konsep ibadah dalam islam
TRANSCRIPT
KONSEP IBADAH DALAM ISLAM
Disusun Oleh :
Didi Kurniawan
111.04.1023
Teknik Elektro
Institut Sains dan Teknologi Akprind
Yogyakarta
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Konsep Ibadah dalam
Islam “.
Penulisan ini merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas mata kuliah pendidikan kewarganegaraan. Dalam penulisan
makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan
pembuatan makalah ini.
Akhirnya kami sebagai penulis berharap semoga Allah memberikan pahala
yang setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan
semua bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal’Alamiin.
Bantul , 1 April 2012
penyusun
2
Daftar Isi
Kata pengantar 2
Daftar isi 3
BAB I PENDAHULUAN 4
I.1. Latar Belakang 4
I.2. Rumusan Masalah 5
I.3. Tujuan 5
BAB II PEMBAHASAN 6
II.1. Pengertian Ibadah 6
II.2. Tujuan Ibadah 11
II.3. Ruang lingkup Ibadah dan Hubungannya dengan kehidupan 12
II.4. Pembagian Ibadah 13
BAB III KESIMPULAN 16
Daftar Pustaka 17
3
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Hidup manusia dibumi ini bukanlah suatu kehidupan yang tidak mempunyai
tujuan dan matlamat dan bukan pula melakukan sesuatu mengikut kehendak perasaan
dan keinginan tanpa ada batas dan tanggungjawab. Tetapi penciptaan makhluk
manusia di bumi ini adalah mempunyai suatu tujuan dan tugas risalah yang telah
ditentukan dan ditetapkan oleh Allah Tuhan yang menciptanya.
Tugas dan tanggung jawab manusia sebenarnya telah nyata dan begitu jelas
sebagaimana terkandung di dalam al-Quran yaitu tugas melaksanakan ibadah
mengabdikan diri kepada Allah dan tugas sebagai khalifah-Nya dalam makna
mentadbir dan mengurus bumi ini mengikut ketentuan Allah dan peraturan- Nya.
Firman Allah swt.:
“Dan Aku Tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah
(menyembah) kepada Ku”. (Az-Zaariyaat: 56)
Firman Allah swt.:
“Dan Dialah yang menjadikan kamu khalifah (penguasa-penguasa) di bumi dan Dia
meninggikan sebahagian kamu atas sebaha-gian (yang lain) beberapa darjat untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu”. (al-An’aam: 165)
Tugas sebagai khalifah Allah ialah memakmurkan bumi ini dengan mentadbir
serta mengurusnya dengan peraturan dan ketentuan Allah. Tugas beribadah dan
mengabdi diri kepada Allah dalam rangka melaksanakan segala aktivitas pengurusan
bumi ini yang tidak terkeluar dari garis panduan yang datang dari Allah swt. dan
dikerjakan segala kegiatan pengurusan itu dengan perasaan ikhlas karena mencari
kebahagian dunia dan akhirat serta keridhaan Allah.
4
Allah swt. telah menyediakan garis panduan yang lurus dan tepat kepada
manusia dalam rangka pengurusan ini. Allah dengan rasa kasih sayang yang lebih
kepada manusia diturunkannya para rasul dan bersamanya garis panduan yang
diwahyukan dengan tujuan supaya manusia itu boleh mengurus diri mereka dengan
pengurusan yang lebih sempurna dan bertujuan supaya manusia itu dapat hidup
sejahtera dunia dan akhirat.
I.2. Rumusan Masalah
1. Apa arti dari ibadah itu sendiri?
2. Apa tujuan ibadah?
3. Apa ruang lingkup Ibadah dan Hubungannya dengan kehidupan?
4. Apa saja pembagian ibadah?
I.3. Tujuan
1. Agar kita tahu apa arti ibadah.
2. Agar kita tahu ibadah yang benar.
3. Agar kita tahu mengapa kita beribadah.
4. Agar kita senantiasa beribadah dan tidk meninggalkannya.
5
BAB II
PEMBAHASAN
II.1. Pengertian Ibadah
Kalimat ibadah berasal daripada kalimat `abdun’. Ibadah dari segi bahasa
berarti patuh, taat, setia, tunduk, menyembah dan memperhambakan diri kepada
sesuatu.
