laporan 27b l7 (paling fix)

101
I. Skenario D blok 25 Tahun 2014 1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan menggunakan sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar kembali dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah. Dari hasil pemeriksaan diagnosis didapatkan: RR: 28x/menit, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6 V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub- conjungtival bleeding (-) Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul dengan dasar fraktur tulang Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba- tiba pasien tidak sadarkan diri. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan: 1

Upload: carollius-pratama-putra

Post on 29-Jan-2016

235 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Laporan 27B L7 (Paling Fix)

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

I. Skenario D blok 25 Tahun 2014

1 jam sebelum masuk RS, Bujang dianiaya oleh tetangganya dengan

menggunakan sepotong kayu. Bujang pingsan kurang lebih 5 menit kemudian sadar

kembali dan melaporkan kejadian ini ke kantor polisi terdekat. Polisi mengantar

Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum, di RSUD Bujang mengeluh

luka dan memar di kepala sebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

Dari hasil pemeriksaan diagnosis didapatkan:

RR: 28x/menit, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6 V5,

pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul

dengan dasar fraktur tulang

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

Tak lama setelah selesai dilakukan pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan

diri.

Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg

Pasien membuka mata dengan rangsangan nyeri, melokalisir nyeri, dan mengerang

dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahay pupil kanan negative,

reflex cahaya kiri reaktif/normal

Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3

orang perawat.

II. Klarifikasi Istilah

1. Pingsan : Hilangnya kesadaran sementara waktu yang oleh

iskemia serebral umum.

1

Page 2: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

2. Visum et repertum : Keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam

ilmu kedokteran forensic atas permintaan penyidik

yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medic

terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun

bagian atau diduga bagian tubuh manusia,

berdasarkan keilmuannya dan dibawah sumpah,

untuk kepentingan pro yustisia.

3. Memar : Sebuah perubahan warna kulit karena adanya

ekstravasasi darah ke jaringan yang mendasarinya.

4. Hematom : Pengumpulan darah setempat, umumnya mengumpal,

dalam organ, rongga, atau jaringan, akibat pecahnya

pembuluh darah.

5. Pupil isokor : Keadaan dimana kedua pupil sama besar dan

bentuknya.

6. Pupil anisokor : Keadaan dimana kedua pupil tidak sama besar dan

bentuknya juga tidak sama.

7. Fraktur : Pemecahan suatu bagian khususnya tulang.

8. Refleks cahaya pupil : Kontraksi pupil pada pemajanan retina terhadap

cahaya .

9. Ngorok : Respirasi bernada tinggi berisik seperti hembusan

angina sebuah tanda obstruksi gangguan pernafasan

terutama pada trakea dan laring.

III. Identifikasi masalah

1. Satu jam sebelum masuk RS Bujang dianiaya menggunakan sepotong kayu, lalu

pingsan kurang lebih 5 menit dan kemudian sadar kembali, dengan keluhan luka

dan memar dikepala disebelah kanan disertai nyeri kepala hebat dan muntah.

2. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum.

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28x/menit, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6 V5,

pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif

2

Page 3: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding (-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut tumpul

dengan dasar fraktur tulang

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

4. Tak lama setelah selesai pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.

5. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg.

Pasien membuka mata dengan rangsangan nyeri, melokalisir nyeri, dan

mengerangdalam bentuk kata-kata.

Pupil anisokor dekstra, reflex cahay pupil kanan negative, reflex cahaya kiri

reaktif/normal

6. Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu oleh 3

orang perawat.

IV. Analisis Masalah

1. Satu jam sebelum masuk RS Bujang dianiaya menggunakan sepotong kayu,

lalu pingsan kurang lebih 5 menit dan kemudian sadar kembali, dengan

keluhan luka dan memar dikepala disebelah kanan disertai nyeri kepala

hebat dan muntah.

a. Anatomi dan vaskularisasi kranial

(Sintesis)

b. Klasifikasi trauma

Cedera kepala dapat diklasifikasikan dalam berbagai aspek yang secara

deskripsi dapat dikelompokkan berdasar mekanisme, morfologi, dan beratnya

cedera kepala. (IKABI, 2004).

Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dikelompokkan menjadi dua

yaitu

1. Cedera kepala tumpul

Cedera kepala tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,

jatuh/pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan

3

Page 4: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

decelerasi yang menyebabkan otak bergerak didalam rongga kranial dan

melakukan kontak pada protuberas tulang tengkorak.

2. Cedera tembus

Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak atau tusukan. (IKABI, 2004)

Berdasarkan morfologi cedera kepala.

Cedera kepala menurut (Tandian, 2011). Dapat terjadi diarea tulang tengkorak

yang meliputi

1. Laserasi kulit kepala

Laserasi kulit kepala sering didapatkan pada pasien cedera kepala. Kulit

kepala/scalp terdiri dari lima lapisan (dengan akronim SCALP) yaitu skin,

connective tissue dan perikranii. Diantara galea aponeurosis dan periosteum

terdapat jaringan ikat longgar yang memungkinkan kulit bergerak terhadap

tulang. Pada fraktur tulang kepala, sering terjadi robekan pada lapisan ini.

Lapisan ini banyak mengandung pembuluh darah dan jaringan ikat longgar,

maka perlukaan yang terjadi dapat mengakibatkan perdarahan yang cukup

banyak.

2. Fraktur tulang kepala

Fraktur tulang tengkorak berdasarkan pada garis fraktur dibagi menjadi

a. Fraktur linier

Fraktur linier merupakan fraktur dengan bentuk garis tunggal atau stellata

pada tulang tengkorak yang mengenai seluruh ketebalan tulang kepala.

Fraktur lenier dapat terjadi jika gaya langsung yang bekerja pada tulang

kepala cukup besar tetapi tidak menyebabkan tulang kepala bending dan

tidak terdapat fragmen fraktur yang masuk kedalam rongga intrakranial.

b. Fraktur diastasis

Fraktur diastasis adalah jenis fraktur yang terjadi pada sutura tulamg

tengkorak yang mengababkan pelebaran sutura-sutura tulang kepala.

Jenis fraktur ini sering terjadi pada bayi dan balita karena sutura-sutura

belum menyatu dengan erat. Fraktur diastasis pada usia dewasa sering

4

Page 5: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

terjadi pada sutura lambdoid dan dapat mengakibatkan terjadinya

hematum epidural.

c. Fraktur kominutif

Fraktur kominutif adalah jenis fraktur tulang kepala yang meiliki lebih

dari satu fragmen dalam satu area fraktur.

d. Fraktur impresi

Fraktur impresi tulang kepala terjadi akibat benturan dengan tenaga besar

yang langsung mengenai tulang kepala dan pada area yang kecal. Fraktur

impresi pada tulang kepala dapat menyebabkan penekanan atau laserasi

pada duremater dan jaringan otak, fraktur impresi dianggap bermakna

terjadi, jika tabula eksterna segmen yang impresi masuk dibawah tabula

interna segmen tulang yang sehat.

e. Fraktur basis kranii

Fraktur basis kranii adalah suatu fraktur linier yang terjadi pada dasar

tulang tengkorak, fraktur ini seringkali diertai dengan robekan pada

durameter yang merekat erat pada dasar tengkorak. Fraktur basis kranii

berdasarkan letak anatomi di bagi menjadi fraktur fossa anterior, fraktur

fossa media dan fraktur fossa posterior. Secara anatomi ada perbedaan

struktur di daerah basis kranii dan tulang kalfaria. Durameter daerah

basis krani lebih tipis dibandingkan daerah kalfaria dan durameter daerah

basis melekat lebih erat pada tulang dibandingkan daerah kalfaria.

Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis dapat menyebabkan robekan

durameter. Hal ini dapat menyebabkan kebocoran cairan cerebrospinal

yang menimbulkan resiko terjadinya infeksi selaput otak (meningitis).

Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan rhinorrhea dan raccon eyes

sign (fraktur basis kranii fossa anterior), atau ottorhea dan batle’s sign

(fraktur basis kranii fossa media). Kondisi ini juga dapat menyebabkan

lesi saraf kranial yang paling sering terjadi adalah gangguan saraf

penciuman (N. olfactorius). Saraf wajah (N. facialis) dan saraf

pendengaran (N. vestibulokokhlearis). Penanganan dari fraktur basis

kranii meliputi pencegahan peningkatan tekanan intrakranial yang

5

Page 6: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

mendadak misalnya dengan mencegah batuk, mengejan, dan makanan

yang tidak menyebabkan sembelit. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung

dan telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (konsultasi ahli THT) pada

tanda bloody/ otorrhea/otoliquorrhea. Pada penderita dengan tanda-tanda

bloody/otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang

dan kepala miring ke posisi yang sehat.

3. Cedera kepala di area intrakranial.

Menurut (Tobing, 2011) yang diklasifikasikan menjadi cedera otak fokal

dan cedera otak difus.

a. Cedera otak fokal yang meliputi

Perdarahan epidural atau epidural hematoma (EDH)

Perdarahan subdural akut atau subdural hematom (SDH) akut.

Perdarahan subdural kronik atau SDH kronik

Perdarahan intra cerebral atau intracerebral hematom (ICH)

Perdarahan subarahnoit traumatika (SAH)

b. Cedera otak difus

Cedera akson difus (difuse aksonal injury) DAI

Kontsuio cerebri

Edema cerebri

Iskemia cerebri

Pada kasus ini, cedera kepala berdasarkan mekanismenya termasuk cedera

kepala tumpul, dan berdasarkan morfologinya merupakan fraktur basis kranii

fossa anterior (ada tanda racoon’s eye dan rhinorrhea)

c. Mekanisme trauma pada kasus

1. Berdasarkan skenario, trauma yang dialami oleh Bujang adalah trauma

mekanik tumpul (Cedera kepala tertutup ). Pada tulang kepala, termasuk di

antaranya selaput otak terjadi fraktur sehingga menyebabkan luka pada

daerah periferi arteri meningia media, yang menyebabkan perdarahan arteri.

Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga cepat

6

Page 7: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

progresifitasnya, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk

haematomaepiduralis. Penentuan diagnosis akan didapati lucidum

intervalum. Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak

rusak, hanya tertekan (depresi).

2. Luka pada region temporal dekstra yang dialami oleh bujang, diakibatkan

oleh pukulan dari kayu (benda keras), yang menyebabkan penakanan yang

keras dan tiba-tiba pada kulit sehingga menyebabkan luka

3. Memar pada regio temporal kepala Bujang terjadi juga karena penekanan

yang keras dan tiba – tiba pada region temporal dekstra yang menyebabkan

luka dan tulang temporal menjadi fraktur sehingga terjadi luka robek pada

pembuluh darah (kemungkinan arteri menigea media) di bagian temporal

sehingga terjadi ekstravasasi dari darah keluar sehingga terjadi hematoma.

Memar pada region orbita bujang bisa menjadi tanda terjadinya fraktur pada

basis cranii.

4. Nyeri kepala yang dialami oleh bujang terdiri atas dua :

a. Nyeri akut : terjadi akibat trauma yg dialami mengakibatkan kerusakan

jaringan yang menyebabkan terjadinya proses elektrofisiologik nosisepsi

yg terdiri dari transduksi,transmisi, modulasi, dan persepsi yang diterima

di thalamus.

b. setelah pingsan terjadi karena kompresi oleh karena pukulan yang sangat

keras (trauma) mengakibatkan reaksi tubuh untuk melakukan fase

penyembuhan luka (fase awal (hemostasis dan inflamasi), fase

intermediate, dan fase akhir). Pada fase awal terdapat inflamasi dimana

salah satu salah satu syarat inflamasi yaitu adanya nyeri (dolor).

