kritik sosial dalam kumpulan cerpen lukisan...

93
KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan Oleh Muhammad Zainal Abidin NIM 1110013000024 JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2016

Upload: doancong

Post on 06-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KRITIK SOSIAL DALAM KUMPULAN CERPEN LUKISAN

KALIGRAFI KARYA A. MUSTOFA BISRI

DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN

BAHASA DAN SASTRA INDONESIA DI SMA

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan

untuk memenuhi syarat mencapai gelar sarjana pendidikan

Oleh

Muhammad Zainal Abidin

NIM 1110013000024

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2016

i

ABSTRAK

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Skripsi: Kritik Sosial dalam Kumpulan

Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Sastra di SMA. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta 2016.

Penelitian ini bertujuan menganalisis kehidupan masyarakat pesantren lewat tiga

cerpen “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri lewat tinjauan kritik

sosial.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode

deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan menggunakan

pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam karya sastra

khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui tiga tataran

yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik islam/sufisme dan kritik

terhadap pesantren.

Pada akhirnya, penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kritik sosial yang terdapat

dalam tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri anggapan masyarakat tentang adanya

elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi kalangan masyarakat,

keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi institusi pendidikan yang

bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan tersebut, secara garis besar memang

benar adanya. namun di sisi lain pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal

mistis, hal ini juga terjadi di kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren).

Maka, dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan

yaitu mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi

segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus mempertimbangkan

segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Baik

dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara umum.

Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat diterapkan

sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang membahas tentang

memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen. hingga mampu

menggugah minat baca siswa terutama yang berkaitan dengan pesantren serta

mengembangkan daya kritis siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik

sebuah cerpen.

Kata kunci: Kritik sosial, kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi, A. Mustofa Bisri,

Pembelajaran Bahasa dan Satra Indonesia.

ii

ABSTRACT

MUHAMMAD ZAINAL ABIDIN. Thesis: Social Critism In The Collection of

Lukisan Kaligrafi Short Story by A. Mustafa Bisri Implications for Indonesian

Language and Literature Learning in Senior High School. Education of

Indonesian Language and Literature. Faculty of Tarbiyah and Teacher Training,

Syarif Hidayatullah Jakarta.

This research aimed to analyze the life of people in pesantren by using three

short stories “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, and “Lukisan Kaligrafi” that included in

short story of LukisanKaligrafis’ collection by A. MustofaBisri in considering of

social critic.

Finally, this research can be concluded that social critic including in three

short stories by A. Mustofa Bisri is people perspective about some shaper elements in

pesantren environment, such as heir daily activities covering in education institution

that move just in the religious side. The last, that perspective composesthe opinion

that pesantren as monotonous education institution. In literary teaching or learning,

the things who need to be developed is that the thing who concerned sense;

reasoning; affective, social, and religious.

This Lukisan Kaligrafi short story collection by A. Mustofa Bisri can be

learned as literary education in the shool. At the time that discuss about

understanding literary discourse through reading short story activity, until the student

can understand about how to reading literature, especially literature that relating to

the pesantren.

Keyword: Social critic, short story of Lukisan Kaligrafi collection, A. Mustofa Bisri,

Indonesian language learning and literature.

iii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil „alamin, puji syukur ke hadirat Allah yang telah

memberikan rahmat dan nikmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Salawat dan salam semoga selalu tercurak kepada Nabi Muhammad SAW,

keluarga, para sahabat, dan pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi yang berjudul “Kritik Sosial dalam Kumpulan

cerpe Lukisan Kaligrafi Karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya Terhadap

Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA”. Penulis banyak memerlukan

bantuan, saran, masukan dan bimbingan dari berbagai pihak. Berkat bantuan

mereka skripsi yang disusun guna memenuhi persyaratan memperoleh gelar

sarjana pendidikan (S. Pd) ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karenanya,

penulis menyampaikan terima kasih pada:

1. Bapak dan Ibu tercinta, Sulaiman dan Siti Fatimah yang senantiasa

mengalirkan doa setiap saat, memberikan dorongan moral dan moril.

2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Makyun Subuki, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra

Indonesia.

4. Ahmad Bahtiar, M. Hum., dosen pembimbing skripsi, yang telah memberi

bimbingan, semangat, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini

dengan baik.

5. Dosen-dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, khususnya Jurusan

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, yang telah memberi ilmu

pengetahuan kepada penulis selama perkuliahan

6. Teman-teman PBSI angkatan 2010, khususnya kelas A Ahmad Fahrudin,

Ahmad Samsudin, Amalia Utami, Anggraeni, Anisah Utari, Astuti

Nurasani, Ayu Rizki, Churin In Nabila, Dessy Husnul Qotimah, Dimas

Albiyan, Dina Sakinah, Edah Ajizah, Ema Fitriyani, Habibah Ramadhan,

Herlina Wahyu, Indra Dwi Permana, Jayanti Puspita Dewi, Lintang

iv

Akhlakulkharomah, Liza Amalia, Meizar Fatkhul Izza, Muhamad Alfinur,

Fahrudin Muallim, Nur Afianti, Nur Amalina, Nur Rafiqah, Papat

Fathiyah, Puguh Apria Rantau, Ratna Agustina, Rifka Fitrotuzzakia, Riza

Hernita, Septiara Lianasari, Sri Wahyuningsih, Vera Aditya, Wilda Istiana,

dan Yanti Nuryana), teman-teman Majelis Kantiniyah (Bang Ipang, Levi

arnaldo, Irsyad Zulfahmi Bohari Muslim, Fajar, Muhammad Ikbal, Bang

Zek serta Teman-teman Uye (Daniel Adepi, Miftah Falakhi, Sigit

Purnomo, Zakky Ramdhani Muslim, Dede Sunarya, Lintang

Akhlakulkharomah, Muhammad Alfinur, Fahrudin Mualim, anak-anak

kosan Gang Jati, yang selalu sabar dan rela membantu juga memberikan

semangat kepada penulis.

7. Terima kasih atas bimbingan, motivasi, doa, semangat yang tidak pernah

putus diberikan kepada penulis. Semoga Allah membalas kebaikan kalian

semua. Penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dalam

pembuatan penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi

yang memerlukannya.

Jakarta, 14 September 2016

Penulis

Muhammad Zainal Abidin

v

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Lembar Persetujuan Pembimbing

Surat Pernyataan Keaslian Skripsi

ABSTRAK ...................................................................................................... i

ABSTRACT .................................................................................................... ii

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .............................................................................. 1

B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 3

C. Batasan Masalah............................................................................ 3

D. Rumusan Masalah ......................................................................... 4

E. Tujuan Penelitian .......................................................................... 4

F. Manfaat Penelitian ........................................................................ 5

G. Metode Penelitian.......................................................................... 5

1. Bentuk dan Strategi Penelitian ................................................. 5

2. Jenis Penelitian ......................................................................... 6

3. Prosedur Penelitian .................................................................. 6

4. Teknik Penulisan ...................................................................... 7

5. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 7

6. Sumber Data ............................................................................. 7

BAB II LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial ................................................................ 9

B. Pesantren ....................................................................................... 10

1. Pengertian Pesantren

2. Ciri-Ciri Pesantren

C. Pengertian Kiai .............................................................................. 12

D. Cerita Pendek ................................................................................ 13

vi

1. Pengertian Cerita Pendek

2. Ciri-Ciri Cerita Pendek

3. Unsur Cerita Pendek

E. Pendekatan Mimetik...................................................................... 24

F. Pembelajaran Sastra ...................................................................... 25

G. Penelitian yang Relevan ................................................................ 26

BAB III BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG A. MUSTOFA BISRI

A. Biografi A. Mustofa Bisri ............................................................. 28

B. Karya-Karya A. Mustofa Bisri ...................................................... 30

C. Pandangan A. Mustofa Bisri Sebagai Sastrawan .......................... 31

BAB IV PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik ............................................................... 35

B. Analisis Kritik Sosial .................................................................... 53

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah ...................... 62

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ....................................................................................... 64

B. Saran .............................................................................................. 65

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Cerpen merupakan salah satu genre sastra yang digunakan dalam

pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah-sekolah. Setiap karya sastra

selalu menghadirkan pengalaman estetik, bahan perenungan, dan kerap menyajikan

banyak hal lain yang dapat menambah pengetahuan manusia yang menghayatinya.

Oleh karena itu cerpen sebagai karya sastra mengandung nilai-nilai pendidikan yang

dapat dijadikan sumber pengetahuan dan belajar.

Oleh karena itu pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia hadir dan bertujuan

agar siswa dan masyarakat pada umumnya mampu menghargai dan menikmati karya

sastra tersebut sebagai bagian dari pendidikan. Sebab pada umumnya masyarakat saat

ini cenderung menilai bahwa cerpen sebatas bacaan yang menghibur semata. Padahal

cerpen merupakan bahasa komunikasi antara penyair dan pembacanya dan

komunikasi tersebut akan berjalan dengan sehat apabila pembaca dapat menemukan

nilai-nilai dalam cerpen tersebut. Nilai-nilai tersebut dapat berupa bahan

pembelajaran moral, agama, kebangsaan dan sebagainya.

Sastra sendiri merupakan institusi sosial yang memakai medium bahasa.

Teknik-teknik sastra seperti simbolisme dan matra bersifat sosial karena merupakan

konvensi dan norma masyarakat sebab sastra menyajikan sebuah kehidupan.

Kehidupan ini sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra

lebih cenderung meniru alam dan dunia subjektif manusia.

Salah satu sastrawan yang mengunakan cerpen sebagai alat untuk

mengungkapkan kritik suatu persoalan yang terjadi di tengah-tengah kehidupannya

adalah A. Mustofa Bisri. Ia adalah seorang kiai yang berjiwa seniman atau seniman

yang merangkap kiai. Hal inilah yang mendasari penulis untuk mengambil cerpen-

2

cerpen beliau sebagai bahan penelitian. Karakteristik „tema pesantren Jawa‟ cerpen-

cerpen A. Mustofa Bisri menarik untuk ditelaah. Terlebih lagi di implikasikan dalam

sistem pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah.

Beberapa masalah soal umat Islam yang dihadirkan A. Mustofa Bisri melalui

cerpen-cerpennya ternyata menjadi kritik kehidupan di pesantren terhadap

masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia. Dalam buku kumpulan

cerpennya, terdapat lima belas cerpen yang A. Mustofa Bisri tulis, beberapa

cerpennya memiliki tema yang sama antara cerpen yang satu dengan cerpen yang

lain, oleh karena itu penulis hanya akan meneliti tiga dari lima belas cerpen yang

terdapat dalam buku kumpulan cerpennya.

Melalui pendekatan mimetik penulis akan membandingkan peristiwa atau

fenomena yang ditemui di dalam cerita serta menghubungkannya dengan kenyataan

di luar karya. Cerpen “Gus jakfar”, “Gus Muslih” dan “Lukisan Kaligrafi” dirasa

mampu untuk mewakili keseluruhan tema yang ada dalam kumpulan cerpen tersebut,

karena menceritakan tentang kehidupan di dalam pesantren dan persoalan-persoalan

yang kerap hadir dalam kehidupan pesantren. Seperti kritik yang ditujukan untuk

masyarakat pada umumnya, yaitu mengenai kebiasaan masyarakat yang tidak mau

menerima hal-hal baru dalam ritual keagamaan.

Dalam pembelajaran bahasa dan sastra indonesia nilai ekstrinsik mencakup

beberapa nilai dalam kehidupan, seperti nilai sosial, agama, budaya dan politik.

Minimnya pembelajaran agama di sekolah karena porsi jam pelajaran agama yang

hanya mendapat waktu belajar 2x45 menit dalam satu minggu sehingga dirasa masih

sedikit dibandingkan dengan pelajaran ilmu umum lainnya terutama bahasa Indonesia

yang mendapat waktu lebih banyak 4x45 menit dalam seminggu maka salah satu

siasat guru bahasa dan sastra indonesia untuk memberikan pengetahuan agama

kepada siswa dengan cara mengajarkan untuk mencari nilai-nilai agama atau

ekstrinsik yang terdapat dalam sebuah karya sastra.

3

Dengan penelitian ini penulis berharap siswa dapat memahami dan mengerti

unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam sebuah prosa khususnya cerpen. Selain itu

diharapkan juga penelitian ini dapat memperluas pengetahuan agama siswa melalui

pelajaran bahasa dan sastra Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka

penulis mengangkat judul skripsi Kritik sosial dalam kumpulan cerpen Lukisan

Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri dan Implikasinya dalam Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia Di SMA.

B. Identifikasi Masalah

Sesuai dengan latar belakang masalah yang ada, maka identifikasi masalah

dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Kurangnya pembahasan mengenai kritik sosial yang membahas tentang

kehidupan masyarakat pesantren dan masyarakat Islam di Indonesia.

2. Kurangnya implikasi mengenai kritik sosial yang membahas tentang

kehidupan di dalam pesantren dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi

karya A. Mustofa Bisri terhadap pembelajaran di SMA.

3. Kurangnya pemahaman siswa dalam memahami unsur intrinsik dan ekstrinsik

dalam sebuah karya sastra.

4. Kurangnya pembelajaran agama di sekolah.

C. Batasan Masalah

Pembatasan masalah bertujuan membatasi banyaknya masalah yang muncul

dalam penelitian ini. Pembatasan masalah juga dapat mempermudah peneliti agar

objek yang diteliti lebih spesifik dan mendalam, karena terlalu banyak cerpen yang

terdapat dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi maka penulis membatasi

penelitian pada tiga cerpen yang dirujuk, yaitu: “Cerpen Gus Jakfar”, “Gus Muslih”

dan “Lukisan Kaligrafi”. Penulis menganggap ketiga cerpen tersebut mampu menjadi

4

bahan penelitian yang hendak di teliti oleh penulis yaitu kritik sosial dalam kumpulan

cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. Dalam kumpulan cerpen Lukisan

Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri terdapat banyak temuan masalah, maka dari itu,

penulis membatasi dan memfokuskan penelitian pada:

1. Kritik sosial dalam cerpen kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.

Mustofa Bisri terhadap masyarakat pesantren Jawa dan masyarakat Islam di

Indonesia

2. Implikasi kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri

terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah penelitian

seperti telah dikemukakan di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut:

1. Bagaimana kritik sosial kehidupan pesantren dalam tiga cerpen “Gus

Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri?

2. Bagaimana implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri terhadap

pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan kritik sosial di pesantren dalam dalam tiga cerpen “Gus

Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi” yang terdapat dalam

kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri.

2. Mendeskripsikan Implikasi kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri

terhadap pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di SMA kelas XI.

5

F. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Untuk menambah keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia, memberikan

manfaat pada semua pembaca dalam bentuk tergugahnya kesadaran siswa di

lingkungan sosial menjadi sebuah hal yang penting untuk terus ditingkatkan

ditengah derasnya arus pusaran keadaan saat ini yang terus mengacu nilai-

nilai keduniawian.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu pengetahuan bagi

mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan memperkaya

referensi keilmuan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

b. Pembaca dapat memperoleh gambaran tentang kritik kehidupan di

pesantren dalam sebuah karya sastra, mengapresiasi sebuah karya sastra

serta selalu tertarik untuk meneliti dan menelaah karya tersebut dengan

pandangan yang segar dan orisinil, bagi mahasiswa yang kelak akan

menjadi calon pendidik

c. Bagi calon pendidik, memperoleh pemahaman tentang cerpen secara

terstruktur dan mendalam

G. Metode Penelitian

1. Bentuk dan Strategi Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

metode deskriptif analisis dan studi kepustakaan. Pendekatan yang dilakukan

menggunakan pendekatan mimetik yang dikhususkan dalam penerapannya dalam

karya sastra khususnya cerpen. Pendekatan mimetik dalam penelitian ini melalui

6

tiga tataran yaitu, kritik terhadap kiai, kritik terhadap perilaku mistik

islam/sufisme dan kritik terhadap pesantren.

“Metode desktiptif analitik dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-

fakta yang kemudian disusul dengan analisis”. Secara etimologis, deskripsi dan

analisis berarti menguraikan. Meskipun demikian, analisis yang berasal dari

bahasa Yunani, analyein („ana’= atas, „lyein’ = lepas, urai), tidak diberikan arti

tambahan, tidak semata-mata menguraikan, melainkan juga memberikan

pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode gabungan yang lain, misalnya

deskriptif komparatif, metode dengan cara menguraikan dan membandingkan,

dan metode deskriptif induktif, metode dengan cara menguraikan yang diikuti

dengan pemahaman dari dalam ke luar.1

Kemudian pendekatan ekstrinsik (pendekatan melalui faktor luar yang

mempengaruhi karya sastra), yang dalam hal ini dikaitkan dengan realita yang

ada.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kepustakaan (library

research) dengan mengacu pada buku-buku, artikel, dan dokumen-dokumen lain

yang berhubungan dengan objek penelitian.

3. Prosedur Penelitian

Adapun prosedur penelitian dalam penelitian ini menggunakan langkah-

langkah sebagai berikut:

a. Membaca buku kumpulan cerpen karya A. Mustofa Bisri yaitu Lukisan

Kaligrafi.

b. Menetapkan tiga cerpen karya A. Mustofa Bisri yang terdapat pada

kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi sebagai objek penelitian dengan

1 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2007), h.. 53.

