“peran ahli teknologi pangan dalam ... -...

34
Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017 “PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 491 bahan tepung, dengan ukuran lebih kecil memungkinkan luas kontak dengan panas dan steam yang lebih besar sehingga memungkinkan protein yang terhidrolisis makin tinggi untuk menjadi dipeptida maupun asam amino. Gambar 3 menunjukkan semakin lama proses steaming kadar protein terlarut cenderung menurun. Kadar Amilosa Kadar amilosa pada tepung kacang nagara hasil steaming grits kacang nagara basah berkisar 14,39-15,63% bk, sedangkan tepung yang berasal dari proses steaming tepung kacang nagara memiliki kadar amilosa berkisar 20,61-22,31%bk. Data kadar amilosa tepung kacang nagara disajikan pada Gambar 4. (a) (b) Gambar 4 Hubungan lama steaming terhadap kadar amilosa tepung kacang nagara a) steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar amilosa pada steaming grits kacang nagara basah relatif lebih rendah dibanding pada bahan tepung, hal ini diduga steaming pada tepung lebih memudahkan aksesibilitas uap panas untuk kontak ke dalam matriks pati sehingga liberasi pati lebih mudah dan amilosa mudah lebih keluar matriks sehingga kadar amilosa lebih tinggi. Penelitian Noranizan et al. (2010) menunjukkan semakin lama pemanasan pada temperatur lebih tinggi dapat menyebabkan tingkat dispersi dan kelarutan pati gandum lebih tinggi, hal ini menyebabkan leaching amilosa lebih tinggi pula. Tester dan Morrison (1990) menunjukkan leaching amilosa meningkat berkorelasi dengan intensifnya tingkat pengembangan. Sebaliknya, semakin tinggi ikatan granula pati relatif tahan terhadap swelling dan leaching amilosa. Kandungan protein dan lipid pada bahan, akan dapat membentuk kompleks lipid-amilosa dan protein amilosa pada saat pemanasan. Hal ini menghambat keluarnya amilosa dari granula, yang menyebabkan swelling volume dan kelarutan yang rendah. Pada penelitian ini pemanasan steam pada tepung lebih memungkinkan pecahnya kompleks dan menyebabkan amilosa keluar dari granula tepung. Schoch dan Maywald (1968) menyatakan kadar amilosa yang meningkat akan membatasi swelling dan viskositas pasta panas dapat stabil. Kadar pati Kacang nagara selain kaya akan protein juga dominan mengandung 5 10 15 steaming_Na 14.39 15.53 15.54 Steaming_Ca 15.23 15.53 15.63 12.50 13.00 13.50 14.00 14.50 15.00 15.50 16.00 16.50 17.00 KADAR AMILOSA ( % BK ) LAMA STEAMING (MENIT) 5 10 15 30 60 90 kadar amilosa 20.6120.7621.0121.2721.5822.31 - 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 Kadar amilosa (% bk) Lama Steaming (menit)

Upload: ngodung

Post on 01-Aug-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 491

(a) (b)

Gambar 2 Hubungan lama steaming terhadap kadar abu tepung kacang nagara a) steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara Protein Terlarut

Protein terlarut merupakan indikator proses hidrolisis pada protein menjadi senyawa yang lebih sederhana khususnya dipeptida dan asam amino. Protein terlarut akan lebih tersedia digunakan dan diabsorpsi dalam tubuh.. Proses steaming pada grits kacang nagara basah berkisar 5,16-6,82% bk, sedangkan steaming pada tepung menghasilkan kadar protein terlarut lebih

tinggi yaitu berkisar 28,0-31,70% bk. Jika dibandingkan dengan protein terlarut tepung kacang nagara tanpa perlakuan sebesar 5,83%, maka protein terlarut pada grits kacang basah yang dikukus tidak signifikan berbeda, adapun data selengkapnya disajikan pada Gambar 3.

(a) (b)

Gambar 3 Hubungan lama steaming terhadap kadar protein terlarut tepung kacang nagara a)

steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

Hasil analisis ragam menunjukkan perlakuan steaming memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar protein terlarut

pada tepung kacang nagara, kadar protein terlarut pada tepung yang dikukus lebih besar dibandingkan pada grits kacang basah. Pada

5 10 15Steaming Ca 0.80 0.75 0.71Steaming Na 0.76 0.80 0.81

- 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

Kada

r Abu

(%)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90kadar abu 0.49 0.38 0.36 0.65 0.37 0.22

-

0.20

0.40

0.60

0.80

1.00

Kada

r abu

(%)

Lama Steaming (menit)

5 10 15Steaming Ca 6.81 6.15 6.16Steaming Na 6.31 6.71 6.82

- 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00

Prot

ein

terla

rut

(% b

k)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90Proteinterlarut 32.3 31.7 30.5 29.5 28.4 28.0

- 5.00

10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00

Pro

tein

te

rlaru

t (%

bk)

Lama Steaming (menit)

bahan tepung, dengan ukuran lebih kecil memungkinkan luas kontak dengan panas dan steam yang lebih besar sehingga memungkinkan protein yang terhidrolisis makin tinggi untuk menjadi dipeptida maupun asam amino. Gambar 3 menunjukkan semakin lama proses steaming kadar protein terlarut cenderung menurun.

Kadar Amilosa Kadar amilosa pada tepung kacang

nagara hasil steaming grits kacang nagara basah berkisar 14,39-15,63% bk, sedangkan tepung yang berasal dari proses steaming tepung kacang nagara memiliki kadar amilosa berkisar 20,61-22,31%bk. Data kadar amilosa tepung kacang nagara disajikan pada Gambar 4.

(a) (b)

Gambar 4 Hubungan lama steaming terhadap kadar amilosa tepung kacang nagara a)

steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

Gambar 4 menunjukkan bahwa kadar amilosa pada steaming grits kacang nagara basah relatif lebih rendah dibanding pada bahan tepung, hal ini diduga steaming pada tepung lebih memudahkan aksesibilitas uap panas untuk kontak ke dalam matriks pati sehingga liberasi pati lebih mudah dan amilosa mudah lebih keluar matriks sehingga kadar amilosa lebih tinggi.

Penelitian Noranizan et al. (2010) menunjukkan semakin lama pemanasan pada temperatur lebih tinggi dapat menyebabkan tingkat dispersi dan kelarutan pati gandum lebih tinggi, hal ini menyebabkan leaching amilosa lebih tinggi pula. Tester dan Morrison (1990) menunjukkan leaching amilosa meningkat berkorelasi dengan intensifnya tingkat pengembangan. Sebaliknya, semakin tinggi ikatan granula

pati relatif tahan terhadap swelling dan leaching amilosa.

Kandungan protein dan lipid pada bahan, akan dapat membentuk kompleks lipid-amilosa dan protein amilosa pada saat pemanasan. Hal ini menghambat keluarnya amilosa dari granula, yang menyebabkan swelling volume dan kelarutan yang rendah. Pada penelitian ini pemanasan steam pada tepung lebih memungkinkan pecahnya kompleks dan menyebabkan amilosa keluar dari granula tepung. Schoch dan Maywald (1968) menyatakan kadar amilosa yang meningkat akan membatasi swelling dan viskositas pasta panas dapat stabil. Kadar pati

Kacang nagara selain kaya akan protein juga dominan mengandung

5 10 15steaming_Na 14.39 15.53 15.54Steaming_Ca 15.23 15.53 15.63

12.50 13.00 13.50 14.00 14.50 15.00 15.50 16.00 16.50 17.00

KAD

AR A

MIL

OSA

( %

BK

)

LAMA STEAMING (MENIT)

5 10 15 30 60 90kadar amilosa 20.6120.7621.0121.2721.5822.31

-

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

Kad

ar a

milo

sa (%

bk)

Lama Steaming (menit)

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”492

karbohidrat sebesar 40-60%. Dalam proses pembuatan breakfast csereal, pati merupakan salah satu komponen penting untuk menghasilkan struktur renyah dan juga sebagai sumber kalori. Kadar pati tepung kacang nagara hasil proses steaming pada bahan grits kacang nagara basah berkisar

50,57-53,30%bk, sedangkan pada steaming di bahan tepung memiliki kadar pati 56,95-64,42% Hasil analisis ragam menunjukkan proses steaming tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati pada tepung kacang nagara. Data kadar pati kacang nagara disajikan pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5 Hubungan lama steaming terhadap kadar pati tepung kacang nagara a)

steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

Steaming pada grits kacang nagara basah hingga 15 menit belum cukup mampu meningkatkan kadar pati secara signifikan, demikian pula pada steaming bahan tepung, pemanasan hingga 90 menit tidak signifikan berbeda. Penyerapan air

Kadar penyerapan air tepung hasil perlakuan steaming pada grits kacang nagara basah berkisar 235,05-269,32% bk,

sedangkan pada proses steaming bahan tepung menghasilkan kadar tingkat penyerapan air 188,2-192,2%bk, dan ini cenderung tidak berbeda dengan tepung tanpa perlakuan yang memiliki tingkat penyerapan air rata-rata 190,0 %bk. Perlakuan steaming pada grits kacang nagara basah memiliki tingkat penyerapan air yang lebih tinggi dibanding pada steaming tepung. Data penyerapan air tepung disajikan pada Gambar 6.

5 10 15steaming_Na 52.58 52.61 53.30Steaming_Ca 50.57 51.28 51.66

42.00 44.00 46.00 48.00 50.00 52.00 54.00 56.00 58.00

KAD

AR P

ATI (

% B

K)

LAMA STEAMING (MENIT)

5 10 15 30 60 90kadar pati 56.95 57.19 64.42 58.09 62.77 63.26

- 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

Kad

ar p

ati (

% b

k)

Lama Steaming (menit)

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 493

karbohidrat sebesar 40-60%. Dalam proses pembuatan breakfast csereal, pati merupakan salah satu komponen penting untuk menghasilkan struktur renyah dan juga sebagai sumber kalori. Kadar pati tepung kacang nagara hasil proses steaming pada bahan grits kacang nagara basah berkisar

50,57-53,30%bk, sedangkan pada steaming di bahan tepung memiliki kadar pati 56,95-64,42% Hasil analisis ragam menunjukkan proses steaming tidak berpengaruh nyata terhadap kadar pati pada tepung kacang nagara. Data kadar pati kacang nagara disajikan pada Gambar 5.

(a) (b)

Gambar 5 Hubungan lama steaming terhadap kadar pati tepung kacang nagara a)

steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

Steaming pada grits kacang nagara basah hingga 15 menit belum cukup mampu meningkatkan kadar pati secara signifikan, demikian pula pada steaming bahan tepung, pemanasan hingga 90 menit tidak signifikan berbeda. Penyerapan air

Kadar penyerapan air tepung hasil perlakuan steaming pada grits kacang nagara basah berkisar 235,05-269,32% bk,

sedangkan pada proses steaming bahan tepung menghasilkan kadar tingkat penyerapan air 188,2-192,2%bk, dan ini cenderung tidak berbeda dengan tepung tanpa perlakuan yang memiliki tingkat penyerapan air rata-rata 190,0 %bk. Perlakuan steaming pada grits kacang nagara basah memiliki tingkat penyerapan air yang lebih tinggi dibanding pada steaming tepung. Data penyerapan air tepung disajikan pada Gambar 6.

5 10 15steaming_Na 52.58 52.61 53.30Steaming_Ca 50.57 51.28 51.66

42.00 44.00 46.00 48.00 50.00 52.00 54.00 56.00 58.00

KAD

AR P

ATI (

% B

K)

LAMA STEAMING (MENIT)

5 10 15 30 60 90kadar pati 56.95 57.19 64.42 58.09 62.77 63.26

- 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00

Kad

ar p

ati (

% b

k)

Lama Steaming (menit)

(a) (b)

Gambar 6 Hubungan lama steaming terhadap tingkat penyerapan air tepung kacang nagara a)

steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

Perlakuan hidrotermal dapat meningkatkan tingkat penyerapan air, hal ini berkaitan dengan peningkatan gugus hidrofilik akibat modifikasi pati. , granula pati yang rusak dapat meningkatkan tingkat penyerapan air (Stauffer 2007). Dengan adanya perlakuan steaming pada grits basah, hal ini memungkinkan gugus hidrofilik pada bahan ini lebih tinggi dibandingkan pada tepung yang telah mengalami pengeringan, sehingga kapasitas pengikatan air lebih tinggi. Penelitian Onyango et al. (2013) menyebutkan bahwa perlakuan hidrothermal pada pati singkong meningkatkan kristalinitas dan tingkat penyerapan air, namun sebaliknya menurunkan swelling volume, kelarutan dan viskositas puncak pati.

Swelling Volume Swelling volume menunjukkan tingkat

pengembangan pati di dalam tepung kacang nagara untuk setiap satuan bahan padatan di dalam matriks bahan. . Tingkat swelling tepung kacang nagara hasil fermentasi tanpa steaming berkisar 5,52-6,96% g/g bk, sedangkan swelling volume tepung hasil perlakuan steaming pada grits kacang nagara basah berkisar 7,35-8,02 g/g bk, dan pada proses steaming bahan tepung menghasilkan swelling volume sebesar 8,78-9,54 g/g bk. Perlakuan steaming pada tepung cenderung memberikan tingkat swelling volume yang lebih tinggi dibanding pada steaming grits. Data swelling volume disajikan pada Gambar 7.

(a) (b)

Gambar 7 Hubungan lama steaming terhadap swelling volume tepung kacang nagara a) steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

5 10 15Steaming Ca 260.73 269.02 269.32Steaming Na 235.05 236.90 238.73

- 50.00

100.00 150.00 200.00 250.00 300.00

Peny

erap

an a

ir (%

bk)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90Penyerapan air 192. 191. 183. 192. 190. 188.

