lap akhir wto - kementerian perdagangan republik indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ......

60
1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara. Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan, ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi. Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait “mandeg”-nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat “vocal” dalam menyuarakan liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009). Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1 menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka sendiri. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara

Upload: letram

Post on 06-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) yang

berdiri sejak 1 Januari 1995, Indonesia telah menjadi anggota dengan memiliki peluang

keterbukaan akses pasar produk ekspor ke seluruh anggota WTO yang berjumlah 150 negara.

Liberalisasi produk pertanian dan produk industri merupakan salah satu isu sentral dalam

negoisasi World Trade Organization (WTO) belakangan ini. Negoisasi yang telah dimulai sejak

Putaran Uruguay dan berlanjut hingga di Putaran Doha, sampai saat ini belum juga

membuahkan hasil. Putaran Doha yang telah berjalan sejak tahun 2001 dan telah membuahkan

komitmen negara-negara dalam Deklarasi Para Menteri pada bulan November 2001 untuk

mencapai tujuan yakni sistem perdagangan dunia yang berlandaskan pasar dan keadilan,

ternyata masih belum mampu menggiring anggota WTO mencapai kesepakatan liberalisasi.

Negara maju dan negara berkembang saling menyalahkan satu sama lain terkait

“mandeg”-nya negoisasi perdagangan untuk komoditas pertanian ini. Negara maju seperti

Amerika Serikat dan negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa menuding negara

berkembang terlalu menutup pintu perdagangannya yang mengakibatkan sulitnya mencapai

kesepakatan. Sebaliknya, negara berkembang tidak akan membuka pintu perdagangannya

selama subsidi yang diberikan negara maju kepada para petani sangat besar sekali yang tentu

saja mengakibatkan petani di negara maju mampu menghasilkan produk yang lebih bersaing di

pasaran. Amerika Serikat (AS) sebagai negara yang sangat “vocal” dalam menyuarakan

liberalisasi perdagangan memproteksi sektor pertaniannya tidak hanya melalui tariff namun juga

melalui subsidi ekspor yang sangat besar. Pada tahun 2007 dukungan pemerintah Amerika

Serikat terhadap para petaninya diperkirakan mencapai 32,663 milyar USD, sebuah nilai yang

sangat fantastis jika dibandingkan dengan subsidi yang diberikan pemerintah Indonesia yang

hanya sebesar 1,4 milyar USD (Susilowati dan Kustiari, 2009).

Dukungan yang besar terhadap petani pada negara-negara besar juga dapat dilihat

pada kasus negara-negara Uni Eropa (UE), Australia, Kanada dan Selandia Baru. Tabel 1.1

menunjukkan bahwa untuk komoditi daging sapi, peternak di negara anggota Uni Eropa

mendapatkan bantuan sebesar 74 persen dari total pendapatan usaha ternaknya. Dengan kata

lain, hanya 36 persen pendapatan peternak sapi di Uni Eropa berasal dari usaha ternak mereka

sendiri. Hal yang serupa juga dapat dilihat pada komoditas pertanian lainnya. Negara-negara

Page 2: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

2

maju lainnya seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru juga memberikan dukungan yang

cukup besar terhadap petani mereka meski tidak sebesar yang diberikan AS dan UE.

Kebijakan subsidi eskpor ini tentu mengakibatkan persaingan yang tidak adil antar

petani di beda negara. Jika petani di negara berkembang secara langsung berhadapan dengan

produk pertanian yang dihasilkan negara maju sudah sangat jelas petani di negara berkembang

akan kalah bersaing. Sebesar apapun tingkat efisiensi yang mampu dikejar oleh petani di

negara berkembang tentu tidak akan sebanding dengan dukungan yang didapat petani di

negara maju yang membuat mereka mampu menawarkan produk pertaniannya dengan harga

yang sangat kompetitif.

Tabel 1. Bantuan Pemerintah Negara Maju Terhadap Petani yang Dihitung Dalam

Bentuk Producer Support Estimate (Rata-Rata 2001-2003 dalam US D Juta)

Komoditas AS UE Australia Kanada

Selandia

Baru

Total

OECD

Beras 46 37 6 Na Na 78

Jagung 21 36 na 13 0 24

Kedelai 20 36 3 14 Na 24

Gula 58 56 10 12 Na 51

Daging Sapi 4 74 4 NA 1 33

Daging Unggas 4 37 3 4 31 17

Catatan: na menandakan tidak ada data

Sumber: Sawit (2007)

Salah satu implikasi logis yang mungkin terjadi bagi negara berkembang jika negara

maju tetap memberikan subsidi pertanian yang besar adalah harga komoditas pertanian dunia

akan rendah dan ini bukan dikarenakan perbaikan tingkat efisiensi petani melainkan subsidi

besar-besaran yang dilakukan negara maju. Tentu saja hal ini akan menimbulkan persaingan

yang tidak adil dalam perdagangan, dimana dimungkinkan terjadinya serbuan produk pangan

dari negara maju ke negara berkembang (Sawit, 2009). Kondisi inilah yang saat ini mengancam

Indonesia. Sebagai negara yang berpenduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia merupakan

pasar yang sangat potensial untuk produk pangan. Tekanan produk pangan impor terlihat jelas

pada neraca perdagangan sektor pertanian Indonesia. Tabel 1 menunjukkan bahwa semenjak

tahun 2005, neraca perdagangan sub sektor tanaman pangan selalu negatif atau dengan kata

Page 3: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

3

lain total nilai ekspor kita lebih kecil dibandingkan dengan total nilai impor. Fakta yang lebih

mengkhawatirkan lagi adalah bahwa jika dilihat hingga ke level komoditi, komoditi yang memiliki

neraca perdagangan negatif adalah komoditi-komoditi pangan utama Indonesia seperti beras,

jagung, kacang tanah dan kedelai.

Tabel 2. Neraca Perdagangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan (2005-2008)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Kondisi yang tidak jauh berbeda juga terlihat pada sub sektor peternakan. Sebagai

gambaran, selama periode 2005-2009, sekitar empat puluh persen dari kebutuhan daging sapi

2004 2005 2006 2007 2008

Ekspor 274,497 286,744 264,155 289,049 348,914

Impor 2,423,418 2,115,138 2,568,454 2,729,147 3,526,961

Selisih (2,148,921) (1,828,394) (2,304,299) (2,440,098) (3,178,047)

Ekspor 1,462 9,088 626 541 935

Impor 64,948 53,753 133,905 46,444 123,783

Selisih (63,486) (44,665) (133,279) (45,903) (122,848)

Ekspor 13,746 11,894 4,674 18,626 29,325

Impor 189,139 45,634 299,112 174,608 13,586

Selisih (175,393) (33,740) (294,438) (155,982) 15,739

Ekspor 6,703 6,565 8,406 8,613 8,252

Impor 967,957 801,779 809,056 500,878 732,722

Selisih (961,254) (795,214) (800,650) (492,265) (724,470)

Ekspor 7,656 10,792 10,743 9,526 1,407

Impor 45,708 44,087 59,527 64,539 10,253

Selisih (38,052) (33,295) (48,784) (55,013) (8,846)

Ekspor 57,346 41,029 16,684 14,188 35,871

Impor 10,446 24,632 70,284 778 57,948

Selisih 46,900 16,397 (53,600) 13,410 (22,077)

Ekspor 5,209 4,581 6,259 6,197 6,594

Impor 3 16 98 123 7

Selisih 5,206 4,565 6,161 6,074 6,587

Ekspor 167,119 177,895 187,801 203,957 251,973

Impor 990,739 994,486 1,041,386 1,444,784 2,371,698

Selisih (823,620) (816,591) (853,585) (1,240,827) (2,119,725)

Ekspor 15,256 249 28,962 27,401 1,894

Impor 154,479 150,751 155,084 1,975 2,413

Selisih (139,223) (150,502) (126,122) 25,426 (519)

Ubi Jalar

Gandum

Tanaman Pangan Lainnya

Tanaman Pangan

Beras

Jagung

Kedelai

Kc.Tanah

Ubi Kayu

Page 4: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

4

nasional masih diimpor1. Sedangkan untuk komoditas susu, 73 persen kebutuhan susu nasional

masih harus diimpor2. Kondisi tersebut menunjukkan betapa rentannya perekonomian

Indonesia terhadap serbuan produk pangan luar negeri jika dilihat dari sisi konsumen.

Kebutuhan masyarakat yang terus meningkat akibat dorongan populasi dan perubahan taraf

hidup akan semakin memperparah ketergantungan Indonesia di masa yang akan datang.

Jika dilihat dari sisi produsen, tekanan produk pangan asing akan berdampak negatif

secara langsung terhadap kesejahteraan tenaga kerja di sektor pertanian Indonesia. Salah satu

ukuran yang dapat digunakan dalam mengukur kesejahteraan petani adalah Nilai Tukar Petani

(NTP). Besar NTP dapat mencerminkan kemampuan tukar produk pertanian yang dihasilkan

dengan komoditas yang dikonsumsi rumah tangga petani. Sepanjang tahun 2008, NTP petani

cenderung mengalami penurunan dari 100,69 pada bulan Januari menjadi 99,20 pada bulan

Oktober. Hal ini mengartikan secara relatif kesejahteraan petani mengalami penurunan

dibandingkan dengan kondisi tahun dasar yakni 2007. Secara lebih detail juga dapat

ditunjukkan bahwa untuk petani tanaman pangan, NTP mengalami penurunan yang lebih tajam

dari 100,52 menjadi 97,64 pada bulan Oktober. Secara agregat, penurunan NTP ini dirasakan

oleh lebih dari 40 juta tenaga kerja di sektor pertanian atau sekitar 41 persen dari total tenaga

kerja Indonesia.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa posisi Indonesia dalam negoisasi

perdagangan internasional sangatlah penting mengingat ancaman datang baik dari sisi

konsumen maupun produsen. Oleh karena itu sangatlah penting bagi pemerintah untuk

memanfaatkan berbagai tindakan yang dimungkinkan dan dibenarkan sebagai anggota WTO

guna melindungi serbuan produk pangan luar negeri, salah satunya melalui Special Safeguard

Mechanism (SSM). Melalui mekanisme SSM, Indonesia dapat melakukan tindakan

perlindungan terhadap produsen lokal ketika terjadi tingkat impor yang melebihi dari faktor

pemicu atau trigger yang telah ditetapkan. Tindakan perlindungan yang dimaksud adalah

penerapan tariff yang lebih tinggi daripada kondisi normal.

Ukuran trigger secara konseptual dapat menggunakan peningkatan drastis pada volume

impor atau penurunan drastis pada harga komoditas impor. Permasalahan yang selanjutnya

muncul adalah seberapa besar perubahan pada volume dan harga impor tersebut dapat

dikatakan sudah termasuk tingkat yang mengkhawatirkan. Beberapa ekonom muncul dengan

berbagai usulan tentang bagaimana menghitung trigger tersebut. Sampai dengan laporan ini

1 Kompas, 9 November 2009 2 Media Indonesia, 29 Juni 2010

Page 5: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

5

dibuat, perhitungan trigger yang paling umum adalah dengan menggunakan patokan volume

atau harga impor rata-rata tiga tahun ke belakang atau yang dikenal dengan konsep Moving

Average (MA 3). Cara perhitungan semacam ini termasuk sederhana dan mudah diterapkan,

namun yang masih sering menjadi pertanyaan adalah apakah metode tersebut sudah tepat dan

cocok untuk semua negara? Merujuk kepada kasus Indonesia, trigger yang sangat ketat dan

sensitif cenderung tidak akan memberikan perlindungan melainkan tekanan terhadap produsen.

Jika volume impor melebihi trigger dan remedy diterapkan, maka akan berdampak kepada

peningkatan harga komoditas pangan yang selanjutnya akan merugikan konsumen domestik.

Di sisi lain, negosiasi DDA-WTO sudah mengarah lebih dari sekedar liberalisasi

hambatan tarif dan mulai beralih pada negosiasi hambatan non-tarif atau NTB. Diantara sektor

yang penting dalam negosiasi ini adalah sektor elektronik, otomotif, dan kimia. Namun dalam

studi ini tidak terbatas untuk membahas non-pertanian saja, melainkan beberapa produk

pertanian akan menjadi bahasan juga.

Hambatan non tarif seperti prosedur dan labelling saat ini diduga menjadi salah satu

penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju seperti Uni Eropa, Amerika

Serikat, Jepang, dan Australia. Untuk itu, perlu dilakukan analisis mengenai tingkat signifikansi

pengaruh tersebut atau dengan kata lain membuktikan hipotesis tersebut.

Studi ini mencoba menjawab kebutuhan analisis dimaksud, dan fokus pada isu seputar

NTB. Diantara isu NTB yang berkembang, tentunya Indonesia akan meletakkan prioritas pada

masalah yang memang dihadapi oleh sektor tertentu dalam perekonomian yang dianggap

strategis. Selain tentunya mempertimbangkan apakah isu ini menjadi kepedulian dari anggota

WTO yang lain.

Isu yang berkembang dalam negosiasi NTB dan yang dibawa oleh setiap negara

pengusul bervariasi. Mencakup persoalan fasilitasi, ketentuan pajak ekspor, transparansi

perijinan, standar, ketentuan NTB pada komoditas tertentu. Isu yang terkumpul disajikan dalam

Tabel 3. Dalam studi ini, beberapa isu yang dipilih untuk dijadikan fokus pembahasan dibatasi

pada ketersediaan informasi dan data. Adapun yang direncanakan adalah ketentuan

penerapan pajak ekspor, transparansi perijinan ekspor, dan penerapan standar pada produk

elektronik. Namun karena faktor keterbatasan akses terhadap data khususnya data primer,

maka pembahasan kemudian mencakup komoditas pertanian yang memang didukung oleh

ketersediaan data. Selain itu, komoditas tersebut diduga sedang mengalami kendala dari

munculnya NTB baru yang dianggap signifikan mempengaruhi kinerja ekspor.

Page 6: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

6

Tabel 3. Isu Hambatan Non-Tarif

Isu Proponent

Fasilitasi Penyelesaian Masalah Hambatan Non-

Tariff

African Group, Kanada, Uni Eropa, LDC

Group, NAMA-11 (incl. Indonesia), New

Zealand, Norwegia, Pakistan, Swiss.

Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor* Uni Eropa

Transparansi Perijinan Ekspor* Jepang, Taiwan, Amerika Serikat

Penghapusan Diskriminasi Terhadap Barang Bukan

Baru

Jepang, Swiss, Amerika Serikat

Ketentuan NTBs Produk Kimia Argentina

Ketentuan NTBs Produk Kehutanan dalam

Konstruksi Bangunan

New Zealand

Ketentuan NTBs Elektronika Uni Eropa

Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang

Elektronika*

Amerika Serikat

Standar Produk Otomotif* Amerika Serikat

Labelling Tekstil, Pakaian, Alas Kaki dan Travel

Goods*

Uni Eropa, Sri Lanka, Amerika Serikat

Sumber : www.wto.org

Sampai saat ini Indonesia belum dapat memutuskan posisi runding untuk setiap

negosiasi hambatan non tarif di atas. Adapun kendala utama dalam penyusunan usulan posisi

runding tersebut adalah belum adanya kajian mengenai dampak hambatan non tarif bagi kinerja

ekspor dan manfaat negosiasi tersebut bagi Indonesia. Menyadari masalah ini, perlu dilakukan

kajian mengenai manfaat dan tantangan keikutsertaan Indonesia dalam negosiasi hambatan

non tarif di WTO.

1.2. Tujuan

Keikutsertaan aktif Indonesia dalam negosiasi produk pertanian dan non pertanian di

WTO akan memberikan dampak positif dalam kinerja perdagangan nasional. Namun, masih

perlu dilakukan analisis untuk menentukan usulan posisi terbaik, khususnya dalam proteksi

petani domestik melalui special safeguard mechanism (SSM) dan peningkatan akses pasar

Page 7: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

7

melalui isu non tariff barriers (NTB). Berdasarkan permasalahan di atas, dapat disusun tujuan

dari kajian ini sebagai berikut :

1. Menganalisis kinerja serta pola impor produk pertanian nasional,

2. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi spesial safeguard mechanism,

3. Mengidentifikasi dan menganalisis signifikansi hambatan non tarif yang menghambat

ekspor non migas Indonesia,

4. Merumuskan usulan posisi Indonesia dalam negosiasi hambatan non-tarif.

1.3. Ruang Lingkup

Adapun ruang lingkup yang digunakan dalam kajian ini menekankan pada hal penting

sebagai berikut :

1. Data impor produk pertanian yang dianalisis dalam menyusun usulan posisi runding

SSM diutamakan untuk produk penting dari Kementrian Pertanian yaitu beras, tebu,

jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah, susu, teh dan tepung terigu.

2. Data impor yang digunakan dalam analisis ini adalah data bulanan dan tahunan selama

lima tahun terakhir.

3. Analisis impor dilakukan berdasarkan data impor untuk menentukan pola impor

musiman, trend impor bulanan dan tahunan, serta lonjakan impor yang masih dapat

ditolerir.

4. Lonjakan impor yang ditolerir didasarkan pada nilai standart deviasi, dengan batas

maksimal sebesar tiga standart deviasi.

5. Data konsumsi tidak dapat diperoleh, sehingga dilakukan analisis trend impor untuk

mengetahui apakah produk pertanian diimpor untuk kepentingan konsumsi atau barang

konsumtif.

6. Analisis NTB menekankan pada tiga produk pertanian yaitu coklat, sawit, dan kopi yang

digunakan adalah selama periode 1988 – 2009.

