konservasi sumberdaya perikanan berbasis masyarakat,

Upload: renanda-baghaz-putra

Post on 14-Jan-2016

24 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

konservasi perikanan

TRANSCRIPT

  • AQUASAINS(Jurnal Ilmu Perikanan dan Sumberdaya Perairan)

    [REVIEW]

    KONSERVASI SUMBERDAYA PERIKANAN BERBASIS MASYARAKAT,IMPLEMENTASI NILAI LUHUR BUDAYA INDONESIA DALAMPENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM

    Qadar Hasani

    Ringkasan Laut Indonesia merupakan sa-lah satu pusat keanekaragaman hayati ter-tinggi di dunia, sementara itu terumbu ka-rang Indonesia merupakan pusat dari se-gitiga terumbu karang dunia. Namun, me-ningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain, menyebabkan tekananterhadap sumberdaya alam laut dan ekosis-temnya semakin meningkat pula yang ber-pengaruh pada menurunnya produktivitasdan keanekaragaman sumberdaya hayati ter-sebut. Sehubungan dengan hal itu, upa-ya pengelolaan lingkungan dan konserva-si sumberdaya pesisir dan laut merupakanlangkah yang penting dan strategis. Depa-retemen Kelautan dan Perikanan mengkla-im bahwa Luas Kawasan Konservasi LautIndonesia pada awal Tahun 2005 memilikiluas 7.227.757,26 Ha atau 7,2 Km2 pa-da 75 kawasan konservasi. Lalu bagaimanaposisi dan peran serta masyarakat di seki-tar kawasan tersebut, apakah masyarakatmenjadi penghalang bagi keberlanjutan ka-wasan konservasi? atau apakah mungkin,masyarakat justru dapat diharapkan me-miliki peran aktif dalam pelestarian danpengelolaan kawasan konservasi?. Berbagaicontoh pengelolaan sumberdaya laut ber-basis masyarakat berdasarkan hukum adat(kearifan lokal) di berbagai daerah di Indo-nesia yang secara tidak disadari justru me-nerapkan kaidah-kaidah konservasi mung-

    Dosen Program Studi Budidaya Perairan, FakultasPertanian, Universitas Lampung

    kin merupakan gambaran bahwa konserva-si laut berbasis masyarakat (comunity ba-sed management) atau kolaborasi denganpemerintah (co-management) merupakan se-suatu yang sangat mungkin dikembangkan.

    Keywords Konservasi, pengelolaan,berbasis masyarakat

    PENDAHULUAN

    Perairan laut Indonesia merupakan salahsatu pusat keanekaragaman tertinggi di du-nia, bahkan dapat dikatakan sebagai glo-bal marine biodiversity Roberts et al, 2002dalam [1]. Sementara, terumbu karang In-donesia merupakan pusat dari segitiga ter-umbu karang dunia atau Center of coraltriangle [2] karena memiliki keanekaragam-an hayati tertinggi di dunia (megabiodiver-sity). Setidaknya sekitar 71% seluruh genuskarang yang ada di dunia dapat ditemukandi Indonesia Veron, 2000, dalam [1]. Selainitu, sekitar 51 % terumbu karang di AsiaTenggara, dan 18 % terumbu karang di du-nia berada di wilayah perairan Indonesia[3]. Walaupun kepulauan Indonesia hanyamewakili 1,3% luas daratan dunia, tetapimemiliki 25 % spesies ikan dunia (2000 je-nis), 17% spesies burung, 16% reptil, 12%mamalia (25 jenis), 10% tumbuhan (833 je-nis), sejumlah invertebtara (seperti; molu-

  • 36 Qadar Hasani

    sca 2500 jenis, crustecea 214 jenis, echino-dermata 759 jenis, dan penyu 6 jenis), ser-ta berbagai fungi dan mikroorganisme la-innya (Gautam, et al, 2000 dalam [1]). Sisilain yang menarik dari kawasan pesisir danlaut Indonesia adalah secara sosio-ekonomidan kultural hampir 60% dari penduduk diIndonesia berada di kawasan pesisir, ham-pir 3 juta nelayan dan 2 juta petani nelayanyang menggantungkan hidupnya pada hasillaut. Selain itu aktivitas ekonomi di kawas-an pesisir (fisheries, tourism, mining andenergy, transportation and marine indus-tries) memberikan kontribusi sebesar 20 %dari GDP (Gross Domestik Product) de-ngan produksi perikanan terbesar nomor 6di dunia (5,1 juta ton, FAO, 2002, dalam[1]). [3] bahkan memperkirakan, dari indus-tri pesisir dan laut, seperti pabrik minyakdan gas, transportasi, perikanan dan pa-riwisata, laut Indonesia memberikan sum-bangan sebesar 25 % dari Pendapatan Do-mestik Bruto (PDB) negara, dan 15 % darilapangan pekerjaan di Indonesia.

