retardasi mental
DESCRIPTION
RMTRANSCRIPT
5
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Tinjauan Pustaka
II.1.1. Definisi Retardasi Mental
Individu yang termasuk dalam retardasi mental merupakan individu yang
mengalami kemunduran atau tidak dapat berkembang dengan baik. American
Association on Mental Deficiency (AAMD) dan Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) mendefinisikan retardasi
mental sebagai fungsi intelektual keseluruhan yang secara bermakna di bawah
rata-rata yang menyebabkan atau berhubungan dengan gangguan pada perilaku
adaptif dan bermanifestasi selama periode perkembangan yaitu sebelum usia 18
tahun (American Psychiatric Association, 2000).
International Classification of Disease revisi ke-10 (ICD-10) menggunakan
istilah “retardasi mental adalah suatu kondisi terhentinya atau tidak lengkapnya
perkembangan pikiran, yang terutama ditandai oleh gangguan keterampilan yang
dimanifestasikan selama periode perkembangan, yang mempengaruhi keseluruhan
tingkat kecerdasan, yaitu kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial”
(Szymanski LC & Kaplan LC, 2004 ; Maslim, 2001). Retardasi mental disebut
juga oligofrenia (oligo = kurang atau sedikit dan fren = jiwa) atau tuna mental
(Willy & Albert, 2009).
I.1.1.1. Epidemiologi
Prevalensi retardasi mental pada suatu waktu diperkirakan adalah kira-kira
1% dari populasi. Insidensi tertinggi adalah pada anak usia sekolah, dengan
puncak usia 10 sampai 14 tahun. Retardasi mental kira-kira 1 ½ kali lebih sering
pada laki-laki dibandingkan wanita (“Pahami anak Down, 2004”). Pada lanjut usia,
prevalensi lebih sedikit, karena mereka dengan retardasi mental yang berat atau
sangat berat memiliki angka mortalitas yang tinggi yang disebabkan dari penyulit
gangguan fisik yang menyertai (Kaplan & Sadock, 2003).
I.1.1.2. Faktor Penyebab
Faktor penyebab dalam Retardasi Mental (RM) adalah kondisi genetik
(kromosom dan bawaan), pemaparan prenatal dengan infeksi dan toksin, trauma
6
perinatal (seperti prematuritas), kondisi yang didapat, dan faktor sosiokultural.
Keparahan retardasi mental yang dihasilkannya adalah berhubungan dengan saat
dan lama trauma atau pemaparan pada sistem saraf pusat. Kira-kira ¾ kasus RM
berat diketahui penyebabnya, sedangkan kasus RM ringan hanya setengahnya
yang diketahui penyebabnya (Kaplan & Sadock, 2003).
I.1.1.2.1. Faktor Genetik
Kelainan kromosom autosomal adalah berhubungan dengan retardasi mental.
Kelainan kromosom mungkin terdapat dalam jumlahnya atau dalam bentuknya.
1. Kelainan dalam jumlah kromosom, antara lain terdapat pada : Sindrom Down
atau Langton-Down atau mongolisme (trisomi otosomal atau trisomi
kromosom 21).
2. Kelainan dalam bentuk kromosom : “Cri du chat”: tidak terdapat cabang
pendek pada kromososm 5.
I.1.1.2.2. Faktor Pranatal
Diperlukan dalam perkembangan janin, meliputi kesehatan fisik, psikologis,
dan nutrisi maternal selama kehamilan. Penyakit dan kondisi kronis maternal yang
mempengaruhi perkembangan normal sistem saraf pusat janin adalah diabetes
yang tidak terkendali, anemia, emfisema, hipertensi, dan pemakaian jangka
panjang alkohol dan zat narkotik. Infeksi maternal selama kehamilan, terutama
infeksi virus yang telah diketahui menyebabkan kerusakan janin dan retardasi
mental. Derajat kerusakan janin tergantung pada variabel tertentu seperti jenis
infeksi virus, usia kehamilan janin, dan keparahan penyakit (Kaplan & Sadock,
2003).
