konsep manusia dalam perspektif ali syari`ati
TRANSCRIPT
KONSEP MANUSIA
DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI
Oleh
Lesmadona Ferutama
NIM. 203033102165
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1428 H
KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I)
Oleh
Lesmadona Ferutama
NIM. 203033102165
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA
NIP. 150107970
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2008 M / 1428 H
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul Konsep Manusia Dalam Perspektif Ali Syari`ati telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Juni 2008.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Program Strata 1 (S1) pada jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 23 Juni 2008
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, MA Drs. Rifqi Muchtar, MA
NIP. 150232921 NIP. 150282120
Anggota
Drs. Agus Darmaji, M. Fils Prof. Dr. Zainun Kamal, MA
NIP. 150262447 NIP. 150228520
Prof. Dr. Fauzan El-Muhammady, MA
NIP.150107970
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Tuhan Semata Alam, pencipta makhluknya, Yang mengetahui apa-
apa yang ada dilangit dan di bumi yang nyata maupun yang tersirat baik dalam keadaan terang
benderang maupun dalam keadaan gelap gulita. Shalawat dan salam selalu tercurah dari bibir pendosa
yang selalu dipaksakan untuk terus mengucapkan keselamatan atas manusia agung sang paduka Nabi
Muhammad saw, berkat dengan adanya Muhammad-lah alam ini dapat terciptakan dan dapat
diberikan cahaya menempuh jalan yang terang benderang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak menemukan kendala-kendala yang harus
dihadapi oleh penulis. Namun demikian berkat bimbingan-Nya serta bantuan yang sangat berharga
bagi penulis, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
2. Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, MA selaku Kepala Program Ushuluddin dan Filsafat Non-
Reguler.
4. Bapak. Drs. Agus Darmaji, M.Fils selaku Ketua Jurusan Aqidah dan Filsafat
Universitas Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak Prof. Dr. Fauzan Misra el-Muhammadi, MA selaku dosen pembimbing.
Terimakasih banyak atas segala waktu dan bimbingannya.
6. Kepada segenap Dosen-dosen Ushuluddin dan Filsafat yang telah memberikan ilmunya
kepada penulis sehingga penulis menemukan pemikiran-pemikiran baru.
7. Segenap staff dan petugas Perpustakaan Utama dan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
UIN Syarif Hidayatullah.
8. Selanjutnya, salam ta‘dzim penulis kepada Ayahanda Lem Ses Aini dan Ibunda Fithriani,
selaku kedua orang tua yang pernah mendidik penulis dari semenjak buaian hingga
menemukan “dirinya” sebagai manusia. Buaian kasih dan sayangnya sungguh tak akan
pernah terbalas oleh penulis.
9. Kepada kedua kakek dan nenek penulis, Soehaily Ya`qub dan Nurkimah, yang telah
memberikan nasehat-nasehat yang bijak agar penulis bisa menjadi lebih baik dan lebih
baik lagi. Semoga keduanya diberikan umur panjang dan sehat selalu.
10. Latifah Mitrayani Hanum, adik penulis yang akan melanjutkan cita-citanya ke perguruan
tinggi. Jangan pernah menyerah dan jangan pernah takut.
11. Om Edi, Tante Dwi, Om Raka, One, Om Fahmi, dan Uniang yang telah memberikan
motivasi kepada penulis sehingga bisa terselesaikannya skripsi ini.
12. Buat sepupu-sepupu penulis Suci, Rio, Bima, Bulan, Bintang (welcome), Farhan, dan
Bima yang jauh di mata dekat di hati.
13. Ust. Saepudin yang telah mengajarkan banyak hal kepada penulis.
14. Pak Masyhar MA yang telah menyediakan waktunya untuk mendiskusikan skripsi kepada
penulis.
15. Teman-teman seperjuangan yang ada di KINEKLUB dan Kabbalah Study Club.
16. Teman-teman yang paling ngebosenin dari Al-Mukhlishin, Wawan, semoga sukses
dengan kursusan barunya. “Udah jago belom (PS)?“. Goro, manusia paling banyak
obsesi, mudah-mudahan tercapai obsesinya. Dan Sotoy, yang sedang meniti karier di
Bombay. “Sabar ya Toy..“.
17. Buat Noz, Paijo, Muthe, dan Yuni yang telah memberikan kebersamaan dari kejenuhan
sehari-hari penulis. “Thanks bro..“
18. Teman-teman Alumni Al-Hikmah, Will Strong, Wawan, Goro, Sotoy, Putra, Fakih,
Siswoyo, Beny, dll. Teruskan perjuanganmu kawan.
19. Syukurku karena telah mengetahui perpustakaan-perpustakaan besar dan berbobot di
pelosok Jakarta: Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin
beserta stafnya, Perpustakaan Idayu Senen, Perpustakaan Freedom Institute, Perpustakaan
Nasional Salemba, Perpustakaan Kodya Jakarta Selatan, Perpustakaan Fakultas Bahasa
dan Budaya UI, Perpustakaan Utama Universitas Negeri Jakarta.
20. Teman-teman di filsafat Bang Alex Komang, Romo Nova makasih bang atas segala
kontribusinya, Fandy Rose, Rusli (Iwan), Diana “Cimot“, Uchay (Tuan Takur) dan Daus
(Kabbalis), cepet beres ye.. Syakib (Pongga), Ismet, Ayat yang sudah selesai.
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan Skripsi............................................................................i
Lembar Pengesahan Panitia Ujian ..................................................................ii
Kata Pengantar ................................................................................................iii
Transliterasi.....................................................................................................vi
Daftar Isi .........................................................................................................vii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...............................................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ....................................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .....................................................7
D. Metode Penelitian .........................................................................8
E. Sistematika Penulisan ...................................................................9
BAB II. BIOGRAFI ALI SYARI`ATI
A. Riwayat Hidup ...............................................................................11
B. Pemikiran dan Karyanya ................................................................16
BAB III. KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI
A. Pengertian Manusia ........................................................................20
B. Dua Kecenderungan Manusia
a. Basyar ................................................................................27
b. Insân...................................................................................28
C. Tiga Sifat Ilâhiyah dan Hal-Hal Yang Membatasinya ...................30
D. Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep
Manusia (Insân) .............................................................................42
BAB IV. PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................48
B. Saran-Saran ....................................................................................49
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum, filsafat merupakan ilmu yang mempelajari hakikat segala
sesuatu di alam ini, diantaranya adalah manusia. Menurut filsafat, manusia
menempati posisi yang sangat penting, karena hanya manusia yang mampu berpikir
dengan akalnya tentang kebaikan dan keburukan. Selain itu, dengan akalnya,
manusia juga mampu mengatur segala sesuatu yang ada di alam dan mengolahnya
dengan tujuan kepentingan dirinya sendiri. Dengan alasan ini, manusia termasuk
kedalam salah satu kajian yang paling penting dalam ilmu filsafat.
Meskipun kajian tentang manusia menempati posisi sentral dalam ilmu
filsafat, namun para filosof memahami hal ini dengan beragam persepsi. Hal
demikian terjadi karena perbedaan dari definisi tentang hakikat manusia di antara
mereka.
Di Barat, kita kenal dengan paham Eksistensialisme yang melahirkan
beberapa tokoh didalamnya. Salah seorangnya yaitu, Soren Kierkegard. Dalam
pandangan Kierkegard, manusia adalah satu-satunya makhluk yang bisa
bereksistensi. Di samping itu, Kierkegard percaya bahwa manusia berasal dari Allah
dan berada sedang dalam proses menuju hubungan kepada kesatuan tertinggi
dengan-Nya. Dalam proses penciptaan manusia menurut Kierkegard, digunakan
istilah to exist yang artinya dalam proses “menjadi”, dan disisi lain ditemukan pula
istilah existence yang artinya adalah suatu perjuangan terus menerus menuju yang
1
tak terbatas. Jika demikian, perjuangan yang terus menerus inilah yang merupakan
suatu proses pencapaian eksistensi manusia yang sesungguhnya.1
Banyak diantara para pemikir menggolongkan Kierkegard sebagai filosof,
meskipun berbagai persoalan yang dirumuskannya lebih bernuansa metafisika,
dengan kata lain, mereka lebih menyukai untuk menempatkan Kierkegard sebagai
seorang filosof ketimbang seorang mistikus.
Tidak berbeda dengan Kierkegard, `Abd al-Karîm ibn Ibrâhîm al-Jîllî juga
membangun argumentasi tentang manusia yang berdasarkan tema-tema teologis.
Namun, al-Jîllî lebih dipandang sebagai seorang mistikus ketimbang seorang filosof,
padahal berbagai persoalan yang diangkat tidak terlalu jauh dari persoalan yang
telah dibanguin oleh Kierkegard. Dalam pandangannya, al-Jîllî berpendapat bahwa
eksistensi manusia bersifat koheren dengan Tuhan. Dalam hal ini, manusia memiliki
potensi untuk meneladani sifat-sifat ketuhanan. Dengan usaha ini, maka seseorang
berada dalam proses pengembaraan menuju Tuhan, dan ketika pengembaraan itu
telah mencapai tujuannya, maka manusia menjadi intim dengan dengan Tuhan. Pada
saat keintiman ini, maka manusia itu menjadi manusia yang seutuhnya, dalam
bahasa al-Jîllî disebut Insân Kâmil.
Bagi al-Jîllî, Insân Kâmil telah merangkum semua metafor asma-asma dan
sifat-sifat-Nya yang berdimensikan zat di dalam diri Insân Kâmil itu sendiri.2
Maksudnya, potensi-potensi Ilâhiyah bersemayam dalam diri Insân Kâmil, sehingga
tahap inilah yang disebut puncak pengalaman spiritual manusia. Menurut al-Jîllî,
manusia yang paling tampak mempunyai potensi-potensi Insân Kâmil adalah Nabi
Muhammad Saw, karena, dirinya menjadi manifestasi dari Esensi Tuhan.
1 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57
2 Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim al-Jîllî, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc., (Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006), h. 319.
Dengan demikian, dapat diketahui, Kierkegard dan al-Jîllî telah sepakat
bahwa substansi manusia sesungguhnya tidak dapat dipisahkan dari Tuhan. Hal
demikian merupakan bukti bahwa persoalan-persoalan yang sering diangkat oleh
mereka adalah persoalan yang bersifat metafisik.
Kierkegard dan al-Jîllî bukan satu-satunya pemikir dari kalangan religius yang
mempresentasikan mengenai persoalan substansi manusia itu sendiri. Jika al-Jîllî
adalah seorang mistikus, maka dari kalangan filosof muslim, juga banyak yang
mempresentasikan persoalan serupa. Salah seorang filosof Muslim Iran, Ali Syari’ati
juga angkat bicara dalam persoalan tersebut.
Bagi Ali Syari’ati, persoalan substansi manusia sine qua non harus dikupas
tanpa adanya kontradiksi terhadap dogmatisme Islam. Dengan demikian, dapat
diketahui bahwa, jika Ali Syari`ati berangkat dari dogma-dogma Islam dalam
memahami hakikat manusia, maka pengaruh kitab suci al-Qur’an menjadi tampak
pada pemikirannya.
