landasan teori dari peltier
DESCRIPTION
Materi Perpindahan Kalor MassaTRANSCRIPT
BAB II
DASAR TEORI
II.1 Sistem pendinginan termoelektrik
Prinsip-prinsip fisik yang melandasi teknologi pendingin termoelektrik
(thermoelectric cooler) modern sebenarnya telah dimulai sejak awal tahun 1800-an,
meskipun modul termoelektrik komersial belum tersedia hingga tahun 1960. Penemuan
penting pertama yang berkaitan dengan termoelektrisitas terjadi pada tahun 1821 ketika
seorang ilmuwan Jerman bernama Thomas Seebeck menemukan bahwa arus listrik akan
mengalir secara terus menerus dalam suatu rangkaian tertutup yang terbuat dari dua
material berbeda asalkan sambungan-sambungan, dari logam-logam tersebut dijaga pada
dua temperatur yang berbeda seperti pada gambar II.3.[2]
Sebenarnya Seebeck sendiri tidak memahami dasar ilmiah untuk penemuannya
tersebut, meski demikian, secara salah ia berasumsi bahwa aliran kalor yang dihasilkan
sama halnya sebagaimana aliran arus listrik. Pada tahun 1834, seorang
pembuat jam dan fisikawan paruh waktu bernama Jean Peltier ketika menyelidiki “Efek
Seebeck”, menemukan bahwa ada suatu fenomena kebalikan di mana energi termal dapat
diserap pada satu sambungan logam berbeda dan melepasnya pada sambungan lainnya
ketika suatu arus listrik dialirkan dalam rangkaian tertutup seperti pada gambar II.4. Dua
puluh tahun kemudian, William Thomson (lebih dikenal dengan Lord Kelvin)
memberikan suatu penjelasan lengkap dari Efek Seebeck dan Efek Peltier serta
menggambarkan hubungan timbal balik keduanya. Saat itu, fenomena-fenomena tersebut
masih dipertimbangkan pada tingkat keingintahuan laboratorium belaka dan tanpa
aplikasi praktis.[2]
Semenjak sistem pendinginan thermoelektrik dikembangkan, sering dibandingkan
dengan sistem pendinginan convensional, mungkin cara yang terbaik untuk menunjukan
kesamaan methode refrigrasi adalah cara menggambarkan dan membandingkan
keduanya. Pada sistem pendinginan konvensional mengandung empat bagian
fundamental yaitu evaporator, kompresor, condenser, dan katup expansi. Di evaporator
atau bagian penyerap panas, disini refrigran berubah bentuk dari cair ke gas, terjadi
penyerapan panas dari lingkungan sekitar evaporator. Kompresor berperan memompa
dan mengkompresi refrigran, lalu dialirkan ke kondenser. Pada kondenser menerima gas
yang terkompresi dan melepaskan panas pada refrigran ke sekitar pada ambien
temperatur, kemudian refrigran ini melalui katup expansi dipaksakan menjadi cair
kembali dan dialirkan ke evaporator kembali.[3]
Pada sistem thermoelektrik mempunyai kesamaan alur penyerapan dan
pembuangan panas yaitu di sambungan dingin (cold junction) panas diserap oleh elektron
yang dilewati dari tingkat energi yang lebih rendah pada type-p semikonduktor ke tingkat
energi yang lebih tinggi yaitu tipe-n semikonduktor. Penyuplay daya dengan tegangan
DC menyediakan energi untuk menggerakan elektron melalui sistem ini. Pada
sambungan panas, energi dilepaskan ke lingkungan dengan cara elektron mengalir dari
tingkat energi yang lebih tinggi (tipe-n) ke tingkat energi yang lebih rendah (tipe-p). Inti
aliran panas yang terjadi pada sistem ini adalah perbedaan elemen pada tipe p dan n.
Gambar II.1
Sistem pendinginan peltier
Gambar II.2
Tampak 3D modul TEC
II.2 Efek –efek pada thermoelektrik
Pada rangkaian termoelektrik terdapat tiga macam gaya gerak listrik (ggl, emf =
electro motive force), yaitu ggl Seebeck, yang disebabkan oleh dua material logam yang
berbeda, ggl Peltier yang disebabkan arus yang mengalir di dalam rangkaian, serta ggl
Thomson yang disebabkan oleh adanya gradien temperatur pada material.