5. Muntah terjadi karena adanya fase penyembuhan pada fase awal dimana

terjadinya inflamasi. Inflamasi mengeluarkan faktor” seperti serotonin dan

histamine yang memiliki reseptor serotonin 5 -HT dan reseptor histamine H1

yang terdapat pada area post trema, yang merupakan trigerzone terjadinya

muntah.

d. Makna klinis Bujang pingsan kurang lebih 5 menit dan sadar kembali

7

Page 8: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Gejala tersebut menunjukkan adanya lucid interval yaitu tenggang waktu

antara kejadian trauma kapitis dan mulai timbulnya penurunan kesadaran.

Lucid interval merupakan gejala khas pada epidural hematoma (EDH).

Mekanisme pingsan ± 5 menit lalu sadar :

Benturan kepala goncangan/akselerasi pada batang otak pons turun,

Arteri Basilaris meregang blokade reversibel dan gangguan perfusi ke

Ascending Reticulo Activation System (ARAS) penurunan kesadaran

pingsan selama 5 menit ketika blokade menghilang stabil (ARAS

kembali berfungsi) sadar kembali.

Mekanisme pingsan kembali :

Trauma kepala fraktur pecahnya arteri meningea media di antara

duramater dan tengkorak pembentukan hematoma di epidural TIK ↑

kompresi lobus temporalis ke arah bawah dan dalam herniasi uncus melalui

incisura tentorii menekan batang otak (ARAS) penurunan kesadaran

(pingsan) kembali.

e. Makna klinis nyeri kepala hebat dan muntah

Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood brain

barrier) sehingga cairan akan keluar dari pembuluh darah ke dalam jaringan

otak. Bila tekanan arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema dan

sebaliknya bila turun akan memperlambat. Edema jaringan menyebabkan

penekanan pada pembuluh-pembuluh darah mengakibatkan aliran darah

berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia. Jika kebutuhan oksigen

otak tidak terpenuhi, maka metabolisme akan beralih dari aerob ke

metabolisme anerob. Pada keadaan ini dihasilkan asam laktat yang

menstimulasi terjadinya nyeri kepala.

Selain itu cedera kepala juga mengakibatkan peningkatan tekanan

intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang serebral akibat

bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi dalam ruang kranium

8

Page 9: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

yang disebabkan karena edema serebri dan perdarahan serebral. Salah satu

gejala dari peningkatan tekanan intrakranial adalah adanya nyeri kepala.

Cedera kepala edema serebri Peningkatan TIK gangguan perfusi

jaringan serebral hipoksia serebral metabolisme anaerob peningkatan

asam laktat otak nyeri kepala

Muntah:

Cedera kepala dapat menimbulkan kerusakan sawar darah otak (blood brain

barrier), disertai vasodilatasi dan eksudasi cairan sehingga cairan akan keluar

dari pembuluh darah ke dalam jaringan otak dan terjadi edema. Bila tekanan

arterial meningkat akan mempercepat terjadinya edema. Edema menyebabkan

peningkatan tekanan pada jaringan dan akhirnya meningkatkan TIK.

Peningkatan tekanan intracranial yang cukup tinggi dapat menyebabkan

herniasi batang otak.

Penekanan pada batang otak akibat TIK yang tinggi (herniasi batang otak)

akan merangsang pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla

oblongata di dasar ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat

pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks

serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n.

X dan simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan

dihantarkan melalui serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X,

dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke

diafragma dan otot abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam,

penutupan glotis, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior,

kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan

rangsangan kontraksi semua otot abdomen akan memeras perut diantara

difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai

ke batas yang tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot sfingter

esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus.

Hal ini menyebabkan pada

9

Page 10: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Cedera kepala edema serebri Peningkatan TIK merangsang pusat

muntah di medulla oblongata impuls dihantarkan melalui saraf motorik

muntah

2. Polisi mengantar Bujang ke RSUD untuk dibuatkan visum et repertum.

a. Prosedur pembuatan visum et repertum (termasuk syarat dan cara pembuatan,

beserta contohnya)

Visum et Repertum

Visum et repertum adalah salah satu alat bukti yang sah sebagaimana

tertulis  dalam pasal 184 KUHP. Visum et repertum turut berperan dalam

proses pembuktian suatu perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia,

dimana VeR menguraikan segala sesuatu tentang hasil pemeriksaan medik

yang tertuang di dalam bagian pemberitaan, yang karenanya dapat dianggap

sebagai pengganti barang bukti. Visum et repertum juga memuat keterangan

atau pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medik tersebut yang tertuang

di dalam bagian kesimpulan. Dengan demikian visum et repertum secara utuh

telah menjembatani ilmu kedokteran dengan ilmu hukum sehingga dengan

membaca visum et repertum, dapat diketahui dengan jelas apa yang telah

terjadi pada seseorang, dan para praktisi hukum dapat menerapkan norma-

norma hukum pada perkara pidana yang menyangkut tubuh dan jiwa manusia.

Apabila visum et repertum belum dapat menjernihkan duduk persoalan di

sidang pengadilan, maka hakim dapat meminta keterangan ahli atau

diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam KUHAP, yang

memungkinkan dilakukannya pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang

bukti, apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa atau penasehat

hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan. Hal ini sesuai dengan pasal 180

KUHAP.

Bagi penyidik (Polisi/Polisi Militer) visum et repertum berguna untuk

mengungkapkan perkara. Bagi Penuntut Umum (Jaksa) keterangan itu berguna

untuk menentukan pasal yang akan didakwakan, sedangkan bagi Hakim

sebagai alat bukti formal untuk menjatuhkan pidana atau membebaskan

10

Page 11: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

seseorang dari tuntutan hukum. Untuk itu perlu dibuat suatu Standar Prosedur

Operasional Prosedur (SPO) pada suatu Rumah Sakit tentang tata laksana

pengadaan visum et repertum.

Berikut adalah syarat-syarat visum:

1. data dari penyidik (pangkat paling rendah Ajun inspektur polisi dua)

2. Tertulis

3. Pemeriksaan Luar atau Pemeriksaan Dalam (khusus jenazah)

4. Label atau segel (khusus jenazah)

Bentuk Visum et Repertum berdasarkan objek :

1. Visum et Repertum Korban Hidup

Visum et Repertum

Visum et Repertum diberikan kepada korban setelah diperiksa

didapatkan lukanya tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk

menjalankan pekerjaan atau aktivitasnya.

Visum et Repertum Sementara

Misalnya visum yang dibuat bagi si korban yang sementara masih

dirawat di rumah sakit akibat luka-lukanya akibat penganiayaan.

Visum et Repertum Lanjutan

Misalnya visum bagi si korban yang lukanya tersebut (Visum et

Repertum Sementara) kemudian lalu meninggalkan rumah sakit ataupun

akibat luka-lukanya tersebut si korban kemudian di pindahkan ke rumah

sakit atau dokter lain ataupun meninggal dunia.

2. Visum et Repertum pada mayat

Visum pada mayat dibuat berdasarkan otopsi lengkap atau dengan kata

lain berdasarkan pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada mayat.

3. Visum et Repertum Pemeriksaan di Tempat Kejadian Perkara (TKP)

4. Visum et Repertum Penggalian Mayat

5. Visum et Repertum Mengenai Umur

6. Visum et Repertum Psikiatrik

7. Visum et Repertum Mengenai Barang Bukti

11

Page 12: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Misalnya berupa jaringan tubuh manusia, bercak darah, sperma dan

sebagainya.

Struktur dan Isi:

a. Diketik di atas kertas berkepala surat instansi pemeriksa

b. Bernomor dan bertanggal

c. Mencantumkan kata ”Pro Justitia” di bagian atas kiri (kiri atau tengah)

d. Menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar

e. Tidak menggunakan singkatan, terutama pada waktu mendeskripsikan

temuan pemeriksaan

f. Tidak menggunakan istilah asing

g. Ditandatangani dan diberi nama jelas

h. Berstempel instansi pemeriksa tersebut

i. Diperlakukan sebagai surat yang harus dirahasiakan

j. Hanya diberikan kepada penyidik peminta visum et repertum. Apabila ada

lebih dari satu instansi peminta, misalnya penyidik POLRI dan penyidik

POM, dan keduanya berwenang untuk itu, maka kedua instansi tersebut

dapat diberivisum et repertum masing-masing asli

k. Salinannya diarsipkan dengan mengikuti ketentuan arsip pada umumnya,

dan disimpan sebaiknya hingga 20 tahun

Pada umumnya visum et repertum dibuat mengikuti struktur sebagai berikut :8

1. Pro Justitia

Kata ini harus dicantumkan di kiri atas, dengan demikian visum et

repertum tidak perlu bermeterai.

CONTOH :

Palembang, 12 Juni 2013

PRO JUSTITIA

12

Page 13: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

VISUM ET REPERTUM

No. /TUM/VER/VIII/2013

2. Pendahuluan

Pendahuluan memuat : identitas pemohon visum et repertum, tanggal dan

pukul diterimanya permohonan visum et repertum, dentitas dokter yang

melakukan pemeriksaan, identitas objek yang diperiksa : nama, jenis

kelamin, umur, bangsa, alamat, pekerjaan, kapan dilakukan pemeriksaan,

dimana dilakukan pemeriksaan, alasan dimintakannya visum et repertum,

rumah sakit tempat korban dirawat sebelumnya, pukul korban meninggal

dunia, keterangan mengenai orang yang mengantar korban ke rumah sakit

CONTOH :

Yang bertandatangan di bawah ini, Dedi Afandi, dokter spesialis forensik

pada RSUD Arifin

Achmad, atas permintaan dari kepolisian sektor.........dengan suratnya

nomor.......................... tertanggal....................maka dengan ini menerangkan

bahwa pada tanggal..........pukul...........bertempat di RSUD Arifin Achmad,

telah melakukan pemeriksaan korban dengan nomor

registrasi..................yang menurut surat tersebut adalah :

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Warga negara :

Pekerjaan :

Agama :

Alamat :

3. Pemberitaan (Hasil Pemeriksaan)

Memuat hasil pemeriksaan yang objektif sesuai dengan apa yang diamati

terutama dilihat dan ditemukan pada korban atau benda yang diperiksa.

Pemeriksaan dilakukan dengan sistematis dari atas ke bawah sehingga tidak

ada yang tertinggal. Deskripsinya juga tertentu yaitu mulai dari letak

13

Page 14: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

anatomisnya, koordinatnya (absis adalah jarak antara luka dengan garis

tengah badan, ordinat adalah jarak antara luka dengan titik anatomis

permanen yang terdekat), jenis luka atau cedera, karakteristiknya serta

ukurannya. Rincian ini terutam penting pada pemeriksaan korban mati yang

pada saat persidangan tidak dapat dihadirkan kembali.

Pada pemeriksaan korban hidup, bagian ini terdiri dari :

a. Hasil pemeriksaan yang memuat seluruh hasil pemeriksaan, baik

pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan

penunjang lainnya. Uraian hasil pemeriksaan korban hidup berbeda

dengan pada korban mati, yaitu hanya uraian tentang keadaan umum dan

perlukaan serta hal-hal lain yang berkaitan dengan tindak pidananya

(status lokalis).

b. Tindakan dan perawatan berikut indikasinya, atau pada keadaan

sebaliknya, alasan tidak dilakukannya suatu tindakan yang seharusnya

dilakukan. Uraian meliputi juga semua temuan pada saat dilakukannya

tindakan dan perawatan tersebut. Hal ini perlu diuraikan untuk

menghindari kesalahpahaman tentang-tepat tidaknya penanganan dokter

dan tepat-tidaknya kesimpulan yang diambil.

c. Keadaan akhir korban, terutama tentang gejala sisa dan cacat badan

merupakan hal penting guna pembuatan kesimpulan sehingga harus

diuraikan dengan jelas. Pada bagian pemberitaan memuat 6 unsur yaitu

anamnesis, tanda vital, lokasi luka pada tubuh, karakteristik luka, ukuran

luka, dan tindakan pengobatan atau perawatan yang diberikan.