Menurut Ali Syari`ati, konsep penciptaan Adam yang ada di al-Qur`an
merupakan pernyataan humanisme yang paling dalam dan paling maju. Adam
mewakili seluruh manusia, dia adalah esensi umat manusia, manusia dalam
pengertian filosofis, bukan biologis. Bila al-Qur`an berbicara biologis, maka itu
berarti al-Qur`an menggunakan bahasa ilmu-ilmu alam. Tetapi setelah berbicara
pada kejadian Adam, bahasa yang dipergunakan adalah bahasa metaforis dan
filosofis yang penuh dengan makna dan simbol.3
Berdasarkan konsep penciptaan manusia yang ada di al-Qur`an, Syari`ati
berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan
3 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 113.
dan tanah lempung. Ruh Tuhan mengajak manusia menuju puncak spritual tertinggi,
sedangkan tanah lumpur berasal dari tanah yang rendah dan hina yang
membawanya ke hakikat yang rendah. Pada akhirnya, kedua unsur ini saling tarik
menarik sehingga manusia harus menentukan pilihannya sendiri. Oleh karena itu
manusia merupakan makhluk yang mempunyai kehendak bebas untuk menetukan
nasibnya sendiri. Setelah itu, Tuhan mengajarkan nama-nama pada manusia. Jadi
Tuhan merupakan Guru Pertama manusia, dan pelajaran pertamanya adalah
pengenalan “nama-nama”. Manusia juga pemberi nama pada dunia. Lantas, untuk
menjawab protes para malaikat yang merasa Tuhan mengistimewakan manusia,
padahal mereka hanya diciptakan dari tanah, sementara malaikat tercipta dari
cahaya. Tuhan menyatakan diri-Nya mengetahui hal-hal yang tidak mereka ketahui,
dan menyuruh para malaikat untuk bersujud sebagai tanda hormat kepada manusia.
Ali Syaria`ti mengatakan sujudnya malaikat merupakan arti sebenarnya humanisme.
Derajat manusia diangkat sedemikian mulia, setingkat di atas malaikat, meski ada
unsur yang hina pada manusia. Keunggulan manusia ini bukan atas dasar rasial,
karena manusia dianugrahkan oleh Tuhan pengetahuan, yaitu pengenalan nama-
nama terhadap segala sesuatu, sedangkan malaikat tidak.4
Ali Syari’ati memposisikan manusia sebagai makhluk yang punya martabat
tinggi, makhluk yang punya kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, makhluk
bidimensional yang di dalamnya terdapat unsur kesucian (ketuhanan) dan sekaligus
unsur lumpur (kehinaan). Manusia adalah makhluk yang punya potensi intelektual,
potensi kebebasan, dan potensi spiritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai
amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi
ini.
4 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 32.
Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, merubah dirinya dari
keadaan lumpur menjadi ruh ketuhanan. Dari kehinaan ke kemuliaan. Dari
kebodohan ke pencerahan. Dari penindasan ke kemerdekaan. Dari keadaan basyar
ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam,
sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. Ia harus bisa menentukan dirinya sendiri
dengan kesadaran dan ideologi yang diyakininya. Manusia juga harus punya
kepedulian sosial yang tinggi, baik dalam dataran pikiran maupun aksi. Oleh karena
itu, dalam keterangan selanjutnya manusia dibedakan menjadi dua kecenderungan,
yaitu, manusia (insân) dan manusia (basyar).
Dengan demikian, setiap manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat
kebajikan maupun kejahatan. Jika seorang manusia cenderung berbuat kebajikan,
maka dia akan selalu dekat kepada Tuhan, sehingga dia menjadi insân yang
sesungguhnya. Namun pendakian menuju Tuhan tidak mudah karena banyak
rintangan yang harus dihadapi.
Setelah mengetahui pandangan manusia menurut Ali Syari’ati, maka dapat
diketahui bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara Ali Syari’ati dengan
para pemikir lainnya seperti Kierkegard dan al-Jîllî. Adapun persamaannya antara
lain, ketiga tokoh tersebut masing-masing menjelaskan konsep substansi manusia
itu sendiri, sedangkan perbedaannya, jika Syari`ati mengupas persoalan tersebut
dengan berlandaskan kepada dogmatisme Islam, meskipun melalui analisa filosofis,
namun berbeda dengan Kierkegard yang berlandaskan kepada dogmatisme Kristen.
Begitu pula dengan al-Jîllî, meskipun Ali Syaria`ti mempunyai keimanan yang sama
dengan al-Jîllî, akan tetapi, Ali Syaria`ti menggunakan analisa filosofis ketimbang al-
Jîllî yang lebih mengedepankan analisa mistis.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis melihat banyak persoalan yang harus
dijawab yang salah satunya adalah pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep
manusia (insân) menurut Ali Syari`ati. Dalam hal ini, penulis melihat pengaruh
filosofis dan teologis sama-sama menghiasi pemikirannya. Namun dalam skripsi ini,
selain untuk mengetahui konsep manusia, penulis juga bermaksud untuk
menentukan pengaruh filosofis atau teologis yang lebih dominan.
Oleh karena itu, dengan ditemukannya dua persoalan mendasar tersebut,
penulis merasa perlu untuk meneliti lebih dalam mengenai konsep manusia menurut
Ali Syari`ati. Berkaitan dengan ini penulis menyusun laporan penelitian dengan judul
“KONSEP MANUSIA DALAM PERSPEKTIF ALI SYARI`ATI”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam menyusun tema yang akan diangkat ini, penulis
membatasi pokok permasalahan pada konsep manusia menurut Ali Syari`ati. Selain
itu penulis juga bermaksud untuk meneliti pengaruh filosofis dan teologis namun
tetap dalam konsep yang ditawarkan. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak
bermaksud untuk meneliti pemikiran Ali Syari`ati seperti, sosiologi, etika,
revolusionisme, dan yang lainnya. Hal ini dimaksudkan agar penelitian konsep
manusia menurut Ali Syari`ati lebih mendalam. Sedangkan di dalam perumusan
masalah, penulis menetapkan pokok permasalahan dengan mencoba mencari
jawaban atas pertanyaan berikut:
• Bagaimana konsep manusia menurut Ali Syari`ati?
• Sejauh manakah landasan filosofis dan teologis mempengaruhi pemahaman
Ali Syari`ati terhadap konsep manusia (insân)?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian ini adalah :
1) Mengetahui latar belakang kehidupan dan pemikiran Ali Syari`ati.
2) Mengerti tentang persoalan-persoalan dalam konsep manusia yang
dijelaskan oleh Ali Syari`ati.
3) Mengetahui sejauh mana pengaruh filosofis dan teologis dalam konsep
manusia (insân) menurut Ali Syari`ati.
Manfaat penulis melakukan penelitian ini adalah:
1) Menambah wawasan tentang kajian filsafat dan teologi Islam yang
berkembang di Iran, khususnya tentang pemikiran Ali Syari`ati.
2) Memperkenalkan pemikiran Ali Syari`ati kepada para akademisi terutama
yang tertarik dengan masalah filsafat maupun teologi Islam.
3) Menawarkan analisa deskriptif mengenai konsep manusia menurut Ali
Syari`ati.
D. Metode Penelitian
Sehubungan dengan topik yang dipilih oleh penulis, maka dalam penelitian
ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara riset kepustakaan
(Library Research).
Untuk penelitian skripsi ini yang digunakan sebagai sumber primer adalah, Ali
Syari`ati, Agama Versus Agama, Terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur,
MA(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), Ali Syari`ati, Tentang Sosiologi Agama, Terj.
Saifullah Mahyudin (Yogyakarta: Ananda 1982), Ali Syari`ati, Kritik Islam Atas
Marxisme dan Sesat-Pikir Barat Lainnya, Terj. Husin Anis Al- Habsyi (Bandung:
Mizan 1990), Ali Syari`ati, Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, Peny.
Syafiq Basri dan Haidar Bagir (Bandung: Mizan 1985).
Adapun yang digunakan sebagai sumber sekunder adalah, Ekky Malaky, Ali
Syari`ati Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju 2004), Charles
Kurzman, Ed, Wacana Islam Liberal Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
Global, (Jakarta: Paramadina 2003), dan buku-buku bacaan lainnya.
Sedangkan metode pembahasan yang digunakan oleh peneliti dalam
penelitian skripsi ini adalah dengan metode diskripsi analisis. Dalam penulisan
laporan penelitian skripsi ini, peneliti menggunakan tata cara penyusunan skripsi
berdasarkan buku Pedoman Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2003/2004.
Dengan demikian, semoga metodologi yang digunakan peneliti ini dapat
membantu peneliti untuk mencari benang merah sekaligus proses penulisan laporan
penelitian skripsi ini.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan penjelasan
secara singkat dan jelas mengenai gambaran secara garis besar dari isi skripsi ini
yang terbagi ke dalam empat bab beserta dengan kata pengantar, daftar
transliterasi, daftar isi, dan daftar pustaka. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan bab yang menguraikan secara singkat mengenai
latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua, merupakan
bab yang menguraikan tentang, riwayat hidup dan karya-karya Ali Syari`ati.
Bab ketiga, merupakan bab yang menguraikan konsep manusia menurut
perspektif Ali Syari`ati, yang meliputi, pengertian manusia, dua kecenderungan
manusia, tiga sifat ilâhiyah dan hal-hal yang membatasinya, dan pengaruh teologis
dan filosofis serta hubungannya dengan konsep manusia (insân). Bab keempat,
merupakan bab terakhir yang menguraikan kesimpulan pembahasan dan saran.
BAB II
BIOGRAFI ALI SYARI`ATI
A. Riwayat Hidup
Ali Syari`ati merupakan anak pertama dari Muhammad Taqi Syari`ati dan
Zahra, lahir pada tanggal 24 November 1933 di sebuah desa kecil di Kahak, sekitar
70 kilometer dari Sabzevar.5 Dia berasal dari keluarga yang shaleh. Ayahnya,
Muhammad Taqi Syaria`ti merupakan seorang ulama anti konservatif yang sering
memiliki pendapat yang berbeda dengan para ulama dan para mullah lainnya.
Dalam pengalaman intelektual, pada awalnya, Ali Syari`ati mendapatkan
pendidikan langsung dari ayahnya sendiri. Pendidikan tersebut didapatkan di kota
Masyhad, di mana di kota itu ayahnya mengajar. Di samping mendapatkan
pendidikan dari ayahnya, dia juga gemar membaca. Perpustakaan milik ayahnya
yang besar menjadi tempat di mana dia sering menekuni kegemarannya tersebut.
Pada awal tahun 1940, ayahnya mendirikan usaha penerbitan yang bernama
“Pusat Penyebaran Kebenaran Islam”, yang memiliki tujuan untuk kebangkitan Islam
sebagai agama yang kaya akan kewajiban dan komitmen sosial. Tidak terlalu lama
setelah itu, ayahnya juga mendirikan “Gerakan Penyembah Tuhan Sosialis.6
Ali Syari`ati memang unik, pada masa belia, dia sudah tertarik mengkaji
tokoh-tokoh yang banyak dicap oleh para mullah telah menyimpang dari doktrin
5 Ali Rahnema, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid, M.A. et. all., (Jakarta: Erlangga, 2002), h. 53.
6 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 12.
11
dogmatis yang telah mereka ajarkan secara turun temurun. Rupanya, kajian seperti
itu membuat dia dan ayahnya yang juga tertarik terhadap kajian serupa mendapat
kecaman dari banyak kalangan.