II.2.1 Efek seebeck
Konduktor pada termokopel merupakan dua material berbeda ditunjuki sebagai
material X dan material Y pada gambar II.3. Dalam penerapan pengukuran temperatur,
termokopel A digunakan sebagai referensi dan dijaga pada suatu temperatur dingin
relatif, Tc. Termokopel B digunakan untuk mengukur titik yang ingin diketahui
temperaturnya (Th), yang dalam contoh ini, lebih tinggi dari temperatur Tc. Dengan kalor
yang diaplikasikan pada termokopel B, tegangan akan mengalir melewati terminal T1 dan
T2. Tegangan ini (V0), yang dikenal sebagai emf Seebeck, dapat dinyatakan sebagai
Material X Panas yang diberikan
Tc Th
A Material Y Material Y B
T1<T2
∆E
T1 T2
Gambar II.3
Efek Seebeck
V0 = αXY (Th,-Tc) (II.1)
Di mana :
V0 = Tegangan keluaran (Volt)
αXY = Koefisien Seebeck antara dua material, X dan Y, (Volt/K)
Th, Tc = Temperatur termokopel panas dan dingin (K)
Ditemukan oleh seorang ahli ilmu alam Jerman bernama Thomas J. Seebeck
tahun 1923, efek ini menjelaskan bahwa jika suatu rangkaian listrik tertutup, yang terdiri
dari dua kawat logam yang berbeda jenis materialnya, maka akan terdapat dua
sambungan A dan B, dan bila kita memberikan perbedaan temperatur yang konstan pada
kedua ujungnya, maka akan mengalir arus listrik searah pada kedua kawat logam tersebut
dan ketika diputuskan salah satu kawatnya dan diberi sebuah galvanometer, maka akan
dapat dilihat perbedaan tegangan dari kedua ujung tersebut. Sehingga dengan demikian
dapat dikatakan bahwa perbedaan temperatur dapat mengakibatkan perbedaan tegangan
atau akan menghasilkan gaya gerak listik. [2]
Sedangkan nilai beda potensial yang dihasilkan adalah sebanding dengan
perbedaan temperatur yang terjadi atau dapat ditulis dalam sebuah persamaan, yang
dikenal dengan persamaan Seebeck.
Tabel II.1 Seebeck koefisien material
Sumberhttp://www.efunda.com/designstandards/sensors/thermocouples/thmcple_theory.cfm
Nilai koefisien Seebeck tergantung dari jenis material yang digunakan, dan
biasanya bernilai positif atau negatif. Dengan +/-, maka aliran arus akan mengalir dari T1
ke T2 atau sebaliknya.
Koefisien Seebeck (thermoelectric sensitivities) beberapa material umum pada 0 °C (32
°F) tercantum dalam tabel II.1
Tabel II.1 mengungkapkan beberapa kemungkinan pasangan kawat. Sebagai
contoh, besi atau tembaga dapat diletakkan pada terminal positif manakala konstantan
digunakan untuk terminal negatif dari rangkaian termokopel (termokopel jenis J dan T).
II.2.2 Efek Peltier
Jika rangkaian termokopel tersebut dimodifikasi untuk memperoleh konfigurasi
sebagaimana terlihat pada gambar II.4, maka akan diperoleh suatu fenomena sebaliknya
yang dikenal dengan Efek Peltier. Dari gambar tersebut maka dapat dikatakan bahwa dari
perbedaan tegangan, akan menghasilkan perbedaan temperatur. Perbedaan temperatur
yang dihasilkan sebanding dengan jumlah arus searah yang dialirkan sehingga nantinya
ada sambungan yang akan menyerap kalor dan ada sambungan yang melepaskan kalor.
Tc Th
Qc Qh
A B
T1<T2 T1 T2
+ -
DC
Gambar II.4
Efek Peltier
Dari jumlah aliran arus yang diberikan ke rangkaian, maka dapat diketahui jumlah kalor
yang diserap maupun yang dilepaskan pada kedua sambungan yang dapat ditulis sebagai
berikut.
