konsep pendidikan islam (studi pemikiran...
TRANSCRIPT
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
(STUDI PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR DAN
HASAN LANGGULUNG)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
ACHMAD DEDI SETIADI
111-12-080
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2017
Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.Ag., M.A.
Dosen IAIN Salatiga
Persetujuan Pembimbing
Lamp. : 4 Eksemplar
Hal : Naskah Skripsi
Saudara : Achmad Dedi Setiadi
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah dan
Ilmu Keguruan IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu‟alaikum Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini
kami kirimkan naskah skripsi mahasiswa:
Nama : Achmad Dedi Setiadi
NIM : 111-12-080
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam (PAI)
Judul : KONSEP PENDIDIKAN ISLAM (STUDI PEMIKIRAN
MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN
LANGGULUNG)
Dengan ini kami mohon skripsi mahasiswa tersebut di atas supaya segera
dimunaqosyahkan.
Wassalamu‟alaikum Wr.Wb.
KEMENTERIAN AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)
Jalan Lingkar Salatiga Km. 2 Telp. (0298) 6031364 Salatiga 50716
Website: tarbiyah.iainsalatiga.ac.id Email: [email protected]
SKRIPSI
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
(STUDI PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN
LANGGULUNG)
DISUSUN OLEH
ACHMAD DEDI SETIADI
NIM : 111-12-080
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Pendidikan
Agama Islam, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Salatiga, pada tanggal 22 Maret 2017 dan telah dinyatakan memenuhi
syarat guna memperoleh gelar Sarjana Pendidikan.
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dra. Ulfah Susilawati, M.SI.
Sekretaris Penguji : Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.A.
Penguji I : Rovi‟in, M.Ag.
Penguji II : Supardi, M.A.
Salatiga, 7 April 2017
Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan
Suwardi, M. Pd.
NIP. 19670121 199903 1 002
7
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Achmad Dedi Setiadi
NIM : 111-12-080
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : KONSEP PENDIDIKAN ISLAM (STUDI
PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN
LANGGULUNG)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya
sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan
kode etik ilmiah.
Salatiga, 7 Maret 2017
Yang menyatakan,
Achmad Dedi Setiadi
NIM. 111-12-080
MOTTO
ج ف طلب العلم ف هو ف سبيل الل من خر “Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan
Allah”
(HR. Tirmidzi)
Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi, dan
Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat." (QS. Al-
Mu’minun: 29)
PERSEMBAHAN
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat serta karunia-
Nya, karya skripsi ini penulis persembahkan untuk:
1. Ayah dan Ibuku tercinta, Bp. Nahrowi dan Ibu Partini serta adikku
Rahma yang selalu membimbingku, menghiburku, memberikan doa,
nasihat, kasih sayang, dan motivasi dalam kehidupanku.
2. Dosen Pembimbing Skripsiku, Bp. Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.Ag.,
M.A. yang selalu memberikan pengarahan serta bimbingan dengan
penuh kesabaran selama proses skripsi ini.
3. yang telah memberikan dukungannya, ijinnya, motivasi, doa dan segala
bantuannya baik material maupun non material sehingga proses skripsi
ini dapat terselesaikan dengan lancar untuk penempuhan gelar sarjana
ini.
4. Keluarga Besar JQH AL-FURQAN IAIN Salatiga, keluarga Besar
Persaudaraan Setia Hati Terate, Pondok Pesantren Al-Gufron
Kecandran Salatiga, PAI C IAIN Salatiga, PMII KOMSAT Salatiga,
BADKO TPQ Kec. Bawen, keluarga Besar Madrasah Darussalamah
Harjosari Bawen, keluarga besar SD Harjosari 01 dan KKG PAI SD
Kec. Bawen yang telah memberikan dukungannya, motivasi dan
doannya sehingga proses penempuhan gelar sarjana ini bisa tercapai.
5. Keluarga Besar Tim KKN Posko 55 IAIN SALATIGA 2016, Wisnu,
Willy, Bu Ani, Dini, Maria, Bu Novi serta Makibao Futsal Club, Tri,
Muhaimin, Adit, Didik, Dona, Nawir, Adri, Andre, Dita, Senthe,
Wawan, Nyoz, Apit, Fahrurozi, Arafat, Black, Randika, Shokib, Sigit,
Ula, Soma, yang selalu menghibur dan memberikan doa serta
motivasinya dalam menempuh gelar sarjana ini.
6. Sahabat-sahabatku, Ika Ervinilia, Tri Hartono, Mubin, Topikin, Datul,
Noviana, Rahma, Putri, Raden Sholikin, Ida Afwa, yang selalu
memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan doanya dalam
menempuh gelar sarjana ini.
KATA PENGANTAR
الرحيم م الل الرحن بس Alhamdulillahirobbil„alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kekuatan, petunjuk,
dan perlindungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang berjudul Konsep Pendidikan Islam (Studi Pemikiran Mohammad Natsir dan
Hasan Langgulung). Shalawat serta salam tak lupa penulis haturkan kepada nabi
Muhammad SAW, keluarganya, dan para sahabatnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan dan jauh dari kesempurnaan di dalamnya. Selain itu, penulis juga
banyak memperoleh bantuan, bimbingan, pengarahan, dan motivasi dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati,
penulis mengucapakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd., selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan PAI IAIN Salatiga.
4. Bapak Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.Ag., M.A., selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga skripsi
ini dapat terselesaikan dengan baik.
5. Bapak Mohammad Ali Zamroni, M.A., selaku Dosen Pembimbing
Akademik.
6. Kedua orang tuaku dan adikku yang telah memberikan doa, motivasi, serta
dukungan moril dan materil kepada penulis.
7. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membuka cakrawala keilmuan
di bidang pendidikan kepada penulis.
8. Staf Perpustakaan IAIN Salatiga memberikan ruang ilmu akademik sebagai
sumber pengetahuan penulis.
9. Keluarga Besar JQH Al-Furqan IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmu
dan pengalaman keorganisasian kepada penulis.
10. Keluarga besar SD Harjosari 01 dan KKG PAI SD Kec. Bawen yang telah
memberikan dukungan dan doanya demi kelancaran terselesaikannya skripsi
ini.
11. Keluarga Besar Persaudaraan Setia Hati Terate, Pondok Pesantren Al-Gufron
Kecandran Salatiga, PAI C IAIN Salatiga, PMII KOMSAT Salatiga, BADKO
TPQ Kec. Bawen, Keluarga Besar Madrasah Darussalamah Harjosari Bawen,
rekan-rekan ORETU Harjosari Bawen, PAI C IAIN Salatiga, PMII Salatiga,
Makibao Futsal Club yang telah melukis begitu banyak kenangan kepada
penulis.
12. Teman-teman seperjuanganku angkatan 2012 IAIN Salatiga Ika Ervinilia, Tri
Hartono, Mubin, Topikin, Datul, dan lainnya yang selalu memberikan
semangat dan motivasi kepada penulis.
13. Semua pihak yang terlibat dan dengan ikhlas memberikan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
Demikian ucapan terimakasih penulis sampaikan. Penulis hanya bisa
berdoa kepada Allah SWT, semoga amal kebaikan yang tercurahkan diridhoi oleh
Allah SWT dengan mendapatkan balasan yang berlipat ganda.
Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat
khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca. Dengan keterbatasan dan
kemampuan, skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Salatiga, 7 Maret 2017
Penulis
Achmad Dedi Setiadi
NIM. 111-12-111
ABSTRAK
Setiadi, Achmad Dedi. 2017. Konsep Pendidikan Islam (Studi Pemikiran
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung). Skripsi. Jurusan Pendidikan
Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Institut Agama
Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dr. phil. Asfa Widiyanto, M.Ag.,
M.A.
Kata kunci: pendidikan Islam, tujuan, kurikulum, metode.
Tujuan penelitian dala skripsi ini ada tiga hal, yaitu : (1) Bagaimana
konsep pendidikan Islam Mohammad Natsir?, (2) Bagaimana konsep pendidikan
Islam Hasan Langgulung?, (3) Apa saja persamaan dan perbedaan antara konsep
pendidikan Islam Mohammad Natsir dengan Hasan Langgulung?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan
metode library research. Karena penelitian di sini adalah kajian pustaka atau
literer, maka penulis dalam mengkaji konsep pendidikan Islam pemikiran
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dengan menggunakan buku-buku
karya kedua tokoh tersebut maupun buku-buku karya orang lain yang
menceritakan pemikiran pendidikan Islam kedua tokoh tersebut.
Dalam penelitian ini, fokus penelitian konsep pendidikan Islam yang
diteliti yaitu pada tujuan pendidikan Islam, kurikulum pendidikan Islam serta
metode pendidikan yang digunakan. Hasil temuan penulis dalam penelitian ini
adalah bahwa Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung memiliki persamaan
dalam tujuan pendidikan Islam dimana mendekatkan diri kepada Allah merupakan
tujuan tertinggi dalam pendidikan Islam.
Selain itu, bentuk kurikulum yang digagas kedua tokoh tersebut memiliki
persamaan yaitu agar adanya integrasi ilmu agama dan ilmu umum. Akan tetapi,
perbedaannya ialah konsep integrasi dari Hasan Langgulung tidak hanya sebatas
materi saja, juga berikut komponen kurikulum secara lengkap. Perbedaannya juga
terlihat pada metode yang digunakan. Natsir menekankan pentingnya kompetensi
seorang guru dalam upayanya mencapai tujuan pendidikan Islam yang dicita-
citakan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR BERLOGO .......................................................................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ......................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ........................................................................... iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ............................................................ v
MOTTO ................................................................................................................ vi
PERSEMBAHAN. ................................................................................................ vii
KATA PENGANTA ...........................................................................................viii
ABSTRAK ............................................................................................................ x
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................xiii
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah .............................................................................. 1
B.Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
C.Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
D.Kegunaan Penelitian .................................................................................... 8
E.Metode Penelitian ........................................................................................ 9
F.Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 9
G.Penegasan Istilah ......................................................................................... 12
H.Sistematika Penulisan .................................................................................. 15
BAB II BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A.Biografi Mohammad Natsir .............................................................................. 17
1.Latar Belakang Keluarga Mohammad Natsir .............................................. 17
2.Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir ...................................................... 19
3.Karir Politik Mohammad Natsir .................................................................. 21
4.Karya IlmiahMohammad Natsir .................................................................. 26
B.Biografi Hasan Langgulung .............................................................................. 28
1.Latar Belakang Hasan Langgulung .............................................................. 28
2.Riwayat Pendidikan Hasan Langgulung ...................................................... 28
3.Riwayat Karir Hasan Langgulung ................................................................ 30
4.Karya Ilmiah Hasan Langgulung ................................................................. 32
BAB III GAMBARAN UMUM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A.Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir ................................................... 33
1.Tujuan Pendidikan Islam ............................................................................. 33
2.Kurikulum Pendidikan Islam ....................................................................... 45
3.Metode Pendidikan Islam ............................................................................. 51
B.Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung ................................................... 56
1.Tujuan Pendidikan Islam ............................................................................. 56
2.Kurikulum Pendidikan Islam ....................................................................... 65
3.Metode Pendidikan Islam ............................................................................. 72
BAB IV ANALISIS KOMPARATIF KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A.Perbandingan pada Aspek Tujuan Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung ............................................... 78
B.Perbandingan pada Aspek Kurikulum Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung ............................................... 83
C.Perbandingan pada Aspek Metode Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung ............................................... 89
BAB V PENUTUP
Kesimpulan ..................................................................................................... 93
Saran ................................................................................................................ 95
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 97
DAFTAR LAMPIRAN
1. Riwayat Hidup Penulis
2. Daftar Nilai SKK
3. Nota Pembimbing Skripsi
4. Lembar Konsultasi
5. Pernyataan Publikasi Skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan ialah suatu pembinaan jasmani dan rohani yang menuju
kepada kesempurnaan dan lengkapnya sifat – sifat kemanusiaan dalam arti
yang sesungguhnya (Natsir,1954:85). Dalam setiap perkembangan hidup
manusia, pendidikan memiliki peranan penting untuk tujuan utamanya
yaitu untuk mencapai kesempurnaan sifat kemanusiaan manusia itu sendiri
melalui berbagai keadaan dan cara yang pada akhirnya manusia dapat
menemukan tujuan hidupnya.
Pendidikan bertujuan untuk menimbulkan pertumbuhan yang
seimbang dari kepribadian total manusia melalui latihan spiritual,
intelektual, rasional diri, perasaan dan kepekaan tubuh manusia, oleh
karena itu pendidikan seharusnya memenuhi pertumbuhan manusia dalam
segala aspeknya : spiritual, intelektual, imaginatif, fisik, ilmiah, linguistik,
baik secara individual maupun secara kolektif dan memotivasi semua
aspek untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan.
Kalau kita melihat kembali pengertian pendidikan Islam maka akan
terlihat dengan jelas sesuatu yang diharapkan terwujud setelah orang
mengalami pendidikan Islam secara keseluruhan, yaitu kepribadian
seseorang yang membuatnya menjadi “insan kamil” dengan pola taqwa.
Insan kamil artinya manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan
berkembang secara wajar dan normal karena taqwanya kepada Allah swt.
Ini mengandung arti bahwa pendidikan islam itu diharapkan menghasilkan
manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang dan
gemar mengamalkan dan mengembangkan ajaran islam dalam berhubngan
dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat
yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di
dunia dan di akhirat nanti.
Esensi pendidikan Islam pada hakikatnya terletak pada kriteria
iman dan komitmennya terhadap ajaran agama islam. Hal ini sejalan dan
senada dengan definisi pendidikan Islam yang disajikan oleh Ahmad D.
Marimba (1974:56) yang menyatakan bahwa “pendidikan Islam adalah
bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum – hukum ajaran Islam
menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran – ukuran Islam,”
yaitu kepribadian muslim.
Pendidikan Islam menurut Syed Ali Ashraf dan Syed Sajjad Husein
(1986:74) dapat dipahami sebagai : suatu pendidikan yang melatih jiwa
murid – murid dengan cara sebegitu rupa sehingga dalam sikap hidup
tindakan, keputusan dan pendekatan mereka terhadap segala jenis ilmu
pengetahuan, mereka dipengaruhi oleh nilai – nilai spiritual dan sangat
sadar akan nilai etis Islam. Mereka dilatih dan mentalnya menjadi begitu
disiplin sehingga mereka ingin mendapatkan ilmu pengetahuan bukan
semata-mata untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual mereka atau
hanya untuk memperoleh keuntungan materiil saja, melainkan untuk
berkembang sebagai makhluk rasional yang berbudi luhur dan melahirkan
kesejahteraan spiritual, moral dan fisik bagi keluarga, bangsa dan seluruh
umat manusia.
Berbicara tentang pendidikan Islam, pastilah berbicara tentang
konsep pendidikannya. Konsep-konsep pendidikan Islam yang ada saat ini
terutama di Indonesia tidak lepas dari konsep-konsep para tokoh pemikir
pendidikan Islam Indonesia. Banyak para tokoh pemikir pendidikan Islam
di Indonesia yang menyumbangkan pemikirannya untuk kemajuan
pendidikan di negeri ini. Diantara tokoh-tokoh pendidikan Islam Indonesia
tersebut, penulis mencoba menjabarkan konsep pendidikan Islam menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung, yang dari keduanya memiliki
persamaan dan perbedaan konsep pendidikan Islam.
Terjadinya dinamika pertumbuhan dan perkembangan pendidikan
Islam pada saat ini tidak terlepas dari kiprah para tokoh yang
menyumbangkan pemikiran dan idenya dalam membangun pendidikan
Islam di Indonesia, seperti Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dua
tokoh yangmempunyai reputasi yang sangat besar dalam mengembangkan
dunia pendidikan Islam di Indonesia, pandangan yang luas dan wawasan
yang dalam terhadap ajaran Islam mempengaruhi pemikiran kedua tokoh
dalam memandang persoalan pendidikan Islam. Oleh karena itu sejumlah
ide dan pemikiran muncul dari kedua tokoh dalam menata sistem
pendidikan yang sesuai dengan ajaran Islam.
Mohammad Natsir yang selain dikenal sebagai pejuang
kemerdekaan, beliau merupakan tokoh politisi muslim yang sudah terkenal
di masyarakat luas karena kiprah politiknya yang tidak hanya di dalam
negeri saja, tetapi dunia juga mengenal tokoh Indonesia ini. Beliau juga
termasuk tokoh pemikir muslim di Indonesia yang sudah banyak
menuangkan pemikiran-pemikirannya dalam beberapa karyanya terutama
dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia.
Sedangkan Hasan Langgulung merupakan tokoh pemikir
pendidikan Islam yang sudah melalang buana dalam dunia pendidikan
tidak hanya di Indonesia, bahkan hingga mancanegara. Dari
pengalamannya tersebut melahirkan beberapa rumusan mengenai konsep
pendidikan Islam.
Suatu rumusan konsep pendidikan maupun tujuannya harus
mempunyai subyektifitas dari yang merumuskannya, artinya setiap
pemikiran dari seorang tokoh pasti menggambarkan tokoh tersebut,
contohnya seperti tokoh pemikir pendidikan Islam yang seringkali
mengaitkan tujuan suatu pendidikan dengan kebahagiaan yang abadi
setelah kehidupan dunia, yakni kebahagiaan di akhirat. Sedangkan jika
dilihat dari pendidikan umum, biasanya hanya berorientasi pada masalah
kehidupan dunia, seperti pekerjaan yang akan didapat setelah
menyelesaikan pendidikan.
Berdasarkan uraian diatas yang merupakan gambaran untuk
memperoleh hasil pembelajaran yang lebih baik lagi mengenai konsep
pendidikan Islam, maka penulis tertarik untuk membahas masalah ini
dalam sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi yang berjudul “KONSEP
PENDIDIKAN ISLAM (STUDI PEMIKIRAN MOHAMMAD
NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG)”
B. Rumusan Masalah
Pembahasan kajian dalam skripsi ini untuk terfokus hanya kepada
pembahasan tentang konsep pendidikan Islam menurut Muhammad Natsir dan
Hasan Langgulung yang meliputi tujuan, kurikulum dan metode pendidikan.
Dari latar belakang dan pembatasan masalah di atas, penulis
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apa Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir?
2. Apa Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung?
3. Apa Persamaan dan Perbedaan Konsep Pendidikan antara M. Natsir dan
Hasan Langgulung?
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian tentu memiliki tujuan dan kegunaan, maka tujuan
penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir.
2. Untuk mendeskripsikan Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung.
3. Untuk mendeskripsikan Persamaan dan Perbedaan Konsep Pendidikan
antara M. Natsir dan Hasan Langgulung.
D. Kegunaan Penelitian
Dari penelitian ini diharapkan nantinya akan memberi manfaat, adapun
manfaatnya sebagai berikut:
1. Secara teoritis
a. Memberi kejelasan secara teoritis tentang konsep pendidikan
Islam dari Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung.
b. Menambah dan memperkaya keilmuan di dunia pendidikan Islam.
c. Memberi sumbangan data ilmiah di bidang pendidikan bagi
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Pendidikan Agama Islam
di IAIN Salatiga.
d. Memberikan manfaat dan menambah khasanah keilmuan
terutama dalam memahami kajian keislaman serta dapat
digunakan untuk menambah literatur bagi khazanah ilmiah dunia
pendidikan.
