peran pemimpin reformis china dlm keanggotaan china di wto

16
www.sinopaxsinica.blogspot.com © Denis L. Toruan, November 2008 -1- Peran Pemimpin Reformis China dalam Keanggotaan China di WTO oleh: Denis L. Toruan I. Bangkitnya China dan Rezim Internasional Pada era Perang Dingin, rivalitas antara blok barat dan blok timur dalam berbagai bidang begitu kuat. Contohnya saat AS bersama sekutu-sekutunya berusaha memblokade dunia dari “bahaya komunis” yang saat itu dipimpin Uni Soviet. Dalam tingkat internasional, ini terlihat dari berbagai doktrin AS seperti Marshall Plan (1947), maupun rezim internasional seperti Bretton Woods (1944) yang kemudian melahirkan International Monetary Fund (1945) dan World Bank (1944), General Agreement on Trade and Tariff/GATT (sekarang World Trade Organization/WTO) pada tahun 1948, Washington Consensus (1989), hingga pakta pertahanan seperti NATO (1949). Pada dasarnya, metode-metode politis tersebut berfungsi untuk mengamankan kepentingan AS dan sekutunya, sekaligus menghadang meluasnya doktrin komunisme ke dunia itu. Salah satu buktinya terlihat dalam bidang ekonomi di mana rezim WTO (berdiri 1 Januari 1995) yang kini beranggotakan atas 128 negara anggota jelas merupakan kelompok eksklusif masyarakat internasional yang memberikan hak-hak istimewa kepada negara-negara anggotanya seperti pembukaan hubungan dagang antarnegara anggota, penghapusan/peminimalisasian bea masuk impor, beserta kewajiban negara anggota berupa syarat-syarat keanggotaan yang tentunya tidak ringan. 1 Sejak tahun 1991 pascakeruntuhan Uni Soviet, struktur politik global berubah total. Dunia sudah tidak lagi terbagi atas dominasi blok barat atau pun blok timur. Negara-negara kapitalis dengan Amerika Serikat sebagai garda terdepannya, dalam banyak aspek tampak berhasil ‘mengepung’ dan menyudutkan negara-negara komunis-sosialis yang tersisa, termasuk Republik Rakyat China (RRC) tanpa kecuali. Hal yang mengejutkan adalah bahwa Republik Rakyat China (RRC) yang sebelumnya diramalkan bakal kolaps mengikuti jejak sekutu utamanya, Uni Soviet, justru malah 1 Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, IR: The Key Concepts, (London&New York: Routledge, 2002), hlm. 338-341.

Upload: denis-toruan

Post on 11-Jun-2015

1.642 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Kubu populer yang sempat disingkirkan Mao Zedong dulu, tp kini bertanggung jawab atas kesuksesan China dewasa ini.

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -1-

Peran Pemimpin Reformis China dalam Keanggotaan China di

WTO oleh: Denis L. Toruan

I. Bangkitnya China dan Rezim Internasional

Pada era Perang Dingin, rivalitas antara blok barat dan blok timur dalam berbagai

bidang begitu kuat. Contohnya saat AS bersama sekutu-sekutunya berusaha

memblokade dunia dari “bahaya komunis” yang saat itu dipimpin Uni Soviet. Dalam

tingkat internasional, ini terlihat dari berbagai doktrin AS seperti Marshall Plan

(1947), maupun rezim internasional seperti Bretton Woods (1944) yang kemudian

melahirkan International Monetary Fund (1945) dan World Bank (1944), General

Agreement on Trade and Tariff/GATT (sekarang World Trade Organization/WTO)

pada tahun 1948, Washington Consensus (1989), hingga pakta pertahanan seperti

NATO (1949). Pada dasarnya, metode-metode politis tersebut berfungsi untuk

mengamankan kepentingan AS dan sekutunya, sekaligus menghadang meluasnya

doktrin komunisme ke dunia itu. Salah satu buktinya terlihat dalam bidang ekonomi

di mana rezim WTO (berdiri 1 Januari 1995) yang kini beranggotakan atas 128 negara

anggota jelas merupakan kelompok eksklusif masyarakat internasional yang

memberikan hak-hak istimewa kepada negara-negara anggotanya seperti pembukaan

hubungan dagang antarnegara anggota, penghapusan/peminimalisasian bea masuk

impor, beserta kewajiban negara anggota berupa syarat-syarat keanggotaan yang

tentunya tidak ringan.1

Sejak tahun 1991 pascakeruntuhan Uni Soviet, struktur politik global berubah

total. Dunia sudah tidak lagi terbagi atas dominasi blok barat atau pun blok timur.

Negara-negara kapitalis dengan Amerika Serikat sebagai garda terdepannya, dalam

banyak aspek tampak berhasil ‘mengepung’ dan menyudutkan negara-negara

komunis-sosialis yang tersisa, termasuk Republik Rakyat China (RRC) tanpa kecuali.

Hal yang mengejutkan adalah bahwa Republik Rakyat China (RRC) yang sebelumnya

diramalkan bakal kolaps mengikuti jejak sekutu utamanya, Uni Soviet, justru malah

1 Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, IR: The Key Concepts, (London&New York: Routledge, 2002), hlm. 338-341.