(II.2)
di mana :
πXY = Koefisien Peltier antara dua material,
X dan Y (Volt) I = Arus listrik yang mengalir (Ampere)
Qc, Qh = Tingkat pendinginan atau pemanasan (Watt)
Yang perlu diperhatikan dari kedua efek tersebut adalah bahwa keduanya bersifat
reversibel, artinya jika proses tersebut terbalik, maka panas dan dinginnya akan bertukar
tempat pada ujung-ujung sambungan.
II.2.3 Efek Thomson
Ketika suatu arus listrik dilewatkan melalui suatu konduktor yang memiliki
gradien temperatur melebihi panjangnya, kalor hanya akan diserap oleh konduktor atau
dilepaskan dari konduktor (hanya salah satu, diserap atau dilepas, tidak keduanya).
Apakah kalor diserap atau dilepaskan tergantung pada arah arus listrik dan gradien
temperatur. Karena efek ini ditemukan oleh William Thomson (Lord Kelvin) dari Inggris
pada tahun 1857 sehingga fenomena ini dikenal dengan Efek Thomson. Efek ini
digunakan untuk menganalisa kalor yang dilepas atau yang diserap oleh seluruh
permukaan modul termoelektrik.[2] Sedangkan nilai kalor yang dilepas atau diserap
tersebut untuk setiap satuan panjangnya adalah :
(II.3)
di mana :
Qτ = Jumlah kalor yang diserap atau dilepaskan persatuan panjang (W/m)
τ = Koefisien Thomson (Volt/K)
I = Arus listrik yang mengalir (A)
II.3 Parameter termal
Didalam perencanaan pendinginan menggunakan termoelektrik terdapat tiga
parameter yang perlu diperhatikan yaitu:
Tc = Temperatur permukaan sisi dingin modul (oC)
Th = Temperatur permukaan sisi panas modul (oC)
Qc = Beban panas yang diserap pada sisi dingin modul (Watt)
Temperatur pendinginan bisa terjadi dua hal, pertama letak beban pendinginan
kontak langsung dengan sisi dingin elemen pendingin, maka Tc pada element pendingin
ini sama dengan beban. Kedua letak beban pendinginan tidak kontak langsung dengan
sisi dingin element pendingin, maka Tc pada sisi element pendingin lebih dingin dari
beban pendinginan.
Temperatur sisi panas yang diinginkan sebenarnya adalah mendekati temperatur
ambien, sehingga tidak diperlukan usaha tambahan dalam melakukan pembuangan panas
pada sisi panas elemen ini kelingkungan. Dua faktor penentu adalah: temperatur ambien
lingkungan, dan efisiensi heat exchanger yang digunakan.Untuk memberi gambaran
umum pencapaian ∆T (Th - Tc) selalu mendekati konstan untuk lebih jelasnya lihat
gambar II.5. Jika Th semakin rendah maka Tc semakin dingin , bila Th semakin tinggi
maka
Tc tidak terlalu dingin, gambar dibawah ini tentang profil temperatur sistem termoelektrik
Gambar II.5
Profil temperatur modul TEC
Temperatur sisi panas (Th) dapat ditentukan dengan persamaan-persamaan berikut
ini;
Th = Tamb + θQhQ (II.4)
Qh = Qc + P in (II.5)
dimana:
Tamb = Temperatur ambient lingkungan (oC)
Θ = Tahanantermal heat exchanger (oC/ Watt)
Qh = Panas yang dilepaskan pada sisi panas modul (Watt)
Pin = Daya listrik yang diberikan kepada modul (Watt)
Tahanan termal pada pelepas panas menentukan nilai kenaikan temperatur sisi
panas diatas temperatur ambien. Jika nilai tahanan termal pelepas panas tidak diketahui
maka aturan untuk memperkirakan kenaikan temperatur diatas ambien adalah;
Konvesi bebas
Konveksi paksa
Heat exchanger cair
Ada dua kategori beban kalor yang harus dipertimbangkan dalam perancangan
sistem termoelektrik, yaitu;
1. Beban aktif; beban panas perangkat elektronik dari modul (I2R)
2. Beban pasif; Panas konduksi, konveksi, radiasi.
II.4 Beban Kalor
Terdapat dua komponen beban termal dalam sistem termoelektrik yaitu beban
kalor aktif dan beban kalor pasif, bahkan bisa juga merupakan kombinasi keduanya.