Dari segi istilah agama Islam pula ialah tindakan, menurut, mengikut dan
mengikat diri dengan sepenuhnya kepada segala perkara yang disyariatkan oleh Allah
dan diserukan oleh para Rasul-Nya, dengan berbentuk suruhan atau larangan.
Perintah Allah dan Rasul-Nya ini hendaklah ditunaikan dengan perasaan
penuh sadar, kasih dan iman kepada Allah, bukan karena terpaksa atau karena yang
lain dari cinta kepada-Nya.
Para Nabi dan Rasul merupakan hamba Allah yang terbaik dan sentiasa
melaksanakan ibadah dengan penuh kesempurnaan di mana setiap arahan Tuhannya,
mereka patuhi dengan penuh perasaan iman dan kasih serta mengharap keridhaan dari
Tuhannya. Mereka menjadi contoh teladan yang paling baik kepada kita semua dalam
setiap pekerjaan dan amalan sebagaimana yang dianjurkan oleh al-Quran itu sendiri.
Firman Allah swt. :
“Sesungghnya bagi mu, apa yang ada pada diri Rasulullah itu contoh yang paling
baik”. (al-Ahzab: 21)
Orang yang memperhambakan dirinya (beribadah) kepada Allah mereka akan
senantiasa patuh dan tunduk kepada kehendak dan arahan Tuhannya, sama ada dalam
perkara yang ia suka atau yang ia tidak suka dan mereka mencintai dan mengasihi
6
Allah dan Rasul-Nya lebih dari yang lain-lainnya. Mereka mengasihi makhluk yang
lain hanyalah karena Allah semata-mata, tidak karena yang lain Kasihkan kepada
Rasulullah saw. pula karena ia membawa Risalah Islam, imankan kepada Rasulullah
saw. hendaklah mengikuti sunahnya sebagaimana firman Allah swt.:
“Katakanlah (wahai Muhammad) sekiranya kamu kasihkan Allah maka ikutilah
aku (pengajaranku) nescaya Allah akan mengasihi kamu dan mengampunkan dosa-
dosa kamu”. (Al-Imran: 31)
Dan andainya kecintaan kamu kepada selain Allah dan Rasul-Nya itu mengatasi dan
melebihi dari kecintaan dan kasih kepada yang lain; Allah akan turunkan azab-Nya
kepada manusia yang telah meyimpang dari ketentuan-Nya. Firman Allah swt.:
“Katakanlah (Muhammad) jika ibu bapa kamu, anak-anak kamu, saudara
mara kamu, suami isteri kamu, kaum keluarga kamu, harta benda yang kamu
usahakan, perniagaan yang kamu bimbangkan kerugiannya, dan rumahtangga yang
kamu sukai itu lebih kamu kasihi daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad untuk
agama Allah, maka tunggulah (kesiksaan yang akan didatangkan) oleh Allah. Dan
Allah tidak memberi hidayah kepada orang-orang fasik”. (At-Taubah: 24)
Ibadah Sebagai Sarana Hablu minallah dan Habu minannas
Setiap ibadah dalam Islam, apakah itu shalat, membayar zakat, melaksanakan
puasa, dan menunaikan haji, memiliki dua dimensi. Pertama, kegiatan ibadah
dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban atau penggilan Allah SWT, dalam rangka
hablum minallah. Kedua, ibadah yang dilakukan oleh hamba Allah itu memiliki
implikasi sosial. Dimensi kedua ini mengarah pada implikasi hablum minallah
terhadap hablum minannas.
Dalam dimensi kewajiban, ibadah shalat (lima waktu), membayar zakat,
menjalankan puasa, dan menunaikan haji merupakan ibadah yang wajib hukumnya
(fardlu ‘ain); artinya setiap muslim wajib melaksanakan ibadah-ibadah itu, kecuali
haji; ibadah haji wajib hukumnya bagi seorang muslim yang mampu untuk
menunaikannya.
7
Dalam ajaran Islam, ibadah shalat merupakan ibadah yang sangat penting. Karena
sangat pentingnya shalat, maka shalat dipandang sebagai tiang agama. Shalat,
digariskan sebagai ibadah yang mampu mencegah umat muslim dari perbuatan keji
dan munkar, memiliki dimensi sosial, antara lain, mendidik umat manusia untuk
berlaku demokratis. Sewaktu melaksanakan ibadah shalat berjamaah di musholla atau
masjid, antar kaum muslimin tidak ada perbedaan, tidak ada perbedaan antara si kaya
dan si miskin, bawahan dan atasan, kaum elit dan rakyat biasa dan sebagainya.