7

fokus menemukan kritik sosial dalam dunia Pesantren yang tergambar

dalam tiga cerpen tersebut serta implementasinya dalam dunia pendidikan.

c. Membaca ulang dengan cermat tiga cerpen A. Mustofa Bisri, Lukisan

Kaligrafi untuk menentukan hal yang dipahami sebagai kritik sosial dalam

dunia Pesantren yang terdapat dalam Tiga cerpen tersebut dan

implikasinya dalam dunia pendidikan.

d. Menandai setiap kata, kalimat dan paragraf yang mengandung kritik sosial

dalam kehidupan Pesantren.

e. Mengklasifikasikan data dan menetapkan analisis kritik sosial dalam

kehidupan Pesantren.

f. Menganalisis data yang sudah diklasifikasikan dan melakukan

pembahasan terhadap hasil analisis dengan interpretasi data.

g. Menyimpulkan hasil penelitian

4. Teknik Penulisan

Teknik penulisan yang digunakan dalam skripsi ini merujuk pada buku

Pedoman Penulisan Skripisi yang diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi, yaitu suatu

cara pencarian data mengenai hal-hal atau variabel berupa catatan, buku, surat

kabar, dan majalah.

6. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer merupakan literatur yang membahas secara langsung

objek permasalahan pada penelitian ini, yaitu kumpulan cerpen Lukisan

Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri. PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus

2009, Lukisan Kaligrafi.

8

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan sumber penunjang yang dijadikan alat untuk

membantu penelitian, yaitu berupa buku-buku atau sumber-sumber dari

penulis lain yang berbicara terkait dengan objek penelitian.

9

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Pengertian Kritik Sosial

Kata kritik berasal dari kata krites yang dalam bahasa Yunani berarti

“hakim”. Krinein adalah kata kerja dari krites yang berarti “menghakimi”. Kata

tersebut adalah pangkal dari kata benda criterion yang artinya “dasar

penghakiman”. Istilah itu lalu berkembang hingga memunculkan istilah kritikos

atau “hakim karya sastra”.1 Sedangkan kata kritik dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) ialah, “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian

dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat dan

sebagainya.”2 Sedangkan kata sosial bermakna, “berkenaan dengan masyarakat,

suka memerhatikan kepentingan umum."3

Kritik sosial dapat dipahami sebagai suatu ide atau gagasan yang

bertolak belakang atau berfungsi sebagai diapoda dari kenyataan maupun berbagai

bentuk keadaan yang tidak sesuai dengan tujuan dan harapan. Menurut

Akhnad Zaini Akbar, kritik sosial adalah satu bentuk komunikasi dalam

masyarakat yang bertujuan atau berfungsi sebagai kontrol jalannya sebuah sistem

sosial atau proses bermasyarakat. Zaini juga mengatakan bahwa pelbagai tindakan

sosial ataupun individual yang menyimpang dari kaidah umum dapat dihindari

maupun dicegah dengan cara memfungsikan kritik sosial. Dengan kata lain kritik

sosial dalam pandangan ini berfungsi sebagai wahana untuk konservasi dan

reproduksi sebuah sistem sosial atau masyarakat.4

Sementara itu Moh. Mahfud MD mengartikan kritik sosial sebagai sesuatu

yang mendasar di dalam kehidupan masyarakat, sebab masyarakat terus berubah

atau berkembang sehingga diperlukan semacam situasi dan perilaku ideal (ideal

conduct) yang sejalan dengan perubahan dan perkembangan masyarakat itu.

1 Suminto A. Sayuti, Wiyatmi, Kritik Sastra, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), h. 1.3

— 1.4.

2 http://bahasa.kemdiknas.go.id//kbbi/index.php, diakses tanggal 20 Agustus 2015.

3 Ibid.

4 Moh Mahfud MD dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, (Yogyakarta: UII

Press,1997), h. 47.

10

Dalam kalimat Mahfud yang lain, “kritik sosial adalah sesuatu yang positif sebab

ia mendorong sesuatu terjadi di dalam masyarakat untuk kembali ke kriteria (di

sini kata kritik terkait kriteria) yang dianggap wajar dan telah disepakati

bersama.”5 Jadi, dapat disimpulkan sebagai seuah upaya pngembalian terhadap

persoalan yang dikembalikan terhadap

B. Pesantren

1. Pengertian Pesantren

Pesantren berasal dari kata “santri”, dengan awalan “pe” dan akhiran

“an” yang mempunya arti asrama tempat santri atau tempat murid belajar

mengaji. Santri adalah orang yang mendalami agama Islam, orang yang

beribadat dengan sungguh-sungguh, orang yang saleh.6

Johns yang dikutip Dhofier berpendapat bahwa istilah santri berasal

dari bahasa Tamil artinya guru mengaji. C.C. Berg berpendapat bahwa istilah

tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang

tahu buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci agama

Hindu. Kata shastri tersebut berasal dari kata shastra yang berarti buku suci,

buku agama atau buku tentang ilmu pengetahuan.7

Sedangkan Nurcholish Madjid menyatakan bahwa kata santri berasa

dari bahasa Jawa yaitu “cantrik” yang berarti seseorang yang selalu mengikuti

seorang guru kemana pergi.8

Kata pondok dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah bangunan

untuk tempat sementara, rumah, bangunan tempat tinggal yang berpetak yang

berdinding bilik dan beratap rumbia, madrasah dan asrama (tempat mengaji,

belajar agama Islam).9

5 Ibid., h. 71.

6 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991),

h. 878.

7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya

Mengenai Masa Depan Indonesia, Cet. IX, (Jakarta: LP3ES, 2011), h. 41.

8 Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta:

Paramadina, 1997), h. 19-20.

9 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, op. cit., h. 781.

11

Pesantren atau pondok adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar

perkembangan sistem pendidikan nasional. Dari segi historis, pesantren tidak

hanya mengandung makna keislaman, tetapi juga keaslian (indigenous)

Indonesia; sebab lembaga yang serupa, sudah terdapat pada masa kekuasaan

Hindu-Budha, sedangkan Islam meneruskan dan mengislamkannya.10

Pesantren secara terminologi didefinisikan sebagai lembaga

pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami,

menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya

moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.11

2. Ciri Pesantren

Dhofier menjelaskan bahwa ada lima elemen sehingga dapat disebut

sebagai pesantren yaitu adanya pondok, masjid, kiyai, santri, dan pengkajian

kitab Islam klasik (kitab kuning).12

Sedangkan Kafwari sebagaimana dikutip oleh Tafsir telah

mengidentifikasikan pesantren dan membagi pesantren menjadi empat pola

yaitu:

a. Pola satu, yaitu pesantren yang memiliki unit kegiatan dan elemen

yang berupa masjid dan rumah kiyai.pesantren ini masih

sederhana. Kiyai mempergunakan masjid atau rumahnya untuk

tempat mengaji. Biasanya santri berasal dari daerah sekitarnya

namun pengajaran telah diselenggarakan secara kontiniu dan

sistematik.

b. Pola dua, yaitu sama dengan pola satu ditambah dengan pondok

bagi santri.

c. Pola tiga, yaitu sama dengan pola dua ditambah dengan adanya

madrasah dan ditambah dengan pengajaran kitab kuning klasik.

d. Pola empat, yaitu pesantren pola tiga ditambah dengan adanya

keterampilan seperti peternakan, kerajinan, koperasi, sawah,

lading, dan sebagainya.13

10 M. Dawam Rahardjo, Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, ( Jakarta:

P3M, 1987), h. 5.

11

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan

Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55. 12

Dhofier, Op.Cit., h. 44. 13

Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam (Bandung:Rosda Karya, 1992),

h. 193.

12

C. Pengertian Kiai

Kiai atau pengasuh pondok pesantren adalah elemen yang sangat esensial

bagi suatu pesantren. Pada umumnya, sosok kiai sangat berpengaruh, kharismatik,

dan berwibawa sehingga sangat disegani oleh masyarakat di lingkungan pondok

pesantren. Kiai adalah tokoh sentral dalam suatu pesantren, maju mundurnya satu

pesantren ditentukan oleh wibawa dan karisma sang kiai.

Menurut asal-usulnya, perkataan kiai digunakan untuk tiga jenis gelar

yang saling berbeda, yaitu:

1. Sebagai gelar kehormatan pada barang yang dianggap keramat,

misalnya “Kiai Garuda Kencana” yang digunakan untuk sebutan

Kereta Emas yang berada di Keraton Yogyakarta.

2. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

3. Gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam

yang memiliki atau menjadi pemimpin pesantren dan mengajarkan

kitab Islam klasik kepada para santrinya. Selain gelar kiai, ia juga

sering disebut seorang alim (orang yang dalam pengetahuan

Islamnya).14

Para Kiai dengan kelebihannya dalam penguasaan pengetahuan Islam,

seringkali terlihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan

Tuhan dan rahasia alam sehinggga mereka dianggap memiliki kedudukan yang

tak terjangkau, terutama oleh kebanyakan orang awam.15

Sedangkan anak seorang kiai laki-laki disebut dengan panggilan “Gus”

yang berasal dari kata bagus yang bertujuan untuk mendoakan seorang anak agar

menjadi orang yang baik, istilah Gus juga menjadi panggilan kehormatan untuk

seseorang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gus diartikan sebagai nama

julukan atau nama panggilan kepada anak laki-laki.16

Semua warga pesantren tunduk pada kiai. Mereka berusaha keras

melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi semua larangannya, serta

menjaga agar jangan sampai melakukan hal-hal yang sekiranya tidak direstui kiai,

14 Dhofier, Op. Cit., h. 93.

15

Dhofier, Op. Cit., h. 94.

16

KBBI edisi kedua, h. 377.

13

sebaiknya mereka sesalu berusaha melakukan hal-hal yang sekiranya direstui

kiai.17

Kiai sebagai pengasuh pondok pesantren diposisikan sebagai top leader

yang menjadi panutan bagi santrinya. Oleh karena itu, segala bentuk kebijakan

pesantren berada di tangan kiai, terkhusus yang berkaitan dengan pembentukan

suasana kepesantrenan.

D. Cerita Pendek

1. Pengertian Cerita Pendek (Cerpen)

Pengertian cerpen telah dibuat dan dikemukakan oleh pakar sastra,

sastrawan. Di bawah ini ada beberapa pengertian cerita pendek yang

dikemukakan oleh pakar sastra.

H.B. Jassin mengemukakan bahwa cerita pendek adalah cerita yang

pendek. Jassin lebih jauh mengungkapkan bahwa tentang cerpen ini orang

boleh bertengkar, tetapi cerita yang seratus halaman panjangnya sudah tentu

tidak bisa disebut cerpen dan memang tidak ada cerpen yang sedemikian

panjangnya. Cerita yang panjangnya sepuluh atau dua puluh halaman masih

bisa disebut cerpen tetapi ada juga cerpen yang panjangnya hanya satu

halaman.18

Pengertian cerpen selanjutnya dikemukakan oleh Sumardjo dan Saini

di dalam buku mereka Apresiasi Kesustraan. Mereka berpendapat bahwa

cerpen adalah cerita pendek. Tetapi dengan hanya melihat fisiknya yang

pendek orang belum dapat menetapkan sebuah cerita yang pendek adalah

sebuah cerpen.19

Sumardjo juga mengemukakan pengertian cerpen di dalam bukunya

Catatan Kecil tentang Menulis Cerpen. Ia berpengertian bahwa cerpen adalah

17 Ahmad Musthofa Haroen dkk, Khazanah Intelektual Pesantren, (Jakarta: 2009), h.

436.

18

Antilan Purba, Sastra Indonesia Kontemporer (Yogyakarta: Graha Imu, 2012), Cet. 2,

h. 50. 19

Ibid.

14

diksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerpen hanya

memiliki satu arti satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran

Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik.

Pengertian cerpen yang dikemukakan oleh H.B. Jassin, Sumardjo, dan

Saini di atas tidak berbeda jauh dengan pengertian cerita pendek Edgar Allan

Poe (penyair, pengarang cerpen, novelet, dan esai Amerika abad ke-19). Dia

terkenal bukan hanya karena karya-karya kreatifnya, melainkan karena

konsep-konsep sastranya. Salah satu konsepnya yang penting tidak lain

mengenai cerpen. Ia mengatakan bahwa cerpen adalah karya sastra yang tidak

panjang cukup dibaca sekali duduk, bertitik berat pada satu masalah dan

memberi kesan tunggal.

Sumardjo dalam Antilan Purba berpengertian bahwa cerpen adalah

cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fisik dalam

aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerpen bukan karena bentuknya

yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang

sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan

jauh lebih jelas dan lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang

ditinggalkan oleh sebuah cerpen harus tajam dan dalam sehingga sekali

membacanya kita tak akan mudah lupa.20

Cerpen biasanya menggunakan 15.000 kata atau 50 halaman. Nugroho

Notosusanto menyatakan bahwa jumlah kata yang digunakan dalam cerpen

sekitar 5000 kata atau kira-kira 17 halaman kuarto spasi rangkap. Cerpen,

selain kependekannya ditunjukkan oleh jumlah kata yang digunakan, peristiwa

dan isinya sangat pendek. Peristiwa yang disajikan memang pendek dan isi

ceritanyapun singkat, tetapi mengandung kesan yang mendalam. Oleh karena

peristiwa dan isinya singkat, maka pelaku-pelaku dalam cerpen pun relatif

sedikit jika dibandingkan roman atau novel.21

Satu yang terpenting, cerita

20

Ibid., h. 51. 21

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis, (Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2010), h. 126.

15

pendek haruslah berbentuk “padat”. Jumlah kata dalam cerpen harus lebih

sedikit ketimbang jumlah kata dalam novel.22

Berdasarkan pendapat H.B. Jassin, Sumardjo, Saini, dan Edgar Allan

Poe sastrawan asal Amerika ini, penulis lebih mengikuti pendapat dari

Sumardjo. Maka dari itu, disimpulkan bahwa cerpen adalah sebuah cerita yang

tidak panjang dan cukup dibaca sekali duduk dengan aspek masalah yang

sangat dibatasi sehingga tergambar lebih jelas dan lebih mengesankan dan

pembaca pun tidak mudah lupa isi ceritanya

2. Ciri Cerita Pendek (Cerpen)

Cerpen memiliki ciri utama yaitu singkat, padu, intensif. Di samping

ciri tersebut, ciri lainnya adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan

kejadian yang pernah terjadi, berdasarkan kenyataan kejadian yang

sebenarnya, tetapi murni ciptaan saja, direka oleh pengarangnya. Meskipun

cerpen adalah rekaan, namun ia ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan. Apa

yang diceritakan di dalam cerpen memang tidak pernah terjadi, tetapi dapat

terjadi semacam itu. Pembaca cerita rekaan bukan sekadar membacar kisah

lamunan. Membaca karena cerpen menunjukkan suatu sisi kenyataan.

Pembacanya menghayati pengalaman seseorang, mengidentifikasi diri dengan

tokoh cerita rekaan sehingga ikut mengalami peristiwa yang dihadapinya.

Perbuatan-perbuatannya, pikiran dan perasaannya, keputusannya, dilema-

lemanya, dan sebagainya. 23

Ciri selanjutnya adalah sifat naratif atau penceritaan. Cerpen bukanlah

pancandraan (deskripsi) argumentasi dan analisis tentang suatu hal, tetapi

cerita. Tidak setiap cerita disebut cerpen. Dalam hal ini sebuah sketsa

(penggambaran tentang sesuatu kenyataan), berita, dan kisah perjalanan juga

berbentuk cerita, namun semua itu berdasarkan hal-hal yang benar-benar ada

dan telah terjadi.24

22

Robert Stanton, Teori Fiksi Robert Stanton, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 76

23

Purba, Op. Cit., h. 52. 24

Jakob Sumardjo dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan (Jakarta: PT Gramedia,

1986), h. 37.

16

3. Unsur Cerita Pendek

Bentuk prosa rekaan modern bisa dibedakan atas roman, novel,

novelet, dan cerpen karena tidak ada penelitian yang mendukung pembedaan

beberapa bentuk tersebut lebih banyak didasarkan pada panjang-pendeknya

dan luas-tidaknya masalah yang dipaparkan dalam prosa rekaan. Walaupun

tidak selalu benar, ada juga yang dasar pembedaannya ditambah dengan

bahasa dan lukisannya.25

Dilihat dari perkembangannya cerita pendek dibagi menjadi dua yaitu:

(1) cerita pendek sastra (cerita serius) yaitu cerita yang mengandung nilai

sastra (moral, etika, dan estetika); (2) cerita pendek hiburan (cerpen pop) yaitu

cerita pendek yang umumnya untuk menghibur yang mengutamakan selera

pembaca dan kurang memperhatikan unsur didaktis, moral, etika.26

Karakter utama dalam fiksi (cerpen) adalah peristiwa, yaitu suatu

kejadian yang di dalamnya ada hubungan antara tokoh, alur, dan setting.

Peristiwa dalam cerpen menunjukkan dua pola, yaitu peristiwa monologis

yang merupakan penggambaran keadaan dan kedirian yang bersifat tunggal,

dimana tokoh sedang bermonolog atau penulis sedang menggambarkan

keadaan; dan peristiwa dialogis yang merupakan penggambaran keadaan

hubungan tokoh dengan tokoh dalam suatu keadaan tempat dan waktu

tertentu. Baik peristiwa dialogis dan monologis selalu ada dalam sebuah

cerpen.27

Sekalipun ada peristiwa monologis dan dialogis sebagai peristiwa

pembangun cerita, tetapi hakikatnya peristiwa itu menunjukkan karakter yang

sama, yaitu peristiwa sebagai pembangun cerpen selalu terbentuk atas: tokoh,

setting, dan alur. Dengan demikian, ketiganya adalah pembangun cerita yang

konkret (fact) yaitu suatu fakta-fakta konkret yang eksplisit membangun

25

Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra (Jakarta: Grasindo, 2008)., h. 140. 26

Widjojoko dan Endang Hidayat, Teori dan Sastra Indonesia (Bandung: UPI PRESS,

2006), cet. 2, h. 37.

27

Heru Kurniawan dan Sutardi, Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2012), h. 61.

