perawatan ekstraksi gigi pada pasien anak retardasi mental dan phobia jarum

45
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Dewasa ini, banyak dijumpai anak – anak mengalami kecelakaan bermotor seperti jatuh atau kecelakaan sehingga menyebabkan fraktur gigi dan luka koyak akibat jatuh.Hal halapapun dapat terjadi bila terjadi kecelakaan, seperti luka bagian tubuh, kepala terbentur, dapat juga terjadi fraktur pada bagian gigi seperti pada kasus yang ditemukan dimana yang mengalami gigi insisivus 2 sinistra inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa pada labia inferior dan juga terdapat beberapa vulnus excoriasi. Dimana terlebih lagi pada kasus ini, anak mengalami cacat mental dan phobia dengan jarum. Apabila terjadi hal – halseperti ini maka harus segera dirawat karena dapat menimbulkan efek lain. Karena itu keselamatan harus selalu diperhatikan agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dalam mengendarai kendaraan bermotor. Kasus seperti ini sering dijumpai di kalangan masyarakat, dimana masyarakat sering kebingungan harus dibawa kemanakah pasien anak – anak yang mengalami kecelakaan seperti ini. 1

Upload: gusto-fortunatan

Post on 23-Dec-2015

166 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Dewasa ini, banyak dijumpai anak – anak mengalami kecelakaan bermotor seperti jatuh atau kecelakaan sehingga menyebabkan fraktur gigi dan luka koyak akibat jatuh.Hal – halapapun dapat terjadi bila terjadi kecelakaan, seperti luka bagian tubuh, kepala terbentur, dapat juga terjadi fraktur pada bagian gigi seperti pada kasus yang ditemukan dimana yang mengalami gigi insisivus 2 sinistra inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa pada labia inferior dan juga terdapat beberapa vulnus excoriasi. Dimana terlebih lagi pada kasus ini, anak mengalami cacat mental dan phobia dengan jarum.

TRANSCRIPT

Page 1: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Dewasa ini, banyak dijumpai anak – anak mengalami kecelakaan bermotor

seperti jatuh atau kecelakaan sehingga menyebabkan fraktur gigi dan luka koyak

akibat jatuh.Hal – halapapun dapat terjadi bila terjadi kecelakaan, seperti luka

bagian tubuh, kepala terbentur, dapat juga terjadi fraktur pada bagian gigi seperti

pada kasus yang ditemukan dimana yang mengalami gigi insisivus 2 sinistra

inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa pada labia inferior dan juga terdapat

beberapa vulnus excoriasi. Dimana terlebih lagi pada kasus ini, anak mengalami

cacat mental dan phobia dengan jarum.

Apabila terjadi hal – halseperti ini maka harus segera dirawat karena dapat

menimbulkan efek lain. Karena itu keselamatan harus selalu diperhatikan agar

tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dalam mengendarai kendaraan bermotor.

Kasus seperti ini sering dijumpai di kalangan masyarakat, dimana masyarakat

sering kebingungan harus dibawa kemanakah pasien anak – anak yang mengalami

kecelakaan seperti ini.

Kelalaian seperti ini sudah sering terjadi tetapi tidak dihiraukan

masyarakat, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko terjadinya

kecelakaan seperti berkendaraan yang tidak memakai helm, trobos lampu lalu

lintas, dan bisa juga karena tidak memperhatikan jalan. Apabila terjadi kecelakaan

terjadi suatu fraktur pada gigi, maka dokter gigilah yang berperan dalam

perawatan tersebut, dimana seorang dokter gigi wajib meminta advice apabila

pasien tersebut tidak dapat ditangani oleh dokter gigi lagi atau kurangnya

kemampuan dokter tersebut dalam menangani kasus anak cacat mental yang juga

memiliki phobia jarum.

Adapun phobia jarum ini terjadi karena adanya trauma masa laluyang

membuat rasa takut di masa depan, dan rata – rata dalam kasus seperti ini

sangatlah diperlukan advice dari dokter spesialis kejiwaan. Selain itu, mengenai

1

Page 2: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

anak cacat mental ini juga sangat diperlukan advice dari dokter spesialis anastesi

dimana hal ini berguna untuk menetukan cara menganatesi pasien sebelum

ditangani gigi insisivus 2 sinistra inferior fraktur serta adanya laserasi mukosa

pada labia inferior dan juga terdapat beberapa vulnus excoriasi, karena pasien

dalam kondisi seperti ini cenderung sangat minim diajak berkomunikasi.. Dalam

hal inilah dokter gigi berperan dalam meminta advice kepada dokter spesialis

untuk menciptakan hubungan komunikasi yang baik dengan pasien cacat mental

yang mempunyai phobia jarum sebelum melakukan tindakan pemeriksaan.

2

Page 3: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

1.2 RUMUSAN MASALAH

Adapun rumusan masalah dari penulisan skenario ini adalah :

1. Bagaimanakah cara dokter gigi menangani kasus ini?

2. Jenis anastesi apakah yang dapat digunakan pada pasien phobia jarum?

3. Faktor – faktor penyebab yang menyebabkan phobia jarum tersebut?

4. Faktor – faktor penyebab menjadi cacat mental dan cirri – cirinya?

5. Bagaimana cara membangun hubungan komunikasi yang baik antara dokter

gigi dengan pasien cacat mental?

6. Dalam kondisi seperti apakah pasien pada kasus ini dapat dirujuk?

7. Bagaimana cara merujuk pasien dalam kasus ini?

1.3 TUJUAN PEMBELAJARAN

Dalam menuliskan makalah ini, diharapkan agar mahasiswa dapat memahami

dan mengerti tentang :

1. Mengintegrasikan ilmu biomedik yang relevan dengan bidang kedokteran gigi

untuk menegakkan diagnosa dan menetapkan prognosis penyakit dan cara

penanganannya,

2. Faktor – faktor penyebab anak cacat mental

3. Cara menciptakan hubungan komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan

pasien cacat mental,

4. Cara menangani pasien cacat mental yang minim diajak berkomunikasi,

5. Cara merujuk pasien kedokter spesialis atau psikiatri,

6. Membuat sistem rujukan yang baik.

3

Page 4: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 RETARDASI MENTAL

2.1.1 Defenisi

Retardasi mental merupakan suatu kelainan mental seumur hidup,

diperkirakan lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia menderita kelainan ini .

Oleh karena itu retardasi mental merupakan masalah di bidang kesehatan

masyarakat, kesejahteraan sosial dan pendidikan baik pada anak yang mengalami

retardasi mental tersebut maupun keluarga dan masyarakat. Retardasi mental

merupakan suatu keadaan penyimpangan tumbuh kembang seorang anak

sedangkan peristiwa tumbuh kembang itu sendiri merupakan proses utama,

hakiki, dan khas pada anak serta merupakan sesuatu yang terpenting.

