konflik-konflik sumberdaya alam di kawasan … · pertambangan pasir besi : studi implikasi otonomi...

149
KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI OTONOMI DAERAH (STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA) KUS SRI ANTORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Upload: vokhue

Post on 12-Mar-2019

232 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI

OTONOMI DAERAH

(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

KUS SRI ANTORO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 2: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Konflik-konflik Sumberdaya

Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah

(Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan

dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang

berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di

bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2010

Kus Sri Antoro

P052080041

Page 3: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

ABSTRACT

KUS SRI ANTORO. Natural Resource Conflicts on Iron Sand Mining Area: An Implication Study of Regional Autonomy (A Case Study in Kulon Progo District Yogyakarta Province). Under direction of ARYA HADI DHARMAWAN and ARIF SATRIA.

The social transformation of coastal community in Kulon Progo District, Yogyakarta Province, as a result of ecosystem transformation, has occurred since 1980. These processes take place gradually as the progress of indigenous knowledge and supported by the subsistent local livelihood activities. The local government publishes the mining policy on the coastal area to earn native local income. The impacts of the policy not only triggers the natural resource conflicts between local community; local government; and private sector, but also threaten the sustainability of community’s knowledge evolution; ecosystem; and the local community existence. A qualitative research was conducted to analyzed the natural resource conflicts, power relation, and develop conflicts resolution, used Theory of Decentralization, Theory of Property Rights, Theory of Conflict, and Theory of Human Ecology on the political ecology perspective as conceptual analysis. The concept of Governmentality was used to analyzed the empirical dimensions i.e. : 1) the agrarian structure, 2) the political processes of natural resource policy, 3) the structure of conflict, and 4) the relation of power on natural resource control. The results are that 1) natural resource conflicts are caused by both of material grounds (agrarian structure, decentralization) and immaterial grounds (political economy, partiality), its existence are manifest and latent, 2) the political processes of natural resource policy indicate the involvement of political economy of global economic actor in the context of agrarian changes, 3) the complexity of structure of conflicts are on the level of power, policy, and community, and 4) the power relations of conflicting actors are mutual, conflictual, and neutral. The conclusions are 1) the structure of natural resource conflicts in Kulon Progo District could characterize as multi actors, multi dimensions, multi arenas, and multi matters, manifest and latent, perennial and temporal conflicts, 2) the web of power relations of natural resource in Kulon Progo district are an articulation of agrarian structure, political process of natural resource policy, and the structure of conflicts that occur on decentralized political system, 3) the ecological crisis in Kulon Progo District is connected to social political crisis, and 4) the alternative of natural resource policy in Kulon Progo district is difficult to develop due to the absence of equality, transparency, and trust on the conflicting actors.

Keywords: agrarian structure, policy processes, conflicts, power relation, governmentality

Page 4: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

RINGKASAN

KUS SRI ANTORO. Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Dibimbing oleh ARYA HADI DHARMAWAN AND ARIF SATRIA

Perubahan sosial, sebagai akibat dari perubahan ekosistem, telah terjadi pada masyarakat pesisir Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sejak 1980. Proses-proses ini terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan setempat yang didukung oleh aktivitas matapencaharian secara subsisten. Pada tahun 2006, Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo menerbitkan kebijakan pertambangan pasir besi di kawasan pesisir untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Kebijakan tersebut tidak hanya memicu konflik antara pemerintah, masyarakat, dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan evolusi pengetahuan, ekosistem, dan eksistensi masyarakat. Penelitian ini bertujuan 1) menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, 2) menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam, 3) menganalisis hubungan konflik sumberdaya alam dan krisis-krisis sumberdaya alam dan sosial politik, 4) merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan sumberdaya alam. Metodologi yang digunakan ialah kualitatif intersubyektif, dengan menggunakan konsep Governmentality sebagai alat analisis bagi 1) struktur penguasaan sumberdaya alam, 2) proses politik kebijakan sumberdaya alam, 3) struktur konflik sumberdaya alam, dan relasi kekuasaan atas sumberdaya alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 1) konflik sumberdaya alam disebabkan oleh faktor yang berdimensi material, yaitu sistem politik dan struktur agraria, dan faktor yang berdimensi immaterial, yaitu politik ekonomi dan ketidakadilan, konflik bersifat laten dan manifest, 2) proses politik kebijakan menunjukkan keterlibatan kepentingan ekonomi politik dari agen ekonomi global dalam konteks perubahan-perubahan agraria, 3) struktur konflik bersifat kompleks dan terjadi pada aras kekuasaan, kebijakan, dan komunitas, dan 4) relasi-relasi kekuasaan atas sumberdaya alam dari pemerintah, masyarakat, dan swasta bersifat mutual, konfliktual, dan netral. Kesimpulan dari penelitian ini adalah 1) struktur konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo bersifat multiaktor, multidimensi, multidimensi, multimateri, manifest dan laten, serta sementara dan berlangsung terus-menerus, 2) jejaring kekuasaan atas sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi struktur penguasaan sumberdaya alam, proses politik kebijakan, dan struktur konflik sumberdaya alam, 3) konflik sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo berhubungan secara sinergis dengan krisis sumberdaya alam dan krisis sosial politik setempat, dan 4) alternative pengelolaan sumberdaya alam di Kabupaten Kulon Progo sulit

Page 5: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

terbentuk karena ketiadaan kepercayaan, keterbukaan informasi dan komunikasi, dan kesetaraan kekuasaan antara pemerintah, masyarakat, dan swasta.

Kata kunci: struktur agraria, proses politik kebijakan, struktur konflik, relasi kekuasaan, governmentality

Page 6: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber: a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan kritik, atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 7: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN PERTAMBANGAN PASIR BESI : STUDI IMPLIKASI

OTONOMI DAERAH

(STUDI KASUS DI KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)

KUS SRI ANTORO

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2010

Page 8: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Satyawan Sunito

Page 9: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

HALAMAN PENGESAHAN (sudah ada)

Page 10: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya tulis ini dipersembahkan khususnya untuk Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo, semoga menjadi bagian dari semangat kebangkitan perjuangan kaum tani di Indonesia menuju keadilan agraria.

Page 11: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2010 ini ialah konflik-konflik sumberdaya alam, dengan judul Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS. Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan IPB yang telah membimbing penulis dalam proses belajar di IPB.

2. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua Komisi Pembimbing penulis, sehingga penyusunan tesis dapat terselesaikan sebaik-baiknya.

3. Dr. Arif Satria, SP., MSi. Anggota Komisi Pembimbing yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

4. Dr. Satyawan Sunito, Penguji Luar Komisi Pembimbing yang telah menguji dan memberi masukan yang sangat berarti bagi penyempurnaan tesis ini.

5. Dr. Ir. Lailan Syufina, MSc. Ketua Tim Penguji Tesis yang telah memberi masukan dalam ujian tesis penulis.

6. Dr. Ir. Suryo Adiwibowo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman teori dan metodologi ekologi politik.

7. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MSc. yang telah berkenan menyempatkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis guna pendalaman konsep kelembagaan dan kebijakan sumberdaya alam.

8. The Indonesian International Education Foundation (IIEF) penyelenggara International Fellowship Program-Ford Foundation yang penulis ikuti dan penyandang dana penulis selama studi di IPB.

9. Segenap pihak yang telah berkenan menjadi sumber informasi bagi penelitian ini.

10. Kedua orang tua penulis yang begitu sabar dan penuh dedikasi mendidik penulis dalam kesederhanaan. Kedua saudara penulis yang telah mendukung kelancaran proses belajar penulis. Anak-anak yang penulis asuh, yang mengubah tanggungjawab menjadi daya gerak dan semangat hidup bagi penulis.

11. Para sejawat, kerabat, dan sahabat penulis yang senantiasa menyemangati dengan doa. Dengan segala keterbatasannya, penulis menyadari karya ini masih jauh

dari sempurna, sehingga kritik yang membangun atas karya ini akan sangat berarti. Terima kasih.

Bogor, Agustus 2010

Kus Sri Antoro

Page 12: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kabupaten Gunungkidul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 15 Oktober 1979 dari ayah Samidjan dan ibu Sunarsih. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara.

Pada tahun 1998 penulis lulus dari SMU Negeri 10 Yogyakarta dan pada tahun yang sama penulis diterima di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada Fakultas Pertanian, Jurusan Budidaya Pertanian, Program Studi Agronomi.

Pada tahun 2001-2004 penulis belajar secara informal kepada komunitas-komunitas gerakan organik di Jawa (khususnya di Jawa Tengah dan Yogyakarta); hingga pada 2004-2008, bersama beberapa kolega, penulis memfasilitasi pelatihan –pelatihan pertanian berkelanjutan secara independen di beberapa daerah di Jawa.

Pada tahun 2006, penulis menyelesaikan studi strata satu dan pada saat yang sama penulis lolos seleksi dalam International Fellowship Program untuk melanjutkan jenjang pendidikan magister yang diselenggarakan oleh The Indonesian International Education Foundaton (IIEF) dan dibiayai oleh Ford Foundation.

Pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan.

Beberapa aktivitas di luar akademik yang pernah penulis ikuti adalah Working Group of Yogyakarta-Central Java Postdisaster Rehabilitation 2006-2007 di bawah koordinasi Food and Agriculture Organization.

Page 13: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Konflik-konflik Sumberdaya Alam di Kawasan Pertambangan Pasir

Besi: Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus Di Kabupaten

Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Nama : Kus Sri Antoro

NIM : P052080041

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Ketua

Dr. Arif Satria, SP. MSi. Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Prof. Dr. Ir. Surjono H.Sutjahjo, MS. Tanggal Ujian: 16 Agustus 2010

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS.. Tanggal Lulus: 20 Agustus 2010

Page 14: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN ix

DAFTAR SINGKATAN x

1. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 4 1.3 Tujuan 5 1.4 Ruang Lingkup Penelitian 5

2. TINJAUAN PUSTAKA 7

2.1. Sejarah Ekonomi Politik Sumberdaya Alam 7 2.2. Teori Desentralisasi 10 2.3. Teori Penguasaan Sumberdaya Alam 12 2.4. Teori Konflik 17 2.5. Teori Ekologi Manusia 19 2.6. Kerangka Konseptua l 29

3. METODOLOGI PENELITIAN 32

3.1. Sifat dan Jenis Penelitian 32 3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 32 3.3. Tahapan Penelitian 33 3.4. Rancangan Penelitian 34

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 37

4.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian 37 4.1.1. Profil wilayah

37 4.1.2. Sejarah Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta

42 4.1.3. Kultur Politik

49 4.1.4. Konstelasi Ekonomi Politik

52 4.1.5. Ikhtisar

53 4.2. Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam 54

4.2.1. Sejarah Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta 54

Page 15: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

vi 

 

4.2.2. Politik Agraria Daerah Istimewa Yogyakarta 61

4.2.3. Konflik Agraria 64

4.2.4. Ikhtisar 70

4.3. Proses Politik Kebijakan Sumberdaya Alam 73 4.3.1. Proses-proses di Aras Internasional

73 4.3.2. Proses-proses di Aras Nasional dan Lokal

75 4.3.3. Proses-proses Legalisasi Pertambangan Pasir Besi

80 4.3.4. Ikhtisar

94 4.4. Struktur Konflik Sumberdaya Alam 100

4.4.1. Aras Konflik 100

4.4.2. Aktor-aktor yang Berkonflik 105

4.4.3. Materi Konflik 106

4.4.4. Arena Konflik 108

4.4.5. Eksistensi dan Dinamika Konflik 108

4.4.6. Ikhtisar 110

4.5. Relasi Kekuasaan atas Sumberdaya Alam 115 4.5.1. Aktor-aktor

115 4.5.2. Peran Aktor

116 4.5.3. Sifat Hubungan Interaksi

116 4.5.4. Ikhtisar

118 4.6. Konsep Governmentality 121

4.6.1. Pengertian Governmentality 121

4.6.2. Perbedaan Hegemoni dan Governmentality 122

4.6.3. Governmentality pada Struktur Penguasaan Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 123

4.6.4. Governmentality pada Proses Politik Kebijakan

Page 16: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

vii 

 

Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 123 4.6.5. Governmentality pada Struktur Konflik

Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 123 4.6.6. Governmentality pada Relasi Kekuasaan

atas Sumberdaya Alam di lokasi penelitian 124 4.6.7. Ikhtisar

124 4.7. Keterbatasan Penelitian 124

5. KESIMPULAN DAN SARAN 127

DAFTAR PUSTAKA 131

Page 17: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

viii 

 

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Perbedaan Theory of Property Rights dan Theory of Access 17

Tabel 2. Perbedaan antara ekologi politik dan politik ekologi 21

Tabel 3. Batasan-batasan ekologi politik 24

Tabel 4. Batas wilayah Kabupaten Kulon Progo 38

Tabel 5. Karakteristik topografi Kabupaten Kulon Progo 39

Tabel 6. Kependudukan kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo 39

Tabel 7. Identifikasi status tanah dan luasannya di kawasan pesisir

Kabupaten Kulon Progo 63

Tabel 8. Struktur penguasaan sumberdaya alam

di Daerah Istimewa Yogyakarta 72

Tabel 9. Proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian 96

Tabel 10. Perbandingan materi produk hukum dan implikasinya

dalam proses politik kebijakan sumberdaya alam di lokasi penelitian 98

Tabel 11. Struktur konflik sumberdaya alam di lokasi penelitian 113

Tabel 12.Perbedaan perspektif dalam Teori Modernisasi Ekologi 114

Tabel 13. Relasi kekuasaan atas sumberdaya alam di lokasi penelitian 120

Tabel 14. Perbedaan konsep hegemoni dan governmentality 123

Page 18: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

ix 

 

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur Penguasaan sumberdaya empirik 10

Gambar 2. Ginealogi evolusi pengetahuan ekologi politik 22

Gambar 3. Bagan alir kerangka konseptual 31

Gambar 4. Peta Kabupaten Kulon Progo 38

Gambar 5. Peta rencana tata ruang wilayah

Kabupaten Kulon Progo kawasan budidaya 41

Gambar 6. Peta rencana tata ruang wilayah

Kabupaten Kulon Progo kawasan lindung 42

Gambar 7. Wilayah swapraja 1830 44

Gambar 8. Wilayah swapraja 1945 44

Gambar 9. Struktur penguasaan sumberdaya alam

di Daerah Istimewa Yogyakarta 71

Gambar 10. Lokasi konsesi pertambangan pasir besi

di Kabupaten Kulon Progo 82

Gambar 11. Proses politik kebijakan sumberdaya alam

di lokasi penelitian 95

Page 19: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Surat perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda

dan Kasultanan Yogyakarta 18 Maret 1940 137

Lampiran 2. Letter of Intent International Monetary Fund

15 Januari 1998 154

Lampiran 3. Surat kontrak politik Bupati Kulon Progo dan

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Kabupaten Kulon Progo tahun 2007 171

.Lampiran 4. Surat Kanjeng Gusti Paku Alam IX tahun 2003 172

Lampiran 5. Hasil perbandingan Rancangan Peraturan Daerah tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

2009-2029

dengan Peraturan Daerah No 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029 173

Lampiran 6 Hasil Evaluasi Menteri Dalam Negeri

atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2009-2029 191

Lampiran 7. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

No 5 Tahun 1954 205

Lampiran 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia

No 33 Tahun 1984 217

Lampiran 9. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

No 34 Tahun 1984 219

Page 20: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

xi 

 

DAFTAR SINGKATAN

ADB Asian Development Bank

AMDAL Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

BAKESBANGPOL Badan Kesatuan Kebangsaan Politik

BAPPEDA Badan Perencanaan Pembangunan Daerah

Bappedal Badan Penanggulangan Dampak Lingkungan

BLH Badan Lingkungan Hidup

BPN Badan Pertanahan Nasional

DIY Daerah Istimewa Yogyakarta

DPR Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

ESDM Energi dan Sumber Daya Mineral

FAO Food and Agriculture Organization

HB Hamengku Buwono

IMF International Monetary Fund

JLSJ Jalan Lintas Selatan Jawa

JORC Joint Ore Reserves Committee

KA ANDAL Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan

KK Kontrak Karya

KOMNAS HAM Komisi Nasional Hak Asasi Manusia

LANTAMAL Pangkalan Utama Angkatan Laut

LINMAS Perlindungan Masyarakat

LSM Lembaga Swadaya Masyarakat

Page 21: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

xii 

 

LoI Letter of Intent

MENDAGRI Menteri Dalam Negeri

MoU Memorandum of Understanding

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

ORBA Orde Baru

OTDA Otonomi Daerah

PAG Paku Alamanaat Ground

PEMDA Pemerintah Daerah

PERDA Peraturan Daerah

PERDA Peraturan Daerah

PP Peraturan Pemerintah

PU Pekerjaan Umum

RPERDA Rancangan Peraturan Daerah

RTRWK Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten

RTRWN Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional

RTRWP Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

RUUK Rancangan Undang-undang Keistimewaan

SDA Sumberdaya Alam

SG Sultanaat Ground

TNC Transnational Corporation

TNI AL Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

UGM Universitas Gadjah Mada

UNDP United Nations Development Programme

USD United States Dollar

Page 22: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

xiii 

 

UU Undang-undang

UUPA Undang-undang Pokok Agraria

VOC Vereenigde Oostindische Compagnie

 

Page 23: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

1  

  

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Proses perubahan sosial telah terjadi pada masyarakat pesisir Kulon Progo

sebagai akibat dari perubahan ekosistem sejak tahun 1980. Proses perubahan

sosial tersebut terjadi secara bertahap mengikuti perkembangan pengetahuan

komunitas lokal yang didukung oleh semangat bertahan hidup secara subsisten.

Pertama, mereka memunculkan gagasan untuk mengubah lahan pasir pantai

menjadi lahan hortikultura yang produktif dengan memanfaatkan potensi air tawar

yang tersimpan pada kedalaman 3-6 m. Kedua, mereka memasuki era agribisnis

dengan didukung oleh penguatan kelembagaan setempat.

Sistem politik desentralisasi memungkinkan Pemerintah Daerah (Pemda)

untuk mengelola sumberdaya daerah secara otonom. Kawasan pesisir Kulon

Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi di propinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (DIY). Pemda Kabupaten Kulon Progo menggulirkan kebijakan

pertambangan pasir besi di kawasan pesisir. Kebijakan tersebut tak hanya

menimbulkan konflik sumberdaya alam (SDA) antara komunitas lokal; Pemda;

dan swasta, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekosistem dan eksistensi

komunitas lokal. Butir-butir yang menjadi isu dalam konflik tersebut antara lain:

a. Kerusakan ekosistem gumuk pasir

Kawasan pesisir di Kabupaten Kulonprogo merupakan bagian dari rantai

gumuk pasir yang memanjang dari pantai Parangtritis, Kabupaten Bantul, dan

merupakan satu dari 14 gumuk pasir pantai di dunia yang mempunyai fungsi

ekologis sebagai benteng terhadap ancaman bencana tsunami. Rencana

pertambangan pasir besi secara ekologis dikhawatirkan akan menyebabkan jasa

lingkungan kawasan itu hilang, dengan mekanisme 1) intrusi air laut ke darat, 2)

erosi benteng tsunami, dan 3) kepunahan potensi gumuk pasir yang langka

(Kompas, April 2008d).

Page 24: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

2  

  

b. Penggusuran lahan hortikultura dan pemukiman

Sebagian kawasan gumuk pasir telah diubah penduduk setempat menjadi

lahan hortikultura tanpa mengurangi fungsi utamanya sebagai daerah penyangga

(Shiddieq et al., 2008). Lahan produktif ini telah memberikan keuntungan baik

materi maupun non materi (jasa lingkungan, kelembagaan, evolusi pengetahuan,

dan jaringan). Rencana pertambangan pasir besi tersebut akan mengalihfungsikan

lahan secara total di kawasan seluas 22 x 1,8 km, di mana terdapat lahan dan

pemukiman (Mulyono, 2008).

c. Penghapusan lapangan kerja

Lahan produktif tersebut telah memberikan lapangan pekerjaan baik bagi

penduduk setempat maupun di luar daerah (sebagai buruh petik). Rencana

pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan meningkatkan angka pengangguran

usia produktif, baik di kawasan pesisir maupun sekitarnya (Kompas, April 2008c).

d. Gangguan bagi penyediaan kebutuhan bahan pokok

Lahan tersebut mampu menghasilkan cabai 702 ton/transaksi atau setara

17.548 ton/ bulan, sehingga menjadi penyedia kebutuhan cabai terutama di Jakarta

dan Sumatera (Shiddieq et al., 2008). Rencana pertambangan pasir besi

dikhawatirkan akan berdampak bagi perekonomian riil di sektor kebutuhan pokok

harian, yaitu cabai.

e. Remarjinalisasi secara sistematis

Rencana pertambangan pasir besi dikhawatirkan akan berisiko sosial berupa

remarginalisasi kawasan baik secara sosial maupun lingkungan, karena komunitas

telah berpartisipasi dalam menggerakkan pertumbuhan tanpa merusak SDA.

Penelitian ini penting untuk dilakukan karena:

1. Pesisir Kulon Progo merupakan ekosistem unik karena mempunyai

fungsi ekologi (benteng tsunami dan cadangan air tawar) dan fungsi

sosial ekonomi (faktor bagi perubahan sosial).

2. Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kulon Progo terjadi

dalam struktur sosial, politik, dan budaya yang khas dan lebih rumit

daripada daerah lain di Indonesia, sehingga hasil penelitian diharapkan

memberi manfaat bagi upaya penyelesaian konflik serupa di daerah lain.

Page 25: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

3  

  

3. OTDA dan pembangunan berkelanjutan layak diuji untuk menemukan

bentuk yang adaptif terhadap kepentingan multipihak, terutama dalam hal

akses SDA sehingga keadilan lingkungan dan keadilan sosial terdekati.

4. Produksi pengetahuan tentang hubungan manusia dengan alam yang

mampu menerangkan akar dan situasi masalah—dalam hal ini adalah

konflik pemanfaatan ruang dan SDA dan relasi kekuasaan antarpihak atas

SDA, belum banyak dilakukan.

1.2 Perumusan Masalah

Konflik pemanfaatan ruang dan SDA di pesisir Kabupaten Kulon Progo

merupakan manifestasi empirik dari jejaring kekuasaan atas SDA yang dapat

diamati. Penelitian ini diawali dari dugaan bahwa kebijakan pertambangan pasir

besi hanya sebagai pemicu konflik, sedangkan akar konflik dan arena konflik

secara potensial telah ada secara laten. Akar konflik dan arena konflik berjalinan

membentuk jejaring kekuasaan yang selalu diperbaharui oleh setiap pihak yang

terlibat. Dengan demikian, penjelasan ekonomi politik atas relasi-relasi kekuasaan

atas SDA yang terbentuk di aras lokal, regional, dan nasional perlu ditemukan.

Beberapa pertanyaan pemandu untuk menemukan masalah di lokasi penelitian

adalah:

1. Apa makna ekologis, sosial, dan ekonomi politik kebijakan

pertambangan pasir besi bagi negara, rakyat, dan pasar?

2. Bagaimana situasi penguasaan SDA dari masa ke masa?

3. Bagaimana kekuasaan dioperasikan oleh kelompok dominan terhadap

kelompok subordinat untuk menciptakan hegemoni?

4. Apakah ketiga hal tersebut di atas dapat mendorong rekayasa menuju

bentuk pengelolaan SDA yang relatif adil untuk negara, rakyat, dan

pasar? 

 

 

 

 

 

Page 26: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

4  

  

1.3 Tujuan Penelitian

1. Menganalisis struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA

2. Menjelaskan pembentukan jejaring kekuasaan atas SDA.

3. Menganalisis hubungan konflik SDA dan krisis-krisis SDA dan sosial

politik.

4. Merumuskan sintesis sebagai alternatif pengelolaan SDA.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Perubahan ekosistem, dalam konteks ekologi manusia, lebih disebabkan

oleh keputusan-keputusan politik daripada proses-proses alami. Kekuasaan baik

itu dalam struktur maupun jejaring kekuasaan atas SDA menjadi faktor yang

menentukan arah perubahan ekosistem. Struktur kekuasaan atas SDA tampak

sebagai struktur penguasaan SDA dan sistem politik (dalam penelitian ini,

penggunaan istilah SDA dan Agraria mengacu pada maksud yang sama, yaitu

sumberdaya berbasis tanah, istilah SDA dipilih semata-mata untuk menjaga

konsistensi penulisan). Jejaring kekuasaan atas SDA tampak sebagai proses

politik kebijakan dan relasi kekuasaan dalam mengatur pemanfaatan SDA.

Konflik-konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon

Progo akan dibatasi dengan mengkaji:

1. Struktur penguasaan SDA.

2. Proses politik kebijakan SDA.

3. Struktur konflik pemanfaatan SDA.

4. Relasi kekuasaan atas SDA.

Page 27: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

5  

  

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Ekonomi Politik SDA

Struktur penguasaan SDA tidak terlepas dari struktur ekonomi politik di

setiap level. Secara konseptual, negara, swasta, dan masyarakat merupakan aktor-

aktor yang terlibat dalam pembentukan struktur penguasaan SDA (Sitorus dan

Wiradi, 1999).

Dihubungkan dengan teori tindakan komunikasi Habermas (Hardiman,

1993), ketiga aktor tersebut berelasi secara produksi (dengan SDA) dan interaksi

(dengan aktor yang lain). Hubungan produksi dapat dilihat sebagai pola

penguasaan SDA, dan hubungan interaksi dapat dilihat sebagai sifat hubungan

karena kepentingan (mutualistik atau konflik).

Sejarah pembentukan struktur penguasaan SDA di Indonesia mengalami

perubahan dalam setting ekonomi politik dan aktornya dari masa ke masa. Pada

masa-masa awal kerajaan di Jawa, tanah berfungsi sebagai alat kontrol kekuasaan

pusat (Raja) terhadap rakyat melalui pejabat-pejabat yang ditunjuknya untuk

mengelola SDA (Peluso, 2006 dan Wiradi, 2000). Pada masa kolonial, pasca

kebangkrutan VOC, struktur penguasaan SDA dibentuk melalui penertiban

administrasi oleh pemerintah kolonial untuk menjamin kelangsungan

perekonomiannya, relasi kekuasaan dengan elit politik feodal diselenggarakan

dalam kontrak politik1, terjadi juga pencampuran sistem feodal dan kolonial dalam

pembentukkan struktur penguasaan SDA2 (Luthfi et al., 2009, Wiradi, 2000).

Pada masa kemerdekaan, struktur penguasaan SDA dibentuk dengan semangat

                                                            1 Pada masa kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda muncul istilah-istilah legal yang mengacu pada bentuk penguasaan sumber agraria seperti Domein Verklaring (Bl) yaitu klausul peraturan agraria yang menyatakan bahwa tanah-tanah tanpa bukti hak eigendom mutlak menjadi milik negara, Eigendom (Bl) yaitu hak milik pribadi yang diberikan oleh pemerintah kolonial, Erfpacht (Bl) yaitu hak pemanfaatan tanah yang diberikan oleh pemerintah kolonial kepada perusahaan perkebunan tertentu selama 75 tahun, Apanage(Bl) yaitu nama untuk suatu persil tanah yang diberikan kepada para pejabat pemegang jabatan bekel di Jawa, dan Culturstelsel (Bl) yaitu kebijakan pemerintah pada masa Gubernur Jenderal Van Den Bosh yang memaksa petani untuk menanami seperlima tanahnya dengan tanaman ekonomis yang ditentukan oleh pemerintah, yang hasilnya diserahkan kepada pemerintah kolonial. 2 Rijksblad Kasultanan No 16/1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18/1918 menyatakan, ‘Sakabehing bumi kang ora ana tanda yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton ingsun’ (semua tanah yang tidak ada tanda bukti kepemilikan melalui hak eigendom, maka tanah itu adalah milik kerajaanku) (Luthfi et. al, 2009: 157).

Page 28: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

6  

  

sosialisme melalui nasionalisasi aset dengan penghapusan segala bentuk

penghisapan baik warisan kolonial maupun feodal, tonggak ini ditandai dengan

kelahiran Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Pasca

Gerakan 30 September 1965, UUPA dibekukan oleh Rezim Orde Baru (ORBA)

melalui stigmatisasi ideologis yang beroposisi terhadap negara (Tjondronegoro,

1999). Pada masa ORBA struktur penguasaan SDA dibentuk untuk kepentingan

ekonomi politik global melalui industrialisasi-modernisasi dengan negara sebagai

pusat kekuasaan (Wiradi, 2000 dan Tjondronegoro, 1999). Pada masa reformasi,

seiring pemberlakuan desentralisasi dan penguatan isu demokratisasi, UUPA

sebagai produk hukum yang mengatur struktur penguasaan SDA berada di

persimpangan kepentingan populisme dan neoliberalisme, keduanya berebut

wacana dan praktik dalam menentukan arah ekonomi politik (Ya’kub, 2004 dan

Setiawan, 2004).

Otonomi Daerah (OTDA) mengubah sistem tata pengaturan dan

pemerintahan di Indonesia secara mendasar. UU No 32 Tahun 2004 merupakan

produk hukum yang membuka kesempatan pada penegakan kedaulatan lokal,

keberdayaan dan kemandirian lokal, kesejahteraan sosial, partisipasi masyarakat

dan demokrasi dalam pengelolaan administrasi dan pembangunan, sekaligus

penetrasi kapital dari aktor ekonomi global ke aktor lokal secara langsung melalui

sistem politik yang mengondisikan ekslpoitasi SDA.

Di satu sisi, pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma, narasi, dan

strategi baru untuk menciptakan pertumbuhan yang lestari. Kelestarian

pertumbuhan memerlukan prasyarat berupa kelestarian daya dukung lingkungan

dan sosial. Prasyarat tersebut terpenuhi dengan cara pengelolaan SDA yang

berefisiensi tinggi. Efisiensi ini diharapkan dapat terwujud melalui OTDA karena

OTDA mendekatkan akses para aktor pembangunan daerah terhadap potensi

daerahnya. Dengan demikian, OTDA secara teoritis merupakan sistem politik

yang sejalan dengan cita-cita pembangunan berkelanjutan.

Pembangunan berkelanjutan yang merupakan paradigma baru dalam

menciptakan pertumbuhan berada dalam setting ekonomi politik pasar

(developmentalism). Pertentangan antara pusat dan daerah; kewenangan yang

tumpang tindih; kerendahan kapasitas pemangku birokrasi; dan penurunan

Page 29: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

7  

  

kualitas daya dukung lingkungan menjadi corak pelaksanaan OTDA di Indonesia

(Kompas, 2009abc). Menurut Kartodiharjo (2006), masalah-masalah mendasar

ekonomi politik SDA di Indonesia sejak pemberlakuan OTDA adalah:

1) Keterbukaan pasar dan permintaan SDA yang tinggi tanpa kepastian hak

atas tanah dan SDA lain.

2) Substansi peraturan perundang-undangan cenderung bersifat eksploitatif

terhadap SDA.

3) Tindakan eksploitasi SDA secara illegal menjadi instrumen pembenaran

bagi pemerataan pemanfaatan SDA oleh masyarakat di kawasan SDA

yang dimaksud.

4) Proses-proses politik, terutama di lembaga legislatif baik pusat maupun

daerah, cenderung mengarah pada eksploitasi SDA.

Kawasan pesisir Kulon Progo merupakan sumber utama mineral pasir besi

di propinsi DIY. Pemerintah melaporkan, cadangan total pasir besi di kawasan

pesisir Kulon Progo sebesar 605 juta ton dengan kandungan Fe sekitar 10.8% dan

proporsi tertinggi cadangan pasir besi sampai pada kedalaman 6-14 meter dari

permukaan dengan total cadangan sekitar 273 juta ton dengan kandungan Fe

(mineral biji besi) sekitar 14.2% (Mulyono, 2008)3. Impor pig iron untuk bahan

baku pembuatan baja Indonesia diperkirakan 4 juta ton/tahun4. Potensi pasir besi

di pesisir Kulon Progo diharapkan oleh pelaku industri dapat mengurangi

ketergantungan bahan baku baja nasional (Anonim, 2008). Pertambangan ini akan

dijalankan pada lahan dengan luas konsesi 3000 ha, 929 titik lokasi, dan dengan

investasi US $ 600 juta untuk pertambangan dan US $ 1,1 M untuk infrastruktur5.

Relasi kekuasaan di masa OTDA secara teoritis membuka kesempatan

kepada negara, pasar, dan masyarakat untuk berposisi relatif setara satu sama lain.

Akan tetapi, relasi kekuasaan yang setara tersebut tidak pernah terjadi, yang

muncul justru penguatan watak hubungan mutualistik antara negara dan pasar                                                             3 Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa Depan Aset Bangsa”, di PTS Yogyakarta Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta. 4 Proyek Pertambangan Pasir Besi, PT JM, 2008 5 Perjanjian di dalam kontrak karya menyebutkan: Sebesar 1,5 % dari penjualan per tahun pada 10 tahun pertama, dan sebesar 2 % pada periode selanjutnya diberikan untuk Regional Development dan Community Development senilai US $9.6 juta/tahun (dengan asumsi harga pig iron tahun 2007, yaitu US $320/ton). Pembagian keuntungan antara pemerintah Indonesia dengan TNC (investor) ialah 30 % : 70 % (Sumber: Anonim, 2008).

Page 30: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

8  

  

sebagai agen kapitalisme (negara-kapitalis), sejalan dengan marjinalisasi

masyarakat (Gambar 1). Meskipun struktur penguasaan SDA empiris mengarah

pada hegemoni negara-kapitalis (kelompok dominan) kepada rakyat, namun

sesungguhnya kekuasaan tidaklah dimiliki oleh kelompok dominan secara mutlak,

kekuasaan tidak terpusat melainkan tersebar. Hal ini tampak sebagai bentuk-

bentuk perlawanan rakyat pada kebijakan pertambangan pasir besi itu dengan

membentuk organisasi akar rumput (Grass Root Organization, GRO) dengan

agenda politis.

Gambar 1. Struktur Penguasaan SDA Empiris (sumber Sitorus dan Wiradi,

1999) Keterangan:

Hubungan interaksi Negara dengan Pasar yang mutualistik.

Hubungan interaksi Negara-kapitalis dengan Masyarakat

yang bersifat hegemonik, melalui marjinalisasi.

Hubungan produksi Negara-kapitalis dengan SDA yang

berorientasi pasar.

Hubungan produksi Masyarakat dengan SDA yang melemah.

2.2 Teori Desentralisasi

Friedman membatasi desentralisasi6 sebagai pembagian kewenangan;

tanggungjawab; atau fungsi oleh pemerintah di level lebih tinggi (pusat) kepada

                                                            6 Desentralisasi dibedakan dengan devolusi (desentralisasi politik) dan dekonsentrasi (desentralisasi administrasi) dalam hal sifat otonomi dari daerah otonom secara politik dan administrasi. Devolusi menuntut pelimpahan otoritas politik secara penuh, sedangkan dekonsentrasi pelimpahan administrasi tanpa otoritas politik. Desentralisasi di Indonesia berada di antara kedua kutub kepentingan devolusi dan dekonsentrasi, sehingga ada pembatasan otoritas daerah secara politik maupun administrasi (Imawan, 2005: 41-43). Pemilihan bentuk pemerintahan

Negara Pasar

Masyarakat SDA

Page 31: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

9  

  

pemerintah di level lebih rendah (daerah)7 (Imawan, 2005: 40). Definisi serupa

dikemukakan oleh Litvack dan Seddon8 serta Rondinelli dengan penekanan pada

pengalihan kekuasaan politik (transfer of political power), sehingga desentralisasi

bertujuan politik sebagai bagian dari demokratisasi untuk pencapaian efisiensi dan

efektivitas secara administratif (Wasistiono, 2005: 61).