Page 2: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -2-

‘memeluk erat-erat’ rezim internasional seperti WTO yang notabene ‘rekayasa’ AS

beserta para sekutunya, dan menciptakan prestasi fenomenal di kalangan dunia

internasional. Dalam dinamikanya, China yang baru saja berhasil menjadi tuan rumah

Olimpiade Agustus 2008 lalu di Beijing dengan pembiayaan even yang terbesar

sepanjang sejarah pesta olimpiade2 dan mengirimkan astronotnya untuk melakukan

space-walk (2008), tampak sangat ‘nyaman’ dengan keanggotaannya di berbagai

rezim internasional dengan tumpukan cadangan devisa sebesar 1,81 trilyun USD

hingga Oktober 2008,3 dan relatif aman dari krisis finansial global yang terjadi baru-

baru ini. Kontras sekali keadaannya dibandingkan AS dan negara-negara barat lain

yang sibuk menggelontorkan dan menghimpun dana dalam aksi bail-out beramai-

ramai demi menyelamatkan sistem finansialnya.4

Dikaji dari sudut pandang teori hubungan internasional, dalam menyikapi

prestasi fenomenal China itu pertanyaan-pertanyaan kritis yang terbentuk, antara lain

adalah:

1. Bagaimana proses keterlibatan China dalam rezim internasional seperti WTO?

2. Bagaimana China sukses mengawinkan antara kepentingan nasional/national interest-nya dan warisan ideologi komunisme-sosialisme oleh ketua Mao (毛泽东 Mao Zedong) 60 tahun silam?

3. Sampai sejauh mana pendekatan liberalis dapat memandang contoh kasus China ini, terutama terkait keanggotaannya dalam WTO?

Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi landasan pembahasan makalah.

II. Sejarah Singkat Hubungan China dan WTO

Sebelumnya, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa diksi “China” dalam praktik

sehari-harinya bersifat kontekstual. 5 Namun, dalam makalah ini sebagian besar diksi

“China” mengacu pada RRC (China daratan).

Pada tahun 1948 ketika daratan China masih dikuasai oleh Partai Nasional

China/PNC (国民党 Guomindang), hubungan antara China dan rezim internasional 2 45 milyar USD, bahkan ada yang memperkirakan mencapai 70 milyar USD lih. http://financialexpress.com/news/beijing-olympics-have-been-most-expensive-so-far/348024 3 http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/27/00262913/perekonomian.as.akan.makin.bergantung.ke.china dan Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Mengatasi Krisis”, hlm. 15. 4 http://kompas.com/read/xml2008/10/08/13240127/waspada.bailout.tak.efektif.krisis.di.as.berlanjut 5 Kaum Komunis China (共产党 gongchandang) pimpinan Mao Zedong memenangkan kekuasaan atas China daratan pada tahun 1949. Akibatnya, Partai Nasional China/PNC (国民党 guomindang) yang saat itu dipimpin Chiang Kai-sek melarikan diri ke Pulau Formosa (Taiwan). Sejak saat itu, keduanya mendirikan pemerintahannya masing-masing; Pimpinan Mao di China daratan, dan pimpinan Chiang Kai-sek di Taiwan.

Page 3: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -3-

sudah dimulai. Saat itu, Republik China (ROC) yang berkiblat kepada AS terlibat

langsung dalam proses perdagangan bebas melalui pembentukan General Agreement

on Tariff and Trade (GATT) tanggal 19 Mei 1948. Sejak saat itu, era perdagangan

bebas global rekayasa AS bersama para sekutunya secara resmi telah dimulai. Peran

GATT secara resmi digantikan oleh World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1

Januari 1995. WTO merupakan suatu rezim perdagangan global yang bernaung di

bawah Persatuan Bangsa-Bangsa/PBB yang menganut aturan perdagangan bebas yang

kurang lebih sama dengan apa yang GATT punya; Bedanya terdapat pada revisi

secara teoritis mengenai aturan-aturan baku pada badan tersebut.6

Setelah kaum komunis China merdeka pada tahun 1949, pemerintahan

Taiwan mengumumkan pengunduran diri dari keanggotaan GATT pada tanggal 5

Maret 1950. Tidak lama setelah Taiwan memisahkan diri dari pemerintahan Beijing,

Taiwan mengajukan lamaran sebagai peninjau dalam GATT. Lamaran tersebut

disetujui, namun pada tahun 1971 Taiwan dikeluarkan dari GATT karena kebijakan

PBB yang mengubah status dan kedudukan Taiwan di PBB. Alasan politis semacam

ini dilatarbelakangi oleh kepentingan PBB terhadap RRC yang memandang bahwa

pemerintahan China yang resmi adalah pemerintahan di bawah kepemimpinan PKC,

terlebih karena China adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Walaupun

Taiwan sudah dikeluarkan dari keanggotaan GATT, China belum tertarik untuk

menjadi anggota GATT, terutama akibat meletusnya Revolusi Kebudayaan (文化革

命 wenhua geming) di China pada periode 1966-1976 yang dicetuskan oleh Ketua

Mao.7

Setelah Deng Xiaoping 鄧小平 dari kubu reformis menduduki posisi puncak

pemerintahan China pada tahun 1976, China membuka dirinya terhadap dunia luar

dengan menerapkan Reformasi Pintu Terbuka (gaige kaifang). Kemudian China mulai

bergabung dengan organisasi-organisasi ekonomi internasional, seperti World Bank

International Monetary Fund (Desember 1945), dan lain-lain. Ambisi dan semangat

berapi-api China untuk meneruskan agenda gaige kaifang membuatnya semakin

6 WTO merupakan organisasi internasional dengan sistem penyelesaian sengketa yang kuat, sementara GATT hanya kesepakatan antarpemerintah. WTO mengatur liberalisasi perdagangan produk manufaktur, pertanian, dan jasa melalui produk hukum seperti General Agreement on Trade in Services (GATS), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan penanaman modal melalui Trade Related Investment Measures (TRIMs). 7 Mao Zedong mengumumkan gerakan revolusi proletariat di China. Semua akar kebudayaan China yang umurnya ribuan tahun itu kecuali bahasa Mandarin, harus diganti total dengan kebudayaan komunisme-sosialisme. Segala macam praktik kapitalisme diharamkan di daratan China.