CONTOH :

HASIL PEMERIKSAAN :

1. Korban datang dalam keadaan sadar dengan keadaan umum sakit

sedang. Korban mengeluh sakit kepala dan sempat pingsan setelah

kejadian pemukulan pada kepala –

2. Pada korban ditemukan --------------------------------------------------------

14

Page 15: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

a. Pada belakang kepala kiri, dua sentimeter dan garis pertengahan

belakang, empat senti meter diatas batas dasar tulang, dinding luka

kotor, sudut luka tumpul, berukuran tiga senti meter kali satu senti

meter, disekitarnya dikelilingi benjolan berukuran empat sentimeter

kali empat senti meter -----------------------

b. Pada dagu, tepat pada garis pertengahan depan terdapat luka

terbuka tepi tidak rata, dasar jaringan bawah kulit,dinding kotor,

sudut tumpul, berukuran dua senti meter kali setengah sentimeter

dasar otot.----------

c. Lengan atas kiri terdapat gangguan fungsi, teraba patah pada

pertengahan serta nyeri pada penekanan. --------------------------------

d. Korban dirujuk ke dokter syaraf dan pada pemeriksaan didapatkan

adanya cedera kepala ringan. ----------------------------------------------

3. Pemeriksaan foto Rontgen kepala posisi depan dan samping tidak

menunjukkan adanya patah tulang. Pemeriksaan foto rontgen lengan

atas kiri menunjukkan adanya patah tulang lengan atas pada

pertengahan. -------------------------------------

4. Terhadap korban dilakukan penjahitan dan perawatan luka, dan

pengobatan. ------

5. Korban dipulangkan dengan anjuran kontrol seminggu lagi.-------------

6. Kesimpulan

Memuat hasil interpretasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah dari fakta yang ditemukan sendiri oleh dokter pembuat visum

et repertum, dikaitkan dengan maksud dan tujuan dimintakannya

visum et repertum tersebut. Pada bagian ini harus memuat minimal 2

unsur yaitu jenis luka dan kekerasan dan derajat kualifikasi luka.

CONTOH :

KESIMPULAN : ---------------------------------------------------------------

Pada pemeriksaan korban laki-laki berusia tiga puluh empat tahun ini

ditemukan cedera kepala ringan, luka terbuka pada belakang kepala

kiri dan dagu serta patah tulang tertutup pada lengan atas kiri akibat

15

Page 16: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

kekerasan tumpul. Cedera tersebut telah mengakibatkan penyakit

/halangan dalam menjalankan pekerjaan jabatan/pencaharian untuk

sementara waktu.

4. Penutup

a. Memuat pernyataan bahwa keterangan tertulis dokter tersebut dibuat

dengan mengingat sumpah atau janji ketika menerima jabatan atau dibuat

dengan mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu sebelum melakukan

pemeriksaan

b. Dibubuhi tanda tangan dokter pembuat visum et repertum

CONTOH :

Demikianlah visum et repetum ini dibuat dengan sebenarnya dengan

menggunakan keilmuan yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai

dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dokter Pemeriksa

1. Visum et repertum dibuat dan ditandatangani oleh dokter yang menangani

pasien tersebut Sesuai dengan jenis permintaan visum dari Pihak Kepolisian

2. Visum Et Repertum dapat dibuat apabila pasien benar-benar pasien di

RSUD dan bukan pasien death of arrival (yang meninggal di perjalanan)

sebelum sampai ke RSUD.

3. Yang berhak mengajukan visum adalah pihak Kepolisian (Resort, sektor dan

Militer) dengan pangkat minimal Kapten dan AKP (ajudan komisaris

polisi).

4. Pengambilan Visum et Repertum yang sudah Jadi harus diambil Langsung

oleh pihak Kepolisian, selain dari pihak Kepolisian tidak diperkenankan

untuk mengambilnya.

b. Tujuan dan fungsi pembuatan visum et repertum

16

Page 17: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Maksud pembuatan VeR adalah sebagai salah satu barang bukti (corpus

delicti) yang sah di pengadilan karena barang buktinya sendiri telah berubah

pada saat persidangan berlangsung. Jadi VeR merupakan barang bukti yang sah

karena termasuk surat sah sesuai dengan KUHP pasal 184.

Ada 5 barang bukti yang sah menurut KUHP pasal 184, yaitu:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Keterangan terdakwa

4. Surat-surat

5. Petunjuk

Ada 3 tujuan pembuatan VeR, yaitu:

1. Memberikan kenyataan (barang bukti) pada hakim

2. Menyimpulkan berdasarkan hubungan sebab akibat

3. Memungkinkan hakim memanggil dokter ahli lainnya untuk membuat

kesimpulan VeR yang lebih baru

3. Dari hasil pemeriksaan didapatkan:

RR: 28x/menit, Tekanan Darah 130/90 mmHg, Nadi: 50x/menit, GCS: E4 M6

V5, pupil isokor, reflex cahaya: pupil kanan reaktif, pupil kiri reaktif

Regio Orbita: Dextra et sinistra tampak hematom, sub-conjungtival bleeding

(-)

Regio Temporal dextra: Tampak luka ukuran 6x1 cm, tepi tidak rata, sudut

tumpul dengan dasar fraktur tulang

Regio Nasal: tampak darah segar mengalir dari kedua lubang hidung

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan vital sign?

No Pemeriksaan fisik Normal Interpretasi

1 RR : 28 x/mnt 16-24

x/menit

Takipneu, merupakan kompensasi dari ↓

perfusi otak untuk menjaga perfusi otak

adekuat.

17

Page 18: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

CPP = MAP - ICP

2 TD 130/90 mmHg 120/80

mmHg

Hipertensi, kompensasi iskemik otak.

Dengan rumus :

Jika tekanan intracranial meningkat

maka MAP juga harus meningkat agar

perfusi otak tetap adekuat. Peningkatan

MAP menyebabkan peningkatan tekanan

darah.

TIK (ICP) ↑kompensasi untuk

mempertahankan CPPpeningkatan

MAPhipertensi

3 Nadi 50 x/mnt 60-100

mmHg

Bradikardi, akibat penekanan pada

medulla oblongata yang selanjutnya

merangsang pusat inhibisi jantung.

b. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan orbita?

Trauma yang dialami oleh penderita mengakibatkan terjadinya fraktur dari

basis cranii fossa anterior yang bisa dilihat dari adanya hematom pada regio

orbita (racoon’s eye) dan darah yg keluar dari hidung. Ketika terjadi trauma

pada basis cranii maka akan terjadi fraktur dan terjadi perdarahan pada tulang-

tulang basis cranii (pada kasus ini terjadi fraktur pada fossa anterior) sehingga

terjadi manifestasi darah di region orbita dan dari hidung.

c. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan temporal?

Pada regio temporal terdapat luka dan fraktur tulang. Menurut penyebabnya

luka pada kasus ini termasuk Vulnus laceratum (Laserasi). Jenis luka ini

disebabkan oleh karena benturan dengan benda tumpul, dengan ciri luka tepi

luka tidak rata dan perdarahan sedikit luka dan meningkatkan resiko infeksi.

Fossa anterior dibentuk oleh os frontal di bagian depan dan samping,

lantainya dibentuk oleh os frontale pars orbitale, pars cribriformis os

ethmoidal, dan bagian depan dari alae minor os sphenoid. Fossa ini

18

Page 19: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

menampung traktus olfaktorius dan permukaan basal dari lobus frontalis, dan

hipofise. Fossa anterior dan media dipisahkan di lateral oleh tepi posterior alae

minor ossphenoidale, dan di medial oleh jugum sphenoidale. Pada fossa cranii

anterior terdapat sinus frontalis di bagian depan, alae minor os sphenoidale

yang dengan bersama-sama pars orbitalis osfrontal membentuk atap orbita

dengan struktur-struktur di midline, diantaranya terdapat crista galli, pars

cribriformis dan pars sphenoidal.

Pada kasus ini, kemungkinan fraktur terjadi pada alae minor os sphenoid,

karena merupakan tulang di regio temporal yang merupakan bagian dari fossa

anterior basis kranii.

Mekanisme: Pukulan benda tumpulfraktur basis kranii dan vulnus laseratum

d. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan nasal?

Darah segar mengalir dari kedua hidung = rhinorhea/rhinoragia.

rhinorhea/rhinoragia menandakan adanya fraktur basic cranii anterior.

4. Tak lama setelah selesai pemeriksaan, tiba-tiba pasien tidak sadarkan diri.

a. Makna klinis pasien tak sadarkan diri

Ruang intracranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. ). Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama

ini mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan

menaikan tekanan intracranial. Hipotesis Monro-Kellie memberikan suatu

contoh konsep pemahaman peningkatan TIK. Teori ini menyatakan bahwa

tulang tengkorak tidak dapat meluas sehingga bila salah satu dari ketiga

ruangannya meluas, dua ruang lainnya harus mengkompensasi dengan

mengurangi volumenya (apabila TIK masih konstan). Mekanisme kompensasi

intracranial ini terbatas, tetapi terhentinya fungsi neural ini dapat menjadi parah

bila mekanisme ini gagal. Kompensasi terdiri dari meningkatnya aliran CSF

kedalam kanalis spinalis dan adaptasi otak terhadap peningkatan tekanan tanpa

meningkatkan TIK. Edema menyebabkan peningkatan tekanan pada jaringan

dan akhirnya meningkatkan TIK, yang pada gilirannya akan menurunkan aliran

19

Page 20: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

darah otak (ADO), iskemia, hipoksia, asidosis (penurunan pH dan peningkatan

PCo2), Mekanisme kompensasi yang berpotensi mengakibatkan kematian

adalah penurunan aliran darah ke otak dan pergeseran otak ke arah bawah atau

horizontal (herniasi) bila TIK makin meningkat Perdarahan, pembengkakan

dan penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan

oleh pertumbuhan massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat

bertambah luas, maka peningkatan tekanan bisa merusak atau menghancurkan

jaringan otak. Karena posisinya di dalam tengkorak, maka tekanan cenderung

mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa terdorong ke dalam lubang

yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini disebut herniasi.

Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui

lubang pada dasar otak.

Pada skenario ini terjadi herniasi unkus, yakni herniasi lobus temporalis

bagian mesial terutama unkus. Herniasi ini disebabkan oleh kompresi

rostrokaudal progresif ; secara bertahap tekanan makin kekaudal dan makin

berat, dan dikenal empat tahap dengan sindrom yang khas, diantaranya :

1. Bagian yang tertekan adalah diensefalon dan nukleus hipotalamus

2. Penekanan terhadap mesensefalon. Dalam keadaan ini N.III ipsilateral akan

terjepit diantara arteri serebri posterial dan arteri serebri superior sehingga

terjadilah oftalmoplegi ipsilateral.

