konsep ketuhanan dalam islam

24
PENDAHULUAN Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan. Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian. Pendidikan moden telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan moden. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam. Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun 1

Upload: izzah93

Post on 07-Dec-2015

27 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

knowledge

TRANSCRIPT

Page 1: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

PENDAHULUAN

Aspek keimanan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah aspek kejiwaan dan nilai. Aspek ini belum mendapat perhatian seperti perhatian terhadap aspek lainnya. Kecintaan kepada Allah, ikhlas beramal hanya karena Allah, serta mengabdikan diri dan tawakal sepenuhnya kepada-Nya, merupakan nilai keutamaan yang perlu diperhatikan dan diutamakan dalam menyempurnakan cabang-cabang keimanan.

Sesungguhnya amalah lahiriah berupa ibadah mahdhah dan muamalah tidak akan mencapai kesempurnaan, kecuali jika didasari dengan nilai keutamaan tersebut. Sebab nilai-nilai tersebut senantiasa mengalir dalam hati dan tertuang dalam setiap gerak serta perilaku keseharian.

Pendidikan moden telah mempengaruhi peserta didik dari berbagai arah dan pengaruhnya telah sedemikian rupa merasuki jiwa generasi penerus. Jika tidak pandai membina jiwa generasi mendatang, “dengan menanamkan nilai-nilai keimanan dalam nalar, pikir dan akal budi mereka”, maka mereka tidak akan selamat dari pengaruh negatif pendidikan moden. Mungkin mereka merasa ada yang kurang dalam sisi spiritualitasnya dan berusaha menyempurnakan dari sumber-sumber lain. Bila ini terjadi, maka perlu segera diambil tindakan, agar pintu spiritualitas yang terbuka tidak diisi oleh ajaran lain yang bukan berasal dari ajaran spiritualitas Islam.

Seorang muslim yang paripurna adalah yang nalar dan hatinya bersinar, pandangan akal dan hatinya tajam, akal pikir dan nuraninya berpadu dalam berinteraksi dengan Allah dan dengan sesama manusia, sehingga sulit diterka mana yang lebih dahulu berperan kejujuran jiwanya atau kebenaran akalnya. Sifat kesempurnaan ini merupakan karakter Islam, yaitu agama yang membangun kemurnian akidah atas dasar kejernihan akal dan membentuk pola pikir teologis yang menyerupai bidang-bidang ilmu eksakta, karena dalam segi akidah, Islam hanya menerima hal-hal yang menurut ukuran akal sehat dapat diterima sebagai ajaran akidah yang benar dan lurus.

Pilar akal dan rasionalitas dalam akidah Islam tecermin dalam aturan muamalat dan dalam memberikan solusi serta terapi bagi persoalan yang dihadapi. Selain itu Islam adalah agama ibadah. Ajaran tentang ibadah didasarkan atas kesucian hati yang dipenuhi dengan keikhlasan, cinta, serta dibersihkan dari dorongan hawa nafsu, egoisme, dan sikap ingin menang sendiri. Agama seseorang tidak sempurna, jika kehangatan spiritualitas yang dimiliki tidak disertai dengan pengalaman ilmiah dan ketajaman nalar. Pentingnya akal bagi iman ibarat pentingnya mata bagi orang yang sedang berjalan.

1

Page 2: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

KONSEP KETUHANAN DALAM ISLAM

Pengkajian manusia tentang Tuhan, yang hanya didasarkan atas pengamatan dan pengalaman serta pemikiran manusia, tidak akan pernah benar. Sebab Tuhan merupakan sesuatu yang ghaib, sehingga informasi tentang Tuhan yang hanya berasal dari manusia biarpun dinyatakan sebagai hasil renungan maupun pemikiran rasional, tidak akan benar.

Informasi tentang asal-usul kepercayaan terhadap Tuhan antara lain tertera dalam:

“Sesungguhnya agama yang diturunkan Allah adalah satu, yaitu agama Tauhid. Oleh karena itu seharusnya manusia menganut satu agama, tetapi mereka telah berpecah belah. Mereka akan kembali kepada Allah dan Allah akan menghakimi mereka.

(Surah Al-Anbiya’, 92)

Ayat tersebut di atas memberi petunjuk kepada manusia bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan konsep tentang  ajaran ketuhanan sejak zaman dahulu hingga sekarang. Melalui Rasul-rasul-Nya, Allah memperkenalkan dirinya melalui ajaran-Nya, yang dibawa para Rasul, Adam sebagai Rasul pertama dan Muhammad sebagai terakhir.

Jika terjadi perbedaan-perbedaan ajaran tentang ketuhanan di antara agama-agama adalah karena perbuatan manusia. Ajaran yang tidak sama dengan konsep ajaran aslinya, merupakan manipulasi dan kebohongan manusia yang teramat besar.

