konsep manusia dalam perspektif ali syari`ati

60
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI Oleh Lesmadona Ferutama NIM. 203033102165 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2008 M / 1428 H

Upload: others

Post on 23-Dec-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

KONSEP MANUSIA

DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI

Oleh

Lesmadona Ferutama

NIM. 203033102165

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008 M / 1428 H

Page 2: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)

Oleh

Lesmadona Ferutama

NIM. 203033102165

Di Bawah Bimbingan

Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA

NIP. 150107970

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2008 M / 1428 H

Page 3: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati telah

diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Program Strata 1 (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat.

Jakarta, 23 Juni 2008

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota

Drs. Harun Rasyid, MA Drs. Rifqi Muchtar, MA

NIP. 150232921 NIP. 150282120

Anggota

Drs. Agus Darmaji, M. Fils Prof. Dr. Zainun Kamal, MA

NIP. 150262447 NIP. 150228520

Prof. Dr. Fauzan El-Muhammady, MA

NIP.150107970

Page 4: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

KATA PENGANTAR

Segala puji hanya milik Tuhan Semata Alam, pencipta makhluknya, Yang mengetahui apa-

apa yang ada dilangit dan di bumi yang nyata maupun yang tersirat baik dalam keadaan terang

benderang maupun dalam keadaan gelap gulita. Shalawat dan salam selalu tercurah dari bibir pendosa

yang selalu dipaksakan untuk terus mengucapkan keselamatan atas manusia agung sang paduka Nabi

Muhammad saw, berkat dengan adanya Muhammad-lah alam ini dapat terciptakan dan dapat

diberikan cahaya menempuh jalan yang terang benderang.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala-kendala yang harus

dihadapi oleh penulis. Namun demikian berkat bimbingan-Nya serta bantuan yang sangat berharga

bagi penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:

1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

2. Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Kepala Program Ushuluddin dan Filsafat Non-

Reguler.

4. Bapak. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat

Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA selaku dosen pembimbing.

Terimakasih banyak atas segala waktu dan bimbingannya.

6. Kepada segenap Dosen-dosen Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmunya

kepada penulis sehingga penulis menemukan pemikiran-pemikiran baru.

7. Segenap staff dan petugas Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

UIN Syarif Hidayatullah.

8. Selanjutnya, salam ta‘dzim penulis kepada Ayahanda Lem Ses Aini dan Ibunda Fithriani,

selaku kedua orang tua yang pernah mendidik penulis dari semenjak buaian hingga

Page 5: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

menemukan “dirinya” sebagai manusia. Buaian kasih dan sayangnya sungguh tak akan

pernah terbalas oleh penulis.

9. Kepada kedua kakek dan nenek penulis, Soehaily Ya`qub dan Nurkimah, yang telah

memberikan nasehat-nasehat yang bijak agar penulis bisa menjadi lebih baik dan lebih

baik lagi. Semoga keduanya diberikan umur panjang dan sehat selalu.

10. Latifah Mitrayani Hanum, adik penulis yang akan melanjutkan cita-citanya ke perguruan

tinggi. Jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut.

11. Om Edi, Tante Dwi, Om Raka, One, Om Fahmi, dan Uniang yang telah memberikan

motivasi kepada penulis sehingga bisa terselesaikannya skripsi ini.

12. Buat sepupu-sepupu penulis Suci, Rio, Bima, Bulan, Bintang (welcome), Farhan, dan

Bima yang jauh di mata dekat di hati.

13. Ust. Saepudin yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis.

14. Pak Masyhar MA yang telah menyediakan waktunya untuk mendiskusikan skripsi kepada

penulis.

15. Teman-teman seperjuangan yang ada di KINEKLUB dan Kabbalah Study Club.

16. Teman-teman yang paling ngebosenin dari Al-Mukhlishin, Wawan, semoga sukses

dengan kursusan barunya. “Udah jago belom (PS)?“. Goro, manusia paling banyak

obsesi, mudah-mudahan tercapai obsesinya. Dan Sotoy, yang sedang meniti karier di

Bombay. “Sabar ya Toy..“.

17. Buat Noz, Paijo, Muthe, dan Yuni yang telah memberikan kebersamaan dari kejenuhan

sehari-hari penulis. “Thanks bro..“

18. Teman-teman Alumni Al-Hikmah, Will Strong, Wawan, Goro, Sotoy, Putra, Fakih,

Siswoyo, Beny, dll. Teruskan perjuanganmu kawan.

19. Syukurku karena telah mengetahui perpustakaan-perpustakaan besar dan berbobot di

pelosok Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin

beserta stafnya, Perpustakaan Idayu Senen, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan

Nasional Salemba, Perpustakaan Kodya Jakarta Selatan, Perpustakaan Fakultas Bahasa

dan Budaya UI, Perpustakaan Utama Universitas Negeri Jakarta.

Page 6: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

20. Teman-teman di filsafat Bang Alex Komang, Romo Nova makasih bang atas segala

kontribusinya, Fandy Rose, Rusli (Iwan), Diana “Cimot“, Uchay (Tuan Takur) dan Daus

(Kabbalis), cepet beres ye.. Syakib (Pongga), Ismet, Ayat yang sudah selesai.

Page 7: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan Skripsi............................................................................i

Lembar Pengesahan Panitia Ujian ..................................................................ii

Kata Pengantar ................................................................................................iii

Transliterasi.....................................................................................................vi

Daftar Isi .........................................................................................................vii

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...............................................................1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................7

D. Metode Penelitian .........................................................................8

E. Sistematika Penulisan ...................................................................9

BAB II. BIOGRAFI ALI SYARI`ATI

A. Riwayat Hidup ...............................................................................11

B. Pemikiran dan Karyanya ................................................................16

BAB III. KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI

A. Pengertian Manusia ........................................................................20

B. Dua Kecenderungan Manusia

a. Basyar ................................................................................27

b. Insân...................................................................................28

C. Tiga Sifat Ilâhiyah dan Hal-Hal Yang Membatasinya ...................30

D. Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep

Manusia (Insân) .............................................................................42

Page 8: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

BAB IV. PENUTUP

A. Kesimpulan ....................................................................................48

B. Saran-Saran ....................................................................................49

Page 9: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat segala

sesuatu di alam ini, diantaranya adalah manusia. Menurut filsafat, manusia

menempati posisi yang sangat penting, karena hanya manusia yang mampu berpikir

dengan akalnya tentang kebaikan dan keburukan. Selain itu, dengan akalnya,

manusia juga mampu mengatur segala sesuatu yang ada di alam dan mengolahnya

dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini, manusia termasuk

kedalam salah satu kajian yang paling penting dalam ilmu filsafat.

Meskipun kajian tentang manusia menempati posisi sentral dalam ilmu

filsafat, namun para filosof memahami hal ini dengan beragam persepsi. Hal

demikian terjadi karena perbedaan dari definisi tentang hakikat manusia di antara

mereka.

Di Barat, kita kenal dengan paham Eksistensialisme yang melahirkan

beberapa tokoh didalamnya. Salah seorangnya yaitu, Soren Kierkegard. Dalam

pandangan Kierkegard, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa

bereksistensi. Di samping itu, Kierkegard percaya bahwa manusia berasal dari Allah

dan berada sedang dalam proses menuju hubungan kepada kesatuan tertinggi

dengan-Nya. Dalam proses penciptaan manusia menurut Kierkegard, digunakan

istilah to exist yang artinya dalam proses “menjadi”, dan disisi lain ditemukan pula

istilah existence yang artinya adalah suatu perjuangan terus menerus menuju yang

1

Page 10: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

tak terbatas. Jika demikian, perjuangan yang terus menerus inilah yang merupakan

suatu proses pencapaian eksistensi manusia yang sesungguhnya.1

Banyak diantara para pemikir menggolongkan Kierkegard sebagai filosof,

meskipun berbagai persoalan yang dirumuskannya lebih bernuansa metafisika,

dengan kata lain, mereka lebih menyukai untuk menempatkan Kierkegard sebagai

seorang filosof ketimbang seorang mistikus.

Tidak berbeda dengan Kierkegard, `Abd al-Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîllî juga

membangun argumentasi tentang manusia yang berdasarkan tema-tema teologis.

Namun, al-Jîllî lebih dipandang sebagai seorang mistikus ketimbang seorang filosof,

padahal berbagai persoalan yang diangkat tidak terlalu jauh dari persoalan yang

telah dibanguin oleh Kierkegard. Dalam pandangannya, al-Jîllî berpendapat bahwa

eksistensi manusia bersifat koheren dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia memiliki

potensi untuk meneladani sifat-sifat ketuhanan. Dengan usaha ini, maka seseorang

berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan, dan ketika pengembaraan itu

telah mencapai tujuannya, maka manusia menjadi intim dengan dengan Tuhan. Pada

saat keintiman ini, maka manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya, dalam

bahasa al-Jîllî disebut Insân Kâmil.

Bagi al-Jîllî, Insân Kâmil telah merangkum semua metafor asma-asma dan

sifat-sifat-Nya yang berdimensikan zat di dalam diri Insân Kâmil itu sendiri.2

Maksudnya, potensi-potensi Ilâhiyah bersemayam dalam diri Insân Kâmil, sehingga

tahap inilah yang disebut puncak pengalaman spiritual manusia. Menurut al-Jîllî,

manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi

Muhammad Saw, karena, dirinya menjadi manifestasi dari Esensi Tuhan.

1 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57

2 Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jîllî, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc., (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006), h. 319.

Page 11: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Dengan demikian, dapat diketahui, Kierkegard dan al-Jîllî telah sepakat

bahwa substansi manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Tuhan. Hal

demikian merupakan bukti bahwa persoalan-persoalan yang sering diangkat oleh

mereka adalah persoalan yang bersifat metafisik.

Kierkegard dan al-Jîllî bukan satu-satunya pemikir dari kalangan religius yang

mempresentasikan mengenai persoalan substansi manusia itu sendiri. Jika al-Jîllî

adalah seorang mistikus, maka dari kalangan filosof muslim, juga banyak yang

mempresentasikan persoalan serupa. Salah seorang filosof Muslim Iran, Ali Syari’ati

juga angkat bicara dalam persoalan tersebut.

