laporan akhir penelitian
DESCRIPTION
bismillahTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Starch (Pati/Tapioka) berperan sebagai sumber makanan penghasil energi
utama dari golongan karbohidrat. Selain itu starch berperan sebagai bahan aditif
pada proses pengolahan makanan, misalnya sebagai penstabil dalam proses
pembuatan puding. Pada pembuatan sirup dan pemanis buatan seperti sakarin,
starch juga digunakan sebagai bahan utama. Dalam bidang non makanan, starch
digunakan untuk bahan baku dalam proses pembuatan kertas, pakaian dari katun,
industri cat, maupun untuk produksi hidrogen.
Pada industri kertas, starch digunakan sebagai filler (bahan pengisi)
dalam bentuk solution (larutan). Starch solution berfungsi sebagai agen dalam
pembuatan lapisan lilin pada kertas (high surface agent), meningkatkan kekuatan
susunan serat, membantu meningkatkan daya ikat filler CaCO3 dengan
dyes(pewarna).
Bahan dasar pembuatan starch solution adalah starch yang dilarutkan
dalam air dengan temperatur 40-420C, lalu ditambahkan cationic reagent,
biocide, dan NaOH. Cationic reagent berfungsi sebagai pemberi muatan positif
pada tapioka. Biocide berfungsi untuk membunuh mikroorganisme yang berada
dalam tapioka. NaOH berfungsi sebagai pemberi suasana basa pada pH 11,2-
11,6. Setelah itu starch dipanaskan lagi dengan suhu 950C dan diencerkan hingga
konsistensi 1±2%. Dalam pembuatan starch solution, ditambahkan beberapa
bahan penunjang, seperti ; steam, Poly Vinyl Alcohol (PVA), Surface Sizing
Agent (SSA), waxsize, biocide, enzyme, zinc sulfate, Optical Brightening Agent
(OBA), dan air.
Penambahan starch solution pada paper machine dilakukan pada proses
pencampuran (mixing) yaitu didalam stuff box dan pada proses surface sizing.
Selain berfungsi sebagai tempat terjadinya proses pencampuran, stuff box
berfungsi dalam menjaga kestabilan aliran bahan yang nantinya akan masuk ke
dalam proses pembesihan (cleaning), serta menjaga konsistensi buburan pulp
Universitas Pamulang
2
tetap pada rentang standar yaitu 3,5% - 4,2%. Surface sizing dilakukan untuk
meningkatkan daya tahan kertas terhadap penetrasi tinta, memperkuat permukaan
kertas dan meningkatkan kehalusan (smoothness) kertas.
Penggunaan starch solution pada kertas tergantung pada banyaknya dosis
bahan penunjang lain yang digunakan, seperti dyes dan enzyme. Semakin banyak
starch solution yang dibutuhkan akan mempengaruhi konsistensi buburan pulp
dan akan menambah biaya produksi.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dianalisis identifikasi masalahnya
meliputi :
1. Dyes dan enzyme sangat mempengaruhi kondisi fisik starch solution.
2. Keadaan starch solution yang belum memenuhi standar.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah yang diperoleh penulis, maka adapun
batasan dalam penelitian ini menitikberatkan pada pengaruh penggunaan basic
dyes dan enzyme amilase pada starch solution.
1.4 Rumusan Masalah
1. Mengetahui pengaruh penambahan bahan penunjang seperti basic dyes
dan enzyme amilase pada starch solution.
2. Cara pembuatan starch solution yang benar, sehingga didapat konsistensi
yang sesuai.
3. Variabel apa yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan starch solution
yang memenuhi standar.
1.5 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh penambahan basic dyes dan enzyme amilase pada
starch solution.
2. Mengetahui cara pembuatan starch solution yang sesuai dengan standar.
Universitas Pamulang
3
3. Mengetahui variabel yang dapat mempengaruhi strach solution sehingga
sesuai dengan standar.
