lapkas demam tifoid css

18
TYPHOID FEVER I. Definisi dan Etiologi Demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, Gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil dengan menggunakan flagella peritrik, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S.Typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada dua polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikkan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) kapsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. II. Epidemiologi Demam tifoid hingga kini masih menjadi masalah kesehatan global terutama di negara beriklim tropis.

Upload: tri-yudha-nugraha

Post on 02-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Kedokteran

TRANSCRIPT

TYPHOID FEVER

TYPHOID FEVER

I. Definisi dan Etiologi

Demam tifoid merupakan infeksi demam sistemik akut yang disebabkan oleh bakteri patogen enterik Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A, B, dan C. Walaupun patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil.

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella berbentuk batang, Gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu motil dengan menggunakan flagella peritrik, yang menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S.Typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada dua polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikkan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) kapsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain.

II. Epidemiologi

Demam tifoid hingga kini masih menjadi masalah kesehatan global terutama di negara beriklim tropis. Angka kejadian demam tifoid di seluruh dunia mencapai 13 sampai 17 juta kasus/tahun dan mengakibatkan kematian pada sekitar 600.000 kasus/tahun. Sebagian besar kasus terjadi di negara-negara berkembang seperti di Asia, Amerika Selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Timur. Angka kejadian yang tinggi pada negara-negara tersebut terutama berkaitan dengan pertambahan populasi penduduk yang sangat cepat, meningkatnya urbanisasi, sanitasi lingkungan yang buruk terutama yang berhubungan dengan pembuangan kotoran manusia, suplai air bersih, dan sistem pelayanan kesehatan yang kurang memadai.

Di Indonesia, angka kejadian demam tifoid masih cukup tinggi. Penyakit ini menyebar dengan cepat dan dapat menyerang banyak orang. Beberapa faktor penting dalam penyebaran penyakit ini antara lain faktor higiene dan sanitasi lingkungan yang buruk. Sumber infeksi S.Typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun orang sehat yang menjadi pembawa kuman (carrier). Ada beberapa cara penyebaran/ transmisi infeksi S.Typhi, yaitu :

1. Water born disease karena sanitasi lingkungan yang buruk, misalnya sumber air berdekatan dengan MCK (mandi, cuci, kakus).

2. Kontaminasi makanan (fecal-oral) karena higiene pribadi yang buruk.

3. Infeksi transplasental (bakteriemi ibu ke fetus).

4. Transmisi intrapartum (fecal-oral dari ibu karier)

Oleh karena penyebab demam tifoid secara klinis hampir selalu Salmonella yang beradaptasi pada manusia maka sebagian besar kasus dapat ditelusuri pada karier manusia. Penyebab yang terdekat kemungkinannya adalah air (jalur yang paling sering) atau makanan yang terkontaminasi oleh karier manusia.

Karier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi Salmonella typhi dalam feces dan urine selama lebih dari satu tahun. Karier menahun umumnya berusia lebih dari 50 tahun, lebih sering pada perempuan, dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu, bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan diekskresikan ke feces, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.

III. Patogenesis

Manifestasi klinis dari infeksi yang disebabkan oleh S. typhi bergantung kepada dosis infektif bakteri yang masuk ke dalam tubuh serta kondisi dari pejamu sendiri seperti keasaman lambung, flora normal usus, dan daya tahan usus setempat. Bakteri ini biasanya masuk bersama makanan dan minuman yang terkontaminasi. Dosis infektif rata-rata untuk menimbulkan infeksi klinik atau subklinik adalah 103 - 105 bakteri dengan variasi masa inkubasi antara 3-60 hari (dengan rata-rata 10-14 hari). Faktor yang mempengaruhi patogenitas S.typhi antara lain daya invasinya, antigen permukaan, endotoksin serta enterotoksin.

Sebagian S.typhi yang tertelan akan dimusnahkan dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lainnya akan mencapai usus halus. S.typhi kemudian melakukan penetrasi ke dalam lapisan epitel mukosa, di mana dari sana bakteri ini akan memasuki sistem limfatik dan kemudian masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian akan sampai di hati, limpa, juga sumsum tulang, dan juga ginjal. S.typhii segera difagosit oleh sel-sel fagosit mononukleus yang ada di organ tersebut, di sini bakteri berkembang biak memperbanyak diri.