3. Apabila penekanan terus berlangsung maka pons akan tertekan dan akhirnya

akan berlanjut menekan medula oblongata

Cedera kepala edema serebri Peningkatan TIK herniasi unkus

kompresi pada siklus ateria formatio retikularis di medulla oblongata

iskemia dan edema Asenden Raticular Activating System (ARAS)

Gangguan kesadaran (pasien tidak sadar)

5. Dari hasil pemeriksaan pada saat terjadi penurunan kesadaran didapatkan:

Pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah 140/90 mmHg

20

Page 21: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Pasien membuka mata dengan rangsangan nyeri, melokalisir nyeri, dan

mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex cahay

pupil kanan negative, reflex cahaya kiri reaktif/normal

a. Makna klinis pasien ngorok, RR 24x/menit, Nadi 50x/menit, tekanan darah

140/90 mmHg

1. Pasien Ngorok

Herniasi unkus penekanan pada medual oblongata sistem ARAS

terganggu penurunan kesadaran (GCS 10) udara yang masuk melalui

mulut mengalami turbulensi pasien ngorok

2. Bradikardi dan GCS 10

Trauma tumpul temporal dextra a. meningea media robek perdarahan

epidural (perlu pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume

intracranial ↑ compliance pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang

spinal perdarahan masih berlangsung compliance pertama tidak

adekuat Tekanan intracranial terus ↑ pergeseran jaringan dari lobus

temporal ke pinggiran tentorium herniasi unkus menekan batang otak

(fosa posterior) bradikardi dan penurunan kesadaran (GCS 10)

3. Peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg)

Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan

epidural (perlu pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume

intracranial ↑ compliance pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang

spinal perdarahan masih berlangsung compliance pertama tidak

adekuat volume intracranial ↑ Tekanan intracranial terus ↑

Cerebral Perfusion Pressure ↓ CBF ↓ kompensasi peningkatan

tekanan sistemik peningkatan tekanan darah (140/90 mmHg)

b. Makna klinis Pasien membuka mata dengan rangsangan nyeri, melokalisir

nyeri, dan mengerang dalam bentuk kata-kata. Pupil anisokor dekstra, reflex

cahaya pupil kanan negative

21

Page 22: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Membuka mata dengan respon nyeri : GCS (E) nilai 2.

Mengerang dalam bentuk kata-kata : GCS (V) nilai 3.

Melokalisir nyeri : GCS (M) nilai 5.

Interpretasi terjadi penurunan kesadaran yang diakibatkan oleh kompresi

dan peningkatan tekanan intra kranial yang menyebabkan menurunnya suplai

oksigen dan nutrisi ke otak.

Nilai GCS E2V3M5. Nilai GCS 10 (somnolen)

Pupil anisokor dextra – reflex cahaya pupil kanan negative

Trauma tumpul temporal a. meningea media robek perdarahan

epidural (perlu pemeriksaan CT scan untuk memastikan) volume

intracranial ↑ compliance pertama oleh otak mengeluarkan CSF ke ruang

spinal perdarahan masih berlangsung compliance pertama tidak

adekuat Tekanan intracranial terus ↑ pergeseran jaringan dari lobus

temporal ke pinggiran tentorium herniasi unkus menekan saraf

parasimpatis n. III tidak terjadi vasokonstriksi pupil tidak ada

hambatan terhadap saraf simpatis midriasis ipsilateral (mata kanan)

pupil anisokor dextra dan reflex cahaya pupil kanan negatif

c. Tentukan GCS pasien

22

Page 23: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Jenis Pemeriksaan Nilai

Respon buka mata (Eye Opening, E)

·      Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)

·      Respon terhadap suara (suruh buka mata)

·      Respon terhadap nyeri (dicubit)

·      Tida ada respon (meski dicubit)

4

3

2

1

Respon verbal (V)

·         Berorientasi baik

·         Berbicara mengacau (bingung)

·         Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan

substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya,

“aduh… bapak..”)

·         Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)

·         Tidak ada suara

5

4

3

2

1

Respon motorik terbaik (M)

·      Ikut perintah

·      Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan

stimulus saat diberi rangsang nyeri)

6

5

23

Page 24: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

·      Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)

·      Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau

keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat

diberi rangsang nyeri)

·      Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau

keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal &

kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)

·      Tidak ada (flasid)

4

3

1

2

6. Pada saat itu anda merupakan dokter jaga UGD di RSUD tersebut dibantu

oleh 3 orang perawat.

a. Standar pelayanan yang diberikan oleh dokter dan tenaga medis di UGD

RSUD

STANDAR PELAYANAN GAWAT DARURAT

STANDAR 1 :  FALSAFAH DAN TUJUAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat dapat memberikan pelayanan gawat darurat

kepada masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan,

sesuai dengan standar.

Kriteria :

1. Rumah Sakit menyelenggarakan pelayanan gawat darurat secara terus

menerus selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.

2. Ada instalasi / unit Gawat Darurat yang tidak terpisah secara fungsional dari

unit-unit pelayanan lainnya di rumah sakit.

3. Ada kebijakan / peraturan / prosedur tertulis tentang pasien yang tidak

tergolong akut gawat akan tetapi datang untuk berobat di Instalasi / Unit

Gawat Darurat.

24

Page 25: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

4. Adanya evaluasi tentang fungsi instalasi / Unit Gawat Darurat disesuaikan

dengan kebutuhan masyarakat.

5. Penelitian dan pendidikan akan berhubungan dengan fungsi instalasi / Unit

Gawat Darurat dan kesehatan masyrakat harus diselenggarakan.

STANDAR 2 :  ADMINISTRASI DAN PENGELOLAAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat harus dikelola dan diintegrasikan dengan

Instalasi / Unit Lainnya di Rumah Sakit.

Kriteria :

1. Ada dokter terlatih sebagai kepala Instalasi / Unit Gawat Darurat yang

bertanggungjawab atas pelayanan di Instalasi / Unit Gawat Darurat.

2. Ada Perawat sebagai penganggungjawab pelayanan keperawatan gawat

darurat.

3. Semua tenaga dokter dan keperawatan mampu melakukan teknik

pertolongan hidup dasar (Basic Life Support).

4. Ada program penanggulangan korban massal, bencana (disaster

plan) terhadap kejadian di dalam rumah sakit ataupun di luar rumah sakit.

5. Semua staf / pegawai harus menyadari dan mengetahui kebijakan dan

tujuan dari unit.

Pengertian : Meliputi kesadaran sopan santun, keleluasaan pribadi

(privacy), waktu tunggu, bahasa, perbedaan rasial / suku, kepentingan

konsultasi dan bantuan sosial serta bantuan keagamaan.

6. Ada ketentuan tertulis tentang manajemen informasi medis (prosedur)

rekam medik.

7. Semua pasien yang masuk harus melalui Triase. Pengertian : Bila perlu

triase dilakukan sebelum indentifikasi.

8. Triase harus dilakukan oleh dokter atau perawat senior yang berijazah /

berpengalaman.

9. Triase sangat penting untuk penilaian kegawat daruratan pasien dan

pemberian pertolongan / terapi sesuai dengan derajat kegawatdaruratan

yang dihadapi.

25

Page 26: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

10. Petugas triase juga bertanggungjawab dalam organisasi dan pengawasan

penerimaan pasien dan daerah ruang tunggu.

11. Rumah Sakit yang hanya dapat memberi pelayanan terbatas pada pasien

gawat darurat harus dapat mengatur untuk rujukan ke rumah sakit lainnya.

Kriteria :

Ada ketentuan tertulis indikasi tentang pasien yang dirujuk ke rumah

sakit lainnya.

Ada ketentuan tertulis tentang pendamping pasien yang di transportasi.

Pasien dengan kegawatan yang mengancam nyawa harus selalu

diobservasi dan dipantau oleh tenaga terampil dan mampu.

Pengertian : Pemantauan terus dilakukan sewaktu transportasi ke bagian

lain dari rumah sakit atau rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang

lainnya dan pasien harus didampingi oleh tenaga yang terampil dan

mampu memberikan pertolongan bila timbul kesulitan. Umumnya

pendamping seorang dokter.

Ada jadwal jaga harian bagi konsulen, dokter dan perawat serta petugas

non medis yang bertugas di UGD.

1. Pelayanan radiologi, hematologi, kimia, mikrobiologi dan patologi

harus diorganisir / diatur sesuai kemampuan pelayanan rumah sakit.

2. Ada pelayanan transfusi darah selama 2 jam.

3. Ada ketentuan tentang pengadaan peralatan obat-obatan life saving,

cairan infus sesuai dengan stándar dalam Buku Pedoman Pelayanan

Gawat Darurat Depkes yang berlaku.

4. Pasien yang dipulangkan harus mendapat petunjuk dan penerangan

yang jelas mengenai penyakit dan pengobatan selanjutnya.

5. Rekam Medik harus disediakan untuk setiap kunjungan.

Pengertian :

Sistem yang optimum adalah bila rekam medik unit gawat darurat

menyatu dengan rekam medik rumah sakit. Rekam medik harus

dapat melayani selama 24 jam.

26

Page 27: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Bila hal ini tidak dapat diselenggarakan setiap pasien harus

dibuatkan rekam medik sendiri. Rekam medik untuk pasien

minimal harus mencantumkan :

o Tanggal dan waktu datang.

o Catatan penemuan klinik, laboratorium, dan radiologik.

o Pengobatan dan tindakan yang jelas dan tepat serta waktu

keluar dari unit gawat darurat.

o Identitas dan tanda tangan dari dokter yang menangani.

Ada bagan / struktur organisasi tertulis disertai uraian tugas

semua petugas lengkap dan sudah dilaksanakan dengan baik.

STANDAR 3 :  STAF DAN PIMPINAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat harus dipimpin oleh dokter, dibantu oleh

tenaga medis keperawatan dan tenaga lainnya yang telah mendapat pelatihan

penanggulangan gawat darurat (PPGD).

Kriteria :

1. Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang tersedia di Instalasi / Unit Gawat

Darurat harus sesuai dengan kebutuhan pelayanan.

2. Unit harus mempunyai bagan oranisasi (organ – organ) yang dapat

menunjukkan hubungan antara staf medis, keperawatan, dan penunjang

medis serta garis otoritas, dan tanggung jawab.

3. Instalasi / Unit Gawat Darurat harus ada bukti tertulis tentang pertemuan

staf yang dilakukan secara tetap dan teratur membahas masalah pelayanan

gawat dan langkah pemecahannya.

4. Rincian tugas tertulis sejak penugasan harus selalu ada bagi tiap petugas.

5. Pada saat mulai diterima sebagai tenaga kerja harus selalu ada bagi tiap

petugas.

6. Harus ada program penilaian untuk kerja sebagai umpan balik untuk seluruh

staf No. Telp. petugas.

7. Harus ada daftar petugas, alamat dan nomor telephone.

27

Page 28: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

STANDAR 4 :  FASILITAS DAN PERALATAN

Fasilitas yang disediakan di instalaasi / unit gawat darurat harus menjamin

efektivitas dan efisiensi bagi pelayanan gawat darurat dalam waktu 24 jam, 7

hari seminggu secara terus menerus.

Kriteria :

1. Di Instalasi gawat darurat harus ada petunjuk dan informasi yang jelas bagi

masyarakat sehingga menjamin adanya kemudahan, kelancaran dan

ketertiban dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

2. Letak unit / instalasi harus diberi petunjuk jelas sehingga dapat dilihat dari

jalan di dalam maupun di luar rumah sakit.

3. Ada kemudahan bagi kendaraan roda empat dari luar untuk mencapai lokasi

instalasi / UGD di rumah sakit, dan kemudahan transportasi pasien dari dan

ke UGD dari arah dalam rumah sakit.

4. Ada pemisahan tempat pemeriksaan dan tindakan sesuai dengan kondisi

penyakitnya.

5. Daerah yang tenang agar disediakan untuk keluarga yang berduka atau

gelisah.

6. Besarnya rumah sakit menentukan perlu tidaknya :

Ruang penyimpanan alat steril, obat cairan infus, alat kedokteran serta

ruang penyimpanan lain.

Ruang kantor untuk kepala staf, perawat, dan lain-lain.

Ruang pembersihan dan ruang pembuangan.

Ruang rapat dan ruang istirahat.

