kontribusi cut nyak dien dalam perang aceh ( 1873 …

93
KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873-1908 ) Skripsi Diajukan Untuk Disusun Oleh : Firdaus Wahid NIM : 1111022000057 JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2018 M / 1439 H Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah dan Peradaban Islam (S.Hum)

Upload: others

Post on 22-Oct-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH

( 1873-1908 )

Skripsi Diajukan Untuk

Disusun Oleh :

Firdaus Wahid

NIM : 1111022000057

JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2018 M / 1439 H

Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Sejarah dan Peradaban Islam

(S.Hum)

Page 2: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …
Page 3: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …
Page 4: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …
Page 5: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

i

ABSTRAK

Judul : Kontribusi Cut Nyak Dien dalam Perang Aceh 1873 - 1908

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang dan usaha

Cut Nyak Dien dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda di Aceh.

Selain itu skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peranan Cut Nyak Dien dalam

berjuang melawan Belanda yang mampu mempertahankan tanah Aceh dari usaha

penjajah untuk merebut daerah tersebut dari tangannya. Penulisan skripsi ini

menggunakan metode studi pustaka meliputi pengidentifikasian, penjelasan,

penguraian secara sistematis dari sumber-sumber buku yang mengandung

informasi yang berkaitan dengan materi skripsi. Langkah-langkah yang digunakan

dalam penulisan skripsi ini terdiri atas dari pemilihan judul, heuristik, kritik

sumber, interpretasi, dan historiografi. Hasil penulisan skripsi ini menyimpulkan

bahwa semangat Cut Nyak Dien dalam berjuang melawan penjajah hingga titik

darah terakhir, bersama Teuku Cik Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar suaminya ia

mampu membawa rakyat Aceh untuk melakukan perlawanan terhadap Belanda.

Hal itu tidak terlepas dari usaha suaminya yang menjadi pemimpin perang Aceh

dengan didampingi Cut Nyak Dien. Dengan demikian banyak peristiwa sejarah

perjuangan Cut Nyak Dien yang dapat difahami dan diketahui yang mempunyai

pengaruh besar bagi daerah Aceh di mana masih bisa dirasakan hingga saat ini.

Kata kuncinya : Kontribusi, strategi, perjuangan dan kolonialis Belanda.

Page 6: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur ke hadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi

Maha Penyayang karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat

menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan Judul “Kontribusi Cut Nyak Dien

dalam Perang Aceh 1873- 1908”.

Terwujudnya Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak yang

telah mendorong dan membimbing penulis, baik tenaga, ide-ide, maupun

pemikiran yang diberikan. Oleh karena itu, dalam kesempatan kali ini penulis

ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A selaku Rektor Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora

3. H. Nurhasan, M.A selaku Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam

Fakultas Adab dan Humaniora

4. Prof. Dr. M. Dien Madjid, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah

banyak memberikan banyak nasihat, masukan, dan arahan bagi penulis

dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

5. Solikhatus Sa’diah, M.Pd. Selaku Sekretaris Jurusan Sejarah dan

Peradaban Islam, yang telah sabar mengurusi semua administrasi yang

penulis butuhkan.

6. Drs. H. Azhar Saleh, M.A selaku Dosen Pembimbing Akademik yang

telah dengan sabar mengajari dan membimbing penulis.

7. Alm. Ansori dan Ibu Hasnah S.Ag. selaku orang tua penulis. Terimakasih

atas motivasi, cinta, dan pengorbanan tanpa pamrih yang telah diberikan.

8. Seluruh Dosen jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

9. Teman-teman seperjuangan Sejarah dan Peradaban Islam angkatan 2011

yang selalu memberi dukungan dan masukan kepada penulis.

Page 7: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

iii

Semoga segala bantuan yang tidak ternilai ini mendapat keberkahan dari

Allah SWT, Amiin. Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai

pihak sangat penulis harapkan demi perbaikan-perbaikan ke depannya. Amiin Ya

Rabbal ‘Alamiin.

Jakarta, 09 April 2018

Penulis,

Page 8: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK………………………………………………………………………...i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………....ii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………..iv

DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………….vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………………………….......3

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………5

D. Tinjaun Literatur…………………………………………………..6

E. Kerangka Teori……………………………………………….........7

F. Metode Penelitian…………………………………………….........8

G. Sistematika Penulisan……………………………………….........10

BAB II KONDISI SOSIAL POLITIK MASYARAKAT ACEH ABAD

XIX

A. Seputar Kerajaan Aceh………………………………...................12

B. Kondisi Politik Aceh…………………………………………......28

BAB III BIOGRAFI CUT NYAK DIEN

A. Leluhur Cut Nyak Dien……………………………………..........34

B. Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga............……………….........41

C. Kedatangan Belanda ke Aceh.............………………………......45

D. Ibrahim Lamnga Gugur di Medan Perang...............…………......47

E. Menikah dengan Teuku Umar.............……………………….......53

Page 9: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

v

BAB IV CUT NYAK DIEN MELAWAN BELANDA

A. Membangun Mental Pejuang Aceh.............……………………...61

B. Penangkapan dan Pengasingan Cut Nyak Dien............……….....66

C. Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Perang Aceh.............………...69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................73

B. Saran.............………………………………………………..........75

DAFTAR

PUSTAKA…………………………………………………………….................76

LAMPIRAN…………………………………………………………..............…80

Page 10: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

vi

DAFTAR LAMPIRAN

1. Lampiran I Gambar Tokoh Cut Nyak Die................................80

2. Lampiran II Gambar Tokoh Teuku Umar..................................81

3. Lampiran III Gambar Kerajaan Aceh..........................................82

4. Lampiran IV Gambar Makam Cut Nyak Dien............................83

5. Lampiran V Gambar Penjaga Makam Cut Nyak Dien...............84

Page 11: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perang Aceh merupakan salah satu episode penting dalam sejarah Indonesia.

Pemerintah Hindia Belanda menjadikan Aceh sebagai salah satu taklukan terpenting.

Di saat sebagian besar kekuatan lokal di Nusantara telah jatuh ke tangan Pemerintah

Hindia Belanda, Aceh masih tetap tegar dan independen. Masyarakat di sana belum

mengenal adanya penjajahan asing. Boleh dikatakan upaya penaklukan Aceh adalah

salah satu tugas berat yang dilakukan Belanda.

Sampai dengan abad ke-19, kedudukan Kesultanan Aceh Darussalam masih

penting di tengah masyarakat Aceh. Di saat wilayah-wilayah lain telah berganti

kekuasaan, dari sebelumnya kekuatan politik lokal kemudian menjadi pemerintahan

Hindia Belanda, Kesultanan Aceh Darussalam masih tetap berdiri dan menjadi garda

terdepan dalam masalah keamanan dan ketertiban. Dukungan masyarakat masih penuh

kepada Sultan, sehingga tidak mudah bagi musuh untuk mempengaruhi masyarakat.

Perang Aceh yang berlangsung pada 1873, adalah puncak dari persinggungan

politik Pemerintah Hindia Belanda dan Aceh. Kedatangan kapal perang Belanda ke

pelabuhan Aceh mengindikasikan bahwa kedatangan Belanda seharusnya ditakuti

pihak Aceh karena mereka belum juga mengakui kekuasaan Belanda. Bukannya takut

dengan ancaman Belanda, pihak Aceh justru sudah menyiapkan pasukan yang siap

menghalau musuh di bibir pantai Ceurumin, Aceh. Para pasukan pribumi sudah siap

menyerahkan jiwa raga mereka untuk keselamatan tanah airnya.

Ekspedisi penaklukkan Aceh sudah disiapkan dengan matang oleh pihak

Belanda. Mereka tidak hanya membawa pasukan, namun juga persediaan senjata

dalam jumlah besar. Para kuli juga turut dibawa untuk membantu kerja pasukan di

lapangan. Selain senapan, meriam juga dianggap sebagai senjata penting dalam perang

Page 12: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

2

menghadapi pasukan Aceh. Meriam yang dipasang di kapal-kapal Belanda

menembakkan peluru besar ke daratan untuk membuat panik pasukan Aceh. Serangan

ini dimaksudkan agar pasukan darat yang menaiki perahu ke daratan tidak terus

diganggu pasukan Aceh.

Begitu sampai di darat, pasukan Belanda segera mendapat serangan dari pihak

Aceh. Tidak semua pasukan Aceh pandai menggunakan senapan, selain pula karena

jumlahnya yang tidak banyak. Untuk itu, sebagian besar pasukan Aceh menggunakan

senjata-senjata tradisional yang umumnya digunakan dalam pertempuran jarak dekat

seperti rencong, pedang, lembing, tombak, dan klewang. Meskipun senjata Aceh kalah

modern dengan pihak lawan, bukan berarti mereka dapat dikalahkan seketika. Pasukan

Aceh berperang dengan brutal karena di balik itu, mereka menganggap perang mereka

sebagai jihad di jalan Allah atau dalam istilah lain dinamakan Perang Sabil.1

Banyak tokoh-tokoh perang Aceh yang menjadi pahlawan nasional Republik

Indonesia, namun hanya satu yang peneliti ingin ketahui lebih lanjut, ia adalah Cut

Nyak Dien. Di masa awal perang Aceh, Cut Nyak Dien belum ikut ke medan laga.

Menurut penuturan Szekely-Lulofs, dikatakan bahwa meskipun belum terlibat dalam

perang Aceh, sudah sejak sebelum kedatangan Belanda, Cut Nyak Dien sudah

membenci Belanda. Ketika ramai dibicarakan tentang kemungkinan Belanda

menyerang Aceh, Cut Nyak Dien sudah menunjukkan keinginannya agar suatu saat

dapat ikut serta bersama barisan perang Aceh menghalau tentara Belanda.2

Dalam perang Aceh, tokoh-tokoh wanita menempati posisi tersendiri. H.C.

Zetgraaf, seorang wartawan Belanda yang sempat mengikuti episode terakhir perang

Aceh, mengatakan bahwa wanita Aceh mempunyai kepribadian ganda. Dalam

keluarganya, mereka akan menunjukkan kelembutan kepada suami maupun anak-

anaknya. Namun, jika sudah berada di medan tempur, mereka bisa berubah layaknya

1 Ibrahim Alfian, Perang Sabil; Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987), hal. 21.

2 M.H. Szekly-Lulofs, Cut Nyak Dien; Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu,

2010), hal. 61.

Page 13: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

3

singa. Jika begitu, tidak ada perbedaan yang berarti antara laki-laki dan wanita.

Mereka semua adalah prajurit yang patut diwaspadai.3

Cut Nyak Dien terlibat penuh dalam perang Aceh paska suami keduanya,

Teuku Umar, meninggal. Ia terlibat dalam aksi pengumpulan para pejuang Aceh,

khususnya dari kalangan pengikut Teuku Umar, yang sebelumnya tercerai berai.

Dengan dibantu oleh tangan kanan mendiang suaminya, Pang Laot, Cut Nyak Dien

melakukan perang gerilya di pelosok-pelosok Aceh. Meskipun perangnya tidak

melibatkan banyak pasukan, namun terbukti mampu menggoyahkan atau setidaknya

membuat Belanda khawatir bahwa di pedalaman Aceh masih ada sejumlah orang Aceh

yang masih meluncurkan perlawanan.

Skripsi ini akan menyorot ketokohan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh.

Penulis tertarik mengangkat ini karena penjelasan mengenai posisi Cut Nyak Dien

dalam perang besar ini masihlah terserak di mana-mana. Dari sejumlah buku yang

didapat, belum ada yang menjelaskan tindakan Cut Nyak Dien setelah ia memutuskan

berperang gerilya. Aspek kronologis sudah tentu akan ditekankan dalam tulisan ini,

karena penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian sejarah.

B. Pembatasan dan perumusan masalah

Penulis menggunakan kata “kontribusi” sebagai perwakilan maksud penulis

yang ingin mengetahui lebih jauh akan keterlibatan Cut Nyak Dien dalam perang

Aceh. Dalam kasus perang Aceh, tidak ada lagi perbedaan peran antara laki-laki

maupun perempuan. Mereka yang merasa mempunyai keinginan dan kesiapan boleh

bergabung dalam barisan pelawan Belanda. Alasan ini juga diperkuat oleh banyaknya

janda-janda yang suaminya meninggal di medan perang. Sebagian kaum istri ada yang

merasa bahwa keterlibatannya adalah wujud pengabdian kepada suaminya.4

3H.C. Zentgraaff, Aceh, Terj. Firdaus Burhan (Jakarta: Departemen P dan K, 1983), hal. 95-96.

4 Zentgraaff, Aceh …, hal. 95-96.

Page 14: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

4

Oleh karena tema yang diangkat masih lebar, penulis memfokuskan pada

kajian mengenai keikutsertaan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh. Sebenarnya ada

beberapa nama wanita lain yang terjun ke perang ini, antara lain adalah Cut Nyak

Meutia, Teungku Fakinah, Pocut Baren, dan lain-lain. Alasan memilih Cut Nyak Dien

adalah bahwa sejak gadis, Cut Nyak Dien sudah terbiasa bersinggungan dengan

persiapan perang Aceh, sehingga telah tumbuh dalam hatinya untuk suatu ketika ia

akan bergabung dengan laskar Aceh. Keinginannya ini belum langsung terlaksana

karena dua suaminya, Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar menahannya untuk

secara langsung terjun ke medan tempur.5

Aspek kurun yang penulis bicarakan mencakup akhir abad ke-19 hingga abad

ke-20. Dengan kata lain penulis akan memaparkan riwayat hidup Cut Nyak Dien

sebagai bentuk penyajian utama dalam tulisan ini. Oleh karena sejak belia ia sudah

bersentuhan dengan suasana persiapan perang, Penulis akan memulai dari titik ini. Di

samping itu, peristiwa-peristiwa besar lain yang berlangsung dalam perang Aceh juga

ikut disampaikan sebagai penghubung antara Cut Nyak Dien sebagai pribadi dengan

keadaan zamannya. Penekanan aspek kronologis dipahami pula sebagai penegasan

bahwa penelitian ini adalah penelitian sejarah.

Agar judul yang dibasa lebih terfokus, maka dirumuskan dua pertanyaan sebagai

berikut:

1. Bagaimana cara Cut Nyak Dien mengumpulkan pasukannya?

2. Bagaimana bentuk perlawanan yang ditunjukkan Cut Nyak Dien terhadap

kedudukan Belanda?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan tugas akhir ini mempunyai tujuan antara lain:

5 Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 42 dan 130.

Page 15: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

5

1. Mengetahui bagaimana Cut Nyak Dien mengumpulkan pasukannya saat

peristiwa perang Aceh berlangsung

2. Mengetahui bagaimana model perlawanan yang dilakukan Cut Nyak Dien

Selanjutnya, penelitian ini juga mempunyai beberapa manfaat yakni:

1. Menambah khazanah pengetahuan terkait keikutsertaan Cut Nyak Dien dalam

Perang Aceh

2. Menjadi inspirasi bagi lahirnya penelitian-penelitian atau karya-karya terkait

yang membahas tentang Cut Nyak Dien atau perang Aceh

3. Sebagai unsur pemenuhan meraih gelar sarjana dalam bidang sejarah

D. Tinjaun Literatur

Terdapat beberapa buku, laporan, atau catatan yang telah membahas Cut Nyak

Dien dalam perang Aceh. Salah satu buku penting yang banyak mengupas kehidupan

Cut Nyak Dien adalah suatu penceritaan tertulis yang ditulis oleh M.H. Szekly-Lulofs.

Penulis mendapatkan bukunya dengan judul Cut Nyak Dien Ratu Perang Aceh (terbit

2010). Buku ini adalah cetakan ulang dari buku serupa sebelumnya. Szekely-Lulofs

menekankan model bercerita yang romantis dan melankolis dari sosok Cut Nyak Dien,

hampir mendekati penulisan novel. Hal ini berbeda dengan maksud penulis yang ingin

mmebicarakan Cut Nyak Dien secara lebih kritis dalam konteks penelitian sejarah.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1981 sampai 1982

menerbitkan banyak buku mengenai pahlawan daerah, Cut Nyak Dien merupakan

salah satunya. Buku ini lebih menekankan pembahasan perempuan Aceh ini dalam

konteks geografis. Di beberapa tempat masih ditemukan penilaian subyektif

penulisannya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari keadaan zaman saat buku ini

diterbitkan, yakni penulisan sejarah yang lebih banyak menyorot aksi patriotisme

berlatar aksi-aksi militer. Dengan kata lain, buku ini lebih banyak terfokus pada

aktivitas Cut Nyak Dien ketika ikut dalam perang Aceh. Buku ini menjadi salah satu

Page 16: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

6

bahan bacaan penting dalam skripsi ini, namun sayang sekali penjelasannya belum

terlalu komprehensif. Hal ini tentu berbeda dengan maksud penulis yang ingin

menghadirkan sosok Cut Nyak Dien secara utuh dan menempatkan peristiwa Aceh

sebagai penyokong penjelasan mengenai asal-usul, keluarga atau Cut Nyak Dien

sendiri.6

Kemudian, buku lain yang membahas Cut Nyak Dien adalah tulisan M. Dien

Majid yang berjudul Catatan Pinggir Sejarah Aceh (terbit 2014). Buku ini berisi

beberapa kisah-kisah yang belum banyak tertulis dalam buku-buku mengenai perang

Aceh sebelumnya. Penulis buku ini memasukkan sumber arsip kolonial yakni catatan

perjalanan sekelompok pasukan Belanda dalam memburu pasukan Aceh. Hasilnya,

amat memuaskan, yakni suatu penceritaan yang mendetil. Sayang sekali, sumber

kolonial mengenai Cut Nyak Dien hanya disampaikan dalam halaman yang tidak

terlalu banyak, lebih sebagai pelengkap.7 Karya ini tentu saja berlainan dengan yang

akan ditulis dan berupaya menyorot kehidupan Cut Nyak Dien secara total dalam

perang Aceh, kemudian penelitian ini juga akan difokuskan hanya pada sosok Cut

Nyak Dien.

E. Kerangka Teori

Sebisa mungkin, penulis tidak hanya membatasi pembahasan hanya pada aspek

biografis, namun lebih menekankan pada Cut Nyak Dien sebagai agen dalam Perang

Aceh. Agen yang dimaksud adalah kondisi personal manusia dalam lingkungannya.

Tidak bisa dipungkiri, setiap manusia mempunyai tahapan yang berbeda baik dalam

konteks kekayaan, kepandaian, maupun keturunan. Faktor-faktor inilah yang banyak

menyokong seseorang menjadi pihak yang dihargai dalam kelompoknya.

6 Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1981-1982), hal. 45.

7 M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh:diplomasi pergerakan (Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia, 2014), hal. 269.

Page 17: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

7

Penulis tertarik untuk memperbincangkan Cut Nyak Dien dalam bingkai

heroisme atau kepahlawanan. Kepahlawanan adalah suatu unsur yang membentuk

sejarah. Sejarah memang dibentuk oleh manusia, namun tidak semua manusia dapat

membuat sejarah. Di antara sekian banyak manusia terdapat segelintir orang yang

digelari great man, atau orang besar. Jumlah mereka tidak banyak, mungkin hanya

satu atau dua dalam suatu komunitas atau masyarakat. Namun, suara mereka begitu

didengar sampai dapat menggerakkan pikiran serta aktivita orang-orang sekitarnya dan

mereka mengikuti apa yang si agen perintahkan.

Thomas Carlyle menyorot lebih dalam tentang kepahlawanan. Ia menyebutkan

bahwa yang perlu diperhatikan dalam melihat orang besar adalah apa yang ia lakukan

semasa lalu. Perlu juga diperhatikan alasan mengapa orang-orang di sekitarnya begitu

memujanya (hero-worship). Dalam hal ini, hubungan antarmanusia yang ia lakukan

tentu menjadi penyebab mengapa ia begitu dihargai di tengah kelompoknya.8

Beberapa ciri tersebut akan penulis gunakan untuk menelisik ketokohan Cut Nyak

Dien dalam perang Aceh.

F. Metode Penelitian

Ada beberapa tahap yang perlu dilakukan sebagai kelengkapan meneliti sejarah

perjuangan Cut Nyak Dien, yakni: heuristik (pengumpulan data), kritik

sumber,interpretasi, dan historiografi (penulisan sejarah).

Langkah pertama adalah pengumpulan sumber. Sumber penulisan sejarah Cut Nyak

Dien yang akan didapatkan umumnya berbentuk sumber tertulis. Hal ini juga sekaligus

menjadi ciri dari penelitian ini yang berhubungan dengan riset kepustakaan (library

research). Sumber mengenai penelitian ini banyak diperoleh dari Perpustakaan

Fakultas Adab dan Humaniora, Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

8 Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New York; Chelsea

House, 1983), hal. 1.

Page 18: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

8

Terdapat dua macam sumber dalam penelitian sejarah, sumber primer dan

sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang diproduksi sezaman dengan

kurun tema skripisi ini. Jika Cut Nyak Dien hidup mulai dari abad ke-19 hingga awal

abad ke-20, maka sumber primer adalah sumber yang diproduksi pada rentang waktu

tersebut. Adapun sumber sekunder diproduksi setelah kurun waktu setelah peristiwa

yang dialami Cut Nyak Dien atau bisa juga diartikan sumber yang diproduksi sejak

beberapa waktu setelah Cut Nyak Dien meninggal dunia.

