laporan akhir gabung
TRANSCRIPT
LAPORAN
C 2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien
PROGRAM HIBAH KOMPETISI
BERBASIS INSTITUSI
PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
2010
Penyusun Laporan Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien Tim C.2.1.1 PHKI PWK ITB Ketua Pelaksana Kegiatan Wilmar Salim, ST., M.Reg.Dev., Ph.D. Tenaga Ahli Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D. Dr. Ir. Dewi Sawitri Tjokropandojo, MT. Dr. Ir. Krishna Nur Pribadi, M.Sc., M.Phil. Dr. Saut Aritua Hasiholan Sagala, ST., M.Sc. Ir. Siti Sutriah Nurzaman, MSP. Asisten Tenaga Ahli Fikri Zul Fahmi, ST. Honesty Forisa, ST. © Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung 2010
Kata Pengantar
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas petunjuk dan bimbingan-Nya
Laporan Akhir “Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien” ini selesai disusun. Laporan ini
merupakan salah satu produk penelitian kegiatan C.2.1.1 PHKI PWK ITB yang di dalamnya juga
termasuk Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi Kecil dan
Menengah.
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB mendapatkan Program Hibah Kompetisi
Berbasis Institusi (PHKI) dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dengan mengadakan suatu
penelitian tindak (action research) untuk mempraktikkan bidang keahliannya. Terkait hal ini
diselenggarakan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan
Kawasan Terpadu pada tahun 2010 hingga 2012. Pada tahun 2010, penelitian telah dilaksanakan
untuk melakukan studi dan mengidentifikasi karakteristik sehingga pada tahun berikutnya dapat
dilakukan implementasi program dan juga pengendaliannya. Salah satu aspek kajian dalam
penelitian ini adalah mengenai keterkaitan atau mata rantai produksi yang merupakan pokok dari
penelitian ini karena memberikan masukan bagi kegiatan lain, yaitu kerja sama, kelembagaan,
sistem infrastruktur dan lingkungan serta kawasan inti terpadu.
Laporan ini diharapkan dapat dijadikan pemandu dalam pengembangan mata rantai pada tahun
2011 bagi Tim PHKI PWK ITB maupun OPD mitra dalam kerja sama ini, di antaranya Dinas
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Dinas Koperasi dan UKM, dan Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Provinsi Jawa Barat maupun instansi pemerintah pusat dan Kabupaten Bekasi.
Semoga laporan ini bermanfaat dan berkontribusi dalam pengembangan wilayah yang lebih
berkelanjutan serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.
Bandung, Desember 2010-12-01
Tim C.2.1.1 PHKI PWK ITB
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien iii
RINGKASAN EKSEKUTIF C.2.1.1 PENETAPAN MATA RANTAI PRODUKSI YANG EFISIEN
I. Landasan Penelitian
Perkembangan industri besar di Kabupaten Bekasi yang selama ini masih mengarah kepada
pengembangan kawasan aglomerasi industri yang pada akhirnya mengakibatkannya menjadi
enclave yang tidak memiliki nilai tambah optimal bagi wilayah sekitarnya. Hal ini terindikasi
secara awal bahwa keterkaitan industri besar di kawasan dengan usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) yang relatif kecil dan tidak signifikan. Dalam rangka pengembangan
wilayah, proses trickle down dapat dan perlu dilakukan sehingga perkembangan kawasan
industri tersebut dapat memberikan manfaat bagi wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan
demikian, diperlukan suatu program pengembangan wilayah untuk meningkatkan keterkaitan
mata rantai produksi industri tersebut.
Kegiatan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien merupakan bagian penelitian
yang teramat penting dalam penentuan kawasan terpadu dan sistem yang mendukung di
dalamnya. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan mata rantai produksi yang
efisien dalam kawasan, sehingga akan menjadi dasar pengembangan keterkaitan hulu-hilir
antar pelaku ekonomi di dalam kawasan. Ini termasuk identifikasi jenis usaha apa yang dapat
terkait, kualifikasi produk dan SDM, serta kebutuhan pengembangan sumber dayanya. Dalam
mencapai sasaran tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu
analisis hipotetis tabel input-output, penelusuran dari UMKM (pohon industry), dan juga
penelusuran dari UKM.
II. Temuan Studi
Secara umum terdapat tiga jenis keterkaitan UKM dengan industri besar, yaitu keterkaitan
mata rantai, keterkaitan komponen pendukung dan keterkaitan komponen jasa. Keterkaitan
mata rantai maksudnya suplai komponen produksi industri terkait, misalnya fabrikasi,
coatings, buffing. Keterkaitan supporting (pendukung), yaitu IKM tidak berperan langsung
dalam menghasilkan komponen/produk, tetapi berperan mendukung proses produksi itu
berlangsung termasuk barang modal permesinan, misalnya fabrikasi/machinery, palet dan
kardus. Keterkaitan jasa, yaitu IKM yang menyokong kegiatan manufaktur dalam penyediaan
jasa penunjang yang bersifat outsourcing, misalnya catering, konveksi, jasa angkutan dan
water treatment.
Melalui analisis, diketahui bahwa industri otomotif paling memungkinkan untuk
dikembangkan keterkaitannya dengan UKM, terutama dari keterkaitan input-output. Industri
elektronik cenderung lebih sulit karena komponennya didatangkan langsung dari negara
asalnya. Di samping itu, UKM komponen pendukung dan jasa juga dapat dimitrakan dengan
industri besar secara umum.
Dari sisi industri besar, keterkaitan input-output diprasyaratkan setidaknya tiga hal untuk
dipenuhi: quality, cost, delivery.
a. Quality, yakni kualitas produk yang disuplai harus baik dan sesuai standar;
b. Cost, yakni biaya yang dikeluarkan dengan adanya kemitraan ini efisien;
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien iv
c. Delivery, yakni ketepatan waktu pengantaran sehubungan dengan proses produksi di
industri besar (assembling).
III. Program Pengembangan
Berdasarkan rasionalitas dan kebutuhan pengembangan pada waktu ke depan, ditentukan
beberapa program yang akan dilakukan pada kegiatan C.2.2.3 Pengembangan Mata Rantai
Produksi, yaitu terdiri:
(a) Pelatihan, terdiri dari pelatihan teknis dan nonteknis. Pelatihan teknis memberikan
kompetensi pengelasan (welding) dan bubut, sedangkan pelatihan nonteknis memberikan
kompetensi manajemen-keuangan dan gugus kendali mutu. Mitra OPD terkait adalah
BLK Disnakertrans Jabar dan Dinas KUKM Jabar.
(b) Pendampingan, oleh tim PHKI PWK ITB untuk mendampingi UKM mengikuti program
dengan optimal.
(c) Uji mutu, dilakukan untuk menguji kualitas produk hasil pelatihan, dilaksanakan bersama
Dinas Indag Jabar.
(d) Pemberian bantuan modal, dengan jalan membuka jalur kesempatan UKM untuk
mendapatkan bantuan modal.
(e) Pameran hasil produk, dilakukan untuk memamerkan dan mengembangkan kemitraan
bisnis, dilaksanakan bersama Dinas KUKM Jabar.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien v
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................ iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. ix
BAB 1 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM DENGAN
KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI............................................................................ I-1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... I-1
1.2 Rumusan Persoalan ................................................................................................... I-2
1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................................... I-4
1.4 Output ....................................................................................................................... I-4
1.5 Ruang Lingkup.......................................................................................................... I-4
1.5.1 Ruang Lingkup Pekerjaan ................................................................................ I-5
1.5.2 Wilayah Studi ................................................................................................... I-5
1.6 Metodologi ................................................................................................................ I-7
1.6.1Metode Pengumpulan Data ............................................................................... I-7
1.6.2Metode Analisis ................................................................................................. I-8
1.7 Program Kerja ........................................................................................................... I-9
1.8 Sistematika Penulisan ............................................................................................... I-11
BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI MATA RANTAI PRODUKSI ................ II-1
2.1 Keterkaitan Eknomi dan Mata Rantai Produksi........................................................ II-1
2.2 Input-Output .............................................................................................................. II-2
2.3 Pohon Industri ........................................................................................................... II-5
2.3.1 Pohon Industri Otomotif ................................................................................ II-5
2.3.2 Pohon Industri Elektronik .............................................................................. II-7
2.4Analisis Hipotetis Keterkaitan Antarsektor Menurut Tabel Input-Output .................. II-8
BAB 3 GAMBARAN UMUM KARAKTERISTIK USAHA INDUSTRI KECIL
MENENGAH DI KABUPATEN BEKASI ................................................................... III-1
3.1 Fabrikasi ..................................................................................................................... III-3
3.2 Buffing ....................................................................................................................... III-6
3.3 Bengkel Las ............................................................................................................... III-8
3.4 Jasa Catering .............................................................................................................. III-11
3.5 Jasa Angkutan Karyawan ........................................................................................... III-13
3.6 Konveksi .................................................................................................................... III-13
3.7 Palet............................................................................................................................ III-15
3.8 Pengepul Limbah Plastik, Besi dan Limbah Lainnya ................................................ III-18
BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM DENGAN
KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI............................................................................ IV-1
4.1Karakteristik Keterkaitan Aktual Usaha Kecil-Menengah dengan Kawasan Industri . IV-1
4.2.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Input-Output ....................................................... IV-2
4.1.2 Karakteristik Keterkaitan Aktual Komponen Pendukung ................................ IV-8
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien vi
4.1.3 Karakteristik Keterkaitan Komponen Jasa ........................................................ IV-12
4.1.4 Karakteristik Usaha Perlimbahan ..................................................................... IV-16
4.2Karakteristik Mata Rantai Produksi Industri Besar ..................................................... IV-17
4.2.1 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif.......................................................... IV-17
4.2.2 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................. IV-21
4.3Keterkaitan Potensial Mata Rantai Produksi ............................................................... IV-25
BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI
KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH ........................................................ VI-1
5.1Rasional dan Prospek Pengembangan ......................................................................... V-1
5.2Rencana Pengembangan .............................................................................................. V-3
5.3Pedoman Pengembangan ............................................................................................. V-5
BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI
KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL ................................................................... VI-1
6.1 Rasional dan Prospek Pengembangan ................................................................... VI-1
6.2 Rencana Pengembangan ........................................................................................ VI-4
6.3 Pedoman Pengembangan ....................................................................................... VI-7
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien vii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Alur Kegiatan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi . I-3
Gambar 1. 2 Peta Wilayah Studi ....................................................................................... I-6
Gambar 1.3 Pola/Bagan Kegiatan ..................................................................................... I-9
Gambar 2.1 Keterkaitan Ke Depan Dan Ke Belakang .................................................... II-3
Gambar 2.2 Komponen Mobil .......................................................................................... II-5
Gambar 2.3 Komponen Sepeda Motor ............................................................................. II-5
Gambar 2.4 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments ........................ II-6
Gambar 2.5 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments ........................ II-7
Gambar 2.6 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................... II-7
Gambar 2.7 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Nasional ............................. II-8
Gambar 2.8 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Provinsi.............................. II-9
Gambar 3.1 Asal Pemilik UMKM Fabrikasi .................................................................... III-4
Gambar 3.2 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi ....................................................... III-5
Gambar 3.3 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi ...................................................... III-5
Gambar 3.4 Asal Pemilik UMKM Buffing....................................................................... III-6
Gambar 3.5 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing ........................................................ III-7
Gambar 3.6 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing ......................................................... III-8
Gambar 3.7 Asal Pemilik UMKM Bengkel Las ............................................................... III-9
Gambar 3.8 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las ................................................. III-10
Gambar 3.9 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las ................................................. III-10
Gambar 3.10 Asal Pemilik UMKM Catering ................................................................... III-12
Gambar 3.11 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering ...................................................... III-12
Gambar 3.12 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering ...................................................... III-12
Gambar 3.13 Asal Pemilik UMKM Konveksi .................................................................. III-14
Gambar 3.14 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi .................................................... III-15
Gambar 3.15 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi .................................................... III-15
Gambar 3.16 Komoditas Palet .......................................................................................... III-16
Gambar 3.17 Asal Pemilik Usaha Palet Di Kabupaten Bekasi ........................................ III-17
Gambar 3.18 Klasifikasi UMKM Menurut Jumlah Tenaga Kerja ................................... III-18
Gambar 3.19 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Logam Dan Besi Tua ..... III-21
Gambar 3.20 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Plastik ............................ III-21
Gambar 4.1 Jenis Keterkaitan UMKM dengan Industri Besar ......................................... IV-1
Gambar 4.2 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Fabrikasi ............................... IV-3
Gambar 4.3 Keterkaitan UMKM Fabrikasi dengan Industri Besar .................................. IV-4
Gambar 4.4 Ilustrasi Kerja Sama Horisontal IKM Fabrikasi ........................................... IV-4
Gambar 4.5 Keterkaitan ke Depan dan Belakang UMKM Buffing .................................. IV-5
Gambar 4.6 Keterkaitan UMKM Buffing dengan Industri Besar..................................... IV-6
Gambar 4.7 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Bengkel Las .......................... IV-6
Gambar 4.8 Keterkaitan UMKM Bengkel Las dengan Indusri Besar .............................. IV-7
Gambar 4.9 Rantai Produksi Palet dari Limbah Industri .................................................. IV-10
Gambar 4.10 Rantai Produksi Palet dari Bahan Baku Baru ............................................. IV-10
Gambar 4.11 Keterkaitan UMKM Jasa Angkutan dengan Indusri Besar ......................... IV-12
Gambar 4.12 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering .............................. IV-13
Gambar 4.13 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering .............................. IV-14
Gambar 4.14 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi ............................. IV-15
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien viii
Gambar 4.15 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi ............................. IV-15
Gambar 4.16 Mata Rantai Pengepul Limbah ................................................................... IV-16
Gambar 4.17 Terminologi Mata Rantai Industri Otomotif ............................................... IV-18
Gambar 4.18 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif ..................................................... IV-19
Gambar 4.19 Keterkaitan Industri Otomotif dengan Surface Treatments dan Fabrikasi . IV-20
Gambar 4.20 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................. IV-22
Gambar 4.21 Peta Keterkaitan ke Belakang Industri Kecil Menengah ............................ IV-28
Gambar 4.22 Peta Keterkaitan ke Depan Industri Kecil Menengah ................................ IV-29
Gambar 6.1 Keterkaitan Aktual ........................................................................................ VI-1
Gambar 6.2 Keterkaitan Potensial .................................................................................... VI-2
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien ix
DAFTAR TABEL
Tabel I.1 Program dan Realisasi Kerja ............................................................................. I-10
Tabel II.1 Input-Output ..................................................................................................... II-4
Tabel II.2 Konversi Sektor Ekonomi Jawa Barat (2003) ke Kabupaten Bekasi (2000)
Berdasarkan Industri Besar di Kawasan Industri Bekasi ................................. II-11
Tabel III.1 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Fabrikasi ........................................... III-3
Tabel III.2 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Buffing .............................................. III-7
Tabel III.3 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Bengkel Las ...................................... III-9
Tabel III.4 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Catering ............................................ III-11
Tabel III.5 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Konveksi ........................................... III-14
Tabel III.6 Persebaran Usaha Palet dan Jumlah Sampel Survei Di Kabupaten Bekasi ... III-16
Tabel III.8 Persebaran UMKM Pengepul Besi Tua Dan Logan Serta Pengepul
Limbah di Kabupaten Bekasi ........................................................................... III-19
Tabel III.9 Survei Sampel UMKM Besi Tua, Logam Dan Barang Bekas Di
Kabupaten Bekasi ............................................................................................. III-19
Tabel IV.1 Identifikasi Tingkatan Perusahaan dalam Mata Rantai .................................. IV-21
Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait
dengan Kawasan Industri ................................................................................. IV-23
Tabel IV.3 Potensi UKM untuk Memasok Industri Besar ................................................ IV-25
Tabel IV.4 Keterkaitan Potensial ...................................................................................... IV-26
Tabel IV.5 Karakteristik Industri Kecil dan Menengah untuk Dikembangkan ................ IV-27
Tabel V.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Menengah ....... V-2
Tabel V.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai .................................................. V-5
Tabel V.3 Pedoman Pelaksanaan Program ....................................................................... V-5
Tabel V.4 Ikhtisar Rencana Kegiatan ............................................................................... V-10
Tabel VI.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Kecil .............. VI-3
Tabel VI.3 Ikhtisar Rencana Kegiatan .............................................................................. VI-5
Tabel VI.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai ................................................. VI-7
Tabel VI.4 Pedoman Pelaksanaan Program ...................................................................... VI-7
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengembangan kawasan merupakan pendekatan yang secara umum
dianggap efektif dalam meningkatkan daya saing daerah maupun nasional, yang
ditandai dengan kondisi bahwa mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional
pengembangan kawasan telah menjadi perhatian dalam pengembangan wilayah.
Akan tetapi, konsep pengembangan kawasan yang ada sekarang masih
mempunyai kelemahan. Konsep Pengembangan Kawasan yang ada saat ini masih
mengarah pada pengembangan kawasan sebagai lokasi berkumpulnya kegiatan
produksi dan bukan sebagai kawasan yang terintegrasi. Kawasan seperti ini
kurang memberikan eksternalitas positif terhadap perkembangan kegiatan
perekonomian di lingkungan kawasan, baik pada tingkat daerah maupun nasional.
Perkembangan kawasan akan cenderung membentuk kantong-kantong kegiatan
industri yang bersifat enclave, tanpa memiliki keterkaitan dengan lingkungan
sekitarnya atau wilayah belakangnya.
Apabila pendekatan pengembangan kawasan yang ada masih dipertahankan,
maka kegiatan ekonomi yang berkembang akan bersifat ekslusif, tidak terintegrasi
dan kurang memberi manfaat bagi wilayah sekitarnya. Sesuai dengan pengetahuan
yang telah difahami dan dikembangkan oleh ITB, pengembangan kawasan yang
terpadu dan mengarah pada peningkatan nilai tambah mata rantai produksi dinilai
akan lebih efektif untuk peningkatan daya saing daerah dan pembangunan
nasional. Oleh karena itu pengetahuan tentang matarantai yang efisien sangat
dibutuhkan dalam pengembangan Kawasan Terpadu.
Sehubungan dengan hal ini, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota
ITB telah memulai Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi
melalui Pengembangan Kawasan Terpadu sejak bulan Maret 2010 dan pada saat
ini progres pekerjaan pada tahun pertama ini sudah menghasilkan beberapa
temuan. Penulisan Laporan Akhir ini memaparkan hasil temuan studi mengenai
mata rantai produksi tersebut, sekaligus rencana dan pedoman pengembangan
kawasan produksi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-2
1.2 Rumusan Persoalan
Perkembangan industri besar di Kabupaten Bekasi yang selama ini masih
mengarah kepada pengembangan kawasan aglomerasi industri yang pada akhirnya
mengakibatkannya menjadi enclave yang tidak memiliki nilai tambah optimal
bagi wilayah sekitarnya. Hal ini terindikasi secara awal bahwa keterkaitan industri
besar di kawasan dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang relatif
kecil dan tidak signifikan. Dalam rangka pengembangan wilayah, proses trickle
down dapat dan perlu dilakukan sehingga perkembangan kawasan industri
tersebut dapat memberikan manfaat bagi wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan
demikian, diperlukan suatu program pengembangan wilayah untuk meningkatkan
keterkaitan mata rantai produksi industri tersebut.
Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB melalui
Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHKI) mengembangkan program
Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi Pengembangan
Kawasan Terpadu sebagai respon dari persoalan yang dijelaskan sebelumnya.
Agar dapat melaksanakan program pengembangan kawasan terpadu tersebut,
diperlukan identifikasi terlebih dahulu keterkaitan mata rantai produksi aktual dan
potensial. Kegiatan Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien (C.2.1.1) adalah
bagian dari programt tersebut yang merupakan inisiasi yang penting dalam
program tersebut karena memberikan informasi awal mengenai kondisi saat ini
dan kemungkinan hubungan mata rantai produksi di kawasan industri di Bekasi.
Seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.1, kegiatan ini sangat berkaitan dengan
kegiatan-kegiatan lainnya yang diperlukan untuk memberikan masukan pada
proses analisis yang dilakukan pada kegiatan lainnya tersebut, yaitu Penetapan
Kawasan Inti (C.2.1.7), Identifikasi Bentuk Kerja Sama Pemangku Kepentingan
Kawasan (C.2.1.4) dan Identifikasi Kebutuhan Kelembagaan dan Pembiayaan
Kawasan (C.2.1.6). Dengan demikian, kegiatan ini penting untuk dilakukan
dengan segera karena hasil analisisnya sangat diharapkan menjadi masukan bagi
kegiatan yang lain.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-3
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Gambar 1.1 Alur Kegiatan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi
Pengembangan Sistem Monitoring dan Evaluasi (C.2.3.1)
Pengendalian Pengembangan Kesepakatan dan kerjasama antar Pemangku Kepentingan (C.2.3.2)
Pengendalian Pengembangan Matarantai produksi (C.2.3.4)
Pengendalian Pembangunan Sarana Prasarana (C.2.3.6)
Pengendalian Pengelolaan Sistem Lingkungan Kawasan (C.2.3.5)
Pengendalian Pembentukan dan pemantapan sistem Kelembagaan dan Pembiayaan (C.2.3.3)
Dari dan ke Tahap 2
Dari Tahap 1
Membangun Kesepakatan dan kerjasama antar Pemangku
Kepentingan (C.2.2.1)
Pembangunan Sarana Prasarana (C.2.2.5)
Pengelolaan Sistem Lingkungan (C.2.2.4)
Membentuk dan memantapkan sistem Kelembagaan dan
Pembiayaan (C.2.2.2)
Pengembangan Matarantai produksi (C.2.2.3)
Penetapan matarantai produksi yang efisien (C.2.1.1)
Identifikasi kebutuhan pengembangan sarana prasarana
kawasan (C.2.1.2)
Identifikasi pengembangan sistem lingkungan kawasan (C.2.1.3)
Identifikasi bentuk kerjasama pemangku kepentingan
kawasan (C.2.1.4)
Pengembangan Sistem Informasi pendukung (C.2.1.5)
Identifikasi kebutuhan kelembagaan dan pembiayaan kawasan (C.2.1.6)
Penetapan kawasan pengembangan inti (C.2.1.7)
Ke Tahap 2
Dari Tahap 1
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-4
1.3 Tujuan dan Sasaran
Tujuan kegiatan ini adalah mengidentifikasikan mata rantai produksi yang
efisien dalam kawasan, sehingga akan menjadi dasar pengembangan keterkaitan
hulu-hilir antar pelaku ekonomi di dalam kawasan.
Sasaran kegiatan ini adalah:
a. Teridentifikasi Kegiatan Industri Besar yang dapat menerima pasokan dari
Kegiatan Ekonomi skala Menengah dan Kecil
b. Teridentifikasi Kegiatan Ekonomi Skala Menengah yang dapat menerima
pasokan dari Kegiatan Ekonomi skala Kecil
c. Teridentifikasi Kualifikasi Pasokan Kegiatan Ekonomi skala Menengah dan
Kecil yang dapat diterima oleh Kegiatan Industri Besar
d. Teridentifikasi Kualifikasi Pasokan Kegiatan Ekonomi skala Kecil yang dapat
diterima oleh Kegiatan Industri skala Menengah.
e. Terindetifikasi Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Kegiatan Ekonomi skala
Menengah dan Kecil untuk menjamin pemenuhan kualifikasi pasokan yang
dapat diterima.
1.4 Output
Output kegiatan ini terdiri dari suatu rencana dan pedoman pengembangan
dan juga satu artikel jurnal nasional dan internasional. Dokumen rencana yang
dibuat adalah Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Kerjasama
produksi antara kegiatan produksi dalam berbagai skala, dalam rangka
pembentukan mata rantai yang efisien yang mencakup:
a. Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi
Skala Menengah;
b. Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi
Skala Kecil.
1.5 Ruang Lingkup
Ruang lingkup dibagi ke dalam ruang lingkup pekerjaan dan ruang lingkup
wilayah.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-5
1.5.1 Ruang Lingkup Pekerjaan
Pada prinsipnya, kegiatan industri besar di Cikarang, Bekasi yang sudah
berjalan pada saat ini tidak memiliki keterkaitan dengan kegiatan ekonomi skala
menengah dan kecil sehingga tidak menumbuhkan efek pengganda yang
signifikan. Untuk itu, kegiatan ini akan mengidentifikasi mata rantai produksi
yang sudah berjalan pada saat ini, memproyeksikan kebutuhan mata rantai yang
dapat dikembangkan pada waktu ke depan dan merumuskan rencana
pengembangan kegiatan ekonomi menengah dan kecil tersebut. Untuk itu,
kegiatan ini terdiri dari:
a. Identifikasi Interaksi Potensial antar kegiatan ekonomi di Kawasan;
b. Identifikasi Interaksi Aktual antar kegiatan ekonomi di Kawasan;
c. Analisis Potensi dan Persoalan Interaksi antar kegiatan ekonomi di Kawasan;
d. FGD-1 tentang kebutuhan Interaksi antar kegiatan ekonomi di Kawasan;
e. Merumuskan draft rencana Pengembangan Mata Rantai yang efisien;
f. FGD-2 untuk mengkonfirmasikan rencana yang sudah disusun;
g. Merumuskan rencana akhir dan pedoman Pengembangan Mata Rantai yang
efisien; dan
h. Menyusun jurnal nasional dan internasional.
1.5.2 Wilayah Studi
Program ini dilaksanakan di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat (lihat
Gambar 1.1), khususnya antara kawasan industri dengan kecamatan-kecamatan
yang memiliki UMKM. Kawasan industri yang dimaksud adalah: Lippo Cikarang,
MM2100, EJIP, Hyundai, Jababeka, Delta Silicon dan Bekasi Fajar International
Estate.
Kecamatan yang memiliki UMKM sebenarnya terdapat 15 kecamatan,
yaitu: Cikarang Pusat, Cikarang Utara, Cikarang Barat, Cikarang Timur, Cikarang
Selatan, Serang Baru, Setu, Kedungwaringin, Karangbahagia, Cibarusah,
Cibitung, Tambun Utara, Tambun Selatan, Babelan dan Pebayuran. Namun,
Cibarusah dan Pebayuran setelah identifikasi awal ternyata tidak memiliki
keterkaitan dengan kawasan industri.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-6
Ga
mb
ar
1. 2 P
eta W
ilay
ah
Stu
di
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-7
1.6 Metodologi
Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi keterkaitan UMKM
dengan kawasan industri dilakukan dengan tiga metode, yaitu:
a. Secara hipotetis melalui pengamatan tabel input-output;
b. Melalui pengamatan industri besar; dan
c. Melalui pengamatan industri kecil menengah (UMKM).
1.6.1 Metode Pengumpulan Data
Untuk dapat melakukan analisis mengenai mata rantai produksi, perlu
dilakukan terlebih dahulu pengumpulan data dan informasi yang mendukung
melalui data sekunder, survei dan focus group discussion.
a. Data sekunder, khususnya tabel input output yang digunakan untuk
menganalisis secara hipotetis keterkaitan diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS);
b. Survei dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi mata rantai
pada saat ini sehingga dapat diproyeksikan kebutuhan mata rantai yang akan
dihubungkan. Survei terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
(i) Pemetaan awal jenis dan lokasi UMKM, merupakan penyisiran lokasi
usaha ke setiap kecamatan yang memiliki UMKM, sudah dilaksanakan
pada 26-30 April 2010;
(ii) Survei karakteristik kegiatan ekonomi UMKM yang berada di luar
kawasan, dilaksanakan pada 7-11 Juni 2010; dan
(iii) Survei karakteristik kegiatan industri besar, belum dilakanakan.
c. Focus group discussion (FGD)
(i) FGD pertama untuk mendapatkan respon dari para aktor tentang hasil
analisis di atas dan kebutuhan pengembangan mata rantai produksi
tersebut. Hasil FGD-1 ini juga berkontribusi dalam penyusunan draft
awal Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi
Kegiatan Ekonomi Skala Kecil dan Menengah. FGD ini telah
dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2010 di Hotel Grand Zuri, Bekasi;
dan
(ii) FGD kedua dilaksanakan untuk mensosialisasikan rencana
pengembangan mata rantai pada tahun 2011 dan mendapat respon atas
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-8
program yang disusun tersebut dari UKM yang akan menjadi calon
peserta program pengembangan mata rantai tersebut. Hasil FGD ini
berguna dalam pemantapan dan penetapan program pengembangan
mata rantai. FGD ini telah dilaksanakan pada tanggal 19 November
2011 di Kartini Green Restaurant, Cikarang, Bekasi.
1.6.2 Metode Analisis
Tahapan analisis yang dilakukan dalam studi ini adalah:
a. Identifikasi awal jenis kegiatan, yaitu dengan cara memproses informasi yang
diperoleh melalui pemetaan awal dan juga database yang mendukung;
b. Identifikasi interaksi aktual kegiatan ekonomi, yakni keterkaitan yang sudah
terjadi saat ini antara UMKM dengan industri besar di kawasan;
c. Identifikasi interaksi potensial kegiatan ekonomi, yakni keterkaitan antara
UMKM dengan industri di kawasan yang berpotensi dikembangkan dengan
mempertimbangkan prasyarat dari industri besar dan kapasitas UMKM; dan
d. Identifikasi potensi dan persoalan dalam pengembangan mata rantai produksi
tersebut.
Setelah mendapatkan informasi yang cukup, analisis dilakukan dengan cara:
a. Penggunaan tabel input-output (I/O) Provinsi Jawa Barat untuk melihat
keterkaitan antarsektor ekonomi untuk kemudian direfleksikan kepada sektor-
sektor ekonomi yang ada di Bekasi. Dari pengamatan ini dapat dilakukan
pemahaman awal mengenai keterkaitan sektor ekonomi di Kabupaten Bekasi.
b. Analisis kualitatif untuk mengidentifikasi pola keterkaitan industri besar,
menengah dan kecil. Analisis ini dilakukan setelah mempelajari tabel I/O,
dengan cara memproses informasi yang diperoleh dari survei untuk
mengidentifikasi keterkaitan kegiatan ekonomi tersebut. Analisis ini
mempertimbangkan kedua sisi pendekatan industri besar dan juga dari sisi
UMKM sehingga keduanya dapat dipertemukan untuk mendapatkan
gambaran keterkaitan
Proses analisis dan penyusunan rencana pengembangan dilakukan setiap
jenis/klasifikasi industri dengan asumsi setiap jenis industri memiliki karakteristik
yang berbeda sehingga harus diperlakukan secara berbeda juga. Analisis seperti
yang dijelaskan sebelumnya merupakan masukan yang sangat penting dalam
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-9
menyusun program pengembangan kapasitas produksi UMKM dalam mendukung
kegiatan industri besar.
Gambar 1.3 Pola/Bagan Kegiatan
1.7 Program Kerja
Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun pertama program, yaitu bulan Maret
hingga Desember 2010. Alokasi waktu dan juga realisasinya secara lengkap dapat
disampaikan pada Tabel I.2 di bawah ini.
Preliminary
study Survei
FGD-1
FGD-2
Rencana dan Pedoman
Pengembangan
Tinjauan
Tabel I/O
Identifikasi
potensial
Identifikasi
awal jenis
kegiatan
Identifikasi
aktual
Potensi dan
Persoalan
Draft Awal
Rencana
Penulisan Jurnal
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-10
Tabel I.1 Program dan Realisasi Kerja
N
o. Kegiatan
Waktu
Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5
1 Preliminary study x x x x x
2 Survei
x x
3 Analisis
a Identifikasi awal jenis kegiatan x x x x
b Interaksi aktual
keg. ekonomi x x x x x
c Interaksipotensial keg. Ekonomi x x x
d Potensi dan
persoalan x x x x x x x x
4 Penyusunan
rencana
a Draft Awal x x
x x x x x x x x x x x x
x Draft Akhir x x x x x x x x x x x
5 FGD
x
x
6
Penulisan Jurnal
Nasional dan Internasional x x x x x x x
Keterangan: Rencana
Realisasi x
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-11
1.8 Sistematika Penulisan
Laporan ini terdiri dari enam bab, terdiri dari:
BAB 1 PENDAHULUAN
Dalam bab ini dipaparkan dasar pemikiran pekerjaan dan penulisan laporan
ini yang terdiri dari latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran, ruang
lingkup yang meliputi ruang lingkup pekerjaan dan wilayah studi, metodologi,
output dan sistematika penulisan.
BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI KETERKAITAN MATA RANTAI
PRODUKSI
Tinjauan teori yang digunakan dalam analisis dan pengambilan data dalam
pekerjaan ini terdiri dari mata rantai, pohon industri, analisis input-output dan
metode pengambilan sampel.
BAB 3 GAMBARAN UMUM USAHA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH
DI KABUPATEN BEKASI
Pada bab ini dipaparkan gambaran umum mengenai objek penelitian, yaitu
kawasan industri dan UMKM yang dijelaskan setiap jenis dan kegiatannya.
BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM
DENGAN KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI
Bab ini menguraikan analisis yang terdiri dari identifikasi keterkaitan
UMKM dan kawasan industri pada setiap jenis UMKM secara hipotetis melalui
tabel input-output dan juga berdasarkan hasil survei.
BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS
PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH
Bab ini menindaklanjuti hasil analisis dan penilaian atas prospek
pengembangan yang pada akhirnya disusun suatu rencana pengembangan industri
menengah tersebut. Rencana ini juga dilengkapi pedoman pengembangan yang
secara teknis akan menjadi penuntun pelaksanaan program pada tahun 2011.
BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS
PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL
Bab ini muatannya sama dengan Bab 5, hanya konteksnya untuk
pengembangan industri skala kecil.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-1
BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI KETERKAITAN
MATA RANTAI PRODUKSI
2.1 Keterkaitan Eknomi dan Mata Rantai Produksi
Penelitian ini dilakukan karena dengan adanya kondisi empiris bahwa
perkembangan kawasan industri cenderung membentuk enclave yang tidak memiliki
manfaat signifikan bagi wilayah sekitarnya. Ekonomi enclavemenurut Ciccantell& Smith
(2009, 362-363) didefinisikan sebagai ekonomi yang seringkali terintegrasi secara global,
tetapi terdisartikulasi secara lokal. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterkaitannya yang
relatif erat dengan industri-industri di luar wilayahnya, dibandingkan dengan unit usaha
di wilayah sekitar.
Mata rantai produksi (supply chain) terkait dengan hal ini menjadi perhatian yang
penting dalam rangka mengubah kondisi enclave tersebut, yaitu dengan mengembangkan
keterkaitan input-output antarunit industri. Fujita dan Thisse (2008) menjelaskan bahwa
adanya suatu perusahaan baru dalam suatu wilayah jangan dipandang hanya akan
meningkatkan kompetisi dengan perusahaan yang sama, tetapi ini juga meningkatkan
pasar perusahaan-supplier hulu dan menurunkan biaya perusahaan-pelanggan hilir.
One strong contender is the presence of input–output linkages between firms: an
output of one firm can be an input for another, and vice versa. In such a case, the
entry of a new firm in a region not only increases the intensity of competition
between similar firms; it also increases the market of upstream firm–suppliers and
decreases the costs of downstream firm–customers. This is the starting point of the
well-known paper by Krugman and Venables (1995). (Fujita & Thisse 2008, 114)
Sementara itu, Twomey dan Tomkins (1996) memaparkan pentingnya keterkaitan
ekonomi dalam pengembangan wilayah yang dilakukan dalam analisis proses
pembangunan (pp. 937-938). Keterkaitan ke belakang dengan supplier lokal alami pada
input dan jasa secara tradisional ditunjukkan sebagai mekanisme trickle down dimana
perekonomian lokal dan wilayah menerima keuntungan dari suatu investasi dari dalam.
Dengan demikian, keterkaitan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya penting
dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional.
Konsep dasar dari keterkaitan ekonomi (economic linkage) dapat ditunjukkan
sebagai suatu transaksi. Dalam teori ekonomi, transaksi merupakan “any form of
economic organisation which involves carrying out an exchange of goods or services”
(Hobb 1996 dalam Courtney & Errington 2000, 281-282). Transaksi terdiri dari input,
output dan purchase of labour. Input maksudnya keterkaitan antara perusahaan yang
terlibat dalam pembelian barang dan jasa. Output maksudnya keterkaitan antara
perusahaan dan rumah tangga ataupun perusahaan lain yang merupakan penjualan baik
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-2
produsen maupun konsumen barang dan jasa. Kemudian akhirnya terjadi suatu transaksi
perusahaan-rumah tangga dalam bentuk purchase of labour (p. 282). Kemudian,
keterkaitan ekonomi dapat didefinisikan sebagai berikut.
Economic linkage can therefore be summarised as a network of transactions of
varying nature which either contribute to the income generation within, or leakage’s
from, the ‘local economy’.(p. 282)
Sementara itu, mata rantai produksi (supply chain) digunakan untuk menunjukkan
keterkaitan satu divisi/perusahaan dengan perusahaan lainnya. Keterkaitan ini
ditunjukkan dengan transaksi komponen tertentu. Untuk itu, tinjauan teori mengenai mata
rantai ini erat kaitannya dengan input-output dan juga pohon industri.
2.2 Input-Output
Model I-O mencakup semua transaksi, baik pembelian maupun penjualan yang
terjadi selama kurun waktu tertentu.Model ini memberikan dasar bagi analisis yang rinci
dari hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Apabila terdapat perubahan dalam
pola pembelian atau penjualan dari suatu industri, dampaknya terhadap sektor lain dapat
dihitung. Analisis tabel I-O sering disebut sebagai analisis keterkaitan antar industri
karena manfaat mendasar dari model I-O adalah untuk menganalisis ketergantungan antar
industri dalam suatu perekonomian.
Dalam kerangka model I-O, produksi suatu sektor mempunyai dua dampak
ekonomi terhadap sektor lain dalam perekonomian. Bila sektor y meningkatkan
outputnya, ini berarti akan ada kenaikan permintaan dari sektor y akan barang-barang
antara (barang modal) yang diproduksi dari sektor lain. Keterkaitan ini disebut sebagai
keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam model sisi permintaan, yang
menunjukkan peranan suatu sektor dalam menciptaka permintaan turunan.Sebaliknya,
kenaikan output di sektor y juga berarti tambahan jumlah produk y yang tersedia untuk
digunakan sebagai input sektor lain dalam produkdinya. Dengan kata lain, akan terjadi
kenaikan suplai dari sektor y bagi sektor lain yang menggunakan produk y dalam
produksinya. Keterkaitan ini dalam model sisi penawaran disebut keterkaitan ke depan
(forward linkage)karena menunjukkan derajat pemancaran penggunaan hasil produksi
suatu sektor sebagai input bagi sektor lain.
Tabel I-O pertama kali digunakan oleh Leontief untuk memahami bekerjanya
perekonomian modern dan perencanaan di Amerika Serikat setelah menerapkan ide dari
Tableu Economique yang dipublikasikan oleh Francois Quesnay pada tahun 1758.Albert
Hirschman (1958) adalah ekonom pertama yang mengoperasionalkan konsep keterkaitan
yang menjabarkan hubungan antara keterkaitan dengan pembangunan ekonomi. Menurut
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-3
Hirschman, investasi memegang peranan dominan dalam pembanguna ekonomi sebagai
pencipta kapasitas, perangsang pendapatan, dan peletak landasan untuk menambah
investasi. Oleh sebab itu, strategi pembangunan yang diusulkan oleh Hirschman terutama
menekankan pada keterkaitan sebagai mekanisme untuk mendorong investasi lebih lanjut
dan memudahkan bagi penentu kebijakan mengambil keputusan untuk melakukan
investasi.
Dalam pendekatan I-O harus dipahami bahwa produksi suatu sektor tidak hanya
dipengaruhi oleh input primer, tetapi juga oleh barang dan jasa antara yang dihasilkan
oleh sektor lain dan digunakan oleh sektor tersebut sebagai input. Pendekatan ini
memungkinkan untuk mengetahui struktur ekonomi suatu negara atau daerah. Dengan
tabel I-O akan terlihat berapa output suatu sektor, berapa bagian output yang dijual ke
sektor lain sebagai bahan mentah, dan berapa yang langsung dikonsumsi oleh pengguna
akhir. Hal ini juga disebut sebagai matriks alliran I-O atau system perhitungan antar
industri (Gambar 2.
