laporan akhir gabung

101
LAPORAN C 2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL 2010

Upload: fikri-zul-fahmi

Post on 29-Jun-2015

304 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Akhir GABUNG

LAPORAN

C 2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien

PROGRAM HIBAH KOMPETISI

BERBASIS INSTITUSI

PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG

DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

2010

Page 2: Laporan Akhir GABUNG

Penyusun Laporan Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien Tim C.2.1.1 PHKI PWK ITB Ketua Pelaksana Kegiatan Wilmar Salim, ST., M.Reg.Dev., Ph.D. Tenaga Ahli Prof. Ir. Tommy Firman, M.Sc., Ph.D. Dr. Ir. Dewi Sawitri Tjokropandojo, MT. Dr. Ir. Krishna Nur Pribadi, M.Sc., M.Phil. Dr. Saut Aritua Hasiholan Sagala, ST., M.Sc. Ir. Siti Sutriah Nurzaman, MSP. Asisten Tenaga Ahli Fikri Zul Fahmi, ST. Honesty Forisa, ST. © Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung 2010

Page 3: Laporan Akhir GABUNG

Kata Pengantar

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas petunjuk dan bimbingan-Nya

Laporan Akhir “Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien” ini selesai disusun. Laporan ini

merupakan salah satu produk penelitian kegiatan C.2.1.1 PHKI PWK ITB yang di dalamnya juga

termasuk Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi Kecil dan

Menengah.

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB mendapatkan Program Hibah Kompetisi

Berbasis Institusi (PHKI) dari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi dengan mengadakan suatu

penelitian tindak (action research) untuk mempraktikkan bidang keahliannya. Terkait hal ini

diselenggarakan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan

Kawasan Terpadu pada tahun 2010 hingga 2012. Pada tahun 2010, penelitian telah dilaksanakan

untuk melakukan studi dan mengidentifikasi karakteristik sehingga pada tahun berikutnya dapat

dilakukan implementasi program dan juga pengendaliannya. Salah satu aspek kajian dalam

penelitian ini adalah mengenai keterkaitan atau mata rantai produksi yang merupakan pokok dari

penelitian ini karena memberikan masukan bagi kegiatan lain, yaitu kerja sama, kelembagaan,

sistem infrastruktur dan lingkungan serta kawasan inti terpadu.

Laporan ini diharapkan dapat dijadikan pemandu dalam pengembangan mata rantai pada tahun

2011 bagi Tim PHKI PWK ITB maupun OPD mitra dalam kerja sama ini, di antaranya Dinas

Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, Dinas Koperasi dan UKM, dan Dinas Perindustrian dan

Perdagangan Provinsi Jawa Barat maupun instansi pemerintah pusat dan Kabupaten Bekasi.

Semoga laporan ini bermanfaat dan berkontribusi dalam pengembangan wilayah yang lebih

berkelanjutan serta mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat luas.

Bandung, Desember 2010-12-01

Tim C.2.1.1 PHKI PWK ITB

Page 4: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien iii

RINGKASAN EKSEKUTIF C.2.1.1 PENETAPAN MATA RANTAI PRODUKSI YANG EFISIEN

I. Landasan Penelitian

Perkembangan industri besar di Kabupaten Bekasi yang selama ini masih mengarah kepada

pengembangan kawasan aglomerasi industri yang pada akhirnya mengakibatkannya menjadi

enclave yang tidak memiliki nilai tambah optimal bagi wilayah sekitarnya. Hal ini terindikasi

secara awal bahwa keterkaitan industri besar di kawasan dengan usaha mikro, kecil dan

menengah (UMKM) yang relatif kecil dan tidak signifikan. Dalam rangka pengembangan

wilayah, proses trickle down dapat dan perlu dilakukan sehingga perkembangan kawasan

industri tersebut dapat memberikan manfaat bagi wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan

demikian, diperlukan suatu program pengembangan wilayah untuk meningkatkan keterkaitan

mata rantai produksi industri tersebut.

Kegiatan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien merupakan bagian penelitian

yang teramat penting dalam penentuan kawasan terpadu dan sistem yang mendukung di

dalamnya. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasikan mata rantai produksi yang

efisien dalam kawasan, sehingga akan menjadi dasar pengembangan keterkaitan hulu-hilir

antar pelaku ekonomi di dalam kawasan. Ini termasuk identifikasi jenis usaha apa yang dapat

terkait, kualifikasi produk dan SDM, serta kebutuhan pengembangan sumber dayanya. Dalam

mencapai sasaran tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu

analisis hipotetis tabel input-output, penelusuran dari UMKM (pohon industry), dan juga

penelusuran dari UKM.

II. Temuan Studi

Secara umum terdapat tiga jenis keterkaitan UKM dengan industri besar, yaitu keterkaitan

mata rantai, keterkaitan komponen pendukung dan keterkaitan komponen jasa. Keterkaitan

mata rantai maksudnya suplai komponen produksi industri terkait, misalnya fabrikasi,

coatings, buffing. Keterkaitan supporting (pendukung), yaitu IKM tidak berperan langsung

dalam menghasilkan komponen/produk, tetapi berperan mendukung proses produksi itu

berlangsung termasuk barang modal permesinan, misalnya fabrikasi/machinery, palet dan

kardus. Keterkaitan jasa, yaitu IKM yang menyokong kegiatan manufaktur dalam penyediaan

jasa penunjang yang bersifat outsourcing, misalnya catering, konveksi, jasa angkutan dan

water treatment.

Melalui analisis, diketahui bahwa industri otomotif paling memungkinkan untuk

dikembangkan keterkaitannya dengan UKM, terutama dari keterkaitan input-output. Industri

elektronik cenderung lebih sulit karena komponennya didatangkan langsung dari negara

asalnya. Di samping itu, UKM komponen pendukung dan jasa juga dapat dimitrakan dengan

industri besar secara umum.

Dari sisi industri besar, keterkaitan input-output diprasyaratkan setidaknya tiga hal untuk

dipenuhi: quality, cost, delivery.

a. Quality, yakni kualitas produk yang disuplai harus baik dan sesuai standar;

b. Cost, yakni biaya yang dikeluarkan dengan adanya kemitraan ini efisien;

Page 5: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien iv

c. Delivery, yakni ketepatan waktu pengantaran sehubungan dengan proses produksi di

industri besar (assembling).

III. Program Pengembangan

Berdasarkan rasionalitas dan kebutuhan pengembangan pada waktu ke depan, ditentukan

beberapa program yang akan dilakukan pada kegiatan C.2.2.3 Pengembangan Mata Rantai

Produksi, yaitu terdiri:

(a) Pelatihan, terdiri dari pelatihan teknis dan nonteknis. Pelatihan teknis memberikan

kompetensi pengelasan (welding) dan bubut, sedangkan pelatihan nonteknis memberikan

kompetensi manajemen-keuangan dan gugus kendali mutu. Mitra OPD terkait adalah

BLK Disnakertrans Jabar dan Dinas KUKM Jabar.

(b) Pendampingan, oleh tim PHKI PWK ITB untuk mendampingi UKM mengikuti program

dengan optimal.

(c) Uji mutu, dilakukan untuk menguji kualitas produk hasil pelatihan, dilaksanakan bersama

Dinas Indag Jabar.

(d) Pemberian bantuan modal, dengan jalan membuka jalur kesempatan UKM untuk

mendapatkan bantuan modal.

(e) Pameran hasil produk, dilakukan untuk memamerkan dan mengembangkan kemitraan

bisnis, dilaksanakan bersama Dinas KUKM Jabar.

Page 6: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii

RINGKASAN EKSEKUTIF ............................................................................................ iv

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................................. ix

BAB 1 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM DENGAN

KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI............................................................................ I-1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... I-1

1.2 Rumusan Persoalan ................................................................................................... I-2

1.3 Tujuan dan Sasaran ................................................................................................... I-4

1.4 Output ....................................................................................................................... I-4

1.5 Ruang Lingkup.......................................................................................................... I-4

1.5.1 Ruang Lingkup Pekerjaan ................................................................................ I-5

1.5.2 Wilayah Studi ................................................................................................... I-5

1.6 Metodologi ................................................................................................................ I-7

1.6.1Metode Pengumpulan Data ............................................................................... I-7

1.6.2Metode Analisis ................................................................................................. I-8

1.7 Program Kerja ........................................................................................................... I-9

1.8 Sistematika Penulisan ............................................................................................... I-11

BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI MATA RANTAI PRODUKSI ................ II-1

2.1 Keterkaitan Eknomi dan Mata Rantai Produksi........................................................ II-1

2.2 Input-Output .............................................................................................................. II-2

2.3 Pohon Industri ........................................................................................................... II-5

2.3.1 Pohon Industri Otomotif ................................................................................ II-5

2.3.2 Pohon Industri Elektronik .............................................................................. II-7

2.4Analisis Hipotetis Keterkaitan Antarsektor Menurut Tabel Input-Output .................. II-8

BAB 3 GAMBARAN UMUM KARAKTERISTIK USAHA INDUSTRI KECIL

MENENGAH DI KABUPATEN BEKASI ................................................................... III-1

3.1 Fabrikasi ..................................................................................................................... III-3

3.2 Buffing ....................................................................................................................... III-6

3.3 Bengkel Las ............................................................................................................... III-8

3.4 Jasa Catering .............................................................................................................. III-11

3.5 Jasa Angkutan Karyawan ........................................................................................... III-13

3.6 Konveksi .................................................................................................................... III-13

3.7 Palet............................................................................................................................ III-15

3.8 Pengepul Limbah Plastik, Besi dan Limbah Lainnya ................................................ III-18

BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM DENGAN

KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI............................................................................ IV-1

4.1Karakteristik Keterkaitan Aktual Usaha Kecil-Menengah dengan Kawasan Industri . IV-1

4.2.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Input-Output ....................................................... IV-2

4.1.2 Karakteristik Keterkaitan Aktual Komponen Pendukung ................................ IV-8

Page 7: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien vi

4.1.3 Karakteristik Keterkaitan Komponen Jasa ........................................................ IV-12

4.1.4 Karakteristik Usaha Perlimbahan ..................................................................... IV-16

4.2Karakteristik Mata Rantai Produksi Industri Besar ..................................................... IV-17

4.2.1 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif.......................................................... IV-17

4.2.2 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................. IV-21

4.3Keterkaitan Potensial Mata Rantai Produksi ............................................................... IV-25

BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI

KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH ........................................................ VI-1

5.1Rasional dan Prospek Pengembangan ......................................................................... V-1

5.2Rencana Pengembangan .............................................................................................. V-3

5.3Pedoman Pengembangan ............................................................................................. V-5

BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI

KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL ................................................................... VI-1

6.1 Rasional dan Prospek Pengembangan ................................................................... VI-1

6.2 Rencana Pengembangan ........................................................................................ VI-4

6.3 Pedoman Pengembangan ....................................................................................... VI-7

Page 8: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Alur Kegiatan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi . I-3

Gambar 1. 2 Peta Wilayah Studi ....................................................................................... I-6

Gambar 1.3 Pola/Bagan Kegiatan ..................................................................................... I-9

Gambar 2.1 Keterkaitan Ke Depan Dan Ke Belakang .................................................... II-3

Gambar 2.2 Komponen Mobil .......................................................................................... II-5

Gambar 2.3 Komponen Sepeda Motor ............................................................................. II-5

Gambar 2.4 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments ........................ II-6

Gambar 2.5 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments ........................ II-7

Gambar 2.6 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................... II-7

Gambar 2.7 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Nasional ............................. II-8

Gambar 2.8 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Provinsi.............................. II-9

Gambar 3.1 Asal Pemilik UMKM Fabrikasi .................................................................... III-4

Gambar 3.2 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi ....................................................... III-5

Gambar 3.3 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi ...................................................... III-5

Gambar 3.4 Asal Pemilik UMKM Buffing....................................................................... III-6

Gambar 3.5 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing ........................................................ III-7

Gambar 3.6 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing ......................................................... III-8

Gambar 3.7 Asal Pemilik UMKM Bengkel Las ............................................................... III-9

Gambar 3.8 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las ................................................. III-10

Gambar 3.9 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las ................................................. III-10

Gambar 3.10 Asal Pemilik UMKM Catering ................................................................... III-12

Gambar 3.11 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering ...................................................... III-12

Gambar 3.12 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering ...................................................... III-12

Gambar 3.13 Asal Pemilik UMKM Konveksi .................................................................. III-14

Gambar 3.14 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi .................................................... III-15

Gambar 3.15 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi .................................................... III-15

Gambar 3.16 Komoditas Palet .......................................................................................... III-16

Gambar 3.17 Asal Pemilik Usaha Palet Di Kabupaten Bekasi ........................................ III-17

Gambar 3.18 Klasifikasi UMKM Menurut Jumlah Tenaga Kerja ................................... III-18

Gambar 3.19 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Logam Dan Besi Tua ..... III-21

Gambar 3.20 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Plastik ............................ III-21

Gambar 4.1 Jenis Keterkaitan UMKM dengan Industri Besar ......................................... IV-1

Gambar 4.2 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Fabrikasi ............................... IV-3

Gambar 4.3 Keterkaitan UMKM Fabrikasi dengan Industri Besar .................................. IV-4

Gambar 4.4 Ilustrasi Kerja Sama Horisontal IKM Fabrikasi ........................................... IV-4

Gambar 4.5 Keterkaitan ke Depan dan Belakang UMKM Buffing .................................. IV-5

Gambar 4.6 Keterkaitan UMKM Buffing dengan Industri Besar..................................... IV-6

Gambar 4.7 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Bengkel Las .......................... IV-6

Gambar 4.8 Keterkaitan UMKM Bengkel Las dengan Indusri Besar .............................. IV-7

Gambar 4.9 Rantai Produksi Palet dari Limbah Industri .................................................. IV-10

Gambar 4.10 Rantai Produksi Palet dari Bahan Baku Baru ............................................. IV-10

Gambar 4.11 Keterkaitan UMKM Jasa Angkutan dengan Indusri Besar ......................... IV-12

Gambar 4.12 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering .............................. IV-13

Gambar 4.13 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering .............................. IV-14

Gambar 4.14 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi ............................. IV-15

Page 9: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien viii

Gambar 4.15 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi ............................. IV-15

Gambar 4.16 Mata Rantai Pengepul Limbah ................................................................... IV-16

Gambar 4.17 Terminologi Mata Rantai Industri Otomotif ............................................... IV-18

Gambar 4.18 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif ..................................................... IV-19

Gambar 4.19 Keterkaitan Industri Otomotif dengan Surface Treatments dan Fabrikasi . IV-20

Gambar 4.20 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik .................................................. IV-22

Gambar 4.21 Peta Keterkaitan ke Belakang Industri Kecil Menengah ............................ IV-28

Gambar 4.22 Peta Keterkaitan ke Depan Industri Kecil Menengah ................................ IV-29

Gambar 6.1 Keterkaitan Aktual ........................................................................................ VI-1

Gambar 6.2 Keterkaitan Potensial .................................................................................... VI-2

Page 10: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien ix

DAFTAR TABEL

Tabel I.1 Program dan Realisasi Kerja ............................................................................. I-10

Tabel II.1 Input-Output ..................................................................................................... II-4

Tabel II.2 Konversi Sektor Ekonomi Jawa Barat (2003) ke Kabupaten Bekasi (2000)

Berdasarkan Industri Besar di Kawasan Industri Bekasi ................................. II-11

Tabel III.1 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Fabrikasi ........................................... III-3

Tabel III.2 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Buffing .............................................. III-7

Tabel III.3 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Bengkel Las ...................................... III-9

Tabel III.4 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Catering ............................................ III-11

Tabel III.5 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Konveksi ........................................... III-14

Tabel III.6 Persebaran Usaha Palet dan Jumlah Sampel Survei Di Kabupaten Bekasi ... III-16

Tabel III.8 Persebaran UMKM Pengepul Besi Tua Dan Logan Serta Pengepul

Limbah di Kabupaten Bekasi ........................................................................... III-19

Tabel III.9 Survei Sampel UMKM Besi Tua, Logam Dan Barang Bekas Di

Kabupaten Bekasi ............................................................................................. III-19

Tabel IV.1 Identifikasi Tingkatan Perusahaan dalam Mata Rantai .................................. IV-21

Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait

dengan Kawasan Industri ................................................................................. IV-23

Tabel IV.3 Potensi UKM untuk Memasok Industri Besar ................................................ IV-25

Tabel IV.4 Keterkaitan Potensial ...................................................................................... IV-26

Tabel IV.5 Karakteristik Industri Kecil dan Menengah untuk Dikembangkan ................ IV-27

Tabel V.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Menengah ....... V-2

Tabel V.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai .................................................. V-5

Tabel V.3 Pedoman Pelaksanaan Program ....................................................................... V-5

Tabel V.4 Ikhtisar Rencana Kegiatan ............................................................................... V-10

Tabel VI.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Kecil .............. VI-3

Tabel VI.3 Ikhtisar Rencana Kegiatan .............................................................................. VI-5

Tabel VI.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai ................................................. VI-7

Tabel VI.4 Pedoman Pelaksanaan Program ...................................................................... VI-7

Page 11: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengembangan kawasan merupakan pendekatan yang secara umum

dianggap efektif dalam meningkatkan daya saing daerah maupun nasional, yang

ditandai dengan kondisi bahwa mulai dari tingkat daerah sampai tingkat nasional

pengembangan kawasan telah menjadi perhatian dalam pengembangan wilayah.

Akan tetapi, konsep pengembangan kawasan yang ada sekarang masih

mempunyai kelemahan. Konsep Pengembangan Kawasan yang ada saat ini masih

mengarah pada pengembangan kawasan sebagai lokasi berkumpulnya kegiatan

produksi dan bukan sebagai kawasan yang terintegrasi. Kawasan seperti ini

kurang memberikan eksternalitas positif terhadap perkembangan kegiatan

perekonomian di lingkungan kawasan, baik pada tingkat daerah maupun nasional.

Perkembangan kawasan akan cenderung membentuk kantong-kantong kegiatan

industri yang bersifat enclave, tanpa memiliki keterkaitan dengan lingkungan

sekitarnya atau wilayah belakangnya.

Apabila pendekatan pengembangan kawasan yang ada masih dipertahankan,

maka kegiatan ekonomi yang berkembang akan bersifat ekslusif, tidak terintegrasi

dan kurang memberi manfaat bagi wilayah sekitarnya. Sesuai dengan pengetahuan

yang telah difahami dan dikembangkan oleh ITB, pengembangan kawasan yang

terpadu dan mengarah pada peningkatan nilai tambah mata rantai produksi dinilai

akan lebih efektif untuk peningkatan daya saing daerah dan pembangunan

nasional. Oleh karena itu pengetahuan tentang matarantai yang efisien sangat

dibutuhkan dalam pengembangan Kawasan Terpadu.

Sehubungan dengan hal ini, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota

ITB telah memulai Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi

melalui Pengembangan Kawasan Terpadu sejak bulan Maret 2010 dan pada saat

ini progres pekerjaan pada tahun pertama ini sudah menghasilkan beberapa

temuan. Penulisan Laporan Akhir ini memaparkan hasil temuan studi mengenai

mata rantai produksi tersebut, sekaligus rencana dan pedoman pengembangan

kawasan produksi.

Page 12: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-2

1.2 Rumusan Persoalan

Perkembangan industri besar di Kabupaten Bekasi yang selama ini masih

mengarah kepada pengembangan kawasan aglomerasi industri yang pada akhirnya

mengakibatkannya menjadi enclave yang tidak memiliki nilai tambah optimal

bagi wilayah sekitarnya. Hal ini terindikasi secara awal bahwa keterkaitan industri

besar di kawasan dengan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang relatif

kecil dan tidak signifikan. Dalam rangka pengembangan wilayah, proses trickle

down dapat dan perlu dilakukan sehingga perkembangan kawasan industri

tersebut dapat memberikan manfaat bagi wilayah Kabupaten Bekasi. Dengan

demikian, diperlukan suatu program pengembangan wilayah untuk meningkatkan

keterkaitan mata rantai produksi industri tersebut.

Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK ITB melalui

Program Hibah Kompetisi Berbasis Institusi (PHKI) mengembangkan program

Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi Pengembangan

Kawasan Terpadu sebagai respon dari persoalan yang dijelaskan sebelumnya.

Agar dapat melaksanakan program pengembangan kawasan terpadu tersebut,

diperlukan identifikasi terlebih dahulu keterkaitan mata rantai produksi aktual dan

potensial. Kegiatan Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien (C.2.1.1) adalah

bagian dari programt tersebut yang merupakan inisiasi yang penting dalam

program tersebut karena memberikan informasi awal mengenai kondisi saat ini

dan kemungkinan hubungan mata rantai produksi di kawasan industri di Bekasi.