Di kota Masyhad, Ali Syari`ati disekolahkan ayahnya di Sekolah Dasar Negeri
yang merupakan sekolah sekuler. Setelah lulus, di tahun 1950, dia melanjutkan
pendidikannya ke Sekolah Pendidikan Guru. Saat bersekolah di sini dia banyak
berhubungan dengan para temannya dari golongan ekonomi lemah, sehingga
mempengaruhi dirinya mengikuti gerakan nasionalisme yang dipimpin oleh Perdana
Menteri Muhammad Mushaddiq
Seiring waktu menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada tahun
1952, dia mulai mengajar di desa Ahmad Abad. Meskipun disibukkan waktu
mengajar, dia masih melanjutkan perlawanannya kepada Syah Reza Pahlevi. Hal ini
dia dibuktikan dengan bergabung “Gerakan Perlawanan Nasional” pada tahun
1953.7
Setelah selesai menempuh pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru, pada
tahun 1956, Ali Syari`ati melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra, Universitas
Masyhad. Pada tahun ini juga dia menikah. Namun akibat mengikuti Gerakan
Perlawanan Nasional, pada tahun 1957, dia dan ayahnya, dipenjara sebagai tahanan
politik selama 8 bulan di Taheran.
Pada tahun 1959, Syari`ati lulus dari Fakultas Sastra Universitas Masyhad.
Untuk melanjutkan pendidikannya pada program pasca sarjana seharusnya dia
mendapatkan beasiswa ke Perancis, tapi ada beberapa kendala sehingga rencana
itu tertunda. Baru pada tahun 1960, Ali Syari`ati bisa melanjutkan pendidikannya ke
Perancis atas beasiswa dari pemerintah Iran. Di Perancis, Ali Syari`ati belajar di
7 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 12.
Universitas Sorbone dan mengambil dua bidang studi sekaligus yaitu Sosiologi
Agama dan Sejarah Agama-Agama. Di Sorbone, dia bergaul dengan pemikir
terkemuka seperti Jean Paul Sartre, Louis Massignon, dan Che Guevara. Pada saat
yang sama, beliau menyukai pemikiran Chandell dan Jacques Schwartz.8 Di
Perancis, Ali Syari`ati banyak berkenalan dengan buku-buku yang biasanya tidak
ada di Iran. Dia juga mempelajari dan memperoleh pengetahuan secara langsung
dari berbagai aliran pemikiran sosial, ataupun karya-karya para filosof, sarjana, dan
penulis. Meskipun akrab dengan pemikiran Barat, Ali Syaria`ti tidak menelan
mentah-mentah pemikiran mereka. Malah ada sebagian pemikiran Barat yang
dikritik oleh Syaria`ti dan dia juga mengemukakan beberapa kelemahannya yang
bisa dilihat melalui karya-karyanya.
Ketika berada di Perancis, Ali Syari`ati menjadi seorang pemikir radikal
dalam isu-isu tentang Dunia Ketiga. Bersama kaum cendekiawan dari Afrika, Asia,
dan Amerika Latin, dia terlibat dalam pencarian dasar-dasar pemikiran Dunia
Ketiga. Berbagai tulisannya pun lahir tentang kenestapaan Dunia Ketiga pada saat
itu. Ali Syari`ati juga turut membantu penulisan artikel pada surat kabar kaum
nasionalis di Aljazair, al-Mujâhid. Secara umum tulisan-tulisannya berisikan
pandangan revolusioner melawan kolonialisme dan imperialisme.9
Ali Syari`ati kembali ke Iran pada tahun 1964 setelah menyelesaikan studinya
di Perancis. Tetapi ketika sampai di Bazarzan, suatu daerah yang berbatasan
dengan Iran dengan Turki, Ali Syari`ati di depan istri dan anaknya langsung
ditangkap dan dipenjarakan di Teheran. Dia ditahan selama enam bulan. Setelah
bebas, Ali Syari`ati mengajar di sekolah-sekolah pedesaan Masyhad. Namun
beberapa bulan kemudian, Ali Syari`ati ditawarkan mengajar di Universitas
8 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 16. 9 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 210.
Masyhad. Sosiologi Islam merupakan mata kuliah baru yang diperkenalkan Ali
Syari`ati kepada mahasiswanya. Mata kuliah ini belakangan menjadi populer dan
juga digemari para mahasiswa. Ini terutama karena Ali Syari`ati menggunakan
metode dan pendekatan yang berbeda. Tidak hanya melalui pendekatan dogmatis
dan teologis semata, melainkan lebih sosiologis, filosofis, dan rasional. Oleh karena
itu, Ali Syari`ati bisa menghadirkan Islam sesuai dengan realitas yang ada di
masyrakat, bukan sekedar konsep yang ada dalam al-Qur`an dan Sunnah. Kemudian
penafsiran-penafsiran Ali Syari`ati terhadap Islam mengundang gairah serta
menggerakkan semangat para pendengar dan pembaca tulisannya termotivasi
untuk berbuat.10
Pernah suatu ketika Ali Syari`ati datang terlambat untuk memberikan kuliah
pada mahasiswanya, kemudian ia berkata:
“Saya terlambat lagi dan saya mohon maaf, karena terlalu lelah dan kecapaian. Sebetulnya saya tidak ingin datang kesini, tetapi gairah saya untuk melihat anda dan “keresahan” dalam diri saya mendorong saya … Seperti saya katakan pada mahasiswa sastra kemarin malam. Firasat saya tentang “kesementaraan” dan “ketidakpastian” masa depan saya tidak mengizinkan saya tinggal di rumah. Firasat atau realitas, atau apapun yang saya simpulkan dari situasi sekarang nyatakan bahwa hidup saya tinggal beberapa hari lagi … Saya tidak yakin pada masa depan saya. Saya pun tidak yakin dapat tinggal beserta anda dan bicara lama … Itulah sebabnya saya selalu berusaha bicara sebanyak mungkin. Malam ini pembicaraan saya sangat kompleks. Karena tidak cukup waktu untuk membahas topik ini dengan baik, saya hanya akan menyentuh hal-hal yang umum saja.”11
10 Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah, h. 211. 11 Ali Syaria`ti, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan Haidar
Bagir, (Bandung: Mizan, 1985), h. 23.
Dari sini bisa diketahui, bahwa Ali Syaria`ti sangat bersemangat untuk
memberikan kuliah kepada mahasiswanya untuk terakhir kalinya. Pesan kepada
para mahasiswanya ini layaknya ceramah wada` sebelum kematiannya. Tak lama
setelah memberikan kuliah itu, dia dibunuh oleh polisi SAVAK yang terkenal sangat
loyal kepada rezim Shah Iran.
Ali Syati’ati merasa dirinya berada dalam keadaan bahaya sehingga pada
tanggal 16 Mei 1977 dia meninggalkan Iran menuju London, Inggris. Meskipun
demikian, polisi SAVAK tetap melakukan pelacakan kepadanya hingga pada tanggal
19 Juni 1977 Ali Syari’ati ditemukan tewas di Southhampton, Inggris.12 Pemerintah
Iran mengumumkan Ali Syari’ati tewas akibat serangan jantung, tetapi banyak yang
percaya bahwa dia dibunuh oleh razim Shah Iran.
Pemerintah Iran menawarkan kontribusi untuk biaya pemakaman jenazah Ali
Syari’ati, tetapi istrinya menolak tawaran tersebut karena tidak ingin terlibat dalam
ekploitasi nama suaminya. Kemudian jenazah Ali Syari’ati dibawa ke Damaskus,
Suriah untuk dimakamkan.
Kematian Ali Syari`ati membuat popularitasnya semakin melonjak. Ketika
revolusi Iran, namanya sering disebut-sebut sebagai tokoh revolusi selain Imam
Ayatullah Khameini. Saat itu, foto-fotonya mendominasi jalan-jalan di Taheran, dan
berdampingan dengan pemimpin spiritual itu.
B. Pemikiran dan Karyanya
Ali Syari`ati bisa dikatakan seorang teolog, filosof, atau revolusioner
tergantung dari kacamata yang melihatnya. Dirinya sendiri tidak pernah mengklaim
dengan semua sebutan tersebut. Ali Syari`ati hanyalah sebagian orang yang ingin
12 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, h. 25.
merubah suatu keadaan menjadi lebih baik dengan menggunakan ide-ide yang ada
padanya. Tauhid merupakan landasan dasar dari seluruh pemikiran Ali Syari`ati.
Istilah Tauhid dengan pretensi yang sama, bisa juga disebut sebagai Ilmu
Kalam, Ilmu Ushuluddin, Ilmu Akidah, dan dengan istilah Barat-Kristen sering
disebut Ilmu Teologi (Theology). Juhaya S. Praja menyebutkan, bahwa ilmu itu
menggunakan corak Logika (manthiq) yang wacana-wacana didalamnya selalu
mengundang polemik, ketimbang menggunakan corak demonstratif (burhan) yang
digunakan para filosof. Para filosof menyebut Ilmu Kalam sebagai polemical wisdom
daripada menggunakan demonstrational wisdom. 13
Terdapat beberapa tema dalam Ilmu Tauhid, antara lain seperti masalah baik
dan buruk (al-Husn wa al-Qubh), keadilan Tuhan, soal dosa besar, Iman dan Kafir,
zat dan sifat-sifat Tuhan, posisi teks kitab suci al-Qur’an, serta Qadar dan Taqdir.
Perlu ditegaskan, ketika membincang soal Tuhan dalam Ilmu Tauhid seperti istilah
keadilan Tuhan, sangat penting untuk diperhatikan bahwa sesungguhnya yang
dibicarakan adalah bukan Tuhan itu sendiri. Bukan Tuhan ini dan itu, not God itself.
Tapi sesungguhnya bicara soal persepsi manusia terhadap Tuhan. Hassan Hanafi
misalnya, mengungkapkan bahwa yang dimaksud Teologi bukan berarti ilmu tentang
ke-Tuhanan, karena Tuhan sendiri yang menciptakan ilmu. Ilmu tak sanggup mampu
mengabstraksikan zat yang menciptakan ilmu itu sendiri.14
Dalam dunia Islam, Ilmu Tauhid diwakili oleh aliran-aliran, namun secara
sederhana aliran itu mudah dipolarisasi ke dalam dua kelompok. Pertama,
direpresentasi mazhab tradisionalis. Dalam kategori itu, aliran Asy‘ariah dan
Maturidiah berada dalam garda depan pemikiran mazhab ini. Kedua, direpresentasi
13 Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Teraju, 2002), h. 38.
14 Hassan Hanafi, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, (Jakarta: Penerbit P3M, 1991), h. 14.
mazhab rasionalis. Dalam kategori ini, aliran Mu‘tazilah khususnya, mengusung
tawaran-tawaran rasionalisasi pemikiran teologi. Perbedaan prinsipil antara kedua
mazhab itu terletak ketika membincang tema zat dan sifat-sifat Tuhan. Mazhab
Mu‘tazilah menyebut bahwa yang kekal hanyalah Allah, dan keesaan-Nya tidak
menerima adanya sifat-sifat yang berbilang dalam diri-Nya.
Itulah kira-kira pandangan umum mengenai Ilmu Tauhid beserta aliran-
alirannya, terutama di dunia Islam. Secara spesifik, berikut akan dijelaskan
mengenai pandangan Ali Syaria`ti tentang Tauhid terutama relevansinya ketika
dihubungkan dengan alam dan kehidupan manusia.
Tauhid dalam pandangan Ali Syaria`ti merupakan pandangan hidup tentang
kesatuan universal antara Tuhan, alam,dan manusia.15 Maksudnya adalah ketiga
unsur ini tidak saling bertentangan, melainkan masing-masing mempunyai
keterkaitan antara satu dan yang lainnya, juga memperlihatkan keharmonisan yang
bermakna dan bertujuan.
