konsep pemasaran hermawan kartajaya

31
Mengarungi Pasar Lewat Pendekatan Horisontal Laporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly Darwin Kamis, 3 Desember 2009 | 10:01 WIB shutterstock KOMPAS.com - Di artikel-artikel sebelumnya kami sudah membahas bahwa PDB (Positioning, Differentiation dan Branding) yang ‘vertikal’ itu sudah tidak cukup lagi. Harus dihorisontalkan menjadi Triple C! Positioning menjadi Clarification, Differentiation jadi Codification dan Brand jadi Character. Setelah melihat satu per satu inisiatif-insiatif yang diambil oleh kedai kopinya Paman Howie yang bernama Starbucks untuk menerapkan prinsip New Wave, selanjutnya kita perlu melihat tepatnya bagaimanakah Triple C dari Starbucks, dalam hal ini bagaimana ia mengklarifikasikan apa gunanya Starbucks buat komunitas, bagaimana ia mengkodifikasikan DNA sesungguhnya yang betul-betul otentik, dan juga membangun karakternya yang sempat menghilang. Analisa Triple-C ini akan mengungkapkan bagaimana strategi Starbucks dalam menghadapi pasar, terutama di era horizontal ini. Starbucks selalu mengklarifikasikan diri diri sebagai ”the third place for coffee” atau tempat ketiga untuk menikmati kopi, setelah rumah dan kantor. Dengan klarifikasi ini, Starbucks mencoba untuk jujur dengan menyatakan bahwa mereka tidak berkompetisi dengan kopi yang disajikan di rumah yang mungkin merupakan ritual keluarga ataupun dengan kopi di tempat kerja yang bagian dari suatu kebutuhan. Sehingga cukup jelas komunitas yang ingin

Upload: helmiqodrat

Post on 03-Jul-2015

1.293 views

Category:

Documents


31 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Mengarungi Pasar Lewat Pendekatan HorisontalLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinKamis, 3 Desember 2009 | 10:01 WIB

shutterstockKOMPAS.com - Di artikel-artikel sebelumnya kami sudah membahas bahwa PDB (Positioning, Differentiation dan Branding) yang ‘vertikal’ itu sudah tidak cukup lagi. Harus dihorisontalkan menjadi Triple C! Positioning menjadi Clarification, Differentiation jadi Codification dan Brand jadi Character. Setelah melihat satu per satu inisiatif-insiatif yang diambil oleh kedai kopinya Paman Howie yang bernama Starbucks untuk menerapkan prinsip New Wave, selanjutnya kita perlu melihat tepatnya bagaimanakah Triple C dari Starbucks, dalam hal ini bagaimana ia mengklarifikasikan apa gunanya Starbucks buat komunitas, bagaimana ia mengkodifikasikan DNA sesungguhnya yang betul-betul otentik, dan  juga membangun karakternya yang sempat menghilang. Analisa Triple-C ini akan mengungkapkan bagaimana strategi Starbucks dalam menghadapi pasar, terutama di era horizontal ini. Starbucks selalu mengklarifikasikan diri diri sebagai ”the third place for coffee” atau tempat ketiga untuk menikmati kopi, setelah rumah dan kantor. Dengan klarifikasi ini, Starbucks mencoba untuk jujur dengan menyatakan bahwa mereka tidak berkompetisi dengan kopi yang disajikan di rumah yang mungkin merupakan ritual keluarga ataupun dengan kopi di tempat kerja yang bagian dari suatu kebutuhan. Sehingga cukup jelas komunitas yang ingin diklarifikasi oleh Starbucks, yaitu kelompok sosial yang gemar berkumpul di luar kantor dan rumah. Sedangkan DNA Starbucks terkodifikasi, berpusat pada ”The Starbucks Experience”. Inilah DNA code dari Starbucks yang tidak dapat ditiru dengan mudah oleh kompetitor karena terbentuk selama bertahun-tahun sejak perusahaan ini mulai dikelola oleh Paman Howie . Kodifikasi inilah yang menjadi kunci yang membedakan sampai mengakar antara Starbucks dan kompetitornya. Starbucks memang sempat nyaris lupa diri dengan melupakan  kodifikasinya ini. Setelah Paman Howie mengundurkan diri sebagai CEO pada tahun 2000, fokus perusahaan lebih diarahkan pada pertumbuhan dan diversifikasi usaha. Era pertumbuhan Starbucks yang dipimpin oleh Orin Smith dan Jim Donald ini memang membawa hasil yang signifikan. Jumlah outlet Starbucks di

Page 2: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

dunia mencapai puluhan ribu. Tapi pada era ini, sepertinya perusahaan melupakan fokusnya pada “The Starbucks Experience”. Tanpa ada pembeda yang kuat antara Starbucks dan kompetitor-nya, perusahaan ini mengalami banyak ancaman. Dengan munculnya kopi premium dari McDonalds dan Dunkin Donuts, posisi Starbucks sebagai “the third place” tidak lagi solid. Saat pembeli melihat bahwa kualitas kopi yang ditawarkan kompetitor tidak jauh berbeda dengan Starbucks, pembeli kehilangan motivasi untuk membeli produknya yang memang dijual dengan harga premium itu. Starbucks saat itu seperti melupakan bahwa “The Starbucks Experience” adalah salah satu alasan utama para pembelinya mencintai kopi yang sering disebut over-priced itu. Kodifikasi inilah yang akhirnya dibangkitkan kembali oleh Paman Howie saat dia memutuskan untuk kembali menjadi CEO perusahaan dan memecat Jim Donald pada awal 2008. Secara gamblang menyatakan bahwa Starbucks sudah menjadi “korporasi tak berjiwa” dan fokus utama dia adalah mengembalikan “The Starbucks Experience” dan menghentikan komoditisasi yang sedang terjadi terhadap brand yang dibesarkannya ini. Karakter Starbucks memang mencerminkan apa yang menjadi ambisi dari Paman Howie, yaitu perusahaan yang berada pada keseimbangan antara profitability (keuntungan) dan benevolece (kedermawanan). Itulah mengapa aktivisme sosial sangat penting bagi perusahaan ini. Dan seperti telah dibahas dibahas sebelumnya, karakter ini  Sebuah kutipan dari Paman Howie mungkin bisa menyimpulkan tulisan studi kasus ini, sekaligus menunjukkan bagaimana pemipin Starbucks ini melihat perusahaannya di tengah kompetisi: “Kami tidak memiliki hak paten atas apa yang kami lakukan dan apa pun yang kami jalankan dapat ditiru oleh siapapun. Tapi mereka tidak mungkin bisa meniru jiwa dan hati nurani perusahaan.”

