lampiran 1 : surat ijin wawancara tugas akhir · selamat dari peristiwa bom bisa jadi phobia pada...
TRANSCRIPT
106 Universitas Kristen Petra
Lampiran 1 : Surat Ijin Wawancara Tugas Akhir
107 Universitas Kristen Petra
Lampiran 2 : Berita Acara Sidang Proposal
108 Universitas Kristen Petra
Lampiran 2 : Berita Acara Sidang Proposal (sambungan)
109 Universitas Kristen Petra
Lampiran 2 : Berita Acara Sidang Proposal (sambungan)
110 Universitas Kristen Petra
Lampiran 2 : Berita Acara Sidang Proposal (sambungan)
111 Universitas Kristen Petra
Lampiran 3 : Berita Acara Sidang Tengah
112 Universitas Kristen Petra
Lampiran 3 : Berita Acara Sidang Tengah (sambungan)
113 Universitas Kristen Petra
Lampiran 3 : Berita Acara Sidang Tengah (sambungan)
114 Universitas Kristen Petra
Lampiran 3 : Berita Acara Sidang Tengah (sambungan)
115 Universitas Kristen Petra
Lampiran 4 : Berita Acara Bimbingan Tugas Akhir
116 Universitas Kristen Petra
Lampiran 4 : Berita Acara Bimbingan Tugas Akhir (sambungan)
117 Universitas Kristen Petra
Lampiran 5 : Form Kelengkapan Karya
118 Universitas Kristen Petra
Lampiran 6 : Form Kelayakan Megikuti Sidang Akhir
119 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
Wawancara dilakukan via email, pada 6 Maret 2019
Daftar Pertanyaaan :
1. Apa pengertian phobia hewan (Zoophobia) menurut bapak?
2. Dari pengalaman bapak, apa penyebab Zoophobia?
3. Apakah ada faktor tertentu yang membuat satu orang lebih rentan menderita
Zoophobia daripada orang lainnya? Jika ada tolong dijelaskan, Pak.
4. Bagaimana gejala/ ciri-ciri orang yang menderita Zoophobia?
5. Sepengetahuan saya, Zoophobia umumnya muncul karena trauma yang
berhubungan dengan hewan di masa kecil. Pada usia berapakah biasanya
trauma berpotensi untuk berkembang menjadi phobia dan mengapa demikian?
6. Apakah ada skala tertentu untuk mengukur tingkat keparahan phobia yang
diderita seseorang? Jika ada tolong dijelaskan, Pak.
7. Ada penderita Zoophobia yang takut ketika bertemu hewan secara langsung,
tapi ada juga yang takut meski hanya melihat gambar hewannya saja. Dari 2
tipe ini, tipe penderita yang manakah yang lebih sering bapak temui?
8. Apa dampak yang akan muncul jika Zoophobia dibiarkan begitu saja dan tidak
ditangani?
9. Apa saja bentuk terapi yang bisa diberikan untuk penderita Zoophobia? Dari
beberapa bentuk terapi itu, manakah yang menurut pengalaman bapak paling
efektif?
10. Apakah mungkin Zoophobia disembuhkan tanpa bantuan psikolog maupun
psikiater? Jika iya, bagaimana caranya?
11. Menurut pengalaman bapak, bagaimana kondisi penderita phobia di
Indonesia? Apakah sudah mendapat cukup dukungan dari masyarakat, atau
justru mendapat stigma?
12. Bolehkah bapak menceritakan 2 atau 3 kasus Zoophobia yang pernah bapak
temui? Jika memungkinkan yang berbeda-beda tingkat keparahannya.
(Nama pasiennya disamarkan saja tidak apa, Pak. Tapi kalau bisa saya ingin
tahu usianya)
120 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
Jawaban :
1. Phobia itu perasaan takut yang berlebihan dan tidak wajar pada suatu situasi,
objek, suasana, atau perasaan tertentu, hingga mengganggu kegiatan
penderitanya. Kalau Zoophobia ini sendiri adalah kategori dalam
pengelompokkan phobia yang berarti rasa takut tidak wajar pada hewan.