“Al-Masih berkata: “Hai Bani Israil sembahlah Allah Tuhaku dan Tuhanmu. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti mengharamkan kepadanya syurga, dan tempat mereka adalah neraka.

(Surah Al-Maidah, 72)

“Katakanlah, Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung pada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia.”

(Surah Al-Ikhlas, 1-4)

Dari ungkapan ayat-ayat tersebut, jelas bahwa Tuhan adalah Allah. Kata Allah adalah nama isim jumid atau personal name. Merupakan suatu pendapat yang keliru, jika nama Allah diterjemahkan dengan kata “Tuhan”, karena dianggap sebagai isim musytaq.

2

Page 3: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Tuhan yang haq dalam konsep al-Quran adalah Allah. Hal ini dinyatakan antara lain dalam surat Ali Imran ayat 62, surat Shad 35 dan 65, surat Muhammad ayat 19. Dalam al-quran diberitahukan pula bahwa ajaran tentang Tuhan yang diberikan kepada Nabi sebelum Muhammad adalah Tuhan Allah juga. Perhatikan antara lain surat Hud ayat 84 dan surat al-Maidah ayat 72. Tuhan Allah adalah esa sebagaimana dinyatakan dalam surat al-Ankabut ayat 46, Thaha ayat 98, dan Shad ayat 4.

Dengan mengemukakan alasan-alasan tersebut di atas, maka menurut informasi al-Quran, sebutan yang benar bagi Tuhan yang benar-benar Tuhan adalah sebutan “Allah”, dan kemahaesaan Allah tidak melalui teori evolusi melainkan melalui wahyu yang datang dari Allah. Hal ini berarti konsep tauhid telah ada sejak datangnya Rasul Adam di muka bumi. Esa menurut al-Quran adalah esa yang sebenar-benarnya esa, yang tidak berasal dari bagian-bagiandan tidak pula dapat dibagi menjadi bagian-bagian.

3

Page 4: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

FILASAFAT KETUHANAN

Sejarah pemikiran manusia yang dimaksud di sini adalah pemikiran yang berdasarkan pengalaman lahiriah-batiniah (penelitian rasional atau pengalaman batin). Dalam konteks literatur historis agama pemikiran tentang Tuhan dikenal dengan teori evolusionisme (suatu proses kepercayaan tingkat sederhana sampai menjadi tingkat sempurna).

Tokoh atau Pemikir dan penganut yang mengemukakan teori evolusionisme : Max Muller, EB Taylor, Robertson Smith, Lubbock dan Jevens.

Pemikiran Barat

a. “Tuhan” Dinamisme.

b. “Tuhan” Animisme.

c. “Tuhan” Politeisme.

d. “Tuhan” Henoteisme.

4

Manusia sejak zaman primitif sudah mengenal dan mengakui adanya kekuatan gaib yang mempengaruhi hidup manusia. Yang dimaksud berpengaruh di sini adalah “sebuah benda”. Benda tersebut bisa berpengaruh negatif – positif. Namun “kekuatan benda” tersebut juga di sebut bermacam-macam, ada namanya “mana”, “tuah”, “Syakti”. Semua kekuatan tersebut tidak dapat di cerna oleh panca indera manusia, namun ia dapat di rasakan pengaruhnya.

Setiap benda dianggap mempunyai roh. Roh bagi masyarakt primitif bisa bersifat aktif meski benda tersebut kelihatan mati. Oleh karena itu, roh dianggap sesuatu yang hidup (rasa senang dan kebutuhan-kebutuhan). Karena roh mempunyai kebutuhan, masyarakat primitif menyediakan sesajian sebagai salah satu wujud memenuhi kebutuhan roh, jika tidak, manusia bisa terkena dampak negatif dari roh tersebut.

Bagi “Tuhan politeisme”, eksistensi “Tuhan Dinamisme dan Animisme” belum dapat memberikan konsep ketuhanan yang sebenarnya karena masih bersifat sanjungan dan pujaan saja. Baginya, dari sekian banyak roh-roh ada beberapa saja yang dianggap unggul, punya karakter dan punya pengaruh terhadap hidup manusia. Di antara roh yang unggul tersebut disebut sebagai dewa (dewa yang bertanggungjawab terhadap cahaya, air, angin dan sebagainya.

Dari sekian banyak dewa yang ada, hanya mengakui satu dewa saja. Namun manusia masih mengakui Tuhan bangsa lain. (Tuhan tingkat nasional).

Page 5: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

e. “Tuhan” Monoteisme.