Seperti yang ditampilkan pada Gambar 1.1, kegiatan ini sangat berkaitan dengan

kegiatan-kegiatan lainnya yang diperlukan untuk memberikan masukan pada

proses analisis yang dilakukan pada kegiatan lainnya tersebut, yaitu Penetapan

Kawasan Inti (C.2.1.7), Identifikasi Bentuk Kerja Sama Pemangku Kepentingan

Kawasan (C.2.1.4) dan Identifikasi Kebutuhan Kelembagaan dan Pembiayaan

Kawasan (C.2.1.6). Dengan demikian, kegiatan ini penting untuk dilakukan

dengan segera karena hasil analisisnya sangat diharapkan menjadi masukan bagi

kegiatan yang lain.

Page 13: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-3

Tahap I

Tahap II

Tahap III

Gambar 1.1 Alur Kegiatan Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi

Pengembangan Sistem Monitoring dan Evaluasi (C.2.3.1)

Pengendalian Pengembangan Kesepakatan dan kerjasama antar Pemangku Kepentingan (C.2.3.2)

Pengendalian Pengembangan Matarantai produksi (C.2.3.4)

Pengendalian Pembangunan Sarana Prasarana (C.2.3.6)

Pengendalian Pengelolaan Sistem Lingkungan Kawasan (C.2.3.5)

Pengendalian Pembentukan dan pemantapan sistem Kelembagaan dan Pembiayaan (C.2.3.3)

Dari dan ke Tahap 2

Dari Tahap 1

Membangun Kesepakatan dan kerjasama antar Pemangku

Kepentingan (C.2.2.1)

Pembangunan Sarana Prasarana (C.2.2.5)

Pengelolaan Sistem Lingkungan (C.2.2.4)

Membentuk dan memantapkan sistem Kelembagaan dan

Pembiayaan (C.2.2.2)

Pengembangan Matarantai produksi (C.2.2.3)

Penetapan matarantai produksi yang efisien (C.2.1.1)

Identifikasi kebutuhan pengembangan sarana prasarana

kawasan (C.2.1.2)

Identifikasi pengembangan sistem lingkungan kawasan (C.2.1.3)

Identifikasi bentuk kerjasama pemangku kepentingan

kawasan (C.2.1.4)

Pengembangan Sistem Informasi pendukung (C.2.1.5)

Identifikasi kebutuhan kelembagaan dan pembiayaan kawasan (C.2.1.6)

Penetapan kawasan pengembangan inti (C.2.1.7)

Ke Tahap 2

Dari Tahap 1

Page 14: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-4

1.3 Tujuan dan Sasaran

Tujuan kegiatan ini adalah mengidentifikasikan mata rantai produksi yang

efisien dalam kawasan, sehingga akan menjadi dasar pengembangan keterkaitan

hulu-hilir antar pelaku ekonomi di dalam kawasan.

Sasaran kegiatan ini adalah:

a. Teridentifikasi Kegiatan Industri Besar yang dapat menerima pasokan dari

Kegiatan Ekonomi skala Menengah dan Kecil

b. Teridentifikasi Kegiatan Ekonomi Skala Menengah yang dapat menerima

pasokan dari Kegiatan Ekonomi skala Kecil

c. Teridentifikasi Kualifikasi Pasokan Kegiatan Ekonomi skala Menengah dan

Kecil yang dapat diterima oleh Kegiatan Industri Besar

d. Teridentifikasi Kualifikasi Pasokan Kegiatan Ekonomi skala Kecil yang dapat

diterima oleh Kegiatan Industri skala Menengah.

e. Terindetifikasi Kebutuhan Pengembangan Kapasitas Kegiatan Ekonomi skala

Menengah dan Kecil untuk menjamin pemenuhan kualifikasi pasokan yang

dapat diterima.

1.4 Output

Output kegiatan ini terdiri dari suatu rencana dan pedoman pengembangan

dan juga satu artikel jurnal nasional dan internasional. Dokumen rencana yang

dibuat adalah Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Kerjasama

produksi antara kegiatan produksi dalam berbagai skala, dalam rangka

pembentukan mata rantai yang efisien yang mencakup:

a. Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi

Skala Menengah;

b. Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi Kegiatan Ekonomi

Skala Kecil.

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup dibagi ke dalam ruang lingkup pekerjaan dan ruang lingkup

wilayah.

Page 15: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-5

1.5.1 Ruang Lingkup Pekerjaan

Pada prinsipnya, kegiatan industri besar di Cikarang, Bekasi yang sudah

berjalan pada saat ini tidak memiliki keterkaitan dengan kegiatan ekonomi skala

menengah dan kecil sehingga tidak menumbuhkan efek pengganda yang

signifikan. Untuk itu, kegiatan ini akan mengidentifikasi mata rantai produksi

yang sudah berjalan pada saat ini, memproyeksikan kebutuhan mata rantai yang

dapat dikembangkan pada waktu ke depan dan merumuskan rencana

pengembangan kegiatan ekonomi menengah dan kecil tersebut. Untuk itu,

kegiatan ini terdiri dari:

a. Identifikasi Interaksi Potensial antar kegiatan ekonomi di Kawasan;

b. Identifikasi Interaksi Aktual antar kegiatan ekonomi di Kawasan;

c. Analisis Potensi dan Persoalan Interaksi antar kegiatan ekonomi di Kawasan;

d. FGD-1 tentang kebutuhan Interaksi antar kegiatan ekonomi di Kawasan;

e. Merumuskan draft rencana Pengembangan Mata Rantai yang efisien;

f. FGD-2 untuk mengkonfirmasikan rencana yang sudah disusun;

g. Merumuskan rencana akhir dan pedoman Pengembangan Mata Rantai yang

efisien; dan

h. Menyusun jurnal nasional dan internasional.

1.5.2 Wilayah Studi

Program ini dilaksanakan di Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat (lihat

Gambar 1.1), khususnya antara kawasan industri dengan kecamatan-kecamatan

yang memiliki UMKM. Kawasan industri yang dimaksud adalah: Lippo Cikarang,

MM2100, EJIP, Hyundai, Jababeka, Delta Silicon dan Bekasi Fajar International

Estate.

Kecamatan yang memiliki UMKM sebenarnya terdapat 15 kecamatan,

yaitu: Cikarang Pusat, Cikarang Utara, Cikarang Barat, Cikarang Timur, Cikarang

Selatan, Serang Baru, Setu, Kedungwaringin, Karangbahagia, Cibarusah,

Cibitung, Tambun Utara, Tambun Selatan, Babelan dan Pebayuran. Namun,

Cibarusah dan Pebayuran setelah identifikasi awal ternyata tidak memiliki

keterkaitan dengan kawasan industri.

Page 16: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-6

Ga

mb

ar

1. 2 P

eta W

ilay

ah

Stu

di

Page 17: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-7

1.6 Metodologi

Pendekatan yang digunakan untuk mengidentifikasi keterkaitan UMKM

dengan kawasan industri dilakukan dengan tiga metode, yaitu:

a. Secara hipotetis melalui pengamatan tabel input-output;

b. Melalui pengamatan industri besar; dan

c. Melalui pengamatan industri kecil menengah (UMKM).

1.6.1 Metode Pengumpulan Data

Untuk dapat melakukan analisis mengenai mata rantai produksi, perlu

dilakukan terlebih dahulu pengumpulan data dan informasi yang mendukung

melalui data sekunder, survei dan focus group discussion.

a. Data sekunder, khususnya tabel input output yang digunakan untuk

menganalisis secara hipotetis keterkaitan diperoleh dari Badan Pusat Statistik

(BPS);

b. Survei dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai kondisi mata rantai

pada saat ini sehingga dapat diproyeksikan kebutuhan mata rantai yang akan

dihubungkan. Survei terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

(i) Pemetaan awal jenis dan lokasi UMKM, merupakan penyisiran lokasi

usaha ke setiap kecamatan yang memiliki UMKM, sudah dilaksanakan

pada 26-30 April 2010;

(ii) Survei karakteristik kegiatan ekonomi UMKM yang berada di luar

kawasan, dilaksanakan pada 7-11 Juni 2010; dan

(iii) Survei karakteristik kegiatan industri besar, belum dilakanakan.

c. Focus group discussion (FGD)

(i) FGD pertama untuk mendapatkan respon dari para aktor tentang hasil

analisis di atas dan kebutuhan pengembangan mata rantai produksi

tersebut. Hasil FGD-1 ini juga berkontribusi dalam penyusunan draft

awal Rencana dan Pedoman Pengembangan Kapasitas Produksi

Kegiatan Ekonomi Skala Kecil dan Menengah. FGD ini telah

dilaksanakan pada tanggal 5 Agustus 2010 di Hotel Grand Zuri, Bekasi;

dan

(ii) FGD kedua dilaksanakan untuk mensosialisasikan rencana

pengembangan mata rantai pada tahun 2011 dan mendapat respon atas

Page 18: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-8

program yang disusun tersebut dari UKM yang akan menjadi calon

peserta program pengembangan mata rantai tersebut. Hasil FGD ini

berguna dalam pemantapan dan penetapan program pengembangan

mata rantai. FGD ini telah dilaksanakan pada tanggal 19 November

2011 di Kartini Green Restaurant, Cikarang, Bekasi.

1.6.2 Metode Analisis

Tahapan analisis yang dilakukan dalam studi ini adalah:

a. Identifikasi awal jenis kegiatan, yaitu dengan cara memproses informasi yang

diperoleh melalui pemetaan awal dan juga database yang mendukung;

b. Identifikasi interaksi aktual kegiatan ekonomi, yakni keterkaitan yang sudah

terjadi saat ini antara UMKM dengan industri besar di kawasan;

c. Identifikasi interaksi potensial kegiatan ekonomi, yakni keterkaitan antara

UMKM dengan industri di kawasan yang berpotensi dikembangkan dengan

mempertimbangkan prasyarat dari industri besar dan kapasitas UMKM; dan

d. Identifikasi potensi dan persoalan dalam pengembangan mata rantai produksi

tersebut.

Setelah mendapatkan informasi yang cukup, analisis dilakukan dengan cara:

a. Penggunaan tabel input-output (I/O) Provinsi Jawa Barat untuk melihat

keterkaitan antarsektor ekonomi untuk kemudian direfleksikan kepada sektor-

sektor ekonomi yang ada di Bekasi. Dari pengamatan ini dapat dilakukan

pemahaman awal mengenai keterkaitan sektor ekonomi di Kabupaten Bekasi.

b. Analisis kualitatif untuk mengidentifikasi pola keterkaitan industri besar,

menengah dan kecil. Analisis ini dilakukan setelah mempelajari tabel I/O,

dengan cara memproses informasi yang diperoleh dari survei untuk

mengidentifikasi keterkaitan kegiatan ekonomi tersebut. Analisis ini

mempertimbangkan kedua sisi pendekatan industri besar dan juga dari sisi

UMKM sehingga keduanya dapat dipertemukan untuk mendapatkan

gambaran keterkaitan

Proses analisis dan penyusunan rencana pengembangan dilakukan setiap

jenis/klasifikasi industri dengan asumsi setiap jenis industri memiliki karakteristik

yang berbeda sehingga harus diperlakukan secara berbeda juga. Analisis seperti

yang dijelaskan sebelumnya merupakan masukan yang sangat penting dalam

Page 19: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-9

menyusun program pengembangan kapasitas produksi UMKM dalam mendukung

kegiatan industri besar.

Gambar 1.3 Pola/Bagan Kegiatan

1.7 Program Kerja

Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun pertama program, yaitu bulan Maret

hingga Desember 2010. Alokasi waktu dan juga realisasinya secara lengkap dapat

disampaikan pada Tabel I.2 di bawah ini.

Preliminary

study Survei

FGD-1

FGD-2

Rencana dan Pedoman

Pengembangan

Tinjauan

Tabel I/O

Identifikasi

potensial

Identifikasi

awal jenis

kegiatan

Identifikasi

aktual

Potensi dan

Persoalan

Draft Awal

Rencana

Penulisan Jurnal

Page 20: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-10

Tabel I.1 Program dan Realisasi Kerja

N

o. Kegiatan

Waktu

Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 5 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5

1 Preliminary study x x x x x

2 Survei

x x

3 Analisis

a Identifikasi awal jenis kegiatan x x x x

b Interaksi aktual

keg. ekonomi x x x x x

c Interaksipotensial keg. Ekonomi x x x

d Potensi dan

persoalan x x x x x x x x

4 Penyusunan

rencana

a Draft Awal x x

x x x x x x x x x x x x

x Draft Akhir x x x x x x x x x x x

5 FGD

x

x

6

Penulisan Jurnal

Nasional dan Internasional x x x x x x x

Keterangan: Rencana

Realisasi x

Page 21: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien I-11

1.8 Sistematika Penulisan

Laporan ini terdiri dari enam bab, terdiri dari:

BAB 1 PENDAHULUAN

Dalam bab ini dipaparkan dasar pemikiran pekerjaan dan penulisan laporan

ini yang terdiri dari latar belakang, rumusan persoalan, tujuan dan sasaran, ruang

lingkup yang meliputi ruang lingkup pekerjaan dan wilayah studi, metodologi,

output dan sistematika penulisan.

BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI KETERKAITAN MATA RANTAI

PRODUKSI

Tinjauan teori yang digunakan dalam analisis dan pengambilan data dalam

pekerjaan ini terdiri dari mata rantai, pohon industri, analisis input-output dan

metode pengambilan sampel.

BAB 3 GAMBARAN UMUM USAHA INDUSTRI KECIL DAN MENENGAH

DI KABUPATEN BEKASI

Pada bab ini dipaparkan gambaran umum mengenai objek penelitian, yaitu

kawasan industri dan UMKM yang dijelaskan setiap jenis dan kegiatannya.

BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM

DENGAN KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI

Bab ini menguraikan analisis yang terdiri dari identifikasi keterkaitan

UMKM dan kawasan industri pada setiap jenis UMKM secara hipotetis melalui

tabel input-output dan juga berdasarkan hasil survei.

BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS

PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH

Bab ini menindaklanjuti hasil analisis dan penilaian atas prospek

pengembangan yang pada akhirnya disusun suatu rencana pengembangan industri

menengah tersebut. Rencana ini juga dilengkapi pedoman pengembangan yang

secara teknis akan menjadi penuntun pelaksanaan program pada tahun 2011.

BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS

PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL

Bab ini muatannya sama dengan Bab 5, hanya konteksnya untuk

pengembangan industri skala kecil.

Page 22: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-1

BAB 2 TINJAUAN TEORI MENGENAI KETERKAITAN

MATA RANTAI PRODUKSI

2.1 Keterkaitan Eknomi dan Mata Rantai Produksi

Penelitian ini dilakukan karena dengan adanya kondisi empiris bahwa

perkembangan kawasan industri cenderung membentuk enclave yang tidak memiliki

manfaat signifikan bagi wilayah sekitarnya. Ekonomi enclavemenurut Ciccantell& Smith

(2009, 362-363) didefinisikan sebagai ekonomi yang seringkali terintegrasi secara global,

tetapi terdisartikulasi secara lokal. Hal ini dapat dibuktikan dengan keterkaitannya yang

relatif erat dengan industri-industri di luar wilayahnya, dibandingkan dengan unit usaha

di wilayah sekitar.

Mata rantai produksi (supply chain) terkait dengan hal ini menjadi perhatian yang

penting dalam rangka mengubah kondisi enclave tersebut, yaitu dengan mengembangkan

keterkaitan input-output antarunit industri. Fujita dan Thisse (2008) menjelaskan bahwa

adanya suatu perusahaan baru dalam suatu wilayah jangan dipandang hanya akan

meningkatkan kompetisi dengan perusahaan yang sama, tetapi ini juga meningkatkan

pasar perusahaan-supplier hulu dan menurunkan biaya perusahaan-pelanggan hilir.

One strong contender is the presence of input–output linkages between firms: an

output of one firm can be an input for another, and vice versa. In such a case, the

entry of a new firm in a region not only increases the intensity of competition

between similar firms; it also increases the market of upstream firm–suppliers and

decreases the costs of downstream firm–customers. This is the starting point of the

well-known paper by Krugman and Venables (1995). (Fujita & Thisse 2008, 114)

Sementara itu, Twomey dan Tomkins (1996) memaparkan pentingnya keterkaitan

ekonomi dalam pengembangan wilayah yang dilakukan dalam analisis proses

pembangunan (pp. 937-938). Keterkaitan ke belakang dengan supplier lokal alami pada

input dan jasa secara tradisional ditunjukkan sebagai mekanisme trickle down dimana

perekonomian lokal dan wilayah menerima keuntungan dari suatu investasi dari dalam.

Dengan demikian, keterkaitan antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya penting

dalam pengembangan ekonomi lokal dan regional.

Konsep dasar dari keterkaitan ekonomi (economic linkage) dapat ditunjukkan

sebagai suatu transaksi. Dalam teori ekonomi, transaksi merupakan “any form of

economic organisation which involves carrying out an exchange of goods or services”

(Hobb 1996 dalam Courtney & Errington 2000, 281-282). Transaksi terdiri dari input,

output dan purchase of labour. Input maksudnya keterkaitan antara perusahaan yang

terlibat dalam pembelian barang dan jasa. Output maksudnya keterkaitan antara

perusahaan dan rumah tangga ataupun perusahaan lain yang merupakan penjualan baik

Page 23: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-2

produsen maupun konsumen barang dan jasa. Kemudian akhirnya terjadi suatu transaksi

perusahaan-rumah tangga dalam bentuk purchase of labour (p. 282). Kemudian,

keterkaitan ekonomi dapat didefinisikan sebagai berikut.

Economic linkage can therefore be summarised as a network of transactions of

varying nature which either contribute to the income generation within, or leakage’s

from, the ‘local economy’.(p. 282)

Sementara itu, mata rantai produksi (supply chain) digunakan untuk menunjukkan

keterkaitan satu divisi/perusahaan dengan perusahaan lainnya. Keterkaitan ini

ditunjukkan dengan transaksi komponen tertentu. Untuk itu, tinjauan teori mengenai mata

rantai ini erat kaitannya dengan input-output dan juga pohon industri.

2.2 Input-Output

Model I-O mencakup semua transaksi, baik pembelian maupun penjualan yang

terjadi selama kurun waktu tertentu.Model ini memberikan dasar bagi analisis yang rinci

dari hubungan antar sektor dalam suatu perekonomian. Apabila terdapat perubahan dalam

pola pembelian atau penjualan dari suatu industri, dampaknya terhadap sektor lain dapat

dihitung. Analisis tabel I-O sering disebut sebagai analisis keterkaitan antar industri

karena manfaat mendasar dari model I-O adalah untuk menganalisis ketergantungan antar

industri dalam suatu perekonomian.

Dalam kerangka model I-O, produksi suatu sektor mempunyai dua dampak

ekonomi terhadap sektor lain dalam perekonomian. Bila sektor y meningkatkan

outputnya, ini berarti akan ada kenaikan permintaan dari sektor y akan barang-barang

antara (barang modal) yang diproduksi dari sektor lain. Keterkaitan ini disebut sebagai

keterkaitan ke belakang (backward linkage) dalam model sisi permintaan, yang

menunjukkan peranan suatu sektor dalam menciptaka permintaan turunan.Sebaliknya,

kenaikan output di sektor y juga berarti tambahan jumlah produk y yang tersedia untuk

digunakan sebagai input sektor lain dalam produkdinya. Dengan kata lain, akan terjadi

kenaikan suplai dari sektor y bagi sektor lain yang menggunakan produk y dalam

produksinya. Keterkaitan ini dalam model sisi penawaran disebut keterkaitan ke depan

(forward linkage)karena menunjukkan derajat pemancaran penggunaan hasil produksi

suatu sektor sebagai input bagi sektor lain.

Tabel I-O pertama kali digunakan oleh Leontief untuk memahami bekerjanya

perekonomian modern dan perencanaan di Amerika Serikat setelah menerapkan ide dari

Tableu Economique yang dipublikasikan oleh Francois Quesnay pada tahun 1758.Albert

Hirschman (1958) adalah ekonom pertama yang mengoperasionalkan konsep keterkaitan

yang menjabarkan hubungan antara keterkaitan dengan pembangunan ekonomi. Menurut

Page 24: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-3

Hirschman, investasi memegang peranan dominan dalam pembanguna ekonomi sebagai

pencipta kapasitas, perangsang pendapatan, dan peletak landasan untuk menambah

investasi. Oleh sebab itu, strategi pembangunan yang diusulkan oleh Hirschman terutama

menekankan pada keterkaitan sebagai mekanisme untuk mendorong investasi lebih lanjut

dan memudahkan bagi penentu kebijakan mengambil keputusan untuk melakukan

investasi.