7. Mitra dagang yang dianalisis dalam hambatan NTB adalah negara mitra dengan aturan

NTB ketat yaitu Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.

8. Analisis regresi NTB dikhususkan pada contoh kasus kebijakan NTB negara mitra dan

dampaknya bagi kinerja ekspor nasional.

Page 8: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

8

1.4. Pembabakan

Kajian ini akan disusun dalam beberapa bab yang terdiri dari enam bab yang

merupakan suatu kesatuan. Adapun judul dan isi dari setiap bab tersebut terdiri dari :

1. Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, tujuan, dan ruang lingkup penelitian.

2. Studi Pustaka Dan Literatur, berisikan literatur mengenai teori dan aplikasi Special

Safeguard Mechanism, serta definisi, taksonomi, metode estimasi dan pendekatan

mengukur Hambatan Non Tarif.

3. Metodologi Penelitian, memberikan informasi terkait waktu, tempat, dan metode yang

digunakan dalam kajian ini.

4. Analisis Kepentingan Indonesia dalam negosiasi Special Safeguard Mechanism yang

memberikan informasi neraca perdagangan, analisis pola dan trend impor, metode

penentuan lonjakan impor dan temuan turun lapang.

5. Pendekatan Model Ekonometrika Untuk Mengukur Dampak NTB Pada Komoditas Kopi,

Sawit Dan Coklat, berisi dinamika ekspor, analisis dampak kebijakan NTB terhadap

kinerja ekspor, dan temuan turun lapang.

6. Kesimpulan dan Rekomendasi, merupakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan

yang menjadi intisari kajian ini.

Page 9: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

9

II. STUDI PUSTAKA DAN LITERATUR

2.1. Special Safeguard Mechanism Dalam WTO

Special Safeguard Mechanism (SSM) bukanlah satu-satunya bentuk perlindungan yang

diberikan untuk komoditas pertanian. Berdasarkan hasil dari Putaran Uruguay, sebuah negara

dapat melakukan GATT safeguard atau tindakan pembatasan impor sementara pada sebuah

produk (termasuk produk pertanian) jika industri domestik terpuruk atau tertekan akibat serbuan

produk impor yang diiringi dengan penurunan harga (jika hanya terjadi penurunan harga maka

safeguard tidak dapat digunakan). Pembatasan impor tersebut dapat dilakukan dalam bentuk

kuota atau peningkatan tariff di atas bound rate. Pelaksanaan safeguard ini dapat dilaksanakan

jika telah dilakukan pengujian atau pembuktian terjadinya keterpurukan dan negoisasi terkait

dengan kompensasi.

Selanjutnya berdasarkan Agreement on Agriculture (AoA) yang dihasilkan pada Putaran

Uruguay, sebuah negara dapat memanfaatkan Special Safeguard (SSG) untuk melindungi

sektor pertanian domestik jika terjadi serbuan produk impor atau jatuhnya harga secara

signifikan. SSG hanya dapat digunakan pada produk yang memiliki tariff dan termasuk ke

dalam produk yang dinegoisasikan pada Putaran Uruguay. Terdapat 39 anggota yang

mendapatkan hak untuk menerapkan SSG, yakni terdiri dari 9 negara maju, 24 negara

berkembang dan 6 negara transisi. Secara detail nama negara dan jumlah produk (tariff lines)

yang dapat menggunakan SSG adalah: Australia (10), Barbados (37), Botswana (161), Bulgaria

(21), Canada (150), Colombia (56), Costa Rica (87), Czech Republic (236), Ecuador (7), El

Salvador (84), EU (539), Guatemala (107), Hungary (117), Iceland (462), Indonesia (13), Israel

(41), Japan (121), Korea (111), Malaysia (72), Mexico (293), Morocco (374), Namibia (166),

New Zealand (4), Nicaragua (21), Norway (581), Panama (6), Philippines (118), Poland (144),

Romania (175), Slovak Republic (114), South Africa (166), Swaziland (166), Switzerland-

Liechtenstein (961), Chinese Taipei (84), Thailand (52), Tunisia (32), United States (189),

Uruguay (2), Venezuela (76).

Berdasarkan data di atas dapat terlihat bahwa hanya sedikit negara berkembang yang

dapat memanfaatkan instrument SSG. Meskipun ada, jumlah produk yang dapat dilindungi

sangat sedikit sekali, contohnya pada Indonesia yang hanya mendapatkan 1 persen dari total

produk yang dinegoisasikan. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar negara berkembang

menggunakan ceiling binding yang mengakibatkan hilangnya hak untuk menggunakan SSG.

Page 10: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

10

Selain itu, negara berkembang yang telah memanfaatkan SSG juga sangat mengeluhkan

sulitnya formula dan kebutuhan data yang digunakan dalam SSG. Akibatnya, SSG sangat sulit

untuk diterapkan.

Tabel 4. Tiga Tipe Safeguard Untuk Komoditas Pertanian

GATT Safeguard Special Agricultural

Safeguard/ SSG

Special Safeguard

Mechanism/ SSM

Which

products?

All, including

agricultural

Agricultural, if “tariffied” Agricultural

Which

countries

All Developed and developing

countries, but only if

“tarrified”

Only developing

Trigger Import surge with

price fall

Import surge or price fall Import surge or price fall

Remedy Quantity restriction,

tariff increase

Tariff increase Tariff increase

Constraint/

Condition

Show injury or threat

of injury, negotiate

compensation

Only products “tariffied” in

Uruguay Round (where

comfort needed for

liberalization)

For import surge:

• limit on % of products in a year

• ceiling on tariff at or

above pre-Doha rate

• minimum surge for

tariff exceeding pre-Doha rate?

Expiry of

mechanism?

Permanent Expires or reduced post-

Doha

Different views

Sumber: WTO (2008)

Tipe safeguard yang ketiga dan sampai saat ini masih terus dinegoisasikan adalah

Special Safeguard Mechanism (SSM). SSM hanya berlaku untuk negara berkembang,

khususnya bagi negara yang tidak memiliki SSG. Sama seperti SSG, trigger dari SSM

ditentukan oleh peningkatan produk impor yang drastis atau penurunan harga yang cukup

signifikan tanpa harus disertai dengan pembuktian atau negoisasi. Trigger direpresentasikan

dalam bentuk persentase dari tahun dasar, jadi trigger sebesar 115 persen dapat diartikan

terjadinya kenaikan sebesar 15 persen. Jika hal itu terjadi maka negara dapat meningkatkan

tariff safeguard-nya (atau sering disebut dengan remedy) yang besarnya tergantung pada

besarnya trigger. Jika merujuk kepada Revised Draft Modalities for Agriculture December 2008,

Page 11: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

11

kelemahan dari ukuran ini adalah bahwa SSM tidak dapat digunakan jika ukuran safeguard lain

sedang digunakan pada produk yang sama dan besar tariff yang diterapkan ditambah dengan

remedy tidak boleh melebihi bound rate yang telah disepakati pada negoisasi sebelum Putaran

Doha.

Perhitungan trigger berdasarkan volume pada awalnya diusulkan untuk sama dengan

SSG yakni dengan memasukkan variabel perubahan volume konsumsi domestik, namun

berdasarkan Teks Desember 2008 trigger untuk SSM yang diusulkan hanya memperhitungkan

perubahan volume impor terhadap rata-rata tiga tahun terakhir. Selanjutnya jika terjadi lonjakan

impor sebesar 110% - 115% maka tariff dinaikkan sebesar 25%; 115% - 135% tariff dinaikkan

sebesar 40 persen dan remedy sebesar 50 persen jika terjadi lonjakan impor sebesar lebih dari

135 persen.

Jika perhitungan trigger didasarkan pada harga, maka kejatuhan harga didefinisikan

sebagai perubahan harga relatif terhadap rata-rata harga impor tiga tahun sebelumnya. SSM

akan berlaku jika terjadi kejatuhan harga c.i.f sebesar 85 persen dari rata-rata harga impor tiga

tahun sebelumnya. Besaran remedy yang diterapkan adalah sebesar 85 persen dari perbedaan

harga impor dan harga trigger.

Sumber: WTO (2008)

Gambar 1. SSM dalam Kerangka Putaran Doha

Gambar 1 menunjukkan bahwa terdapat 2 hal teknis yang sangat penting dalam

negoisasi WTO selanjutnya. Pertama, yakni besaran remedy yang dapat diterapkan berikut

Page 12: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

12

dengan besaran rentang lonjakan. Kedua, cara dalam menentukan besaran trigger. Pendekatan

yang selama ini diusulkan dan cukup banyak diterima adalah dengan menggunakan Moving

Average (MA), khususnya MA 3. Beberapa pendekatan lain yang sempat diwacanakan adalah

penggunaan MA 5, fixed reference prices dan Olympic average price (dengan menghilangkan

nilai yang terbesar dan terkecil, setelah itu baru dihitung rata-ratanya). Kedua poin ini yang

terus menerus dinegoisasikan selain dari tuntutan negara berkembang agar negara maju mau

menurunkan dan bahkan menghilangkan subsidi ekspor yang mereka berikan.

2.2. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM KERANGKA TEORITIS

Pada dasarnya SSM merupakan suatu pengecualian bagi suatu negara untuk

menerapkan kebijakan perdagangan yang protektif ketika terjadi suatu kondisi yang dapat

menekan produsen domestik. Proteksi perdagangan tersebut selanjutnya direpresentasikan

dengan peningkatan tariff (remedy) ketika terjadi lonjakan impor atau penurunan harga yang

sangat drastis dan melewati trigger yang telah ditetapkan. Dengan demikian, secara teoritis

SSM mirip dengan kebijakan tariff yang lebih tinggi pada negara pengimpor.

Gambar 2. SSM dalam Kerangka Teoritis

Gambar 2 menunjukkan bahwa pada kondisi normal harga dunia adalah Pw dan setelah

dikenai tariff maka harga yang berlaku di domestik adalah Pw+t dengan tingkat impor sebesar

Q1-Q4. Ketika harga dunia jatuh ke level Pw’ atau terjadi lonjakan impor dengan tingkat impor

di atas Q1-Q4, maka hal ini akan memicu SSM dan pemerintah dapat menerapkan remedy

Pw+t

Price

Quantity Q1 Q2 Q3 Q4

Pw

Demand

Supply

Pw’

Pw’+t+t’

Page 13: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

13

yakni dengan menerapkan tariff lebih besar daripada t atau dengan kata lain menaikkan harga

domestik menjadi Pw’+t+t’ dan impor akan menurun ke level Q2-Q3. Berdasarkan Gambar 2. ini

dapat dilihat bahwa konsekuensi yang harus dibayar ketika suatu negara menerapkan SSM

adalah harga yang lebih tinggi yang harus dihadapi oleh konsumen. Sehingga jika suatu negara

petani merupakan net consumer maka penerapan SSM akan berdampak negatif terhadap

negara tersebut.

2.3. SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM DALAM LITERATUR TERDAHULU

Special Safeguard Mechanism (SSM) merupakan isu yang sangat menarik bagi para

peneliti di bidang perdagangan internasional. Salah satu penelitian yang fokus pada SSM pada

masa awal perkembangannya adalah Ruffer (2002). Pada penelitiannya, Ruffer (2002) dan

Vergano mengusulkan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memformulasikan

SSM. Beberapa hal tersebut diantaranya adalah: perlunya untuk menghilangkan persyaratan

pembuktian terjadinya dampak negatif akibat adanya serbuan impor; penerapan SSM dengan

jangka waktu yang pendek; tidak adanya kewajiban untuk memberikan kompensasi bagi negara

yang terkena dampak negatif akibat diterapkannya SSM; tidak perlunya persyaratan untuk

merubah regulasi nasional untuk menerapkan SSM; penerapan SSM tidak boleh dilakukan

bersamaan dengan penerapan hambatan perdagangan yang lain; dan pelaporan penerapan

SSM kepada CoA (WTO Committee on Agriculture) dan review secara periodik. Selain itu

Ruffer dan Vergano (2002) juga mengusulkan beberapa poin penting yang harus segera

disepakati terkait dengan penerapan SSM, yakni: country coverage; product coverage; triggers;

safeguard measures; dan timescale. Didalam perkembangannya sebagian besar temuan dan

rekomendasi dari penelitian ini digunakan dalam teknis pelaksanaan SSM.

Grant dan Meilke (2005) menganalisis dampak penerapan SSM pada komoditas

gandum. Penelitian ini berfokus pada stabilitas pasar dan kesejahteraan. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian tersebut adalah partial equilibrium model untuk sektor gandum

dengan memanfaatkan data dari 38 negara dimana 32 negara diantaranya memiliki posisi

sebagai net-importer. Grant dan Meilke (2005) mengestimasi dampak dari Mr. Harbinson draft

text yang disirkulasikan pada bulan Maret 2003 dan proposal dari Amerika Serikat (Swiss-25)

jika kebijakan tersebut diterapkan. Secara umum hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa

SSM dapat mengakibatkan distorsi perdagangan namun dalam skala yang tidak tergolong

parah. Hasil estimasi model menunjukkan bahwa penerapan SSM hanya mengakibatkan biaya

ekonomi kurang dari 20 persen dari keuntungan yang diperoleh dunia dengan adanya SSM

Page 14: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

14

tersebut. Selain itu penelitian ini juga menghasilkan beberapa temuan penting lainnya, yakni:

potensi pemanfaatan SSM akan meningkat seiring dengan meningkatnya liberalisasi

perdagangan dan jatuhnya harga domestik; Negara yang memiliki pendapatan rendah

terancam akan menerima dampak negatif dari penerapan SSM yang ditunjukkan dengan

turunnya surplus konsumen; dan kebijakan SSM diprediksi mampu menstabilkan nilai import

khususnya pada Negara dengan tingkat pendapatan yang rendah.

Sawit et al. (2006) menganalisis penerapan proposal G-33 yang terkait dengan SSM

untuk kasus Indonesia. Merujuk pada penerapan fasilitas perlindungan perdagangan yang

diterapkan sebelumnya, yakni SSG, Sawit et al. (2006) menunjukkan bahwa fasilitas SSG

tersebut tidak sesuai digunakan oleh Indonesia karena: (i) rata-rata harga impor yang dijadikan

sebagai harga referensi akan memperkecil peluang Indonesia untuk menggunakan mekanisme

SSG dalam melindungi pasar domestik; (ii) parameter atau konstanta yang digunakan dalam

formula SSG dalam menentukan tambahan tariff menghasilkan tambahan tariff yang tidak

memadai untuk mengatasi penurunan harga. Selain itu, temuan penting lainnya yang

dipaparkan pada Sawit et al. (2006) diantaranya adalah besarnya persentase perubahan

volume impor komoditas pertanian jauh lebih fluktuatif dengan rentang yang jauh lebih besar

dan persentase yang lebih tinggi; penerapan SSG yang tidak efektif dikarenakan remedy yang

dapat diterapkan dalam mekanisme SSG relatif rendah bila dibandingkan dengan bound tariff

komoditas pertanian secara umum.

Jika proposal SSM dari negara-negara yang tergabung dalam G-33 diterapkan maka

dapat ditunjukkan bahwa Indonesia mengalami serbuan impor dan kejatuhan harga pada

periode 1996 sampai dengan 2005 untuk komoditas pangan, khususnya pada komoditas beras,

jagung, gula, daging sapi, pisang, dan daging unggas. Selama data yang digunakan adalah

data bulanan (berdasarkan proposal SSM G-33) maka penerapan SSM jika diperlukan akan

dapat dilakukan sesegera mungkin dan masalah keterlambatan penerapan seperti yang dialami

pada fasilitas SSG dapat dihindari. Selain itu mekanisme SSM berdasarkan proposal negara-

negara G-33 secara teknis jauh lebih mudah dan simple.

Terkait dengan adanya berbagai usulan mekanisme SSM dari berbagai pihak, Hutabarat

dan Rahmanto (2006) memandang bahwa SSM merupakan fasilitas yang sangat penting untuk

terus diperjuangkan oleh Negara berkembang guna melindungi pasar domestik Negara yang

bersangkutan. Negara berkembang harus dapat segera merumuskan komponen-komponen

dari SSM, yakni yang berkaitan dengan kerangka penerapan SSM dan Instrumen/Alat dalam

penerapan SSM. Yang dimaksud dengan kerangka pada hasil penelitian ini mencakup hal-hal

Page 15: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

15

yang sebagian telah diungkapkan oleh Ruffer (2002), diantaranya adalah SSM seharusnya

tidak dibatasi pada keadaan dan jumlah produk tertentu; mekanismenya haruslah sederhana

dan efektif; tidak mensyaratkan pembuktian kerugian; tidak menuntut adanya kompensasi untuk

Negara yang menerima dampak negatif akibat penerapan SSM; penggunanya bersifat tetap;

dan alat SSM-nya dapat berupa tariff bea masuk yang tinggi dan pembatasan impor. Terkait

dengan alat/instrument yang harus dimiliki oleh SSM, Hutabarat dan Rahmanto (2006)

menekankan beberapah hal penting, yakni pemicu penerapan SSM dapat berupa peningkatan

jumlah impor atau penurunan harga domestik yang terjadi secara tiba-tiba; harga acuan yang

dipakai adalah c.i.f dalam mata uang yang digunakan dalam perdagangan; apabila nilai impor

lebih besar daripada tren-nya atau harga lebih rendah daripada tren-nya maka pemberlakuan

bea masuk tambahan atau pembatasan kuota impor dapat dilakukan.

