pengelolaan sumberdaya tanah erosi dan konservasi

62
PENGELOLAAN SUMBERDAYA TANAH: EROSI DAN KONSERVASI TANAH (MK. PENGELOLAAN SDALH; smno.psdl.pdkl.ppsub2013) Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian permukaan kerak bumi yang tersusun dari bahan mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak. Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah. Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah. 1

Upload: nanda-anastasya

Post on 09-Jul-2016

265 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

PENGELOLAAN SUMBERDAYA TANAH:

EROSI DAN KONSERVASI TANAH(MK. PENGELOLAAN SDALH; smno.psdl.pdkl.ppsub2013)

Tanah (bahasa Yunani: pedon; bahasa Latin: solum) adalah bagian permukaan kerak bumi yang tersusun dari bahan mineral dan bahan organik. Tanah sangat vital peranannya bagi semua kehidupan di bumi karena tanah mendukung kehidupan tumbuhan dengan menyediakan hara dan air sekaligus sebagai penopang akar. Struktur tanah yang berongga-rongga juga menjadi tempat yang baik bagi akar untuk bernafas dan tumbuh. Tanah juga menjadi habitat hidup berbagai mikroorganisme. Bagi sebagian besar hewan darat, tanah menjadi lahan untuk hidup dan bergerak.

Ilmu yang mempelajari berbagai aspek mengenai tanah dikenal sebagai ilmu tanah. Dari segi klimatologi, tanah memegang peranan penting sebagai penyimpan air dan menekan erosi, meskipun tanah sendiri juga dapat tererosi. Komposisi tanah berbeda-beda pada satu lokasi dengan lokasi yang lain. Air dan udara merupakan bagian dari tanah.

Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan, creep pada

1

Page 2: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut bio-erosi. Erosi tidak sama dengan pelapukan akibat cuaca, yang mana merupakan proses penghancuran mineral batuan dengan proses kimiawi maupun fisik, atau gabungan keduanya.

Erosi sebenarnya merupakan proses alami yang mudah dikenali, namun di kebanyakan tempat kejadian ini diperparah oleh aktivitas manusia dalam tata guna lahan yang buruk, penggundulan hutan, kegiatan pertambangan, perkebunan dan perladangan, kegiatan konstruksi / pembangunan yang tidak tertata dengan baik dan pembangunan jalan. Tanah yang digunakan untuk menghasilkan tanaman pertanian biasanya mengalami erosi yang jauh lebih besar dari tanah dengan vegetasi alaminya. Alih fungsi hutan menjadi ladang pertanian meningkatkan erosi, karena struktur akar tanaman hutan yang kuat mengikat tanah digantikan dengan struktur akar tanaman pertanian yang lebih lemah. Bagaimanapun, praktek tata guna lahan yang maju dapat membatasi erosi, menggunakan teknik semisal terrace-building, praktek konservasi ladang dan penanaman pohon.

2

Page 3: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Dampak dari erosi adalah menipisnya lapisan permukaan tanah bagian atas, yang akan menyebabkan menurunnnya kemampuan lahan (degradasi lahan). Akibat lain dari erosi adalah menurunnya kemampuan tanah untuk meresapkan air (infiltrasi). Penurunan kemampuan lahan meresapkan air ke dalam lapisan tanah akan meningkatkan limpasan air permukaan yang akan mengakibatkan banjir di sungai. Selain itu butiran tanah yang terangkut oleh aliran permukaan pada akhirnya akan mengendap di sungai (sedimentasi) yang selanjutnya akibat tingginya sedimentasi

Ada tiga tahapan dalam proses erosi tanah oleh air: (1) penghancuran partikel tanah yang disebabkan oleh air yang mengalir, pembekuan dan pencairan tanah lapisan

atas, dan / atau dampak dari turunnya hujan; (2) transportasi partikel tanah dengan

melayang-layang dalam air, menggelinding, menyeret, dan / atau percikan; dan (3)

pengendapan partikel tanah di beberapa tempat yang lebih rendah. ..….

http://www.landfood.ubc.ca/soil200/soil_mgmt/soil_erosion.htm

Proses erosi tanah oleh air hujan

3

Page 4: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

akan mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga akan mempengaruhi kelancaran jalur pelayaran.

Erosi dalam jumlah tertentu sebenarnya merupakan kejadian yang alami, dan baik untuk ekosistem. Misalnya, kerikil secara berkala turun ke elevasi yang lebih rendah melalui angkutan air. erosi yang berlebih, tentunya dapat menyebabkan masalah, semisal dalam hal sedimentasi, kerusakan ekosistem dan kehilangan air secara serentak. Banyaknya erosi tergantung pada berbagai faktor. Faktor Iklim, termasuk besarnya dan intensitas hujan / presipitasi, rata-rata dan rentang suhu, begitu pula musim, kecepatan angin, frekuensi badai. faktor geologi termasuk tipe sedimen, tipe batuan, porositas dan permeabilitasnya, kemiringn lahan. Faktor biologis termasuk tutupan vegetasi lahan, makhluk yang tinggal di lahan tersebut dan tata guna lahan ooleh manusia.

Umumnya, dengan ekosistem dan vegetasi yang sama, area dengan curah hujan tinggi, frekuensi hujan tinggi, lebih sering kena angin atau badai tentunya lebih terkena erosi. sedimen yang tinggi kandungan pasir atau silt, terletak pada area dengan kemiringan yang curam, lebih mudah tererosi, begitu pula area dengan batuan lapuk atau batuan pecah. porositas dan permeabilitas sedimen atau batuan berdampak pada kecepatan erosi, berkaitan dengan mudah tidaknya air meresap ke dalam tanah. Jika air bergerak di bawah tanah, limpasan permukaan yang terbentuk lebih sedikit, sehingga mengurangi erosi permukaan. SEdimen yang mengandung banyak lempung cenderung lebih mudah bererosi daripada pasir atau silt. Dampak sodium dalam atmosfir terhadap erodibilitas lempung juga sebaiknya diperhatikan

Faktor yang paling sering berubah-ubah adlah jumlah dan tipe tutupan lahan. Pada hutan yang tak terjamah, minerla tanah dilindungi oleh lapisan humus dan lapisan organik. Kedua lapisan ini melindungi tanah dengan meredam dampak tetesan hujan. Lapisan-lapisan beserta serasah di dasar hutan bersifat porus dan mudah menyerap air hujan. Biasanya, hanya hujan-hujan yang lebat (kadang disertai angin ribut) saja yang akan mengakibatkan limpasan di permukaan tanah dalam hutan. Apabila Pepohonan dihilangkan akibat kebakaran atau penebangan, derajat peresapan air menjadi tinggi dan erosi menjadi rendah. Kebakaran yang parah dapat menyebabkan peningkatan erosi secara menonjol jika diikuti denga hujan lebat. Dalam hal kegiatan konstruksi atau pembangunan jalan, ketika lapisan sampah / humus dihilangkan atau dipadatkan, derajad kerentanan tanah terhadap erosi meningkat tinggi. Adanya jalan, secara khusus memungkinkan terjadinya peningkatan derajat erosi, karena, selain menghilangkan tutupan lahan, jalan dapat secara signifikan mengubah pola drainase, apalagi jika sebuah embankment dibuat untuk menyokong jalan. Jalan yang memiliki banyak batuan dan hydrologically invisible ( dapat menangkap air secepat mungkin dari jalan, dengan meniru pola drainase alami) memiliki peluang besar untuk tidak menyebabkan pertambahan erosi.

Erosi tanah (soil erosion) adalah proses penghanyutan tanah dan merupakan gejala alam yang wajar dan terus berlangsung selama ada aliran permukaan. Erosi semacam itu melaju seimbang dengan laju pembentukan tanah sehingga tanah mengalami peremajaan secara berkesinambungan. Erosi tanah berubah menjadi bahaya jika prosesnya berlangsung lebih cepat dari laju pembentukan tanah. Erosi yang mengalami percepatan secara berangsur akan menipiskan tanah, bahkan akhirnya dapat menyingkap bahan induk tanah

4

Page 5: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

atau batuan dasar ke permukaan tanah. Erosi semacam ini tidak hanya merusak lahan daerah hulu (upland) yang terkena erosi langsung, akan tetapi juga berbahaya bagi daerah hilir (lowland). Bahan erosi yang diendapkan di daerah hilir akan berakibat buruk pada bangunan atau tubuh alam penyimpanan atau penyalur air sehingga menimbulkan pendangkalan yang berakibat kapasitas tampung atau salurannya menurun dengan cepat serta merusak lahan usaha dan pemukiman. Oleh karenanya, usaha penanggulangan atau pengendalian erosi harus menjadi bagian yang utama dari setiap rencana penggunaan lahan (land use planing). Pelaksanaan dan perencanaan usaha pengawetan tanah dan air akan lebih efektif dan lebih efisien jika dilakukan melalui sifat-sifat fisik lahan, kemudian dilanjutkan secara agronomi, sosial ekonomi dan budaya.

Pengertian erosi tanah erosi tanah adalah penyingkiran dan pengangkutan bahan dalam bentuk larutan atau suspensi dari tapak semula oleh pelaku berupa air mengalir (aliran limpasan), es bergerak atau angin. Erosi juga dapat diartikan sebagai proses pengikisan atau kelongsoran yang sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan angin dan air, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan atau perbuatan manusia. Pemindahan atau pengangkutan tanah tersebut terjadi oleh media alami berupa air dan angina. Misalnya erosi di daerah beriklim basah, faktor yang berperan penting adalah

air sedangkan angin tidak berarti.

Erosi tanah dapat terjadi karena beberapa sebab : 1. Tanah gundul atau tidak ada tanamannya; 2. Tanah miring tidak dibuat teras–teras dan guludan sebagai penyangga air

dan tanah yang lurus; 3. Tanah tidak dibuat tanggul pasangan sebagai penahan erosi; 4. Pada tanah di kawasan hutan rusak karena pohon–pohon ditebang secara

liar sehingga hutan menjadi gundul; 5. Pada permukaan tanah yang berlumpur digunakan untuk pengembalaan

liar sehingga tanah atas semakin rusak.

Proses terjadinya Erosi dan Sedimentasi

Erosi adalah suatu proses penghancuran tanah (detached) dan kemudian tanah tersebut dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin, gletser atau gravitasi. Di Indonesia erosi yang terpenting adalah disebabkan oleh air. Di daerah beriklim tropika basah, aliran merupakan penyebab utama erosi tanah, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses erosi terdiri atas tiga bagian yang berurutan :

1. pengelupasan (detachment), 2. pengangkutan (transportation), dan 3. pengendapan (sedimentation).

Proses erosi oleh air merupakan kombinasi dua sub proses yaitu :

Umiyati Lestari, S http://geo-unesa.

5

Page 6: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

1. penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk butir-butir hujan yang menimpa tanah dan perendaman oleh air yang tergenang, dan pemindahan (pengangkutan) butir-butir tanah oleh percikan hujan, dan

2. penghancuran struktur tanah diikuti pengangkutan butir-butir tanah tersebut oleh air yang mengalir dipermukaan tanah. Secara skematis proses terjadinya erosi diperlihatkan pada bagan berikut ini.

Skema proses terjadinya Erosi Tanah (Arsyad, 1989)

Air hujan yang menimpa tanah-tanah terbuka akan menyebabkan tanah terdispersi. Sebagian dari air hujan yang jatuh tersebut akan mengalir di atas permukaan tanah. Banyaknya air hujan yang mengalir diatas permukaan tanah tergantung pada hubungan antara jumlah dan intensitas hujan dengan kapasitas infiltrasi tanah dan kapasitas penyimpanan air tanah. Kekuatan perusak air yang mengalir diatas permukaan tanah akan semakin besar dengan semakin curam dan makin panjang lereng permukaan tanah.