Dalam pendekatan I-O harus dipahami bahwa produksi suatu sektor tidak hanya

dipengaruhi oleh input primer, tetapi juga oleh barang dan jasa antara yang dihasilkan

oleh sektor lain dan digunakan oleh sektor tersebut sebagai input. Pendekatan ini

memungkinkan untuk mengetahui struktur ekonomi suatu negara atau daerah. Dengan

tabel I-O akan terlihat berapa output suatu sektor, berapa bagian output yang dijual ke

sektor lain sebagai bahan mentah, dan berapa yang langsung dikonsumsi oleh pengguna

akhir. Hal ini juga disebut sebagai matriks alliran I-O atau system perhitungan antar

industri (Gambar 2.

Gambar 2.)

Page 25: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-4

Gambar 2.1 Keterkaitan Ke Depan Dan Ke Belakang

Sumber : Kuncoro, 2004

Setiap masukan dalam tabel transaksi menunjukkan pembelian oleh suatu sektor

penjualan oleh suatu sektor.Istilah transaksi hanya menunjukkan transaksi ekonomi dan

tidak memasukkan transaksi financial maupun transfer, seperti pembelian atau penjualan

tanah dan bangunan.Pada dasarnya tabel transaksi dapat dibagi ke dalam 4 kuadran.

Pertama, kuadraan transaksi antara(intermediate quadrant) yang menunjukkan

keterkaitan sistem produksi.Kuadran ini disebut sebagai kuadran antar industri dan

mencerminkan saling ketergantungan antar industri dalam perekonomian. Industri

tergantung pada perusahaan lain sebagai sumber input maupun sebagai dasar outputnya.

Kedua, kuadran permintaan akhir (final demand quadrant) yang secara eksogen

ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi di luar perekonomian. Kuadran ini mencatat

penggunaan output masing-masing sektor yang langsung digunakan oleh pengguna akhir.

Contohnya, tingkat ekspor ditentukan oleh faktor-faktor di luar ekonomi suatu negara

atau daerah, pengeluaran pemerintah ditentukan oleh kebijakan fiskal, dan seterusnya.

Ketiga, kuadran input primer (primary inputs quadrant) yang menunjukkan

penggunaan input primer dalam suatu daerah atau negara. Kuadran ini mencatat input

yang masuk ke dalam sektor antara yang berasal dari luar sistem produksi, dalam arti

tidak dibeli dari perusahaan dalam perekonomian lokal (domestik). Tingkat aktivitas

sektor input primer cenderung diperlakukan secara endogen,

Tabel II.1 Input-Output

PERMINTAAN PENYEDIAAN Alokasi

Output

Page 26: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-5

Permintaan Antara Permintaan

Akhir (F) Impor

Jumlah

Output

Sektor Produksi

Input Antara Kuadran

Kuadran II Sektor 1 x11 x12 x13

Sektor 2 x12 x12 x13

Sektor 3 x13 x12 x13

Input

Primer

201

Kuadran III :

205

209

Jumlah Input 210

yakni melalui kuadran antara, pada tingkat permintaan akhir. Ini diakibatkan karena

kuadran permintaan akhir dianggap sebagai sumber utama dampak ekonomi secara

eksogen.Keempat, input primer terhadap permintaan akhir (primary inputs to final

demand) merupakan transaksi yang tidak secara langsung berkaitan dengan system

produksi regional.

2.3 Pohon Industri

Mengetahui mata rantai produksi yang optimal secara teoretis dapat dilakukan

melalui penelusuran pohon indsutri. Berikut ini diberikan tinjauan beberapa pohon

industri.

2.3.1 Pohon Industri Otomotif

Komponen otomotif terdiri dari sangat banyak ragamnya. Gambar 2.2 di bawah ini

menunjukkan komponen dari suatu mobil, sedangkan Gambar 2.3 menunjukkan

komponen sepeda motor.

Struktur

Input

Page 27: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-6

Gambar 2.2 Komponen Mobil

Sumber: http://www.automotive-online.com/articles/2007/12/functions-of-automotive-compon.html

Gambar 2.3 Komponen Sepeda Motor

Sumber: http://www.tuv.com/aus/en/category_motorcycle.html

Beberapa komponen mobil dan sepeda motor tersebut memerlukan surface

treatments. Surface treatments merupakan penanganan terhadap permukaan logam agar

tahan terhadap lingkungan, misalnya korosi. Surface treatments sendiri terdiri dari banyak

macamnya, yaitu:

1. Finishing and polishing, termasuk buffing;

2. Coatings;

a. Conversion coatings (oxidation, anodizing);

b. Thermal coatings (carburizing – flame spraying);

c. Metal coatings (electrochemical, electroless);

Page 28: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-7

d. Deposition;

i. Physical vapor deposition;

ii. Chemical vapor deposition; dan

e. Organic.

Gambar 2.4 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments

Sumber: Vetter, Barbezat, Crummenauer & Avissar 2005, 1964

Gambar 2. dan Gambar 2.menunjukkan detail surface treatmentsuntuk setiap

komponen dan kegunaannya. Dapat dilihat bahwa setiap treatment tersebut secara

spesifik memiliki tujuan tertentu untuk setiap komponen tertentu. Dengan demikian,

pekerjaan untuk produksi komponen beserta surface treatments ini begitu banyak dan

kompleks sehingga mungkin memerlukan banyak vendor yang menyokongnya.

Page 29: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-8

Gambar 2.5 Komponen Mobil yang Ditangani oleh Surface Treatments

Sumber: Vetter, Barbezat, Crummenauer & Avissar 2005, 1964

2.3.2 Pohon Industri Elektronik

Industri elektronik memiliki beberapa divisi yang secara spesifik menangani

komponen tertentu. Secara umum, mata rantai dan sistem pengerjaan industri elektronik

dapat ditampilkan sebagai berikut.

Gambar 2.6 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik

Sumber: Adexa, 4

Komponen-komponen elektronik terdiri daribeberapa jenis komponen, yaitu PCB,

semikonduktor, konektor, kabel, dan power supply.Komponen ini Komponen-komponen

tersebut kemudian dikerjakan oleh assembling division untuk digabungkan dan menjadi

produk jadi.

Page 30: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-9

a. PCB, atau printed circuit board, merupakan komponen pada barang elektronik yang

merupakan rangkaian yang menghubungkan komponen-komponen eletrik di

dalamnya menggunakan jalur konduktif;

b. Semi konduktor, merupakan komponen yang memiliki sifat dapat menghantarkan

listrik pada suhu dan kondisi tertentu;

c. Konektor, yaitu penghubung rangkaian listrik;

d. Kabel; dan

e. Power supplies, yaitu bagian yang terhubung dengan sumber arus listrik.

2.4 Analisis Hipotetis Keterkaitan Antarsektor Menurut Tabel Input-

Output

Mata rantai produksi (supply chain) secara teoretis dapat ditelusuri melalui analisis

tabel input-output nasional, provinsi maupun kabupten untuk mendapatkan gambaran

umum keterkaitan antarsektor. Analisis ini dilakukan dengan cara mengagregasikan

sektor-sektor pada tabel I-O nasional dan provinsi ke sektor-sektor industri di Bekasi.

Dengan cara deskriptif seperti ini, dapat diketahui secara teoretis sektor-sektor ekonomi

di Bekasi apakah sudah terkait sebagaiamana terkait di nasional dan provinsi.

Gambar 2.7 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Nasional

Keterangan:

MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19) Rp 244,87 T

BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 7,26 T

Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 22,16 T

PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 187,92 T

Kayu: Kayu, bambu, rotan (KLUI 13) Rp 45,20 T

Sewa: Sewa bangunan, jasa perusahaan (KLUI 30) Rp 90,59 T

MsOt

PuKiBKi

BrJdLog

Kayu BrJdLog Sewa

Logam

Logam

PuKiBKi Migas

PuKiBKi

9%

67%

11% 13% 13%

33%

59%

17%

37%

45%

Page 31: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-10

Gambar 2.8 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Provinsi

Keterangan :

MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19) Rp 85,1 T

BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 4,4 T

PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 26,8 T

Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 4,5 T

Sektor ekonomi mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya memiliki nilai

transaksi yang paling tinggi diantara sektor ekonomi lainnya, baik di lingkup Jawa Barat

dan nasional. Di lingkup Jawa Barat, sektor ekonomi ini hanya memenuhi 35% dari total

transaksi nasional. Sektor ini diyakini dapat memberikan mata rantai input output yang

lebih efisien dalam sektor ekonomi karena sektor ini membutuhkan komponen produksi

yang cukup banyak untuk membuat peralatan mesin. Untuk membuat komponen produksi

tersebut dapat menciptakan multiplier effect dan membangun hubungan antara satu

industri dengan industri lain. Sektor ekonomi Jawa Barat dapat menggunakan output yang

dihasilkan oleh industri yang di Kabupaten Bekasi sehingga tercipta dapat memenuhi

kebutuhan nasional.

Gambar 4.1 Keterkaitan Antarsektor menurut Input-Output Kabupaten

Keterangan :

MsOt: Mesin, peralatan, kendaraan, dan jasa perbaikannya (KLUI 19)

MsOt PuKiBKi

BrJdLog

BrJdLog

Logam

Logam

Migas

PuKiBKi

MsOt

6%

74%

53%

35%

25%

49%

80%

7%

PuKiBKi

MsOt MsOt

BrJdLog

PuKiBKi Migas

Logam

Logam

PuKiBKi Migas

PuKiBKi

61%

18%

24% 21%

54%

44%

19%

41%

37%

Page 32: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-11

Rp 19.4 T

PuKiBKi: Pupuk, kimia, barang dari kimia (KLUI 15) Rp 4.3 T

BrJdLog: Barang jadi dari logam (KLUI 18) Rp 5.4 T

Logam: Logam dasar (KLUI 17) Rp 1.1 T

Berdasarkan keterkaitan di atas, diketahui bahwa masih terdapat peluang untuk sektor

ekonomi di Kabupaten Bekasi agar dapat menambah kapasitas produksi sehingga bisa

didistribusikan ke sektor ekonomi lainnya, baik di skala Jawa Barat dan nasional. Hal ini

bertujuan untuk menciptakan linkages antar industri besar dengan industri kecil

menengah yang mungkin belum terhubung satu sama lain. Dengan adanya keterkaitan ini,

maka dapat tercipta hubungan saling ketergantungan dalam pemanfaatan sumber daya

lokal untuk pemenuhan skala makro.

Tabel Input-Output (I-O) digunakan sebagai data statistik secara komprehensif untuk

memperoleh gambaran tentang keterkaitan kegiatan ekonomi secara timbal balik antara

unit ekonomi yang ada di Indonesia, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bekasi. Unit

ekonomi yang berkaitan akan semakin kecil jumlahnya seiring dengan semakin

spesifiknya ruang lingkup wilayah. Secara nasional, jumlah unit ekonomi yang ada di

tabel I-O Indonesia adalah 175 unit, di Provinsi Jawa Barat terdapat 86 unit, sedangkan

untuk Kabupaten Bekasi hanya terdapat 32 unit ekonomi. Tabel I-O ini memberikan

informasi tentang transaksi barang dan jasa antar unit ekonomi tersebut dengan bentuk

matriks. Baris pada tabel I-O menunjukkan output yang dihasilkan oleh unit ekonomi dan

digunakan sebagai input untuk produksi oleh unit ekonomi lain, sedangkan kolom

menunjukkan input yang digunakan oleh masing-masing sektor ekonomi dalam proses

produksi. Analisis dengan tabel I-O ini menggunakan data dasar dari tabel I-O Kabupaten

Bekasi.Jenis industri besar yang ada di Kawasan Industri Bekasi kemudian dihubungkan

dengan unit ekonomi yang ada di masing-masing tingkatan tabel I-O.

Berdasarkan klasifikasi yang dilakukan terhadap jenis industri besar yang ada di

Kawasan Industri Bekasi diperoleh bahwa pada Tabel I-O Nasional dapat dikelompokkan

menjadi 51unit ekonomi, pada Tabel I-O Provinsi Jawa Barat dapat dikelompokkan

menjadi 32 unit ekonomi pada sektor input. Sedangkan pada tabel I-O Kabupaten Bekasi

dapat dikelompokkan menjadi 16 unit ekonomi. Unit ekonomi pada wilayah Nasional dan

Jawa Barat tersebut dikerucutkan menjadi unit ekonomi yang terdapat di Kabupaten

Bekasi. Pengelompokkan unit ekonomi tersebut dapat dilihat pada Tabel II.2.

Page 33: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien II-12

Tabel II.2

Konversi Sektor Ekonomi Jawa Barat (2003) ke Kabupaten Bekasi (2000) Berdasarkan Industri Besar

di Kawasan Industri Bekasi

Sektor Ekonomi Jabar Sektor Ekonomi Bekasi

30 Gula 11 Industri Makanan, Minuman Dan Tembakau

32 Industri Makanan Lainnya 11 Industri Makanan, Minuman Dan Tembakau

34 Industri Tekstil 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki

35 Industri Pakaian Jadi Kecuali Untuk Alas Kaki

12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki

36 Industri Kulit Dan Barang Dari Kulit Kecuali

Untuk Alas Kaki 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki

37 Industri Alas Kaki 12 Industri Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki

38 Industri Kayu, Bambu, Rotan Dan Anyaman 13 Industri Kayu, Bambu, Rotan, Dan Hasil Hutan Lainnya

39 Industri Furnitur (Termasuk Berbahan Plastik,

Besi Dan Baja) 13 Industri Kayu, Bambu, Rotan, Dan Hasil Hutan Lainnya

40 Industri Kertas, Barang Dari Kertas Dan Sejenisnya

14 Industri Kertas Dan Barang-Barang Dari Kertas. Percetakan Dan Penerbitan, Serta Barang Cetakan

41 Industri Penerbitan Dan Percetakan 14 Industri Kertas Dan Barang-Barang Dari Kertas. Percetakan

Dan Penerbitan, Serta Barang Cetakan

42 Industri Kimia Dasar Kecuali Pupuk 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi

44 Industri Kimia Dan Barang-Barang Dari

Bahan Kimia Lainnya 15

Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet,

Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi

45 Industri Pengilangan Minyak Bumi 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi

46 Industri Karet Dan Barang-Barang Dari Karet 15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet,

Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi

47 Industri Barang-Barang Dari Plastik Kecuali Furnitur

15 Industri Pupuk, Kimia, Barang-Barang Dari Kimia, Karet, Plastik Dan Pengilangan Minyak Bumi

48 Industri Gelas Dan Barang Dari Gelas 16 Industri Semen Dan Barang Bukan Logam

50 Industri Pengolahan Tanah Liat Dan Keramik 16 Industri Semen Dan Barang Bukan Logam

52 Industri Logam Dasaar Dari Besi Dan Baja

Kecuali Furnitur 17 Industri Logam Dasar

53 Industri Logam Dasar Bukan Besi Dan Baja 17 Industri Logam Dasar

54 Industri Barang Dari Logam Kecuali Mesin

Dan Perlatannya Dan Furnitur 18 Industri Barang Jadi Dari Logam

55 Industri Mesin Dan Peralatan Termasuk

Perlengkapannya 19 Industri Lainnya

56 Industri Mesin Lainnya Dan Perlengkapannya 19 Industri Lainnya

57 Industri Kendaraan Bermotor, Karoseri Dan

Perlengkapannya 19 Industri Lainnya

58 Industri Alat Angkutan Lainnya dan Jasa Perbaikannya

19 Industri Lainnya

62 Gas Kota 20 Listrik, Gas, Dan Air Bersih

65 Perdagangan 22 Perdagangan

66 Hotel 23 Hotel

67 Restoran 24 Restoran

69 Jasa Angkutan Jalan 26 Angkutan Jalan Raya

76 Real Estate Dan Usaha Persewaan Bangunan 30 Usaha Sewa Bangunan Dan Jasa Perusahaan

77 Jasa Perusahaan 30 Usaha Sewa Bangunan Dan Jasa Perusahaan

85 Jasa Perseorangan Dan Rumah Tangga 32 Jasa Sosial Dan Kemasyarakatan Serta Jasa Lainnya

Sumber : Tabel Input Output Provinsi Jawa Barat Tahun 2003 dan Kabupaten Bekasi Tahun 2000

Page 34: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-1

BAB 3 GAMBARAN UMUM KARAKTERISTIK USAHA INDUSTRI

KECIL MENENGAH DI KABUPATEN BEKASI

Penelusuran UMKM dilakukan dengan cara menyisir setiap kecamatan yang

memiliki usaha kecil dan menengah masyarakat untuk kemudian dilakukan

pemilahan UMKM yang berpotensi memiliki keterkaitan dengan industri besar di

kawasan. Pada penyisiran awal ini memang jenis UMKM yang dikumpulkan tidak

dibatasi tetapi mempertimbangkan bahwa produknya berpotensi memberikan

suplai kepada berbagai jenis industri manufaktur di kawasan, yaitu:

a. Industri otomotif,

b. Industri elektronik,

c. Industri permesinan,

d. Industri makanan,

e. Industri barang konsumem; dan

f. Industri bangunan dan material.

Dari berbagai macam UMKM yang ditemui, usaha-usaha yang berkaitan

dengan industri besar adalah fabrikasi, buffing, jasa catering, dan jasa angkutan

karyawan. Begitu pula, konveksi dan bengkel las juga memiliki keterkaitan

meskipun belum dalam intensitas yang kuat. Selain itu, UMKM limbah juga

memiliki keterkaitan ke depan dengan industri besar, yaitu pada jenis usaha palet,

pengepul besi dan pengepul limbah lainnya. Berikut ini dijelaskan karakteristik

umum UMKM yang disurvei di luar kawasan industri di Bekasi.

Page 35: Laporan Akhir GABUNG
Page 36: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-3

3.1 Fabrikasi

Fabrikasi merupakan kegiatan pengembangan mesin, struktur dan peralatan

lain dengan cara memotong, membentuk dan merakit komponen yang dibuat dari

material dasarnya. Kegiatan fabrikasi terdiri dari beberapa bagian pekerjaan,

yaitu:

a. Cutting and burning: pemotongan bahan mentah sesuai dengan ukuran yang

diperlukan menggunakan berbagai alat tertentu;

b. Forming: pembentukan logam menggunakan alat tertentu, terutama yang

sering digunakan hydraulic brake presses dengan cetakan-v;

c. Machining: UMKM dapat memiliki kapabilitas dalam machining yang terdiri

dari bubut, pabrik, bor magnetik besi dengan menggunakan mesin portabel

tertentu;

d. Welding: pengelasan, merupakan fokus utama dalam fabrikasi baja. Suku

cadang yang telah dimesin dan dibentuk akan dirakit dan dilas kemudian dicek

kembali akurasinya.

e. Final assembly: setelah dilas, logam didinginkan, diprimakan dan dicat.

Kegiatan tambahan yang diminta pelanggan diselesaikan.

UMKM fabrikasi yang ada di Bekasi memiliki kegiatan berupa jasa

pengolahan besi, perbaikan mesin dan juga menghasilkan produk berupa sparepart

dan komponen otomotif dan permesinan. Berdasarkan hasil penelusuran awal,

terdapat 41 unit usaha fabrikasi di Kabupaten Bekasi yang tersebar di 7

kecamatan. Akan tetapi, setelah dilakukan survei dari 9 sampel yang seharusnya

dituju, hanya 6 unit di antaranya yang berhasil disurvei. Dengan demikian,

terdapat error 33%.

Tabel III.1 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Fabrikasi

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

1 Kec. Babelan 0 0 - -

2 Kec. Cibitung 1 0 1(1) -

3 Kec. Cikarang Barat 5 0 1(1) -

4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -

5 Kec. Cikarang Selatan 28 0 3(3) -

6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -

Page 37: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-4

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

7 Kec. Cikarang Utara 1 0 1(0) -

8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -

9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -

10 Kec. Setu 2 0 1(1) -

11 Kec. Serang Baru 0 0 - -

12 Kec. Tambun Selatan 0 3 - 1(0)

13 Kec. Tambun Utara 1 0 1(0) -

Jumlah 38 3 8(6) 1(0)

*) Angka dalam kurung adalah realisasi pada saat survei

Gambar 3.1 Asal Pemilik UMKM Fabrikasi

Sumber: Hasil Survei, 2010

Pemilihan lokasi usaha fabrikasi ini tidak sesignifikan usaha fabrikasi yang

sama yang berada di dalam kawasan industri. Akan tetapi, pada prinsipnya sama,

yakni berkaitan dengan time delivery order dan kedekatan dengan konsumen,

yakni industri besar. Selain itu, harga lahan di luar kawasan lebih murah dan

terjangkau bagi usaha kecil dan menengah seperti ini.

Beberapa karakteristik umum UMKM fabrikasi ini ditampilkan pada dari

profil usahanya. Pada Gambar 3.1, ditunjukkan bahwa mayoritas pemilik usaha

ini berasal dari luar Jawa Barat dan bahkan tidak satu pun berasal dari Kabupaten

Bekasi. Sementara itu, pada Gambar 3.2 ditampilkan klasifikasi jumlah tenaga

kerja usaha ini. Lebih dari separuh UMKM ini merupakan usaha menengah

dengan jumlah tenaga kerja lebih besar daripada 20 orang.