Demokratisasi dibatasi sebagai proses perubahan struktur politik otoriter

menjadi struktur politik yang memungkinkan diversifikasi kekuasaan (Imawan,

2005:43). Demokratisasi muncul sebagai reaksi atas kesenjangan kekuasaan

dalam tata negara, yang ditandai dengan penyempitan partisipasi rakyat oleh

pemerintah9. Dalam penyelenggaraan pemerintahan, bentuk demokratisasi muncul

sebagai gagasan good governance10.

Good governance dipopulerkan secara efektif oleh oleh World Bank dalam

Sub-Saharan Africa: from Crisis to Sustainable Growth (1989) (Pratikno, 2005).

Governance dibatasi oleh World Bank sebagai cara pemerintah (the act of

government) menggunakan kekuasaan untuk mengelola sumberdaya dalam

pembangunan11, dan oleh UNDP sebagai penggerakan kewenangan politik,

ekonomi, dan administrasi untuk mengelola urusan negara pada semua level12.

Konsekuensi dari penerimaan gagasan governance ini adalah 1) ruang

pemerintahan tidak didominasi oleh pemerintah, tetapi membuka keterlibatan civil

                                                                                                                                                                   sebagai Daerah Otonom dalam Negara Kesatuan, bukan Negara Federal, merupakan bukti pemaknaan desentralisasi di Indonesia yang berbeda dengan konsep devolusi dan dekonsentrasi. 7 …a ‘superior’ government assigns responsibility, authority, or function to ‘lower’ government unit that is assumed to have some degree of authority (Freidman dalam Shabbir 1983:35 cit. Imawan, 2005:40). 8 The transfer of authority and responsibility for public from the central government to subordinate or quasi-independent government organization, or the private sector (Litvack dan Seddon, 1992: 2 cit. Wasistiono, 2005:61). 9 Laporan Johannen dan Gomez (Democratic Transition in Asia, 2001) mengenai demokratisasi di Asia, dan Gunther et al. (The Politics of Democratic Consolidation, 1995) mengenai demokratisasi di Eropa Selatan menunjukkan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi nasional untuk menampung aktor-aktor baru (non pemerintah) dalam politik menjadi awal gelombang demokratisasi (Imawan, 2005: 44). 10 Pemahaman atas good governance dimudahkan oleh Thompson dengan menghadirkan istilah kebalikannya, yaitu bad governance yang dicirikan dengan 1) ketiadaan batas yang tegas antara sumber-sumber milik rakyat dan milik pribadi, 2) ketiadaan aturan hukum yang jelas dan sikap pemerintah yang kondusif bagi pembangunan,3) regulasi yang berisiko pada ekonomi berbiaya tinggi, 4) ketiadaan prioritas pembangunan yang konsisten, dan 5) ketiadaan transparansi dalam pengambilan keputusan (Ibid: 46). 11 The way state power is used in managing economic and social resources for development society (Wasistiono,2005: 54). 12 The exercise of political , economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels (Ibid).

Page 32: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

10  

  

society dan private sector, 2) peran negara tidak lagi regulatif, melainkan

fasilitatif, 3) pembangunan berkelanjutan dilaksanakan atas prasyarat legitimasi

politik dan konsensus, dan 4) perampingan birokrasi. Dengan demikian,

desentralisasi merupakan sistem politik yang kondusif bagi terselenggaranya

governance menurut definisi World Bank maupun UNDP. Pelibatan sektor swasta

dan masyarakat sipil dibangun atas asumsi bahwa pemerintah merupakan sumber

kegagalan pembangunan, sehingga pemerintahan yang baik (good governance)13

adalah yang less government14 (Praktikno, 2005).

Pemaknaan good governance oleh World Bank sebagai sound development

management dirumusan melalui Washington Consensus15 yang memengaruhi

kebijakan pembangunan Indonesia di akhir 1990an. Good governance versi sound

development management dikatakan oleh Peters (2001:21) cit. Praktino (2005)

sebagai pemerintahan model deregulasi (deregulated government) atau

pemerintahan model pasar (market government). Demokratisasi dijalankan dengan

memaksa negara untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor non negara.

2.3 Teori Penguasaan SDA (Land Tenure)

Jaminan atas hak kepemilikan (property rights) menjadi salah satu butir

dalam good governance. Locke memandang kepemilikan sebagai klaim moral

                                                            13 UNDP mengajukan 9 kriteria good governance sebagai berikut: 1) partisipasi (participation), 2) penegakan hukum (rule of law), 3) transparansi (transparency), 4) daya tanggap (responsiveness), 5) berorientasi pada consensus (consensus orientation), 6) kesetaraan (equity), 7) keefektifan dan efisiensi (effectiveness and efficiency), 8) akuntabilitas (accountability), dan 9) visi strategis (strategic vision). 14 Pemerintahan yang besar (big government) akan menjadi sumber bagi kepemerintahan yang buruk (bad governance) karena dalam operasionalisasi World Bank tidak representatif dan merupakan sistem non pasar yang tidak efisien (Weiss, 2000:801 cit. Pratikno, 2005: 235). 15 Zhang (2003:127) cit. Pratikno (2005: 238) mengemukakan bahwa Washington Consensus merupakan ideologi neoliberlisme Amerika Serikat yang sejak 1980an mengendalikan kekuatan globalisasi (US-originated ideology of neo-liberalism, which, since 1980s, has been the driving force for globalization). Washington Consensus dihasilkan dari pertemuan tiga lembaga keuangan raksasa (IMF, World Bank, dan Departemen Keuangan AS) dengan butir-butir good governance sebagai berikut:1) disiplin fiskal, 2) konsentrasi belanja publik pada barang-barang publik (pendidikan, kesehatan, infrastruktur), 3) reformasi perpajakan dengan perluasan basis pajak dan tarif pajak moderat, 4) bunga bank yang dikendalikan oleh mekanisme pasar, 5) liberalisasi perdagangan, 6) nilai mata uang yang kompetitif, 7) keterbukaan pada intervensi asing, 8) privatisasi perusahaan negara dan daerah, 9) deregulasi , dan 10) jaminan hukum untuk hak kepemilikan (property rights).

Page 33: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

11  

  

atas hak-hak yang muncul dari pencampuran buruh dan tanah16, sedangkan

pendapat oposannya, Marx17, memandang bahwa kepemilikan adalah pemberian.

Berbeda dengan Locke dan Marx, Proudhon (1849)18 dan MacPherson (1978)19

memandang kepemilikan bukan sesuatu yang alami (natural), melainkan klaim

yang memperoleh legitimasi sosial. Maine (1917) cit. Peluso dan Ribot (2003)

mengemukakan bahwa hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a

bundle of rights), yang dicirikan dengan penguasaan si pemilik hak untuk

memiliki, menggunakan, mewariskan, dan memindahkan penguasaannya kepada

pihak lain. Schlager dan Ostrom (1992) membuat uraian atas a bundle of rights

itu sebagai berikut:

1. Hak atas akses (rights of access), yaitu hak untuk memasuki wilayah

tertentu, berlaku bagi pemanfaat yang diijinkan (authorized users),

pemakai atau penyewa (claimant), kepunyaan (propeitors), dan pemilik

(owners).

2. Hak pemanfaatan (rights of withdrawal), yaitu hak untuk mengambil

manfaat atas sesuatu dari suatu tempat, berlaku bagi pemakai dan

penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

3. Hak pengelolaan (rights of management), yaitu hak untuk mengatur pola

pemanfaatan dan mengubah sumberdaya yang ada untuk tujuan tertentu,

berlaku bagi pemakai atau penyewa, kepunyaan, dan pemilik.

4. Hak pembatasan (rights of exclusion), yaitu hak untuk membatasi akses

pihak lain terhadap sesuatu dan membuat aturan pemindahan hak ini,

berlaku bagi kepunyaan dan pemilik.

5. Hak pelepasan (rights of alienation), yaitu hak untuk melepaskan

penguasaan atas sesuatu, berlaku bagi pemilik saja. Hak pelepasan

                                                            16 …property as the moral claim to rights arising from mixing of labor with land (Peluso dan Ribot, 2003:156). 17 Property is appropriation, thus the rights that derived from combining labor and land or resource use were superceded by state backed institutions of property, causing him (Marx) to regard property as theft (Ibid: 156-157) 18One author teaches that property is a civil rights, based on occupation and sanctioned by law; another holds that it is a natural rights, arising from labor, and these doctrines, though they seem opposed, are both encouraged and applauded. I (Proudhon) contende that neither occupation nor labor nor law can create property, which is rather an effect without cause (Ibid:155). 19 …a right in the sense of an enforceable and supported by society through law, custom, or convention (Ibid).

Page 34: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

12  

  

merupakan hak tertinggi karena pemilik mampu berbuat apa saja atas

sesuatu yang diklaim sebagai miliknya.

Menurut sifat kepemilikan dan aktornya, FAO (2002) membagi kepemilikan

SDA menjadi empat kategori, yaitu:

1. Kepemilikan privat

Hak atas sesuatu yang melekat pada seseorang, sekelompok orang, atau

badan hukum, pemilik dapat mengambil manfaat sepenuhnya atas apa yang

dimilikinya. Contoh: pekarangan yang dimilki oleh sebuah rumah tangga.

2. Kepemilikan komunal

Hak atas sesuatu melekat pada sekelompok masyarakat tertentu di suatu

kawasan secara bersama-sama, anggota masyarakat lain dapat turut mengambil

menfaat jika diijinkan oleh masyarakat yang terlekati hak tersebut. Contoh: hutan

adat suatu kelompok masyarakat.

3. Kepemilikan negara

Hak atas sesuatu yang melekat pada negara dan pertanggungjawabannya

diserahkan pada aparat negara sektoral. Kewenangan negara dalam mengakses

sesuatu mengatasi kewenangan pribadi atau komunal. Contoh: hutan negara.

4. Open acces

Hak atas sesuatu melekat pada siapa saja, sehingga siapapun dapat

mengambil manfaat atas sesuatu itu. Contoh: udara.

Ellsworth (2002) memberi istilah yang lebih luas bagi hak kepemilikan

(property rights) dengan istilah kepastian tenurial (tenure security)20. Selanjutnya

Ellsworth memetakan ada empat aliran pemikiran yang membentuk kepastian

tenurial, yaitu:

                                                            20 Istilah property dan tenure sering digunakan secara bergantian untuk maksud yang sama, yaitu relasi sosial yang berkaitan dengan penguasaan suatu benda, perbedaan antara keduanya adalah property mulanya digunakan para ahli hukum untuk menyatakan hubungan kepemilikan yang bersifat privat individu, sedangkan tenure lebih mengacu pada akses dan kontrol dalam hubungan kepemilikan itu, yang sering ditemukan untuk kepemilikan komunal. Pada perkembangannya, property rights menjadi bagian dari tenure.

Page 35: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

13  

  

a. Aliran Property Rights

Aliran ini menempatkan kepemilikan privat sebagai hubungan penguasaan

yang terkuat, sehingga pencapaian status pemilik individu perlu diupayakan

secara legal. Asumsi dasar yang dibangun dari aliran pemikiran ini adalah:

1) Tujuan utama dari property adalah produksi dan akumulasi kapital.

2) Mekanisme pasar adalah transaksi yang paling efisien dalam peralihan

hak kepemilikan.

3) Ketimpangan kepemilikan tidak akan terjadi sejauh dilakukan

kompensasi pada pihak yang terlepaskan hak kepemilikannya.

4) Sumberdaya menjadi jaminan dalam akses modal, sehingga formalisasi

atas hubungan subyek dengan sumberdaya sangat penting untuk

dilakukan.

Aliran pemikiran ini digerakkan oleh ekonomi pasar bebas dan banyak

dianut oleh pakar hukum dan ekonomi di Indonesia.

b. Aliran Agrarian Structure Tradition

Aliran ini menekankan pada kemerataan distribusi sumberdaya daripada

status kepemilikannya, upaya formalisasi sumberdaya secara individu tidak serta

merta meningkatkan efisiensi. Kepastian tenure terletak pada kemauan politik

pemerintah untuk menjamin distribusi penguasaan sumberdaya yang merata. Land

reform adalah upaya yang sesuai untuk mencapai tujuan itu. Undang-undang No 5

tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria menganut aliran pemikiran ini.

c. Aliran Common Property Advocates

Aliran ini menekankan pada akses terbatas atas suatu sumberdaya bersama

tanpa kepemilikan yang bersifat privat. Aliran ini membedakan dirinya dengan

open acces dengan keberadaan pertanggungjawaban bersama para pengguna.

Aliran ini berasumsi bahwa :

1) Efisiensi terletak pada pengelolaan bukan pada status kepemilikan.

2) Kepemilikan yang bersifat privat tidak dapat diterapkan pada

sumberdaya yang berfungsi sosial, seperti tanah, air, hutan, dan laut.

Page 36: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

14  

  

3) Masyarakat adat mempunyai mekanisme yang lebih efisien dalam

mengelola keberlanjutan fungsi sumberdaya meskipun tanpa dukungan

hukum positif.

4) Manfaat dari nilai-nilai sosial lebih diutamakan daripada manfaat

ekonomi.

Pengelolaan secara adat/berbasis masyarakat atas suatu sumberdaya adalah

contoh dari penganutan aliran ini, misalnya sasi.

d. Aliran Institutionalist

Aliran ini menekankan perhatiannya pada pengaruh ekonomi politik makro

pada rejim-rejim penguasaan sumberdaya. Pengamatan terhadap politik akses dan

kontrol atas suatu sumberdaya oleh beragam aktor sosial menjadi titik tolak aliran

pemikiran ini. Kekuasaan dan distribusi menjadi konsep kunci untuk memahami

bentuk rejim penguasaan sumberdaya, daripada tipe property. Menurut aliran ini,

kepastian tenurial berasal dari kemampuan untuk memobilisasi kekuatan untuk

menegakkan dan mempertahankan klaim. Rejim Agrarian Structure Tradition dan

Common Property Advocates pun tidak kebal atas segala bentuk privatisasi,

transaksi ekonomi bukan hanya terjadi melalui mekanisme pasar tetapi juga pada

ranah politik (kebijakan) dan budaya (penyewaan tradisi). Aliran ini lebih tepat

berbentuk sebagai kerangka pemikiran daripada rejim penguasaan.

Jika hak kepemilikan dikendalikan oleh sekelompok hak (a bundle of

rights), maka akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan (a bundle of

powers) (Peluso dan Ribot, 2003). Kekuasaan lebih berperan daripada klaim

dalam pengambilan manfaat atas suatu sumberdaya. Sekelompok orang mungkin

tidak mempunyai hak menurut hukum yang berlaku, namun kekuasaan yang

melekat padanya memungkinkannya untuk mengakses sumberdaya, bahkan

membuat klaim kepemilikan atau menentukan struktur penguasaan atas

sumberdaya. Kekuasaan kemudian menjadi konsep penting untuk menelaah

struktur penguasaan sumberdaya dalam perspektif kelas, ranah di mana konflik

penguasaan sumberdaya sering berlangsung.

Page 37: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

15  

  

2.4 Teori Konflik

Kekuasaan dan konflik SDA dijelaskan oleh Teori Konflik Dahrendorf yang

menyatakan bahwa konflik bersumber dari ketimpangan distribusi kekuasaan

(Vago, 1989). Kekuasaan tidak tercermin pada pemilikan alat produksi semata,

tetapi jauh lebih luas yaitu kontestasi aktor sosial dalam kontrol perilaku dan

wacana pembentuk kesadaran aktor sosial yang lain, sehingga tujuan utama yaitu

akses sumberdaya tercapai dengan pembenaran (legitimate).

Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan

konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep

konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan,

bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan

demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas

terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi). Otoritas tidak

bersifat stabil, hal ini karena masyarakat adalah asosiasi yang dikoordinasikan

secara imperative (mutlak), masyarakat tampak sebagai asosiasi yang

dikendalikan oleh hirarki posisi otoritas. Suatu ketika seseorang berada pada

posisi superordinat, di suatu ketika yang lain ia berada di posisi subordinat.

Kepentingan menjadi konsep kunci untuk memahami posisi aktor sosial dan

berikut otoritasnya. Kepentingan dikategorikan oleh Dahrendorf menjadi

kepentingan tersembunyi dan kepentingan nyata (kepentingan tersembunyi yang

telah disadari). Berdasarkan kesamaan kepentingannya, Dahrendorf membagi

kelompok menjadi 1) kelompok semu (quasi group), yaitu sejumlah pemegang

posisi dengan kepentingan sama, 2) kelompok kepentingan, yaitu agen riil dari

konflik kelompok, dan 3) kelompok konflik, yaitu kelompok yang terlibat dalam

konflik aktual (Ritzer dan Goodman, 2003). Kategorisasi kelompok ini berguna

untuk memetakan aktor berdasarkan kepentingannya, terutama pada konflik di

berbagai aras (multilevel conflict), baik pada ranah material maupun ranah proses

kebijakan.

Dahrendorf mengemukakan bahwa konflik juga menyebabkan perubahan

dan perkembangan, akan tetapi penjelasan yang cukup baik mengenai fungsi

konflik dijelaskan oleh Coser, The Function of Social Conflict (1956). Coser

menyatakan bahwa 1) konflik dapat mempererat kelompok yang semula

Page 38: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

16  

  

terstruktur secara longgar, 2) konflik dapat membantu dalam pembangunan kohesi

sosial melalui aliansi, 3) konflik dapat meningkatkan peran individu yang semula

terisolasi, dan 4) konflik dapat membantu fungsi komunikasi pihak yang

berkonflik demi suatu solusi.

Kelemahan metodologis Teori Konflik Dahrendorf adalah bersifat

makroskopik, sehingga konflik-konflik di tingkat individu atau yang bersifat

internal terabaikan. Randall Collins, dalam Conflict Sociology (1975), mencoba

membangun teori konflik yang lebih sintesis dan integratif dengan mengamati

tingkat mikro karena menurutnya stratifikasi dan organisasi didasarkan atas

hubungan timbal balik dari hidup keseharian21. Berdasarkan pemikiran Marx

mengenai keterlibatan kondisi material dalam pencarian nafkah masyarakat

modern, Collins berpendapat bahwa 1) aktor yang mempunyai kontrol atas

sumberdaya akan lebih mampu menafkahi hidupnya secara lebih memuaskan

daripada aktor yang tidak memiliki kontrol sehingga ia menjual tenaganya untuk

dapat mengakses alat produksi, 2) kelas sosial dominan lebih mampu

mengembangkan kelompok sosial ketimbang kelas sosial subordinat, dan 3) kelas

dominan lebih mampu mengembangkan simbol dan sistem ideologi yang

dipaksakan kepada kelas subordinat.

Menilik kembali bagian sebelumnya tentang pembentukan struktur

penguasaan SDA, kekuasaan (otoritas), posisi, dan kepentingan sebagai konsep-

konsep kunci dalam Teori Konflik Dahrendorf digunakan untuk memahami

hubungan interaksi aktor-aktor sosial dalam struktur penguasan sumber-sumber

agraria. Sedangkan dalam perspektif Marxian, hubungan aktor-aktor sosial

(material forces of production: capital, technology, human) dengan sumber

agraria tersebut berupa hubungan produksi (relations of productions) yang dapat

membentuk kerangka kesadaran sosial (superstructures and the ideas). Di dalam

kerangka pemikiran seperti apakah hubungan manusia-alam itu terbentuk berikut

sifatnya, diuraikan lebih lanjut dalam Teori Ekologi Manusia.

                                                            21 Kontribusi utama untuk teori konflik adalah menambah analisis tingkat mikro terhadap teori yang bertingkat makro ini. Saya (Collins) terutama mencoba menunjukkan bahwa stratifikasi dan organisasi didasarkan atas interaksi kehidupan sehari-hari (Collins, 1990:72 cit. Ritzer dan Goodman, 2003: 160).

Page 39: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

17  

  

2.5 Teori Ekologi Manusia

A. Sejarah Disiplin Ekologi Politik

Ekologi dibatasi sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga lingkungan

(Odum, 1971). Ekosistem, istilah yang mengacu ruang interaksi komponen-

komponen penyusun lingkungan, dikonseptualisasi oleh berbagai disiplin ilmu

menurut kepentingannya, ekonomi menyebutnya SDA, biologi menyebutnya

lingkungan hidup, studi pembangunan dan kependudukan menyebutnya daya

dukung, ilmu sosial menyebutnya sumber-sumber agraria dan ilmu politik

menyebutnya ruang fisik di mana berbagai kepentingan bertemu. Teori Ekologi

Manusia kemudian muncul untuk menjembatani ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu

sosial, menjelaskan hubungan manusia dengan lingkungan terkait dengan

perubahan lingkungan akibat aktivitas manusia. Krisis ekologi yang mengacu

pada metafisik dibedakan dengan krisis lingkungan yang bersifat fisik22.

Ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam sebagai penyebab

krisis ekologi membuka relung-relung kajian baru mengenai bagaimana hubungan

tersebut diperbaiki. Antropologi ekologi mempelajari interaksi manusia dengan

lingkungannya dalam membentuk kebudayaan suatu masyarakat, dan sebaliknya

pemaknaan dan tindakan manusia terhadap alam mengubah karakteristik suatu

lingkungan (Moran, 2006)23. Catton dan Dunlap memperkenalkan sosiologi

lingkungan sebagai disiplin yang mempertautkan sistem ekologi dengan sistem

sosial—pengetahuan, nilai-nilai, ideologi, komunitas dan identitas, kelas,

teknologi, nutrisi, organisasi sosial, pola penatatagunaan sumber-sumber agraria,

konflik pemanfaatan SDA, gerakan, dan perubahan sosial (Sumarti, 2007).

Penjelasan ekonomi politik dari krisis ekologi terdapat pada ekologi politik, yang

merupakan perkembangan dari ekologi budaya dan sosiologi lingkungan

(Dharmawan, 2007), yang menekankan pada ekonomi politik SDA dan hubungan-

                                                            22 Hutan gundul, tanah longsor, sungai tercemar,udara terpolusi merupakan contoh-contoh krisis lingkungan penyebabnya fisik mekanistik. Pencemaran air; tanah; udara, penggundulan hutan, erosi genetik, merupakan contoh-contoh krisis ekologi yang bersumber pada bentuk kesadaran dan tindakan manusia yang mewujud sebagai tatanan sosial, ekonomi, budaya, politik bahkan ideologi suatu masyarakat. Krisis lingkungan mungkin selesai dengan pemecahan teknis, namun penyelesaian krisis ekologi menuntut perubahan cara pandang manusia terhadap alam dan relasi kekuasaan atas SDA, kemutakhiran teknologi dalam memanipulasi proses-proses kimiawi polutan tidak dapat mengubah cara hidup manusia. 23 Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia karya Clifford Geertz (1983) merupakan karya klasik mengenai antropologi ekologi yang banyak dikenal di Indonesia.

Page 40: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

18  

  

hubungan kekuasaan atas SDA (Blaikie, 1985; Bryant, 1998; Forsyth, 2003; dan

Peluso, 2006). Ginealogi evolusi pengetahuan yang melahirkan ekologi politik

tersaji pada Gambar 2.

Ekologi politik (political ecology) berbeda secara mendasar dengan politik

lingkungan (environmental politics) dalam hal sejarah; tujuan; landasan teori; dan

metodologi24. Ekologi politik mampu menerangkan kondisi empirik penguasaan

SDA yang sistemik (Bryant dan Bailey, 2000), sedangkan politik ekologi mampu

menjelaskan berbagai alternatif pengelolaan kondisi sistemik tersebut demi

kepastian hukum (Garner, 1999). Perbedaan utama antara ekologi politik (political

ecology) dan politik ekologi (ecological politics/environmental politics) adalah

sebagai berikut:

                                                            24 Environmental politics is a research field within political science that applies traditional political question to environmental matters…political ecology encompasses a wider understanding of politics than is traditionally found in environmental politics. Political ecology assesses the implications of a politicised environment (Bryant and Bailey, 2000:17)

Page 41: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

19  

  

Tabel 1. Perbedaan antara Ekologi Politik dan Politik Ekologi

Pembeda Ekologi

Politik

Politik

Ekologi

Tema sentral Ekologi Politik

Ranah kajian dominan Ilmu

Lingkungan dan

pembangunan,

geografi, sosiologi

Ilmu politik

Fokus Manajemen

kekuasaan atas SDA

Manajemen

SDA

Hasil Kelembagaan

SDA

Kebijakan

SDA

Watak Metodologi Empirik Teoritik

Page 42: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

20  

  

Keterangan: interaksi, hasil, cabang

Gambar 2. Ginealogi Evolusi Pengetahuan Ekologi Politik

Biologi‐Kimia‐Fisika

Antropologi Ekologi 

Antropologi Ekologi Sosiologi 

Sosiologi Lingkungan 

Ekologi Politik 

(Political Ecology) 

Ekonomi Politik 

Politik

Politik Lingkungan 

(Environmental Politics) 

Ekonomi 

Page 43: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

21  

  

B. Definisi Ekologi Politik

Batasan ekologi politik mengacu pada tujuan pengkajian obyek formal.

Forsyth (2003) mencatat ada beberapa pengertian yang merujuk pada kajian

ekologi politik, Blaikie dan Brookfield (1987) misalnya menitikberatkan pada

interaksi antara ekologi dan ekonomi politik25, Russet (1967) memberi batasan

ekologi politik sebagai hubungan-hubungan antara sistem politik, sosial, dan

lingkungan fisik26, Lipietz (2000) membatasinya dalam perdebatan Marxian

mengenai keadilan, materialisme, dan alam dalam masyarakat kapitalis, dengan

pencermatan pada keadilan distribusi hak dan sumberdaya27. Beberapa batasan

ekologi politik berikut tujuannya disajikan dalam Tabel 2. Penelitian ini merujuk

pada batasan yang dikemukakan oleh Watts (2000) dalam Robbins (2004) yaitu

ekologi politik sebagai pendekatan untuk memahami hubungan-hubungan yang

kompleks antara alam (nature) dan masyarakat (society) melalui analisis yang

cermat mengenai bentuk-bentuk akses dan penguasaan sumberdaya dan

implikasinya bagi kesehatan lingkungan (environmental health) dan keberlanjutan

matapencaharian.

                                                            25 The phrase “political ecology” combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy. Together this encompasses the constantly shifting dialectic between society and land based resources, and also within classes and groups within society itself (Forsyth, 2003:3 ). 26 As ecology is defined as the relation of organisms or groups of organisms to their environment, I have attempted to explore some of the relations between political systems and their social and physical environment (Ibid:3). 27 Political ecology, like the Marxist-inspired workers’ movement, is based on a critique—and thus an analysis, a theorized understanding, of the “order of things”. More specifically, Marx and the greens focus on a very precise sector of the real world: the humanity-nature relationship, and even more precisely, relations among people that pertain to nature (or what Marxists call the productive forces)(Ibid: 4 ).

Page 44: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

22  

  

Tabel 2. Batasan-batasan Ekologi Politik

Sumber Batasan Tujuan

Blaikie dan Brookfield (1987) dalam Dharmawan (2007)

Combines the concerns of ecology and a broadly defined political economy.

Explain environmental change in terms of constrained local and regional production choices within global political economic forces largely within a third world and rural context.

Watts (2000) dalam

Robbins (2004)

An approach to understand the complex relations between nature and society through a careful analysis of what one might call the forms of access and control over resources and their implications for environmental health and sustainable livelihoods

Explain environmental conflict especially in terms of struggles over “knowledge, power, and practice” and “politics, justice, and governance”.

Bryant dan Bailey

(1997) dalam Forsyth

(2003)

A debate focuses on interactions between the state, non state aktors, and the physical environment.

Assesses the implications of a politicized environment.

Page 45: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

23  

  

C. Pendekatan-pendekatan Ekologi Politik

Bryant (1998) membagi perkembangan pendekatan-pendekatan ekologi

politik dalam tiga fase, yaitu 1) fase pertama, yaitu pendekatan struktural yang

menempatkan struktur ekonomi politik sebagai basis analisis bagi krisis ekologi

sehingga melahirkan rantai penjelasan (Neomarxian)28, 2) fase kedua, yaitu

pendekatan aktor yang menempatkan relasi-relasi kekuasaan sebagai analisis

dengan menekankan pada bentuk-bentuk perlawanan29 sehingga melahirkan

jaringan-jaringan relasi kekuasaan atas SDA (Neoweberian), 3) fase ketiga ialah

pendekatan post-strukturalis30 yang mengangkat teori wacana, pengetahuan, dan

kekuasaan sebagai analisis dengan menekankan jalinan kuasa dan pengetahuan

dalam menentukan arah dan peta perubahan lingkungan (Foucauldian)31.

Ketiganya tidak meninggalkan relasi ekonomi politik dan proses-proses ekologis.

Lebih lanjut, Bryant menganjurkan perluasan bidang garapan ekologi politik pada

masalah-masalah perairan (non tanah), kesehatan masyarakat, kependudukan, dan

keadilan sosial. Forsyth (2008) mengemukakan, pertemuan karya-karya Blaikie

                                                            28 Contoh yang paling tampak adalah The Political Economy of Soil Erosion in Developing Countries karya Blaikie (1985) 29 Contoh yang baik adalah Hutan Kaya Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa karya Peluso (2006). 30 Post-strukturalisme sebagai bagian dari Postmodernisme memfokuskan diri dalam kerja pewacanaan pola linguistik yang memproduksi subjektivitas dan identitas. Bahasa atau narasi sebagai pintu masuk sistem pengetahuan, selanjutnya sistem pengetahuan membentuk kesadaran (kerangka pemikiran, paradigma, ideologi). Sistem pengetahuan terkait dengan kekuasaan. Struktur bahasa tertentu merefleksikan struktur kekuasaan tertentu, misalnya dalam struktur Bahasa Jawa ada hirarki Kromo Inggil, Kromo Madya, dan Ngoko yang digunakan oleh pengguna dari struktur sosial yang berbeda-beda. Kromo Inggil digunakan oleh bawahan kepada majikan, atau kepada orang yang dituakan atau dihormati, Kromo Madya digunakan dalam relasi yang lebih setara, dan Ngoko digunakan oleh majikan kepada bawahan, atau sesama bawahan sebagai ciri bahasa kelas rendah. Kosakata dalam Kromo Inggil tidak menyediakan kata-kata umpatan, sedangkan dalam Ngoko kata-kata itu tersedia, sehingga seorang bawahan tidak dapat melakukan protes secara lugas atau mengemukakan kekecewaannya kepada majikan. Perbedaan Postmodernisme dan Post-strukturalisme adalah Postmodernisme berorientasi pada kritik kebudayaan, sedangkan Post-strukturalisme berkonsentrasi pada metodologi dan epistemologinya, dapat berupa dekonstruksi, penggalian makna dan simbol/narasi, atau analisis wacana (discourse analysis). Post-strukturalisme merupakan kritik sekaligus lanjutan dari Strukturalisme (dalam kerangka menemukan struktur). Strukturalisme membagi dunia dalam dua kategori yang berhubungan secara oposisi (oposisi biner, seperti: borjuis-proletar, penindas-tertindas, manusia-non manusia, lelaki-perempuan). Kritik utama Post-strukturalisme terhadap Strukturalisme 1) tentang makna adalah bahwa makna tidaklah bersifat stabil, melainkan dalam proses, 2) tentang kebenaran bahwa setiap masyarakat mempunyai rezim kebenaran yang direproduksi melalui a) wacana yang diterima, b) mekanisme penyalahan, dan c) alat sanksi, dan d) dialektika yang mengukuhkan rezim dengan proses-proses pendisiplinan atau rutinisasi. 31 Whose Knowledge, Whose nature? Biodiversity, Conservation, and The Political Ecology of Social Movements karya Escobar (1998) adalah contoh dari tradisi ini.

Page 46: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

24  

  

dengan kenyataan bahwa krisis ekologi berdampingan dengan kerentanan sosial

menjadi landasan bagi epistemologi ekologi politik yang berkeadilan sosial.

Penelitian ini secara metodologis lebih dekat pada tradisi dari fase ketiga,

dengan menekankan pada bentuk-bentuk hegemoni yang berangkat dari

penggalian makna dan narasi (tidak sampai pada analisis wacana dan

dekonstruksi). Hegemoni menurut Gramsci adalah penguasaan moral dan

intelektual kelompok dominan terhadap kelompok subordinat secara konsensual,

muara hegemoni adalah kontrol ideologi (Patria dan Arif, 1999; Roger, 1999; dan

Sugiono, 1999). Relasi pengetahuan dan kekuasaan dijelaskan oleh Foucault

sebagai dua sisi yang saling melengkapi32 keduanya (pengetahuan dan

kekuasaan) pada akhirnya direproduksi dalam rangka menciptakan hegemoni

namun dalam konteks post-struktural. Hegemoni dengan pendekatan Gramsci

mempunyai keterbatasan untuk diterapkan pada kekuasaan yang tersebar,

sementara gagasan knowledge/power Foucault terlampau jauh untuk mewadahi

praktik-praktik yang mengarah pada hegemoni.

Transisi metodologi dari hegemoni struktural Gramsci menuju relasi

kekuasaan post-struktural Foucault diperlukan. Alur tersebut akan dibangun

melalui Teori Kelas Dahrendorf, Teori Akses Peluso, hingga kemunculan

gagasan Governmentality33.

                                                            32 Knowledge linked to power, not only assumes the authority of 'the truth' but has the power to make itself true. All knowledge, once applied in the real world, has effects, and in that sense at least, 'becomes true.' Knowledge, once used to regulate the conduct of others, entails constraint, regulation and the disciplining of practice. Thus, 'There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time, power relations (Foucault. Discipline and Punishment, London, Tavistock, 1977, p27.) 33 Governmentality berbeda konsep dengan Government, Governance, dan Governability. Government (pemerintah) adalah aktor penyelenggara pemerintahan. Governance (kepemerintahan) adalah tata laksana penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah, lebih mengacu pada tatakelola. Governability (the capacity of government to govern) adalah kemampuan pemerintah untuk menjalankan pemerintahan. Government, Governance, dan Governability merupakan istilah-istilah dalam administrasi publik dan ilmu kepemerintahan yang berkaitan dengan bagaimana suatu pengelolaan institusi bernama negaradiselenggarakan oleh aktornya (lihat Praktikno, 2005; Wasistiono, 2005; dan Imawan, 2005). Governmentality adalah konsep yang diturunkan dari filsafat kekuasaan Foucault menyangkut ‘conduct of conduct’, dapat dipahami sebagai (www.wikipedia.org):

Page 47: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

25  

  

Konflik dan perubahan sosial dalam hubungannya dengan kekuasaan cukup

memadai dijelaskan oleh Dahrendorf sebagai ketidakadilan distribusi kekuasaan

sebagai pembeda kelas sosial dan sumber konflik34, teori konflik Dahrendorf

memungkinkan perluasan kajian menuju relasi-relasi kekuasaan dibandingkan

dengan teori konflik Marx yang membatasi pada penguasaan alat produksi.