Dalam kehidupan bermasyarakat, Tauhid bisa juga menjadi sebuah prinsip
keadilan yang menolak semua kontradiksi yang ada. Sebagaimana yang dikatakan
Ali Syaria`ti dalam bukunya Tentang Sosiologi Islam:
“Tauhid bagaikan turun dari langit ke bumi dan sambil meninggalkan lingkaran-lingkaran diskusi, penafsiran dan perdebatan filosofis, teologis, dan ilmiah, ia masuk ke dalam urusan masyrakat. Di dalamnya tercakup berbagai masalah yang menyangkut hubungan sosial --- mengenai hubungan kelas, orientasi perseorangan, hubungan antara perseorangan dan masyarakat, berbagai dimensi struktur sosial, super struktur sosial, lembaga-lembaga sosial, keluarga, politik, kebudayaan, ekonomi, hak milik, etika sosial, pertanggungjawaban perseorangan maupun masyrakat.
Dalam pengertian umum aspek Tauhid ini bisa sebagai basis ideologis, sebagai semen perekat intelektual bagi masyrakat
15 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 73.
yang berorientasi Tauhid --- suatu masyarakat yang berdasarkan struktur material dan ekonomi bebas dari kontradiksi dan suatu struktur intelektual dan kepercayaan yang bebas dari kontradiksi. Jadi masalah Tauhid, dan syirk senantiasa berkaitan erat dengan filsafat sosiologi universal, dengan struktur ethis masyarakat serta sistim-sistim hukum dan konvensionalnya.”
Tidak hanya sebagai sebuah filsafat moral, bagi Ali Syari`ati, Tauhid juga merupakan
pondasi dari semua prinsip–prinsip, termasuk kegiatan manusia yang berhubungan
dengan peristiwa politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Tauhid juga menghapus
ketidakpedulian, kekhawatiran dan ketamakan serta menerima persamaan,
kebebasan,dan kemerdekaan.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa pemikiran Ali Syari`ati berangkat dari
dogmatisme Islam, lalu dipresentasikan dari sudut pandang filososfis. Sehingga bisa
ditarik kesimpulan, bahwa Ali Syari`ati merupakan seorang teolog.
Dalam hal karya, Ali Syari`ati jarang menulis sebuah buku utuh. Dari
beberapa tulisannya yang sengaja dibuat untuk buku utuh, bisa disebut diantaranya
adalah Kavir, dan Hajj. Kavir menjelaskan tentang otobiografinya dan juga
mengemukakan pengalaman teosofinya. Sedangkan Hajj, mengupas tentang ibadah
haji secara filosofis. Selebihnya merupakan kumpulan ceramah yang terekam pada
saat ia mengajar, dan juga beberapa kumpulan tulisannya. Karena Ali Syari`ati
jarang menulis buku utuh, maka sering ditemukan buku yang berbeda, namun
memuat tulisan-tulisan yang sama.
BAB III
KONSEP MANUSIA MENURUT ALI SYARI`ATI
A. Pengertian Manusia
Dalam istilah bahasa Arab, manusia mempunyai banyak padanan kata, yaitu,
insân, basyar, bani adam, unâsi, dan nâs. Di dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan
penciptaan manusia pertama term yang digunakan adalah basyar, yaitu:
فِيْهِ وَنَفَخْتُ سَوَيْتُهُ فَإِذَا .طِيْنٍ مِنْ بَشَرًا خَاِلقٌ إِنّيِ لِلْمَلاَئِكَةِ رَبُّكَ قَالَ إِذْ )72-71:ص .(دِيْنَسَاجِ لَهُ فَقَعُوْا رُوْحِي مِنْ
Artinya: Ingatlah ketika rabbmu berfirman kepada Malaikat, “bahwa sesungguhnya aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah aku sempurnakan kejadiannya dan aku tiupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu (tersungkur dengan) bersujud kepadanya (Shadd: 71-72)
.مَسْنُونٍ حَمَإٍ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ بَشَرًا خَالِقٌ إِنِّي لِلْمَلَائِكَةِ رَبُّكَ قَالَ وَإِذْ-28 :الحجر( .سَاجِدِينَ لَهُ فَقَعُوا رُوحِي مِنْ فِيهِ وَنَفَخْتُ سَوَّيْتُهُ فَإِذَا29(
Artinya: Dan Ingatlah ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat, ”sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Dan Apabila Aku (Allah) telah menyempurnakan kejadiannya, serta telah meniupkan kepadanya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kalian kepadanya dengan bersujud (al-Hijr: 28-29)
Manusia diciptakan juga membawa potensi dan sifat masing-masing. Ada beberapa
ayat yang memuji sikap manusia dan ada pula yang merendahkan derajat manusia. Dalam
pandangan Quraish Shihab, Allah telah merencanakan agar manusia memikul tanggung
jawab kekhalifahan di bumi. Untuk maksud tersebut di samping tanah (jasmani) dan ruh Ilahi
(akal dan ruhani), manusia juga diberi anugerah berupa potensi untuk mengetahui nama dan
fungsi benda-benda alam, pengalaman hidup di surga, baik yang berkaitan dengan kecukupan
dan kenikmatannya, maupun rayuan iblis dan akibat buruknya dan terakhir petunjuk
keagamaan.16
Penyebutan manusia dalam al-Qur`an dengan berbagai istilah tersebut mempunyai
maksud masing-masing. Misalnya basyar dikaitkan dengan kedewasaan kehidupan manusia,
yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab.17 Penyebutan term insân digunakan
al-Qur`an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.
Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental dan
kecerdasan.18 Sedangkan term bani adam untuk menunjukkan bahwa manusia adalah
makhluk yang mempunyai kelebihan dan keistimewaan dari makhluk lainnya. Keistemawaan
itu meliputi fitrah keagamaan, peradaban, dan kemampuan memanfaatkan alam.19 Unâsi
digunakan dalam al-Qur`an dapat difahami bahwa term ini selalu dihubungkan dengan
kelompok manusia, baik sebagai suku bangsa, kelompok pelaku kriminal, maupun kelompok
orang yang baik dan buruk nanti di akhirat. Jika ini dikaitkan dengan manusia maka term
unâsi ini dapat difahami bahwa manusia adalah makhluk yang berkelompok, dan ia selalu
akan membentuk kelompoknya sesuai dengan ciri persamaan, seperti biologis dan kebutuhan
16 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an (Bandung: Mizan, 1997), h. 282-283. 17 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an , h. 278. 18 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur`an, h. 280. 19 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-Qur`an,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) h. 90.
sosial lainnya.20 Sedangkan ungkapan nâs untuk menunjukkan sifat universal manusia atau
untuk menunjukkan spesies manusia. Artinya ketika menyebut nâs berarti adanya pengakuan
terhadap spesies di dunia ini yaitu manusia.21
Karena pentingnya pembahasan mengenai manusia kelompok sufipun juga
menulusuri mengenai manusia itu sendiri. Dalam pandangan sufi ada istilah yang penting dan
menjadi kunci dalam kajiannya, yaitu insân kâmil. Namun dalam al-Qur`an, tidak pernah
disinggung mengenai insân kâmil secara pasti, tidak ada ayat yang menyatakan mengenai
insân kâmil, yang ada adalah mengenai manusia yang ada dalam bentuk yang sebaik-baiknya
dan manusia yang mempunyai sifat yang keluh kesah, namun ia bisa dibina menjadi baik.
Ayat yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dalam sebaik-baiknya bentuk adalah:
)4 :التين( .تَقْوِيمٍ أَحْسَنِ فِي الْإِنْسَانَ خَلَقْنَا لَقَدْArtinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. (al-Tîn: 4) Ayat di atas adalah salah satu ayat yang dijadikan sebagai isyarat mengenai
kesempurnaan manusia dari segi fisik. Kesempurnaan yang demikian membuat manusia
menempati kedudukan tertinggi di antara makhluk, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.22
Kendati manusia memiliki potensi kesempurnaan sebagai gambaran dari kesempurnaan citra
ilahi, tetapi kemudian, ketika ia terjauh dari prototipe ketuhanan, maka kesempurnaan itu
semakin berkurang. Untuk itu, jalan satu-satunya mencapai kesempurnaan itu ialah kembali
kepada Tuhan dengan iman dan amal saleh. Jika manusia tidak bisa mempertahankan
bentuknya, maka ia juga bisa jatuh kedalam kehinaan. Dengan ungkapan lain manusia bisa
seperti malaikat dan bisa pula jelek seperti manusia.
Dari semua padanan kata manusia di atas, penulis mendapatkan suatu kesimpulan,
yaitu, bahwa manusia merupakan makhluk pilihan Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi, serta
20 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 76 21 Dr. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, h. 86 22 Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi (Jakarta: Paramadina, 1997), h. 2.
makhluk yang di dalam dirinya ditanamkan sifat mengakui Tuhan dan keesaan-Nya, memiliki
kebebasan, terpercaya, memiliki rasa tanggung jawab, juga dibekali dengan kecenderungan
ke arah kebaikan dan kejahatan.
Mengenai penciptaan manusia, Ali Syari`ati mengambil rujukan kepada al-
Qur`an. Dalam penciptaan manusia, al-Qur`an menggunakan bahasa simbolis23
bukan memakai bahasa yang jelas (eksposisi). Bahasa simbolis menyatakan makna-
maknanya lewat simbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus
dari seluruh bahasa yang dikembangkan manusia. Bahasa simbolis jelas lebih
mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa eksposisi yang maksud
dan kejelasannya terbatas pada waktu dan tempatnya. Bahasa eksposisi mungkin
merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik, tapi ia tidak lestari
dan abadi sebagaimana bahasa simbolik. Karena hakekatnya yang satu dimensi,
tidak simbolik dan tidak mistis, bahasa eksposisi selalu terbatas pada waktu. Hal ini
disebabkan, sebagaimana ditunjukkan oleh filososf Mesir terkenal Abdur Rahman
Badawi, suatu agama atau filsafat yang mencoba mengemukakan seluruh makna
dan konsep-konsepnya dengan bahasa yang langsung ke sasaran, dan bahasa
dengan satu tingkatan, pasti tidak akan dapat bertahan lama. Padahal mereka yang
dituju oleh agama selalu mewakili berbagai tipe dan kelas manusia yang
mengejahwantah dalam sejarah dalam kapasitas intelektual dan spiritual yang
berlain-lainan, dengan sudut pandang, pengalaman, bentuk-bentuk sosial dan
persepsi yang beraneka ragam.24 Dengan demikian kiranya perlu, bahwa proses
penciptaan Adam sebagai simbol manusia diceritakan secara simbolik. Sehingga
sampai sekarang, setelah melampaui masa beberapa abad yang lalu, kisah Adam
tetap bernilai untuk dibaca meski dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban dewasa ini.
23 Kata, tanda, isyarat, yang digunakan untuk mewakili sesuatu yang lain: arti, kualitas, abstraksi, gagasan, dan objek.
24 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, (Jakarta: Rajawali, 1982) h. 3.
Di dalam al-Qur`an disebutkan bahwa manusia diciptakan dari bentuk paling
rendah dari tanah kemudian ditiupkan ruh suci kepadanya. Hal ini menunjukkan
bahwa manusia merupakan makhluk dua dimensi dengan dua arah dan dua
kecenderungan. Yang satu membawanya kepada hakekat yang rendah, sedangkan
satunya terbuat dari Rûh Ilâhiah dan mengajak manusia menuju ke puncak
tertinggi.25
Proses tersebut bermakna simbolis, bahwa manusia itu memiliki dua dimensi.