1.6 Manfaat Penelitian
Penelitian yang penulis lakukan ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
penulis sendiri, maupun bagi para pembaca atau pihak-pihak lain yang
berkepentingan, dan semoga metode yang digunakan dapat dimanfaatkan oleh
industri-industri yang ada.
Universitas Pamulang
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Pati (Starch)
Pati adalah polimer glukosa dengan rumus molekul (C6H10O5)n.
Pembentukan polimer pati diawali dengan terbentuknya ikatan glukosida yaitu
ikatan antara molekul glukosa melalui oksigen pada atom karbon pertama. Pati
dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan polimer rantai lurus yang terdiri dari ribuan glukosa dengan ikatan α-
1,4 glukosida. Jenis kedua yaitu amilopektin yang mengandung percabangan
rantai akibat adanya ikatan α-1,6 glukosida di beberapa bagiannya . Struktur
amilosa dan amilopektin digambarkan pada gambar 1.
Gambar 2.1 a. Struktur Amilosa b. Struktur Amilopektin
Proses hidrolisa pati merupakan pemutusan ikatan glikosida pada rantai
polimernya oleh suatu reaktan yang dibantu oleh air. Proses ini digunakan di
industri untuk memproduksi molekul sederhana seperti glukosa, maltosa, dan
dekstrin. Ikatan glikosida pada pati cenderung stabil pada kondisi basa namun
kurang stabil pada kondisi asam. Ikatan tersebut juga dapat putus oleh adanya
enzim pemecah pati. Hasil pemecahan tersebut akan menghasilkan gugus
aldehid yang dikenal sebagai gugus ujung reduksi. Banyaknya gugus ujung
reduksi berbanding lurus dengan derajat hidrolisis pati.
Universitas Pamulang
5
Karbohidrat golongan polisakarida ini banyak terdapat di alam, terutama
pada sebagian besar tumbuhan. Pati dapat ditemukan pada umbi, daun, batang
dan biji-bijian. Pati merupakan kelompok terbesar karbohidrat cadangan yang
dimiliki oleh tumbuhan sesudah selulosa. Tumbuhan melakukan sintesa pati
ketika proses fotosintesis yaitu pengubahan energi cahaya matahari menjadi
energi kimia . Butir-butir pati apabila diamati dengan mikroskop memiliki
bentuk dan ukuran yang berbeda-beda tergantung dari tumbuhan apa pati
tersebut diperoleh.
2.1.2 Enzyme amilase
Enzim adalah sekelompok protein yang berperan sebagai pengkatalis
dalam reaksi-reaksi biologis. Enzim dapat juga didefenisikan sebagai
biokatalisator yang dihasilkan oleh jaringan yang berfungsi meningkatkan laju
reaksi dalam jaringan itu sendiri. Semua enzim yang diketahui hingga kini
hampir seluruhnya adalah protein.
Dalam mempelajari mengenai enzim, dikenal beberapa istilah
diantaranya holoenzim, apoenzim, kofaktor, gugus prostetik, koenzim, dan
substrat. Apoenzim adalah suatu enzim yang seluruhnya terdiri dari protein,
sedangkan holoenzim adalah enzim yang mengandung gugus protein dan gugus
non protein. Gugus yang bukan protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor.
Pada kofaktor ada yang terikat kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan
yang disebut gugus prostetik dan adapula yang tidak terikat kuat pada protein
sehingga mudah terurai yang disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun
koenzim, keduanya merupakan bagian yang memungkinkan enzim bekerja pada
substrat. Substrat merupakan zat-zat yang diubah atau direaksikan oleh enzim
(Poedjadi, 2006).