0%

14%

86%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 38: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-5

Gambar 3.2 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi

Sumber: Hasil Survei, 2010

Gambar 3.3 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Fabrikasi

Sumber: Hasil Survei, 2010

Tenaga kerja usaha ini mayoritas berasal dari luar Jawa Barat (69%),

sedangkan yang berasal dari Bekasi hanya 30% dan sisanya hanya 1% dari

wilayah Jabar selain Bekasi. Usaha fabrikasi sudah menggunakan teknologi yang

cukup tinggi. Mesin-mesin yang digunakan merupakan modal utama dalam

menggerakkan usaha. Modal awal yang diperlukan untuk pendirian usaha ini

diperlukan untuk pengadaan mesin. Besarnya beraneka ragam tergantung skala

usaha dan jenis mesin yang diadakan, berkisar antara Rp60.000.000,00 hingga

Rp600.000.000,00. Sementara itu, omzet usaha fabrikasi ini bervariasi juga sesuai

skala produksinya mulai Rp20.000.000,00 hingga Rp1,5 milyar perbulan.

Umumnya nilai omzet ini meningkat sejak awal pendirian usaha seiring dengan

peningkatan kapasitas produksinya. Hanya saja, secara umum kenaikan kapasitas

produksi tersebut tidak dapat didefinisikan secara eksak karena pekerjaan

didapatkan berdasarkan order, berkisar antara 10-50 unit perminggu.

Faktor yang mendorong perkembangan usaha ini adalah adalah pemenuhan

kualitas, kuantitas, dan teknologi dan juga koneksi dengan industri besar

(channel). Faktor yang menghambat perkembangan usaha pada umumnya

0%

43%

57% 1-4

5-19

20-99

30%

1%

69%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 39: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-6

berkaitan dengan permodalan dan juga kapasitas produksi sehingga kadangkala

mengalami kesulitan dalam memenuhi waktu penyelesaian (time order).

3.2 Buffing

Buffing merupakan bagian dari kegiatan surface treatments. Buffing

termasuk kategori polishing and finishing dalam surface treatments, yang relatif

memiliki teknologi yang lebih sederhana dibandingkan dengan coatings.

a. Finishing and polishing, termasuk buffing;

b. Coatings terdiri dari

(i) Conversion Coatings (oxidation, anodizing);

(ii) Thermal Coatings (carburizing – flame spraying);

(iii) Metal Coatings (electrochemical, electroless);

(iv) Deposition;

Physical Vapor Deposition

Chemical Vapor Deposition

(v) Organic.

Gambar 3.4 Asal Pemilik UMKM Buffing

Sumber: Hasil Survei, 2010

Survei pada awalnya diharapkan dapat dilakukan terhadap 4 unit usaha

buffing yang ditemukan pada pemetaan awal, tetapi ternyata survei hanya berhasil

dilakukan terhadap 2 unit usaha. Hal ini disebabkan unit usaha lainnya tidak

bersedia dan tidak ditemukan lagi.

0% 0%

100%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 40: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-7

Tabel III.2 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Buffing

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

1 Kec. Babelan 0 0 - -

2 Kec. Cibitung 0 0 - -

3 Kec. Cikarang Barat 3 0 3(2) -

4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -

5 Kec. Cikarang Selatan 0 0 - -

6 Kec. Cikarang Timur 0 1 - 1(0)

7 Kec. Cikarang Utara 0 0 - -

8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -

9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -

10 Kec. Setu 0 0 - -

11 Kec. Serang Baru 0 0 - -

12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -

13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -

Jumlah 3 1 3(2) 1(0)

*) Angka dalam kurung adalah realisasi pada saat survey

Berdasarkan hasil survei, usaha buffing di luar kawasan industri

dikembangkan oleh pemilik yang 100% berasal dari luar kawasan (Gambar 3.4).

Dengan mayoritas ukuran usaha menengah (jumlah pekerja 20-99 orang), tenaga

kerjanya mayoritas berasal dari luar Jabar (57%). Sementara itu, 34% berasal dari

dalam Bekasi dan sisanya dari kota lain di Jabar.

Gambar 3.5 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing

Sumber: Hasil Survei, 2010

0%

33%

67%

1-4

5-19

20-99

Page 41: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-8

Gambar 3.6 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Buffing

Sumber: Hasil Survei, 2010

Pemilihan lokasi usaha buffing, sama dengan usaha fabrikasi, ini tidak

sesignifikan usaha yang sama yang berada di dalam kawasan industri. Akan

tetapi, pada prinsipnya sama, yakni berkaitan dengan time delivery order dan

kedekatan dengan konsumen, yakni industri besar. Selain itu, harga lahan di luar

kawasan lebih murah dan terjangkau bagi usaha kecil dan menengah seperti ini.

Kendati buffing memiliki teknologi yang lebih rendah dibandingkan dengan

buffing, kebutuhan permodalan awal diperlukan untuk pengadaan peralatan mesin

gerinda berkisar Rp75.000.000,00 hingga Rp200.000.000,00. Omzet kegiatan

buffing relatif tinggi dan tetap bergantung kepada skala usaha, berkisar antara

Rp60.000.000,00 hingga Rp500.000.000,00 perbulan. Faktor yang menentukan

perkembangan usaha pada umumnya berkaitan dengan pemenuhan kualitas dan

ketepatan waktu pengiriman. Sementara itu, faktor yang menghambat secara

umum berkaitan dengan permodalan.

3.3 Bengkel Las

Kegiatan bengkel las pada umumnya melayani kebutuhan masyarakat

langsung, seperti pagar, teralis, rolling door, dan lain-lain. Beberapa bengkel las

menunjukkan potensi untuk berpartisipasi dalam bidang machinery (fabrikasi).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pengelasan merupakan bagian proses yang

penting dalam fabrikasi.

34%

9%

57%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 42: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-9

Gambar 3.7 Asal Pemilik UMKM Bengkel Las

Sumber: Hasil Survei, 2010

Jumlah UMKM bengkel las yang dipetakan pada survei awal adalah

sebanyak 249 unit usaha. Namun, pada saat survey hanya 24 responden di

antaranya yang berhasil disurvei. Dengan demikian, tingkat galatnya adalah 7,7%.

Tabel III.3 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Bengkel Las

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

1 Kec. Babelan 36 0 4 -

2 Kec. Cibitung 11 0 1 -

3 Kec. Cikarang Barat 32 0 3 -

4 Kec. Cikarang Pusat 6 0 1 -

5 Kec. Cikarang Selatan 10 0 1 -

6 Kec. Cikarang Timur 9 0 1 -

7 Kec. Cikarang Utara 30 0 3 -

8 Kec. Karangbahagia 7 0 1 -

9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -

10 Kec. Setu 23 0 2 -

11 Kec. Serang Baru 16 0 2 -

12 Kec. Tambun Selatan 40 0 4 -

13 Kec. Tambun Utara 29 0 3 -

Jumlah 249 0 26 (24) 0

Terdapat keunikan dari usaha bengkel las di Bekasi, yaitu asal pemilik dan

tenaga kerjanya yang kebanyakan dari Ciamis, Jawa Barat. Mayoritas usaha

bengkel las berskala mikro yakni memiliki tenaga kerja kurang dari 5 orang.

Banyak di antaranya digerakkan sebagai usaha keluarga. Hal ini merefleksikan

29%

58%

13%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 43: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-10

kapasitas produksi yang relatif rendah dan hanya melayani konsumsi langsung

masyarakat.

Gambar 3.8 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las

Sumber: Hasil Survei, 2010

Gambar 3.9 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Bengkel Las

Sumber: Hasil Survei, 2010

Pemilihan lokasi usaha secara umum tidak berkaitan dengan keberadaan

kawasan. Mereka mengadakan usaha ini karena dekat dengan tempat tinggal,

memanfaatkan tempat yang dimiliki atau sewa karena memang usaha bengkel las

kebanyakan melayani kebutuhan rumahan.

Permodalan yang dibutuhkan untuk usaha bengkel las dapat mencapai

Rp200.000.000,00 untuk usaha skala yang relatif besar. Omzet usaha bengkel las

sangat beraneka ragam. Usaha bengkel las skala rumahan memperoleh omzet

sekitar Rp10.000.000,00 perbulan, sementara bengkel las machinery bisa meraih

omzet hingga Rp500.000.000,00. Teknologi yang digunakan pun berbeda untuk

setiap jenis bengkel las tersebut, terutama mesin las yang digunakan. Pada saat ini

masih ada yang masih menggunakan las karbit, sementara lainnya menggunakan

las trafo (listrik).

96%

4% 0%

1-4

5-19

20-99

18%

52%

30%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 44: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-11

3.4 Jasa Catering

Jasa catering yang dimaksud adalah catering untuk konsumsi

pegawai/pekerja di industri besar secara kolektif. Jasa yang biasa digunakan

adalah makan siang lengkap (nasi, lauk, buah) dengan paket sesuai harga tertentu.

Usaha catering di Bekasi mayoritas digerakkan oleh pemilik dan pekerja yang

berasal dari luar Jabar. Skala usaha kebanyakan adalah usaha menengah. Untuk

dapat menjadi supplier catering pada industri besar, usaha catering ini harus

mengajukan proposal penawaran kepada industri.

Tabel III.4 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Catering

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

1 Kec. Babelan 0 0 - -

2 Kec. Cibitung 0 0 - -

3 Kec. Cikarang Barat 1 3 1 1

4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -

5 Kec. Cikarang Selatan 3 0 1 -

6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -

7 Kec. Cikarang Utara 7 0 1 -

8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -

9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -

10 Kec. Setu 1 0 1 -

11 Kec. Serang Baru 0 0 - -

12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -

13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -

Jumlah 12 3 4(4) 1(1)

Berdasarkan hasil survei awal, ditemukan 15 unit usaha catering untuk

industri yang kemudian ditentukan 5 sampel yang dipilih untuk survei. Kelima

responden tersebut 100% berhasil disurvei.

Page 45: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-12

Gambar 3.10 Asal Pemilik UMKM Catering

Sumber: Hasil Survei, 2010

Usaha catering seperti ini memiliki kapasitas produksi 150 hingga 2.000

porsi perhari dengan harga paket Rp5.000,00 hingga Rp10.000,00 perporsi. Faktor

yang mendorong usaha ini adalah secara umum terdiri dari keberlanjutan

permintaan, promosi, pemenuhan kualitas dan kuantitas. Sementara itu,

penghambat usaha dapat disenaraikan, yaitu kualitas prasarana, adanya banjir,

hambatan modal dan harga, soal perizinan dan juga lokasi/tempat usaha.

Gambar 3.11 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering

Sumber: Hasil Survei, 2010

Gambar 3.12 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Catering

Sumber: Hasil Survei, 2010

Asal pemilik usaha catering mayoritas berasal dari luar Jawa Barat (60%)

dan hanya masing-masing 20% berasal dari dalam Bekasi dan Jabar. Usaha

20%

20% 60%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

0%

40%

60%

1-4

5-19

20-99

24%

9% 67%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 46: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-13

catering ini sudah mulai mengarah ke skala usaha menengah-besar yang bertenaga

kerja lebih daripada 20 orang. Sementara itu, tenaga kerja usaha catering ini

berasal dari 67% luar Jabar, 24% dalam Bekasi dan sisanya luar Bekasi.

3.5 Jasa Angkutan Karyawan

Jasa angkutan yang dimaksud adalah jasa antar-jemput karyawan dari poin

tertentu ke lokasi pabrik dan sebaliknya sesuai dengan kontrak yang disepakati.

Moda yang digunakan dalam jasa angkutan karyawan beraneka ragam mulai

ukuran bus hingga elf. Sama seperti jasa catering, untuk dapat memberikan jasa

kepada industri besar usaha jasa angkutan ini harus mengajukan proposal

penawaran untuk mendapatkan kontrak jangka waktu tertentu.

Pada survei yang dilakukan, sebenarnya hanya ada 2 UMKM yang

diwawancara. Hanya satu di antaranya, yaitu CV Mulia Mekar, yang memiliki

keterkaitan dengan industri besar di kawasan industri. Kendaraan antar-jemput

yang digunakan pada ummnya berukuran minibus. Menurut hasil observasi di

kawasan, sebenarnya ada juga perusahaan yang menggunakan jasa angkutan bus

untuk antar-jemput karyawan. Jenis industri yang dilayani jasa angkutan beragam

dan tidak terbatas pada jenis industri tertentu. Hanya saja, karakteristik

industrinya biasanya memiliki banyak tenaga kerja (labour extensive).

Armada yang digunakan sebagai sarana usaha ini diadakan dengan sistem

rekanan. Jadi, orang-orang menginvestasikan mobil atau modal kepada pemilik

usaha dan secara berkala bagi hasil diberikan dengan rasio tertentu, misalnya

40:60. Langkah yang harus dilakukan untuk mendapatkan customer (industri

besar) adalah dengan pengajuan proposal yang berisi penawaran kontrak kerja

sama. Kontrak itu sendiri biasanya dilakukan dan dievaluasi setiap setahun. Selain

harus menyiapkan proposal, jasa angkutan juga harus menyiapkan kelengkapan

termasuk NPWP, surat izin usaha dan akte perusahaan.

3.6 Konveksi

Kegiatan konveksi pada umumnya menghasilkan pakaian jadi. Dalam

kegiatan industri besar, konveksi dapat menyuplai seragam kerja sesuai dengan

standar keamanan diri pada industri terkait. Hanya saja, pada saat ini kegiatan

Page 47: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-14

konveksi di Bekasi masih belum banyak memiliki keterkaitan dengan industri

besar, melainkan masih memproduksi untuk barang konsumsi.

Tabel III.5 Jumlah Unit Usaha dan Sampel Usaha Konveksi

No. Kecamatan Jumlah UMKM Jumlah Sampel*

(dengan tenaga kerja) ≤20 20-100 ≤20 20-100

1 Kec. Babelan 0 0 - -

2 Kec. Cibitung 0 0 - -

3 Kec. Cikarang Barat 1 3 1 1

4 Kec. Cikarang Pusat 0 0 - -

5 Kec. Cikarang Selatan 3 0 1 -

6 Kec. Cikarang Timur 0 0 - -

7 Kec. Cikarang Utara 7 0 1 -

8 Kec. Karangbahagia 0 0 - -

9 Kec. Kedungwaringin 0 0 - -

10 Kec. Setu 1 0 1 -

11 Kec. Serang Baru 0 0 - -

12 Kec. Tambun Selatan 0 0 - -

13 Kec. Tambun Utara 0 0 - -

Jumlah 12 3 4 1

Berdasarkan hasil survei awal, terdapat 15 unit usaha konveksi di

Kabupaten Bekasi. Dari jumlah tersebut diambil 5 sampel untuk disurvei dan

semuanya berhasil disurvei.

Gambar 3.13 Asal Pemilik UMKM Konveksi

Sumber: Hasil Survei, 2010

Usaha konveksi ini dikembangkan oleh pemilik yang 100% berasal dari luar

Jabar, sementara proporsi asal tenga kerja yang hampir sama dari Bekasi, dalam

Jabar dan luar Jabar. Usaha ini kebanyakan berskala kecil dengan pekerja kurang

20 orang yaitu 83%, sedangkan 17% sisanya bahkan masih berskala mikro. Selain

0% 0%

100%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 48: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-15

itu, asal tenaga kerjanya hampir merata antara dalam Bekasi, dalam Jabar dan luar

Jabar, yaitu sekitar 30%. Tenaga kerja luar Jabar mendominasi sedikit pada

proporsi 39% sementara dalam Bekasi dan Jabar masing-masing 30 dan 31%.

Gambar 3.14 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi

Sumber: Hasil Survei, 2010

Gambar 3.15 Jumlah Tenaga Kerja UMKM Konveksi

Sumber: Hasil Survei, 2010

3.7 Palet

Palet merupakan salah satu komoditas usaha masyarakat yang jumlahnya

cukup banyak ditemukan di Kabupaten Bekasi (Gambar 3.16). Palet sebagai salah

satu barang limbah yang dihasilkan oleh industri yang kemudian diolah kembali

oleh UMKM. Palet berfungsi sebagai kemasan dan melindungi komoditas yang

biasanya digunakan untuk barang-barang kargo atau komoditas internasional agar

tidak mengalami kerusakan ketika barang didistribusikan. Palet dapat terbuat dari

kayu dan plastik yang dirakit berbentuk sebuah balok kayu. Bagian bawah dari

palet kayu terdiri atas dasar dan kaki kemasan yang biasanya berbentuk datar dan

terbuat dari papan yang tersusun teratur dan memiliki jarak tertentu. Berdasarkan

hasil penelusuran usaha di Kabupaten Bekasi diperoleh sekitar 221 usaha palet

yang tersebar di 10 kecamatan di Kabupaten Bekasi kecuali di kecamatan

Cibarusah, Cikarang Pusat, Cikarang Timur, Pebayuran, dan Tambun Utara.

Persebaran usaha palet di Kabupaten Bekasi dapat dilihat pada Tabel III.6.

17%

83%

0%

1-4

5-19

20-99

30%

31%

39%

Bekasi

Kab/Kota Lain diJabar selain Bekasi

Luar Jabar

Page 49: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-16

Gambar 3.16 Komoditas Palet

Sumber : Hasil Survei, 2010

Tabel III.6 Persebaran Usaha Palet dan Jumlah Sampel Survei

Di Kabupaten Bekasi

Kecamatan Jumlah Usaha Palet Jumlah Usaha Palet

Kec. Babelan 4 1

Kec. Cibitung 10 1

Kec. Cikarang Barat 37 4

Kec. Cikarang Selatan 11 1

Kec. Cikarang Utara 47 5

Kec. Karangbahagia 11 1

Kec. Kedungwaringin 91 9

Kec. Setu 4 1

Kec. Serang Baru 2 1

Kec. Tambun Selatan 4 1

Total 221 25 Sumber : Hasil Survei Primer, 2010

Dari jumlah ini diambil sampel 25 usaha palet yang tersebar di 10

kecamatan di atas sehingga di setiap kecamatan memiliki perwakilan usaha palet

minimal 1 UMKM dan tergantung dari proporsi usaha palet yang ditemukan

sebelumnya. Berikut jumlah sampel usaha palet yang dapat dilihat pada Tabel

III.6. Berdasarkan survei yang telah dilakukan terhadap pelaku usaha palet di

Kabupaten Bekasi, hanya 21 usaha palet yang dapat disurvei sehingga tingkat

error yang dihasilkan adalah 16% dari sampel yang telah dilakukan. Pada

umumnya pemilikusaha palet berasal dari Madura yang sudah tinggal di

Kabupaten Bekasi, seperti yang terlihat pada Gambar 3.17. Pemilik usaha palet

Page 50: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-17

yang berasal dari Madura ini pada umumnya beraglomerasi di suatu tempat

seperti di sepanjang jalan Cikarang-Karawang yang terdapat di Kecamatan

Kedungwaringin.

Gambar 3.17 Asal Pemilik Usaha Palet Di Kabupaten Bekasi

Sumber : Hasil Survei Primer, 2010

Di kecamatan tersebut terdapat lebih dari 10 usaha palet yang beraglomerasi

dan cenderung didominasi oleh masyarakat Madura. Para pengusaha palet

memilih berlokasi di kawasan tersebut karena memiliki kemudahan akses ke jalan

utama yang menguhubungkan dua kabupaten serta kemudahan dalam distribusi

barang baik dari industri yangmenghasilkan limbah palet maupun dari UMKM

palet ke pembeli. Selain itu, pengusaha palet lainnya memilih lokasi usaha karena

dekat dengan industri sehingga memudahkan akses untuk memperoleh limbah

palet tersebut dari industri.

Usaha palet ada yang sudah berjalan lebih dari 10 tahun yaitu sejak tahun

1997 tetapi terdapat juga pengusaha palet yang baru memulai usaha ini pada tahun

2010. Rata-rata usaha palet ini sudah berjalan selama 6 tahun dengan rata-rata

tenaga kerja sebanyak 6 orang di setiap usaha palet. Jumlah tenaga kerja ini

mengindikasikan kriteria kegiatan palet. Berdasarkan kriteria jumlah tenaga kerja

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah yang dikeluarkan oleh BPS, maka usaha palet

di Kabupaten Bekasi dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis, yang dapat

dilihat pada Gambar 3.18. Pada umumnya, usaha palet yang ada di Kabupaten

Bekasi merupakan usaha mikro yang memiliki tenaga kerja 1-4 orang. Bagi

Madura Jawa Timur

Jawa Tengah Jakarta

Page 51: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-18

pengusaha palet yang berasal dari Madura, para pekerjanya juga berasal dari

Madura karena pemilik usaha akan mengajak teman atau saudara yang berasal

dari daerah yang sama. Walaupun demikian, masyarakat lokal juga ada yang

bekerja di usaha ini. Karena sebagian besar usaha palet merupakan usaha mikro

maka usaha palet ini juga disebut sebagai usaha rumah tangga dan anggota

keluarga merangkap sebagai tenaga kerja dalam usaha tersebut. Berdasarkan hasil

survei di Bekasi juga diperoleh keterangan bahwa palet tidak hanya dibuat palet

bekas dan tidak hanya terbuat dari kayu tetapi juga dapat dibuat dari kayu baru

dan plastik yang disebut sebagai palet plastik.

