kritisi undang-undang nomor 5 tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria

Upload: aldhosutra

Post on 08-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Analisis singkat tentang kritisi UU No 5 Tahun 1974 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu tiang utama dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara adalah pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, harmonis, dan mudah diterapkan dalam masyarakat. Maka segala macam peraturan perundang-undangan seyogyanya disusun dengan baik sesuai pedoman yang telah ditetapkan.Indonesia yang merupakan negara agraris dimana masyarakatnya banyak yang menggantungkan hidup dari sektor tersebut membuat hukum agraria sangat dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Adapun mengenai Hukum agraria ini diatur dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), yang usianya kini sudah lebih dari 50 tahun.Seiring perkembangan zaman yang semakin maju dan kompleks UUPA dirasa tidak lagi dapat menyelesaikan persengketaan mengenai agraria khususnya tanah. Serta terdapat ketidak relevanan antara pengaturan didalam UUPA tersebut dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat, baik dalam konteks tidak tegaknya pelaksanaan undang-undang tersebut, juga dalam konteks sudah tidak sesuainya materi yang diatur dalam Undang-Undang tersebut dengan kebutuhan masyarakat.

Maka kami selaku tim penulis tertarik untuk mengkaji kerelevanan tersebut dan menuangkannya dalam karya tulis ini.

B. Identifikasi Masalah

1. Apa pengertian dan ruang lingkup hukum agraria?2. Bagaimana relevansi UUPA secara normatif dengan kenyataan agraria dalam kehidupan masyarakat?

3. Bagaimana teknis penulisan UUPA berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan?BAB IIRELEVANSI TEKS DAN KONTEKS UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum AgrariaKata agraria mempunyai arti yang sangat berbeda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian.

Adapun dalam Black Law Dictionary, agrarian diartikan sebagai Relating to land, or to a division or distribution of land; as an agrarian law. Pengertian agrarian ini, sama sebutannya dengan agrarian laws bahkan sering kali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat peraturan hukum yang lebih bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikan tanah.

Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, agraria adalah urusan pertanian atau tanah pertanian; urusan pemilikan tanah. Maka berdasarkan berbagai makna diatas, dapat dipahami bahwa agraria dari segi bahasa dipandang sebagai suatu hal yang sangat identik dengan tanah.Adapun menurut Subekti dan Tjitrosoedibjo, memberikan arti yang lebih luas tentang lingkup Agraria, yaitu Agraria adalah urusan tanah dan segala apa yang ada di dalamnya dan diatasnya, seperti telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria Sehingga dapat dipahami bahwa lingkup Hukum Agraria tidak hanya mencakup permukaan tanah, namun juga apa saja yang ada di atasnya (ruang angkasa) dan di bawahnya (air, bawah tanah). Hal ini dituangkan dalam pengertian Hukum Agraria menurut Subekti dan Tjitrosoedibjo, yaitu Hukum Agraria adalah keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hukum, baik Hukum Perdata, maupun Hukum Tata Negara maupun pula Hukum Tata Usaha Negara yang mengatur hubungan-hubungan antara orang yang termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa dalam seluruh wilayah Negara dan mengatur pula wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan-hubungan tersebutPengaturan agraria di Indonesia diatur dalam UUPA (undang-undang pokok agraria) yang tertuang dalam UU No. 5 tahun 1960. Dalam undang-undang tersebut juga menjelaskan ruang lingkup pengertian agraria, yaitu dalam Pasal 1 ayat (2) yang berbunyi Seluruh bumi air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, adalah bumi air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. yang dimana pengertian ini merupakan penjabaran dari Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari penjabaran diatas, maka dapat dipahami bahwa ruang lingkup agraria tidak hanya mencakup permukaan tanah, namun juga apa yang ada diatas dan dibawahnya. Maka dalam pengertian yang luas, ruang lingkup hukum agraria meliputi: Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum Kehutanan, Hukum Pertambangan, Hukum Perikanan dan Hukum Ruang Angkasa. Artinya UUPA sebagai peraturan pokok agraria juga mengatur hal yang menjadi ruang lingkup agraria tersebut, termasuk mengenai ruang angkasa. Namun sayangnya dalam UUPA ini tidak banyak pasal yang mengatur mengenai hak ruang angkasa dengan tidak lengkap dan terperinci sehingga menimbulkan kerancuan bila dilihat dari sisi pengertian hukum agraria yang dipaparkan pada pembukaan UUPA.B. Relevansi UUPA Secara Normatif Dengan Kenyataan Agraria Dalam Kehidupan MasyarakatKaidah hukum berisi kenyataan normatif (das Sollen) dan bukan berisi kenyataan alamiah (das Sein). Maka dalam suatu peraturan atau suatu hukum, yang penting bukanlah apa yang terjadi, tetapi apa yang seharusnya terjadi. Rumusan dalam kaidah hukum ini akan menentukan suatu peristiwa yang ada di masyarakat sebagai suatu peristiwa hukum atau bukan. Artinya, peristiwa hukum itu diciptakan oleh kaidah hukum, dan kaidah hukum itu dalam proses terjadinya dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa konkret. Maka perlu adanya kesesuaian dan relevansi antara kenyataan normatif dalam rumusan hukum dengan kenyataan alamiah yang terjadi di masyarakat.