Seseorang yang paling awal datang ke mushola atau masjid untuk shalat berjamaah,
dia memiliki hak untuk menempatkan diri pada barisan terdepan. Implikasi sosial
lebih lanjut bisa dilihat bila seorang muslim kembali ke tengah-tengah masyarakat,
dia akan mendahulukan atau memperhatikan hak orang lain ketimbang hak yang
dimilikinya. Ini berarti bahwa dia tidak akan merasa menang sendiri, dia tidak akan
merasa pintar sendiri, dia tidak akan merasa benar sendiri, dia rame ing gawe sepi ing
pamrih (tidak melakukan korupsi dan manipulasi, karena dua perbuatan ini mengarah
kepada pengambilan sesuatu yang bukan menjadi haknya), dan sebagainya.
Demikian pula, ibadah puasa juga mendidik kaum muslimin untuk tidak
berburuk sangka (prejudice), tidak melakukan pembedaan (discrimination), dan
sejenisnya terhadap sesama umat manusia. Hal ini didasarkan pada salah satu unsur
puasa adalah menahan lapar dan dahaga. Perasaan lapar dan dahaga merupakan
masalah keseharian yang dihadapi oleh orang-orang miskin, namun bukan menjadi
masalah bagi orang-orang berada. Pada tataran tertentu, seseorang yang berasal dari
kelompok orang berada akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-
saudaranya yang berada di bawah garis kemiskinan, yaitu perasaan lapar dan dahaga.
Hal ini, sebenarnya, mengajarkan pada umat manusia untuk tidak berburuk sangka,
melakukan diskriminasi atau pembedaan terhadap sesama umat.
Implikasi sosial yang dipancarkan oleh ibadah zakat bisa timbul dari hikmah
ibadah puasa. Seperti diketahui dan dirasakan bahwa setiap orang yang berpuasa pasti
mengalami rasa lapar dan dahaga. Dengan mengalami sendiri bagaimana rasanya
lapar dan dahaga sewaktu berpuasa itu, maka orang-orang, katakanlah, dari kalangan
kaya terlatih untuk merasakan derita lapar dan dahaga sebagaimana yang dialami oleh
golongan fakir-miskin dalam hidup keseharian mereka. Ajaran ini diharapkan dapat
menimbulkan rasa belas kasihan dan sifat penyantun si kaya terhadap si miskin. Pada
waktu-waktu selepas puasa, diharapkan bahwa si kaya atas kemauannya sendiri akan
selalu mengulurkan tangan, memberikan pertolongan dan bantuan baik secara
8
material maupun non-material. Bantuan-bantuan itu bisa berupa infaq, sedekah dan
zakat (materi) dan nasihat, dorongan moril dan sejenisnya (non-materi). Dalam
kehidupan bernegara, ajaran ini menggariskan kepada para pemegang kekuasaan
untuk mengarahkan segala kebijakan (ekonomi, politik, dan sosial budaya, dan
sebagainya) demi kepentingan orang banyak, khususnya orang miskin, wong cilik
bukan demi kepentingan untuk mencari popularitas dalam rangka mempertahankan
kekuasaan mereka.
Implikasi sosial yang terpancar dalam ibadah haji, antara lain, adalah
terciptanya persaudaraan sesama umat Islam dari seluruh pelosok dunia dan sekaligus
merupakan syiar Islam yang luar biasa. Setiap musim haji tiba, sejumlah besar umat
Islam yang berasal dari seluruh penjuru dunia berbondong-bondong ke tanah suci
untuk menunaikan ibadah haji. Momen ibadah haji ini bisa dimanfaatkan sebagai
syiar Islam dan sekaligus sebagai sarana untuk menjalin persaudaraan sesama muslim
sedunia. Usai menunaikan ibadah haji, seorang muslim dapat memanfaatkan momen
ibadah yang telah dilaksanakan itu sebagai titik tolak untuk mengembangkan tali
persaudaraannya dengan sesama umat muslim, dengan umat sebangsa di tanah airnya
secara lebih baik.