Setelah periode multiplikasi intraseluler, bakteri akan dilepaskan lagi ke dalam aliran darah, terjadilah bakteriemia kedua, pada saat ini penderita akan mengalami panas tinggi. Bakteriemia ini menyebabkan dua kejadian kritis yaitu masuknya bakteri ke dalam kantung empedu dan plaque peyeri. Bila terjadi reaksi radang yang hebat maka akan terjadi nekrosis jaringan yang secara klinik ditandai dengan kolesistitis nekrotikans, dan pendarahan serta perforasi usus. Masuknya bakteri di kantung empedu dan plaque peyeri menyebabkan kultur tinja positif, dan invasi ke dalam kandung empedu dapat menyebabkan terjadinya karier kronik.

Bakteriemia yang menetap menjadi penyebab demam yang menetap pada tifoid klinis, sementara reaksi radang terhadap invasi jaringan menentukan pola pengungkapan klinis (kolesistitis, pendarahan usus atau perforasi). Dengan invasi kantung empedu dan plaque peyeri, kuman kembali masuk ke dalam lumen usus, dan dapat ditemukan pada biakan feces pada awal minggu kedua penyakit klinis.

Bakteriemia I ( 1-7 hari)

Melalui makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi (106-109) masuk ke dalam tubuh manusia ( melalui esofagus, kuman masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi masuk ke dalam usus halus ( di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertrofi (di tempat ini sering terjadi pendarahan dan perforasi) ( kuman menembus lamina propria kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai kelenjar mesenterial yang mengalami hipertrofi ( melalui ductus thoracicus, sebagian kuman masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan bakteriemia I dan melalui sirkulasi portal dari usus halus masuk kembali ke dalam hati.

Bakteriemi II (6 hari 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian kuman masuk ke dalam hati ( kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque peyeri di ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES ( kemudian masuk kembali ke aliran darah ( menimbulkan bakteriemia II dan menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid adalah endotoksin Salmonella typhi yang berperan pada patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi berkembang biak dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Pertumbuhan dalam ginjal menyebabkan biakan urine positif, tetapi dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada biakan darah yang positif. Endotoksin lipopolisakarida pada S.typhi dapat menyebabkan demam, leukopenia, dan gejala sistemik lainnya, tetapi kejadian gejala ini pada individu yang dibuat toleran terhadap endotoksin menunjang peranan untuk faktor lain, seperti sitokin yang dilepaskan dari fagosit mononuklear yang terinfeksi, yang dapat memperantarai peradangan.

IV. Patofisiologi

Pada dasarnya tifus abdominalis merupakan penyakit sistem retikuloendotelial yang terutama menyerang jaringan limfoid usus, limpa, hati, dan sumsum tulang. Di usus, jaringan limfoid terletak pada plaque peyeri.

Usus yang terserang tifoid umumnya ileum terminal/ distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat terinfeksi (minggu I). Pada awalnya plaque peyeri penuh dengan sel fagosit, membesar, menonjol, dan tampak seperti infiltrat atau hiperplasia di mukosa usus. Pada akhir minggu pertama infeksi terjadi nekrosis dan ulkus. Ulkus ini lebih besar di ileum daripada di kolon sesuai dengan ukuran plaque peyeri yang ada di sana. Bentuk ulkus dangkal, tetapi kadang lebih dalam sampai menimbulkan perdarahan. Perforasi terjadi pada ulkus yang menembus serosa. Karena perforasi tersebut dapat menyebabkan peritonitis.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar limfe mesenterial penuh sel fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak. Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri dan penderita menjadi karier.

Sel ginjal mengalami pembengkakan yang mengandung koloni bakteri. Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kuman dalam urine. Bila sembuh, penderita menjadi karier yang menularkan lewat urinenya. Parotitis, orkitis, dan pneumonia kadang ditemukan, sedangkan bronkitis hampir selalu ada. Selain disebabkan oleh basil tifus, pneumonia pada tifus abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan gambaran miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat (bradikardi relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami trombosis terutama v.femoralis, v.saphena, dan sinus di otak. Otot lurik dapat mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae transversales disertai pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot diafragma, m. rectus abdominalis, dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptur spontan disertai pendarahan lokal. Infeksi sekunder menyebabkan abses di otot bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis itu dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena adalah tibia, sternum, iga, dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering didapat gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran leukopenia disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil serta bertambahnya sel mononuklear.

V. Diagnosa

Diagnosa demam tifoid ditegakkan dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya.

