kontroversi khalifatullah

7
DIBALIK KONTROVERSI GELAR KHOLIFATULLAH SAYYIDIN PANATAGAMA Oleh : Ummu ‘Ilmy PENDAHULUAN Kontroversi Masuknya gelar Khalifatullah Sri Sultan dalam Raperda Keistimewaan DIY kembali menuai kontroversi. Fraksi PDIP DPRD DIY, yang berhaluan nasionalis mempersoalkan upaya memasukkan gelar tersebut di Perdais. Mereka khawatir subtansi semacam itu justru jadi legitimasi homogenitas di DIY. Bahkan, PDI perjuangan akan lebih serius mengawal Perdais menjadi perda yang mensejahterakan dan mampu menjaga agar DIY benar-benar istimewa dengan berbhineka. harianjogja.com, Senin(28/1/2013) Senada dengan PDIP, pernyataan Pengamat Politik J Kristiadi usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Konsultasi dan Implementasi Undang-Undang Keistimewaan DIY No13/2012, di Gedung DPRD Jumat (1/2/2013), memandang gelar Khalifatullah Sultan tidak perlu dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kestimewaan. Gelar ini selain rawan menimbulkan konflik kepentingan, juga sama saja menghilangkan kesempatan Sultan perempuan. Menurut Peneliti Center for Strategic of International Studies (CSIS) ini, gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah yang diperoleh dari berbagai literatur diartikan bahwa Sultan itu adalah pengatur Wakil Allah yang mengatur kehidupan beragama. Arti gelar ini rawan diinterpretasikan untuk homogenitas tertentu, dan memungkinkan akan member peluang memunculkan kekisruhan di dalam masyarakat. Ia menegaskan agar gelar Sri Sultan cukup Hamengku Buwono saja. Terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan modernitas kesetaraan perempuan dan lak-laki, maka dengan dimasukan gelar tersebut akan menyulitkan Sultan dalam mewariskan tahtahnya pada anak perempuannya. Fakta Keraton Jogjakarta hendak di setting dengan melupakan sejarahnya sudah bukan hal baru lagi. Dua tahun yang lalu, di kantor Kepatihan Sri Sultan pernah menyampaikan kepada wartawan jika Keraton Yogyakarta sekarang bukan lagi merupakan suatu kekuatan politik, sehingga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Termasuk dalam poses suksesi kepemimpinan. Sultan memiliki hak untuk melakukan perubahan. (kedaulatan Rakyat, 15/5/2010). Pernyataan ini muncul karena terpicu oleh pertanyaan tiga mahasiswa UGM yang bertanya tetang gender di Keraton. Pada saat itu, pernyataan Sri Sultan ini menuai banyak kontraversi. Di mata aktivis gender, pernyataan Gubernur DIY ini banyak mendapat respons positif bahkan angin segar perjuangan. Terlebih, wacana sultan

Upload: tindyop

Post on 10-Aug-2015

106 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

good

TRANSCRIPT

Page 1: kontroversi khalifatullah

DIBALIK KONTROVERSIGELAR KHOLIFATULLAH SAYYIDIN PANATAGAMA

Oleh : Ummu ‘Ilmy

PENDAHULUAN

Kontroversi Masuknya gelar Khalifatullah Sri Sultan dalam Raperda Keistimewaan DIY kembali menuai kontroversi. Fraksi PDIP DPRD DIY, yang berhaluan nasionalis mempersoalkan upaya memasukkan gelar tersebut di Perdais. Mereka khawatir subtansi semacam itu justru jadi legitimasi homogenitas di DIY. Bahkan, PDI perjuangan akan lebih serius mengawal Perdais menjadi perda yang mensejahterakan dan mampu menjaga agar DIY benar-benar istimewa dengan berbhineka. harianjogja.com, Senin(28/1/2013)

Senada dengan PDIP, pernyataan Pengamat Politik J Kristiadi usai mengikuti Rapat Dengar Pendapat Konsultasi dan Implementasi Undang-Undang Keistimewaan DIY No13/2012, di Gedung DPRD Jumat (1/2/2013), memandang gelar Khalifatullah Sultan tidak perlu dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Daerah Kestimewaan. Gelar ini selain rawan menimbulkan konflik kepentingan, juga sama saja menghilangkan kesempatan Sultan perempuan. Menurut Peneliti Center for Strategic of International Studies (CSIS) ini, gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah yang diperoleh dari berbagai literatur diartikan bahwa Sultan itu adalah pengatur Wakil Allah yang mengatur kehidupan beragama. Arti gelar ini rawan diinterpretasikan untuk homogenitas tertentu, dan memungkinkan akan member peluang memunculkan kekisruhan di dalam masyarakat. Ia menegaskan agar gelar Sri Sultan cukup Hamengku Buwono saja. Terlebih bila dikaitkan dengan perkembangan modernitas kesetaraan perempuan dan lak-laki, maka dengan dimasukan gelar tersebut akan menyulitkan Sultan dalam mewariskan tahtahnya pada anak perempuannya.