2. Secara praktis
a. Menambah wawasan bagi penulis dalam mengetahui konsep
pendidikan Islam menurut Mohammad Natsir dan Hasan
Langgulung
b. Memberikan manfaat bagi pembaca umumnya dan khususnya
bagi penulis sendiri tentang konsep pendidikan Islam.
c. Menambah khazanah keilmuan bagi para praktisi pendidikan
dalam mengkaji konsep pendidikan Islam.
d. Memberikan manfaat bagi praktisi pendidikan untuk dapat
mengembangkan konsep pendidikan Islam yang lebih baik.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian
kepustakaan (library research), karena yg dijadikan objek kajian
adalah hasil karya tulis yang merupakan hasil pemikiran.
2. Sumber Data
a. Sumber Primer
Sumber primer disini adalah data yang penulis
ambil dari karya tulis asli dari tokoh yang dibahas
dalam penulisan sekripsi ini. Yang diantaranya adalah
sebagai berikut:
1) Mohammad Natsir, 1954, Capita Selecta, Jakarta:
Bulan Bintang
2) Mohammad Natsir, 1947, Islam dan Aqal Merdeka,
Jakarta: Media Da‟wah.
3) Mohammad Natsir, 1980, Islam Sebagai Ideologi,
Jakarta: Penyiaran Ilmu.
4) Hasan Langgulung, 2004, Manusia dan Pendidikan,
Jakarta : PT. Pustaka Al Husna Baru.
5) Hasan Langgulung, 2002, Asas-asas Pendidikan Islam,
Jakarta: Al Husna Zikra.
6) Hasan Langgulung, 1988, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad ke 21, Jakarta: PT. Pustaka Al
Husna.
b. Sumber Sekunder
Diantaranya:
1) Abudin Nata. 2005, Tokoh-Tokoh Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
2) Thohir Luth. 1999, M. Natsir: Dakwah dan
Pemikirannya, Jakarta: Gema Insani Press.
3) Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi
Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Quantum Teaching.
4) Saidan. 2011. Perbandingan Pemikiran Pendidikan
Islam Antara Hasan Al-Banna dan Mohammad Natsir.
Kementerian Agama RI.
3. Teknik pengumpulan data
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library
Research). Penelitian ini dilakukan dengan bertumpu pada data
kepustakaan tanpa diikuti dengan uji empirik. Jadi, studi pustaka
disini adalah studi teks yang seluruh substansinya diolah secara
filosofis dan teoritis (Muhajir, 1996: 158-159).
Ada beberapa teknik yang bisa digunakan untuk
mengumpulkan data, satu sama lain memiliki fungsi yang berbeda.
Teknik yang peling tepat digunakan adalah yang sesuia dengan
tujuan penelitian, jenis data serta keadaan sumber informasi
penelitian. Maka dari itu, teknik yang digunakan dalam penelitian
ini adalah telaah dokumen atau telaah kepustakaan, yaitu mencari
data mengenai hal-hal atau variabel-variabel yang berupa catatan,
transkrip, buku, surat kabar, majalah, internet dan sebagainya
(Arikunto, 1992:200).
4. Analisis Data
Melihat objek penelitian nuku-nuku atau literatur, maka
penekitian inin menggunakan teknik analisa dengan cara deskriptif,
filosofis, kontekstual dan kritik
a. Metode Analisa Content atau isi. Analisis isi merupakan
analisis ilmiah tentang isi pesan suatu komunikasi (Noeng
Muhadjir, 1992:76). Menurut Burhan Bungin, analisis isi
adalah teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi
(proses penarikan kesimpulan berdasarkan pertimbangan
yang dibuat sebelumnya atau pertimbangan umum;
simpulan) yang dapat ditiru (Replicabel), dan sahih data
dengan memperhatikan konteksnya (Bungin, 2001: 172-
173).
b. Metode Analisa Historis, dengan metode ini penulis
bermaksud untuk menggambarkan sejarah biografis
Muhammad Natsir yang meliputi riwayat hidup,
pendidikan, karir politik, serta karyakaryanya (Bakker,
1990: 70).
c. Metode analisa deskriptif, yaitu suatu metode yang
menguraikan secara teratur seluruh konsepsi dari tokoh
yang dibahas dengan lengkap tetapi ketat (Sidarto, 1997:
100).
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari kesalahpahaman dan kekaburan dalam penafsiran
judul, maka perlu dikemukakan maksud dari kata-kata dan istilah yang dipakai
dala judul skripsi ini agar dapat dipahami secara konkrit dan lebih oprasional.
Adapun batasan istilah tersebut adalah :
1) Konsep
Konsep berarti “rancangan, ide atau pengertian diabstraksikan dari
peristiwa konkrit (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998:205).
2) Pendidikan Islam
Pendidikan Islam ialah: “segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumberdaya insani yang ada
padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil)
sesuai dengan norma Islam” (Achmadi, 1992:20).
F. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian ini penulis mencoba menggali dan memahami
beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya untuk membandingkan,
dan menambah wawasan dalam menyusun skripsi ini. Ada beberapa skripsi
yang membahas mengenai konsep pendidikan dari Mohammad Natsir dan
Hasan Langgulung.
Penelitian yang terkait dengan pemikiran pendidikan Mohammad Natsir
telah banyak dilakukan, penelitian-penelitian tersebut nantinya juga akan
penulis gunakan sebagai sumber penulisan skripsi ini.
Dalam penelitian yang ditulis oleh saudara Mahfur yang berjudul
“Konsep Pendidikan Islam Menurut Mohammad Natsir” dapat disimpulkan
bahwa pendidikan harus dapat membawa manusia mencapai tujuan hidupnya,
yaitu menghambakan diri kepada Allah. Pendidikan Islam harus berlandaskan
ketauhidan kepada Allah serta memiliki akhlakul karimah sebagai karakter
Pendidikan Islam.
Dalam penelitian yang ditulis oleh saudara Al-Juhra yang berjudul
“Konsep Pendidikan Islam di Indonesia Menurut Muhammad Natsir” dapat
disimpulkan bahwa pendidikan integralistik yang dikemukakan oleh
Muhammad Natsir adalah berdasarkan tauhid dan untuk menjadikan manusia
yang mengabdi kepada Allah yang dalam arti yang seluas-luasnya dengan
misi kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Konsep yang dipegang adalah
bahwa kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur
dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja,
akan tetapi juga melihat sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset
untuk kehidupan di akhirat kelak.
Hidayatul Muslimah dalam skripsinya yang berjudul “Muhammad
Natsir dan Pemikirannya tentang Demokrasi” mengemukakan tentang
demokrasi theistik yang dibangun oleh Natsir atas dasar konsep ijtihad, syura,
dan ijma‟, ketiga konsep tersebut menurutnya dapat diwujudkan ke dalam
bentuk parlemen yang anggotanya dipilih oleh seluruh rakyat. Skripsi yang
ditulis oleh Muhammad Mukafi yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN
INTEGRAL (Studi Terhadap pemikiran Muhammad Natsir dan Muhammad
Iqbal)” mengemukakan bahwa pendidikan itegral adalah model pendidikan
yang memadukan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Dengan
pendidikan integral tercipta anak didik yang mementingkan rohani dan
jasmani.
Sedangkan penelitian-penelitian yang mengulas tentang pemikiran
Hasan Langgulung diantaranya adalah skripsi yang ditulis oleh Taufiq yang
berjudul “PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HASAN
LANGGULUNG DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI”. Dalam skripsi
tersebut dapat disimpulkan bahwa perkembangan potensi, masalah belajar,
dan pembinaan mental merupakan gejala-gejala dalam proses pendidikan,
khususnya pendidikan Islam, untuk membentuk individu yang sempurna,
salah satunya dengan bebas berekspresi dalam mengaktualisasikan segala
potensi yang dimiliki, yang tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai Islam.
Kemudian skripsi yang ditulis oleh Maya Yuningsih yang berjudul
“KONSEP KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM MENURUT HASAN
LANGGULUNG (TELAAH ISLAMISASI ILMU)”. Dalam skripsi tersebut
penulis menyimpulkan bahwa pelaksanaan Islamisasi ilmu menurut Hasan
Langgulung yaitu dengan cara merumuskan konsep kurikulum, komponen
kurikulum, prinsip kurikulum, jenis dan jenjang kurikulum dalam pendidikan
Islam.
Penelitian yang lain yaitu skripsi yang ditulis oleh Trisno yang
berjudul “GURU AGAMA DALAM PERSPEKTIF HASAN
LANGGULUNG”. Dalam skripsi ini penulis menyimpulkan bahwa guru
harus profesional, mempunyai amanat dari kedua orang tua peserta didik dan
kewajiban yang sama dalam meningkatkan mutu pendidikan. Kemudian tesis
yang berjudul “KONSEP MANUSIA DAN RELEVANSINYA DENGAN
PENDIDIKAN ISLAM DALAM PERSPEKTIF HASAN LANGGULUNG”
yang ditulis oleh saudara Amri menyimpulkan bahwa tujuan tertinggi
pendidikan Islam adalah untuk mencipta manusia sebagai „abid (penyembah
Allah) dan khalifatullah fiy al-ardh.
Demikianlah beberapa penelitian yang membahas tentang pemikiran
Muhammad Natsir dan Hasan Langgulung, meskipun beberapa penelitian
telah mengkaji tentang pendidikan Islam, tetapi belum ada penelitian yang
membandingkan pemikiran kedua tokoh tersebut seperti penelitian yang
dilakukan oleh penulis.
H. Sistematika Penulisan Skripsi
Sistematika pembahasan dalam penulisan ini memuat 5 (lima)
bab, yang antara bab satu dengan bab berikutnya mempunyai keterkaitan
yang saling mengisi terhadap subtansi yang ada. Adapun rincian
sistematis penulisan ini sebagai berikut:
Bab I, berisi tentang pendahuluan. Merupakan uraian umum latar
belakang penelitian. Pada bab ini dibahas beberapa sub bab, yakni: latar
belakang masalah, fokus penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, kajian
pustaka, penegasan istilah, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II, berisi tentang biografi dan setting sosial. Sesuai dengan
judul skripsi maka pembahasan pada bab ini berisi: latar belakang
keluarga, latar belakang pendidikan, karir politik dan hasil karya dari
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung.
Bab III, penulis menyajikan hasil penelitian tentang temuan
penelitian dan penyajian data, yaitu gambaran umum tentang konsep
pendidikan Islam yang meliputi Tujuan, Kurikulum dan Metode
Pendidikan dari Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung yang dilakukan
peneliti guna mengumpulkan data .
Bab IV, Pada bab ini, penulis akan memaparkan analisis atas
variabel penelitian yaitu perbandingan konsep pendidikan Islam yang
meliputi Tujuan, Kurikulum dan Metode Pendidikan dari Mohammad
Natsir dan Hasan Langgulung serta relevansi pemikiran tersebut.
Bab V, merupakan penutup. Pada bab ini dikemukakan tentang
kesimpulan sebagai jawaban atas rumusan masalah, saran, dan kata
penutup.
BAB II
BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A. BIOGRAFI MOHAMMAD NATSIR
1. Latar Belakang Keluarga Mohammad Natsir
M. Natsir merupakan anak dari pasangan Mohammad Idris Sutan
Saripado dan Khadijah. Ayahnya bekerja sebagai seorang pegawai rendah
yang pernah menjadi juru tulis pada kantor kontroler di Maninjau dan sipir
penjara di Sulawesi selatan. Beliau lahir di Jembatan Berukir, Alahan
Panjang, Kabupaten Solok, Sumatra Barat, pada hari Jumat‟ 17 Jumadil
Akhir 1326 Hijriah, bertepatan dengan 17 Juli 1908 Masehi. Orang tua
M. Natsir dikaruniai empat anak yang salah satunya bernama Mohammad
Natsir dan ketiga saudara kandungnya bernama Yukinan, Rubiah dan
Yohanusun (Luth, 1999: 22).
Karena pekerjaan ayahnya, Ramayulis dan Nizar (2005:305)
menjelaskan bahwa M. Natsir sering berpindah-pindah begitu juga dengan
pendidikannya. Ia beberapa kali pindah sekolah saat menginjak sekolah di
Holland Islands School (HIS). Pada akhirnya M. Natsir lulus dari HIS
Pemerintah di Padang. Kemudian melanjutkan pendidikan MULO di Padang
juga dan AMS di Bandung. Setelah lulus M. Natsir mendirikan Lembaga
Pendidikan Islam, di sinilah ia bertemu dengan Putri Nur Nahar.
Lebih lanjut Thohir Luth (1999:26) menguraikan kehidupan
kehidupan keluarga M. Natsir. Beliau melangsungkan pernikahannya dengan
Putri Nur Nahar yang merupakan guru Taman Kanak-kanak Pendidikan
Islam. Mereka menikah pada tanggal 20 Oktober 1934. Pernikahan
dilaksanakan dengan sederhana saja. Tamu-tamu makan di langgar yang
terletak di depan rumah tempat pernikahan dilangsungkan.
Pertemuan Natsir dan Putri Nur Nahar sebenarnya telah berlangsung
bahkan sejak mereka bekerja di Lembaga Pendidikan Islam. Pergaulan
selama dua tahun sesama pengasuh Pendidikan Islam, menambah
perkenalan sebelumnya tatkala keduanya sama-sama aktif di JIB, telah
mengeratkan kedua insan yang sama-sama tulus mengabdikan hidupnya bagi
kemajuan umat Islam. Natsir wafat pada tanggal 6 Februari 1993, bertepatan
dengan tanggal 14 Sya‟ban 1413 H, di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 85 tahun. Berita wafatnya menjadi
berita utama diberbagai media cetak dan elektronik. Berbagai komentar
muncul, baik dari kalangan kawan seperjuangan maupun lawan
politiknya karena saat itu beliau merupakan politikus yang dikenal banyak
orang. Ada yang bersifat pro terhadap kepemimpinannya dan ada pula
yang bersifat kontra. Mantan Perdana Menteri Jepang yang diwakili oleh
Nakadjima, menyampaikan bela sungkawa atas kepergian Natsir dengan
ungkapan, “Berita wafatnya Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom
atom di Hirosima” (Luth, 1999: 26).
2. Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir
Usia delapan tahun M. Natsir memasuki sekolah formal di tempat
ayahnya bertugas sehari-hari yaitu sebuah sekolah yang didirikan Belanda
yang bernama Hollands Islands School (HIS) yang diperuntukkan bagi anak
demang atau anak pegawai pemerintahan saat itu. Beruntung M. Natsir dapat
diterima di sekolah itu sekalipun ia anak pegawai rendahan. Hanya saja ia
tidak sampai selesai ataupun sampai menamatkan pendidikannya di sekolah
tersebut, sebab tidak lama sesudah itu ia pindah lagi bersama ayahnya ke
Kota Padang dan kemudian bersekolah di HIS Adabiah Padang (Saidan,
2011:141).
Selama lima bulan pertama di Padang, ia melewati kehidupan dengan
perjuangan berat. Ia memasak nasi, mencuci pakaian sendiri, dan mencari
kayu bakar di pantai. Kehidupan yang berat tersebut dilalui dengan senang
hati. Keadaan ini melatih kemandirian M. Natsir dalam menjalani kehidupan.
Kemudian ia dipindahkan ke HIS Pemerintah di Solok oleh ayahnya setelah
beberapa bulan sekolah di Padang. Ia langsung duduk di kelas yang dianggap
prioritas atas pertimbangan kepintarannya. Di Solok inilah ia pertama kali
belajar bahasa Arab dan mempelajari hukum fikih kepada Tuanku Mudo
Amin yang dilakukannya pada sore hari di Madrasah Diniyah dan mengaji
Al-Qur‟an pada malam harinya (Luth, 1999: 22).
Saidan (2011:143) menjelaskan bahwa setelah menamatkan
pendidikan di HIS Pemerintah kota Padang, Mohammad Natsir melanjutkan
pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) – setingkat
Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama(SMP) - sampai tamat. Kemudian setelah
mengantongi ijazah dengan nilai yang cukup memuaskan, ia melanjutkan
pendidikan ke Algememe Midelbare School (AMS) di Bandung. Di kota
bandung inilah bermula sejarah panjang ia alami karena ia bertemu dengan
sorang tokoh yang cukup terkenal saat itu bernama Ahmad Hasan pendiri
Persis yang oleh M. Natsir sendiri mengakui bahwa, ia banyak terpengaruh
dengan pemikiran tokoh ini.
Dalam usia 22 tahun, Mohammad Natsir telah memperoleh ijazah
AMS yang sudah memungkinkannya untuk melanjutkan ke perguruan tinggi,
apalagi dengan nilai yang cukup tinggi. Ia telah mendapatkan kesempatan
untuk mendapat beasiswa, akan tetapi ditolaknya tawaran tersebut. Bekerja
sebagai guru yang mengajar di salah satu MULO yang ada di Bandung
menjadi pilihannya saati itu. Profesi sebagai guru ia tekuni selama bertahun-
tahun, bahkan melalui kiprahnya sebagai guru itu ia dapat menyalurkan
pemikirannya yang selama ini terpendam dalam dirinya, yaitu keinginan
untuk mengintegrasikan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum, karena
pengajaran agama di sekolah-sekolah umum saat itu sungguh sangat sedikit
bahkan kurang dapat perhatian (Saidan, 2011).
Saidan (2011) juga mengutip pernyataan Mohammad Natsir seperti
yang tertera dalam karyanya “Politik Melalui Jalur Dakwah”, tokoh yang
ditengarai dan dikenal sebagai integrator Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) ini bertutur :
“Saya mulai mengajar di sekolah MULO. Salah satu muridnya ialah
Dahlan Djambek yang belakangan terlibat PRRI. Saya mengajar
karena terdorong untuk mengajar agama. Tidak dikasih gaji apa-apa.
Saya juga mengajar kursus pegawai kereta api. Bentuk pengajarannya
sistem diskusi. Ketika saya melihat sekolah-sekolah kita sama sekali
kosong dari pengajaran agama, saya berniat membentuk pendidikan
modern yang sejalan dengan pendidikan agama. Kemudian saya
dirikan sekolah pendidikan Islam (Pendis). Dengan gaya
Muhammadiyah, tidak begitu beda. Cuma kami lebih praktis.
Misalnya, waktu itu, kami mempelopori sholat jum‟at di sekolah. Juga
mengajarkan kesenian untuk menghaluskan perasaan. Saya yang
mengajar main bola, tapi, ya tidak gila-gilaan. Yang mengajar punya
motivasi perjuangan.”
3. Karir Politik Mohammad Natsir
Mohammad Natsir mulai aktif dibidang politik dengan melibatkan diri
sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung. Pada tahun
1940-1942, Natsir menjabat ketua PII, dan pada tahun 1942-1945, ia
merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kota Jakarta yang
merupakan Perguruan Tinggi Islam pertama yang berdiri paska kemerdekaan.
Karir politik Natsir pasca kemerdekaan diawali sebagai anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang berlangsung dari tahun 1945-1946.
Kemudian menjadi Menteri Penerangan Republik Indonesia pada cabinet
Syahrir ke-1 dan ke-2 serta cabinet Hatta ke-1. Dari tahun 1949 sampai 1958
ia diangkat menjadi ketua Masyumi, hingga partai ini dibubarkan.
Puncak karir Natsir dalam bidang politik terjadi ketika Natsir diangkat
sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia (1950-1951). Dalam
Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 Natsir terpelih menjadi anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR), dan dari tahun 1956-1957, ia menjadi anggota
Konstituante Republik Indonesia (Nata, 2005: 77).
Sebagai pemimpin politik Islam, M Natsir telah memberikan
seluruh tenaga dan fikirannya bagi kepentingan seluruh umat Islam di
Indonesia pada khususnya dan pada seluruh rakyat Indonesia pada
umumnya. Dengan munculnya pemikiran untuk menyatukan masing-masing
Negara bagian untuk bersatu kembali dalam Negara kesatuan RI. Yang
telah dibicarakan terlebih dahulu dalam Dewan Pimpinan Partai Masyumi.