Bagi Ali Syari’ati, persoalan substansi manusia sine qua non harus dikupas

tanpa adanya kontradiksi terhadap dogmatisme Islam. Dengan demikian, dapat

diketahui bahwa, jika Ali Syari`ati berangkat dari dogma-dogma Islam dalam

memahami hakikat manusia, maka pengaruh kitab suci al-Qur’an menjadi tampak

pada pemikirannya.

Menurut Ali Syari`ati, konsep penciptaan Adam yang ada di al-Qur`an

merupakan pernyataan humanisme yang paling dalam dan paling maju. Adam

mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam

pengertian filosofis, bukan biologis. Bila al-Qur`an berbicara biologis, maka itu

berarti al-Qur`an menggunakan bahasa ilmu-ilmu alam. Tetapi setelah berbicara

pada kejadian Adam, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa metaforis dan

filosofis yang penuh dengan makna dan simbol.3

Berdasarkan konsep penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, Syari`ati

berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan

3 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 113.

Page 12: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

dan tanah lempung. Ruh Tuhan mengajak manusia menuju puncak spritual tertinggi,

sedangkan tanah lumpur berasal dari tanah yang rendah dan hina yang

membawanya ke hakikat yang rendah. Pada akhirnya, kedua unsur ini saling tarik

menarik sehingga manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu

manusia merupakan makhluk yang mempunyai kehendak bebas untuk menetukan

nasibnya sendiri. Setelah itu, Tuhan mengajarkan nama-nama pada manusia. Jadi

Tuhan merupakan Guru Pertama manusia, dan pelajaran pertamanya adalah

pengenalan “nama-nama”. Manusia juga pemberi nama pada dunia. Lantas, untuk

menjawab protes para malaikat yang merasa Tuhan mengistimewakan manusia,

padahal mereka hanya diciptakan dari tanah, sementara malaikat tercipta dari

cahaya. Tuhan menyatakan diri-Nya mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui,

dan menyuruh para malaikat untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada manusia.

Ali Syaria`ti mengatakan sujudnya malaikat merupakan arti sebenarnya humanisme.

Derajat manusia diangkat sedemikian mulia, setingkat di atas malaikat, meski ada

unsur yang hina pada manusia. Keunggulan manusia ini bukan atas dasar rasial,

karena manusia dianugrahkan oleh Tuhan pengetahuan, yaitu pengenalan nama-

nama terhadap segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak.4

Ali Syari’ati memposisikan manusia sebagai makhluk yang punya martabat

tinggi, makhluk yang punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, makhluk

bidimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian (ketuhanan) dan sekaligus

unsur lumpur (kehinaan). Manusia adalah makhluk yang punya potensi intelektual,

potensi kebebasan, dan potensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai

amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi

ini.

4 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 32.

Page 13: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, merubah dirinya dari

keadaan lumpur menjadi ruh ketuhanan. Dari kehinaan ke kemuliaan. Dari

kebodohan ke pencerahan. Dari penindasan ke kemerdekaan. Dari keadaan basyar

ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam,

sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. Ia harus bisa menentukan dirinya sendiri

dengan kesadaran dan ideologi yang diyakininya. Manusia juga harus punya

kepedulian sosial yang tinggi, baik dalam dataran pikiran maupun aksi. Oleh karena

itu, dalam keterangan selanjutnya manusia dibedakan menjadi dua kecenderungan,

yaitu, manusia (insân) dan manusia (basyar).

Dengan demikian, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat

kebajikan maupun kejahatan. Jika seorang manusia cenderung berbuat kebajikan,

maka dia akan selalu dekat kepada Tuhan, sehingga dia menjadi insân yang

sesungguhnya. Namun pendakian menuju Tuhan tidak mudah karena banyak

rintangan yang harus dihadapi.

Setelah mengetahui pandangan manusia menurut Ali Syari’ati, maka dapat

diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ali Syari’ati dengan

para pemikir lainnya seperti Kierkegard dan al-Jîllî. Adapun persamaannya antara

lain, ketiga tokoh tersebut masing-masing menjelaskan konsep substansi manusia

itu sendiri, sedangkan perbedaannya, jika Syari`ati mengupas persoalan tersebut

dengan berlandaskan kepada dogmatisme Islam, meskipun melalui analisa filosofis,

namun berbeda dengan Kierkegard yang berlandaskan kepada dogmatisme Kristen.

Begitu pula dengan al-Jîllî, meskipun Ali Syaria`ti mempunyai keimanan yang sama

dengan al-Jîllî, akan tetapi, Ali Syaria`ti menggunakan analisa filosofis ketimbang al-

Jîllî yang lebih mengedepankan analisa mistis.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melihat banyak persoalan yang harus

dijawab yang salah satunya adalah pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep

Page 14: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

manusia (insân) menurut Ali Syari`ati. Dalam hal ini, penulis melihat pengaruh

filosofis dan teologis sama-sama menghiasi pemikirannya. Namun dalam skripsi ini,

selain untuk mengetahui konsep manusia, penulis juga bermaksud untuk

menentukan pengaruh filosofis atau teologis yang lebih dominan.

Oleh karena itu, dengan ditemukannya dua persoalan mendasar tersebut,

penulis merasa perlu untuk meneliti lebih dalam mengenai konsep manusia menurut

Ali Syari`ati. Berkaitan dengan ini penulis menyusun laporan penelitian dengan judul

“KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pembatasan masalah dalam menyusun tema yang akan diangkat ini, penulis

membatasi pokok permasalahan pada konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Selain

itu penulis juga bermaksud untuk meneliti pengaruh filosofis dan teologis namun

tetap dalam konsep yang ditawarkan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak

bermaksud untuk meneliti pemikiran Ali Syari`ati seperti, sosiologi, etika,

revolusionisme, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar penelitian konsep

manusia menurut Ali Syari`ati lebih mendalam. Sedangkan di dalam perumusan

masalah, penulis menetapkan pokok permasalahan dengan mencoba mencari

jawaban atas pertanyaan berikut:

• Bagaimana konsep manusia menurut Ali Syari`ati?

• Sejauh manakah landasan filosofis dan teologis mempengaruhi pemahaman

Ali Syari`ati terhadap konsep manusia (insân)?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah :

Page 15: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

1) Mengetahui latar belakang kehidupan dan pemikiran Ali Syari`ati.

2) Mengerti tentang persoalan-persoalan dalam konsep manusia yang

dijelaskan oleh Ali Syari`ati.

3) Mengetahui sejauh mana pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep

manusia (insân) menurut Ali Syari`ati.

Manfaat penulis melakukan penelitian ini adalah:

1) Menambah wawasan tentang kajian filsafat dan teologi Islam yang

berkembang di Iran, khususnya tentang pemikiran Ali Syari`ati.

2) Memperkenalkan pemikiran Ali Syari`ati kepada para akademisi terutama

yang tertarik dengan masalah filsafat maupun teologi Islam.

3) Menawarkan analisa deskriptif mengenai konsep manusia menurut Ali

Syari`ati.

D. Metode Penelitian

Sehubungan dengan topik yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian

ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan

(Library Research).

Untuk penelitian skripsi ini yang digunakan sebagai sumber primer adalah, Ali

Syari`ati, Agama Versus Agama, Terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur,

MA(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Ali Syari`ati, Tentang Sosiologi Agama, Terj.

Saifullah Mahyudin (Yogyakarta: Ananda 1982), Ali Syari`ati, Kritik Islam Atas

Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Terj. Husin Anis Al- Habsyi (Bandung:

Mizan 1990), Ali Syari`ati, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Peny.

Syafiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan 1985).

Page 16: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Adapun yang digunakan sebagai sumber sekunder adalah, Ekky Malaky, Ali

Syari`ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju 2004), Charles

Kurzman, Ed, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu

Global, (Jakarta: Paramadina 2003), dan buku-buku bacaan lainnya.

Sedangkan metode pembahasan yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian skripsi ini adalah dengan metode diskripsi analisis. Dalam penulisan

laporan penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tata cara penyusunan skripsi

berdasarkan buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta tahun 2003/2004.

Dengan demikian, semoga metodologi yang digunakan peneliti ini dapat

membantu peneliti untuk mencari benang merah sekaligus proses penulisan laporan

penelitian skripsi ini.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Sistematika penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan

secara singkat dan jelas mengenai gambaran secara garis besar dari isi skripsi ini

yang terbagi ke dalam empat bab beserta dengan kata pengantar, daftar

transliterasi, daftar isi, dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan skripsi ini

adalah sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan bab yang menguraikan secara singkat mengenai

latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat

penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, merupakan

bab yang menguraikan tentang, riwayat hidup dan karya-karya Ali Syari`ati.

Bab ketiga, merupakan bab yang menguraikan konsep manusia menurut

perspektif Ali Syari`ati, yang meliputi, pengertian manusia, dua kecenderungan

Page 17: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

manusia, tiga sifat ilâhiyah dan hal-hal yang membatasinya, dan pengaruh teologis

dan filosofis serta hubungannya dengan konsep manusia (insân). Bab keempat,

merupakan bab terakhir yang menguraikan kesimpulan pembahasan dan saran.

Page 18: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

BAB II

BIOGRAFI ALI SYARI`ATI

A. Riwayat Hidup

Ali Syari`ati merupakan anak pertama dari Muhammad Taqi Syari`ati dan

Zahra, lahir pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar

70 kilometer dari Sabzevar.5 Dia berasal dari keluarga yang shaleh. Ayahnya,

Muhammad Taqi Syaria`ti merupakan seorang ulama anti konservatif yang sering

memiliki pendapat yang berbeda dengan para ulama dan para mullah lainnya.

Dalam pengalaman intelektual, pada awalnya, Ali Syari`ati mendapatkan

pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Pendidikan tersebut didapatkan di kota

Masyhad, di mana di kota itu ayahnya mengajar. Di samping mendapatkan

pendidikan dari ayahnya, dia juga gemar membaca. Perpustakaan milik ayahnya

yang besar menjadi tempat di mana dia sering menekuni kegemarannya tersebut.