Gaya-gaya yang terlibat dalam proses erosi. Erosion is caused by rainfall, which displaces soil particles on inadequately protected areas and by water running over soil,

carrying some soil particles away in the process. The rate of soil particle removal is proportional to the intensity and duration of

6

Page 7: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

the rainfall and to the volume and characteristics of the water flow and soil properties. Deposition of water-borne sediment occurs when the velocity decreases and the transport capacity of the

flowing water becomes insufficient to carry all of its sediment load. (sumber:

http://onlinemanuals.txdot.gov/txdotmanuals/hyd/soil_erosion_control_considerations.htm)

Tumbuh-tumbuhan yang hidup diatas permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah menyerap air dan memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh, dan daya dispersi dan angkut aliran air di atas permukaan tanah. Perlakuan atau tindakan-tindakan yang diberikan manusia terhadap tanah dan tumbuh-tumbuhan di atasnya akan menentukan apakah tanah itu akan menjadi baik dan produktif atau menjadi rusak.

Hubungan antara erosi oleh air hujan di daerah tangkapan air dan besarnya sedimentasi yang terpantau di aliran sungai di bagian bawah daerah tangkapan air tersebut erat kaitannya dengan sistem hidrologi DAS. Hujan sebagai masukan dalam sistem hidrologi DAS setelah mengalami proses akan menghasilkan keluaran berupa debit aliran dan muatan sedimen. Komponen-komponen masukan, proses, dan keluaran dalam sistem hidrologi DAS terkait satu sama lain dimana keluaran yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh masukan dan proses yang terjadi. Dengan demikian maka keluaran berupa muatan suspensi selain dipengaruhi oleh karakteristik fisik DAS sebagai komponen sistem proses, juga dipengaruhi oleh hujan yang merupakan komponen masukan. Secara lebih lanjut karakteristik aliran sungai juga berperan dalam transpor muatan suspensi yang merupakan material hasil erosi. Dengan demikian maka hujan dan karakteristik aliran memiliki pengaruh nyata dalam proses erosi hingga transportasi muatan suspensi sebagai material hasil erosi.

7

Page 8: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Keterkaitan hujan, runoff, erosi dan debit sungai (sumber: http://nicholasmahendra.files.wordpress.com)

Muatan sedimen terbentuk dimulai dari pengaruh pukulan tetesan hujan pada tanah sehingga memecah agregat tanah menjadi butir-butir tanah yang telepas. Hujan sebagai faktor masukan yang memasuki DAS sebagian terinfiltrasi dan sebagian lagi menjadi aliran permukaan (overland flow) dipengaruhi oleh faktor fisik DAS meliputi faktor lereng, tanah, vegetasi, dan penggunaan lahan. Air hujan yang menjadi aliran permukaan (overland flow) mengikis dan mengangkut butir-butir tanah tersebut menuju sistem aliran. Aliran sungai selain berperan dalam transportasi muatan sedimen juga berpengaruh pada terjadinya erosi tebing sungai sehingga menambah jumlah muatan sedimen yang terangkut. Pada proses akhirnya dihasilkan keluaran berupa debit aliran, muatan sedimen, dan unsur hara.

Berdasarkan transportasinya, muatan sedimen dibagi menjadi dua yaitu:1. Muatan dasar: partikel yang bergerak pada dasar sungai atau dekat dasar

sungai dengan pergerakan meloncat, menggelinding atau bergeser pada dasar sungai.

2. Muatan Suspensi: Partikel yang melayang dalam air, bergerak disebabkan oleh aliran turbulen.

Muatan suspensi (suspended load) merupakan material yang melayang dalam aliran sungai, sedikit sekali interaksi dengan dasar sungai karena didorong ke atas oleh turbulensi aliran. Penentuan muatan suspensi meliputi tahapan pengambilan sampel, penyaringan, penimbangan, perhitungan kadar suspensi, dan perhitungan

8

Page 9: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

debit suspensi. Metode pengambilan sampel diantaranya dapat dilakukan dengan cara depth integrating maupun point integrating.

Partikel muatan suspensi bergerak melayang dalam aliran yang turbulen. Pada aliran yang laminer, konsentrasinya akan berkurang dari waktu ke waktu seiring berkurangnya kecepatan aliran, dan akan diendapkan pada suatu tempat. Dengan demikian dimungkinkan terdapat hubungan antara debit aliran dengan kadar muatan suspensi, serta secara lanjut terdapat hubungan antara debit aliran dengan debit suspensi. Hubungan antara debit aliran dengan debit suspensi dapat digambarkan ke dalam kurva lengkung suspensi (suspended rating curve). Kurva lengkung suspensi (suspended rating curve) dapat digunakan sebagai dasar dalam perhitungan debit muatan suspensi pada saat tidak ada pengukuran. Debit muatan suspensi dapat ditentukan dengan persamaan lengkung suspensi yang dihasilkan dari kurva melalui regresi kurva berpangkat (power curve). Hasil penentuan debit suspensi tersebut digunakan dalam penentuan berat suspensi total (Sy).

Muatan suspensi (suspended load) dengan faktor hujan yang meliputi tebal hujan (P) dan karakteristik aliran sungai yang meliputi debit puncak (Qp) dan volume direct runoff (DRO) memiliki hubungan yang berbanding lurus dengan taraf pengaruh tertentu. Faktor hujan sebagai masukan berpengaruh terhadap proses erosi yang terjadi, dimana hujan dengan energi kinetik tertentu berpengaruh pada pecahnya agregat tanah, sedangkan karakteristik aliran berperan sebagai tenaga pengangkut material hasil erosi tersebut. Sehingga semakin besar muatan suspensi dalam aliran sungai menunjukkan semakin besar proses erosi yang terjadi dalam DAS.

Jenis-jenis Erosi oleh Air

1. PelarutanTanah kapur mudah dilarutkan air sehingga di daerah kapur sering ditemukan

sungai-sungai di bawah tanah.

2. Erosi percikan (splash erosion)Curah hujan yang jatuh langsung ke tanah dapat melemparkan butir-butir

tanah sampai setinggi 1 meter ke udara. Di daerah yang berlereng, tanah yang terlempar tersebut umumnya jatuh ke lereng di bawahnya.

Rain splash erosion is caused by the impact of water striking the surface. Rain splash erosion generally takes place in two steps. As precipitation is absorbed by the surface it fills the pore spaces, loosening soil particles and driving them apart. The impact of subsequent rain drops hitting the surface splash the particle away from the point of impact. The effect is to give the surface a dimpled-like appearance.

9

Page 10: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Raindrop erosion is a result of rain splash - the direct impact of falling drops of rain on soil particles. The raindrop dislodges soil particles, making them

more susceptible to movement by overland water flow. The loosened particles that are not washed away can form a muddy slick that clogs pores

in the ground surface. The sealed surface further reduces inflitration and increase runoff. The magnitude of soil loss resulting from rain splash can

best be seen on a gravelly or stony soil. (sumber: http://www.vbco.org/planningeduc0042.asp)

3. Erosi lembar (sheet erosion)Pemindahan tanah terjadi lembar demi lembar (lapis demi lapis) mulai dari

lapisan yang paling atas. Erosi ini sepintas lalu tidak terlihat, karena kehilangan lapisan-lapisan tanah seragam, tetapi dapat berbahaya karena pada suatu saat seluruh top soil akan habis.

Surface runoff forms when the rainfall intensity of a storm exceeds the infiltration capacity of the soil. Sheet erosion is caused by the unconfined flow of water running across the surface. The effects of sheet erosion are often hard to distinguish because such thin layers of soil are being removed. It isn't until several years later that significant degradation is perceived. 

10

Page 11: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Sheet erosion: Soil erosion is characterised by the downslope removal of soil particles within a thin sheet

of water. Sheet erosion occurs when the entire surface of a field is gradually eroded in a more or less

uniform way. It is a gradual process and it is not immediately obvious that soil is being lost. (sumber:

http://www.nda.agric.za/docs/erosion/erosion.htm)

Erosi permukaan (sheet erosion) adalah penghancuran partikel tanah oleh pukulan air hujan dan pengangkutannya menuruni lereng oleh aliran air di permukaan tanah. Pukulan tetes air hujan menghancurkan agregat tanah. Partikel liat, debu dan pasir mengisi dan menyumbat pori-pori tanah dan mengurangi infiltrasi. Setelah pori-pori tanah permukaan diisi penuh dengan pasir, debu dan liat, limpasan permukaan mulai terjadi karena penurunan laju infiltrasi. Kalau curah hujan lebih besar dari laju infiltrasi, maka akan terjadi limpasan permukaan (runoff). Ada dua tahap erosi permukaan, pertama adalah percikan air hujan, di mana partikel tanah memercik ke udara oleh pukulan air hujan. Pada tahap ke dua, partikel tanah yang sudah lepas diangkut menuruni lereng oleh limpasan permukaan yang kaya sedimen dan ini disebut “sheetfloods”. Proses pengangkutan aprtikel tanah ini (sheetfloods) biasanya menempuh jarak pendek dan hanya berlangsung dalam waktu singkat.

4. Erosi alur (rill erosion)Dimulai dengan genangan-genangan kecil setempat-setempat di suatu lereng,

maka bila air dalam genangan itu mengalir, terbentuklah alur-alur bekas aliran air tersebut. Alur-alur itu mudah dihilangkan dengan pengolahan tanah biasa.

Erosi alur disebabkan oleh adanya konsentrasi air dalam jumlah besar yang mengalir dalam saluran kecil yang berdekatan. Kalau dibiarkan, parit-parit kecil ini dapat mengikis tanah secara vertikal dan horizontal dan ketika bergabung menjari parit yang besar (jurang).

Rill erosion refers to the development of small, ephemeral concentrated flow paths, which function as both sediment source and sediment delivery systems for erosion on hillslopes. Generally, where water erosion rates on disturbed upland areas are greatest, rills are active. Flow depths in rills are typically on the order of a few centimeters or less and slopes may be quite steep. These conditions constitute a very different hydraulic environment than typically found in channels of streams and rivers. Eroding rills evolve morphologically in time and space. The rill bed surface changes as soil erodes, which in turn alters the hydraulics of the flow. The hydraulics is the driving mechanism for the erosion process, and therefore dynamically changing hydraulic patterns cause continually changing erosional patterns in the rill. Thus, the process of rill evolution involves a feedback loop between

11

Page 12: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

flow detachment, hydraulics, and bed form. Flow velocity, depth, width, hydraulic roughness, local bed slope, friction slope, and detachment rate are time and space variable functions of the rill evolutionary process. Superimposed on these interactive processes, the sediment load, or amount of sediment in the flow, has a large influence on soil detachment rates in rills. As sediment load increases, the ability of the flowing water to detach more sediment decreases.

Kalau intensitas hujan melebihi laju infiltrasi, akan terjadi limpasan permukaan (runoff). Turbulensi runoff seringkali dapat menyebabkan lebih banyak erosi daripada pukulan air hujan.

5. Erosi Jurang (gully erosion)Erosi ini merupakan lanjutan dari erosi alur tersebut di atas. Karena alur yang

terus menerus digerus oleh aliran air terutama di daerah-daerah yang banyak hujan, maka alur-alur tersebut menjadi dalam dan lebar dengan aliran air yang lebih kuat. Alur-alur tersebut tidak dapat hilang dengan pengolahan tanah biasa.

