strategi penyelesaian konflik kependudukan di …repository.fisip-untirta.ac.id/482/1/strategi...
TRANSCRIPT
1
STRATEGI PENYELESAIAN KONFLIK KEPENDUDUKAN DI KABUPATEN
LAMPUNG SELATAN (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang
Bali Tahun 2012)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial Pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Oleh
VERAYANA SUKMASARI PUTRI
6661112409
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG 2015
2
3
4
5
Kemuliaan terbesar dalam hidup tidak terletak
pada saat kita tidak pernah jatuh, namun tetap
bangkit setiap kali kita terjatuh
~Nelson R. Mandela~
Skripsi ini ku persembahkan untuk orang tuaku tercinta yang selalu
menyayangiku, kakak dan adikku tercinta yang tak pernah henti
merindukanku, untuk calon suamiku tercinta yang selalu sabar
menungguku, dan sahabat-sahabatku yang selalu membuatku tertawa.
6
ABSTRAK
Verayana Sukmasari Putri. 6661112409. Skripsi Tahun 2015. Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung dan Suku pendatang Bali tahun 2012). Program Studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Dosen Pembimbing I: Listyaningsih, M.Si. Dosen Pembimbing II: Deden M Haris, M.Si.
Kata Kunci: Strategi, Konflik Kependudukan Lampung Selatan
Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung khususnya Kabupaten Lampung Selatan merupakan kekayaan budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi menjadi sebuah konflik. Konflik terjadi bukan hanya karena faktor perbedaan suku/kebudayaan namun juga faktor ekonomi dan sentimen agama. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana manajeman strategi yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam menyelesaikan konflik penduduk. Penelitian menggunakan teori Model Manajemen Strategi sebagai sistem. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Analisis yang digunakan Model Miles Huberman. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa proses penanganan konflik kependudukan pemerintah daerah yaitu dengan membangun sistem peringatan dini yang tujuannya untuk mencegah konflik di Kabupaten Lampung Selatan, tidak ditentukan secara spesifik sasaran operasional dalam program yang dibuat oleh Lembaga/Forum penanganan konflik. Kesimpulan dari penelitian ini yaitu belum tercapainya tujuan Lembaga/Forum penanganan konflik, proses penyelesaian konflik yang terburu-buru sehingga tidak memperhatikan keterlibatan masyarakat yang bertikai langsung. Rekomendasi dari peneliti yaitu Pemerintah Daerah lebih peka terhadap masalah yang timbul di masyarakat Kabupaten Lampung Selatan agar nantinya dalam proses penyelesaian konflik tidak ada kekecewaan atas keputusan yang dibuat.
7
ABSTRACT
Verayana Sukmasari Putri. 6661112409. Research 2015. Strategies Of Conflict Population In The South Lampung Regency (Case Studies Of Conflict Between Indigenous Lampung With Bali Newcomers In 2012) Departement Of Public Administration Sultal Ageng Tirtyasa University. Advisor I: Listyaningsih, M.Si. Advisor II: Deden M Haris, M.Si.
Keyword: Strategies, Conflict Population Resolution In The South Lampung Regency.
The plulrality of communities of South Lampung Regency of Lampung especially the cultural wealth of the nation, but the other side also has the potential to be a conflict. The conflict occurred not only because of differences in ethnic/cultural but also economic factor and religious sentiment. The purpose of this study to determine how strategies undertaken Local Government in resolving the conflict population. The study used the theory of strategic Manajement Model as a system The Method used is descriptive qualitative, the analysis used the Model Miles Huberman. Research results show that the process of conflict resolution in the local government settlement is a astablish an early warning system which aims to prevent conflict in South Lampung regency, is not specifically defined operational targets in the program created by the institute/Forum conflict resolution. The inference from this study is not yet achieved the goal of institution/Forum conflict management, conflict resolution process in make a hasteso do not pay attention to the conflicting direct community involvement. Recommendations from researchers that Local government is more sensitive to the problems arising in South Lampung regency society so that later in the process of conflict resolution there is no disappointment over the decisions thet are made.
ii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu.
Alhamdulillah, Puji syukur yang tak terhingga selalu kita panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan cinta-Nya yang telah
diberikan kepada kita semua. Shalawat serta salam senantiasa selalu tercurah
kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, beserta keluarga juga para
sahabat. Dan atas berkat, rahmat, karunia, serta ridha-Nya pula penulis dapat
menyelesaikan penelitian skripsi ini.
Adapun dalam penulisan skripsi ini penulis buat dan sampaikan untuk
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial pada
Program Studi Ilmu Administrasi Negara dengan judul penelitian “Manajemen
Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan
(Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali
Tahun 2012)”.
Proses pengerjaan penelitian ini tentunya tidak lepas dari bantuan banyak
pihak yang selalu mendukung peneliti secara moril dan materil. Maka dengan
ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih yang tak terhingga
kepada kedua orang tuaku tercinta yang tak henti selalu memberikan do’a, kasih
sayang, serta dukungan dan motivasi dalam pengerjaan penelitian skripsi ini yang
tak pernah ada habisnya.
iii
Pada kesempatan ini juga suatu kebanggaan bagi penulis ucapkan
terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk berbagai pihak yang telah membantu
dan mendukung, peneliti ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat., M.Pd, Rektor Universitas Sultan
Ageng Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
3. Ibu Rahmawati, S.Sos., M.Si, Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4. Bapak Imam Mukhroman S.Ikom., M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5. Bapak Kandung Sapto Nugroho, S,Sos., M.Si., Wakil Dekan III Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan
sebagai dosen penguji sidang skripsi yang telah membantu dan
memberikan masukan untuk skripsi ini kepada peneliti.
6. Ibu Listyaningsih., M.Si, Ketua Program Studi Ilmu Administrasi Negara
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa,
dan sebagai Dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktunya untuk
membimbing peneliti dalam proses pembuatan Skripsi.
7. Bapak Riswanda.,Ph.D, Sekretaris Program Studi Ilmu Administrasi
Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
iv
8. Ibu Rini Handayani, S.Si., M.Si., Dosen Pembimbing Akademik Program
Studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
9. Bapak Deden M. Haris, M.Si., sebagai Dosen pembimbing II yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing peneliti dalam proses
pembuatan Skripsi;
10. Bapak Dr. Suwaib Amiruddin. M.Si sebagai Dosen penguji Seminar
Proposal Skripsi yang telah membantu dan memberikan masukan untuk
skripsi ini kepada peneliti.
11. Seluruh Dosen dan Staf Jurusan Administrasi Negara yang telah
memberikan ilmu selama belajar di Kampus Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
12. Bapak/Ibu pegawai Kesbangpol, Polres, FKDM, FKUB, MPAL, Kepala
Desa Agom, Kepala Desa Balinuraga Kabupaten Lampung Selatan yang
telah memberikan serta membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi
ini dengan memberikan data-data yang dibutuhkan yang namanya tidak
bisa disebutkan satu persatu.
13. Terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan, teman-teman di kelas,
baik Reguler ataupun Non Reguler ANE angakatan 2011 yang telah
mengajarkan banyak hal dan saling berbagi cerita semasa kuliah.
14. Sahabat-sahabatku tercinta plinces alay Ida Komala, adekku yang paling
gaul Kantinul, adekku yang paling cerewet Putri Mila, adekku yang paling
galak Nining kusuma, sahabat tertawaku mbo Nisa, sahabat berbagiku Wa
v
Ode, Jeje, Ana, Cika, Erin, Kiki, Indri Reni, Nendi, Danang, Tomi dan
semua sahabatku yang selalu memotivasi dan membuat peneliti tertawa.
15. Teman-teman Komunitas Soul Seeker yang telah membantu
menghilangkan rasa jenuh dan bosan dalam menyelesaikan tugas akhir ini
serta motivasi yang diberikan kepada peneliti.
16. Dan untuk semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Tak ada gading yang tak retak. Penulis menyadari bahwa penelitian
skripsi ini masih terdapat kekurangan, baik materi maupun dalam bentuk
penyajiannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
positif guna membangun kemajuan yang lebih baik lagi terhadap penelitian skripsi
ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.
Wassalamualakum Warrahmatullahi Wabarakatu.
Serang, Januari 2016
Peneliti
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK
KATA PENGANTAR ............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ vi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... ix
DAFTAR TABEL.................................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ........................................................................ 1
1.2 Identifikasi Masalah .............................................................................. 13
1.3 Batasan Masalah .................................................................................... 13
1.4 Rumusan Masalah.................................................................................. 14
1.5 Tujuan Penelitian ................................................................................... 15
1.6 Manfaat Penelitian ................................................................................. 15
1.7 Sistematika Penulisan ............................................................................ 16
vii
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR
2.1 Deskripsi Teori ...................................................................................... 18
2.1.1 Konsep Manajemen Strategi ....................................................... 19
2.1.2 Manfaat Manajemen Strategi ...................................................... 21
2.1.3 Model Manajemen Strategi ......................................................... 23
2.1.4 Model Manajemen Strategi Organisasi Publik ........................... 33
2.1.5 Konsep Konflik ........................................................................... 44
2.1.6 Analisis S.W.O.T ....................................................................... 52
2.2 Penelitian Terdahulu .............................................................................. 58
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................. 58
2.4 Asumsi Dasar ......................................................................................... 61
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan dan Metode Penelitian ....................................................... 62
3.2 Fokus Penelitian .................................................................................... 63
3.3 Lokasi Penelitian ................................................................................... 63
3.4 Fenomena Yang Diamati........................................................................ 63
3.4.1 Definisi Konsep ............................................................................. 63
3.4.2 Definisi Operasional ...................................................................... 64
3.5 Instrumen Penelitian .............................................................................. 66
3.6 Informan Penelitian ............................................................................... 67
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data ................................................... 70
3.8 Jadwal Penelitian ................................................................................... 83
viii
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ................................................................... 85
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan .......................... 85
4.1.2 Gambaran Umum Desa Agom ..................................................... 97
4.1.3 Gambaran Umum Desa Balinuraga .............................................. 98
4.2 Deskripsi Data ...................................................................................... 99
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian ............................................................. 99
4.2.2 Daftar Informan Penelitian ........................................................... 102
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian .................................................................... 103
4.4 Pembahasan .......................................................................................... 143
BAB V PENUTUP
5.1 kesimpulan ............................................................................................ 157
5.2 Saran ..................................................................................................... 159
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
CURRICULUM VITAE
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen............................... 23
Gambar 2.2 Model Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen............................... 27
Gambar 2.3 Model Manajemen Strategi Komprehensif David ............................... 28
Gambar 2.4 Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson ............................... 30
Gambar 2.5 Model Manajemen Strategi Sebagai Sistem Menurut Nawawi ........... 39
Gambar 2.6 Kerangka Pemikiran Penelitian .......................................................... 60
Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif ..................... 79
Gambar 4.1 Pelabuhan Bakauheni dan Menara Siger Lampung ............................. 85
Gambar 4.2 Perubahan Logo Kabupaten Lampung Selatan.................................... 95
Gambar 4.3 Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Selatan ........................... 99
Gambar 4.4 Kondisi jalan di Desa Balinurga dan kondisi jalan di Kompleks jati
Agung Kalianda ..................................................................................... 151
Gambar 4.5 Tugu yang berdiri di tengah-tengah Desa Balinuraga ........................ 153
x
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Kriteria Etnik Suku/Budaya Bangsa Provinsi Lampung... ....................... 3
Tabel 1.2 Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung ............................................ 4
Tabel 1.3 Beberapa Kasus yang Terjadi di Provinsi Lampung Selatan .................. 6
Tabel 1.4 Peristiwa Konflik Antara Suku Bali dan Lampung di Lampung Selatan. 7
Tabel 2.1 Tabel Analisis S.W.O.T ........................................................................... 52
Tabel 3.1 Definisi Oprasional Penelitian.................................................................. 65
Tabel 3.2 Informan Peneliti ...................................................................................... 69
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara ............................................................................... 73
Tabel 3.4 Jadwal Penelitian ...................................................................................... 83
Table 4.1 Kodefikasi Informan Penelitian................................................................ 103
xi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial
LAMPIRAN 2 Permendagri No. 42 Tahun 2015 Tentang Pelaksanaan Koordinasi
Penanganan Konflik Sosial
LAMPIRAN 3 Surat Izin Penelitian untuk Kesbangpol Provinsi Banten
LAMPIRAN 4 Surat Izin Penelitin Untuk Kesbangpol Provinsi Lampung
LAMPIRAN 5 Surat Izin Penelitian untuk Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan
LAMPIRAN 6 Surat Izin Penelitian untuk Kapolres Lampung Selatan
LAMPIRAN 7 Surat Izin Penelitian untuk MPAL
LAMPIRAN 8 Surat Izin Penelitian untuk FKDM
LAMPIRAN 9 Surat Izin Penelitian untuk FKUB
LAMPIRAN 10 Surat Izin Penelitian untuk Ka. Desa Agom
LAMPIRAN 11 Surat Izin Penelitian untuk Ka. Desa Balinuraga
LAMPIRAN 12 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Provinsi
Banten
LAMPIRAN 13 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Provinsi
Lampung
LAMPIRAN 14 Surat Rekomendasi Penelitian Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan
xii
LAMPIRAN 15 Surat Rekomendasi Penelitian Polres Lampung Selatan
LAMPIRAN 16 Tabel Pembahasan
LAMPIRAN 17 Pedoman Wawancara
LAMPIRAN 18 Surat Pernyataan Narasumber
LAMPIRAN 19 Memberchek
LAMPIRAN 20 Kategorisasi Data
LAMPIRAN 21 10 Butir perjanjian Perdamaian Konflik Masyarakat Lampung
dan Masyarakat Bali
LAMPIRAN 22 Catatan Lapangan
LAMPIRAN 23 Catatan Bimbingan
LAMPIRAN 24 Dokumentasi
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat Indonesia memiliki semboyan Bhineka Tunggal Ika yang
berarti berbeda-beda tetap satu jua, dengan semboyan itu menandakan bahwa
Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki keanekaragaman manusia.
Kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang dikenal dengan nusantara
dihuni oleh ratusan kelompok suku yang tumbuh dan berkembang dalam suasana
penuh konflik sosial berdarah sejak Indonesia merdeka.Indonesia juga merupakan
Negara yang memiliki banyak pulau besar dan kecil, yang tersebar di seluruh
Nusantara diantara pulau-pulau besar yang ada di Indonesia Provinsi Lampung
merupakan salah satu Provinsi yang berada di Pulau Sumatra.
Provinsi Lampung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1964 tanggal 8 maret 1964, yang secara geografis berada di ujung tenggara
Pulau Sumatra dan merupakan pintu gerbang dari Pulau Sumatra. Daerah ini
memiliki 15 Kabupaten/Kota yang terdiri dari tiga belas Kabupaten dan dua Kota
yaitu, Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Lampung Timur, Kabupaten
Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Barat, Kabupaten Lampung Utara,
Kabupaten Mesuji, Kabupaten Pasawaran, Kabupaten Pringsewu, Kabupaten
Tanggamus, Kabupaten Tulang Bawang, Kabupaten Tulang Bawang Barat,
Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Pesisir Barat, Kota Bandar Lampung dan Kota
2
Metro, dengan jumlah penduduk sebesar 7.608.405 jiwa (BPS Lampung:
Lampung dalam angka 2013, 42), karena secara letak geografis Provinsi Lampung
merupakan pintu gerbang pulau Sumatra yang menjadi lalu lintas antara pulau
Jawa Sumatra masyarakat Lampung juga dikenal sebagai masyarakat yang
heterogen.
Kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung merupakan kekayaan
budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi untuk menjadi sebuah
konflik. Permasalahan yang timbul akibat kemajemukan itu Pertama adalah
kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program
Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi Lampung rentan akan konflik
sosial. Program Transmigrasi yang merupakan Program Pembangunan pada era
Orde Baru menjadi salah satu proses penyebaran etnik suku dari suatu daerah ke
daerah tertentu. Beberapa Provinsi menjadi tujuan dari Program Transmigrasi
tersebut (Skripsi Bethra Ariestha: Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik Di
Lampung Selatan, 2013: UNNES), Program Transmigrasi yang sekarang tertuang
dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 merupakan
Program Nasional yang dibuat oleh pemerintah pada saat itu untuk mengatasi
masalah kependudukan yang ada di Indonesia. Program Transmigrasi dibuat
secara komprehensif dari tahap perencanaan sampai pembinaan sesuai dengan
tujuan-tujuan Transmigrasi yang akan dicapai yaitu terwujudnya kesejahtraaan
masyarakat Indonesia secara adil dan menyeluruh, tidak hanya meningkatkan
kesejahtraan para transmigran. Program Transmigrasi juga bertujuan untuk
meningkatkan kesejahtraan hidup masyarakat yang ada di daerah tujuan
3
transmigrasi atau penduduk asli, dan salah satu daerah tujuan dari Program
Transmigrasi adalah Provinsi Lampung, dengan banyaknya masyarakat yang
melakukan transmigrasi membuat Provinsi Lampung memiliki banyak suku yang
memiliki kebudayaan masing-masing karena setiap suku yang memiliki sebuah
kebudayaan atau adat istiadat yang berbeda. Menurut sensus BPS Provinsi
Lampung 2012, berdasarkan kriteria etnik suku diperoleh data statistik yaitu:
Tabel 1.1
Kriteria Etnik Suku/Budaya Bangsa Provinsi Lampung
(Sumber: Data diolah, 2014)
Dapat dilihat dari data tabel 1.1diatas bahwa masyarakat asli Lampung
bukanlah masyarakat yang paling dominan diantara masyarakat yang lain, ini juga
menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik, serupa dengan yang diungkapkan
oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di
Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan mengungkapkan bahwa konflik
yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sebelum tahun 2012 tidak sampai
mengakibatkan korban jiwa, kemudian tidak hanya masyarakat Bali dan
masyarakat Lampung yang bentrok tetapi juga masyarakat suku yang lain, seperti
NO Etnik Suku/Budaya bangsa Jumlah (jiwa) Persen (%)
1 Lampung 792.312 11,92%
2 Jawa 4.113.731 61,88%
3 Sunda Banten 749.566 11,27%
4 Palembang Semendo 36.292 3,55% 5 Lain-Lain - 11,38%
4
masyarakat Jawa, masyarakat Semendo juga melakukan bentrok (wawancara
peneliti pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014).
Masyarakat yang begitu beragam haruslah menjadi salah satu kelebihan
pada suatu daerah dimana bisa dimanfaatkan untuk berbagai aspek diantaranya
dengan memanfaatkan potensi pariwisata yang dapat menyumbang pendapatan
asli daerah tersebut.
Permasalahan yang Kedua adalah konflik yang terjadi di Provinsi
Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku atau budaya namun juga
karena faktor ekonomi dan sentiment agama. Provinsi Lampung juga tidak hanya
memiliki keberagaman etnik suku/budaya bangsa namun juga merupakan daerah
dengan keragaman agama, pola-pola adat, kondisi goegrafis, rasa, dan bahasa.
Jumlah pemeluk agama penduduk Provinsi Lampung terbanyak adalah agama
Islam menurut sensus penduduk tahun 2010 yaitu sebesar 6.779.928 jiwa.
Tabel 1.2 Data Pemeluk Agama di Provinsi Lampung
(Sumber: Data Diolah, 2014)
No Agama/kepercayaan Jumlah (Jiwa)
1 Islam 6.779.928
2 Kristen 141.899
3 Katolik 131.585
4 Hindu 205.200
5 Budha 122.248
5
Melihat kondisi masyarakat yang begitu beragam memicu terjadinya
perbedaan antar kelompok suku, sebagian besar konflik antar golongan yang telah
terjadi diakibatkan oleh kultur subjektif yang berbeda-beda. Terkait dengan hal
tersebut pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras Dan Etnis yang dibuat sesuai dengan Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 20, pasal 21, pasal 27 ayat (1), pasal 28 B ayat 2 dan
pasal 28 I ayat 1 dan ayat 2, bertujuan untuk mewujudkan kekeluargaan,
persaudaraan, persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan
bermata pencaharian di antara warga negara yang pada dasarnya selalu hidup
berdampingan. Namun konflik kepandudukan yang terjadi di Provinsi Lampung
merupakan konflik yang terjadi sudah lama, selain dipicu oleh perbedaan identitas
suku, budaya, dan sentiment agama konflik di Lampung juga sering dipicu oleh
faktor ekonomi berupa sengketa lahan seperti pada kasus Mesuji.
Konflik ini berawal dari pengumpulan sertifikat tanah warga di Desa
Sritanjung, Nipah Kuning, dan Kagungan oleh perusahaan PT. Barat Selatan
Makmur Investindo (BSMI) dan PT. Silva Inhutani pada tahun 1993 kemudian
petani dijanjikan menjadi petani plasma, belakangan perusahaan mengklaim jika
tanah itu milik mereka. Warga tidak bisa lagi bercocok tanam di tanahnya,
padahal ratusan warga ketiga desa tersebut sudah turun temurun mendiami
kaawasan itu, mereka mengandalkan perkebunan yang menghasilkan buah-buahan
seperti durian, duku, dan tanaman tahunan lainnya. Setelah lahan beralih
kepemilikan, sebagaian besar penduduk desa terjerat kemiskinan dan tidak lagi
memiliki sumber penghasilan tetap. Pelanggaran-pelanggaran tersebut kemudian
6
memicu protes bertahun-tahun sehingga menyebabkan bentrok antara warga
dengan pihak perusahaan dan aparat, yang ujungnya menimbulkan korban jiwa
(http://www.suarapembaruan.com/home.tragedi-mesuji-pihak-perusahaan-dinilai-
picu-kekerasan.com diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014).
Permasalahan yang Ketiga adalah konflik yang sudah terjadi berkali-kali
di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparat keamanan dan
Pemerintah Daerah sehingga menimbulkan konflik yang lebih besar. Masyarakat
di Provinsi Lampung mengalami krisis yang amat memilukan menjelang
pergantian abad ke 21, adapun beberapa konflik yang terjadi dalam skala kecil
maupun yang lebih besar (http://Perang-Suku-di-Lampung-Sebuah-Dendam-
Lama/Lintas-Berita.htm diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014), sebagai
berikut:
Tabel 1.3 Beberapa Kasus Yang Terjadi di Kabupaten Lampung Selatan
Bulan/Tahun Kejadian/Peristiwa September 2010 Pembakaran Pasar Probolinggo Lampung Timur oleh
Suku Bali
Desember 2010 Perang Suku Jawa dan Bali dengan suku Lampung karena Pencurian Ayam
September 2011 Suku Jawa vs Suku Lampung dipicu oleh sengketa lahan
Januari 2012 Ricuh Sidomulyo Lampung Selatan Bali vs Penduduk Asli Lampung
Oktober 2012 Perang Desa Agom dengan Desa Balinuraga
(Sumber: data diolah, 2014)
7
Permasalahan yang ada di Lampung Selatan umumnya bersumber dari
masalah yang tergolong relative kecil namun pada kenyataannya bisa berubah
menjadi perkelahian yang menjurus kearah peperangan yang mengakibatkan
korban jiwa. Menurut Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan
Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan menjelaskan jika
terjadi ricuh di masyarakat penyelesaiannya menggunakan musyawarah mufakat
dengan dibantu pihak ketiga yaitu aparat keamanan supaya permasalahannya
dapat dengan cepat diselesaikan mengingat sifat dan watak yang berbeda di
masyarakat Kabupaten Lampung Selatan (wawancara peneliti pada hari Selasa
tanggal 2 Desember 2014).
Adapun uraian beberapa konflik yang tercatat di Kesbangpol Lampung
Selatan terjadi konflik pada Bulan Oktober 2012 lalu yang juga berangkat dari
permasalahan-permasalahan yang sudah terjadi bertahun-tahun sebelumnya yaitu:
Tabel 1.4 Peristiwa Konflik Antara Suku Bali Dan Lampung Di Lampung Selatan
Bulan/Tahun Peristiwa Tahun 1982 Terjadi perselisihan pemuda Desa Sandaran dan Balinuraga,
warga Balinuraga menyerang dengan membakar 2 unit rumah di Desa Sandaran
Tahun 2005 Masyarakat Bali Agung Kecamatan Palas membakar beberapa rumah penduduk di Desa Palas Pasmah
Tahun 2009 Masyarakat Bali di Kecamatan Ketapang menyerang (melempari) Masjid di Desa Ruguk Kecamatan Ketapang
Tahun 2010 Masyarakat Bali Agung menyerang Desa Palas Pasmah dengan melakukan pembakaran beberapa rumah penduduk juga dengan koban meninggal 1 (satu) orang warga Palas Pasmah
Tahun 2010 Masyarakat Bali dari Kecamatan Ketapang menyerang Desa Tetaan Kecamatan Penengahan dan menghancurkan gardu ronda dan pangkalan ojek di perempatan Gayam Kecamatan Penengahan
Desember Tahun 2011 Masyarakat Bali menyerang Desa Marga Catur dengan melakukan pembakaran belasan rumah suku Lampung dan saat
8
melakukan penyerangan masyarakat Bali menggunakan simbol-simbol khusus adat istiadat Bali
Januari Tahun 2012 Masyarakat Bali melakukan tindakan premanisme terhadap pemuda dari Desa Kotadalam Kecamatan Sidomulyo yang menyebabkan beberapa orang warga Kotadalam mengalami luka-luka, dan beberapa rumah warga Lampung dirusak yang mengakibatkan dibakarnya dusun Napal Desa Sidowaluyo Kecamatan Sidomulyo oleh suku Lampung
Tahun 2012 Pada saat malam takbiran Idul Fitri tahun 2012, para pemuda desa Balinuraga melakukan kerusuhan di depan Masjid Sidoharjo Kecamatan Way Panji saat umat islam sedang melakukan takbiran di Masjid
(Sumber: Kesbangpol Tahun 2012).
Permasalahan yang Keempat adalah kurang tanggapnya Pemerintah daerah
dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi sehingga menyebabkan
korban jiwa. Konflik-konflik tersebut timbul diantara para suku-suku tersebut
sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik
besar, pengelompokkan suku di wilayah Lampung Selatan sudah terjadi sejak
lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja, di beberapa sekolah
yang ada di wilayah Lampung Selatan anak-anak suku Bali tidak mau bermain
atau bersosialisasi dengan anak-anak suku lainnya begitu juga dengan anak-anak
dari suku Jawa maupun Lampung (wawancara peneliti pada hari minggu tanggal
30 November 2014 dengan bapak Nyoman Astawe).
Menurut salah satu warga Bali di Desa Tridarmayoga bapak Nyoman
Astawe mengungkapkan permasalahan antara masyarakat bali dengan masyarakat
suku lain yang ada di Lampung Selatan tidak hanya soal kericuhan, namun juga
masalah diskriminasi sebelum dan sesudah terjadinya konflik pada tahun 2012,
9
masyarakat suku lain menghormati masyarakat bali jika ada sesuatu kepentingan
dengan masyarakat bali yang termasuk orang kaya, seperti jika ingin meminjam
uang maka masyarakat suku lain akan bersikap baik namun berbeda jika tidak
memiliki kepentingan sikapnya akan acuh tak acuh terhadap masyarakat bali
(wawancara peneliti pada hari minggu tanggal 30 November 2014)
Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga jika
diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tertentu akibatnya melibatkan suku
mereka, konflik kekerasan besar yang ditimbulkan karena perbedaan suku adalah
konflik yang terjadi pada wilayah Kabupaten Lampung Selatan tepatnya di Desa
Agom Kecamatan Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji yang
puncaknya terjadi pada tanggal 27 Oktober 2012 sampai 30 Oktober 2012 yang
melibatkan suku asli Lampung (suku pribumi mayoritas beragama islam) dan
suku pendatang Bali (pendatang mayoritas beragama Hindu), konflik tersebut
menjadi konflik berdarah yang awalnya dipicu karena permasalahan kecelakaan
lalu lintas. Peristiwa kecelakaan tersebut memicu konflik berdarah yang tidak
hanya melibatkan dua desa saja namun melibatkan banyak desa dari kedua suku
yang ada disekitar wilayah mereka. Peristiwa penyerbuan dan bentrokan berdarah
tersebut mengakibatkan jatuhnya korban jiwa sebanyak 12 orang tewas, puluhan
orang luka-luka, 438 unit rumah warga Desa Balinuraga dan Sedoreno dibakar,
dan 27 unit rumah mengalami rusak berat, 11 unit sepeda motor dibakar, dan 2
gedung sekolah juga ikut dibakar massa. Selain itu juga ribuan orang Desa
Balinuraga dan Desa Agom harus di evakuasi (wawancara dengan Kasat Binmas
Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4 November 2014).
10
Upaya perdamaian yang dipimpin langsung oleh Kapolda Lampung tidak
berpengaruh terhadap konflik yang terjadi di wilayah itu. Aksi serang terjadi
kembali, pihak Kepolisian dan TNI mengerahkan 1.000 aparat dengan dibantu
pihak Brimob Polda Banten dan Sumatra Selatan, namun pada peristiwa ini
jumlah warga yang melakukan bentrok semakin bertambah dan tidak dapat
ditahan lagi hingga akhirnya warga berhasil memasuki Desa Balinuraga. Dalam
aksi penyerangan ini 7 orang tewas, kebanyakan korban tewas tergeletak di area
perkebunan dan persewahan dengan kondisi tubuh rusak akibat dicabik-cabik
(wawancara dengan Kasat Binmas Polres Lampung Selatan pada hari selasa 4
November 2014).
Konflik yang terjadi di Lampung Selatan pada tanggal 27 Oktober hingga
30 Oktober 2012 ini menimbulkan dampak kerugian paling besar dan menyita
perhatian berskala Nasional dari berbagai konflik-konflik sosial yang terjadi di
Provinsi Lampung selama tiga tahun terakhir. Bahkan Lembaga Survey Indonesia
(LSI) menetapkan konflik antar suku bali dan suku Lampung di Way Panji
Lampung Selatan ke dalam lima besar bentrok antar suku terparah dari 2.398
kekerasan di Indonesia pasca reformasi. Penelitian ini didasari oleh lima variabel
penelitian, yaitu: Pertama jumlah korban, Kedua lama konflik, Ketiga luas
konflik, Keempat kerugian material, Kelima frekuansi pemberitaan
(http://m.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-kekerasan-horisontal-terburuk-versi-
lsi.html diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014).
11
Permasalah yang Kelima adalah penanganan konflik (Resolusi Konflik)
yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat. Penanganan
konflik (Resolusi konflik) yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun
2012 tentang Penangan Konflik Sosial, yang melibatkan aparat pemerintah dan
serta tokoh-tokoh yang ada di Lampung Selatan dirasa belum maksimal. Hal ini
dapat dilihat dari gagalnya proses mediasi yang dilakukan sehingga
mengakibatkan konflik makin meluas. Cara yang dipergunakan pemerintah untuk
mengurangi konflik adalah dengan melakukan perjanjian yang melibatkan pihak
ketiga, agar kelompok yang sebelumnya tidak mau diajak perundingan kamudian
mempertimbangkan pihak ketiga sebagai instrument yang bisa menyelasaikan
masalah bersama. Pada saat pasca konflik kemudian dilakukan musyawarah dan
menghasilkan apa yang disebut “Piagam Perdamaian” yang dimana di dalam isi
piagam tersebut memuat 10 pion penting perjanjian. Namun pada kenyataan
setelah dilakukan sosialisasi kepada masyarakat Lampung dan masyarakat Bali
piagam perdamaian tersebut menimbulkan pro dan kontra di kedua belah pihak,
piagam perjanjian pertama tidak mampu menyelesaikan masalah begitu saja
sehingga menghasilkan piagam perdamaian kedua pada akhir tahun 2012.
Akhirnya pada awal tahun 2013 Pemerintah setempat bersama aparat
keamanan menggulirkan program Rembug Pekon. Program tersebut
ditandatangani oleh Gubernur Lampung dengan Kapolda Lampung Selatan dalam
Nota Kesepahaman (MOU). Belum adanya Peraturan Daerah (Perda) yang
membuat penenganan konflik (Resolusi Konflik) tidak berjalan dengan baik, ini
serupa dengan yang diungkapkan oleh Bapak Ismed Alwi Kepala Bidang Politik
12
dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan
penyelesaian konflik dilakukan dengan membuat nota kesepahaman yang
dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat yang terlibat konflik,
penyelesaian konflik itu dilakukan atas dasar Undang-undang No 7 Tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial ini dikarenakan belum adanya peraturan
daerah yang dibuat khusus untuk penenganan konflik sosial itu sendiri
(wawancara peneliti pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2014).
Rembuk Pekon merupakan pelembagaan negosiasi yang bersifat
kekeluargaan, program ini melibatkan seluruh aspek baik dari elemen
pemerintahan maupun masyarakat seperti, tokoh adat, tokoh agama, pemuda dan
yang lainnya, tujuannya agar konflik yang terjadi di wilayah khususnya Lampung
Selatan tidak terulang lagi.
Berdasarkan uarian latar belakang diatas, konflik yang berkepanjangan
membuat pemerintah harus ikut campur dalam penyelesaian permasalahan yang
ada di daerahnya maka dari itu peneliti tertarik untuk mengkaji labih lajut
bagaimana pemerintah mengatur strategi agar nantinya konflik yang terjadi
sebelumnya tidak terulang lagi. Untuk itu peneliti mengadakan penelitian yang
nantinya akan dituangkan dalam bentuk Skripsi yang berjudul “Strategi
Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi
Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012)”.
13
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemaparan pada uraian dimuka, adapun permasalahan yang
diidentifikasikan oleh penulis sesuai dengan uraian di atas, yaitu:
1. Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program
Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi tersebut rentan akan
Konflik sosial.
2. Konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor
perbedaan suku/budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment
agama.
3. Konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan
kurang ditindak tegas oleh aparatur hukum sehingga mengakibatkan
konflik yang lebih besar.
4. Kurang tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang
terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang
tewas.
5. Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak
merangkul seluruh masyarakat.
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini, banyak masalah yang muncul terkait dengan konflik
antar penduduk yang ada di Kabupaten Lampung Selatan. Dikarenakan
keterbatasan waktu, pengetahuan dan dana, serta agar terfokus pada masalah
14
penelitian tentang Strategi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan secara lebih
rinci harus dilakukan batasan masalah agar terjadi keselarasan antara capaian
dengan kondisi dilapangan yang dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat
Lampung secara keseluruhan.
Maka penulis membatasi masalah pada Strategi Penyelesaian Konflik
Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku
Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali 2012).
1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah disampaikan sebelumnya
dan berdasarkan batasan masalah di atas maka rumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimanakah kondisi kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Lampung
Selatan khususnya masyarakat Lampung dan masyarakat Bali?
2. Bagaimanakah proses terjadinya Konflik di Kabupaten Lampung Selatan
pada kasus khususnya yang terjadi antara suku asli Lampung dengan suku
pendatang Bali pada tahun 2012?
3. Bagaimanakah strategi yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten
Lampung Selatan dalam menyelesakan konflik khususnya yang terjadi
antara suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali pada tahun 2012?
15
1.5 Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui bagaimana kondisi kehidupan sosial masyarakat Kabupaten
Lampung Selatan khususnya masyarakat Lampung dan masyarakat Bali.
2. Mengetahui bagaimana proses terjadinya Konflik di Kabupaten Lampung
Selatan pada kasus khususnya yang terjadi antara suku asli Lampung
dengan suku pendatang Bali pada tahun 2012.
3. Bagaimana strategi yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Lampung
Selatan dalam menyelesaikan konflik penduduk khususnya konflik yang
terjadi antara suku asli Lampung dan suku pendatang Bali.