Selamat Datang ke Orde Baru Dunia Pemasaran Laporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinRabu, 9 Desember 2009 | 10:16 WIB

shutterstock

Page 3: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

KOMPAS.com - Di tengah seiring perjalanan waktu, dunia terus berubah dan pemasaran juga tentunya ikut berubah, dan begitu juga sebaliknya langkah pemasaran yang dilakukan oleh pemasar-pemasar yang visioner juga mengubah dunia. Sebut saja Mark Zuckeberg yang mengubah dunia lewat Facebook, Jawed Karim, Chad Hurley and Steve Chen mengubah dunia lewat YouTube, Jimmy Wales dan Larry Sanger mengubah dunia lewat Wikipedia, dan banyak lagi technopreneur lain.

Sejak Tim O’Reilly, seorang pakar teknologi internet, memproklamasikan lahirnya Web 2.0 pada saat membuat O’Reilly Media Web 2.0 Conference di tahun 2004, kita seperti hidup di dunia yang lain. Generasi baru internet ini memungkinkan kita untuk berkomunikasi, berpartisipasi, berinteraksi, berbagi, berkomunitas, atau berkolaborasi satu sama lain.

Kekuatan Web 2.0 yang menelurkan berbagai produk Social Networking menjadi kian menggila. Situs-situs seperti Facebook, YouTube, MySpace, Flickr, Wikipedia, dan lain sebagainya kian digandrungi para netizen, yang melihat bahwa internet yang sesungguhnya adalah yang begini, yang lebih cool, lebih interaktif, lebih partisipatif, dan lebih sosial.

Dengan kekuatan baru yang ditawarkan oleh kecanggihan generasi baru Internet ini, berbagai kalangan sudah melihat bahwa perubahan besar sedang terjadi. Thomas Friedman, kolumnis dari New York Times, mencetuskan tesisnya mengenai “The World is Flat” di mana ia berkata bahwa kemajuan teknologi berbasis Internet akan mampu mentransformasikan dan membebaskan individu, membebaskan potensinya, membebaskan kreativitasnya, dan membebaskan kabapibilitasnya. Dengan teknologi tersebut, umat manusia, siapa saja, di mana saja, kapan saja, bisa bersaing di tingkat global, asalkan terhubung ke Internet.

Thomas Friedman tidak sendirian ketika mengatakan bahwa arus besar sedang terjadi dan dunia tengah berubah total. Karena pemikirannya disambut secara eksplisit maupun implisit oleh beberapa pemerhati lain.

Chris Andersen sebelumnya juga sudah mengungkap hal yang kurang lebih sama pada artikel editorialnya di majalah Wired ketika mengemukakan untuk pertama kalinya mengenai ‘Long Tail’, sebuah fenomena di mana dominasi pemain besar akan runtuh digantikan oleh jutaan pemain kecil yang mendominasi 80 persen pasar. Di tengah terjadinya peralihan dari korporasi ke individu, dengan adanya Internet Web 2.0, siapapun bisa jadi produsen, siapapun bisa jadi distributor, siapapun bisa jadi promoter, maka tak heran kalau majalah Time memberikan penghargaan Person of the Year pada tahun 2006 lalu kepada Anda (Ya, Anda semua), yang termasuk 5 miliar umat manusia yang mengontrol dunia.

Setidaknya setelah Web 2.0 merebak dan menjadi sebuah hype yang mengglobal, dan juga tesis Thomas Friedman mengenai “The World is Flat” yang menjadi percakapan di mana-mana, kalangan media juga menyambutnya dengan mengatakan bahwa arus besar sedang terjadi dan dunia tengah mengalami perubahan yang sangat dasyhat.

Majalah Business Week, contohnya, memberikan berbagai laporannya tentang bagaimana efek teknologi internet di era Web 2.0, mulai dari praktek kolaborasi masal yang ditawarkan oleh kekuatan teknologi Web 2.0, dunia blogosphere yang akan merubah cara kita melakukan bisnis

Page 4: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

dan pemasaran, dan juga fenomena social media secara keseluruhan.

Seiring dengan masuknya kita ke dalam awal abad-21 ini, dunia teknologi semakin memberikan interaksi, partisipasi, dan peluang untuk berkolaborasi, sehingga membawa kita untuk melakukan praktek pemasaran yang bertumpu pada jejaring yang saling ter-CONNECT!

CONNECT! untuk Berselancar Dalam New Wave MarketingLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinSenin, 7 Desember 2009 | 14:50 WIB

shutterstock

KOMPAS.com - Berbagai perubahan yang kita alami di dalam dunia pemasaran saat ini bermuara pada lahirnya sebuah pendekatan marketing yang baru. Pendekatan marketing yang bersifat vertikal digantikan oleh pendekatan yang bersifat horisontal. Dunia pemasaran tertransform dari era ’Legacy’ ke ’New Wave.’

Sejak buku New Wave Marketing (NWM) menjadi laris, kami diundang dalam berbagai kesempatan, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Kami juga tidak lupa menyebarkan virus NWM ini agar mereka tahu bahwa kita di Indonesia selalu update dengan perkembangan mutakhir di dunia pemasaran. Kunjungan kami keliling ke banyak tempat, baik ke berbagai kota di tanah air, negara-negara di kawasan ASEAN dan Asia, sampai ke Amerika, bahkan ke belahan Afrika beberapa waktu lalu adalah dalam rangka menyebarkan pemahaman tentang perubahan dunia pemasaran ini.

Setiap ada kesempatan kami ditanyai dan didebat. Pertanyaan biasanya berupa permintaan untuk menjelaskan lebih detil tentang 12C pemasaran New Wave yang merupakan "horisontalisasi" dari 9 Elemen Inti dalam model Legacy Marketing kami .

Banyak yang mengatakan bahwa “prakteknya sulit dilaksanakan.” Lantas kami jawab , “sudah pasti susah karena belum terbiasa.” Ada pula yang mengatakan “ini kan mahal?” kami jawab “justru konsep ini adalah pintu masuk untuk mencapai cita-cita pemasar untuk menggapai praktek pemasaran yang low-budget high impact.”

Ada lagi yang mengatakan “Ini kan tidak ada di dalam text-book, jadi tidak ilmiah?” Memang

Page 5: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

benar tidak ada di buku teks, karena biasanya isi dari buku teks adalah mencatat apa yang sudah terjadi, mencatat apa-apa yang ada di dalam era Legacy.

New Wave Marketing adalah kepekaan kami menangkap "weak signal" transformasi para Marketer yang visioner yang semakin resah ketika metode Legacy-nya tidak jalan. Padahal, tuntutan terhadap ROMI (Return on Marketing Investment) semakin dahsyat.

Lantas? Apa lagi masalahnya?