Sumber primer bisa berbentuk buku, laporan, transkrip wawancara, ataupun

keterangan lisan dari aktor-aktor yang ditulis dan diketahui secara langsung oleh

pihak-pihak yang bersinggungan dengan peristiwa-peristiwa yang dialami Cut Nyak

Dien. Karena orang yang mengetahui hal tersebut kemungkinan besar sudah tidak ada

lagi, maka sumber penelitian yang digunakan banyak mengarah ke sumber tertulis.

Sedangkan bentuk sumber sekunder tidak jauh berbeda dengan sumber primer dari

segi sumber tertulis, namun akan berbeda dengan sumber lisan. Yang dikatakan

sebagai sumber sekunder, yakni ketika kita mewawancarai seseorang yang tidak

berhubungan langsung dengan peristiwa-peristiwa yang melingkupi Cut Nyak Dien.

Setelah mengumpulkan berbagai jenis sumber, maka langkah kedua adalah

kritik sumber. Dalam penelitian sejarah dikenal dua macam kritik sumber, yakni kritik

eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal berhubungan dengan otentisitas atau

originalitas suatu sumber sejarah. Beberapa aspek yang dapat diketahui adalah

menelisik kondisi fisik suatu sumber sejarah, mulai dari kertas, tanda tangan, cap,

bentuk tulisan, watermark (cap air), bentuk cetakan, dan lain-lain. Yang menjadi fokus

dari penelisikan itu adalah mengetahui apakah sumber ini benar diproduksi sekitar

masa Cut Nyak Dien hidup. Kemudian yang dimaksud dengan kritik internal adalah

berkaitan dengan informasi yang diterangkan dalam teks sumber. Adakah suatu

Page 19: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

9

kemiripan dengan informasi dari sumber lain, atau justru terdapat perbedaan. Hal-hal

semacam itu termasuk dalam kritik internal.9

Tahap selanjutnya adalah interpretasi. Interpretasi bisa dimaknai sebagai

menafsirkan suatu informasi yang terkandung dalam sumber sejarah sesuai dengan

kaidah tertentu. Penafsiran haruslah sesuai dengan konteks zaman dan kurun dari tema

yang dipilih. Maksud dari interpretasi ini adalah memberikan kebebasan kepada

sejarawan ataupun peneliti sejarah untuk merekonstruksi suatu pristiwa sejarah sesuai

dengan bukti-bukti ataupun analisa-analisa yang ia miliki. Antara satu peneliti dengan

peneliti yang lain boleh jadi berbeda dalam menafsirkan suatu peristiwa atau informasi

sejarah.10

Langkah terakhir dari proses penelitian ini adalah penulisan laporan sejarah atau

historiogafi. Dalam hal ini, penulisan skripsi termasuk dari penulisan laporan

sejarah.11

G. Sistemasika Penulisan

Penelitian ini akan disusun ke dalam lima bab yakni:

Bab pertama berisi pendahuluan, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, tinjauan literatur, kerangka teori, metode penelitian, dan

sistematika penulisan

Sedangkan bab kedua akan menyorot masalah kondisi sosial politik di Aceh

menginjak abad ke-19. Beberapa hal yang bisa disampaikan di sini adalah mengenai

kondisi Kesultanan Aceh yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahannya,

kondisi sosialnya, kondisi ekonominya, serta bagaimana hubungan yang terjalin antara

9 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta: Bentang, 1995) hal. 99-100; lihat juga

Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI Press, 2006) hal. 98-99

dan 112. 10

Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu ..., hal. 100. 11

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah (Tangerang: Logos Wacana Ilmu, 1999)

hal. 91-93.

Page 20: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

10

Sultan dengan penguasa bawahannya. Turut disampaikan pula mengenai uraian

kehidupan kampung Aceh dan daerah-daerah yang jauh dari ibukota Aceh

Darussalam.

Bab ketiga berisi biografi Cut Nyak Dien. Yang akan dibahas pada bab ini

antara lain mengenai keberadaan leluhur Cut Nyak Dien yang datang dari

Minangkabau kemudian memutuskan bermukim di Meulaboh. Turut diceritakan pula

mengenai bagaimana Cut Nyak Dien menghabiskan masa gadisnya hingga kemudian

menikah dengan Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar sepeninggal suami

pertamanya. Termasuk dalam bahasan bab ini adalah mengenai ketertarikan Cut Nyak

Dien untuk mempertahankan Aceh dari ancaman kolonialisme Belanda.

Selanjutnya bab keempat, menitiberatkan pada keterlibatan Cut Nyak Dien

dalam perang Aceh. Hal-hal yang dibahas antara lain mengenai bagaimana strategi Cut

Nyak Dien menghadapi Belanda, termasuk pula ketika Cut Nyak Dien memutuskan

bertahan di Aceh Tengah. Bagian ini juga ikut membahas peristiwa penangkapan Cut

Nyak Dien dan pembuangannya ke Sumedang.

Bab terakhir adalah bab penutup yang berisi kesimpulan.

Page 21: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

11

BAB II

KONDISI SOSIAL POLITIK MASYARAKAT ACEH ABAD XIX

A. Seputar Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh Darussalam merupakan salah satu Kerajaan besar yang berdiri

di Aceh. Hingga menyentuh abad ke-19, kerajaan ini masih mempunyai kharisma di

tengah masyarakat bawahannya. Ketika upaya kolonisasi Belanda berlangsung di

seantero wilayah Nusantara, Kerajaan Aceh masih belum terjamah orang Eropa

secara politik. Raja dan masyarakatnya masih hidup dalam kebebasan. Mereka masih

menjalankan aktivitas mereka sehari-hari tanpa gangguang orang Belanda.

Kerajaan Aceh terbagi dalam tiga bagian; daerah inti, daerah pokok dan

daerah takluk. Daerah inti mencakup wilayah tempat lokasi berdirinya bangunan

kerajaan yang kemudian menjadi ibukota Kerajaan, ditambah dengan beberapa

wilayah di dekatnya. 12

Daerah ini terdiri dari wilayah-wilayah yang termasuk Aceh

Besar. Sedangkan daerah pokok adalah wilayah-wilayah yang diduduki sejak

berdirinya Kerajaan Aceh. Daerah ini, pada perkembangannya, menggabungkan diri

dengan daerah inti, sehingga membentuk kerajaan Aceh yang lebih kokoh. Beberapa

daerah ini antara lain seperti: Pidie, Samudra, Pasai, Perlak, Tamiang, Gayo, Alas,

Daerah Barat (Meulaboh), Singkel, Teuruemon dan Barus.

Sedangkan yang dimaksud daerah takluk adalah kerajaan-kerajaan yang sudah

menyatakan ketundukkannya di bawah pemerintahan Kerajaan Aceh. Kerajaan atau

daerah ini tetap menjadi daerah yang merdeka, hanya saja dalam beberapa persoalan

harus mengikuti perintah dari Kerajaan Aceh, misalnya di bidang ekonomi dan

hubungan luar negeri. Antara daerah inti dengan daerah takluk belum pernah

mencapai suatu kesatuan, meskipun segala upaya telah ditempuh seperti

12

daerah kekuasaan adalah daerah Daya di Aceh Barat. Lihat Zakaria Ahmad, Sekitar

Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675 (Medan: Monora, 1972), hal. 85.

Page 22: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

12

melangsungkan perkawinan antardaerah dan pemindahan penduduk. Daerah-daerah

takluk tersebut antara lain: kerajaan Aru, Deli, Siak, Asahan, Tanjung Balai, Rokan

Kampar, Palembang dan Jambi13

, Inderapura, Nias, Johor, Pahang dan Pariaman. 14

Susunan pemerintahan Kerajaan Aceh, terentang dari kesatuan wilayah

terkecil hingga terbesar. Urutannya adalah: gampong (kampung), mukim (kumpulan

gampong-gampong), nanggroe atau sagoe (negeri dan sagi), yakni kumpulan

beberapa mukim serta daerah-daerah yang langsung di bawah pemerintahan

kesultanan yang disebut bibeueh.

Berikut adalah penjelasan masing-masing wilayah administratif tersebut:

1. Gampong (kampung)

Gampong merupakan wilayah administrasi terkecil dalam pemerintahan Kerajaan

Aceh. Gampong juga merupakan bagian dari suatu kota atau bandar.15

Model

pemerintahan gampong mempunyai kemiripan dengan desa di Jawa, dusun di

Sumatera Selatan, huta di Batak dan kampung di daerah-daerah Melayu lainnya.

Proses terbentuknya gampong tidak jauh berbeda dengan wilayah serupa yang ada di

bagian Indonesia lainnya.

Gampong terbentuk dari perpindahan penduduk dari tempat yang padat ke

tempat yang penduduknya masih sepi atau kosong. Dalam masyarakat Aceh dikenal

istilah seunebok. Istilah ini berhubungan dengan keberadaan suatu wilayah baru yang

baru dibuka oleh suatu kumpulan manusia yang berasal dari kampung-kampung yang

13

Dalam Beberapa hal tunduk pada Kerajaan Aceh. 14

D. G. E. Hall, A. History of South East Asia (London: Macmillan & co Ltd, 1960), hal. 257;

Slamet Muljono, Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Tumbuhnya Negara-negara Islam di

Nusantara (Djakarta: Bhatara, 1968) hal. 271; Untuk menambah penjelasan lihat B. Schrieke,

Indonesian Sociological Studies, part 2 ( The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1957), hal.

254; J. Khatiritamby Wells, “Acehnese Control over West Sumatra up to Treaty of Painan 1663,”

Journal of South East Asian History, vol. X, No. 3, December 1969, hal. 460. 15

Sutjipto Wirjosuparto, Sedjarah Indonesia, jilid 2 (t. tp: Indra, 1961); Th. W. Juynboll, The

Encyclopaedia of Islam, Vol. 1 (Leiden: E.J. Brill, 1960), hal. 740.

Page 23: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

13

penduduknya sudah padat atau mereka terpaksa keluar kampung asalnya karena

beragam alasan.

Pola penyebaran penduduk di Aceh tidak jauh berbeda dengan yang

ditemukan di wilayah Indonesia lainnya. Wilayah-wilayah yang mempunyai

penduduk padat biasanya terletak di dataran rendah yang bertanah subur. Orang-

orang Aceh lebih tertarik untuk mendiami kawasan yang tidak jauh dari pantai.

Bagian pedalaman Aceh masih banyak yang berupa hutan rimba atau pegunungan

yang masih jarang ditinggali orang, kecuali beberapa wilayah seperti Takengon, Aceh

Tengah.16

Pemukiman orang Aceh berdiri secara berkelompok. Letak antara rumah satu

dengan yang lainnya saling berdekatan. Setiap gampong biasanya terdiri atas 50

sampai 100 rumah. Di sini merupakan pusat kehidupan manusia. Dari sini mereka

menyebar ke laut maupun ke hutan atau perbukitan guna mencari kebutuhan

hidupnya.

Bangunan rumah orang Aceh biasanya sama. Bangunan berbentuk rumah

panggung berbentuk bujur sangkar yang memanjang dari Timur ke Barat, pintu

dengan tangga selalu dibuat menghadap ke Utara dan Selatan. Bentuk rumah

semacam ini kemungkinan mengambil inspirasi dari kisah masuknya Islam ke Aceh

karena rumah ini selain menjadi tempat tinggal juga kerap dijadikan tempat

besembahyang, terutama bagi wanita.

Bentuk rumah orang Aceh menyerupai rumah panggung. Rumah ini didirikan

di atas tiang kayu atau bambu. Tinggi rumah di atas permukaan tanah berkisar 2,5

meter sampai dengan 3 meter. Tujuan dari ditinggikannya rumah ini adalah untuk

menghindari gangguang hewan buas dan banjir. Atap rumah biasanya terbuat dari

16

Pada Pekan Kebudayaan Aceh tahun 1971, Takengon dianugerahi gelar sebagai kota teladan.

Page 24: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

14

daun-daun rumbia yang dianyam. Atap berbahan rumbia dapat bertahan hingga

mencapai 20 tahun.

Kehidupan gampong berlangsung secara rukun dan damai. Biasanya,

pernghuni rumah satu dengan yang lainnya masih berkerabat erat. Ini pula yang

menyebabkan rumah orang Aceh dibangun dengan berderet-deret. Jika diperhatikan

sepintas seperti bersatu, namun jika dipertegas terdapat dinding-dinding penghalang

satu rumah dengan rumah lainnya.

Rumah orang Aceh terbagi ke dalam beberapa rumah, yakni bagian depan,

bagian tengah dan bagian belakang. Ruang depan dan ruang tengah tidak memiliki

kamar, namun berupa satu ruang yang lapang. Ruang depan digunakan sebagai

tempat tidur anggota keluarga yang masih anak-anak dan remaja. Ruang ini juga

digunakan sebagai tempat tidur tamu. Dalam beberapa kesempatan seperti upacara

perkawinan dan kematian, ruang depan menjadi lokasi utamanya.

Letak ruang tengah agak tinggi di banding ruang depan dan ruang belakang.

Ruang ini merupakan inti dari bagian dalam rumah. Biasanya di ruang tengah

terdapat satu atau dua kamar yang digunakan untuk kepala keluarga. Barang pusaka

atau barang berharga lainnya tersimpan di kamar-kamar itu.17

Adapun ruang belakang

digunakan sebagai tempat memasak dan makan.

Dalam struktur gampong Aceh, terdapat tiga bagian penting yang perlu

dibahas lebih lanjut, antara lain:

a. Keucik

Di zaman dahulu, kepala kaum dipercaya menduduki kepala gampong. Di

tengah masyarakat ia biasa dipanggil panglima kaum atau keucik. Keucik merupakan

orang yang terpandang, tertua, dan disegani di antara penduduk gampong. Ia

17

Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan, 1971), hal. 232-234.

Page 25: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

15

bertindak sebagai pengatur pemerintahan sekaligus bertanggung jawab

mengupayakan kebaikan bagi wilayah pimpinannya.18

Ia menjadi pemimpin bagi

masyarakat dalam gampong-nya. Jabatan keucik biasanya berlaku turun temurun.

Meskipun begitu seorang yang bergelar keucik harus dengan sepengetahuan

uleebalang. Jika dalam pemerintahannya, seorang keucik melakukan kesalahan,

uleebalang bisa memecatnya.

Tugas utama seorang keucik adalah mengusahakan ketertiban, keamanan dan

penyelenggaraan ketentuan adat dalam gampong. Keucik adalah aktor penting yang

memotori persebaran kemakmuran dalam gampong. Ia akan menjadi hakim bagi

pihak yang bertikai. Ia menjadi penaggung jawab utama atas segala sesuatu yang

terjadi di gampong-nya. Kepercayaan dari uleebalang terhadap keucik adalah sesuatu

yang tidak bisa diabaikan. Seorang keucik harus bekerja mendahulukan orang banyak,

ketimbang kepentingan pribadi.19

Oleh karena pekerjaan seorang keucik mencakup banyak bidang, maka ini

berimbas pada pendapatan yang ia perolehnya. Sumber-sumber penghasilan keucik

antara lain dari:

1) Hak katib atau hak copeng, didapat setelah mengepalai upacara perkawinan.

Dari tugas ini keucik mendapatkan satu emas sebesar empat ringgit Aceh

2) Hak denda, walapun dalam ketentuan adat hasil denda termasuk hak

uleebalang, namun karena keucik ikut serta dalam proses penyelesaian

perkara denda itu, maka ia mendapatkan pula hadiah dari tugasnya itu

Umumnya, satu orang keucik memimpin satu gampong, namun pada prakteknya,

ditemukan satu keucik memimpin dua atau tiga gampong. Oleh sebab tugasnya yang

banyak dan beragam, seorang keucik diperkenankan menunjuk beberapa orang staf

18

Zaenuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Vol. 1 (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961), hal.

314. 19

Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 314; Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan ..., hal.

238.

Page 26: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

16

pembantunya atau yang dikenal dengan istilah waki. Waki terdiri atas beberapa pihak

antara lain teungku meunasah atau yang dikenal dengan sebutan imam rawatib dan

tuha peut yakni empat orang cerdik pandai. Staf-staf tersebut berperan seperti Badan

Pemerintah Harian (BPH).20

Adapun juru catat yang bertugas seperti sekretaris tidak

ada.21

b. Teungku Meunasah

Seorang yang pantas digelari teungku adalah orang yang menempati jabatan

keagamaan tertinggi atau orang yang mempunyai pemahaman hukum agama yang

mendalam. Setiap orang yang mempunyai kelebihan pemahaman agama berhak

menyandang gelar dan jabatan ini. Meskipun begitu, tidak mudah untuk menjadi

teungku meunasah. Ia diharuskan melewati ajang pemilihan yang diselenggarakan

oleh masyarakat. Jabatan ini tidak bisa diwariskan ke anak maupun cucu.

Teungku meunasah mendapat kebutuhan sehari-hari dari:

1) Pembagian sebagian zakat fitrah yang ditunaikan setiap Muslim pada bulan

Ramadhan

2) Sebagian zakat pertanian (padi) yang ditunaikan setelah masa panen.

Ketentuan zakat padi yang diterima oleh teungku meunasah sebesar 1/10

(sepersepuluh) dari zakat yang ditunaikan masyarakat

3) Hak copeng, yakni hadiah yang didapat setelah teungku meunasah

menikahkan pasangan pengantin yang penyelenggaraannya diserahkan

padanya. Hadiah ini sama besarnya dengan yang diterima oleh keucik

20

A. Hasjmi, Iskandar Muda Meukuta Alam (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hal. 74. 21

Anonim, “Mededeelingen Betreffende de Atjehsche onderhoorigheden”, Bijdragen Tot De

Taal-Land-en Volkenkunde Van Nederlandsch Indie (BKI), LXVII, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff,

1913, hal. 412-413; selanjutnya hanya ditulis BKI.

Page 27: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

17

4) Hak talkin, yakni hadiah yang didapat seusai teungku meunasah membacakan

talkin dalam suatu proses pemakaman.22

c. Tuha Peut (Empat Orang Cerdik Pandai)

Setiap gampong biasanya mempunyai sekumpulan orang-orang yang menjadi

para kaum tua di kampung itu. Di kalangan masyarakat Aceh, mereka dikenal pula

sebagai kaum cerdik pandai. Mereka bukan dipandang hanya dari segi umurnya yang

lanjut, namun juga pengalaman, pemahaman agama, serta kedalaman memahami adat

istiadat Aceh. Mereka dikenal dengan istilah Tuha Peut 23

(orang tua berjumlah

empat). Mereka juga merupakan wakil masyarakat dalam pemerintahan harian

gampong. Keberadaan mereka menempati peran sebagai penasehat keucik dan

teungku meunasah. Mereka turut dilibatkan dalam musyawarah kampung yang

membahas segala permasalahan sosial, seperti jalan rusak, pelaksanaan shalat Idul

Fitri atau Idul Adha, dan sebagainya. Keberadaan Tuha Peut menunjukkan dalam

struktur pemerintahan Aceh yang terkecil sekalipun sudah ada perwujudan

demokrasi, yakni pengakuan suara rakyat melalui para wakilnya.

2. Mukim

Mukim merupakan pemerintahan yang menempati wilayah yang lebih luas

dari gampong. Satu mukim terbentuk dari sekumpulan masyarakat yang tinggal di

gampong-gampong yang melaksanakan shalat Jumat dalam satu masjid. Mukim

merupakan kumpulan dari gampong-gampong. Kata mukim berasal dari bahasa Arab

muqimun yang artinya “menetap” atau “mendirikan”. Orang yang telah memiliki

rumah dan penghasilan yang tetap di suatu tempat dinamakan “orang yang telah

bermukim”.

22

A. Mukti Ali, An Introduction to the Government of Acheh’s Sultanate (Jogjakarta: Jajasan

Nida, 1970), hal. 13. 23

Snouck Hurgronje, De Atjehers, vol. 2 (Leiden: E.J. Brill, 1894), hal. 67; Koentjaraningrat,

Manusia dan Kebudayaan ..., hal. 238.

Page 28: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

18

Terbentuknya mukim tidak bisa dilepaskan dari sejarah awal kedatangan Islam

di Aceh. Sejak abad ke-13, telah berdiri suatu kerajaan besar bernama Samudera

Pasai. Seorang penjelajah Arab bernama Ibnu Batuta pernah mengunjungi Aceh pada

tahun 1345. Saat itu, ia melihat bahwa orang Islam di Aceh menganut mazhab

Syafi’i. Diceritakan pula bahwa Sultan Aceh sering menyelenggarakan diskusi para

ulama yang membahas aneka persoalan hukum agama dan masyarakat. Pihak istana

Aceh juga menyelenggarakan pengajian al-Qur’an setiap hari Jumat. Setiap hari

Jumat, Sultan Aceh berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jumat dengan

berjalan kaki.24

Dari keterangan Ibnu Batuta di atas diketahui bahwa masyarakat Aceh yang

berasal dari gampong-gampong melaksanakan shalat Jumat secara bersama-sama.

Ketika shalat Jumat didirikan dalam suatu masjid, maka itu merupakan bukti bahwa

mukim sudah terbentuk.

Pada perkembangannya, untuk memudahkan orang-orang melaksanaan shalat

Jumat, dibangunlah masjid yang posisinya berada tidak jauh dari gampong satu

dengan yang lainnya. 25

Selain sebagai tempat shalat berjamaah, masjid juga

berfungsi sebagai tempat pengadilan, tempat para ahli fiqih menekuni dan membahas

pelajaran dan permasalahan fiqih, al-Qur’an dan Hadis. Masjid juga digunakan

sebagai benteng dalam keadaan perang.26

Ketika masjid didirikan pada suatu tempat,

maka pusat pemerintahan mukim berdiri. Kepala mukim bertugas sebagai pengurus

masalah agama dan pemerintahan.27

Ia menjadi pemimpin bagi para keucik-keucik.