Sharma (2006) membandingkan berbagai alternatif dalam penentuan trigger baik

berdasarkan volume ataupun harga. Untuk penentuan trigger berdasarkan harga dibandingkan

beberapa alternatif yakni penggunaan fixed reference prices dengan 3 alternatif harga rata-rata

(periode 1992-1994, 1995-2004 dan olympic average pada periode 1986-2004) dan rolling

reference prices yakni dengan menggunakan 3 year moving average (MA-3) dan 5 year moving

average (MA-5). Sedangkan untuk penentuan trigger dengan berdasarkan volume impor

dibandingkan pendekatan 3 year moving average (MA-3), fixed period reference import level

pada periode 1992-1994, dan “higher of two” reference.

Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa MA-3 dan MA-5 merupakan ukuran

yang cukup tepat untuk menentukan trigger yang berdasarkan harga. Diantara kedua pilihan ini,

MA-5 terbukti cukup efektif mengatasi penurunan harga komoditas dunia. Selain itu, MA-5 juga

akan memberikan remedy yang secara relatif lebih besar dibandingkan MA-3. Sementara itu, 3

alternatif harga rata-rata yang tetap menghasilkan output yang secara relatif kurang bagus

dibandingkan moving average. Untuk penentuan trigger berdasarkan volume impor didapatkan

hasil yang agak mirip dimana moving average terlihat lebih baik dibandingkan dengan 2

pendekatan lainnya.

Montemayor (2008) menganalisis potensi dampak dari draft proposal yang disirkulasikan

pada bulan Mei 2008 terhadap kemampuan negara-negara dalam mengakses SSM dan pada

kondisi apa SSM tersebut efektif untuk mengatasi gap antara harga barang dunia dan harga

barang impor. Pada penelitian tersebut dikembangkan berbagai model simulasi dengan

memanfaatkan data bulanan dari 27 komoditas pertanian dari 6 negara berkembang termasuk

didalamnya Indonesia untuk periode 2000 sampai dengan 2005. Hasil dari simulasi pada

Page 16: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

16

penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan threshold, penentuan periode berlakunya

remedy, dan cross check terbukti memiliki dampak yang relatif lebih besar terhadap tingkat

akses negara terhadap SSM dan efektifitas dari SSM tersebut dibandingkan dengan tingkat dari

remedy itu sendiri. Hal ini mengimplikasikan bahwa negara berkembang dapat mengurangi

fokus negoisasinya tidak lagi kepada tingkat remedy melainkan pada hal-hal lainnya.

Diskusi dan perdebatan tentang konsep SSM terus berlanjut dan pada bulan Juli 2008

telah disirkulasikan kembali revisi ketiga atau yang dikenal dengan Chairman Falconer’s third

modalities text. Isi dari dokumen ini menunjukkan bahwa anggota WTO telah mencapai

beberapa konsensus yang terkait dengan hal teknis dari SSM, kecuali yang terkait

kemungkinan negara berkembang dalam menerapkan tariff di atas tingkat yang disetujui pada

sebelum Putaran Doha. Grant dan Meilke (2008) menganalisis hal tersebut dan melihat

dampaknya terhadap negara berkembang. Pada penelitian tersebut diestimasi dampak yang

akan diterima oleh negara berkembang untuk 3 kondisi yang ditunjukkan oleh tiga skenario

pada model simulasi. Ketiga skenario tersebut adalah pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli;

pemotongan tariff berdasarkan Paket Juli yang dikombinasikan dengan batasan tariff sesuai

kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha; dan pemotongan tariff berdasarkan Paket

Juli dan dimungkinkannya peningkatan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah

disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha.

Hasil dari analisis Grant dan Meilke (2008) menunjukkan bahwa penerapan Paket Juli

diprediksi hanya akan mengakibatkan welfare loss yang kecil, khususnya bagi developing dan

least developed countries. Selanjutnya jika penerapan Paket Juli tersebut dikombinasikan

dengan kebijakan batasan tariff sesuai kesepakatan anggota WTO sebelum putaran Doha

maka diprediksi akan mengakibatkan welfare loss perekonomian dunia sebesar US$ 204 juta.

Welfare loss akan meningkat sedikit jika Negara berkembang dimungkinkan untuk menerapkan

SSM dan dapat meningkatkan tariff yang lebih besar daripada batasan tariff yang telah

disepakati anggota WTO pada sebelum putaran Doha. Studi tersebut menunjukkan bahwa

penerapan SSM yang disertai mekanisme peningkatan tariff yang melebihi batasan yang telah

disepakati pada sebelum putaran Doha hanya akan menimbulkan welfare loss yang kecil,

sehingga tidak menjadi hal yang terlalu mengkhawatirkan jika diterapkan. Negara anggota WTO

khususnya negara maju seharusnya mempertimbangkan hal tersebut sehingga kesepakatan

perdagangan untuk produk pertanian dapat segera tercapai.

Selain dari diskusi mengenai metode perhitungan apa yang relatif lebih tepat dalam

menghitung trigger SSM, beberapa penelitian menunjukkan berbagai kelemahan dari SSM

Page 17: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

17

dalam melindungi kepentingan negara berkembang. Finger (2009) menunjukkan bahwa

kebijakan SSM dapat menimbulkan kebijakan yang salah, dimana negara dapat menerapkan

SSM pada komoditi yang seharusnya tidak di SSM dan juga sebaliknya dimana komoditi yang

seharusnya mendapat SSM justru tidak mendapatkan perlindungan karena statistic masih di

bawah trigger yang ditetapkan. Salah satu contoh yang cukup menarik dipaparkan pada

penelitian tersebut adalah kasus Indonesia. Jika berdasarkan statistik maka banyak sekali

produk yang seharusnya mendapatkan SSM, namun jika itu diterapkan maka akan berdampak

negatif terhadap petani domestik dikarenakan tipikal petani Indonesia yang cenderung net-

consumer. Keterbatasan lain yang ada pada konsep SSM yang saat ini diajukan adalah jika

perhitungan trigger didasarkan pada volume, maka terdapat kemungkinan trigger tersebut

menjadi terlalu tinggi dan terlalu telat (South Centre, 2009). Selain itu, South Centre (2009) juga

menekankan bahwa remedy yang diusulkan saat ini masih terlalu rendah dan belum mampu

untuk mengatasi serbuan barang impor, baik itu untuk price-based SSM dan volume-based

SSM. Hertel et.al (2010) menambahkan kekurangan lain dari SSM yakni kemungkinannya

dalam meningkatkan tekanan terhadap volatilitas harga domestik akibat output domestic yang

terlalu rendah dan harga yang tinggi dibandingkan dengan fungsi utamanya sebagai stabilator

harga.

2.4. Definisi Non Tariff Barrier (NTB)

Secara umum definisi hambatan non-tarif atau NTB mengacu pada berbagai intervensi

kebijakan selain tarif yang pada akhirnya mempengaruhi dan mendistorsi perdagangan barang,

jasa, dan faktor-faktor produksi (Beghin, 2006). Bentuk umum dari NTB dapat berupa aturan

perdagangan spesifk di pasar domestik dan kebijakan khusus seperti kuota impor, sukarela

pembatasan ekspor (voluntary export restraints), pembatasan intervensi negara-trading, subsidi

ekspor, countervailing duty, hambatan teknis perdagangan, kebijakan sanitary dan

phytosanitary (SPS), aturan asal, dan skema kebutuhan konten domestik. Dari keberagaman

bentuk NTB ini, diskusi yang berkembang dalam literatur pada akhirnya mencoba melakukan

klasifikasi atau taksonomi atas jenis-jenis NTB.

Taksonomi dari NTB, selain berasal dari jenis spesifik NTB juga termasuk kebijakan

makro yang dapat mempengaruhi perdagangan. Dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun

penggolongan atau taksonomi NTB yang sempurna atau lengkap, karena suatu NTB seringkali

didefinisikan dengan konsep yang tidak dicakup oleh definisi yang sudah ada (Deardorff dan

Stern, 1998 dalam Beghin, 2006).

Page 18: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

18

2.5. Taksonomi NTB

Deardorff dan Stern (1998) mengusulkan taksonomi NTB terdiri dari lima jenis. Jenis

pertama meliputi NTB yang sifatnya kuantitatif dan hambatan yang terkait dengan tipe NTB ini.

Contoh praktek NTB yang masuk kategori ini adalah impor kuota dan hambatan administrasinya

(perizinan, pelelangan, dan lainnya); batasan ekspor dan larangan impor (ban); pembatasan

ekspor sukarela, batas maksimal impor tetapi dikelola oleh eksportir; kontrol devisa yang

berdasarkan lisensi; embargo; konten domestik dan persyaratan pencampuran konten yang

memaksa penggunaan komponen lokal dalam produk akhir; diskriminatsi perjanjian

perdagangan dan aturan asal; dan countertrade, seperti barter dan pembayaran in kind.

Jenis kedua mencakup biaya selain tarif dan kebijakan terkait yang dapat

mempengaruhi impor. Kategori ini meliputi pungutan yang dibebankan saat harga mencapai

batas ambang atau tingkat acuan tertentu; persyaratan deposito awal pada impor, anti-dumping

dan countervailing duty yang dikenakan pada barang masuk yang diduga diekspor "di bawah

biaya" atau dengan bantuan subsidi ekspor yang diberikan oleh pemerintah mitra, dan seperti

pajak pertambahan nilai yang terkadang secara asimetris dikenakan atas barang impor relatif

terhadap barang domestik.

Jenis ketiga cakupannya lebih luas, meliputi semua berbagai bentuk kebijakan

pemerintah,termasuk kebijakan makro-ekonomi. Kategori misalnya dalam bentuk partisipasi

langsung pemerintah dalam perdagangan melalui institusinya dan dukungan negara pada

bentuk aktivitas monopoli dan monopsoni; kebijakan pemerintah untuk pengadaan barang

dengan preferensi domestik, dan kebijakan yang pro perusahaan dalam negeri yang terkait

subsidi dan bantuan.

Selain itu, jenis ketiga dari NTB juga mencakup kebijakan makro ekonomi dan nilai

tukar, kebijakan persaingan, kebijakan investasi asing langsung; kebijakan perpajakan nasional

dan kebijakan jaminan sosial nasional, termasuk kebijakan imigrasi. Dari ilustrasi singkat

tentang bentuk-bentuk NTB tersebut dapat dikatakan bahwa definisi NTB pada akhirnya

tergantung pada konteks kebijakan yang dilakukan.

Dua kategori terakhir terkait dengan prosedur kepabeanan dan administrasi, dan

hambatan teknis perdagangan atau technical barriers to trade (TBT), yang menjadi isu sentral

dalam taksonomi NTB. Jenis pertama meliputi metode penilaian kepabeanan yang berbeda

dengan penilaian impor yang sebenarnya; klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem

klasifikasi internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan; dan prosedur customs

clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi yang menciptakan biaya tambahan.

Page 19: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

19

Sedangkan hambatan teknis untuk perdagangan atau dikenal sebagai TBT berkaitan dengan

kesehatan,sanitasi, perlindungan hewan, dan peraturan lingkungan; standar mutu; keselamatan

dan standar industri, kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan periklanan.

Terkait dengan kompleksitas dan keragaman jenis NTB, studi ini memilih fokus dari jenis

NTB untuk studi kasus Indonesia pada aspek kategori keempat khususnya terkait dengan

hambatan yang sifatnya teknis (TBT). Hal ini didasarkan informasi awal pada kegiatan pra

survey lapangan untuk komoditas sektor otomotif, elektronik, pertanian dan kakao yang

mengindikasikan dominannya jenis NTB ini pada komoditas fokus dari studi ini.

2.6. Pendekatan Untuk Mengukur NTB

Secara umum dapat dikatakan bahwa mengukur hambatan non tarif bukanlah sesuatu

yang mudah. Menurut (Fukao, Kataoka, & Kuno, 2003) terdapat empat metode pengukuran

NTB. Pendekatan pertama adalah teknik menghitung perbedaan antara harga impor dan harga

domestik yang dikenal price wedge atau price differential. Teknik ini menghitung ukuran NTB

sebagai selisih antara kedua harga di setiap tingkat sub agregasi komoditas dan mengurangkan

tarif pada komoditas ini dari selisih tersebut. Seperti dikutip dalam Fukao et al. (2003)

pendekatan ini pernah dipergunakan untuk mengestimasi besaran NTB di Jepang oleh

Sazanami, Urata, dan Kawai (1995), Kataoka dan Kuno (2003), di Korea oleh Kim (1995), di

Cina oleh Shuguang et al. (1999), di Uni Eropa oleh Messerlin (2001).

Pendekatan ini, meskipun terkesan paling mudah untuk dihitung, memiliki dua

kelemahan. Kelemahan pertama adalah terkait dengan kualitas. Komiya and Negishi (1998)

dalam Fukao et al. (2003) mengkritisi bahwa ukuran NTB yang didapatkan dengan teknik price

differential ini hanya akan valid apabila dipastikan kesamaan kualitas antara barang impor dan

barang domestik yang dibandingkan harganya. Apabila kualitas antara kedua barang tidak

identik, maka ukuran NTB menjadi kurang bermakna. Kelemahan kedua terkait dengan

ketidakmampuan pendekatan ini untuk menangkap pola NTB berupa kebijakan bantuan non-

tarif seperti subsidi yang diberikan kepada produksi domestik, serta efek dari margin biaya

perdagangan dan biaya transportasi antar negara terkait barang impor. Pada akhirnya, efek

NTB yang hendak diukur menjadi bias atau tidak terungkap. Namun, jika dikehendaki teknik ini

sebagai alat analisis sebatas untuk identifikasi awal ada atau tidaknya NTB, pendekatan ini

masih dapat dipergunakan dengan mengurangkan tarif(jika ada) dalam perbedaan harga

tersebut. Tentunya masih dengan asumsi, inklusif atas trading dan transportation cost.

Page 20: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

20

Pendekatan kedua, mirip dengan pendekatan pertama yaitu menghitung selisih harga

namun dengan mempergunakan perbedaan antara harga domestik dan harga di negara mitra

(Jetro, 2000 dalam Fukao et al. 2003). Namun sayangnya terkait dengan harga di negara mitra

atau dikenal dengan basis data purchasing power parity (PPP) tidak banyak tersedia. Selain itu,

relatif sulit untuk mengisolasi efek perbedaan dari pengaruh biaya distribusi dan margin biaya

perdagangan antara negara. Selain itu, dengan pendekatan ini juga sulit untuk memisahkan

antara hambatan tarif dan NTB.

Pendekatan ketiga adalah pendekatan yang mempergunakan teknik ekonometrika dan

memperkiraan besaran NTB melalui gravity model. Dalam pendekatan ini, error yang tidak

dapat dijelaskan dalam model diperlakukan sebagai besaran hambatan (tarif dan non-tarif),

seperti yang dilakukan oleh Yoon (2001) dan Harrigan (2003) dalam Fukao et al. (2003). Selain

itu ada pertimbangan atas berbagai faktor lain selainNTB yang menjelaskan besaran error

seperti impor dari luar negeri afiliasi. Selain itu terdapat kritik bahwa estimasi ini sulit dilakukan

karena masalah ketersediaan data pada tingkat sub agregat suatu komoditi, sedangkan pada

tingkat agragatif sifat NTB akan berbeda-beda sehingga estimasi menjadi tidak lagi valid.

2.7. Estimasi Empiris Model Gravity: Inklusif Border Effect, Tarif Dan NTB

Salah satu studi terkini yang mencoba menghitung efek NTB terhadap kinerja

perdagangan bilateral dengan basis model graviti untuk efek perbatasan dan perbedaan harga

adalah (Chevassus-Lozza, Latouche, & Majkovic, 2007) yang mendasarkan pada pendekatan

yang dibuat oleh Anderson dan van Wincoop (2003). Dalam melakukan uji empiris, Chevassus-

Lozza, et al.(2007) tidak mempergunakan nilai volume perdagangan sebagai komponen di

sebelah kiri model graviti, namun yang dipergunakan adalah koefisien perdagangan bilateral

relatif yang diformulasikan sebagai:

����� =�� �⁄�� �⁄

Dimana:

���� = nilai nominal ekspor barang k dari i ke j

��� = pengeluaran total negara j untuk komoditas k

��� = total ekspor negara i untuk komoditas k

��� = nilai total perdagangan dunia untuk barang k

Adapun definisi persamaan operasional yang dipergunakan oleh Chevassus-Lozza, et al.(2007)

yang akan diadopsi dalam studi ini ditunjukkan oleh spesifikasi persamaan berikut.

Page 21: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

21

ln������� = ���� ���

+ ������� + ���� �� + �!"�� + ∑ �$� %� +∑ �&� '%"� + (���

Dimana ���

= perbandingan harga relatif komoditas k terhadap indeks harga umum di negara j

��� = indeks CES dari tingkat daya saing negara i di dunia

�� = jarak antara i dan j

"�� = efek perbatasan antara i dan j, model ini mengadopsi variabel kesamaan tertentu

seperti bahasa dan sejarah koloni dalam bentuk dummy

%� = tarif i

'%"� = non-tarif i

Page 22: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

22

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan selama 11 (sebelas) bulan di tahun 2010. Penelitian dilakukan

dengan menggunakan data sekunder dan selanjutnya hasil pengolahan data sekunder

dilakukan verifikasi dengan kegiatan turun lapang.

3.2. Data dan Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data

sekunder dikumpulkan dari Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian Republik

Indonesia untuk 10 komoditi terpilih. Data primer digunakan untuk memberikan gambaran riil

tentang bagaimana para pelaku bisnis dan pembuat kebijakan memandang kondisi impor saat

ini dan penting atau tidaknya penerapan SSM sebagai salah satu upaya proteksi. Data primer

yang dianalisis hanya mencakup kasus kota Medan dan dikumpulkan seiringan dengan

kegiatan Focus Group Discussion (FGD).

