perawatan ekstraksi gigi pada pasien anak retardasi mental dan phobia jarum
DESCRIPTION
Dewasa ini, banyak dijumpai anak – anak mengalami kecelakaan bermotor seperti jatuh atau kecelakaan sehingga menyebabkan fraktur gigi dan luka koyak akibat jatuh.Hal – halapapun dapat terjadi bila terjadi kecelakaan, seperti luka bagian tubuh, kepala terbentur, dapat juga terjadi fraktur pada bagian gigi seperti pada kasus yang ditemukan dimana yang mengalami gigi insisivus 2 sinistra inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa pada labia inferior dan juga terdapat beberapa vulnus excoriasi. Dimana terlebih lagi pada kasus ini, anak mengalami cacat mental dan phobia dengan jarum.TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dewasa ini, banyak dijumpai anak – anak mengalami kecelakaan bermotor
seperti jatuh atau kecelakaan sehingga menyebabkan fraktur gigi dan luka koyak
akibat jatuh.Hal – halapapun dapat terjadi bila terjadi kecelakaan, seperti luka
bagian tubuh, kepala terbentur, dapat juga terjadi fraktur pada bagian gigi seperti
pada kasus yang ditemukan dimana yang mengalami gigi insisivus 2 sinistra
inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa pada labia inferior dan juga terdapat
beberapa vulnus excoriasi. Dimana terlebih lagi pada kasus ini, anak mengalami
cacat mental dan phobia dengan jarum.
Apabila terjadi hal – halseperti ini maka harus segera dirawat karena dapat
menimbulkan efek lain. Karena itu keselamatan harus selalu diperhatikan agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dalam mengendarai kendaraan bermotor.
Kasus seperti ini sering dijumpai di kalangan masyarakat, dimana masyarakat
sering kebingungan harus dibawa kemanakah pasien anak – anak yang mengalami
kecelakaan seperti ini.
Kelalaian seperti ini sudah sering terjadi tetapi tidak dihiraukan
masyarakat, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
kecelakaan seperti berkendaraan yang tidak memakai helm, trobos lampu lalu
lintas, dan bisa juga karena tidak memperhatikan jalan. Apabila terjadi kecelakaan
terjadi suatu fraktur pada gigi, maka dokter gigilah yang berperan dalam
perawatan tersebut, dimana seorang dokter gigi wajib meminta advice apabila
pasien tersebut tidak dapat ditangani oleh dokter gigi lagi atau kurangnya
kemampuan dokter tersebut dalam menangani kasus anak cacat mental yang juga
memiliki phobia jarum.
Adapun phobia jarum ini terjadi karena adanya trauma masa laluyang
membuat rasa takut di masa depan, dan rata – rata dalam kasus seperti ini
sangatlah diperlukan advice dari dokter spesialis kejiwaan. Selain itu, mengenai
1
anak cacat mental ini juga sangat diperlukan advice dari dokter spesialis anastesi
dimana hal ini berguna untuk menetukan cara menganatesi pasien sebelum
ditangani gigi insisivus 2 sinistra inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa
pada labia inferior dan juga terdapat beberapa vulnus excoriasi, karena pasien
dalam kondisi seperti ini cenderung sangat minim diajak berkomunikasi.. Dalam
hal inilah dokter gigi berperan dalam meminta advice kepada dokter spesialis
untuk menciptakan hubungan komunikasi yang baik dengan pasien cacat mental
yang mempunyai phobia jarum sebelum melakukan tindakan pemeriksaan.
2
1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun rumusan masalah dari penulisan skenario ini adalah :
1. Bagaimanakah cara dokter gigi menangani kasus ini?
2. Jenis anastesi apakah yang dapat digunakan pada pasien phobia jarum?
3. Faktor – faktor penyebab yang menyebabkan phobia jarum tersebut?
4. Faktor – faktor penyebab menjadi cacat mental dan cirri – cirinya?
5. Bagaimana cara membangun hubungan komunikasi yang baik antara dokter
gigi dengan pasien cacat mental?
6. Dalam kondisi seperti apakah pasien pada kasus ini dapat dirujuk?
7. Bagaimana cara merujuk pasien dalam kasus ini?
1.3 TUJUAN PEMBELAJARAN
Dalam menuliskan makalah ini, diharapkan agar mahasiswa dapat memahami
dan mengerti tentang :
1. Mengintegrasikan ilmu biomedik yang relevan dengan bidang kedokteran gigi
untuk menegakkan diagnosa dan menetapkan prognosis penyakit dan cara
penanganannya,
2. Faktor – faktor penyebab anak cacat mental
3. Cara menciptakan hubungan komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan
pasien cacat mental,
4. Cara menangani pasien cacat mental yang minim diajak berkomunikasi,
5. Cara merujuk pasien kedokter spesialis atau psikiatri,
6. Membuat sistem rujukan yang baik.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 RETARDASI MENTAL
2.1.1 Defenisi
Retardasi mental merupakan suatu kelainan mental seumur hidup,
diperkirakan lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia menderita kelainan ini .