Hewan yang jadi objek Zoophobia bukan hewan yang berbahaya. Kalau
hewannya berbahaya, maka rasa takut itu wajar dan bukan termasuk phobia.
2. Pada umumnya penyebab phobia (termasuk Zoophobia) itu ada 3.
Yang pertama dan paling sering yaitu karena trauma. Biasanya jika
mengalami sebuah pengalaman yang tidak menyenangkan dan sampai
terjadi trauma, orang memiliki kemungkinan untuk mengembangkan
phobia pada salah satu objek yang ada di tempat kejadian, atau suasana
serta perasaan yang ia rasakan pada kejadian itu. Misalnya, anak yang
selamat dari peristiwa bom bisa jadi phobia pada keramaian karena
peristiwa bom itu terjadi di mall atau tempat ramai lain. Atau ada orang
yang phobia pada cone di jalan karena dulu pernah kecelakaan lalu lintas
dan yang ia lihat waktu kecelakaan itu cone. Meski cone nya sendiri tidak
secara langsung menyebabkan ia kecelakaan, di memorinya tertanam
bahwa ketika ia merasa takut yang dia lihat adalah cone itu. Itu bisa
memicu phobia.
Kalau dalam kasus phobia hewan, biasanya ya pengalaman traumanya
berkaitan dengan hewan. Contoh paling gampang, anak yang waktu kecil
digigit anjing, maka ia memiliki kemungkinan untuk menjadi phobia pada
anjing.
Penyebab phobia yang kedua yaitu observational learning. Observational
learning adalah kemampuan belajar dengan cara mengamati lingkungan
sekitarnya (ortu, keluarga dekat, teman, dll) lalu mencontoh perilaku
mereka. Hal ini sering kita lakukan saat anak-anak. Dalam kasus phobia,
121 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
kalau ortu dan orang terdekat anak menderita phobia, maka ada
kemungkinan phobia ini untuk ‘nular’ ke anak itu. Contohnya, orang yang
tinggal di keluarga yang takut anjing biasanya juga takut anjing. Ini karena
dari kecil dia selalu dengar dari ortunya kalau anjing itu menggigit,
berbahaya, galak, dan lain lain. Selain itu, tiap bertemu anjing, ortunya
akan berusaha menghindar. Anak mengamati perilaku ini dan
mencontohnya.
Penyebab phobia yang ketiga yaitu dari informasi yang kita dengar.
Informasi ini bermacam-macam sumbernya, bisa dari tv, koran, internet,
dll. Misalnya, orang ini membaca berita tentang seekkor anjing yang
menyerang seorang anak sampai anak tersebut masuk rumah sakit. Pasti
akan muncul rasa takut meskipun kecil. Tapi kalau berita-berita seperti ini
diulang-ulang terus tanpa orang ini pernah bertemu dengan anjing
sungguhan, lama kelamaan orang ini bisa jadi merasa cemas ketika
bertemu anjing. Jika dibiarkan, bisa tumbuh phobia terhadap anjing.
Padahal ketika bertemu dengan anjing sungguhan, belum tentu anjing ini
akan langsung menyerang.
3. Nah, ada kalanya setelah mengalami 3 kejadian tadi (trauma, observational
learning, mendapat informasi), seseorang bisa saja tetap kebal dan tidak
menderita phobia. Mengapa? Ada 3 faktornya :
Faktor pertama adalah personality, yaitu sifat dasar orang tersebut. Ini
berbeda dari satu orang ke orang lainnya. Contohnya, seorang anak yang
pemberani dan bandel (keras kepala), setelah digigit anjing mungkin tidak
trauma dan tidak phobia pada anjing. Bisa jadi ia justru penasaran kenapa
anjing ini menggigit dan akhirnya belajar perilaku anjing. Akhirnya anak
ini paham kalau ia digigit anjing karena ia terlalu buru-buru memegang
anjing ini dan tidak melihat kalau anjingnya sedang makan.