3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Statistika Deskriptif

Metode statistika deskriptif digunakan untuk menggambarkan data yang telah

dikumpulkan. Data yang terkumpul dianalisis dengan metode ini sehingga dapat diperoleh

gambaran karakteristik responden dan faktor yang berpengaruh terhadap kemauan lembaga

keuangan dalam menyalurkan kredit perumahan. Data dapat disajikan dalam bentuk tabulasi

(seperti tabulasi tunggal dan tabulasi silang), charts, dan diagram.

Metode tabulasi silang (cross-tabulation) adalah metode statistika yang merangkum data

dengan dua atau lebih variabel secara bersamaan. Terkadang metode ini juga menggunakan

cara deskriptif sederhana untuk melihat apakah ada hubungan antara dua buah variabel.

Tabulasi silang biasanya menggunakan tabel yang di dalamnya terdapat dua atau lebih variabel

bebas dan takbebas. Setiap sel pada tabel ini berisi jumlah responden yang memberikan

sebuah kombinasi informasi yang lebih spesifik. Oleh karenanya, setiap sel mengandung

sebuah tabulasi silang tunggal (single cross-tabulation). Pada intinya, penggunaan metode ini

adalah untuk memberikan solusi dari suatu masalah dengan menampilkan kombinasi dari

variabel dan menganalisis variabel bebas dan takbebas.

Page 23: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

23

Penggunaan metode tabulasi silang seringkali dijumpai dalam penelitian karena metode

ini mudah untuk dimengerti bagi kebanyakan orang yang memiliki keterbatasan pengertian

dalam ilmu hitung. Selain itu metode ini juga dapat digunakan untuk berbagai jenis tipe data

baik berupa data nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dengan demikian, tabulasi silang

dapat digunakan jika salah satu variabel bersifat kualitatif dan lainnya kuantitatif ataupun jika

keduanya bersifat kualitatif dan sebaliknya.

3.3.2. Statistical Quality Control

Statistical Quality Control (SQC) merupakan suatu pendekatan statistik yang digunakan

oleh profesional untuk melakukan penilaian dan pemantauan terhadap capaian kualitas dari

suatu komoditas dan sekaligus mengidentifikasi permasalahan kualitas dari suatu komoditas

dan proses dalam menghasilkan komoditas tersebut. Secara umum, alat statistik yang

digunakan dalam SQC adalah descriptive statistics, statistical process control (SPC) dan

acceptance sampling. Diantara ketiga alat ini, SPC merupakan pendekatan yang paling sering

digunakan karena juga mampu untuk mengidentifikasi perubahan atau variasi dari karakter

kualitas suatu produk atau proses produksinya. Analisa terhadap variasi kualitas produk

tersebut pada akhirnya akan mampu memberikan informasi tentang ada tidaknya produk yang

tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan ketidakkonsistenan dari tingkat kualitas

berdasarkan data sampel yang digunakan. Atas dasar penjelasan inilah peneliti melihat adanya

kesamaan tujuan dari statistical quality control dengan SSM yakni mengidentifikasi ada tidaknya

suatu kondisi yang tidak sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dengan pendekatan ini

diharapkan dapat memberikan suatu komparasi metode perhitungan trigger dari SSM. Selain

itu, alasan menggunakan SQC sebagai metode adalah atas dasar kemudahan pengoperasian

atau perhitungan yang merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam prasyarat

metode yang digunakan dalam perhitungan trigger SSM.

Analisa dengan menggunakan SPC selanjutnya akan kita fokuskan kepada penggunaan

control chart yakni suatu chart yang mampu menunjukkan apakah sampel yang dianalisis

berada pada variasi yang normal atau tidak. Dalam kasus impor, jika data impor tidak berada

pada variasi normal maka dapat diasumsikan bahwa pada periode tersebut telah terjadi

lonjakan impor. Setiap control chart memiliki batas atas (upper control limit/UCL) dan batas

bawah (lower control limit/LCL) yang membatasi wilayah range dari nilai impor yang masih

dapat diakomodasi. Gambar 3. memperlihatkan bagaimana gambaran control chart yang akan

digunakan dalam penelitian ini.

Page 24: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

24

Gambar 3. Komponen Control Chart

Jika merujuk kepada rule of thumb yang sering digunakan, batas bawah dan batas atas

yang digunakan adalah ± 3 standar deviasi dari nilai mean. Standar deviasi merupakan suatu

ukuran variasi yang diformulasikan sebagai berikut:

( )2

1

1

n

ii

x x

nσ =

−=

∑ (1)

Dimana:

σ : standar deviasi dari sampel

x : rata-rata

ix : observasi ke-i

n : jumlah observasi dalam sampel

Nilai standar deviasi yang kecil menunjukkan bahwa observasi yang dianalisa berada di

sekitar nilai rata-rata sampelnya. Jika diasumsikan bahwa data yang digunakan memiliki

sebaran normal maka batasan range ini akan menangkap 99.74 persen dari variasi normalnya.

Namun jika kita menetapkan bahwa batasan yang digunakan adalah ± 2 standar deviasi, maka

control limit tersebut akan menangkap 95.44 persen dari variasi normalnya. Penjelasan dari

konsep ini secara lebih detail dapat dilihat pada Gambar 4.

Page 25: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

25

Gambar 4. Persentase Nilai Sebaran yang Mampu Ditangkap Oleh Cakupan

Standar Deviasi yang Berbeda

Control chart memiliki tipe yang bermacam-macam, namun yang paling umum

digunakan adalah sample mean chart, sample range chart dan proportion defective chart.

Sample mean chart digunakan untuk memonitor perubahan dari nilai rata-rata untuk setiap

observasi. Langkah pertama yang harus dilakukan dalam membuat sample mean chart adalah

dengan menghitung rata-rata dari sampel terlebih dahulu, dengan mengikuti rumus:

1

n

ii

x x=

=∑ (2)

Setelah didapatkan nilai rata-ratanya maka langkah selanjutnya adalah menentukan

batas atas (upper control limit/UCL) dan batas bawah (lower control limit/LCL), yakni

UCL x zσ= + (3)

LCL x zσ= − (4)

Dimana z merupakan variabel standar normal dengan pilihan nilai 2 untuk 95.44 persen

tingkat confidence dan 99.74 persen tingkat confidence. Alternatif lainnya dalam membuat

control chart adalah dengan menggunakan range untuk mengestimasi variabilitas dari

obsevasinya. Cara perhitungannya hampir mirip dengan persamaan 3.3. dan 3.4. yakni:

UCL x AR= + (5)

LCL x AR= − (6)

Dimana A adalah nilai Z untuk control chart dan R adalah nilai rata-rata Range dari sampel

yang digunakan.

Page 26: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

26

3.3.3. Analytical Hierarchy Process (AHP)

Analytic Hierarchy Process (AHP) adalah Metode pengambilan keputusan dengan cara

memecah suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur ke dalam kelompok – kelompok,

dan mengaturnya kedalam suatu hirarki yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode

AHP dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan prioritas sebuah permasalahan atau

kebijakan.

Metode ini juga menggabungkan kekuatan dari perasaan dan logika yang bersangkutan

pada berbagai persoalan, lalu mensintesis berbagai pertimbangan yang beragam menjadi hasil

yang cocok dengan perkiraan kita secara intuitif sebagaimana yang dipresentasikan pada

pertimbangan yang telah dibuat(Saaty, 1993).

Dengan kata lain, AHP adalah salah satu bentuk model pengambilan keputusan yang

menggunakan presepsi manusia yang dianggap ahli (orang yang mengerti permasalahan yang

diajukan atau orang yang mempunyai kepentingan terhadap isu atau permasalahan yang

diajukan) sebagai input utamanya. Kelebihan model AHP dibandingkan model pengambilan

keputusan lainnya terletak pada kemampuan memecahkan masalah yang multiobjectives dan

multicriterias.

Dalam konteks NTB, AHP menjadi salah satu instrumen pengganti yang reliable dalam

mengidentifikasi jenis atau kategori dari NTB yang dominan dihadapi oleh eksportir komoditas

empat sampel. Hal ini dilakukan dengan cara menggali persepsi tingkat pentingnya masing-

masing NTB dari para ahli dalam hal ini pemangku kepentingan dari empat komoditas tersebut.

Secara praktis, AHP dilakukan dengan membandingkan satu variabel dengan variable lainnya.

Misal untuk membandingkan antara A dengan B. Maka penggunaan skala perbandingan yang

lazim dipergunakan adalah sebagai berikut:

1. Bila kedua elemen sama penting, misalnya beri nilai 1, artinya bahwa kedua elemen

tersebut (A dan B) mempunyai tingkat kepentingan yang sama.

2. Bila elemen yang satu sedikit lebih penting dibanding yang lain dalam mempengaruhi

elemen diatasnya, beri nilai 3, artinya terdapat pertimbangan atau pengalaman yang

mendukung bahwa satu elemen dianggap sedikit lebih penting dibanding elemen

lainnya. Bila A dianggap sedikit lebih penting, maka dikatakan kesehatan 3 kali lebih

penting daripada B.

3. Bila elemen yang satu lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 5, artinya terdapat

pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap lebih penting dibanding

Page 27: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

27

elemen lainnya. Bila A dianggap lebih penting, maka dikatakan A 5 kali lebih penting

daripada B.

4. Bila elemen yang satu jelas sangat penting dibanding yang lain, beri nilai 7, artinya

terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih

penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap jauh lebih penting, maka

dikatakan A 5 kali lebih penting daripada B.

5. Bila elemen yang satu mutlak lebih penting dibanding yang lain, beri nilai 9, artinya

terdapat pertimbangan atau pengalaman bahwa satu elemen dianggap jauh lebih

penting dibanding elemen lainnya. Bila kesehatan dianggap mutlak lebih penting, maka

dikatakan A 9 kali lebih penting daripada B.

Terdapat empat tahapan dalam penggunaan teknik AHP:

1. Mendefinisikan suatu “aktivitas” yang memerlukan pemilihan dalam pembuatan skala

prioritasnya. Dalam hal ini aktivitas tersebut adalah jenis/kategori dari NTB dan bentuk-

bantuknya yang ada atau lazim dihadapi oleh ekspor Indonesia ke negara mitra utama

yang dijadikan cakupan dalam studi ini.

2. Menentukan kriteria dari pilihan-pilihan tersebut didasarkan pada identitas aktivitas

pembuat hirarkinya atau elemen.

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan dengan memperhatikan prinsip

comparative judgement dalam rangka menyusun prioritas tiap elemen pada tiap hirarki.

Matriks ini disusun dalam bentuk bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative

weight).

4. Melakukan uji konsistensi perbandingan elemen pada tiap hirarki dan dilanjutkan

dengan uji konsistensi hirarki.

Ilustrasi aplikasi AHP dalam studi ini adalah sebagai berikut. Deardorff dan Stern membagi NTB

menjadi 5 kategori. Lima kategori inilah yang akan dipergunakan dalam pembuatan hirarki

tingkat pertama dari masalah atau hambatan non-tarif yang dihadapi oleh ekspor Indonesia.

Lima hambatan tersebut mencakup kategori seperti yang tercantum dalam gambar berikut.

Page 28: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

Gambar

Selanjutnya, masing-masing kategori dari NTB pada tingkat pertama memiliki faktor atau bentuk

spesifik dari hambatan non-tarifnya. Mengadopsi dari taksonomi yang sama, elemen dari hirarki

tingkat kedua NTB tercantum dalam tabel berikut.

Tabel 5.

Hirarki Tingkat Pertama

Q

C

MP

hambatan kuantitatif (Q)

biaya selain tarif (C)

28

Gambar 5. Hirarki Tingkat Pertama dari NTB

masing kategori dari NTB pada tingkat pertama memiliki faktor atau bentuk

tarifnya. Mengadopsi dari taksonomi yang sama, elemen dari hirarki

tingkat kedua NTB tercantum dalam tabel berikut.

5. Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB

Hirarki Tingkat Kedua

Perizinan dan peraturan lelang

Kuota ekspor dan larangan impor

Pembatasan ekspor sukarela

Batasan impor maksimal yang dikelola oleh eksportir

Kontrol devisa

Embargo

Persyaratan konten domestik*

Diskriminasi perjanjian*

Countertrade*

Aturan pembayaran in kind

Pungutan atas batas harga

Deposito awal

Anti-dumping

Countervailing duty

Penyesuaian border tax

Keterlibatan institusi pemerintah dalam perdagangan

Pengadaan barang dengan preferensi domestik

Kebijakan yang pro perusahaan domestik

NTB

biaya selain tarif (C)

kebijakan ekonomi makro

(MP)

administrasi dan kepabeanan (CA)

masing kategori dari NTB pada tingkat pertama memiliki faktor atau bentuk

tarifnya. Mengadopsi dari taksonomi yang sama, elemen dari hirarki

Elemen Dari Hirarki Tingkat Kedua NTB

Batasan impor maksimal yang dikelola oleh eksportir

perdagangan

Pengadaan barang dengan preferensi domestik

hambatan teknis atau TBT

Page 29: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

29

CA Penilaian kepabeanan yang berbeda dengan penilaian impor yang

sebenarnya

Klasifikasi kepabeanan yang berbeda dari sistem klasifikasi

internasional yang sering ditujukan untuk menarik pungutan

Prosedur customs clearance, seperti pemeriksaan dan dokumentasi

yang menciptakan biaya tambahan

TBT Kesehatan

Sanitasi

Perlindungan hewan dan peraturan lingkungan

Standar mutu

Keselamatan dan standar industri

Kemasan dan peraturan pelabelan dan media lain/peraturan

periklanan

Selanjutnya, contoh comparative judgement untuk kasus ini dengan data ilustratif pada hirarki

tingkat pertama adalah sebagai berikut.

Tabel 6. Comparative Judgement: Ilustrasi

Kriteria Q C MP CA TBT

Q 1 5 0,333333 0,25 0,5

C 0,2 1 0,142857 0,125 0,166667

MP 3 7 1 0,5 0,25

CA 4 8 2 1 0,333333

TBT 2 6 4 3 1

Jumlah 10,2 27 7,47619 4,875 2,25

Baris jumlah dipergunakan untuk melakukan normalisasi bobot pada masing-masing kriteria.

Dalam hal ini masing-masing nilai perbandingan dihitung sebagai nilai relatif terhadap masing –

masing jumlah tiap kolom yang selanjutnya disebut normalized relative weight. Hasil

perhitungan normalized relative weight disertai nilai rata-rata di tiap baris adalah sebagai

berikut.

Page 30: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

30

Tabel 7. Hasil Perhitungan Normalized Relative Weight

Kriteria Q C MP CA TBT Eigenvektor utama

Q 0,098039 0,185185 0,044586 0,051282 0,222222 0,120263

C 0,019608 0,037037 0,019108 0,025641 0,074074 0,035094

MP 0,294118 0,259259 0,133758 0,102564 0,111111 0,180162

CA 0,392157 0,296296 0,267516 0,205128 0,148148 0,261849

TBT 0,196078 0,222222 0,535032 0,615385 0,444444 0,402632

Jumlah 1 1 1 1 1 1

Nilai rata-rata di tiap baris atau disebut eigenvektor utama adalah bobot rasio masing-

masing kriteria. Nilai ini menunjukkan justifikasi tingkat kepentingan masing-masing jenis NTB

oleh para ahli. Sebagai contoh dari perhitungan ini NTB yang bersifat kuantitatif (Q) memiliki

tingkat kepentingan 0,120263/0,402632=0,298692 kali dari TBT atau TBT 3,34793 kali lebih

penting dari hambatan kuantitatif. Selanjutnya tingkat kepentingan masing-masing jenis NTB

dalam hirarki berikutnya dapat dihitung dengan pola yang sama.

3.3.4. Uji Konsistensi AHP

Jika aij mewakili derajat kepentingan faktor iterhadap faktor j dan ajk

menyatakankepentingan dari faktor j terhadap faktor k,maka agar keputusan menjadi

konsisten,kepentingan dari faktor i terhadap faktor k harus sama dengan aij.ajk atau jika aij.ajk

= aik untuk semua i,j,k maka matrix tersebut konsisten.Permasalahan di dalam pengukuran

pendapat manusia, konsistensi tidak dapat dipaksakan. Jika A>B (misalnya 2 > 1) dan C>B

(misalnya3>1), tidak dapat dipaksakan bahwa C>A dengan angka 6>1 meskipun hal itu

konsisten. Pengumpulan pendapat antara satu faktor dengan yang lain adalah bebas satu sama

lain, dan hal ini dapat mengarah pada inkonsistensi jawaban yang diberikan responden.

Namun, terlalu banyak inkonsistensi juga tidak diinginkan. Pengulangan wawancara

padasejumlah responden yang sama kadang diperlukan apabila derajat tidak konsistennya

besar (Teknomo, Siswanto, & Yudhanto, 1999).

Saaty telah membuktikan bahwa indek konsistensi dari matrik berordo n dapat diperoleh

dengan rumus:

)� = *+,-.//.� (7)

Dimana

CI = indeks konsistensi

Page 31: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

31

0�1� = nilai egenvektor terbesar dari matriks n x n

Apabila CI bernilai nol, berarti matrik konsisten. Batas inkonsistensi yang ditetapkan Saaty

diukur dengan menggunakan Rasio Konsistensi(CR), yakni perbandingan indek konsistensi

dengan nilai pembangkit random (RI) yang nilainya tergantung pada ordo matriks n x n-nya.