Oleh karena itu retardasi mental merupakan masalah di bidang kesehatan
masyarakat, kesejahteraan sosial dan pendidikan baik pada anak yang mengalami
retardasi mental tersebut maupun keluarga dan masyarakat. Retardasi mental
merupakan suatu keadaan penyimpangan tumbuh kembang seorang anak
sedangkan peristiwa tumbuh kembang itu sendiri merupakan proses utama,
hakiki, dan khas pada anak serta merupakan sesuatu yang terpenting.
Retardasi mental bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan
adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Klasifikasi
retardasi mental adalah mild retardation, moderate retardation, severe retardation
dan profound retardation. Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari
pranatal, perinatal dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan
lebih dari 1000 macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak
diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat
digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial. Diagnosis retardasi mental
tidak hanya didasarkan atas uji intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat
penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis,
laboratorium, pemeriksaan penunjang.(Fisher, 1990)
2.1.2 Klasifikasi
Uji intelegensia pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog
Perancis yang bernama Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1900. Pada
tahun 1916 Dr Lewis Terman mengadaptasi pemeriksaan intelegensia berdasarkan
4
skala Binet tersebut di Stanford University. Saat ini uji intelegensia tersebut
dinamakan Stanford Binet Intelligence Scale yang sudah direvisi 4 kali yaitu
tahun 1937, 1960, 1973, dan 1986. William Stern pada tahun 1912 membuat
konsep intelligence quotient (IQ) sebagai suatu perbandingan antara mental age
(MA) dan chronological age (CA). Pada tahun 1939 David Wechsler
mempublikasikan suatu tes intelegensia yang mengukur fungsi intelektual yang
lebih global. Uji ini kemudian disebut Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC) yang kemudian direvisi tahun 1976 dan disebut Wechsler Intelligence
Scale for Children Revised (WISC-R). (Turner, 1986)
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural
Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 MA IQ = x 100 CA172 retardasi mental
dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
• Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69
• Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34
• Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20
2.1.2.1 Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat
dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu
menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik.
Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan,
mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih),
meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal.
Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan
banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks
sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada
masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat
bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah
perkawinan atau mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi
budaya.(Turner, 1986)
5
2.1.2.2 Retardasi Mental Sedang
Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat
dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan
perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya
terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor
juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan
pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih
bisa belajar dasardasar membaca, menulis dan berhitung.(Sidiarto, 1992)
2.1.2.3 Retardasi Mental Berat
Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental
sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang
terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya
mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.
2.1.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat
Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas
kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi.
Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada
bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.
2.1.3 Etiologi
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang
seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak
pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan
sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan
lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu)
dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai
penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.
6
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat
digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:
Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)
- Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)
- Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara teratur,
pengobatan sederhana, dan lain lain)
- Papan (pemukiman yang layak)
- Higiene, sanitasi
- Sandang
- Kesegaran jasmani, rekreasi
Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih). Pada tahuntahun pertama kehidupan
hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat
mutlak untuk menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis,
mental maupun sosial.
Kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Merupakan cikal bakal proses
pembelajaran (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini
membantu perkembangan mental-psikososial (kecerdasan, ketrampilan,
kemandirian, kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya).
Perkembangan ini pada usia balita disebut sebagai perkembangan
psikomotor. Kelainan atau penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi
akibat gangguan pada interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga
kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan morbiditas
anak, bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kalaupun kematian dapat diatasi,
sebagian besar anak yang telah berhasil tetap hidup ini mengalami akibat menetap
dari penyimpangan tersebut yang dikategorikan sebagai kecacatan, termasuk
retardasi mental. Jelaslah bahwa dalam aspek pencegahan terjadinya retardasi
mental praktek pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.(Fisher, 1990)
Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal
dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000
macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat
dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab
7
biologis dan psikososial. Penyebab biologis atau sering disebut retradasi mental
tipe klinis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
• Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat
• Tampak sejak lahir atau usia dini
• Secara fisis tampak berkelainan/aneh
• Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal
• Tidak berhubungan dengan kelas sosial
Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut :
• Biasanya merupakan retardasi mental ringan
• Diketahui pada usia sekolah
• Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium
• Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)
• Ada hubungan dengan kelas sosial Melihat struktur masyarakat Indonesia,
golongan sosio ekonomi rendah masih merupakan bagian yang besar dari
penduduk, dapat diperkirakan bahwa retardasi mental di Indonesia yang terbanyak
adalah tipe sosio-kultural.
Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam
1. Penyebab pranatal
• Kelainan kromosom
• Kelainan genetik /herediter
• Gangguan metabolik
• Sindrom dismorfik
• Infeksi intrauterin
• Intoksikasi
2. Penyebab perinatal
• Prematuritas
• Asfiksia
• Kernikterus
• Hipoglikemia
• Meningitis
8
• Hidrosefalus
• Perdarahan intraventrikular
3. Penyebab postnatal
• Infeksi (meningitis, ensefalitis)
• Trauma
• Kejang lama
• Intoksikasi (timah hitam, merkuri)
2.1.3.1 Penyebab Pranatal
2.1.3.1.1 Kelainan Kromosom
Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah
sindrom Down. Disebut demikian karena Langdon Down pada tahun 1866 untuk
pertama kali menulis tentang gangguan ini, yaitu bayi yang mempunyai
penampilan seperti mongol dan menunjukkan keterbelakangan mental seperti
idiot. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar dari golongan ini
termasuk retardasi mental sedang. Sindrom Down merupakan 10-32% dari
penderita retardasi mental. Diperkirakan insidens dari sindrom Down antara 1-1,7
per 1000 kelahiran hidup per tahun. Risiko timbulnya sindrom Down berkaitan
dengan umur ibu saat melahirkan. Ibu yang berumur 20-25 tahun saat melahirkan
mempunyai risiko 1:2000, sedangkan ibu yang berumur 45 tahun mempunyai
risiko 1:30 untuk timbulnya sindrom Down. Analisis kromosom pada sindrom
Down 95% menunjukkan trisomi –21, sedangkan 5% sisanya merupakan mosaik
dan translokasi . (Sidiarto, 1992)
Kelainan kromosom lain yang bermanifestasi sebagai retardasi mental
adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13 atau sindrom Patau,
sindrom Cri-du- chat, sindrom Kline felter, dan sindrom Turner. Berdasarkan
pengamatan ternyata kromatin seks, yang merupakan kelebihan kromosom -X
pada laki-laki lebih banyak ditemukan di antara penderita retardasi mental
dibandingkan laki-laki normal. Diperkirakan kelebihan kromosom-X pada laki-
laki memberi pengaruh tidak baik pada kesehatan jiwa, termasuk timbulnya
psikosis, gangguan tingkah laku dan kriminalitas.
9
Kelainan kromosom-X yang cukup sering menimbulkan retardasi mental
adalah Fragile-X syndrome, yang merupakan kelainan kromosom-X pada band
q27. Kelainan ini merupakan X-linked, dibawa oleh ibu. Penampilan klinis yang
khas pada kelainan ini adalah dahi yang tinggi, rahang bawah yang besar, telinga
panjang, dan pembesaran testis. Diperkirakan prevalens retardasi mental yang
disebabkan fragile-X syndrome pada populasi anak usia sekolah adalah 1 : 2610
pada laki-laki, dan 1: 4221 pada perempuan.
2.1.3.1.2 Kelainan Metabolik
Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah
Phenylketonuria (PKU), yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak
mampu mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin karena defisiensi enzim
hidroksilase. Penderita laki-laki tenyata lebih besar dibandingkan perempuan
dengan perbandingan 2:1. Kelainan ini diturunkan secara autosom resesif.
Diperkirakan insidens PKU adalah 1:12 000-15 000 kelahiran hidup. Penderita
retardasi mental pada PKU 66,7% tergolong retardasi mental berat dan 33,3%
retardasi mental sedang.(Balarajan, 1989)
Galaktosemia adalah suatu gangguan metabolisme karbohidrat disebabkan
karena tubuh tidak mampu menggunakan galaktosa yang dimakan. Dengan diet
bebas galaktosa bayi akan bertambah berat badannya dan fungsi hati akan
membaik, tetapi menurut beberapa penulis perkembangan mental tidak
mengalami perubahan. Penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy adalah
suatu gangguan metabolisme lemak, dimana tubuh tidak bisa mengubah zat-zat
pralipid mejandi lipid yang disebabkan oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar
tiroid, defek pada sekresi TSH atau TRH, defek pada produksi hormon tiroid).
Kadang-kadang gejala klinis tidak begitu jelas dan baru terdeteksi setelah 6-12
minggu kemudian, padahal diagnosis dini sangat penting untuk mencegah
timbulnya retardasi mental atau paling tidak meringankan derajat retardasi
mental. Gejala klasik hipotiroid kongenital pada minggu pertama setelah lahir
adalah miksedema, lidah yang tebal dan menonjol, suara tangis yang serak karena
10
edema pita suara, hipotoni, konstipasi, bradikardi, hernia umbilikalis. Prevalens
hipotiroid kongenital berkisar 1:4000 neonatus di seluruh dunia.
Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan retardasi mental
baik dinegara sedang berkembang maupun di negara maju. Diperkirakan 600 juta
sampai 1 milyar penduduk dunia mempunyai risiko defisiensi yodium, terutama di
negara sedang berkembang. Penelitian WHO mendapatkan 710 juta penduduk
Asia, 227 juta Afrika, 60 juta Amerika Latin, dan 20-30 juta Eropa mempunyai
risiko defisiensi yodium. Akibat defisiensi yodium pada masa perkembangan otak
karena asupan yodium yang kurang pada ibu hamil meyebabkan retardasi mental
pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini timbul bila asupan yodium ibu hamil
kurang dari 20 ug ( normal 80-150 ug) per hari. Dalam bentuk yang berat kelainan
ini disebut juga kretinisme, dengan manisfestasi klinis adalah miksedema,
kelemahan otot, letargi, gangguan neurologis, dan retardasi mental berat. Di
daerah endemis, 1 dari 10 neonatus mengalami retardasi mental karena defisiensi
yodium.
