konsep ibadah

49
BAB IX KONSEP IBADAH MENURUT AL-QUR’AN Pengertian Ibadah Menurut Al-Qur’an Islam sebagai agama mengandung sistem kepercayaan dan peribadatan. Islam tidak saja memiliki pokok-pokok kepercayaan tetapi juga memiliki sistem ibadah. Al- Qur’an sebagai sumber dan dasar utama Islam mengandung ajaran tentang berbagai hal yang terkait dengan peribadatan yang tujuan pokoknya adalah kemulyaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan melakukan hubungan dengan Allah dan manusia. "Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang dengan tali Allah dan tali hubungan dengan manusia." (Q.S. Ali-Imran: 112). Ibadah adalah ketundukan hamba yang tak terhingga kepada Allah dengan cara melakukan tindakan apapun disertai mengharap ridlo Allah, ibadah adalah tugas pokok manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

Upload: dadan-ym

Post on 18-Jun-2015

1.173 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

konsep ibadah menurut al qur'an ditulis Ahmad Zainal Abidin

TRANSCRIPT

Page 1: konsep ibadah

BAB IX

KONSEP IBADAH MENURUT AL-QUR’AN

Pengertian Ibadah Menurut Al-Qur’an

Islam sebagai agama mengandung sistem kepercayaan dan peribadatan.

Islam tidak saja memiliki pokok-pokok kepercayaan tetapi juga memiliki sistem

ibadah. Al-Qur’an sebagai sumber dan dasar utama Islam mengandung ajaran

tentang berbagai hal yang terkait dengan peribadatan yang tujuan pokoknya

adalah kemulyaan dan kebahagiaan. Kebahagiaan hanya dapat diperoleh dengan

melakukan hubungan dengan Allah dan manusia.

"Ditimpakan atas mereka kehinaan dimana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang dengan tali Allah dan tali hubungan dengan manusia." (Q.S. Ali-Imran: 112).

Ibadah adalah ketundukan hamba yang tak terhingga kepada Allah dengan

cara melakukan tindakan apapun disertai mengharap ridlo Allah, ibadah adalah

tugas pokok manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya.

"Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia kecuali supaya mereka mengabdi (ibadah) kepada-Ku."(QS. Adz-Dzariyat: 56).

Sedangkan ibadah kepada Allah adalah Shirath al-Mustaqim .

"Dan sembahlah Aku, inilah jalan yang lurus."(QS. Yasin: 61).

Peribadatan menurut Al-Qur’an hanya ada 2 jenis. Pertama, peribadatan

kepada Allah. Kedua, peribadatan kepada selain Allah. Peribadatan kepada Allah

adalah bentuk penghambaan yang diajarkan bahkan diharuskan oleh Al-Qur’an.

Page 2: konsep ibadah

Sedangkan peribadatan kepada selain Allah adalah hal yang sangat dicela-Nya.

Berbagai gambaran Al-Qur’an mendeskripsikan hal itu dalam berbagai tempat

dalam kaitannya dengan “ibadah” yang dilakukan manusia.

Diantara perintah tegas dan yang tak bisa ditawar manusia yang didiktekan

oleh Al-Qur’an kepada manusia adalah perintah untuk mengabdi kepada Allah

(QS. Yunus: 104; QS. Az-Zumar: 14 dan 64; QS. Ar-Ra’d: 38; QS. Al-Kahf: 16

dan masih sangat banyak ayat yang senada). Sedangkan lawan beribadah kepada

Allah adalah beribadah kepada selain-Nya. Dalam hal ini Al-Qur’an memberikan

beberapa gambaran tentang perilaku manusia menyembah selain kepada Allah.

Diantaranya adalah penyembahan manusia kepada thoghut (QS. Al-Maaidah: 63).

Al-Qur’an terkadang menyebut peribadatan kepada syaitan (QS. Maryam: 44),

kepada jin (QS. Saba’: 41), patung (QS. Ibrahim: 35; QS. Asy-Syu’ara: 22),

pahatan dan ukiran buatan mereka sendiri (QS. Ash-Shaffat: 95). Disamping itu

Al-Qur’an juga sering memakai ungkapan penyembahan kepada selain-Nya (QS.

An-Nahl: 73; QS. Yunus: 18; QS. Al-Hajj: 71; QS. Fathir: 55 dan lain-lain).

Al-Qur’an juga sering kali menyalahkan penyembahan kepada sesuatu

yang tak bisa mendengar dan melihat (QS. Maryam: 42), penyembahan kepada

sesuatu yang biasa disembah oleh nenek moyang, tanpa pengetahuan yang pasti

(QS. Hud: 62, 86 dan 110; QS. Ibrahim: 10; QS. Saba’: 43 dan lain-lain). Ada

juga celaan kepada manusia yang menyembah Allah tetapi hanya pada “ujung”

(harf) saja, tidak dengan penuh keyakinan (QS. Al-Hajj: 11), bahkan “perintah”

untuk menyembah kepada selain-Nya menurut kesukaan manusia (QS. Az-Zumar:

15).

Diantara redaksi Al-Qur’an juga terdapat rangkaian ibadah kepada Allah

diiringi larangan menyekutukan kepada-Nya (QS. Ali-Imran: 64; QS. An-Nur: 55;

QS. An-Nisa’: 38 dan lain-lain) dan diiringi oleh perintah untuk sabar, teguh

dalam menyembah dan mengabdikan diri kepada Allah semata (QS. Maryam: 65),

diiringi syukur kepada Allah (QS. Al-Ankabut: 17), dan terkadang diiringi

perintah tawakal kepada-Nya (QS. Hud: 123), dan ada pula yang disertai perintah

bertaqwa kepada-Nya (QS. Al-Ankabut: 16), diiringi perintah bersujud kepada-

Nya (QS. Al-Hajj: 77; QS. An-Najm: 62), dan diiringi larangan menyembah dan

66

Page 3: konsep ibadah

perintah menjauhi thaghut (QS. An-Nahl: 36). Secara umum, perintah untuk

beribadah kepada Allah adalah bermuara pada sikap ikhlas (QS. Az-Zumar: 2),

karena hanya amal yang ikhlas saja yang diterima di sisi-Nya. Perhatikan ayat

berikut:

"Sesungguhnya kami menurunkan al-Qur'an kepadamu dengan sebenarnya, maka sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama bagi-Nya." (QS.az-Zumar: 2)

Pembagian Ibadah

Secara umum ibadah dibagi 2 yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghair

mahdlah. Ibadah mahdlah adalah ibadah tertentu bentuk dan caranya seperti

sholat, zakat, puasa, haji. Sedangkan ibadah ghair mahdlah adalah semua bentuk

aktivitas sebaiknya yang tidak ditentukan cara dan bentuknya seperti menolong

orang lain, mendo’akan baik kepada orang lain dan sebagainya. Dalam

kesempatan ini dan karena alasan khusus maka disini hanya akan dijelaskan jenis

ibadah mahdlah. Namun demikian harus tetap diperhatikan bahwa apapun bentuk

ritual harus memakai sendi-sendi yang ada dalam tuntunan syari'at.

1. Sholat

Ibadah sholat memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam bangunan

Islam. Sholat merupakan tiang penyangga terhadap kewajiban ibadah lainnya.

Sholat lebih nampak sebagai hubungan komunikasi antara hamba dengan

Allah. Apabila diamati, tata cara ibadah shalat merupakan sikap yang paling

sempurna dalam berhubungan dengan Allah Swt, dimana seorang hamba

tanpa membedakan status sosial menundukkan diri di hadapan-Nya dan

memohon perlindungan serta limpahan karunia-Nya. Dalam hal ini sholat

menunjukkan hubungan yang sangat istimewa dengan yang ghaib karena

setiap individu mempunyai hak yang sama dalam menyampaikan maksud

hatinya dalam menunjukkan rasa dekat dan khusu’ di hadirat-Nya.