17

cerpen ataupun fiksi sehingga ketiga unsur ini (tokoh, latar, dan alur) disebut

dengan fakta cerita. Melalui fakta cerita inilah maka tema, pesan, amanat,

suasana, dan sudut pandang diaktualisasikan.28

a. Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya

sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau

sistem organisme karya sastra.29

Unsur-unsurnya antara lain: biografi

pengarang yang turut menentukan ciri karya yang dihasilkan, psikologi

pengarang atau pun pembaca, keadaan lingkungan pengarang seperti

ekonomi, politik dan sosial yang dapat mempengaruhi karyanya.

b. Unsur Intrinsik

Unsur intrinsik adalah unsur yang berada di dalam sebuah

karya sastra, yaitu unsur yang membangun karya itu sendiri. Keutuhan

atau kelengkapan sebuah cerpen dilihat dari segi-segi unsur yang

membentuknya. Adapun unsur-unsur itu adalah tema, tokoh dan

penokohan, latar, sudut pandang, alur, gaya bahasa, dan pesan atau

amanat. Unsur ini dapat dijumpai dalam cerpen ketika membacanya.

1). Tema

Tema adalah ide yang mendasari suatu cerita.30

Stanton

dan Kenny dalam Burhan Nurgiyantoro mengatakan bahwa

tema (theme) adalah makna yang terkandung oleh sebuah

cerita.31

Dalam menemukan tema prosa rekaan, pembaca

sebetulnya juga dapat menemukan nilai-nilai didaktis yang

berhubungan dengan masalah manusia dan kemanusiaan serta

hidup dan kehidupan.32

Dengan demikian, untuk menentukan

28

Ibid. 29

Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University

Press, 2005), cet. 5, h. 23 30

Siswanto, Op. Cit., h. 161. 31

Burhan, Op. Cit., h. 67. 32

Siswanto, Op. Cit., h. 161.

18

tema harus memahami isi keseluruhan sebuah cerita, sehingga

dapat memperoleh inti dari sebuah cerita dan menentukan tema

dengan tepat.

2). Tokoh dan Penokohan

Yang dimaksud dengan tokoh adalah para pelaku atau

subjek lirik dalam karya sastra.33

Aminuddin dalam Siswanto,

tokoh adalah pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita

rekaan sehingga peristiwa itu menjalin suatu cerita, sedangkan

cara sastrawan menampilkan tokoh disebut penokohan.34

Burhan berpendapat bahwa istilah “tokoh” menunjuk pada

orangnya, pelaku cerpen. Sedangkan penokohan artinya

karakter dan perwatakan— menunjuk pada penempatan tokoh-

tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah

cerita.35

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh

dalam sebuah cerita, ada tokoh yang tergolong penting dan

ditampilkan terus-menerus dan sebaliknya, ada tokoh(-tokoh)

yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita.

Tokoh yang disebut pertama adalah tokoh utama cerita (central

character, main character), sedang yang kedua adalah tokoh

tambahan (peripheral character).36

Hampir sependapat dengan

Burhan menurut Sudjiman dalam Priyatni, berdasarkan

fungsinya, tokoh dibedakan atas tokoh utama dan tokoh

bawahan atau pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang

memegang peranan utama, frekuensi kemunculannya sangat

tinggi, menjadi pusat penceritaan. Sedangkan tokoh bawahan

adalah tokoh yang mendukung tokoh utama, yang membuat

33 Priyatni, Op. Cit., h. 110.

34

Siswanto, Op. Cit., h. 142.

35

Burhan, Op. Cit., h. 165.

36

Ibid., h.176.

19

cerita lebih hidup.37

Dalam sebuah cerita tidak hanya

memunculkan satu tokoh saja, pastinya ada tokoh tambahan di

samping tokoh utama agar cerita lebih hidup dengan kehadiran

tokoh-tokoh lain. Oleh karena itu, setiap tokoh dalam karya

fiksi memiliki sifat, sikap, dan tingkah laku atau watak-watak

yang berbeda, sehingga cerita akan lebih menarik dengan

perbedaan watak yang digambarkan di dalam cerita. Hubungan

tokoh dengan dengan unsur cerita yang lain, seperti hubungan

tokoh dan latar merupakan dua unsur rekaan yang erat

berhubungan dan tunjang-menunjang.38

3). Alur (plot)

Menurut Abrams dalam Siswanto, alur adalah

rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa

sehingga menjalin sebuah cerita yang dihadirkan oleh para

pelaku dalam suatu cerita. Menurut Aminuddin dalam

Siswanto, membedakan tahapan-tahapan peristiwa atas

pengenalan, konflik, komplikasi, klimaks, peleraian, dan

penyelesaian.39

Pengenalan adalah tahap peristiwa dalam suatu cerita

rekaan atau drama yang memperkenalkan tokoh-tokoh atau

latar cerita. Yang dikenalkan dari tokoh ini, misalnya, nama,

asal, ciri fisik, dan sifatnya.

Konflik atau tikaian, ketegangan atau pertentangan

antara dua kepentingan atau kekuatan di dalam cerita rekaan

atau drama. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu

tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh dan masyarakat atau

37 Priyatni, Op. Cit., 110

38

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya,

1988), h. 27.

39

Siswanto, Op. Cit., h. 159.

20

lingkungannya, antara tokoh dan alam, serta antara tokoh dan

Tuhan. Ada konflik lahir dan batin.

Komplikasi atau rumitan bagian tengah alur cerita

rekaan atau drama yang mengembangkan tikaian.

Klimaks adalah bagian alur cerita rekaan atau drama

yang melukiskan puncak ketegangan.

Leraian adalah bagian struktur alur sesudah tercapai

klimaks. Pada tahap ini peristiwa-peristiwa yang terjadi

menunjukkan perkembangan lakuan ke arah selesaian.

Selesaian adalah tahap akhir suatu cerita rekaan atau

drama. Ada dua macam selesaian: tertutup dan terbuka.

Selesaian tertutup adalah bentuk penyelesaian cerita yang

diberikan oleh sastrawan. Selesaian terbuka adalah bentuk

penyelesaian cerita yang diserahkan kepada pembaca.40

Tahap-tahap alur dijelaskan sebagai urutan waktu

kejadian di dalam cerita. Namun, tidak semua cerita dimulai

dari tahap yang paling awal yaitu pengenalan. Ada pula cerita

yang dimulai dari tahap penyelesaian, hal itu disebut alur

mundur. Sedangkan tahap alur yang runtut dari pengenalan

hingga selesaian disebut alur maju. Bagi pembaca, alur atau

plot berguna untuk memahami keseluruhan isi cerita secara

runtut dan jelas.

4. Latar (Setting)

Setting adalah latar atau tempat kejadian, watu sebuah

cerita. Setting bisa menunjukkan tempat, waktu, suasana batin,

saat cerita itu terjadi.41

Latar, tidak hanya merujuk pada lokasi

peristiwa, tetapi juga memiliki kemampuan untuk membangun

karakter tokoh, menentukan tema, serta membangun suasana

40 Ibid., h. 160.

41

Esti Ismawati, Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013), h. 72.

21

tertentu. Latar, tidak hanya mampu memberikan pengetahuan

tentang masyarakat tertentu, tapi juga mampu melukiskan

secara lengkap berbagai masalah, watak, sikap hidup, ambisi

masyarakat tertentu.42

Menurut Abrams dalam Siswanto, latar cerita adalah

tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical

time), dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam

setiap episode atau bagian-bagian tempat.43

Jacob Sumardjo menyatakan bahwa setting tidak hanya

berupa tempat atau lokal saja, tetapi juga mencakup suatu

daerah dengan watak kehidupannya. Hal ini senada dengan

pendapat Stephen Minot yang menyatakan bahwa latar

memuat: latar waktu, latar alam/geografi, dan latar sosial.44

Faktor dominan dalam latar antara lain: a) faktor tempat yaitu

gambaran tentang di mana peristiwa atau cerita dalam fiksi itu

terjadi. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau

desa, pantai, hutan, dan lainnya; b) faktor waktu, merupakan

gambaran kapan, masa, dan saat tertentu terjadinya peristiwa

dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungan dengan

tempat, yaitu gambaran suatu tempat pada masa, zaman, tahun,

atau musim tertentu. Waktu berkaitan pula dengan sejarah; c)

faktor sosial berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial

masyarakat di suatu tempat.45

Tata cara kehidupan sosial

masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang

cukup kompleks. Dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,

tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan

bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual. Latar

42 Wahyu Wibowo, Konglomerasi Sastra, (Jakarta: Paronpers, 1995), h. 57.

43

Siswanto, Op. Cit., h. 149.

44

Priyatni, Op. Cit., h. 112.

45

Nani Tuloli, Teori Fiksi, (Gorontalo: Nurul Jannah, 2000), h. 53-55.

22

sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh, misalnya

rendah, menengah, atau atas.46

Namun, tidak semua latar bisa ditampilkan di dalam

cerpen baik itu latar waktu, tempat, atau latar sosial. Bisa jadi

dalam sebuah cerita hanya menonjolkan latar tempatnya saja,

atau latar waktu, dan bahkan latar sosial saja yang ditampilkan

pada sebuah cerita.

5). Sudut Pandang

Seorang pengarang dalam memaparkan ceritanya dapat

memilih sudut pandang tertentu. Pengarang dapat memilih satu

atau lebih narator/pencerita yang bertugas memaparkan ide,

peristiwa-peristiwa dalam prosa fiksi. Secara garis besar,

pengarang dapat memilih pencerita akuan atau diaan.47

a. Sudut Pandang Orang Pertama “Aku”

Seseorang pencerita dapat dikatakan sebagai

pencerita akuan apabila pencerita tersebut dalam bercerita

menggunakan kata ganti orang pertama: aku atau saya.

Sudut pandang orang pertama “aku” (tokoh utama) serba

tahu yaitu seorang narator yang bisa mengetahui semua

gerak fisik maupun psikisnya. Biasanya bertindak sebagai

tokoh utama yang serba tahu.

Tidak semua cerita menggunakan sudut pandang

orang pertama “aku” serba tahu. Ada kemungkinan

pencerita atau narator hanya mengetahui gerak-gerik fisik

dari para tokoh, hal tersebut sebagai “aku” (tokoh

tambahan).

46 Burhan, Op. Cit., h. 233-234.

47

Priyatni, Op. Cit., h. 115.

23

b. Sudut Persona Orang Ketiga “Dia”

Sudut pandang orang ketiga ini dapat

diklasifikasikan menjadi dua, “Dia” serba tahu

(menceritakan segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh

berbagai tokoh dalam cerita) dan “Dia” terbatas atau

objektif (hanya terbatas mengamati pada satu tokoh).

c. Sudut Pandang Campuran

Pengarang menggunakan lebih dari satu teknik

dalam bercerita. Pengarang dapat mengubah teknik atau

berganti-ganti teknik penceritaan dalam sebuah karyanya.

Sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi,

teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk

menemukan gagasan ceritanya.48

Pemahaman pembaca

terhadap sebuah karya sastra dipengaruhi oleh kejelasan

sudut pandang yang digunakan oleh pengarang dalam

karyanya, sehingga sudut pandang dapat menentukan

sejauh mana pemahaman pembaca terhadap sebuah karya

dan mampu memberikan penilaian terhadap karya tersebut.

8). Amanat

Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra;

pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca atau

pendengar.49

Pengarang pastinya mempunyai tujuan ketika

menciptakan karya. Tujuan tersebut tentunya diperuntukkan

bagi pembacanya, sehingga pesan yang ingin disampaikan

dapat diterima oleh pembaca. Di dalam karya sastra modern

amanat biasanya disampaikan secara tersirat dalam cerita.

48 Burhan, Op. Cit., h. 248.

49 Ibid., h. 162.

24

E. Pendekatan Mimetik

Berbicara tentang teori mimetik, tidak dapat terlepas dari pengaruh filsuf

besar Yunani yaitu Plato dan Aristoteles. Pendekatan mimetik memandang karya

sastra sebagai tiruan atau pembayangan dunia kehidupan nyata. Konsep tersebut

dikemukakan filsuf Plato, dan kemudian diungkapkan oleh Aristoteles. Plato

berpendapat bahwa seni hanya tiruan alam yang nilainya jauh di bawah kenyataan

dan ide. Sedangkan Aristoteles menyatakan bahwa tiruan itu justru

membedakannya dari segala sesuatu yang nyata dan umum, karena seni

merupakan aktivitas manusia.50

Mimetik berasal dari bahasa Yunani yaitu mimesis yang berarti tiruan.

Pertama kali digunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan oleh

Plato dan Aristoteles. Dan dari abad ke abad sangat mempengaruhi teori-teori seni

dan sastra di Eropa.

Abrams dalam Nyoman Kutha Ratna, mengatakan pendekatan mimesis

merupakan pendekatan estetis yang paling primitif. Teori estetis ini tidak hanya

ada di Barat tetapi juga di dunia Arab dan Indonesia. Dalam khazanah sastra

Indonesia, yaitu dalam puisi Jawa Kuno seni berfungsi untuk meniru keindahan

alam. Dalam bentuk yang berbeda, yaitu abad ke-18, dalam pandangan Marxis

dan sosiologi sastra, karya seni dianggap sebagai dokumen sosial. Apabila

kelompok Marxis memandang karya seni sebagai refleksi, maka sosiologi sastra

memandang kenyataan sebagai sesuatu yang sudah ditafsirkan. Dalam hubungan

ini pendekatan mimesis memiliki persamaan dengan pendekatan sosiologis.

Perbedaannya, pendekatan sosiologis tetap bertumpu pada masyarakat, sedangkan

pendekatan mimesis, khususnya dalam kerangka Abrams bertumpu pada karya

seni.51

Pendekatan mimetik adalah pendekatan kajian sastra yang menitikberatkan

kajiannya terhadap hubungan karya sastra dengan kenyataan di luar karya sastra.

Karya sastra merupakan bentuk persepsi (cara khusus dalam memandang dunia)

dan memiliki relasi dengan cara memandang realitas yang menjadi ideologi sosial

50

Yudiono K.S, Telaah Kritik Sastra Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1986), h. 31. 51

Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007), cet. III, h. 69-70.

25

suatu zaman. Memahami karya sastra adalah memahami hubungan tak langsung

antara karya sastra dengan dunia ideologis tempat karya itu berada yang muncul

pada unsur-unsur karya sastra.52

F. Pembelajaran Sastra

Pembelajaran sastra di sekolah sangat penting keberadaannya. Pendidikan

sastra adalah pendidikan yang mencoba untuk mengembangkan kompetensi

apresiasi sastra, kritik sastra, dan proses kreatif sastra. Peserta didik diajak untuk

langsung membaca, memahami, menganalisis, dan menikmati karya sastra secara

langsung. Dalam pembelajaran sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk

memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada di dalam karya

sastra dan kenyataan yang ada di luar sastra, tetapi diajak untuk mengembangkan

sikap positif terhadap karya sastra. Hal tersebut akan mengembangkan

kemampuan pikir, sikap, dan keterampilan peserta didiknya.53

Pembelajaran sastra di sekolah akan membantu meningkatkan

pengetahuan tentang sastra kepada peserta didik. Dari pembelajaran sastra, peserta

didik bisa menafsirkan karya-karya terbaik dari banyak sastrawan dan memahami

karya tersebut, bahkan tidak hanya karyanya tetapi mengetahui kehidupan

sastrawannya. Kemudian, dapat memperoleh pesan-pesan sehingga memberikan

pelajaran yang positif di kehidupan peserta didik. Dalam hal pengajaran sastra

atau pembelajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan

yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang

bersifat sosial; serta ditambah lagi yang bersifat religius.54

Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A Mustofa Bisri ini dapat

diterapkan sebagai pembelajaran sastra di sekolah. Pada pertemuan yang

membahas tentang memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen

(silabus dan RPP terlampir).

52

Siswanto., Op. Cit., h. 189. 53

Ibid., h. 168-169. 54

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 19 .

26

G. Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan berarti mencari persamaan atau perbedaan antara

penelitian yang sedang dibuat dengan penelitian-penelitian sebelumnya atau

terdahulu. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan penelitian satu dengan

yang lainnya dan menghindari duplikasi dalam penelitian. Maka dari itu, perlu

adanya beberapa penelitian yang relevan untuk mengetahui tinjauan hasil

penelitian sebelumnya. di bawah ini ada tiga skripsi yang membahas karya-karya

Gus Mus.

Pertama berjudul Tema-tema Profetik Islam dalam Tadarus: Antologi

Puisi Karya A. Mustofa Bisri oleh Erika Prettyza (NPM. 0790010119), jurusan

Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1996). Skripsi tersebut

hanya dibatasi pada 22 dari 50 sajak yang ada dalam Tadarus. Tujuan penelitian

tersebut adalah untuk mengungkapkan tema-tema profetik Islam dalam antologi

puisi Tadarus. Dalam skripsinya penulis menjelaskan berbagai hal yang

berkenaan dengan unsur profetik, baik berupa bentuk atau tipografi atau melalui

bahasa yang digunakan dalam karya tersebut.

Kedua, skripsi yang berjudul Kritik Sosial dalam Puisi “Kalau Kau Sibuk

Kapan Kau Sempat” dan “ Saling” Karya A. Mustofa Bisri serta Implikasinya

Terhadap Pembelajaran Sastra Di Sekolah oleh Ria Fidiyanti (109013000014),

program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah

dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi

tersebut hanya dibatasi pada dua puisi karya A. Mustofa Bisri. Tujuan penelitian

tersebut adalah untuk menguraikan struktur dan kritik sosial dalam puisi “Kalau

Kau Sibuk Kapan Kau Sempat dan Saling”, serta implikasi kedua puisi tersebut

dalam pembelajaran sastra Indonesia di sekolah.

Ketiga skripsi yang membahas kumpulan cerpen-cerpen Gus Mus. Skripsi

ini ditulis oleh Nanik Widayati, mahasiswi Fakultas Tarbiyah, IAIN

Walisongo, Semarang tahun 2006. Dalam skripsi yang berjudul "Nilai-Nilai

Pendidikan Akhlak dalam Kumpulan Cerpen Lukisan Kaligrafi Karya KH. A.