Kamar mandi.

7. Ada sistem komunikasi untuk menjamin kelancaran hubungan antara unit

gawat darurat dengan :

Unit lain di dalam dan di luar rumah sakit terkait.

RS dan sarana kesehatan lainnya.

8. Pelayanan ambulan.

9. Unit pemadam kebakaran.

10. Konsulen SMF di UGD.

28

Page 29: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

11. Harus ada pelayanan radiologi yang di organisasi dengan baik serta

lokasinya berdekatan dengan unit gawat darurat.

Pengertian :

Pelayanan radiologi haarus dapat dilakukan di luar jam kerja. Pelayanan

radiologi sangat penting dan dalam unit yang besar harus terletak di dalam

unit. Harus tersedia untuk membaca foto untuk akomodasi staf radiologi.

12. Tersedianya alat dan obat untuk Life Saving sesuai dengan standar pada

Buku Pedoman Pelayanan Gawat Darurat yang berlaku.

STANDAR 5 :  KEBIJAKAN DAN PROSEDUR

Harus ada kebijakan dan prosedur pelaksanaan tertulis di unit yang selalu

ditinjau dan disempurnakan (bila perlu) dan mudah dilihat oleh seluruh

petugas.

Kriteria :

1. Ada petunjuk tertulis / SOP untuk menangani :

2. Kasus perkosaan

3. Kasus keracunan missal

4. Asuransi kecelakaan

5. Kasus dengan korban missal

6. Kasus lima besar gawat darurat murni (true emergency) sesuai dengan data

morbiditas instalasi / unit gawat darurat

7. Kasus kegawatan di ruang rawat

8. Ada prosedur media tertulis yang antara lain berisi :

9. Tanggungjawab dokter

10. Batasan tindakan medis

11. Protokolmedis untuk kasus-kasus tertentu yang mengancam jiwa

12. Ada prosedur tetap mengenai penggunaan obat dan alat untuk life saving

sesuai dengan standar.

13. Ada kebijakan dan prosedur tertulis tentang ibu dalam proses persalinan

normal maupun tidak normal.

29

Page 30: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

STANDAR 6 :  PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM

PENDIDIKAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat dapat dimanfaatkan untuk pendidikan dan

pelatihan (in service training) dan pendidikan berkelanjutan bagi petugas.

Kriteria :

1. Ada program orientasi / pelatihan bagi petugas baru yang bekerja di unit

gawat darurat.

2. Ada program tertulis tiap tahun tentang peningkatan ketrampilan bagi

tenaga di Instalasi / Unit Gawat Darurat.

3. Ada latihan secara teratur bagi petugas Instalasi / Unit Gawat Darurat dalam

keadaan menghadapi berbagai bencana (disaster).

4. Ada program tertulis setiap tahun bagi peningkatan ketrampilan dalam

bidang gawat darurat untuk pegawai rumah sakit dan masyarakat.

STANDAR 7 :   EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU

Ada upaya secara terus menerus menilai kemampuan dan hasil pelayanan

instalasi / unit gawat darurat.

Kriteria :

1. Ada data dan informasi mengenai :

2. Jumlah kunjungan

3. Kecepatan pelayanan (respon time)

4. Pola penyakit / kecelakaan (10 terbanyak)

5. Angka kematian

6. Instalasi / Unit Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap

pelayanan kasus gawat darurat sedikitnya satun kali dalam setahun.

7. Instalasi / Unit Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap

kasus-kasus tertentu sedikitnya satu kali dalam setahun.

7. Pertanyaan tambahan

1. Cara penegakkan diagnosis

Hematoma epidural

30

Page 31: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

1. Anamnesis

a. Adanya riwayat trauma kepala yang biasanya berhubungan dengan

fraktur tulang tengkorak dan laserasi pembuluh darah.

b. Terdapat lucid phase.

c. Terdapat keluhan terjadinya peningkatan intracranial pressure seperti

sakit kepala yang berat dan muntah.

2. Gambaran Klinis

Gejala yang sangat menonjol ialah kesadaran menurun secara progresif.

Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak memar di sekitar mata

dan di belakang telinga. Sering juga tampak cairan yang keluar pada saluran

hidung atau telinga. Pasien seperti ini harus di observasi dengan teliti.

Setiap orang memiliki kumpulan gejala yang bermacam-macam akibat dari

cedera kepala. Banyak gejala yang muncul bersaman pada saat terjadi

cedera kepala.

Gejala yang sering tampak :

Penurunan kesadaran, bisa sampai koma

Bingung

Penglihatan kabur

Susah bicara

Nyeri kepala yang hebat

Keluar cairan darah dari hidung atau telinga

Nampak luka yang adalam atau goresan pada kulit kepala.

Mual

Pusing

Berkeringat

Pucat

Pupil anisokor, yaitu pupil ipsilateral menjadi melebar.

Pada tahap kesadaran sebelum stupor atau koma, bisa dijumpai

hemiparese atau serangan epilepsi fokal. Pada perjalannya, pelebaran

pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya pada permulaan masih

positif menjadi negatif. Inilah tanda sudah terjadi herniasi tentorial.

31

Page 32: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi. Pada tahap akhir,

kesadaran menurun sampai koma dalam, pupil kontralateral juga

mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan

reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Gejala-gejala

respirasi yang bisa timbul berikutnya, mencerminkan adanya disfungsi

rostrocaudal batang otak.

Jika Epidural hematom di sertai dengan cedera otak seperti memar otak,

interval bebas tidak akan terlihat, sedangkan gejala dan tanda lainnya

menjadi kabur.

3. Gambaran Radiologi

Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala

lebih mudah dikenali.

a. Foto Polos Kepala

Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai

epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral

dengan sisi yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya

fraktur tulang yang memotong sulcus arteria meningea media.

b. Computed Tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan

potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu

bagian saja (single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral),

berbentuk bikonfeks, paling sering di daerah temporoparietal. Densitas

darah yang homogen (hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke

sisi kontralateral. Terdapat pula garis fraktur pada area epidural

hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang akut ( 60 – 90 HU),

ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.

c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser

posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI

juga dapat menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan

salah satu jenis pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.

32

Page 33: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

2. Diagnosis

Bujang mengalami herniasi unchal et causa trauma tumpul dikepala dengan

fraktur basis kranii dan epidural hematom.

3. Talaksana

Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya, berupa

cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien cedera kepala

perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain :

1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)

2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)

3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat

5. Intoksikasi alkohol atau obat

6. Fraktura tengkorak

7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea

8. Cedera penyerta yang jelas

9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan

10. CT scan abnormal

Pada skenario ini, pasien merupakan indikasi rawat inap.

Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei

primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal

yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan

exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita

cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah

penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis

otak.

33

Page 34: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan

oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.

Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :

1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah

supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial.

2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta

gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat .

3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat.

4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm.

5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.

6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan.

7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak.

8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis.

Pada Skenario ini terjadi cedera kepala sedang dengan GCS 10

Penatalaksanaan Cedera Otak Sedang (GCS= 9-13)

34

Page 35: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Saat diterima di UGD, dilakukan anamnesis singkat dan segera dilakukan

stabilisasi kardiopulmoner sebelum pemeriksaan neurologis dilaksanakan.

CT scan kepala harus selalu dilakukan dan segera menghubungai ahli Bedah

Saraf. Penderita harus dirawat di ruang perawatan intensif atau yang setara,

dimana observasi ketat dan pemeriksaan neurologis serial dilakukan selama

12 - 24 jam pertama. Pemeriksaan CT scan lanjutan dalam 12 - 24 jam

direkomendasikan bila hasilnya abnormal atau terdapat penurunan status

neurologis penderita.

35

Page 36: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Apabila kondisi pasien memburuk, maka penatalaksaan sesuai protokol

cedera kepala berat.

Primary survey dan Resusitasi

Cedera otak sering diperburuk akibat cedera sekunder. Penderita cedera otak

berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak dibanding

penderita tanpa hipotensi (60% vs 27%). Adanya hipoksia pada penderita yang

disertai dengan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75%. Oleh

karena itu, tindakan stabilisasi kardiopulmoner pada penderita cedera otak

berat haras dilaksanakan secepatnya.

1. Airway dan Breathing

Terhentinya pemafasan sementara sering terjadi pada cedera otak, dan

dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini harus

segera dilakukan pada penderita koma. Penderita dilakukan ventilasi dengan

oksigen 100% sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan

dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Femakaian pulse

oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi Oz (target>98%).

Tindakan hiperventilasi harus dilakukan secara hati-hati pada penderita

cedera otak berat yang menunjukkan perburukan neurologis akut.

2. Sirkulasi

Hipotensi biasanya tidak disebabkan oleh cedera otak itu sendiri kecuali

pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami

gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok

hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan

stabilisasi untuk mencapai euvolemia.

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup

berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Harus juga diperhitungkan

kemungkman penyebab lain seperti trauma medula spinalis (syok

neurogenik), kontusio jantung atau tamponade jantung, dan tension

pneumothorax.

36

Page 37: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Sementara penyebab hipotensi dicari, segera lakukan (pemberian cairan

untuk mengganti rolume yang hilang. DPL (Diagnostik peitoneal Lavage)

atau pemeriksaan trasonografi (bila tersedia) merupakan lemeriksaan rutin

pada penderita hipotensi mengalami koma, dimana pemeriksaan dinis tidak

mungkin menentukan tanda-tanda idanya akut abdomen. (Lihat Bab 3,

Syok, dan tabel 5, Prioritas Evaluasi Awal dan Triase ita dengan Cedera

Otak Berat) bentukan prioritas antara pemeriksaan DPL an CT scan kepala

kadang-kadang nenimbulkan konflik antara ahli bedah trauma an ahli bedah

saraf. Perlu diketahui bahwa emeriksaan neurologis pada penderita potensi

tidak dapat dipercaya kebenarannya, in bahkan bila terdapat cedera otak

berat, hipotensi terbukti menyebabkan cedera otak. Penderita hipotensi yang

tidak terhadap stimulasi apapun dapat respon normal segera setelah tekanan

normal.

Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologis langsung dilakukan segera setelah status

kardiopulmuner penderita stabil. Pemeriksaan ini tefdiri dari GCS dan refleks

cahaya pupil. Pada penderita koma, respon motorik dapat dibangkitkan dengan

merangsang/mencubit otot trapezius atau menekan dasar kuku penderita. Bila

penderita menunjukkan reaksi yang bervariasi, yang digunakan adalah respon

motorik terbaik karena merupakan indikator prognostik yang paling akurat

dibandingkan respon yang paling buruk. Gerakan bola mata (Doll's eye

Phenomena, refleks okulosefalik), Test Kalori dengan suhu dingin (refleks

okulo vestibuler) dan refleks kornea ditunda sampai kedatangan ahli bedah

saraf.

Pemeriksaan Doll's eye (oculocephalis) refleks aires (oculovestibular)dan

refleks kornea hanya boleh dilakukan bila sudah jelas tidak terdapat cedera

servikal.

Yang sangat penting adalah melakukan pemeriksaan GCS dan refleks pupil

sebelum penderita dilakukan sedasi atau paralisis, karena akan menjadi dasar

untuk tindakan selanjutnya. Selama primary survey, pemakaian obat-obat

37

Page 38: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

paralisis jangka panjang tidak ianjurkan. Succinylcholine, vecuronium, atau

dosis kecil pancuronium dapat dipakai untuk intubasi endotrakea atau untuk

tindakan diagnostik lainnya. Bila diperlukan analgesia, sebaiknya digunakan

morfin dosis kecil dan diberikan secara intravena.