160.00 170.00 180.00 190.00 200.00 210.00

Peny

erap

an a

ir (%

bk)

Lama Steaming (menit)

5 10 15Steaming Ca 8.13 7.80 7.78Steaming Na 7.35 7.35 7.45

-

2.00

4.00

6.00

8.00

10.00

Swel

ling

volu

me

(% g

/g)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90swellingvolume 9.54 9.15 9.26 9.18 9.35 8.78

8.00

8.50

9.00

9.50

10.00

10.50

swel

ling

volu

me

(g/g

bk)

Lama Steaming (menit)

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”494

Pada bahan tepung yang dikukus kontak dengan panas steam lebih intensif sehingga struktur kompleks pati sebagian terdegradasi, struktur lebih amorphous sehingga granula mampu mengikat air dan mengembang. Pada bahan grits basah struktur yang ada pada bahan masih dominan memiliki struktur kristalin sehingga tingkat swelling lebih rendah, crosslink granula pati dengan peptida ataupun amilosa dengan lipid diduga lebih tinggi pula, sementara pada tepung sebagian struktur kristalin sudah sebagian rusak sehingga pada saat proses hidrotermal struktur amorphous lebih tersedia

Leach et al. (1959) menyatakan bahwasanya tingkat pengembangan pati berkorelasi dengan amilopektin, amilosa bertindak sebagai inhibitor pengembangan, khususnya keberadaan lipid dapat membentuk kompleks tidak larut dengan amilosa selama pengembangan. Pada granula pati sereal, granula tidak mengembang sempurna hingga amilosa keluar (leaching out) dari granula (Bowler 1980), jumlah lipid dan protein juga mempengaruhi tingkat pengembangan granula. Menurut Morrison (1988 ) kompleks

juga dapat terjadi pada lipid pati dan residu amilosa pada granula selama swelling, protein dan pati berinteraksi karena muatan yang berbeda dan membentuk kompleks selama gelatinisasi dan dapat menghambat swelling. Keterbatasan swelling pada pati legume juga disebabkan oleh adanya jembatan peptida pada granula pati untuk mempertahankan sturktur granula (Oates 1990). Kelarutan

Pati yang terliberasi akan lebih mudah larut di dalam air, hal ini akan meningkatkan kekentalan. Kelarutan pati tepung kacang nagara pada steaming grits kacang nagara menghasilkan tingkat kelarutan yang rendah yaitu 1,47-3,33% bk, sedangkan pada perlakuan steaming menggunakan bahan tepung cenderung memberikan tingkat kelarutan pati yang lebih tinggi yaitu 13,2-17,1%bk. Pada tepung kacang nagara hasil fermentasi 48 jam tanpa perlakuan steaming memberikan tingkat kelarutan rata-rata 6.,25%. Data kelarutan tepung kacang nagara disajikan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 Hubungan lama steaming terhadap kelarutan tepung kacang nagara a) steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

5 10 15Steaming Ca 2.50 3.33 2.89Steaming Na 1.47 1.77 2.83

- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

Kela

ruta

n (%

bk)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90kelarutan 13.27 15.16 14.48 16.00 16.70 17.14

- 2.00 4.00 6.00 8.00

10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00

Kela

ruta

n (%

bk)

Lama Steaming (menit)

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 495

Pada bahan tepung yang dikukus kontak dengan panas steam lebih intensif sehingga struktur kompleks pati sebagian terdegradasi, struktur lebih amorphous sehingga granula mampu mengikat air dan mengembang. Pada bahan grits basah struktur yang ada pada bahan masih dominan memiliki struktur kristalin sehingga tingkat swelling lebih rendah, crosslink granula pati dengan peptida ataupun amilosa dengan lipid diduga lebih tinggi pula, sementara pada tepung sebagian struktur kristalin sudah sebagian rusak sehingga pada saat proses hidrotermal struktur amorphous lebih tersedia

Leach et al. (1959) menyatakan bahwasanya tingkat pengembangan pati berkorelasi dengan amilopektin, amilosa bertindak sebagai inhibitor pengembangan, khususnya keberadaan lipid dapat membentuk kompleks tidak larut dengan amilosa selama pengembangan. Pada granula pati sereal, granula tidak mengembang sempurna hingga amilosa keluar (leaching out) dari granula (Bowler 1980), jumlah lipid dan protein juga mempengaruhi tingkat pengembangan granula. Menurut Morrison (1988 ) kompleks

juga dapat terjadi pada lipid pati dan residu amilosa pada granula selama swelling, protein dan pati berinteraksi karena muatan yang berbeda dan membentuk kompleks selama gelatinisasi dan dapat menghambat swelling. Keterbatasan swelling pada pati legume juga disebabkan oleh adanya jembatan peptida pada granula pati untuk mempertahankan sturktur granula (Oates 1990). Kelarutan

Pati yang terliberasi akan lebih mudah larut di dalam air, hal ini akan meningkatkan kekentalan. Kelarutan pati tepung kacang nagara pada steaming grits kacang nagara menghasilkan tingkat kelarutan yang rendah yaitu 1,47-3,33% bk, sedangkan pada perlakuan steaming menggunakan bahan tepung cenderung memberikan tingkat kelarutan pati yang lebih tinggi yaitu 13,2-17,1%bk. Pada tepung kacang nagara hasil fermentasi 48 jam tanpa perlakuan steaming memberikan tingkat kelarutan rata-rata 6.,25%. Data kelarutan tepung kacang nagara disajikan pada Gambar 8.

(a) (b)

Gambar 8 Hubungan lama steaming terhadap kelarutan tepung kacang nagara a) steaming grits basah; b) pada tepung kacang nagara

5 10 15Steaming Ca 2.50 3.33 2.89Steaming Na 1.47 1.77 2.83

- 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00

Kela

ruta

n (%

bk)

Lama Steaming (menit)

5 10 15 30 60 90kelarutan 13.27 15.16 14.48 16.00 16.70 17.14

- 2.00 4.00 6.00 8.00

10.00 12.00 14.00 16.00 18.00 20.00

Kela

ruta

n (%

bk)

Lama Steaming (menit)

Gambar 8 menunjukkan ukuran partikel tepung yang kecil 80 mesh memudahkan air menghidrolisis pati sehingga liberasi pati lebih mudah sehingga gugus hidroksil lebih mudah mengikat air sehingga tingkat kelarutan lebih besar.

Kelarutan (carbohydrate leaching) yang kecil bisa disebabkan kompleks amilosa-lipid yang menghambat swelling, cracking dan dispersi granula (Leach, et al. 1959). Panas steam sekitar suhu (70-80°C) hingga 15 menit yang dikenakan pada grits kacang nagara belum mampu memecah granula, sedangkan pada tepung yang dikukus selama hingga 90 menit mampu mendegradasi polimer karbohidrat sehingga nilai kelarutan lebih tinggi. Kelarutan yang lebih tinggi pada tepung dibandingkan grits basah menunjukkan bahwa granula pada grits belum cukup rusak, sementara pada tepung yang dikukus sudah terjadi rusaknya struktur pati dan kerusakan granula pati (Akpa et al. 2012)

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan

bahwasanya proses steaming pada bahan tepung kacang nagara memberikan tingkat swelling dan kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan pada steaming kacang nagara basah, demikian pula kandungan protein terlarut lebih tinggi pada bahan tepung, Hal ini diduga ukuran partikel tepung 80 mesh meningkatkan aksesibilitas panas steam untuk mendegradasi struktur pati sehingga granula mudah menyerap air dan mengembang.

DAFTAR PUSTAKA

Abraham, T.E. 1993. Stabilizationof

pasteviscosityof cassavabyheat moisture treatment, Starch 45 : 131-135

Akpa, Jackson Gunorubon.1 and Dagde, Kenneth Kekpugile. 2012. Modification of Cassava Starch for Industrial Uses. International Journal of Engineering and Technology Volume 2 No. 6, June, 2012 ISSN: 2049-3444 © 2012 – IJET Publications UK. All rights reserved.

AOAC. 2000. Analysis of the Association of Official Analytical Chemists, (AOAC) International

Bowler, P., Williams, M. R. and Angold, R.E. 1980. A hypothesis for the morphological changes which occur on heating lenticular wheat starch in water. Starch/ Starke 32: 186-189.

Donovan, J.W., K. Lorenz, and K. Kulp, 1983. Differential scanning calorimetry of heat—moisture treated wheat and potato starches, Cereal Chemistry, 60 : 381-387

Hoover, R., T. Vasanthan, N. J. Senanayake, and A. M. Martin, 1994. The effects of defatting and heat-moisture treatment on the retrogradation of starch gels from wheat, oat, potato, and lentil, Carbohydrate Research, 261 (1) : 13-24

Hoover, R. and T. Vasanthan, 1994. Effect of heat-moisture treatment on the structure and physicochemical properties of cereal, legume, and tuber starches,” Carbohydrate Research, 252 : 33-53

Jacobs, H. and J. A. Delcour, 1998. Hydrothermal modification of granular starch, with retention of the granular structure: a review,” Journal of Agricultural and Food Chemistry 46 : 8

Leach, H. W., McCowen, L. D. and Schoch, T. J. 1959. Swelling power and solubility of granular starches. Cereal Chemistry 36: 534-544.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”496

Onyango C., Eunice A. Mewa, Anne W. Mutahi and Michael W. Okoth. 2013. Effect of heat-moisture-treated cassava starch and amaranth malt on the quality of sorghum-cassava-amaranth bread Academic Journals, 7(5):80-86 DOI: 10.5897/AJFS2012.0612

Morrison, W. R. and Tester, R. F. 1990. Swelling and gelatinization of cereal starches - effects ofamylopectin, amylose and lipids. Cereal Chemistry 67(6): 551-557.

Noranizan, M. A., *Dzulkifly, M. H. and Russly, A. R, Effect of heat treatment on the physico-chemical properties of starch from different botanical sources

International Food Research Journal 17: 127-135 (2010)

Oates, C. G. 1990. Fine structure of mung bean starch: An improved method of fractionation. Starch/Staerke 42: 464-467.

Schoch, T. J. and Maywald, E.C. 1968. Preparation and properties of various legume starches. Cereal Chemistry, 45:564-573.

Stauffer CE, 2007. Principles of dough formation. In: Technology of breadmaking. New York: . P. Cauvain, and L. S. Young (Eds.). Springer Science and Business Media, LLC. : 299-332 S

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 497

Onyango C., Eunice A. Mewa, Anne W. Mutahi and Michael W. Okoth. 2013. Effect of heat-moisture-treated cassava starch and amaranth malt on the quality of sorghum-cassava-amaranth bread Academic Journals, 7(5):80-86 DOI: 10.5897/AJFS2012.0612

Morrison, W. R. and Tester, R. F. 1990. Swelling and gelatinization of cereal starches - effects ofamylopectin, amylose and lipids. Cereal Chemistry 67(6): 551-557.

Noranizan, M. A., *Dzulkifly, M. H. and Russly, A. R, Effect of heat treatment on the physico-chemical properties of starch from different botanical sources

International Food Research Journal 17: 127-135 (2010)

Oates, C. G. 1990. Fine structure of mung bean starch: An improved method of fractionation. Starch/Staerke 42: 464-467.

Schoch, T. J. and Maywald, E.C. 1968. Preparation and properties of various legume starches. Cereal Chemistry, 45:564-573.

Stauffer CE, 2007. Principles of dough formation. In: Technology of breadmaking. New York: . P. Cauvain, and L. S. Young (Eds.). Springer Science and Business Media, LLC. : 299-332 S

PENGARUH TEPUNG KETAN DAN GULA PASIR PADA PEMBUATAN DODOL DARI AMPAS BELIMBING WULUH (AVERRHOA BILIMBI L.)

THE INFLUENCE OF GLUTINOUS RICE FLOUR AND SUGAR IN THE MAKING OF

BRIM FROM WULUH STARFRUIT TAFFY (AVERRHOA BILIMBI L.)

Syahril Makosim*, Muhami , Nissa Fitri Efilia Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Teknologi Indonesia

*Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

Wuluh Starfruit (Averrhoa bilimbi L.) is a plant commonly found everywhere, yet, not used optimally. Eventually, wuluh starfruit can be extracted to make a syrup and its brim as the material to make taffy. However, it is still debatable for what materials to be mixed with, the amount of the mixture, and the ideal time to heat them. This research aims to obtain the ideal percetage of glutinous concentrate from rice flour and the concentrate of sugar to make the taffy that is liked by the panelists. The design of experiment used in this research is Randomized Complete Block Design with factorial pattern of 3x3. The result of organoleptic analysis will be tested from water and ash level, crude fiber, sucrose, vitamin C, and total plate count. The result of this study are 35% glutinous rice flour and 75% sugar produced from Wuluh Starfruit taffy that is liked by the panelists. The taffy has 17,3% water, 0,21% ash, 14,83% crude fiber, 33,96% sucrose, 0,0189 mg/g vitamin C, and 6,0 x 101 colony/g Total Plate Count. Those level have fulfilled in the Indonesian National Standard for soursop Taffy. Keyword: taffy, wuluh starfruit

ABSTRAK

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau belimbing sayur merupakan tanaman pekarangan rumah. Pemanfaatan dan pengembangan belimbing wuluh belum optimal karena nilai jualnya rendah. Hasil samping sirup belimbing wuluh adalah ampas belimbing wuluh dapat dimanfaatkan menjadi produk pangan antara lain dodol. Permasalahannya belum diketahui bahan campuran dan jumlah dari bahan campuran tersebut serta lama proses pemanasan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh presentase tepung beras ketan dan gula pasir agar menghasilkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis. Rancangan percobaan pada penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial 3x3. Hasil dari uji organoleptik akan dilakukan uji kadar air, kadar abu, serat kasar, sakarosa, vitamin C, dan angka lempeng total. Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa persentase tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75% menghasilkan dodol belimbing wuluh yang disukai panelis. Dodol tersebut memiliki nilai kadar air 17,3%; kadar abu 0,21%; kadar serat kasar 14,83%; kadar sakarosa 33,96%; kadar vitamin C 0,0189 mg/g; Angka Lempeng Total 6,0 x 101 koloni/g. Kadar air, kadar abu, dan Angka Lempeng Total dodol dari ampas belimbing wuluh sudah memenuhi SNI dodol sirsak. Kata kunci : belimbing wuluh, dodol

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”498

PENDAHULUAN

Belimbing wuluh (Averrhoa bilimbi L.) atau dikenal dengan belimbing sayur banyak tersebar di Indonesia sebagai tanaman pekarangan rumah (Ferawati, 2005)[1]. Belimbing wuluh dapat diolah menjadi sirup belimbing wuluh. Hasil samping sirup belimbing wuluh adalah ampas belimbing wuluh yang dapat dimanfaatkan menjadi dodol.