Mustofa Bisri," Nanik Widayati meneliti hubungan karya sastra dengan nilai-nilai

pendidikan akhlak. Dalam penelitiannya penulis memaparkan berapa contoh sikap

27

yang mampu dijadikan teladan dalam proses pendidikan antara lain sikap rendah

hati yang harus dimiliki oleh setiap orang, seperti yang ada dalam cerpen Gus

Mus yang berjudul Gus Jakfar.

Berdasarkan pengamatan penulis, maka penelitian mengenai kritik sosial

dalam kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri, ini patut untuk

dilakukan. Mengingat, dalam beberapa penelitian sebelumnya yang menggunakan

objek yang sama yaitu Lukisan Kaligrafi hanya mengambil nilai-nilai pendidikan,

sedangkan penulis lebih berfokus pada kritik yang hendak disampaikan oleh

pengarang melalui karyanya.

28

BAB III

BIOGRAFI DAN PANDANGAN PENGARANG

A. Biorafi Singkat A. Mustofa Bisri

K.H. A. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, lahir di Rembang Jawa

Tengah, 10 Agustus 1944. Kakeknya, Kiai Mustofa Bisri adalah seorang ulama.

Begitu pula dengan ayahnya, K.H Bisri Mustofa merupakan seorang ulama

kharismatik tersohor yang juga sebagai pendiri Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin,

Rembang, Jawa Tengah.1

Gus Mus sejak kecil dididik orangtuanya dengan keras, terutama menyangkut

prinsip-prinsip agama. Pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat

sekolah dasar tahun 1956, ia melanjutkan ke sekolah tsanawiyah (setingkat dengan

jenjang SMP). Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, kemudian masuk Pesantren

Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Setelah dua tahun di Pesantren Lirboyo, ia pindah

lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama di Yogyakarta, ia diasuh oleh K. H.

Ali Maksum selama hampir tiga tahun, kemudian kembali ke Rembang untuk mengaji

langsung di bawah asuhan ayahnya.2

K. H. Ali Maksum dan K.H. Bisri Mustofa merupakan guru yang paling

banyak memengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiai tersebut memberikan

kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni. Pada tahun 1964,

Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, untuk belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil

jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan

dengan K.H. Abdurrahman Wahid (Almarhum).

Gus Mus merupakan kiai pembelajar bagi para para ulama dan umat. Kiai

yang sekarang mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin (menggantikan

ayahnya) ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama

1

A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2009)

2 Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-bisri/biografi/indeks.html di akses pada

24 November 2015.

29

dalam Muktamar NU ke 31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Ia mempunyai

prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia

selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur

mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar

NU ke-31 itu. Gus Mus menikah dengan Siti Fatimah. Ia dikarunia tujuh orang anak,

enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu, Mochamad

Bisri Mustofa. Anak laki-lakinya lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri

di sana.3

Bakat lukis Gus Mus terasah sejak masa remaja, saat mondok di Pesantren

Krapyak, Yogyakarta. Ia sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Salah satunya,

Gus Mus pernah bertandang ke rumah sang maestro seni lukis Indonesia, Affandi.

Ia seringkali menyaksikan langsung bagaimana Affandi melukis, sehingga setiap

kali ada waktu luang, dalam batinnya sering muncul dorongan untuk menggambar.

Pada akhir tahun 1998, Gus Mus pernah memamerkan sebanyak 99 lukisan amplop,

ditambah 10 lukisan bebas, dan 15 kaligrafi di gelar di Gedung Pameran Seni Rupa,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta. Kurator seni rupa Jim Supangkat,

menyebutkan kekuatan ekspresi Mustofa Bisri terapat pada garis grafis. Kesannya

ritmik menuju zikir membuat lukisannya beda dengan kaligrafi. sebagian besar

kaligrafi yang ada terkesan tulisan yang dindah-indahkan, kata Jim Supangkat,

memberi apresiasi kepada Gus Mus yang pernah beberapa kali melakukan pameran

lukisan. Tahun 2003, ketika goyang ngebor pedangdut Inul Daratista menimbulkan

pro dan kontra dalam masyarakat, Gus Mus justru memamerkan lukisannya yang

berjudul Berdzikir Bersama Inul.4

A. Mustofa Bisri pernah terjun di gelanggang politik praktis, ia menjadi

anggota DPRD Jawa Tengah periode 1987-1992 dari Partai Persatuan Pembangunan

(PPP). Setelah itu, ia menolak dicalonkan lagi sebagai anggota DPRD dengan

argumennya “Selama saya menjadi anggota DPRD, sering kali terjadi pertikaian

3 Ibid.

4 Ibid.

30

dalam batin saya, karena sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak

dibandingkan dengan apa yang bisa saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah.”5

A. Mustofa Bisri yang menguasai bahasa Arab, Inggris, dan Perancis

kemudian lebih banyak berkiprah sebagai „kutu buku‟ dan penulis. Tulisan A.

Mustofa Bisri yang berupa esai, cerpen dan puisi banyak dimuat di berbagai media

massa, seperti: Intisari, Ummat, Amanah, Panji Masyarakat, DR Horison, Jawa Post,

Tempo, Gatra, Forum,Kompas, Suara Merdeka, Detak, Wawasan, Dumas dan

Bernas. Adakalanya tulisan-tulisan A. Mustofa Bisri di surat kabar tersebut

mengandung kritik. Namun demikian, A. Mustofa Bisri berharap tidak menyakitkan

hati, melainkan kritiknya diharap mampu menembus relung-relung jiwa yang berbuah

penyadaran.

A. Mustofa Bisri mengakui, perjalanan hidupnya banyak dipengaruhi

pandangan gurunya, KH Ali Maksum dan KH Bisri Mustofa, ayahnya. Keduanya

memberikan kebebasan kepada para santrinya untuk mengembangkan bakat seni.

Ketika mondok di pesantren Krapyak, di masa itulah A. Mustofa Bisri mengaku

sering keluyuran ke rumah-rumah pelukis. Di antaranya bertandang ke rumah

Affandi, untuk melihat bagaimana sang maestro lukis. Maka tak mengherankan jika

setiap kali ada waktu luang, sering muncul dorongan menggambar. “Saya ambil

spidol, pena, atau cat air untuk corat-coret. Tapi kumat-kumatan, kadang-kadang, dan

tak pernah serius,” kata A. Mustofa Bisri, perokok berat yang sehari-hari

menghabiskan dua setengah bungkus rokok.”6

B. Karya-karya A. Mustofa Bisri

A Mustofa Bisri telah menghasilkan sejumlah karya tulis, seperti Ensiklopedi

Ijma (terjemahan bersma K.H. M. Ahmad Sahal Mahfudz, Pustaka Firdaus, Jakarta);

Proses Kebahagiaan (Sarana Sukses, Surabaya); Awas Manusia dan Nyamuk yang

5 Priyo B. Sumbogo, Heddy Lugito dan Hidayat Tantan, Kiai Klelet dari Rembang, dalam

Gatra, IV Januari, 1998, h.104.

6 Ibid.

31

perkasa (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press, Jakarta); Mutiara-mutiara

Benjol (Lembaga studi Filsafat, Yogya); Syair Asmaul Husna (Bahasa Jawa, Al-

Huda, Temanggung); Saleh Ritual Saleh Sosial, Esai-esai Moral (Mizan, Bandung);

Pesan Islam Sehari-hari, Ritus Dzikir dan Gempita Umat (Risalah Gusti, Surabaya);

Al-Muna, Terjemahan Syair Asmahul Husna (Al-Miftah Surabaya); Fikih

Keseharian, Bungga Rampai Masalah-masalah keberagamaan (Yayasan Pendidikan

Al-Ibriz, Rembang dan Al-Miftah, Surabaya); Canda Nabi & Tawa Sufi, (Hikmah,

Jakarta); dan Melihat Diri Sendiri (Gama Media, Yogya).

Selain karya-karya di atas, A. Mustofa Bisri juga telah menulis delapan

kumpulan sajak dan sebuah kumpulan cerpen, yaitu Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem

(Pustaka Firdaus, Jakarta); Tadarus (Prima Pustaka, Yogyakarta); Pahlawan dan

Tikus, (Pustaka Firdaus, Jakarta); Rubaiyat Angin dan Rumput (diterbitkan atas kerja

sama majalah Humor dan PT Matra Multi Media, Jakarta); Wekwekwek (risalah

Gusti, Surabaya); Gelap berlapis-lapis (Fatma Press, Jakarta); Gandrung, Sajak-sajak

Cinta (Al-Ibriz, rembang); Negeri Daging (Bentang, Yogya); dan Lukisan Kaligrafi

(kumpulan cerita pendek, penerbit buku Kompas, Jakarta)

C. Pandangan Mustofa Bisri sebagai Sastrawan

A. Mustofa Bisri sebagai seorang penyair santri memiliki kekhasan dalam

karyanya, antara lain terlihat pada pengungkapan masalah sosial dan spiritual dengan

menggunakan bahasa sehari-hari, dan pengucapkan yang lugas. Bahasa yang

digunakan cukup wajar dan sederhana, tetapi dibalik kesederhanaan itu sebenarnya

terdapat makna yang lebih, atau dapat disebut dengan deceptive simplicity

(kesederhanaan yang menipu). Hal ini juga diungkapkan oleh Umar Kayam pada

pengantar kumpulan puisi Tadarus bahwa Mustofa Bisri bukan hanya “penjaga dan

pendamba kearifan” dan “penjaga taman kata-kata”, melainkan ia sudah

menggengam kearifan dan indahan kata-kata. Ciri khas yang lain dari sajak-sajak

Bisri adalah penggunaan diksi-diksi religi untuk mengekspresikan masalah-masalah

32

sosial sehingga seolah-olah sajak tersebut sepintas seperti sajak bertema religi,

padahal sesungguhnya hendak menyuarakan protes.7

A. Mustofa Bisri muncul pertama kalinya untuk membacakan puisi pada

tahun 1987 pada acara “Mubalig Baca Puisi” di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki,

Jakarta. Ketika itu ia membacakan sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa Boleh Apa

Saja” yang kemudian dihimpun dalam buku puisi pertamanya, Ohoi.8

Berikut kutipan dari dua bait pertama sajak “Nyanyian Kebebasan Atawa

Boleh Apa Saja”

Merdeka!

Ohoi, Ucapkanlah lagi pelan-pelan

Merdeka

Kau „kan tahu nikmatnya nyanyian kebebasan…

Nyanyian kebebasan

Ohoi,

Lelaki boleh genit bermanja-manja

Wanita boleh sengit bermain bola…

Anak muda boleh berkhutbah di mana-mana

Orang tua boleh berpacaran di mana saja

A. Mustofa Bisri lebih dikenal dengan “puisi balsemnya”. Menurut sastrawan

yang gemar memakai kopiah ini, puisi balsemnya lahir sebagai bentuk ketidakpuasan

karena ia merasa masih adanya jarak antara seniman dan masyarakat. Sajak-sajak A.

Mustofa Bisri memang cukup ampuh “menyembuhkan” sebagaimana balsam yang

yang terasa panas sepintas, namun selebihnya mengobati „si sakit hati,‟ bahkan „si

sakit jiwa‟.9 Sajak-sajak A. Mustofa Bisri yang terkumpul dalam buku Ohoi pernah

masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award. Namun, A. Mustofa Bisri malah

7 Ida Nur Chasnah, M. Hum, Ekspresi Sosial Sajak-sajak KH. A. Mustofa Bisri, (Yogyakarta:

Logung Pustaka, 2005), h. 4-5. 8 Abdul Wachid B.S, K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi, dalam Pikiran Rakyat, 29 Oktober

2005. 9 Ibid.

33

bersyukur kalau akhirnya puisinya tidak mendapatkan penghargaan tersebut. A.

Mustofa Bisri merasa masih banyak penyair yang lebih baik dibandingkan dirinya.

Selain menjadi penyair, A. Mustofa Bisri adalah seorang penulis cerpen yang

handal, banyak cerita ditujukan untuk mengkritik lingkungan sekitar. Meski terbilang

baru sebagai seorang penulis cerpen, A. Mustofa Bisri boleh dikatakan baru

menerbitkan cerpennya di tahun 2002. Cerpen pertama A. Mustofa Bisri berjudul

“Gus Jakfar.” Menurut A. Mustofa Bisri cerpen tersebut lahir karena diprovokasi oleh

Danarto.10

Pada tahun 2003, cerpen “Gus Jakfar” A. Mustofa Bisri terpilih sebagai

cerpen pilihan Kompas tahun 2003. Kemudian, pada tahun 2005, kumpulan cerpen

Lukisan Kaligrafi A. Mustofa Bisri menerima Hadiah Mastera (Majelis Sastra Asia

Tenggara) dari pemerintahan Malaysia. Buku kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi

memuat 15 cerpen karyanya.

Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri memang berhubungan dengan

kehidupan masyarakat pesantren Jawa. Kehidupan masyarakat pesantren tersebut

dapat dilihat melalui tokoh-tokoh dan latar yang mewakili dunia pesantren. Hal ini

pun diakui A. Mustofa Bisri bahwa hampir semua cerpennya bertema pesantren.

Dalam artikelnya, Achmad Muchlis Ar menyatakan kumpulan cerpen A. Mustofa

Bisri mengangkat budaya kehidupan masyarakat pesantren di jawa.

Berdasarkan pengamatan Muchlis AR, Analogi cerpen A. Mustofa Bisri telah

menghadirkan antologi cerpen yang cukup bernilai bagi sastra Indonesia, yakni

Lukisan Kaligrafi. Cerpen-cerpen dalam buku ini umumnya mengambil latar

pesantren dengan segala tradisi dan budayanya. Kecerdasan A. Mustofa Bisri

mengolah cerpennya terletak pada penyusunan narasi untuk membangun plot dengan

konflik yang halus namun memikat, sehingga pembaca takkan merasa tiba-tiba

cerpen yang dibacanya selesai karena mereka larut dan masuk ke dalam teks

tersebut.11

.

10

Sohirin, Puisi Itu Tradisi Pesantren, dalam Tempo, 18 Desember 2005. 11

Ibid.

34

Idiom-idiom estetika A. Mustofa Bisri menjadi khas karena muncul dari

intuisi dan obsesinya terhadap objek yang sangat dia kenal. Ia tak berpaling dari

objek dunia pesantren, dunia kesufian dan pergulatan manusia yang mencari cahaya

keilahian. Kancah perhatian cerpen-cerpennya yang berpusat pada dunia pesantren

dan keulamaan telah mewarnai diksi-siksi yang terbingkai estetika lokal, yang

membedakannya dengan cerpen-cerpen Ahmad Tohari, misalnya, dalam Senyum

Karyamin yang berlatar sosial pedesaan meski keduanya sama-sama ulama pesantren.

Rahmat H. Cahyono, cerpenis ini pun mengomentari cerpen-cerpen A.

Mustofa Bisri. Menurut Cahyono (2004), A. Mustofa Bisri memang belum banyak

menulis cerpen. Namun, membaca kumpulan cerpen pertamanya, terasa ada

kesegaran. Lebih lanjut, Cahyono memaparkan istilah „pembocoran fakta‟ yang

digunakan Seno Gumira Ajidarma untuk menyebut sastra yang „membocorkan fakta‟

yang tidak muncul di media massa. Cerpen-cerpen A. Mustofa Bisri, Menurut

Cahyono telah „membocorkan fakta‟ keseharian dalam komunitas pesantren atau

komunitas kiai ke dalam cerita rekaan. Cahyono juga menyebut cerpen-cerpen A.

Mustofa Bisri serumpun dengan fiksi-fiksi karya Danarto, Kuntowijoya, atau Ahmad

Tohari yang dapat disebut sebagai sastra atau fiksi profetik.

Mengenai gaya penulisan A. Mustofa Bisri dalam cerpen-cerpennya, Cahyono

berpendapat, “A. Mustofa Bisri berada dalam tataran realisme yang lebih sederhana,

cair dan liniear. Dalam cerpen-cerpennya, ia setia menjaga hubungan liniear antara

fiksi dan fakta yang sangat dikenalnya, yakni komunalisme kaum santri. Model

penulisan semacam ini memudahkan pembaca yang senang mencari pesan di balik

sebuah karya sastra.”12

12

Rachmat H Cahyono, Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus, Suara Pembaruan, 23 Mei

2004.

35

BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik Kumpulan Cerpen “Lukisan Kaligrafi”

1. Tema

Cerpen “GusJakfar” bertemakan ilmu mistik, hal ini dapat diketahui melalui

keistimewaan berupa kemampuan yang dimiliki oleh beberapa tokoh diantaranya Gus

Jakfar dan Kiai Tawakkal. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

“Tapi Gus Jakfar memang luar biasa,” kata mas Bambang, pegawai pemda

yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas

saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang

tersembunyi.”1

Melalui kutipan diatas dengan adanya dialog antara “mas bambang dengan

pencerita” menunjukan bahwa cerpen tersebut erat kaitanya dengan kiai, dimana

kemampuan kiai tersebut dianggap mistis oleh warga sekitar. Ditunjukkan denga

adanya ungkapan bahwa gus Jakfar mampu melihat tanda yang terdapat pada kening

orang yang dijumpainya. sehingga beliau mampu melihat peristiwa yang akan

menimpa orang tersebut, antara lain, kematian, jodoh dan rezeki.

Sedangkan tema yang terdapat di dalam cerpen “Gus Muslih” menceritakan

tentang kritik terhadap kebiasaan lama yang masih dianut oleh sebagian besar

masyarakat.

“Gus Muslih dianggap pembaharu, banyak hal yang sudah berjalan lama di

daerah kami dihujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan

keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu

yang bertakziah dan memberikan uang salawat kepada kiai atau modin

ditentangnya habis-habisan.”2

1 A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi, (Jakarta: PT KompasMedia Nusantara, 2009), h. 2.

2Ibid., h. 13.