Retardasi mental bermakna dan secara langsung menyebabkan gangguan

adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa perkembangan. Klasifikasi

retardasi mental adalah mild retardation, moderate retardation, severe retardation

dan profound retardation. Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari

pranatal, perinatal dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan

lebih dari 1000 macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak

diantaranya yang dapat dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat

digolongkan atas penyebab biologis dan psikososial. Diagnosis retardasi mental

tidak hanya didasarkan atas uji intelegensia saja, melainkan juga dari riwayat

penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis,

laboratorium, pemeriksaan penunjang.(Fisher, 1990)

2.1.2 Klasifikasi

Uji intelegensia pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog

Perancis yang bernama Alfred Binet dan Theodore Simon pada tahun 1900. Pada

tahun 1916 Dr Lewis Terman mengadaptasi pemeriksaan intelegensia berdasarkan

4

Page 5: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

skala Binet tersebut di Stanford University. Saat ini uji intelegensia tersebut

dinamakan Stanford Binet Intelligence Scale yang sudah direvisi 4 kali yaitu

tahun 1937, 1960, 1973, dan 1986. William Stern pada tahun 1912 membuat

konsep intelligence quotient (IQ) sebagai suatu perbandingan antara mental age

(MA) dan chronological age (CA). Pada tahun 1939 David Wechsler

mempublikasikan suatu tes intelegensia yang mengukur fungsi intelektual yang

lebih global. Uji ini kemudian disebut Wechsler Intelligence Scale for Children

(WISC) yang kemudian direvisi tahun 1976 dan disebut Wechsler Intelligence

Scale for Children Revised (WISC-R). (Turner, 1986)

Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural

Disorders, WHO, Geneva tahun 1994 MA IQ = x 100 CA172 retardasi mental

dibagi menjadi 4 golongan yaitu :

• Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69

• Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49

• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34

• Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

2.1.2.1 Retardasi Mental Ringan

Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat

dididik (educable). Anak mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu

menguasainya untuk keperluan bicara sehari-hari dan untuk wawancara klinik.

Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri secara independen (makan,

mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung kemih),

meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal.

Kesulitan utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan

banyak yang bermasalah dalam membaca dan menulis. Dalam konteks

sosiokultural yang memerlukan sedikit kemampuan akademik, mereka tidak ada

masalah. Tetapi jika ternyata timbul masalah emosional dan sosial, akan terlihat

bahwa mereka mengalami gangguan, misal tidak mampu menguasai masalah

perkawinan atau mengasuh anak, atau kesulitan menyesuaikan diri dengan tradisi

budaya.(Turner, 1986)

5

Page 6: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.1.2.2 Retardasi Mental Sedang

Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat

dilatih (trainable). Pada kelompok ini anak mengalami keterlambatan

perkembangan pemahaman dan penggunaan bahasa, serta pencapaian akhirnya

terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan ketrampilan motor

juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan

pengawasan sepanjang hidupnya. Kemajuan di sekolah terbatas, sebagian masih

bisa belajar dasardasar membaca, menulis dan berhitung.(Sidiarto, 1992)

2.1.2.3 Retardasi Mental Berat

Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental

sedang dalam hal gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang

terkait. Perbedaan utama adalah pada retardasi mental berat ini biasanya

mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya defisit neurologis.

2.1.2.4 Retardasi Mental Sangat Berat

Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas

kemampuannya dalam mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi.

Umumnya anak sangat terbatas dalam hal mobilitas, dan hanya mampu pada

bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.

2.1.3 Etiologi

Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang

seorang anak. Seperti diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak

pada garis besarnya adalah faktor genetik/heredokonstitusional yang menentukan

sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan. Yang dimaksud dengan

lingkungan pada anak dalam konteks tumbuh kembang adalah suasana (milieu)

dimana anak tersebut berada. Dalam hal ini lingkungan berfungsi sebagai

penyedia kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang.

6

Page 7: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat

digolongkan menjadi 3 golongan, yaitu:

Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)

- Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting)

- Perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI, penimbangan bayi secara teratur,

pengobatan sederhana, dan lain lain)

- Papan (pemukiman yang layak)

- Higiene, sanitasi

- Sandang

- Kesegaran jasmani, rekreasi

Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih). Pada tahuntahun pertama kehidupan

hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak merupakan syarat

mutlak untuk menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik fisis,

mental maupun sosial.

Kebutuhan akan stimulasi mental (asah). Merupakan cikal bakal proses

pembelajaran (pendidikan dan pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini

membantu perkembangan mental-psikososial (kecerdasan, ketrampilan,

kemandirian, kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya).

Perkembangan ini pada usia balita disebut sebagai perkembangan

psikomotor. Kelainan atau penyimpangan tumbuh kembang pada anak terjadi

akibat gangguan pada interaksi antara anak dan lingkungan tersebut, sehingga

kebutuhan dasar anak tidak terpenuhi. Keadaan ini dapat menyebabkan morbiditas

anak, bahkan dapat berakhir dengan kematian. Kalaupun kematian dapat diatasi,

sebagian besar anak yang telah berhasil tetap hidup ini mengalami akibat menetap

dari penyimpangan tersebut yang dikategorikan sebagai kecacatan, termasuk

retardasi mental. Jelaslah bahwa dalam aspek pencegahan terjadinya retardasi

mental praktek pengasuhan anak dan peran orangtua sangat penting.(Fisher, 1990)

Etiologi retardasi mental dapat terjadi mulai dari fase pranatal, perinatal

dan postnatal. Beberapa penulis secara terpisah menyebutkan lebih dari 1000

macam penyebab terjadinya retardasi mental, dan banyak diantaranya yang dapat

dicegah. Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab

7

Page 8: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

biologis dan psikososial. Penyebab biologis atau sering disebut retradasi mental

tipe klinis mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

• Pada umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat

• Tampak sejak lahir atau usia dini

• Secara fisis tampak berkelainan/aneh

• Mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal, perinatal maupun postnatal

• Tidak berhubungan dengan kelas sosial

Penyebab psikososial atau sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri

sebagai berikut :

• Biasanya merupakan retardasi mental ringan

• Diketahui pada usia sekolah

• Tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium

• Mempunyai latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah)

• Ada hubungan dengan kelas sosial Melihat struktur masyarakat Indonesia,

golongan sosio ekonomi rendah masih merupakan bagian yang besar dari

penduduk, dapat diperkirakan bahwa retardasi mental di Indonesia yang terbanyak

adalah tipe sosio-kultural.

Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam

1. Penyebab pranatal

• Kelainan kromosom

• Kelainan genetik /herediter

• Gangguan metabolik

• Sindrom dismorfik

• Infeksi intrauterin

• Intoksikasi

2. Penyebab perinatal

• Prematuritas

• Asfiksia

• Kernikterus

• Hipoglikemia

• Meningitis

8

Page 9: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

• Hidrosefalus

• Perdarahan intraventrikular

3. Penyebab postnatal

• Infeksi (meningitis, ensefalitis)

• Trauma

• Kejang lama

• Intoksikasi (timah hitam, merkuri)

2.1.3.1 Penyebab Pranatal

2.1.3.1.1 Kelainan Kromosom

Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah

sindrom Down. Disebut demikian karena Langdon Down pada tahun 1866 untuk

pertama kali menulis tentang gangguan ini, yaitu bayi yang mempunyai

penampilan seperti mongol dan menunjukkan keterbelakangan mental seperti

idiot. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena sebagian besar dari golongan ini

termasuk retardasi mental sedang. Sindrom Down merupakan 10-32% dari

penderita retardasi mental. Diperkirakan insidens dari sindrom Down antara 1-1,7

per 1000 kelahiran hidup per tahun. Risiko timbulnya sindrom Down berkaitan

dengan umur ibu saat melahirkan. Ibu yang berumur 20-25 tahun saat melahirkan

mempunyai risiko 1:2000, sedangkan ibu yang berumur 45 tahun mempunyai

risiko 1:30 untuk timbulnya sindrom Down. Analisis kromosom pada sindrom

Down 95% menunjukkan trisomi –21, sedangkan 5% sisanya merupakan mosaik

dan translokasi . (Sidiarto, 1992)

Kelainan kromosom lain yang bermanifestasi sebagai retardasi mental

adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13 atau sindrom Patau,

sindrom Cri-du- chat, sindrom Kline felter, dan sindrom Turner. Berdasarkan

pengamatan ternyata kromatin seks, yang merupakan kelebihan kromosom -X

pada laki-laki lebih banyak ditemukan di antara penderita retardasi mental

dibandingkan laki-laki normal. Diperkirakan kelebihan kromosom-X pada laki-

laki memberi pengaruh tidak baik pada kesehatan jiwa, termasuk timbulnya

psikosis, gangguan tingkah laku dan kriminalitas.

9

Page 10: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

Kelainan kromosom-X yang cukup sering menimbulkan retardasi mental

adalah Fragile-X syndrome, yang merupakan kelainan kromosom-X pada band

q27. Kelainan ini merupakan X-linked, dibawa oleh ibu. Penampilan klinis yang

khas pada kelainan ini adalah dahi yang tinggi, rahang bawah yang besar, telinga

panjang, dan pembesaran testis. Diperkirakan prevalens retardasi mental yang

disebabkan fragile-X syndrome pada populasi anak usia sekolah adalah 1 : 2610

pada laki-laki, dan 1: 4221 pada perempuan.

2.1.3.1.2 Kelainan Metabolik

Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah

Phenylketonuria (PKU), yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak

mampu mengubah asam amino fenilalanin menjadi tirosin karena defisiensi enzim

hidroksilase. Penderita laki-laki tenyata lebih besar dibandingkan perempuan

dengan perbandingan 2:1. Kelainan ini diturunkan secara autosom resesif.

Diperkirakan insidens PKU adalah 1:12 000-15 000 kelahiran hidup. Penderita

retardasi mental pada PKU 66,7% tergolong retardasi mental berat dan 33,3%

retardasi mental sedang.(Balarajan, 1989)

Galaktosemia adalah suatu gangguan metabolisme karbohidrat disebabkan

karena tubuh tidak mampu menggunakan galaktosa yang dimakan. Dengan diet

bebas galaktosa bayi akan bertambah berat badannya dan fungsi hati akan

membaik, tetapi menurut beberapa penulis perkembangan mental tidak

mengalami perubahan. Penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy adalah

suatu gangguan metabolisme lemak, dimana tubuh tidak bisa mengubah zat-zat

pralipid mejandi lipid yang disebabkan oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar

tiroid, defek pada sekresi TSH atau TRH, defek pada produksi hormon tiroid).

Kadang-kadang gejala klinis tidak begitu jelas dan baru terdeteksi setelah 6-12

minggu kemudian, padahal diagnosis dini sangat penting untuk mencegah

timbulnya retardasi mental atau paling tidak meringankan derajat retardasi

mental. Gejala klasik hipotiroid kongenital pada minggu pertama setelah lahir

adalah miksedema, lidah yang tebal dan menonjol, suara tangis yang serak karena

10

Page 11: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

edema pita suara, hipotoni, konstipasi, bradikardi, hernia umbilikalis. Prevalens

hipotiroid kongenital berkisar 1:4000 neonatus di seluruh dunia.

Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan retardasi mental

baik dinegara sedang berkembang maupun di negara maju. Diperkirakan 600 juta

sampai 1 milyar penduduk dunia mempunyai risiko defisiensi yodium, terutama di

negara sedang berkembang. Penelitian WHO mendapatkan 710 juta penduduk

Asia, 227 juta Afrika, 60 juta Amerika Latin, dan 20-30 juta Eropa mempunyai

risiko defisiensi yodium. Akibat defisiensi yodium pada masa perkembangan otak

karena asupan yodium yang kurang pada ibu hamil meyebabkan retardasi mental

pada bayi yang dilahirkan. Kelainan ini timbul bila asupan yodium ibu hamil

kurang dari 20 ug ( normal 80-150 ug) per hari. Dalam bentuk yang berat kelainan

ini disebut juga kretinisme, dengan manisfestasi klinis adalah miksedema,

kelemahan otot, letargi, gangguan neurologis, dan retardasi mental berat. Di

daerah endemis, 1 dari 10 neonatus mengalami retardasi mental karena defisiensi

yodium.

2.1.3.1.3 Infeksi

Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan

anomali pada janin yang dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin

berkurang bila infeksi timbul pada triwulan kedua dan ketiga. Manifestasi klinis

rubela kongenital adalah berat lahir rendah, katarak, penyakit jantung bawaan,

mikrosefali, dan retardasi mental.(Rydhstroem, 1995)

Infeksi cytomegalovirus tidak menimbulkan gejala pada ibu hamil tetapi

dapat memberi dampak serius pada janin yang dikandungnya. Manifestasi klinis

antara lain hidrosefalus, kalsifikasi serebral, gangguan motorik, dan retardasi

mental. Intoksikasi fetal alcohol sindrom merupakan suatu sindrom yang

diakibatkan intoksikasi alkohol pada janin karena ibu hamil yang minum

minuman yang mengandung alkohol, terutama pada triwulan pertama. Di negara

Amerika Serikat FAS merupakan penyebab tersering dari retardasi mental setelah

sindrom Down. Insidens FAS berkisar antara 1-3 kasus per 1000 kelahiran

hidup. Pada populasi wanita peminum minuman keras insidens FAS sangat

11

Page 12: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

meningkat yaitu 21-83 kasus per 1000 kelahiran hidup, padahal di Eropa dan

Amerika 8% wanita merupakan peminum minuman keras.