Mosi Integral disampaikan M. Natsir dalam Sidang Dewan Perwakilan RIS
pada tanggal 3 April 1950. Dari mosi integral inilah kemudian lahir
proklamasi kedua yang dikumandangkan oleh Presiden Soekarno pada
tanggal 17 Agustus 1950 di Istana Merdeka, Jakarta. Dengan demikian, M.
Natsir ditunjuk sebagai pembentuk cabinet karena ia dengan Masyumi
mempunyai konsepsi untuk menyelamatkan Republik melalui konstitusi.
Bahkan, menurut A.H. Nasution, ide M. Natsir ini kemudian dijadikan
doktrin ABRI, sebab ide itu sesuai dengan doktrin tentara, yang tidak
hanya bertempur, tetapi terus menggali dukungan rakyat. Mosi integral
merupakan debut politik M. Natsir yang amat cemerlang yang sampai
sekarang Indonesia menjadi satu dan kokoh. Yang mana mosi ini dikenal
dengan “Mosi Integral M. Natsir” (Luth, 1999: 48).
Natsir tidak digunakan lagi dalam pemerintahan, bahkan partai
Masyumi yang dipimpinnya dibubarkan karena perbedan pandangan tentang
Islam dengan Soekarno, dan juga keinginan Natsir untuk menjadikan
Islam sebagai dasar Negara. Pada puncak konflik antara keduanya, Natsir
juga melibatkan diri dalam gerakan opososi, Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Tokoh-tokoh ini menyatakan
bahwa pemerintahan Soekarno telah menyeleweng dari Undang-Undang
Dasar 1945, yang mengakibatkan Natsir dan kawan-kawannya ditangkap dan
dimasukkan kedalam penjara. Ketika Pemerintahan Orde Baru muncul Natsir
juga tidak diberikan tempat untuk ikut memimpin negeri ini. Beliau
tersingkir bukan karena keraguan orang terhadap kredibilitas dan
kemampuannya, akan tetapi karena masalah idiologi pula yang
menyebabkan pemerintahan Orde Baru tidak menginginkannya.
Keberaniannya mengoreksi Pemerintahan Orde Baru dan ikut
menandatangani Petisi 50 pada tanggal 5 Mei 1980, Menyebabkan M.
Natsir dicekal ke luar negeri tanpa melewati proses pengadilan.
Pencekalan ini pun terus berlangsung tanpa ada proses hukum yang jelas
dari Pemerintahan Orde Baru, dan ini berjalan hingga M.Natsir dipanggil
ke hadirat Allah SWT (Luth, 1999: 26).
Dikancah Internasional M. Natsir pada tahun 1956, bersama
Syekh Maulana Abul A‟la al-Maududi (Lahore) dan Abu Hasan an-
Nadawi (Lucknow), M. Natsir memimpin sidang Muktamar Alam
Aslamy di Damaskus. Ia juga menjabat Wakil Persiden Kongres Islam
Sedunia. Ia menerima penghargaan internasional berupa Bintang
Penghargaan dari Tunisia dan Yayasan Raja Faisal Arab Saudi (1980).
Di dunia akademik, ia menerima gelar Doctor Honoris Causa dari
Universitas Kebangsaan Islam Lebanon (1967) dalam bidang Sastra, dari
Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi
Malaysia (1991) dalam bidang pemikiran Islam Ramayulis dan Nizar
(2005:305).
Selain telah memimpin partai Masyumi, M. Natsir juga mengikuti
organisasi PERSIS (Persatuan Islam) dan mendirikan DDII (Dewan Dakwah
Islam Indonesia).
a. PERSIS (Persatuan Islam)
Dengan mengikuti organisasi Persatuan Islam (Persis) Natsir mulai
meniti karirnya sebagai negarawan dan pejuang Islam. Dengan mendapatkan
bimbingan dari Ahamad Hasan, yaitu salah satu tokoh dari organisasi
Persatuan Islam yang sangat berpegang teguh kepada Al-Qur‟an dan sunnah,
sehingga tidak heran jika Natsir mengikuti jejak beliau untuk menegakkan
syariat Islam dari yang beliau anggap penyimpangan, seperti kurofat,
taqlid dan bid‟ah. Persis didirikan oleh Haji Zam Zam tanggal 12
September 1923 di Bandung. Pendirian Persis ini sangat terlambat jika
dibandingkan dengan gerakan-gerakan modern Islam lainnya seperti
Jami‟at Khoir (1905), Persyarikatan Ulama (1911), Muhammadiyah
(1912), Al-Irsyad (1913). Memang, pada tahun 1913, di Bandung telah
didirikan Sarekat Islam, namun usaha pengikutnya dalam aktivitas
keagamaan tidak tampak jelas, karena pada umumnya mereka para
saudagar. Dengan demikian kesadara atas keterlambatan ini merupakan
salah satu pendorong untuk mendirikan organisasi ini. Awal mula ide
yang menjadi cikal bakalnya Persis ini adalah dari diskusi-diskusi tidak
resmi yang dilakukan oleh Haji Zam Zam yang belakangan nanti menjadi
tokoh berdirinya Persis. Organisasi ini mendapat bentuk yang jelas
setelah bergabungnya Ahmad Hasan dan M. Natsir di dalamnya pada
tahun 1927. Ketertarikan Muhammad Hasan dan M. Natsir pada Persis tak
lepas dari jasa atau ajakan temannya, Fahrudin al-Khaeri, untuk
menghadiri pengajian dan pengajaran yang dilakukan oleh organisasi ini
(Luth, 1999: 31-32).
b. DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)
M. Natsir ternyata tidak pula sendirian dalam mewujudkan dan
mengimplementasikan pemikiran-pemikiran briliannya itu. Ia mendirikan
sebuah organisasi muslim yang juga bergerak di bidang pembinaan umat
yaitu Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII).
Di awal pemerintahan Soeharto yang lebih dikenal dengan istilah
Orde Baru, M. Natsir bersama kawan-kawan seperjuangan selalu gigih
memperjuangkan agar Masyumi kembali hidup. Oleh karena itu, berbagai
usaha dan lobi-lobi ia lakukan di tingkat tinggi, akan tetapi selalu kandas,
karena kalangan ABRI sendiri merasa keberatan. Hal itu menurut karena
keterlibatan tokoh-tokoh Masyumi dalam pemberontakan PRRI semisal M.
Natsir sendiri. Oleh karena itu, M. Natsir mencari jalan lain dengan
meninggalkan dunia politik dan beralih profesi memasuki dunia dakwah.
Bersama tokoh-tokoh lainnya ia mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia. Melalui organisasi tersebut M. Natsir menyatukan umat Islam dan
membina umat (Saidan, 2011).
Saidan juga menambahkan bahwa lewat organisasi ini pula ia menjadi
semakin populer. Berkat organisasi muslim yang digagasnya ini ia dapat
menduduki berbagai jabatan dalam organisasi muslim tingkat dunia itu,
seperti World Muslim Congres, Rabithah „Alam Islamy, menjadi anggota
Dewan Mesjid sedunia. Bahkan memalui organisasi tersebut ia dapat
mendidik calon-calon juru dakwah dan mengirimkannya ke seluruh pelosok
tanah air Indonesia. Di samping tampil secara lngsung membina umat, ia juga
tampil membimbing umat melalui jurnalistik. Dakwah M. Natsir saat itu
dapat dibaca dalam majalah Pembela Islam, Panji Masyarakat dan lain-lain
yang terbit di zaman Orde Baru. Dengan demikian, tidaklah dianggap pujian
yang berlebihan bilamana dikatakan bahwa, M. Natsir itu termasuk
“maestro” dalam berbagai aspek terutama dalam bidang pembinaan umat.
4. Karya Ilmiah Mohammad Natsir
Meski aktif di dunia politik beliau adalah seorang cendekiawan
Muslim yang sangat produktif menulis. Baginya menulis adalah cara
yang sangat efektif untuk berjuang menegakkan kebenaran. Tulisan-
tulisan itu banyak terdapat di artikel-artikel, majalah, dan juga buku
yang terkumpul lebih dari sembilan puluh buku.
Dalam salah satu laporannya, Yusuf Abdullah Puar menyebutkan ada
52 judul telah ditulis M. Natsir dalam berbagai kesempatan sejak tahun 1930.
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan 52 judul tulisan M. Natsir tersebut,
apakah itu judul yang telah dihimpun menjadi buku atau judulartikel lepas
yang berada di berbagai media massa. Kalau betul ke-25 judul itu berupa
buku yang telah tercetak, ini bisa dimengerti karena berbagai buku M.
Natsir itu isinya berupa kumpulan artikel-artikel, seperti Kapita Selekta I
dan II dan sebagainya. Akan tetapi, jika judul tersebut juga termasuk tulisan
lepas M. Natsir, menurut penulis, lebih dari itu (Luth, 1999:28).
B. BIOGRAFI HASAN LANGGULUNG
1. Latar Belakang Keluarga Hasan Langgulung
Hasan Langgulung adalah seorang ilmuwan putra Indonesia yang
menekuni dunia pendidikan dan psikologi. Beliau lahir pada tanggal 16
Oktober 1934 di Rappang, sebuah bandar kecil di Sulawesi Selatan. Dalam
meniti kehidupannya, beliau berhasil membina kehidupan berumah tangga
dengan menyunting Nur Timah binti Mohammad Yunus sebagai istri. Dari
pernikahannya dikaruniai tiga orang anak yaitu: Ahmad Taufiq, Nurul Huda
dan Siti Zariah (Kholiq, dkk. 1999: 33).
Hasan Langgulung memiliki latar belakang yang luas dalam bidang
pendidikan dan psikologi. Oleh karena itu, beliau banyak menghasilkan karya
dalam bidang ini. Dari karya-karya beliau tersebut terlihat bahwa Hasan
Langgulung merupakan seorang yang kompeten dan profesional dalam
bidang ini.
2. Riwayat Pendidikan Hasan Langgulung
Jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh Hasan Langgulung
adalah sebagai berikut (Langgulung, 1985:248) :
a. Sekolah Dasar di Rappang dan Ujung Pandang.
b. Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Islam di Ujung
Pandang, 1949-1952.
c. Sekolah Guru Islam Atas di Ujung Pandang 1957-1962.
d. B.I. Inggris di Ujung Pandang, 1957-1962.
e. B.A. dalam Islamic Studies dari Fakultas Dar- Al-Ulum, Cairo
University, 1957-1962.
f. Diploma of Education (General), Ein Shanas University, Cairo,
1963-1964.
g. Special-Diploma of Education (Mental-Hygene), Ein Shams
University, Cairo, 1964.
h. Diploma dalam Sastra Arab Modern dari Institute of Higher Arab
Studies, Arab League, Cairo, 1964.
i. M.A. dalam Psikologi dan Mental-Hygene, Ein Shams University,
Cairo, 1967.
j. Ph.D. dalam Psikologi, University of Georgia, Amerika Serikat,
1971.
Gelar M.A. dalam psikologi dan Mental-Hygene dari Ein Shams
University, Cairo, tahun 1967 diraihnya dengan tesis:”Al-Murahiq al-
Indonesia, Ittijahatuh wa Darjat Tawafuq „Indahu.” Sedang disertasi Ph.D.
University of Georgia, Amerika Serikat tahun 1971 adalah:”A Cross Cultural-
Study of the Child Conception of Situational-Causality In India, Western
Samoa, Mexico and the United States” (Langgulung, 1985:249).
B. Riwayat Karir Hasan Langgulung
Semasa hidupnya Hasan Langgulung aktif mendedikasikan dirinya
untuk kemajuan pendidikan. Pengalaman mengajar beliau diantaranya adalah
menjadi kepala sekolah Indonesia di Kairo, dari tahun 1957-1968. Di Inggris
sebagai Visiting Scholat pada Cambridge University pada tahun 1986.
Menjadi Visiting Professor di University of Riyadh, Saudi Arabia sejak tahun
1977-1978. Research Assistant, University of Georgia tahun 1970-1971.
Menjadi Teaching Assistant University of Georgia tahun 1969-1970.
Psychological Consultant, Stanford Research Institute Menlo Park,
Callifornia (Langgulung, 2004: 366).
Selain pengalaman dalam hal mengajar beliau juga pernah
menghadiri berbagai persidangan dan konferensi-konferensi di dalam dan di
luar negeri seperti di Amerika Serikat, Eropa, Timur Tengah, Jepang,
Austaralia, Fiji di samping di negara ASEAN sendiri. Selain itu beliau
juga adalah pemimpin beberapa majalah seperti Pemimpin Redaksi
Majalah Jurnal Akademika, diterbitkan oleh Universitas Kebangsaan
Malaysia, anggota redaksi majalah Jurnal Akademika, diterbitkan oleh
Universiti Kebangsaan Malaysia dalam bidang Sains Sosial. Anggota
redaksi majalah Peidroprisse, Journal of Special Education yang
diterbitkan di Illinois, Amerika Serikat (Langgulung, 1988: 242).
Dengan berbagai prestasi dan capaian yang berhasil beliau raih,
tidak salah jika namanya tercatat dalam berbagai buku-buku
penghargaan, diantaranya adalah (Kholiq, dkk. 1999: 35) :
a. Directory of American Psiychological Association,
b. Who is Who in Malaysia,
c. International Who‟s Who of Intellectuals,
d. Who‟s Who in The World,
e. Directory of International Biography,
f. Directory of Cross-Cultural Research and Researches,
g. Men of Achievement,
h. The International Register Profiles,
i. Who‟s Who in The Commenwealth,
j. The International Book of Honour,
k. Directory of American Educational Research Assosiation,
l. Asia‟s Who‟s Who of Men and Women of Achievement and
Distinction,
m. Community Leaders of the World,
n. Progressive Personalities in Profile.
C. Karya-karya Hasan Langgulung
Hasan Langgulung adalah seorang pakar dan ilmuan yang tidak
diragukan lagi kemampuannya dalam bidang pendidikan dan psikologi.
Hal ini terbukti dengan banyaknya karya yang beliau hasilkan. Beberapa buku
yang pernah beliau tulis dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori, yaitu
bidang psikologi, bidang pendidikan dan bidang filsafat. Karya-karya buku
Prof. Dr. Hasan Langgulung antara lain (Kurniawan dan Mahrus, 2011: 272):
1. Teori-teori Kesehatan Mental Manusia(1986)
2. Psikologi dan Kesehatan Mental di Sekolah-sekolah (1979)
3. Pendidikan Islam suatu Analisa Sosio-Psikologikal (1979)
4. Beberapa Tinjauan dalam Pendidikan Islam (1985)
5. Manusia dan Pendidikan: Suatu Analisis Psikologi dan Pendidikan (1986)
6. Asas-asas Pendidikan Islam (1987)
7. Pendidikan Islam menghadapi Abad ke 21 (1988)
BAB III
GAMBARAN UMUM KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MOHAMMAD
NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A. Konsep Pendidikan Islam Mohammad Natsir
1. Tujuan Pendidikan Islam
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh nasional yang
sudah sangat tersohor di seluruh penjuru nusantara. Beliau banyak
dikenal karena jejaknya di dunia perpolitikan negeri bahkan hingga
mancanegara. Kiprahnya masih hangat di benak kita adalah prestasi
beliau menjadi tangan kanan presiden pertama republik ini, yaitu sebagai
Perdana Menteri sekaligus orang kepercayaan Soekarno. Walaupun pada
perjalanannya kedua tokoh kemerdekaan ini memiliki ideologi yang
berbeda dalam membangun negeri. Warna perdebatan dan pertentangan
intelektual di setiap jejak langkah mereka menjadi saksi terbentuknya
negara yang kuat dan menjunjung tinggi azas persatuan.
Natsir sebagai mujahid dakwah yang sangat gigih
memperjuangkan Islam di negeri ini melalui berbagai cara antara lain
dari karya-karyanya di media massa maupun juga dalam dunia politik
ketika beliau diberi amanah menjabat di pemerintahan maupun melalui
organisasi yang didirikannya. Meskipun dakwahnya tidak selalu diterima
terutama dari kalangan pemerintah, akan tetapi beliau tidak pernah
mundur. Beliau memakai cara-cara yang lain, salah satunya adalah
melalui pendidikan.
Beliau memang seorang pendidik sehingga tahu apa dan
bagaimana pendidikan itu. Menyadari betapa pentingnya pendidikan bagi
suatu bangsa yang ingin maju. Pada tahun 1949, Natsir memimpin
sebuah program pendidikan yang didirikan oleh tokoh-tokoh Islam di
daerah yang dikuasai Darul Islam. Pengalamannya sebagai pemimpin
pendidikan membuat cara pandangnya mengenai pendidikan semakin
luas. Bahkan jauh sebelum itu, tepatnya tanggal 17 Juni 1934, ia
menyampaikan pidatonya dalam Rapat persatuan Islam di Bogor. Judul
pidatonya nampak sederhana, tetapi kajiannya cukup mendasar, yaitu
“Ideologi Pendidikan Islam” (Luth, 1999:94).
Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan memang sudah diakui
dengan melihat rekam jejaknya. Seperti dalam pidatonya yang disebut
sebagai “Ideologi Pendidikan Islam” mengajak seluruh elemen
masyarakat agar dapat memahami arti penting dan tujuan sebagai dasar
pendidikan Islam. Beliau menjelaskan dengan bahasa yang cukup mudah
untuk dipahami dan dapat diterima sebagai ideologi yang dapat
diimplementasikan terutama dalam pendidikan..
Beliau mengatakan bahwa maju atau mundurnya salah satu kaum
bergantung sebagian besar kepada pelajaran dan pendidikan yang berlaku
dalam kalangan mereka. Tak ada satu bangsa yang terbelakang menjadi
maju, melainkan sesudah mengadakan dan memperbaiki pendidikan
anak-anak dan pemuda mereka. Bangsa jepang, satu bangsa Timur yang
sekarang menjadi buah mulut orang seluruh dunia karena majunya, masih
akan terus tinggal dalam kegelapan sekiranya mereka tidak membukakan
pintu negerinya yang selama ini tertutup rapat bagi orang-orang pintar
dan ahli-ahli ilmu negeri lain yang akan memberikan pendidikan dan
ilmu pengetahuan bagi pemuda-pemuda mereka, disamping mengirim
pemuda-pemuda pereka ke luar negeri mencari ilmu. Spanyol, satu negeri
di benua Barat, yang selama ini termasuk golongan kelas satu, jatuh
merosot ke kelas bawah sesudah enak dalam kesenangan mereka dan
tidak memperdulikan pendidikan pemuda-pemuda yang akan
menggantikan pujangga-pujangga di hari kelak (Natsir, 1980: 77).
Dua negara yang ditampilkan Natsir mewakili negara-negara di
Timur dan di Barat, adalah contoh konkret betapa pentingnya pendidikan
untuk kemajuan bangsa. Maksudnya adalah kemajuan suatu negara
bergantung kepada kepedulian negara tersebut terhadap pendidikan.
Demikian pula merosot atau keterbelakangan suatu negara terletak pada
ketidakpedulian negara tersebut terhadap pendidikan. Kemajuan suatu
bangsa tidak tergantung dari letak negara tersebut, entah itu di Barat atau
di Timur, apakah negara tersebut di kelilingi negara maju atau tidak,
tetapi tergantung pada pendidikan para pemuda-pemuda dari negara
tersebut apakah baik atau tidak. Semua tergantung pada kesadaran dan
kemauan untuk berubah menjadi lebih baik dan lebih maju dari
sebelumnya. Dalam Al-Qur‟an surat ar-Ra‟du ayat 11 Allah telah
berfirman yang artinya:”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib
suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri
mereka sendiri.” Jika kita sadar akan kekurangan kita dan memiliki
kemauan untuk berubah agar menjadi lebih baik maka jika Allah
mengizinkan kita akan menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Kenyataan ini tidak hanya dirasakan oleh dua negara yang disebut
Natsir dalam pidatonya, tetapi telah dirasakan dan disadari oleh berbagai
negara di dunia ini, termasuk negara Republik Indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari perkembangan pendidikan Indonesia yang dari tahun ke tahun
terus mengevaluasi pendidikannya, salah satunya yaitu kurikulum yang
berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin maju.