36

Kutipan di atas menjelaskan pemikiran baru masih sulit untuk diterima oleh

orang-orang yang masih menganut dan meyakini bahwa semua kebiasaan lama

bernilai positif.

Kemudian, cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah cerpen yang bertemakan

tentang kaidah kesenian. Kaligrafi merupakan seni melukis yang mengkombinasikan

antara tulisan arab dengan makna atau arti dari tulisan tersebut. Ini terlihat dari

kutipan berikut:

“…, Hardi sama sekali tak mengenal khath Arab. Tak tahu bedanya

Naskh dan Tsuluts , Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi.

Apalagi falsafahnya. Katanya dia asal “menggambar” tulisan,

mencontoh kitab Quran atau kitab-kitab bertuliskan Arab lainnya. Dia

hanya tertarik dengan makna ayat yang ia ketahui lewat Terjemahan

Quran Departemen Agama, lalu dia tuangkan ayat itu ke dalam kertas

atau kanvas. bila ayat itu berbicara tentang penciptaan langit dan bumi,

maka dia pun melukis pemandangan, lalu di atasnya dituliskan ayat-

ayat yang bersangkutan.”3

Melalui ajakan seorang teman lamanya, Hardi. Ust Bachri bersedia mengikuti

pameran kaligrafi. yang akhirnya membuat Ust Bachri terkenal karena lukisanya

dianggap memiliki nilai seni yang tinggi, terlihat dari kutipan berikut. “begitu melihat

lukisan Anda, saya langsung tertarik. …”…“apalagi setelah kawan Anda ini

menjelaskan makna dan falsafahnya. Luar biasa!”4

Terbukti dengan adanya kutipan diatas, maka kemauan Ust Bachri mengikuti

pameran dikarenakan ajakan seorang temanya. Dapat dilihat dari tema yang terdapat

dalam tiga cerpen tersebut menggambarkan masyarakat secara umum, pesantren dan

kiai. semuanya berhubungan erat, bahwa kiai juga merupakan bagian dari

masyarakat, begitu juga dengan pesantren yang merupakan lembaga pendidikan yang

berada dalam sebuah masyarakat. sehingga satu dengan yang lain erat kaitanya.

Dari ketiga cerpen di atas erat kaitanya dalam dunia pesantren, dengan adanya

ajaran-ajaran yang dibawa oleh tokoh yang dibuat Gus Mus dalam ketiga cerpen

3Ibid., h. 63.

4ibid., h, 68.

37

tersebut dapat menggambarkan pola-pola kehidupan dalam pesantren. Seperti pada

cerpen Lukisan Kaligrafi yang membahas seni melukis bahasa arab yang biasa di

ajarkan dalam pesantren. Sosok kiai muncul dalam ketiga cerpen tersebut dimana kiai

adalah orang tidak terlepas dari dunia pesantren karena dia adalah sosok sentral di

lingkungan pondok pesantren.

2. Penokohan

Tokoh-tokoh yang diceritakan dalam ketiga cerpen ini rata-rata merupakan

tokoh yang biasa hadir dalam kehidupan sehari-hari dan identik dengan dunia

pesantren. Sosok sentral yang menjadi sumber perbincangan adalah seorang kiai atau

alim ulama.

Pada cerpen “Gus Jakfar” mempunyai tokoh utama seorang ulama yaitu Gus

Jakfar. Terlihat dalam kutipan berikut. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh

pesantren “Sabilul Muttaqin” dan sesepuh di daerah kami, Gus Jakfarlah yang

paling menarik perhatian masyarakat.”5Hal ini dikarenakan Gus Jakfar dianggap

memiliki kelebihan dibanding saudaranya yang lain yaitu memiliki kemampuan

melihat pertanda yang terdapat pada seseorang yang ia temui. Bahkan, Kiai Saleh

menyatakan Gus Jakfar lebih tua dari beliau sendiri hal ini juga diketahui oleh tokoh

Kang Solikin yang ketika itu bercerita kepada kawan kawannya terkait tentang Gus

Jakfar.

Gus Jakfar mempunyai kemampuan yang suka membaca pertanda yang

terdapat pada orang dan langsung mengatakannya kepada orang tersebut. Hal ini

dapat dilihat dari kutipan berikut:

“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda

yang sering mengikuti pengajian subuh Kiai Saleh. “matanya itu lho. Sekilas

saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang

tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anak penjual rujak di terminal lama yang

dijuluki perawan tua itu, sebelum dilamar orang sebrang kan ketemu Gus

5Ibid., h. 1.

38

Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang, Sum kulihat keningmu kok bersinar,

sudah ada yang melamar ya?. Tak lama kemudian orang sebrang itu datang

melamar.”6

Tetapi pada akhir cerita sifat Gus Jakfar mengalami perubahan, karena beliau

bertemu dengan kiai Tawakkal. Pada awalnya Gus Jakfar melihat pertanda bahwa

Kiai Tawakkal adalah ahli neraka, tetapi apa yang dilihatnya berbeda dengan

kenyataanya dan ia pun sadar bahwa apa yang ia lihat tidak selalu benar. Sehingga

beliau tidak lagi suka membaca pertanda dan memberikan isyarah-isyarat apa yang

dia lihat dari seseorang. Hal ini terlihat dari kutipan berikut:

“Maka, ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger,

terutama santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak

tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini dekat dengan beliau.

Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika

kembali tau-tau sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali

berhenti dan tidak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan

isyarat-isyarat yang berupa ramalan.”7

Sementara itu pada cerpen “Gus Muslih”, tokoh utama yang menjadi sumber

perbincangan adalah seorang Ustaz bernama Gus Muslih, yang dianggap memiliki

kecerdasan yang luar biasa, sosok yang kritis dan lugas.Hal ini terlihat dalam kutipan

berikut. “Gus Muslih adalah seorang kiai muda yang cerdas dan krtis, tetapi juga

tegas dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggap tidak benar, tanpa ragu

dia akan terang-terangan menyalahkannya.”8

Selanjutnya Tokoh dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi” tokohnya bernama

Ustadz Bachri, yang memiliki kemampuan menulis kaligrafi Arab.”Menurut Hardi,

disamping silaturrahmi, kedatangannya juga dimaksudkan untuk berbincang-bincang

dengan Ustadz Bachri soal kaligfrafi. Ustadz Bachri sendiri, yang sedikit banyak

mengerti soal kaligrafi arab, segera menyambutnya antusias.”9

6Ibid., h. 2.

7Ibid., h. 3.

8Ibid., h. 13.

9Ibid., h. 62.

39

Ustadz Bachri adalah seseorang yang mempunyai tekad yang kuat dalam

mengerjakan sesuatu. Ini dapat dilihat dari kutipan berikut ini: “Meski mula-mula

istri dan anak-anaknya menertawakan, namun melihat keseriusannya, ramai-ramai

juga mereka menyemangati.”10

Dan diperkuat juga dengan kutipan berikut: “Istri dan

anak-anaknyapun biasanya sudah lelap tidur saat dia mulai masuk ke gudang berkutat

dengan cat dan kanvas-kanvasnya. Kadang-kadang sampai subuh dia baru keluar.”11

Semua tokoh utama yang ada di atas, merupakan tokoh yang memegang

keseluruhan cerita dalam ketiga cerpen ini. Tokoh-tokoh tersebut ialah merupakan

kiai yang banyak menjadi panutan dalam hal beragama dan berpengaruh dalam

masyarakat, khususnya dalam masyarakat pesantren dan sekitarnya.

3. Alur

Dalam meneliti ketiga cerpen ini, pengarang membagi alur menjadi tiga

bagian. Alur pembuka adalah bagian pengenalan tokoh utama beserta

pembawaannya. Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai

bergerak kearah kondisi puncak, dan alur tutup adalah penyelesaian dari masalah

yang terjadi.

a) Alur Pembuka

Alur pembuka yang tersaji dalam ketiga cerpen ini digunakan oleh pengarang

untuk menyampaikan prolog atau asal-muasal terjadinya konflik di dalam cerpen.

Misalnya pada cerpen Gus Jakfar.

“Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?” Tanya Pak Carik yang sejak

tadi hanya asik mendengarkan.

“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil. “Makanya saya justru takut ketemu

Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya

terganggu.”12

10Ibid., h. 65.

11

Ibid., h. 65. 12

Ibid., h. 2.

40

Dari kutipan tersebut alur yang menjadi pembuka perbincangan antara para

tokoh yang ada dalam cerpen “Gus Jakfar” merupakan alur pembuka yang

dicantumkan oleh pengarang ditengah cerita sekaligus yang menjadi penyebab

terjadinya konflik utama pada cerpen. Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” yang

menjadi alur pembukanya masih ada pada saat cerita menjelang alur tengah.“Gus

Muslih adalah seorang kiai muda yang tidak hanya cerdas dan kritis, tapi juga cerdas

dan lugas. Apabila dia melihat sesuatu yang dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia

akan terang-terangan menyalahkannya”.13

Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi”, pengarang langsung meringkas

cerita menjadi sebuah adegan pertemuan antara tokoh utama dengan rekannya yaitu

ketika Ustadz Bachri yang menerima tawaran teman pelukisnya untuk melukis.

“Bermula dari kunjungan seorang kawan lamanya, Hardi, pelukis yang capek

mengikuti idealismenya sendiri, lalu mengikuti jejak banyak seniman yang lain:

berbisnis, meski bisnisnya masih dalam lingkup bidang yang dikuasainya.”14

Dalam ketiga cerpen di atas, hasil analisis penulis terhadap alur pembuka

yang digunakan oleh pengarang terdapat ketika cerita menjelang masuk ke dalam alur

tengah yang menjadi penyebab lahirnya sebuah konflik. Selain itu menjelang masuk

cara pengarang untuk menandakan bahwa cerita mulai masuk ke alur selanjutnya

adalah dengan tanda “***” maupun dengan kata seperti“berawal”, atau juga dibuka

dengan menceritakan karakteristik tokoh utama yang berperan terhadap lahirnya

konflik yang kebanyakan dijelaskan oleh tokoh pelengkap dalam cerita.

13

Ibid., h. 13. 14

Ibid., h. 62.

41

b) Alur Tengah.

Alur tengah adalah bagian yang menjelaskan tentang kondisi mulai bergerak

kearah kondisi puncak. Dalam bahasan mengenai alur pembuka di atas penulis sudah

menganalisis bahwa pengarang kebanyak memberikan tanda-tanda atau kata yang

cukup jelas untuk menandakan bahwa cerita-cerita dalam cerpenya sudah masuk ke

dalam tahapan alur tengah. Cerpen Gus Jakfar dalam kutipan di bawah ini merupakan

salah satu contohnya.

***

“Maka ketika kemudian sikap gus jakfar berubah masyarakat pun geger,

terutama para santri kalong, orang orang kampung yang ikut mengaji tapi

tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin yang selama ini merasa dekat

dengan beliau.”15

Terlihat ada penggunaan simbol penjeda cerita “***”yang muncul pada gaya

kepenulisan pengarang untuk menandakan bahwa cerita telah masuk dalam tahapan

baru. Kutipan di atas menceritakan sosok Gus Jakfar yang hilang berminggu-minggu,

namun ketika ia pulang sikapnya menjadi berubah yang awalnya suka membaca tanda

yang terdapat pada diri seseorang dan sekarang sudah tidak. Perubahan sikap itulah

yang membuat masyarakat sekitar heran. Itu menjadi penanda bahwa alur sudah

berubah ke alur tengah.

Puncaknya pada suatu hari Gus Jakfar pergi ke suatu tempat untuk berguru

kepada seseorang yang bernama Kiai Tawakkal, setelah beberapa minggu tinggal di

sana tepat pada malam bulan purnama dia melihat Kiai Tawakkal keluar lalu

mengikutinya sampai pada suatu warung dimana suasana sangat ramai sekali, dengan

rasa tidak percaya tiba-tiba dia dikagetkan oleh panggilan dari Kia Tawakkal. Ini

dapat dilihat dari kutipan berikut. “Mas Jakfar!‟ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara

yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masyaallah saya

15

Ibid., h. 3.

42

hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul,

mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung.”16

Saat pertama kali bertemu dengan Kiai Tawakkal saya melihat tanda yang

terdapat pada keningnya dan itu membuat saya penasaran untuk mencari tahu apakah

benar tanda tersebut, pada akhirnya Kiai Tawakkal tau akan hal tersebut dan bertanya

kepada saya atas hal yang membuat saya mengikutinya.“Apakah kau sudah

menemukan pembenaran dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau

seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda menjadi ragu

terhadap kemahiranmu sendiri?”17

Kiai Tawakkal banyak menasehati saya atas anugrah yang telah Allah

berikantidak membuat saya menjadi takabbur dan itu membuat saya sadar. “Malam

itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa

yang selama ini sudah saya ketahui.”18

Dalam cerpen “Gus Muslih” gaya penulisan pengarang masih cenderung sama

dengan cerpen “Gus Jakfar”, meskipun tidak menggunakan tanda penjeda cerita.

Letak kesamaan antara keduanya terlihat dari pola sebab-akibatnya.“yang lebih

membikin jengkel kelompok orang tua yang tidak menyetujuinya itu, justeru karena

kiai ini selalu bisa menjawab keberatan mereka dengan argumentasi yang mematikan;

baik mnggunakan dalil naqli atau ‘aqli.”19

Terlihat bahwa titik klimaks yang digunakan oleh pengarang membenturkan

antara kejadian yang menjadi penyebab di alur pembuka menjadi akibat yang lahir

pada konflik.

“Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi ma berdialog

dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya,

16

Ibid., h. 8. 17

Ibid., h. 10. 18

Ibid., h. 11. 19

Ibid., h. 14.

43

baik langsung atau tidak. Mereka beralih pada gerakan membentengi diri.

Mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak

sejalan dengan sikap Gus Muslih…”20

Kutipan diatasmemperlihatkan bahwa masyarakat yang marah karena sikap

Gus Muslih dan para pengikutnya tidak mau lagi berdialog karena mereka dianggap

menyimpang dari ajaran para pendahulu.

Suasana memuncak ketika masyarakat mendengar kabar bahwa Gus Muslih

memelihara seekor anjing sehingga menyebabkan masyarakat dan pengikut Gus

Muslih heboh. Tidak percaya akan berita yang tersebar pengikut Gus Muslih

memutuskan untuk menayakan langsung perihal kebenaran kabar tersebut. ini dapat

dibuktikan dari kutipan berikut. “suatu ketika, tersebar berita bahwa gus muslih

memelihara anjing. tentu saja hal ini membuat geger masyarakat.”21

Gus Muslih tidak membantah berita yang mengatakan dia memelihara seekor

anjing, bahkan dia menjelaskan kepada para pengikutnya dari mana mendapatkan

anjing itu. Sekarang anjing itu sudah dia berikan kepada tetangganya yang bernama

Babah Ong. “ mengapa harus dibantah ” Tanya gus muslih kalem, membuat semua

yang merubungnya jengah. ”aku sekarang ini memang sedang memelihara anjing.”22

Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” pengarang memberikan pola

yang masih sama. Lewat kutipan di bawah ini kita dapat mengetahuinya.“Ustadz

Bachri tidak bisa berkata-berkata tapi rasa tertantang muncul dalam dirinya. Kenapa

tidak, pikirnya. Orang yang tak tau khath saja berani memamerkan kaligrafinya,

mengapa dia tidak? Namun ketika didesak tamunya, dia hanya mengangguk asal

mengangguk.”23

20

Ibid., h. 15. 21

Ibid., h. 16. 22

Ibid., h. 17. 23

Ibid., h. 64.

44

Dari kutipan di atas telihat bahwa Ustaz Bachri yang sebenarnya tidak pandai

dalam melukis merasa tertantang danmengiyakan ajakan teman lamanya untuk

melukis, lukisan itu akan diikut sertakan dalam pameran yang akan diadakan tiga

bulan lagi di sebuah hotel.Melukis tidak semudah yang dibayangkan, sampai-sampai

Ustaz Bachri merasakan kesulitan dalam melukis dan hampir saja putus asa, karena

merasa tersindir akan komentar-komentar yang terlontar dari istri dan anak-anaknya

dia bertekad harus menyelesaikan lukisanya untuk diikut sertakan dalam

pameran.“Hampir saja Ustadz Bachri putus asa. Tapi istri dan anak-anaknya selalu

melemparkan pertanyaan-pertanyaan atau komentar-komentar yang terdengar di

telinganya seperti menyindir nyalinya.”24

Di luar dugaan Ustaz Bachri, lukisan alif yang awalnya dia ragukan untuk

diikut sertakan dalam pameran yang diadakan oleh teman lamanya itu laku dan dibeli

oleh seorang kolektor asal Jakarta dengan harga $ 10.000 dolar sehingga membuat

namanya melambung dan seketika dirinya menjadi terkenal. Ini dapat dilihat dari

kutipan di bawah ini:

“Besoknya semua media massa memuat tentang berita tentang pameran yang

isinya hampir didominasi oleh liputan tetang dirinya dan lukisannya. hampir

semua Koran, baik koran ibukota, maupun daerah, melengkapi pemberitahuan

itu dengan menampilkan fotonya. Sayang dalam semua foto itu tidak tampak

lukisan Alif-nya. Yang terlihat hanya dia sedang berdiri di samping kanvas

kosong.”25

Pola sebab akibat dalam cerpen ini masih dimainkan. Bedanya, dalam cerpen

ini pengarang mengantarkan kejadian yang belum dapat diprediksikan pada alur

pembuka yang membedakan cerpen ini dengan kedua cerpen yang sudah penulis

bahas sebelumnya.

24

Ibid., h. 66. 25

Ibid., h. 68.