    Meningkatnya jumlah penduduk serta faktor-faktor ekonomi lain, menyebabkan tekananterhadap sumberdaya alam laut dan eko-sistemnya semakin meningkat pula. Keru-sakan sumberdaya akibat eksploitasi yangtidak ramah lingkungan antara lain dido-rong oleh tekanan pertumbuhan dan ke-miskinan penduduk yang mata pencaha-riannya cenderung kurang memperhatikankelestarian lingkungan di kawasan pesisir,seperti pemanfaatan yang berlebihan (ter-masuk overfishing), perusakan lingkungan(pencemaran), penggunaan bahan kimia ber-acun (potasium sianida), illegal fishing dansebagainya. Sehubungan dengan hal terse-but, maka upaya pengelolaan lingkungandan konservasi merupakan langkah yang pen-ting dan strategis.

    Konservasi sumberdaya pesisir dan laut me-rupakan bagian penting dari keberlanjutansumberdaya perikanan (fisheries sustaina-bility) dan keberlanjutan ekonomi (econo-mic sustainability) masyarakat nelayan [1].Salah satu bentuk upayanya adalah perlin-dungan sumberdaya alam yang dapat dila-kukan melalui konservasi dengan cara me-nyisihkan lokasi-lokasi yang memiliki po-

    tensi keanekaragaman jenis biota laut, ge-jala alam dan keunikan, serta ekosistemnyamenjadi Kawasan Konservasi Laut (KKL)yang pada dasarnya merupakan gerbang ter-akhir perlindungan dan pemanfaatan ber-kelanjutan sumberdaya kelautan dan eko-sistemnya. Melalui cara tersebut diharapk-an upaya perlindungan secara lestari terha-dap sistem penyangga kehidupan, penga-wetan sumber plasma nutfah dan ekosis-temnya serta pemanfaatan sumberdaya alamlaut secara berkelanjutan dapat terwujud[2].

    Terminologi dan Kondisi Konservasi di In-donesia

    Sehubungan dengan konservasi laut dan/ataukonservasi sumberdaya perikanan, bebera-pa pengertian tertuang dalam beberapa pro-duk hukum yang mengatur pengelolaan sum-berdaya laut dan perikanan di Indonesia,antara lain yaitu: Undang-undang no 27tahun 2007 tentang Pengelolaan WilayahPesisir dan Pulau-pulau kecil yang meng-artikan bahwa Konservasi Wilayah Pesisirdan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya per-lindungan, pelestarian, dan pemanfaatanWilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ser-ta ekosistemnya untuk menjamin kebera-daan, ketersediaan, dan kesinambungan Sum-ber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecildengan tetap memelihara dan meningkatk-an kualitas nilai dan keanekaragamannya.Pengertian konservasi sebagai upaya me-lindungi, melestarikan dan memanfaatkansumberdaya juga tertulis dalam UU No-mor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Pa-sal 1 Angka 8; Peraturan Pemerintah No.60/2007tentang Konservasi Sumber Daya Ikan pa-da Pasal 1 ayat (3). [2], selanjutnya jugamemperkenalkan istilah Kawasan Konse-rvasi Laut (KKL) sebagai terjemahan res-mi dari Marine Protected Area (MPA).

    Dengan mengadopsi definisi dari IUCN, KKLdibagi ke dalam beberapa kategori yangdapat disetarakan dengan jenis KKL di In-donesia, definisi kategori tersebut adalahsebagai berikut :KKL adalah wilayah per-airan laut termasuk pesisir dan pulau-pulaukecil yang mencakup tumbuhan dan hew-an di dalamnya, serta/atau termasuk buk-

  • konservasi berbasis masyarakat 37

    ti peninggalan sejarah dan sosial budayadi bawahnya, yang dilindungi secara hu-kum atau cara lain yang efektif baik de-ngan melindungi seluruh atau sebagian wi-layah tersebut . Di daerah tersebut diaturzona-zona untuk mengatur kegiatan yangdapat dan tidak dapat dilakukan, misalnyapelarangan kegiatan seperti penambanganminyak dan gas bumi, perlindungan ikan,biota laut dan ekologinya untuk menjaminperlidungan yang lebih baik terlepas daribagaimana kondisi eksisting kawasan kon-servasi laut di Indonesia, namun di lihatdari luasannya, Pemerintah Indonesia da-lam hal Kementerian Kelautan dan Peri-kanan) tampaknya menyadari bahwa beta-pa pentingnya keberadaan kawasan konse-rvasi laut bagi pemanfaatan dan pengelola-an ekosistem laut yang berkelanjutan, seti-daknya hal ini dapat tercermin dari upaya-upaya yang dilakukan dalam membentukdan mengelola kawasan konservasi laut diindonesia. Dalam hal ini [2] merilis bahwaKawasan Konservasi Laut Indonesia padaawal Tahun 2005 memiliki luas 7.227.757,26Ha atau sebesar 7,2 Km2, terdiri dari 75 ka-wasan konservasi. Hal tersebut berdasark-an pengelolaan dari PHKA dan DKP yangterbagi atas 8 tipe kawasan. Luasan masing-masing kawasan dapat dilihat pada tabel 1.berikut:

