kompas
DESCRIPTION
jjTRANSCRIPT
![Page 1: Kompas](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072009/55cf92af550346f57b98b2d8/html5/thumbnails/1.jpg)
Lampiran
Kompas, Senin, 18 September 2000
Kecelakaan KA Akibat Lalaikan ProsedurDalam dunia perkeretaapian,
kecelakaan yang dianggap paling konyol
adalah tabrakan antara dua lokomotif
berhadapan (head to head). Asumsinya,
masing-masing masinis berada di posisi
paling depan dan paling tahu keadaan
serta bisa segera bertindak jika ada hal-
hal yang membahayakan, misalnya, ada
kereta lain di depan.
Kecelakaan jenis lain, misalnya,
terguling akibat rel bergeser, atau
bahkan menabrak KA dari belakang,
dianggap masih lebih rendah derajatnya
daripada head to head. Memang bisa
saja terjadi head to head akibat
kesalahan arah karena "salah wesel",
artinya perangkat wesel memindahkan
arah ke rel yang ada keretanya. Tetapi,
itu jarang terjadi, sebab umumnya
kereta api mengurangi kecepatannya
kalau masuk stasiun, terutama kalau ada
tanda masuk rel belok.
Kecelakaan di Plabuan, Jawa
Tengah, menggugah kembali rasa
prihatin masyarakat akan
memburuknya pelayanan PT Kereta Api
Indonesia (KAI) akhir-akhir ini. Dengan
kondisi yang relatif sama, baik sarana
dan prasarana, dibanding sekitar 10
tahun lalu keadaan perkereta apian kita
kini sungguh memprihatinkan.
Kereta api berubah menjadi
monster menakutkan karena kecelakaan
beruntun yang membawa korban jiwa
seolah tidak bisa dihentikan oleh
manajemennya. Bahkan ada kesan,
semua kesalahan ditimpakan pada
pihak lain, baik itu peralatan atau-paling
sering-manusianya. Teori memang
menyebutkan, dari setiap kecelakaan,
80 persen penyebabnya adalah faktor
manusia, sementara peran cuaca,
perangkat teknik dan sebagainya tidak
terlalu besar.
Dari penelusuran awal, boleh
dikatakan kecelakaan di Plabuan itu
akibat kesalahan masinis KA 162
Tawangjaya, kereta api kelas ekonomi
Pasarsenen (Jakarta)-Poncol
(Semarang). Ia, tanpa seizin PPKA
(pemimpin perjalanan KA) Stasiun
Plabuan, menjalankan keretanya dan
melanggar rambu lampu merah sinyal
keluar stasiun Plabuan. Padahal di arah
lawan sedang berhenti KA 179 Parcel
Surabaya-Pasarsenen di depan sinyal
masuk. Akibatnya terjadi tubrukan di
tikungan sekitar dua kilometer sebelah
timur Stasiun Plabuan, atau sekitar 53
kilometer dari Semarang.
Masinis KA Tawangjaya,
Abdulkamid, belum bisa ditanyai karena
![Page 2: Kompas](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072009/55cf92af550346f57b98b2d8/html5/thumbnails/2.jpg)
masih dirawat di rumah sakit akibat
luka serius di kepalanya. Tetapi saksi-
saksi, terutama setting sinyal keluar
yang mengisyaratkan tidak aman untuk
KA Tawangjaya dan keterangan Kepala
Stasiun Plabuan, Ahmad Jahid,
menjuruskan tuduhan bahwa masinis
menjalankan KA tanpa izin. Tindakan
masinis menjalankan KA Tawangjaya ini
semula dikira cuma mem-prepal-kan
(mengingsutkan KA sampai batas
berhenti di ujung peron), bukan
langsung menuju stasiun berikut,
Krengseng.
KA Tawangjaya berhenti di
Stasiun Plabuan secara BLB (berhenti
luar biasa) hanya untuk menurunkan
pegawai KA yang harus bertugas di
sekitar stasiun yang sangat terpencil itu,
lalu meneruskan perjalanan lagi.
Masinis sudah diberi tahu akan adanya
persilangan dengan KA Parcel di
Plabuan oleh PPKA Stasiun Kuripan,
ketika singgah pukul 06.07. Jadi
menurut prosedur yang sudah
dijalankan sejak Kuripan, Tawangjaya
memang seharusnya berhenti di
Plabuan.
PPKA Plabuan bukannya diam
saja ketika melihat Tawangjaya
menerobos sinyal. Ia melakukan kontak
radio, tetapi ternyata radio lokomotif
Tawangjaya tidak menyahut, mungkin
rusak atau dimatikan.
***
OPERASIONAL KA, di mana pun, harus
melalui rentetan prosedur keselamatan
standar yang tumpang-tindih, saling
mem-back up, sehingga kalau satu gagal,
prosedur berikut masih bisa
difungsikan. Saat ini disiplin mematuhi
prosedur di PT KAI sudah menurun
drastis, banyak prosedur yang dipotong
dengan alasan terlalu bertele-tele, tidak
praktis dan tidak efisien.
