komodifikasi ritual duata pada etnik bajo di kabupaten wakatobi
TRANSCRIPT
TESIS
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO
DI KABUPATEN WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
IRSYAN BASRI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO
DI KABUPATEN WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
IRSYAN BASRI
NIM 1290261015
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO
DI KABUPATEN WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
IRSYAN BASRI
NIM 1290261015
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
LEMBAR PENGESAHAN
TESIS INI TELAH DISETUJUI
TANGGAL MEI 2014
Pembimbing I
Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.
NIP 194409231976021001
Pembimbing II
Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.
NIP 194305211983032001
Mengetahui,
Ketua Program Magister (S2)
Kajian Budaya
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Direktur
Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr. I Gst. Ketut Gde Arsana, M.Si
NIP. 195208151981031004
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)
NIP. 195902151985102001
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
NAMA : IRSYAN BASRI
NIM : 1290261015
PROGRAM STUDI : KAJIAN BUDAYA
JUDUL TESIS/DISERTASI* : Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik
Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat
Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan
Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 12 Juni 2014
Yang membuat pernyataan
IRSYAN BASRI
Ket : *) Coret yang tidak perlu
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur penulis panjatkan ke
hadapan Tuhan Yang Maha kuasa karena berkat rahmat dan kasih-Nya, penulis
dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Komodifikasi Ritual Duata Pada
Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” selesai tepat
pada waktunya.
Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang
ini berkat bantuan dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari
semua pihak. Oleh karena itu, sebagai wujud nyata ucapan terima kasih penulis
kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama yang penulis terima
dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :
1) Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan
semangat kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis
dalam berbagai kesulitan, khususnya dalam mendeskripsikan gagasan-
gagasan yang rumit dan abstrak dengan cara yang lebih sederhana dan
konkret;
2) Prof. Dr. Emiliana Mariyah selaku pembimbing II yang telah meluangkan
waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan,
motivasi yang tak henti-hentinya khususnya di bidang Tradisi Lisan;
3) Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KE selaku Rektor Universitas
Udayana ; Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana; Bapak Dr. I Gusti Ketut Gde
Arsana, M.Si., selaku Ketua Program Magister Kajian Budaya Fakultas
Sastra Universitas Udayana, atas segala tuntunan dan petunjuknya dalam
pengerjaan laporan penelitian;
4) Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan
kritis dan objektif terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. I Wayan Ardika,
M.A, Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini dan Dr. I Nyoman Dhana, M.A;
5) Seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang
telah membekali penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi
sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan baik.
6) Seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2
Kajian Budaya : Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu
Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak Candra, Bapak Hendra yang dengan
semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani berbagai urusan
administrasi akademik dan kemahasiswaan.
7) Para informan dan pegawai kantor desa Mola Selatan dan masyarakat Bajo
Mola Selatan yang telah memberikan data bagi penulis secara langsung
maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh semangat
kekeluargaan dan persaudaraan.
8) Teman-teman S2 Kajian Budaya angkatan 2012: Paulus Jeramun, Kadek
Dedy Prawirajaya R, Made Dewi Antari, Ni Putu Ayu Rastiti, Rico Aprisa,
Kemala Taufiq, Ni Ketut Ayu Widiantari, I Ketut Sutarwiyasa, I Putu Puspa
Artayas, Pammuda, Kadek Agus Ardiaka dan Immelfi Mudiarti Mursal
serta teman-teman di asrama Banyusari Denpasar: Sahrun, La Aso, Rahmat
Suraya, La Ode Yusuf, Muhammad Awaluddin, Syarifudin, Hardin,
Awaludin, dan Ali azhar yang telah memberikan dukungan, semangat,
nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini.
9) Ayahanda H. Muh. Salihi, A.Ma.Pd, Ibunda Hj.Wa Ode Abda, serta
saudara-saudariku Asrif, S.Pd.M.Hum, Suhardiman SH, Bripda Cahyadi,
Iswahyuddin, S.Pd, Rini Astuti dan yang terspesial dan tercinta keluarga
besar almarhum La Ode Rawa dan almarhum La Madira yang tak henti-
hentinya selalu memberikan perhatian, doa, dan cinta kasih mereka telah
memberikan inspirasi dalam menyelesaikan tesisi ini
10) Keluarga Besar di perkampungan Bajo Mola Selatan Bapak Daud dan
Bapak Dasseng selaku sandro dalam ritual duata, trimakasih nasehat,
petuah dan kesediaannya untuk mendampingi penulis selama di lokasi
penelitian.
Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Pengasih
membalas budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.
Denpasar, Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
Tesis ini membahas komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian
budaya dan tradisi lisan, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang
empirik yang berkaitan dengan permasalahan komodifikasi. Adanya arus budaya
global pada etnik Bajo berimplikasi terhadap praktik-praktik budaya kapitalisme.
Ritual duata yang merupakan sebuah ritual dalam upaya permohonan
kesembuhan dari penyakit yang secara medis tidak bisa disembuhkan lagi.
Namun dalam perkembangannya ritual duata mengalami pergeseran dari sakral
ke arah profan yang melahirkan praktik komodifikasi.
Masalah yang diteliti dirumuskan dalam empat pertanyaan berikut ini.
(1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (2) faktor apakah yang menyebabkan
komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara? (3) bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi ritual
duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (4)
bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan kajian
budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, multidimensional. Jenis data yang
digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif sedangkan sumber data yaitu
sumber data primer dan sumber data sekunder. Data lapangan diperoleh dari
informan yang dipilih secara purposif. Peneliti bertindak sebagai instrumen
utama, dibantu pedoman wawancara, kamera-foto, dan alat tulis. Data lapangan
dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi
dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan teori (1) teori komodifikasi, (2)
teori semiotika dan (3) teori wacana pengetahuan atau kekuasaan dengan teknik
analisis deskriptif kualitatif, dan interpretatif. Hasilnya disajikan secara formal
dan informal.
Komodifikasi ritual duata dalam penelitian ini bukan hanya menjadikan
ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi barang komoditi
tetapi komodifikasi berkaitan pula dengan proses produksi, distribusi dan
konsumsi. Faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sifat masyarakat yang
terbuka, dan kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi dan pariwisata.
Dampak dan makna komodifikasi ritual duata yaitu berdampak terhadap
kehidupan sosial budaya masyarakat yang cenderung merugikan setelah ritual
duata dikomodifikasi seperti adanya komersialisasi ritual duata dan kaburnya
identitas budaya. Adapun makna komodifikasi ritual duata yaitu sebagai bagian
dari pelestarian budaya, identitas budaya dan kreativitas. Disamping itu strategi
pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara dilakukan dalam tiga bentuk yaitu (1) pemberdayaan (2)
dokumentasi dan (3) pengembangan.
Kata kunci: komodifikasi, ritual duata, dan etnik Bajo.
ABSTRACT
This thesis discussed about the duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi
regency, southeast Sulawesi. In the perspective of cultural study and oral
tradition this thesis raised the facts in field which is empirical that related
problems of commodification. The existance of globalization at Bajo ethnic has
implications for the practices of Capitalism. Duata ritual is an oral tradition that
is full of values and meanings in an effort to suplicate the cure of diseases that
medically cannot be cured anymore. But in its development duata ritual changed
from sacred to profane which raised commodification practice.
The research problems were formulated as follows: (1) how is the
commodification process of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency
Southeast Sulawesi province? (2) What are the factors that led to the
commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast
Sulawesi province? (3) How are the impacts and meanings of the
commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast
Sulawesi Province? (4) How the inheritance strategies of the duata ritual at Bajo
ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province.