Gambar 3.18 Klasifikasi UMKM Menurut Jumlah Tenaga Kerja

Sumber : Hasil Survei Primer, 2010

3.8 Pengepul Limbah Plastik, Besi dan Limbah Lainnya

Barang-barang rongsokan seperti besi, plastik, karton dan barang lainnya

tetap menjadi komoditas perdagangan yang memberikan peluang usaha dan

keuntungan kepada pemilik usaha. Komoditas limbah logam yang paling banyak

ditemui adalah logam besi tua yang berupa potongan. Selain itu, pengusaha

limbah juga menjual beberapa jenis limbah lainnya seperti kardus bekas, botol

aqua, plastik yang dipisahkan menurut warnanya serta kertas-kertas bekas. Usaha

limbah besi dan plastik merupakan usaha yang juga banyak ditemui di Kabupaten

Bekasi selain usaha palet. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap usaha

Usaha Mikro Usaha Kecil

Usaha Menengah

Page 52: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-19

limbah ini, maka diketahui persebaran kegiatan ini dapat dilihat pada Tabel

III.2.3.

Usaha pengepul besi tua dan logam yang terbanyak terdapat di Kecamatan

Cikarang Barat dan Cikarang Selatan. Sedangkan pengepul limbah yang berupa

barang bekas banyak terdapat di Kecamatan Cikarang Utara dan Cikarang Barat.

Namun, tidak semua kecamatan di Kabupaten Bekasi memiliki UMKM pengepul

limbah ini seperti di Kecamatan Cikarang Pusat dan Tambun Utara yang tidak

memiliki UMKM

Tabel III.7 Persebaran UMKM Pengepul Besi Tua Dan Logan Serta Pengepul

Limbah di Kabupaten Bekasi

No Nama Kecamatan

Pengepul Besi

Tua dan

Logam

Pengepul Limbah

(Barang Bekas)

Lainnya

≤ 20 ≤ 20 21-100

1 Kec. Babelan 3 6 0

2 Kec. Cibitung 16 36 0

3 Kec. Cikarang Barat 74 61 0

4 Kec. Cikarang Pusat 0 2 0

5 Kec. Cikarang Selatan 45 20 0

6 Kec. Cikarang Timur 2 8 0

7 Kec. Cikarang Utara 8 87 0

8 Kec. Karangbahagia 0 26 0

9 Kec. Kedungwaringin 4 2 0

10 Kec. Setu 17 4 0

11 Kec. Serang Baru 7 4 0

12 Kec. Tambun Selatan 9 14 1

13 Kec. Tambun Utara 0 18 0

TOTAL 187 289 1 Sumber :Hasil Survei Primer PHKI, 2010

Tabel III.8 Survei Sampel UMKM Besi Tua, Logam Dan Barang Bekas Di Kabupaten

Bekasi

No Nama Kecamatan

Pengepul Besi

Tua Dan

Logam

Pengepul Limbah

(Barang Bekas)

Lainnya

≤ 20 ≤ 20 21-100

1 Kec. Babelan 1 1 -

2 Kec. Cibitung 2 4 -

Page 53: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-20

No Nama Kecamatan

Pengepul Besi

Tua Dan

Logam

Pengepul Limbah

(Barang Bekas)

Lainnya

≤ 20 ≤ 20 21-100

3 Kec. Cikarang Barat 7 6 -

4 Kec. Cikarang Pusat - 1 -

5 Kec. Cikarang Selatan 5 2 -

6 Kec. Cikarang Timur 1 1 -

7 Kec. Cikarang Utara 1 9 -

8 Kec. Karangbahagia 1 3 -

9 Kec. Kedungwaringin 1 1 -

10 Kec. Setu 2 1 -

11 Kec. Serang Baru 1 1 -

12 Kec. Tambun Selatan 1 1 1

13 Kec. Tambun Utara - 2 -

Total 23 33 1 Sumber :Hasil Analisis PHKI, 2010

Pengepul besi tua dan logam. Antara pengepul besi tua dan logam dengan

pengepul barang bekas lainnya tidak dapat dipisahkan karena kedua jenis usaha

ini mengumpulkan barang yang sama namun berbeda dalam kuantitas barang

yang diperdagangkan. UMKM pengepul limbah besi dan logam serta UMKM

pengepul barang bekas merupakan jenis UMKM kecil yang memiliki tenaga kerja

kurang dari 20 orang. Berdasarkan jumlah UMKM ini akan diambil beberapa

sampel untuk diwawancarai terkait mata rantai produksi yang dapat dilihat pada

Tabel III.2.4. Setiap kecamatan minimal memiliki satu UMKM yang mewakili

kecamatan tersebut sehingga total sampel untuk pengepul limbah adalah 57

UMKM. Berdasarkan hasil survei pengepul limbah di Bekasi, maka UMKM yang

berhasil di survei adalah sebanyak 41 usaha dengan rincian 23 UMKM pengepul

besi tua dan logam serta 18 UMKM pengepul limbah.

Sama seperti UMKM palet, usaha pengepul limbah ini juga didominasi oleh

masyarakat Madura. Sekitar 51 persen dari total responden yang disurvei berasal

dari Madura sedangkan 49 persen lainnya berasal dari luar dan dalam Kabupaten

Bekasi dengan rincian pada Gambar 3.19. Berdasarkan hasil survei ini diketahui

bahwa untuk usaha pengepulan limbah pada umumnya didominasi oleh

masyarakat Madura yang bertempat tinggal di Kabupaten Bekasi. UMKM

pengepul limbah ini berlokasi tersebar di Kabupaten Bekasi tidak seperti pengepul

Page 54: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-21

limbah palet yang lebih memilih untuk beraglomerasi di suatu tempat. Rata-rata

UMKM pengepul limbah ini sudah berdiri selama tujuh tahun dengan usaha yang

paling lama berjalan sejak tahun 1991. Sebagian besar lokasi usaha yang dijadikan

tempat mengumpulkan limbah juga memiliki fungsi sebagai tempat tinggal.

Gambar 3.19 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Logam Dan Besi Tua

Sumber : Hasil Survei, 2010

Gambar 3.20 Daerah Asal Pemilik UMKM Pengepul Limbah Plastik

Sumber : Hasil Survei, 2010

Pemilihan lokasi usaha pengepul limbah juga dikarenakan dekat dengan

akses jalan dan industri sehingga memperkecil biaya produksi. Para pengusaha

juga mencari lokasi usaha yang berjauhan dengan usaha yang sejenis agar tidak

terjadi persaingan harga satu sama lain.

Rata-rata tenaga kerja keseluruhan UMKM kedua pengepul limbah ini

adalah 5 orang dengan jumlah tenaga kerja UMKM pengepul limbah plastik dan

70%

9%

4% 4%

13% Madura

Bekasi

Purbalingga

Pemalang

Surabaya

28%

50%

11%

5% 6%

Madura

Bekasi

Cirebon

Lampung

Karawang

Page 55: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien III-22

lainnya lebih banyak daripada pengepul logam dan besi tua. Hal ini disebabkan

karena UMKM pengepul logam dan besi tua merupakan kriteria UMKM rumah

tangga yang mengumpulkan besi dari pengepul keliling dan menjualnya kembali

ke konsumen seperti ke pengepul yang lebih besar secara langsung. Sedangkan

UMKM pengepul limbah plastik dan lainnya lebih banyak termasuk dalam

UMKM kecil bahkan ada yang sudah memiliki tenaga sebanyak 30 orang yang

sudah tergolong ke dalam usaha menengah. Asal tenaga kerja juga dipengaruhi

oleh asal pemilik UMKM. Seperti yang terlihat pada Gambar 3.20 diatas, pemilik

UMKM pengepul logam dan besi tua sebagian besar berasal dari Madura. Hal ini

juga diikuti oleh asal tenaga kerja pada UMKM ini yang lebih banyak didominasi

oleh masyarakat Madura, sedangkan tenaga kerja UMKM pengepul limbah plastik

sebagin besar berasal dari masyarakat lokal tempat usaha itu berlokasi.

Page 56: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-1

BAB 4 ANALISIS KETERKAITAN AKTUAL DAN POTENSIAL UMKM

DENGAN KAWASAN INDUSTRI DI BEKASI

4.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Usaha Kecil-Menengah dengan

Kawasan Industri

Pada subbab ini akan dijelaskan keterkaitan ke depan dan ke belakang

UMKM. Analisis akan dipaparkan secara spasial dan juga komponennya.

Pemaparan karakteristik ini tidak komprehensif karena tidak spesifik membahas

satu sektor industri besar. Pembahasan mengenai hal ini disampaikan pada subbab

selanjutnya.

Gambar 4.1 Jenis Keterkaitan UMKM dengan Industri Besar

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Secara umum dan awal, dapat dijelaskan bahwa keterkaitan IKM dengan

kegiatan manufakturing dapat digambarkan terdiri dari tiga jenis, yaitu:

a. Keterkaitan input-output, yaitu IKM yang berperan menyuplai komponen

produksi industri terkait, misalnya fabrikasi, coatings, buffing;

b. Keterkaitan komponen pendukung (supporting), yaitu IKM tidak berperan

langsung dalam menghasilkan komponen/produk, tetapi berperan mendukung

proses produksi itu berlangsung termasuk barang modal permesinan, misalnya

fabrikasi/machinery, palet dan kardus; dan

Page 57: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-2

c. Keterkaitan komponen jasa, yaitu IKM yang menyokong kegiatan manufaktur

dalam penyediaan jasa penunjang yang bersifat outsourcing, misalnya

catering, konveksi, jasa angkutan dan water treatment.

4.2.1 Karakteristik Keterkaitan Aktual Input-Output

Usaha kecil-menengah yang termasuk kedalam mata rantai input output

adalah fabrikasi, buffing dan bengkel las. Dalam hal ini, bengkel las memang

belum secara intensif menunjukkan keterkaitan yang kuat pada komponen

produksi mana dalam mata rantai, tetapi dalam analisis ditinjau potensi

keterkaitannya dalam keterkaitan input-output tersebut.

1. Fabrikasi

Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, fabrikasi beraneka ragam

jenis aktivitas dan produknya, termasuk jasa machining dan cutting. Fabrikasi

pada dasarnya menggunakan bahan dasar besi untuk membuat berbagai macam

produk suku cadang dan mesin dengan menggunakan peralatan dan teknologi

tertentu. Gambar 4.5 mengilustrasikan keterkaitan ke depan dan belakang UMKM

fabrikasi di Bekasi. Dalam gambar tersebut ditunjukkan bahwa UMKM fabrikasi

sudah memiliki keterkaitan dengan kawasan industri baik ke depan maupun ke

belakang. Angka persentase menunjukkan proporsi barang (bahan baku atau

produk) yang terdistribusikan.

Kebanyakan bahan baku diperoleh dari luar Bekasi, yaitu sebanyak 59%,

sedangkan sisanya 14% berasal dari luar kawasan (masih dalam Kabupaten

Bekasi) dan 27% berasal dari kawasan industri. Secara umum, supplier bahan

baku tersebut berupa toko material. Sistem pembelian bahan baku dilakukan

secara individual; ada juga yang dilakukan dengan pasokan. Pembayarannya

dilakukan dengan tunai, ada juga yang menggunakan tempo tertentu sesuai

dengan jangka waktu produksi.

Page 58: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-3

Gambar 4.2 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Fabrikasi

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Dari Gambar 4.2 di atas juga ditunjukkan bahwa 44% produk usaha

fabrikasi didistribusikan ke dalam kawasan industri. Sementara itu, sisanya 34%

didistribusikan ke luar kawasan di dalam Bekasi dan 22% ke luar Bekasi. Adapun

jenis industri besar yang terkait dengan usaha fabrikasi ini adalah terutama

otomotif dan permesinan. Karena kapasitasnya yang juga mampu memberikan

jasa machinery, usaha fabrikasi juga potensial untuk memberikan jasa pada

berbagai jenis industri terkait dengan perawatan mesinnya, seperti industri

makanan, tekstil dan elektronik.

Keterkaitan ke depan dengan kawasan industri menunjukkan jenis pekerjaan

jasa (subkon) dari industri besar untuk pengadaan komponen atau perbaikan

mesin. Pada kegiatan lain pola hubungannya individual atau pemasok saja, yaitu

dengan produk sparepart tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa lingkup pekerjaan

dari usaha fabrikasi begitu beragam sesuai dengan spesialisasi dan produknya.

Ada yang hanya menyediakan jasa perbaikan mesin atau penghantaran, ada juga

yang memproduksi komponen tertentu. Hal ini dapat diilustrasikan dengan

gambar berikut.

Page 59: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-4

Gambar 4.3 Keterkaitan UMKM Fabrikasi dengan Industri Besar

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Keterkaitan ke depan yang dijelaskan sebelumnya, tidak hanya terjadi

dengan industri besar, tetapi juga dengan industri menengah. Karena itu, pola

hubungannya dapat berupa hubungan horisontal sesama industri kecil/menengah.

Hal ini dilakukan untuk berbagi pengerjaan produk tertentu yang tidak dapat

dilakukan sendiri karena keterbatasan kapasitas produksi. Adapun transaksi

tersebut biasanya dilakukan pertransaksi sebagaimana jual-beli biasa saja tanpa

kontrak. Hal ini karena industri tersebut bukan vendor dari industri besar

langsung, melainkan subkon dari vendor tersebut.

Gambar 4.4 Ilustrasi Kerja Sama Horisontal IKM Fabrikasi

Sumber: Hasil Analisis, 2010

2. Buffing

Buffing, seperti yang dijelaskan sebelumnya, merupakan bagian dari

aktivitas surface treatments. Buffing terkait dengan aktivitas finishing dalam

pengolahan komponen logam. Buffing pada dasarnya dapat mendukung industri

Industri

Besar

IKM IKM IKM

Industri

Besar

Page 60: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-5

otomotif, elektronik, permesinan maupun industri lainnya yang menggunakan

komponen logam.

Pola keterkaitan mata rantai buffing cukup kompleks karena posisinya

sebagai subkon dari perusahaan lain. Posisinya adalah sebagai subkon yang

mengerjakan jasa, sebagian kapasitas produksi dan atau komponen tertentu.

Subkon ini pada umumnya dilaksanakan dengan nonkontrak dan hanya dilakukan

pertransaksi. Bahan dasar dalam kegiatan produksinya diperoleh dari perusahaan

pemberi jasa, sedangkan usaha buffing ini kemudian membeli bahan penolong

lainnya seperti lem, serbuk besi, krom dan bahan yang ditempelkan lainnya.

Gambar 4.5 Keterkaitan ke Depan dan Belakang UMKM Buffing

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Dengan pola subkon, UKM buffing ini dapat berada pada posisi yang

beragam, baik menerima pekerjaan dari vendor, subvendor, maupun sesama IKM.

Pada prinsipnya usaha buffing ini merupakan jenis usaha jasa yang dapat

memberikan jasanya berdasarkan order dari berbagai lapis vendor.

Page 61: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-6

Gambar 4.6 Keterkaitan UMKM Buffing dengan Industri Besar

Sumber: Hasil Analisis, 2010

3. Bengkel Las

Usaha bengkel las di Kabupaten Bekasi sebenarnya memproduksi barang-

barang konsumsi langsung masyarakat seperti pagar, rolling door dan folding

gate. Akan tetapi, beberapa di antaranya sudah menyuplai beberapa industri di

kaawasan walaupun bukan untuk komponen produksi, seperti pagar, rak, trolley

dan tanki. Beberapa lainnya memproduksi bak karoseri truk dan kerangka mesin

tertentu.

Gambar 4.7 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Bengkel Las

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Page 62: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-7

Terkait dengan kapasitasnya yang kebanyakan hanya memproduksi barang

konsumsi langsung, kapasitas produksi dan permodalan bengkel las secara umum

relatif kecil. Teknologi yang digunakan relatif rendah dibandingkan dengan

fabrikasi, walaupun begitu pengelasan merupakan bagian dari proses fabrikasi

(welding process). Namun demikian, secara umum dapat dijelaskan bahwa

bengkel las pada prinsipnya merupakan usaha jasa yang dapat menerima pesanan

untuk mengerjakan produk tertentu sesuai dengan yang diminta pelanggan. Oleh

karena itu, produknya beraneka ragam. Hanya saja, spesialisasi dan kualifikasi

yang ada kebanyakan bengkel las di Kabupaten Bekasi baru mampu melayani

kebutuhan rumahan. Kebutuhan untuk bahan baku pun diadakan dengan cara

individual kepada toko material. Sistem pembelian pada umumnya dilakukan

dengan sistem tunai atau tempo menyesuaikan dengan jangka waktu produksi.

Gambar 4.8 Keterkaitan UMKM Bengkel Las dengan Indusri Besar

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Keterkaitan ke depan terjadi dengan pola individu dan sistem pembayaran

umumnnya tempo sesuai dengan pesanan. Pada saat ini memang kebanyakan

konsumennya adalah konsumen langsung/rumahan. Walaupun begitu, dalam hal

ini terindikasi adanya peluang keterkaitan antara bengkel las dengan industri besar

dengan kapasitasnya dalam menerima pesanan beraneka ragam. Sehubungan

dengan hal ini, tentu saja diperlukan upgrading kompetensi perusahaan dan juga

sumber daya manusianya.

Page 63: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-8

4.1.2 Karakteristik Keterkaitan Aktual Komponen Pendukung

Komponen pendukung (supporting) yang dimaksud dalam hal ini adalah

palet, kardus dan pengemasan lainnya, fabrikasi dan lain-lain. Terkait dengan hal

ini, pada subbab ini akan dijelaskan usaha palet saja yang tercakup dalam survei.

1. Palet

Keterkaitan UMKM palet dengan industri besar dapat digolongkan menjadi

keterkaitan ke depan (forward linkage), dimana produk yang dihasilkan oleh

UMKM digunakan oeh industri besar yang ad di Kawasan Industri Bekasi.

Sedangkan keterkaitan yang lain disebut sebagai backward linkage, produk yang

dihasilkan oleh UMKM berasal dari bahan baku yang dihasilkan oleh industri

besar. Tetapi, terdapat juga UMKM yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali

dengan industri besar baik secara forward maupun backward linkage.

Sebagai salah satu hasil limbah yang sangat berpotensi untuk dijadikan

komoditas perdagangan, cara memperolehnya pun harus melalui mekanisme

tertentu. Pemilik UMKM harus mengadakan kerja sama secara tertulis dengan

industri agar dapat mengolah limbah yang dihasilkan oleh industri tersebut. Selain

itu, pemilik UMKM juga dapat membeli palet dari perantara yang lain serta dari

pengepul besar lainnya yang juga mengelola usaha palet. Pemilik usaha palet yang

mendapatkan palet dari limbah industri harus menyetorkan sejumlah uang sebagai

nilai kontrak yang harus dibayarkan. Palet yang diperoleh dari industri diolah

kembali menjadi beberapa barang seperti resizing, pembongkaran palet serta

pembuatan perabotan rumah tangga dari kayu palet. Potongan kayu dari

pembongkaran tersebut nantinya dapat digunakan kembali untuk membuat palet

dan membuat furnitur oleh pengusaha lainnya.

Modal dasar yang dibutuhkan dalam memulai usaha palet ini adalah modal

berbentuk uang tunai yang menjadi alat transaksi untuk memperoleh limbah palet

dari industri. Berdasarkan wawancara dengan pengusaha palet, pada mulanya

pengusaha palet harus menyetorkan sejumlah uang untuk membeli palet yang

dihasilkan dari industri. Setelah itu pengusaha palet memperoleh semacam kupon

yang dijadikan sebagai bukti kerja sama antara pengusaha palet dengan pihak

industri dalam transaksi palet. Modal yang dibutuhkan berkisar antara satu juta

hingga satu milyar. Limbah industri merupakan barang ekonomis yang sangat

Page 64: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-9

berharga, untuk mendapatkannya pun para pengusaha harus bersaing dengan

pengusaha lain.

Pengusaha palet yang menghasilkan palet terbagi atas dua kegiatan yaitu

usaha palet yang mengambil bahan baku dari limbah industri (Gambar 4.) serta

usaha palet yang memproduksi palet sendiri dari bahan baku kayu dan bahan baru

seperti kardus yang dibuat menyerupai palet (Gambar 4.). Salah satu industri yang

memproduksi palet adalah PT. Morila Indah Cemerlang di Kecamatan Cibitung.