Tingkat toleransi terhadap
pelanggaran tata prosedur terjadi di
semua level di perusahaan itu, tidak
cuma di kalangan staf kantoran, tetapi
lebih menonjol di lapangan. Karenanya
tidak heran jika kemudian
penyederhanaan ini malah berakibat
kecelakaan.
Seorang PPKA harus
menggunakan eblek hijau untuk
memberi tanda KA boleh meneruskan
perjalanannya, tetapi tidak sedikit PPKA
yang hanya melambaikan topi
merahnya untuk memberi isyarat aman.
Atau sekip, tanda berwarna merah yang
dipasang di kereta paling belakang, kini
tidak berbentuk oval lagi, tetapi sudah
beragam, tergantung siapa yang bikin,
padahal itu diatur jelas dalam reglement
KA.
Atau ada petugas pintu
perlintasan KA dengan jalan raya yang
dilayani oleh seorang anak kecil,
![Page 3: Kompas](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072009/55cf92af550346f57b98b2d8/html5/thumbnails/3.jpg)
sementara petugas aslinya entah ke
mana. Ketika seorang pimpinan PT KAI
dilapori hal itu, enteng saja ia
menjawab, "Mungkin si petugas sedang
ke belakang, dan nyatanya juga ndak
apa-apa, tuh".
Kasus di Cangkring, atau
Serpong, atau Plabuan, mencerminkan
buruknya pengelolaan sumber daya
manusia PT KAI oleh manajemennya.
Prosedur keselamatan oleh pimpinan
yang selalu keliling dan bertemu
karyawan, diucapkan dalam bahasa
"tinggi", bahasa yang kurang dipahami
karyawan kelas bawah seperti masinis
atau juru api. Apalagi kata kunci
"keselamatan" tidak disertai dengan
petunjuk pelaksanaan berupa
penekanan ketaatan pada prosedur.
Masinis memang selalu jadi
kambing hitam paling empuk. Sudah
kena CO (commissie van onderzoek -
pemeriksaan internal), juga bisa kena
pidana kalau menyangkut nyawa
manusia. Dan secara kasat mata, mereka
memang salah, menjalankan KA tanpa
taat prosedur.
Misalnya, kecelakaan di Ciganea,
Cangkring, atau Kosambi dinihari 18
April 2000, masinisnya mengaku
tertidur karena habis minum obat
antiflu. Beberapa kasus memang
memberi alasan demikian, apalagi
peristiwanya sering terjadi pada
dinihari atau pagi hari, saat orang
normal tidak bisa menahan kantuk.
Dalam peristiwa Plabuan,
masinis Abdulkamid naik di Cirebon
menggantikan masinis KA Tawangjaya
dari Jakarta, sekitar pukul 01.00. Tetapi
catatan di Griyakarya, penginapan untuk
masinis di Cirebon, tak ada nama
Abdulkamid, sehingga ia diperkirakan
baru saja turun dari KA yang datang dari
Semarang, langsung memegang
akselerator di KA Tawangjaya ke
Semarang.
Menurut perkiraan pejabat PT
KAI di Cirebon, Abdulkamid ke Cirebon
dalam status LD (luar dinas),
menumpang kereta api kelas ekonomi
dari Semarang. LD ini tidak
diperhitungkan sebagai jam dinas,
meskipun nyatanya juga menurunkan
stamina, karena perjalanan antara dua
kota itu dengan KA kelas ekonomi rata-
rata enam jam. Bisa diperkirakan,
Abdulkamid mulai kerja dengan kondisi
tidak segar karena kecapaian setelah
menempuh perjalanan dari Semarang.
Perkembangan selanjutnya, bisa
saja Abdulkamid beranggapan bahwa
karena BLB di Plabuan, ia tidak perlu
mendapat semboyan aman dari PPKA
Plabuan, sementara lampu merah pada
sinyal bisa jadi rusak seperti biasanya.
Apalagi di Kuripan ia hanya diberi tahu
lisan, tidak mendapat surat PTP
![Page 4: Kompas](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072009/55cf92af550346f57b98b2d8/html5/thumbnails/4.jpg)
(pemberitahuan pemindahan tempat
persilangan) yang biasanya diberikan
petugas stasiun kepada masinis jika
terjadi perubahan tempat persilangan.
Perpendekan atau penyederhanaan
prosedur yang dilakukan baik oleh
masinis atau petugas depo lokomotif,
sangat potensial untuk menyebabkan
kecelakaan fatal. Di dalam lokomotif ada
perangkat keamanan yang namanya
deadman pedal. Pedal ini harus diinjak
dan dilepas tiap beberapa menit, karena
kalau terlambat melepas atau
menginjak, alarm akan berbunyi dan
kalau dibiarkan saja, rem akan otomatis
bekerja, kereta berhenti tiba-tiba.