This thesis used the qualitative method with the approach of cultural
study that is critical, interdisciplinary, and multidimensional. The data which is
used are qualitative and quantitative data and the data source of this study are
primary and secondary data.The field data is obtained from informants who were
selected purposively. The researcher acts as an main instrument, assisted with
interview guide, camera, and stationery. The field data is collected by
observation method, interviews, and study of documentation. The data is
analysed by using (1) the commodification theory (2) the semiotic theory, and
(3) the theory of discourse power or knowledge with the technique of descriptive
qualitative analysis, and interpretative. The results are presented in formal and
informal ways.
The commodification of duata ritual in this study not only makes the
ritual before not comodity becoming comodity but the commodification is also
related to the proccess of production, distribution, and consumption. The factors
that caused the commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatoby
regency southeast Sulawesi are the characters of the open society, the creativity
of society, mass media, economic, and tourism.
The impacts and meanings of the commodification of duata ritual
impacts on the social and cultural life that tend to harm after duata ritual is
commodificated such as commercialization of duata ritual and the blur of
cultural identity. The meanings of its commodification of duata ritual are the
part of culture preservation, the cultural identity and creativity. In addition, it is
also associated with tourism strategies the duata ritual at Bajo ethnic in
Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province is divided into three forms of
inheritance strategies: (1) preservation, (2) documentation, (3) development.
Keywords: commodification, duata ritual and Bajo ethnic
RINGKASAN
Penelitian ini membahas mengenai komodifikasi ritual duata di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian
budaya, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empirik berkaitan
dengan praktik komodifikasi. Perkembangan budaya global melahirkan praktik-
praktik budaya kapitalisme. Ritual duata mengalami komodifikasi sebagai
adaptif budaya global yang melahirkan makna baru.
Ritual duata pada awalnya merupakan ritual yang penuh kesakralan
tinggi yang dilakukan hanya pada prosesi pengobatan. Karena adanya pengaruh
budaya global menyebabkan ritual duata tidak hanya berfungsi sakral tetapi juga
berkaitan erat dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menjadi
bertendensi ekonomi. Akibatnya, terjadi pergeseran pemaknaan terhadap nilai
esensi ritual duata serta perubahan prilaku terhadap praktik-praktik budaya
masyarakat pendukung produk budaya tersebut. Proses modernisasi melalui
pembangunan yang kapitalistik menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi yaitu
proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini
menjadi komoditi untuk diperjual-belikan serta menyangkut pula pada proses
produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata.
Tarik menarik kepentingan dalam proses komodifikasi ritual duata
terjadi antara para pelaku produksi, distribusi dan konsumen. Proses
komodifikasi ritual duata dimainkan oleh masyarakat (dukun) yang bekerja
sama dengan seniman Bajo bersama pemerintah dalam mendistribusikannya
sehingga menarik untuk diteliti dalam kajian budaya khususnya tradisi lisan.
Memahami begitu kompleksnya komodifikasi ritual duata dalam konteks
kebudayaan global, maka penelitian ini terfokus pada empat masalah pokok,
yaitu (1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata, (2) faktor penyebab ritual
duata (3) bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata dan (4)
strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami
komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara dengan perspektif kajian budaya, serta strategi pewarisan
ritual duata dalam upaya revitalisasi tradisi lisan yang semakin hari semakin
punah. Selain itu, secara khusus penelitian ini bertujuan menemukan bagaimana
proses komodifikasi ritual duata, memahami faktor-faktor penyebab
komodifikasi dan menginterpretasi apa dampak dan makna komodifikasi ritual
duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, digunakan
metode kualitatif, dengan format desain pengumpulan data, dan analisis data
bersifat deskriptif kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer
diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder
didapat melalui studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data dianalisis
lebih mendalam dengan menggunakan teori-teori yang relevan seperti teori
komodifikasi, teori semiotika, teori wacana kekuasaan atau pengetahuan, dan
hasil analisis disajikan secara informal melalui deskriptif analisis yang
dilengkapi dengan penyajian formal dalam bentuk gambar dan tabel (data
sekunder).
Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama
ritual duata etnik Bajo mengalami komodifikasi akibat dari transformasi budaya
ke ruang budaya global sehingga saling mempengaruhi sehingga menimbulkan
pergeseran nilai sakral ke arah profan. Komodifikasi ritual duata terjadi melalui
proses produksi, distribusi dan konsumsi, baik sebagai satu kesatuan maupun
komodifikasi pada bagian-bagian atau unsur-unsur dalam ritual duata. Produksi
dan distribusi ritual duata dilakukan atas inisiatif sendiri oleh masyarakat Bajo
dalam hal ini dukun dan sanggar seni Bajo dan secara kelembagaan dengan
pemerintah Kabupaten Wakatobi menyebabkan ritual duata mengalami
komodifikasi, yaitu suatu proses menjadi komoditas yang berorientasi nilai jual.
Produk ritual duata yang mengalami komodifikasi terlihat pada peralatan
sarana upacara/ritual seperti sesajian (buas bubu rinti), bendera (ula-ula), kain
berwarna (palisier), panggung, pakaian (busana), dan gerak tari (ngigal). Dalam
proses pendistribusian ritual duata dilakukan dalam dua hal yaitu melalui media
massa dan komunikasi lisan. Media massa merupakan sarana penyebarluasan
informasi atau berita kepada khalayak luas baik secara lokal maupun
internasional dalam hal ini ritual duata disampaikan melalui media televisi,
internet maupun koran (brosur) sebagai media yang cukup efektif sedangkan
komunikasi lisan merupakan salah salah satu cara untuk membantu kelancaran
jual beli produk/jasa ritual duata yang sangat sederhana dan masih sering
digunakan baik secara disengaja maupun tidak. Komunikasi lisan masih cukup
efektif sebagai cara penyampaian atau menginformasikan ritual duata yang
diproduksi sehingga diketahui oleh masyarakat secara umum. Pada proses
konsumsi ritual duata dimaksudkan yaitu suatu tindakan menggunakan atau
menghabiskan suatu barang/jasa (ritual duata) untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan secara langsung, selain itu juga mengandung makna tindakan
penggunaan simbol untuk menandai posisi sosial tertentu.
Berkenaan dengan konsumsi ritual duata dilihat dalam dua bentuk yaitu
konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan konsumsi ritual duata untuk
pariwisata (hiburan). Ritual duata untuk pengobatan yaitu tindakan memakai
produk/jasa ritual duata sesuai dengan fungsinya sebagai upaya penyembuhan
dari penyakit yang segala sesuatunya mulai dari sarana sesajian sampai pada
prosesi pelarungan sesajian dilakukan oleh dukun (sandro). Pengetahuan
mengenai nilai atau manfaat ritual duata oleh sandro mampu menguasai
konsumen dalam hal ini pasien hanya bisa menerima konsekwensi dari apa yang
dilakukan oleh dukun sehingga terlihat ada interaksi yang melahirkan praktik
komodifikasi dari penggunaan sarana upacara/ritual dan pemberian upah.
Sedangkan konsumsi ritual duata untuk pariwisata yaitu dimaksudkan bahwa
ritual duata sengaja di produksi sebagai pertunjukan hiburan. Konsumsi ritual
duata untuk pariwisata dilihat bagaimana ritual duata dikonsumsi oleh
konsumennya dalam sebuah hiburan (wisatawan asing maupun nusantara) yang
secara umum bertujuan untuk kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan
kesenangan. Jika dilihat dari segi waktu/tempat pelaksanaan serta bentuk
sesajian, ritual duata berorientasi pada hukum pasar yang mengikuti selera
konsumen.