Sebenarnya ada satu ‘C’ lagi yang bobotnya besar sekali sebelum ke 12C ini bisa dilaksanakan dengan baik, yaitu CONNECT! yang mutlak harus ada kalau mau menjalankan New Wave Marketing. Dalam arti lain, CONNECT! adalah pintu masuk ke 12C yang lain.

Di model Legacy, kami hanya menekankan pada pentingnya 4C. Mengenali Change (perubahan di Teknologi, Politik dan Legal, Ekonomi, Sosial Budaya, Pasar) yang merubah Competitor dan Customer. Ketiga ‘C’ inilah yang kami sebut lanskap pemasaran. ‘C’ keempat adalah Company yang harus bisa selamat di tengah arus perubahan dan bahkan memenangkan persaingan di lanskap yang dinamis tersebut.

Di era Legacy, se-dinamis-dinamis-nya lanskap bisnis ketika itu, CONNECT! belum jadi suatu isu yang utama.

Walaupun New Wave Marketing bukan Internet Marketing, Digital Marketing atau Online Marketing, tapi Internet yang makin perkasa ini memaksa sebuah Company untuk menambahkan ‘C’ kelima yaitu CONNECT! dalam 4C-nya.

Artinya? Kalau tidak ada yang satu ini, maka sebuah perusahaan tidak akan bisa survive.  Selama kita harus istirahat, tidur, istirahat, dan tidur lagi, kita harus mempunyai sistem yang menjaga agar kita tetap CONNECT! terhadap tiga C yang lain. CONNECT! ke Customer, Change bahkan dengan Competitor. Kata klisenya: 24/7/365!

Harus pula dicatat bahwa apa yang kami maksud di sini dengan CONNECT! adalah bukan saja bagaimana pemasar terhubung secara online, namun juga harus dibarengi dengan dunia online.

Online hanya bisa menimbulkan Excitement dan Engagement tapi Offline bisa lebih jauh ke Intimacy dan Enthusiasm! Dan, kalau keduanya digabung akan menjadi suatu kesatuan yang bersifat Physical, Intellectual, Emotional dan Spiritual!

Cerita Nike Sebagai Konektor EksperiensialLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinSenin, 23 November 2009 | 08:02 WIB

Page 6: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

WORLSCARFANS/ HIGH SNOBIETYWarna sepatu disesuaikan dengan kelir mobil

KOMPAS.com - Philip Kotler, gurunya pemasaran modern, pernah mengatakan bahwa Nike Town adalah sebuah retailing experience. Toko flagship yang dibuka sejak awal tahun 1990an ini diibaratkan sebagai sebuah ruang pamer berbagai produk Nike, bukan sekedar toko Nike biasa, Kenapa? Karena, di situ produk-produk Nike bukan hanya disusun berdasarkan kategori produk, tapi ditata berdasarkan kategori cabang olahraga. Dan diupayakan agar suasana setiap cabang olahraga mengemuka. Itu bukan hanya diupayakan melalui pemasaran poster bintang-bintang olahraga, tapi juga dengan memunculkan suara khas yang biasa muncul di suatu cabang olahraga. Di counter tenis, misalnya, muncul suara bola tenis dipukul.

Sebab itu, orang yang berkunjung ke sana tidak pernah merasa pergi ke toko, melainkan ke ruang pamer. Dan itu bukan sekedar ruang pamer biasa, melainkan ruang pamer yang memunculkan memorable experience. Karena banyaknya atlet yang diendorse oleh Nike selama ini, maka otomatis masing-masing atlet tersebut menjadi pooling factor tersendiri untuk mendatangkan komunitasnya. Dengan banyaknya atlet yang ia endorse dan dipamerkan di Nike Town, maka ketika berkunjung ke sana, pengunjung merasa seperti berkunjung ke sebuah community center, di mana orang-orang yang suka dengan Tiger Woods atau Ronaldinho, ketemu dan berkumpul di sana.

Nike memang sudah bukan sepatu nike lagi, tapi ia adalah sebuah pengalaman dari segala aktivitas yang berhubungan dengan karakter brand-nya. Aktivasi dari bentuk experience yang diberikannya ada di mana-mana, mulai dari produk, experiential channel seperti Nike Town, communal activation (seperti jogo bonito), dan juga tentunya parade iklan yang selama ini kita lihat. Mereka dapat mengkonek dengan audiens-nya lewat pendekatan multisensory, emosional, dan sharing.

Multisensory bisa menjadi hidup karena mereka merangsang panca indra audiens, ada poster yang besar dengan gambar yang tajam, suasana intens layaknya sedang di sebuah acara olah-raga, dan sebagainya. Kalau sudah nyala panca indranya, maka audiens tentunya akan dapat secara emosional merasakan sesuatu yang luar biasa dan secara intelektual mendapatkan sesuatu yang positif.

Page 7: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Untuk mendapatkan pengalaman maksimal, tentunya ada elemen sharing pula. Artinya, audiens dilibatkan agar mereka bisa ikut serta dan lebih aktif ketika menikmati sebuah pengalaman. Seperti bisa menendang bola seperti layaknya seorang Ronaldinho atau mencoba memukul seperti Tiger Woods, dan sebagainya. Maka tak heran karena begitu adanya, mereka akan terdorong untuk membagi pengalamannya dengan teman-teman, koneksinya, dan jaringannya.

Menjadi experiential connector di dunia online

Melihat trend yang berkembang ditahun 90an, penggabungan antara experience dan customization yang terbentuk dalam sebuah platform online merupakan cara baru untuk berinteraksi dengan runners. Hal ini menjadi sangatlah tepat bagi Nike karena pada saat yang bersamaan, para pengguna Nike telah berubah. Mereka tidak lagi menginginkan sebuah perlengkapan olahraga yang “state-of-the-art-technology,” tetapi mereka justru mencari produk olah raga yang sesuai/“tailored” dengan yang mereka butuhkan.

Melihat popularitas dan cepatnya pertumbuhan NikeID.com sejak pertama kali berdiri, Nike terbilang sukses dalam memulai hubungan dengan para Nike runners. Sejak NikeID.com diluncurkan pada tahun 1999, Nike tidak henti-hentinya mengembangkan portal online tersebut. Bermula dari bertambahnya jumlah akses dan pengunjung, Nike mengembangkan pilihan produk-produknya. Dari beberapa model sepatu; Nike telah menambah pilihan kustomisasi pada produk lini lainnya, seperti pakaian dan aksesories olah raga.

Hal ini tentunya mentransformasi cara Nike runners membeli produk. Ada dua keuntungan bagi runners. Pertama adalah mereka akhirnya dapat merealisasikan sepatu yang sesuai dengan kebutuhan dan juga personal style mereka. Dimana hal ini sebelumnya cukup sulit mereka lakukan karena tingginya biaya customization desain dan produksi.