Pedal ini dibuat sebenarnya
sebagai no go item dalam dunia
penerbangan, tak boleh diberangkatkan
kalau item ini tidak ada atau tidak
bekerja baik. dengan dead man pedal,
rem KA diprogram bekerja begitu
sistem memperkirakan masinis tertidur
akibat tidak mampu lagi "memainkan"
pedal.
Banyak lokomotif dioperasikan
dengan pedal tidak bekerja lagi, entah
karena rusak atau sengaja dirusak,
sebab dirasa merepotkan awak
lokomotif. Akibatnya, kalau masinis
tertidur, sistem pengaman yang rusak
ini tidak bisa lagi menghentikan kereta
api. Beberapa kasus tabrakan
mengindikasikan masinis tertidur dan
KA jalan sendiri, sementara penumpang
tidak sadar akan bencana di depan.
Masinis seperti Abdulkamid yang
kena dinas kelas ekonomi tidak jarang
frustrasi, sebab kereta yang ditariknya
lebih banyak singgah di stasiun-stasiun
sepanjang perjalanan akibat harus
memberi laluan kepada kereta api yang
kelasnya lebih tinggi.
Sepanjang perjalanan Cirebon-
Plabuan saja, tak ada stasiun atau halte
yang tidak disinggahi dan masuk ke rel
belok, karena ada KA lain yang harus
diberi jalan baik dari arah depan
maupun yang menyusul. Untuk jarak
antara Cirebon-Semarang, KA kelas
Argo menempuhnya hanya dalam waktu
kurang dari tiga jam, sementara
Tawangjaya ketika itu saja sudah
berjalan sekitar lima jam, masih lebih
satu jam lagi untuk sampai ke Stasiun
Poncol di Semarang.
Jam kerja masinis seharusnya
dibedakan dengan karyawan staf yang
bisa bekerja terus selama delapan jam
dikurangi jam istirahat. Melihat
tanggung jawabnya yang besar, di
beberapa negara maju masinis tidak
boleh bekerja terus-menerus selama
lebih dari empat jam. Pertimbangannya,
daya tahan dan reaksi refleks, serta daya
nalar mereka yang bekerja penuh
konsentrasi akan menurun drastis
![Page 5: Kompas](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022072009/55cf92af550346f57b98b2d8/html5/thumbnails/5.jpg)
selewat empat jam tadi, sehingga harus
istirahat.
Masinis memang selalu
disalahkan, tetapi perhatian untuk
mereka juga sangat minim, meski
tanggung jawabnya besar. Seperti
Abdulkamid tadi, sesuai golongannya, ia
tidak berhak naik kereta eksekutif saat
LD atau menuju ke lokasi dinas. Paling
tinggi ia bisa naik kelas bisnis dengan
KAD (kartu angkutan dinas).
Bahkan masinis KA Argo Bromo
Anggrek yang mewah dan selalu stres
sewaktu menarik KA itu, kalau kembali
ke tempatnya (base) tidak boleh naik
kereta yang tadi ia tarik. Ia harus
menunggu kereta berikut yang kelasnya
jauh lebih rendah, tidak Argo Bromo,
tidak Sembrani atau Bima, paling
Jayabaya.
Gaji yang relatif kecil, sekitar Rp
500.000-Rp 700.000 membuat masinis
berpenampilan dekil. Bukan cuma itu,
umumnya mereka tinggal jauh dari
stasiun yang terletak di luar kota
sehingga perlu waktu dan biaya untuk
menuju ke lokasi pekerjaan . Dan tidak
sedikit yang punya kerja sampingan,
misalnya, jadi tukang ojek atau jualan di
teras rumahnya, untuk menutupi biaya
hidupnya.
Akan tetapi, ngobyek di luar jam
dinas masih bisa diterima aturan, meski
dengan syarat tidak mempengaruhi
kesiapan fisiknya dalam bertugas, tidak
mengawali tugas dengan badan sudah
capai. Banyak awak KA yang lebih suka
ngobyek di tempat tugasnya, misalnya,
masinis membiarkan orang naik
lokomotif dengan membayar sejumlah
kecil uang.
Kesejahteraan masinis, atau
awak kereta api lain yang justru jadi
ujung tombak perusahaan memang
memprihatinkan. Tingkat hidup mereka
sangat jauh berbeda dengan
pimpinannya, bahkan dengan kepala-
kepala seksi di daerah operasi, meski
secara slip gaji, selisihnya tidak terlalu
besar amat.
Kalau sudah demikian perlakuan
pimpinan PT KAI kepada masinisnya,
mestinya masyarakat juga bisa
mempertanyakan, seperti canda versi
Gus Dur (Abdurrahman Wahid-Red).
"Bayarnya murah kok mau selamat...."
(Moch S Hendrowijono)