Page 4: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -4-

terdorong untuk bergabung kembali dengan GATT. Oleh karena itu, pada tahun 1980

China mengajukan diri sebagai anggota peninjau GATT. Lamaran tersebut baru

disetujui dua tahun sesudahnya.

Pada tahun 1986, RRC mengajukan lamaran diri sebagai anggota penuh

GATT. Sebagai langkah awal, kedua pihak (China dan GATT) menyiapkan beberapa

hal. RRC menyerahkan memorandum tentang kondisi perdagangannya. GATT sendiri

pada tahun 1987 membentuk kelompok kerja untuk China yang bertugas meneliti

perdagangannya dan menyusun aturan-aturan protokol mengenai hak-hak dan

kewajiban China dalam GATT. Akan tetapi, semua persiapan yang telah dibangun

oleh kedua pihak selama kurang lebih tiga tahun menjadi mubazir karena terjadi

peristiwa Tian’anmen pada tanggal 4 Juni 1989.8

Pada tahun-tahun setelah 1992, sistem perekonomian dan pembangunan

nasional China sekali lagi mengalami banyak pembaharuan, terlebih setelah adanya

peristiwa bersejarah yang dikenang rakyat China sebagai “ucapan nanxun”. 9

Gebrakan Deng ini mengakibatkan perubahan drastis dalam sistem perdagangan dan

permodalan China. Perdagangan luar negeri mengalami peningkatan yang signifikan.

Hal serupa juga dirasakan pada sektor investasi asing (Foreign Direct

Investment/FDI). Dengan pembaharuan sistem perekonomiannya tersebut, China aktif

kembali dalam mengajukan lamaran keanggotaan GATT.

Pada tanggal 1 Januari 1995 WTO menggantikan peran GATT. Secara

otomatis, kelompok kerja untuk China saat itu berada di bawah naungan WTO.

Kelompok kerja inilah yang mengeluarkan beberapa persyaratan untuk China terkait

proses integrasinya dengan WTO.10

8 Pemerintah China meredakan demonstrasi prodemokrasi besar-besaran, korban sipil yang berjatuhan lebih dari 1.000 orang. Peristiwa ini membuat China dikucilkan oleh masyarakat internasional. Salah satu eksesnya, permohonan China untuk menjadi anggota penuh GATT ditolak. Salah satu literatur yang secara ‘gamblang’ membahas peristiwa ini lih. Michael Fathers dan Robert Cottrell, Pembantaian Tian’anmen – (terjemahan), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990). 9 ‘Ucapan perjalanan ke selatan’: Gebrakan Deng Xiaoping dalam meneruskan program gaige kaifang ketika politik domestik China stagnan dan ada tendensi bahwa China kembali dipegang oleh kubu konservatif. Teori Deng yang dikenal sebagai “Deng Xiaoping lilun” menegaskan kembali pembaharuan China, dan disahkan dalam Kongres PKC XIV (Oktober 1992) sebagai landasan pembangunan China moderen. 10 Persyaratan itu antara lain, seperti transparansi menyeluruh dalam aturan perdagangan, penjadwalan pasti atas rencana penurunan hambatan tarif, perlakuan yang sama atas produk domestik dan produk luar negeri, penghapusan sistem penetapan harga oleh negara, penjadwalan atas penghapusan subsidi industri, adanya mekanisme perlindungan bagi negara anggota WTO terhadap perubahan drastis ekspor RRC, menunjukkan kemampuan memenuhi persyaratan WTO secara menyeluruh dan merata ke seluruh wilayah RRC sehingga wilayah pedalaman sama terbukanya dengan Wilayah Ekonomi Khusus, perlindungan HAKI, dll.

Page 5: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -5-

China merasa persyaratan-persyaratan tersebut terlalu berat baginya sehingga

mulai kehilangan gairah untuk bergabung dengan WTO, bahkan sempat

mengumumkan tidak ingin lagi melakukan perundingan bilateral dengan WTO.

Namun, semua hal tadi mulai berubah sejak berakhirnya Perang Dingin. Amerika

Serikat menyatakan akan mendukung lamaran RRC sebagai anggota WTO. Dari segi

ekonomis, hal ini dilakukan AS dengan pertimbangan rasional bahwa China

merupakan pasar yang sangat besar (seperlima penduduk dunia) dan sangat potensial

bagi bermacam-macam produk barang dan jasanya. Akhirnya setelah melalui berbagai

perundingan yang alot, pada tanggal 17 September 2001 WTO menyetujui

permohonan keanggotaan RRC dalam WTO. Setelah itu, pada saat konferensi Menteri

WTO di Doha, Qatar tanggal 10 November 2001, perjanjian antara China dan WTO

diresmikan. Dan sebulan setelah itu, tepatnya tanggal 11 Desember 2001, China

dinyatakan secara resmi sebagai salah satu negara anggota WTO.