2.1.3.1.3 Infeksi
Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan
anomali pada janin yang dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin
berkurang bila infeksi timbul pada triwulan kedua dan ketiga. Manifestasi klinis
rubela kongenital adalah berat lahir rendah, katarak, penyakit jantung bawaan,
mikrosefali, dan retardasi mental.(Rydhstroem, 1995)
Infeksi cytomegalovirus tidak menimbulkan gejala pada ibu hamil tetapi
dapat memberi dampak serius pada janin yang dikandungnya. Manifestasi klinis
antara lain hidrosefalus, kalsifikasi serebral, gangguan motorik, dan retardasi
mental. Intoksikasi fetal alcohol sindrom merupakan suatu sindrom yang
diakibatkan intoksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum
minuman yang mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama. Di negara
Amerika Serikat FAS merupakan penyebab tersering dari retardasi mental setelah
sindrom Down. Insidens FAS berkisar antara 1-3 kasus per 1000 kelahiran
hidup. Pada populasi wanita peminum minuman keras insidens FAS sangat
11
meningkat yaitu 21-83 kasus per 1000 kelahiran hidup, padahal di Eropa dan
Amerika 8% wanita merupakan peminum minuman keras.
2.1.3.1.4 Penyebab Perinatal
Koch menulis bahwa 15-20% dari anak retardasi mental disebabkan
karena prematuritas. Penelitian dengan 455 bayi dengan berat lahir 1250 g atau
kurang menunjukkan bahwa 85% dapat mempelihatkan perkembangan fisis rata-
rata, dan 90% memperlihatkan perkembangan mental rata-rata. Penelitian pada 73
bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang menunjukkan IQ yang
bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata 94. Keadaan fisis anak-anak tersebut
baik, kecuali beberapa yang mempunyai kelainan neurologis, dan gangguan mata.
Penulis-penulis lain berpendapat bahwa semakin rendah berat lahirnya, semakin
banyak kelainan yang dialami baik fisis maupun mental.Asfiksia, hipoglikemia,
perdarahan intraventrikular, kernikterus, meningitis dapat menimbulkan
kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab timbulnya retardasi
mental.
2.1.3.2 Penyebab Postnatal
Faktor- faktor postnatal seperti infeksi, trauma, intoksikasi, kejang dapat
menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental.
2.1.3.3 Etiologi pada Kelompok Sosio–Kultural
Proses psikososial dalam keluarga dapat merupakan salah satu penyebab
retardasi mental. Sebenarnya bermacammacam sebab dapat bersatu untuk
menimbulkan retardasi mental. Proses psikososial ini merupakan faktor penting
bagi retardasi mental tipe sosio-kultural, yang merupakan retardasi mental ringan.
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia
saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari
sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu
12
dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari
anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental.
Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit
dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif.
Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari
sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta
penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun
dilakukan tes intelegensia.
Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu klasifikasi
adanya serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih
terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan
ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai screning PKU.
Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan
kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan
penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-
Scan, dan MRI.
Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3
tahun, karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar.
Pada bayi dapat dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta
perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga
mengalami keterlambatan motor dan bahasa.
2.1.5 Tatalaksana
2.1.5.1 Tatalaksana Medis
Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental
adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin)
dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin,
dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang
dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada
umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat,
gamma aminobutyric acid (GABA).
13
2.1.5.2 Rumah Sakit/Panti Khusus
Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar:
kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat
retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas
perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk membimbing orangtua dan
sosialisasi anak. Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental
adalah kurangnya stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain
dan kurangnya variasi lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.
2.1.5.3 Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada
orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental
tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap,
tingkah laku dan adaptasi sosialnya.
2.1.5.4 Konseling
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan
ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi
mengenai dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan
dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti
khusus, konseling pranikah dan pranatal.
2.1.5.5 Pendidikan
Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun
bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini.
Terdapat empat macam tipe pendidik untuk retradasi mental.
• Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa
• Sekolah luar biasa C
• Panti khusus
• Pusat latihan kerja (sheltered workshop)
14
2.1.6 Pencegahan
Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi
mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). Sebab-
sebab retardasi mental yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma, intoksikasi,
komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme, kelainan genetik.(Turner, 1986)
2.2 DENTAL FOBIA
Fobia terbagi dua yaitu fobia sosial dan fobia spesifik. Menurut Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMN), dental fobia merupakan
salah satu fobia spesifik. Antara kriteria untuk pengidap fobia spesifik adalah
adanya rasa takut yang persisten, berlebihan dan tanpa alasan terhadap objek atau
situasi tertentu, adanya respon secara tiba-tiba terhadap stimulus atau rangsangan
yang ditakuti.