Gambar 2.)
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-4
Gambar 2.1 Keterkaitan Ke Depan Dan Ke Belakang
Sumber : Kuncoro, 2004
Setiap masukan dalam tabel transaksi menunjukkan pembelian oleh suatu sektor
penjualan oleh suatu sektor.Istilah transaksi hanya menunjukkan transaksi ekonomi dan
tidak memasukkan transaksi financial maupun transfer, seperti pembelian atau penjualan
tanah dan bangunan.Pada dasarnya tabel transaksi dapat dibagi ke dalam 4 kuadran.
Pertama, kuadraan transaksi antara(intermediate quadrant) yang menunjukkan
keterkaitan sistem produksi.Kuadran ini disebut sebagai kuadran antar industri dan
mencerminkan saling ketergantungan antar industri dalam perekonomian. Industri
tergantung pada perusahaan lain sebagai sumber input maupun sebagai dasar outputnya.
Kedua, kuadran permintaan akhir (final demand quadrant) yang secara eksogen
ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi di luar perekonomian. Kuadran ini mencatat
penggunaan output masing-masing sektor yang langsung digunakan oleh pengguna akhir.
Contohnya, tingkat ekspor ditentukan oleh faktor-faktor di luar ekonomi suatu negara
atau daerah, pengeluaran pemerintah ditentukan oleh kebijakan fiskal, dan seterusnya.
Ketiga, kuadran input primer (primary inputs quadrant) yang menunjukkan
penggunaan input primer dalam suatu daerah atau negara. Kuadran ini mencatat input
yang masuk ke dalam sektor antara yang berasal dari luar sistem produksi, dalam arti
tidak dibeli dari perusahaan dalam perekonomian lokal (domestik). Tingkat aktivitas
sektor input primer cenderung diperlakukan secara endogen,
Tabel II.1 Input-Output
PERMINTAAN PENYEDIAAN Alokasi
Output
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-5
Permintaan Antara Permintaan
Akhir (F) Impor
Jumlah
Output
Sektor Produksi
Input Antara Kuadran
Kuadran II Sektor 1 x11 x12 x13
Sektor 2 x12 x12 x13
Sektor 3 x13 x12 x13
Input
Primer
201
Kuadran III :
205
209
Jumlah Input 210
yakni melalui kuadran antara, pada tingkat permintaan akhir. Ini diakibatkan karena
kuadran permintaan akhir dianggap sebagai sumber utama dampak ekonomi secara
eksogen.Keempat, input primer terhadap permintaan akhir (primary inputs to final
demand) merupakan transaksi yang tidak secara langsung berkaitan dengan system
produksi regional.
2.3 Pohon Industri
Mengetahui mata rantai produksi yang optimal secara teoretis dapat dilakukan
melalui penelusuran pohon indsutri. Berikut ini diberikan tinjauan beberapa pohon
industri.
2.3.1 Pohon Industri Otomotif
Komponen otomotif terdiri dari sangat banyak ragamnya. Gambar 2.2 di bawah ini
menunjukkan komponen dari suatu mobil, sedangkan Gambar 2.3 menunjukkan
komponen sepeda motor.
Struktur
Input
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-6
Gambar 2.2 Komponen Mobil
Sumber: http://www.automotive-online.com/articles/2007/12/functions-of-automotive-compon.html
Gambar 2.3 Komponen Sepeda Motor
Sumber: http://www.tuv.com/aus/en/category_motorcycle.html
Beberapa komponen mobil dan sepeda motor tersebut memerlukan surface
treatments. Surface treatments merupakan penanganan terhadap permukaan logam agar
tahan terhadap lingkungan, misalnya korosi. Surface treatments sendiri terdiri dari banyak
macamnya, yaitu:
1. Finishing and polishing, termasuk buffing;
2. Coatings;
a. Conversion coatings (oxidation, anodizing);
b. Thermal coatings (carburizing – flame spraying);
c. Metal coatings (electrochemical, electroless);
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-7
d. Deposition;
i. Physical vapor deposition;
ii. Chemical vapor deposition; dan
e. Organic.
Gambar 2.4 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments
Sumber: Vetter, Barbezat, Crummenauer & Avissar 2005, 1964
Gambar 2. dan Gambar 2.menunjukkan detail surface treatmentsuntuk setiap
komponen dan kegunaannya. Dapat dilihat bahwa setiap treatment tersebut secara
spesifik memiliki tujuan tertentu untuk setiap komponen tertentu. Dengan demikian,
pekerjaan untuk produksi komponen beserta surface treatments ini begitu banyak dan
kompleks sehingga mungkin memerlukan banyak vendor yang menyokongnya.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-8
Gambar 2.5 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments
Sumber: Vetter, Barbezat, Crummenauer & Avissar 2005, 1964
2.3.2 Pohon Industri Elektronik
Industri elektronik memiliki beberapa divisi yang secara spesifik menangani
komponen tertentu. Secara umum, mata rantai dan sistem pengerjaan industri elektronik
dapat ditampilkan sebagai berikut.
Gambar 2.6 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik
Sumber: Adexa, 4
Komponen-komponen elektronik terdiri daribeberapa jenis komponen, yaitu PCB,
semikonduktor, konektor, kabel, dan power supply.Komponen ini Komponen-komponen
tersebut kemudian dikerjakan oleh assembling division untuk digabungkan dan menjadi
produk jadi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-9
a. PCB, atau printed circuit board, merupakan komponen pada barang elektronik yang
merupakan rangkaian yang menghubungkan komponen-komponen eletrik di
dalamnya menggunakan jalur konduktif;
b. Semi konduktor, merupakan komponen yang memiliki sifat dapat menghantarkan
listrik pada suhu dan kondisi tertentu;
c. Konektor, yaitu penghubung rangkaian listrik;
d. Kabel; dan
e. Power supplies, yaitu bagian yang terhubung dengan sumber arus listrik.
2.4 Analisis Hipotetis Keterkaitan Antarsektor Menurut Tabel Input-
Output
Mata rantai produksi (supply chain) secara teoretis dapat ditelusuri melalui analisis
tabel input-output nasional, provinsi maupun kabupten untuk mendapatkan gambaran
umum keterkaitan antarsektor. Analisis ini dilakukan dengan cara mengagregasikan
sektor-sektor pada tabel I-O nasional dan provinsi ke sektor-sektor industri di Bekasi.
Dengan cara deskriptif seperti ini, dapat diketahui secara teoretis sektor-sektor ekonomi
di Bekasi apakah sudah terkait sebagaiamana terkait di nasional dan provinsi.
Gambar 2.7 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Nasional
Keterangan:
MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19) Rp 244,87 T
BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 7,26 T
Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 22,16 T
PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 187,92 T
Kayu: Kayu, bambu, rotan (KLUI 13) Rp 45,20 T
Sewa: Sewa bangunan, jasa perusahaan (KLUI 30) Rp 90,59 T
MsOt
PuKiBKi
BrJdLog
Kayu BrJdLog Sewa
Logam
Logam
PuKiBKi Migas
PuKiBKi
9%
67%
11% 13% 13%
33%
59%
17%
37%
45%
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-10
Gambar 2.8 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Provinsi
Keterangan :
MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19) Rp 85,1 T
BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 4,4 T
PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 26,8 T
Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 4,5 T
Sektor ekonomi mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya memiliki nilai
transaksi yang paling tinggi diantara sektor ekonomi lainnya, baik di lingkup Jawa Barat
dan nasional. Di lingkup Jawa Barat, sektor ekonomi ini hanya memenuhi 35% dari total
transaksi nasional. Sektor ini diyakini dapat memberikan mata rantai input output yang
lebih efisien dalam sektor ekonomi karena sektor ini membutuhkan komponen produksi
yang cukup banyak untuk membuat peralatan mesin. Untuk membuat komponen produksi
tersebut dapat menciptakan multiplier effect dan membangun hubungan antara satu
industri dengan industri lain. Sektor ekonomi Jawa Barat dapat menggunakan output yang
dihasilkan oleh industri yang di Kabupaten Bekasi sehingga tercipta dapat memenuhi
kebutuhan nasional.
Gambar 4.1 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Kabupaten
Keterangan :
MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19)
MsOt PuKiBKi
BrJdLog
BrJdLog
Logam
Logam
Migas
PuKiBKi
MsOt
6%
74%
53%
35%
25%
49%
80%
7%
PuKiBKi
MsOt MsOt
BrJdLog
PuKiBKi Migas
Logam
Logam
PuKiBKi Migas
PuKiBKi
61%
18%
24% 21%
54%
44%
19%
41%
37%
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-11
Rp 19.4 T
PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 4.3 T
BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 5.4 T
Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 1.1 T
Berdasarkan keterkaitan di atas, diketahui bahwa masih terdapat peluang untuk sektor
ekonomi di Kabupaten Bekasi agar dapat menambah kapasitas produksi sehingga bisa
didistribusikan ke sektor ekonomi lainnya, baik di skala Jawa Barat dan nasional. Hal ini
bertujuan untuk menciptakan linkages antar industri besar dengan industri kecil
menengah yang mungkin belum terhubung satu sama lain. Dengan adanya keterkaitan ini,
maka dapat tercipta hubungan saling ketergantungan dalam pemanfaatan sumber daya
lokal untuk pemenuhan skala makro.
Tabel Input-Output (I-O) digunakan sebagai data statistik secara komprehensif untuk
memperoleh gambaran tentang keterkaitan kegiatan ekonomi secara timbal balik antara
unit ekonomi yang ada di Indonesia, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bekasi. Unit
ekonomi yang berkaitan akan semakin kecil jumlahnya seiring dengan semakin
spesifiknya ruang lingkup wilayah. Secara nasional, jumlah unit ekonomi yang ada di
tabel I-O Indonesia adalah 175 unit, di Provinsi Jawa Barat terdapat 86 unit, sedangkan
untuk Kabupaten Bekasi hanya terdapat 32 unit ekonomi. Tabel I-O ini memberikan
informasi tentang transaksi barang dan jasa antar unit ekonomi tersebut dengan bentuk
matriks. Baris pada tabel I-O menunjukkan output yang dihasilkan oleh unit ekonomi dan
digunakan sebagai input untuk produksi oleh unit ekonomi lain, sedangkan kolom
menunjukkan input yang digunakan oleh masing-masing sektor ekonomi dalam proses
produksi. Analisis dengan tabel I-O ini menggunakan data dasar dari tabel I-O Kabupaten
Bekasi.Jenis industri besar yang ada di Kawasan Industri Bekasi kemudian dihubungkan
dengan unit ekonomi yang ada di masing-masing tingkatan tabel I-O.
Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan terhadap jenis industri besar yang ada di
Kawasan Industri Bekasi diperoleh bahwa pada Tabel I-O Nasional dapat dikelompokkan
menjadi 51unit ekonomi, pada Tabel I-O Provinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan
menjadi 32 unit ekonomi pada sektor input. Sedangkan pada tabel I-O Kabupaten Bekasi
dapat dikelompokkan menjadi 16 unit ekonomi. Unit ekonomi pada wilayah Nasional dan
Jawa Barat tersebut dikerucutkan menjadi unit ekonomi yang terdapat di Kabupaten
Bekasi. Pengelompokkan unit ekonomi tersebut dapat dilihat pada Tabel II.2.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-12
Tabel II.2
Konversi Sektor Ekonomi Jawa Barat (2003) ke Kabupaten Bekasi (2000) Berdasarkan Industri Besar
di Kawasan Industri Bekasi
Sektor Ekonomi Jabar Sektor Ekonomi Bekasi
30 Gula 11 Industri Makanan, Minuman Dan Tembakau
32 Industri Makanan Lainnya 11 Industri Makanan, Minuman Dan Tembakau
34 Industri Tekstil 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki
35 Industri Pakaian Jadi Kecuali Untuk Alas Kaki
12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki
36 Industri Kulit Dan Barang Dari Kulit Kecuali
Untuk Alas Kaki 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki
37 Industri Alas Kaki 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki
38 Industri Kayu, Bambu, Rotan Dan Anyaman 13 Industri Kayu, Bambu, Rotan, Dan Hasil Hutan Lainnya
39 Industri Furnitur (Termasuk Berbahan Plastik,
Besi Dan Baja) 13 Industri Kayu, Bambu, Rotan, Dan Hasil Hutan Lainnya
40 Industri Kertas, Barang Dari Kertas Dan Sejenisnya
14 Industri Kertas Dan Barang-Barang Dari Kertas. Percetakan Dan Penerbitan, Serta Barang Cetakan
41 Industri Penerbitan Dan Percetakan 14 Industri Kertas Dan Barang-Barang Dari Kertas. Percetakan
Dan Penerbitan, Serta Barang Cetakan
42 Industri Kimia Dasar Kecuali Pupuk 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi
44 Industri Kimia Dan Barang-Barang Dari
Bahan Kimia Lainnya 15
Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet,
Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi
45 Industri Pengilangan Minyak Bumi 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi
46 Industri Karet Dan Barang-Barang Dari Karet 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet,
Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi
47 Industri Barang-Barang Dari Plastik Kecuali Furnitur
15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi
48 Industri Gelas Dan Barang Dari Gelas 16 Industri Semen Dan Barang Bukan Logam
50 Industri Pengolahan Tanah Liat Dan Keramik 16 Industri Semen Dan Barang Bukan Logam
52 Industri Logam Dasaar Dari Besi Dan Baja
Kecuali Furnitur 17 Industri Logam Dasar
53 Industri Logam Dasar Bukan Besi Dan Baja 17 Industri Logam Dasar
54 Industri Barang Dari Logam Kecuali Mesin
Dan Perlatannya Dan Furnitur 18 Industri Barang Jadi Dari Logam
55 Industri Mesin Dan Peralatan Termasuk
Perlengkapannya 19 Industri Lainnya
56 Industri Mesin Lainnya Dan Perlengkapannya 19 Industri Lainnya
57 Industri Kendaraan Bermotor, Karoseri Dan
Perlengkapannya 19 Industri Lainnya
58 Industri Alat Angkutan Lainnya dan Jasa Perbaikannya
19 Industri Lainnya
62 Gas Kota 20 Listrik, Gas, Dan Air Bersih
65 Perdagangan 22 Perdagangan
66 Hotel 23 Hotel
67 Restoran 24 Restoran
69 Jasa Angkutan Jalan 26 Angkutan Jalan Raya
76 Real Estate Dan Usaha Persewaan Bangunan 30 Usaha Sewa Bangunan Dan Jasa Perusahaan
77 Jasa Perusahaan 30 Usaha Sewa Bangunan Dan Jasa Perusahaan
85 Jasa Perseorangan Dan Rumah Tangga 32 Jasa Sosial Dan Kemasyarakatan Serta Jasa Lainnya
Sumber : Tabel Input Output Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 dan Kabupaten Bekasi Tahun 2000
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-1
BAB 3 GAMBARAN UMUM KARAKTERISTIK USAHA INDUSTRI
KECIL MENENGAH DI KABUPATEN BEKASI
Penelusuran UMKM dilakukan dengan cara menyisir setiap kecamatan yang
memiliki usaha kecil dan menengah masyarakat untuk kemudian dilakukan
pemilahan UMKM yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan industri besar di
kawasan. Pada penyisiran awal ini memang jenis UMKM yang dikumpulkan tidak
dibatasi tetapi mempertimbangkan bahwa produknya berpotensi memberikan
suplai kepada berbagai jenis industri manufaktur di kawasan, yaitu:
a. Industri otomotif,
b. Industri elektronik,
c. Industri permesinan,
d. Industri makanan,
e. Industri barang konsumem; dan
f. Industri bangunan dan material.
Dari berbagai macam UMKM yang ditemui, usaha-usaha yang berkaitan
dengan industri besar adalah fabrikasi, buffing, jasa catering, dan jasa angkutan
karyawan. Begitu pula, konveksi dan bengkel las juga memiliki keterkaitan
meskipun belum dalam intensitas yang kuat. Selain itu, UMKM limbah juga
memiliki keterkaitan ke depan dengan industri besar, yaitu pada jenis usaha palet,
pengepul besi dan pengepul limbah lainnya. Berikut ini dijelaskan karakteristik
umum UMKM yang disurvei di luar kawasan industri di Bekasi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-3
3.1 Fabrikasi
Fabrikasi merupakan kegiatan pengembangan mesin, struktur dan peralatan
lain dengan cara memotong, membentuk dan merakit komponen yang dibuat dari
material dasarnya. Kegiatan fabrikasi terdiri dari beberapa bagian pekerjaan,
yaitu:
a. Cutting and burning: pemotongan bahan mentah sesuai dengan ukuran yang
diperlukan menggunakan berbagai alat tertentu;
b. Forming: pembentukan logam menggunakan alat tertentu, terutama yang
sering digunakan hydraulic brake presses dengan cetakan-v;
c. Machining: UMKM dapat memiliki kapabilitas dalam machining yang terdiri
dari bubut, pabrik, bor magnetik besi dengan menggunakan mesin portabel
tertentu;
d. Welding: pengelasan, merupakan fokus utama dalam fabrikasi baja. Suku
cadang yang telah dimesin dan dibentuk akan dirakit dan dilas kemudian dicek
kembali akurasinya.
e. Final assembly: setelah dilas, logam didinginkan, diprimakan dan dicat.
Kegiatan tambahan yang diminta pelanggan diselesaikan.
UMKM fabrikasi yang ada di Bekasi memiliki kegiatan berupa jasa
pengolahan besi, perbaikan mesin dan juga menghasilkan produk berupa sparepart
dan komponen otomotif dan permesinan. Berdasarkan hasil penelusuran awal,
terdapat 41 unit usaha fabrikasi di Kabupaten Bekasi yang tersebar di 7
kecamatan. Akan tetapi, setelah dilakukan survei dari 9 sampel yang seharusnya
dituju, hanya 6 unit di antaranya yang berhasil disurvei. Dengan demikian,
terdapat error 33%.
Tabel III.1 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Fabrikasi
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
1 Kec. Babelan 0 0 - -
2 Kec. Cibitung 1 0 1(1) -
3 Kec. Cikarang Barat 5 0 1(1) -
4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -
5 Kec. Cikarang Selatan 28 0 3(3) -
6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-4
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
7 Kec. Cikarang Utara 1 0 1(0) -
8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -
9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -
10 Kec. Setu 2 0 1(1) -
11 Kec. Serang Baru 0 0 - -
12 Kec. Tambun Selatan 0 3 - 1(0)
13 Kec. Tambun Utara 1 0 1(0) -
Jumlah 38 3 8(6) 1(0)
*) Angka dalam kurung adalah realisasi pada saat survei
Gambar 3.1 Asal Pemilik UMKM Fabrikasi
Sumber: Hasil Survei, 2010
Pemilihan lokasi usaha fabrikasi ini tidak sesignifikan usaha fabrikasi yang
sama yang berada di dalam kawasan industri. Akan tetapi, pada prinsipnya sama,
yakni berkaitan dengan time delivery order dan kedekatan dengan konsumen,
yakni industri besar. Selain itu, harga lahan di luar kawasan lebih murah dan
terjangkau bagi usaha kecil dan menengah seperti ini.
Beberapa karakteristik umum UMKM fabrikasi ini ditampilkan pada dari
profil usahanya. Pada Gambar 3.1, ditunjukkan bahwa mayoritas pemilik usaha
ini berasal dari luar Jawa Barat dan bahkan tidak satu pun berasal dari Kabupaten
Bekasi. Sementara itu, pada Gambar 3.2 ditampilkan klasifikasi jumlah tenaga
kerja usaha ini. Lebih dari separuh UMKM ini merupakan usaha menengah
dengan jumlah tenaga kerja lebih besar daripada 20 orang.