Beban kalor aktif adalah kalor yang dilepas oleh peralatan yang didinginkan, secara
umum sama juga dengan daya masukan untuk peralatan. Beban kalor pasif bersifat
parasit alami yang dapat berupa radiasi, konveksi atau konduksi.
II.4. 1 Beban Kalor Aktif
Beban kalor aktif diketahui sewaktu-waktu bagian dari beban benar-benar
menghasilkan kalor. Contohnya terdapat pada rangkaian elektrik tertutup, pada rangkaian
tersebut akan melepaskan sejumlah daya berdasarkan kebutuhan tegangan dan arusnya.
Banyak aplikasi dari thermoelectric yang tidak memiliki beban kalor aktif (seperti
pendingin makanan dan minuman) dan istilah ini sepenuhnya dapat diabaikan dalam
kasus-kasus ini. Persamaan umum untuk pelepasan daya beban kalor aktif adalah :
(II.6)
di mana :
Qaktif = Beban kalor aktif (watt)
V = Tegangan yang digunakan terhadap peralatan yang didinginkan (volt)
R = Tahanan peralatan (ohm)
I = Arus yang melewati peralatan (amp)
II.4.2 Beban Kalor Pasif
Hampir semua sistem termoelektrik harus diatasi oleh bagian beban kalor pasif.
Untuk mempertahankan beda temperatur antara beban termal dan lingkungan ambien,
sejumlah energi tertentu harus dipindahkan secara berkesinambungan ke dalam (untuk
pemanasan) atau ke luar (untuk pendinginan) beban. Tingkat saat energi ini digerakkan
(biasanya diungkapkan dalam Watt), dinamakan beban pasif. Beban kalor pasif
merupakan modus perpindahan kalor dari/menuju modul termoelektrik yang meliputi
perpindahan kalor konduksi atau hantaran, konveksi, dan radiasi atau sinaran.
II.4.2.1 Perpindahan secara konduksi
Perpindahan panas secara konduksi adalah perpindahan panas yang terjadi pada
benda yang stationer (diam). Perpindahan panas didalam partikel yang tidak bergerak
dengan cara partikel yang kekurangan energi menerima energi dari partikel yang
memiliki energi lebih tinggi. Laju perpindahan energi dinyatakan dalam persamaan
fourier berikut ini:
(W/m2) (II.7)
Persamaan diatas untuk menunjukan perubahan persatuan luas (m2), besar
perpindahan panas yang terjadi di suatu luasan tertentu adalah:
(II.8)
Masalah timbul jika benda disusun berlapis, maka pendekatan yang digunakan
adalah sistem resistan pada listrik. Untuk itu kita cari hambatan konduksi dari suatu
material padatan menjadi:
(II.9)
II.4.2.2 Perpindahan secara konveksi
Perpindahan kalor konveksi perpindahan panas yang disertai pergerakan partikel
baik secara acak maupun teratur. Perpindahan panas secara konveksi dapat dinyatakan
dengan persamaan sebagai berikut;
(II.10)
di mana:
qconv = Perpindahan kalor konveksi (Watt)
h = Koefisien perpindahan kalor konveksi (W/m2 . OC)
A = Luas permukaan (m2)
Tair = Temperatur udara sekitar (OC)
Tc = Temperatur permukaan yang dingin (OC)
II.5 Daya Listrik yang Dibutuhkan
Daya listrik yang dibutuhkan untuk proses pendinginan pada vaccine carier
adalah:
QL = V x I x t (II.11)
dimana:
QL = Daya listik (Watt)
V = Teganganlistrik (Volt)
I = Arus listrik (Ampere)
t = Waktu (Jam)
II.6 Daya kerja Modul termoelektrik
Gambar II.7
Susunan N-P modul TEC
Perkembangan termokopel saat ini sangatlah pesat, Bahan semikonduktor yang
digunakan pada termokopel di elemen peltier untuk tipe’ n’ dan ‘p’ adalah bismuth
telluride seperti yang terlihat pada gambar II.7. Termokopel – termokopel ini disusun seri
secara kelistrikan dan disusun secara paralel secara termal.