III. Latar Belakang dan Tujuan China Menjadi Anggota WTO

Pada awalnya, pertimbangan dan tujuan China menjadi anggota WTO adalah alasan

ekonomis semata, yakni sebagai wahana untuk mencapai akselerasi industrialisasi dan

pertumbuhan ekonomi. China menginginkan pembukaan pasar global sehingga

produk-produk ekspornya bisa masuk dan sekaligus investasi asing bisa

menggairahkan perekonomian negara yang dikatakan berada pada tahap awal

sosialisme itu.11 Beberapa tujuan konkret China atas keanggotaannya di WTO, antara

lain:

1. Mempermudah ekspor Cina ke negara-negara anggota WTO lainnya, terutama pasar AS dan Uni Eropa;

2. Menghapus batasan perdagangan dan memperluas akses pasar bagi barang-barang domestik dan luar negeri;

3. Mencapai industrialisasi secara cepat (revolusi industri) dan alih teknologi negara maju;

4. Meningkatkan pendapatan dalam negeri dari sektor ekspor dan investasi asing (Foreign Direct Investment/FDI); dan

5. Memperoleh prestise di mata dunia internasional.

11 Wacana “shehui zhuyi chuji jieduan” atau “sosialisme pada tahap awal” dikemukakan dalam Konggres PKC XIII (1987) untuk mengakomodasi kemacetan ideologis kaum konservatif dan reformis China dalam membangun China moderen.

Page 6: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -6-

Khusus mengenai poin kelima ini, meminjam istilah yang dikemukakan

sinolog I. Wibowo, China juga akan menikmati “keuntungan kasat mata/intangible

benefits” melalui jalur keanggotaan WTO. 12

Berikut beberapa keuntungan konkret yang sudah dinikmati China setelah

bergabung dengan WTO, antara lain:13

1. Hingga tahun 2002, China memiliki hubungan dagang bebas dengan 127

negara anggota WTO lainnya;

2. Peningkatan industrialisasi China dan alih teknologi tingkat tinggi

berhubung semaking terbukanya investasi asing;

3. Penghargaan yang semakin tinggi terhadap hak kekayaan intelektual

(HAKI), hak paten produk/trademark, dll sehingga rakyat China bisa

lebih kreatif, inovatif, dan berkompetisi secara sehat dalam sistem yang

melindungi karyanya;

4. Otoritas dan rakyat China di satu sisi diuntungkan oleh pemasukan

berbagai jenis pajak baru dan arus investasi asing yang masuk;

5. Semakin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) rakyat China, dan

lain-lain.

IV. Mengkaji Kesuksesan China dalam Rezim Internasional

WTO merupakan salah satu rezim internasional yang dituding negatif oleh banyak

pihak karena terlalu menguntungkan kepentingan negara-negara maju, dan merugikan

negara-negara berkembang yang mayoritas ‘gagap’ berkompetisi karena kalah

bersaing dalam hal modal, teknologi, arus informasi, lintas jasa, SDM, dan lain-lain.14

Tidak hanya itu, pada pandangan ekstrem rezim-rezim global seperti IMF dan World

Bank dianggap sebagai ‘serigala berbulu domba’ yang cenderung membuka dunia

ketiga demi kepentingan negara-negara maju, daripada tujuan dasarnya mengurangi

tingkat kemiskinan global.15 Namun, kartu ini ternyata berhasil dimainkan China, dan

12 I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 63. Maksud dari pernyataan ini adalah China percaya bahwa prestise negaranya akan naik di mata internasional dan memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama dalam kerangka persaingannya dengan Taiwan dan dengan kubu konservatif di dalam pemerintahan internalnya. 13 Diolah dari Laurence J. Brahm, China After WTO, (Beijing: Intercontinental Press, 2002). 14 Lih. Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Insistpress, 2005), terutama Bab II: Pertarungan Tak Seimbang. 15 Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, op.cit., hlm. 334.

Page 7: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -7-

China tidak ‘tenggelam’ dalam alur permainan rezim WTO. Sejauh mana teori HI

dapat memandang fenomena ini?

Pada dasarnya, menurut hemat saya keberhasilan China dalam memanfaatkan

tantangan globalisasi setidaknya dapat dipandang dalam dua pendekatan, yaitu:

1. Menurut pendekatan liberalis; dan

2. Peran kubu reformis dalam decision-making Partai Komunis China.

IV.I. Perspektif Liberalis dalam Memandang China dan WTO

Definisi “rezim”, antara lain:

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “rezim”

adalah tata pemerintahan negara; pemerintahan yg berkuasa.16

Sedangkan, dalam bidang politik rezim berarti bentuk pemerintahan;

seperangkat aturan, norma-norma sosial atau kebudayaan yang mengatur

jalannya suatu pemerintahan dan interaksinya dengan masyarakat.

Dalam studi Hubungan Internasional ada satu pendekatan utama terkait rezim

ini, yakni pendekatan liberalis. Menurut tradisi liberalis, contohnya seperti

yang dikemukakan Robert Keohane, rezim/institusionalisasi yang dilandasi

oleh kerja sama adalah “Institutions possesing norms, decision rules, and

decisionmaking procedures which facilitate a convergence of expectations.”17

Tabel 1

Pandangan dasar tradisi pluralisme/liberalisme dalam Teori Hubungan Internasional

No. Dasar asumsi Perspektif Liberalisme/Pluralisme 1. Unit analisis Aktor negara dan aktor nonnegara sama pentingnya 2. Cara pandang aktor Aktor negara dipecah ke dalam beberapa komponen, beberapa di

antaranya dapat bertindak secara transnasional 3. Dinamika perilaku aktor Pembuatan kebijakan luar negeri dan proses-proses transnasional

melibatkan konflik, tawar-menawar, koalisi, dan kompromi 4. Isu utama Sosial ekonomi, tingkat kesejahteraan, dll yang dianggap lebih penting

daripada isu keamanan nasional semata Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism, (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), hlm. 10.

16 Hasan Alwi (pemimpin tim redaksi), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm. 954. 17 Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy, (United Kingdom: Princeton University Press, 1984), hlm. 59.