2.1.3.1.4 Penyebab Perinatal

Koch menulis bahwa 15-20% dari anak retardasi mental disebabkan

karena prematuritas. Penelitian dengan 455 bayi dengan berat lahir 1250 g atau

kurang menunjukkan bahwa 85% dapat mempelihatkan perkembangan fisis rata-

rata, dan 90% memperlihatkan perkembangan mental rata-rata. Penelitian pada 73

bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang menunjukkan IQ yang

bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata 94. Keadaan fisis anak-anak tersebut

baik, kecuali beberapa yang mempunyai kelainan neurologis, dan gangguan mata.

Penulis-penulis lain berpendapat bahwa semakin rendah berat lahirnya, semakin

banyak kelainan yang dialami baik fisis maupun mental.Asfiksia, hipoglikemia,

perdarahan intraventrikular, kernikterus, meningitis dapat menimbulkan

kerusakan otak yang ireversibel, dan merupakan penyebab timbulnya retardasi

mental.

2.1.3.2 Penyebab Postnatal

Faktor- faktor postnatal seperti infeksi, trauma, intoksikasi, kejang dapat

menyebabkan kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental.

2.1.3.3 Etiologi pada Kelompok Sosio–Kultural

Proses psikososial dalam keluarga dapat merupakan salah satu penyebab

retardasi mental. Sebenarnya bermacammacam sebab dapat bersatu untuk

menimbulkan retardasi mental. Proses psikososial ini merupakan faktor penting

bagi retardasi mental tipe sosio-kultural, yang merupakan retardasi mental ringan.

2.1.4 Diagnosis

Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia

saja, melainkan juga dari riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari

sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium, pemeriksaan penunjang. Yang perlu

12

Page 13: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi sosialnya. Dari

anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental.

Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit

dibandingkan pada anak normal, karena anak retardasi mental kurang kooperatif.

Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya tanda-tanda dismorfik dari

sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis, serta

penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun

dilakukan tes intelegensia.

Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu klasifikasi

adanya serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih

terbuka. Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan

ferriklorida dan asam amino urine dapat dilakukan sebagai screning PKU.

Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila dicurigai adanya kelainan

kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa pemeriksaan

penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-

Scan, dan MRI.

Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3

tahun, karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar.

Pada bayi dapat dinilai perkembangan motorik halus maupun kasar, serta

perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya penderita retardasi mental juga

mengalami keterlambatan motor dan bahasa.

2.1.5 Tatalaksana

2.1.5.1 Tatalaksana Medis

Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental

adalah terutama untuk menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin)

dapat memperbaiki keseimbangan emosi dan fungsi kognitif. Imipramin,

dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin kadang-kadang

dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada

umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat,

gamma aminobutyric acid (GABA).

13

Page 14: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.1.5.2 Rumah Sakit/Panti Khusus

Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar:

kedudukan sosial keluarga, sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat

retardasi mental, pandangan orangtua mengenai prognosis anak, fasilitas

perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk membimbing orangtua dan

sosialisasi anak. Kerugian penempatan di panti khusus bagi anak retardasi mental

adalah kurangnya stimulasi mental karena kurangnya kontak dengan orang lain

dan kurangnya variasi lingkungan yang memberikan kebutuhan dasar bagi anak.

2.1.5.3 Psikoterapi

Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada

orangtua anak tersebut. Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental

tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan dapat diusahakan perubahan sikap,

tingkah laku dan adaptasi sosialnya.

2.1.5.4 Konseling

Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan

ada atau tidaknya retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi

mengenai dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan

dan pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti

khusus, konseling pranikah dan pranatal.

2.1.5.5 Pendidikan

Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun

bagaimana mendapatkan pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini.

Terdapat empat macam tipe pendidik untuk retradasi mental.

• Kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa

• Sekolah luar biasa C

• Panti khusus

• Pusat latihan kerja (sheltered workshop)

14

Page 15: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.1.6 Pencegahan

Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi

mental), atau sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). Sebab-

sebab retardasi mental yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma, intoksikasi,

komplikasi kehamilan, gangguan metabolisme, kelainan genetik.(Turner, 1986)

2.2 DENTAL FOBIA

Fobia terbagi dua yaitu fobia sosial dan fobia spesifik. Menurut Diagnostic

and Statistical Manual of Mental Disorders (DSMN), dental fobia merupakan

salah satu fobia spesifik. Antara kriteria untuk pengidap fobia spesifik adalah

adanya rasa takut yang persisten, berlebihan dan tanpa alasan terhadap objek atau

situasi tertentu, adanya respon secara tiba-tiba terhadap stimulus atau rangsangan

yang ditakuti.

Fobia terhadap perawatan gigi merupakan fenomena yang multifaktorial

dan kompleks. Fobia akan mempengaruhi tingkah laku anak dan dapat

menentukan keberhasilan kunjungan ke dokter gigi. Fobia terhadap alat

kedokteran gigi disebabkan karena ketidaktahuan terhadap penggunaan setiap alat

yang terdapat di ruang perawatan sehingga menyebabkan pasien menjadi cemas

serta takut. Sebagai contoh, sebagian pasien memiliki rasa takut terhadap jarum

suntik (trypanophobia) dan sebagian lagi takut terhadap suntikan yang digunakan

oleh dokter gigi untuk menganestesi rongga mulut.

Beberapa faktor yang menyebabkan injeksi yang dilakukan terasa sakit

yaitu tidak menggunakan anestesi topikal sebelum melakukan injeksi, terlalu kuat,

menggunakan jarum tumpul, memasukkan obat anestesi terlalu cepat ke dalam

jaringan.

Terbentuknya fobia ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman sosial semasa

kecil, seperti sikap dokter gigi yang dingin dan tidak berperasaan, beberapa

prosedur kedokteran gigi yang dapat menyebabkan nyeri walaupun sedikit

menyebabkan rasa takut, kebanyakan pasien yang pernah memiliki pengalaman

15

Page 16: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

buruk dengan dokter gigi cenderung takut terhadap suara terutama suara bor dan

bau ruangan praktek dokter gigi dan ketakutan terhadap mati rasa atau tersedak

juga menyebabkan penghindaran praktek dokter gigi.