Pada awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama

“Pusat Penyebaran Kebenaran Islam”, yang memiliki tujuan untuk kebangkitan Islam

sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen sosial. Tidak terlalu lama

setelah itu, ayahnya juga mendirikan “Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis.6

Ali Syari`ati memang unik, pada masa belia, dia sudah tertarik mengkaji

tokoh-tokoh yang banyak dicap oleh para mullah telah menyimpang dari doktrin

5 Ali Rahnema, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, M.A. et. all., (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 53.

6 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 12.

11

Page 19: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

dogmatis yang telah mereka ajarkan secara turun temurun. Rupanya, kajian seperti

itu membuat dia dan ayahnya yang juga tertarik terhadap kajian serupa mendapat

kecaman dari banyak kalangan.

Di kota Masyhad, Ali Syari`ati disekolahkan ayahnya di Sekolah Dasar Negeri

yang merupakan sekolah sekuler. Setelah lulus, di tahun 1950, dia melanjutkan

pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru. Saat bersekolah di sini dia banyak

berhubungan dengan para temannya dari golongan ekonomi lemah, sehingga

mempengaruhi dirinya mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana

Menteri Muhammad Mushaddiq

Seiring waktu menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada tahun

1952, dia mulai mengajar di desa Ahmad Abad. Meskipun disibukkan waktu

mengajar, dia masih melanjutkan perlawanannya kepada Syah Reza Pahlevi. Hal ini

dia dibuktikan dengan bergabung “Gerakan Perlawanan Nasional” pada tahun

1953.7

Setelah selesai menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada

tahun 1956, Ali Syari`ati melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra, Universitas

Masyhad. Pada tahun ini juga dia menikah. Namun akibat mengikuti Gerakan

Perlawanan Nasional, pada tahun 1957, dia dan ayahnya, dipenjara sebagai tahanan

politik selama 8 bulan di Taheran.

Pada tahun 1959, Syari`ati lulus dari Fakultas Sastra Universitas Masyhad.

Untuk melanjutkan pendidikannya pada program pasca sarjana seharusnya dia

mendapatkan beasiswa ke Perancis, tapi ada beberapa kendala sehingga rencana

itu tertunda. Baru pada tahun 1960, Ali Syari`ati bisa melanjutkan pendidikannya ke

Perancis atas beasiswa dari pemerintah Iran. Di Perancis, Ali Syari`ati belajar di

7 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 12.

Page 20: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Universitas Sorbone dan mengambil dua bidang studi sekaligus yaitu Sosiologi

Agama dan Sejarah Agama-Agama. Di Sorbone, dia bergaul dengan pemikir

terkemuka seperti Jean Paul Sartre, Louis Massignon, dan Che Guevara. Pada saat

yang sama, beliau menyukai pemikiran Chandell dan Jacques Schwartz.8 Di

Perancis, Ali Syari`ati banyak berkenalan dengan buku-buku yang biasanya tidak

ada di Iran. Dia juga mempelajari dan memperoleh pengetahuan secara langsung

dari berbagai aliran pemikiran sosial, ataupun karya-karya para filosof, sarjana, dan

penulis. Meskipun akrab dengan pemikiran Barat, Ali Syaria`ti tidak menelan

mentah-mentah pemikiran mereka. Malah ada sebagian pemikiran Barat yang

dikritik oleh Syaria`ti dan dia juga mengemukakan beberapa kelemahannya yang

bisa dilihat melalui karya-karyanya.

Ketika berada di Perancis, Ali Syari`ati menjadi seorang pemikir radikal

dalam isu-isu tentang Dunia Ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia,

dan Amerika Latin, dia terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran Dunia

Ketiga. Berbagai tulisannya pun lahir tentang kenestapaan Dunia Ketiga pada saat

itu. Ali Syari`ati juga turut membantu penulisan artikel pada surat kabar kaum

nasionalis di Aljazair, al-Mujâhid. Secara umum tulisan-tulisannya berisikan

pandangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme.9

Ali Syari`ati kembali ke Iran pada tahun 1964 setelah menyelesaikan studinya

di Perancis. Tetapi ketika sampai di Bazarzan, suatu daerah yang berbatasan

dengan Iran dengan Turki, Ali Syari`ati di depan istri dan anaknya langsung

ditangkap dan dipenjarakan di Teheran. Dia ditahan selama enam bulan. Setelah

bebas, Ali Syari`ati mengajar di sekolah-sekolah pedesaan Masyhad. Namun

beberapa bulan kemudian, Ali Syari`ati ditawarkan mengajar di Universitas

8 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 16. 9 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 210.

Page 21: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Masyhad. Sosiologi Islam merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkan Ali

Syari`ati kepada mahasiswanya. Mata kuliah ini belakangan menjadi populer dan

juga digemari para mahasiswa. Ini terutama karena Ali Syari`ati menggunakan

metode dan pendekatan yang berbeda. Tidak hanya melalui pendekatan dogmatis

dan teologis semata, melainkan lebih sosiologis, filosofis, dan rasional. Oleh karena

itu, Ali Syari`ati bisa menghadirkan Islam sesuai dengan realitas yang ada di

masyrakat, bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Kemudian

penafsiran-penafsiran Ali Syari`ati terhadap Islam mengundang gairah serta

menggerakkan semangat para pendengar dan pembaca tulisannya termotivasi

untuk berbuat.10

Pernah suatu ketika Ali Syari`ati datang terlambat untuk memberikan kuliah

pada mahasiswanya, kemudian ia berkata:

“Saya terlambat lagi dan saya mohon maaf, karena terlalu lelah dan kecapaian. Sebetulnya saya tidak ingin datang kesini, tetapi gairah saya untuk melihat anda dan “keresahan” dalam diri saya mendorong saya … Seperti saya katakan pada mahasiswa sastra kemarin malam. Firasat saya tentang “kesementaraan” dan “ketidakpastian” masa depan saya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah. Firasat atau realitas, atau apapun yang saya simpulkan dari situasi sekarang nyatakan bahwa hidup saya tinggal beberapa hari lagi … Saya tidak yakin pada masa depan saya. Saya pun tidak yakin dapat tinggal beserta anda dan bicara lama … Itulah sebabnya saya selalu berusaha bicara sebanyak mungkin. Malam ini pembicaraan saya sangat kompleks. Karena tidak cukup waktu untuk membahas topik ini dengan baik, saya hanya akan menyentuh hal-hal yang umum saja.”11

10 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, h. 211. 11 Ali Syaria`ti, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan Haidar

Bagir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 23.

Page 22: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Dari sini bisa diketahui, bahwa Ali Syaria`ti sangat bersemangat untuk

memberikan kuliah kepada mahasiswanya untuk terakhir kalinya. Pesan kepada

para mahasiswanya ini layaknya ceramah wada` sebelum kematiannya. Tak lama

setelah memberikan kuliah itu, dia dibunuh oleh polisi SAVAK yang terkenal sangat

loyal kepada rezim Shah Iran.

Ali Syati’ati merasa dirinya berada dalam keadaan bahaya sehingga pada

tanggal 16 Mei 1977 dia meninggalkan Iran menuju London, Inggris. Meskipun

demikian, polisi SAVAK tetap melakukan pelacakan kepadanya hingga pada tanggal

19 Juni 1977 Ali Syari’ati ditemukan tewas di Southhampton, Inggris.12 Pemerintah

Iran mengumumkan Ali Syari’ati tewas akibat serangan jantung, tetapi banyak yang

percaya bahwa dia dibunuh oleh razim Shah Iran.

Pemerintah Iran menawarkan kontribusi untuk biaya pemakaman jenazah Ali

Syari’ati, tetapi istrinya menolak tawaran tersebut karena tidak ingin terlibat dalam

ekploitasi nama suaminya. Kemudian jenazah Ali Syari’ati dibawa ke Damaskus,

Suriah untuk dimakamkan.

Kematian Ali Syari`ati membuat popularitasnya semakin melonjak. Ketika

revolusi Iran, namanya sering disebut-sebut sebagai tokoh revolusi selain Imam

Ayatullah Khameini. Saat itu, foto-fotonya mendominasi jalan-jalan di Taheran, dan

berdampingan dengan pemimpin spiritual itu.

B. Pemikiran dan Karyanya

Ali Syari`ati bisa dikatakan seorang teolog, filosof, atau revolusioner

tergantung dari kacamata yang melihatnya. Dirinya sendiri tidak pernah mengklaim

dengan semua sebutan tersebut. Ali Syari`ati hanyalah sebagian orang yang ingin

12 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 25.

Page 23: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan menggunakan ide-ide yang ada

padanya. Tauhid merupakan landasan dasar dari seluruh pemikiran Ali Syari`ati.

Istilah Tauhid dengan pretensi yang sama, bisa juga disebut sebagai Ilmu

Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Akidah, dan dengan istilah Barat-Kristen sering

disebut Ilmu Teologi (Theology). Juhaya S. Praja menyebutkan, bahwa ilmu itu

menggunakan corak Logika (manthiq) yang wacana-wacana didalamnya selalu

mengundang polemik, ketimbang menggunakan corak demonstratif (burhan) yang

digunakan para filosof. Para filosof menyebut Ilmu Kalam sebagai polemical wisdom

daripada menggunakan demonstrational wisdom. 13

Terdapat beberapa tema dalam Ilmu Tauhid, antara lain seperti masalah baik

dan buruk (al-Husn wa al-Qubh), keadilan Tuhan, soal dosa besar, Iman dan Kafir,

zat dan sifat-sifat Tuhan, posisi teks kitab suci al-Qur’an, serta Qadar dan Taqdir.

Perlu ditegaskan, ketika membincang soal Tuhan dalam Ilmu Tauhid seperti istilah

keadilan Tuhan, sangat penting untuk diperhatikan bahwa sesungguhnya yang

dibicarakan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Bukan Tuhan ini dan itu, not God itself.