Disamping peristiwa konkret tersebut, isi hukum juga akan ditentukan oleh sumber hukum materiilnya. Sumber hukum materiil inipun dapat ditinjau dari berbagai sudut, seperti sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya. Maka dalam menentukan dan menemukan isi hukum, perlu adanya kesesuaian dan relevansi pula antara kenyataan normatif dalam rumusan hukum dengan sudut-sudut tersebut. Sehingga dapat terciptanya aturan yang bisa memenuhi tujuan hukum, yang salah satunya adalah untuk memberikan manfaat dan memenuhi kebutuhan masyarakat.Berbicara tentang kebutuhan masyarakat, kebutuhan masyarakat selalu senantiasa berkembang cepat, sedangkan hukum kadang-kadang berjalan lambat. Karena itu manakala hukum yang dibuat oleh manusia sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, tidak sesuai dengan kebutuhan manusia pada waktu tertentu (karena hukum dibuat jauh sebelum waktu tersebut), maka hukum itu harus menyesuaikan dengan kebutuhan manusia tersebut, supaya jiwa hukum tetap dalam posisi untuk mengatur dan memenuhi kehidupan manusia.

Maka dalam konteks ini, karena semakin kompleksnya kebutuhan masyarakat akan agraria, UUPA sebagai payung hukum agraria nasional yang lahir pada tahun 1960 dirasa kurang lagi efektif untuk dijadikan sebagai suatu pedoman dalam mengatur tentang agraria di Indonesia dan memenuhi kebutuhan masyarakat akan kepentingan agrarianya. Pengaturan tentang pertanahan di Indonesia misalnya, dalam beberapa pasal terdapat ketidaksinkronan antara kenyataan normatif (rumusan hukum) dan kenyataan alamiah yang ada didalam kehidupan sehari-hari. Adapun uraiannya sebagai berikut:a. Pasal 6 yang berbunyi semua hak atas tanah memiliki fungsi social, fungsi sosial yang merupakan kebutuhan masyarakat yang berdimensi sosiologis cukup penting untuk dihadirkan dalam peraturan ini, namun fungsi social dalam pasal ini tidak menjelaskan seperti apakah fungsi social yang diwajibkan kepada setiap pemilik tanah. Hal ini menjadikan sebuah kerancuan didalam masyarakat karena fungsi social dapat bermakna sangat luas dan mungkin akan sulit dipahami oleh beberapa warga atau masyarakat yang tidak mengerti akan makna fungsi social ini.

b. Pasal 12 dan pasal ayat (2) dan pasal 13 ayat (2), dimana dalam kedua pasal ini terjadi ketidaksinkronan dimana dapat timbul multi tafsir. Dimana dalam pasal 12 ayat (2) berbunyi Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam lapangan agraria tidak dijelaskan pada pasal ini siapa pihak lain yang dimaksud dan batasan-batasan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan sehingga dapat menimbulkan multi tafsir. Sedangkan dalam pasal 13 ayat dua kemudian dijelaskan bahwa Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta kemudian dijelaskan kembali pada pasal 13 ayat (2) mengenai pemerintah mencegah adanya usaha monopoli terhadap lapangan agraria oleh pihak swasta maupun perseorangan. Ini menimbulkan sebuah kebingunan dimana tidak ada batasan dalam pasal 12 ayat 2 tentang kerjasama yang dilakukan oleh pihak lain diluar pemerintah. Dalam kehidupan nyata, bahwasan nya salah satu bidang yang menjadi sebuah sumber hidup hajat orang banyak kini justru dijadikan bahan komersialisasi oleh pihak swasta dalam rangka mencari keuntungan. Contoh nya adalah air. Air adalah sebuah contoh kecil dimana kini masyarakat harus membayar untuk mendapatkan air bersih yang dikelola swasta. Bahkan kini asset perusahaan air benar-benar telah diambil alih oleh pihak asing.