Pemikiran Umat Islam

Secara garis besar pemikiran umat Islam tentang ketuhanan timbul sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW. Secara sederhana ada aliran pemikiran bersifat liberal, tradisional, dan di antara keduanya. Sebab timbulnya berbagai aliran Islam tersebut lantaran karena adanya perbedaan metodologi dalam memahami alqur’an dan hadits dengan pendekatan kontekstual, sehingga lahir aliran bersifat liberal. Sebagian umat Islam memahami dengan pendekatan tekstual, lahirlah aliran bersifat tradisional. Sedangkan “memadukan” kedua pemikiran tersebut lahirlah aliran yang bersifat antara liberal dengan tradisional. Di antara aliran tersebut adalah sebagai berikut:

1. Mu’tazilah Disebut kaum rasional yang menekankan pemakaian akal secara intensif dalam memahami semua ajaran dan keimanan. Salah satu pemikiran mereka: Orang Islam yang berbuat dosa besar, maka ia tidak kafir dan tidak mukmin. Ia berada di antara dua posisi tersebut; “manzilah bainal manzilatain”.

2. QodariahManusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan berkehendak). Artinya, prediket kafir atau mukmin diadasrkan atas pilihan dan tanggung jawabnya sendiri.

3. JabariahManusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam berbuat atau berkehendak. Artinya, semua perilaku manusia di tentukan dan dipaksa oleh Allah

4. Asy’ariyah dan MaturidiahPendapatnya berada antara Qadariah dan Jabariah

5

Dalam monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional. Bentuk monoteisme di tinjau dari segi filsafat ketuhanan terbagi menjadi 3: 1. Deisme (Tuhan bersifat transenden: setelah pencipataan alam, Tuhan tidak terlibat lagi dengan hasil ciptaannya). 2. Panteisme (Tuhan bersifat imanen: Tuhan menampakkan diri dalam berbagai fenomena alam). 3. Teisme (Tuhan pada prinsip bersifat transenden, mengatasi semesta kenyataan, tetapi Tuhan juga selalu terlibat dengan alam semesta).

Page 6: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Pemikiran Lain

Tuhan sebagaimana juga yang diperkenalkan dalam ajaran-ajaran lain sesuai dengan petunjuk dari tuhan itu sendiri ataupun berdasarkan persepsi atau gambaran tentang kondisi sifat-sifat sesuatu yang dipertuhankan yang dapat dihayati oleh pemimpin-pemimpin agamanya. Seperti sebutan Sang Hyang Adhi Budha yang diperkenalkan oleh Sidharta Gautama, Sang Hyang Widi diperkenalkan oleh agama Hindu, Trinitas bagi pengikut agama Kristen, atau orang-orang Yunani Kuno menganggap Tuhan itu adalah Aktus Purus.

Perbedaan Tuhan dengan dewa hanya sekedar perbedaan terjemah bahasa, meski masing-masing punya latar belakang perkembangan makna terkait dengan apresiasi masing-masing atas konsepsi Ketuhanannya. Namun secara universal keduanya menunjuk pada eksistensi yang sama, yaitu soal 'Yang Tak Terbantahkan'.

Karena dalam agama manapun, konsep Tuhan merupakan inti dari keimanan, ajaran, dan praktik. Konsep Tuhan menetapkan apa yang diakui oleh penganutnya sebagai halal atau sebaliknya. Ia membentuk sikap para penganutnya terhadap orang lain sebagai "golongan tak beriman" (unbelievers). Ia mengilhami daya persepsi yang merumuskan bagaimana mereka mengkonsepsikan peranan mereka dalam mengatur kehidupan.

Sebagai pembuktian bahwa adanya Tuhan menurut jalan fikiran atau filsafat ketuhanan dan kemahaesaan-Nya tentang kemestian adanya Tuhan menurut Juhaya S. Praja[13] diperkenalkan sebagai dalil klasik dengan argumen-argumen sebagai berikut;

1. Argumen Ontologis

Ontologi adalah teori tentang hakikat wujud, tentang hakikat yang ada. Argumen ontologis tentang hakikat wujud ini semata-mata berdasarkan atas argumen-argumen logika yang logis dan rasional. Argumen ini diperkenalkan pertama kali oleh Plato (428-348 SM), bahwa tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada ideanya. Yang dimaksud dengan idea adalah definisi atau konsep universal dari setiap sesuatu. Yang ingin membuktikan dari ideanya, Plato ini, bahwa alam bersumber pada suatu kekuatan gaib yang bernama the Absolute, atau yang maha mutlak baik atau Tuhan.