I.1.1.2.3. Faktor Perinatal
Bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah berada dalam resiko
tinggi mengalami gangguan neurologis dan intelektual yang bermanifestasi
selama bertahun-tahun sekolahnya. Derajat gangguan perkembangan saraf
biasanya berhubungan dengan beratnya perdarahan intracranial atau tanda-tanda
iskemia serebral (Kaplan & Sadock, 2003). Selain itu trauma sebelum lahir,
seperti sinar-X, bahan kontrasepsi dan usaha melakukan abortus dapat
mengakibatkan kelainan dengan retardasi mental. Pada waktu lahir, kepala dapat
mengalami tekanan sehingga timbul perdarahan di dalam otak. Mungkin juga
7
terjadi kekurangan O2 (asfiksia neonatorum) yang terjadi pada 1/5 dari semua
kelahiran. Hal ini dapat terjadi karena aspirasi lender, aspirasi liquor amnii,
anesthesia ibu dan prematuritas. Bila kekurangan zat asam berlangsung terlalu
lama maka akan terjadi degenerasi sel-sel korteks yang kelak mengakibatkan
retardasi mental (Willy & Albert, 2009).
I.1.1.2.4. Gangguan Didapat pada Masa Anak-anak (Kaplan & Sadock, 2003)
1. Infeksi, yang paling serius mempengaruhi integritas serebral adalah ensefalitis
dan meningitis. Ensefalitis campak telah hampir dihilangkan oleh pemakaian
vaksin campak di seluruh dunia, dan insidensi infeksi bakterial pada sistem
saraf pusat telah diturunkan dengan nyata oleh obat antibakterial. Sebagian
besar episode ensefalitis disebabkan oleh organisme virus. Meningitis yang
didiagnosis lambat, dapat secara serius mempengaruhi perkembangan kognitif
anak.
2. Trauma Kepala, dapat menjadi penyebab kecacatan mental pada anak,
misalnya akibat kecelakaan di rumah (seperti terjatuh dari meja, jendela
terbuka atau dari tangga) dan kecelakaan kendaraan bermotor. Selain itu,
penyiksaan pada anak juga dapat menjadi suatu penyebab cedera kepala.
3. Masalah lain, misalnya pemaparan zat kimia, tumor intrakranial, pembedahan,
dan kemoterapi juga dapat merugikan fungsi otak.
I.1.1.2.5. Faktor Lingkungan dan Sosiokultural (Kaplan & Sadock, 2003 ;
Willy & Albert, 2009)
Retardasi mental dapat disebabkan oleh faktor-faktor biomedis ataupun
sosiobudaya (yang berhubungan dengan deprivasi psikososial dan penyesuaian
diri).
1. Retardasi mental akibat cultural-familial, apabila didapatkan retardasi mental
paling sedikit pada salah seorang dari orang tua penderitadan pada seorang atau
lebih saudaranya. Selain itu anak-anak dalam keluarga dengan ekonomi dan
pendidikan rendah dapat mempengaruhi perkembangan anak, misalnya dalam
hal perawatan medis yang buruk dan gizi maternal yang buruk.
2. Retardasi mental akibat lingkungan, timbul karena kurangnya rangsangan dari
lingkungan, antara lain rangsangan sensorik. Terlalu kurangnya komunikasi
verbal mengakibatkan kesukaran mengutarakan isi pikiran dalam kata-kata dan
8
penalaran konkret serta menghambat perkembangan pemikiran abstrak pada
anak. Selain itu, dapat disebabkan oleh pengaruh gangguan mental parental
yang parah sehingga dapat mengganggu pengasuhan dan stimulasi anak dan
aspek lain dari lingkungan mereka, dengan demikian menempatkan anak pada
resiko perkembangan. Anak-anak dari orang tua dengan gangguan mood dan
skizofrenia berada dalam resiko mengalami gangguan tersebut dan gangguan
yang berhubungan.