3.3.5. Pendekatan Gravity Model

Sesuai uraian pada bagian studi literatur, salah satu teknik yang dapat digunakan untuk

melihat tingkat pengaruh dari NTB terhadap kinerja perdagangan internasional sebuah negara

adalah model gravity equation. Pendekatan ini akah diadopsi untuk menjawab tujuan kedua dari

studi ini yaitu mengukur tingkat signifikansi peran NTB pada kenierja perdagangan empat

produk terpilih yang menjadi cakupan studi ini.

Dalam bentuknya yang paling sederhana persamaan graviti menyatakan bahwa

perdagangan bilateral antara dua negara adalah proporsional terhadap perkalian dari PDB

kedua negara. Dalam hal ini dapat diduga bahwa dua negara dengan kecenderungan ukuran

yang besar ditinjau dari ukuran PDB akan semakin tinggi perdagangan satu sama lainnya.

Secara empiris persamaan ini membuktikan hipotesis tersebut pada masa awal aplikasi dari

model graviti (Feenstra, 2004).

Dengan asumsi pertama tidak ada biaya transportasi antar negara dan tarif, secara

formal, pendekatan matematis untuk membuktikan pernyataan sederhana dari model graviti,

oleh Feenstra dirumuskan sebagai berikut. Indeks i,j=1,2,…, N adalah indeks negara dan

k=1,2,…, k adalah indeks jenis barang yang homogen dikonsumsi antar negara. Dan dengan

asumsi tingkat harga tidak berbeda antar negara karena asumsi pertama, maka besarnya PDB

di masing-masing negara sebagai ukuran volume produksi adalah �� = ∑ 2���� dan PDB dunia

adalah �� = ∑ 2�3�4� . Asumsi ketiga yang diperlukan untuk menyederhanakan model ini dari

kondisi riil adalah tiap negara memproduksi barang yang berbeda. Dengan asumsi ini jika

5� = �� ��⁄ , maka ekspor barang k dari negara i ke j atau impor barang k negara j dari i dapat

dirumuskan sebagai:

6��� = 5�2�� (8)

Sehingga total ekspor atau total impor dengan asumsi keempat bahwa tiap-tiap negara

berada dalam kondisi trade balance, maka:

6�� = ∑ 6���� = 5� ∑ 2��� = 5��� = � � = 5�5��� = 6�� (9)

Pada akhirnya intensitas perdagangan antara dua negara adalah:

Page 32: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

32

6�� + 6�� = � � � (10)

Salah satu daru tujuan utama dari studi ini adalah melihat pengaruh dari NTB terhadap

intensitas perdagangan bilateral antara Indonesia dengan empat mitra utamanya. Untuk itu,

asumsi pertama dari model di atas menjadi kurang relevan karena adanya biaya yang muncul

baik transport dan efek dari NTB untuk tiap barang k.

Dalam melakukan pembebasan situasi perekonomian dari asumsi pertama, Feenstra

memulai modifikasi persamaan di atas dengan konsepsi bahwa tingkat kepuasan sebuah

negara didefinisikan sebagai:

7� = ∑ ∑ �8����(:.�)/:=�

�4�3�4� (11)

Konsumsi 8���diasumsikan sebagai konsumsi negara j dari i atas barang k dengan

tingkat harga yang sama dengan negara j, yaitu ?�� . Harga ini sudah termasuk biaya transport

atau berbasis c.i.f. Sementara itu tingkat harga domestik, ?�tidak mencakup biaya transport atau

berbasis f.o.b. Selanjutnya hubungan antar harga ini dapat diasumsikan sebagai:

?�� = %��?� (12)

Dimana %�� ≥ 1 dan %�� = 1. Kedua formulasi ini menjelaskan konsepsi biaya

transportasi “iceberg” yang diperkenalkan oleh Samuelson pada tahun 1952. Esensinya karena

adanya biaya transportasi, diperlukan pengiriman sebesar %�� barang ke negara j untuk

mendapatkan hasil akhir sebesar 1 unit, sisanya sebesar %�� − 1 akan “meleleh” di sepanjang

perjalanan.

Dengan asumsi lebih lanjut bahwa ketika harga ?�� berlaku untuk semua komoditas

k=1,2,…, ki, maka didapatkan 8��� = 8��. Yaitu tingkat konsumsi di negara j akan sama dengan

tingkat produksi di negara i untuk komoditas k. Dengan demikian, fungsi utilitas dapat

dirumuskan sebagai:

7� = ∑ '��8���(:.�)/:=�4� (13)

Dimana masyarakat menghadapi kendala anggaran:

�� = ∑ D�?��8��=�4� (14)

Dimana �� adalah pengeluaran agregat di negara j dengan asumsi neraca perdagangan

berimbang. Maksimasi persamaan 7 dengan kendala persamaan 8 akan didapatkan formulasi

permintaan 8�� sebagai berikut.

8�� = �?�� E�⁄ �.:��� E�⁄ � (15)

Page 33: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

33

Dimana E� = F∑ D�=�4� �?���(�.:)G

�/(�.:)adalah indeks harga umum di negara j. Akhirnya,

persamaan untuk model graviti yang menunjukkan total ekspor dari i ke j, dapat didefinisikan

sebagai:

6�� = D��� FH�

H G�.:

(16)

Di sini terlihat, harga relatif kedua negara yang diekspresikan oleh elemen ketiga daro

persamaan 10 menjadi penentu tingkat ekspor i ke j.

Page 34: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

34

IV. ANALISIS KEPENTINGAN INDONESIA DALAM NEGOSIASI

SPECIAL SAFEGUARD MECHANISM

4.1. Kinerja Neraca Perdagangan Sektor Pertanian Indonesia

Mengingat begitu banyaknya komoditas pertanian, maka pada penelitian ini analisis

akan difokuskan kepada 10 komoditas pertanian yang merupakan bagian dari Special Product

yang diajukan oleh Indonesia, yakni beras, tebu, jagung, jeruk, kedele, kopi, rempah-rempah,

susu, teh dan tepung terigu. Komoditas pertanian yang masuk kedalam Special Product

haruslah memenuhi beberapa indikator, yakni: proporsi dalam nutrisi/kalori; proporsi produksi

terhadap konsumsi dalam negeri; persentase konsumsi dalam negeri terhadap total ekspor;

proporsi lahan yang digunakan untuk memproduksi produk; proporsi dalam total tenaga kerja

pertanian; proporsi petani berpendapatan rendah dan miskin; proporsi dalam produksi atau

pendapatan; besarnya nilai tambah yang diperoleh produk yang bersangkutan; proporsi dalam

penerimaan tariff bea masuk pertanian; proporsi dalam total pengeluaran pangan; ada tidaknya

subsidi AMS atau Blue Box dari negara eksportir; dan produktivitas per orang atau per hektar.

Secara umum, tekanan produk pangan impor terlihat jelas pada neraca perdagangan

sektor pertanian Indonesia. Hanya 3 dari 10 komoditas pertanian yang dianalisis memiliki

neraca perdagangan yang positif, yakni kopi, rempah-rempah dan teh. Sementara itu,

komoditas pertanian yang cukup vital seperti beras, tebu (termasuk gula) dan kedele memiliki

tingkat impor yang sangat besar, dan sempat meningkat sangat drastis pada tahun 2007. Pada

tahun tersebut, defisit neraca perdagangan beras meningkat hampir tiga kali lipat dibanding

tahun sebelumnya dari 437 ribu ton menjadi 1,4 juta ton. Hal tersebut terjadi karena dibukanya

keran impor beras oleh pemerintah guna menekan gejolak harga beras yang semakin

meningkat dan untuk menjaga stok beras nasional yang kosong seiring dengan pelaksanaan

operasi pasar dan program RASKIN3.

Komoditi tebu dan kedele juga memiliki masalah yang serupa. Sepanjang tahun, defisit

neraca perdagangan tebu (gula) dan kedele Indonesia masing-masing tidak pernah kurang dari

1 juta ton guna menutupi kebutuhan konsumsi nasional. Pemerintah memperkirakan konsumsi

gula dan kedele nasional masing-masing mencapai 2,7 juta ton4 dan 2,4 juta ton per tahun5. Hal

tersebut menandakan bahwa hampir 40 persen dari kebutuhan tebu (gula) nasional dan lebih

3 http://www.jurnalnet.com/konten.php?nama=BeritaUtama&topik=1&id=1441 4 http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2010/08/16/brk,20100816-271605,id.html 5 Simatupang et al (2005)

Page 35: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

35

dari 50 persen kebutuhan kedele nasional dipenuhi dari impor. Ketergantungan yang cukup

besar terhadap produk pangan impor juga terjadi pada komoditas lainnya, yakni pada jeruk,

susu dan tepung terigu. Meskipun tidak sebesar beras, defisit neraca perdagangan jagung juga

perlu mendapatkan perhatian serius. Terkait masalah fluktuasi impor, impor komoditas jagung

sempat meningkat sangat signifikan pada tahun 2006 dengan pertumbuhan lebih dari 12 kali

lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi tersebut terjadi dikarenakan kesulitan pengusaha

mencari jagung pipilan di pasaran lokal untuk pakan ternak. Pada musim tanam 2005/2006,

para petani lebih memilih untuk menanam padi dikarenakan curah hujan yang sangat tinggi6.

Tabel 8. Kinerja Neraca Perdagangan 10 Komoditas Pertanian Terpilih (USD)

Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu

6 Pernyataan Dirjen Tanaman Pangan Deptan, Soetarto Ali Moesa pada lokakarya nasional di Pontianak tahun 2006 dan dimuat di http://rafflesia.wwf.or.id/library/admin/attachment/clips/2006-08-10-114-0009-001-03-0899.pdf

2005 2006 2007 2008 2009

Ekspor 42,286,072 959,459 1,613,492 876,502 2,454,798

Impor 189,616,605 438,108,531 1,406,847,570 289,689,411 250,473,149

Nett (147,330,533) (437,149,072) (1,405,234,078) (288,812,909) (248,018,351)

Ekspor 1,173,489 1,480,011 479,352 1,692,683 927,180

Impor 1,996,367,719 1,511,001,382 2,972,786,783 1,018,594,437 1,393,226,616

Nett (1,995,194,230) (1,509,521,371) (2,972,307,431) (1,016,901,754) (1,392,299,436)

Ekspor 54,008,742 28,073,845 101,739,895 107,001,294 62,575,222

Impor 185,597,289 1,775,320,810 701,953,110 275,603,211 338,797,674

Nett (131,588,547) (1,747,246,965) (600,213,215) (168,601,917) (276,222,452)

Ekspor 838,566 458,195 703,374 916,549 538,584

Impor 84,356,502 96,211,140 114,231,957 138,711,997 209,615,233

Nett (83,517,936) (95,752,945) (113,528,583) (137,795,448) (209,076,649)

Ekspor 875,574 1,732,370 1,871,649 1,024,898 446,001

Impor 1,086,178,239 1,132,143,509 1,411,588,709 1,169,015,597 1,314,619,698

Nett (1,085,302,665) (1,130,411,139) (1,409,717,060) (1,167,990,699) (1,314,173,697)

Ekspor 445,929,794 414,105,384 321,404,023 468,749,533 510,898,385

Impor 3,195,160 6,599,917 49,992,886 7,581,126 14,399,633

Nett 442,734,634 407,505,467 271,411,137 461,168,407 496,498,752

Ekspor 11,779,666 8,921,876 7,684,734 14,670,214 13,098,954

Impor 1,289,785 1,975,962 1,448,754 709,994 1,153,439

Nett 10,489,881 6,945,914 6,235,980 13,960,220 11,945,515

Ekspor 37,798,721 27,354,669 21,965,851 44,226,283 30,348,519

Impor 172,842,482 187,176,494 197,228,336 174,026,950 170,002,893

Nett (135,043,761) (159,821,825) (175,262,485) (129,800,667) (139,654,374)

Ekspor 102,293,988 95,338,934 83,658,624 96,209,628 92,304,141

Impor 5,477,713 5,293,541 8,694,629 6,625,264 7,168,678

Nett 96,816,275 90,045,393 74,963,995 89,584,364 85,135,463

Ekspor 63,751,853 47,954,212 48,265,428 15,776,965 20,363,167

Impor 483,138,356 542,308,511 587,289,109 534,877,133 651,764,794

Nett (419,386,503) (494,354,299) (539,023,681) (519,100,168) (631,401,627)

Beras

Tebu

Jagung

Jeruk

Kedele

Kopi

Rempah-

rempah

Susu

Tea

Tepung

Terigu

Page 36: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

36

Seperti yang diungkapkan sebelumnya, 3 komoditi memiliki neraca perdagangan yang

positif, yakni kopi, rempah-rempah, dan teh. Jika dilihat secara lebih detail (HS yang lebih

detail), jenis komoditi kopi yang paling banyak diimpor dan diekspor berada pada HS yang

sama, yakni kopi robusta dan arabika yang belum diolah. Kondisi ini sejalan dengan perubahan

gaya hidup masyarakat Indonesia yang menyukai kopi impor yang biasanya dikonsumsi

langsung di restoran kopi seperti Star Bucks dan Gloria Jeans. Hal yang serupa juga terjadi

pada komoditas teh, dimana teh hijau merupakan komoditi teh yang paling banyak diekspor dan

juga diimpor. Sementara itu, untuk rempah-rempah, jahe merupakan komoditi yang paling

banyak diimpor, sedangkan jenis komoditi yang paling banyak diekspor adalah other spices.

Struktur ekspor dan impor pada komoditas kopi dan teh merupakan kondisi yang sangat

menarik mengingat jenis komoditas yang sama baik untuk ekspor dan impor. Karakter konsumsi

masyarakat Indonesia yang lebih menyukai produk impor dibandingkan dengan produk lokal

merupakan hal yang umum terjadi tidak hanya pada komoditas kopi dan teh. Pilihan konsumsi

yang bias pada produk impor umumnya terjadi untuk masyarakat yang berpendapatan

menengah dan tinggi dan bukan atas dasar perbedaan kualitas melainkan lebih kepada faktor

gengsi. Oleh karena itu, khusus untuk dua komoditas tersebut, pemerintah seharusnya tidak

hanya berfokus pada sisi suplainya saja melainkan juga pada sisi demandnya. Maksudnya

disini adalah bahwa penting bagi pemerintah untuk melakukan promosi dan pengembangan

produk lebih lanjut dari produk kopi dan teh lokal agar mampu bersaing dengan produk impor.

4.2. Faktor Seasonal dan Trend Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia

Berdasarkan pemaparan sebelumnya telah dipaparkan bahwa ada kalanya impor

produk pangan merupakan hal yang tidak terelakkan lagi. Oleh karena itu menjadi hal yang

cukup penting untuk mengetahui apakah impor 10 komoditas pangan Indonesia dipengaruhi

oleh faktor trend atau seasonal atau bahkan keduanya. Guna menjawab pertanyaan tersebut

maka digunakan pendekatan parametrik dan non parametrik yang merupakan bagian dari

prosedur X12 ARIMA untuk melakukan seasonality test. Selain itu juga akan dilakukan moving

seasonality test guna melihat variasi komponen seasonal dari tahun ke tahun. Data yang

digunakan adalah data nilai impor bulanan untuk 10 komoditas pertanian yang telah dikoreksi

dengan Indeks Harga Perdagangan Besar Impor. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan

pengaruh harga terhadap fluktuasi impor.

Tabel 9menunjukkan bahwa kesepuluh komoditas pertanian memiliki faktor seasonal

khususnya moving seasonality. Hal tersebut mengartikan bahwa ada periode (bulan) tertentu

Page 37: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

37

dimana impor cenderung besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya selama beberapa

tahun yang dianalisis. Hal ini semakin memperkuat indikasi adanya kebutuhan akan impor

produk pertanian yang tak terelakkan pada periode-periode tertentu. Untuk itu penting untuk

dipertimbangkan akan analisa lebih lanjut, khususnya yang terkait dengan identifikasi periode

yang memiliki tren peningkatan impor yang tinggi dan faktor-faktor yang menjadi menimbulkan

hal tersebut sebagai salah satu tindakan antisipatif terhadap serbuan impor di masa yang akan

datang.

Tabel 9. Seasonality Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih

KOMODITAS Test for the presence of

seasonality assuming stability

Nonparametric Test for the

Presence of Seasonality

Assuming Stability

Moving Seasonality Test

Beras No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

Seasonality present at the one

percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Tebu Seasonality present at the 0.1 per

cent level

Seasonality present at the one

percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Jagung Seasonality present at the 0.1 per

cent level

Seasonality present at the one

percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Jeruk Seasonality present at the 0.1 per

cent level

Seasonality present at the one

percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Kedele No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

No evidence of seasonality at

the one percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Kopi No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

No evidence of seasonality at

the one percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Rempah-rempah No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

No evidence of seasonality at

the one percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Susu No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

No evidence of seasonality at

the one percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Teh No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

No evidence of seasonality at

the one percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Tepung terigu No evidence of stable seasonality at

the 0.1 per cent level

Seasonality present at the one

percent level

Moving seasonality present at

the one percent level

Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu

Selanjutnya, terkait dengan trend maka pendekatan yang digunakan adalah Mann-

Kendall trend test. Pendekatan ini dipilih karena sebaran dari sepuluh komoditi yang dianalisa

tidak mengikuti sebaran normal. Berdasarkan Onoz (2002), Mann-Kendall trend test merupakan

metode yang relatif lebih baik dibandingkan dengan t-test untuk data yang tidak memiliki

sebaran normal. Hasil analisa menunjukkan bahwa faktor trend hanya terjadi pada beberapa

Page 38: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

38

komoditi, yakni: tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk. Sementara itu, khusus untuk

produk beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah, hasil menunjukkan tidak adanya faktor trend.

