Darah
Hasil Pemeriksaan Darah
Gambar 5 Alur Proses Pemeriksaan Medik PPK-2
Di PPK-2, setelah melakukan
registrasi, pasien terlebih dahulu ditangani
oleh dokter umum di PPK-2. Dokter
umum disini sudah dilengkapi dengan
kemampuan untuk membaca rontgen foto
(dapat menangani kasus TB BTA-). Disini
dilakukan pemeriksaan ulang sputum
43
mikroskopis (bisa menggunakan yang dari
PPK-2 jika yakin), dan radiologi/foto
rontgen (foto toraks). Jika hasil foto toraks
(membingungkan/ dokter tidak yakin)
maka dokter umum di PPK-2 dapat
merujuk ke dokter spesialis paru, jika
hasil foto toraks + maka dilanjutkan
dengan pengobatan dan pasien dirujuk
balik ke PPK-1.
Dokter spesialis paru melakukan
pemeriksaan kembali dari awal dan dapat
meminta pemeriksaan tambahan seperti
pemeriksaan laju endap darah (LED),
hispatologi jaringan dengan melakukan
biopsi, biasanya untuk kasus TB yang di
luar paru (TB ekstra paru). Selain
pengobatan, dokter spesialis juga mungkin
melakukan beberapa tindakan medis non
obat seperti punksi yaitu pemasangan
slang (WSD) untuk mengeluarkan cairan.
Jika hasil diagnosis menyatakan pasien
butuh operasi atau rawat inap maka pasien
akan dirujuk ke PPK-3.
Kasus tuberkulosis resisten obat anti TB
(OAT) atau multi drug resistance (MDR
TB), disebabkan pengobatan yang tidak
adekuat. Ditangani langsung oleh dokter
spesialis di PPK-2, dengan prosedur
khusus di ruangan khusus.
Pedoman lengkap dalam melakukan
diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia telah tersedia dalam bentuk
cetakan (buku), yang dikeluarkan oleh
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
Buku ini berisi standar-standar untuk
menegakkan diagnosis TB, standar untuk
pengobatan TB dan standar untuk
kesehatan masyarakat8. Menjadi acuan
bagi seluruh dokter spesialis paru di
Indonesia. Pada buku ini juga dibahas
berbagai pengobatan TB pada keadaan
khusus, yaitu: i) TB Millier, ii) Eufusi
Pleura TB, iii) TB paru dengan Diabetes
Melitus, iv) TB paru dengan HIV/ AIDs,
v) TB Paru Pada Kehamilan, Menyusui
dan Pemakai Kontrasepsi Hormonal, vi)
TB Paru pada gagal Ginjal, vii) TB Paru
dengan Kelainan Hati. Juga kasus TB
dengan beberapa komplikasi baik sebelum
pengobatan maupun setelah pengobatan
yang harus dirujuk ke fasilitas yang
memadai.
3.4 Analisis Sistem Kerja di PPK
Gambar 5 merupakan contoh WSF
untuk PPK-1.
Gambar 6 Work System Framework PPK-1
Berdasarkan WSF ini dilakukan analisis untuk
memetakan setiap proses bisnis terhadap
elemen-elemen lainnya, khususnya elemen
informasi dan partisipan untuk memahami
model interaksi, komunikasi serta kebutuhan
informasi dan pengetahuan. Pemetaan ini
dapat dirangkum dalam sebuah tabel. Contoh:
Pendaftaran Peserta BPJS, partisipan terkait
adalah petugas BPJS dan peserta BPJS,
informasi yang diperlukan persyaratan dan
alur pendaftaran, teknologi yang digunakan
website BPJS.
3.4 Pemrosesan Pengetahuan
Dalam menerapkan konsep manajemen
pengetahuan, peneliti perlu memahami
hakikat pengetahuan, sehingga tidak
keliru dalam memahami bahwa
manajemen pengetahuan = manajemen
informasi, dan Knowledge Management
System (KMS) tidak sama dengan sistem
informasi9. Lingkungan Pemrosesan
Pengetahuan yang didefinisikan dalam
Knowledge Life Cycle (KLC), merupakan
dimensi lingkungan yang perlu
ditumbuhkan dan dirawat di dalam sebuah
organisasi untuk mendukung knowledge
44
creating dan knowledge sharing. Tumbuh
suburnya kedua jenis aktifitas ini
merupakan karakteristik dari organisasi
yang menerapkan manajemen
pengetahuan (Knowledge
Management/KM).10
Experential feedback
Business Processing
Behaviours of
Interacting Agent
Broad
casting
Searching
Sharing
Teaching
OK
Knowledge Production Knowledge Integration
Information
acquisition
Knowledge
claim
formulation
CKC
UKC
SKC
FKC
Info about
UKC
Info about
FKC
Info about
SKC
Knowledge
claim
evaluation
Business Processing Environment
= Knowledge Process = Knowledge Sets
CKC = Codified Knowledge Claims
DOKB = Distributed Organizational Knowledge Base
FKC = Falsified Knowledge Claims
OK = Organizational Knowledge
SKC = Surviving Knowledge Claim
UKC = Undecided Knowledge Claim
External inputs
Individual &
Group
Learning
Feedback
(including the
detection of
problems)
DOKB ‘Containers’
Agents (Indiv & Groups)
Artifact (docs, IT, etc.)