Faktor kedua adalah dukungan orang sekitar. Ini penting terutama dalam
kasus trauma. Ketika mengalami trauma, otak manusia merespon situasi
122 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
tersebut sebagai perasaan yang negatif. Tapi ketika ada orang yang
mendukung dan menghibur, otak kemudian merespon situasi ini sebagai
perasaan yang positif. Semakin banyak dukungan, semakin perasaan
negatif tadi bisa ditolak dan dinetralkan. Selain itu, logika paling
mudahnya adalah dengan adanya orang yang menemani, kita akan merasa
lebih kuat dan tidak takut (safety in number).
Faktor ketiga adalah apakah orang ini familiar dengan objek tersebut.
Orang yang dari kecil memelihara anjing kecil kemungkinan bisa
mengalami trauma setelah digigit anjing. Selain itu, ketika membaca berita
tentang orang yang diserang anjing, orang ini tidak akan langsung merasa
takut pada anjing, atau menyalahkan anjingnya. Orang ini akan mencari
penyebabnya kenapa anjing di berita itu sampai menyerang majikannya,
dan lain-lain. Ia tidak akan mudah terpengaruh berita-berita seperti ini.
4. Ciri orang menderita phobia hewan yang jelas adalah ia berusaha menghindari
hewan yang ia takuti. Misalnya, orang yang phobia anjing. Ketika jalan-jalan
dan melewati rumah yang memelihara anjing, mungkin saja orang ini akan
mencari jalan memutar demi menghindari anjing ini. Kalau terpaksa sekali
harus mendekat, biasanya orang yang menderita phobia akan gemetar,
napasnya menjadi pendek, jantungnya berdebar-debar, dan berkeringat. Kalau
phobia nya sangat parah, mungkin saja orang ini pingsan jika dibiarkan terlalu
lama berdekatan dengan hewan yang ditakutinya.
5. Sebenarnya usia berapapun bisa terkena phobia, tidak harus anak kecil saja.
Tapi kalau dalam konteks anak-anak, biasanya phobia mulai berkembang dan
menjadi makin kuat mulai usia 4-9 tahun. Hal ini karena di usia ini memori
anak-anak mulai kuat. Pada umumnya, manusia masih ingat kejadian yang
dialaminya di usia anak-anak, tapi memori ini terbatas sampai usia 4 tahun
saja. Kita umumnya sudah tidak ingat lagi kejadian yang kita alami di usia 3
123 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
tahun ke bawah. Di usia 1-3, jika mengalami trauma, anak-anak cenderung
gampang melupakannya seiring dengan pertumbuhannya.
6. Setahu saya, belum ada skala yang di khususkan untuk mengukur tingkat
keparahan phobia. Kalau skala untuk mengukur rasa tidak nyaman seseorang
itu ada beberapa versi. Tapi skala ini pun tidak bisa langsung digunakan untuk
mengukur tingkat keparahan phobia karena ada banyak faktor yang
mempengaruhi.
7. Sejauh ini, tidak banyak penderita phobia yang sampai ketakutan parah ketika
melihat gambar saja. Mungkin merasa sedikit cemas dan tidak nyaman saja,
tapi tidak sampai menunjukkan gejala-gejala phobia seperti berkeringat dan
detak jantung meningkat tadi. Rata-rata penderita hanya menunjukkan gejala
berkeringat, detak jantung meningkat, dan napas pendek kalau dipertemukan
dengan objek sungguhan.
8. Dalam konteks penderita yang tidak takut melihat gambar objeknya,
sebenarnya selama penderita phobia tidak bertemu tatap muka dengan objek
yang ditakutinya ya orang ini tidak akan merasa terganggu. Mungkin hanya
merasa cemas. Tapi, jika objek yang ditakuti adalah hewan yang gampang
ditemui tiap hari, lama-kelamaan orang ini bisa stress kalau harus terus-
terusan berusaha menghindari hewan yang susah dihindari ini. Kalau dalam
konteks penderita yang merasa takut dari melihat gambar hewannya saja, tentu
saja phobia ini harus disembuhkan. Misalnya orang ini takut melihat gambar
anjing, kan susah. Di media sosial saja banyak foto dan video lucu tentang
anjing. Masa mau sampai berkorban tidak menggunakan sosmed sama sekali?