Kelembagaan SDA merupakan pengorganisasian kepentingan. Menurut

perspektif kebijakan publik, syarat utama kelembagaan adalah kepastian hukum

mengenai hak-hak atas SDA. Hak atas SDA di Indonesia mengacu pada teori

kepemilikan (the theory of property rights) yang membatasi kepentingan orang

atau kelompok sosial dengan sekelompok hak (a bundle of rights). Sedangkan

permasalahan utama konflik sumberdaya bukanlah hak, melainkan akses yang

menurut teori akses (theory of access) dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan

(a bundle of powers)35. Peluso dan Ribot (2003) mengemukakan bahwa hak

muncul sebagai klaim yang dilegitimasi oleh seperangkat pengakuan sosial yang

                                                                                                                                                                   1) The way governments try to produce the citizen best suited to fulfill those governments'

policies, 2) The organized practices (mentalities, rationalities, and techniques) through which

subjects are governed 3) The "art of government" (Burchell 78), 4) "Governmental Rationality" (Gordon 1991: 1), 5) A ‘guideline’ for the analysis [Foucault] offers by way of historical reconstructions

embracing a period starting from Ancient Greece (sic) through to modern neoliberalism”(Lemke 2) 

6) “The Techniques and strategies by which a society is rendered governable” (Jones 174) 

Li (2007) menggali makna Governmentality melalui penelusurannya atas asumsi-asumsi Foucault tentang kekuasaan, yaitu:1) Pemerintahan diterapkan pada tubuh sosial (populasi, masyarakat) dengan jalan pendisiplinan berupa pendidikan, penataan kebiasaan; aspirasi; dan kepercayaan, hal ini dikarenakan tidak mungkin mendisiplinkan tubuh sosial dengan alat-alat pendisiplinan bagi tubuh individu (sekolah, rumah sakit jiwa, dan penjara). 2) Tujuan pendisiplinan adalah agar tubuh sosial mengikuti kehendak pengendali dengan cara mengikuti kehendak diri sendiri (yang telah disesuaikan dengan kehendak penguasa). 3) Kehendak untuk memerintah (the will to govern), lebih khusus lagi kehendak untuk merekayasa (the will to improve) bersifat ekspansif. 4) Tujuan dari pemerintahan bukan tunggal dan dogmatis dan diselenggarakan dengan berbagai bentuk taktik yang melahirkan pembenaran (a way of thinking about government as the “right manner of disposing things” in pursuit not of one dogmatics goal , but “a whole series of specific finalties” to be achieved through “multiform tactics” [Foucault, 1991:95] dan 5) Pertanyaan analitis dari governmentality adalah bagaimana kekuasaan dioperasikan sehingga pengendalian berjalan tanpa ada perasaan terkendali pada yang dikendalikan.

34 Lihat Vago (1989:39) 35 Lihat Peluso dan Ribot (2003:153).

Page 48: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

26  

  

mewujud sebagai hukum, adat kebiasaan, dan konvensi, seperangkat pengakuan

sosial ini merupakan konsensus yang menjadi titik tolak praktik-praktik hegemoni

dengan cara-cara represif dan koersif (Peluso, 2006) maupun penundukan-

penundukan secara halus (subtle ways) (Li, 2002).

Li (2003) memperkenalkan kerangka konseptual untuk membedah situasi

konflik melalui pendekatan kekuasaan (a conceptualization of power) dan

penelusuran narasi (a repertoire of terms) proyek; posisi; praktik; dan proses.

Konflik SDA bekerja pada dua situasi yaitu logika kapitalisme dan kekuasaan

(yang oleh Foucault dilabeli sebagai governmental)36. Proyek adalah istilah yang

mengacu pada jenis kegiatan baik yang berupa proyek pemerintah, proyek

ekonomi (Swasta), maupun proyek politis (LSM). Posisi mengacu pada daya

tawar masing-masing aktor dalam suatu proyek, ini terkait dengan bagaimana

setiap aktor memosisikan dirinya di dalam arena konflik terhadap aktor lainnya.

Praktik mengacu pada bentuk konkret bagaimana suatu proyek dijalankan dan

posisi itu bekerja. Proses menekankan pada dampak-dampak tak terencana dari

proyek dan praktik melintasi ruang dan waktu.

Pasca ORBA, tidak ada lagi kekuasaan yang terpusat. Relasi kekuasaan

berbeda dengan relasi dominasi dalam hal distribusi kekuasaan. Relasi dominasi

tidak memberi kesempatan kelompok subordinat untuk membuat pilihan selain

pilihan yang sudah ditentukan oleh kelompok dominan. Sedangkan di dalam relasi

kekuasaan, kemungkinan dan pilihan tindakan setiap kelompok terbuka lebar.

Menurut Foucault, relasi kekuasaan kini semakin dipengaruhi dan dikontrol oleh

negara (governmentalized), inilah alasan Foucault menyebut model relasi

kekuasaan ini dengan governmentality. Governmentality dipahami sebagai

kewenangan yang direkayasa bukan untuk tujuan-tujuan pembangunan, melainkan

untuk mengendalikan populasi dan sumberdaya demi kepentingan kelompok

dominan tertentu (Li, 2007).

                                                            36 Conflict over natural resources are situated rather obviously within the logic of capitalism, …but they are also situated within the field of power Foucault labelled governmental, in which experts in and out of the state machinery attempt to enhance the quality of population, rearranging landscapes, livelihood, and identities according to techno-scientific criteria (Li, 2003:5120).

Page 49: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

27  

  

Perbedaan hegemoni Gramsci dan governmentality Foucault terletak pada

tempat berlangsungnya kekuasaan, governmentality berlangsung dalam setiap

relasi sosial bukan sekadar relasi negara dengan masyarakat seperti dalam

pandangan Marx atau Gramsci.

Konsep governmentality Foucault menggambarkan model relasi kekuasaan

yang berlaku dalam masyarakat modern saat ini yang mana kekuasaan tidak

hanya dijalankan melalui soverign power atau disciplinary power, tetapi justru

cenderung dijalankan dengan cara‐cara yang positif. Substansi governmentality

tidak beda dengan disciplinary power, yakni disiplin tubuh yang hanya dapat

diketahui melalui efek‐efek dari kekuasaan itu. Jika disciplinary power diterapkan

pada tubuh individu, maka governmentality diberlakukan pada tubuh sosial. Jika

bentuk pengetahuan dari disciplinary power berupa rezim kebenaran, maka

bentuk pengetahuan dari governmentality berupa ekonomi politik.

Governmentality dapat menjembatani kesenjangan metodologi struktural dan post-

struktural dalam menelaah relasi kekuasaan.

2.6 Kerangka Konseptual

OTDA merupakan sistem politik yang memungkinkan Pemda di tingkat

kabupaten untuk mengambil keputusan terhadap bentuk-bentuk pengelolaan SDA

dan lingkungan (SDA). Keputusan yang diambil oleh Pemda tersebut dilandasi

oleh kepentingan ekonomi politik dan konsensus-konsensus yang membentuk

rejim penguasaan atas SDA, baik itu berupa produk hukum dalam negeri maupun

luar negeri; agenda-agenda lembaga internasional; dan yang tak kalah penting

adalah pemaknaan terhadap SDA. Perpaduan OTDA dan rejim penguasaan SDA

dimunculkan sebagai kebijakan atas SDA, dalam konteks penelitian ini adalah

pertambangan pasir besi.

Kebijakan atas SDA tertentu menimbulkan konflik SDA, baik itu bersifat

material maupun immaterial. Konflik sebagai akibat dari kebijakan atas SDA

dapat ditelaah dengan Teori Desentralisasi, Teori Property Rights, Teori Konflik,

dan Teori Ekologi manusia sebagai alat analisis konseptual. Konflik tersebut pada

dimensi empirik dianalisis melalui Struktur Penguasaan SDA, Proses Politik

Kebijakan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA.

Page 50: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

28  

  

Dalam penelitian ini, istilah SDA dan agraria digunakan secara bergantian

untuk merujuk pada maksud yang sama, yaitu sumberdaya alam berbasis tanah.

Istilah SDA dipilih untuk menjaga konsistensi penulisan, kecuali pada hal-hal

yang telah dianggap lazim dipergunakan istilah agraria.

Teori Desentralisasi menjelaskan asumsi dasar, konsep dasar, dan

konsekuensi dari desentralisasi, yang dalam bentuk teknisnya diterjemahkan

sebagai sistem OTDA. Teori Property Rights menjelaskan asumsi dasar, konsep,

dan bentuk-bentuk penguasaan SDA oleh aktor-aktor ekonomi politik, yaitu

negara; masyarakat; dan pasar. Teori Konflik menjelaskan akar konflik, struktur

konflik, arena konflik, dan analisis konflik, dalam konteks penelitian ini adalah

konflik SDA. Teori Ekologi Manusia menjelaskan relasi ekonomi politik dan

sosial budaya antara manusia dengan SDA.

Konsep Governmentality digunakan untuk mencermati relasi-relasi

kekuasaan dalam konflik SDA, baik itu yang bekerja pada tingkat tindakan

maupun kesadaran. Hasil dari proses pencermatan tersebut diharapkan dapat

digunakan untuk menilai arah konflik SDA dan arah perubahan ekosistem yang

disebabkan oleh konflik tersebut. Secara sederhana, arah konflik dapat dinilai

positif jika aktor-aktor yang berkonflik dapat memunculkan konsensus-konsensus

baru yang menjamin kepentingan masing-masing dalam pemanfaatan ruang

bersama. Namun, arah konflik dapat dinilai negatif jika keputusan-keputusan para

aktor yang berkonflik justru mengarah pada krisis-krisis ekologi, sosial, dan

politik. Alternatif kebijakan yang lebih adil bagi kepentingan ekonomi, sosial, dan

lingkungan tetap harus tercipta.

Pemahaman terhadap konsep Governmentality adalah penting karena

memungkinkan pengambil kebijakan untuk melihat permasalahan secara lebih

luas dan mendalam, terutama jantung organisasi kepentingan atas SDA, yaitu:

kekuasaan. Dengan demikian, pengambil kebijakan tidak hanya akan terjebak

pada evaluasi kebijakan yang bersifat teknis, melainkan menemukan kerangka

paradigmatik yang menjadi landasan bagi penyusunan suatu kebijakan. Bermula

dari pemahaman pada Governmentality, pengambil kebijakan dapat memulai

suatu pertanyaan : di dalam kerangka kesadaran dan kekuasaan seperti apakah

suatu kebijakan SDA dilahirkan?

Page 51: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

29  

  

  

Teori Desentralisasi (Teori Pendukung)

Teori Property Rights

Teori Konflik

Teori Ekologi Manusia

(Teori Pendukung)

KEBIJAKAN Pengelolaan

SDA Struktur Penguasaan

SDA

Proses Politik Kebijakan SDA

Struktur Konflik SDA

Relasi Kekuasaan SDA

OTDA Rejim Penguasaan SDA

KONFLIK-KONFLIK SDA

GOVERNMENTALITY SDA

ARAH KONFLIK DAN

PERUBAHAN EKOSISTEM

Krisis-krisis Sosial-Politik-Ekologi

ALTERNATIF KEBIJAKAN SDA

Konsesus-konsensus

Pengelolaan SDA

Gambar 3 Bagan Alir Kerangka Konseptual

Page 52: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

30  

  

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Sifat dan Jenis Penelitian

Penelitian ini bersifat kualitatif, yaitu menekankan pada proses-proses dan

makna-makna yang tidak diukur secara ketat dari segi jumlah; intensitas; maupun

frekuensi (Denzin dan Lincoln, 1994 dalam Sitorus, 1998).

Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi sumber data (triangulasi)

pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen. Informasi yang diperlukan

berasal dari elemen masyarakat (termasuk LSM), negara, dan swasta. Sumber

informasi ditentukan secara purposive sampling dan snowbolling. Metode

etnografi digunakan untuk menghimpun informasi wawancara dan pengamatan.

Makna kualitatif penelitian ini juga dalam hal pemosisian peneliti terhadap

subyek penelitian dalam relasi subyek-subyek (intersubjectivity). Fenomena sosial

yang terbangun dalam konteks sosial dipertimbangkan sebagai pengetahuan yang

dinamis. Metode yang dilakukan turut mengamati pembentukan, pelembagaan,

dan pentradisian fenomena sosial itu (social contructionism37).

3.2 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dibatasi oleh dimensi ruang dan waktu sebagai berikut:

Ruang : kawasan area pertambangan seluas 22x 1,8 km2.

Waktu : periode 2006-2009, dari momentum sosialisasi hingga AMDAL.

3.3 Tahapan Penelitian

Penelitian ini terdiri atas 3 (tiga) tahap, yaitu:

1. Tahap I

Tahap I penelitian dilangsungkan selama 3 bulan efektif (Februari – April

2010) di tingkat komunitas dan jaringan pendukungnya. Penelitian ini bertempat                                                             37Social constructionism adalah teori sosiologi pengetahuan yang mempertimbangkan bagaimana fenomena sosial terbentuk dalam konteks sosial. “All knowledge, including the most basic, taken-for-granted common sense knowledge of everyday reality, is derived from and maintained by social interactions. When people interact, they do so with the understanding that their respective perceptions of reality are related, and as they act upon this understanding their common knowledge of reality becomes reinforced. Since this common sense knowledge is negotiated by people, human typifications, significations and institutions come to be presented as part of an objective reality (Berger and Thomas, 1966 In. www.wikipedia.org).

Page 53: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

31  

  

di Desa Bugel dan Garongan (Kecamatan Panjatan), Desa Karangwuni

(Kecamatan Wates), dan Desa Karangsewu (Kecamatan Galur) dengan memilih

masing-masing satu tokoh lokal berikut rumahtangganya.

Pemilihan lokasi didasarkan pada alasan:

a. Desa Bugel : lokasi inisiatif pertanian lahan pasir

b. Desa Karangwuni : lokasi dengan frekuensi konflik

paling tinggi

c. Desa Garongan : lokasi pusat kelembagaan petani

d. Desa Karangsewu : lokasi pilot proyek

Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam.

2. Tahap II

Tahap II penelitian dilangsungkan selama 2 bulan efektif (April- Mei 2010)

di tingkat pengambil kebijakan (Pemda) dan pelaksana proyek (perusahaan) dan

jaringan pendukungnya. Metode yang digunakan adalah wawancara terstruktur.

3. Tahap III

Tahap III penelitian dilangsungkan selama 1 bulan efektif (Juni 2010)

dengan studi literatur, penelusuran dan analisis naskah mengenai sejarah struktur

penguasaan SDA setempat, kebijakan tataguna agraria, dan proses politik

kebijakan SDA.

3.4 Rancangan Penelitian

3.4.1. Struktur konflik pemanfaatan ruang dan SDA

a. Tujuan : memetakan kepentingan

b. Metoda pengumpulan

data

: wawancara mendalam dan

terstruktur

c. Variabel yang diamati : kepentingan aktor kunci dan

perspektif aktor pelengkap

d. Metoda analisis data : analisis sosial

Page 54: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

32  

  

3.4.2. Pembentukkan jejaring kekuasaan atas SDA

a. Tujuan : memetakan aktor dan perannya

b. Metoda pengumpulan data : wawancara mendalam dan

terstruktur,penelusuran naskah

c. Variabel yang diamati : peran aktor utama dan pendukung

d. Metoda analisis data : analisis sosial

3.4.3. Analisis hubungan konflik SDA dengan krisis SDA dan sosial politik

a. Tujuan : mengetahui konsekuensi-

konsekuensi atas konflik yang

terjadi

b. Metoda pengumpulan

data

: rekam jejak, penelusuran

naskah

c. Variabel yang diamati : arah konflik

d. Metoda analisis data :analisis konflik,

3.4.4. Perumusan sintesis alternatif pengelolaan SDA

a. Tujuan : merumuskan penyelesaian

b. Metoda pengumpulan data : rekam jejak konflik SDA

c. Variabel yang diamati : kepentingan utama, akar

konflik dominan, situasi konflik

dominan

d. Metoda analisis data : pendekatan multipihak

Page 55: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

P

k

d

G

4.1 K

4.1.1

a. Top

Kabup

Provinsi Da

kecamatan,

110o16’26”

dan kependu

Gambar 4, T

IV

Kondisi Umum

Profil Wila

pografi dan K

paten Kulon

aerah Istime

88 desa, d

BT dan 7o38

udukan (200

Tabel 3, Tabe

Gamba

Tabel Per

BagiaBagia

BagiaBagia

Sumbe

V. HASIL

m Wilayah

ayah

Kependuduk

Progo meru

ewa Yogyak

dan 930 ped

8’42” – 7o59

08) Kabupate

el 4, dan Tab

ar 4. Peta Ka

3. Batas Wilrbatasan an Barat an Timur

an Utara an Selatan er: www.kul

L DAN PEM

kan

upakan salah

karta, deng

dukuhan) d

9’3” LS. Bat

en Kulon Pro

bel 5 sebaga

abupaten Ku

layah Kabup

KabupatenKabupatenDIY KabupatenSamudera

lonprogokab

MBAHASAN

h satu dari l

an luas dae

dan posisi g

tas wilayah,

ogo, berturu

ai berikut:

ulon Progo, P

paten Kulon Wil

n Purworejon Sleman

n Magelang a Hindia b.go.id

N

lima daerah

erah 586,28

geografis 11

karakteristik

ut-turut disaji

Propinsi DIY

Progo ayah

o Provinsi Jawdan Bantu

Provinsi Jaw

33

otonom di

8 km2 (12

10o1’37” –

k topografi,

ikan dalam

Y.

wa Tengahul Provinsi

wa Tengah

Page 56: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

34  

  

Tabel 4. Karakteristik Topografi Kabupaten Kulon Progo Bagian Tinggi tempat

(m dpl) Kecamatan

Bagian Utara 500-1000 Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, dan Kokap

Bagian Tengah

100-500

Nanggulan, Sentolo, Pengasih, dan sebagian Lendah

Bagian Selatan

0-100

Temon, Wates, Panjatan Galur, dan sebagian Kecamatan Lendah

Sumber: www.kulonprogokab.go.id

Tabel 5. Kependudukan Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo

Kecamatan Luas (ha) Jumlah Desa Jumlah penduduk

Temon 3.629,09 15 31.619

Wates 3.200,24 8 48.176

Panjatan 4.459,23 11 39.877

Galur 3.291,23 7 32.615

Jumlah 14.579,79 41 152.287 Sumber: www.kulonprogokab.go.id 

b. Sosiologi Lingkungan

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Kulon Progo No 1 Tahun 2003

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) Kulon Progo,

kawasan pesisir di tetapkan sebagai Kawasan Budidaya, yaitu pertanian lahan

kering (lahan pasir) dan sebagai Kawasan Lindung Setempat (Gambar 5 dan

Gambar 6). Penetapan fungsi kawasan ini merupakan penyesuaian terhadap

karakteristik ekosistem dan sosial setempat.

Pola kehidupan masyarakat pesisir di Kabupaten Kulon Progo terbentuk dari

interaksi antara manusia dengan ekosistemnya. Ekosistem pesisir tersebut

merupakan hamparan gumuk pasir (sandbank) seluas 44 km2 ; yang dihimpit oleh

dua sungai besar, yaitu Sungai Serang dan Sungai Progo. Ekosistem tersebut

menyediakan potensi yang jarang ditemukan di ekosistem pesisir lain di

Indonesia, yaitu air tawar di sepanjang pantai. Selain mengandung air tawar,

Page 57: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

35  

  

hamparan gumuk pasir di kawasan tersebut mengandung mineral besi. Dua

potensi ekonomi ini (air tawar dan pasir besi) menjadi unsur penting dalam

keputusan-keputusan politik yang berdampak pada perubahan sosial dan budaya

setempat.

Meskipun menempati kawasan yang dekat dengan aktivitas maritim pada

umumnya, masyarakat pesisir Kulon Progo justru merupakan masyarakat agraris.

Watak gelombang Samudera Hindia menjadi alasan bagi masyarakat untuk

memilih strategi nafkah. Alasan lain yang melatarbelakangi pilihan masyarakat

untuk hanya memanfaatkan potensi air tawar ialah bahwa akses ekonomi terhadap

pasir besi memerlukan syarat teknologi tinggi berskala industri yang jelas tidak

mereka kuasai.

Page 58: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

Gambar

r 5 Peta RTRRWK KP unntuk Kawasaan Budidaya 

36

Page 59: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

Gambar 6.

Peta RTRWWK KP untukk Kawasan LLindung. 

37

Page 60: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

38  

  

4.1.2 Sejarah Wilayah

a. 1945-1950

Kultur sosial dan politik di Propinsi Yogyakarta tidak terlepas dari sejarah

situasi kolonial yang membentuknya. Surjomiharjo (1989) mengungkapkan

bahwa situasi kolonial, khususnya kota Yogyakarta sebagai pusat gerakan di masa

kemerdekaan, melibatkan kekuatan ekonomi politik suatu minoritas asing dengan

latar belakang peradaban yang berbeda. Minoritas asing ini membangun kerangka

administrasi kolonial sejak 1880-1930 dan turut membentuk kompleksitas sosial

melalui keterbukaan pada kekuatan pasar, aliran pemikiran, dan kebudayaan non

Jawa di Yogyakarta. Konfigurasi yang beragam itu kini memberi nuansa bahwa

Yogyakarta adalah miniatur Indonesia.

Dinamika eksistensi lembaga swapraja juga tidak lepas dari situasi kolonial

tersebut. Sebelum 1945, lembaga swapraja dalam arti struktur kekuasaan dan tata

pemerintahan dapat dikatakan sebagai produk kekuatan ekonomi politik

kolonial38. Wilayah Swapraja pada tahun 1830 (Gambar 7) hingga 1945 (Gambar

8) adalah wilayah Propinsi DIY yang sekarang. Sebagian wilayah Swapraja yang

dikuasai oleh Paku Alam berada di dalam kota yaitu meliputi Kecamatan Paku

Alaman yang sekarang, sedangkan wilayah luar kota (Kadipaten Adikarto)

meliputi daerah Panjatan, Brosot, Bendungan, dan Temon, yang beribukota di

Wates, kini Kadipaten Adikarto merupakan wilayah selatan Kabupaten Kulon

Progo.

                                                            38 Dapat disimak dalam sejarah kekuasaan, baik yang tertuang dalam perjanjian-perjanjian politik ; antara lain 1) Perjanjian Gianti 13 Februari 1755, 2) Penobatan KGPA Paku Alam I oleh Thomas Raffles pada 29 Juni 1812, 3) Kontrak Politik Paku Alaman dengan Inggris 17 Maret 1813, 4) Rijksblad Kasultanan No 16 tahun 1918 dan Rijksblad Paku Alaman No 18 tahun 1918 sebagai akibat pemberlakuan Agrarische Wet 1870, dan 5) Kontrak Politik Belanda dengan Sultan HB (1877-1940) sebagai akibat politik kekalahan perang Diponegoro, maupun hasil-hasil penelitian antara lain oleh Darmosugito (Sedjarah Kota Yogyakarta dalam Kota Yogyakarta 200 tahun 7 Oktober 1756 - 7 Oktober 1956, 1956), Soedarisman Poerwokoesoemo (Kasultanan Yogyakarta, Suatu Tinjauan Tentang Kontrak Politik 1877-1940, 1985), Selo Soemarjan (Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1986), Abdurrachman Surjomiharjo ( Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan Historis Perkembangan Sosial, 1989), Djoko Suryo (Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990, 2004) dan Luthfi et al. ( Keistimewaan Yogyakarta, Yang Diingat dan Yang Dilupakan, 2009).

Page 61: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

Gamba

G

ar 7. Wilaya

Gambar 8. W

ah Swapraja

Wilayah Swa

1830 (sumb

apraja 1945

ber www.wik

(sumber ww

kipedia.com)

ww.wikipedia

39

).

a.com) 

Page 62: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

40  

  

b. 1980-2006

Kemiskinan selalu melekat sebagai identitas masyarakat pesisir Kabupaten

Kulon Progo. Mereka yang hidup di kawasan ini disebut Cubung oleh orang di

luar komunitasnya, sebuah istilah yang bermakna keterbelakangan, golongan

rendah, dan berpenyakitan. TJ (32) memberi kesaksian mengenai pencitraan ini39:

“Dahulu, sewaktu saya masih kecil orang-orang pesisir disebut

sebagai orang Cubung. Orang Cubung itu ya orang goblok, miskin,

penyakitan, pokoknya terbelakang lah. Hal itu sudah pas dengan

keadaannya karena kami tak punya pekerjaan selain bekerja sebagai

buruh kasar di kota. Pertanian lahan pasir belum berkembang seperti

sekarang, paling banter hasilnya cuma 3 kilo cabai. Keadaan di sini

sebelum penggarapan lahan jauh lebih buruk karena untuk bisa makan

nasi sehari harus mengumpulkan pendapatan seminggu. Setiap bulan

Agustus-November dari laut selatan bertiup angin yang membawa

pageblug (wabah), kalau sudah begitu, sakit mata dan kulit sudah

langganan.”

Sebelum dekade 1980-an masyarakat setempat memanen kelapa di

sepanjang pesisir sebagai komoditas ekonomi untuk melengkapi komoditas lain

yaitu anyaman daun pandan, yang sumbernya merupakan spesies endemik yang

tumbuh liar. Penghasilan lain diperoleh dari penambangan garam dari air laut

yang dalam istilah setempat aktivitas itu disebut sirat40. Perjuangan untuk hidup

dan tekanan alam mendorong generasi muda memilih jalan penghidupan lain

melalui urbanisasi (Kompas, April 2008ab)41. Kutipan wawancara dengan TJ (32)

juga menyebutkan gejala urbanisasi pada dekade 1980-an tersebut:

“Saya tidak pernah mimpi jadi petani dengan penghasilan minimal 30

juta per bulan seperti sekarang ini. Saya pernah kerja di Malaysia

sebagai buruh selama 3 tahun pada tahun 1997-2000, hasilnya hanya

                                                            39 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010, TJ (32),: 40 Wawancara dengan KN (50). Juli 2009 (Preliminary) 41 Catatan Harian Peta Konflik, 10 Februari 2010,TJ (32):

Page 63: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

41  

  

cukup untuk modal buka lahan 2000 m2. Saya ini tergolong gerbong

terakhir pemuda yang beralih profesi menjadi petani, cukup terlambat

dibanding teman-teman seusia saya yang tidak tergiur menjadi buruh

perusahaan asing.”

Aktivitas ekonomi sebagai buruh di kota lambat laun mengendurkan ikatan

sosial individu urban dengan lingkungan asalnya. Sistem sosial yang semula

dibentuk oleh solidaritas mulai bersifat individualis. KN (50) mengemukakan

bahwa komunikasi tradisional setempat adalah pembentuk ikatan sosial42:

“Orang-orang Cubung di pesisir ini mempunyai kebiasaan bertukar

informasi, kebiasaan ini disebut endong-endongan. Apa yang

dibicarakan di endong-endongan macam-macam, biasanya seputar

masalah hidup sehari-hari. Kelak kebiasaan ini berperan dalam

penyebaran gagasan dan teknologi bertani di lahan pasir.”

Pada tahun 1982, salah seorang penduduk43 terinspirasi untuk memulai

bercocok tanam di lahan pasir pantai, ketika ia mendapati sebatang tanaman cabai

liar yang mampu tumbuh dan berkembang di bentangan gumuk pasir itu44

(Kompas, April 2008b). KN (50), penduduk yang memulai penggarapan lahan itu,

mengemukakan sejarah awal mula perubahan ekosistem di pesisir Kulon Progo:

“Sebelum kembali pulang untuk bertani, saya dulu bertahun-tahun

merantau ke Jawa Barat dan Sumatera untuk mencari pekerjaan. Saya

hampir putus asa karena tak mendapatkan hasil, dalam kondisi itu

saya berjalan-jalan di tepi pantai dan saya mendapati sebatang

tanaman cabai yang tumbuh liar dan berbuah. Lalu muncul gagasan

saya, kalau tanaman liar saja bisa tumbuh apalagi kalau dirawat. Saya

                                                            42 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50) 43 Ada dua versi cerita mengenai kemunculan inspirasi ini, sumber lisan yaitu TJ (32) dan SR (40), keduanya Desa Garongan, menyatakan bahwa KN adalah sang pemula (lihat juga, Kompas April 2008b), sumber tertulis setempat menyatakan IJ adalah yang mengawali (Iman Rejo, 1996). Kedua versi tersebut menguatkan bukti bahwa gagasan untuk mengubah bentang alam pesisir menjadi lahan hortikultura berasal dari masyarakat lokal. 44 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50):

Page 64: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

42  

  

memulai budidaya tanaman cabai dalam luasan kecil, dengan

memanfaatkan air tawar di bawah pasir.”

Bersama beberapa warga lainnya, KN (50) memanfaatkan sumberdaya air

tawar yang tersimpan di kedalaman 3-6 m di bawah permukaan pasir pantai untuk

menyuplai kebutuhan air bagi tanaman (Kompas, April 2008a). Air tawar di tepi

pantai memberikan berkah bagi jenis pekerjaan baru, yaitu petani hortikultura

terutama cabai dan semangka.

Pada tahun 1988-1995 budidaya tanaman hortikultura itu meluas di 4

kecamatan di kawasan pesisir (Temon, Wates, Panjatan, Galur), dengan didukung

pengembangan teknologi dan informasi. Pada mulanya mereka hanya membangun

sumur timba yang sangat sederhana pada galian pasir. Seiring dengan peningkatan

pengetahuan dan pendapatan petani, sumur timba tersebut kemudian berkembang

menjadi sumur berantai yang mampu menghemat waktu dan tenaga (Iman Rejo,

1999). Beberapa rumah tangga petani yang secara ekonomi lebih mapan kemudian

mencukupi kebutuhan pengairan dengan menggunakan mesin. Menurut KN (50)

komunikasi tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya mempunyai peranan

dalam penyebaran pengetahuan setempat45:

“Kebiasaan endong-endongan membantu penyebaran apa yang saya

lakukan. Kami mulai membicarakan bagaimana meningkatkan hasil,

mulai dari mengubah sumur gronjong (berdinding bambu) menjadi

sumur timba, dari sumur timba menjadi sumur renteng (berantai).

Kami juga mulai memikirkan untuk membuat pagar angin baik itu

menanam tanaman keras di daerah dekat pantai, maupun menanam

tanaman selingan untuk melindungi tanaman utama. Hasil panen

meningkat pesat seiring perkembangan pengetahuan masyarakat, dan

teknologi yang diterapkan semakin canggih seiring pertambahan nilai

jual, harga paling tinggi adalah ketika krisis moneter 1997, di sini

banyak orang kaya mendadak.”

                                                            45 Catatan Harian Peta Konflik, 15 Februari 2010, KN (50)

Page 65: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

43  

  

Keberadaan jenis pekerjaan baru di desa lambat laun menggerakkan arus

balik urbanisasi (Kompas, April 2008ab). Para pemuda yang dahulu bekerja di

sektor industri di kota kembali ke desa untuk menekuni profesi sebagai petani

yang lebih menjanjikan bagi penghidupan46. Matapencaharian baru ini mampu

menyerap tenaga kerja dari luar kawasan, yaitu sebagai buruh petik47.

Perkembangan informasi dan teknologi tidak hanya meningkatkan taraf hidup

secara ekonomi tetapi juga membangun hubungan sosial dengan elemen

pembangunan di luar komunitas pesisir, terutama akademisi.

Pada tahun 2001 Fakultas Pertanian UGM mengkaji pengembangan potensi

lahan pasir pantai. Pertukaran informasi antara akademisi dan para petani lahan

pasir membuahkan kelembagaan baru di sektor distribusi, yaitu 1) pengaturan

sarana produksi dan 2) sistem lelang. Pengaturan sarana produksi meliputi

kegiatan penyediaan pupuk dan benih, sedangkan sistem lelang untuk

pengendalian harga panen. Kedua kelembagaan ini dijalankan oleh komunitas

setempat melalui pengorganisasian diri. Posisi tawar petani terhadap pasar

terbangun melalui proses interaktif yang panjang antara pengetahuan dan tindakan

yang berubah dari waktu ke waktu. Sistem lelang mulai dilakukan pada tahun

2002. Sistem ini memungkinkan petani mempunyai daya tawar terhadap pasar

distribusi dengan cara turut mengatur harga panen di tingkat petani48.

                                                            46 Dengan luas 1000 m2 atau 0,1 ha , hasil bersih rata-rata petani lahan pasir pantai untuk komoditas cabai adalah Rp. 11.554.090,00 dengan indeks B/C ratio sebesar 4,54 dan rata-rata produktivitas 2.014 ton per satuan luas; artinya sangat layak diusahakan (sumber: Shiddieq et al., 2008, Anonim, 2007, dan Rismiyadi, 2003). Laporan Kelompok Gisik Pranaji di Bugel pada Mei 2010 menyatakan bahwa rerata hasil cabai adalah 0,8 kg/tanaman, jarak tanam 1 x1 m diterapkan untuk setiap 1.000 m2 (dalam setiap 1.000 m2 ada 1.000 lubang) rerata penggarapan petani adalah 3.000 m2, sehingga rerata hasil panen per keluarga petani adalah 0,8 kg x 3.000 tanaman= 2.400 kg/ panen. Panen dilakukan 5 hari sekali selama dua bulan (puncak produksi), sehingga rerata hasil panen per keluarga petani selama dua bulan adalah: 2.400 kg x 12 kali panen= 28.800 kg. Harga cabai pada bulan Mei dan Juni 2010 rerata Rp. 15.000,00 , dengan demikian pendapatan kotor petani selama dua bulan adalah 28.800 kg x Rp. 15.000,00 = Rp. 432.000.000,00 (Empat ratus tigapuluh dua juta rupiah). Biaya produksi total untuk setiap 3000 m2 adalah Rp. 115.200.000,00 (harga panen Rp. 4.000,00/kg). Dengan demikian, pendapatan bersih petani dalam dua bulan adalah Rp.432.000.000,00-Rp.115.200.000,00= Rp.316.800.000,00 (Tiga ratus enambelas juta delapan ratus ribu rupiah). 47 Wawancara dengan SR (40), Garongan, Panjatan, Agustus 2008 (Preliminary). 48 Mekanisme sistem lelang sebagai berikut:

1) Kelompok tani di setiap dusun mengadakan rapat untuk mengambil keputusan mengenai pelaksanaan lelang menjelang panen.

2) Tempat, waktu, dan tenaga operasional lelang ditetapkan. 3) Pada waktu panen, setiap keluarga petani menyetorkan hasil panen kepada kelompok,

hasil panen kemudian disortir oleh tenaga operasional lelang untuk dipilih yang memenuhi kualitas pasar,.