24

Entri “Ibnu Batutta” dalam A. Miquel, The Encyclopaedia of Islam, New edition, vol. III (H-

IRAM) (Leiden: E. J. Brill, 1971), hal. 735; Kenneth W. Morgan, Islam Djalan Mutlak, jilid 2, terj.

Abusalamah SS (Jakarta: P.T. Pembangunan, 1963), hal. 119; Abubakar Atjeh, Sekitar Masuknya

Islam di Indonesia (Semarang: C.V. Ramadhani, 1971), hal. 46-47. 25

Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 26

Ahmad Amin, Dhuha al-Islam, jilid 2 (Beirut: Dar al-Kitab al-Araby, 1964), hal. 42. 27

Zaenuddin Saleh, Sedjarah Indonesia, cet. III (Djakarta: Pustaka Dewata, 1952), hal. 170.

Page 29: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

19

Pemerintahan tingkat mukim dikepalai oleh seseorang yang menyandang

sebutan imeum. 28

Kata imeum berasal dari bahasa Arab, imam, yang artinya orang

yang diikuti atau pemimpin. Di masa-masa awal pendirian mukim, seorang imeum

bertugas mengimami shalat lima waktu dan shalat Jumat. Dalam beberapa kasus

disebutkan bahwa imeum juga pernah terlibat persaingan politik dengan uleebalang,

bahkan tidak jarang seorang imeum kemudian diangkat menjadi uleebalang. Pada

akhirnya peristiwa semacam itu mendorong jabatan imeum menjadi seseorang yang

bertugas pula mengurusi masalah pemerintahan suatu wilayah. Adapun tugas

mengimami shalat kemudian diserahkan kepada petugas khusus yang ditunjuk

imeum.29

Jabatan imeum baru dikenal masyarakat Aceh sejak agama Islam masuk ke

Aceh. Namun hingga kini, penulis belum mendapat sumber yang tegas menjelaskan

sejak masa kerajaan atau pemerintahan raja siapa jabatan tersebut mulai sebagai

salah satu instansi dalam struktur pemerintahan Aceh.

Seorang imeum bertugas menjalankan pemerintahan mukim dengan dibantu

oleh para staf-stafnya. Ia juga bertindak sebagai koordinator para keucik yang berada

dalam cakupan wilayahnya.

Awalnya, seorang yang diserahi kedudukan imeum adalah orang yang

mengerti secara mendalam masalah dan hukum agama Islam. Namun, setelah jabatan

itu diserahkan kepada petugas khusus, maka jabatan imeum diduduki oleh kalangan

cerdik pandai.30

Jabatan imeum berlaku secara turun temurun.

Untuk diketahui, susunan pegawai masjid terdiri atas seorang imam yang

mengimami shalat berjamaah 5 waktu dan shalat Jumat, seorang khatib yang bertugas

28

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien, Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj. Abdul Muis

(Jakarta: tanpa penerbit, 1954), hal. 11. 29

Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 30

Iljas Sutan Pamenan, Rentjong Atjeh di Tangan Wanita, stencilan untuk kursus B 1 Sejarah

(Jakarta: tanpa penerbit, 1959), hal. 89.

Page 30: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

20

memberikan khutbah dan seorang bilal atau muazzin (orang yang bertugas

mengumandangkan azan).31

Biasanya, penyebutan imeum dibarengi dengan tempat masjid di mana

lokasinya bertugas. Setiap mukim dipastikan mempunyai masjid. Beberapa masjid

yang bisa disebutkan antara lain:

a) Masjid Mukim XXII bertempat di Indrapura. Imeum-nya dipanggil Imeum

Indrapura;

b) Masjid Mukim XXV di Indrapurwa. Imeum-nya dipanggil Imeum

Indrapurwa;

c) Masjid Mukim XXVI di Indraputra. Imeum-nya dipanggil Imeum

Indraputra.

Di wilayah Pidie juga terdapat masjid yang telah ada sejak masa pemerintahan

Sultan Iskandar Muda yakni pada abad 17. Imeum-imeum selalu berada di atas para

kepala gampong atau keucik.32

3. Nanggroe dan Sagoe (Negeri dan Sagi)

Mukim bukanlah pemerintahan administrasi terbesar di Aceh. Di atas mukim

terdapat wilayah administrasi yang lebih luas, yang lebih dikenal dengan nanggroe.

Orang yang memegang kekuasaan atau suatu nanggroe disebut uleebalang.

Uleebalang yang ada di pemerintahan Aceh sama dengan ulubalang dalam bahasa

Sansekerta. Dalam bahasa Melayu, uleebalang disebut hulubalang yang artinya

kepala laskar. Berbeda dengan di Melayu, uleebalang di Aceh diberi wewenang

memerintah suatu wilayah sebagai kewajiban yang langsung diterima atau ditetapkan

oleh Sultan.

31

Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 89. 32

Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 87.

Page 31: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

21

Dalam pemahaman sehari-hari di Aceh, uleebalang dapat diartikan juga

sebagai raja. Dalam wilayahnya, uleebalang juga berperan sebagai hakim dan

panglima perang. Dalam beberapa kasus ada pula uleebalang yang pernah berselisih

dengan Sultan. Dikisahkan ada pula uleebalang yang bertempur melawan Sultan

Aceh. Umumnya, seorang uleebalang merasa kedudukannya sama dengan Sultan

Aceh dalam urusan pengaturan daerah masing-masing. Namun untuk masalah

hubungan luar daerah yang menyangkut kepentingan bersama, wewenangnya tetap

ada di tangan Sultan Aceh. Dalam hal-hal tertentu, uleebalang perlu meminta

persetujuan Sultan Aceh ditandai dengan pembubuhan cap sembilan pada surat untuk

uleebalang.33

Wilayah-wilayah yang berada di luar wilayah inti kerajaan Aceh menyandang

status sebagai wilayah yang bebas dan merdeka. Yang termasuk dalam status ini

seperti: penguasa pelabuhan, penguasa kebun dan raja-raja kecil lainnya. Mereka

memimpin lembaga atau wilayahnya sesuai dengan keinginan mereka sendiri.

Mereka mempunyai gelar yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang

menyandang gelar Sultan, Syahbandar dan lain-lain. Setelah pada suatu masa Sultan

Aceh menaklukkan wilayah-wilayah mereka, maka kedudukan dan tata cara

pemerintahan mereka disamakan dengan nanggroe. Hal berbeda diperuntukkan bagi

pemimpin Gayo dan Alas, mereka tidak menyandang gelar uleebalang, melainkan

disebut kejurun. Mereka semua masih mengakui kekuasaan Sultan Aceh atas negeri

mereka.34

Jabatan uleebalang hanya diperuntukkan bagi bangsawan. Hal ini dikarenakan

jabatan ini bersifat turun temurun. Dalam kesehariannya, seorang uleebalang lebih

33

Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 2 ..., hal. 5. 34

Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441.

Page 32: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

22

sering disebut teuku ampon. Keluarga uleebalang berikut keturunannya berhak

menyandang gelar teuku di depan namanya.35

Walaupun pada praktiknya kedudukan uleebalang bisa diwariskan secara

turun-temurun, namun merujuk kepada Adat Meukuta Alam, tetap harus

membutuhkan surat pengangkatan yang dicap oleh Sultan Aceh. Surat penetapan itu

berisi beberapa ketentuan, antara lain:

a. Sultan telah memberi jabatan uleebalang kepada pihak yang berkepentingan;

b. Uleebalang akan menjadi wakil Sultan dalam menjalankan tugas seperti

menerima wase (upeti), pengaturan perdagangan laut maupun darat

c. Uleebalang diharuskan memperhatikan pembangunan negerinya. Ia

bertanggungjawab membangun jalan, masjid, meunasah serta memperbaiki

fasilitas umum yang telah rusak.36

Sebagai bukti bahwa Sultan Aceh sudah memberikan kuasa atas uleebalang,

maka sang uleebalang akan mendapat surat Sultan Aceh yang dibubuhi materai

kerajaan atau cap halilintar.37

Setelah upacara pengangkatan uleebalang selesai,

biasanya akan diiringi dengan bunyi tembakan meriam sebanyak tujuh kali.

Wilayah pemerintahan uleebalang bersifat otonom (dipimpin berdasarkan

keinginannya sendiri tanpa ada ikut campur tangan penguasa lain). Ia bebas

memberlakukan kebijakan tanpa campur tangan Sultan Aceh. Wewenangnya meliputi

berbagai hal seperti melakukan pembangunan, membuka perkebunan, memperluas

persawahan, perikanan, perternakan, dan lain-lain yang bertujuan memakmurkan

rakyat dan negerinya. Rakyat diberi kebebasan membuka lahan sawah atau kebun.

35

Snouck Hurgronje, The Atjehers, Vol. 1 (Leiden: E.J. Brill, 1893), hal. 75. 36

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Daerah

Istimewa Atjeh, 1970), hal. 206-207. 37

L.W.C. Van den Berg, “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch Indie”, BKI, LIII,

s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1901, hal. 18.

Page 33: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

23

Pada periode yang sudah ditentukan, lahan itu bisa menjadi milik pribadi dengan

syarat mengeluarkan sejumlah biaya yang sudah ditentukan uleebalang.38

Adapun tugas pokok uleebalang di antaranya:

a. Menjaga negeri;

b. Melaksanakan perintah Sultan untuk menangkap pihak-pihak yang telah

melanggar keputusan hukum atau adat;

c. Membentuk laskar (angkatan perang) yang dapat digunakan sewaktu

dibutuhkan dan sebagainya.39

Ketetapan satu ke-uleebalang-an adalah kumpulan dari mukim-mukim hanya

bertahan sampai dengan masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Safiatuddin

(memeritah 1641-1675). Meskipun begitu, kumpulan mukim-mukim (nanggroe)

tetap masih dugunakan, hanya namanya saja yang berubah, utamanya di sekitar

wilayah inti Kerajaan Aceh. Namanya berganti menjadi sagoe (sagi) atau kesagian.

Perubahan penyebutan nanggroe menjadi sagoe dilatarbelakangi oleh

peristiwa perebutan tahta kerajaan setelah habisnya masa pemerintahan Sultanah

Safiatuddin Tajul Alam. Antara para pejabat dan keluarga kerajaan terjadi pertikaian

yang sulit diurai. Untuk mengatasi permasalahan itu, maka diangkatlah Ratu Nurul

Nakiatuddin (1675-1677) sebagai Sultanah atau Ratu Aceh. di masanyalah

diperkenalkan tiga orang pengurus wilayah inti Aceh yang dikenal sebagai tiga

panglima. Sejak saat itulah, menurut para sejarawan, tiga kesagian

terbentuk.40

Panglima Sagi bertanggung jawab langsung kepada Sultan. Kedudukan

mereka sebelumnya dipegang oleh para uleebalang.

Setiap sagi terdiri atas beberapa mukim. Kumpulan dari mukim-mukim itu

diperintah oleh seseorang yang disebut panglima sagi atau panglima sagoe. Dalam

38

Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 415. 39

Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hal. 334. 40

Moh. Said, Aceh Sepanjang Abad Vol. 1 (Medan: Waspada, 1961) hal. 209.

Page 34: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

24

sagi XXV terdapat IX mukim, VI Mukim, IV Mukim dan Meuraksa. Di sagi XXVI

terdiri dari IX mukim Tungkop, Mukim Siem, Mukim Kayoe Adang, Mukim Oleh

Karang dan Mukim Ateun. Demikian halnya dengan sagi XXII mempunyai wilayah

mukim-mukim tersendiri.41

Dari pembagian ini dapat diketahui bahwa nama sagi

ditentukan berdasarkan jumlah mukim yang berada di bawah tanggung jawab suatu

panglima sagi.

Terciptanya sistem kesagian membuat beberapa kalangan tertarik untuk

mengomentarinya. Thomas Braddel menyebutkan bahwa terciptanya tiga sagi sebagai

“kemajuan dari dalam” Istana Aceh (a proof of internal improvement). Bentuk

kemajuan ini bisa dilihat dari kemajuan konstitusional yang memayungi para

penglima sagi dalam menata dan memimpin mukim-mukim di bawahnya.42

Selanjutnya, disebutkan bahwa sebelum bangsa Eropa mengenal sistem demokrasi,

kesultanan Aceh sudah terlebih dahulu menerapkannya.

Van Langen mengatakan bahwa tujuan pembentukan tiga sagi adalah untuk

memperteguh posisi Sultan di mata para bangsawan dan orang besar Aceh. Ini

merupakan solusi karena di masa sebelum Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin,

kesultanan Aceh hampir terancam karena pertikaian antarkeluarga dan bangsawan

kerajaan.43

Di kemudian hari, jabatan panglima sagi dapat dijalankan dengan baik.

Seorang panglima sagi mendapat penghasilan sesuai dengan pekerjaannya. Beberapa

sumber penghidupannya antara lain dari:

a. Jiname44

sebanyak 500 ringgit perak yang didapat dari Sultan;

41

Eigen Haard, Album Atjeh, Uitgaven de Naamlooze Vennotschap, Amsterdam, 1898, hlm.

31; Th. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam ..., hal. 441. 42

Thomas Braddell, “On the History of Acheen”, The Journal of the Indian Archipelago and

Eastern Asia (JIAEA), No. V, 1851, hal. 21. 43

Thomas Braddel “On the History ...”, hal. 22; Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hal. 209-211. 44

Uang penghargaan pada orang yang baru dilantik menjadi panglima sagi.

Page 35: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

25

b. Uang denda dari bermacam-macam perkara hukum;

c. Sebagian dari harga penjualan sawah yang biasanya berjumlah 1/100 dari

harga sawah itu;

d. Sebagian dari peninggalan harta pusaka, biasanya berjumlah 10 %;

e. Uang pajak pasar yang diambil dari orang-orang yang menjajakan barang

dagangannya di pasar

f. Uang bea masuk yang diambil dari barang-barang orang asing sebanyak 5%.

sedangkan penduduk bumi hanya dikenakan 2.5 %.45

4. Daerah Kerajaan atau Kesultanan

Dalam penyelenggaraan pemerintahan Kerajaan Aceh terdapat beberapa

daerah yang langsung diperintah oleh Sultan. Daerah-daerah itu dikenal dengan

istilah daerah bibeueh (daerah bebas).

Daerah bibeuh mempunyai bentuk pemerintahan yang berbeda-beda. Ada

yang berbentuk nanggroe yang sebagian besar berlokasi di sekitar Aceh Besar, ada

pula yang berbentuk mukim atau gampong, namun untuk bentuk ini jumlahnya tidak

banyak. Adapun gampong-gampong yang termasuk langsung berada di bawah

kekuasaan Sultan, menurut Zainuddin, antara lain:

a. Gampong Kandang, tempat tinggal para hamba raja

b. Gampong Meureuduwati, tempat tinggal pegawai kerajaan

c. Gampong Jawa atau Gampong Kedah, tempat tinggal para saudagar asing

d. Gampong Pante Pirak Neusu, tempat tinggal para sipai atau tentara Sultan.46

45

A. Mukti Ali, An Introduction to The Government of Acheh’s Sultanate (Jogjakarta: Jajasan

Nida, 1970), hal. 17. 46

Zaenuddin, Tarich Atjeh ..., hlm. 331-332; Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 208.

Page 36: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

26

Wilayah kediaman Sultan merupakan daerah yang paling istimewa di segenap

wilayah Aceh Darussalam. Sekitar daerah ini dibangun benteng dan istana. Selain

Sultan, pihak yang juga mendiami daerah ini adalah orang-orang asing, pegawai dan

lain-lain.

Pada perkembangannya, terdapat gampong yang dianggap berjasa kepada

Sultan. Gampong semacam ini ada yang mendapat anugerah dan penghormatan yakni

status wilayahnya ditetapkan menjadi wilayah di bawah pemerintahan Sultan.

Pusat dari seluruh pemerintahan Aceh berada di tangan Sultan atau Syah

Alam. Dilihat dari akar katanya, “sultan” berasal dari bahasa Arab “sulthanun” atau

“sulthan” yang artinya raja. Sartono Kartodirdjo menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan raja adalah orang yang mampu bertugas menyatukan kekuasaan tinggi,

menyatukan beragam lambang yang dianggap magis dan mistis, menyatukan

perlengkapan penyelenggaraaan pemerintahan kerajaan dan kekuasaan.47

Masyarakat

Aceh memanggil Sultan dengan gelar “Raja Aceh”.48

Sedangkan keturunannya

menggunakan gelar “Tuanku”.

Menurut Adat Meukuta Alam, syarat-syarat menjadi raja antara lain:

a. merdeka;

b. dewasa;

c. mengetahui hukum dan adat Aceh;

d. adil;

e. pandai memerintah dan berperang;

f. cerdas, sehingga masyarakat percaya bahwa rajanya mampu dan bijaksana

menjalankan hukum dan adat.49

47

Sartono Kartodirdjo, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisionil dan Kolonial, (Jogjakarta:

Fak. Sastra, Univ. Gadjah Mada, 1969), hal. 13. 48

Snouck Hurgronje, De Atjehers, Vol. I ..., hal. 125. 49

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 209.

Page 37: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

27

Dalam tugas-tugas hariannya, Sultan dibantu oleh beberapa pegawai tinggi, di

antaranya adalah Qadi Malikul Adil yang mengepalai Mahkamah Hukum Islam. Ia

bertugas mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan beragama50

. Di

samping itu, ada Laksamana yang berkantor di Balai Laksamana. Orang yang diserahi

jabatan ini bertugas mengatur masalah-masalah yang berkaitan dengan kemiliteran

atau ketentaraan, baik yang berlatar angkatan laut maupun angkatan darat. Di

samping itu, adapula jabatan Menteri Dirham yang mempunyai wewenang mengatur

keuangan. 51

Seluruh pejabat tinggi ini bertanggung jawab langsung kepada Sultan.

B. Kondisi Politik Aceh

Sekitar tahun 1870-an, menjelang pecahnya perang Aceh, tampuk kekuasaan

Aceh berada di tangan Sultan Mahmud Syah. Ia dibantu oleh seorang mangkubumi

(penasehat tinggi) bernama Habib Abdurrahman az-Zahir. Seorang mangkubumi

membawahi empat orang pejabat tinggi yang dikenal dengan menteri hari-hari.

Tugas mereka adalah memberikan pandangan serta nasehat kepada raja. Kedudukan

menteri hari-hari masih berada di bawah panglima sagi.52

Selain beberapa jabatan yang dibahas di atas, masih ada beberapa jabatan

yang bernaung di bawah kesultanan Aceh. Menginjak abad ke-19, jabatan-jabatan di

kerajaan Aceh itu hanyalah sekedar nama. Di masa ketika Cut Nyak Dien hidup,

wewenang pemerintahan tertinggi tidak lagi berada di tangan Sultan, melainkan di

tangan para panglima sagi yang menjadi pemimpin atas wilayahnya masing-masing.

Antara satu panglima dan panglima lain sering berselisih, bahkan tidak jarang

pertikaian mereka berujung pada perang saudara. Dampak dari pertengkaran sesama

50

A.K. Dasgupta, Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600-1641, (disertasi), Cornell

University, 1962, hal. 87. 51

A.H. Hill, “Hikajat Radja-radja Pasai,” Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic

Society (JMBRAS), XXXIII, past 2, 1960, hal. 30. 52

C. van Vollenhoven, Het Adat Recht van Nederlandsch Indie, deel I (Leiden: tanpa penerbit,

1931), hal. 163.

Page 38: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

28

pemimpin Aceh ikut membuka peluang bagi kekuatan di luar Aceh untuk datang dan

berpeluang menguasai Aceh.

Di masa Cut Nyak Dien, bisa dikatakan, kesultanan Aceh tidak lagi

mempunyai beragam keunggulan sebagaimana yang ditemukan pada abad ke-17.

Abad ke-19, adalah masa di mana kekuatan asing Eropa datang untuk menundukkan

Aceh. Ini merupakan suatu keadaan yang belum dijumpai di masa sebelumnya.

Meskipun demikian, Cut Nyak Dien, maupun masyarakat Aceh secara umum,

utamanya yang tinggal di pesisir Aceh sebelah utara, sudah memahami bahwa suatu

saat negeri mereka akan mendapat ancaman dari kekuatan kolonial Belanda yang di

masa itu yang sedang gencar menanamkan pengaruhnya di Nusantara. Untuk itu,

beberapa persiapan sudah mulai dilakukan.

Musuh yang ada di depan mata, ternyata tidak direspon secara serius oleh

beberapa gelintir elit kerajaan. Tidak jarang, di antara para pemuka masyarakat masih

dijumpai pertikaian yang mencederai wibawa kerajaan di mata masyarakatnya. Cut

Nyak Dien amat menyayangkan ayahnya, Teuku Nanta Setia, ketika pada satu ketika

ayahnya bergabung dengan segolongan pemimpin Aceh yang melancarkan kritik

kepada Habib Abdurrahman Az-Zahir, penasehat Sultan Aceh yang di kemudian hari

mengangkat diri sebagai penguasa pengganti Sultan Aceh terpilih, Sultan Alaiddin

Mahmud Syah yang ketika awal penobatannya, usianya masih belia.