Hal ini didukung lagi dengan beberapa faktor pendukung terjadinya dental

fobia yaitu pengaruh orang tua seperti sikap dan pengalaman keluarga yang buruk

terhadap perawatan kesehatan gigi, status sosial ekonomi keluarga. (Repository

USU, 2014)

2.3  HUBUNGAN DOKTER DAN PASIEN

            Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya

berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut

rupanya hanya terlihat superioritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu

biomedis; hanya ada kegiatan pihak dokter sedangkan pasien tetap pasif.

Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu

pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Oleh karena hubungan

dokter-pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan

yang mendekati persamaan hak antar manusia.(Endang, 2009)

Jadi hubungan dokter yang semula bersifat patemalistik akan bergeser

menjadi hubungan yang dilaksanakan dengan saling mengisi dan saling

ketergantungan antara kedua belah pihak yang di tandai dengan suatu kegiatan

aktif yang saling mempengaruhi. Dokter dan pasien akan berhubungan lebih

sempurna sebagai partner. Sebenamya pola dasar hubungan dokter dan pasien,

terutama berdasarkan keadaan sosial budaya dan penyakit pasien dapat dibedakan

dalam tiga pola hubungan, yaitu:

1.      Activity – passivity. Pola hubungan orangtua-anak seperti ini merupakan

pola klasik sejak profesi kedokteran mulai mengenal kode etik, abad ke 5 S.M. Di

sini dokter seolah-olah dapat sepenuhnya melaksanakan ilmunya tanpa campur

tangan pasien. Biasanya hubungan ini berlaku pada pasien yang keselamatan

jiwanya terancam, atau sedang tidak sadar, atau menderita gangguan mental berat.

2.      Guidance – Cooperation. Hubungan membimbing-kerjasama, seperti hainya

orangtua dengan remaja. Pola ini ditemukan bila keadaan pasien tidak terlalu berat

16

Page 17: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

misalnya penyakit infeksi baru atau penyakit akut lainnya. Meskipun sakit, pasien

tetap sadar dan memiliki perasaan serta kemauan sendiri. la berusaha mencari

pertolongan pengobatan dan bersedia bekerjasama. Walau pun dokter rnengetahui

lebih banyak, ia tidak semata-rna ta menjalankan kekuasaan, namun meng

harapkan kerjasama pasien yang diwujudkan dengan menuruti nasihat atau

anjuran dokter.

3.      Mutual participation. Filosofi pola ini berdasarkan pemikiran bahwa setiap

manusia memiliki martabat dan hak yang sarna. Pola ini terjadi pada mereka yang

ingin memelihara kesehatannya seperti medical check up atau pada pasien

penyakit kronis. Pasien secara sadar dan aktif berperan dalam pengobatan

terhadap dirinya. Hal ini tidak dapat diterapkan pada pasien dengan latar belakang

pendidikan dan sosial yang rendah, juga pada anak atau pasien dengan gangguan

mental tertentu. Akibatnya, bila pasien merugi, tuduhan malpraktik menjadi

marak hanya karena kurangnya komunikasi yang buruk. Hubungan dokter-pasien

yang bersifat kontraktual akan menimbulkan hak-hak pasien, yaitu rights to health

care dan right to self determination. Sedangkan selain menuntut hak, dokter wajib

memberikan pelayanan medis sesuai standar profesi dan SOP.

2.3.1 Timbulnya Hubungan Hukum antara dokter – pasien

            Dengan semakin meningkatnya peranan hukum dalam pelayanan

kesehatan, yang antara lain disebabkan karena meningkatnya tingkat pendidikan,

kesadaran masyarakat akan kebutuhan kesehatan, maka akan meningkat pula

perhatian masyarakat tenang hak-haknya untuk memperoleh pelayanan kesehatan

yang baik dan bermutu dengan pelayanan yang lebih luas dan mendalam.

            Dengan demikian, adanya gejala yang demikian itulah mendorong orang

untuk berusaha menemukan dasar hukum (yuridis) bagi pelayanan kesehatan yang

sebenarnya juga merupakan perbuatan hukum yang mengakibatkan timbulnya

hubungan hukum, walaupun hal tersebut sering kali tidak disadari oleh dokter.

Secara yuridis timbulnya hubungan antara dokter dan pasien bisa berdasarkan dua

hal, yaitu berdasarkan perjanjian dan karena Undang-undang. (KKI, 2006)

17

Page 18: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.3.2 Pengakhiran Hubungan Dokter-Pasien

Kewajiban yang menyertai dokter akibat terbentuknya hubungan antara

dokter dengan pasien berlanjut hingga berakhirnya hubungan tersebut.

Berakhirnya hubungan tersebut dapat terjadi akibat :

1.      Selesainya pengobatan dengan membaiknya keadaan pasien

2.      Penolakan dokter oleh pasien

3.      Kesepakatan bersama

4.      Penarikan dokter secara resmi.

            Pasien dapat secara sepihak mengakhiri hubungan dengan alasan apapun

dan kapan pun. Pengakhiran ini dapat dinyatakan secara langsung atau tidak

langsung oleh sikap pasien. Meskipun ditolak, dokter memiliki kewajiban untuk

mengingatkan pasien akan resiko bila menghentikan pengobatan. Seorang dokter

yang berhati-hati akan secara cermat mendokumentasikan dasar-dasar dan hal-hal

yang berhubungan dengan penolakan pasien untuk melindungi dirinya bila ada

klaim dari pasien. Hubungan dokter-pasien dapat berakhir bila perawatan pasien

telah secara tepat dan lengkap diserahkan kepada dokter lainnya sehingga jasa dari

dokter yang menyerahkan pasien tidak lagi diperlukan dan kewajibannya untuk

merawat pasien berakhir. Sekali pelayanan diakhiri, umumnya dokter tidak

memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan lanjutan atau membuat

hubungan dokter-pasien lagi. Meskipun demikian beberapa keputusan pengadilan

telah memerintahkan tanggung jawab tersebut dengan alasan bahwa dokter berada

pada posisi yang lebih baik dari pasien dalam hal mengikuti perkembangan ilmu

pengetahuan. (KKI, 2006)

            Pengakhiran hubungan secara sepihak diizinkan. Pasien harus diberikan

cukup waktu untuk merencanakan perawatan dari dokter lain. Catatan tertulis

harus disertakan dan lebih diutamakan bila ditulis pada kertas bermeterai. Catatan

tersebut harus memberikan penjelasan mengenai keadaan pasien, pelayanan

lanjutan yang diperlukan sebagaimana halnya dengan penjelasan mengenai

konsekuensi dari kegagalan untuk memperoleh pelayanan lanjutan dan waktu

perawatan ini harus dituliskan pada catatan tersebut. Penarikan diri secara tidak