Tapi sesungguhnya bicara soal persepsi manusia terhadap Tuhan. Hassan Hanafi

misalnya, mengungkapkan bahwa yang dimaksud Teologi bukan berarti ilmu tentang

ke-Tuhanan, karena Tuhan sendiri yang menciptakan ilmu. Ilmu tak sanggup mampu

mengabstraksikan zat yang menciptakan ilmu itu sendiri.14

Dalam dunia Islam, Ilmu Tauhid diwakili oleh aliran-aliran, namun secara

sederhana aliran itu mudah dipolarisasi ke dalam dua kelompok. Pertama,

direpresentasi mazhab tradisionalis. Dalam kategori itu, aliran Asy‘ariah dan

Maturidiah berada dalam garda depan pemikiran mazhab ini. Kedua, direpresentasi

13 Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), h. 38.

14 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, (Jakarta: Penerbit P3M, 1991), h. 14.

Page 24: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

mazhab rasionalis. Dalam kategori ini, aliran Mu‘tazilah khususnya, mengusung

tawaran-tawaran rasionalisasi pemikiran teologi. Perbedaan prinsipil antara kedua

mazhab itu terletak ketika membincang tema zat dan sifat-sifat Tuhan. Mazhab

Mu‘tazilah menyebut bahwa yang kekal hanyalah Allah, dan keesaan-Nya tidak

menerima adanya sifat-sifat yang berbilang dalam diri-Nya.

Itulah kira-kira pandangan umum mengenai Ilmu Tauhid beserta aliran-

alirannya, terutama di dunia Islam. Secara spesifik, berikut akan dijelaskan

mengenai pandangan Ali Syaria`ti tentang Tauhid terutama relevansinya ketika

dihubungkan dengan alam dan kehidupan manusia.

Tauhid dalam pandangan Ali Syaria`ti merupakan pandangan hidup tentang

kesatuan universal antara Tuhan, alam,dan manusia.15 Maksudnya adalah ketiga

unsur ini tidak saling bertentangan, melainkan masing-masing mempunyai

keterkaitan antara satu dan yang lainnya, juga memperlihatkan keharmonisan yang

bermakna dan bertujuan.

Dalam kehidupan bermasyarakat, Tauhid bisa juga menjadi sebuah prinsip

keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada. Sebagaimana yang dikatakan

Ali Syaria`ti dalam bukunya Tentang Sosiologi Islam:

“Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, ia masuk ke dalam urusan masyrakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial --- mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, super struktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyrakat.

Dalam pengertian umum aspek Tauhid ini bisa sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyrakat

15 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 73.

Page 25: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

yang berorientasi Tauhid --- suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomi bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dari kontradiksi. Jadi masalah Tauhid, dan syirk senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi universal, dengan struktur ethis masyarakat serta sistim-sistim hukum dan konvensionalnya.”

Tidak hanya sebagai sebuah filsafat moral, bagi Ali Syari`ati, Tauhid juga merupakan

pondasi dari semua prinsip–prinsip, termasuk kegiatan manusia yang berhubungan

dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Tauhid juga menghapus

ketidakpedulian, kekhawatiran dan ketamakan serta menerima persamaan,

kebebasan,dan kemerdekaan.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemikiran Ali Syari`ati berangkat dari

dogmatisme Islam, lalu dipresentasikan dari sudut pandang filososfis. Sehingga bisa

ditarik kesimpulan, bahwa Ali Syari`ati merupakan seorang teolog.

Dalam hal karya, Ali Syari`ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari

beberapa tulisannya yang sengaja dibuat untuk buku utuh, bisa disebut diantaranya

adalah Kavir, dan Hajj. Kavir menjelaskan tentang otobiografinya dan juga

mengemukakan pengalaman teosofinya. Sedangkan Hajj, mengupas tentang ibadah

haji secara filosofis. Selebihnya merupakan kumpulan ceramah yang terekam pada

saat ia mengajar, dan juga beberapa kumpulan tulisannya. Karena Ali Syari`ati

jarang menulis buku utuh, maka sering ditemukan buku yang berbeda, namun

memuat tulisan-tulisan yang sama.

Page 26: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

BAB III

KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI

A. Pengertian Manusia

Dalam istilah bahasa Arab, manusia mempunyai banyak padanan kata, yaitu,

insân, basyar, bani adam, unâsi, dan nâs. Di dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan

penciptaan manusia pertama term yang digunakan adalah basyar, yaitu:

فِيْهِ وَنَفَخْتُ سَوَيْتُهُ فَإِذَا .طِيْنٍ مِنْ بَشَرًا خَاِلقٌ إِنّيِ لِلْمَلاَئِكَةِ رَبُّكَ قَالَ إِذْ )72-71:ص .(دِيْنَسَاجِ لَهُ فَقَعُوْا رُوْحِي مِنْ

Artinya: Ingatlah ketika rabbmu berfirman kepada Malaikat, “bahwa sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah aku sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu (tersungkur dengan) bersujud kepadanya (Shadd: 71-72)

.مَسْنُونٍ حَمَإٍ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ بَشَرًا خَالِقٌ إِنِّي لِلْمَلَائِكَةِ رَبُّكَ قَالَ وَإِذْ-28 :الحجر( .سَاجِدِينَ لَهُ فَقَعُوا رُوحِي مِنْ فِيهِ وَنَفَخْتُ سَوَّيْتُهُ فَإِذَا29(

Artinya: Dan Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat, ”sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Apabila Aku (Allah) telah menyempurnakan kejadiannya, serta telah meniupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud (al-Hijr: 28-29)

Page 27: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Manusia diciptakan juga membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada beberapa

ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan derajat manusia. Dalam

pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung

jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi

(akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan

fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan

dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk

keagamaan.16

Penyebutan manusia dalam al-Qur`an dengan berbagai istilah tersebut mempunyai

maksud masing-masing. Misalnya basyar dikaitkan dengan kedewasaan kehidupan manusia,

yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab.17 Penyebutan term insân digunakan

al-Qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.

Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan

kecerdasan.18 Sedangkan term bani adam untuk menunjukkan bahwa manusia adalah

makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistemawaan

itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam.19 Unâsi

digunakan dalam al-Qur`an dapat difahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan

kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok

orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term

unâsi ini dapat difahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan ia selalu

akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti biologis dan kebutuhan

16 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283. 17 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an , h. 278. 18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 280. 19 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur`an,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 90.

Page 28: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

sosial lainnya.20 Sedangkan ungkapan nâs untuk menunjukkan sifat universal manusia atau

untuk menunjukkan spesies manusia. Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan

terhadap spesies di dunia ini yaitu manusia.21

Karena pentingnya pembahasan mengenai manusia kelompok sufipun juga

menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah yang penting dan

menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu insân kâmil. Namun dalam al-Qur`an, tidak pernah

disinggung mengenai insân kâmil secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai

insân kâmil, yang ada adalah mengenai manusia yang ada dalam bentuk yang sebaik-baiknya

dan manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibina menjadi baik.

Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk adalah:

)4 :التين( .تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الْإِنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْArtinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam

bentuk yang sebaik-baiknya. (al-Tîn: 4) Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat mengenai

kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian membuat manusia

menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.22

Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra

ilahi, tetapi kemudian, ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu

semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali

kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa mempertahankan

bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan ungkapan lain manusia bisa

seperti malaikat dan bisa pula jelek seperti manusia.

Dari semua padanan kata manusia di atas, penulis mendapatkan suatu kesimpulan,

yaitu, bahwa manusia merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta

20 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 76 21 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 86 22 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2.

Page 29: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

makhluk yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki

kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan

ke arah kebaikan dan kejahatan.

Mengenai penciptaan manusia, Ali Syari`ati mengambil rujukan kepada al-

Qur`an. Dalam penciptaan manusia, al-Qur`an menggunakan bahasa simbolis23

bukan memakai bahasa yang jelas (eksposisi). Bahasa simbolis menyatakan makna-

maknanya lewat simbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus

dari seluruh bahasa yang dikembangkan manusia. Bahasa simbolis jelas lebih

mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa eksposisi yang maksud

dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempatnya. Bahasa eksposisi mungkin

merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik, tapi ia tidak lestari

dan abadi sebagaimana bahasa simbolik. Karena hakekatnya yang satu dimensi,

tidak simbolik dan tidak mistis, bahasa eksposisi selalu terbatas pada waktu. Hal ini

disebabkan, sebagaimana ditunjukkan oleh filososf Mesir terkenal Abdur Rahman

Badawi, suatu agama atau filsafat yang mencoba mengemukakan seluruh makna

dan konsep-konsepnya dengan bahasa yang langsung ke sasaran, dan bahasa

dengan satu tingkatan, pasti tidak akan dapat bertahan lama. Padahal mereka yang

dituju oleh agama selalu mewakili berbagai tipe dan kelas manusia yang

mengejahwantah dalam sejarah dalam kapasitas intelektual dan spiritual yang

berlain-lainan, dengan sudut pandang, pengalaman, bentuk-bentuk sosial dan

persepsi yang beraneka ragam.24 Dengan demikian kiranya perlu, bahwa proses

penciptaan Adam sebagai simbol manusia diceritakan secara simbolik. Sehingga

sampai sekarang, setelah melampaui masa beberapa abad yang lalu, kisah Adam

tetap bernilai untuk dibaca meski dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan

peradaban dewasa ini.

23 Kata, tanda, isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek.

24 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, (Jakarta: Rajawali, 1982) h. 3.

Page 30: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Di dalam al-Qur`an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari bentuk paling

rendah dari tanah kemudian ditiupkan ruh suci kepadanya. Hal ini menunjukkan

bahwa manusia merupakan makhluk dua dimensi dengan dua arah dan dua

kecenderungan. Yang satu membawanya kepada hakekat yang rendah, sedangkan

satunya terbuat dari Rûh Ilâhiah dan mengajak manusia menuju ke puncak

tertinggi.25

Proses tersebut bermakna simbolis, bahwa manusia itu memiliki dua dimensi.