Habib Abdurrahman Az-Zahir merupakan pendatang di Kesultanan Aceh. Di

awal kedatangannya, ia mengaku kepada Sultan dan segenap pejabat istana Aceh

bahwa kedatangannya adalah selaku utusan dari Sultan Turki untuk membantu

persiapan Aceh ketika suatu saat kerajaan ini akan berhadapan dengan pasukan

Belanda. Belakangan, sebagian pemimpin Aceh mulai tidak menyukai kehadiran

Habib Abdurrahman di istana yang menurut mereka dirinya giat melakukan

Page 39: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

29

penanaman kekuasaan politik pribadi atas Kesultanan Aceh. Satu di antara pemimpin

Aceh yang tidak menyukai Habib Abdurrahman adalah ayah Cut Nyak Dien.

Teuku Nanta Setia dan beberapa pemimpin Aceh yang segagasan dengannya

memilih untuk mendukung Panglima Tibang. Panglima Tibang merupakan

syahbandar Aceh yang oleh golongan yang tidak menyukaianya, dianggap sebagai

pihak yang ingin menjual Kerajaan Aceh kepada Belanda. Cut Nyak Dien

menyayangkan mengapa pertikaian semacam ini terjadi.53

Beruntung, perbedaan cara

pandang politik yang menguat di antara pemimpin Aceh saat itu tidak sampai

berakhir dengan perang saudara.

Di lain kesempatan, ketimbang larut dalam pertikaian, para pemimpin Aceh

yang lain lebih memilih mempersiapkan diri menyongsong kedatangan Belanda.

Beberapa dari mereka sibuk menempatkan pasukan di sejumlah kebun-kebun yang

hasilnya mempunyai nilai yang tinggi di pasar luar negeri. Mereka menyadari,

Belanda merupakan bangsa yang gemar sekali mencari sumber rempah-rempah atau

komoditas negeri-negeri Timur yang kemudian dikapalkan dan dipasarkan ke Eropa.

Hasil keuntungannya akan masuk ke kas Kerajaan Belanda dan sebagian dari itu akan

digunakan Belanda untuk melakukan penaklukan ke sejumlah wilayah di Nusantara.

Di abad 19, orang Aceh membagi wilayah Aceh ke dalam 4 wilayah, sebagaimana

yang diterangkan oleh James T. Siegel:54

The Atjehnese divide Atjeh into four region-Atjeh proper, Pidie, the East

(Timo), and the West (Barat). These division correspond the ecological

realities. Atjeh proper, the area in which the sultan had his capital, is at

53

Szekely Lulofs, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu, 2010),

hal. 52. 54

James T. Siegel, The Rope of God (Barkeley and Los Angeles: University of California

Press, 1969), hal.12-14.

Page 40: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

30

the very tip of Sumatra. It is bisected lengthwise by the Atjeh River and

is flanked by mountains. In the narrow river valley people live chiefly by

growing rice, although some Atjehnese tend cattle on the mountain

slopes. The sultan’s capital was situated near the mouth of the river.

Pidie, on the coast to the east and south of Atjeh proper, was the site of

an independent kingdom until it was conquered by the sultan of Atjeh in

the sixteenth century. Pidie was the greatest rice-producing area of

Atjeh. Here, in abroad plain ringed by mountains and intersected by

three river flowing into the Strait of Malacca, is a very old (300 years?)

irrigation system. Pidie with an area of only 4,000 square kilometers,

was broken up into principalities which were nominally subject to the

sultan.

Most of the rest of Atjeh, the West and the East, was settled by people

from Pidie and Atjeh proper. These were the areas of the pepper

gardens, Atjeh’s most important product until the 1920s. Here the local

principalities ran perpendicular to the coast and had rivers for the axis

rather than being fragmented as Pidie was. In the East and the West, the

coasts tend to be either marshy or montainous, with few of fertile plain

areas that are found in Pidie. These regions were considerably less

populated than Pidie or the Atjeh River valley : according to the 1930

census, the rice areas of Pidie, for example, had 132 persons per square

kilometer, as opposed to approximately 35 persons per aquare

kilometerin the East (Dept. Van Economische Zaken, 1935: 156).

Generally, settlement follows the rim of Sumatra, penetrating inland

where river permit access. The mountains are mostly unpopulated

except around the great volcanic lake, Laut Tawar, where the Gajo live,

and the region to the south of them which is the home of the Alas people.

Page 41: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

31

Artinya:

Orang Aceh membagi Aceh ke dalam empat bagian- Aceh yang

sebenarnya (Aceh pokok, sekarang masuk dalam Aceh Besar), Pidie,

bagian Timur (Timo) dan barat (Barat). Bagian-bagian ini mewakili

wawasan lingkungan setempat. Wilayah Aceh sebenarnya(Aceh Pokok),

yang di dalamnya terdapat ibukota Sultan, merupakan ujung dari

Sumatra. Di tengah Daerah ini mengalir sungai Aceh dan di kanan kiri

diapit oleh pegunungan. Di bagian sempit sisi lembah sungai, banyak

orang yang menanam padi. Orang Aceh lainnya juga ada yang beternak

di lereng pegunungan. Ibukota sultan terletak di hilir sungai tersebut.

Pidie, wilayah yang terhampar dari pesisir hingga ke arah timur dan

selatan daerah Aceh pokok, merupakan tempat berdirinya suatu kerajaan

independen, sampai dikuasainya kerajaan ini oleh Sultan Aceh pada

abad 16. Pidie merupakan wilayah penghasil beras terbesar di Aceh. Di

sini terdapat suatu dataran luas yang dikelilingi oleh pegunungan dan

dialiri oleh tiga aliran sungai yang bermuara di selat Malaka, yang

merupakan sistem irigasi tertua (berumur 300 tahun?). Pidie, yang

memiliki luas area seluas 4,000 km, kemudian terpecah menjadi

beberapa kerajaan kecil yang tunduk di bawah kekuasaan Sultan Aceh.

Kebanyakan dari wilayah pemukiman di Aceh, yakni terletak di Timur

dan Barat, ditempati oleh orang-orang dari Pidie dan Aceh Pokok.

Wilayah ini juga dikenal sebagai lokasi perkebunan rempah-rempah

terpenting Aceh hingga mendekati tahun 1920-an. Di sini banyak

dijumpai kerajaan-kerajaan kecil hingga sampai di pesisir. Di antara

mereka juga banyak yang menggunakan sungai sebagai perangkat

penting kekuasaannya. Hal yang sama juga banyak dijumpai di Pidie.

Di bagian Barat dan Timur wilayah ini, garis pantainya dipenuhi pula

Page 42: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

32

dengan rawa-rawa dan pegunungan, di samping pula ada beberapa

tempat yang tanahnya subur, sama dengan yang ditemukan di Pidie.

Daerah ini memiliki tingkat penduduk terendah jika dibandingkan

dengan Pidie dan lembah sungai Aceh. Merujuk pada sensus 1930,

wilayah pertanian padi di Pidie, sebagai contoh, didiami oleh 132 orang

setiap kilometernya, sedangkan di Timur hanya didiami oleh sekitar 35

orang per kilometernya (data ini didapat dari Departemen Urusan

Ekonomi Kolonial Belanda). Secara umum, wilayah pemukiman berada

di areal pinggiran (pesisir) Sumatra. Kemudian, baru akan meluas jika

terdapat jalur sungai yang menuju ke pedalaman. Wilayah pegunungan

masih belum didiami manusia, kecuali di sekitar danau vulkanik, Laut

Tawar, tempat hidup masyarakat Gayo dan di sebelah selatannya

merupakan tempat tinggal penduduk Alas.

Page 43: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

33

BAB III

BIOGRAFI CUT NYAK DIEN

A. Leluhur Cut Nyak Dien

Sebenarnya, Cut Nyak Dien bukanlah seseorang yang asli Aceh. Di dalam

tubuhnya mengalir darah Minangkabau yang berasal dari kakek buyutnya, Datuk

Makhdum Sati yang berasal dari Minangkabau. Kakeknya merupakan salah satu

pembangun awal pemukiman di Meulaboh. Sebelum kedatangannya, Meulaboh tidak

lebih dari tanah luas yang di atasnya tumbuh hutan belantara. Bersama dengan orang

Minangkabau yang menyertainya ditambah dengan penduduk sekitar hutan itu, Datuk

Makhdum Sati mulai membangun wilayah yang nantinya menjadi Meulaboh, sedikit

demi sedikit.

Meulaboh, tempat kelahiran Cut Nyak Dien, berasal dari kata “melaboh” yang

artinya berlabuh. Penamaan tempat ini tidak bisa dilepaskan dari cerita kedatangan

Datuk Makhdum Sati ke lokasi yang kemudian bernama Meulaboh. Diceritakan

bahwa sewaktu dekat dengan wilayah yang akan menjadi Meulaboh, Datuk

Makhdum Sati berkata sambil menunjuk suatu pesisir: “Disikolah kito melaboh”.

Kemudian, iring-iringan pendatang Minangkabau pun merapatkan kapal mereka di

tempat yang ditunjuk Datuk Makhdum Sati. Merujuk pada keterangan Hoesein

Djajadiningrat, “melaboh” berarti melempar jangkar.55

Sedangkan menurut Moh.

Zain, “laboh” berarti kapal yang menurunkan sauh pertanda akan berhenti.56

Penamaan Meulaboh yang berasal dari bahasa Minangkabau diperkuat oleh

fakta lain bahwa bahasa Aceh yang ada di Melaboh menggunakan dialek

Minangkabau. Untuk diketahui, tidak semua wilayah yang termasuk bawahan Sultan

Aceh atau wilayah yang menyatakan tunduk kepadanya berbahasa Aceh yang sama.

55

Hoesein Djajaningrat, Atjehsch Nederlansch Woordenboek, Vol. I ( Batavia: Landrukkerij,

1934) hlm. 848; lihat pula jilid II buku ini hal. 63. 56

St. Moh. Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Grafika, tanpa tahun) hal. 407.

Page 44: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

34

Selain Meulaboh, masyarakat Aceh Selatan dan Aceh Barat juga menggunakan

bahasa Aceh berlogat Minangkabau. Wilayah lain seperti Aceh Tamiang mempunyai

dialek lain, yakni dialek Melayu.57

Sudah menjadi kebiasaan orang Minangkabau, jikalau sampai pada usia yang

cukup, kaum laki-lakinya merantau ke wilayah lain. Datuk Makhdum Sati termasuk

pula yang demikian. Awalnya, ia mendengar bahwa di Aceh terdapat sungai yang

alirannya membawa emas dari pegunungan. Hal ini yang menjadi pendorong leluhur

Cut Nyak Dien ini untuk pergi ke Aceh. Keputusan ini juga diikuti oleh beberapa

orang Minangkabau lain yang juga tertarik ingin mendapat penghidupan yang baru di

Aceh. Menurut keterangan H.M. Zainuddin, beberapa nama orang Minangkabau yang

mencapai Meulaboh adalah:

1. Datuk Makhdum Sati dari Rawa;

2. Datuk Daya Agam dari Luhak Agam;

3. Datuk Raja Alam Song-song Buluh dari Sampur.

Datuk Makhdum Sati dan orang Minangkabau lainnya membuka lahan di

sekitar wilayah yang nantinya menjadi Meulaboh dengan giat. Ketika masa awal,

daerah ini belum bernama Meulaboh. Orang Minangkabau mulai membabat hutan

kemudian menggantinya dengan bercocok tanam dan berladang. Seiring berjalannya

waktu, wilayah ini menjadi maju pesat berkat hasil tanamannya. Masyarakat

pendatang di sana pun mulai menikmati hasilnya. Perlahan wilayah ini menjadi

sejahtera dan sejak saat itu wilayah ini dikenal sebagai Meulaboh.58

M.H. Szekely-Lulofs, seorang wanita Belanda yang pernah berjumpa dengan

Cut Nyak Dien, mengatakan bahwa Cut Nyak Dien merupakan keturunan orang

57

Entri “Atjeh” lihat Th. W. Juynboll, The Encyclopaedia of Islam, Vol I (Leiden: E.J. Brill,

1960), hal. 740. 58

H. M. Zaenuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I (Medan: Pustaka Iskandar Muda,

1961), hal. 211.

Page 45: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

35

Minangkabau yang bernama Datuk Makhdum Sati. Leluhurnya ini merantau ke Aceh

dan pernah berdiam di dekat sungai Woyla. Makhdum Sati mempunyai putra

bernama Nanta Cih. Setelah membangun rumah tangga, Nanta Cih mempunyai putra

bernama Nanta Setia. Nanta Setia inilah yang merupakan ayah Cut Nyak Dien.59

Hazil dalam bukunya Kenang-Kenangan Srikandi Tjut Nja Dien juga menegaskan

bahwa Cut Nyak Dien merupakan anak Teuku Nanta Setia.60

Sudah disinggung sedikit di paragraf sebelumnya bahwa kedatangan Makdum

Sati dan orang Minangkabau lainnya didorong oleh semangat mencari penghidupan

yang lebih layak. Menurut kisah yang beredar di Minangkabau, di Aceh mengalir

sungai-sungai yang mengandung serbuk-serbuk emas dari pegunungan. Kabarnya,

sungai-sungai itu terletak di wilayah pesisir hingga pegunungan sekitar Meulaboh

Timur.61

Ketika Makhdum Sati sampai di daerah yang akan menjadi Meulaboh,

penduduk asli di kawasan tersebut masih primitif dan menyembah berhala. Dalam

bahasa setempat, penduduk primitif ini dinamakan orang Mantir.

Dalam kepercayaan masyarakat Aceh, emas tidak hanya dianggap sebatas

logam mulia yang bernilai tinggi, melainkan juga sebagai benda yang mempunyai

kandungan spiritualitas tertentu. Orang Aceh sering menggunakan emas sebagai

benda gaib tempat datangnya suatu perlindungan. Sering dijumpai, seorang Aceh

menggantungkan sepotong kecil emas di tubuh anak kecil atau bayi agar semangatnya

untuk belajar bergerak tidak menurun. Orang Aceh juga senang menerima warisan

emas dari orang kaya yang telah meninggal. Perhiasan itu diyakini dapat

mendatangkan kekayaan bagi penggunanya. Ketika seseorang ingin menghadap

seorang pembesar, uleebalang atau imam mukim misalnya, untuk menigkatkan

kepercayaan dirinya maka ia akan mengenakan emas. Emas diyakini dapat

59

M. H. Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien; Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj. dan saduran

Abdoel Muis Chailan Sjamsu (Djakarta: tanpa penerbit, 1954), hal. 7-10. 60

Hazil, Teuku Umar dan Tjut Nja Din; Sepasang Pahlawan Atjeh (Djakarta: Djambatan,

1955), Cet. II, hal. 44-47; Panitia Peringatan al-Marhumah Srikandi Tjut Njak Dien, Kenang-kenangan

Srikandi Tjut Njak Dien, 1956, hal. 13. 61

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 7-10; Hazil, Teuku Umar ..., hal. 44 -47.

Page 46: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

36

mendatangkan kewibawaan, sehingga melahirkan suatu dorongan untuk bertindak

layaknya orang yang istimewa di depan para pemimpinnya.62

Sebelum menginjakkan kaki ke Aceh, Makhdum Sati memang sudah dikenal

orang-orang di lingkungannya sebagai orang yang gemar berpetualang. Hasratanya

ini kembali dibuktikkan ketika ia memutuskan berangkat ke Aceh. Sebelumnya, ia

dan kawan-kawannya telah menyiapkan dua belas perahu layar yang ditempatkan di

Muara Padang. Dari sini, perahu-perahu tersebut akan berlayar ke utara. Lokasi

pemberhentian perahu-perahu itu dinamakan Teluk Pasir Karam yang kemudian

berganti nama menjadi Meulaboh hingga hari ini.

Suatu ketika, penduduk Meulaboh dikejutkan oleh datangnya suara gaduh dari

suatu sudut daerahnya. Ketika beberapa orang mencoba mencari tahu, terlihatlah

sekumpulan orang berpakaian kerajaan sedang bertarung melawan orang Mantir.

Terlihat, para prajurit kerajaan sedang terdesak. Di antara yang datang mencari tahu

sumber suara adalah Makhdum Sati. Terdorong oleh rasa ingin membantu, maka

Makhdum Sati pun melesat ke arena pertempuran. Dengan sigap, ia mengalahkan

satu demi satu orang Mantir. Pasukan kerajaan pun selamat dari mara bahaya.

Setelah pertempuran usai, para prajurit menyatakan terima kasihnya kepada

Makhdum Sati. Makhdum Sati pun mengetahui bahwa pasukan itu berasal dari

kerajaan Aceh. Pasukan Aceh itu pun menetapkan wilayah sekitar tempat mereka

bertempur sebagai wilayah bawahan Makhdum Sati dan kawan-kawannya yang lain.

Tidak lama kemudian, para prajurit Aceh pun mengundurkan diri.

Pemberian tanah dari pasukan Aceh tidak disia-siakan para pendatang

Minangkabau. Mereka pun segera mengolahnya menjadi lahan pertanian yang subur.

Meskipun pernah terlibat silang sengketa dengan beberapa orang Mantir, tidak

membuat orang Meulaboh bermusuhan dengan orang Mantir secara umum. Seiring

62

J. Kreemer, Peran Azimat di Aceh, Terj. Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan

Informasi Aceh, 1981) hal. 6

Page 47: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

37

berjalannya waktu, banyak pula orang-orang Minangkabau yang menikah dengan

perempuan-perempuan Mantir. Lama kelamaan, Meulaboh tidak hanya menjadi

wilayah yang subur dan sejahtera melainkan juga ikut menciptakan orang-orang kaya

baru. Untuk mengenang tanah asal orang Meulaboh di Minangkabau, mereka pun

membangun rumah gadang (rumah besar), rumah adat khas Minangkabau.63

Sejak

saat itu, Meulaboh menjadi daerah yang terkenal kemajuannya di Aceh Barat.

Aceh Barat dikenal mempunyai komoditas hasil pertanian yang melimpah

ruah. Beberapa komoditas perkebunan yang ada di sana adalah lada, kopi, minyak

nilam, minyak kelapa sawit dan lain-lain. Hasil kekayaan alam itu dipasarkan hingga

ke pasar internasional. Menurut Anthony Reid, pada tahun 1790, Aceh Barat

mengirim 83.000 pikul (sekitar 5000 ton) lada ke pasar internasional. Jumlah tersebut

setiap tahunnya terus meningkat. Sekitar tahun 1802, kapal-kapal Amerika banyak

yang bersandar di pelabuhan Aceh Barat untuk berniaga. Sekitar tahun 1820,

komoditas perkebunan yang diekspor Aceh Barat sudah mencapai 1,9 juta dollar.

Pelabuhan yang terkenal sebagai pengumpul hasil lada antara lain pelabuhan Pate,

Rigas, Calang, Teunom dan Meulaboh.64

Kemajuan ekonomi yang terjadi di Meulaboh, lama kelamaan terdengar oleh

Sultan Aceh yang bernama Jumaloy. Ia pun mengeluarkan peraturan bahwa wilayah

Meulaboh diwajibkan membayar upeti kepada kerajaan Aceh. Ia memerintahkan

seorang kurir ke pemimpin Meulaboh guna menyampaikan keputusannya itu.

Setelah mendengar keterangan kurir Raja Aceh, Makhdum Sati merasa tersinggung

dengan permintaan Sultan Aceh. Makhdum Sati, yang saat itu ditetapkan sebagai

pemimpin Meulaboh, merasa permintaan Sultan Aceh tidak pantas ditetapkan untuk

daerahnya. Ia pun memerintahkan rakyatnya untuk tidak memberikan apapun ke

63

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 8. 64

Buddy Suryasunarsa, “Aceh Barat Sebuah Kasus Isolasi”, Kompas, edisi 9 Januari 1973,

hal. 4; Lihat juga Anthony Reid, The Contest for North Sumatera (Kuala Lumpur: University of

Malaya Press, 1969), hal. 6, 14-15.

Page 48: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

38

utusan Sultan Aceh. Tidak berselang lama, utusan Aceh lainnya datang lagi ke

hadapan Makhdum Sati untuk meminta upeti. Makhdum Sati yang sudah terlanjur

kesal dengan permintaan Sultan Aceh akhirnya memberikan bungkusan yang isinya

adalah kumpulan besi tua ke Sultan Aceh.

Alangkah terkejutnya Sultan Aceh setelah membuka bungkusan yang

diberikan Makhdum Sati. Ia pun segera memerintahkan panglima-panglima

perangnya menyerbu ke Meulaboh. Sesampainya di sana, mereka sudah disambut

dengan pertahanan Makhdum Sati dan para penduduk Meulaboh lainnya.

Pertempuran sengit segera terjadi. Masing-masing pihak saling menjatuhkan untuk

lebih dahulu mencapai kemenangan.

Makhdum Sati tampil ke medan perang dengan berbagai jurus-jurusnya.

Pasukan Aceh dibuat kesulitan ketika berhadapan dengannya. Tidak ada di antara

pasukan maupun perwira Aceh yang sanggup membendung serangan Makhdum Sati.

Lama kelamaan tenaga Makhdum Sati pun terkuras habis, ia pun jatuh ke tanah dan

segera diikat oleh pasukan Aceh. Ia segera dibawa ke hadapan Sultan Aceh.

Di hadapan Sultan Aceh, Makhdum Sati tetap menunjukkan sikap tegar. Sultan Aceh

pun menjatuhkan hukuman kepadanya dengan hukuman yang berat. Sultan

memerintahkan kepada beberapa pasukannya untuk melebur besi-besi tua yang

sebelumnya diberikan Makhdum Sati. Kemudian, Makhdum Sati diperintahkan untuk

meminum cairan itu. Makhdum Sati pun meminumnya seperti meminum air biasa.