1.6 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis.
1.6.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini untuk menambah informasi dan pengetahuan
di bidang Administrasi Negara, khususnya peranan pemerintah dalam
penyelesaian konflik kependudukan. Hasil penelitian ini diharapakan sebagai
penemuan baru yang dapat menambah dan memperkaya wawasan berfikir tentang
proses transformasi dari konflik kedamai dengan memahami peranan pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan dalam upaya fasilitas damai yang dapat
16
dipertanggungjawabkan dengan harapan bisa memberikan kontribusi nyata dalam
upaya meredam timbulnya konflik-konflik yang serupa di kemudian hari.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan nyata dilapangan pada
komponen-komponen yang terkait dengan konflik, diantaranya:
1. Pihak kelompok
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata
berdasarkan realita lapangan penelitian sebagai bagian dari proses penyadaran
kepada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik dalam upaya mewujudkan
perdamaian yang utuh dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pihak-pihak yang terkait dalam proses perdamaian
Dapat menggunakan penelitian ini sebagai salah satu acuan atau refrensi
dalam upaya menemukan resolusi yang tepat untuk menciptakan perdamaian yang
optimal bagi kelompok yang terkait.
1.7 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran yang sistematis serta dapat dengan mudah
dipahami maka dalam skripsi ini disusun berdasarkan ketentuan yang biasa
digunakan sesuai petunjuk dari perguruan tinggi dimana penulis belajar, dengan
ketentuan sebagai berikut:
17
BAB I PENDAHULUAN
Menguraikan tenang Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,
Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,
Sistematika Penulisan.
BAB II DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR
Menguraikan tentang Deskripsi Teori, Penelitian Terdahulu, Kerangka
Pemikiran Penelitian dan Asumsi Dasar Penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Menguraikan tentang Metode Penelitian, Ruang Lingkup/ Fokus Penelitian,
Lokasi Penelitian, Fenomena Yang Diamati, Instrument Penelitian, Informan
Penelitian, Teknik Pengolahan dan Analisis Data, Tempat dan Waktu Penelitian.
BAB IV HASIL PENELITIAN
Menguraikan tentang Deskripsi Objek Penelitian, Deskripsi data dan
Pembahasan.
BAB V PENUTUP
Menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.
18
BAB II
DESKRIPSI TEORI DAN ASUMSI DASAR
2.1 Deskripsi Teori
Deskripsi teori memuat hasil kajian terhadap sejumlah teori yang relevan
dengan permasalahan dan variabel penelitian, kemudian menyusunnya secara
teratur dan rapi yang digunakan untuk merumuskan hipotesis. Dengan mengkaji
berbagai teori dan konsep-konsep maka kita akan memiliki konsep penelitian
yang jelas dapat menyusun pertanyaan yang rinci untuk penyelidikan, serta dapat
menemukan hubungan antar variabel yang diteliti.
Sugiyono (2009:58), deskripsi teori dalam suatu penelitian merupakan
uraian sistematis tentang teori (dan bukan sekedar pendapat pakar atau penulis
buku) dan hasil-hasil penelitian yang relevan dengan variabel yang diteliti, berapa
jumlah kelompok teori yang perlu dikemukakan/dideskripsikan akan tergantung
pada luasnya permasalahan dan secara teknis tergantung pada jumlah variabel
yang diteliti. Deskripsi teori paling tidak berisi tentang penjelasan terhadap
variabel-variabel yang diteliti, melalui pendefinisian dan uraian yang lengkap dan
mendalam dari berbagai referensi, sehingga ruanglingkup keduanya dan prediksi
terhadap hubungan antar variabel yang akan diteliti menjadi lebih jelas dan
terarah.
19
2.1.1 Konsep Manajemen Strategi
Untuk memahami pengertian manajemen strategi, terlebih dahulu harus
dapat mengerti apakah itu strategi itu,kata strategi berasal dari yunani, yaitu
statogos atau strategis yang berarti jendral, strategi berarti seni para jendral. maka
strategi dapat diartikan dari sudut pandang militer adalah cara menempatkan
pasukan atau menyusun kekuatan tentara di medan perang agar musuh dapat
dikalahkan (Saladin, 1999: 01). Kemudian menurut David (2008:17), ”Strategi
adalah tindakan potensial yang membutuhkan keputusan manajemen tingkat atas
dan sumber daya perusahaan dalam jumlah yang besar”. Hal ini sejalan dengan
Hunger dan Wheelen (2003:16), bahwa ”Strategi perusahaan merupakan rumusan
perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi
dan tujuannya”.
Sedangkan Menurut Pearce II dan Robinson (2008:6):
”Strategi (strategy) bagi para manajer adalah rencana berskala besar, dengan orientasi masa depan, guna berinteraksi dengan kondisi persaingan untuk mencapai tujuan perusahaan. Strategi merupakan rencana permainan perusahaan. Meskipun tidak merinci seluruh pemanfaatan (manusia, keuangan dan material) di masa depan, rencana tersebut menjadi kerangka bagi keputusan manajerial. Strategi mencerminkan pengetahuan perusahaan mengenai bagaimana, kapan, dan dimana perusahaan akan bersaing, dengan siapa perusahaan akan sebaiknya bersaing, dan untuk tujuan apa perusahaan harus bersaing”.
Jadi, strategi adalah alat atau sarana yang digunakan untuk mencapai
tujuan jangka panjang dari suatu perusahaan, serta pendayagunaan dan alokasi
semua sumber daya yang penting untuk mencapai tujuan tersebut.
20
Berbeda dengan konsep manajemen strategi merupakan bidang ilmu yang
melihat pengelolaan perusahaan secara menyeluruh dan berusaha menjelaskan
mengapa beberapa perusahaan berkembang dan maju secara pesat, sedangkan
yang lainnya tidak maju dan akhirnya bangkrut. Manajemen strategi lebih
menekankan pada pengambilan keputusan strategis. Keputusan strategis
berhubungan dengan masa yang akan datang dalam jangka panjang untuk
organisasi secara keseluruhan. Hunger dan Wheelen (2003:4) “Manajemen
Strategis adalah serangkaian keputusan dan tindakan manajerial yang menentukan
kinerja perusahaan dalam jangka panjang”.
Pengertian manajemen strategi menurut David (2008:5):
“Manajemen strategis adalah seni dan ilmu untuk memformulasi, mengimplementasi, dan mengevaluasi keputusan lintas fungsi yang memungkinkan organisasi dapat mencapai tujuannya”.
Berdasarkan pengertian di atas, manajemen strategis berfokus pada
mengintegrasikan manajemen, pemasaran, keuangan/akuntansi, produksi/operasi,
penelitian dan pengembangan dan sistem komputer untuk mencapai keberhasilan
organisasi.
Menurut Pearce II dan Robinson (2008:5) :
“Manajemen strategik (strategic management) didefinisikan sebagai satu set keputusan dan tindakan yang menghasilkan formulasi dan implementasi rencana yang dirancang untuk meraih tujuan suatu perusahaan”.
21
Manajemen strategi lebih menekankan pada pengambilan keputusan
strategis. Keputusan strategis berhubungan dengan masa yang akan datang dalam
jangka panjang untuk organisasi secara keseluruhan. Menurut Hunger dan
Wheelen (2003:4), “Manajemen Strategis adalah serangkaian keputusan dan
tindakan manajerial yang menentukan kinerja perusahaan dalam jangka panjang”.
Manajemen strategi mengacu pada analisis dan penerapan strategi
termasuk didalamnya adalah implementasi rencana-rencana strategi. Manajemen
strategi dapat dipraktekkan atau diterapkan dalam unit-unit organisasional yang
berbeda ukuran besaran organisasi (size), dalam kelompok-kelompok perusahaan,
perusahaan secara individual, pada divisi-divisi atau bidang-bidang fungsional
dalam perusahaan, pada departemen-departemen pemerintahan, serta pada
organisasi nirlaba (http://melistyaridewi.blogspot.com/2012/02/manajemen-
strategik.html diakses pada hari senin tanggal 2 maret 2015 pukul 18:33 WIB).
Tujuan manajemen strategi adalah untuk mengeksploitasi dan menciptakan
peluang baru yang berbeda untuk masa mendatang, perencanaan jangka panjang
dan mencoba untuk mengoptimalkan tren sekarang untuk masa yang akan datang.
2.1.2 Manfaat Manajemen Strategi
Manajemen strategi menurut David (2008:20) membuat organisasi lebih
proaktif dari pada reaktif dalam membentuk masa depannya, manajemen strategi
membuat organisasi dapat memulai dan mempengaruhi (bukan hanya
menanggapi) berbagai kegiatan dan dengan demikian mengendalikan nasib
sendiri. Para pemilik bisnis kecil Chief Excecutive Officer (CEO), presiden dan
22
manajer organisasi-organisasi laba dan nirlaba telah mengakui dan menyadari
keuntungan atau manfaat manajemen strategi. Secara historis manfaat utama
manajemen startegi adalah membantu organisasi merumuskan strategi-strategi
yang lebih baik melalui pendekatan yang lebih sistematis, logis, dan rasional
utnuk menentukan pilihan strategis. Hal ini menjadi manfaat utama manajemen
strategi.
Manfaat manajemen strategi menurut Jatmiko (2004: 24) adalah:
1. Dapat mendorong anda melaksanakan tugas pekerjaan dengan baik tanpa memandang posisi anda dalam suatu organisasi, apabila anda mengetahui arah mana yang dituju perusahaan.
2. Anda akan mampu mengidentifikasikan faktor-faktor yang dapat menimbulkan parubahan besar dalam organisasi perusahaan.
3. Apabila sebagai karyawan anda menyadari strategi, nilai-nilai dan tujuan manajer pada tingkat labih atas, maka anda berada dalam kedudukan yang labih baik untuk dapat memperkirakan kemungkinan diterimanya usulan yang akan anda ajukan.
Sedangkan Manfaat penerapan manajemen strategis pada organisasi sektor
public menurut Jatmiko (2004: 26) yaitu:
1. Membantu organisasi publik berpikir secara strategis. 2. Mengklarifikasi arah mendatang. 3. Memecahkan masalah organisasi. 4. Meningkatkan kinerja. 5. Berhubungan secara efektif dengan lingkungan yang berubah. 6. Membangun tim kerja dan keahlian, dan. 7. Memudahkan interface administrasi politik melalui membangun hubungan
kerjasama antara pejabat terpilih dan manajer publik
23
2.1.3 Model Manajemen Strategi
2.1.3.1 Model Manajemen Stategi Menurut Hunger dan Wheelen
Hunger dan Wheelen (2003:9) menjelaskan proses manajemen strategi
meliputi empat elemen dasar: 1) pengamatan lingkungan, 2) perumusan strategi,
3) implementasi strategi, 4) evaluasi dan pengendalian.
(Sumber: Hunger dan Wheelen, 2003:11)
Gambar 2.1
Proses Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen
Gambar 2.1 menunjukkan interaksi keempat elemen tersebut. Pada level
korporasi, proses manajemen strategi meliputi aktivitas-aktivitas dari pengamatan
lingkungan sampai evaluasi kinerja. Manajemen mengamati lingkungan eksternal
untuk melihat kekuatan dan kelemahan. Faktor-faktor yang paling penting untuk
masa depan perusahaan disebut faktor-faktor strategis dan diringkas dengan
singkatan S.W.O.T yang berarti Strenghs (kekuatan), Weaknesses (Kelemahan),
Opportunities (kesempatan), dan Threats (ancaman). Setelah mengidentifikasi
faktor-faktor strategis, manajemen mengevaluasi interaksnya dan menentukan
Pengamatan
Lingkungan
Perumusan
Strategi
Implementasi
Strategi
Evaluasi dan
Pengendalian
24
misi parusahaan yang sesuai. Langkah pertama dalam merumuskan strategi adalah
pernyataan misi, yang berperan penting dalam menentukan tujuan, strategi, dan
kebijakan perusahaan. Perusahaan mengimplemantasi strategi dan kebijakan
tersebut melalui program, anggaran, dan prosedur, akhirnya evaluasi kinerja dan
umpan balik untuk memastikan tepatnya pengandalian aktivitas perusahaan.
1. Pengamatan Lingkungan
a. Analisis Eksternal
Lingkungan eksternal terdiri dari variabel-variabel (kesempatan dan ancaman) yang berada diluar organisasi dan tidak secara khusus ada didalam pengendalian jangka pendek dari manajemen puncak. Variabel-variabel termasuk membentuk keadaan dalam organisasi dimana organisasi ini hidup. Lingkungan eksternal memiliki dua bagian: lingkungan kerja dan lingkungan sosial. Lingkungan kerja terdiri dari elemen-elemen atau kelompok yang secara langsung berpengaruh atau dipengaruhi oleh operasi-operasi utama organisasi. Beberapa elemen tersebut adalah pemegang saham, pemerintah, pemasok, komunitas lokal, pesaing, pelanggan, kreditur, serikat buruh, kelompok kepentingan khusus, dan asosiasi perdagangan. Lingkungan kerja perusahaan sering disebut industri, lingkungan sosial terdiri dari kekuatan umum, kekuatan itu tidak berhubungan langsung dengan aktivitas-aktivitas jangka pendek organisasi tetapi dapat dan sering mempengaruhi keputusan-keputusan jangka panjang (Hunger dan Wheelen, 2003:9).
b. Analisis Internal
Lingkungan internal terdiri dari variabel-variabel (kekuatan dan kelemahan) yang ada didalam organisasi tetapi biasanya tidak dalam pengendalian jangka pendek dari manajeman puncak. Variabel-variabel tersebut membentuk suasana dimana pekerjaan dilakukan. Variabel-variabel itu meliputi struktur, budaya dan sumber daya organisasi. Struktur adalah cara bagaimana perusahaan diorganisasikan yang berkenaan dengan komunikasi, wewenang, dan arus kerja. struktur sering disebut rantai perintah dan digambarkan secara grafis dengan menggunakan bagan organisasi. Budaya adalah pola keyakinan, pengharapan, dan nilai-nilai yang dibagikan oleh anggota organisasi. Norma-norma organisasi secara khusus memunculkan dan mendefinisikan perilaku yang dapat diterima anggotanya dari manajemen puncak sampai karyawan operatif. Sumber daya adalah aset yang merupakan bahan baku bagi produksi barang dan jasa organisasi (Hunger dan Wheelen, 2003:11).
25
Aset itu meliputi kemampuan orang, kemampuan bakat manajerial, seperti aset keuangan dan fasilitas pabrik dalam wilayah fungsional. Tujuan utama adalah dalam manajemen strategis adalah memadukan variabel-variabel internal perusahaan untuk memberikan kompetensi unik, yang memampukan perusahaan untuk mencapai keunggulan kompetitif secara terus-menerus, sehingga menghasilkan laba (Hunger dan Wheelen, 2003:11).
2. Perumusan Strategi
Pengembangan rencana jangka panjang untuk manajemen efektif dari kesempatan dan ancaman lingkungan, dilihat dari kekuatan dan kelemahan perusahaan. Perumusan strategi meliputi menentukan misi perusahaan, menentukan tujuan-tujuan yang dicapai, pengembangan strategi dan penetapan pedoman kebijakan (Hunger dan Wheelen, 2003:12).
c. Misi
Misi organisai adalah tujuan atau alasan mengapa organisasi hidup, pernyataan misi yang disusun dengan baik mendefinisikan tujuan mendasar dan unik yang membedakan suatu perusahaan dengan perusahaan lain. Misi dapat ditetapkan secara sempit atau secara luas. Tipe pernyataan misi sempit menegaskan secara jelas bisnis utama organisasi, misi ini juga secara jelas membatasi jangkauan aktivitas perusahaan yang berhubungan dengan produk atau jasa yang ditawarkan. Sedangkan misi luas melebarkan jangkauan aktivitas organisasi untuk memasukan banyak tipe produk atau jasa, pasar dan teknologi (Hunger dan Wheelen, 2003:13).
d. Tujuan
Tujuan adalah hasil akhir aktivitas perencanaan. Tujuan merumuskan apa yang akan diselesaikan dan kapan akan diselesaikan, dan sebaliknya diukur jika memungkinkan. Istilah sasaran (goal) sering rancu dengan istilah tujuan (objektive). Sasaran adalah pernyataan terbuka yang berisi suatu harapan yang akan diselesaikan tanpa perhitungan apa yang akan dicapai dan tidak ada penjelasan waktu penyelesaian (Hunger dan Wheelen, 2003:15).
e. Strategi
Strategi perusahaan merupakan rumusan perencanaan komprehensif tentang bagaimana perusahaan akan mencapai misi dan tujuan. Strategi akan memaksimalkan keunggulan kompetitif dan meminimalkan keterbatasan bersaing (Hunger dan Wheelen, 2003:16).
26
f. Kebijakan
Aliran dari strategi, kebijakan menyediakan pedoman luas untuk pengambilan keputusan organisasi secara keseluruhan. Kebijakan juga merupakan pedoman luas yang menghubungkan perumusan strategi dan implementasi (Hunger dan Wheelen, 2003:16).
3. Implementasi Strategi
Implementasi strategi adalah proses dimana manajemen mewujudkan strategi dan kebijakan dalam tindakan melalui pengembangan program, anggaran, dan prosedur. Proses tersebut mungkin meliputi perubahan budaya aecara menyeluruh, struktur atau sistem manajemen dari organisasi secara keseluruhan. Kecuali ketika diperlukan perubahahan secara drastis pada perusahaan, manajer level menengah dan bahwa akan mengimplementasikan strateginya secara khusus dengan pertimbangan dari manajemen puncak. Kadang-kadang dirujuk sebagai perencanaan operasional, implementasi strategi sering melibatkan keputusan sehari-hari dalam alokasi sumber daya (Hunger dan Wheelen, 2003:17).
Program
Program adalah pernyataan aktivitas-aktivitas atau langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan perencanaan sekali pakai. Program melibatkan restrukturisasi perusahaan, perubahan budaya internal perusahaan, atau awal dari suatu usaha penelitian baru (Hunger dan Wheelen, 2003:17).
Anggaran
Anggaran merupakan program yang dinyatakan dalam bentuk satuan uang. Setiap program akan dinyatakan dengan rinci dalam biaya, yang dapat digunakan oleh manajemen untuk merencanakan dan mengendalikan (Hunger dan Wheelen, 2003:18).
Prosedur
Prosedur, kadang-kadang disebut Standar Operating Procedures (SOP). Prosedur adalah sistem langkah-langkah atau teknik-teknik yang berurutan yang menggambarkan secara rinci bagaimana suatu tugas atau pekerjaan diselesaikan. Secara khusus merinci bagaimana aktivitas yang harus dikerjakan utnuk menyelesaikan program-program perusahaan (Hunger dan Wheelen, 2003:18).
4. Evaluasi Dan Pengendalian
Evaluasi dan pengendalian adalah proses yang melaluinya aktivitas-aktivitas perusahaan dan hasil kenerja dimonitor dan kinerja sesungguhnya dibandingkan dengan kinerja yang lain. Para manajer disemua level menggunakan
27
informasi hasil kinerja untuk melakukan tindakan perbaikan dan memecahkan masalah. Walupun evaluasi dan pengendalian merupakan elemen akhir yang utama dari manajemen strategi, elemen itu juga dapat menunjukkan secara tepat kelemahan-kelemahan dalam implementasi strategi sebelumnya dan mendorong proses keseluruhan untuk dimulai kembali (Hunger dan Wheelen, 2003:19).
Agar evaluasi dalam pengendalian efektif, manajer harus mendapatkan
umpan balik yang jelas, tepat, dan tidak bias dari orang-orang bawahannya yang
ada dalam hirarki perusahaan. Evaluasi kinerja dan pengendalian mengakhiri
model manajemen stategi. Berdasarkan hasil kinerja, manajemen mungkin akan
melakukan penyesuaian terhadap perumusan strategi atau implementasi, atau
keduanya. Lebih jelasnya lihat gambar 2.2 dibawah ini:
(Sumber: Hunger dan Wheelen, 2003:1)
Gambar 2.2
Model Manajemen Strategi Hunger dan Wheelen
28
2.1.3.2 Model Manajemen Strategi Komprehensif David
David (2005:90) menjelaskan bahwa cara paling baik untuk mempelajari
dan menerapkan proses manajemen strategi adalah dengan menggunakan model,
setiap model menggambarkan suatu jenis proses. Kerangka kerja yang terdapat
dalam gambar 2.3 adalah model komprehensif suatu proses manajemen startegi
yang sudah diterima secara luas. Model ini tidak menjamin keberhasilan, tetapi
mewakili pendekatan praktis dan jelas untuk perumusan, pelaksanaan dan evaluasi
startegi. Hubungan antara bagian-bagian utama dalam proses manajemen strategi
ditampilkan dalam model tersebut.
(Sumber: Fred R. David, 2005:91)
Gambar 2.3
Model Manajemen Strategi Komprehensif David
29
Proses manajemen strategi menurut David (2005: 6) terdiri dari tiga tahap,
yaitu:
1. Perumusan Strategi
Mencakup kegiatan mengembangkan visi dan misi organisasi, mengidentifikasi peluang dan ancaman eksternal organisasi, merupakan kekuatan dan kelemahan internal organisasi, menentukan tujuang jangka panjang organisasi, membuat sejumlah strategi alternative untuk organisasi dan memilih strategi tertentu untuk digunakan. Isu-isu perumusan strategi mencakup keputusan mengenai bisnis baru yang akan dimasuki, bisnis yang akan ditinggalkan, pengalokasian sumberdaya, perluasan operasi atau diversifikasi, keputusan untuk memasuki pasar internasioanl, merger atau membentuk usaha patungan, dan cara untuk menghindari pengambilalihan oleh pesaing bisnis (David, 2005: 6).
2. Pelaksanaan Strategi
Mengharuskan perusahaan untuk menetapkan sasaran, membuat kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga perumusan strategi dapat dilaksanakan. Pelaksanaan strategi mencakup pengembangan budaya yang mendukung strategi, penciptaan struktur organisasi yang efektif, pengarahan kembali usaha-usaha pemasaran, penyiapan anggaran, pengembangan dan pemanfaatan sistem informasi, serta menghubungkan kompensasi untuk karyawan dengan kinerja organisasi. Pelaksanaan strategi sering disebut tahap tindakan dalam manajemen strategi. Melaksanakan untuk melaksanakan strategi-strategi yang dirumuskan. Pelaksanaan strategi yang sering dianggap sebagai tahap yang paling sulit dalam manajemen strategi menuntut disiplin, komitmen dan pengorbanan pribadi. Keberhasilan pelaksanaan strategi tergantung pada kemampuan manajer untuk memotivasi para karyawan. Hal ini akan lebih merupakan hasil dari pada ilmu. Strategi-strategi yang dirumuskan tetapi tidak dilaksanakan tidak akan memberikan manfaat (David, 2005: 6).
3. Evaluasi Strategi
Tahap terakhir dalam manajeman strategi, para menejer harus benar-benar mengetahui alasan strategi-strategi tertentu tidak dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam hal ini, evaluasi strategi adalah cara pertama untuk memperoleh informasi. Semua strategi dapat diubah sewaktu-waktu karena faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Tiga kegiatan pokok dalam evaluasi ini adalah:
Mengkaji ulang faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi landasan perumusan strategi yang diterapkan sekarang ini.
Mengukur kinerja. Melakukan tindakan-tindakan korelatif.
30
Evaluasi strategi perlu dilakukan karena keberhasilan saai ini bukan merupakan jaminan untuk keberhasilan di hari esok. Keberhasilan selalu menciptakan masalah-masalah baru dan berbeda, organisasi-organisasi yang cepat puas diri akan mati dengan sendirinya (David, 2005: 7).
2.1.2.3 Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson
(Sumber:Pearce dan Robinson (MGH), 2008: 4)
Gambar 2.4
Model Manajemen Strategi Pearce dan Robinson
Untuk lebih mempermudah pemahaman tentang manajemen strategi dapat
dilakukan melalui model. Model disusun sesederhana mungkin dalam rangka
mempermudah pemahaman. Seiring dengan perkembangan manajemen strategi
maka model yang digunakan juga mengalami perkembangan sehingga cukup
banyak model yang ditawarkan oleh pakar dalam hal manajemen strategi. Namun
demikian berkaitan dengan analisis lingkungan maka model yang digambarkan
oleh Pearce dan Robinson (2008: 4) seperti pada gambar 2.4 ini dapat menjadi
31
acuan karena model ini merupakan penyederhanaan atau generalisasi model-
model yang ada sehingga memuat prinsip-prinsip yang digunakan pada model-
model yang lain.
Berikut ini penjelasan tahapan-tahapan dalam manajemen strategi :
1. Misi Perusahaan
Misi suatu perusahaan adalah tujuan yang unik, yang membedakannya dari perusahaan-perusahaan lain yang sejenis dan mengidentifikasi cakupan operasinya. Secara ringkas, misi menguraikan produk, pasar, dan bidang teknologi yang diharap perusahaan di mana misi tersebut mencerminkan nilai dan prioritas dari para pengambil keputusan strategi (Pearce dan Robinson 2008: 16).
2. Profil Perusahaan
Profil perusahaan mengambarkan kuantitas dan kualitas sumber daya keuangan, manusia, dan fisik perusahaan. Profil ini juga menilai kekuatan dan kelemahan manajemen dan struktur organisasi perusahaan. Profil perusahaan membandingkan keberhasilan masa lalu perusahaan serta titik perhatian tradisionalnya dengan kemampuan perusahaan saat ini guna mengidentifikasi kemampuan masa depan perusahaan (Pearce dan Robinson 2008: 16).
3. Lingkungan Eksternal
Lingkungan eksternal perusahaan meliputi semua keadaan dan kekuatan yang mempengaruhi pilihan strateginya dan menentukan situasi persaingannya. Lingkungan eksternal terdiri dari lingkungan operasional, industri, dan lingkungan jauh (Pearce dan Robinson 2008: 16).
4. Analisis dan pilihan strategi
Penilaian secara simultan atas lingkungan eksternal dan profil perusahaan memungkinkan perusahaan mengidentifikasi berbagai peluang interaktif yang mungkin menarik. Peluang-peluang ini adalah jalur investasi yang mungkin,tetapi harus disaring terlebih dahulu berdasarkan misi perusahaan guna menghasilkan sekumpulan opsi (pilihan) yang nantinya akan menghasilkan pilihan strategi (Pearce dan Robinson 2008: 17).
32
5. Sasaran jangka panjang
Sasaran jangka panjang adalah hasil yang diharapkan suatu organisasi dalam kurun waktu beberapa tahun (Pearce dan Robinson 2008: 17).
6. Strategi umum
Strategi umum adalah suatu rencana umum dan menyeluruh mengenai tindakan-tindakan utama yang akan dilakukan perusahaan untuk mencapai sasaran jangka panjang dalam suatu lingkungan yang dinamis (Pearce dan Robinson 2008: 17).
7. Sasaran tahunan
Sasaran tahunan adalah hasil yang ingin dicapai organisasi dalam kurung waktu satu tahun (Pearce dan Robinson 2008: 17).
8. Strategi fungsional atau operasional
Strategi operasional adalah rumusan rinci mengenai cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai sasaran tahun berikutnya. Kebanyakan manajer strategik berusaha mengembangkan suatu strategi operasional untuk setiap perangkat sasaran tahunan terkait (Pearce dan Robinson 2008: 18).
9. Kebijakan
Kebijakan adalah keputusan bersifat umum yang telah ditetapkan sebelumnya yang menjadi pedoman atau menjadi pengganti bagi pengambil keputusan manajerial yang bersifat repetitif (berulang). Kebijakan menjadi pedoman pikiran, keputusan, dan tindakan manajer pada bawahan mereka dalam mengimplementasikan strategi organisasi. Kebijakan memberikan tuntutan untuk menetapkan dan mengendalikan proses dengan sasaran strategi perusahaan (Pearce dan Robinson 2008:18).
10. Melembagakan strategi
Sasaran tahunan, strategi fungsional, serta kebijakan-kebijakan spesifik merupakan sarana penting untuk mengkomunikasikan apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan strategi keseluruhan perusahaan. Dengan menerjemahkan keinginan-keinginan jangka panjang ke dalam pedoman tindakan jangka pendek, mereka menjadikan strategi operasional. Tetapi strategi keseluruhan juga harus dilembagakan: artinya, strategi ini haruslah meresap kedalam kehidupan sehari-hari perusahaan agar dapat terimplementasi secara efektif. Ada empat elemen fundamental organisasi untuk melembagakan strategi perusahaan, yaitu: struktur, kepemimpinan, kultur, dan imbalan (Pearce dan Robinson 2008:18).
33
11. Pengendalian dan evaluasi
Implementasi (pelaksanaan) strategi harus dipantau untuk mengetahui sejauhmana sasaran perusahaan tercapai. Betapapun diusahakan subyektif mungkin,proses perumusan strategi sebagian besar bersifat subyektif. Jadi ujian penting pertama terhadap suatu strategi hanya dapat dilakukan setelah implementasi (Pearce dan Robinson 2008:19).
2.1.4 Model Manajemen Strategi Organisasi Publik
Pada dasarnya manajemen strategi tidak hanya digunakan pada sektor
swasta tetapi juga sudah diterapkan pada sektor publik. Penerapan manajemen
strategi pada kedua jenis institusi tersebut tidaklah jauh berbeda, hanya pada
organisasi sektor publik tidak menekankan tujuan organisasi pada pencarian laba
tetapi lebih pada pelayanan. Menurut Anthony dan Young dalam Salusu (2004:26)
penekanan organisasi sektor publik dapat diklasifikasikan ke dalam 7 hal yaitu :
1. Adanya pertimbangan khusus dalam pembebanan pajak 2. Ada kecenderungan berorientasi semata – mata pada pelayanan 3. Banyak menghadapi kendala yang besar pada tujuan dan strategi 4. Kurang banyak menggantungkan diri pada kliennya untuk
mendapatkan bantuan keuangan. 5. Dominasi professional. 6. Tidak bermotif mencari keuntungan 7. Pengaruh politik biasanya memainkan peranan yang sangat penting.
Seorang ahli bernama Koteen dalam salusu (2004:34) menambahkan satu
hal lagi yaitu less responsiveness bureaucracy dimana menurutnya birokrasi
dalam organisasi sektor publik sangat lamban dan berbelit–belit. Sedangkan pada
sektor swasta penekanan utamanya pada pencarian keuntungan atau laba dan
tentunya kelangsungan hidup organisasi melalui strategi dan tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Untuk menunjukkan perlunya manajemen sektor publik
34
dalam organisasi sektor publik banyak penelitian yang mengupas pentingnya
manajemen stratejik pada sektor publik.
Roberts dan Menker dalam Rabin menjelaskan bahwa manajemen
strategi pada pemerintah pusat di Amerika Serikat hasilnya mereka megusulkan
adanya pendekatan baru dalam manajemen sektor publik yaitu pendekatan
generatif selain pendekatan yang sudah ada yaitu pendekatan direktif dan
pendekatan adaptif. Pendekatan direktif merupakan pendekatan yang bersifat dari
atas ke bawah (top–down) dan lebih sedikit melibatkan anggota dalam organisasi
sektor publik. Pendekatan adaptif lebih menekankan pada semangat kebersamaan
dalam organisasi dalam menetapkan tujuan pelaksanaan dan evaluasi. Sedangkan
pendekatan generatif menekankan pada pentingnya seorang pemimpin (leader)
dalam melakukan fungsi penetapan tujuan, pelaksanaan dan evaluasi dengan tidak
mengesampingkan anggota lain dalam organisasi sektor publik
(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategik-
suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015)
Kilimurray dalam Rabin bahwa untuk mengetahui perencanaan strategi
yang ada dalam dinas pertolongan anak di Amerika Serikat adalah dengan
pertolongan anak menjalankan perencanaan stratejik berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku di Amerika Serikat. Selain itu dinas pertolongan anak
melakukan perencanaan stratejik dengan mengembangkan 5 hal utama yaitu:
35
1) Implementasi rencana, 2) Indikator kinerja, 3) Reformasi kesejahteraan, 4) Kesepakatan kinerja, dan 5) Pemeriksaaan audit.(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-
manajemen-strategik-suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015).
Lebih lanjut ada penelitian terhadap manajemen strategi yang dilakukan
oleh kantor dinas pajak Amerika Serikat dibantu oleh kantor akuntan publik
Pricewaterhouse Coopers dengan obyek penelitian pada kantor dinas pajak
pemerintah pusat yang berlokasi di Washington D.C. Penelitian ini melihat
tahapan manajemen strategi dari awal yaitu dengan mengembangkan
multiyearbudget yaitu penganggaran yang dilakukan dalam waktu yang panjang
dimana dalam proses ini belum terdapat visi, obyektif, tujuan dan pengukuraan
kinerja. Kemudian proses ini berubah menjadi secara perencanaan strategi bisnis
(strategic business plan) dimana sudah adanya visi dan misi organisasi namun
masih meletakan penganggaran diluar sistem sehingga sering program tidak dapat
berjalan dengan baik karena adanya keterbatasan anggaran.
Tahapan ini juga belum terdapat penilaian kinerja dan program dijalankan
cenderung mengacu pada proses coba–coba (trial and error) sehingga banyak
program yang tidak berjalan secara efektif dan efisien. Tahapan selanjutnya
dikembangkan suatu proses yaitu perencanaan utama bisnis (the business master
plan). Tahapan ini organisasi melakukan perubahan dengan lebih menekankan
pada restrukturisasi organisasi, program sumber daya manusia, program
operasional dan tidak melupakan modernisasi sistem. Namun kembali lagi
penganggaran tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan program yang akan
36
dijalankan sehingga tidak adanya prioritas dalam program
(https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategik-
suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015).
Perubahan terakhir terhadap manajemen strategi yang ada dalam kantor
dinas pajak pemerintah pusat di Amerika Serikat yaitu dengan menerapkan
perencanaan strategi dan penganggaran. Pada tahapan ini anggaran lebih
diintegrasikan dengan perencanaan strategi sehingga lebih mempunyai hubungan
yang erat dengan program yang disusun dan dijalankan. Pada akhirnya kantor
dinas pajak pemerintah pusat Amerika Serikat mempunyai misi utama yaitu lebih
berpatokan pada pelanggan (customer driven). Sedangkan 3 visinya yaitu:
1) Pelayanan terhadap setiap pembayar pajak, 2) Pelayanan terhadap semua pembayar pajak, dan 3) Produktivitas yang dibangun melalui lingkungan kerja yang mempunyai
kualitas tinggi. (https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategik-suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015).
Manajemen strategi juga sudah diterapkan di Indonesia salah satunya
adalah dalam bidang pendidikan. Nawawi (2005:147) dalam tulisannya
Departemen Pendidikan Nasional sebagai organisasi pengelola melakukan proses
manajemen stratejik yaitu dengan mengendalikan strategi dan pelaksanaan
pendidikan nasional yang diwujudkan dalam Sistem Pendidikan Nasional baik
secara formal (pendidikan jalur sekolah) maupun pendidikan non formal
(pendidikan jalur luar sekolah). Proses manajemen strategi dilakukan dengan
efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi yaitu warganegara atau
lulusan yang berkualitas dan kompetitif. Selain itu analisis SWOT sebagai salah
37
satu alat dalam manajemen strategi juga sudah diterapkan dalam sistem
pendidikan nasional yaitu dengan adanya pertimbangan sosio kultural yang
mewarnai proses dan situasi pendidikan dan berdampak pada lulusan yang sesuai
dengan kebijakan pemerintah masing–masing daerah atau negara.
Menurut Nawawi (2005:148-149), pengertian manajemen strategik ada 4
(empat). Pengertian pertama Manajemen Strategik adalah “proses atau rangkaian
kegiatan pengambilan keputusan yang bersifat mendasar dan menyeluruh, disertai
penetapan cara melaksanakannya, yang dibuat oleh manajemen puncak dan
dimplementasikan oleh seluruh jajaran di dalam suatu organiasasi, untuk
mencapai tujuannya”.
Dari pengertian tersebut terdapat beberapa aspek yang penting, antara lain:
a. Manajemen Strategik merupakan proses pengambilan keputusan. b. Keputusan yang ditetapkan bersifat mendasar dan menyeluruh yang berarti
berkenaan dengan aspek-aspek yang penting dalam kehidupan sebuah organisasi, terutama tujuannya dan cara melaksanakan atau cara mencapainya.
c. Pembuatan keputusan tersebut harus dilakukan atau sekurang-kurangnya melibatkan pimpinan puncak (kepala sekolah), sebagai penanggung jawab utama pada keberhasilan atau kegagalan organisasinya.
d. Pengimplementasian keputusan tersebut sebagai strategi organisasi untuk mencapai tujuan strategiknya dilakukan oleh seluruh jajaran organisasi (warga sekolah), seluruhnya harus mengetahui dan menjalankan peranan sesuai wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
e. Keputusan yang ditetapkan manajemen puncak (kepala sekolah) harus diimplementasikan oleh seluruh warga sekolah dalam bentuk kegiatan/pelaksanaan pekerjaan yang terarah pada tujuan strategik organisasi.
Pengertian manajemen strategik yang kedua adalah “usaha manajerial
menumbuh kembangkan kekuatan organisasi untuk mengeksploitasi peluang yang
38
muncul guna mencapai tujuannya yang telah ditetapkan sesuai dengan misi yang
telah ditentukan”. Dari pengertian tersebut terdapat konsep yang secara relatif
luas dari pengertian pertama yang menekankan bahwa “manajemen strategik
merupakan usaha manajerial menumbuh kembangkan kekuatan organisasi”,
yang mengharuskan kepala sekolah dengan atau tanpa bantuan manajer
bawahannya (Wakil Kepala Sekolah, Pembina Osis, Kepala Tata Usaha), untuk
mengenali aspek-aspek kekuatan organisasi yang sesuai dengan misinya yang
harus ditumbuhkembangkan guna mencapai tujuan strategik yang telah
ditetapkan. Untuk setiap peluang atau kesempatan yang terbuka harus
dimanfaatkan secara optimal.
Pengertian yang ketiga, Manajemen Strategik adalah “arus keputusan dan
tindakan yang mengarah pada pengembangan strategi yang efektif untuk
membantu mencapai tujuan organisasi”. Pengertian ini menekankan bahwa arus
keputusan dari para pimpinan organisasi (Kepala Dinas, Kepala Sekolah) dan
tindakan berupa pelaksanaan keputusan, harus menghasilkan satu atau lebih
strategis, sehingga dapat memilih yang paling efektif atau yang paling handal
dalam usaha mencapai tujuan organisasi.
Pengertian yang keempat, “manajemen strategik adalah perencanaan
berskala besar (disebut Perencanaan Strategik) yang berorientasi pada jangkauan
masa depan yang jauh (disebut VISI), dan ditetapkan sebagai keputusan
manajemen puncak (keputusan yang bersifat mendasar dan prinsipil), agar
memungkinkan organisasi berinteraksi secara efektif (disebut MISI), dalam usaha
menghasilkan sesuatu (Perencanaan Operasional) yang berkualitas, dengan
39
diarahkan pada optimalisasi pencapaian tujuan (disebut Tujuan Strategik) dan
berbagai sasaran (Tujuan Operasional) organisasi”. Pengertian yang cukup luas
ini menunjukkan bahwa Manajemen Strategik merupakan suatu sistem yang
sebagai satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan
saling mempengaruhi, dan bergerak secara serentak ke arah yang sama pula.
Komponen pertama adalah Perencanaan Strategik dengan unsur-unsurnya
yang terdiri dari Visi, Misi, Tujuan Strategik organisasi. Sedang komponen kedua
adalah Perencanaan Operasional dengan unsur-unsurnya adalah Sasaran atau
Tujuan Operasional, Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan dan fungsi penganggaran, kebijaksanaan
situasional, jaringan kerja Internal dan eksternal, fungsi kontrol dan evaluasi serta
umpan balik. Manajemen strategik sebagai suatu sistem dapat dilihat
pada gambar 2.5 berikut:
(Sumber: Nawawi, 2005:151)
Gambar 2.5
Model Manajemen Strategi Sebagai Sistem Menurut Nawawi
40
Di samping itu dari pengertian Manajemen Strategik yang terakhir,
dapat disimpulkan beberapa karakteristiknya sebagai berikut (Nawawi, 2005:151):
a. Manajemen Strategik diwujudkan dalam bentuk perencanaan berskala besar dalam arti mencakup seluruh komponen di lingkungan sebuah organisasi yang dituangkan dalam bentuk Rencana Strategik (RENSTRA) yang dijabarkan menjadi Perencanaan Operasional (RENOP), yang kemudian dijabarkan pula dalam bentuk program-program kerja.
b. Rencana Strategik berorientasi pada jangkauan masa depan ( 25 – 30 tahun). Sedang Rencana Operasionalnya ditetapkan untuk setiap tahun atau setiap lima tahun.
c. VISI, MISI, pemilihan strategik yang menghasilkan Strategi Utama (Induk) dan Tujuan Strategik Organisasi untuk jangka panjang, merupakan acuan dalam merumuskan RENSTRA, namun dalam teknik penempatannya sebagai keputusan Manajemen Puncak secara tertulis semua acuan tersebut terdapat di dalamnya.
d. RENSTRA dijabarkan menjadi RENOP yang antara lain berisi program-program operasional.
e. Penetapan RENSTRA dan RENOP harus melibatkan Manajemen Puncak (Pimpinan) karena sifatnya sangat mendasar dalam pelaksanaan seluruh misi organisasi.
f. Pengimplementasian Strategi dalam program-program untuk mencapai sasarannya masing–masing dilakukan melalui fungsi-fungsi manajemen yang mencakup pengorganisasian, pelaksanaan, penganggaran dan kontrol.
Adapun beberapa penjabaran tentang Pendekatan Alternatif Manajemen
Strategi Organisasi Publik, yaitu sebagai berikut:
2.1.4.1 Model Kebijakan Harvard
Model ini merupakan model yang paling banyak digunakan. Pendekatan
ini menekankan pada pengembangan organisasi dengan lingkungannya.
Pencapaian kesesuaian ini dinilai oleh ahli strategi melalui analisis kekuatan,
kelemahan, peluang, dan ancaman, dikenal sebagai analisis SWOT (strengths,
weaknesses, opportunities, and threats). Penilaian ini mengarahkan organisasi
untuk mengembangkan strategi dalam membangun kekuatan, mengatasi
41
kelemahan, mengatasi ancaman, dan mengeskploitasi peluang. Di dalam model
ini, manajer strategi akan menggunakan model SWOT untuk menguji sifat
permintaan dan tekanan pihak eksternal, mengidentifikasi peluang dan kendala
sumber daya, menetapkan peluang program, menemukan ancaman politik,
menetapkan tujuandan prioritas organisasi, dan menilai kapasitas internal.
Berdasarkan pertimbangan ini, strategi perencanaan dan tindakan dapat
dikembangkan untuk mencapai kerjasama organisasi dengan lingkungan (Jurnal:
Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju
Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/
pada hari sabtu 28 Februari 2015).
2.1.4.2 Model Sistem Perencanaan Strategi
Menurut Bryson perencanaan strategis merupakan suatu sistem dimana
manajer membuat, mengimplementasikan, dan mengendalikan keputusan penting
lintas fungsi dan level dalam perusahaan. Sistem perencanaan strategis harus
menjawab empat pertanyaan mendasar yaitu:
1) Kemana kita pergi (misi), 2) bagaimana kita memperolehnya (strategi), 3) apakah cetak biru tindakan kita (anggaran), dan 4) bagaimana kita mengetahui jalur yang kita lalui (pengendalian)
(Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015).
42
2.1.4.3 Model Stakeholder
Freeman (1984) pendekatan stakeholder pada manajemen strategis
dipahami sebagai pemangku kepentingan pada pengakuan dari ke yang bersaing
baik di dalam maupun di mana organisasi. Dari kesempulan ini, tugas kritis dan
ahli strategis adalah untuk mengapresiasi kepentingan stakeholder dalam
merumuskan strategi untuk mengoptimalkan dukungan pada organisasi. Dalam
kenyatahaan organisasi untuk menempatkan diri pada lingkungan internal dan
eksternal dalam mengidentifikasi pelaku yang mempengaruhi organisasi dalam
mentapkan pemangku stakeholder dan menilai sifat hubungan kekuasaan dan
ketergantungan untuk melindungi dari ancaman, mengembangkan dukungan pada
program dan kebijakan, memperoleh sumber daya yang dibutuhkan. Secara
internal organisasi membutuhkan pembangunan kapasitas dalam memperoleh
pengendalian terhadap berpikir kritis (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen
Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses
melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015).
Studi mengenai manajemen strategis (Wechsler dan Backoff, 1986, 1987)
menunjukkan beberapa agensi dengan menggunakan pendekatan dalam
manajemen strategisnya, dari perspektif Department of Natural Resources,
permintaan terhadap tanggung jawab program dan perbedaan konstitusional
menghadirkan dua tantangan utama yaitu pertama, menyangkut kehadiran setiap
kelompok stakeholder dan mengembangkan permintaan.Kedua, stakeholder
rmempunyai suatu kepentingan lebih besar dan komitmen pada departemen yang
43
mempunyai kepentingan khusus (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis
Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui
situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015).
2.1.4.4 Model Isu Strategi
Pendekatan ini diperkenalkan oleh Ansoff (1980) yang menjelaskan suatu
isu strategis sebagai perkembangan yang akan datang baik dalam organisasi
maupun di luar organisasi, yang mempunyai pengaruh penting pada kemampuan
organisasi untuk memenuhi syarat. Sistem manajemen isu strategis menekankan
pada identifikasi awal dan tanggapan cepat pada perubahan yang dapat
mempengaruhi organisasi di masa depan. Aktivitas yang berhubungan dengan
manajemen isu strategis meliputi pada daftar isu strategis kunci yang mutakhir,
memonitor lingkungan untuk isu yang muncul, merancang isu pada kelompok
manajemen isu strategis, dan pemilihan tindakan yang diambil dari organisasi
untuk memecahkan isu prioritas (Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis
Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui
situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015).
2.1.5 Konsep Konflik
2.1.5.1 Pengertian Konflik
Konflik merupakan gejala sosial yang serba hadir dalam kehidupan sosial,
di dalam setiap kehidupan sosial tidak ada satu pun manusia yang memiliki
kesamaan yang persis, baik dari unsur etnis, kepentingan, kemauan, kehendak,
44
tujuan dan sebagaianya. Dari setiap konflik ada diantarnya yang dapat
diselesaikan, akan tetapi ada juga yang tidak dapat diselesaikan sehingga
menimbulkan beberapa aksi kekerasan. Kekerasan merupakan gejala tidak dapat
diatasinya akar konflik sehingga menimbulkan kekerasan dari model kekerasan
yang tekecil hingga peperangan.
Istilah konflik secara etimoligis berasal dari bahasa latin “con” yang
berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan (Setiadi &
Kolip, 2011: 345). Lebih lanjut Webster dalam Pruitt dan Rabin (2011:9)
menyatakan bahwa “conflict” dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian,
peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa
pihak. Tetapi arti kata itu berkembang dengan masukan “ketidaksepakatan yang
tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan Ide, dan lain-lain”. Dengan demikian
istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek psikologi, di balik konfrontasi
fisik yang terjadi selain konfrontasi fisik itu sendiri.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 587) Konflik artinya
percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu
pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh
dikehidupan. Soekanto (1993: 99) menjelaskan bahwa:
“Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku”.
Dalam pengertian lain, konflik merupakan suatu proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang
45
saling menentang dengan ancaman kekerasan (Narwoko & Suyanto, 2005:68).
Sedangkan menurut lawang (1994:53):
“Konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, sosisal dan budaya) yang relatif terbatas”.
Konflik terjadi ketika seseorang menginginkan anggota kelompok lain
melakukan hal-hal yang tidak di inginkan dan tidak memiliki kekuatan yang
cukup utnuk mengatasi ketidakinginannya (Johnson & Johnson, 2000:24).
Dari berbagai pengertian di atas dapat di ambul kesimpulan bahwa konflik
adalah percekcokan, perselisihan dan pertentangan yang terjadi antar anggota atau
masyarakat dengan tujuan mencapai sesuatu yang diinginkan dengan cara saling
menentang dengan ancaman kekerasan. Konflik sosial adalah suatu bentuk
intraksi sosial antara satu pihak dengan pihak lain di dalam masyarakat yang
ditandai dengan adanya sikap saling mengancam, menekan, hingga saling
menghancurkan.
2.1.5.2 Bentuk Konflik
Secara garis besar konflik dalam masyarakat dapat diklasifikasikan
kedalam beberapa bentuk konflik berikut ini:
1. Berdasarkan Sifatnya
46
Berdasarkan sifatnya, menurut Lauer (2001:98) konflik dapat dibedakan
menjadi konflik destruktif dan konflik konstruktif.
Konflik Destruktif Merupakan konflik yang muncul karena adanya perasaan tidak senang, rasa benci dan dendam dari seorang ataupun kelompok terhadap pihak lain. Pada konflik ini terjadi bentrok-bentrok fisik yang mengakibatkan hilangnya nyawa dan harta benda seperti konflik Poso, Ambon, Kupang, Sambas dan lain sebagainya.
Konflik Konstruktif Merupakan konflik yang bersifat fungsional, konflik ini muncul karena adanya perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok dalam menghadapi suatu permasalahan. Konflik ini akan menghasilkan suatu consensus dari berbagai pendapat tersebut dan menghasilkan suatu perbaikan. Misalnya perbadaan pendapat dalam sebuah organisasi.
2. Berdasarkan Posisi pelaku yang Berkonflik
Berdasarkan posisi pelaku yang berkonflik Kusnadi (2002:67)
membaginya menjadi 3 konflik yaitu:
Konflik Vertikal Merupakan konflik antar komponen masyarakat di dalam sutu struktur yang memiliki hierarki. Contohnya konflik yang terjadi antara atasan dengan bawahan dalam sebuah kantor.
Konflik Horizontal Merupakan konflik yang terjadi antar individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relatif sama. Contohnya konflik yang terjadi antar organisasi massa.
Konflik Diagonal Merupakan konflik yang terjadi karena adanya ketidakadilan alokasi sumber daya ke seluruh organisasi sehingga menimbulkan pertentangan yang ekstrem. Contohnya konflik yang terjadi di Aceh.
Soekanto (1992:86) membagi konflik sosial menjadi lima bentuk yaitu:
Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebaginya.
47
Konflik atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.
Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas social, yaitu konflik yang terjadi disebabkan adanya perbedaan kepentingan antara kelas social.
Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.
Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu onflik yang terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara.
Sementara itu, Coser (https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses
pada hari kamis 6 agustus 2015) menjelaskan bahwa konflik dibedakan atas dua,
yaitu sebagai berikut:
Konflik Realistis, berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan- tuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan. Contohnya para karyawan yang mogok kerja agar tuntutan mereka berupa kenaikan upah atau gaji dinaikkan.
Konflik Non- Realistis, konflik yang bukan berasal dari tujuan- tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Coser menjelaskan dalam masyarakat yang buta huruf pembasan dendam biasanya melalui ilmu gaib seperti teluh, santet dan lain- lain. Sebagaimana halnya masyarakat maju melakukan pengkambinghitaman sebagai pengganti ketidakmampuan melawan kelompok yang seharusnya menjadi lawan mereka.
2.1.5.3 Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Konflik
Setiadi dan Kolip (2011: 361) menjelaskan bahwa para sosiolog
berbendapat bahwa akar dari timbulnya konflik yaitu adanya hubungan sosial,
ekonomi, politik yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan,
48
status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaan sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat.
Ketidakmerataan pembagian asset-asset sosial di dalam masyarakat
tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan. Ketimpangan pembagian ini
menimbulkan pihak-pihak tertentu berjuang untuk mendapatkan atau
menambahkan bagi yang perolahan asset sosial relatif sedikit atau kecil.
Sementara pihak yang telah mendapatkan pembagian asset sosial tersebut
berusaha untuk mempertahankan dan bisa juga menambahinya. Pihak yang
cenderung mempertahankan dan bisa juga menambahinya disebut sebagai status
quo dan pihak yang berusahan mendapatkannya disebut status need. Pada
dasarnya, menurut Setiadi dan Kolip (2011: 361) secara sederhana penyebab
konflik dibagi dua, yaitu:
1. Kemajemukan horizontal, yang artinya adalah struktur masyarkat yang majemuk secara cultural, seperti suku bangsa, agama, ras, dan majemuk social dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi seperti patani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri, militer, wartawan, alim ulama, sopir, dan cendikiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menimbulkan konflik yang masing-masing unsur kultur tersebut mempunyai karakteristik sendiri dan masing-masing penghayat budaya tersebut ingin mempertahankan karakeristik budayanya tersebut. Dalam masyarakat yang strukturnya seperti ini, jika belum ada konsesus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik yang terjadi dapat menimbulkan perang saudara.
2. Kemajemukan vertical, yang artinya struktur masyarakat yang terpolarisasi berdasarkan kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan. Kemajemukan vertical dapat menimbulkan konflik sosial karena adanya sekelompok kecil masyarakat yagn memilik kekayaan, pendidikan yang mapan, kekuasaan dan wewenang yang besar, sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan rendah, dan tidak memiliki kekuasaan dan wewenang. Pembagian masyarakat seperti ini merupakan benih subur bagi timbulnya konflik social.
49
Namun beberapa sosiolog menjabarkan banyak faktor yang menyebabkan
terjadinya konflik-konflik, diantaranya yaitu:
1. Menurut Narwoko (2005: 68) perbedaan pendirian dan keyakinan orang perorangan telah menyebabkan konflik antar individu, dalam konflik-konflik seperti ini terjadilah bentrok-bentrokan pendirian, dan masing-masing pihak pun berusaha membinasakan lawannya. Membinasakan disini tidak selalu diartikan sebagai pembinasaan fisik, tetapi bisa pula diartikan salam bentuk permusuhan simbolik atau melenyapkan pikiran-pikiran lawan yang tidak disetujui. Di dalam realitas sosial tidak ada satu pun individu yang memiliki karakter yang sama sehingga perbedaan pendapat, tujuan, keinginan tersebutlah yang mempengaruhi timbulnya konflik social.
2. Menurut Narwoko (2005: 68) perbedaan kebudayaan, perbedaan kebudayaan tidak hanya akan menimbulkan konflik antar individu, akan tetapi bisa juga antar kelompok. Pola-pola kebidayaan yang berbeda akan menimbulkan pola-pola kepribadian dan pola-pola prilaku yang berbeda pula dikalangan khalayak kelompok yang luas. Selain itu, perbedaan kebudayaan akan mengakibatkan adanya sikap etnisentrisme yaitu sikap yang ditunjukkan kepada kelompok lain bahwa kelompoknya adalah yang paling baik. Jika masing-masing kelompok yang ada di dalam kehidupan sosial sama-sama memiliki sikap demikian, maka sikap ini akan memicu timbulnya konflik antar penganut kebudayaan.
3. Selanjutnya menurut Susanto (2006: 70) perbedaan kepentingan, mengejar kepentingan masing-masing yang berbeda-beda, kelompok-kelompok akan bersaing dan berkonflik untuk merebutkan kesempatan dan sasaran.
Perbedaan pendirian, kebudayaan, kepentingan, dan sebagainya tersebut di
atas sering terjadi pada situasi-situasi perubahan sosial. Dengan demikian
perubahan-perubahan social itu secara tidak langsung dapat dilihat sebagai
penyebab juga terjadinya (peningkatan) konflik-konflik sosial.
2.1.5.4 Dampak dari adanya Konflik terhadap Masyarakat
Ada dua dampak dari adanya konflik terhadap masyarakat, yaitu:
50
1. Dampak posisitf dari adanya konflik
Bertambahnya solidaritas intern dan rasa in-group suatu kelompok. Apabila pertentangan antara kelompok-kelompok, solidaritas antar anggota di dalam masing-masing kelmpok itu akan meningkat sekali. Solidaritas di dalam suatu kelompok, yang pada situasi normal sulit dikembangkan, akan langsung meningkat pesat saat terjadinya konflik dengan pihak-pihak luar (Narwoko, 2005: 68).
Konflik di dalam masyarakat biasanya akan menggugahkan warga masyarakat yang semula pasif menjadi aktif dalam memainkan peranan tertentu di dalam masyarakat (Narwoko, 2005: 68).
2. Dampak negative dari adanya konflik
Hancurnya kasatuan kelompok, jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan kelompok tersebut akan mengalami kehancuran (setiadi & kolip, 2011: 377).
Adanya perubahan kepribadian individu, artinya di dalam suatu kelompok yang mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif dan mudah marah lebih-lebih jika konflik tersebut berujung pada kekerasan (setiadi & kolip, 2011: 378).
Hancurnya nilai-nilai dan norma sosial yang ada, antara nilai-nilai dan norma sosial dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa saja terjadi konflik berdampak pada hancurnya nilai-nilai dan norma sosial akibat ketidak patuhan anggota masyarakat akibat dari konflik (Narwoko, 2005: 70).
2.1.5.5 Upaya-Upaya Untuk Mengatasi Konflik
Secara sosiologi, menurut Soetomo (1995: 77) proses sosial dapat
berbentuk proses sosial yang bersifat menggabungkan (associative processes) dan
proses sosial yang menceraikan (dissociative processes). Proses sosial yang
bersifat aosiatif diarahkan pada terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan sosial,
cinta kasih, kerukunan, solidaritas. Sebaliknya proses sosial yang bersifat
dissosiatif mengarah pada terciptanya nilai-nilai negative atau asosial. Seperti
kebencian, permusuhan, egoisme, kesombongan, pertentangan, perpecahan dan
51
sebaginya. Jadi proses asisiati dapat dikatakan proses positif. Proses sosial yang
dissosiatif disebut proses negative. Sehubungan dengan hal ini, maka proses sosial
yang asosiatif dapat digunakan sebagai usaha menyelesaikan konflik.
Kemudian Nasikun (2003: 22) menjelaskan beberapa bentuk penyelesaian
konflik yang lazim dipakai, yakni konsiliasi, mediasi, arbitrasi, koersi (paksaan),
détente. Urutan ini berdasarkan kebiasaan orang mencari penyelesaian suatu
masalah, yakni cara yang tidak formal lebih dahulu, kemudian cara formal, jika
cara pertama membawa hasil. Menurut Nasikun (2003: 25), bentuk-bentuk
pengendalian ada empat yaitu:
1. Konsiliasi (conciliation): pengendalian semacam ini terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan-keputusan diantara pihak-pihak yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan.
2. Mediasi (mediation): bentuk ini dilakukan bila kedua belah pihak yang bersengketa bersama-sama sepakat untuk memberikan nasihat-nasihat tentang bagaimana mereka sebaiknya menyelesaikan pertentangan mereka.
3. Arbitrasi: berasal dari kata latin arbitrium artinya melalui pengendalian, dengan seorang hakim (arbiter) sebagai pengambil keputusan. Arbitrasi berbeda dengan konsoliasi dan mediasi. Seorang arbiter memberi keputusan yang mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, artinya keputusan seorang hakim harus ditaati. Apabila salah satu pihak tidak menerima keputusan itu, ia dapat naik banding kepada pengadilan yang lebih tinggi samapai instansi pengadilan nasional yang tinggi.
4. Perwasiatan: di dalam hal ini kedua belah pula yang bertentangan bersepakat untuk memberikan kepututsan-keputusan tertentu untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara mereka.
2.1.6 Analisis S.W.O.T
Kegiatan yang paling penting dalam memahami analisis SWOT adalah
memahami seluruh informasi dalam suatu kasus, menganalisis situasi untuk
52
mengetahui isu apa yang sedang terjadi dan memutuskan tindakan apa yang harus
segera dilakukan untuk memecahkan masalah (Rangkuti, 2001: 14). SWOT
merupakan singkatan dari strengths (kekuatan-kekuatan), weaknesses (kelemahan-
kelemahan), opportunities (peluang-peluang), dan threat (ancaman-ancaman),
pengertian kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam analisis SWOT
(https://independent.academia.edu/DianPratiwi7 diakses pada hari kamis 26
Februari 2015) adalah sebagai berikut :
2.1.6.1 Kekuatan (strengths). Kekuatan sumber daya, keterampilan keunggulan lain relatif terhadap pesaing dan kebutuhan dari pasar atau suatu perusahaan.
2.1.6.2 Kelemahan (weaknesses) adalah keterbatasan/kekurangan dalam sumber daya alam, keterampilan dan kemampuan.
2.1.6.3 Peluang (opportunities). Peluang adalah situasi atau kecenderungan yang dapat memberi keuntungan.
2.1.6.4 Ancaman (threats) adalah situasi atau kecenderungan yang tidak dapat memberikan keuntungan.
Untuk lebih jelasnya lihat gambar dibawah ini:
Tabel 2.1
Analisis S.W.O.T
(Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT)
53
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan
dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan
ancaman. Proses pengambilan keputusan harus menganalisis faktor strategis pada
kondisi saat ini.
2.2 Penelitian Terdahulu
Dasar atau acuan yang berupa teori-teori atau temuan-temuan melalui hasil
berbagai penelitian sebelumnya merupakan hal yang sangat perlu dan dapat
disajikan sebagai data pendukung. Penelitian terdahulu ini bermanfaat dalam
mengelola atau memecahkan masalah yang timbul dalam konflik sosial
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Salah satu data pendukung yang
menurut peneliti perlu dijadikan bagian tersendiri adalah penelitian terdahulu
yang relevan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam penelitian ini,
walaupun fokus dan masalahnya tidak sama tapi sangat membantu peneliti
menemukan sumber-sumber pemecahan masalah penelitian ini. Berikut ini hasil
penelitian yang peneliti baca.
Pertama Penelitian yang dilakukan oleh Skripsi Anisa Utami
14010110120013 Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Diponegoro. Penelitian ini berjudul Resolusi Konflik Antar
Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus: Konflik Suku Bali Desa
Balinuraga dan Suku Lampung Desa Agom Kabupaten Lampung Selatan), tujuan
dari penelitian ini adalah untuk Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk
54
mengetahui akar penyebab konflik suku antar Desa Agom dan Desa Balinuraga.
Serta mengetahui upaya-upaya pemerintah dalam menangani konflik suku yang
terjadi di desa Agom dan desa Balinuraga. Teori yang digunakan peneliti adalah
teori konflik, resolusi konflik, dan konflik etnis dengan menggunakan metode
penelitian kualitatif deskriptif.
Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini yaitu: Konflik kekerasan yang
terjadi pada tanggal 27 oktober – 29 Oktober 2012 antara etnis Bali Desa
Balinuraga dan etnis Lampung Desa Agom merupakan puncak dari rangkaian
konflik-konflik sebelumnya yang terjadi antar etnis Bali dan etnis Lampung yang
ada di Kabupaten Lampung Selatan. Penyebab konflik-konflik yang terjadi antar
kedua etnis tersebut adalah sebagai berikut:
1) Bermula ketika tidak adanya upaya-upaya maupun sarana komunikasi
yang diciptakan kedua belah pihak sejak transmigran asal Pulau Bali
pertama kali datang di Kabupaten Lampung Selatan yaitu pada tahun
1963 pada saat Gunung Agung di Bali meletus. Pemerintah pada saat itu
tidak menempatkan transmigran asal Bali ke daerah transmigrasi yang
dihuni oleh penduduk-penduduk asli. Sehingga tidak ada sarana
komunikasi secara langsung yang baik antar masyarakat pendatang dan
penduduk asli.
2) Adanya keberagaman karakteristik sistem sosial.
3) Masing-masing memiliki sifat sombong, selalu menaruh perasaan curiga
terhadap orang lain, berfikir negatif kepada orang lain, dan susah
mengendalikan emosinya. Tidak adanya kedekatan secara pribadi antar
55
kedua etnis tersebut menimbulkan prasangka atau prejudice antar etnis
Bali dan etnis Lampung. Masing-masing memliki perasaan negatif yang
menunjukkan sikap bermusuhan atau perilaku diskriminatif satu sama
lain. Hal tersebut memicu konflik-konflik kecil antar kedua etnis yang
bisa dikatakan akibat masalah-masalah kecil.
4) Kebutuhan masing-masing salah satu warga yang tidak terpenuhi
kemudian membawa-bawa nama suku masing-masing seperti itulah yang
membuat konflik timbul antar etnis Bali di Desa Balinuraga dan etnis
Lampung di Desa Agom.
5) Konflik terjadi dikarenakan emosi yang telah memuncak akumulasi dari
konflik-konflik kecil yang pernah terjadi sebelumnya.
6) Dari semua faktor-faktor penyebab konflik diatas, faktor yang paling
dominan pada penyebab konflik antar etnis di Kabupaten Lampung
Selatan adalah kurangnya ruang interaksi antar masyarakat yang berbeda
etnis. Faktor historis ketika masyrakat etnis Bali pertama kali melakukan
transmigrasi ke Kabupaten Lampung Selatan dan ditempatkan pada
suatu daerah yang tidak berpenghuni dan tidak ada penduduk asli
membuat pemukiman penduduk etnis Bali menjadi terkesan eksklusif
dan tidak berbaur dengan penduduk asli maupun etnis lainnya yang ada
di Kabupaten Lampung Selatan. Padahal kesan ekslusif tersebut
terbentuk oleh karena kesenjangan sosial yang sangat jelas terlihat
diantara kedua desa. Masyarakat etnis Bali mempunyai kelebihan yaitu
56
sifat yang tekundan ulet dalam bekerja dibanding etnis pribumi sehingga
kondisi ekonomi masyarakat etnis Bali terbilang sangat baik.
Kedua penelitian yang dilakukan oleh Bethra Ariestha 1550406053
Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang Tahun
2013 yang berjudul Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik Di Lampung Selatan
(Studi Kasus Kerusuhan Antara Etnik Lampung dan Etnik Bali di Lampung
Selatan). Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui dan memahami faktor-faktor
yang memicu terjadinya konflik kerusuhan antar etnik di Lampung Selatan.
Mengetahui dan memahami proses terjadinya konflik kerusuhan antara Etnik Bali
dan Etnik Lampung pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012. Mengetahui
perubahan kondisi masyarakat kedua etnik pasca konflik kerusuhan antara kedua
etnik mereda. Teori yang digunakan adalah Teori yang digunakan peneliti adalah
Konsep Konflik Sosial, kemudian metode yang digunakan adalah Kualitatif.
Hasil dan kesimpulan dari penelitian ini yaitu: Hasil penelitian
disimpulkan bahwa konflik yang terjadi antara Etnik Bali (Balinuraga) dan Etnik
Lampung (Agom) pada tanggal 27 sampai dengan 29 Oktober 2012 disebabkan
oleh satu akar penyebab utama dengan beberapa faktor yang memperkuat. Faktor-
faktor tersebut saling berkaitan antara satu sama lain, yaitu:
1) Akar penyebab utama (primer), yaitu perilaku Etnik Bali (Balinuraga)
dalam hidup bermasyarakat yang dianggap menyinggung perasaan dan
tidak sesuai dengan adat istiadat etnik pribumi (Etnik Lampung).
2) Faktor yang memperkuat (sekunder), yaitu:
57
Dendam dari konflik-konflik sebelumnya yang melibatkan Etnik Bali
(Balinuraga) dengan desa-desa mayoritas Etnik Lampung di sekitar
Desa Balinuraga.
Masalah ekonomi, yaitu perasaan sakit hati dari Etnik Lampung,
karena banyak tanah penduduk yang beralih tangan kepada warga Desa
Balinuraga melalui jerat hutang.
Penyelesaian konflik-konflik terdahulu yang tidak pernah tuntas
menyentuh sampai akar permasalahan konflik. Penyelesaian konflik
tampak hanya terselesaikan di permukaan saja dan ditataran elit tokoh
kedua etnik, namun tidak pernah menyentuh ke masyarakat di tataran
lapangan yang langsung bersentuhan dengan konflik, menjadi pelaku
konflik, serta turut menjadi korban yang dirugikan dari konflik yang
ada.
Pelanggaran atas perdamaian yang telah disepakati serta belum ada
penerapan sanksi yang tegas terhadap pihak-pihak yang melanggar dan
mengakibatkan konflik terulang kembali.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Anisa Utamidan Bethra
Ariestha dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah Menggunakan studi
kasus tentang Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan dan menggunakan
Metode kualitatif Deskriptif, namun terdapat perbedaan yang ada dalam kedua
penelitian ini yaitu penelitian yang dilakukan oleh Anisa Utami fokus
penelitiannya pada Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan,
dan penelitian yang dilakukan oleh Bethra Ariestha berfokus pada akar dari
58
konflik kependudukan, sementara penulis lebih memfokuskan penelitian terhadap
manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung
Selatan.
2.3 Kerangka Berfikir
Sugiyono (2005:66), menjelaskan kerangka berpikir adalah sintesa tentang
hubungan antara-variabel yang disusun dari berbagai teori yang telah
dideskripsikan. Berdasarkan teori-teori yang telah dideskripsikan, selanjutnya
dianalisis secara kritis dan sistematis sehingga menghasilkan sintesa tentang
hubungan antar-variabel yang diteliti. Uma Sakaran dalam bukunya business
research (1991) dalam Sugiyono (2005:65) mengemukakan bahwa kerangka
berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berrhubungan
dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasikan sebagai masalah yang penting.
Berdasarkan fokus penelitian yang peneliti lakukan yakni tentang
Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten
Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku
Pendatang Bali Tahun 2012), kemajemukan masyarakat di Provinsi Lampung
merupakan kekayaan budaya bangsa namun di sisi lain juga memiliki potensi
untuk menjadi sebuah konflik. Persoalan konflik termasuk yang menyangkut
kepentingan publik (keamanan), dimana memahami peran pemerintah dalam
merespon persoalan publik adalah sesuatu yang sangat penting. Kemampuan
pemerintah dalam pengelolaan konflik yang setiap waktu dapat terjadi. Maka dari
itu kehadiran Negara mutlak diperlukan dalam penangan konflik yang terjadi.
59
Pada observasi awal yang peneliti lakukan, peneliti menemukan beberapa
permasalahan, diantaranya yaitu: Pertama Kemajemukan masyarakat Provinsi
Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat
Provinsi tersebut rentan akan Konflik sosial, Kedua Konflik yang terjadi di
Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku/budaya namun juga
karena faktor ekonomi dan sentiment agama, Ketiga Konflik yang sudah terjadi
berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparatur
hukum sehingga mengakibatkan konflik yang lebih besar, Keempat Kurang
tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang terjadi di
Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang tewas, Kelima
Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak
merangkul seluruh masyarakat.