Enzim meningkatkan laju sehingga terbentuk kesetimbangan kimia
antara produk dan pereaksi. Pada keadaaan kesetimbangan, istilah pereaksi dan
produk tidaklah pasti dan bergantung pada pandangan kita. Dalam keadaan
fisiologi yang normal, suatu enzim tidak mempengaruhi jumlah produk dan
pereaksi yang sebenarnya dicapai tanpa kehadiran enzim. Jadi, jika keadaan
Universitas Pamulang
6
kesetimbangan tidak menguntungkan bagi pembentukan senyawa, enzim tidak
dapat mengubahnya (Salisbury, 1995).
Seperti halnya katalisator, enzim juga dipengaruhi oleh temperatur.
Hanya saja enzim ini tidak tahan panas seperti katalisator lainnya. Kebanyakan
enzim akan menjadi non aktif pada suhu 50o C (Poedjiadi, 2006).
Apabila suhu terlalu tinggi, struktur tiga dimensi enzim akan rusak,
sehingga substrat tidak lagi dapat terikat dengannya. Dengan demikian enzim
tersebut tidak akan dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai biokatalisator.
Pada umumnya denaturasi ini bersifat tidak terbalikan atau permanen (Salisbury,
1995).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim diantaranya adalah
(Dwidjoseputro, 1992) :
a. suhu
Oleh karena reaksi kimia itu dapat dipengaruhi suhu maka reaksi
menggunakan katalis enzim dapat dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena
enzim adalah suatu protein maka kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi
dan bagian aktig enzim akan terganggu sehingga konsentrasi dan kecepatan
enzim berkurang.
b. pH
Umumnya enzim efektifitas maksimum pada pH optimum, yang lazimnya
berkisar antara pH 4,5-8.0. Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
umumnya enzim menjadi non aktif secara irreversibel karena menjadi denaturasi
protein.
c. konsentrasi enzim
Seperti pada katalis lain, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim
tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat
tertentu, kecepatan reaksibertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim.
d. konsentrasi substrat
Hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi substrat akan
menaikkan kecepat reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu tidak terjadi
kecepatan reaksi, walaupn konsenrasi substrat diperbesar.
Universitas Pamulang
7
e. zat-zat penghambat
Hambatan atau inhibisi suatu reaksi akan berpengaruh terhadap
penggabungan substrat pada bagian aktif yang mengalami hambatan.
Dalam banyak sistem akibat suhu tes reaksi enzim adalah mirip dengan
tabiat bahwa laju reaksi meningkat dengan kenaikan suhu dan akhirnya enzim
kehilangan semua aktivitas jika protein menjadi rusak akibat panas. Banyak
enzim berfungsi optimal dalam batas-batas suhu antara 25-370C. Akibat dari pH
terhadap suatu reaksi
Amilase adalah enzim yang mempunyai kemampuan memecah ikatan
glukosida pada polimer pati. Penggunaan amilase dilaporkan mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Permintaan akan enzim golongan amilase telah
mencapai sekurang-kurangnya 25% dari keseluruhan pasar enzim. Kelompok
enzim ini memiliki banyak variasi dalam aktivitasnya, sangat spesifik,
tergantung pada tempatnya bekerja. Seiring dengan penemuan-penemuan baru
mengenai enzim amilase, kelompok dari amilase semakin bertambah. Beberapa
kelompok dari enzim amilase adalah α-amilase, β-amilase, dan γ-amilase.
Secara molekuler, pemecahan amilase dibantu oleh residu asam amino
pada sisi aktif enzim. Pada enzim α-amilase yang berasal dari Pseudomonas
stutzeri, pemecahan dibantu oleh tiga residu asam amino yaitu asam glutamat
219, asam aspartat 294, dan asam aspartat 193. Tahapan pertama merupakan
pengikatan substrat oleh asam aspartat 294. Tahap selanjutnya yaitu asam
glutamat 219 dalam bentuk asam akan mendonorkan proton ke oksigen pada
ikatan glikosidik substrat. Produk dari reaksi tersebut adalah sebuah ion
oksokarbonium pada keadaan transisi yang diikuti dengan pembentukan kovalen
intermediet. Molekul H2O kemudian menyerang ikatan kovalen antara oksigen
dan residu asam aspartat 193. Asam glutamat kemudian menerima H dari
molekul H2O dan residu asam aspartat 193 membentuk gugus hidroksil baru
pada molekul glukosa. Ilustrasi ditampilkan dalam gambar 2.