Anamnesa Umum

Gambaran klinis demam tifoid

Keluhan :

- Nyeri kepala (frontal)

100 %

- Rasa tidak nyaman di perut

50 %

- Nyeri tulang, persendian, dan otot

50 %

- Diare

50 %

- Muntah

50 %

Gejala :

- Demam

100 %

- Nyeri tekan perut

75 %

- Bronkitis

75 %

- Toksik

> 60 %

- Letargi

> 60 %

- Lidah tifus (kotor)

40 %

Gejala klinik yang pertama timbul disebabkan oleh bakteri yang mengakibatkan gejala toksik umum, seperti letargi, sakit kepala, demam, dan bradikardi. Demam ini khas karena gejala peningkatan suhu setiap hari menyerupai naik tangga sampai dengan 40 atau 41 0C, yang dikaitkan dengan nyeri kepala, malaise, dan menggigil. Ciri utama demam tifoid adalah demam menetap yang persisten (4 sampai 8 minggu pada pasien yang tidak diobati).

Selanjutnya gejala disebabkan oleh gangguan sistem retikuloendotelial, misalnya kelainan hematologi, gangguan faal hati, dan nyeri perut. Kelompok gejala lainnya disebabkan oleh komplikasi seperti ulserasi di usus dengan penyulitnya. Masa tunas biasanya lima sampai empat belas hari, tetapi dapat sampai lima minggu. Pada kasus ringan dan sedang, penyakit biasanya berlangsung empat minggu. Timbulnya berangsur, mulai dengan tanda malaise, anoreksia, nyeri kepala, nyeri seluruh badan, letargi, dan demam.

Pada minggu pertama terdapat demam remitten yang berangsur makin tinggi dan hampir selalu disetai dengan nyeri kepala. Biasanya terdapat batuk kering. Hampir selalu ada rasa tidak enak atau nyeri pada perut. Konstipasi sering ada, namun diare juga ditemukan.

Pada minggu kedua, demam umumnya tetap tinggi (demam continous) dan penderita tampak sakit berat. Perut tampak distensi dan terdapat gangguan pencernaan. Diare dimulai dan terdapat pendarahan saluran cerna. Keadaan berat ini berlangsung sampai dengan minggu ketiga. Selain letargi, penderita mengalami delirium bahkan sampai koma akibat endotoksemia. Pada minggu ketiga ini tampak gejala fisik lain berupa bradikardi relatif dengan limpa membesar lunak. Perbaikan mulai terjadi pada akhir minggu ketiga, suhu badan menurun, dan keadaan umum tampak membaik. Demam tifoid dapat kambuh satu sampai dua minggu setelah demam hilang. Kekambuhan ini dapat ringan namun dapat juga berat, dan mungkin terjadi dua atau tiga kali.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik ditemukan :

Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot) berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut bagian atas dan dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama 2-4 hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga dapat berubah menjadi pendarahan kecil yang tidak mudah menghilang, yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap.

Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

Bradikardia relatif.

Hepatosplenomegali.

Jantung membesar dan lunak.

Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut dan defense muscular akibat rangsangan peritoneum.

Perdarahan usus sering muncul anemia. Pada pendarahan hebat mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang ada pengeluaran melena atau darah segar.

Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut tampak distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang, dan perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok dubur terasa spincter yang lemah dan ampulanya kosong. Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah, dan kurva suhu denyut nadi menunjukkan tanda salib maut.

Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

Laboratorium

Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia normokromik, leukopenia dengan hilangnya sel eusinofil dan penurunan jumlah sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar penderita, jumlah sel darah putih normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam. Leukopenia (< 2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat.

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada 90 % penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa kuman.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E.coli) dan basil anaerob (B.fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena ada imunitas silang dengan kuman Salmonella lain atau karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit ditafsirkan. Peninggian antibodi 4x lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik, tapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3-4 minggu sakit, dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.

VI. Komplikasi

Komplikasi pada tifus abdominalis dapat dikelompokkan dalam komplikasi yang langsung akibat gangguan di sistem retikuloendotelial dan komplikasi tak langsung karena adanya bakteriemi. Komplikasi yang langsung berupa perdarahan dan perforasi ulkus di ileum, kolestitis akut dan kronik, hepatitis tifosa, osteomielitis, dan pendarahan pada otot yang rusak karena toksin kuman tifoid. Kerusakan otot dapat menyebabkan abses terutama di otot paha dan otot perut. Peradangan di jaringan limfe usus halus sering menyebabkan ileus paralitik. Osteomielitis biasanya menyerang tibia, sternum, iga, dan tulang belakang.