Page 8: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -8-

Seperti yang dijabarkan Keohane, pendekatan liberalis dalam memandang

rezim menekankan tentang pentingnya keberadaan rezim/institusi (di luar aktor

negara) yang dapat memengaruhi aktor negara/aktor-aktor internasional lainnya

(perspektif negara/state sebagai nonsatu-kesatuan aktor/non-unitary unit yang bisa

dipecah). Asumsi dasarnya adalah bahwa bentuk kerja sama antarnegara merupakan

norma/etika/value yang mendasari pencapaian kepentingan/national interest-nya.

Dapat dikatakan, rezim menurut perspektif liberalis adalah bentuk kerja sama

internasional.

Sesuai dengan definisi dasarnya, rezim mencakup berbagai bentuk isu

internasional, dan biasanya satu rezim terfokus pada satu isu tertentu dengan anggota-

anggota yang tidak hanya terdiri dari negara.

Berangkat dari pendekatan interest-based liberalis, dalam konteks ini

dikatakan bahwa WTO bisa berjalan tanpa satu kekuatan hegemon tertentu sebab

terdapat “convergence of expectations” atau yang saya interpretasikan sebagai

“ekspektasi/harapan dari masing-masing konstituen rezim yang terkumpul dalam satu

wadah pertemuan”. WTO sebagai rezim memfasilitasi kerja sama dengan

menciptakan standar-standar tertentu bagi para anggotanya. Ketika semua anggota

negara berharap agar partisipan lain bekerja sama maka kemungkinan melangsungkan

kerja sama secara konstan dapat terus meningkat. Jadi, tidak sepenuhnya benar

dikatakan bahwa konflik adalah dasar dari sistem anarki dunia yang diyakini oleh

kaum realis. Kaum neoliberal sendiri mengatakan bahwa para realis mengabaikan

suatu tahap di mana negara-negara bersedia berbagi kepentingannya dengan negara

lain, dan memiliki sifat hubungan/interaksi internasional yang dilakukannya berulang-

ulang kali.

Terkhusus mengenai kesuksesan China dalam rezim internasional, pendekatan

liberalis dalam teori rezim merupakan salah satu kunci dalam menjelaskan

kepragmatisan China. China sebagai aktor negara tidak menyangkal adanya bentuk

kerja sama internasional, terutama dalam bidang ekonomi, bahkan dengan rezim

terdiktator di dunia sekalipun, seperti beberapa negara di Afrika.18 Hal ini yang tidak

akan dilanggar oleh perusahaan multinasional (MNC) AS atau Uni Eropa ‘seliberal’

apa pun. Negara-negara barat, terutama AS sangat kegerahan dengan politik luar

negeri nasionalis-pragmatis China itu. Berkali-kali presiden Hu Jintao mengelak dari 18 China bahkan dituding melakukan praktik neoimperialisme di Afrika lih. Peter Navarro, Letupan-Letupan Perang China Mendatang, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 95-110.

Page 9: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -9-

tudingan-tudingan negatif dengan mengeluarkan jargon-jargon seperti “Tanpa syarat

politik apa pun, murni kepentingan bisnis” hingga jargon “hexie shijie atau hexie

shehui (masyarakat dunia yang harmonis)”. Agen-agen pembangun ekonomi China

tersebar ke seluruh dunia, seringkali tanpa pandang bulu latar belakang mitra

bisnisnya. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan embel-embel seperti

“demokrasi” yang diusung AS selama ini. Semangat pragmatis China dalam mengejar

kekayaan dan kemuliaan (termasuk prestise di mata internasional) terpatri dalam-

dalam di hati rakyat China.

Sebenarnya, pengadopsian ideologi dan sistem yang serba baru ini sudah

tercermin dari tiga ujaran populer oleh Deng Xiaoping sejak dua dekade lalu, yaitu

“sosialisme tidak berarti kemiskinan, sosialisme justru melenyapkan kemiskinan”,

“tidak peduli kucing hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus”, dan “zhi fu

shi guangrong (menjadi kaya itu mulia)”. Dengan dasar-dasar fundamental itu, arah

politik domestik dan internasional China kemudian berubah total, khususnya setelah

tahun 1978. Dalam dinamikanya, di satu sisi pemerintah China tetap memegang

kontrol makro (hongguan tiaokong) dan membangun kerja sama internasional dengan

siapa saja yang penting bagi national interest-nya, dan di satu sisi menghalalkan

(bahkan mendorong) praktik kapitalisme di negaranya.19

Contoh konkret lain dapat kita lihat ketika China merapatkan kerja sama

bilateral secara ekonomi dengan Taiwan. Tanggal 3 November 2008 akan dikenang

sebagai hari yang bersejarah bagi rakyat China dan Taiwan ketika Chen Yunlin dan

Ma Ying-jeou untuk kali pertama bertemu secara diplomatik setelah sejarah 60 tahun

yang kelam bagi hubungan bilateral kedua negara.20 Pada hari itu juga, China dan

Taiwan sepakat untuk tidak membicarakan isu politik, dan membuka kerja sama

ekonomi seperti penambahan jalur penerbangan reguler, layanan pos langsung,

penerbangan kargo langsung, isu keamanan produk pangan, hubungan perkapalan, dll.

Akan tetapi, pendekatan liberalis dalam konteks ini bukan tanpa kelemahan.