18

Page 19: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

tepat oleh dokter merupakan pelanggaran kontrak, kelalaian profesional,

dan abandonment. (Endang, 2009)

2.4 TRAUMA

Pengertian trauma secara umum adalah luka atau jejas baik fisik maupun

psikis. Trauma dengan kata lain disebut injury atau wound, dapat diartikan

sebagai kerusakan atau luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan

fisik dengan terputusnya kontinuitas normal suatu struktur. Trauma juga diartikan

sebagai suatu kejadian tidak terduga atau suatu penyebab sakit, karena kontak

yang keras dengan suatu benda. Definisi lain menyebutkan bahwa trauma gigi

adalah kerusakan yang mengenai jaringan keras gigi dan atau periodontal karena

sebab mekanis.( Schuurs, 1992)

Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka trauma gigi anterior

merupakan kerusakan jaringan keras gigi dan atau periodontal karena kontak yang

keras dengan suatu benda yang tidak terduga sebelumnya pada gigi anterior baik

pada rahang atas maupun rahang bawah atau kedua-duanya. Penyebab trauma gigi

pada anak-anak yang paling sering adalah karena jatuh saat bermain, baik di luar

maupun di dalam rumah dan saat berolahraga.

Trauma gigi anterior dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung,

trauma gigi secara langsung terjadi ketika benda keras langsung mengenai gigi,

sedangkan trauma gigi secara tidak langsung terjadi ketika benturan yang

mengenai dagu menyebabkan gigi rahang bawah membentur gigi rahang atas

dengan kekuatan atau tekanan besar dan tiba-tiba.

2.4.1 Fraktur Gigi

Fraktur dental atau patah gigi adalah hilangnya atau lepasnya fragmen dari

suatu gigi utuh yang biasanya disebabkan oleh trauma atau benturan. (Andreasen,

2003)

19

Page 20: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.4.2 Klasifikasi

Para ahli mengklasifikasikan berbagai macam kelainan akibat trauma gigi

anterior. Klasifikasi trauma gigi yang telah diterima secara luas adalah klasifikasi

menurut Ellis dan Davey (1970) dan klasifikasi yang direkomendasikan dari

World Health Organization (WHO) dalam Application of International

Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology. Ellis dan Davey

menyusun klasifikai trauma pada gigi anterior menurut banyaknya struktur gigi

yang terlibat, yaitu :

1.Klas I : Tidak ada fraktur atau fraktur mengenai email dengan atau tanpa

memakai perubahab tempat, menunjukkan luka kecil chipping dengan kasar.

2.Klas II : Fraktur mengenai dentin dan belum mengenai pulpa dengan atau tanpa

memakai perubahan tempat. pasien mungkin mengeluh rasa sakit untuk

menyentuh dan kepekaan terhadap udara. Sebuah paparan kuning pucat proses

dentinal, yang berkomunikasi langsung dengan pulp, dapat terjadi. Pasien lebih

muda dari 12 tahun memiliki gigi belum menghasilkan dentin apalagi mencakup

ruang antara pulp dan email. Kesempatan infeksi dan kerusakan pada pulp di

kelompok usia ini jauh lebih besar karena ukuran pulp lebih besar dan lebih

pendek jarak dentin infeksi harus melintasi.

3.Klas III : Fraktur mahkota dengan pulpa terbuka dengan atau tanpa perubahan

tempat. ; pasien mengeluh sakit dengan manipulasi, udara, dan suhu. tanda merah

muda atau kemerahan di sekitar dentin sekitarnya atau darah di tengah-tengah gigi

dari pulp terkena mungkin hadir. (Finn, 2003)

4.Klas IV : Gigi mengalami trauma sehingga gigi menjadi non vital dengan atau

tanpa hilangnya struktur mahkota

5.Klas V : Hilangnya gigi sebagai akibat trauma

6.Klas VI : Fraktur akar dengan atau tanpa hilangnya struktur mahkota

7.Klas VII : Perpindahan gigi atau tanpa fraktur mahkota atau akar gigi

8.Klas VIII : Fraktur mahkota sampai akar

9.Klas IX : Fraktur pada gigi desidui

Klasifikasi yang direkomendasikan dari World Health Organization

(WHO) dalam Application of International Classification of Diseases to Dentistry

20

Page 21: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

and Stomatology diterapkan baik gigi sulung dan gigi tetap, yang meliputi

jaringan keras gigi, jaringan pendukung gigi dan jaringan lunak rongga mulut

yaitu sebagai berikut :

I. Kerusakan pada jaringan keras gigi dan pulpa

1. Retak mahkota (enamel infraction), yaitu suatu fraktur yang tidak sempurna

pada email tanpa kehilangan struktur gigi dalam arah horizontal atau vertikal.

2. Fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture), yaitu

fraktur email yang tidak kompleks (uncomplicated crown fracture) yaitu suatu

fraktur yang hanya mengenai lapisan email saja.

3. Fraktur email-dentin (uncomplicated crown fracture), yaitu fraktur pada

mahkota gigi yang hanya mengenai email dan dentin saja tanpa melibatkan pulpa.

4. Fraktur mahkota yang kompleks (complicated crown fracture), yaitu fraktur

yang mengenai email, dentin, dan pulpa.

II. Kerusakan pada jaringan keras gigi, pulpa, dan tulang alveolar

1. Fraktur mahkota-akar, yaitu suatu fraktur yang mengenai email, dentin, dan

sementum. Fraktur mahkota akar yang melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur

mahkota-akar yang kompleks (complicated crown-root fracture) dan fraktur

mahkota-akar yang tidak melibatkan jaringan pulpa disebut fraktur mahkota-akar

yang tidak kompleks (uncomplicated crown-root fracture).

2. Fraktur akar, yaitu fraktur yang mengenai dentin, sementum, dan pulpa tanpa

melibatkan lapisan email. (Koch, 2001)

3. Fraktur dinding soket gigi, yaitu fraktur tulang alveolar yang melibatkan

dinding soket labial atau lingual, dibatasi oleh bagian fasial atau lingual dari

dinding soket.

4. Fraktur prosesus alveolaris, yaitu fraktur yang mengenai prosesus alveolaris

dengan atau tanpa melibatkan soket alveolar gigi.

5. Fraktur korpus mandibula atau maksila, yaitu fraktur pada korpus mandibula

atau maksila yang melibatkan prosesus alveolaris, dengan atau tanpa melibatkan

soket gigi.