Gullies are steep-sided trenches formed by the coalescence of many rills. Once started they are difficult to stop. Gully erosion, also called ephemeral gully erosion, occurs when water flows in narrow channels during or immediately after heavy rains or melting snow. This is particularly noticeable in the formation of hollow ways, where, prior to being tarmacked, an old rural road has over many years become significantly lower than the surrounding fields.A gully is sufficiently deep that it would not be routinely destroyed by tillage operations, whereas rill erosion is smoothed by ordinary farm tillage. The narrow channels, or gullies, may be of considerable depth, ranging from 1 to 2 feet (0.61 m) to as much as 75 to 100 feet (30 m).

12

Page 13: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Tipe-tipe erosi permukaan (sumber: http://www.ecy.wa.gov/programs)

6. Erosi parit (channel erosion)Parit-parit yang besar sering masih terus mengalir lama setelah hujan

berhenti. Aliran air dalam parit ini dapat mengikis dasar parit atau dinding-dinding tebing parit di bawah permukaan air, sehingga tebing diatasnya dapat runtuh ke dasar parit. Adanya gejala meander dari alirannya dapat meningkatkan pengikisan tebing di tempat-tempat tertentu.

Stream dan channel erosion disebabkan oleh peningkatan volume dan kecepatan aliran air runoff dan aliran air sungai (sumber:

http://www.civil.ryerson.ca/stormwater/)

13

Page 14: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Tipe-tipe erosi oleh air hujan (sumber: http://extension.missouri.edu/)

7. LongsorTanah longsor terjadi karena gaya gravitasi. Biasanya karena tanah di bagian

bawah tanah terdapat lapisan yang licin dan kedap air (sukar ketembus air) seperti batuan liat. Dalam musim hujan tanah diatasnya menjadi jenuh air sehingga berat, dan bergeser ke bawah melalui lapisan yang licin tersebut sebagai tanah longsor.

Empat tipe erosi tanah pada lereng yang terbuka (sumber: http://www.cep.unep.org/)

14

Page 15: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Main parts of a general landslide. (sumber: http://www.geology.enr.state.nc.us/Landslide_Info/Landslides_main.htm).

Kepekaan Tanah terhadap Erosi dan Longsor

Pengetahuan tentang faktor penentu kepekaan tanah terhadap longsor dan erosi akan memperkaya wawasan dan memperkuat landasan dari pengambil keputusan, penanggung jawab lapangan, teknisi, penyuluh dan organisasi kemasyarakatan dalam menyusun program dan melaksanakan teknik penanggulangan longsor dan erosi di daerah kewenangannya.

Longsor dan erosi merupakan proses berpindahnya tanah atau batuan dari satu tempat yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah akibat dorongan air, angin, atau gaya gravitasi. Proses tersebut melalui tiga tahapan, yaitu pelepasan, pengangkutan atau pergerakan, dan pengendapan. Perbedaan menonjol dari fenomena longsor dan erosi adalah volume tanah yang dipindahkan, waktu yang dibutuhkan, dan kerusakan yang ditimbulkan. Longsor memindahkan massa tanah dengan volume yang besar, adakalanya disertai oleh batuan dan pepohonan, dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan erosi tanah adalah memindahkan partikel-partikel tanah dengan volume yang relatif lebih kecil pada setiap kali kejadian dan berlangsung dalam waktu yang relatif lama.

Dua bentuk longsor yang sering terjadi di daerah pegunungan adalah: (1). Guguran, yaitu pelepasan batuan atau tanah dari lereng curam dengan

gaya bebas atau bergelinding dengan kecepatan tinggi sampai sangat tinggi (Gambar 1a). Bentuk longsor ini terjadi pada lereng yang sangat curam (>100%).

(2). Peluncuran, yaitu pergerakan bagian atas tanah dalam volume besar akibat keruntuhan gesekan antara bongkahan bagian atas dan bagian

15

Page 16: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

bawah tanah (Gambar 1b). Bentuk longsor ini umumnya terjadi apabila terdapat bidang luncur pada kedalaman tertentu dan tanah bagian atas dari bidang luncur tersebut telah jenuh air.

Bentuk longsor yang terjadi di Indonesia: a) guguran, dan b) peluncuran.

Sekitar 45% luas lahan di Indonesia berupa lahan pegunungan berlereng yang peka terhadap longsor dan erosi (Tabel 1). Pegunungan dan perbukitan adalah hulu sungai yang mengalirkan air permukaan secara gravitasi melewati celah-celah lereng ke lahan yang letaknya lebih rendah.

Keterkaitan antara daerah aliran sungai (DAS) hulu, tengah, dan hilir dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1). Penggundulan hutan di DAS hulu atau zona tangkapan hujan akan mengurangi resapan air hujan, dan karena itu akan memperbesar aliran permukaan. Aliran permukaan adalah pemicu terjadinya longsor dan/atau erosi dengan mekanisme yang berbeda.

(2). Budidaya pertanian pada DAS tengah atau zona konservasi yang tidak tepat akan memicu terjadinya longsor dan/atau erosi. Pengendalian aliran permukaan merupakan kunci utama. Pada daerah yang tidak rawan longsor, memperbesar resapan air dan sebagai konsekuensinya adalah memperkecil aliran permukaan merupakan pilihan utama. Sebaliknya, jika daerah tersebut rawan longsor, aliran permukaan perlu dialirkan sedemikian rupa sehingga tidak menjenuhi tanah dan tidak memberbesar erosi.

(3). Air yang meresap ke dalam lapisan tanah di zona tangkapan hujan dan konservasi akan keluar berupa sumber-sumber air yang ditampung di badan-badan air seperti sungai, danau, dan waduk untuk pembangkit listrik, irigasi, air minum, dan penggelontoran kota.

Tabel 1. Sebaran dan luas lahan perbukitan-pegunungan di Indonesia.

Pulau Luas lahan (000 ha)

16

Page 17: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Perbukitan (500 m dpl)

tipe A

Perbukitan- pegunungan (>

500 mdpl) tipe B

Perbukitan- pegunungan (> 500

mdpl) tipe C

Total

Sumatera 4.432 814 9.992 15.238Jawa dan Madura

3.576 1.250 1.646 6.472

Kalimantan 3.992 8.055 10.471 22.518Sulawesi 2.596 3.337 7.996 13.929Maluku dan Nusa Tenggara

4.047 4.500 2.437 10.984

Papua 3.141 12.287 3.605 10.033Total 21.784 30.243 36.147 88.174

Keterangan: Tipe A sangat terpencar; Tipe B bersambung tetapi dipisah oleh batas yang agak jelas; Tipe C bersambung tetapi dipisah oleh batas yang sangat jelas. Sumber: Statistik Sumberdaya Lahan Pertanian (Puslit Tanah dan Agroklimat, 1997)

Toposekuen suatu DAS yang menunjukkan keterkaitan antara DAS hulu, tengah, dan hilir (modifikasi dari Information Kit FAO, 1995).

Faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor dan erosi adalah faktor alam dan faktor manusia. Faktor alam yang utama adalah iklim, sifat tanah, bahan induk, elevasi, dan lereng. Faktor manusia adalah semua tindakan manusia yang dapat mempercepat terjadinya erosi dan longsor. Faktor alam yang menyebabkan terjadinya longsor dan erosi diuraikan berikut ini.

1. Iklim Curah hujan adalah salah satu unsur iklim yang besar perannya terhadap

kejadian longsor dan erosi. Air hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah dan menjenuhi

17

Page 18: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

tanah menentukan terjadinya longsor, sedangkan pada kejadian erosi, air limpasan permukaan adalah unsur utama penyebab terjadinya erosi.

Hujan dengan curahan dan intensitas yang tinggi, misalnya 50 mm dalam waktu singkat (<1 jam), lebih berpotensi menyebabkan erosi dibanding hujan dengan curahan yang sama namun dalam waktu yang lebih lama (> 1 jam). Namun curah hujan yang sama tetapi berlangsung lama (>6 jam) berpotensi menyebabkan longsor, karena pada kondisi tersebut dapat terjadi penjenuhan tanah oleh air yang meningkatkan massa tanah. Intensitas hujan menentukan besar kecilnya erosi, sedangkan longsor ditentukan oleh kondisi jenuh tanah oleh air hujan dan keruntuhan gesekan bidang luncur. Curah hujan tahunan >2000 mm terjadi pada sebagian besar wilayah Indonesia. Kondisi ini berpeluang besar menimbulkan erosi, apalagi di wilayah pegunungan yang lahannya didominasi oleh berbagai jenis tanah.

2. Tanah

2.1. Kedalaman, tekstur dan struktur tanah Kedalaman atau solum, tekstur, dan struktur tanah menentukan besar

kecilnya air limpasan permukaan dan laju penjenuhan tanah oleh air. Pada tanah bersolum dalam (>90 cm), struktur gembur, dan penutupan lahan rapat, sebagian besar air hujan terinfiltrasi ke dalam tanah dan hanya sebagian kecil yang menjadi air

…Siklus Hidrologi di DAS. http://www.skagit.edu/

news.asp_Q_pagenumber_E_1982.

Air hujan dari gunung menuju

ke laut

18

Page 19: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

limpasan permukaan. Sebaliknya, pada tanah bersolum dangkal, struktur padat, dan penutupan lahan kurang rapat, hanya sebagian kecil air hujan yang terinfiltrasi dan sebagian besar menjadi aliran permukaan.

Hubungan antara struktur lapisan tanah dan penutupan lahan terhadap jumlah infiltrasi dan aliran permukaan relatif.

19

Page 20: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Faktor lain yang menentukan kelongsoran tanah adalah ketahanan gesekan bidang luncur. Faktor yang menentukan ketahanan gesekan adalah: a) gaya saling menahan di antara dua bidang yang bergeser, dan b) mekanisme saling mengunci di antara partikel-partikel yang bergeser. Untuk kasus pertama, partikel hanya menggeser di atas partikel yang lain dan tidak terjadi penambahan volume. Untuk

Untuk melawan erosi tanah, diperlukan untuk menjaga muka tanah terlindungi, baik dengan tajuk vegetasi

yang lebat atau dengan mulsa mermukaan. Oleh karena itu

pentingnya menumbuhkan tanaman penutup tanah, untuk menjaga muka tanah tetap terlindungi setelah panen

tanaman (seresah tanaman ditinggal di lahan).….Sumber:

http://www.seafriends.org.nz/enviro/soil/erosion2.htm

Pukulan air hujan menghancurkan agregat

tanah

20

Page 21: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

kasus kedua, terjadi penambahan volume karena partikel yang bergeser mengatur kedudukannya sedemikian rupa, sehingga menyebabkan keruntuhan.

Ketahanan gesekan ditentukan oleh bentuk partikel. Pada partikel berbentuk lempengan seperti liat, penambahan air mempercepat keruntuhan. Sebaliknya pada partikel berbentuk butiran seperti kuarsa dan feldspar, penambahan air memperlambat keruntuhan.

2.2. Bahan induk tanah Sifat bahan induk tanah ditentukan oleh asal batuan dan komposisi

mineralogi yang berpengaruh terhadap kepekaan erosi dan longsor. Di daerah pegunungan, bahan induk tanah didominasi oleh batuan kokoh dari batuan volkanik, sedimen, dan metamorfik. Tanah yang terbentuk dari batuan sedimen, terutama batu liat, batu liat berkapur atau marl dan batu kapur, relatif peka terhadap erosi dan longsor. Batuan volkanik umumnya tahan erosi dan longsor.