I.1.1.3 Gambaran klinis
I.1.1.3.1 Retardasi Mental Ringan
Retardasi mental ringan mungkin tidak terdiagnosis sampai anak tersebut
memasuki sekolah, karena keterampilan sosial dan komunikasi mungkin adekuat
dalam tahun-tahun prasekolah. Tapi, saat menjadi lebih besar, defisit kognitif
tertentu seperti kemampuan yang buruk untuk berpikir abstrak dan egosentrik
yang membedakan dirinya dari anak lain dalam seusianya. Walaupun anak RM
ringan mampu dalam fungsi akademik dan dapat mengikuti pendidikan formal
setingkat sekolah dasar dimana pada retardasi mental ini anak dapat dilatih dan
dididik di sekolah khusus. Selain itu kemampuan vokasionalnya bisa mendukung
mereka pada beberapa kasus, namun mereka mungkin sulit dalam kemampuan
asimilasi sosial, misalnya kemampuan komunikasi, harga diri yang kurang dan
ketergantungan terhadap lingkungan. Pada sebagian besar kasus, retardasi mental
ringan dapat mencapai suatu tingkat keberhasilan sosial dalam lingkungan yang
mendukung (Kaplan & Sadock, 2003 ; Willy & Albert, 2009).
I.1.1.3.2 Retardasi Mental Sedang
Pada retardasi mental sedang kemungkinan didiagnosis pada usia yang lebih
muda dibandingkan retardasi mental ringan karena terjadi perkembangan yang
lebih lambat, dan biasanya dimulai pada tahun-tahun usia sekolah dasar. Pada
retardasi ini, anak tidak dapat dididik, tetapi dapat dilatih. Walaupun pencapaian
akademiknya terbatas, anak dengan retardasi mental sedang, bila mendapatkan
perhatian khusus secara individual dapat mengembangkan keterampilannya
(Kaplan & Sadock, 2003 ; Willy & Albert, 2009).
9
I.1.1.3.3 Retardasi Mental Berat
Retardasi mental berat biasanya jelas pada tahun-tahun prasekolah, dimana
terjadi perkembangan keterampilan yang buruk seperti komunikasi dan
keterampilan motoriknya. Pada retardasi mental ini anak tidak dapat dididik dan
dapat dilatih. Pendekatan perilaku dapat membantu mendorong suatu tingkat
perawatan diri sendiri, walaupun orang dengan retardasi mental berat biasanya
memerlukan pengawasan yang luas (Kaplan & Sadock, 2003 ; Willy & Albert,
2009).
I.1.1.3.4 Retardasi Mental Sangat Berat
Anak dengan retardasi mental seperti ini mengalami keterampilan
komunikasi dan motorik yang sangat terbatas. Pada retardasi mental ini anak tidak
dapat dididik dan tidak dapat dilatih. Akan tetapi, jika dilakukan pengawasan yang
terus menerus, pada masa dewasa peningkatan yang sederhana dapat dicapai
(Kaplan & Sadock, 2003 ; Willy & Albert, 2009).
Tabel 1. Karakteristik Perkembangan Retardasi Mental (Kaplan & Sadock,
2003).