Universitas Pamulang
8
Gambar 2.2 Mekanisme Pemecahan Pati oleh α-amilase dari
Pseudomonas stutzeri
Salah satu amilase yang banyak dikembangkan saat ini adalah enzim
amilase pemecah pati mentah (APPM). Enzim ini memiliki keunggulan mampu
bekerja pada substrat yang tidak mengalami proses gelatinisasi (pati mentah).
Penggunaan enzim ini dalam industri berbasis pati dilaporkan telah mengurangi
biaya produksi secara signifikan jika dibandingkan dengan proses konvensional.
Selain itu, penggunaan enzim tersebut juga menghemat waktu dan energi
produksi karena tidak memerlukan proses gelatinisasi. Enzim APPM dapat
ditemukan dari berbagai jenis makhluk hidup seperti tanaman, hewan, manusia,
hingga mikroba.
Enzim APPM yang berasal dari mikroba umumnya mempunyai spektrum
yang lebih luas dalam industri sebab sifatnya lebih stabil jika dibandingkan
dengan enzim APPM yang berasal dari tanaman dan hewan. Enzim APPM
diduga mempunyai daerah pengikatan pati yang lebih banyak dibandingkan
amilase konvensional sehingga mampu berikatan dengan granula pati mentah.
Daerah pengikatan pati tersebut mengandung sekitar 50-100 asam amino dengan
susunan residu asam amino tertentu sehingga mampu berinteraksi kuat dengan
residu glukosa pada amilosa dan amilopektin
2.1.3 Dyes (pewarna)
Sebuah bahan alami atau sintetis yang digunakan untuk menambah warna
atau untuk mengubah warna dari sesuatu. Dyes sudah diterapkan di mana-mana,
dari mainan plastik untuk anak-anak sampai kain yang kita kenakan, untuk
Universitas Pamulang
9
makanan dan kayu; tidak ada industri apapun di mana dyes tidak digunakan
secara komersial.
Dyes adalah zat pewarna yang umumnya bersifat larut dalam air dan
larutannya dapat mewarnai. Pelarut yang dapat digunakan selain air adalah
gliserin, alkohol dan propilen glikol. Dyes juga dapat diberikan dalam bentuk
kering apabila proses pengolahan produk tersebut kemudian menggunakan air.
Dyes terdapat dalam bentuk bubuk, butiran, pasta maupun cairan yang
penggunaannya tergantung dari kondisi bahan, kondisi proses dan zat
pewarnanya sendiri.
Dyes adalah komponen molekul organik yang memiliki kumpulan
senyawa inti tak jenuh, disebut kromofore yang bergabung dengan komponen
lain dimana gabungan ini disebut kromogen serta gugus substantive yang
berfungsi sebagai penguat / mengintensifkan warna dan memperbaiki
substantifitas ikatan dengan substratnya (serat kulit, kertas, poliamida, katun,
sutera dll) yang disebut ausokrome.(ON Witt, 1876)
Sebuah dyes adalah zat berwarna yang memiliki afinitas terhadap substrat
yang sedang diterapkan. Yang merupakan peng-ion dan senyawa organik
aromatik. Dyes umumnya diterapkan dalam larutan berair, dan mungkin
memerlukan mordant untuk meningkatkan daya luntur dari dyes pada serat .
Dengan bantuan dari dyes kita dapat dengan mudah memanipulasi hal-hal
yang sesuai dengan keinginan kita.. Dyes diterapkan untuk berbagai substrat
misalnya untuk tekstil, kulit, plastik, kertas, makanan dll. Tetapi ada beberpa
dyes yang memakai bahan-bahan berbahaya. Misalnya jenis dyes tertentu bisa
menjadi racun, karsinogenik atau mutagenik dan dapat berbahaya bagi
kesehatan.