Ibadah haji, sebagaimana dinyatakan oleh Ustadz Fauzan Abidin merupakan
ibadah yang dimaksudkan untuk mensucikan diri dari: kotoran lahiriah, kotoran
bathiniah, kotoran pikiran dan kotoran sosial. (Radar Banjarmasin, 31 Januari).
Seorang muslim yang telah menunaikan ibadah haji berarti yang bersangkutan telah
memenuhi lima rukun Islam. Dia adalah seorang muslim yang telah tersucikan dari
segala kotoran sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz tersebut.
Bila ibadah dalam kerangka hablum minallah memiliki implikasi sosial
(hablum minnas) yang positif, dan bila nilai-nilai baik yang terkandung di dalamnya
tertanam secara kokoh dan terpadu dalam diri seorang muslim dan secara terus
menerus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara maka Insya Allah berarti dia adalah mukmin, muslim dan sekaligus
muhsin.
Dalam ajaran Islam, hubungan antar manusia (hablum minannas) yang
terbimbing melalui ibadah (hablum minallah) telah diatur secara sangat rapi. Dalam
kerangka hubungan antar manusia, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan
sesama muslim ( ukhuwah al- Islamiyah atas dasar al muslimu akhul muslim),
persaudaraan sesama warga bangsa (ukhuwah al- wathaniyah), dan persaudaraan
9
sesama manusia (ukhuwah al-basyariyah). Dalam hal ini, para mukminin, muslimin
dan muhsinin yang telah menunaikan lima rukun Islam (bukan hanya rukun Islam ke
lima) menjadi harapan kita semua untuk menjadi pelopor dalam mengemban ajaran
Allah SWT, bahwa: “Islam adalah rahmat bagi sekalian alam”, yang di samping
dengan tetap menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, secara sosial
mereka akan senantiasa, antara lain, menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan
di muka bumi ini.
Dominasi dalam arti positif , misalnya, dapat kita lihat dalam ajaran Islam di
mana hubungan antar manusia (hablum minannas) telah diatur sedemikian rapinya
sehingga dominasi pihak yang mayoritas, kuat, kaya, berpengaruh atau sejenisnya
harus diupayakan menjadi hal yang positif dan diridhai oleh Allah S.W.T. Dalam
pandangan Islam, orang atau kelompok orang yang dominan, kuat, kaya, atau
berpengaruh bisa saja melakukan dominasi tetapi harus dalam kerangka untuk
melindungi atau mengayomi pihak lain yang lemah. Orang kaya yang secara ekonomi
dominan harus melindungi atau mengayomi pihak yang miskin dengan cara
memberikan sedekah, santunan, zakat, pekerjaan atau sejenisnya. Dalam dunia kerja
hubungan antara majikan dan buruh dalam ajaran Islam tidak berimplikasi pada
dominasi majikan terhadap buruh, seperti yang diisyaratkan oleh sistem kelas model
kapitalisme.
Seperti diuraikan di atas, ajaran Islam menggariskan pola persaudaraan sesama
muslim, persaudaraan sesama warga bangsa, dan persaudaraan sesama manusia.
Dengan demikian jikalau kaum muslimin menjadi kekuatan yang dominan maka tidak
ada alasan bagi mereka untuk melakukan penindasan, penekanan, intimidasi,
perampasan hak atau sejenisnya terhadap kelompok lain yang lemah atau minoritas.
Sebab, ajaran Islam menunjukkan bahwa semua umat manusia di bumi ini, tanpa
memandang rasa, suku dan agama, adalah saudara.
Dalam pandangan Islam, jikalau terjadi dominasi yang mengarah pada penindasan,
intimidasi, pemaksaan, perampasan hak dan sejenisnya, berarti di sana terjadi pula
pengingkaran terhadap ajaran Islam bahwa : “Islam adalah rahmat bagi sekalian
alam”, dan terhadap hakikat manusia sebagai Allah S.W.T, yang antara lain untuk
menjaga kelestarian, keselarasan, keharmonisan di muka bumi ini.
II.2. Tujuan Ibadah
10
Sebagaimana kita ketahui dan maklum bahawa pengutusan manusia ke dunia
ini tidak lain melainkan untuk beribadah (memperhambakan diri) kepada al-Khaliq,
Allah Yang Maha Pencipta dan juga kita telah mengetahui bahawa pengertian ibadah
dalam Islam merangkumi semua bidang amalan dalam kehidupan manusia.