0%
14%
86%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-5
Gambar 3.2 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi
Sumber: Hasil Survei, 2010
Gambar 3.3 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi
Sumber: Hasil Survei, 2010
Tenaga kerja usaha ini mayoritas berasal dari luar Jawa Barat (69%),
sedangkan yang berasal dari Bekasi hanya 30% dan sisanya hanya 1% dari
wilayah Jabar selain Bekasi. Usaha fabrikasi sudah menggunakan teknologi yang
cukup tinggi. Mesin-mesin yang digunakan merupakan modal utama dalam
menggerakkan usaha. Modal awal yang diperlukan untuk pendirian usaha ini
diperlukan untuk pengadaan mesin. Besarnya beraneka ragam tergantung skala
usaha dan jenis mesin yang diadakan, berkisar antara Rp60.000.000,00 hingga
Rp600.000.000,00. Sementara itu, omzet usaha fabrikasi ini bervariasi juga sesuai
skala produksinya mulai Rp20.000.000,00 hingga Rp1,5 milyar perbulan.
Umumnya nilai omzet ini meningkat sejak awal pendirian usaha seiring dengan
peningkatan kapasitas produksinya. Hanya saja, secara umum kenaikan kapasitas
produksi tersebut tidak dapat didefinisikan secara eksak karena pekerjaan
didapatkan berdasarkan order, berkisar antara 10-50 unit perminggu.
Faktor yang mendorong perkembangan usaha ini adalah adalah pemenuhan
kualitas, kuantitas, dan teknologi dan juga koneksi dengan industri besar
(channel). Faktor yang menghambat perkembangan usaha pada umumnya
0%
43%
57% 1-4
5-19
20-99
30%
1%
69%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-6
berkaitan dengan permodalan dan juga kapasitas produksi sehingga kadangkala
mengalami kesulitan dalam memenuhi waktu penyelesaian (time order).
3.2 Buffing
Buffing merupakan bagian dari kegiatan surface treatments. Buffing
termasuk kategori polishing and finishing dalam surface treatments, yang relatif
memiliki teknologi yang lebih sederhana dibandingkan dengan coatings.
a. Finishing and polishing, termasuk buffing;
b. Coatings terdiri dari
(i) Conversion Coatings (oxidation, anodizing);
(ii) Thermal Coatings (carburizing – flame spraying);
(iii) Metal Coatings (electrochemical, electroless);
(iv) Deposition;
Physical Vapor Deposition
Chemical Vapor Deposition
(v) Organic.
Gambar 3.4 Asal Pemilik UMKM Buffing
Sumber: Hasil Survei, 2010
Survei pada awalnya diharapkan dapat dilakukan terhadap 4 unit usaha
buffing yang ditemukan pada pemetaan awal, tetapi ternyata survei hanya berhasil
dilakukan terhadap 2 unit usaha. Hal ini disebabkan unit usaha lainnya tidak
bersedia dan tidak ditemukan lagi.
0% 0%
100%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-7
Tabel III.2 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Buffing
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
1 Kec. Babelan 0 0 - -
2 Kec. Cibitung 0 0 - -
3 Kec. Cikarang Barat 3 0 3(2) -
4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -
5 Kec. Cikarang Selatan 0 0 - -
6 Kec. Cikarang Timur 0 1 - 1(0)
7 Kec. Cikarang Utara 0 0 - -
8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -
9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -
10 Kec. Setu 0 0 - -
11 Kec. Serang Baru 0 0 - -
12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -
13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -
Jumlah 3 1 3(2) 1(0)
*) Angka dalam kurung adalah realisasi pada saat survey
Berdasarkan hasil survei, usaha buffing di luar kawasan industri
dikembangkan oleh pemilik yang 100% berasal dari luar kawasan (Gambar 3.4).
Dengan mayoritas ukuran usaha menengah (jumlah pekerja 20-99 orang), tenaga
kerjanya mayoritas berasal dari luar Jabar (57%). Sementara itu, 34% berasal dari
dalam Bekasi dan sisanya dari kota lain di Jabar.
Gambar 3.5 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing
Sumber: Hasil Survei, 2010
0%
33%
67%
1-4
5-19
20-99
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-8
Gambar 3.6 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing
Sumber: Hasil Survei, 2010
Pemilihan lokasi usaha buffing, sama dengan usaha fabrikasi, ini tidak
sesignifikan usaha yang sama yang berada di dalam kawasan industri. Akan
tetapi, pada prinsipnya sama, yakni berkaitan dengan time delivery order dan
kedekatan dengan konsumen, yakni industri besar. Selain itu, harga lahan di luar
kawasan lebih murah dan terjangkau bagi usaha kecil dan menengah seperti ini.
Kendati buffing memiliki teknologi yang lebih rendah dibandingkan dengan
buffing, kebutuhan permodalan awal diperlukan untuk pengadaan peralatan mesin
gerinda berkisar Rp75.000.000,00 hingga Rp200.000.000,00. Omzet kegiatan
buffing relatif tinggi dan tetap bergantung kepada skala usaha, berkisar antara
Rp60.000.000,00 hingga Rp500.000.000,00 perbulan. Faktor yang menentukan
perkembangan usaha pada umumnya berkaitan dengan pemenuhan kualitas dan
ketepatan waktu pengiriman. Sementara itu, faktor yang menghambat secara
umum berkaitan dengan permodalan.
3.3 Bengkel Las
Kegiatan bengkel las pada umumnya melayani kebutuhan masyarakat
langsung, seperti pagar, teralis, rolling door, dan lain-lain. Beberapa bengkel las
menunjukkan potensi untuk berpartisipasi dalam bidang machinery (fabrikasi).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengelasan merupakan bagian proses yang
penting dalam fabrikasi.
34%
9%
57%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-9
Gambar 3.7 Asal Pemilik UMKM Bengkel Las
Sumber: Hasil Survei, 2010
Jumlah UMKM bengkel las yang dipetakan pada survei awal adalah
sebanyak 249 unit usaha. Namun, pada saat survey hanya 24 responden di
antaranya yang berhasil disurvei. Dengan demikian, tingkat galatnya adalah 7,7%.
Tabel III.3 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Bengkel Las
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
1 Kec. Babelan 36 0 4 -
2 Kec. Cibitung 11 0 1 -
3 Kec. Cikarang Barat 32 0 3 -
4 Kec. Cikarang Pusat 6 0 1 -
5 Kec. Cikarang Selatan 10 0 1 -
6 Kec. Cikarang Timur 9 0 1 -
7 Kec. Cikarang Utara 30 0 3 -
8 Kec. Karangbahagia 7 0 1 -
9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -
10 Kec. Setu 23 0 2 -
11 Kec. Serang Baru 16 0 2 -
12 Kec. Tambun Selatan 40 0 4 -
13 Kec. Tambun Utara 29 0 3 -
Jumlah 249 0 26 (24) 0
Terdapat keunikan dari usaha bengkel las di Bekasi, yaitu asal pemilik dan
tenaga kerjanya yang kebanyakan dari Ciamis, Jawa Barat. Mayoritas usaha
bengkel las berskala mikro yakni memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang.
Banyak di antaranya digerakkan sebagai usaha keluarga. Hal ini merefleksikan
29%
58%
13%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-10
kapasitas produksi yang relatif rendah dan hanya melayani konsumsi langsung
masyarakat.
Gambar 3.8 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las
Sumber: Hasil Survei, 2010
Gambar 3.9 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las
Sumber: Hasil Survei, 2010
Pemilihan lokasi usaha secara umum tidak berkaitan dengan keberadaan
kawasan. Mereka mengadakan usaha ini karena dekat dengan tempat tinggal,
memanfaatkan tempat yang dimiliki atau sewa karena memang usaha bengkel las
kebanyakan melayani kebutuhan rumahan.
Permodalan yang dibutuhkan untuk usaha bengkel las dapat mencapai
Rp200.000.000,00 untuk usaha skala yang relatif besar. Omzet usaha bengkel las
sangat beraneka ragam. Usaha bengkel las skala rumahan memperoleh omzet
sekitar Rp10.000.000,00 perbulan, sementara bengkel las machinery bisa meraih
omzet hingga Rp500.000.000,00. Teknologi yang digunakan pun berbeda untuk
setiap jenis bengkel las tersebut, terutama mesin las yang digunakan. Pada saat ini
masih ada yang masih menggunakan las karbit, sementara lainnya menggunakan
las trafo (listrik).
96%
4% 0%
1-4
5-19
20-99
18%
52%
30%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-11
3.4 Jasa Catering
Jasa catering yang dimaksud adalah catering untuk konsumsi
pegawai/pekerja di industri besar secara kolektif. Jasa yang biasa digunakan
adalah makan siang lengkap (nasi, lauk, buah) dengan paket sesuai harga tertentu.
Usaha catering di Bekasi mayoritas digerakkan oleh pemilik dan pekerja yang
berasal dari luar Jabar. Skala usaha kebanyakan adalah usaha menengah. Untuk
dapat menjadi supplier catering pada industri besar, usaha catering ini harus
mengajukan proposal penawaran kepada industri.
Tabel III.4 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Catering
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
1 Kec. Babelan 0 0 - -
2 Kec. Cibitung 0 0 - -
3 Kec. Cikarang Barat 1 3 1 1
4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -
5 Kec. Cikarang Selatan 3 0 1 -
6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -
7 Kec. Cikarang Utara 7 0 1 -
8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -
9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -
10 Kec. Setu 1 0 1 -
11 Kec. Serang Baru 0 0 - -
12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -
13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -
Jumlah 12 3 4(4) 1(1)
Berdasarkan hasil survei awal, ditemukan 15 unit usaha catering untuk
industri yang kemudian ditentukan 5 sampel yang dipilih untuk survei. Kelima
responden tersebut 100% berhasil disurvei.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-12
Gambar 3.10 Asal Pemilik UMKM Catering
Sumber: Hasil Survei, 2010
Usaha catering seperti ini memiliki kapasitas produksi 150 hingga 2.000
porsi perhari dengan harga paket Rp5.000,00 hingga Rp10.000,00 perporsi. Faktor
yang mendorong usaha ini adalah secara umum terdiri dari keberlanjutan
permintaan, promosi, pemenuhan kualitas dan kuantitas. Sementara itu,
penghambat usaha dapat disenaraikan, yaitu kualitas prasarana, adanya banjir,
hambatan modal dan harga, soal perizinan dan juga lokasi/tempat usaha.
Gambar 3.11 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering
Sumber: Hasil Survei, 2010
Gambar 3.12 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering
Sumber: Hasil Survei, 2010
Asal pemilik usaha catering mayoritas berasal dari luar Jawa Barat (60%)
dan hanya masing-masing 20% berasal dari dalam Bekasi dan Jabar. Usaha
20%
20% 60%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
0%
40%
60%
1-4
5-19
20-99
24%
9% 67%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-13
catering ini sudah mulai mengarah ke skala usaha menengah-besar yang bertenaga
kerja lebih daripada 20 orang. Sementara itu, tenaga kerja usaha catering ini
berasal dari 67% luar Jabar, 24% dalam Bekasi dan sisanya luar Bekasi.
3.5 Jasa Angkutan Karyawan
Jasa angkutan yang dimaksud adalah jasa antar-jemput karyawan dari poin
tertentu ke lokasi pabrik dan sebaliknya sesuai dengan kontrak yang disepakati.
Moda yang digunakan dalam jasa angkutan karyawan beraneka ragam mulai
ukuran bus hingga elf. Sama seperti jasa catering, untuk dapat memberikan jasa
kepada industri besar usaha jasa angkutan ini harus mengajukan proposal
penawaran untuk mendapatkan kontrak jangka waktu tertentu.
Pada survei yang dilakukan, sebenarnya hanya ada 2 UMKM yang
diwawancara. Hanya satu di antaranya, yaitu CV Mulia Mekar, yang memiliki
keterkaitan dengan industri besar di kawasan industri. Kendaraan antar-jemput
yang digunakan pada ummnya berukuran minibus. Menurut hasil observasi di
kawasan, sebenarnya ada juga perusahaan yang menggunakan jasa angkutan bus
untuk antar-jemput karyawan. Jenis industri yang dilayani jasa angkutan beragam
dan tidak terbatas pada jenis industri tertentu. Hanya saja, karakteristik
industrinya biasanya memiliki banyak tenaga kerja (labour extensive).
Armada yang digunakan sebagai sarana usaha ini diadakan dengan sistem
rekanan. Jadi, orang-orang menginvestasikan mobil atau modal kepada pemilik
usaha dan secara berkala bagi hasil diberikan dengan rasio tertentu, misalnya
40:60. Langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan customer (industri
besar) adalah dengan pengajuan proposal yang berisi penawaran kontrak kerja
sama. Kontrak itu sendiri biasanya dilakukan dan dievaluasi setiap setahun. Selain
harus menyiapkan proposal, jasa angkutan juga harus menyiapkan kelengkapan
termasuk NPWP, surat izin usaha dan akte perusahaan.
3.6 Konveksi
Kegiatan konveksi pada umumnya menghasilkan pakaian jadi. Dalam
kegiatan industri besar, konveksi dapat menyuplai seragam kerja sesuai dengan
standar keamanan diri pada industri terkait. Hanya saja, pada saat ini kegiatan
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-14
konveksi di Bekasi masih belum banyak memiliki keterkaitan dengan industri
besar, melainkan masih memproduksi untuk barang konsumsi.
Tabel III.5 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Konveksi
No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*
(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100
1 Kec. Babelan 0 0 - -
2 Kec. Cibitung 0 0 - -
3 Kec. Cikarang Barat 1 3 1 1
4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -
5 Kec. Cikarang Selatan 3 0 1 -
6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -
7 Kec. Cikarang Utara 7 0 1 -
8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -
9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -
10 Kec. Setu 1 0 1 -
11 Kec. Serang Baru 0 0 - -
12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -
13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -
Jumlah 12 3 4 1
Berdasarkan hasil survei awal, terdapat 15 unit usaha konveksi di
Kabupaten Bekasi. Dari jumlah tersebut diambil 5 sampel untuk disurvei dan
semuanya berhasil disurvei.
Gambar 3.13 Asal Pemilik UMKM Konveksi
Sumber: Hasil Survei, 2010
Usaha konveksi ini dikembangkan oleh pemilik yang 100% berasal dari luar
Jabar, sementara proporsi asal tenga kerja yang hampir sama dari Bekasi, dalam
Jabar dan luar Jabar. Usaha ini kebanyakan berskala kecil dengan pekerja kurang
20 orang yaitu 83%, sedangkan 17% sisanya bahkan masih berskala mikro. Selain
0% 0%
100%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-15
itu, asal tenaga kerjanya hampir merata antara dalam Bekasi, dalam Jabar dan luar
Jabar, yaitu sekitar 30%. Tenaga kerja luar Jabar mendominasi sedikit pada
proporsi 39% sementara dalam Bekasi dan Jabar masing-masing 30 dan 31%.
Gambar 3.14 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi
Sumber: Hasil Survei, 2010
Gambar 3.15 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi
Sumber: Hasil Survei, 2010
3.7 Palet
Palet merupakan salah satu komoditas usaha masyarakat yang jumlahnya
cukup banyak ditemukan di Kabupaten Bekasi (Gambar 3.16). Palet sebagai salah
satu barang limbah yang dihasilkan oleh industri yang kemudian diolah kembali
oleh UMKM. Palet berfungsi sebagai kemasan dan melindungi komoditas yang
biasanya digunakan untuk barang-barang kargo atau komoditas internasional agar
tidak mengalami kerusakan ketika barang didistribusikan. Palet dapat terbuat dari
kayu dan plastik yang dirakit berbentuk sebuah balok kayu. Bagian bawah dari
palet kayu terdiri atas dasar dan kaki kemasan yang biasanya berbentuk datar dan
terbuat dari papan yang tersusun teratur dan memiliki jarak tertentu. Berdasarkan
hasil penelusuran usaha di Kabupaten Bekasi diperoleh sekitar 221 usaha palet
yang tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Bekasi kecuali di kecamatan
Cibarusah, Cikarang Pusat, Cikarang Timur, Pebayuran, dan Tambun Utara.
Persebaran usaha palet di Kabupaten Bekasi dapat dilihat pada Tabel III.6.
17%
83%
0%
1-4
5-19
20-99
30%
31%
39%
Bekasi
Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi
Luar Jabar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-16
Gambar 3.16 Komoditas Palet
Sumber : Hasil Survei, 2010
Tabel III.6 Persebaran Usaha Palet dan Jumlah Sampel Survei
Di Kabupaten Bekasi
Kecamatan Jumlah Usaha Palet Jumlah Usaha Palet
Kec. Babelan 4 1
Kec. Cibitung 10 1
Kec. Cikarang Barat 37 4
Kec. Cikarang Selatan 11 1
Kec. Cikarang Utara 47 5
Kec. Karangbahagia 11 1
Kec. Kedungwaringin 91 9
Kec. Setu 4 1
Kec. Serang Baru 2 1
Kec. Tambun Selatan 4 1
Total 221 25 Sumber : Hasil Survei Primer, 2010
Dari jumlah ini diambil sampel 25 usaha palet yang tersebar di 10
kecamatan di atas sehingga di setiap kecamatan memiliki perwakilan usaha palet
minimal 1 UMKM dan tergantung dari proporsi usaha palet yang ditemukan
sebelumnya. Berikut jumlah sampel usaha palet yang dapat dilihat pada Tabel
III.6. Berdasarkan survei yang telah dilakukan terhadap pelaku usaha palet di
Kabupaten Bekasi, hanya 21 usaha palet yang dapat disurvei sehingga tingkat
error yang dihasilkan adalah 16% dari sampel yang telah dilakukan. Pada
umumnya pemilikusaha palet berasal dari Madura yang sudah tinggal di
Kabupaten Bekasi, seperti yang terlihat pada Gambar 3.17. Pemilik usaha palet
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-17
yang berasal dari Madura ini pada umumnya beraglomerasi di suatu tempat
seperti di sepanjang jalan Cikarang-Karawang yang terdapat di Kecamatan
Kedungwaringin.
Gambar 3.17 Asal Pemilik Usaha Palet Di Kabupaten Bekasi
Sumber : Hasil Survei Primer, 2010
Di kecamatan tersebut terdapat lebih dari 10 usaha palet yang beraglomerasi
dan cenderung didominasi oleh masyarakat Madura. Para pengusaha palet
memilih berlokasi di kawasan tersebut karena memiliki kemudahan akses ke jalan
utama yang menguhubungkan dua kabupaten serta kemudahan dalam distribusi
barang baik dari industri yangmenghasilkan limbah palet maupun dari UMKM
palet ke pembeli. Selain itu, pengusaha palet lainnya memilih lokasi usaha karena
dekat dengan industri sehingga memudahkan akses untuk memperoleh limbah
palet tersebut dari industri.
Usaha palet ada yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun yaitu sejak tahun
1997 tetapi terdapat juga pengusaha palet yang baru memulai usaha ini pada tahun
2010. Rata-rata usaha palet ini sudah berjalan selama 6 tahun dengan rata-rata
tenaga kerja sebanyak 6 orang di setiap usaha palet. Jumlah tenaga kerja ini
mengindikasikan kriteria kegiatan palet. Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja
Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dikeluarkan oleh BPS, maka usaha palet
di Kabupaten Bekasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yang dapat
dilihat pada Gambar 3.18. Pada umumnya, usaha palet yang ada di Kabupaten
Bekasi merupakan usaha mikro yang memiliki tenaga kerja 1-4 orang. Bagi
Madura Jawa Timur
Jawa Tengah Jakarta
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-18
pengusaha palet yang berasal dari Madura, para pekerjanya juga berasal dari
Madura karena pemilik usaha akan mengajak teman atau saudara yang berasal
dari daerah yang sama. Walaupun demikian, masyarakat lokal juga ada yang
bekerja di usaha ini. Karena sebagian besar usaha palet merupakan usaha mikro
maka usaha palet ini juga disebut sebagai usaha rumah tangga dan anggota
keluarga merangkap sebagai tenaga kerja dalam usaha tersebut. Berdasarkan hasil
survei di Bekasi juga diperoleh keterangan bahwa palet tidak hanya dibuat palet
bekas dan tidak hanya terbuat dari kayu tetapi juga dapat dibuat dari kayu baru
dan plastik yang disebut sebagai palet plastik.
