komunikasi terapeutik
DESCRIPTION
tugas uas bahasa indonesiaTRANSCRIPT
MAKALAH ILMIAH
Komunikasi Terapeutik pada Pasien Dismenore
Diajukan untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia
Dosen: Abdul Hamid
Disusun oleh :
Annisa Suci Utami 220110150097
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
SUMEDANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia-Nya, saya masih diberi kesempatan untuk menyelesaikan makalah ilmiah
Komunikasi Terapeutik pada Pasien Dismenore. Makalah ini saya buat untuk memenuhi
tugas Ujian Akhir Semester Bahasa Indonesia. Tidak lupa juga saya ucapkan terima kasih
kepada dosen saya, Bapak Abdul Hamid, yang telah membimbing saya dalam mata kuliah
Bahasa Indonesia.
Makalah ini berisikan tentang informasi mengenai komunikasi dalam pelayanan
keperawatan khususnya pada pasien dismenore. Saya harap makalah ini dapat membantu
semua pihak dalam berkomunikasi terapeutik dengan pasien penderita dismenore.
Saya menyadari bahwa makalah ini tidak terlepas dari berbagai kekurangan, tetapi
kekurangan yang ada merupakan bagian positif dalam mencapai kesempurnaan. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang bersifat membangun, selalu saya harapkan demi kesempurnaan
makalah ini.
Akhir kata, saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
senantiasa meridhai segala usaha kita, Amin. Semoga makalah ini bermanfaat bagi para
pembaca.
Jatinangor, Desember 2015
Penulis (Annisa Suci Utami)
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………. i
Daftar Isi …………………………………………………………………….. ii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….…. 1
1.1 Latar belakang ………………………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………...... 2
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………….... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….…………… 3
2.1 Prinsip Komunikasi Terapeutik ……….…………………………...…. 3
2.1.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik .……………………………. 4
2.1.2 Dasar-dasar Komunikasi Terapeutik ………………………….... 4
2.1.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik …….………………………….. 5
2.1.4 Komponen Komunikasi Terapeutik ……………………………. 5
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik … 6
2.1.6 Sikap Komunikasi Terapeutik …………………………………. 6
2.1.7 Hambatan dalam Komunikasi Terapeutik ……………………… 7
2.1.8 Teknik Komunikasi Terapeutik ………..………………………. 8
2.1.9 Fase Komunikasi Terapeutik …………………………………... 9
2.2 Komunikasi (Wawancara) dalam Keperawatan .……………………… 10
` 2.2.1 Pengertian Wawancara .………………………………………… 10
2.2.2 Tujuan Wawancara ……………………………………………... 10
2.2.3 Teknik Wawancara ……………………………………………... 10
2.2.4 Prinsip-prinsip Wawancara ……………………………………… 11
2.3 Etiologi Dismenore ...…………………………………………………. 12
2.3.1 Pengertian Dismenore ………………………………………….. 12
2.3.2 Penyebab Dismenore …………………………………………… 12
2.3.3 Cara Mengatasi Dismenore …………………………………….. 13
BAB III PEMBAHASAN …………………………………………………………... 16
3.1 Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Dismenore …………… 16
ii
BAB IV PENUTUP …………………………………………………………………. 18
4.1 Kesimpulan …………………………………………………………... 18
4.2 Saran …………………………………………………………………. 18
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………….... 19
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tidak ada satupun manusia yang bisa lepas dari kegiatan komunikasi
dalam kehidupan sehari-hari. Melalui komunikasi, manusia dapat berinteraksi,
saling memahami, dan membina relasi dengan sesama. Komunikasi berasal dari
bahasa Latin Communicatio, yang artinya sama. Oleh karena itu, komunikasi
dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna suatu pesan yang disampaikan oleh
komunikator dan diterima oleh komunikan.
Komunikasi merupakan proses sosial terpenting dalam kehidupan setiap
manusia, tidak terkecuali perawat, yang tugas sehari-harinya selalu berhubungan
dengan orang lain. Komunikasi digunakan sebagai awal dalam membina rasa
percaya antara perawat dengan perawat, perawat dengan pasien, maupun perawat
dengan tenaga kesehatan lain. Komunikasi menjadi sarana efektif dalam
memudahkan perawat melaksanakan peran dan fungsinya dengan baik.