Salah satu ciri lahan peka longsor adalah adanya rekahan tanah selebar >2 cm dan dalam >50 cm yang terjadi pada musim kemarau. Tanah tersebut mempunyai sifat mengembang pada kondisi basah dan mengkerut pada kondisi kering, yang disebabkan oleh tingginya kandungan mineral liat tipe 2:1 seperti yang dijumpai pada tanah Grumusol (Vertisols). Pada kedalaman tertentu dari tanah Podsolik atau Mediteran terdapat akumulasi liat (argilik) yang pada kondisi jenuh air dapat juga berfungsi sebagai bidang luncur pada kejadian longsor.

3. Elevasi Elevasi adalah istilah lain dari ukuran ketinggian lokasi di atas permukaan

laut. Lahan pegunungan berdasarkan elevasi dibedakan atas dataran medium (350-700 m dpl) dan dataran tinggi (>700 m dpl). Elevasi berhubungan erat dengan jenis komoditas yang sesuai untuk mempertahankan kelestarian lingkungan. Badan Pertanahan Nasional menetapkan lahan pada ketinggian di atas 1000 m dpl dan lereng >45% sebagai kawasan usaha terbatas, dan diutamakan sebagai kawasan hutan lindung. Sementara, Departemen Kehutanan menetap-kan lahan dengan ketinggian >2000 m dpl dan/atau lereng >40% sebagai kawasan lindung.

4. Lereng Lereng atau kemiringan lahan adalah salah satu faktor pemicu terjadinya

erosi dan longsor di lahan pegunungan. Peluang terjadinya erosi dan longsor makin besar dengan makin curamnya lereng. Semakin curam lereng makin besar pula volume dan kecepatan aliran permukaan yang berpotensi menyebabkan erosi. Selain kecuraman, panjang lereng juga menentukan besarnya longsor dan erosi. Makin panjang lereng, erosi yang terjadi makin besar. Pada lereng >40% longsor sering terjadi, terutama disebabkan oleh pengaruh gaya gravitasi. Kondisi wilayah/lereng dikelompokkan sebagai berikut:

Datar : lereng <3%, dengan beda tinggi <2 m. Berombak : lereng 3-8%, dengan beda tinggi 2–10 m. Bergelombang : lereng 8-15%, dengan beda tinggi 10–50 m. Berbukit : lereng15-30%, dengan beda tinggi 50–300 m. Bergunung : lereng >30%, dengan beda tinggi >300 m.

21

Page 22: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Kemiringan dan panjang lereng mempengaruhi runoff yang terjadi kalau hujan jatuh di permukaan lahan.

Examine the diagram above showing the relationship between hill slope position, runoff, and erosion. The amount of water on a particular hill slope segment is dependent on what falls from precipitation and what runs into it from an upslope hill slope segment. The hill slope has been divided into several segments and the amount of precipitation falling on each segment is the same. As water runs down slope, the water that has accumulated in segment A runs off adding to what falls into segment B by precipitation. The water in B runs into C, and C into D, and so on. The amount of water increases in the down slope direction as water is contributed of water from upslope segments. The velocity of the water increases as well as it moves towards the base of the slope. As a result, the amount and velocity of water, and hence rate of erosion increases as you near the base of the slope. Rather than infiltrating into the soil to promote weathering and soil development, water runs off. Erosion causes stripping of the soil thus preventing parent material to stay in place to develop into a soil. So we should expect to find weakly developed soil at the mid- and near the bottom of the slope. (sumber: http://www.uwsp.edu/geo/).

Erosi dan longsor sering terjadi di wilayah berbukit dan bergunung, terutama pada tanah berpasir (Regosol atau Psamment), Andosol (Andisols), tanah dangkal berbatu (Litosol atau Entisols), dan tanah dangkal berkapur (Renzina atau Mollisols). Di wilayah bergelombang, intensitas erosi dan longsor agak berkurang, kecuali pada tanah Podsolik (Ultisols), Mediteran (Alfisols), dan Grumusol (Vertisols) yang terbentuk dari batuan induk batu liat, napal, dan batu kapur dengan kandungan liat 2:1 (Montmorilonit) tinggi, sehingga pengelolaan lahan yang disertai oleh tindakan konservasi sangat diperlukan. Dalam sistem budidaya pada lahan berlereng >15% lebih diutamakan campuran tanaman semusim dengan tanaman tahunan atau sistem wanatani (agroforestry).

Pendugaan Erosi

22

Page 23: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Pendugaan erosi diperlukan untuk meramalkan besar erosi yang telah dan/atau akan terjadi pada suatu lahan dengan atau tanpa pengelolaan tertentu. Selain itu juga digunakan untuk memilih praktek penggunaan lahan dalam arti luas yang mempunyai produktivitas tinggi dan berkelanjutan. Pendugaan erosi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan:

1. Pendekatan LaboratoriumPendugaan erosi di laboratorium adalah dengan melakukan pengukuran erosi

tanah yang ditempatkan pada petak-petak kecil dan diberi perlakuan hujan buatan (rainfall simulator). Tetapi perilaku erosi di laboratorium tidak sama dengan keadaan alami di lapangan. Namun demikian pengetahuan kita tentang erosi dapat bertambah secara pesat mengingat percobaan untuk mempelajari dan/atau menduga erosi di laboratorium lebih mudah, lebih praktis, sehingga kita dapat melaksanakan setiap waktu.

2. Pendekatan LapanganPengukuran erosi yang dilakukan di lapangan adalah dengan menggunakan

sistem petak kecil maupun petak yang berukuran besar. Pendugaan dengan menggunakan petak percobaan, pada dasarnya memang mendekati kondisi alami yang sebenarnya. Namun cara ini membutuhkan biaya, tenaga, dan waktu yang tidak kecil. Selain itu juga untuk mengetahui laju dan jumlah erosi yang terjadi pada berbagai jenis penggunaan lahan dan berbagai jenis penggunaan tanaman pada berbagai jenis tanah dan topografi (kemiringan dan panjang lereng) juga dibutuhkan biaya yang tinggi, tenaga kerja yang banyak, dan waktu yang relatif lama.

Salah satu penyebab utama kerusakan tanah pertanian adalah erosi, selain merusak lahan yang tererosi juga akan menimbulkan masalah lain di hilirnya berupa pendangkalan sungai, saluran irigasi, waduk dan lain-lain. Penyebab utama erosi lahan adalah air hujan dan limpasan pennukaan. Faktor-faktor yang dapat berpengaruh tehadap baik erosi lahan maupun limpasan permukaan adalah iklim, tanah, topografi, kemiringan lereng, vegetasi dan kegiatan manusia. Empat faktor pertama lebih banyak di tentukan oleh alam, sedangkan faktor vegetasi dapat di atur oleh manusia. Langkah pertama yang harus di lakukan untuk mengendalikan erosi lahan dan sekaligus limpasan permukaan adalah pengaturan vegetasi. Tiap jenis tanaman mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap erosi lahan dan limpasan permukaan sehingga di perlukan penelitian yang melibatkan setiap jenis tanaman khususnya tanaman budidaya yang banyak di tanam oleh petani. Penelitian Ziliwu Yuliman (2002) bertujuan untuk mengetahui pengaruh beberapa macam tanaman terhadap aliran permukaan dan erosi, menentukan faktor tanaman C dalam rumus USLE berdasar jenis dan tingkat pertumbuhan tanaman dan faktor C tahunan. Tanaman yang di pilih meliputi : tanaman kedelai, kacang tanah, rumput gajah, padi gogo dan tumpang sari. Pengukuran erosi dilakukan dengan membuat plot erosi dengan ukuran 22 x 2 meter.

23

Page 24: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Plot erosi terdiri dari 6 plot yang berjejeran pada kemiringan tanah yang sama 10%, plot tersebut adalah : PO (tanpa tanaman sebagai kontrol), P1 (tanaman kedelai), P2 (tanaman kacang tanah), P3 (tanaman rumput gajah), P4 (tanaman padi gogo), P5 (tanaman tumpang sari ). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman yang paling efisien untuk memperkecil aliran permukaan dan yang paling baik untuk menekan laju erosi adalah tanaman kacang tanah. Pertumbuhan tanaman yang semakin besar maka aliran pennukaan dan erosi semakin kecil. Nilai faktor C dalam rumus USLE adalah tanaman yang semakin besar pertumbuhannya nilai faktor C semakin kecil, nilai faktor C tahunan dengan tanaman (kacang tanah + padi gogo) dan (Kacang tanah + kedelai) = 0,373. Untuk memperkecil terjadinya kerusakan lahan akibat dari aliran permukaan dan erosi di sarankan kepada petani khususnya di lokasi penelitian lahan tegalan yaitu di Sub DAS Gobeh Desa Gedong (Keduang) Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri supaya pada akhir musim kemarau menjelang musim hujan di lakukan penanainan kacang tanah.

3. Pendekatan GabunganPendekatan ini dilakukan melalui interprestasi data dengan penginderaan jauh

(remote sensing images) misalnya foto udara dan citra satelit. Dengan metode ini erosi bentang lahan pada areal yang luas dapat dilakukan dengan mudah dan efektif. Metode ini dapat terlaksana dengan baik bila tersedia sarana dan prasarana yang memadai terutama peralatan untuk pemrosesan citra (image processor) dan juga alat untuk interpretasi potret udara meliputi stereoskop dari yang sederhana sampai yang lebih canggih.

4. Pendekatan Permodelan: MODEL PENDUGAAN EROSIModel adalah “kumpulan hukum-hukum fisik dan atau pengamatan empirik

yang ditulis dalam bentuk persamaan-persamaan matematik dan dikombinasikan sedemikian rupa untuk menghasilkan sekumpulan hasil berdasarkan pada sekumpulan kondisi yang sudah diketahui atau diasumsikan”. Hubungan dengan erosi tanah, permodelan merupakan penggambaran secara matematik proses-proses penghancuran, transport, dan deposisi partikel tanah di atas permukaan lahan (Nearing et al., 1994). Ada dua macam model penduga erosi yang sekarang ini banyak dipakai yakni model berbasis empirik (empirically based model) dan model berbasis proses (process based model). Model berbasis empirik mengaitkan langsung keluaran dari model (output) dengan input (misalnya penggunaan lahan, luas, dan lereng) dengan menggunakan model-model statistik. Model berbasis empirik umumnya membutuhkan lebih sedikit input dan perhitungan yang lebih sederhana dibanding model berbasis proses (ICRAF, 2001; Schmitz dan Tameling, 2000). Umumnya model berbasis empirik ini memprediksi rata-rata tahunan aliran permukaan dan erosi berdasarkan prediksi jangka panjang. Model ini tidak mempertimbangkan distribusi spasial dari input parameter dan interaksinya yang akan mempengaruhi output.

24

Page 25: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Model berbasis proses atau sering dikenal dengan model fisik merupakan suatu model yang berhubungan dengan hukum kekekalan massa dan energi. Persamaan diferensial atau dikenal sebagai persamaan kontinuitas digunakan dan diaplikasikan untuk erosi tanah pada satu segmen tanah pada lahan yang berlereng. Model fisik ditujukan untuk dapat menjelaskan proses erosi dengan menggunakan persamaan fisika, namun demikian persamaan empiris kadang-kadang masih digunakan di dalamnya (ICRAF, 2001). Persamaan yang digunakan pada model fisik ini tergolong sulit dan mengandung parameter-parameter yang kadang-kadang sukar untuk diukur. Namun demikian, model fisik mempunyai kemungkinan untuk memperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan model empiris (Schmitz dan Tameling, 2000), karena model fisik merupakan permodelan proses-proses erosi, sehingga pengguna dapat memahami lebih baik proses-proses erosi yang terjadi dan dampak dari terjadinya proses tersebut.