Keuntungan kedua adalah experience yang baru dan berbeda—mengingat konsep NikeID.com adalah yang pertama dalam industrinya. Cukup penting untuk disadari bahwa pengalaman yang ditawarkan oleh Nike dalam proses penciptaan dan pembuatan produk merupakan value-added bagi para runners. NikeID.com meningkatkan excitement para runners dan selain memberikan pengalaman, Nike telah memberikan kepuasan tersendiri bagi runners. Hal inilah yang dapat meningkatkan ikatan emosional runners dengan produk yang mereka ciptakan dan brand yang menyediakan pengalaman tersebut.

Dari sisi Nike sebagai perusahaan dan brand, NikeID.com juga memiliki beberapa keuntungan. Pertama adalah NikeID.com telah memperluas jangkauan interaksi mereka dengan penggunanya. Kedua, Nike memiliki kesempatan berinteraksi secara langsung dengan para penggunanya diseluruh dunia. Ketiga, Nike dapat mengembangkannya menjadi sebuah proses data mining yang juga menggeser level hubungan—dari mass menjadi lebih kearah relationship marketing.

Diluar dari itu, Nike kembali menjadi sebuah brand pioneer yang terdepan dan selalu menciptakan terobosan. Pendekatan melalui NikeID.com ini pun menjadi trend dibeberapa industri lainnya. Secara spesifik pada industri footwear dan olah raga. Banyak dari brand-brand lain berusaha mengikuti kesuksesan Nike iD dengan meluncurkan versi kustomisasi. Beberapa contoh adalah seperti Build Your Own Boot dari Timberland, Made over to your taste dari

Page 8: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Converse, dan Custom Old Skools dan Custom Slip-Ons dari Vans.

NikeID.com merupakan satu contoh dimana Nike telah membuktikan keberhasilannya dalam menggunakan experiential konektor dalam meningkatkan hubungan dan meningkatkan popularitasnya.

Pemasaran yang Berjalan (Bagian Satu Dari Dua Tulisan)Laporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinSenin, 16 November 2009 | 09:12 WIB

shutterstcok

KOMPAS.com - Pernahkan Anda cukup "beruntung" bertemu seorang lak-laki berambut kribo dengan dandanan aneh menenteng-nenteng papan di dadanya? Dari tampilan khasnya, ditambah lagi dengan tulisan dengan huruf-huruf besar yang menempel di depan dadanya, Anda pasti akan langsung tahu bahwa dia sedang mempromosikan program talk show di sebuah stasiun televisi.

Sejak dahulu, manusia sudah dikaruniai dengan kemampuan sekaligus kebutuhan mobilitas yang tinggi. Dengan beragam alasan kita senantiasa bergerak dan berpindah tempat, entah didorong oleh kebutuhan ekonomi, sosial, ataupun spiritual. Fakta ini disadari pula oleh para marketer. Beragam marketing tools pun diciptakan untuk "mengimbangi" pergerakan konsumen yang tidak bisa diam.

Di era legacy, kita sudah mengenal beragam bentuk "iklan berjalan", atau biasa di kenal juga dengan istilah out-of-home media. Bentuknya beraneka ragam, sifatnya pun bervariasi; ada yang statis dan ada pula yang lebih dinamis (mobile).

Contoh out-of-home media yang statis adalah billboard dan street furniture. Billboard tentu bukan barang asing bagi kita. Papan ukuran raksasa semacam ini sengaja di tempatkan di titik-titik strategis tempat manusia berlalu-lalang, mencoba menarik perhatian mereka dengan gambar ilustratif dan pesan-pesan pemasaran. Street furniture tak jauh beda konsepnya, hanya bentuk medianya saja yang berbeda. Pesan pemasaran tidak diukir di papan ukuran raksasa, tapi di "perabotan" yang bergeletakan di pinggir jalan-jalan utama: kotak telepon umum, halte bis, tembok toko di pinggir jalan, dan sebagainya.

Page 9: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Namun sifatnya yang statis menjadikan media-media out-of-home di atas memiliki kelemahan mendasar. Bagi para pemakai jalan yang selalu menggunakan rute tempat billboard ataupun street furniture tersebut dipajang, mungkin pesan pemasaran akan lebih efektif tersampaikan karena adanya interaksi yang berulang-ulang. Namun jika Anda hanya sesekali melewatinya, belum tentu pesan itu akan sempat dicerna karena ada banyak hal di jalan raya yang bisa menjadi noise. Meskipun demikian contoh-contoh out-of-home media di atas tetap dilandasi oleh keinginan untuk menjangkau target audience yang senantiasa mobile.

Maka mulai digunakanlah media-media lain yang lebih dinamis (mobile). Pilihan out-of-home media selanjutnya adalah transit advertising. Jika Anda pernah melihat bus umum yang body-nya penuh dengan warna-warni pesan iklan, itu adalah salah satu contohnya. Iklan di dalam kereta api, pesawat terbang maupun kapal laut adalah contoh-contoh lainnya. Melalui taktik transit advertising, media yang digunakan adalah sarana yang dianggap biasa menemani mobilitas pelanggan dalam jumlah yang massal.

Harapannya, pesan pemasaran akan lebih lama berinteraksi dengan target audience karena media yang digunakan ikut "berjalan" bersama mereka.

Contoh-contoh di atas adalah pemanfaatan mobile connector di era legacy. Jika kita mengacu pada konsep "Triple-T Revolution" yang pernah kami singgung dalam tulisan sebelumnya, "T" yang dioptimalkan baru sebatas transportation dan travel. Perkembangan teknologi, terutama di bidang informasi dan telekomunikasi, belum sepenuhnya dieksplorasi.

Jika kita perhatikan media-media yang telah disebutkkan sebelumnya, semuanya masih memiliki karakter yang sama: cenderung berkomunikasi secara searah (one way). Inilah ciri khas pendekatan marketing yang legacy.

Lalu seperti apa pemanfaatan mobile connnector di era new wave?

Dengan perkembangan teknologi yang demikian massif, sekarang telah terbuka peluang untuk menjadikan out-of-home media menjadi lebih interaktif. Ada dua contoh menarik yang akan kami ceritakan dalam artikel berikutnya.

Pemasaran yang Berjalan (Bagian Dua dari Dua Tulisan)Laporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinSenin, 16 November 2009 | 20:38 WIB

Page 10: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

shutterstock

KOMPAS.com — Contoh yang sangat menarik adalah program komunikasi pemasaran yang dilakukan oleh Nike untuk mengampanyekan "Nike iD", sepatu yang pilihan warnanya bisa di-customize oleh pelanggan. Apa media yang digunakan? Salah satunya sudah kami sebutkan di atas: billboard. Nike memasang sebuah papan raksasa berisi gambar sepatu di New York Times Square. Namun, billboard ini bukan sekadar papan iklan yang hanya bisa dipandang.