Perusahaan ini memperoduksi palet dengan jumlah tenaga 50 orang serta modal

awal berkisar antara satu milyar. PT Morila ini memproduksi palet untuk

komoditas ekspor dan dijual ke perusahaan elektronik.

Gambar 4.9 merupakan skema mata rantai produksi palet yang berasal dari

limbah industri. Bahan baku untuk membuat palet diperoleh dari palet bekas yang

berasal dari limbah industri. Palet bekas tersebut diperoleh dari industri yang ada

di kawasan MM 2100, Jababeka dan pabrik minuman seperti PT. Coca Cola dan

PT. Sosro. Selain itu, palet juga dapat dibeli dari pengepul limbah palet lainnya

dan pada umumnya skema tersebut terjadi antara pengepul palet kecil (lapak) ke

pengepul palet dalam skala yang lebih besar. Palet yang diperoleh akan diolah

menjadi tiga bentuk barang yaitu menjadi palet kembali melalui resizing ukuran

palet sesuai dengan permintaan pembeli, palet dibongkar menjadi kayu yang dapat

dijual kembali ke pembeli yang juga membuat palet dan produk lainnya dari kayu,

kemudian palet dibuat menjadi barang-barang furnitur, seperti kursi, meja, tempat

tidur dan perabotan rumah tangga lainnya. Perabotan ini kemudian dijual di toko

furnitur ataupun ke distributor yang ada di dekat tempat usaha. Hasil sampingan

dari usaha palet ini berupa paku-paku bekas yang berasal dari palet sebelumnya

yang dapat dijual ke pengepul besi tua.

Page 65: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-10

Gambar 4.9 Rantai Produksi Palet dari Limbah Industri

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Pada Gambar 4.10 terlihat bahwa bahan baku palet tidak hanya dapat

diperoleh dari limbah industri tetapi palet juga dapat dibuat dari kayu yang berasal

dari pabrik kayu. Pada umumnya kayu yang digunakan untuk membuat palet

adalah kayu albasia yang diperoleh dari Jawa Tengah, seperti dari Wonosobo,

Banjarnegara, Purwokerto dan Sukabumi. Selain tu, komoditas palet tidak hanya

terbuat dari kayu tetapi palet juga dapat dibuat dari plastik dan karton, seperti

palet yang diproduksi oleh CV. Borneo Putra yang memperoleh bahan baku dari

pabrik karton yang ada di Bogor. Bagi UMKM yang memperoleh palet dari

limbah industri memiliki mekanisme perolehan palet yang lebih teratur begitu pun

dengan UMKM yang memproduksi palet dari kayu dan karton daripada UMKM

yang mengambil palet dari lapak kecil.

Gambar 4.10 Rantai Produksi Palet dari Bahan Baku Baru

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Page 66: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-11

Adanya permintaan palet dari industri untuk pengemasan barang merupakan

salah satu faktor pendorong yang membuat usaha ini terus berjalan. UMKM juga

harus memenuhi skala produksi sesuai dengan pelanggan memberi pemasukan

kepada pengusaha palet agar dapat memberikan upah kepada pekerja serta

membiayai biaya produksi dalam memperoleh dan mengolah palet. Adanya kerja

sama antara pengelola industri dengan UMKM palet dalam memperoleh barang

dengan harga relatif murah membuat UMKM bertahan dengan mata rantai input

dengan industri tersebut. Ada pula UMKM yang melakukan quality control

terhadap palet diproduksi agar pelanggan merasa puas dan UMKM dapat

mempertahankan kualitas agar konsumen tetap membeli produk yang dihasilkan.

Tetapi, tidak jarang UMKM palet mendapatkan hambatan dalam usaha ini yang

disebabkan oleh beberapa faktor seperti keterlambatan pembayaran dari

konsumen serta pembayaran yang bersifat tempo menyebabkan pengusaha palet

sulit mendapatkan modal untuk membayar palet yang akan dibeli baik dari

industri maupun dari pengusaha palet sejenis.

Karena usaha palet ini sangat banyak ditemui di Kabupaten Bekasi maka

harga antar pengusaha sangat bersaing. Hal ini juga merupakan faktor penghambat

pengusaha palet dalam mendapatkan konsumen karena pastinya konsumen akan

mencari palet yang relatif murah dengan kualitas yang baik. Bagi pengusaha palet

yang memiliki usaha mikro atau kecil memiliki kesulitan dalam memperoleh

modal untuk dapat terkait dengan industri besar agar dapat memperoleh limbah

palet yang mereka peroleh. Permasalahan infrastruktur yang rusak khususnya

jalan dapat menghambat distribusi barang baik dari dan ke industri sehingga tidak

sedikit pengusaha yang mengeluhkan keterlambatan perolehan palet dari indudtri

menjadi penghambat produksi.aliran listrik yang tidak stabil dan sering mati

membuat pekerjaan palet menjadi terganggu sehingga alat-alat listrik yang

digunakan dalam memproduksi palet tidak dapat bekerja secara optimal. Bagi

UMKM yang memproduksi palet dari bahan baku kayu memiliki hambatan

khususnya karena sulitnya memperoleh kayu karena harga kayu semakin mahal

dan regulasi mengenai kayu semakin ketat.

Page 67: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-12

4.1.3 Karakteristik Keterkaitan Komponen Jasa

Komponen jasa merupakan komponen yang penting dalam mata rantai

dalam mendukung aktivitas pekerja manufakturing dalam skala kolektif, yaitu jasa

angkutan, konveksi dan katering.

1. Jasa Angkutan

Pada survei yang dilakukan, sebenarnya hanya ada 2 UMKM yang

diwawancara. Hanya satu di antaranya, yaitu CV Mulia Mekar, yang memiliki

keterkaitan dengan industri besar di kawasan industri. Kendaraan antar-jemput

yang digunakan pada ummnya berukuran minibus. Menurut hasil observasi di

kawasan, sebenarnya ada juga perusahaan yang menggunakan jasa angkutan bus

untuk antar-jemput karyawan. Jenis industri yang dilayani jasa angkutan beragam

dan tidak terbatas pada jenis industri tertentu. Hanya saja, karakteristik

industrinya biasanya memiliki banyak tenaga kerja (labour extensive), seperti

industri tekstil, kimia, elektronik, dan otomotif.

Gambar 4.11 Keterkaitan UMKM Jasa Angkutan dengan Indusri Besar

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Pengadaan kendaraan untuk antarjemput diadakan dengan sistem rekanan,

yaitu sejenis sistem saham yang dengan sistem bagi hasil 60:40. Sementara itu,

jasa diberikan kepada perusahaan besar dengan sistem kontrak berkala, biasanya 6

bulan hingga satu tahun dan dapat diperbarui setiap kontrak berakhir. Untuk

mendapatkan kontrak ini, UMKM jasa angkutan harus mengikuti proses tender

atau sekedar proses tawar-menawar dengan perusahaan pelanggan.

Page 68: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-13

2. Jasa Catering

Jasa catering menempati salah satu komponen jasa (service) dalam kegiatan

industri manufaktur yang dapat menyokong dalam frekuensi harian. Beberapa

kegiatan manufaktur yang disokong oleh jasa catering ini adalah industri

elektronik, otomotif, tekstil dan makanan. Kegiatan manufaktur tersebut

berkarakteristik memiliki banyak pekerja sehingga secara efektif lebih mudah jika

jasa-jasa semacam catering ini diadakan secara kolektif.

Gambar 4.12 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Gambar di atas menunjukkan karakteristik keterkaitan ke belakang dan ke

depan usaha catering tersebut. Bahan-bahan dasar diperoleh dari dalam Bekasi

maupun wilayah sekitanya, seperti Karawang. Intensitas pembelian dilakukan

harian hingga mingguan sesuai dengan kebutuhan, yaitu: beras mingguan; lauk

pauk harian atau mingguan; sayuran harian; buah-buahan mingguan; kerupuk,

bumbu dan bahan lain harian atau mingguan. Sistem pembelian pada umumnya

dilakukan secara individual dan pembayaran tunai. Beberapa dilakukan secara

tempo menyesuaikan periode produksi.

Page 69: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-14

Gambar 4.13 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Catering

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Dapat diamati ternyata bukan hanya industri di Bekasi saja yang menjadi

customernya, melainkan juga industri di luar Bekasi, terutama Karawang. Sistem

penjualan dilakukan dengan kontrak jangka waktu tertentu, biasanya 6 bulan atau

satu tahun dengan pembayaran dilakukan settiap 2 minggu atau satu bulan. Untuk

mendapatkan kontrak ini, usaha catering harus mengajukan proposal penawaran

paket makanan yang dilengkapi NPWP, akta perusahaan dan surat izin usaha.

Jenis industri yang dilayani usaha catering ini beraneka ragam dan tidak

spesifik merujuk kepada jenis manufaktur tertentu. Hanya saja, biasanya

karakteristiknya adalah industri yang bertenaga kerja banyak dan membutuhkan

penyediaan makanan secara kolektif sehingga lebih efisien dalam proses kerja.

3. Konveksi

Konveksi yang dimaksud sebenarnya tidak spesifik terkait dengan

kebutuhan industri besar. Konveksi di Bekasi memang kebanyakan memproduksi

barang-barang konsumsi langsung untuk masyarakat seperti pakaian jadi, sprei

dan lain-lain. Walaupun begitu, ada juga yang sudah menjadi supplier pada

beberapa perusahaan di kawasan industri.

Page 70: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-15

Gambar 4.14 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Gambar di atas menunjukkan keterkaitan ke belakang dan ke depan usaha

konveksi. Dapat diamati bahwa kebanyakan bahan dasarnya justru didapatkan dari

luar Bekasi (78%). Bahan baku tersebut diperoleh dengan intensitas pembelian

mingguan atau bulanan dengan sistem individual dan pembayaran tunai.

Gambar 4.15 Keterkaitan ke Belakang dan Depan UMKM Konveksi

Sumber : Hasil Analisis, 2010

Sementara itu, sistem penjualan pada umumnya dilakukan sesuai proyek.

Memang pada saat ini hanya sedikit usaha konveksi yang terkait dengan kawasan

industri atau dengan kata lain keterkaitan aktualnya masih lemah. Industri yang

terkait saat ini di antaranya elektronik dan otomotif.

Page 71: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-16

Sebagai kasus studi, usaha konveksi Pedjuang Call Action sebagai supplier

perusahaan di kawasan industri, dapat dipelajari sebagai bahan petimbangan.

Usaha ini menyuplai seragam kerja karyawan dengan sistem non-kontrak,

melainkan jasa by order. Untuk dapat menjual produknya ke perusahaan usaha

konveksi ini harus mengajukan proposal pada periode (tender) tertentu. Faktor

yang mendorong usaha ini adalah adanya jaringan yang memungkinkan kerja

sama dilaukan, tenga kerja dan modal. Faktor penghambat secara umum dapat

diidentifikasi di antaranya kredit macet dan tidak adanya stok barang.

4.1.4 Karakteristik Usaha Perlimbahan

Karakteristik mata rantai input output UMKM pengepul limbah besi dan

logam hampir sama dengan UMKM pengepul limbah plastik secara umum. Pabrik

peleburan limbah sebagai tempat bermuaranya berbagai limbah tersebut

merupakan pihak yang sangat menentukan harga besi dan plastik. Hal ini juga

berlaku hingga lapisan mata rantai yang ada di bawahnya. Harga akan ditentukan

oleh pihak yang memiliki “kekuasaan” yang lebih tinggi. Skema mata rantai input

output UMKM pengepul limbah dapat diliha pada Gambar 4.17.

Gambar 4.16 Mata Rantai Pengepul Limbah

Sumber : Hasil Analisis PHKI, 2010

Page 72: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-17

Para pengepul limbah memperoleh logam dan besi serta limbah plastik,

kardus dan limbah lainnya dari Industri besar seperti PT Gunung Garuda dan

industri besar yang ada di kawasan MM 2100, Hyundai, Jababeka, serta industri

lainnya. Limbah juga dapat diperoleh dari sisa rumah tangga seperti plastik,

kardus serta dari UMKM yang menghasilkan besi seperti bengkel las dan UMKM

pengolah besi lainnya. Limbah ini diambil oleh para pemulung gerobak dan harga

ditentukan oleh pemulung tersebut. Pemulung akan menjual hasil pungutannya ke

lapak-lapak yag kemudian akan dijual ke pengepul besar. Lapak dan pengepul

besar akan membeli limbah tersebut secara tunai. UMKM yang memiliki Surat

Perjanjian Kerja sama dengan industri besar dalam mengelola limbah yang

dihasilkan oleh industri besar akan menjual limbah tersebut ke pabrik peleburan

limbah. Pengepul ini akan menjual kembali limbah tersebut ke Pabrik peleburan

limbah, seperti PT. Gunung Garuda, PT. Toyogiri, PT. Krakatau Steel, yang

merupakan pabrik pengolah besi, PT PSW dan PT. Fajar Wisesa sebagai pabrik

pengolah limbah kertas.

Usaha limbah logam besi dan plastik merupakan salah satu usaha yang

cukup mudah untuk dijalanani. Imbah dapat diperoleh secara langsung tanpa

peranta serta sistem pembayaran yang bersifat tunai membuat usaha ini terus

dijalankan oleh para pengusaha. Namun, harga besi dan plastik sangat

berfluktuatif sehingga terkadang para pengusaha juga mengalami kerugian karena

harga beli dengan harga jual yang tidak seimbang.

4.2 Karakteristik Mata Rantai Produksi Industri Besar

Dalam subbab ini akan lebih dijelaskan dengan lebih komprehensif

karakteristik mata rantai dilihat dari bawah hingga atas, yaitu dari tier terendah

hingga end-customernya yaitu industri besar.

4.2.1 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif

Industri otomotif merupakan salah satu industri mayor di kawasan industri

Bekasi dan teridentifikasi memiliki keterkaitan dengan unit usaha lain baik lokal

maupun asing. Secara umum, pola keterkaitan industri hulu otomotif dengan

suppliernya dapat diilustrasikan pada gambar berikut.

Page 73: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-18

Gambar 4.17 Terminologi Mata Rantai Industri Otomotif

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Dalam pembahasan ini, digunakan terminologi seperti ditunjukkan pada

gambar di atas. Secara sederhana, industri besar dikatakan sebagai „end-custumer‟

yang menerima hasil pekerjaan dari vendor-vendor yang mengerjakan komponen-

komponen tertentu. Vendor dalam hal ini dapat memberikan pekerjaan kepada

perusahaan lain, bisa disebut subvendor atau subkon. Subkon dan vendor

sebenarnya memiliki pengertian yang sama, yaitu memberikan sebagian pekerjaan

kepada perusahaan lain. Tingkatan mata rantai ini juga dapat dijelaskan dengan

istilah „tier‟, dimana tier-1 merupakan industri besar dan seterusnya hingga tier

terendah.

End-customer

Vendor

Subkon

Tier-1

Tier-2

Tier-3

Tier-n

Page 74: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-19

Gambar 4.18 Mata Rantai Produksi Industri Otomotif

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Industri otomotif pada umumnya memiliki divisi tersendiri untuk

manufakturing yang bertugas dalam aktivitas perakitan (assembling). Komponen-

komponen yang digabungkan oleh divisi manufakturing ini disokong oleh anak-

anak perusahaan yang dapat berposisi pada tier ke-3 hingga ke-4. Anak-anak

perusahaan ini bisa berstatus PMA atau PMDN yang dalam posisi hubungan

customer-supplier berperan sebagai vendor. Jadi, misalnya PT Trimitra sebagai 1st

manufacturing subsidiary merupakan vendor dari Toyota yang merupakan end

customer.

Hubungan kerja juga tidak selalu vertikal, tetapi juga horizontal. Akan

tetapi, hubungan kerja sama itu pada prinsipnya sama saja sebagai supplier-

customer. Hubungan kerja sama seperti ini dilakukan dalam rangka memenuhi

permintaan volum produksi dari customer sehubungan dengan sementara

kapasitas produksi yang dimiliki tidak memungkinkan untuk dikerjakan sendiri.

Selain itu, hubungan kerja terjadi bukan hanya untuk berbagi volum produksi,

tetapi juga untuk pengerjaan komponen tertentu yang tidak dimiliki peralatannya

oleh perusahaan tersebut.

Page 75: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-20

Pada bagian sebelumnya, dijelaskan mata rantai buffing dan fabrikasi yang

terkait dengan industri otomotif. Penjelasan sebelumnya mungkin belum jelas,

sehingga pada bagian ini jelas posisinya dimana pada industry otomotif. Industri

kecil dan menengah berperan untuk kedua jenis hubungan kerja tersebut. Jenis

usaha yang terkait adalah fabrikasi dan berbagai jenis surface treatments. Kegiatan

fabrikasi memenuhi hubungan kerja untuk menyokong produksi komponen

maupun jasa pembuatan komponen tertentu. Sementara itu, surface treatments

seperti buffing, coatings dan sebagianya mengerjakan penyelesaian dalam proses

produksi komponen. Pola hubungannya dikenal sebagai subkon dan memang

pekerjaan tersebut diberikan karena customernya tidak memiliki teknologi

produksi yang dimaksud. Keterkaitan IKM yang dimaksud dengan industri

otomotif dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.19 Keterkaitan Industri Otomotif dengan Surface Treatments dan Fabrikasi

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Fabrikasi dapat menyokong beberapa komponen otomotif, khususnya

komponen logam. Terkait dengan hal ini, demikian produk fabrikasi begitu

beraneka ragam. Sementara itu, surface treatments juga memiliki peranan yang

penting baik langsung kepada anak perusahaan dan vendor maupun IKM setaraf

fabrikasi untuk penyelesaian akhir komponen tersebut.

Syarat untuk menjadi supplier industri otomotif ini adalah:

Page 76: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-21

a. Produk yang dibuat memenuhi standar yang dipakai; dalam hal ini karena

kebanyakan industri otomotif di kawasan adalah perusahaan Jepang, standar

yang digunakan adalah Japanese Industrial Standard (JIS);

b. Produk yang dibuat lolos quality control yang dilakukan dua kali, yaitu di

perusahaan penerima jasa (vendor/subkon) maupun customer.

Keterkaitan IKM dengan anak perusahaan tingkat 1 dan 2 dengan demikian

sederhana melalui pola subkon. Karena kerja sama dilakukan tanpa kontrak dan

berdasarkan transaksi, tingkat kepercayaan dalam hal ini sangat diperlukan.

Dalam hubungan kerja sama ini, IKM dituntut untuk mempertahankan kualitas

produk dan ketepatan waktu pengiriman.

Tabel IV.1 Identifikasi Tingkatan Perusahaan dalam Mata Rantai

Tier Nama Perusahaan

Tier-1 Toyota

Daihatsu

AHM

Honda

Suzuki

Tier-2 PT Trimitra Citrahasta

Showa

Tier-3/4 PT Yusamasu

Nano Coating

Tier-5 CV Sugimoto

Global Teknik Mandiri

CV Perdana Jaya

PMA Steel

PT Metal Perkasa Engineering

CV Baraja

CV Citra Karya Mandiri

Sumber: Hasil Analisis, 2010

4.2.2 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik

Industri elektronik juga terdapat banyak di kawasan industri dengan

berbagai macam produk barang konsumsi rumah tangga dan kantor. Mata rantai

produksi industri elektronik seperti gambar berikut.

Page 77: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-22

Gambar 4.20 Mata Rantai Produksi Industri Elektronik

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Industri elektronik yang dimaksud adalah perusahaan yang mengerjakan

perakitan (assembling) komponen-komponen elektronik tersebut. assembler ini

mendatangkan langsung material dasar komponen tersebut termasuk teknologi

softwarenya dari negara asalnya, misalnya Korea untuk LG Electonics. Raw

material ini kemudian diberikan kepada anak-anak perusahaan untuk

memprosesnya menjadi komponen setengah jadi yang perusahannya juga

berstatus PMA. Lalu, setelah setiap anak perusahaan tersebut selesai mengerjakan

komponen tersebut, mereka menyerahkannya kembali kepada assembler untuk

digabung dan diselesaikan.

UMKM yang terkait dengan industri elektronik tersebut tidak teridentifikasi

karena memang tidak ditemukan industri elektronik memiliki hubungan dengan.

Penelusuran keterkaitan ini harus dilakukan kepada anak perusahaan dan tier di

bawahnya jika ada dalam proses penelitian selanjutnya.

Page 78: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-23

Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait dengan Kawasan Industri

Aspek Fabrikasi Buffing Bengkel Las

Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait

Skala perusahaan Kecil-menengah Kecil-menengah Menengah - Kecil-menengah Mikro (industri

rumah tangga)

Produk Jasa fabrikasi, mur,

baud, dll.

Jasa fabrikasi, mur,

baud, dll.