    Selanjutnya, pada tahun 2010 Kementeri-an Kelautan dan Perikanan menargetkanuntuk mengembangkan kawasan konservasilaut seluas 10 juta Ha dan pada tahun 2020target luas KKL yang ingin dicapai ada-lah 20 juta Ha. Luasan kawasan konserva-si di atas adalah kawasan konservasi yangdibentuk, dan di bawah pengelolaan pe-merintah, baik pemerintah pusat maupunpemerintah daerah, tanpa merinci kondi-si dan kualitas ekologis kawasan konserva-si tersebut. Dalam hal ini mungkin timbulbeberapa pertanyaan antara lain: bagaima-na kondisi pengelolaan kawasan konservasitersebut? Lalu bagaimana posisi dan peranserta masyarakat di sekitar kawasan terse-but, apakah masyarakat menjadi pengha-lang atas adanya kawasan konservasi? ataujustru masyarakat dapat sebagai ujung tom-bak dan memiliki peran aktif dalam peles-

    tarian dan pengelolaan kawasan konservasitersebut?

    Pertanyaan-pertanyaan seperti di atas sa-ngat mungkin muncul mengingat seringkaliterjadi konflik kepentingan dalam pengelo-laan sumberdaya alam di Indonesia. Bebe-rapa konflik tentang permasalahan penge-lolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam,antara masyarakat dengan para pemilik mo-dal maupun dengan pemerintah (pusat ma-upun daerah) telah banyak dipublikasikandalam berbagai makalah antara lain: Ka-sus antara orang Amungme dan Komorodengan P.T. Freeport Mc Moran Indonesia[4];[5]; Masyarakat adat Marga Belimbingdi Lampung Barat dengan Pemerintah [6];serta konflik antara pengusaha tambak danMasyarakat adat Cerekang dan Sungai La-kawali, di Kabupaten Luwu Timur Sulawe-si Selatan [7]. Selanjutnya pertanyaan lainyang timbul adalah apakah mungkin peli-batan masyarakat dalam pengelolaan ka-wasan konservasi (laut) dapat dilaksanak-an dan berhasil di Indonesia?.

    Pengelolaan Konservasi Berbasis Masyara-kat dan Ko-Manajemen di Indonesia

    Pengelolaan kawasan konservasi berbasis ma-syarakat pada dasarnya merupakan bagiandari pengelolaan sumberdaya berbasis ma-syarakat atau Community-Based Manage-ment (CBM), yang menurut Carter (1996)dalam [8] didefinisikan sebagai suatu stra-tegi untuk mencapai pembangunan yangberpusat pada manusia, di mana pusat pe-ngambilan keputusan mengenai pemanfa-atan sumberdaya secara berkelanjutan disuatu daerah terletak/berada di tangan or-ganisasi - organisasi yang ada dalam ma-syarakat di daerah tersebut. Pada sistempengelolaan ini, masyarakat diberikan ke-sempatan dan tanggung jawab dalam me-lakukan pengelolaan terhadap sumberda-ya yang dimilikinya, di mana masyarakatsendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tu-juan dan aspirasinya serta masyarakat itupula yang membuat keputusan demi kese-jahteraannya.

  • 38 Qadar Hasani

    Tabel 1 Luas Kawasan Konservasi Laut Indonesia

    No Tipe KawasanJumlah

    Kawasan Luas (Ha)

    A INISIASI DEPTAN/DEPHUT

    1. Taman Nasional Laut (TNL) 7 4.045.049,00

    2. Taman Wisata Alam Laut (TWAL) 18 767.610,15

    3. Cagar Alam Laut (CAL) 9 216.555,45

    4. Suaka Margasatwa Laut (SML) 6 71.310,00

    B INISIASI DKP DAN PEMDA

    1. Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) 12 1.439.169,53

    2. Calon Kaw. Konservasi Laut Daerah (CKKLD) 11 685.524,00

    3. Daerah Perlindungan Laut (DPL)/Daerah Perlindungan Mangrove (DPM) 2 2.085,90

    4. Suaka Perikanan (SP) 10 453,23

    Total 75 7.227.757,26Sumber:[2]

    Jadi, pengelolaan berbasis masyarakat ada-lah suatu sistem pengelolaan sumberdayaalam di mana masyarakat lokal terlibat se-cara aktif dalam proses pengelolaan sum-berdaya alam yang terkandung di dalam-nya. Pengelolaan di sini meliputi berbagaidimensi seperti perencanaan, pelaksanaan,serta pemanfaatan hasil-hasilnya. Selain pe-ngelolaan sumberdaya perikanan berbasismasyarakat (CBRM), pelibatan masyara-kat dalam pengelolaan sumberdaya laut diIndonesia juga dapat berjalan dengan kon-sep Ko-Manajemen, merupakan derivasi da-ri pengelolaan berbasis masyarakat (CBRM)dan pengelolaan sumberdaya oleh pemerin-tah.