Dengan memanfaatkan teknologi telekomunikasi, para pejalan kaki yang melewatinya bisa "berkomunikasi" secara interaktif dengan pesan yang ada di billboard. Dengan memanfaatkan ponsel, mereka bisa mengubah-ubah warna sepatu yang ada di dalam layar raksasa berbentuk billboard tadi. Caranya sederhana, mereka tinggal menelepon nomor yang tertera di layar dan selanjutnya rangkaian instruksi untuk melakukan customization akan muncul di layar ponsel. Dan ini berlangsung secara real time!

Tak hanya itu, setelah sepatu yang ada di billboard raksasa berubah warna, mereka pun akan dikirimi pesan berisi link untuk men-download gambar ke dalam ponsel dan menjadikannya sebagai wallpaper. Tak lupa, Anda juga akan ditawari untuk langsung melakukan order pembelian secara on-line. Sangat interaktif bukan?

Apa yang dilakukan Nike di Shanghai, Beijing, dan Guangzhou beda lagi. Billboard yang dipasang di 3 kota ini dilengkapi dengan teknologi Bluetooth yang secara otomatis akan mengirimkan pesan kepada pejalan kaki yang lewat di dekatnya. Isinya berupa instruksi untuk berlari ke toko Nike terdekat secepat mungkin! Sebuah stopwatch virtual secara otomatis akan muncul begitu pejalan kaki menerima pesan, dan akan berhenti secara otomatis begitu mereka sampai di toko sepatu Nike.

Setiap hari, toko sepatu itu akan memberikan sepasang sepatu gratis pada pelari tercepat. Dan hari berikutnya, foto sang juara sudah nampang di layar billboard.

Kampanye di tiga kota tadi berlangsung selama 3 minggu. Tercatat ada 250.000 pesan terkirim via Bluetooth, sebanyak 15.000 peserta ikut berpartisipasi, dan 63 pasang sepatu Nike diberikan sebagai hadiah.

Page 11: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Cerita kedua seputar pemanfaatan mobile connector ala new wave adalah tentang sebuah perusahaan periklanan asal Eropa bernama Adwalker.

Perusahaan ini memiliki armada pejalan kaki yang tiap orangnya "dipersenjatai" dengan sebuah rompi berteknologi multifungsi. Di bagian depan rompi ada sebuah layar LCD tipis yang terhubung dengan internet. Hal ini memungkinkan pengiklan untuk menampilkan pesan-pesannya secara dinamis dan personal karena sang pemakai rompi akan dengan antusias mengajak target audiensi berkomunikasi.

Rompi itu juga dibekali dengan sebuah printer mini. Dengan peranti ini, seandainya ada hypermarket yang sedang mengampanyekan program diskon besar-besaran, audiensi bisa mencetak langsung kupon promosinya saat itu juga.

Teknologi yang dikombinasikan dengan kemampuan mobilitas serta penetrasi yang tinggi dari sang pemakai rompi juga menjadikannya sebagai sarana yang efektif untuk melakukan pengumpulan data pelanggan. Inilah yang dilakukan Castrol saat menggunakan jasa Adwalker untuk mendata sekaligus mempromosikan produknya dalam sebuah event balapan akbar.

Dengan perkembangan teknologi yang ada saat ini, masih banyak lagi model interaksi yang bisa dilakukan dengan target pelanggan melalui perantara sang pemakai rompi.

Inilah model new wave mobile connection yang tidak sekadar canggih dari sisi teknologi, tetapi juga mampu membuka komunikasi dua arah dengan pelanggan.

Meninjau Ulang "Brand Management"Laporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinSenin, 9 November 2009 | 15:16 WIB

shutterstockTERKAIT:

Ketika Konsumen Menjadi Inovator Cerita Eli Lilly dengan e.Lilly

Meninjau Ulang Product Management

Artikel Ini Dilacak oleh Dell!

Page 12: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Membangun Loyalitas di Era New Wave

KOMPAS.com — Pemasaran tidak lengkap jika dilakukan hanya lewat manajemen produk dan manajemen pelanggan. Anda perlu juga melengkapi diri dengan pengelolaan brand sebagai jembatan bagi keduanya. Kenapa jembatan? Karena manajemen brand yang solid akan mampu menstimulasi dan mengakselerasi bertemunya percepatan perkembangan teknologi dan percepatan perkembangan kebutuhan pelanggan. Manajemen brand akan memungkinkan produk atau teknologi menemukan potensi maksimalnya di pasar.

Prosesor Intel menemukan critical mass-nya di pasar setelah meluncurkan kampanye branding Intel Inside. Apple Mac mencapai sukses puncaknya setelah produk ini membangun identitas mereknya sebagai produk yang penuh dengan gaya, di samping tentunya community-friendly. Begitu pula dengan VW Beetle yang mencapai sukses luar biasa ketika mengajak para konsumennya untuk “Think Small.” Produk adalah barang mati. Ia akan hidup setelah diberi “nyawa.” Nyawa itu adalah brand. Proses penerimaan pasar akan semakin cepat jika produk yang Anda ciptakan hidup, memiliki identitas, memiliki karakter: ketika produk Anda memiliki brand yang kokoh.

Keputusan menetapkan brand, posisinya secara strategis dalam pengembangan produk baru. Brand memberi nyawa bagi semua produk. Namun, nama dan nyawa tidak akan membentuk ekuitas brand yang kuat jika tidak didukung komitmen dalam perilaku dan konsistensi dalam aktivasi merek dan visualisasi merek.

Di dalam era Legacy, manajemen brand difokuskan pada peningkatan ekuitas merek. Ekuitas merek adalah asset intangible yang dimiliki oleh sebuah merek karena value yang diberikannya baik kepada si produsen maupun si pelanggan. Kalau pemasar melakukan program pemasaran mulai dari promosi di koran atau TV, membenahi distribusi, atau memperbaiki layanan, maka sesungguhnya ia sedang berupaya untuk meningkatkan ekuitas mereknya. Semakin tinggi ekuitas merek ini, maka akan semakin tinggi pula value yang diberikan oleh merek tersebut, baik kepada si produsen maupun si pelanggan.

Karena ekuitas merek tergantung pada upaya membangun merek yang kita lakukan, maka nilai ekuitas merek itu pun naik turun dari waktu ke waktu, tergantung dari upaya yang kita lakukan.