Sparepart yang

dipoles

- Jasa pembuatan

kerangka mesin

Produk untuk

konsumsi rumahan

Kapasitas produksi By order By order ±1000 pieces - 5-10 unit Tidak tentu

Omzet Rp20juta – 1,5 M Rp20juta – 1,5 M ±Rp60 juta - ±Rp500 jt ±Rp 1 juta

Aset Mesin fabrikasi Mesin fabrikasi Peralatan, lahan - Peralatan las Peralatan las

Permodalan Rp 60-200 juta Rp 60-200 juta ±Rp75 juta - ±Rp500 jt Rp 10 -30 juta

Teknologi Mesin fabrikasi Mesin fabrikasi Set peralatan buffing - Alat lebih lengkap

dan

Sederhana,

menggunakan las

listrik. Beberapa

menggunakan las

karbit.

Konsumen Perusahaan di

kawasan

Perusahaan di luar

kawasan

Perusahaan di

kawasan

Perusahaan di luar

kawasan

Perusahaan di

kawasan

Masyarakat umum

Kualifikasi tenaga

kerja

Pendidikan SMK

otomotif/D3-S1

teknik mesin

Pendidikan SMK

otomotif/D3-S1

teknik mesin

Pendidikan SMK

otomotif/D3-S1

teknik mesin

- Tidak spesifik Tidak spesifik

Standar tertentu JIS JIS JIS, permintaan

konsumen

- Tidak spesifik Tidak ada

Quality control Pemantauan dari

pelanggan

Pemantauan dari

pelanggan

Quality control dari

perusahaan

pelanggan

- Pemantauan dari

pelanggan

N/A

Page 79: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-24

Tabel IV.2 Perbandingan Karakteristik UMKM yang Sudah dan Belum Terkait dengan Kawasan Industri (lanjutan)

Aspek Catering Konveksi Jasa Angkutan

Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait Terkait Belum Terkait

Skala perusahaan Menengah Kecil-menengah Kecil Kecil Kecil Kecil

Produk Paket makan siang

untuk karyawan

Paket makan siang

untuk karyawan

Seragam karyawan Pakaian jadi, sprei,

dll.

Antar jemput

karyawan

Rental mobil

Kapasitas produksi 400-5000 porsi 400-5000 porsi By order By order N/A N/A

Omzet Rp 5-350 juta Rp 5-350 juta Tidak diketahui

secara pasti

Tidak diketahui

secara pasti

±Rp150 juta ±Rp30 juta

Aset Peralatan memasak Peralatan memasak Peralatan konveksi Peralatan konveksi Kendaraan yang

disediakan dengan

sistem rekanan

Kendaraan rental

Permodalan ±Rp100 juta ±Rp100 juta ≥Rp20 juta ≥Rp20 juta Pengadaan mobil

dengan sistem

rekanan

Teknologi Sebagian sudah

memiliki peralatan

memasak modern,

sebagian perlatan

memasak biasa

Sebagian sudah

memiliki peralatan

memasak modern,

sebagian perlatan

memasak biasa

Mesin jahit listrik Mesin jahit listrik N/A N/A

Konsumen Perusahaan di dalam

kawasan

Perusahaan di luar

kawasan (selain

keluar juga melayani

ke dalam kawasan)

Perusahaan di

kawasan

Masyarakat umum Perusahaan di

kawasan (karyawan)

Masyarakat umum

Kualifikasi tenaga

kerja

Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik Tidak spesifik

Standar tertentu Tidak ada Tidak ada Standar keselamatan

kerja

Tidak ada N/A N/A

Quality control Pemantauan dari

pelanggan

Pemantauan dari

pelanggan

Pemantauan dari

pelanggan

N/A N/A N/A

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Page 80: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-25

4.3 Keterkaitan Potensial Mata Rantai Produksi

Setelah melakukan analisis keterkaitan aktual pada bagian sebelumnya,

dapat disimpulkan bahwa ditinjau dari mata rantai secara keseluruhan industri

besar, terdapat potensi UKM untuk memasok industri tier di atasnya termasuk

industri besar. Seperti yang ditampilkan pada Tabel IV.3, industri otomotif paling

memungkinkan untuk pengembangan keterkaitan baik mata rantai input-output,

komponen pendukung maupun jasa. Sementara itu, pengembangan mata rantai

input-output tidak memungkinkan pada industri elektronik karena komponennya

didatangkan dari negara asalnya. Kendati demikian, pengembangan keterkaitan

komponen pendukung dan jasa tetap memungkinkan pada industri elektronik dan

industri lainnya.

Tabel IV.3 Potensi UKM untuk Memasok Industri Besar

Kondisi keterkaitan saat ini UKM potensial yang

dikaitkan

Industri otomotif Memiliki sistem keterkaitan input-

output dengan lapis-lapis (tier).

UKM terletak di tier terbawah dan

tidak berkapasitas untuk mensuplai

tier-tier atas karena kualifikasi

tertentu yang tidak bisa dipenuhi.

Keterkaitan input-output,

keterkaitan komponen

pendukung, keterkaitan jasa.

Industri

elektronik

Sistem tier tidak ada karena

komponen langsung didatangkan

dari negara asalnya.

Keterkaitan komponen

pendukung, keterkaitan jasa.

Industri lainnya Tidak ada keterkaitan input-output,

hanya ada keterkaitan jasa dan

pendukung.

Keterkaitan komponen

pendukung, keterkaitan jasa.

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Potensi keterkaitan mata rantai produksi dapat dianalisa melalui proses

produksi manufaktur secara utuh untuk mengetahui kebutuhan dukungan dari

industri kecil dan menengah. Dari sisi industri besar, dalam keterkaitan ini

diprasyaratkan setidaknya tiga hal untuk dipenuhi: quality, cost, delivery.

a. Quality, yakni kualitas produk yang disuplai harus baik dan sesuai standar;

b. Cost, yakni biaya yang dikeluarkan dengan adanya kemitraan ini efisien;

c. Delivery, yakni ketepatan waktu pengantaran sehubungan dengan proses

produksi di industri besar (assembling).

Dari sisi industri kecil dan menengah, potensi keterkaitan dapat dilihat dari

kemampuannya dalam menempuh prasyarat tersebut. Hal ini diikuti dengan

Page 81: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-26

kebutuhan pengembangan untuk mewujudkan keterkaitan tersebut. Berikut dapat

diilustrasikan.

Tabel IV.4 Keterkaitan Potensial

No UMKM

Kondisi

Keterkaitan

Saat Ini*

Potensi Keterkaitan Kebutuhan untuk

Pengembangan

1 Fabrikasi Terkait cukup

kuat (44%)

Penguatan hubungan dan

pembuatan kontrak baru.

Penguatan kerja sama,

permodalan dan

peningkatan kapasitas

produksi.

2 Buffing Terkait sangat

kuat (93%)

- Penguatan kerja sama,

permodalan dan

peningkatan kapasitas

produksi.

3 Bengkel las Terkait sangat

lemah (7%)

Dapat dikembangkan

sebagai bagian dari usaha

fabrikasi atau di-upgrade

menjadi usaha fabrikasi

Peningkatan kapasitas

dalam teknologi, SDM

dan permodalan

4 Palet Tidak

teridentifikasi

pasti karena

beberapa

UKM

merupakan

usaha limbah

Penguatan hubungan dengan

membuat kontrak baru.

Pengembangan kemitraan

dengan industri besar.

5 Jasa catering Terkait sangat

kuat (96%)

- Pengembangan kemitraan

dengan industri besar.

6 Jasa

angkutan

Terkait cukup

kuat (50%)

Penguatan hubungan dan

pembuatan kontrak baru.

Pengembangan kemitraan

dengan industri besar.

7 Konveksi Terkait lemah

(16%)

Konveksi dapat menyuplai

seragam kerja bagi industri

besar.

Pengembangan kemitraan

dengan industri besar.

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Keterangan: Kekuatan keterkaitan dinilai jika >80% maka sangat kuat; 60-70% kuat; 40-60%

cukup kuat; kurang dari 40% lemah.

UMKM pengepul limbah besi dan plastik tidak memiliki potensi keterkaitan

dalam tiga kategori tersebut karena UMKM hanya mengumpulkan limbah dari

industri besar dan dari UMKM pengolah besi dan logam dan kemudian

menjualnya langsung ke pabrik peleburan limbah. UMKM hanya bersifat sebagai

transit point antara satu pengusaha ke pengusaha lain. Sedangkan UMKM palet

merupakan usaha yang dapat dikaitkan dengan industri besar khususnya dalam

bidang jasa karena industri besar membutuhkan palet untuk pengepakan barang-

barang yang akan dijual oleh industri besar.

Page 82: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien IV-27

Dalam mengembangkan keterkaitan tersebut, perlu diperhatikan beberapa

karakteristik industri kecil dan menengah sebagai bahan pertimbangan dalam

pengembangan kapasitas produksi industri kecil dan menengah tersebut.

Tabel IV.5 Karakteristik Industri Kecil dan Menengah untuk Dikembangkan

Industri kecil Industri menengah

Permodalan Sulit untuk terkait dengan IB

karena membutuhkan modal

yang besar.

Diperlukan modal untuk

pengembangan usaha dalam

peningkatan skala produksi.

Teknologi Teknologi masih konvensional Sudah menggunakan teknologi yang

lebih tinggi, tetapi masih

membutuhkan teknologi mutakhir

SDM Tidak terlalu memerlukan

kualifikasi.

Memerlukan kualifikasi serta

memberikan training kepada tenaga

kerja.

Keterkaitan Tidak dapat terkait langsung

dengan IB dalam rantai produksi

(input-output)

Terkait dengan IB dengan standar

dan quality control.

Sumber: Hasil Analisis, 2010

Page 83: Laporan Akhir GABUNG
Page 84: Laporan Akhir GABUNG
Page 85: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 1

BAB 5 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS

PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA MENENGAH

5.1 Rasional dan Prospek Pengembangan

Keberadaan industri besar di Kawasan Bekasi belum memberikan potensi

keterkaitan yang optimal bagi industri kecil dan menengah yang berada di

Kabupaten Bekasi. Industri kecil menengah saat ini masih memiliki keterbatasan

untuk dapat terkait dengan industri besar khususnya keterkaitan dalam proses

input output produksi. Salah satunya adalah industri menengah yang bergerak

pada kegiatan surface treatments, seperti plating, buffing, chroming, dan coating.

Kegiatan ini sangat dibutuhkan oleh industri besar khususnya industri otomotif

dimana surface treatments merupakan salah satu proses metalurgi terhadap

komponen otomotif sebelum komponen tersebut sampai ke tangan End Customer.

Industri otomotif sangat berpotensi untuk dikaitkan dengan industri

menengah yang ada di Kabupaten Bekasi karena industri otomotif membutuhkan

komponen produksi yang sangat banyak dan dapat menggunakan produk yang

dihasilkan oleh industri internal di Kabupaten Bekasi. Tetapi industri menengah

yang dapat terkait dengan industri besar tersebut harus memiliki standar

pemenuhan kualitas dan kuantitas produk yang dibutuhkan oleh industri besar.

Agar keterkaitan tersebut terjadi secara akual nantinya, maka akan dilakukan

pengembangan industri menengah khususnya pemberian pelatihan baik teknis dan

non teknis kepada para pengusaha dan pekerja industri menengah. Pelatihan ini

bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi tenaga kerja dan industri itu

sendiri.

Page 86: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 2

Tabel V.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Menengah

Kondisi Saat Ini Kondisi yang Akan Dicapai Kebutuhan

Pengembangan

Mata Rantai Input-Output

Karakteristik

Mata Rantai

Masih terdapat industri

menengah yang belum

terkait dengan industri besar

di Kabupaten Bekasi

khususnya untuk komponen

produksi

Produk industri menengah

dapat digunakan sebagai input

dalam komponen produksi

Industri besar dan vendor serta

bagi industri jasa dapat terkait

dengan Industri besar

Pengembangan

kemitraan dengan

vendor dan industri

besar, dapat dilakukan

melalui pertemuan,

pameran

Permodalan Kurangnya modal untuk

terkait dengan industri besar

terkait dengan produk yang

dihasilkan

Industri menengah memiliki

modal untuk keberlanjutan

usaha

Bantuan modal,

pelatihan manajerial

keuangan

Teknologi/per

alatan

Penggunaan teknologi

konvensional

Adanya mesin mutakhir yang

dapat menghasilkan produk

yang dibutuhkan industri besar

Bantuan peralatan

Kapasitas

produksi

Sesuai dengan pesanan dan

keterbatasan produksi karena

kurangnya peralatan

Dapat menyuplai produk secara

berkelanjutan

Bantuan permodalan,

peralatan

Kualifikasi

Produk

Sesuai dengan standar

kebutuhan pemesanan

Peningkatan kualitas sesuai

dengan standar pemesanan

hingga internasional

Pelatihan teknis untuk

surface treatments

Kualifikasi

SDM/Pekerja

Minimal STM dan sederajat Peningkatan kapasitas SDM

untuk membuat berbagai

produk

Pelatihan untuk surface

treatments dan uji mutu

produk serta kompetensi

manajerial dan

pengelolaan keuangan

melalui pelatihan

Mata RantaiSupporting/Jasa

Karakteristik

Mata Rantai

Masih terdapat industri

menengah yang belum

terkait dengan industri besar

di Kabupaten Bekasi

Industri besar dapat

menggunakan produk jasa dari

industri menengah yang

diprioritaskan

Pengembangan

kemitraan dengan

vendor dan industri

besar, dapat dilakukan

melalui pertemuan,

pameran

Permodalan Kurangnya modal untuk

terkait dengan industri besar

Industri menengah memiliki

modal untuk keberlanjutan

usaha jasa

Bantuan modal,

pelatihan manajerial

keuangan

Teknologi/per

alatan

Peralatan yang kurang

memadai untuk

menghasilkan produk jasa

Adanya mesin mutakhir yang

dapat menghasilkan produk

massal yang dibutuhkan

industri besar

Bantuan peralatan

Kapasitas

produksi

Sesuai dengan permintaan

konsumen

Dapat menyuplai produk secara

berkelanjutan

Bantuan permodalan,

peralatan

Kualifikasi

Produk

Sesuai dengan standar

kebutuhan pemesanan

Peningkatan kualitas sesuai

dengan standar pemesanan

-

Kualifikasi

SDM/Pekerja

Minimal STM dan sederajat

untuk produk fabrikasi

Peningkatan kapasitas SDM

untuk membuat berbagai

produk yang berkualitas serta

mampu mengelola usaha dalam

hal keuangan maupun

pengembangan perusahaan

Pemberian kompetensi

manajerial dan

pengelolaan keuangan

melalui pelatihan

Page 87: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 3

5.2 Rencana Pengembangan

Pengembangan industri menengah pada intinya adalah untuk meningkatkan

kapasitas produksi industri untuk dapat memproduksi barang lebih banyak dari

produk sebelumnya dengan standar kualitas yang harus dipenuhi melalui quality

control di setiap tingkatan industri. Industri menengah yang akan terhubung atau

bekerja sama dengan industri besar harus memenuhi quality control yang

ditetapkan oleh industri besar serta produk yang dihasilkan oleh industri kecil dan

menengah harus memenuhi standar komponen otomotif seperti yang tertera dalam

Japanese Industrial Standards (JIS) yang merupakan standar yang digunakan oleh

industri otomotif. Quality control yang diterapkan industri menengah dapat

dilakukan melalui pemenuhan standar JIS.

Bagi industri menengah yang terkait langsung dalam mata rantai produksi

dimana output yang dihasilkan oleh industri menengah langsung digunakan oleh

industri besar untuk melengkapi produk yang akan dijual memiliki tingkatan atau

tier yang harus dipenuhi kualifikasinya. Lain halnya dengan industri menengah

yang memberikan pelayanan jasa dan produk pendukung kepada industri besar.

Industri menengah tersebut dapat bekerja sama dengan industri manapun yang

berada di dalam tingkatan yang berbeda, seperti industri yang bergerak dalam

machinery. Industri kecil menengah ini dapat menjual produknya ke industri besar

dan tidak harus terletak pada tier yang lebih tinggi tingkatannya. Pengembangan

mata rantai input output untuk industri menengah terbagi dalam beberapa

kegiatan, yaitu :

1. Pelatihan Teknis

Pengembangan usaha menengah dilakukan terhadap sumber daya manusia

yang bekerja di industri tersebut dan peningkatan kapasitas produksi usaha

industri menengah dalam menghasilkan barang-barang yang dibutuhkan oleh

industri besar yang ada di kawasan industri Bekasi. Pelatihan teknis ditujukan

bagi para pekerja industri menengah Pengembangan keterampilan tenaga kerja

dilakukan dengan memberikan pelatihan kepada tenaga kerja dalam bidang

permesinan dan pembuatan komponen produksi. Jenis pelatihan yang diberikan

berupa pelatihan dalam pembuatan komponen bubut seperti mur dan baut, serta

Page 88: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 4

komponen otomotif lainnya yang langsung terhubung dengan mata rantai input

output industri besar.

2. Pelatihan Non Teknis

Pelatihan non teknis ditujukan bagi semua jenis industri baik industri yang

terkait dengan mata rantai input output, industri pendukung serta industri jasa.

Pelatihan yang diberikan berupa pelatihan yang menyangkut pengembangan

kapasitas sumber daya manusia dalam hal manajerial dan keuangan agar industri

menengah mampu mengelola kegiatan produksi secara lebih baik dan memiliki

kemampuan untuk dapat terhubung dengan industri besar dalam proses produksi.

Pada umumnya, industri yang memiliki pengelolaan yang baik dari segi keuangan

dan manajerial dapat terhubung dengan industri besar karena industri besar juga

menyeleksi usaha-usaha yang akan bekerja sama dengan industri besar dan salah

satu kriteria agar dapat terhubung adalah memiliki kemampuan manajerial dan

pengelolaan keuangan yang baik.

3. Pendampingan Industri Menengah

Pendampingan dilakukan untuk meninjau dan memastikan program

pelatihan berjalan dengan baik dan pemberian bantuan dapat bermanfaat dan

teraplikasikan. Melalui pendampingan ini juga industri menengah akan dipantau

perkembangan usahanya agar mampu menuju kualifikasi baik secara kuantitas

dan kualitas produk yang dihasilkan industri.

4. Pameran

Kegiatan pameran dilaksanakan setelah industri menengah menghasilkan

produk yang sesuai dengan kualifikasi setelah periode tertentu pada program.

Pameran ini juga dijadikan wadah untuk pengembangan kemitraan dan membuka

kontrak kerja sama dengan industri besar.

5. Pemberian bantuan permodalan

Pemberian bantuan permodalan akan diberikan melalui proses penyaluran

mekanisme tertentu dan diberikan kepada industri menengah yang menunjukkan

prestasi dan kemajuan selama proses pelatihan dan pendampingan. Hal ini

bertujuan untuk meningkatkan kapasitas produksi industri serta bantuan untuk

industri menengah dapat membangun hubungan kerja sama dan terhubung dengan

industri besar.

Page 89: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 5

Program-program tersebut dilaksanakan dengan target keterkaitan mata

rantai sebagai berikut.

Tabel V.2 Target Program Pengembangan Mata Rantai

No. Indikator Kondisi

Baseline

Kondisi Target

2010 2011 2012

1 Jumlah Kontrak Pesanan

yang disetujui antara Industri

Besar dengan Industri

Menengah

NA 0 10 15

2 Prosentase Realisasi

Kontrak Pesanan yang

disetujui antara Industri Besar

dengan Industri Menengah

NA 0 0 100

5.3 Pedoman Pengembangan

Program pengembangan mata rantai ini pada prinsipnya dilaksanakan

untuk mencapai kualifikasi baik secara kuantitas pasokan yang diperlukan

maupun kualitas produk yang diterima oleh End Costumer (industri besar).

Pelaksanaan program-program yang telah disebutkan di atas merupakan kesatuan

yang terkait satu sama lain dalam rangka pengembangan mata rantai. Pelaksanaan

program itu sendiri merupakan kolaborasi antara OPD terkait dengan Tim PHKI

PWK ITB dengan menekankan bahwa penyelenggara program adalah pemerintah.

Tim PHKI PWK ITB bertindak sebagai fasilitator mendampingi dan membina

interaksi antara industri kecil, menengah dan besar, pemerintah penyelenggara

program, dan penyandang dana.

Berikut ini pedoman pelaksanaan program pengembangan mata rantai

industri kecil dengan industri menengah dan besar.

Tabel V.3 Pedoman Pelaksanaan Program

Langkah 1 Penentuan industri menengah yang akan diundang dalam program

pelatihan

Sebelumnya dilakukan suatu pemetaan industri menengah yang ada di

kawasan inti untuk kemudian diundang untuk mengukuti seleksi

pelatihan.

Langkah 2 Seleksi

Seleksi dilakukan untuk memilih sejumlah peserta sesuai dengan

kapasitas yang ditentukan.

Langkah 3 Pelaksanaan program pelatihan

Pelatihan dilakukan dengan program dan kurikulum yang disusun oleh

Page 90: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 6

penyelenggara pelatihan. Setelah pelatihan selesai diharapkan peserta

pelatihan (industri kecil) sudah siap dengan kompetensi yang diharapkan.