Fobia terhadap perawatan gigi merupakan fenomena yang multifaktorial
dan kompleks. Fobia akan mempengaruhi tingkah laku anak dan dapat
menentukan keberhasilan kunjungan ke dokter gigi. Fobia terhadap alat
kedokteran gigi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penggunaan setiap alat
yang terdapat di ruang perawatan sehingga menyebabkan pasien menjadi cemas
serta takut. Sebagai contoh, sebagian pasien memiliki rasa takut terhadap jarum
suntik (trypanophobia) dan sebagian lagi takut terhadap suntikan yang digunakan
oleh dokter gigi untuk menganestesi rongga mulut.
Beberapa faktor yang menyebabkan injeksi yang dilakukan terasa sakit
yaitu tidak menggunakan anestesi topikal sebelum melakukan injeksi, terlalu kuat,
menggunakan jarum tumpul, memasukkan obat anestesi terlalu cepat ke dalam
jaringan.
Terbentuknya fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial semasa
kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa
prosedur kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit
menyebabkan rasa takut, kebanyakan pasien yang pernah memiliki pengalaman
15
buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama suara bor dan
bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan terhadap mati rasa atau tersedak
juga menyebabkan penghindaran praktek dokter gigi.
Hal ini didukung lagi dengan beberapa faktor pendukung terjadinya dental
fobia yaitu pengaruh orang tua seperti sikap dan pengalaman keluarga yang buruk
terhadap perawatan kesehatan gigi, status sosial ekonomi keluarga. (Repository
USU, 2014)
2.3 HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya
berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut
rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu
biomedis; hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif.
Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu
pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena hubungan
dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan
yang mendekati persamaan hak antar manusia.(Endang, 2009)
Jadi hubungan dokter yang semula bersifat patemalistik akan bergeser
menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling
ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan
aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih
sempurna sebagai partner. Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien,
terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan
dalam tiga pola hubungan, yaitu:
1. Activity – passivity. Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan
pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di
sini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur
tangan pasien. Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan
jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.
2. Guidance – Cooperation. Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya
orangtua dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat
16
misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien
tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. la berusaha mencari
pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui
lebih banyak, ia tidak semata-rna ta menjalankan kekuasaan, namun meng
harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau
anjuran dokter.
3. Mutual participation. Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap
manusia memiliki martabat dan hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang
ingin memelihara kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien
penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan
terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang
pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan
mental tertentu. Akibatnya, bila pasien merugi, tuduhan malpraktik menjadi
marak hanya karena kurangnya komunikasi yang buruk. Hubungan dokter-pasien
yang bersifat kontraktual akan menimbulkan hak-hak pasien, yaitu rights to health
care dan right to self determination. Sedangkan selain menuntut hak, dokter wajib
memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan SOP.
2.3.1 Timbulnya Hubungan Hukum antara dokter – pasien
Dengan semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan
kesehatan, yang antara lain disebabkan karena meningkatnya tingkat pendidikan,
kesadaran masyarakat akan kebutuhan kesehatan, maka akan meningkat pula
perhatian masyarakat tenang hak-haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang baik dan bermutu dengan pelayanan yang lebih luas dan mendalam.
Dengan demikian, adanya gejala yang demikian itulah mendorong orang
untuk berusaha menemukan dasar hukum (yuridis) bagi pelayanan kesehatan yang
sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya
hubungan hukum, walaupun hal tersebut sering kali tidak disadari oleh dokter.
Secara yuridis timbulnya hubungan antara dokter dan pasien bisa berdasarkan dua
hal, yaitu berdasarkan perjanjian dan karena Undang-undang. (KKI, 2006)
17
2.3.2 Pengakhiran Hubungan Dokter-Pasien
Kewajiban yang menyertai dokter akibat terbentuknya hubungan antara
dokter dengan pasien berlanjut hingga berakhirnya hubungan tersebut.
Berakhirnya hubungan tersebut dapat terjadi akibat :