ST Agustine (354-430 M), bahwa manusia mengetahui dari pengalamannya dalam hidup bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun akal manusia terkadang merasa ragu-ragu bahwa yang diketahuinya itu adalah kebenaran. Maksudnya adalah akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu kebenaran mutlak dan kekal, kebenaran ini yang disebut Tuhan.

6

Page 7: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

ST. Anselmus (1033-1109), bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu yang kebesarannya tak dapat melebihi dan diatasi oleh segala yang ada. Zat yang serupa ini mesti mempunyai wujud dalam hakekat. Sesuatu yang maha besar, maha sempurna itu mesti mempunyai wujud, maka Tuhan mempunyai wujud, oleh karena itu Tuhan ada.

Inti dari argumen ini adalah bahwa manusia ini memiliki konsep tentang sesuatu yang sempurna. Dan bila ia berfikir tentang sesuatu yang sempurna, niscaya terpikirkan olehnya tentang adanya sesuatu yang lain yang lebih sempurna itu mengantarkan pada adanya "Dzat Yang Maha Sempurna" yang tiada kesempurnaan lain selain Dia.

Argumen ini juga mendapat tantangan, bahwa wujud yang ada di dunia yang alam nyata ini belum tentu sama dengan bayangan aslinya. Sebab alam aslinya itu alam ghaib di atas jangkauan indera manusia. Immanuel Kant pun ikut mengkritik argumen ontologi ini dengan alasan wujud kepada konsep tentang sesuatu tidak membawa hal yang baru bagi konsep itu. Dengan kata lain konsep tentang kursi bayangan dan konsep kursi yang mempunyai wujud tidak ada perbedaannya. Oleh karenanya argumen ini tidak meyakinkan atheis atau agnostic untuk percaya pada adanya Tuhan.

2. Argumen Kosmologis

Argumen kosmologi untuk pertama kalinya dikenalkan oleh Aristoteles, murid Plato. Cosmological argument atau dalil tentang penciptaan adalah merupakan pembuktian paling tua dan sederhana tentang pembuktian adanya Tuhan. Bahwa tiap benda yang dapat ditangkap panca indera mempunyai materi dan bentuk (matter and form). Bentuk merupakan hakikat atau konsep universal atau definisi sesuatu, maka ia adalah kekal dan tidak berubah-ubah. Akan tetapi dalam panca indera terdapat perubahan.

Al-Kindi berpendapat bahwa alam ini diciptakan dan yang menciptakannya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam ini mempunyai hubungan sebab dan musabab/ Sebab mempunyai efek pada musabab. Rentetan sebab musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta alam.

Sedang Al-Farabi berargumen bahwa alam ini bersifat mumkin wujudnya dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk merubah kemungkinan wujudnya kepada yang hakiki, yaitu sebagai sebab bagi terciptanya wujud yang mungkin itu. Tuhan itu ada dalam arti wajib al-wujud atau necessary being, Tuhan itu mesti ada, berarti bahwa wujud Tuhan itu tak berhajat pada bukti, sebagaimana bundaran tak berhajat pada bukti. Ini adalah suatu hal yang jelas dengan sendirinya, tak memerlukan bukti.

7

Page 8: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Inti dari argumen ini adalah bahwa segala sesuatu yang ada pasti ada yang menciptakan, sebab seluruh perwujudan yang ada di alam ini, selamanya bergantung pada adanya perwujudan yang lain. Tidak mungkin ada di alam ini sesuatu yang wujud tanpa adanya yang memunculkan. Keteraturan alam ini pasti ada yang mengatur dan pasti ada yang menjadikan sebabnya. Sebab utama disebut dengan prima causa atau asbabul asbab. Sedangkan rangkaian peristiwa atau gerakan itu, akan mengantarkan pula kepada adanya penggerak utama atau prima causa tersebut.

Kalau rangkaian sebab akibat atau gerakan itu terus diperturutkan niscaya terjadi "daur" (lingkaran gerak yang tak berujung atau berawal) atau tastaltsul (rangkaian gerak yang tidak berawal atau berakhir). Menurut akal yang sehat bahwa teori daur atau tastaltsul ini tidak mungkin. Bila tidak bisa diterima akal, maka harus dikatakan bahwa prima causa (penyebab utama) itu merupakan penggerak yang tidak digerakkan atau penyebab yang tidak diawali oleh penyebab lain. Prima causa atau penggerak yang tidak digerakkan oleh yang lain itu tiada lain adalah Allah.