Derajat Retardasi Mental
Usia Prasekolah (0-5) Maturasi dan Perkembangan
Usia Sekolah (6-20) Latihan dan Pendidikan
Dewasa (21 dan Lebih) Keadekuatan Sosial dan Kejuruan
Sangat berat Retardasi jelas; kapasitas berfungsi yang minimal dalam bidang sensorimotorik ; memerlukan perawatan; memerlukan bantuan dan pengawasan terus menerus
Ada beberapa perkembangan motorik; dapat berespon minimal atau terbatas terhadap latihan menolong diri sendiri
Beberapa perkembangan motorik dan bicara; dapat mencapai perawatan diri yang sangat terbatas; memerlukan perawatan
Berat Perkembangan motorik yang miskin; berbicara sedikit biasanya tidak mampu belajar dari latihan
Dapat berbicara atau belajar berkomunikasi; dapat dilatih dlaam kebiasaan sehat dasar; memperoleh
Dapat berperan sebagian dalam pemeliharaan diri sendiri di bawah pengawasan lengkap; dapat
10
menolong diri sendiri; sedikit atau tidak mempunyai keterampilan komunikasi
manfaat dari latihan kebiasaan sistematik; tidak mampu memperoleh manfaat dari latihan kejuruan
mengembangkan keterampilan melindungi diri sendiri sampai tingkat minimal yang berguna dalam lingkungan yang terkendali
Sedang Dapat berbicara atau belajar untuk berkomunikasi; kesadaran sosial yang buruk; perkembangan motorik yang cukup; mendapat manfaat dari latihan menolong diri sendiri; dapat ditangani dengan pengawasan sedang
Dapat memperoleh manfaat dari latihan dalam keterampilan sosial dan pekerjaan; tidak mungkin berkembang lebih dari kelas dua dalam subjek akademik; dapat belajar sendirian di tempat yang telah dikenal
Dapat bekerja sendiri dalam pekerjaan yang tidak terlatih dan setengah terlatih di bawah kondisi terawasi; memerlukan pengawasan dan bimbingan jika berada dalam stress sosial atau ekonomi ringan
Ringan Dapat mengembangkan keterampilan social dan komunikasi; retardasi minimal dan bidang sensorimotorik; sering tidak dapat dibedakan dari normal dampai lebih tua
Dapat belajar keterampilan akademik sampai kira-kira kelas enam pada akhir usia remaja; dapat dibimbing untuk menyesuaikan diri dengan sosial
Biasanya dapat mencapai keterampilan social dan kejuruan yang adekuat untuk membiayai diri sendiri tetapi mungkin memerlukan bantuan dan bimbingan jika di bawah stress sosial
11
I.1.1.4. Diagnosis
Tabel 2. Kriteria Diagnostik untuk Retardasi Mental (Kaplan & Sadock, 2003).
A. Fungsi intelektual yang secara bermakna di bawah rata-rata : I.Q. kira-kira 70 atau kurang pada tes I.Q. yang dilakukan secara individual.
B. Adanya defisit atau gangguan yang menyertai dalam fungsi adaptif
(yaitu efektivitas orang tersebut untuk memenuhi standar-standar yang dituntut menurut usianya dalam kelompok kulturalnya) pada sekurang-kurangnya dua bidang keterampilan berikut: komunikasi, merawat diri sendiri di rumah, keterampilan sosial/interpersonal, menggunakan sarana masyarakat, mengarahkan diri sendiri, keterampilan akademik fungsional, pekerjaan, liburan, kesehatan dan keamanan).
C. Onset sebelum usia 18 tahun.
Berdasarkan pada derajat keparahan yang mencerminkan tingkat gangguan in- telektual :
Retardasi mental ringan : IQ 50-55 sampai kira-kira 70 Retardasi mental sedang : IQ 35-40 sampai 50-55 Retardasi mental berat : IQ 20-25 sampai 35-40 Retardasi mental sangat berat : IQ di bawah 20 atau 25 Retardasi mental, keparahan tidak ditentukan : jika terdapat kecurigaan
kuat adanya retardasi mental tetapi intelegensi pasien tidak dapat diuji oleh tes intelegensi baku.
I.1.1.5. Pencegahan dan Pengobatan
Menyadari semakin kompleksnya masalah yang dihadapi pada retardasi
mental maka berbagai usaha dilakukan untuk pencegahan. Pencegahan yang
dilakukan dibedakan sebagai berikut :
I.1.1.5.1. Pencegahan Primer
Merupakan tindakan yang dilakukan untuk menghilangkan atau menurunkan
kondisi yang menyebabkan gangguan perkembangan disertai dengan retardasi
mental.
12
Tindakan tersebut antara lain (Kaplan & Sadock, 2003) :
1. Pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat umum
tentang retardasi mental.
2. Usaha terus menerus dari professional bidang kesehatan untuk menjaga dan
memperbarui kebijaksanaan kesehatan masyarakat.
3. Aturan untuk memberikan pelayanan kesehatan maternal dan anak yang
optimal.
4. Eradikasi gangguan yang diketahui disertai dengan kerusakan sistem saraf
pusat.
5. Konseling keluarga dan genetik membantu menurunkan insiden retardasi
mental.