Secondary Survey

Pemeriksan neurologis serial (GCS, lateralisasi, dan refleks pupil) haras

selalu silakukan untuk deteksi dini gangguan neurologis. Tanda awal dari

herniasi lobus temporal (unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks

pupil terhadap cahaya. Adanya trauma langsung pada mata sering merupakan

penyebab abnormalitas respon pupil dan dapat membuat pemeriksaan pupil

menjadi sulit Bagaimanapun, dalam hal ini pemikiran terhadap adanya trauma

otak harus dipikrkan terlebih dahulu.

TERAPI MEDIKA MENTOSA UNTUK CEDERA OTAK

Tujuan utama protokol perawatan intensif ini adalah untuk mencegah

terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera.

Prinsip dasarnya adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk

pemulihan, maka diharapkan dapat berfungsi normal kembali. Namun bila sel

saraf dibiarkan dalam keadaan tidak optimal maka sel dapat mengalami

kematian.

1. Cairan intravena

Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita

tetap dalam keadaan normovolemia. Keadaan hipovolemia pada pasien

sangatlah berbahaya. Namun, perlu diperhatikan untuk tidak memberikan

cairan berlebih. Jangan berikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang

mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat

buruk pada otak yang cedera. Karena itu cairan yang dianjurkan untuk

resusitasi adalah larutan garam fisiologis atau Ringer's Lactate. Kadar

natrium serum perlu diperhatikan pada pasien dengan cedera kepala.

38

Page 39: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Keadaan hiponatremia sangat berkaitan dengan timbulnya edema otak yang

harus dicegah.

2. Hiperventilasi

Pada kebanyakan pasien, keadaan normokarbia lebih disukai.

Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCOa dan akan menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung

terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak aidbat terjadinya

vasokonstriksi serebri berat sehingga menimbulkan gangguan perhisi otak.

Hal ini terjadi terutama bila PCOz dibiarkan turun sampai di bawah 30 mm

Hg (4,0 kPa).

Hiperventilasi sebaiknya dilakukan secara sdeksif dan hanya dalam

waktu tertentu. Jmumnya, PCOz dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih.

Hiperventilasi dalam waktu singkat PCCb antara 25-30 mm Hg) dapat

diterima jika diperlukan pada keadaan deteriorasi neurologis akut.

3. Manitol

Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan

yang tersedia biasanya caiian dengan konsentrasi 20%. Dosis yang biasa

dipakai adalah 1 g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Dosis tinggi

manitol jangan diberikan pada pasien yang hipotensi karena manitol adalah

diuretik osmotik yang poten. Indikasi Knggunaan manitol adalah deteriorasi

neurologis yang akut, seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau

kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi. Pada keadaan ini

pemberian bolus manitol (1 g/kg) harus diberikan secara cepat (dalam waktu

5 menit) dan penderita segera dibawa ke CT scan atau langsung ke kamar

operasi bila lesi penyebabnya sudah diketahui dengarvCT scan.

4. Furosemid (Lasix @)

Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis yang

biasa diberikan adalah 03-0,5 mg/kgBB, diberikan secara intravena. Seperti

pada penggunaan manitol, furosemid sebaiknya jangan diberikan kepada

lasien hipovolemik.

5. Steroid

39

Page 40: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Berbagai penelitian tidak menunjukkan manfaal steroid untuk

mengendalikan kenaikan TIK maupun memperbaiki hasil terapi penderita

dengan cedera otak berat Karenanya penggunaan steroid pada penderita

cedera otal tidak dianjurkan.

6. Barbiturat

Barbiturat bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap

obat-obatan lain. Namun obat ini jangan diberikan dalam keadaar hipotensi

atau hipovolemi. Nantinya hipotensi sering terjadi pada penggunaan

barbiturat Karena itu barbiturat tidak diindikasikan pada fase akut resusitasi.

7. Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma terjadi pada 5% penderita yang dirawat di RS

dengan cedera kepala tertutup dan 15% pada cedera kepala berat Terdapat 3

faktor yang berkaitan dengar insidensi epilepsi (1) kejang awal yang terjadi

dalam minggu pertama, (2) perdarahart intrakranial, atau (3) fraktur depresi.

Penelitian tersamar ganda menunjukkan bahwa fenitoin bermanfaat dalam

mengurangi terjadinya kejang dalam minggu pertama cedera nanlun tidak

setelah itu. Fenitoin atau fosfenitoin adalah obal yang biasa diberikan dalam

fase akut Untuk dewasa dosis awalnya adalah 1 g yang diberikan secara

intravena dengan kecepatan pemberian tidak lebih cepat dari 50 mg/menit

Dosis pemeliharaan biasanya 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai

kadar terapetik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau

lorazepam digunakan sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti.

Untuk mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi

umum. Sangat jelas bahwa kejang harus dihentikan dengan segera karena

kejang yang berlangsung lama (30 sampai 60 menit) dapat meyebabkan

cedera otak sekunder.

TATA LAKSANA PEMBEDAHAN

1. Luka Kulit Kepala

40

Page 41: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Hal yang penting adalah membersihkan luka sebelum melakukan

penjahitan. Penyebab tersering infeksi luka kepala adalah pembersihan dan

debridement yang tidak adekuat. Kehilangan darah dari luka kulit kepala

cukup ekstensif terutama pada anak-anak. Pada pasien dewasa, perdarahan

akibat luka di kulit kepala bukan penyebab syok hemoragik. Perdarahan dari

luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan, kauterisasi atau ligasi

pembuluh besar. Penjahitan, pemasangan klips atau staples kemudian dapat

dilakukan. Inspeksi secara cermat dilakukan untuk menemukan adanya

fraktur tengkorak atau benda asing. Adanya LCS pada luka menunjukkan

adanya robekan dura. Ahli bedah saraf hams dikonsulkan pada semua kasus

dengan fraktur tengkorak terbuka atau depresi. Tidak jarang, perdarahan

subgaleal teraba seperti fraktur depresi. Dalam keadaan ini diperlukan

pemeriksaan foto polos tengkorak atau CT scan.

2. Fraktur Depresi Tengkorak

Umumnya fraktur depresi yang memerlukan koreksi secara bperatif

adalah bila tebal depresi lebih dari ketebalan tulang di dekatnya. Frktur

depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup kulit kepala

yang laserasi. CT scan berguna untuk menentukan dalamnya depresi tulang,

tetapi yang lebih penting adalah untuk menentukan ada tidaknya perdarahan

intrakranial atau kontusio.

Lesi Masa Intrakranial

Lesi ini harus dikeluarkan atau dirawat oleh seorang ahli bedah saraf. Bila

tidak terdapat ahli bedah saraf di fasilitas yang menerima pasien dengan lesi

massa intrakranial, maka penderita harus segera dirujuk ke RS yang

mempunyai ahli bedah saraf. Terdapat perkecualian pada keadaan di mana

perdarahan intrakranial membesar dengan cepat sehingga mengancam jiwa

dan tidak cukup waktu untuk merujuk penderita. Walaupun keadaan ini

umumnya jarang terjadi di kota, hal seperti ini dapat saja terjadi di daerah

perifer. Dalam keadaan itu tindakan kraniotomi darurat dapat dilakukan oleh

seorang ahli bedah terlatih untuk melakukan prosedur tersebut Prosedur ini

41

Page 42: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

penting pada pasien dengan status neurologis yang memburuk dengan cepat

dan tidak membaik dengan terapi nonbedah yang diberikan. Kraniotomi

darurat yang dilakukan oleh bukan ahli bedah saraf hanya dibenarkan pada

keadaan yang benar-benar ekstrim, dan prosedurnya sebaiknya atas saran

ahli bedah saraf.

Indikasi untuk melakukan kraniotomi oleh bukan ahli bedah saraf hanya

sedikit, dan penggunaan tindakan ini secara luas sebagai upaya terakhir

tidak direkomendasi oleh Komisi Trauma. Tindakan ini dibenarkan hanya

bila tindakan bedah saraf definitif sama sekali tidak memungkinkan. Komisi

Trauma sangat menganjurkan bahwa barang siapa yang mungldn akan

melakukan tindakan ini harus menerima pelatihan dari seorang ahli bedah

saraf.

4. Komplikasi

a. Kerusakan saraf kranial

Anosmia

Kerusakan n. olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan

yang jika total disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia.

Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita anosmia.

Gangguan pengelihatan

Gangguan pada n. opticus timbul segera setela mengalami trauma.

Biasanya disertai dengan hematoma disekitar mata, proptosis akibat

adanya pendarahan, dan adanya edema di dalm orbita. Gejala klinik

berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan reaksi cahaya

negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu cedera

yang mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang diffuse,

menunjukan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat irreversible.

Ophtalmoplegi

Ophtalmoplego adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,

umunya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada

42

Page 43: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

pengobatan khusus untuk ophtalmoplegi, tetapi bisa diusahakan dengan

latihan ortooptik dini.

Paresis Facialis

Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan

pengecapanpada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup mata,

mulutmoncong, semuanya pada sisi yang mengalami kerusakan.

Gangguan pendengaran

Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai

vertigodan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara koklea,

vestibula dansaraf. Dengan demikian adanya cedera yang berat pada

salah satu organtersebut umumnya juga menimbulkan kerusakan pada

organ lain.

b. Disfasia

Secara ringkas, disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan

untukmemahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit

system sarafpusat. Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih

lama,rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak

adapengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech therapy.

c. Hemiparesis

Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau kanan)

merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras myramidal di cortex,

subcortex, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan dengan cedera kepala

adalah pendarahan, empyema subdural, dan herniasi transtentorial.

d. Sindrom pasca trauma kepala

Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome) merupakan

kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai pada penderita cedera

kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala, vertigo, gugup, mudah

tersinggung, gangguan konsentrasi, penurunan daya ingat, mudah terasa

lelah, sulit tidur, dan gangguan fungsi seksual.

e. Fistula karotiko-kavernosus

43

Page 44: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara

arterikarotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan oleh

cederapada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising pembuluh darah

(bruit) yang dapat didengar penderita atau pemeriksa dengan menggunakan

stetoskop,proptosis disertai hyperemia dan pembengkakan konjungtiva,

diplopia danpenurunan visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan

kelumpuhan otot-ototpenggerak bolamata.

f. Epilepsi

Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalamminggu

pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan epilepsy yangmuncul

lebih dari satu minggu pascatrauma (late posttraumatic epilepsy) yangpada

umumnya muncul dalam tahun pertama meskipun ada beberapa kasusyang

mengalami epilepsi setelah 4 tahun kemudian.

5. Prognosis

Vitam : Dubia at bonam

Fungsionam : Dubia

6. SKDI

Trauma tumpul 4

Epidural Hematom 2

Kasus ini 3B

V. Kesimpulan

Bujang mengalami cidera kepala sedang dengan tanda-tanda herniasi uncal, fraktur

basis cranii dan epidural hematom.

44

Page 45: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

VI. Kerangka Konsep

VII. Learning Issue

A. Anatomi Kranial

Kulit Kepala (SCALP)

Menurut ATLS terdiri dari 5 lapisan yaitu:

Skin atau kulit

Connective Tissue atau jaringan penyambung

Aponeurosis atau galea aponeurotika yaitu jaringan ikat berhubungan langsung

dengan tengkorak

Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar. Merupakan tempat

terjadinya perdarahan subgaleal (hematom subgaleal).