Dengan demikian, pendidikan merupakan tolok ukur peradaban orang
perorangan atau suatu bangsa.
Natsir yang mengaku berguru politik pada H. Agus Salim dan
Syeikh Ahmad Surkati, ternyata memiliki wawasan yang luas tentang
berbagai masalah, termasuk soal pendidikan. Sejak belajar di Algememe
Midelbare School (AMS) Bandung, Natsir mulai tertarik pada pergerakan
Islam dan belajar politik di perkumpulan Jong Islamieten Bond (JIB),
sebuah organisasi pemuda Islam yang anggotanya adalah pelajar-pelajar
bumi putera yang belajar di sekolah Belanda. Organisasi ini mendapat
pengaruh intelektual dari Haji Agus Salim (Luth, 1999). Haji Agus Salim
merupakan salah satu tokoh Sarekat Islam sedangkan Syeikh Ahmad
Surkati adalah pendiri Al-Irsyad. Selama di Bandung Natsir banyak
bertemu tokoh-tokoh nasional yang membentuk cara berpikir dan
kemampuan berpolitiknya.
Perhatian Natsir terhadap dunia pendidikan yang besar dapat kita
lihat melalui pidato tersebut. Beliau menekankan pentingnya pendidikan
bagi kemajuan bangsa ini, terlebih pendidikan dasar sebagai pondasi
yang kokoh bagi generasi yang akan menggantikan generasi saat ini.
Dengan pengetahuan yang beliau miliki, mampu mengilustrasikan
dengan baik dan mudah diterima bagi pendengarnya. Dua negara yang
disebutkan beliau merupakan contoh yang konkrit bagaimana pendidikan
memiliki peran yang sangat penting bagi kemajuan bangsa.
Hal ini menjelaskan bagaimana sebuah bangsa dapat dengan
cepat berkembang pesat diantara bangsa-bangsa yang lain dan sebaliknya
sebuah bangsa juga dapat tenggelam dalam kebodohan yang semua itu
tergantung pada perhatian terhadap pendidikannya terutama bagi
pemuda-pemuda karena mereka adalah generasi penerus bangsa.
Pendidikan yang didefinisikan Natsir adalah satu pimpinan
jasmani dan rohani yang menuju kepada kesempurnaan dan lengkapnya
sifat-sifat kemanusiaan dengan arti yang sesungguhnya (Natsir, 1954:82).
Pimpinan disini dapat diartikan sebagai bimbingan atau pengarahan
kepada yang dibimbing atau yang diarahkan. Bimbingan dalam
pengertian ini tidak hanya untuk meningkatkan kemampuan intelektual
dan keterampilan saja, akan tetapi sikap spiritual dan sikap sosial juga
tidak boleh ditinggalkan dalam proses pendidikan tersebut.
Pengertian pendidikan Natsir memiliki kesamaan dengan para
ahli pendidikan Islam seperti Ahmad D. Marimba yang mengemukakan
bahwa pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh
pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik
menuju terbentuknya kepribadiannya yang utama (insan kamil), serta
pendapat Ahmad Tafsir yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan
bimbingan yang diberikan oleh seseorang agar ia berkembang secara
maksimal sesuai dengan ajaran Islam (Al-Rasyidin dan Nizar,2005: 32).
Ketiga pendapat tersebut memiliki persamaan bahwa pendidikan
merupakan proses bimbingan dan pengajaran dari seorang pendidik agar
dapat mengembangkan potensi jasmani dan rohani peserta didik secara
optimal sesuai ajaran Islam.
Pendidikan tidak identik dengan pengajaran yang hanya terbatas
pada usaha mengembangkan intelektualitas manusia. tugas pendidikan
bukan melulu meningkatkan kecerdasan, melainkan mengembangkan
seluruh aspek kepribadian manusia (Zuhairini,1995: 149). Oleh karena
itu, pendidikan dapat meliputi beberapa aspek dalam kehidupan manusia,
karena pada dasarnya melalui pendidikanlah dapat membentuk dan
melengkapi sifat-sifat kemanusiaannya, atau lebih jelasnya bahwa
pendidikan merupakan proses pembentukkan karakter peserta didik yang
berlandaskan ideologi Islam.
Pada hakikatnya manusia adalah makhluk yang memiliki
kelengkapan jasmani dan rohani. Dengan kelengkapan jasmaninya , ia
dapat melaksanakan tugas-tugas yang memerlukan dukungan fisik, dan
dengan kelengkapan rohaninya ia dapat melaksanakan tugas-tugas yang
memerlukan dukungan mental. Selanjutnya agar kedua unsur tersebut
dapat berfungsi dengan baik dan produktif, maka perlu dibina dan
diberikan bimbingan. Dalam hubungan ini pendidikan memegang
peranan yang amat penting (Nata, 1997: 35). Terutama Pendidikan Islam
yang membangun kecerdasan spiritual yang memberikan pemahaman
terhadap agama dan membentuk kecerdasan emosional agar peserta didik
memiliki mental yang kuat untuk menghadapi kehidupan yang akan
dilalui oleh mereka.
Sebagai suatu kegiatan yang terencana, pendidikan Islam
memiliki kejelasan tujuan yang ingin dicapai. Kita sulit membayangkan
dalam benak, jika ada suatu kegiatan tanpa memiliki kejelasan tujuan.
Hal itu bisa dimengerti karena tujuan pendidikan mempunyai kedudukan
yang amat penting. Ahmad D. Marimba (1989:45), misalnya
menyebutkan ada empat fungsi tujuan pendidikan yaitu:
a. Tujuan berfungsi mengakhiri usaha,
b. Tujuan berfungsi mengarahkan usaha,
c. Tujuan berfungsi sebagai titik pangkal untuk mencapai
tujuan-tujuan yang lain, dan
d. Tujuan memberi nilai (sifat) pada usaha itu.
Dari uraian di atas maka tampak jelas pentingnya merumuskan
tujuan pendidikan sebelum pendidikan itu dilaksanakan. Dengan begitu
para pelaku pendidikan dapat mengambil langkah-langkah dan
merencanakan proses pendidikan yang mengacu pada tujuan tersebut.
Menurut Natsir (1954:54), suatu pendidikan harus memiliki
setidaknya dua hal, yaitu
a. Satu tujuan yang mengarahkan pendidikan itu sendiri, dan
b. Satu asas yang menjadi dasar dari pendidikan tersebut.
Pendidikan tersebut tidak akan berjalan sebagaimana yang direncanakan
jika tidak ada salah satu dari kedua hal tersebut. Tujuan pendidikan kita
tidak dapat dipisahkan dari tujuan hidup kita sendiri karena keduanya
adalah sama. Tujuan dari pendidikan adalah tujuan hidup, M. Natsir
menjelaskan dengan mengutip ayat dalam Al-Qur‟an surah Adz Dzariat
ayat 56:
Artinya : “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
Tujuan hidup setiap muslim telah ada dalam al-Qur‟an yaitu
hanya untuk menyembah kepada Allah Tuhan semesta alam. Dalam
pengertian sederhana, menyembah adalah mengamalkan segala
perintahNya seperti mendirikan sholat lima waktu dan berpuasa di bulan
Ramadhan. Selain itu, tidak melakukan hal-hal yang dilarang oleh
agama.
Pengertian “menyembah Allah” dalam konteks tujuan hidup
disini memiliki makna yang sangat luas, yang mencakup ibadah khusus
(hablum min Allah) dan ibadah umum (hablum min al-khalqiah) melalui
aktivitas yang memposisikan manusia sebagai khalifah Tuhan di dunia
ini. Pengertian penyembahan secara spesifik dalam pendidikan adalah :
“melengkapi ketaatan dan ketundukan manusia kepada semua perintah
Ilahi yang membawa kepada kejayaan duniawi dan kemenangan ukhrawi,
serta menjauhkan diri dari segala laraangan yang dapat menghalangi
tercapainya kemenangan dunia dan akhirat itu”. Dengan demikian
urgensi penyembahan bukanlah untuk kepentingan Allah karena Allah
tidak membutuhkan sesuatu apapun dari makhluk-Nya, tapi merupakan
“kebutuhan dasar” bagi manusia dalam upaya pembebasan dari
penghambaan diri dan rasa ketergantungan terhadap sesama makhluk
Tuhan yang terkadang lebih rendah martabatnya dari manusia
(Ramayulis dan Nizar, 2005: 307).
Sebagai makhluk, sudah seharusnya manusia menyembah
penciptanya, hal tersebut merupakan kebutuhan bagi manusia sendiri dan
bukan karena Allah membutuhkan. Allah adalah Sang Pencipta, Dia tidak
membutuhkan apapun karena Dia memiliki segalanya. Manusia
seharusnya menyadari hal tersebut sehingga hanya Allah-lah tempatnya
bergantung, bukan pada sesama makhluk.
Hal tersebut dapat dikatakan juga bahwa menjadi hamba Allah
merupakan tujuan dari pendidikan, Natsir mengemukakan bahwa yang
disebut hamba Allah ialah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah,
sebagai pemimpin untuk manusia. mereka mematuhi segala perintah
Allah, dan berbuat baik kepada sesama makhluk, serta menunaikan
ibadah terhadap Tuhannya, seperti yang terdapat dalam Q.S. al-Baqarah:
177 yang artinya:
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman
kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-
nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan
(memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji,
dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan
dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar
(imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa” (Natsir,
1954:57).
Disisi lain Natsir menambahkan bahwa untuk dapat meraih
kemenangan hidup dunia dan akhirat, setiap individu harus didukung
dengan penguasaan ilmu pengetahuan, karena penguasaan ilmu
pengetahuanlah yang dapat membuat posisi seseorang menjadi terhormat,
baik di sisi Allah maupun di sisi sesama makhluk. Untuk melengkapi
pendapatnya, Natsir mengutip firman Allah:
Artinya :”Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang
melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-
macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut
kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
Bertolak dari ayat diatas, maka kecintaan dalam menuntut ilmu
merupakan bagian dari penyembahan diri kepada Allah sekaligus
menjadi salah satu tujuan dari pendidikan yang diinginkan Islam.
Menurut Natsir, secara khusus tujuan pendidikan Islam adalah
menumbuhkembangkan potensi manusia sehingga menjadi makhluk
yang selalu berada dalam keseimbangan, keseimbangan-keseimbangan
tersebut antara lain:
a. Seimbang antara perkembangan jasmani dan rohani,
b. Seimbang antara pertumbuhan akal dan budi pekertinya,
c. Seimbang antara ilmu dan imannya,
d. Seimbang antara doa dan ikhtiarnya,
e. Seimbang hubungannya dengan sesama makhluk beserta
alam sekitarnya, dan
f. Seimbang hubungannya dengan pencipta seluruh alam
semesta, yakni Allah Rabb al-alamin (Ramayulis dan Nizar,
2005:308).
Dalam pandangan Natsir, setiap peserta didik memiliki potensi
dasar yang berbeda antara satu dan yang lainnya. Potensi tersebut dapat
tumbuh dan berkembang secara dinamis, baik ke arah yang positif
maupun ke arah yang negatif. Inti proses pendidikan adalah terletak pada
upaya menumbuhkembangkan potensi tersebut secara optimal dan
seimbang ke arah yang baik. Sedangkan hasil yang ingin dicapai adalah
terbentuknya manusia yang memiliki integritas pribadi yang utuh dan
dapat memberikan kebermaknaan hidup bagi diri sendiri, keluarganya,
masyarakat dan alam lingkungan sekitarnya. Beliau mengatakan bahwa
yang menjadi tujuan hidup dan tujuan pendidikan kita, bukanlah suatu
perhambaan yang memberi keuntungan kepada obyek yang disembah,
tetapi perhambaan yang memberi kekuatan kepada yang
memperhambakan dirinya. Dalam uraian selanjutnya Natsir mengutip
Q.S. al-Naml: 40 :
Artinya: “Dan Barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya Dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan Barangsiapa
yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi
Maha Mulia".
Selanjutnya ia mengatakan bahwa akan menjadi orang yang
memperhambakan segenap rohani dan jasmaninya kepada Allah SWT.
untuk kemenangan dirinya dengan arti yang seluas-luasnya yang dapat
dicapai oleh manusia, itulah tujuan hidup manusia di atas dunia. Dan
itulah tujuan pendidikan yang kita berikan kepada anak-anak kita kaum
Muslimin (Nata, 1997: 50).
Gagasan M. Natsir juga diperkuat dengan rumusan hasil kongres
pendidikan Islam sedunia yang diselenggarakan di Islamabad pada tahun
1980 yang intinya menetapkan bahwa pendidikan Islam harus ditujukan
ke arah tercapainya pertumbuhan yang berkeseimbangan dari seluruh
kepribadian manusia melalui latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan
pancaindera. Oleh karenanya pendidikan semestinya dapat memberikan
pelayanan pada pertumbuhan manusia dalam semua aspek kehidupannya
yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi, jasmaniah, ilmiah,
linguistik, baik individual maupun kolektif, serta mendorong ke arah
kebaikan dan pencapaian kesempurnaan agar terlaksana aktivitas
pengabdian kepada Allah SWT sesuai dengan tuntunan yang telah
digariskan Islam (Ramayulis dan Nizar, 2005:307).
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam bukunya yang berjudul “Islam dan Akal Merdeka”, Natsir
(2015) menekankan bahwa sebuah pendidikan atau bimbingan harus
didasari oleh ketauhidan. Beliau menceritakan kehidupan seorang yang
bernama Paul Ehrenfest, beliau merupakan seorang yang terpelajar yang
diberi gelar Guru Besar dalam Ilmu Fisika di Amsterdam. Ia berasal dari
keluarga yang baik dan mendapat pendidikan yang sebaik-baiknya
ditempat kelahirannya. Beliau telah melampaui kemampuan berfikir
manusia di zamannya dengan otak geniusnya. Terus menyelidiki ilmu
pengetahuan dan mengajarkanya kepada dunia luar. Memiliki
kepribadian yang santun, penyayang, bergaul dengan orang yang baik
pula, tak pernah terdengar melakukan perbuatan tercela. Akan tetapi,
tiba-tiba melakukan perbuatan yang dibenci dan melebihi perbuatan
penjahat atau pencuri sekalipun. Beliau membunuh anaknya dan setelah
itu bunuh diri. Kejadian ini membuat orang-orang disekitarnya bertanya-
tanya apa yang sebenarnya terjadi. Setelah diselidiki dari surat yang
ditinggalkannya untuk teman sejawatnya terungkap bahwa peristiwa itu
bukan karena nafsu belaka, tetapi merupakan hal yang telah dipikirkan
sejak lama.
Beliau telah kehilangan tujuan hidup. Beliau tidak mendapatkan
kebutuhan rohaninya, walaupun dari sisi jasmani atau intelektualnya
sangat terpenuhi. Beliau tidak dapat menemukan hubungannya dengan
Tuhan, yang sejak kecil tidak pernah dikenalkan kepada Tuhan.
Pendidikan yang demikian sebenarnya adalah mempertukarkan alat
dengan tujuan.
Itulah pendidikan yang ketinggalan dasar! Mengenal Tuhan,
mentauhidkan Tuhan, mempercayai dan menyerahkan diri kepada Tuhan,
tak dapat tidak harus menjadi dasar bagi tiap-tiap pendidikan yang
hendak diberikan kepada generasi yang kita latih, jikalau kita sebagai
guru ataupun sebagai ibu bapak, betul-betul cinta kepada anak-anak yang
telah dipetaruhkan Allah kepada kita itu. Meninggalkan dasar ini berarti
melakukan suatu kelalaian yang amat besar, yang tidak kurang besar
bahayanya daripada berkhianat terhadap anak-anak yang kita didik,
walaupun sudah kita sempurnakan makan dan minumnya dan telah kita
cukupkan pakaian dan perhiasannya serta sudah kita lengkapkan pula
ilmu pengetahuan untuk bekal hidupnya. Semua ini tak ada artinya
apabila ketinggalan memberikan dasar Ketuhanan seperti diterangkan
diatas itu (Natsir,2015: 14).
Dari keterangan sebelumnya dapat penulis simpulkan bahwa yang
menjadi dasar utama dalam pendidikan atau lebih khususnya pendidikan
Islam adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan. Dengan memiliki
ketauhidan atau mengakui keesaan Tuhan maka manusia tidak akan
memiliki keraguan dalam jiwanya karena mengetahui bahwa hanya
kepada Tuhan lah tempat bergantungnya.
Natsir memberikan contoh seperti kisah Luqman di dalam Al-
qur‟an yang memberikan nasihat kepada anaknya berupa wasiat:
“Perhatikanlah ketika Luqman berkata kepada anaknya yang sedang
dididik: “Hai anakku, janganlah engkau menyekutukan Tuhan,
sesungguhnya syirik itu ialah sebesar-besar kezaliman. Dan Kami
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada kedua ibu-bapaknya,
ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-
tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, Bersyukurlah kepada-Ku dan
kepada kedua ibu bapakmu. Hanya kepada-Kulah kembalimu”
(Natsir,2015: 16).
Melalui prinsip tauhid itu akan melahirkan pandangan bahwa
pendidikan Islam itu sebenarnya bersifat utuh/menyatu (integral), tanpa
memisahkan persoalan dunia dari urusan akhirat. Sebab dalam ajaran Al-
Qur‟an sendiri, dunia dengan segala kenikmatannya adalah sebagai
sarana untuk kehidupan di akhirat kelak. Hal ini didasari firman Allah
dalam surat Al-Qashash(28:77) yang artinya: “Dan carilah pada apa yang
telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan
janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat
baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan” (Saidan, 2011:228).
Maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang ditawarkan oleh
Natsir dalam hal ini merupakan pendidikan integral. Pendidikan yang
tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu agama,
tetapi dengan menjadikan kedua ilmu tersebut agar menjadi utuh atau
satu kesatuan yang mengantarkan peserta didik mencapai tujuan
pendidikannya. Tidak ada pemisah antara ilmu umum dan ilmu agama
karena pada hakikatnya keduanya berasal dari Allah dan sama-sama
dibutuhkan bagi peserta didik dalam mencapai tujuan dari pendidikan itu
sendiri.
Dalam hal materi pendidikan, antara ilmu umum dan ilmu agama
tidak ada yang lebih penting karena keduanya sama pentingnya dalam
pelaksanaan pendidikan. Semua adalah ilmu Allah, tidak bisa jika
dibatasi sebab saling berkaitan. Dalam kurikulum sekarang, bahkan baik
ilmu-ilmu umum maupun agama dipadukan untuk kemajuan dalam
pembelajaran untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Natsir juga menekankan pentingnya bahasa dalam pendidikan.
Bahasa merupakan pintu menuju dunia luar dan lebih banyak
pengetahuan. Jembatan bagi anak bangsa untuk mendapatkan ilmu yang
lebih luas, tetapi juga tidak boleh meninggalkan bahasa negeri sendiri. M.
Natsir (1954:103) mengatakan:
“Soal bahasa adalah salah satu soal ketjerdasan bangsa jang
terpenting! Bahasa-ibu, bahasa kita sendiri, adalah mendjadi sjarat
bagi berdiri tegaknja kebudajaan kita. Akan tetapi kebudajaan
jang hidup tidak tjukup hanja dengan tinggal berdiri tegak sadja.