1. Selesainya pengobatan dengan membaiknya keadaan pasien
2. Penolakan dokter oleh pasien
3. Kesepakatan bersama
4. Penarikan dokter secara resmi.
Pasien dapat secara sepihak mengakhiri hubungan dengan alasan apapun
dan kapan pun. Pengakhiran ini dapat dinyatakan secara langsung atau tidak
langsung oleh sikap pasien. Meskipun ditolak, dokter memiliki kewajiban untuk
mengingatkan pasien akan resiko bila menghentikan pengobatan. Seorang dokter
yang berhati-hati akan secara cermat mendokumentasikan dasar-dasar dan hal-hal
yang berhubungan dengan penolakan pasien untuk melindungi dirinya bila ada
klaim dari pasien. Hubungan dokter-pasien dapat berakhir bila perawatan pasien
telah secara tepat dan lengkap diserahkan kepada dokter lainnya sehingga jasa dari
dokter yang menyerahkan pasien tidak lagi diperlukan dan kewajibannya untuk
merawat pasien berakhir. Sekali pelayanan diakhiri, umumnya dokter tidak
memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan lanjutan atau membuat
hubungan dokter-pasien lagi. Meskipun demikian beberapa keputusan pengadilan
telah memerintahkan tanggung jawab tersebut dengan alasan bahwa dokter berada
pada posisi yang lebih baik dari pasien dalam hal mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan. (KKI, 2006)
Pengakhiran hubungan secara sepihak diizinkan. Pasien harus diberikan
cukup waktu untuk merencanakan perawatan dari dokter lain. Catatan tertulis
harus disertakan dan lebih diutamakan bila ditulis pada kertas bermeterai. Catatan
tersebut harus memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien, pelayanan
lanjutan yang diperlukan sebagaimana halnya dengan penjelasan mengenai
konsekuensi dari kegagalan untuk memperoleh pelayanan lanjutan dan waktu
perawatan ini harus dituliskan pada catatan tersebut. Penarikan diri secara tidak
18
tepat oleh dokter merupakan pelanggaran kontrak, kelalaian profesional,
dan abandonment. (Endang, 2009)
2.4 TRAUMA
Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun
psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan
sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan
fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga diartikan
sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak
yang keras dengan suatu benda. Definisi lain menyebutkan bahwa trauma gigi
adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena
sebab mekanis.( Schuurs, 1992)
Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka trauma gigi anterior
merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang
keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik
pada rahang atas maupun rahang bawah atau kedua-duanya. Penyebab trauma gigi
pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar
maupun di dalam rumah dan saat berolahraga.
Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung,
trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi,
sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang
mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas
dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba.
2.4.1 Fraktur Gigi
Fraktur dental atau patah gigi adalah hilangnya atau lepasnya fragmen dari
suatu gigi utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau benturan. (Andreasen,
2003)
19
2.4.2 Klasifikasi
Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi
anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi
menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari
World Health Organization (WHO) dalam Application of International
Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. Ellis dan Davey
menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi
yang terlibat, yaitu :
1.Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa
memakai perubahab tempat, menunjukkan luka kecil chipping dengan kasar.
2.Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau tanpa
memakai perubahan tempat. pasien mungkin mengeluh rasa sakit untuk
menyentuh dan kepekaan terhadap udara. Sebuah paparan kuning pucat proses
dentinal, yang berkomunikasi langsung dengan pulp, dapat terjadi. Pasien lebih
muda dari 12 tahun memiliki gigi belum menghasilkan dentin apalagi mencakup
ruang antara pulp dan email. Kesempatan infeksi dan kerusakan pada pulp di
kelompok usia ini jauh lebih besar karena ukuran pulp lebih besar dan lebih
pendek jarak dentin infeksi harus melintasi.
3.Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa perubahan
tempat. ; pasien mengeluh sakit dengan manipulasi, udara, dan suhu. tanda merah
muda atau kemerahan di sekitar dentin sekitarnya atau darah di tengah-tengah gigi
dari pulp terkena mungkin hadir. (Finn, 2003)
4.Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan atau
tanpa hilangnya struktur mahkota
5.Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma
6.Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota
7.Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi
8.Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar
9.Klas IX : Fraktur pada gigi desidui
Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization
(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry
20
and Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi
jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut
yaitu sebagai berikut :
I. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa
1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna
pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.
2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture), yaitu
fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu suatu
fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.
3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada
mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.
4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur
yang mengenai email, dentin, dan pulpa.
II. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar
1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin, dan
sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur
mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root fracture) dan fraktur
mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar
yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture).
2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa tanpa
melibatkan lapisan email. (Koch, 2001)
3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan
dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari
dinding soket.
4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris
dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.
5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula
atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan
soket gigi.
21
III. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut
1. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan
oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa
robeknya jaringan epitel dan subepitel.
2. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda
tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa
disertai sobeknya daerah mukosa.
3. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan
atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.
Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa kelainan pada gigi tetap,
antara lain hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan dilaserasi. Beberapa reaksi yang
terjadi pada jaringan pulpa setelah gigi mengalami trauma adalah hiperemi pulpa,
diskolorisasi, resorpsi internal, resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa
gigi, dan nekrosis pulpa. (Finn, 2003)
2.4.3 Penatalaksaan
Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmen
mahkota atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu maka
perawatan yang dilakukan harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera dan
stabilisasi.
Langkah-langkah perawatan fraktur akar:
(1). Berikan anesthesi lokal pada daerah sekitar fraktur.
(2). Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan ringan.
(3). Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yang
bergeser perlu dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota. Tindakan ini
dilakukan dengan menggunakan instrumen kecil dan rata yang diletakkan antara
permukaan akar dan dinding soket.
(4). Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telah
optimal.
(5). Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.
(6). Pertahankan splint selama 2-3 bulan. (Koch, 2001)
22
2.4.4 Vulnus Eksoriasis
2.4.4.1 Defenisi
Luka eksoriasis atau luka lecet atau luka gores adalah cedera pada
permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau
pun runcing.