Dimensi Ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan makhluk lain

hanya memiliki satu dimensi. Dalam pengertian simbolis, lumpur merujuk pada

keburukan, kehinaan, tidak berarti, stagnan, dan mati. Sedangkan dimensi keilahian

mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-Nya, guna mencapai

roh Tuhan. Oleh karena kejadian manusia yang demikian itu, maka manusia pada

satu saat dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, akan tetapi di saat yang lain ia

juga dapat terjerumus ke tempat yang hina dan rendah, yang berarti pengingkaran

atas dimensi ke-Tuhanannya.

Ali Syaria`ti menegaskan, bahwa keutamaan paling menonjol dari manusia,

yang menandai keunggulannya atas makhluk lain, adalah kekuatan iradahnya. Ia

adalah satu-satunya makhluk dalam penciptaan yang dapat bertindak melawan

dorongan instingnya.26

Hanya manusia saja yang mampu melawan dirinya sendiri, menentang

hakekatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spritualnya. Dari

kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya, untuk mendapatkan

25 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 32. 26 Sesuatu yang hewan maupun tumbuhan tidak dapat melakukannnya, karena keduanya mustahil

menentang instingnya.

Page 31: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

kemuliaan dan kebahagiaan abadi bersama sang pencipta, karena ia diberi

kebebasan memilih yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk yang lain.27

Manusia memiliki kehendak dan pengetahuan, dan ia mungkin menempuh

jalan ini atau tidak; maka jika ia menempuh, sesungguhnya ia menempuh dengan

kehendaknya dan pilihannya sendiri, bukan dengan paksaan. Untuk itulah ia

memiliki cri khas dan keutamaan yang tidak dinikmati oleh malaikat, yang diciptakan

oleh Allah dalam paksaan dan terus ditarik kearah kebaikan bukan karena pilihan

malaikat.28

Manusia juga universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti

seperti yang dijelaskan berulang-ulang oleh al-Qur`an dan dikukuhkan dengan

ungkapan yang berbeda-beda, agar kita paham betul, dan kita tidak tunduk pada

pemahaman samar dan falsafah adikodrati, yang di dalamnya kebanyakan para

filosof dan para arif terjatuh.

Dari pandangan tersebut, Ali Syari`ati berpendapat bahwa manusia adalah

kombinasi dua hal yang berlawanan, fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi

“Allah – Syaitan” atau “roh lempung”. Ia adalah kehendak bebas, mampu

membentuk nasibnya sendiri dan bertanggung jawab; ia menerima amanah khusus

dari Allah dan para malaikat bersujud kepadanya; ia adalah khalifah Allah di bumi,

tetapi iapun seorang yang memberontak terhadap-Nya; ia memakan buah larangan;

ia diusir dari sorga dan dibung ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (Hawa),

akal (Syaitan), dan pemberontakan (buah larangan). Ia diperintahkan untuk

mencipta sorga manusia dalam alam, tempat pengasingannya. Ia senantiasa

mengalami pertarungan dalam dirinya, ia senantiasa berjuang untuk bangkit dari

27 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h.10-11. 28 Ali Syaria`ti, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, (Jakarta: YAPI, 1990) h.

117-119.

Page 32: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang

berasal dari lumpur dan endapan itu bisa mendapatkan karakteristik Allah.29

Oleh karena itu, manusia yang memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu

agama yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiannya yang

bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam, sebab manusia di

dalam Islam tidak dipandang tanpa daya dihadapan Tuhannya. Sebagai makhluk

bidimensional, yang dikaruniai misi ke-Tuhanan, manusia memerlukan bimbingan

agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub

keduniawiannya.

B. Dua Kecenderungan Manusia

Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan berbagai padanan kata

manusia di dalam al-Qur`an. Dalam hal ini, Ali Syari`ati hanya memakai dua padanan

kata saja mengenai kecenderungan manusia walaupun juga ia mengutip dari al-

Qur`an.

a. Basyar

Dalam pandangan Ali Syari`ati, basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri

dari karakteristik fisiologis, biologis, dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh

manusia, tak perduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit

bening, bangsa Barat, beragama atau tidak beragama; ia didasarkan atas hukum-

hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi, psikologi dan lain-lain.30

29 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 125.

30 Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu

Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 300.

Page 33: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Penulis melihat bahwa basyar yang dimaksud oleh Ali Syari`ati ialah manusia

sebagai makhluk biasa. Karena dilihat dari proses penciptaan manusia yang ada di

al-Qur`an, manusia terbentuk dari dua unsur, salah satunya yaitu lempung. Unsur

lempung ini lebih dominan pada basyar. Oleh karena itu basyar dianggap rendah

dan tidak mencapai tingkat kemanusiaan. Seperti yang di katakan Ali Syari`ati:

“Ketika kita mengkaji sejarah manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian, dan makanannyatelah berubah, tetapi sifat-sifatnya sama saja. Tidak ada perbedaan antara Jengis Khan (Raja Mongol, 1162-1227) yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban, dan orang-orang sekarang yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya retorika pidato, penipuan, pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusian ternyata sama saja. Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.”31

b. Insân

Insân dalam pandangan Ali Syari`ati merupakan sebuah proses menuju

kesempurnaan. Tipe manusia ini, berbeda dengan tipe umum, memiliki karakteristik

khusus yang berlainan antara satu orang dengan orang lainnya sesuai dengan

tingkatan realitas atau esensinya. Jadi bila menyebut insân, bukanlah penduduk

31 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68.

Page 34: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalah insân, namun mereka

mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari

kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insân dalam

kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak

ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insân. Bagaimanapun,

kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah realitasnya.32

Jika melihat proses penciptaan manusia pada al–Qur`an, unsur yang paling

dominan pada insân ialah unsur ruh Tuhan. Unsur ini mendorong manusia agar

terlepas dari kerendahan dan kehinaan. Maka, pada saat manusia mencapai pada

tingkatan insân, dia telah terbebas dari belenggu dan kontradiksi antara “dua

kutub”. Ia merupakan negasi terhadap semua standar konvensional, dan ia juga

merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu

evolusi abadi dan tidak terhingga.

Dalam konteks ini, Ali Syari`ati menafsirkan ayat “Innâ Ilaihi Râji`ûn” (Dan

sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya), dia menyatakan bahwa perjalanan

“kembai kepada-Nya” (Ilaihi), bukanlah berarti didalam-Nya atau pada-Nya, tetapi

kepada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti yang

menuju kepada-Nya. Tetapi Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan

Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, Ali Syari`ati mengkritik sufisme yang

menyatakan manusia bisa bersatu dengan Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai

sesuatu yang tetap. Ali Syari`ati, menyatakan bahwa selalu ada jarak antara manusia

dean Tuhan, dan manusia hanya bisa sebatas menghampiri dan tidak bisa bersatu

dengan Tuhan. Karena itu gerakan ini adalah gerakan manusia terus menerus tanpa

32 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 64.

Page 35: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah definisi manusia yang

“menjadi”.33

Setelah melihat adanya dua kecenderungan manusia menurut Ali Syari`ati,

maka pada pembahasan selanjutnya, penulis akan membedakan antara manusia

(insân) dan manusia (basyar) sesuai dengan konteksnya.

C. Tiga Sifat Ilâhiyah dan Hal-Hal Yang Membatasinya

Manusia (insân) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu sama lainnya.

Semua sifat ini adalah sifat ilâhiyah, dan hanya manusia (insân) sajalah yang dapat

menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada sifat-sifat lainnya,

maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan dari ketiga sifat- sifat di

bawah ini:

1. Kesadaran diri

Sifat ini menuntun manusia untuk memilih, dan kemudian menolongnya untuk

mencipta sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta.

2. Kemauan bebas

Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas untuk memilih bagi dirinya,

dan apa yang ia pilih dapat bertentangan dengan instingnya, dengan alam,

masyarakat, dan dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kemampuan dan

kebebasan berkehendak ini menolong manusia mencapai taraf tertinggi dari

proses “menjadi” manusia. Hanya manusia sajalah yang bebas untuk memilih,

dan inilah salah satu karakteristik yang membedakannya dengan makhluk

lainnya.

33 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68-69.

Page 36: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Dengan karakteristik ini, manusia bisa memilih untuk berbuat baik atau jahat,

rasional atau irrasional, dan sebagainya. Dengan kebebasan memilih,

manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan baik (akhlak) yang dilakukan

Tuhan.

3. Kreativitas

Manusia bukan sekedar makhluk pembuat alat, tetapi ia pencipta dan

pembuat barang-barang yang belum ada di alam. Manusia sadar bahwa

dirinya memerlukan hal-hal yang sebelumnya tidak disediakan oleh alam,

karena itu dirinya membuat sendiri benda-benda guna memenuhi

kebutuhannya.34

Ketiga sifat ilahiyâh tersebut hadir dalam diri manusia, dan manusia mampu

untuk mengembangkan ketiga sifat tersebut dan menjadi khalifah Tuhan di muka

bumi.

Menurut Ali Syari`ati, untuk mengembangkan sifat ilahiyâh tersebut, manusia

yang “menjadi” (insân) selalu berperang melawan kekuatan deterministik yang

cenderung membatasi. Kekuatan tersebut pada saat ini muncul dalam berbagai

macam ideologi. Ideologi tersebut adalah:

1. Materialisme

Materialisme beranggapan bahwa kecerdasan dan substansi manusia adalah

berasal dari materi. Jika demikian, evolusi manusia tidak akan dapat

mengatasi batas-batas materi. Sebagai suatu ideologi, Ali Syari`ati melihat

bahwa materialisme merupakan suatu usaha untuk menindas kemajuan

spiritual manusia dan menolak bentuk metafisis di luar susunan materialnya.

2. Naturalisme

34 Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 303.

Page 37: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Naturalisme merupakan ideologi yang cukup populer di Eropa. Naturalisme

beranggapan bahwa alam adalah realitas puncak; alam yang hidup tetapi

tidak memiliki kesadaran juga dilihat sebagai hukum dasar di alam semesta.