2.1.3.1 Penggolongan Dyestuff Berdasarkan muatan.
Auksokrome dapat menyebabkan intensifikasi ikatan Dyes dasar dengan
substrat meningkat, disamping itu auksokrom juga berfungsi meningkatkan
kelarutan Dyes dalam air. Auksokrom juga merupakan komponen pembawa
muatan dimana pada saat terjadi disosiasi terbentuk muatan anionik atau
Universitas Pamulang
10
kationik, sehingga pewarna dyes juga dapat dikategorikan sebagai cat dasar
anionik atau kationik.
a. Anionic Dyestuff .
Adalah pewarna dyes yang memiliki satu atau lebih gugus auksokrom
SO3Na atau SO3H yang juga berfungsi sebagai gugus penentu tingkat
kelarutan dyes, dimana semakin banyak gugus sulfon, maka tingkat kelarutan
dasar Dye akan semakin tinggi, selain akan semakin anionik dan reaktif.
b. Cationic Dyestuff .
Adalah pewarna dyes yang memiliki satu atau lebih gugus auksokrom
yang merupakan garam dari ammonium, sulfonium atau oxonium.
Kelarutannya lebih rendah dibandingkan dengan dye anionik sehingga perlu
penambahan sedikit asam asetat. Pewarna kationik jarang digunakan apabila
digunakan hanya dalam kasus tertentu, sebagai aditiv dalam jumlah yang
kecil karena sifat ketahanan cahaya dan kimia yang rendah
Dalam industri kertas, jenis dyes yang sering digunakan adalah basic dyes,
pigment dyes, dan direct dyes.
1. Basic Dyes
Pada tingkat kimia, Basic Dye biasanya kation atau bermuatan positif.
Sehingga akan bereaksi dengan bahan yang bermuatan negatif. Pewarna ini
biasanya sintesis, dan tidak larut dalam air. Pewarna dasar menampilkan
kelompok fungsional kationik seperti -NR3 + atau = NR2 +. Karena pewarna
dasar adalah noda yang kationik atau bermuatan positif dan itu adalah alasan
yang bereaksi dengan baik dengan bahan yang anionik atau bermuatan
negatif.
Basic Dye terdiri dari gugus amino, atau kelompok alkilamino, sebagai
auxochromes. Beberapa contoh Basic Dye adalah sebagai berikut, Metilen
Biru, Ungu Kristal, Basic Fuchsin safranin, dll. Contoh Basic Dye yang
memiliki gugus amino sebagai auksokrom mereka Pararosanilin atau Basic
Red 9 (menurut sistem Color Index) contoh kelompok alkil amino adalah
Metilen Blue atau Basic Blue 9. Basic Blue 9 adalah pewarna yang sangat
populer yang memiliki penggunaan yang luas.
Universitas Pamulang
11
2.1.3.2 Karakteristik Dyes
Selain sifat bawaan karena perbedaan struktur molekul internal yang
berbeda untuk setiap warna, karakteristik dyes juga dipengaruhi oleh factor
external terutama oleh:
a. Temperatur.
b. Konsentrasi.
c. pH larutan.
d. TIE.
a. Temperatur.
Naik turunnya tempaeratur larutan akan menyebabkan terjadinya
perubahan pada secondary valency forse dan ionic force. Sperti kita ketahui
susunan atau struktur molekul dyes merupakan garam atau asam yang
berikatan melalui ikatan ionic sehingga akan mudah mengalami ionisasi
dalam larutan. Demikian pula struktur molekul dyes banyak yang bersifat
polar ( COOH, OH, SO3Na dll) sehingga dapat membentuk secondary
force.