I.1.1.5.2. Pencegahan Sekunder dan Tersier
Dilakukan apabila suatu gangguan yang disertai retardasi mental telah
dikenali. Gangguan harus diobati untuk mempersingkat perjalanan penyakit
(pencegahan sekunder) dan menekan sekuela atau kecacatan yang terjadi
setelahnya (pencegahan tersier). Adapun cara pencegahan, menurut Willy &
Albert (2009) antara lain :
1. Pencegahan Sekunder, meliputi diagnosis dan pengobatan dini keradangan
otak, perdarahan subdural, kraniostenosis (sutura tengkorak menutup terlalu
cepat, dapat dibuka dengan kraniotomi; pada mikrosefali yang kongenital,
operasi tidak menolong).
2. Pencegahan Tersier, merupakan pendidikan penderita atau latihan khusus
sebaiknya di sekolah luar biasa. Dapat diberikan neuroleptika untuk
mengurangi gelisah, hiperaktif. Amfetamine atau antihistamin berguna pada
hiperkinesia.
I.1.1.5.3. Latihan dan Pendidikan (American Occupational Therapy Association, 2003)
1. Occuppasional Therapy (Terapi Gerak)
Terapi ini diberikan kepada anak retardasi mental untuk melatih gerak
funsional anggota tubuh (gerak kasar dan halus).
2. Playtherapy(Terapibermain)
Terapi yang diberikan kepada anak retardasi mental dengan cara bermain,
13
misalnya: memberikan pelajaran tentang hitungan, anak diajarkan dengan cara
sosiodrama, bermain jual-beli.
3. Activity Daily Living (ADL) atau Kemampuan Merawat Diri
Untuk memandirikan anak retardasi mental, mereka harus diberikan
pengetahuan dan keterampilan tentang kegiatan kehidupan sehari-hari (ADL)
agar mereka dapat merawat diri sendiri tanpa bantuan orang lain dan tidak
tergantung kepada orang lain.
4. Life Skill (Keterampilan hidup)
Anak yang memerlukan layanan khusus, terutama anak dengan IQ di bawah
rata-rata biasanya tidak diharapkan bekerja sebagai administrator. Bagi anak
retardasi mental yang memiliki IQ dibawah rata-rata, mereka juga diharapkan
untuk dapat hidup mandiri. Oleh karena itu, untuk bekal hidup, mereka
diberikan pendidikan keterampilan. Dengan keterampilan yang dimilikinya
mereka diharapkan dapat hidup di lingkungan keluarga dan masyarakat serta
dapat bersaing di dunia industri dan usaha.
5. Vocational Therapy (Terapi Bekerja)
Selain diberikan latihan keterampilan. Anak retardasi mental juga diberikan
latihan kerja. Dengan bekal keterampilan yang telah dimilikinya, anak retardasi
mental diharapkan dapat bekerja.
II.1.2. Pengertian Motorik Halus
Perkembangan motorik merupakan proses tumbuh kembang kemampuan
gerak seorang anak. Pada dasarnya, perkembangan ini berkembang sejalan dengan
kematangan saraf dan otot anak. Oleh karena itu, walaupun anak hanya bisa
melakukan aktivitas yang sederhana, namun hal tersebut merupakan hasil pola
interaksi yang kompleks dari berbagai bagian dan sistem dalam tubuh yang
dikontrol oleh otak. Perkembangan setiap anak tidak bisa sama, tergantung proses
kematangan masing-masing anak, khususnya pada anak dengan retardasi mental
tentunya mengalami perkembangan motorik lebih lambat dibanding anak normal
seusianya (Palisano et al., 2001). Perlunya pelatihan dalam meningkatkan motorik
pada anak retardasi mental sangatlah penting dalam kehidupan mereka dan dapat
secara langsung mempengaruhi rasa percaya diri anak serta kesuksesan di sekolah,
14
dalam kehidupan sehari-hari, bermain, dan lingkungannya (American
Occupational Therapy Association, 2003).