Gambar 3.18 Klasifikasi UMKM Menurut Jumlah Tenaga Kerja
Sumber : Hasil Survei Primer, 2010
3.8 Pengepul Limbah Plastik, Besi dan Limbah Lainnya
Barang-barang rongsokan seperti besi, plastik, karton dan barang lainnya
tetap menjadi komoditas perdagangan yang memberikan peluang usaha dan
keuntungan kepada pemilik usaha. Komoditas limbah logam yang paling banyak
ditemui adalah logam besi tua yang berupa potongan. Selain itu, pengusaha
limbah juga menjual beberapa jenis limbah lainnya seperti kardus bekas, botol
aqua, plastik yang dipisahkan menurut warnanya serta kertas-kertas bekas. Usaha
limbah besi dan plastik merupakan usaha yang juga banyak ditemui di Kabupaten
Bekasi selain usaha palet. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap usaha
Usaha Mikro Usaha Kecil
Usaha Menengah
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-19
limbah ini, maka diketahui persebaran kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel
III.2.3.
Usaha pengepul besi tua dan logam yang terbanyak terdapat di Kecamatan
Cikarang Barat dan Cikarang Selatan. Sedangkan pengepul limbah yang berupa
barang bekas banyak terdapat di Kecamatan Cikarang Utara dan Cikarang Barat.
Namun, tidak semua kecamatan di Kabupaten Bekasi memiliki UMKM pengepul
limbah ini seperti di Kecamatan Cikarang Pusat dan Tambun Utara yang tidak
memiliki UMKM
Tabel III.7 Persebaran UMKM Pengepul Besi Tua Dan Logan Serta Pengepul
Limbah di Kabupaten Bekasi
No Nama Kecamatan
Pengepul Besi
Tua dan
Logam
Pengepul Limbah
(Barang Bekas)
Lainnya
≤ 20 ≤ 20 21-100
1 Kec. Babelan 3 6 0
2 Kec. Cibitung 16 36 0
3 Kec. Cikarang Barat 74 61 0
4 Kec. Cikarang Pusat 0 2 0
5 Kec. Cikarang Selatan 45 20 0
6 Kec. Cikarang Timur 2 8 0
7 Kec. Cikarang Utara 8 87 0
8 Kec. Karangbahagia 0 26 0
9 Kec. Kedungwaringin 4 2 0
10 Kec. Setu 17 4 0
11 Kec. Serang Baru 7 4 0
12 Kec. Tambun Selatan 9 14 1
13 Kec. Tambun Utara 0 18 0
TOTAL 187 289 1 Sumber :Hasil Survei Primer PHKI, 2010
Tabel III.8 Survei Sampel UMKM Besi Tua, Logam Dan Barang Bekas Di Kabupaten
Bekasi
No Nama Kecamatan
Pengepul Besi
Tua Dan
Logam
Pengepul Limbah
(Barang Bekas)
Lainnya
≤ 20 ≤ 20 21-100
1 Kec. Babelan 1 1 -
2 Kec. Cibitung 2 4 -
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-20
No Nama Kecamatan
Pengepul Besi
Tua Dan
Logam
Pengepul Limbah
(Barang Bekas)
Lainnya
≤ 20 ≤ 20 21-100
3 Kec. Cikarang Barat 7 6 -
4 Kec. Cikarang Pusat - 1 -
5 Kec. Cikarang Selatan 5 2 -
6 Kec. Cikarang Timur 1 1 -
7 Kec. Cikarang Utara 1 9 -
8 Kec. Karangbahagia 1 3 -
9 Kec. Kedungwaringin 1 1 -
10 Kec. Setu 2 1 -
11 Kec. Serang Baru 1 1 -
12 Kec. Tambun Selatan 1 1 1
13 Kec. Tambun Utara - 2 -
Total 23 33 1 Sumber :Hasil Analisis PHKI, 2010
Pengepul besi tua dan logam. Antara pengepul besi tua dan logam dengan
pengepul barang bekas lainnya tidak dapat dipisahkan karena kedua jenis usaha
ini mengumpulkan barang yang sama namun berbeda dalam kuantitas barang
yang diperdagangkan. UMKM pengepul limbah besi dan logam serta UMKM
pengepul barang bekas merupakan jenis UMKM kecil yang memiliki tenaga kerja
kurang dari 20 orang. Berdasarkan jumlah UMKM ini akan diambil beberapa
sampel untuk diwawancarai terkait mata rantai produksi yang dapat dilihat pada
Tabel III.2.4. Setiap kecamatan minimal memiliki satu UMKM yang mewakili
kecamatan tersebut sehingga total sampel untuk pengepul limbah adalah 57
UMKM. Berdasarkan hasil survei pengepul limbah di Bekasi, maka UMKM yang
berhasil di survei adalah sebanyak 41 usaha dengan rincian 23 UMKM pengepul
besi tua dan logam serta 18 UMKM pengepul limbah.
Sama seperti UMKM palet, usaha pengepul limbah ini juga didominasi oleh
masyarakat Madura. Sekitar 51 persen dari total responden yang disurvei berasal
dari Madura sedangkan 49 persen lainnya berasal dari luar dan dalam Kabupaten
Bekasi dengan rincian pada Gambar 3.19. Berdasarkan hasil survei ini diketahui
bahwa untuk usaha pengepulan limbah pada umumnya didominasi oleh
masyarakat Madura yang bertempat tinggal di Kabupaten Bekasi. UMKM
pengepul limbah ini berlokasi tersebar di Kabupaten Bekasi tidak seperti pengepul
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-21
limbah palet yang lebih memilih untuk beraglomerasi di suatu tempat. Rata-rata
UMKM pengepul limbah ini sudah berdiri selama tujuh tahun dengan usaha yang
paling lama berjalan sejak tahun 1991. Sebagian besar lokasi usaha yang dijadikan
tempat mengumpulkan limbah juga memiliki fungsi sebagai tempat tinggal.
Gambar 3.19 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Logam Dan Besi Tua
Sumber : Hasil Survei, 2010
Gambar 3.20 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Plastik
Sumber : Hasil Survei, 2010
Pemilihan lokasi usaha pengepul limbah juga dikarenakan dekat dengan
akses jalan dan industri sehingga memperkecil biaya produksi. Para pengusaha
juga mencari lokasi usaha yang berjauhan dengan usaha yang sejenis agar tidak
terjadi persaingan harga satu sama lain.
Rata-rata tenaga kerja keseluruhan UMKM kedua pengepul limbah ini
adalah 5 orang dengan jumlah tenaga kerja UMKM pengepul limbah plastik dan
70%
9%
4% 4%
13% Madura
Bekasi
Purbalingga
Pemalang
Surabaya
28%
50%
11%
5% 6%
Madura
Bekasi
Cirebon
Lampung
Karawang
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-22
lainnya lebih banyak daripada pengepul logam dan besi tua. Hal ini disebabkan
karena UMKM pengepul logam dan besi tua merupakan kriteria UMKM rumah
tangga yang mengumpulkan besi dari pengepul keliling dan menjualnya kembali
ke konsumen seperti ke pengepul yang lebih besar secara langsung. Sedangkan
UMKM pengepul limbah plastik dan lainnya lebih banyak termasuk dalam
UMKM kecil bahkan ada yang sudah memiliki tenaga sebanyak 30 orang yang
sudah tergolong ke dalam usaha menengah. Asal tenaga kerja juga dipengaruhi
oleh asal pemilik UMKM. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.20 diatas, pemilik
UMKM pengepul logam dan besi tua sebagian besar berasal dari Madura. Hal ini
juga diikuti oleh asal tenaga kerja pada UMKM ini yang lebih banyak didominasi
oleh masyarakat Madura, sedangkan tenaga kerja UMKM pengepul limbah plastik
sebagin besar berasal dari masyarakat lokal tempat usaha itu berlokasi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-1
BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM
DENGAN KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI
4.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Usaha Kecil-Menengah dengan
Kawasan Industri
Pada subbab ini akan dijelaskan keterkaitan ke depan dan ke belakang
UMKM. Analisis akan dipaparkan secara spasial dan juga komponennya.
Pemaparan karakteristik ini tidak komprehensif karena tidak spesifik membahas
satu sektor industri besar. Pembahasan mengenai hal ini disampaikan pada subbab
selanjutnya.
Gambar 4.1 Jenis Keterkaitan UMKM dengan Industri Besar
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Secara umum dan awal, dapat dijelaskan bahwa keterkaitan IKM dengan
kegiatan manufakturing dapat digambarkan terdiri dari tiga jenis, yaitu:
a. Keterkaitan input-output, yaitu IKM yang berperan menyuplai komponen
produksi industri terkait, misalnya fabrikasi, coatings, buffing;
b. Keterkaitan komponen pendukung (supporting), yaitu IKM tidak berperan
langsung dalam menghasilkan komponen/produk, tetapi berperan mendukung
proses produksi itu berlangsung termasuk barang modal permesinan, misalnya
fabrikasi/machinery, palet dan kardus; dan
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-2
c. Keterkaitan komponen jasa, yaitu IKM yang menyokong kegiatan manufaktur
dalam penyediaan jasa penunjang yang bersifat outsourcing, misalnya
catering, konveksi, jasa angkutan dan water treatment.
4.2.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Input-Output
Usaha kecil-menengah yang termasuk kedalam mata rantai input output
adalah fabrikasi, buffing dan bengkel las. Dalam hal ini, bengkel las memang
belum secara intensif menunjukkan keterkaitan yang kuat pada komponen
produksi mana dalam mata rantai, tetapi dalam analisis ditinjau potensi
keterkaitannya dalam keterkaitan input-output tersebut.
1. Fabrikasi
Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, fabrikasi beraneka ragam
jenis aktivitas dan produknya, termasuk jasa machining dan cutting. Fabrikasi
pada dasarnya menggunakan bahan dasar besi untuk membuat berbagai macam
produk suku cadang dan mesin dengan menggunakan peralatan dan teknologi
tertentu. Gambar 4.5 mengilustrasikan keterkaitan ke depan dan belakang UMKM
fabrikasi di Bekasi. Dalam gambar tersebut ditunjukkan bahwa UMKM fabrikasi
sudah memiliki keterkaitan dengan kawasan industri baik ke depan maupun ke
belakang. Angka persentase menunjukkan proporsi barang (bahan baku atau
produk) yang terdistribusikan.
Kebanyakan bahan baku diperoleh dari luar Bekasi, yaitu sebanyak 59%,
sedangkan sisanya 14% berasal dari luar kawasan (masih dalam Kabupaten
Bekasi) dan 27% berasal dari kawasan industri. Secara umum, supplier bahan
baku tersebut berupa toko material. Sistem pembelian bahan baku dilakukan
secara individual; ada juga yang dilakukan dengan pasokan. Pembayarannya
dilakukan dengan tunai, ada juga yang menggunakan tempo tertentu sesuai
dengan jangka waktu produksi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-3
Gambar 4.2 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Fabrikasi
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Dari Gambar 4.2 di atas juga ditunjukkan bahwa 44% produk usaha
fabrikasi didistribusikan ke dalam kawasan industri. Sementara itu, sisanya 34%
didistribusikan ke luar kawasan di dalam Bekasi dan 22% ke luar Bekasi. Adapun
jenis industri besar yang terkait dengan usaha fabrikasi ini adalah terutama
otomotif dan permesinan. Karena kapasitasnya yang juga mampu memberikan
jasa machinery, usaha fabrikasi juga potensial untuk memberikan jasa pada
berbagai jenis industri terkait dengan perawatan mesinnya, seperti industri
makanan, tekstil dan elektronik.
Keterkaitan ke depan dengan kawasan industri menunjukkan jenis pekerjaan
jasa (subkon) dari industri besar untuk pengadaan komponen atau perbaikan
mesin. Pada kegiatan lain pola hubungannya individual atau pemasok saja, yaitu
dengan produk sparepart tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup pekerjaan
dari usaha fabrikasi begitu beragam sesuai dengan spesialisasi dan produknya.
Ada yang hanya menyediakan jasa perbaikan mesin atau penghantaran, ada juga
yang memproduksi komponen tertentu. Hal ini dapat diilustrasikan dengan
gambar berikut.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-4
Gambar 4.3 Keterkaitan UMKM Fabrikasi dengan Industri Besar
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Keterkaitan ke depan yang dijelaskan sebelumnya, tidak hanya terjadi
dengan industri besar, tetapi juga dengan industri menengah. Karena itu, pola
hubungannya dapat berupa hubungan horisontal sesama industri kecil/menengah.
Hal ini dilakukan untuk berbagi pengerjaan produk tertentu yang tidak dapat
dilakukan sendiri karena keterbatasan kapasitas produksi. Adapun transaksi
tersebut biasanya dilakukan pertransaksi sebagaimana jual-beli biasa saja tanpa
kontrak. Hal ini karena industri tersebut bukan vendor dari industri besar
langsung, melainkan subkon dari vendor tersebut.
Gambar 4.4 Ilustrasi Kerja Sama Horisontal IKM Fabrikasi
Sumber: Hasil Analisis, 2010
2. Buffing
Buffing, seperti yang dijelaskan sebelumnya, merupakan bagian dari
aktivitas surface treatments. Buffing terkait dengan aktivitas finishing dalam
pengolahan komponen logam. Buffing pada dasarnya dapat mendukung industri
Industri
Besar
IKM IKM IKM
Industri
Besar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-5
otomotif, elektronik, permesinan maupun industri lainnya yang menggunakan
komponen logam.
Pola keterkaitan mata rantai buffing cukup kompleks karena posisinya
sebagai subkon dari perusahaan lain. Posisinya adalah sebagai subkon yang
mengerjakan jasa, sebagian kapasitas produksi dan atau komponen tertentu.
Subkon ini pada umumnya dilaksanakan dengan nonkontrak dan hanya dilakukan
pertransaksi. Bahan dasar dalam kegiatan produksinya diperoleh dari perusahaan
pemberi jasa, sedangkan usaha buffing ini kemudian membeli bahan penolong
lainnya seperti lem, serbuk besi, krom dan bahan yang ditempelkan lainnya.
Gambar 4.5 Keterkaitan ke Depan dan Belakang UMKM Buffing
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Dengan pola subkon, UKM buffing ini dapat berada pada posisi yang
beragam, baik menerima pekerjaan dari vendor, subvendor, maupun sesama IKM.
Pada prinsipnya usaha buffing ini merupakan jenis usaha jasa yang dapat
memberikan jasanya berdasarkan order dari berbagai lapis vendor.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-6
Gambar 4.6 Keterkaitan UMKM Buffing dengan Industri Besar
Sumber: Hasil Analisis, 2010
3. Bengkel Las
Usaha bengkel las di Kabupaten Bekasi sebenarnya memproduksi barang-
barang konsumsi langsung masyarakat seperti pagar, rolling door dan folding
gate. Akan tetapi, beberapa di antaranya sudah menyuplai beberapa industri di
kaawasan walaupun bukan untuk komponen produksi, seperti pagar, rak, trolley
dan tanki. Beberapa lainnya memproduksi bak karoseri truk dan kerangka mesin
tertentu.
Gambar 4.7 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Bengkel Las
Sumber: Hasil Analisis, 2010
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-7
Terkait dengan kapasitasnya yang kebanyakan hanya memproduksi barang
konsumsi langsung, kapasitas produksi dan permodalan bengkel las secara umum
relatif kecil. Teknologi yang digunakan relatif rendah dibandingkan dengan
fabrikasi, walaupun begitu pengelasan merupakan bagian dari proses fabrikasi
(welding process). Namun demikian, secara umum dapat dijelaskan bahwa
bengkel las pada prinsipnya merupakan usaha jasa yang dapat menerima pesanan
untuk mengerjakan produk tertentu sesuai dengan yang diminta pelanggan. Oleh
karena itu, produknya beraneka ragam. Hanya saja, spesialisasi dan kualifikasi
yang ada kebanyakan bengkel las di Kabupaten Bekasi baru mampu melayani
kebutuhan rumahan. Kebutuhan untuk bahan baku pun diadakan dengan cara
individual kepada toko material. Sistem pembelian pada umumnya dilakukan
dengan sistem tunai atau tempo menyesuaikan dengan jangka waktu produksi.
Gambar 4.8 Keterkaitan UMKM Bengkel Las dengan Indusri Besar
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Keterkaitan ke depan terjadi dengan pola individu dan sistem pembayaran
umumnnya tempo sesuai dengan pesanan. Pada saat ini memang kebanyakan
konsumennya adalah konsumen langsung/rumahan. Walaupun begitu, dalam hal
ini terindikasi adanya peluang keterkaitan antara bengkel las dengan industri besar
dengan kapasitasnya dalam menerima pesanan beraneka ragam. Sehubungan
dengan hal ini, tentu saja diperlukan upgrading kompetensi perusahaan dan juga
sumber daya manusianya.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-8
4.1.2 Karakteristik Keterkaitan Aktual Komponen Pendukung
Komponen pendukung (supporting) yang dimaksud dalam hal ini adalah
palet, kardus dan pengemasan lainnya, fabrikasi dan lain-lain. Terkait dengan hal
ini, pada subbab ini akan dijelaskan usaha palet saja yang tercakup dalam survei.
1. Palet
Keterkaitan UMKM palet dengan industri besar dapat digolongkan menjadi
keterkaitan ke depan (forward linkage), dimana produk yang dihasilkan oleh
UMKM digunakan oeh industri besar yang ad di Kawasan Industri Bekasi.
Sedangkan keterkaitan yang lain disebut sebagai backward linkage, produk yang
dihasilkan oleh UMKM berasal dari bahan baku yang dihasilkan oleh industri
besar. Tetapi, terdapat juga UMKM yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali
dengan industri besar baik secara forward maupun backward linkage.
Sebagai salah satu hasil limbah yang sangat berpotensi untuk dijadikan
komoditas perdagangan, cara memperolehnya pun harus melalui mekanisme
tertentu. Pemilik UMKM harus mengadakan kerja sama secara tertulis dengan
industri agar dapat mengolah limbah yang dihasilkan oleh industri tersebut. Selain
itu, pemilik UMKM juga dapat membeli palet dari perantara yang lain serta dari
pengepul besar lainnya yang juga mengelola usaha palet. Pemilik usaha palet yang
mendapatkan palet dari limbah industri harus menyetorkan sejumlah uang sebagai
nilai kontrak yang harus dibayarkan. Palet yang diperoleh dari industri diolah
kembali menjadi beberapa barang seperti resizing, pembongkaran palet serta
pembuatan perabotan rumah tangga dari kayu palet. Potongan kayu dari
pembongkaran tersebut nantinya dapat digunakan kembali untuk membuat palet
dan membuat furnitur oleh pengusaha lainnya.
Modal dasar yang dibutuhkan dalam memulai usaha palet ini adalah modal
berbentuk uang tunai yang menjadi alat transaksi untuk memperoleh limbah palet
dari industri. Berdasarkan wawancara dengan pengusaha palet, pada mulanya
pengusaha palet harus menyetorkan sejumlah uang untuk membeli palet yang
dihasilkan dari industri. Setelah itu pengusaha palet memperoleh semacam kupon
yang dijadikan sebagai bukti kerja sama antara pengusaha palet dengan pihak
industri dalam transaksi palet. Modal yang dibutuhkan berkisar antara satu juta
hingga satu milyar. Limbah industri merupakan barang ekonomis yang sangat
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-9
berharga, untuk mendapatkannya pun para pengusaha harus bersaing dengan
pengusaha lain.
Pengusaha palet yang menghasilkan palet terbagi atas dua kegiatan yaitu
usaha palet yang mengambil bahan baku dari limbah industri (Gambar 4.) serta
usaha palet yang memproduksi palet sendiri dari bahan baku kayu dan bahan baru
seperti kardus yang dibuat menyerupai palet (Gambar 4.). Salah satu industri yang
memproduksi palet adalah PT. Morila Indah Cemerlang di Kecamatan Cibitung.
Perusahaan ini memperoduksi palet dengan jumlah tenaga 50 orang serta modal
awal berkisar antara satu milyar. PT Morila ini memproduksi palet untuk
komoditas ekspor dan dijual ke perusahaan elektronik.