45

c) Alur Penutup

Dalam alur penutup ini penulis memberikan penyelesaian tentang segala

macam konflik yang terjadi pada alur tengah. Kebanyakan penulis menempatkan alur

penutup pada akhir atau menjelang akhir tulisan. Seperti pada cerpen “Gus

Jakfar”.“Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil

mengubah sikap saya itu masih merupakan misteri. “26

Dari kutipan di atas penulis menutup cerita denganmenjelaskan bahwa sosok

Mbah Jogolah yang telah menyadarkan Kiai Tawakkal dan merubah sifat awalnya

yang suka membaca tanda-tanda yang terdapat dari kening masyarakat.

Selanjutnya pada cerpen “Gus Muslih” pengarang juga memberikan

penyelesaian menjelang akhir cerita. terlihat dari kutipan berikut ini:

“Gus Muslih berhenti lagi sejenak, menarik nafas panjang, kemudian teringat

sesuatu, meneruskan bicaranya, “Alhamdulillah, setelah aku rawat beberapa

hari, anak anjing itu sembuh dan sehat. Beberapa hari kemudian Babah Ong,

tetanggaku, memintanya dan aku berikan dengan pesan agar dia merawatnya

dengan baik.”27

Kemudian pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” diberikan penyelesaian logis atau

jawaban dari konflik yang terjadi di alur tengah dan hal itu terjadi sama dengan

cerpen-cerpen sebelumnya, yaitu menjelang akhir cerita.“Wah, kamu ini ikut-ikutan

mempercayai mistik ya? ilmu apa lagi? Saya tadi kan sudah bilang, alif itu saya lukis

hanya dengan dua warna yang tersisa. Sedikit putih untuk latar dan sedikit silver

untuk alifnya. mungkin yang karen silver di atas putih itu yang membuatnya tak

tampak ketika di foto.”28

Ketiga cerpen yang penulis bahas ini mempunyai latar belakang untuk

menutup alur yang sama, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang

menjadi sebuah masalah yang belum terpecahkan pada alur tengah. Barulah di akhir

cerita dituliskan penyelesaian tersebut. Hal sama dan cenderung unik yang terjadi

26

Ibid., h. 12. 27

Ibid., h. 20. 28

Ibid., h. 71.

46

pada ketiga cerpen ini, bahwa opini untuk mengakhiri alur berada sebelum paragraph

akhir, atau pada satu paragraf sebelum akhir, penulis memberikan penyelesaian

terhadap konflik tersebut.

4. Latar

Latar yang akan dijelaskan oleh penulis dibagi menjadi dua bagian, yang

pertama adalah latar tempat yang akan menyebutkan berbagai tempat kejadian yang

terdapat dalam setiap cerpen. Kedua, adalah latar waktu yang menunjukan kapan

kejadian terjadi.

1. Latar Tempat

Contoh kutipan yang menyebutkan latar tempat dalam cerpen “Gus Jakfar”.

a. Pesantren Sabilul Muttaqin

Latar tempat yang ada pada cerpen ini sebagian besar terjadi di

Pesantren Sabilul Muttaqin. “Di antara putera-putera Kiai Saleh, pengasuh

pesantren „Sabilul Muttaqin‟, dan sesepuh di daerah kami,”29

Terlihat dalam kutipan tadi pesantren Sabilul Muttaqin adalah sebuah

pesantren yang terdapat dalam cerpen yang menjadi latar utama dari kejadian

ini, karena pembuka cerpen ini, secara langsung menuliskan pesantren

tersebut tetapi pengarang tidak menjelaskan secara pasti letak pesantren

tersebut namun dapat disimpulkan bahwa pesantren tersebut terletak di daerah

jawa timur. Dapat dilihat dari kutipan berikut ini:

“Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang

Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang

membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu.” 30

“…‟Gus Jakfar bilang kepada saya, „Wah saku sampeyan kok mondol-

mondo;, dapat proyek besar ya‟ Padahal saat itu saku saya justru

sedang kempes.”31

29

Ibid., h. 1.

30

Ibid., h. 1.

47

Dari kutipan di atas, dapat dilihat penggunaan kata Gus dan sampeyan

menjadi ciri khas sebuah pesantren yang terdapat di daerah Jawa Timur. Gus

adalah panggilan kepada seorang anak kiai yang terdapat di Jawa timur

berbeda dengan Madura yang menggunakan Ra, sedangkan di Tanah Sunda

menggunakan panggilan Ceng. Penggunakan kata sampeyan menguatkan

bahwa kejadian dalam cerpen tersebut terjadi di Jawa Timur. Penulis cerpen

sendiri berasal dari Jawa Timur, itu memperkuat bahwa penulis mengangkat

lingkungan sosialnya.

b. Gubuk Bambu (Tempat Kiai Tawakkal)

Di tengah komplek rata-rata bangunannya berupa bambu, Gus Jakfar

menemukan sosok Kiai Tawakkal. Gubuk bambu yang berada persis di tengah

kompleks bambu tersebut adalah tempat Kiai Tawakkal mengajarkan para

santrinya, termasuk Gus Jakfar. “Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di

tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang

dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua.”32

c. Warung Remang-remang

Warung remang-remang ini adalah tempat dimana pengintaian Gus

Jakfar terhadap Kiai Tawakkal berakhir. Di warung ini Gus Jakfar seperti

tidak percaya bahwa Kiai Tawakkal mampir ke warung yang menurutnya

berbau suasana mesum. “Tidak mungkin Kiai mampir ke warung ini, pikir

saya. Ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja

mengesankan kemesuman ini.”33

Sedangkan yang menjadi latar tempat dalam cerpen “Gus Muslih” adalah.

a. Serambi Masjid

Latar tempat yang terdapat di dalam cerpen ini adalah di masjid, hal

ini terlihat dalam kutipan berikut ini:

31 Ibid., h. 2.

32Ibid., h. 6.

33Ibid., h. 8.

48

“Namun sebelum mereka bertemu dengan orang yang mereka cari,

mereka melihat Gus Muslih sedang bersembahyang di mesjid. Mereka

menunggu hingga Gus Muslih selesai bersembahyang dan berdzikir

seperti biasanya, Setelah Gus Muslih beranjak menuju serambi mesjid,

baru mereka menghambur menghampiri idola mereka itu.”34

b. Di Mobil

Latar tempat di Mobil adalah ketika Gus Muslih diantar pulang oleh

seorang supir dari kota P tempat dia berceramah.“Ketika kami sedang

melintasi jalan raya yang menuju ke kota kita ini, aku melihat sosok makhluk

kecil bergerak-gerak di tengah jalan. Langsung aku berteriak, „berenti, Mas!

Mobil pun berhenti.”.35

Dari kutipan tersebut terlihat latar yang terdapat dalam cerpen tersebut

berada di dalam mobil. Hal ini di perkuat juga oleh kutipan berikut.“Dia tidak

segera menjalankan mobilnya kembali. Tiba-tiba aku menjadi sebal. „sudah,

begini saja,‟ kataku kemudian, „biar aku turun di sini saja.”36

c. Di Jalan Raya

Jalan raya dalah lokasi ketika Gus Muslih meminta untuk di turunkan

kepada supir yang mengantarnya lantaran sebal karena supir itu merasa jijik

melihatnya memeluk seekor anjing yang dia temukan di jalan raya. “Bukan

karena aku ditinggal sendirian di tengah jalan di malam gerimis, tapi karena

aku teringat ceramah Halal-bihalal-ku di kota P tadi.”. 37

d. Di Kota P

Di kota P inilah Gus Muslih mengisi sebuah ceramah yang berisi

hikmah bulan Syawal setelah sebulan berpuasa di bulan Ramadhan. “Malam

34

Ibid., h. 16-17. 35

Ibid., h. 17-18 . 36

Ibid., h. 18. 37

Ibid., h. 18-19.

49

itu aku pulang dari mendatangi undangan panitia untuk berceramah Halal-bi-

halal di kota P.”38

Latar tempat yang terdapat dalam cerpen “Lukisan kaligrafi” adalah.

a. Rumah

Banyaknya pemberitaan dari media massa tentang lukisan Alif Ustadz

Bachri yang tidak tampak ketika di foto maka beberapa wartawan datang ke

rumahnya untuk menanyakan terkait lukisan tersebut.

“Beberapa hari kemudian beberapa wartawan datang ke rumah Ustadz

Bachri. Bertanya macam-macam tentang lukisan Alif-nya yang

menggepmarka. tentang proses kreatifnya, tentang bagaimana dia

menemukan ide melukis alif itu, tentang prinsip keseniannya, dlsb.

Seperti ketika pameran, dia asal menjawab saja.”39

b. Hotel

Karena berkali-kali Hardi menelepon Ustadz Bachri agar datang dalam

pameran yang dilakukannya, iapun memutuskan untuk datang. Hotel menjadi

lokasi yang dipilih oleh Hardi untuk menyelenggarakan pameran lukisan.

“Ternyata Pameran di mana “lukisan” tunggalnya diikutsertakan–itu

diselenggarakan di sebuah hotel berbintang. Wah, rasa malu dan rendah

dirinya pun semakin memuncak”.40

2. Latar Waktu

Latar waktu menunjukkan waktu yang digunakan oleh pengarang untuk

menunjukan saat terjadinya sebuah peristiwa, apakah pagi hari, siang hari, atau

malam hari.

Dengan penjelasan sebagai berikut:

38

Ibid., h. 17. 39

Ibid., h. 69. 40

Ibid., h. 66.

50

Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Jakfar” adalah pada malam

hari ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil,

pada malam Jum‟at sehabis wiridan salat Isya, saat mana Gus Jakfar prei, tidak

mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya.”41

Dalam kutipan di atas jelas mengungkapkan dalam setiap peristiwa terjadi

dimalam hari.

Pada malam Jumat saat Gus Jakfar libur mengajar santri kalong yang

penasaran langsung mendatanginya dan menanyakan langsung terkait kenapa

sikapnya berubah, tidak seperti dulu yang suka membaca tanda-tanda yang

terdapat pada masyarakat lingkungan pesantren.

Terdapat sebuah kutipan yang menunjukan waktu pagi hari (menjelang

subuh) sebagai berikut: “ayo, kita pulang!‟ tiba-tiba Kiai bangkit.‟ sebentar lagi

subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.‟ Saya tidak merasa di

usir., nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari Kiai luar biasa ini.”42

Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Gus Muslih” adalah malam hari,

di malam sehabis pulang ceramah Gus Muslih meminta untuk di turunkan di

tengah jalan oleh seseorang yang mengantarnya dari kota P tempat di mana dia

habis mengisi ceramah, terlihat dari kutipan berikut ini. “Sejenak aku dilanda

kemurungan yang sangat. Bukan karena aku ditinggalkan sendirian di tengah

jalan di malam gerimis, tapi karena aku teringat ceramah Halal-bihalalku di kota

P.”43

Latar waktu yang terdapat pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” adalah malam

dan siang hari. Ini terlihat dari kutipan berikut ini. “Mungkin tidak ingin

diganggu atau malu dilihat orang,Ustadz Bachri memilih tengah malam untuk

melukis.”44

41

Ibid., h. 4.

42

Ibid.,h.12. 43

Ibid., h. 18-19. 44

Ibid., h. 65.

51

Ketika istri dan anak-anaknya sudah terlelap tidur maka Ustaz bachri

memilih untuk melukis.

Kemudian latar waktu di siang hari adalah“Ketika makan siang, istri dan

anak-anaknya ganti mengerubutinya dengan berbagai pertanyaan tentang lukisan

Alif-nya itu pula.”45

Saat keluarga Ustaz Bachri berkumpul untuk makan siang, istri dan anak-

anaknya penasaran akan lukisan Alif yang dia buat langsung bergantian

menanyakan kenapa hanya melukis huruf alif dan kenapa bisa lukisan itu laku

mahal.

5. Sudut Pandang

Dalam ketiga cerpen penulis menggunakan sudut pandang yang sama yaitu

orang ketiga serba tahu atau diaan, dalam sudut pandang ini penulis menceritakan

segala hal yang dipikirkan, dirasakan oleh berbagai tokoh dalam sebuah cerita .Hal

ini senada dengan pendapat Endah Tri Priyatni dalam bukunya Membaca Sastra dengan

Ancangan Literasi Kritis. Ia mengungkapkan bahwa“Pencerita diaan dalam bercerita

biasanya menggunakan kata ganti orang ketiga. Adapun penunjuk kebahasaan yang

digunakan biasanya: dia, ia, atau mereka.”46

Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut yang terdapat dalam cerpen “Gus

Jakfar”.“Mungkin Gus Jakfar tidak sealim dan sepandai saudara-saudaranya, tapi dia

mempunyai keistimewaan yang membuat namanya tenar hingga ke luar daerah, …

.”47

Sedangkan dalam cerpen “Gus Muslih”. “Apabila dia melihat sesuatu yang

dianggapnya tidak benar, tanpa ragu dia akan terang-terangan akan

menyalahkannya.”48

45

Ibid., h. 69. 46

Endah Tri Priyatni, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis (Jakarta: PT. Bumi

Aksara, 2010), h. 115. 47

Op.Cit. A. Mustofa Bisri, Lukisan Kaligrafi., h. 13. 48

Ibid., h. 13.

52

Selanjutnya dalam cerpen “Lukisan Kaligrafi”. “Dia melukis mulai dari

perempuan cantik, pembesar negeri, hingga kaligrafi.”49

6. Amanat

Amanat yang tersampaikan dalam cerpen “Gus Jakfar” ditujukan untuk semua

orang, karena dalam menjalani hidup kita hanya perlu bertawakkal kepada Tuhan,

dengan bertawakkal kepada Tuhan, kita tidak perlu mengkhawatirkan segala yang

akan terjadi di dalam hidup ini, sebab semua sudah digariskan oleh-Nya. Khususnya

bagi orang yang mempunyai kelebihan, maka mereka tidak seharusnya takabbur,

karena semua itu bukan hanya berarti kelebihan, melainkan juga menjadi beban.

“Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa

penderitaan”50

.

Dalam cerpen “Gus Muslih” amanat yang tersirat ditujukan untuk setiap

permasalahan yang melibatkan agama dan adat istiadat. Khususnya di Indonesia,

permasalahan ini harusnya tidak menjadi suatu permasalahan yang serius, karena nilai

yang terkandung di dalam agama dan adat istiadat adalah berbeda. Selain itu, lahirnya

pemikiran baru yang dianut oleh sebagian kaula muda bukan justru harus

dipertentangkan, semua itu harus dijalankan sesuai keyakinan masing-masing, karena

perbedaan nilai antara agama dan adat istiadat terdapat pada keyakinan masing-

masing inndividu dan kelompok untuk menjalaninya dan meyakininya sesuai tafsiran

mereka sendiri.

Selanjutnya pada cerpen “Lukisan Kaligrafi” tertuju untuk khalayak umum

yang masih menilai bahwa agama dan seni memiliki gaya yang berbeda. Seni yang

mengandung unsur kebebasan di dalamnya dan agama yang bagi kebanyakan orang

banyak mengandung ketetapan yang hakiki atau mutlak. Gagasan pengarang yang

tertuju pada kedua hal tersebut memberikan pemikiran bagi para pembaca, bahwa

seni dan agama dapat digabungkan dengan menyatukan kedua unsur yang terbentuk

49

Ibid., h. 62. 50

Ibid., h. 11.

53

di dalamnya, yaitu kaligrafi yang di Indonesia bersinggungan dengan seni yang ada

didalam Islam.

B. Analisis Kritik Sosial

1. Kritik Terhadap Pesantren

Kritik terhadap pesantren yang penulis temukan dalam ketiga cerpen yang

penulis teliti adalah mengenai anggapan masyarakat untuk menanggapi adanya

sebuah pesantren dan elemen-elemen pembentuknya dalam lingkungannya. Bagi

sebagian kalangan pesantren hanya melingkupi institusi pendidikan yang bergerak

pada sisi keislamannya. Pandangan tersebut secara garis besar memang benar adanya,

namun tidaklah mengherankan bagi kita apabila dalam dunia pendidikan tersebut

terdapat anggapan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan ikut memproses

perkembangan interaksi sosial dalam masyarakat dan ikut membentuk kader-kader

politik guna menjadi agen perubahan sosial. Dapat kita lihat dari kutipan berikut ini.

“Pesantren juga dipandang sebagai lembaga pendidikan islam yang menjadi

wahana resistensi moral dan budaya atau pewaris tradisi intelektual islam

tradisional. Dala perjalanan historisnya, pesantren muncul sejak awal abah

Hijriah, hingga masa-masa paling akhir dari imperium Utmaniyah di Turki

pada awal abad ke-20. Dan sampai kini, keberadaan pesantren masih

sedemikian penting dalam pemberdayaan masyarakat.”51

“Pesantren mengemban beberapa peran, utamanya sebagai lembaga

pendidikan. Jika ada lembaga pendidikan islam yang sekaligus juga

memainkan peran sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan,

kepelatihan, pengembangan masyarakat dan sekaligus menjadi simpul budaya,

maka itulah pondok pesantren.”52

Dari Kutipan di atas ada baiknya lagi apabila kita merujuk pada pandangan

Dhofier mengenai hakikat sebuah pesantren dalam Abd. Muin, dkk. “Dhofir

51

Said Aqil Siradj, Pesantren, NU, dan Politik, Kompas, 3 Desember 2004. 52

Abd. A‟la, dkk,Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara,

2007), h. 11.