Pemerintah China adalah aktor negara/state actor yang sangat dominan dalam hampir

semua aspek. Bahkan semua perusahaan multinasional (mayoritas adalah BUMN)

yang menjadi ujung tombak dan agen pembangunan ekonomi bukan milik swasta

19 I. Wibowo, op.cit., terutama Bab III: China Sudah Berubah Menjadi Kapitalis? 20 Untuk kali pertama dalam sejarah moderen, para petinggi terkemuka China dan Taiwan bertemu, dan menandatangani perjanjian di bidang ekonomi, lih. http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/0313093357/china-taiwan.akhirnya.berunding

Page 10: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -10-

(dikendalikan secara ketat oleh negara).21 Pendekatan liberalis dalam teori rezim dan

cara memandang kesuksesan China hanya terletak pada kemampuannya untuk

menjelaskan indikator kepragmatisan China dalam memperjuangkan national

interest-nya, serta variabel penjelas dalam perspektif liberalis yang memecah otoritas

China menjadi beberapa unit yang dapat dipengaruhi pihak-pihak lain. Dalam

konteks kesejarahannya, ada tendensi bahwa China melawan kekuatan barat dengan

ala barat juga, sesuatu yang sudah lazim terjadi bahkan sejak sistem dinasti/kekaisaran

China tumbang.22

Apabila ditanyakan, apakah benar bahwa rezim itu (WTO) memengaruhi

otoritas China? Jawaban saya adalah iya. Tapi hingga sejauh mana? Perlu

digarisbawahi bahwa terdapat derajat kepentingan tertentu antara rezim internasional

dan state ini. Bagi China, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, WTO

hanya sebatas kendaraan yang memfasilitasi politik luar negeri dan national interest-

nya. China mungkin bersedia tunduk pada standar-standar yang ditetapkan WTO, tapi

China yang hingga saat ini dianggap tidak patuh penuh kepada WTO (uneven and

incomplete),23 ternyata memiliki ambisi sendiri untuk mengubah rezim WTO ‘dari

dalam’ sesuai dengan kepentingan China. China yang ditekan oleh anggota WTO lain,

terutama AS, tidak akan-akan terburu-buru ‘taat’ pada tekanan AS atau negara mana

pun. Bukan tidak mungkin, China yang kekuatan ekonominya semakin meraksasa dari

waktu ke waktu dapat merapatkan barisan negara-negara berkembang dalam

memengaruhi pembuatan pasal-pasal WTO yang selama ini selalu didikte oleh

negara-negara maju.24

Sedangkan bagi WTO yang dengan catatan didominasi oleh negara-negara

maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang), pertimbangan awal memasukkan China ke dalam

keanggotaan WTO adalah agar mereka dapat menikmati barang-barang ekspor China

yang sangat murah dan juga, potensi konsumen China yang jumlahnya masif itu akan

gencar membeli produk-produk impor. Para investor asing juga mengincar

21 China masih menerapkan sistem “dua kendali” dalam perusahaan-perusahaan yang berskala besar, maksudnya CEO perusahaan adalah juga sekaligus sebagai sekretaris PKC. Pembangunan ekonomi China juga didominasi oleh BUMN China. Penjelasan lebih mendalam lih. Yuan Wang dan Rob Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000), hlm. 86-87. 22 Kaum nasionalis China yang dipimpin Sun Yat-sen berhasil menumbangkan sistem monarki, dan diubah dengan sistem republik konstitusional (1911). 23 Untuk penjelasan lebih lanjut lih., “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2 Oktober 2003), hlm. 26-28. 24 I. Wibowo, op.cit., hlm. 76-78.

Page 11: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -11-

kemungkinan memproduksi produk-produk low-cost di dalam China yang dapat

diekspor dan dibuang ke pasar domestik. Dari segi politis, pemerintah asing memiliki

motif tersendiri atas keanggotaan China di WTO. Mereka berharap bahwa dengan

mengintegrasikan China ke dalam rezim perdagangan secara formal dan juga rezim

investasi, China akan duduk pada landasan yang sama sehingga aneka

pertikaian/persengketaan dapat diselesaikan dengan mudah. Kecuali itu, China akan

didorong untuk menjalankan sistem undang-undang ekonomi yang lebih transparan.

Amerika Serikat, secara khusus, berharap bahwa dengan integrasi China ke dalam

ekonomi dunia, China juga akan mengalami perubahan dalam sistem politiknya.

Keterbukaan ekonomi akan mendukung lahirnya demokrasi. Demikian kira-kira alur

argumen mereka.25

IV.II. Peran Kubu Reformis dalam Pembangunan China Moderen

Kaum reformis dalam Partai Komunis China memainkan peranan penting terkait

semangat kapitalisme China, dan pada akhirnya berujung ke proses integrasi China ke

masyarakat internasional.

Dalam sejarah China kontemporer, pionir terkemuka dari kubu reformis

adalah Deng Xiaoping (1904-1997). Deng sukses duduk di puncak panggung

kekuasaan China setelah berhasil meyakinkan Politibiro PKC sekaligus rakyat China

dengan agenda-agenda pembaharuannya, tapi tetap memegang dasar-dasar dan

pedoman komunisme-sosialisme. Meskipun hingga sekarang selalu timbul perdebatan

panas di antara para petinggi PKC dan para sinolog tentang keabsahan ideologi

komunis-sosialis China, contoh konkret seperti kendali ekonomi nasional makro

(hongguan taikong) yang masih digunakan China merupakan salah satu dari segelintir

warisan komunis-sosialis bagi China moderen.

25 Margaret M. Pearson, “China’s Integration into the International Trade and Invesment Regime”, dlm. Elizabeth Economy dan Michel Oksenberg (eds.), China Joins the World (New York: Council on Foreign Relations Press, 1999), hlm. 166.