Walau dalil ini dikritik juga oleh Immanuel Kant, kalau wujud alam ini tidak wajib, apa sebabnya Dzat yang wajibul wujud ini menciptakan alam. Iqbal mengkritik, mestikah wajibul wujud itu suatu zat yang disebut Tuhan? Tidakkah bisa kosmos ini bersifat wajibul wujud itu? Keadaan argumen kosmologis bersifat kurang kuat didasarkan atas hakekat bahwa Aristoteles tak pernah bertanya : Adakah Tuhan? Logikanya mengenai bentuk dan materi membawa ia kepada bentuk yang tak mempunyai materi, sebagai akhir rentetan dari gerak dan penggerak yang timbul dari hubungan bentuk dan materi. Bentuk ini bukanlah Tuhan Pencipta Alam, tetapi penggerak pertama dari segala gerak.

3. Argumen Teleologis

Bahwa argumen ini merupakan penerapan dari argumen kosmologis dalam bentuknya yang lain. Segala perwujudan ini tersusun dalam sistim yang teratur, dan setiap benda yang di alam semesta ini memiliki tujuan-tujuan (theo;tujuan, teologis;ada tujuannya) tertentu. Ala mini keseluruhannya berevolusi dan beredar kepada suatu tujuan tertentu. Keteraturan alam tidak bisa tidak harus ada yang mengatur. Sumber keteraturan itu adalah Allah.

Dalam teologi, segala sesuatu dipandang sebagai organisme yang tersusun dari bagian-bagian yang mempunyai hubungan erat dan bekerja sama untuk kepentingan organisme tersebut. Dunia dalam pandangan teologis tersusun dari bagian-bagian yang erat hubungannya satu sama lainnya dan bekerjasama untuk tujuan tertentu. Tujuan ini ialah kebaikan dunia dalam keseluruhannya.Lontaran kritik dalam argumen ini bahwa alam tidak mempunyai tujuan,

8

Page 9: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

4. Argumen Moral

Immanuel Kant mempelopori argumen Moral menyatakan bahwa perbuatan baik jadi baik tidak karena akibat-akibat baik yang akan ditimbulkan dari perbuatan itu dan tidak pula agama mengajarkan bahwa perbuatan itu baik. Perbuatan baik itu karena manusia tahu dari perasaan yang tertanam dalam jiwanya bahwa ia diperintahkan untuk berbuat baik. Perasaan manusia berkewajiban untuk melaksanakan perbuatan yang baik dan untuk menjauhi perbuatan buruk, tidak diperoleh dari pengalaman dunia, tetapi dibawa dari lahir.

Manusia lahir dengan perasaan itu. Kalau manusia merasa bahwa dalam dirinya ada perintah mutlak untuk mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk, dan kalau perintah itu diperoleh bukan dari pengalaman tetapi telah terdapat dalam diri manusia, maka perintah itu mesti berasal dari suatu dzat yang tahu baik dan buruk. Dzat inilah yang disebut Tuhan. Walaupun argument ini mendapat kritik pula, yang berpangkal dari pengakuan yang ada perasaan moral yang tertanam dalam jiwa manusia yang berasal dari luar diri manusia, tidak dapat diterima, karena norma-norma moral tersebut bisa tidak objektif.

5. Argumen Epistemologis

Ibn Taimiyah menyodorkan argumen epistemologis yang bertujuan untuk membuktikan adanya Tuhan secara meyakinkan melalui teori-teori pengetahuan atau ilmu. Ilmu itu mempunyai dua sifat, ta'bi, yang dapat diterjemahkan obyektif; dan matbu' yang dapat diterjemahkan subyektif. Suatu ilmu yang keberadaan obyeknya tidak bergantung kepada ada dan tidak adanya pengetahuan si subyek (manusia) tentang obyek tersebut. Sedangkan yang bersifat subyektif ialah pengetahuan manusia sebagai subyek tentang obyek ilmu itu. Atau suatu ilmu itu dinyatakan ada kalau si subyek atau manusia mengetahui keberadaannya.

Kemudian dalam Islam, (yang penulis menitik beratkan tentang Tuhan dalam agama Islam), manusia dengan Tuhannya digambarkan oleh Imaduddin[28], bahwa semua dari kita yakin bahwa matahari itu adalah sumber energi, hanya sejauh mana manusia tadi memanfaatkan panas dari matahari tersebut. Ada yang sangat maksimal dan ada yang hanya untuk keperluan pribadinya saja. Seperti petani yang hanya untuk keperluan tanah garapannya saja, nelayan yang sebatas untuk menangkap ikan saja, berbeda dengan teknokrat yang memanfaatkan panas matahari tersebut untuk segala macam kehidupan manusia. Hal ini tidak jauh dengan pandangan sebagian manusia yang memandang Tuhan untuk hanya sebagian keperluannya saja, di waktu susah saja atau di waktu senang saja, berbeda dengan ulama yang memandang tuhan itu adalah tempat mengadu di waktu senang dan susah.

