landasan teori infeksi cacing pada anak
DESCRIPTION
Landasan Teori Infeksi Cacing Pada AnakTRANSCRIPT
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Cacing
Infeksi cacing adalah penyakit yang ditularkan melalui makanan minuman atau
melalui kulit dimana tanah sebagai media penularannya yang disebabkan oleh cacing
gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichuria), dan cacing tambang
(Ancylostoma duodenale dan Necator americanus) (Jawetz et al, 1996). Infeksi cacingan
banyak terdapat pada ank usia sekolah dasar, yang didalam usus anak terdapat satu atau
beberapa jenis cacing yang merugikan pertumbuhan dan kecerdasan anak.
2.1.1. Infeksi Cacing yang ditularkan melalui tanah (Soil-Transmited Helminths)
a. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Manusia merupakan satu-satunya hospes cacing ini. Cacing jantan berukuran 10-30 cm,
sedangkan cacing betina 22-35 cm, pada stadium dewasa hidup di rongga usus halus,
cacing betina dapat bertelur sampai 100.000-200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang
dibuahi dan telur yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi
tumbuh menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini
bila tertelan manusia, akan menetas menjadi larva di usus halus,
b. Trichuris trichiura ( Cacing Cambuk )
Manusia adalah hospes utama cacing Trichuris trichiura. Cara infeksi adalah langsung,
tidak diperlukan hospes perantara. Bila telur yang telah berisi embrio tertelan manusia,
larva yang menjadi aktif akan keluar di usus halus masuk ke usus besar dan menjadi
dewasa dan menetap. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun di usus besar hospes. Telur
yang infektif bila tertelan manusia menetes menjadi larva di usus halus. Larva menembus
dinding usuu halus menuju pembuluh darah atau saluran limpa kemudian terbawa oleh
darah sampai ke jantung menuju paru-paru (Onggowaluyo, 2002)
Kelainan patologis yang disebabkan oleh cacing dewasa terutama terjadi karena
kerusakan mekanik di bagian mukosa usus dan respons alergi. Keadaan ini erat
hubungannya dengan jumlah cacing, lama infeksi, umur dan status kesehatan umum dari
hospes (penderita). Gejala yang ditimbulkan oleh cacing cambuk biasanya tanpa gejala
pada infeksi ringan. Pada infeksi menahun dapat menimbulkan anemia, diare, sakit perut,
mual dan berat badan turun (Onggowaluyo, 2002).
Penyebaran geografis T.trichuira sama A. lumbricoides sehingga seringkali kedua cacing
ini ditemukan bersama-sama dalam satu hospes. Frekuensinya di Indonesia tinggi,
terutama di daerah pedesaan, frekuensinya antara 30% - 90 %. Angka infeksi tertinggi
ditemukan pada anak–anak. Faktor terpenting dalam penyebaran trikuriasis adalah
kontaminasi tanah dengan tinja yang mengandung telur. Telur berkembang baik pada
tanah liat, lembab dan teduh (Onggowaluyo, 2002)
c. Ancylostoma Duodenale dan Necator Americanus (Cacing Tambang)
Cacing dewasa hidup di dalam usus halus manusia, Cacing melekat pada mukosa usus
dengan bagian mulutnya yang berkembang dengan baik. Infeksi pada manusia dapat
terjadi melalui penetrasi kulit oleh larva filariorm yang ada di tanah. Cacing betina
menghasilkan 9.000-10.000 butir telur sehari. Cacing betina mempunyai panjang sekitar
1 cm, cacing jantan kira-kira 0,8 cm, cacing dewasa berbentuk seperti hurup S atau C dan
di dalam mulutnya ada sepasang gigi. Daur hidup cacing tambang dimulai dari keluarnya
telur cacing bersama feses, setelah 1-1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi
larva rhabditiform. Dalam waktu sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform
yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan hidup 7-8 minggu di tanah. Setelah
menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-paru. Di paru-paru
menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan larynk. Dari larynk,
larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi
terjadi bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan
(Gandahusada dkk, 2004).
2.1.2. Dampak Infeksi Kecacingan pada Anak
Kecacingan jarang sekali menyebabkan kematian secara langsung, namun sangat
mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan
menyebabkan malnutrisi dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada anak-anak.