Untuk menghasilkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai, perlu diketahui bahan campuran yang digunakan dan jumlahnya. Selain itu, perlu diketahui lama proses pemanasan/pemasakan pada dodol dari ampas belimbing wuluh.

Berdasarkan penelitian Ilma (2012)[2] pada pembuatan dodol buah dengen dan Fatma (2015)[3] pada pembuatan dodol labu kuning, bahan campuran pada dodol dari ampas belimbing wuluh yaitu tepung beras ketan, gula pasir, dan santan. Bahan dasar pati dipilih untuk membentuk tekstur kenyal pada dodol karena pati akan membentuk gel pada dodol. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan presentase tepung beras ketan dan gula pasir sehingga dihasilkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis.

Teori Dasar

Dodol dikelompokkan menjadi dua yaitu dodol berbahan dasar tepung (pati) dan dodol berbahan dasar buah-buahan (Satuhu dan Sunarmani, 2004)[4]. Dodol berbahan dasar buah-buahan hanya menggunakan gula pasir sebagai pengokoh tekstur dan pektin dari buah yang akan membentuk gel. Dodol berbahan dasar pati, pembentukan gel berasal dari tepung beras ketan yang akan menghasilkan tekstur kenyal. Pada dodol berbahan dasar pati, biasanya digunakan bahan campuran berupa tepung beras ketan, gula pasir, dan santan.

Tepung beras ketan memiliki karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar

81,05%. Karbohidrat di dalam tepung beras ketan terdapat pati. Pada pati terdapat 0,88% amilosa dan 99,11% amilopektin (Imaningsih, 2012)[5]. Tepung beras ketan memberi sifat kental sehingga dapat membentuk tekstur dodol menjadi kenyal. Tekstur kenyal pada dodol dikarenakan terjadinya gelatinisasi. Gelatinisasi terjadi karena adanya air yang bercampur dengan pati dan dilakukan pemanasan terus menerus.

Gula pasir termasuk golongan disakarida yang merupakan gula non reduksi. Penambahan gula pasir pada dodol berpengaruh pada kekentalan gel. Gula akan mengikat air sehingga pengembangan pati menjadi lambat dan suhu gelatinisasi menjadi lebih tinggi. Hal itu yang menyebabkan gel menjadi lebih tahan lama dan awet (Sakidja dkk, 1985)[6]. Selain itu gula juga berperan sebagai pemberi rasa manis pada dodol, sebagai bahan pengawet alami, dan dapat memberikan aroma pada dodol.

Santan merupakan cairan yang didapat dengan cara pengepresan parutan daging kelapa dengan atau tanpa penambahan air (Anugrah, 2011)[7]. Santan memiliki kadar lemak sebesar 34,3 g/100 g. Penambahan santan pada pembuatan dodol berperan untuk menghasilkan aroma. Santan mengandung senyawa nonylmethylketon yang pada suhu tinggi akan bersifat votatil dan menghasilkan bau yang enak (Miku, 2013)[8].

Pada pembuatan dodol, faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain faktor penggunaan bahan dan juga lama proses pemanasan. Penggunaan tepung beras ketan akan berpengaruh pada tekstur dodol. Semakin banyak tepung beras ketan yang digunakan, tekstur dodol akan semakin kenyal dan kompak tetapi dodol akan sulit dipotong. Penggunaan gula juga berpengaruh pada rasa dodol. Semakin banyak penggunaan gula maka rasa manis akan semakin dominan. Penggunaan santan berpengaruh pada pembuatan dodol. Semakin banyak santan yang digunakan menyebabkan dodol menjadi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 499

cepat tengik. Lamanya pemasakan juga berpengaruh pada dodol. Bila waktu pemanasan kurang, maka tekstur dodol menjadi lembek. Lama proses pemanasan

berkisar antara 2-3 jam tergantung dari banyaknya bahan yang digunakan. Standar yang digunakan yaitu SNI dodol sirsak (SNI 01-4297-1996) (Tabel 1)

Tabel 1. SNI Dodol Sirsak (SNI 01-4297-1996)

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian

ini adalah ampas belimbing wuluh, gula tebu premium merk Gulaku, santan kelapa, dan tepung beras ketan merk Rosebrand. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat timbang, gelas ukur, wadah plastik, kompor, wajan, pengaduk kayu, pisau, loyang, dan pembungkus plastik.

Metode Penelitian

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan

untuk mendapatkan batasan tepung beras ketan yang akan digunakan pada penelitian utama. Penelitian utama dilakukan untuk menentukan persentase tepung beras ketan dan gula pasir sehingga menghasilkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial (3x3). Terdapat dua perlakuan dimana masing-masing perlakuan terdapat tiga taraf. Perlakuan pertama yaitu persentase tepung beras ketan terhadap ampas belimbing wuluh (T) dengan taraf T1 = 15%; T2 = 25%; T3 = 35%. Perlakuan kedua yaitu persentase gula

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”500

pasir terhadap ampas belimbing wuluh (G) dengan taraf G1 = 100%; G2 = 75%; G3 = 50%.

Uji kesukaan dilakukan pada produk dodol dari ampas belimbing wuluh. Hasil terbaik dari uji kesukaan akan dilakukan uji kimia yang terdiri atas uji kadar air, uji kadar abu, uji serat kasar, uji sakarosa, kadar vitamin C, uji angka lempeng total.

Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapat batasan tepung ketan yang akan digunakan pada penelitian utama. Uji kesukaan pada dodol dari ampas belimbing wuluh dengan persentase tepung beras ketan yang berbeda.

Pada penelitian utama persentase tepung beras ketan dan persentase gula pasir ditentukan untuk menghasilkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis. Proses pembuatan dodol dari ampas belimbing wuluh dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Pembuatan

Dodol dari ampas belimbing wuluh

HASIL DAN PEMBAHASAN

Uji Kesukaan Warna

Hasil uji kesukaan warna pada dodol dari ampas belimbing wuluh, tingginya persentase gula pasir dan tepung beras ketan meningkatkan nilai kesukaan warna dodol dari ampas belimbing wuluh (Gambar 2). Warna dodol yang disukai panelis adalah coklat kehijauan. Warna hijau pada dodol berasal dari ampas belimbing wuluh. Warna coklat pada dodol dari ampas belimbing wuluh disebabkan karena adanya reaksi Maillard yang terjadi pada proses pemasakan. Reaksi Maillard terjadi karena bertemunya gula reduksi dan asam amino pada suhu tinggi dan waktu yang lama (Arsa, 2016)[9].

Gambar 2. Kurva Pengaruh Interaksi Gula

Pasir dan Tepung Beras Ketan pada Nilai Kesukaan Warna Dodol dari ampas belimbing wuluh

Rasa

Hasi uji kesukaan rasa dodol dari ampas belimbing wuluh dipengaruhi oleh banyaknya persentase gula yang ditambahkan. Semakin meningkatnya persentase gula pasir maka semakin meningkatkan nilai kesukaan rasa dodol dari ampas belimbing wuluh (Gambar 3). Rasa dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis adalah dodol yang memiliki rasa manis dan asam.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 501

Semakin banyak gula pasir yang ditambahkan maka rasa manis akan semakin dominan dibandingkan rasa asam dari belimbing wuluh.

Gambar 3. Kurva Interaksi Gula Pasir dan

Tepung Beras Ketan Terhadap Nilai Kesukaan Rasa Dodol dari ampas belimbing wuluh

Tekstur

Hasil uji kesukaan tekstur dodol dari ampas belimbing wuluh, tingginya persentase gula pasir dan tepung beras ketan meningkatkan nilai kesukaan tekstur dodol dari ampas belimbing wuluh kecuali pada persentase gula pasir 75% dan tepung beras ketan 35% (Gambar 4). Tekstur pada dodol dipengaruhi oleh banyaknya tepung beras ketan yang digunakan. Semakin banyaknya tepung beras ketan yang digunakan maka tekstur dodol yang terbentuk akan semakin kompak tetapi dodol akan semakin sulit dipotong.

Gambar 4. Kurva Interaksi Gula Pasir dan

Tepung Beras Ketan pada Nilai Kesukaan Tekstur Dodol dari ampas belimbing wuluh

Aroma Hasil uji kesukaan aroma dodol dari

ampas belimbing wuluh, semakin meningkatnya persentase gula pasir maka semakin menurun nilai kesukaan aroma dodol dari ampas belimbing wuluh (Gambar 5). Aroa yang dihasilkan adalah aroma khas dodol dan sedikit aroma karamel yang dihasilkan karena adanya reaksi Maillard. Selain itu, aroma dodol dari ampas belimbing wuluh juga didapat dari santan.

Gambar 5. Kurva Pengaruh Penambahan

Gula Pasir dan Tepung Beras Ketan Terhadap Nilai Kesukaan Aroma Dodol dari ampas belimbing wuluh

Kadar Air

Hasil analisis kadar air pada produk dodol dari ampas belimbing wuluh sebesar 17,3%. Hasil tersebut sesuai dengan SNI Dodol Sirsak (01-4297-1996)[10] yaitu kadar air pada dodol sirsak memiliki nilai maksimal sebesar 20%. Kadar air pada dodol berkurang karena adanya proses pemanasan sehingga air pada bahan menguap. Kadar air pada bahan berpengaruh pada tekstur dan lama penyimpanan dodol. Semakin banyak kadar air pada bahan maka tekstur dodol akan semakin lengket dan tidak kenyal. Selain itu, banyaknya kadar air akan memicu pertumbuhan mikroorganisme yang dapat merusak dodol.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”502

Kadar Abu Kadar abu pada suatu bahan

menunjukkan total mineral yang terkandung pada suatu bahan. Hasil uji kadar abu pada dodol dari ampas belimbing wuluh yaitu 0,21%. Hasil tersebut sesuai dengan SNI dodol sirsak (01-2986-1996) dengan nilai kadar abu maksimal 1%. Mineral dalam bahan pangan umumnya Semakin tinggi kadar abu maka semakin banyak kandungan zat anorganik pada suatu bahan pangan. Serat Kasar

Serat kasar merupakan bagian dari pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh asam atau basa kuat. Hasil uji serat kasar pada dodol dari ampas belimbing wuluh yaitu 14,83%. Berdasarkan SNI dodol sirsak (01-4297-1996) kadar serat kasar maksimum adalah 2%. Hasil tersebut melebihi batas maksimum dari standar. Kadar serat kasar dari masing-masing bahan berbeda tergantung dari jenis bahannya. Serat kasar berperan dalam sistem pencernaan karena serat akan mengikat air pada sisa-sisa makanan dalam saluran usus dan cepat disekresikan keluar. Kadar Sakarosa

Sakarosa atau sukrosa dalam pembuatan produk makanan berfungsi untuk memberi rasa manis dan pengawet pada konsentrasi tinggi. Hasil uji sakarosa dodol dari ampas belimbing wuluh sebesar 33,96%. Berdasarkan SNI dodol sirsak (01-4297-1996) kadar sakarosa minimal 35 – 45%. Hasil tersebut menunjukkan kadar sakarosa masih dibawah nilai standar.

Rendahnya kadar sakarosa dapat membuat rasa asam dari belimbing wuluh masih terasa. Selain itu, dodol dari ampas belimbing wuluh diharapkan dapat dikonsumsi untuk orang yang sedang menurunkan berat badan karena memiliki nilai sakarosa yang rendah.

Kadar Vitamin C Hasil uji kadar vitamin C pada dodol

dari ampas belimbing wuluh yaitu 0,0189 mg/g. Kadar vitamin C pada belimbing wuluh sebesar 0,26 mg/g dan pada ampas belimbing wuluh 0,0352 mg/g. Kadar vitamin C pada belimbing wuluh itu sendiri sudah sedikit. Penurunan vitamin C disebabkan oleh pemanasan pada saat pengolahan bahan sehingga vitamin C menjadi rusak dan juga adanya peristiwa pencoklatan. Angka Lempeng Total

Uji mikrobiologi dilakukan untuk menduga daya tahan makanan dan juga indikator sanitasi keamanan pangan. Hasil uji angka lempeng total pada dodol dari ampas belimbing wuluh yaitu 6,0 x 101 koloni/g. Berdasarkan SNI dodol sirsak (01-4297-1996) jumlah mikroba maksimal 5,0 x 102 koloni/g. Hasil tersebut menunnjukkan dodol dari ampas belimbing wuluh yang dibuat masih memenuhi standar. Penentuan Sampel Paling di Sukai

Tabel 2. Penentuan Sampel Paling Disukai

Berdasarkan Uji Kesukaan

Berdasarkan Tabel 2, sampel yang paling disukai panelis adalah sampel dengan persentase tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75%. Hal tersebut dipilih berdasarkan nilai kesukaan warna, rasa, tekstur, dan aroma. Hasil uji kesukaan warna pada dodol dari ampas belimbing wuluh dengan persentase tepung beras ketan 35% memiliki

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 503

nilai yang tidak berbeda sehingga dapat dipilih diantara ketiga sampel.