Dalam memberikan asuhan keperawatan, komunikasi yang dilakukan
perawat dengan pasien bukanlah komunikasi sosial biasa, melainkan komunikasi
yang bersifat terapi. Komunikasi seperti itu disebut juga dengan komunikasi
terapeutik yang merupakan komunikasi antara perawat dengan pasien yang
dilakukan secara sadar dan bertujuan untuk kesembuhan pasien.
Ketererampilan dalam berkomunikasi secara baik dan benar serta
berdampak terapeutik, tidak didapatkan begitu saja tanpa perlu dilatih. Seorang
perawat harus mengembangkan kemampuan ini sehingga menjadi kebiasaan
dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari. Upaya yang dapat dilakukan untuk
membiasakan komunikasi secara terapeutik di antaranya, memperdalam
pemahaman tentang konsep komunikasi dan berani mengaplikasikan konsep
komunikasi tersebut dalam memberi pelayanan keperawatan kepada pasien.
Berdasarkan uraian tersebut, maka saya tertarik untuk mempelajari lebih
dalam mengenai komunikasi keperawatan khususnya dalam pelayanan kepada
pasien yang mengalami dismenore atau nyeri saat menstruasi. Komunikasi
1
terapeutik penting untuk dilakukan seorang perawat agar dapat memberikan
asuhan keperawatan yang tepat dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien. Saat
pasien mampu beradaptasi dengan nyeri yang dialaminya, ia juga dapat
melaksanakan aktivitasnya dengan mudah.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka dapat dirumuskan
permasalahan: Bagaimana komunikasi terapeutik perawat dengan pasien penderita
dismenore?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Makalah ini bertujuan agar mahasiswa mampu mengetahui dan memahami
teknik atau cara yang digunakan perawat dalam berkomunikasi terapeutik dengan
pasien penderita dismenore.
1.3.2 Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus pembuatan makalah ini agar mahasiswa atau
pembaca dapat menjelaskan tentang:
a. prinsip komunikasi terapeutik
b. komunikasi (wawancara) dalam keperawatan
c. keterampilan konseling dalam keperawatan
d. etiologi dismenore.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prinsip Komunikasi Terapeutik
Dalam praktik keperawatan, komunikasi merupakan sarana dalam
membina hubungan terapeutik dan komunikasi merupakan sarana untuk
mempengaruhi orang lain dalam upaya mencapai kesuksesan hasil tindakan
keperawatan (Maksimus Ramses Lalongkoe, 2013).
2.1.1 Pengertian Komunikasi Terapeutik
Pengertian komunikasi terapeutik menurut beberapa ahli di antaranya:
a. Purwanto (1994), komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan
secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
b. Northouse (1998), komunikasi terapeutik merupakan kemampuan perawat
dalam membantu klien beradaptasi terhadap stress, mengatasi gangguan
psikologis, dan belajar bagaimana berhubungan dengan orang lain.
c. Mulyana (2000), komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal
atau komunikasi antarpribadi yaitu komunikasi antara orang-orang secara tatap
muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik secara verbal dan nonverbal.
d. Budi Ana Keliat dalam Mundakir (2006), komunikasi terapeutik adalah suatu
pengalaman bersama antara perawat-klien yang bertujuan untuk menyelesaikan
persoalan klien. Hubungan perawat-klien tidak akan tercapai tanpa adanya
komunikasi.
Dari beberapa definisi yang dikemukan para ahli di atas, dapat
disimpulkan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang
secara sadar oleh perawat dengan tujuan membangun hubungan saling percaya
demi kesembuhan pasien. Dalam komunikasi terapeutik itu sendiri, terdapat tiga
hal yang menjadi karakteristik yaitu (dalam Arwani, 2002 : 54-57) :
3
a. Genuineness (keikhlasan). Saat membantu pasien diharapkan perawat dapat
menyadari tentang nilai, sikap, dan perasaan yang dimiliki terhadap keadaan
pasien.
b. Empathy (empati). Merupakan perasaan “pemahaman” dan “penerimaan”
perawat pada apa yang dirasakan oleh pasien, dan juga kemampuan perawat
dalam merasakan ”dunia pribadi pasien”.
c. Warmth (kehangatan). Dengan adanya kehangatan diharapkan perawat dapat
mendorong pasien untuk mengekspresikan apa yang dirasakan dalam bentuk
perbuatan tanpa ada rasa takut disalahkan.
2.1.2 Dasar-dasar Komunikasi Terapeutik
Menurut Maksimus Ramses Lalongkoe, dasar-dasar komunikasi terapeutik
dapat dibagi menjadi dua yaitu keterampilan komunikasi dasar dan keterampilan
komunikasi lanjut. Keterampilan komunikasi dasar adalah mendengar, pembukaan
dan mengekspresikan diri. Sementara itu, keterampilan komunikasi lanjut adalah
bahasa nonverbal secara pemahaman terhadap kebudayaan dan gender.
a. Mendengar
Dalam komunikasi terapeutik, salah satu keterampilan yang harus dimiliki
adalah kemampuan untuk mendengar secara baik. Hal yang dapat dilakukan
untuk menjadi pendegar yang baik di antaranya:
- Aktif mendengarkan. Aktif mendegarkan berarti berkonsentrasi (tidak
memikirkan hal lain selain yang yang dikatakan lawan bicara).
- Mendengarkan dengan empati. Maksudnya empati ialah menempatkan diri
dalam diri lawan bicara, baik secara pikiran (kognitif), perasaan (afektif), dan
tindakan (konatif).
- Mendengarkan dengan terbuka. Yang dimaksud dengan terbuka ialah pada
saat mendengarkan, hati, pikiran, perasaan, dan tindakan benar-benar siap
untuk mendegarkan,jangan memberikan pandangan atau kesimpulan terlebih
dahulu.
b. Pembukaan diri. Pembukaan diri adalah mengenali diri sendiri dan mencoba
untuk terbuka dengan orang lain.
4
c. Mengekspresikan. Dalam komunikasi ada empat hal yang dapat diekspresikan
yaitu ekspresi terhadap observasi/pengamatan, ekpresi terhadap pikiran, ekspresi
terhadap perasaan, dan ekspresi terhadap kebutuhan.
2.1.3 Tujuan Komunikasi Terapeutik
Menurut Suryani (2005), komunikasi terapeutik bertujuan untuk
mengembangkan pribadi klien ke arah yang lebih baik dan positif atau adaptif dan
diarahkan pada pertumbuhan klien. Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat
memiliki karakteristik: kesadaran diri, klarifikasi nilai, eksplorasi perasaan,
kemampuan untuk menjadi model peran, motivasi altruistik, rasa tanggung jawab
dan etik (menurut Hamid, 1970, dalam Maksimus Ramses Lalongkoe, 2013: 68-
69).
2.1.4 Komponen Komunikasi Terapeutik
Menurut Roger, 2005 (dalam Maksimus Ramses Lalongkoe, 2013: 69),
terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Karakteristik tersebut antara lain:
a. Kejujuran. Klien hanya akan terbuka dan jujur dalam memberikan informasi
yang benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
b. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya
perawat menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi
nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang disampaikan.
c. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat,
penuh perhatian, dan penghargaan terhadap klien.
d. Empati bukan simpati. Sikap empati membuat perawat dapat memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi klien, sedangkan sikap simpati membuat
perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia larut dalam
masalah.
e. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.
f. Menerima klien apa adanya, sensitive terhadap perasaan klien, dan tidak
mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri.
5
2.1.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komunikasi Terapeutik
Menurut Muharamiatul (2012), faktor yang mempengaruhi komunikasi antara
lain:
1. Situasi atau suasana
Situasi atau suasana yang penuh kebisangan akan mempengaruhi baik atau
tidaknya pesan diterima oleh komunikan, suara bising yang diterima komunikan
saat proses komunikasi berlangsung membuat pesan tidak jelas, kabur, bahkan
sulit diterima. Oleh karena itu, sebelum proses komunikasi dilaksanakan,
lingkungan harus diciptakan sedemikian rupa supaya tenang dan nyaman.
Komunikasi yang berlangsung dan dilakukan pada waktu yang kurang tepat
mungkin diterima dengan kurang tepat pula. Misalnya, apabila perawat
memberikan penjelasan kepada orang tua tentang cara menjaga kesterilan luka
pada saat orang tua sedang sedih, tentu saja pesan tersebut kurang diterima dengan
baik oleh orang tua karena perhatian orang tua tidak berfokus pada pesan yang
disampaikan perawat, melainkan pada perasaan sedihnya.
2. Kejelasan pesan
Kejelasan pesan akan sangat mempengaruhi keefektifan komunikasi.
Pesan yang kurang jelas dapat ditafsirkan berbeda oleh komunikan sehingga
antara komunikan dan komunikator dapat berbeda persepsi tentang pesan yang
disampaikan. Hal ini akan sangat mempengaruhi pencapaian tujuan komunikasi
yang dijalankan. Oleh karena itu, komunikator harus memahami pesan sebelum
menyampaikannya pada komunikan, dapat dimengerti komunikan dan
menggunakan artikulasi dan kalimat yang jelas.
2.1.6 Sikap Komunikasi Terapeutik
Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat
memfasilitasi komunikasi yang terapeutik yaitu:
a. Sikap berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “saya siap untuk anda”.
b. Sikap mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama
berarti menghargai klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
6
c. Sikap membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk
mengatakan atau mendengar sesuatu.
d. Sikap mempertahankan sikap terbuka. Tidak melipat kaki atau tangan
menunjukkan keterbukaan untuk berkomunikasi.
e. Sikap tetap rileks. Maksudnya adalah dapat mengontrol keseimbangan antara
ketegangan dan relaksasi dalam memberi respon kepada klien.
2.1.7 Hambatan dalam Komunikasi Terapeutik
Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-
klien terdiri dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan kontertransferens. Ini
timbul dari berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda,
tetapi semuanya menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus segera
mengatasinya. Oleh karena itu hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik
bagi perawat maupun bagi klien. Untuk lebih jelasnya marilah kita bahas satu-
persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
a. Resisten
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas
yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran
verbalisasi yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah
aspek diri seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien
untuk berubah ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens
biasanya diperlihatkan oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak
berisi proses penyelesaian masalah.
2. Transferens
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap
terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di
masa lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam
intensitas dan penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang
maladaptif. Ada dua jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung.
7
3. Kontertransferens
Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien.
Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap
klien yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau
ketidaktepatan dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu
dari tiga jenis reaksi sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci
dan reaksi sangat cemas sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten
klien.
2.1.8 Teknik Komunikasi Terapeutik
Stuart dan Sundeen (1998), mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik
sebagai berikut:
a. Mendengarkan dengan penuh perhatian. Dalam hal ini perawat berusaha
mengerti klien dengan cara mendegarkan apa yang disampaikan klien.
b. Menunjukkan penerimaan. Menerima tidak berarti menyetujui, menerima
berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunukkan keraguan atau
ketidaksetujuan.
c. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan. Tujuannya adalah mendapatkan
informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh klien.
d. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
e. Mengklarifikasi. Klarifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan
dalam kata- kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien.
f. Memfokuskan. Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan
sehingga percakapan menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
g. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.
h. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya.
i. Menawarkan informasi. Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan
penyuluhan kesehatan untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk
mengambil keputusan.
j. Meringkas. Dapat dilakukan dengan cara meringkas ide utama yang telah
dikomunikasikan secara singkat.
8
2.1.9 Fase Komunikasi Terapeutik
Menurut Stuart G.W (1998), sruktur dalam komunikasi terapeutik, terdiri
dari empat fase: fase prainteraksi, fase perkenalan atau orientasi, fase kerja, dan
fase terminal. Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus
terselesaikan.
a. Fase Pra-Interaksi
Tahap ini merupakan masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan
klien. Tugas perawat pada fase ini adalah:
- Mengeksplorasi perasaan, harapan, dan kecemasan.
- Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri.
- Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana
interaksi.
- Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan diimplementasikan
saat bertemu.
b. Fase Orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat
pertama kali bertemu dengan klien, fase ini digunakan perawat untuk berkenalan
dan merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling percaya.
c. Fase Kerja
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Pada
tahap ini, perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien.
Teknik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain
mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagi persepsi,
memfokuskan, dan menyimpulkan (Gerald, 1996, dalam Suryani, 2005).
d. Fase Terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting karena hubungan saling
percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien
keduanya merasa kehilangan. Untuk melalui fase ini dengan suskses dan bernilai
terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan. Terminasi merupakan akhir
dari pertemuan perawat yang dibagi dua: terminasi sementara, berarti masih ada
pertemuan lanjutan dan terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan
9
proses keperawatan secara menyeluruh. Tugas perawat pada fase ini yaitu
mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan.
2.2 Komunikasi (Wawancara) dalam Keperawatan
Wawancara merupakan salah satu metode komunikasi yang dilakukan
perawat untuk mengumpulkan data diri pasien. Pendekatan komunikasi dengan
cara wawancara ini dimaksud untuk mendapatkan berbagai informasi dari pasien
sebelum melakukan tindakan medis.
2.2.1 Pengertian Wawancara
Wawancara adalah cara mengumpulkan data-data, informasi tentang klien
melalui suatu proses yang bertahap dengan melibatkan beberapa komponen. Data-
data dan infornasi tersebut dipergunakan dalam mengambil keputusan atau
mengambil tindakan asuhan keperawatan. Dalam proses wawancara atau dalam
melakukan wawancara dengan pasien/klien ada beberapa komponen penting yang
terlibat di dalamnya. Komponen-komponen tersebut adalah komunikator,
masalah, saluran, penerima, dan tempat.
2.2.2 Tujuan Wawancara
Tujuan wawancara dalam tugas asuhan keperawatan di antaranya:
a. Mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam mengidentifikasi dan
merencanakan tindakan keperawatan.
b. Meningkatkan hubungan perawat dengan klien dalam komunikasi
c. Membantu klien untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi dalam
identifikasi masalah, tujuan.
d. Membantu perawat untuk menentukan investigasi lebih lanjut selama tahap
pengkajian.
2.2.3 Teknik Wawancara
Perawat dapat menggunakan berbagai teknik wawancara untuk
mendapatkan informasi yang diperlukan dari klien atau sumber lainnya.
10
a. Teknik mencari masalah. Wawancara mencari masalah mengidentifikasi
masalah potensial klien, dan pengumpulan data selanjutnya difokuskan pada
masalah tersebtu.
b. Teknik pemecahan masalah. Teknik wawancara pemecahan masalah
difokuskan pada pengumpulan data yang lebih mendalam pada masalah
spesifik yang diidentifikasi oleh klien atau perawat.
c. Teknik pertanyaan langsung. Wawancara pertanyaan langsung adalah format
terstruktur yang membutuhkan jawaban satu atau dua kata dan sering kali
digunakan untuk mengklarifikasi informasi sebelumnya atau memberikan
informasi tambahan.
d. Teknik pertanyaan terbuka. Wawancara pertanyaan terbuka ditujukan untuk
mendaptkan respons lebih dari satu atau dua kata. Teknik ini mengarah kepada
diskusi dimana klien secara aktif menguraikan status kesehatan mereka.
2.2.4 Prinsip-prinsip Wawancara
a. Mempunyai tujuan
Setiap wawancara selalu mempunyai tujuan tertentu, pada umumnya untuk
memecahkan masalah klien/keluarga/masyarakat. Dalam keperawatan,
kelancaran wawancara merupakan tanggung jawab perawat untuk mengarahkan
proses wawancara menuju tujuannya.
b. Lingkungan
Yang penting mengenai tempat dalam wawancara adalah tempat yang dapat
memberikan rasa nyaman bagi klien. Karena pembicaraan biasanya penting dan
bersifat rahasia.
c. Objektif
Yang dimaksud objektif adalah kebenaran dari cerita atau masalah yang langsung
didengar dari klien itu sendiri. Usahakan mendapat data seobjektif mungkin, baik
dari klien atau dari orang yang ada hubungannya dengan masalahnya.
d. Hubungan
11
Wawancara yang berhasil biasanya ditandai dengan hubungan yang baik, yaitu
adanya saling memperhatikan, saling menghormati antara perawat dan klien.
Pandanglah klien sebagai manusia seutuhnya dan juga ingin dihargai.
e. Sikap
Sikap merupakan komponen yang penting dalam proses wawancara. Sikap
mendengarkan yang menunjukkan penuh perhatian terhadap masalah klien, tidak
memotong pembicaraan klien bila tidak perlu, bila ada kemacetan dalam
wawancara perawat harus mampu mengatasi sehingga dapat berjalan lancer.
f. Jarak
Sebaiknya jarak antara perawat dank lien pada waktu wawancara harus dekat.
Kaerena pada jarak yang dekat klien akan lebih leluasa mengutarakan
masalahnya.Dengan jarak yang dekat, klien merasa dirnya diperhatikan, merasa
bahwa perawat ada di dekatnya yang siap membantu, pada jarak yang dekat pula
perawat dapat langsung mengawasi reaksi verbal dan non-verbal klien.
2.3 Etiologi Dismenore
Selama masa menstruasi, wanita mengalami gangguan fisik yang disebut
dengan dismenore. Dismenore menyebabkan nyeri hebat pada bagian perut
sehingga membuat wanita kesulitan dalam menjalankan aktivitasnya.
2.3.1 Pengertian Dismenore
Dismenore adalah nyeri (kram) selama menstruasi yang disebabkan oleh
kejang otot uterus (rahim). Nyeri dapat terasa sebelum dan sesudah haid. Kram
tersebut terutama dirasakan di daerah perut bagian bawah tetapi dapat menjalar ke
punggung atau permukaan dalam paha, yang terkadang menyebabkan penderita
tidak berdaya dalam menahan nyerinya tersebut (Hendrik, 2006).
2.3.2 Penyebab Dismenore
Dismenore dibedakan menjadi dua jenis, yaitu dismenore primer dan
disenenore sekunder. Dismenore dikelompokkan sebagai dismenore primer saat
tidak ada sebab yang dapat dikenali dan dismenore sekunder saat ada kelainan
jelas yang menyebabkannya. Pada kebanyakan kasus dengan dismenore sekunder,
penyebabnya adalah endometriosis atau penyakit peradangan rongga dalam
12
daerah kemaluan. Sedangkan dismenore primer dapat disebabkan karena faktor
psikologis dan faktor endokrin. Faktor psikologis biasanya terjadi pada remaja
dengan emosi yang tidak stabil, mempunyai ambang nyeri yang rendah, sehingga
dekat sedikit rasa nyari dapat merasakan kesakitan. Faktor endokrin pada
umumnya dihubungankan dengan kontraksi usus yang tidak baik. Hal ini sangat
erat kaitannya dengan pengaruh hormonal. Peningkatan produksi prostaglandin
akan menyebabkan terjadinya kontraksi uterus yang tidak terkoordinasi sehingga
menimbulkan nyeri.
Dismenore muncul berupa serangan ringan, kram pada bagian tengah,
bersifat spasmodis yang dapat menyebar ke punggung atau paha bagian dalam.
Umumnya ketidaknyamanan di mulai 1 - 2 hari sebelu menstruasi, namun nyeri
yang paling berat selama 24 jam pertama menstruasi dan mereda pada hari kedua.
Dismenore di sertai efek samping seperti muntah, diare, sakit kepala, pegal kaki.
2.3.3 Cara Mengatasi Dismenore
Untuk beberapa wanita yang sedang dismenore, biasanya nyeri dapat
dikurangi dengan pemberian panas (kompres panas atau mandi air panas), masase,
latihan fisik, dan tidur cukup untuk meredakan dismenore primer. Panas
meredakan iskemia dengan menurunkan kontraksi dan meningkatkan sirkulasi.
Ramaiah (2006) menyebutkan bahwa, salah satu cara yang sangat efektif
untuk mencegah nyeri dismenore ini adalah melakukan aktifitas olahraga.
Beberapa latihan dapat meningkatkan pasokan darah ke organ reproduksi
sehingga memperlancar peredaran darah. Olahraga teratur seperti berjalan kaki,
jogging, berlari, bersepeda, renang atau senam aerobik dapat memperbaiki
kesehatan secara umum dan membantu menjaga siklus menstruasi yang teratur.
Olahraga setidaknya dilakukan tiga hingga empat kali seminggu, khususnya
selama paruh kedua siklus menstruasi. Olahraga penting untuk remaja putri yang
menderita dismenore karena latihan yang sedang dan teratur meningkatkan
pelepasan endorfin beta (penghilang nyeri alami) ke dalam aliran darah sehingga
dapat mengurangi nyeri dismenore (Rager, 1999).
Pengaruh olahraga terhadap penurunan dismenore:
13
a. Peningkatan efisiensi kerja paru.
Seorang terlatih dapat menyediakan oksigen hampir dua kali lipat per menit
daripada yang tidak terlatih. Sehingga ketika terjadi dismenore, oksigen dapat
tersalurkan ke pembuluh-pembuluh darah di organ reproduksi yang saat itu terjadi
vasokonstriksi sehingga menyebabkan timbulnya rasa nyeri, disebabkan respon
dari oksigen yang tidak tersampaikan ke pembuluh darah paling ujung. Tetapi bila
seseorang rutin melakukan olahraga, maka dia dapat menyediakan oksigen hampir
dua kali lipat per menit sehingga oksigen tersampaikan ke pembuluh darah
yangmengalami vasokonstriksi. Dan akan menyebabkan terjadinya penurunan
nyeri dismenore.
b. Peningkatan efisiensi kerja jantung
Jantung semakin kuat dan dapat memompa lebih banyak darah. Akibatnya orang
terlatih, denyut jantungnya lebih lambat 20 kali per menit daripada yang tidak
terlatih. Konsepnya hampir sama dengan penjelasan di atas, pada orang yang
melakukan olahraga darah dipompa lebih banyak ke pembuluh darah organ
reproduksi yang mengalami vasokonstriksi. Karena aliran pembuluh darah lancar,
maka nyeri dismenore tidak begitu dirasakan.
c. Peningkatan jumlah dan ukuran pembuluh-pembuluh darah yang menyalurkan
darah ke seluruh tubuh, termasuk organ reproduksi.
Pada seseorang yang rutin olahraga, terjadi peningkatan jumlah dan ukuran
pembuluh darah yang menyalurkan darah ke seluruh tubuh, termasuk organ
reproduksi sehingga memperlancar aliran darah ketika terjadi dismenore dan
terjadi penurunan dismenore.
d. Peningkatan volum darah yang mengalir ke seluruh tubuh, termasuk organ
reproduksi.
Dengan olahraga rutin terjadi peningkatan volum darah yang mengalir ke seluruh
tubuh, termasuk organ reproduksi. Sehingga memperlancar pasokan oksigen ke
pembuluh darah yang mengalami vasokonstriksi, sehingga nyeri dismenore dapat
berkurang.
14
e. Olahraga penting untuk remaja putri yang menderita dismenore karena latihan
yang sedang dan teratur meningkatkan pelepasan endorfin beta (penghilang nyeri
alami) ke dalam aliran darah sehingga dapat mengurangi nyeri dismenore.
15
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Komunikasi Terapeutik Perawat dengan Pasien Dismenore
Saya melakukan wawancara dengan pasien dismenore bernama Printin.
Printin adalah seorang mahasiswa yang selalu mengalami dismenore setiap siklus
menstruasinya datang. Pada hari pertama menstruasi, ia selalu mengatakan
perutnya sakit. Jika itu terjadi, biasanya dia kurang bersemangat dan kesulitan
untuk menjalankan aktivitasnya karena menahan nyeri. Printin tidak pernah
meminum obat untuk menahan nyerinya tersebut, yang biasa ia lakukan hanya
beristirahat dan tidur. Tapi tentu hal ini akan menjadi masalah jika ia mengalami
dismenore saat akan berangkat kuliah. Ia harus berjalan cukup jauh untuk sampai
ke kampusnya. Dismenore yang ia alami membuatnya kesulitan berjalan karena
saat dipaksa berjalan, nyeri akan semakin terasa.
Setelah Printin selesai menceritakan keluhannya, saya mulai memberinya
saran untuk meringankan nyeri yang dirasakannya saat dismenore. Saya
menyarankannya agar meminum air hangat, memijat dan mengkompres perutnya
dengan handuk hangat. Hal ini bertujuan agar otot rahimnya tidak mengalami
kontraksi yang berlebihan sehingga proses relaksasi dapat terjadi. Saya juga
menyarankan untuk makan sayur, buah, susu, dan sering berolahraga agar
peredaran darahnya lancar. Peredaran darah yang lancar mencegah terjadinya
dismenore pada waktu menstruasi berikutnya. Susu yang mengandung kalsium
dapat mempercepat proses relaksasi otot dan mencegah terjadinya kram. Kondisi
psikologis yang stabil juga mempengaruhi tingkat nyeri saat dismenore.
Diakhir wawancara, Printin mengatakan akan mencoba saran yang saya
berikan setibanya di rumah. Ia berharap sakit perutnya segera menghilang.
2 hari kemudian, saya mewawancarai Printin kembali. Saya bertanya
kepadanya apakah sekarang ia dalam kondisi yang baik. Ia menjawab bahwa
sekarang dirinya baik-baik saja. Dismenore yang ia alami berangsur hilang setelah
meminum air hangat dan memijat perutnya. Ia juga mengatakan bahwa ia sudah
mulai berolahraga dan mencoba makan sayur walaupun sebelumnya ia tidak
16
begitu menyukai sayur. Printin tidak ingin terus mengalami dismenore setiap
bulan saat tiba masa menstruasinya. Demi tubuhnya yang sehat, ia harus berubah
menjadi lebih baik.
17
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang dirancang secara sadar
oleh perawat dengan tujuan membangun hubungan saling percaya demi
kesembuhan pasien. Dalam praktik keperawatan, komunikasi merupakan sarana
dalam membina hubungan terapeutik dan komunikasi merupakan sarana untuk
mempengaruhi orang lain dalam upaya mencapai kesuksesan hasil tindakan
keperawatan. Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi
pasien ke arah yang lebih baik dan positif atau adaptif dan diarahkan pada
pertumbuhan pasien. Fase komunikasi terapeutik terdiri dari fase pra-interaksi,
fase orientasi, fase kerja, dan fase terminasi. Komunikasi terapeutik dapat
dilakukan dengan metode wawancara agar klien dapat secara langsung
berkonsultasi dengan perawat. Dengan begitu, perawat dapat memotivasi klien
agar beradaptasi dengan penyakitnya sehingga memudahkan proses
penyembuhan.
4.2 Saran
Perawat perlu menganalisa teknik komunikasi yang tepat setiapkali ia
berhubungan dengan klien. Melalui komunikasi verbal dapat disampaikan
informasi yang akurat tetapi aspek emosi dan perasaan tidak dapat diungkapkan
seluruhnya secara verbal.
Dengan mengerti proses komunikasi dan menguasai berbagai keterampilan
berkomunikasi, diharapkan perawat dapat memakai dirinya secara utuh (verbal
dan non verbal) untuk memberi efek terapeutik kepada klien.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, S. 2008. Nyeri Haid. Jakarta: EGC
Arwani. 2002. Komunikasi dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.
Deharnita, Titin Sumarni & Widia. 2014. Mengurangi Nyeri dengan Senam
Dismenore. Jurnal Paralella, Volume 1, No 1, Juni 2014.
Edmundson, L.D. 2006. Dysmenorrhea. Diakses di www.emedicine.com pada
tanggal 22 November 2015
Hartati, Munjiati Kaerunisa, 2010. Mekanisme Koping Mahasiswi Keperawatan
dalam Menghadapi Dismenore. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan,
Volume 8, No 1, Februari 2012.
Hendrik, H. 2006. Problema Haid : Tinjauan Syariat Islam dan Medis. Solo: PT
Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Lalongkoe, Maksimus Ramses. 2013. Komunikasi Keperawatan: Metode
Berbicara Asuhan Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Morrison, Paul dan Philip Burnard. 2002. Carring & Communicating: Hubungan
Interpersonal dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.
Setianti, Yanti. 2007. Komunikasi Terapeutik antara Perawat dan Pasien.
Diakses di www.pkko.fik.ui.ac.id pada tanggal 22 November 2015.
Suryani. 2005. Komunikasi Terapeutik: Teori & Praktik. Jakarta: EGC
19