Gambar 4.9 merupakan skema mata rantai produksi palet yang berasal dari
limbah industri. Bahan baku untuk membuat palet diperoleh dari palet bekas yang
berasal dari limbah industri. Palet bekas tersebut diperoleh dari industri yang ada
di kawasan MM 2100, Jababeka dan pabrik minuman seperti PT. Coca Cola dan
PT. Sosro. Selain itu, palet juga dapat dibeli dari pengepul limbah palet lainnya
dan pada umumnya skema tersebut terjadi antara pengepul palet kecil (lapak) ke
pengepul palet dalam skala yang lebih besar. Palet yang diperoleh akan diolah
menjadi tiga bentuk barang yaitu menjadi palet kembali melalui resizing ukuran
palet sesuai dengan permintaan pembeli, palet dibongkar menjadi kayu yang dapat
dijual kembali ke pembeli yang juga membuat palet dan produk lainnya dari kayu,
kemudian palet dibuat menjadi barang-barang furnitur, seperti kursi, meja, tempat
tidur dan perabotan rumah tangga lainnya. Perabotan ini kemudian dijual di toko
furnitur ataupun ke distributor yang ada di dekat tempat usaha. Hasil sampingan
dari usaha palet ini berupa paku-paku bekas yang berasal dari palet sebelumnya
yang dapat dijual ke pengepul besi tua.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-10
Gambar 4.9 Rantai Produksi Palet dari Limbah Industri
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Pada Gambar 4.10 terlihat bahwa bahan baku palet tidak hanya dapat
diperoleh dari limbah industri tetapi palet juga dapat dibuat dari kayu yang berasal
dari pabrik kayu. Pada umumnya kayu yang digunakan untuk membuat palet
adalah kayu albasia yang diperoleh dari Jawa Tengah, seperti dari Wonosobo,
Banjarnegara, Purwokerto dan Sukabumi. Selain tu, komoditas palet tidak hanya
terbuat dari kayu tetapi palet juga dapat dibuat dari plastik dan karton, seperti
palet yang diproduksi oleh CV. Borneo Putra yang memperoleh bahan baku dari
pabrik karton yang ada di Bogor. Bagi UMKM yang memperoleh palet dari
limbah industri memiliki mekanisme perolehan palet yang lebih teratur begitu pun
dengan UMKM yang memproduksi palet dari kayu dan karton daripada UMKM
yang mengambil palet dari lapak kecil.
Gambar 4.10 Rantai Produksi Palet dari Bahan Baku Baru
Sumber : Hasil Analisis, 2010
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-11
Adanya permintaan palet dari industri untuk pengemasan barang merupakan
salah satu faktor pendorong yang membuat usaha ini terus berjalan. UMKM juga
harus memenuhi skala produksi sesuai dengan pelanggan memberi pemasukan
kepada pengusaha palet agar dapat memberikan upah kepada pekerja serta
membiayai biaya produksi dalam memperoleh dan mengolah palet. Adanya kerja
sama antara pengelola industri dengan UMKM palet dalam memperoleh barang
dengan harga relatif murah membuat UMKM bertahan dengan mata rantai input
dengan industri tersebut. Ada pula UMKM yang melakukan quality control
terhadap palet diproduksi agar pelanggan merasa puas dan UMKM dapat
mempertahankan kualitas agar konsumen tetap membeli produk yang dihasilkan.
Tetapi, tidak jarang UMKM palet mendapatkan hambatan dalam usaha ini yang
disebabkan oleh beberapa faktor seperti keterlambatan pembayaran dari
konsumen serta pembayaran yang bersifat tempo menyebabkan pengusaha palet
sulit mendapatkan modal untuk membayar palet yang akan dibeli baik dari
industri maupun dari pengusaha palet sejenis.
Karena usaha palet ini sangat banyak ditemui di Kabupaten Bekasi maka
harga antar pengusaha sangat bersaing. Hal ini juga merupakan faktor penghambat
pengusaha palet dalam mendapatkan konsumen karena pastinya konsumen akan
mencari palet yang relatif murah dengan kualitas yang baik. Bagi pengusaha palet
yang memiliki usaha mikro atau kecil memiliki kesulitan dalam memperoleh
modal untuk dapat terkait dengan industri besar agar dapat memperoleh limbah
palet yang mereka peroleh. Permasalahan infrastruktur yang rusak khususnya
jalan dapat menghambat distribusi barang baik dari dan ke industri sehingga tidak
sedikit pengusaha yang mengeluhkan keterlambatan perolehan palet dari indudtri
menjadi penghambat produksi.aliran listrik yang tidak stabil dan sering mati
membuat pekerjaan palet menjadi terganggu sehingga alat-alat listrik yang
digunakan dalam memproduksi palet tidak dapat bekerja secara optimal. Bagi
UMKM yang memproduksi palet dari bahan baku kayu memiliki hambatan
khususnya karena sulitnya memperoleh kayu karena harga kayu semakin mahal
dan regulasi mengenai kayu semakin ketat.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-12
4.1.3 Karakteristik Keterkaitan Komponen Jasa
Komponen jasa merupakan komponen yang penting dalam mata rantai
dalam mendukung aktivitas pekerja manufakturing dalam skala kolektif, yaitu jasa
angkutan, konveksi dan katering.
1. Jasa Angkutan
Pada survei yang dilakukan, sebenarnya hanya ada 2 UMKM yang
diwawancara. Hanya satu di antaranya, yaitu CV Mulia Mekar, yang memiliki
keterkaitan dengan industri besar di kawasan industri. Kendaraan antar-jemput
yang digunakan pada ummnya berukuran minibus. Menurut hasil observasi di
kawasan, sebenarnya ada juga perusahaan yang menggunakan jasa angkutan bus
untuk antar-jemput karyawan. Jenis industri yang dilayani jasa angkutan beragam
dan tidak terbatas pada jenis industri tertentu. Hanya saja, karakteristik
industrinya biasanya memiliki banyak tenaga kerja (labour extensive), seperti
industri tekstil, kimia, elektronik, dan otomotif.
Gambar 4.11 Keterkaitan UMKM Jasa Angkutan dengan Indusri Besar
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Pengadaan kendaraan untuk antarjemput diadakan dengan sistem rekanan,
yaitu sejenis sistem saham yang dengan sistem bagi hasil 60:40. Sementara itu,
jasa diberikan kepada perusahaan besar dengan sistem kontrak berkala, biasanya 6
bulan hingga satu tahun dan dapat diperbarui setiap kontrak berakhir. Untuk
mendapatkan kontrak ini, UMKM jasa angkutan harus mengikuti proses tender
atau sekedar proses tawar-menawar dengan perusahaan pelanggan.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-13
2. Jasa Catering
Jasa catering menempati salah satu komponen jasa (service) dalam kegiatan
industri manufaktur yang dapat menyokong dalam frekuensi harian. Beberapa
kegiatan manufaktur yang disokong oleh jasa catering ini adalah industri
elektronik, otomotif, tekstil dan makanan. Kegiatan manufaktur tersebut
berkarakteristik memiliki banyak pekerja sehingga secara efektif lebih mudah jika
jasa-jasa semacam catering ini diadakan secara kolektif.
Gambar 4.12 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Gambar di atas menunjukkan karakteristik keterkaitan ke belakang dan ke
depan usaha catering tersebut. Bahan-bahan dasar diperoleh dari dalam Bekasi
maupun wilayah sekitanya, seperti Karawang. Intensitas pembelian dilakukan
harian hingga mingguan sesuai dengan kebutuhan, yaitu: beras mingguan; lauk
pauk harian atau mingguan; sayuran harian; buah-buahan mingguan; kerupuk,
bumbu dan bahan lain harian atau mingguan. Sistem pembelian pada umumnya
dilakukan secara individual dan pembayaran tunai. Beberapa dilakukan secara
tempo menyesuaikan periode produksi.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-14
Gambar 4.13 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Dapat diamati ternyata bukan hanya industri di Bekasi saja yang menjadi
customernya, melainkan juga industri di luar Bekasi, terutama Karawang. Sistem
penjualan dilakukan dengan kontrak jangka waktu tertentu, biasanya 6 bulan atau
satu tahun dengan pembayaran dilakukan settiap 2 minggu atau satu bulan. Untuk
mendapatkan kontrak ini, usaha catering harus mengajukan proposal penawaran
paket makanan yang dilengkapi NPWP, akta perusahaan dan surat izin usaha.
Jenis industri yang dilayani usaha catering ini beraneka ragam dan tidak
spesifik merujuk kepada jenis manufaktur tertentu. Hanya saja, biasanya
karakteristiknya adalah industri yang bertenaga kerja banyak dan membutuhkan
penyediaan makanan secara kolektif sehingga lebih efisien dalam proses kerja.
3. Konveksi
Konveksi yang dimaksud sebenarnya tidak spesifik terkait dengan
kebutuhan industri besar. Konveksi di Bekasi memang kebanyakan memproduksi
barang-barang konsumsi langsung untuk masyarakat seperti pakaian jadi, sprei
dan lain-lain. Walaupun begitu, ada juga yang sudah menjadi supplier pada
beberapa perusahaan di kawasan industri.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-15
Gambar 4.14 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Gambar di atas menunjukkan keterkaitan ke belakang dan ke depan usaha
konveksi. Dapat diamati bahwa kebanyakan bahan dasarnya justru didapatkan dari
luar Bekasi (78%). Bahan baku tersebut diperoleh dengan intensitas pembelian
mingguan atau bulanan dengan sistem individual dan pembayaran tunai.
Gambar 4.15 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi
Sumber : Hasil Analisis, 2010
Sementara itu, sistem penjualan pada umumnya dilakukan sesuai proyek.
Memang pada saat ini hanya sedikit usaha konveksi yang terkait dengan kawasan
industri atau dengan kata lain keterkaitan aktualnya masih lemah. Industri yang
terkait saat ini di antaranya elektronik dan otomotif.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-16
Sebagai kasus studi, usaha konveksi Pedjuang Call Action sebagai supplier
perusahaan di kawasan industri, dapat dipelajari sebagai bahan petimbangan.
Usaha ini menyuplai seragam kerja karyawan dengan sistem non-kontrak,
melainkan jasa by order. Untuk dapat menjual produknya ke perusahaan usaha
konveksi ini harus mengajukan proposal pada periode (tender) tertentu. Faktor
yang mendorong usaha ini adalah adanya jaringan yang memungkinkan kerja
sama dilaukan, tenga kerja dan modal. Faktor penghambat secara umum dapat
diidentifikasi di antaranya kredit macet dan tidak adanya stok barang.
4.1.4 Karakteristik Usaha Perlimbahan
Karakteristik mata rantai input output UMKM pengepul limbah besi dan
logam hampir sama dengan UMKM pengepul limbah plastik secara umum. Pabrik
peleburan limbah sebagai tempat bermuaranya berbagai limbah tersebut
merupakan pihak yang sangat menentukan harga besi dan plastik. Hal ini juga
berlaku hingga lapisan mata rantai yang ada di bawahnya. Harga akan ditentukan
oleh pihak yang memiliki “kekuasaan” yang lebih tinggi. Skema mata rantai input
output UMKM pengepul limbah dapat diliha pada Gambar 4.17.
Gambar 4.16 Mata Rantai Pengepul Limbah
Sumber : Hasil Analisis PHKI, 2010
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-17
Para pengepul limbah memperoleh logam dan besi serta limbah plastik,
kardus dan limbah lainnya dari Industri besar seperti PT Gunung Garuda dan
industri besar yang ada di kawasan MM 2100, Hyundai, Jababeka, serta industri
lainnya. Limbah juga dapat diperoleh dari sisa rumah tangga seperti plastik,
kardus serta dari UMKM yang menghasilkan besi seperti bengkel las dan UMKM
pengolah besi lainnya. Limbah ini diambil oleh para pemulung gerobak dan harga
ditentukan oleh pemulung tersebut. Pemulung akan menjual hasil pungutannya ke
lapak-lapak yag kemudian akan dijual ke pengepul besar. Lapak dan pengepul
besar akan membeli limbah tersebut secara tunai. UMKM yang memiliki Surat
Perjanjian Kerja sama dengan industri besar dalam mengelola limbah yang
dihasilkan oleh industri besar akan menjual limbah tersebut ke pabrik peleburan
limbah. Pengepul ini akan menjual kembali limbah tersebut ke Pabrik peleburan
limbah, seperti PT. Gunung Garuda, PT. Toyogiri, PT. Krakatau Steel, yang
merupakan pabrik pengolah besi, PT PSW dan PT. Fajar Wisesa sebagai pabrik
pengolah limbah kertas.
Usaha limbah logam besi dan plastik merupakan salah satu usaha yang
cukup mudah untuk dijalanani. Imbah dapat diperoleh secara langsung tanpa
peranta serta sistem pembayaran yang bersifat tunai membuat usaha ini terus
dijalankan oleh para pengusaha. Namun, harga besi dan plastik sangat
berfluktuatif sehingga terkadang para pengusaha juga mengalami kerugian karena
harga beli dengan harga jual yang tidak seimbang.
4.2 Karakteristik Mata Rantai Produksi Industri Besar
Dalam subbab ini akan lebih dijelaskan dengan lebih komprehensif
karakteristik mata rantai dilihat dari bawah hingga atas, yaitu dari tier terendah
hingga end-customernya yaitu industri besar.
4.2.1 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif
Industri otomotif merupakan salah satu industri mayor di kawasan industri
Bekasi dan teridentifikasi memiliki keterkaitan dengan unit usaha lain baik lokal
maupun asing. Secara umum, pola keterkaitan industri hulu otomotif dengan
suppliernya dapat diilustrasikan pada gambar berikut.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-18
Gambar 4.17 Terminologi Mata Rantai Industri Otomotif
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Dalam pembahasan ini, digunakan terminologi seperti ditunjukkan pada
gambar di atas. Secara sederhana, industri besar dikatakan sebagai „end-custumer‟
yang menerima hasil pekerjaan dari vendor-vendor yang mengerjakan komponen-
komponen tertentu. Vendor dalam hal ini dapat memberikan pekerjaan kepada
perusahaan lain, bisa disebut subvendor atau subkon. Subkon dan vendor
sebenarnya memiliki pengertian yang sama, yaitu memberikan sebagian pekerjaan
kepada perusahaan lain. Tingkatan mata rantai ini juga dapat dijelaskan dengan
istilah „tier‟, dimana tier-1 merupakan industri besar dan seterusnya hingga tier
terendah.
End-customer
Vendor
Subkon
Tier-1
Tier-2
Tier-3
Tier-n
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-19
Gambar 4.18 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Industri otomotif pada umumnya memiliki divisi tersendiri untuk
manufakturing yang bertugas dalam aktivitas perakitan (assembling). Komponen-
komponen yang digabungkan oleh divisi manufakturing ini disokong oleh anak-
anak perusahaan yang dapat berposisi pada tier ke-3 hingga ke-4. Anak-anak
perusahaan ini bisa berstatus PMA atau PMDN yang dalam posisi hubungan
customer-supplier berperan sebagai vendor. Jadi, misalnya PT Trimitra sebagai 1st
manufacturing subsidiary merupakan vendor dari Toyota yang merupakan end
customer.
Hubungan kerja juga tidak selalu vertikal, tetapi juga horizontal. Akan
tetapi, hubungan kerja sama itu pada prinsipnya sama saja sebagai supplier-
customer. Hubungan kerja sama seperti ini dilakukan dalam rangka memenuhi
permintaan volum produksi dari customer sehubungan dengan sementara
kapasitas produksi yang dimiliki tidak memungkinkan untuk dikerjakan sendiri.
Selain itu, hubungan kerja terjadi bukan hanya untuk berbagi volum produksi,
tetapi juga untuk pengerjaan komponen tertentu yang tidak dimiliki peralatannya
oleh perusahaan tersebut.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-20
Pada bagian sebelumnya, dijelaskan mata rantai buffing dan fabrikasi yang
terkait dengan industri otomotif. Penjelasan sebelumnya mungkin belum jelas,
sehingga pada bagian ini jelas posisinya dimana pada industry otomotif. Industri
kecil dan menengah berperan untuk kedua jenis hubungan kerja tersebut. Jenis
usaha yang terkait adalah fabrikasi dan berbagai jenis surface treatments. Kegiatan
fabrikasi memenuhi hubungan kerja untuk menyokong produksi komponen
maupun jasa pembuatan komponen tertentu. Sementara itu, surface treatments
seperti buffing, coatings dan sebagianya mengerjakan penyelesaian dalam proses
produksi komponen. Pola hubungannya dikenal sebagai subkon dan memang
pekerjaan tersebut diberikan karena customernya tidak memiliki teknologi
produksi yang dimaksud. Keterkaitan IKM yang dimaksud dengan industri
otomotif dapat digambarkan sebagai berikut.
Gambar 4.19 Keterkaitan Industri Otomotif dengan Surface Treatments dan Fabrikasi
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Fabrikasi dapat menyokong beberapa komponen otomotif, khususnya
komponen logam. Terkait dengan hal ini, demikian produk fabrikasi begitu
beraneka ragam. Sementara itu, surface treatments juga memiliki peranan yang
penting baik langsung kepada anak perusahaan dan vendor maupun IKM setaraf
fabrikasi untuk penyelesaian akhir komponen tersebut.
Syarat untuk menjadi supplier industri otomotif ini adalah:
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-21
a. Produk yang dibuat memenuhi standar yang dipakai; dalam hal ini karena
kebanyakan industri otomotif di kawasan adalah perusahaan Jepang, standar
yang digunakan adalah Japanese Industrial Standard (JIS);
b. Produk yang dibuat lolos quality control yang dilakukan dua kali, yaitu di
perusahaan penerima jasa (vendor/subkon) maupun customer.
Keterkaitan IKM dengan anak perusahaan tingkat 1 dan 2 dengan demikian
sederhana melalui pola subkon. Karena kerja sama dilakukan tanpa kontrak dan
berdasarkan transaksi, tingkat kepercayaan dalam hal ini sangat diperlukan.
Dalam hubungan kerja sama ini, IKM dituntut untuk mempertahankan kualitas
produk dan ketepatan waktu pengiriman.
Tabel IV.1 Identifikasi Tingkatan Perusahaan dalam Mata Rantai
Tier Nama Perusahaan
Tier-1 Toyota
Daihatsu
AHM
Honda
Suzuki
Tier-2 PT Trimitra Citrahasta
Showa
Tier-3/4 PT Yusamasu
Nano Coating
Tier-5 CV Sugimoto
Global Teknik Mandiri
CV Perdana Jaya
PMA Steel
PT Metal Perkasa Engineering
CV Baraja
CV Citra Karya Mandiri
Sumber: Hasil Analisis, 2010
4.2.2 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik
Industri elektronik juga terdapat banyak di kawasan industri dengan
berbagai macam produk barang konsumsi rumah tangga dan kantor. Mata rantai
produksi industri elektronik seperti gambar berikut.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-22
Gambar 4.20 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Industri elektronik yang dimaksud adalah perusahaan yang mengerjakan
perakitan (assembling) komponen-komponen elektronik tersebut. assembler ini
mendatangkan langsung material dasar komponen tersebut termasuk teknologi
softwarenya dari negara asalnya, misalnya Korea untuk LG Electonics. Raw
material ini kemudian diberikan kepada anak-anak perusahaan untuk
memprosesnya menjadi komponen setengah jadi yang perusahannya juga
berstatus PMA. Lalu, setelah setiap anak perusahaan tersebut selesai mengerjakan
komponen tersebut, mereka menyerahkannya kembali kepada assembler untuk
digabung dan diselesaikan.
UMKM yang terkait dengan industri elektronik tersebut tidak teridentifikasi
karena memang tidak ditemukan industri elektronik memiliki hubungan dengan.
Penelusuran keterkaitan ini harus dilakukan kepada anak perusahaan dan tier di
bawahnya jika ada dalam proses penelitian selanjutnya.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-23
Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait dengan Kawasan Industri
Aspek Fabrikasi Buffing Bengkel Las
Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait
Skala perusahaan Kecil-menengah Kecil-menengah Menengah - Kecil-menengah Mikro (industri
rumah tangga)
Produk Jasa fabrikasi, mur,
baud, dll.
Jasa fabrikasi, mur,
baud, dll.