Dan di sini timbul pertanyaan kenapa kita mengabdi menyembah Allah dan
apakah matlamat ibadah itu ? Apakah ada faedah untuk-Nya atau apa faedah yang
boleh didapati oleh seseorang hamba yang menyembah-Nya ?
Jawabannya ialah bahwa Allah swt. Yang Maha Suci dan Maha Tinggi tidak
mendapat sembarang faedah dari ketaatan orang yang menyembah-Nya dan tidak
memberi mudarat sedikitpun dari keengganan orang yang menentang dan ingkar
kepada perintah-Nya.
Begitu juga tidak menambahkan kuasa keagungan pemerintahan-Nya oleh
puji-pujian orang yang memuji-Nya dan tidak mengurangi keagungan kekuasaan-Nya
oleh keingkaran orang-orang yang mengengkari perintah-Nya.
Ini karena Allah Maha Kaya dan mempunyai segala-galanya karena semua
yang ada di alam ini menjadi milik-Nya belaka sedangkan kita manusia adalah satu
dari makhluk Allah yang banyak itu, makhluk manusia ini terlalu kecil, hina dan
miskin, serba kekurangan dan sentiasa berjanji dan memerlukan kepada-Nya.
Allah, Dialah Tuhan Maha Pemurah, Maha Mulia, Maha Penyayang serta
bersifat Maha Memberi kepada semua makhuk-Nya dan Dia tidak menyuruh kita
mengerjakan sesuatu melainkan perkara itu mendatangkan kebaikan bagi makhluk itu
sendiri.
Firman Allah swt. maksudnya:
“Sesungguhnya Kami telah kurniakan hikmat (ilmu pengetahuan) kepada
Luqman supaya dia bersyukur kepada Allah dan sesiapa yang bersyukur, sebenarnya
dia bersyukur dagi faedah dirinya sendiri dan sesiapa yang ingkar, sesungghnya
Allah Maha Kaya lagi Terpuji”. (Luqman: 12)
Dari itu kita wajiblah mensyukuri segala nikmat dan karunia Allah swt.
kepada kita semua yang mana sekiranya kita hendak menghitugnya sudah tentu kita
tidak mampu untuk berbuat demikian, begitulah besar dan banyaknya pemberian
Allah kepada kita semua sebagai makhluk-Nya.
11
II.3. Ruang lingkup Ibadah dan Hubungannya dengan kehidupan
Sebgaimana yang dijelaskan di atas nyatalah ibadah itu itu bukanlah sesempit
apa yang dipahami oleh sebahagian dari kalangan manusia yang tidak dapat
memahami kesempurnaan Islam itu sendiri di mana pada anggapan mereka Islam itu
hanya suatu perbicaraan pasal akhirat (mati) dan melakukan beberapa jenis ibadah
persendirian tidak lebih dari itu. Begitu juga bila disebut ibadah apa yang tergambar
hanyalah masjid, tikar sembahyang, puasa, surau, tahlil, membaca al-Quran, doa, zikir
dan sebagainya yaitu kepahaman sempit disekitar ibadah-ibadah khusus dan ritual
sahaja tidak lebih dari itu. Kepahaman seperti ini adalah akibat dari serangan
pahaman Sekular yang telah berakar umbi ke dalam jiwa sebahagian dari kalangan
orang-orang Islam.
Islam adalah suatu cara hidup yang lengkap dan sempurna, yang merangkumi
semua bidang kehidupan dunia dan akhirat, di mana dunia merupakan tanaman atau
ladang yang hasil serta keuntungannya akan dituai dan dinikmati pada hari akhirat
kelak.
Ibadah dalam Islam meliputi semua urusan kehidupan yang mempunyai
paduan yang erat dalam semua lapangan hidup dunia dan akhirat, tidak ada pemisahan
antara kerja-kerja mencari kehidupan di muka bumi ini dan hubungannya dengan
balasan akhirat. Islam mengajarkan kepada kita setiap apa juga amalan yang
dilakukan oleh manusia ada nilai dan balasan sama ada pahala atau siksa. Inilah
keindahan Islam yang disebut sebagai ad-Deen yang lengkap sebagai suatu sistem
hidup yang boleh memberi kesejahteraan hidup penganutnya di dunia dan di akhirat.