Infeksi cacing tambang (Ancylostoma duodenale dan Necator americanus)
mengakibatkan anemia defesiensi besi, sedangkan Trichuris trichiura menimbulkan
morbiditas yang tinggi (Soedarto, 1999).
Berbagai penelitian membuktikan bahwa sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak
dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam tubuh. Pada infeksi ringan akan
menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari kalori yang dicerna,
pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan oleh badan.
Infeksi Ascaris lumbricoides yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori
protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A (Hidayat, 2002).
Pada infeksi Trichuris trichiura berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan
dan anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan
hemoglobin 30% di bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi
Trichuris trichiura mampu menghisap darah sekitar 0,005 ml/hari/cacing (Gandahusada
dkk, 2004).
Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini
sudah dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah
0,2 ml per hari. Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah
secara perlahan dan dapat menyebabkan anemia berat (Gandahusada dkk, 2004).
2.1.3. Transmisi Telur Cacing ke Tubuh Manusia
Pencemaran tanah dengan tinja manusia merupakan penyebab transmisi telur
A.lumbricoides dan T.trichiura dari tanah kepada manusia melalui tangan dan kuku yang
tercemar telur cacing, lalu masuk kemulut melalui makanan (Mahfuddin, 1994).
Agustina (2000) mendapatkan bahwa ada hubungan yang erat antara tanah dan kuku yang
tercemar telur A.lumbricoides dan kejadian askariasis pada anak balita di Kecamatan
Paseh Jawa Barat.
Transmisi telur cacing, selain melalui tangan, ini dapat juga melalui makanan dan
minuman, terutama makanan jajanan yang tidak dikemas dan tidak tertutup rapat. Telur
cacing yang ada di tanah/debu akan sampai pada makanan tersebut, jika diterbangkan
oleh angin, atau dapat juga melalui lalat yang sebelumnya hinggap di tanah/selokan/air
limbah sehingga kaki-kakinya membawa telur cacing tersebut (Helmy, 2000).
Transmisi melalui sayuran yang dimakan mentah (tidak dimasak) dan proses
membersihkannya tidak sempurna juga dapat terjadi, terlebih jika sayuran tersebut diberi
pupuk dengan tinja segar. Di beberapa negara penggunaan tinja sebagai pupuk harus
diolah dahulu dengan bahan kimia tertentu berupa desinfestasi (Brown, 1979).
2.1.4. Pencegahan dan Pemberantasan Infeksi Kecacingan
Secara Nasional di Indonesia upaya pencegahan dan pemberantasan Infeksi Kecacingan
sudah dilakukan sejak tahun 1975 dengan kebijakan pemberantasan terbatas pada daerah
tertentu karena biaya yang tersedia terbatas. Pada Pelita V dan VI Program
pemberantasan penyakit kecacingan meningkat kembali karena pada periode ini lebih
memperhatikan pada peningkatan perkembangan dan kualitas hidup anak (Dirjen P2M &
PL, 1998). Pencegahan dan pemberantasan penyakit kecacingan pada umumnya adalah
dengan pemutusan rantai penularan, yang antara lain dilakukan dengan pengobatan
massal, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta pendidikan
kesehatan (Soedarto, 1991).Penyakit cacingan dapat terjadi sebagai berikut (Nadesul,
1997).
1. Biasakan mencuci tangan sebelum makan atau memegang makanan, gunakan
sabun dan bersihkan bagian kuku yang kotor.
2. Biasakan menggunting kuku secara teratur seminggu sekali.
3. Tidak membiasakan diri menggigit kuku jemari tangan atau menghisap jempol.
4. Tidak membiasakan bayi dan anak-anak bermain-main di tanah.
5. Tidak membuang kotoran di kebun, parit, sungai atau danau dan biasakan buang
kotoran di jamban.
6. Biasakan membasuh tangan dengan sabun sehabis dari jamban
7. Biasakan tidak jajan penganan yang tidak tertutup atau terpegang-pegang tangan.
8. Di wilayah yang banyak terjangkit penyakit kecacingan, periksakan diri ke
puskesmas terlebih ada tanda gejala kecacingan.
9. Segera mengobati penyakit cacing sampai tuntas
10. Penyakit cacing berasal dari telur cacing yang tertelan dan kurangnya kebersihan
diri dan lingkungan yang tidak baik.