Dengan menggunakan metode statistik tertentu, ekuitas sebuah merek bisa diukur nilainya. Melalui pendekatan statistik ini, beberapa unsur ekuitas merek bisa diukur, seperti brand value, brand strength, top of mind, brand awareness, perceived quality, brand association, brand preference, hingga brand loyalty.

Itu tentunya di era Legacy. Era ketika pembangunan merek adalah segalanya. Era ketika ekuitas merek adalah segalanya. Era ketika pembangunan merek untuk meningkatkan ekuitas merek dilakukan secara vertikal.

Di era New Wave, brand memang masih penting. Namun, jangan lupa, brand bisa naik turun dengan cepat. Orang bisa terkenal dalam sehari di internet dan nyaris tidak kedengaran lagi di hari kedua.

Page 13: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Seperti yang kami telah bahas sebelumnya, di era New Wave ini, yang lebih penting adalah karakter, bukan lagi brand-nya. Karakter ini adalah isi sesungguhnya (the true self) dari Anda, sedangkan brand adalah the cover atau bungkus. Maka dari itu, manajemen brand di era New Wave ini tentunya sudah tidak lagi bertumpu hanya pada penguatan ekuitas merek semata karena yang terpenting adalah cara membangun sebuah karakter yang dilakukan secara horizontal.

Meninjau Ulang Product ManagementLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinJumat, 6 November 2009 | 08:30 WIB

KOMPAS.com - Product management di era legacy sangat erat hubungannya dengan bagaimana pemasar mewujudkan ide menjadi produk yang siap dipasarkan. Dalam hal ini minimal ada tiga tahapan yang harus dilalui yakni melakukan scoping and building business case, development and testing, dan terakhir ditutup dengan product launching.

Sebagai tahapan pertama, scoping and building business case bertujuan untuk menilai dan mengukur aspek keuangan, aspek penerimaan pasar, aspek operasional teknik mewujudkan ide menjadi produk nyata, dan faktor-faktor lain yang berpotensi meningkatkan atau menurunkan tingkat kesuksesan produk di pasar.

Secara tradisional, aktivitas utama dalam tahapan ini adalah melakukan riset primer (dengan metode interview dan focus group discussion (FGD) kepada pelanggan), dan melakukan riset sekunder (studi literatur, internet, dan dokumentasi internal yang dimiliki).

Output yang dihasilkan dari tahapan ini adalah keputusan diteruskan atau tidak diteruskannya ide pengembangan produk baru ke tahapan yang selanjutnya. Karena di tahap ini, perusahaan menimbang banyak hal yang menyangkut tingkat penerimaan pasar, kemampuan keuangan dan teknis, dan faktor eksternal lain yang berpotensi mempengaruhi kesuksesan produk. Apabila setelah dinilai dari aspek pasar, keuangan, teknik, dan faktor eksternal semuanya positif, ide pengembangan produk baru akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya ke tahap development and testing.

Pada tahapan development dan testing, perusahaan melakukan analisa lebih dalam mengenai

Page 14: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

empat aspek di atas. Ada lab test, in-house test, alpha-test untuk memastikan aspek teknis dari produk. Sedangkan di sisi pasar dilakukan berbagai analisa pasar dan analisa terhadap input dari pelanggan yang dilakukan secara paralel dengan aktivitas pre-test, test market, dan trial-sell agar sebelum produk diluncurkan semuanya telah sempurna; produknya sempurna, jaringan distribusi (channel) juga siap, dan kebijakan penjualan beserta harganya telah jelas.

Apabila salah satu aspek tidak sempurna dan produk nekat diluncurkan, dengan berbagai pertimbangan misalnya karena tidak mau kalah cepat dengan pesaing, produk kemungkinan besar akan gagal di pasar. Yang sering ditemukan adalah produknya telah sempurna dan siap dipasarkan namun perusahaan belum selesai merancang strategi penjualan dan distribusinya.

Product launching (peluncuran produk) adalah titik kulminasi dari dua proses sebelumnya, namun bukan proses terakhir menuju produk sukses. Product launching adalah awal dari proses komersialisasi produk baru yang kemudian akan dilanjutkan dengan tahapan-tahapan marketing taktis.

Pada tahapan ini, manajemen minimal harus telah selesai merancang product positioning, differentiation dan brand (PDB produk), marketing-mix-nya dan taktik penjualan beserta channel management-nya. Jika elemen tersebut telah siap, maka product launching benar-benar akan menjadi moment of truth bagi kesuksesan produk di pasar, bukan sekedar memperlihatkan dummy product seperti yang telah umum terjadi.

Di dalam marketing customer, product, dan brand management sangat penting. Customer management terkait dengan bagaimana pemasar mengelola sisi permintaan. Product management terkait dengan bagaimana pemasar mengelola sisi penawaran. Brand management adalah bagaimana pemasar menjembatani keduanya.

Di era New Wave, praktek dan cara kita mengelola produk tentunya tidak bisa lagi se-tradisional atau se-legacy seperti yang di atas. Karena sisi demand-nya berubah. Praktek customer management yang dilakukan oleh pemasar juga berubah, seperti yang telah dijelaskan kemarin, harus berorientasi penuh pada komunitas.

Karena praktek komunitisasi menjadi sentral dalam New Wave ini, maka pemasar harus barenginya dengan product management yang bertumpu dan mengacu pada pendekatan komunal pula. Artinya pemasar harus melibatkan komunitas pelanggan dalam proses pengelolaan produknya, sehinga dapat menghasilkan co-creation yang meaningful bagi pelanggan.

Customer Management di Era New WaveLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinRabu, 4 November 2009 | 13:48 WIB

Page 15: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

shutterstockTERKAIT:

New Wave Marketing Trilogy di Dell Surfing the New Wave: The How Question

Connecting dan Collaborating untuk Value Creation

Bukan Sekedar Membuat Platform

Process is Collaboration

KOMPAS.com - Pengelolaan pelanggan, jika dilakukan dengan benar akan membantu pemasar dalam meningkatkan efektifitas mendapatkan pelanggan baru (Get), mempertahankan pelanggan yang telah ada (Keep), dan meningkatkan wallet share tiap pelanggan (Grow). Pada intinya, pelanggan bukan hanya harus diakuisisi, tapi dipertahankan agar dapat memberikan nilai jangka panjang. Dan bukan itu saja, pengelolaan pelanggan ini akan membantu pula untuk menghasilkan pelanggan loyal yang lebih banyak.

Di era Legacy, pengelolaan pelanggan ini bisa dilakukan secara sistematis, lewat prinsip sembilan elemen pemasaran. Untuk mendapatkan pelanggan baru yang berpotensi untuk ditingkatkan loyalitasnya (keep dan grow), sejak awal perusahaan harus menyaring secara benar para suspek yang masuk menjadi prospek yang bernilai tinggi. Dengan demikian hanya diperlukan sumber daya yang minim untuk mengubahnya menjadi pembeli pertama (first time buyer). Suspek yang masuk disaring dengan strategi Segmentasi, Targeting, dan Positioning-disingkat STP. Tujuannya adalah agar suspek yang masuk menjadi prospek adalah suspek-suspek yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang sama dangan value proposition yang dimiliki produk.