Gambar II.8
Skema penampang sambungan
Kinerja suatu modul termoelektrik secara sederhana dinyatakan dalam bentuk
skema pada gambar II.8 dan perhitungannya melalui persamaan-persamaan dibawah ini;
Panas yang dipompa pada permukaan dingin (watts);
QC=2N[ I TC – I2 /2G – ∆TG] (II.12)
Tegangan listrik (volts);
V =2N[I /G + ∆T] (II.13)
Arus maksimum (amps);
I max= ( G / )[ ] (II.14)
Arus listrik optimum (amps);
I opt= ∆TG(1+ )/( ) (II.15)
COP Optimum pada I opt;
COPopt =( /∆T) -1/2 (II.16)
COP terhadap Pin ;
COP = QC / Pin
Maximum ∆T, dengan QC = 0(oC or K);
∆T max = Th -[ ]/Z (II.17)
dimana:
Th = Temperatur sisi panas (Kelvin)
Tc = Temperatur sisi dingin (Kelvin)
∆T = Th - Tc (Kelvin)
= ( Th - Tc)/2 (Kelvin)
G = A/L (Kelvin)
N = Jumlah juntion pada modul
I = Arus (Ampere)
COP = Koefisien Performance (QC /QL)
= Koefisien Seebek (Volt/Kelvin)
= Resistivity (ohm.cm)
= Termal Konduktivity (watt/(cm.Kelvin))
Z = Bilangan Merit ( 2/( ) (K-1)
Pin = Input Daya
Tabel II.2 Material parameter (Modul termoelectrik melcor)
(K) (10-4V/K) (103ohm.cm) (103W/cm.K)
Z
(10-31/K)
225 1.70 0.68 1.87 223
250 1.84 0.80 1.77 2.38
273 1.94 0.92 1.61 2.54
300 2.02 0.10 1.51 2.68
325 2.07 1.16 1.53 2.44
350 2.10 1.28 1.55 2.22
375 2.00 1.37 1.58 1.88
400 1.96 1.48 1.63 1.59
425 1.90 1.58 1.73 1.32
450 1.85 1.68 1.88 1.06
475 1.85 1.76 2.09 0.87
II.7 Modul Sistem Bertingkat
Sistem bertingkat pada modul termoelektrik digunakan hanya jika modul tunggal
tidak bisa mencapai perbedaan temperatur yang diinginkan. Alasan lain adalah
kemampuan modul memompa panas dari beban, Namun hal yang terpenting adalah
dengan penambahan modul maka biaya yang dibutuhkan akan semakin besar pula.
Gambar II.9
Modul sistem bertingkat
Kemampuan memompa panas dari beban pada sistem bertingkat dapat
ditingkatkan tergantung pada jumlah tingkat modul. Semakin banyak tingkat maka
semakin panjang range antara Th dengan Tc kemudian semakin panjang range ini, maka
range penyerapan dari modul akan semakin panjang pula. Gambar ini menunjukan
hubungan antara banyaknya tingkat dan range temperatur serta COP maksimum yang
diraih
Gambar II.10
Grafik Pengujian COP sistem bertingkat
Dalam merangkai modul bertingkat ada beberapa macam bentuk, tetapi yang
paling banyak beredar adalah sistem piramid dan sistem paralel
(a) (b)
Gambar II.11
(a) Sistem bertingkat paralel, (b) Sistem bertingkat piramid
Pada gambar diatas terlihat untuk model piramid kita harus membeli jadi,
sedangkan untuk model paralel kita dapat memodifikasinya dari single peltier. Pada
sistem bertingkat cara yang dilakukan dalam pemasangannya adalah dengan
menghubungkan hambatan secara seri tetapi pemasangannya secara paralel.