Manusia tidak dapat mengatasi alam, menguasainya, atau melampauinya.

Walaupun kaum Naturalis mempertahankan manusia sebagai jenis makhluk

yang paling maju di atas alam, mereka meletakkan manusia pada derajat

yang lebih rendah terhadap alam dan kekuatan-kekuatan alamiah. Oleh

karena itu, Ali Syari`ati berpendapat bahwa Naturalisme merupakan suatu

upaya lain untuk mereduksi atau mengurangi kebebasan memilih manusia,

kesadaran, dan daya ciptanya.

3. Eksistensialime

Pandangan kaum Eksistensialis ateis seperti Heidegger dan Sartre mungkin

berbeda dengan pandangan Kierkegaard; namun demikian Eksistensialisme,

sebagai suatu ideologi juga telah mengorbankan realitas manusia yang paling

tinggi.

Kadang-kadang pandangan Sartre terhadap esensi manusia cenderung ke

arah metafisis, walaupun ia seorang Eksistensialis ateis. Sartre

mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang unik di atas alam, suatu

makhluk yang hakekat dan susunan istimewanya meletakkannya sangat

berlainan dengan seluruh makhluk lain. Sebagai seorang ateis, Sartre

memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk-makhluk

lain dalam alam. Dalam pandangannya, manusia adalah satu-satunya makhluk

di alam semesta yang eksistensinya mendahului esensinya. Hal ini berbeda

dengan kaum Naturalis, karena menurut Sartre manusia sebagai makhluk

unik di atas alam adalah disebabkan keyakinannya bahwa manusia harus

dibuat untuk menentukan nasibnya di dunia dan karena itu mengisi

kekosongan alam. Walaupun Sartre melihat manusia sebagai makhluk yang

Page 38: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

merdeka, bebas untuk memilih dan unik di atas alam, konsepsinya bahwa

eksistensi manusia mendahului esensinya juga cenderung mengorbankan

eksistensi manusia.35

Meskipun manusia dalam tahap eksistensinya belum mempunyai esensi, ia

memiliki kemauan, dan lewat inilah ia dapat membentuk eksistensi dan

mengubahnya sedemikian rupa sehingga eksistensinya mampu meraih

identitas yang nyata, yaitu esensi. Tuhan telah menganugrahi manusia

dengan eksitensi, tetapi manusia bertanggung jawab untuk memanfaatkan

kemampuan iradahnya untuk mencipta dan mengembangkan esensi dalam

eksistensi dirinya. Hanya kemauan manusia saja yang bisa untuk mencetak

realitas atau esensi dari eksistensinya.

Hal yang paling ditakuti oleh Sartre adalah bila naturalisme maupun

materialisme diterima sebagai norma dalam pendefinisian manusia pada saat

ini, maka manusia pasti akan terbelenggu dalam kerangka-kerangka yang

memfosil dan terbatas dan kehilangan kemauan bebasnya, padahal kemauan

bebas yang menolong manusia menciptakan esensi riil dari eksistensi.

Menurut Ali Syari`ati, walaupun manusia telah melampaui determinisme

materi dan alam, eksistensialisme tetap membatasi evolusi manusia pada

tahap penemuan esensi. Dengan demikian, Eksistensialisme mengabaikan

potensialitas dan cita-cita manusia yang lebih tinggi.

4. Monisme

35 Misalnya sebuah kursi. Sebuah kursi belum ada sebelum di buat, misalnya anda bertanya kepada tukang kayu: “Apa yang anda mau buat?”. “Saya akan membuat sebuah kursi”, jawab si tukang kayu. Kemudian anda akan menanyakan bebarapa keterangan tentang kursi yang sedang di rancang. Ia mungkin akan menerangkan pada anda bahwa kursi mempunyai tempat duduk yang ditunjang oleh empat kaki, pegangan dan sandaran punggung, dan di buat dari kayu. Berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kursi pada hakekatnya berarti berbicara tentang esensi kursi. Tetapi kursi itu belum mengambil eksistensi. Bagaimanapun si tukang kayu mungkin sibuk merancangnya dengan alat-alat dan membuat kursi itu setelah gambarnya (esensi) diberikan, tetapi kursi itu sendiri belum ada.

Page 39: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Walaupun paham ini berpegang pada suatu tipe idealisme yang teistik, namun

Monisme juga mengorbankan manusia. Unsur-unsur filsafat ini dapat dijumpai

dalam filsafat India, dalam doktrin-doktrin sufi dan dalam agama Katolik.

Kaum Monis memuja Kemauan Ilahi dengan mengesampingkan kemauan

manusia, karena percaya bahwa hakekat, nasib, individualitas dan masa

depan manusia semuanya telah ditentukan oleh Kemauan Tuhan, bahkan

sebelum ia dilahirkan. Dengan demikian, manusia tidak dapat melakukan apa-

apa, hanya menunggu apa yang telah ditakdirkan. Dengan begitu peniadaan

kemauan manusia dalam pembentukan hidupnya akan meniadakan tanggung

jawabnya. Padahal, menurut Ali Syari`ati, tanpa tanggung jawab, manusia

tidak dapat menjadi manusia sejati.36

Sedangkan ideologi yang cenderung meremehkan kebebasan memilih dan

kesadaran diri itu adalah sebagai berikut:

1. Historisisme

Dalam aliran ini, manusia hanyalah produk sejarah. Sejarahlah yang

menentukan apa yang harus di tempuh manusia, dan bagaimana harus

mengarah. Kemauan dan pilihan manusia tidak lagi dimasukkan dalam

pilihan sejarah. Semuanya sudah di atur oleh sejarah, cara berbahasa,

memeluk agama, kelas sosial, dan identitas tertentu.

2. Sosiologisme

Manusia tergantung dari masyarakatnya, individualitas manusia

dikesampingkan. Orde sosial, hubungan sosial berdasarkan ekonomi, alat

produksi, tradisi, religi, hubungan antar kelas, dan semua unsur

pembentuk masyarakat adalah faktor-faktor kuat yang menentukan

kepribadian dan nasib manusia. Sosiologisme berpendirian bahwa

36 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 76-80.

Page 40: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

manusia mengambil semua ciri-cirinya dari masyarakatnya. Hal ini berarti

seorang individu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas

tindakannya, karena lingkungan soisal itulah yang menentukan tindakan

dan wataknya. Jadi, paham ini mengingkari peranan individu dalam

membentuk nasibnya sendiri. Padahal menjadi manusia berarti melakukan

pilihan, maka Sosiologisme tidak mau menerima manusia sebagai makhluk

yang memilih, yakni seseorang yang dapat menyatakan “Keakuannya” dan

individualitasnya.

3. Biologisme

Paham ini mencoba mendefinisikan manusia dalam ukuran-ukuran

determinisme biologis, tetapi juga mengangkat status manusia di atas

kerangka-kerangka kaku dari materialisme. Biologisme berpendapat

bahwa manusia merupakan komposisi dari organ-organ yang kompleks

dan maju yang menentukan watak fisiologis dan psikologisnya meskipun

biologisme memandang manusia lebih tinggi dari sekedar fenomena

alamiah, ia juga cenderung menolak kenyataan bahwa manusia adalah

makhluk yang sadar dan bebas. Setelah menempatkan manusia sekedar

tergantung pada faktor-faktor fisiologis, biologisme tidak melihat manusia

sebagai pembuat kepribadiannya sendiri.37

Ada empat faktor atau penjara yang menurut Ali Syari`ati bisa mengungkung

manusia ke arah kemajuan, yaitu, materi, alam, sejarah dan masyarakat. Tetapi Ali

Syari`ati tidak memungkiri bahwa empat faktor tersebut mempengaruhi atas

kehidupan dan nasib manusia. Dijelaskan juga, bahwa, manusia dapat mengatasi

37 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 81- 84.

Page 41: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

keempat faktor tersebut dengan melakukan pilihan bagi dirinya dan mampu

melawan kekuatan-kekuatan fenomenal sepanjang perjalanan evolusinya.38

Menariknya, Ali Syari`ati tidak menolak dan menerima semua determinisme

yang disebutkan di atas. Ia berpendapat bahwa manusia dalam perjalanan

evolusinya, selama proses bergeraknya manusia dari sekedar ke arah “menjadi”

(insân), sesungguhnya mampu melepaskan dirinya dari belenggu sebagian besar

kekuatan determinisme tersebut. Manusia akan terus hidup, namun determinisme

akan digantikan jika muncul sebuah kebenaran baru, artinya determinisme hanya

bersifat sementara. Seperti halnya pernyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan

bahwa kehidupan setiap masyarakat didasarkan atas kondisi geografisnya mungkin

benar pada saat itu, tetapi tidak pada saat sekarang. Oleh karena itu makin maju

manusia bergerak ke arah “menjadi”nya (insân), maka ia makin baik mengungguli

kekuatan-kekuatan determinisme.39

Pada umumnya, manusia dapat membebaskan dirinya dari penjara-penjara

tersebut dengan ilmu dan teknologi. Zaman sekarang, ketergantungan akan alam

bisa diminimalisir dengan ilmu dan teknologi. Pertanian tidak lagi tergantung pada

curah hujan, dan gaya gravitasi bukanlah suatu halangan untuk menaklukkan

angkasa. Itu merupakan dari sekian banyak contoh dengan berkembangnya ilmu

dan teknologi. Ilmu telah mengetahui rahasia-rahasia alam. Dengan menggunakan

pikiran yang kritis, manusia menggunakan ilmu untuk menghasilkan teknologi.

Dengan teknologi tersebut, manusia bisa bebas dari determinisme alam. Oleh

karena itu alam bukanlah suatu rintangan deterministik yang menghambat kemajuan

manusia.

38 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 85 39 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 87.

Page 42: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Sedangkan untuk melepaskan manusia dari belenggu sejarah, ia harus sadar

bahwa dirinya merupakan boneka dari kekuatan hebat yang bernama sejarah.