Pada nilai kesukaan rasa dodol dari ampas belimbing wuluh dengan persentase tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75% tidak berbeda dengan persentase tepung beras ketan 25% dan gula pasir 100% sehingga dapat dipilih di antara kedua sampel. Pada nilai kesukaan tekstur, dodol persentase tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75% tidak berbeda dengan presentase tepung beras ketan 15% dan 25%. Tekstur pada masing-masing persentase kenyal dan mudah di potong sehingga tekstur pada dodol dari ampas belimbing wuluh pada dasarnya sama. Hasil uji kesukaan aroma dodol dari ampas belimbing wuluh dengan persentase tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75% memiliki nilai yang berbeda dan juga tertinggi.

KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dodol dari ampas belimbing wuluh yang disukai panelis adalah dodol dengan perlakuan T3G2 yaitu : penambahan tepung beras ketan 35% dan gula pasir 75%. Dodol dari ampas belimbing wuluh memiliki tekstur kenyal dan mudah di potong, warna hijau agak kecoklatan, aroma khas dodol, dan rasa manis agak asam. Nilai rata-rata kesukaan warna 3,77 (biasa – suka), rasa 4,00 (suka), tekstur 3,05 (biasa – suka), dan aroma 4,41 (suka). Hasil uji kimia dodol dari ampas belimbing wuluh tersebut yaitu kadar air 17,3%, kadar abu 0,21%, kadar serat kasar 14,83%, kadar sakarosa 33,96%, kadar vitamin C 0,0189 mg/g, dan Angka Lempeng Total 6,0 × 101 koloni/g.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrah, R. 2011. Minuman Santan Kelapa

(Cocos nucifera L.) Rendah Lemak Dengan Penambahan Ekstrak Daun Stevia rebaudiana Sebagai Produk

Diversifikasi pangan Berbasis Santan Kelapa. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Arsa, M. 2016. Proses Pencoklatan (Browning Process) Pada Bahan Pangan. Artikel. Universitas Udayana. Denpasar.

Fatma, M. A. 2015. Eksperimen Pembuatan Dodol Labu Kuning. Skripsi. Universitas Negeri Semarang. Semarang.

Ferawati, Y. 2005. Pengaruh Konsentrasi CaCl2 dan Metode Pengeringan Terhadap Sifat Fisik, Kimia dan Organoleptik Belimbing Wuluh Kering. Skripsi. Jurusan THP UMM. Malang.

Ilma, N. 2012. Studi Pembuatan Dodol Buah Dengen (Dillenia serrata Thunb). Skripsi. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Imaningsih, N. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-Tepungan Untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Jurnal. Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Balai Litkangkes. Jakarta.

Miku, R. 2013. Hubungan Pemanasan Terhadap Kualitas Fisikokimia Dodol Nangka Di Industri Rumah Tangga “Dodol Karya Murni” Kota Batu. Skripsi. Fakultas Pertanian. Universitas Tribhuwana Tunggadewi. Malang.

Sakidja, J.S.T. Moningka, M.B.K. Roeroe, K. Paputungan, T. S. Suharto dan Sathribunga, Y.T. 1985. Dasar-Dasar Pengawetan Makanan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Bagian Timur. Ujung Pandang.

Satuhu, S dan Sunarmani. 2004. Membuat Aneka Dodol Buah. Penebar wadaya. Jakarta.

SNI 01-4297-1996. 1996. Dodol Sirsak. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”504

KARAKTERISTIK KIMIA TEPUNG BIJI PALADO (Aglaia sp) YANG DIMODIFIKASI DENGAN METODE CROSS-LINKING DAN ASETILASI

CHEMICAL CHARACTERISTICS OF PALADO SEED (Aglaia sp) FLOUR MEDIFIED

WITH CROSS-LINKING AND ACETYLATION METHODS

Syamsul Rahman*, Awaluddin Rauf, dan Susilawaty Hardiani Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Islam Makassar (UIM)

*Email korespondensi: [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research is to know chemical characteristics of palado seed flour (Aglaia sp) before and after modified by cross-linking and acetylation method. This research consists of two stages. The first stage is processing palado friut into dried palado seeds (Aglaia sp). The second stage of modified starch flour from palado seed flour by cross-linking method using STTP and acetylation using acetic acid. The parameters observed in this study were water content, protein content, fat content, carbohydrate content, ash content, energy value, starch content, amylose content and amylopectin. The research design used is laboratory analysis data generated tabulated and displayed in the form of tables, then anyzed both quantitatively and qualitatively. The results showed that the chemical characteristics of modified palado seed flour with cross-linking method were water content 8.23%, ash content 3.27%, fat content 9.54%, protein content 5.46%, carbohydrate 73.50%, energy value of 402 kcal, strach content 59.40%, amylose 0.44% and amylopectin level 58,96%. While the chemical content of modified palado seed flour with acetylation method is moisture content 6.72%, ash content 1.25%, fat content 8.75%, protein content 8.97%, carbohydrate content 73.31%, energy value 417 kcal, starch content 57,99%, amylose 0.53% and amylopectin 57.44%.

Keywords: acetylation, characteristics, cross-linking, modification, palado flour

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik kimia tepung biji palado (Aglaia sp) sebelum dan setelah dimodifikasi dengan menggunakan metode cross-linking dan asetilasi. Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah pengolahan buah palado menjadi biji palado kering. Tahap kedua pembuatan tepung termodifikasi dari tepung biji palado dengan metode cross-linking menggunakan STTP dan asetilasi menggunakan asam asetat. Parameter yang diamati dalam penelitian ini adalah kadar air, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, kadar abu, nilai energi, kadar patii, kadar amilosa dan amilopektin. Rancangan peneltian yang digunakan adalah data hasil analisis laboratorium ditabulasi dan ditampilkan dalam bentuk tabel, selanjutnya dianalisis baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan karakteristik kimia tepung biji palado modifikasi dengan metode cross-linking yaitu kadar air 8,23%, kadar abu 3,27%, kadar lemak 9,54%, kadar protein 5,46%, karbohidrat 73,50%, nilai energi 402 kkal, kadar pati 59,40%, amilosa 0,44% dan amilopektin 58,96%. Sedangkan karakteristik kandungan kimia tepung biji palado modifikasi dengan metode asetilasi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 505

yaitu kadar air 6,72%, kadar abu 1,25%, kadar lemak 9,75%, kadar protein 8,97% karbohidrat 73,31%, nilai energi 417 kkal, kadar pati 57,99%, amilosa 0,53% dan amilopektin 57,44%.

Kata kunci: asetilasi, cross-linking, karakteristik, modifikasi, tepung palado,

PENDAHULUAN

Dalam mendukung program ketahanan pangan maka teknologi tepung-tepungan merupakan solusi yang tepat. Program tersebut bertujuan untuk mengeksploitasi sumber bahan baru (selain gandum) digunakan sebagai bahan rerotian, mi dan aneka produk pangan lainnya. Menurut Richana et al. (2010) sejak 1997 subsidi pemerintah terhadap terigu ditiadakan sehingga harganya sangat melonjak, sedangkan kebutuhan konsumsi terigu terus meningkat. Kebutuhan terigu tersebut diantaranya untuk roti 20%, untuk mi (mi instan, mi kering, dan mi basah di industry kecil) mencapai 50% dari kebutuhan terigu, dan untuk biskuit dan snack 10%, sisanya untuk kebutuhan rumah tangga (Richana et al., 2010). Untuk itu, upaya diversifikasi dengan tepung berbahan lokal perlu dikembangkan. Setyowati dan Wawo (2015) mengungkapkan penggalakkan diversifikasi pangan perlu terus dilakukan untuk menunjang program kedaulatan pangan yang dicanangkan pemerintah. Salah satu caranya yaitu dengan menggali, memanfaatkan dan mensosialisasikan potensi plasma nutfah yang ada dan belum dimanfaatkan. Karena Indonesia dikenal memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang begitu besar yang mampu untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Menurut Setyowati dan Wawo (2015) penggalian dan pemanfaatan flora sebagai sumber pangan alternatif sangat diperlukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap makanan pokok terutama beras sebagai sumber karbohidrat. Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI

(2011) menyatakan jalur pengembangan pangan sumber karbohidrat masih didominasi beras 70%, tepung yang berasal dari umbi-umbian dan biji-bijian lokal 15%, dan yang bersumber dari tepung terigu 15%. Salah satu jenis flora yang mempunyai kandungan karbohidrat cukup tinggi adalah biji palado (Aglaia sp). Selain kandungan karbohidratnya tinggi, tanaman ini juga merupakan tumbuhan liar di hutan yang kondisi tanahnya lembab, bias berumur hingga ratusan tahun yang tinggi pohonnya berkisar antara 30 – 50 m. Rata-rata per pohon bila tanaman ini sudah berumur lebih dari 10 tahun, dapat menghasilkan 250 – 500 kg buah palado basah. Biji kering dari buah palado mengandung karbohidrat antara 64,04 – 64,91% per 100 gram bahan, sehingga berpotensi sebagai sumber pangan alternatif. Selain karbohidrat, biji kering palado juga mengandung lemak berkisar antara 14,75 – 14,88%, protein 8,94 – 8,95%, kadar air 4,87 – 5,59%, kadar abu 3,66 – 3,71% dan serat kasar 3,74 – 3,77% (Rahman, 2013). Aglaia sp termasuk dalam family Meliaceae. Tanaman ini banyak ditemukan di Sulawesi khususnya di Sulawesi Barat (Sulbar). Daerah penyebarannya di Sulbar cukup luas, meliputi daerah aliran sungai (DAS) yaitu Sungai Karama, Karataun, dan Sungai Bonehau, serta di daerah lembah dan pegunungan Kabupaten Mamuju, Mamuju Tengah, Mamuju Utara, Majene, Polman, dan Mamasa. Tanaman palado tumbuh subur secara alami di dataran rendah hingga dataran tinggi. Menurut Praptiwi et al. (2006) kawasan Melanesia yang mempunyai banyak jenis Aglaia adalah Borneo (50 jenis), sedangkan di Sumatera ditemukan 38 jenis. Sementara pemanfaatan beberapa jenis Aglaia

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”506

belum pernah dilakukan, khusus untuk jenis Aglaia sp adalah dimanfaatkan kayunya sebagai bahan bangunan (perabotan) dan buah/bijinya dapat dimakan (Rahman, 2013), sedangkan Aglaia dari jenis lainnya seperti Aglaia odorata dapat dijadikan sebagai teh dan bahan parfum karena baunya harum (Praptiwi et al., 2006). Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa daging biji palado berpotensi sebagai bahan pangan. Namun hingga saat ini penelitian tentang karakteristik kimia tepung palado modifikasi belum pernah dilakukan. Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah melakukan pengembangan tepung palado alami (native) menjadi tepung modifikasi dengan mengugunakan metode cross-linking dan asetilasi.

BAHAN DAN METODE

Bahan dan Alat Bahan baku yang digunakan adalah buah palado yang berasal dari hutan di sekitar wilayah atau daerah aliran sungai (DAS) Karama, khususnya di wilayah Kecamatan Sampaga Kabupaten Mamuju Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar), yang tingkat kematangannya optimal karena jatuh dari pohon. Sedangkan bahan-bahan kimia yang digunakan untuk analisis adalah bahan kimia yang ada di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin (Unhas), dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Peralatan yang digunakan untuk analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung biji palado adalah blender merk (Philips), disc mill model FFA 23 A, automatic siever, cabinet dryer, color reader, tanur, oven (Memmer U-30), timbangan analitik (Explorer), Stable Micro System (TAXT-2 Texture Analyzer), desikator, perangkat Soxhlet, perangkat Kjeldahl, water

bath (Memmert P Selecta Precisterm), sentrifuge (Hetticch Zentrifugen-EBA 20), viskosimeter, timbangan digital (Adventurer Pro), dan texture analyzer, whetenessmeter, oven, kain saring, gelas piala, cawan petri, erlenmeyer, gelas ukur, pipet mohr, thermometer, dan spektrofotometer (UV-Vis Shimadzu UV Mini 1240), ayakan 60 mesh, silinder, Griffin labu kocok, dan peralatan lainnya yang ada di laboratorium tersebut. Pelaksanaan penelitian dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pertama proses pembuatan tepung biji palado, tahap kedua modifikasi tepung dengan metode cross-linking dan asetilasi, dan tahap ketiga analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung modifikasi. Pembuatan Tepung Biji Palado Proses penepungan dilakukan dengan mengadopsi metode yang dilakukan Khomsatin et al. (2012) pada pembuatan tepung jagung, yaitu dimulai dengan merendam biji palado yang sudah dikeringkan ke dalam air secukupnya selama 12 jam. Selanjutnya biji palado ditiriskan dan digiling dengan disc mill. Tepung yang diperoleh dipanaskan dalam cabinet dryer hingga kering selama 15 – 18 jam pada suhu 50 – 600C. Selanjutnya tepung diayak dengan ayakan berukuran 60 mesh, atau ukuran partikel sebesar 0,250 mm. Tepung yang dihasilkan dihitung rendemennya dengan menggunakan pendekatan yang digunakan Akanbi et al. (2009) sehingga diperoleh rendemen tepung palado sebesar 84,21%. Pembuatan Tepung Palado Modifikasi Pelaksanaan modifikasi tepung biji palado dilakukan dalam dua tahap perlakuan, yaitu modifikasi cross-linking dan asetilasi. Pembuatan tepung modifikasi cross-linking dilakukan berdasarkan prosedur Medikasari et al. (2009), dan pembuatan tepung modifikasi dengan asetilasi menggunakan pendekatan yang dilakukan Teja et al. (2008).