Pendarahan ulkus tifus ditemukan pada kira-kira 5% penderita, sedangkan perforasi pada 3% dengan mortalitas tinggi. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu kedua atau ketiga. Beberapa keadaan ternyata disertai dengan risiko tinggi terjadinya perdarahan dan perforasi, yaitu kadar albumin serum yang rendah (< 2,5gr%) yang menunjukkan gizi kurang, kadar obat yang tidak memadai, banyak gerak, diet padat yang diberikan lebih dini, dan keadaan penyakit berat, misalnya demam lebih dari tiga minggu. Pada keadaan toksik kesadaran menurun dan bradikardi relatif yang berubah menjadi takikardi merupakan tanda buruk yang mengarah ke syok toksik disertai miokarditis.

Untuk mengurangi kemungkinan komplikasi perdarahan dan atau perforasi usus, penderita dianjurkan mendapatkan diet cukup dan lunak sampai demam hilang sama sekali. Penderita pun harus membatasi geraknya. Obat perlu diberikan secara tepat dengan dosis yang memadai dan diminum secara teratur.

Gejala yang harus dicurigai sebagai tanda awal perforasi adalah tekanan sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik, nyeri perut, dan defense muscular akibat rangsangan peritoneum. Diagnosa perforasi kadang sukar ditegakkan karena penderita sudah letargi dan somnolen. Perut yang kembung dan tegang menyebabkan adanya rangsangan peritoneum tak jelas. Perdarahan usus sering tampil sebagai anemia. Pada perdarahan hebat mungkin terjadi syok hipovolemik. Indikasi laparotomi didasarkan atas jumlah perdarahan. Pada perforasi akut, sebaliknya keadaan pasien tampak baik, tanda klasik dari perforasi muncul bila ditekan, tetapi keadaan umum pasien akan menurun dengan cepat. Pasien biasanya merespon terhadap pengobatan konservatif dibandingkan dengan operasi. Pengobatan yang konservatif yaitu dengan kloramfenikol, aspirasi gastrik yang bersamaan dengan cairan dan elektrolit. Jika perforasi intestin dioperasi, angka kematiannya akan lebih tinggi.

Penyulit tak langsung berupa infeksi fokal yang dapat terjadi pada setiap organ. Infeksi fokal ini antara lain berupa tromboflebitis di v.femoralis, v.saphena, maupun sinus otak, juga berupa nefritis, orkitis, parotitis, dan bronkitis yang mudah berlanjut menjadi pneumonia yang mungkin disusul empiema. Meningitis biasanya merupakan lanjutan tromboflebitis di otak.

VII. Pengobatan

a. Kloramfenikol merupakan gold standardReaksinya nyata dalam 24 48 jam setelah dimulainya pengobatan dalam dosis yang sesuai (3-4 gr/ hari). Obat diberikan selama 2 minggu, dan dosis dapat dikurangi sampai 2 gr/hari atau 30mg/hari jika pasien menjadi tidak demam, yang biasanya terjadi pada hari kelima pengobatan.

b. Amoksisilin (4-6 gr/hari terbagi dalam 4 dosis).

c. Trimetoprim-sulfametoksazol (640-3200 mg berurutan dalam dua dosis harian).

d. Cephalosporin generasi ketiga bila terjadi MDR (Muliti Drug Resistance)

e. 4-fluorokuinolon seperti ciprofloksasin atau ofloksasin.

Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang tidak mampu menelan obat per oral. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun demikian, tidak ada satu pun yang aksinya begitu cepat dan begitu efektifnya dibandingkan dengan ceftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari, tanpa kehilangan efikasinya. Lagipula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada orang dewasa yang sedikit diberi seftriakson, namun jumlah pasien yang dilaporkan masih sedikit.

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama telah meningkat pada negara sedang berkembang karena kemahiran plasmid menjadikan (-laktamase yang tidak aktif dan enzim kloramfenikol asetil trasferase. Di daerah dengan resistensi banyak, obat ini merupakan masalah.

VIII. Pencegahan

Secara umum untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanaskan 570C selama beberapa menit atau dengan proses iodinisasi/klorinasi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman. Penurunan endemisitas suatu negara atau daerah bergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid.