kondisi lh dan kecendrungannya

116
Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya 2.1. LAHAN DAN HUTAN Hutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman. Sebagai fungsi ekosistem, hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna dan peran penyeimbang lingkungan serta mencegah pemanasan global. Hutan Sumatera Barat merupakan kelompok hutan tropis yang memiliki fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta dianggap signifikan mempengaruhi iklim. Selain itu, hutan tropis juga berfungsi sebagai sumber keanekaragaman hayati. Berdasarkan kenyataan tersebut, lahan dan hutan dijadikan isu utama dalam penyusunan revisi RPJMD dan RTRW Sumatera Barat yang saat ini masih dalam proses pengesahan/penetapan. Isu utama terkait dengan lahan dan hutan Sumatera Barat pada tahun 2011 tidak berbeda jauh dengan tahun 2010 yaitu : 1. Alih fungsi lahan (okupasi)/ pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan. 2. Terdapatnya lahan kritis yang cukup luas di beberapa daerah yaitu Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota, Kab. Pasaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai (> 50.000 Ha) 3. Terjadinya kerusakan hutan pada kabupaten/kota yang sedang diusulkan untuk Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Sumatera Barat II-1

Upload: zakifatramansia

Post on 03-Oct-2015

234 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Kondisi LH Dan Kecendrungannya

TRANSCRIPT

SiSTIMATIKA PENULISAN

Kondisi Lingkungan Hidup dan Kecenderungannya

2.1. LAHAN DAN HUTANHutan sebagai suatu ekosistem tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tapi masih banyak potensi non kayu yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat melalui budidaya tanaman. Sebagai fungsi ekosistem, hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna dan peran penyeimbang lingkungan serta mencegah pemanasan global.

Hutan Sumatera Barat merupakan kelompok hutan tropis yang memiliki fungsi utama sebagai paru-paru dunia serta dianggap signifikan mempengaruhi iklim. Selain itu, hutan tropis juga berfungsi sebagai sumber keanekaragaman hayati. Berdasarkan kenyataan tersebut, lahan dan hutan dijadikan isu utama dalam penyusunan revisi RPJMD dan RTRW Sumatera Barat yang saat ini masih dalam proses pengesahan/penetapan.

Isu utama terkait dengan lahan dan hutan Sumatera Barat pada tahun 2011 tidak berbeda jauh dengan tahun 2010 yaitu :1. Alih fungsi lahan (okupasi)/ pemanfaatan kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan. 2. Terdapatnya lahan kritis yang cukup luas di beberapa daerah yaitu Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Limapuluh Kota, Kab. Pasaman dan Kabupaten Kepulauan Mentawai (> 50.000 Ha)3. Terjadinya kerusakan hutan pada kabupaten/kota yang sedang diusulkan untuk perubahan fungsi kawasan hutan ke Menteri Kehutanan.Isu ini akan dianalisis melalui pendekatan pendekatan sebagai berikut:

1. Pada bagian Gambaran Umum menggunakan analisis statistik untuk menentukan kondisi maksimum, minimum dan rata-rata. Analisis dilakukan secara terintegrasi dengan analisis perbandingan antar waktu dan antar lokasi untuk seluruh parameter yang menunjukkan pemanfaatan lahan, penggunaan dan tutupan lahan, fungsi hutan serta kawasan lindung,.

2. Analisis terhadap obyek dan lokasi dilakukan dengan melihat keterwakilan masalah, bukan keseluruhan daerah kabupaten/kota3. Pada bagian Kecendrungan Perubahan Kualitas Lahan dan Hutan analisis dilakukan untuk semua parameter yang menunjukkan kerusakan lahan dan mililiki data series guna melihat trend terhadap perubahan kualitas lahan dan hutan dibandingkan tahun sebelumnya. Bahasan ini meliputi lahan kritis, kerusakan tanah, kerusakan hutan, konversi hutan dan pengembangan HTI.4. Analisis perbandingan dengan baku mutu hanya diterapkan terhadap bahasan kerusakan tanah. Baku mutu mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa. 5. Disamping kedua bagian tersebut di atas (Gambaran Umum dan Kecendrungan Perubahan Kualitas Hutan dan Lahan), terdapat bahasan Catatan Khusus tentang perubahan lahan berdasarkan RTRW, fungsi dan statusnya.Berikut akan digambarkan Kondisi Umum Lahan dan Hutan yang analisisnya berdasarkan tabel SD 1 s/d SD 4 Buku Data SLHD 2011. Adapun Status dan Kecenderungannya, analisisnya berdasarkan tabel SD 5 s/d SD 8 buku data SLHD 2011.2. 1.1 Kondisi Umum

a. Luas Wilayah Menurut Penggunaan Lahan/Tutupan LahanSumatera Barat memiliki kawasan hutan relatif cukup luas dibandingkan dengan total luas provinsi. Dari luas provinsi 4.229.730 Ha, tercatat 2,6 juta Ha telah ditunjuk sebagai kawasan hutan, sedangkan sisanya digunakan untuk kegiatan lainnya dalam bentuk Areal Pengguaan Lain (APL) seluas 1,6 juta Ha (Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 422/Kpts-II/1999). Setelah terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan No. 304/Menhut-II/2011 tanggal 9 Juni 2011, maka terjadi perubahan peruntukkan kawasan hutan menjadi kawasan bukan kawasan hutan seluas + 96.904 Ha. Perubahan antar fungsi kawasan hutan 147.213 Ha. Penunjukan bukan kawasan hutan (APL) menjadi kawasan hutan 9.906 Ha. Disamping itu terdapat + 29.382 Ha Kawasan hutan berdampak penting cakupan luas dan bernilai strategis (DPCLS) yang telah disetujui DPR. RI pada tanggal 23 November 2011, untuk seterusnya melalui keputusan Menteri Kehutanan akan ditetapkan perubahan peruntukkannya menjadi Areal Penggunaan Lain (APL). Topografi daerah Sumatera Barat yang didominasi oleh perbukitan mengakibatkan sebagian besar kawasan hutan di Sumatera Barat berstatus kawasan lindung, baik fungsi hutan lindung maupun hutan konservasi. Hutan terluas berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai seluas 454.317,47 Ha. Kota yang tidak mempunyai kawasan hutan adalah Kota Pariaman dan Kota Bukittinggi. Distribusi penggunaan/pemanfaatan lahan lainnya di Sumatera Barat dapat digambarkan sebagai berikut : pemanfaatan lahan kedua paling luas adalah pertanian. Areal pertanian terbesar berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 164.373 Ha dan terkecil di Kota Bukittinggi 598 Ha. (sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029).

Khusus untuk pemanfaatan sawah, terluas berada di Kota Solok yaitu seluas 88.948,00 Ha, sedangkan lahan sawah terkecil berada di Kabupaten Pesisir Selatan (sumber :Tabel SD-1, SLHD 2011). Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat bahwa penggunaan lahan sawah kedepannya akan dikonversi secara terencana melalui rencana tata ruang wilayah (RTRW) kabupaten/kota untuk pemukiman, pusat usaha/ perdagangan, perkantoran, infrastruktur jalan dan keperluan lainnya.Untuk kawasan perkebunan, terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 99.188,66 Ha, lahan perkebunan terkecil berada di Kota Sawahlunto 1,33 Ha. Sedangkan daerah yang tidak memiliki kawasan perkebunan adalah Kota Bukittinggi dan Kota Padang Panjang. Secara presentase, penggunaan lahan terluas di Sumatera Barat adalah kawasan hutan yang berjumlah + 54 %. Sedangkan sisanya adalah penggunaan untuk lahan kering 10 %, perkebunan 11 %, sawah 11 %; dan penggunaan lainnya 14 %. Berikut ini. distribusi penggunaan lahan di Sumatera Barat dapat dilihat pada Gambar 2.1. berikut

: Sumber : Olahan Tabel SD.1, Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011b. Luas Kawasan Hutan Menurut Fungsi/StatusnyaBerdasarkan data sementara hasil analisis GIS tahun 2011, hutan Sumatera Barat + 2.437.532 Ha . Kawasan Konservasi, Cagar Alam, Suaka Margasatwa, Taman Wisata, Taman Buru, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya merupakan kawasan suaka alam atau pelestarian alam dengan luasan 806.879 Ha. Selanjutnya Hutan Lindung seluas 792.114 Ha, Hutan Produksi (HP) seluas 360.383 Ha, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 233.157 Ha dan Hutan Produksi Konservasi (HPK) 188.258 Ha (sumber : Tabel SD-2, Buku Data SLHD 2011). Luas kawasan hutan menurut fungsi/statusnya dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Sumber : Tabel SD.2 Buku Data SLHD Prov. Sumbar, 2011

c. Luas Kawasan Lindung berdasarkan RTRW dan Tutupan LahannyaDalam dokumen RTRW Provinsi Sumatera Barat Tahun 2009-2029, disampaikan bahwa luas lahan budidaya yang dapat dimaksimalkan penggunaannya hanya 55,2% atau seluas 2.463.358,62 Ha, sisanya adalah kawasan lindung. Data mengenai masing-masing kategori kawasan lindung dan tutupannya sangat terbatas (sumber : tabel SD-3, Buku Data SLHD 2011). Terdapat 6 kategori kawasan lindung, yaitu 1) kawasan perlindungan terhadap kawasan bawahannya 2) kawasan perlindungan setempat 3) kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya 4) Kawasan rawan bencana 5) kawasan lindung geologi dan 6) kawasan lindung lainnya Dari total kawasan lindung terdapat hutan lindung dengan luasan 23,68% , hutan suaka alam dan pelestarian alam 57,56 %, dan 16,39% kawasan lindung berada di hutan produksi, hutan produksi terbatas dan hutan konversi serta 0,52% kawasan lindung berada diluar hutan. (Sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029) Kawasan lindung terluas berada di Kabupaten Limapuluh Kota yaitu 290.392,9 Ha. Diikuti Kabupaten Pesisir Selatan seluas 271.523,4 Ha berupa Taman Nasional (Taman Nasional Kerinci Seblat) dan Suaka Alam. Taman Nasional Kerinci Seblat merupakan taman nasional lintas provinsi yaitu Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Jambi, Provinsi Bengkulu dan Provinsi Sumatera Barat. Untuk segmen Sumatera Barat meliputi Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Solok Selatan, Kabupaten Solok dan Kabupaten Sijunjung. (Sumber : RTRW Sumatera Barat 2009-2029 ).d. Luas Penutupan Lahan dalam Kawasan Hutan dan Luar Kawasan HutanPerbandingan luas penutupan lahan dalam dan non kawasan hutan dinyatakan dengan luas kawasan hutan tetap (HT = KSA-KPA + HL + HPT + HP) dan kawasan Hutan Produksi Konversi (HPK) serta Areal Penggunaan Lain (APL). Tabel 2.1 memperlihatkan kabupaten di Sumatera Barat yang memiliki luas penutupan lahan berupa hutan tetap terluas adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu 439.382 Ha. Hutan Produksi Konservasi (HPK) terluas juga di Kabupaten Kepulauan Mentawai yaitu 53.582 Ha, sedangkan Areal Penggunaan Lain (APL) terluas berada di Kabupaten Pasaman Barat yaitu 266.855 Ha.Tabel 2.1. Perbandingan Luas Penutupan Lahan Dalam dan Luar Kawasan Pada Beberapa KabupatenNo.KabupatenHutan Tetap (Ha)HPK (Ha)APL (Ha)

1.Pasaman267.3298.664115.947

2.Pasaman Barat99.8436.956266.855

3.Limapuluh Kota166.17611.364143.565

4.Agam64.8389.039135.230

5.Tanah Datar 49.15297,00082.322

6.Solok188.1319.809124.691

7.Solok Selatan213.71819.753123.229

8.Sijunjung169.04615.539120.160

9.Dharmasraya74.25816.340200.962

10.Pesisir Selatan305.11931.278215.071

11.Kepulauan Mentawai439.38253.582104.959

12.Padang Pariaman23.2770102.006

Sumber : Olahan Tabel SD.4 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011

2.1.2. Kecendrungan Perubahan Kualitas Lahan dan Hutan

2.2.1. Lahan KritisJumlah lahan kritis pada tahun 2011 adalah seluas 387.835,86 Ha. Lahan kritis terluas terdapat di Kabupaten Limapuluh Kota seluas 105.591 Ha, Kabupaten Sijunjung seluas 73.923 Ha dan Kabupaten Kep. Mentawai seluas 55.246,1 Ha. Sedangkan untuk tingkat kota lahan kritis terluas adalah Kota Sawahlunto yaitu 14.966 Ha.

Lahan kritis terkecil berada dan Kabupaten Agam seluas 1.224,50 Ha. Untuk tingkat kota lahan kritis terkecil berada di Kota Pariaman yaitu seluas 11,40 ha dan Kota Bukittinggi seluas 104 Ha.

Secara umum, terjadi penurunan luas lahan kritis pada tahun 2011 dibandingkan tahun 2010 dimana pada tahun 2010 luas lahan kritis sebesar 429.025,3 Ha. Hal ini karena saat ini, di Sumatera Barat sangat gencar dilaksanakan Kegiatan Penghijauan dan Reboisasi berupa Gerakan Menanam Pohon yang dilakukan oleh beberapa instansi pemerintah dan unsur perusahaan dalam bentuk Coorporate Social Responsibility (CSR) bidang lingkungan di provinsi maupun beberapa kabupaten/kota. Adapun perbandingan luas lahan kritis pada tahun 2010 dan 2011 dapat dilihat pada Tabel 2.2 dan Gambar 2.3. Perbandingan lahan kritis di 5 (lima ) kabupaten yang memilki lahan terkritisTabel 2.2. Perbandingan Luas Lahan Kritis Tahun 2010 dan 2011No.Kabupaten/KotaLuas (Ha)

20102011

A. KOTA

1Padang68,80193,3

2Bukittinggi505,58104

3Padang Panjang659,94326

4Payakumbuh467,19586

5Sawahlunto11.271,0014.966

6Pariaman11,1411,40

7Solok2.550,421829

B.KABUPATEN

8Kepulauan Mentawai-55.246,1

9Solok Selatan124.276,4115.652,66

10Padang Pariaman30.562,201.741,50

11Tanah Datar55.447,3627.216,30

12Pesisir Selatan32.978,20 4.023,10

13Sijunjung103.972,5873.923,00

14Solok47.058,6 28.719,00

15Dhamasraya20.150,00 1.589,00

16Pasaman Barat99.092,722.220,10

17Pasaman74.786,38 52.685,50

18Agam87.314,00 1.224,30

19Limapuluh Kota167.812,02105.591,00

Total429.025,3

387.835,86

Sumber : Tabel SD 5.1, Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 Gambar 2.3. Perbandingan Lahan Kritis di Sumatera Barat Tahun 2010 dan 2011

Sumber : Olahan Tabel SD.5.1, Buku Data SLHD Prov.Sumbar 2011

2.2.2. Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi AirKerusakatan tanah akibat erosi air, pada umumnya terjadi pada ketebalan tanah kurang dari 20 cm dan tebal tanah antara 20 s/d 50 cm. Kerusakan tanah di 3 (tiga) kabupaten dapat digambarkan sebagai berikut : Kab.Solok Selatan yaitu 1,5 mm/10 tahun untuk tebal tanah kurang dari 20 cm dan 4,4 m/10 untuk tebal tanah antara 20 s/d 50 cm. Kerusakan yang sama juga terjadi di daerah Pesisir Selatan, Kota Padang Panjang 1,5 mm/10 tahun untuk tebal tanah kurang dari 20 cm dan 4,2 m/10 untuk tebal tanah antara 20 s/d 50 cm.

Kecenderungan kerusakan tanah akibat erosi air meningkat di tahun 2011 ini. Untuk Kabupaten Pesisir Selatan dan Kota Padang Panjang, di tahun 2010 belum terjadi kerusakan sama sekali, namun di tahun 2011 sudah menunjukkan tanda kerusakan tanah akibat erosi. Hal ini terjadi karena pembukaan hutan yang cukup luas menjadi daerah pemukiman dan perkebunan. Tabel 2.3. memperlihatkan perbandingan kerusakan tanah di 3 (tiga) kabupaten/kota. Tabel 2.3. Perbandingan Kerusakan Tanah di Lahan Kering Akibat Erosi Air

No.Tebal TanahBesaran Erosi (mm/10 Tahun)

Tahun 2010Tahun 2011

1.Kab. Solok Selatan

< 20 cm1,5 1,6

20 < 50 cm4,2 4,4

2.Kab. Pesisir Selatan

< 20 cm1,2 (di bawah Baku Mutu) 1,6

20 < 50 cm3,3 (di bawah Baku Mutu) 1,4

3.Kota Padang Panjang

< 20 cm-- 1,5

20 < 50 cm-- 4,2

Sumber : Olahan Tabel SD.5-A Buku Data SLHD Prov. Sumbar 20112.2.3. Kerusakan Tanah di Lahan Kering

Dari 3 (tiga) kabupaten/kota, Kabupaten Solok Selatan, Kota Padang Panjang dan Kabupaten Pesisir Selatan, tidak terjadi kerusakan tanah pada lahan kering. Hal ini dapat dilihat dari nilai kualitas tanahnya masih dibawah baku mutu PP 150 Tahun 2000. Kemasaman (pH) tanah yang melebihi baku mutu, terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu 4,63, namun sifatnya sangat spesifik tergantung jenis tanah, sehingga belum dapat dikatakan telah terjadi kerusakan tanah. Curah hujan yang cukup tinggi mengakibatkan tidak ada tanah yang benar-benar mengalami kekeringan di Sumatera Barat. Kecenderungan kerusakan tanah di lahan kering dapat digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan antara tahun 2010 dan tahun 2011. (Sumber : Tabel SD.5B, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2011)

2.2.4 Kerusakan Tanah di Lahan Basah Pada lahan basah, juga tidak terjadi kerusakan tanah karena kualitas tanahnya yang masih memenuhi baku mutu PP 150 Tahun 2000. Kerusakan yang terjadi selama ini adalah alih fungsi lahan basah menjadi daerah. Kecenderungan Kecenderungan kerusakan tanah di lahan basah dapat digambarkan bahwa tidak terjadi perbedaan antara tahun 2010 dan tahun 2011 (Sumber : Tabel SD.5C, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2011) 2.2.5. Kerusakan Hutan Pada tahun 2011 ini, kerusakan hutan terbesar berasal dari perambahan hutan 8562,06 Ha. Selanjutnya kebakaran hutan 642,79 Ha dan terakhir akibat penebangan liar 150 Ha. Berdasarkan luas kerusakan hutan antar daerah, maka kerusakan hutan terbesar terdapat di Kabupaten Pasaman Barat (66.700 Ha) dan Kabupaten Padang Pariaman (40.690 Ha) yang disebabkan oleh perambahan hutan termasuk dan telah dimanfaatkannya kawasan hutan untuk perkampungan dan pertanian Kecenderungan kerusakan hutan dapat digambarkan bahwa pada tahun 2011 terjadi kerusakan hutan yang lebih berat dibandingkan tahun 2010. Salah satu isu pada lahan dan hutan sebagaimana yang telah disampaikan di awal adalah terjadinya kerusakan hutan pada daerah-daerah yang sedang diusulkan untuk perubahan fungsi kawasan hutan ke Menteri Kehutanan. Dengan adanya perubahan fungsi kawasan hutan tersebut, memungkinkan bagi daerah untuk mengembangan kawasan hutan tersebut menjadi kawasan budidaya (APL). Beberapa fakta ditemui bahwa keberadaan perkampungan dan pertanian yang sudah ada sejak lama pada lokasi tersebut.Tabel 2.4. Perbandingan Luas Kerusakan Hutan pada 5 (Lima) KabupatenNo.KabupatenLuas Kerusakan ( Ha )

1.Solok Selatan 435

2.Padang Pariaman40.690

3.Tanah Datar 6.700

4.Pasaman Barat66.700

5.Pasaman12.600

Sumber : Olahan Tabel SD6.1 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011

2.2.6. Konversi HutanSalah satu permasalahan krusial pada hutan dan lahan adalah terjadinya kawasan budidaya. Konversi hutan terbesar terjadi di Kabupaten Pesisir Selatan yaitu seluas 150.618 Ha. Selanjutnya Solok Selatan seluas 51.221,83 Ha dan di Pasaman seluas 61839,92 Ha. Konversi hutan yang paling banyak adalah untuk kegiatan perkebunan (20%) dan pertanian (18,67 %). Kecenderungan konversi hutan pada tahun 2011 berbeda dengan tahun 2010 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 2.5. Pada tahun 2011, terjadi konversi lahan untuk kegiatan pertanian dan pertambangan dimana pada tahun 2010 tidak tergambar untuk kedua kegiatan tersebut.

Tabel 2.5. Perbandingan Konversi Hutan dan Lahan

No.PeruntukanLuas ( Ha)

20102011

1Permukiman 8.737,3956.317,23

2Pertanian-99.774,32

3Perkebunan295.672,27 107.638,10

4Industri 18.249,64 202,70

5Pertambangan- 42.149,88

6Lainnya 426,71 102.481,70

Total 323.122,01 534.336,90

Sumber : Tabel SD.7 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2010 dan 20112.2.7. Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI dan IUPHHK-HPH)Pemanfaatan hutan dalam bentuk IUPHHK-HTI berada di Kabupaten Pasaman Barat, yaitu PT Rimba Swasembada Semesta seluas 6.675 ha dengan SK Menhut No.129/Kpts-II/2008. Sedangkan di Kabupaten Dharmasraya ada dua yaitu PT Bukit Raya Mudisa seluas 28.617 ha dengan SK Menhut No.257/Kpts-II/2000, dan PT Dhara Silva Lestari seluas 15.357 ha dengan SK Menhut No.621/Kpts-II/2009.

Sedangkan dalam bentuk IUPHHK-HPH dikelola oleh tiga perusahaan, yaitu PT. Andalas Merapi Timber seluas 28.840 ha dengan SK Menhut No.82/Kpts-II/2000, PT. Salaki Summa Sejahtera 48.420 ha dengan SK Menhut No.41/Menhut-II/2004 di Kab. Solok Selatan dan PT. Minas Pagai Lumbert 83.330 ha dengan SK Menhut No.550/Kpts-II/1995 di Kab. Kepulauan Mentawai. Perbandingan luas Hutan Tanaman Industri dapat dilihat pada Tabel 2.6. Tabel 2.6 . Perbandingan Luas Hutan Tanaman IndustriNo.Kabupaten/KotaLuas (Ha)

20102011

1Pasaman Barat6.6756.675

2Dharmasraya dan Solok Selatan63.07228.617

3Dharmasraya 23.90015.357

4Pesisir Selatan2.0007.000

Total94.74757.649

Ket :Data HTI 2011 minus HTI di Kab. Sijunjung seluas 4.717 Ha

Sumber : Olahan Tabel SD.8 Buku Data SLHD Prov. Sumbar 2011 2.3. Catatan Khusus

Dalam arahan RTRW Sumatera Barat tahun 2009-2029, luasan hutan lindung Sumatera Barat akan berkurang menjadi 17,02%. Pengurangan hutan lindung paling besar terdapat pada Kabupaten Pasaman seluas 158.455 Ha dari 237.044 Ha atau 17,40% berkurangnya dari luasan hutan lindung total Sumatera Barat dan 66,85% dari hutan lindung Kabupaten Pasaman. Pengurangan luasan hutan lindung yang terbesar selanjutnya akan terjadi pada kabupaten Solok seluas 118.603 Ha, kabupaten Limapuluh Kota seluas 99.022 Ha dan Kabupaten Solok Selatan seluas 80.040 Ha. Luasan hutan lindung yang berkurang itu, terutama memiliki potensi pertambangan batu bara, emas, dan biji besi, dan lain-lain. Sehingga, apabila rencana pengurangan lahan hutan lindung ini dapat direalisir, maka potensi sumberdaya alam wilayah Sumatera Barat dapat diharapkan memacu pertumbuhan ekonomi Sumatera Barat ke depan, dengan tetap tidak mengabaikan pelestarian lingkungan dan ekosistem yang ada (sumber : Laporan RAD-MDGs Sumatera Barat, 2011) Tabel 2.7. memperlihatkan perubahan luasan hutan Sumatera Barat berdasarkan RTRW Sumatera Barat 2009 2029. Adapun rincian perubahan peruntukan dan fungsi hutan Sumatera Barat berdasarkan Permen. Kehutanan No. 304/Menhut-II/2011 dapat dilihat pada tabel 2.8Tabel 2.7. Perubahan Luasan Hutan Sumatera Barat Berdasarkan RTRW 2009-2029NoFungsi KawasanSK. No 422 tahun 1999 (Ha)SK No.304/Menhut-II/2011

(Ha)Usulan RTRW(2009-2029)(Ha)

1HSAW846.175757.993798.631

2HL910.533910.530 719.989

3HPT246.383246.384224.729

4HP407.849407.849287.563

5HPK189.346189.348239.123

7APL1.629.441.717.626 1.959.698

JUMLAH4.229.7304.229.7304.229.730

Sumber : Tabel SD-2.3 Buku Data SLHD Prov. Sumbar, 2011 Tabel 2.8. Perubahan Luasan Hutan Sumatera Barat Berdasarkan Peraturan Menteri

Kehutanan No. 304/MENHUT-II/2011NoFungsi KawasanPerubahan Peruntukan Menjadi APL (Ha)Penunjukan APL Menjadi Kawasan Hutan (Ha)Perubahan Fungsi Hutan

1HSAW--HL ke HPT = + 52, 987

2HL+ 22.5753.412HL ke HP = + 5.035

3HPT+ 21.2936.090HL ke HPK = + 29.434

4HP+ 36.230253HP ke HL = + 1.358

5HPK+ 22.575143HP ke HPT = + 674

HP ke HPK = + 31.589

HPT ke HL = + 64

HPT ke HPK = + 21.437

HPT ke HL = + 64

HPT ke HPK = + 21.437

JUMLAH+ 96.9049.906

Sumber : Tabel SD-2.3 Buku Data SLHD Prov. Sumbar, 20112.2. KEANEKARAGAMAN HAYATI

Pesatnya laju pertumbuhan penduduk dan kegiatan pembangunan akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan bahan hayati dan lahan untuk pengembangan pertanian serta kegiatan pembangunan lainnya. Apabila hal tersebut tidak disertai dengan upaya konservasi yang memadai, maka menyebabkan kemerosotan keanekaragaman hayati. Faktor-faktor yang yang menyebabkan kemerosotan keanekaragaman hayati meliputi konversi lahan, eksploitasi yang berlebihan, praktik teknologi yang merusak pencemaran, introduksi jenis asing, dan perubahan iklim. Konversi hutan menjadi peruntukan lain dan pemanenan hasil hutan secara tidak berkelanjutan dan/atau kegiatan pembalakan hutan secara illegal merupakan ancaman bagi ekosistem hutan, yaitu akan mengakibatkan degradasi fungsi hutan, kemerosotan keanekaragaman hayati, dan fragmentasi habitat. Kekhawatiran banyak pihak sejak pencanangan program pembangunan di Indonesia terhadap kerusakan tatanan ekosistem telah terbukti, yaitu dengan meningkatnya frekuensi kejadian bencana alam yang melanda berbagai daerah di Indonesia.

Beberapa ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan kerusakan habitat serta ekosistem terutama terjadi pada daerah yang mengalami pengurangan dan perubahan fungsi hutan. Oleh karena itu isu terkait keanekaragaman hayati di Sumatera Barat adalah sebagai berikut :

Perubahan peruntukan kawasan hutan yang menjadi APL berpotensi terhadap ancaman keanekaragaman hayati. Daerah yang akan mengalami ancaman yang cukup intens adalah Kab. Pasaman dan Kab. Solok Selatan. Kedua daerah tersebut mengalami perubahan peruntukan kawasan hutan yang cukup luas. Ancaman efektipitas terhadap habitat dan ekosistim pada cagar alam yang dilintasi jalan utama seperti Lembah Anai.Untuk analisis lebih lanjut mengenai kondisi keananekaragamaan hayati di Sumatera Barat maka dilakukan analisis pendekatan sebagai berikut:

1. Analisis kondisi umum keanekaragaman hayati melalui pendekatan penentuan jumlah tersebar jenis flora dan fauna yang dilindungi terbanyak di Sumatera Barat (berdasarkan nilai statistik). Pendekatan juga dilakukan dengan perbandingan antara lokasi untuk melihat lebih jauh mengenai status flora dan fauna yang dilindungi.

2. Untuk analisis kencendrungan perubahan status keanekaragaman hayati maka dilakukan analisis perbandingan antar waktu pada lokasi tertentu. Terutama dalam kaitan keterancaman dan isu keanekaragaman hayati pada daerah Kabupaten Pasaman, Solok Selatan dan Lembah Anai.

Untuk lebih jelasnya kondisi keanekaragaman hayati di Sumatera Barat, di bawah ini akan diulas masing-masing komponen.2. 2.1. Kondisi Umum

2.2.1. Jumlah Spesies Flora dan Fauna yang Diketahui dan Dilindungi Di Provinsi Sumatera Barat, jumlah fauna yang paling banyak diketahui dan dilindungi berada di Kabupaten Pesisir Selatan sedangkan jumlah flora yang dilindungi paling banyak berada di Kabupaten Kepulauan Mentawai. Spesies yang dilindungi di Kab. Pesisir Selatan diantaranya Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Tapir (Tapirus indicus), Rusa (Cervus unicolor), Beruang madu (Helarctos malayanus), kambing hutan (Capricornus sumatraensis), kancil, napu, ungko (Hylobates agilis), siamang (Hylobates syndactylus), owa, kuau (Argusianus argus), renggang , elang dan jenis satwa lainnya. Jenis flora yang dilindungi di daerah ini diantaranya Anggrek hutan (Ascocentrum miniatum), Anggrek hitam (Coelogyne pandurata), Kantung semar ( Nepenthes,spp), dan Bermacam jenis Tengkawang (Shorea, sp.). Flora dan fauna ini sebarannya terdapat di kawasan Lindung, Cagar Alam, dan Hutan TNKS wilayah IV Kab. Pesisir Selatan yang termasuk hutan primer.

Dari data yang diketahui, kabupaten yang paling sedikit data hewan yang dilindungi yaitu Kab. Tanah Datar, spesies yang dilindungi sebagian besar besar dari mamalia diantaranya adalah kambing sumatera (Capricornis sumatraensis), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatraensis), Kijang (Muntiacus muntjak) dan Rusa (Cervus,sp.), sebaran fauna ini terdapat di suaka alam Merapi, suaka alam Singgalang Tandikat, dan suaka alam Gunung Sago Malintang. Sedangkan flora yang dilindungi diantaranya beringin (Ficus benjamina), bunga padma (Rafflesia arnoldi) dan bunga bangkai (Amorphophalus titanium). Sebaran flora ini terdapat di Cagar Alam Beringin Sakti, Cagar Alam Lembah Anai dan Suaka Alam Gunung Sago Malintang. Tabel 2.9 dibawah merupakan gambaran jumlah flora dan fauna dilindungi di Sumatera Barat secara umum.

Gambar 2.4. Flora yang Dilindungi

Tabel 2.9. Jumlah Spesies Flora dan Fauna Dilindungi per Kabupaten/Kota

NoKabupaten/KotaJenis Spesies Dilindungi

Hewan menyusuiBurungReptilAmphibiIkanKeongSeranggaTumbuh-tumbuhan

A.KOTA

1Padang2866140310

2Bukittinggi--------

3Padang Panjang104000000

4Payakumbuh01000000

5Sawahlunto--------

6Pariaman02010000

7Solok42100001

B.KABUPATEN

8Kepulauan Mentawai111111102126

9Solok Selatan1628000000

10Padang Pariaman137501--5

11Tanah Datar44110004

12Sijunjung--------

13Solok9100000019

14Dharmasraya620011010

15Pasaman Barat--------

16Pasaman1021100013

17Agam232502003

18Limapuluh Kota--------

19Pesisir Selatan2869230319

Sumber : Tabel SD - 9.1 Buku SLHD Prov. Sumbar 2011.Penyelamatan dan pengelolaan sumber keanekaragaman hayati tidak hanya berada di kawasan konservasi tetapi juga terdapat di kawasan produksi dan budidaya. Dimana dalam areal produksi dan budidaya juga telah dibebankan kewajiban untuk melakukan upaya konservasi keanekaragaman hayati sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Tabel 2.10 berikut merupakan keanekaragaman ekosistem menurut Kabupaten/Kota di Sumatera Barat.Tabel 2.10. Kawasan Lindung Menurut Kabupaten/Kota di Sumatera BaratNo.Jenis KawasanKabupaten/KotaLuas(Ha)

1Taman Nasional

Taman Nasional Siberut

Taman Nasional Kerinci Sebelat

(wilayah Sumatera Barat)Kep. Mentawai

Pesisir Selatan, Solok, Solok Selatan190.500,00

353.980,00

2Taman Hutan Raya

Tahura Dr. M. HattaPadang240,00

3Cagar Alam

Rimbo Panti

Lembah Harau Batang Palupuh

Lembah Anai

Beringin Sakti

Batang Pangian IIPasaman

Limapuluh Kota Agam

Tanah Datar

Tanah Datar

Sijunjung2.550,00

270,50

3,40

221,00

0,03

33.580

4Taman Wisata Alam

Mega Mendung

Lembah Harau

Rimbo Panti

Bukit Batu Patah (usulan)Tanah Datar

Limapuluh Kota

Pasaman

Tanah Datar12,50

27,50

570,00

500,00

5Taman Wisata Laut

Pulau Pieh

Teluk Saibi Sarabua (usulan) Pulau Pagai SelatanPdg. Pariaman

Kep. Mentawai

Kep. Mentawai39.900,00

21.200,00

24.592,00

6Taman Wisata Buru

Bukut Sidoali (usulan)

Pulau Sipora (usulan)Tanah Datar

Kep. Mentawai2.354,00

84.500,00

7.Suaka Alam

Malampah

Alahan Panjang Maninjau Air Putih Sago Malintang Singgalang Tandikat Merapi Barisan I Batang Pangian I Selasih Talang Air Terusan Arau HilirPasaman

Pasaman

Agam

Limapuluh Kota

Tanah Datar

Tanah Datar

Tanah Datar

Tanah Datar

Sijunjung

Solok

Pesisir Selatan

Padang14.555,00

17.664,00

17.304,00

23.467,00

2.203,00

4.180,00

6.574,00

10.310,00

37.295,00

6.150,00

25.177,00

5.377,00

Sumber : Tabel SD.9-2Buku Data SLHD Prov. Sumbar5.2.2. Kecendrungan Perubahan Status Keanekaragaman hayati

Kecendrungan perubahan status keanekaragaman akan terjadi pada daerah yang diusulkan perubahan fungsi hutan terbesar dalam penyusunan RTRW 2009 2029 diantaranya Kabupaten Pasaman, Solok Selatan . Di Kabupaten Pasaman kawasan hutan yang relatif masih sesuai dengan fungsi yang ditetapkan adalah kawasan cagar alam. Sedangkan fungsi kawasan lindung dalam kenyataannya banyak yang dirambah oleh masyarakat sehingga terjadi alih fungsi lahan dari hutan menjadi APL. Bahkan perambahan hutan terhadap kawasan hutan di wilayah Kab. Pasaman sebagaimana yang ditetapkan melalui Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK), tidak hanya dimanfaatkan untuk tujuan ekonomi semata, tetapi sudah bersifat permanen dalam bentuk pemukiman. Hal ini berdampak langsung terhadap ekosistem (sampai ke tingkat spesies) yang berada di kawasan Kabupaten Pasaman, misalnya status flora yang terancam punah akibat habitatnya yang mulai habis yaitu bunga bangkai raksasa (Amorphohalus titanium), dan tanaman anggrek tebu (Grammatohylum speciosum) yang statusnya sekarang menjadi langka. Sedangkan dari Fauna yang jelas sekali dapat terlihat yaitu Harimau Sumatera (Panthera tigris sumateraensis) yang habitatnya semakin terdesak dan seringkali masuk ke pemukiman sehingga terjadi konflik satwa dan masyarakat. Gambar 2.5. Flauna yang Dilindungi

Panthera tigris sumatraensis

Kawasan konservasi (in-Situ) Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) sebagian wilayahnya di wilayah Kab. Solok Selatan seluas 69.118 Ha pada saa ini menghadapi beberapa kendala yaitu : 1) Perambahan disekitar/dalam kawasan, 2) Pembukaan jalan yang membelah kawasan, 3) Kegiatan illegal logging yang secara langsung/tidak langsung mengatasnamakan SKAU, 4) Perburuan satwa yang dilindungi dan pal batas banyak tidak dijumpai, sementara pal batas keberadaan banyak didalam ladang milik masyarakat. Kondisi ini diperburuk dengan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai jenis tumbuhan langka yang dilindungi. Di Kab. Solok Selatan contohnya tanaman Andalas (Morus mocroura) yang menjadi mascot Sumatera Barat namun tidak banyak masyarakat yang mengenal tanaman ini karena jumlahnya yang terus menurun. Hal ini juga dialami oleh binturung (Arcticti binturong) juga babi rusa (Babyrousa babyrussa) dan burung kuau (Argusinus argus) yang pada saat ini statusnya semakin langka karena perburuan liar dan pembukaan lahan untuk perkebunan rakyat sehingga mengurangi habitat satwa tersebut. Tabel berikut merupakan peruntukan areal hutan yang ada di Kab. Solok Selatan.

Tabel 2.11. Peruntukan Areal Hutan Kab. Solok Selatan

No.Peruntukan areal hutanLuas (Ha)Persentase (%)

1.

2.

3.

4.

5.

6.Hutan PPA

Hutan Lindung

Hutan Produksi Terbatas

Hutan produksi

Hutan produksi yang dapat dikonversikan

Areal penggunaan lain (APL)67.579

90.515

42.994

25.783

8.572

99.17720,20

27,05

12,85

7,71

2,56

29,64

Luas Total Hutan334.620,00100,00

Sumber : Laporan Menuju Indonesia Hijau (MIH), 2011.Permasalahan umum yang dihadapi oleh kawasan hutan ini adalah : 1) tapal batas kawasan hutan banyak yang rusak, 2) tenaga polisi kehutanan belum mencukupi dibandingkan dengan wilayah hutan, 3) hasil hutan non kayu (HHNK) belum dimanfaatkan secara optimal, 4) penebangan liar (illegal logging) masih berlanjut dan 5) perambahan hutan untuk perladangan yang masih terus terjadi.

Kawasan Cagar Alam yang dilintasi jalan utama di Provinsi Sumatera Barat adalah Kawasan Cagar Alam/hutan konservasi Lembah Anai dengan luas 221 Ha dengan sumber daya hayati yang masih cukup beragam. Jenis flora yang terdapat di kawasan ini adalah Piper,sp.(Piperaceae), Musa, sp.(pisang-pisangan), Baccaaurea sumaterana , Myristica fragraus (pala) dan Aglaia elliptica (duku-dukuan).

Diperkirakan lebih dari 100 jenis pohon per 0,5 Ha dapat ditemukan pada ketinggian 400-850 mdpl. Kondisi flora masih cukup baik dan utuh, baik dilihat dari keanekaragaman jenis maupun berdasarkan kepadatan populasi masing-masing habitatnya. Saat ini telah tercatat hampir 400 jenis tumbuhan khusus dari kelompok tumbuhan tingkat tinggi dengan jenis yang telah tercatat yaitu 157 jenis pohon-pohonan, 38 jenis perdu dan semak, 40 jenis liana termasuk tumbuhan merambat, 17 jenis epifit, 7 jenis parasit, 7 jenis pencekik (strengler) dan 121 jenis tumbuhan herba.

Di kawasan Cagar Alam Lembah Anai juga ditemukan jenis-jenis tumbuhan endemik seperti Amorphophalus titanium. Jenis-jenis tumbuhan langka lainnya seperti Rizanthes ziplii (bintang tanah). Beberapa jenis Balanophora (jahe-jahe hutan) ditemukan secara terpencar baik di kawasan timur maupun kawasan barat dan beberapa jenis anggrek alam yang sangat unik dan jumlahnya melimpah juga terdapat di kawasan ini.

Jenis fauna yang terdapat di kawasan Cagar Alam Lembah Anai antara lain kera ekor panjang (Macaca fascicularis) , beruk (Macaca nemestrena), dan siamang (Hylobates sindactylus). Ada juga hewan yang hampir punah diantaranya harimau sumatera (Phantera tigris sumatraensis), rusa (Cervius timorensis), tapir (Tapirus indicus) dan biawak. Secara umum, fauna di cagar alam Lembah Anai beranekaragam, ditemukan 98 jenis fauna yang terdiri dari ikan (10 jenis), amfibia (11 jenis, reptilia (9 jenis), burung (55 jenis) dan mamalia (13 jenis) dan kupu-kupu (Lepidoptera).

Degradasi habitat dan ekosistem di wilayah ini sangat mungkin terjadi akibat dari pengembangan wilayah yang merupakan perlintasan jalan utama, untuk itu diperlukan analisis fisik dan lingkungan dalam penyusunan rencana dan tata ruang agar pengembangan atau pengelolaan wilayah atau kawasan dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah penataan ruang.2.3. AIRSumber air di Sumatera Barat merupakan salah satu isu didalam pembahasan SLHD. Isu lingkungan hidup terkait dengan permasalahan sumber air di Sumatera Barat dapat dirumuskan sebagai berikut :a. Permasalahan kuantitas sumber air, yaitu perbedaan debit yang signifikan antara musim kemarau dan musim hujan, yang menunjukkan telah terjadi degradasi pada sempadan, Daerah Aliran Sungai DAS) dan Daerah Tangkapan Air (DTA). Permasalahan ini terjadi pada sungai-sungai dan danau-danau di Sumatera Barat.

b. Permasalahan kualitas sumber air, yaitu:

1). Air Permukaan

Penurunan kualitas air permukaan sebagai dampak dari aktifitas pertanian, dan perikanan serta pertambangan. Khusus untuk daerah perkotaan cenderung disebabkan akibat aktifitas domestik dan industri, baik dari industri skala besar maupun dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

2). Air tanah (air sumur)

Telah terjadinya intrusi air laut pada daerah pinggir pantai dan tercemarnya beberapa sumur oleh E-coli dan coliform. Dalam penyajian analisisnya dilakukan beberapa pendekatan-pendekatan. Hal ini dilakukan agar analisis lebih fokus dan untuk mengatasi keterbatasan data yang ada. Dengan pendekatan ini diharapkan informasi yang disajikan dapat mewakili kondisi sumber air di Sumatera Barat. Berikut ini pendekatan yang dimaksud:

a. Perbandingan dengan Baku Mutu

Data yang dibandingkan dengan baku mutu tidak semua parameter, hanya parameter kunci dan cendrung mengalami perubahan atau cendrung mengalami degradasi, serta parameter yang berada di atas Baku Mutu. Perbandingan dengan baku mutu ini hanya dapat dilakukan untuk analisis kualitas air, sedangkan untuk kuantitas air tidak dilakukan, karena tidak ada batasan baku mutunya, tetapi dapat dilakukan melalui perbandingan dengan literatur atau kondisi umum yang telah disepakati.

Perbandingan Baku Mutu dilakukan terhadap peraturan undang-undangan yang berlaku, yaitu :

1) PP No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.

2) Pergub. No. 5 Tahun 2004 tentang Penetapan Kriteria Mutu Air Sungai di Sumatera Barat. Didalam peraturan tersebut telah dimuat Kelas air Sungai Batang Lembang, yaitu dari hulu (Kab. Solok) hingga rentang (batas Kota Solok) termasuk kelas I. Kemudian dari rentang (batas Kota Solok) hingga hilir (inlet Danau Singkarak) termasuk Kelas II.b. Perbandingan Nilai Antar Waktu dan Antar Lokasi

Perbandingan dilakukan untuk 3 series tahun terakhir untuk sungai-sungai strategis dan sungai-sungai yang dilakukan pemantauannya guna memenuhi SPM.c. Analisis Statistik

Pembahasan dilakukan dengan penggunaan analisis statistik sederhana. Hal ini dilakukan untuk melihat kondisi kritis, kondisi terbaik dan kondisi rata-rata dari kuantitas dan kualitas melalui analisis frekuensi, nilai maksimum, minimum dan rata-rata.Untuk analisis kecendrungan bertujuan untuk melihat kecendrungan perubahan kualitas dan kuantitas sumber ar melalui perbandingan antara waktu dan antara lokasi sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai kinerja pengelolaan air di Sumatera Barat.2.3.1. Kondisi Umum Sumber Air Sumatera Barat.

Sumatera Barat memiliki sumberdaya air yang melimpah dengan kualitas yang relatif cukup baik, yakni mencapai lebih kurang 50.950 juta m3/tahun yang terdiri dari 36.393 juta m3/tahun air permukaan dan 14.557 m3/tahun air tanah.Sumatera Barat memiliki 606 sungai besar dan kecil, serta 238 danau/embung/telaga. Secara ekotopografi, sungai-sungai di Sumatera Barat terbagi atas beberapa Satuan Wilayah Sungai (SWS). Berdasarkan Permen PU No. 11A Tahun 2006, Provinsi Sumatera Barat terdiri dari 9 (sembilan) Wilayah Sungai (WS) yang terdiri dari:

1) 1 (satu) WS yang berada utuh dalam satu kabupaten, yaitu: WS Pulau Siberut-Pagai-Sipora (Kab. Kepulauan Mentawai).

2) 2 (dua) WS lintas kabupaten, yaitu:

a. WS Silaut-Tarusan.

b. WS Masang-Pasaman.

3) 1 (satu) WS Strategis Nasional, yaitu: WS Anai-Kuranji-Arau-Mangau-Antokan (Akuaman).

Kewenangan pengelolaan WS ini berada di Pemerintah Pusat.

4) 5 (lima) WS lintas provinsi, yaitu:

a. WS Rokan (Sumatera Barat dan Riau);

b. WS Kampar (Sumatera Barat dan Riau);

c. WS Indragiri (Sumatera Barat dan Riau);

d. WS Batang Hari(Sumatera Barat dan Jambi); dan

e. WS Natal-Batahan (Sumatera Barat dan Sumatera Utara).

Dari 9 (sembilan) WS tersebut, WS Batang Hari merupakan WS terbesar di Sumatera Barat, dengan luas WS adalah 8.264,54 km2. WS terkecil adalah WS Rokan, dengan luas 2.189,98 km2.

Potensi sumberdaya air yang paling besar berada pada WS Silaut-Tarusan sebesar 18.136,89 juta m3/tahun yang terletak di Kabupaten Pesisir Selatan dan Anai Sualang sebesar lebih kurang 16.499,42 juta m3/tahun.

Kewenangan pengelolaan sumber air di Sumatera Barat terdiri dari kewenangan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kab/Kota. Terhadap sungai-sungai lintas provinsi merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Sungai-sungai lintas kabupaten/kota merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, sedangkan sungai-sungai yang berada dalam wilayah administrasi kabupaten/kota mejadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota. Kewenangan Pengelolaan sumber air tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.12.

Tabel 2.12. Jumlah Sungai/Danau/Embung/Telaga dan Kewenangan PengelolaanNoSumber AirJumlahKeterangan

1Sungai

a. Wilayah Sungai9

b. Sungai Lintas Provinsi27Sungai besar dan kecil (meliputi Prov. Sumbar, Sumut, Riau, dan Jambi)

c. Sungai Lintas Kab/Kota 81Sungai besar dan kecil

d. Total Sungai606Sungai besar dan kecil

2Danau/Embung/Telaga

a. Jumlah Danau/Embung/Telaga 238Skala besar dan kecil

b. Danau Lintas Provinsi 1Danau Buatan Koto Panjang

(Prov. Sumbar dan Prov. Riau)

c. Danau Lintas Kabupaten1Danau Singkarak

(Kab. Solok dan Kab. Tanah Datar)

d. Danau/ Embung/Telaga Parsial Kab/Kota236

Sumber : Dinas PSDA Prov. Sumatera Barat, 2011.

2.3.1.1. Inventarisasi Sungai di Sumatera Barat

Sungai terpanjang di Sumatera Barat adalah Batang Tapan, yaitu dengan panjang 337,93 km. Sungai ini berada dan melintasi Kabupaten Pesisir Selatan.

Sungai lintas provinsi di Sumatera Barat yang dijadikan sebagai sungai strategis nasional yaitu Batang Hari (Prov. SumbarJambi) dan Batang Kampar (Prov. SumbarRiau). Hulu sungai kedua sungai strategis nasional tersebut berada di Sumatera Barat, yaitu:

1) Hulu Sungai Batang Hari berada di Jorong Batang Hari, Nagari Alahan Panjang Kec. Lembah Gumanti, Kab. Solok.

2) Hulu Sungai Kampar berada di Jorong Muaro Nagari Muaro Sie Lalo Kec. Mapat Tunggul Selatan Kab. Pasaman dan Jorong Galugu dan Nagari Koto Tangah Kec.Kayu IX Kab. Lima Puluh KotaSungai Batang Hari segmen Sumatera Barat memiliki panjang 192 km, yang meliputi Kabupaten Solok, Solok Selatan dan Dharmasraya. Sedangkan Batang Kampar segmen Sumatera Barat meliputi Kabupaten Pasaman dan Limapuluh Kota.

Panjang dan lebar serta kedalaman sungai di Sumatera Barat cukup bervariasi. Bagian hulu relatif sempit yaitu sekitar 25 meter. Bagian rentang dan hillir melebar seiring bersatunya beberapa anak sungai ke sungai utama. Demikian pula kedalaman sungai juga bervariasi. Perbedaan kedalaman (tinggi muka air) sungai sangat dipengaruhi oleh musim dan terjadi perubahan signifikan antara musim kemarau dengan musim hujan.

Sungai terlebar adalah Sungai Batang Hari (lebar permukaan mencapai 140 m). Sungai terdalam adalah Sungai Batang Tapan (mencapai 15 m). Berdasarkan data yang tersedia, sungai dengan debit terbesar adalah Batang Sumpur, mencapai 210,97 m3/dt (Sumber : Tabel SD-11, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011). Berdasarkan fakta yang ditemui di lapangan, sungai dengan debit yang besar berada di DAS Akuaman seperti Sungai Batanghari, Sungai Batang Antokan dan Sungai Batang Anai. Lima sungai yang memiliki debit maksimum adalah Sungai Batang Hari, Sungai Batang Sangir, Sungai Batang Mangau, Sungai Batang Air Dingin dan Sungai Batang Gayo. Sedangkan lima sungai yang memiliki debit minimum adalah Sungai Batang Hari, Sungai Batang Sangir, Sungai Batang Silaut, Sungai Batang Kambang dan Sungai Batang Air Tunu. Nilai maksimum untuk debit maksimum adalah 1.554,24, nilai minimumnya adalah 1,63. Nilai maksimum debit minimum adalah 434,99, sedangkan nilai minimumnya adalah 0,32. Nilai debit maksimum dan minimum dari masing-masing sungai tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:Gambar 2.6. Lima Sungai Dengan Debit Maksimum Terbesar Menurut Segmen Kabupaten/Kota

Sumber : Olahan Data Tabel SD-11 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.7. Lima Sungai Dengan Debit Minimum Terbesar Menurut Segmen Kabupaten/Kota

Sumber : Olahan Data Tabel SD-11 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Rasio Q-max/Q-min yang diperbolehkan tergantung tipe/karakteritik sungai. Penentuan kerusakan DAS telah ditetapkan dengan peraturan menteri Pekerjaan Umum yaitu untuk Sumatera Barat batas normal rasio Q-max/Q-min adalah 120. Dengan demikian rasio Q max/Q-min sungai-sungai di Sumatera Barat masih dikatakan cukup baik kecuali Sungai Batang Arau yaitu 128,57. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan pada DAS dan sempadan sungai di sungai Batang Arau.

Perbandingan nilai debit maksimum, minimum serta rasio debit antar sungai, menunjukan perbandingan kondisi lingkungan terutama pada DAS dan sempadan sungai dari masing-masing daerah tersebut. Pada Gambar 2.8 di bawah ini menunjukkan gambaran rasio debit (Q-max/Q-min) beberapa sungai segemen Kabupaten/Kota.

Gambar 2.8. Rasio Debit Maks/Min Beberapa Sungai di Sumatera Barat Menurut Segmen Kabupaten/Kota

Sumber : Olahan Data Tabel SD-11 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Perbandingan nilai antar waktu dilakukan terhadap perbandingan rasio Q-max/Q-min pada sungai-sungai strategis dan lintas Kab/Kota sejauh ketersediaan data yang dimiliki. Sungai-sungai di Sumatera Barat kecendrungannya tahun ini debitnya lebih kecil. Hal ini lebih disebabkan curah hujan yang relatif lebih rendah dari pada tahun sebelumnya. Berikut, ditampilkan perbandingan nilai rasio Q-max/Q-min untuk tahun 2009, 2010 dan 2011. Gambar 2.9. Rasio Debit Maks/Min Beberapa Sungai di Sumatera Barat Menurut Segmen Kabupaten/Kota Tahun 2009 Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-11 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

2.3.1.2. Inventarisasi Danau/Waduk/Situ/Embung

Di Sumatera Barat terdapat 4 (empat) buah danau besar, yaitu Danau Singkarak, Danau Maninjau, Danau Diatas dan Danau Dibawah. Danau Singkarak merupakan danau terbesar kedua di Sumatera setelah Danau Toba (Sumatera Utara). Secara administrasi Danau Singkarak berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Solok dan Kabupaten Tanah Datar.

Gambar 2.10. Danau Singkarak

Sumber : Bapedalda Provinsi Sumatera Barat., 2011Danau Singkarak termasuk danau strategis nasional. Danau ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting, baik dari segi ekonomi-sosial-budaya Minangkabau maupun didalam mendukung pembangunan nasional. Danau Singkarak dimanfaatkan sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dengan cakupan distribusi listrik, wilayah Sumbagsel (Sumatera Barat, Riau, Jambi dan Sumatera Selatan)Dengan fungsinya Danau Singkarak sebagai PLTA, kuantitas air danau akan sangat berpengaruh didalam menunjang operasional PLTA. Ketinggian muka air (elevasi) Danau Singkarak dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.11 . Elevasi Danau Singkarak

Sumber : Olahan Data Tabel SD-11 Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Di Danau Singkarak terdapat 17 jenis ikan, satu diantaranya merupakan fauna air endemik, satu-satunya di dunia. Ikan tersebut adalah Ikan Bilih (Mystacoleucus padangensis). Ikan ini merupakan sebagai sumber protein bagi masyarakat sekitar danau, bahkan se-Sumatera Barat. Dengan frekuensi penangkapan ikan yang cukup tinggi serta cara-cara penangkapan yang tidak ramah lingkungan, keberadaan ikan ini semakin menurun, bahkan terancam punah. Keberadaan Danau Maninjau, tidak kalah pentingnya di Sumatera Barat. Secara administrasi, Danau Maninjau berada di Kabupaten Agam. Danau ini juga digunakan sebagai sumber energi listrik (PLTA). Beberapa tahun belakangan, masyarakat sekitar memanfaatkan danau untuk budidaya ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA). Keberadaan KJA sudah melebihi daya tampung danau. Danau telah tercemar dari sisa pakan ikan dalam jumlah yang cukup besar. Data umum kondisi danau-danau di Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.13. Danau di Sumatera Barat

NoNama DanauJenis DanauLuas Catchment Area (km2)Luas Danau (km2)Panjang Maksimal (km)Lebar Maksimal (km)Kedalaman Rata-rata (m)Volume Air (km3)Ketinggian Permukaan (mdpl)KoordinatLokasi

1Danau SingkarakDanau Tektonik1.078130,0206,526816,1363,5LS : 03644,17

BT : 1003221,14Kab. Solok dan Kab. Tanah Datar

2Danau ManinjauDanau Vulkanik24899,516710510,4459,0LS : 019

BT : 10012Kab. Agam

3Danau DiatasDanau Tektonik3917,06,252,75440,371.531,0LS : 1437

BT : 1004517Kab. Solok

4Danau DibawahDanau Tektonik3014,05,6233090,281.462,0LS : 1035

BT : 1004351Kab. Solok

5Danau TalangDanau Vulkanik1,315,0150,2641.660,0LS : 1045,71

BT : 100423,59Kab. Solok

6Danau TandikekDanau Vulkanik20,02Kota Sawahlunto

7Danau KandiDanau ex. Tambang Batu Bara0,250,0510200,0LS : 03710,00

BT : 1004530,00Kota Sawahlunto

Sumber : Olahan Data Tabel SD-12, SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.12. Lokasi Empat Danau Terbesar di Sumatera Barat

Sumber : Google Earth.

Embung adalah salah satu bangunan konservasi air yang berfungsi sebagai penampungan air yang dapat dimanfaatkan manusia, ternak dan ladang terutama pada musim kemarau untuk kelompok pemukiman yang dihuni sekitar 20 sampai dengan 350 kepala keluarga.Di Provinsi Sumatera Barat terdapat sekitar 238 embung yang tersebar di 6 (enam) Kabupaten yang sebagian besar pemanfaatannya untuk keperluan air irigasi bagi masyarakat sekitarnya. Pengembangan dan pembangunan embung merupakan upaya di dalam konservasi air. Ketersediaan air pada embung diharapkan mampu mengatasi kekurangan air pada musim kemarau.Di Sumatera Barat khususnya pada bagian Timur Bukit Barisan seperti Kabupaten Solok, Tanah Datar, Limapuluh Kota, Agam, Bukittinggi dan kawasan lainnya dimana topografi dan sumberdaya air yang terbatas, pengembangan embung sangat cocok untuk membantu pemecahan masalah kekurangan air di musim kemarau. Pada beberapa kenagarian di kabupaten-kabupaten tersebut dapat ditemui embung atau tabek yang sudah sejak lama masyarakat mengembangkannya untuk memenuhi kebutuhan air. Pemerintah sejak tahun 1965 hingga 2011 telah banyak memberikan bantuan dalam pengembangan embung. Beberapa embung dengan skala yang cukup besar di Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.14. Beberapa Embung di Sumatera Barat

Sumber : Olahan Data Tabel SD-12, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Gambar 2.13. Embung di Sumatera Barat

Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Barat.

2.3.1.3. Kualitas Air Sungai

Kualitas sumber air (sungai dan danau) di Sumatera Barat, umumnya tergolong cukup baik, kecuali sumber air tertentu yang mendapat tekanan cukup tinggi baik oleh kegiatan domestik, industri, pertambangan, pertanian maupun aktifitas lainnya. Dampak yang berasal dari aktifitas manusia sangat dominan mempengaruhi kualitas sumber air di Sumatera Barat, jika dibandingkan dengan pengaruh alami.Didalam menentukan status kualitas sumber air, perlu dilakukan uji laboratorium terhadap parameter pencemar, baik yang bersifat umum maupun parameter pencemar spesifik, misalnya kandungan Hg pada Sungai Batang Hari, yang diprediksi berasal dari aktifitas penambangan emas.

Secara visual sungai-sungai di Sumatera Barat kondisinya cukup baik, namun berdasarkan hasil pengujian laboratorium ditemukan beberapa parameter diatas ambang baku mutu kualitas air sungai. Penyebab kondisi ini dapat disebabkan pengaruh alami maupun kontribusi berbagai sumber pencemaran akibat aktifitas manusia.

Kualitas sumber air dapat dibandingkan dengan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku. Perbandingan dilakukan terhadap beberapa parameter kunci dan parameter primer kualitas air. Pembahasan terhadap perbandingan kualitas air sungai dilakukan untuk sungai-sungai dengan ketersediaan data yang cukup lengkap, yaitu sungai lintas Kabupaten/Kota (Sungai Batang Lembang, dan Sungai Batang Agam) dan sungai strategis nasional (Sungai Batang Hari).

Untuk Sungai Batang Lembang, mengacu kepada Peraturan Gubernur Sumatera Barat No. 5 Tahun 2008 tentang Penetapan Kriteria Mutu Air Sungai di Sumatera Barat. Didalam peraturan tersebut telah dimuat Kelas air Sungai Batang Lembang, yaitu dari hulu (Kab. Solok) hingga rentang (batas Kota Solok) termasuk kelas I. Kemudian dari rentang (batas Kota Solok) hingga hilir (inlet Danau Singkarak) termasuk Kelas II. Sedangkan terhadap Sungai Batang Hari, berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, dengan kategori Kelas II.

Beberapa parameter yang melebihi baku mutu untuk terhadap sungai sebagaimana tersebut di atas, dapat dilihat pada ulasan berikut:

1. Sungai Batang HariKualitas air Sungai Batang Hari cenderung mengalami penurunan terhadap beberapa parameter kualitas air. Beberapa parameter yang berada diatas Baku Mutu adalah TDS, BOD, DO, Pospat, Amonia, Hg, Klorin bebas, E. Coli dan Coliform.

Pemantauan kualitas air Sungai Batang Hari dilakukan terhadap 6 (enam) titik pemantauan. Lokasi pemantauan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.15 Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sungai Batang Hari Tahun 2011No.Kode SamplingLokasi SamplingKabupaten / Kota

1BH 1Jorong Batang Hari Nagari Alahan Panjang Kec. Lembah Gumanti Kabupaten Solok

2BH 2Jorong Gasing Nagari Lubuk Ulang Aling Selatan Kec. Sangir Batang Hari Kabupaten Solok Selatan

3BH 3Jorong Muaro Sangir Nagari Kampung Baru Kec. SangirKabupaten Solok Selatan

4BH 4Jorong Sungai Sangkir Nagari Sungai Dareh Kec. Pulau PunjungKabupaten Dharmasraya

5BH 5Jorong Siguntur Nagari Siguntur Kec. Sitiung Kabupaten Dharmasraya

6BH 6Jorong Sungai Langkok Nagari Sungai Langkok Kec. Koto BaruKabupaten Dharmasraya

Sumber : Bapedalda Prov. Sumbar, 2010.

Pembahasan mengenai kualitas air Sungai Batang Hari terhadap perbandingan dengan Baku Mutu di fokuskan terhadap parameter yang melebihi baku mutu air sungai Kelas II, secara lebih detail digambarkan melalui grafik 2.14 menunjukan parameter fisika kualitas air sungai Batang Hari berada di atas baku mutu untuk semua titik dan waktu pemantauan.

Gambar 2.14. Parameter TDS Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Gambar 2.15. Parameter BOD Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Hanya dua titik pemantauan (BH3 dan BH6) pada bulan September yang melebihi baku mutu kualitas air sungai Kelas II.Gambar 2.16. Parameter Total Phospat Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Parameter total phospat melebihi baku mutu pada pemantauan bulan April, Mei, Juli, dan September pada titik sampling yang berbeda. Tetapi kecenderungannya berada di bawah baku mutu. Gambar 2.17. Parameter Raksa (Hg) Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Secara umum, kandungan Hg berada di atas baku mutu, kondisi ini tidak terlepas dari aktifitas penambangan emas di sempadan dan badan air Sungai Batang Hari.Gambar 2.18. Parameter Klorin (Cl2) Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.19. Parameter Total Coliform Sungai Batang Hari Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.4, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

2. Sungai Batang Lembang

Pemantauan kualitas air Sungai Batang Lembang dilakukan terhadap keterwakilan dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Pemantauan dimulai dari hulu, rentang dan hilir (inlet Danau Singkarak), sehingga didapatkan nilai secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Sungai Batang Lembang terbagi atas dua kelas air sungai. Kelas I mencakup hulu hingga rentang (pada batas wilayah administrasi Kabupaten Solok dengan Kota Solok). Kelas II dari rentang hingga hilir (inlet Danau Singkarak).

Pemantauan kualitas air Sungai Batang Lembang dilakukan terhadap 15 titik pemantauan yang sekaligus sebagai titik sampling kualitas air sungai. Kelimabelas titik pemantauan tersebut diharapkan mampu mewakili kualitas air sungai secara keseluruhan dari hulu hingga hilir. Lokasi dari kelima belas titik sampling tersebut, yaitu:

Tabel 2.16. Lokasi Sampling Pemantauan Kualitas Air Sungai Batang Lembang No.Kode SamplingLokasi SamplingKabupaten / Kota

1BL 1Jorong Bukit Subang Nagari Lubuk Selasih Kec. Gunung TalangKab. Solok

2BL 2Kampung Batu Utara Nagari Kampung Batu Dalam Kec. Danau KembarKab. Solok

3BL 3Jorong Koto Kaciak Nagari Muaro Paneh Kec. Bukit SundiKab. Solok

4BL 4Jorong Subarang Batu Kudo Nagari Koto Baru Kec. KubungKab.Solok

5BL 5Jorong Kapalo Koto Nagari Gantung Ciri Kec. KubungKab. Solok

6BL 6Jorong Galanggang Tangah Nagari Salayo Kec. KubungKab. Solok

7BL 7Jorong Galanggang Tangah Nagari Salayo Kec. KubungKab. Solok

8BL 8Kel. KTK (Kampai Tabu Karambia) Kec. Lubuk SikarahKota Solok

9BL 9Kel. Koto Panjang Kec. Tanjung HarapanKota Solok

10BL 10Kel. VI Suku Kec. Lubuk SikarahKota Solok

11BL 12Kel. Tanah Garam Kec. Lubuk SikarahKota Solok

12BL 13Kel. Tanah Garam Kec. LubukKota Solok

13BL 14Kel. Tanah Garam Kec. LubukKota Solok

14BL 16Jorong Koto Nagari Sumani Kec. X Koto SingkarakKa. Solok

15BL 17Jorong Guci Nagari Sumani Kec. X Koto SingkarakKa. Solok

Sumber : Bapedalda Sumatera Barat, 2011.

Untuk parameter fisika, tidak ada parameter yang melebihi baku mutu. Sedangkan untuk parameter kimia organik kualitas air sungai terdapat beberapa yang melebihi baku mutu, sebagaimana digambarkan pada grafik berikut:

Gambar 2.20. Parameter BOD Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Kandungan BOD relatif berubah dari hulu, rentang hingga hilir. Terdapat beberapa titik yang melebihi baku mutu baik pada pemantauan Periode I (Maret-April) maupun pemantauan Periode II (Agustus-September).Gambar 2.21. Parameter COD Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Kandungan COD cenderung mengalami penurunan dari hulu hingga hilir. Pada baku mutu Kelas I, didominasi dengan kandungan yang melebihi baku mutu.

Gambar 2.22. Parameter Pospat Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Kandungan Pospat mengalami kenaikan dari hulu hingga rentang, dan mengalami penurunan dari rentang hingga hilir. Pada sampling di bagian rentang didominasi melebihi baku mutu.

Gambar 2.23. Parameter Amonia Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Amonia hanya dipersyaratkan terhadap Baku Mutu Kualitas Air Sungai Kelas I. Kandungan Amonia cenderung mengalami peningkatan dari hulu hingga hilir.

Gambar 2.24. Parameter Sulfida Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Kandungan Sulfida cenderung mengalami peningkatan dari hulu hingga hilir. Secara umum berada di atas baku mutu, baik baku mutu Kelas I maupun Kelas II.

Gambar 2.25. Parameter Coliform Sungai Batang Lembang Tahun 2011

Sumber : Olahan Data Tabel SD-13.3, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Kandungan bakteri di dominasi Coliform didominasi berada di atas baku mutu, baik pada pemantauan Periode I maupun Periode II.

Analisis statistik sederhana digunakan didalam perhitungan parameter yang melebihi Baku Mutu kualitas air sungai. Dari parameter uji lapangan (pH, Suhu dan DO), parameter DO berada di atas Baku Mutu. Sedangkan parameter uji laboratorium terdapat beberapa parameter berada di atas Baku Mutu.

Tabel 2.17. Parameter Yang Melebihi Baku Mutu Kualitas Air SungaiNo.SungaiParameter Yang Melebihi/Diatas Baku MutuPersentase (%)

1Sungai Batang HariFisika :TSS19,75

Kimia Anorganik : BOD, COD, DO, Pospat, Amoniak, Sulfida (H2S), dan Besi (Fe)

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E. Coli dan Coliform

2Sungai Batang LembangFisika :TSS20,50

Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Pospat, Amoniak, Sulfida (H2S), dan Besi (Fe)

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E.Coli, Coliform

3Sungai Batang AgamFisika :-14,43

Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Total Pospat, Klorida, Nitrit, dan Sulfida (H2S)

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E.Coli, Coliform

Sumber : Tabel SD-13.A, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat, 2011.2.3.1.4. Kualitas Air Danau

Dari 4 (empat) buah danau besar di Sumatera Barat, danau yang memiliki permasalahan lingkungan hidup yang cukup dominan tiga tahun terakhir adalah Danau Maninjau. Sebagai danau vulkanik, Danau Maninjau masih dipengaruhi oleh aktifitas geologi dan pergerakan lempeng eurasia. Disamping itu, kualitas air Danau Maninjau juga sangat dipengaruhi perubahan iklim dan cuaca.

Pemanfaatan danau untuk budidaya ikan melalui Keramba Jaring Apung (KJA) menjadi pemicu segala permasalahan kualitas air Danau Maninjau. Keberadaan KJA sudah melebihi daya tampung danau. Danau telah tercemar sisa pakan ikan dalam jumlah yang cukup besar. Ketinggian lumpur danau akibat sisa pakan ikan telah lebih dari 50 cm. Aktifitas geologi/pergerakan lempeng yang diiringi dengan cuaca yang ekstrem menyebabkan terjadinya upwelling air danau. Kondisi ini menjadikan kandungan Belerang, Pospat, Nitrat, Nitrit dan Amonia menjadi tinggi pada permukaan air, sehingga menyebabkan kematian ikan dalam jumlah yang banyak. Frekuensi kejadian menjadi lebih sering dalam tiga tahun terakhirKualitas air embung di Sumatera Barat cenderung lebih baik. Air embung berasal dari air hujan, mata air dan infiltrasi/perkolasi air hujan yang masuk pada cacthment area, dan tidak dipengaruhi oleh aktifitas manusia. Dengan demikian kualitas air embung/telaga terjaga dengan baik secara alami.Dari pemantauan kualitas air Danau Maninjau, didapatkan beberapa pada meter yang berada di atas Baku Mutu yaitu BOD, COD dan DO. Lebih jelasnya dapat dilihat pada grafik berikut:

Gambar 2.26. Kandungan BOD Danau Maninjau Tahun 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.27. Kandungan COD Danau Maninjau Tahun 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.28. Kandungan DO Danau Maninjau Tahun 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (tahun 2010) terjadi peningkatan nilai beberapa parameter yang melebihi baku mutu kualitas air Danau Maninjau yaitu BOD, COD dan DO.

Gambar 2.29. Kandungan BOD Danau Maninjau Antara Tahun 2010 dan 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.30. Kandungan COD Danau Maninjau Antara Tahun 2010 dan 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Gambar 2.31. Kandungan DO Danau Maninjau Antara Tahun 2010 dan 2011

Sumber : Olahan Tabel SD-14, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Analisis statistik sederhana digunakan didalam perhitungan parameter yang melebihi Baku Mutu kualitas air danau. Dari parameter uji lapangan (pH, Suhu dan DO), parameter DO berada di atas Baku Mutu. Sedangkan parameter uji laboratorium terdapat beberapa parameter yang melebihi berada di atas Baku Mutu.Tabel 2.18. Parameter Kualitas Air Danau Yang Melebihi/Diatas Baku MutuNo.DanauParameter Yang Melebihi Baku MutuPersentase (%)

1Danau ManinjauFisika :-27,08

Kimia Anorganik :BOD, COD, dan DO

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:-

Sumber : Tabel SD-14.A, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.2.3.1.5. Kualitas Air Sumur

Kualitas air sumur yang menjadi indikator adalah air sumur pada daerah pemukiman di perkotaan, yaitu air sumur yang berada di Kota Padang. Aktifitas domestik sangat mempengaruhi kualitas air sumur. Disamping itu, aktifitas manusia lainnya seperti pertanian, peternakan, industri dan pertambangan, juga dapat mempengaruhi kualitas air sumur. Pertimbangan lainnya, kondisi alami seperti kandungan mineral bebatuan dan tanah, juga turut andil mempengaruhi kualitas air sumur penduduk.

Sejauh tidak mengandung logam berat, air sumur penduduk masih dapat digunakan dengan terlebih dahulu dilakukan pengolahan fisik secara sederhana, seperti penyaringan, dan lain-lain.

Tabel 2.19. Kualitas Air Sumur di Kota PadangParameterSatLokasi Sampling

S1S2S3S4S5

Nama LokasiSP1SP2SP1SP2SP1SP2SP1SP2SP1SP2

Koordinat

Waktu PemantauanJuli 2011

FISIKA

TempelaturoC31,0029,9031,2020,6030,2030,2030,4030,0030,3029,40

KekeruhanTNU35,0018,2011,1040,009,0044,006,109,404,3011,00

WarnaTCU2,000,004,0011,0014,002,005,002,005,001,00

KIMIA ANORGANIK

pH6-96,356,976,769,717,076,987,207,116,357,21

Nitrit (NO2)Mg/L0,0240,0170,0430,0220,0580,0190,0310,0430,0960,034

Nitrat (NO3)Mg/L0,210,160,330,240,350,200,290,370,270,30

Mangan (Mn)Mg/L0,670,261,921,141,350,410,190,541,400,30

Kesadahan (CO3)Mg/L7,06,28,16,76,95,67,48,35,71,2

Sulfat (SO4)Mg/L202188,75106,2582,2557,5065,0047,501,256,2523,75

Zat OrganikMg/L2,983,582,984,195,401,775,402,983,581,16

Besi (Fe)Mg/L1,070,810,511,180,331,220,250,300,220,49

Florida (F)Mg/LTtdTtdTtdTtdttdTtdttdttdttdttd

Sumber : Tabel SD-15.A, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Keterangan : Lokasi Sampling; S1= PT. Zaziro;S2= PT. Hansivan;S3= PT. Tazar;S4= PT. Sitasa;S5= PT. DHI

Khusus untuk kualitas air sumur, keberagaman data kualitas air tidak bisa dianalisa secara parsial. Pembahasan kualitas air sumur harus mengakomodasi berbagai faktor yang mempengaruhinya. Ketersediaan data secara series akan dapat menyempurnakan analisa data.

Pada beberapa daerah di Kota Padang, infiltrasi air laut mempengaruhi kualitas air sumur penduduk. Berkurangnya area resapan air akibat aktifitas pembangunan menjadikan air hujan tidak terserap ke dalam tanah berdampak terhadap penurunan kandungan air tanah.Analisis statistik sederhana digunakan didalam perhitungan parameter yang melebihi Baku Mutu kualitas air sumur. Dari parameter uji lapangan (pH, Suhu dan DO), semua parameter berada di bawah Baku Mutu. Sedangkan parameter uji laboratorium terdapat beberapa parameter yang melebihi berada di atas Baku Mutu

Tabel 2.20. Parameter Kualitas Air Sumur Yang Melebihi/Diatas Baku MutuNo.Lokasi Sampling Parameter Yang Melebihi Baku MutuPersentase (%)

110 buah sumur di Kota PadangFisika :Kekeruhan17,50

Kimia Anorganik :Mangan (Mn) dan Besi (Fe)

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:-

26 buah sumur di Kab. Pasaman BaratFisika :-6,45

Kimia Anorganik :Natrium

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:-

33 buah sumur di Kota Padang PanjangFisika :-10,53

Kimia Anorganik :-

Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E. Coli dan Coliform

Sumber : Tabel SD-14.A, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 20112.3.2.Kecendrungan Perubahan Kuantitas dan Kualitas Sumber Air2.3.2.1. Kuantitas Sumber Air

Perubahan kuantitas air sungai berbeda untuk masing-masing sungai, kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah topografi, kondisi DAS, dan pengaruh dari aktifitas manusia.

Perbedaaan debit beberapa sungai dengan perbandingan antar waktu dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tidak ada perbedaan yang signifikan debit air pada sungai-sungai kecuali sungai Batang Hari. Selisih debit maksimum hingga 1.423,81 m3/detik tahun 2010 dan 2011 dan debit minimum 400.97 m3/detik hal ini mengidentifikasikan bahwa kerusakan DAS Batang Hari sudah sangat parah.Tabel 2.21. Kecenderungan/Trend Perubahan Debit Beberapa SungaiNo.Nama SungaiDebit (m3/dtk)Debit (m3/dtk)

Tahun 2010Tahun 2011

MaksMinMaksMin

1Bt. Lembang33,930,9936,000,71

2Bt. Agam52,302,6152,302,61

3Bt. Anai33,324,8270,0025,00

4Bt. Arau144,001,12144,001,12

5Bt. Masang43,0311,4843,0311,48

6Bt. Hari130,4334,021554,24434,99

Sumber : Olahan Data SLHD Sumatera Barat, 2011.2.3.2.2. Kualitas Sumber Air

Untuk sungai, kecenderungannya perubahan dari tahun sebelumnya mengalami pemulihan, baik secara alami maupun melalui pengelolaan serta peningkatan kesadaran masyarakat akan sungai yang bersih. Dari tabel di bawah ini digambarkan terjadinya penurunan parameter yang berada di atas baku mutu, dengan tingkat penurunan 33,16% terhadap Sungai Batang Hari, dan 3,37% terhadap Sungai Batang Lembang.

Tabel 2.22. Kecenderungan/Trend Perubahan Kualitas Air SungaiNo.SungaiPerubahan Kualitas Air Sungai (Parameter Yang Melebihi Baku Mutu)

2010Persentase (%)2011Persentase (%)

1Sungai BatanghariFisika :TSS39,35Fisika :TSS19,75

Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Pospat, Nitrit, Amoniak, Raksa (Hg), Sulfida (H2S), dan Klorin Bebas (Cl2)Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Pospat, Nitrit, Amoniak, Raksa (Hg), Sulfida (H2S), Besi (Fe), dan Klorin Bebas (Cl2)

Kimia Organik :-Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E. Coli dan ColiformMikrobiologi: E. Coli dan Coliform

2Sungai Batang LembangFisika :TSS24,74Fisika :TSS20,50

Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Pospat, Amoniak, Sulfida, dan Besi Fe)Kimia Anorganik :BOD, COD, DO, Pospat, Amoniak, Sulfida, dan Besi (Fe)

Kimia Organik :-Kimia Organik :-

Mikrobiologi:E. Coli dan ColiformMikrobiologi:E. Coli dan Coliform

Sumber : Tabel SD-13.B, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

Berbanding terbalik dengan kualitas air danau di Sumatera Barat, terutama Danau Maninjau. Dari pemantauan tahun sebelumnya (2010) tidak ada parameter yang melebihi baku mutu. Tetapi pada tahun ini (2011) terdapat beberapa parameter yang melebihi baku mutu. Dengan demikian perubahan kecenderungannya adalah terjadinya penurunan kualitas air danau, dengan tingkat penurunannya adalah sebesar 27,08 %. ...................... 27,08%.

Tabel 2.23. Kecenderungan Perubahan Kualitas Air DanauNo.DanauPerubahan Kualitas Air Danau (Parameter Yang Melebihi Baku Mutu)

2010Persentase (%)2011Persentase (%)

1Danau ManinjauFisika :-0,00Fisika :-27,08

Kimia Anorganik :-Kimia Anorganik :BOD, COD, dan DO

Kimia Organik :-Kimia Organik :-

Mikrobiologi:-Mikrobiologi:-

Sumber : Tabel SD-14.B, Buku Data SLHD Sumatera Barat, 2011.

2.4. UDARA Kualitas udara ambien sangat berhubungan dengan tingkat kesehatan masyarakat dan kegiatan pembangunan. Peningkatan penggunaan energi pada kegiatan pembangunan pada akhirnya akan meningkatkan pencemaran udara. Udara yang tercemar (tidak memenuhi baku mutu udara ambien) dapat meningkatkan berbagai jenis penyakit seperti ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Atas) bahkan dapat menyebabkan kematian apabila kadarnya di udara sudah berbahaya untuk jangka waktu yang panjang. Sesuai dengan amanat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 19 tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Daerah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota, maka pemerintah wajib menginformasikan kualitas udara kepada masyarakat.

Sumatera Barat telah menyusun Rencana Pencapaian SPM (RP-SPM) Bidang Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera Barat 2010-2014 dengan menerbitkan Pergub. No. 25 tahun 2010 tentang Rencana Pencapaian dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera. Untuk itu Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dalam hal ini Bapedalda Provinsi Sumatera Barat telah melakukan pemantauan kualitas udara ambien secara kontiniu (berkala), dengan penetapan obyek dan parameter mengacu kepada ketiga aturan dan petunjuk teknis tersebut. Sesuai dengan target RP-SPM tahun 2011, maka pada tahun 2011 telah dilakukan pemantauan dan pengukuran kualitas udara ambien pada 10 (sepuluh) Kab/Kota di Provinsi Sumatera Barat yaitu Kota Padang, Kota Bukitinggi, Kabupaten Pesisir Selatan, Kota Solok, Kota Payakumbuh, Kab. Padang Pariaman, Kota Pariaman, Kota Padang Panjang, Kab. Limapuluh Kota dan Kab. Agam. Berdasarkan data yang ada maka isu lingkungan berkaitan dengan kualitas udara adalah sebagai berikut :- Umumnya kualitas udara di Sumatera Barat baik namun terjadi kecendrungan penurunan kualitas udara pada kota-kota besar seperti Padang dan Bukitiinggi-

Parameter yang cendrung diatas ambang batas adalah partikel debu.

Dalam pembahasan kualitas udara ambien kali ini, akan dilakukan pendekatan penulisan sebagai berikut :

Penulisan dibagi 2 kelompok yaitu : Kondisi umum dan kecendrungan perubahan. Analisis dilakukan hanya untuk parameter yang ditetapkan pada Standar Pelayanan Minimal Bidang LH yang ditetapkan oleh Permen LH No. 19 tahun 2009 tentang Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota dan Permen LH No. 20 tahun 2009 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal Bidang Lingkungan Hidup Provinsi dan Kabupaten/Kota. Analisis lokasi dilakukan hanya pada lokasi yang ditetapkan dalam Rencana Pencapaian SPM (RP-SPM) Provinsi Sumatera Barat tahun 2011 KondIsi umum menggunakan pendekatan analisis statistik yang menunjukkan kondisi rata-rata dan kondisi ekstrim (maksimum atau minimum) kualitas udara ambien di Sumatera Barat dengan melakukan perbandingan antar lokasi dan baku mutu Kecendrungan perubahan menggunakan pendekatan analisis perbandingan antar waktu pada lokasi tertentu. Terutama dalam kaitannya isu perubahan kualitas udara

Berikut ini adalah hasil pemantauan kualitas udara yang dilakukan pada tahun 2010 dan 2011 untuk melihat kecendrungan perubahan kualitas udara yang terjadi.

2.4.1. Kondisi Umum

2.4.1.1. Kualitas Udara Ambien Menurut LokasISecara umum kondisi udara di Provinsi Sumatera Barat termasuk berkategori baik. Berdasarkan hasil analisa di laboratorium, untuk nilai parameter PM10, C0 dan SO2 pada masing-masing titik pantau masih dibawah baku mutu yang telah ditetapkan. Untuk parameter TSP, pada titik pantau Depan Kantor Lurah Lubeg, Kota Padang yaitu 235 g/Nm3 dan Simp. Empat Padang Luar Kab. Agam 235 g/Nm3 , nilainya telah melewati batas baku mutu yaitu 230 g/Nm3. Untuk nilai O3 pada titik pantau di Perum Siteba Kota Padang juga telah melewati batas baku mutu yang telah ditetapkan yaitu 274 g/Nm3 dari nilai baku mutu yaitu 235 g/Nm3. Gambar 2.32 sampai dengan Gambar 2.35 menggambarkan nilai konsentrasi per parameter yang dibandingkan antar lokasi.

Parameter PM Dari grafik 2.32, dapat dilihat bahwa nilai PM10 untuk masing-masing lokasi masih berada di bawah nilai baku mutu yang telah ditetapkan berdasarkan PP 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Namun terlihat bahwa Kota Padang terutama di titik pemantauan Pustu Ulu Gadut memiliki nilai PM10 yang lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lainnya. Sementara nilai PM10 terendah di jumpai pada titik pantau Nagari Sungai Antuan Muko, Kab. Limapuluh Kota. Tingginya nilai parameter PM10 di Pustu Ulu Gadut, Kota Padang dipengaruhi oleh aktivitas Pabrik PT Semen Padang.Gambar 2.32. Kualitas Udara Berdasarkan Parameter PM10

Sumber : Olahan Tabel SD-16, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2011Parameter Debu (TSP) Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa nilai TSP tertinggi ditemui pada Kota Padang khususnya di Depan Kantor Lurah Lubeg diikuti oleh Kab. Agam (Simp. Padang Luar) dan telah berada di atas baku mutu yang telah ditetapkan. Sementara untuk Kab/Kota lainnya masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan, dimana nilai TSP terendah terdapat di depan PDAM Painan, Kab. Pesisir Selatan.Tingginya nilai TSP pada Kota Padang diakibatkan oleh aktifitas Pabrik Semen dan industri lainnya (pabrik CPO dan karet), sedangkan di Kab. Agam khususnya Simp. Empat Padang Luar sumber TSP adalah akibat aktifitas kendaraan bermotor yang padat karena lokasi pemantauan merupakan persimpangan jalan yang ramai dan sering terjadi kemacetan.

Gambar 2.33. Kualitas Udara Berdasarkan Parameter TSP

Sumber : Olahan Tabel SD-16, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2011Parameter Karbon Monoksida (CO)

Secara umum, kualitas udara masing-masing Kab/Kota yang dipantau untuk parameter CO masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan. Kandungan CO tertinggi ditemui pada Kab. Agam, terutama pada titik pantau Simpang Empat Padang Luar, sedangkan nilai terendah diperoleh pada titik pantau di depan PDAM Painan, Kab. Pesisir Selatan. Tingginya nilai CO pada titik pantau Simpang Empat Padang Luar disebabkan karena titik pantau merupakan jalur padat kendaraan dan sering terjadi kemacetan. Gambar 2.34. Kualitas Udara Berdasarkan Parameter CO

Sumber : Olahan Tabel SD-16, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2011 Gambar 2.35. Kualitas Udara Berdasarkan Parameter Ozon (O)

Sumber : Olahan Tabel SD-16, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2011Parameter Ozon (O3) Kualitas udara untuk parameter O3 tertinggi ditemui di Kota Padang, terutama untuk titik pantau di Perumahan Steba yang nilainya telah melewati baku mutu yang ditetapkan. Nilai terendah ditemui pada titik pantau Nagari Sungai Antuan Muko, Kab. Limapuluh Kota. Sedangkan untuk titik pantau lainnya dimasing-masing Kab/Kota masih dibawah baku mutu.

Gambar 2.36. Kualitas Udara Berdasarkan Parameter Sulfur Dioksida (SO)

Sumber : Sumber : Olahan Tabel SD-16, Buku Data SLHD Provinsi Sumatera Barat,2011 Parameter Sulfur Dioksida (SO)

Pemantauan terhadap kualitas udara untuk parameter SO2 hanya dilakukan di Kota Padang khususnya di Depan Kantor Lurah Tanjung Saba Pitameh dan di Puskesmas Pembantu Ulu Gadut, dengan pertimbangan kedua lokasi ini dekat dengan kawasan industri. Dari data yang diperoleh nilai SO2 untuk masing-masing lokasi masih berada dibawah baku mutu yang telah ditetapkan.2.4.1.2. Kualitas Air Hujan Kualitas udara Provinsi Sumatera Barat juga dipantau melalui kualitas air hujan pada 2 (dua) kota, yaitu Kota Padang dan Kota Payakumbuh. Dari hasil yang diperoleh, kualitas air hujan pada kedua kota tergolong baik. Hal ini dapat dilihat dari nilai pH, SO4 dan Cr yang masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan.

Tabel 2.24. Kualitas Air Hujan Di Kota Padang dan Payakumbuh, 2011NoParameterSatuanBaku MutuHasil Analisa

PadangPayakumbuh

1Kromium Valensi Vl (Cr)mg/L0,05