Dengan mempelajari ilmu dan filsafat sejarah dan memahami bahwa faktor-faktor itu

mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral, dan kesadarannya, maka ia

dapat membebaskan diri dari belenggu sejarah.40

Dalam hal ini, Ali Syari`ati juga mengatakan pendapatnya tentang

determinisme sejarah dalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim:

“Beberapa masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin, betapapun terbelakangnya, mampu memperpendek perjalanan panjang sejarah yang deterministik. Mereka bukannya bergerak tahap demi tahap, tetapi maju dengan lompatan-lompatan. Dengan demikian teori lama yang mengatakan bahwa suatu masyarakat harus melalui tahap sejarahnya yang pertama agar dapat mencapai tahap sejarah kedua, kemudian tahap ketiga, dan seterusnya ----- teori ini tidak lagi dipertahankan dan dipercayai. Padahal atas dasar teori lama itulah suatu masyarakat dipelajari, diklasifikasi, diletakkan dalam suatu urutan, dan masa depannya diramalkan. Akan tetapi banyak bukti yang dapat meruntuhkan teori determinisme historis. Sekarang kita mengetahui bahwa semakin mendalam kesadaran suatu masyarakat terhadap sejarahnya, dan semakin mendalam tahap perkembangan historis tertentu ke arah tahap pemahaman kaum intelektualnya terhadap hakekat dan bentuk tahap sejarahnya, maka semakin cepat masyrakat tersebut dapat melampaui perkembangan tahap demi tahap. Tipe kesadaran sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi. Masyarakat semacam ini akan dapat melompati tiga tahap perkembangan historis sekaligus, tanpa dikekang oleh determinisme sejarah, yang mestinya menggariskan gerak dari setiap masyarakat. Ada sejumlah masyarakat seperti itu yang memberontak terhadap determinisme di atas dan meloncat ke periode feodal, tribal atau colonial ke tahap modern sejarah. Ini adalah pemberontakan terhadap ketentuan sejarah. Jadi hal ini melepaskan suatu masyarakat dari genggaman sejarah setelah masyarakat

40 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 42.

Page 43: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

memahami sejarah dan hukum-hukum serta perjalanannya yang deterministik”.41

Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sejarah merupakan sebuah

perjalanan panjang manusia untuk melalui beberapa tahapan periode. Namun

seiring perkembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah, hal ini dapat diatasi,

bahkan manusia bisa melompat ke tahapan sejarah yang lebih baik sehingga

manusia bisa terbebas dari determinisme sejarah tersebut.

Selanjutnya untuk mengatasi kekuatan determinisme sosiologis dapat diatasi

dengan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial, dengan demikian anggota masyarakat dapat

memahami realitas dan determinisme sosial dan kemudian menghadapinya dengan

suatu cara yang konstruktif.42

Walaupun manusia (insân) sudah membebaskan dirinya dari materi, alam,

sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara yang paling

gelap, yaitu ego. Ego merupakan penjara terberat yang harus dilewati oleh manusia,

karena ia berada di dalam diri manusia itu sendiri.

Agar terbebas dari penjara ego, hanya ada satu cara, yaitu dengan cinta.

Dalam hal ini, yang dimaksud Ali Syati`ati bukan jenis cinta yang ada dalam

pengertian sufistik, Platonis, mistik, atau bentuk-bentuk yang abstrak, karena jenis

cinta seperti itu adalah penjara-penjara juga.43

Ali Syari`ati melihat cinta sebagai sebuah kekuatan perkasa yang ada dalam

kedalaman jiwa manusia. Cinta mempunyai kekuatan untuk menolak diri kita sendiri,

memberontak melawan diri kita sendiri, dan mengorbankan kehidupan kita untuk

41 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 89-90. 42 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 90. 43 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 97.

Page 44: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

suatu cita-cita atau orang lain. Ali Syari`ati memberi contoh kematian Nietzche yang

tewas karena menolong seekor kuda.

Ketika manusia sudah terbebas dari penjara ego dengan senjata cinta, maka

manusia sudah dalam tahap puncak dari “menjadi” manusia penuh (insân).

Sebagaimana Ali Syari`ati menyimpulkannya dengan kata-kata Rada Krishnan:

“Tugas kita dalam hidup, misi kita di alam semesta, adalah merencanakan suatu kerja sama di mana manusia dan Tuhan dan cinta dapat terlibat dalam menciptakan suatu kreasi lain dan manusia yang lain. Ini adalah tanggung jawab kita.”44

44 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 101.

Page 45: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Tabel hubungan antara Tuhan, Manusia (insân), dan Manusia dua dimensi

Tuhan

(tujuan, Guru Pertama)

Manusia (insân)

menghampiri

Page 46: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

(becoming)

berakhlak seperti akhlak Tuhan

Manusia Dua Dimensi

Roh Tuhan Penjara Ego Tanah Lumpur

D. Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep Manusia

(insân)

Penulis melihat Ali Syari`ati mengadopsi padanan kata insân yang ada di al-

Qur`an mengenai konsep manusia (insân) nya. Di dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa

insân merupakan sebuah makhluk yang mempunyai budaya, tidak liar, baik secara

sosial maupun alamiah. Berbeda dengan Ali Syari`ati, menurutnya, manusia (insân)

merupakan sebuah proses menuju manusia sejati dengan melalui beberapa proses

dan berbagai hambatan dengan dibekali sifat-sifat ilahiyâh. Jadi dalam hal ini,

Page 47: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

tampak pengaruh teologis melekat pada diri Ali Syari`ati mengenai konsep manusia

(insân) melalui al-Qur`an.

Mengenai konsep manusia (insan), Ali Syari`ati sepertinya juga mendapat

pengaruh dari tokoh Eksistensialisme.45 Kierkegaard salah satunya. Dalam

pandangannya, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bisa bereksistensi.

Maksudnya adalah ketika manusia menegaskan eksistensinya, maka dia juga

sekaligus menegaskan perbedaan dengan makhluk lainnya. Sedangkan perjalanan

eksistensi manusia yang paling tinggi ialah ketika ia menuju Tuhan, karena manusia

berasal dari Tuhan dan sedang dalam proses menuju hubungan atau kesatuan

tertingi denganNya. To exist, bagi Kierkegaard, berarti sedang dalam proses

“menjadi”, sedangkan Existence berarti suatu perjuangan terus menerus, sebuah

gerakan menuju Yang Tak Terbatas. Cara berada setiap individu adalah melakukan

gerakan dan perjuangan terus menerus menjadi manusia, mencapai eksistensi sejati

dengan cara menuju Tuhan.46 Oleh karena itu manusia belum sempurna, masih

dalam tahap penyempurnaan, dan dia sendiri bertanggung jawab atas proses ini.

Kierkegaard merupakan seorang Kristiani, maka cita-cita tertingginya adalah

menjadi seorang Kristiani.

Dalam pencapaiannya, menurut Kierkegaard ada tiga tahapan agar manusia

bisa bereksistensi, yaitu, estetis, etis, dan religius. Tahap estetis maksudnya adalah

manusia hanya mencari kesenangan sesaat, seperti menikmati pengalaman emosi

dan nafsu. Kecenderungan hedonistik47 lebih dominan dalam dirinya. Sehingga dia

tidak mempunyai hasrat atau keterlibatan, melainkan keputusasaan. Manusia estetis

45 Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar-akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan filsafat Abad Pertengahan. Sejak awal filsafat ini sering dikaitkan dengan Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.

46 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57.

47 Hedonistik merupakan konsep moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan.

Page 48: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

juga tidak mempunyai landasan yang pasti dan pada akhir hidupnya hampir tidak

bisa lagi menentukan pilihan. Jalan keluarnya ada dua, bunuh diri atau masuk

ketahapan hidup yang lebih tinggi, yakni tahapan etis. Pada tahapan etis, manusia

telah menyadari terhadap segala kebijakan-kebijakan moral yang diambil pada

tahap estetis. Tahapan ini adalah semacam “pertobatan” bagi manusia yang telah

melewati tahapan estetis. Prinsip hedonisme telah dibuang diganti dengan nilai-nilai

kemanusiaan yang bersifat universal. Pada tahapan ini manusia tidak lagi

memikirkan kesenangan diri sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang

lebih tinggi. Berdasarkan keyakinannya, dia menolak segala kekuasaan dari suatu

sistem yang menurutnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian yang bersifat

universal. Tahapan terakhir adalah tahapan religius, manusia yang berada pada

tahapan ini telah melompat dan menceburkan dirinya dalam realitas Tuhan sehingga

eksistensi manusia tercapai sebagai “aku”. Lompatan manusia dari tahap etis ke

tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etetis.

Kesulitan itu di antaranya adalah saat individu memutuskan untuk lebur dalam kuasa

Tuhan mengingat terdapat sesuatu hal yang bertentangan di dalam diri Tuhan

sendiri. Contoh yang dikemukakan dalam hal ini adalah tentang ada dan tidaknya

Tuhan dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan, misalnya, (kalau Tuhan itu ada

dan Maha baik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?). Meskipun

terdapat hal yang bertentangan dalam diri Tuhan, namun hal demikian tidak perlu

diragukan, alasannya, keraguan akan muncul jika daya rasionalitas mencoba

menjelaskan pertentangan itu, sementara pada tahapan ini tidak ada ruang untuk

daya rasionalitas menjelaskannya, karena hal demikian bukan sesuatu yang bisa

dipikirkan secara rasional. Hanya dengan cara menyakini berlandaskan pada iman

saja manusia bisa menerima pertentangan itu. Jadi dalam hal ini dengan keyakinan

yang berlandaskan iman manusia berani untuk menceburkan dirinya ke dalam

Page 49: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Tuhan dalam rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam

kebahagiaan abadi, jika ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.48

Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsep manusia (insân) Ali Syari`ati

mendapat pengaruh dari Kierkegaard. Kedua filosof tersebut merupakan pemikir

yang religius. Ali Syari`ati mewakili dari Islam dan Kierkegaard dari Kristiani.

Kierkegaard berpandangan bahwa perjalanan eksistensi menuju Tuhan merupakan

bentuk tahapan eksistensi tertinggi, dan manusia sedang berada dalam perjalanan

menuju hubungan atau kesatuan tertinggi dengan Tuhan. Hal ini hampir serupa

dengan konsep manusia (insân) yang dimiliki oleh Ali Syari`ati.