Dimensi Ketuhanan dan dimensi kerendahan atau kehinaan, sedangkan makhluk lain
hanya memiliki satu dimensi. Dalam pengertian simbolis, lumpur merujuk pada
keburukan, kehinaan, tidak berarti, stagnan, dan mati. Sedangkan dimensi keilahian
mengajak manusia cenderung untuk mendekatkan diri kepada-Nya, guna mencapai
roh Tuhan. Oleh karena kejadian manusia yang demikian itu, maka manusia pada
satu saat dapat mencapai derajat yang lebih tinggi, akan tetapi di saat yang lain ia
juga dapat terjerumus ke tempat yang hina dan rendah, yang berarti pengingkaran
atas dimensi ke-Tuhanannya.
Ali Syaria`ti menegaskan, bahwa keutamaan paling menonjol dari manusia,
yang menandai keunggulannya atas makhluk lain, adalah kekuatan iradahnya. Ia
adalah satu-satunya makhluk dalam penciptaan yang dapat bertindak melawan
dorongan instingnya.26
Hanya manusia saja yang mampu melawan dirinya sendiri, menentang
hakekatnya, dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spritualnya. Dari
kehendak bebas inilah manusia dapat menemukan jati dirinya, untuk mendapatkan
25 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 32. 26 Sesuatu yang hewan maupun tumbuhan tidak dapat melakukannnya, karena keduanya mustahil
menentang instingnya.
kemuliaan dan kebahagiaan abadi bersama sang pencipta, karena ia diberi
kebebasan memilih yang tidak diberikan Tuhan kepada makhluk yang lain.27
Manusia memiliki kehendak dan pengetahuan, dan ia mungkin menempuh
jalan ini atau tidak; maka jika ia menempuh, sesungguhnya ia menempuh dengan
kehendaknya dan pilihannya sendiri, bukan dengan paksaan. Untuk itulah ia
memiliki cri khas dan keutamaan yang tidak dinikmati oleh malaikat, yang diciptakan
oleh Allah dalam paksaan dan terus ditarik kearah kebaikan bukan karena pilihan
malaikat.28
Manusia juga universal, memiliki wujud alami, memiliki zat materi dengan arti
seperti yang dijelaskan berulang-ulang oleh al-Qur`an dan dikukuhkan dengan
ungkapan yang berbeda-beda, agar kita paham betul, dan kita tidak tunduk pada
pemahaman samar dan falsafah adikodrati, yang di dalamnya kebanyakan para
filosof dan para arif terjatuh.
Dari pandangan tersebut, Ali Syari`ati berpendapat bahwa manusia adalah
kombinasi dua hal yang berlawanan, fenomena dialektis yang terdiri dari oposisi
“Allah – Syaitan” atau “roh lempung”. Ia adalah kehendak bebas, mampu
membentuk nasibnya sendiri dan bertanggung jawab; ia menerima amanah khusus
dari Allah dan para malaikat bersujud kepadanya; ia adalah khalifah Allah di bumi,
tetapi iapun seorang yang memberontak terhadap-Nya; ia memakan buah larangan;
ia diusir dari sorga dan dibung ke alam tandus, dengan tiga aspek: cinta (Hawa),
akal (Syaitan), dan pemberontakan (buah larangan). Ia diperintahkan untuk
mencipta sorga manusia dalam alam, tempat pengasingannya. Ia senantiasa
mengalami pertarungan dalam dirinya, ia senantiasa berjuang untuk bangkit dari
27 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h.10-11. 28 Ali Syaria`ti, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, (Jakarta: YAPI, 1990) h.
117-119.
lempung menuju Allah, berusaha untuk naik meningkat, sehingga hewan yang
berasal dari lumpur dan endapan itu bisa mendapatkan karakteristik Allah.29
Oleh karena itu, manusia yang memiliki dimensi ganda, membutuhkan suatu
agama yang mampu merealisasikan semua aspek-aspek kemanusiannya yang
bersifat material dan spiritual. Disinilah letak keunggulan Islam, sebab manusia di
dalam Islam tidak dipandang tanpa daya dihadapan Tuhannya. Sebagai makhluk
bidimensional, yang dikaruniai misi ke-Tuhanan, manusia memerlukan bimbingan
agama yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub
keduniawiannya.
B. Dua Kecenderungan Manusia
Pada pembahasan sebelumnya, telah dijelaskan berbagai padanan kata
manusia di dalam al-Qur`an. Dalam hal ini, Ali Syari`ati hanya memakai dua padanan
kata saja mengenai kecenderungan manusia walaupun juga ia mengutip dari al-
Qur`an.
a. Basyar
Dalam pandangan Ali Syari`ati, basyar adalah makhluk tertentu yang terdiri
dari karakteristik fisiologis, biologis, dan psikologis yang dimiliki oleh seluruh
manusia, tak perduli apakah mereka itu berkulit hitam, berkulit putih, berkulit
bening, bangsa Barat, beragama atau tidak beragama; ia didasarkan atas hukum-
hukum fisik yang ditemukan oleh kedokteran, fisiologi, psikologi dan lain-lain.30
29 Ali Syari’ati, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, (Yogyakarta: Ananda, 1982), h. 125.
30 Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-Isu
Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, (Jakarta: Paramadina, 2003) h. 300.
Penulis melihat bahwa basyar yang dimaksud oleh Ali Syari`ati ialah manusia
sebagai makhluk biasa. Karena dilihat dari proses penciptaan manusia yang ada di
al-Qur`an, manusia terbentuk dari dua unsur, salah satunya yaitu lempung. Unsur
lempung ini lebih dominan pada basyar. Oleh karena itu basyar dianggap rendah
dan tidak mencapai tingkat kemanusiaan. Seperti yang di katakan Ali Syari`ati:
“Ketika kita mengkaji sejarah manusia, maksud saya adalah sejarah kebodohan manusia, sungguh lebih panjang dan karenanya lebih menarik ketimbang sejarah kepandaiannya. Manusia basyar adalah kera yang sudah berhenti berevolusi sejak waktu yang sudah lama sekali. Senjata, pakaian, dan makanannyatelah berubah, tetapi sifat-sifatnya sama saja. Tidak ada perbedaan antara Jengis Khan (Raja Mongol, 1162-1227) yang berkuasa atas suku-suku liar, raja-raja besar yang berkuasa atas masyarakat luas yang berperadaban, dan orang-orang sekarang yang berkuasa atas peradaban-peradaban besar yang beradab. Tentunya, satu-satunya perbedaan adalah bahwa Jengis Khan jujur ketika ia mengatakan bahwa ia datang untuk membunuh, sementara para pemimpin sekarang yang berperadaban menyatakan bahwa mereka ingin menciptakan perdamaian. Hanya retorika pidato, penipuan, pengelabuan dan rasionalisasi sajalah yang telah berubah begitu halus, tetapi esensi kemanusian ternyata sama saja. Dewasa ini kejahatan, kepalsuan, kelancungan, pembunuhan sadisme dan kekejaman di muka bumi tidak saja sama, tetapi malahan lebih banyak dari masa lampau. Semua ini kelihatannya merupakan pengejawantahan basyar pada bentuknya yang sudah begitu pasti, makhluk manusia dalam dimensi fisisnya yang tidak berubah-ubah.”31
b. Insân
Insân dalam pandangan Ali Syari`ati merupakan sebuah proses menuju
kesempurnaan. Tipe manusia ini, berbeda dengan tipe umum, memiliki karakteristik
khusus yang berlainan antara satu orang dengan orang lainnya sesuai dengan
tingkatan realitas atau esensinya. Jadi bila menyebut insân, bukanlah penduduk
31 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68.
dunia pada umumnya. Jadi tidak semua manusia adalah insân, namun mereka
mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari
kemanusiaan ini. Walaupun demikian setiap manusia mencapai taraf insân dalam
kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak
ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insân. Bagaimanapun,
kemanusiaan dapat dipandang sebagai terus maju ke arah realitasnya.32
Jika melihat proses penciptaan manusia pada al–Qur`an, unsur yang paling
dominan pada insân ialah unsur ruh Tuhan. Unsur ini mendorong manusia agar
terlepas dari kerendahan dan kehinaan. Maka, pada saat manusia mencapai pada
tingkatan insân, dia telah terbebas dari belenggu dan kontradiksi antara “dua
kutub”. Ia merupakan negasi terhadap semua standar konvensional, dan ia juga
merupakan gerak maju ke arah sasaran mutlak dan kesempurnaan mutlak, suatu
evolusi abadi dan tidak terhingga.
Dalam konteks ini, Ali Syari`ati menafsirkan ayat “Innâ Ilaihi Râji`ûn” (Dan
sesungguhnya kami akan kembali kepada-Nya), dia menyatakan bahwa perjalanan
“kembai kepada-Nya” (Ilaihi), bukanlah berarti didalam-Nya atau pada-Nya, tetapi
kepada-Nya. Artinya, Tuhan bukanlah titik beku atau suatu arah yang pasti yang
menuju kepada-Nya. Tetapi Tuhan adalah Yang Tanpa Batas, Yang Maha Abadi, dan
Yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, Ali Syari`ati mengkritik sufisme yang
menyatakan manusia bisa bersatu dengan Tuhan, karena Tuhan dianggap sebagai
sesuatu yang tetap. Ali Syari`ati, menyatakan bahwa selalu ada jarak antara manusia
dean Tuhan, dan manusia hanya bisa sebatas menghampiri dan tidak bisa bersatu
dengan Tuhan. Karena itu gerakan ini adalah gerakan manusia terus menerus tanpa
32 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 64.
henti ke arah tahap-tahap evolusi dan kesempurnaan. Inilah definisi manusia yang
“menjadi”.33
Setelah melihat adanya dua kecenderungan manusia menurut Ali Syari`ati,
maka pada pembahasan selanjutnya, penulis akan membedakan antara manusia
(insân) dan manusia (basyar) sesuai dengan konteksnya.
C. Tiga Sifat Ilâhiyah dan Hal-Hal Yang Membatasinya
Manusia (insân) memiliki tiga sifat yang saling berkaitan satu sama lainnya.
Semua sifat ini adalah sifat ilâhiyah, dan hanya manusia (insân) sajalah yang dapat
menyesuaikan dirinya dengan sifat-sifat ketuhanan ini. Bila ada sifat-sifat lainnya,
maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang diturunkan dari ketiga sifat- sifat di
bawah ini:
1. Kesadaran diri
Sifat ini menuntun manusia untuk memilih, dan kemudian menolongnya untuk
mencipta sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta.
2. Kemauan bebas
Manusia adalah satu-satunya makhluk yang bebas untuk memilih bagi dirinya,
dan apa yang ia pilih dapat bertentangan dengan instingnya, dengan alam,
masyarakat, dan dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kemampuan dan
kebebasan berkehendak ini menolong manusia mencapai taraf tertinggi dari
proses “menjadi” manusia. Hanya manusia sajalah yang bebas untuk memilih,
dan inilah salah satu karakteristik yang membedakannya dengan makhluk
lainnya.
33 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 68-69.
Dengan karakteristik ini, manusia bisa memilih untuk berbuat baik atau jahat,
rasional atau irrasional, dan sebagainya. Dengan kebebasan memilih,
manusia bisa melakukan perbuatan-perbuatan baik (akhlak) yang dilakukan
Tuhan.