Kemampuan motorik halus diperlukan gerakan yang hanya menggunakan
otot–otot tertentu saja dan dilakukan oleh otot–otot kecil, membutuhkan
koordinasi gerak dan daya konsentrasi yang baik (Astati, 2000). Selain itu
diperlukan kesanggupan untuk menggunakan otot tangan dengan baik terutama
jari–jari tangan antara lain dengan menggerakkan pergelangan tangan,
menggerakkan jari kaki, menggenggam, menjepit dengan ibu jari dan telunjuk
(Sulistyaningsih, 2010).
Untuk memaksimalkan ketrampilan motorik halus pada anak retardasi
mental diperlukan latihan–latihan yang tepat seperti, kemampuan melengkungkan
telapak tangan membentuk cekungan (palmar arching), menggunakan jari
telunjuk dan jempol untuk memegang suatu benda, sembari menggunakan jari
tengah dan jari manis untuk kestabilan tangan (hand side separation), membuat
bentuk lengkung dengan jempol dan telunjuk (open web space).
(Sulistyaningsih, 2010)
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas maka dalam penelitian ini yang
dimaksud dengan kemampuan motorik halus adalah ketangkasan atau penguasaan
ketrampilan tangan anak retardasi mental yang dinyatakan dalam bentuk skor tes
kemampuan motorik seperti melipat jari. menggenggam, memegang, menjepit dan
menempel pada sebuah kertas.
I.1.2.1. Tahap Perkembangan Motorik Halus
Pada dasarnya, yang dimaksud perkembangan motorik adalah proses
tumbuh kembang kemampuan gerak seorang anak. Secara umum, perkembangan
motor dibagi menjadi dua yaitu motorik kasar dan motorik halus.
Motorik kasar adalah bagian dari aktivitas motorik yang melibatkan keterampilan
otot-otot besar. Sedangkan motorik halus merupakan aktivitas keterampilan yang
melibatkan gerakan otot-otot kecil, seperti menggambar, meronce manik-manik,
menulis dan makan. Kemampuan motorik halus ini berkembang setelah
kemampuan motorik kasar berkembang optimal.
15
I.1.2.2. Prinsip-Prinsip Perkembangan Motorik Halus (Hurlock, 1999)
1. Perkembangan melibatkan perubahan. Perkembangan motorik ditandai dengan
adanya perubahan ukuran, perubahan proporsi, hilangnya ciri lama, dan
mendapatkan ciri baru.
2. Hasil proses kematangan dan belajar. Proses kematangan yaitu warisan
genetik individu, sedangkan proses belajar yaitu perkembangan yang berasal
dari latihan dan usaha setiap individu.
3. Terdapat perbedaan dalam perkembangan motorik individu. Walaupun pola
perkembangan sama, setiap anak akan mengikuti pola perkembangan dengan
cara dan kecepatannya masing-masing.
4. Dapat diramalkan. Pola perkembangan fisik dapat diramalkan semasa
kehidupan pra dan pasca lahir. Perkembangan motorik akan mengikuti hukum
chepolocaudal yaitu perkembangan yang menyebar ke seluruh tubuh dari
kepala ke kaki. Hukum yang kedua yaitu proximodialis yaitu perkembangan
dari yang dekat ke yang jauh.
5. Pola perkembangan mempunyai karakteristik yang dapat diramalkan.
Karakteristik dalam perkembangan anak juga dapat diramalkan, hal ini berlaku
baik untuk perkembangan fisik maupun mental. Semua anak mengikuti pola
perkembangan yang sama dari satu tahap ke tahap lainnya.
6. Setiap tahap memiliki bahaya yang potensial. Beberapa hal yang menyebabkan
antara lain dari lingkungan bahkan dari anak itu sendiri. Bahaya ini dapat
mengakibatkan terganggunya penyesuaian fisik, psikologis, dan sosial anak.
I.1.2.3. Faktor yang mempengaruhi motorik halus (Hurlock, 1999)
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan gerak
motorik terutama motorik halus, antara lain :
1. Perkembangan sistem saraf. Sistem saraf sangat berpengaruh dalam
perkembangan motorik, karena sistem saraf merupakan sistem pengontrol
gerak motorik pada tubuh manusia.