Pada saat temperature meningkat. SVF (secondary valence force) akan
putus sehingga menyebabkan:
Kelarutan meningkat.
Penetrasi pada kulit semakin dalam.
Molekul dyes mengecil
Sebaran cat semakin merata.
IF (ionic force) akan semakin melemah sehingga menyebabkan:
Disosiasi dan ionisasi akan semakin cepat.
Reaksi terhadap kulit wet-blue yang (+) meningkat /cepat
(reaktivitas naik)
Kemampuan penetrasi menurun.
Sebaran cat cenderung kurang rata.
Kenaikan temperature memberikan efek yang bertolak belakang
terhadap SVF dan IF, namun karena pengaruh IF lebih besar dari SVF
maka untuk menaikan temperatur lebih cenderung pada pertimbangan IF
dan kondisi kulitnya. Contoh awal pewarnaan untuk kulit yang memerlukan
Universitas Pamulang
12
penetrasi tinggi lebih baik menggunakan air dingin dan pada akhir proses
baru dinaikan tempertarnya. Sebaliknya pada untuk kulit yang dinginkan
surface dyeing maka awal penyamakan dilakukan dengan temperature
tinggi.
b. Konsentrasi.
Konsentrasi tinggi berhubungan dengan penggunaan jumlah air dalam
proses. Semakin banyak persentase air digunakan maka konsentrasi akan
semakin rendah begitu pula sebaliknya.
Konsentrasi meningkat / tinggi menyebabkan molekul dyes semakin
mendekat akibatnya SVF antar molekul meningkat.
Molekul mengalami pembesaran.
Proses ionisasi akan terganggu akibatnya reativitas terhadap kulit
kan menurun.
Penetrasi dalam kulit akan meningkat.
Aksi mekanik flexing dan squeezing meningkat, difusi tinggi.
c. pH Larutan.
Dapat dikatakan dari tiga factor diatas pH merukan factor eksternal
yang paling berpengaruh. pH merupakan factor fungsional terikatnya dyes
pada serat kulit. Penurunan pH pada larutan dyes (sebagai garam Na) akan
menyebabkan proses disosiasi berjalan lebih cepat karena terbentuk garam
baru dari sisa asam dengan Na dan membentuk molekul dyes dengan muatan
negatif yang segera berikatan secara ionic dengan serat kulit yang
bermuatan positif. Penurunan pH menyebabkan:
Meningkatnya afinitas dyes.
Menurunnya penetrasi atau difusi dyes.
Kenaikan pH menyebabkan efek sebaliknya
Menurunnya afinitas dyes.
Meningkatnya kemampuan penetrasi/difusi.
Universitas Pamulang
13
d. TIE (IP).
Titik Iso Elektrik atau Iso Elektric Point merupakan nilai pH
dimana terjadi keseimbangan muatan positif dan negatif dalam kulit.
Permasalahan muncul ketika TIE selalu berubah-ubah tergantung kepada
zat penyamak yang digunakan akibatnya kulit selalu berubah TIE nya
tergantung zat penyamak yang digunakan. Berikut ini gambaran
perubahan TIE akibat penggunaan zat samak yang berbeda.
2.2 Hipotesis
Berdasarkan uraian pada landasan teori dan kerangka berfikir maka dapat
diajukan hipotesis sebagai berikut.
Dyes dan enzyme sangat berpengaruh pada pH, viscositas dan konsistensi
starch solution.
Pada saat proses reduksi starch, waktu dan temperatur harus diperhatikan
karena akan mempengaruhi kualitas starch solution sesuai dengan standar
atau tidak.
Variabel yang mempengaruhi kualitas starch solution diantaranya; dosis
dyes, dosis enzyme, temperatur, dan waktu pemasakan.
Universitas Pamulang
14
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Karena penelitian ini berhubungan dengan proses produksi kertas, maka
penelitian ini dilakukan di PT. Indah Kiat Pulp & paper Tbk, Tangerang mill,
Serpong, Tangerang Selatan, Banten. Industri tersebut dipilih dengan
pertimbangan sebagai berikut :
Industri yang berkembang di bidang produksi kertas.