54

menawarkan cara pandang baru yang ia sebut dengan continuiy and change

(kesinambungan dan perubahan).”53

Dalam kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” pola-pola kesinambungan dan

perubahan yang ditawarkan oleh Dhofier tadi memang benar adanya. Seperti pada

cerpen “Gus Jakfar” yang berisikan tentang perubahan pola hidup seorang kiai muda

yang seketika itu juga menjadi isu publik yang paling santer dibicarakan. “Maka,

ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakatpun geger; terutama para

santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji, tapi tidak tinggal di

pesantren, seperti kang Solikin yang selama ini merasa dekat dengan beliau.”54

Kemudian yang terjadi pada Gus Muslih,

“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di

daerah kami di hujat dan dipertanakan oleh Gus Muslih misalnya, kebiasaan

keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu

yang bertakziah dan member uang salawat atau modin ditentangnya habis-

habisan.55

Dari kutipan di atas mengungkapkan kepada pembaca, bahwa adanya gejala-

gejala perubahan sosial yang terjadi dalam pola kehidupan masyarakat itu

dilatarbelakangi oleh seorang ulama terkemuka yang merupakan elemen dari sebuah

pesantren. Melihat beberapa contoh kasus seperti yag terjadi di dalam cerpen di atas,

ada baiknya apabila kita sinkronisasikan dengan hal-hal yang memang terjadi pada

kehidupan nyata untuk mendapatkan sebuah kritik yang mengandung sebuah fakta.

“H. Achmad Sutarjo sekeluarga memperhatikan hal ini dengan seksama. Agar

para mubaligh gerakan tajdid tidak makin langka dari kitab kuning yang terus

berkembang di kawasan timur tengah, maka tidak ada jalan lain kecuali harus

ada yang merintis berdirinya pondok pesantren yang para santrinya nanti

53

Abd. Muin, dkk, Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme, (Yogyakarta; CV

Prasasti, 2001), h. 4. 54

Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 3. 55

Ibid., h. 13.

55

diharapkan dapat menguasai bahasa Arab dan mampu membaca kitab kuning

dengan sebaik-baiknya.”56

Kemudian pada fakta di bawah ini yang membuktikan bahwa pesantren

merupakan lembaga pendidikan yang banyak mencetak agen perubahan sosial berupa

santri yang menjadi pemimpin daerah atau dapat dikatakan bahwa santri menjadi

kaum elit politik. salah satu contohnya dalam buku yang ditulis oleh Abd. Mu‟in

yang berjudul Praksis Pembelajaran Pesantren. Ia menyebutkan bahwa:

“Tasikmalaya terkenal sebagai “kota santri” karena di kota ini berdiri banyak

sekali pesantren yang kira-kira setara dengan kota Jombang di Jawa Timur.

Kasarnya, kalau kita berjalan-jalan di Tasikmalaya maka setiap berjalan satu

kilometer kita akan menemukan pesantren. Pondok pesantren di Tasikmalaya,

sebagaimana di tempat lain, pada umumnya berafiliasi dengan organisasi

kemasyarakatan, Nahdlatul Ulama (NU). Selain NU, organisasi keagamaan

lain yang cukup penting adalah Persatuan Islam (Persis) dan Muhammadiyah.

Dari segi politik, sebagian besar adalah simpatisan Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)., tentu ada juga

partai-partai lain seperti PKS, PAN, Golkar, dan PDI-P. Peta politik di

Tasikmalaya barangkali terepresentasikan dalam diri Bupati Tasikmalaya

yang merupakan kader PPP. Di Tasikmalaya juga hidup jemaat Ahmadiah.

Walaupun dikenal sebagai kota santri di Tasikmalaya ada juga kalangan non-

Islam, seperti Katolik dan Protestan.”57

Bebarapa fakta yang telah disebutkan di atas setidaknya dapat memberikan

bukti bahwa segala pesantren merupakan lembaga yang mencetak agen perubahan

sosial bagi masyarakat. Meskipun memang tidak ditampik oleh pengarang bahwa

dalam proses perubahan tersebut banyak terjadi konflik, namun hal ini tetap menjadi

acuan terbentuknya bagi terbentuknya paham-paham baru yang lahir akibat pemikiran

para kaum terpelajarnya. Seperti yang terjadi dalam cerpen “Gus Muslih”.

“Terhadap sikapnya itu ada yang setuju, seperti umumnya anak-anak muda;

ada juga yag tidak. Mereka yang tidak setuju umumnya dari golongan tua,

mereka ini menganggapnya terlalu kemajon, sok maju. “Wong itu sudah

merupakan tradisi sejak lama kok di utik-utik!” Begitu kilah mereka. “Itu

56

Abd. Muin, Op.Cit., h. 41. 57

Abd. Muin, Op,Cit., h. 145.

56

namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-mula

mentradisikannya.”58

Dalam konflik yang di sebutkan di atas, memberikan pelajaran bagi kita,

bahwa lahirnya pemikiran-pemikiran tersebut banyak melahirkan golongan-golongan

yang menganut paham-paham tertentu, seperti yang telah disebutkan di atas, seperti

NU, Muhammadiyah, Persis, PKS, dll, yang notabenya adalah partai politik yang

mengatas namakan paham-paham Islam tertentu dan pesantrenlah yang melahirkan

kader-kader untuk partai-partai politik tersebut.

Hal yang memang unik ini kerap kali terjadi di Indonesia. Bukan hanya

sebagai cendikiawan di dunia Islam yang banyak turun dalam dunia politik, seperti

Gus Dur, Said Agil Sirad, dan lain-lain. Seorang pemuka agama di Indonesia banyak

juga yang terjun ke dunia seni. Seperti yang terjadi pada kiai yang tidak disebutkan

namanya oleh Mukhtar Salma dalam tulisannya yang dimuat oleh Kompas.

“Namun demikian, jikalau dikaitkan dengan kelaziman dari status peran

tradisional seorang kiai, maka peran sebagai komentator piala dunia sepakbola

itu memang agak terasa unik untuk seorang kiai. Unik karena peran

fungsional seorang kiai biasanya tidak jauh dari persoalan fakta tentang

masalah hidup dan kehidupan yang berkaitan dengan masalah “sangu” untuk

di bawa ke alam akhirat kelak.”59

Jika zaman memang menuntut manusia untuk bertindak sekreatif mungkin

untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, maka tidak menutup kemungkinan bahwa itu

adalah kiai yang mencoba untuk menjadi seorang yang berbeda ketika ia menjalani

peran sebagai manusia. Oleh karena itu, yang terjadi adalah hal unik yang sangat

jarang ditemui seperti yang diungkapan oleh Mukhtar Sarman. Asalkan hal itu tidak

berlebihan dan membuat peran utamanya sebagai seorang kiai luntur, hal itu menurut

Sarman masih wajar. “Asalkan sang kiai tidak nyeleneh main sepak bola pakai sarung

misalnya. Kalau tidak sang kiai akan mengumbang ghibah alias pergunjingan. Dan

58

Mustafa Bisri, Op. Cit., h. 14. 59

Mukhtar Sarman, Jagat Kiai, Kompas 9 Agustus 1994.

57

kalau hal itu yang terjadi, maka permainan sepak bola pun boleh jadi akan dikenakan

hukum makruh atau bahkan haram untuk kiai.”60

Pendapat Mukhtar Sarman tadi menandakan bahwa sosok kiai menurutnya

dapat melakukan apa saja apabila ia menginginkannya. Hanya saja menurutnya, kiai

harus mempunyai pakem untuk berekspresi, karena hal tersebut akan mengakibatkan

hilangnya peran sosial seorang kiai apabila ia melakukan hal yang berlebihan.

Maka, dalam Cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini letak kritik yang dibicarakan

adalah mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat untuk menyikapi segala

kejadian hanya dari satu sisi saja, melainkan mereka harus mempertimbangkan segala

aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian tersebut bisa terjadi. Bahwa

seorang pemuka agama berhak melakukan apa saja yang ia sukai, dan masyarakat

harus melepaskan segala latar belakang dari manusia tersebut, terlepas dari peran

yang telah kita ketahui sebelumnya. Seperti Ustadz Bachri yang merupakan seorang

pelukis terlepas dari perannya sebagai pemuka agama.

2. Kritik Terhadap Kiai

Kiai dapat dikatakan sebagai pemimpin nonformal yang berada pada sebuah

daerah. Oleh karena itu, sangat berpengaruhnya sosok kiai tersebut, mereka memiliki

massa, atau yang biasa kita sebut dengan jemaah, yang juga mengadopsi berbagai

pemikirannya. Namun demikian, bukan berarti semua pemikiran tersebut terlahir

tanpa kontroversi sebelumnya, apalagi di dunia Islam yang ketat memegang sanad,

ketika pemikiran tersebut dianggap sebagai sebuah pembaharuan yang tidak layak,

maka para pengikut atau masyarakat sekitar pasti menjadikan hal tersebut sebagai

bahan pergunjingan.

Dalam cerpen “Gus Muslih” ini, pembaharuan yang dibawa oleh pemikiran

kiai yang kritis terhadap sikap dan prilaku masyarakat Islam tersampaikan. Sosok kiai

muda yang memberikan pemikiran baru. Seperti pada cerpen,

60

Ibid., h. 1.

58

“Gus Muslih dianggap pembaru. Banyak hal yang sudah berjalan lama di

daerah kami di hujat dan dipertanyakan oleh Gus Muslih. Misalnya, kebiasaan

keluarga yang mendapat musibah kematian memberi makan kepada para tamu

yang bertakziah dan memberikan uang shalawat pada kiai atau modin

ditentangnya habis-habisan.”61

Di Indonesia, kontroversi yang terjadi di dunia Islam sangat sering terjadi.

Khususnya dari ulama-ulama yang memiliki pemikiran baru. Seperti yang pernah

terjadi pada awal terbentuknya Muhamadiyah di Indonesia.

“Melihat fenomena Muhamadiyah sebagai suatu “isme‟ atau gerakan tidaklah

berlebihan jika menyejajarkan KH ahmad Dahlan dengan tokoh-tokoh muslim

terkemuka lainnya, seperti Muhammad Bin Abdul Wahab, Sayid Ahmad

Khan, Tjokroaminoto, dan Muhammad abduh. Parameternya bukan itu saja.

Pemikiran KH Ahmad Dahlan yang orisinal, brilian, dan cerdas juga menjadi

parameter yang shahih.62

Lahirnya Muhamadiyah sebagai salah satu golongan yang sangat terkemuka

di Indonesia menandakan bahwa masyarakat Indonesia dapat dengan mudah

menerima berbagai pemikiran baru yang lahir dari para kiai atau ulama-ulama atau

orang-orang yang membawa ajaran tersebut. Namun, bukan berarti bahwa tidak ada

kontroversi yang terjadi akibat lahirnya pemikiran baru tersebut. Sudah pasti ada

sebagian kalangan yang idak dapat menerima berbagai pembaharuan tersebut karena

berbagai alasan baik karena tradisi lama yang masih ingin dipertahankan dan juga

karena pemikiran baru tersebut memang tidak dapat dibenarkan adanya.“Mereka

yang tidak setuju itu umumnya dari golongan tua; mereka ini menganggapnya terlalu

kemajon, sok maju. “wong itu sudah merupakan tradisi sejak lama kok diutik-utik!”

begitu kilah mereka. “Itu namanya tidak menghormati orang-orang tua yang mula-

mula mentradisikannya.”63

Hal yang terjadi di dalam cerpen seperti pada kutipan barusan merupakan

contoh kontroversi yang lahir akibat adanya masyarakat yang tidak bisa membiarkan

tradisi yang sudah mereka pegang teguh sejak lama terancam keberadaannya. Hal

61

A. Mustafa Bisri, Op.Cit.,h.13. 62

Ari Junaedi, KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu, Kompas7 juli 1995. 63

A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 14.

59

serupa juga terjadi pada dunia nyata. Seperti pada masalah yang pernah di alami oleh

KH Ahmad Dahlan.“Sebagai seorang tokoh yang lahir belakangan masuk kategori

ulama khalaf (baru), bukan mustahil pemikiran KH Ahmad Dahlan berimpit dan

bersinggungan dengan tokoh pemikir lain. Hal ini terjadi karena kemungkinan KH

Dahlan banyak mempelajari pemikiran tokoh lain.”64

Kutipan KH. A. Dahlan di atas menunjukan bahwa Ajaran Islam di Indonesia

banyak mengalami perkembangan berupa lahirnya pemikiran yang melahirkan

golongan-golongan baru oleh ulama-ulama terkemuka yang masih dikenal hingga

sekarang. Hal ini juga di perkuat oleh pendapat Ari Junaidi dalam tulisannya yang

dimuat di Kompas dengan judul “KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim

Pembaharu”

“KIPRAH cendikiawan Muslim tidaklah mengemuka akhir-akhir ini saja.

Namun sudah lama dipelopori oleh Agus Salim – jauh sebelum Kongres

Pemuda 1928 diadakan, dengan Jong Islamenten Bondnya sebagai protes

salim terhadap Jong Jawa. Jong Jawa dalam pandangan Salim tidak mampu

mengakomodir suara-suara Muslim. Sementara itu di Solo, Samanhudi

dengan Sarekat Dagang Islamnya mampu mengemas Islam dalam selimut

organisasi perniagaan batik. Akhirnya, pemunculan Sarekat Islam dengan

tokohnya Ciptomangunkusumo dianggap sebagai kebangkitan peran politik

umat Islam di Indonesia.”65

Memang menarik apabila perbedaan tersebut justru melahirkan hal-hal positif

dengan munculnya sekte-sekte atau golongan-golongan seperti yang ada di Indonesia

hingga saat ini. Meskipun masih terdapat selisih paham, namun hal tersebut justru

membuat masyarakat Indonesia akan kaya pengetahuan dan informasi, sebab

berbagai pemikiran tersebut bukan berarti tanpa dasar dan muncul secara tiba-tiba.

Namun, apabila perbedaan tersebut melahirkan adanya perpecahan yang berbuntut

pada perkelahian dan perang dingin antara masyarakat, maka perbedaan itu tidak lagi

akan menarik lagi, dan justru akan memberikan kesan mengerikan terhadap dunia

Islam sendiri. Mudahnya berbagai macam pemikiran yang masuk tersebut juga akan

64

Ari Junaedi, Op.Cit., h. 2. 65

Ibid, h. 3.

60

mengakibatkan munculnya golongan-golongan yang menganut pemikiran berbeda-

beda. Seperti yang kita ketahui ada banyak golongan-golongan yang muncul di

Indonesia yang dianggap sebagai aliran menyimpang dan radikal yang ditentang oleh

negara dan masyarakat Indonesia, sebut saja NII, pimpinan Karto Suwiryo, ISIS,

Ahmadiyah, dan Kerajaan Tuhan yang dipimpin oleh Lia Eden dan Aliran Suci yang

baru-baru ini dinyatakan sebagai aliran menyimpang di Indonesia yang akhirnya di

putuskan sebagai aliran terlarang oleh Majelis Ulama Indonesia. Hal ini disampaikan

dalam Sindo news.com sebagai berikut.“Majelis Ulama Indonesia (MUI) Forum

Komunikasi Umat Beragama (FKUB) MUI menyatakan Aliran Suci yang melakukan

shalat wajib dengan bahasa jawa menyimpang dari syariat islam.”66

Seperti halnya dalam cerpen “Gus Muslih” persoalan demikian memang

tidaklah terjadi, yang terjadi hanya perang dingin akibat kesalahpahaman antara para

pemegang tradisi lama dengan pengikut Gus Muslih, dimana golongan tua (orang-

orang terdahulu) menolak adanya paham baru. Hal itu dapat dilihat dari kutipan

berikut ini.

“Akhirnya kelompok orang-orang tua yang marah itu tidak lagi mau berdialog

dengan Gus Muslih dan orang-orang yang mereka anggap pendukungnya,

baik langsung atau tidak. Mereka beralih kepada gerakan membentengi diri.

mereka sering mengadakan pertemuan antarmereka yang anti atau tidak

sejalan dengan sikap Gus Muslih dan menganjurkan jamaah mereka sendiri

untuk tidak usah mendegarkan ceramah atau omongan kiai muda yang mereka

anggap mursal itu.”67

Hal ini dikarenakan Gus Muslih dianggap menyimpang sehingga

mengakibatkan terjadinya perang dingin akibat kesalah-pahaman antara golongan-

golongan seperti pada kutipan dari cerpen di atas dapat kita jadikan sebagai acuan.

Bahwa sudah seharusnya mereka bersikap dewasa untuk menyikapi segala perbedaan

tersebut bukan justru membuat keadaan menjadi buruk dengan menganggap

perbedaan tersebut adalah sesuatu yang selamanya tidak sopan.

66

http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-ini-

dinyatakan-menyimpang-1457599747 di akses pada tanggal 16 Maret 2016. 67

A. Mustafa Bisri, Op.Cit., h. 15-16.

61

Selain itu, dalam sosok Ustadz Bachri yang memiliki bakat melukis juga

menjadi kritik untuk pada ulama agar mereka tidak ragu untuk menjadikan bakatnya

sebagai sumber penghasilan mereka. Meskipun sumber penghasilan tersebut masih

berkenaan dengan dunia Islam. Bakat Ustadz Bahcri memang cenderung berlainan

dengan sapaannya, sebagai seorang ustadz, awalnya ragu untuk terjun ke dunia seni.

“Wah, “kata tamunya masih belum lepas pandangannya ke tulisan di atas

pintu, “sampeyan mesti melukis kaligrafi.”

“Saya? Saya melukis kaligrafi?” Katanya sambil ketawa spontan.

“Tidak. Saya serius ini,” Tukas tamunya. “Sampeyan mesti melukis kaligrafi.

Goresan-goresan sampeyan berkarakter. („ini apa pula maksudnya?‟ Ustadz

Bachri membatin tak paham). Kalau bisa di atas kanvas. Tahu kanvas kan?

Betul ya! Tiga bulan lagi kawan-kawan pelukis kaligrafi, kebetulan akan

pameran. Nanti sampeyan ikut. Ya, ya?!”68

Peran Kiai sebagai orang yang paling berpengaruh terhadap perkembangan

dunia islam haruslah transparan dan harus mempunyai alasan yang jelas dan logis.