11. Biasakan makan daging yang sudah benar-benar matang dan bukan yang mentah
atau setengah matang.
12. Biasakan berjalan kaki kemana-mana dengan memakai alas kaki.
13. Obat cacing hanya diberikan kepada orang yang benar-benar mengidap penyakit
kecacingan
14. Biasakan makan lalap mentah yang sudah dicuci dengan air bersih yang mengalir.
Penanggulangan infeksi cacing usus tidak mudah karena keterkaitan dengan masalah
lingkungan. Pemberian obat-obatan hanya bersifat mengobati tetapi tidak memutuskan
mata rantai penularan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan melalui
kegiatan terpadu yang mencakup pengobatan massal, penyuluhan kesehatan, peningkatan
status gizi, perbaikan sanitasi lingkungan dan hygiene perorangan serta partisipasi
masyarakat (Hadidjaja, 1994).
Menurut Sasongko (2007) kunci pemberantasan cacingan adalah memperbaiki higiene
dan sanitasi lingkungan. Misalnya, tidak menyiram jalanan dengan air got. Sebaiknya,
bilas sayur mentah dengan air mengalir atau mencelupkannya beberapa detik ke dalam air
mendidih. Juga tidak jajan di sembarang tempat, apalagi jajanan yang terbuka. Biasakan
pula mencuci tangan sebelum makan, bukan hanya sesudah makan. Dengan begitu, rantai
penularan cacingan bisa diputus.Pada saat bersamaan, anak-anak yang menderita
cacingan harus segera diobati. Namun, meski semua anak sudah minum obat cacing, tak
berarti masalah cacingan akan selesai saat itu juga. Pemberantasan kecacingan adalah
kerja gotong royong yang butuh waktu bertahun- tahun. Negara maju sepenti Jepang pun
pernah dibuat sibuk oleh ulah para cacing perut ini. Setelah kalah oleh Sekutu saat Perang
Dunia II, Jepang jatuh menjadi negara miskin. Karena miskin, masyarakat menggunakan
kotoran manusia sebagai pupuk pertanian. Akibatnya, penularan cacing menjadi tak
terkendali, sampai menyerang 80% penduduk
2.2. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Kecacingan.
Secara epidemiologi, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kecacingan, salah
satunya adalah faktor manusia (Soedarto, 1991) dijelaskan sebagai berikut :
2.2.1. Faktor Manusia
a) Hygiene Perorangan
Entjang (2001) usaha kesehatan pribadi (Hygiene perorangan) adalah upaya dari
seseorang untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatannya meliputi:
• Memelihara kebersihan
• Makanan yang sehat
• Cara hidup yang teratur
• Meningkatkan daya tahan tubuh dan kesehatan jasmani
• Menghindari terjadinya penyakit
• Meningkatkan taraf kecerdasan dan rohaniah
• Melengkapi rumah dengan fasilitas-fasilitas yang menjamin hidup sehat
• Pemeriksaan kesehatan
Onggowaluyo (2002) kuku yang terawat dan bersih juga merupakan cerminan
kepribadian seseorang, kuku yang panjang dan tidak terawat akan menjadi tempat
melekatnya berbagai kotoran yang mengandung berbagai bahan dan mikro organisme
diantaranya bakteri dan telur cacing. Penularan kecacingan diantaranya melalui tangan
yang kotor, kuku yang kotor yang kemungkinan terselip telur cacing akan
tertelan ketika makan, hal ini diperparah lagi apabila tidak terbiasa mencuci tangan
memakai sabun sebelum makan.
Hygiene perorangan sangat berhubungan dengan sanitasi lingkungan, artinya apabila
melakukan hygiene perorangan harus diikuti atau didukung oleh sanitasi lingkungan yang
baik, kaitan keduanya dapat dilihat misalnya pada saat mencuci tangan sebelum makan
dibutuhkan air bersih, yang harus memenuhi syarat kesehatan.
b) Konsep Perilaku.