Kemudian untuk menarik prospek menjadi pembeli pertama digunakan strategi diferensiasi, marketing-mix, dan selling- disingkat menjadi DMS. Diferensiasi yang mendorong prospek memilih produk kita dibandingkan produk pesaing. Diferensiasi dikongkritkan lagi dalam marketing mix yang yakni product, price, promotion dan place, harganya mau dipatok pada angka berapa, bagaimana konsep iklan below the line (BTL) dan above the line (ATL)-nya dan mau memakai saluran distribusi apa saja. Keputusan dalam marketing mix akan menentukan kredibilitas positioning yang telah dibangun sebelumnya. Misalnya produk telah diposisikan

Page 16: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

sebagai produk yang ekslusif namun ternyata pelanggan dapat menjumpainya di sembarang channel, maka jelas kesan ekslusif yang coba dibangun dengan promosi menjadi tidak berguna.

Setelah mendapat first time buyer, tentunya perusahaan ingin mempertahankannya selama mungkin menjadi pelanggan loyal. Caranya dengan menjelaskan nilai dari brand, meningkatkan kualitas servis (Service), dan memperbaiki proses yang mendukung perbaikan servis (Process)- disingkat BSP.

Untuk mendorong first time buyer melakukan pembelian berikutnya, pelanggan harus percaya pada nilai brand (brand value). Membangun brand yang kuat berkaitan dengan usaha untuk membuat pelanggan melihat brand kita sebagai brand yang paling kredibel yang dapat memberikan solusi terbaik. Brand harus menjadi bayung yang merepresentasikan produk dan servis.

Untuk meningkatkan brand value, sebuah brand membutuhkan dukungan servis yang baik. Peningkatan nilai produk melalui servis tidak akan terjadi tanpa adanya proses yang efektif dan efisien. Proses di sini yang dimaksud adalah proses penciptaan nilai bagi pelanggan yang tergambar pada kualitas produk, biaya yang dikeluarkan dan kualitas hantaran produk kepada pelanggan atau disingkat QCD-quality, cost, delivery.

Itu semua tentunya ajaran yang sesuai dengan konsep pemasaran yang Legacy di mana pemasar dibantu oleh sistem yang ‘canggih’ seperti CRM, ERP, atau lain sebagainya. Tentunya itu semua sudah semakin tidak relevan lagi seiring dengan masuknya kita ke era New Wave.

Di dunia yang baru dan horizontal ini, kepanjangan dari CRM mungkin bukan lagi Customer Relationship Management, namun Customer Really-Managed. Karena konsumen semakin memegang kendali, mereka terhubung kemana-mana, dan lebih komunal. Sebagai mana yang akan dibahas dalam artikel selanjutnya, yang menjadi sentral dalam customer management di era New Wave ini adalah bagaimana pemasar mengelola pelanggan di komunitas mereka.

Membangun Loyalitas di Era New WaveLaporan wartawan Hermawan Kartajaya,Waizly DarwinKamis, 5 November 2009 | 09:18 WIB

SHUTTERSTOCK

Page 17: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

Ilustrasi

KOMPAS.com - Seperti yang telah dijelaskan di dalam artikel kemarin, pengelolaan pelanggan (customer management) adalah sangat penting, karena ia terkait dengan langkah pemasar untuk mendapatkan pelanggan baru, menjaga mereka, dan membesarkan mereka agar mereka loyal dengan kita. Tentunya praktek yang dilakukan sangat berbeda apabila kita bandingkan antara era Legacy dengan New Wave.

Di era Legacy, langkah pemasar dalam melakukan aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan pelanggan ini berorientasi pada segmentasi dan targeting, bagaimana mengubah calon pelanggan menjadi pelanggan, untuk kemudian dibina hubungannya agar mereka menjadi pelanggan yang loyal. Dibinanya tentu dengan berbagai cara yang vertikal. Apalagi dengan dibantu dengan sistem CRM, data historis pelanggan dan perilaku mereka terekam di dalam database pemasar, sehingga pemasar di era legacy dapat menganalisa hal-hal apa lagi yang dapat dijual ke pelanggan.

Di era New Wave, tujuan untuk pengelolaan pelanggan pada dasarnya tetap sama, yaitu mengejar loyalitas pelanggan. Hanya saja, pemasar di dunia yang horizontal ini memang bukan sekedar teriming untuk punya basis pelanggan yang kuat yang terus membeli produk mereka, tapi mereka lebih tertarik dengan membangun basis pelanggan yang sifatnya loyal advocate yang rajin memberikan rekomendasi. Dan itu semua memungkinkan karena adanya praktek komunitisasi sesuai dengan elemen pertama dari 12C pemasaran New Wave yang telah dijelaskan sebelumnya.

Dengan adanya konektor yang bersifat mobile, ekperiensial, dan sosial, yang berkembang di dunia online maupun offline, pelanggan semakin mudah untuk berbicara dan memberikan rekomendasi. Rekomendasi dianggap penting disini, karena, sekali lagi, yang dimaksud dengan pelanggan yang setia itu bukan hanya yang melakukan pembelian ulang, bukan repeat buying, tetapi loyal dan rajin memberikan rekomendasi terhadap kita ke orang lain. Di dalam prakteknya, pemasar di era New Wave mengejar apa yang dinamakan Net Promoter Score (NPS) untuk mengukur masukan dari pelanggan.

Di sini pemasar hanya tertarik dengan satu pertanyaan simpel yaitu “Apakah Anda akan merekomendasikan produk/merek/layanan ini kepada orang lain?” Kemudian pelanggan akan memilih angka untuk mewakili keinginan mereka merekomendasikan merek tersebut, dari yang terkecil 0 jika mereka sama sekali tidak mau memberi rekomendasi, sampai yang terbesar angka 10. NPS kemudian akan dihitung dengan cara menjumlahkan persentase Promoter (angka 9-10) dengan Passively satisfied customer (angka 7-8) dan dikurangi dengan Detractors atau sebut saja teroris yang suka menyebarkan hal-hal yang buruk tentang kita (angka 0-6). Kalau dilihat dari cara perhitungannya, akan sulit untuk meraih angka yang tinggi untuk NPS ini, karena pelanggan yang memberi rekomendasi harus dikurangi dengan Detractors.