9

Page 10: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

BUKTI ADANYA ALLAH SWT

            Sebenarnya masalah tentang keberadaan Allah SWT sudahlah nyata, bahkan suatu hakikat yang tidak perlu diragukan lagi persoalannya. Tidak ada jalan untuk mengingkarinya. Persoalan tentang keberadaan Allah SWT adalah terang benderang bagaikan cahaya fajar diwaktu pagi yang cerah.

Semua yang ada dilingkungan alam semesta ini pun dapat digunakan sebagai bukti tentang adanya Tuhan (Allah SWT), bahkan benda-benda yang terdapat disekitar alam semesta dan unsur-unsurnya dapat pula mengokohkan atau membuktikan bahwa benda-benda itu pasti ada pencipta dan pengaturnya.

Alam Semesta adalah pengukuhan wujud Maha Pencipta

Periksalah alam cakrawala yang ada diatas kita, yang didalamnya itu terdapat matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Demikian pula alam yang berbentuk bumi ini dengan segala sesuatu yang ada di dalamnya baik yang berupa manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan dan benda padat, juga perihal adanya hubungan yang erat dengan perimbangan yang pelik yang merapikan susunan diantara alam-alam yang beraneka ragam itu serta yang menguatkan keadaannya masing-masing itu, semuanya tidak lain kecuali merupakan tanda dan bukti perihal wujudnya Allah. Selain menunjukkan adanya Dzat itu juga membuktikan keesaanNya dan hanya Dia sajalah yang Maha Kuasa untuk menciptakannya.

Kiranya tidak terlukis sama sekali dalam akal fikiran siapapun bahwa benda-benda tersebut terjadi tanpa ada yang mengadakan atau menjadikan, sebagaimana juga halnya tidak mungkin terlukiskan bahwa sesuatu buatan itu tidak ada yang membuatnya. Oleh sebab itu, manakala sudah tetap bahwa penciptaan alam semesta ini memang karena adanya kesengajaan, maka tetap pula lah perihal adanya Tuhan (Allah) sebagai Dzat Maha Pengatur yang bijaksana, Maha Mulia dan Tinggi yakni dari jalan yang sama-sama dapat dirasakan.

Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk membantah atau mengingkarinya dan ini tepat sekali dengan apa yang difirmankan oleh Allah SWT:

“Apakah dalam Dzat Allah masih ada keragu-raguan, yaitu Tuhan Maha Pencipta langit dan bumi?”

(Surah Ibrahim:10)

10

Page 11: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yg Agung:

“Sesungguhnya Rabb kalian semua adalah Allah yg telah menciptakan langit & bumi dalam masa enam hari, kemudian Dia bersemayam diatas Arsy. Dia menutupkan malam pd siang yg mengikutinya dgn cepat, & diciptakannya pula matahari, bulan & bintang-bintang (masing-masing) tunduk pd perintah-Nya, Ingatlah menciptakan & memerintah itu hanyalah hak Allah, Maha suci Allah Rabb semesta alam .”

(Al Qur’an Surat: Al A`raaf:;54)

Fitrah Sebagai Bukti Adanya ALLAH SWT

Alam semesta atau jagad raya dengan segala sesuatu yang ada didalamnya yang nampak sangat teratur kokoh, indah, sempurna, rapi dan seluruhnya sebagai ciptaan baru, bukannya itu saja yang dapat digunakan sebagai saksi tentang adanya Tuhan (Allah) yang maha mendirikan langit dan bumi ini, tetapi masih ada saksi lain lagi yang dapat digunakan untuk itu dan bahkan dapat lebih meresapkan. Saksi yang lainnya itu adalah berupa perasaan-perasaan yang tertanam dalam jiwa setiap insan yang merasakan akan adanya Allah SWT.

Perasaan ini adalah sebagai pembawaan sejak manusia itu dilahirkan dan oleh sebab itu dapat disebut sebagai perasaan fitrah. Fitrah adalah keaselian yang diatasnya itulah Allah menciptakan makhluk manusia itu. Ini dapat pula diibaratkan dengan kata lain sebagai gharizah diniah atau pembawaan keagamaan.

Ghazirah dianiah adalah satu-satunya hal yang merupakan batas pemisah antara makhluk Tuhan yang disebut manusia dan yang disebut binatang, sebeb binatang pasti tidak memikirkannya. Ghazirah keagamaan ini adakalanya tertutup atau hilang, sebagian atau seluruhnya, dengan adanya sebab yang mendatang, sehingga manusia yang sedang dihinggapi penyakit ini lalu tidak mengerti sama sekali tentang kewajiban dirinya terhadap Tuhan. Ia tidak terjaga dari kenyenyakan tidurnya dan tidak dapat dibangunkan dari kelalaiannya itu, kecuali apabila ada penggerak yang menyebabkan ia jaga dan bangun.