Bahan dan alat yang diperlukan untuk mendukung jalannya
penelitian sangat memadai.
Hasil penelitian bisa langsung di aplikasikan pada proses
produksi.
Waktu pelaksanaan penelitian tercantum pada tabel 3.1 adalah sebagai
berikut :
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
N
OKegiatan
Mei Juni Juli
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
I Penyusunan Proposal √
II Persiapan
1 Pengurusan Perizinan
2 Penjajagan ke lapangan
III Pelaksanaan
1 Penyusunan Instrument
2 Penentuan Sampel
3 Pengumpulan Data
4 Penelitian
5 Analisis Data
IV Penyusunan Laporan Penelitian
1 Pembuatan Draf Laporan
2 Penyempurnaan Laporan
3 Penggadan Laporan
Universitas Pamulang
15
3.2 Variabel Penelitian
Jenis data yang dikumpulkan menurut sifat data adalah kuantitatif. Menurut
cara memperoleh data, data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer yang dikumpulkan, diperoleh langsung dari responden,
meliputi :
Variabel uji yaitu temperatur, waktu, serta dosis dari enzyme dan dyes.
Jenis alat yang digunakan dalam penelitian.
Data sekunder yang dikumpulkan bersumber pada dokumen yang terdapat di
PT. Indah Kiat Pulp & paper Tbk, Tangerang mill, mengenai hal-hal yang
berhubungan dengan permasalahan dan tujuan penelitian ini.
3.3 Alat dan Bahan
3.3.1 Alat
Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut:
Kompor listrik dan
water bath
Agitator
Thermometer
Timbangan analitik
Beaker glass
Beaker stainless
Spatula
Pipet Volume
Klem dan Stand
Viscometer
Gelas plastic
3.3.2 Bahan
Bahan – bahan yang digunkan dalam penelitian adalah sebagai berikut :
Tapioka (starch) merek “TERONG MAS”
Enzyme “Aphozyme”
Basic Dyes
Aqudest
3.4 Cara Kerja
3.4.1 Pemasakan Tapioka
Larutan tapioka dibuat dalam beaker stainless dengan cara
melarutkan 50 gram tapioka dalam air hingga mencapai 400 gram.
Masukkan kedalam water bath dan aduk hingga larutan dengan
Universitas Pamulang
16
agitator dan pastikan tidak ada tapioka yang mengendap di dasar
beaker.
Larutan 1% enzyme di buat dalam beaker glass dengan melarutkan
1 gram enzyme dalam air hingga massanya mencapai 100 gram.
Tambahkan larutan enzyme kedalam larutan tapioka (volume
sesuai yang dispesifikasikan pada table hasil dan pengamatan)
Nyalakan kompor listrik, naikkan suhu larutan hingga 70°C dan
tahan selama 10 menit
Naikkan suhu hingga 90°C, tahan selama 2 menit. Lalu tambahkan
100 gram air dan aduk selama 2 menit.
Kemudian tambahkan larutan dyes yang sudah dibuat. Aduk.
Dinginkan larutan hingga suhu mencapai 60°C dan 30oC.
3.4.2 Pengujian Viskositas
Periksa alat dalam posisi nol. Pastikan bubble level pada
tempatnya.
Masukkan sebagian larutan tapioka yang sudah mencapai suhu
60°C kedalam beaker glass. Pastikan spindle tercelup sampai tanda
batas dan posisi spindle tepet ditengah gelas dan tidak menyentuh
dasar dan dinding gelas.
Tekan tombol ON sampai posisi pengukuran stabil. Atur kecepatan
putaran pada 60 rpm. Putar tombol zero sampai pembacaan stabil,
tekan tombol motor dalam posisi Off.