Page 12: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -12-

Tabel 2 Evolusi Ideologi China 1978-2003 26

Periode Dasar ideologi dan dinamikanya

1978-1987 Komunisme

1987 Konggres XIII mengesahkan “sosialisme tahap awal”

1992 Konggres XIV mengesahkan “Teori Deng Xiaoping”

1993 Sidang pleno III, “ekonomi pasar sosialis”

1997 Konggres XV: “Sosialisme tahap awal” ditegaskan sekali lagi

1999 Amandemen Pasal 11, UUD 1982, mengakui hak milik swasta

Kubu reformis China yang diprakarsai Deng itu merupakan para pemikir dan

penggiat utama dari nafas baru China. Perjalanan kubu reformis dalam meyakinkan

Politbiro PKC dan rakyat China tidaklah mulus. Deng, misalnya, pernah mengalami

proses ‘pembelajaran kembali nilai-nilai komunis-sosialis’ (dikucilkan ke desa

pedalaman selama bertahun-tahun) karena dianggap terlalu ‘kapitalis’ oleh ketua Mao

(Mao Zedong). Setelah Mao mangkat, Deng kembali ke jajaran PKC, dan berhasil

mengubah pendirian Partai dengan dalil-dalil yang dikembangkan oleh Mao

sebelumnya.27

Berangkat dari dasar pembangunan ekonomi, para reformis China kemudian

secara bertahap ‘memodifikasi’ dasar ideologis negara, Deng meletakkan landasan

bagi pembangunan China moderen. Ini dapat dilihat dari tabel tentang ringkasan

evolusi sistem ekonomi China yang terkenal itu:

Tabel 3

Evolusi Sistem Ekonomi China

Periode Sistem Ekonomi

1978-1979 Ekonomi terencana 1979-1984 Ekonomi terencana didampingi dengan regulasi pasar 1984-1987 Ekonomi komoditas terencana 1987-1989 Ekonomi di mana negara mengatur pasar dan pasar mengatur perusahaan 1989-1991 Ekonomi dengan integrasi organis antara ekonomi terencana dan regulasi pasar

1992 Ekonomi pasar sosialis dengan ciri khas China 1994 Reformasi di bidang hak milik (property rights)

Sumber: Fan Gang, “Reform and Development: the Dual-Transformation of China,” dlm. Pamela C.M. Mar dan Frank-Jurgen Richter, China: Enabling A New Era of Changes (Singapore: John Wiley&Sons, 2003), hlm. 37.

26 Dikutip dari I. Wibowo, op.cit., hlm. 83. 27 Deng mendorong perubahan China dengan meminjam kata-kata ketua Mao, yakni “shi shi qiu shi” (mencari kebenaran dari fakta). Dalam konteks reformasi saat itu, Deng mendorong rakyat China dan para kader partai untuk mencari “kebenaran”, bukan mencari ideologi atau dogma-dogma partai semata.

Page 13: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -13-

Terkhusus mengenai keanggotaan China dalam rezim WTO, kubu reformis

yang beberapa tahun silam dipimpin mantan presiden Jiang Zemin (periode 1989-

2002) memakai “kartu WTO” untuk menekan kelompok lawan “konservatif”. Dengan

memakai tekanan dari luar, mereka berharap dapat mendorong diterapkannya

ekonomi pasar secara lebih konsisten di China.28

Setelah menelaah unit pemerintahan China, saya akan beranjak ke dalam

analisis isu. Para ideolog dan decision-maker PKC masa pascaDeng menyandarkan

diri pada teori pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi (economic

growth) yang sangat populer di seluruh dunia saat ini. Pemimpin China, termasuk

mantan PM Zhu Rongji (periode 1998-2003) terus-menerus menekankan

pertumbuhan ekonomi sebesar 7% sebagai patokan yang tidak boleh diubah-ubah. Ini

dikemas dalam sebuah konsep “xiao kang” yang tidak lain adalah konsep

pembangunan atas dasar pertumbuhan ekonomi. 29

Teori economic growth merupakan teori yang dikritik banyak pihak seperti

kaum sosialis dan environmentalist karena sifatnya yang sangat destruktif. Apa yang

membuat para petinggi China menganut jalan ini, dan terutama dalam konteks

makalah ini bergabung dengan WTO? Seperti yang dikemukakan I. Wibowo dalam

bukunya, pilihan China tersebut erat kaitannya dengan tren dunia kini, yaitu economic

legitimation. Kegagalan dan kesuksesan sebuah pemerintahan di mana-mana diukur

dengan berhasil-tidaknya pemerintah itu berhasil membawa kemakmuran material

kepada rakyatnya. Hanya pemerintah yang mampu memakmurkan rakyatnya yang

mendapatkan legitimasi. Hal ini tidak hanya berlaku di negara-negara maju (Eropa,

Jepang, AS), tetapi juga di negara-negara yang sedang berkembang (Thirld World

Countries). Pemerintah negara-negara dunia berusaha mati-matian mendatangkan

kemakmuran material kepada rakyatnya sebagai dasar legitimasinya.30 Dengan kata

lain, pendekatan liberalis dalam memahami developmental state ala China sudah tepat

tentang pentingnya isu ekonomi dalam pengkajian kepentingan nasional, di samping

peran isu keamanan strategis semata.

Hanya saja, pendekatan ini bukanlah tanpa celah atau kelemahan. Dengan

adanya krisis finansial global seperti sekarang, superstruktur teori Hubungan 28 I. Wibowo, op.cit., hlm. 74. 29 Hal ini ditegaskan lagi dalam Konggres Nasional Partai Komunis XVI, November 2002. Sebagai ikhtisar, lih. John Wong, “Xiao-kang: Deng Xiaoping’s Socio-economic Development Target for China,” dlm. Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17 (Maret 1998), hlm. 141-152. 30 Gabungan argumen pribadi I. Wibowo, op.cit., hlm. 167-170 dengan tema economic legitimation yang dibahas dalam Juergen Habermas, Legitimation Crisis (London: Heinemann, 1976).