Hal tersebut mengimplikasikan bahwa penerapan SSM khusus untuk komoditi tepung terigu,

teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk harus sangat hati-hati mengingat selain faktor seasonal, trend

juga menjadi salah satu faktor yang penting dipertimbangkan. Atau dengan kata lain, impor

komoditi tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk cenderung memiliki tren yang

cenderung meningkat dan terdapat periode tertentu dimana tingkat impornya cenderung jauh

lebih tinggi dibandingkan dengan periode-periode lainnya.

Tabel 10. Trend Test Untuk Data Impor 10 Komoditas Terpilih

Komoditi Kendall's tau p-value (Two-tailed)

Beras -0.046 0.306

Tebu 0.075 0.093

Jagung -0.026 0.560

Jeruk 0.266 < 0.0001

Kedele -0.274 < 0.0001

Kopi 0.279 < 0.0001

Rempah-rempah 0.026 0.554

Susu 0.510 < 0.0001

Teh 0.363 < 0.0001

Tepung terigu 0.500 < 0.0001

Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu

4.3. Penerapan Control Chart Pada Impor Komoditi Pertanian Indonesia

Setelah kita identifikasi ada tidaknya faktor seasonal dan trend maka pertanyaan

selanjutnya yang perlu kita jawab adalah seberapa besar lonjakan impor yang masih dapat

ditolerir oleh Indonesia. Maksud “dapat ditolerir” disini sifatnya adalah relatif tidak begitu

menekan konsumen maupun produsen (yang menggunakan produk impor sebagai bahan

bakunya) meskipun dampak negatifnya terhadap produk lokal tetap tidak bisa dihindarkan.

Guna menjawab pertanyaan tersebut, pendekatan yang digunakan adalah metode

Control Chart. Control Chart merupakan sebuah metode statistik yang umum digunakan dalam

menilai atau menerapkan proses Quality Control di sebuah pabrik. Dalam produksi suatu

barang, ada kemungkinan produk yang dihasilkan memiliki kualitas yang sedikit menyimpang

Page 39: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

39

dari yang sudah ditetapkan. Dengan Control Chart maka dapat ditentukan mana produk yang

masih bisa ditolerir tidak terlalu menyimpang dari standar yang ditetapkan. Dengan konsep

yang sama, maka kita juga dapat menentukan berapa besar batas toleransi peningkatan import

yang masih dapat ditolerir oleh Indonesia. Konsep Control Quality import pada dasarnya adalah

menetapkan batas atas sama dengan 3 kali standar deviasi dari rata-rata importnya. Tabel 1

menampilkan lonjakan rata-rata dan batas atas dari import dengan menggunakan dua macam

perhitungan, yakni dengan menggunakan semua observasi atau dengan olympic

(menghilangkan data yang terbesar dan terkecil).

Tabel 11. Penerapan Konsep Control Chart Pada 10 Komoditas Pertanian

Sumber : Statistik Indonesia, diolah Puslitbang Daglu

Secara umum dapat dilihat bahwa untuk komoditas beras, tebu, jagung, kopi, rempah-

rempah, dan teh cenderung memiliki nilai upper limit yang cukup tinggi dan bahkan jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan kemungkinan besaran yang ditetapkan oleh WTO. Jika kita

menggunakan metode olympic, maka komoditi seperti beras, tebu, jagung, dan rempah-rempah

masih memiliki nilai upper limit yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan semua kemungkinan

besaran yang ditetapkan oleh WTO. Hal tersebut mengartikan bahwa khusus untuk komoditas-

komoditas tersebut semua pilihan konsep trigger yang mungkin ditetapkan dalam negoisasi

SSM di WTO masih berada dalam batas toleransi Indonesia.

10% 20% 40%

Beras 250,473,149 54,554,185 678,609,608 171% 83,171,712 575,605,499 130% 275,520,464 300,567,779 350,662,409

Tebu 1,393,226,616 300,114,388 2,678,738,550 92% 267,349,780 2,435,581,245 75% 1,532,549,278 1,671,871,939 1,950,517,262

Jagung 338,797,674 203,929,628 1,267,243,302 274% 216,996,614 1,089,774,508 222% 372,677,441 406,557,209 474,316,744

Jeruk 209,615,233 27,761,244 211,909,097 1% 18,839,032 172,902,128 -18% 230,576,756 251,538,280 293,461,326

Kedele 1,314,619,698 158,153,299 1,697,169,046 29% 80,884,836 1,447,914,108 10% 1,446,081,668 1,577,543,638 1,840,467,577

Kopi 14,399,633 21,282,800 80,202,144 457% 3,457,321 19,898,855 38% 15,839,596 17,279,560 20,159,486

Rempah-rempah 1,153,439 530,937 2,908,399 152% 201,367 1,901,427 65% 1,268,783 1,384,127 1,614,815

Susu 170,002,893 11,438,674 214,571,453 26% 12,182,427 214,562,591 26% 187,003,182 204,003,472 238,004,050

Tea 7,168,678 1,373,679 10,773,002 50% 749,541 8,672,509 21% 7,885,546 8,602,414 10,036,149

Tepung Terigu 651,764,794 60,605,139 741,690,999 14% 43,170,467 684,336,319 5% 716,941,273 782,117,753 912,470,712

All Observations Olympic Method

Product Import 2009WTO

Upper limit% Upper

limit

Lonjakan Rata-

Rata

% Upper

limit Upper limit

Lonjakan Rata-

Rata

Page 40: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

40

Jika kita analisa lebih detail untuk masing-masing komoditas maka dapat kita tunjukkan

beberapa temuan yang menarik. Pertama, komoditas beras, tebu dan jagung cenderung tetap

memiliki nilai upper limit yang tinggi baik dengan menggunakan semua observasi atau dengan

metode olimpic. Hal tersebut mengartikan bahwa data impor tahunan ketiga komoditas tersebut

cenderung berfluktuasi dan besar impor pada tahun 2009 jauh lebih kecil dibandingkan dengan

tahun lainnya. Jika berbicara tentang proyeksi impor di masa yang akan datang, maka terdapat

indikasi bahwa besar kemungkinannya terjadi lonjakan impor di masa yang akan datang.

Kedua, komoditas kopi dan rempah-rempah memiliki feature yang sangat menarik

dimana ketika menggunakan semua observasi nilai upper limitnya sangat besar, namun ketika

digunakan olympic method nilai upper limitnya menurun sangat signifikan. Hal ini menandakan

bahwa pada komoditas tersebut terdapat tingkat impor yang sangat rendah atau sangat tinggi

sekali pada periode tertentu, namun kondisi tersebut tidak berulang. Hal ini mengartikan bahwa

lonjakan impor pada kedua komoditas tersebut hanya terjadi sesekali karena kasus tertentu dan

kecil kemungkinannya akan terjadi kembali di periode yang akan datang kecuali terjadi kasus

khusus.

Ketiga, khusus untuk komoditas jeruk, pemerintah sangat perlu berhati-hati karena

dengan konsep Quality Chart maka batas toleransi yang dimiliki hanyalah 1 persen dari total

impor 2009. Hal tersebut terjadi karena impor jeruk yang cenderung stabil dari tahun ke tahun

dan baru meningkat drastis pada tahun 2009 dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Keempat, besaran trigger 40 persen untuk komoditas kedele dan susu tergolong di atas batas

yang bisa ditolerir, atau dengan kata lain besaran trigger yang tepat (berdasarkan opsi yang

berkembang saat ini) untuk kedua komoditas tersebut adalah maksimum 20 persen. Hal yang

sedikit berbeda adalah pada tepung terigu, dimana pilihan trigger terbaik adalah 10 persen,

lebih dari itu maka tergolong besaran yang tidak dapat ditolerir.

4.4. Tanggapan Masyarakat terhadap Fluktuasi Impor untuk Studi Kasus Medan dan

Bandung

Untuk melengkapi analisa data sekunder, kami juga melakukan pengumpulan data

primer guna mendapatkan gambaran yang lebih riil tentang permasalahan lonjakan impor di

Indonesia. Narasumber yang digunakan sebagai responden adalah seluruh stakeholder yang

berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan impor, diantaranya adalah pengusaha,

policy maker, dan akademisi. Studi kasus yang digunakan adalah kota Medan, mengingat salah

satu pintu masuk barang impor ke Indonesia adalah melalui pelabuhan Belawan. Mengingat

Page 41: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

data yang dikumpulkan hanyalah mencakup kota Medan dan dilakukan beriringan dengan FGD

yang mana hanya melibatkan sedikit responden, maka kita sangat perlu hati

kesimpulan dari hasil analisa data primer tersebut. Kasus Medan tidak dapat s

digeneralisir menjadi permasalahan yang dihadapi nasional, namun tetap dapat dijadikan

sebagai acuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional.

Secara umum seluruh responden menyatakan bahwa

pertanian impor terhadap produk pertanian lokal. Hal tersebut terlihat pada Gambar

menunjukkan bahwa 62 persen responden menyatakan bahwa ancamannya cukup besar dan

38 persen lainnya menyatakan bahwa ancaman produk impor tersebut sangat besar.

tersebut sangatlah wajar mengingat jenis produk yang cukup banyak diimpor adalah produk

yang juga dapat diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada

pembahasan sebelumnya tentang kinerja ekspor dan impor khususnya pada produk kopi dan

teh.

Gambar 6. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal

Terkait dengan faktor yang mengakibatkan timbulnya ancaman dari produk pertanian

impor tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa keunggulan utama produk impor

tersebut adalah dari faktor harganya.

yang menyatakan bahwa factor harga yang lebih murah yang mengakibatkan lebih menariknya

produk impor. Selain itu, 30 persen responden menyatakan bahwa kualitas produk pertanian

impor lebih bagus dibandingkan dengan produk lokal. Hal yang cukup menarik adalah

18 persen responden yang menyebutkan faktor lainnya sebagai penyebab produk impor lebih

diminati, diantaranya adalah produk yang sangat menarik, promosi yang bagus, daya tahan

barang yang lebih baik dan sikap

41

data yang dikumpulkan hanyalah mencakup kota Medan dan dilakukan beriringan dengan FGD

yang mana hanya melibatkan sedikit responden, maka kita sangat perlu hati

kesimpulan dari hasil analisa data primer tersebut. Kasus Medan tidak dapat s

digeneralisir menjadi permasalahan yang dihadapi nasional, namun tetap dapat dijadikan

sebagai acuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional.

Secara umum seluruh responden menyatakan bahwa terdapat ancaman produk

nian impor terhadap produk pertanian lokal. Hal tersebut terlihat pada Gambar

menunjukkan bahwa 62 persen responden menyatakan bahwa ancamannya cukup besar dan

38 persen lainnya menyatakan bahwa ancaman produk impor tersebut sangat besar.

ut sangatlah wajar mengingat jenis produk yang cukup banyak diimpor adalah produk

yang juga dapat diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada

pembahasan sebelumnya tentang kinerja ekspor dan impor khususnya pada produk kopi dan

. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal

Terkait dengan faktor yang mengakibatkan timbulnya ancaman dari produk pertanian

impor tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa keunggulan utama produk impor

tor harganya. Gambar 7 menunjukkan bahwa 52 persen responden

ng menyatakan bahwa factor harga yang lebih murah yang mengakibatkan lebih menariknya

produk impor. Selain itu, 30 persen responden menyatakan bahwa kualitas produk pertanian

impor lebih bagus dibandingkan dengan produk lokal. Hal yang cukup menarik adalah

18 persen responden yang menyebutkan faktor lainnya sebagai penyebab produk impor lebih

diminati, diantaranya adalah produk yang sangat menarik, promosi yang bagus, daya tahan

barang yang lebih baik dan sikap import-minded dari konsumen Indonesia

0%0%

62%

38%

data yang dikumpulkan hanyalah mencakup kota Medan dan dilakukan beriringan dengan FGD

yang mana hanya melibatkan sedikit responden, maka kita sangat perlu hati-hati menarik

kesimpulan dari hasil analisa data primer tersebut. Kasus Medan tidak dapat secara langsung

digeneralisir menjadi permasalahan yang dihadapi nasional, namun tetap dapat dijadikan

sebagai acuan tentang permasalahan yang dihadapi oleh perekonomian nasional.

terdapat ancaman produk

nian impor terhadap produk pertanian lokal. Hal tersebut terlihat pada Gambar 6 yang

menunjukkan bahwa 62 persen responden menyatakan bahwa ancamannya cukup besar dan

38 persen lainnya menyatakan bahwa ancaman produk impor tersebut sangat besar. Hal

ut sangatlah wajar mengingat jenis produk yang cukup banyak diimpor adalah produk

yang juga dapat diproduksi di dalam negeri, sebagaimana yang telah ditunjukkan pada

pembahasan sebelumnya tentang kinerja ekspor dan impor khususnya pada produk kopi dan

. Ancaman Produk Pertanian Impor terhadap Produk Pertanian Lokal

Terkait dengan faktor yang mengakibatkan timbulnya ancaman dari produk pertanian

impor tersebut, sebagian besar responden menyatakan bahwa keunggulan utama produk impor

menunjukkan bahwa 52 persen responden

ng menyatakan bahwa factor harga yang lebih murah yang mengakibatkan lebih menariknya

produk impor. Selain itu, 30 persen responden menyatakan bahwa kualitas produk pertanian

impor lebih bagus dibandingkan dengan produk lokal. Hal yang cukup menarik adalah terdapat

18 persen responden yang menyebutkan faktor lainnya sebagai penyebab produk impor lebih

diminati, diantaranya adalah produk yang sangat menarik, promosi yang bagus, daya tahan

dari konsumen Indonesia. Faktor yang terakhir

Page 42: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

disebutkan merupakan hal yang perlu disikapi dengan serius mengingat kualitas dan daya

tahan produk dapat kita tingkatkan dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI),

namun jika prilaku konsumen yang lebih

dibutuhkan sosialisasi dan gerakan cinta produk nasional yang lebih intensif.

Gambar 7. Alasan Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi

Salah satu tindakan cepat yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan produk

impor adalah dengan menerapkan proteksi perdagangan yang lebih ketat. Hasil survey

menunjukkan bahwa 85 persen responden setuju penerapan proteksi perdagangan yang lebih

ketat khususnya kepada produk pertanian yang mengalami lonjakan impor. Alasan utama

perlunya penerapan proteksi yang diungkapkan oleh responden adalah untuk melindungi petani

lokal dan pasar domestik. Sementara itu 15 persen responden menyatakan tidak setuju deng

proteksi dengan alasan yang sangat masuk akal, yakni kemungkinan diberlakukannya proteksi

yang sama dari negara partner dagang kita yang selanjutnya juga akan berdampak negative

terhadap Indonesia. Salah satu usulan yang disampaikan adalah perlunya upay

pertanian domestik khususnya dalam segi produksi untuk menjamin kualitas dan pencapaian

economies of scale dan economies of scope

bersaing.

30%

42

disebutkan merupakan hal yang perlu disikapi dengan serius mengingat kualitas dan daya

tahan produk dapat kita tingkatkan dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI),

namun jika prilaku konsumen yang lebih import-minded merupakan faktor utama maka

dibutuhkan sosialisasi dan gerakan cinta produk nasional yang lebih intensif.

Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi

Ancaman Bagi Produk Lokal

Salah satu tindakan cepat yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan produk

impor adalah dengan menerapkan proteksi perdagangan yang lebih ketat. Hasil survey

menunjukkan bahwa 85 persen responden setuju penerapan proteksi perdagangan yang lebih

hususnya kepada produk pertanian yang mengalami lonjakan impor. Alasan utama

perlunya penerapan proteksi yang diungkapkan oleh responden adalah untuk melindungi petani

lokal dan pasar domestik. Sementara itu 15 persen responden menyatakan tidak setuju deng

proteksi dengan alasan yang sangat masuk akal, yakni kemungkinan diberlakukannya proteksi

yang sama dari negara partner dagang kita yang selanjutnya juga akan berdampak negative

terhadap Indonesia. Salah satu usulan yang disampaikan adalah perlunya upay

pertanian domestik khususnya dalam segi produksi untuk menjamin kualitas dan pencapaian

economies of scope guna tercapainya harga jual yang terjangkau dan

52%

18%

Harga Lebih Murah

Kualitas lebih bagus

Lainnya

disebutkan merupakan hal yang perlu disikapi dengan serius mengingat kualitas dan daya

tahan produk dapat kita tingkatkan dengan penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI),

an faktor utama maka

dibutuhkan sosialisasi dan gerakan cinta produk nasional yang lebih intensif.

Yang Mengakibatkan Produk Pertanian Impor Menjadi

Salah satu tindakan cepat yang dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan produk

impor adalah dengan menerapkan proteksi perdagangan yang lebih ketat. Hasil survey

menunjukkan bahwa 85 persen responden setuju penerapan proteksi perdagangan yang lebih

hususnya kepada produk pertanian yang mengalami lonjakan impor. Alasan utama

perlunya penerapan proteksi yang diungkapkan oleh responden adalah untuk melindungi petani

lokal dan pasar domestik. Sementara itu 15 persen responden menyatakan tidak setuju dengan

proteksi dengan alasan yang sangat masuk akal, yakni kemungkinan diberlakukannya proteksi

yang sama dari negara partner dagang kita yang selanjutnya juga akan berdampak negative

terhadap Indonesia. Salah satu usulan yang disampaikan adalah perlunya upaya penguatan

pertanian domestik khususnya dalam segi produksi untuk menjamin kualitas dan pencapaian

guna tercapainya harga jual yang terjangkau dan

Harga Lebih Murah

Kualitas lebih bagus

Page 43: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

Gambar 8.