Ia perlu tumbuh, bertambah, berubah, bergerak, „dinamis‟, kata
orang sekarang. Dan untuk ini perlu kepada pertukaran „udara‟
perlu kepda tambahan „pupuk‟, perlu kepada tambahan „air‟ jang
mendjadi sjarat hidupnja. Tidak ada kebudajaan djadi hidup baik,
apabila ia dikurung dan diikat menurut tradisi berbilang abad.
Kebudajaan itu akan hidup, bertambah kekuatannja, akan bangun
bibit kemungkinannja jang masih tersembunji, apabila dapat
kesempatan berhubungan dengan sumber-sumber kebudajaan
diluar lingkungan daerahnja. Satu kebudajaan, hidup dengan
perhubungan antara satu kebudajaan dengan kebudajaan jang lain,
ringkasnja dengan „akulturasi‟”.
Jika kita dapat memahami bahasa dari kebudayaan atau negara
yang lain, maka kita akan dapat berkomunikasi dengan bangsa tersebut.
Begitu pula dengan pendidikan yang pada dasarnya dilaksanakan melalui
proses komunikasi antara pendidik dan peserta didik. Dengan mengetahui
bahasa dari bangsa lain, kita akan dapat memperoleh informasi atau
pengetahuan yang belum kita ketahui.
Natsir (1954:78) mengungkapkan bahwa kemunduran dan
kemajuan itu, tidak bergantung kepada ketimuran dan kebaratan, tidak
bergantung kepada putih, kuning atau hitamnya warna kulit, tetapi
bergantung kepada ada atau tidaknya sifat-sifat dan bibit-bibit
kesanggupan dalam salah satu umat, yang menjadikan mereka layak atau
tidaknya menduduki tempat yang mulia di atas dunia ini.
Pendidikan Islam bukannya pendidikan Timur, dan pendidikan
Barat bukannya lawan pendidikan Islam. Sesuatu yang baik harus
dipungut sekalipun itu berasal dari Barat, sebab Barat dan Timur itu
kepunyaan Allah. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam Islam tidak
usah membesar-besarkan antagonisme (pertentangan) antara Barat dan
Timur. Islam itu bukan anti Barat dan Pro Timur, khususnya dalam
pendidikan. Islam hanya mengenal antagonisme antara haq dan bathil.
Inilah salah satu point terpenting dari pemikiran Natsir terutama dalam
melihat sifat keuniversalan ajaran Islam dan keberadaan pengetahuan yang
berimplikasi terhadap kemajuan pandidikan Islam (Saidan, 2011:214).
Maka di sinilah pendidikan berperan penting dalam membentuk
pribadi manusia dalam mencapai tujuan utamanya. Pendidikan yang
bersifat universal ini yang ditawarkan oleh Natsir, pendidikan yang
menyamaratakan peserta didik yang ingin mengenyam pendidikan, hanya
kemampuan mereka sendirilah yang menjadi pembedanya. Seperti yang
telah dijabarkan dalam pasal 31 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa setiap
warga negara berhak mendapat pendidikan. Maka sudah semestinya
negara menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh warga negara tanpa
melihat latar belakang suku, ras, agama, adat, dan budaya dari peserta
didik. Itu semua karena kita seluruh warga negara Indonesia memiliki
semboyan yang sama yaitu Bhineka Tunggal Ika, semboyan yang menjadi
lambang persatuan.
3. Metode Pendidikan Islam
Natsir meyakini bahwa Islam adalah agama fitrah, yaitu agama
yang ajaran-ajarannya sejalan dengan fitrah manusia yang memerlukan
bimbingan Tuhan dengan tujuan agar jiwanya tumbuh dan berkembang
sesuai dengan fitrahnya itu. Untuk itu Natsir menyarankan agar pendidikan
dilakukan dengan metode yang tepat dan efektif dengan kata-kata yang
menyejukkan dan menimbulkan kesan yang dalam serta senantiasa diingat
oleh peserta didik (Ramayulis dan Nizar, 2005: 309).
Dengan cara itu, peserta didik dapat lebih mudah dalam memahami
apa yang disampaikan oleh pendidik. Akan tetapi, bukan hanya
penyampaian saja yang dapat menjadi faktor keberhasilan dalam
pendidikan. Hal-hal yang lain seperti kondisi atau situasi kelas juga
berpengaruh.
Pemikiran Natsir dalam bidang pendidikan Islam seperti yang
digambarkan sebelumnya tidak saja sebatas materi yang harus relevan
dengan tuntutan kebutuhan umat yang berlandaskan tauhid dalam arti luas,
akan tetapi juga termasuk dalam aspek metodologi pembelajaran. Metode
pendidikan yang di terapkanya sangat variatif sesuai dengan kondisi dan
tujuan yang akan dicapai, metode tersebut secara garis besarnya meliputi ;
a) Metode Cerita
Metode cerita digunakan Natsir dalam menanamkan pelajaran
Tauhid terhadap peserta didik dilembaga yang dirintisnya. Ia
mengajak pembaca menengok bagaimana Luqman mengajarkan
tauhid kepada anaknya seperti yang dikisahkan dalam Al-quran. Kisah
luqman ini sekaligus mengisyaratkan betapa pentingnya pendidikan
akidah ditanamkan sedini mungkin kepada anak didik terutama oleh
orang tuanya. Dari uraian tersebut dapat di deskripsikan bahwa
pembelajaran akidah seperti yang diterapkan oleh Mohammad Natsir
itu sangat tepat sekali mengingat peserta didik secara umum
cenderung kepada cerita-cerita (Saidan, 2011:235).
Relevansi metode cerita di lingkungan sekolah menurut
Abdurrahman Saleh Abdullah (2005:209) seolah-olah seperti benar-
benar terjadi dengan sesungguhnya. Cerita-cerita yang dimaksudkan
merupakan metode yang sangat bermanfaat untuk menyampaikan
informasi dan pelajaran. Maka kewajiban pendidik muslim adalah
berkehendak merealisasikan peranannya untuk membentuk sikap-
sikap yang merupakan bagian integral dari tujuan pendidikan Islam.
Metode ini masih banyak digunakan oleh para pendidik karena
dirasa masih merupakan metode yang efektif untuk mendapatkan hasil
yang diinginkan. Pendidik menggambarkan pengetahuan melalui
cerita yang diilustrasikan dengan konkrit di kehidupan sehari-hari
sehingga peserta didik lebih mudah memahami apa yang ingin
disampaikan kepada mereka. Dengan metode ini, pendidik akan
menjadi pusat perhatian ketika bercerita dan peserta didik dapat
memahami apa yang dimaksudkan pendidik dalam ceritanya yang
berisi pengetahuan yang ingin disampaikan.
b) Metode keteladanan
Melihat gerak langkah Natsir dalam membina umat Islam, baik
sebelum Indonesia merdeka maupun sesudahnya,-dalam bentuk
pendidikan formal maupun nonformal- ia menerapkan dakwah bi al-
hal. Artinya melalui perbuatan nyata secara praktis. Mohammad
Natsir tidak saja pandai mengajak orang lain untuk melakukan atau
memperbuat sesuatu,akan tetapi malah ia sendiri yang pertama-tama
melakukanya. Pemikiran Natsir seperti ini diyakini karena ia
menyadari bahwa pendidikan islam itu tidak hanya sebatas
mengantarkan anak-anak didik menjadi orang pintar. Akan tetapi
disamping itu, haruslah membina mereka menjadi manusia-manusia
sempurna, baik segi kognitif maupun aspek afektif dan psikomotorik.
Keteladanan pendidik dalam kaca mata Mohammad Natsir sangat
menentukan dalam keberhasilan sebuah proses pendidikan apalagi
dalam pendidikan Islam. Oleh karena itu, salah satu persyaratan yang
menjadi prinsip bagi Natsir yang mesti dimiliki pendidik adalah
akhlak karimah (akhlak mulia) (Saidan, 2011:237).
Jika kita lihat pada zaman sekarang atau bahkan sejak dahulu,
manusia cenderung memiliki sifat imitasi atau senang meniru orang
lain. Dalam konteks pendidikan, peserta didik akan lebih banyak
mengamati pendidiknya sehingga hal ini seharusnya menyadarkan
para pendidik agar tidak hanya memperhatikan proses pemberian ilmu
pengetahuan. Seorang pendidik juga menjadi figur yang menjadi
contoh atau teladan bagi peserta didik karena mereka memiliki sifat
imitasi tersebut.
Abdurrahman An Nahlawi (1995:268) mengemukakan bahwa
Rasulullah sebagai figur pendidik islami, mengisyaratkan agar pihak-
pihak yang berkecimpung dalam dunia pendidikan mengarahkan anak
didiknya melalui teladan dan contoh perbuatan secara langsung. Dan
yang tak kalah pentingnya, para pendidik pun dituntut untuk
mengarahkan pandangan anak didik untuk meneladani perbuatannya.
Tentu saja, pendidik yang bersangkutan harus mengacukan
perbuatannya sesuai dengan perilaku Rasulullah saw., sehingga dia
termotivasi untuk menyempurnakan shalat, ibadah lain, dan
perilakunya. Pendidik yang demikian telah membuat jejak-jejak
kebaikan.
B. Konsep Pendidikan Islam Hasan Langgulung
1. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan atau matlamat pendidikan adalah serupa dengan tujuan
hidup manusia. sebab pendidikan hanyalah suatu alat yang digunakan
oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya, sebagai individu
dan sebagai masyarakat. Jadi tujuan pendidikan adalah perkara yang
teramat penting, sebab tujuan itulah yang menentukan sifat-sifat
metode dan kandungan pendidikan. Namun, ini tidaklah bermakna
bahwa dua komponen yang lain itu tidak penting (Langgulung,
2004:47).
Tujuan pendidikan dapat dikatakan sebagai tujuan hidup
manusia karena pada hakikatnya seluruh kehidupan manusia tidak
dapat dipisahkan dari pendidikan, atau dalam hal ini dapat dikatakan
“belajar”. Setiap kegiatan manusia dimulai dari membuka mata
mengawali hari hingga tidur kembali sangat berhubungan dengan
belajar, bahwa setiap hal baru yang kita temukan, kita lihat dan kita
lakukan, tanpa kita sadari kita sedang belajar. Belajar memahami apa
yang kita lihat, merasakan apa yang kita sentuh, mendengarkan hal
yang belum pernah kita dengar serta mengucapkan apa yang tidak
pernah kita ucapkan. Semua itu adalah bagian dari pendidikan. Maka
tidak salah apabila dikatakan bahwa tujuan pendidikan merupakan
tujuan hidup manusia.
Tujuan hidup seperti yang disebutkan dalam Al-Qur‟an (51:
56) yang bermakna: “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia
kecuali agar mereka menyembah kepadaKu ”. Itulah tujuan kejadian
manusia, dan segala usaha untuk menjadikan manusia menjadi „abid
inilah tujuan tertinggi pendidikan dalam Islam. Begitu juga ayat Al-
Qur‟an (2:30) yang bermakna : “Ingatlah ketika Tuhanmu berkata
kepada malaikat: Aku akan menciptakan khalifah di bumi”. Jadi segala
usaha untuk membentuk watak manusia sebagai khalifah di bumi ini
itulah pendidikan menurut pandangan Islam (Langgulung, 2004:48).
Menurut Hasan Langgulung, pendidikan Islam merupakan
suatu proses penyiapan generasi muda untuk mengisi peranan
memindahkan pengetahuan dan nilai-nilai Islam yang diselaraskan
dengan fungsi manusia untuk beramal di dunia dan memetik hasilnya
di akhirat. Pendidikan tidak berarti sekedar transfer of knowledge,
tetapi juga transfer of value dan berorientasi dunia akhirat. Untuk
trasfer of value ini perlu ada nilai yang dimiliki oleh pendidik sebagai
pelaku atau subyek dan juga ilmu itu sendiri sebagai objek yang
ditransfer. Islam memandang pendidikan adalah sebagai bentuk ibadah
umat Islam yang menyebarkan nilai-nilai umum yang didasarkan pada
al-Qur‟an sebagai sumber dasar dan pokok dari berbagai cabang
disiplin ilmu pengetahuan, dan juga al-Hadis (Kurniawan dan Mahrus,
2011:276).
Hasan Langgulung (2004:51) merumuskan tujuan pendidikan
Islam dalam dua tahap, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Yang
dimaksud dengan tujuan umum adalah maksud atau perubahan-
perubahan yang dikehendaki yang diusahakan oleh pendidikan untuk
mencapainya. Tujuan ini dianggap kurang merata dan lebih dekat dari
tujuan tertinggi, tetapi kurang khusus jika dibandingkan dengan tujuan
khusus. Supaya lebih jelas dapat dikatakan bahwa tujuan tertinggi
pendidikan tidak tergantung pada institusi pendidikan tertentu, atau
pada tahap pendidikan tertentu, atau pada jenis pendidikan tertentu,
atau pada masa dan umur tertentu. Sedangkan pada tujuan umum dan
tujuan khusus ia dapat dikaitkan dengan institusi pendidikan tertentu,
dan masa atau umur tertentu.
a) Tujuan Umum Pendidikan Islam
Hasan Langgulung mengutip rumusan tujuan umum
pendidikan Islam dari Al-Abrasyi. Muhammad Athiyah al-
Abrasyi adalah seorang tokoh pendidikan yang hidup pada masa
pemerintahan Abd. Nasser yang memerintah Mesir pada tahun
1954-1970. Beliau adalah satu dari sederetan nama yang tidak
boleh dilupakan oleh para cendekiawan Arab dan muslimin.
Beliau adalah penulis tentang pendidikan keislaman dan
pemikiran, umurnya yang mendekati 85 tahun akan selalu terasa
pengaruhnya bagi generasi sesudahnya. Beliau dilahirkan pada
awal April tahun 1897 dan wafat pada tanggal 17 Juli 1981 (Al-
Abrasy, 1974:2). Al-Abrasyi dalam kajiannya tentang pendidikan
Islam telah menyimpulkan lima tujuan umum bagi pendidikan
Islam, yaitu :
1) Untuk mengadakan pembentukan akhlak yang mulia. Kaum
Muslimin dari dahulu kala sampai sekarang setuju bahwa
pendidikan akhlak adalah inti pendidikan Islam, dan bahwa
mencapai akhlak yang sempurna adalah tujuan pendidikan
yang sebenarnya.
2) Persiapan untuk kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.
Pendidikan Islam bukan hanya menitik beratkan pada
keagamaan saja, atau pada keduniaan saja, tetapi pada kedua-
duanya, sekali.
3) Persiapan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan segi
manfaat, atau lebih terkenal sekarang ini dengan nama
tujuan-tujuan vokasional dan profesional.
4) Menumbuhkan semangat ilmiah pada pelajar dan memuaskan
keinginan tahu (curiosity) dan memungkinkan ia mengkaji
ilmu demi ilmu itu sendiri.
5) Menyiapkan pelajar dari segi profesional, teknikal dan
pertukangan supaya dapat menguasai profesi tertentu, dan
keterampilan pekerjaan tertentu agar dapat ia mencari rezeki
dalam hidup disamping memelihara segi kerohanian dan
keagamaan.
b) Tujuan Khusus Pendidikan Islam
Sebagai seorang pemikir terakhir dari zaman keemasan
tamaddun Islam yang banyak menulis mengenai pendidikan,
terutama pada karyanya yang terkenal, yaitu Muqaddimah, Ibn
Khaldun membagikan tujuan-tujuan pendidikan itu kepada :
1) Mempersiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu
mengajarkan syiar-syiar agama menurut al-Qur‟an dan
sunnah, sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat,
sebagaimana halnya dengan potensi-potensi lain yang jika
telah mendarah daging maka ia seakan-akan menjadi fitrah.
2) Menyiapkan seseorang dari segi akhlak.
3) Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial.
4) Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
Dikatakannya bahwa mencari dan menegakkan hidupnya
mencari pekerjaan, sebagaimana ditegaskannya pentingnya
pekerjaan sepanjang hidup manusia, sedang pengajaran atau
pendidikan dianggapnya termasuk diantara keterampilan-
keterampilan itu.
5) Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran, sebab dengan
pemikiran seseorang itu dapat memegang berbagai pekerjaan
dan pertukangan atau keterampilan tertentu seperti telah
diterangkan di atas.
6) Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, di sini termasuklah
musik, syair, khat, seni bina dan lain-lain.
Tujuan akhir (ultimate aim) pendidikan dalam Islam adalah
pembentukan pribadi khalifah bagi anak didik yang memiliki fitrah,
roh di samping badan, kemauan yang bebas, dan akal (Langgulung,
2004:55).
Dalam proses pendidikan, tujuan akhir merupakan tujuan
tertinggi yang akan dicapai. Tujuan akhir pendidikan Islam
merupakan kristalisasi nilai-nilai ideal Islam yang diwujudkan dalam
pribadi anak didik. Oleh karena itu tujuan akhir itu harus meliputi
semua aspek yang terintegrasi dalam pola kepribadian yang ideal.
Dalam konsepsi Islam, pendidikan berlangsung sepanjang hayat
manusia. Oleh karena itu tujuan pendidikan Islam harus terefleksi
sepanjang kehidupan manusia. Dengan demikian tujuan akhir
pendidikan Islam pada dasarnya sejajar dengan tujuan hidup manusia
dan peranannya sebagai makhluk ciptaan Allah. Sebagaimana kata
Hasan Langgulung: bahwa “segala usaha untuk menjadikan manusia
menjadi „abid (penyembah Allah) inilah tujuan tertinggi pendidikan
Islam” (Kholiq dkk., 1999:47).
Tujuan utama dari pendidikan Islam seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya dapat dirumuskan bahwa pendidikan Islam
sesungguhnya menjadikan peserta didik memiliki sifat-sifat seperti
halnya seorang khalifah. Seorang khalifah hendaknya memiliki
akhlakul karimah atau akhlak yang baik sehingga dapat memiliki
hubungan sosial yang baik pula dalam kehidupan bermasyarakat atau
dapat dikatakan bahwa pendidikan adalah proses pembentukan
karakter pribadi peserta didik.
Hasan Langgulung (2004:29) menjelaskan ciri-ciri seorang
khalifah menururt Al-Qur‟an, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Fitrah
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah, ia tidak mewarisi dosa
karena Nabi Adam a.s.meninggalkan syurga.
b. Roh
Interaksi antara badan dan roh menghasilkan khalifah. Inilah dua
sifat yang membedakan khalifah dari makhluk yang lain.
c. Kebebasan kemauan
Kebebasan untuk memilih tingkahlakunya sendiri. Khalifah itu
menerima dengan kemauan sendiri amanah yang tidak dapat
dipikul oleh makhluk-makhluk lain.
d. Aqal
Aqal dapat menjadikan manusia membuat pilihan antara yang
betul dan yang salah.
Selain itu, dapat memiliki kemampuan pengetahuan dan
keterampilan yang handal sehingga dapat meraih kesuksesan dan
kebahagiaan di dunia. Akan tetapi, yang paling penting dari itu semua
adalah seorang khalifah harus memiliki keimanan yang kuat, yang
memiliki kesadaran penuh bahwa dirinya merupakan makhluk dan
sudah seharusnya jika makhluk adalah penyembah Sang Pencipta
yaitu Allah SWT. dengan cara beribadah sesuai yang telah ditetapkan.
Hal itulah yang akan mengantarkannya pada kebahagiaan di akhirat.