Perikranium

45

Page 46: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Tulang Tengkorak

Terdiri Kalvarium dan basis kranii. Rongga tengkorak dasar dibagi 3 fosa :

1. Anterior : tempat lobus frontalis

2. Media : tempat lobus temporalis

3. Posterior : tempat batang otak bawah dan serebelum

46

Page 47: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Meningen

Selaput ini menutupi seluruh permukaan otak terdiri 3 lapisan :

a. Duramater

Merupakan selaput keras atas jaringan ikat fibrosa melekat dengan tabula

interna atau bagian dalam kranium namun tidak melekat pada selaput

arachnoid dibawahnya, sehingga terdapat ruangan potensial disebut ruang

subdural yang terletak antara durameter dan arachnoid. Pada cedera kepala

pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis

superior digaris tengah disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan serta

menyebabkan perdarahan subdural. Durameter membelah membentuk 2 sinus

yang mengalirkan darah vena ke otak, yaitu : sinus sagitalis superior

mengalirkan darah vena ke sinus transverses dan sinus sigmoideus. Perdarahan

akibat sinus cedera 1/3 anterior diligasi aman, tetapi 2/3 posterior berbahaya

karena dapat menyebabkan infark vena dan kenaikan tekanan intracranial.

47

Page 48: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Arteri-arteri meningea terletak pada ruang epidural, dimana yang sering

mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa

temporalis dapat menimbulkan perdarahan epidural.

2. Arachnoid

Lapisan arachnoid terdiri atas fibrosit berbentuk pipih dan serabut kolagen.

Lapisan arachnoid mempunyai dua komponen, yaitu suatu lapisan yang

berhubungan dengan dura mater dan suatu sistem trabekula yang

menghubungkan lapisan tersebut dengan pia mater. Ruangan di antara

trabekula membentuk ruang subarachnoid yang berisi cairan serebrospinal dan

sama sekali dipisahkan dari ruang subdural.Pada beberapa daerah, arachnoid

melubangi dura mater, dengan membentuk penonjolan yang membentuk

trabekula di dalam sinus venous dura mater.Bagian ini dikenal dengan vilus

arachnoidalis yang berfungsi memindahkan cairan serebrospinal ke darah

sinus venous.Arachnoid merupakan selaput yang tipis dan transparan.

Arachnoid berbentuk seperti jaring laba-laba. Antara Arachnoid dan piameter

terdapat ruangan berisi cairan yang berfungsi untuk melindungi otak bila

terjadi benturan. Baik arachnoid dan piameter kadang-kadang disebut sebagai

leptomeninges.

3. Piamater

48

Page 49: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Lapisan ini melekat pada permukaan korteks serebri. Cairan serebro spinal

bersirkulasi diantara arachnoid dan piameter dalam ruang subarahnoid.

Perdarahan ditempat ini akibat pecahnya aneurysma intra cranial.

Otak

1. Serebrum

Terdiri atas hemisfer kanan dan kiri dipisahkan oleh falks serebri yaitu

lipatan durameter yang berada di inferior sinus sagitalis superior. Hemisfer kiri

terdapat pusat bicara.

2. Serebelum

Berfungsi dalam kordinasi dan keseimbangan dan terletak dalam fosa

posterior berhubungan dengan medulla spinalis batang otak dan kedua hemisfer

serebri.

3. Batang otak

Terdiri dari mesensefalon (midbrain) dan pons berfungsi dalam kesadaran

dan kewaspadaan, serta medulla oblongata yang memanjang sampai medulla

spinalis

Hemisfer sendiri menurut pembagian fungsinya masih dibagi kedalam

lobus-lobus yang dibatasi oleh gyrus dan sulkus, seperti terlihat dalam gambar

dibawah ini :

49

Page 50: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Cairan Serebrospinalis

Normal produksi cairan serebrospinal adalah 0,2-0,35 mL per menit atau

sekitar 500 mL per 24 jam . Sebagian besar diproduksi oleh oleh pleksus

koroideus yang terdapat pada ventrikel lateralis dan ventrikel IV. Kapasitas dari

ventrikel lateralis dan ventrikel III pada orang sehat sekitar 20 mL dan total

volume cairan serebrospinal pada orang dewasa sekitar 120 mL Cairan

50

Page 51: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

serebrospinal setelah diproduksi oleh pleksus koroideus akan mengalir ke

ventrikel lateralis, kemudian melalui foramen interventrikuler Monro masuk ke

ventrikel III , kemudian masuk ke dalam ventrikel IV melalui akuaduktus Sylvii,

setelah itu melalui 2 foramen Luschka di sebelah lateral dan 1 foramen Magendie

di sebelah medial masuk kedalam ruangan subaraknoid, melalui granulasi

araknoidea masuk ke dalam sinus duramater kemudian masuk ke aliran vena.

Tekanan Intra kranial meningkat karena produksi cairan serebrospinal

melebihi jumlah yang diabsorpsi. Ini terjadi apabila terdapat produksi cairan

serebrospinal yang berlebihan, peningkatan hambatan aliran atau peningkatan

tekanan dari venous sinus. Mekanisme kompensasi yang terjadi adalah

transventricular absorption, dural absorption, nerve root sleeves absorption dan

unrepaired meningocoeles. Pelebaran ventrikel pertama biasanya terjadi pada

frontal dan temporal horns, seringkali asimetris, keadaan ini menyebabkan elevasi

dari corpus callosum, penegangan atau perforasi dari septum pellucidum,

penipisan dari cerebral mantle dan pelebaran ventrikel III ke arah bawah hingga

fossa pituitary (menyebabkan pituitary disfunction)

Tentorium

Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang :

1. Supratentorial : terdiri fosa kranii anterior dan media

2. Infratentorial : berisi fosa kranii posterior

51

Page 52: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Mesensefalon (midbrain) menghubungkan hemisfer serebri dan batang otak

(pons dan medulla oblongata) berjalan melalui celah tentorium serebeli disebut

insisura tentorial. Nervus okulomotorius (NVII) berjalan sepanjang tentorium,

bila tertekan oleh masa atau edema otak akan menimbulkan herniasi. Serabut-

serabut parasimpatik untuk kontraksi pupil mata berada pada permukaan n.

okulomotorius. Paralisis serabut ini disebabkan penekanan mengakibatkan dilatasi

pupil. Bila penekanan berlanjut menimbulkan deviasi bola mata kelateral dan

bawah.

Dilatasi pupil ipsilateral disertai hemiplegi kontralateral dikenal sindrom

klasik herniasi tentorium. Umumnya perdarahan intrakranial terdapat pada sisi

yang sama dengan sisi pupil yang berdilatasi meskipun tidak selalu.

Sistem Sirkulasi Otak

Kebutuhan energy oksigen jaringan otak adalah sangat tinggi oleh karena itu

aliran darah ke otak absolute harus selalu berjalan mulus . suplai darah ke otak

seperti organ lain pada umumnya disusun oleh arteri–arteri dan vena-vena.

1. Arteri karotis

Arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna bercabang dari arteri karotis

komunis kita-kira setinggi tulang rawan carotid. Arteri karotis kiri langsung

bercabang dari arkus aorta ,tetapi arteri karotis komunis kanan berasal dari

arteri brakiosefalika.Arteri karotis eksterna mendarahi wajah,tiroid,lidah dan

faring. Cabang dari arteri karotis eksterna yaitu arteria meningea

media,mendarahi struktur-struktur dalam didaerah wajah dan mengirimkan satu

cabang yang besar ke daerah duramater.Arteri karotis interna sedikit berdilatasi

tepat setelah percabangannya yang dinamakan sinus karotikus.Dalam sinus

karotikus terdapat ujung-ujung saraf khususyang berespon terhadap perubahan

tekanan darah arteria,yang secara reflex mempertahankan suplai darah ke otak

dan tubuh.

Arteri karotis interna masuk ke otak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma

optikum,menjadi arteria serebri anterior dan media.Arteri serebri media adalah

52

Page 53: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

lanjutan langsung dari arteri karotis interna. Segera setelah masuk ke ruang

subaraknoid dan sebelum bercabang-cabang,arteri karotis interna

mempercabangkan arteri oftalmika yang masuk kedalam orbita dan mendarahi

mata dan isi orbita lainnya.Arteri serebri anterior member suplai darah pada

struktur-struktur seperti nucleus kaudatus,putamen,bagian-bagian kapsula

interna dan korpus kalosum dan bagian-bagian lobus frontalis dan parietalis

serebri.

Arteri serebri media menyuplai darah untuk bagian lobus

temporalis,parietalis,dan frontalis korteks serebri dan membentuk penyebaran

pada permukaan lateral yang menyerupai kipas. Arteri ini merupakan sumber

darah utama girus prasentralis dan postsentralis.

2. Arteri verebrobasilaris

Arteri vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteri subklavia sisi yang sama.

Arteri subklavia kanan merupakan cabang dari arteri arteri inomata ,sedangkan

arteri subklavia kiri merupakan cabang langsung dari aorta.Arteri vertebralis

memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan

medulla oblongata. Kedua arteri tersebut bersatu membentuk arteri basilaris.

Tugasnya mendarahi sebahagian diensefalon,sebahagian lobus oksifitalis dan

temporalis ,apparatus koklearis,dan organ-organ vestibular.

3. Sirkulus Arteriosus Willisi

Meskipun arteri karotis interna dan arteri vertebrobasilaris merupakan dua

system arteri terpisah yang mengalirkan darah ke otak,tetapi keduanya

disatukan oleh pembuluh – pembuluh darah anastomosis yang sirkulus

arteriosus willisi .

53

Page 54: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

B. Fraktur Basis Cranii

Fraktur basis cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat

benturan langsung pada daerah daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid,

supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau

mandibula; atau efek „remote‟ dari benturan pada kepala („gelombang tekanan‟

yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Dalam beberapa studi telah terbukti fraktur basis cranii dapat disebabkan oleh

berbagai mekanisme termaksud ruda paksa akibat fraktur maksilofacial, ruda

paksa dari arah lateral cranial dan dari arah kubah cranial, atau karena beban

inersia oleh kepala.

Pasien dengan fraktur basis cranii (fraktur pertrous os temporal) dijumpai

dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur

basis cranii fossa anterior adalah dengan Rhinorrhea dan memar di sekitar

palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat

bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial. Untuk penegakan

diagnosis fraktur basis cranii, diawali dengan pemeriksaan neurologis lengkap,

54

Page 55: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

analisis laboratorium dasar, diagnostic untuk fraktur dengan pemeriksaan

radiologik.

Penanganan korban dengan cedera kepala diawali dengan memastikan bahwa

airway, breathing, circulation bebas dan aman. Banyak korban cedera kepala

disertai dengan multiple trauma dan penanganan pada pasien tersebut tidak

menempatkan penanganan kepala menjadi prioritas, resusisati awal dilakukan

secara menyeluruh.

Anatomi Basis Cranii

Tulang tengkorak terdiri dari kubah (calvaria) dan basis kranii. Tulang

tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan

oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi

oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai

bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga

tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fossa cranii anterior, fossa cranii media

dan fossa cranii posterior.

55

Page 56: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Fossa crania anterior menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh

permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis.

Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina

cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis

menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa

dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera.

Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi

mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau

kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars

orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau

periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis

cranii fossa anterior.

56

Page 57: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Fossa cranii media terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os

sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri

yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os

sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan

a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os

temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os

sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius

dan n. abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini

merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan

ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani

dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera.

Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi

(otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars

perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral

sinus cavernosus robek.

Fossa cranii posterior menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons

dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars

petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars

squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris,

condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh

medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n.

accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah

otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di

otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap

nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai

foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera.

57

Page 58: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Tanda fraktur basis cranii (raccon’s eye,otorrhea, rhinorrhea)

Mekanisme Fraktur Basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF)

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah

daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy

yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula; atau efek „remote‟ dari

benturan pada kepala („gelombang tekanan‟ yang dipropagasi dari titik benturan

atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari BSF yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini

mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord

lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang

otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994).

Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan

avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk

benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban

inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban

inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak

akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala

kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area

medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia

tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi

akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior

diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior

kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis

cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area

58

Page 59: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

kubah non-kranial, yang disajikan dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan

bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis cranii

juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja.

Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti

secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa

pada area kepala. 45 kasus skull fraktur diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF

pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area

frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2

kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al.

(1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic

didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan

tulang belakang.

Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari

arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi skull fraktur

hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi

wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN

(Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan

hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis cranii membutuhkan

durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan

benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.

Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan

untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis cranii

ketika kepala mandibula yang dikenakan ruda paksa:

1. Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika

mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis

(dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes

dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang

bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa

toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut

59

Page 60: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis

namun tidak menghasilkan fraktur basis cranii.

2. Studi kedua menilai toleransi fraktur basis cranii ketika beban langsung

diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung

menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan

puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian.

Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300

+350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes

dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten

dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa

ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula.

Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa

temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada

daerah sekitar foramen magnum

Jenis Fraktur Basis Cranii

Fraktur Temporal, dijumpai pada 75% dari semua fraktur basis cranii. Terdapat

3 suptipe dari fraktur temporal berupa longitudinal, transversal dan mixed.

Fraktur longitudinal terjadi pada regio temporoparietal dan melibatkan bagian

squamousa pada os temporal, dinding superior dari canalis acusticus externus dan

tegmen timpani. Tipe fraktur ini dapat berjalan dari salah satu bagian anterior atau

posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii

media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal

merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal

dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,

berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur

dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem

ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur,

60

Page 61: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut

tidak disertai dengan deficit nervus cranialis, capsule, berakhir pada fossa cranii

media dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal

merupakan yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal

dimulai dari foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth,

berakhir pada fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur

dari kedua fraktur longitudinal dan transversal.

Namun sistem lain untuk klasifikasi fraktur os temporal telah diusulkan. Sistem

ini membagi fraktur os temporal kedalam petrous fraktur dan nonpetrous fraktur,

yang terakhir termasuk fraktur yang melibatkan mastoid air cells. Fraktur tersebut

tidak disertai dengan deficit nervus cranialis.

Pemeriksaan Lanjutan

1. Studi Imaging

a. Radiografi: Pada tahun 1987, foto x-ray tulang tengkorak merujukan

pada kriteria panel memutuskan bahwa skull film kurang optimal dalam

menvisualisasikan fraktur basis cranii. Foto x-ray skull tidak bermanfaat

bila tersedianya CT scan.

b. CT scan: CT scan merupakan modalitas kriteria standar untuk membantu

dalam diagnosis skull fraktur. Slice tipis bone window hingga ukuran 1-

1,5 mm, dengan potongan sagital, bermanfaat dalam menilai skull

fraktur. CT scan Helical sangat membantu dalam menvisualisasikan

fraktur condylar occipital, biasanya 3-dimensi tidak diperlukan.

c. MRI: MRI atau magnetic resonance angiography merupakan suatu nilai

tambahan untuk kasus yang dicurigai mengalami cedera pada ligament

dan vaskular. Cedera pada tulang jauh lebih baik divisualisasikan dengan

menggunakan CT scan.

d. Pemeriksaan lainnya

Perdarahan dari telinga atau hidung pada kasus dicurigai terjadinya

kebocoran CSF, dapat dipastikan dengan salah satu pemeriksaan suatu

tehnik dengan mengoleskan darah tersebut pada kertas tisu, maka akan

61

Page 62: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

menunjukkan gambaran seperti cincin yang jelas yang melingkari darah,

maka disebut “halo” atau “ring” sign. Kebocoran dari CSF juga dapat

dibuktikan dengan menganalisa kadar glukosa dan dengan mengukur

transferring.

Terapi medis

Pasien dewasa dengan simple fraktur linear tanpa disertai kelainan struktural

neurologis tidak memerlukan intervensi apapun bahkan pasien dapat dipulangkan

untuk berobat jalan dan kembali jika muncul gejala. Sementara itu, Pada Bayi

dengan simple fraktur linier harus dilakukan pengamatan secara terus menerus

tanpa memandang status neurologis. Status neurologis pasien dengan fraktur basis

cranii tipe linier biasanya ditatalaksana secara conservative, tanpa antibiotik.

Fraktur os temporal juga dikelola secara konservatif, jika disertai rupture

membrane timpani biasanya akan sembuh sendiri.

Simple fraktur depress dengan tidak terdapat kerusakan struktural pada

neurologis pada bayi ditatalaksana dengan penuh harapan. Menyembuhkan fraktur

depress dengan baik membutuhkan waktu, tanpa dilakukan elevasi dari fraktur

depress. Obat anti kejang dianjurkan jika kemungkinan terjadinya kejang lebih

tinggi dari 20%. Open fraktur, jika terkontaminasi, mungkin memerlukan

antibiotik disamping tetanus toksoid. Sulfisoxazole direkomendasikan pada kasus

ini.

Fraktur condylar tipe I dan II os occipital ditatalaksana secara konservatif

dengan stabilisasi leher dengan menggunakan collar atau traksi halo.

Peran antibiotik pada profilaksis fraktur basis cranii

Pemberian antibiotic sebagai terapi profilaksis pada fraktur basis cranii dengan

pertimbangan terjadinya kebocoran dari lapisan meningeal akan menyebabkan

mikroorganisme pathogen dari saluran nafas atas (hidung dan telinga) dapat

mencapai otak dan selaput mengingeal, hal ini masih menjadi controversial.

Pemberian antibiotic profilaksis berkontribusi terhadap terjadinya peningkatan

resistensi antibiotic dan akan menyebabkan infeksi yang serius

62

Page 63: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

Terapi Bedah

Peran operasi terbatas dalam pengelolaan skull fraktur. Bayi dan anak-anak

dengan open fraktur depress memerlukan intervensi bedah. Kebanyakan ahli

bedah lebih suka untuk mengevaluasi fraktur depress jika segmen depress lebih

dari 5 mm di bawah inner table dari adjacent bone. Indikasi untuk elevasi segera

adalah fraktur yang terkontaminasi, dural tear dengan pneumocephalus, dan

hematom yang mendasarinya. Kadang kadang, craniectomy dekompressi

dilakukan jika otak mengalami kerusaksan dan pembengkakan akibat edema.

Dalam hal ini, cranioplasty dilakukan dikemudian hari. Indikasi lain untuk

interaksi bedah dini adalah fraktur condylar os oksipital tipe unstable (tipe III)

yang membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi

dalam-luar.

Menunda untuk dilakukan intervensi bedah diindikasikan pada keadaan

kerusakan ossicular (tulang pendengaran) akibat fraktur basis cranii jenis

longitudinal pada os temporal. Ossiculoplasty mungkin diperlukan jika kehilangan

berlangsung selama lebih dari 3 bulan atau jika membrane timpani tidak sembuh

sendiri. Indikasi lain adalah terjadinya kebocoran CSF yang persisten setelah

fraktur basis cranii. Hal ini memerlukan secara tepat lokasi kebocoran sebelum

intervensi bedah dilakukan condylar os oksipital tipe unstable (tipe III) yang

membutuhkan arthrodesis atlantoaxial. Hal ini dapat dicapai dengan fiksasi

dalam-luar.

C. Brain Injury

Lesi ini diklasifikasikan dalam lesi local dan lesi difus, walaupun kedua jenis

lesi sering terjadi bersamaan. Termasuk lesi lesi local:

1. Perdarahan Epidural

2. Perdarahan Subdural

3. Kontusio (perdarahan intra cerebral)

4. Cedera otak difus umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang

normal,namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat

dalamkeadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma,

63

Page 64: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

makacedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio

klasik, dan

5. Cedera Aksona Difus ( CAD)

Perdarahan Epidural

Hematoma epidural terletak diantara dura dan calvaria. Umumnya terjadi

pada regio temporal atau temporopariental akibat pecahnya arteri meningea

media. Manifestasi klinik berupa gangguan kesadaran sebentar dan dengan

bekas gejala (interval lucid) beberapa jam. Keadaan ini disusul oleh gangguan

kesadaran progresif disertai kelainan neurologist unilateral. Kemudian gejala

neurology timbul secara progresif berupa pupil anisokor, hemiparese,

papiledema dan gejala herniasi transcentorial. Perdarahan epidural difossa

posterior dengan perdarahan berasal dari sinus lateral, jika terjadi dioksiput

akan menimbulkan gangguan kesadaran, nyeri kepala, muntah ataksia serebral

dan paresis nervi kranialis. Ciri perdarahan epidural berbentuk bikonveks atau

menyerupai lensa cembung.

Perdarahan Subdural

Perdarahan subdural lebih sering terjadi daripada perdarahan epidural (kira-

kira 30 % dari cedera kepala berat). Perdarahan ini sering terjadi akibat

robeknya vena-vena jembatan yang terletak antara kortek cerebridan sinus

venous tempat vena tadi bermuara, namun dapat terjadi juga akibat laserasi

pembuluh arteri pada permukaan otak. Perdarahan subdural biasanya menutupi

seluruh permukaan hemisfer otak dan kerusakan otak dibawahnya lebih berat

dan prognosisnya jauh lebih burukdaripada perdarahan epidural.

Kontusio dan Perdarahan Intracerebral

Kontusio cerebral sangat sering terjadi di frontal dan lobus temporal, walau

terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan cerebellum.

Kontusio cerebri dapat saja terjadi dalam waktu beberapa hari atau jam

64

Page 65: Laporan 27B L7 (Paling Fix)

mengalami evolusi membentuk perdarahan intracerebral. Apabila lesi meluas

dan terjadi penyimpangan neurologist lebih lanjut.

Cedera Difus

Cedera otak difus merupakan kelanjutan kerusakan otak akibat akselerasi

dan deselerasi, dan ini merupakan bentuk yang lebih sering terjadi pada cedera

kepala. Komosio Cerebro ringan akibat cedera dimana kesadaran tetap tidak

terganggu, namun terjadi disfungsi neurologist yang bersifat sementara dalam

berbagai derajat. Cedera ini sering terjadi, namun karena ringan sering kali

tidak diperhatikan, bentuk yang paling ringan dari kontusio ini adalah keadaan

bingung dan disorientasi tanpa amnesia retrograd,amnesia integrad (keadaan

amnesia pada peristiwa sebelum dan sesudah cedera). Komusio cedera klasik

adalah cedera yang mengakibatkan menurunya atau hilangnya kesadaran.

Keadaan ini selalu disertai dengan amnesia pasca trauma dan lamanya amnesia

ini merupakan ukuran beratnya cedera. Hilangnya kesadaran biasanya

berlangsung beberapa waktu lamanya dan reversible. Dalam definisi klasik

penderita ini akan sadar kembali dalam waktu kurang dari 6 jam.

D. Herniasi Tentorial Lateral (Uncal)

1. Definisi: uncus lobus temporalis herniasi turun melalui foramen trans tentorial

2. Etiologi:  lasi supratentorial lateral (seringkali akibat hematoma post trauma

yang meluas secara cepat)

3. Gambaran klinis:

a. Dilatasi pupil ipsilateral, refleks negatif (tanda paling awal, dan paling

terpercaya), kelumpuhan gerak bola mata (penekanan pada N III)

b. Penurunan tingkat kesadaran (penekanan mesencephalon)

c. Hemiplegia kontralateral, ± respon telapak kaki kearah atas

d. ± “Kernohan’s notch”: kompresi pedunculus serebri (mesencephali) karena

pergeseran otak –> hemiplegia ipsilateral (biasanya mengakibatkan salah

dalam penentuan letak lesi)

65