Notoadmodjo (2005) mendefinisikan perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa
(berpendapat, berpikir, bersikap dan sebagainya) untuk memberikan respon terhadap
situasi diluar subjek tersebut. Respons ini dapat bersifat aktif (tindakan) dan dapat juga
bersifat pasif (tanpa tindakan). Bentuk operasional dari perilaku ini dapat dikelompokkan
menjadi 3 jenis, yaitu :
1. Perilaku dalam bentuk pengetahuan, yakni dengan mengetahui situasi dan
rangsangan dari luar.
2. Perilaku dalam bentuk sikap, yaitu tanggap bathin terhadap keadaan atau
rangsangan dari luar diri subjek atau lingkungan. Dengan demikian, berarti
lingkungan akan berperan membentuk perilaku manusia yang hidup didalamnya.
Lingkungan pertama adalah lingkungan alam yang bersifat fisik yang akan
mencetak perilaku manusia dengan sifat dan keadaan alam tersebut.
3. Perilaku dalam bentuk tindakan yang sudah konkrit yakni berupa action/perbuatan
terhadap situasi atau rangsangan dari luar.
Pada dasarnya perilaku dapat diamati melalui sikap dan tindakan. Namun demikian tidak
berarti bahwa bentuk dari perilaku itu hanya dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku
dapat juga bersifat konvensional, yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi dan
motivasi.
Bloom (1956), membedakan bentuk perilaku menjadi 3 macam yakni” cognitive, effective
dan psikomotor. Para ahli lain menyebutnya dengan pengetahuan (knowledge), sikap
(Attitude), dan tindakan (practice). Kihajar dewantoro menyebutkan dengan cipta, rasa
dan karsa atau perirasa dan peritindakan.
c) Pengetahuan
Menurut notoadmodjo (2003), Pengetahuan adalah hasil dari “tahu” dan ini terjadi setelah
seseorang melakukan pengindraan suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui
panca indera manusia yakni penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang.
Salah satu factor yang menyebabkan terjadinya penularan infeksi cacingan adalah
kurangnya pengetahuan tentang infeksi cacingan. Penelitian Wachidanijah (2002),
menunjukkan bahwa terdpat kecenderungan makin tinggi pengetahuan semakin baik
perilaku dalam hubungannya dengan penyakit kecacingan.
d) Sikap
Sikap adalah reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus
atau objek (Notoatmodjo, 2003). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa sikap adalah
tanggapan atau persepsi seseorang terhadap apa yang diketahuinya. Jadi sikap tidak dapat
dilihat langsung secara nyata tetapi hanya dapat ditafsirkan sebagai perilaku yang
tertutup. Menurut Allport (1954), seperti yang dikutip dari Notoadmodjo (2003),
menjelaskan bahwa sikap terdiri dari 3 komponen pokok yaitu :
1. Kepercayaan (keyakinan, ide dan konsep terhadap suatu objek)
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emocional terhadap statu objek
3. kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (Total Attitude).
Dalam penentuan sikap yang utuh ini kemampuan berfikir, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting. Decicion Theory (Janis, 1985, dikutip dari Bart, 1994),
menganggap bahwa pasien sebgai seorang pengambil keputusan. Hal ini juga tercermin
dalam Conflict Theory dari Janin dan Mann (1997) yang dikutip dari Bart (1994), bahwa
pasienlah yang harus memutuskan apakah mereka akan melakukan suatu tindakan medis.
e) Tindakan
Tindakan adalah realisasi dari pengetahuan dan sikap menjadi satu perbuatan nyata.
Tindakan juga merupakan respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk nyata atau
terbuka (Notoadmodjo, 2003). Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek (practice) yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat
oleh orang lain oleh karena itu disebut juga Over behaviour.
Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (mahluk
hidup) yang bersangkutan. Oleh sebab itu dari sudut pandang biologis semua mahluk
hidup mulai dari tumbuh-tumbuhan, binatang sampai dengan manusia itu berperilaku,
karena mereka mempunyai aktivitas masing-masing. Dan yang dimaksud dengan perilaku
pada hakikatbya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
bentangan sangat luas antara lain berbicara, menangis, tertawa, bekerja, menulis,
membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat diamati
langsung, maupun yang tidak dapat diamati olah pihak luar.(Notoatmodjo, 2003).