Page 66: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

44  

  

Pada tahun 2005, PT. JM, PT NE, PT. KS dan AK Ltd. menjalin kerjasama

bisnis untuk pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo49. AK adalah

TNC di Australia dan mempunyai proyek pertambangan di beberapa negara, salah

satunya adalah pertambangan emas di Peru. Pada tahun 2006 AK tersebut berubah

nama IM Ltd50.

Pada tahun 2006 Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Ijin Kuasa

Pertambangan berikut mineral ikutannya kepada PT. JM yang merupakan

perusahaan keluarga lembaga swapraja Yogyakarta51. Saham yang dikuasai oleh

PT. JM dalam bisnis ini sebesar 30 % dan IM Ltd. sebesar 70 %.

4.1.3. Kultur Politik

a. Kedudukan Lembaga Swapraja

Struktur kekuasaan dan politik di Yogyakarta tidak mengalami perubahan

yang berarti bagi lembaga swapraja sebelum 1945 (Soemarjan, 1986). Kedudukan

Raja, terutama Sultan Hamengku Buwono, bagi masyarakat Jawa adalah sebagai

pusat dan sumber kekuasaan. Hal ini dapat dibuktikan dengan gelar yang diakui

oleh RI dan dipertahankan sejak 1755, yaitu: Sampeyan Ngarso Dalem Ingkang

Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono, Senopati Ing Ngalogo,

Abdurrahman Sayidin Panotogomo, Kalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping… (I-

X) Ing Ngayogyakarto Hadiningrat (Andika Paduka Yang Mulia Baginda Sultan

Hamengku Buwono, Panglima Perang, Hamba Sang Maha Pengasih Pewaris

                                                                                                                                                                   4) Hasil panen sebelum dan sesudah proses penyortran dicatat dalam buku administrasi, dan

petani menerima tanda bukti. 5) Pada pukul 17.00-20.00 secara serentak dibuka lelang di setiap dusun. 6) Para pedagang atau tengkulak menuliskan harga beli secara rahasia dan tertutup dalam

secarik kertas dan dimasukkan dalam kotak undian. 7) Pada pukul 20.00, kotak undian dibuka. 8) Harga yang tertinggi adalah harga penjualan cabai yang berlaku di tingkat petani pada

hari itu, sehingga para pedagang yang akan memperoleh barang dagangan pada hari itu harus membeli sesuai harga yang telah disepakati.

49  Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005 dan Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005: 

50 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 51 Menurut Akta Notaris Pendirian PT JM No 40 Buntario Tigris Darmawa NG, SH.SE., PT JM didirikan 6 Oktober 2005.

Page 67: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

45  

  

Rasulullah Sang Penata Agama, Wakil Allah Yang Bertahta Ke..[I-X] Di

Kerajaan Yogyakarta).

Meskipun hubungan ekonomi politik antara Pemerintah Kolonial Belanda

dengan Sultan diperbaharui setiap kali putra mahkota akan bertahta52, pandangan

masyarakat di Yogyakarta khususnya terhadap kedudukan Sultan tidak berubah:

Sultan adalah sosok yang dianugerahi kekuasaan politik, militer, dan keagamaan

secara absolut53, sebuah konsep kekuasaan yang diadopsi dari Khaliffah Islamiyah

di Timur Tengah pada Dinasti Abbassiyah.

Kedudukan politik dan budaya Sultan dan Paku Alam tetap dipertahankan

hingga sekarang dengan penetapan Sultan dan Paku Alam sebagai Gubernur dan

Wakil Gubernur di Propinsi DIY54. Keistimewaan Yogyakarta dinilai dari

sumbangan lembaga swapraja bagi perjuangan kemerdekaan 1908-1950.

                                                            52 Soemarjan (1986) mengemukakan bahwa pasal-pasal penting dari semua perjanjian politik selalu mencantumkan: 1) kedaulatan Kasultanan di bawah kerajaan Belanda, 2) pemberlakuan undang-undang kolonial di dalam kerajaan, 3) pengambilan keputusan pergantian kekuasaan Kasultanan oleh Gubernur Jenderal, 4) kewajiban Sultan untuk patuh kepada Kerajaan Belanda sepanjang memerintah Kasultanan, 5) sistem pertahanan dan keuangan diatur oleh Gubernur Jenderal, berikut wewenang pengelolaan SDA seperti hutan jati, pertambangan, dan produksi dan distribusi garam (hal 6-7). 53 Kesadaran mistis masyarakat Jawa atas kekuasaan Sultan diwujudkan dengan kepercayan pada kekuatan spiritual Sultan untuk dapat membaca arah jaman dan kemampuannya dalam membawa kemakmuran dan keaadilan bagi rakyat. Mengenai hal ini, telah dilaporkan oleh Soemarjan bahwa pada tahun 1932 dan 1948, ketika Yogyakarta dilanda wabah, penduduk memohon Sultan untuk menyelamatkan mereka dengan cara mengarak pusaka Kanjeng Kyai Tunggul Wulung (panji hitam dengan tulisan-tulisan Arab yang diyakini sebagai bagian dari jubah penutup Ka’bah di Mekah) mengelilingi wilayah-wilayah epidemi. Arak-arakan itu diikuti oleh puluhan ribu orang dan dilakukan di tengah kota yang pada saat itu (1948) merupakan pusat revolusi, pergerakan, markas organisasi-organisasi politik, dan pembaruan sistem politik dari aristokrasi feodal menuju sistem demokrasi (Ibid: 24-25). 54 UU No 22 Tahun 1948 Tentang Aturan-aturan Pokok Mengenai Pemerintahan Sendiri di Daerah-daerah yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri pasal 18 (5)

Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa didaerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu.

Hal ini merupakan penguatan dari 1) Amanat 5 September 1945 yang menyatakan peleburan kekuasaan Swapraja menjadi bagian dari Republik Indonesia. 2) UUD 1945 pasal 18, 3) Piagam Kedudukan Sultan dan Paku Alam oleh Ir.Soekarno 19 Agustus 1945, dan 4) Amanat 30 Oktober 1945 yang menyatakan penyelarasan pemerintahan DIY dengan UUD 1945. Sistem politik yang diatur dalam UU No 22 Tahun 1948 dikuatkan kembali dalam UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY. UU No 22 Taun 1948 telah dicabut dengan penerbitan UU No 1 Tahun 1957 (Era Demokrasi Parlementer). UU No 1 Tahun 1957 pada akhirnya dicabut dengan penerbitan UU No 18 Tahun 1965 (Era Demokrasi Terpimpin). UU No 18 Tahun 1965 dicabut dengan penerbitan UU No 5 Tahun 1974 (Era ORBA), dan UU No 5 Tahun 1974 dicabut dengan penerbitan UU No 22 Tahun

Page 68: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

46  

  

b. Kekuasaan Lembaga Swapraja

Menurut Rijksblad 1918, kekuasaan Sultan dan Paku Alam meliputi

pemilikan dan pengelolaan SDA di seluruh wilayah kekuasaannya sepanjang

sumber agraria yang dimaksud tidak dilindungi oleh hak eigendom. Kekuasaan

Sultan dan Paku Alam juga meliputi dimensi politik pemerintahan, spiritual, dan

kultur sosial. Di dalam budaya kekuasaan masyarakat Jawa dikenal istilah: Sabda

Pandhita Ratu (perkataan seorang raja adalah hukum suci). Masyarakat

Yogyakarta pada khususnya menganggap setiap kata dari Sultan merupakan

petuah sakti yang didukung oleh kekuatan spiritual, perintah Sultan adalah

hukum, keinginan Sultan adalah perintah bagi rakyatnya55.

4.1.4. Konstelasi Ekonomi Politik SDA

Sejarah kelahiran Propinsi Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari sejarah

kekuasaan ekonomi politik kolonial yang membelenggu lembaga swapraja

sebagai pusat kekuasaan. Perubahan secara mendasar dalam struktur kekuasaan

atas SDA di DIY telah berlangsung sejak 1945-1984, melalui momentum 1)

penyerahan kedaulatan lembaga swapraja kepada RI, 2) kelahiran UUPA No 5

Tahun 1960, 3) kelahiran Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 tentang

Pemberlakuan UUPA dan aturan pelaksanaannya di DIY secara sepenuhnya, dan

4) Peraturan Daerah DIY No 34 Tahun 1984 yang menguatkan Keputusan

Presiden No 33 Tahun 1984. Konstelasi ekonomi politik SDA di DIY berubah

secara legal dari bentuk penguasaan oleh privat menjadi penguasaan oleh negara.

Pergeseran konstelasi ekonomi politik SDA di DIY dari penguasaan oleh

negara menjadi penguasaan oleh privat berlangsung sejak UU No 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah diterbitkan. UU tersebut menjamin kewenangan

Pemda (terutama Bupati) untuk mengambil kebijakan dalam pengelolaan SDA. Di

tingkat kabupaten, Bupati Kulon Progo adalah pengambil keputusan secara legal

dalam agenda pembangunan.

                                                                                                                                                                   1999 yang disempurnakan menjadi UU No 32 Tahun 2004 (Era Reformasi) yang mengatur bahwa Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. 55 Soemarjan (1986) : 25.

Page 69: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

47  

  

Di tingkat propinsi, DPRD dan Gubernur DIY telah mengajukan

pengesahan Rancangan Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta sejak 2007,

yang akan menjamin keutuhan konstelasi kekuasaan politik dan ekonomi politik

SDA di Propinsi DIY.

Di tingkat nasional, agenda pembangunan Jalan Lintas Selatan Jawa telah

dijalankan sejak tahun 2002 dengan dana hutang Asian Development Bank (ADB),

proyek ini terhenti di Propinsi DIY karena terkendala pembebasan lahan.

Beberapa peraturan perundangan yang terkait ekstraksi SDA, penataan

ruang, dan lingkungan di Indonesia juga berubah sejak UU No 4 Tahun 2009

tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, UU 26 Tahun 2007 tentang

Penataan Ruang dan UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan

Lingkungan Hidup ditetapkan.

Di tingkat internasional, desentralisasi berdampak pada iklim investasi yang

selaras dengan agenda OTDA, IM Ltd sebagai investor asing dapat menjalin

kerjasama investasi dengan perusahaan lokal (PT. JM) tanpa halangan politik dari

kekuasaan pusat.

Sistem politik nasional yang baru membuka peluang yang sama bagi para

pemodal lokal untuk meningkatkan intensitas penetrasi modal, termasuk industri

ekstraktif di daerahnya. PT. JM merupakan perusahaan milik keluarga swapraja.

Kultur politik masyarakat di DIY terhadap lembaga swapraja tidak berubah sejak

lembaga kekuasaan itu didirikan. Situasi ini menguatkan dominansi budaya yang

memudahkan penetrasi modal bagi PT. JM dan IM Ltd.

Dualisme kedudukan otoritas tertinggi di Propinsi baik sebagai Gubernur

dan Pemimpin Swapraja menjadikan tekanan-tekanan kepentingan investor

pertambangan pasir besi semakin memperoleh legitimasi politik, sehingga pada

akhirnya memicu konflik di daerah, terutama antara Pemda kabupaten dengan

penduduk di kawasan pesisir.

4.1.5. Ikhtisar

Situasi kolonial di DIY 1755-1945 merupakan cerminan dari sejarah

ekonomi politik SDA. Penyempitan wilayah kekuasaan lembaga Swapraja sejak

1830 hingga penerbitan Rijksblad 1918 dan Perjanjian Politik 1940 merupakan

bukti dominansi ekonomi politik dari kekuatan minoritas asing, sesungguhnya

Page 70: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

48  

  

lembaga Swapraja belum dapat dikatakan berdaulat sepenuhnya. Secara politis,

lembaga ini merdeka bersamaan dengan kemerdekaan RI (pengakuan atas

kemerdekaan RI dan pernyataan untuk bergabung menjadi bagian RI adalah

bentuk lain dari penyerahan kedaulatan kepada RI), dengan konsekuensi tunduk

pada hukum nasional.

Minoritas asing yang berkuasa pada masa sebelum 1830 sesungguhnya

adalah korporasi (VOC), dan meskipun pada generasi berikutnya digantikan oleh

institusi politik (kerajaan Belanda) hingga 1945, kepentingan itupun tetap sama,

yaitu ekonomi politik SDA atas wilayah DIY. Pergantian jaman tampaknya tidak

mengubah konstelasi ekonomi politik tersebut, artinya kekuatan politik ekonomi

asing masih saja mendominasi dengan bentuk, pola, dan cara yang berbeda. IM

Ltd adalah kekuatan ekonomi politik asing yang baru tersebut.

Page 71: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

49  

  

4.2. Struktur Penguasaan SDA

4.2.1 Sejarah Agraria DIY

a. Pra 1945

Menurut Wiradi (2009), perang Diponegoro (1825-1830) berdampak pada

perubahan kebijakan ekonomi politik kolonial di Jawa, yaitu kelahiran

Cultuurstelsel (tanam paksa) di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Van den

Bosch 1830. Pada tahun 1848-1865, kaum liberal pemilik modal di Belanda

menuntut keterlibatan dalam urusan tanah jajahan, tuntutan mereka dipenuhi oleh

Menteri Jajahan Fans van de Putte (berhaluan liberal) dengan penerbitan RUU

yang menjamin Hak Erfpacht (hak sewa jangka panjang dan murah) selama 99

tahun di tanah jajahan dan Hak Eigendom (hak milik mutlak) atas tanah-tanah

komunal berada pada para pemodal. Pada 1870, diterbitkan Agrarische Wet yang

diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1870 No 55, yang

mengatur ketentuan antara lain sebagai berikut:

1) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menjual tanah, kecuali terhadap

bidang-bidang tanah sempit untuk perluasan kota atau desa atau

penggunaan tanah untuk pendirian perusahaan-perusahaan komersial.

2) Ijin bagi Gubernur Jenderal untuk menyewakan tanah sesuai dengan

Undang-Undang, kecuali terhadap tanah yang telah dibuka oleh

penduduk asli atau terhadap tanah yang biasanya digunakan untuk

pengembalaan atau yang meliputi wilayah perbatasan desa untuk

maksud-maksud lain.

3) Jangka waktu penyewaan oleh Gubernur Jenderal dibatasi 75 tahun,

dengan penghormatan pada hak-hak tanah penduduk asli.

4) Larangan bagi Gubernur Jenderal untuk menguasai tanah yang telah

dibuka oleh penduduk asli, atau tanah yang biasa digunakan untuk

pengembalaan, atau tanah yang termasuk wilayah perbatasan desa yang

digunakan untuk tujuan-tujuan lain, kecuali a) untuk tujuan-tujuan

kepentingan umum yang didasarkan pada Pasal 133; dan b) untuk

pendirian perkebunan atas suatu perintah atasan, ganti rugi yang wajar

dapat diberikan.

Page 72: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

50  

  

5) Pemberian hak eigendom terhadap tanah-tanah yang dimiliki oleh

penduduk asli, termasuk hak untuk menjual kepada pihak manapun.

6) Mekanisme penyewaan tanah oleh penduduk asli kepada bukan

penduduk asli harus dilakukan sesuai dengan Undang-Undang.

Prinsip-prinsip yang tercantum dalam Agrarische Wet tahun 1870 untuk

Jawa dan Madura dituangkan dalam Agrarische Besluit tahun 1870. No. 118,

Pasal 1 menyatakan :

“Dengan kekecualian atas tanah-tanah yang termasuk dalam klausul

5 dan 6 Pasal 51 dari Indisch Staatsinrichting Van Netherland Indie

semua tanah hak miliknya tidak dapat dibuktikan, akan dianggap

milik negara”56.

Rijksblad Swapraja tahun 1918 mengacu pada ketetapan hukum tanah yang

diterbitkan oleh pemerintah kolonial berdasarkan domein verklaring.

b. 1945-1960

Tahun 1945-1960 merupakan periode pembentukan UUPA. Pada tahun

1948 diterbitkan UU No 3 Tahun 1948 tentang Perubahan Vorstenlandsch

Grondhuurreglement, yang mengamanatkan pencabutan ketetapan hukum

mengenai ‘tanah conversie’ di daerah Surakarta dan Yogyakarta dengan dasar

pertimbangan pelaksanaan UUD 1945 pasal 27 dan 33. Pembentukan DIY

melalui penerbitan UU No 3 Tahun 195057 merupakan tonggak dalam struktur

                                                            56 Staatsblad 1870, No 118 57 UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY: Pasal 1

(1) Daerah jang meliputi daerah Kesultanan Jogjakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Jogjakarta.

(2) Daerah Istimewa Jogjakarta adalah setingkat dengan Propinsi. Pasal 14

(1) Urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain sebagai termaksud dalam pasal 23 dan 24 Undang-undang No. 22 tahun 1948 bagi Daerah Istimewa Jogjakarta adalah sebagai berikut:

I. Urusan Umum.

II. Urusan Pemerintahan Umum. III. Urusan agraria. IV. Urusan pengairan, djalan-djalan dan gedung-gedung. V. Urusan pertanian dan perikanan.

VI. Urusan kehewanan.

Page 73: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

51  

  

politik sekaligus struktur penguasaan sumber-sumber agraria di DIY. UU tersebut

diturunkan menjadi Peraturan Daerah (Perda) No 5 Tahun 1954 tentang Hak atas

Tanah di DIY. Pokok-pokok pikiran Perda ini ialah:

1) Pernyataan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai kekuasaan

untuk mengatur hak atas tanah. Sesuai dengan domein verklaring Tahun

1918.

2) Peraturan hak atas tanah didalam kota Yogyakarta, belum perlu diubah.

3) Kelurahan-kelurahan dalam batas yang tertentu diberi hak untuk

mengurus dan mengatur (beschikkingsrecht) mengingat adat.

4) Kepada perseorangan diberi hak milik perseorangan turun-temurun

(erfelijk individueel bezitsrecht) dengan tidak lepas dari desa-verband

(keinginan masyarakat).

                                                                                                                                                                   VII. Urusan keradjinan, perdagangan dalam Negeri perindustrian dan

koperasi. VIII. Urusan perburuhan dan sosial.

IX. Urusan pengumpulan bahan makanan dan pembagianja. X. Urusan penerangan.

XI. Urusan pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan XII. Urusan kesehatan.

XIII. Urusan perusahaan.

(2) Urusan-urusan tersebut dalam ajat (1) diatas didjelaskan dalam daftar terlampir ini (lampiran A) dan dalam peraturan-peraturan peleksanaan pada waktu penjerahan.

(3) Dengan Undang-undang tiap-tiap waktu, dengan mengingat keadaan urusan rumah tangga Daerah Istimewa Jogjakarta dan kewadjiban Pemerintah jang diserahkan kepada Daerah Istimewa Jogjakarta di tambah.

(4) Urusan-urusan rumah tangga dan kewadjiban-kewadjiban lain dari pada jang tersebut dalam ajat (1) diatas, jang dikerdjakan oleh Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuk menurut Undang-undang ini, dilandjutkan sehingga ada ketetapan lain dengan Undang-undang.

Penjelasan III. Urusan Agraria (tanah), meliputi: (1) penerimaan pejerahan hak ,,eigendom” atas tanah ,,eigendom” kepada negeri

(medebewind); (2) penjerahan tanah Negara (beheersoverdracht) kepada djawatan-djawatan atau

Kementerian lain atau kepada daerah autonom (medebewind); (3) pemberian idzin membalik nama hak ,,eigendom” dan “opstal” atas tanah, djika salah satu

fihak atau keduanja masuk golongan bangsa asing (medebewind); (4) pengawasan pekerdjaan daerah autonom dibawahnja (sebagian ada jang medebewind).

P a s a l 5 (1) Segala milik baik berupa barang tetap maupun berupa tidak tetap dan perusahaan-

perusahaan Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum dibentuknja Undang-undang ini mendjadi milik Daerah Istimewa Jogjakarta, jang selanjutnja dapat menjerahkan sesuatunja kepada daerah-daerah dibawahnja.

(2) Segala hutang piutang Daerah Istimewa Jogjakarta sebelum pembentukan menurut Undang-undang ini, mendjadi tanggungan Daerah Istimewa Jogjakarta.

Page 74: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

52  

  

5) Kelurahan sebagai badan Hukum diberi hak milik atas tanah terhadap

tanah yang sampai saat ini sudah dikuasai (tanah desa).

6) Larangan untuk bangsa asing.

7) Batalnya hak milik atas tanah dengan syarat-syarat yang tertentu masih

diperlukan.

8) Jaminan untuk Pemerintah sewaktu-waktu membutuhkan tanah.

9) Badan Hukum, umpama N.V. Yayasan, yang mengingini mempunyai

hak atas tanah, perlu ditinjau dalam-dalam dan diatur tersendiri.

Struktur penguasaan sumber-sumber agraria dalam kepentingan nasional

ditandai dengan kelahiran UU No 5 Tahun 1960, diktum ke-empat UU tersebut

menyatakan:

“hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja

atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya

berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara”

Rijksblad Swapraja 1918 menjadi dasar hukum positif bagi Sultanaat

Ground (SG) dan Paku Alamnaat Ground (PAG)58. SG dan PAG adalah status

atas tanah-tanah yang dimaksud sebagai tanah swapraja (kerajaan), karena kedua

lembaga tersebut telah ada sebelum kemerdekaan RI. Menurut perspektif

masyarakat pesisir Kulon Progo, pengakuan terhadap tanah-tanah swapraja

merupakan bagian dari konflik, seperti yang diungkapkan oleh TJ (32)59:

“Pewacanaan bahwa bentang lahan di pesisir ini adalah milik PA penting

dilakukan agar proses menuju penambangan sukses. Apa benar PA punya

hak milik atas tanah-tanah di pesisir? Jawabannya adalah UUPA 1960. Itu

                                                            58 Selama ini dibedakan secara tegas antara Sultan Ground (SG) dan Sultanaat Ground (SG), antara Paku Alam Ground (PA) dan Paku Alamanaat Ground (PAG). Sultan Ground adalah tanah milik Sultan sebagai perorangan, sedangkan Sultanaat Ground adalah tanah milik keraton Kasultanan. Paku Alam Ground (PA) adalah tanah milik Paku Alam secara perorangan, sedangkan Paku Alamanaat Ground (PAG) adalah tanah keraton Paku Alaman. 59 Catatan Harian Struktur Agraria, 14 Februari 2010, TJ (32): Menurut laporan Luthfi et al. (2009), luas tanah SG dan PAG di seluruh DIY yang tercatat di Biro Tata Pemerintahan DIY hingga tahun 2005 adalah sekitar 60.000.000 m2. Sedangkan perhitungan luas tanah tersebut menurut majalah Himmah pada tahun 2002 berjumlah 37.782.661 m2. Ketidakpastian letak dan luas tanah SG dan PAG juga diakui oleh Swapraja.

Page 75: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

53  

  

satu-satunya landasan hukum yang bisa diacu jika kita hidup di Indonesia.

Kalau pihak penambang berdasar pada sejarah penguasa, maka kami juga

punya sejarah pesisir. Kami sadar kok kami akan dimusuhi orang se-Jogja

kalau melawan kekuasaan kraton. Tetapi, kami juga sadar kami akan

menjadi musuh hati nurani jika kami mengiyakan ketidakadilan.”

Lembaga Swapraja bukan badan hukum dan bukan pula perorangan. KN

(50) membangun argumentasinya berdasarkan PP No 224 Tahun 1961 yang

mengatur pembatasan luas kepemilikan atas tanah60 dan UU NO 5 Tahun 1960

yang mengatur subyek hukum yang dijamin hak kemilikannya atas tanah, yaitu

perorangan dan badan hukum61:

“Tanah di pesisir ini bisa disebut sebagai tanah gontai, yaitu tanah yang tidak

diusahakan oleh pemiliknya. Sejauh saya ketahui, kepemilikan atas tanah

gontai di luar kecamatan dapat dicabut oleh negara, misalkan saya

mempunyai tanah yang saya telantarkan di Kecamatan Galur, maka negara

bisa mencabut hak milik saya atas tanah itu untuk dialihkan kepada warga

Galur. Jika memang benar bahwa PA mempunyai hak milik yang sah atas

                                                            60 Catatan Harian Struktur Agraria, 16 Februari 2010, KN (50): 61 Pasal 7 Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Pasal 17

(1) Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum.

(2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam waktu yang singkat.

(3) Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah.

(4) Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat (1) pasal ini, yang akan ditetapkan dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

Pasal 21 (1) Hanya warga-negara Indonesia dapat mempunyai hak milik. (2) Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik dan

syarat-syaratnya. 

Page 76: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

54  

  

lahan pasir ini, maka menurut aturan itu hak kepemilikannya bisa beralih ke

masyarakat yang menggarap.”

c. 1960-1984

Kemauan politik pemerintah ORBA menjadi hambatan bagi pelaksanaan

UUPA sesuai dengan semangat sosialisme Indonesia62. Politik agraria dibekukan

melalui praktik-praktik industrialisasi ekstraktif berbasis tanah melalui kontrak

karya, yang secara ekonomi dan politik merugikan kepentingan nasional. DIY

merupakan daerah yang relatif bersih dari praktik industrialisasi ekstraktif oleh

pusat sepanjang pemerintahan ORBA karena kewibawaan Sultan dan Paku Alam.

Posisi lembaga swapraja di DIY tetap mengakar, sehingga kebudayaan berfungsi

sebagai kekuatan politik lokal untuk menangkal developmentalism rejim ORBA.

Dalam pandangan politik kebudayaan masyarakat DIY, kekuasaan lembaga

swapraja diangggap lebih absolut daripada Pemda sebagai wakil pemerintah

pusat. Bukti dari hal ini adalah mekanisme pelaksanaan investasi dan agenda

pembangunan berbasis agraria harus memperoleh ijin dari lembaga swapraja.

Adalah suatu konsensus sosial bahwa hak pakai atas tanah-tanah swapraja di DIY

oleh masyarakat harus melalui mekanisme magersari63 (pengakuan hak milik atas

tanah berada pada lembaga swapraja) untuk memperoleh serat kekancingan (surat

tanda relasi sebagai tanda bukti kesahihan hak pakai oleh masyarakat) dari

lembaga pertanahan Swapraja, yaitu Paniti Kismo. KE (50) berpendapat mengenai

magersari sebagai berikut:

“Saya ini meskipun tidak makan sekolahan tapi tahu undang-undang.

Diktum ke-4 UUPA menyatakan bahwa: hak-hak dan wewenang-

wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang

masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus

dan beralih kepada negara. Hal ini sudah jelas, Paku Alaman dan                                                             62 Pasal 5 Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. 63 Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 20 Februari 2010, KE (50).

Page 77: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

55  

  

Kasultanan tidak memiliki hak yang sah menurut hukum yang berlaku

di Republik Indonesia. Magersari itu akal-akalannya penguasa untuk

memperoleh pengakuan masyarakat luas agar tambang besi jalan.”

Harian Kedaulatan Rakyat tanggal 28 Mei 1984 memberitakan bahwa pada

HUT ke-9 UUPA 24 September 1973, Hamengku Buwono IX mengirim surat

kepada Menteri Dalam Negeri yang isinya penegasan sikap untuk menyetujui

penyeragaman kebijakan agraria di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di DIY

(Luthfi et al., 2009). Inisiatif HB IX tersebut disambut oleh pusat dengan

penerbitan Keputusan Presiden (Kepres) No 33 Tahun 1984 tentang

Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY, dan dikuatkan

dengan Perda No 34 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan Berlaku Sepenuhnya UU

No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY.

d. 1984-sekarang

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan Perda No 34 Tahun 1984

merupakan tonggak baru dalam struktur penguasaan SDA di DIY secara de jure.

Kepres dan Perda ini menggugurkan peraturan perundangan mengenai agraria

sebelum penerbitan UUPA 1960, termasuk UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun

1950 dan Perda No 5 Tahun 1954.

Keberadaan SG dan PAG secara de jure sudah ditiadakan, akan tetapi secara

de facto keberadaannya masih diakui. Proses hukum untuk pelegalan keberadaan

SG dan PAG sedang diupayakan oleh pemda DIY melalui pengesahan Rancangan

Undang-undang Keistimewaan (RUUK) DIY. RUUK akan dibahas secara lebih

rinci dalam proses politik kebijakan.

4.2.2 Politik Agraria DIY

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan konsensus sosial keberadaan SG

dan PAG menandakan dualisme politik agraria di DIY sejak 1984. Penerapan

dualisme politik agraria ini berdampak pada ketidakpastian hukum dari struktur

penguasaan SDA di DIY. Pengambilan keputusan status hukum atas suatu lahan

pun menjadi kabur, antara wewenang BPN atau Paniti Kismo.

Page 78: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

56  

  

Politik agraria tidak dapat dilepaskan dari sistem dan kultur politik yang

berlaku di DIY, yaitu kepala daerah harus berasal dari keluarga swapraja64, dan

pengakuan terhadap kekuasaan politik kedua lembaga tersebut meliputi

pengakuan terhadap kekuasaan atas wilayahnya (Tabel 6). Eksistensi SG dan PAG

merupakan manifestasi eksistensi lembaga swapraja. Dualisme politik agraria

dijalankan untuk menjaga integrasi sosial yang telah ada.

Struktur agraria di Propinsi DIY menganut dualisme paham antara struktur

agraria nasional dengan sistem feodal. Hukum positif mengatur bahwa semua

tanah yang tidak bertuan adalah milik negara, wacana ini diusung oleh

masyarakat, mengacu pada UU No 5 Tahun 1960 berikut peraturan

pelaksanaannya; akan tetapi, sistem feodal mengatur bahwa semua tanah tak

bertuan adalah milik kerajaan, wacana ini diusung oleh Pemda, mengacu pada

Rijksblad Swapraja Tahun 1918.

Ditinjau dari posisi politiknya terhadap NKRI dalam hal ketatanegaraan,

Propinsi DIY seharusnya mengacu diktum IV UU No 5 tahun 1960 yang

menyatakan penghapusan tanah-tanah bekas swapraja atau swapraja yang masih

ada. Namun, ditinjau dari pemaknaannya terhadap status keistimewaan suatu

wilayah yang dijamin oleh UUD 1945 pasal 18, Propinsi DIY merasa berwenang

untuk mengatur struktur agraria dan penataan ruang secara otonom, sehingga

RUU Keistimewaan yang menjamin pemberlakuan kembali sistem feodal atas

tanah di DIY diajukan oleh otoritas tertinggi di Propinsi DIY, baik sebagai

Gubernur maupun sebagai Pemimpin Swapraja. Kesadaran masyarakat pesisir

Kulon Progo terhadap perbedaan konsep hak dan kuasa dalam menentukan akses

sumberdaya tumbuh karena konflik agrarian ini, sebagaimana diungkapkan oleh

BT (45)65:

“Hak atas tanah di Indonesia itu sepertinya belum jelas, meskipun

negara sudah mengaturnya melalui UUPA. Maksud saya, jika

memang ada jaminan hak atas tanah bagi rakyat, mengapa

kepemilikan tanah oleh pihak yang tidak berhak menurut UUPA

masih diakui oleh pemerintah, misalnya ya PAG atau SG kalau di

                                                            64 Landasan hukum aturan ini adalah UU No 3 Tahun 1950 jo No 19 Tahun 1950. 65 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 11 Maret 2010, BT(45):

Page 79: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

57  

  

wilayah DIY. Menurut saya, hak itu tidak selalu menjamin pemilik

hak untuk dapat memanfaatkan sepenuhnya apa yang menjadi

haknya…Nah, kalau orang kampus bilang akses tanah dengan hak atas

tanah itu berbeda. Silakan dicek apa pemahaman saya sudah pener

(tepat). Orang bisa memanfaatkan tanpa harus memiliki hak, asalkan

dia punya kekuasaan untuk mengendalikan situasi dan pendapat

umum. Kasultanan atau Paku Alaman turut mengendalikan sistem

pemerintahan di DIY, sehingga Kasultanan dan Paku Alaman itu

mempunyai kekuasaan untuk turut mengatur tata cara kepemilikan

tanah bagi warga DIY, melalui klaim SG atau PAG mereka dapat

memanfatkan seluruh tanah tak bersertifikat di seluruh DIY, meskipun

mereka tidak punya hak milik atas seluruh tanah itu. Jadi, kekuasaan

itu lebih berperan dalam akses tanah daripada hak atas tanah,

termasuk kekuasaan pemerintah, Kasultanan/Paku Alaman, rakyat,

atau bahkan swasta.”

Struktur agraria menurut sistem feodal belum memperoleh legitimiasi

hukum nasional, artinya klaim PAG masih sebatas wacana kultural yang akan

dibawa ke ranah politik, akan tetapi struktur agraria empiris sudah menunjukkan

ketimpangan otoritas antara pemerintah, swasta, dan masyarakat. Kolaborasi

kepentingan antara pemerintah dan swasta memungkinkan struktur agraria

melahirkan hubungan produksi kapitalistik terhadap tanah dan konflik dengan

masyarakat. Kolaborasi kepentingan tersebut diungkapkan oleh KE (50) sebagai

berikut66:

“Permasalahannya adalah penguasa berselingkuh dengan pengusaha,

termasuk soal mengatur hak atas tanah. Kalau jaman ORBA kita

mengenal dwifungsi ABRI, sekarang ini dwifungsinya antara

penguasa dan pengusaha.”

                                                            66 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 21 Februari 2010, KE (50):

Page 80: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

58  

  

Tabel 6 Identifikasi Status Tanah dan Luasannya Di Kawasan Pesisir Kabupaten Kulon Progo

Kecamatan Desa

Status Tanah

Jumlah (ha) PA

(ha)

PAG

(ha)

Tanah

Negara

(ha)

Hak

Milik

(ha)

Temon

Jangkaran - 96,30 15,56 138,11 249,97

Sindutan - - 21,42 78,58 100,00

Palihan - 56,25 - 111,24 167,49

Glagah - - 136,73 163,15 299,88

Wates Karangwuni - 197,62 4,50 152,13 202,12

Panjatan

Garongan - - 147,59 177,40 324,99

Pleret 5,53 - 163,62 151,82 320,97

Bugel 31,58 - 163,67 114,74 309.99

Galur Karangsewu - - 278,16 141,67 419.83

Banaran 156 - - 230,00 386,00

Total 192,11 350,17 931,25 1458,84 2781.24

Sumber: Kantor Kepala Desa di kawasan pesisir Kabupaten Kulon Progo (2008).

Keterangan:

PA: Tanah Kadipaten Paku Alaman

PAG: Tanah Kadipaten Paku Alaman yang beralih menjadi tanah negara.

Tanah Negara: Tanah yang tetapkan sebagai milik negara berdasar Ledger A tahun 1939.

Hak Milik: Tanah yang dimiliki oleh penduduk berdasar sertifikat atau letter C.

Page 81: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

59  

  

4.2.3 Konflik Agraria

Di pesisir Kabupaten Kulon Progo, terdapat 5 megaproyek berbasis agraria

yang akan dijalankan, yaitu 1) Pembangunan Bandara Internasional, 2) Pelabuhan,

3) Lantamal TNI AL, 4) Pertambangan Pasir Besi dan Pabrik Baja, dan 5) Jalan

Lintas Selatan Jawa (JLSJ) yang didanai oleh Asian Development Bank.