Sultan yang terkejut dengan keajaiban Makhdum Sati kemudian memafkan

Makhdum Sati. Ia pun diangkat sebagai penjaga taman istana.65

Makhdum Sati mempunyai putra bernama Teuku Nanta Cih. Putranya ini

dinikahkan dengan putri Nek Meuraksa. Teuku Nanta Cih pernah berjasa membantu

Sultan Alaiddin Mohammad Syah, Sultan Aceh yang kehilangan tahtanya yang

65

Hazil, Teuku Umar ..., hal. 44 -47.

Page 49: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

39

direbut oleh Panglima Polim dari kesagian XXII. Berkat bantuan Teuku Nanta Cih-

lah, Sultan Aceh berhasil mendapatkan tahtanya kembali.

Dalam suatu kesempatan, Sultan Alaiddin Mohammad Syah ingin mengetahui

asal usul leluhur Teuku Nanta Cih. Teuku Nanta Cih mengatakan bahwa ayahnya

bernama Datuk Makhdum Sati yang berasal dari Minangkabau. Dahulu, ayahnya

pernah diangkat sebagai ketua perawat taman istana Sultan Aceh. Ia juga

mengkisahkan bahwa di Teluk Pasir Karam wilayah Woyla (kemudian menjadi

Meulaboh), ayahnya mendirikan rumah Gadang untuk mengingat tanah asalnya di

Minangkabau. 66

Sultan Alaiddin pun mengetahui bahwa Nanta Cih bukanlah keturunan orang biasa.

Ayahnya adalah orang yang dulu disegani Raja Aceh pendahulunya. Sebagai tanda

terima kasih, Sultan Alaiddin mengangkat Nanta Cih sebagai uleebalang VI Mukim.

Ia menduduki jabatan sebagai Uleebalang Poteu. Nanta Cih tidak berada dalam

kekuasaan Teuku Nek Meraksa, melainkan berdiri sendiri. Sebagai penguasa baru

dalam pemerintahan Aceh, Nanta Cih menunjukkan sikap yang bersahabat dengan

penguasa lainnya, termasuk dengan Teuku Nek Muraksa, tetangganya. Keduanya

menjadi sahabat yang baik.

Nanta Cih memeirntah negerinya dengan baik. Mekipun bukan putra daerah,

Nanta Cih mampu menmpilkan diri sebagai pemimpin yang mengayomi masyarakat

VI Mukim. Nanta Cih mempunyai dua orang anak, Teuku Nanta Setia dan Teuku

Mahmud. Setelah menikah, Nanta Setia dikaruniai anak perempuan yang bernama

Cut Nyak Dien, sedangkan Mahmud memiliki putra yang dinamakannya Teuku

Umar. Cut Nyak Dien dilahirkan pada tahun 1848 di kampung Lam Padang, VI

Mukim.67

66

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 15. 67

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia ..., hal. 540; Hazil, Teuku Umar ..., hal. 48.

Page 50: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

40

B. Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga

Cut Nyak Dien menjalani hari-hari masa kecilnya dengan kegiatan ilmiah. Ia

dikenal sebagai putri Aceh yang rajin menuntut ilmu di meunasah. Selain di

meunasah, Cut Nyak Dien juga mendapatkan pendidikan agama di keluarganya. Hal

ini menyebabkan kepandaian agamanya lebih menonjol di banding anak-anak

seusianya yang lain. Di samping itu, sejak sebelum usia 10 tahun, Cut Nyak Dien

sudah terbiasa menjalankan shalat lima waktu dan ikut shalat hari raya, baik Idul Fitri

maupun Idul Adha.

Dalam pergaulan, Cut Nyak Dien juga sudah mengetahui bagaimana berbicara

dengan temannya ataupun dengan orang dewasa. Terhadap orang dewasa, Cut Nyak

Dien menunjukkan sikap yang sopan. Ia berbicara dengan perkataan yang baik dan

bersikap lemah lembut. Ketika ia berjalan dan berjumpa dengan kerumunan orang

dewasa Cut Nyak Dien akan membungkukkan badannya sembari mengucapkan maaf

dan memberi isyarat dengan tangan kanan.68

Tentu saja, Cut Nyak Dien tidak hanya mengisi waktunya dengan belajar. Ia

adalah anak kecil perempuan sepertinya yang lainnya. Di waktu senggang, Cut Nyak

Dien menikmati waktunya dengan bermain bersama teman-teman perempuan

sebayanya. Biasanya, anak perempuan di Aceh gemar bermain boneka (patong).

Boneka ini terbuat dari bahan dasar batang pisang. Boneka itu dirias sedemikian rupa

dan dipakaikan potongan-potongan pakaian berwarna-warni. Oleh anak-anak

perempuan, seperti Cut Nyak Dien, boneka ini diperlakukan seperti anaknya sendiri.

Anak perempuan yang lain akan mengumpulkan pasir dan menganggap pasir itu

layaknya nasi. Seorang anak yang berperan sebagai ibu, akan membagikan nasi-nasi

itu kepada anak perempuan lain yang bertindak sebagai anak-anaknya. Bentuk

68

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh (Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Daerah

Istimewa Atjeh, 1970), hal. 12.

Page 51: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

41

permainan lain adalah membuat anyam-anyaman sederhana dari daun pinang dan

membuatnya menjadi selendang.69

Ketika mendekati usia remaja, Cut Nyak Dien menjelma menjadi perempuan

yang cantik. Tingkah lakunya amat menarik hati. Tubuhnya berbentuk ramping.

Kulitnya putih kekuning-kuningan. Di dalam perangai Cut Nyak Dien tersimpan jiwa

ksatria, berani dan tegas. Sifat seperti itu merupakan turunan dari ayahnya. Sikap

semacam ini membedakan Cut Nyak Dien dengan perempuan lain seusianya.

Dalam beberapa kesempatan rapat para penguasa Aceh yang diselenggarakan

di rumah Cut Nyak Dien, Cut Nyak Dien sering mencuri-curi dengar pembicaraan

mereka. Lama kelamaan, Cut Nyak Dien mengetahui bahwa bangsa Aceh di ambang

serangan musuh yang membahayakan, yakni bangsa Belanda yang ingin menjajah

negerinya. Dari aktivitas sembunyi-sembunyi itu telah tumbuh kebencian kepada

Belanda yang menurut kabar sering menyiksa penduduk. Cut Nyak Dien tersadar

bahwa masa peperangan melawan mereka sudah hampir tiba.

Di masa Cut Nyak Dien remaja, terdengar kabar-kabar tentang usaha

kolonialisme Belanda di beberapa daerah Sumatera dan Nusantara pada umumnya. di

Minangkabau misalya, sejak tahun 1820, masyarakat di sana sudah terlibat

peperangan dengan Belanda. Pasukan rakyat Minangkabau dikenal sebagai pasukan

Paderi. Mereka berperang di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol. Pasukan

Belanda juga terlibat perang dengan pasukan pimpinan Pangeran Diponegoro dari

tahun 1825 hingga 1830 di Jawa. Dua perang ini cukup merepotkan usaha

penguasaan Belanda atas wilayah Nusantara. Paul van’t Veer menyebutkan bahwa

69

C. Snouck Hurgronje, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng. Singarimbun (Jakarta:

Yayasan Sokoguru, 1985), hal. 209.

Page 52: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

42

pada masa kolonialisme Belanda, Sumatera merupakan pulau yang penuh dengan

kerusuhan melawan Belanda.70

Ketika beranjak gadis, Cut Nyak Dien menjadi sosok wanita yang cerdas dan

taat beragama. Budi pekertinya begitu memukau hingga ia menjadi buah bibir di

mana-mana. Szekely Lulofs melukiskan kepribadian Cut Nyak Dien sebagai gadis

yang tidak terbandingkan dengan wanita lain seusianya, terutama dari segi

kecantikannya. Pandangan mata Cut Nyak Dien dinilai mampu melelehkan setiap

lelaki yang memandangnya. Sikap Cut Nyak Dien tegas dan sigap.71

Teuku Ujung Arum yang dikenal pula dengan sebutan Imam Lamnga dikenal

sebagai bangsawan Aceh yang alim, jujur dan berani. Suatu ketika, ia dan istrinya

berkunjung ke rumah Teuku Nanta Setia, Uleebalang VI Mukim yang tidak lain

adalah ayah Cut Nyak Dien. Maksud kedatangan Imam Lamnga, selain untuk

silaturahmi, juga untuk meminang Cut Nyak Dien sebagai istri anaknya, Teuku

Ibrahim Lamnga. Imam Lamnga mengaku bahwa anaknya sedang dipersiapkan

menggantikan kedudukannya, tentu tidak lengkap rasanya jika ketika anaknya

memimpin nanti, dirinya berlum mempunyai istri.

Teuku Nanta Setia menerima permohonan Imam Lamnga dengan senang hati.

Cut Nyak Dien pun menyatakan siap bila diperistri Ibrahim Lamnga. Saat itu Cut

Nyak Dien baru berusia 10 tahun. Sebenarnya, umur Cut Nyak Dien belumlah cukup

umur untuk memulai kehidupan berumah tangga. Pada umumnya, wanita di

Nusantara saat itu menikah jika sudah menginjak usia 14 tahun. Meskipun begitu,

menurut adat Aceh, hal itu masih diperbolehkan, karena ada suatu sandaran hukum

adat yang membolehkannya.72

Pernikahan Cut Nyak Dien dan Ibrahim Lamnga

tergolong penrikahan yang disebut “kawin gantung”, maksudnya meskipun keduanya

70

Paul Van’t Veer, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hugronje, Terj. Grafitipers

(Jakarta: Grafitipers, 1985), hal. 1 – 2. 71

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 34. 72

Moehammad Hoesin, Adat Atjeh ..., hal. 9.

Page 53: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

43

sudah resmi menjalin kehidupan bersama, namun belum diperkenankan untuk tidur di

satu ranjang. Dalam Islam, pernikahan seperti ini masih diperbolehkan. Salah satu

sumber hukumnya adalah kisah menikahnya Nabi Muhammad SAW dengan Siti

Aisyah yang saat itu berusia 7 tahun.73

Selama dalam masa “kawin gantung”, Cut Nyak Dien belum pernah digauli

Ibrahim Lamnga. Jika hal itu sampai terjadi, maka akan menjadi aib yang besar dan

memalukan. Ibrahim setia menunggu Cut Nyak Dien sampai umur dewasa. Acara

pernikahan Cut Nyak Dien diselenggarakan dengan penuh suka cita. Rumah

pengantin dihias dengan hiasan aneka warna. Permadani digelar di lantai, semua

barang hiasan pecah belah dikeluarkan dan ditata dengan baik untuk mempercantik

ruangan tengah dan kamar tidur pengantin. Di kamar pengantin dipasang kelambu

berbahan sutera dan beberapa bantal kebesaran.74

Acara tari-tarian dan bernyanyi

bersama diselenggarakan selama 3 hari. Pada hari keempat, barulah kedua mempelai

diarah ke rumah Cut Nyak Dien. Para tamu pun mulai kembali ke rumahnya masih-

masing.

Masa bulan madu Cut Nyak Dien tidaklah berlangsung lama. Ibrahim Lamnga

semakin sibuk dengan agenda rapat persiapan pasukan Aceh menghalau

kemungkinan serangan Belanda. Sepulangnya dari rapat, Cut Nyak Dien menanyakan

keputusan rapat itu kepada suaminya. Jika yang didengarnya adaah kabar buruk, Cut

Nyak Dien akan mengepak-ngepalkan tinju seakan menahan amarah. Ia sering

bergumam: “Apalagi yang ditunggi Sultan? Ah … andai saja aku seorang lelaki”.75

73

Muhammad Ahmad Baranik, “A’isyah ash-Shobiyyah,” Majmu’atu Ummahatu al-Mu’mina,

seri 5 (Mesir: Darul Maarif, tanpa tahun), hal. 14; lihat juga “A’isyah al-Habibah”, Majmu’atu

Ummahatu al-Mu’minina, seri 6 (Mesir: Darul Ma’arif, tanpa tahun), hal. 1. 74

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 35. 75

Szekely Lulofs, Tjut Nja Dien ..., hal. 41.

Page 54: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

44

C. Kedatangan Belanda ke Aceh

Memasuki abad ke-19, beberapa daerah di Nusantara disibukkan dengan

peperangan menghadapi pasukan Belanda. Di beberapa daerah, perang terjadi dalam

skala besar, namun di tempat lain terjadi dalam skala kecil. Banyak di antara orang

pribumi yang semula rakyat biasa, sesaat setelah mengetahui Belanda akan datang,

memutuskan untuk bergabung dalam tentara rakyat. Bermodalkan senjata tradisional

dan keterampilan perang seadanya, mereka bangkit melawan kekejaman Belanda. Hal

ini tergambar dalam salah satu perang besar di Nusantara, yakni perang Aceh.

Di era ini, Kerajaan Aceh masih dianggap sebagai kekuatan utama yang

memerintah rakyat Aceh. Hanya saja, Aceh abad ke-19 bukanlah Aceh seperti abad

ke-16 maupun ke-17, di mana kekuasaan bertumpu di tangan raja. Di abad ke-19,

sistem pemerintahan Aceh sudah menganut sistem federal. Setiap wilayah dipimpin

oleh seorang pemimpin lokal yang bergelar uleebalang atau kejurun. Mereka

mepunyai otoritas dalam memerintah wilayahnya, dan tidak harus mengacu pada

ketetapan kesultanan Aceh.76

Pada tahun 1824, kerajaan Belanda bersepakat dengan kerajaan Inggris yang

butir-butir kesepakatannya tertuang dalam Traktat London. Salah satu

kesepakatannya adalah bahwa baik Belanda maupun Aceh dilarang memusuhi Aceh.

Pada perkembangannya, Belanda bertindak melenceng yakni mulai melibatkan diri

dalam pertikaian dengan Aceh.

Pada tahun 1829, Belanda menyerbu Barus daerah yang menjadi bawahan

Aceh. Pasukan Aceh bertempur dengan gagah berani dan terus memukul mundur

Belanda hingga ke benteng pertahanannya di pulau Poncang di teluk Tapanuli.

Pasukan Aceh berhasil merebut benteng itu dan membakar bangunan-bangunan

Belanda yang berada di sekitar benteng. Pada tahun 1834 dan 1835, Belanda

76

Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Sinar Harapan, 1987) , hal. 40.

Page 55: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

45

melancarkan pembalasannya dengan menawan beberapa perahu Aceh di sekitar pulau

Poncang. Sebagian awak perahu ditangkap, yang lain dibunuh.

Memasuki tahun 1871, Belanda mengirim kapal Jambi untuk memata-matai

pesisir Aceh sekaligus mencari lokasi yang tepat untuk mendirikan menara api. Kapal

ini juga ditugaskan mencari informasi mengenai kondisi politik di Aceh. Sebuah

kapal lain juga dikirimkan ke Malaka yang ditugaskan menumpas bajak laut di sana.

Aksi ini sengaja dilakukan untuk memamerkan kekuatan laut Belanda kepada Aceh.77

Upaya-upaya teror yang dilakukan Belanda ditanggapi sigap dan cekatan oleh

orang Aceh. Sejak 1872 sampai Maret 1873, pihak Aceh mendatangkan 5000 peti

mesiu dan 1349 peti senapan dari Penang. Pihak istana tidak tinggal diam. Pada 10

Maret 1873, keluarga Sultan Alauddin Jamalul Alam Badrul Munir al-Jamalullail

memberikan 12 kilogram emas untuk biaya belanja keperluan militer pasukan Aceh.

Usaha pengumpulan persenjataan Aceh sempat menemui jalan terjal, karena pada 31

Maret 1873, Konsul Inggris di Singapura menetapkan kebijakan pelarangan penjualan

senjata di seluruh koloni Inggris ke Aceh.

Pada tanggal 7 Maret 1873, kapal perang Belanda yang bernama Citadel van

Antwerpen diberangkatkan menuju pantai Aceh. Kapal ini diperkuat pula oleh kapal

lain yakni kapal Siak yang menempuh rute dari Batavia melalui Singapura dan pulau

Pinang. Pada tanggal 19 Maret, kapal Siak berangkat dari pulau Pinang diiringi dua

kapal Belanda lainnya, Marnix dan Coehoorn. Mereka bersama-sama menuju pantai

Aceh. Pada tanggal 23 Maret 1873, kapal-kapal Belanda ini sudah berada di sekitar

pantai Aceh.78

Beberapa waktu kemudian, soerang pejabat Belanda yang ikut dalam salah

satu kapal Belanda di pantai Aceh yang bernama Nieuwenhuyzen mengirimkan pesan

77

Ibrahim Alfian, Perang Di Jalan Allah …,hal. 61-63. 78

J. Paulus, “Atjeh”, Encyclopaedia van Nederlandsch Indie,( E. J. Brill, 1917,) hal. 191. Lihat

juga A. Sartono Kartodirdjo (ed), Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme,( Pusat

Sejarah Abri, 1973) , hal. 240

Page 56: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

46

utuk Sultan Aceh agar Aceh bersedia mengakui kekuasaan Belanda atas wilayah

Aceh. Balasan dari Sultan Aceh mengejutkan Belanda, Aceh siap perang menghadapi

pasukan musuh. Tidak ada pilihan lain bagi Nieuwenhuyzen, pada 26 Maret 1873 ia

pun memutuskan untuk bereprang dengan Aceh.79

D. Ibrahim Lamnga Gugur di Medan Perang

Teuku Ibrahim Lamnga adalah satu di antara banyak panglima perang Aceh

yang sudah mempersiapkan diri di pesisir pantai Ceureumen Aceh. Begitu pasukan

Belanda mendarat, ia dan pasukan Mukim VI bergerak menahan laju Belanda. Di

tempat lain, Teuku Nanta Setia, ayah Cut Nyak Dien, membuat pertahanan untuk

membatasi gerak musuh. Ia dan pasukannya bertugas membangun benteng-benteng

pertahanan sebagai basis penahan gelombang serangan Belanda. Baik Nanta Setia

maupun Ibrahim Lamnga tampil sebagai tokoh yang menonjol dalam hari-hari

pertama perang Aceh.

Cut Nyak Dien yang berdiam di rumah tetap tidak bisa tenang hatinya

mengetahui suami dan ayahnya sedang berhadapan dengan Belanda di pantai Aceh.

Ia menantikan suaminya yang selama beberapa hari tidak pulang ke rumah karena

kesibukannya mengatur pasukan guna menghadapi Belanda. Di kala malam,

penduduk Mukim VI beramai-ramai memadati meunasah dan ramai-ramai membaca

doa dan zikir.80

Suatu ketika, Ibrahim Lamnga pulang dengan wajah kecewa. Setelah disambut oleh

istrinya, Ibrahim bercerita bahwa Belanda berhasil menguasai Masjid Raya dan

Keraton Sultan Aceh. Setelah mendengar itu, sikap Cut Nyak Dien berubah seketika.

Wajahnya menampakkan kemarahan. Ia sempat menuding mengapa di antara sekian

banyak panglima perang Aceh yang tersohor kehebatannya, tidak ada yang mampu

79

M. Dien Madjid, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan Pejuangan

Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2014), hal. 188-189. 80

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1982), hal. 30-31.

Page 57: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

47

menghalau musuh. Ia juga menyayangkan sikap Sultan Aceh yang tidak mampu

memobilisir bawahannya. Teuku Ibrahim segera menenangkan istrinya. Ia berkata

bahwa Sultan Aceh sedang menghimpun kekuatan bersama Tuanku Hasyim dan

Panglima Polim di suatu tempat sehingga tidak sempat mengirim bantuan

memperkuat barisan pasukan Aceh yang menjaga Masjid Raya dan Istana Sultan.81

Ibrahim Lamnga kembali ke medan tempur dengan tekad bulat mengalahkan

Belanda. Ia segera melakukan patroli ke wilayah perbatasan Mukim VI dan Meuraksa

untuk meninjau benteng-benteng pertahanan yang dibuat pasukan Aceh. Beberapa

benteng yang diperiksanya adalah Geunca, Keutapang Dua, Wilayah IX Mukim,

Teuku Purba dan wiayah III Mukim Daray Long Raya. Setelah itu, ia menyerahkan

komando benteng-benteng itu kepada Nyak Man dan Nyak Ajat. Setelah itu Ibrahim

Lamnga beranjak ke wilayah lain untuk melakukan beberapa peninjauan. Dalam

perjalanannya, Ibrahim Lamnga kerap berkunjung ke rumah orang kaya dan meminta

bantuan mereka untuk menambah perbekalan pasukan Aceh.82

Pada tahun 1875, Ibrahim Lamnga tersadar, pergerakan pasukan Belanda

sudah semakin merambah ke pedalaman. Pasukan Belanda sudah mulai terlihat di

perbatasan Mukim VI dan Mukim IX. Ibrahim teringat akan keberadaan istrinya yang

masih berada di Lam Padang. Pada suatu hari, ia pun meminta diri pada rekan-

rekannya untuk pulang ke Lam Padang. Di tengah perjalanan pikirannya berputar

merencanakan suatu pengungsian bagi keluarganya.