Selanjutnya merujuk pada fokus penelitian ini yaitu mengenai Manajemen
Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan
(Studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali
Tahun 2012), peneliti menggunakan teori Manajemen Strategi sebagai Sistem
yang dikemukanan oleh Hadari Nawawi, yang terdiri dari 2 (dua) Komponen
yaitu: (1) Perancanaan Strategi, (2) Perencanaan Operasional. Mengacu pada
deskripsi teori diatas, langkah berikutnya komponen-komponen tersebut akan
dianalisis sesuai dengan fokus penelitian sehingga menghasilkan output atau
keluaran berupa gambaran mengenai Manajemen Strategi yang dilakukan dalam
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Hal ini akan
menjadi bahan masukan atau outcome bahwa dengan upaya strategi yang
60
dilakukan oleh Pemerintah diharapkan dapat meminimalkan terjadinya konflik
kembali. Dari uraian yang telah dijelaskan tersebut, penulis membuat sebuah
kerangka pemikiran yang dijadikan sebagai dasar acuan dalam melakukan
penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
Gambar 2.6
Kerangka Pemikiran Peneliti
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
Identifikasi Masalah
1. Kemajemukan masyarakat Provinsi Lampung yang diakibatkan Program Transmigrasi pada era Orde Baru membuat Provinsi tersebut rentan akan Konflik sosial.
2. Konflik yang terjadi di Provinsi Lampung bukan hanya karena faktor perbedaan suku/budaya namun juga karena faktor ekonomi dan sentiment agama.
3. Konflik yang sudah terjadi berkali-kali di Kabupaten Lampung Selatan kurang ditindak tegas oleh aparatur hukum sehingga mengakibatkan konflik yang lebih besar.
4. Kurang tanggapnya Pemerintah dalam penyelesaian kependudukan yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan sehingga banyak korban yang tewas.
5. Penanganan konflik (Resolusi Konflik) yang dilakukan pemerintah tidak merangkul seluruh masyarakat.
Outcome
Dengan upaya strategi yang dilakukan oleh Pemerintah diharapkan dapat meminimalkan terjadinya konflik kembali.
Hasil Penelitian
Gambaran mengenai Manajemen Strategi yang dilakukan dalam penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan
Teori Penelitian
Model Manajemen Strategi Sebagai Sistem Nawawi (2005: 151):
1. Perancanaan Strategi 2. Perencanaan Operasional
61
2.4 Asumsi Dasar
Berdasarkan pada kerangka berpikir yang telah dipaparkan di atas, peneliti
telah melakukan observasi awal terhadap objek penelitian. Maka peneliti
berasumsi bahwa Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan Di Kabupaten
Lampung Selatan dalam pelaksanaanya ternyata belum terencana dan berjalan
dengan baik.
62
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Dan Metode Penelitian
Metode penelitian sangat erat dengan tipe penelitian yang digunakan,
karena tiap-tiap dan tujuan penelitian yang didesain memiliki konsekuensi pada
pilihan metode penelitian yang tepat, guna mencapai tujuan penelitian tersebut.
Sugiyono (2012:2). Metode penelitian pada dasarnya merupakan cara ilmiah
untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti
kegiatan penelitian ini berdasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris
dan sistematis. Rasional berarti kegiatan penelitian itu dilakukan dengan cara-cara
yang masuk akal, sehingga terjangkau oleh penalaran manusia. Empiris berarti
cara-cara yang dilakukan itu dapat diamati oleh penalaran manusia. Sistematis
berarti proses yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan langkah-langkah
tertentu bersifat logis.
Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah melalui
pendekatan kualitatif. Artinya data yang dikumpulkan bukan berupa angka-angka,
melainkan data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan,
dokumen pribadi, catatan memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang
menjadi tujuan dari penelitian kualititaif ini adalah ingin menggambarkan realitas
empirik dibalik instrumen secara mendalam, rinci dan tuntas. Metode penelitian
ini ada karena terjadi perubahan paradigma dalam memandang satu fenomena
63
sosial. Dalam paradigma ini fenomena sosial dipandang sebagai sesuatu yang
kompleks, dinamis dan penuh makna. Paradigma yang demikian tersebut
paradigma positivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi objek yang
alamiah, dimana penelitian adalah instrument kunci. Teknik pengumpulan data
dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis dan bersifat induktif dan hasil
penelitian lebih menekankan makna dari pada generalisasi (Sugiyono,2012:9).
3.2 Ruang Lingkup / Fokus Penelitian
Dengan memperhatikan identifikasi masalah yang sudah dikemukakan
sebelumnya maka fokus penelitian ini adalah terhadap manajemen strategi
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan.
3.3 Lokasi Penelitian
Dengan melihat tema/judul penelitian ini mengenai manajemen strategi
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan, maka
peneliti menunjuk tempat penelitian atau yang akan menjadi lokus penelitian ini
adalah berlokasi di Kabupaten Lampung Selatan.
3.4 Fenomena Yang Diamati
3.4.1 Definisi Konsep
Devinisi konseptual digunakan untuk menegaskan konsep-konsep yang
jelas yang digunakan supaya tidak menjadi perbedaan penafsiran antara penulis
dan pembaca. Konsep-konsep yang di gunakan dalam teori ini adalah:
64
3.4.1.1 Model Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik Nawawi
Nawawi menjabarkan proses manajemen strategi sebagai sebuah sistem
dengan tahapan: 1) Perancanaan strategi dengan unsur-unsurnya yaitu: Visi, Misi
dan tujuan organisasi, 2) Perencanaan operasional dengan unsur-unsurnya yaitu:
sasaran operasional, pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi
pengorganisasian, fungsi Pelaksanaan, fungsi penganggaran), kebijakan
situasional, jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan
evaluasi serta umpan balik.
3.4.2 Definisi Operasional
Definisi operasional merupakan penjabaran konsep atau variabel penelitian
dalam rincian yang terukur (indikator penelitian), dan yang menjadi variabel
dalam penelitian ini yaitu “Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik
Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan”. Maka dalam penjelasan definisi
oprasional ini akan dikemukakan fenomena-fenomena penelitian yang berkaitan
dengan konsep yang digunakan, dalam hal ini peneliti menggunakan teori Model
Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik sebagai sebuah sistem menurut
Nawawi, keberhasilannya suatu manajemen strategi ditentukan oleh proses
manajemen strategi yang meliputi 2 komponen dasar, adapun indikator dari teori
tersebut adalah:
1. Perancanaan strategi dengan unsur-unsurnya yaitu:
Visi,
65
Misi,
Tujuan Organisasi.
2. Perencanaan operasional dengan unsur-unsurnya yaitu:
Sasaran operasional,
Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran),
Kebijakan situasional,
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal,
Fungsi kontrol dan evaluasi,
Umpan balik
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian
NO Variabel Dimensi Sub Dimensi 1 Perencanaan
Strategi Visi Faktor yang Mempengaruhi Visi
Kesesuaian Visi untuk Penanganan Konflik
Misi Kesesuaian Misi untuk menjalankan visi Misi jangka panjang untuk penanganan konflik
Tujuan Strategi Organisasi
Tujuan organisasi dengan visi dan misi yang dibuat
2 Perencanaan Operasional
Sasaran operasional Ketentuan sasaran operasional Kesesuaian sasaran operasional
Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen
Kejelasan fungsi pengorganisasian Kejelasan fungsi pelaksanaan Kejelasan fungsi penganggaran
Kebijakan situasional Kebijakan pemerintah Proses Penyelesaian Konflik
Jaringan kerja Jaringan kerja internal Jaringan kerja eksternal
Fungsi Kontrol dan evaluasi
Pengawasan pemerintah Kekurangan dalam penyelesaian konflik
Umpan balik Respon dan Partisipasi masyarakat (Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
66
3.5 Instrumen Penelitian
Dalam suatu penelitian diperlukan suatu alat ukur yang tepat dalam proses
pengolahannya. Hal ini untuk mencapai hasil yang diinginkan. Alat ukur dalam
penelitian disebut juga instrument penelitian atau dengan kata lain bahwa pada
dasarnya instrument penelitian adalah suatu alat yang digunakan dalam
pengukuran fenomena alam atau sosial yang diamati. Dalam penelitian mengenai
Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten Lampung
Selatan (Studi kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku Pendatang
Bali 2012), yang menjadi instrument utamanya adalah peneliti sendiri.
Moleong (2005:19) pencari tahu alamiah (peneliti) dalam pengumpulan
data lebih banyak bergantung pada dirinya sebagai alat pengumpul data,
sedangkan menurut Irawan (2006:17) dalam sebuah penelitian kualitatif yang
menjadi instrumen terpenting adalah peneliti sendiri. Oleh karena itu peneliti
sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti kualitatif siap
melakukan penelitian yang selanjutnya terjun kelapangan. Menurut Nasution
dalam. Sugiyono, (2012:224) peniliti sebagai instrument penelitian serupa karena
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulant dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bagi peneliti.
2. Peneliti sebagai alat dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka data sekaligus
3. Tiap situasi merupakan kesaluruhan. Tidak ada suatu instrument berupa tes atau angket yang dapat menganggkap keseluruhan situasi, kecuali manusia.
67
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata. Untuk memahaminya kita perlu sering merasakannnya, menyelaminya berdasarkan pengetahuan kita.
5. Peneliti sebagai instrument dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan dapat menafsirkan.
6. Hanya manusia sebagai instrument dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan akan menggunakan segera sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan.
7. Dengan manusia sebagai instrument, respon yang aneh, yang menyimpang justru diberikan perhatian. Respon yang lain dari pada yang lain, bahkan yang bertentangan dipakai untuk mempertinggi tingkat kepercayaan dan tingkat pemahaman mengenai aspek yang diteliti.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa, dalam penelitian
kualitatif pada awalnya dimana permasalahan belum jelas dan pasti, maka yang
menjadi instrumen adalah peneliti itu sendiri. Tetapi setelah masalah yang akan
dipelajari itu jelas, maka dapat dikembangkan satu instrument.
3.6 Informan Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi, tetapi oleh
Spadley dalam Sugiyono dinamakan ” Social situation” atau situasi sosial yang
terdiri atas tiga elemen yaitu : tempat (place), pelaku (actors), dan aktivitas
(activity) yang berinteraksi secara sinergis. Sampel dalam penelitian kualitatif
bukan dinamakan responden, tetapi sebagai narasumber, atau partisipan,
informan.
Dalam penelitian mengenai Manajemen Strategi Penyelesaian Konflik
Kependudukan Di Kabupaten Lampung Selatan (Studi Kasus Konflik Antar Suku
Asli Lampung Dengan Suku Pendatang Bali Tahun 2012), penentuan informan
dalam penelitian ini di ambil dengan menggunakan teknik Purposive. Teknik
68
purposive ini adalah teknik pengambilan sumber data langsung pada sasaran atau
tujuan. Peneliti menggunakan teknik purposive, di karenakan peneliti mengetahui
secara jelas siapa saja yang akan peneliti pilih untuk menjadi responden pada
penelitian untuk mengetahui bagaimana manajemen strategi penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan. Informan tersebut ditentukan dan
ditetapkan tidak berdasrkan pada jumlah yang dibutuhkan, melainkan berdasarkan
pertimbangan fungsi dan peran informan sesuai fokus masalah penelitian.
(Sugiyono, 2012: 246).
Bungin, Burhan dalam bukunya analisis data penelitian kualitatif (2007:53)
prosedur sampling yang terpenting dalam penelitian kualitatif adalah bagaimana
menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang serat
informan sesuai dengan fokus penelitian. Menurut Denzim K (2009: 290), bahwa
penentuan key informan disebut pemilihan partisipasi pertama (the primary
selection), yaitu pemilihan secara langsung memberi peluang bagi peneliti untuk
menentukan sampel dari sekian informan yang ditemui. Sedangkan jika peneliti
tidak dapat menentukan partisipasi secara langsung, secara alternatif peneliti dapat
melakukan pemilihan informan kedua (secondary selection).
Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah key informan, yang
mana key informan merupakan narasumber yang utama. Dalam penelitian ini yang
menjadi key informan adalah:
1. Kepala Bidang Linmas dan Penanggulangan Konflik Kesbangpol
Lampung Selatan
69
2. Kasat Binmas Polres Lampung Selatan
3. Forum/Lembaga Penanganan Konflik
4. Kepala Desa Agom
5. Kepala Desa Balinuraga
Kemudian yang mejadi Secondary informannya adalah sebagai berikut:
1. Tokoh Masyarakat Lampung Desa Agom
2. Masyarakat Lampung Desa Agom
3. Tokoh masyarakat desa Balinuraga.
4. Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel
Tabel 3.2 Informan Penelitian
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
No Kode Informan Keterangan
1 I1 Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan Key Informan
2 I2 Kasat Binmas Polres Lampung Selatan Key Informan
3 I3.1 Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat Key Informan
4 I3.2 Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya Key Informan
5 I3.3 Sekretaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung/ Kabag Umum DPRD Kab. Lampung Selatan Key Informan
6 I4.1 Kepala Desa Agom Key Informan 7 I4.2 Masyarakat Lampung Desa Agom Secondary Informan
8 I4.3 Masyarakat Lampung Desa Agom Secondary Informan
9 I5.1 Kepala Desa Balinuraga Key Informan
10 I5.2 Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga Key Informan
11 I5.3 Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga Secondary Informan
12 I6 Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel Secondary Informan
70
3.7 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
3.7.1 Teknik Pengolahan Data
Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan oleh peneliti
untuk mendapatkan data-data yang diperlukan dalam penelitiannya. Dalam
penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam berbagai teknik pengumpulan data
yaitu, wawancara, observasi, dokumentasi, studi kepustakaan.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan beberapa
teknik seperti wawancara, observasi, dokumentasi, dan studi kepustakaan, yang
mana teknik-teknik tersebut diharapkan dapat memperoleh data dan informasi
yang dibutuhkan oleh peneliti dalam penelitiannya.
3.7.1.1 Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan berbagai setting, berbagai
sumber dan berbagai cara (Sugiyono,2012:224). Teknik pengumpulan data kali ini
yang digunakan adalah: wawancara tidak terstruktur, dimana wawancara bebas.
Dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun
secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Observasi yaitu
pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan terhadap kegiatan yang
dilakukan sumber penelitian dilapangan. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan
observasi non partisipasi artinya hanya sebagai pengamat saja.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:
71
1. Wawancara
Mukthar (2013: 101) Teknik wawancara adalah teknik memperoleh
informasi secara langsung melalui permintaan keterangan-keterangan kepada
pihak pertama yang dipandang dapat memberikan keterangan atau jawaban
terhadap pernyataan yang diajukan. Sugiyono (2005:157) Wawancara digunakan
sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi
pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti.
Alwasillah (2006:154) menjelaskan bawha melalui wawancara penulis
bisa mendapatkan informasi yang mendalam (in-dep-information) karena peneliti
dapat menjelaskan pertanyaan yang tidak dimengerti responden, peneliti dapat
mengajukan pertanyaan usulan (follow up question), responden cendrung
menjawab apabila diberi pertanyaan, juga responden dapat menceritakan sesuatu
yang terjadi di masa silam dan masa mendatang.
Dalam penelitian kualitatif, wawancara dilakukan secara mendalam. Untuk
itu dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data secara
terstruktur, akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga untuk menggunakan
wawancara tidak terstruktur guna memperkaya data yang digunakan peneliti.
Wawancara terstruktur adalah wawancara yang dilakukan menggunakan
instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis. Sedangkan,
wawancara tidak struktur adalah wawancara yang dilakukan secara bebas dimana
peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun secara
sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
72
a. Dimensi Teori
Proses manajemen strategi menurut Nawawi sebagai sebuah sistem
dengan tahapan: 1) Perancanaan strategi dimana memiliki unsur-unsurnya yaitu:
Visi, Misi dan tujuan organisasi, kemudian pada tahap kedua 2) Perencanaan
operasional dimana memiliki unsur-unsurnya yaitu: sasaran operasional,
pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi pengorganisasian, fungsi
Pelaksanaan, fungsi penganggaran), kebijakan situasional, jaringan kerja internal
dan jaringan kerja eksternal yang diringkas dengan singkatan S.W.O.T yang
berarti Strenghs (kekuatan), Weaknesses (Kelemahan), Opportunities
(kesempatan), dan Threats (ancaman), kemudian unsur fungsi kontrol dan
evaluasi serta umpan balik.
Adapun indikator dimensi dari penjelasan teori diatas, yaitu:
1. Perancanaan Strategi dengan unsur-unsurnya yaitu:
Visi,
Misi,
Tujuan Organisasi,
2. Perencanaan Operasional dengan unsur-unsurnya yaitu:
Sasaran operasional,
Pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen berupa (fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran),
Kebijakan situasional,
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal,
Fungsi kontrol dan evaluasi,
Umpan balik
73
b. Pedoman Wawancara
Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan pembicaraan yang
mempunyai tujuan dan didahului beberapa pertanyaan informasi. Aturan pada
wawancara penelitian lebih ketat. Pedoman wawancara dibuat oleh peneliti
berdasarkan tugas pokok dan fungsi setiap informan dalam penelitian. Oleh
karena itu dalam pedoman wawancara mengajukan pertanyaan perlu dilandasi
oleh dimensi teori.
Tabel 3.3 Pedoman Wawancara
No Dimensi Uraian Pertanyaan Kode Informan
1 Perencanaan Strategi
Visi Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik?
I1, I2, I3n
Misi Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat?
Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n Tujuan strategi organisasi
Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat?
Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n 2 Perencanaan Operasional
Sasaran Operasional
Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian
konflik pendudukan saat itu?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran)
bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan?
apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat?
Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)?
Bagaimana dengan dana untuk perbaikan
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
74
kerusakan yang dialami masyarakat? Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi
untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik?
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
Kebijakan Situasional
kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut?
Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi?
Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi?
Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya?
Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan?
siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu?
bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
Fungsi kontrol dan evaluasi
bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut?
apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan?
apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
I1, I2, I3n, I4n, I5n
Umpan balik bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan?
bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
75
2. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung
ditunjukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen. Dengan teknik
dokumentasi ini, peneliti dapat memperoleh informasi bukan dari orang sebagai
narasumber, tetapi mereka memperoleh informasi dari macam-macam sumber
tertulis atau dari dokumen yang ada pada informan dalam bentuk karya pikir
(Satori,2010:148).
Menurut Guba dan Lincoln (1981) dalam Alwasilah (2006:155)
mengartikan dokumen sebagai barang yang tertulis atau terfilemkan selain record
yang tidak disiapkan khusus atau permintaan atau permintaan peneliti. Adapun
dokumen-dokumen yang digunakan berupa surat-surat keputusan, data statistik,
catatan-catatan, arsip-arsip, laporan, foto, dan dokumen-dokumen lain.
3. Studi kepustakan
Studi kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan memperoleh
atau mengumpulkan data dari berbagai referensi yang relevan dengan penelitian
yang dilakukan.
4. Observasi
Menurut Nasution dalam (Sugiyono,2012:226) menyatakan bahwa,
observasi adalah dasar ilmu pengetahuan. Para ilmuan hanya dapat bekerja
berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui
observasi. Data itu dikumpulkan dan sering dengan bantuan berbagai alat yang
76
sangat canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan elektron)
maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan jelas.
Ada beberapa alasan mengapa dalam penelitian kualitatif pengamatan
dimanfaatkan sebesar-besarnya seperti yang dilakukan oleh Guba dan Lincoln
dalam Moleong sebagai berikut:
“Pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional maupun pengetahuan dari data. Keempat, sering terjadi ada keraguan pada peneliti. Jalan yang terbaik untuk mengecek kepercayaan data tersebut ialah dengan memanfatkan pengamatan. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti memahami situasi-situasi yang rumit.Situasi yang rumit mungkin terjadi ketika peneliti ingin memperhatikan beberapa tingkah laku sekaligus. Keenam, dalam kasus-kasus tertentu dimana teknik komunikasi lainnya tidak memungkinkan, pengamatan menjadi alat yang sangat bermanfaat.”
3.7.2 Teknik Analisis Data
Dalam peneliti kualitatif, kegiatan analisis data dimulai sejak peneliti
melakukan kegiatan pra lapangan sampai dengan selesainya penelitian, analisis
data dilakukan secara terus-menerus tanpa henti sampai data tersebut bersifat
jenuh. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Moleong (2005:248) menjelaskan
bahwa dalam kualitatif adalah:
“Upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensikannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.”
77
Data yang terkumpul diolah sedemikian rupa sehingga menjadi informasi
yang dapat digunakan dalam menjawab perumusan masalah yang diteliti.Aktifitas
dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara
terus-menerus hingga tuntas sampai datanya sudah jenuh. Analisis data dalam
penelitian kualitatif bersifat induktif dimana data yang diperoleh akan di analisis
dan dikembangkan menjadi sebuah asumsi dasar penelitian.
Pemaparan diatas mengemukakan bahwa aktifitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung terus menerus sampai
tuntas, sampai datanya jenuh, ukuran kejenuhan data ditandai dengan tidak
diperolehnya lagi data atau informasi baru. Aktivitas dalam analisis meliputi
pengumpulan data, reduksi, penyajian data, serta penarikan kesimpulan.
Analisis data dapat dilakukan dengan meliputi tahapan-tahapan sebagai
berikut:
1. Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan diperoleh dengan menggunakan teknik
wawancara, observasi, dan dokumentasi. Selanjutnya data-data yang berupa data
variabel dari hasil wawancara diubah menjadi bentuk tulisan.
2. Reduksi Data
Untuk memperjelas data yang didapatkan dan mempermudah penelitian
dalam mengumpulkan data selanjutnya, maka dilakukan mereduksi data. Reduksi
data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
78
penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar yang muncul dari
catatan-catatan yang muncul di lapangan. Reduksi data berlangsung selama proses
pengumpulan data masih berlangsung pada tahap ini juga akan berlangsung
kegiatan pengkodean, meringkas dan membuat partisi (bagian-bagian). Proses
informasi ini berlanjut terus menerus sampai laporan akhir penelitian tersusun
lengkap.
Dengan kata lain mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Data
yang diperoleh melalui penggunaan instrumen, selanjutnya data dipilih sesuai
dengan tujuan permasalahan yang ingin dicapai.
3. Penyajian Data
Penyajian data dapat diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun
yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan
tindakan. Dalam sebuah penelitian kualitatif penyajian data dapat dilakukan dalam
bentuk uraian singkat, bagan hubungan antar kategori, flowchart, dan selanjutnya.
Akan tetapi dalam penelitian ini penyajian data yang peneliti lakukan dalam
penelitian ini adalah bentuk teks narasi, seperti yang dilakukan oleh miles &
Huberman “the frequent from display data for qualitative research data in the
past has been narrative text” (yang paling sering digunakan untuk penyajian data
kualitatif pada masa lalu adalah bentuk teks naratif). Penyajian data bertujuan agar
penelitian dapat memahami apa yang terjadi dan merencanakan tindakan
selanjutnya yang akan dilakukan.
79
Dengan kata lain, penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dengan
menyajikan data dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antara kategori
yang berkaitan dengan fokus penelitian.
4. Penarikan Kesimpulan
Dari permulaan pengumpulan data, penelitian mulai mencari arti dari
hubungan-hubungan, mencatat keteraturan, pola-pola dan menarik kesimpulan.
Asumsi dasar dan kesimpulan awal yang dikemukakan sebelumnya masih bersifat
sementara, dan akan terus berubah selama proses pengumpulan data masih terus
berlangsung. Akan tetapi, apabila kesimpulan tersebut didukung dengan bukti-
bukti data yang valid dan konsisten yang peneliti temukan di lapangan, maka
kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.Intinya
adalah penarikan kesimpulan diperoleh setelah penyajian data. Kesimpulan
merupakan hasil kegiatan mengaitkan antara pertanyaan-pertanyaan penelitian
dengan data yang diperoleh di lapangan. Teknik analisis data yang telah diuraikan
tersebut mengacu pada model interaktif (Milles dan Huberman 2009:20).
(Sumber: Miles dan Hubermen, 2009:20)
Gambar 3.1 Komponen-Komponen Analisis Data Model Interaktif
80
3.1.1.1 Sumber Data
Data adalah bahan keterangan tentang semua objek penelitian yang
diperoleh dilokasi penelitian (Bungin, 2005:19)
Jenis-jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti
secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data
asli atau data baru yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data
primer, peneliti harus mengumpulkannya secara langsung dari sumbernya dan
masih bersifat mentah. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi terfokus
(focus grup discussion – FGD) dan penyebaran kuesioner.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti
dari berbagai sumber yang telah ada (peneliti sebagai tangan kedua). Data
sekunder dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti Biro Pusat Statistik
(BPS), buku, laporan, jurnal, dan lain-lain.Data sekunder terbagi dua, yaitu
studi dokumentasi dan studi kepustakaan.
3.1.1.2 Uji Keabsahan data Menurut Sugiyono (2012:267), keabsahan data atau validitas adalah
derajat ketepatan antara data yang terjadi pada obyek penelitian dengan data yang
dapat dilaporkan oleh peneliti. Data dalam penelitian kualitatif, dapat dinyatakan
81
valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang
sesungguhnya terjadi pada obyek yang diteliti.
Adapun dalam menguji validitas data, peneliti menggunakan dua cara
yakni:
1. Triangulasi
Teknik triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat
menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber data yang
telah ada (Sugiyono, 2012:241). Terdapat beberapa macam triangulasi
diantaranya:
a. Triangulasi Sumber yaitu mengecek data yang diperoleh dari sumber yang berbeda dengan teknik yang berbeda.
b. Triangulasi Teknik yaitu mengecek data yang diperoleh kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda.
c. Triangulasi Waktu yaitu mengecek data yang diperoleh di waktu yang berbeda.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis data menggunakan dua
cara, yaitu triangulasi sumberdata dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber data
dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan data hasil wawancara dari
para informan yang dituju. Moleong (2005: 330-331) menjelaskan bahwa
triangulasi dengan sumber menurut Patton berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh di lapangan melalui
beberapa sumber dengan waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif.
Sedangkan triangulasi teknik dilakukan dengan cara mengecek data kepada
sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Adapun pengecekan dilakukan
dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan dokumentasi. Proses
82
check dan recheck data yang dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik
triangulasi sumber dan teknik.
2. Member Check
Menurut Sugiyono (2012:276) Member Check adalah proses pengecekan
data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk
mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan
oleh pemberi data. Bila data yang ditemukan valid, maka semakin dipercaya.
3.8 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian Strategi Penyelesaian Konflik Kependudukan di Kabupaten
Lampung Selatan Studi kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung Dengan Suku
Pendatang Bali 2012 ini berada di Kabupaten Lampung Selatan Provinsi
Lampung. Adapun waktu pelaksanaan penelitian ditunjukkan pada tabel 3.4
berikut:
83
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1 Deskripsi Objek Penelitian
4.1.1 Gambaran Umum Kabupaten Lampung Selatan
Kabupaten Lampung Selatan adalah salah satu Kabupaten di Provinsi
Lampung. Ibu Kota Kabupaten ini terletak di Kalianda. Kabupaten ini memiliki
luas wilayah 2.109,74 km2 dan berpenduduk sebanyak kurang lebih 923.002 jiwa.
Wilayah Kabupaten Lampung Selatan terletak antara 1050 sampai dengan 1050 450
Bujur Timur dan 50 150 sampai 60 Lintang Selatan. Mengingat yang demikian ini
daerah Kabupaten Lampung Selatan seperti halnya daerah-daerah lain Indonesia
merupakan daerah tropis.
Kabupaten Lampung Selatan bagian selatan meruncing dan mempunyai
sebuah teluk besar yaitu Teluk Lampung. Di Teluk Lampung terdapat sebuah
pelabuhan yaitu Pelabuhan Panjang dimana kapal-kapal dalam dan luar negeri
dapat merapat. Secara umum pelabuhan ini merupakan faktor yang sangat penting
bagi kegiatan ekonomi penduduk Lampung, terutama penduduk Lampung
Selatan. Pelabuhan ini sejak tahun 1982 termasuk dalam wilayah Kota Bandar
Lampung. Di bagian selatan wilayah Kabupaten Lampung Selatan yang juga
ujung Pulau Sumatera terdapat sebuah pelabuhan penyeberangan Bakauheni, yang
merupakan tempat transit penduduk dari Pulau Jawa ke Sumatera dan sebaliknya.
84
Dengan demikian Pelabuhan Bakauheni merupakan pintu gerbang Pulau Sumatera
bagian selatan. Jarak antara Pelabuhan Bakauheni (Lampung Selatan) dengan
Pelabuhan Merak (Provinsi Banten) kurang lebih 30 kilometer, dengan waktu
tempuh kapal penyeberangan sekitar 1,5 jam. Kabupaten Lampung Selatan
mempunyai daerah daratan kurang lebih 2.109,74 km² (LSDA 2007), dengan
kantor pusat pemerintahan di Kota Kalianda.
Saat ini Kabupaten Lampung Selatan dengan jumlah penduduk 923.002
jiwa (LSDA 2007), memiliki luas daratan + 2.109,74 km2 yang terbagi dalam 17
kecamatan dan terdiri dari 248 desa dan 3 kelurahan.
(Sumber: Data Peneliti, 2015)
Gambar 4.1
Pelabuhan Bakauheni Dan Menara Siger Lampung
85
1. Terbentuknya Kabupaten Dati II Lampung Selatan
Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan
UUD1945. Di dalam UUD 1945 bab VI Pasal 18 menyebutkan bahwa
“Pembagian Daerah di Indonesia atas Daerah Besar dan Kecil, dengan bentuk
susunan Pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-Undang, dengan
memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan
Negara dan Hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa".
Sebagai realisasi dari pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dimaksud, lahirlah
Undang-Undang nomor 1 tahun 1945 yang mengatur tentang kedudukan Komite
Nasional Daerah yang pertama, antara lain mengembalikan kekuasaan pemerintah
di daerah kepada aparatur yang berwenang yaitu Pamong Praja dan Polisi. Selain
itu juga untuk menegakkan pemerintah di daerah yang rasional dengan
mengikutsertakan wakil-wakil rakyat atas dasar kedaulatan rakyat.
Selanjutnya disusul dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, yang menegaskan bahwa
Pembentukan Daerah Otonom dalam Wilayah Republik Indonesia yang susunan
tingkatannya adalah sebagai berikut :
a. Provinsi daerah Tingkat I
b. Kabupaten/Kota madya (Kota Besar), Daerah TK II
c. Desa (Kota Kecil) Daerah TK III
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948 dimaksud, maka
lahirlah Provinsi Sumatera Selatan dengan Perpu Nomor 33 tanggal 14 Agustus
86
1950 yang dituangkan dalam Perda Sumatera Selatan nomor 6 tahun 1950.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1950 tentang Pembentukan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah untuk Daerah Provinsi,
Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil, maka keluarlah Peraturan Provinsi
Sumatera Selatan nomor 6 tahun 1950 tentang pembentukan DPRD Kabupaten di
seluruh Provinsi Sumatera Selatan.
Perkembangan selanjutnya, guna lebih terarahnya pemberian Otonomi
kepada Daerah bawahannya yaitu diatur selanjutnya dengan Undang-Undang
Darurat nomor 4 tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Kabupaten dalam
lingkungan Dearah Provinsi Sumatera Selatan sebanyak 14 Kabupaten, di
antaranya Kabupaten Dati II Lampung Selatan beserta DPRD dan 7 (tujuh) Dinas
Otonom yang ditetapkan tanggal 14 Nopember 1956, dengan ibu kota di Tanjung
Karang-Teluk Betung atau yang sekarang dikenal dengan kota Bandar Lampung.
Selanjutnya dalam perjalanan penyelenggaraan Pemerintahan dan
Pembangunan, Kabupaten Lampung Selatan secara resmi menjadi Daerah
Otonom pada tanggal 14 Nopember 1954, akan tetapi pimpinan daerah telah ada
dan dikenal sejak tahun 1946. Sebelum menjadi daerah Otonom, wilayah
Lampung Selatan sejak awal kemerdekaan, terdiri dari 4 (empat) kewedanan
masing-masing :
a. Kewedanan Kota Agung, meliputi Kecamatan Wonosobo, Kota
Agung dan Cukuh Balak. (sekarang menjadi wilayah Kabupaten
Tanggamus)
87
b. Kewedanan Pringsewu, meliputi Kecamatan Pagelaran, Pringsewu,
Gadingrejo, Gedong Tataan dan Kedondong. (sebagian menjadi
wilayah Kabupaten Pringsewu dan (Kabupaten Pesawaran)
c. Kewedanan Teluk Betung, meliputi Kecamatan Natar, Teluk Betung
dan Padang Cermin. (sekarang sebagian menjadi wilayah (Kabupaten
Pesawaran dan Kota Bandar Lampung)
d. Kewedanan Kalianda, meliputi Kecamatan Kalianda dan Penengahan.
Pada tahun 1959, dibentuk Sistem Pemerintahan Negeri yang merupakan
penyatuan dari beberapa negeri yang ada pada saat itu, yaitu :
a. Negeri Cukuk Balak, meliputi Kecamatan Cukuk balak, Tahun 1990
Kecamatan Cukuk Balak di bagi dua kecamatan yaitu Kecamatan
Cukuk Balak dan Negeri Kelumbayan.
b. Negeri Way Lima, meliputi Kecamatan Kedondong. Tahun 1970
Kecamatan Kedondong dibagi dua yaitu Kecamatan Kedondong dan
Pardasuka, kemudian tahun 1990 Kecamatan Kedondong di bagi dua
yaitu Kecamatan Kedondong dan Way Lima.
c. Negeri Gedong Tataan, meliputi Kecamatan Gedong Tataan. Pada
tahun 1990 Kecamatan Gedong Tataan dibagi 2 yaitu Kecamatan
Gedong Tataan dan Negeri Katon.
d. Negeri Gadingrejo, meliputi Kecamatan Gadingrejo.
e. Negeri Pringsewu, meliputi Kecamatan Pringsewu, tahun 1970
kecamatan ini di bagi dua yaitu Kecamatan Pringsewu dan Sukoharjo.
88
Tahun 1990 Kecamatan Sukoharjo dibagi dua yaitu Kecamatan
Sukoharjo dan Adi Luwih.
f. Negeri Pugung, meliputi Kecamatan Pagelaran.
g. Negeri Talang Padang, meliputi Kecamatan Talang Padang. Pada
tahun 1970 Kecamatan ini dibagi dua yakni Kecamatan Talang
Padang dan Pulau Panggung.
h. Negeri Kota Agung, meliputi Kecamatan Kota Agung. Tahun 1990
Kecamatan Kota Agung dibagi dua yakni Kecamatan Kota Agung dan
Pematang Sawah.
i. Negeri Semangka, meliputi Kecamatan Wonosobo. Tahun 1990
Kecamatan Wonosobo di bagi dua yaitu Kecamatan Wonosobo dan
Way Semangka.
j. Negeri Buku, meliputi Kecamatan Natar. Tahun 2000 Kecamatan ini
dibagi dua yaitu Natar dan Tegineneng.
k. Negeri Balau termasuk Kecamatan Natar pada tahun 1968 Kecamatan
Kedaton dipindahkan dari Kecamatan Natar yang meliputi Negeri
Balau. Negeri Kalianda meliputi Kecamatan Kalianda.
l. Negeri Kalianda meliputi Kalianda, Katibung dan Sidomulyo.
Kemudian tahun 1990 Kecamatan Kalianda di bagi dua yaitu
Kecamatan Kalianda dan Rajabasa. Kecamatan Sidomulyo dibagi dua
yakni Kecamatan Sidomulyo dan Candipuro, sedangkan Kecamatan
Katibung di bagi dua yaitu Katibung dan Merbau Mataram.