Model pendugaan erosi dikembangkan pada tahun 1940-an dengan menggunakan parameter panjang dan kemiringan lahan, kemudian model ini diperbaiki dengan menambahkan parameter tanaman dan teknik konservasi tanah, juga menambahkan parameter tanah dan hujan. Wischmeier and Smith (1976, 1978) mengembangkan Universal Soil Loss Equation (USLE) yang memprediksi erosi tanah berdasarkan pada 6 faktor yaitu erosivitas hujan, erodibilitas tanah, panjang lereng, kemiringan lahan, penutupan tanah/land use, dan sistem pengelolaan lahan. Selanjutnya paling tidak selama empat dekade terakhir, berkembang beberapa model empiris lainnya, misalnya RUSLE, MUSLE (modified universal soil loss equation) yang berpatokan pada konsep USLE.

Beberapa model fisik dikembangkan setelah generasi USLE, salah satu di antaranya adalah model fisik GUEST (griffith university erosion system template) (Rose et al., 1997). Beberapa model erosi untuk DAS yang berkaitan dengan hidrologi yang juga berdasarkan pada konsep USLE adalah ANSWERS (areal non-point sources watershed environment response simulation) yang selanjutnya diperbaiki dengan model AGNPS atau agricultural non-point source pollution model (Sinukaban, 1997).

25

Page 26: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Model USLE yang direvisi menjadi RUSLE (Sumber: http://www.anra.gov.au/topics/agriculture/)

Selain model-model yang telah disebutkan, masih banyak model-model lainnya yang berkembang di berbagai negara misalnya Chemical, Run-off, and Erosion from Agricultural Management System/CREAMS, Soil and Water Assessment Tool /SWAT, Water Erosion Prediction Project/WEPP, dan lain sebagainya.

Paling tidak terdapat tiga alasan dilakukannya pemodelan erosi, yaitu:(a) Model erosi dapat digunakan sebagai alat prediksi untuk menilai/menaksir

kehilangan tanah yang berguna untuk perencanaan konservasi tanah (soil conservation planning), perencanaan proyek (project planning), inventarisasi erosi tanah, dan untuk dasar pembuatan peraturan (regulation);

(b) Model-model matematik yang didasarkan pada proses fisik (physically-based mathematical models) dapat memprediksi erosi dimana dan kapan erosi terjadi, sehingga dapat membantu para perencana konservasi tanah dalam menentukan targetnya untuk menurunkan erosi; dan

(c) Model dapat dijadikan sebagai alat untuk memahami proses-proses erosi dan interaksinya, dan untuk penetapan prioritas penelitian.

Sudah banyak model pendugaan erosi yang berkembang, namun pemanfaatan model-model tersebut dalam perencanaan konservasi khususnya di Indonesia masih rendah. Kesulitan untuk memilih model dan mendapatkan parameter-parameter yang dibutuhkan sebagai masukan dari model seringkali menjadi kendala. Secara ideal, metode prediksi erosi harus memenuhi persyaratan-persyaratan yang nampaknya bertentangan, yaitu: dapat diandalkan, secara universal dapat dipergunakan, mudah digunakan dengan data yang minimum, konprehensif dalam hal faktor-faktor yang

26

Page 27: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

digunakan, dan mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan-perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi tanah.

USLE Model in Conjunction with RS & GIS to Estimate Soil Erosion (sumber: http://www.gisdevelopment.net/aars/acrs/

1997/ts2/ts2002pf.htm).

Dengan tetap mempertimbangkan aspek kehandalan (keakuratan) dari hasil prediksinya, kemudahan untuk digunakan dengan data yang minimum merupakan aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam penggunaan model di Indonesia. USLE sebenarnya relatif memenuhi persyaratan ini, juga cukup konfrehensif dalam hal faktor-faktor yang digunakan yakni menggunakan 6 faktor erosi dalam proses perhitungan.

Model ini juga cukup mempunyai kemampuan untuk mengikuti perubahan tata guna lahan dan tindakan konservasi, di antaranya karena berbagai percobaan untuk mendapatkan nilai faktor C (crop) dan P (pengelolaan) telah banyak dilakukan di Indonesia, sehingga model ini dapat diaplikasikan dalam konsidi yang relatif sesuai. Namun demikian, banyak yang berpendapat bahwa hasil prediksi dari model USLE kurang akurat yakni seringkali terlalu overestimate.

Salah satu faktor yang seringkali kurang disadari oleh para pengguna model ini adalah berhubungan dengan skala penggunaan, misalnya menggunakan USLE untuk memprediksi erosi pada skala DAS. Tarigan dan Sinukaban (2001) menyatakan bahwa USLE berfungsi baik untuk skala plot, sedangkan untuk skala DAS dapat menjadi over estimate, salah satunya karena faktor filter sedimen tidak terakomodasi, namun USLE bermanfaat dalam hubungannya dengan on-site effect dari erosi. Dengan demikian USLE masih tergolong layak digunakan untuk perencanaan teknik

27

Page 28: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

konservasi untuk skala usahatani dimana on-site effect dari erosi menjadi pertimbangan utama.

Untuk perencanaan konservasi tanah pada skala yang lebih luas, akan lebih realistis jika digunakan model-model yang merupakan pengembangan dari USLE, sehingga data-data dari faktor erosi seperti faktor C dan P masih bisa dimanfaatkan, karena jika harus dimulai dengan pengumpulan data baru akan dibutuhkan waktu yang tidak singkat.

Beberapa contoh model erosi untuk skala DAS yang merupakan pengambangan dari model USLE adalah SLEMSA, CALSITE, RUSLE, dan WEPP. Menurut Elwell dalam Dickinson dan Collin (1998), SLEMSA (“Soil Loss EstiMator for Southtern Africa”) menggunakan parameter yang sama dengan model USLE tetapi telah dimodifikasi dan diadaptasikan dengan kondisi daerah dan iklim di Zimbabwe (Afrika Selatan) khususnya pada suatu bentang lahan di dataran tinggi. Selanjutnya dilaporkan bahwa meskipun pendekatan model ini sudah lebih maju dari model USLE tetapi sangat spesifik lokasi sehingga belum dapat digunakan di daerah lain yang berbeda kondisinya.

CALSITE (“Calibrated Simulation of Transported Erosion”) merupakan model kombinasi dari USLE dan SLEMSA (Dickinson and Collin, 1998). Parameter model sama dengan USLE yaitu R (faktor erosivitas hujan), K (faktor erodibilitas tanah), CP (faktor jenis tanaman penutup tanah dan tindakan konservasi tanah), dan LS (faktor panjang dan kemiringan lereng). Model ini telah digunakan dan dimodifikasi di negara Asia Tenggara, seperti Thailand dan Filipina, untuk perencanaan pengelolaan kawasan yang luas (“catchment area”). Model CALSITE dapat menentukan dan mengidentifikasi erosi tanah dan hasil sediment (“sediment yield”) yang terjadi dalam suatu kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan mengikuti arah aliran ke bawah yang bermuara ke suatu “outlet” DAS.

Balai Penelitian Tanah sejak tahun 2005 mengembangkan program DSS (Decision Support System) untuk konservasi tanah dan air. Program ini dibangun untuk dapat dijadikan sebagai alat bantu dalam membuat rekomendasi pengelolaan lahan dengan cara memilih tindakan konservasi tanah dan air yang tepat sesuai dengan kondisi biofisik lahannya. Dengan adanya program ini diharapkan dapat memudahkan perencana dan pengguna dalam mengambil keputusan untuk menentukan system pengelolaan lahan yang tepat. Salah satu dasar yang digunakan program ini dalam pengambilan keputusan adalah nilai erosi yang didapat dari hasil simulasi model erosi. Program SPLaSH (Sistem Pengggunaan Lahan Sesuai Harkat) versi 1.02 merupakan salah satu versi dari DSS konservasi tanah yang telah dihasilkan. Program ini mempunyai basis data yang berhubungan dengan hasil-hasil penelitian konservasi tanah, disusun dalam format MS Access dan dapat berhubungan timbal-balik (“link”) dan diakses oleh program MS Visual Basic. Dalam implementasinya, program SPLaSH versi 1.02 menggunakan model Universal Soil Loss Equation/ USLE (Wischmeier and Smith, 1978) dan TSL (Tolerable Soil Loss). Saat ini sedang dikembangkan versi lanjutan dari SPLaSH yang menggunakan model erosi untuk skala DAS, sehingga bentuk program DSS yang dihasilkan bisa dipalikasikan untuk skala yang lebih luas.

Model USLE

28

Page 29: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Pendekatan ini adalah dengan menggunakan pendekatan matematika, yang dikembangkan oleh Wischmeir dan Smith (1978), rumus ini pertama kali dikembangkan dari kenyataan bahwa erosi adalah fungsi erosivitas dan erodibilitas. Rumus ini dikenal dengan Persamaan Umum Kehilangan Tanah (PUKT) atau Universal Soil-Loss Equation (USLE). Rumus ini digunakan di suatu wilayah dimana curah hujan dan jenis tanahnya relatif sama sedangkan yang beragam adalah faktor panjang lereng, kemiringan lereng, serta pengelolaan lahan dan tanaman (L, S, P, C). Rumus USLE tersebut adalah sebagai berikut (Wischmeir dan Smith, 1978):

A = R K LS C Pdimana :A = Besarnya kehilangan tanah per satuan luas lahan. Besarnya kehilangan tanah

atau erosi dalam hal ini hanya terbatas pada erosi kulit dan erosi alur. Tidak termasuk erosi yang berasal dari tebing sungai dan juga tidak termasuk sedimen yang terendapkan di bawah lahan-lahan dengan kemiringan besar.

R = Faktor erosivitas curah hujan dan air larian untuk daerah tertentu, umumnya diwujudkan dalam bentuk indeks erosi rata-rata (El). Faktor R juga merupakan angka indeks yang menunjukkan besarnya tenaga curah hujan yang dapat menyebabkan terjadinya erosi.

K = Faktor erodibilitas tanah untuk horizon tertentu, dan merupakan kehilangan tanah per satuan luas untuk indeks erosivitas tertentu. Faktor K adalah indeks erodibilitas tanah, yaitu angka yang menunjukkan mudah tidaknya partikel-partikel tanah terkelupas dari agregat tanah oleh gempuran air hujan atau air larian.

L = Faktor panjang lereng yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk panjang lereng 72,6 ft.

S = Faktor gradien (beda) kemiringan yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah untuk tingkat kemiringan lereng tertentu dengan besarnya kehilangan tanah untuk kemiringan 9%.

C = Faktor pengelolaan (cara bercocok tanam) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi cara bercocok tanam yang diinginkan dengan besarnya kehilangan tanah pada keadaan tilled continuous fallow.

P = Faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik) yang tidak mempunyai satuan dan merupakan bilangan perbandingan antara besarnya kehilangan tanah pada kondisi usaha konservasi tanah ideal (misalnya, teknik penanaman sejajar garis kontur, penanaman dengan teras, penanaman dalam larikan) dengan besarnya kehilangan tanah pada kondisi penanaman tegak lurus terhadap garis kontur.

Dari persamaan USLE tersebut maka besarnya erosi diperoleh dari perhitungan faktor-faktor di bawah ini:

a. Faktor Erosivitas Hujan (R)

29

Page 30: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Erosivitas adalah kemampuan hujan untuk menimbulkan erosi. Untuk menentukan faktor erosivitas dapat diukur dengan menggunakan rumus yang dipakai oleh Soemarwoto 1991 berikut:

R = 0,41 x H 1.09

dimana: R : Besarnya Erosivitas; H : Curah Hujan Tahunan.