Dengan kata lain setiap amalan atau pekerjaan yang membawa manfaat
kepada individu dan masyarakat selama ia tidak bercanggah dengan syarak jika
sekiranya ia memenuhi syarat-syaratnya, seperti dikerjakan dengan ikhlas karena
Allah semata-mata bukan karena mencari kepentingan dan mencari nama serta ada
niat mengharapkan balasan dari manusia atau ingin mendapat pujian dan sanjungan
dari manusia; maka amalan-amalan yang demikian akan mejadi ibadah yang diberi
pahala di sisi Allah swt di akhirat kelak, insya’-Allah.
Berdasarkan kepada konsep ibadah tersebut maka setiap perbuatan
pertolongan baik kepada orang lain seperti membantu orang sakit, tolong
merengankan beban dan kesukaran hidup orang lain, memenuhi keperluannya,
12
menolong orang yang teraniaya, mengajar dan membimbing orang yang jahil adalah
ibadah.
Termasuk juga dalam makna ibadah ialah setiap perbuatan, perkataan manusia
zahir dan batin yang disukai dan diredai oleh Allah swt. Bercakap benar, taat kepada
orang tua, amanah, menepati janji, berkata benar, memenuhi janji keperluan orang
lain adalah ibadah.
Menuntut ilmu, menyuruh perkara kebaikan dan mencegah segala kejahatan,
berjihad, memberi pertolongan kepada sesama manusia, dan kepada binatang, berdoa,
puasa, sembahyang, membaca al-Quran semuanya itu juga adalah sebahagian dari
ibadah.
Begitu juga termasuk dalam pengertian ibadah iman kepada Allah dan Rasul-
Nya, melaksanakan hukum-hukum Allah, sabar menerima ujian, bersyukur menerima
nikmat, reda terhadap qadha’ dan qadar-Nya dan banyak lagi kegiatan dan tindakan
manusia yang termasuk dalam bidang ibadah.
Kesimpulannya ruang lingkup ibadah dalam Islam adalah terlalu terlalu luas
yang merangkumi semua jenis amalan dan syiar Islam dari perkara yang sekecil-
kecilnya seperti cara makan, minum dan masuk ketandas hinggalah kerja-kerja
menguruskan kewangan dan pentadbiran negara semuanya adalah dalam makna dan
pengertian ibadah dalam arti kata yang luas apabila semuanya itu dikerjakan dengan
sebaik-baiknya dengan menurut adab dan peraturan serta memenuhi syarat-syaratnya.
II.4. Pembagian Ibadah.
Untuk memudahkan bahasan dan perbincangan kita berhubung dengan ibadah
ini, ulama-ulama Islam membagikan ibadah kepada dua bagian sebagai berikut:
1. Ibadah khusus.
2. Ibadah Umum.
Ibadah khusus ialah semua amalan yang tercantum dalam bab al-Ibadaat yang
utamanya ialah sembahyang, puasa, zakat dan haji.
Ibadah Umum pula ialah segala amalan dan segala perbuatan manusia serta
gerak-gerik dalam kegiatan hidup mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:
1) Amalan yang dikerjakan itu di akui oleh syariat dan sesuai dengan Islam.
2) Amalan tersebut tidak bercanggah dengan syariat, tidak zalim, khianat dan
sebagainya
13
3) Amalan tersebut dikerjakan dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah swt. tidak
riak, ujub dan um’ah.
4) Amalan itu hendaklah dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
5) Ketika mengerjakan amalan tersebut tidak lalai atau mengabaikan kewajiban
ibadah khusus seperti sembahyang dan sebagainya.
Firman Allah swt.:
“Lelaki yang tidak dilalaikan mereka oleh perniagaan atau jual beli dari
mengingati Allah, mendirikan sembahyang dan mengeluarkan zakat mereka takut
kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang”. (An-
Nur: 37)
Amalan-Amalan yang Tidak Menjadi Ibadah
Dilihat dari syarat-syarat di atas, nampaklah kepada kita bahwa sesuatu
amalan yang dikerjakan oleh seseorang begitu sukar sekali untuk mencapai
kesempurnaan dalam makna ibadah dengan artikata yang sebenar-benarnya mengikut
syarat-syarat dan ketentuan tersebut di atas, oleh itu kita hendaklah bersungguh-
sungguh dalam mengusahakan amalan kita supaya dapat mencapai matlamat ibadah
yang sempurna dengan menyempurnakan segala syarat-syaratnya.