Selanjutnya pada tahun 2006 Kecamatan Sidomulyo dibagi dua
89
Kecamatan Sidomulyo dan Way Panji dan Kecamatan Katibung di
bagi dua yaitu Katibung dan Way Sulan.
m. Negeri Dataran Ratu meliputi Kecamatan Penengahan dan Palas.
Tahun 1990 Kecamatan penengahan dibagi dua Kecamatan yakni
penengahan dan Ketapang. Kecamatan Palas dibagi dua Kecamatan
Palas dan Sragi. Kemudian tahun 2006 Kecamatan Penengahan di
bagi dua yakni Penengahan dan Bakauheni.
n. Negeri Teluk Betung meliputi Kecamatan Teluk Betung dan
Kecamatan Panjang. (sekarang masuk Kota Bandar Lampung)
o. Negeri Padang Cermin meliputi Kecamatan Padang Cermin. Tahun
1990 kecamatan ini dibagi dua yaitu Kecamatan Padang Cermin dan
Punduh Pidada.
Pada tahun 1963 wilayah kewedanan berikut jabatan wedana dihapus
selanjutnya diganti menjadi jabatan kepala negeri yang masa jabatannya lima
tahun, pada tahun 1970 tidak dipilih lagi dan tugasnya diangkat oleh Camat. Pada
tahun 1972 semua negeri seluruh Lampung di hapus.
2. Pemindahan Ibu Kota
Pada Awalnya terbentuk, Lampung Selatan masih merupakan bagian dari
Wilayah Sumatera Selatan. Berdasarkan UU no 14 tahun 1964 tentang
Pembentukan Provinsi Daerah TK I Lampung, maka Daerah TK II Lampung
Selatan secara resmi merupakan salah satu Kabupaten dalam daerah TK I
Lampung. Dengan ditingkatkannya status kota Tanjung Karang-Teluk Betung
menjadi Kotapraja berdasarkan UU nomor 28 tahun 1959, praktis kedudukan
90
ibukota Kabupaten Dati II Lampung Selatan berada di luar Wilayah
Administrasinya.Usaha-usaha untuk memindahkan Ibu Kota Kabupaten Daerah
TK II Lampung Selatan dari Wilayah Kota Madya Daerah TK II Tanjung Karang-
Teluk Betung ke Wilayah Administrasi Kabupaten Daerah TK II Lampung
Selatan telah dimulai sejak tahun 1968.
Atas dasar Surat Edaran Mendagri tanggal 15 Mei 1973 nomor Pemda
18/2/6 yang antara lain mengharapkan paling lambat tahun pertama Repelita III
setiap Ibu Kota Kabupaten/Kotamadya harus telah mempunyai rencana induk
(master plan), maka telah diadakan Naskah Kerjasama antara Pemda TK I
Lampung dan Lembaga Penelitian dan Planologi Departemen Planologi Institut
Teknologi Bandung (LPP-ITB) nomor OP.100/791/Bappeda/1978 dan nomor :
LPP.022/NKS/Lam/1978 tanggal 24 Mei 1978.Hasil penelitian terhadap 20 (dua
puluh) ibu kota kecamatan yang ada di wilayah Kabupaten Daerah TK II
Lampung Selatan, maka terpilih 2 (dua) kota yang mempunyai nilai tertinggi
untuk di jadikan calon ibu kota, yaitu Pringsewu dan Kalianda.
Dengan Surat Perintah Tugas tanggal 17 Mei 1980 nomor
259/V/BKT/1980 Tim Departemen Dalam Negeri melakukan Penelitian Lapangan
dari tanggal 19 sampai dengan 29 Mei 1980 terhadap 6 (enam) kota kecamatan
sebagai alternatif calon ibu kota baru Lampung Selatan, yaitu Kota Agung, Talang
Padang, Pringsewu, Katibung, Kalianda dan Gedung Tataan. Hasil Penelitian Tim
Depdagri tersebut berkesimpulan bahwa Kalianda adalah pilihan yang tepat
sebagai calon ibu kota yang baru Kabupaten Dati II Lampung Selatan. Dengan
Surat Menteri Dalam Negeri tanggal 28 Juli 1980 nomor 135/3009/PUOD,
91
ditetapkan lokasi calon ibu kota Kabupaten Dati II Lampung Selatan di Desa
Kalianda, Desa Bumi Agung dan Desa Way Urang.
Selanjutnya berdasarkan Peraturan Pemerintah No 39 tahun 1981 tanggal 3
Nopember 1981, ditetapkan Pemindahan Ibu Kota Kabupaten Daerah TK II
Lampung Selatan dari Wilayah Kota Madya Tanjung Karang-Teluk Betung ke
Kota Kalianda yang terdiri dari Kelurahan Kalianda, Kelurahan way Urang dan
Kelurahan Bumi Agung. Berdasarkan Surat Menteri Dalam Negeri nomor
135/102/PUOD tanggal 2 Januari 1982, peresmiannya dilakukan pada tanggal 11
Pebruari 1982 oleh Menteri Dalam Negeri yaitu Bapak Amir Machmud.
Sedangkan kegiatan Pusat Pemerintahan di Kalianda ditetapkan mulai tanggal 10
Mei 1982.
3. Sosial Budaya dan Agama
Berdasarkan data yang ada penduduk Kabupaten Lampung Selatan secara
garis besar dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu penduduk asli Lampung
dan penduduk pendatang. Penduduk asli khususnya sub suku Lampung Peminggir
umumnya berkediaman di sepanjang pesisir pantai. Penduduk sub suku lainnya
tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Lampung Selatan. Penduduk pendatang
yang berdomisili di Kabupaten Lampung Selatan terdiri dari bermacam-macam
suku dari berbagai daerah di Indonesia seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bali, Sulawesi, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan
Aceh. Dari semua suku pendatang tersebut jumlah terbesar adalah pendatang dari
Pulau Jawa. Besarnya penduduk yang berasal dari Pulau Jawa dimungkinkan oleh
adanya kolonisasi pada zaman penjajahan Belanda dan dilanjutkan dengan
92
transmigrasi pada masa setelah kemerdekaan, disamping perpindahan penduduk
secara swakarsa dan spontan. Beragamnya etnis penduduk di Kabupaten Lampung
Selatan mungkin juga disebabkan karena Kabupaten Lampung Selatan sebagian
besar adalah wilayah pantai sehingga banyak nelayan yang bersandar dan
menetap.
Para nelayan ini pada umumnya mendiami wilayah pantai timur dan
selatan, yang sebagian besar berasal dari pesisir selatan Pulau Jawa dan Sulawesi
Selatan. Dengan beragamnya etnis penduduk yang bertempat tinggal di
Kabupaten Lampung Selatan, maka beragam pula adat dan kebiasaan
masyarakatnya sesuai dengan asal daerahnya. Adat kebiasaan penduduk asli yang
saat ini masih sering terlihat adalah pada acara-acara pernikahan. Penduduk
Kabupaten Lampung Selatan dalam bentuknya yang asli memiliki struktur hukum
adat tersendiri. Hukum adat tersebut berbeda antara yang satu dengan lainnya.
Secara umum penduduk asli Lampung yang terdapat di Kabupaten Lampung
Selatan dapat dibedakan dalam dua kelompok besar yaitu masyarakat Lampung
Peminggir yang merupakan mayoritas suku Lampung di Kabupaten Lampung
Selatan dan kelompok kedua yaitu masyarakat Lampung Pepadun.
Adapun daftar kecamatan yang ada di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu
sebagai berikut:
a. Bakauheni
b. Candipuro
c. Merbau Mataram
d. Natar
e. Palas
93
f. Penengahan
g. Rajabasa
h. Sidomulyo
i. Sragi
j. Tanjung Bintang
k. Tanjungsari
l. Way Panji
m. Way Sulan
n. Ketapang
o. Katibung
p. Kalianda
q. Jati Agung
4. Perubahan Lambang
Sehubungan dengan telah diundangkannya Peraturan Daerah Kabupaten
Lampung Selatan Nomor 23 Tahun 2011, Tentang Bentuk, Warna, dan Isi
Lambang Daerah Kabupaten Lampung Selatan, Dengan ini diberitahukan kepada
masyarakat Provinsi Lampung, khususnya Kabupaten Lampung Selatan terhitung
sejak Tanggal 8 November 2011, Bentuk, Warna, dan Isi Lambang Daerah
Kabupaten Lampung Selatan mengalami perubahan :
94
Lama
Baru
(Sumber: google search/wikipedia 2015)
Gambar 4.2 Perubahan Logo Kabupaten Lampung Selatan
Logo yang baru yang memiliki makna :
Warna Lambang Daerah terdiri dari biru muda, kuning emas, biru tua,
merah, putih, hijau, coklat dan hitam, yang masing-masing warna
melambangkan :
a. Biru muda melambangkan perubahan, kejujuran, kemakmuran,
ketaatan dan takwa;
b. Kuning emas melambangkan keagungan dan kejayaan serta kebesaran
cita dan masyarakat untuk membangun daerah dan negaranya;
c. Biru tua melambangkan laut, kesetiaan, ketekunan dan ketabahan juga
melambangkan kekayaan sungai dan lautan yang merupakan sumber
perikanan dan kehidupan para nelayan;
95
d. Merah melambangkan keberanian dan kedinamisan;
e. Putih melambangkan kesucian;
f. Hijau melambangkan kesejahteraan dan kecerdasaan; dan
g. Coklat melambangkan tanah yang subur untuk ladang dan sawah.
Isi Lambang Daerah mempunyai makna terdiri atas :
a. Kata Lampung Selatan berarti Daerah Kabupaten Lampung Selatan;
b. Pita bewarna merah melambangkan keberanian;
c. Bintang emas bersegi 5 (lima) melambangkan nilai-nilai keagamaan;
d. Siger melambangkan mahkota keagungan adat budaya dan tingkat
kehidupan terhormat;
e. Bergerigi 7 (tujuh) melambangkan 7 (tujuh) marga antara lain (marga
Pesisir/Rajabasa, Marga Legun, Marga Katibung, Marga Dantaran,
Marga Ratu, Marga Sekampung Ilir, dan Marga Sekampung Udik);
f. Setangkai Padi berjumlah 14 (empat belas) bulir, Kapas berjumlah 11
(sebelas) tangkai, Mutiara pada Siger berjumlah 56 (lima puluh enam)
butir, merujuk pada hari jadi Kabupaten Lampung Selatan 14
November 1956;
g. Gunung, laut, daratan, dan pohon kelapa melambangkan kekayaan
alam;
h. Aksara Lampung yang berarti suka bermusyawarah untuk menuju
mufakat;
i. Sebuah badik melambangkan keperwiraan;
96
Demikian pemberitahuan ini agar masyarakat dapat mengatahuinya.
a. H. RYCKO MENOZA. SZP., SE.,SH.,MBA. (BUPATI)
b. H.EKI SETYANTO,SE. (WAKIL BUPATI)
c. Ir. SUTONO,MM. (SEKRETARIS DAERAH)
Bupati Lampung Selatan Rycko Menoza adalah yang memiliki pemikiran
untuk mengganti lambang daerah telah dilakukan sejak dia dilantik menjadi
bupati. Sebab lambang daerah yang dimiliki Lampung Selatan saat ini sudah tidak
sesuai dengan kondisi yang ada. Untuk itu, Pemerintah Kabupaten yang
mengusulkan pergantian lambang daerah itu ke DPRD Lampung Selatan. Mulai 1
Januari 2012, seluruh kendaraan Dinas (Randis) milik Pemerintah Kabupaten
Lampung Selatan dipasangi logo baru kabupaten itu. Kini logo Kabupaten
Lampung Selatan sudah berubah. Maka diperlukan sosialisasi, salah satunya
dengan memasang logo baru pada randis, tugu, gapura, dan bet seragam pegawai
negeri sipil (PNS).
4.1.2 Gambaran Umum Desa Agom
Konflik pada tanggal 27 sampai 29 oktober 2012 terjadi diwilayah
administrasi Kabupaten Lampung Selatan yang melibatkan masyarakat Desa
Agom Kecamatan Kalianda dan Desa Balinuraga Kecamatan Way Panji. Jarak
kedua desa ini kurang lebih lima kilometer dan dipisahkan dua desa yaitu Desa
Taman Agung dan Desa Sidoreno.
Jumlah penduduk Desa Agom dengan luas wilayah 630ha/m2 pada tahun
2013 adalah 2840 jiwa atau 791 KK. Penduduk didominasi oleh suku pribumi
97
Lampung dan suku jawa, selain itu terdapat suku lain seperti sunda, betawi, dan
batak. Pola permukiman cenderung berjauhan antara rumah yang satu dengan
rumah yang lain. Sebagian besar penduduk Desa Agom bermata pencaharian
sebagai petani dengan tingkat pendidikan rendah.
4.1.3 Gambaran Umum Desa Balinuraga
Berbeda dengan Desa Agom yang didirikan oleh masyarakat pribumi.
Desa Balinuraga adalah desa yang didirikan oleh transmigran Bali yang sudah
berpuluh-puluh tahun bermukim disini. Sebelum menjadi bagian dari Kabupaten
Lampung Selatan. Desa Balinuraga termasuk dalam daerah Kabupaten Lampung
Timur. Setelah masuk dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan Desa
Balinuraga termasuk wilayah Kecamatan Sidomulyo. Setelah ada proyek
pemekaran wilayah, maka Desa Balinuraga menjadi bagian dari Kecamatan Way
Panji. Jumlah penduduk Desa Balinuraga yang memiliki luas wiayah 920 Ha/m2
adalah 2200 jiwa atau 500 KK.
Penduduk Balinuraga murni suku Bali yang beragama Hindu dan
mayoritas penduduknya adalah petani karet dan sawit sukses dengan lahan luas
walaupun tingkat pendidikannya rendah. Pola pemukiman di Balinuraga terpola
seperti kompleks perumahan, jarak antara rumah saling berdekatan. Desa
Balinuraga bukan satu-satunya pemukiman dengan penduduk murni suku bali,
diwilayah yang masih berdekatan dengan Desa Balinuraga terdapat pula desa
dengan penduduk murni suku Bali, yaitu Desa Bali Napal dan Desa Sidoreno yang
juga pernah terlibat konflik dengan suku pribumi.
98
(Sumber: google search/wikipedia 2015)
Gambar 4.3
Wilayah Administrasi Kabupaten Lampung Selatan
4.2 Deskripsi Data
4.2.1 Deskripsi data penelitian
Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan mengenai hasil penelitian
yang telah diolah dari data mentah, dengan mengunakan teknik analisis data yang
99
relevan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif deskriptif yang menghasilkan data baik berupa kata-kata maupun
tindakan. Data kualitatif diperoleh melalui observasi partisipasi pasif, wawancara
mendalam, kajian pustaka, serta studi dokumentasi yang sesuai dengan fokus
penelitian. Data-data kualitatif tersebut perlu dianalisis saat sebelu memasuki
lapangan, selama di lapangan dan setelah selesai dilapangan.
Berikut ini untuk mempertajam analisis data, peneliti menggunakan
dimensi penilaian yang mengacu pada teori yang dikemukankan oleh Nawawi
(2005: 151) diantaranya yaitu:
1. Perencanaan Strategi , dan
2. Perencanaan Operasional
Dalam menganilisis data kualitatif, peneliti menggunakan teknik analisis
data yang dikemukakan oleh Miles dan Hubermen (2009:20). Tujuannya untuk
meningkatkan pemahaman peneliti serta membantu mempresentasikannya kepada
orang. Miles dan Hubermen menjelaskan ada beberapa langkah penting yang
perlu dilakukan dalam menganalisis data, diantaranya pengumpulan data, reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Langkah pertama yang dilakukan yaitu pengumpulan data mentah baik
melalui wawancara, observasi lapangan, kajian pustaka, serta studi dokumentasi,
tanpa adanya intervensi dari pihak lain dari pemikiran peneliti atau dengan kata
lain data yang bersifat apa adanya (verbatim). Langkah kedua yaitu mereduksi
data dengan merangkum, memilih-milih hal-hal yang pokok, dan mengfokuskan
100
pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya reduksi data ini juga
berlangsung selama proses pengumpulan data masih berlangsung, pada tahap ini
juga akan berlangsung kegiatan pengkodean, meringkas dan membuat partisi
(bagian-bagian). Adapun dalam menyusun jawaban penelitian, peneliti
memberikan beberapa kode sebagai berikut:
1. Kode Q untuk menunjukkan item pertanyaan
2. Kode A untuk menunjukan item jawaban
3. Kode I1 untuk menujukan informan dari pihak Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan
4. Kode I2 untuk menunjukan informan dari pihak Kassat Binmas Polres
Lampung Selatan
5. Kode I3.1 – I3.3 untuk menunjukan informan dari pihak Lembaga
Penanganan Konflik atau Forum Penanganan Konflik
6. Kode I4.1 –I4.3 untuk menunjukan informan dari pihak masyarakat
Lampung
7. Kode I5.1 –I5.3 untuk menunjukan informan dari pihak masyarakat
Bali.
8. Kode I6 untuk menunjukan informan dari pihak Kodim Kabupaten
Lampung Selatan.
Kemudian penyajian data yang dilakukan dalam uraian singkat, bagan
hubungan antar kategori, flowchart dengan penyajian datanya berbentuk
narasiyang bertujuan agar peneliti dapat memahami apa yang terjadi dan
merencanakan tidakan selanjutnya yang dilakukan. Langkah terakhir adalah
101
penarikan kesimpulan dengan catatan bahwa data penelitian tersebut sudah jenuh
dan didukung dengan bukti-bukti data yang valid dan konsisten yang peneliti
temukan dilapangan.
4.2.2 Daftar Informan Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul manajemen strategi penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli
Lampung dengan suku pendatang Bali tahum 2012) seperti yang sudah peneliti
kemukakan pada BAB III, dalam pemilihan informan peneliti menggunakan
teknik purposive. Informan dalam penelitian ini adalah stakeholder dalam
manajemen strategi penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung
Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dengan suku pendatang Bali
tahun 2012) baik dari pihak pemerintah, aparat keamanan, lembaga penanganan
konflik dan masyarakat.
Mengenai informan penelitian, peneliti membagi informan menjadi dua
yaitu key informan yang merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam
penanganan konflik tersebut, sedangkan secondary informan adalah informan
yang tidak terlibat langsung secara langsung namun memiliki pengetahuan atau
informasi terkait dengan penanganan konflik di Kabupaten Lampung Selatan.
Adapun lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 4.1 dibawah ini:
102
Tabel 4.1
Kodefikasi Informan Penelitian
No Kode Nama Keterangan
1 I1 Ismed Alwi
Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan
2 I2 Y. Ujang Kasat Binmas Polres Lampung
Selatan
3 I3.1 Alamsyah Ketua Forum Kewaspadaan Dini
Masyarakat
4 I3.2 Ernayati Anggota Forum Kerukunan Umat
beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya
5 I3.3 Marwan Abdullah Sekretaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung/ Kabag Umum DPRD Kab. Lampung Selatan
6 I4.1 Muksin Syukur Kepala Desa Agom 7 I4.2 Ida Riana Masyarakat Lampung Desa Agom
8 I4.3 Hassanudin (nama
samaran) Masyarakat Lampung Desa Agom
9 I5.1 Made Santre Kepala Desa Balinuraga
10 I5.2 Kadek Sirye Kadus (Kepala Dusun) Pande
Arga Desa Balinuraga
11 I5.3 Made Suka Tokoh Masyarakat Desa Balinuraga
12 I6 Hermawanto Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lampung
Selatan (Sumber: data diolah Peneliti, 2015)
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
Deskripsi hasil penelitian ini merupakan suatu data dan fakta yang peneliti
dapatkan langsung dari lapangan serta disesuaikan dengan teori yang peneliti
gunakan yaitu menggunakan teori manajemen strategi menurut Hadari Nawawi
103
(2005: 151), proses manajemen strategi ini merupakan suatu sistem yang sebagai
satu kesatuan memiliki berbagai komponen yang saling berhubungan dan saling
mempengaruhi, dan bergerak secara serentak kearah yang sama pula.
Dalam penelitian kali ini peneliti akan menguraikan hasil penelitian
dengan didasari data yang peneliti peroleh melalui hasil observasi, wawancara,
dokumentasi, serta studi kepustakaan mengenai manajemen strategi penyelesaian
konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar
suku asli Lampung dan suku pendatang Bali tahun 2012) yang meliputi beberapa
komponen variabel menurut Nawawi, diantaranya sebagai berikut:
1. Perencanaan Strategi yang meliputi:
Visi
Misi, dan
Tujuan organisasi,
2. Perencanaan Operasional yang meliputi:
Sasaran Operasional
Pelaksanaan fungsi manajeman berupa (fungsi pengorganisasian,
pelaksanaan, dan fungsi penganggaran)
Kebijakan situasional
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
Fungsi kontrol dan evaluasi
Umpan balik.
104
4.3.1 Perencanaan Strategi
Manajemena strategi dapat dilihat keberhasilannya jika perencanaan
strategi dari pemerintah memang disesuaikan dengan sosio-kultur yang ada di
masyarakat. Ketika perencanaan strategi yang dibuat oleh pemerintah terlalu Ideal
(Utopis) untuk dilaksanakan di masyarakat, maka akan sulit untuk menjalankan
perencanaan strategi itu dengan baik.
Dari dimensi perencanaan strategi peneliti menilai aspek yang terkandung
didalamnya, yaitu: bagaimana visi itu dibuat untuk penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan, kemudian bagaimana
merealisasikan visi yang dibuat dengan misi, serta apakah tujuan organisasi sudah
tercapai dari penyelesaian konflik tersebut. Maksud dari penyelesaian konflik
yang ada di Kabupaten Lampung Selatan ini sendiri sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis dan terancana dalam situasi
dan peristiwabaik sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang
mencakup pencegahan konflik, penghentian, dan pemulihan pasca konflik.
Mengenai aspek visi strategi dalam penyelesaian konflik tersebut, peneliti
memberikan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik
dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan,
berikut kutipan wawancarnya:
105
“Visinya kan ada aturannya tuh yang diatur dalam Undang-Undang no 7 tahun
2012”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00
WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa faktor yang
mempengaruhi visi dalam penyelesaian konflik tersebut telah tertuang didalam
peraturan Undang-Undang No 7 Tahun 2012. Pertanyaan serupa peneliti ajukan
kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan yang
mengungkapkan:
“Ya yang pengaruhin visi kita, gimana caranya biar masalah itu cepet selesai aja
tapi kalo secara tertulis gak ada tapi kalo ikutin visi dari kepolisian ya yang
melindungi, mengayomi dan melayani aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang,
Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut, visi dalam penyelesaian konflik tersebut
tidak ada secara tertulis namun disesuaikan dengan TUPOKSI dari kepolisian.
Kemudian penelitipun mengajukan kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat, yang menjawab:
“Kalo visi kita itu pengaruh dari peraturan yang UU no 7 tahun 2012 itu tentang
penanganan konflik sosial, kita juga dari program Kesbangpol sendiri, kemudian
dari konflik yang ada dimasyarakat, maka jadilah FKDM ini”.(wawancara
dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
106
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum yang
dibentuk juga visi yang dibuat masih dipengaruhi oleh Peraturan Undang-Undang
No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial, dan disesuaikan dengan
TUPOKSI dari Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan. Selanjutnya peneliti
pun mengajukan pertanyaan tersebut kepada Ibu Ernayati (I3.2) Anggota Forum
Kerukunan Umat Beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya, berikut kutipan
wawancaranya:
“Iya kita ada secara tertulis yang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 Tahun 2006 dan No 8 Tahun 2006 ada juga tujuannya untuk mempersatukan umat yang beragama yang ada dilampung selatan biarpun kita beda keyakinan tapi tetap satu”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa forum tersebut
memiliki landasan hukum sendiri yang dijadikan sebagai visi tertulis mereka.
Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris Majelis Penyeimbang Adat
Lampung (MPAL) yang menyatakan bahwa MPAL memiliki visi untuk
menjunjung tinggi adat dan budaya Lampung, berikut kutipan wawancaranya:
“Itu visinya terwujudnya majelis penyeimbang adat Lampung yang bermatabat
untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya
lampung”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015,
09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat kita ketahui bahwa MPAL yang
merupakan salah satu lembaga penanganan konflik memiliki visi yang harus
107
menjunjung tinggi adat Lampung dan budaya Lampung, hal ini dikarenakan adat
dan budaya Lampung itu sendiri semakin jarang dilestarikan oleh orang
Lampungnya itu sendiri.
Berdasarkan wawancara mengenai visi strategi dalam penyelesaian konflik
di Kabupaten Lampung Selatan bahwa visi yang mereka buat dalam penyelesaian
konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan masih di berpegang oleh
peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan belum tersusun secara sistematis.
Sementara aspek misi untuk menjalankan visi dalam penyelesaian konflik
kependudukan, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan
Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan
wawancaranya:
“Iya disesuaikan juga dengan undang-undang itu, apa yang dilakukan oleh kita itu kayak diadakannya forum kita kumpulin masyarakatnya untuk pertemuan, ada juga sosialisasi ke kecamatan-kecamatan yang disesuaikan dengan anggaran setahun itu hanya 3 kecamatan, tahun ini baru 3 kecamatan”. (wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Wawancara diatas menjelaskan bahwa misi yang dibuat disesuaikan
dengan undang-undang yang digunakan dan untuk itu diadakan kegiatan seperti
pertemuan untuk membahas tentang sosialaisasi setelah terjadi konflik tersebut.
Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres
Lampung Selatan, kutipannya sebagai berikut:
“Ya itu tadi kita mikirnya gimana caranya supaya masalah itu bisa cepet selesai,
oh iya ada juga program Rembuk Pekon yang lagi kita jalanin”.(wawancara
108
dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi
Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa pihak aparat tidak
memiliki misi secara spesifik dalam penyelesaian konflik kependudukan yang
terjadi namun mereka miliki tujuan dalam penyelesaian konflik tersebut. Senada
dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat menjelaskan bahwa FKDM tidak memliki misi
secara spesifik dalam penyelesaian konflik, namun mereka memiliki tujuan yang
jelas bahwa infomasi sekecil apapun harus dilaporkan jika itu berhubungan
dengan konflik di masyarakat, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya misi dibuat sesuai sama visi, kalo kita mungkin lebih ke tujuan ya, kita sering komunikasi ke pengurus FKDM, pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang, dikecamatan juga ada tapi ya itu mati suri, banyak faktor yang menyebabkan susah untuk diaktifkan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Hal berbeda diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah (I3.3) sekertaris
Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya:
“Tertuang misi pembinaan dan pemberdayaan masyarkat lampung, pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, pelestarian dan pembinaan budaya adat lampung, ini kerjaan kita kerjaan MPAL, meningkatkan hubungan silahturami antar masyarakat, antar suku, antar tokoh”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara tersebut dapat diketahui bahwa dalam
penyelesaian konflik kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan ini MPAL
109
memiliki misi secara terstruktur untuk mengurangi konflik kependudukan yang
terjadi di Kabupaten Lampung Selatan.
Berdasarkan wawancara yang peneliti lakukan mengenai aspek misi dalam
strategi penyelesaian konflik kependudukan secara garis besar pemerintah belum
memiliki misi secara spesifik yang digunakan dalam strategi penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi, hal ini dikarenakan pemerintah yang bertanggung
jawab dalam penanganan konflik tersebut belum siap dalam penyelesaian konflik
yang terjadi.
Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan mengenai aspek tentang tujuan
organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi organisasi dan realisasinya,Bapak
Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, menyatakan bahwa tujuan organisasi
telah disesuaikan dengan visi dan misi yang ada di landasan hukum yang dipakai,
berikut kutipan wawancaranya:
“Iya sudah berjalan, karena masyarakat sudah mulai mengerti pentingnya damai
itu tadi”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00
WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan kutipan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa tujuan
organisasi sudah tercapai seiring dengan kesadaran masyarakat yang semakin
mengerti arti pentingnya hidup damai. Sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh
Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan
wawancarnya:
110
“Iya tentu ajalah itu berjalan kan diliat dari tugas kita yang 3 itu
tadi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00
WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa selama
kegaiatan yang dilakukan itu sesuai dengan tugas mereka sebagai penegak hukum
maka tujuan organisasi itu secara otomatis berjalan sesuai dengan visi dan misi
mereka. Kemudian tujuan organisasi yang ada di FKDM itu juga sudah berjalan
sampai sekarang hal ini diungkapkan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat, berikut kutipannya:
“Iya sudah berjalan sampai sekarang”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah,
Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan).
Namun berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Marwan Abdulah
(I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan
wawancaranya:
“Tujuan kami belum tercapai karena masyarakat lampung selatan sampai
sekarang banyak yang belum mengerti kami yang orang pribumi”.(wawancara
dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor
DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa tujuan dari
MPAL belum tercapai sesuai dengan apa yang menjadi visinya, ini dikarenakan
111
masyarakat yang berada khususnya di Kabupaten Lampung Selatan yang sebagian
besar merupakan masyarakat pendatang masih menganggap bahwa kebudayaan
Lampung itu asing bagi mereka.
Berangkat dari hasil wawancara di atas, peneliti menganalisis bahwa
dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi, visi dan
misinya masih belum tersusun secara sistematis. Penyebabnya karena belum
adanya SOP yang dibentuk secara tersendiri oleh pihak instansi yang bertanggung
jawab langsung dengan konflik tersebut.
Selanjutnya aspek tujuan organisasi yang disesuaikan dengan visi, misi
organisasi dan realisasinya telah berjalan sesuai dengan apa yang menjadi
tugasnya masing-masing, dan sampai sekarang masih berjalan guna
meminimalkan terjadinya konflik kembali bahkan dari tujuan tersebut di adakan
program Rembuk Pekon yang bertujuan untuk memediasi masyarakat yang
sedang berkonflik.
4.3.2 Perencanaan Operasional
Perencanaan operasioanal umumnya merupakan terjemahan dari tujuan
umum organisasi yang ada di perencanaan strategi dalam rentang waktu tertentu,
semakin baik perencanan operasional yang digunakan semakin baik pula hasil
yang didapat dan begitu pula sebaliknya. Dimensi ini terdapat beberapa aspek
yaitu sasaran operasional, pelaksanaan fungsi manajeman (fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaraan), kebijakan
112
situasioanal, jaringan kerja internal, dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol
dan evaluasi, umpan balik.
Pertama aspek sasaran operasional, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan menjelaskan bahwa sasaran operasioanl mereka hanya disesuaikan dengan
anggaran yang masuk dalam setahun, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya tadi kita sesuaikan anggaran yang 3 kecamatan setahun itu, ditentukan dari
kecamatan yang rawan konfik dulu, prioritas banyak yang tinggi skala
konfliknya”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00
WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui kegiatan yang
dilakukan oleh Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan dan pemerintah
sebanyak 3 kali dalam setahun, dan diprioritaskan untuk kecamatan yang sering
terjadi konflik. Penyebabnya adalah dana anggaran APBD yang didapat untuk
kegiatan tersebut terbatas hanya untuk 3 kecamatan saja. Pertanyaan serupa
peneliti ajukan kepada Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung
Selatan, berikut kutipan wawancarnya:
“Kita berlandaskan hukum, jadi kita sesuaikan dengan pasal-pasal pidana
maupun perdata aja”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September
2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
113
Berdasarkan wawancara diatas dapat diketahui bahwa sasaran operasional
dari pihak aparatur hukum mengenai penanganan konflik dan penyelesaian
konflik ditentukan berdasarkan landasan hukum yang digunakan dan itu tidak bisa
diubah dan itu bersifat mutlak dan bersifat tidak memihak pihak manapun.
Berbeda dengan apa yang sampaikan oleh Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), bahwa FKDM tidak memiliki sasaran
secara tertentu, berikut kutipan wawancaranya:
“Kita gak ada sasaran tertentu, jadi kalo ada konflik ya langsung kita laporkan
ke Kesbangpol, nanti dari sini ditindak lanjutkan dengan koordinasikan sama
pihak aparat keamanan”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober
2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa untuk sasaran
operasional yang ada dalam FKDM itu tidak ditentukan karena melihat dari
tugasnya yatu hanya sebagai pencegah dari konflik yang ada dimasyarakat melalui
informasi yang didapat dari pengurus yang ada disetiap kecamatan yang ada di
Kabupaten Lampung Selatan.
Hampir sama halnya yang dijelaskan oleh Ibu Ernayati (I3.2) Anggota
Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan Budaya bahwa
FKUB tidak memilik sasaran operasional tertentu, berikut kutipan wawancaranya:
“Gak ada sasaran tertentu buat FKUB ini”.(wawancara dengan Ibu Ernayati,
Kamis 1 Oktober 2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB)/Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
114
Sementara Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang
Adat Lampung (MPAL) menyatakan bahwa sasaran dari MPAL sudah ada namun
belum secara tertulis ada di peraturan daerah, berikut kutipan wawancaranya:
“Sasaran majelis ini buat masyarakat Lampung Selatan biar orang-orang lain yang bukan suku Lampung juga mengerti adat dan budaya Lampung, kan mereka juga tinggal di wilayah kita, maunya kita ya meskipun bukan orang Lampung tapi ya mereka harus mengerti dan memahami orang Lampung yang dalam artian orang pribumi”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara dapat diketahui bahwa sasaran
operasional dari MPAL itu ditujukan untuk masyarakat Kabupaten Lampung
Selatan khususnya masyarakat pendatang, sebagai masyarakat pendatang harus
lebih menghargai adat dan budaya Lampung karena masyarakat tersebut tinggal
dan menetap di Lampung.
Selanjutnya yang kedua untuk aspek fungsi manajeman (Fungsi
pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, dan fungsi pelaksanaan penganggaran)
peneliti memberikan pertanyaan kepada narasumber dengan beberapa pertanyaan
yang sesuai dengan fungsi manajeman ini. Peneliti mengajukan pertanyaan yang
berhubungan dengan fungsi pengorganisasian yaitu tentang bagaimana kontribusi
pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi kepada
Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung
(MPAL), berikut kutipan waancaranya:
“pemerintah berperan aktiflah dalam penyelesaian konflik itu, kalo gak berperan ya gimana mau selesai ricuhnya, kalo MPAL sendiri gak berperan secara langsung namun hanya tokoh-tokoh MPAL saja, MPAL itu kan dibangun oleh dewan perwatin, dewan perwatin ini tokoh-tokoh adat yang ada di 6 marga di Lampung selatan ini, ada marga dantaran
115
yang pusatnya dipenegahan kepala marganya pangeran naga beringsang, kemusian ada marga ratu dibagi lagi jadi 2 yang pertama marga keratuan menangsih diketuai oleh pangeran cahya marga berpusat di tamanbaru , keratuan darah putih diketuai oleh dalem kusuma ratu berpusat dikuripan, yang ketiga marga legun berpusat dipesugihan diketuai pangeran tiang marga, marga rajabasa berpusat di raja basa diketuai oleh pangeran penyeimbang agung, ada marga ketibung diketuai oleh sutan unjungan, marga bukujadi di natar diketuai sutan bandar, mereka jadi penasehat waktu kerusuhan itu”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam
penyelesaian konflik kependudukan pada saat itu pengurus MPAL tidak secara
langsung berperan aktif, ini dikarenakan MPAL hanya mengirim dewan perwatin
yang mendirikan MPAL merupakan tokoh masyarakat Lampung yang mewakili 6
marga di Kabupaten Lampung Selatan. Kemudian hampir sama seperti yang
diungkapkan Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom bahwa kontribusi
yang diberikan oleh pemerintah pada saat kejadian sangat besar namun sekarang
kontribusinya berkurang, berikut kutipan wawancara:
“Kontribusi pemerintah pada saat kejadian memang luar biasa, mereka mengamankan apapun bentuk kelompok masyarakat yang datang, karena pada saat itu pihak keamanan yang dateng gak tau wilayah, merkea kan dari banyak daerah, ada juga bantuan dari polisi Banten dateng, pada saat itu sudah maksimal bantuan pemerintah. Sekarang kontribusi pemerintah ya ada tapi memang gak intensif kayak dulu kurang sering ngawasin lagi, maunya kita kan jangan karna sudah damai ini kalau kami masing-masing desa agom atau desa balinuraga mau ketemu mau ngobrol itu susah sampai sekarang harusnya ada pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjadi mediasinya, karena kenapa kita gak mau dibawa ke balinuraga disamping kita pernah punya masalah bahwa kita gak bisa, kita ini maafnya ngomong orang lampung kebanyakan orang islam ya gak bisalah kalau lagi ngobrol ada babi lewat mana ada yang tahan, terus terang aja waktu kita juga bertamu dibuatin teh mau gak kita minum kita gak enak mau kita minum kita was-was, terus terang saya kades
116
ngomongnya pedes tapi memang fakta. Jadi kalau kita suruh silahturami kesana gak bisa”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui kontribusi yang
pemerintah berikan pada saat terjadi konflik tahun 2012 besar, perhatian yang
diberikan tidak hanya diberikan oleh pemerintah pusat namun juga oleh
pemerintah daerah dan juga aparat kepolisian dari berbagai wilayah. Namun
perhatian berkurang seiring dengan meredanya permasalahan itu.