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 507

Analisis Proksimat dan Karakteristik Kimia Tepung Analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung biji palado modifikasi meliputi analisis kadar air menggunakan oven ( AOAC, 1995) yang dimodifikasi oleh Kuswandari (2013), kadar abu dianalisis dengan cara pengabuan di dalam tanur (AOAC, 1995), penetapan kadar lemak dengan metode Soxhlet (AOAC, 1995), penetapan protein dilakukan dengan menggunakan metode Kjeldahl (AOAC, 1995), analisis kadar pati ditentukan dengan metode Titrimetri cara Luff Schoori (Supriadi, 2012), analisis amilosa ditentukan secara spektrofotometri (Apriyanto et al., 1989), kadar karbohidrat ditentukan dengan metode by difference (Alozie and Chinma, 2015) dan energi dihitung sebagai total berat dikalikan

(gram) dari protein kasar, karbohidrat, lemak total, dan serat makanan dengan faktor 4, 4, 9 dan 2 (Hanim et al., 2014). Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung palado modifikasi disajikan dalam bentuk tabel, selanjutnya dianalisis menggunakan analisis deskriptif, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung palado modifikasi disajikan pada Tabel 1, meliputi kadar air, protein, lemak, abu, energi, karbohidrat, kadar pati, amilosa dan amilopektin.

Tabel 1. Hasil analisis proksimat dan karakteristik kimia tepung palad

(dalam 100 gram bahan)

No. Karakteristik Metode Modifikasi

Tanpa Modifikasi* Cross-linking Asetilasi

1. Kadar air (%) 8,35 8,23 6,72

2. Kadar abu (%) 3,61 3,27 1,25

3. Kadar lemak (%) 12,37 9,54 9,75

4. Kadar protein (%) 8,91 5,46 8,97

5. Karbohidrat (%) 66,72 73,50 73,31

6. Energi (kkal) 414 402 417

7. Kadar pati total (%) 52,78 59,40 57,99

8. Amilosa (%) 1,00 0,44 0,53

9. Amilopektin (%) 51,78 58,96 57,44

Sumber : Rahman S. (2014) Kadar Air Tepung Palado Kadar air tepung tanpa modifikasi sebesar 8,35%, masih lebih rendah dibandingkan kadar air tepung terigu tanpa modifikasi yang dilaporkan Cheng and Bhat

(2015) sebesar 11,32%. Sedangkan kadar air tepung palado modifikasi tertinggi terdapat pada modifikasi cross-linking yaitu 8,23%. Wulan et al. (2007) kadar air yang tinggi pada modifikasi cross-linking disebabkan gugus

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”508

fosfat yang terpenetrasi ke dalam granula pati mempunyai sifat ionik sehingga mampu mengikat air. Selanjutnya kadar air tepung palado modifikasi asetilasi sebesar 6,72%. Hal rini sejalan dengan pendapat Erika (2010) bahwa pati modifikasi dengan hidrolisis asam (asetilasi) menghasilkan pati dengan struktur yang lebih renggang, sehingga air lebih mudah menguap pada waktu pengeringan. Kadar Abu Tepung Palado Kadar abu menunjukkan kandungan bahan-bahan anorganik di dalam bahan pangan. Kadar abu tepung palado modifikasi asetilasi sebesar 1,25%. Menurut Nazhrah et al. (2014) kadar abu sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi dan pencucian tepung/pati dengan air sehingga miniral yang larut air akan mudah terbuang bersama ampas. Sedangkan kadar abu tepung palado modifikasi cross-linking sebesar 3,27%. Hal ini terjadi, karena semakin banyak gugus fosfat yang terikat semakin meningkat kadar abu karena fosfat merupakan komponen penyusun abu (Wulan et al., 2007). Hal ini selaras dengan Munarso et al. (2004) proses fosforisasi dapat meningkatkan kadardan keterangan yang abu tepung beras. Keadaan ini dapat disebabkan oleh terjadinya penurunan kadar pati, tetapi juga dapat disebabkan oleh adanya penambahan unsure fosfor (P) ke dalam tepung. Peningkatan kadar P dalam penelitian ini dapat dipakai sebagai indikator keberhasilan proses fosforisasi, mengingat P merupakan jembatan pada struktur cross-linking yang terbentuk dalam proses ini (Munarso et al., 2004). Hal ini menunjukkan kadar abu tepung palado lebih tinggi dari kadar abu tepung gandum sebesar 0,84%, tetapi pada modifikasi asetilasi tepung palado, kadar abu lebih rendah dibandingkan tepung biji jarring 1,34% (Cheng and Bhat, 2015).

Kadar Lemak Tepung Palado Metode modifikasi tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap kadar lemak tepung palado. Menurut Nazhrah et al. (2014) proses modifikasi tidak secara langsung dapat mempengaruhi komponen lemaknya tetapi lebih mempengaruhi komponen patinya. Selanjutnya Nazhrah et al. (2014) menjelaskan perubahan struktur pati yang terjadi akibat perlakuan modifkasi yang diberikan pada ubi kayu karena tidak bersifat menghidrolisis amilosa, diduga tetap mempertahankan lemak berada di dalam rantai polimer amilosa, sehingga tidak menghasilkan perbedaan kadar lemak diantara perlakuan modifikasi. Secara umum tepung palado modifikasi mengandung lemak lebih tinggi dibanding tepung terigu sebesar 1,57% (Cheng and Bhat, 2015), tepung beras 1,00% dan tepung tapioca 1,00% (Imanningsih, 2012). Sedangkan Waterschoot et al. (2015) melaporkan kadar lemak pada pati jagung berkisar antara 0,6 – 0,8%, pati gandum 0,8 – 1,2%, dan pati beras 0,6 – 1,4%. Namun demikian, kadar lemak yang terlampau tinggi selain menjadi pertimbangan pada faktor gizi, juga dinilai kurang menguntungkan dalam proses penyimpanan pati karena dapat menyebabkan ketengikan (Pangastuti et al., 2013). Menurut Richana dan Sunarti (2004) kadar lemak dalam pati dapat mengganggu proses gelatinisasi karena lemak mampu membentuk kompleks dengan amilosa sehingga menghambat keluarnya amilosa dari granula pati. Kadar Protein Tepung Palado Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya penurunan kadar air pati, sehingga secara relatif terjadi peningkatan kadar protein pati (Nazhrah et al., 2014). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar protein tepung palado modifikasi asetilasi sebesar 8,97%, kemudian modifikasi cross-linking sebesar 5,46%. Hal ini menunjukkan bahwa

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 509

kadar protein tepung palado modifikasi masih lebih tinggi dari protein tepung ubi jalar berkisar 3,50 – 3,85% (Cheng and Bhat, 2015). Tingginya kadar protein pada modifikasi asetilasi sejalan dengan pendapat Richana dan Sunarti (2004) bahwa tepung atau pati dengan kadar protein rendah dapat menyebabkan viskositas tepung menurun, sehingga menyebabkan mutu tepung menurun sehingga tidak diharapkan dalam pemanfaatannya. Protein dan pati akan membentuk kompleks dengan permukaan granula dan menyebabkan viskositas pati menjadi turun, dan berakibat pada rendahnya kekuatan gel. Hal ini berkaitan dengan penggunaan pati, apabila berkadar protein tinggi maka dalam aplikasinya tidak memerlukan bahan substitusi lagi. Karbohidrat dan Kandungan Energi Hasil penelitian menunjukkan tepung palado modifikasi memiliki kadar karbohidrat berkisar antara 73,31 – 73,50%, dan mengandung energi berkisar antara 402 – 417 kkal. Ditinjau dari aspek energi tepung palado lebih tinggi dari energi yang dihasilkan tepung terigu sebesar 365 kkal, tepung beras 364 kkal dan tepung jagung 355 kkal (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1996). Demikian juga kandungan energi tepung ubi jalar yang dilaporkan (Hanim et al., 2014) berkisar antara 392 – 399,60 kkal. Tapi disisi lain, kandungan karbohidrat tepung palado modifikasi lebih rendah dari tepung terigu sebesar 77,3%, tepung beras 80%, dan tepung jagung 73,70% (Direktorat Gizi Departemen Kesehatan, 1996), sedangkan kandungan karbohidrat tepung ubi jalar berkisar antara 86,35 – 88,40% (Hanim et al., 2014). Kadar Pati Tepung Palado Kadar pati merupakan salah satu kriteria mutu untuk tepung, baik sebagai bahan pangan maupun non pangan (Richana

dan Sunarti, 2004). Hasil penelitian diperoleh kadar pati tepung palado modifikasi berkisar antara 57,99 – 59,40%. Kadar pati modifikasi cross-linking sebesar 59,40%, kemudian modifikasi asetilasi sebesar 57,99%. Hal ini selaras dengan pernyataan Wulan et al. (2007) bahwa kadar pati pemutusan ikattan cabang yang dikombinasikan dengan pengikatan silang justru lebih tinggi dibandingkan pati alaminya. Hal ini karena gugus fosfat yang terpenetrasi ke dalam granula membentuk ikatan kovalen dengan molekul pati menghasilkan molekul yang lebih besar, sehingga meningkatkan berat molekul pati secara keseluruhan. Penelitian ini mengindikasikan bahwa kadar pati tepung palado modifikasi lebih tinggi dari kadar pati gadung (Dioscorea hispida) sebesar 38,80% (Santoso et al., 2015), dan kadar pati tepung ganyong (Canna) sebesar 40,18% (Richana dan Sunarti, 2004). Demikian juga penelitian Anggraeni dan Yuwono (2014) melaporkan hasil analisis pati pada bahan baku ubi jalar (Ipomoea batatas) menunjukkan bahwa kadar pati pada varietas kuningan merah sebesar 23,55%, kuningan putih sebesar 22,78%, dan Ayumurasaki (ungu) sebesar 16,37%. Kadar Amilosa – Amilopektin Tepung Palado Hasil penelitian diperoleh kadar amilosa tepung palado modifikasi berkisar antara 0,44 – 0,53% dan kadar amilopektin berkisar antara 57,44 – 58,96%. Hal ini menunjukkan rasio amilosa – amilopektin tepung palado modifikasi yaitu 1 : 5. Munarso et al. (2004) menunjukkan bahwa molekul amilopektin bersifat lebih mudah mengalami fosforisasi (terikat silang) dari pada molekul amilosa, sehingga molekul amilopektin saling bergabung menghasilkan sedikit molekul dalam ukuran yang besar. Hal ini disebabkan ketika pati dipanaskan dalam air pada temperatur gelatinisasi, energi panas menyebabkan ikatan hydrogen pati menjadi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”510

melemah. Ikatan yang melemah memudahkan air masuk ke dalam granula dan memungkinkan sedikit melarutnya dan terjadi pertukaran molekul amilosa menuju ke air. Waterschoot et al. (2015) menjelaskan perbedaan dari beberapa jenis tanaman penghasil pati terletak pada perbedaan amilosa dan amilopektin, struktur dan isi, organisasi granular, kehadiran lipid, protein dan miniral serta ukuran granula pati. Sedangkan Kusnandar (2011) mengungkapkan rasio amilosa dan amilopektin dalam granula pati sangat penting dan sering dijadikan sebagai parameter dalam pemilihan sumber pati dan untuk diaplikasikan dalam proses pengolahan pangan agar memberikan sifat fungsional yang diinginkan. Hal ini disebabkan rasio amilosa dan amilopektin akan berpengaruh pada komponen pasta pati dalam membentuk gel, mengentalkan, atau membentuk film. Komponen amilosa berkaitan dengan peningkatan daya serap air dan kesempurnaan proses gelatinisasi produk, sedangkan komponen amilopektin sangat menentukan kemampuan daya pengembangan produk (Hidayat et al., 2009). Selain itu, kadar amilosa dan amilopektin pati berpengruh terhadap ukuran granula pati dan bobot molekul pati. Sementara Imam et al. (2014) menyebutkan amilopektin berperan dalam proses pemekaran (puffing). Produk pangan yang berasal dari pati dengan kandungan amilopektin tinggi bersifat ringan, garing, dan renyah. Pada umumnya pati bahan pangan tersusun atas seperempat bagian amilosa dan tiga perempat bagian amilopektin (Imam et al., 2014).