Kompleksitas kepentingan atas SDA di pesisir Kulon Progo tersebut disadari oleh

masyarakat setempat, sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32)67:

“Di pesisir ini, ada 5 proyek besar yang ambisius: Pembangunan

LANTAMAL TNI AL, Pembangunan Pelabuhan, Pembangunan

Bandara Internasional, Pertambangan Pasir Besi, dan Jalan Lintas

Selatan Jawa. Dua proyek terakhir itu dapat dikatakan megaproyek

karena berdana besar dan meliputi daerah luas. Tambang besi ini

senilai 600 juta Dollar, dan JLS itu menurut informasi kawan-kawan

media akan menelan Rp. 15,5 Triliun berasal dari dana hutang ADB.

Tiga proyek yang lain sudah dilokalisir menjadi masalah Kabupaten,

mungkin karena kepentingannya tidak sekompleks Tambang Pasir

Besi atau JLS.”

Setiap proyek tersebut tidak berhubungan secara struktural, akan tetapi

sinergis dalam kepentingan. Pembangunan JLSJ telah berlangsung secara bertahap

sejak tahun 2002 di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, proyek ini terhenti

di DIY karena terkendala pembebasan lahan. Tiga kabupaten di DIY yang

terlintasi JLSJ adalah Gunungkidul, Bantul, dan Kulon Progo. Pembebasan lahan

di Kabupaten Gunungkidul dan Bantul sudah memasuki tahap kesepakatan jumlah

kompensasi, akan tetapi pembebasan lahan untuk JLSJ di Kabupaten Kulon Progo

masih terhambat oleh ketiadaan kesepakatan mengenai gagasan kompensasi

terkait proyek pertambangan pasir besi. Keberhasilan proyek pertambangan pasir

besi akan mendukung keberhasilan pembangunan JLSJ di Kabupaten Kulon

                                                            67 Catatan Harian Penelitian Peta Konflik, 15 Maret 2010, TJ(32):

Page 82: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

60  

  

Progo68. Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo juga mengemukakan sinerginitas

kepentingan dari megaproyek-megaproyek di Kulon Progo:

“PT JM adalah pemegang kontrak karya, bukan perusahaan lain. Saya

tidak tahu persis apakah ada perusahaan lain yang akan menambang

sebelum 2006. Secara struktur, proyek pasir besi ini tidak ada

kaitannya dengan JLS, tetapi sama-sama menjadi program

pembangunan yang akan sinergis. Mengapa proyek pasir besi baru

dimulai tahun 2006? Karena ijin kuasa pertambangan untuk PT JM

dikeluarkan Bupati tahun itu. Alternatif kebijakan yang bentuknya

program tampaknya tidak perlu karena proses sudah berjalan sampai

tahap studi lingkungan, yang penting adalah ada win win solution.”

Ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir Kabupaten Kulon Progo menjadi

masalah utama bagi proyek-proyek berbasis agraria di DIY. Ketidakpastian

hukum tersebut merupakan artikulasi faktor politik, sosial, hukum, dan budaya,

yang kemudian muncul sebagai konflik-konflik land tenure, yaitu 1) konflik

politik hukum, yaitu antara hukum feodal dan hukum nasional, 2) konflik

kepemilikan dan aktor, yaitu antara kepemilikan privat dengan kepemilikan

negara, 3) konflik aliran pemikiran, yaitu antara aliran property rights dengan

aliran agrarian structure, 4) konflik teoritis, yaitu antara teori property rights

yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok hak dengan teori

akses yang menyatakan bahwa akses dikendalikan oleh sekelompok kekuasaan.

Penjelasan atas konflik-konflik land tenure tersebut diuraikan sebagai berikut:

                                                            68 Catatan Harian Proses Politik Kebijakan, 29 Mei 2010, Kepala Bapeda Kabupaten Kulon Progo: Kepala Bapeda menjelaskan bahwa proyek JLS dan Pasir besi memang sedang terkendala. JLS terhambat soal pembebasan lahan, tetapi di Gunungkidul dan Bantul sudah selesai. Sedangkan proyek pasir besi terkendala perbedaan persepsi antara masyarakat dan pemerintah. Dekan Fak. Biologi PTN Di YOGYAKARTA mengemukakan risiko-risiko megaproyek di pesisir jika tidak taat asas AMDAL. Sedangkan Pak BT (45) menyosialisasikan penolakan beserta alasan dan fakta-fakta seputar skandal perundang-undangan. Saya mengajukan pertanyaan kepada Kepala Bapeda mengenai 1) Keberadaan perusahaan lain sebelum tahun 2006 yang akan melakukan proyek pertambangan di pesisir, 2) Hubungan proyek pasir besi dengan program JLS, 3) Alasan waktu penyelenggaraan proyek pasir besi, dan 4) Alternatif kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak dengan meminimalisasi konflik.

Page 83: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

61  

  

1) Konflik Politik Hukum 

Ditinjau dari politik hukum, struktur agraria di Propinsi DIY secara de jure

mengikuti hukum nasional, akan tetapi secara de facto mengikuti hukum feodal.

Hal ini dapat dibuktikan dengan keberadaan dua lembaga pertanahan yang sama-

sama mempunyai legitimasi hukum dalam penyelenggaraan agenda ekonomi

politik berbasis agraria, yaitu Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Paniti

Kismo. Pelaksanaan UU No 5 Tahun 1960 beserta peraturan pelaksanaannya

belum pernah dilaksanakan oleh BPN Propinsi DIY.

Undang-undang No 3 Tahun 1950 dan Perda No 5 Tahun 1954 mengatur

bahwa peraturan perundangan mengenai agraria di DIY mengacu pada peraturan

perundangan kolonial yang telah berlaku sebelum kemerdekaan, terutama

Rijksblad 1918 yang menjadi sumber hukum positif bagi SG dan PAG.

Undang-undang No 5 Tahun 1960, Kepres 33 Tahun 1984, dan Perda DIY

34 Tahun 1984 mengatur bahwa peraturan peundangan mengenai agraria di DIY

mengacu pada peraturan perundangan nasional yang berlaku sejak 1960, terutama

dalam hal penghapusan SG dan PAG.

Menurut dalil hukum lex posteriori derogate lex anteriori, dan lex superiori

derogate lex inferiori, UU No 5 tahun 1960 menghapuskan Perda No 5 tahun

1954 yang merupakan turunan dari UU No 3 Tahun 1950. Penafsiran pemerintah

propinsi DIY terhadap Pasal 18 UUD 1945 adalah landasan hukum bagi

penyelenggaraan sistem politik sekaligus penataan sumber agraria secara khusus

di DIY.

2) Konflik Kepemilikan dan Aktor

Ditinjau dari sistem kepemilikan dan aktor, struktur agraria di Propinsi DIY

lebih dekat kepada sistem kepemilikan privat dan kepemilikan negara. Menurut

sistem kepemilikan privat, seluruh tanah di DIY yang tidak memiliki tanda bukti

kepemilikan menjadi milik lembaga swapraja. Menurut sistem kepemilikan

negara, seluruh tanah yang tidak memiliki tanda bukti kepemilikan menjadi tanah

negara.

Aktor yang berkonflik dalam hal kepastian hukum atas sumber agraria

adalah Negara dengan lembaga swapraja. Dualisme politik agraria di DIY

Page 84: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

62  

  

menunjukkan bukti bahwa posisi Pemda Propinsi DIY mewakili kepentingan

nasional (negara) sekaligus mewakili kepentingan feodal (lembaga swapraja).

3) Konflik Aliran Pemikiran

Ditinjau dari aliran pemikiran, struktur agraria di Propinsi DIY lebih dekat

kepada aliran property right dan aliran agrarian structure tradition. Dominansi

rejim property rights memunculkan upaya-upaya untuk mencapai kesahihan klaim

atas suatu sumberdaya melalui jalur hukum. Dalam konteks struktur penguasaan

SDA di DIY, pemerintah dan lembaga swapraja mencapai kesahihan klaim itu

melalui pengesahan RUUK DIY, sedangkan masyarakat mencapai kesahihan

klaim itu melalui supremasi hukum agraria. Masyarakat di pesisir Kulon Progo

memaknai pengesahan RUUK DIY sebagai bagian dari legitimasi proyek-proyek

konfliktual, sebagaimana diungkapkan oleh SR (40)69:

“Ini artinya bahwa saat ini status SG/PAG itu tidak diakui negara, dan

pihak Kasultanan/Paku Alaman tahu itu, sehingga diperjuangkan…

RUUK akan menjadi konflik lebih besar, kalau rakyat menyadari hak-

haknya. Bagi kami, RUUK dan kontrak karya sama saja, keduanya

harus ditolak harga mati.”

Governmentality berada pada rejim property rights, para pihak berupaya

untuk memperoleh kepastian hukum terlebih dahulu untuk mendapatkan akses.

Pemerintah menempuh upaya magersari, masyarakat mewacanakan sertifikasi.

Dimensi legal formal menjadi hal yang penting untuk memperoleh legitimasi

akses atas suatu sumberdaya.

4) Konflik Teoritis

Teori property rights mengakui bahwa hak menjadi pembatas legitimasi

seseorang atau sekelompok orang untuk mengakses suatu sumberdaya. Akses

dinilai legal apabila hak melekat pada aktor. Teori akses mengakui bahwa

kekuasaan menjadi penentu legitimasi seseorang atau sekelompok orang untuk

mengakses suatu sumberdaya.

                                                            69 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):

Page 85: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

63  

  

Menurut teori property rights, lembaga swapraja tidak mempunyai hak atas

tanah-tanah di DIY secara legal karena di DIY telah diberlakukan UU No 5 Tahun

1960 melalui Kepres No 33 Tahun 1984 dan Perda DIY No 34 Tahun 1984.

Struktur penguasaan SDA secara de jure menunjukkan hal ini. Menurut teori

akses, lembaga swapraja dapat mengakses SDA meskipun tidak memiliki hak

untuk akses karena kekuasaan yang melekat pada lembaga tersebut. Struktur

penguasaan SDA secara de facto menunjukkan hal ini.

Ketidakpastian struktur agraria di Propinsi DIYmemungkinkan aktor yang

berkuasa dapat mengakses ruang berikut isinya secara bebas, open acces atas

SDA justru berpotensi dilakukan oleh pemerintah dan swasta karena keduanya

mengendalikan otoritas politik dan ekonomi. Menurut masyarakat di pesisir Kulon

Progo, ketidakpastian hukum atas tanah menjadi salah satu faktor utama proyek

pertambangan pasir besi bisa dijalankan, seperti yang diungkapkan oleh SR (40)70:

“Barangkali benar bahwa warga penggarap dan swasta sama-sama

memanfaatkan ketidakpastian hukum atas tanah di pesisir ini. Itu

kalau kami dianggap tidak berhak atas tanah ini. Dahulu pernah ada

perusahaan lain yang mau menambang pasir besi, tetapi tidak jadi,

entah apa sebabnya, mungkin tidak berani karena ini wilayah PA.”

Relasi antara struktur agraria di DIY dan konflik pertambangan terjalin

melalui ketidakpastian hukum atas tanah. Pemerintah dan swasta memanfaatkan

ketidakpastian hukum atas tanah untuk melegalkan pertambangan, mengingat

investor lokal proyek ini adalah keluarga swapraja, yang juga berperan sebagai

penjamin kesahihan PAG. Masyarakat memanfaatkan ketidakpastian hukum atas

tanah ini untuk mewacanakan kembali otoritas negara terhadap tanah di DIY,

terutama Kepres No 33 tahun 1984 tentang Pemberlakuan sepenuhnya UU No 5

tahun 1960 di DIY, wacana ini diusung oleh masyarakat penggarap yang tidak

memiliki bukti kepemilikan tanah (30 % dari masyarakat pesisir tidak memiliki

sertifikat tanah).

                                                            70 Catatan Harian Penelitian Struktur Agraria, 16 Maret 2010, SR(40):

Page 86: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

64  

  

Relasi antara struktur agraria dengan proses politik kebijakan terjalin

melalui RUUK DIY. Perundangan ini akan menjamin otoritas lembaga swapraja

dalam penataan ruang dan sumber agraria, dalam sistem politik yang otonom,

sebagaimana dicantumkan dalam pasal 5 dan 9 RUUK DIY71. Kesahihan status

PAG menjadi bagian dari legitimasi proyek pertambangan pasir besi. RUUK

adalah bagian dari proses politik kebijakan untuk menjamin kepastian hukum atas

tanah di DIY.

Hubungan antara struktur agraria dengan relasi kekuasaan terletak pada

kekuasaan Pemda untuk menentukan arah perubahan land tenure, dari

kepemilikan negara menjadi kepemilikan privat, dari aliran pemikiran agrarian

structure tradition menjadi aliran pemikiran property right .

Dalam konteks ekologi manusia, perubahan ekosistem lebih disebabkan

oleh keputusan-keputusan politik daripada proses alami. Struktur agraria tidak

dapat dimaknai sebagai hal yang terpisah dari perubahan ekosistem karena

memengaruhi pilihan keputusan politik terhadap lingkungan. Struktur agraria

empirik di pesisir Kulon Progo terbentuk dari kolaborasi kepentingan pemerintah

                                                            71 Pasal 5 (1) Kewenangan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam urusan-urusan pemerintahan Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan urusan-urusan istimewa yang ditetapkan Undang-Undang ini. (2) Kewenangan dalam urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup: a. Pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur; b. penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; c. bidang kebudayaan; dan d. bidang pertanahan dan penataan ruang. (3) Penyelenggaraan kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) didasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal dan keberpihakan kepada rakyat. (4) Pengaturan lebih lanjut kewenangan dalam urusan-urusan istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Perdais. Pasal 9 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kewenangan di bidang pertanahan dan penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf d, Kesultanan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan. (2) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Kesultanan mempunyai hak milik atas Sultanaat Grond. (3) Sebagai Badan Hukum Kebudayaan, Pakualaman mempunyai hak milik atas Pakualamanaat Grond (4) Pengelolaan dan pemanfaatan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) ditujukan untuk sebesar-besarnya kepentingan pengembangan kebudayaan, kepentingan sosial, dan kepentingan publik demi kesejahteraan rakyat. (5) Hak milik, tata guna serta pemanfaatan dan pengelolaan Sultanaat Grond dan Pakualamanaat Grond diatur dalam Perdais sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Page 87: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

65  

  

dan swasta, bentuk keputusan politik yang diambil adalah pertambangan,

perubahan ekosistem yang akan terjadi adalah perubahan bentuk dan fungsi

kawasan dari kawasan penyangga menjadi kawasan industri ekstraktif.

Ketimpangan struktur agraria adalah masalah mendasar yang harus diselesaikan

terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakan lingkungan yang bersifat teknis.

4.2.4. Ikhtisar

Struktur penguasan SDA di DIY ditandai dengan Kontestasi wacana sejak

masa kolonial hingga pascakolonial. Domein verklaring yang diacu dalam

Rijksblad 1918 maupun UU No 5 Tahun 1960 sesungguhnya hasil dari kontestasi

antara pengakuan kedaulatan lembaga swapraja berikut wilayah kekuasaannya

dengan pengakuan kedaulatan negara berikut wilayah kekuasaannya. Keduanya

sesungguhnya berada pada satu mazhab pemikiran yang sama, yaitu pengakuan

terhadap hak kepemilikan (property rights) yang diterjemahkan menjadi produk

hukum sebagai bentuk pengakuan sosial.

Kontestasi wacana tersebut masih berlangsung dalam konteks perbedaan

aktor dan agenda ekonomi politik, yaitu antara lembaga swapraja dan pemerintah

(bersandar pada Rijksblad 1918 dan produk hukum nasional yang

memfasilitasinya) berhadapan dengan masyarakat pesisir Kulon Progo (bersandar

pada UU No 5 Tahun 1960 beserta produk hukum turunannya). Perbedaan yang

terbaca dari penelitian ini, dan membedakan dengan kontestasi wacana di tahun-

tahun sebelumnya, adalah digunakannya kekuasaan untuk meraih pengakuan

sosial, mengacu pada Teori Akses, dengan bentuknya adalah upaya legalisasi

RUUK DIY oleh pemerintah daerah dan lembaga swapraja. Penerapan Teori

Akses atas tanah di DIY bukan semata-mata menjadi tujuan dan alat bagi

pengakuan status hukum, melainkan juga menjadi penentu siapa yang akan

bertahan hidup dari pertarungan wacana tersebut, masyarakat atau korporasi yang

berkoalisi dengan lembaga swapraja dan pemerintah daerah.

Page 88: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

66  

  

Struk tu r Penguasaan Sum be rdaya Agrar ia

Str ukturPenguasaanSum ber -dayaA g raria

D e Jure (1984)

D e Facto (1984)

Sw apr aja

Tanah N egar a

Hukum Nasional H ukum Feodal

H ak Milik M asy ar ak at

Tanah Adat

Wacana/A liran Pemik iran

Propert y R ight Reg ime

Agrarian Structu re R egime

Tanah P r ivat Tanah Neg ar a

V S

V S

V S

Gambar 9. Struktur Penguasaan SDA di DIY 1984-2010

Page 89: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

67  

  

Tabel 7.Struktur Penguasaan SDA di DIY

Ranah Materi Konsekuensi

Hukum Nasional

UU No 5 Tahun 1960 Diktum ke -4: Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari swapraja atau bekas swapraja yang masih ada, pada waktu mulainya berlakunya undang-undang ini hapus dan beralih kepada negara Keputusan Preseiden No 33 Tahun 1984: Pemberlakuan UU No 5 Tahun 1960 berserta peraturan pelaksanaannya di DIY. Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984: Pemberlakuan Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 dan pencabutan rijksblad-rijksblad di DIY.

Tidak ada tanah tidak bertuan dan milik lembaga swapraja di DIY, kepemilikan tanah beralih kepada

negara.

Hukum Feodal Rijksblad Swapraja Tahun 1918: Seluruh tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom maka menjadi milik kerajaanku.

Tidak ada tanah tidak bertuan di DIY karena Hak Eigendom disertai tanda bukti kepemilikan menurut

hukum kolonial. Tanah tidak bertuan bukan serta merta menjadi milik negara.

Politik Rancangan UU Keistimewaan DIY

Pengakuan kembali kepemilikan tanah-tanah swapraja

di DIY oleh negara.

Sosial dan Budaya Pengakuan atas tanah-tanah Swapraja melalui keberadaan status SG dan PAG serta mekanisme magersari.

Eksistensi kepemilikan tanah swapraja simultan dengan eksistensi kekuasaan swapraja.

Page 90: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

68  

  

4.3. Proses Politik Kebijakan

Proses politik kebijakan pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo

bersifat multiaras, multiaktor, dan multiarena dari tahun 2005-2010, disebut

multiaras karena berlangsung dari aras internasional hingga komunitas, disebut

multiaktor karena melibatkan korporasi lintas negara (Transnational Corporation,

TNC); korporasi nasional dan lokal; pemerintah pusat dan daerah; lembaga

swapraja; dan masyarakat lokal, disebut multiarena karena berlangsung pada

dimensi hukum; politik; ekonomi; sosial; dan budaya.

Di aras internasional, proses kemunculan rencana pertambangan pasir besi

di Kabupaten Kulon Progo dimulai dari 2005 hingga 2006, yaitu dari perjanjian

bisnis antara TNC, korporasi nasional, dan korporasi lokal hingga perubahan

nama TNC. Di aras nasional, proses ini dimulai dari 2005 hingga 2010, yaitu dari

kerjasama kemitraan (MoU) korporasi nasional hingga penerbitan Kontrak Karya.

Dan di aras lokal, proses ini dimulai sejak 2006 hingga 2010, yaitu dari perijinan

kuasa pertambangan hingga perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

(RTRWP).

4.3.1. Proses-proses di aras internasional

Proses-proses di aras internasional dan nasional yang melatarbelakangi

keputusan proyek pertambangan tersebut pada 2005-2006 diuraikan sebagai

berikut:

1. Perjanjian bisnis antara PT JM dan NE Ltd. dengan AK Ltd. telah

berlangsung sejak 2005, sebelum penerbitan kuasa pertambangan di

tingkat lokal. Informasi potensi pasir besi telah diketahui sejak tahun

akhir 1970 dan awal 1980 oleh PT. AT, dan penelitiannya

disempurnakan oleh Lurgi dan Davy McKee dalam tahun 198572.

                                                            72 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 12 Agustus 2005:

Page 91: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

69  

  

2. Laporan AK tentang kondisi geologi lokasi, teknik dan infrastruktur,

transaksi komersial, struktur hukum Indonesia dan peningkatan modal

yang melibatkan Mc n Sc Pty Ltd. sebagai konsultan geologi dan Ba n

Mc International sebagi konsultan hukum. AK berencana untuk

melakukan 1) perubahan nama menjadi IM Ltd., 2) konsolidasi modal

untuk 10 basis, 3) meningkatkan permodalan sebesar 2.2 juta USD, dan

4) perekrutan jaringan (shareholders) untuk basis prioritas73.

3. Laporan Memorandum of Understanding antara PT JM dengan PT KS

sebagai mitra yang mengambil alih pengolahan pig iron dan Outokompu

Technology Asutralasia sebagai mitra yang menangani semua parameter

teknik dan teknologi dalam pemrosesan mineral dan rancangan

infrastruktur74.

4. Presentasi jadwal perusahaan pada Desember 2005.75

5. Laporan perubahan nama AK Ltd. menjadi IM Ltd. pada 7 Maret 200676.

6. Laporan tentang penandatanganan kontrak oleh PT JM untuk eksplorasi

di area rencana konsesi pertambangan seluas 22 x 1,8 km, melibatkan

PTN di Yogyakarta77.

7. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi pada 28 Maret

200678.

                                                            73 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Ironsands-Pig Iron Project-Due Diligence Results and Corporate Plan, tertanggal 3 November 2005:

74 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Outokompu and KS Participation Irosands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 8 November 2005. 75 Announcement to ASX of Transaction 12 August 2005, Completion of due diligence 30 September 2005,Execution of formal agreements 21 October 2005,Issue shareholder meeting papers 26 October 2005, Announcement to ASX of Outokumpu & KS involvement 08 November 2005, Issue prospectus (to raise $2.2M) 17 November 2005, Shareholder meeting 29 November 2005, Capital consolidation 1 for 10 06 December 2005, Close Prospectus 16 December 2005, Change of Name (IM Ltd) 16 December 2005. 76 Surat AK Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Change of Name to IM Limited, tertanggal 7 Maret 2006. 77 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Contact Signed-Ironsands-Pig Iron Project, tertanggal 7 Maret 2006. 78 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Drilling Program Commence-Ironsands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 28 Maret 2006.

Page 92: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

70  

  

8. Laporan IM Ltd tentang dimulainya program eksplorasi ke-2 untuk

memperoleh status JORC pada 5 Mei 200679.

9. Presentasi singkat tentang proyek (project brief) pada Mei 2006 oleh IM

Ltd80.

10. Laporan bantuan IM Ltd. untuk rehabilitasi infrastruktur pascabencana

gempa bumi 27 Mei 2006 kepada Pemerintah Propinsi DIY sebesar 100

juta rupiah81. Laporan hasil eksplorasi IM Ltd dan hasil status JORC

pada 12 Juli 200682.

11. Laporan IM Ltd. tentang pembiayaan JORC sebesar 30 % oleh PT

JM83.

4.3.2. Proses-proses di aras nasional dan lokal

Proses-proses di aras nasional dan lokal antara tahun 2006-2010 adalah

sebagai berikut:

1) 6 Oktober 2005

                                                            79 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Second Drilling Rig Commence-Ironsands-Pig Iron Project- Yogyakarta, Indonesia, tertanggal 5 May 2006. 80 Isinya antara lain:

Anticipated Product Grades

Ore % Concentrate % Pig Iron %

Fe up to 13 58 to 60 C 1.5 to 2.5 TiO2 7 to 9 Si 0.5 max V2O5 0.5 to 0.6 P 0.1 max SiO2 1.2 to 1.4 S 0.05 max Al2O3 3.3 to 3.5 Ti 0.05 max

S 0.03 to 0.05 V 0.02 max P2O5 0.24 to 0.26 Fe 94 min

TiO2, V2O5, SiO2, Al2O3 merupakan senyawa oksida yang akan ikut dalam slug (lumpur limbah) sehingga tidak dihitung sebagai mineral.

81 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Yogyakarta Earthquake, tertanggal 29 Mei 2006, isinya:

82 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: Inferred Resource-JORC Compliant- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 12 Juli 2006, isinya:

83 Surat IM Ltd. kepada The Manager Company Announcements Platform, Australian Stock Exchange Limited, Sydney, subject: IM Earns 30 % Interest- Ironsands-Pig Iron Project, Yogyakarta, tertanggal 28 September 2006, isinya:

 

Page 93: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

71  

  

PT JM mengajukan Surat Permohonan Kuasa Pertambangan (KP)

Eksplorasi Pasirbesi dan Mineral Pengikutnya kepada Pemda

Kabupaten Kulon Progo.

2) 12 Oktober 2005

Pemda Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin KP Eksplorasi Bahan

Galian Pasir Besi dan Mineral Pengikutnya kepada PT JM, dengan surat

No. 008/KPTS/KP/EKPL/X/2005.

3) November 2006

PT JM membentuk anak perusahaan dan bermitra dengan IM. Ltd.

(PMA) maka perlu konversi dari Kuasa Pertambangan ke Kontrak

Karya (KK) menurut UU. No. 1/1967 dan UU. No.11/1967. PT JM

mendapat persetujuan Pencadangan Wilayah dari otoritas tertinggi di

Kabupaten Kulon Progo (Keputusan Menteri Energi dan Sumberdaya

Mineral/ESDM No. 1614 tahun 2004) dengan menyetorkan uang

jaminan kesungguhan sebagai syarat mendapat Persetujuan Prinsip

Aplikasi KK (Keputusan Menteri ESDM No. 1603/40/MEM/2003).

4) 19 - 20 April 2007

Pemerintah RI dan PT JM/IM Ltd. melakukan rapat pembahasan KK di

Hotel MP Yogyakarta.

5) 26 Juni 2007

Departemen/instansi terkait di Pemerintahan Pusat, Provinsi, dan

Kabupaten (interdepartemen) merundingkan Aplikasi KK di Hotel BK

Jakarta.

6) 6 dan 12 Oktober 2007

PT JM dan lembaga swapraja melakukan sosialisasi dengan kepala desa

di seluruh Kabupaten Kulon Progo. Pihak lembaga swapraja dan

sekaligus komisaris PT JM mengungkapkan bahwa proyek

pertambangan merupakan amanat HB IX pada tahun 199384 kepada

                                                            84 Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX wafat tahun 1988. Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010 : Terkait dengan temuan rekaman video itu, saya menggali pendapat beberapa pengurus PAGUYUBAN. Berikut pendapat Pak SR (40): “Bukti itu justru menjelaskan bahwa proyek

Page 94: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

72  

  

putra mahkota. Pertemuan ini terdokumentasi secara audio visual. 6 hari

kemudian Pemda Kabupaten Kulon Progo memberikan ijin

perpanjangan kedua Eksplorasi Bahan Galian Pasir besi dan Mineral

pengikutnya (hasil eksplorasi awal: Titanium dan Vanadium) kepada

PT. JM No : 15/KPTS/KP/EKPL/X/2007.

7) 29 November 2007

Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai

Selatan untuk guru-guru se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc

Kantor Kabupaten Kulon Progo.

8) 01 Desember 2007

Pemda melakukan sosialisasi Rencana Pengembangan Kawasan Pantai

Selatan untuk Perangkat Desa se-Kawasan Pantai Selatan di Gedung Kc

Kulon Progo.

9) 5 Desember 2007

Bupati dan Tim Perunding Kabupaten. Kulon Progo melakukan

Kunjungan Kerja ke PT. KS dan Pemerintah Kota Cilegon dalam

rangka persiapan pembangunan pabrik pengolahan besi baja di

Kabupaten Kulon Progo.

10) 6 Desember 2007

Pemda melakukan audiensi dengan Fraksi DPR-RI di Gedung

Nusantara Lt. 7 Jakarta.

11) 13 Desember 2007

Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi dan PT.JM/IM

Ltd. melakukan penjelasan kemajuan KK di Hotel Sph Yogyakarta.

12) 15 Desember 2007

Bupati Kulon Progo berkirim surat ke Komisi VII DPRRI tentang Dana

Community Development dan Regional Development dalam Naskah

KK antara Pemerintah RI dengan PT. JM/IM Ltd.

                                                                                                                                                                   pasir besi bukan berasal dari agenda pembangunan, seperti yang disosialisasikan pemerintah selama ini. Sudah jelas itu kepentingan pribadi yang mengatasnamakan pembangunan. Tetapi kemudian menjadi kepentingan banyak pihak di tingkat pusat, skandal kejahatan perundang-undangan Perda RTRW itu buktinya” 

Page 95: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

73  

  

13) 19 Januari 2008

Pemerintah Kabupaten Kulon Progo dan PT. JM/IM Ltd. menjalin

kesepakatan tentang persentase dana Community Development dan

Regional Development yaitu sebesar 1,5 % dari penjualan untuk

sepuluh tahun pertama dan 2 % setelah tahun kesepuluh.

14) 23 Januari 2008

Bupati mengirimkan surat kepada Direktorat Jenderal Mineral Batubara

dan Panas Bumi berisi permintaan penambahan dana untuk Regional

Development dan Community Development sesuai kesepakatan dengan

PT. JM/IM Ltd.

15) 29 Januari 2008

Pemda Kabupaten Kulon Progo menerbitkan Surat ijin lokasi kepada

PT. JM untuk Proyek Percontohan & Pusat Studi Tenaga Kerja

Pertambangan di Desa Banaran Galur, dengan SK. Bupati No. 23

Tahun 2008.

16) 28 Februari 2008

Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral dan Batubara berkirim surat

kepada PT. JM/IM Ltd. Ttg agar memenuhi permintaan Pemda Kulon

Progo untuk. penambahan dana Regional Development dan Community

Development.

17) 25 Juni 2008

PT JM melakukan sosialisasi pertambangan pasir besi kepada

akademisi, organisasi masyarakat, dan kemahasiswaan di Yogyakarta.

18) Juli 2008

PT JM melakukan sosialisasi dan koordinasi untuk stabilitas keamanan

operasional proyek pertambangan kepada korps militer distrik

Kabupaten Kulon Progo85.

                                                            85 Catatan Harian Penelitian, Relasi Kekuasaan atas SDA, 20 April 2010, TJ (32): “Seperti yang sudah kami duga, kami akan dihadapkan dengan aparat bersenjata. Ya, kalau itu memang kemauan pemerintah, apa boleh buat. Mereka memaksa kami untuk melawan. Wong tani iku pakaryane nandur, yen awakdewe dipenging nandur lombok, wong tani arep nandur sopowae sing menging wong tani nandur lombok, yen ora nandur dudu tani arane ( petani itu kerjanya menanam, kalau kami dilarang untuk menanam cabai di pesisir ini, maka kami akan tanam siapapun yang melarang kami menanam cabai, karena kalau tidak menanam bukan petani namanya).”

Page 96: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

74  

  

19) 4 November 2008

Pemerintah RI melalui Menteri ESDM melakukan Kontrak Karya

dengan PT JM/IM Ltd. di Jakarta

20) 22 Juni 2009

Raperda RTRWP DIY ditetapkan dalam sidang paripurna DPRD DIY

dan Gubernur, memuat 129 pasal, tanpa pasal pertambangan.

21) Agustus 2009

PT. JM mempublikasikan pemberitahuan rencana pelaksanaan

AMDAL.

22) 20 Oktober 2009

Konsultasi Kerangka Acuan-Analisis Dampak Lingkungan (KA

ANDAL) dilaksanakan di kantor Pemda Kulon Progo.

23) 13 Januari 2010

Melalui surat bernomor 1/KEP/DPRD/2010, DPRD Kabupaten Kulon

Progo menyetujui usulan Bupati untuk perubahan rencana tata ruang

wilayah, khususnya kawasan pesisir untuk pertambangan pasir besi.

Permohonan Bupati ini tertuang dalam Surat Bupati No 180/3027

tertanggal 11 Desember 2009.

24) 20 Januari 2010

AMDAL PT JM mulai dilaksanakan.

25) 16 Februari 2010

Hasil evaluasi MENDAGRI atas Raperda RTRWP DIY diterbitkan,

hasil evaluasi ini mengacu pada Rapera RTRWP DIY yang berjumlah

160 pasal.

26) 4 Maret 2010

Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur.

Perda ini memuat pasal pertambangan dan berisi 160 pasal.

Proses-proses politik kebijakan di aras nasional hingga komunitas

merupakan proses-proses yang dapat diamati perkembangan dan relasinya dengan

struktur penguasaan SDA, struktur konflik SDA, dan relasi kekuasaan atas SDA.

Page 97: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

75  

  

4.3.3. Proses-proses legalisasi pertambangan pasir besi di Kulon Progo

Struktur Penguasaan SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan

atas SDA terkait proyek pertambangan pasir besi86, sehingga pembahasan

terhadap proses-proses tersebut akan memperoleh porsi utama dalam bagian ini.

Sumber informasi setempat, SR (40), mengemukakan alur kebijakan yang

ditempuh oleh pemerintah dalam kutipan berikut:

“Sedulur-sedulur, tampaknya pemerintah akan menyukseskan proyek

tambang besi ini dengan tiga cara. Pertama, yaitu AMDAL untuk

menerbitkan ijin lingkungan bagi kontrak karya. Kedua, perubahan

perda tata ruang DIY agar bisa menjadi landasan untuk menyusun

AMDAL, yang isinya kita sudah mengetahui semua, dan ketiga adalah

pengesahan RUUK untuk menjadi UUK DIY sehingga ada jaminan

kepastian hukum atas tanah-tanah tak bertuan di seluruh propinsi ini.

Sehingga, tampaknya tidak ada jalan lain bagi kita kecuali

memperjuangkan pembatalan Perda DIY No 2 tahun 2010 dan RUUK

itu. Jika salah satu dari keduanya sukses, maka kita akan segera

dipunahkan oleh Pemimpin Swapraja dan kroni-kroninya. Menurut

tim analis kita, kontrak karya tidak akan dapat dibatalkan kecuali oleh

ESDM dan PT JMI, dan pembatalan sepihak akan merugikan karena

si pembatal akan dikenakan denda. Tentu tidak ada yang mau rugi

dalam bisnis. Menolak proyek tambang pasir besi adalah satu paket

dengan penolakan pada RUUK dan JLS.”

                                                            86 Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan SDA, 1 Mei 2010, SR (40): Saya diundang untuk mengikuti rapat PAGUYUBAN yang sifatnya tertutup, yang membahas hasil analisa tim PAGUYUBAN mengenai strategi kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah untuk meloloskan proyek pertambangan pasir besi dan proyek-proyek industri lainnya. Hasil pembahasan ini akan disampaikan ke forum PAGUYUBAN secara terbuka setelah permasalahan dianggap dapat disampaikan secara sederhana. Pada rapat tertutup inilah saya memperoleh kutipan tersebut dari SR (40).