Page 14: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -14-

Internasional (dalam hal ini pendekatan liberalis) sedang diuji keabsahannya.

Pendekatan liberalis yang sebagian besar diadopsi dan diaplikasikan melalui praktik

neoliberalisme menghadapi tantangan baru di mana segenap aktor yang terlibat di

dalamnya harus menyesuaikan koordinasi antara peran negara dan tentunya,

mekanisme pasar itu sendiri. Dalam konteks China, tidak tertutup kemungkinan

bahwa konsep “sosialisme yang bercirikan China” itu kemudian

dirombak/disesuaikan lagi. Rezim WTO pun sedang menghadapi tantangan baru.

Peran negara-negara berkembang dalam level rezim internasional semakin menguat.

Tidak cukup hanya negara-negara maju yang aktif berperan dan mendominasi

sistem.31

V. Kesuksesan Pemimpin Reformis China

Setelah lama terkungkung oleh ketakutan akan “bahaya kapitalisme” seperti yang

didoktrinkan oleh dalil-dalil komunisme-sosialisme, periode pasca gaige kaifang

membuat rakyat China menjelma menjadi rakyat yang mengejar kemuliaan dan

keagungan di semua lini, baik dalam lingkup domestiknya, maupun di kancah

internasional. Para decision-makers China yang didominasi kaum reformis, setali tiga

uang. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun seringkali menyimbolkan semangat

kapitalisme China. Salah satunya dengan masuk ke dalam WTO.

Keanggotaan China di WTO merupakan salah satu proses integrasi

internasionalisasi China yang bersejarah dan monumental, baik bagi masyarakat

internasional maupun rakyat China sendiri. Dinamika keanggotaan China dalam WTO

seringkali diwarnai oleh tekanan internasional (terutama AS) karena China belum

sepenuhnya tuntuk pada standar-standar WTO, dan China diyakini memiliki

ambisi/motif sendiri terkait keanggotaannya itu. Aspek-aspek tersebut tentu sangat

menarik untuk kita cermati. Saat ini China justru merengkuh globalisasi dengan

semangat kapitalismenya. Seperti yang ditandaskan I. Wibowo dalam bukunya,

budaya komunisme-sosialisme dengan segala ciri altruistiknya sudah hampir

terlupakan oleh rakyat China. Kini, semangat nasionalisme China dibangun atas dasar

31 Peran negara-negara berkembang dalam penanganan isu-isu internasional semakin signifikan dan krusial, salah satunya, lih. Kompas, 12 Oktober 2008, “Presiden Bush Akan Ajak G-20”, hlm. 1 dan 15, atau lih. Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Menghadapi Krisis’, hlm 1 dan 15.

Page 15: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -15-

lain yang sangat sensitif bagi mereka pada tahun-tahun silam, yakni mengejar

keagungan yang pada praktiknya adalah kapitalisme (terkontrol).32

Keadaan menjadi semakin kompleks akibat krisis finansial global yang terjadi

belakangan ini. “Washington Consensus” yang selama ini diusung Amerika Serikat

justru mengisyaratkan akan adaya koreksi atas mekanisme pasar kapitalis-liberal yang

selama ini berjalan ‘terlalu liberal’. Bagi kubu China yang masih menjalankan konsep

developmental state, ini adalah sinyal positif bagi keberhasilan kaum reformis China

dalam menjalankan agenda reformasinya.

32 I. Wibowo, op.cit., terutama bab V: “Kapitalisme atau Sosialisme” , hlm. 78-91.

Page 16: Peran Pemimpin Reformis China Dlm Keanggotaan China Di WTO

www.sinopaxsinica.blogspot.com

© Denis L. Toruan, November 2008 -16-

DAFTAR PUSTAKA

Bacaan Primer

Brahm, Laurence J. - (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press. (2002).

Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).

Far Eastern Economic Review. (Oktober 2003). Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insistpress.

(2005). Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17. (Maret 1998). Keohane, Robert. O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World

Political Economy. United Kingdom: Princeton University Press. (1985). Li, Cheng. China’s Leaders: The New Generation. Oxford: Rowman&Littlefield Pub.

(2001). Mar, Pamela C.M. dan Richter, Frank-Jurgen. China: Enabling A New Era of

Changes. Singapore: John Wiley&Sons. (2003). Panitchpakdi, Supachai dan Clifford, Mark L. China and the WTO. Singapura: John

Wiley&Sons. (2002). Pearson, Margareth M. China Joins the World. New York: Concil on Foreign

Relations Press. (1999). Viotti, Paul. R. dan Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism,

Pluralism, Globalism - 2nd ed. New York: Macmillan Publishing. (1993).

Bacaan Sekunder

Alwi, Hasan (pemimpin tim redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. (2002).

Fathers. Michael dan Cottrell, Robert. Pembantaian Tian’anmen – (terjemahan). Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. (1990).

Fishman, Ted C. China Inc. - (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2006). Griffiths, Martin dan Callaghan, Terry O’. IR: The Key Concepts. London&New York:

Routledge. (2002). Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta Elex Media

Komputindo. (2007). Moore, Mike. A World Without Walls: Freedom, Development, Free Trade and

Global Governance. Cambridge University Press. Cambridge: 2003. Navarro, Peter. Letupan-Letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta:

Elex Media Komputindo. (2008). Yuan, Wang dan Goodfellow, Rob dan Xin, Shengzhang. Menembus Pasar Cina –

(terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. (2000).

Pustaka Web http://www.kompas.com

http://www.wto.org

http://www.gov.cn.en