Bols (1978) mengemukakan rumus untuk menghitung besarnya erosivitas hujan dengan menggunakan ombrometer sederhana pada daerah tropika basah adalah dengan memadukan parameter curah hujan bulanan dalam cm (Rb), jumlah hari hujan (D) dan curah hujan maksimum selama 24 jam pada bulan tersebut (M) dengan persamaan :

R = 6,119Rb1,21D-0,47M0,53

Effects of slash treatment on soil loss as a function of rainfall erosivity, 2000 and 2001. Control, n = 90; treatment, n = 90. Data are transformed using the natural logarithm.

(Sumber: https://www.agronomy.org/publications/jeq/articles/32/4/1290)

b. Faktor Erodibilitas Tanah (K)Erodibilitas tanah adalah mudah tidaknya tanah tererosi. Faktor K

(erodibiltas) merupakan faktor kepekaan erosi tanah yang menyatakan kerawanan tanah terhadap erosi, dan dipengaruhi oleh beberapa parameter fisik tanah yaitu ukuran partikel atau tekstur tanah (M), struktur tanah (b), permeabilitas tanah (c) dan kandungan bahan organik (a). Penentuan nilai erodibilitas (K) suatu jenis tanah

30

Page 31: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

adalah berdasarkan rumus:

100K = 1,2M1,14(10-4)(12-a)+ 3,25(b-2)+ 2,5(c-3)

Rumus ini dikemukakan oleh Wischmeier dan Smith, (1978).

USDA nomograph used to calculate soil erodibility (K) factor. (sumber: http://rpitt.eng.ua.edu/Class/Erosioncontrol/)

Soil Erodibility Factor (K)The soil texture, and other soil characteristics, affect its susceptibility to erosion. The soil K factors were determined experimentally in test plots that were 72.6 ft long and had a uniform slope of 9%. Figure 4-6 is the nomograph used to determine the K factor for a soil, based on its texture (% silt plus very fine sand, % sand, % organic matter, soil structure, and permeability. The NRCS county soil maps list the K factors for all soils in each county. However, significant disturbance and modifications of the soil obviously occurs at construction sites and care needs to be taken to ensure that the K factor is based on the actual surface soil conditions. As an example, the organic matter (decreases as the top soils are removed), permeability (decreases with compaction with heavy equipment), and soil structure (subsurface soils more massive than surface soils) could all likely change, causing the K factor to increase for a soil undergoing modification at a construction site.

c. Faktor Panjang Lereng (L) dan Kemiringan Lereng (S)

31

Page 32: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Dalam USLE faktor panjang dan kemiringan lereng digabung menjadi satu. Kemiringan mempengaruhi kecepatan dan volume limpasan permukaan, semakin curam suatu lereng persentase kemiringan semakin tinggi sehingga makin cepat laju limpasan permukaan. Dengan singkatnya waktu infiltrasi, maka volume limpasan semakin besar. Jadi dengan meningkatnya persentase kemiringan, erosi yang terjadi juga semakin besar. Untuk menghitung nilai LS digunakan rumus:

LS = √ L . (0,00138 S2 + 0,00965 S + 0,0138)

Keterangan: L = Panjang lereng (m); S = Kemiringan lereng (%)

Untuk karakteristik DAS, kemiringan lereng pada setiap satuan lahan perlu diklasifikasikan, klasifikasi kemiringan lereng adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Nilai Kemiringan Lereng

No Kelas Lereng Nilai Klasifikasi1 I 0 – 8 % Datar2 II 8 – 15 % Landai3 III 15 – 25 % Agak cuiram4 IV 25 – 45 % Curam5 V >45 % Sangat curam

 

Contoh pengukuran panjang lereng yang berbeda-beda (sumber: Renard, et al. 1987).

32

Page 33: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Definisi panjang lereng dalam model RUSLE (Renard, et al. 1987).

 

d. Faktor Pengelolaan Tanaman (C)Faktor C adalah faktor pengelolaan tanaman. Faktor pengelolaan tanaman

merupakan gabungan antara jenis tanaman, pengelolaan sisa-sisa tanaman, tingkat kesuburan, dan waktu pengelolaan tanah. Adanya tanaman dapat menekan laju limpasan permukaan dan erosi. Tanaman mampu mempengaruhi laju erosi karena:

1) adanya intersepsi air hujan oleh tajuk daun2) adanya pengaruh terhadap limpasan permukaan.3) adanya pengaruh terhadap sifat fisik tanah.4) adanya peningkatan kecepatan kehilangan air karena transpirasi.

Dengan adanya tanaman menyebabkan air hujan yang jatuh tidak langsung memukul massa tanah, tetapi terlebih dahulu ditangkap oleh tajuk daun tanaman. Selanjutnya tidak semua air hujan tersebut diteruskan ke permukaan tanah karena sebagian akan mengalami evaporasi. Kejadian ini akan mengurangi jumlah air yang sampai ke permukaan tanah yang disebut hujan lolos tajuk. PUSLITTAN telah melaksanakan penelitian-penelitian lapangan untuk menilai faktor C beberapa jenis pertanaman.

33

Page 34: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Tabel 2. Perkiraan Nilai C

No Macam Penggunaan Nilai Faktor C1. Tanah terbuka tanpa tanaman 1,0002. Sawah 0,0103. Tegalan tidak dispesifikan 0,7004. Ubi kayu 0,8005. Jagung 0,7006. Kedelai 0,3997. Kentang 0,4008. Kacang Tanah 0,2009. Padi 0,56110. Tebu 0,20011. Pisang 0,60012. Akar wangi (sereh wangi) 0,40013. Rumput bede (tahun pertama) 0,28714. Rumput bede (tahun kedua) 0,00215. Kopi dengan penutup tanah buruk 0,20016. Talas 0,85017. Kebun campuran

- Kerapatan tinggi 0,100- Kerapatan sedang 0,200- Kerapatan rendah 0,500

18. Perladangan 0,40019. Hutan alam

- Seresah banyak 0,001- Seresah sedikit 0,005

20. Hutan Produksi- Tebang habis 0,500- Tebang Pilih 0,200

21. Semak belukar/ padang rumput 0,30022. Ubi kayu + kedelai 0,18123. Ubi kayu + kacang tanah 0,19524. Padi – Sorgun 0,34525. Padi – kedelai 0,41726. Kacang tanah + gude 0,49527. Kacang tanah + Kacang tunggak 0,57128. Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0,04929. Padi + mulsa jerami 4 ton/ ha 0,09630. Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ ha 0,12831. Kacang tanah + mulsa clotaria 3 ton/ ha 0,136

34

Page 35: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

32. Kacang tanah + mulsa kacang tunggak 0,25933. Kacang tanah + mulsa jerami 2 ton/ ha 0,37734. Padi + mulsa crotalaria 3 ton/ ha 0,38735. Pola tanam tumpang gilir + mulsa

jerami 0,079

36. Pola tanam berurutan + mulsa sisa tanaman 0,357

37. Alang-alang murni subur 0,00138. Karet * 0,20039. Permukiman ** 0,500

Sumber: Data Pusat Penelitian Tanah (1973 – 1981) tidak dipublikasikan*) Morgan, 1987 dalam Rahim, 2000*) Setya Nugraha, 1997

e. Faktor Pengelolaan dan Konservasi Tanah (P)

Faktor P adalah faktor tindakan konservasi tanah. Faktor ini merupakan bentuk usaha manusia untuk membatasi semaksimal mungkin pengaruh erosi terhadap lahan. Untuk penilaian faktor P di lapangan akan lebih mudah bila digabungkan dengan faktor C, sebab kenyataannya kedua faktor tersebut berkaitan erat. Faktor-faktor pada Model USLE (Model PUKT) masing-masing telah tersedia pada banyak referensi. Data tersebut diperoleh dari hasil-hasil penelitian yang banyak dilakukan di berbagai lokasi.

Tabel 3. Prakiraan Nilai P untuk Berbagai Tindakan Konservasi

No Tindakan Konservasi Tanah Nilai P1. Teras Bangku1)

Konstruksi Baik 0,04Konstruksi Sedang 0,15Konstruksi Kurang Baik 0,35Teras Tradisional 0,40

2. Strip tanaman rumput bahia 0,403. Pengelolaan tanah dan penanaman menurut garis kontur

Kemiringan 0-8 % 0,50Kemiringan 9-8 % 0,75Kemiringan lebih dari 20 % 0,90

4. Tanpa tindakan konservasi 1,00Sumber : Data pusat penelitian tanah (1973-1981 dalam Arsyad, 1989: 259)Keterangan: 1) Konstruksi teras bangku dinilai dari kerataan dasar dan keadaan talud

teras.

35

Page 36: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Konservasi Tanah dan Air

Erosi yang dipercepat (accelerated erosion) timbul sejak manusia mengenal budidaya pertanian. Erosi menjadi masalah sejak pengelolaan lahan dilakukan secara lebih intensif, sehubungan dengan peningkatan kebutuhan sandang, pangan, papan dan lainnya sejalan dengan pesatnya pertambahan jumlah penduduk. Sejak beberapa dekade yang lalu erosi diakui secara luas sebagai suatu permasalahan global yang serius. Menurut United Nations Environmental Program (UNEP), produktivitas lahan seluas ± 20 juta ha setiap tahun mengalami penurunan ke tingkat nol atau menjadi tidak ekonomis lagi disebabkan oleh erosi atau degradasi yang disebabkan oleh erosi.

Penurunan produktivitas lahan dimana erosi terjadi baru merupakan on-site effect dari erosi, belum termasuk kerugian yang disebabkan oleh off-site effect dari erosi seperti sedimentasi sungai, waduk, jaringan irigasi dan berbagai kerusakan lainnya. Sebagai gambaran di negara maju seperti Amerika kerusakan akibat erosi jika dihitung secara nominal adalah: untuk kerusakan yang bersifat on-site berkisar antara US$ 500 juta-US$1,2 milyar dan off-site berkisar antara US$3,4 milyar - US$13 milyar (Colacicco et al., 1989). Untuk Negara tropis seperti Indonesia, dimana potensi erosi begitu besar, baik karena faktor alami maupun karena aspek pengelolaan lahan, kerugian yang diakibatkan oleh erosi tidak akan kalah besarnya dengan yang terjadi di negara subtropika tersebut.

Dengan besarnya resiko yang bakal terjadi, maka pencegahan erosi merupakan aspek yang tidak boleh dilupakan dalam pengelolaan lahan, baik untuk pertanian maupun penggunaan lainnya. Pencegahan erosi yakni tindakan konservasi tanah sudah harus diperhitungkan sejak perencanaan penggunaan lahan dilakukan. Untuk selanjutnya evaluasi dari aplikasi suatu teknik konservasi juga perlu dilakukan agar dapat diyakini apakah sistem pengelolaan lahan yang diterapkan sudah memadai untuk terwujudnya sistem pengelolaan lahan secara berkelanjutan.

Sangat disadari oleh berbagai pihak bahwa mencegah erosi sampai batas nol (tanpa erosi) pada lahan yang dikelola adalah sangat sulit dilakukan. Oleh karena itu, disepakati bahwa minimal erosi yang terjadi dapat ditekan sampai di bawah ambang batas yang diperbolehkan. Namun demikian, sering timbul permasalahan baik bagi pihak perencana, pelaksana, dan evaluator untuk menentukan apakah suatu sistem penggunaan lahan dinilai sudah aman dari segi pencegahan bahaya erosi.