Page 98: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

76  

  

Proses-proses politik kebijakan yang terkait dengan Struktur Penguasaan

SDA, Struktur Konflik SDA, dan Relasi Kekuasaan atas SDA tersebut adalah:

A. Kontrak Karya

Kontrak karya antara Pemerintah RI dengan PT. JM dan IM Ltd. dilakukan

pada 4 November 2008, mendahului penerbitan UU No 4 tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara yang disahkan pada 12 Januari 2009. UU

tersebut mengakhiri mekanisme Kontrak Karya dalam industri pertambangan di

Indonesia yang telah berlangsung sejak 1967. Mekanisme kontrak karya ditempuh

karena menurut UU No 11 Tahun 1967 perusahaan asing tidak diperbolehkan

mempunyai kuasa pertambangan di dalam negeri secara langsung, dan kekuasaan

untuk melakukan kerjasama dengan perusahaan asing berada pada pemerintah

pusat. Kontrak karya mengacu pada hukum pejanjian, sehingga tidak dapat

dibatalkan kecuali oleh Kementerian ESDM , PT. JM dan IM Ltd. Kontrak karya

dapat dijalankan jika ijin lingkungan telah diterbitkan melalui mekanisme

AMDAL.

Butir-butir kontrak karya yang penting adalah sebagai berikut (denah lokasi

Gambar 10) :

Masa operasi : 30 tahun

Luasan : 2.987 Ha (22 x 1,8 km)

Investasi : 1,7 M US$., 600 Juta US$ untuk Penambangan

dan 1,1 M US $ untuk Infrastruktur

Pajak : 20 Juta US $ per tahun

Pendanaan Lokal : 7 Juta US $ per tahun selama 10 tahun dan

selanjutnya 2 persen.

Royalti : 11,25 Juta US $ per tahun

Penambangan : 2011

Produksi besi : 2012

Volume : 1 juta ton per tahun.

Rasio investasi : JM 30% dan IM Ltd. 70 %.

Sebelum operasional, investor mempunyai masa penyelidikan umum selama

1 tahun, perpanjangan 1 tahun. Masa eksplorasi 3 tahun dengan 2 kali

Page 99: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

 

p

t

k

s

p

d

d

d

(

d

d

l

 8

perpanjanga

termasuk A

konstruksi se

B. Ana

AMDA

suatu usaha

pertambanga

dilakukan pa

dan pelaksa

dan UPL dip

(di tingkat

dengan renc

ditanggulang

lebih kecil d

                       87 Dasar hukum

Gam

an masing-m

AMDAL sela

elama 3 tahu

alisis Menge

AL merupak

yang berda

an pasir be

ada Agustus

anaan studi A

putuskan lay

pusat) jika

cana tata rua

gi oleh tekn

daripada man

                       m AMDAL ada

Area pe

mbar 10. LokK

masing 1

ama 1 tahu

un.

enai Dampak

kan mekanis

ampak besar

esi. Pengum

2009, Kons

ANDAL mu

yak oleh Gub

memenuhi

ang wilayah,

nologi yang

nfaat dampak

             alah Peraturan

rtambangan 2

kasi Konsesiabupaten Ku

tahun. Sela

un, dengan

k Lingkunga

sme hukum

r dan pentin

muman pela

sultasi publik

ulai Januari

bernur (di tin

persyaratan

2) dampak

g tersedia, 3

k positif pro

Pemerintah No

22 x 1,8 km2

i Pertambanulon Progo D

anjutnya, m

perpanjanga

an (AMDAL

untuk pene

ng87, dalam

aksanaan A

k KA ANDA

2010. Doku

ngkat daerah

n yaitu 1) a

negatif terh

3) biaya pen

oyek, 4) ada

o 27 Tahun 19

gan Pasir BeDIY

masa studi

an 1 tahun

L)

erbitan ijin l

hal ini ada

AMDAL ole

AL pada Okt

umen AMD

h) atau Kepa

ada kesesuai

adap lingkun

nanggulanga

konsistensi

99 tentang AM

esi Di

77

kelayakan

dan masa

lingkungan

lah proyek

eh PT JM

tober 2009,

DAL, RKL,

ala Bapedal

ian proyek

ngan dapat

an dampak

rancangan,

MDAL.

Page 100: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

78  

  

jenis proyek, luasan proyek, dan tidak terdapat perubahan mendasar pada

lingkungan di mana proyek dilaksanakan88.

Proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo termasuk sebagai proyek

yang dinilai berdampak penting menurut Keputusan Kepala Bapedal No 56 Tahun

199489, sehingga merupakan usaha yang wajib mempunyai dokumen AMDAL

baik menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 11 Tahun 2006 maupun

PP No 27 Tahun 199990. Suatu dokumen AMDAL pada dasarnya dinilai layak

jika memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan, serta kesesuaian jenis proyek

dengan peruntukan tata ruang di mana proyek tersebut akan dilaksanakan91.

                                                            88 Dasar hukumnya adalah PP No 27 Tahun 1999 pasal 22, pasal 25, dan pasal 26.. 89 Dampak penting adalah perubahan lingkungan yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha atau kegiatan; Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, menyatakan bahwa setiap rencana kegiatan yang diperkirakan akan mempunyai dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan AMDAL. Dampak penting suatu usaha atau kegiatan menurut Penjelasan Pasal 16 UU Nomor 4 Tahun 1982, dan Pasal 2 dan Pasal 3 PP Nomor 51 Tahun 1993 ditentukan oleh faktor-faktor berikut: a. Jumlah manusia yang akan terkena dampak, b. Luas wilayah persebaran dampak, c. Lamanya dampak berlangsung, d. Intensitas dampak, e. Banyaknya komponen lingkungan lainnya yang akan terkena dampak, f. Sifat kumulatif dampak, g. Berbalik atau tidak berbaliknya dampak. 90 PP No 27 Tahun 1999, Pasal 3: (1) Usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan padat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup meliputi : a. Pengubahan bentuk lahan dan bentang alam; b. Eksploitasi sumber daya alam baik yang terbaharui maupun yang tak terbaharui; c. Proses dan kegiatan yang secara potensial dapat menimbulkan pemborosan, pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup, serta kemerosotan sumber daya alam dalam pemanfaatannya; d. Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan alam, lingkungan buatan, serta lingkungan sosial dan budaya; e. Proses dan kegiatan yang hasilnya akan dapat mempengaruhi pelestarian kawasan konservasi sumber daya alam dan atau perlindungan cagar budaya; f. Introduksi jenis tumbuh-tumbuhan, jenis hewan, dan jasad renik; g. Pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan non hayati; h. Penerapan teknologi yang diperkirakan mempunyai potensi besar untuk mempengaruhi lingkungan hidup; i. Kegiatan yang mempunyai risiko tinggi, dan/atau mempengaruhi pertahanan negara. 91 PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16:

(4) Instansi yang bertanggung jawab wajib menolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan. 

Page 101: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

79  

  

C. Perubahan RTRW

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) merupakan landasan bagi

pelaksanaan studi AMDAL, baik di tingkat nasional, propinsi, maupun

kabupaten/kota. Sifat RTRW adalah berhierarki, artinya RTRWN menjadi payung

bagi RTRWP, dan RTRWP menjadi payung bagi RTRWK.

Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 892,

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 baru dapat ditetapkan oleh Pemda setelah

memperoleh persetujuan substansi teknis dari instansi pusat yang membidangi tata

ruang. Raperda RTRWP DIY 2009-2029 ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD

DIY pada 22 Juni 2009, dan menurut Peraturan Pemerintah No 79 Tahun 2005

                                                            92 Pasal 5

Gubernur dibantu BKPRD Provinsi mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWP dan RTR Kawasan Strategis Provinsi, dengan memperhatikan RTRWP yang berbatasan, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN. Bupati/Walikota dibantu BKPRD Kabupaten/Kota mengoordinasikan penyusunan rancangan perda RTRWK/K, RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota, dan RDTR Kabupaten/Kota, dengan memperhatikan RTRWK/K yang berbatasan, RTRWP, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.

KONSULTASI RANCANGAN PERDA Bagian Kesatu Konsultasi Rancangan Perda Provinsi Pasal 6

Gubernur mengkonsultasikan rancangan perda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) kepada instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang yang dikoordinasikan oleh BKTRN. Konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) guna mendapatkan persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang.

Pasal 7 Konsultasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 menyangkut substansi teknis rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi, untuk disesuaikan dengan RTR Pulau/Kepulauan dan RTRWN. Materi konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi beserta lampirannya. Lampiran rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (2), berupa : dokumen RTRWP dan album peta; dan dokumen RTR Kawasan Strategis Provinsi dan album peta.

Pasal 8 Konsultasi atas substansi teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1), dilakukan sebelum rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi disetujui bersama DPRD.

Pasal 9 Persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) menjadi bahan Menteri Dalam Negeri dalam melakukan: evaluasi terhadap rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi; dan klarifikasi terhadap perda tentang RTRWP dan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah ditetapkan. 

Page 102: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

80  

  

pasal 3993 jo Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28 Tahun 2008 pasal 1494,

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 seharusnya diajukan oleh Gubernur kepada

Menteri Dalam Negeri untuk proses evaluasi selambat-lambatnya pada 25 Juni

2009 (3 hari sejak Raperda ditetapkan), dan proses evaluasi Raperda RTRWP

DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam Negeri selambat-lambatnya selesai pada 10

Juli 2009 (15 hari sejak Raperda diterima).

Perda No 2 Tahun 2010 tentang RTRWP DIY disahkan oleh Gubernur pada

4 Maret 2010. Perda ini memuat perubahan substansi dengan Raperda RTRWP

DIY yang telah disahkan, perubahan substansi ini tidak melibatkan DPRD DIY

2009-2014 (Kompas, 21 April 2010). Perubahan substansi tersebut95 berupa:

1) Penghilangan pasal Raperda: pasal 1 (13), 11, 37, 39, 55, 102, dan 115,

2) Perubahan bunyi pasal Raperda menjadi Perda: pasal 38 (2) menjadi

pasal 36 (3), pasal 42 menjadi pasal 39, dan pasal 95 menjadi pasal 97,

3) Penambahan pasal Perda: pasal 1 (22) (27) (41) (42), 52, 53, 54, 58, 59,

60, dan 79, dan

4) Penambahan dengan perubahan bunyi pasal Perda: dari pasal 114

sampai dengan pasal 160.

                                                            93 PP No 79 Tahun 2005 Pasal 39,

Raperda tentang Rencana Tata Ruang disampaikan paling lama 3 (tiga) hari setelah disetujui bersama antara Kepala Daerah dengan DPRD (ayat 1). Menteri Dalam Negeri melakukan evaluasi Raperda tentang Rencana Tata Ruang (ayat 2). Evaluasi Raperda dilakukan paling lambat 15 (lima belas) hari kerja setelah diterima rancangan oleh Menteri Dalam Negeri.

94 Permendagri No 28 Tahun 2008 Pasal 14

(1) Rancangan perda tentang RTRWP dan rancangan perda tentang RTR Kawasan Strategis Provinsi yang telah disetujui bersama DPRD sebelum ditetapkan oleh Gubernur, paling lambat 3 (tiga) hari kerja disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dievaluasi.

(2) Penyampaian rancangan perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan lampiran rancangan perda dan surat persetujuan dari instansi pusat yang membidangi urusan tata ruang.

(3) Hasil evaluasi dituangkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan disampaikan kepada Gubernur paling lambat 15 (lima belas) hari kerja terhitung sejak diterimanya rancangan perda dimaksud. 

(4) Gubernur menindaklanjuti hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan melaporkan hasilnya kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya Keputusan Menteri Dalam Negeri. 

95 Tabel perbandingan Raperda RTRWP DIY hasil paripurna (129 pasal) dan Raperda RTRWP DIY yang diajukan ke Menteri Dalam Negeri (160 pasal) disajikan lampiran.

Page 103: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

81  

  

Raperda RTRWP DIY 2009-2029 yang ditetapkan oleh Gubernur dan

DPRD DIY memuat 129 pasal, sedangkan Perda No 2 Tahun 2010 tentang

RTRWP DIY 2009-2029 memuat 160 pasal.

Hasil evaluasi Raperda RTRWP DIY 2009-2029 oleh Menteri Dalam

Negeri ditetapkan dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 650-46 Tahun

2010 tertanggal 16 Februari 201096. Hasil evaluasi ini tidak mengacu pada

Raperda RTRWP yang ditetapkan oleh Gubernur dan DPRD DIY karena memuat

materi evaluasi untuk pasal 149 dan 150. Menurut konsideran Keputusan Menteri

Dalam Negeri tersebut, persetujuan substansi atas Raperda RTRWP DIY 2009-

2029 dituangkan dalam Surat Menteri Pekerjaan Umum kepada Gubernur Nomor

HK.01.03-Mu/487 tertanggal 31 Agustus 2009 dan Surat Menteri Kehutanan

kepada Gubernur Nomor S.932/Menhut-VII/2009 tertanggal 11 Desember 2009.

Perda No 2 Tahun 2010 Pasal 60 ayat 2 huruf b nomor 2) berbunyi

Kawasan pesisir pantai selatan untuk pertambangan pasir besi, di Kecamatan

Wates, Panjatan, dan Galur. Pasal ini menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan

AMDAL yang ditargetkan selesai Oktober 201097.

                                                            96 Dokumen terlampir 97 Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 58

Kebijakan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (3) huruf c memanfaatkan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta mencegah dampak negatif terhadap lingkungan.

Pasal 59 Strategi untuk melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 sebagai berikut: a. mengoptimalkan kawasan peruntukan pertambangan; b. menghindari perubahan fungsi lahan; c. mengembangkan pengelolaan kawasan dengan potensi sumber daya mineral, batu bara dan panas bumi secara optimal dengan memperhatikan daya dukung lingkungan.

Pasal 60 Arahan penetapan kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 58 sebagai berikut : (1) Kegiatan pemanfaatan sumber daya mineral batu bara dan panas bumi dapat dilakukan di: a. kawasan lindung bawahan, kawasan lindung setempat dan kawasan rawan bencana alam; dan b. kawasan pertanian, kawasan pariwisata, kawasan permukiman perdesaan, kawasan industri, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. (2) Penetapan kawasan peruntukan pertambangan di : a. Kabupaten Gunungkidul untuk pertambangan batu kapur di Kecamatan Ponjong, Panggang, dan untuk pertambangan kaolin di Kecamatan Semin; b. Kabupaten Kulon Progo yaitu :

Page 104: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

82  

  

 

D. RUUK DIY

Substansi RUUK DIY yang terkait kepentingan terhadap sumber daya alam

adalah sistem politik dan struktur penataan ruang dan sumber-sumber agraria.

Sistem politik tersebut adalah :

a) Penetapan Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai Wakil

Gubernur, mengacu pada UU No 22 Tahun 1948 dan UU No 3 Tahun

1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. Sistem politik

ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Pemerintah Propinsi DIY.

b) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung. Sistem politik

ini diusulkan dalam naskah RUUK DIY versi Jurusan Ilmu Pemerintahan

UGM dan Dewan Perwakilan Daerah.

c) Penempatan Sultan dan Paku Alam sebagai lembaga (paradhya) yang

berwenang:

1) Memberikan arahan umum kebijakan dalam penetapan

kelembagaan Pemda Provinsi, kebudayaan, serta pertanahan dan

penataan ruang;

2) Memberikan persetujuan terhadap rancangan Perdais yang telah

disetujui bersama oleh DPRD Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta dan Gubernur;

3) Memberikan rekomendasi untuk penindakan Gubernur dan/atau

Wakil Gubernur yang melakukan penyimpangan;

4) Memberikan persetujuan terhadap rencana pinjaman daerah

sebelum diajukan ke Pemerintah sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan;

5) Memberikan persetujuan dalam hal Pemda Provinsi bermaksud

menerbitkan obligasi daerah; dan

                                                                                                                                                                   1) Perbukitan Menoreh untuk pertambangan emas di Kecamatan Kokap, mangaan di Kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh, Kalibawang, Nanggulan, Pengasih; dan 2) Kawasan Pesisir Pantai Selatan untuk pertambangan pasir besi di Kecamatan Wates, Panjatan dan Galur. c. Kabupaten Sleman untuk pertambangan pasir di Kecamatan Pakem dan Minggir.

Page 105: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

83  

  

6) Memberikan saran dan pertimbangan terhadap rencana perjanjian

kerjasama yang dibuat oleh Pemda Provinsi dengan pihak ketiga

yang membebani masyarakat.

d) Penempatan Sultan dan Paku alam sebagai pejabat (paradhya) yang

berhak:

1) Menyampaikan usul dan/atau pendapat kepada Pemerintah dalam

rangka penyelenggaraan Kewenangan Istimewa;

2) Mendapatkan seluruh informasi mengenai kebijakan dan/atau

informasi yang diperlukan untuk perumusan kebijakan;

3) Mengusulkan perubahan dan/atau penggantian Perdais;

4) Mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur

setelah diputuskan oleh badan peradilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap karena terbukti melanggar sumpah/janji

jabatan, tidak melaksanakan kewajibannya, tidak lagi memenuhi

syarat, dan/atau melanggar larangan sebagai Gubernur dan/atau

Wakil Gubernur;

5) Memperoleh pelayanan dan dukungan administrasi.

6) Mengajukan pertanyaan kepada Pemda Provinsi dan DPRD

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di bidang kelembagaan

Pemda Provinsi, kebudayaan serta pertanahan dan penataan ruang;

7) Mengajukan pertanyaan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dan

DPRD Kabupaten/Kota di bidang kebudayaan serta pertanahan dan

penataan ruang; dan memiliki hak imunitas; protokoler setingkat

Menteri; dan keuangan.

e) Pengaturan kewajiban Gubernur dan DPRD DIY untuk:

1) Melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-

Undang tentang Pemerintahan Daerah;

2) Mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Parardhya;

dan

3) Melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan:

pengusulan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur;

Page 106: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

84  

  

penetapan kelembagaan Pemda Provinsi; bidang kebudayaan; dan

bidang pertanahan dan penataan ruang.

f) Struktur agraria yang diatur dalam RUUK DIY adalah:

1) Penetapan lembaga swapraja sebagai Badan Hukum Kebudayaan

yang mempunyai hak milik atas Sultanaat Ground (SG) dan Paku

Alamanaat Ground (PAG).

2) Pengaturan hak milik, tata guna, pemanfaatan, dan pengaturan atas

SG dan PAG melalui Perdais.

Ketidakpastian hukum atas tanah di Propinsi DIY adalah kendala bagi

proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. DPR RI telah didorong oleh

Pemerintah Propinsi DIY dan lembaga swapraja untuk mengesahkan RUUK sejak

2007, agar ketidakpastian hukum atas tanah itu dapat diakhiri dengan penetapan

seluruh tanah tidak bertuan di DIY sebagai hak milik lembaga swapraja.

Dalam konteks penelitian ini, proses politik kebijakan SDA di Kabupaten

Kulon Progo berupa 1) Kontrak Karya sebagai wujud kepentingan ekonomi

politik terhadap SDA berbentuk proyek pertambangan, 2) AMDAL untuk

penerbitan ijin lingkungan bagi Kontrak Karya, 3) Perubahan Rencana Tata

Ruang Propinsi sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan AMDAL, dan 4)

RUUK DIY sebagai penjamin kepastian hukum atas tanah dan kontrol

pengelolaan SDA melalui sistem politik. Alur proses politik kebijakan SDA di

lokasi penelitian di aras nasional hingga komunitas disajikan dalam Gambar 11,

dan proses kebijakan SDA di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 8.

Governmentality berada pada kepentingan ekonomi politik neoliberal yang

bekerja di level internasional, nasional, dan lokal. Kepentingan ekonomi politik

tersebut masuk melalui mekanisme yang diatur oleh produk hukum atau narasi

yang mengikat secara hukum dan memperoleh legitimasinya sebagai kebijakan.

Di aras internasional narasi tersebut adalah 1) Brundtland Report 1987 yang

menjadi landasan bagi pembangunan berkelanjutan, 2) Washington Consensus

1989 yang menjadi landasan bagi pelaksanaan desentralisasi, dan 3) Letter of

Intent (LoI) IMF yang menjadi landasan bagi perubahan kebijakan fiskal dan

struktural.

Page 107: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

85  

  

Brundtland Report 1987 merupakan kelanjutan dari Club of Rome 1972

(Limit to Growth) yang melahirkan konsep baru mengenai pembangunan

berkelanjutan. Pembangunan didefinisikan oleh The International Union for the

Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai:

“The modification of the biosphere and the application of human, financial,

living and non-living resources to satisfy human needs and improve the quality of

human life . . . For development to be sustainable it must take account of the

social and ecological factors as well as economic ones: of the living and non-

living resource base, and of the long-term as well as the short-term advantages

and disadvantages of alternative actions” (The World Conservation Strategy

1980, dipublikasikan oleh IUCN).  

Definisi Pembangunan Berkelanjutan menurut Brundtland Report 1987

adalah:

“Sustainable development is meeting the needs of the present without

compromising the ability of future generations to develop.” (Our Common Future

dipublikasikan oleh The UN World Commission on Environment and

Development).

Pembangunan berkelanjutan diadopsi oleh UU No 23 Tahun 1997 dan UU

No 32 Tahun 200998 dan menjadi paradigma baru dalam pembangunan di

Indonesia. Penerjemahan teknisnya adalah pelaksanaan AMDAL bagi proyek-

proyek berdampak penting untuk memenuhi kelayakan ekonomi dan lingkungan.

Desentralisasi di Indonesia bermula dari pokok-pokok pikiran Washington

Consensus. Washington Consensus pertama kali dirumuskan oleh John

Williamson pada 1989, dan merupakan kesepakatan bersama 3 lembaga yaitu                                                             98 UU No 23 Tahun 1997, Pasal 1, Ketentuan Umum, nomor 3: Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan; UU No 32 Tahun 2009, Pasal 1, Ketentuan Umum, Nomor 3: Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Page 108: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

86  

  

World Bank, IMF, dan Dapartemen Keuangan AS, memuat 10 kebijakan

reformasi99 bagi negara berkembang (Third World) pascaperang dingin dan

apartheid, yaitu:

1) Disiplin fiskal

2) Penataan kembali prioritas belanja publik

3) Reformasi pajak

4) Laju liberalisasi kepentingan

5) Laju pertukaran matauang yang kompetitif                                                             99  The story started in the Spring of 1989 when I (John Williamson) was testifying before a Congressional committee in favor of the Brady Plan (Williamson, 2004). 1. Fiscal Discipline. This was in the context of a region where almost all countries had run large deficits that led to balance of payments crises and high inflation that hit mainly the poor because the rich could park their money abroad. 2. Reordering Public Expenditure Priorities. This suggested switching expenditure in a progrowth and propoor way, from things like nonmerit subsidies to basic health and education and infrastructure. It did not call for all the burden of achieving fiscal discipline to be placed on expenditure cuts; on the contrary, the intention was to be strictly neutral about the desirable size of the public sector, an issue on which even a hopeless consensus-seeker like me did not imagine that the battle had been resolved with the end of history that was being promulgated at the time. 3. Tax Reform. The aim was a tax system that would combine a broad tax base with moderate marginal tax rates. 4. Liberalizing Interest Rates. In retrospect I wish I had formulated this in a broader way as financial liberalization, stressed that views differed on how fast it should be achieved, and—especially—recognized the importance of accompanying financial liberalization with prudential supervision. 5. A Competitive Exchange Rate. [ I have seen it asserted that a competitive exchange rate is the same as an undervalued rate. Not so; a competitive rate is a rate that is not overvalued, i.e. that is either undervalued or correctly valued. My fifth point reflects a conviction that overvalued exchange rates are worse than undervalued rates, but a rate that is nether overvalued nor undervalued is better still.] I fear I indulged in wishful thinking in asserting that there was a consensus in favor of ensuring that the exchange rate would be competitive, which pretty much implies an intermediate regime; in fact Washington was already beginning to edge toward the two-corner doctrine which holds that a country must either fix firmly or else it must float “cleanly”. 6. Trade Liberalization. I acknowledged that there was a difference of view about how fast trade should be liberalized, but everyone agreed that was the appropriate direction in which to move. 7. Liberalization of Inward Foreign Direct Investment. I specifically did not include comprehensive capital account liberalization, because I did not believe that did or should command a consensus in Washington. 8. Privatization. As noted already, this was the one area in which what originated as a neoliberal idea had won broad acceptance. We have since been made very conscious that it matters a lot how privatization is done: it can be a highly corrupt process that transfers assets to a privileged elite for a fraction of their true value, but the evidence is that it brings benefits (especially in terms of improved service coverage) when done properly, and the privatized enterprise either sells into a competitive market or is properly regulated. 9. Deregulation. This focused specifically on easing barriers to entry and exit, not on abolishing regulations designed for safety or environmental reasons, or to govern prices in a non-competitive industry. 10. Property Rights. This was primarily about providing the informal sector with the ability to gain property rights at acceptable cost (inspired by Hernando de Soto’s analysis).

Page 109: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

87  

  

6) Liberalisasi perdagangan

7) Liberalisasi penanaman modal asing hingga level lokal

8) Privatisasi

9) Deregulasi

10) Property Rights (Kepastian hukum atas Hak Kepemilikan)

Penandatangan LoI antara Pemerintah RI dan IMF pertamakali pada 31

Oktober 1997, pokok-pokok isinya adalah:

1) Penyehatan sektor keuangan;

2) Kebijakan fiskal;

3) Kebijakan moneter;

4) Penyesuaian struktural (diterjemahkan sebagai Reformasi Hubungan

Pusat - Daerah dalam hal kewenangan dan keuangan, selanjutnya

menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU

No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah

Pusat dan Daerah, sebagai prasyarat operasionalisasi kebijakan fiskal dan

moneter).

Pada 15 Januari 1998 Pemerintah RI dan IMF menandatangani LoI yang ke-

2, pokok-pokok isinya adalah sebagai berikut:

1) Kebijakan makro-ekonomi

a. Kebijakan fiskal

b. Kebijakan moneter dan nilai tukar

2) Restrukturisasi sektor keuangan

a. Program restrukturisasi bank

b. Memperkuat aspek hukum dan pengawasan untuk perbankan

3) Reformasi struktural

a. Perdagangan luar negeri dan investasi

b. Deregulasi dan swastanisasi

c. Social safety net (Jaringan Pengaman Sosial, JPS) 

d. Lingkungan hidup (penyusunan UU Lingkungan Hidup yang

baru, pengganti UU No 23 Tahun 1997) 

Page 110: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

88  

  

UU No 23 Tahun 1997 (terbit 23 September 1997) disusun dalam kerangka

sistem politik sentralistik100 (saat itu Indonesia belum menerapkan desentralisasi,

karena UU No 22 Tahun 1999 terbit pada 7 Mei 1999). PP No 27 Tahun 1999

(terbit 7 Mei 1999) disusun dalam kerangka sistem politik desentralisasi yang

mengubah kewenangan penerbitan ijin dari Menteri Lingkungan Hidup (menurut

UU No 23 No 1997) menjadi kepada Kepada Bapedal (di tingkat pusat) atau

Gubernur (di tingkat daerah)101.

                                                            100 Pasal 11 (1) Pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secara terpadu oleh perangkat kelembagaan yang dikoordinasi oleh Menteri. (2) Ketentuan mengenai tugas, fungsi, wewenang dan susunan organisasi serta tata kerja kelembagaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden. Pasal 12 (1) Untuk mewujudkan keterpaduan dan keserasian pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dapat: a. melimpahkan wewenang tertentu pengelolaan lingkungan hidup kepada perangkat di wilayah; b. mengikutsertakan peran Pemerintah Daerah untuk membantu Pemerintah Pusat dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup di daerah. (2) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 13 (1) Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya. (2) Penyerahan urusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 20 (1) Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup. (2) Setiap orang dilarang membuang limbah yang berasal dari luar wilayah Indonesia ke media lingkungan hidup Indonesia. (3) Kewenangan menerbitkan atau menolak permohonan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada pada Menteri. (4) Pembuangan limbah ke media lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan di lokasi pembuangan yang ditetapkan oleh Menteri. 101 PP No 27 Tahun 1999, Pasal 1 , Ketentuan Umum, nomor 9: Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang berwenang memberikan keputusan kelayakan lingkungan hidup dengan pengertian bahwa kewenangan di tingkat pusat berada pada Kepala Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan dan di tingkat daerah berada pada Gubernur; Pasal 16: (2) Keputusan atas penilaian kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh instansi yang bertanggung jawab dalam jangka waktu selambat-lambatnya 75 (tujuh puluh Iima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya kerangka acuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2). (3) ApabiIa instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan daIam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), rnaka instansi yang bertanggung jawab dianggap menerima kerangka acuan dimaksud. (4) Instansi yang bertanggung jawab wajib rnenolak kerangka acuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila rencana lokasi dilaksanakannya usaha dan/atau kegiatan terletak dalam kawasan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan.

Page 111: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

89  

  

Di aras nasional, produk hukum yang dimaksud adalah 1) UU No 32 Tahun

2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur kewenangan daerah, 2) UU No

11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur

kuasa pertambangan, 3) UU No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang

mengatur kaidah-kaidah penyusunan RTRW, dan 4) PP No 27 Tahun 1999

tentang AMDAL yang mengatur kaidah-kaidah penyusunan dan penilaian

dokumen AMDAL.

Di aras lokal, produk hukum yang dimaksud adalah 1) RUUK DIY, 2)

Kepres No 33 Tahun 1984, dan 3) Perda DIY No 34 Tahun 1984. Matriks

mengenai materi produk hukum dan implikasinya dalam proses politik kebijakan

SDA di Kabupaten kulon Progo disajikan dalam Tabel 9.

4.3.4. Ikhtisar

Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian tidak terlepas dari

kepentingan ekonomi politik global yang masuk melalui cara, 1) penyusupan

agenda liberalisasi ke dalam produk hukum nasional, yaitu penerbitan UU No 22

Tahun 1999 dan PP No 27 No 1999; 2) pengurangan kekuasaan pemerintah pusat

dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah (good governance is less

government), baik itu dalam hal penataan ruang maupun pengelolaan SDA, yaitu

penerbitan UU No 26 Tahun 2007 dan PP No 27 Tahun 1999 sebagai turunan UU

No 23 Tahun 1997; 3) pemanfaatan ketidakpastian hukum dalam kewenangan dan

tanggungjawab pemerintah, yaitu penerapan kontrak karya (UU No 11 Tahun

1967) di era yang sudah tidak memberlakukannya lagi (UU No 4 Tahun 2009) dan

penerapan dualisme politik agraria di DIY.

Di aras nasional, kontrak karya ditandatangani setelah kesepakatan-

kesepakatan bisnis interkorporasi memperoleh kepastian hukum di aras

                                                                                                                                                                   Pasal 20 (1) Instansi yang bertanggung jawab menerbitkan keputusan kelayakan lingkungan hidup suatu usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 19 ayat (2), dalam jangka waktu selarnbat-lambatnya 75 (tujuh puluh lima) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya dokumen analisis dampak lingkungan hidup, rencana pengelolaan lingkungan hidup, dan rencana pemantauan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 18 ayat (2). (2) Apabila instansi yang bertanggung jawab tidak menerbitkan keputusan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka rencana usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan dianggap layak lingkungan.

Page 112: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

90  

  

internasional, artinya pemerintah pusat adalah pihak yang tiba-tiba menerima hasil

kesepakatan tersebut tanpa dilibatkan dalam proses yang mendahuluinya.

Mekanisme ini memungkinkan untuk terjadi karena kontrol dan tangungjawab

pemerintah pusat terhadap agenda ekonomi politik SDA di daerah ditiadakan oleh

UU 32 Tahun 2004 (hanya 6 bidang yang menjadi wewenang pusat). Akan tetapi,

pada saat penentuan kontrak karya, pemerintah pusat dilibatkan sebagai mitra

bisnis pada proyek pertambangan pasir besi di Kulon Progo. Dua hal yang

sesungguhnya menunjukkan inkonsistensi wewenang dan tanggungjawab

pemerintah.

Di aras lokal, keterlibatan masyarakat tidak diupayakan oleh pengambil

kebijakan sejak rencana pertambangan itu baru pada taraf proses penerbitan ijin

kuasa pertambangan (2006). Pengabaian ini terus berlangsung hingga penerbitan

proses penerbitan Perda No 2 Tahun 2010 yang mengatur RTRWP DIY 2009-

2029 oleh Gubernur , termasuk pengabaian terhadap peran DPRD.

Proses politik kebijakan SDA di lokasi penelitian merupakan cerminan dari

1) struktur kekuasaan empirik, artinya pengambilan keputusan atas suatu bentuk

pengelolaan SDA di suatu daerah merupakan mata rantai dari keputusan-

keputusan dari kekuatan-kekuatan tidak tampak, dalam hal ini adalah TNC dan

lembaga finansial internasional, yang telah lama bekerja di aras nasional, 2)

ketidakpastian wewenang dan tanggungjawab pemerintah pusat dan daerah dalam

pengelolaan SDA berikut dampaknya, 3) jalur hukum merupakan mekanisme

yang lentur (flexible) bagi penyesuaian-penyesuaian kepentingan utama

pengelolaan SDA, yaitu komoditisasi SDA.

Page 113: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

91  

  

Proses Politik Kebijakan SDA

Kontrak bisnisantara : Australia Kimberly Diamond (AKD), JMM, Krakatau Steel

Kontrak Karya : Indo Mines, JMI, Pemerintah RI

Perubahan nama: JMM menjadi JMIAKD menjadi Indo Mines

Proses PenerbitanIjin Lingkungan, Kesesuaian zonasiKepastian hukumatas tanah,

Operasional

2005-2006 2008 2009-2010 2011

Sosialisasi JMI ke: Militer, PerangkatDesa, Akademisi, Ormas

RUUK DIY, AMDAL, PerdaRTRW

Internasional

Nasional

Lokal dan Komunitas

Gambar 11. Alur Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian.