Sparepart yang
dipoles
- Jasa pembuatan
kerangka mesin
Produk untuk
konsumsi rumahan
Kapasitas produksi By order By order ±1000 pieces - 5-10 unit Tidak tentu
Omzet Rp20juta – 1,5 M Rp20juta – 1,5 M ±Rp60 juta - ±Rp500 jt ±Rp 1 juta
Aset Mesin fabrikasi Mesin fabrikasi Peralatan, lahan - Peralatan las Peralatan las
Permodalan Rp 60-200 juta Rp 60-200 juta ±Rp75 juta - ±Rp500 jt Rp 10 -30 juta
Teknologi Mesin fabrikasi Mesin fabrikasi Set peralatan buffing - Alat lebih lengkap
dan
Sederhana,
menggunakan las
listrik. Beberapa
menggunakan las
karbit.
Konsumen Perusahaan di
kawasan
Perusahaan di luar
kawasan
Perusahaan di
kawasan
Perusahaan di luar
kawasan
Perusahaan di
kawasan
Masyarakat umum
Kualifikasi tenaga
kerja
Pendidikan SMK
otomotif/D3-S1
teknik mesin
Pendidikan SMK
otomotif/D3-S1
teknik mesin
Pendidikan SMK
otomotif/D3-S1
teknik mesin
- Tidak spesifik Tidak spesifik
Standar tertentu JIS JIS JIS, permintaan
konsumen
- Tidak spesifik Tidak ada
Quality control Pemantauan dari
pelanggan
Pemantauan dari
pelanggan
Quality control dari
perusahaan
pelanggan
- Pemantauan dari
pelanggan
N/A
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-24
Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait dengan Kawasan Industri (lanjutan)
Aspek Catering Konveksi Jasa Angkutan
Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait
Skala perusahaan Menengah Kecil-menengah Kecil Kecil Kecil Kecil
Produk Paket makan siang
untuk karyawan
Paket makan siang
untuk karyawan
Seragam karyawan Pakaian jadi, sprei,
dll.
Antar jemput
karyawan
Rental mobil
Kapasitas produksi 400-5000 porsi 400-5000 porsi By order By order N/A N/A
Omzet Rp 5-350 juta Rp 5-350 juta Tidak diketahui
secara pasti
Tidak diketahui
secara pasti
±Rp150 juta ±Rp30 juta
Aset Peralatan memasak Peralatan memasak Peralatan konveksi Peralatan konveksi Kendaraan yang
disediakan dengan
sistem rekanan
Kendaraan rental
Permodalan ±Rp100 juta ±Rp100 juta ≥Rp20 juta ≥Rp20 juta Pengadaan mobil
dengan sistem
rekanan
Teknologi Sebagian sudah
memiliki peralatan
memasak modern,
sebagian perlatan
memasak biasa
Sebagian sudah
memiliki peralatan
memasak modern,
sebagian perlatan
memasak biasa
Mesin jahit listrik Mesin jahit listrik N/A N/A
Konsumen Perusahaan di dalam
kawasan
Perusahaan di luar
kawasan (selain
keluar juga melayani
ke dalam kawasan)
Perusahaan di
kawasan
Masyarakat umum Perusahaan di
kawasan (karyawan)
Masyarakat umum
Kualifikasi tenaga
kerja
Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik
Standar tertentu Tidak ada Tidak ada Standar keselamatan
kerja
Tidak ada N/A N/A
Quality control Pemantauan dari
pelanggan
Pemantauan dari
pelanggan
Pemantauan dari
pelanggan
N/A N/A N/A
Sumber: Hasil Analisis, 2010
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-25
4.3 Keterkaitan Potensial Mata Rantai Produksi
Setelah melakukan analisis keterkaitan aktual pada bagian sebelumnya,
dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari mata rantai secara keseluruhan industri
besar, terdapat potensi UKM untuk memasok industri tier di atasnya termasuk
industri besar. Seperti yang ditampilkan pada Tabel IV.3, industri otomotif paling
memungkinkan untuk pengembangan keterkaitan baik mata rantai input-output,
komponen pendukung maupun jasa. Sementara itu, pengembangan mata rantai
input-output tidak memungkinkan pada industri elektronik karena komponennya
didatangkan dari negara asalnya. Kendati demikian, pengembangan keterkaitan
komponen pendukung dan jasa tetap memungkinkan pada industri elektronik dan
industri lainnya.
Tabel IV.3 Potensi UKM untuk Memasok Industri Besar
Kondisi keterkaitan saat ini UKM potensial yang
dikaitkan
Industri otomotif Memiliki sistem keterkaitan input-
output dengan lapis-lapis (tier).
UKM terletak di tier terbawah dan
tidak berkapasitas untuk mensuplai
tier-tier atas karena kualifikasi
tertentu yang tidak bisa dipenuhi.
Keterkaitan input-output,
keterkaitan komponen
pendukung, keterkaitan jasa.
Industri
elektronik
Sistem tier tidak ada karena
komponen langsung didatangkan
dari negara asalnya.
Keterkaitan komponen
pendukung, keterkaitan jasa.
Industri lainnya Tidak ada keterkaitan input-output,
hanya ada keterkaitan jasa dan
pendukung.
Keterkaitan komponen
pendukung, keterkaitan jasa.
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Potensi keterkaitan mata rantai produksi dapat dianalisa melalui proses
produksi manufaktur secara utuh untuk mengetahui kebutuhan dukungan dari
industri kecil dan menengah. Dari sisi industri besar, dalam keterkaitan ini
diprasyaratkan setidaknya tiga hal untuk dipenuhi: quality, cost, delivery.
a. Quality, yakni kualitas produk yang disuplai harus baik dan sesuai standar;
b. Cost, yakni biaya yang dikeluarkan dengan adanya kemitraan ini efisien;
c. Delivery, yakni ketepatan waktu pengantaran sehubungan dengan proses
produksi di industri besar (assembling).
Dari sisi industri kecil dan menengah, potensi keterkaitan dapat dilihat dari
kemampuannya dalam menempuh prasyarat tersebut. Hal ini diikuti dengan
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-26
kebutuhan pengembangan untuk mewujudkan keterkaitan tersebut. Berikut dapat
diilustrasikan.
Tabel IV.4 Keterkaitan Potensial
No UMKM
Kondisi
Keterkaitan
Saat Ini*
Potensi Keterkaitan Kebutuhan untuk
Pengembangan
1 Fabrikasi Terkait cukup
kuat (44%)
Penguatan hubungan dan
pembuatan kontrak baru.
Penguatan kerja sama,
permodalan dan
peningkatan kapasitas
produksi.
2 Buffing Terkait sangat
kuat (93%)
- Penguatan kerja sama,
permodalan dan
peningkatan kapasitas
produksi.
3 Bengkel las Terkait sangat
lemah (7%)
Dapat dikembangkan
sebagai bagian dari usaha
fabrikasi atau di-upgrade
menjadi usaha fabrikasi
Peningkatan kapasitas
dalam teknologi, SDM
dan permodalan
4 Palet Tidak
teridentifikasi
pasti karena
beberapa
UKM
merupakan
usaha limbah
Penguatan hubungan dengan
membuat kontrak baru.
Pengembangan kemitraan
dengan industri besar.
5 Jasa catering Terkait sangat
kuat (96%)
- Pengembangan kemitraan
dengan industri besar.
6 Jasa
angkutan
Terkait cukup
kuat (50%)
Penguatan hubungan dan
pembuatan kontrak baru.
Pengembangan kemitraan
dengan industri besar.
7 Konveksi Terkait lemah
(16%)
Konveksi dapat menyuplai
seragam kerja bagi industri
besar.
Pengembangan kemitraan
dengan industri besar.
Sumber: Hasil Analisis, 2010
Keterangan: Kekuatan keterkaitan dinilai jika >80% maka sangat kuat; 60-70% kuat; 40-60%
cukup kuat; kurang dari 40% lemah.
UMKM pengepul limbah besi dan plastik tidak memiliki potensi keterkaitan
dalam tiga kategori tersebut karena UMKM hanya mengumpulkan limbah dari
industri besar dan dari UMKM pengolah besi dan logam dan kemudian
menjualnya langsung ke pabrik peleburan limbah. UMKM hanya bersifat sebagai
transit point antara satu pengusaha ke pengusaha lain. Sedangkan UMKM palet
merupakan usaha yang dapat dikaitkan dengan industri besar khususnya dalam
bidang jasa karena industri besar membutuhkan palet untuk pengepakan barang-
barang yang akan dijual oleh industri besar.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-27
Dalam mengembangkan keterkaitan tersebut, perlu diperhatikan beberapa
karakteristik industri kecil dan menengah sebagai bahan pertimbangan dalam
pengembangan kapasitas produksi industri kecil dan menengah tersebut.
Tabel IV.5 Karakteristik Industri Kecil dan Menengah untuk Dikembangkan
Industri kecil Industri menengah
Permodalan Sulit untuk terkait dengan IB
karena membutuhkan modal
yang besar.
Diperlukan modal untuk
pengembangan usaha dalam
peningkatan skala produksi.
Teknologi Teknologi masih konvensional Sudah menggunakan teknologi yang
lebih tinggi, tetapi masih
membutuhkan teknologi mutakhir
SDM Tidak terlalu memerlukan
kualifikasi.
Memerlukan kualifikasi serta
memberikan training kepada tenaga
kerja.
Keterkaitan Tidak dapat terkait langsung
dengan IB dalam rantai produksi
(input-output)
Terkait dengan IB dengan standar
dan quality control.
Sumber: Hasil Analisis, 2010
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 1
BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS
PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH
5.1 Rasional dan Prospek Pengembangan
Keberadaan industri besar di Kawasan Bekasi belum memberikan potensi
keterkaitan yang optimal bagi industri kecil dan menengah yang berada di
Kabupaten Bekasi. Industri kecil menengah saat ini masih memiliki keterbatasan
untuk dapat terkait dengan industri besar khususnya keterkaitan dalam proses
input output produksi. Salah satunya adalah industri menengah yang bergerak
pada kegiatan surface treatments, seperti plating, buffing, chroming, dan coating.
Kegiatan ini sangat dibutuhkan oleh industri besar khususnya industri otomotif
dimana surface treatments merupakan salah satu proses metalurgi terhadap
komponen otomotif sebelum komponen tersebut sampai ke tangan End Customer.
Industri otomotif sangat berpotensi untuk dikaitkan dengan industri
menengah yang ada di Kabupaten Bekasi karena industri otomotif membutuhkan
komponen produksi yang sangat banyak dan dapat menggunakan produk yang
dihasilkan oleh industri internal di Kabupaten Bekasi. Tetapi industri menengah
yang dapat terkait dengan industri besar tersebut harus memiliki standar
pemenuhan kualitas dan kuantitas produk yang dibutuhkan oleh industri besar.
Agar keterkaitan tersebut terjadi secara akual nantinya, maka akan dilakukan
pengembangan industri menengah khususnya pemberian pelatihan baik teknis dan
non teknis kepada para pengusaha dan pekerja industri menengah. Pelatihan ini
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi tenaga kerja dan industri itu
sendiri.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 2
Tabel V.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Menengah
Kondisi Saat Ini Kondisi yang Akan Dicapai Kebutuhan
Pengembangan
Mata Rantai Input-Output
Karakteristik
Mata Rantai
Masih terdapat industri
menengah yang belum
terkait dengan industri besar
di Kabupaten Bekasi
khususnya untuk komponen
produksi
Produk industri menengah
dapat digunakan sebagai input
dalam komponen produksi
Industri besar dan vendor serta
bagi industri jasa dapat terkait
dengan Industri besar
Pengembangan
kemitraan dengan
vendor dan industri
besar, dapat dilakukan
melalui pertemuan,
pameran
Permodalan Kurangnya modal untuk
terkait dengan industri besar
terkait dengan produk yang
dihasilkan
Industri menengah memiliki
modal untuk keberlanjutan
usaha
Bantuan modal,
pelatihan manajerial
keuangan
Teknologi/per
alatan
Penggunaan teknologi
konvensional
Adanya mesin mutakhir yang
dapat menghasilkan produk
yang dibutuhkan industri besar
Bantuan peralatan
Kapasitas
produksi
Sesuai dengan pesanan dan
keterbatasan produksi karena
kurangnya peralatan
Dapat menyuplai produk secara
berkelanjutan
Bantuan permodalan,
peralatan
Kualifikasi
Produk
Sesuai dengan standar
kebutuhan pemesanan
Peningkatan kualitas sesuai
dengan standar pemesanan
hingga internasional
Pelatihan teknis untuk
surface treatments
Kualifikasi
SDM/Pekerja
Minimal STM dan sederajat Peningkatan kapasitas SDM
untuk membuat berbagai
produk
Pelatihan untuk surface
treatments dan uji mutu
produk serta kompetensi
manajerial dan
pengelolaan keuangan
melalui pelatihan
Mata RantaiSupporting/Jasa
Karakteristik
Mata Rantai
Masih terdapat industri
menengah yang belum
terkait dengan industri besar
di Kabupaten Bekasi
Industri besar dapat
menggunakan produk jasa dari
industri menengah yang
diprioritaskan
Pengembangan
kemitraan dengan
vendor dan industri
besar, dapat dilakukan
melalui pertemuan,
pameran
Permodalan Kurangnya modal untuk
terkait dengan industri besar
Industri menengah memiliki
modal untuk keberlanjutan
usaha jasa
Bantuan modal,
pelatihan manajerial
keuangan
Teknologi/per
alatan
Peralatan yang kurang
memadai untuk
menghasilkan produk jasa
Adanya mesin mutakhir yang
dapat menghasilkan produk
massal yang dibutuhkan
industri besar
Bantuan peralatan
Kapasitas
produksi
Sesuai dengan permintaan
konsumen
Dapat menyuplai produk secara
berkelanjutan
Bantuan permodalan,
peralatan
Kualifikasi
Produk
Sesuai dengan standar
kebutuhan pemesanan
Peningkatan kualitas sesuai
dengan standar pemesanan
-
Kualifikasi
SDM/Pekerja
Minimal STM dan sederajat
untuk produk fabrikasi
Peningkatan kapasitas SDM
untuk membuat berbagai
produk yang berkualitas serta
mampu mengelola usaha dalam
hal keuangan maupun
pengembangan perusahaan
Pemberian kompetensi
manajerial dan
pengelolaan keuangan
melalui pelatihan
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 3
5.2 Rencana Pengembangan
Pengembangan industri menengah pada intinya adalah untuk meningkatkan
kapasitas produksi industri untuk dapat memproduksi barang lebih banyak dari
produk sebelumnya dengan standar kualitas yang harus dipenuhi melalui quality
control di setiap tingkatan industri. Industri menengah yang akan terhubung atau
bekerja sama dengan industri besar harus memenuhi quality control yang
ditetapkan oleh industri besar serta produk yang dihasilkan oleh industri kecil dan
menengah harus memenuhi standar komponen otomotif seperti yang tertera dalam
Japanese Industrial Standards (JIS) yang merupakan standar yang digunakan oleh
industri otomotif. Quality control yang diterapkan industri menengah dapat
dilakukan melalui pemenuhan standar JIS.
Bagi industri menengah yang terkait langsung dalam mata rantai produksi
dimana output yang dihasilkan oleh industri menengah langsung digunakan oleh
industri besar untuk melengkapi produk yang akan dijual memiliki tingkatan atau
tier yang harus dipenuhi kualifikasinya. Lain halnya dengan industri menengah
yang memberikan pelayanan jasa dan produk pendukung kepada industri besar.
Industri menengah tersebut dapat bekerja sama dengan industri manapun yang
berada di dalam tingkatan yang berbeda, seperti industri yang bergerak dalam
machinery. Industri kecil menengah ini dapat menjual produknya ke industri besar
dan tidak harus terletak pada tier yang lebih tinggi tingkatannya. Pengembangan
mata rantai input output untuk industri menengah terbagi dalam beberapa
kegiatan, yaitu :
1. Pelatihan Teknis
Pengembangan usaha menengah dilakukan terhadap sumber daya manusia
yang bekerja di industri tersebut dan peningkatan kapasitas produksi usaha
industri menengah dalam menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh
industri besar yang ada di kawasan industri Bekasi. Pelatihan teknis ditujukan
bagi para pekerja industri menengah Pengembangan keterampilan tenaga kerja
dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja dalam bidang
permesinan dan pembuatan komponen produksi. Jenis pelatihan yang diberikan
berupa pelatihan dalam pembuatan komponen bubut seperti mur dan baut, serta
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 4
komponen otomotif lainnya yang langsung terhubung dengan mata rantai input
output industri besar.
2. Pelatihan Non Teknis
Pelatihan non teknis ditujukan bagi semua jenis industri baik industri yang
terkait dengan mata rantai input output, industri pendukung serta industri jasa.
Pelatihan yang diberikan berupa pelatihan yang menyangkut pengembangan
kapasitas sumber daya manusia dalam hal manajerial dan keuangan agar industri
menengah mampu mengelola kegiatan produksi secara lebih baik dan memiliki
kemampuan untuk dapat terhubung dengan industri besar dalam proses produksi.
Pada umumnya, industri yang memiliki pengelolaan yang baik dari segi keuangan
dan manajerial dapat terhubung dengan industri besar karena industri besar juga
menyeleksi usaha-usaha yang akan bekerja sama dengan industri besar dan salah
satu kriteria agar dapat terhubung adalah memiliki kemampuan manajerial dan
pengelolaan keuangan yang baik.
3. Pendampingan Industri Menengah
Pendampingan dilakukan untuk meninjau dan memastikan program
pelatihan berjalan dengan baik dan pemberian bantuan dapat bermanfaat dan
teraplikasikan. Melalui pendampingan ini juga industri menengah akan dipantau
perkembangan usahanya agar mampu menuju kualifikasi baik secara kuantitas
dan kualitas produk yang dihasilkan industri.
4. Pameran
Kegiatan pameran dilaksanakan setelah industri menengah menghasilkan
produk yang sesuai dengan kualifikasi setelah periode tertentu pada program.
Pameran ini juga dijadikan wadah untuk pengembangan kemitraan dan membuka
kontrak kerja sama dengan industri besar.
5. Pemberian bantuan permodalan
Pemberian bantuan permodalan akan diberikan melalui proses penyaluran
mekanisme tertentu dan diberikan kepada industri menengah yang menunjukkan
prestasi dan kemajuan selama proses pelatihan dan pendampingan. Hal ini
bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi industri serta bantuan untuk
industri menengah dapat membangun hubungan kerja sama dan terhubung dengan
industri besar.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 5
Program-program tersebut dilaksanakan dengan target keterkaitan mata
rantai sebagai berikut.
Tabel V.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai
No. Indikator Kondisi
Baseline
Kondisi Target
2010 2011 2012
1 Jumlah Kontrak Pesanan
yang disetujui antara Industri
Besar dengan Industri
Menengah
NA 0 10 15
2 Prosentase Realisasi
Kontrak Pesanan yang
disetujui antara Industri Besar
dengan Industri Menengah
NA 0 0 100
5.3 Pedoman Pengembangan
Program pengembangan mata rantai ini pada prinsipnya dilaksanakan
untuk mencapai kualifikasi baik secara kuantitas pasokan yang diperlukan
maupun kualitas produk yang diterima oleh End Costumer (industri besar).
Pelaksanaan program-program yang telah disebutkan di atas merupakan kesatuan
yang terkait satu sama lain dalam rangka pengembangan mata rantai. Pelaksanaan
program itu sendiri merupakan kolaborasi antara OPD terkait dengan Tim PHKI
PWK ITB dengan menekankan bahwa penyelenggara program adalah pemerintah.
Tim PHKI PWK ITB bertindak sebagai fasilitator mendampingi dan membina
interaksi antara industri kecil, menengah dan besar, pemerintah penyelenggara
program, dan penyandang dana.
Berikut ini pedoman pelaksanaan program pengembangan mata rantai
industri kecil dengan industri menengah dan besar.
Tabel V.3 Pedoman Pelaksanaan Program
Langkah 1 Penentuan industri menengah yang akan diundang dalam program
pelatihan
Sebelumnya dilakukan suatu pemetaan industri menengah yang ada di
kawasan inti untuk kemudian diundang untuk mengukuti seleksi
pelatihan.
Langkah 2 Seleksi
Seleksi dilakukan untuk memilih sejumlah peserta sesuai dengan
kapasitas yang ditentukan.