Langkah 4.a Pemilihan industri yang akan mendapatkan bantuan

Dari pelatihan yang dilakukan, dipilih peserta industri yang berprestasi

untuk diberikan bantuan permodalan sehingga lebih siap meningkatkan

kapasitas produksi dan bermitra dengan besar.

Langkah 4.b Pendampingan tahap 1

Pendampingan tahap awal setelah pelatihan selesai.

Langkah 5 Pendampingan tahap 2

Pendampingan diarahkan untuk mempersiapkan mengikuti pameran.

Langkah 6 Pameran tengah tahun

Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang

dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.

Langkah 7 Pendampingan tahap 3

Setelah pameran, industri kecil terus diarahkan untuk mulai membangun

kemitraan dengan industri menengah/besar. Pada kesempatan ini juga

mulai dibina pengembangan kesempatan membuka kontrak kerja.

Langkah 8 Pendampingan tahap 4

Pengembangan kemitraan terus dilakukan dan juga persiapan mengikuti

pameran akhir tahun dilakukan sehingga industri kecil lebih mantap dan

siap menghadapi pasar.

Langkah 9 Pameran akhir tahun

Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang

dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.

Page 91: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 10

Tabel V.4 Ikhtisar Rencana Kegiatan

No. Sasaran

Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta

Jumlah

Peserta

Waktu

Kegiatan

OPD

Penyelenggara

1 Pelatihan

Manajemen

Industri

Menengah

Teknis

Pelatihan

Welding dan

bubut

Memberikan

keterampilan teknik

welding untuk

menyokong kegiatan

fabrikasi dalam

produksi komponen

otomotif.

Pengusaha dan

pekerja usaha

fabrikasi

20 Maret 2011 Badan Latihan

Ketenaga-

kerjaan, Dinas

Ketenagakerja-

an dan

Transmigrasi

Prov. Jawa

Barat

2 Pelatihan

Produksi Industri

menengah Non

Teknis

Pelatihan

Manajemen dan

Keuangan

Memberikan

kompetensi

pengelolaan

perusahaan dan

keuangan dalam

meningkatkan

kapasitas produksi.

Pengusaha dan

pekerja industri

menengah

(termasuk

komponen jasa dan

pendukung)

40 April 2011 Dinas Koperasi

dan UMKM

Prov. Jawa

Barat

3 Pendampingan

Industri

menengah

4 triwulan

pendampingan

pada tahun 2011

Memastikan kemajuan

peningkatan

produktivitas

Peserta yang

mengikuti pelatihan

40 Februari-

November

2011

Tim PHKI

PWK ITB

4 Pameran Produk Pameran tengah

tahun dan akhir

tahun

Memamerkan hasil

produksi,

pengembangan

kemitraan dan kontrak

kerja sama

Peserta yang

mengikuti pelatihan

40 Juni dan

November

2011

Dinas Koperasi

dan UMKM

Prov. Jawa

Barat

Page 92: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 11

No. Sasaran

Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta

Jumlah

Peserta

Waktu

Kegiatan

OPD

Penyelenggara

5 Pemberian

bantuan modal

Bantuan

permodalan

Membantu

peningkatan kapasitas

produksi

Peserta pelatihan

yang berprestasi

Juni 2011 Tentatif

6 Uji Mutu Uji mutu produk

hasil pelatihan

teknis

Memastikan kualitas

produk yang dilatihkan

pada pelatihan sesuai

dengan tuntutan standar/

kualitas pasar

Peserta pelatihan

teknis 40 April-Mei 2010 Dinas

Perindustrian

dan Perdagangan

Prov. Jawa Barat

Page 93: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Antara C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien 10

Page 94: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-1

BAB 6 RENCANA DAN PEDOMAN PENGEMBANGAN KAPASITAS

PRODUKSI KEGIATAN EKONOMI SKALA KECIL

6.1 Rasional dan Prospek Pengembangan

Hasil temuan pada studi yang dilakukan pada kegiatan C.2.1.1 adalah

berupa keterkaitan aktual dan potensial industri kecil, menengah dan besar.

Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6.1 dan 6.2, sebenarnya pada saat ini

keterkaitan antara industri besar dan menengah, industri besar dan kecil serta

industri kecil dan menengah itu sudah ada. Namun, intensitasnya masih dapat

ditingkatkan lagi. Di samping itu, memang ada juga jenis industri yang belum

terkait tetapi sebenarnya memiliki potensi keterkaitan yang tinggi sehubungan

dengan pohon industri dan proses produksi yang bisa disokong.

Gambar 6.1 Keterkaitan Aktual

Menanggapi lebih lanjut mengenai kondisi keterkaitan potensial tersebut,

sesuai dengan tujuan program ini, akan dilakukan pengembangan industri kecil

dan menengah agar mampu mendukung kegiatan industri besar sesuai dengan

prasyarat dan kondisi yang berlaku. Untuk mencapai prasyarat tersebut, perlu

dilakukan peningkatan kapasitas industri kecil tersebut melalui pendampingan,

pelatihan dan bantuan peralatan/teknologi.

Keterkaitan aktual

Kecil-menengah

Buffing-coatings

Buffing-fabrikasi

Buffing-coatings

Kecil-besar

Catering

Angkutan karyawan

Menengah-besar

Fabrikasi-otomotif

Page 95: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-2

Gambar 6.2 Keterkaitan Potensial

Di antara industri-indsutri yang berpotensial dikaitkan tersebut, dipilih

beberapa yang akan dikembangkan dalam program. Terkait dengan hal ini

dipertimbangkan bahwa keterkaitan mata rantai yang paling menguntungkan

adalah pada jenis keterkaitan input-output yang langsung dapat berkaitan dengan

komponen produksi. Dalam analisis sebelumnya juga telah dipaparkan bahwa di

antara jenis-jenis industri besar yang paling untuk dikembangkan mata rantainya

adalah otomotif. Dari sekian keterkaitan potensial yang kebanyakan berupa

keterkaitan jasa, keterkaitan bengkel las dengan fabrikasi pada dasarnya dinilai

berpotensi untuk ditingkatkan intensitasnya dengan cara meningkatkan kapasitas

bengkel las untuk menjadi suatu divisi dalam kegiatan fabrikasi. Namun

demikian, diperlukan paket pelatihan dan pendampingan agar bengkel las ini

mampu naik taraf menjadi divisi pengelasan yang akan menyuplai komponen

otomotif..

Sementara itu, keterkaitan potensial lainnya yang bersifat pendukung dan

jasa juga dapat direspon dengan pelatihan yang sifatnya nonteknis, melainkan

lebih menekankan kepada manajerial. Pengembangan kemitraan dan kontrak

dengan industri besar juga merupakan upaya yang dapat dilakukan untuk

mengembangkan potensi keterkaitan jasa dan pendukung tersebut untuk

menunjang kegiatan manufaktur.

Keterkaitan potensial

Kecil-menengah Bengkel las-

fabrikasi

Kecil-besar

Konveksi

Water treatment-otomotif

Water treatment-bangunan

Water treatment-tekstil

Menengah-besar

Page 96: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-3

Tabel VI.1 Logika Rencana Pengembangan Kapasitas Produksi Industri Kecil

Kondisi Saat Ini Kondisi yang Akan Dicapai Kebutuhan Pengembangan

Mata Rantai Input-Output

Karakteristik Mata Rantai

(Bengkel Las)

Belum bermitra, belum mampu menyuplai

komponen otomotif/permesinan

Produk bengkel las dapat menyuplai komponen

tertentu dalam permesinan dan fabrikasi

Pengembangan kemitraan dengan vendor

dan industri besar, dapat dilakukan melalui

pertemuan, pameran

Permodalan Sebagian tidak memiliki modal yang memadai Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan

masalah permodalan

Bantuan modal; dapat juga didukung

dengan peningkatan kapasitas melalui

pelatihan manajerial keuangan

Teknologi/peralatan Mesin las listrik konvensional Sudah menggunakan mesin las beraneka ragam

sesuai dengan produk yang dihasilkan

Bantuan peralatan

Kapasitas produksi Sesuai pesanan, terbatas, mengandalkan

perguliran modal uang

Dapat memenuhi permintaan pasokan dari

perusahaan tier di atasnya

Bantuan permodalan, peralatan

Kualifikasi Produk Baru mampu memproduksi barang untuk

keperluan rumahan, seperti pagar, teralis, dll.

Produk yang digunakan dalam permesinan/proses

fabrikasi, atau bengkel las dapat memberikan jasa

welding dalam proses fabrikasi

Peningkatan kapasitas SDM melalui

pelatihan teknis pengelasan (welding)

Kualifikasi SDM/Pekerja Tidak spesifik dengan latar belakang

pendidikan tertentu, dapat menggunakan

teknologi/peralatan las sederhana, dengan

kualitas

SDM yang siap dan terampil dalam menggunakan

alat las dengan berbagai jenis gas; kualitas produk

hasil pengelasan baik, tidak retak, dll.

Peningkatan kapasitas SDM melalui

pelatihan teknis pengelasan (welding), uji

mutu produk pengelasan

Mata Rantai Supporting/Jasa

Karakteristik Mata Rantai Sebagian besar belum bermitra dengan industri

besar di kawasan

UKM komponen pendukung dan jasa di sekitar

kawasan industri diprioritaskan oleh industri besar

untuk memasok produknya.

Pengembangan kemitraan dengan vendor

dan industri besar, dapat dilakukan melalui

pertemuan, pameran

Permodalan Sebagian tidak memiliki modal yang memadai

sehingga usaha terkadang terhambat

Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan

masalah permodalan

Bantuan permodalan, pelatihan manajerial

keuangan

Kapasitas produksi Sesuai pesanan, terbatas, mengandalkan

perguliran modal uang

Keberjalanan usaha tidak terhambat dengan

masalah permodalan

Bantuan permodalan

Kualifikasi Produk Memenuhi sesuai pesanan/kualifikasi yang

ditentukan pelanggan

Memenuhi sesuai pesanan/kualifikasi yang

ditentukan pelanggan

-

Kualifikasi SDM/Pekerja Tidak spesifik dengan latar belakang

pendidikan tertentu; kurang begitu memadai

dalam pengelolaan perusahaan

Penggerak usaha kecil mampu mengelola

usahanya dalam hal keuangan maupun

pengembangan perusahaan

Pemberian kompetensi manajerial dan

pengelolaan keuangan melalui pelatihan

Page 97: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-4

6.2 Rencana Pengembangan

Pengembangan kawasan inti terpadu yang akan dilakukan sebagai upaya

pengklusteran industri kecil dan menengah dimaksudkan agar IKM secara efisien

mampu memberikan input dan dukungan bagi industri besar sehingga

perkembangan kawasan industri yang cenderung menjadi enclave. Sehubungan

dengan hal ini diperlukan secara spesifik pengembangan mata rantai produksi

yang mengupayakan keterkaitan antara industri besar dengan industri menengah

dan industri kecil.

Sesuai dengan analisis yang telah dipaparkan sebelumnya, mata rantai

produksi tersebut terdiri dari tingkatan-tingkatan (tier) yang tidak bisa dilangkahi.

Dengan demikian, industri kecil yang pada saat ini berada pada tier di bawah

belum tentu bisa loncat begitu saja ke tier yang lebih tinggi. Peningkatan kapasitas

industri kecil dilakukan untuk meningkatkan kualifikasi dan produktivitas

sehingga ia dapat meningkatkan intensitas pasokan dan kemitraannya.

Pengembangan mata rantai industri kecil dibagi menjadi dua fokus.

Pertama, untuk industri kecil yang akan dikaitkan dengan proses produksi

komponen otomotif, dalam hal ini pengembangan keterkaitan input-output.

Kedua, untuk industri kecil komponen pendukung dan jasa. Pengembangan mata

rantai pada masing-masing fokus dilakukan dengan penekanan program yang

berbeda. Pengembangan keterkaitan input-output dilakukan dengan

mengutamakan kompetensi teknis dan kualitas produk karena berkaitan dengan

standardisasi yang diperlukan industri besar.

Pengembangan mata rantai input-output ini difokuskan kepada industri kecil

komponen produksi yang berpotensi memiliki keterkaitan langsung dengan proses

produksi. Jenis industri kecil yang dipilih adalah jasa bengkel las yang dapat

dikaitkan dengan usaha fabrikasi baik dalam pembuatan komponen tertentu

(bubut) maupun jasa pengelasan dalam kegiatan fabrikasi (menjadi divisi welding

dalam kegiatan fabrikasi). Program pengembangan yang disusun ini adalah

berdasarkan logika perencanaan dengan memandang kondisi saat ini harus

diintervensi agar terjadi kondisi yang diinginkan. Dalam rangka mencapai kondisi

yang diharapkan tersebut, diperlukan pengembangan atau usaha tertentu. Hal ini

telah disarikan pada Tabel IV.1 di atas.

Page 98: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-5

Tabel VI.2 Ikhtisar Rencana Kegiatan

No. Sasaran Kegiatan Materi Kegiatan Maksud Target Peserta Jumlah

Peserta Waktu

Kegiatan OPD

Penyelenggara 1 Pelatihan

Manajemen

Industri Kecil

Teknis

Pelatihan Teknik

Pengelasan Memberikan

keterampilan teknik

pengelasan untuk

menyokong kegiatan

fabrikasi dalam produksi

komponen otomotif.

Pengusaha dan pekerja

usaha bengkel las 20 Maret 2011 Badan Latihan

Ketenaga-

kerjaan, Dinas

Ketenagakerja-

an dan

Transmigrasi

Prov. Jawa Barat 2 Pelatihan Produksi

Industri Kecil Non

Teknis

Pelatihan

Manajemen dan

Keuangan

Memberikan kompetensi

pengelolaan perusahaan

dan keuangan dalam

meningkatkan kapasitas

produksi.

Pengusaha dan pekerja

industri kecil (termasuk

komponen jasa dan

pendukung)

40 April 2011 Dinas Koperasi

dan UMKM

Prov. Jawa Barat

3 Pendampingan

Industri Kecil 4 triwulan

pendampingan

pada tahun 2011

Memastikan kemajuan

peningkatan

produktivitas

Peserta yang mengikuti

pelatihan 40 Februari-

November 2011 Tim PHKI PWK

ITB

4 Pameran Produk Pameran tengah

tahun dan akhir

tahun

Memamerkan hasil

produksi, pengembangan

kemitraan dan kontrak

kerja sama

Peserta yang mengikuti

pelatihan 40 Juni dan

November 2011 Dinas Koperasi

dan UMKM

Prov. Jawa Barat

5 Pemberian bantuan

modal Bantuan

permodalan Membantu peningkatan

kapasitas produksi Peserta pelatihan yang

berprestasi Tentatif Juni 2011 Tentatif

6 Uji Mutu Uji mutu produk

hasil pelatihan

teknis

Memastikan kualitas

produk yang dilatihkan

pada pelatihan sesuai

dengan tuntutan standar/

kualitas pasar

Peserta pelatihan teknis 40 April-Mei 2010 Dinas

Perindustrian

dan Perdagangan

Prov. Jawa Barat

Page 99: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-6

Dalam rangka pengembangan mata rantai ini akan dilakukan beberapa

program, yaitu:

1. Pelatihan untuk pengusaha dan pekerja industri kecil.

Pelatihan dilakukan untuk memberikan keterampilan teknis dan nonteknis

yang diperlukan dalam pengembangan usaha dan peningkatan kapasitas

produksi. Pelatihan teknis yang diberikan berkaitan dengan proses pengelasan

yang dapat digunakan pada proes fabrikasi. Sementara itu, pelatihan nonteknis

yang diberikan adalah manajemen dan keuangan untuk mendukung

kebertahanan dan peningkatan produktivitas usaha.

2. Pendampingan industri kecil.

Pendampingan dilakukan untuk meninjau dan memastikan program pelatihan

dan pemberian bantuan dapat bermanfaat dan teraplikasikan. Melalui

pendampingan ini juga industri kecil akan dipantau perkembangan usahanya

agar mampu menuju kualifikasi yang diharapkan.

3. Pemberian bantuan permodalan

Pemberian bantuan permodalan akan diberikan melalui proses penyaluran

mekanisme tertentu dan diberikan kepada industri kecil yang menunjukkan

prestasi dan kemajuan selama proses pelatihan dan pendampingan.

4. Pameran

Pameran dilaksanakan untuk menunjukkan produk setelah periode tertentu

pada program. Pameran ini juga dijadikan wahana untuk pengembangan

kemitraan dan membuka kontrak kerja sama dengan industri besar.

5. Uji mutu produk

Uji mutu dilakukan untuk mengetes dan memastikan kualifikasi produk yang

dihasilkan SDM bengkel las yang mengikuti pelatihan sudah memenuhi

tuntutan standar atau kualitas pasar.

Program-program tersebut dilaksanakan dengan target keterkaitan mata

rantai sebagai berikut.

Page 100: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-7

Tabel VI.3 Target Program Pengembangan Mata Rantai

No. Indikator Kondisi

Baseline

Kondisi Target

2010 2011 2012

1 Jumlah Kontrak Pesanan yang disetujui antara

Industri Besar dengan Industri Menengah dan

Kecil

NA 0 15 20

2 Jumlah Kontrak Pesanan yang disetujui antara

Industri Menengah dengan Industri Kecil

NA 0 10 15

3 Prosentase Realisasi Kontrak Pesanan antara

Industri Besar dengan Industri Menengah dan Kecil

NA 0 0 100

4 Prosentase Realisasi Kontrak Pesanan Industri

Menengah dengan Industri Kecil

NA 0 0 100

6.3 Pedoman Pengembangan

Program pengembangan mata rantai ini pada prinsipnya dilaksanakan untuk

mencapai kualifikasi baik secara kuantitas pasokan yang diperlukan maupun

kualitas produk yang diterima oleh konsumen (industri besar). Pelaksanaan

program-program yang telah disebutkan di atas merupakan kesatuan yang terkait

satu sama lain dalam rangka pengembangan mata rantai. Pelaksanaan program itu

sendiri merupakan kolaborasi antara OPD terkait dengan Tim PHKI PWK ITB

dengan menekankan bahwa penyelenggara program adalah pemerintah. Tim

PHKI PWK ITB bertindak sebagai fasilitator mendampingi dan membina

interaksi antara industri kecil, menengah dan besar, pemerintah penyelenggara

program, dan penyandang dana.

Berikut ini pedoman pelaksanaan program pengembangan mata rantai

industri kecil dengan industri menengah dan besar.

Tabel VI.4 Pedoman Pelaksanaan Program

Langkah 1 Penentuan industri kecil yang akan diundang dalam program pelatihan

Sebelumnya dilakukan suatu pemetaan industri kecil yang ada di kawasan

inti untuk kemudian diundang untuk mengukuti seleksi pelatihan.

Langkah 2 Seleksi

Seleksi dilakukan untuk memilih sejumlah peserta sesuai dengan kapasitas

yang ditentukan.

Langkah 3 Pelaksanaan program pelatihan

Pelatihan dilakukan dengan program dan kurikulum yang disusun oleh

penyelenggara pelatihan. Setelah pelatihan selesai diharapkan peserta

pelatihan (industri kecil) sudah siap dengan kompetensi yang diharapkan.

Langkah 4.a Pemilihan industri yang akan mendapatkan bantuan

Dari pelatihan yang dilakukan, dipilih peserta yang berprestasi untuk

diberikan bantuan permodalan sehingga lebih siap meningkatkan kapasitas

produksi dan bermitra dengan industri menengah/besar.

Page 101: Laporan Akhir GABUNG

PROGRAM HIBAH KOMPETISI BERBASIS INSTITUSI (PHKI) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota SAPPK-Institut Teknologi Bandung (ITB) Program Peningkatan Nilai Tambah Mata Rantai Produksi melalui Pengembangan Kawasan Terpadu

Laporan Akhir C.2.1.1 Penetapan Mata Rantai Produksi yang Efisien VI-8

Langkah 4.b Pendampingan tahap 1

Pendampingan tahap awal setelah pelatihan selesai.

Langkah 5 Pendampingan tahap 2

Pendampingan diarahkan untuk mempersiapkan mengikuti pameran.

Langkah 6 Pameran tengah tahun

Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang

dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.

Langkah 7 Pendampingan tahap 3

Setelah pameran, industri kecil terus diarahkan untuk mulai membangun

kemitraan dengan industri menengah/besar. Pada kesempatan ini juga mulai

dibina pengembangan kesempatan membuka kontrak kerja.

Langkah 8 Pendampingan tahap 4

Pengembangan kemitraan terus dilakukan dan juga persiapan mengikuti

pameran akhir tahun dilakukan sehingga industri kecil lebih mantap dan siap

menghadapi pasar.

Langkah 9 Pameran akhir tahun

Pameran dilakukan untuk secara awal memperkenalkan produk yang

dihasilkannya kepada calon-calon mitra bisnis.