Kedua, hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor yang menyebabkan
komodifikasi ritual duata muncul dari konstruksi budaya lokal sendiri seperti
adanya sikap masyarakat yang terbuka dengan hal-hal yang baru melalui proses
akulturasi budaya/kontak budaya yang menginginkan sebuah perubahan kearah
kemajuan dalam peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan dengan
memanfaatkan produk budaya (ritual duata) sebagai modal untuk dijadikan
sebagai barang komoditi yang bernilai jual, sedangkan kreativitas masyarakat
etnik Bajo yang berusaha mendesain/mendaur ulang potensi budaya (ritual
duata) menjadi sebuah kesenian yang bernilai jual. Kreativitas dalam hal ini
mengubah, menambah yang sudah ada sebelumnya ataupun menciptakan sesuatu
yang belum ada. Ide atau pemikiran baru terlihat pada kreativitas seniman atau
dukun dalam menata gerakan tari dalam ritual duata dengan mengkombinasikan
dengan tari-tarian lainnya, penggunaan ragam hias seperti palisier, sesajian
(buas bubu rinti) dengan tampilan yang lebih semarak dari aslinya serta terlihat
pada busana penari yang selalu mengikiti trend fashion. Selanjutnya didasarkan
pada perkembangan media massa, ekonomi dan pariwisata. Melalui media
massa, banyak opini atau pemikiran baru untuk berimajinasi. Media massa
menjadikan ritual duata menjadi budaya populer sehingga diketahui bahkan
dikonsumsi oleh masyarakat luas dengan berbagai kepentingan baik dalam
pengobatan maupun untuk hiburan. Terkait dengan faktor ekonomi, masyarakat
etnik Bajo mermanfaatkan produk budaya/ritual duata untuk meraih keuntungan
demi meningkatkan kesejahteraannya yang dapat dilihat dari berbagai
produk/jasa ritual yang sengaja didaur ulang dalam bentuk pertunjukkan seni,
sedangkan dalam kaitannya dengan pariwisata, maka dengan adanya praktik
ritual duata kiranya mampu memberikan suguhan dalam bentuk pertunjukkan
hiburan sehingga terjalin kerja sama yang menguntungkan antara wisatawan dan
pelaku seni (dukun) yang mengakibatkan orientasi pemikiran masyarakat Bajo
terpusat pada kegiatan ekonomi kepariwisataan.
Ketiga, komodifikasi ritual duata memiliki dampak dan pemaknaan pada
kehidupan sosial dan budaya etnik Bajo. Dampak komodifikasi ritual duata
terhadap kehidupan sosial budaya cenderung negatif, yaitu terjadinya
komersialisasi ritual duata karena sengaja dijadikan sebagai produk budaya
untuk memenuhi selera pasar dimana ada penyesuaian unsur-unsur tradisi ke
dalam konteks budaya moderen sehingga banyak nilai-nilai tradisi yang
teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai profan yang berorientasi nilai jual.
Dampak selanjutnya yaitu mengakibatkan kaburnya identitas budaya dalam hal
ini tergambar ketika ritual duata dikomersilkan dalam produk
kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang
mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,
sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan
kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global. Ritual duata
yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo dimanfaatkan
sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman
manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh
keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang
lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual
duata.
Selanjutnya, mengenai makna komodifikasi ritual duata diartikan
sebagai arti, maksud, yang ditunjukkan oleh masyarakat etnik Bajo dalam
melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan
nilai-nilai yang sesuai. Terkait dengan praktik komodifikasi ritual duata
masyarakat etnik Bajo memaknainya sebagai bentuk pelestarian budaya,
identitas budaya dan kreativitas. Makna pelestarian budaya terkait dengan
kesadaran budaya yang senantiasa ditumbuh kembangkan agar berkembang
kepekaan untuk menghargai budaya. Makna identitas budaya sebagai ciri khas
sebuah kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan yang lain, terkait dengan
praktik komodifikasi ritual duata maka di dalam pertunjukkan terdapat berbagai
macam penggunaan ornamen ritual seperti bendera (ula-ula), kain berwarna
(palisier), busana, sesajian (buah bubu rinti) dan gerakan tari yang menunjukkan
identitas kebudayaan Bajo dalam praktik ritual sehingga bisa membedakan etnik
Bajo dengan etnik lainnya di Kepulauan Wakatobi. Selanjutnya makna
kreativitas yaitu dengan adanya praktik komodifikasi ritual duata maka akan
melahirkan pemikiran kreatif yang bisa dikembangkan melalui proses produksi
ritual duata dimana di dalam prosesnya memerlukan pemikiran dan jiwa
kreativitas tinggi sehingga bernilai jual dan mengandung daya tarik seni tinggi.