Langkah 3 Pelaksanaan program pelatihan
Pelatihan dilakukan dengan program dan kurikulum yang disusun oleh
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 6
penyelenggara pelatihan. Setelah pelatihan selesai diharapkan peserta
pelatihan (industri kecil) sudah siap dengan kompetensi yang diharapkan.
Langkah 4.a Pemilihan industri yang akan mendapatkan bantuan
Dari pelatihan yang dilakukan, dipilih peserta industri yang berprestasi
untuk diberikan bantuan permodalan sehingga lebih siap meningkatkan
kapasitas produksi dan bermitra dengan besar.
Langkah 4.b Pendampingan tahap 1
Pendampingan tahap awal setelah pelatihan selesai.
Langkah 5 Pendampingan tahap 2
Pendampingan diarahkan untuk mempersiapkan mengikuti pameran.
Langkah 6 Pameran tengah tahun
Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang
dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.
Langkah 7 Pendampingan tahap 3
Setelah pameran, industri kecil terus diarahkan untuk mulai membangun
kemitraan dengan industri menengah/besar. Pada kesempatan ini juga
mulai dibina pengembangan kesempatan membuka kontrak kerja.
Langkah 8 Pendampingan tahap 4
Pengembangan kemitraan terus dilakukan dan juga persiapan mengikuti
pameran akhir tahun dilakukan sehingga industri kecil lebih mantap dan
siap menghadapi pasar.
Langkah 9 Pameran akhir tahun
Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang
dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 10
Tabel V.4 Ikhtisar Rencana Kegiatan
No. Sasaran
Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta
Jumlah
Peserta
Waktu
Kegiatan
OPD
Penyelenggara
1 Pelatihan
Manajemen
Industri
Menengah
Teknis
Pelatihan
Welding dan
bubut
Memberikan
keterampilan teknik
welding untuk
menyokong kegiatan
fabrikasi dalam
produksi komponen
otomotif.
Pengusaha dan
pekerja usaha
fabrikasi
20 Maret 2011 Badan Latihan
Ketenaga-
kerjaan, Dinas
Ketenagakerja-
an dan
Transmigrasi
Prov. Jawa
Barat
2 Pelatihan
Produksi Industri
menengah Non
Teknis
Pelatihan
Manajemen dan
Keuangan
Memberikan
kompetensi
pengelolaan
perusahaan dan
keuangan dalam
meningkatkan
kapasitas produksi.
Pengusaha dan
pekerja industri
menengah
(termasuk
komponen jasa dan
pendukung)
40 April 2011 Dinas Koperasi
dan UMKM
Prov. Jawa
Barat
3 Pendampingan
Industri
menengah
4 triwulan
pendampingan
pada tahun 2011
Memastikan kemajuan
peningkatan
produktivitas
Peserta yang
mengikuti pelatihan
40 Februari-
November
2011
Tim PHKI
PWK ITB
4 Pameran Produk Pameran tengah
tahun dan akhir
tahun
Memamerkan hasil
produksi,
pengembangan
kemitraan dan kontrak
kerja sama
Peserta yang
mengikuti pelatihan
40 Juni dan
November
2011
Dinas Koperasi
dan UMKM
Prov. Jawa
Barat
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 11
No. Sasaran
Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta
Jumlah
Peserta
Waktu
Kegiatan
OPD
Penyelenggara
5 Pemberian
bantuan modal
Bantuan
permodalan
Membantu
peningkatan kapasitas
produksi
Peserta pelatihan
yang berprestasi
Juni 2011 Tentatif
6 Uji Mutu Uji mutu produk
hasil pelatihan
teknis
Memastikan kualitas
produk yang dilatihkan
pada pelatihan sesuai
dengan tuntutan standar/
kualitas pasar
Peserta pelatihan
teknis 40 April-Mei 2010 Dinas
Perindustrian
dan Perdagangan
Prov. Jawa Barat
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 10
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-1
BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS
PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL
6.1 Rasional dan Prospek Pengembangan
Hasil temuan pada studi yang dilakukan pada kegiatan C.2.1.1 adalah
berupa keterkaitan aktual dan potensial industri kecil, menengah dan besar.
Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.1 dan 6.2, sebenarnya pada saat ini
keterkaitan antara industri besar dan menengah, industri besar dan kecil serta
industri kecil dan menengah itu sudah ada. Namun, intensitasnya masih dapat
ditingkatkan lagi. Di samping itu, memang ada juga jenis industri yang belum
terkait tetapi sebenarnya memiliki potensi keterkaitan yang tinggi sehubungan
dengan pohon industri dan proses produksi yang bisa disokong.
Gambar 6.1 Keterkaitan Aktual
Menanggapi lebih lanjut mengenai kondisi keterkaitan potensial tersebut,
sesuai dengan tujuan program ini, akan dilakukan pengembangan industri kecil
dan menengah agar mampu mendukung kegiatan industri besar sesuai dengan
prasyarat dan kondisi yang berlaku. Untuk mencapai prasyarat tersebut, perlu
dilakukan peningkatan kapasitas industri kecil tersebut melalui pendampingan,
pelatihan dan bantuan peralatan/teknologi.
Keterkaitan aktual
Kecil-menengah
Buffing-coatings
Buffing-fabrikasi
Buffing-coatings
Kecil-besar
Catering
Angkutan karyawan
Menengah-besar
Fabrikasi-otomotif
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-2
Gambar 6.2 Keterkaitan Potensial
Di antara industri-indsutri yang berpotensial dikaitkan tersebut, dipilih
beberapa yang akan dikembangkan dalam program. Terkait dengan hal ini
dipertimbangkan bahwa keterkaitan mata rantai yang paling menguntungkan
adalah pada jenis keterkaitan input-output yang langsung dapat berkaitan dengan
komponen produksi. Dalam analisis sebelumnya juga telah dipaparkan bahwa di
antara jenis-jenis industri besar yang paling untuk dikembangkan mata rantainya
adalah otomotif. Dari sekian keterkaitan potensial yang kebanyakan berupa
keterkaitan jasa, keterkaitan bengkel las dengan fabrikasi pada dasarnya dinilai
berpotensi untuk ditingkatkan intensitasnya dengan cara meningkatkan kapasitas
bengkel las untuk menjadi suatu divisi dalam kegiatan fabrikasi. Namun
demikian, diperlukan paket pelatihan dan pendampingan agar bengkel las ini
mampu naik taraf menjadi divisi pengelasan yang akan menyuplai komponen
otomotif..
Sementara itu, keterkaitan potensial lainnya yang bersifat pendukung dan
jasa juga dapat direspon dengan pelatihan yang sifatnya nonteknis, melainkan
lebih menekankan kepada manajerial. Pengembangan kemitraan dan kontrak
dengan industri besar juga merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk
mengembangkan potensi keterkaitan jasa dan pendukung tersebut untuk
menunjang kegiatan manufaktur.
Keterkaitan potensial
Kecil-menengah Bengkel las-
fabrikasi
Kecil-besar
Konveksi
Water treatment-otomotif
Water treatment-bangunan
Water treatment-tekstil
Menengah-besar
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-3
Tabel VI.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Kecil
Kondisi Saat Ini Kondisi yang Akan Dicapai Kebutuhan Pengembangan
Mata Rantai Input-Output
Karakteristik Mata Rantai
(Bengkel Las)
Belum bermitra, belum mampu menyuplai
komponen otomotif/permesinan
Produk bengkel las dapat menyuplai komponen
tertentu dalam permesinan dan fabrikasi
Pengembangan kemitraan dengan vendor
dan industri besar, dapat dilakukan melalui
pertemuan, pameran
Permodalan Sebagian tidak memiliki modal yang memadai Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan
masalah permodalan
Bantuan modal; dapat juga didukung
dengan peningkatan kapasitas melalui
pelatihan manajerial keuangan
Teknologi/peralatan Mesin las listrik konvensional Sudah menggunakan mesin las beraneka ragam
sesuai dengan produk yang dihasilkan
Bantuan peralatan
Kapasitas produksi Sesuai pesanan, terbatas, mengandalkan
perguliran modal uang
Dapat memenuhi permintaan pasokan dari
perusahaan tier di atasnya
Bantuan permodalan, peralatan
Kualifikasi Produk Baru mampu memproduksi barang untuk
keperluan rumahan, seperti pagar, teralis, dll.
Produk yang digunakan dalam permesinan/proses
fabrikasi, atau bengkel las dapat memberikan jasa
welding dalam proses fabrikasi
Peningkatan kapasitas SDM melalui
pelatihan teknis pengelasan (welding)
Kualifikasi SDM/Pekerja Tidak spesifik dengan latar belakang
pendidikan tertentu, dapat menggunakan
teknologi/peralatan las sederhana, dengan
kualitas
SDM yang siap dan terampil dalam menggunakan
alat las dengan berbagai jenis gas; kualitas produk
hasil pengelasan baik, tidak retak, dll.
Peningkatan kapasitas SDM melalui
pelatihan teknis pengelasan (welding), uji
mutu produk pengelasan
Mata Rantai Supporting/Jasa
Karakteristik Mata Rantai Sebagian besar belum bermitra dengan industri
besar di kawasan
UKM komponen pendukung dan jasa di sekitar
kawasan industri diprioritaskan oleh industri besar
untuk memasok produknya.
Pengembangan kemitraan dengan vendor
dan industri besar, dapat dilakukan melalui
pertemuan, pameran
Permodalan Sebagian tidak memiliki modal yang memadai
sehingga usaha terkadang terhambat
Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan
masalah permodalan
Bantuan permodalan, pelatihan manajerial
keuangan
Kapasitas produksi Sesuai pesanan, terbatas, mengandalkan
perguliran modal uang
Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan
masalah permodalan
Bantuan permodalan
Kualifikasi Produk Memenuhi sesuai pesanan/kualifikasi yang
ditentukan pelanggan
Memenuhi sesuai pesanan/kualifikasi yang
ditentukan pelanggan
-
Kualifikasi SDM/Pekerja Tidak spesifik dengan latar belakang
pendidikan tertentu; kurang begitu memadai
dalam pengelolaan perusahaan
Penggerak usaha kecil mampu mengelola
usahanya dalam hal keuangan maupun
pengembangan perusahaan
Pemberian kompetensi manajerial dan
pengelolaan keuangan melalui pelatihan
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-4
6.2 Rencana Pengembangan
Pengembangan kawasan inti terpadu yang akan dilakukan sebagai upaya
pengklusteran industri kecil dan menengah dimaksudkan agar IKM secara efisien
mampu memberikan input dan dukungan bagi industri besar sehingga
perkembangan kawasan industri yang cenderung menjadi enclave. Sehubungan
dengan hal ini diperlukan secara spesifik pengembangan mata rantai produksi
yang mengupayakan keterkaitan antara industri besar dengan industri menengah
dan industri kecil.
Sesuai dengan analisis yang telah dipaparkan sebelumnya, mata rantai
produksi tersebut terdiri dari tingkatan-tingkatan (tier) yang tidak bisa dilangkahi.
Dengan demikian, industri kecil yang pada saat ini berada pada tier di bawah
belum tentu bisa loncat begitu saja ke tier yang lebih tinggi. Peningkatan kapasitas
industri kecil dilakukan untuk meningkatkan kualifikasi dan produktivitas
sehingga ia dapat meningkatkan intensitas pasokan dan kemitraannya.
Pengembangan mata rantai industri kecil dibagi menjadi dua fokus.
Pertama, untuk industri kecil yang akan dikaitkan dengan proses produksi
komponen otomotif, dalam hal ini pengembangan keterkaitan input-output.
Kedua, untuk industri kecil komponen pendukung dan jasa. Pengembangan mata
rantai pada masing-masing fokus dilakukan dengan penekanan program yang
berbeda. Pengembangan keterkaitan input-output dilakukan dengan
mengutamakan kompetensi teknis dan kualitas produk karena berkaitan dengan
standardisasi yang diperlukan industri besar.
Pengembangan mata rantai input-output ini difokuskan kepada industri kecil
komponen produksi yang berpotensi memiliki keterkaitan langsung dengan proses
produksi. Jenis industri kecil yang dipilih adalah jasa bengkel las yang dapat
dikaitkan dengan usaha fabrikasi baik dalam pembuatan komponen tertentu
(bubut) maupun jasa pengelasan dalam kegiatan fabrikasi (menjadi divisi welding
dalam kegiatan fabrikasi). Program pengembangan yang disusun ini adalah
berdasarkan logika perencanaan dengan memandang kondisi saat ini harus
diintervensi agar terjadi kondisi yang diinginkan. Dalam rangka mencapai kondisi
yang diharapkan tersebut, diperlukan pengembangan atau usaha tertentu. Hal ini
telah disarikan pada Tabel IV.1 di atas.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-5
Tabel VI.2 Ikhtisar Rencana Kegiatan
No. Sasaran Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta Jumlah
Peserta Waktu
Kegiatan OPD
Penyelenggara 1 Pelatihan
Manajemen
Industri Kecil
Teknis
Pelatihan Teknik
Pengelasan Memberikan
keterampilan teknik
pengelasan untuk
menyokong kegiatan
fabrikasi dalam produksi
komponen otomotif.
Pengusaha dan pekerja
usaha bengkel las 20 Maret 2011 Badan Latihan
Ketenaga-
kerjaan, Dinas
Ketenagakerja-
an dan
Transmigrasi
Prov. Jawa Barat 2 Pelatihan Produksi
Industri Kecil Non
Teknis
Pelatihan
Manajemen dan
Keuangan
Memberikan kompetensi
pengelolaan perusahaan
dan keuangan dalam
meningkatkan kapasitas
produksi.
Pengusaha dan pekerja
industri kecil (termasuk
komponen jasa dan
pendukung)
40 April 2011 Dinas Koperasi
dan UMKM
Prov. Jawa Barat
3 Pendampingan
Industri Kecil 4 triwulan
pendampingan
pada tahun 2011
Memastikan kemajuan
peningkatan
produktivitas
Peserta yang mengikuti
pelatihan 40 Februari-
November 2011 Tim PHKI PWK
ITB
4 Pameran Produk Pameran tengah
tahun dan akhir
tahun
Memamerkan hasil
produksi, pengembangan
kemitraan dan kontrak
kerja sama
Peserta yang mengikuti
pelatihan 40 Juni dan
November 2011 Dinas Koperasi
dan UMKM
Prov. Jawa Barat
5 Pemberian bantuan
modal Bantuan
permodalan Membantu peningkatan
kapasitas produksi Peserta pelatihan yang
berprestasi Tentatif Juni 2011 Tentatif
6 Uji Mutu Uji mutu produk
hasil pelatihan
teknis
Memastikan kualitas
produk yang dilatihkan
pada pelatihan sesuai
dengan tuntutan standar/
kualitas pasar
Peserta pelatihan teknis 40 April-Mei 2010 Dinas
Perindustrian
dan Perdagangan
Prov. Jawa Barat
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-6
Dalam rangka pengembangan mata rantai ini akan dilakukan beberapa
program, yaitu:
1. Pelatihan untuk pengusaha dan pekerja industri kecil.
Pelatihan dilakukan untuk memberikan keterampilan teknis dan nonteknis
yang diperlukan dalam pengembangan usaha dan peningkatan kapasitas
produksi. Pelatihan teknis yang diberikan berkaitan dengan proses pengelasan
yang dapat digunakan pada proes fabrikasi. Sementara itu, pelatihan nonteknis
yang diberikan adalah manajemen dan keuangan untuk mendukung
kebertahanan dan peningkatan produktivitas usaha.
2. Pendampingan industri kecil.
Pendampingan dilakukan untuk meninjau dan memastikan program pelatihan
dan pemberian bantuan dapat bermanfaat dan teraplikasikan. Melalui
pendampingan ini juga industri kecil akan dipantau perkembangan usahanya
agar mampu menuju kualifikasi yang diharapkan.
3. Pemberian bantuan permodalan
Pemberian bantuan permodalan akan diberikan melalui proses penyaluran
mekanisme tertentu dan diberikan kepada industri kecil yang menunjukkan
prestasi dan kemajuan selama proses pelatihan dan pendampingan.
4. Pameran
Pameran dilaksanakan untuk menunjukkan produk setelah periode tertentu
pada program. Pameran ini juga dijadikan wahana untuk pengembangan
kemitraan dan membuka kontrak kerja sama dengan industri besar.
5. Uji mutu produk
Uji mutu dilakukan untuk mengetes dan memastikan kualifikasi produk yang
dihasilkan SDM bengkel las yang mengikuti pelatihan sudah memenuhi
tuntutan standar atau kualitas pasar.
Program-program tersebut dilaksanakan dengan target keterkaitan mata
rantai sebagai berikut.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-7
Tabel VI.3 Target Program Pengembangan Mata Rantai
No. Indikator Kondisi
Baseline
Kondisi Target
2010 2011 2012
1 Jumlah Kontrak Pesanan yang disetujui antara
Industri Besar dengan Industri Menengah dan
Kecil
NA 0 15 20
2 Jumlah Kontrak Pesanan yang disetujui antara
Industri Menengah dengan Industri Kecil
NA 0 10 15
3 Prosentase Realisasi Kontrak Pesanan antara
Industri Besar dengan Industri Menengah dan Kecil
NA 0 0 100
4 Prosentase Realisasi Kontrak Pesanan Industri
Menengah dengan Industri Kecil
NA 0 0 100
6.3 Pedoman Pengembangan
Program pengembangan mata rantai ini pada prinsipnya dilaksanakan untuk
mencapai kualifikasi baik secara kuantitas pasokan yang diperlukan maupun
kualitas produk yang diterima oleh konsumen (industri besar). Pelaksanaan
program-program yang telah disebutkan di atas merupakan kesatuan yang terkait
satu sama lain dalam rangka pengembangan mata rantai. Pelaksanaan program itu
sendiri merupakan kolaborasi antara OPD terkait dengan Tim PHKI PWK ITB
dengan menekankan bahwa penyelenggara program adalah pemerintah. Tim
PHKI PWK ITB bertindak sebagai fasilitator mendampingi dan membina
interaksi antara industri kecil, menengah dan besar, pemerintah penyelenggara
program, dan penyandang dana.
Berikut ini pedoman pelaksanaan program pengembangan mata rantai
industri kecil dengan industri menengah dan besar.
Tabel VI.4 Pedoman Pelaksanaan Program
Langkah 1 Penentuan industri kecil yang akan diundang dalam program pelatihan
Sebelumnya dilakukan suatu pemetaan industri kecil yang ada di kawasan
inti untuk kemudian diundang untuk mengukuti seleksi pelatihan.
Langkah 2 Seleksi
Seleksi dilakukan untuk memilih sejumlah peserta sesuai dengan kapasitas
yang ditentukan.
Langkah 3 Pelaksanaan program pelatihan
Pelatihan dilakukan dengan program dan kurikulum yang disusun oleh
penyelenggara pelatihan. Setelah pelatihan selesai diharapkan peserta
pelatihan (industri kecil) sudah siap dengan kompetensi yang diharapkan.
Langkah 4.a Pemilihan industri yang akan mendapatkan bantuan
Dari pelatihan yang dilakukan, dipilih peserta yang berprestasi untuk
diberikan bantuan permodalan sehingga lebih siap meningkatkan kapasitas
produksi dan bermitra dengan industri menengah/besar.
PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu
Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-8
Langkah 4.b Pendampingan tahap 1
Pendampingan tahap awal setelah pelatihan selesai.
Langkah 5 Pendampingan tahap 2
Pendampingan diarahkan untuk mempersiapkan mengikuti pameran.
Langkah 6 Pameran tengah tahun
Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang
dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.
Langkah 7 Pendampingan tahap 3
Setelah pameran, industri kecil terus diarahkan untuk mulai membangun
kemitraan dengan industri menengah/besar. Pada kesempatan ini juga mulai
dibina pengembangan kesempatan membuka kontrak kerja.
Langkah 8 Pendampingan tahap 4
Pengembangan kemitraan terus dilakukan dan juga persiapan mengikuti
pameran akhir tahun dilakukan sehingga industri kecil lebih mantap dan siap
menghadapi pasar.
Langkah 9 Pameran akhir tahun
Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang
dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.