Pendapat Hasan Langgulung tentang tujuan pendidikan Islam
senada dengan hasil dari World Conference on Muslim Education
yang didefinisikan sebagai berikut:
“Education should aim at the balanced growth of the total
personality of man through the training of man‟s spirit,
intellect, the rational self, feelings and bodily sense.
Education should therefore cater for the growth of man in
all its aspects towards goodness and the attainment of
perfection. The ultimate aim of Muslim education lies in the
realization of complete submission to Allah on the level of
individual, the comunity of large.”(Langgulung, 2004:133)
Pendidikan Islam seharusnya bertujuan untuk mencapai
pertumbuhan yang seimbang dari seluruh kepribadian manusia
melalui latihan spiritual, kecerdasan, perasaan, dan pancaindera.
Oleh karenanya pendidikan semestinya dapat memberikan
pelayanan pada pertumbuhan manusia dalam semua aspek
kehidupannya yang meliputi aspek spiritual, intelektual, imajinasi,
jasmaniah, ilmiah, linguistik, baik individual maupun kolektif,
serta mendorong ke arah kebaikan dan pencapaian kesempurnaan
agar terlaksana aktivitas pengabdian kepada Allah SWT.
Pemikiran Hasan Langgulung sejalan dengan Zakiah Dratjat
(1993:95) yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan dalam
Islam secara besarnya adalah untuk membina manusia agar
menjadi hamba Allah yang saleh dengan seluruh aspek
kehidupannya, perbuatan, pikiran dan perasaannya.
Potensi manusia sebagai karunia Tuhan itu haruslah
dikembangkan, sedang pengambangan potensi sesuai dengan petunjuk
Tuhan itulah yang disebut „ibadah. Jadi kalau tujuan kejadian manusia
adalah ibadah, dalam pengertian pengembangan potensi-potensi, maka
kita lihat di sini bahwa ia bertemu dengan tujuan tertinggi pendidikan
Islam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu mencipta
manusia abid. Manusia yang mengaktualisasikan segala potensi yang
dikaruniakan Tuhan akan mencapai derajat yang paling tinggi sebagai
waliy (Langgulung, 1991:362).
2. Kurikulum Pendidikan Islam
Kurikulum merupakan salah satu komponen pendidikan
yang memiliki peran yang sangat penting dalam proses pendidikan.
Kurikulum dapat dikatakan sebagai acuan maju tidaknya proses
pendidikan yang telah direncanakan. Hasan Langgulung
(2002:241) mendefinisikan perkataan “kurikulum”, berasal dari
bahasa latin “curriculum” yang berarti suatu kursus, terutama suatu
kursus di Universitas. Beliau menyimpulkan definisi kurikulum
dari beberapa pemikir-pemikir pendidikan bahwa, “Kurikulum
adalah sejumlah pengalaman pendidikan, kebudayaan, sosial,
olahraga dan kesenian yang disediakan oleh sekolah bagi murid-
muridnya di dalam dan di luar sekolah dengan maksud
menolongnya untuk berkembang secara menyeluruh dalam segala
segi dan merubah tingkahlaku mereka sesuai dengan tujuan-tujuan
pendidikan”.
Hasan langgulung (2004) menambahkan bahwa menurut
konsep yang luas dan menyeluruh, yang merupakan sumber
kurikulum pada zaman modern ini, maka kurikulum itu
mempunyai empat unsur atau aspek utama, yaitu:
a) Tujuan-tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh kurikulum
itu.
b) Pengetahuan (knowledge), ilmu-ilmu, data-data, aktivasi-
aktivasi dan pengalaman-pengalaman darimana terbentuk
kurikulum itu.
c) Metode dan cara-cara mengajar dan bimbingan yang diikuti
murid-murid untuk mendorong mereka belajar dan membawa
mereka ke arah yang dikehendaki dan tujuan yang
dirancangkan.
d) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam
mengukurdan menilai kurikulum dan hasil proses pendidikan
yang dirancangkan dalam kurikulum.
Atau dengan kata lain yang lebih ringkas lagi kurikulum pada
pengertiannya yang luas terdiri dari tujuan-tujuan, kandungan,
metode mengajar dan metode penilaian.
Dalam keterangan lain Hasan Langgulung menyebutkan,
kurikulum adalah serangkaian kegiatan belajar mengajar yang
direncanakan dan diprogram secara terperinci bagi peserta didik di
bawah bimbingan sekolah, baik di luar maupun di dalam sekolah
demi mencapai tujuan yang diinginkan (Kurniawan dan
Mahrus,2011: 278).
Dari definisi yang telah dijelaskan sebelumnya, Hasan
Langgulung (2004) mengemukakan bahwa kurikulum berfungsi
sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sehubungan
dengan itu, perlu adanya pembaruan dan pengembangan kurikulum
pada setiap saat karena pengembangan kurikulum merupakan
upaya konstruktif untuk mencapai tujuan pendidikan.
Hasan Langgulung menangkap suatu kondisi yang sangat
memprihatinkan dalam dunia pendidikan, beliau memandang perlu
mengubah paradigma ilmu pengetahuan yang telah kehilangan
identitas Islam melalui proses islamisasi ilmu terhadap salah satu
komponen dalam pendidikan Islam yaitu kurikulum. Hasan
menguraikan proses islamisasi ilmu melalui penyusunan kembali
dasar-dasar kurikulum oleh karena pendidikan Islam selama ini
telah kehilangan makna dan jauh dari tujuan pendidikan yang
diharapkan. Menurutnya proses islamisasi ilmu tidak hanya fokus
pada segi ilmu pengetahuan saja, tetapi juga meliputi tiga
komponen kurikulum yakni tujuan pendidikan, metodologi
pengajaran dan penilaian (Langgulung, 2002:296).
Salah satu gagasan Hasan Langgulung dalam pendidikan
Islam di Indonesia adalah tentang konsep Islamisasi ilmu.
Islamisasi ilmu pengetahuan sebenarnya telah ada sebelum
dikemukakan oleh Hasan Langgulung. Beliau bukanlah satu-
satunya ilmuwan pendidikan yang mengangkat gagasan tentang
Islamisasi ilmu karena beberapa ilmuwan juga telah
mengemukakannya.
Islamisasi ilmu pengetahuan pertama kali dilontarkan oleh
Syed Muhammad Naquib al-Attas. Definisi Islamisasi ilmu dalam
konsepsi al-Attas lahir dari pengetahuan dan pemahamannya
terhadap konsep Islamisasi ilmu secara umum sebagaimana yang
terjadi dalam sejarah Islam. Al-Attas mendefinisikan Islamisasi
ilmu secara umum yaitu: Islamisasi adalah pembebasan manusia,
pertama dari tradisi magis, mitos, animis, dan faham kebangsaan
dan kebudayaan pra-Islam kemudian dari kendali sekuler atas nalar
dan bahasanya (Al-Attas, 1996:95).
Islamisasi merupakan upaya untuk mengembalikan kembali
sifat-sifat manusia sesuai yang digariskan dalam Islam. Beberapa
hal yang melekat dalam diri manusia sendiri yang sering disebut
tradisi ataupun kebiasaan seperti adat umat manusia sebelum Islam
datang perlu untuk di-Islamisasi. Ditambah pada masa sekarang
dimana paham sekuler yang semakin berkembang, dan jika terus
seperti itu akan mengendalikan sifat manusia itu sendiri.
Islamisasi ilmu pengetahuan pada dasarnya adalah suatu
respon terhadap krisis masyarakat modern ynag disebabkan karena
pendidikan Barat yang bertumpu pada suatu pandangan dunia yang
bersifat materialistis dan relavistis, menganggap bahwa pendidikan
bukan untuk membuat manusia bijak, yakni mengenali dan
mengakui posisi masing-masing dalam tertib realitas, tetapi
memandang realitas sebagai suatu yang bermakna secara material
bagi manusia (Nata, 2003:126-127).
Untuk mencapai kurikulum yang diharapkan, menurut
Hasan Langgulung (1988:142) kurikulum pendidikan Islam
hendaknya mengacu pada dasar-dasar pokok sebagai berikut:
a. Keutuhan, kurikulum pendidikan Islam harus utuh. Proses ini
menunjukkan bahwa pendidikan Islam harus memeperhatikan
seluruh aspek manusia: badan, jiwa, akal dan rohnya.
Sedangkan dari segi pelaksanaannya, harus meliputi segala
aktivitas pendidikan formal, non-forlam dan informal seperti
pendidikan di rumah, masjid, pekerjaan, lembaga sosial dan
budaya.
b. Keterpaduan, kurikulum pendidikan Islam harus memedukan
berbagai macam komponen dari segala jenis dan tahap
pendidikan, memadukan individu dengan masyarakat luas, dan
memadukan individu itu sebdiri dengan kepribadiannya: jasad,
jiwa, akal dan roh yang berkaitan secara organik dan berbaur
satu dengan yang lain sehingga apabila terjadi perubahan pada
salah satu komponennya, maka akan berlaku perubahan pada
komponen-komponen yang lain.
c. Kesinambungan, kurikulum yang digunakan hendaknya
memiliki kesinambungan dari segi umur, jenjang persekolahan
dan suasana. Sistem pembelajarannya dibangun dari yang
mudah sampai pada yang sulit yang diberikan secara terus
menerus dan antara materi yang satu dengan yang lain saling
terkait.
d. Keaslian, kurikulum pendidikan Islam hendaknya mengambil
komponen, tujuan, kandungan dan metodologi dari ajaran
Islam tanpa menolak unsur yang datang dari luar selama tidak
bertentangan dengan ruh ajaran Islam. Pendidikan Islam harus
memberikan prioritas terhadap pendidikan kerohanian yang
diajarkan oleh Islam, mengangkat derajat manusia tanpa
meninggalkan alam kebendaan.
e. Bersifat ilmiah, kurikulum pendidikan Islam hendaknya
memandang sains dan teknologi sebagai salah satu komponen
terpenting dari peradaban modern, hanya dalam
mengaplikasikannya harus sesuai dengan semangat Islam.
f. Bersifat praktikal, kurikulum pendidikan Islam tidak hanya
mengacu pada tataran teoritis saja, tetapi harus mengandung
nilai-nilai praktikal yang dapat dimanfaatkan langsung dalam
kehidupan sehari-hari. Tugas pendidikan Islam selain
membentuk manusia yang beriman pada ajaran Islam juga
membentuk pekerja produktif dalam bidang ekonomi dan
individu yang aktif dalam masyarakat.
g. Kesetiakawanan, diantara ajaran yang terpenting dalam Islam
adalah kerjasama, persaudaraan dan keterpaduan di kalangan
kaum Muslim. Kurikulum pendidikan Islam harus
menenamkan dan menumbuhkan rasa setia kawan dan
persaudaraan di kalangan kaum muslimin, dan antara pendidik
dan peserta didik.
h. Keterbukaan, dalam kurikulim pendidikan Islam harus
ditanamkan rasa kesaman hak antar individu dan
menghilangkan rasa fanatisme karena dalam Islam tidak ada
etnisitas, hanya takwa dan iman yang membedakan seseorang.
Pendidikan Islam adalah pendidikan kemanusiaan yang berdiri
di atas persaudaraan seiman dan perutusan untuk umat manusia
seluruhnya.
Hasan Langgulung (2004:137) Langkah selanjutnya adalah
penjenisan kembali (reclassification) pengetahuan yang ada ini
berdasar pada dua sumber, wahyu dan akal. Dan selanjutnya
menamakannya pengetahuan abadi (perennial) dan pengetahuan
diperoleh (acquired) sebagai berikut :
“Planning of education to be based on the classification of
knowledge into two categories:
(a) “Perennial” knowledge derived from the Quran and The
Sunnah meaning all Sharia – oriented knowledge
relevant and related to them, and
(b) “acquired” knowledge susceptible to quantitative growth
and multiplication, limited variavons and cross-cultural
borrowings as long as consistency with the Sharia as the
sources of value is maintained”.
Pengertian bentuk pertama (perennial) diterima melalui
wahyu yang terdapat dalam Al Qur‟an dan Hadits, sedang bentuk
kedua (acquired) diperoleh melalui imajinasi dan pengalaman-
indera. Hanya pengetahuan bentuk terakhir inilah yang kita pelajari
melalui falsafah dan model Barat, sedang wahyu hanya diajarkan
di sekolah-sekolah agama atau sekolah-sekolah non-formal,
ataupun ditempelkan dalam kurikulum sebagai mata pelajaran
tambahan, bukan dasar, padahal menurut konsepsi Islam agar
kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan
mata pelajaran yang lain.
3. Metode Pendidikan Islam
Metode bermakna cara atau jalan yang dilalui untuk
mencapai tujuan pendidikan. Tiga aspek pokok yang berkaitan
dengan seorang guru yang berdedikasi yang penuh kesadaran
tentang tenggungjawabnya sebagai seorang Muslim terhadap
orang-orang yang ada di bawah tanggungjawabnya.
Hasan Langgulung (2004:36) mengemukakan bahwa
menggunakan metode yang akan digunakan harus memperhatikan
aspek-aspek sebagai berikut :
a. Aspek pertama tentang kaitan metode pendidikan dengan
tujuan utama pendidikan Islam untuk membina karakter.
Manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah yang baik, sudah
tentu kepercayaan akan baiknya fitrah akan mempunyai
implikasi praktikal terhadap metode-metode yang akan
digunakan oleh guru. Tidak cukup seseorang guru hanya
berusaha melindungi murid-muridnya dari pengaruh-
pengaruh buruk dan menunggu agar sifat-sifat asalnya itu
berkembang sendiri. Seorang pendidik Islam
bertanggungjawab mengasuh seorang murid dengan cara-cara
tertentu. Peranannya bukan hanya mengusahakan suasana
pengajaran dan membiarkan pelajar menentukan sendiri
pilihan tanpa mempertimbangkan akibat pilihan itu. Dia tidak
boleh duduk diam sedang murid-muridnya memilih jalan
yang salah. Ini berbeda sekali dengan sikap Rosseau, yang
membincangkan masa kanak-kanak awal, yang mengatakan :
“....pendidikan permulaan seharusnyalah semata-
mata bersifat negatif. Ia terdiri bukan dari
mengajarkan kebaikan dan kebenaran, tetapi
menjaga jiwa dari dosa dan fikiran dari kesalahan".
b. Terkait dengan aspek kedua, yaitu metode-metode yang
digunakan dalam pendidikan Islam, telah diterangkan juga di
atas bahwa seorang guru tidak dapat memaksa muridnya
dalam cara yang bertentangan dengan fitrahnya. Salah satu
cara ialah lemah lembut, seperti dinyatakan dalam berbagai
ayat Al-Qur‟an dan Hadis dalam menyebarkan dakwah.
Tetapi guru-guru yang ingin agar pengajaran yang diberikan
kepada murid-muridnya itu mudah diterima, tidaklah cukup
hanya bersifat lemah-lembut saja, ia haruslah memikirkan
metode-metode yang akan digunakannya, seperti memilih
waktu yang tepat, memulai dengan yang mudah, kemudian
yang susah, mempelbagaikan metode yang digunakan dalam
mengajarkan suatu mata pelajaran, bercerita, berulang-ulang,
menanyakan soalan-soalan deduksi, dan lain-lain lagi
metode-metode yang digunakan ahli-ahli pendidikan Islam
dari zaman dahulu lagi yang memang ada bukti-buktinya
dalam ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Rasulullah SAW.
c. Aspek ketiga daripada metode pendidikan yang perlu
perhatian kita adalah bagaimana guru menggalakkan murid-
muridnya belajar menerima ganjaran dan hukuman.
Berkesannya ganjaran dan hukuman bertitik tolak dari fakta
bahwa mereka sangat berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan
individu. Seorang murid yang menerima ganjaran
memahaminya sebagai suatu tanda penerimaan terhadap
pribadinya, yang menyebabkan ia merasa tenteram. Sedang
ketentraman itu adalah salah satu kebutuhan asas dari segi
psikologi, dan hukuman sangat dibenci sebab ia mengancam
ketentraman. Jadi metode pendidikan yang kita kemukakan di
sini mencakup pendidikan dalam pengertian yang luas, yaitu
formal, non-formal, dan informal. Dan bila pendidikan
diartikan sebagai usaha untuk mengembangkan potensi-
potensi yang baik dan mencegah potensi-potensi yang buruk,
maka tepatlah ganjaran dan hukuman sebagai alatnya.
Hasan Langgulung (2011:274) menegaskan pendidikan
sebagai mengubah dan memindahkan nilai-nilai kebudayaan
kepada setiap individu masyarakat melalui pelbagai proses. Proses
pemindahan tersebut ialah pengajaran, latihan dan indoktrinasi.
Pemindahan nilai-nilai melalui pengajaran ialah memindahkan
pengetahuan dari individu kepada individu yang lain; dan latihan
ialah membiasakan diri melakukan sesuatu bagi memperoleh
kemahiran. Sementara, indoktrinasi juga menjadikan seseorang
dapat meniru apa yang dilakukan oleh orang lain. Ketiga aspek ini
berjalan serentak dalam masyarakat primitif dan modern.
Hasan Langgulung memberikan penjelasan tentang metode
pengajaran adalah jalan untuk mencapai tujuan. Jadi jalan itu
bermacam-macam, begitu juga dengan metode. Tidak ada metode
terbaik untuk segala pengajaran. Mungkin ada yang baik untuk
mata pelajaran tertentudan oleh guru tertentu tetapi belum tentu
untuk mata pelajaran dan guru yang berbeda (Langgulung,
2002:72).
Di dalam pendidikan agama Islam terdiri dari beberapa
unsur baik dari segi kognitif, afektif maupun psikomotorik. Seperti
misalnya pendidikan akhlak yang merupakan salah satu aspek
afektif dalam pendidikan agama Islam tidak dapat diajarkan hanya
dengan metode kognitif seperti ceramah.
Hal tersebut menegaskan pendapat Hasan Langgulung
(2002:74) bahwa metode pengajaran itu sangat kondisional dan
situasional, artinya seorang guru bisa memilih dan menggunakan
metode yang ada seperti:
a. Metode ceramah
b. Metode tanya jawab
c. Metode diskusi
d. Metode pemberian tugas belajar(resitasi)
e. Metode demonstrasi dan eksperimen
f. Metode kelompok
g. Metode sosio drama dan bermain peran
h. Metode karya wisata
i. Metode drill
j. Metode team teaching
Metode-metode tersebut haruslah diaplikasikan dengan
menyesuaikan materi yang akan diajarkan dengan waktu yang
ditentukan. Selain itu, untuk memotivasi para peserta didik dan
mencegah hal yang tidak diinginkan dalam pembelajaran perlu
adanya apresiasi dan hukuman sebagai salah satu cara agar peserta
didik dapat mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan.
BAB IV
ANALISIS KOMPARATIF KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN LANGGULUNG
A. Perbandingan pada Aspek Tujuan Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung
Mengenai pemahaman pendidikan Islam dari M. Natsir, pendidikan
dalam pengertian beliau merupakan suatu bimbingan atau pengarahan dari
para pendidik bukan hanya dari segi jasmani seperti kemampuan
intelektual, keterampilan, ataupun ketangkasan dan keahlian dalam suatu
bidang tertentu yang diberikan kepada peserta didik, akan tetapi juga dari
segi rohaninya seperti kecerdasan spiritual dan kecerdasan emosional juga
merupakan hal-hal yang seharusnya diberikan sebagai suatu
keseimbangan. Pendidikan dari kedua segi tersebut pada hakikatnya adalah
suatu cara yang digunakan agar para peserta didik dapat mengembangkan
seluruh potensi yang dimiliki sebagaimana sifat-sifat kemanusiaan yang
seharusnya dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat dikatakan menjadi
manusia yang utuh baik jasmani maupun rohani.