c. Tidak diaturnya dengan jelas hak guna luar angkasa dalam UUPA no. 5 tahun 1960 juga merupakan sebuah kelemahan yang harus segera diperbaiki. Semakin maju nya teknologi dan kecanggihan satelit yang kini semakin berkembang membuat hak guna luar angkasa menjadi hal yang seharusnya dijelaskan dengan rinci. Dalam UUPA ini bahkan tidak dijelaskan dengan jelas mengenai hak guna luar angkasa. Jika memang hak guna luar angkasa tidak terlalu penting dan diluar konteks dalam agraria sebaiknya hak guna luar angkasa dihilangkan dalam UUPA dan dibuat tersendiri mengenai pengaturannya. d. Ketentuan pidana dalam UUPA juga dirasa telah tidak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Dimana denda dalam ketentuan tersebut dirasa sangat tidak layak dan sesuai dengan nilai guna uang pada saat ini. Contoh nya dalam pasal 52 ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp. 10.000,-nilai mata uang pada waktu dibuat nya UUPA ini mungkin dirasa setimpal dengan perbuatan yang telah dilanggarnya. Namun bila dilihat dari nilai mata uang rupiah pada saat ini maka dirasa nilai uang Rp 10.000,- tidak lagi sesuai dengan kehidupan ekonomi yang semakin maju lagi. Sehingga denda tersebut tidak akan menimbulkan efek jera kepada orang yang melanggar nya. C. Teknis Penulisan UUPA Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Taun 2011Dalam bidang hukum yang menyangkut pembentukan peraturan perundang-undangan negara, Burkhardt Krems menyebutkannya dengan istilah staatsliche Rechtssetzung, sehingga pembentukan peraturan itu menyangkut:

1. Isi peraturan (Inhalt der Regelung)

2. Bentuk dan susunan peraturan (Form der Regelung)

3. Metoda pembentukan peraturan (Methode der Ausarbeitung der Regelung), dan

4. Prosedur dan proses pembentukan peraturan (Verfahren der Ausarbeitung der Regelung)

Maka, dapat dipahami dari poin nomor 2 bahwasannya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan negara yang baik, maka perlu adanya suatu Bentuk dan susunan peraturan (Teknis Penulisan) yang baik pula. Dalam hal ini, pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan terdapat ketentuan mengenai Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu pada Pasal 64 UU No 12 Tahun 2011, yang berbunyi:

Pasal 64

(1) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan dilakukan sesuai dengan teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan.(2) Ketentuan mengenai teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.Adapun apabila diperbandingkan, dalam penyusunan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria terdapat beberapa teknis penyusunan yang tidak sesuai dengan pengaturan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal tersebut dikarenakan UUPA tahun 1960 yang memang belum menggunakan UU No 12 Tahun 2011 sebagai pedoman penyusunannya. Adapun ketidaksuaian tersebut diuraikan sebagai berikut:a. Pada bagian Pembukaan UUPA, sesuai dengan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 poin nomor 15, pada setiap Undang-Undang diwajibkan adanya frasa DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA yang ditulis seluruhnya dengan huruf kapital. Namun pada susunan UUPA ini tidak terdapat frasa tersebut, melainkan setelah judul langsung kepada pejabat pembentuk Peraturan Perundang-undangannya.b. Pada bagian Konsiderans UUPA, sesuai dengan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 poin nomor 23, menjelaskan jika konsiderans memuat lebih dari satu pertimbangan, maka rumusan terakhirnya adalah: bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c () perlu membentuk Undang-Undang tentang, namun dalam susunan konsiderans UUPA yang terdiri lebih dari satu pertimbangan, poin terakhir konsiderans tidak memuat hal tersebut.

c. Pada bagian konsiderans UUPA pun, selain terdapat konsiderans menimbang juga terdapat berpendapat, sesuai dengan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011, mengenai Berpendapat ini tidak diatur, maka kami berpendapat bagian ini tidak diperlukan.

d. Selain itu, dalam diktum UUPA pada bagian Memutuskan terdapat ketentuan untuk mencabut beberapa peraturan sebelumnya, namun berdasarkan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011, pencabutan tersebut seharusnya terdapat pada Ketentuan Penutup (BAB terakhir).

e. Pada bagian Batang Tubuh UUPA, sesuai dengan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 poin nomor 68, menjelaskan Jika Peraturan Perundangan-undangan mempunyai materi muatan yang ruang lingkupnya sangat luas dan mempunyai banyak pasal, pasal atau beberapa pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi: buku (jika merupakan kodifikasi), bab, bagian, dan paragraf.. Namun pada susunan batang tubuh UUPA, terdiri dari: Pertama (Bukan BUKU), Bab, Bagian, Pasal dan ayat. Seharusnya susunannya adalah: BUKU PERTAMA, BAB, Bagian, Pasal dan Ayat. Dimana pada bagian BUKU, dan BAB, dicetak dengan huruf kapital seluruhnya.f. Selain itu, pada bagian Batang Tubuh UUPA, sesuai dengan Lampiran II UU No 12 Tahun 2011 poin nomor 71, Buku seharusnya diberi nomor urut dengan bilangan tingkat dan judul yang seluruhnya ditulis dengan huruf kapital. Namun pada susunan UUPA, hanya terdapat Pertama tanpa BUKU dan tidak semua bagian buku memiliki judul, dimana seharusnya BUKU disertai dengan judul.