Begitu sampai di kediamannya, Ibrahim Lamnga segera meminta Cut Nyak

Dien untuk bersiap-siap. Ibrahim mengabarkan bahwa musuh sudah berada di Mukim

VI dan Mukim IX. Awalnya, Cut Nyak Dien berkeras hati untuk tetap tinggal di Lam

Padang apapun yang terjadi. Suaminya meyakinkan dirinya bahwa pengungsian ini

adalah sementara sampai keadaan terkendali. Pasukan Belanda dikenal bengis

81

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 31. 82

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 34-35.

Page 58: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

48

terhadap penduduk lokal. Ibrahim tidak rela jika keluarganya menjadi sasaran

kejahatan pasukan musuh. Ibrahim juga menitahkan pada penduduk Lampadang

lainnya untuk menyiapkan diri dalam barisan pengungsian.

Setelah berkumpul di jalan-jalan depan rumah, rombongan pengungsi Lam

Padang pun bergerak. Dalam rombongan ini terdapat pula Teuku Nanta Setia beserta

istrinya. Ibrahim Lamnga bersama ayah mertuanya berdampingan memimpin

rombongan di barisan depan. Dalam beberapa kesempatan, Ibrahim mengontrol

bagian tengah dan belakang rombongan untuk memastikan keamanan serta

mengingatkan pada pasukan pengiring agar tetap waspada.

Rombongan itu terus berjalan tanpa tahu kemana mereka pergi. Ibrahim

Lamnga sebagai penggagas ide pengungsian pun belum mempunyai ketetapan

kemana iring-iringan manusia di belakangnya ini diungsikan. Melihat perang yang

semakin luas, rasanya sulit baginya untuk menentukan tempat yang aman untuk

berlindung. Tanggapan beragam dialami rombongannya tatkala bertemu dengan

penduduk kampung-kampung yang dilewatinya. Ada kampung yang menyatakan

dukungannya kepada para pejuang Aceh. Di hari lain, mereka bertemu dengan

penduduk kampung yang tidak peduli dengan segala hal yang terjadi dalam perang

Aceh. Bahkan ada kampung yang memandang rombongan Lam Padang itu dengan

penuh kecurigaan. Salah satu kampung yang menyatakan menolak membantu

rombongan ini adalah kampung IV Mukim.

Orang-orang di IV Mukim menganggap orang-orang yang beredar di depan

mereka sebagai para pejuang Aceh yang sedang menyalamatkan diri dari kejaran

Belanda. Mereka khawatir jika menolong mereka, maka pasukan Belanda akan

menghancurkan kampung mereka. Mereka sudah mengetahui betapa ganasnya

Page 59: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

49

pasukan Belanda kepada penduduk kampung-kampung Aceh. pasukan Belanda tidak

segan untuk membunuh orang-orang yang dicurigai membantu pasukan Aceh.83

Perjalanan yang panjang membuat Ibrahim Lamnga tidak lagi memikirkan

penampilannya. Menurut cerita, penampilannya sudah tidak rapi. Pakaiannya robek

dan rambutnya kusut. Hal yang tidak jauh berbeda juga mungkin terlihat di antara

para pengikutnya.

Ketika rombongan Lam Padang sampai wilayah Lam Pagar, mereka disambut

dengan ramah oleh penduduk di sana. Penduduk kampung itu memberikan air dan

makanan seadanya kepada para pendatang. Ibrahim Lamnga dan Nanta Setia memilih

tetap melanjutkan perjalan sampai ke Blang Kala. Betapa kagetnya mereka ketika

sampai di kampung itu. Penduduk di sana menatap mereka dengan pandangan curiga.

Beberapa waktu kemudian Ibrahim Lamnga baru mendapat informasi bawa penduduk

Blang Kala termasuk kelompok yang tidak mau melibatkan diri dalam perang Aceh

dan memilih pasrah dengan keadaan yang nanti menimpa mereka.

Ibrahim Lamnga memerintahkan pasukannya untuk mengumpulkan penduduk

Blang Kala di tempat yang lapang. Begitu mereka berkumpul, Ibrahim Lamnga

berdiri di hadapan mereka dan berkata dengan lantang:

“Hai sekaian mukmin penduduk kampung ini! Kami baru kembali dari

medan perang! Kampung demi kampung telah jatuh ke tangan kafir! Adat

dalam perang itu adalah balas membalas! Tapi, menghindar bukan berarti

lari atau takluk! Kita mencari tempat pertahanan yang mungkin dapat

dipertahankan lalu menanti waktu yang baik untuk menyerang musuh! Kita

merancang rencana untuk menyerang musuh sampai ia lari menghindar!

Hai orang kampung penduduk VI Mukim, laki-laki dan perempuan!

Dengarkanlah! Jika kampung ini nyata tidak dapat dipertahankan, nanti

83

Szekely Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 100-105.

Page 60: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

50

kami akan menyerang ke tempat lain. Kami akan menyerahkan kepada

orang kampung sendiri untuk menentukan apa yang hendak diperbuatnya.

Jika hendak menyerah, hendak berkhianat kepada bangsa dan tanah airnya,

silahkan! Tapi, sewaktu-waktu kami akan kembali ke tempat ini. Barang

siapa yang kami jumpai di sini dan ternyata telah menjadi budak kafir,

maka harta bendanya akan kami rampas. Jika rumahnya belum dibakar

oleh orang Belanda, kamilah yang akan membakarnya! Barang siapa yang

lari meninggalkan kampung, kami akan cabut nyawanya dengan klewang

ini! kaki dan tangannya akan kami cerai beraikan dari tubuhnya.”

Warga Blang Kala mendengar pidato Ibrahim Lamnga dengan serius.

Mereka tidak berani memotong pidato suami Cut Nyak Dien itu. Setelah

mendengar itu, beberapa dari penduduk Blang Kala merasa mendapatkan

kesadaran baru untuk menyingsikan lengan untuk angkat senjata melawan

Belanda. Mereka yang tergerak hatinya kemudian pulang ke rumahnya untuk

mengambil perkakas yang bisa dijadikan senjata. Kemudian, mereka menempati

beberapa lokasi yang dijadikan pos pertahanan kampung Blang Kala.

Para pengikut Ibrahim Lamnga yang masih berada di kampung Lam Pagar

melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pemimpinnya. Mereka terlibat

dalam upaya penyadaran penduduk di sana untuk bersatu melawan kedatangan

pasukan Belanda. Mereka menerangkan bahwa perang yang mereka lakukan

bukan sekedar perang mempertahankan tanah air melainkan perang Sabil, yakni

perang di jalan Allah. Beberapa penduduk Lam Pagar yang mendengar ungkapan

tersebut menjadi tergerak hatinya. Mereka pun bersiap dengan senjata di tangan,

menyongsong kedatangan musuh.84

84

Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 101-102.

Page 61: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

51

Diceritakan bahwa rombongan dari Lam Padang ini tidak bediam di Lam

Pagar maupun Blang Kala. Mereka melanjutkan perjalanan sampai mereka mulai

kehabisan bekal. Dalam beberapa kesempatan, mereka hampir berjumpa dengan

pasukan patroli Belanda. Dalam suasana mencekam seperti ini, Cut Nyak Dien

membayangkan bahwa dirinya akan menjadi pemimpin pasukan yang akan

memburu pasukan Belanda.85

Pada kesempatan yang lain diceritakan bahwa Ibrahim Lamnga dan

pasukannya terlibat dalam suatu perang dengan Belanda di sekitar gunung Madat di

pegunungan Parang sekitar tahun 1878. Saat itu bersama dengan Teuku Nyak Man,

Ibrahim Lam Nga gagal menahan laju musuh di Ngarai Ngalau Beradin. Ibrahim

Lamnga pun memutuskan untuk terus mendaki gunung Madat. Dikisahkan bahwa

selama pendakian yang berlangsung selama tiga hari itu, perut mereka tidak terisi

nasi.

Keputusan untuk terus mendaki gunung Madat dilatarbelakangi oleh adanya

berita yang mengatakan bahwa pasukan Habib Abdurrahman az-Zahir juga sedang

mendaki gunung Madat. Ibrahim Lamnga bergegas menuju Gle Tarum. Di sana ia

menemukan bekas-bekas persembunyian Habib Abdurrahman az-Zahir. Sesampainya

pasukan Ibrahim Lam Nga di sana, mereka memutuskan untuk beristirahat. Mereka

tidak menyadari bahwa tidak jauh dari tempatnya, pasukan Belanda sedang mengikuti

mereka. Saat mereka tertidur pulas, tidak ada pasukan yang sadar bahwa di sekeliling

mereka sudah berkumpul pasukan Belanda.

Ketika komando diberikan, pasukan Belanda mulai menembakkan peluru ke

arah para pejuang Aceh yang sedang tertidur. Beberapa pasukan ada yang langsung

jatuh terkena peluru salah satunya dalah adik Ibrahim Lamnga yang bernama Teuku

Ajat. Teuku Nyak Man yang ketika tersadar segera mencari perlindungan menyeru

kepada Ibrahim Lamnga untuk mencari perlindungan.

85

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien (Jakarta: Departemen P dan K, 1982)hal. 36.

Page 62: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

52

Tembakkan Belanda yang sangat gencar diarahkan ke sasaran, membuat

pasukan Aceh kesulitan melakukan serangan balik. Teuku Nyak Man yang sibuk

mengatur perlindungan terkena desingan peluru Belanda. Tubuhnya jatuh ke tanah.

Tidak lama berselang peluru Belanda berhasil bersarang ke tubuh Ibrahim Lamnga.

Setelah mengetahui suami Cut Nyak Dien benar-benar terkena peluru dan tewas

pasukan Belanda pun menghentikan serangannya. Teuku Ibrahim Lamnga, pahlawan

dari kampung Lamnga, gugur sebagai pahlawan bangsa. Setelah itu komandan

Belanda memerintahkan pasukannya untuk bergegas meninggalkan gunung Madat.86

Kematian Ibrahim Lamnga begitu mengkoyak perasaan Cut Nyak Dien.

Selama beberapa hari Cut Nyak Dien, keluarga serta masyarakatnya dirundung duka.

Kenyataan ditinggal suami semakin mempertebal rasa benci Cut Nyak Dien kepada

Belanda. Ia menyimpan hasrat suatu saat dapat bertempur dengan musuh orang Aceh

itu untuk membalaskan dendam suami serta bangsa Aceh pada umumnya.

E. Menikah dengan Teuku Umar

Kehilangan suami tercinta membuat Cut Nyak Dien semakin tersadar akan

makna kehidupan. Hidup dan mati tidak lebih hanya sekedar takdir yang harus

dijalani manusia. Ia mulai bisa menata hidupnya dan perlahan mengingat Ibrahim

Lamnga hanya dalam doa. Ia tidak lagi meratapinya dengan tangisan yang merupakan

tanda ketidakrelaan menerima takdir Tuhan berupa kematian.

Suatu ketika, Teuku Umar, saudara sepupu Cut Nyak Dien, datang ke Aceh

Besar. Ia mempeoleh kabar bahwa salah satu pemimpin tertinggi pasukan Aceh

bernama Teuku Ibrahim Lamnga telah berpulang ke Rahmatullah. Ia pun

menyempatkan diri bertakziah kepada keluarga yang ditinggalkan. Kesempatan itu

juga digunakannya untuk bertemu dengan pamannya, Teuku Nanta Setia, untuk

membicarakan perkembangan terakhir seputar perang Aceh. Di sela pembicaraan,

86

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 41-42.

Page 63: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

53

Teuku Nanta Setia meminta Teuku Umar mau menjadikan Cut Nyak Dien sebagai

istrinya. Setelah bepikir sejanak, Teuku Umar menerima perminataan itu.

Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa Teuku Umar yang tertarik untuk

meminang Cut Nyak Dien. Suatu ketika, Teuku Umar berjumpa dengan Cut Nyak

Dien dalam suatu pertemuan di Montasik. Rupanya, pertemuan itu begitu berkesan di

hati Teuku Umar. Ia pun mendatangi Teuku Nanta Setia dan mengutarakan

maksudnya untuk menjadi suami Cut Nyak Dien. Rasa cinta yang tumbuh di hati

Teuku Umar kepada Cut Nyak Dien, dilatarbelakangi simpati Teuku Umar kepada

Cut Nyak Dien. Ia salut dengan ketegaran Cut Nyak Dien yang ditinggal mati

suaminya. Teuku Umar juga terpikat oleh sikap Cut Nyak Dien yang menyatakan

kebenciannya pada Belanda, musuh yang juga sedang diperanginya.

Setelah hari pernikahan ditentukan, maka dilangsungkanlah pernikahan antara

Teuku Umar dan Cut Nyak Dien. Teuku Nanta Setia amat senang putrinya tidak lagi

bersedih karena sudah mendapat teman hidup yang baru. Kebanggaannya bertambah

ketika mengetahui bahwa yang menjadi suami Cut Nyak Dien adalah salah satu

panglima muda pasukan Aceh yang prestasinya dalam perang Aceh termasuk yang

menonjol di antara teman-teman sebayanya.87

Pesta perkawinan Cut Nyak Dien dilangsungkan di Montasik. Banyak tamu

yang berdatangan ke momen yang menggembirakan ini. Tidak berselang lama, nama

keduanya terdengar ke seluruh medan perang Aceh dan menerbitkan gairah baru di

tubuh pasukan Aceh. Pernikahan ini dimaknai bukan sebatas hubungan spesial antara

lelaki dan perempuan, melainkan adalah munculnya pasangan yang akan

mengabdikan dirinya untuk bertempur di medan perang menghadapi Belanda. Di

pundak pasangan inilah keselamatan tanah air dan bangsa Aceh digantungkan.88

87

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 48-49. 88

Mardanas Safwan, Teuku Umar (Jakarta: Dinas P dan K, 1983), hal. 46-47.

Page 64: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

54

Pada 1879, Teuku Umar dan Cut Nyak Dien memutuskan untuk bersama-

sama memulai serangan di Meulaboh. Di tahun ini, Cut Nyak Dien mulai sedikit

terlibat dalam persiapan strategi pasukan Aceh mendampingi Teuku Umar. Di waktu

ketika mereka datang, Melaboh juga sedang diramaikan oleh aksi para pejuang Aceh

yang berupaya menahan serangan Belanda. Sebelum kedatangan pasangan ini,

pasukan Aceh di bawah Teuku Kejurun Muda manjadi lawan sepadan bagi pasukan

Belanda. Di bawah komandonya, pasukan Aceh rajin mengirim serangan ke kubu

lawan. Tindakan ini membuat para pasukan Belanda terkena gangguan jiwa karena

stres yang berkepanjangan akibat diteror pasukan Aceh.89

Di Meulaboh, Teuku Umar mulai aktivitasnya dengan berpidato di tengah

kumpulan orang-orang di Patih, salah satu pelabuhan di utara Melaboh. Ia menyeru

penduduk Patih untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Mereka yang

terpengaruh oleh pidato Teuku Umar segera menggabungkan diri mencegat jalan

Belanda yang berencana menuju Patih. Di Rigas, Teuku Umar juga menggelar

pidatonya. Ucapannya didengar oleh warga Rigas dan banyak di antara mereka yang

menggabungkan diri dalam pasukan Aceh. Pidato demi pidato yang dilakukan Teuku

Umar membuat reputasi pemeirntah Belanda semakin turun di mata penduduk

Mulaboh. Akibatnya, usaha penguasaan penuh atas Meulaboh yang dicanangkan

Belanda terancam gagal.90

Pada tahun 1881, Cut Nyak Dien dan Teuku Umar memutuskan kembali ke

Aceh Besar. Setelah menyiapkan pasukan, Teuku Umar menyerang wilayah XXV

Mukim yang telah diduduki Belanda. Dalam pertempuran ini, pasukan Teuku Umar

memperoleh kemenangan. Pasukan Belanda tidak berdaya menahan gempuran dan

kecanggihan taktik Teuku Umar. Teuku Umar berhasil mengusir Belanda dan

merebut kembali kampung XXV Mukim. Tanpa membuang waktu, Teuku Umar

89

Moh. Said, Aceh Sepanjang Abad Jilid II (Medan: Harian Waspada Medan, tanpa tahun)

hlm. 181-182. 90

Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hal. 535.

Page 65: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

55

menghancurkan pos-pos yang dibangun Belanda di sekitar wilayah itu yang

sebelumnya digunakan untuk menjalin komunikasi dengan pos Belanda lainnya.

Selain berperang dengan Belanda, Teuku Umar juga tidak segan berperang

melawan panglima-panglima Aceh yang memihak Belanda. Salah satu panglima

penghianat Aceh yang pernah merasakan bentrok dengan suami Cut Nyak Dien ini

adalah Teuku Nek Muda. Pasukan Teuku Nek Muda yang terdesak kemudian

mendapat bantuan dari Belanda. Pasukan gabungan ini berhasil memukul mundur

pasukan Teuku Umar sampai yang sebelumnya berkuasa di VI Mukim kemudian

mundur sampai Ngarai Ngalau Beradin. Meskipun VI Mukim telah jatuh ke tangan

Belanda, namun beberapa pasukan Teuku Umar yang berada di dalam daerah itu,

masih sering melakukan serangan ke kubu Belanda.91

Beberapa tahun kemudian, Teuku Umar tertarik untuk mencoba cara baru

melawan Belanda. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Belanda. Langkahnya ini

dilaksanakan pada 30 September 1893. Dengan ditemani oleh 35 panglima Aceh

menghadap pemerintah Belanda di Kota Raja. Mereka bersumpah untuk takluk

kepada Kerajaan Belanda. Atas kesungguhannya menyerahkan diri, Teuku Umar

diberi gelar “Teuku Johan Pahlawan” dan menduduki jabatan sebagai panglima besar.

Ia juga diberi wewenang untuk memerintah pasukan yang berjumlah 259 orang.92

Sejak diberi kepercayaan Belanda, Teuku Umar benar-benar bekerja untuk

kepentingan Belanda. ia tidak segan melawan sesama bangsa Aceh sendiri. Oleh

karena Teuku Umar mengetahui medan tempur Aceh, tidak sulit baginya mendapat

kemenangan apalagi pasukannya didukung oleh persenjataan yang sama digunakan

oleh pasukan Belanda. Prestasi demi prestasi yang ditorehkan Teuku Umar memikat

hati Deykerhoff, salah satu pejabat militer tertinggi di Aceh. Perwira Belanda ini

91

Hazil, Teuku Umar ..., hal. 55. 92

; Sartono Kartodirdjo dkk, Sejarah Nasional Indoenesia, jilid IV (Jakarta: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hal. 214; lihat juga Tamar Djaja, Pusaka Indonesia Djilid Dua

(Djakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 556-557.

Page 66: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

56

semakin memanjakan pasukan Teuku Umar dengan persediaan senjata yang

melimpah. Kemenangan demi kemenangan Teuku Umar membuat pemerintah

Belanda semakin bergantung pada Teuku Umar.

Meskipun Cut Nyak Dien mengetahui bahwa maksud dari Teuku Umar adalah

pada akhirnya untuk menghancurkan pasukan Belanda dari dalam, namun tetap saja

ia menyalahkan keputusan suaminya itu. Bekerjasama dengan Belanda adalah

tindakan rendah yang hukumnya sama dengan keluar dari agama Islam. Dalam

kesempatan-kesempatan bertemu dengan Teuku Umar, Cut Nyak Dien tidak bosan-

bosan menyadarkan suaminya untuk meninggalkan cara yang dianggap terkutuk itu.

Pada suatu kesempatan, Cut Nyak Dien menantang Teuku Umar untuk meninggalkan

kerja samanya dengan Belanda. Tantangan ini mengejutkan hati Teuku Umar. Ia tidak

mengira istrinya berani melemparkan tantangan pada dirinya. Sebagai seorang

komandan Aceh yang tersohor, menolak tantangan adalah suatu pantangan apalagi

dari istrinya sendiri. Namun beberapa waktu kemudian, Teuku Umar masih saja dekat

dengan Belanda.

Suatu ketika, ketika berada dalam suatu perjumpaan dengan istrinya di Lam

Pisang, kediaman baru Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Teuku Umar bercerita

tentang penyerangan di Lam Kra’. Di tengah pembicaraan Cut Nyak Dien meminta

waktu untuk mengutarakan sesuatu:93

“Kanda Umar ... aku dikaruniai suatu augerah yang besar sekali.

Meskipun usiaku sudah tua, tapi kini masih bisa berbadan dua. Kanda! ...

Aku menanyakan kepada seorang ulama yang terkenal bernama Teungku

Tanah Abee, ia meramalkan bahwa anak ini adalah seorang putra seperti

yang Kanda idam-idamkan.

93

Hazil, Teuku Umar ..., hal. 108-112.

Page 67: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

57

Jika Kanda kembali ke pihak pejuang Aceh dan mau memimpin

perlawanan kita serta bersedia memerangi kaum kafir, maka putra ini

setelah besar kelak akan dijadikan Sultan Aceh. Kanda jangan lupa

kepada Allah. Ia bersama kita dan Kandalah yang harus menebus hutang

lama (kekalahan) serta membalas teman-teman yang telah gugur dalam

pertempuran mempertahankan bumi Aceh. “

Kata-kata Cut Nyak Dien menyadarkan Teuku Umar. Apa jadinya jika ketika

anaknya lahir, ia masih saja berkawan dengan Belanda. Dalam angan-angannya,

Teuku Umar mendambakan anaknya kelak menjadi Sultan Aceh. Tentu saja itu baru

terjadi manakala ayahnya, ketika berada dalam saat gawat perang Aceh, bersatu padu

dengan pejuang Aceh lainnya menghabisi Belanda. Sejak itu Teuku Umar pun

bertekad kembali ke pangkuan Aceh.