    Ko-manajemen merupakan pembagian ataupendistribusian tanggung jawab dan wewe-nang antara pemerintah dan masyarakatlokal dalam pengelolaan sumberdaya per-ikanan/laut. Sehingga dalam hal ini, peme-rintah maupun masyarakat bertanggung ja-wab bersama dalam melakukan seluruh pe-ngelolaan sumberdaya tersebut. Untuk men-jawab pertanyaan apakah mungkin penge-lolaan kawasan konservasi berbasis masya-rakat dapat berhasil di Indonesia?, sebe-lum menjawab pertanyaan tersebut ada ba-iknya kita cermati beberapa contoh pelak-sanaan CBM dan Ko-Manajemen di Indo-nesia yang diperoleh dari berbagai sumbersebagai berikut:

    Tabel 2 Penurunan frekwensi pengeboman ikandi sekitar tiga kawasan suaka perikanan hasil ke-sepakatan awig-awig di Lombok Timur

    TahunFrekwensi pengeboman

    Teluk Ekas Teluk Sawere Teluk Jukung

    1998 30 40 30 40 30 40

    1999 20 25 20 30 30 40

    2000 15 20 20 30 30 40

    2001 0 0,8 0 0 6

    2002 0 0 0 6Sumber:[10]

    Pengelolaan konservasi laut melalui Ke-sepakatan Awig-awig di Lombok Timur[9][[10]Salah satu contoh Ko-manajemen yangtelah dijalankan di Indonesia adalah re-vitalisasi peran serta masyarakat dalampengelolaan sumberdaya laut di Lom-bok Timur melalui implementasi tradi-si awig-awig yang merupakan programdari COREMAP II, dan dianggap salahsatu yang berhasil oleh [10].Tradisi awig-awig pada dasarnya sudahada sejak lama dan merupakan pening-galan nenek moyang masyarakat Lom-bok Timur, namun Proses revitalisasihak tradisional dalam pengelolaan sum-berdaya kelautan dan perikanan di ka-bupaten Lombok Timur mulai di lakuk-an pada tahun 1994, dipicu oleh terja-dinya konflik anatara nelayan tradisio-nal dengan nelayan modern yang meng-gunakan alat tangkap mini purse seine.

  • konservasi berbasis masyarakat 39

    Konflik tersebut memuncak pada bul-an Maret 1993 karena kapal purse se-ine baru yang lebih besar ukurannyamemasuki daerah penangkapan nelay-an tradisional, sehingga nelayan tradi-sional menggelar demonstrasi dan me-rusak Balai Desa Tanjung Luar. Karenamasalah ini belum diselesaikan dengantuntas, maka pada tahun 1994 nelayantradisional dari desa Tanjung Luar me-lakukan demonstrasi ke DPRD Kabu-paten Lombok Timur. Dalam masalahini Dinas Perikanan kabupaten LombokTimur ditugaskan untuk dapat menye-lesaikan masah tersebut.Melalui proses dialog antara nelayan tra-disional dan nelayan mini purse Seineyang difasiliatsi Dinas Perikanan Kabu-paten Lombok Timur, akhirnya dipe-roleh kesepakatan bahwa petikaian iniagar diselesaikan melalui pembuatan awig-awig. dalam bentuk hukum adat yangmemuat larangan-larangan bagi nelay-an mini purse seine untuk beroperasipada Jalur I beserta sanksi-sanksinya,selanjutnya ketentuan tersebut dituangk-an dalam bentuk tertulis dan merupak-an Peraturan Desa (Perdes) yang dite-tapkan pada tanggal 14 Nopember 1994.Penerapan tradisi awig-awig masih ber-jalan dengan baik sampai saat ini, bahk-an tradisi ini dimanfaatan oleh peme-rintah kabupaten Lombok Timur untukmembentuk suaka perikanan dengan po-la partisipasi masyarakat. Dinas Kela-utan dan Perikanan sebagai pemegangmandat pengelolaan wilayah laut hing-ga 4 mil laut, mendelegasikan sebagi-an kewenangannya dalam pembentuk-an kawasan suaka perikanan kepada ke-lompok masyarakat melalui Komite Pe-ngelola Perikanan Laut (KPPL) padakawasan tertentu. Dengan pendelegasi-an kewenangann ini, KPPL dan masya-rakat menentukan sendiri lokasi yangakan dijadikan kawasan suaka perikan-an dan menjalin kerjasama dalam per-encanaan dan pengelolaan kawasan su-aka perikanan. Melalui partisipasi ma-syarakat tersebut di atas, pada tahun2001 di Kabupaten Lombok Timur ter-