g. Selanjutnya, Sesuai dengan poin nomor 73 Lampiran tersebut, Bagian seharusnya diberi nomor urut dengan bilangan tingkat yang ditulis dengan huruf dan diberi judul. Namun pada susunan UUPA ini bagian diikuti dengan nomor urut bilangan dengan tulisan Romawi, bukan huruf.

h. BAB I seharusnya adalah KETENTUAN UMUM, namun dalam UUPA adalah DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK.

BAB IIIPENUTUPA. Kesimpulan

1. Mengenai pengertian agraria dan ruang lingkup agraria, adalah mencakup hal yang lebih luas dari permukaan tanah, yaitu termasuk bumi, air, ruang angkasa dan seluruh kekayaan alamnya. Maka pengaturan dalam UUPA sebagai Hukum Agraria pun mencakup pengaturan tersebut.2. Setelah membandingkan isi normatif dari UUPA dengan aspek alamiah di masyarakat, baik yang sifatnya peristiwa konkret, maupun aspek-aspek materiil dari berbagai sudut pandang, seperti ekonomi, sosiologis, budaya, filsafat, sejarah, dsb, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian isi dari UUPA sudah tidak relevan lagi dengan kehidupan masyarakat dan kebutuhan masyarakat akan perlindungan kepentingan agraria hari ini.3. Setelah membandingkan teknis penulisan UUPA dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diatur dalam Lampiran II UU No 12 Tahun 2011, maka dapat disimpulkan bahwa Teknis penulisan UUPA tidak sesuai dengan UU No 12 Tahun 2011.B. Saran

1. Pengertian dan lingkup agraria sering kali keliru dipahami masyarakat, dimana Agraria mencakup hal yang lebih luas dari tanah. Maka kami menyarankan agar makna agraria ini dapat lebih dipahami dengan baik.2. Isi normatif UUPA sebagai suatu substansi dari pengaturan pokok Agraria merupakan hal yang penting, maka kami menyarankan agar para pembentuk hukum dapat memperbaharui isi dari UUPA ini, juga termasuk pada para penegak hukum agar dapat menegakkan UUPA ini dengan baik3. Demi menjadikan UUPA sebagai Peraturan Perundang-Undangan Negara yang baik, maka kami pun menyarankan untuk memperbaharui teknis penulisan dari UUPA ini sesuai dengan pedoman positif kekinian.DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU:Indrati, Maria Farida.2007.Ilmu Perundang-Undangan 2.Yogyakarta:Kanisius.

Mertokusumo, Sudikno.2010.Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka.

Soebekti & Tjitrosoedibjo.1969.Kamus Hukum.Jakarta: Pradnya Paramita.

Supardi.2009.Hukum Agraria.Jakarta:Sinar Grafika.

Tutik, Titik Triwulan.2006.Pengantra Ilmu Hukum.Jakarta:Prestasi Pustaka.

Usman, Suparman.2009.Hukum Agraria di Indonesia (Bagian Hukum Tanah).Serang: IAIN SUHADA PRESS.

Usman, Suparman.2010.Pokok-Pokok Filsafat Hukum.Serang: SUHUDSentrautama.

B. KAMUS:

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Black Law Dictionary

C. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Supardi.2009.Hukum Agraria.Jakarta:Sinar Grafika.hlm 1

Black Law Dictionary

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Soebekti & Tjitrosoedibjo.1969.Kamus Hukum.Jakarta: Pradnya Paramita.hlm 10

Ibid

Pasal 1 ayat (2) UU No 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Suparman Usman.2009.Hukum Agraria di Indonesia (Bagian Hukum Tanah).Serang: IAIN SUHADA PRESS.hlm 11

Sudikno Mertokusumo.2010.Mengenal Hukum: Suatu Pengantar.Yogyakarta:Cahaya Atma Pustaka.hlm 20

Ibid.hlm 21

Titik Triwulan Tutik.2006.Pengantra Ilmu Hukum.Jakarta:Prestasi Pustaka.Hlm 137

Suparman Usman.2010.Pokok-Pokok Filsafat Hukum.Serang: SUHUDSentrautama.Hlm 102

Maria Farida Indrati S.2007.Ilmu Perundang-Undangan 2.Yogyakarta:Kanisius.hlm 226

Pasal 64 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

10