Hal penting selanjutnya untuk dianalisa adalah mengetahui seberapa besar peningkatan

impor (lonjakan impor) yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap produk lokal. Hasil

survey menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyatakan bahwa peningkatan

sebesar 20 persen sudah dapat dikategorikan sebagai serbuan produk impor yang perlu segera

ditanggapi pemerintah. 38 persen lainnya memilih persentase peningkatan impor yang lebih

tinggi yakni, 25 persen hingga 40 persen dan hanya 15 persen yang memilih 10 persen. Hal

tersebut menunjukkan bahwa para responden tidak terlalu antipasti terhadap produk impor

mengingat memang sebagian besar dari produk impor tersebut merupakan produk penting yang

dibutuhkan oleh masyarakat.

Gambar 9. Besaran

8%

15%

43

. Upaya Menekan Laju Impor Produk Pertanian

selanjutnya untuk dianalisa adalah mengetahui seberapa besar peningkatan

impor (lonjakan impor) yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap produk lokal. Hasil

sebagian besar responden menyatakan bahwa peningkatan

sebesar 20 persen sudah dapat dikategorikan sebagai serbuan produk impor yang perlu segera

38 persen lainnya memilih persentase peningkatan impor yang lebih

ni, 25 persen hingga 40 persen dan hanya 15 persen yang memilih 10 persen. Hal

tersebut menunjukkan bahwa para responden tidak terlalu antipasti terhadap produk impor

mengingat memang sebagian besar dari produk impor tersebut merupakan produk penting yang

dibutuhkan oleh masyarakat.

Besaran Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan

Sebagai Serbuan Impor

85%

15%

Proteksi

Tidak Proteksi

15%

47%

15%10 persen

20 persen

25 persen

30 persen

40 persen

Menekan Laju Impor Produk Pertanian

selanjutnya untuk dianalisa adalah mengetahui seberapa besar peningkatan

impor (lonjakan impor) yang dapat dikategorikan sebagai ancaman terhadap produk lokal. Hasil

sebagian besar responden menyatakan bahwa peningkatan impor

sebesar 20 persen sudah dapat dikategorikan sebagai serbuan produk impor yang perlu segera

38 persen lainnya memilih persentase peningkatan impor yang lebih

ni, 25 persen hingga 40 persen dan hanya 15 persen yang memilih 10 persen. Hal

tersebut menunjukkan bahwa para responden tidak terlalu antipasti terhadap produk impor

mengingat memang sebagian besar dari produk impor tersebut merupakan produk penting yang

Peningkatan Impor Yang Dapat Dikategorikan

Proteksi

Tidak Proteksi

10 persen

20 persen

25 persen

30 persen

40 persen

Page 44: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

44

Tabel 12. Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penerapan SSM

Faktor yang perlu dipertimbangkan Persentase

Volume Impor yang Tinggi 92%

Harga Komoditas yang Jatuh 92%

Daya Beli Petani 69%

Faktor Musiman 38%

Tingkat Produksi Domestik 69%

Penerapan peningkatan proteksi perdagangan melalui peningkatan tariff sangat

mungkin dilakukan dalam kerangka Special Safeguard Mechanism (SSM). Peningkatan tariff ini

bersifat sementara dan tidak boleh berlangsung terus menerus. Saat ini ukuran yang dapat

dijadikan acuan sebagai trigger dari SSM adalah harga dan volume impor. Namun, berdasarkan

analisa kita sebelumnya terlihat bahwa terdapat faktor tren dan faktor musiman pada impor

Indonesia, oleh karena itu penting untuk diidentifikasi faktor lain yang dapat menimbulkan

terjadinya lonjakan impor yang tinggi. Pada survey ini kami mencoba menangkap pandangan

para responden terkait faktor apa yang juga penting untuk dipertimbangkan dalam penerapan

SSM. Hasil survey menunjukkan bahwa daya beli petani dan tingkat produksi domestik

merupakan dua faktor yang dipandang penting untuk juga dipertimbangkan.

Page 45: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

45

V. Pendekatan Model Ekonometrika untuk Mengukur Dampak NTB

Pada Komoditas Kopi, Sawit dan Coklat

Pada bagian ini akan diuraikan telaah data skunder untuk melihat apakah terdapat

pengaruh dari kebijakan NTB oleh negara importir terhadap kinerja ekspor 3 komoditas sampel:

kopi, sawit dan coklat. Adapun lingkup negara mitra yang dijadikan sampel analisis adalah Uni

Eropa (EU), Jepang (JAP) dan Amerika Serikat (US).

Perspektif dalam melihat faktor penentu kinerja ekspor kopi dalam studi kasus ini

menekankan pada faktor hambatan non-tarif (NTB) dari negara importir. Namun, secara utuh

dinamika perkembangan ekspor kopi juga sangat dipengaruhi oleh kondisi penawaran atau

situasi pada produksi kopi nasional itu sendiri. Untuk itu, sebelum dilakukan analisis data

skunder dan teknik statistik untuk melihat secara nyata efek dari NTB oleh beberapa negara

importir yang dijadikan sampel, berikut adalah uraian mengenai dinamika penawaran ekspor

kopi di Indonesia berdasarkan kasus-kasus tertentu.

5.1. Dinamika Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, Jepang dan US

Sampai dengan akhir tahun 1990an, Indonesia adalah salah satu dari tiga eksportir kopi

terbesar di dunia. Sama dengan kondisi yang dialami oleh eksportir lain, sampai dengan masa

ini, ekspor kopi dibatasi oleh kesepakatan dunia dalam bentuk kuota ekspor. Lebih lanjut,

jumlah eskportir domestik yang ditampung dalam kelompok eksportir kopi nasional juga menjadi

batasa lain. Pada akhir tahun 1990an dijalankan deregulasi eskpor kopi dimana secara

internasional dihapuskan kuota eskpor oleh ICO sebagai organisasi kopi internasional dan

secara nasional pemerintah juga menghapuskan kuota ini dan sekaligus kelompok eksportir

kopi melalui Keputusan Menteri Perdagangan No.265/kp/X/89 (Gandini, 1997)7.

Dari gambaran ini, tercemin kinerja eskpor kopi Indonesia ke pasar dunia yang memang

meningkat tajam setelah tahun 1990 khususnya pada tahun 1993 ke tahun 1994. Hal ini terjadi

karena pada masa-masa awal deregulasi masih terjadi penyesuaian tingkat harga akibat

7 Gandini, N. H. (1997). Dilema Kebijakan Ekspor Kopi Indonesia. Bisnis dan Ekonomi

Politik , 1 (2), 9-29.

Page 46: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

46

excess supply pasca deregulasi sehingga menyebabkan turunnya harga di pasar dunia dan

berdampak pada turunnya insentif bagi para eksportir.

Masa berikutnya adalah saat terjadi krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun

1997/98. Pada beberapa tahun sejak dan setelah krisi ini terjadi terlihat pada Gambar 10 di

bawah ini bahwa nilai eskpor kopi Indonesia ke pasar dunia mengalami penurunan tajam

menjadi lebih dari separo dari sebelumnya. Pada tahun 1997, nilai ekspor kopi masih mencapai

14 miliar USD dan turun tajam hanya menjadi 6 miliar USD pada titik terendah (tahun 2002).

Setelah itu, ekspor komoditas ini mengalami peningkatan signifikan, bahkan melebihi nilai awal

sebelum penurunan pada tahun 1997. Dimana pada tahun 2008 mencapai 18 miliar USD. Krisis

dalam lingkup dunia yang diawali di US pada akhir tahun 2008 adalah fenomena berikutnya

yang juga berdampak pada kinerja ekspor kopi Indonesia ke dunia. Terlihat dari grafik di bawah

ini bahwa pada tahun 2008 terjadi penurunan nilai ekspor dari sekitar 18 miliar USD menjadi 16

miliar pada tahun 2009.

Gambar 10. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke 3 Negara Sampel, ribu USD

Sumber: WITS database, diolah Puslitbang Daglu

0

2000000

4000000

6000000

8000000

10000000

12000000

14000000

16000000

18000000

20000000

19

88

19

89

19

90

19

91

19

92

19

93

19

94

19

95

19

96

19

97

19

98

19

99

20

00

20

01

20

02

20

03

20

04

20

05

20

06

20

07

20

08

20

09

Page 47: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

47

Di sisi lain, kinerja eskpor komoditas kopi ini dapat dijelaskan dari sisi kebijakan dari sisi

negara importir yang juga berpengaruh terhadap penawaran oleh eksportir. Salah satu

kebijakan dalam lingkup NTB yang pernah ada diantaranya adalah kebijakan Technical Barrier

to Trade (TBT) bernama REACH oleh EU pada Juni 2007 dan secara khusus Adanya

penerapan ambang batas OTA (Ochra Toxin A) untuk biji kopi dan yang terkini adalah

penetapan ambang residu bahan kimia yang lebih rendah produk pertanian pada tahun 2009/10

oleh Jepang. Adanya kebijakan-kebijakan yang berupa hambatan non-tarif ini lebih lanjut akan

secara langsung ataupun tidak menciptakan biaya tambahan dan alokasi waktu tambahan bagi

para ekportir. Hal inilah yang kemudian menyebabkan turunnya volume ekspor.

Gambar 2 Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke EU, ribu USD

Sumber: WITS database

REACH adalah peraturan masyarakat eropa yang baru pada bahan kimia dan

penggunaan yang aman mereka berdasarkan ketentuan baru dari komisi uni eropa nomor EC

1907/2006. Kebijakan ini berkaitan dengan aktivitas Registrasi, Evaluasi, Otorisasi dan

Pembatasan zat kimia yang secara bertahap akan dijalankan mulai tanggal 1 Juni 2007.

05.

0e+0

61.

0e+0

71.

5e+0

72.

0e+0

7

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

1

kopi

tahunGraphs by ID

Page 48: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

48

Kebijakan ini berlatarbelakang bahwa selama ini tingginya variasi zat kimia dalam produk impor

EU belum terekam dengan baik. Sehingga dengan kebijakan ini diharapka dapat dicapai

peningkatan perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan melalui identifikasi

yang lebih baik dari sebelumnya atas kandungan intrinsik dari zat kimia pada produk-produk

impor EU. Pada saat yang sama, patut dimaknai bahwa kebijakan ini juga bertujuan untuk

meningkatkan kemampuan inovatif dan daya saing industri kimia UE sendiri seperti agenda

internal pada umumnya pada kebijakan pembatasan impor.

Kebijakan REACH ini dijalankan secara bertahap, dan tentunya efek yang terjad juga

tidak akan langsung atau instant, melainkan juga bertahap. Sehingga pengamatan atas dampak

dari kebijakan REACH tentunya membutuhkan rentang data time series yang lebih panjang.

Namun karena tidak adanya aturan pasti berapa lag yang mungkin terjadi dan dengan

pendekatan trial and error hal ini dapat dideteksi, pada studi ini tetap akan diuji secara statistik

kaitan kebijakan REACH ini terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia dengan data yang ada,

yaitu sampai dengan tahun 2009 saja.

Gambar 12. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke Jepang, ribu USD

Sumber: WITS database

600

000

800

000

1.0e

+06

1.2e

+06

1.4e

+06

1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

2

kopi

tahunGraphs by ID

Page 49: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

49

Pengamatan atas data time series pada periode yang sama untuk negara tujuan ekspor

yang tidak terlalu besar nilainya, yaitu Jepang menunjukkan gejala pergerakan data yang

hampir sama. Sekilas nampak bahwa fluktuasi ekspor kopi Indonesia ke Jepang lebih dominan

dipengaruhi oleh krisis moneter tahun 1997/98 dan krisis global tahun 2008. Hal yang berbeda

adalah pengaruh dari deregulasi tahun 1990an yang justru tidak meningkatkan ekspor kopi

Indonesia khusus ke Jepang. Peningkatan justru baru terjadi tahun 1994, sedikit lebih terlambat

dari peningkatan ekspor ke EU. Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh kinerja ekspor kopi ke

negara tujuan Amerika Serikat seperti dalam grafik berikut.

Gambar 13. Perkembangan Ekspor Kopi Indonesia ke US, ribu USD

Sumber: WITS database

1.0e

+06

2.0e

+06

3.0e

+06

4.0e

+06

5.0e

+06

1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010

3

kopi

tahunGraphs by ID

Page 50: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

50

5.2. Dampak Kebijakan NTB Khususnya REACH Terhadap Kinerja Ekspor Nasional ke Uni

Eropa

Selanjutnya, untuk melihat apakah terdapat efek yang signifikan dari kebijakan NTB,

megambil kasus REACH terhadap kinerja ekspor Indonesia dilakukan dengan teknik OLS pada

data panel ekspor kopi Indonesia ke EU, Jepang dan US untuk periode 1988-2009. Variabel

yang dikehendaki mewakili pengaruh dari REACH adalah dummy variabel tahun dari kebijakan

REACH ini yang mulai dijalankan pada tahun 2007 oleh EU, REACH. Estimasi atas koefisien

regresi parsial pada variabel ini diharapkan mewakili estimasi pengaruh dari kebijakan NTB

terhadap kinerja ekspor kopi Indonesia ke ketiga negara sampel ini. Adapun persamaan regresi

yang akan diestimasi untuk melihat pengaruh ini adalah adopsi pendekatan model persamaan

gravity sebagai berikut:

6�,J =∝ +L�MNE�,J + L�MNE��,J +L!N�O%�,J + L$�PQ)R�,J+(�,J (17)

Dimana;

X=ekspor kopi,

GDP=PDB negara mitra, nilai berlaku dalam USD,

GDPI=PDB Indonesia, nilai berlaku dalam USD,

DIST=jarak, pendekatan yang dipakai adalah jarak ibukota antar negara mitra dan

Indonesia, khusus untuk EU dipergunakan proxy jarak Jakarta ke Amsterdam,

REACH= dummy tahun untuk titik observasi waktu tahun 2007, 2008 dan 2009, Untuk

nilai GDP, ekspor dan jarak dipergunakan nilai log natural atau ln.

Hipotesis penelitian yang dikembangkan adalalah adanya pengaruh negatif dari variabel

REACH terhadap nilai ekspor kopi. Hal ini diterjemahkan dalam prosedur statistik dalam desain

hipotesis statistik sebagai berikut:

H0: L$ = 0 (kebijakan REACH tidak berpengaruh terhadap kinerja ekspor kopi)

H1:L$ ≠ 0 (kebijakan REACH berpengaruh terhadap kinerja ekspor kopi)

Dengan mempergunakan model data panel dengan teknik random effect sebagai model

yang terbaik8, berikut adalah hasil estimasi persamaan 13 dari komoditas kopi:

6�,J = −21,8799 + 2,4523MNE�,J − 0,6534MNE��,J − 0,7049N�O%�,J + 0,3414�PQ)R�,J (2)

6�,J = (4,3782) + (0,3392)MNE�,J(0,1846)MNE��,J − (0,3259)N�O%�,J(0,3903)�PQ)R�,J *nilai dalam kurung adalah standar error

8 Uji hausman pada alfa 5 persen gagal menolak Ho bahwa paramater dalam teknik random effect tidak berbeda dengan teknik fixed effect.

Page 51: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

51

Variabel yang menjadi fokus pengamatan, yaitu REACH memiliki p-value sebesar 0,38 yang

berarti Ho diterima. Dari hasil ini justri variabel dummy REACH tidak berpengaruh terhadap

kinerja ekspor kopi. Hasil ini dapat menjadi indikasi atai simpulan awal bahwa kinerja ekspor

kopi Indonesia ke tiga negara mitra yang menjdai sampel dalam studi ini tidak dipengaruhi oleh

adanya kebijakan NTB oleh mitra, dalam hal ini REACH oleh EU.

Dari hasil estimasi pula didapatkan bahwa variabel yang sifnifikan pada taraf nyata

(alpha) satu persen adalah GDP, GDPI dan konstanta. Sedangkan untuk DIST signifikan pada

alpha 5 persen. Dari arah koefisien hasil estimasi, GDP dan DIST menunjukkan hasil yang

sejalan dengan kerangka teori yaitu ukuran perekonomian negara importir yang dicerminkan

oleh variabel GDP berpengaruh positif dengan nilai ekspor kopi, dengan elastisitas 2,54.

Sedangkan untuk jarak berpengaruh negatif dengan elastisitas sebesar 0,70. Adapun variabel

ukuran negara eksportir atau PDB Indonesia justru menunjukkan tanda negatif. Hal ini sangat

dimungkinkan olah adanya ommited variable bias dari model ini yang belum memasukkan

variabel kontrol yang lebih lengkap.

Replikasi analisis dampak dari kebijakan REACH oleh EU terhadap kinerja ekspor

Indonesia ke tiga negara mitra pada komoditas sawit dan coklat menunjukkan kesimpulan yang

hampir sama. Bahwa kinerja ekspor Indonesia untuk komoditas ini pada periode yang sama

dan negara mitra yang sama (EU, Jepang dan US) tidak dipengaruhi secara signifikan oleh

dummy variabel REACH. Hal ini digambarkan oleh hasil regresi yang menujukkan p-value pada

koefisien dummy variabel REACH sebesar 0,72 untuk sawit dan 0,52 untuk coklat.