Dari definisi yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil salah
satu hal terpenting dalam pendidikan yang tidak boleh diabaikan, yaitu
mengenai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. Dari uraian pengertian
pendidikan tersebut dapat dikatakan bahwa tujuan dari pendidikan adalah
untuk melengkapi dan menyempurnakan sifat-sifat kemanusiaan dari
peserta didik. Sifat-sifat tersebut sebenarnya telah ada dalam diri masing-
masing peserta didik, akan tetapi mereka belum bisa untuk mengerti
sepenuhnya. Maka tugas dari pendidik yaitu agar membimbing dan
mengarahkan agar peserta didik dapat menjadi pribadi-pribadi yang
memahami segala potensi dalam dirinya dan dapat menggunakannya untuk
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Pada akhirnya pendidikan merupakan suatu bekal bagi peserta
didik untuk melalui kehidupan yang akan dijalani. Maka tidak salah jika
dalam pandangan M. Natsir tujuan dari pendidikan itu adalah tujuan hidup
dari setiap peserta didik itu sendiri. Beliau memperkuat pendapatnya
dengan mengutip dari ayat Al-Qur‟an surat Adz-Dzariat(56) yang artinya
“...dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan untuk
menyembah kepada-Ku.” Dari ayat tersebut dapat terlihat jelas apa yang
menjadi tujuan penciptaan manusia atau tujuan hidup manusia itu sendiri,
Yaitu agar setiap makhluk menyembah hanya kepada Allah semata,
Pencipta Alam Semesta.
Sebagai seorang hamba, manusia seharusnya dapat melaksanakan
apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala yang dilarang. Dalam
Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 177 bahwa seorang hamba adalah yang
beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab,
nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan
pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan)
hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar
dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Untuk dapat
melaksanankan semua itu maka diperlukan ilmu dan salah satu jalan
mendapatkan ilmu adalah melalui pendidikan.
Dengan melihat sejarah bahwa Natsir yang hidup dari masa awal
kemerdekaan hingga Orde Baru di mana sistem pendidikannya masih
merupakan warisan dari para penjajah, maka beliau ingin mengubah
orientasi pendidikan yang bisa dibilang sekuler tersebut agar dapat
terintegrasi dengan pendidikan Islam. Oleh karena itu, Natsir merumuskan
tujuan dari pendidikan Islam agar kembali pada ajaran-ajaran Islam.
Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
tujuan pendidikan Islam adalah membentuk peserta didik yang memiliki
akhlak sebagai seorang hamba Allah yang senantiasa patuh dan taat
dengan segala yang diperintahkan Allah SWT serta sebisa mungkin
menghindari dan berusaha menjauhi apa saja yang dilarang oleh Allah
SWT. selain itu, peserta didik juga harus memiliki penguasaan ilmu
pengetahuan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki
sehingga menjadi lulusan yang dapat meraih kesuksesan di dunia. Dengan
memiliki kedua hal tersebut diharapkan peserta didik menjadi makhluk
yang berada dalam keseimbangan baik jasmani maupun rohani serta ilmu
maupun imannya.
Sedangkan pendidikan Islam dalam perspektif Hasan Langgulung,
beliau mengartikan pendidikan sebagai proses untuk menyiapkan peserta
didik sebagai generasi penerus yang akan menggantikan pendidik untuk
meneruskan pengetahuan dan nilai-nilai yang telah diperolehnya kepada
generasi setelahnya. Hal ini berarti bahwa pendidikan merupakan suatu
alat untuk mentransfer pengetahuan dan nilai-nilai dari pendidik kepada
peserta didik secara berkelanjutan atau tidak hanya pada satu generasi saja.
Dalam pengertian tersebut, dalam proses pendidikan tidak hanya
memberikan pemahaman pengetahuan dalam ranah kognitif saja.
Pendidikan juga merupakan salah satu alat membentuk kepribadian peserta
didik dengan nilai-nilai karakter baik yang diajarkan secara langsung oleh
pendidik melalui pembelajaran maupun secara tersirat dalam sikap dan
kepribadian pendidik. Figur pendidik dalam proses pembentukan karakter
peserta didik memiliki peran yang besar. Hal tersebut dikarenakan oleh
pola pikir peserta didik yang secara langsung ataupun tidak langsung
menjadikan pendidik sebagai model figur yang telah mencapai tujuan dari
pendidikan tersebut.
Terkait dengan tujuan pendidikan Islam, Hasan langgulung
membagi tujuan pendidikan Islam menjadi dua, yaitu tujuan umum dan
tujuan khusus. Tujuan khusus lebih kepada memperdalam apa yang
dijabarkan dalam tujuan umum. Meskipun kedua tujuan tersebut memiliki
konteks yang berbeda, akan tetapi pada hakikatnya memiliki substansi
yang sama yaitu tujuan tertinggi dari pendidikan Islam itu sendiri. Secara
ringkas, tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan manusia sebagaimana
tujuan Allah menciptakannya, yaitu sebagai khalifah yang menyembah
hanya kepada Allah. Maka dari itu pendidikan Islam memiliki peranan
penting dalam membentuk karakter peserta didik menuju kesempurnaan
sifatnya sebagai seorang khalifah yang memiliki akhlakul karimah.
Disamping itu agar memperoleh kesuksesan di dunia, pendidikan
Islam menyiapkan peserta didik dari segi sosiologis untuk dapat hidup
dalam masyarakat sosial dengan baik. Pada dasarnya manusia merupakan
makhluk sosial yang tidak dapat hidup seorang diri, di sinilah fungsi
pendidikan yang selain menciptakan lingkungan pembelajaran juga
memiliki andil besar dalam mengasah sikap sosial dari peserta didik. Lebih
lanjut bahwa peserta didik disiapkan untuk memiliki keterampilan ataupun
keahlian, karena dengan itu seseorang dapat memiliki berbagai pekerjaan.
Maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Islam yang
digagas oleh Hasan Langgulung adalah membentuk peserta didik menjadi
khalifatullah fil ardh sebagaimana tujuan Allah menciptakan manusia yang
dapat mengelola segala hal yang berhubungan dengan kehidupan di bumi.
Manusia dapat dikatakan sebagai pemimpin diantara makhluk yang lain
karena Allah SWT menciptakannya dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Selain diberikan roh dan badan, manusia dianugerahi kemauan yang bebas
dan dengan berpikir menggunakan akalnya manusia memiliki kemampuan
yang lebih. Untuk dapat menjadi apa yang dicita-citakan pendidikan Islam
yaitu sebagai khalifah, maka peserta didik harus siap dari segi keagamaan
termasuk di dalamnya adalah pendidikan akhlaknya, siap dalam sosial
bermasyarakatnya, serta siap dari segi keterampilannya dalam rangka
mencari dan menegakkan hidupnya melalui pekerjaan yang akan
didapatkan.
Dengan melihat pemikiran pendidikan dari kedua tokoh tersebut
dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan Islam dari Hasan Langgulung
lebih mudah dipahami secara rinci karena beliau menjabarkannya dengan
konkrit sampai ke substansinya. Sedangkan Mohammad Natsir
menjelaskan tujuan pendidikan Islam lebih umum. Akan tetapi, terdapat
persamaan dari kedua pemikiran ini yaitu bahwa tujuan pendidikan Islam
adalah untuk menjadikan peserta didik sebagai makhluk yang senantiasa
menyembah Allah sebagai penciptanya dalam arti luas.
Fokus utama dari rumusan tujuan pendidikan Mohammad Natsir
dan Hasan langgulung terletak pada penekanan pendidikan akhlak agar
peserta didik memiliki akhlak yang mulia sehingga dapat meningkatkan
keimanan dari peserta didik itu sendiri. Selain itu, pendidikan Islam yang
diinginkan tidak mengesampingkan kehidupan dunia dengan memiliki
keterampilan khusus sehingga bisa mendapatkan pekerjaan yang
diinginkan sebagai jalan rezeki baginya.
B. Perbandingan pada Aspek Kurikulum Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung
Mengenai kurikulum pendidikan Islam yang digagas oleh Natsir,
beliau tidak mendefinisikan secara langsung mengenai kurikulum
pendidikan Islam. Dalam menyusun kurikulum pendidikan Islam beliau
mengemukakan bahwa tidak ada pemisahan antara ilmu agama dan ilmu
umum seperti yang pernah terjadi pada pendidikan di masa penjajahan dan
awal kemerdekaan karena hal tersebut merupakan sistem dari sekularisme
barat. Untuk mencapai tujuan pendidikan Islam seperti yang diinginkan
perlu adanya integrasi antara ilmu umum dan ilmu agama dengan
mempertimbangkan kebutuhan sesuai dengan potensi yang dimiliki peserta
didik. Dengan begitu, akan tertanam sikap kemandirian bagi setiap peserta
didik dalam menyikapi realitas kehidupannya.
Dalam kurikulum pendidikan saat ini konsep integrasi ilmu
tersebut telah berjalan dengan diberlakukannya kurikulum 2013.
Kurikulum tersebut mengintegrasikan pelajaran-pelajaran yang
sebelumnya berdiri sendiri ke dalam tema-tema dan subtema-subtema
tertentu sesuai dengan muatan pelajaran dan tujuan dari kurikulum itu
sendiri.
Beliau meletakkan tauhid sebagai dasar atau landasan dalam
pendidikan Islam yang akan diselenggarakan. Hal ini merupakan sebuah
keharusan karena jika dilihat dalam sudut pandang agama, Islam memiliki
ajaran-ajaran yang dilaksanankan oleh pemeluknya yang mana ajaran-
ajaran tersebut pada intinya bermuara pada ketauhidan makhluk kepada
Allah SWT. Tuhan semesta alam ini. Beliau memberikan contoh tentang
betapa pentingnya ketauhidan bagi seorang makhluk dalam kehidupan
nyata. Sebagai makhluk, manusia seharusnya sadar bahwa dia tidak
memiliki daya dan upaya selain daya dan upaya yang telah Allah berikan.
Allah merupakan segalanya bagi manusia, termasuk tempat bergantung
dan berserah diri karena pada hakikatnya apa yang ada pada diri manusia
bukanlah milik manusia itu, akan tetapi adalah milik Sang Pencipta yaitu
Allah SWT.
Natsir menambahkan tentang penguasaan bahasa sebagai alat untuk
mendapatkan pengetahuan yang lebih luas lagi seperti pengetahuan yang
terdapat di negeri orang. Dengan bahasa, pemahaman tentang pengetahuan
yang belum pernah didapatkan dari para ahli di seluruh dunia akan lebih
mudah dimengerti. Hal tersebut disebabkan karena pada intinya
pendidikan adalah proses komunikasi yang terjalin antara pendidik dan
peserta didik, bahasa merupakan sarana komunikasi yang mudah untuk
berkomunikasi dengan orang dari budaya yang lain atau daerah yang lain,
bahkan negara di belahan dunia yang lain.
Sedangkan Hasan Langgulung mendefinisikan kurikulum sebagai
perencanaan program pendidikan bagi peserta didik yang dibuat dan
diawasi oleh sekolah secara penuh untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan. Hal ini berarti bahwa setiap kegiatan pendidikan yang
diselenggarakan telah direncanakan secara seksama dari pelaksanaan
belajar mengajar hingga pengawasan harus diperhatikan dan dilaksanakan
dengan baik oleh sekolah dalam rangka mencapai tujuan pendidikan yang
diinginkan.
Lebih lanjut Hasan Langulung menjelaskan bahwa kurikulum
memiliki unsur-unsur yang terdapat dalamnya diantaranya yaitu tujuan,
materi, metode dan penilaian. Beliau mengemukakan bahwa kurikulum
berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan. Sehubungan
dengan itu, perlu adanya pembaruan dan pengembangan kurikulum pada
setiap saat karena pengembangan kurikulum merupakan upaya konstruktif
untuk mencapai tujuan pendidikan.
Berbicara tentang ilmu, sumber utama ilmu sendiri merupakan
berasal dari Sang Pencipta ilmu itu sendiri yaitu Allah SWT. Akan tetapi
secara garis besar sumber ilmu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu yang
berasal dari wahyu dan akal atau yang selanjutnya dinamakan pengetahuan
abadi dan pengetahuan yang diperoleh.
Pengetahuan abadi yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang
berasal dari Al-Qur‟an dan Hadis. Kedua sumber ilmu tersebut merupakan
sumber ilmu yang akan terus digunakan sepanjang hidup manusia bahkan
setelah meninggalkan dunia. Akan tetapi pada masa Hasan Langgulung,
pengetahuan ini masih diajarkan hanya di sekolah agama atau pondok
pesantren dan sekolah non-formal.
Sedangkan pengetahuan yang diperoleh merupakan hasil dari
pemikiran dengan menggunakan akal. Pengetahuan ini mengharuskan kita
untuk mencari pengetahuan yang belum pernah kita ketahui. Pengetahuan
ini telah didapatkan di sekolah-sekolah umum yang setiap hari dipelajari.
Hal ini menjadi perhatian karena tidak sesuai dengan konsepsi
Islam dalam pendidikan. Pendidikan agama yang masih dianggap hanya
sebagai ilmu tambahan dan sebagai pelengkap, sedangkan ilmu-ilmu
seperti sosiologi, matematika, biologi, fisika dan kimia menjadi dasar
dalam pendidikan kita. Agar sesuai dengan konsepsi Islam, maka selain
ilmu-ilmu pengetahuan yang telah disebutkan sebelumnya tidak boleh
meninggalkan ilmu agama sebagai dasar dalam pendidikan agar tercapai
tujuan pendidikan yang diinginkan. tidak boleh meninggalkan salah
satunya, baik ilmu pengetahuan maupun ilmu agama katena keduanya
memiliki perannya masing-masing dalam kehidupan manusia.
Hasan Langgulung mengungkapkan konsep Islamisasi ilmu yang
merupakan respon dari penolakan terhadap pendidikan Barat yang bersifat
materialistis dan relavistis atau dapat diartikan sebagai sifat yang
memandang realitas sebagai sesuatu yang bermakna secara material bagi
manusia. Sifat-sifat tersebut tidak mengakui sesuatu yang tidak bermateri
sebagai suatu realitas. Hasan Langgulung ingin mengembalikan
pemahaman pendidikan pada ajaran Islam yang membuat manusia
mengenali dan mengakui posisi masing-masing baik itu yang bermateri
maupun yang tidak dalam realitasnya.
Maka dari itu, melalui pendidikan agama Islam diperlukan dalam
menjawab respon tersebut. Dalam hal ini beliau mengaitkan dengan isi
kurikulum, dalam pendidikan seharusnya tidak ada pemisahan antara ilmu
umum dan ilmu agama. Hal itu dikarenakan menurut konsepsi Islam agar
kurikulum itu bersifat Islam haruslah konsep Islam berpadu dengan mata
pelajaran yang lain.
Konsep Islamisasi ilmu yang digagas oleh Hasan Langgulung
merupakan Islamisasi ilmu yang bersifat modern dengan merumuskan
kembali kurikulum yang telah kehilangan jiwa Islamnya agar kembali
sejalan dengan konsepsi Islam.
Dalam merumuskan konsep kurikulum harus dimulai dari dasar-
dasar kurikulum itu sendiri agar sesuai dengan tujuan pendidikan yang
diinginkan. Hal ini berarti proses Islamisasi ilmu tidak hanya dilakukan
pada materi pendidikannya saja, akan tetapi juga pada komponen-
komponen kurikulum yang lain seperti tujuan pendidikan, metode
pendidikan dan penilaian.
Dengan adanya Islamisasi ilmu tersebut diharapkan kurikulum
mampu menyentuh seluruh potensi peserta didik dan seluruh aspek
kehidupan manusia dalam upayanya mencapai tujuan pendidikan Islam.
Dari gagasan kurikulum pendidikan Islam yang dikemukakan oleh
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung, keduanya memiliki kesamaan
bahwa tidak ada pemisahan atau dikotomi ilmu pengetahuan dengan ilmu
agama. Keduanya harus berjalan bersamaan dalam pendidikan agar dapat
mencapai tujuan pendidikan Islam yang diinginkan.
Perbedaan dari pemikiran keduanya tentang kurikulum adalah
bahwa Natsir menginginkan agar ilmu agama bisa memiliki tempat dalam
dunia pendidikan sehingga tidak semakin terbawa oleh arus sekularisme
dengan cara mengintegrasikan antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan.
Sedangkan Hasan Langgulung tidak hanya sebatas mengintegrasikan
kedua ilmu tersebut dari segi materi pendidikan saja, tetapi juga seluruh
aspek kurikulum. Disamping itu, adanya upaya untuk mengembalikan
sistem pendidikan sesuai dengan konsep Islam.
C. Perbandingan pada Aspek Metode Pendidikan Islam Menurut
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung
Sementara itu, dalam membahas mengenai metode pendidikan
Islam yang digunakan dalam pembelajaran, Natsir menerapkan metode
yang disesuaikan dengan kondisi dan tujuan yang ingin dicapai. Metode
yang digunakan adalah metode cerita dan metode keteladanan.
Metode cerita merupakan metode yang lazim dan telah sejak dulu
digunakan oleh para pendidik dalam proses pembelajaran. Metode ini
dinilai masih menjadi metode yang efektif untuk keberhasilan
pembelajaran. Sedangkan untuk metode keteladanan lebih terpusat pada
seorang pendidik yang diharuskan memiliki akhlak yang mulia karena
menjadi teladan bagi para peserta didik.
Kedua metode yang diterapkan oleh Natsir membutuhkan
kemampuan seorang pendidik untuk dapat mencapai keberhasilan dalam
pembelajaran. Maka dari itu, perlu peningkatan kualitas seorang pendidik
terutama kemampuannya dalam menarik perhatian ataupun simpati dari
peserta didik yang akan beermanfaat dalam menerapkan metode cerita.
Sedangkan untuk metode keteladanan, sebenarnya jika seseorang telah
memiliki jiwa seorang pendidik maka sudah seharusnya berusaha untuk
menjaga setiap sikap, tindakan dan ucapan yang mengarah pada kebaikan
karena pada dasarnya secara langsung maupun tidak langsung setiap sikap,
tindakan dan ucapan seorang pendidik akan ditirukan oleh para peserta
didiknya.
Maka keberhasilan pembelajaran tidak hanya tergantung pada hal-
hal yang bersifat teknis saja seperti dalam proses pembelajaran di kelas,
akan tetapi juga yang bersifat di luar teknis seperti dalam kehidupan
sehari-hari.
Yang terakhir mengenai metode pendidikan Islam yang digunakan
dalam proses pembelajaran, Hasan Langgulung menggunakan metode
yang tidak jauh berbeda dengan metode yang digunakan para ahli
pendidikan Islam. Metode-metode tersebut diantaranya adalah ceramah
interaktif, diskusi aktif, simulasi dan lain sebagainya dengan menggunakan
sesuai dengan waktu dan materi yang akan disampaikan.
Metode pendidikan yang digagas oleh Hasan Langgulung tidak
hanya merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pembelajaran
saja, akan tetapi juga berkaitan dengan aspek-aspek yang lain seperti
tujuan pendidikan Islam sendiri dan tindakan-tindakan yang dilakukan
sesuai dengan hasil dari pembelajaran yang telah berlangsung.
Untuk lebih memotivasi para peserta didik maka diberikanlah
sebuah hadiah yang sedang mereka suka, keinginan untuk mendapatkan
hadiah membuat peserta didik belajar lebih giat sehingga prestasinya
meningkat. Tetapi untuk mencegah peserta didik yang tidak disiplin dalam
proses pembelajaran, maka sudah tepat jika memberikan hukuman sebagai
pendidikan sikapnya. Ganjaran dan hukuman diberikan sesuai dengan
kebutuhan dari peserta didik sendiri.