3. Kreativitas
Manusia bukan sekedar makhluk pembuat alat, tetapi ia pencipta dan
pembuat barang-barang yang belum ada di alam. Manusia sadar bahwa
dirinya memerlukan hal-hal yang sebelumnya tidak disediakan oleh alam,
karena itu dirinya membuat sendiri benda-benda guna memenuhi
kebutuhannya.34
Ketiga sifat ilahiyâh tersebut hadir dalam diri manusia, dan manusia mampu
untuk mengembangkan ketiga sifat tersebut dan menjadi khalifah Tuhan di muka
bumi.
Menurut Ali Syari`ati, untuk mengembangkan sifat ilahiyâh tersebut, manusia
yang “menjadi” (insân) selalu berperang melawan kekuatan deterministik yang
cenderung membatasi. Kekuatan tersebut pada saat ini muncul dalam berbagai
macam ideologi. Ideologi tersebut adalah:
1. Materialisme
Materialisme beranggapan bahwa kecerdasan dan substansi manusia adalah
berasal dari materi. Jika demikian, evolusi manusia tidak akan dapat
mengatasi batas-batas materi. Sebagai suatu ideologi, Ali Syari`ati melihat
bahwa materialisme merupakan suatu usaha untuk menindas kemajuan
spiritual manusia dan menolak bentuk metafisis di luar susunan materialnya.
2. Naturalisme
34 Ed. Charles Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 303.
Naturalisme merupakan ideologi yang cukup populer di Eropa. Naturalisme
beranggapan bahwa alam adalah realitas puncak; alam yang hidup tetapi
tidak memiliki kesadaran juga dilihat sebagai hukum dasar di alam semesta.
Manusia tidak dapat mengatasi alam, menguasainya, atau melampauinya.
Walaupun kaum Naturalis mempertahankan manusia sebagai jenis makhluk
yang paling maju di atas alam, mereka meletakkan manusia pada derajat
yang lebih rendah terhadap alam dan kekuatan-kekuatan alamiah. Oleh
karena itu, Ali Syari`ati berpendapat bahwa Naturalisme merupakan suatu
upaya lain untuk mereduksi atau mengurangi kebebasan memilih manusia,
kesadaran, dan daya ciptanya.
3. Eksistensialime
Pandangan kaum Eksistensialis ateis seperti Heidegger dan Sartre mungkin
berbeda dengan pandangan Kierkegaard; namun demikian Eksistensialisme,
sebagai suatu ideologi juga telah mengorbankan realitas manusia yang paling
tinggi.
Kadang-kadang pandangan Sartre terhadap esensi manusia cenderung ke
arah metafisis, walaupun ia seorang Eksistensialis ateis. Sartre
mendefinisikan manusia sebagai makhluk yang unik di atas alam, suatu
makhluk yang hakekat dan susunan istimewanya meletakkannya sangat
berlainan dengan seluruh makhluk lain. Sebagai seorang ateis, Sartre
memandang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari makhluk-makhluk
lain dalam alam. Dalam pandangannya, manusia adalah satu-satunya makhluk
di alam semesta yang eksistensinya mendahului esensinya. Hal ini berbeda
dengan kaum Naturalis, karena menurut Sartre manusia sebagai makhluk
unik di atas alam adalah disebabkan keyakinannya bahwa manusia harus
dibuat untuk menentukan nasibnya di dunia dan karena itu mengisi
kekosongan alam. Walaupun Sartre melihat manusia sebagai makhluk yang
merdeka, bebas untuk memilih dan unik di atas alam, konsepsinya bahwa
eksistensi manusia mendahului esensinya juga cenderung mengorbankan
eksistensi manusia.35
Meskipun manusia dalam tahap eksistensinya belum mempunyai esensi, ia
memiliki kemauan, dan lewat inilah ia dapat membentuk eksistensi dan
mengubahnya sedemikian rupa sehingga eksistensinya mampu meraih
identitas yang nyata, yaitu esensi. Tuhan telah menganugrahi manusia
dengan eksitensi, tetapi manusia bertanggung jawab untuk memanfaatkan
kemampuan iradahnya untuk mencipta dan mengembangkan esensi dalam
eksistensi dirinya. Hanya kemauan manusia saja yang bisa untuk mencetak
realitas atau esensi dari eksistensinya.
Hal yang paling ditakuti oleh Sartre adalah bila naturalisme maupun
materialisme diterima sebagai norma dalam pendefinisian manusia pada saat
ini, maka manusia pasti akan terbelenggu dalam kerangka-kerangka yang
memfosil dan terbatas dan kehilangan kemauan bebasnya, padahal kemauan
bebas yang menolong manusia menciptakan esensi riil dari eksistensi.
Menurut Ali Syari`ati, walaupun manusia telah melampaui determinisme
materi dan alam, eksistensialisme tetap membatasi evolusi manusia pada
tahap penemuan esensi. Dengan demikian, Eksistensialisme mengabaikan
potensialitas dan cita-cita manusia yang lebih tinggi.
4. Monisme
35 Misalnya sebuah kursi. Sebuah kursi belum ada sebelum di buat, misalnya anda bertanya kepada tukang kayu: “Apa yang anda mau buat?”. “Saya akan membuat sebuah kursi”, jawab si tukang kayu. Kemudian anda akan menanyakan bebarapa keterangan tentang kursi yang sedang di rancang. Ia mungkin akan menerangkan pada anda bahwa kursi mempunyai tempat duduk yang ditunjang oleh empat kaki, pegangan dan sandaran punggung, dan di buat dari kayu. Berbicara tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan kursi pada hakekatnya berarti berbicara tentang esensi kursi. Tetapi kursi itu belum mengambil eksistensi. Bagaimanapun si tukang kayu mungkin sibuk merancangnya dengan alat-alat dan membuat kursi itu setelah gambarnya (esensi) diberikan, tetapi kursi itu sendiri belum ada.
Walaupun paham ini berpegang pada suatu tipe idealisme yang teistik, namun
Monisme juga mengorbankan manusia. Unsur-unsur filsafat ini dapat dijumpai
dalam filsafat India, dalam doktrin-doktrin sufi dan dalam agama Katolik.
Kaum Monis memuja Kemauan Ilahi dengan mengesampingkan kemauan
manusia, karena percaya bahwa hakekat, nasib, individualitas dan masa
depan manusia semuanya telah ditentukan oleh Kemauan Tuhan, bahkan
sebelum ia dilahirkan. Dengan demikian, manusia tidak dapat melakukan apa-
apa, hanya menunggu apa yang telah ditakdirkan. Dengan begitu peniadaan
kemauan manusia dalam pembentukan hidupnya akan meniadakan tanggung
jawabnya. Padahal, menurut Ali Syari`ati, tanpa tanggung jawab, manusia
tidak dapat menjadi manusia sejati.36
Sedangkan ideologi yang cenderung meremehkan kebebasan memilih dan
kesadaran diri itu adalah sebagai berikut:
1. Historisisme
Dalam aliran ini, manusia hanyalah produk sejarah. Sejarahlah yang
menentukan apa yang harus di tempuh manusia, dan bagaimana harus
mengarah. Kemauan dan pilihan manusia tidak lagi dimasukkan dalam
pilihan sejarah. Semuanya sudah di atur oleh sejarah, cara berbahasa,
memeluk agama, kelas sosial, dan identitas tertentu.
2. Sosiologisme
Manusia tergantung dari masyarakatnya, individualitas manusia
dikesampingkan. Orde sosial, hubungan sosial berdasarkan ekonomi, alat
produksi, tradisi, religi, hubungan antar kelas, dan semua unsur
pembentuk masyarakat adalah faktor-faktor kuat yang menentukan
kepribadian dan nasib manusia. Sosiologisme berpendirian bahwa
36 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 76-80.
manusia mengambil semua ciri-cirinya dari masyarakatnya. Hal ini berarti
seorang individu tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
tindakannya, karena lingkungan soisal itulah yang menentukan tindakan
dan wataknya. Jadi, paham ini mengingkari peranan individu dalam
membentuk nasibnya sendiri. Padahal menjadi manusia berarti melakukan
pilihan, maka Sosiologisme tidak mau menerima manusia sebagai makhluk
yang memilih, yakni seseorang yang dapat menyatakan “Keakuannya” dan
individualitasnya.
3. Biologisme
Paham ini mencoba mendefinisikan manusia dalam ukuran-ukuran
determinisme biologis, tetapi juga mengangkat status manusia di atas
kerangka-kerangka kaku dari materialisme. Biologisme berpendapat
bahwa manusia merupakan komposisi dari organ-organ yang kompleks
dan maju yang menentukan watak fisiologis dan psikologisnya meskipun
biologisme memandang manusia lebih tinggi dari sekedar fenomena
alamiah, ia juga cenderung menolak kenyataan bahwa manusia adalah
makhluk yang sadar dan bebas. Setelah menempatkan manusia sekedar
tergantung pada faktor-faktor fisiologis, biologisme tidak melihat manusia
sebagai pembuat kepribadiannya sendiri.37
Ada empat faktor atau penjara yang menurut Ali Syari`ati bisa mengungkung
manusia ke arah kemajuan, yaitu, materi, alam, sejarah dan masyarakat. Tetapi Ali
Syari`ati tidak memungkiri bahwa empat faktor tersebut mempengaruhi atas
kehidupan dan nasib manusia. Dijelaskan juga, bahwa, manusia dapat mengatasi
37 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 81- 84.
keempat faktor tersebut dengan melakukan pilihan bagi dirinya dan mampu
melawan kekuatan-kekuatan fenomenal sepanjang perjalanan evolusinya.38
Menariknya, Ali Syari`ati tidak menolak dan menerima semua determinisme
yang disebutkan di atas. Ia berpendapat bahwa manusia dalam perjalanan
evolusinya, selama proses bergeraknya manusia dari sekedar ke arah “menjadi”
(insân), sesungguhnya mampu melepaskan dirinya dari belenggu sebagian besar
kekuatan determinisme tersebut. Manusia akan terus hidup, namun determinisme
akan digantikan jika muncul sebuah kebenaran baru, artinya determinisme hanya
bersifat sementara. Seperti halnya pernyataan Ibnu Khaldun yang mengatakan
bahwa kehidupan setiap masyarakat didasarkan atas kondisi geografisnya mungkin
benar pada saat itu, tetapi tidak pada saat sekarang. Oleh karena itu makin maju
manusia bergerak ke arah “menjadi”nya (insân), maka ia makin baik mengungguli
kekuatan-kekuatan determinisme.39
Pada umumnya, manusia dapat membebaskan dirinya dari penjara-penjara
tersebut dengan ilmu dan teknologi. Zaman sekarang, ketergantungan akan alam
bisa diminimalisir dengan ilmu dan teknologi. Pertanian tidak lagi tergantung pada
curah hujan, dan gaya gravitasi bukanlah suatu halangan untuk menaklukkan
angkasa. Itu merupakan dari sekian banyak contoh dengan berkembangnya ilmu
dan teknologi. Ilmu telah mengetahui rahasia-rahasia alam. Dengan menggunakan
pikiran yang kritis, manusia menggunakan ilmu untuk menghasilkan teknologi.
Dengan teknologi tersebut, manusia bisa bebas dari determinisme alam. Oleh
karena itu alam bukanlah suatu rintangan deterministik yang menghambat kemajuan
manusia.
38 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 85 39 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 87.
Sedangkan untuk melepaskan manusia dari belenggu sejarah, ia harus sadar
bahwa dirinya merupakan boneka dari kekuatan hebat yang bernama sejarah.