Perilaku sehat pada dasarnya adalah respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan
dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan
(Notoatmodjo, 2003). Sebagai contoh perilaku yang berkaitan dengan lingkungan
misalnya perilaku seseorang berhubugan dengan pembuangan air kotor yang menyangkut
segi-segi hygiene, pemeliharaan teknik dan penggunaannya. Wachidanijah (2002)
menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan makin tinggi pengetahuan seseorang
semakin baik perilaku dalam hubungan dengan penyakit kecacingan. Perilaku masyarakat
untuk buang air besar di sembarang tempat dan kebiasaan tidak memakai alas kaki
mempunyai intensitas infeksi cacing tambang pada penduduk di Desa Jagapati Bali,
dengan pola transmisi infeksi cacing tersebut pada umumnya terjadi disekitar rumah
(Bakta, 1995).
Kebiasaan buang air besar di sungai secara menetap ternyata menyebabkan tinggi infeksi
oleh ”Soil-Transmited Helminths” pada masyarakat.
f) Perilaku Kesehatan
Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah respon seseorang (organisme) terhadap stimulus
yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan dan
minuman serta lingkungan, atau reaksi manusia baik bersifat pasif maupun bersifat aktif.
Dengan demikian perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok :
1. Perilaku Pemeliharaan Kesehatan (Health Maintenance) ini terdiri dari 3 aspek
• Perilaku peningkatan dan pemeliharaan kesehatan (Health promotion Behavior)
• Perilaku pencegahan dan penyembuhan penyakit (Health prevention behavior)
• Perilaku terhadap gizi makanan dan minuman (Health nutrion behavior)
2. Perilaku pencarian pengobatan (Health seeking behavior)
3. Perilaku terhadap lingkungan kesehatan (Enviromental health behavior).
LANDASAN TEORI
Infeksi kecacingan adalah infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah, terutama
disebabkan oleh infeksi Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma
duodenale, dan Necator americanus. Infeksi dapat terjadi dimana saja dan kapan saja,
terutama di negara berkembang dan beriklim tropis, serta kondisi sanitasi yang buruk dan
kepadatan penduduk. Infeksi terjadi pada saat anak menelan telur melalui
makanan/minuman/tangan, atau masuk melalui kulit. Intensitas infeksi dapat bersifat
ringan, sedang, maupun berat.
Banyak faktor yang berperan terhadap terjadinya infeksi dan intensitas infeksi, antara lain
faktor geografis suatu wilayah, faktor genetik, dan faktor demografi. Faktor pengetahuan
yang tercermin melalui perilaku, dan faktor ada tidaknya interfensi yang telah dilakukan
dalam bentuk pendidikan kesehatan,
khususnya berkaitan dengan mekanisme penularan dan penyebaran infeksi cacing,
maupun interfensi dalam bentuk pengobatan turut berperan terhadap prevalensi dan
intensitas infeksi. Kurangnya perhatian terhadap infeksi cacing, karena sangat jarang
menimbulkan kematian juga menjadi salah satu faktor yang berkaitan dengan
meningkatnya prevalensi infeksi.
Anak usia sekolah dasar memiliki risiko terbesar untuk terinfeksi. Infeksi cacing
memiliki dampak yang cukup signifikan di dalam mengganggu pertumbuhan dan
perkembangan seorang anak. Seorang anak dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi
sehat dan bebas dari penyakit. Seorang anak yang merupakan aset masa depan suatu
bangsa akan mengalami pertumbuhan yang terputus akibat mekanisme gangguan yang
ditimbulkan oleh cacing yang tersembunyi di dalam tubuhnya.
DAFTAR PUSTAKA
Brown 1983. Dasar Parasitologi Klinis. Penerjemah Rukmono, Jakarta
Entjang I 2001. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Citra Aditya Bakti: Bandung
FKUI, 2010. Parasitologi Kedokteran, Jakarta.
Nadesul H. 1997. Bagaimana Kalau Kecacingan, Puspa Swara: Jakarta
Notoatmodjo S. 1993. Pengantar Pendidikan dan Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Andi Offset: Yogyakarta.
Onggowaluyo J.S. 2002. Parasitologi Medik I (Helmintologi). EGC: Jakarta
Sasongko. A. 2007. Kuncinya Hidup Bersih. http://www.Depkes.go.id, diakses 16
Juni 2013
Soedarto. 1991. Helmintologi Kedokteran, EGC: Jakarta