KESIMPULAN

Modifikasi tepung secara cross-linking dan asetilasi dapat meningkatkan kandungan dan karakteristik kimia dari tepung palado (Aglaia sp) seperti kadar karbohidrat (66,72%

sebelum modifikasi menjadi 73,50%), energy (414 kkal sebelum modifikasi menjadi 417%), kadar protein (8,91% sebelum modifikasi menjadi 8,97%). Di sisi lain, modifikasi tepung secara cross-linking dan asetilasi dapat menurunkan kandungan kimia dari tepung palado seperti kadar air, kadar abu, dan kadar lemak, dibandingkan dengan tepung palado yang tidak dimodifikasi, yang ditunjukkan dengan penurunan kadar air (8,35% sebelum modifkasi menjadi 6,72 – 8,23%), kadar abu (3,61% sebelum modifkasi menjadi 1,25 – 3,27%), dan kadar lemak (12,37% sebelum modifikasi menjadi 9,54 – 9,75%). Selanjutnya kadar pati (52,78% sebelum modifikasi menjadi 59,40%), khusus kadar amilopektin terjadi peningkatan dari 51,78% sebelum modifikasi menjadi 58,96%). Hal ini mengindikasikan bahwa potensi pengembangan tepung palado (Aglaia sp) modifikasi sebagai tepung alternatif sangat prospektif untuk dikembangkan, terutama untuk mensubtitusi tepung terigu dalam pembuatan roti dan mi karena memiliki kandungan dan karakteristik kimia yang tidak kalah dengan sumber tepung-tepung lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Akanbi T.O., Nazamid S., and Adebowale A.A., 2009. Functional and Pasting Properties of a Tropical Bread Fruit (Artocarpus altilis) Starch from Ile-Ife, Osun state, Nigeria. International Food Research journal 16: 151 – 157 (2009).

AOAC., 1995. Official Method of Analysis. Association of Analytical Chemist. Washington DC, USA.

Anggraeni Y.P., and Yuwono S.S., 2014. Effect of Natural Fermentation in chips of Sweet Patato (Ipomoea batatas) Against Physical Properties of Wheat Sweet Patato. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol 2 No.2: 59 – 69 April 2014.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 511

Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian RI., 2011. Diversifikasi Pangan Realita dan Harapan. Makalah Seminar Sehari disampaikan pada “The Future of Global food Security and Safety: Issues and Justification” di IPB ICC Bogor, 27 Oktober 2011.

Cheng Y.F., and Bhat R., 2015. Physicochemical and Sensory Quality Evaluation of Chapatti (Indian flat bread) Produced by Utilizing Underutilized Jering (Pithecellobium jeringa Jack.) Legume and Wheat Composite Flours. International Food research Journal 22 (60: 2244 – 2252.

Direktorat Gizi Departemen Kesehatan Republik Indonesia., 1996. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bharata Karya Aksara. Jakarta, Indonesia.

Erika Cut., 2010. Produksi Pati Termodifikasi dari Beberapa Jenis Pati. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan, vol 7 No.3: 130 – 137.

Hanim Mohd A.B., N.L. Chin and Y.A. yusof., 2014. Physico-chemical and Flowwability Characteristics of a new Variety of Malaysian Sweet Patato, VitAto Flour. International Food Research Journal 22 (6): 2244 – 2252 (2015).

Hidayat B., Kalsum N., dan Surfiana., 2009. Karakterisasi Tepung Ubi Kayu Modifikasi yang di Proses Menggunakan Metode Pragelatinisasi Partial. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian, vol 14 No. 2 September 2009.

Imam H.R., Primaniyarta M., dan Palupi S.N., 2014. Konsistensi Mutu Pilus Tepung Tapioka: Identifikasi Parameter Utama Penentu Kerenyahan. Jurnal Mutu Pangan Vol 1 (2): 91 – 99, 2014 ISSN 23555017.

Imanningsih N., 2012. Gelatinization Profile of Several Flour Formulation for Estimating Cooking Behavior.

Penelitian Gizi Makanan 2012, 35 (1): 13 – 22.

Kuswandari Yesti M., Anastria Olivia., dan Wardhani Hesti D., 2013. Karakterisasi Fisik Pati Ganyong (Canna edulis Kerr.) Termodifikasi Secara Hidrotermal. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri Vol 2 No.4 Tahun 2013: 132 – 136.

Khomsatin S., Sugiyono., dan Haryanto B., 2012. Study of the of Stream Pressure Treatment on the Physicochemical Properties of Corn Flour. Jurnal Iptek Ketahanan Pangan Vol XXIII No.1, 2012: 86 – 93.

Kusnandar F., 2011. Kimia Pangan Komponen Makro. Dian Rakyat Jakarta, Indonesia.

Medikasari., Nurdjannah S., Yuliana N., dan C.S. Lintang Naomi., 2009. Sifat Amilografi Pasta Pati Sukun Termodifikasi Menggunakan Sodium Tripoliposfat. Jurnal Teknologi Industri dan Hasil Pertanian vol 14 No.2 September 2009: 173 – 177.

Munarso S.J., Muchtadi D., Fardiaz D., dan Syarief R., 2004. Perubahan Sifat Fisikokimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses modifikasi Ikat-Silang. Jurnal Pascapanen 1 (1) 2004: 22 – 28.

Nazhrah., Julianti E., dan L. Masniary L., 2014. Pengaruh Proses Modifikasi Fisik terhadap Karakteristik Pati dan Produksi Pati Resisten dari Empat Varietas Ubi Kayu (Manihot esculenta). Jurnal Rekayasa Pangan dan Pertanian Vol 2 No.2 Th 2014: 1 – 9.

Pangastuti H.A., Affandi D.R., dan Ishartadi D., 2013. Karakterisasi Sifat Fisik dan Kimia Tepung Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) dengan Beberapa Perlakuan Pendahuluan. Jurnal teknosains Pangan, Vol 2 No. 1 Januari.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”512

Praptiwi., Puspa Dewi., Mindarti., dan Harapani., 2006. Nilai Peroksida Aglaia argentea blume A. Tomenfosa Teijsm & Binn. Jurnal Biodiversitas Vol 7 No.3 Juli 2006: 242 – 244.

Rahman S., 2014. Characteristics of Physicochemical Properties of Seeds Palado Flour (Aglaia sp) and Potensial Utilization as source of new Alternative Flour. Laporan Penelitian Hibah Disertasi Doktor. DRPM – Kemenristekdikti, 2014.

Rahman S., 2013. Analisis Proksimat Biji Palado (Aglaia sp) sebagai Alternatif Sumber Pangan Berbasis Lokal. Prosiding Seminar Nasional Perhiimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) 26 – 29 Agustus 2013 Jember, Indonesia ISBN 978-602-49-5, Hal: 279 – 288.

Richana N., Budiyanto A., dan Mulyawati I., 2010. Pembuatan Tepung Jagung Termodifikasi dan Pemanfaatannya untuuk Roti. Prosiding Pekan Seralia Nasional 2010: 446 – 454 ISBN 978-979-8940-29-3.

Richana N., dan sunarti T.C., 2004. Karakterisasi Sifat Fisikokimia Tepung Umbi dan Tepung Umbi Ganyong, Suweg, Ubi Kelapa, dan Gembili. Jurnal Pascapanen 1 (1): 29 – 37.

Setyowati N., dan Wawo A.H., 2015. Mengungkap Keberadaan dan Potensi Gayam (Inocarpus fagifer) sebagai Sumber Pangan Alternative di Sukabumi Jawa Barat. Pros Nas Masy Biodiv Indon Vol 1, No.1 Maret 2015: 71 – 77.

Teja W., P. sindi I., Ayucitra A., dan Setiawan K.E. Laurentia., 2008. Karakteristik Pati Sagu dengan Metode Modifikasi Asetilasi dan Cross-linking. Jurnal Teknik Kimia Indonesia Vol 7 No.3 Desember 2008: 836 – 843.

Waterschoot J., Gomand U.S., Flerent E., and Delcour A.J., 2015. Production, Structure, Physicochemical and Functional Properties of Maize, Cassava, Wheat, Patato, and Rice Starch. Journal/Starke 2015, 67: 14 – 29.

Wulan N.S., Widyaningsih D.T., dan Ekasari Dian., 2007. Modifikasi Pati Alami dan Pati Hasil Pemutusan rantai Cabang dengan Perlakuan Fisik/Kimia untuk Meningkatkan Kadar Pati Resisten pada Pati Beras. Jurnal Teknologi Pertanian vol 8 no.2 Agustus 2007: 80 – 87.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 513

PENGARUH KONSENTRASI ENZIM PAPAIN (Carica papaya L) DAN SUHU FERMENTASI TERHADAP KARAKTERISTIK CRACKERS

EFFECT OF ENZYME PAPAIN CONCENTRATION (Carica papaya L) AND TEMPERATURE FERMENTATION TO CRACKERS CHARACTERISTICS

Thomas Gozali*, Neneng Suliasih, Jaka Rukmana, Fitrianasari Budiman

Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknik, Universitas Pasundan *Email Korespondensi: [email protected]

ABSTRACT The purpose of this research was to study the effect of enzyme papain concentration and fermentation temperature on crackers characteristics.This study used 3x3 factorial experimental design in randomized complete block design (RAK) with 3 times repeated, where the factors include: the concentration of enzyme papain (E) which consists of three levels, namely e1 (0.5%), e2 (0.75 %), e3 (1.0%) and fermentation temperature (S) consists of 3 levels, s1 (34°C), s2 (37°C), s3 (40°C). Response in this research was chemical response which include moisture content, protein content and organoleptic response covering appearance, aroma, crispness, and taste.Papain enzyme concentration has significant effect on taste and water content. The temperature of fermentation has significant effect on water content and protein content. The interaction of papain enzyme concentration and fermentation temperature had significant effect on the appearance and the water content.Based on organoleptic test showed that the treatment was elected in crackers was e3s1 treatment (papain enzyme concentration of 1.0% to the fermentation temperature 34°C) has a moisture content of 4.35% and a protein content of 13.00%

Keywords: crackers, fermentation temperature, papain enzyme

ABSTRAK Tujuan penelitian ini untuk mempelajari pengaruh konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap karakteristik krekers. Penelitian ini menggunakan rancangan percobaan faktorial 3x3 dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan ulangan sebanyak 3 kali, dimana faktornya meliputi: konsentrasi enzim papain (E) yang terdiri dari 3 taraf, yaitu e1 (0,5%), e2 (0,75%), e3 (1,0%) dan suhu fermentasi (S) yang terdiri dari 3 taraf yaitu s1 (34°C), s2 (37°C), s3 (40°C). Respon pada penelitian ini adalah respon kimia yang meliputi kadar air, kadar protein dan respon organoleptik yang meliputi kenampakan, aroma, kerenyahan, dan rasa. Konsentrasi enzim papain berpengaruh nyata terhadap rasa dan kadar air. Suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kadar air dan kadar protein. Interaksi konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kenampakan dan kadar air. Berdasarkan uji organoleptik menunjukan bahwa perlakuan terpilih pada krekers adalah perlakuan e3s1 (konsentrasi enzim papain 1,0% dengan suhu fermentasi 34°C) memiliki kadar air sebesar 4,35% dan kadar protein 13,00%

Kata kunci: enzim papain, krekers , suhu fermentasi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”514

PENDAHULUAN

Di Indonesia para produsen kue maupun makanan ringan lainnya menggunakan bahan tambahan makanan seperti perenyah dengan tujuan membuat tekstur kue menjadi kering dan renyah serta memiliki keuntungan dapat memperpanjang umur simpan. Bahan perenyah yang beredar di pasaran yaitu Emplex dan Sodium SAPP. Emplex merupakan bahan perenyah kue kering dengan menggunakan dosis sebesar 0.4% - 0.8% dari berat tepung, dan Sodium SAPP bahan perenyah untuk goreng-gorengan. Penggunaan bahan ini akan membuat hasil gorengan lebih renyah dan kering. Biasanya digunakan untuk membuat tepung kentucky supaya lebih renyah dengan dosis pemakaian sebesar 0.5% dari berat tepung.

Enzim papain dapat digunakan sebagai komponen bahan untuk merenyahkan kue kering misalnya krekers. (Ahmad, 2013)

Enzim papain atau enzim proteolitik berfungsi untuk mengkatalisis pemecahan ikatan peptida, polipeptida dan protein dengan menggunakan reaksi hidrolisis menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana seperti peptida rantai pendek dan asam amino. (Savitri, 2014)

Jika konsentrasi enzim yang digunakan tetap, sedangkan substrat dinaikkan maka pada penambahan pertama kecepatan reaksi naik dengan cepat. Tetapi jika penambahan substrat dilanjutkan, maka tambahan kecepatan mulai menurun sampai pada titik batas. Bagaimanapun tingginya konsentrasi substrat setelah titik ini tercapai, kecepatan reaksi akan mendekati garis maksimum. Pada batas kecepatan maksimum (Vmaks), enzim menjadi jenuh oleh substratnya dan tidak dapat berfungsi lebih cepat. Dalam reaksi enzimatik, bila konsentrasi substrat tetap maka kenaikan laju reaksi berbanding lurus dengan konsntrasi enzim. Sedangkan bila konsentrasi enzim yang tetap, maka kenaikan

laju reaksi berbanding lurus dengan konsentrasi substrat.

Suhu sangat mempengaruhi aktivitas enzim pada waktu mengkatalisis suatu reaksi. Seluruh enzim memerlukan panas terutama untuk dapat aktif. Sejalan dengan meningkatnya suhu, makin meningkat pula aktifitas enzim. Secara umum, setiap peningkatan sebesar 10°C di atas suhu minimum, aktifitas enzim akan meningkat sebanyak dua kali lipat. Aktivitas enzim meningkat pada kecepatan ini hingga mencapai kondisi optimum. Peningkatan suhu yang melebihi suhu optimumnya menyebabkan lemahnya ikatan di dalam enzim secara struktural. (Vina, 2015)

Enzim papain merupakan enzim yang dapat berperan dalam proses fermentasi, selain dapat berfungsi sebagai katalisator reaksi, enzim papain juga memiliki fungsi yang sama dengan mikroorganisme yang bersifat fermentatif seperti mikroorganisme proteolitik yaitu dapat memecah protein kompleks menjadi penyusun protein sederhana, karena alasan tersebut pada penelitian kali ini akan menggunakan enzim papain yang berfungsi sebagai perenyah krekers.