Keutamaan ibadah sholat yang dilaksanakan dengan penuh

kesungguhan, mencurahkan segenap jiwa, menghayati do’a yang dibaca yang

67

Page 4: konsep ibadah

isinya selalu merendahkan diri dan memuliakan Allah, akan membawa kepada

keuntungan.

"Sungguh berbahagia orang-orang mukmin, yaitu orang-orang yang khusyu' di dalam shalat mereka." (QS. Al-Mu’minun: 1-2).

Dalam kesibukan sehari-hari, kapan dan dimana saja, umat Islam

diperintahkan untuk melakukan sholat lima kali, tepat pada waktunya (QS.

An-Nisa: 102), dimana seorang hamba untuk beberapa saat membebaskan diri

dari segala ikatan duniawi untuk mengingat Allah, memohon ketenangan hati,

memohon petunjuk terhadap masalah yang dihadapi, karena Allah mengetahui

segala apa yang dikerjakan manusia (QS. Al-Baqarah: 2, 3, 4 dan 271; QS.

Ali-Imran: 180; QS. At-Taubah: 17; QS. An-Nur: 57; QS. Al-Hasry: 18 dan

puluhan ayat-ayat lain yang semisal).

Dengan demikian, sholat dapat mencegah manusia dari perbuatan keji

dan munkar.

"Dan dirikanlah shalat, sesungguhnya shalat mencegah dari yang keji dan yang mungkar." (QS. Al-Ankabut: 45)

Selanjutnya, shalat hendaknya dilakukan dengan tanpa merugikan dan

memberatkan, baik dari sendiri maupun terhadap orang lain (QS. Al-Ahzab:

41-43; QS. Al-A’raf: 205; QS. Al-Isra’: 79; Qs. Thaha: 130; QS. Ar-Rum: 17-

18 dll), karena diatur berdasar waktu yang memudahkan.

Karena fungsinya untuk mensucikan jiwa, maka hubungan dengan

Yang Maha Tinggi juga disimbolkan dengan kesucian lahir (badan, pakaian,

tempat).

68

Page 5: konsep ibadah

"Sungguh kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan, sedang pakaian takwa itulah yang paling baik."(QS. Al-A’raf: 26) Lihat pula ayat 31

Sholat tidak ada gunanya jika tidak membawa dampak positif bagi

lingkungan sosialnya, misalnya suka berbakti kepada sesama manusia.

" Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang riya' dan mereka enggan memberi pertolongan." QS. Al-Maa’uun: 4-7)

Layak untuk dikemukakan pendapat Ahmad Syalabi yang menyatakan

bahwa apabila ada orang yang tampak tekun melakukan sholat, tetapi ia masih

saja bergelimang dalam perbuatan keji dan munkar, maka ketahuilah bahwa

sholat yang dilakukan oleh orang itu hanyalah merupakan gerakan-gerakan

tanpa tujuan dan ucapan-ucapan kosong yang tidak bermakna sama sekali.

2. Zakat

Perintah untuk melakukan zakat seringkali disebutkan dalam rangkaian

perintah untuk mendirikan sholat (QS. Maryam: 31, 55; QS. Al-Anbiya’: 73;

QS an-Nuur: 37; QS. Al-Baqarah 43, 83, 110; QS. An-Nisa’: 76; QS. Al-Hajj:

78 dan lain-lain dalam berbagai kesempatan). Bahkan Al-Qur’an menjadikan

zakat dan sholat sebagai lambang dari keseluruhan ajaran Islam.

“Apabila mereka, kaum musyrik bertobat, mendirikan sholat, menunaikan zakat, maka mereka adalah saudara-saudara seagama”(QS. At-Taubah: 11)

Zakat merupakan salah satu ketentuan Allah menyangkut harta,

termasuk juga shodaqoh dan infaq lainnya. Karena Allah menjadikan harta

benda sebagai sarana kehidupan untuk umat manusia seluruhnya, maka ia

harus diarahkan untuk kepentingan bersama. Membatasi kekayaan di tangan

69

Page 6: konsep ibadah

segelintir manusia merupakan suatu keburukan yang tidak dibenarkan oleh Al-

Qur’an. Allah berfirman:

“Apa saja harta rampasan yang diberikan Allah kepada rasul-Nya (yang berasal ) dari penduduk negeri, maka itu adalah bagi Allah, rasul-Nya, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan; supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang yang kaya saja dari kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7).

Zakat adalah latihan rohani yang sangat baik agar manusia menunaikan

derajatnya dari dunia materi ke dalam kejernihan rohani dalam rangka

mensucikan jiwa kebendaan-materialisme mereka (QS. At-Taubah: 103).

Dengan demikian Islam meletakkan dasar keadilan sosial dalam bentuknya

yang tinggi dan menjadikan kekayaan mereka untuk manusia yang

membutuhkan, dikeluarkan dari kelompok yang kaya kepada mereka yang

nyata-nyata memerlukan (QS. At-Taubah: 60)

3. Puasa

Puasa yang diwajibkan dalam Islam adalah puasa Ramadan. Hal ini

dapat dilihat dalam surat al-baqarah ayat 183:

"Wahai orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu menjadi bertakwa."

Dalam konsepsi Islam, Puasa adalah jihad kedalam dan keluar yang

disyareatkan Allah tidak hanya bagi umat Islam tapi bagi semua agama-

agama. Umat Islam adalah sebagian kecil umat yang diseru untuk

melakukannya. Jihad ke dalam karena puasa membawa umat Islam untuk

70

Page 7: konsep ibadah

merefleksi seluruh perbuatan yang telah dilakukan terutama keburukan karena

dorongan nafsu kebinatangan. Puasa diharapkan mampu mendidik manusia

menjadi disiplin dengan melakukan ibadah yang hanya dirinya yang tahu

hakikat dan kualitasnya. Berbeda dengan ibadah lain yang secara fisik-

lahiriyah bisa dilihat orang lain, maka puasa adalah amal yang sangat rahasia.

Dalam hadis Qudsi, dinyatakan oleh Allah bahwa "puasa adalah untuk-Ku

(Allah) dan aku sendiri yang akan membalasnya." (Ayoub, 1989: 124-125)

Jihad ke dalam ini sesungguhnya adalah bentuk jihad yang lebih besar dan

berat. Ketika Umat Islam berjuang di Badar sambil berpuasa melawan kaum

kafir kemudian memperoleh kemenangan, maka Nabi mengatakan bahwa

jihad yang berwujud perang fisik adalah kecil, yang sesungguhnya berat dan

besar adalah perang melawan nafsu syetani dan intersest pribadi yang akan

menutup tirai kehadiran Tuhan. Melalui lapar dan dahaga, seorang Muslim

akan mampu secara empati merasakan penderitaan orang lain. Dengan begitu

akan mendorong dirinya mampu memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya

serta orang lain. Puasa yang benar bukanlah puasa formalitas yang hanya

secara lahiriyah menahan lapar dan dahaga, tetapi harus mencerminkan

kepedulian sosial bagi kebaikan manusia lain. Maka tidak mengherankan

bahwa Nabi mengajarkan, bila seorang Muslim yang berpuasa diajak

bertindak yang tidak baik, ia harus mampu menolak dengan mengatakan

bahwa ia berpuasa. Dari sini ajaran tentang sikap memaafkan orang lain juga

menemukan relevansinya. Jihad keluar, karena ia harus mampu secara aktual

memberikan kebaikan dan kelebihan yang dimiliki untuk orang lain. Makna

puasa bagi maslahat sosial merupakan wahana untuk mendidik manusia

bersikap altruis dan tidak mengekploitasi harta untuk kepentingan pribadi. Ini

adalah bagian dari makna takwa sebagai tujuan puasa yang disyareatkan ini,

bagi manusia.

4. Haji

Haji merupakan perjalanan lahir dan batin ke bait Allah, dapat

disaksikan setiap tahun jutaan manusia, laki-laki dan perempuan bepergian

71

Page 8: konsep ibadah

jauh karena terdorong untuk mendapatkan berbagai manfaat. Tentang hal ini,

Allah berfirman:

“Dan serulah kepada manusia supaya melakukan haji, mereka pasti akan berdatangan kepadamu dari segenap penjuru yang jauh, dengan berjalan kaki dan berkendaraan unta (kurus, kepayahan akibat jauhnya perjalanan). Agar mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka sendiri (QS. Al-Hajj: 27-28).

Kata “berbagai manfaat” mengandung makna umum, mencakup

pengertian memperoleh manfaat berupa saling kenal mengenal antara sesama

umat Islam di pelosok dunia, saling bekerja sama di berbagai bidang: politik,

ekonomi, pendidikan dan lain-lain. Di dalam haji orang tidak dibedakan oleh

warna kulit, suku bangsa, tanah air. Yang tertanan dalam ingatan adalah

bahwa mereka merupakan jama’ah yang satu, ber-Tuhan satu, mengikuti

risalah yang satu, yang mengumpulkan mereka sebagai umat yang satu dengan

tujuan yang satu pula. Manusia dapat memanfaatkan moment ini sebagai

upaya untuk mensucikan diri, menghidnari rasa superioritas suatu bangsa atas

bangsa yang lain. Semua pelajaran itu membuat mereka berlomba-lomba

dalam kebaikan dan bukan berlomba-lomba mencari kemenangan dan

kekuatan fisik semata. Allah berfirman:

“Barangsiapa yang telah menetapkan niatnya dalam bulan itu menjalankan ibadah haji, maka tidak boleh bersetubuh, tidak berlaku jahat, tidak pula berbantahan (bertengkar) dalam masa mengerjakan ibadah haji (QS. Al-Baqarah: 197).

Wallahu a’lam.

72

Page 9: konsep ibadah

BAB X

ILMU PENGETAHUAN MENURUT AL-QUR'AN

Pandangan Al-Qur’an tentang ilmu pengetahuan dapat diawali dengan

pelacakan terhadap ayat-ayat pertama turun yaitu, QS. Al-‘Alaq: 1-5:

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajari manusia dengan perantara Qalam."

Dalam wahyu awal ini, perintah Iqra’ (bacalah) demikian menjadi tema

utama, sehingga ia diulang sekali lagi. Kandungan ayat ini adalah perintah untuk

membaca apa saja, kapan saja, dimana saja tapi dengan syarat bismi robbik

(dengan nama Tuhan), berarti yang bermanfaat untuk manusia. Iqra dengan

demikian dapat berarti bacalah, telitilah, dalamilah, identifikasikan, kenalilah apa

saja mengenai alam, tulisan, zaman, sejarah, yang tak tertulis: sesuatu yang

terjangkau oleh pikiran.

Dalam wahyu ini dapat diketahui dua cara perolehan ilmu, yaitu Allah

mengajar dengan pena yang diketahui manusia sebelumnya, dan mengajar

manusia apa yang belum diketahui. Yang pertama dengan alat atau atas dasar

usaha, yang kedua tanpa alat atau tanpa usaha manusia. Dengan demikian

eksperimentasi, wahyu, ilham, firasat, filsafat merupakan bentuk-bentuk

pengajaran yang dapat dikategorikan dengan penjelasan di atas.

Ilmu

Kata ilmu dalam berbagai bentuknya di dalam Al-Qur’an disebut

sebanyak 854 kali. Kata ini diartikan sebagai sebuah proses pencarian

pengetahuan dan obyek pengetahuan. Karena adanya usaha mencari dan

mengkolaborasi pengetahuan, Al-Qur’an memandang ilmu merupakan

73

Page 10: konsep ibadah

keistimewaan manusia atas makhluk-makhluk lain guna menjalankan fungsi

kekhalifahan (perhatikan QS. Al-Baqarah: 31, 32).

Kedua ayat di atas menggambarkan kemungkinan dan potensi manusia

memperoleh dan menguasai ilmu pengetahuan serta mengembangkannya.

Ditemukan banyak ayat memerintahkan manusia untuk mewujudkan pengembang

ilmu dan berisikan petunjuk betapa tinggi kedudukan orang yang berilmu

pengetahuan, baik ilmu kasbi maupun ilmu laduni.

Ilmu kasbi, sebagai hasil usaha manusia terasa lebih banyak karena ia

tergantung kepada upaya manusia dan keseriusan mereka dalam menggali dan

mengembangkannya. Sedangkan ilmu laduni lebih banyak merupakan tanda kasih

Tuhan kepada sebagian hamba-Nya untuk menunjukkan kebaikan dan kebenaran

sesuai tuntutan keadaan saat itu (perhatikan QS. Al-Kahfi: 65).

Di dalam Al-Qur’an terdapat petunjuk tentang sarana meraih ilmu

pengetahuan, yaitu pendengaran, mata (observasi), akal (renungan), hati. Al-

Qur’an juga menyinggung tentang perintah untuk memikirkan alam raya,

melakukan perjalanan dalam upaya mengetahui hukum kausalitas, probabiltas

yang dapat menjadi landasan pengetahuan lebih lanjut.

"Katakanlah, "Perhatikanlah apa-apa yang ada di langit dan di bumi."(QS. Yunus: 101)

"Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta, bagaimana ia diciptakan?, dan langit bagaimana ia ditinggikan? Dan gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bumi bagaimana ia dibentangkan?"(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20)

"Apakah mereka tidak berjalan di atas bumi, lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka?"( QS. Yusuf: 109)

74

Page 11: konsep ibadah

Perlu dikemukakan bahwa Al-Qur’an memandang perlu upaya pensucian

jiwa untuk bisa memperoleh ilmu yang hakiki. Allah akan memalingkan

pengetahuan hakiki dari manusia yang sombong, pongah, aniaya, lalim dan

sebagainya (lihat QS. Al-A’raf: 146). Memang, terkadang nampak orang yang

durhaka memperoleh secercah ilmu dengan usaha, tetapi yang mereka peroleh

hanya terbatas pada fenomena lahiriyah alam, bukan hakikat pengetahuan sendiri

(QS. Ar-Ruum: 6-7).

Manfaat Ilmu

Diantara titik tekan manfaat ilmu pengetahuan yang diperoleh dengan

nama Tuhan adalah rasa takut dan kagum (khasyyah) dari pemilik ilmu dan ini

menjadi ciri yang paling menonjol dari manfaat ilmu (QS. Al-Rathir: 28). Terkait

hal itu, perintah untuk membaca dengan nama Allah berarti mengarahkan manusia

untuk mengarahkan ilmu untuk kemaslahatan manusia, bukan bebas nilai “Ilmu

untuk ilmu” tampaknya tidak disetujui dalam Islam. Ilmu yang apapun

garapannya, harus selalu disertai oleh nilai robbani, yaitu maslahah manusiawi.

Dalam beberapa penutup ayat, khususnya yang terkait dengan perintah

memperhatikan alam raya, terdapat petunjuk bahwa ada beberapa ragam manfaat

yang seharusnya dapat diperoleh mereka yang mempelajari fenomena alam:

Yatafakkarun (yang berfikir, lihat QS. Yunus: 24); Yatazakkarun (yang

mengambil pelajaran, QS. An-Nahl: 13); Ya’lamun (yang mengetahui, QS.

Yunus: 5); Ya’qilun (yang memahami, QS. An-Nahl: 12); Yasma’un (yang

mendengarkan, QS. Ar-Ruum: 23); Yuqinun (yang meyakini, QS. Al-Jatsiyah: 4);

al-‘alamin (yang mengetahui, QS. Ar-Ruum: 22); al-mu’minun (orang-orang yang

beriman, QS. al-Jatsiyah: 3) dan lain-lain.

Proses pengambilan manfaat itu menuntut manusia mengenali berbagai

bidang ilmu yang akan digeluti. Apakah bidang itu bermanfaat sehingga ia perlu

bersungguh-sungguh dalam bidang itu, ataukah tidak bermanfaat sehingga ia rugi,

karena hanya menghabiskan energi dan ia menghindarinya.

Manfaat lain dari ilmu adalah sebagai tanda dan gambaran perbedaan dari

orang yang tak berilmu (bodoh). Al-Qur’an secara jelas menyatakan:

75

Page 12: konsep ibadah

“……Katakanlah: Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya orang-orang berakallah yang dapat menerima pelajaran” (QS. Az-Zumar: 9)

Baik di dunia maupun di akhirat, orang yang memiliki ilmu akan

mendapatkan kehormatan di sisi Allah. Allah berfirman:

“Allah meninggikan orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan, beberapa tingkat…….” (QS. Al-Mujadalah: 11)

Al-Qur’an memberikan jaminan untuk berfikir sehat tentang makhluk apa

saja yang diciptakan Allah. Berfikir itu diharapkan mampu mengarahkan manusia

untuk berdzikir yang akan membawa kesadaran ke-Maha kuasaan-Nya dan sebuah

penciptaan terhadap alam semesta yang tak sia-sia (QS. Ali-Imran: 190-191).

Bahkan Al-Qur’an menyuruh optimalisasi pikiran terhadap alam kejiwaan

sebagaimana ia memikirkan alam wujud (nature) (QS. Ar-Ruum: 8).

Tidaklah mengherankan bahwa seorang muslim tidak memohon dari

tuhannya sesuatu karunia yang lebih mantap daripada ilmu pengetahuan. Tentang

hal ini Allah telah mengajarkan:

“……Dan katakanlah: ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu pengetahuan kepadaku”.(QS. Thaha: 114)

Di samping itu Al-Qur’an sangat mencerca suatu tindakan yang tanpa

didasari oleh ilmu pengetahuan baik yang terkait dengan tindakan duniawi,

apalagi yang terkait dengan kemanfaatan ukhrawi (lihat QS. Ali-Imran: 66; QS.

Hud: 46; QS. Al-Isra’: 36; QS. Al-Hajj: 71; QS. An-Nisa’: 156; QS. Al-An’am:

100, 108, 119, 140, 144, 148 dan lain-lain.

76

Page 13: konsep ibadah

Seandainya manusia mampu menggapai tingkat ilmu pengetahuan yang

tinggi secara rasional mereka tetap harus menyadari keterbatasan ilmu yang

mereka kuasai (QS. Yusuf: 76; QS. Al-An’am: 80; QS. Al-A’raf: 88; QS. Thaha:

98; QS. At-Thalaq: 12; dan lain-lain). Seseorang yang memegang kekuasaan

harus berhias dengan ilmu (QS. Al-Baqarah: 247).

Dengan demikian jelas bahwa Al-Qur’an memberi kesempatan kepada

manusia, khususnya umat Islam untuk memperoleh pengetahuan. Ia mendorong

mereka mendalaminya, dan meraih kemajuan, menerima perkembangan baru

pengetahuan. Bagaimanapun nasib pribadi, masyarakat di dunia-di akhirat,

diyakini atau tidak, adalah ditentukan oleh ilmu pengetahuan yang mampu mereka

manfaatkan. Wallahu a’lam.

77

Page 14: konsep ibadah

BAB XI

MAKNA ISLAM DALAM AL-QUR'AN

Secara etimologi, Islam berasal dari kata S-L-M yang artinya: aman,

keseluruhan, menyeluruh, perdamaian, keselamatan. “Islam” sendiri disebut 8 kali

dalam Al-Qur’an. Tetapi kata jadian dari “Islam” sangat banyak ditemukan dalam

berbagai bentuknya. Islam berarti menyerahkan diri, tunduk dan patuh. Maka

kemudian kata Islam di dalam Al-Qur’an yang disertai dengan obyek yang harus

di tunduki semua merujuk kepada sikap tunduk, pasrah hanya kepada Allah (QS.

Al-Baqarah: 112, 131; QS. Ali-Imran: 20, 83; QS. An-Naml: 44; dan lain-lain).

Yang penting untuk dibahas adalah pertanyaan apakah yang ditunjuk oleh

kata “Islam” di dalam Al-Qur’an? Islam sendiri artinya adalah kepasrahan kepada

Allah sebagai sebuah sikap keagamaan yang tumbuh dari dalam, bukan paksaan

dari luar. Sikap keagamaan yang datang dari luar hanya akan menghilangkan

kemurnian dan keikhlasan. Inilah makna larangan mengikuti sesuatu yang tidak

dipahami (QS. Al-Isra’: 36)

Sikap pasrah kepada Allah atau Tuhan merupakan tuntutan alami manusia,

dengan demikian agama (ad-din) secara harfiah berarti “kepatuhan”,

“ketundukan”, dan “ketaatan”. Sikap tunduk dan taat itu hanya sah dan tidak lain

adalah sikap pasrah kepada Allah (Islam). Maka tidak ada agama atau tidak ada

agama yang sah kecuali sikap pasrah kepada Allah itu (Islam). QS. Ali-Imran: 19,

85 di bawah ini:

"Sesungguhnya agama di sisi Allah (hanyalah) Islam.."(QS ali Imran: 19)

"Barangsiapa mencari agama selain (agama) islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu), dan diakhirat dia termasuk orang-orang yang rugi." (QS. Ali Imran: 85)

Oleh karena itu, maka semua agama yang benar hakikatnya adalah “islam”

yaitu semua mengajarkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Dalam Al-

78

Page 15: konsep ibadah

Qur’an dapat ditemukan beruangkali penegasan bahwa agama para nabi terdahulu

sebelum Muhammad Saw adalah Islam. Dan atas dasar itu pula, maka agama yang

dibawa oleh Muhammad disebut dengan agama “Islam”, karena ia mengajarkan

secara sengaja dan sadar akan kepatuhan kepada Tuhan. Namun ia bukan satu-

satunya, dalam arti tidak unik dengan sendirinya, melainkan sebagai rangkaian

dari agama-agama “al-Islam” lain yang tampil terdahulu. Dengan perspektif

seperti itu, Al-Qur’an seharusnya dibaca, khususnya kata-kata “Islam”, “muslim”

dan semua derivasinya. Bagaimanapun dapat dipahami bahwa Al-Qur’an

mendukung ide bahwa semua agama (yang benar, yang datang dari Allah)

merupakan “al-Islam”

Adalah tidak mengherankan bila peringatan kepada manusia untuk pasrah

kepada Allah seringkali dikaitkan dengan peringatan bahwa seluruh alam ini

tunduk dan pasrah kepada Allah (bandingkan dengan QS. Ali-Imran: 83).

Nampaknya ini yang dimaksud dengan adanya perjanjian primordial antara Allah

dan anak cucu adam, meski sekarang mereka mungkin tidak menyadarinya.

Perjanjian itu adalah pernyataan Allah: “Bukankah Aku (Tuhan) adalah

Tuhanmu? Mereka menjawab: benar. Kami bersaksi” (QS. Al-A’raf: 172)

Dalam Al-Qur’an, secara literal dituturkan bahwa yang pertama kali

menyadari al-Islam sebagai inti agama langit adalah Nuh as. Dikatakan bahwa

Nuh as mendapat perintah Allah untuk menjadi salah seorang yang Muslim, yakni

berperilaku islam, pasrah kepada Allah dalam menghadapi kaumnya yang

membangkang (QS. Yunus: 71-72)

Pada masa selanjutnya, Ibrahim as juga secara tegas dan kuat mendapatkan

mandat untuk ber-Islam kepada Allah Kemudian agama yang berintikan pasrah

kepada Allah itu diwasiatkan kepada keturunan Ibrahim, yaitu antara lain Nabi

Ya’qub atau Israil (yang berarti hamba Allah) dari jurusan Nabi Ishaq. Wasiat itu

kemudian menjadi dasar agama-agama Israil, yaitu agama Yahudi dan Nasrani:

79

Page 16: konsep ibadah

"Dan Ibrahim telah mewasiatkan keislaman itu kepada anak-anaknyam dan demikian pula Ya'kub. Ibrahim berkata:"Hai anak-anakku, sesungguhnya Allah telah memilih agama (Islam) untuk kamu, maka janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan Muslim." (QS. Al-baqarah: 132)

Dengan tidaklah benar bahwa Ibrahim adalah orang Yahudi atau Nasrani,

melainkan seorang yang pasrah (muslim) kepada Allah swt. Hal ini dikarenakan

Ibrahim jauh sebelumnya telah lahir. Inilah yang dimaksud oleh Allah dalam QS.

Ali-Imran: 65-67, dimana pengakuan kaum Yahudi dan Nasrani bahwa Ibrahim

adalah seorang dari mereka. Bukan, Ibrahim adalah seorang hanif (pencari

kebenaran) dan muslim. Ia bukan orang musyrik.

"Dan tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi, dan tidak pula orang Nasrani, tetapi ia seorang yang lurus (hanif) dan muslim." (QS. Ali Imran: 67)

Sebagaimana ajaran Islam pada Ibrahim, Musa as juga mengakui hal itu.

ini dapat dipahami dari pernyataan Fir’aun dalam keadaan terjepit menjelang

kematiannya bahwa ia percaya kepada tuhannya Bani Israil dan ia mengaku

termasuk orang yang muslim (pasrah) kepada Allah (QS. Yunus: 90).

Hal yang sama berlaku pada Nabi Isa (Yesus), putra Maryam, dimana

beliau datang membawa ajaran pasrah kepada Allah:

"Maka, tatkala Isa merasa (mengetahui) diantara mereka ada yang ingkar, dia berkata: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku ke jalan allah? Hawariyyun (sahabat-sahabat setia) menjawab,"kamilah penolong-penolong (agama) Allah. Kami telah beriman kepada Aalah dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah muslim." (QS. Ali Imran: 52).

Hal yang senada dapat dilacak dalam QS. Al-Madinah: 111

80

Page 17: konsep ibadah

Bagaimana dengan nabi Muhammad saw? QS. Ali-Imran: 20 dapat

dipahami sedemikian rupa:

" Jika mereka mendebat kamu (hai Muhammad) maka katakanlah: “Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku”. Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi: “Apakah kamu juga pasrah (kepada Allah)?” kalau mereka pasrah, maka mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka tugasmu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya”.

Sedangkan manifestasi lahiriah dari sikap Islam itu dapat beraneka ragam,

tergantung zaman dan tempat. Namun dalam keanekaragaman itu semua orang

harus berbakti kepada Allah dengan sikap yang tulus dan dengan rendah hati (QS.

Al-Hajj: 34)

Implikasi yang tampak dari prinsip ini adalah keyakinan akan kesatuan

kenabian sebagai sesuatu yang bersumber dari satu wujud. Hal ini mendorong

untuk selalu mempercayai semua nabi, tanpa membeda-bedakan mereka satu

sama lain (perhatikan dengan seksama QS. Al-Baqarah: 136; QS. Ali Imran: 84).

Berikutnya yang harus ditegaskan adalah bahwa diantara nabi-nabi, utusan Allah

itu ada yang diceritakan dan ada yang tidak diceritakan. Apabila ada indikasi

ajaran yang kokoh dan meyakinkan, maka kepada mereka harus diberikan “rasa”

iman, seperti kepada nabi lainnya. (QS. An-Nisa’: 164; QS. Ghafir: 78)

Dengan demikian sikap pasrah kepada Allah, kesatuan keNabi-an menjadi

dasar apa yang disebut Islam sebagai agama universal. Karena Islam, secara

historis dan sosiologis serta teologis menjadi nama ajaran al-islam yang dibawa

oleh Muhammad saw. Ini disebabkan Islam (“I” besar) mengajarkan sikap al-

islam (pasrah) kepada Allah. Pemahaman yang demikian setidak-tidaknya dapat

dirujukkan pada keterangan Al-Qur’an ketika menjelaskan risalah Muhammad

saw., sebagaimana berikut:

81

Page 18: konsep ibadah

"Dan berjuanglah kamu pada agama Allah dengan sebenar-benar nya. Dia telah memilih kamu dan Dia tidak menjadikan atas kamu kesukaran di dalam agama, yaitu agama bapak kamu Ibrahim. Dia menamakan kamu muslimin dari dahulu dan dalam (al-Quran) ini, supaya rasul-rasul itu menjadi saksi atas kamu dan kamupun menjadi saksi atas manusia." (QS. Al-Hajj: 78)

Dari uraian di atas, umat Islam setidaknya mempersepsi kata 'islam' guna

menunjuk kepada lima macam pengertian:

Pertama, islam berarti kepasrahan dan ketundukan kepada perintah dan hukum

Allah. Makna ketundukan alam raya masuk dalam makna ini.

Kedua, islam bisa diberikan untuk para rasul terdahulu dan mengikuti ajaran

mereka secara benar. Ini misalnya dirujuk dalam QS al-Baqarah: 136 dan

an-Nahl: 36. Ajaran para rasul itu adalah bertauhid dan patuh, tunduk pada

Allah SWT.

Ketiga, Islam sebagai nama agama. Tidak bisa dipungkiri dalam perkembangan

sejarah, memang Islam telah menjadi nama sebuah agama, agama rasul

terakhir. Tetapi ia bukan sekedar nama, tetapi memiliki inti ajaran berserah

diri kepada Allah. Dengan begitu, pengikut Muhammad saw adalah

seorang muslim secara “eksklusif” yang memahami benar apa inti dari

ajaran agamanya yaitu Islam (pasrah). Dan karena kesadaran hakiki itu

umat Islam mempunyai petanda universalisme, yang pada gilirannya

dituntut dan diharuskan mampu memancarkan cahaya kosmopolitan di

tengah umat lain. 'Islam' dalam makna ini sebagiannya mengandung

koreksi atas berbagai penyelewengan praktek keberagamaan dari umat

terdahulu dan biasa dianggap penyempurna agama sebelumnya.

82

Page 19: konsep ibadah

Keempat, Islam sebagai merujuk kepada pendapat atau pandangan ulama atau

sarjana muslim ketika berbicara dengan mengatasnamakan Islam,

meskipun boleh jadi yang dominan adalah pendapat pribadi orang tersebut.

Kelima, sering sekali secara biasa islam diberikan bagi setiap orang yang telah

mengikrarkan syahadat meskipun mereka belum melaksanakan ajaran

Islam (Hidayat, 1998, 74-75).

Dengan demikian spektrum makna Islam pada hakikatnya demikian luas

dan karena perlu bersikap kritis dan hati-hati dalam membawa dan

mengatasnamakan Islam. Dalam konteks inilah pilihan-pilihan menjadi mungkin

dan pluralitas kebenaran menemukan momentumnya.Wallahu a’lam.

83

Page 20: konsep ibadah

BAB XII

KONSEP JENDER DALAM AL-QUR'AN

Pengertian Jender

Kata jender berasal dari bahasa Inggris “Gender” berarti “jenis kelamin”

(M. Echols dan Hasan Shadily, 1983, 265). Dalam Webster’s New World

Dictionary, Jender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan

perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Ada yang memakai istilah

perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial budaya. Jadi, artinya

bernuansa non biologis. Kalau bernuansa biologis biasanya dipakai istilah sex.

Terkait dengan upaya penafsiran Al-Qur’an yang ingin digalakkan dalam

situasi Indonesia ini, perlu dikemukakan salah satu misi ajaran Al-Qur’an adalah

pembebasan wanita dari penindasan. Apalagi di waktu Muhammad saw

berdakwah di awal kerasulannya. Keadaan bangsa Arab dan bangsa-bangsa lain di

dunia masih memposisikan wanita sebagai subordinat kekuasaan laki-laki ini

terkait dengan tuntutan hidup masa itu yang membutuhkan kekuatan untuk

berperang, mencari nafkah dan mempertahankan hidup dari keadaan geografis

arah yang gersang. Islam datang kemudian dengan tawaran pembebasan wanita,

kemerdekaan mereka dari sikap tunduk yang ekstrim kepada struktur yang ada di

atasnya dan tunduk kepada kaum laki-laki di dalam struktur masyarakatnya.

Kelahiran seorang anak perempuan tidak lagi aib bagi keluarganya (baca QS. An-

Nahj: 58)

Identitas jender dalam Al-Qur’an dapat dipahami melalui bentuk dan

simbol jender yang digunakan di dalamnya. Simbol itu antara lain adalah istilah-

istilah untuk membedakan laki-laki dan perempuan. Ada kata ar-rijal, dan an-

nisa, adz-dzakar dan al-untsa, al-mar’ dan al-mar’ah atau identitas status yang

berhubungan dengan jenis kelamin seperti az-zauj dan az-zaujah, al-ab dan al-

umm, al-ibn dan al-bint, al-walid dan al-walidah (sekalipun kata-kata al walid

tidak pernah disebut dalam Al-Qur’an) atau kata ganti (dlamir) dan rujukannya.

Tentang kata sifat yang disandarkan pada mudzakkar dan muannats, jumhur

84

Page 21: konsep ibadah

ulama memandang bahwa khitab seperti itu berarti mencakup laki-laki dan

perempuan, kecuali ada alasan dan dasar lain yang mengecualikan.

Al-Qur’an mengungkapkan perbedaan antara laki-laki dan perempuan,

tetapi masih perlu diteliti apakah ungkapan itu mengacu kepada unsur biologis,

unsur budaya, kedua-duanya atau acuan lain. Ada sejumlah ayat yang

menerangkan aktifitas khas perempuan, seperti siklus menstruasi (QS. Al-

Baqarah: 222); menopause (QS. Ali-Imran: 40); hamil (QS. At-Thalaq: 4);

melahirkan (QS. Ali-Imran: 45); menyusui dan memelihara anak-anak (QS. Al-

Baqarah: 223). Sayangnya kekhususan itu sering disalah artikan untuk

memojokkan peran domestik wanita. Padahal tidak ditemukan ayat yang

menyatakan bahwa fungsi reproduksi menjadi sebab mengapa perempuan menjadi

subordinasi laki-laki. Ini hanya untuk menegaskan bahwa tidak mungkin laki-laki

atau perempuan itu sama dalam segala hal. Ada pembagian tugas yang bersifat

biologis.

Perspektif Al-Qur’an tentang jender tidak sekedar mengatur tentang

keserasian hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari

itu Al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikrokosmos (manusia)

makrokosmos (alam) dan Tuhan. Konsep berpasang-pasang tampak diterapkan

Al-Qur’an untuk seluruh jenis makhluk hidup.

" Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri berpasang-pasangan, dan dari binatang ternak pasang-pasangan pula. Dia mengembangkan kamu padanya." (QS. Asy-Syuro: 11). Lihat pula QS. Thaha: 53.

Secara umum tampaknya Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan

(distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah

pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan

pihak yang lain. Perbedaan tersebut diharapkan menopang obsesi Al-Qur’an;

harmonitas dengan dasar “sakinah mawadah wa rahmah” dilingkungan keluarga

(QS. ar-Rum: 21).

85

Page 22: konsep ibadah

Konsepsi Al-Qur’an tentang relasi jender juga dimaksudkan untuk

mewujudkan maslahah yang merupakan maqashid syari’ah seperti mewujudkan

keadilan dan kebajikan (QS. An-Nahl: 90) keamanan dan ketentraman (QS. An-

Nisa’: 158) dan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.

"Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia, kamu menyuruh berbuat yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar." (QS. Ali-Imran: 110)

Variabel Kesetaraan Jender

Ada beberapa variabel yang digunakan untuk menganalisis prinsip-prinsip

jender dalam Al-Qur’an

Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:

1 Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah

kepada Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam QS. Adz-Dzariyat: (51): 56:

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”

Dalam kapasitas manusia sebagai hamba, tidak ada perbedaan

antara laki-laki dan perempuan. Keduanya mempunyai potensi dan

peluang yang sama untuk menjadi hamba yang ideal. Hamba ideal dalam

Al-Qur’an biasa diistilahkan dengan orang-orang yang bertaqwa

(muttaqun), dan untuk mencapai derajat (muttaqun) ini tidak dikenal

adanya perbedaan jenis kelamin, suku bangsa atau kelompok etnis

tertentu. mengenai hamba yang paling ideal (muttaqun) ini dengan tegas

digambarkan dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat (49): 13.

86

Page 23: konsep ibadah

"Hai sekalian manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih takwa diantara kamu."

Kekhususan-kekhususan yang diperuntukkan kepada laki-laki,

seperti seorang suami setingkat lebih tinggi di atas isteri (QS. Al-

Baqarah: 228); laki-laki pelindung bagi perempuan (QS. An-Nisa’: 34);

menjadi saksi yang efektif (QS. Al-Baqarah: 282); memperoleh bagian

warisan lebih banyak (QS. An-Nisa’: 11) dan diperkenankan berpoligami

bagi mereka yang memenuhi syarat (QS. An-Nisa’: 3) tetapi ini semua

tidak menyebabkan laki-laki menjadi hamba-hamba utama. Kelebihan-

kelebihan tersebut diberikan kepada laki-laki dalam kapasitasnya sebagai

anggota masyarakat yang memiliki peran publik dan sosial lebih ketika

ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan.

Selain itu, dalam kapasitasnya sebagai hamba, laki-laki dan

perempuan masing-masing akan mendapatkan penghargaan dari Tuhan

sesuai dengan kadar pengabdiannya.

"Barangsiapa yang berbuat kebaikan dari laki-laki atau perempuan dan dia mikmin, niscaya Kami menghidupkannya dengan kehidupan yang baik; dan Kami memberi balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan."(QS. An-Nahl: 97).

Memang ada hadis nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim,

Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad bin Hanbal yang seolah-olah

87

Page 24: konsep ibadah

menunjukkan laki-laki memiliki kelebihan dari segi ibadah. Yaitu hadits

yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar yang menggambarkan bahwa

kebanyakan penghuni neraka adalah kaum perempuan, disebabkan oleh

pengingkaran mereka terhadap suami ( ) serta

karena kekurangan akal dan agama ( ) (lihat

misalnya Bukhari dalam Kitab al-Haidl, hadits No. 293, Muslim dalam

kitab al iman, hadits No. 114).

Kata kekurangan akal dan agama dalam hadits ini tidak berarti

perempuan secara potensial tidak mampu menyamai atau melampaui

prestasi kreatifitas akal dan ibadah laki-laki. Hadits ini menggambarkan

keadaan praktis sehari-hari laki-laki dan perempuan di masa Nabi, laki-

laki memperoleh otoritas persaksian, satu berbanding dua dengan

perempuan, karena ketika itu fungsi dan peran publik berada di pundak

laki-laki. Kekurangan agama terjadi pada diri perempuan karena memang

hanya perempuanlah yang menjalani menstruasi. Laki-laki tidak

menjalani siklus menstruasi, karena itu ia tidak boleh meninggalkan

ibadah-ibadah wajib tanpa alasan lain yang dapat dibenarkan. Peniadaan

sejumlah ibadah dalam masa menstruasi, seperti salat dan puasa, adalah

dispensasi khusus bagi perempuan dari Tuhan. Mereka tidak dikenakan

akibat apapun dari Tuhan karena menjalani proses menstruasi.

Kekurangan akal ( ) masih perlu dilacak lebih

lanjut apa sesungguhnya yang dimaksud kata ( )pada masa nabi.

Kalau kekurangan akal dihubungkan dengan kualitas persaksian,

sementara persaksian itu berhubungan dengan faktor budaya, maka bisa

saja dipahami yang dimaksud “kekurangan akal” dalam hadits ini adalah

keterbatasan penggunaan fungsi akal bagi perempuan karena adanya

pembatasan-pembatasan budaya di dalam masyarakat. Jadi sifatnya bukan

permanen atau alamiah. Demikian pula “kekurangan agama”(

) yang dihubungkan halangan perempuan untuk melakukan

sejumlah ibadah karena alasan “tidak bersih” (haid), memerlukan

keterangan lebih lanjut, karena halangan itu bukan kehendak perempuan

88

Page 25: konsep ibadah

tetapi sesuatu yang bersifat alamiah yang mendapatkan dispensasi Tuhan.

Jadi banyaknya perempuan di dalam neraka menurut penglihatan nabi

mungkin saja karena populasi perempuan lebih besar daripada laki-laki,

sehingga proporsional kalau perempuan lebih banyak di dalam neraka

dari pada laki-laki.

2. Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi

Maksud dan tujuan penciptaan manusia di muka bumi ini adalah,

disamping untuk menjadi hamba ('Abid) yang tunduk dan patuh serta

mengabdi kepada Allah swt juga untuk menjadi khalifah di bumi

(khalifah fi al-ardl). Kapasitas manusia sebagai khalifah di bumi,

misalnya ditegaskan di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah: 30

“Ingatlah Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”.

Juga dalam QS. Al-An’am: 165:

“Dan Dialah yang menjadikan kalian penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kalian atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepada kalian. Sesungguhnya Tuhan kalian amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Kata “khalifah” dalam kedua ayat di atas tidak menunjukkan

kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. laki-laki

dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang

akan mempertanggung jawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi,

89

Page 26: konsep ibadah

sebagai mana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba

Allah.

3. Laki-laki dan perempuan menerima perjanjian primordial.

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan

menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui,

menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih

dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya.

"dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menjadikan keturunan Bani Adam dari tulang punggung mereka dan Allah mengambil kesaksian atas diri mereka,"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul, kami menjadi saksi." (QS. Al-A’raf: 172)

Menurut Fakhr al Razi, tidak ada seorangpun anak manusia lahir di

muka bumi ini yang tidak berikrar akan keberadaan Tuhan, dan ikrar

mereka disaksikan oleh para malaikat. Tidak ada seorangpun yang

mengatakan “tidak”. Dalam Islam, tanggung jawab individual dan

kemandirian berlangsung sejak dini, yaitu semenjak dalam kandungan.

Sejak awal sejarah manusia dalam Islam tidak dikenal adanya diskriminsi

jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama menyatakan ikrar

ketuhanannya yang sama.

Rasa percaya diri seorang perempuan dalam Islam mestinya

terbentuk sejak lahir, karena sejak awal tidak pernah diberikan beban

khusus berupa “dosa warisan” seperti yang dikesankan di dalam Yahudi

dan Nashrani. Kedua ajaran ini memberikan citra negatif begitu seseorang

lahir sebagai perempuan, karena jenis kelamin perempuan selalu

dihubungkan dengan drama kosmis, yang mana hawa dianggap terlibat

dalam kasus keluarnya adam dari surga (Kitab Kejadian 3: 12) sebagai

90

Page 27: konsep ibadah

sanksi terhadap kesalahan perempuan itu maka kepadanya dijatuhkan

semacam sanksi (kitab kejadian 3: 16).

Berbeda dengan Al-Qur’an yang mempunyai pandangan lebih

positif terhadap manusia. Al-Qur’an menegaskan bahwa Allah

memuliakan seluruh anak cucu adam (QS. Al-Isara: 70). Kata

dalam ayat tersebut menunjukkan kepada seluruh anak cucu Adam,

tanpa membedakan jenis kelamin, suku bangsa dan warna kulit. Dalam

Al-Qur’an tidak pernah ditemukan satu ayatpun yang menunjukkan

keutamaan seseorang karena faktor jenis kelamin atau karena keturunan

suku bangsa tertentu. kemandirian dan otonomi perempuan dalam tradisi

Islam sejak awal terlihat begitu kuat. Perjanjian, bai’at, sumpah dan nazar

yang dilakukan oleh perempuan mengikat dengan sendirinya

sebagaimana halnya laki-laki. Dalam tradisi Yahudi-Kristen seorang

perempuan hidup di dalam pangkuan ayah, maka perjanjian, sumpah dan

nazarnya dapat digugurkan oleh ayah yang bersangkutan (Kitab Bilangan

30: 5). Sebaliknya jika perempuan hidup di dalam pangkuan suaminya,

maka perjanjian, sumpah dan nazarnya dapat digugurkan oleh suami

(Kitab Bilangan 30: 8).

Di dalam tradisi Islam perempuan mukallaf dapat melakukan

berbagai perjanjian, sumpah dan nazar, baik kepada sesama manusia

maupun kepada Tuhan. Tidak ada suatu kekuatan yang dapat

menggugurkan janji, sumpah dan nazar mereka. (QS. Al-Maidah: 89).

Pernyataan dalam ayat tersebut jelas-jelas sekali berbeda dengan

pernyataan Alkitab yang mengisyaratkan subordinasi perempuan dari

laki-laki, yakni anak perempuan dalam subordinasi dari ayahnya dan

isteri subordinasi dari suaminya. Dalam tradisi Islam, ayah dan suami

juga mempunyai otoritas khusus tetapi tidak sampai mencampuri urusan

komitmen pribadi seseorang perempuan dengan Tuhan-nya. Bahkan

dalam urusan-urusan keduaniaanpun perempuan memperoleh hak-hak

sebagaimana halnya yang diperoleh laki-laki. Dalam suatu ketika nabi

Muhammad didatangi oleh sekelompok perempuan untuk menyatakan

91

Page 28: konsep ibadah

dukungan politik (bai’at), maka peristiwa langka ini menyebabkan

turunnya QS. Al-Mumtahanah: 12.

4. Adam dan Hawa, terlibat secara aktif dalam drama kosmis

Semua ayat yang menceritakan tentang drama kosmis, yakni cerita

tentang keadaan Adam dan pasangannya di surga sampai keluar ke bumi,

selalu menekankan kedua belah pihak secara aktif dengan menggunakan

kata ganti untuk dua orang (huma/ ), yakni kata ganti untuk Adam

dan Hawa, seperti dapat dilihat dalam beberapa kasus berikut ini:

a. Keduanya diciptakan di surga dan memanfaatkan fasilitas surga (QS. Al-

Baqarah: 35)

b. Keduanya mendapat kualitas godaan yang sama dari syaitan (QS. Al-

A’raf: 20)

c. Sama-sama memakan buah khuldi dan keduanya menerima akibat jatuh ke

bumi (QS. Al-A’raf: 22)

d. Sama-sama memohon ampun dan sama-sama diampuni Tuhan (QS. Al-

A’raf: 23)

e. Setelah di bumi keduanya mengembangkan keturunan dan saling

melengkapi dan saling membutuhkan (QS. Al-Baqarah: 187)

Pernyataan-pernyataan Al-Qur’an di atas, agak berbeda dengan

pernyataan-pernyataan dalam Alkitab yang membebankan kesalahan

lebih berat kepada Hawa. Dalam ayat-ayat tersebut diatas, Adam dan

Hawa disebutkan bersama-sama sebagai pelaku dan bertanggung jawab

terhadap drama kosmis tersebut.

5. Laki-laki dan perempuan meraih prestasi

Peluang untuk meraih prestasi maksimum tidak ada pembedaan

antara laki-laki dan perempuan, hal ini ditegaskan secara khusus di dalam

QS. Ali-Imran: 195, an-Nisa’: 124, an-Nahl: 97, Ghafir: 40. Misalnya:

92

Page 29: konsep ibadah

"Dan barangsiapa yang mengerjakan amal salih dari laki-laki atau perempuan sedang dia seorang mukmin, maka mereka akan masuk surga dan mereka tidak akan dianiaya sedikitpun." (QS. An-Nisa: 124)

Ayat-ayat tersebut di atas mengisyaratkan konsep kesetaraan jender

yang ideal dan memberikan ketegasan bahwa prestasi individual, baik

dalam bidang spiritual maupun urusan karier profesional tidak mesti

dimonopoli oleh salah satu jenis kelamin saja. Laki-laki dan perempuan

memperoleh kesempatan yang sama meraih prestasi optimal. Namun

dalam kenyataan masyarakat, konsep ideal ini membutuhkan tahapan dan

sosialisasi, karena masih terdapat sejumlah kendala, terutama kendala

budaya yang sulit diselesaikan.

Salah satu obsesi Al-Qur’an mencakup segala segi kehidupan umat

manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Karena itu Al-Qur’an tidak mentolelir segala bentuk penindasan, baik

berdasarkan kelompok etnis, warna kulit, suku bangsa, dan kepercayaan

maupun yang berdasarkan jenis kelamin. Jika terdapat suatu hasil

pemahaman atau penafsiran yang bersifat menindas atau menyalahi nilai-

nilai luhur kemanusiaan, maka hasil pemahaman dan penafsiran tersebut

terbuka untuk diperdebatkan.

Bagaimana halnya dengan QS an-Nisa’: 34?

"Laki-laki adalah pemimpin atas perempuan karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain, dan dengan sebab sesuatu yang telah mereka (laki-laki) nafkahkan dari harta-hartanya."

Ayat ini jelas menunjukkan bahwa pria menjadi qawwam wanita karena

memiliki keunggulan dan karena memberi nafkah. Bila secara ekonomis, isteri

93

Page 30: konsep ibadah

bisa menghidupi diri dan atau keluarganya atau seorang istri memiliki

kecakapan lebih dari pada suami, maka keunggulan suami menjadi qawwam

itu akan menjadi tereduksi yang melibatkan 2 orang atau lebih dianjurkan

diselesaikan dengan cara musyawarah bukan berdasarkan kesewenang-

wenangan. Dengan demikian yang ada adalah hubungan suami istri yang

saling melindungi dan mendukung bukan menguasai atau mendominasi.

94

Page 31: konsep ibadah

DAFTAR PUSTAKA

‘Aqqad, Abbas Mahmud al-, Filsafat Qur’an, Terj. Tim Pustaka Firdaus, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.

Abdul Baqiy, Muhammad Fuad, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfadz Al-Qur’an, Beirut: Dar al Fikr, 1981.

Asy’ari, Musa, Manusia Pembentuk Kebudayaan Dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: LESFI, 1992.

Ayoub, Mahmoud M. Islam Faith and Practice. Canada: The Open Press Limited, 1989.

Baljon, J.M.S., Tafsir Al-Qur’an Muslim Modern, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991.

Bukhariy, Abu Abd. Allah Muhammad bin Ismail, al-, Shahih al-Bukhari, Beirut: Dar al Fikr, 1981.

Dawam Rahadrjo, M, Ensiklopedi Al-Qur’an Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci, Jakarta: Paramadina, 1996.

Depag, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir Al-Qur’an, 1971.

Fairuzzabadiy, Abu Thahir Muhammad bin Ya’qub, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn Abbas, Jeddah: Al Haramain, t.t.

Farmawiy, Abdul Hayy, al-Bidayat fi al-Tafsir al-Maudlu’iy, Kairo: Al-Hadharah al-“Arabiyah, 1977.

HAMKA, Tafsir al-Azhar, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1985.

Ibn Katsir, Ismail, Tafsir Al-Qur’an al Azhim, Singapura, Sulaiman Muriy, t.t.

Isfahani, AR-Raghib al-, Mufradat Ghorib Al-Qur’an, Mesir: Al-Halabiy, 1961.

Hidayat, Komaruddin, Tragedi Raja Midas Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998.

Maraghi, Ahmad Mustafa al-, Tafsir al Maraghiy, Mesir: Al-Halabiy, 1946.

Muqaddasiy, Zadah Faidl-Allah, Fath ar Rahman, Beirut, 1323 H

95

Page 32: konsep ibadah

Muchtar, Aflatun. Tunduk Kepada Allah Fungsi Dan Peran Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Khazanah Baru, 2000.

Muslim bin Al-Hajjaj, Abu al-Hasan, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, 1992.

Nasarrudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999.

Newfeldt, Victoria (ed.), Webster's New World Dictionary. New York: webster's New World Clevenlamd, 1984.

Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992.

Quraisy Shihab, M, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

--------, Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1992.

Rahman, Fazlur. Major Themes of the Qur'an. Minneapolis & Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980.

--------. Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Annas Mahyuddin, Bandung: Pustaka, 1983.

Ridia, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur’an al Hakim, yang terkenal dengan Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Fikr, t.t

Shobuniy, Moh. Ali ash-, Shofwah at-Tafasir, Kairo: Dar Ash-Shobuniy, t.t.

Suyuti, Jalal ad-Din as-, Al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, Mesir, 1318 H

-------, Lubab an-Nuqul fi Asbab an-Nuzul, Pentj. M. Abd Mujieb AS, Indonesia: Darul Ihya’ t.t.

Syalabiy, Ahmad, Islam Dalam Timbangan, Bandung: Al-Ma’arif, 1982.

Syalthut, Mahmud, Tafsir Al-Qur’an al Karim, Pentj. H.A.A Dahlan, Bandung: Diponegoro, 1989.

Syathi', Aisyah Abdur Rahman Bint asy-, Maqal fi al-Insan Dirasat Qur'aniyyat, Mesir: Dar al-Ma'arif, 1969.

Tim Penyusunan Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.

96

Page 33: konsep ibadah

97