Seperti sikap Gus Muslih, yang menentang tradisi-tradisi Islam lama. “Ya, kalau

keluarga yang tertimpa musibah itu keluarga yang berada, tak masalah,” katanya

dalam sebuah ceramah.” Kalau keluarga itu miskin, apakah hal itu tidak menambah

musibah?”69

Alasan yang memang dapat diterima seperti pada sikap Gus Muslih di atas

membuat kita dapat mengetahui bahwa penolakan terhadap tradisi tersebut harus

bersikap objektif dan fleksibel. Maka dari itu, seorang pemuka agama, seperti kiai

dan ulama-ulama haruslah mengesampingkan sikap egois dan fanatik terhadap

pemikiran yang diyakiniya untuk menyikapi berbagai pemikiran baru yang lahir di

Indonesia. Sejauh ini pun setidaknya MUI dan organisasi-organisasi islam terkemuka

di Indonesia mempunyai koordinasi yang baik untuk melindungi masyarakat dari

pemikiran-pemikiran yang bersifat radikal dan cenderung menyimpang. Seperti

pemikiran Ari Junaedi di bawah ini.

68

Ibid., h. 64. 69

Ibid., h. 14.

62

“Dengan berpijak pada kesadaran, tanggung jawab, dan keterlibatan aktif

dalam aksi sosial maka peran kaun cendikiawan Muslim harus ditingkatkan.

Jalan yang lebih baik dan terbuka adalah mementaskan tanggung jawab dan

peranannya dengan bersikap pragmatis dan mengambil pendekatan praktis.

Dalam pendekatan ini yang penting adalah mewujudkan komitmen dengan

amal konkret. Ilmu hanyalah hasil proses refleksi dan konsolidasi konseptual

terhadap pengalaman lapangan dalam perubahan sosial ekonomi.”70

C. Implikasi Terhadap Pembelajaran Sastra di Sekolah

Pembelajaran sastra merupakan sesuatu yang penting untuk disampaikan di

sekolah. Keterampilan bersastra dapat memberikan dampak positif bagi

perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotorik, jadi pembelajaran sastra tidak

hanya menghafal tentang teori-teori sastra, namun dengan praktik seperti membaca

dan menikmati karya sastra secara langsung. Dari aktivitas membaca, siswa mampu

menafsirkan dan memperoleh pengetahuan baru (kognitif). Kemudian, respon dari

siswa dapat diketahui apakah ada ketertarikan atau tidak setelah membaca karya

sastra (afektif). Bahkan adanya penyerapan pesan setelah membaca karya sastra

sehingga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari siswa (psikomotor).

Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.

Mustofa Bisri, implikasinya dalam pembelajaran sastra adalah memahami serta

menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.

Pembelajaran mengenai unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen dapat membuat siswa

lebih kritis dalam mengidentifikasi kedua unsur karya sastra tersebut.

pembelajaran mengenai identifikasi unsur karya sastra dapat diajarkan pada kelas

XI semester ganjil.

Melalui unsur intrinsik, siswa dapat mengetahui unsur apa saja yang ada

di dalamnya. Dikaitkan dengan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.

Mustofa Bisri sesuai dengan indikator pencapaian kompetensi yaitu siswa mampu

menemukan unsur intrinsik cerpen berupa tema, latar, tokoh dan perwatakannya.

70

Ari Junaedi, Op.Cit., h. 3.

63

Maka dari itu, ketika siswa membaca kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan

cermat dapat menemukan unsur intrinsik yang sudah disebutkan. Siswa dapat

mengaitkan kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi dengan kejadian di luar karya

sastra atau unsur ekstrinsiknya. Disesuaikan dengan indikator maka siswa mampu

menemukan dan memahami sejarah yang dikaitkan ketika cerpen tersebut dibuat.

Hal tersebut mampu mengembangkan daya ingin tahu siswa mengenai sejarah apa

saja yang akan ditemui sesuai dengan cerpen yang dimaksud. Selain itu, siswa juga

bisa mengetahui hubungan antara karya sastra dankenyataan.

64

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap tiga cerpen karya

Gus Mus, yaitu “Gus Jakfar”, “Gus Muslih”, dan “Lukisan Kaligrafi”, maka dapat

diambil beberapa simpulan, yaitu:

1. Kritik sosial yang terdapat dalam tiga cerpen ini adalah anggapan masyarakat

tentang adanya elemen-elemen pembentuk dalam lingkungan pesantren. Bagi

kalangan masyarakat, keseharian mereka (masyarakat pesantren) melingkupi

institusi pendidikan yang bergerak pada sisi keagamaanya saja. Pandangan

tersebut, secara garis besar memang benar adanya. namun di sisi lain

pesantern juga kerap erat kaitanya dengan hal-hal mistis, hal ini juga terjadi di

kalagan masyarakat yang lebih luas (di luar pesantren). Maka, dalam

kumpulan cerpen “Lukisan Kaligrafi” ini, kritik sosial yang dibicarakan yaitu

mengenai tawaran terhadap para kiai dan masyarakat agar tidak menyikapi

segala kejadian hanya dari satu sisi saja. melainkan mereka harus

mempertimbangkan segala aspek yang ada dan mengetahui penyebab kejadian

tersebut bisa terjadi. Baik dalam pesantren, para Kiai dan masyarakat secara

umum.

2. Berdasarkan kajian terhadap kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A.

Mustofa Bisri, implikasinya terhadap pembelajaran sastra agar para siswa

SMA kelas XI mampu menganalisis dan memahami unsur intrinsik dan

ekstrinsik dalam kumpulan cerpen tersebut.

65

B. Saran

Saran yang dapat penulis sampaikan melalui penelitian ini berdasarkan

analisis dan implikasi adalah sebagai berikut:

1. Guru dalam pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sudah semestinya

meningkatkan minat baca peserta didiknya terhadap karya sastra yang

bermutu dan memberi tugas kepada peserta didiknya untuk membaca dan

memahami kritik sosial yang terdapat dalam karya sastra yang dibacanya.

2. Selain nilai moral guru dalam pelajaran sastra dituntut untuk dapat

menuntun peserta didiknya agar menangkap kritik sosial seperti apa saja

yang ada dalam karya sastra, dan diharapkan cerpen-cerpen Gus Mus bisa

dijadikan sebagai bahan ajar dalam pembelajaran Bahasa dan Sasrtra

Indonesia di sekolah-sekolah.

3. Selain guru, orang tua juga sudah selayaknya meningkatkan minat baca

anaknya terhadap karya sastra yang bermutu dan memberikan pengarahan

yang baik untuk pembentukan karakter si anak.

4. Dan yang terakhir, sebagai intelek yang bergerak di bidang sastra dan juga

calon pendidik (dalam hal ini adalah adik-adik kelas mahasiswa PBSI),

agar dapat memahami dan mampu meneliti dengan baik karya sastra

melalui tinjauan sosiologi sastra dan juga ketika mengajarkan peserta

didiknya di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

http://daerah.sindonews.com/read/1091853/23/shalat-gunakan-bahasa-jawa-aliran-

ini-dinyatakan-menyimpang-1457599747 (diakses pada tanggal 16 Maret

2016).

Anonim, Biografi Achmad Mustofa Bisri diakses dari

http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedia/achmad-mustofa-

bisri/biografi/indeks.html

A’la, Abd. dkk, Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta; LKiS PelangiAksara,

2007

B.S, Abdul Wachid. K.H.A. Mustofa Bisri dan Puisi. Pikiran Rakyat: 29 Oktober

2005.

Bisri. Ahmad Mustofa, Lukisan Kaligrafi. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

2009.

Cahyono, Rachmat H. Sejumlah Fiksi Profetik dari Gus Mus. Suara Pembaruan: 23

Mei 2004.

Chasnah, Ida Nur. Ekspresi Sosial Sajak-Sajak KH. A. Mustofa Bisri. Yogyakarta:

Logung Pustaka. 2005.

Dhofier. Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, Studi Kehidupan Kiyai. Jakarta: LP3S.

1982.

Haroen, Ahmad Musthofa dkk. Khazanah Intelektual Pesantren. Jakarta:2009.

Hudiono, Anwar. Lebih Jauh dengan Hasan Ali dalam Kompas: 1 November 1998.

Ismawati, Esti. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2013.

Junaedi, Ari. KH Ahmad Dahlan Di antara Tokoh Muslim Pembaharu dalam

Kompas: 7 juli 1995.

K.S, Yudiono. Telaah Kritik Sastra Indonesia. Bandung: Angkasa. 1986.

Kurniawan, Heru dan Sutardi. Proses Kreatif Menulis Cerita Pendek. Edisi Pertama.

Yogyakarta: Graha Ilmu. 2012.

Madjid, Nurcholish. Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan. Jakarta:

Paramadina. 1997.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur dan

Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Jakarta: INIS. 1994.

MD., Moh Mahfud, dkk. Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan. Yogyakarta:

UII Press. 1997.

Muin, Abd. dkk. Pendidikan Pesantren dan Tradisi Radikalisme. Yogyakarta: CV

Prasasti. 2001.

Nurgiyantoro, Burhan. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Gadjah

Mada University Press. 2005.

Priyatni, Endah Tri. Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT

Bumi Aksara. 2010.

Purba, Antilan. Sastra Indonesia Kontemporer. Cetakan Kedua. Yogyakarta: Graha

Imu. 2012.

Rahardjo, M. Dawam. Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah.

Jakarta: P3M. 1987.

Rahmanto, B. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Kanisius, 1988.

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar. 2007.

Riatmoko, Ferganata Indra. Mistifikasi Politik Gus Dur dalam Kompas: 14 Juni 2010.

Sarman, Mukhtar. Jagat Kiai dalam Kompas: 9 Agustus 1994.

Sayuti, Suminto A., Wiyatmi. Kritik Sastra. Jakarta: Universitas Terbuka. 2007.

Siradj, Said Aqil. Pesantren, NU, dan Politik. Kompas. 3 Desember 2004.

Siswanto, Wahyudi. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo. 2008.

Stanton, Robert. Teori Fiksi Robert Stanton. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007.

Sudjiman, Panuti. Memahami Cerita Rekaan. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya.

1988.

Sumardjo, Jakob dan Saini K.M., Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia.

1986.

Sumbogo, Priyo B., Heddy Lugito dan Hidayat Tantan. Kiai Klelet dari Rembang.

Jakarta: Gatra, IV Januari. 1998.

Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosda Karya.

2010.

Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi

IV. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2008.

Tri Priyatni. Endah, Membaca Sastra dengan Ancangan Literasi Kritis. Jakarta: PT

Bumi Aksara, 2010.

Tuloli, Nani. Teori Fiksi. Gorontalo: Nurul Jannah. 2000.

Wibowo, Wahyu. Konglomerasi Sastra. Jakarta: Paronpers. 1995.

Widjojoko dan Endang Hidayat. Teori dan Sastra Indonesia. Cetakan Kedua.

Bandung: UPI PRESS. 2006.

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP)

SEKOLAH : SMAN 50 Jakarta

MATA PELAJARAN : Bahasa Indonesia

KELAS : XI

SEMESTER : I

Alokasi Waktu : 4 x 40 menit

A. STANDAR KOMPETENSI

Membaca: Memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca cerita

pendek

B. KOMPETENSI DASAR

Menganalisis unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik cerita pendek

C. INDIKATOR PENCAPAIAN KOMPETENSI

No Indikator Pencapaian Kompetensi Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Mampu menemukan unsur intrinsik yang

berupa tema, latar, tokoh dan perwatakan.

Bersahabat/

Komunikatif

Kreatif 2 Mampu mengaitkan cerpen dengan

kejadian di luar karya (sejarah, sosial,

budaya)

D. TUJUAN PEMBELAJARAN

Siswa dapat:

1. Mampu menemukan unsur intrinsik yang berupa tema, latar, tokoh

dan perwatakan.

2. Mampu mengaitkan cerpen dengan kejadian di luar karya (sejarah,

sosial, budaya)

E. METODE PEMBELAJARAN

Pemodelan

Inkuiri

Tanya jawab

Penugasan

F. STRATEGI PEMBELAJARAN

Tatap Muka Terstruktur Mandiri

Menjelaskan

pengertian unsur

intrinsik dan

ekstrinsik

Membaca cerpen

Menemukan unsur

intrinsik yang

berupa tema, latar,

tokoh dan

perwatakan

Mengaitkan

cerpen dengan

kejadian di luar

karya (sejarah,

sosial, budaya)

Siswa dapat

mendeskripsikan

dan menemukan

unsur intrinsik

(tema, latar, tokoh

dan perwatakan)

dan mengaitkannya

dengan kejadian di

luar cerpen

G. LANGKAH-LANGKAH KEGIATAN PEMBALAJARAN

Pertemuan Pertama

No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Kegiatan Awal:

Guru memberi salam

Guru menyapa dan menanyakan kabar

siswa

Guru mengabsen siswa

Guru menjelaskan tujuan dan manfaat

pembelajaran hari ini

Guru memotivasi siswa sebelum

memulai pembelajaran

Guru membuka schemata siswa

mengenai materi yang akan dipelajari

Religius,

bersahabat/

komunikatif

2 Kegiatan Inti:

Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi:

Guru bertanya jawab dengan

Mandiri, kreatif,

gemar membaca,

percaya diri

siswa tentang unsur intrinsik

Siswa menyebutkan unsur

intrinsik cerpen (tema, latar,

tokoh dan perwatakan)

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi:

Siswa mengamati kutipan cerpen yang

disediakan oleh guru

Siswa menemukan unsur intrinsik

cerita berupa tema, latar, tokoh dan

perwatakan.

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:

Menjelaskan tema, latar, tokoh dan

perwatakan

Menyimpulkan tentang materi yang

telah disampaikan

3 Kegiatan Akhir:

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran

hari ini

Penugasan

Bersahabat/

Komunikatif

Pertemuan Kedua

No Kegiatan Belajar Nilai Budaya dan

Karakter Bangsa

1 Kegiatan Awal:

Guru memberi salam

Guru menyapa dan menanyakan kabar

siswa

Guru mengabsen siswa

Guru menjelaskan tujuan dan manfaat

pembelajaran hari ini

Guru memotivasi siswa sebelum

memulai pembelajaran

Guru membuka schemata siswa

mengenai materi yang akan dipelajari

Religius,

bersahabat/

komunikatif

2 Kegiatan Inti:

Eksplorasi

Dalam kegiatan eksplorasi:

Guru bertanya jawab dengan siswa

Mandiri, kreatif,

gemar membaca,

percaya diri

tentang materi unsur ekstrinsik cerpen

Elaborasi

Dalam kegiatan elaborasi:

Siswa mengamati kutipan cerpen yang

disediakan oleh guru

Siswa mendiskusikan dan menganalisis

unsur ekstrinsik (sejarah, sosial,

budaya) cerpen disertai bukti yang

mendukung

Konfirmasi

Dalam kegiatan konfirmasi, siswa:

Menjelaskan unsur ekstrinsik

(sejarah)

Menyimpulkan tentang materi yang

telah disampaikan

3 Kegiatan Akhir:

Refleksi

Guru menyimpulkan pembelajaran

hari ini

Penugasan

Bersahabat/

Komunikatif

H. SUMBER BELAJAR/ ALAT/ BAHAN:

Buku paket Bahasa Indonesia untuk kelas XI semester 1

Kumpulan cerpen Lukisan Kaligrafi karya A. Mustofa Bisri

Biografi A. Mustofa Bisri

Cara menganalisis unsur intrinsik dan ekstrinsik cerpen

I. PENILAIAN

1. Teknik

Tes (PG, isian, dan uraian)

Penugasan menjelaskan unsur intrinsik dan ekstrinsik

2. Bentuk Instrumen Soal

a. Apa pengertian unsur intrinsik dan ekstrinsik?

b. Sebut dan jelaskan unsur-unsur intrinsik dalam kumpulan

cerpen Lukisan Kaligrafi?

c. Sebut dan jelaskan unsur ekstrinsik dalam kumpulan cerpen

Lukisan Kaligrafi?

J. FORMAT PENILAIAN

UNSUR PENILAIAN

No Unsur Intrinsik

SKOR

Unsur Ekstrinsik

SKOR

1 2 3 4 5 1 2 3 4 5

1 Menganalisis

dengan cermat dan

tepat

Menganalisis dengan

cermat dan tepat

2 Menemukan unsur-

unsur dengan bukti

yang tepat

Menemukan unsur-

unsur dengan bukti

yang tepat

3 Mendeskripsikan

hasil analisis

dengan tepat

Mendeskripsikan hasil

analisis dengan tepat

4 Amanat yang bisa

diambil dari unsur

intrinsik

Amanat yang bisa

diambil dari unsur

ekstrinsik

Perolehan Nilai = Total

skor x 5

Perolehan Nilai =

Total skor x 5

Mengetahui : Jakarta, .............

Kepala Sekolah Guru Mata Pelajaran

Bahasa dan Sastra

Indonesia

Drs. Lukmanul Hakim, MM Muhammad Zainal Abidin

LAMPIRAN 1

SILABUS

Sekolah : SMA/MA....

Mata Pelajaran : Bahasa dan Sastra Indonesia

Kelas : XI

Semester : 1

Standar Kompetensi : Membaca

Memahamiwacana sastra melalui kegiatan membaca cerpen

Kompetensi

Dasar

Materi Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran Indikator

Pencapaian

Kompetensi

Penilaian Alokasi

Waktu

Sumber

/Bahan/

Alat

Menganalisis

unsur-unsur

intrinsik dan

ekstrinsik cerita

pendek

Cerita pendek

unsur-unsur intrinsik

(tema, tokoh, perwatakan,

latar, sudut pandang, alur,

amanat, dan gaya bahasa)

unsur ekstrinsik (agama,

sejarah, sosial, budaya)

Membaca cerpen

Mengidentifikasi unsur

intrinsik cerpen yang

telah dibaca

Mengaitkan cerpen

dengan kejadian di luar

karya (unsur ekstrinsik)

Menganalisis

unsur-unsur

ekstrinsik dan

intrinsik

Jenis Tagihan:

Tugas individu

Tugas kelompok

Ulangan

Bentuk Instrumen:

Uraian bebas

Pilihan ganda

Jawaban singkat

4 Buku kumpulan

cerpen

Internet