2. Kemampuan fisik yang memungkinkan untuk bergerak. Karena perkembangan
motorik sangat erat kaitannya dengan fisik, maka kemampuan fisik seseorang
akan sangat berpengaruh pada perkembangan motorik seseorang. Anak yang
16
normal perkembangan motoriknya akan lebih baik dibandingkan anak yang
memiliki kekurangan fisik.
3. Keinginan anak yang memotivasinya untuk bergerak. Ketika anak mampu
melakukan suatu gerakan motorik, maka akan termotivasi untuk bergerak
kepada motorik yang lebih luas lagi. Hal tersebut dikarenakan semakin dilatih
kemampuan motorik anak akan semakin meningkat.
4. Lingkungan yang mendukung. Perkembangan motorik anak akan lebih
teroptimalkan jika lingkungan tempat tumbuh kembang anak mendukung
mereka untuk bergerak bebas. Kegiatan di luar ruangan bisa menjadi pilihan
yang terbaik karena dapat menstimulasi perkembangan otak.
5. Aspek psikologis anak. Untuk menghasilkan kemampuan motorik yang baik
pada anak diperlukan kondisi psikologis yang baik pula, agar mereka dapat
mengembangkan gerakan motoriknya.
6. Umur. Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun
pertama kehidupan dan pada masa remaja.
7. Jenis Kelamin. Setelah melewati pubertas, pertumbuhan anak laki-laki akan
lebih cepat dibanding anak perempuan.
8. Genetik. Genetik adalah bawaan anak, yaitu potensial anak yang akan menjadi
ciri khasnya, antara lain bentuk tubuh (cacat fisik) dan kecerdasan. Kelainan
genetik akan mempengaruhi proses tumbuh kembang anak.
9. Kelainan Kromosom. Pada umumnya kelainan kromosom akan disertai dengan
kegagalan pertumbuhan.
I.1.2.4. Kontrol Gerakan Motorik
Dalam menimbulkan aktivitas gerakan motorik, diperlukan koordinasi
antara sistem saraf dan kontraksi otot. Kontol atas setiap gerakan motorik,
seberapapun tingkat kerumitannya, bergantung pada masukan konvergens ke
neuron motorik pada unit motorik spesifik. Neuron-neuron motorik, pada
gilirannya, mencetuskan kontraksi serat-serat otot di dalam unit motorik masing-
masing melalui kejadian-kejadian yang berlangsung di taut neuromuskulus.
Terdapat tiga tingkatan masukan yang mengontrol keluaran unit motorik
(Sherwood, 2001) :
17
1. Masukan dari neuron-neuron aferen, biasanya melalui antarneuron yang terletak di antaranya, setinggi korda spinalis yaitu reflex korda spinalis.
2. Masukan dari korteks motorik primer. Serat-serat yang berasal dari badan sel-sel piramidalis di dalam korteks motorik primer turun secara langsung tanpa interupsi sinaptik untuk berakhir di neuron motorik (atau di antarneuron lokal yang berakhir di neuron motorik). Serat-serat ini membentuk sistem motorik kortikospinalis (atau piramidalis).
3. Masukan dari sistem motorik multineuron (atau ekstrapiramidalis). Jalur- jalur yang menyusun sistem ini mencakup sejumlah sinaps yang melibatkan banyak daerah di otak. Penghubung terakhir di multineuron adalah batang otak, terutama formasio retikularis, yang pada gilirannya dipengaruhi oleh daerah-daerah motorik korteks, serebelum, dan nukleus basal. Selain itu korteks motorik itu sendiri saling berkaitan dengan thalamus serta dengan daerah-daerah pramotorik dan motorik suplementer. Hanya korteks motorik primer dan batang otak yang secara langsung mempengaruhi neuron motorik, sedangkan daerah otak lain yang terlibat mengatur aktivitas motorik secara tidak langsung dengan menyesuaikan keluaran motorik motorik dari korteks motorik dan batang otak.