    bentuk tiga kawasan suaka perikanan,yaitu: (1) Suaka perikanan Sapak Ko-kok di Teluk Ekas; (2) Suaka perikananGili Rango di Teluk Serewe; dan (3) Su-aka perikanan Gusoh Sandak di TelukJukung.Kawasan suaka perikanan Sapak Kokokdan Gusoh Sundak meliputi ekosistemmangrove dan padang lamun. Setiap ka-wasan suaka perikanan dibagi menjadizona inti dan zona penyangga. Baik didalam zona inti maupun zona penya-ngaga, semua kegiatan eksploitasi dila-rang. Di zona inti juga dilarang kegiat-an non-eksploitatif serperti bersampandan budidaya. kegiatan tersebut diper-bolehkan hanya di zona penyangga. Pe-netapan ketiga lokasi tersebut sebagaikawasan suaka perikanan dan penetap-an aturan-aturan pengelolaannya dibu-at dalam bentuk kesepakatan masyara-kat (awig-awig) di semua kawasan. Ka-rena itu, dokumen rencana pengelolaankawasan suaka perikanan disahkan se-cara tertulis yang ditandatangani olehBadan Perwakilan Desa (BPD) dari se-mua desa yang terlibat. Sementara itu,KPPL bertanggung jawab atas pelak-sanaan kegiatan pengelolaannya.Implementasi tradisi awig-awig dalampengelolaan suaka perikanan di Kabu-paten Lombok Timur dinilai merupak-an salah satu yang berhasil di Indone-sia, berdasarkan hasil evaluasi, melaluidata-seri yang berurutan antara tahu-in 1998-2002 dengan adanya kesepakat-an tersebut frekwensi pengeboman ikandi sekitar kawasan suaka perikanan me-nurun sangat signifikan, seperti ditam-pilkan dalam tabel berikut.Selain tampak dari penurunan frekwen-si pengeboman ikan seperti ditampilk-an pada tabel 2, [10] menyatakan bah-wa keberhasilan program tersebut da-pat dilihat dari beberapa indikator la-in, seperti tidak adanya laporan pelang-garan kesepakat awig-awig kawasan su-aka perikanan, semakin meningkatnyajumlah dan ukuran hasil tangkapan (ke-piting bakau) di sekitar kawasan suakaGili Rango, dan meningkatnya produk-

  • 40 Qadar Hasani

    si kerja serta pendapatan masyarakat,walaupun pemerintah juga menyadaribahwa peningkatan ini belum tentu me-rupakan dampak langsung dari pemben-tukan suaka perikanan tersebut.

    Restorasi Terumbu karang berbasis ma-syarakat untuk keberlanjutan pariwisa-ta di Desa Pemuteran Bali [11].Desa Pemuteran, yang terletak 115 kilometer dari pusat Kota Denpasar, meru-pakan daerah kritis, kering, minim cu-rah hujan, berpenduduk kurang lebih7.650 jiwa (1.700 KK), 80 persen se-bagai nelayan, lainnya sebagai buruhbangunan dan sopir angkutan. Lahandaratan hanya berproduksi setahun se-kali berupa palawija. Kondisi daratanyang kurang menguntungkan, mendo-rong masyarakat Pemuteran memanfa-atkan potensi lautnya secara maksimal,bahkan dengan tindakan yang kurangbersahabat, seperti penggunaan potasi-um untuk mendapatkan ikan hias ataupun ikan konsumsi. Akibatnya terum-bu karang sebagai tempat hidup danberkembang biak keragaman hayati la-ut menjadi hancur. Kehancuran poten-si bawah air pesisir Pemuteran, makinparah dengan munculnya el-nino yangmengakibatkan kenaikan suhu air lautdan memutihnya terumbu karang. Aki-bat tindakan kurang bersahabat terse-but, pendapatan nelayan pun jauh daritaraf memadai.Melalui Yayasan Karang Lestari (YKL)masyarakat desa Pemuteran melaksa-nakan program restorasi terumbu ka-rang menggunakan teknologi bio-rockdengan luasan wilayah restorasi terbe-sar di dunia. Pelaku bisnis hotel, diveshop (toko peralatan menyelam), ma-syarakat nelayan, kalangan ahli dan pe-giat lingkungan bersatu untuk melin-dungi dan memulihkan terumbu karang.Pada akhirnya memulihkan sumber da-ya pesisir dan memicu pertumbuhan bis-nis kepariwisataan serta perekonomianmasyarakat. Keberhasilan pilot projectrestorasi terumbu karang dengan tek-nologi bio-rock di Pemuteran ini diten-tukan oleh tingkat partisipatif semua

    elemen masyarakat baik sebagai pela-ku bisnis, masyarakat nelayan maupunpihak pemerintah. Keberhasilan terse-but dapat dilihat dari makin berkem-bangnya industri ikutan pariwisata ba-hari seperti souvenir shop, penyewaanalat selam, alat wisata di darat sepertipenyewaan sepeda gunung, kendaraanuntuk tur ke objek wisata sekitar de-sa sampai berkembangnya wisata spi-ritual. Di samping itu, desa Pemuter-an telah memiliki kelompok penjaga la-ut (pecalang) yang mengamankan wi-layah pesisir Pemuteran. Kelompok re-ef garderner yang melakukan pemeli-haraan terumbu karang, menyusul da-lam waktu dekat peresmian unit tra-vel, dan unit pengembangan spiritualcentre. Keseluruhan unit tersebut ber-ada dibawah Badan Pengelola Pengem-bangan Desa Pemuteran (Single Desti-nation develompment and Management).Keberhasilan pengembangan pariwisa-ta kerakyatan di Pemuteran ini juga da-pat dilihat dari sejumlah penghargaanyang terima seperti: dari Skal, ASEAN-TA, PATA maupun Kalpataru dari pe-merintah Indonesia.