21

Page 22: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

III. Kerusakan pada gusi atau jaringan lunak rongga mulut

1. Laserasi merupakan suatu luka terbuka pada jaringan lunak yang disebabkan

oleh benda tajam seperti pisau atau pecahan luka. Luka terbuka tersebut berupa

robeknya jaringan epitel dan subepitel.

2. Kontusio yaitu luka memar yang biasanya disebabkan oleh pukulan benda

tumpul dan menyebabkan terjadinya perdarahan pada daerah submukosa tanpa

disertai sobeknya daerah mukosa.

3. Luka abrasi, yaitu luka pada daerah superfisial yang disebabkan karena gesekan

atau goresan suatu benda, sehingga terdapat permukaan yang berdarah atau lecet.

Trauma pada gigi sulung dapat menyebabkan beberapa kelainan pada gigi tetap,

antara lain hipoplasia email, hipokalsifikasi, dan dilaserasi. Beberapa reaksi yang

terjadi pada jaringan pulpa setelah gigi mengalami trauma adalah hiperemi pulpa,

diskolorisasi, resorpsi internal, resorpsi eksternal, metamorfosis kalsifikasi pulpa

gigi, dan nekrosis pulpa. (Finn, 2003)

2.4.3 Penatalaksaan

Gigi yang mengalami fraktur akar umumnya akan terjadi ekstrusi fragmen

mahkota atau bergesernya mahkota ke arah palatal, oleh karena itu maka

perawatan yang dilakukan harus meliputi reposisi fragmen mahkota segera dan

stabilisasi.

Langkah-langkah perawatan fraktur akar:

(1). Berikan anesthesi lokal pada daerah sekitar fraktur.

(2). Lakukan reposisi fragmen mahkota secara perlahan-lahan dan tekanan ringan.

(3). Apabila dinding soket bukal juga mengalami fraktur maka tulang yang

bergeser perlu dilakukan reposisi sebelum reposisi fragmen mahkota. Tindakan ini

dilakukan dengan menggunakan instrumen kecil dan rata yang diletakkan antara

permukaan akar dan dinding soket.

(4). Pembuatan foto rontgen perlu dilakukan untuk memastikan reposisi telah

optimal.

(5). Gigi distabilisasi dengan menggunakan splint.

(6). Pertahankan splint selama 2-3 bulan. (Koch, 2001)

22

Page 23: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

2.4.4 Vulnus Eksoriasis

2.4.4.1 Defenisi

Luka eksoriasis atau luka lecet atau luka gores adalah cedera pada

permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau

pun runcing.

2.4.4.2 Penatalaksanaan

1. Anamnese

Penting untuk menentukan cara penanganan dengan menanyakan bagaimana,

dimana, dan kapan luka terjadi. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan

kemungkinan terjadinya kontaminasi dan menentukan apakah luka akan ditutup

secara primer atau dibiarkan terbuka.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Lokasi. Penting sebagai petunjuk kemungkinan adanya cedera pada struktur

yang lebih dalam.

b. Eksplorasi. Dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan cedera pada struktur

yang lebih dalam, menemukan benda asing yang mungkin tertinggal pada luka

serta menentukan adanya jaringan yang telah mati.

23

Page 24: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

Ami dan anaknya 15 tahun

Dokter gigi

AnamnesesJatuh dari sepeda motorMulut berdarahMengerang kesakitanCacat mentalPhobia jarum

PIOGusi berdarahI2 sinitra inferior fraktur

PEOVulnus exoriasisLabia inferior laserasi mukosa

Diagnosa : fraktur i2 inferior sinitra (retardasi mental )

Penanganan :Hentikan pendarahanBersihkan pendarahGas N2O (anastesi inhalasi) Sp.AnCabut gigi i2Rujuj ke Sp.KJ untuk RM dan Phobia

2.5 Mind Mapping

BAB 3

PEMBAHASAN

24

Page 25: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

BAB III

PEMBAHASAN

Dari skenario diketahui Ibu Ami membawa anaknya yang berumur

15tahun ke dokter gigi setalah terjatuh dari sepeda motor, ibu Ami mengeluh

mulut anaknya berdarah dan mengerang kesakitan kepada dokter. Dari

pemeriksaan IO, dimana ditemukan gusinya berdarah dan didapati insisivus 2

sinitra inferior fraktur dan pemeriksaan EO labia inferior laserasi mukosa dan

terdapat beberapa vulnus exoriasis.

Pada skenario diketahui pasien anak menderita retardasi mental, cacat jiwa

dan phobia pada jarum, Pasien dengan retardasi mental biasanya mengalami

perkembangan mental yang kurang, namun gelaja utamanya yaitu adanya

keterbelakangan intelegensi. Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan retardasi

mental dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk fisik, misalnya

perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan sindrom down.

Wajah pasien dengan retardasi mental umumnya mudah dikenali seperti

hipertelorisme, lidah yang menjulur keluar serta gangguan pertumbuhan gigi.

Berdasarkan gambaran klinisnya retardasi mental dapat diklasifikaskan

menjadi retardasi mental ringan, sedang, berat dan sangat berat. Pasien pada

skenario ini dapat diklasifikasikan ke dalam retardasi mental yang berat karena

terdapat keterbatasan dalam berkomunikasi. Retardasi mental dapat disebabkan

oleh berbagai faktor seperti cedera selama di dalam rahim, cedera setelah

kelahiran, gangguan metabolisme (karbohidrat, proteun, dan lemak), kesalahan

jumlah kromosom, penyakit otak, genetic, infeksi maternal dan lainnya.

Selain retardasi mental pasien juga mengalami phobia jarum. Phobia

merupakan rasa takut yang berlebihan terhadap sesuatu hal. Seorang yang

mengalami phobia pada jarum umumnya akan menjadi paranoid/parno ketika

harus melihat atau berhubungan langsung dengan jarum suntik, Kondisi

penderitanya bisa saja tiba-tiba drop dan bisa saja ada kemungkinan pingsan

25

Page 26: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

setelah melihat jarum suntik. Phobia terhadap jarum suntik dapat disebabkan oleh

faktor lingkungan, trauma, atau pengalaman buruk di masa lalu. Namun, hal yang

umumnya mendasari munculnya phobia jarum suntik yaitu adanya fiksasi yang

tak terlupakan dari kejadian di masa lalu misalnya ketika dilakukan proses

penyuntikan, penderita merasakan sakit dan beban emosional yang terlalu berat.