Dan kita hendaklah sentiasa meneliti dan memperhatikan dengan sungguh-
sungguh agar kita tidak tertipu dengan amalan kita sendiri; dengan menyangka kita
telah banyak melaksanakan amal ibadah dengan sempurna tetapi pada hakikatnya
tidak demikian, kita takut akan tergolong ke dalam golongan manusia yang tertipu
dan sia-sia amalan kita dan apa yang kita dapat hanyalah penat dan lelah. Ini karena
kita melakukan amalan dan kerja-kerja kebajikan itu tidak menepati dan tidak selari
dengan ketentuan dan syarat-syarat ibadah dan amal soleh yang dikehandkki itu.
Dari itu disamping kita melaksanakan segala amalan zahir dengan sempurna
mengikut petunjuk dari Rasulullah saw. apa yang lebih penting lagi ialah kita
membetulkan amalan batin yaitu amalan hati supaya betul yaitu niat dengan ikhlas,
amalan itu semata-mata karena Allah tidak karena yang lain dari-Nya. Dan kita juga
hendaklah sentiasa menjaga keikhlasan hati kita ini dari penyakit-penyakit yang boleh
merusakannya seperti riak, ujub, sum’ah, takabur dan sebagainya.
Kesimpulan secara mudah ialah seorang lelaki yang memakai pakaian untuk
menutup aurat dari kain sutra, dan perempuan yang berpakaian meliputi badannya
14
tetapi masih menampakan susuk badannya masih lagi tidak dinamakan ibadah, atau
seorang menderma dengan tujuan supaya dipuji dan digelar sebagai dermawan atau
seorang yang rajin bersembahyang dengan niat tujuan supaya digelar sebagai ahli
ibadah oleh manusia; itu semua tidak termasuk dalam makna ibadah yang diterima
oleh Allah swt.
Dengan demikian jelaslah kepada kita segala amalan yang tidak memenuhi
syarat-syarat di atas itu tidak dikira sebagai ibadah. Niat dan tujuan serta matlamat
adalah sangat penting dalam sesuatu amalan di samping amalan tersebut tidak
bercanggah serta diakui sah oleh syariat Islam.
15
BAB III
Kesimpulan
Sebagaimana yang telah kita paham sebelum ini ruang lingkup ibadah itu
adalah terlalu luas sebagaimana yang telah dijelaskan yaitu ibadah merupakan semua
kegiatan hidup manusia itu sendiri yang sesuai dengan syariat Islam yang suci dan
murni itu, oleh itu bolehlah diartikan ibadah dalam Islam bermula sejak dari adab-
adab masuk ketandas mengerjakan qadha’ janji sampai kepada bagaimana cara
mengurus kewenangan dan mentadbir negara.
Kegiatan hidup manusia ini akan termasuk ke dalam makna ibadah yang diberi
ganjaran dan pembalasan pahala baik di akhirat apabila ia menepati dengan kehendak
syariat, tidak menyeleweng dari kehendak dan ketentuan Allah swt. dikerjakan
mengikut peraturan dan syarat-syaratnya, disertai pula dengan niat yang betul dan
ikhlas semata-mata dilakukan karena mencari keridhaan Allah swt. tidak karena yang
lain dari-Nya, menghindarkan diri dari perasaan riak, (menunjuk-nunjuk), ingin dipuji
dan terkenal sebagai orang yang rajin, tekun, orang baik dan ingin disebut-sebut
sebagai ahli ibadah oleh orang ramai dan juga suka berbangga dengan memberi tahu
kepada orang lain akan amal kebajikannya. Ia juga hendaklah menghindarkan diri dari
merasa bangga karena ia telah banyak berbuat kebajikan dan berbuat amal ibadah.
Oleh sebab itu ibadah dalam Islam bukanlah tertuju kepada amalan-amalan
ibadah yang ritual semata seperti sholat, zikir, puasa, haji dan sebagainya yang
disebut sebagai ibadah khusus, tetapi ibadah juga mencakup kerja-kerja
kemasyarakatan dan sosial, mencari rezki, ibadah sekiranya dilakukan menurut cara
dan kehendak Islam serta niat dari hati yang ikhlas semata-mata karena Allah swt.
16