2.4.4.2 Penatalaksanaan
1. Anamnese
Penting untuk menentukan cara penanganan dengan menanyakan bagaimana,
dimana, dan kapan luka terjadi. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan
kemungkinan terjadinya kontaminasi dan menentukan apakah luka akan ditutup
secara primer atau dibiarkan terbuka.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Lokasi. Penting sebagai petunjuk kemungkinan adanya cedera pada struktur
yang lebih dalam.
b. Eksplorasi. Dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan cedera pada struktur
yang lebih dalam, menemukan benda asing yang mungkin tertinggal pada luka
serta menentukan adanya jaringan yang telah mati.
23
Ami dan anaknya 15 tahun
Dokter gigi
AnamnesesJatuh dari sepeda motorMulut berdarahMengerang kesakitanCacat mentalPhobia jarum
PIOGusi berdarahI2 sinitra inferior fraktur
PEOVulnus exoriasisLabia inferior laserasi mukosa
Diagnosa : fraktur i2 inferior sinitra (retardasi mental )
Penanganan :Hentikan pendarahanBersihkan pendarahGas N2O (anastesi inhalasi) Sp.AnCabut gigi i2Rujuj ke Sp.KJ untuk RM dan Phobia
2.5 Mind Mapping
BAB 3
PEMBAHASAN
24
BAB III
PEMBAHASAN
Dari skenario diketahui Ibu Ami membawa anaknya yang berumur
15tahun ke dokter gigi setalah terjatuh dari sepeda motor, ibu Ami mengeluh
mulut anaknya berdarah dan mengerang kesakitan kepada dokter. Dari
pemeriksaan IO, dimana ditemukan gusinya berdarah dan didapati insisivus 2
sinitra inferior fraktur dan pemeriksaan EO labia inferior laserasi mukosa dan
terdapat beberapa vulnus exoriasis.
Pada skenario diketahui pasien anak menderita retardasi mental, cacat jiwa
dan phobia pada jarum, Pasien dengan retardasi mental biasanya mengalami
perkembangan mental yang kurang, namun gelaja utamanya yaitu adanya
keterbelakangan intelegensi. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan retardasi
mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya
perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan sindrom down.
Wajah pasien dengan retardasi mental umumnya mudah dikenali seperti
hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar serta gangguan pertumbuhan gigi.
Berdasarkan gambaran klinisnya retardasi mental dapat diklasifikaskan
menjadi retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Pasien pada
skenario ini dapat diklasifikasikan ke dalam retardasi mental yang berat karena
terdapat keterbatasan dalam berkomunikasi. Retardasi mental dapat disebabkan
oleh berbagai faktor seperti cedera selama di dalam rahim, cedera setelah
kelahiran, gangguan metabolisme (karbohidrat, proteun, dan lemak), kesalahan
jumlah kromosom, penyakit otak, genetic, infeksi maternal dan lainnya.
Selain retardasi mental pasien juga mengalami phobia jarum. Phobia
merupakan rasa takut yang berlebihan terhadap sesuatu hal. Seorang yang
mengalami phobia pada jarum umumnya akan menjadi paranoid/parno ketika
harus melihat atau berhubungan langsung dengan jarum suntik, Kondisi
penderitanya bisa saja tiba-tiba drop dan bisa saja ada kemungkinan pingsan
25
setelah melihat jarum suntik. Phobia terhadap jarum suntik dapat disebabkan oleh
faktor lingkungan, trauma, atau pengalaman buruk di masa lalu. Namun, hal yang
umumnya mendasari munculnya phobia jarum suntik yaitu adanya fiksasi yang
tak terlupakan dari kejadian di masa lalu misalnya ketika dilakukan proses
penyuntikan, penderita merasakan sakit dan beban emosional yang terlalu berat.
Oleh karena itu, dalam menangani pasien dalam kasus ini diperlukan
kerjasama dan komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan orang tua pasien
untuk membantu mengetahui kondisi pasien dan memudahkan dalam melakukan
tindakan terhadap pasien.
Dalam kasus ini, tindakan utama yang dapat dilakukan oleh dokter gigi
yaitu membersihkan luka terlebih dahulu dan menghentikan pendarahan.
Dikarenakan pasien memiliki riwayat retardasi mental dan phobia terhadap jarum
suntik, maka dokter gigi harus bekerja sama atau meminta bantuan dokter
spesialis anastesi untuk memberikan anastesi umum dengan cara inhalasi yaitu
dengan menggunakan gas N2O. Setelah itu, dokter gigi dapat melakukan ekstraksi
gigi pada gigi I2 sinistra inferior yang fraktur. Sebagai dokter gigi, kita harus
menyarankan kepada orangtua pasien untuk memeriksakan anaknya ke dokter
spesialis kejiwaan untuk menangani retardasi mental si anak.
26
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa:
1. Pasien dengan retardasi mental biasanya mengalami perkembangan mental
yang kurang, namun gelaja utamanya yaitu adanya keterbelakangan
intelegensi.
2. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk
fisik, misalnya perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan
sindrom down.