Dalam hal ini Allah Ta’ala berfirnan :

“Dan jikalau manusia itu ditimpa bahaya, maka ia pun berdoalah kepada Kami (Allah) diwaktu berbaring, diwaktu duduk atau berdiri. Tetapi setelah Kami hilangkan bahaya itu dari padanya, iapun berjalanlah seolah-olah tidak pernah berdoa kepada Kami atas bahaya yang telah menghinggapinya itu”.

(S. Yunus.12).

 

11

Page 12: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Bukti Kejadian dan Pengalaman

Setiap manusia tentu pernah berdoa kepada Tuhannya, kemudian dikabulkanlah apa yang menjadi permintaannya. Pernah pula memanggilNya dan iapun dijawab apa yang diinginkan serta dikehendakinya. Ia pernah pula memintaNya dan apa yang diminta itupun diberikan. Tidak sedikit orang yang sakit dan memohon kesembuhan kepadaNya disamping berusaha dengan berobat yang dilakukan dan kemudian ia berhasil sembuh.

Pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupannya di dunia ini sebenarnya sudah membimbing dirinya sendiri untuk dapat sampai kepada penemuan akan Allah SWT secara kesadaran dan bukan karena adanya paksaan, sebab pengalaman-pengalaman itu memang dapat membuka segala macam hakikat yang ia sendiri pasti tidak merasakan dengan panca inderanya.

“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa, dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamatkan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.”

(Al Anbiya: 76)

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Robbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu.”

(Al Anfaal: 9)

Anas bin Malik Ra berkata,

“Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata’ “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tanganya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta bendapun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa: “Ya Robbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan jangan Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat kecuali menjadi terang (tanpa hujan).”

(HR. Al Bukhari)

12

Page 13: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Dalil Naqli

Sekalipun secara fitrah manusia bisa mengakui adanya Allah, dan dengan akal pikiran bisa membuktikannya, namun manusia tetap memerlukan dalil naqli (al-Quran dan Sunnah) untuk membimbing manusia untuk mengenal Tuhan yang sebenarnya (Allah) dengan segala asma dan sifatNya. Sebab fithrah dan akal tidak bisa menjelaskan siapa Tuhan yang sebenarnya itu (Allah).

Allah SWT adalah Al-awwal artinya tidak ada permulaan bagi wujudNya. Dia juga Al-Akhir akhirnya tidak ada akhir dari wujudNya.

“Dialah yng awal dan yang akhir, yang zhahir dan yang bathin, dan Dia Mengetahui segala sesuatu.”

(Al-Hadid 57:3).

Tidak ada satu pun yang menyerupaiNya.

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”.

(As-Syura 42:11).

Allah SWT Maha Esa

“Katakanlah : ‘Dialah Allah, Yang Maha Esa…”

(Al-Ikhlas 112:1).

Allah SWT memiliki Al-Asma’ was Shiffaat (nama-nama dan sifat-sifat) yang disebutkanNya untuk diriNya di dalam Al-Quran serta semua nama dan sifat yang dituturkan untukNya oleh Rasulullah SAW dalam sunnahnya, seperti Ar-Rahmaan, Ar-Rahiim, Al’Aliim, Al-Aziz, As-Sami, Al-Bashiir dan lain-lain.

Firman Allah :

“Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepadaNya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-namaNya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka perbuat.”

(Al-A’raf 7:18).

13

Page 14: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

KEIMANAN DAN KETAQWAAN

Pengertian Iman

Kebanyakan orang menyatakan bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.

Dalam surah al-Baqarah ayat 165  dikatakan bahwa orang yang beriman adalah orang yang amat sangat cinta kepada Allah (asyaddu hubban lillah). Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan nyawa.

Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati, ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan sikap hidup atau gaya hidup.

Istilah iman dalam al-Qur’an selalu dirangkaikan dengan kata  lain yang memberikan corak dan warna tentang sesuatu yang diimani, seperti dalam surat an-Nisa’:51 yang dikaitkan dengan jibti (kebatinan/idealisme) dan thaghut (realita/naturalisme). Sedangkan dalam surat al-Ankabut: 52 dikaitkan dengan kata bathil, yaitu walladziina aamanuu bil baathili. Bhatil berarti tidak benar menurut Allah. Dalam surat lain iman dirangkaikan dengan kata kaafir atau dengan kata Allah. Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).

Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an, mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.