    Tradisi Sasi di Pulau Saparua [11][10]Salah satu contoh pengelolaan sumbe-rdaya laut dengan mengedepankan kai-dah konservasi berbasis masyarakat ada-lah tradisi Sasi alam laut yang sepenuh-nya diatur melalui peraturan Sasi dila-kukan oleh sebagian masyarakat pesisirdi Propinsi Maluku.Di perdesaan Pulau Saparua, Maluku,pemanfaatan sumberdaya laut pesisir danhutan umumnya dikelola dengan sistemyang disebut sasi, yang merupakan sua-tu sistem atau kelembagaan yang meng-atur masyarakat desa untuk tidak me-nangkap ikan di daerah tertentu danwaktu tertentu. Tujuan adanya larang-an ini supaya ikan dapat berkembangbiak, tumbuh mencapai ukuran terten-tu, tetap tersedia hingga dapat ditang-kap dan dikonsumsi pada waktu yanglama dan agar sumberdaya ikan tetaplestari dan tetap dapat dimanfaatkandi kemudan hari oleh generasi yang ak-

  • konservasi berbasis masyarakat 41

    Gambar 1 Salah satu bentuk papan peringatan dalam rangka restorasi terumbu karang untuk ekowisatadi Desa Pemuteran, Bali.

    an datang. Pelaksanaan sasi dilakukandengan cara menutup musim dan dae-rah penangkapan ikan. Untuk itu, ma-syarakat desa tidak diizinkan menang-kap ikan selama periode waktu terten-tu di kawasan perairan tertentu. Perio-de penutupan pengankapan ika ini di-kenal dengan nama tutup sasi. Semen-tara itu, periode musim pengkapan ik-an ini dikenal dengan nama buka sa-si. Pelaksanaan sasi juga mengatur ten-tang pelarangan penggunaan alat tang-kap yang merusak lingkungan. Pemim-pin dan masyarakat desa bersama-samamenentukan jenis alat tangkap ikan yangboleh digunakan. Penggunaan dinamit,bom, dan racun untuk menangkap ikandilarang. Hal ini disebabkan masyara-kat desa benar-benar telah memahamibahwa pengakapan ikan dengan cara inidapat merusak lingkungan dan membu-nuh semua jenis dan ukuran ikan. Se-lain itu, penggunaan bom dan dinamitjuga sangat berbahaya bagi keselamat-an jiwa nelayan.Sistem Sasi di Kabupaten Maluku Te-ngah ini pada dasarnya dibentuk ber-dasarkan kesepakatan adat dan disam-paikan secara alamiah dari generasi kegenerasi. Sistem Sasi ini kemudian di-legitimasi oleh institusi formal, dalamhal ini pemerintah melalui institusi de-sa yang membawahi praktek-praktek Sa-si tersebut.

    Hak Ulayat Laut di Endokisi Kabupa-ten Jayapura [9]Endokisi adalah sebuah desa pantai yangberada di Teluk Tanah Merah, wilayahKecamatan Demta, Kabupaten Jayapu-ra. Kepemimpinan di Desa Endokisi ber-tumpu pada tiga tungku yaitu peme-rintah, pemimpin tradisional dan gere-ja yang menyatu dalam dewan adat dandibentuk tahun 1986. Tugas Dewan Adatadalah menyelesaikan permasalahan yangada kaitannya dengan masalah adat. Per-ubahan teknologi dalam kegiatan pe-nangkapan ikan sangat berpengaruh ter-hadap pelaksanaan hak ulayat laut. Haltersebut disebabkan oleh kekhawatiranmasyarakat terhadap kelangsungan sum-berdaya di wilayah pemilik hak ulayatlaut terutama terhadap tingkat eksplo-itasi sero dan jaring yang dianggap le-bih tinggi. Permohonan dan pemberi-an izin tidak dilakukan dalam bentuktertulis dan tidak didasarkan pada per-hitungan materi. Namun demikian, pe-milik alat tangkap akan menyerahkansebagian uang dari hasil penjualan ik-an kepada Dewan Adat.Sanksi oleh Dewan Adat hanya diberik-an kepada para nelayan yang mengope-rasikan jaring atau sero apung atau alattangkap lain yang dianggap memilikitingkat eksploitasi yang tinggi di wila-yah lain tanpa izin. Di Desa Endokisidikenal empat tingkatan sanksi, yaitu

  • 42 Qadar Hasani

    (1) teguran, (2) tobu (disuruh menca-ri kelapa), (3) disuruh menangkap babi,dan (4) Hukuman mati. Hukuman matisejak masuknya Injil tidak diberlakuk-an lagi. Pengaturan jumlah alat tang-kap yang boleh dioperasikan di perair-an laut Desa Endokisi diberikan olehDewan Adat dapat menjamin kelestari-an sumberdaya ikan di sekitar wilayahperairannya yang merupakan salah satutujuan pengelolaan sumberdaya ikan.Selain beberapa contoh di atas, berba-gai contoh kearifan lokal lain dalam pe-ngelolaan konservasi berbasis masyara-kat telah banyak dipublikasikan anta-ra lain: Pengelolaan Sumberdaya Lautberbasis masyarakat di desa Blongko,Talise dan Bentenan Tumbak di Sula-wesi Utara [12]; [11];[10], Keputusan De-sa Gili Indah, Nusatenggara Barat [12],Pengelolaan Daerah Perlindungan Laut(DPL) di Pulau Sebesi Lampung Selat-an [13]; Pengembangan ekowisata ber-basis masyarakat di Kelurahan Serang-an Bali [14]; dan Tradisi hukum adatlaot/Panglima laot di Nanggroe AcehDarussalam [15];[16];[17];[18], bahkan ber-dasarkan data yang di sampaikan [19],tingkat keberhasilan pengelolaan kon-servasi oleh sistem tradisional masya-rakat Aceh di Pulau Weh, memberikanhasil tutupan karang yang lebih baikjika dibandingkan dengan kondisi ter-umbu karang di cagar alam laut yangdikelola pemerintah (lihat gambar 2).