Baca pengukuran
Lakukan hal yang sama pada suhu 30oC.
3.4.3 Pengujian Ph
Masukkan sampel pada alat pH meter, lalu perhatikan angka yang keluar
pada alat tersebut, yang menunjukan pH starch solution.
3.4.4 Pengujian Konsistensi
Siapkan sampel pada beaker gelas.
Masukkan ujung alat konsistensi meter kedalam sampel yang telah
disiapkan.
Universitas Pamulang
17
Lalu alat akan otomatis membaca konsistensi sampel, tunggu
beberapa saat hingga angka stabil.
Catat hasil pengujian.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Universitas Pamulang
18
4.1 Hasil Pengujian
Setelah dilakukan pengujian terhadap strach solution didapat hasil
sebagai berikut:
Enzyme DossageViskositas PH Konsistensi
60oC. 30oC. 60oC. 30oC. 60oC. 30oC.
30 cc
36.17
3 39.758 4.87 4.16 12.37 11.87
40 cc
34.52
3 31.621 4.38 4.05 11.97 11.77
50 cc 32.458 20.085 4.25 4.13 11.87 11.78
70 cc 10.609 15.636 4.20 4.09 11.77 11.77
80 cc 8.961 12.463 4.18 4.04 11.77 11.47
Blanko 7.323 9.999 6.88 6.88 11.77 11.77
konsentrasi dyes
dinaikkan
11.74
2 16.377 3.92 3.75 12.77 12.77
30 40 50 70 800.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Viscosity
pH
Consistency
Visco Std Min
Visco Std Max
Enzyme dossage ( cc )
Universitas Pamulang
19
30 40 50 70 800.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
ViscositypHConsistencyVisco Std MinVisco Std Max
Enzyme dossage ( cc )
SUHU 30° C
Universitas Pamulang
20
30 40 50 70 800.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Viscosity
viscosity
Visco Std Min
Visco Std Max
Enzyme dossage ( cc )
30 40 50 70 800.00
2.00
4.00
6.00
8.00
10.00
12.00
14.00
16.00
Viscosity
Viscosity
Consistency
Visco Std Min
Visco Std Max
Enzyme dossage ( cc )
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengujian tapioka yang dilakukan:
Dengan dosis enzyme yang berbeda, suhu dan waktu masak yang pada
saat kondisi normal didapatkan nilai viskositas yang berbeda, didapatkan
nilai viskositas yang menurun. Karena semakin banyaknya enzyme yang
bekerja maka struktur pati pada tapioka akan semakin banyak yang
terurai, sehingga larutan tapioka yang didapatkan semakin encer. untuk
Universitas Pamulang
21
itu diambil dosis yang sesuai dengan standar dengan range 10-15 Cps,
yaitu dosis enzyme 70 cc.
Pemasakan tapioka dilakukan pada suhu 70oC dalam waktu 10 menit,
karena suhu optimum enzyme bekerja adalah pada suhu 70oC, waktu 10
menit di asumsikan bahwa semua pati sudah terurai oleh enzyme.
Sehingga semakin lama waktu masak pada suhu 70oC, maka nilai
viskositasnya akan semakin turun, karena enzyme yang sebagai
katalisator akan menguraikan struktur pati lebih banyak.
Pada saat suhu mencapai 90oC dan ditahan selama 2 menit dilakukan
agar diharapkan sudah tidak ada enzyme yang bekerja, sehingga
viskositasnya akan semakin tinggi, ini dipengaruhi oleh proses
gelatinisasi yang terjadi pada saat proses hidrolisis pati tersebut, jika
semakin lama molekul air yang terperangkap dalam struktur pati akan
semakin banyak sehingga mengakibatkan nilai viscositas akan semakin
tinggi. Karena tujuan pemasakan tapioka adalah mendapatkan viskositas
yang sesuai standar, maka waktu yang digunakan adalah selama 2 menit.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Universitas Pamulang