Teuku Umar mencari cara agar ia dapat meninggalkan kubu Belanda dengan

keuntungan. Pada 24 Maret 1896, Teuku Umar meminta Belanda menambah

senjatanya. Pemerintah Belanda di Aceh tidak ingin mengabulkannya, Deykerhoff

mendapat laporan bahwa senjata itu akan digunakan Teuku Umar untuk memburu

pasukan Belanda. Menyadari penolakan itu, Teuku Umar mengambil kesimpulan

bahwa Belanda sudah mengetahui maksud hatinya. Pada 30 Maret 1896, Teuku Umar

mendapat perintah untuk kembali menyerang Lam Kra’. Teuku Umar menganggap

itu adalah jebakan yang disiapkan Belanda untuk menangkapnya. Ia menolak

permintaan tersebut dan menggantinya dengan mengirim sepucuk surat kepada

Deykerhoff yang isinya tentang kekecewaan Teuku Umar karena dihina oleh K.W.

Gisolf (Kontrolir Ulhee Lee). Teuku Umar mengaku sudah dijandikan sesuatu oleh

Gisolf namun tak kunjung dipenuhi.94

Kabar tentang kembalinya Teuku Umar ke kubu pasukan Aceh, amat

menyakitkan pasukan Belanda. Di kalangan orang Belanda, peristiwa itu dikenal

94

Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan ..., hal. 256.

Page 68: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

58

dengan nama “Teuku Umar membelot”. Sejak peristiwa itu, pemerintah Belanda di

Aceh menganggap Teuku Umar dan Cut Nyak Dien sebagai musuh utama Belanda

yang harus lekas ditundukkan. Keduanya harus ditangkap baik dalam keadaan hidup

atau mati.

Akibat penghianatan Teuku Umar, Belanda meningkatkan tekanan kepada

kawan-kawan sekutunya yang berasal dari para pemimpin Aceh. Siapa yang dianggap

menjalin komunikasi atau hubungan dengan pejuang Aceh maka dapat terkena sanksi

yang berat. Belanda mulai menimbang untuk memberlakukan kebijakan penyerangan

ke kampung-kampung di luar lini konsentrasi Belanda (semacam garis pertahanan

yang dibangun Belanda) yang dianggap mempunyai keterkaitan dengan orang Aceh.

Belanda akan tidak segan menghancurkan mereka semua.95

Teuku Umar menanggapi kebijakan Belanda tanpa rasa takut. Sebaliknya

Teuku Umar meningkatkan pengamatan dengan menyebar ke beberapa wilayah yang

membingungkan informasi Belanda.96

Sejak itu, antara pasukan Teuku Umar dan

pasukan Belanda terlibat beberapa kali bentrokan.

Di mata Belanda, Teuku Umar dikenal sebagai panglima perang Aceh yang

licin dan berbahaya. Taktik yang diterapkan suami Cut Nyak Dien ini tidak mudah

ditebak, sehingga berakhir dengan kerugian bagi pasukan Belanda yang kebetulan

berhadapan dengannya. Ketika banyak pemimpin-pemimpin Aceh yang menyatakan

takluk kepada Belanda, Teuku Umar dan pengikutnya memutuskan untuk

mengasingkan diri sejenak ke dataran tinggi Gayo. Tidak ada pasukan Belanda yang

mengetahui persembunyian suami Cut Nyak Dien ini.

Pasukan Belanda masih menjadikan Teuku Umar dan Cut Nyak Dien sebagai

buronan utama. Belanda mengerahkan seluas-luasnya spion yang ia miliki untuk

mendapatkan informasi di mana keberadaan Teuku Umar. Teuku Umar merubah

95

Sartono Kartodirdjo, ed, Sejarah Perlawanan ..., hal. 257. 96

Moh. Said, Atjeh Sepanjang ..., hal. 601.

Page 69: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

59

siasat. Ia memutuskan kembali ke Aceh Barat dan merencanakan perang lanjutan di

sana.

Pada 11 Februari 1899, Teuku Umar dan pasukannya terlibat bentrokan

dengan sepasukan Belanda di Sua, Ujung Kala, Meulaboh. Dalam suatu kesempatan,

satu desing peluru Belanda menghujam tubuh Teuku Umar. Tubuh panglima besar

Aceh ini rebah ke tanah. Medan tempur terhenti. Tubuh pasukan Aceh melemas, di

sisi lain pasukan Belanda bersorak kegirangan. Tidak lama setelah itu, di lokasi

terbunuhnya Teuku Umar dibangun monumen peringatan terbunuhnya Teuku

Umar.97

97

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia Djilid Dua (Djakarta: Bulan Bintang, 1966), hal. 262-263.

Page 70: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

60

BAB IV

CUT NYAK DIEN MELAWAN BELANDA

A. Membangun Mental Pejuang Aceh

Kematian Teuku Umar amat memukul kehidupan Cut Nyak Dien. Ia tidak

menyangka, dirinya harus menjadi janda dua kali. Kedua suaminya meninggal dalam

keadaan yang mengharukan. Memang, suami-suaminya telah wafat dengan syahid,

mereka dianggap sebagai bunga bangsa. Namun, jika berbicara dalam hal

kemanusiaan, kesedihan akibat ditinggal orang-orang yang dicintai tentu amat

menyakitkan. Selama beberapa waktu, Cut Nyak Dien meratapi diri dan berusaha

untuk tegar.

Setelah periode sulit pembebasan diri dari kesedihan, Cut Nyak Dien

berupaya membangun kehidupan yang baru. Kini, jalan untuk menjadi pejuang Aceh

terbentang lebar. Jika sebelumnya, ia hanya bisa memberi nasehat, menyumbang

harta benda dan mengamati perkembangan perang dari jauh, maka inilah waktu yang

tepat untuk memulai perlawanannya. Ia membayangkan dirinya akan menjadi

pejuang yang menghabiskan waktu di medan laga, berhadapan dengan orang-orang

Belanda.

Mohammad Said mengutip suatu informasi yang disebutkan wartawan

majalah Aceh yang menyebutkan bahwa orang Aceh merupakan bangsa yang

berebeda dengan bangsa lain dalam hal semangat melawan kekuasaan asing. Tidak

mudah untuk menundukkan bangsa Aceh meskipun sudah melakukan banyak

pembunuhan kepada mereka. Tidak ada yang bisa menyamai ketegaran dan

kefanatikan para pejuang Aceh di pulau-pulau yang diduduki Belanda. Mereka adalah

bangsa yang tabah, mempunyai tekad yang luar biasa, lebih memilih mati ketimbang

Page 71: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

61

tunduk kepada lawannya, meskipun harapan keselamatan mereka sudah sangat

menipis.98

Cut Nyak Dien mengagendakan pertemuan dengan Pang Laot, sahabat

sekaligus tangan kanan mendiang suaminya. Kepadanya Cut Nyak Dien

mengutarakan hasratnya untuk melanjutkan perjuangan Teuku Umar. Di lain hal, ia

baru saja mendapatkan informasi bahwa Belanda sedang membangun pertahanan di

Pidie. Cut Nyak Dien berpikir bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk

membangun angkatan bersenjata. Pang Laot menyarankan bahwa pasukan yang

nantinya ikut agar terlebih dahulu dilatih keteguhan hati serta keterampilan

perangnya. Gagasan itu langsung disetujui Cut Nyak Dien.99

Ketika pasukan sudah siap, Cut Nyak Dien tidak langsung membuka serangan

seperti yang dahulu dilakukan Teuku Umar. Ia memilih berjuang di wilayah

pedalaman dengan menerapkan taktik gerilya. Ia menyadari keadaan perang Aceh

sedikit demi sedikit sudah banyak yang mengarah pada Belanda. Tentu merupakan

langkah yang kurang tepat apabila melakukan penyerangan langsung ke kubu lawan.

Taktik gerilya yang menekankan pada pergerakan di lokasi-lokasi yang sepi

terasa amat berat dialami oleh pasukan Cut Nyak Dien. Mereka mulai kesulitan

mendapatkan pasokan makanan. Di jalan-jalan yang dilewati, mereka jarang bertemu

dengan petani yang menjual hasil kebunnya untuk kemudian diolah menjadi

makanan. Banyaknya patroli Belanda yang keluar masuk kampung membuat

penduduk Aceh ketakutan untuk kembali mengolah sawah atau ladangnya. Cut Nyak

Dien dan pasukannya tidak lagi memikirkan apa yang pakaian yang ia gunakan, yang

ada di pikiran mereka adalah terus bergerak.100

98

Moh. Said, Atjeh Sepanjang Abad Djilid II (Medan: Waspada, 1961) , hal. 470. 99

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88. 100

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88.

Page 72: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

62

Mekipun Cut Nyak Dien belum pernah ikut serta dalam medan tempur secara

langsung, apalagi menghadapi keganasan alam raya hutan Aceh, namun di tengah

pasukannya Cut Nyak Dien mampu menunjukkan kepemimpinan yang disegani

pengikutnya. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari statusnya sebagai kaum bangsawan

ditambah kebesaran nama ayah serta suami-suaminya yang telah berjuang

membaktikan diri mempertahanakn Aceh dari penjajah. Walaupun demikian,

tersohornya nama Cut Nyak Dien sebagai tokoh penting perang Aceh bukan semata-

mata karena orang-orang yang dicintainya itu, melainkan karena perannya tersendiri

dalam memupuk perlawanan lanjutan menghadapi Belanda.

Di tengah petualangannya keluar masuk hutan, Cut Nyak Dien mengajarkan

pengikutnya untuk memanfaatkan kekayaan alam sebagai makanan dan obat. Anak

Teuku Nanta Setia ini memperkenalkan aneka buah-buahan, akar-akaran serta daun-

daunan yang bisa dimanfaatkan ketika kebutuhan makanan dan obat mereka menipis.

Meskipun keadaan menjadi serba sulit, tidak ada kelelahan apalagi terlintas di pikiran

para pengikut Cut Nyak Dien untuk menyerah. Mereka benar-benar sudah

menggantungkan nasib mereka kepada Cut Nyak Dien untuk sama-sama melawan

Belanda..101

H.C. Zentgraaff, seorang wartawan Belanda yang pernah mengikuti perang

Aceh, menyebutkan bahwa merupakan kesulitan dalam mencerna kepribadian wanita

Aceh. Ketika di medan perang, mereka akan tampil gagah berani. Wajahnya

memancarkan kebencian yang sangat kepada pasukan Belanda. Sesungguhnya, sikap

macam ini lahir dari perasaan menolak tunduk sehingga tidak ada jalan lain untuk

tampil menyerang. Keberanian wanita Aceh tidak boleh diragukan bahkan

mengalahkan kaum laki-laki. Meskipun mereka sudah terluka, mereka akan tetap

menerjang lawannya.102

101

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 87-88. 102

H. C. Zentgraaff, Aceh, Terj. Firdaus Burhan (Jakarta: Departemen P dan K, 1983) hal. 74

Page 73: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

63

Pasukan Cut Nyak Dien terdiri dari para pengguna senjata jarak dekat yang

terampil. Selain menggunakan rencong mereka juga menggunakan klewang. Cut

Nyak Dien berupaya memadukan pertahanan dan serangan dalam kadar yang

seimbang. Pasukannya tidaklah banyak, namun mempunyai kelebihan dalam

persembunyian dan gerak cepat. Hal ini dikarenakan mereka sudah terbiasa berada di

kondisi alam yang didominasi oleh hutan rimba.

Cut Nyak Dien akan menempatkan pasukannya dalam titik-titik yang

berdekatan di jalur yang digunakan patroli Belanda. Begitu pasukan Belanda

melintasi jalan tersebut, pasukan Cut Nyak Dien akan mencegat mereka dengan tiba-

tiba dan menyerang mereka dengan gerakan cepat. Mereka akan mengibaskan senjata

mereka atau menusukkan ke tubuh lawan. Musuh tidak mempunyai waktu yang

cukup untuk melakukan serangan balik, karena begitu cepatnya gerakan pasukan Cut

Nyak Dien. Setelah menyerang, pasukan Cut Nyak Dien akan melesat memasuki

semak-semak hutan dan segera berlari semakin masuk ke dalam. Tembakan-

tembakan Belanda tidak sampai menjangkau tubuh mereka.

Selain itu, Cut Nyak Dien sesekali juga memerintahkan pasukan untuk

menyebar dalam jangkauan wilayah tertentu. Tugas mereka adalah membunuh

pasukan-pasukan Belanda yang terpisah dari kelompoknya. Mereka adalah pencari

informasi yang ulung, sehingga dapat dengan cepat memperoleh informasi tentang

posisi pasukan lawan. Begitu mengetahui ada beberapa pasukan musuh yang

memisahkan karena alasan-alasan tertentu (misalnya buang air atau mencari

makanan) maka dengan cepat pasukan Cut Nyak Dien melumpuhkan mereka.103

Cara perang yang dilakukan Cut Nyak Dien di atas memang tidak sampai

mengurangi populasi pasukan Belanda secara drastis. Meskipun begitu, hasil yang

diakibatkan dari serangan ini dapat mempengaruhi mental dan fokus pasukan

Belanda. Mereka berpikir pasukan Aceh berjumlah banyak dan tersebar di mana-

103

Szekely-Lulofs, Cut Nyak Dien …, hal. 225.

Page 74: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

64

mana. Padahal yang melakukan serangan adalah pasukan Aceh yang sama. Mereka

hanya mengandalkan pengetahuan geografis setempat. Pasukan Belanda akan berpikir

bahwa perang Aceh ternyata belum sepenuhnya usai. Pembunuhan demi pembunuhan

misterius yang dilakukan pasukan Aceh membuat pasukan patroli Belanda semakin

khawatir dan takut dalam menjalankan tugas.

Suatu ketika, Cut Nyak Dien mencoba cara baru untuk melebarkan pengaruh ke

Meulaboh. Ia tidak bisa terus menghindar dari sergapan Belanda terus menerus. Ia

pun membuat jaringan komunikasi dengan para penguasa Meulaboh mulai dari

pangkat terendah hingga yang tertinggi. Cut Nyak Dien tidak jemu mengajak mereka

untuk bersama bangkit melawan Belanda.104

Melalui tempat-tempat terpencil seperti dari dalam hutan Cut Nyak Dien terus

menyeru kepada rakyat Aceh untuk tidak berputus asa. Lewat jaringan informasi ke

sejumlah tokoh perang Aceh serta ke masyarakat, ia tekankan bahwa perang Aceh

belum berakhir. Ia juga menyeru kepada para pemuda Aceh untuk bersatu padu

menggabungkan diri dalam semangat melawan penjajah. Seruan ini membuat simpati

rakyat pada Cut Nyak Dien meningkat. Mereka seakan mempunyai pegangan hidup,

bahwa jauh di dalam rimba, masih ada ratu perang Aceh yang gencar meneror

kedudukan Belanda. Penduduk Aceh akan selalu percaya bahwa Cut Nyak Dien akan

datang menyelamatkan mereka.

Cut Nyak Dien dan para pengikutnya tidak bisa lama tinggal di suatu daerah.

Ia harus terus bergerak dan berpindah-pindah agar musuh semakin menjauh dari

mereka. Biasanya, Cut Nyak Dien akan membangun tenda darurat di lokasi yang sulit

dijangkau oleh manusia pada umumnya. Gubuk yang dibangun para pengikut Cut

Nyak Dien hanya berbahan dasar kayu dan dedaunan kering. Di siang hari, mereka

menghindari penggunaan api, karena asap pembakarannya dapat dijadikan petunjuk

104

C. Van der Pol, “Tjut Nja’ Dien” , De Gids, tweede deel (Amsterdam: P.N. Van Kampen &

Zoon, 1961), hal. 339.

Page 75: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

65

Belanda mendekati lokasi yang dicurigai ditempat Cut Nyak Dien. Jalan menuju

gubuk mereka sengaja dibuat berlawanan dengan jalur aslinya, agar para kaki tangan

Belanda yang ditugaskan mencari jejak kesulitan mendeteksi lokasi Cut Nyak

Dien.105

Memasuki bulan Oktober 1901, Cut Nyak Dien memutuskan bergerak masuk

ke dalam menuju dataran tinggi Gayo. Tempat ini dipilih agar mereka semakin jauh

dari patroli Belanda.106

M. H. Gayo menerangkan bahwa Cut Nyak Dien berada di

Gayo dari tahun 1900 – 1901. Ia tinggal di kampung Celala. Cut Nyak Dien tinggal di

suatu meunasah (mersah) dekat kediaman pemuka rakyat setempat yang dikenal

dengan sebutan Reje Cik. Reje Cik berasal dari belah Melala Bebesen yang berdiam

di Celala. Lingkungan tempat tinggal Cut Nyak Dien berada dalam lingkungan istana

raja. Setelah setahun, Cut Nyak Dien kembali bergerak menuju Betung. Penduduk

Celala melakukan pengawalan. Mereka juga membangun pos-pos di tempat strategis

untuk persiapan menghadapi pasukan Belanda.107

B. Penangkapan dan Pengasingan Cut Nyak Dien

Semakin jauh Cut Nyak Dien dari jangkauan penduduk Aceh pada umumnya

semakin menderita hidupnya. Kekurangan demi kekurangan yang dialaminya tidak

dirisaukannya. Kondisi fisik Cut Nyak Dien yang menua membuat Pang Laot

semakin kasihan padanya. Apalagi ketika mengetahui mata Cut Nyak Dien sudah

tidak mampu lagi melihat dengan benar. Pang Laot pun merasa adalah kesalahannya

jika terus membiarkan kondisi buruk menimpa sosok pemimpinnya ini.

Suatu ketika pada tahun 1904, Pang Laot membulatkan tekat untuk

mengabarkan kepada Belanda tentang posisi Cut Nyak Dien. Ia tidak tahan lagi

melihat penderitaan fisik yang dialami istri Teuku Umar itu. Setelah meminta diri

105

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 92. 106

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia ..., hal. 563. 107

M.H. Gayo, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda (Jakarta: Balai Pustaka, 1983),

hal. 98.

Page 76: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

66

pada Cut Nyak Dien, ia bergegas menuju tempat istirahat patroli Belanda yang saat

itu dipimpin oleh Van Vuuren. Ketika Pang Laot datang hampir semua anggota

pasukan Belanda bersiap menyerang komandan perang Aceh itu, namun dengan sigap

Pang Laot meminta waktu ingin berbicara dengan Van Vuuren tentang Cut Nyak

Dien.

Van Vuuren mengerti bahwa apa yang dibicarakan Pang Laot adalah detik-

detik masa akhir perlawanan Cut Nyak Dien. Pang Laot meminta komandan Belanda

itu agar memperlakukan Cut Nyak Dien dengan baik dan berjanji untuk merawat Cut

Nyak Dien begitu sampai di Kota Raja. Van Vuuren mendengarkan permintaan Pang

Laot dengan seksama. Kemudian ia meminta pasukan bersiap diri menuju

persembunyiaan Cut Nyak Dien. Van Vuuren sendiri yang memimpin patroli ini

dengan Pang Laot sebagai penunjuk jalan.

Begitu sampai ke tempat Cut Nyak Dien, Pang Laot meminta Cut Nyak Dien

untuk menyerahkan diri pada Belanda dengan perkataan lemah lembut. Betapa

marahnya Cut Nyak Dien mengetahui Pang Laot sudah menghianatinya. Cut Nyak

Dien bersumpah tidak akan mundur walau sejengkal pun. Ia melontarkan caci maki

kepada Pang Laot yang telah berani menunjukkan jalan pada Belanda. Dengan segera

Cut Nyak Dien dan pengikut yang lain segera ditawan oleh pasukan Belanda.

Van Vuuren amat kagum dengan kebulatan tekad juang Cut Nyak Dien. Amat

jarang ditemui di negerinya, Belanda, seorang wanita yang mengabdikan diri di jalur

peperangan. Sebagai pemimpin, Cut Nyak Dien rela menderita bahkan sampai

mengidap penyakit agar perlawanan menghadapi musuh terus berjalan. Van Vuuren

memberikan penghargaan yang tinggi bagi Cut Nyak Dien. Ia juga menggelar

upacara penghormatan bagi Cut Nyak Dien.108

108

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 97-98.

Page 77: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

67

Van Vuuren menepati janji Pang Laot. Begitu sampai di Kotaraja, Cut Nyak

Dien segera dilarikan ke rumah sakit untuk mengobati penyakitnya termasuk

matanya. Pemerintah Belanda menjatuhkan hukuman pengasingan bagi Cut Nyak

Dien. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pengaruh Cut Nyak Dien terhadap

perjuangan bangsa Aceh yang masih terus saja bergolak di beberapa daerah. Cut

Nyak Dien diangkut dengan kapal laut menuju Batavia kemudian ditempatkan di

Sumedang, Jawa Barat.109

Menurut penuturan Asep G., juru kunci makam Cut Nyak Dien yang terletak

di Gunung Puyuh Sumedang, dikatakan bahwa Cut Nyak Dien datang ke Sumedang

pada tahun 1906, ditemani seorang pengawalnya yang masih berusia 5 tahun bernama

Teuku Nana. Saat itu Cut Nyak Dien diterima oleh Bupati Sumedang yang bernama

Eyang Arya Suryaatmaja (bergelar Pangeran Mekkah). Cut Nyak Dien datang dalam

keadaan buta. Pengurusannya diserahkan kepada keluarga Kyai Sanusi.

Di Sumedang, tidak banyak yang tahu siapa sebenarnya Cut Nyak Dien. Di

kalangan penduduk, Cut Nyak Dien lebih dikenal dengan panggilan Ibu Perbu, Ibu

Suci atau Ibu Ratu. Pihak yang mengetahui jati diri Cut Nyak Dien hanyalah keluarga

Bupati Sumedang dan keluarga Kyai Sanusi. Cut Nyak Dien tidak bisa berbahasa

Sunda. Ia berbicara dengan keluarga Kyai Sanusi dengan bahasa Arab.110

Oleh keluarga Kyai Sanusi, Cut Nyak Dien diberi tempat tinggal berupa

rumah yang luasnya 12 x 14 meter. Bentuk rumahnya adalah rumah panggung. Untuk

keperluan sehari-hari, Cut Nyak Dien dibantu oleh keluarga Kyai Sanusi yang

bernama Siti Khadijah. Di Sumedang, Cut Nyak Dien mengajarkan pengetahuan

agama Islam kepada ibu-ibu di sekitar rumahnya. Di antara murid-murid Cut Nyak

109

Muchtaruddin Ibrahim, Cut Nyak Dien …, hal. 99. 110

Wawancara dengan Asep G. (50 tahun) juru kunci makam Cut Nyak Dien di Komplek

Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12 Agustus 2017.

Page 78: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

68

Dien antara lain bernama Naga Bulan dan Dioh Sadiah. Pada tahun 1908, Cut Nyak

Dien wafat dan dimakamkan di tanah pekuburan keluarga Kyai Haji Sanusi.111

C. Cut Nyak Dien sebagai Pahlawan Perang Aceh

Pengaruh yang ditonjolkan Cut Nyak Dien dalam perang Aceh memang

berbeda dengan tokoh-tokoh perang Aceh lainnya. Terdapat tiga varian perjuangan

yang penulis temukan dalam memetakan garis perjuangan bangsa Aceh yakni:

pengaruh strategi, pengaruh agama dan pengaruh wanita kuat.

Pengaruh strategi adalah suatu model bagaimana menanamkan pengaruh ke

sekumpulan orang berbekal pemahaman taktik maupun strategi perang yang baik.

Beberapa tokoh yang termasuk dalam kategori ini adalah Teuku Ibrahim Lamnga dan

Teuku Umar. Mereka berdua dikenal sebagai dua panglima Aceh yang menjadi

andalan di garis depan pertahanan Aceh. Dua suami Cut Nyak Dien ini dikenal

mempunyai pemahaman taktik yang memadai sehingga mampu menahan laju

serangan Belanda. Selain mereka, sosok yang dikenal karena kelihaian strateginya

adalah ayah Cut Nyak Dien, Teuku Nanta Setia. Berbeda dengan dua menantunya, ia

memusatkan taktik membangun pertahanan di sekitar Mukim VI. Pertahanan ini

berguna menghambat gerakan pasukan Belanda ke pedalaman (lebih lengkapnya baca

bab 3).

Pengaruh agama bisa dirasakan dari sosok perang Aceh yang berlatarbelakang

kaum agamawan. Salah satu yang bisa disebutkan adalah Teungku Cik Di Tiro.

Dalam perang Aceh, tokoh agama asal Tiro ini rajin membakar semangat juang

pasukan Aceh melalui pidato-pidatonya. Memang, dalam beberapa kesempatan ia

juga kerap melibatkan diri dalam medan pertepuran. Namun, penulis melihat

perannya sebagai muballig yang menyadarkan dan membangun semangat juang orang

111

Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma (70 tahun) juru kunci makam Cut Nyak

Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12

Agustus 2017.

Page 79: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

69

Aceh yang lebih menonjol. Ini pula yang melandasi mengapa tokoh ini layak

dikatakan sebagai tokoh perang Aceh berlatarbelakang pengaruh agama.112

Sekat gender tidak terasa dalam perang Aceh. Baik laki-laki maupun wanita

mempunyai peran yang sama dalam pertempuran yang terjadi di segenap penjuru

Aceh. Wanita yang hidup dalam perang Aceh menampilkan sosok diri yang tegar,

mandiri dan bertekad kuat untuk berjuang di medan pertempuran. Penulis meyakini

kepemimpinan wanita di Aceh menempati posisi yang setara dengan kepemimpinan

kaum lelaki. Cut Nyak Dien, Cut Nyak Meutia, Teungku Fakinah merupakan

beberapa nama perempuan kuat yang terlibat dalam perang Aceh.

Penulis melihat peluang yang besar bagi wanita yang mempunyai keyakinan

kuat untuk ikut perang Aceh menjadi pemimpin perang. Memang, tidak semua

perempuan di Aceh mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Cut Nyak

Dien misalnya, berpeluang menjadi panglima perang karena latar belakang

keluarganya yang memang menempati strata yang tinggi dalam struktur masyarakat

Aceh. Ia berasal dari keluarga uleebalang VI Mukim. Leluhurnya, Datuk Makhdum

Sati, merupakan sosok yang sudah terpandang di kalangan pembesar istana Aceh.

Ayahnya, Teuku Nanta Setia, juga menjadi salah satu panglima perang andalan dalam

perang Aceh episode sebelumnya.

Penulis menilai Cut Nyak Dien merupakan sosok yang unik dalam perang

Aceh. Sejak remaja sampai dengan kematian Teuku Umar, dirinya tidak pernah

dikisahkan ikut secara langsung dalam pertempuran melawan Belanda. Cut Nyak

Dien hanya ditampilkan sebagai sosok yang mempunyai keingintahuan yang tinggi

mengenai jalannya perang Aceh. Kemungkinan ayah maupun dua suaminya melarang

Cut Nyak Dien untuk ikut perang Aceh secara langsung. Keinginan yang terus

ditekan mampu dikelola Cut Nyak Dien menjadi cita-cita yang ia yakini bahwa suatu

saat ia akan tampil memimpin pasukan Aceh. Sesuatu yang menjadi impiannya.

112

Tamar Djaja, Pusaka Indonesia …, hal. 511-515.

Page 80: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

70

Apa yang sudah dilakukan Cut Nyak Dien adalah suatu wujud kepahlawanan yang

nyata. Menurut Thomas Carlyle, yang disebut pahlwan adalah orang berjasa besar di

masa lalu. Seorang pahlawan juga ditentukan oleh alasan orang-orang di sekitarnya

menjunjung tinggi harkat dan martabatnya. Seorang pahlawan tentu mempunyai

hubungan yang baik dengan orang-orang disekitarnya. 113

Keberhasilan Cut Nyak Dien menghimpun bala tentara Aceh yang tercerai

berai setelah wafatnya Teuku Umar menjadi hal yang pantas diperhatikan. Tentu

tidak mudah meyakinkan para pejuang Aceh dalam komando seseorang yang belum

mempunyai modal yang cukup memimpin pasukan di medan perang. Dalam hal ini,

Cut Nyak Dien beruntung dapat terlebih dahulu meyakinkan Pang Laot, mantan

tangan kanan Teuku Umar, untuk kembali mengangkat senjata. Besar kemungkinan

melalui Pang Laot-lah Cut Nyak Dien memperoleh pasukan yang nantinya berperang

di sisinya.

Sikap konsisten (istiqomah) atau berpendirian tetap melawan Belanda

agaknya yang membuat para pasukan Aceh merasa aman berada dalam

kepemimpinan Aceh. Memimpin pasukan yang rata-rata berasal dari kalangan laki-

laki tentu merupakan tantangan tersendiri bagi Cut Nyak Dien. Penulis meyakini,

figur kuat akan perlawanan pantang mundur yang ditampilkan Cut Nyak Dien cukup

untuk meyakinkan prajuritnya untuk bersama-sama melakukan serangan terhadap

Belanda. Dengan kata lain, karakter kepahlawanan Cut Nyak Dien terletak pada

watak anti-kolonial dan ketetapan hati Cut Nyak Dien.

Menguatnya figur Cut Nyak Dien sebagai pahlawan wanita terkemuka di

kemudian hari adalah berkat pengabdiannya yang tinggi di dunia pendidikan. Di

Sumedang, Cut Nyak Dien membuka pengajian bagi para ibu-ibu di sekitar

rumahnya. Matanya yang saat itu buta bukan merupakan ganjalan untuk menyebarkan

113

Thomas Carlyle, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New York; Chelsea

House, 1983) hal. 1.

Page 81: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

71

manfaat bagi sesama. Kendati ia tidak pandai berbicara dengan bahasa Sunda, bahasa

yang digunakan di lingkungan tempat tinggalnya, Cut Nyak Dien tidak menyerah.

Dengan bahasa Arab ia mengajarkan pengetahuan agama.114

114

Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma (70 tahun) juru kunci makam Cut Nyak

Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12

Agustus 2017.

Page 82: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

72

BAB V

A. KESIMPULAN

Perang Aceh merupakan salah satu perang besar yang terdapat dalam sejarah

Indonesia. Dalam perang ini, kaum elit Aceh bersatu padu dengan rakyat untuk

menghalau kedatangan Belanda. Pemerintah Hindia Belanda merasa Kerajaan Aceh

harus segera dihapuskan kedaulatannya, untuk mencegah ancaman mereka atas

wilayah-wilayah yang sudah berada di bawah kekuasaan Belanda.

Banyak aktor yang terlibat sebagai panglima perang Aceh. Kebanyakan yang

menjadi panglima perang berlatar belakang keluarga bangsawan atau pemimpin

Aceh. Perang ini tidak membatasi keterlibatan seluruh warga Aceh. Mereka yang

merasa siap, diperbolehkan bergabung dengan laskar pasukan Aceh yang nantinya

berperang dengan Belanda. Tidak hanya kaum laki-laki, banyak pula di antara yang

ikut perang adalah perempuan, satu di antaranya adalah Cut Nyak Dien.

Keinginan Cut Nyak Dien untuk ikut perang Aceh sesungguhnya sudah

tumbuh sejak lama. Niatnya itu selalu diurungkan, mengingat kedua suaminya, yakni

Teuku Ibrahim Lamnga dan Teuku Umar, termasuk dalam jajaran panglima utama

perang Aceh. Meski demikian, Cut Nyak Dien tetap tertarik pada pembicaraan

seputar perang Aceh, bahkan bercita-cita suatu saat bisa berperang di sisi pejuang

Aceh lainnya.

Harapan Cut Nyak Dien baru tercapai ketika Teuku Umar wafat. Dengan

dibantu oleh Pang Laot, ia kumpulkan lagi para pejuang Aceh. Perekrutan tentara

Aceh dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena patroli Belanda di kampung-

kampung Aceh semakin sering dilakukan. Dalam perekrutan pasukan Aceh baru,

peran dari Pang Laot tentu saja tidak bisa dikesampingkan. Cut Nyak Dien amat

mengandalkan Pang Laot untuk mengumpulkan prajurit, dikarenakan Cut Nyak Dien

belum pernah turun langsung ke medan pertempuran. Setelah pasukan terkumpul,

Page 83: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

73

mereka semua dilatih terlebih dahulu di suatu tempat rahasia sebelum ditugaskan

berperang melawan Belanda.

Model perlawanan yang dilakukan Cut Nyak Dien adalah perang gerilya. Cut

Nyak Dien tidak melakukan perang serentak, yakni dengan memerintahkan seluruh

pasukannya untuk menyerang ke satu titik. Karena wilayah jelajah Cut Nyak Dien

berada di hutan maupun tempat-tempat pedalaman, pasukan Cut Nyak Dien akan

mencari atau menunggu datangnya patroli Belanda. Patroli yang anggotanya lebih

sedikit akan menjadi sasaran pasukan Cut Nyak Dien yang umumnya menggunakan

senjata tajam. Selain itu, cara lain adalah dengan menikam mati pasukan-pasukan

yang terpisah dari anggota kesatuannya. Biasanya pasukan Cut Nyak Dien akan

mengandalkan pengetahuan geografis untuk mengetahui di mana posisi yang tepat

untuk melakukan penyerangan.

Page 84: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

74

B. Saran-saran

1. Perlu di ketahui bahwa perjuangan melawan Belanda yang dilakukan para pejuang

Aceh atas dorongan yang sangat kuat dalam diri mereka serta budaya Islam yang ada.

2. Pembaca tidakhanya sekedar membaca namun juga memahami maksud dari

perjuangan yang telah dilakukan Cut Nyak Dien.

3. Pada generasi yang akan datang harus dapat merawat peninggalan- peninggalan

jaman penjajahan, agar dapat belajar bagaimana perjuanganpara pahlawan di masa

lalu.

Page 85: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

75

DAFTAR PUSTAKA

Buku, Koran dan Artikel:

Amin, Ahmad. 1964, Dhuha al-Islam, jilid 2 Beirut: Dar al-Kitab al-Araby

Alfian, Ibrahim. 1987, Perang Sabil; Perang di Jalan Allah, Jakarta: Sinar Harapan

Anonim, 1932, “Mededeelingen Betreffende de Atjehsche onderhoorigheden”,

Ahmad, Zakaria. 1972, Sekitar Kerajaan Aceh dalam tahun 1520-1675 Medan:

Monora.

Abdurrahman, Dudung. 1999, Metode Penelitian Sejarah Tangerang: Logos Wacana

Ilmu.

Atjeh, Abubakar. 1971, Sekitar Masuknya Islam di Indonesia Semarang: C.V.

Ramadhani

Bijdragen Tot De Taal-Land-en Volkenkunde Van Nederlandsch Indie BKI, LXVII,

s’Gravenhage, Martinus Nijhoff.selanjutnya hanya ditulis BKI.

BKI, LIII, s’Gravenhage, Martinus Nijhoff, 1901, hal. 18.

Carlyle, Thomas. 1983, On Heroes, Hero Worship, And the Heroic in History (New

York; Chelsea House,

Dasgupta,A.K. 1962, Acheh in Indonesian Trade and Politics 1600-1641, disertasi,

Cornell University.

der Pol, C. Van. 1961, “Tjut Nja’ Dien” , De Gids, tweede deel Amsterdam: P.N. Van

Kampen & Zoon.

Djajaningrat, Hoesein. 1934, Atjehsch Nederlansch Woordenboek, Vol. I Batavia:

Landrukkerij,

Djaja, Tamar. 1966,, Pusaka Indonesia Djilid Dua Djakarta: Bulan Bintang

Gottschalk, Louis. 2006, Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto Jakarta: UI

Press,.

Gayo, M.H. 1983, Perang Gayo Alas Melawan Kolonialis Belanda Jakarta: Balai

Pustaka,

Hasjmi, A. 1975, Iskandar Muda Meukuta Alam Jakarta: Bulan Bintang.

Page 86: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

76

Hill, A.H. 1960, “Hikajat Radja-radja Pasai,” Journal of the Malayan Branch of the

Royal Asiatic Society, JMBRAS, XXXIII, past 2.

Hurgronje, C. Snouck. 1985, Aceh di Mata Kolonialis, Jilid II, Terj. Ng. Singarimbun

Jakarta: Yayasan Sokoguru.

Hall, D. G. E. 1960, A. History of South East Asia, London: Macmillan & co Ltd.

Hazil,1955, Teuku Umar dan Tjut Nja Din; Sepasang Pahlawan Atjeh (Djakarta:

Djambatan,

Haard, Eigen. 1898, Album Atjeh, Uitgaven de Naamlooze Vennotschap,

Amsterdam.

Hurgronje, Snouck. 1894, De Atjehers, vol. 2 Leiden: E.J. Brill,

Hoesin, Moehammad. Adat Atjeh Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudajaan

Daerah Istimewa Atjeh, 1970.

“Ibnu Batutta”, 1971, dalam A. Miquel, The Encyclopaedia of Islam, New edition,

vol. III H-IRAM Leiden: E. J. Brill.

Ibrahim, Muchtaruddin. 1981-1982 Cut Nyak Dien Jakarta: Departemen P dan K,

Pada Pekan Kebudayaan Aceh tahun 1971, Takengon dianugerahi gelar sebagai kota

teladan.

Ibrahim Alfian, Teuku . 1987 Perang di Jalan Allah Jakarta: Sinar Harapan, 1987

Thomas Braddel “On the History ...”,

Juynboll, Th. W. 1960, The Encyclopaedia of Islam, Vol I Leiden: E.J. Brill.

Kartodirdjo, A. Sartono. 1973, Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap

Kolonialisme,Pusat Sejarah Abri

Koentjaraningrat,1971, Manusia dan Kebudayaan (Jakarta: Djambatan.

Kuntowijoyo,1995, Pengantar Ilmu Sejarah Yogyakarta: Bentang, 100

Kreemer, J. 1981, Peran Azimat di Aceh, Terj. Aboe Bakar Banda Aceh: Pusat

Dokumentasi dan Informasi Aceh,

Khatiritamby Wells, J. 1969, “Acehnese Control over West Sumatra up to Treaty of

Painan 1663,” Journal of South East Asian History, vol. X, No. 3.

Page 87: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

77

Kartodirdjo, Sartono. dkk,1975, Sejarah Nasional Indoenesia, jilid IV Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,

Kartodirdjo, Sartono.1969, Struktur Sosial dari Masyarakat Tradisionil dan Kolonial,

Jogjakarta: Fak. Sastra, Univ. Gadjah Mada,

Lulofs, Szekely. Tjut Nja Dien ..., hal. 15.

Lulofs, Szekely. 2010, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh Depok: Komunitas

Bambu,

Mukti Ali, A. 1970, An Introduction to the Government of Acheh’s Sultanate

Jogjakarta: Jajasan Nida.

.Muljono, Slamet. 1968, Runtuhnya Keradjaan Hindu Djawa dan Tumbuhnya

Negara-negara Islam di Nusantara Djakarta: Bhatara.

Morgan, Kenneth W. 1963, Islam Djalan Mutlak, jilid 2, terj. Abusalamah SS

Jakarta: P.T. Pembangunan.

Moh. Said, Aceh Sepanjang ..., hlm. 209-211.

Madjid, M. Dien. 2014, Catatan Pinggir Sejarah Aceh; Perdagangan, Diplomasi dan

Pejuangan Rakyat (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

Paulus, J. 1917, “Atjeh”, Encyclopaedia van Nederlandsch Indie, E. J. Brill,

Siegel, James T. The Rope of God Barkeley and Los Angeles: University of

California Press, 1969.

Reid, Anthony. 1969, The Contest for North Sumatera Kuala Lumpur: University of

Malaya Press.

Saleh, Zaenuddin. 1952, Sedjarah Indonesia, cet. III Djakarta: Pustaka Dewata.

Suryasunarsa, Buddy. 1973 “Aceh Barat Sebuah Kasus Isolasi”, Kompas, edisi 9

Januari.

Sutan Pamenan, Iljas. 1959, Rentjong Atjeh di Tangan Wanita, stencilan untuk kursus

B 1 Sejarah Jakarta: tanpa penerbit,

Schrieke, B. 1957, Indonesian Sociological Studies, part 2 The Hague and Bandung:

W. Van Hoeve Ltd.

Said, Moh. 1961, Aceh Sepanjang Abad Vol. 1 Medan: Waspada

Page 88: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

78

Said, Moh. 1961, Atjeh Sepanjang Abad Djilid II Medan: Waspada,

Sutjipto Wirjosuparto, St. Moh. 1961, Sedjarah Indonesia, jilid 2 t. tp: Indra,

Szekely Lulofs, M. H. 1954, Tjut Nja Dien; Riwayat Hidup Seorang Putri Atjeh, Terj.

dan saduran Abdoel Muis Chailan Sjamsu Djakarta: tanpa penerbit,

Safwan, Mardanas. 1983 Teuku Umar Jakarta: Dinas P dan K,

Vollenhoven, C. van. 1931, Het Adat Recht van Nederlandsch Indie, deel I Leiden:

tanpa penerbit.

Zentgraaff, H. C. Aceh, 1983, Terj. Firdaus Burhan Jakarta: Departemen P dan K

Zaenuddin, H. M. 1961, Tarich Atjeh dan Nusantara, jilid I Medan: Pustaka Iskandar

Muda.

Van den Berg, L.W.C. “De Mohammedaansche Vorsten in Nederlandsch Indie”,

Van’t Veer, Paul. 1985, Perang Aceh; Kisah Kegagalan Snouck Hugronje, Terj.

Grafitipers Jakarta: Grafitipers,

Wawancara dengan Asep G. 50 tahun juru kunci makam Cut Nyak Dien di Komplek

Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang pada hari Sabtu 12

Agustus 2017.

Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma, 70 tahun juru kunci makam Cut

Nyak Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang

pada hari Sabtu 12 Agustus 2017.

Wawancara dengan Dadan Kusnandar Kusuma ,70 tahun juru kunci makam Cut

Nyak Dien di Komplek Pemakaman Cut Nyak Dien di Gunung Puyuh, Sumedang

pada hari Sabtu 12 Agustus 2017

Zain, Kamus Modern Bahasa Indonesia (Jakarta: Grafika, tanpa tahun), hal. 407.

Page 89: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

79

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Gambar Tokoh Cut Nyak Dien

Page 90: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

80

Gambar Tokoh Teuku Umar

Page 91: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

81

Kerajaan Aceh Darussalam 407 Tahun ( 1496 – 1903 M )

Page 92: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

82

Gambar Makam Cut Nyak Dien yang terletak di daerah sumedang

Page 93: KONTRIBUSI CUT NYAK DIEN DALAM PERANG ACEH ( 1873 …

83

Gambar Penulis dan Penjaga Makam Cut Nyak Dien ketika melakukan

penelitian