Dari uraian kedua tokoh tersebut mengenai metode pendidikan
Islam, terdapat perbedaan diantara keduanya. Mohammad Natsir dalam
metodenya lebih terfokus pada pendidik sehingga figur pendidik sangat
berperan besar terhadap keberhasilan pembelajaran. Sedangkan Hasan
Langgulung lebih kompleks karena dalam menggunakan metode-metode
yang banyak digunakan, tetapi harus memperhatikan dari segi tujuan
pendidikan Islam itu sendiri serta pembelajaran yang berlangsung. Beliau
menambahkan perlu adanya tindakan dari hasil pendidikan berupa
ganjaran sebagai motivasi dalam belajar dan hukuman sebagai usaha
pencegahan dari potensi-potensi yang buruk.
Pemikiran dan gagasan mengenai konsep pendidikan Islam dari
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung dipengaruhi oleh latar belakang sosial
historis atau dapat dikatakan kondisi sosial yang melingkupi. Kedua tokoh yang
hidup di masa perjuangan kemerdekaan hingga setelah kemerdekaan dimana
pendidikan Islam yang mengalami dikotomi ilmu. Natsir merupakan tokoh
pemikir pendidikan Islam yang mengalami masa tersebut sehingga menjadikan
pola pikir untuk mengubah wajah pendidikan di Indonesia agar sesuai dengan
ajaran Islam.
Hasan Langgulung juga merupakan tokoh yang hidup di masa yang tidak
jauh berbeda dari Natsir. Akan tetapi, beliau menghabiskan pendidikan tingginya
di luar negeri, sehingga pola pikir yang muncul dari Langgulung adalah dari
kacamata yang lebih luas dengan melihat pendidikan Islam di lingkup dunia
internasional.
Dengan melihat perbandingan pemikiran Mohammad Natsir dan Hasan
Langgulung terutama dari segi tujuan, kurikulum dan metode pendidikan Islam
menunjukkan bahwa perlu adanya upaya untuk menyempurnakan konstruk
pendidikan Islam secara berkelanjutan. Penelitian mengenai pendidikan Islam
telah dilakukan oleh banyak pemikir-pemikir besar pendidikan Islam sebelum
Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung, seperti Al-Ghozali, Ibn Khaldun, Al-
Attas, Al-Faruqi. Salah seorang yang berkompeten dan gigih dalam upaya melihat
dan mencari kosepsi ilmu pengetahuan yang tidak menafikan dimensi spiritual
menjadi urgen adalah Seyyed Hossein Nasr (Widiyanto, 2015:4).
Seyyed Hossein Nasr merupakan sosok cendekiawan yang piawai dalam
bidang filsafat dan sejarah ilmu, serta merupakan sosok yang otoritatif untuk
berbicara tentang perjumpaan antara tradisi dan modernitas, Timur dan Barat.
Posisi ini ditambah perspektif tradisionalnya, menjadikan pemikiran Nasr tentang
ilmu mempunyai karakter tersendiri. Pemikiran Nasr tentang ilmu tersebut
merupakan hal yang urgen karena bisa dijadikan dasar untuk membangun
kerangka filosofis dan sistem pendidikan Islam (Widiyanto, 2015:73).
Menurut Asfa Widiyanto (2015:74), pemikiran Nasr tentang ilmu juga bisa
digunakan untuk menata ulang sistem pendidikan Islam. Restorasi pendidikan
Islam yang dapat dilihat dari komponen-komponen pendidikan itu sendiri, seperti
tujuan pendidikan Islam, menurut Nasr, mengacu dan mengarah pada totalitas
manusia yang mencakup aspek rasional, moral dan spiritual. Metode pendidikan
ynag dikembangkan Nasr berbasiskan tradisional seperti oral-transmission,
modelling, penalaran logis dan sebagainya. Materi pendidikan Islam mencakup
ilmu-ilmu naqli dan ilmu-ilmu aqli yang diberikan secara seimbang. Pendidik,
dalam perspektif Nasr, harus memiliki kematangan intelektual, emosional dan
spiritual, yang model tertingginya bisa dilihat dalam sosok hakim. Peserta didik
diharapkan tidak lepas dari akar tradisinya, sehingga bisa memahami dan
mengimplementasikan ilmu Islam secara baik.
Konsepsi Nasr tentang pendidikan Islam dapat dijadikan sebagai rujukan
konstruksi sistem pendidikan Islam pada umumnya serta khususnya di Indonesia.
Dalam bentuk sistem pendidikan Islam di Indonesia yang masih berkembang,
konstruk pemikiran Nasr dapat menjadi acuan untuk mencapai tujuan pendidikan
Islam yang diinginkan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian tentang “Konsep Pendidikan Islam (Studi Pemikiran
Mohammad Natsir Dan Hasan Langgulung)”, dapat disimpulkan bahwa :
1. Konsep pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir
mendefinisikan pendidikan sebagai bimbingan kepada peserta didik
agar dapat tujuan pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan yang
dirumuskan oleh Natsir adalah menjadikan peserta didik sebagai
hamba yang bertakwa kepada Allah SWT. dengan tidak meninggalkan
pengembangan potensi kemampuan dan keterampilan untuk melalui
kehidupan di dunia dengan kesuksesan. Oleh karena itu, untuk
mencapai tujuan yang diinginkan maka diperlukan kurikulum yang
berlandaskan tauhid dan tidak memisahkan antara ilmu pengetahuan
umum dengan ilmu agama. Kedua ilmu tersebut memilki peran yang
sama pentingnya dalam proses pendidikan. Beliau juga menambahkan
bahasa sebagai sarana komunikasi dalam pendidikan, terutama bahasa
Arab. Dalam pembelajaran, metode merupakan alat bagi guru untuk
menyampaikan ilmu. Natsir menerapkan metode cerita dan metode
keteladanan. Kedua metode tersebut lebih efektif dalam pembelajaran.
2. Konsep pendidikan Islam Hasan Langgulung bahwa tujuan pendidikan
Islam itu untuk membentuk peserta didik kepada tujuan awal
penciptaannya yaitu sebagai khalifah atau memiliki sifat-sifat seorang
khalifah dalam diri masing-masing peserta didik, serta menyiapkan
peserta didik dari segi kognitif, sosiologis dan keterampilan untuk
mencapai kesuksesan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Dalam segi
kurikulum, Hasan Langgulung memiliki konsep Islamisasi ilmu yang
artinya memadukan antara ilmu-ilmu umum dan ilmu agama sehingga
akan tercapai tujuan pendidikan Islam yang diinginkan. Dalam
pembelajaran, metode yang digunakan harus mempertimbangkan
tujuan dari pendidikan yang akan dicapai serta tindakan-tindakan yang
perlu untuk memotivasi dan mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
dalam menyikapi hasil dari pendidikan tersebut seperti dengan
memberikan hadiah dan hukuman.
3. Adapun persamaan yang ditemukan dalam penelitian ini adalah pada
aspek tujuan pendidikan Islam yaitu bahwa keduanya berpendapat
tujuan pendidikan Islam adalah membentuk peserta didik menjadi
manusia yang bertakwa kepada Allah dan memiliki akhlakul karimah.
Selain itu, keduanya juga menginginkan adanya keterpaduan antara
ilmu agama dan ilmu pengetahuan dalam materi pendidikan walaupun
ada sedikit perbedaan bahwa Hasan Langgulung menghendaki tidak
hanya materi pendidikan saja yang terintegrasi, tetapi juga dalam
komponen kurikulum yang lain seperti tujuan, metode dan penilaian.
Sedangkan perbadaan yang paling terlihat adalah pada segi metode
pendidikannya, jika Natsir lebih menerapkan metode cerita dan
keteladanan, Langgulung menggunakan metode diskusi aktif, simulasi,
ceramah dan metode-metode yang umum digunakan dengan
memperhatikan tujuan yang ingin dicapai dan tindakan dari hasil
pembelajaran.
B. Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan sehubungan
dengan skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Banyak aspek yang dapat ditelaah dari kedua tokoh pemikir
pendidikan Islam dalam penelitian ini. Yang dapat penulis lakukan
dalam penelitian ini hanya sebatas pada masalah konsep pembaruan
pendidikan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir dan Hasan
Langgulung. Untuk itu penulis menyarankan kepada peneliti lain
agar berkenan melakukan penelitian terhadap pemikiran kedua
tokoh tersebut ditinjau dari aspek yang lain.
2. Kepada para praktisi pendidikan pada umumnya, dan pendidikan
Islam pada khususnya, diharapkan untuk banyak mengambil
intisari dari pemikiran Mohammad Natsir dan Hasan Langgulung
dalam upaya untuk mengadakan pembaruan dan inovasi pada
pendidikan Islam. Serta untuk lebih meningkatkan dan
mengembangkan mutu dan kualitas pendidikan Islam di Indonesia,
baik yang diselenggarakan di lembaga pendidikan Islam maupun
lembaga pendidikan umum.
3. Kepada para praktisi pendidikan pada umumnya dan kepada
penulis pada khususnya, hendaknya mengetahui dan memahami
konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Mohammad Natsir dan
Hasan Langgulung bahwa pendidikan agama dan pendidikan
umum itu harus diselaraskan sehingga membentuk manusia yang
berakhlak mulia serta iman yang kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2005. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-
Qur‟an. Jakarta: PT. RINEKA PUTRA.
Achmadi. 1992. Islam Sebagai Paradigma Pendidikan. Yogyakarta: Aditya
Media.
Al-Attas, Syed Muhammad Naquib. 1996. Konsep Pendidikan Dalam Islam.
Bandung: Mizan
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar. 2005. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat
Press.
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan
Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.
Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian ; Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: Rineka Cipta
Bakker, Anton. 1999. Metodologi Penelitian Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Daradjat, Zakiah. 1993. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Jakarta:
CV. RUHAMA.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Undang-Undang No. 2.
Kholiq, Abdul.,dkk. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam Tokoh Klasik dan
Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Kurniawan, Syamsul dan Erwin Mahrus. 2011. JEJAK PEMIKIRAN TOKOH
PENDIDIKAN ISLAM: Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibn Khaldun, Muhammad
Abduh, Muhammad Iqbal, Hasan Al-Banna, Syed Muhammad Naquib Al-
Attas, K.H. Ahmad Dahlan, K.H. Hasyim Asy‟ari, Hamka, Basiuni Imran,
Hasan Langgulung, Azyumardi Azra. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
Langgulung, Hasan. 1985. Pendidikan dan Peradaban Islam Suatu Analisa Sosio-
Psikologi. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna.
______. 1988. Pendidikan Islam Menghadapi Abad ke 21. Jakarta: PT. Pustaka Al
Husna.
______. 1991. Kreativitas dan Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna.
______. 2002. Asas-asas Pendidikan Islam. Jakarta: Al Husna Zikra.
______. 2004. MANUSIA DAN PENDIDIKAN Suatu Analisa Psikologi, Filsafat
dan Pendidikan. Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru.
Luth, Thohir. 1999. M. Natsir, Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani
Press.
Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT.
Al-Ma‟arif.
Muhadjir, Noeng. 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yoyakarta: Rake
Sarasin.
Mohd. Athiyah Al Abrasyi. 1974. Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang
Nata, Abuddin. 1997. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
______. 2013. Kapita Selekta Pendidikan Agama Islam: Isu-isu Kontemporer
Tentang Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Natsir, Muhammad. 1954. Capita Selecta. Jakarta: Bulan Bintang.
______. 2015. Islam dan Akal Merdeka. Bandung: Sega Arsy.
______. Mohammad Natsir. 1980. Islam Sebagai Ideologi. Jakarta: Penyiaran
Ilmu.
Ramayulis dan Syamsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam.
Jakarta: Quantum Teaching.
Saidan. 2011. Perbandingan Pemikiran Pendidikan Islam Antara Hasan Al-
Banna dan Mohammad Natsir. Kementerian Agama RI.
Widiyanto, Asfa. 2015. Konstruk Ilmu Pengetahuan dan Signifikansinya Dalam
Upaya Restorasi Pendidikan Islam. Salatiga: LP2M Press IAIN Salatiga
Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
RIWAYAT HIDUP PENULIS
A. Data Pribadi
Nama : ACHMAD DEDI SETIADI
Tempat/Tanggal Lahir : Kab. Semarang, 21 Juli 1994
NIM : 111-12-080
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Alamat : Lingk. Harjosari RT 07/VII Harjosari,
Kec. Bawen, Kab. Semarang
B. Orang Tua
Ayah : Nahrowi
Ibu : Partini
Pekerjaan : Buruh bangunan
C. Motto
“Barang siapa keluar untuk mencari ilmu, maka dia berada di jalan
Allah”
D. Riwayat Pendidikan
No. Instansi Pendidikan Masuk (Tahun) Lulus (Tahun)
1. SD Negeri Harjosari 01 2000 2006
2. SMP Negeri 1 Bawen 2006 2009
3. SMK Negeri 1 Bawen 2009 2012
4. S1 PAI IAIN Salatiga 2012 2017
DAFTAR NILAI SURAT KETERANGAN KEGIATAN
Nama : Achmad Dedi Setiadi
NIM : 111-12-080
Jurusan : PAI
Dosen Pembimbing Akademik : Mohammad Ali Zamroni, M.A.
No. Nama Kegiatan Pelaksanaan Sebagai Nilai
1.
OPAK STAIN SALATIGA 2012
“Progresifitas Kaum Muda, Kunci
Perubahan Indonesia”.
5-7 September 2012 Peserta 3
2.
Orientasi Mahasiswa Tarbiyah
“Mewujudkan Gerakan Mahasiswa
Tarbiyah Sebagai Tonggak
Kebangkitan Pendidikan Indonesia”
8-9 Septembar 2012 Peserta 3
3.
Orientasi Dasar Keislaman (ODK)
“Membangun Karakter Keislaman
Bertaraf Internasional di Era
Globalisasi Bahasa”
10 September 2012 Peserta 2
4.
Seminar Entrepreneurship dan
Perkopresian 2012 “Explore Your
Entrepreneurship Talent” Mapala
Mitapasa dan KSEI STAIN Salatiga
11 September 2012 Peserta 2
5.
Achievement Motivation Training
dengan AMT “Bangun Karakter
Raih Prestasi”
12 Septenber 2012 Peserta
2
6.
Library User Education (Pendidikan
Pemakai Perpustakaan) UPT
PERPUSTAKAAN STAIN Salatiga
13 September 2012 Peserta 2
7.
Seminar Nasional “Urgensi Media
Dalam Pergaulan Politik” LPM
DINAMIKA STAIN Salatiga
29 September 2012 Peserta 8
8. “Surat Cinta Pembasmi Galau”
KAMMI Salatiga 3 Oktober 2012 Peserta 2
9. “Training Pembuatan Makalah”
LDK STAIN Salatiga 13 Oktober 2012 Peserta 2
10.
SEMINAR Nasional
“Menumbuhkan Jiwa Enterpreneur
Generasi Muda” KOPMA
“FATAWA” STAIN Salatiga
27 Mei 2013 Peserta 8
11.
Seminar Nasional dan Dialog Publik
“Penyesuaian Harga BBM
Bersubsidi” HMJ Syariah STAIN
Salatiga
27 Juni 2013 Peserta 8
12.
Seminar Nasional “Mengenal
Pengendalian BBM Bersubsidi,
kebijakan BLSM yang tepat sasaran
serta pengendalian inflasi dalam
negeri sebagai dampak kenaikan
harga BBM bersubsidi” DEMA
STAIN Salatiga
8 Juli 2013 Peserta 8
13.
Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ)
Mahasiswa V “MTQ Wahana
Apresiasi untuk Mencetak Insan
Qur‟ani” JQH STAIN Salatiga
23 Oktober 2013 Peserta 2
14.
Penerimaan Anggota Baru (PAB)
JQH 2013 “Kristalisasi Nilai Qur‟ani
Menuju Insan yang Penuh Hikmah”
JQH STAIN Salatiga
23-24 November 2013 Peserta 2
15.
Tafsir Tematik “Konsep Pemimpin
Ideal Menurut Al-Qur‟an” JQH Al-
Furqon STAIN Salatiga
17 Mei 2014 Panitia 3
16.
“Getarkan Ramadhan dengan Hati
yang Suci” KISMIS LDK STAIN
Salatiga
27 Juni 2014 Peserta
2
17.
OPAK Jurusan Tarbiyah STAIN
Salatiga 2014 “Aktualisasi
Pendidikan Karakter Sebagai
Pembentuk Generasi yang Religius,
Educative, dan Humanis”
21 Agustus 2014
Panitia
3
18.
Upgrading dan Rapat Kerja
“Motivasi Organisasi” HMPS PAI
STAIN Salatiga
6 September 2014 Peserta 2
19.
Gebyar Seni Qur‟ani (GSQ) Umum
ke-VI Se-Jawa Tengah “Aktualisasi
Makna dan Syi‟ar Al-Qur‟an Sebagai
Sumber Inspirasi” JQH AL-
FURQON STAIN Salatiga
5 November 2014 Panitia 5
20. “Diklat Microteaching” HMPS PAI
STAIN Salatiga 8 November 2014 Panitia 3
21.
PAB (Penerimaan Anggota Baru)
JQH Al-Furqon STAIN Salatiga
“Menumbuhkan Karakter Islami dan
Qur‟ani”
13-14 Desember 2014 Panitia 3
22.
Workshop Nasional “Sukses
Akademik, Sukses Bakat dan Hidup
Bermartabat dengan Karya” HMPS
PAI STAIN Salatiga
16 Desember 2014 Panitia 8
23. Workshop Tilawah Nasional 30 Mei 2015 Panitia 8
“Aktualisasi Nyata Syi‟ar Islam
dalam Bingkai Kreasi Seni Qur‟ani”
JQH Al-Furqan IAIN Salatiga
24.
National Seminar “Understanding
the World by Understanding the
Language and the Culture” CEC
IAIN Salatiga
4 Juni 2015 Peserta 8
25.
Seminar Nasional Kewirausahaan
“Jiwa Muda, Berani Berwirausaha”
Jurusan PAI IAIN Salatiga
30 Oktober 2015 Panitia 8
26.
Gebyar Seni Qur‟ani (GSQ) ke-VII
“Menyiarkan Islam Melalui
Apresiasi Maha Karya Seni
Qur‟aniyy” JQH Al-Furqan IAIN
Salatiga
8 November 2015 Panitia 5
27.
Seminar Kewirausahaan
“Membumikan Seni Qur‟an Melalui
Wirausaha” JQH Al-Furqan IAIN
Salatiga
25 Desember 2015 Panitia 3
28.
PAB (Penerimaan Anggota Baru)
JQH Al-Furqan IAIN Salatiga “Keep
on Loving Holy Qur‟an to Reach a
Peacefullness of Life”
25 Desember 2015 Panitia 3
JUMLAH 118
PERNYATAAN PUBLIKASI SKRIPSI
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Achmad Dedi Setiadi
NIM : 111-12-080
Fakultas : Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Judul Skripsi : KONSEP PENDIDIKAN ISLAM (STUDI
PEMIKIRAN MOHAMMAD NATSIR DAN HASAN
LANGGULUNG)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri dan tidak berkeberatan untuk dipublikasikan oleh perpustakaan
IAIN Salatiga tanpa menuntut konsekuensi apapun.
Demikian surat penyataan ini saya buat dan jika dikemudian hari
terbukti bahwa skripsi saya ini bukan karya sendiri, maka saya sanggup untuk
menanggung konsekuensinya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Salatiga, 7 Maret 2017
Yang menyatakan,
Achmad Dedi Setiadi
NIM. 111-12-080