Sementara Hassanudin (nama samaran) (I4.3) masyarakat Desa Agom
mengungkapkan bahwa pemerintah memberikan bantuan untuk menyelesaikan
konflik yang terjadi pada tahun 2012, berikut kutipan wawancaranya:
“pemerintah tidak bisa apa-apa dek waktu kita protes atas perjanjian pertama
itu, karena kita masih belum terima, tapi memang benar mereka memberi bantuan
fasilitas demi biar cepet selesai itu permasalahnnya”.(wawancara dengan
Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB)
Kutipan wawancara di atas dapat menjelaskan bahwa pemerintah
memberikan bantuan untuk menfasilitasi penolakan yang dilakukan oleh
masyarakat Lampung khususnya warga Desa Agom yang merasa penyelesaian
yang dilakukan pertama kalo tidak mewakili warganya yang menjadi korban, dan
warganya yang terlibat dalam konflik tersebut ini. Peneliti juga mengajukan
pertanyaan kepada Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga, dan berikut
kutipan wawancaranya:
117
“Pemerintah Daerah bantu di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, tapi masyarakat juga dibantu sama pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt, kalau pemerintah Provinsi Bali kasih bantuan paling banyak,mereka kasih uang subangan yang dikumpulin setiap kabupaten, Kota Denpasar juga kasih sumbangan banyak, pokoknya bantuan paling banyak dari Pemerintah Provinsi Balinya”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa yang paling
banyak memberikan bantuan adalah dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Provinsi Bali. Bantuan tersebut berupa uang ganti rugi untuk masyarakat Desa
Balinuraga, bantuan juga diberikan dalam bidang kesehatan, listrik dan dapur
umum untuk masyarakat Desa Balinuraga.
Selanjutnya Bapak Kadek Sirye (I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga
Desa Balinuraga membenarkan bahwa bantuan yang diberikan pemerintah terbagi
menjadi dua yaitu untuk Desa Agom dan Desa Balinuraga, berikut kutipan
wawancaranya:
“Gimana ya, memang tanggap tapi kondisinya itu sampai dibagi-bagi perhatiannya di Desa Agom juga, jadi kalo ada isu sama kabar mau ada kiriman bangunan dapet jatah dibagi sama Desa Agom, dua desa diurus biar pulih lagi bupati kita juga kesini tapi ya itu lagi ngambil simpati aja, dia itu kayaknya benci banget sama kita, jarang kesini jadi baru kejadian itu dia dateng kesini, lain loh sama zulkifli yang sering kesini”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kontribusi yang
diberikan oleh pemerintah tidak hanya untuk masyarakat Bali yang ada di Desa
Balinuraga saja namun juga untuk masyarakat Desa Agom yang menjadi korban
dalam konflik tersebut, namun masyarakat bali merasa perhatian yang diberikan
118
oleh pemimpin daerah sangat berbeda dengan apa yang diberikan oleh pemimpin
daerah sebelumnya, hal ini terjadi karena sebelum kejadian konflik itu
berlangsung pemimpin daerah jarang memberikan perhatiannya kepada desa
tersebut.
Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan fungsi
pelaksanaan kepada informan penelitian ini, pertama dengan pertanyaan yaitu
apakah pelaksanaan program yang ada sudah berjalan kepada Bapak Muksin
Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya:
“Memang banyak program-program dari pemerintah itu tapi kadang-kadang bagi kami ini tidak tepat sasaran tapi begitu kita pikir-pikir secara luas juga mungkin iya, kalo Desa Agom dan Desa Balinuraga sudah ribut mungkin mereka mengantisipasi untuk desa-desa yang lain gak ribut, kegiatan-kegiatan itu banyak dilakukan ditempat lain tapi yang program pemerintah pusat dan segala macem itu untuk meredam ini biar tidak terjadi lagi, banyak bedah rumah disini di desa saya dapet 300 rumah dibantu menteri perumahan rakyat karena mungkin diliat dari ekonomi kita, jadi program itu ada cuma saat kejadian itu aja kalo sekarang gak ada”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa program yang
dijalankan oleh pemerintah seperti program untuk memediasi masyarakat yang
desanya terjadi konflik, program-program lain juga banyak dilakukan di desa-desa
seperti sosialisasi lain tujuan agar tidak terjadi konflik kembali, namun program
seperti sosialisasi pun sekarang ini mulai berkurang ini dikarenakan pemerintah
menganggap bahwa masyarakat sudah memahami arti pentingnya hidup damai.
Kemudian pemerintah juga menjalankan program bedah rumah yang bertujuan
119
agar masyarakat pribumi tidak merasa iri secara perekonomian oleh masyarakat
Lampung yang berasal dari Bali.
Kemudian Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, yang
menjelaskan bahwa program yang dibuat oleh pemerintah daerah dalam bentuk
Forum Kewaspadaan Dini masyarakat, berikut kutipan wawancaranya:
“Sudah berjalan kira buat program FKDM itu sampai sekarang masih
berjalan”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00
WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa program yang di
buat pemerintah untuk menangani dan menyelesaikan konflik penduduk yang
terjadi di Kabupaten Lampung Selatan adalah program yang berbentuk forum
yaitu Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat yang bersekertariat di kantor Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, program FKDM sendiri dijalankan
setelah terjadinya konflik tahun 2012.
Kemudian pertanyaan kedua yang peneliti ajukan tentang fungsi
pelaksanaan adalah tentang apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan
Renstra kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang
Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya:
“Kami ini majelis, jadi tidak terikat dengan renstra”.(wawancara dengan Bapak
Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten
Lampung Selatan)
120
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa Majelis
Penyeimbang Adat Lampung tidak masuk dalam Renstra mana pun, hal ini
dikarenakan MPAL ini merupakan majelis yang didirikan oleh tokoh-tokoh
masyarakat Lampung yang memiliki marga tersendiri di Kabupaten Lampung
Selatan. Ada 6 marga masyarakat Lampung yang ada di Kabupaten Lampung
Selatan, yaitu sebagai berikut:
1. Marga Dantaran yang pusatnya dipenegahan dan diketuai oleh Pangeran
Naga Beringsang,
2. Marga Ratu dibagi lagi jadi 2 yaitu:
Marga Keratuan menangsih yagn berpusat di Tamanbaru dan
diketuai oleh Pangeran Cahya Marga,
Marga Keratuan Darah Putih yang berpusat dikuripan dan diketuai
oleh Dalem Kusuma Ratu,
3. Marga Legun berpusat dipesugihan dan diketuai oleh Pangeran Tiang
Marga,
4. Marga Rajabasa yang berpusat di Rajabasa diketuai oleh Pangeran
Penyeimbang Agung,
5. Marga Ketibung yang berpusat di Katibung dan diketuai oleh Sutan
Unjungan,
6. Marga Bukujadi yang berpusat di Natar dan diketuai oleh Sutan Bandar.
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan serupa dengan Ibu Ernayati
(I3.2) Anggota Forum Kerukunan Umat beragama/Kasubid Ketahanan Seni dan
121
Budaya, yang menjelaskan bahwa FKUB merupakan program yang dijalankan
untuk mendukung dari program yang dibuat dari Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan, berikut ini kutipan wawancaranya:
“Kalo FKUB itu gak masuk dalam renstra, ini cuma program yang dijalankan
sesuai Tupoksi dari kita”.(wawancara dengan Ibu Ernayati, Kamis 1 Oktober
2015, 14.30 WIB, Sekertariat Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)/Kantor
Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat
Binmas Polres Lampung Selatan, program yang mereka jalankan sudah sesuai
dengan Renstra Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
“ya pastilah dek”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September
2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
Selanjutnya yang ketiga peneliti mengajukan pertanyaan yang masih
berhubungan dengan Fungsi pelaksanaan, yaitu dengan pertanyaan apakah
program pelaksanaan memiliki petunjuk pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk teknis
(Juknis) kepada Bapak Marwan Abdulah (I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang
Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan wawancaranya:
“Kami belum memiliki juklak dan juknis secara tertulis diperaturan
pemerintah”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober
2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa MPAL yang
merupakan Mejelis yang didirikan oleh masyarakat Lampung belum memiliki
122
Juklak dan Juknis yang jelas, hal ini disebabkan karena pemerintah daerah belum
dibuatkannya peraturan daerah yang terkait dengan MPAL itu sendiri.
Hal ini serupa dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat
Binmas Polres Lampung Selatan bahwa untuk program yang dijalankan sekarang
ini belum memiliki Juklak dan Juknis secera resmi, hal ini disebabkan karena
penundaan dari Keputusan Kepala Polisi Republik Indonesia (Kepkapolri), berikut
kutipan wawancarnya:
“Kalo untuk pogram kita, kita juga belum dapet Kepkapolri yang 100% jadi kita
gak bisa kasih informasi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25
September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Pada fungsi penganggaran, peneliti mengajukan pertanyaan tentang dana
anggaran untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat pada saat konflik
kepada Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga, berikut kutipan
wawancaranya:
“Iya ganti ruginya dikasih untuk yang rumahnya rusak aja”.(wawancara dengan
Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah
Bapak Made Santre)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa dalam
pemulihan yang dilakukan setelah terjadi konflik, bantuan yang diberikan kepada
masyarakat itu lebih difokusnya untuk menormalkan keadakan ekonomi dengan
merenovasi bangunan yang telah rusak. Dana bantuan yang diberikan pemerintah
123
pusat sebesar 11 juta ini sesuai dengan kutipan wawancara yang peneliti lakukan
kepada Bapak Made Santre (I5.1) sebelumnya.
Sementara untuk dana bantuan yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat Desa Agom adalah bantuan berupa program bedah rumah yang
diberikan langsung oleh Menteri Perumahan Rakyat pada saat itu, tujuannya
adalah agar tidak ada kecemburuan yang terjadi dimasyarakat karena kesenjangan
ekonomi yang berbeda antara kedua desa tersebut, hal ini diungkapkan oleh
Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya:
“gak ada ketentuan ya, kita gak ada kerusakan kayak di desa bali sana, Cuma itu
tadi kita di bantu bedah rumah sama menteri perumahan rakyat pada waktu itu ya
biar gak dibilang iri masyarakat pribuminya 300 rumah itu”.(wawancara dengan
Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah
Bapak Muksin Syukur)
Selanjutnya menurut Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan,
bahwa dalam penenganan konflik sosial yang terjadi pada saat itu telah dibagi
menjadi 3 tim sesuai dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang
Penanganan Konflik Sosial dimana terdapat tim pencegahan konflik, tim
pemberhentian konflik, dan tim pemulihan konflik, tim yang bertanggung jawab
dalam pemberian dana bantuan dipercayakan kepada tim pemulihan dan
dikoordinasikan dengan dinas-dinas terkait, berikut kutipan wawancaranya:
“Kalo dana kerusakan itu di koordinasikan dengan instansi terkait seperti dinas
Pendidikan, dinas PU dan dinas yang terkait lainnya, kalo kita ngasih data ke
124
dinas-dinas”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015,
11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Pemerintah daerah pun memberikan bantuan yang diberikan langsung oleh
korban dan masyarakat yang mengalami kerugian, bantuan tersebut berupa uang
tunai. Berikut rinciannya:
1. Untuk korban rumah terbakar atau rusak sebanyak 438 rumah, masing-
masing menerima Rp.1.200.000,-
2. Untuk warga yang meninggal dunia 9 (sembilan) orang dari suku Bali dan 3
(tiga) orang dari suku Lampung masing-masing menerima Rp.10.000.000,-
3. Untuk korban kecelakaan sebanyak 2 (dua) orang masing-masing
Rp.2.500.000,-
Ketiga Kebijakan situasional, aspek yang dipengaruhi oleh keputusan dari
pemerintah terutama stakeholder terkait dengan penanganan dan penyelesaian
konflik kependudukan yang terjadi. Pertanyaan yang berkaitan dengan kebijakan
situasional peneliti ajukan kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), berikut kutipan wawancaranya:
“Iya itu kan langsung diungsikan karena udah terjadi ricuh, coba kalo itu
dilaporkan ke FKDM kita kan langsung lapor ke atasan sama pak
bupatinya”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30
WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan wawancara di atas dapat diketahui bahwa penanganan dan
penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah mendapatkan kendala dari
masyarakat, hal ini disebabkan karena masyarakat tidak langsung melaporkan
125
kejadian tersebut kepada pemerintah maupun pihak aparat keamanan, namun
dalam hal ini pemerintah juga kurang tanggap atas apa konflik yang terjadi di
masyarakat sehingga menjadi kendala dalam penanganan dan penyelesaian
konflik tersebut.
Lebih jauh lagi mengenai kebijakan pertama yang diberikan kepada pihak
aparat keamanan, Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan,
menjelaskan sebagai berikut:
“Iya atasan langsung minta diproses masalah itu, dan kita juga ngungsikan
msyarakat balinya ke kemiling bandar lampung, langsung dicari
permasalahannya”. (wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September
2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Hampir sama seperti yang diungkapkan oleh Bapak Muksin Syukur (I4.1)
Kepala Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya:
“Kebijakan pemerintah pertama memang mereka gimana caranya supaya damai sebenernya karena pemerintah khususnya lampung selatan ini mungkin disalahkan juga kurang pembinaan karena gejala seperti ini sebenarnya sudah lama, iyalah keributan napal, keributan yang bakar rumah di sidomakmur kan gak lama selang dari kejadian ini sehingga merak dikatakan kurang antisipasi, tapikan pemerintah bukan kita aja yang ngurus dari pemerntah provinsi juga bertanggung jawab, gejala-gejala itu harusnya sudah bisa ditebak, ya kayak intel juga harusnya antisipasi mereka juga gak nyangka lah akhirnya jadi kayak gini”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Berdasarkan data di atas, dapat diketahui bahwa dalam penanganan dan
penyelesaian konflik kependudukan yang dilakukan pemerintah adalah dengan
mempercepat penyelesaian konflik tersebut tujuannya agar konflik tersebut tidak
126
semakin panjang, namun dalam penyelesaian tersebut pemerintah terlalu terburu-
buru sehingga mengesampingkan masalah yang sebenarnya terjadi.
Poin pertanyaan selanjutnya yaitu tentang proses mediasi yang dilakukan
oleh pemerintah terkait dengan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi
kepada Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa Agom yang menjelaskan bahwa
penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah sangat terburu-buru
sehingga menimbulkan kontra dan penolakan dari proses mediasi tersebut, berikut
kutipan wawancaranya:
“Saya sebenernya tidak tau mau ada damai, diajak pertemuan gubernur tanda tangan perdamaian, tapi karena saya dibawa pak sekda pak kapolda ini perintah kalau tidak tanda tangan proses hukum tidak bisa berlanjut. Sedangkan mereka mengancam mau ekspos orang-orang saya semua, ini 40 orang yang bakalan ditangkap, jadi saya itu simalakama, saya tanda tangan buat nyelamatin 40 orang ini tapi 20ribu orang nyalahin saya.Orang-orang yang ikut mediasi tidak bisa adek temui ini kecuali muksin syukur karena memang saya pelaku utama dalam kejadian itu, yang ikut mediasi kayak kepada desa tajimalela ini cuma masyarakatnya yang jadi korban trus ini tokoh-tokoh adat masyarakat Lampung yang di Kalianda yang di comot langsung sama pemerintah biar malahnya cepet selesai, mau ditemuin juga tidak akan ada cerita karena meraka tidak tau masalahnya pada saat kejadian mereka pergi ke Jatinagor sama pak Bupati, saya tidak ikut karena udah ngerasa mau ada masalah sama masyarakat saya”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Sementara itu Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan
menjelaskan bahwa proses mediasi dan penyelesaian konflik tersebut dibantu
banyak pihak terutama pihak kepolisian dan langsung melakukan penyelidikan
terkait dengan konflik tersebut, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya dari kita atasan turun semua, mulai dari kapolda trus pak kapolres kita, trus kasat bagian penyelidikan itu yang ngumpetin korbannya, trus ada kasat penyidikan yang cari masalahnya apa, kasat penyuluhan yang
127
nanganin personil, itu kan dari tokoh-tokoh ada pada dateng juga”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan).
Kemudian hal berbeda diungkapkan oleh Hassanudin (nama samaran)
(I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan bahwa proses mediasi yang
berlangsung terjadi dua kali, ini dikarenakan adanya penolakan dari pihak
masyarakat Lampung, berikut kutipan wawancaranya:
“Itu saya tidak ikut yang perjanjian tapi saya ikut kalo yang minta permohonan maaf sama masyarakat Lampungnya, itukan kejadiannya 2 kali perdamaian itu yang pertama gagal karna mereka masih belum terima trus yang kedua baru kita sepakat damai”.(wawancara dengan Hassanudin (nama samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB)
Aspek yang keempat adalah jaringan kerja internal dan jaringan keja
eksternal, aspek ini dipengaruhi oleh analisis SWOT, sehingga pertanyaannya
berupa kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang menjadi sumber
pertanyaannya, tidak hanya itu peneliti juga menanyakan terkait koordinasi yang
dilakukan dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan tersebut.
Poin pertama peneliti ajukan pertanyaan kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala
Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
“mungkin Undang-Undang yang ada jadi kekuatan kita waktu itu, kalo soal
Perda bisa disampingkan karna Undang-Undang kan yang lebih kuat payung
hukumnya kalo tidak pake Permendagri No.12 tahun 2006, termasuk APBN juga
jadi kelebihan kita meskipun terbatas”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi,
128
Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan).
Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa kekuatan
dalam program penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi itu dipengaruhi
oleh peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sementara untuk
peraturan dari pemerintah daerah hingga sekarang belum ada peraturan yang
terkait dengan penanganan konflik dan penyelesaian konflik kependudukan yang
terjadi.
Sementara Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan
menjelaskan bahwa yang menjadi kekuatan dalam program yang sedang mereka
jalankan adalah memiliki kekuatan dalam pasukan kepolisian yang cukup jika
terjadi konflik kembali
“Kita dari pihak aparat keamanan tentunya punya cara untuk mengamankan
massa yang banyak itu, udah ada perkembangan dari kepolisian untuk menangani
konflik kayak itu lagi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September
2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Kelamahan yang terjadi dalam menjalankan program yang dibuat oleh
pemerintah adalah beberapa aspek dalam adat istiadat dari masyarakat di
Lampung Selatan yang masih kental sehingga dalam penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi mendapatkan kendala hal ini diungkapkan Bapak
Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
129
“Kita ini kebentur adat istiadat, tradisi biasanya orang kampung itu ada masalah
musyawarah tapi akhirnya ricuh, ekonomi juga bisa jadi sumber konflik, agama
juga rasa toleransi iya itu penyebab konflik jadi kelemahan kita”.(wawancara
dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Senada dengan yang diungkapkan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres
Lampung Selatan, berikut kutipannya:
“Masyarkatnya yang tidak langsung ngelaporin ke kita, kita dapet kabarnya juga
dari polres sidomulyo”. (wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25
September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa kelemahan dalam
menjalakan program yang dibuat oleh pemerintah untuk penanganan dan
penyelesaian konflik bersumber dari masyarakat yang belum tanggap dengan
kondisi konflik yang terjadi, terbiasa dengan musyawarah dengan tidak adanya
mediasi membuat permasalahan konflik yang terjadi semakin bertambah banyak,
ini dikarenakan tidak adanya moderator yang ada menengahi perselisihan tersebut.
Poin selanjutnya yaitu tentang ancaman yang menghambat jalannya
program yang dibuat oleh pemerintah, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan menyatakan bahwa ancaman yang sebenarnya itu muncal dalam
kehidupan masyarakat sekarang ini yaitu dengan sebutan arus globalisasi dan
130
kamajuan teknologi, pada saat terjadi konflik tahun 2012 warga Lampung tidak
hanya dari Desa Agom saja yang menyerang Desa Balinuraga namun juga dari
Desa Lampung di sekitar Kabupaten Lampung Selatan, mereka mendapatkan
informasi melalui media handphone yang kemudian menyebar luas ke wilayah
daerah lain. Berikut kutipan wawancaranya:
“Pengaruh globalisasi itu jadi pengaruh menurunya mental menurun, trus
kemajuan teknologi jadi masalah juga”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi,
Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten
Lampung Selatan)
Selanjutnya peneliti mengajukan pertanyaan serupa dengan Bapak Y.
Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
“Ancaman yang paling berat itu meredam amuk massa yang banyak itu
tadi”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00
WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa ancaman
yang sesungguhnya pada saat terjadi konflik itu bersumber dari massa yang terlalu
banyak sehingga tidak dapat ditangani lagi, jika penanganan dan peredaman yang
dilakukan oleh pemerintah dan aparat keamanan berjalan lambat itu bersumber
dari masyarakat yang menghambat secara langsung proses penanganan dan
penyelesaian konflik tersebut.
Poin berikutnya tentang peluang yang dimiliki oleh pemerintah maupun
aparat keamanan dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi,
peneliti bertanya kepada Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan
131
Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan,
berikut kutipan wawancaranya:
“Ini dengan adanya forum itu kita kan sering kumpul-kumpul nah disitu sekalian
kita manfaatkan masyarakatnya”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis
1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan)
Berdasarkan wawancara kutipan di atas, dapat diketahui bahwa peluang
yang dimiliki dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan
bersumber dari partisipasi masyarakat yang mengikuti kegiatan sosialisasi, dimana
peluang dalam memberikan himbauan untuk hidup damai kepada masyarakat
yaitu pada saat diadakannya sosialisasi.
Sementara berbeda yang diungkapakan oleh Bapak Y. Ujang (I2) Kasat
Binmas Polres Lampung Selatan bahwa pihaknya lebih memanfaatkan bantuan
yang diberikan oleh pihak pemerintah dan pihak kepolisian daerah ataupun
kepolisian pusat sebagai peluang keberhasilan penyelesaian konflik, hal ini
dikarenakan jika terjadi konflik besar seperti tahun 2012 akan banyak massa yang
sulit di tanggani, belum lagi dari pihak keplisian juga harus melakukan
penyelidikan penyebab terjadinya kericuhan tersebut, berikut kutipan
wawancaranya:
“Kita banyak bantuan dari pihak luar juga, karena awalnya kita kewalahan
karna massa yang banyak itu”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25
September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
132
Poin terakhir pada aspek jaringan kerja internal dan jaringan kerja
eksternal adalah pertanyaan tentang koordinasi yang dilakukan dengan dinas lain
kepada Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat
(FKDM), berikut kutipan wawancaranya:
“Kalo kita tergantung kebutuhan, kalo lagi berhubungan sama konflik ketenaga kerja ya kita ke dinas ketenagakerjaan, kalo yang berhubungan sama hutan ya ke dinas kehutanana, Cuma kalo pada saat itu karena penanganannya terlambat jadi banyak tuh bantuan dari dinas lain biar maslaahnya itu cepet selesai karena kan pemerintah pusat sudah memberikan titahnya, jadi harus kita selesaikan dan koordinasikan sama dinas lain, dinas pendidikan itu tugasnya buat renovasi rumah, dinas kesahatan itu yang rumah sakit tuganya ngedata yang luka-luka ya banyak lagi”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB, Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Berdasarkan kutipan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa koordinasi
yang dilakukan disesuaikan dengan kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah
maupun lembaga/forum penanganan konflik, hal ini juga telah disampaikan oleh
Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di
Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan sebelumnya.
Hal serupa juga disampaikan Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan yang mengungkapkan bahwa koordinasi yang dilakukan sudah sesuai
dengan fungsi dari masing-masing dinas, berikut kutipan wawancaranya:
“Koordinasi sudah sesuai fungsinya masing-masing”.(wawancara dengan Bapak
Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol
Kabupaten Lampung Selatan)
133
Aspek selanjutnya yaitu tentang fungsi kontrol dan evaluasi, pada aspek
ini peneliti mengajukan pertanyaan guna mengetahui bagaimana pengawasan
yang pemerintah dan aparat keamanan lakukan dalam pencegahan konflik
kependudukan yang terjadi dan bagaimana proses evaluasi yang dilakukan oleh
pemerintah daerah dan aparat keamanan. Bapak Alamsyah (I3.1) Ketua Forum
Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), mengungkapkan bahwa pengawasan
yang dilakukan oleh FKDM melalui pengawasan dengan menggunakan alat
komunikasi handphone saja, hal ini disebabkan karena anggota yang dimiliki oleh
Forum ini tidak cukup untuk memberikan pengawasan secara langsung kepada
masyarakat dengan wilayah kecamatan yang luas satu anggota tidak cukup
mengawasi secara langsung konflik apasaja yang terjadi dimasyarakat. Berikut
kutipan wawancaranya:
“Sampai sekarang kita ngawasainnya lewat hp aja, sering telfon ke pengurus
yang ada di kecamatan, ya gitu aja karena kita kebentur sama dana
juga”.(wawancara dengan Bapak Alamsyah, Jumat 2 Oktober 2015, 10.30 WIB,
Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan).
Hal serupa juga disampaikan oleh Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan, bahwa pengawasan langsung dilakukan oleh pengurus FKDM, berikut
kutipan wawancaranya:
“Pengawasan kita dari hp, jadi mereka yang jadi pengurus di FKDM itu ngelapor
kekita kalo ada isu mau ricuh, kalo secara langsung kita turan kelapangan orang-
orang saya juga tidak cukup”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1
134
Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan)
Sementara Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan
mengungkapkan hal berbeda, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya kita awasin lewat kegiatan sambang door to door yang kita kerumah rumah
masyarakatnya tapi itu cuma sifatnya sementara, sekarang ini ada kantornya
Kantibnas yang di desa Patok”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25
September 2015, 11.00 WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pengawasan yang
dilakukan oleh pihak keamananan berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
pemerintah daerah, pengawasan yang dilakukan adalah dengan cara turun
langsung kepada masyarakat, namun cara itu dilakukan hanya bersifat sementara
waktu hal ini dikarenakan dari pihak aparat kemanan telah membuatkan kantor
Kantibnas yang bertujuan untuk mengawasi masyarakatnya.
Senada dengan apa yang dijelaskan oleh Bapak Kadek Sirye (I5.2) Kadus
(Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga bahwa pengawasan dilakukan
dengan adanya Babinkantibnas, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya ada pengawasan dari aparat keamanan mereka buat Babinkantibnas, setiap
malam ada yang keliling jaga, patroli jaga, trus kita juga ada ronda”.(wawancara
dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015, 10.00 WIB, Kediaman
rumah bapak Kade Sirye)
135
Berikutnya pendapat berbeda Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala Desa
Agom yang mengungkapkan, berikut kutipan wawancarnya:
“Ya kalo sekarang ini aman-aman aja setelah kejadian itu, tapi ya kalo ada
hajatan kita sekerang ngundang orang Desa Balinuraga juga terus dari
kepolisian itu aja, kalo secara terus menerus si gak”.(wawancara dengan Bapak
Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak
Muksin Syukur)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa pengawasan yang
dilakukan hanya bersifat sementara setelah terjadi konflik tersebut, namun
sekarang dengan keadaan yang sudah normal pemerintah tidak melakukan
pengawasan secara intensif seperti dulu. Pendapat serupa dikemukakan oleh Ibu
Ida Riana (I4.2) Ibu Rumah Tangga/Masyarakat Desa Agom, berikut kutipan
wawancaranya:
“Kalo sekarang tidak pernah ada lagi masalah lagi jadi ya mungkin
pemerintahnya jarang ngawasin, buktinya orang-orang kita sering diundang ke
acara mereka”.(wawancara dengan Ibu Ida Riana, Jumat 4 september 2015, 17.00
WIB, Rumah bapak Muksin Syukur).
Kemudian pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada bapak Hermawanto
(I6) Ketua Bintara Unit Khusus Intelegen Kodim Lam-Sel, berikut kutipan
wawancaranya:
“Untuk daerah desa Balinuga masuk kedalam wilayah kekuasaan salah satu panglima Lampung atau salah satu Marga Lampung yang ada di kabupaten
136
Lampung Selatan, jadi kalau ada konflik nanti yang menyelesaikan panglima Lampungnya atau pimpinan Marga Lampungnya, mengikuti adat dari masyarakat warga Lampung. Jadi yang tadi hanya wilayah tertentu yang masuk marga Lampung sekarang yang masyarakat jawa, bali, bugis dll semua masuk wilayah marga Lampung”.(wawancara dengan bapak Hermawanto, Kamis, 3 Februari 2016, 19.00 WIB, Rumah Bapak Hermawanto)
Poin selanjutnya yaitu mengenai evaluasi terkait dengan peyelesaian
konflik kependudukan yang terjadi saat itu, Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan menjelaskan bahwa kurangnnya pembinaan yang dilakukan pemeirntah
kemasyarakat dapat menimbulkan kembali konflik yang terjadi di masyarakat,
meskipun dalam skala yang lebih kecil hal ini disebabkan karena konflik yang
terjadi di masyarakat tidak hanya tentang suku atau agama saja namun juga isu
tentang kesenjangan ekonomi yang terjadi di masyarakat tersebut, berikut kutipan
wawancaranya:
“Menurut saya pembinaan keberlanjutannya kurang, ada isu ekonomi juga kan waktu itu, nah pemerintah itu kurang perhatian sampai sekarang, keamanan juga kurang, jadi tindak lanjut penyebab konflik itu belum diselesaikan, kalo misalkan dari sisi agama kan harusnya banyak tokoh agama yang turun”.(wawancara dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Hampir sama dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Marwan Abdulah
(I3.3) Sekertaris Majelis Penyeimbang Adat Lampung (MPAL), berikut kutipan
wawancaranya:
“Kalau menurut saya sudah bagus, tapi ada kekurangannya, kekurangannya dalam bentuk perhatian pemerintah daerah barang kali, mestinya kita tau apasih maunya masyarakat ini, tidak hanya dalam bentuk simbol saja, jadi menurut saya masih kurang banyak penyelesaian karena tidak memperhatikan kepentingan-kepentingan dari kedua pihak
137
ini, setelah melalui pengkajian yang dilakukan sama banyak akademisi salah satu masalah yang timbul masyarakat pendatang ini lebih maju dari masyarakat pribumi, pembinaan dalam masyarakat pendatang lebih mudah dari pada pembinaan yang dilakukan kepada masyarakat pribumi nah sehingga perhatian yang diberikan belum maksimal, kalo yang pendatang itu lebih muda diatur, kalo yang pribumi itu kan mencar di wilayah lain jadi perhatiannya juga kepecah, perhatian dari infrastruktur kalo dilihat ke lapangan jarang dilihat yang bagus untuk yang wilayah masyarakatnya banyak pribumi, kalo infrastruktur yang untuk wilayah yang warganya berkelompok seperti mereka sudah bagus”.(wawancara dengan Bapak Marwan Abdulah, Jumat 2 Oktober 2015, 09.00 WIB, Kantor DPRD Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa evaluasi dari
penyelesaian konflik tersebut masih terdapat kekurangan didalamnya,
kekurangan-kekurangan tersebut timbul karena pemerintah tidak mampu
memberikan perhatian yang merata terhadap masyarakatnya khususnya
masyarakat pribumi, perhatian itu dalam bentuk infrastruktur.
Pendapat berbeda dikemukakan oleh Bapak Muksin Syukur (I4.1) Kepala
Desa Agom, berikut kutipan wawancaranya:
“Dengan inisiatif Pemerintah yang terlalu cepat menyelesaikan masalah itu tanpa melalui proses jadi kita itu dianggap dijebak dan masalah itu begitu bumingnya ditempat kita langsung beres, harusnya dihukum dulu lah mereka itu biar gak tuman, dicari dulu permasalahnnya seperti apa jangan banyak orang yang tanya terus gak tau permasalahnnya apa karena gak ditemukan titik awal permasalahnnya itu apa”.(wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa penyelesaian
konflik kependudukan yang terjadi terlalu cepat sehingga tidak menemukan akar
permasalahan konflik yang sebenarnya, ini dibuktikan dengan penolakan yang
138
dilakukan oleh warga Lampung yang pada saat itu terlibat langsung dalam konflik
tidak menerima perjanjian perdamaian yang pertama. Kemudian Hassanudin
(nama samaran) (I4.3) masyarakat Desa Agom mengungkapkan jika menurut dia
penyelesaian konflik yang terjadi sudah cukup untuk membuat warga masyarakat
Lampung yang berasal dari Bali itu takut hal ini disebabkan karena dalam
perjanjian yang kedua masyarakat Bali telah berjanji bahwa jika konflik ini terjadi
kembali maka mereka harus siap meninggalkan wilayah Lampung, berikut
kutipan wawancaranya:
“Udahlah cukup, sekarang kan mereka gak berani kayak dulu lagi, kalo kayak
dulu lagi mereka diusir dari sini”.(wawancara dengan Hassanudin (nama
samaran), Minggu 6 September 2015, 11.00 WIB)
Namun pendapat berbeda diungkapkan oleh bapak Hermawanto (I6)
berikut kutipan wawancaranya:
“Jalan keluar sampai sekarang tidak pernah dijawab, kalau permasalahannya adalah ekonomi harusnya permerintah bidang ekonomi yang menuntaskan, jadi penyelesaian sampai sekarang tidak bisa diselesaikan, kalo ada penyelesaian pasti tidak ada konflik lagi”. (wawancara dengan bapak Hermawanto, Kamis, 3 Februari 2016, 19.00 WIB, Rumah Bapak Hermawanto)
Aspek terakhir dalam indikator perencanaan operasional adalah mengenai
umpan balik, dalam aspek ini peneliti mengajukan pertanyaan kepada Bapak
Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, berikut kutipan wawancaranya:
“Partisipasi dari masyarakat itu sangat besar sekali karna kalo ada sosialisasi
mereka, kalo ada sosialisasi malah mereka minta diadain lagi”.(wawancara
139
dengan Bapak Ismed Alwi, Kamis 1 Oktober 2015, 11.00 WIB, di Kantor Badan
Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa partisipasi
masyarakat sangat besar dalam mengikuti sosialisasi yang dibuat pemerintah pada
saat setelah terjadi konflik. Kemudian pertanyaan serupa peneliti ajukan kepada
Kadek Sirye (I5.2) Kadus (Kepala Dusun) Pande Arga Desa Balinuraga, berikut
kutipan wawancaranya:
“Kami ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, kita juga ikut kumpul kumpul
waktu sosialisasi, pernah juga 1 minggu penataran di desa, kalo sekarang gak
ada lagi”.(wawancara dengan Bapak Kadek Sirye, Sabtu 5 September 2015,
10.00 WIB, Kediaman rumah bapak Kade Sirye)
Hampir sama dengan jawaban dari Bapak Ismed Alwi (I1) Kepala Bidang
Politik dan Kewaspadaan Nasional di Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung
Selatan, menurut Bapak Y. Ujang (I2) Kasat Binmas Polres Lampung Selatan,
berikut kutipan wawancaranya:
“Iya masyarakat sekarang aktif banget ya, kalo ada masalah langsung
ngubungin, gak hanya yang konflik lampung bali aja tapi juga yang suku
lainya”.(wawancara dengan Bapak Y. Ujang, Jumat 25 September 2015, 11.00
WIB, di Kantor Polisi Resor Lampung Selatan)
Berdasarkan wawancara diatas, dapat diketahui bahwa partisipasi
masyarakat sangat dibutuhkan untuk pelaksanaan tugas mereka, tidak hanya
140
masyarakat Lampung maupun Bali saja namun juga masyarakat suku lain yang
tinggal di Kabupaten Lampung Selatan.