Page 114: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

92  

  

Tabel 8. Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian

Aras Aktor Aktivitas dan Waktu Peristiwa Tujuan

Internasional Korporasi TNC dan Lokal (TNC-L) Perjanjian bisnis, 2005 Industri ekstraksi mineral

Nasional

Korporasi TNC-L dan Pemerintah RI (ESDM)

Kontrak Karya , 2008 Industri ekstraksi mineral

Pemerintah Daerah dan BKPRN Penatanaan Ruang Propinsi, 2009-2010

Penyesuaian RTRWP untuk Proyek Pertambangan

Swapraja dan Pemerintah Pusat Legalisasi RUU K DIY, 2007 Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja

Propinsi

Korporasi Lokal dan Swapraja Investasi, 2005 Penanaman modal Swapraja dan Pemerintah Daerah RUUK DIY, 2007 Kepastian Hukum atas Tanah Swapraja Korporasi TNC-L dengan Pemerintah Daerah

AMDAL, 2010 Penerbitan ijin Lingkungan

Pemerintah Daerah Propinsi Pengesahan RTRWP DIY, 2010 Landasan hukum bagi AMDAL

Kabupaten

Pemerintah Daerah dan Korporasi Ijin Kuasa Pertambangan ,2006 Pendapatan Asli Daerah Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten Penyesuaian RTRWK, 2010 Landasan hukum bagi AMDAL Swapraja dan Seluruh Kepala Desa Sosialisasi proyek, 2007 Perolehan dukungan politik Korporasi dan Militer Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan stabilitas keamanan Korporasi dan Masyarakat di luar kawasan Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara

sosial Korporasi dan Organisasi Masyarakat Sosialisasi proyek, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara

sosial Korporasi dan Akademisi Sosialisasi proyek dan MoU Reklamasi

pascaoperasi, 2008 Perolehan dukungan otoritas ilmiah terhadap proyek

Komunitas

Pemerintah Daerah dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi AMDAL, 2009

Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial

Pemerintah Daerah Propinsi dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi perubahan RTRWP, 2009 Perolehan dukungan terhadap RTRWP secara sosial

Page 115: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

93  

  

Pemerintah Daerah Kabupaten dan Masyarakat terdampak

Sosialisasi perubahan RTRWK, 2010 Perolehan dukungan terhadap zonasi kawasan secara sosial

Swapraja dan Masyarakat terdampak Sosialisasi Magersari, 2008 Perolehan dukungan terhadap tanah swapraja secara sosial

Korporasi dan Masyarakat terdampak Sosialisasi Kontrak Karya, 2008 Perolehan dukungan terhadap proyek secara sosial

Page 116: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

94  

  

Tabel 9. Perbandingan Materi Produk Hukum dan Implikasinya dalam Proses Politik Kebijakan SDA Di Lokasi Penelitian

Aras Substansi Dasar Hukum Aturan Implikasi

Internasional

Desentralisasi Washington Consensus 1989

10 Reformasi kebijakan untuk liberalisasi

Liberalisasi ekonomi membutuhkan prasyarat berupa sistem politik yang sesuai, yaitu sistem

otonomi daerah.

Pembangunan Berkelanjutan Brundtland Report 1987 Definisi Pembangunan

Berkelanjutan

Kepentingan ekonomi, sosial, dan ekologi mendapat porsi yang sama dalam pembangunan. Efisiensi pertumbuhan ekonomi dicapai melalui

desentralisasi.

Kebijakan fiskal dan struktural

LoI IMF 17 Oktober 1997-14 Mei

1999

Paket kebijakan IMF dibidang sistem politik dan

lingkungan hidup

Reformasi kebijakan fiskal menuntut reformasi kebijakan politik dan lingkungan.

Nasional

Otonomi Daerah UU No 32 Tahun 2004 Pasal 10, Pasal 13, Pasal 14

Selain 6 urusan pemerintahan pusat, urusan pemerintahan menjadi kewenangan pemerintah

daerah (propinsi pengemban fungsi administratif, kabupaten pengemban fungsi eksekutif)

Kontrak Karya

UU No 11 Tahun 1967 Pasal 15 Kontrak Karya dalah mekanisme hukum untuk investasi di sektor pertambangan.

UU No 4 Tahun 2009 Pasal 169 Mekanisme Kontrak karya setelah tahun 2009 dihapuskan. Kontrak karya sebelum penerbitan

UU masih berlaku.

Ijin Lingkungan

UU No 32 Tahun 2009 Pasal 36 Ijin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan

kewenangannya.

PP No 27 Tahun 1999 Pasal 16, Pasal 20 Di tingkat daerah, kelayakan suatu dokumen AMDAL ditentukan oleh kemauan politik

Gubernur. RencanaTataRuang Wilayah Propinsi UU No 26 Tahun 2006 Pasal 10 Penyusunan RTRW daerah menjadi kewenangan

pemerintah daerah.

Page 117: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

95  

  

Peraturan Menteri Dalam Negeri

No 28 Tahun 2008

Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 14

Persetujuan substansi oleh Menteri PU dilakukan sebelum Raperda ditetapkan. Hasil evaluasi

Menteri Dalam Negeri wajib ditindaklanjuto oleh Gubernur bersama DPRD. Penyusunan Perda

secara sepihak oleh Gubernur adalah pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

Lokal* Kepastian hukum atas

tanah dan sistem politik

RUUK DIY Pasal 5, Pasal 9, Pasal 21

Swapraja memiliki hak milik atas tanah SG dan PAG, dan memiliki wewenang untuk

menetapkan kelembagaan pemerintah daerah propinsi, penataan agrarian dan ruang, dan

Gubernur dipilih secara langsung .

UU No 32 Tahun 2004 Pasal 56, Pasal 58, Pasal 226

Kepala Daerah dipilih secara langsung dan pembatasan masa jabatan 5 tahun dalam 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud

UU No 22 Tahun 1999 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan menurut UU 32 Tahun 2004. Tidak diatur

penetapan Gubernur.

UU No 22 Tahun 1999 Pasal 34

Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan dilantik oleh Presiden, masa jabatan 5 tahun. Untuk 2 kali periode. Keistimewaan sebagaimana dimaksud

UU No 5 Taun 1974 adalah tetap dengan ketentuan penyelenggaraan pemerintahan

menurut UU 22 Tahun 1999.

UU No 5 Tahun 1960 Pasal 58, Ketentuan konversi, Pasal IX, Diktum ke 4

Swapraja tidak memiliki hak atas tanah, hak atas tanah tidak bertuan beralih kepada negara.

Keterangan: Lokal* : Aras Propinsi, Kabupaten, dan Komunitas

Page 118: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

96  

  

4.4. Struktur Konflik SDA

Struktur konflik SDA di lokasi penelitian bersifat 1) multiaras, yaitu

berlangsung di aras kekuasaan; kebijakan; dan komunitas; 2) multiaktor, yaitu

melibatkan pemerintah; masyarakat; dan swasta; 3) multimateri, yaitu meliputi

persoalan agraria; proyek; penataan ruang; dan kebijakan lingkungan; 4)

multiarena, yaitu berlangsung pada arena hukum; politik; ekonomi; sosial; dan

budaya; 5) manifest (mengemuka) dan laten (tersembunyi); dan 6) dinamis, yaitu

temporal (terhenti atau berlangsung sementara) dan perennial (berlangsung terus

menerus). Struktur konflik SDA di lokasi penelitian disajikan dalam Tabel 10.

4.4.1. Aras konflik

1. Aras Kekuasaan

Di aras kekuasaan, konflik otoritas interpihak berlangsung untuk

mengendalikan klaim kebenaran dan rule of the game baik yang dilakukan di

wilayah kebijakan maupun komunitas. Struktur Penguasaan SDA, Kontrak

Karya, Ijin Kuasa Pertambangan, Proyek Pertambangan, dan Partisipasi Publik

adalah materi konfliktual di aras kekuasaan yang dikelola melalui rule of the

game.

Struktur penguasaan SDA merupakan materi konflik antara lembaga

swapraja dan Pemerintah Pusat, ini merupakan konflik hukum antara UU No 5

Tahun 1960 dengan Rijksblad Swapraja 1918. Kontrak Karya merupakan materi

konflik antara Pemerintah Pusat dan Masyarakat, ini merupakan konflik hukum

antara UU No 11 Tahun 1967 dengan UU No 4 Tahun 2009. Ijin Kuasa

Pertambangan merupakan materi konflik antara Pemda Kabupaten dengan

Masyarakat, ini merupakan materi konflik UU No 11 Tahun 1967 dengan UU 32

Tahun 2009. Proyek pertambangan merupakan materi konflik antara Korporasi

dengan Masyarakat dan LSM, konflik ini berdimensi sosial ekonomi.

Klaim kebenaran dibentuk oleh Pemerintah dan Korporasi dengan

mewacanakan 1) pertambangan sebagai jalan keluar bagi pengentasan

kemiskinan, 2) peniadaan konflik sosial, sebagai gantinya adalah perbedaan

Page 119: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

97  

  

persepsi antara pihak penambang dan masyarakat102, 3) proses politik sebagai

bagian dari prosedur kebijakan, 4) struktur agraria yang sudah selesai dengan

bentuk daerah istimewa (PAG), dan 5) kekuasaan adalah hal lain di luar produk

hukum yang mengatur prosedur kebijakan, misalnya AMDAL adalah netral dari

kepentingan politik.

Klaim kebenaran dibentuk oleh masyarakat dengan mewacanakan 1)

pertambangan sebagai agenda remarjinalisasi, 2) konflik sebagai akibat

ketidakadilan, 3) proses politik sebagai transaksi kepentingan pihak-pihak yang

menyetujui pertambangan, 4) struktur agraria sebagai hal mendasar yang belum

selesai, dan 5) dan kekuasaan tersembunyi dalam produk hukum, misalkan

persetujuan pada AMDAL adalah gerbang menuju kekalahan karena Gubernur

menjadi penentu kelayakan dokumen, sesuai bunyi pasal 20 PP No 27 Tahun

1999 tentang AMDAL.

2. Aras Kebijakan

Di aras kebijakan, konflik regulasi untuk perubahan struktur penguasaan

SDA serta struktur dan pola ruang oleh masing-masing pihak berlangsung untuk

kepastian hukum pemanfaatan ruang, konflik ini tidak hanya berlangsung pada

taraf penerapan produk hukum tetapi juga dalam taraf substansi produk hukum.

RUUK DIY, Penataan Ruang, dan AMDAL adalah materi konfliktual di aras

kebijakan.

RUUK DIY adalah rancangan produk hukum yang akan melegalkan

penguasaan tanah-tanah negara oleh lembaga swapraja. Menurut masyarakat,

secara substansi RUUK DIY bertentangan dengan UU No 5 Tahun 1960, Kepres

No 33 Tahun 1984, dan Perda No 34 Tahun 1984; namun, menurut pemerintah,

RUUK DIY akan mengakhiri ketidakpastian hukum atas sumber agraria dalam

konteks sistem kekuasaan yang berlaku DIY.

Penataan Ruang merupakan pelembagaan kepentingan atas ruang dan SDA

yang diselenggarakan secara legal. Zonasi dalam rencana tata ruang berkekuatan

                                                            102 Catatan Harian Peta Konflik, Wawancara Kepala Badan Perlindungan dan Kesejahtaraan Masyarakat DIY, 6 April 2010: “Sebenarnya hanya ada perbedaan persepsi saja soal kebijakan itu, tidak sampai konflik”

Page 120: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

98  

  

hukum untuk dijadikan landasan bagi pelaksanaan suatu proyek, termasuk

menjadi landasan bagi kelayakan suatu dokumen AMDAL. Menurut pemerintah,

perubahan RTRWP DIY merupakan amanat dari UU No 26 Tahun 2007, dan

penetapan zonasi kawasan pesisir menjadi kawasan pertambangan merupakan

keputusan pusat. Menurut masyarakat, perubahan RTRWP DIY merupakan upaya

legitimasi proyek pertambangan karena proses penyusunan RTRWP tidak

mengacu pada prosedur yang telah ditentukan dalam 1) UU No 10 Tahun 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan  dalam hal kaidah dan

prosedur penyusunan perundang-undangan, 2) UU No 26 Tahun 2007 dalam hal

keterlibatan peran masyarakat, dan 3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No 28

Tahun 2008 dalam hal prosedur penyusunan dan tata cara evaluasi Raperda

RTRWP. Perubahan RTRWP DIY dilakukan setelah AMDAL berjalan.

AMDAL merupakan prosedur hukum untuk penerbitan ijin lingkungan

suatu usaha atau kegiatan yang dijamin kesahihannya melalui pendekatan ilmiah,

sebagaimana diungkapkan oleh Dr. SH (37)103:

“AMDAL itu berfungsi sebagai dokumen hukum, dokumen ilmiah,

dan dokumen publik. Sebagai dokumen hukum, AMDAL merupakan

prosedur yang berlandaskan dan berkekuatan hukum, sehingga dapat

dijadikan landasan dalam membuat kebijakan. Sebagai dokumen

ilmiah, AMDAL merupakan prosedur yang dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah, baik secara kaidah maupun

teknisnya, sehingga mempunyai legitimasi yang kuat untuk dijadikan

landasan kebijakan. Dan sebagai dokumen publik, AMDAL bersifat

terbuka untuk diakses masyarakat. Dengan demikian, AMDAL itu

dapat menengahi kepentingan sosial, lingkungan dan ekonomi.”

Menurut pemerintah, AMDAL merupakan bagian dari tata kelola

lingkungan yang wajib dilaksanakan, dan bersifat netral dari kepentingan politik.

                                                            103 Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 14 Mei 2010, Dr.SH(37):

Page 121: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

99  

  

Menurut masyarakat, persetujuan terhadap AMDAL merupakan persetujuan

terhadap proyek pertambangan, sebagaimana diungkapkan oleh TJ (32) 104;

“Kalau kami sudah mau diajak masuk ke alam pikiranmu maka kami

sudah kalah, dan kehidupan di pesisir yang tumbuh selama 30 tahun

akan habis sudah. AMDAL adalah pintu masuk untuk menyetujui

pertambangan, maka kami menolak AMDAL”

dan dalam konteks relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian, AMDAL

tidak netral dari celah politisasi, sebagaimana diungkankan oleh Dr. ED (35)105:

“Jika pasal 16 dan 20 PP No 27 tahun 1999 dicermati bunyi pasalnya1,

memang tidak menutup kemungkinan bahwa kolusi akan terjadi

dengan memanfaatkan peraturan perundangan. Tetapi, sejauh ini hal

itu belum pernah terjadi. Dokumen AMDAL yang dibatalkan biasanya

yang copy paste dari dokumen AMDAL proyek lain, tidak sesuai tata

ruang wilayah, atau terbukti keterlibatan komisi penilai dalam

menyusun AMDAL”

3. Aras Komunitas

Di aras komunitas, konflik kepentingan interpihak berlangsung sebagai

pewacanaan ekonomi, lingkungan, dan sosial karena bentuk material dari isu

pertambangan belum ada—proyek pertambangan belum dilaksanakan, dan kontrol

terhadap arah perubahan ekosistem.

Pemerintah dan swasta menghendaki ekosistem pesisir (existing) berubah

fungsi menjadi kawasan pertambangan, dengan konsekuensi ekstraksi sumberdaya

mineral, risiko lingkungan, dan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Masyarakat

menghendaki ekosistem tersebut tetap sebagai kawasan pertanian, dengan

                                                            104 Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan SDA, 18 Maret 2010, TJ(32): 105 Pasal 20 PP No 27 Tahun 1999 dan Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan, 14 Mei 2010, Dr. ED (35):

Page 122: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

100  

  

konsekuensi agenda-agenda pemerintah yang bertujuan untuk akumulasi modal

menjadi lambat.

Pemerintah dan swasta menggunakan wacana pertumbuhan yang berdampak

pada kesejahteraan masyarakat (trickle down effect), pertumbuhan itu diciptakan

melalui industrialisasi yang terkendali secara teknik untuk penanggulangan

dampak lingkungan (ecological modernization).

Masyarakat menggunakan wacana pertumbuhan dari bawah (bottom up)

yang berdampak pada perubahan sosial (arus balik urbanisasi), pertumbuhan itu

diciptakan melalui perkembangan pengetahuan dan kelembagaan sumberdaya

yang terkendali secara partisipatif untuk mempertahankan struktur dan fungsi

kawasan sebagai kawasan budidaya dan penyangga. Setiap pihak menggunakan

wacana masing-masing untuk mengontrol arah perubahan ekosistem.

Kontrol terhadap arah perubahan ekosistem terjadi di ruang politik dan

sosial. Di ruang politik, pemerintah dan swasta melakukan kontrol tersebut

melalui kontrak karya, proses kebijakan tata ruang dan lingkungan, dan kebijakan

agraria. Di ruang politik, masyarakat melakukan kontrol tersebut melalui

pengorganisasian diri sebagai alat perjuangan (Paguyuban). Di ruang sosial,

pemerintah dan swasta melakukan kontrol tersebut melalui sosialisasi kepada para

pihak yang tidak terkena dampak langsung, baik itu di aras lokal (Asosiasi Kepala

Desa seluruh Kabupaten Kulon Progo, Militer Distrik Kabupaten, Ormas dan

Gerakan Mahasiswa) maupun nasional (Komisi VII DPR RI). Di ruang sosial,

masyarakat melakukan kontrol tersebut dengan membangun modal sosial berupa

jaringan kerja dengan pihak lain yang sejalan dengan agenda Paguyuban baik

interlokal (Kendeng, Jember, Pacitan), nasional (KOMNAS HAM)106, maupun

                                                            106 Catatan Harian Relasi Kekuasaan, 22 Juni 2010: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) yang diwakili oleh AhB melakukan investigasi potensi pelanggaran HAM proyek pertambangan pasir besi. Investigasi ini merupakan yang kedua kali pascapenyerangan pada warga 27 Oktober 2008 lalu. Pertemuan ini bertempat di sekretariat Paguyuban dihadiri oleh warga perwakilan seluruh desa, segenap pengurus Paguyuban, LSM Hukum, Ormas Islam, dan media massa. Informasi yang diperoleh LBH adalah dokumen antara tahun 2008 hingga 2010, baik itu berupa dokumen cetak, kesaksian lisan, maupun audio visual, termasuk perkembangan di tingkat Propinsi DIY terkait pengiriman surat Paguyuban kepada Pemerintah Propinsi DIY untuk memohon pembatalan Perda No 2 tahun 2010 kepada Menteri Dalam Negeri pada 21 Juni 2010.

Page 123: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

101  

  

internasional (Solidarity of Kulon Progo di Australia), sebagaimana diungkapkan

oleh TJ (32)107:

“Kasus pasir besi boleh saja terlihat kecil dan terseok-seok di sini,

tetapi di luar sana akan meledak gelombang perlawanan yang lebih

besar, semua akan di luar dugaan lawan kami. Kami memang hanya

bergerak di pesisir saja, tidak menyeberang Jl. Deandles itu kecuali

memang dipandang perlu pemanasan. Dan akan seperti itu yang kami

lakukan, hanya di pesisir, modal kami cuma hand phone, komputer,

dan modem. Menggalang kekuatan warga sewilayah Kulon Progo saja

tidak akan terjadi, bukan karena kami tidak mau berbagi nasib, tetapi

sedulur-sedulur kami di utara lebih nyaman ditindas daripada

memperjuangkan nasibnya yang senasib dengan kami. PAGUYUBAN

justru diuntungkan dengan adanya JLS yang macet di pesisir ini. Kami

ini sekecil pasir di pesisir ini, terlalu kecil dan tak berarti, tetapi

sebutir pasir itu menyatakan keberadaannya dengan menjadi klilip,

entah klilip-nya Pemimpin Swapraja atau ADB, yang jelas orang yang

kelilipan tidak dapat menyingkirkan klilip-nya seorang diri.”

4.4.2. Aktor-aktor yang berkonflik

1. Pemerintah

Konflik SDA di Kabupaten Kulon Progo melibatkan Pemerintah Pusat di

aras nasional dan Pemerintah Daerah di aras lokal. Pemerintah pusat yang

dimaksud adalah 1) Kementrian ESDM yang berperan sebagai pemegang kontrak

karya dengan swasta, 2) Kementrian PU yang berperan sebagai penyelaras

penataan ruang propinsi dengan penataan ruang nasional, 3) Kementrian Dalam

Negeri yang berperan sebagai pengambil keputusan atas kesahihan RTRWP DIY

2009-2029, dan 4) Kementrian Lingkungan Hidup yang berperan sebagai instansi

pusat yang bertanggungjawab atas proses kebijakan lingkungan.

Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah 1) Pemda Kabupaten Kulon

Progo yang berperan sebagai pemberi Ijin Kuasa Pertambangan yang dimohonkan                                                             107 Catatan Harian Penelitian, Proses Politik Kebijakan, 20 Mei 2010, TJ (32)

Page 124: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

102  

  

oleh swasta. 2) Pemda Propinsi DIY berperan sebagai instansi penyusun RTRWP

dan sebagai instansi yang bertanggungjawab untuk menerbitkan keputusan

kelayakan AMDAL, RTRWP akan menjadi acuan bagi penataan ruang kabupaten

dan KA ANDAL rencana pertambangan.

2. Masyarakat

Masyarakat berperan sebagai pihak yang menanggung dampak langsung

secara materi dan imateri atas kebijakan pertambangan di setiap aras tersebut.

3. Korporasi

Korporasi berperan sebagai investor, penanggungjawab operasional

pertambangan, dan pemrakarsa AMDAL, hal ini telah dijelaskan pada bagian

Proses Politik Kebijakan SDA.

4. Lembaga Swapraja

Lembaga swapraja berperan sebagai penjamin kepastian hukum atas tanah

swapraja melalui RUUK dan pemilik saham PT JM, hal ini telah dijelaskan pada

bagian Struktur Penguasaan SDA dan Proses Politik Kebijakan SDA.

4.4.3. Materi konflik

1. Agraria

Materi pokok konflik SDA di lokasi penelitian adalah ketidakpastian hukum

atas struktur penguasaan SDA, telah dijelaskan secara rinci ada pada bagian

Struktur Penguasaan SDA.

2. Proyek

Mekanisme kontrak karya yang ditempuh oleh pemerintah RI dengan

Korporasi menempatkan Pemerintah Pusat sebagai aktor dominan yang

diuntungkan secara langsung dari proyek pertambangan dan Pemerintah Daerah

sebagai aktor subordinat yang menjamin legalisasi operasional proyek di

lapangan. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan UU No 11 Tahun 1967

sebagai dasar hukum Kontrak Karya.

Mekanisme kontrak karya yang dilakukan dalam konteks desentralisasi akan

menempatkan bagi pemerintah daerah sebagai penanggungjawab utama dampak

proyek. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan UU No 32 Tahun 2004

dan UU No 32 Tahun 2009. Ketimpangan dalam distribusi keuntungan dan risiko

Page 125: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

103  

  

antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan kecil terjadi apabila proyek

tersebut mengacu pada UU No 4 Tahun 2009.

3. Penataan Ruang

Penataan ruang menjadi materi konfliktual dalam hal 1) substansi, yaitu

perubahan status kawasan yang berdampak konflik sosial, dan 2) prosedur, yaitu

ketiadaan keterlibatan masyarakat dan DPRD dalam penyusunan RTRWP DIY.

Materi konfliktual dalam RTRWP DIY telah dijelaskan pada bagian Proses Politik

Kebijakan SDA. Ketidakpercayaan masyarakat di lokasi penelitian terhadap

pemerintah dan penyelenggaraan negara tumbuh sebagai akibat dari pelanggaran-

pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah,

sebagaimana diungkapkan oleh KN (50)108:

“Kami akan sikapi dengan berkirim surat pada Presiden dan seluruh

instansi pemerintah juga non pemerintah. Rekaman video [sosialisasi

dan konsolidasi yang dilakukan oleh PT JM dan lembaga swapraja

kepada militer, akademisi, organisasi masyarakat dan mahasiswa, dan

perangkat desa pada 2007-2008 dan penyerangan serta pembakaran

terhadap kampong-kampung di area konsesi pertambangan pada 2008]

itu akan kami kirimkan ke KOMNAS HAM. Kami akan

mengungkapkan bukti dan memberi peringatan, jika proyek ini masih

saja diteruskan kami tidak akan percaya pada penyelenggaraan negara

ini. Merekalah yang makar, bukan kami.”

dan sebagaimana diungkapkan oleh PN (45):

“Sebenarnya, sebelum kebacut (terlanjur), pemerintah bisa mengganti

kebijakannya itu. Pemerintahlah yang berkuasa untuk membatalkan

agenda pembangunan, saya yakin jika pemerintah mau rembug ulang

untuk mencari proyek lain yang mewadahi kepentingan warga, warga

akan menyambut baik. Tentu saja syaratnya ya bukan pertambangan.

Pariwisata pertanian, desa wisata, pengolahan hasil pertanian, atau

apapun itu yang mendukung perkembangan masyarakat selama ini.

Dan modelnya jangan seperti maling (pencuri) gitu, tidak perlu                                                             108 Catatan Harian Relasi Kekuasaan 20 April 2010, KN (50).

Page 126: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

104  

  

sembunyi-sembunyi dan menggunakan preman. Manungsa iku duwe

utek lan ati, iso mikir lan ngrasa, paringan Gusti iku kudu dienggo

ben ora mudhun drajate dadi setan (manusia itu punya otak dan hati,

dapat berpikir dan merasa, karunia Tuhan itu harus digunakan agar

tidak turun derajatnya menjadi setan).”

4. Kebijakan Lingkungan

Kebijakan lingkungan menjadi materi konfliktual dalam hal 1) wacana

otoritas, yaitu antara AMDAL sebagai wilayah ilmiah yang dianggap netral atau

wilayah politik, dan 2) wacana politis, yaitu antara AMDAL sebagai bagian dari

pelestarian lingkungan atau AMDAL sebagai bagian dari penetrasi modal

ekstraktif.

4.4.4. Arena konflik

1. Hukum

Hukum menjadi arena konflik baik menurut tinjauan aras, aktor, maupun

materi konflik. Hukum adalah produk politik. Narasi produk hukum adalah bentuk

kekuasaan yang absolut dalam sistem kekuasaan modern. Kerangka kesadaran dan

kepentingan pengambil kebijakan tertuang dalam narasi produk hukum. Dalam

konteks penelitian ini, perubahan arah ekosistem sangat tergantung dari

kepentingan ekonomi politik dari instansi yang bertanggungjawab dalam

memutuskan kelayakan dokumen AMDAL.

2. Politik

Politik menjadi arena bagi 1) kontrol rule of the game yang mengarahkan

proses menjadi legitimate, 2) kesahihan klaim atas SDA , 3) celah untuk

melegitimasi kepentingan.

3. Ekonomi

Ekonomi menjadi arena yang diperebutkan dalam kontestasi mode of

production, dalam hal ini pertambangan vis a vis pertanian.

4. Sosial dan Budaya

Sosial menjadi arena bagi kontestasi legitimasi kepentingan atas klaim

penguasaan SDA, tatanan sistem (social order), dan keadilan. Kebudayaan

Page 127: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

105  

  

menjadi arena bagi kontestasi antara ekosistem bagi perkembangan industri

ekstraktif atau ekosistem sebagai bagian perubahan sosial dan kebudayaan.

4.4.5. Eksistensi dan Dinamika Konflik

A. Eksistensi Konflik

1. Manifest, konflik bersifat manifest ketika konflik tersebut mengemuka.

2. Laten, onflik bersifat laten ketika konflik tersebut tersembunyi.

B. Dinamika konflik

1. Temporal, konflik bersifat temporal ketika terhenti sementara waktu.

2. Perennial, konflik bersifat perennial ketika berlangsung terus-menerus

Dimensi immaterial yang menjadi akar dari konflik-konflik SDA di lokasi

penelitian adalah bentuk kesadaran atas SDA dan lingkungan, yaitu: 1) SDA dan

lingkungan diperlakukan sebagai komoditas bagi ekonomi ekstraktif (wacana

pemerintah dan swasta) atau komoditas bagi ekonomi ekologis (wacana

masyarakat), 2) SDA dan lingkungan dinilai potensinya bagi produksi ekonomi an

sich (mode of production) atau bagi perubahan sosial dan budaya suatu

masyarakat, dan 3) SDA dan lingkungan dimaknai secara sektoral (barang dan

jasa) atau integral. Bentuk kesadaran terhadap SDA dan lingkungan menentukan

bentuk-bentuk pengelolaan terhadapnya.

Dimensi material yang menjadi akar dari konflik-konflik tersebut adalah 1)

Agraria, yaitu ketidakpastian hukum dalam struktur penguasaan SDA, 2)

Desentralisasi yang memungkinkan penetrasi kapital dari taraf global ke taraf

lokal secara leluasa, 3) Ekonomi politik internasional yang masuk melalui narasi

kebijakan, dan 4) Ketimpangan kekuasaan antara pemerintah dan korporasi

dengan masyarakat dalam menentukan struktur penguasaan SDA, politik

kebijakan SDA, dan relasi kekuasaan atas SDA .

Menurut Dahrendorf, masyarakat mempunyai dua wajah, yaitu konflik dan

konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa ada konsensus sebelumnya. Konsep

konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan yang dipaksakan,

bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori fungsionalisme. Dengan

Page 128: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

106  

  

demikian, posisi sekelompok orang dalam struktur sosial menentukan otoritas

terhadap kelompok lainnya.

Bentuk-bentuk konsensus tersebut adalah 1) UU No 5 tahun 1960 yang

mengatur struktur agraria, 2) demokratisasi yang dijanjikan oleh sistem politik

OTDA, dan 3) kesetaraan relasi kekuasaan antaraktor pembangunan. Konflik

muncul dari konsensus yang tidak diselenggarakan, dalam konteks pesisir Kulon

Progo adalah 1) kemunculan status PAG dalam struktur agraria, 2) pengabaian

kepentingan dan peran masyarakat dalam sistem politik OTDA, dan 3)

ketidaksetaraan relasi kekuasaan yang difasilitasi oleh peraturan perundang-

undangan, misalnya pasal 20 PP No 27 Tahun 1999 tentang AMDAL, ketiganya

merupakan konsensus tandingan bagi konsensus awal. Dalam hal ini, posisi

Pemda dan swasta adalah subordinat terhadap negara, dan posisi masyarakat

adalah subordinat terhadap Pemda dan swasta. Peraturan perundangan nasional

merupakan bentuk konsensus yang dipaksakan bagi Pemda dan swasta; sehingga

Pemda dan swasta menggunakan otoritasnya untuk mengubah kebijakan di tingkat

lokal (AMDAL, RUUK, dan Perda No 2 Tahun 2010), dan kebijakan Pemda

merupakan bentuk konsensus yang dipaksakan bagi masyarakat; sehingga

masyarakat menggunakan otoritasnya untuk melawan kebijakan di tingkat lokal.

Dimensi konflik-konflik SDA di lokasi penelitian meluas dari konflik ekonomi-

ekologis menjadi konflik sosial dan politik.

Ketimpangan kekuasaan melahirkan perbedaan daya masing-masing aktor

untuk menentukan arah perubahan ekosistem; dalam hal ini, pemerintah dan

swasta lebih berdaya untuk menentukan perubahan ekosistem dan sosial daripada

masyarakat. Ketimpangan kekuasaan juga memungkinkan ketiadaan keterbukaan

informasi oleh pemerintah dan swasta yang memengaruhi kepercayaan

masyarakat terhadap tujuan-tujuan positif dari kebijakan pertambangan pasir besi,

contohnya adalah sosialisasi dan konsolidasi dengan kelompok masyarakat yang

tidak terkena dampak. Kepercayaan adalah modal utama bagi penyelesaian

konflik yang menjamin perimbangan kepentingan dan kekuasaan atas SDA di

pesisir Kulon Progo.

Page 129: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

107  

  

4.4.6. Ikhtisar

Konflik pertambangan pasir besi di Kabupaten Kulon Progo tidak dapat

dimaknai secara prosedural, misalnya konflik dipahami sebagai akibat

penyimpangan idealisme peraturan dengan pelaksanaan di lapangan, akan tetapi

konflik bersumber dari hal mendasar yang belum selesai di tingkat peraturan

perundangan, yaitu bentuk kesadaran terhadap SDA dan lingkungan dan

ketimpangan kekuasaan.

Governmentality berada pada rejim kebenaran yang mengukuhkan sistem

pengetahuan dan kesadaran terhadap lingkungan sebagai SDA. Kesadaran bahwa

lingkungan sebagai SDA menempatkan alam sebagai komoditas barang dan jasa,

komoditisasi adalah bagian utama dari mode of production selain tenaga kerja.

Akibatnya, alam sebagai unsur dalam perubahan sosial dan kebudayaan menjadi

terabaikan.

Sistem pengetahuan, baik itu berupa bangunan pengetahuan (the body of

knowledge) atas SDA, rejim kebenaran, paradigma, maupun keyakinan

sesungguhnya merupakan bentuk lain dari kekuasaan. Suatu sistem pengetahuan

dapat beralih menjadi ideologi ketika rejim kebenaran terhadapnya selalu

dikukuhkan. Ideologi pembangunan dikukuhkan melalui sistem pengetahuan

positivistik dan ekonomi politik kapitalistik. Dalam konteks penelitian ini,

Modernisasi Ekologi berperan sebagai alat pengukuh rejim kebenaran dari

ideologi pembangunan dengan bentuk pembangunan berkelanjutan.

Gagasan pembangunan berkelanjutan mengasumsikan bahwa negara, rakyat,

dan pasar berada dalam kesetaraan kekuasaan dalam mewujudkan sinergisitas

pembangunan ekonomi, sosial, dan ekologi. Pembangunan berkelanjutan tidak

meninggalkan logika trickle down effect dalam pemerataan pertumbuhan.

Pembangunan berkelanjutan merupakan varian dari developmentalisme yang lebih

ramah dan sesuai dengan sistem desentralisasi. Desentralisasi lahir dari

Washington Consensus yang dimunculkan bukan tanpa agenda ekonomi politik

tertentu. Desentralisasi menyediakan ruang bagi akumulasi modal di tingkat lokal

oleh aktor global, yang mekanisme pengelolaan risikonya selaras dengan

modernisasi ekologi.

Page 130: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

108  

  

Mol dan Spaargaren (2000) menyatakan bahwa penyelesaian terbaik bagi

masalah–masalah lingkungan adalah melalui teknologi dan industrialisasi. Fisher

dan Freudenburg (2001) mengemukakan bahwa ukuran yang digunakan dalam

Teori Modernisasi Ekologi dalam mendefinisikan peningkatan lingkungan

(environmental improvement) adalah kelayakan secara ekonomis (economically

feasible) dan kelayakan secara politis (politically feasible).

Kritik terhadap Teori Modernisasi Ekologi berlangsung dari luar dan dari

dalam teori itu sendiri. Dari luar teori tersebut, Buttel (2000) cit. Fisher dan

Freudenburg (2001) menyarankan bahwa Modernisasi Ekologi perlu dihubungkan

dengan teori perubahan sosial dan teori sejarah pembangunan agar terbangun

teori yang lebih utuh. Beck (2005) dalam Risk Society menawarkan Reflexive

Modernization sebagai tandingan bagi dominansi Modernisasi Ekologi yang

dinilai abai terhadap pemicu-pemicu terbentuknya masyarakat berisiko. Kritik dari

dalam teori tersebut dibangun oleh Berger et al. (2001) yang menggunakan

konsep Govermentality Foucault dalam melihat kekuasaan sebagai faktor penting

yang tidak tersentuh oleh Teori Modernisasi Ekologi dan Christoff (1996) yang

menawarkan Strong Ecological Modernization sebagai alternatif bagi Weak

Ecological Modernization.