BAHAN DAN METODE

Bahan baku utama yang digunakan

dalam penelitian adalah crude enzim papain, sedangkan bahan penunjang yang digunakan adalah tepung terigu, air, butter blend, baking powder, ragi, Na2SO4 anhidrat, HgO, selenium, H2SO4 pekat, NaOH 0,1 N, indikator phenolptalein, aquadest.

Bahan – bahan yang digunakan untuk analisis kimia adalah larutan Luff Schoorl, H2SO4 6 N, H2SO4 (p), serbuk KI, Na2S2O3 0,1 N, Na2S2O3 5 %, amilum 1 %, HCl 9,5 N, NaOH 30%, NaOH 0,1 N, Na2S2O4 anhidrat, HgO, Selenium black, Natrium metabisulfit, batu didih, granul Zn, indikator

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 515

phenolpthalein, n-heksan, aquadest, metanol dan larutan DPPH.

Alat yang digunakan dalam proses penelitian yaitu mangkok, sendok, baskom, spatula, mesin roll press Weston Altas 150, cetakan kue, loyang, oven, mixer, timbangan, inkubator, lakmus merah, labu kjedahl, alat destilasi, labu ukur 100 ml, erlemeyer 250 ml, corong, statif, buret, batang pengaduk, botol timbang, dan eksikator.

Metodologi Penelitian Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menentukan formula krekers dengan pengujian respon inderawi (uji deskripsi). Formula yang digunakan pada penelitian pendahuluan terdapat 4 (empat) formula.

Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi dan terhadap karakteristik krakers.

Penelitian utama ini adalah pembuatan crackers dengan menggunakan formula terpilih yang diperoleh dari hasil penelitian pendahuluan. Selanjutnya dilakukan rancangan perlakuan, rancangan percobaan, rancangan analisis, dan rancangan respon.

Rancangan Perlakuan terdiri dari dua faktor yaitu, konsentrasi enzim papain (E) terdiri dari 3 taraf, yaitu: e1 (0,5%), e2 (0,75%), a3 (1,0%). Faktor yang kedua, suhu fermentasi (S) terdiri dari 3 taraf, yaitu: s1 (34°C), s2 (37°C), s3 (40°C).

Rancangan percobaan yang dilakukan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan pola faktorial 3 x 3 dimana masing-masing rancangan terdiri dari 2 (dua) faktor dengan 3 (tiga) kali ulangan, sehingga didapatkan 27 satuan percobaan.

Respon kimia yang akan dilakukan terhadap produk krekers adalah penentuan kadar air dengan menggunakan metoda gravimetri, analisis kadar protein dengan

metode Kjedahl. Respon organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik dengan 30 orang panelis dengan penilaian atribut mutu yang dipilih yaitu kenampakan, aroma, kerenyahan dan rasa.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian Pendahuluan

Penelitian pendahuluan dilakukan untuk menetapkan perlakuan yang tepat untuk penelitian utama. Penelitian pendahuluan pembuatan krekers adalah menentukan formula krekers dengan pengujian respon inderawi (uji deskripsi). Formula yang digunakan pada penelitian pendahuluan terdapat 4 (empat) formula. Hasil uji deskripsi pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik Majemuk Hasil Uji Deskripsi Penelitian Pendahuluan

Hasil uji inderawi terhadap

kenampakan menunjukan bahwa formula 4 (krekers tanpa penambahan baking powder dengan perbandingan enzim papain dan ragi adalah 1:1) lebih unggul dibandingkan formula lainnya karena memiliki kenampakan yang mengembang dan ketika dipatahkan penampangnya berlapis-lapis, hal tersebut dikarenakan jumlah ragi yang terdapat pada formula ini lebih banyak dibandingkan formula lain yaitu sebesar 0,75%. Ragi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”516

melakukan respirasi anaerobik atau fermentasi alkohol. Fermentasi terjadi akibat gula dalam adonan yang diuraikan dan menghasilkan etanol, karbon dioksida, dan energi. Energi dipakai oleh sel ragi untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Karbondioksida terperangkap di dalam adonan dalam bentuk gelembung gas. Saat adonan dipanggang dalam oven, panas oven menyebabkan adonan mengembang dan ukurannya membesar. Ini terjadi karena gas mengembang jika temperatur tinggi. Panas menguapkan etanol dan membunuh yeast sehingga fermentasi berhenti, sehingga krekers pada formula ke 4 ini memiliki daya mengembang yang baik. (Hasan, 2012)

Hasil uji inderawi terhadap aroma (khas krekers) menunjukan bahwa formula 4 (krekers tanpa penambahan baking powder dengan perbandingan enzim papain dan ragi adalah 1:1) lebih unggul dibandingkan formula lainnya karena memiliki aroma khas krekers. Hal tersebut dikarenakan jumlah ragi yang terdapat pada formula ini lebih banyak dibandingkan formula lain yaitu sebesar 0,75%. Ketika fermentasi pengembangan adonan terjadi karena ragi menghasilkan gas karbondioksida (CO2) selama fermentasi. Komponen lain yang terbentuk selama proses fermentasi adalah asam dan alkohol yang berkontribusi terhadap aroma krekers. (Ayu, 2012)

Hasil uji inderawi terhadap kerenyahan menunjukan bahwa formula 4 (krekers tanpa penambahan baking powder dengan perbandingan enzim papain dan ragi adalah 1:1) lebih unggul dibandingkan formula lainnya karena memiliki tekstur yang renyah. Hal tersebut dikarenakan jumlah enzim papain yang terdapat pada formula ini lebih banyak dibandingkan formula lain yaitu sebesar 0,75%. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yaitu dapat memecah protein kompleks menjadi penyusun protein sederhana yaitu asam amino.

Pada proses fermentasi akan terbentuknya gas yang menghasilkan konsistensi adonan yang frothy (porus seperti busa). Pembentukan gas pada proses fermentasi sangat penting karena gas yang dihasilkan akan membentuk struktur seperti busa, sehingga aliran panas ke dalam adonan dapat berlangsung cepat pada saat baking. Panas yang masuk ke dalam adonan akan menyebabkan gas dan uap air terdesak ke luar dari adonan, sementara terjadi proses gelatinisasi pati sehingga terbentuk struktur frothy. (Feby, 2012)

Hasil uji inderawi terhadap rasa menunjukan bahwa formula 3 (krekers tanpa penambahan baking powder dan ragi) lebih unggul dibandingkan formula lainnya karena memiliki rasa yang gurih. Hal tersebut dikarenakan pada formula ini terdapat enzim papain sebanyak 3 gram, enzim papain merupakan enzim proteolitik yang dapat menghidrolisis protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana seperti asam amino.

Menurut Rochem (2012) asam amino dengan reaksi transaminasi dapat diubah menjadi asam glutamat dengan bantuan enzim glutamat transaminase. Menurut Tan Hoan (2015) glutamat merupakan salah satu jenis asam amino yang dapat memberikan rasa gurih pada makanan.

Maka dari itu jika dilihat dari grafik majemuk uji deskripsi yang meliputi atribut kenampakan, aroma, kerenyahan dan rasa. Formula 4 memiliki nilai unggul dalam atribut kenampakan, aroma, dan kerenyahan, sedangkan formula 3 unggul dalam atribut rasa. Sehingga formula 4 akan digunakan untuk penelitian utama. Hasil Penelitian Utama

Penelitian utama merupakan lanjutan dari penelitian pendahuluan yang dilakukan untuk mengetahui pengaruh konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap karakteristik krekers. Respon penelitian utama

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 517

produk krekers ini adalah respon kimia yang meliputi analisis kadar air dengan menggunakan metode gravimetri dan kadar protein dengan menggunakan metode kjedahl, serta respon inderawi terhadap atribut kenampakan, aroma, kerenyahan dan rasa.

Analisis Kimia Kadar air

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) menunjukan bahwa konsentrasi enzim papain tidak berpengaruh terhadap kadar air sedangkan suhu fermentasi dan interaksi keduanya berpengaruh terhadap kadar air krekers. Pengaruh interaksi konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap kadar air krekers dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi

Enzim Papain dan Suhu Fermentasi Terhadap Kadar Air Krekers (%).

Keterangan: Huruf kecil dibaca arah

horizontal dan huruf besar dibaca arah vertikal, huruf yang berbeda menyatakan perbedaan yang nyata pada taraf 5% uji Duncan.

Berdasarkan hasil di atas dapat

disimpulkan bahwa semakin tinggi suhu fermentasi maka kadar air krekers akan semakin rendah, menurut penelitian Usmiati (2011) penambahan enzim mampu menurunkan nilai kadar air produk. Enzim proteolitik bersifat larut dalam air, sehingga terjadi sintesis air oleh enzim tersebut. Hidrolisis protein oleh enzim protease akan

memutuskan ikatan peptida yang terdapat pada protein. Proses pemutusan ini membutuhkan air, semakin aktif daya proteolitiknya maka semakin banyak kebutuhan akan air, sehingga dapat menurunkan nilai aktivitas air pada bahan.

Pada suhu 34°C dengan konsentrasi enzim papain 0,75% terdapat kadar air yang tinggi karena pada suhu tersebut merupakan suhu aktivitas optimum dari ragi, sesuai dengan penelitian Sutrisno (2009) bahwa aktivitas ragi dalam proses fermentasi yaitu pada suhu antara 30 - 35°C. Ketika ragi memfermentasi gula maka akan menghasilkan karbondioksida dan air, sehingga kadar air akan meningkat. Tetapi pada konsentrasi enzim papain 1,0% kadar air krekers mengalami penurunan karena semakin banyak enzim proteolitik maka akan semakin banyak air yang dibutuhkan dalam proses hidrolisis sehingga kadar air pada konsentrasi 1,0% akan menurun.

Pada suhu 37°C dengan konsentrasi enzim papain 0,75% kadar air krekers menurun karena enzim papain membutuhkan air dalam proses hidrolisisnya sehingga kadar air akan menurun, tetapi kadar air mengalami peningkatan kembali dengan penambahan enzim papain 1,0% karena pada konsentrasi tersebut protein banyak dihidrolisis oleh enzim proteolitik sehingga terputusnya ikatan rangkap dan memudahkan udara disekitar berikatan dengan ikatan tunggal sehingga kadar air akan meningkat.

Pada suhu 40°C merupakan suhu optimum dari enzim papain sehingga semakin tinggi konsentrasi enzim papain kadar air akan meningkat karena semakin tinggi enzim papain protein akan dihidrolisis dengan optimal oleh enzim proteolitik menghasilkan ikatan tunggal, selama fermentasi ke-2 berlangsung memungkinkan ikatan tunggal akan berikatan dengan H2O disekitar sehingga kadar air krekers akan meningkat.

Kadar air pada krekers tersebut memiliki rata-rata 2,95–5,65% dan menurut

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”518

SNI 01-2973-1992, tentang syarat mutu crackers adalah maksimal 5%. Sehingga kadar air pada crackers ini memenuhi standar SNI 01-2973-1992. Namun pada perlakuan penambahan enzim papain 0,75% dengan suhu fermentasi 34°C memiliki kadar air diatas 5%.

Kadar Protein

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) menunjukan bahwa konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi berpengaruh nyata, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kadar protein krekers. Pengaruh konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap kadar protein krekers dapat dilihat pada tabel 2 dan tabel 3.

Tabel 2. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain

Terhadap Kadar Protein Krekers(%)

Keterangan : Huruf besar dibaca vertikal,

huruf kecil dibaca horizontal. Setiap huruf yang berbeda menunjukan perbedaan nyata pada taraf 5%.

Dilihat pada tabel 2, diketahui bahwa

pada konsentrasi enzim papain 0,75% (e2) dan konsentrasi enzim papain 1,0% (e3) berbeda nyata dengan konsentrasi enzim papain 0,5% (e1) sehingga dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi enzim papain 0,75% kadar protein krekers mengalami penurunan karena pada konsentrasi enzim papain yang tinggi akan menghasilkan asam amino lebih banyak dari proses hidrolisis, sesuai dengan penelitian Savitri (2014) enzim proteolitik dapat memecah ikatan peptida dengan reaksi hidrolisis menjadi molekul-molekul yang

lebih sederhana seperti peptida rantai pendek dan asam amino.

Apabila asam amino larut dalam air, gugus karboksilat -COOH akan melepaskan ion H+, sedangkan gugus amina –NH2 akan menerima ion H+ sehingga menghasilkan senyawa NH3

+ (Poedjiadi, 1994). NH3+ akan

mudah menguap pada suhu kamar, dan pada proses pemanggangan dengan oven NH3

+

akan hilang, sehingga N total akan berkurang dan kadar protein pada krekers menurun.

Tabel 3. Pengaruh Suhu Fermentasi Terhadap

Kadar Protein Krekers (%)

Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti

huruf berbeda menunjukan perbedaan yang nyata pada uji lanjut duncan taraf nyata 5%.

Dilihat pada tabel 3, diketahui bahwa

suhu fermentasi 34°C (s1) menghasilkan krekers dengan kadar protein yang berbeda nyata dengan suhu fermentasi 37°C (s2) sedangkan suhu fermentasi 40°C (s3) berbeda nyata dengan suhu fermentasi 34°C dan 37°C, sehingga dapat disimpulkan semakin tinggi suhu fermentasi maka semakin rendah kadar protein karena reaksi yang menggunakan katalis enzim dapat dipengaruhi oleh suhu, sesuai dengan pendapat Poedjiadi (1994) bahwa pada suhu rendah reaksi kimia berlangsung lambat, sedangkan pada suhu yang lebih tinggi reaksi berlangsung lebih cepat.