Fakta Keraton Jogjakarta hendak di setting dengan melupakan sejarahnya sudah bukan hal baru lagi. Dua tahun yang lalu, di kantor Kepatihan Sri Sultan pernah menyampaikan kepada wartawan jika Keraton Yogyakarta sekarang bukan lagi merupakan suatu kekuatan politik, sehingga tidak bisa dilepaskan dari perkembangan masyarakat. Termasuk dalam poses suksesi kepemimpinan. Sultan memiliki hak untuk melakukan perubahan. (kedaulatan Rakyat, 15/5/2010). Pernyataan ini muncul karena terpicu oleh pertanyaan tiga mahasiswa UGM yang bertanya tetang gender di Keraton.

Pada saat itu, pernyataan Sri Sultan ini menuai banyak kontraversi. Di mata aktivis gender, pernyataan Gubernur DIY ini banyak mendapat respons positif bahkan angin segar perjuangan. Terlebih, wacana sultan perempuan yang di gulirkan mereka mendapat tanggapan apik dari pihak akademisi. Mereka berpendapat bahwa pernyataan Sultan tersebut merupakan tantangan Keraton yang masih tradisional untuk melakukan reformasi seiring dengan massifnya nilai-nilai modernitas. Mereka mayoritas berpandangan Keraton dipimpin oleh Raja yang perempuan tidak jadi soal. Namun hal itu kembali lagi pada kebijakan internal Keraton. Sebagimana tanggapan dari Ahli hukum keraton, guru besar Fakultas Hukum UGM, Prof. Sudikno, yang menyatakan bahwa dalam sejarah Keraton Yogyakarta belum ada sultan yang perempuan, sebab tidak tercantum dalam paugeran. Namun, menurut dia, paugeran bersifat dinamis, menyesuaikan dengan perkembangan zaman dan ditentukan secara internal keraton. Sehingga sangat mungkin ada sulthonah asal ditentukan oleh hasil musyawarah Keraton. Sementara itu, dosen Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, Bambang Purwoko berpendapat, senada, bahwa tidak perlu menggagas jenis kelamin raja

Page 2: kontroversi khalifatullah

berikutnya. Namun, jika keraton menghendaki tampilnya raja perempuan, yang harus dilakukan hanyalah mengubah paugeran yang ada. Beliau mengatakan jika Undang-undang dasar negara saja bisa diamandemen, tentulah paugeran juga bisa dengan mudah diubah. Hanya kitab suci agama yang seharusnya tidak boleh diubah-ubah.

Di dalam internal Keraton sendiri, pernyataan tersebut mendapatkan penolakan keras karena dinilai bertentangan dengan paugeran yang menyepakati bahwa Raja Keraton itu adalah seorang Sayidin Panitagama Khalifatullah. Dalam catatan sejarah tidak ada seorang khalifah dijabat seorang perempuan. Pihak keluarga Keraton yang diwakili oleh Gusti Yudhaningrat (adik Sri Sultan urutan ke 15 – 17 dari 22 urutan), menyatakan bahwa Keraton Yogyakarta termasuk dinasti kekhalifahan yang memposisikan sultan sebagai penerus Nabi dalam pemahaman agama Islam. Maka Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah penguasa Kesultanan Yogyakarta Hadiningrat yanga menyandang gelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Sri Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Ngabdurrokhman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping X (yang kurang lebih berarti: pemimpin yang menguasai dunia, komandan besar, pelayan Tuhan, tuan semua orang yang percaya). Begitu juga untuk sultan-sultan sesudahnya.

Pendapat pihak keluarga keraton didukung oleh beberapa budayawan Islam. Mereka menduga jika pernyataan tersebut merupakan wacana yang digulirkan Sultan itu untuk memuluskan langkah putri tertuanya, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun, untuk meneruskan takhta kepemimpinan Keraton. Meskipun pernyataan sultan pada saat itu menuai banyak kontoversi khususnya dari pihak keluarga Keraton sendiri, akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa kaum liberalis dan aktivis gender sudah melakukan gerakan nyata dan tertata.