Page 131: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

109  

  

Tabel 10. Struktur Konflik SDA Di Lokasi Penelitian

Aras Aktor Materi Arena Sifat Dinamika

Kekuasaan

Pemerintah Pusat dengan Swapraja Struktur Agraria Hukum Laten Perennial

Pemerintah Pusat dengan Masyarakat* Kontrak Karya Hukum Manifest Perennial

Pemerintah Daerah dengan Masyarakat* Ijin Kuasa Pertambangan Politik dan Ekonomi Manifest Perennial

Pemerintah Daerah dengan LSM Partisipasi publik Politik Manifest Temporal

Masyarakat* dengan Korporasi Proyek Pertambangan Ekonomi dan Sosial Manifest Perennial

LSM dengan Korporasi Proyek Pertambangan Sosial Manifest Perennial

Kebijakan

Pemerintah Pusat dengan Masyarakat* Penataan Ruang Politik dan Hukum Manifest Perennial

Pemerintah Daerah dengan Masyarakat* AMDAL Politik dan Hukum Manifest Perennial

Swapraja dengan Masyarakat* RUUK DIY Hukum Laten Perennial

LSM dengan Korporasi AMDAL Hukum Manifest Perennial

Komunitas

Pemerintah Daerah dengan Masyarakat* Penataan Ruang Hukum Manifest

Swapraja dengan Masyarakat* Struktur Agraria Sosial dan Budaya Laten Perennial

Masyarakat* dengan Korporasi Proyek Pertambangan Sosial Manifest Perennial

Masyarakat* dengan LSM Isu Ekonomi Politik Sosial Laten Temporal

Masyarakat* dengan Masyarakat** Proyek Pertambangan Sosial Laten Temporal

Keterangan: Laten : Konflik tersembunyi Manifest : Konflik mengemuka

Perennial : Konflik masih berlangsung Temporal : Konflik terhenti sementara

Masyarakat* : Masyarakat yang terkena dampak langsung Masyarakat** : Masyarakat yang tidak terkena dampak

Page 132: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

110  

  

Tabel 11. Perbedaan Perspektif dalam Teori Modernisasi Ekologi

Modernisasi ekologi yang lemah

(Weak Ecological Modernization)

Modernisasi ekologi yang kuat

(Strong Ecological Modernization)

Ekonomistik Ekologis

Teknologis Kelembagaan dan Sistemik

Instrumental Komunikatif

Teknokartik, Neo-korporatis, Tertutup Terbuka (Deliberative Democratic)

Nasional Internasional

Hegemonik, Penyeragaman Penganekaragaman (Diversiying)

Sumber: Christoff (1996,p490) cit. Berger et al. (2001, p 61)

Page 133: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

111  

  

4.5. Relasi Kekuasaan atas SDA

Relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian dapat dipetakan menurut 1)

aktor, yaitu pemerintah, korporasi, lembaga swapraja, LSM dan masyarakat

terdampak, 2) peran aktor yang terbentuk menurut kepentingan masing-masing,

dan 3) sifat hubungan interaksi aktor-aktor tersebut, yaitu mutul (saling

menguntungkan), konfliktual (saling menegasikan), dan netral. Relasi kekuasaan

atas SDA disajikan dalam Tabel 12.

4.5.1. Aktor-aktor

Aktor-aktor yang terlibat dalam pembentukan relasi kekuasaan atas SDA di

lokasi penelitian adalah pemerintah (pusat dan daerah), lembaga swapraja,

korporasi, masyarakat, dan LSM. Semua aktor tersebut berinteraksi secara aktif.

Relasi yang terbangun interaktor sesungguhnya tidak konsisten secara

diametris, bergantung pada materi yang sedang dimainkan, misalkan dalam materi

ketidakpastian hukum SDA pemerintah pusat dan lembaga swapraja berelasi

secara konfliktual, namun dalam hal kontrak karya keduanya berelasi secara

mutual. Agar pembacaan terhadap relasi kekuasaan atas SDA di lokasi penelitian

menjadi lebih sederhana, relasi-relasi yang dijelaskan dalam bagian ini dibatasi

dalam relasi-relasi yang terbangun untuk mewujudkan pertambangan pasir besi.

Pemerintah pusat adalah insitusi yang mempunyai otoritas dalam

mengendalikan arah kebijakan nasional melalui produk hukum nasional, misalkan

penataan ruang (UU No 26 Tahun 2007); struktur penguasaan SDA (UU No 5

tahun 1960); pengendalian dampak lingkungan (UU No 32 Tahun 2009); dan

mekanisme penanaman modal asing (UU No 4 Tahun 2009).

Pemerintah daerah adalah institusi yang mempunyai otoritas dalam

mengendalikan arah kebijakan daerah melalui produk hukum daerah, misalkan

penataan ruang (Perda RTRWP DIY 2009-2029), penerbitan keputusan kelayakan

atas hasil studi AMDAL (Keputusan Gubernur), dan ijin usaha (Keputusan

Bupati).

Page 134: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

112  

  

Lembaga swapraja mempunyai otoritas dalam menentukan stabilitas tatanan

sosial (social order) melalui sistem politik daerah istimewa (RUUK DIY) dan

penguasaan struktur agrarian (Rijksblad Swapraja 1918), dan dukungan sosial atas

wilayah kekuasaannya (magersari).

Korporasi, baik lokal maupun internasional, mempunyai otoritas dalam

menentukan bentuk pengelolaan SDA melalui penanaman modal (kontrak karya),

perubahan struktur dan fungsi ekosistem (proyek pertambangan), dan kelayakan

ekonomi lingkungan (AMDAL).

Lembaga Swadaya Masyarakat mempunyai otoritas dalam mengawal proses

kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah terkait dengan proyek melalui

pengawasan kebijakan publik (Perda RTRWP DIY 2009-2029).

Masyarakat mempunyai otoritas dalam membangun jaringan sosial baik itu

interlokal (gerakan akar rumput di sepanjang pesisir Jawa selatan), nasional

(KOMNAS HAM), dan internasional (Australian Solidarity for Kulon Progo)

untuk menyikapi kebijakan pemerintah daerah secara politis.

4.5.2. Peran Aktor

Peran yang diambil oleh masing-masing aktor di lokasi penelitian berbeda-

beda, bergantung pada posisi politiknya dalam hubungan tata negara. Pemerintah

berperan sebagai pengambil kebijakan dalam dimensi legal formal. Korporasi

berperan sebagai penanam modal dan operasionalisasi proyek industri. Lembaga

swapraja berperan sebagai penjamin stabilitas sistem politik dan struktur

penguasaan SDA setempat. LSM berperan sebagai pengawas kebijakan publik,

dan masyarakat berperan sebagai korban dari kebijakan pemerintah dan kostelasi

ekonomi politik yang terbangun.

4.5.3. Sifat hubungan interaktor

Pemerintah daerah dan korporasi berelasi secara mutual melalui penerbitan

ijin kuasa pertambangan. Pemerintah daerah dan lembaga swapraja berelasi secara

mutual melalui pemeliharaan struktur penguasaan SDA dan sistem politik

keistimewaan. Pemerintah dan LSM berelasi secara netral melalui pengawasan

Page 135: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

113  

  

Penataan Ruang, dan berelasi secara konfliktual dalam hal perumusan bentuk

kebijakan SDA. Pemerintah dan masyarakat berelasi secara konfliktual melalui

perumusan bentuk kebijakan SDA dan proses-prosesnya.

Korporasi dan lembaga swapraja berelasi secara mutual melalui kepemilikan

saham. Korporasi dan Masyarakat serta LSM berelasi secara konfliktual melalui

proyek pertambangan.

LSM dan lembaga swapraja berelasi secara netral dalam hal struktur penguasaan

SDA dan sistem politik.Masyarakat dan lembaga swapraja berelasi secara

konfliktual melalui struktur penguasaan SDA. Masyarakat dan LSM berelasi

secara netral dalam hal kebijakan SDA, dan berelasi secara konfliktual dalam hal

komitmen penolakan kebijakan, sebagaimana diungkapkan oleh BT (45), KN

(50), SR (40), dan TJ (32) berturut-turut sebagai berikut109:

BT (45)

“Sebenarnya kalau dikatakan antipati ya tidak, tetapi saya ini merasa

aneh saja, pernah ID dan WL berkunjung ke Paguyuban menawarkan

program, tetapi program itu tidak menjawab kebutuhan masyarakat, ya

jelas warga tidak mau. Itu yang terjadi juga pada LSM-LSM lain yang

mau beraktivitas di pesisir ini.”

KN(50):

“Selama ini, tanpa bantuan LSM, warga mampu membuat jaringan

sendiri dengan berbagai pihak. Keterlibatan berbagai pihak terkadang

juga tidak menguntungkan bagi PAGUYUBAN, hal itu kami sudah

belajar tahun lalu”

SR(40):

Saya ini sebenarnya ada pertanyaan pada siapapun. Kelahiran LSM itu

dari mana mulanya? Dan mengapa terkadang lucu, misalkan, sebuah

LSM didanai oleh Bank Dunia, terus apakah LSM itu akan                                                             109 Catatan Harian Penelitian Relasi Kekuasaan atas SDA, 10 Mei2010 , BT(45), KN (50), dan TJ (32).

Page 136: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

114  

  

menjalankan program yang menentang kebijakan penyandang

dananya? Apa rakyat tidak bisa bergerak sendiri dengan kekuatannya?

Biarkan rakyat belajar dan tidak menjadi aneh. Kok aneh? Ya iya,

kalau seorang buruh tani yang tidak pernah makan sekolahan dan

mengunyah isi buku bisa mengucapkan kapitalisme, neoliberalisme,

good governance, demokratisasi, atau partisipatoris itukan malah

diragukan kemerdekaannya sebagai rakyat?”

TJ (32):

“Lihat yang di luar Jawa, LSM itu menciptakan kemandirian atau

ketergantungan? Kalau LSM bukan bagian dari penyelesaian maka

LSM itu menjadi bagian dari persoalan. Apa benar para aktivis itu

mengimani bahwa LSM adalah nabinya perubahan? Kalau iya, maka

maju mundurnya masyarakat itu dikendalikan oleh penyandang dana

LSM-LSM itu, bukan tidak mungkin lho IM Ltd. mendanai LSM yang

akan membela warga pesisir. Sudahlah, biar mereka mau berkata apa,

terserah. Kami punya prinsip, kalau Anda datang kemari untuk

menjadi dewa penolong maka pergi saja, tetapi kalau Anda datang

kemari untuk menjadikan masalah kami sebagai masalah Anda , maka

mari duduk bersama, kita cari jalan keluarnya. Saya tahu nasib kami

mahal untuk dijual ke manapun, bahkan sekadar untuk meraih gelar

master ilmu lingkungan. Iya kan?”

4.5.4. Ikhtisar

Governmentality berada pada bentuk kesadaran terhadap pembangunan

berkelanjutan, desentralisasi, dan pemaknaan konflik SDA. Pembangunan

berkelanjutan baik secara teoritis maupun praktik adalah konsep yang sedang

berkembang untuk menemukan bentuknya yang adaptif terhadap perkembangan

masalah lingkungan yang multidimensi. Secara teoritik, pembangunan

berkelanjutan di Indonesia merupakan konsep pembangunan yang bertumpu pada

Modernisasi Ekologi yang lemah (mengacu kritik Christoff). Secara praktik,

pembangunan berkelanjutan di Indonesia masih mengutamakan pertumbuhan

Page 137: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

115  

  

ekonomi (developmentalism) daripada keseimbangan pertumbuhan antara

ekonomi, eklogi, dan sosial.

Desentralisasi baik secara teoritik maupun praktik adalah konsep yang

ditujukan untuk liberalisasi ekonomi. Secara teoritik, desentralisasi di Indonesia

memungkinkan karena pengambilan keputusan terhadap bentuk-bentuk

pengelolaan SDA berada di tingkat kabupaten. Secara praktik, sejarah

desentralisasi di Indonesia tidak lepas dari fenomena euforia reformasi yang

memaknai desentralisasi sebagai kedaulatan lokal.

Sistem politik di Propinsi DIY tidak mengacu UU No 32 Tahun 2004 secara

sepenuhnya, dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung. Di DIY berlaku

sistem penetapan bukan pemilihan, artinya Pemimpin Swapraja sekaligus

menjabat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Posisi Pemimpin Swapraja

sebagai kekuatan politik kenegaraan (Gubernur) sekaligus pemimpin kebudayaan

(Raja) mereduksi fungsi kontrol terhadap relasi kekuasaan atas SDA ketika

kepentingan dua kelembagaan itu sinergi.

Konflik-konflik SDA dimaknai oleh para pihak secara berbeda-beda.

Pemerintah dan Korporasi memaknai konflik sebatas masalah prosedural, yaitu

perbedaan persepsi yang dapat diselesaikan melalui kompensasi. Masyarakat

memaknai konflik sebagai ruang kekuasaan yang akan menentukan

keberlangsungan hidup mereka dan keutuhan fungsi ekosistem. Dalam konteks

penelitian ini, perbedaan pemaknaan secara mendasar tersebut meniadakan upaya

win-win solution karena prasyarat tidak terpenuhi, yaitu: 1) Kepercayaan, 2)

Keterbukaan, 3) Kesetaraan, dan 4) Kepastian Hukum.

Page 138: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

116  

  

Tabel 12. Relasi Kekuasaan atas SDA Di Lokasi Penelitian

Peran dan Sifat Hubungan Interaksi

AKTOR Pemerintah Korporasi Masyarakat terdampak

Lembaga Swapraja LSM

Pemerintah - - - - -

Korporasi

Ijin kuasa

pertambangan

(Mutual)

- - - -

Masyarakat

terdampak

Kebijakan

SDA dan

prosesnya

(Konfliktual)

Proyek

pertambangan

(Konfliktual)

- - -

Lembaga

Swapraja

Struktur

Agraria dan

Sistem Politik

Daerah

Istimewa

(Mutual)

Penguasaan

investasi

(Mutual)

Struktur

Agraria

(Konfliktual)

- -

LSM

Kebijakan

SDA dan

prosesnya

(Konfliktual)

Pengawasan

RTRW

(Netral)

Proyek

pertambangan

(Konfliktual)

Proses

penerbitan ijin

lingkungan

(Netral

Pengawasan

kebijakan

SDA

(Netral)

Komitmen

penolakan

proyek dan

Struktur

Agraria

Empirik

(Konfliktual)

Sistem

politik

Daerah

Istimewa

dan

Struktur

Agraria

(Netral)

-

Page 139: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

117  

  

4.6. Keterbatasan Metodologi

Penelitian ekonomi politik SDA mempunyai implikasi bagi studi kebijakan

dan manajemen SDA karena mengamati kerangka pemikiran suatu kebijakan

terhadap SDA. Penelitian ekonomi politik SDA secara kualitatif dengan

penggalian informasi secara intersubyektif (menempatkan informan sebagai

subyek bukan obyek ) dan metode analisis perluasan studi kasus (extended case

method) (Buroway, 1998) merupakan penelitian yang belum lazim dilakukan di

wilayah studi kebijakan dan kelembagaan SDA. Pengamatan dalam penelitian ini

adalah 1) proses kebijakan, 2) kerangka pemikiran suatu kebijakan, 3) sejarah dan

substansi kebijakan, dan 4) relasi suatu kebijakan terhadap konstelasi ekonomi

politik dominan. Metodologi ini akan melengkapi informasi penelitian studi

kebijakan SDA dan Lingkungan yang lazim dilakukan dengan pendekatan

kuantitatif (AHP, ASWOT, MDS).

Sebagai sebuah pendekatan, penelitian kualitatif intersubyektif ini

mempunyai keterbatasan baik dalam metodologi mapun metode. Secara

metodologi, penelitian ini dibatasi oleh:

1. Positionality

Positionality adalah posisi peneliti di dalam penelitian, termasuk jarak sosial

antara peneliti dengan subyek sumber informasi. Jarak sosial yang relatif sama

terhadap setiap subyek merupakan upaya peneliti untuk menciptakan ruang

netral.

2. Otoritas

Peneliti dibatasi oleh otoritas di luar dirinya untuk menelusuri informasi

lebih jauh karena hambatan-hambatan struktural yang sejak awal sudah melekat,

misalnya adalah peneliti adalah pihak luar dan bukan bagian dari lembaga yang

diteliti.

3. Informasi pembanding

Keberadaan informasi pembanding penting untuk mengetahui alur

perdebatan teoritis atas suatu topik penelitian dan untuk menyusun pertanyaan-

pertanyaan pokok bagi penelitian selanjutnya. Keterbatasan informasi

Page 140: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

118  

  

pembanding disebabkan oleh kelangkaan penerapan metodologi penelitian yang

serupa.

4. Penerimaan publik

Penelitian kualitatif yang sama sekali tidak mengandalkan kuantifikasi data

sebagai alat analisis merupakan penelitian yang masih jarang diterima dan masih

dianggap memiliki derajat kesahihan yang rendah (dalam arus utama positivisme).

Peneliti pada umumnya memilih pendekatan kuantitatif karena ukuran-ukuran

pasti memberikan efek kepercayaan diri dalam mengambil keputusan. Namun,

keterbatasan penelitian kuantitatif untuk suatu gejala kompleks dan sistemik

adalah pada metode reduksionis (penyeragaman) yang digunakan. Fakta-fakta

yang diabaikan turut berkontribusi dalam membentuk suatu gejala kompleks,

sehingga ketiadaan fakta-fakta heterogen tersebut merupakan sumber kebiasan

data yang tidak terhindarkan.

Secara metode, penelitian ini mempunyai keterbatasan berupa:

1. Ketepatan momentum

Momentum yang tepat penting untuk diketahui oleh peneliti sebelum turun

ke lapangan, karena ketidaktepatan momentum akan berpengaruh pada perolehan

data otentik. Dalam penelitian ini, peneliti menghadapi hal tersebut, sehingga

suatu metode tertentu (di luar kelaziman namun masih dalam etika akademik)

ditempuh untuk memperoleh data otentik.

2. Teknik penelusuran data

Penelusuran data otentik untuk tema konflik merupakan hal yang sulit

karena keselamatan peneliti selama penelitian perlu dijaga. Kesalahan teknik

penelusuran data dapat mengakibatkan peneliti dilibatkan dalam konflik yang

diteliti, atau malah ditempatkan sebagai sumber konflik baru oleh setiap pihak.

3. Analisis Data

Penelitian kualitatif yang tidak mengandalkan kuantifikasi data sebagai alat

analisis mempunyai keterbatasan dalam menetapkan ‘standar pengukuran’.

Penelitian ini menyiasati hal tersebut dengan triangulasi data, terutama kaidah-

kaidah normatif dalam hukum positif sebagai standar yang dimaksud.

Page 141: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

119  

  

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1.KESIMPULAN

Secara khusus dalam rangka menjawab tujuan penelitian, penelitian ini

menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Struktur konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi Kabupaten Kulon

Progo besifat 1) multiaras, yaitu aras kekuasaan; kebijakan; dan komunitas, 2)

multiaktor, yaitu pemerintah; lembaga swapraja; korporasi; masyarakat; dan

LSM, 3) multimateri, yaitu agraria; penataan ruang; kebijakan lingkungan, 4)

multidimensi, yaitu dimensi hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya, 5)

manifest dan laten, yaitu konflik yang mengemuka dan tersembunyi, serta 6)

temporal dan perennial, yaitu berlangsung sementara atau terus-menerus.

Struktur konflik SDA tersebut merupakan hasil dari 1) kontestasi aktor baik itu

berupa kontestasi kepentingan, wacana, mapupun otoritas, 2) relasi kekuasaan

atas SDA multilevel baik itu yang terjalin di wilayah politik, sosial, maupun

budaya, dan 3) sistem politik dan ekonomi politik neoliberal yang berhadapan

langsung dengan eksistensi lokal.

2. Jejaring kekuasaan atas SDA di kawasan pertambangan pasir besi di

Kabupaten Kulon Progo terbentuk melalui artikulasi faktor struktur penguasaan

SDA (agrarian structure), proses politik kebijakan SDA di dalam sistem

politik otonomi daerah, dan struktur konflik SDA. Sifat dari relasi kekuasaan

yang terbentuk adalah konfliktual, mutual dan netral, bergantung pada

kepentingan aktor yang berinteraksi.

3. Konflik SDA di kawasan pertambangan pasir besi di Kulon Progo

berhubungan secara sinergis dengan krisis SDA dan krisis sosial politik. Hal ini

didorong oleh proses politik kebijakan SDA yang tidak partisipatif sejak

semula.

4. Alternatif pengelolaan SDA bagi kawasan pertambangan pasir besi di Kulon

Progo yang relatif adil terhadap kepentingan multipihak sulit terwujud karena

ketiadaan kepercayaan, keterbukaan informasi, dan kesetaraan kekuasaan

interpihak dalam menentukan arah perubahan ekosistem.

Page 142: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

120  

  

Secara umum, penelitian ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut:

1. Political Ecosystem

Perspektif ekonomi politik yang terbangun di lokasi penelitian adalah

perspektif yang dominan dalam pengelolaan ekosistem, yaitu ekosistem

merupakan bagian dari ideologi pembangunan yang diterjemahkan sebagai

pengelolaan (mode of production) atas SDA. Ekosistem di lokasi penelitian

bersifat politis daripada bersifat ekologis. Kemenangan suatu pihak atas pihak lain

dalam mewacanakan makna ekosistem turut menentukan perubahan arah

ekosistem dan merupakan kemenangan dalam mempertahankan hidup.

2. Kekuasaan dan Akses

Kekuasaan atas suatu SDA di lokasi penelitian lebih menentukan

keberhasilan akses suatu pihak daripada klaim hak atasnya. Di lokasi penelitian,

klaim atas SDA adalah hasil dari legitimasi baik itu pada wilayah hukum, sosial,

politik, maupun budaya. Di lokasi penelitian, ketidakpastian hukum karena

ketidakhadiran hak atas SDA dari suatu pihak dapat diselesaikan dengan

kekuasaan untuk menghadirkan hak tersebut melalui penciptaan legitimasi.

Ketidakpastian dipelihara oleh pemerintah dan lembaga swapraja untuk

mempertahankan tatanan sosial, dan dipelihara oleh masyarakat untuk

mempertahankan kelangsungan hidup, artinya penyelesaian konflik dengan logika

zero sum game dan perangkat kekuasaan pemerintah merupakan pengakhiran

akses masyarakat atas SDA.

3. Konsepsi Ekosistem

Konsepsi tentang ekosistem di lokasi penelitian tidak berdiri sendiri dalam

ruang pengetahuan ekologi, melainkan terkait dengan relasi kekuasaan atas SDA.

Kelahiran suatu narasi ekologi yang diterjemahkan sebagai produk hukum terkait

dengan sejarah ekonomi politik. Narasi ekologi di aras nasional lahir sebagai

bagian dari upaya desentralisasi, dan desentralisasi merupakan upaya menuju

liberalisasi ekonomi. Peralihan kewenangan dalam mengambil keputusan atas

kelayakan lingkungan suatu usaha di tingkat daerah dari Menteri (UU No 23

Tahun 1997) kepada Gubernur (PP No 27 Tahun 1999 dan UU No 32 Tahun

2009) merupakan bukti campur tangan ekonomi politik dalam membentuk

konsepsi ekosistem. Hal yang khas terjadi di lokasi penelitian adalah posisi

Page 143: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

121  

  

pemrakrasa dan instansi yang bertanggungjawab (menurut definisi dalam PP No

27 Tahun 1999) secara fungsional sulit dipisahkan, dengan demikian kebijakan

lingkungan justru menjadi peluang bagi upaya-upaya marjinalisasi lingkungan

melalui industri ekstraktif.

4. Analisis Konflik

Konflik SDA di Kabupaten Kulon Progo merupakan hasil interaksi antara

akar konflik dan arena konflik. Akar konflik SDA tersebut bersifat material, yaitu

berbasis agraria dan OTDA, dan immaterial, yaitu ekonomi politik dan

ketidakadilan. Arena konflik dari konflik SDA tersebut adalah struktur

penguasaan SDA, sistem politik, dan kultur feodal. Konflik-konflik SDA di lokasi

penelitian tidak dapat dimaknai sebagai konflik ekologis yang berdiri sendiri,

tetapi merupakan konflik yang sistemik, holistik, dan semakin kronis seriring

dengan tekanan-tekanan politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

5.2.SARAN

1. Perubahan sistem politik dari sistem aristokratis menjadi sistem yang

demokratis di tingkat lokal penting untuk terjadi bagi keterbukaan dan

kesetaraan kekuasaan atas SDA.

2. Pemaknaan ulang terhadap ekosistem dalam fungsi ekosistem sebagai agen

perubahan sosial dan budaya penting untuk ada.

3. Penelitian terhadap bentuk pengelolaan SDA di lain tempat dengan perbedaan

latarbelakang sosial dan budaya perlu dilakukan sebagai pembanding untuk

mengetahui pola-pola pengelolaan SDA di Indonesia.

4. Penelitian mengenai sistem pengetahuan, terkait dengan produksi

pengetahuan ekologi, penting untuk dilakukan.

Page 144: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

122  

  

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2007. Laporan Baseline Survey: Optimalisasi Lahan Pasir Pantai Bugel

Kulon Progo untuk Pengembagan Tanaman Hortikultura dengan

Teknologi Inovatif Berwawasan Agribisnis. Fakultas Pertanian UGM,

Yogyakarta

_______, 1940. Surat Perjanjian antara Pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta Tertanggal 18 Maret 1940

_______.2008. Application for Contract of Works from The Government of the

Republic of Indonesia by PT JM and IM Limited.

________, 2008.. Industri Baja Terpadu Kulon Progo Jogyakarta: Aktivitas

Pertambangan Berwawasan Lingkungan, dari Pasir Besi ke Pig Iron.

Materi presentasi

Buroway, M. 1998. The extended case method. Sosiological Theory 16 (1), 4-33.

Blaikie, P. 1985. The Polical Economy of Soil Erosion. Longman.New York

Bryant, R. L. 1998. Power, knowledge, and political ecology in the third world: a

review. Progress in Physical Geography , 22 (1), 79-94.

Bryant, R.L. and Bailey, S.2000. Third World Political Ecology. Routledge.

London

Berger, G., A.Flynn, F. Hines, and R.Johns. 2001. Ecological Modernization as a

Basis for Environmental Policy: Current Environmental Discourse and

Policy and The Implication on Environmental Suply Chain Management.

Innovation, Vol 14 (1). 55-72

Beck, U.. 2005. Risk Society Towards a New Modenity (Mark Ritter, Translator).

SAGE Publications. London

Dharmawan, A.H. 2007. Dinamika sosio-ekologi pedesaan: perspektif dan

pertautan keilmuan ekologi manusia, sosiologi lingkungan dan ekologi

politik. Sodality Vol 1, No 1, April 2007. Jurnal Transdisiplin Sosiologi,

Komunikasi dan Ekologi Manusia. Departemen Komunikasi dan

Pengembangan Masyarakat IPB, 1-40 .

Page 145: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

123  

  

Darmosugito. 1956. Sedjarah Kota Yogyakarta Dalam Kota Yogyakarta 200

Tahun, 7 Oktober 1756-7 Oktober 1956. Jogjakarta: Panitya Peringatan

Kota Jogjakarta 200 Tahun.

Ellsworth, L.. 2002. A Place in The World: Tenure Security and Community

Livelihoods, a Literature Review. Forest Trends and Ford Foundation.

Escobar, A. 1998. Whose knowledge, whose nature? biodiversity, conservation,

and the political ecology of social movements. Journal of Political

Ecology 5, p 53-82. jpe.library.arizona.edu

FAO. 2002. Land Tenure and Rural Development. Roma

Fisher, D. and William R. Freudenburg. 2001. Insights and Applications,

Ecological Modernization and Its Critics: Assesing The Past and Lookng

Toward The Future. Society and Natural Resources, 14: 701-709

Forsyth, T. 2003. Critical Political Ecology The Politics of Environmental

Science. Routledge. London.

________2008. Political ecology and the epistemology of social justice.

Geoforum 39, pp 756-764

Foucault, M., 1977. Discipline and Punishment, Tavistock, London

Garner, R. 1999. Environmental Politics. MacMillan. London

Geertz, C. 1983. Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia.

Yayasan Obor. Jakarta

Hardiman, Fx.B. 1993. Menuju Masyarakat Komunikatif: Ilmu Masyarakat,

Politik, dan Postmodernisme Menurut Jurgen Habermas. Kanisius.

Yogyakarta

IMF. 1997. Letter of Intent October 17, 1997.

_____, 1998. Letter of Intent January 15, 1998

Iman Rejo, 1996. Laporan Perintis Lingkungan Hidup Gisik Wana Tara Dusun

Bugel Kecamatan Panjatan Kabupaten Kulon Progo Propinsi DI

Yogyakarta. Tanpa Penerbit.

_________, 1999.Teknologi Pertanian dan Agroindustri: Sumur Renteng. tanpa

penerbit, Yogyakarta.

Page 146: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

124  

  

Imawan, R.. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good Governance

Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed). LIPI, AIPI,

Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 40-51

Kartodiharjo, H. Politik Lingkungan dan Kekuasaan. Equinox. Jakarta

Keputusan Presiden No 33 Tahun 1984 Tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UU No 5 Tahun 1960 di Propinsi DIY

Kontan Weekly (2008). No 10 XIII. Amri, Asnil Bambani. “Pembayun: Itu Bukan

Tanah Warga”. Minggu 14 Desember 2008.

Kompas (2008a). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Yang Muda,

Yang Bertani” Jumat, 11 April 2008

__________ (2008b). Arif, A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Berguru

Hidup pada Gumuk Pasir”. Jumat, 11 April 2008

___________ (2008c). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih. “Petani

Berhadapan dengan Kekuasaan” Jumat, 11 April 2008

___________ (2008d). Arif,A., Sri Hartati Samhadi, Maria Hartiningsih.

“Ancaman Kehancuran Pesisir Selatan Kulon Progo” Jumat, 11 April

2008

____________ (2009a). Kristanto, T.A. “Sejarah Panjang Pengaturan Otonomi” .

Jumat, 22 Mei 2009 hal 43 (kolom 1-7)

___________(2009b). Isworo, B. “Kacamata Kuda dan Hancurnya SDA” . Jumat,

22 Mei 2009 hal 42 (kolom 1-7)

____________ (2009c). Sumantri,B.S. “Hubungan Pusat-Daerah: Kewenangan

Tumpang Tindih Menjadi Tidak Produktif”. Jumat, 22 Mei 2009 hal

41:(kolom 1-5)

Li, T. M. 2002. Engaging Simplification: Community-Based Resource

Management (CBNRM) , Market Processes and State Agendas in Upland

Southeast Asia. World Development Vol 30 (2) pp265-283.

_______. 2007. Governmentality. Anthropologica 49 (2) 275-281

________. 2003. Situating resource struggles concepts for empirical analysis.

Economic and Political Weekly, November 29, 2003. Pp 5120-5128

Luthfi, A.N., M. Nazir S., A. Tohari, Dian A.W., dan Diar Candra T. 2009.

Keistimewaan Yogyakarta: Yang Diingat dan Yang Dilupakan. STPN.

Yogyakarta

Page 147: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

125  

  

Mol, A.P.J. and Gert Spaargaren. 2000. Ecological Modernization Theory in

Debate: A Review. Environmental Politics 9 (1) 17-49

Moran, E. F. 2006. People and Nature. Blackwell. Oxford

Mulyono, 2006. Rencana Pembangunan Pabrik Pengolahan Pasir Besi di Kulon

Progo. Diskusi Publik:”Pertambangan Pasir Besi Kulon Progo dan Masa

Depan Aset Bangsa”, di UMY Sabtu, 28 Juni 2008 Yogyakarta

Menteri Dalam Negeri, 2010. Hasil Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY 2009-2029,

tertanggal 16 Februari 2010.

Odum, E. 1971. Fundamentals of Ecology. Saunders. Philadelphia

Poerwokoesoemo, S. 1985. Kadipaten Paku Alaman, Gadjah Mada Univerity

Press, Yogyakarta

Patria, N. dan A. Arief. 1999. Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Peluso, N. L. 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat Penguasaan Sumberdaya dan

Perlawanan di Jawa. Konpahlindo. Jakarta

________, and J.C. Ribot. 2003. A Theory of Access. Rural Sociology 68 (2) , pp

153-181

Praktikno. 2005. Good Governance dan Goernability. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik 8 (3) Maret 2005. p 231-248

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 4 Tahun 1954 Tentang Hak atas Tanah di DIY

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 34 Tahun 1984 Pelaksanaan Berlaku

Sepenuhnya UUU No 5 Tahun 1960 Di Propinsi DIY

Peraturan Daerah Propinsi DIY No 2 Tahun 2010 Tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Propinsi DIY 2009-2010

Rancangan Peraturan Daerah Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi DIY

2009-2029

Ritzer, G. dan D. Goodman. 2003. Teori Sosiologi Modern.(Terjemahan).

MacGrawHill

Robbins, P. (2004). Political Ecology A Critical Introduction. Blacwell. Malden

Roger, S.. 1999. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Insist dan Pustaka Pelajar.

Yogyakarta

Page 148: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

126  

  

Schlager, E. and E. Ostrom. 1992. Property Rights Regimes and Natural

Resources: A Conseptual Analysis, Land Economics 68(3), p 249-262

Setiawan, U. 2004. Menemukan pintu masuk untuk keluar (Relevansi Tap MPR

No 9/MPR/2001, UUPA No 5/1960, dan Keppres 34/2003 bagi

pelaksanaan pembaruan agraria di Indonesia). Jurnal Analisis Sosial Vol

9, 1 April 2004. pp 65-83

Soemarjan, S. 1986. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Shiddieq, D., Tohari, B. Djadmo, D. Kastono, Saparso, Sulakhudin, dan Y.G.

Bulu. 2008. Pertanian Berkelanjutan di Lahan Pasir Pantai Selatan DIY.

Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta

Sitorus, F.M.T. (1998). Penelitian Kualitatif Suatu Pengantar. IPB: Bogor

______ dan Wiradi (1999) “Kata Pengantar” dalam SMP Tjondronegoro.

Sosiologi Agraria: Kumpulan Tulisan Terpilih. AKATIGA. Bandung

Sugiono, M. 1999. Krtitik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia

Ketiga. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Sumarti, T. 2007. Sosiologi Lingkungan Dalam Ekologi Manusia (Suryo

Adiwibowo Ed.) Fakultas Ekologi Manusia IPB, Bogor

Suryo, D. 2004. Penduduk dan PErkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990. The

1st International Conference on Urban History Surabaya, August 23-25

2004.

Surjomihardjo, A. 1989. Penelitian Kota Yogyakarta 1880-1930 Suatu Tinjauan

Historis Perkembangan Sosial. Berita Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

tahun ke-3 No 1.p 17-27.

UU No 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai

Pemerintahan Sendiri di Daerah-Daerah yang Berhak Mengatur dan

Mengurus Rumah Tangganya Sendiri.

UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta

UU No 5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Agraria

UU No 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Pokok-pokok Pertambangan

UU No 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

UU No 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah

Page 149: KONFLIK-KONFLIK SUMBERDAYA ALAM DI KAWASAN … · Pertambangan Pasir Besi : Studi Implikasi Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

127  

  

UU No 4 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah

UU No 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

UU No 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral Batubara

UU No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Vago, S. 1989. Social Change, Prentice Hall

Wasistiono, S. 2005. Desentralisasi, Demokratisasi, dan Pembentukan Good

Governance Dalam Desentralisasi dan OTDA (Syamsudin Haris, Ed).

LIPI, AIPI, Partnership for Governance Reform in Indonesia, p 51-63

Wiradi, G. 2000. Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir. AKATIGA,

SAINS, KPA.

www. wikipedia.org/governmentality diakses 21 Januari 2010.

_________./social_constructionism. diakses 21 Januari 2010

Ya’kub, A. 2004. Agenda Neoliberal menyusup melalui kebijakan agraria di

Indonesia. Jurnal Analisis Sosial Vol 9, 1 April 2004, pp 47-64