4.3.3 Kondisi Sosial Ekonomi Mayarakat dan penyebab Terjadinya konflik
Antar Suku Asli Lampung dan Suku Pendatang Bali
Dalam penelitian ini penting untuk peneliti mendeskripsikan bagaimana
sosial ekonomi yang ada di kedua desa tersebut dan sebelum mengetahui
bagaimana pemerintah melakukan penanganan dan penyelesain terhadap konflik
tersebut peneliti juga mendeskripsikan bagaimana proses terjadinya konflik
tersebut. Kemudian peneliti mengajukan pertanyaan bagaimana kondisi sosial
ekonomi masyarakat yang terlibat dalam konflik kepada Bapak Muksin Syukur
(I4.1) Kepala Desa Agom yang menjelaskan bahwa masyarakatnya dalam sehari-
hari berkomunikasi menggunakan bahasa Lampung karena sebagian besar
warganya merupakan warga pribumi, pekerjaan yang menjadi mata pencaharian
mereka juga sebagian besar adalah petani, menurutnya perekonomian masyarakat
yang ada di desanya memang jauh berbeda dengan yang ada di Desa Balinuraga,
berikut kutipan wawancaranya:
“Wah kita gak bisa dibandingin sama warga balinuraga sana, kita jauh beda banget, mereka memang kaya kaya uangnya banyak, waktu penyerangan itu kan ada penjarahan juga tuh dirumah-rumah mereka, warga kita nemuin brangkas orang bali saya yang isinya uang tunai 2 milyar, untungnya orang kita masih sadar diri jadi dikasihin lah uang itu ke aparat trus diamanin, wah mereka itu gak kurang-kurang lah kalo soal uang kaya-kaya pokoknya, saya tuh saksi mereka anak-anak mudanya kalo berangkat sekolah gak adalah yang pakai motor jelek motornya pada ninja semua, wajar aja lah mereka kaya, hidupnya pelit banget buat makan aja kalo diibaratkan ya singkong 1 pohon tuh isinya dimakan sati-satu gimana mereka gak kaya, orang-orang saya juga kerjanya sawah ya kayak mereka tapi hidupnya gak pelit kayak mereka, coba lah dilihat
141
bangunan didesa saya sama di desa balinuraga sana beda jauh, disana rumah mereka bagus-bagus, rumah-rumah di desa saya jelek-jelek, saya mengakui itu gak ada yang harus ditutup-tutupi kok, makanya menteri perumahan rakyat itu ngasih bantuan bedah rumah ya biar pada bagus-bagus rumah yang jelek-jelek itu, biar masyarakat pribumi kita gak pada iri”. (wawancara dengan Bapak Muksin Syukur, Jumat 4 September 2015, 17.00 WIB, Kediaman Rumah Bapak Muksin Syukur)
Selanjutnya Bapak Made Santre (I5.1) Kepala Desa Balinuraga
mengungkapkan bahwa setelah kejadian konflik tersebut warganya mendapatkan
berkah yang berlimpah, berikut kutipan wawancaranya:
“sebelum kejadian tahun 2012 kehidupan masyarakatnya terutama remajanya emang nakal-nakal dek saya akui itu, namun setelah kejadian itu mau nurut kalau ditegor sekali, kalau sekarang gak lagi dek, ditegornya tuh jangan nakal kamu mau kejadian yang dulu itu keulang lagi, jadi mereka tau kejadian itu ya trauma juga jadi kalau ditegor sekarang mau mendengarkan, kalau dulu masih ngebantah. Kerjaan kita sehari-hari ya diladang kalo gak di sawah yang adanya itu, ada juga yang dokter iya disini ada dokter juga, trus ada yang pematung ada juga yang kerja di Pemda Kalianda, abis dari kejadian itu juga nambah baik perekonomiannya, purenya juga dibangun lagi yang rusak rusak, untuk biayanya pembangunan pure kalo yang mampu aja ini bisa sampai 75jt belum pengecetannya, trus sama sesajinya bisa sampai 150jt dek makanya kalo orang kita yang belum mampu buat sembahyangnya bisa ikut ke pure orang dulu yang udah ada, nanti kalau udah ada uang baru buat sendiri, rumah yang dulu jelek-jelek sekarang jadi bagus karena ini semua rehapan, desa kita juga kan desa bali yang terbanyak orangnya di provinsi lampung 500kk tapi kebanyakan bali nusa, bali nusa itu bali yang katanya nakal makanya gak dibolehin tinggal didenpasar jadi haras merantau nah diperantauan itu kita mikir buat bertahan hidup ini makan aja singkong 1 pohon itu kan ada beberapa buahnya tuh nah itu kit makan sehari 1 singkong terus besoknya bisa dimakan lagi ”.(wawancara dengan Bapak Made Santre, Jumat 4 September 2015, 15.30 WIB, Kediaman rumah Bapak Made Santre)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa perekonomian
masyarakat Desa Balinuraga dan masyarakat Lampung Desa Agom berbeda jauh,
setelah konflik itu terjadi perekonomian masyarakat Balinuraga semakin
142
membaik. Ini dapat dilihat dari bangunan yang ada di Desa Balinuraga dan
bangunan yang ada di Desa Agom berbanding jauh. Kemudian untuk kehidupan
sosialnya sendiri masyarakat Balinuraga sangatlah taat terhadap kepercayaannya
ini terbukti juga dengan pembangunan pure yang lebih didahulukan dengan
bangunan renovasi rumah masyarakatnya.
Senada dengan yang disampaikan Bapak Made Suka (I5.3) Tokoh
Masyarakat, berikut kutipan wawancaranya:
“Iya mungkin ada hikmahnya juga kejadian itu, yang dulunya rumah jelek disini
jadi bagus, yang bagus jadi tambah bagus, memang remaja-remaja kira itu dulu
susah sekali di nasihatin, ngelawan kalo ditegor, kalo sekarang mereka gak
barani mba”.(wawancara dengan Bapak Made Suka, Minggu 6 September 2015,
09.30 WIB, Kediaman Rumah Bapak Made Suka)
Berdasarkan wawancara di atas, dapat diketahui bahwa sebelum terjadi
konflik tahun 2012 perilaku remaja dan pemuda di Desa Balinuraga sulit untuk
diatur, namun setelah terjadi konflik tersebut perilaku remaja dan pemuda berubah
menjadi lebih baik.
4.4 Pembahasan
Penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi terdapat dalam peraturan
Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. Peraturan
tersebut dimaksudkan penanganan konflik adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dan terencana dalam situasi dan peristiwa baik
143
sebelum, pada saat, maupun sesudah terjadi konflik yang mencakup pencegahan
konflik, penghentian konflik dan pemulihan konflik.
Pembahasan penelitian ini merupakan isi dari hasil analisis data dan fakta
yang peneliti dapatkan dilapangan serta disesuaikan dengan teori yang digunakan,
dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori manajeman strategi menurut
Nawawi (2005: 151) mengenai manajeman strategi sebagai suatu sistem. Teori
tersebut digunakan untuk mengetahui bagaimana strategi yang dibuat pemerintah
untuk penyelesaikan konflik yang terjadi melalui dua dimensi, diantaranya
Perencanaan Strategi dan Perencanaan Operasional.
Adapun pembahasan mengenai strategi penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli
Lampung dan suku pendatang Bali tahun 2012), yakni sebagai berikut:
4.4.1 Kehidupan Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kehidupan sosial
ekonomi yang terjadi di masyarakat dimana keadaan ini dapat menjadi pemicu
dari konflik. Dalam kehidupan masyarakat yang ada di Desa Agom
masyarakatnya tergolong dalam masyarakat menengah kebawah, dalam hasil
wawancara yang dilakukan oleh peneliti didapati bahwa profesi dari masyarakat
desa tersebut sebagian besar adalah petani, dan mereka memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Bangunan-bangunan rumah yang ada di Desa Agom itu
saling berjauhan satu rumah ke rumah yang lain.
144
Berbeda dari masyarakat Desa Balinuraga, masyarakatnya merupakan
petani sawit yang sukses memiliki pendidikan yang tinggi, banyak pemuda dari
Balinuraga yang melanjutkan kuliahnya di luar kota. Kemudian tidak hanya
profesi sebagai petani sawit namun juga ada yang menjadi dokter, pematung
terkenal. Mereka sangat menjunjung tinggi kepercayaan yang mereka anut, ini
terbukti dengan bangunan-bangunan megah yang mereka bangun untuk
persembahayang yang mereka gunakan, bangunan tersebut didirikan hingga
menelan biaya 150 hingga 200 juta/rumah. Kemudian untuk peralatan
sembahyang mereka yang ada di Pure, ada gong khusus yang dibuat dengan
dilapisi emas yang harganya hingga 200 jt.
4.4.2 Kehidupan Sosial Masyarakat di Kabupaten Lampung Selatan
Rasa sebatin antara warga Lampung juga sangatlah erat, ini fakta yang
peneliti dapatkan dari wawancara kepada Majelis penyeimbang Adat Lampung
(MPAL) bahwa mereka sangatlah menjunjung tinggi arti persaudaraan meskipun
mereka berbeda marga. Dalam kehidupan masyarakat Lampung tidak menyukai
kebiasaan dari masyarakat Bali yang memelihara ternak babi sebelum terjadi
konflik, hal ini juga dijelaskan oleh salah satu informan yang menjelaskan bahwa
masyarakat Lampung tidak menyukai jika adanya mediasi yang dilakukan jika di
tempat yang dipilih adalah di desa Balinuraga, ini dikarenakan kebiasaan hidup
yang kurang bersih dan bau yang menyengat yang ditimbulkan oleh kotoran dari
ternak yang dipelihara oleh masyarakat Bali. Dalam kehidupan sehari-hari juga
masyarakat Lampung menyombongkan apa yang mereka punya, hal ini yang
membedakan sikap dan sifat yang di perlihatkan oleh masyarakat Bali.
145
Perbedaan ini terlihat dari sikap yang diperlihatkan oleh masyarakat
Balinuraga yang sangat menghormati tamu yang berbeda suku, sikap yang tidak
membeda-bedakan perilaku dan suku terhadap tamu yang mendatangi rumah
masyarakat Bali tersebut. Meskipun sebelum kejadian konflik yang berlangsung
pada tahun 2012 pemuda bali sangat arogan dan memiliki sikap premanisme
namun setelah terjadi konflik yang menimbulkan banyak korban jiwa dari
masyarakat Bali membuat pemuda Bali menjadi takut untuk melakukan
aroganisme dan premanisme seperti sebelumnya, masyarakat Bali lebih berhati-
hati dalam bersikap dan berprilaku hal ini juga dikarenakan perjanjian yang telah
dibuat dalam mediasi yang berlangsung pada saat itu yang isinya jika masyarakat
Bali membuat ulah maka mereka akan diusir paksa dari wilayah Lampung Selatan
dan tidak diperbolehkan lagi untuk tinggal di wilayah tersebut. Masyarakat desa
Balinuraga juga kini masuk dalam wilayah panglima Marga Lampung, yang jika
terjadi konflik lagi maka ketua adat/panglima marga Lampung yang menguasai
wilayah Balinuraga yang menyelesaikan permasalah tersebut.
4.4.3 Proses Terjadinya Konflik
Penyebab terjadinya konflik antara warga Lampung Desa Agom dengan
warga Bali Desa Balinuraga merupakan puncak kekesalan dari warga Desa Agom
yang merasa meraka selalu dirugikan baik material maupun moril. Warga Desa
Balinuraga sering mengadakan upacara yang kemudian pensuciannya dilakukan di
pantai Merak Belantung, dalam perjalanan ke pantai tersebut warga Bali sering
melakukan kerusakan pada fasilitas yang ada di Desa Agom namun mereka tidak
mau mengganti rugi kerusakan tersebut, masyarakat Bali juga sering melakukan
146
pemalakan di pasar yang ada di patok dan itu tidak ditindak lanjuti, karena
masyarakat merasa takut akan aroganisme pemuda Balinuraga.
Sebelum kejadian yang terjadi konflik pada bulan oktober 2012, terjadi
juga konflik di bulan januari 2012 di Desa Napal yang melibatkan warga Jawa,
Lampung dan Bali yang disebabkan oleh perkiran di Pasar Napal, akhirnya
dilakukan perjanjian namun tanpa disertakan moderator dan saksi-saksi dalam
perjanjian itu, akhirnya pada tanggal 27 oktober 2012 pukul 18.00 WIB,
bertempat di Desa Waringin Harjo telah terjadi keributan yang disebabkan oleh
sekelompok pemuda Desa Balinuraga yang sedang duduk dipersimpangan jalan
Desa Waringin harjo menggoda dua gadis remaja yang sedang melintasi
menggunakan sepeda motor. Kemudian akibat godaan tersebut kedua gadis
terjatuh dari sepeda motornya yang mengakibatkan luka-luka.
Selanjutnya kedua gadis tersebut melaporkan kejadian tersebut kepada
keluarganya, pada saat orang tua salah satu gadis tersebut melaporkan kejadian
tersebut pada kepala desa pada saat itu juga informasi menyebar dengan cepat
kepada masyarakat Lampung sekitar desa tersebut, dan keadaan itu tidak diketahui
oleh kepala Desa Agom begitu juga sebaliknya informasi yang menyebar itu juga
tidak diketahui oleh kepala desa. Kemudian kepala Desa Agom mendatangi
kepala Desa Balinuraga, namun kepala Desa Balinuraga yang pada saat itu tidak
mau menemui kepala Desa Agom dikarena tidak mau mencampuri urusan yang
dibuat oleh pemudanya dan beralasan bahwa dia sedang ada di Bandar Lampung,
penolakan yang dilakukan masyarakat Desa Balinuraga membuat kepala Desa
Agom mendatangi Kepala Desa Patok dan memintanya untuk membantu
147
memediasi masalah ini, namun pada saat yang bersamaan juga tersebar informasi
yang belum diketahui oleh kepala Desa Agom bahwa beliau disandra oleh
masyarakat Balinuraga.
Berita itu tentu saja membuat masyarakat Lampung semakin marah, dan
ditambah lagi isu yang menyebar dimasyarakat melalui Short Message Service
(SMS) adalah bahwa gadis yang mengalami kecelakaan itu juga mendapatkan
pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemuda Bali, dan isu tentang pemerkosaan
yang dialami oleh gadis. Masyarakat yang ikut dalam penyerangan tersebut belum
mengetahui kejadian yang sebenarnya, namun mereka tetap melakukan
penyerangan, ini dikarenakan kekesalan yang mereka rasakan karena ulah dari
masyarakat Bali yang selalu merugikan orang lain, dan lagi masyarakat masih
merasakan amarah yang belum reda atas apa yang terjadi di konflik sebelumnya,
konflik yang terjadi di Desa Napal. Setelah proses mediasi yang dibantu
pemerintah dan aparat keamanan masyarakat baru mengetahui kejadian dan
masalah yang menjadi pemicu penyerangan tersebut.
4.4.4 Perencanaan strategi
Dalam dimensi perencanaan strategi diketahui bahwa ada tiga sub dimensi,
yaitu visi, misi dan tujuan organisasi, dalam hal ini visi dari Pemerintah
Kabupaten Lampung Selatan belum dibuat secara sistematis, walaupun demikian
Pemerintah Daerah maupun forum/lembaga penanganan konflik yang
bertanggung jawab dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi
memiliki Undang-Undang RI No 7 tahun 2012 tentang Penenganan Konflik Sosial
148
dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 42 tahunn 2015
tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial yang merupakan
peraturan baru sebagai landasan hukum dalam visinya dan tidak memilik SOP
tertentu dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
Selain itu juga misi yang dijalankan untuk mewujudkan visi yang akan
dicapai disesuaikan dengan ketentuan dari Undang-Undang RI No 7 tahun 2012
tentang Penanganan Konflik Sosial dimana pada pasal 10 dijelaskan bahwa
pemerintah harus membangun sistem peringatan dini yang tujuannya untuk
mencegah konflik di wilayah tersebut. Sistem peringatan yang ada di Kabupaten
Lampung Selatan berupa program yang dibuat oleh Badan Kebangpol Lampung
Selatan yaitu Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) atas dasar Peraturan
Menteri Dalam Negeri Tahun 2006 dan Forum Kerukunan Umat Beragama
(FKUB) atas dasar Keputusan Bupati Lampung Selatan Nomor:
B/23/IV.09/HK/2015. Walaupun demikian program tersebut juga memiliki
kendala dalam pelaksanaannya yaitu masyarakat Kabupaten Lampung Selatan
belum mengetahui program tersebut, sosialisasi yang dilakukan Pemerintah
Daerah hanya 3 (tiga) kecamatan dalam setahun.
Dengan adanya visi dan misi yang telah disesuaikan dengan peraturan
pemerintah tujuan organisasi juga mengacu pada peraturan yang digunakan dan
bahkan sudah mencapai tujuan dari organisasi tersebut ini dilihat dari semakin
banyaknya masyarakat Kabupaten Lampung Selatan yang mulai sadar akan
pentingnya hidup damai, namun ada juga lembaga penaganan konflik yang masih
merasa bahwa tujuan dari organisasinya belum tercapai karena masyarakat
149
pendatang masih menganggap bahwa kebudayaan Lampung itu asing bagi
mereka.
Mengacu pada beberapa penjelasan di atas, maka dapat peneliti simpulkan
bahwa dalam tahapan Perencanaan Strategi yang dibuat Pemerintah Kabupaten
Lampung Selatan belum tersusun rapi dan terencana dengan baik, walaupun
program yang dibuat telah disesuaikan dengan peraturan yang digunakan.
Kemudian kendala dalam mewujudkan tujuan organisasi masih ada di aspek
masyarakat, tidak hanya itu pemerintah daerah juga belum mensosialisasikan
peraturan yang baru mengenai pelaksanaan koordinasi penanganan konflik sosial
yang diatur dalam Permendagri No 42 Tahun 2015 kepada masyarakatnya.
4.4.5 Perencanaan Operasional
Mengacu pada tahapan operasional ini ada beberapa aspek dimensi yang
harus diketahui, yaitu sasaran operasional, pelaksanaan fungsi manajeman berupa
(fungsi pengorganisasian, pelaksanaan, dan fungsi penganggaran), kebijakan
situasional, jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal, fungsi kontrol dan
evaluasi, umpan balik.
Mengenai sasaran operasional bahwa pada saat penanganan dan
penyelesaian konflik kependudukan telah tepat sasaran sesuai dengan ketentuan
hukum oleh pihak aparat keamanan, pemerintah juga lebih memberikan perhatian
khusus terhadap wilayah yang sering terdapat konflik dan memberikan perhatian
kepada masyarakat pendatang, hal ini menyebabkan kecemburuan sosial yang
diakibatkan oleh perhatian yang lebih diutamakan kepada masyarakat pendatang.
150
Gambar 4.4
Kondisi jalan di Desa Balinurga (kiri) dan kondisi jalan di Kompleks jati Agung Kalianda (kanan)
Pelaksanaan fungsi-fungsi manajeman yang dilakukan pemerintah
berhubungan dengan fungsi pengorganisasian, anggaran, dan pelaksanaan.
Pemerintah daerah sangat aktif dalam proses penanganan dan penyelesaian
konflik yang terjadi pada tahun 2012, banyak juga dari tokoh masyarakat
Lampung yang diwakilkan 6 marga ikut membantu dalam penanganan dan
penyelesaian konflik tersebut, tokoh masyarakat Lampung itu mewakili 6 marga
Lampung yang ada di Kabupaten Lampung Selatan dan ketua perkumpulan agama
Hindu Provinsi Lampung juga. Pemerintah juga menyediakan fasilitas tempat
untuk proses mediasi yang berlangsung saat itu. Kontribusi dari pemerintah pusat
juga banyak, pelaksanaan program tidak termasuk dalam Renstra namun hanya
sebagai program untuk membantu kinerja dari bidang yang ada di Kesbangpol.
Pelaksanaan program yang dibuat seperti Rembuk Pekon belum memiliki
juklak dan juknis karena belum mendapatkan Kepkapolri secara resmi namun
151
pelaksanaan Rembuk Pekon itu sendiri sudah berjalan disesuaikan dengan tugas
dari kepolisian dan sudah dibuatkan kantor sendiri sebagai tempat untuk
melaksanakan mediasi, dalam penganggaran untuk ganti rugi yang diberikan
pemerintah kepada masyarakat yang menjadi korban dari konflik tersebut,
pemerintah memberikan sejumlah uang ganti rugi untuk korban dan masyarakat
yang rumahnya rusak, yaitu sebagai berikut:
1. Untuk korban yang rumahnya terbakar atau rusak sebanyak 438 rumah,
masing-masing menerima Rp. 1.200.000,-
2. Untuk warga yang meninggal dunia 9 (sembilan) orang suku Bali dan 3 (tiga)
orang dari suku Lampung masing-masing menerima Rp.10.000.00,-
3. Untuk korban kecelakaan sebanyak 2 (dua) orang masing-masing
Rp.2.500.000,-
Semua itu dibebankan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Daerah
Kabupaten Lampung Selatan bantuan yang diberikan oleh pemerintah hanya
untuk masyarakat yang mengalami kerugian baik materil maupun moril hal ini
dikarenakan tidak semua rumah yang ada di Desa Balinuraga mengalami
kerusakan hanya bagian sebelum tugu Desa Balinuraga saja yang mengalami
kerusakan.
152
Gambar 4.5
Tugu yang berdiri di tengah-tengah Desa Balinuraga
Dan tidak hanya itu Pemerintah Pusat memberikan bantuan sebesar
Rp.11.000.000 untuk renovasi rumah yang rusak kepada warga Desa Balinuraga,
Pemerintah Pusat juga memberikan dana untuk program bedah rumah yang ada di
Desa Agom guna mengurangi kecemburuan akibat kesenjangan ekonomi yang
terjadi di wilayah tersebut.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah pada saat terjadi
konflik tersebut adalah dengan mengungsikan warga Desa Balinuraga tempatnya
di Kemiling Bandar Lampung, dan pihak aparat keamanan melakukan
penyelidikan terkait masalah yang sebenarnya terjadi hingga menimbulkan
konflik yang besar. Kemudian pemerintah melakukan mediasi untuk
153
menyelesaiakan konflik tersebut, namun proses mediasi yang berjalan terlalu
cepat sehingga menimbulkan penolakan dari masyarakat pribumi karena
penyelesaian tersebut tidak melibatkan masyarakat yang terlibat langsung dalam
konflik tersebut.
Kemudian mengenai jaringan kerja eksternal dan jaringan kerja internal ini
berhubungan dengan kekuatan, kelemahan, ancaman dan peluang. Dalam
penanganan dan penyelesian konflik kependudukan yang terjadi Peraturan
Pemerintah Pusat menjadi sumber kekuatannya tidak adanya Peraturan Daerah
tidak membuat. Lalu yang menjadi kelemahan dalam menjalankan program
tersebut adalah tradisi dan budaya masyarakat yang masih kental didalam
kehidupan bermasyarakat sering kali ada kasus kericuhan namun masyarakat
hanya menyelesaikan masalah tersebut tanpa pihak ketiga sehingga konflik yang
terjadi tambah semakin besar karena tidak ada kecocokan dalam proses
musyawarah.
Ancaman yang nyata dalam pelaksanaan program pemerintah adalah
karena adanya pengaruh globalisasi yang dapat merubah sikap dan kebiasaan di
masyarakat yang sebelumnya dijunjung tinggi oleh masyarakat, kemuadian
kemajuan teknologi mengakibatkan terjadinya konflik tersebut, ini dikarenakan
konflik yang berawal hanya di lingkungan kedua desa namun karena penyebaran
isu yang dilakukan melalui teknologi yang di sebut Short Message Service (SMS)
membuat informasi menyebar dengan cepat. Dengan itu pemerintah
memanfaatkan peluang yang dimiliki yaitu bantuan dari berbagai pihak dan
154
partisipasi masyarakat dalam sosialisasi dengan memberikan penyuluhan-
penyuluhan.
Mengenai koordinasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah ini
disesuaikan dengan tim yang ada di Permendagri Nomor 42 Tahun 2015, yaitu
sebagai berikut:
1. Tim koordinasi pencegahan konflik,
2. Tim koordinasi penghentian konflik,
3. Tim Koordinasi Pemulihan Konflik.
Adapun tim terpadu penanganan konflik sosial tingkat Kabupaten
memiliki susunan keanggotaan, terdiri dari:
1. Ketua : Bupati/Walikota
2. Wakil Ketua I : Sekda Kab/Kota
3. Wakil Ketua II : Kapolres/ta/tabes
4. Wakil Ketua III : Dandim/Kepala Satuan TNI wilayah setempat
5. Wakil Ketua IV : Kajari
6. Sekertaris : Kaban Kesbangpol Kab/Kota
7. Wakil Sekretaris I : Kabag Ops/Polres/ta/tabes
8. Wakil Sekretaris II : Kasi Ops Kodim
9. Wakil Sekretaris III : Kasi Intel Kajari
10. Anggota : Pejabat SKPD Kab/Kota dan/atau instansi vertikal
terkait sesuai kebutuhan.
155
Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah dilakukan secara tidak
langsung melalui media komunikasi lewat handphone lalu pengawasan yang
dilakukan oleh aparat keamanan dilakukan secara langsung yaitu dengan sistem
door to door namun cara itu hanya digunakan semantara oleh pihak aparat
keamanan setelah konflik mereda pengawasan itu tidak dilakukan lagi mengingat
bahwa mereka juga memiliki program dalam penanganan dan penyelesaian
konflik kependudukan. Penolakan dalam bentuk pernyataan sikap secara tertulis
yang dibuat oleh masyarakat yang dinamakan jaringan masyarakat Lampung
Selatan, yang isinya adalah penolakan atas perjanjian perdamaain yang dilakukan
secara tergesa-gesa yang tidak memperhatikan keterwakilan warga masyarakat
Lampung secara umum yang bertikai serta tidak memperhatkan permasalah-
permasalahan yang selama ini terjadi.
Dalam hal ini partisipasi masyarakat dalam bentuk keikutsertaan dalam
kepengurusan program yang dibuat oleh pemerintah, kemudian masyarakat juga
sering mengundang pihak pemerintah dan masyarakat desa lain jika diadakan
acara adat sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka turun aktif dalam
kehidupan bermasyarakat sehari-hari sehingga dapat meminimalkan terjadinya
konflik kembali.
156
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka
penyimpulan akhir tentang strategi penyelesaian konflik kependudukan di
Kabupaten Lampung Selatan (studi kasus konflik antar suku asli Lampung dengan
suku pendatang Bali tahun 2012) belum terencana dan berjalan dengan baik, hal
ini dikarenakan berbagai faktor yang menjadi unsur dalam tahapan manajemen
strategi tidak terencana dengan baik pula, rinciannya sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang ada di
Kabupaten Lampung Selatan, khususnya masyarakat Lampung Desa
Agom dengan masyarakat Bali Desa Balinuraga. Perbedaan tersebut dapat
dilihat dari mata pencarian masyarakatnya sehari-hari, lokasi rumah,
fasilitas umum seperti jalan dan jembatan penghubung, bangunan rumah
dan bangunan peribadahan.
2. Proses Konflik yang terjadi disebabkan oleh kekesalan masyarakat
Lampung akan sikap dan perilaku tidak baik yang ditimbulkan oleh
pemuda Bali sejak lama hingga terjadi kecelakaan yang dialami oleh 2
pemudi dari Desa Agom mengakibatkan luka-luka dan kesalahpahaman
yang tidak bisa dihindari dari kedua masyarakat tersebut hingga
157
mengakibatkan konflik yang besar hingga perang antar desa yang terjadi di
Kabupaten Lampung Selatan. Proses mediasi yang melibatkan tokoh-tokoh
masyarakat dari kedua belah pihak di tentukan sesuai dengan Keputusan
Gubernur Lampung nomor G/685/B.II/HK/2012 yang mana isi dari
keputusan tersebut terdapat susunan panitia pelaksanaan deklarasi dan
sosialisasi perdamaian masyarakat Lampung Selatan yang ditetapkan pada
tanggal 11 November tahun 2012.
3. Manajemen strategi Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan belum
terencana dengan baik ini dapat dilihat dari beberapa poin dalam
pembahasan, yaitu dibeberapa program yang pemerintah daerah kabupaten
Lampung Selatan buat tidak terdapat misi yang jelas untuk dilakukan,
kegiatan yang dilakukan dirasa sudah cukup hanya berlandaskan dengan
peraturan yang digunakan, kemudian dalam kebijakan situasional
pemerintah kurang peka dengan konflik yang terjadi membuat proses
pengungsian yang dilakukan mengalami keterlambatan sehingga
menimbulkan banyak korban jiwa dari masyarakat Bali. Proses
penyelesaian konflik yang terburu-buru sehingga tidak memperhatikan
keterlibatan masyarakat yang ikut bertikai dalam konflik tersebut, sasaran
operasional aparat keamanan disesuaikan dengan landasan hukum yang
ada di Indonesia, sementara dari pemerintah daerah tidak ditentukan secara
spesifik namun pemerintah daerah lebih memperhatikan masyarakat
pendatang, tidak memiliki Perda tentang penanganan konflik sosial,
pemerintah daerah merasa cukup dengan peraturan yang ada dari
158
pemerintah pusat dan hal ini menjadi kekuatan tersendiri dan pengawasan
kepada masyarakat dilakukan dengan dua cara yaitu pengawasan secara
tidak langsung melalui Handphone dan pengawasan secara tidak langsung
melalui sistem door to door.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas maka peneliti mencoba memberikan
beberapa saran agar nantinya strategi dalam penanganan dan penyelesaian konflik
dapat terencana dengan baik, yakni beberapa rekomendasai yang bersifat praktis
seperti berikut ini:
1. Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan dan Lembaga/Forum
penanganan konflik sosial membuat visi dan misi secara jelas agar
nantinya menjadi gambaran masa depan yang akan dipilih dan yang akan
diwujudkan untuk direalisasikan dalam bentuk tindakan.
2. Badan Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan, pihak kepolisian dan
Lembaga/Forum penanganan konflik sosial harus mengadakan sosialisasi
yang sering tentang budaya dan tradisi Lampung kepada masyarakat
Lampung Selatan yang bukan suku asli Lampung, dan mengajarkan
mereka untuk menggunakan bahasa Lampung dikehidupan sehari-hari.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan tidak hanya memberikan
perhatian kepada masyarakat Lampung Selatan yang bukan suku asli
Lampung, namun juga kepada masyarakat asli Lampung, perhatian
159
tersebut tidak hanya dalam bentuk simbolis saja namun juga bentuk lain
seperti perbaikan jalan, dan penyerapan tenaga kerja yang merata.
4. Pemerintah Daerah Kabupaten Lampung Selatan lebih peka terhadap
masalah yang timbul di masyarakat Kabupaten Lampung Selatan,
mengingat bahwa masyarakat Kabupaten Lampung Selatan begitu
beragam suku dan budaya agar nantinya dslam proses penyelesaian konflik
tidak ada kekecewaan atas keputusan yang dibuat.
5. Peneliti memberikan saran untuk dibuatkannya Peraturan Daerah agar
nantinya lebih memudahkan dalam penyelesaian konflik.
6. Pengawasan dilakukan secara langsung seperti patroli yang dilakukan oleh
pihak kepolisian, melakukan siskamling desa yang dilakukan oleh warga
masyarakat, sosialisasi yang sekaligus menjadi cara dalam mengetahui apa
yang diinginkan oleh masyarakat Kabupaten Lampung Selatan oleh
Lembaga/Forum penanganan konflik sosial karena dengan pengawasan
yang dilakukan secara langsung lebih memudahkan pemerintah daerah
mengetahui apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sehingga dapat
mengurangi konflik yang terjadi di masyarakat.
160
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Alwasilah, A. Chaedar. 2006. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Pustaka Jaya.
Bungin, Burhan.2005. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Pt Praja Grafindo Persada.
David, Fred R. 2005. Manajemen Strategi (Manajemen Strategi Konsep) Buku
I. Jakarta: Salemba Empat.
2008. Manajemen Strategi (Manajemen Strategi Konsep) Buku
I. Jakarta: Salemba Empat.
Denzim, Norman K. & Yvonna S. Lincoln. 2009. Handbook of qualitative research. Terjemahan oleh Dariyanto dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hunger J. David & Thomas L. Wheelen. 2003. Manajemen Strategi. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Dia Fisip Universitas Indonesia.
Jatmiko, RD. 2004. Manajemen Stratejik. Malang: UMM Press.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. 2005. Jakarta: Balai Pustaka.
Kusnadi. 2002. Masalah Kerja Sama, Konflik dan Kinerja. Malang : Taroda.
Lauer H. Robert. 2001. Perspektif Tentang Perubahan Sosial. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Lawang, Robert. 1994. Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Pt Remaja Rosdakarya.
Miles, Matthew B & A. Michael Huberman.2009. Analisis Data Kualitatif, Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Mukhtar, M.Pd. 2013. Metode Praktis Penelitian Deskriptif Kualitatif. Jakarta: REFERENSI (GP Press Group).
Narwoko J. Dwi & Suyanto Bagong. 2005. Sosiologi Teks Pengantar dan
Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
161
Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik: Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pearce II, Jhon A. & Richard B. Robinson. 2008. Manajemen Strategi:
Formulasi, Implementasi dan Pengendalian. Jakarta: Salemba Empat.
Saladin, Djaslim, SE. 1999. Manajemen Strategi & Kebijakan Perusahaan. Bandung: Penerbit Unda Karya
Salusu, M.A. 2004. Pengambilam Keputusan Stratejik (untuk Organisasi
Publik dan Organisasi Non Profit). Jakarta: Grasindo
Satori, Djam’an & Aan Komariah. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta
Setiadi M. Elly & Kolip Usman. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan Pemecahannya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Soekanto, Soerjono. 1993. Kamus Sosiologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Soetomo. 1995. Masalah Sosial dan Pembangunan. Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.
Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta.
2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta
2012. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Cv Alfabeta.
Susanto, Astrid. 2006. Pengantar Sosiologi Dan Perubahan Sosial. Bandung: Bina Cipta.
Sumber Dokumen:
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian.
162
Undang-Undang Republik Indonesai Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
Skripsi Anisa Utami. 2013. Resolusi Konflik Antar Etnis Kabupaten Lampung Selatan (Study Kasus: Konflik Suku Bali Desa Balinuraga dan Suku Lampung Desa Agom Kabupaten lampung Selatan). Universitas Diponegoro.