Tapi bukan berarti tidak mungkin untuk mendapatkannya. Harley Davidson, contohnya, adalah salah satu perusahaan yang dikabarkan punya NPS tinggi, lebih dari 80 persen. Tapi itu Harley Davidson, yang memang punya komunitas loyal yang bukan sekedar menjadi basis ‘pembeli’

Page 18: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

produk mereka, namun merupakan basis komunitas ‘pembela’ yang rela mati-matian untuk Harley Davidson dan memiliki kesamaan jiwa dan karakter.

Di era New Wave, pelanggan semakin memegang kendali, sehingga semakin susah bagi pemasar untuk ‘mengunci’ mereka sebagaimana yang selama ini diajarkan dalam customer management di pemasaran era legacy. Namun bukan berarti praktek ‘mengunci’ itu tidak bisa dilakukan, hanya saja memang harus lewat komunitisasi.

New Wave Marketing

If you're new here, you may want to subscribe to my Newsletter & Download My Special Report using the form on top left and/or RSS feed for the latest updates. Take some time to leave comments too :-) Thanks for visiting!

New Wave Marketing – The Modern Marketing Principles

My mentor and friend, Pak Hermawan Kartajaya, is the Asean’s Marketing Guru and the Pride of Indonesia.  Since late August of this year, he has been writing about “The New Wave Marketing Series 100” at Kompass.com (Indonesia Online Media).  It is also a great joy to hear that he will co-author with Philip Kotler on a new book with the same title “New Wave Marketing”.

I am sure anyone in the marketing world, especially those that has taken “marketing” in their higher education, will remember the thick blue book of “Principles of Marketing” by Philip Kotler. ( Of course, there has been many new editions of the book that may be of different colors now.)  So there is no need of me to further the introduction of the world famous “Father of Modern Marketing for International Market”

So What’s “New Wave Marketing”?

According to Kartajaya, the famous nine principles of marketing, as we all have learned to know and applied in our marketing strategies, need to be revised and adapt to the modern world today and these new principles will be known as New Wave Marketing.  Whether or not they will actually replaced the old terms from now on has not been announced.

Just to point out, The nine principles of marketing by Kotler also referred as “Legacy Marketing” are:

Page 19: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

1. Segmentation,2. Targeting,3. Positioning,4. Differentiation,5. Marketing-Mix (Product, Price, Place, Promotion),6. Selling,7. Brand,8. Service,9. Process

12 C’s of “New Wave Marketing”

The new elements or principles has now been termed the 12 C’s of “New Wave Marketing” and they are:

1. Communitization,2. Confirming,3. Clarifying,4. Coding,5. Crowd-Combo (Co-Creation, Currency, Communal Activation, Conversation),6. Commercialization,7. Character,8. Caring,9. Collaboration

The reason why I am posting and sharing this with you is that Internet Marketing Strategies are by and large derived from Marketing Strategies as we have learned and apply in the offline world.  The nine principles of Marketing by Philip Kotler are commonly applied to all businesses in their marketing strategies.

These nine principles have been widely applied in internet marketing by many businesses and internet marketers.  Since these nine principles of marketing will soon be revised to be “NEW WAVE MARKETING“, it is important for us to be aware of these new principles and apply the New Wave Marketing to online businesses and internet marketing in general.

Page 20: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

The evolution of New Wave Marketing is actually the result of the development of internet.  And many large successful businesses, who have applied it, has become highly successful including online companies such as FACEBOOK, eBay, Apple and Amazon!

You will be able to understand the new terms better with the illustration below and you will see that the New Wave Marketing is actually a replacement of terms of the Nine Principles of Marketing.

Segmentation => Communitization Targeting => Confirming

Positioning => Clarifying

Differentiation => Coding

Marketing-Mix => Crowd-Combo

Product => Co-Creation

Price => Currency

Place =>Communal Activation

Promotion => Conversation

Selling => Commercialization

Brand => Character

Service => Caring

Process => Collaboration

These new terms described the principles of Marketing better than the previous terms and make more sense in the new world today. The changes in information technology especially the internet has revolutionized how human interact with one another, creating more opportunities as well as threats to all businesses. Just like the 9 principles of Marketing that needs adaption to the new world, we too need to adapt to the New Wave Marketing and apply them to our business to face this new world.

“We cannot Live Without Changes”

“It is not the Strongest that will Survive, BUT the Most Adaptable” -Jong Yong Yun (CEO Samsung)

These New Wave Marketing principles, when applied, allows companies to reap huge benefits with sustainable competitive advantage over others.

Page 21: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

As an example,  Communitization is the first key of New Wave Marketing. Communities can easily be found on the internet as Online Communities have flourished tremendously over the past years. This can be seen in forums and social networking sites where users created their own community. With communitization principle in mind, marketers can now explore and research potential communities to market their business to.

Kartajaya explains that Communitization is much more effective than Segmentation as markets will not only be based on geography, demography or social backgrounds in traditional segmentation. BUT, markets will now be based on groups of people with the same passion or interest from all walks of life from anywhere around the world as communities.

If a company can apply communitization and gain the trust and love of communities, then these communities will volunteerily help market the company and defend the company from critisims coming from outside the community.

Marketers need to be aware of these new principles, gain better understanding and apply these New Wave Marketing in order to reap bigger benefits.

The 100 essays of New Wave Marketing are still developing at Kompas.com as I write this post. However, they are written in Bahasa Indonesia, you will need to wait for the new book with Kotler to gain deeper understanding about this New Wave.

Applying New Wave Marketing Principles

To show an example, Kartajaya instantly apply New Wave Marketing strategies in launching his book and conference by organizing a New Wave Marketing Competition.

There are three categories to the competition. Participants /Contestants will help promote “New Wave Marketing” and “Markplus” online by submitting either

1. a Picture to Flickr,2. a Video to Youtube and/or

3. a Story to their personal blogs.

Page 22: Konsep Pemasaran Hermawan Kartajaya

By entering into this competition and submitting these materials online, contestants will actually help promote “Markplus” and the “New Wave Marketing” principles for Kartajaya online, creating more awareness and buzz for his product launch. This is an example of the New Marketing Mix - Crowd Combo in New Wave Marketing.

The prize:

There are 6 prizes to be won, 2 from each category and the winner will win a Nokia N3500 handphone each sponsored by Nokia!

As you can see, the prizes do not have to be huge and you can even find sponsor for it This is an example of “low budget high impact” New Wave Marketing Strategies as described and applied by Pak Hermawan Kartajaya.

With an example shown above, I am sure you will get some ideas on how you can use internet and New Wave Marketing to enhance your presence online as well as boosting your business performance.

Source: New Wave Marketing | Internet Marketing Solutions http://www.bobmarketing.com/new-wave-marketing/#ixzz0n2JHPVNG Copyright: www.BOBmarketing.com