Tapi kembali lagi, kasus orang yang phobia pada hewan sampai takut pada
gambar hewannya saja ini termasuk jarang.
124 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
9. Kalau terapi yang diberikan untuk penderita phobia sebenarnya bervariasi
tergantung kasusnya. Tergantung penyebab phobia orang ini apa. Tapi secara
universal, yang efektif untuk menangani phobia itu exposure therapy.
Exposure therapy ini prosesnya berlangsung selama beberapa kali sesi
konsultasi. Intinya adalah untuk membiasakan penderita mendekati objek yang
ditakutinya. Kalau dalam kasus phobia hewan, ya penderita ditunjukkan foto
hewan yang ditakutinya. Biasanya dimulai dari gambar atau foto hewan
(pokoknya dari media yang paling tidak ditakuti oleh penderita) yang
diletakkan pada jarak tertentu. Lama kelamaan jarak foto/ gambar ini akan
didekatkan ke penderita. Proses ini dilakukan sampai penderita bisa
memegang foto/ gambar hewan tadi. Kalau sudah tidak takut pada foto itu,
penderita ditunjukkan video hewan. Prosesnya sama seperti gambar tadi. Ini
dilakukan sampai penderita bisa memegang atau minimal berada satu ruangan
dengan hewan yang ditakutinya. Dalam sesi konsultasi ini, akan digali terus
penyebab awal pasien menderita phobia ini. Setelah ketemu penyebabnya,
bisa dijelaskan pelan-pelan bahwa objek phobia si pasien ini juga punya sisi
positif dan manfaat bagi si penderita.
10. Perlu diingat kalau penyebab phobia pada masing-masing orang itu berbeda-
beda. Dengan demikian, tentu saja penyembuhannya juga berbeda-beda. Peran
psikolog biasanya membantu diagnosis penyebab phobianya dan menentukan
terapi seperti apa yang paling tepat untuk penderita ini. Selain itu, dalam sesi
konsultasi, bisa digali lebih detail pemicu phobia pada penderita. Tapi seperti
saya jelaskan tadi, umumnya phobia (yang tidak terlalu parah) bisa
disembuhkan dengan exposure therapy karena prinsip-prinsip exposure
therapy ini kan sebenarnya bisa dilakukan di rumah. Tapi kalau phobianya
sudah sampai tahap dimana pasien pingsan, sangat disarankan dibawa ke
psikolog untuk penanganan yang lebih professional.
125 Universitas Kristen Petra
Lampiran 7 : Hasil wawancara dengan Dr. Andrian Pramadi, M.Si.
(sambungan)
11. Kalau di kota besar sih sekarang sudah cukup terbuka ketika membicarakan
kesehatan mental. Tapi kalau di desa-desa yang terpencil sekali, orang
Indonesia masih percaya mitos dan penyakit mental kadang dianggap karena
gangguan setan dan lain-lain. Kalau dalam kasus phobia sendiri, kadang-
kadang penderitanya justru diganggu atau dibully oleh temannya.
12. Nah, kalau kasus penderita yang takut pada 1 jenis hewan saja termasuk
umum. Biasanya hewan yang ditakuti ini anjing, ular, laba-laba, cicak, atau
kecoak. Phobia pada 1 hewan seperti ini memang tergolong dalam Zoophobia,
tapi biasanya mereka punya istilahnya sendiri. Seperti kalau phobia anjing
disebut cynophobia, laba-laba disebut arachnophobia. Kalau Zoophobia ini
sendiri maknanya lebih kepada satu kategori phobia. Kalau kasus dimana
penderita takut pada 2 atau lebih hewan sebenarnya cukup langka di
Indonesia. Saya sendiri belum pernah menangani kasus dimana penderita takut
pada 2 atau lebih jenis hewan sekaligus.