3. Retardasi mental dapat diklasifikaskan menjadi retardasi mental ringan,
sedang, berat dan sangat berat, pada skenario ini dapat diklasifikasikan ke
dalam retardasi mental yang berat karena terdapat keterbatasan dalam
berkomunikasi.
4. Dalam kasus ini diperlukan kerjasama dan komunikasi yang baik antara dokter
gigi dengan orang tua pasien untuk membantu mengetahui kondisi pasien dan
memudahkan dalam melakukan tindakan terhadap pasien.
4.2 Saran
1. Kepada Dokter Gigi diharapkan mampu memahami, mengaplikasikan
komunikasi yang efektif, memahami tentang anak yang mengalami retradasi
mental yang disertai dengan phobia terhadap jarum,
2. Kepada mahasiswa kedokteran gigi agar dapat memahami komunikasi yang
efektif antara dokter dengan pasien, serta memahami tentang cacat anak seperti
pada skenario ini adalah retradasi mental dan phobia jarum.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreasen, J.O., Andreasen, F.M., Bakland, L.K., Flores, M. T. Traumatic Dental
Injuries A Manual. 2nd Edition. Munksgaard : Blackwell Publishing Company.
2003.
2. Balarajan R, Raleigh VS, Botting B. Mortality From Congenital Malformations In
England And Wales: Variations By Mother‘S Country Of Birth. Arch Diss In
Child 1989; 64:1457-62.
3. Birch, R.H. Huggins, D.G. Practical Pedodontics. Edinburgh: Churchill
Livingstone. 1973. Company. 2003
4. Endang Kusuma Astuti, 2009. Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan
Medis Di Rumah Sakit. Bandung: Citra Aditya Bakti.
5. Finn, S.B. Clinical Pedodontics. 4th Ed. Philadelphia : W. B. Saunders
6. Fisher DA. The Thyroid. Dalam: Kaplan SA, Penyunting. Clinical Pediatric
Endocrinology. Philadelphia: W B Saunders Co,1990. H. 87-126.
7. Glascoe FP. Development Screening. Dalam: Wolraich ML, Penyunting.
Disorders Of Development Learning A Practical Guide Of Assesment And
Management. Edisi Ke- 2. St. Louis, 1996. H. 89-128.
8. Koch, G & Poulsen, S. Pediatric Dentistry A Clinical Approach. 1st
Edition.Copenhagen : Munksgaard. 2001.
9. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Komunikasi Efektif Hubungan Dokter-
Pasien. Jakarta: KKI.
10. Lumbantobing SM. Anak Dengan Mental Terbelakang. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI, 1997. H. 1-85.
11. Payne JS, Patton JR. Mental Retardation. Columbus: Bell & Howell
Company,1981. H. 1-466.
12. Prasadio T. Gangguan Psikiatrik Pada Anak-Anak Dengan Retardasi Mental.
Disertasi. Surabaya: Universitas Airlangga, 1976.
28
13. Ramelan W. Tuna Grahita Bawaan: Latar Belakang Genetik Dan Deteksi Dini
Pada Orangtua. Disampaikan Pada Seminar Sehari Jangan Sampai Anakku Tuna
Grahita, Jakarta, 21 November, 1992.
14. Regier DA, Farmer ME, Et Al. Comorbidity Of Mental Disorders With Alcohol
And Other Drug Abuse, Result From The Epidemiologic Catchment Area (ECA)
Study. JAMA 1990; 264:2511-8.
15. Repository USU. Etiologi Terjadinya Dental Fobia
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/288727/2/Chapter%20III-V.pdf
10 Mei 2014.
16. Rydhstroem H. The Relationship Of Birth Weight And Birth Weight
Discordance To Cerebral Palsy Or Mental Retardation Later In Life For Twins
Weighing Less Than 2500 Grams. Am J Obstet Gynecol 1995; 173:680-6.
17. Schuurs, A.H.B. Dkk. Patologi Gigi-Geligi : Kelainan-Kelainan Jaringan Keras
Gigi. Terjemahan S. Suryo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 1992
18. Sidiarto LD. Tuna Grahita Ditinjau Dari Aspek Neurologis. Disampaikan Pada
Seminar Sehari Jangan Sampai Anakku Tuna Grahita, Jakarta, 21 November
1992.
19. Simons JQ, Tymchuck AJ, Valente M. Treatment And Care Of The Mentally
Retarded. A Psychiatric Ann Repr 1974:15-20.
20. Sularyo TS. Tumbuh Kembang Anak Dengan Minat Khusus Pada Aspek
Pencegahan Tuna Grahita. Disampaikan Pada Seminar Sehari Jangan Sampai
Anakku Tuna Grahita, Jakarta, 21 November, 1992.
21. Turner G, Robinson H, Et Al. Preventive Screening For The Fragile X
Syndrome. N Eng J Med 1986; 315:607-9.
22. WHO. Primary Prevention Of Mental Neurological And Psychosocial Disorders.
Geneva, WHO 1998: H. 8-53.
29