SEJARAH GELAR ‘KHOLIFATULLAH SAYYIDIN PANATAGAMA’

Sejarah gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama tidak bisa dipisahkan dari sejarah keberhasilan dakwah Walisongo. Awal sejarah walisongo adalah ketika para pedagang Gujarat menyampaikan kabar kondisi kerajaan Majapahit di Tanah Jawa sedang terjadi kemelut akibat perang Paregreg. Rakyat Jawa yang semula kuat memegang teguh keyakinan Hindu, Budha dan Animisme mulai mencari dan terbuka terhadap keyakinan baru. Kabar ini ditangkap dengan cerdas oleh Sultan Muhammad I, Kholifah Daulah Turki Utsmani pada saat itu dengan mengirimkan juru-juru dakwah. Dalam kitab Kanzul ‘Ulum karangan Ibnu Batutah di tulis, Khalifah Muhammad I mengirim tim juru dakwah ke tanah Jawa secara bergenerasi. Generasi angkatan pertama beranggotakan 9 orang dengan pimpinan Maulana Malik Ibrahim. Tugas mereka bukan sekedar menyebarkan Islam ritual semata, akan tetapi mereka mengajarkan pula tentang tata pembangunan pertanian, tata pengaturan Negara dan pemerintahan, tata pertahanan dan keamanan, tata ekonomi, tata ketentraman dan tata kesehatan masyarakat, pengkaderan, dan mencari pengaruh diantara para penguasa dan bangsawan.

Generasi Walisongo angkatan pertama dan angkatan kedua yang semuanya masih beranggotakan utusan langsung dari Daulah (Timur Tengah) berhasil dalam dakwah ini yakni menanamkan Islam murni bahkan mampu meraih hati masyarakat sekaligus menjadi rujukan bagi mereka. Mereka pun menjadi rujukan para trah bangsawan bahkan sampai bebesanan. Sebagai bukti nyata adalah Ibrahim Asmarakandi (maulana Ibrahim dari Samarkand) menikah dengan Dewi Candrawulan, cucu dari raja Singosari dan melahirkan Ahmad ‘Ali

Page 3: kontroversi khalifatullah

Rahmatullah atau lebih di kenal dengan Raden Rahmat. Raden Rahmat yang kemudian dikenal dengan sunan Ampel kemudian menikah dengan putri Bupati Tuban. Putri Sunan Ampel ini kemudian menikah dengan putra ‘Jin Bun’ anak raja Majapahit terakhir, Brawijaya V yang kemudian lebih dikenal dengan Raden Patah, penguasa Islam pertama di Tanah Jawa.

Perjalanan dakwah Walisongo dalam mengislamkan tanah Jawa ternyata tidak tuntas bahkan memunculkan wajah Islam sinkretis (sinkretisasi Islam Jawa) yang pengaruhnya kuat hingga sekarang. Islam sinkretis ini muncul ketika Kekhalifahan Turki Utsmani sudah tidak lagi mengirimkan duta dakwahnya, akan tetapi menumpukan pada keberhasilan kaderisasi juru dakwah sebelumnya. Khususnya mulai Walisongo angkatan VI, tujuh dari sembilan anggotanya adalah bangsawan pribumi seperti Sunan Kalijogo. Kondisi ini menjadikan warna pengembangan dakwah Islam di Jawa berubah. Memahami pandangan sejarawan Muslim, Prof. Hasanu Simon, perubahan warna pengembangan dakwah terjadi akibat masih adanya pengaruh nilai-nilai tradisi Jawa pada pandangan para bangsawan tersebut (khususnya Sunan Kalijogo) dan dorongan mengislamkan Jawa secepat mungkin, sehingga mereka menggunakan pendekatan seni, sastra dan symbol dalam dakwah. Sejak itulah Islam sikretis muncul dan memberi bekas yang kuat hingga sekarang. Islam sinkretis ini tidak hanya berakibat pada bentuk pemahaman Islam masyarakat yang tetap dangkal (penuh mistis, tahkayul), tetap rendah taraf dalam taraf berfikir, pemakaian symbol dan pemaknaan bahasa yang multi tafsir, berefek pada perkembangan politik dan pemerintahan Islam di Jawa bahkan membawa persetruan yang panjang dan beujung pada perpecahan akibat perebutan kekuasaan. Dampak yang paling fatal adalah dipindahkannya kekuasaan Islam di Demak Bintoro yang strategis karena akses kelautan, lebih steril dari budaya Jawa, ke wilayah pedalaman bekas bumi Mataram Hindu yang kuat memegang budaya Jawa dan jauh dari akses kelautan. Akibatnya, kekuatan kekuasaan Islam Jawa lemah dari sisi pertahanan dan pendapatan. Dampak lanjut dari kondisi tersebut, pemerintahan Islam Jawa tidak mampu menghadapi kekuatan VOC. Lebih dari itu, ketinggian iptek dan pengetahuan umum menjadikan banyak keluarga muslim yang berpaling dari Islam sinkretis dan menerima pandangan-pandangan baru VOC. Di wilayah bekas bumi Mataram Hindu inilah Kesultanan Mataram Islam didirikan, cikal bakal kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Gelar sayyidin panatagama merupakan gelar yang dimiliki oleh sultan-sultan Islam di tanah Jawa. Gelar ini pertama kali diberikan kepada Raden Patah atau Sultan Demak yang terpilih menjadi penguasa Islam pertama di tanah Jawa (Abad ke 15M). Penyebutan sultan diberikan oleh Walisongo untuk menunjukkan dan membedakan posisi pemimpin Islam dengan rakyat, tidak sama dengan posisi raja dengan rakyatnya. Raden Patah sendiri kemudian diberi gelar ‘Senopati Jimbun Ningrat Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama/ Sultan Syah Alam Akbar/ Sultan Surya Alam’. Nama Patah sendiri berasal dari kata al-Fatah, yang artinya "Sang Pembuka", karena ia memang pembuka kerajaan Islam pertama di pulau Jawa.