Selanjutnya, Kierkegard juga menjelaskan tiga tahap manusia, yaitu, estetis,

etis, dan religius yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Dan Ali Syari`ati

juga mempunyai beberapa penjara yang bisa manghalangi proses becoming.

Bedanya, tiga tahap Kierkegaard merupakan tahapan yang harus dilalui satu per

satu seperti menaiki anak tangga, sedangkan penjara-penjara Ali Syari`ati tidak

membicarakan tentang jenjang atau tahapan, tetapi keempatnya merupakan

hambatan-hambatan yang menghalangi proses menuju Tuhan.

Sartre juga merupakan salah seorang Eksistensialis. Menurutnya, ada dua

macam “berada”, yaitu être-en-soi (berada-dalam-diri) dan être-pour-soi (ber-ada-

untuk-diri).49

Yang dimaksud dengan être-en-soi, yaitu, berada dalam dirinya atau cara

berada yang tidak berkesadaran. Misalnya, pohon, meja, manusia, hewan, dsb.

Dikatakan berada karena semuanya itu ada atau berada. “Berada” disini merupakan

sifat dari segala benda jasmaniah. Semuanya dikatakan padat, beku, tertutup, yang

satu terlepas daripada yang lain, tanpa saling berhubungan. Être-en-soi mentaati

48 Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2003) h. 134-138.

49 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) h. 157.

Page 50: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

prinsip identitas (It is what it is). Bagi Sarte yang Atheis, être-en-soi itu ada secara

kebetulan, bukan ciptaan Tuhan.50

Sementara être-pour-soi adalah bukan benda, dan berbeda secara radikal

dengan être-en-soi. Être-pour-soi adalah istilah yang menunjukkan tentang adanya

kesadaran, cara berada manusia. Être-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas.

Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya.51 Être-pour-soi ini

merupakan inti pandangan Sartre tentang eksistensi manusia. Kata kuncinya adalah

kebebasan. Kebebasan akan menetukan keberadaan manusia dalam sejarah.

Seorang yang berusaha lari dari kebebasan sebenarnya juga sedang berusaha

merealisasikan kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada kata tidak untuk kebebasan

manusia. Manusia adalah kebebasan. Namum, kebebasan bukan berarti ”lepas

sama sekali” dari kewajiban dan beban. Kebebasan adalah sesuatu yang erat

kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan kebebasan

inilah manusia bereksistensi. Oleh karena itu, manusia bebas maka Tuhan tidak ada,

karena jika Tuhan ada, lanjut Sartre, berarti ”aku” tidak bebas alias diam karena

semuanya sudah dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan.

Sepertinya pemikiran Sartre mempengaruhi kepada konsep manusia (insân)

Ali Syari`ati. Bisa dikatakan bahwa être-en-soi adalah basyar. Hal ini karena, être-

en-soi merupakan makhluk yang tidak berkesadaran dan basyar adalah makhluk

yang tidak melakukan kesadaran untuk melakukan proses becoming dan dipandang

hanya sebagai makhluk fisik semata.

Être-pour-soi menurut Sartre adalah makhluk yang mempunyai kesadaran

atau cara berada manusia. Sedangkan manusia (insân) dalam pandangan Ali

Syari`ati adalah makhluk yang berkesadaran untuk melakukan proses becoming.

50 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 51. 51 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, h. 159

Page 51: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Dari kedua sudut pandang di atas, penulis melihat adanya benang merah antara Ali

Syari`ati dan Sartre, yaitu, bahwa être-pour-soi dan insân merupakan makhluk yang

mempunyai kesadaran diri. Oleh karena itu bisa dikatakan être-pour-soi sama

halnya dengan insân.

Namun diantara persamaan tersebut, penulis juga melihat terdapat beberapa

perbedaan antara Sartre dan Ali Syari`ati, sebagaimana akan dijelaskan pada tabel

berikut:

Pokok masalah Sartre Ali Syari`ati

Tanggung Jawab Sepenuhnya atas dirinya sendiri dan seluruh manusia

Kepada Tuhan

Proses Menidak / Negation Becoming menuju Tuhan

Tuhan Tidak ada Ada, Guru pertama

Asal kebebasan Dari diri manusia itu sendiri

Tuhan

Sumber moral Akal pikiran Tuhan

Kebebasan Kutukan, konsekwensi adalah tanggung jawab total kepada seluruh manusia

Anugrah,salah satu sifat ilahiyâh, bekal untuk becoming

Hati nurani Dari manusia Dari Tuhan (kebaikan bawaan dari unsur Roh Tuhan)

Dari semua uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Ali Syari`ati

mengambil padanan kata manusia (insân) dari al-Quran lalu menjelaskannya dengan

gaya bahasa filosofis yang juga terdapat pengaruh dari para filosof Eropa, walaupun

juga ada perbedaan diantara mereka. Namun hal tersebut tidak mengurangi kajian

Page 52: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

ini, tetapi menambah wawasan tentang berbagai macam pemikiran di antara

mereka.

Page 53: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah penulis mengulas uraian dari bab-bab sebelumnya, maka pada

bagian akhir pembahasan ini, penulis akan menyimpulkan beberapa kesimpulan,

terutama untuk menjawab bagian rumusan masalah yang ada pada bab pertama,

sebagai berikut:

1. Manusia menurut Ali Syari`ati adalah makhluk yang mempunyai

dimensi ganda, yaitu unsur lempung dan unsur ruh Tuhan. Kedua

unsur ini saling tarik menarik, sehingga manusia harus menentukan

pilihannya sendiri. Jika ia jatuh pada unsur lempung, maka ia disebut

basyar, maksudnya adalah ia hanya sekedar makhluk saja. Sedangkan

ketika unsur ruh Tuhan cenderung dalam dirinya, maka ia disebut

insân. Namun dalam perjalanan manusia basyar menuju manusia

insân, harus melewati berbagai macam hambatan yang ada dengan

dibekali tiga sifat ilâhiyah. Setelah manusia mencapai tingkatan insân,

maka ia akan berakhlak menyerupai akhlak Tuhan.

2. Konsep filosofis dan teologis mampu memperluas pandangan Ali

Syari`ati terhadap konsep manusia (insân). Bahkan ia mengkritik

model pemikiran Barat terhadap konsep manusia (insân) itu sendiri,

yang menurutnya cenderung berpandangan materialistik dalam

melihat konsep manusia.

B. Saran-saran

Page 54: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

1. Diharapakan ada mahasiswa lain yang mengeksplorasi corak

pemikiran dari tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Ali Syari`ati sehingga

menyemarakkan kajian ke-Islaman secara umum yang didekati melalui

pemikiran-pemikiran tokohnya.

2. Penulis menyarankan supaya kajian-kajian terhadap filosof atau teolog

muslim dunia seperti Ali Syari`ati, supaya lebih disemarakkan lagi di

lingkungan akademis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.

Sehingga bisa menambah khazanah literatur ke-Islaman menyangkut

tokoh-tokoh pemikir Islam di lingkungan UIN sendiri yang selanjutnya

bisa di akses oleh masyarakat secara luas umumnya.

3. Perlunya dikembangkan iklim diskusi di kalangan mahasiswa yang

dimotori oleh Fakultas terhadap tokoh-tokoh pemikir Islam. Selain itu

disarankan supaya pihak Fakultas menerbitkan jurnal secara berkala

hasil diskusi tentang tokoh-tokoh pemikir Islam tersebut.

Page 55: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2003

Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi Jakarta: Paramadina, 1997

Al-Jilli, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian

Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc.,

Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006

Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,

Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002

Bagus, Lorens, Kamus Filsafat Jakarta: Gramedia, 2000

Baharuddin, Dr., Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-

Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004

Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, Jakarta: Penerbit

P3M, 1991

Harun Hadiwijono, DR., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980

Kurzman, Charles(ed.)., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-

Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta: Paramadina, 2003

Madjid, Nurcholish, (ed.)., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987

Malaky, Ekky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern,

Jakarta: Teraju, 2004

Maulana Muhammad, Ali, Islamologi, terj. R. Kaelan dan H.M. Bachrun, Jakarta: Darul

Kurtubi Islamiyah, 1996

Misbah, M. Taqi, Monoteisme; Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, terj. M.

Hashem, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996

Page 56: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Musa Asy`arie, DR., Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur`an, Yogyakarta:

Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992

Muthahhari, Murtadha, Membumikan Kitab Suci; Manusia dan Agama, peny. Haidar Bagir,

Bandung: Mizan, 2007

N. Drijarkara S.J., Prof. DR., Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1989

Nasr, Sayyed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam; Jembatan Filosofis dan religius

Menuju Puncak Spiritual, ter. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Ircisod, 2005

Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,

Jakarta: Penerbit Teraju, 2002

Raharjo, Dawam, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Press,

1987

Rahnema, Ali, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid,

M.A. et. all., Jakarta: Erlangga, 2002

_______, Ali (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,

1996

Seyyed Mohsen Miri, Dr., Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu,

Bandung: Teraju, 2004

Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur`an Bandung: Mizan, 1997

Syari`ati, Ali, Agama Versus Agama, terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur, MA,

Bandung: Pustaka Hidayah, 2000

______, Ali, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan

Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1985

______, Ali, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1988

______, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1982

______, Ali, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, Jakarta: YAPI, 1990

______, Haji, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 2006

Page 57: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

______, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982

Page 58: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

PEDOMAN TRANSLITERASI

ARAB LATIN ARAB LATIN

dh ض أ

th ط b ب

zh ظ T ت

‘ ع ts ث

gh غ J ج

f ف � ح

q ق kh خ

k ك d د

l ل dz ذ

m م r ر

n ن z ز

w و s س

h ه sy ش

Page 59: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati

Y ي sh ص

â (a panjang), contoh المالك : al-Mâlik

î (i panjang), contoh الرحيم : al-Ra� îm

û (u panjang), contoh الغفور : al-Ghafûr

Page 60: Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati