konsentrasi koji (%) 0.5 1 1.5 2 2.5 3 -...

50
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 863 Tabel 1. Kadar Air Tepung Ubi Jalar dengan Variasi Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Koji Waktu Fermentasi Kadar Air Konsentrasi Koji (%) Konsentrasi Koji (%) 0.5 1 1.5 2 2.5 3 12 Jam 10.1230 10.0441 10.0099 9.9857 9.9267 9.4162 24 Jam 10.1068 10.0441 10.0099 9.7755 9.2424 9.0909 36 Jam 10.2539 10.114 9.9934 9.5425 9.3276 9.1288 48 Jam 9.7097 9.3779 9.1484 9.0478 9.0154 8.9686 60 Jam 9.3841 9.2666 9.1837 9.1535 8.9768 8.8563 72 Jam 8.6368 8.2474 8.1524 8.042 7.9723 7.7444 Non Fermentasi 10.4426 Penurunan kadar air disebabkan jaringan sel ubi jalar mengalami perubahan sehingga air yang terdapat di dalam jaringan sel ubi jalar menjadi bebas dan mudah diuapkan pada saat pengeringan. Ketebalan irisan ubi jalar juga sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar air, semakin tipis ketebalan irisan maka area kontak aliran panas semakin luas serta semakin tipis irisan ubi jalar akan mengakibatkan lebih banyak jaringan yang rusak pada ubi jalar yang tadinya menyimpan air dan airpun keluar dari bahan pangan karena wadah penyimpanan telah rusak. Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi Hasil analisis kadar pati dan kadar amilosa tepung ubi jalar setelah fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Data pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan rata-rata persentase kadar pati dan kadar amilosa pada tepung ubi jalar yang telah difermentasi dengan waktu fermentasi dan penambahan koji Bacillus subtilis pada konsentrasi yang berbeda mengalami penurunan kadar pati dan peningkatan kadar amilosa pada ubi jalar yang difermentasi. Pernyataan ini diperkuat berdasarkan hasil analisis regresi linear, yang menunjukkan nilai koefisien r untuk grafik kadar pati terhadap konsentrasi koji mendekati -1 sedangkan untuk grafik kadar amilosa terhadap lama fermentasi mendekati 1. Adanya penurunan kadar pati dikarenakan pati yang terkandung dalam tepung terurai menjadi senyawa sederhana selama fermentasi. Konsentrasi koji yang ditambahkan semakin meningkat mengakibatkan sel dari bakteri Bacillus subtilis juga semakin meningkat, keadaan ini menyebabkan enzim yang dihasilkan semakin banyak untuk merombak komponen- komponen dalam ubi jalar menjadi senyawa yang lebih sederhana. Sedangkan peningkatan jumlah amilosa dapat terjadi dikarenakan akibat putusnya rantai cabang amilopektinpada ikatan α-1,6 glikosidik secara acak dan jumlah rantai cabang amilopektin berkurang sehingga meningkatnya jumlah rantai lurus amilosa sebagai hasil pemutusan ikatan cabang (Zubaidah dkk, 2006).

Upload: truonganh

Post on 01-Aug-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 863

Tabel 1. Kadar Air Tepung Ubi Jalar dengan Variasi Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Koji

Waktu Fermentasi

Kadar Air Konsentrasi Koji (%)

Konsentrasi Koji (%)

0.5 1 1.5 2 2.5 3

12 Jam 10.1230 10.0441 10.0099 9.9857 9.9267 9.4162

24 Jam 10.1068 10.0441 10.0099 9.7755 9.2424 9.0909

36 Jam 10.2539 10.114 9.9934 9.5425 9.3276 9.1288

48 Jam 9.7097 9.3779 9.1484 9.0478 9.0154 8.9686

60 Jam 9.3841 9.2666 9.1837 9.1535 8.9768 8.8563

72 Jam 8.6368 8.2474 8.1524 8.042 7.9723 7.7444

Non Fermentasi 10.4426

Penurunan kadar air disebabkan

jaringan sel ubi jalar mengalami perubahan sehingga air yang terdapat di dalam jaringan sel ubi jalar menjadi bebas dan mudah diuapkan pada saat pengeringan. Ketebalan irisan ubi jalar juga sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar air, semakin tipis ketebalan irisan maka area kontak aliran panas semakin luas serta semakin tipis irisan ubi jalar akan mengakibatkan lebih banyak jaringan yang rusak pada ubi jalar yang tadinya menyimpan air dan airpun keluar dari bahan pangan karena wadah penyimpanan telah rusak. Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi Hasil analisis kadar pati dan kadar amilosa tepung ubi jalar setelah fermentasi dapat dilihat pada Tabel 2 dan Tabel 3. Data pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan rata-rata persentase kadar pati dan kadar amilosa pada tepung ubi jalar yang telah difermentasi dengan waktu fermentasi dan penambahan koji Bacillus subtilis pada konsentrasi yang berbeda mengalami penurunan kadar pati dan peningkatan kadar amilosa pada ubi jalar yang

difermentasi. Pernyataan ini diperkuat berdasarkan hasil analisis regresi linear, yang menunjukkan nilai koefisien r untuk grafik kadar pati terhadap konsentrasi koji mendekati -1 sedangkan untuk grafik kadar amilosa terhadap lama fermentasi mendekati 1.

Adanya penurunan kadar pati dikarenakan pati yang terkandung dalam tepung terurai menjadi senyawa sederhana selama fermentasi. Konsentrasi koji yang ditambahkan semakin meningkat mengakibatkan sel dari bakteri Bacillus subtilis juga semakin meningkat, keadaan ini menyebabkan enzim yang dihasilkan semakin banyak untuk merombak komponen-komponen dalam ubi jalar menjadi senyawa yang lebih sederhana. Sedangkan peningkatan jumlah amilosa dapat terjadi dikarenakan akibat putusnya rantai cabang amilopektinpada ikatan α-1,6 glikosidik secara acak dan jumlah rantai cabang amilopektin berkurang sehingga meningkatnya jumlah rantai lurus amilosa sebagai hasil pemutusan ikatan cabang (Zubaidah dkk, 2006).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”864

Tabel 2. Kadar Pati Tepung Ubi Jalar dengan Variasi Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Koji

Waktu Fermentasi

Kadar Pati Konsentrasi Koji (%)

Konsentrasi Koji (%)

0.5 1 1.5 2 2.5 3

12 43.5093 43.3937 43.3937 43.2024 42.5273 42.3802

24 42.759 42.6447 41.9346 41.6789 41.0037 40.931

36 39.8593 39.1667 38.9264 38.7038 38.3267 37.8242

48 38.8583 37.1488 36.9209 36.6571 36.6243 36.2427

60 38.4213 37.8904 37.4316 36.7228 36.1797 35.8221

72 38.2558 36.5366 36.7278 36.854 36.5366 35.7615

Non Fermentasi

45.3001

Tabel 3. Kadar Amilosa Tepung Ubi Jalar dengan Variasi Waktu Fermentasi dan Konsentrasi

Koji

Kadar Amilosa (%)

Waktu (Jam) Konsentrasi Koji (%)

0.5 1 1.5 2 2.5 3

12 21.4000 23.5800 21.5200 23.0500 23.8600 23.1300

24 23.3300 21.3600 24.7500 24.7700 25.3500 27.2900

36 28.6600 27.9700 28.5000 28.2600 28.3400 28.7800

48 25.2300 29.1000 28.7400 28.1800 27.2100 25.4300

60 26.7600 26.9200 25.1100 28.4600 29.3900 32.0500

72 29.0600 26.8800 27.7700 26.1200 34.8300 26.7200

Non Fermentasi 20.2700

Kadar Protein Ubi Jalar Setelah Fermentasi Hasil analisis kadar air tepung ubi jalar setelah fermentasi dapat dilihat pada Tabel 4.Data pada tabel 4 menunjukkan rata-rata persentase kadar protein tepung ubi jalar

setelah difermentasi semakin meningkat seiring dengan semakin lama waktu fermentasi dan semakin banyaknya konsentrasi koji yang ditambahkan pada proses fermentasi. Pernyataan tersebut diperkuat berdasarkan analisis regresi yang

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 865

menunjukkan nilai koefisien regresi yang mendekati 1, yang artinya menunjukkan semakin banyak konsentrasi koji dan semakin

lama waktu fermentasi maka kadar protein tepung semakin meningkat.

Tabel 4. Kadar Protein Tepung Ubi Jalar dengan Variasi Waktu Fermentasi dan Konsentrasi Koji

Waktu Fermentasi

Kadar Protein Konsentrasi Koji (%)

Konsentrasi Koji (%)

0.5 1 1.5 2 2.5 3

12 Jam 6.6118 6.6056 6.5745 6.4890 6.5869 6.5041

24 Jam 6.7171 6.8981 7.0841 7.2585 7.3571 7.4526

36 Jam 7.0939 7.395 7.4766 7.3536 7.6493 7.5602

48 Jam 7.2448 7.4158 7.6027 7.6782 7.792 7.8544

60 Jam 7.5008 7.5391 7.5814 7.9765 8.1864 8.0101

72 Jam 8.0364 8.3729 8.3963 8.812 8.8038 8.8574

Non Ferm. 2.0845

Peningkatan kadar protein pada tepung ubi jalar ini dapat terjadi akibat dari aktifitas mikroorganisme yang terjadi pada proses fermentasi. Proses fermentasi dapat meningkatkan kandungan energi dan protein, menurunkan kadar sianida dan kandungan serat kasar, serta meningkatkan daya cerna bahan makanan berkualitas rendah. Mikroba yang digunakan dalam proses fermentasi dapat menghasilkan enzim yang akan mendegradasi senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana dan mensintesis protein yang merupakan pengkayaan protein bahan (Darmawan, 2006).

Sifat Amilografi Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Sifat amilografi pati yang terkandung dalam tepung ubi jalar fermentasi diamati menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RPA). Parameter yang diamati meliputi, waktu dan suhu ketika tercapainya gelatinisasi, waktu dan suhu beserta viskositas

puncak, dan viskositas balik. Berdasarkan penelitian Ragaee (2006), pasting properties dari setiap bahan akan berbeda dan dari data viskositas balik dapat diperkirakan kecocokan tepung dalam pembuatan produk mie/roti, bolu, biskuit atau cookies.

Menurut de Man (1980), viskositas berkaitan dengan gelatinisasi dan tingkat hidrasi. Viskositas yang tinggi menunjukkan sifat alir sistem yang rendah sebab air bebas dalam sistem berkurang. Berkurangnya air bebas dalam sistem karena terperangkap dalam granula yang membesar akibat proses gelatinisasi. Dengan kata lain, tingginya viskositas tepung dalam air yang dipanaskan menunjukkan kebutuhan air untuk mencapai tingkat gelatinisasi yang dicapai.

Berdasarkan table 5, dapat dilihat bahwa viskositas balik untuk setiap perlakuan berbeda. Menurut Ragaee (2006), viskositas balik untuk tepung terigu protein tinggi adalah 842 cp, sedangkan viskositas balik untuk tepung terigu protein rendah adalah 1351 cp,

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”866

sehingga perlakuan tepung ubi jalar fermentasi yang mendekati karakteristik tepung terigu protein tinggi adalah perlakuan tepung ubi jalar yang difermentasi dengan koji 3% selama 48 jam (X6Y4) dengan viskositas balik 920 cp. Jika dibandingkan dengan viskositas balik untuk tepung jalar yang tidak difermentasi dengan nilai 100 cp, maka terjadi peningkatan viskositas balik ketika ubi jalar difermentasi.

Viskositas puncak tepung ubi jalar setelah fermentasi (saat granula pecah) lebih tinggi dibanding dengan tepung ubi jalar setelah fermentasi, hal ini menunjukkan kemudahannya mengembang saat dipanaskan. Begitu pula dengan tepung ubi jalar yang difermentasi (perilaku sebelum, saat dan sesudah gelatinisasi) berbeda dengan tepung ubi jalar tanpa fermentasi yang dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Amilografi Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Kode Gelatinisasi Granular Pati Pecah Viskositas (cP)

Waktu (menit)

Suhu (oC)

Waktu (menit)

Suhu (oC)

Viskositas (cP)

50oC (cP)

Balik (cP)

X1Y1 14 80.0 - - - 2255.0 3035.0

X2Y1 14 79.2 - - - 1190.0 1190.0

X3Y1 14 81.0 - - - 2680.0 2680.0

X4Y1 14 83.0 18.0 93.1 2080.0 720.0 720.0

X5Y1 15 83.0 - - - 1455.0 1455.0

X6Y1 14 82.2 - - - 2185.0 2185.0

X1Y2 14 81.6 19.0 94.0 2115.0 2670.0 590.0

X2Y2 14 78.7 - - - 3160.0 3160.0

X3Y2 14 81.2 19.0 93.6 2455.0 1745.0 1745.0

X4Y2 14 79.7 18.0 93.6 2010.0 2385.0 270.0

X5Y2 14 79.8 17.0 93.0 2530.0 1540.0 1540.0

X6Y2 14 79.3 16.0 86.4 4130.0 3120.0 665.0

X1Y3 13 78.4 - - - 2360.0 350.0

X2Y3 13 79.3 - - - 2883.0 353.0

X3Y3 14 79.6 - - - 4320.0 190.0

X4Y3 14 79.4 - - - 3025.0 3025.0

X5Y3 14 81.3 - - - 2870.0 2870.0

X6Y3 14 79.6 - - - 1995.0 1995.0

X1Y4 15 81.3 - - - 1170.0 1170.0

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 867

X2Y4 14 78.9 - - - 4730.0 4730.0

X3Y4 14 79.3 - - - 3460.0 3460.0

X4Y4 14 78.4 - - - 2790.0 2790.0

X5Y4 13 78.7 - - - 1910.0 1910.0

X6Y4 14 81.8 - - - 920.0 920.0

X1Y5 14 78.7 - - - 3205.0 3205.0

X2Y5 14 79.5 - - - 1810.0 1810.0

X3Y5 15 81.7 - - - 2115.0 2115.0

X4Y5 14 80.0 - - - 2565.0 2565.0

X5Y5 13 79.1 18.0 93.8 2370.0 2410.0 40.0

X6Y5 15 80.2 - - - 1160.0 1160.0

X1Y6 15 81.4 - - - 1800.0 1800.0

X2Y6 14 80.0 - - - 1445.0 1445.0

X3Y6 15 79.4 - - - 3045.0 3045.0

X4Y6 14 81.4 - - - 1845.0 1845.0

X5Y6 14 78.9 - - - 1930.0 1930.0

X6Y6 14 81.5 - - - 1880.0 1880.0

Non Fer. 14 82.5 17 93.0 55.0 155.0 100.0

Dalam penelitian Marcon et al,. (2009) pada pati ubi kayu asam, perubahan struktur pati dari α-1,6 menjadi α-1,4 glukosidik akibat hidrolisis parsial saat fermentasi menyebabkan granula pati menjadi lebih mudah menyerap air, mengembang dan pecah saat dipanaskan sehingga tidak memerlukan panas atau energi yang sama dengan tepung tanpa modifikasi untuk mengalami gelatinisasi.

Hasil analisis sifat amilografi ubi jalar yang difermentasi, suhu gelatinisasi awal tepung ubi jalar fermentasi dan saat granula pecah relatif lebih rendah dibandingkan dengan tepung ubi jalar tanpa fermentasi,

demikian pula waktu gelatinisasinya lebih pendek. Konsistensi Gel Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Berdasarkan penelitian Cagampang (1973), konsistensi gel berkorelasi dengan viskositas balik pati pada beras. Beras yang mengandung amilosa tinggi (beras pera), nilai viskositas baliknya di atas 400 B.U memiliki konsistensi gel yang tinggi (27-35 mm), sedangkan beras yang memiliki tekstur nasi yang sedang memiliki nilai viskositas balik antara 0-400 B.U dan memiliki konsistensi gel menengah antara 36-49 mm. Sedangkan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”868

tekstur nasiyang lunak memiliki viskositas balik negatifdan konsistensi gel lebih dari 50 mm.

Hasil penelitian yang dapat dilihat lihat pada tabel 6 menunjukkan selama fermentasi terjadi perubahan konsistensi gel tepung ubi jalar yang dihasilkan. Tepung ubi jalar yang tidak difermentasi memiliki nilai konsistensi

gel yaitu 55 mm. Setelah difermentasi dengan konsentrasi koji dan waktu fermentasi yang bervariasi didapatkan hasil yang menunjukkan tekstur pati sedang. Peningkatan konsentrasi koji dan waktu fermentasi yang semakin lama menyebabkan nilai konsistensi gel meningkat (tekstur lunak).

Tabel 6. Konsistensi Gel Tepung Ubi Jalar Fermentasi

No. Konsistensi Gel Dengan Variasi Waktu Fermentasi (mm)

Waktu Fermentasi Konsentrasi Koji (%)

0,5 1 1,5 2 2,5 3

1 12 Jam 55,0 59,0 50,5 55,0 58,0 56,5

2 24 Jam 57,0 53,5 50,0 49,5 36,0 34,5

3 36 Jam 32,0 34,0 34,0 34,0 33,0 31,0

4 48 Jam 39,0 34,0 34,5 36,0 36,5 38,5

5 60 Jam 36,0 36,5 38,5 33,5 32,0 30,0

6 72 Jam 32,0 35,5 36,5 35,5 29,5 37,5

Tanpa fermentasi 55

KESIMPULAN

Konsentrasi koji Bacillus subtilis dan

lama waktu fermentasi menyebabkan perubahan karakteristik pada tepung ubi jalar fermentasi. Kadar air dan kadar pati menurun seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lamanya waktu fermentasi. Kadar protein dan kadar amilosa meningkat seiring dengan semakin meningkatnya konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lamanya waktu fermentasi. Sifat amilografi beragam untuk setiap perlakuan dalam penelitian. Perlakuan Fermentasi tepung ubi jalar yang menghasilkan karakteristik mendekati tepung terigu protein tinggi adalah tepung ubi jalar yang difermentasi dengan konsentrasi koji 2% dan lama fermentasi 72 jam dengan nilai

kadar air 8,042%, kadar pati 36,854%, kadar amilosa 26,12%, kadar protein 8,812%, viskositas balik 920 cp dan konsistensi gel 35,5 mm.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC.1997. Official Methods of Analysis of

The Association of Analytical Chemists, Washington D.C.

AOAC.2012. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C.

Apriyantono, A., D. Fardiaz,N.L. Puspitasari, dan C.H. Wijaya.1991. Analisis Pangan (Monograf). Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 869

Cagampang, Gloria B., Perez, Consuelo M., Juliano, Bienvenido O.1973. A Gel Consistency Test for eating Quality of Rice. J. Sci. Fd. Agric. 24:1589-1594

De Man, John.1999. Principles of Food Chemistry. USA: Springerlink.

Marcon, M.J.A., D.J. Kurtz, J.C. Raguzzoni, I. Delgadillo, M Maraschin, V. Reginatto and E.R. Amante.2009.Expansion properties of sour cassava starch (povilho azedo): Variables related to its practical application in bakery.

Ragaee, Sanaa dan El-Sayed M. Abdel-Aal.2006. Pasting properties of starch and protein in selected cereals and quality of their food product. Food Chemistry. 95: 9-18.

Subagio, A.2006. Ubi Kayu : Substitusi Berbagai Tepung-Tepungan,Food Review, Februari 2017 : 18-22

Zubaidah, E dan Noviatul, I.2006. Pengaruh Penambahan Kultur (Aspergilus niger, L. Plantanum) dan Lama Fementasi Terhadap Karakteristik Mocaf, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”870

KARAKTERISTIK TEPUNG UBI JALAR YANG DIHASILKAN SECARA FERMENTASI DENGAN WAKTU DAN KONSENTRASI KOJI Aspergillus oryzae YANG

BERBEDA

THE CHARACTERISTICS OF SWEET POTATO FLOUR PRODUCED IN DIFFERENT FERMENTATION TIME AND CONCENTRATION KOJI Aspergillus oryzae

Ira Endah Rohima* dan Hervelly

Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The aims of study were determined fermentation time and Aspergillus oryzae koji concentration on sweet potato flour characteristics. The research was divided into two stages: first stage to produce sweet potato flour non-fermentation and its characterization including content of moisture, starch, protein, amylose content, gel consistency, and pasting properties. Preparation of Aspergillus oryzae koji using pure culture cultivated on rice flour, wheat and sweet potato flour non-fermentation with variation 0.1% until 1,5%. Therefore the number of yeast colonies. The second stage produced sweet potato flour with factor of koji concentration of Aspergillus oryzae included of 0.5% - 3.0% and fermentation time range 12-72 hours. Data analysis was conducted with regression linear to know correlation between factor and responces. The result of first stage study showed that sweet potato flour non-fermentation was containing 10.56, of moisture, 2.08% of protein, 45.30% of starch, 20.27% of amylose, 55.5 mm of gel consistency, and stback viscosity of non-fermentation sweet flour 100 cp. The number of Aspergillus oryzae cells are 5.4x107 CFU/ml. The second stage of research indicated that koji Aspergillus oryzae concentration and fermentation time were correlated with response tests. Keyword : Fermentation, Koji Aspergillus oryzae, Sweet potato

ABSTRAK Penelitian bertujuan menentukan waktu fermentasi dan konsentrasi koji Aspergillus oryzae terhadap karakteristik tepung ubi jalar, dan memanfaatkan ubi jalar secara optimal. Penelitian dibagi dua tahap, tahap 1 pembuatan tepung ubi jalar sebelum fermentasi dan karakterisasi tepung yang dihasilkan : kadar air, kadar pati, kadar protein, kadar amilosa, konsistensi gel, dan pasting properties; pembuatan koji Aspergillus oryzae yang telah dikembangbiakan pada substrat campuran tepung beras, tepung terigu dan tepung ubi jalar tanpa fermentasi dengan variasi 0,1%-1,5% dan dilanjutkan perhitungan jumlah koloni ragi. Tahap 2 produksi tepung ubi jalar secara fermentasi, faktor yang diteliti konsentrasi koji Aspergillus oryzae dengan variasi 0,5%-3,0% dan serta waktu fermentasi dengan variasi 12-72 jam. Analisis data menggunakan metode regresi linier untuk mengetahui korelasi antara faktor yang diteliti terhadap respon yang diuji. Hasil penelitian tahap 1, kadar air 10,56%, kadar protein 2,08%, kadar pati 45,30%, kadar amilosa 20,27%, konsistensi gel sebesar 55,5 mm, dan setback viscosity tepung tanpa fermentasi 100 cp.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 871

Jumlah sel koji Aspergillus oryzae 5,4x107 CFU/ml. Hasil penelitian tahap 2 faktor konsentrasi koji dan lama fermentasi berkorelasi dengan respon yang diuji untuk tepung ubi jalar setelah fermentasi. Kata Kunci : Aspergillus oryzae, Fermentasi, Koji, Ubi Jalar

PENDAHULUAN

Tepung terigu merupakan salah satu bahan pangan yang banyak dibutuhkan oleh konsumen di Indonesia. Hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan tepung terigu oleh konsumen dari tahun ke tahun yang mengakibatkan impor biji gandum dan tepung terigu juga mengalami peningkatan. Salah satu upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap tepung impor dengan mengembangkan penggunaan bahan baku lokal sebagai bahan-bahan substitusi tepung terigu untuk olahan pangan salah satunya adalah ubi jalar. Sejalan dengan perkembangan teknologi saat ini produksi tepung dengan bahan baku umbi-umbian dapat dilakukan dengan cara fermentasi. Fermentasi pada pembuatan mocaf, mikroba yang tumbuh pada permukaan ubi kayu menghasilkan enzim-enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat mendegradasi dinding sel ubi kayu sehingga terjadi liberasi granula pati. Proses liberasi ini akan menyebabkan perubahan karakteristik dari tepung yang dihasilkan berupa naiknya viskositas, kemampuan gelasi, daya rehidrasi, dan kemudahan melarut (Subagio, 2006). Teknik pendekatan memodifikasi tepung ubi jalar ini diharapkan dapat diterapkan pada penelitian yang akan dilakukan. Koji adalah starter untuk fermentasi yang dibuat dari beras dan spora jamur Aspergillus oryzae. Pada dasarnya koji adalah substrat padat yang dibuat untuk menghasilkan enzim, oleh karena itu koji berfungsi sebagai sumber enzim yang mengkatalis dan mendegradasi bahan baku yang kuat untuk produk yang larut dalam substrat untuk pertumbuhan ragi dan bakteri

dalam tahap fermentasi berikutnya (Young dan Wood, 1974). Rahman (1992), menyatakan koji merupakan sumber enzim amilase, protease dan lipase yang diperoleh dengan cara membiakan galur kapang atau mikroorganisme pada beras yang telah dikukus. Koji merupakan komponen yang paling menentukan karena selain digunakan sebagai sumber enzim juga dapat mempengaruhi flvour dari produk. Secara khusus penelitian yang akan dilakukan dalam pengolahan tepung ubi jalar secara fermentasi adalah memodifikasi sifat-sifat alami tepung ubi jalar menggunakan mikroba Aspergillus oryzae yang akan merombak komponen pati di dalam tepung ubi jalar, sehingga sifat-sifat pati akan berubah dari sifat alaminya dan diharapkan penggunaan tepung ubi jalar akan lebih luas lagi dalam pengolahan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan waktu fermentasi dan konsentrasi koji Aspergillus oryzae yang tepat, menganalisis karakteristik tepung ubi jalar yang dihasilkan, meningkatkan dan memanfaatkan ubi jalar secara optimal.

BAHAN DAN METODE Bahan

Bahan-bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah biakan murni Aspergillus oryzae (kultur koleksi laboratorium mikrobiologi, SITH, ITB), ubi jalar varietas sukuh, tepung beras, tepung terigu, alkohol 70%, PDA (Potato Dextrose Agar), air steril, ragi, susu bubuk, methilen blue, indikator phenolpthalien, NaOH 30%, HCl 0,1 N, Na2SO4 anhidrat, Selenium Black, HgO, batu didih, H2SO4 pekat, granul Zn, dan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”872

aquadest, NaOH 0,1 N, KIO3, serbuk KI padat, H2SO4, Na2S2O3 0,1 N, HCL 9,5 N, amilum.

Alat Alat-alat yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah timbangan elektrik (Mettler Toledo PL202-S), autoklaf, tabung reaksi, spatula, gelas kimia, tunnel dryer, nampan bahan ayakan 80 mesh, plastik, inkubator, termometer, lumpang dan alu, pipet tetes, pipet volumetri, pembakaran bunsen, spray, labu Kjeldahl, tang krus, tanur, eksikator, kawat kassa, kaki tiga, timbangan digital, pipa kapiler, kaca arloji, kertas timbang, pipet ukur, gelas ukur, labu takar 100 ml, penangas air, pipet volume, labu Erlenmeyer 250 ml, alat destilasi, kondensor, kertas PH, buret, statif, klem, pipet tetes, dan botol semprot, oven, mixer, spektrofotometer, corong, Broke Field Viskometer, Spektro fotometer. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan meliputi penelitian pendahuluan untuk mendapatkan konsentrasi ubi jalar terbaik untuk pembuatan koji dan penelitian utama untuk melihat hubungan antara konsentrasi koji Aspergillus oryzae dan waktu fermentasi terhadap karakteristik tepung ubi jalar.

Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan pengembangbiakan Aspergillus oryzae di dalam substrat (tepung beras dan tepung terigu), kemudian koji yang dihasilkan digunakan untuk pembuatan koji II dengan substrat yang sama namun ditambahkan tepung ubi jalar nonfermentasi dengan konsentrasi yang berbeda.

Tepung ubi jalar yang ditambahkan pada substrat (tepung beras dan tepung terigu) yaitu dengan konsentrasi 0,1%, 0,2%, 0,3%, 0,4%, 0,5%, 0,6%, 0,7%, 0,8%, 0,9%, 1,0%, 1,1%, 1,2%, 1,3%, 1,4%, dan 1,5%,

selanjutnya dipilih media koji yang ditambahkan tepung ubi jalar dengan respon uji jumlah sel hidup. Jumlah sel hidup yang paling banyak akan digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar fermentasi pada penelitian utama.

Penelitian Utama

Deskripsi percobaan proses pembuatan tepung ubi jalar fermentasi diawali dengan tahap pencucian dan pengupasan ubi jalar. Ubi jalar yang telah dicuci selanjutnya dikupas pada bagian kulit ubi. Setelah dikupas dengan bersih, ubi jalar selanjutnya di iris tipis-tipis dengan menggunakan alat (slicer), kemudian dicampurkan dengan air kedalam sebuah tanki sampai seluruh permukaannya terendam. Irisan ubi jalar yang sudah terendam air kemudian ditambahkan koji Aspergillus oryzae dengan konsentrasi yang terpilih. Konsentrasi koji Aspergillus oryzae yang ditambahkan pada masing-masing tanki ubi jalar yaitu 0,5%, 1,0%, 1,5%, 2,0%, 2,5%, dan 3%. Setelah selesai inokulasi, ubi jalar kemudian difermentasi pada suhu kamar 27°C dengan waktu fermentasi yang digunakan yaitu 12 jam, 24 jam, 36 jam, 48 jam, 60 jam, dan 72 jam. Setelah difermentasi, ubi jalar dicuci, ditiriskan dan dikeringkan menggunakan tunnel dryer dengan suhu pengeringan 40-50°C selama 6-7 jam. Ubi jalar yang sudah kering digiling dan diayak menggunakan ayakan 80 mesh.

Analisis Data

Untuk melihat korelasi antara konsentrasi koji Aspergillus oryzae dan waktu fermentasi terhadap karakteristik tepung ubi jalar, maka data yang diperoleh dari hasil penelitian dianalisis secara statistik menggunakan analisis regresi linear sederhana, dengan variable bebasnya adalah konsentrasi koji Aspergillus oryzae dan waktu fermentasi sedangkan variabel tetap adalah respon analisis. Variabel bebas (X) terdiri dari kosentrasi koji Aspergillus oryzae dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 873

enam taraf, yaitu (a1 : 0,5%, a2: 1,0%, a3 : 1,5%, a4 : 2,0%, a5 : 2,5%, a6 : 3,0%) dan waktu fermentasi dengan enam taraf, yaitu (b1 : 12 jam, b2 : 24 jam, b3 : 36 jam, b4 : 48 jam, b5 : 60 jam dan b6 : 72 jam). Sedangkan variable tidak bebasnya (Y) adalah respon yang diamati pada penelitian ini meliputi Kadar air metode gravimetri (AOAC, 2012), kadar protein metode Kjedhal (AOAC, 2012), kadar pati (AOAC, 1997), kadar amilosa metode spektrofotometri (Apriyantono et al.,1989), pasting properties (amilografi) mengguna-kan Broke Field Viskometer (AOAC, 2012), dan Analisis Konsistensi Gel (Cagampang et al., 1973).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan, penambahan tepung ubi jalar dengan konsentrasi 0,8% merupakan konsentrasi terbaik dengan jumlah sel 5,4x107 sel/ml.

Ubi jalar difermentasi menggunakan konsentrasi koji Aspergillus oryzae yang bervariasi menggunakan metode fermentasi terendam kemudian diinkubasi dengan waktu fermentasi yang bervariasi pula. Setelah akhir waktu fermentasi, ubi jalar dikeringkan, digiling dan diayak kemudian dianalisis sifat kimia dan fisika-kimia, meliputi kadar air, kadar pati, kadar amilosa, kadar protein, sifat amilografi dan konsistensi gel. Kadar air Tepung Ubi Jalar Fermentasi Hasil analisis kadar air tepung ubi jalar setelah difermentasi dapat dilihat pada Tabel 1. Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa rata-rata persentase kadar air tepung ubi jalar yang dibuat secara fermentasi mengalami penurunan seiring bertambah lamanya waktu fermentasi yaitu dari 10,56 % menjadi 7,41%. Hal yang sama juga terjadi penurunan kadar air seiring dengan semakin banyak konsentrasi koji yang ditambahkan pada proses fermentasi.

Tabel 1. Kadar Air Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi Dengan Perlakuan Waktu dan

Konsentrasi yang Bervariasi

Lama Fermentasi (Jam)

Kadar Air Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi (%)

Konsentrasi Koji Aspergillus oryzae

0,5 % 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%

12 10,03 9,99 9,98 9,80 9,78 9,68

24 9,89 9,81 9,49 9,14 9,05 8,99

36 9,26 9,06 8,99 8,87 8,78 8,76

48 8,88 8,60 8,27 8,20 8,11 7,96

60 8,80 8,79 8,63 8,49 8,31 8,10

72 8,69 8,37 8,11 8,06 7.92 7,41

Kadar Air Tepung Ubi Jalar Tanpa Fermentasi 10,56

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”874

Berdasarkan analisis regresi untuk konsentrasi koji dan waktu fermentasi terhadap kadar air didapatkan nilai r mendekati -1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan akan menghasilkan kadar air yang semakin menurun.

Penurunan kadar air disebabkan karena jaringan sel ubi jalar mengalami perubahan sehingga air yang terdapat di dalam jaringan sel ubi jalar menjadi bebas dan mudah diuapkan pada saat pengeringan. Ketebalan irisan ubi jalar juga sangat berpengaruh terhadap penurunan kadar air, semakin tipis ketebalan irisan maka area kontak aliran panas semakin luas serta semakin tipis irisan ubi jalar akan mengakibatkan lebih banyak jaringan yang rusak pada ubi jalar yang tadinya menyimpan air dan airpun keluar dari bahan pangan karena wadah penyimpanan telah rusak.

Kadar Protein Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi Hasil analisis kadar protein tepung ubi jalar setelah difermentasi dapat dilihat pada Tabel 2. Data pada Tabel 2, menunjukkan bahwa rata-rata persentase kadar protein tepung ubi jalar yang dibuat secara fermentasi mengalami peningkatan seiring bertambah lamanya waktu fermentasi yaitu dari 2,20% menjadi 8,85%. Hal yang sama juga terjadi peningkatan kadar protein seiring dengan semakin banyak konsentrasi koji yang ditambahkan pada proses fermentasi. Berdasarkan analisis regresi untuk konsentrasi koji dan waktu fermentasi terhadap kadar protein didapatkan nilai r mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan akan menghasilkan kadar protein yang semakin meningkat.

Tabel 2. Kadar Protein Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi dengan Perlakuan Waktu dan

Konsentrasi yang Bervariasi

Lama Fermentasi (Jam)

Kadar Protein Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi (%)

Konsentrasi Koji Aspergillus oryzae

0,5 % 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%

12 6,53 6,54 6,56 6,59 6,69 6,70

24 6,63 6,78 6,96 6,80 7,09 7,41

36 7,00 7,32 7,40 7,05 7,14 7,49

48 7,16 7,30 7,54 7,94 8,21 8,26

60 7,38 7,41 7,90 8,11 8,37 8,40

72 7,99 8,34 8,37 8,58 8,79 8,85

Kadar Protein Tepung Ubi Jalar Tanpa

Fermentasi 2,20

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 875

Peningkatan kadar protein disebabkan karena aktivitas enzim proteolitik yang dihasilkan oleh Aspergillus oryzae semakin meningkat untuk menguraikan protein menjadi asam-asam amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami peningkatan (Medikasari, 2009). Protein yang meningkat selama proses fermentasi juga dikarenakan adanya pengayaan protein dari sel mikroorganisme. Proses peningkatan kandungan protein karena adanya pembentukan single cell protein atau protein sel tunggal.

Kadar Pati Ubi Jalar Setelah Fermentasi Hasil analisis kadar pati tepung ubi jalar setelah difermentasi dapat dilihat pada Tabel 3. Data pada Tabel 3, menunjukkan bahwa rata-rata persentase kadar pati tepung ubi jalar yang dibuat secara fermentasi mengalami penurunan seiring bertambah lamanya waktu fermentasi yaitu dari 55,83% menjadi 39,56%. Hal yang sama juga terjadi penurunan kadar pati seiring dengan semakin banyak konsentrasi koji yang ditambahkan pada proses fermentasi.

Tabel 3. Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi dengan Perlakuan Waktu dan

Konsentrasi yang Bervariasi

Lama Fermentasi (Jam)

Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi (%)

Konsentrasi Koji Aspergillus oryzae

0,5 % 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%

12 45,37 45,09 44,41 43,94 42,74 42,61

24 44,53 44,41 43,90 43,48 42,52 42,49

36 44,02 43,78 43,28 42,80 42,42 42,10

48 43,36 42,53 42,38 41,59 41,08 40,57

60 43,00 42,17 42,13 42,05 41,45 40,43

72 42,06 41,59 41,14 40,50 40,01 39,56

Kadar Pati Tepung Ubi Jalar Tanpa Fermentasi 55,83

Berdasarkan analisis regresi untuk konsentrasi koji dan waktu fermentasi terhadap kadar pati didapatkan nilai r mendekati -1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan akan menghasilkan kadar pati yang semakin menurun. Penurunan kadar pati terjadi dikarenakan hidrolisis pati oleh enzim amilase yang dihasilkan oleh Aspergillus oryzae

sehingga pati terdegradasi menjadi senyawa yang sederhana. Enzim berperan dalam mengubah pati menjadi glukosa dengan memutuskan ikatan glukosida. Sifat Amilosa Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Hasil analisis kadar amilosa tepung ubi jalar setelah difermentasi dapat dilihat pada Tabel 4. Data pada Tabel 4, menunjukkan bahwa rata-rata persentase kadar amilosa

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”876

tepung ubi jalar yang dibuat secara fermentasi mengalami peningkatan seiring bertambah lamanya waktu fermentasi yaitu dari 20,27% menjadi 25,47%. Hal yang sama juga terjadi peningkatan kadar amilosa seiring dengan semakin banyak konsentrasi koji yang ditambahkan pada proses fermentasi. Berdasarkan analisis regresi untuk konsentrasi

koji dan waktu fermentasi terhadap kadar amilosa didapatkan nilai r mendekati 1. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi koji yang ditambahkan dan semakin lama waktu fermentasi yang dilakukan akan menghasilkan kadar amilosa yang semakin meningkat.

Tabel 4. Kadar Amilosa Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi dengan Perlakuan Waktu dan

Konsentrasi yang Bervariasi

Lama Fermentasi (Jam)

Kadar Amilosa Tepung Ubi Jalar Setelah Fermentasi (%)

Konsentrasi Koji Aspergillus oryzae

0,5 % 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%

12 19,54 19,90 16,88 23,05 25,47 19,26

24 25,75 26,28 25,11 25,35 30,80 27,41

36 23,49 25,67 24,58 22,97 24,14 27,37

48 22,77 25,27 23,17 23,62 23,86 23,09

60 22,20 22,65 23,33 21,68 21,64 19,50

72 24,22 23,33 23,54 25,03 25,67 25,47

Kadar Amilosa Tepung Ubi Jalar Tanpa Fermentasi 20,27

Peningkatan kadar amilosa disebabkan oleh putusnya rantai cabang amilopektin pada ikatan α-1,6 glikosidik dan secara otomatis jumlah rantai cabang amilopektin berkurang dan meningkatnya jumlah rantai lurus amilosa sebagai hasil pemutusan ikatan cabang (Zubaidah, dkk. 2006).

Konsistensi Gel Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Berdasarkan penelitian Cagampang (1973), konsistensi gel berkorelasi dengan viskositas balik pati pada beras. Beras yang mengandung amilosa tinggi (beras pera), nilai viskositas baliknya di atas 400 B.U memiliki

konsistensi gel yang tinggi (27-35 mm), sedangkan beras yang memiliki tekstur nasi yang sedang memiliki nilai viskositas balik antara 0-400 B.U dan memiliki konsistensi gel menengah antara 36-49 mm. Sedangkan tekstur nasi yang lunak memiliki viskositas balik negatif dan konsistensi gel lebih dari 50 mm.

Hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel 5, menunjukkan selama fermentasi terjadi perubahan konsistensi gel tepung ubi jalar yang dihasilkan. Tepung ubi jalar yang tidak difermentasi memiliki nilai konsistensi gel yaitu 55 mm. Setelah difermentasi dengan konsentrasi koji dan waktu fermentasi yang

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 877

bervariasi didapatkan hasil yang menunjukkan tekstur pati sedang. Peningkatan konsentrasi koji dan waktu fermentasi yang semakin lama

menyebabkan nilai konsistensi gel meningkat (tekstur lunak).

Tabel 5. Gel Konsistensi Ubi Jalar Setelah Fermentasi dengan Perlakuan Waktu dan Konsentrasi

yang Bervariasi

Lama Fermentasi (Jam)

Gel Konsistensi (mm)

Konsentrasi Koji Aspergillus oryzae

0,5 % 1,0% 1,5% 2,0% 2,5% 3,0%

12 47,0 45,5 45,5 55,0 31,0 43,5

24 39,0 35,5 36,5 39,5 31,5 37,5

36 48,5 36,0 44,0 45,5 46,0 35,5

48 61,5 35,5 59,5 58,5 59,0 59,0

60 60,0 59,0 58,5 59,0 58,5 56,0

72 50,5 57,5 55,5 37,0 38,5 37,5

Gel Konsistensi Tepung Ubi Jalar Tanpa Fermentasi

55,5

Pada gel yang mengandung amilosa

sekitar 25% akan menghasilkan gel yang keras karena molekul pati membentuk jaringan, sebaliknya pada gel dengan amilosa yang rendah bertekstur lembut dan tidak memiliki jaringan (Copeland, 2009 dalam Indrasari dan Mardiah).

Sifat Amilografi Tepung Ubi Jalar Fermentasi

Sifat amilografi pati yang terkandung dalam tepung ubi jalar fermentasi diamati menggunakan alat Rapid Visco Analyzer (RPA). Parameter yang diamati meliputi, waktu dan suhu ketika tercapainya gelatinisasi, waktu dan suhu beserta viskositas puncak, dan viskositas balik.

Analisis sifat amilografi bertujuan untuk mengetahui karakteristik pati dan viskositasnya. Sifat amilografi berkaitan dengan pengukuran viskositas tepung dengan konsentrasi tertentu selama pemanasan dan

pengadukan. Perbedaan panjang rantai penyusun molekul amilopektin memberikan perbedaan yang signifikan terhadap sifat fisik, fisikokimia dan fungsional bahan. Dari hasil penelitian didapatkan tepung ubi jalar tanpa fermentasi memiliki viskositas balik yang lebih rendah dibandingkan dengan tepung ubi jalar fermentasi dengan perlakuan lama fermentasi dan konsentrasi koji yang bervariasi. Hal ini disebabkan selama fermentasi terjadi hidrolisis amilopektin yang memiliki rantai α-1,6 glukosidik menjadi α-1,4 glukosidik, hal ini menyebabkan granula-granula pati yang banyak mengandung rantai α-1,4 glukosidik lebih mudah menyerap air dan pecah.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada pembuatan tepung ubi jalar secara fermentasi maka diperoleh kesimpulan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”878

bahwa waktu fermentasi dan konsentrasi koji Aspergillus oryzae yang dicobakan pada pembuatan tepung ubi jalar secara fermentasi memberikan korelasi terhadap kadar air, kadar pati, kadar protein, kadar amilosa, gel konsistensi dan sifat amilografi.

Perlakuan fermentasi terhadap irisan ubi jalar menghasilkan karakteristik tepung ubi jalar mendekati tepung terigu protein tinggi, tepung ubi jalar yang difermentasi dengan konsentrasi koji 1% dan waktu fermentasi 72 jam mengandung kadar air 8,37%, kadar pati 41,59%, kadar amilosa 23,33%, kadar protein 8,37%, konsistensi gel 57,5 mm dan viskositas balik 675 cp.

DAFTAR PUSTAKA

AOAC.1997. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C.

AOAC.2012. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C.

Apriyantono, A., D. Fardiaz,N.L. Puspitasari, dan C.H. Wijaya.1991. Analisis Pangan (Monograf). Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, PAU Pangan dan Gizi, IPB.

Cagampang, Gloria B., Perez, Consuelo M., Juliano, Bienvenido O.1973. A Gel Consistency Test for eating Quality of Rice. J. Sci. Fd. Agric. 24:1589-1594.

Copeland, L., J. Blazek., H. Salman dan M. C. Tang. 2009. Form and Functionality of Starch. Food Hydrocolloids 23:1527-1534. Di dalam : Indrasari, S. D. dan Z. Mardiah. Korelasi Amilosa terhadap Konsistensi Gel, Nisbah Penyerapan Air (NPA) dan Nisbah Pengembangan Volume (NPV) pada Beras Varietas Lokal. Balai Besar Penelitisn Tanaman Padi. Sukamandi.

Medikasari.2009. Produksi Tepung Ubi Kayu Berprotein: Suatu kajian Awal Karakteristik Berdasarkan Lama

Fermentasi dan Jumlah Inokulum dengan Menggunakan Ragi Tempe, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Lampung.

Rahman, A. 1992. Teknologi Fermentasi Industrial II. Jakarta. Penerbit Arcan.

Subagio, A. 2006. Industrialisasi Modified Cassava Flour (MOCAF) sebagai Bahan Baku Industri Pangan untuk Menunjang Diversifikasi Pangan Pokok Nasional. Fakultas Teknologi Pertanian. Universitas Jember. Jember.

Zubaidah, E dan Noviatul, I.2006. Pengaruh Penambahan Kultur (Aspergilus niger, L. Plantanum) dan Lama Fementasi Terhadap Karakteristik Mocaf, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya.

.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 879

PRODUKSI SERBUK HIDROLISAT PROTEIN KACANG GUDE Cajanus cajan (L.) SECARA ENZIMATIS SEBAGAI BAHAN BAKU PANGAN FUNGSIONAL PADA

SKALA LABORATORIUM

THE PRODUCTION OF PIGEON PEA CAJANUS CAJAN (L.) PROTEIN HYDROLYZED POWDER ENZYMATICALLY AS FUNCTIONAL INGREDIENT IN LAB SCALE

Retno Windya Kusumaningtyas1*, Fatim lllaningtyas1 , Muhammaludin1 dan Ida Ayu

Laksmi Dewi 2

1Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pangkajian dan Penerapan Teknologi Tangerang Selatan 2Program Studi Farmasi, Fakultas Farmasi, ISTN *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT The hydrolyzed protein is the result of enzymatic protein hydrolysis using protease enzyme to produce peptide with lower molecular weight and free amino acid. The hydrolyzed protein would enhance the functional properties of the protein so that could be developed as a functional food ingredient. The production of Pigeon pea (Cajanus cajan (L) protein hydrolyzate using bromelain enzyme on a lab scale (500 g) was carried out. The soluble protein content during the production process stage was measured using Bradford method. Analysis of peptide profile of hydrolyzate was carried out using SDS Page method. In addition, the emulsion capacity of hydrolyzate, water solubility and its yield after spray drying process were measured. Soluble protein content in fat free Pigeon pea flour was 6,73-8,74 mg.g-1, increased in isolate protein to 10,50-11,21 mg.g-1, and decreased at hydrolysis process 0,25-0,26 mg.g-1material. Pigeon pea protein hydrolyzate powder showed emulsion capacity ranged from 3,65-4,93% and the water solubility was 89,6-90,8%. The production of the Pigeon pea protein hydrolyzate powders has resulted in consistent yield. Keywords : enzymatically, hydrolyzed protein powder, pigeon pea, soluble protein content.

ABSTRAK Hidrolisat protein merupakan hasil hidrolisis protein secara enzimatis menggunakan enzim protease sehingga menghasilkan peptida dengan berat molekulnya lebih rendah dan asam amino bebas. Produk hidrolisat protein akan meningkatkan sifat fungsional protein sehingga dapat dikembangkan sebagai bahan baku pangan fungsional. Penelitian ini bertujuan untuk memproduksi hidrolisat protein kacang gude menggunakan enzim bromelin pada skala lab (500 g). Pengukuran kadar protein terlarut dilakukan dengan metode Bradford selama tahapan proses produksi. Analisis profil peptida hasil hidrolisis dilakukan menggunakan metode SDS Page. Selain itu juga dilakukan pengukuran kapasitas emulsi, kelarutan air dan perolehannya setelah pengeringan serbuk hidrolisat protein dengan metode spray drying. Kadar protein terlarut pada tepung bebas lemak 6,73-8,74 mg.g-1 meningkat pada proses isolasi protein menjadi 10,50-11,21 mg.g-1, dan menurun pada proses hidrolisis 0,25-0,26 mg.g-1 bahan. Hidrolisat protein kacang gude hasil spray drying mempunyai kapasitas emulsi berkisar antara

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”880

3,65-4,93% dengan kelarutan air 89,6-90,8%. Rendemen yang dihasilkan dalam tiap tahapan produksi serbuk hidrolisat protein menunjukkan hasil yang konsisten. Kata kunci : enzimatis, kacang gude, kadar protein terlarut, serbuk hidrolisat protein

PENDAHULUAN

Protein merupakan molekul yang esensial dalam penyusunan struktur maupun proses fungsional tubuh pada seluruh makhluk hidup. Protein terdiri atas rantai asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida sehingga membentuk beragam struktur yang kompleks. Reaksi hidrolisis protein bertujuan untuk mengubah protein menjadi bentuk yang lebih sederhana, yaitu asam amino, nukleotida, dan berbagai ragam peptida melalui pemutusan ikatan peptida, sehingga dapat lebih mudah untuk dimanfaatkan oleh tubuh. Hidrolisis protein dapat dilakukan dengan beberapa metode, yaitu hidrolisis asam, basa dan enzimatis. Setiap protein akan menghasilkan campuran atau proporsi asam amino yang khas setelah reaksi hidrolisis1). Produk akhirnya disebut hidrolisat yang dapat berbentuk cair, pasta atau bubuk bersifat higroskopis2)

Hidrolisat protein mempunyai kelarutan pada air yang tinggi, kapasitas emulsinya baik, kemampuan mengembang besar serta mudah diserap tubuh3). Beberapa penelitian di Jepang telah menggunakan hidrolisat protein, seperti difortifikasikan pada sup, penambah flavor dalam kecap, minuman berprotein tinggi, biskuit, dan saus4). Hidrolisat protein berguna sebagai bahan fortifikasi untuk memperkaya nilai gizi produk makanan suplemen terutama untuk anak-anak dan bahan pengganti albumin telur pada proses pembuatan es krim, agar-agar, serta secara fungsional dapat dikatakan sebagai bahan pengemulsi, pengembang, dan bahan pengisi5).

Indonesia memiliki berbagai jenis sumber protein baik nabati maupun hewani sebagai bahan-bahan untuk produksi hidrolisat protein. Salah satu dari sumber protein nabati yaitu kacang gude yang mengandung protein hingga 22%, lemak, karbohidrat, dan vitamin yang cukup tinggi. Kacang gude dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan tempe, tahu, taoco, kecap, sebagai obat tradisional, dan sebagainya. Kacang gude merupakan alternatif lain yang dapat menggantikan kedelai atau paling tidak dapat mendampingi penggunaan kedelai sebagai bahan pangan. Apabila nilai guna kacang gude lebih dikembangkan, maka sangat mungkin permintaan terhadap kacang gude meningkat dikarenakan harga kacang gude relatif lebih murah dibanding harga kedelai6).

Hidrolisis secara enzimatis telah diketahui memiliki waktu proses lebih lama dan biaya lebih murah tetapi memiliki kualitas produk yang sangat baik dari segi nutrisi dan kemampuan fungsionalnya. Sehingga penggunaan proses enzimatis, yang dipandang lebih sesuai dan lebih murah7),8).

Enzim bromelin merupakan enzim hidrolase yang aktif pada protein. Berdasarkan sumbernya, enzim papain, ficin, dan bromelin merupakan protease asal tanaman; tripsin merupakan enzim protease dari pankreas; pepsin dan renin merupakan protease dari usus/ abomasum. Berdasarkan sifat-sifat kimia dari lokasi aktif, maka enzim bromelin termasuk dalam golongan enzim protease sulfihidril, yang artinya memiliki residu sulfidril (sistenil dan histidil) pada lokasi aktif9).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 881

Pengeringan hidrolisat protein dengan spray dryer dilakukan agar produk tidak banyak mengalami kerusakan mutu bila dibanding dengan pengeringan drum dan harganya relatif terjangkau bila dibandingkan dengan pengering beku dengan kualitas produk yang setara10).

Pada penelitian sebelumnya telah dilakukan seleksi kacang-kacangan dan optimasi proses hidrolisis agar dihasilkan hidrolisat protein dengan sifat fungsional terbaik untuk membantu penyerapan kalsium (penelitian BPPT 2012-2014). Sehingga tujuan penelitian ini adalah melakukan produksi serbuk hidrolisat protein dari kacang-kacangan yang terpilih yaitu kacang gude (Cajanus cajan L.) secara enzimatis pada kondisi optimum dan dikerningkan dengan spray dryer.pada skala laboratorium, dengan memperhatikan. konsistensi hasil pada setiap ulangan perlakuan dalam rangka penyusunan prosedur produksi standar.

BAHAN DAN METODE

Pembuatan Tepung Bebas Lemak

Pembuatan tepung bebas lemak dilakukan menurut metode dalam Budijanto et al (2011)11) dengan modifikasi. Kacang gude (Cajanus cajan L.) disortasi untuk menghilangkan benda asing dan dipilih biji yang tidak kosong, lalu dioven pada suhu 50ºC selama 10 menit. Sebanyak 500 g. kacang gude (Cajanus cajan L.) dihaluskan menggunakan grinder lalu diayak dan ditimbang perolehannya. Untuk penghilangan lemak, tepung gude direndam dengan pelarut organik n-heksana menggunakan perbandingan 1:4 (b/v). Pelarut diganti berulang kali hingga hasil perendaman heksana berwarna bening. Setelah pelarut dibuang, tepung yang masih basah dikeringkan di suhu 45°C. Perolehan tepung bebas lemak dihitung berdasarkan rumus berikut :

( )

Isolasi Protein Kacang Gude (Cajanus cajan L.)

Pembuatan isolat protein dilakukan menurut metode dalam Budijanto et al (2011)11) dengan modifikasi. Tepung bebas lemak ditambahkan dengan buffer Tris 1M pH 8,5 dengan perbandingan 1:5 (b/v) lalu diaduk selama 4 jam. Setelah pengadukan berakhir, disentrifugasi pada 9000 g selama 30 menit. Filtrat yang diperoleh ditambahkan dengan 80% (NH4)2SO4 jenuh secara perlahan-lahan selama 4 jam pada suhu dingin yang tidak lebih dari 8°C(38). Endapan yang terjadi merupakan isolat protein, dipisahkan dengan sentrifugasi pada 9000 g selama 30 menit.

Rendemen isolat dihitung dengan rumus berikut:

( )

Proses Hidrolisis Protein

Proses hidrolisis protein dilakukan berdasarkan metode Widadi (2011)2) yang dimodifikasi. Enzim bromelin yang digunakan dalam bentuk serbuk dengan aktivitas 1878 U. Dimana 1 U enzim adalah jumlah enzim yang dibutuhkan untuk menghidrolisis 1µmol substrat per menit. Sebanyak 10 g isolat protein dengan kadar protein 36% dilarutkan dalam 500 mL larutan buffer fosfat pH 6,5. Enzim yang dibutuhkan dihitung dengan persamaan berikut :

( )

Sebanyak 2,3 g enzim bromelin ditambahkan ke dalam 2% larutan isolat dalam buffer fosfat pH 6,5, diinkubasi selama 5 jam pada suhu 45°C. Reaksi hidrolisis enzim diinaktivasi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”882

dengan penambahan asam asetat hingga pH 3, kemudian dipanaskan pada waterbath 95°C selama 5 menit. Setelah setrifugasi pada 13.000 rpm selama 15 menit diperoleh filtrat yang merupakan hidrolisat protein berbentuk cair. Volume hidrolisat yang diperoleh diukur menggunakan gelas ukur.

Pengeringan Hidrolisat Protein dengan Spray Drying

Hidrolisat cair dikeringkan dengan spray drying tipe Co-current flow. Hidrolisat sebanyak 400 mL ditambahkan dengan 20% maltodekstrin dan dihomogenkan dengan homogenizer. Adapun kondisi proses, tekanan udara kompresor=1,4 kg.cm-3, pompa umpan (feeding pump rate)=3,5, suhu inlet= 160°C. Hasil pengeringan ditampung dalam botol dan dipindahkan segera ke wadah kedap udara karena serbuk yang diperoleh bersifat higroskopis. Rendemen dihitung dengan rumus berikut :

( )

Penentuan Kadar Protein Larut

Kadar protein larut diukur secara spektrofotometri dengan menggunakan metode Bradford (1976)12).

Larutan stok Bovine Serum Albumin dibuat pada konsentrasi 2 mg.mL-1. Larutan standar BSA dibuat dengan cara mengencerkan stok BSA menjadi konsentrasi tertentu, yaitu 50 μg.mL-1 hingga 500 μg.mL-

1. Sebanyak 10µL larutan sampel atau

larutan standar dimasukkan ke dalam mikroplate 96 well dengan 3 kali pengulangan (triplo). Sebagai blanko digunakan buffer fosfat pH 7+EDTA dengan 3 kali pengulangan.

Masing-masing sampel ditambahkan dengan 250 μL reagen Bradford, lalu diinkubasi selama 5 menit untuk mereaksikan

reagen dengan sampel. Pembacaan absorbansi pada panjang gelombang 595 nm dan 450 nm dilakukan dengan menggunakan Elisa reader. Kadar protein larut dihitung dari persamaan regresi linier y = ax +b yang diperoleh dari grafik hubungan antara faktor pengenceran (sumbu x) terhadap nilai absorbansi (sumbu y).

Pengukuran Kelarutan dalam Air

Kelarutan dalam air ditentukan berdasar metode Anderson (1969)13) dengan modifikasi. Sebanyak 1 g sampel disuspensikan ke dalam 10 mL akuades pada suhu ruang. Setelah diaduk dengan stirer selama 30 menit lalu disentrifugasi pada 3000 rpm selama 10 menit. Supernatan cair dipindahkan ke labu evaporasi, lalu dievaporasi hingga kering. Indeks kelarutan dalam air dihitung sebagai persentase dari padatan kering terhadap berat sampel.

Pengukuran Kapasitas Emulsi

Kapasitas emulsi diukur berdasar metode Andualem et al (2013)15) yang dimodifikasi. Sebanyak 1 g sampel yang dilarutkan dalam 100 mL akuades. Sebanyak 5 mL sampel ditambahkan dengan 5 mL minyak jagung. Setelah campuran divortex selama 5 menit kemudian disentrifugasi pada 1500 rpm selama 5 menit. Setelah pemanasan pada suhu 80°C selama 30 menit, campuran disentrifugasi kembali pada 1500 rpm selama 5 menit. Kapasitas emulsi merupakan persentase tinggi emulsi yang dihasilkan terhadap tinggi total dari campuran larutan tersebut.

Analisis Profil Peptida Analisis profil peptida dlakukan dengan

gel elektrophoresis menurut metode Westermeier (2005)14).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 883

Sampel yang dianalisis terdiri dari isolat, hidrolisat dan serbuk hidrolisat hasil spray drying. Masing-masing sampel harus diketahui kadar proteinnya terlebih dahulu untuk menentukan konsentrasi injeksi yang

diperlukan. Sebagai baku standar digunakan LMW (low molecular weight).

Gel elektroforesis SDS-PAGE dibuat dengan stacking gel 4% dan resolving gel 12,5% dengan formulasi seperti pada tabel 1.

Tabel 1 Formula Gel Elektroforesis

Gel Acrylamid /bis (μl)

Gel buffer* (μl)

Aq. demin (μl)

10% SDS (μl) Temed (μl) 10% APS (μl)

4% 260 500 1195 20 10 15

12,5% 2080 1250 1580 50 15 25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen Tepung Bebas Lemak Kacang Gude (Cajanus cajan L.)

Pembuatan tepung kacang gude bebas lemak melalui proses ekstraksi dimaksudkan untuk menurunkan kadar lemak dan meningkatkan fraksi proteinnya. Kacang gude dalam bentuk tepung akan memudahkan proses ekstraksi lemak karena luas permukaan kacang yang kontak dengan pelarut lebih luas, dibandingkan masih dalam bentuk biji.

Ukuran bahan yang tepat akan menjadikan proses ekstraksi lemak efisien. Apabila ukuran bahan terlalu halus, bahan akan menggumpal sehingga sulit ditembus pelarut, sebaliknya jika ukuran bahan terlalu

besar, proses ekstraksi akan berlangsung lama 11).

Hasil perolehan tepung kacang gude dari bahan baku berkisar antara 461-490 g (Tabel 2) yaitu dengan perolehan rendemen yaitu 92,2-98%. Pada ketiga pengulangan ini dapat dilihat bahwa perolehan rendemen dapat dikatakan cukup konsisten. Dalam proses pengolahan kacang gude menjadi tepung kacang gude, banyak terjadi susut bobot. Pada proses awal penghalusan biji dengan grinder, bobot tepung berkurang akibat tepung mengalami pelayangan dan menempel pada mesin. Selain itu susut bobot juga diakibatkan oleh adanya tepung kacang gude yang tidak lolos saat pengayakan.

Tabel 2. Rendemen Tepung Kacang Gude Bebas Lemak

Pengulangan Berat Awal (g)

Hasil grinder dengan kulit (g)

Rendemen (%)

Tepung bebas lemak (g)

Rendemen (%)

1 500 461 92,2 446 89,2

2 500 490 98 480 96

3 500 471 94,2 468 93,6

Pada proses ekstraksi lemak kacang gude dengan pelarut heksana telah terjadi interaksi antara bahan baku yang mengandung partikel yang diinginkan dengan pelarut. Dimana pelarut akan masuk ke dalam bahan

baku, lalu terjadi pemecahan komponen yang akan diekstrak dan perpindahan partikel yang diekstrak ke bagian luar matriks bahan baku, serta perpindahan partikel terekstrak dari permukaan terluar bahan baku ke dalam

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”884

pelarut yang dipakai16). Proses ekstraksi akan mengakibatkan heksana akan berubah warna dari kuning menjadi bening, dimana pelarut menjadi jenuh dan tidak mampu lagi menarik lemak16).

Pada Tabel 2 nampak bahwa perolehan bobot tepung bebas lemak berkisar antara 446-480 g, atau sekitar 89,2 - 96%. Susut bobot yang terjadi diduga disebabkan saat proses ekstraksi harus diulang 3-4 kali, sehingga ada tepung yang ikut terbuang saat pembuangan pelarut n-heksana. Selain itu saat

pengeringan dengan oven, ada tepung yang tertinggal pada wadah tempat pengeringan.

Kendati terjadi susut bobot tepung bebas lemak, tetapi ketiga pengulangan ini tetap menunjukkan perolehan hasil yang cukup konsisten. Rendemen Isolat Protein Kacang Gude (Cajanus cajan L.)

Pada tabel 3 tercantum bahwa rendemen isolat protein kacang gude yang berupa endapan berkisar 16,42–22,02 % dari bobot tepung bebas lemak yang digunakan.

Tabel 3. Rendemen Isolat Protein Kacang Gude Solo

Pengulangan Tepung bebas lemak (g) Perolehan Isolat (g) Rendemen (%)

1 446 73,27 16,42

2 480 105,71 22,02

3 468 82,82 17,69

Pada pembuatan isolat, bahan yang

digunakan adalah tepung bebas lemak dengan penambahan buffer tris base 1M pada pH 8,5. Proses ekstraksi dilakukan pada suasana basa berdasarkan pada kenyataan bahwa sebagian besar asam amino akan bermuatan negatif pada pH diatas titik isoelektriknya, dimana muatan yang sejenis akan cenderung untuk tolak menolak, hal ini menyebabkan minimumnya interaksi antara residu asam amino, yang berarti kelarutan protein akan meningkat18).

Pengadukan tepung bebas lemak dalam buffer tris selama 4 jam menghasilkan larutan keruh yang selanjutnya akan dipisahkan antara protein dan residunya dengan cara sentrifugasi. Selanjutnya, dilakukan penambahan amonium sulfat 80% pada supernatan yang dihasilkan. Penambahan dengan amonium sulfat ini dilakukan pada suhu dingin yaitu 8ºC karena protein adalah molekul termolabil 17)

Penambahan amonium sulfat 80% lebih dikenal dengan metode salting out. Metode salting out didasarkan pada prinsip bahwa protein kurang terlarut ketika berada pada daerah yang konsentrasi kadar garamnya tinggi. Konsentrasi garam dibutuhkan oleh protein untuk mempercepat keluarnya larutan yang berbeda dari protein satu ke protein yang lainnya. Pengaruh penambahan garam terhadap kelarutan protein berbeda-beda, tergantung pada konsentrasi dan jumlah muatan ionnya dalam larutan. Semakin tinggi konsentrasi dan jumlah muatan ionnya, semakin efektif garam dalam mengendapkan protein18).

Hidrolisat Protein Kacang Gude (Cajanus cajan L.)

Berdasarkan tabel 4 nampak volume hidrolisat cair hasil proses hidrolisis secara enzimatis yaitu sekitar 500 – 515 ml. Hasil

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 885

dari masing-masing pengulangan produksi hidrolisat cukup konsistens. Penurunan volume sebelum dan setelah sentrifugasi ini

karena adanya endapan sehingga mengalami penurunan volume hidrolisat cair.

Tabel 4. Volume Hidrolisat Protein Kacang Gude

Pengulangan Volume Sebelum disentrifugasi (mL) Volume Hidrolisat (mL)

1 523,3 500

2 518,8 500

3 538 515

Pada proses hidrolisis enzimatis, isolat

protein akan diubah menjadi produk hidrolisat. Penambahan buffer fosfat pH 6,5 ditujukan agar pH dapat stabil selama proses hidrolisis protein, selain itu juga mempermudah homogenisasi antara enzim dan substrat yang tersedia, yang berpengaruh terhadap laju reaksi enzimatik. Proses hidrolisis protein kacang gude, dilakukan pada suhu 45ºC yang merupakan suhu optimal enzim bromelin dan selama 5 jam. Pemilihan waktu reaksi ini berdasarkan hasil optimasi penelitian yang sebelumya (data penelitian BPPT tidak tercantum). Semakin lama waktu inkubasi akan memberikan kesempatan enzim melakukan hidrolisis protein semakin lama sehingga semakin banyak protein yang terhidrolisis menjadi asam amino19). Pada proses hidrolisis kecepatan aktivitas katalitik enzim semakin naik dan akhirnya akan mencapai suatu batas maksimum dan setelah batas ini terlampaui, kecepatan reaksi tetap meningkat tapi dengan nilai yang semakin kecil. Pada kondisi tersebut enzim menjadi jenuh oleh subsratnya dan tidak dapat berfungsi lebih cepat17).

Proses inaktivasi enzim dilakukan dengan penambahan asam asetat hingga menjadi pH 3 dan dimasukkan ke dalam waterbath selama 5 menit pada suhu 95ºC. Inaktivasi enzim untuk menghentikan proses hidrolisis enzim bromelin dan penambahan pemanasan agar memastikan enzim benar-benar berhenti melakukan hidrolisis. Hal ini seperti yang dilaporkan pada penelitian BPPT sebelumnya bahwa dengan penurunan pH reaksi saja masih terjadi proses hidrolisis walaupun lambat (data tidak dicantumkan). Hasil hidrolisis protein secara enzimatis berupa suatu hidrolisat cair yang mengandung peptida dengan berat molekulnya lebih rendah dan asam amino bebas. Rendemen Serbuk Hidrolisat Protein Kacang Gude (Cajanus cajan L.) Hasil Spray Drying

Perolehan serbuk hidrolisat cair yang dikeringkan dengan menggunakan teknik spray drying seperti tercantum pada tabel 5. Hasil spray drying diperoleh rendemen berkisar 9,14-9,77%, pengulangan ketiganya menunjukkan rendemen hasil yang tidak berbeda jauh.

Tabel 5. Rendemen Serbuk Hidrolisat Protein Hasil Spray Drying

Pengulangan Tepung Bebas Lemak (g) Serbuk Hidrolisat (g) Rendemen (%)

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”886

1 446 43,6 9,77

2 480 45,6 9,5

3 468 42,8 9,14

Pengeringan hidrolisat cair dengan

spray drying merupakan salah satu cara untuk memperpanjang umur simpan hidrolisat, melindungi senyawa bioaktif dari kerusakan, dan dapat menghemat ruang simpan. Meski spray drying menggunakan suhu tinggi, kerusakan protein akibat panas menjadi minimal karena terjadi pendinginan evaporatif yang berasal dari air yang menguap dari bahan yang dikeringkan. Sehingga spray drying merupakan alternatif terbaik dengan kelebihan laju kecepatan pengeringan yang tinggi, rentang yang besar untuk temperatur operasi, dan waktu tinggal yang singkat. Teknik ini mampu menghasilkan produk yang bermutu tinggi, berkualitas serta tingkat kerusakan gizi yang rendah. Selain itu perubahan warna, bau dan rasa dapat diminimalisir20).

Proses pengeringan ini dimulai dengan enkapsulasi hidrolisat melalui penambahan maltodekstrin sebanyak 20%, dimana juga dapat meningkatkan total padatan terlarut yang diperlukan pada proses spray drying (± 30%). Maltodekstrin adalah bahan yang sering digunakan dalam pembuatan makanan yang dikeringkan karena selain bahan pengisi, meltodektrin memiliki beberapa kelebihan antara lain tidak manis dan mudah larut dalam air21). Penambahan maltodekstrin dapat mengikat air dan menjaga berat molekul

dalam produk sehingga bermanfaat untuk menjaga produk.

Enkapsulasi merupakan teknik melindungi suatu material yang dapat berupa komponen bioaktif berbentuk cair, padat, atau gas menggunakan penyalut yang membentuk lapisan kompleks yang menyelimuti inti. Melalui teknik enkapsulasi, inti yang berada di dalam kapsul akan terhindar dari pengaruh lingkungan yang merugikan seperti kerusakan-kerusakan akibat oksidasi, hidrolisis, penguapan, atau degradasi oleh panas17). Dengan demikian, bahan tersebut akan memiliki umur simpan lebih panjang serta mempunyai stabilitas proses yang lebih baik dan dapat terlepas pada kondisi tertentu saat akan digunakan. Selain itu metode enkapsulasi dapat digunakan untuk menghindari rasa, bau, serta tekstur yang kurang menyenangkan dari bahan. Kadar Protein Larut (Soluble Protein Content)

Hasil pengukuran kadar protein terlarut pada tepung bebas lemak, isolat protein, dan serbuk hidrolisat hasil spray drying dengan menggunakan metode Bradford seperti tercantum pada tabel 6. Kadar protein pada tepung bebas lemak berkisar antara 6,73 - 8,74 mg.g-1 bahan, pada isolat berkisar 10,50-11,21 mg.g-1 bahan dan kadar protein terlarut hidrolisat berkisar 0,25-0,26 mg.g-1 bahan.

Tabel 6. Kadar Protein Terlarut pada Tepung Bebas Lemak, Isolat Protein dan Serbuk Hidrolisat

Protein Kacang Gude Solo

Pengulangan Tepung Bebas Isolat Protein Serbuk Hidrolisat

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 887

Lemak (mg.g-1) (mg.g-1) (mg.g-1)

1 7,88 10,50 0,26

2 6,73 11,21 0,26

3 8,74 10,66 0,25

Kadar protein terlarut tepung bebas

lemak lebih kecil dibanding dengan isolat protein diduga karena minimumnya interaksi antara residu asam amino pada proses isolasi akibat sebagian besar asam amino bermuatan negatif pada pH di atas titik isoelektriknya, sehingga muatan sejenis akan cenderung tolak menolak. Pada proses hidrolisis terjadi penurunan kadar protein terlarut, hal ini berarti telah terjadi proses hidrolisis protein menjadi asam amino. Hidrolisis pada protein akan menguraikan protein menjadi asam amino penyusunnya22). Adanya perbedaan diantara hasil ulangan kadar protein ini diduga disebabkan pengaruh bahan baku atau tahapan proses pembuatan isolat yang kurang teliti.

Karakterisasi Sifat Fisik Serbuk Hidrolisat Protein Kacang Gude (Cajanus cajan L.)

Pengujian karakteristik sifat fisik serbuk hidrolisat kacang gude (Cajanus cajan L.) merupakan pengujian yang berkaitan dengan mutu bahan pangan karena dapat digunakan sebagai informasi dasar dalam menentukan aplikasi yang tepat bagi hidrolisat protein yang dihasilkan sebagai bahan baku pangan fungsional. Sifat fisik yang diamati meliputi indeks kelarutan air dan kapasitas emulsi.

Kelarutan air pada serbuk hidrolisat protein kacang gude berkisar 89,5–90,8%. (Tabel 7). Hal ini meunjukkan bahwa serbuk hidrolisat protein kacang gude mempunyai tingkat kelarutan yang tinggi. Hal ini diduga disebabkan hidrolisat cair memiliki sifat mudah larut serta adanya penambahan maltodekstrin yang memiliki daya larut tinggi23).

Tabel 7 Kadar N-Total Tepung Bebas Lemak, Isolat Protein, dan Serbuk Hidrolisat Protein

Kacang Gude Solo

Pengulangan Bahan baku kacang gude (%)

Tepung Bebas Lemak (%)

Isolat Protein (%)

Serbuk hidrolisat

1 21,07 20,69 36,77 6,26

2 20,77 20,44 34,08 5,83

3 25,13 21,25 36,21 5,19

Kelarutan adalah kuantitas maksimal

suatu zat terlarut (solut) untuk dapat larut pada pelarut tertentu membentuk larutan homogen. Kemampuan protein untuk mengikat air sangat penting dalam formulasi makanan. Daya kelarutan yang tinggi

merupakan sifat yang diharapkan dari produk instan yang dikonsumsi dalam bentuk seduhan. Sehingga serbuk hidrolisat protein kacang gude sesuai untuk diaplikasikan dalam produk makanan bayi, bubuk instan, cake mixer, dan puding24).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”888

Sifat emulsifikasi dikaitkan dengan kemampuan menjembatani air dan lemak akibat kepemilikan area hidrofobik dan hidrofilik protein. Kapasitas emulsi adalah kemampuan protein mengambil bagian dalam pembentukan emulsi dan dalam menstabilkan emulsi yang baru terbentuk dengan cara mengurangi tegangan permukaan dan tolakan elektrostatik droplet minyak, sementara beberapa jenis polisakarida dapat menstabilkan emulsi dengan meningkatkan viskositas sistem24). Pada penelitian ini ditunjukkan bahwa serbuk hidrolisat protein kacang gude memiliki kapasitas emulsi sebesar 3,6–4,9% (Tabel 7). Nilai ini sangat rendah apabila dibandingkan dengan kapasitas dan stabilitas emulsi tepung terigu yaitu 30%; tepung biji star apple Afrika yaitu 5,8% serta tepung cowpea yaitu 52% 25),26).

Tipe protein yang terkandung dalam serbuk hidrolisat dapat menjadi faktor yang mempengaruhi sifat emulsi serbuk hidrolisat protein kacang gude. Untuk memproduksi emulsi yang stabil, harus dipilih protein larut, memiliki grup bermuatan, dan memiliki kemampuan untuk membentuk film kohesif yang kuat. Protein larut merupakan sisi aktif yang mendorong terbentuknya formasi emulsi minyak dalam air27). Berdasarkan penentuan kadar protein larut pada serbuk hidrolisat protein kacang gude berkisar 0,25-0,26 mg.g-1 yang diketahui memang rendah sehingga dapat mempengaruhi tingkat emulsi yang dapat terbentuk.

Selain itu pH dapat mempengaruhi kelarutan protein di dalamnya. Penelitian Ahmed et al 26) menyatakan bahwa aktivitas emulsi pada beberapa tepung polong-polongan bisa lebih tinggi pada pH alkali dibanding pH asam, dengan pH maksimum 8.0 Hal ini disebabkan meningkatnya interaksi

protein yang menurunkan hidrofobisitas permukaan serta muatan dan kelarutan protein. Sementara itu pH serbuk hidrolisat protein kacang gude hasil spray drying termasuk asam karena pada proses hidrolisis protein dilakukan penambahan asam asetat hingga pH berkisar antara 3,0-3,2.

Kapasitas emulsi pada serbuk hidrolisat digunakan untuk mengetahui aplikasinya pada produk yang membutuhkan fraksi air-minyak, misalnya pada produk susu.

Analisis Profil Peptida

Profil peptida dianalisis dengan metode SDS-PAGE (Sodium Dodecyl Sulfate–Polyacrilamide Gel Electrophoresis) dengan sampel isolat protein, hidrolisat cair dan serbuk hidrolisat protein kacang gude. Pada gambar 1 nampak bahwa pada isolat protein belum terjadi pemotongan protein sehingga terlihat masih banyak pita protein/peptida dan terlihat tebal. Bila dibandingkan dengan hidrolisat dan serbuk hidrolisat, pita yang tampak lebih tipis dibanding dengan isolat protein.

Gambar 1 Profil peptida dari isolat, hidrolisat dan serbuk hidrolisat protein kacang gude

Hidrolisat protein hanya menunjukkan

satu pita, diduga hal ini karena telah terjadi

pemotongan rantai peptida yang menghasilkan peptida dengan bobot molekul rendah, yaitu pada kisaran 25 kDa. Hal tersebut menunjukan bahwa proses hidrolisis

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 889

enzim bromelin telah berlangsung dengan baik dimana pita protein sudah berkurang lebih banyak jika dibandingkan dengan isolat proteinnya, tetapi perlu dilakukan pengujian lebih lanjut untuk mengetahui sifat fungsional dari peptida yang dihasilkan.

KESIMPULAN

Proses produksi hidrolisat protein

secara enzimatis telah menyebabkan terjadinya perubahan kadar protein produk. Konsistensi hasil pada setiap ulangan perlakuan menjadi informasi penting dalam menyusun prosedur produksi standar. Hidrolisat protein kacang gude yang dihasilkan memiliki peptida dengan berat molekul rendah. Peptida ini selanjutnya perlu diisolasi dan diuji sifat fungsionalnya. Karakteristik fisik hidrolisat dapat memberi gambaran aplikasi produk yang sesuai sebagai bahan baku produk makanan.

DAFTAR PUSTAKA.

Ahmed SH, IAM Ahmed, MM Eltayeb, SO

Ahmed, dan EE Babiker. 2011. Functional Properties of Selected Legumes Flour as Influenced by pH. J of Agricultural Technology 7(5): 1291-1302.

Akubor PI, Y Danladi, dan OJ Ejike. 2013. Proximate Composition and Some Functional Properties of Flour from The Kernel of African Star Apple (Chrysophyllual albidum). International J of Agricultural Policy and Research 1(3): 62-66.

Anderson R. A, Conway H. F., Pfeifer V. F., and Griffin E. L., Jr.1969. Roll and

Extrusion·Cooling of Grain Sorghum Grits. Cereal Science Today, November 1969, Vol. 14, No. 11:372-376

Andualem B dan A Gessesse. 2013. Effect of Salt (NaCl) Concentrations on The Functional Properties of Deffated Brebra (Millettia furruginea) Seed Flour. Middle-East Journal of Scientific Research 13(7) : 889:897.

Bradford MM. 1976. A rapid and sensitive method for the quantitation of microorganisms quantities of protein in utilizing the principle of protein‐dye binding. Anal. Biochem 72:248‐254.

Budijanto, S. Boing Sitanggang, A, Murdiati W. 2011. Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional Isolat Protein Biji Kecipir (Phosphocarpus tetragonolobus L.). J. Teknologi Dan Industri Pangan, Vol. XXII No. 2 Tahun 2011. Institut Pertanian Bogor, Bogor

Eltayeb ARSM, AO Ali, AA Abou-Arab, dan FM Abu-Salem. 2011. Chemical Composition and Functional Properties of Flour and Protein Isolate Extracted from Bambara Groundnut (Vigna subterranean). African J of Food Science 5(2): 82-90.

Westermeier. 2005. Electrophoresis in Practice : A Guide to Methods and Applicaton of DNA and Protein Separation. Wiley – VCH Verlag GmbH.4th revised ed.

Widadi, I Rahayu., 2011. Pembuatan dan Karakterisasi Hidrolisat Protein Ikan Lele Dumbo (Clarius gariepinus) menggunakan enzim papain

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”890

PERUBAHAN PROFIL TRIGLISERIDA SELAMA INTERESTERIFIKASI ENZIMATIS PALM STEARIN : PALM KERNEL OIL MENGGUNAKAN ENZIM THERMOMYCES

LANUGINOSE

TRIGLISERIDA PROFILE CHANGES DURING ENZYMATIC INTERESTERIFICATION PALM STEARIN: PALM KERNEL OIL USING ENZYME THERMOMYCES

LANUGINOSE

Sri Peni Wijayanti*, Noer Laily, Sri Istini, Jordan Kahfi

Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Interesterification is the reaction of rearranging fatty acids in the triglyceride molecule. The advantages of enzymatic interesterification reactions are those produced free of the trans fatty acids typically produced in the hydrogenation process of fatty acids. In this study used Thermomyces lanuginose enzyme. Enzymatic interesterification was performed on two types of fats by comparison of stearin palm concentration (PS): palm kernel oil (PKO) (40:60) and (90:10). There are two variations of enzyme concentratios used are 3% and 5%. The temperature used for enzymatic interesterification is 70 oC with variation of interesterification time 0, 4, 6, 8 and 24 hours. The analysis of this research is triglyceride (TAG) analysis using HPLC (high performance liquid chromatography) and slip melting point (SMP). The results showed that there was a change of fat component such as triunsaturated, diunsaturated, disaturated, and trisaturated. There is an increase in unsaturated fat components and decreased saturated fat components. The enzyme concentration used did not significantly result in a difference in the change in the composition of the interesterification TAG. However, the concentration of PS: PKO gives a significant difference in the change of TAG composition of interesterification result. The TAG value becomes constant after 4 hours of interesterification. The value of SMP decrease during interesterification and reach a constant value after 4 hours.

Keywords: Interesterification, palm kernel oil, palm stearin, slip melting point, triglyceride

ABSTRAK Interesterifikasi merupakan reaksi penyusunan kembali asam-asam lemak di dalam molekul trigliserida. Kelebihan dari reaksi interesterifikasi enzimatik adalah produk yang dihasilkan bebas dari asam lemak trans yang biasanya diproduksi dalam proses hidrogenasi asam lemak. Pada penelitian ini digunakan enzim Thermomyces lanuginose terimobiliasai. Interesterifikasi enzimatis dilakukan terhadap dua jenis lemak/minyak dengan perbandingan konsentrasi palm stearin (PS) : palm kernel oil (PKO) (40:60) dan (90:10). Terdapat dua variasi konsentrasi enzim yang digunakan yaitu 3% dan 5%. Suhu yang digunakan untuk interesterifikasi secara enzimatis adalah 70 oC dengan variasi waktu interesterifikasi 0, 4, 6, 8 dan 24 jam. Analisa yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisa trigliserida (TAG) menggunakan menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography) dan slip melting point (SMP). Hasil penelitian

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 891

PERUBAHAN PROFIL TRIGLISERIDA SELAMA INTERESTERIFIKASI ENZIMATIS PALM STEARIN : PALM KERNEL OIL MENGGUNAKAN ENZIM THERMOMYCES

LANUGINOSE

TRIGLISERIDA PROFILE CHANGES DURING ENZYMATIC INTERESTERIFICATION PALM STEARIN: PALM KERNEL OIL USING ENZYME THERMOMYCES

LANUGINOSE

Sri Peni Wijayanti*, Noer Laily, Sri Istini, Jordan Kahfi

Pusat Teknologi Bioindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Interesterification is the reaction of rearranging fatty acids in the triglyceride molecule. The advantages of enzymatic interesterification reactions are those produced free of the trans fatty acids typically produced in the hydrogenation process of fatty acids. In this study used Thermomyces lanuginose enzyme. Enzymatic interesterification was performed on two types of fats by comparison of stearin palm concentration (PS): palm kernel oil (PKO) (40:60) and (90:10). There are two variations of enzyme concentratios used are 3% and 5%. The temperature used for enzymatic interesterification is 70 oC with variation of interesterification time 0, 4, 6, 8 and 24 hours. The analysis of this research is triglyceride (TAG) analysis using HPLC (high performance liquid chromatography) and slip melting point (SMP). The results showed that there was a change of fat component such as triunsaturated, diunsaturated, disaturated, and trisaturated. There is an increase in unsaturated fat components and decreased saturated fat components. The enzyme concentration used did not significantly result in a difference in the change in the composition of the interesterification TAG. However, the concentration of PS: PKO gives a significant difference in the change of TAG composition of interesterification result. The TAG value becomes constant after 4 hours of interesterification. The value of SMP decrease during interesterification and reach a constant value after 4 hours.

Keywords: Interesterification, palm kernel oil, palm stearin, slip melting point, triglyceride

ABSTRAK Interesterifikasi merupakan reaksi penyusunan kembali asam-asam lemak di dalam molekul trigliserida. Kelebihan dari reaksi interesterifikasi enzimatik adalah produk yang dihasilkan bebas dari asam lemak trans yang biasanya diproduksi dalam proses hidrogenasi asam lemak. Pada penelitian ini digunakan enzim Thermomyces lanuginose terimobiliasai. Interesterifikasi enzimatis dilakukan terhadap dua jenis lemak/minyak dengan perbandingan konsentrasi palm stearin (PS) : palm kernel oil (PKO) (40:60) dan (90:10). Terdapat dua variasi konsentrasi enzim yang digunakan yaitu 3% dan 5%. Suhu yang digunakan untuk interesterifikasi secara enzimatis adalah 70 oC dengan variasi waktu interesterifikasi 0, 4, 6, 8 dan 24 jam. Analisa yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisa trigliserida (TAG) menggunakan menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography) dan slip melting point (SMP). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terjadi perubahan komponen lemak triunsaturated, diunsaturated, disaturated, dan trisaturated. Dimana terjadi peningkatan komponen lemak unsaturated dan penurunan lemak saturated. Konsentrasi enzim yang digunakan tidak secara signifikan menghasilkan perbedaan pada perubahan komposisi TAG hasil interesterifikasi. Namun konsentrasi PS:PKO memberikan perbedaan secara signifikan pada perubahan komposisi TAG hasil interesterifikasi. Nilai TAG menjadi konstan setelah 4 jam interesterifikasi. Nilai SMP mengalami penurunan selama interesterifikasi dan mencapai nilai konstan setelah 4 jam.

Kata kunci: Interesterifikasi, palm kernel oil, palm stearin, slip melting point, trigliserida

PENDAHULUAN

Palm stearin (PS) merupakan fraksi dari minyak sawit yang memiliki titik leleh tinggi yaitu antara 44 – 56 °C. PS tidak dapat digunakan secara langsung untuk pembuatan margarin karena memiliki plastisitas yang rendah dan tidak dapat leleh pada suhu tubuh manusia (Pantzaris, 2000). Palm kernel oil (PKO) mengandung rantai trigliserida (TAG) pendek dan sedang hampir sama dengan lemak butter sehingga memiliki karakterisitik titik leleh yang mendekati margarin dan memastikan bentuk kristal beta stabil (β') yang diperlukan untuk produksi margarin (Hazirah et al. 2013).

Salah satu cara yang sudah digunakan untuk meningkatkan kompatibilitas PS untuk produksi margarin adalah dengan interesterifikasi enzimatis. Selama interesterifikasi akan terjadi re-distribusi asam lemak dalam TAG, sehingga akan mengubah komposisi asam lemak dalam TAG dan menambah jenis TAG. Konsekuensinya akan mempengaruhi karakteristik fisik minyak dan lemak, antara lain sifat pelelehan dan kristalisasi (Idris and Dian, 2005). Interesterifikasi enzimatis memiliki kelebihan antara lain tidak adanya produk samping merugikan seperti asam lemak trans, kondisi reaksi yang lunak serta kontrol reaksi yang lebih mudah untuk memproduksi produk dengan sifat fisik yang diinginkan. Enzim yang sering digunakan adalah Lipozyme TL IM (Thermomyces lanuginose terimobilisasi).

Lipozyme TL IM merupakan enzim komersial terimobilisasi yang berasal dari lipase mikrobial Thermomyces lanuginosa yang mempunyai kespesifitasan posisional molekul trigliserida yaitu pada posisi primer (sn-1 dan atau sn-3). Keunggulan Lipozyme TL IM dibandingkan enzim lainnya, yaitu mudah dipisahkan dari substrat, dapat digunakan berulang-ulang sehingga lebih ekonomis, lebih murah dari lipase komersial Lipozyme IM (lipase dari Rhizomucor miehei), sehingga menawarkan kesempatan pada industri untuk mengurangi biaya produksi dan memproduksi lemak plastis yang berbiaya rendah (Zhang et al. 2001).

Pada penelitian sebelumnya interesterifikasi enzimatis dilakukan terhadap PS:PKO dengan komposisi yang digunakan adalah 40:60 (Zainal, 1999). Pada penelitian tersebut digunakan PS dalam komposisi lebih sedikit dibandingkan PKO, karena PS memberikan efek padat sehingga margarin yang dihasilkan tidak spreadable. Dalam penelitian ini akan dilakukan optimasi proses interesterifikasi enzimatis dengan komposisi PS:PKO 60:40 dan 90:10. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perubahan profil trigliserida selama interesterifikasi enzimatis dengan komposisi PS lebih banyak dibandingkan dengan PKO serta untuk mengetahui komposisi PS:PKO optimal untuk pembuatan bahan baku margarin.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”892

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium LAPTIAB BPPT kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan.

Bahan yang digunakan untuk antara lain: palm stearin (PS) dan palm kernel oil (PKO) yang berasal dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, enzim Lypozime TL IM (Novozyme), standar trigliserida mix (Supelco), aseton pa., kloroform pa., dan asetonitril grade HPLC.

Alat yang digunakan antara lain: rotary evaporator, labu evaporator, kertas saring, pompa vakum, oven, corong saring, HPLC, termometer dan alat gelas kimia untuk analisa.

Interesterifikasi PS:PKO dilakukan dengan perbandingan 60:40 dan 90:10 dengan enzim Lipozyme TL IM yang digunakan sebanyak 3% (b/b lemak) dan 5% (b/b lemak). Sebelum digunakan untuk interesterifikasi, enzim Lipozyme TL IM diaerasi terlebih dahulu dan dikeringkan. Interesterifikasi dilakukan dalam erlenmeyer bertutup ulir yang ditempatkan dalam inkubator shaker dengan kecepatan orbital shaker 200 rpm, bersuhu 70 oC. Waktu interesterifikasi yang digunakan adalah 0, 4, 6, 8, dan 24 jam. Setiap proses interesterifikasi dilakukan 2 ulangan. Enzim dipisahkan dari lemak dalam keadaan panas dengan cara penyaringan menggunakan kertas saring.

Komposisi TAG dianalisa menggunakan HPLC berdasarkan AOAC Official Method Ce 5c-93. Kolom yang digunakan adalah kolom RP C-18 (250 × 4 mm i.d.) dengan ukuran partiket dalam kolom sebesar 5-µm (Merck, Darmstadt, Germany). Detektor yang digunakan adalah RI (refractive index). Fase gerak yang digunakan adalah aseton : asetonitril (75:25 v/v) dengan laju elusi sebesar 1 ml/menit. Waktu analisa selama kurang lebih 30 menit. Sampel dilarutkan dalam campuran aseton : kloroform

(1:1 v/v) dengan konsentrasi 5%. Jumlah sampel dan standar yang diinjekkan sebanyak 10µl. Analisa TAG juga dilakukan terhadap lemak sebelum interesterifikasi. Identifikasi TAG dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar. Standar yang digunakan adalah standar TAG mix yang mengandung gliseril tridecanoate (CCC), gliseril tridodecanoate (LaLaLa), gliseril trimyristate (MMM), gliseril trioctanoate (CaCaCa), dan gliseril tripalmitin (PPP). Peak yang lain dibandingkan dengan literatur. Perhitungan komposisi TAG adalah sebagai berikut:

Keterangan : C, asam caprat; La, asam laurat;

Ca, asam caprilat; M, asam miristat; P, asam palmitat.

Analisis slip melting point (SMP)

(AOCS Official Methods Cc 3-25, 2005) dilakukan terhadap lemak sebelum interesterifikasi dan sesudah interesterifikasi. Sampel yang telah disaring dilelehkan dan dimasukkan ke dalam tabung kapiler (3 buah) setinggi 1 cm. Selanjutnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 4-10°C selama 16 jam. Tabung kapiler diikatkan pada termometer dan termometer tersebut dimasukkan ke dalam gelas kimia (600 mL) berisi air (sekitar 300 mL). Suhu air dalam gelas kimia diatur pada suhu 8 - 10°C di bawah titik leleh sampel dan suhu air dipanaskan pelan-pelan (dengan kenaikan 0.5°C-l°C/menit) dengan pengadukan (magnetic stirrer). Pemanasan dilanjutkan dan suhu diamati dari saat sampel meleleh sampai sampel naik pada tanda batas atas. Slip melting point dihitung berdasarkan rata-rata suhu dari ketiga sampel yang diamati.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 893

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Laboratorium LAPTIAB BPPT kawasan Puspiptek Serpong Tangerang Selatan.

Bahan yang digunakan untuk antara lain: palm stearin (PS) dan palm kernel oil (PKO) yang berasal dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) Medan, enzim Lypozime TL IM (Novozyme), standar trigliserida mix (Supelco), aseton pa., kloroform pa., dan asetonitril grade HPLC.

Alat yang digunakan antara lain: rotary evaporator, labu evaporator, kertas saring, pompa vakum, oven, corong saring, HPLC, termometer dan alat gelas kimia untuk analisa.

Interesterifikasi PS:PKO dilakukan dengan perbandingan 60:40 dan 90:10 dengan enzim Lipozyme TL IM yang digunakan sebanyak 3% (b/b lemak) dan 5% (b/b lemak). Sebelum digunakan untuk interesterifikasi, enzim Lipozyme TL IM diaerasi terlebih dahulu dan dikeringkan. Interesterifikasi dilakukan dalam erlenmeyer bertutup ulir yang ditempatkan dalam inkubator shaker dengan kecepatan orbital shaker 200 rpm, bersuhu 70 oC. Waktu interesterifikasi yang digunakan adalah 0, 4, 6, 8, dan 24 jam. Setiap proses interesterifikasi dilakukan 2 ulangan. Enzim dipisahkan dari lemak dalam keadaan panas dengan cara penyaringan menggunakan kertas saring.

Komposisi TAG dianalisa menggunakan HPLC berdasarkan AOAC Official Method Ce 5c-93. Kolom yang digunakan adalah kolom RP C-18 (250 × 4 mm i.d.) dengan ukuran partiket dalam kolom sebesar 5-µm (Merck, Darmstadt, Germany). Detektor yang digunakan adalah RI (refractive index). Fase gerak yang digunakan adalah aseton : asetonitril (75:25 v/v) dengan laju elusi sebesar 1 ml/menit. Waktu analisa selama kurang lebih 30 menit. Sampel dilarutkan dalam campuran aseton : kloroform

(1:1 v/v) dengan konsentrasi 5%. Jumlah sampel dan standar yang diinjekkan sebanyak 10µl. Analisa TAG juga dilakukan terhadap lemak sebelum interesterifikasi. Identifikasi TAG dilakukan dengan cara membandingkan waktu retensi sampel dengan waktu retensi standar. Standar yang digunakan adalah standar TAG mix yang mengandung gliseril tridecanoate (CCC), gliseril tridodecanoate (LaLaLa), gliseril trimyristate (MMM), gliseril trioctanoate (CaCaCa), dan gliseril tripalmitin (PPP). Peak yang lain dibandingkan dengan literatur. Perhitungan komposisi TAG adalah sebagai berikut:

Keterangan : C, asam caprat; La, asam laurat;

Ca, asam caprilat; M, asam miristat; P, asam palmitat.

Analisis slip melting point (SMP)

(AOCS Official Methods Cc 3-25, 2005) dilakukan terhadap lemak sebelum interesterifikasi dan sesudah interesterifikasi. Sampel yang telah disaring dilelehkan dan dimasukkan ke dalam tabung kapiler (3 buah) setinggi 1 cm. Selanjutnya disimpan dalam refrigerator pada suhu 4-10°C selama 16 jam. Tabung kapiler diikatkan pada termometer dan termometer tersebut dimasukkan ke dalam gelas kimia (600 mL) berisi air (sekitar 300 mL). Suhu air dalam gelas kimia diatur pada suhu 8 - 10°C di bawah titik leleh sampel dan suhu air dipanaskan pelan-pelan (dengan kenaikan 0.5°C-l°C/menit) dengan pengadukan (magnetic stirrer). Pemanasan dilanjutkan dan suhu diamati dari saat sampel meleleh sampai sampel naik pada tanda batas atas. Slip melting point dihitung berdasarkan rata-rata suhu dari ketiga sampel yang diamati.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen trigliserida (TAG) yang diidentifikasi pada proses interesterifikasi enzimatis antara lain komponen triunsaturated (OLL dan OOO); komponen diunsaturated (PLL, PLO, POO, dan SOO); komponen disaturated (MLP, POP dan POS) dan komponen trisaturated (PPP dan PPS) dimana O, asam oleat; P, asam palmitat; S: asam stearat; M, asam miristat; dan L, asam linoleat.

Berdasarkan gambar 1 dapat diketahui bahwa komponen TAG triunsaturated (OOO dan OLL) mengalami peningkatan selama proses interesterifikasi enzimatis. Peningkatan jumlah diunsaturated PLL dan PLO juga terjadi namun POO dan SOO mengalami penurunan. Untuk komponen disaturated POP dan POS mengalami penurunan. Namun

untuk MLP dari interesterifikasi PS:PKO (90:10) mengalami peningkatan sedangkan untuk interesterifikasi PS:PKO (60:40) mengalami penurunan. Komponen trisaturated PPP dan PPS mengalami penurunan. Secara keseluruhan komponen triunsaturated dan diunsaturated mengalami peningkatan sedangkan komponen disaturated dan trisaturated mengalami penurunan. Selama interesterifikasi enzimatis, perubahan komposisi TAG dimulai pada jam ke-4 dari proses interesterifikasi dan mencapai kesetimbangan sampai jam ke-24. Penggunaan jumlah enzim yang berbeda yaitu 3% dan 5% tidak memberikan perubahan secara signifikan terhadap perubahan komponen TAG pada masing-masing interesterifikasi baik pada PS:PKO (90:10) dan PS:PKO (60:40).

Komponen trisaturated

Gambar 1. Grafik perubahan TAG untuk komponen diunsaturated, triunsaturated, disaturated, dan trisaturated pada hasil interesterifikasi enzimatis menggunakan 3% dan 5% Lipozyme TL IM terhadapa PS:PKO (60:40) dan (90:10) dengan waktu interesterifikasi 0, 4, 6, 8 dan 24 jam.

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

0 4 8 12 16 20 24

%TA

G

waktu interesterifikasi (jam)

PPP

ps:pko 60:40 3% ps:pko 60:40 5%

ps;pko 90:10 3% ps:pko 90:10 5%

0.0

1.0

2.0

3.0

4.0

5.0

6.0

0 4 8 12 16 20 24

%TA

G

waktu interesterifikasi (jam)

PPS

ps:pko 60:40 3% ps:pko 60:40 5%

ps:pko 90:10 3% ps:pko 90:10 5%

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”894

Jumlah PS dan PKO yang digunakan berpengaruh terhadap komposisi trigliserida dan re-dsitribusi asam lemak selama interesterifikasi enzimatis. Sebagai contoh untuk campuran lemak dengan PS:PKO (90:10) sebelum interesterifikasi memiliki komponen triunsaturated PPP dan PPS lebih tinggi dibandingkan PS:PKO (60:40). Namun setelah interesterifikasi enzimatis, jumlah penurunan komponen triunsaturated pada campuran PS:PKO (90:10) hampir sama dengan pada campuran PS:PKO (60:40) setelah interesterifikasi enzimatis (gambar 1).

Proses interesterifikasi enzimatis juga mengakibatkan penurunan SMP. Nilai SMP dapat dijadikan salah satu indikator karakteristik lemak/minyak hasil interesterifikasi enzimatis, yaitu sifat pelelehanya pada suhu mulut. Berdasarkan gambar 2 nilai SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (90:10) lebih tinggi dibandingkan SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (60:40). Nilai SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (60:40) berkisar antara 37-38 oC sedangkan untuk PS:PKO (90:10) berkisar antara 49-51 oC. Penggunaan jumlah enzim yang berbeda

yaitu 3% dan 5% tidak memberikan perbedaan secara signifikan pada nilai SMP pada masing-masing campuran lemak. Nilai SMP mencapai kesetimbangan setelah jam ke-4. PKO memiliki nilai melting point lebih rendah dibandingkan dengan PS (Fauzi, 2013). Tingginya nilai melting point PS disebabkan oleh adanya asam lemak jenuh rantai panjang sedangkan PKO mengandung asam lemak jenuh rantai pendek dan sedang. Hal ini yang menyebakan nilai SMP campuran lemak dengan jumlah PKO lebih banyak akan memiliki nilai SMP lebih rendah seperti terlihat pada gambar 2. Pada jam ke-0 interesterifikasi campuran PS:PKO (60:40) dan (90:10) memiliki kandungan komponen saturated seperti PPP, POP dan POS cukup tinggi. Setelah jam ke-4 interesterifikasi, komponen saturated tersebut mengalami penurunan sedangkan komponen unsaturated seperti OLO dan OOO meningkat. Perubahan komposisi TAG selama interesterfikasi berkaitan dengan nilai SMP, dimana asam lemak palmitat dan stearat memiliki nilai melting point yang tinggi dibandingkan oleat dan linoleat.

Gambar 2. Nilai slip melting point (SMP) lemak hasil interesterifikasi enzimatis menggunakan

3% dan 5% Lipozyme TL IM terhadap PS:PKO (60:40) dan (90:10) dengan waktu interesterifikasi 0, 4, 6, 8 dan 24 jam.

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

0 4 8 12 16 20 24

SMP

(o C)

waktu interesterifikasi (jam)

Slip Melting Point (SMP)

ps:pko 60:40 3%

ps:pko 90:10 3%

ps:pko 60:40 5%

ps:pko 90:10 5%

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 895

Jumlah PS dan PKO yang digunakan berpengaruh terhadap komposisi trigliserida dan re-dsitribusi asam lemak selama interesterifikasi enzimatis. Sebagai contoh untuk campuran lemak dengan PS:PKO (90:10) sebelum interesterifikasi memiliki komponen triunsaturated PPP dan PPS lebih tinggi dibandingkan PS:PKO (60:40). Namun setelah interesterifikasi enzimatis, jumlah penurunan komponen triunsaturated pada campuran PS:PKO (90:10) hampir sama dengan pada campuran PS:PKO (60:40) setelah interesterifikasi enzimatis (gambar 1).

Proses interesterifikasi enzimatis juga mengakibatkan penurunan SMP. Nilai SMP dapat dijadikan salah satu indikator karakteristik lemak/minyak hasil interesterifikasi enzimatis, yaitu sifat pelelehanya pada suhu mulut. Berdasarkan gambar 2 nilai SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (90:10) lebih tinggi dibandingkan SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (60:40). Nilai SMP hasil interesterifikasi PS:PKO (60:40) berkisar antara 37-38 oC sedangkan untuk PS:PKO (90:10) berkisar antara 49-51 oC. Penggunaan jumlah enzim yang berbeda

yaitu 3% dan 5% tidak memberikan perbedaan secara signifikan pada nilai SMP pada masing-masing campuran lemak. Nilai SMP mencapai kesetimbangan setelah jam ke-4. PKO memiliki nilai melting point lebih rendah dibandingkan dengan PS (Fauzi, 2013). Tingginya nilai melting point PS disebabkan oleh adanya asam lemak jenuh rantai panjang sedangkan PKO mengandung asam lemak jenuh rantai pendek dan sedang. Hal ini yang menyebakan nilai SMP campuran lemak dengan jumlah PKO lebih banyak akan memiliki nilai SMP lebih rendah seperti terlihat pada gambar 2. Pada jam ke-0 interesterifikasi campuran PS:PKO (60:40) dan (90:10) memiliki kandungan komponen saturated seperti PPP, POP dan POS cukup tinggi. Setelah jam ke-4 interesterifikasi, komponen saturated tersebut mengalami penurunan sedangkan komponen unsaturated seperti OLO dan OOO meningkat. Perubahan komposisi TAG selama interesterfikasi berkaitan dengan nilai SMP, dimana asam lemak palmitat dan stearat memiliki nilai melting point yang tinggi dibandingkan oleat dan linoleat.

Gambar 2. Nilai slip melting point (SMP) lemak hasil interesterifikasi enzimatis menggunakan

3% dan 5% Lipozyme TL IM terhadap PS:PKO (60:40) dan (90:10) dengan waktu interesterifikasi 0, 4, 6, 8 dan 24 jam.

0.0

10.0

20.0

30.0

40.0

50.0

60.0

0 4 8 12 16 20 24

SMP

(o C)

waktu interesterifikasi (jam)

Slip Melting Point (SMP)

ps:pko 60:40 3%

ps:pko 90:10 3%

ps:pko 60:40 5%

ps:pko 90:10 5%

Menurut Noh (2009) untuk meningkatkan liquidity dan unsaturation dari lemak maka jumlah asam lemak oleat harus ditingkatkan dan palmitat diturunkan. Kandungan lemak dalam PS antara lain miristat, palmitat, stearat, oleat dan linoleat. Kandungan asam lemak tertinggi dalam PS adalah palmitat dan oleat. Sedangkan kandungan asam lemak dalam PKO antara lain caprilat, caprat, laurat, miristat, palmitat, stearat, oleat dan linoleat. Kandungan asam lemak tertinggi dalam PKO adalah laurat, miristat dan oleat. Dengan meningkatkan kandungan PKO dalam campuran maka akan meningkatkan liquidity dan unsaturation campuran lemak sehingga nilai SMP menurun.

Menurut Zarinah et al. (2012), selama pengukuran SMP, suhu sampel meningkat dan lemak padat akan meleleh. Pengurangan zat kristal secara progresif menunjukkan pada suhu tertentu, jaringan kristal lemak tidak memiliki kohesi yang cukup untuk menahan matriksnya dan menjadi cukup lunak sampai tiba-tiba naik. Menurut Karabulut et al. (2003), SMP didefinisikan sebagai suhu di mana lemak dan minyak memiliki 4% lemak padat.

KESIMPULAN

Perubahan komponen TAG terjadi

selama proses interesterifikasi enzimatis terhadap PS:PKO (60:40) dan (90:10). Perubahan komponen TAG dapat mempengaruhi nilai SMP dimana hasil interesterifikasi PS:PKO (60:40) memiliki sifat pelelehan yang baik pada suhu mulut sehingga cocok untuk digunakan sebagai bahan baku margarin. Untuk kondisi interesterifikasi enzimatis PS:PKO (60:40) terbaik adalah menggunakan Lipozyme TL sebanyak 3% dengan waktu interesterifikasi selama 4 jam.

DAFTAR PUSTAKA

American Oil Chemists’ Society. 2005. Official Methods and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. Am. Oil Chem. Soc. Champaign, Illinois.

Hazirah, S., Fauzi, M., Rashid, N. A., and Omar, Z. 2013. Effects of Enzymatic Interesterification on the Physicochemical, Polymorphism and Textural Properties of Palm Stearin, Palm Kernel Oil and Soybean Oil Blends. International Journal of Bioscience, Biochemistry and Bioinformatics. Vol. 3. No. 4

Idris, N.A., and N.L.H.M. Dian. 2005. Interesterified Palm Products as Alternatives to Hydrogenation. Asia Pac J Clin Nutr 14(4):396-401.

Karabulut, I., Kayahan, M. and Yaprak, S. 2003. Determination of changes in some physical and chemical properties of soybean oil during hydrogenation, Food Chemistry. 81. 453-456.

Noh, A., Rajanaidu, N., Kushairi, A., Mohd Rafii, Y., Mohd Din, A., Mohd Isa, Z.A. and Saleh, G. 2002. Variability in fatty acid composition, iodine value and carotene content in the mpob oil palm germplasm collection from angola. Journal Of Oil Palm Research .14 (2). 18-23.

Official and Recommended Practices of the American Oil Chemists’ Society. 1992., edited by D. Firestone, AOCS Press, Champaign. 4th edn.

Pantzaris, T.P. 2000. Pocketbook of palm oil uses. Kuala Lumpur: Malaysian Palm Oil Board. 5th ed.

Zainal, Z. and Yusoff, M. M. S. 1999. Enzymatic Interesterification of Palm Stearin and Palm Kernel Olein. AOCS. Vol. 76. no. 9.

Zarinah, Z., Nazaruddin, R. and Nor Aini, I., 2012. Enzymatic Synthesis of

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”896

Structured Lipids through Interesterification of Palm Stearin (POs) IV 14, Cottonseed Oil (CSO) and Palm Olein (POo). Jounal of Agrobiotechnology. 3. 1-18.

Zhang, H., Xu, X., Nilsson, J., Mu, H., Adler-Nissen, J., Hoy, C. E. 2001. Production

of margarine fays by enzymatic interesterification with silica granulated Thermomyces lanuginose in a large-scale study. Journal of the American Oil Chemists Society. Vol. 78. No. . p.57-64.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 897

Structured Lipids through Interesterification of Palm Stearin (POs) IV 14, Cottonseed Oil (CSO) and Palm Olein (POo). Jounal of Agrobiotechnology. 3. 1-18.

Zhang, H., Xu, X., Nilsson, J., Mu, H., Adler-Nissen, J., Hoy, C. E. 2001. Production

of margarine fays by enzymatic interesterification with silica granulated Thermomyces lanuginose in a large-scale study. Journal of the American Oil Chemists Society. Vol. 78. No. . p.57-64.

PERBANDINGAN METODE KIT EKSTRAKSI DNA PANGAN PRODUK REKAYASA GENETIKA (PRG) PRODUK JAGUNG

COMPARISON OF DNA EXTRACTION KIT METHOD FOR GMO FOOD FROM MAIZE

PRODUCTS

Suci Yuliangsih*, Silma Awalia, Tanti Lanovia, dan Hary Wahyu. T Research Center of Drug and Food, National Agency of Drug and Food Control,

*Corresponding author email: [email protected]

ABSTRACT

One of challenges of GMO food detection is the complexity of the food matrices, especially for processed food, which can affect PCR amplification. The extraction of DNA are crucial steps that must be considered. The aim of this research was to provide efficient DNA extraction kit method for GMO food products by comparing some of DNA extraction commercial kit methods. The principles of DNA extraction are to release of DNA from the matrix into a solution and to purify it from PCR inhibitor. DNA extraction steps were done to gain good qualities and quantities of DNA, which can be used for the next step. Some parameters should be noticed from DNA extraction steps are concentration, purity, yield DNA, time, and cost. Based on parameters that were analyzed, each DNA extraction kits had the advantages and disadvantages. Method should be taken was the kit which gave good and consistent results from each parameters. Kit B (p > 0,005) was chosen because it gave better and consistent results than other kits especially on the quality of concentration and purity, however, this kit needs to be optimize to gain an optimum results. The results showed respectively: average of concentration was 50,47 ng; average of purity was 1,78; yield of DNA was 100 µL; time was 88,3 minutes; and cost per reaction was Rp.89.060. Key words: DNA extraction, GMO, kit, maize

ABSTRAK

Salah satu tantangan deteksi pangan PRG adalah matriks pangan yang kompleks, terutama pangan olahan, sehingga dapat mempengaruhi amplifikasi PCR. Ekstraksi DNA merupakan tahap penting yang harus diperhatikan. Penelitian ini bertujuan untuk menyediakan metode kit ekstraksi DNA pangan PRG yang lebih efisien dengan membandingkan beberapa metode kit ekstrasi DNA komersial. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah pelepasan DNA dari matriks ke dalam larutan dan kemudian DNA tersebut di purifikasi untuk menghilangkan inhibitor PCR. Ekstraksi DNA dilakukan untuk menyediakan DNA yang sesuai kualitas dan kuantitasnya. Beberapa parameter yang diperhatikan adalah yield DNA, konsentrasi, kemurnian, waktu, dan biaya. Berdasarkan parameter yang dianalisis, masing-masing kit ekstraksi DNA memiliki kelebihan dan kekurangan. Metode kit yang dipilih adalah metode yang paling banyak memberikan hasil yang baik dan konsisten dari setiap parameter. Kit yang dpilih pada studi ini adalah Kit B (p>0.05) karena lebih unggul dalam aspek utama yaitu konsentrasi dan kemurnian bila dibandingkan dengan metode kit

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”898

lainnya, namun perlu dioptimasi agar memperoleh hasil yang optimum. Hasil Kit B adalah: yield DNA 100 µL; konsentrasi rata-rata 50,47 ng; kemurnian rata-rata 1,78; waktu 88,3 menit; dan harga per reaksi Rp.89.060. Kata kunci: Ekstraksi DNA, jagung, kit, PRG

PENDAHULUAN

Pangan adalah salah satu kebutuhan pokok manusia yang harus terpenuhi. Seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat, meningkat pula kebutuhan masyarakat akan konsumsi pangan yang tidak hanya lezat tetapi juga sehat dan aman. Bioteknologi atau dikenal juga dengan rekayasa genetika merupakan cabang ilmu yang mempelajari pemanfaatan mahluk hidup seperti bakteri, fungi, dan virus maupun produk dari mahluk hidup (enzim dan alkohol) dalam proses produksi untuk menghasilkan barang atau jasa. Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara maju.

Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi semisal rekayasa genetika, kultur jaringan, DNA rekombinan, pengembangbiakan sel induk, kloning, dan lain-lain. Di bidang pangan, dengan menggunakan teknologi rekayasa genetika, kultur jaringan dan DNA rekombinan, dapat dihasilkan tanaman dengan sifat dan produk unggul karena mengandung zat gizi yang lebih jika dibandingkan tanaman biasa, serta lebih tahan terhadap hama maupun tekanan lingkungan. Menurut ISAAA (2016), tanaman biotek sangat berkembang pesat sejak dikomersialkan pada tahun 1996 seluas 1,7 juta hektar hingga tahun 2016 secara global telah mencapai 185,1 juta hektar di seluruh dunia. Tanaman produk rekayasa genetika yang banyak dikembangkan salah satunya adalah jagung.

Genetically Modified Organisms (GMO) atau Produk Reakayasa Genetika (PRG) ini merupakan salah satu isu keamanan

pangan yang sudah lama berkembang. Beberapa peraturan pangan yang diacu menyangkut PRG di Indonesia adalah Peraturan Pemerintah no 28 Tahun 2004 tentang keamanan, mutu dan gizi pangan. PP tersebut memberikan pengertian bahwa pangan hasil rekayasa genetika atau GMO adalah pangan atau produk pangan, diturunkan dari tanaman, atau hewan dan dihasilkan melalui proses rekayasa genetika. Beberapa peraturan terkait PRG di Indonesia lainnya antara lain UU No. 7 Tahun 1996 pasal 13, Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2005 berkenaan dengan keamanan hayati pangan PRG, sedangkan untuk pelabelan pangan produk rekayasa genetika diatur dalam pasal 35 PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan, isinya antara lain mewajibkan pencantuman tulisan ”Pangan Hasil Rekayasa Genetika” pada pangan hasil rekayasa genetika. Berdasarkan hal tersebut pemerintah Indonesia menghargai hak konsumen untuk mengetahui komponen bahan pangan yang dikonsumsinya, termasuk pangan hasil rekayasa genetika. Sejak tahun 2011 Kepala Badan POM RI telah mengeluarkan keputusan tentang izin peredaran pangan komoditas produk rekayasa genetika (PRG) diantaranya berasal dari komoditas jagung yaitu event: NK 603; MIR 604; GA 21; MIR 162; dan Bt 11. Jumlah event produk rekayasa sampai tahun 2017 adalah 23 event yang sudah mendapat persetujuan keamanan pangan PRG (Direktorat Standardisasi Produk Pangan, 2017). Dengan dikeluarkannya izin peredaran tersebut, maka Badan POM perlu melakukan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 899

pengawasan terhadap keberadaaan PRG yang beredar di masyarakat. Pengawasan terhadap pangan PRG ini perlu didukung dengan kemampuan laboratorium untuk mendeteksi gen atau event dari PRG tersebut. Oleh karena itu, bidang keamanan pangan Pusat Riset Obat dan Makanan melakukan pengembangan metode deteksi PRG pada produk pangan yang sudah diawali sejak tahun 2012 sampai sekarang.

Pengembangan metode deteksi PRG dalam produk pangan yang telah dilakukan adalah secara molekuler menggunakan instrumen PCR maupun real time PCR. Sebelum dilakukan amplifikasi PCR maka harus dilakukan tahap ekstraksi DNA. Menurut JRC (2016), ekstraksi dan purifikasi DNA merupakan tahap pertama pada kebanyakan studi biologi molekulardan teknik DNA rekombinan. Tujuan dari metode ekstraksi DNA adalah untuk memperoleh DNA yang murni dari berbagai macam sumber agar dapat dianalisis PRG yang spesifik menggunakan PCR. Kualitas dan kemurnian DNA merupakan faktor kritis untuk analisis PCR. Agar memperoleh DNA yang memiliki kemurnian yang tinggi, maka DNA harus bebas dari kontaminan/ inhibitor, sehingga metode ekstraksi yang tepat harus diaplikasikan.

Kesulitan yang dihadapi ketika mengekstraksi DNA dari pangan adalah matriks pangan-nya yang kompleks, terutama pada produk pangan olahan yang sudah mengalami berbagai proses seperti pemanasan, sehingga akan berpengaruh besar terhadap yield DNA, konsentrasi dan kemurnian DNA. Oleh karena itu, diperlukan metode ekstraksi DNA yang tepat dan efisien agar diperoleh DNA yang memiliki kualitas yang baik dan kuantitas yang cukup untuk tahap selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk ekstraksi DNA pangan PRG dengan membandingkan beberapa kit ekstrasi DNA

komersial untuk memperoleh metode ekstraksi DNA yang optimum.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Pusat Riset Obat Dan Makanan, Badan POM RI, Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Agustus sampai dengan Desember 2016. Bahan yang digunakan yaitu produk olahan jagung seperti krim jagung, jagung manis, pop corn; maizena (JM). Pereaksi yang digunakan Kit A, Kit B, Kit C, Kit D, larutan cetyltrimethylammonium bromide (CTAB) (Sigma), dan kloroform (Merck), isopropanol (Merck), etanol (Merck), kloroform (Merck), NaCl (Merck), dan RNase A (Geneaid). Deskripsi dari kit yang digunakan bervariasi, untuk tahap lisis metode yang digunakan mulai dari detergen, CTAB, sampai purifikasi yang menggunakan garam,isopropanol, dan kolom yang berbasis membran silica (Tabel 1) Tabel 1. Deskripsi Kit Ekstraksi DNA

KIT Ekstraksi

DESKRIPSI

A Microbead tubes; spin filter

B Detergents; salts; silica membrane

C Detergents; salts; isopropanol

D Spin filter column

Tahap awal adalah penimbangan sampel yang disesuaikan dengan kebutuhan dari masing-masing kit yang diuji. Preparasi sampel dilakukan dengan blender sampai sampel berbentuk serbuk/ halus; kemudian dilakukan tahap ekstraksi DNA dan purifikasi DNA, serta perhitungan waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan ekstraksi DNA. Untuk mengetahui konsentrasi dan kemurnian DNA, maka diukur dengan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”900

spektrofotometer nano (BioDrop) pada panjang gelombang 260 nm dan 280 nm.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tentang perbandingan metode kit ekstraksi DNA pangan Produk Rekayasa Genetika (PRG) produk jagung dilakukan untuk memperoleh metode ekstraksi DNA yang optimum. Kit yang digunakan yaitu 4(empat) Kit yang beredar di Indonesia. Parameter yang dibandingkan dari hasil ektraksi kit tersebut yaitu konsentrasi, kemurnian, jumlah/yield DNA, dan harga. Hasil ekstraksi menunjukkan Kit B dan kit C memiliki konsentrasi DNA rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan kit lainnya yaitu pada kisaran nilai 50. Semakin tinggi konsentrasi DNA yang diperoleh dari hasil ekstraksi DNA akan semakin baik, sehingga kebutuhan konsentrasi DNA yang akan digunakan untuk tahap selanjutnya akan tercukupi. Kriteria keberterimaan konsentrasi DNA tidak harus tinggi melainkan berada dalam jumlah dan konsentrasi yang cukup untuk digunakan pada tahap PCR (JRC, 2015). Konsentrasi DNA template yang umum digunakan pada real time PCR adalah 10 – 1000 copy per reaksi PCR, nilai ini setara dengan 100pg – 1µg DNA. Konsentrasi DNA yang terlalu tinggi dapat membawa kontaminan yang tinggi pula yang dapat mengurangi efisiensi PCR (Life Technologies, 2012). Untuk Kemurnian DNA, ditunjukkan oleh nilai rasio antara A260/A280 dan A260/A230. Dari seluruh Kit hanya metode kit B yang masuk kedalam kriteria keberterimaan nilai rasio A260/A280 yaitu antara 1,8-2,0. Rasio A260/A280 digunakan untuk menentukan kontaminasi protein pada DNA. Rasio yang lebih rendah mengindikasikan DNA terkontaminasi oleh protein. Keberadaan kontaminasi protein

dapat mempengaruhi aplikasi hilir yang menggunakan sampel DNA (Thermo, 2008). Untuk metode kit yang mendekati nilai keberterimaan rasio A260/A230 adalah B, dimana nilai rasionya mendekati 2,0. Rasio A260/A230 mengindikasikan adanya kontaminan senyawa organik seperti fenol, garam chaotropic dan senyawa aromatic. DNA dengan rasio A260/A230 dibawah 1,8 diperkirakan mengandung kontaminan senyawa organic tersebut (Thermo, 2008). Senyawa organik ini merupakan inhibitor yang akan menghambat reaksi enzimatis (Life Technologies, 2012). Metode ekstraksi DNA sangat mempengaruhi kualitas DNA (Jasbeer, et al., 2009), beberapa inhibitor yang dapat menghambat proses PCR adalah fenol, etanol, isopropanol, dan sodium chloride (JRC, 2006). Selain itu, matriks sampel pangan yang mengandung komponen seperti karbohirat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan bahan tambahan pangan (BTP) juga merupakan inhibitor pada proses PCR. Jumlah DNA hasil ekstraksi juga perlu diperhatikan, karena berkaitan dengan tahap selanjutnya yang akan dilakukan. Berdasarkan hasil ekstraksi DNA, metode kit A, B, dan C memberikan jumlah DNA yang sama yaitu 100 µL, sedangkan D memberikan hasil dua kali lebih banyak yaitu 200 µL. Kriteria keberterimaan menurut JRC (2015) adalah DNA yield harus berada dalam jumlah yang cukup untuk digunakan pada analisis selanjutnya yaitu tahap PCR.

Metode deteksi dengan menggunakan waktu yang cepat tentunya dapat menjadi pilihan, setelah mempertimbangkan poin penting lainnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Metode dengan waktu terpendek adalah kit A (41,4 menit), diikuti oleh D (82,75 menit) dan B (88,3 menit), dan metode terpanjang adalah C yang membutuhkan waktu hingga 165,8 menit. Semakin pendek waktu yang dibutuhkan maka semakin baik

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 901

untuk sebuah metode deteksi, ditambah dengan hasil DNA yang berkualitas. Pada hasil kompilasi tersebut terdapat hasil yang bervariasi dari masing-masing kit ekstraksi DNA. Satu kit ekstraksi yang sama dapat memberikan hasil yang berbeda ketika digunakan pada sampel yang berbeda, sehingga jenis sampel pangan dapat berpengaruh terhadap hasil ekstraksi. Pada kondisi seperti ini maka konsistensi hasil pada

matriks sampel yang berbeda dapat dipertimbangkan dalam pemilihan metode kit ekstraksi DNA. Kit yang memberikan hasil cukup konsisten adalah kit B, C, dan D Dilakukan juga analisa statistik terhadap hasil masing-masing parameter dengan metode analisis lanjutan Duncan dengan hasil Kit B (p>0.05) lebih unggul dalam aspek utama yaitu konsentrasi dan kemurnian dibandingkan kit lain (Tabel 2).

Tabel 2. Parameter Metode Ekstraksi

Metode EKSTRAKSI

(KIT)

PARAMETER

Konsentrasi

Kemurnian 260/280

Kemurnian 260/230

Waktu Harga

A 27,156 3,317 0,136 41,4 104

B 58,836 1,905 1,581 88,3 89

C 58,771 1,705 0,448 165,8 21

D 15,711 2 0,22 82,75 66,5

KESIMPULAN

Masing-masing kit ekstraksi DNA

memiliki kelebihan dan kekurangan, namun sebaiknya dipilih hasil yang baik dan konsisten dari setiap parameter yang dianalisis. Kit ekstraksi yang dipilih tersebut nantinya dapat dioptimasi atau dimodifikasi lebih lanjut agar diperoleh hasil yang lebih optimum dan efisien. Berdasarkan parameter yang dianalisis, kit B secara keseluruhan dapat mengekstraksi DNA pada sampel pangan dengan baik terutama pada aspek kualitas yaitu konsentrasi dan kemurnian, walaupun dari segi harga kit ini terbilang agak mahal. Harga juga dapat menjadi pertimbangan penting manakala budget yang tersedia terbatas. Selain itu, matriks sampel dapat mempengaruhi hasil ekstraksi DNA, hal ini dibuktikan dengan perolehan hasil yang berbeda pada penggunaan kit yang sama.

DAFTAR PUSTAKA Direktorat Standardisasi Produk Pangan.

2017. Produk Rekayasa Genetika. http://standarpangan.pom.go.id/index.php/produk-standardisasi/produk/lain-lain/produk-rekayasa-genetik

ISAAA. 2016. Pocket K No.16: Biotech Crop Highlights in 2016. http://www.isaaa. org/resources/publications/pocketk/16/

Jasbeer, K, R. Son, G.F. Mohamad, and Y.K. Cheah. 2009. Real Time PCR Evaluation of Seven DNA Extraction Methods for the Purpose of GMO Analysis. International Food Research Journal 16: 329-341

JRC-EC. 2015. Definition of Minimum Performance Requirements for Analytical Methods of GMO Testing. European Union

Life technologies. 2012. Real time PCR Handbook. http://www.gene-

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”902

quantification.com/real-time-pcr-handbook-life-technologies-update-flr.pdf

PP No. 21 Tahun 2005 Tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik

PP No. 28 Tahun 2004 Tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan

Thermo scientific. 2008. Interpreting Nanodrop (Spectrophotometric) Result

http://www. nanodrop.com/Library/ T009-NanoDrop%201000-&-Nano Drop%208000-Nucleic-Acid-Purity-Ratios.pdf

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 903

PENGEMBANGAN METODE HEXAPLEX PCR UNTUK DETEKSI Vibrio cholera

DEVELOPMENT OF HEXAPLEX PCR METHOD FOR DETECTION OF Vibrio cholerae

Suci Yuliangsih1*, Silma Awalia1, Nugroho Indrotristanto2, Diana E. Waturangi3, Tanti Lanovia1, dan Hary Wahyu T1

1Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan 2Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Badan Pengawas Obat dan Makanan

3Fakultas Teknobiologi, Universitas Katolik Atma Jaya *Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Vibrio cholerae, a Gram negative bacteria, can contaminate food and drinks, it can cause acute diarrhea and intestinal infection. On the other hand, study on rapid detection of this bacteria in Indonesia is limited. This study aimed to develop method to detect virulence genes of Vibrio cholera by using PCR with specific primers, which were useful for surveillance activities and foodborne outbreaks tracking. Method development steps were optimization and validation. Genomic DNA extraction was done using boiling method; PCR detection of virulence genes used 6 primer pairs simultaneously (ace, tcp, zot, ctx, hlyA and ompU). Optimum primer concentration were 0,6 µM for primers ace, tcp and zot; 0,2 µM for primers ctx, hlyA and ompU. Results showed: 100% of specificity; 100% of sensitivity; 0% of false positive; and 0% of false negative. Detection limit of Vibrio cholerae in this method were 0,05 ng for zot, ompU, hlyA, ctx and tcp genes, while for ace gene was 0,5 ng. Our study performed, hlyA, ctx, tcp-cl, and ompU genes were detected from samples with the number of Vibrio prevalence was 9,41%. Keywords: detection, Hexaplex PCR, Vibrio cholera

ABSTRAK

Vibrio cholerae adalah bakteri Gram negatif, dapat mengkontaminasi makanan dan minuman, serta menyebabkan diare akut dan infeksi usus. Selain itu, studi tentang deteksi cepat bakteri ini di Indonesia masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan metode deteksi gen virulensi Vibrio cholerae menggunakan PCR dengan primer spesifik, yang bermanfaat untuk kegiatan surveilan dan penelusuran KLB keracunan pangan. Tahap pengembangan metode adalah optimasi dan validasi. Ekstraksi DNA dilakukan dengan metode pendidihan; deteksi PCR gen virulensi dilakukan menggunakan 6 pasang primer secara simultan (ace, tcp, zot, ctx, hlyA dan ompU). Konsentrasi primer optimum yaitu 0,6 µM untuk primer ace, tcp dan zot; 0,2 µM untuk primer ctx, hlyA dan ompU. Hasil menunjukkan: nilai sensitivitas 100%; nilai spesifisitas 100%; nilai tingkat positif palsu 0%; dan nilai tingkat negatif palsu 0%. Nilai batas deteksi Vibrio cholerae pada metode ini adalah 0,05 ng untuk gen zot, ompU, hlyA, ctx dan tcp, sedangkan untuk gen ace adalah 0,5 ng. Studi ini memberikan hasil uji pada sampel yaitu terdeteksinya gen hlyA, ctx, tcp-cl, dan ompU dengan prevalensi Vibrio adalah 9,41%.

Kata kunci: deteksi, Hexaplex PCR, Vibrio cholera

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”904

PENDAHULUAN

Pangan merupakan kebutuhan penting bagi manusia, tetapi dapat pula menjadi alat transmisi penyakit jika Pangan tersebut terkontaminasi oleh mikroba yang berbahaya atau kimia/toksin. Secara global, milyaran manusia memiliki risiko penyakit yang disebabkan keracunan pangan, jutaan manusia sakit setiap tahunnya dan banyak juga yang meninggal akibat mengkonsumsi pangan yang tidak aman. Salah satu penyebab kematian akibat keracunan pangan di wilayah Asia Tenggara adalah Vibrio cholera (V.cholerae) yang dapat mengkontaminasi pangan seperti ikan dan kerang mentah, makanan yang dicuci atau dipersiapkan dengan menggunakan air yang telah terkontaminasi, dan air (WHO, 2016).

V.cholerae menjadi penyebab penyakit kolera yang merupakan diare akut karena usus terinfeksi. Kolera ditransmisi dengan menelan makanan atau air yang terkontaminasi oleh bahan fekal dari individu yang terinfeksi. Periode inkubasinya adalah 12 sampai 72 jam. Bakteri tersebut melekat di mukosa usus halus, dimana bakteri tidak menginvasif tetapi mengeluarkan toksin kolera (choleragen). Toksin kolera termasuk ke dalam toksin AB, sub unit B akan mengikat reseptor sel inang sedangkan sub unit A akan masuk ke dalam sel epitel usus dan mengaktivasi enzim adenil silase dengan menambahkan ADP-ribosil sehingga menyebabkan keracunan. Keracunan terjadi karena hipersekresi air dan ion klorida serta menghambat absorpsi ion sodium. Orang yang terinfeksi akan kehilangan jumlah cairan dan elektrolit yang sangat banyak, sehingga menyebabkan kram pada otot perut, muntah, demam dan diare berair. Cairan diare ini sering disebut dengan istilah ”rice-water stool”. Diare bisa terjadi dengan sangat hebat sehingga membuat seseorang kehilangan 10-15 liter cairan selama terjadi infeksi. Kematian dapat terjadi akibat tingginya konsentrasi protein dalam darah yang disebabkan oleh berkurangnya tingkat cairan, yang berujung pada hancurnya sirkulasi dalam tubuh (Willey, et al., 2014).

Ekspresi sejumlah gen V.cholerae dibutuhkan untuk mengkolonisasi usus halus manusia sebagai respon pada kondisi

lingkungan yang spesifik. Gen-gen ini merupakan anggota dari gen regulon toxR dan ekspresi gen-gen tersebut dikontrol oleh pengatur protein (ToxR, TcpP dan ToxT) (Skorupski and Taylor, 1997, disitasi dalam Peterson, 2002). V.cholerae sedikitnya memiliki 6 gen virulen yaitu: regulator toxR, cholera toxin enzymatic subunit A (ctxA), toxin coregulated pilus (tcpA), outer membrane protein U (ompU), accessory cholera toxin (ace) dan zonula occludens toxin (zot). Gen regulator toxR dibagi menjadi 4 kelas yaitu gen cholera toxin (ctx), gen biogenesis toxin coregulated pilus (tcp), gen accessory colonization factor (acf), dan gen toxR-activated gen (tag) dari fungsi yang tidak diketahui (Peterson and Mekalanos, 1998, disitasi dalam Peterson, 2002). Sebagai tambahan untuk toksin kolera, kebanyakan strain V.cholerae mengeluarkan protein yang merusak membran yang disebut cholerae hemolysin (hlyA) (Yamamoto, et., al., 1990 disitasi di dalam Dutta, et., al. 2010).

Air sebagai contoh jenis pangan yang dapat terkontaminasi oleh bakteri ini merupakan kebutuhan pokok manusia dan menjadi kandungan penting dalam makanan. Salah satu bentuk air yang dikonsumsi adalah es batu. Es batu ada yang dapat dikonsumsi dan non-konsumsi yaitu yang digunakan sebagai pendingin untuk memperpanjang masa simpan produk pangan seperti untuk mendinginkan ikan setelah penangkapan. Es batu konsumsi sering ditambahkan pada berbagai macam pangan, misalnya minuman es. Minuman yang dingin tersebut tidak hanya disukai oleh orang dewasa, namun anak-anak pun menyukainya.

Es batu dapat menjadi tidak aman apabila dibuat dari sumber air yang tidak memenuhi persyaratan mutu es batu untuk dikonsumsi serta penanganan distribusi es batu yang tidak tepat. Apalagi jika es batu tersebut dikonsumsi oleh anak-anak usia sekolah yang masih rentan terhadap suatu penyakit, karena salah satu bagian dari Pangan yang harus selalu ditingkatkan keamanannya adalah Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS).

Hasil pengawasan PJAS di Indonesia yang dilakukan oleh Balai Besar/ Balai POM tahun 2010-2013 menyatakan bahwa

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 905

minuman es merupakan salah satu produk PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS), sehingga perlu dilakukan penanganan yang tepat. Berdasarkan hal tersebut, tahun 2014-2015 Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan (SPKP) Badan POM melakukan kajian mikrobiologi es batu dan minuman es yang bekerjasama dengan Pusat Riset Obat dan Makanan (PROM) untuk melakukan riset pengembangan metode deteksi bakteri patogen yang salah satunya adalah deteksi gen virulensi V.cholerae menggunakan PCR dengan primer spesifik, yang bermanfaat untuk kegiatan surveilan dan penelusuran KLB keracunan pangan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilakukan di

laboratorium Mikrobiologi Pusat Riset Obat dan Makanan, Badan POM RI, Jakarta. Waktu penelitian dilaksanakan dari bulan Februari 2015 sampai dengan Januari 2016.

Persiapan kultur bakteri: V.cholerae (Ogawa, NCTC 9420) dari stok kultur diambil 1 ose, diinokulasi pada media Alkaline Peptone Water (APW, Oxoid), digores kuadran pada media selektif agar Thiosulfate Citrate Bile Salts Sucrose (TCBS, Oxoid), selanjutnya koloni spesifik kuning, rata yang berdiameter 2-3 mm diambil 1 koloni dan digores pada media Brain Heart Infusion Agar (BHIA, Oxoid), ketiga tahap ini diinkubasi pada suhu 35oC selama 18-24 jam (Kaysner & DePaola, 2004). Persiapan sampel: Tahap ini dilakukan dengan menggunakan 85 sampel dari sarana produksi es batu wilayah Jabodetabek disampling oleh Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan Badan POM dan dikirim ke Laboratorium Mikrobiologi Pusat Riset Obat dan Makanan.

Dipipet 1 mL, 10 mL dan 25 mL sesuai volume sampel, kemudian dimasukkan ke dalam 9 mL; 90 mL; dan 225 mL larutan media APW, dihomogenkan dan diinkubasi pada suhu 35oC selama 18-24 jam. Diambil 1 ose larutan sampel, kemudian digores kuadran pada media TCBS agar, dipilih 5-10 koloni spesifik dan non spesifik dan di gores pada media BHIA dengan kondisi inkubasi seperti di atas (Kaysner & DePaola, 2004; Hill et al, 2011).

Ekstraksi DNA: Tahap ini dilakukan menggunakan metode Baez et al (2013) yang dimodifikasi. Diambil 1 ose biakan dari medium BHIA, dimasukkan ke dalam tabung mikrosentrifus 1,5 mL yang berisi 500 µL larutan 0,85% NaCl steril, dihomogenkan, diinkubasi pada suhu 100oC selama 15 menit di dalam waterbath, kemudian didinginkan di dalam freezer selama 2-3 menit dan disentrifus pada 12.000 rpm selama 5 menit. Dipipet supernatan (DNA template) dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifus baru. DNA diukur konsentrasi dan kemurniannya dengan nano spektrofotometer (Biodrop)

Hexaplex Polymerase Chain Reaction (PCR): Pereaksi PCR yang digunakan adalah Go Taq®Green Master Mix (Promega), PCR Grade Water, dan primer (IDT). Primer (Tabel 1) yang digunakan adalah penyandi gen: ace, tcp, ctx, hlyA, ompU dan zot; primer sebelumnya dioptimasi dengan konsentrasi yang berkisar pada 0,1 – 1 µM. Protokol PCR adalah pra-denaturasi: 94°C, 2 menit; denaturasi: 94°C, 1 menit; annealing: 62°C, 1 menit (20 siklus); annealing: 54°C, 1 menit (10 siklus); elongation: 72oC, 1 menit; post-elongation: 72oC, 10 menit (Singh et al, 2002; Waturangi et al, 2013).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”906

Tabel 1. Rincian Primer (Waturangi et al, 2013)

Gen virulensi V.cholerae Primer Base Pairs

outer membrane protein (ompU)

ompU-F: ACGCTGACGGAATCAACCAAAG 869

ompU-R: GCGGAAGTTTGGCTTGAAGTAG

Accessory cholerae enterotoxin (ace)

Ace-F: TAAGGATGTGCTTATGATGGACACCC

289

Ace-B: CGTGATGAATAAAGATACTCATAGG

Cholerae toxin enzymatic sub unit A (ctx A)

ctxA-F: CGGGCAGATTCTAGACCTCCTG 564

ctxA-B: CGATGATCTTGGAGCATTCCCAC

Zonula occludens toxin (zot)

Zot-F: TCGCTTAACGATGGCGCGTTTT 947

Zot-B: AACCCCGTTTCACTTCTACCCA

Haemolysin A (hly A) hlyA-F: GGCAAACAGCGAAACAAATACC 738

hlyA-B: CTCAGCGGGCTAATACGGTTTA

Toxin co-regulated pilus (tcp A)

tcpA-F: CACGATAAGAAAACCGGTCAAGAG

tcpA-B_Cl: TTACCAAATGCAACGCCGAATG 620

tcpA-B_El: CGAAAGCACCTTCTTTCACACGTTG

453

Elektroforesis: Gel elektroforesis dilakukan menggunakan agarose (1st base) konsentrasi 2%; larutan Tris Borate EDTA 0,5x (TBE, Vivantis); fluorosafe DNA stain (1st base); dan DNA ladder 100 bp (100bp-3000bp, Geneaid). Ukuran tray gel elektroforesis adalah 12,4 x 14,5 cm dan 15 x 15 cm dan tahap ini berlangsung selama kurang lebih 3 jam 20 menit dengan voltase 75 Volt pada sistem elektroforesis horizontal (Biometra).

Validasi metode: Parameter validasi yang dilakukan yaitu uji spesifisitas, sensitivitas, tingkat positif palsu, tingkat negative palsu, dan limit deteksi. Dipersiapkan DNA V.cholerae dan P.aeruginosa konsentrasi 50 ng, kemudian diencerkan sampai 5 tingkat pengenceran yaitu 1:5; 1:10; 1:15; 1:20; dan 1:25 dengan menggunakan Nuclease Free Water (NFW,

Promega); dan reagen kontrol pereaksi yaitu NaCl (Merck) 0,85%. Bakteri kontrol positif dilakukan dengan 10 kali ulangan; bakteri kontrol negatif 5 kali ulangan dan NaCl 15 kali ulangan, komposisi bakteri dan cara perhitungan dapat dilihat pada tabel 2 dan 3. Tabel 2. Hasil Perhitungan Validasi untuk

V.cholerae

Respon Hasil PCR

+ -

Positif: 50 50 0 50

Negatif: 40 0 40 40

50 40 90

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 907

Perhitungan: 1. Sensitivitas = 50/(50) x 100 = 100%

(kriteria keberterimaan ≥ 70%) 2) Spesifisitas = 40/(40) x 100 = 100%

(kriteria keberterimaan ≥ 70%) 3) Tingkat positif palsu = 0/40 x 100 = 0%

(kriteria keberterimaan ≤ 5%) 4) Tingkat negatif palsu = 0/50 x 100 =

0%(kriteria keberterimaan ≤ 5%) Uji spesifisitas juga dilakukan terhadap

bakteri kontrol negatif sebanyak 3 kali ulangan yaitu Pseudomonas aeruginosa (ATCC® 10145), ETEC-EPEC (koleksi bakteri Unika Atmajaya), EHEC (koleksi bakteri Universitas Andalas-Kyoto University), Enterobacter aerogenes (ATCC 13048), Salmonella Typhosa (koleksi bakteri Laboratorium Mikrobiologi PPOMN), Cronobacter muytjensii (ATCC 51329), Salmonella Typhimurium (ATCC 14028), Salmonnella Enteritidis (ATCC 13076), Bacillus cereus (ATCC 11778), Staphylococcus aureus (ATCC 25923), Listeria monocytogenes (ATCC 7644).

Limit deteksi (limit of detection/ LOD) dilakukan dengan mengencerkan DNA V.cholerae pada 5 konsentrasi yaitu 5 ng; 0,5 ng; 0,05 ng; 0,005 ng; dan 0,0005 ng; kemudian dilakukan amplifikasi PCR dan elektroforesis (10 kali ulangan) (Sac-Singlas, 2002).

Amplifikasi PCR dilakukan dengan menyertakan kontrol positif, kontrol negatif, kontrol ekstraksi, dan non template control (NTC) (ISO 22174, 2005)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dilakukan optimasi

konsentrasi primer V.cholerae yaitu berkisar antara 0,1 - 1µL. Hasil optimasi konsentrasi primer yang optimum adalah yang

memberikan pita DNA paling jelas atau memiliki intensitas yang lebih tinggi dibanding konsentrasi lainnya. Hasil optimasi konsentrasi 6 primer V.cholerae yang diperoleh dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1 menunjukkan bahwa konsentrasi primer yang optimum dari masing-masing primer adalah 0.6 µM untuk primer ace; 0.2 µM untuk primer zot, ompU, hlyA dan ctx A; dan 0,5-0,6 µM untuk primer tcp-El. Namun, ketika kondisi konsentrasi primer optimum tersebut diuji dalam satu reaksi, hasilnya menunjukkan ada gen yang tampak tipis dari sebelumnya, sehingga untuk primer tersebut ditingkatkan konsentrasinya sampai pita DNA pada gen tersebut terlihat jelas. Primer yang ditingkatkan konsentrasinya adalah primer zot dan tcp-El pada konsentrasi 0,6 µM.

Reaksi mPCR yang komplek disebabkan oleh perbedaan suhu annealing yang optimal; adanya kompetisi dari DNA target dan primer yang berbeda; semakin komplek reaksinya, akan semakin jelas efeknya. Hasil dari tidak optimumnya reaksi mPCR dapat menyebabkan adanya negatif dan positif palsu (Briggs and Sjørgren, 2006)

Menurut Pestana (2010), konsentrasi primer sebaiknya antara 0,1-0,5 µM. Konsentrasi primer yang terlalu tinggi dapat meningkatkan kemungkinan terjadinya misprimming yang menghasilkan produk PCR non spesifik, sedangkan konsentrasi primer yang terlalu rendah dapat menyebabkan reaksi menjadi tidak efisien. Spesifisitas primer pada V.cholerae diperoleh melalui ekstraksi DNA beberapa bakteri kontrol negatif yang diamplifikasi bersamaan dengan bakteri kontrol positif. Hasil uji spesifisitas menunjukkan bahwa primer yang digunakan spesifik untuk V.cholerae. Hal ini ditunjukkan dengan tidak teramplifikasinya bakteri kontrol negatif (Gambar 2) atau tidak adanya pita yang terdeteksi pada bakteri kontrol negatif.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”908

Gambar 2. Uji spesifisitas: 1. Vibrio; 2. E.coli; 3. ETEC; 4. EPEC; 5. EHEC; 6. E.aerogenes;

7.S.Typhimurium; 8. S.Enteritidis; 9. S.Typhosa; 10. C.muytjensii; 11. P.aeruginosa; 12. L.monocytogenes; 13. B.cereus; 14. S.aureus; 15. Marker; 16. V.cholerae; 17. NaCl; 18. NTC

Limit deteksi V.cholerae dengan PCR

pada penelitian ini dilakukan pada konsentrasi 5 ng; 0,5 ng; 0,05 ng; 0,005 ng; 0,0005 ng. Beberapa ulangan ada yang masih terlihat pita DNAnya sampai pada konsentrasi 0.005 ng, bahkan sampai 0,0005 ng, namun mayoritas konsentrasi lainnya tidak terlihat pada konsentrasi tersebut. Limit deteksi dipilih pada konsentrasi yang masih terlihat pita DNA-nya pada 10 kali ulangan. Dari 6 gen yang diuji, 5 gen V.cholerae yaitu zot, ompU, hlyA, ctx dan tcp memiliki LOD 0,05 ng, sedangkan gen ace dapat terlihat baik dengan 10 kali ulangan pada konsentrasi 0,5 ng.

Pada validasi metode juga dilakukan uji spesifisitas, sensitivitas, tingkat positif palsu dan tingkat negatif palsu dengan beberapa tingkat pengenceran DNA yaitu 1:5, 1:10, 1:15, 1:20, dan 1:25. Dimana DNA yang diencerkan berasal dari konsentrasi DNA 50 ng. Data dapat dilihat pada Tabel 2, dan contoh hasil elektroforesis pada Gambar 3. Berdasarkan hasil tersebut diperoleh nilai uji spesifisitas 100%; sensitivitas adalah 100%; tingkat positif palsu 0% dan negatif palsu adalah 0%. Keseluruhan nilai masuk ke dalam syarat keberterimaan (Sac-Singlas, 2002).

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 909

Gambar 3. 1, 17, dan 28: Marker; 2-16 dan 18-27: Contoh 5 ulangan V.cholerae pada 5 konsentrasi: 1:5; 1:10; 1:15; 1:20; dan 1:25; 29: P.aeruginosa; 30: NaCl 0,85%; 31-32: NTC

Berdasarkan hasil optimasi dan

validasi metode, maka metode hexaplex PCR dapat digunakan untuk pengujian sampel. Hexaplex PCR merupakan bagian dari multiplex PCR (mPCR) dimana beberapa gen dideteksi secara simultan. Keuntungan dari mPCR adalah adanya kontrol internal dari masing-masing amplikon; preparasi dan biaya reagen lebih murah dibandingkan dengan singleplex PCR (Premier Biosoft, 2016).

Sampel dari Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan dibawa ke laboratorium PROM dan dilakukan pengujian seperti pada prosedur yang telah dijelaskan pada bagian metode. Sampel yang diuji sebanyak 85 sampel yang diperoleh dari sarana produksi es yang berada di area Jabodetabek. Berdasarkan 85 sampel yang telah diuji, prevalensi Vibrio adalah 9,41% (gambar 4) atau terdapat 8 sampel yang terdeteksi gen Vibrio. Dari 6 primer yang digunakan pada pengujian sampel, hanya terdeteksi bakteri Vibrio yang memiliki 1 atau 2 gen: hlyA, ctx, tcp-cl, dan ompU, karena tidak semua bakteri Vibrio memiliki ke-6 gen

tersebut. Hal ini menunjukkan adanya variasi jenis pada bakteri Vibrio terutama dalam sifat patogenisitas-nya.

Terdeteksinya gen Vibrio juga mencerminkan bahwa produsen belum menerapkan Good Manufacturing Practices (GMP) terutama pada aspek hygiene personil, pemeliharaan, pembersihan dan perawatan pada sarana produksinya. Selain itu, adanya anggapan atau pemikiran yang salah tentang perlakukan suhu rendah/ pembekuan bahwa air yang dibekukan dapat menyebabkan mikroba patogen yang terkandung didalamnya menjadi letal. Meskipun air telah dibekukan untuk pembuatan es, ternyata masih terdapat kontaminan mikroba yang dapat bertahan hidup pada suhu rendah.

zot (947 bp) ompU (869 bp) hlyA (738 bp) ctxA (564 bp) tcp El (453 bp) ace (316 bp)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32

Ul.1 Ul.2 Ul.3 Ul.4 Ul.5

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”910

Gambar 4. Prevalensi V.cholerae

Menurut Willey, et al. (2014),

terdapat kelompok mikroorganisme yang dapat hidup pada suhu rendah yaitu kelompok psikrofil dan psikotrop, salah satunya adalah Vibrio. Ray (2005) juga menyatakan bahwa efektifitas suhu rendah dalam mengontrol pertumbuhan mikroba dan aktifitas enzimatis mikroba dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu yang berkaitan dengan suhu rendah, lingkungan pangan, dan mikroba. Pada suhu di atas pembekuan air bebas (≤-2oC) berbagai tipe bakteri, kapang dan kamir dapat tumbuh di pangan, namun fase lag dan eksponensialnya menjadi lebih lama ketika suhu diturunkan. Ketika suhu diturunkan cukup untuk menyebabkan sebagian besar air membeku, pertumbuhan kebanyakan mikroba berhenti kecuali beberapa bakteri psikrofil, kamir dan kapang. Kerusakan dan kematian mikroba akan lebih banyak terjadi pada pembekuan yang lambat dan pada suhu -20oC daripada pembekuan cepat dan pada suhu -78oC atau -196oC (secara berurutan suhu CO2

padat dan N2 cair). Fluktuasi suhu pada pangan dalam hal

ini adalah es batu selama penyimpanan suhu rendah memiliki pengaruh besar pada pertumbuhan, subletal dan kematian mikroba. Hal ini banyak terjadi pada pangan selama penyimpanan, transpor, retail, dan di rumah. Fluktuasi suhu pangan dari ≤4.4oC sampai 10-12oC tidak hanya menstimulasi pertumbuhan yang cepat dari mikroba patogen psikrofil dan

bakteri pembusuk, namun banyak bakteri pembusuk mesofil dan bakteri patogen mulai tumbuh dan sporanya bergerminasi pada kisaran ini (Ray, 2005).

Hal ini perlu diperhatikan oleh produsen es batu misalnya untuk meminimalisir atau menghambat pertumbuhan mikroba pada suhu rendah, maka sebaiknya dilakukan pembekuan cara cepat dan menjaga agar suhu tetap stabil sehingga tidak terjadi fluktuasi suhu yang dapat memicu pertumbuhan mikroba.

Mikroba pada sampel dapat berasal dari sumber air (bahan baku), selama proses maupun penanganan produk akhir yang tidak tepat. Hal ini harus menjadi titik kritis dalam proses pembuatan es yang perlu dicari solusinya bersama agar pada produk akhir es batu (es kristal dan es balok) dapat memenuhi persyaratan es untuk dimakan (edible ice) yang telah ditetapkan. Perusahaan harus dapat menerapkan HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) pada proses produksinya, sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan pada titik-titik yang memungkinkan terdapat bahaya atau minimal perusahaan harus menerapkan Good Manufacturing Practice (GMP) dalam produksinya.

Selain itu produsen juga harus mengetahui bagaimana cara memproduksi es batu yang baik dan aman untuk dikonsumsi, misalnya dengan memberikan beberapa perlakuan pada proses produksi air/es untuk menurunkan jumlah mikroba. Menurut WHO (2011), memberikan perlakuan pada air berguna untuk menghilangkan atau menghancurkan mikroorganisme pathogen. Adapun perlakuan terhadap air tersebut adalah koagulasi, flokulasi, sedimentasi, filtrasi, dan disinfeksi. Perlakuan tersebut dapat dilakukan secara individu maupun kombinasi. Selain itu, terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan terhadap masing-masing perlakuan tersebut agar berjalan dengan efektif. Hal ini dapat dilihat lebih

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 911

detail pada panduan untuk kualitas air minum, salah satunya yang telah diterbitkan oleh WHO.

Persyaratan es batu yang ditujukan untuk konsumsi harus memenuhi standar persyaratan seperti layaknya pada persyaratan air minum. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh produsen yang memang ingin memproduksi es batu untuk dikosumsi (edible ice). Perlu adanya kerjasama antara Badan POM sebagai instansi yang berperan dalam pengawasan obat dan makanan, Kementrian Kesehatan, pihak sekolah, masyarakat (khususnya orang tua yang memiliki anak-anak usia sekolah) serta pihak-pihak yang terkait, perlu melakukan kerjasama untuk memberikan edukasi dan pengawasan yang ketat tentang pentingnya menjaga kualitas produk pangan yang akan diproduksi khususnya keamanan pangannya.

KESIMPULAN

Metode hexaplex PCR dapat

digunakan sebagai metode alternatif untuk mendeteksi keberadaan V.cholerae di dalam pangan khususnya pada sampel es batu.

DAFTAR PUSTAKA

Baez, I. E, M. I. Percedo, dan S, Martinez. 2013. Evaluation of simplified DNA extraction method for Streptococcuss suis typing. Rev. Salud Anim. Vol. 35 No. 1: 59-63

Briggs, D and G. Sjørgren. 2006. Efficient Multiplex PCR Optimization. http:// www.biosciencetechnology.com/article/2006/10/efficient-multiplex-pcr-optimization

Dutta, Sumnath. 2010. Three-Dimensional Structure of Different Functional Forms of the Vibrio cholerae Hemolysin Oligomer: a Cryo-Electron Microscopic

Study. Journal Of Bacteriology, Jan. 2010, p. 169–178 Vol. 192, No. 1

Hill, V. R., Cohen, N., Kahler, A. M., Jones, J. L., Bopp, C. A., Marano, N., Tarr, C. L., Garrett, N. M., Boncy, J. & other authors. 2011. Toxigenic Vibrio cholera O1 in water and seafood, Haiti. Emerg Infect. Dis 17, 2147–2150.

ISO. 2005. ISO 22174. Microbiology of food and animal feeding stuffs-Polymerase chain reaction (PCR) for the detection of food borne pathogens-General requirements and definition

Kaysner CA and A. DePaola. Jr. 2004. Bacteriological Analytical Manual (BAM): Vibrio. https://www.fda.gov /food/foodscienceresearch/laboratorymethods/ucm070830.htm

Pestana EA, S. Belak, Diallo, J. R. Crowther, and G. J. Viljoen. 2010. Early, Rapid, and Sensitive Veterinary Molecular Diagnostics Real-Time PCR Application. [Electronic Version] Dordrecht: Springer.

Peterson, K. M. 2002. Expression of Vibrio cholera virulence genes in response to environmental signals. Curr. Issues Intest. Microbiology 3: 29-38.

Premier Biosoft. 2016. Multiplex PCR. http://www.premierbiosoft.com/tech_notes/Multiplex-pcr.htm, 2 Mei 2016

Ray, B. 2005. Fundamental Food Microbiology (3rd ed). New York: CRC Press. Taylor & Francis e-library. ISBN 0-203-99825-1

Sac-Singlas. 2002. Guidance Notes C&B and Env 002 Method Validation for Microbiological Methods. Singapore

Singh, D. V., Isac, S. R., and Colwell, R. R. 2002. Development of hexaplex PCR assay for rapid detection of virulence and regulatory genes in Vibrio cholerae and Vibrio mimicus. Journal of clinical microbiology p.4321-4324.

Skorupski, K., and Taylor, R.K. 1997. Cyclic AMP and its receptor protein negatively

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”912

regulate the coordinate expression of cholera toxin and toxin coregulatedn pilus in Vibrio cholerae. Disitasi dalam Peterson, K. M. 2002. Expression of Vibrio cholera virulence genes in response to environmental signals. Curr. Issues Intest. Microbiology 3: 29-38.

Waturangi, D.E., et al. 2013. Edible Ice in Jakarta, Indonesia, is Contaminated with Multidrug-Resistant Vibrio cholerae with Virulence Potential. J. Med. Microbiology. 62, 352-359

WHO. 2011. Guidelines for drinking-water (4th ed.). Switzerland: WHO. ISBN 978-924-15481-51

WHO. 2016. Burden of Foodborne Diseases in the South-East Asia Region. WHO Regional Office for South-East Asia

Willey, J. M., Sherwood, L. M., and Woolverton, C. J. (2014). Prescott’s Microbiology (9th ed.). New York: Mc Graw Hill Education. ISBN 978-981-4581-56-1