    PENUTUP

    Beberapa kasus di atas hanyalah sebagi-an kecil dari berbagai contoh pengelolaandan/atau konservasi sumberdaya alam/lautberbasis masyarakat (CBM) dan/atau ko-manajemen antara pemerintah dan masya-rakat yang berlangsung dengan mengede-pankan kearifan lokal dan menerapkan kaidah-kaidah pelestarian/konservasi yang telah ber-langsung turun-temurun di Indonesia danmerupakan implementasi nilai luhur buda-ya Indonesia dalam pengelolaan sumberda-ya alamnya. Bahkan [20], menyatakan bah-

    Gambar 2 Grafik yang menunjukkan bahwa kon-servasi terumbu karang berbasis masyarakat mem-berikan hasil Tutupan karang keras yang lebihtinggi dibandingkan cagar alam laut dan kondi-si open access, data diiukur melalui 8 kali pengu-langan dengan transek garis sepanjang 10 m dari0,5 hingga 2 m pada 15 titik di Pulau Weh dan diPantai Aceh di awal tahun 2005. (Gambar diadopsidari [19]).

    wa pelaksanaan CBM dan Ko-manajemendi Indonesia merupakan salah satu sistempengelolaan berbasis masyarakat yang pa-ling lama bertahan di Asia Tenggara. Ke-sepakatan - kesepakatan lokal dan bentuk-bentuk pengelolaan dan pemanfaatan sum-berdaya laut berdasarkan hukum adat se-perti dikemukakan pada setiap bentuk pe-ngelolaan di atas juga menunjukkan bahwamasyarakat memiliki nilai-nilai konservatifterhadap keberadaan sumberdaya alam disekitarnya.

    Meningkatnya pemahaman terhadap nilai-nilai sosial ekonomi budaya masyarakat ber-kaitan dengan pola kehidupannya, mendo-rong keterlibatan peran serta masyarakatdalam pengelolaan kawasan konservasi ter-masuk pemanfaatan potensi sumberdaya alamhayati laut dan ekosistemnya (communtiybased conservation and biodiversity mana-gement). Masyarakat mempunyai hak dankewajiban dalam pembangunan dan penge-lolaan kawasan konservasi. Kesadaran ma-syarakat tradisional untuk memanfatkan se-cara lestari sudah banyak dilakukan teru-tama oleh masyarakat adat/lokal. Walau-pun mereka belum mengentahui termino-logi konservasi tetapi upaya ke arah kon-servasi itu tanpa disadari telah mereka la-kukan, mereka telah menyadari bahwa alamini nantinya tidak hanya untuk kita saat initapi juga untuk anak cucu mereka di masayang akan datang [21].

  • konservasi berbasis masyarakat 43

    Berbagai pola dan pelaksanaan pengelola-an sumberdaya laut berbasis masyarakatatau hukum adat merupakan modal ber-harga bagi pemerintah dalam mengembangk-an berbagai kawasan konservasi di Indo-nesia. Walaupun, pengelolaan yang mur-ni berbasis masyarakat tersebut memilikibeberapa kelemahan, namun pengelolaanoleh pemerintah juga tidak lepas dari ber-bagai kelamahan pula (lihat [11]). Dalamhal ini berarti pula, baik pengelolaan/konservasioleh masyarakat maupun oleh pemerintahjuga memiliki kelebihan masing-masing. Olehkarena itu perpaduan atau kolaborasi pe-ngelolaan secara bersama antara pemerin-tah dan masyarakat (co-management) mung-kin merupakan pilihan yang lebih baik da-lam rangka meningkatkan keberhasilan pe-ngelolaan kawasan konservasi laut di Indo-nesia.

    PUSTAKA

    1. Sutono, D., 2005. Kebijakan pengelolaan ka-wasan konservasi laut untuk mendukung pro-duksi perikanan yang lestari. Prosiding, Semi-nar Nasional Membangun Kabupaten TelukBintuni Berbasis Sumberdaya Alam Hak Cip-ta pada Universitas Trisakti, TNC (The Na-ture Conservancy) dan Universitas Negeri Pa-pua: 23-37.

    2. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006.Pembelajaran dari Program Pengelolaan Sum-berdaya Alam Laut Berbasis Masyarakat (Vol2).Kerjasama: COREMAP II dan DirektoratJenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Ke-cil DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PER-IKANAN. PT. BINA MARINA NUSANTA-RA. Jakarta.