Tambahan ‘Kalipatullah’ atau ‘Khalifatullah’ baru muncul pada sultan-sultan di Kesultanan Mataram Islam. Tambahan gelar tersebut pertamakali dipakai oleh pendiri Kesultanan Mataram, yaitu Danang Sutawijaya dengan gelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Kalipatullah Tanah Jawa (Abad ke 16). Danang Sutawijaya yang dikenal pula dengan nama Panembahan Senopati dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Tambahan gelar Khalifatullah tidak ada kaitannya dengan Kekhalifahan Turki Utsmani. Penambahan kata Khalifatullah yang diartikan dengan wakil Tuhan hanya karena pengambilan makna

Page 4: kontroversi khalifatullah

semata, sebagaimana perkembangan Islam di saat itu yang sarat dengan seni, sastra bahasa, dan symbol. Gelar ini pun memberikan pengaruh keliru yakni menempatkan posisi penguasa sangat tinggi diatas rakyat. Bahkan, gambaran kesultanan berubah menjadi kerajaan kembali yang posisinya sederajat dengan posisi kenabian (Mahdini, 2000, Etika Politik dalam pandangan Haji Ali, cet.I).

Dalam perjalanan sejarahnya, Kesultanan Mataram Islam mengalami kemajuan pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo. Akan tetapi pasca wafatnya Sultan Agung, Kesultanan Mataram Islam mengalami kemerosotan yang luar biasa. Akar kemerosotan tesebut terletak pada pertentangan dan perpecahan di dalam keluarga kesultanan sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh VOC. Puncak dari perpecahan terjadi pada tanggal 13 Februari 1755 dengan ditandatangani perjanjian Giyanti yang membagi Kesultanan Mataram Islam menjadi dua, yaitu Kesunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian Giyanti tersebut, dinyatakan bahwa Pangeran Mangkubhumi sebagai Sultan Pertama di Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwono Senopati ing Alaga Abdul Rokhman Sayyidin Panatagama Khalifatullah kaping I . Gelar tersebut menjadi gelar secara turun temurun pada setiap sultan di Kesultanan Jogjakarta.

Semua sultan Islam Jawa, baik pada masa Kesultanan Demak, Kesultanan Pajang, Kesultanan Mataram Islam, dan Kesultanan Yogyakarta belum pernah ada satupun yang di jabat oleh perempuan (shulthonah). Meskipun masih menggunakan system keturunan, akan tetapi jika tidak ada keturunan langsung maka kekuasaan jatuh kepada pihak lain seperti saudara laki-laki atau menantu.

SINKRETISME JALAN MASUK SEKULER-KAPITALISME DI JAWA.