Sawit

6�,J = −42,77672 + 4,5425MNE�,J − 0,6531MNE��,J − 3,8010N�O%�,J + 0,1957�PQ)R�,J 6�,J = (6,3501) + (0,4920)MNE�,J(0,2678)MNE��,J − (0,4727)N�O%�,J(0,5661)�PQ)R�,J

Coklat

6�,J = −41,7409 + 3,1887MNE�,J − 0,8136MNE��,J − 0,2104N�O%�,J + 0,2980�PQ)R�,J

6�,J = (5,1624) + (0,4000)MNE�,J(0,2177)MNE��,J − (0,3842)N�O%�,J(0,4602)�PQ)R�,J

5.3. Identifikasi dan Pemeringkatan Bobot Jenis Hambatan Non-Tarif dengan Teknik AHP:

Studi Kasus Provinsi Sumatera Utara

Hasil diskusi kelompok terarah dengan beberapa pemangku kepentingan termasuk para

eksportir, akademisi, asosiasi dan dinas terkait menunjukkan bahwa hambatan ekspor yang

bersumber dari NTB tidak terlalu menonjol. Khusus provinsi ini, penulis mendapatkan

Page 52: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

52

kesimpulan sementara bahwa hambatan yang mereka rasakan justru bukan dari sisi eksternal

atau negara importir melainkan kebijakan domestik. Hal ini didasarkan indikasi bahwa hampir

semua komplain dan keluh-kesah tentang hambatan ekspor lebih bersumber pada kebijakan

perijinan domestik yang dianggap kurang memudahkan dan memurahkan biaya bagi eksportir.

Lebih lanjut, apabila kita merujuk pada definisi dari hambatan non-tarif yang menjadi

kesepakatan terkini dalam forum WTO, NTB umumnya dikenakan negara maju yang terdiri dari

izin impor, ketentuan kepabeanan, preshipment inspection, rules of origin, dan ketentuan

investasi. Sehingga berdasarkan definisi ini, beberapa kebijakan seperti health and safety

regulations, species protection controls, quality and technical standards, tidak termasuk

kedalam NTB. Ini lebih ke persoalan menciptakan standar nasional yang terkait dengan

komoditas yang bersangkutan sehingga memenuhi kualifikasi importir maupun standar

internasional pada umumnya.

Namun, persoalan pencapaian standar ini meskipun per definisi bukan bagian dari NTB

tetap menjadi hambatan bagi eksportir untuk meningkatkan volume ekspornya. Untuk itu,

dalam FGD dilakukan dilakukan penggalian persepsi tentang tingkat prioritas dari gejala umum

hambatan dalam pemenuhan standar ini.

Dalam studi ini kami menetapkan lima produk yang menjadi fokus penelitian: kelapa

sawit, coklat, elektronik dan otomotif. Untuk keempat produk tersebut, teridentifikasi bahwa

terdapat empat isu penting dalam negosiasi Doha Development Agenda-WTO yang sedang

berkembang, yaitu:

1. Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor yang disponsori oleh Uni Eropa;

2. Transparansi Perijinan Ekspor oleh Jepang, Taiwan, Amerika Serikat; Standar Produk

Otomotif oleh Amerika Serikat;

3. Labelling Tekstil , Pakaian, Alas Kaki dan Travel Goods oleh Uni Eropa, Sri Lanka,

Amerika Serikat; dan

4. Prosedur Electrical Safety dan EMC Barang-barang Elektronika oleh Amerika Serikat.

Secara umum, terkait dengan standarisasi, terdapat empat jenis hambatan tarif: standar

keamanan/kesehatan, standar pengiriman, standar kegiatan produksi dan standar labelling.

Dari isu ini dapat dirumuskan hirarki faktor-faktor yang menjadi hambatan non-tarif untuk

keempat jenis produk tersebut sebagai berikut. Informasi awal inilah yang kami coa konfirmasi

kepada para pemangku kepentingan di daerah, termasuk di Prvovinsi Sumatera Utara. Berikut

ini adalah urutan kriteria persoalan dari hirarki 1 dan hirarki 2 yang kemudian kami ajukan

Page 53: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

kepada para eksportir, asosiasi, akademisi dan dinas terkait di daerah s

atau expert melalui teknik AHP.

5.4. Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi Sumatera Utara

Diskusi kelompok terarah di provinsi Sumatera Utara

pada tiga komoditas sampel: sawit, kopi dan coklat. Masalah yang dihadapi 3 komoditas ini dari

studi sebelumnya ditunjukkan oleh tabel berikut.

Tabel 13. NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun 2007

Data ekspor provinsi ini pada HS 4 digit menunjukkan bahwa untuk kode HS 1511 atau

minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan nilai ekspor dari sekitar USD3500

Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor

Transparansi Perijinan Ekspor

Standar keamanan/kesehatan

Sawit

•Kampanye anti produk sawit (USA dan EU)

•Kesepakatan IMO Kapal pengangkut Minyak sawit harus double hull

•Pemberlakuan Food Safety Law oleh UE mulai 1 Januari 2007

53

kepada para eksportir, asosiasi, akademisi dan dinas terkait di daerah s

melalui teknik AHP.

Gambar 14. Hirarki Faktor NTB

Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi Sumatera Utara

Diskusi kelompok terarah di provinsi Sumatera Utara menghasilkan fokus pengamatan

pada tiga komoditas sampel: sawit, kopi dan coklat. Masalah yang dihadapi 3 komoditas ini dari

studi sebelumnya ditunjukkan oleh tabel berikut.

NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun 2007

ekspor provinsi ini pada HS 4 digit menunjukkan bahwa untuk kode HS 1511 atau

minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan nilai ekspor dari sekitar USD3500

Isu Hambatan non-tarif yang sedang berkembang

Transparansi Perijinan Ekspor

Penerapan standar

Standar pengirimanStandar kegiatan

produksiStandar

Prosedur Electrical Safety

dan EMC (khusus barang

barang elektronika)

Kopi

•Adanya penerapan ambang batas OTA (Ochra Toxin A) untuk biji kopi oleh UE.

•Persaingan dengan Vietnam untuk kopi robusta

•Pasar EU meminta biji kakao terfementasi dengan mutu tinggi.

•Pasar USA megenakan automatic detention dan discount price

kepada para eksportir, asosiasi, akademisi dan dinas terkait di daerah sebagai penilai bobot

Analisis Hasil Pemeringkatan Bobot Masalah NTB di Provinsi Sumatera Utara

menghasilkan fokus pengamatan

pada tiga komoditas sampel: sawit, kopi dan coklat. Masalah yang dihadapi 3 komoditas ini dari

NTB yang dihadapi Produk Sawit, Kopi dan Coklat tahun 2007-2008

ekspor provinsi ini pada HS 4 digit menunjukkan bahwa untuk kode HS 1511 atau

minyak sawit dan produk turunannya mengalami penurunan nilai ekspor dari sekitar USD3500

Standar labelling

Electrical Safety

dan EMC (khusus barang-

Coklat

Pasar EU meminta biji kakao terfementasi dengan mutu tinggi.

Pasar USA megenakan automatic detention dan discount price

Hirarki 2

Hirarki 1

Page 54: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

54

juta menjadi sekitar USD2500 juta dari tahun 2008 ke 2009. Untuk komoditas ini selain

pemberlakuan IMO kapal pengangkut yang harus dobel, ketentuan Food Safety Law dan

REACH oleh oleh EU menjadi indikasi penurunann ini. Begitu pula untuk komoditas dengan

kode HS 0901 atau kopi juga menunjukkan penurunan dari sekitar USD200 juta ke USD180 juta

pada periode yang sama. Untuk komoditas ini diduga masalah yang diyakini cukup

menghambat adalah penerapan ambang batas racun untuk kopi.

Gambar 15. Pergerakan Nilai Ekspor Sawit-HS 1511 dan Kopi-HS 0901

(a)

(b)

5.4.1. Sawit

Hasil pembobotan masalah pada hirarki 1 memberikan hasil yang berbeda-beda untuk

tiap komoditas. Untuk komoditas sawit persepsi responden menunjukkan ketentuan penerapan

pajak ekspor sebagai masalah utama dengan bobot sekitar 42 persen diikuti oleh transparansi

perijinan ekspor sebagai dengan bobot sekitar 35 persen dan penerapan standar justru

menempati bobot terendah yaitu 22 persen.

Pada hirarki 2 standar keamanan/kesehatan dipersepsikan sebagai masalah dalam

penerapan standar dengan bobot terbesar yaitu 63 persen. Bobot ini sekitar lima kali dari dua

masalah lain yaitu standar pengiriman dan standar kegiatan produksi dengan bobot masing-

masing 12 dan 14 persen. Hal ini mengkonfirmasi kebijakan REACH dan namun tidak untuk

ketentuan IMO kapal pengangkut CPO ke Uni Eropa. Adapun hasil selengkapnya dapat dilihat

dalam Tabel 14 di bawah.

1500

2000

2500

3000

3500

HS

1511

_jut

a

2005 2006 2007 2008 2009tahun

160

170

180

190

200

210

coffe

e_j

uta

2005 2006 2007 2008 2009tahun

Page 55: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

55

Tabel 14. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Sawit

Hirarki1 Bobot

Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.4271

Transparansi Perijinan Ekspor 0.3523

Penerapan standar 0.2204

Hirarki2 Bobot

Standar keamanan/kesehatan 0.6373

Standar pengiriman 0.1208

Standar kegiatan produksi 0.1458

Standar labelling 0.0962

5.4.2. Kopi

Pada komoditas kopi, masalah penerapan ambang batas toksin terkonfimasi oleh

persepsi responden tentang pentingnya masalah NTB. Untuk hirarki 1 penerapan standar

sebagai muara dari masalah pada hirarki 2 dipersepsikan paling kuat sebagai prioritas masalah

dengan bobot 44 persen, diikuti transparansi perijinan ekspor (43 pesen) dan ketentuan

penerapan pajak ekspor (12 persen). Selanjutnya dari empat masalah pada hirarki 2, diantara

empat permasalahan standar keamanan/kesehatan menempati urutan pertama (61 persen)

diikuti standar kegiatan produksi 20 persen, standar pengiriman 10 persen dan standar

labelling 8 persen.

Tabel 15. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Kopi

Hirarki1 Bobot

Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.1275

Transparansi Perijinan Ekspor 0.4321

Penerapan standar 0.4404

Hirarki2 Bobot

Standar keamanan/kesehatan 0.6159

Standar pengiriman 0.0973

Standar kegiatan produksi 0.2064

Standar labelling 0.0803

Page 56: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

56

5.4.3. Coklat

Berbeda dengan persepsi responden pada sawit dan kopi, untuk komoditas coklat bobot

masalah tertinggi adalah ketentuan penerapan pajak ekspor sebesar 77 persen, sekitar tujuh

kali tingkat kepentingan transparansi perijinan ekspor dan penerapan standar.

Tabel 16. Hambatan Selain Tarif Untuk Produk Coklat

Hirarki1 Bobot

Ketentuan Penerapan Pajak Ekspor 0.7717

Transparansi Perijinan Ekspor 0.1085

Penerapan standar 0.1198

Hirarki2 Bobot

Standar keamanan/kesehatan 0.6919

Standar pengiriman 0.0934

Standar kegiatan produksi 0.1186

Standar labelling 0.0961

Sedangkan untuk hirarki kedua, meskipun bobot penerapan standar pada hirarki 1

hanya sekitar 12 persen, persepsi responden kuat untuk standar keamanan/kesehatan sebagai

masalah utama dalam lingkup penerapan standar dengan tingkat kepentingan sekitar 7 kali dari

tingkat kepentingan 3 standar yang lain.

Page 57: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

57

VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

6.1. Kesimpulan

Adapun hasil kesimpulan dari kajian ini adalah :

1. Tepung terigu, teh, susu, kopi, kedele, dan jeruk merupakan produk pertanian komersil

dengan trend impor, sedangkan sisanya hanya diimpor untuk memenuhi kebutuhan

konsumsi.

2. Seluruh produk menunjukkan pola impor musiman, terutama moving seasonality

berdasarkan data year on year dengan fluktuasi impor rata-rata berdasarkan nilai

standar deviasi adalah 20 sampai 36 persen.

3. Sebagian besar eksportir menyatakan tidak ada hambatan non tarif yang berarti

terhadap produk pertanian, dimana ini disebabkan ketergantungan terhadap produk

nasional.

4. Standart yang paling sering dihadapi adalah standart keamanan/kesehatan, namun

eksportir tidak keberatan untuk memenuhi hal tersebut.

5. Eksportir menyatakan pemenuhan ketentuan NTB menjadi sulit karena ketidakdisiplinan

beberapa pihak untuk memenuhi ketentuan negara mitra

6.2. Rekomendasi

Rekomendasi dari kajian ini terdiri dari :

1. Indonesia dalam menggunakan trigger volume impor sebaiknya juga memperhatikan

perubahan harga domestik agar pelaksanaan SSM tidak merugikan konsumen.

2. Indonesia tidak dapat memberlakukan SSM selama setahun penuh karena terdapat

periode dimana impor sangat dibutuhkan.

3. Indonesia sebaiknya menekankan penentuan besaran SSM untuk beberapa produk

saja, antara lain beras dan tebu, oleh karena itu besaran trigger SSM yang diusulkan

antara 22 sampai 36 persen.

4. Jeruk merupakan komoditas yang paling membutuhkan proteksi, namun mekanisme

SSM tidak efektif bagi produk ini.

5. Indonesia sebaiknya mengusulkan pelaksanaan standar internasional di bidang

kesehatan dan keamanan konsumen. Usulan tersebut perlu disertai pelatihan untuk

membantu negara berkembang.

Page 58: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

58

6. Perlu dilakukan penyuluhan kepada produsen mengenai standar dinegara tujuan

ekspor. Selain itu, diperlukan standar nasional yang disesuaikan dengan standar

internasional, dan adanya sanksi bagi produsen yang melanggar ketentuan tersebut.

Page 59: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

59

DAFTAR PUSTAKA

Beghin, J. C. (2006). Nontariff Barriers. Working Paper 06-WP 438.

Chevassus-Lozza, E., Latouche, K., & Majkovic, D. (2007). How much do non-tariff measures

explain the border effect at entry to the EU market? The CEECs agri-food exports to

EU in the pre-accession period. The American Agricultural Economics Association

Annual Meeting. Portland.

Feenstra, R. C. (2004). Advanced International Trade: Theory and Evidence. New York:

Princeton University Press.

Finger, J.M. 2009. A Special Safeguard Mechanism for Agricultural Imports and the

Management of Reform. World Bank Policy Research Working Paper no. 4927.

Fukao, K., Kataoka, G., & Kuno, A. (2003). How to Measure Non-tariff Barriers? A Critical

Examination of the Price-Differential Approach. Hitotsubashi University and RIETI.

Grant, J.H., dan Karl, D.M. 2005. The WTO Special Safguard Mechanism: A Case Study of

Wheat. CATPRN Working Paper 2005-02.

__________. 2008. Triggers, Remedies, and Tariff Cuts: Assessing the Impact of a Special

Safeguard Mechanism for Developing Countries. CATPRN Working Paper 2008-09.

Hertel, T.W., Tim, M. dan Amanda, M. L. 2010. Potential Implications of a Special Safeguard

Mechanism in the WTO: The Case of Wheat. World Bank Policy Research Working

Paper no. 5334.

Hutabarat, B., dan Bambang, R. 2006. Mekanisme Perlindungan Khusus (SSM) untuk

Indonesia dan K33: sebuah Gagasan. Makalah disampaikan pada seminar PSE-KP,

Bogor.

Montemayor, R. 2008. How Will the May 2008 “Modalities” Text Affect Access to the Special

Safeguard Mechanism, and the Effectiveness of Additional Safeguard Duties. ICTSD

Working Paper No. 15

Onoz, B., dan Mehmetcik, B. 2003. The Power of Statistical Tests for Trend Detection. Turkish

Journal of Engineering, Environment and Science. Vol. 27. pp. 247-251.

Ruffer, T., dan Paolo, V. 2002. An Agricultural Safeguard Mechanism for Developing Countries.

Oxford Policy Management and O’Connor and Company. Laporan Penelitian.

Page 60: LAP Akhir WTO - Kementerian Perdagangan Republik Indonesia · dikatakan sudah termasuk tingkat ... penyebab turunnya ekspor Indonesia terutama ke negara maju ... Selain tentunya mempertimbangkan

60

Sawit, M. H. 2007. Serbuan Impor Pangan dengan Minim Perlindungan di Era Liberalisasi.

Disampaikan pada KONPERNAS XV dan Kongres XIV PERHEPI, Surakarta 3-5

Agustus.

Sawit, M.H., Sjaiful, B., Sri, N., dan Helena, J.P. 2006. Fleksibilitas Penerapan Special

Safeguard Mechanism dan Kaji Ulang Kebijakan Domestic Support untuk Special

Product Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Laporan

Penelitian.

Sharma, R. 2006. Triggers and Remedy for Special Safeguard Mechanism. Food and

Agriculture Organization, Rome

Simatupang, P., Marwoto dan Dewa, K. S. S. 2005. Pengembangan Kedelai dan Kebijakan

Penelitian di Indonesia. Disampaikan pada Lokakarya Pengembangan Kedelai di

Lahan sub Optimal, Malang, 26 Juli 2005.

South Centre. 2009. The Special Safeguard Mechanism: Some Issues for Consideration by

Developing Countries. Trade for Development Programme, September 2009.

Susilowati, S. H., dan Reni, K. 2009. Strategi Penumbuhan dan Proteksi Sektor Pertanian.

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Pengembangan Pertanian. Deptan.

Teknomo, K., Siswanto, H., & Yudhanto, S. A. (1999). Penggunaan Metode Analytic Hierarchy

Process dalam Menganalisa Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Moda ke

Kampus. Dimensi Teknik Sipil (1):1 , 21-39.