    3. Burke, L., Selig, E., dan Spalding,M. 2002. Re-efs at Risk in Southeast Asia. World ResourcesInstitute.

    4. Moniaga, S. 2002.Hak-hak Masyarakat Adatdan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hi-dup di Indonesia. Artikel utama dalam WA-CANA HAM, Media Pemajuan Hak Asasi Ma-nusia, No. 10/Tahun II/12 Juni 2002, Jakarta.

    5. Wospakrik, F.A. 2008. Kontribusi MRP da-lam pengelolaan sumberdaya alam dan Hak-hak masyarakat adat Papua.

    6. Emilia. 2008. Masyarakat adat Marga Belim-bing di Enclave Pengekahan Kabupaten Lam-pung Barat. Warta Tenure, no. 2008. WorkingGroup on Forest and Tenure. Jakarta.

    7. Gunawan, H, 2005. Implementasi Desentrali-sasi Salah, Masyarakat Adat Menuai Masalah.Governance Brief no 8 tahun 2005. Center for

    International Forestry Research. Bogor. 12 ht-tp//balikamilagi.blogspot.com, 2009. Konserva-si terumbu karang untuk keberlanjutan wisatabahari. Pengalaman Desa Pemuteran, Bali. [23Juli 2011]

    8. Wahyudin, Y. 2004. Comunity Based Mana-gement (CBM): Pengelolaan Berbasis Masya-rakat. Makalah, disampaikan pada PelatihanPerencanaan dan Pengelolaan Wilayah PesisirTerpadu. Bogor.

    9. Kusumastanto,T., K.A.Azis, M. Boer, Purba-yanto, A., Kurnia, R., Yulianto, G., EidmanE., Wahyudin, Y., Vitner Y., dan Solihin, A.,2004. Kebijakan pengelolaan sumberdaya per-ikanan di Indonesia. PKSPL IPB. Bogor.

    10. Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2006.Strategi Utama Jejaring kawasan konservasilaut. Kerjasama: Departeman Kelautan danPerikanan Direktorat Jenderal Kelautan, Pe-sisir dan Pulau-pulau Kecil Program Rehabi-litasi dan Pengelolaan Terumbu Karang TahapII (COREMAP II). Jakarta.

    11. Nikijuluw, V.P.H., 2002. Rezim pengelolaansumberdaya perikanan. PT. Pustaka Cidesin-do. Jakarta.

    12. Manullang, S. 1999. Kesepakatan KonservasiMasyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Kon-servasi (Discussion Paper), Kerjasama Depar-temen Kehutanan dan Perkebunan RI dan Na-tural Resources Management Program. Jakar-ta.

    13. Wiryawan, B., dan Dermawan,A., 2006. Pan-duan pengembangan kawasan konservasi lautdaerah (marine management area/MMA) diwilayah COREMAP II- Indonesia Bagian Ba-rat. Kerjasama Coremap II KP3K. Departe-men Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

    14. Amiani, N.D., 2008. Pengembangan Ekowisa-ta yang berbasis masyarakat menuju pariwisa-ta berkelanjutan di Kelurahan Serangan, Bali.Jurnal Kepariwisataan Indonesia: III (2)

    15. Nyapha, M.H.,2001. Panglima Laot; peranan-nya dalam lembaga adat laot. Makalah Du-ek pakat panglima laot se-Aceh, 19-20 Maret2001. Sabang. http://www.id.acehinstitute.org[15 Januari 2012]

    16. Wardah, E., Dampak keberadaan lembaga hu-kom adat laot dalam kehidupan nelayan Aceh,Kaitannya terhadap tingkat pendapatan nela-yan; studi kasus pada masyarakat nelayan diKabupaten Aceh Barat. Tesis. Sekolah PascaSarjana, Institut Pertanian Bogor.

    17. ADRAceh Barat. 2006. ETESP Fisheries ACTI-VITY DESIGN REPORT 2006 on COMMU-NITY EMPOWERMENT IN ACEH BARAT.BRR Aceh-Nias & ADB. Banda Aceh.

    18. Tripa, S. 2009. Peran dan Fungsi kelembagaanadat Panglima Laot dalam pengelolaan sum-berdaya kelautan dan perikanan. www.id.aceh-institute.org.

    19. Wilkinson, C., Souter, D., dan Golberg, J. 2006.Status terumbu karang di negara-negara yangterkena dampak tsunami 2004. Alihbahasa olehYayasan Terangi Indonesia. Auatralian Insti-

  • 44 Qadar Hasani

    tute of Marine Science. Townsville, Queens-land.

    20. Pomeroy, R.S., 1995. Community-based andco-management institutions for sustainable co-astal fisheries in Shoutheast Asia. Journal ofOcean and Coastal Management. XXVII (3):143-162.

    21. Nitibaskara, TB.U., 2005. Kebijakan Pengelo-laan Kawasan Konservasi. Prosiding, SeminarNasional Membangun Kabupaten Teluk Bin-tuni Berbasis Sumberdaya Alam Hak Ciptapada Universitas Trisakti, TNC (The NatureConservancy) dan Universitas Negeri Papua:3-22.6.