Sistem kortikospinalis terutama memperantarai gerakan-gerakan volunter yang halus dan berlainan pada tangan dan jari tangan, misalnya gerakan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan jahit menjahit. Daerah motorik suplementer dan pramotorik, dengan masukan dari serebroserebelum, merencanakan perintah motorik volunteer yang disampaikan ke neuron-neuron motorik yang sesuai oleh korteks motorik primer melalui sistem desendens ini. Sedangkan sistem multineuron, sebaliknya, terutama berperan dalam mengatur postur tubuh keseluruhan yang melibatkan gerakan involunter kelompok otot-otot besar di badan dan tungkai (Sherwood, 2001).
Sebagian masukan yang berkonvergensi di neuron-neuron motorik bersifat eksitatorik, sementara yang lain inhibitorik. Gerakan terkoordinasi bergantung pada keseimbangan yang sesuai dengan aktivitas kedua masukan tersebut. Jika sistem inhibitorik yang berasal dari batang otak terganggu, otot-otot menjadi hiperaktif (tonus otot meningkat; reflex anggota badan menguat) karena aktivitas masukan eksitatorik ke neuron motorik tidak dilawan (paralisis spastik). Sebaliknya, hilangnya masukan eksitatorik, seperti yang menyertai kerusakan
18
jalur-jalur eksitatorik desendens yang keluar dari korteks motorik primer, menimbulkan paralisis flaksid (otot melemas walaupun aktivitas refleks masih ada). Kerusakan pada korteks motorik primer di salah satu sisi otak, menyebabkan paralisis flaksid di separuh badan yang berlawanan (hemiplegia). Gangguan di semua jalur desendens, seperti trauma berat pada korda spinalis,disertai dengan paralisis flaksid di bawah tingkat kerusakan, kuadriplegia (paralisis keempat anggota badan) jika kerusakan korda spinalis atas dan paraplegia (paralisis kedua tungkai) jika kerusakan pada korda spinalis bagian bawah. Kerusakan neuron-neuron motorik, baik badan sel maupun serat-serat eferennya menyebabkan paralisis flaksid dan tidak adanya respon reflex pada otot yang terkena (Sherwood, 2001).
Kerusakan serebelum atau nukleus basal tidak menimbulkan paralisis tetapi menyebabkan aktivitas yang tidak terkoordinasi serta pola gerakam yang tidak sesuai. Daerah-daerah ini yang secara normal bertugas memperhalus aktivitas yang dimulai secara volunter. Kerusakan daerah-daerah korteks yang lebih tinggi yang berperan dalam perencanaan aktivitas motorik menyebabkan ketidakmampuan membuat perintah motorik yang sesuai untuk menyelesaikan gerakan yang diinginkan (Sherwood, 2001).
Gambar 1. Kontrol gerakan motorik (Sherwood, 2001)
19
II.2 Kerangka Teori
Berdasarkan teori-teori pendukung, maka dapat dibuat kerangka teori
sebagai berikut :
II.3 Kerangka Konsep
Bagan 1. Kerangka teori hubungan antara usia dan prestasi belajar dengan gerak motorik halus pada retardasi mental di SLB Abdi Pratama Jakarta Timur.
RETARDASI MENTAL
Usia Jenis Kelamin Tingkat pendidikan Derajat retardasi
mental
Prestasi Belajar
Gangguan Kognitif Dan
Gangguan Adaptif
Gangguan Motorik
Faktor Penyebab : Genetik Pranatal Perinatal Gangguan Didapat Lingkungan dan
Sosiokultural
20
II.3 Kerangka Konsep
Berdasarkan kerangka berpikir diatas, dapat dibuat kerangka konsep sebagai
berikut :
Variabel Independen
II.4. Perumusan Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut :
H1 : Terdapat hubungan antara usia dengan gerak motorik halus pada
retardasi mental di SLB Abdi Pratama Jakarta Timur.
H2 : Terdapat hubungan antara prestasi belajar dengan gerak motorik
halus pada retardasi mental di SLB Abdi Pratama Jakarta Timur.
Bagan 2. Kerangka konsep hubungan antara usia dan prestasi belajar dengan gerak motorik halus pada retardasi mental di SLB Abdi Pratama Jakarta Timur.
Usia
Retardasi Mental
Gerak Motorik Halus
Prestasi Belajar
Variabel Dependen