Besarnya erosi dan pengaruh suatu teknik konservasi tanah terhadap erosi dan aliran permukaan dapat dievaluasi dengan melakukan pengukuran secara langsung di lapangan atau dengan memprediksinya yaitu dengan menggunakan model. Pengukuran secara langsung membutuhkan waktu pengamatan yang relatif lama dan memerlukan biaya yang mahal, baik untuk instalasi alat, pengoperasian, maupun pemeliharaan alat. Oleh karena itu, penggunaan model dapat menjadi salah satu alternatif.

36

Page 37: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Konservasi tanah dalam arti yang luas adalah penempatan setiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah tersebut dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Dalam arti yang sempit konservasi tanah diartikan sebagai upaya mencegah kerusakan tanah oleh erosi dan memperbaiki tanah yang rusak oleh erosi. Konservasi air pada prinsipnya adalah penggunaan air hujan yang jatuh ke tanah untuk pertanian seefisien mungkin, dan mengatur waktu aliran agar tidak terjadi banjir yang merusak dan terdapat cukup air pada waktu musim kemarau.

Konservasi tanah mempunyai hubungan yang sangat erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada  sebidang tanah akan mempengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Oleh karena itu konservasi tanah dan konservasi air merupakan dua hal yang berhuibungan erat sekali; berbagai tindakankonservasi tanah adalah juga tindakan konservasi air.

Permasalahan Konservasi Tanah

Faktor Alami Penyebab ErosiKarakteristik sumberdaya lahan Indonesia cenderung mempercepat laju erosi

tanah, terutama tiga faktor berikut: (1) curah hujan yang tinggi, baik kuantitas maupun intensitasnya, (2) lereng yang curam, dan (3) tanah yang peka erosi, terutama terkait dengan genesa tanah. Data BMG (1994) menunjukkan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas. Lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%).

Pertanian yang tidak konservasiTingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan

tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan. Secara keseluruhan, lahan kering datarberombak meliputi luas 31,5 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam.

Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budi daya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah yang banyak dijumpai di luar Jawa. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian.

Faktor Kebijakan dan Sosial - Ekonomi

37

Page 38: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Rendahnya adopsi teknologi konservasi bukan karena keterbatasan teknologi, tetapi lebih kuat disebabkan oleh masalah nonteknis. Kondisi seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Hudson (1980) menyatakan bahwa walaupun masih ada kekurangan dalam teknologi konservasi dan masih ada ruang untuk perbaikan teknis, hambatan yang lebih besar adalah masalah politik, sosial, dan ekonomi.

Kebijakan dan perhatian pemerintah sangat menentukan efektivitas dan keberhasilan upaya pengendalian degradasi tanah. Namun, berbagai kebijakan yang ada belum memadai dan efektif, baik dari segi kelembagaan maupun pendanaan. Selaras dengan tantangan yang dihadapi, selama ini prioritas utama pembangunan pertanian lebih ditujukan pada peningkatan produksi dan pertumbuhan ekonomi secara makro, sehingga aspek keberlanjutan dan kelestarian sumber daya lahan agak tertinggalkan. Padahal aspek tersebut berdampak jangka panjang bagi pembangunan pertanian di masa mendatang.

Selain kurangnya dukungan kebijakan pemerintah, masalah sosial juga sering menghambat penerapan konservasi tanah, seperti sistem kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Kondisi ekonomi petani yang umumnya rendah sering menjadi alasan bagi mereka untuk mengabaikan konservasi tanah. Konversi lahan pertanian sering disebabkan oleh faktor ekonomi petani, yang memaksa mereka menjual lahan walaupun mengakibatkan hilangnya sumber mata pencaharian. Selain faktor alami, terjadinya kebakaran hutan dan lahan terutama terkait dengan lemahnya peraturan dan sistem perundangundangan. Selain itu, faktor teknis dan ekonomi juga menjadi pemicu utama kebakaran hutan dan lahan dengan alasan mudah dan murah.

Strategi Konservasi Tanah dan Air

Upaya konservasi tanah dan air tidak dapat diserahkan hanya kepada inisiatif dan kemampuan petani, karena berbagai keterbatasannya, terutama aspek ekonomi, selain kurang memahami pentingnya konservasi. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dan menentukan. Demikian juga strategi yang dipilih untuk mensukseskan implementasinya di lapangan sangat menentukan keberhasilan. Strategi tersebut meliputi lima hal sebagai berikut.

Strategi 1. Penyiapan Teknologi KonservasiTeknologi konservasi tanah yang tepat guna, berupa teknologi pengendalian

erosi dan longsor, sudah tersedia. Beberapa di antaranya telah dipublikasikan dalam berbagai media cetak berupa buku, jurnal, dan prosiding. Yang perlu dilakukan adalah mengumpulkan dan menyusunnya dalam buku teknologi atau menyediakan file elektronis, sehingga dapat diakses dengan mudah oleh penyuluh dan calon pengguna lainnya. Teknologi untuk mengendalikan pencemaran kimiawi, kebakaran hutan, polusi oleh limbah pertambangan dan industri, serta konversi lahan masih perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.

Strategi 2. Percepatan DiseminasiUpaya penelitian konservasi tanah selama ini belum didukung oleh sistem

diseminasi yang handal. Teknologi pengendalian erosi lebih banyak diterapkan pada proyek reboisasi dan penghijauan yang dikelola oleh Departemen Kehutanan. Sasaran

38

Page 39: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

utaman proyek tersebut adalah kawasan hutan, terutama pada DAS bagian hulu, sedangkan konservasi wilayah pertanian hanya terbatas pada penghijauan lahan pertanian di DAS hulu. Oleh karena itu, diperlukan pembenahan terhadap materi, program, dan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat pusat dan daerah. Untuk mendukung pembenahan ini, penelitian konservasi tanah perlu diarahkan kepada pencarian metode diseminasi teknologi yang tepat, di samping penelitian teknologinya sendiri.

Salah satu program Departemen Pertanian yang dapat dijadikan wadah percepatan diseminasi teknologi konservasi adalah Prima Tani, yang salah satu tujuannya adalah mempercepat diseminasi inovasi pertanian. Prima Tani merupakan model pembangunan pedesaan yang mengintegrasikan berbagai program pertanian, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran secara sinergis, yang juga bertujuan untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi desa berupa sumber daya manusia dan lahan. Jadi secara filosofis, semangat Prima Tani sangat dekat dengan semangat konservasi sumber daya. Oleh karena itu, melalui Prima Tani, teknologi konservasi tanah berpeluang diterapkan di lahan petani sebagai percontohan. Lebih jauh, Menteri Pertanian menganggap Prima tani sebagai suatu model pembangunan pertanian yang berawal dari desa, dan merupakan tonggak baru sejarah pembangunan pertanian.

Teknologi konservasi tanah dan air juga dapat didiseminasikan melalui kebijakan publik, seperti dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi. Secara substansial, Permentan tersebut disusun dan merupakan kristalisasi serta sari pati hasil pembelajaran dari berbagai program penelitian dan pengembangan konservasi sejak puluhan tahun yang lalu.

Strategi 3. Reformasi Kelembagaan Konservasi TanahSemakin cepatnya laju degradasi lahan pertanian, yang mengancam

keberlanjutan dan tingkat produksi pertanian, menuntut adanya politik pemerintah yang lebih tegas, antara lain dengan meninjau ulang posisi kelembagaan konservasi tanah. Mandat konservasi tanah seyogianya dilaksanakan oleh suatu kelembagaan yang powerfull. Dengan demikian akan ada kelembagaan khusus yang bertugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standardisasi teknis di bidang konservasi tanah, yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.

Strategi 4.  Revitalisasi Program Konservasi TanahProgram konservasi tanah selama ini dilaksanakan oleh Departemen

Kehutanan, dengan nama Reboisasi dan Penghijauan. Kemudian digalakkan gerakan masyarakat yang disebut Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Nasional (Gerhan). Hingga tahun 2006, untuk merehabilitasi lahan 2,1 juta ha digunakan anggaran Rp 8,586 triliun atau Rp4 juta/ha, yang bersumber dari dana reboisasi (Kartodihardjo 2006). Namun, hanya 2,1% dari anggaran tersebut yang digunakan untuk pembuatan konstruksi teknis konservasi mekanis, seperti teras dan saluran drainase, sehingga dampak program tersebut tampaknya belum cukup berarti, terutama untuk konservasi lahan pertanian. Berdasarkan kenyataan tersebut, seyogianya program konservasi lahan pertanian dikelola oleh kelembagaan konservasi di Departemen Pertanian yang dikoordinasikan dengan program Dinas Pertanian di provinsi dan kabupaten. Dengan

39

Page 40: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

demikian, konservasi lahan pertanian akan mendapat perhatian lebih besar, dan Departemen Kehutanan dapat memfokuskan programnya pada penanganan konservasi kawasan hutan.

Strategi 5. Pelaksanaan Program PendukungUpaya konservasi lahan pertanian perlu didukung perbaikan perencanaan dan

implementasi programnya, antara lain berupa program sebagai berikut.

Peningkatan Kesadaran MasyarakatHasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan telah mengenal beberapa jenis fungsi lahan pertanian, yaitu penghasil produk pertanian, pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Padahal sebenarnya fungsi lahan pertanian bagi kemanusiaan banyak sekali. Sehubungan dengan hal tersebut, penggalakan konservasi tanah harus meliputi pula advokasi pentingnya pertanian beserta fungsi gandanya. Dalam jangka pendek, promosi dapat dilakukan melalui seminar dan simposium serta media cetak dan elektronis. Dalam jangka panjang, sasaran advokasi bukan saja masyarakat umum, tetapi juga pelajar dan mahasiswa melalui kurikulum pokok dan ekstra-kurikuler.

Penguatan Kelembagaan PenyuluhanKondisi kelembagaan penyuluhan saat ini kurang kondusif untuk pembangunan pertanian secara umum, lebih-lebih untuk pengembangan konservasi tanah. Hal ini terjadi terutama setelah diberlakukannya UU No. 32/2004 tentang otonomi daerah, yang antara lain mengalihkan pengelolaan urusan penyuluhan pertanian dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten. Namun dengan diterbitkannya UU No 16/2006 tentang penyuluhan diharapkan fungsi penyuluhan akan lebih baik, apalagi dengan digabungnya penyuluhan pertanian, perkebunan, dan peternakan dalam satu wadah. Salah satu hal yang perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai.

Penegakan Peraturan-perundanganPeraturan-perundangan tentang konservasi tanah dan air sudah banyak dibuat pada berbagai tingkatan. Berbagai peraturan/perundangan yang berkaitan dengan masalah kerusakan lahan pertanian, terutama konversi lahan ke nonpertanian, sudah banyak diberlakukan dalam bentuk Peraturan Pemerintah, Keputusan Menteri, dan Peraturan Daerah. Masalah yang mengemuka adalah lemahnya penegakan hukum terutama karena penerapan law-enforcement yang kurang tegas.

Advokasi Penanggung JawabAdvokasi secara intensif kepada masyarakat luas sanghat diperlukan untuk menjelaskan bahwa penyelamatan sumber daya lahan dan lingkungan bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab bersama seluruh generasi bangsa Indonesia.