Sudah disebutkan sebelumnya bahwa kemunduran berfikir akibat Islam sinkretis menjadikan pemerintahan Islam Jawa tidak mampu menghadapi kekuatan VOC dan Belanda. Lebih dari itu, ketinggian iptek dan pengetahuan umum menjadikan banyak keluarga muslim bil khusus para priyayi (bangsawan) yang berpaling dari Islam sinkretis dan menerima pandangan-pandangan baru yang dibawa penjajah. Kenyataan ini jelas tidak disia-siakan oleh penjajah untuk menyusun langkah-langkah jitu. Tulisan Van den Bosch pencipta cultuurstelsel (1833) :”menurut saya, dengan segala cara kita harus membuat para pemimpin pribumi bergantung pada kita…… Sedemikian rupa sehingga mereka lebih berbahagia berada dibawah pememerintahan kita daripada berada dibawah pemerintahan raja mereka”. menjadi bukti semua ini.

Diantara langkah serius penjajah adalah apa yang di bahasakan oleh Prof. Denys Lombard sebagai langkah pembaratan (cara berfikir berubah menjadi cara berfikir barat). Langkah langkah tersebut diawali dengan membentuk sekolah-sekolah khusus untuk para putra-putri priyayi (bangsawan). Hasil awalnya, mereka terpengaruh secara bahasa, busana dan tingkah laku, diikuti dengan mengunjungi Eropa, sekolah di Eropa dan bangga dengan Eropa (misalnya Raden Saleh Bustaman, Bapak Pelukis Indonesia, Sri Sultan HB IX ).

Langkah selanjutnya dari proses pembaratan yaitu terjadi dikalangan tentara dan akademisi. Proses pembaratan dikalangan tentara ditujukan untuk memunculkan jiwa nasionalis yang tinggi dalam perjuangan bangsa (saat itu) untuk melawan Jepang. Sedangkan pembaratan dikalangan akedemisi berawal dari para priyayi yang mengejar gelar doktorandus melalui universitas-universitas yang berkiblat ke Barat yang proses berdirinya direstui dan di sokong oleh Sultan HB IX. Dan pada akhirnya, berhasilah penjajah menjauhkan Islam

Page 5: kontroversi khalifatullah

dimulai dari kalangan priyayi dan menjadikan mereka menjadi muslim berpikiran sekuler-kapitalistik. Dalam perkembangannya, sifat universitas yang terbuka bagi rakyat menjadi jalan bagi akademisi untuk menjadi pengemban pemikiran sekuler-kapitalisme terutama saat mereka merancang system politik, ekonomi dan budaya. Sehingga wajar, pemberi komentar gelar Khalifatullah, dan sulthonah adalah akademisi dan budayawan. Mereka kini terus getol berupanya menghapus semua jejak-jejak penerapan dan pengaruh Islam di tanah Jawa khususnya di Keraton Jogjakarta.

KESIMPULAN

Jelaslah bahwa persoalan penting dakwah di Jogjakarta bukan sekedar member komentar tentang kontroversi gelar Khalifatullah saja. Apalagi memang tidak tepat, gelar Khalifatullah Sayyidin Panatagama disematkan pada Sri Sultan HB X dengan posisi beliau hanya sebagai gubernur Jogjakarta saja. Termasuk persoalan sulthonah pun adalah bagian dari bentuk skenario (persoalan cabang) yang dirancang untuk menghabisi Islam di Jawa. Persoalan terpenting dakwah di Jogja justru pada masih adanya sisa pengaruh Islam sinkretis di kalangan masyarakat bawah, kuat dan rapinya skenario serta strategi barat-sekuler dalam menghancurkan Islam melalui Jogjakarta khususnya melalui para akademisi dan budayawan. Bahkan, bukan menjadi rahasia lagi, UGM sebagai universitas unggulan, adalah yang terbanyak menghasilkan para pemikir dan perancang perundang-undangan pesanan barat.

Menghadapi tantangan dakwah yang berat tersebut, maka dibutuhkan skenario yang lebih fokus, rapih untuk mengeliminasi pengaruh dan pemahaman Islam sinkretis di tengah masyarakat sekaligus penyebaran kapitalisme yang di gulirkan terus menerus oleh para akademisi dan para budayawan. Selain itu, perlu perfikir keras terkait uslub dan wasilah dakwah syariah dan khilafah sesuai dengan persoalan yang dihadapi. Sedangkan peran syabbah tentunya tidak boleh lagi berdiam diri tanpa mengambil peran dakwah. Perlu ada optimalisasi pemikiran dan gerak bersama dari semua syabab di Jogjakarta untuk menangkis beragam bentuk skenario yang masih sangat mungkin dirancang untuk menghalangi dan memberatkan dakwah syariah dan khilafah.

Wallahu ‘alam bishowab

Page 6: kontroversi khalifatullah