Dengan mempelajari ilmu dan filsafat sejarah dan memahami bahwa faktor-faktor itu
mempengaruhi struktur mental, persepsional, moral, dan kesadarannya, maka ia
dapat membebaskan diri dari belenggu sejarah.40
Dalam hal ini, Ali Syari`ati juga mengatakan pendapatnya tentang
determinisme sejarah dalam bukunya Tugas Cendekiawan Muslim:
“Beberapa masyarakat Asia, Afrika, dan Amerika Latin, betapapun terbelakangnya, mampu memperpendek perjalanan panjang sejarah yang deterministik. Mereka bukannya bergerak tahap demi tahap, tetapi maju dengan lompatan-lompatan. Dengan demikian teori lama yang mengatakan bahwa suatu masyarakat harus melalui tahap sejarahnya yang pertama agar dapat mencapai tahap sejarah kedua, kemudian tahap ketiga, dan seterusnya ----- teori ini tidak lagi dipertahankan dan dipercayai. Padahal atas dasar teori lama itulah suatu masyarakat dipelajari, diklasifikasi, diletakkan dalam suatu urutan, dan masa depannya diramalkan. Akan tetapi banyak bukti yang dapat meruntuhkan teori determinisme historis. Sekarang kita mengetahui bahwa semakin mendalam kesadaran suatu masyarakat terhadap sejarahnya, dan semakin mendalam tahap perkembangan historis tertentu ke arah tahap pemahaman kaum intelektualnya terhadap hakekat dan bentuk tahap sejarahnya, maka semakin cepat masyrakat tersebut dapat melampaui perkembangan tahap demi tahap. Tipe kesadaran sosial historis ini menolong masyarakat bergerak sangat efektif sehingga dapat melompati tahap perkembangan historis yang lebih tinggi. Masyarakat semacam ini akan dapat melompati tiga tahap perkembangan historis sekaligus, tanpa dikekang oleh determinisme sejarah, yang mestinya menggariskan gerak dari setiap masyarakat. Ada sejumlah masyarakat seperti itu yang memberontak terhadap determinisme di atas dan meloncat ke periode feodal, tribal atau colonial ke tahap modern sejarah. Ini adalah pemberontakan terhadap ketentuan sejarah. Jadi hal ini melepaskan suatu masyarakat dari genggaman sejarah setelah masyarakat
40 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 42.
memahami sejarah dan hukum-hukum serta perjalanannya yang deterministik”.41
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa sejarah merupakan sebuah
perjalanan panjang manusia untuk melalui beberapa tahapan periode. Namun
seiring perkembangan ilmu pengetahuan tentang sejarah, hal ini dapat diatasi,
bahkan manusia bisa melompat ke tahapan sejarah yang lebih baik sehingga
manusia bisa terbebas dari determinisme sejarah tersebut.
Selanjutnya untuk mengatasi kekuatan determinisme sosiologis dapat diatasi
dengan sosiologi dan ilmu-ilmu sosial, dengan demikian anggota masyarakat dapat
memahami realitas dan determinisme sosial dan kemudian menghadapinya dengan
suatu cara yang konstruktif.42
Walaupun manusia (insân) sudah membebaskan dirinya dari materi, alam,
sejarah, dan masyarakat, ia masih tetap terbelenggu di dalam penjara yang paling
gelap, yaitu ego. Ego merupakan penjara terberat yang harus dilewati oleh manusia,
karena ia berada di dalam diri manusia itu sendiri.
Agar terbebas dari penjara ego, hanya ada satu cara, yaitu dengan cinta.
Dalam hal ini, yang dimaksud Ali Syati`ati bukan jenis cinta yang ada dalam
pengertian sufistik, Platonis, mistik, atau bentuk-bentuk yang abstrak, karena jenis
cinta seperti itu adalah penjara-penjara juga.43
Ali Syari`ati melihat cinta sebagai sebuah kekuatan perkasa yang ada dalam
kedalaman jiwa manusia. Cinta mempunyai kekuatan untuk menolak diri kita sendiri,
memberontak melawan diri kita sendiri, dan mengorbankan kehidupan kita untuk
41 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 89-90. 42 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 90. 43 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 97.
suatu cita-cita atau orang lain. Ali Syari`ati memberi contoh kematian Nietzche yang
tewas karena menolong seekor kuda.
Ketika manusia sudah terbebas dari penjara ego dengan senjata cinta, maka
manusia sudah dalam tahap puncak dari “menjadi” manusia penuh (insân).
Sebagaimana Ali Syari`ati menyimpulkannya dengan kata-kata Rada Krishnan:
“Tugas kita dalam hidup, misi kita di alam semesta, adalah merencanakan suatu kerja sama di mana manusia dan Tuhan dan cinta dapat terlibat dalam menciptakan suatu kreasi lain dan manusia yang lain. Ini adalah tanggung jawab kita.”44
44 Ali Syaria`ti, Tugas Cendekiawan Muslim, h. 101.
Tabel hubungan antara Tuhan, Manusia (insân), dan Manusia dua dimensi
Tuhan
(tujuan, Guru Pertama)
Manusia (insân)
menghampiri
(becoming)
berakhlak seperti akhlak Tuhan
Manusia Dua Dimensi
Roh Tuhan Penjara Ego Tanah Lumpur
D. Pengaruh Teologis dan Filosofis serta Hubungannya dengan Konsep Manusia
(insân)
Penulis melihat Ali Syari`ati mengadopsi padanan kata insân yang ada di al-
Qur`an mengenai konsep manusia (insân) nya. Di dalam al-Qur`an dijelaskan bahwa
insân merupakan sebuah makhluk yang mempunyai budaya, tidak liar, baik secara
sosial maupun alamiah. Berbeda dengan Ali Syari`ati, menurutnya, manusia (insân)
merupakan sebuah proses menuju manusia sejati dengan melalui beberapa proses
dan berbagai hambatan dengan dibekali sifat-sifat ilahiyâh. Jadi dalam hal ini,
tampak pengaruh teologis melekat pada diri Ali Syari`ati mengenai konsep manusia
(insân) melalui al-Qur`an.
Mengenai konsep manusia (insan), Ali Syari`ati sepertinya juga mendapat
pengaruh dari tokoh Eksistensialisme.45 Kierkegaard salah satunya. Dalam
pandangannya, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bisa bereksistensi.
Maksudnya adalah ketika manusia menegaskan eksistensinya, maka dia juga
sekaligus menegaskan perbedaan dengan makhluk lainnya. Sedangkan perjalanan
eksistensi manusia yang paling tinggi ialah ketika ia menuju Tuhan, karena manusia
berasal dari Tuhan dan sedang dalam proses menuju hubungan atau kesatuan
tertingi denganNya. To exist, bagi Kierkegaard, berarti sedang dalam proses
“menjadi”, sedangkan Existence berarti suatu perjuangan terus menerus, sebuah
gerakan menuju Yang Tak Terbatas. Cara berada setiap individu adalah melakukan
gerakan dan perjuangan terus menerus menjadi manusia, mencapai eksistensi sejati
dengan cara menuju Tuhan.46 Oleh karena itu manusia belum sempurna, masih
dalam tahap penyempurnaan, dan dia sendiri bertanggung jawab atas proses ini.
Kierkegaard merupakan seorang Kristiani, maka cita-cita tertingginya adalah
menjadi seorang Kristiani.
Dalam pencapaiannya, menurut Kierkegaard ada tiga tahapan agar manusia
bisa bereksistensi, yaitu, estetis, etis, dan religius. Tahap estetis maksudnya adalah
manusia hanya mencari kesenangan sesaat, seperti menikmati pengalaman emosi
dan nafsu. Kecenderungan hedonistik47 lebih dominan dalam dirinya. Sehingga dia
tidak mempunyai hasrat atau keterlibatan, melainkan keputusasaan. Manusia estetis
45 Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Pandangannya relatif modern dalam filsafat, walaupun akar-akar historis sudah ada dalam filsafat Yunani dan filsafat Abad Pertengahan. Sejak awal filsafat ini sering dikaitkan dengan Soren Kierkegaard dan Friedrich Nietzsche.
46 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern, (Jakarta: Teraju, 2004), h. 57.
47 Hedonistik merupakan konsep moral yang menyamakan kebaikan dengan kesenangan.
juga tidak mempunyai landasan yang pasti dan pada akhir hidupnya hampir tidak
bisa lagi menentukan pilihan. Jalan keluarnya ada dua, bunuh diri atau masuk
ketahapan hidup yang lebih tinggi, yakni tahapan etis. Pada tahapan etis, manusia
telah menyadari terhadap segala kebijakan-kebijakan moral yang diambil pada
tahap estetis. Tahapan ini adalah semacam “pertobatan” bagi manusia yang telah
melewati tahapan estetis. Prinsip hedonisme telah dibuang diganti dengan nilai-nilai
kemanusiaan yang bersifat universal. Pada tahapan ini manusia tidak lagi
memikirkan kesenangan diri sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang
lebih tinggi. Berdasarkan keyakinannya, dia menolak segala kekuasaan dari suatu
sistem yang menurutnya bertentangan dengan nilai-nilai kemanusian yang bersifat
universal. Tahapan terakhir adalah tahapan religius, manusia yang berada pada
tahapan ini telah melompat dan menceburkan dirinya dalam realitas Tuhan sehingga
eksistensi manusia tercapai sebagai “aku”. Lompatan manusia dari tahap etis ke
tahap religius jauh lebih sulit daripada lompatan dari tahap estetis ke tahap etetis.
Kesulitan itu di antaranya adalah saat individu memutuskan untuk lebur dalam kuasa
Tuhan mengingat terdapat sesuatu hal yang bertentangan di dalam diri Tuhan
sendiri. Contoh yang dikemukakan dalam hal ini adalah tentang ada dan tidaknya
Tuhan dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan, misalnya, (kalau Tuhan itu ada
dan Maha baik, mengapa harus ada kejahatan atau korban kejahatan?). Meskipun
terdapat hal yang bertentangan dalam diri Tuhan, namun hal demikian tidak perlu
diragukan, alasannya, keraguan akan muncul jika daya rasionalitas mencoba
menjelaskan pertentangan itu, sementara pada tahapan ini tidak ada ruang untuk
daya rasionalitas menjelaskannya, karena hal demikian bukan sesuatu yang bisa
dipikirkan secara rasional. Hanya dengan cara menyakini berlandaskan pada iman
saja manusia bisa menerima pertentangan itu. Jadi dalam hal ini dengan keyakinan
yang berlandaskan iman manusia berani untuk menceburkan dirinya ke dalam
Tuhan dalam rasa aman dan bahagia. Hidup manusia akan berakhir dalam
kebahagiaan abadi, jika ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.48
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa konsep manusia (insân) Ali Syari`ati
mendapat pengaruh dari Kierkegaard. Kedua filosof tersebut merupakan pemikir
yang religius. Ali Syari`ati mewakili dari Islam dan Kierkegaard dari Kristiani.
Kierkegaard berpandangan bahwa perjalanan eksistensi menuju Tuhan merupakan
bentuk tahapan eksistensi tertinggi, dan manusia sedang berada dalam perjalanan
menuju hubungan atau kesatuan tertinggi dengan Tuhan. Hal ini hampir serupa
dengan konsep manusia (insân) yang dimiliki oleh Ali Syari`ati.
Selanjutnya, Kierkegard juga menjelaskan tiga tahap manusia, yaitu, estetis,
etis, dan religius yang sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Dan Ali Syari`ati
juga mempunyai beberapa penjara yang bisa manghalangi proses becoming.
Bedanya, tiga tahap Kierkegaard merupakan tahapan yang harus dilalui satu per
satu seperti menaiki anak tangga, sedangkan penjara-penjara Ali Syari`ati tidak
membicarakan tentang jenjang atau tahapan, tetapi keempatnya merupakan
hambatan-hambatan yang menghalangi proses menuju Tuhan.
Sartre juga merupakan salah seorang Eksistensialis. Menurutnya, ada dua
macam “berada”, yaitu être-en-soi (berada-dalam-diri) dan être-pour-soi (ber-ada-
untuk-diri).49
Yang dimaksud dengan être-en-soi, yaitu, berada dalam dirinya atau cara
berada yang tidak berkesadaran. Misalnya, pohon, meja, manusia, hewan, dsb.
Dikatakan berada karena semuanya itu ada atau berada. “Berada” disini merupakan
sifat dari segala benda jasmaniah. Semuanya dikatakan padat, beku, tertutup, yang
satu terlepas daripada yang lain, tanpa saling berhubungan. Être-en-soi mentaati
48 Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung Remaja Rosdakarya, 2003) h. 134-138.
49 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, (Yogyakarta: Kanisius, 1980) h. 157.
prinsip identitas (It is what it is). Bagi Sarte yang Atheis, être-en-soi itu ada secara
kebetulan, bukan ciptaan Tuhan.50
Sementara être-pour-soi adalah bukan benda, dan berbeda secara radikal
dengan être-en-soi. Être-pour-soi adalah istilah yang menunjukkan tentang adanya
kesadaran, cara berada manusia. Être-pour-soi tidak mentaati prinsip identitas.
Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya.51 Être-pour-soi ini
merupakan inti pandangan Sartre tentang eksistensi manusia. Kata kuncinya adalah
kebebasan. Kebebasan akan menetukan keberadaan manusia dalam sejarah.
Seorang yang berusaha lari dari kebebasan sebenarnya juga sedang berusaha
merealisasikan kebebasan itu sendiri. Jadi tidak ada kata tidak untuk kebebasan
manusia. Manusia adalah kebebasan. Namum, kebebasan bukan berarti ”lepas
sama sekali” dari kewajiban dan beban. Kebebasan adalah sesuatu yang erat
kaitannya dengan tanggung jawab, dan tidak bisa dipisahkan. Dengan kebebasan
inilah manusia bereksistensi. Oleh karena itu, manusia bebas maka Tuhan tidak ada,
karena jika Tuhan ada, lanjut Sartre, berarti ”aku” tidak bebas alias diam karena
semuanya sudah dirancang sedemikian rupa oleh Tuhan.
Sepertinya pemikiran Sartre mempengaruhi kepada konsep manusia (insân)
Ali Syari`ati. Bisa dikatakan bahwa être-en-soi adalah basyar. Hal ini karena, être-
en-soi merupakan makhluk yang tidak berkesadaran dan basyar adalah makhluk
yang tidak melakukan kesadaran untuk melakukan proses becoming dan dipandang
hanya sebagai makhluk fisik semata.
Être-pour-soi menurut Sartre adalah makhluk yang mempunyai kesadaran
atau cara berada manusia. Sedangkan manusia (insân) dalam pandangan Ali
Syari`ati adalah makhluk yang berkesadaran untuk melakukan proses becoming.
50 Ekky Malaky, Seri Tokoh Filsafat, h. 51. 51 DR. Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, h. 159
Dari kedua sudut pandang di atas, penulis melihat adanya benang merah antara Ali
Syari`ati dan Sartre, yaitu, bahwa être-pour-soi dan insân merupakan makhluk yang
mempunyai kesadaran diri. Oleh karena itu bisa dikatakan être-pour-soi sama
halnya dengan insân.
Namun diantara persamaan tersebut, penulis juga melihat terdapat beberapa
perbedaan antara Sartre dan Ali Syari`ati, sebagaimana akan dijelaskan pada tabel
berikut:
Pokok masalah Sartre Ali Syari`ati
Tanggung Jawab Sepenuhnya atas dirinya sendiri dan seluruh manusia
Kepada Tuhan
Proses Menidak / Negation Becoming menuju Tuhan
Tuhan Tidak ada Ada, Guru pertama
Asal kebebasan Dari diri manusia itu sendiri
Tuhan
Sumber moral Akal pikiran Tuhan
Kebebasan Kutukan, konsekwensi adalah tanggung jawab total kepada seluruh manusia
Anugrah,salah satu sifat ilahiyâh, bekal untuk becoming
Hati nurani Dari manusia Dari Tuhan (kebaikan bawaan dari unsur Roh Tuhan)
Dari semua uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa, Ali Syari`ati
mengambil padanan kata manusia (insân) dari al-Quran lalu menjelaskannya dengan
gaya bahasa filosofis yang juga terdapat pengaruh dari para filosof Eropa, walaupun
juga ada perbedaan diantara mereka. Namun hal tersebut tidak mengurangi kajian
ini, tetapi menambah wawasan tentang berbagai macam pemikiran di antara
mereka.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah penulis mengulas uraian dari bab-bab sebelumnya, maka pada
bagian akhir pembahasan ini, penulis akan menyimpulkan beberapa kesimpulan,
terutama untuk menjawab bagian rumusan masalah yang ada pada bab pertama,
sebagai berikut:
1. Manusia menurut Ali Syari`ati adalah makhluk yang mempunyai
dimensi ganda, yaitu unsur lempung dan unsur ruh Tuhan. Kedua
unsur ini saling tarik menarik, sehingga manusia harus menentukan
pilihannya sendiri. Jika ia jatuh pada unsur lempung, maka ia disebut
basyar, maksudnya adalah ia hanya sekedar makhluk saja. Sedangkan
ketika unsur ruh Tuhan cenderung dalam dirinya, maka ia disebut
insân. Namun dalam perjalanan manusia basyar menuju manusia
insân, harus melewati berbagai macam hambatan yang ada dengan
dibekali tiga sifat ilâhiyah. Setelah manusia mencapai tingkatan insân,
maka ia akan berakhlak menyerupai akhlak Tuhan.
2. Konsep filosofis dan teologis mampu memperluas pandangan Ali
Syari`ati terhadap konsep manusia (insân). Bahkan ia mengkritik
model pemikiran Barat terhadap konsep manusia (insân) itu sendiri,
yang menurutnya cenderung berpandangan materialistik dalam
melihat konsep manusia.
B. Saran-saran
1. Diharapakan ada mahasiswa lain yang mengeksplorasi corak
pemikiran dari tokoh-tokoh pemikir Islam seperti Ali Syari`ati sehingga
menyemarakkan kajian ke-Islaman secara umum yang didekati melalui
pemikiran-pemikiran tokohnya.
2. Penulis menyarankan supaya kajian-kajian terhadap filosof atau teolog
muslim dunia seperti Ali Syari`ati, supaya lebih disemarakkan lagi di
lingkungan akademis Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta.
Sehingga bisa menambah khazanah literatur ke-Islaman menyangkut
tokoh-tokoh pemikir Islam di lingkungan UIN sendiri yang selanjutnya
bisa di akses oleh masyarakat secara luas umumnya.
3. Perlunya dikembangkan iklim diskusi di kalangan mahasiswa yang
dimotori oleh Fakultas terhadap tokoh-tokoh pemikir Islam. Selain itu
disarankan supaya pihak Fakultas menerbitkan jurnal secara berkala
hasil diskusi tentang tokoh-tokoh pemikir Islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2003
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi Jakarta: Paramadina, 1997
Al-Jilli, Syeikh Abdul Karim Ibnu Ibrahim, Insan Kamil: Ikhtiar Memahami Kesejatian
Manusia Dengan Sang Khaliq Hingga Akhir Zaman, terj. Misbah El Majid, Lc.,
Surabaya: Pustaka Hikmah Perdana, 2006
Azra, Azyumardi, Historiografi Islam Kontemporer: Wacana, Aktualitas, dan Aktor Sejarah,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat Jakarta: Gramedia, 2000
Baharuddin, Dr., Paradigma Psikologi Islam; Studi Tentang Elemen Psikologi Dari Al-
Qur`an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Hanafi, Hassan, Agama, Ideologi dan Pembangunan, terj. Shonhaji Sholeh, Jakarta: Penerbit
P3M, 1991
Harun Hadiwijono, DR., Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Yogyakarta: Kanisius, 1980
Kurzman, Charles(ed.)., Wacana Islam Liberal; Pemikiran Islam Kontemporer Tentang Isu-
Isu Global, terj. Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Jakarta: Paramadina, 2003
Madjid, Nurcholish, (ed.)., Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Malaky, Ekky, Seri Tokoh Filsafat: Ali Syari’ati: Filosof Etika dan Arsitek Iran Modern,
Jakarta: Teraju, 2004
Maulana Muhammad, Ali, Islamologi, terj. R. Kaelan dan H.M. Bachrun, Jakarta: Darul
Kurtubi Islamiyah, 1996
Misbah, M. Taqi, Monoteisme; Tauhid Sebagai Sistem Nilai dan Akidah Islam, terj. M.
Hashem, Jakarta: PT. Lentera Basritama, 1996
Musa Asy`arie, DR., Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur`an, Yogyakarta:
Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992
Muthahhari, Murtadha, Membumikan Kitab Suci; Manusia dan Agama, peny. Haidar Bagir,
Bandung: Mizan, 2007
N. Drijarkara S.J., Prof. DR., Filsafat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1989
Nasr, Sayyed Hossein, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam; Jembatan Filosofis dan religius
Menuju Puncak Spiritual, ter. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Ircisod, 2005
Praja, Juhaya S., Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Teraju, 2002
Raharjo, Dawam, Insan Kamil; Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Grafiti Press,
1987
Rahnema, Ali, Ali Syari`ati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, terj. Dien Wahid,
M.A. et. all., Jakarta: Erlangga, 2002
_______, Ali (ed.), Para Perintis Zaman Baru Islam, terj. Ilyas Hasan, Bandung: Mizan,
1996
Seyyed Mohsen Miri, Dr., Sang Manusia Sempurna; Antara Filsafat Islam dan Hindu,
Bandung: Teraju, 2004
Shihab, M. Quraish, Wawasan al-Qur`an Bandung: Mizan, 1997
Syari`ati, Ali, Agama Versus Agama, terj. Dr. Afif Muhammad dan Drs. Abdul Syukur, MA,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2000
______, Ali, Ideologi Kaum Intelektual: Suatu Wawasan Islam, peny. Syafiq Basri dan
Haidar Bagir, Bandung: Mizan, 1985
______, Ali, Membangun Masa Depan Islam, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Mizan, 1988
______, Ali, Tugas Cendekiawan Muslim, terj. Dr. Amien Rais, Jakarta: Rajawali, 1982
______, Ali, Ummah dan Imamah, trj. Muhammad Faishol Hasanuddin, Jakarta: YAPI, 1990
______, Haji, terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 2006
______, Tentang Sosiologi Islam, terj. Saifullah Mahyudin, Yogyakarta: Ananda, 1982
PEDOMAN TRANSLITERASI
ARAB LATIN ARAB LATIN
dh ض أ
th ط b ب
zh ظ T ت
‘ ع ts ث
gh غ J ج
f ف � ح
q ق kh خ
k ك d د
l ل dz ذ
m م r ر
n ن z ز
w و s س
h ه sy ش
Y ي sh ص
â (a panjang), contoh المالك : al-Mâlik
î (i panjang), contoh الرحيم : al-Ra� îm
û (u panjang), contoh الغفور : al-Ghafûr