40

Page 41: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Usahatani konservasi dengan komoditi sayuran dataran tinggi memerlukan biaya yang mahal untuk memelihara teras-teras bangku (sumber:

http://bebasbanjir2025.files.wordpress.com/)

Teras bangku adalah serangkaian dataran yang dibangun sepanjang kontur pada interval yang sesuai. Bangunan ini dilengkapi dengan saluran pembuangan air (SPA) dan ditanami dengan rumput untuk penguat teras. Jenis teras bangku ada yang miring ke luar dan miring ke arah dalam.Teras bangku atau teras tangga dibuat dengan jalan memotong lereng dan meratakan tanah di bagian bawah sehingga terjadi suatu deretan bentuk tangga atau bangku. Teras jenis ini dapat datar atau miring ke dalam. Teras bangku yang berlereng ke dalam dipergunakan untuk tanah-tanah yang permeabilitasnya rendah dengan tujuan agar air yang tidak segera terinfiltrasi tidak mengalir ke luar melalui talud. Teras bangku sulit dipakai pada usaha pertanian yang menggunakan mesin-mesin pertanian yang besar dan memerlukan tenaga dan biaya yang besar untuk membuatnya.

41

Page 42: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. 1989. Rainfall Erosivity and Soil Erodibility in Indonesia: Estimation and Variation with Time. Doctorate Thesis. University of Ghent, Belgium. 195 hlm.

Abdurachman, A. 1997. Penggunaan RUSLE untuk menduga erosi tanah pada lahan pertanian di Indonesia. Lokakarya Penetapan Model Pendugaan Erosi Tanah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Bogor.

Abdurachman, A. 2003. Strategi dan arah ke depan penelitian dan pengembangan sumber daya lahan. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim, 14-15 Oktober 2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Abdurachman, A. 2004. Pengendalian konversi lahan sawah secara komprehensif. Makalah pada Round Table Pengendalian Konversi dan Pengembangan Lahan Pertanian,14 Desember 2004.

Abdurachman, A. 2008. TEKNOLOGI DAN STRATEGI KONSERVASI TANAH DALAM KERANGKA REVITALISASI PERTANIAN. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2), 2008: 105-124

Abdurachman, A. dan A. Hidayat, 1999. Pengelolaan sumber daya lahan dan air untuk mendukung pembangunan pertanian. Seminar Nasional Sektor Pertanian sebagai Andalan Ekonomi Nasional. Jakarta 26-27 Juli 1999.

Abdurachman, A. dan F. Agus. 2000. Pengembangan teknologi konservasi tanah pasca NWMCP. hlm. 25-38. Prosiding Lokakarya Nasional Pembahasan Hasil Penelitian Pengelolaan Daerah Aliran Sungai, 2-3 September 1999. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Abdurachman, A. dan U. Kurnia. 1990. Estimasi indeks erodibilitas tanah dengan menggunakan teknik simulasi hujan di laboratorium. Pemberitaan Penelitin Tanah dan Pupuk 9: 38-45.

Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4: 41-46.

Abdurachman, A., S. Abuyamin, dan U. Kurnia. 1984. Pengelolaan tanah dan tanaman untuk usaha konservasi tanah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 3: 7-11.

Agus, F. dan E. Husen 2004. Tinjauan umum multifungsi pertanian. Seminar Nasional Multifungsi Pertanian dan Ketahanan Pangan. Bogor. 12 Oktober 2004.

Agus, F., R.L. Watung, Wahyuno, Irawan, A.R. Nurmanaf, Sutono, and S. Tala’ohu. 2005. Assessment of the multifunctionality of agriculture. Environmental aspects and community evaluation. Report of Phase I: Evaluation of Multifunctionality of Paddy Farming and Its Effects in ASEAN Countries. p. 93-154.

Ardiwinata, A.N., S.Y. Jatmiko, dan E.S. Harsanti. 1999. Monitoring residu insektisida di Jawa Barat. dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem

42

Page 43: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Arshad, M., A. Khalid, and Z.A. Zahir. 1998. Degraded soils and organic matter. APO Seminar on Soil Degradation. Univ of Agriculture. Faisalabad, Pakistan, 19-24 October1998. p. 15.

Arsyad, S. 2000. Konservasi Tanah dan Air. Pembrit. IPB/IPB Pros. Cetakan ke tiga. Bogor.

Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. UGM Press. Yogyakarta.

Dariah, A., U. Haryati, dan T. Budiastoro. 2004. Teknologi konservasi tanah mekanik. hlm. 109-132. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng.

Dudal, R. 1980. An evolution of conservation needs p. 5-12. In R.P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation, Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.

Gurmel Singh, C. Venkataramanan, G. Sastry, B. P. Joshi (1996), "Manual of Soil and Water Conservation Practices", Oxford and IBH Publishing Co. Pvt. Ltd., New Delhi.

Harsanti, E.S., S.Y. Jatmiko dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu insektisida pada ekosistem lahan sawah irigasi di  Jawa Timur. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Haryati, U., Haryono, dan A. Abdurachman. 1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan berbagai teknik konservasi pada Typic Eutropept di Ungaran, Jawa Tengah. Pemberitaan PenelitianTanah dan Pupuk 13: 40-50.

Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Hudson, N. W. 1980. Social, Political and economics aspects of soil conservation. p. 45-54. In P.C. Morgan (Ed). Soil Conservation Problems and Aspects. John Wiley & Sons, USA.

ICRAF (International Center for Research in Agroforestry). 2001. Modelling Erosion at Differrent Scales, Case Study in The Sumber Jaya Watershed, Lampung, Indonesia. Internal Report ICRAF,. Bogor. 84p.

Irawan, B., S. Eriyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jatmiko, S.Y., E.S. Harsanti, dan A.N. Ardiwinata. 1999. Pencemaran pestisida pada agroekoistem lahan sawah irigasi dan tadah hujan di Jawa Tengah. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Jaya, A., S.E. Page, J.O. Rieley, S. Limin. and H.D.V. Bohn. 2000. Impact of forest fire on carbon storage in tropical peat lands. p. 106-113. In L.Rochefort and J.Y. Daigle (Eds). Sustaining Our Peatlands. Proc. of the 11th International Peat Congress, Quebec, Canada.

43

Page 44: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Kartodihardjo, H. 2006. Masalah dan kebijakan rehabilitasi hutan dan lahan. Makalah pada Diskusi Terbuka Rehabilitasi Hutan dan Lahan: Kebijakan, operasionalisasi dan gagasan baru. Institut Pertanian Bogor. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Jakarta. hlm. 56.

Kurnia, U. dan Suwardjo. 1984. Kepekaan erosi beberapa jenis tanah di Jawa menurut metode USLE. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 17-20.

Kurnia, U., H. Suganda, D. Erfandi, dan H.  Kusnadi. 2004. Teknologi konservasi tanah pada budi daya sayuran dataran tinggi. hlm. 133-150. Dalam Kurnia et. al. (Ed.). Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical soils. p. 237- 247. In S.A. El-Swaifi, W.C. Moldenhauer,  and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. USA.

Lal, R. 1994. Soil Erosion Research Methods. Second Edition, Soil and Water Conservation Society, Columbus.

Langdale, G.W., J.E. Box Jr, R.A. Leonard, A.P. Barnet, and W.G. Fleming. 1979. Corn yield reduction on eroded Southern Piedmont Soils. J. Soil and Water Conservation 34(1): 226-228.

Mangundikoro, A. 1985. Watershed management in Indonesia. Proc. of the Symposium on Watershed and Conservation for Productive and Protective Uplands in ASEAN Region. College, Laguna, Philippines, 25-29 June 1984.

Margrath, W.B. and P. Arens. 1989. The Cost of Soil Erosion in Java: A natural resources accounting approach. Environment Dep. Working Paper 18, 1989. World Bank.

Morgan, R. P. C., Morgan, D. D. V. and Finney, H. J. (1984), "A Predictive Model for the Assessment of Soil Erosion Risk", J. Agric. Engng. Res., 30:245-253.

Nearing, M.A., L.J. Lane, and V.L. Lopes. 1994. Modelling Soil Erosion. In Lal, R. (Ed.). Soil Erosion Methods. Soil and Water Conservation Society. Florida. p: 127-158.

Partosedono, R.S. 1977. Effects of Man’s Activity on Erosion in Rural Environments and Feasibility Study for Rehabilitation. Publ. 113: 53-54. Paris. IAHS AISH. Parish, F. 2002. Peat-lands, biodiversity and climate change in SE Asia, an overview. Workshop on Prevention and Control of Fire in Peatlands. Kuala Lumpur, Malaysia, 19-21 March 2002. p. 11.

Renard, K. G. , G. R. Foster, G. A. Weesies. 1994. Predicting Soil Erosion by Water - A Guide to Conservation Planning with the Revised Universal Soil Loss Equation".

Rose, C.W., K.J. Coughland, C.A.A. Ciesiolka, and B. Fentie. 1997. Program GUEST (Griffith University Erosion System Template) In A New Soil Conservation Methodology and Application to Cropping Systems in Tropical Steeplands. (Ed.: Coughlan, K.J. and C.W. Rose). ACIAR Technical Reports, No. 40, Canberra. p: 34-58.

Rose, C.W., K.J. Coughland, C.A.A. Ciesiolka, and B. Fentie. 1997. The Role of Cover in Soil Conservation In Coughlan, K.J. and C.W. Rose (Eds.). A New Soil Conservation Methodology and Application to Cropping Systems in Tropical Steeplands. ACIAR Technical Reports, No. 40, Canberra. p: 59-78.

44

Page 45: Pengelolaan Sumberdaya Tanah Erosi Dan Konservasi

Santoso, D., J. Purnomo, I.G.P. Wigena dan E. Tuherkih. 2004. Teknologi konservasi tanah vegetatif. hlm. 77-108. Dalam Kurnia et. al. (Eds): Teknologi Konservasi Tanah pada Lahan Kering Berlereng. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Schmitz dan Tameling. 2000. Modelling erosion at different scales, A. Preliminary Virtual Exploration of Sumber Jaya Watershed, International Center For Soil Research in Agroforestry (ICRAF), Bogor. (Unpublished)

Shrestha, D.P., S. K. Saha. 1997. Soil Erosion Modelling. ILWIS application guide. Sinukaban, N. 1997. Penggunaan model WEPP untuk memprediksi erosi. Dalam

Collate Information and Analyzed Assessment Effect on Land Use on Soil Erosion. Pusat Penelitian Hutan. (Tidak dipublikasi).

Soemarwoto, O. 1974. The soil erosion problem in Java. p. 361-364. Proc. First International Congress of Ecology. The Hague.

Soeyitno, J. dan A.N. Ardiwinata. 1999. Residu pestisida pada agroekosistem tanaman pangan. Dalam Risalah Seminar Hasil Penelitian Emisi GRK dan Peningkatan Produksi Padi di Lahan Sawah Menuju Sistem Produksi Padi Berwawasan Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor.

Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21-66. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suwardjo, 1981 Peranan Sisa-sisa Tanaman dalam Konservasi Tanah pada Usahatani Tanaman Semusim. Disertasi. Institut Pertanian Bogor.

Tarigan, S.D. dan N. Sinukaban. 2000. Peran Sawah sebagai Filter Sedimen: Studi Kasus di DAS Way Besai, Lampung. Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat bekerjasama dengan MAFF Jepang dan Sekretariat ASEAN.

Wischmeier, W.H. 1976. Use and Misuse of the Universal Soil Loss Equation. Journal of Soil and Water Conservation, January-February 1976.

Wischmeier, W.H., and D.D. Smith. 1978. Predicting Rainfall Erosion Losses – A Guide to Conservation Planning. Agriculture Handbook No. 537. U.S. Departement of Agriculture, Washington DC. 58p.

45