14

Page 15: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

Korelasi Keimanan dan Ketakwaan

Keimanan pada keesaan Allah yang dikenal dengan istilah tauhid dibagi menjadi dua, yaitu tauhid teoritis dan tauhid praktis. Tauhid teoritis adalah tauhid yang membahas tentang keesaan Zat, keesaan Sifat, dan keesaaan Perbuatan Tuhan. Pembahasan keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan berkaitan dengan kepercayaan, pengetahuan, persepsi, dan pemikiran atau konsep tentang Tuhan. Konsekuensi logis tauhid teoritis adalah pengakuan yang ikhlas bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud Mutlak, yang menjadi sumber semua wujud.

Adapun tauhid praktis yang disebut juga tauhid ibadah, berhubungan dengan amal ibadah manusia. Tauhid praktis merupakan terapan dari tauhid teoritis. Kalimat Laa ilaaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah) lebih menekankan pengertian tauhid praktis (tauhid ibadah). Tauhid ibadah adalah ketaatan hanya kepada Allah. Dengan kata lain, tidak ada yang disembah selain Allah, atau yang berhak disembah hanyalah Allah semata dan menjadikan-Nya tempat tumpuan hati dan tujuan segala gerak dan langkah.

Selama ini pemahaman tentang tauhid hanyalah dalam pengertian beriman kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Mempercayai saja keesaan Zat, Sifat, dan Perbuatan Tuhan, tanpa mengucapkan dengan lisan serta tanpa mengamalkan dengan perbuatan, tidak dapat dikatakan seorang yang sudah bertauhid secara sempurna. Dalam pandangan Islam, yang dimaksud dengan tauhid yang sempurna adalah tauhid yang tercermin dalam ibadah dan dalam perbuatan praktis kehidupan manusia sehari-hari. Dengan kata lain, harus ada kesatuan dan keharmonisan tauhid teoritis dan tauhid praktis dalam diri dan dalam kehidupan sehari-hari secara murni dan konsekuen.

Dalam menegakkan tauhid, seseorang harus menyatukan iman dan amal, konsep dan pelaksanaan, fikiran dan perbuatan, serta teks dan konteks. Dengan demikian bertauhid adalah mengesakan Tuhan dalam pengertian yakin dan percaya kepada Allah melalui pikiran, membenarkan dalam hati, mengucapkan dengan lisan, dan mengamalkan dengan perbuatan. Oleh karena itu seseorang baru dinyatakan beriman dan bertakwa, apabila sudah mengucapkan kalimat tauhid dalam syahadat asyhadu allaa ilaaha illa Alah, (Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah), kemudian diikuti dengan mengamalkan semua perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya.

15

Page 16: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

PENUTUP

Sebagai penutup saya kutip perkataannya Al Ghazali dalam bukunya Al-Maqasidul Asna, yang membahas tentang Asma' Alhusna, bahwa "Ketuhanan" adalah sesuatu yang hanya dimiliki Allah, tidak dapat tergambar dalam bentuk benak, bahwa ada yang mengenalnya kecuali Allah atau yang sama dengan-Nya, dan karena tidak ada yang sama dengan-Nya, maka tidak ada yang mengenalnya kecuali Allah.

Tidak ada yang mengenal Allah kecuali Allah Yang Maha Tinggi sendiri, karena itu Dia tidak menganugerahkan kepada hamba-Nya yang termulia (Muhammad saw) kecuali nama yang diselubungi dengan firman-Nya "Sabbihisma Rabbika al A'la", Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tinggi.

Demi Allah tidak ada yang mengetahui Allah – di dunia dan di akhirat- kecuali Allah. Karena itu –tulis Al-Ghazali; "Jika Anda bertanya apakah puncak pengetahuan orang-orang arif tentang Allah?" Saya menjawab –kata Al-Ghazali-, "Puncak pengetahuan orang-orang arif adalah ketidakmampuan mengenal-Nya". Sesuai dengan yang diisyaratkan Nabi Muhammad saw ; Saya –Ya Allah- tidak menjangkau pujian untuk-Mu dan mencakup sifat-sifat ketuhanan-Mu. Hanya Engkau sendiri yang mampu untuk itu" – H.R. Ahmad.

Maka, selesai sudah makalah agama yang telah menyentuh Konsep Ketuhanan Dalam Islam.

16

Page 17: Konsep Ketuhanan Dalam Islam

DAFTAR PUSTAKA

Sabiq, Sayid. 2002. Aqidah Islam. Bandung:  Penerbit Diponegoro. Taymiyah, Ibnu. 1983. Aqidah Islam. Bandung : Al-Ma’arif.

Ilyas, Yunahar. 2004. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Syaltut, Mahmud. 1994. Aqidah dan Syariah Islam. Jakarta: Bumi Aksara

http:///F:/download/filsafat-ketuhanan.htm

http ///F:/download/konsep-ketuhanan-dalam-islam.htm

17