Menurut penelitian Vina (2015) didapatkan suhu optimum enzim papain yaitu 40°C, sehingga pada suhu 40°C merupakan suhu optimum dari aktivitas kerja enzim papain dalam memecah protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu asam amino yang lebih banyak. Asam amino yang

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 519

larut dalam air akan menghasilkan gugus karboksilat

–COOH dan senyawa NH3+ (Poedjiadi,

1994). NH3+ akan mudah menguap pada suhu

kamar, dan pada proses pemanggangan dengan oven NH3

+ akan hilang, sehingga N total akan berkurang dan kadar protein pada krekers menurun.

Kadar protein pada krekers tersebut memiliki protein dengan rata-rata 12,51 – 13,71 % dan menurut SNI 01-2973-1992, tentang syarat mutu krekers adalah minimal 8 %. Sehingga kadar protein pada krekers ini memenuhi standar SNI 01-2973-1992. Protein yang terkandung di dalam krekers di pengaruhi oleh komposisi bahan penyusunnya. Dalam pembuatan krekers bahan penyusunnya ada beberapa yang kaya akan protein diantaranya tepung terigu dan mentega. Respon Organoleptik Kenampakan

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) menunjukan bahwa konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi tidak berpengaruh nyata sedangkan interaksi konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi berpengaruh nyata terhadap kenampakan krekers. Pengaruh interaksi konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap kenampakan krekers dapat dilihat pada tabel 4.

Berdasarkan hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pada konsentrasi enzim papain 0,5% dan 0,75% semakin tinggi suhu fermentasi maka kenampakan krekers semakin disukai panelis karena terlihat adanya pengembangan volume krekers.

Tabel 4. Pengaruh Interaksi Konsentrasi Enzim Papain dan Suhu Fermentasi Terhadap Kenampakan Krekers

Keterangan: Huruf besar dibaca vertikal,

huruf kecil dibaca horizontal. Setiap huruf yang berbeda menunjukan perbedaan nyata pada taraf 5%.

Menurut penelitian Vina (2015) bahwa

suhu optimum dari enzim proteolitik yaitu 40°C, juga didukung penelitian Sutrisno (2009) bahwa enzim proteolitik memiliki peran dalam memperbaiki struktur gluten dan dapat digunakan untuk memastikan pembentukan adonan yang seragam dan membantu mengendalikan pembentukan tekstur adonan. Pada saat berlangsungnya proses fermentasi terjadi penurunan pH adonan dan menyebabkan terjadinya aksi-aksi enzim proteolitik pada protein, sehingga mampu membentuk sistem dinding penahan gas yang akan membuat kenampakan krekers mengembang dan disukai panelis.

Pada konsentrasi enzim papain 0,5% dan 0,75% terdapat konsentrasi ragi yang cukup besar, sehingga mempengaruhi kenampakan dari krekers. Menurut Sutrisno (2009), ragi dibuat dari sel khamir Saccharomyces cereviceae. Dengan memfermentasi gula, khamir menghasilkan karbondioksida yang digunakan untuk mengembangkan adonan, sehingga semakin tinggi konsentrasi ragi maka kenampakan krekers akan semakin mengembang dan memiliki konsistensi adonan yang frothy (porus seperti busa). Kondisi optimal bagi

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”520

aktivitas ragi dalam proses fermentasi adalah suhu antara 35-37°C dan pH antara 4.0 sampai 4.5.

Konsentrasi enzim papain 1,0% semakin tinggi suhu fermentasi maka kenampakan kurang disukai panelis karena semakin tinggi suhu maka aktivitas enzim proteolitik dalam memecah protein semakin tinggi dan menyebabkan pecahnya ikatan peptida terlalu banyak hal ini tentu akan mengakibatkan menurunnya elastisitas gluten yang terbentuk sehingga produk akhir akan menjadi lebih kaku (Iflatul, 2016) dan kenampakan krekers kurang mengembang.

Pada suhu fermentasi 34°C krekers yang paling disukai panelis yaitu pada konsentrasi enzim papain 1,0% karena pada suhu fermentasi 34°C bukan merupakan suhu aktivitas optimum dari enzim papain, sehingga enzim proteolitik belum memecah protein seluruhnya dan gluten masih memiliki elastisitas yang baik sehingga membentuk sistem dinding penahan gas dan membuat kenampakan krekers mengembang dengan cukup baik dan disukai panelis. Aroma

Aroma adalah reaksi dari makanan yang akan mempengaruhi konsumen sebelum konsumen menikmati makanan, konsumen dapat mencium makanan tersebut.

Aroma merupakan salah satu parameter dalam penentuan kualitas suatu makanan. Aroma yang khas dapat dirasakan oleh indera penciuman tergantung dari bahan penyusun dan bahan yang ditambahkan pada makanan tersebut. Aroma dalam bahan makanan dapat ditimbulkan oleh komponen-komponen volatil, akan tetapi komponen volatil tersebut dapat hilang selama proses pengolahan terutama panas (Fellows, 1990).

Aroma yang diharapkan pada produk krekers ini adalah aroma khas krekers. Aroma ini didapatkan dari campuran butter dan tepung terigu. Butter termasuk lemak yang paling baik dilihat dari sudut aroma dan rasa

yang gurih khas butter akan tercipta selama roses pembakaran.

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) menujukan bahwa perlakuan konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap aroma. Rata-rata panelis memberikan skala berkisar 3,33 – 4,43 dimana didalam skala hedonik diartikan panelis agak suka hingga agak tidak suka terhadap aroma krekers. Aroma yang dihasilkan pada krekers memiliki aroma yang hampir sama karena aroma yang dihasilkan didapat dari butter. Butter dalam krekers ini memiliki konsentrasi yang seragam yaitu 8% atau 16 gram sehingga aroma yang dihasilkan dari seluruh sampel krekers tidak berpengaruh nyata.

Pada pembuatan krekers menggunakan butter blend, produk ini merupakan campuran antara margarin dan mentega dengan komposisi sekitar 60% margarin dan 40% mentega ditambah butter flavour sehingga aromanya sangat harum. Aroma mentega terbentuk dari berbagai senyawa kimia seperti diasetil, lakton, butirat, dan laktat (Dyah, 2012).

Kerenyahan

Kerenyahan adalah kesan yang ditimbulkan pada indera pendengaran karena adanya bunyi yang ditimbulkan pada saat digigit.

Berdasarkan hasil analisis variansi (ANAVA) menunjukan bahwa perlakuan konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap kerenyahan. Rata-rata panelis memberikan skala berkisar 3,83 – 5,23 dimana didalam skala hedonik diartikan panelis agak suka hingga suka terhadap kerenyahan krekers. Kerenyahan yang dihasilkan pada krekers memiliki kerenyahan yang hampir sama karena penggunaan konsentrasi enzim papain memiliki range yang tidak terlalu siginifikan. Penggunaan

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 521

crude papain juga menjadi faktor yang menyebabkan kerenyahan krekers tidak berbeda nyata karena crude papain tidak dapat optimal dalam menghidrolisis protein menjadi ikatan peptida yang lebih sederhana seperti asam amino sehingga gas karbondioksida (C02) tidak dapat berikatan dengan ikatan tunggal dari protein dan menyebabkan krekers menjadi kurang mengembang dan kurang renyah.

Menurut penelitian Dwi (2011) tekstur krekers yang dihasilkan untuk semua sampel sama karena seluruh sampel juga melalui tahapan pelapisan dust filling dan bahan pengembang yang sama namun berbeda konsentrasi, tetapi perbedaan konsentrasi yang digunakan tidak terlalu signifikan sehingga daya mengembang krekers yang dihasilkan tidak berpengaruh nyata terhadap kerenyahan.

Kerenyahan salah satunya ditentukan oleh kandungan protein dalam bentuk gluten tepung yang digunakan. Gluten, adalah senyawa yang penting dalam adonan yaitu suatu masa yang bersifat kohesif dan viskoelastis yang dapat meregang secara elastis.

Pada saat air ditambahkan dan dicampurkan ke dalam tepung terigu, protein tidak larut air dalam terigu (gliadin dan glutelin) akan mengikat air tersebut dan membentuk gluten yang akan menahan gas yang dihasilkan dari fermentasi gula oleh ragi. Partikel gluten yang tersebar dalam adonan akan mengembang dan saling merajut membentuk kerangka adonan yang bersifat spongy dan menjadi tempat melekatnya butir-butir pati, ragi serta berbagai bahan lainnya (Sutrisno, 2009).

Enzim proteolitik akan mempengaruhi struktur gluten. Penambahan enzim proteolitik yang ditambahkan harus tepat agar dapat menghasilkan volume yang baik (Sutrisno, 2009) dan akan mempengaruhi dari kerenyahan krekers.

Rasa Berdasarkan hasil analisis variansi

(ANAVA) menunjukan bahwa konsentrasi enzim papain berpengaruh nyata terhadap rasa krekers sedangkan suhu fermentasi dan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Pengaruh konsentrasi enzim papain terhadap rasa krekers dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Konsentrasi Enzim Papain

Terhadap Rasa Krekers

Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti

huruf berbeda menunjukan perbedaan yang nyata pada uji lanjut duncan taraf nyata 5%.

Semakin tinggi konsentrasi enzim

papain maka rasa dari krekers semakin disukai panelis karena pada konsentrasi enzim papain 1,0%, enzim proteolitik akan menghidrolisis protein dan menghasilkan asam amino yang lebih banyak. Menurut Rochem (2012) asam amino dengan reaksi transaminasi dapat diubah menjadi asam glutamat dengan bantuan enzim glutamat transaminase.

Menurut Tan Hoan (2015) asam glutamat dapat diperoleh dari proses hidrolisa protein nabati seperti gluten dan glutamat dapat memberikan rasa gurih pada krekers. Produk Terpilih

Produk terpilih dilihat dari setiap parameter yang ada yaitu respon organoleptik meliputi kenampakan, aroma, kerenyahan dan rasa. Produk terpilih diambil berdasarkan hasil data kuantitatif dari atribut yang diujikan.

Tabel 6. Penentuan Sampel Crackers Terbaik Berdasarkan Respon Organoleptik.

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”522

Keterangan : Nilai rata – rata yang diikuti

huruf berbeda menunjukan perbedaan yang nyata pada uji lanjut duncan taraf nyata 5%.

Berdasarkan respon organoleptik pada

atribut kenampakan dan rasa sampel e3s1 memiliki taraf nyata yang berbeda dari seluruh sampel, sedangkan atribut aroma dan kerenyahan tidak berpengaruh nyata sehingga taraf nyata dianggap sama. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sampel e3s1 (konsentrasi enzim papain 1,0% dengan suhu fermentasi 34°C) merupakan sampel terpilih karena memiliki taraf nyata yang berbeda dari seluruh sampel. Sampel e3s1 memiliki kandungan air sebesar 4,35%, kadar protein 13,00% yang sesuai dengan SNI krekers.

KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan dipilih perlakuan f4 (formula 4 dengan menggunakan konsentrasi enzim papain dan ragi dengan perbandingan 1:1, dan tanpa penambahan baking powder)

2. Konsentrasi enzim papain (E) berpengaruh terhadap rasa dan kadar air, tetapi tidak berpengaruh terhadap kenampakan, aroma, kerenyahan, dan kadar protein crackers.

3. Suhu fermentasi (S) berpengaruh terhadap kadar air dan kadar protein, tetapi tidak berpengaruh terhadap

kenampakan, aroma, kerenyahan, dan rasa crackers.

4. Interaksi antara konsentrasi enzim papain (E) dan suhu fermentasi (S) berpengaruh terhadap kenampakan dan kadar air, tetapi tidak berpengaruh terhadap aroma, kerenyahan, rasa, dan kadar protein crackers.

5. Perlakuan terpilih didapatkan dari hasil data kuantitatif yaitu sampel e3s1 (konsentrasi enzim papain 1,0% dengan suhu fermentasi 34°C) dengan kandungan kadar air sebesar 4,35%, kadar protein 13,00%.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad. 2013. Rahasia Dibalik Enzim Papain. Khasiatdaunpepaya.blogspot.co.id. Diakses : 01 Maret 2016.

Ayu. 2012. Ragi Bahan Utama Pengembang Adonan. Bakerymagazine.com. Diakses : 23 September 2016.

Dwi. 2011. Tugas Akhir Biskuit Creakers dengan Subtitusi Jamur Tiram (Pleurotus Ostreatus) Sebagai Alternatif Makanan Kecil Berprotein Tinggi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta

Fellows, P.J. 2000. Food Processing Technology, Principle and Practice. Published by Ellis Horwood Limitted, England.

Hasan, 2012. Bitoteknologi Konvensional (Tradisional). Kumpulan.materi.blogspot.co.id. Diakses : 23 September 2016.

Hoan, Tan. 2015. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya. Gramedia. Jakarta.

Poedjiadi, Anna. 1995. Dasar-dasar Biokimia. Universitas Indonesia. Jakarta.

Rochem. 2012. Metabolisme Protein dan Asam Amino. rochem.wordpress.com. Diakses : 20 November 2016

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL” 523

SNI (01-2973-1992). Syarat Mutu Biskuit Crakers. Standar Nasional Indonesia, Jakarta.

Usmiati. 2011. Pengaruh Enzim Proteolitik Terhadap Karakteristik Dadih Susu Sapi. oaji.net. Diakses : 03 November 2016

Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Bandar Lampung, 10-11 Oktober 2017“PERAN AHLI TEKNOLOGI PANGAN DALAM MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL”524