Oleh karena itu, dalam menangani pasien dalam kasus ini diperlukan

kerjasama dan komunikasi yang baik antara dokter gigi dengan orang tua pasien

untuk membantu mengetahui kondisi pasien dan memudahkan dalam melakukan

tindakan terhadap pasien.

Dalam kasus ini, tindakan utama yang dapat dilakukan oleh dokter gigi

yaitu membersihkan luka terlebih dahulu dan menghentikan pendarahan.

Dikarenakan pasien memiliki riwayat retardasi mental dan phobia terhadap jarum

suntik, maka dokter gigi harus bekerja sama atau meminta bantuan dokter

spesialis anastesi untuk memberikan anastesi umum dengan cara inhalasi yaitu

dengan menggunakan gas N2O. Setelah itu, dokter gigi dapat melakukan ekstraksi

gigi pada gigi I2 sinistra inferior yang fraktur. Sebagai dokter gigi, kita harus

menyarankan kepada orangtua pasien untuk memeriksakan anaknya ke dokter

spesialis kejiwaan untuk menangani retardasi mental si anak.

26

Page 27: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas dapat kami simpulkan bahwa:

1. Pasien dengan retardasi mental biasanya mengalami perkembangan mental

yang kurang, namun gelaja utamanya yaitu adanya keterbelakangan

intelegensi.

2. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan berbagai macam perubahan bentuk

fisik, misalnya perubahan bentuk kepala seperti mikrosefali, hidrosefali dan

sindrom down.

3. Retardasi mental dapat diklasifikaskan menjadi retardasi mental ringan,

sedang, berat dan sangat berat, pada skenario ini dapat diklasifikasikan ke

dalam retardasi mental yang berat karena terdapat keterbatasan dalam

berkomunikasi.

4. Dalam kasus ini diperlukan kerjasama dan komunikasi yang baik antara dokter

gigi dengan orang tua pasien untuk membantu mengetahui kondisi pasien dan

memudahkan dalam melakukan tindakan terhadap pasien.

4.2 Saran

1. Kepada Dokter Gigi diharapkan mampu memahami, mengaplikasikan

komunikasi yang efektif, memahami tentang anak yang mengalami retradasi

mental yang disertai dengan phobia terhadap jarum,

2. Kepada mahasiswa kedokteran gigi agar dapat memahami komunikasi yang

efektif antara dokter dengan pasien, serta memahami tentang cacat anak seperti

pada skenario ini adalah retradasi mental dan phobia jarum.

27

Page 28: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

DAFTAR PUSTAKA

1. Andreasen, J.O., Andreasen, F.M., Bakland, L.K., Flores, M. T. Traumatic Dental

Injuries A Manual. 2nd Edition. Munksgaard : Blackwell Publishing Company.

2003.

2. Balarajan R, Raleigh VS, Botting B. Mortality From Congenital Malformations In

England And Wales: Variations By Mother‘S Country Of Birth. Arch Diss In

Child 1989; 64:1457-62.

3. Birch, R.H. Huggins, D.G. Practical Pedodontics. Edinburgh: Churchill

Livingstone. 1973. Company. 2003

4. Endang Kusuma Astuti, 2009. Perjanjian Terapeutik Dalam Upaya Pelayanan

Medis Di Rumah Sakit. Bandung: Citra Aditya Bakti.

5. Finn, S.B. Clinical Pedodontics. 4th Ed. Philadelphia : W. B. Saunders

6. Fisher DA. The Thyroid. Dalam: Kaplan SA, Penyunting. Clinical Pediatric

Endocrinology. Philadelphia: W B Saunders Co,1990. H. 87-126.

7. Glascoe FP. Development Screening. Dalam: Wolraich ML, Penyunting.

Disorders Of Development Learning A Practical Guide Of Assesment And

Management. Edisi Ke- 2. St. Louis, 1996. H. 89-128.

8. Koch, G & Poulsen, S. Pediatric Dentistry A Clinical Approach. 1st

Edition.Copenhagen : Munksgaard. 2001.

9. Konsil Kedokteran Indonesia, 2006. Komunikasi Efektif Hubungan Dokter-

Pasien. Jakarta: KKI.

10. Lumbantobing SM. Anak Dengan Mental Terbelakang. Jakarta: Balai Penerbit

FKUI, 1997. H. 1-85.

11. Payne JS, Patton JR. Mental Retardation. Columbus: Bell & Howell

Company,1981. H. 1-466.

12. Prasadio T. Gangguan Psikiatrik Pada Anak-Anak Dengan Retardasi Mental.

Disertasi. Surabaya: Universitas Airlangga, 1976.

28

Page 29: Perawatan Ekstraksi Gigi pada Pasien Anak Retardasi Mental dan Phobia Jarum

13. Ramelan W. Tuna Grahita Bawaan: Latar Belakang Genetik Dan Deteksi Dini

Pada Orangtua. Disampaikan Pada Seminar Sehari Jangan Sampai Anakku Tuna

Grahita, Jakarta, 21 November, 1992.

14. Regier DA, Farmer ME, Et Al. Comorbidity Of Mental Disorders With Alcohol

And Other Drug Abuse, Result From The Epidemiologic Catchment Area (ECA)

Study. JAMA 1990; 264:2511-8.

15. Repository USU. Etiologi Terjadinya Dental Fobia

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/288727/2/Chapter%20III-V.pdf

10 Mei 2014.

16. Rydhstroem H. The Relationship Of Birth Weight And Birth Weight

Discordance To Cerebral Palsy Or Mental Retardation Later In Life For Twins

Weighing Less Than 2500 Grams. Am J Obstet Gynecol 1995; 173:680-6.

17. Schuurs, A.H.B. Dkk. Patologi Gigi-Geligi : Kelainan-Kelainan Jaringan Keras

Gigi. Terjemahan S. Suryo. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 1992

18. Sidiarto LD. Tuna Grahita Ditinjau Dari Aspek Neurologis. Disampaikan Pada

Seminar Sehari Jangan Sampai Anakku Tuna Grahita, Jakarta, 21 November

1992.

19. Simons JQ, Tymchuck AJ, Valente M. Treatment And Care Of The Mentally

Retarded. A Psychiatric Ann Repr 1974:15-20.

20. Sularyo TS. Tumbuh Kembang Anak Dengan Minat Khusus Pada Aspek

Pencegahan Tuna Grahita. Disampaikan Pada Seminar Sehari Jangan Sampai

Anakku Tuna Grahita, Jakarta, 21 November, 1992.

21. Turner G, Robinson H, Et Al. Preventive Screening For The Fragile X

Syndrome. N Eng J Med 1986; 315:607-9.

22. WHO. Primary Prevention Of Mental Neurological And Psychosocial Disorders.

Geneva, WHO 1998: H. 8-53.

29