DOKB
· Objective knowledge
· Subjective knowledge
Gambar 7. Knowledge Life Cycle10
KLC terdiri dari tiga komponen yaitu
lingkungan pemrosesan bisnis, lingkungan
pemrosesan pengetahuan (knowledge
production + knowledge integration) dan
DOKB (repository yang menyimpan
pengetahuan organisasi). Lingkungan
pemrosesan pengetahuan dibangun
dengan mendefinisikan proses dan stuktur
organisasi yang mendukung penyelesaian
masalah proses bisnis sehari-hari secara
organisasional dan terdokumentasi di
dalam DOKB sehingga mudah diakses
kembali oleh pihak yang berkepentingan.
Analisis lingkungan pemrosesan
pengetahuan pada PPK-1 dan PPK-2
belum dilakukan dan menjadi bagian dari
penelitian selanjutnya.
3.5 Analisis Permasalahan Partisipan
Analisis ini dilakukan untuk
mengetahui permasalahan/ kendala yang
dihadapi oleh partisipan dalam proses
bisnis tertentu yang disebabkan karena
kurangnya informasi/ pengetahuan. Data
untuk melakukan analisis ini juga belum
dilakukan dan menjadi bagian dari
penelitian selanjutnya. Contoh
permasalahan yang dimaksud adalah: i)
dokter PPK-1, harus menguasai 144 jenis
penyakit sehingga bisa lupa/ tidak tahu,
menyebabkan hasil diagnosis tidak akurat
atau tidak tepat merujuk ke PPK-2.
4. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data
dan analisis yang telah diperoleh beberapa
kesimpulan sebgaai berikut:
1. Penelitian ini telah menghasilkan
model pemrosesan bisnis pengobatan
penyakit TB dengan JKN pada PPK-1
dan PPK-2.
2. Masih diperlukan pengumpulan data
primer, untuk mengetahui tingkat
pengetahuan partisipan dan model
kebutuhan layanan informasinya.
3. Masih diperlukan pengumpulan data
primer untuk memodelkan lingkungan
pemrosesan pengetahuan yang berjalan
dan yang diusulkan untuk setiap PPK.
Daftar Pustaka:
[1] Munir, B. 2014. JKN, Madu dan Racun,
Kompas, 12 Februari 2014.
http:perpustakaan.bappenas.go.id/lontar
/filedigital/130325-5B.
[2] Azwar, S. 2013. Persuasi dan
Pengubahan Sikap Manusia. Dalam:
Sikap Manusia, Teori dan
Pengukurannya. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta. Edisi ke-2, hlm. 60-86.
[3] Notoatmodjo, S. 2011. Pendidikan dan
Perilaku Kesehatan. Kesehatan
Masyarakat: Ilmu dan Seni. PT Rineka
Cipta, Jakarta, Edisi Revisi, hlm.109-
67.
[4] Alter, S., 2002, Information System:
The Foundation of E-Business, Pearson
Education Inc., New Jersey.
[5] Departemen Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi FKUI. 2010.
Batuk darah (hemoptisis) &
Pneumotoraks. Pulmonologi Intervensi
dan Gawat Darurat Napas, hlm.28-71.
[6] Nazar, HN. 2013. BPJS – Ina CBG’s:
Yang Seyogyanya Harus Kita Ketahui.
Bulletin IKABI, Agustus 2013. Ikatan
45
...www.ikabi.org/bpjs-ina-cbgs-yang-
seyogyanya-harus-kita-ketahui/.
[7] Rahma, PA. 2013. Implementasi
Clinical Pathway Untuk Kendali Mutu
danKendali...www.mutupelayanankeseh
atan.net/index.php/component/content/.
../208 Majalah Dental & Dental. Edisi
Januari-Februari.