Skripsi Bethra Ariestha. 2013. Akar Konflik Kerusuhan Antar Etnik di Lampung Selatan. Universitas Negeri Semarang.
Sumber lain:
http://www.suarapembaruan.com/home.tragedi-mesuji-pihak-perusahaan-dinilai-picu-kekerasan.com diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014.
http://Perang-Suku-di-Lampung-Sebuah-Dendam-Lama/Lintas-Berita.htm diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014.
http://m.merdeka.com/peristiwa/5-kasus-kekerasan-horisontal-terburuk-versi-lsi.html diakses pada hari kamis 16 Oktober 2014.
https://mustamu.wordpress.com/2008/05/07/mengenal-manajemen-strategik-suatu-pengantar/ diakses pada hari sabtu tanggal 28 Februari 2015.
Jurnal: Hindri Asmoko, Manajemen Strategis Pada Pemerintah Daerah: Inovasi Menuju Birokrasi Profesional, diakses melalui situs http://www.bppk.kemenkeu.go.id/ pada hari sabtu 28 Februari 2015.
https://independent.academia.edu/DianPratiwi7 diakses pada hari kamis 26 Februari 2015.
http://melistyaridewi.blogspot.com/2012/02/manajemen-strategik.html diakses pada hari senin tanggal 2 maret 2015 pukul 18:33 WIB.
(https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_konflik diakses pada hari kamis 6 agustus 2015).
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
185
186
187
Tabel Pembahasan
Hasil Penelitian Atas Tahapan Perencanaan Strategi
Aspek Dimensi
Hasil Penelitian Keterangan
Visi 1. Tidak ada visi tertentu dalam penanganan dan penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi.
2. Visi yang ada disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang dipakai dan belum disusun secara sistematis.
Peraturan yang dijadikan landasan hukum dalam penanganan dan penyelesaian konflik yang terjadi adalah UU RI No 7 Tahun 2012, Permendagri No.12 Tahun 2006, Peraturan Bersama Menteri Agama No 9 tahun 2006 dan Menteri Dalam Negeri No 8 tahun 2006, dan yang terbaru Permendagri No 42 tahun 2015.
Misi 1. Program yang dibuat berdasarkan peraturan yang di gunakan,
2. Masyarakat banyak yang belum tau tentang program penanganan dan penyelesaian konflik yang dibuat oleh pemerintah,
3. Program dari pemerintah daerah yaitu FKUB dan FKDM, dari aparat keamanan Rembuk Pekon, dan masyarakat MPAL.
Disesuaikan dengan peraturan yang digunakan
Tujuan Organisasi
1. Tujuan organisasi pemerintah telah tercapai seiring dengan masyarakat yang mulai mengerti pentingnya hidup damai dan toleransi.
2. Tujuah organisasi lembaga penanganan konflik dari masyarakat belum tercapai, hal ini karena kesadaraan akan pentingnya kebudayaan lampung belum dimengerti oleh masyarakat pendatang yang tinggal di Kabupaten Lampung Selatan.
Sampai sekarang programnya masih berjalan
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
188
Hasil Penelitian Atas Tahapan Perencanaan Operasional
Aspek Dinamis Hasil Penelitian
Sasaran operasional 1. Sasaran operasional pada aparat keamanan adalah sesuai dengan landasan hukum pidana dan perdata,
2. Tidak ditentukan secara spesifik sasaran operasional dalam program yang dibuat oleh lembaga/forum penanganan konflik,
3. Pemerintah daerah lebih memperhatikan masyarakat pendatang.
Pelaksanaan Fungsi Manajemen (Fungsi Pengorganisasian, Fungsi pelaksanaan, Fungsi Penganggaran)
1. Ada 6 marga asli Lampung di Kabupaten Lampung Selatan yang mengikuti proses mediasi dan beberapa tokoh perwakilan umat Hindu dari Provinsi Lampung,
2. Pelaksanaan program yang dibuat tidak termasuk dalam Renstra, namun hanya sebagai program untuk membantu kerja dari pemerintah.
3. Penganggaran dimasukan dalam APBD dan bantuan dari pemerintah pusat.
Kebijakan Situasional 1. Pengungsian masyarakat Bali ke Bandar Lampung yang lambat dan kurang oleh Pemerintah Daerah sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia,
2. Penyelidikan aparat kepolisian tentang masalah yang terjadi dan pengungsian yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap korban kecelakaan untuk menghindari amuk masa,
3. Proses mediasi yang terburu-buru sehingga mengakibatkan penolakan yang dilakukan masyarakat Lampung.
Jaringan Kerja Eksternal dan Jaringan Kerja Internal
1. Kekuatan pemerintah dalam menjalankan program yaitu dengan adanya peraturan undang-undang yang harus dijalankan,
2. Kelemahan dalam pelaksanaan program yang dijalankan adalah tradisi dan budaya masyarakat,
3. Bentuk ancamannya adalah arus globalisasi dan kemajuan teknologi,
4. Pemerintah memanfaatkan peluang dengan mengikutsertakan masyarakat dalam sosialisasi, dan keikutsertannya dalam kepengurusan program yang
189
dibuat pemerintah, 5. Koordinasi yang dilakukan sesuai dengan
peraturan yang baru yaitu Permendagri No 42 Tahun 2015 tentang Pelaksanaan Koordinasi Penanganan Konflik Sosial.
Fungsi Kontrol dan Evaluasi 1. Pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah tidak secara langsung komunikasinya hanya melalui handphone,
2. Pengawasan yang dilakukan oleh aparat keamanan secara langsung oleh masyarakat dengan sistem door to door namun besifat sementara, kemudian dibuatkan program Rembuk Pekon yang menfasilitasi tempat dalam proses mediasi yang berlangsung jika ada yang konflik.
3. Penolakan masyarakat Lampung yang menilai proses mediasi terlalu terburu-buru dan tidak memperhatikan masyarakat yang terkait dalam pertikaian.
Umpan Balik 1. Mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan forum yang dibuat pemerintah,
2. Membuatkan Babinkantibnas yang bertanggung jawab atas keamanan desa.
3. Mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan sosialisasi dan acara-acara adat supaya mudah bergaul dengan masyarakat suku lain, ini merupakan bentuk toleransi yang ditanamkan oleh pemerintah kepada masyarakat.
(Sumber: Data Diolah Peneliti, 2015)
190
Pedoman Wawancara
Model Proses Manajemen Strategi Organisasi Publik sebagai sebuah sistem
menurut Nawawi No Dimensi Uraian Pertanyaan Kode
Informan 1 Perencanaan Strategi
Visi Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik?
I1, I2, I3n
Misi Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat?
Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik kependudukan yang sering terjadi?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n Tujuan strategi organisasi
Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat?
Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n 2 Perencanaan Operasional
Sasaran Operasional Bagaimana sasaran operasional ditentukan? apakah sudah tepat sasaran penyelesaian
konflik pendudukan saat itu?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan, fungsi penganggaran)
bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan?
apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat?
Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis)?
Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat?
Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian masyarakat saat terjadi konflik?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n, I4n, I5n
Kebijakan Situasional kebijakan pertama apa yang dikeluarkan
oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut?
Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal
kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi?
Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi?
Bagaimana dengan ancaman yang
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n,
I1, I2, I3n
191
menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya?
Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan?
siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam penyelesaian konflik penduduk saat itu?
bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain?
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n
I1, I2, I3n Fungsi kontrol dan evaluasi
bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut?
apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan?
apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
I1, I2, I3n, I4n, I5n
Umpan balik bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan?
bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk penyelesaian konflik kependudukan?
I1, I2, I3n, I4n, I5n
I1, I2, I3n,
I4n, I5n
PERTANYAAN WAWANCARA
KEPALA BADAN LINMAS DAN PENANGGULANGAN KONFLIK KESBANGPOL
LAMPUNG SELATAN
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? 2. Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? 3. Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik
kependudukan yang sering terjadi? 4. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? 5. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? 6. Bagaimana sasaran operasional ditentukan? 7. apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? 8. bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang
terjadi? 9. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 10. apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? 11. Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk
Teknis (Juknis)? 12. Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? 13. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian
masyarakat saat terjadi konflik? 14. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut?
192
15. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
16. kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang sudah terjadi?
17. Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik kependudukan yang sudah terjadi?
18. Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya?
19. Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? 20. siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam
penyelesaian konflik penduduk saat itu? 21. bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? 22. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 23. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 24. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 25. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 26. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk
penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA
KASAT BINMAS POLRES LMPUNG SELATAN
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? 2. Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? 3. Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik
kependudukan yang sering terjadi? 4. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? 5. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? 6. Bagaimana sasaran operasional ditentukan? 7. apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? 8. bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang
terjadi? 9. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 10. apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? 11. Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk
Teknis (Juknis)? 12. Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? 13. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian
masyarakat saat terjadi konflik? 14. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 15. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi? 16. kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang
sudah terjadi? 17. Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik
kependudukan yang sudah terjadi?
193
18. Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat sebelumnya?
19. Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? 20. siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam
penyelesaian konflik penduduk saat itu? 21. bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain? 22. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 23. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 24. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 25. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 26. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk
penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA
LEMBAGA PENANGANAN KONFLIK
1. Apa saja faktor yang mempengaruhi visi dalam strategi untuk penyelesaian konflik? 2. Bagaimana dengan perumusan misi untuk menjalankan visi yang telah dibuat? 3. Apakah misi yang dibuat juga untuk program jangka panjang dalam penanganan konflik
kependudukan yang sering terjadi? 4. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan sesuai dengan visi yang dibuat? 5. Apakah sejauh ini tujuan organisasi sudah berjalan dengan misi? 6. Bagaimana sasaran operasional ditentukan? 7. apakah sudah tepat sasaran penyelesaian konflik pendudukan saat itu? 8. bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang
terjadi? 9. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 10. apakah pelaksanaan program disesuaikan dengan renstra yang dibuat? 11. Apakah program yang dibuat telah memiliki Petunjuk Pelaksanaan (juklak) dan Petunjuk
Teknis (Juknis)? 12. Bagaimana dengan dana untuk perbaikan kerusakan yang dialami masyarakat? 13. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian
masyarakat saat terjadi konflik? 14. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 15. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi? 16. kekuatan apa yang dimilik pemerintah untuk program penanganan konflik penduduk yang
sudah terjadi? 17. Apasaja kelemahan dalam program yang sudah dibuat untuk penanganan konflik
kependudukan yang sudah terjadi? 18. Bagaimana dengan ancaman yang menghambat jalannya program yang telah dibuat
sebelumnya? 19. Bagaimana cara memanfaatkan peluang untuk program yang akan dijalankan? 20. siapa saja stakeholder yang ikut bertanggung jawab atas kebijakan yang dibuat dalam
penyelesaian konflik penduduk saat itu? 21. bagaimana koordinasi dengan dinas yang lain?
194
22. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 23. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 24. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 25. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 26. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk
penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA
MASYARAKAT ASLI LAMPUNG
1. bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
2. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 3. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian
masyarakat saat terjadi konflik? 4. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 5. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi? 6. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 7. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 8. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 9. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 10. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk
penyelesaian konflik kependudukan?
PERTANYAAN WAWANCARA
MASYARAKAT PENDATANG BALI
1. bagaimana kontribusi pemimpin daerah dalam penyelesaian konflik kependudukan yang terjadi?
2. apakah pelakasanaan program yang ada sudah berjalan? 3. Apakah ada ketentuan dalam ganti rugi untuk kerusakan yang dialami oleh sebagian
masyarakat saat terjadi konflik? 4. kebijakan pertama apa yang dikeluarkan oleh pemerintah pada saat terjadi konflik tersebut? 5. Bagaimana proses mediasi yang dilakukan oleh pemerintah dalam penyelesaian konflik
kependudukan yang terjadi? 6. bagaimana pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah setelah terjadi konflik tersebut? 7. apakah program (Rembuk Pekon) yang dibuat pasca terjadinya konflik masih berjalan? 8. apa yang kurang dari penyelesaian konflik tersebut? 9. bagaimana respon masyarakat terkait dengan penyelesaian koflik yang sudah dilakukan? 10. bagaimana partisipasi masyarakat dalam sosialisasi program rembuk pekon yang dibuat untuk
penyelesaian konflik kependudukan?
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
231
232
233
234
235
236
237
238
239
KATEGORISASI DATA
Q I Faktor yang mempengaruhi visi Kesimpulan
I1 “Visinya kan ada aturannya tuh yang diatur dalam undang-undang no 7 tahun 2012”.
Visi disesuaikan dengan Undang-Undang No 7 Tahun 2012, sedangkan embaga/forum penangan konflik khususnya MPAL memiliki visi mewujudkan majelis penyeimbang adat Lampung yang bermatabat untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya Lampung
I3.3
“Itu visinya terwujudnya majelis penyeimbang adat lampung yang bermatabat untuk membangun masyarakat yang menjunjung tingga adat dan budaya Lampung”
Q I Misi dibuat untuk jangka panjang Kesimpulan
I1
“Iya disesuaikan juga dengan undang-undang itu, apa yang dilakukan oleh kita itu kayak diadakannya forum kita kumpulin masyarakatnya untuk pertemuan, ada juga sosialisasi ke kecamatan-kecamatan yang disesuaikan dengan anggaran setahun itu hanya 3 kecamatan, tahun ini baru 3 kecamatan” Diadakan sosialisasi setiap
tahunnya untuk 3 Kecamatan, kemudian pihak Kepolisian Lampung Selatan membuatkan Program Rembuk Pekon yang tujuannya untuk mediasi konflik yang terjadi, bentuknya pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang dan di Kecamatan dan MPAL memiliki misi yang dibuat pasti untuk jangka panjang
I2
“Ya itu tadi kita mikirnya gimana caranya supaya maslah itu bisa cepet selesai, oh iya ada juga program rembuk pekon yang lagi kita jalanin tujuannya buat mediasi orang yang lagi konflik itu”.
I3.1
“Iya misi dibuat sesuai sama visi, kalo kita mungkin lebih ke tujuan ya, kita sering komunikasi ke pengurus FKDM, pengurus FKDM yang ada di kabupaten itu ada 18 orang, dikecamatn juga ada tapi ya itu mati suri, banyak faktor yang menyebabkan susah untuk diaktifkan”.
I3.3
“Tertuang misi pembinaan dan pemberdayaan masyarakat Lampung, pembinaan dan pengembangan nilai-nilai adat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, pelestarian dan pembinaan budaya adat Lampung, ini kerjaan kita kerjaan MPAL, meningkatkan hubungan
240
silahturami antar masyarakat, antar suku, antar tokoh”.
Q I
Kesesuaian tujuan strategi organisasi dengan visi dan misi Kesimpulan
I1
“Iya sudah berjalan, karena masyarakat sudah mulai mengerti pentingnya damai itu tadi”.
Dinilai dari masyarakat sudah mulai mengerti pentingnya damai, Tujuan organisasi berjalan sesuai dengan 3 tugas kepolisian melindungi, mengayomi dan melayani, Tujuan MPAL belum tercapai karena masyarakat pendatang sampai sekarang banyak yang belum mengerti masyarakat pribumi.
I2 “Iya tentu ajalah itu berjalan kan diliat dari tugas kita yang 3 itu tadi”.
I3.3
“Tujuan kami belum tercapai karena masyarakat Lampung Selatan sampai sekarang banyak yang belum mengerti kami yang orang pribumi”.
Q I Kesesuaian sasaran operasional Kesimpulan
I1
“Iya tadi kita sesuaikan anggaran yang 3 kecamatan setahun itu, ditentukan dari kecamatan yang rawan konfik dulu, prioritas banyak yang tinggi skala konfliknya”. Sasaran sosialisasi 3
kecamatan setahun itu ditentukan dari kecamatan yang rawan konflik terlebih dulu, FKDM jika ada konflik langsung di laporkan ke Kesbangpol, MPAL memiliki sasaran terhadap masyarakat yang tinggal di Lampung Selatan yang tidak memahami adat dan budaya Lampung
I3.1
“Kita gak ada sasaran tertentu, jadi kalo ada konflik ya langsung kita laporkan ke Kesbangpol, nanti dari sini ditindak lanjutkan dengan koordinasikan sama pihak aparat keamanan”.
I3.3
“Sasaran forom ini buat masyarakat Lampung Selatan biar orang-orang lain yang bukan suku Lampung juga mengerti adat dan budaya Lampung, kan mereka juga tinggal di wilayah kita, maunya kita ya meskipun bukan orang lampung tapi ya mereka harus mengerti dan memahami orang lampung yang dalam artian orang pribumi”.
Q
I
Pelaksanaan fungsi manajemen (fungsi pengorganisasian, fungsi pelaksanaan,
fungsi penganggaran) Kesimpulan
I1
“Ya sebenernya udah baik kontribusi, tapi ya tinggal elemen dari masyarakatnya sama dari dinas-dinasnya gimana kerjasamanya buiar gak keulang lagi”.
Kontribusi pemerintah daerah tergantung dari eleman-elemen stakholder yang bertanggung jawab dalam tim penyelesaian
241
I3.1
“Kontribusinya sudah banyak ya dari pemerintah, kalo sekarang itu tinggal masyarakatnya yang harus menjaga kedamaian diwilayahnya”.
konflik, Masyarakat juga harus memberikan kontribusi dengan sadar akan hidup damai, Kontribusi tokoh masyarakat sangat penting dalam penyelesaian konflik kependudukan, Pihak aparat keamanan dengan dibantu kepolisian wilayah lain sangat berperan aktif dalam keamanan yang terjadi pada saat konflik, Pemerintah pusat memberikan bantuan moril dan material, juklak juknis program FKDM masuk Permendagri No 12 tahun 2006 dan UU No 7 tahun 2012, Program Rembuk Pekon belum ada Kepkapolri, Masyarakat Desa Agom di berikan bantuan bedah rumah oleh menteri perumahan rakyat sebanyak 300 unit, Pemberian bantuan di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, masyarakat Bali juga dibantu pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt.
I3.2 “Kontribusinya banyak ya, kan tokoh-tokoh masyarakat juga ikut dalam penyelesaian itu”.
I4.1
“Kontribusi pemerintah pada saat kejadian memang luar biasa, mereka mengamankan apapun bentuk kelompok masyarakat yang datang, karena pada saat itu pihak keamanan yang dateng gak tau wilayah, merkea kan dari banyak daerah, ada juga bantuan dari polisi Banten dateng, pada saat itu sudah maksimal bantuan pemerintah. Sekarang kontribusi pemerintah ya ada tapi memang gak intensif kayak dulu kurang sering ngawasin lagi, maunya kita kan jangan karna sudah damai ini kalau kami masing-masing Desa Agom atau Desa Balinuraga mau ketemu mau ngobrol itu susah sampai sekarang harusnya ada pihak ketiga yaitu pemerintah yang menjadi mediasinya, karena kenapa kita gak mau dibawa ke Balinuraga disamping kita pernah punya masalah bahwa kita gak bisa, kita ini maafnya ngomong orang lampung kebanyakan orang islam ya gak bisalah kalau lagi ngobrol ada babi lewat mana ada yang tahan, terus terang aja waktu kita juga bertamu dibuatin teh mau gak kita minum kita gak enak mau kita minum kita was-was, terus terang saya kades ngomongnya pedes tapi memang fakta. Jadi kalau kita suruh silahturami kesana gak bisa”.
I5.3
Pada waktu itu cepat penanganannya, banyak kita dikasih bantuan dari provinsi bali, trus pemerintah pusat juga kasih perhatian ke kita
I3.1 “Itu yang peraturan tadi yang saya bilang diawal kita hanya menjalankan apa yang ada di undang-undang itu”.
I2
“Kalo untuk pogram kita, kita juga belum dapet Kepkapolri yang 100% jadi kita gak bisa kasih informasi”.
242
I4.1
“Memang banyak program-program dari pemerintah itu tapi kadang-kadang bagi kami ini tidak tepat sasaran tapi begitu kita pikir-pikir secara luas juga mungkin iya, kalo Desa Agom dan Desa Balinuraga sudah ribut mungkin mereka mengantisipasi untuk desa-desa yang lain gak ribut, kegiatan-kegiatan itu banyak dilakukan ditempat lain tapi yang program pemerintah pusat dan segala macem itu untuk meredam ini biar tidak terjadi lagi, banyak bedah rumah disini di desa saya dapet 300 rumah dibantu menteri perumahan rakyat karena mungkin diliat dari ekonomi kita, jadi program itu ada cuma saat kejadian itu aja kalo sekarang gak ada”.
I5.1
“Pemerintah Daerah bantu di bidang kesehatan, listrik dan juga dapur umum, tapi masyarakat juga dibantu sama pemerintah pusat yang rumahnya kebakar sama ganti rugi uang 11jt, kalau pemerintah Provinsi Bali kasih bantuan paling banyak,mereka kasih uang subangan yang dikumpulin setiap kabupaten, Kota Denpasar juga kasih sumbangan banyak, pokoknya bantuan paling banyak dari Pemerintah Provinsi Balinya”
Q I
Kebijakan situasional yang dibuat pemerintah Kesimpulan
I2
“Iya atasan langsung minta diproses masalah itu, dan kita juga ngungsikan masyarakat balinya ke Kemiling Bandar Lampung, langsung dicari permasalahannya”.
Masyarakat Balinuraga diungungsikan ke Kemiling Bandar Lampung, Mediasi dilakukan terburu-buru tujuannya agar permasalahan cepat terselesaikan I4.1
“Saya sebenernya gak tau mau ada damai, diajak pertemuan gubernur tanda tangan perdamaian, tapi karena saya dibawa pak sekda pak kapolda ini perintah kalo gak tanda tangan proses hukum gak bisa berlanjut. Sedangkan mereka mengancam mau ekspos orang-orang saya semua, ini 40 orang yang bakalan ditangkap, jadi saya itu simalakama, saya tanda tangan buat nyelamatin 40 orang ini tapi 20ribu orang nyalahin saya.Orang-orang yang ikut
243
mediasi gak bisa adek temui ini kecuali muksin syukur karena memang saya pelaku utama dalam kejadian itu, yang ikut mediasi kayak kepada desa tajimalela ini cuma masyarakatnya yang jadi korban trus ini tokoh-tokoh adat masyarakat lampung yang di kalianda yang di comot langsung sama pemerintah biar malahnya cepet selesai, mau ditemuin juga gak akan ada cerita karena meraka gak tau masalahnya pada saat kejadian mereka pergi kejatinagor sama pak Bupati, saya gak ikut karena udah ngerasa mau ada masalah sama masyarakat saya”
Q I
Jaringan kerja internal dan jaringan kerja eksternal Kesimpulan
I1
“Kita ini kebentur adat istiadat, tradisi biasanya orang kampung itu ada masalah musyawarah tapi akhirnya ricuh, ekonomi juga bisa jadi sumber konflik, agama juga rasa toleransi iya itu penyebab konflik jadi kelemahan kita”.
Kelemahan dalam program adalah adat istiadat tradisi, orang kampung itu ada masalah musyawarah tapi akhirnya ricuh, Pengaruh globalisasi menurunkan mental masyarakat, kemudian kemajuan teknologi pun jadi masalah jugaMPAL memanfaatkan rencana 1 hari kerja menggunakan bahasa Lampung yang sedang dibahas Perdanya.
I1 “Pengaruh globalisasi itu jadi pengaruh menurunya mental menurun, trus kemajuan teknologi jadi masalah juga”
I3.3
“Kita mau memanfaatkan yang itu tadi rencana 1 hari kerja ngomong harus pake bahasa Lampung, ini lagi diproses perdanya gak hanya di Kabupaten Lampung Selatan aja tapi di seluruh Lampung”.
Q I
Fungsi kontrol dan evaluasi Kesimpulan
I4.1
“Ya kalo sekarang ini aman-aman aja setelah kejadian itu, tapi ya kalo ada hajatan kita sekerang ngundang orang desa balinuraga juga trus dari kepolisian itu aja, kalo secara terus menerus si gak”.
Pengawasan dilakukan secara intens setelah terjadinya konflik, namun sekarang tidak terlalu intens pengawasan yang
I4.1
“Dengan inisiatif Pemerintah yang terlalu cepat menyelesaikan masalah itu tanpa melalui proses jadi kita itu dianggap dijebak dan masalah itu begitu bumingnya ditempat kita langsung beres, harusnya dihukum dulu lah mereka itu biar gak tuman, dicari dulu
244
permasalahnnya seperti apa jangan banyak orang yang tanya terus gak tau permasalahnnya apa karena gak ditemukan titik awal permasalahnnya itu apa”.
dilakukan, Penyelesaian konflik yang dilakukan secara terburu-buru mengakibatkan ketidak hadiran orang yang benar-benar terlibat dalam penyebab konflik, Rembuk Pekon tidak bisa dijalankan jika sudah berbeda desa
I4.1
“Program Rembuk Pekon itu dibuat baru baru ini atas kejadian itu diharapkan permasalahan itu kan Rembuk Pekon, tapi kalo kita lebih dalam Rembuk Pekon kan cuma satu wilayah desa kalo ada ribut ribut beda wilayah ya gak bisa harus ada perantanya tanpa campur tangan pemerintah gak bisa, kalo Rembuk Pekon secara umum gak bisa, Rembuk Pekon Desa Balinuraga sama Desa Agom gak bakal bisa nanti ketemu malah ribut, kalo antar desa ya gak bisa, dan itu gak berjalan hanya satu dua kali pertemuan gitu aja ya bukan rembuk pertemuan silahturahmi itu kan, nah kalo sekarang gak bisa ada warga kita yang maling ayam harusnya kita rembuk pekonin tapi ini malah masyarakatnya langsung lapor polisi jadi buat apa rembuk pekon itu ada, gak ada manfaatnya”.
Q I
Umpan balik Kesimpulan
I5.2
“Ya harus terima mereka, sampai disini ini buat undang-undang sendiri siapa aja yang buat ribut apabila sampai mengerahkan massa, secara adat kami usir, tapi kita juga kontra masyarakat kita maunya kayak dulu tapi gak harus ada kejadian itu, biar gak disepelein juga sama mereka, kalo sekarang kita kayak diremehin sama mereka, ibaratnya mereka bilang ah lo udah kalah lo takut sama gue gitu”.
Masyarakat Desa Balinuraga membuat undang-undang desa sendiri dengan isi jika melakukan/menyebabkan kericuhan akan diusir dari desa dan wilayah tersebut, Kelompok masyarakat Balinuraga ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, Masyarakat Lampung mengadakan ronda dan siskamling yang dulu pernah ditinggalkan
I5.2
“Kami ikut dalam kelompok deteksi dini konflik, kita juga ikut kumpul kumpul waktu sosialisasi, pernah juga 1 minggu penataran di desa, kalo sekarang gak ada lagi”.
I4.3 Iya sekarang kita sering adain ronda, siskamlingnya jalan lagi kalo dulu kan gak jalan
(sumber: data diolah peneliti, 2015)
245
CATATAN LAPANGAN
No Tanggal Pukul (WIB) Tempat Tujuan Hasil Informan
1 04-11-2014 09.00 Polres
Lampung Selatan
Wawancara Data awal
tentang konflik tahun 2012
Bapak Dwi
2 30-11-2014 10.30 Desa Bali Wawancara Dokumentasi
terkait Konflik tahun 2012
Masyarakat
3 02-12-2014 09.00 Kesbangpol Lampung Selatan
Wawancara Data awal
tentang konflik tahun 2012
Bapak Alwi
4 10-03-2015 11.00 Polres
Lampung Selatan
Mengajukan surat izin penelitian
Disposisi Kasubag
Sumda Polres Lampung
5 02-07-2015 09.00 Kesbangpol
Provinsi Banten
Mengajukan surat izin penelitian
Disposisi Kasubag Umum
6 24-08-2015 11.30 Kesbangpol
Provinsi Lampung
Mengajukan surat izin penelitian
Disposisi Kasubag Umum
7 04-09-2015 15.30 Desa Balinuraga Wawancara
Data dan penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak Made Santre
8 04-09-2015 17.00 Desa Agom Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak Muksin Syukur
9 04-09-2015 17.00 Desa Agom Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Ibu Ida Riana
10 05-09-2015 10.00 Desa Balinuraga Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak kadek Sirye
11 06-09-2015 09.30 Desa Balinuraga Wawancara
Penjelasan Mengenai
Konflik tahun 2012
Bapak Made Suka
12 06-09-2015 11.00 Desa Agom Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Hassanudin (nama
samaran)
246
13 16-09-2015 14.00
Kesbangpol Kab
Lampung Selatan
Mengajukan surat izin penelitian
Disposisi Kasubag Umum
14 25-09-2015 11.00 Polres
Lampung Selatan
Wawancara
Data dan penjelasan mengenai
konflik Tahun 2012
Bapak Ujang
15 01-10-2015 11.00
Kesbangpol Kab
Lampung Selatan
Wawancara
Data dan penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak Ismed
16 01-10-2015 14.30
Kesbangpol Kab
Lampung Selatan
Wawancara
Data dan penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Ibu Ernayati
17 01-10-2015 16.00 Desa Agom Memberchek Tanda tangan memberchek
Bapak Muksin Syukur
18 01-10-2015 16.00 Desa Agom Memberchek Tanda tangan memberchek Ibu Ida Riana
19 01-10-2015 17.00 Desa Balinuraga Memberchek Tanda tangan
memberchek Bapak Made
Santre
20 02-10-2015 09.00
Kantor DPRD Kab
Lampung Selatan
Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak Marwan Abdulah
21 02-10-2015 10.30
Kesbangpol Kab
Lampung Selatan
Wawancara
Penjelasan mengenai
konflik tahun 2012
Bapak Alamsyah
(sumber: data diolah Peneliti 2015)
247
CATATAN LAPANGAN
Selasa 4 November 2014
Peneliti datang ke polres lampung selatan untuk menanyakan secara langsung tentang proses
konflik yang terjadi di Desa Balinuraga dan melaulan wawancara dengan salah satu anggota intel
yang ada di Polres Lampung Selatan.
Minggu 30 November 2014
Peneliti datang ke salah satu desa bali yang ada di Kabupaten Lampung Selatan untuk melihat
secara langsung kondisi masyarakat bali dan melakukan wawancara dengan masyarakat di Desa
Tridarmayoga yang juga merupakan desa bali di Kabupaten Lampung Selatan.
Selasa 2 Desember 2014
Peneliti datang ke Kesbangpol Kabupaten Lampung Selatan untuk menanyakan terkait
penyelesaian konflik tahun 2012.
Selasa 10 Maret 2015
Untuk lebih mendukung penelitian mengenai manajemen strategi penyelesaian konflik
kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan peneliti mengajukan surat izin penelitian di Polres
Lampung Selatan. Setelah itu peneliti mendapatkan surat disposisi yang nanatinya akan dihubungi
oleh Polres Lampung Selatan.
Kamis 02 Juli 2015
Peneliti mengajukan surat izin ke Kesbangpol Provinsi Banten untuk mendapatkan surat
rekomendasi yang nantinya peneliti ajukan juga ke Kesbangpol Provinsi Lampung dan peneliti
harus menunggu informasi yang diberikan bagian umum dengan memberikan nomer HP.
248
Rabu 29 Juli 2015
Peneliti melakukan ujian proposal penelitian yang berjudul Manajemen Strategi Konflik
Kependudukan di Kabupaten Lampung Selatan (studi Kasus Konflik Antar Suku Asli Lampung
dengan Suku Pendatang Bali tahun 2012).
Kamis 13 Agustus 2015
Setelah melakukan ujian proposal peneliti melakukan perbaikan kepada dosen penguji dan
langsung mendapatkan Acc untuk kelapangan.
Senin 24 Agustus 2015
Peneliti mengajukan surat izin penelitian dengan membawa surat rekomendasi penelitian yang
peneliti dapat dari Kesbangpol Provinsi Banten ke Kesbangpol Provinsi Lampung dengan
didampingi oleh orang tua peneliti kemudian mendapatkan disposisi yang nantinya akan dihubungi
oleh bagian umum dinas terkait.
Jumat 04 September 2015
Pada hari jumat peneliti dengan didampingi oleh orang tua peneliti meminta izin dengan
memberikan surat izin penelitian kepada Kepala Desa Balinuraga dan Desa Agom untuk
melakukan wawancara dengan masyarakatnya dan pada hari itu juga peneliti melakukan
wawancara dengan kepala Desa Balinuraga bapak Muksin Syukur, Kepala Desa Agom bapak
Made Santre dan Masyarakat Agom ibu Ida Riana.
Sabtu 05 September 2015
Peneliti melakukan wawancara dengan bapak Kadek Sirye yang merupakan kepala dusun Pande
Arga Desa Balinuraga dan mendapatkan inforamasi terkait dengan konflik yang terjadi pada tahun
2012. Disitu peneliti mendapatkan sambutan baik oleh masyarakat Desa Balinuraga dan
mengambil beberapa dokumentasi untuk keperluan penelitian.
Minggu 06 September 2015
249
Peneliti juga masih melakukan wawancara dengan masyarakat Bali Desa Balinuraga dan
masyarakat Lampung Desa Agom.
Rabu 16 September 2015
Peneliti mengajukan surat izin penelitian ke Kesbangpol Kab. Lampung Selatan dengan membawa
surat rekomendasi penelitian dari Kesbangpol Provinsi Lampung kemudian mendapatkan disposisi
dan harus menunggu untuk informasi selanjutnya dengan memberikan nomer HP yang bisa
dihubungi.
Jumat 25 September 2015
Sebelumnya peneliti telah mendapatkan surat izin penelitian dari bidang umum Polres Lampung
Selatan kemudian baru pada hari ini peneliti melakukan wawancara langsung dengan Kasat
Binmas Polres Lampung Selatan bapak Ujang, disini peneliti juga mendapatkan penjelasan
mengenai konflik yang sebelumnya terjadi antara masyarakat Lampung dengan masyarakat bali
khususnya Desa Balinuraga.
Kamis 01 Oktober 2015
Peneliti mendapatkan telepon dari Kesbangpol mengenai tindak lanjut surat yang peneliti ajukan,
kemudian peneliti mendapatkan fakta bahwa sekertariatan untuk lembaga penanganan konflik
yang ada di Kabupaten Lampung Selatan berada di Kesbangpol, dan peneliti langsung melakukan
wawancara dengan Kabid. Polwanas Badan Kesbang Pol Lampung Selatan dan anggota dari
FKUB Kabupaten Lampung Selatan. Peneliti juga membuat janji dengan ketua FKDM dan
sekretaris MPAL untuk melakukan wawancara, hal ini dikarenakan anggora dari lembaga tersebut
dari masyarakat langsung.
Jumat 02 Oktober 2015
250
Peneliti mendatangi kantor DPRD Kab. Lampung Selatan untuk melaukan wawancara dengan
sekretaris MPAL dan wawancara ketua FKDM di Kesbangpol Lampung Selatan setelah membuat
janji dihari sebelumnya.
251
252
253
254
255
DOKUMENTASI
Wawancara dengan ibu Ernayati Anggota FKUB dan Kasubid
Ketahaanan Seni dan Budaya Badan
Kesbangpol Kab. Lampung Selatan
Wawancara dengan Bapak Muksin Syukur
Kepala Desa Agom Kab. Lampung
Selatan
256
DOKUMENTASI
Wawancara dengan Bapak Y. Ujang
Kassat Binmas Polres Lampung Selatan
Kondisi Jalan yang ada di Desa Balinurga
257