Keempat, mengenai strategi pewarisan ritual duata untuk menghindari
kepunahan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara dalam penelitian ini dijelaskan beberapa bentuk yakni (1)
pemberdayaan yaitu upaya memanfaatkan tradisi ritual duata sebagai modal
budaya serta melibatkan masyarakat pendukung tradisi untuk bisa berpartisipasi
dalam industri budaya yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat (2)
pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan
mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup
berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi berupa inventarisasi
gambar (vidio), (3) pengembangan yaitu upaya pewarisan ritual duata yang
ditata dalam berbagai bentuk kesenian (pertunjukkan) dengan tidak
menghilangkan identitas dan nilai dari tradisi etnik Bajo.
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
PRASARAT GELAR..................................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii
HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................ iv
UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................... v
ABSTRAK...................................................................................................... viii
ABSTRACT.................................................................................................... x
RINGKASAN................................................................................................. xi
DAFTAR ISI................................................................................................... xvii
DAFTAR TABEL........................................................................................... xxi
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxii
GLOSARIUM
.........................................................................................................
xxiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………….......………………………….... 1
1.2 Rumusan Masalah…………………….......……………………...… 10
1.3 Tujuan Penelitan …………………...……….......……………...….. 11
1.3.1 Tujuan Umum………………………………....…….............. 11
1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………........……… 12
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………........…….... 12
1.4.1 Manfaat Teoretis…………………………………...........….. 12
1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………....…..….… 12
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka……………………………………………….…….. 14
2.2 Konsep………………………………………………………........... 19
2.2.1 Komodifikasi .......…............................................................ 19
2.2.2 Ritual Duata.……….......................………………….......... 21
2.2.3 Etnik...................................................................................... 22
2.2.4 Komodifikasi Ritual Duata................................................... 23
2.3 Landasan Teori.................................................................................. 24
2.3.1 Teori Komodifikasi.…....…………………………….............. 24
2.3.2 Teori Semiotik.........................………....... ……..…...…........
2.3.3 Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan............................
25
30
2.4 Model Penelitian………………………………………........……… 33
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………......…….. 36
3.2 Lokasi Penelitian……………………………………...........……..... 37
3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………....……... 37
3.4 Teknik Penentuan informan .........………………………….........… 38
3.5 Instrumen Penelitian…………………………………….................. 39
3.6 Teknik Pengumpulan Data……....................…………………........ 40
3.6.1 Teknik Observasi.........................………..………………...... 41
3.6.2 Teknik Wawancara……...........……………………………... 42
3.6.3 Studi Dokumen....………………………………….........…... 43
3.7 Teknik Analisis Data………….........…………................................ 43
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…….....................….......…... 44
BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan Geografis ........................................................................... 46
4.1.1 Letak, Luas, Batas Desa Mola Selatan..................................... 47
4.1.2 Iklim......................................................................................... 47
4.2 Kondisi Demografi........................................................................... 48
4.2.1 Jumlah Penduduk..................................................................... 48
4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan................... 50
4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian..................... 52
4.3 Agama dan Kepercayaan................................................................ 60
4.4 Sistem Kekerabatan........................................................................ 63
4.5 Bahasa dan Kesenian....................................................................... 65
4.6 Sejarah Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi................................... 70
4.7 Ritual Duata.................................................................................... 73
BAB V PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK
BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
5.1 Produksi Ritual Duata....................................................................... 91
5.1.1 Sesajian (Buas Bubu Rinti)...................................................... 93
5.1.2 Bendera (Ula-ula).................................................................... 101
5.1.3 Kain Berwarna (palisier)......................................................... 106
5.1.4 Panggung (Pentas)................................................................... 113
5.1.5 Pakaian (Busana)..................................................................... 115
5.1.6 Gerak Tari (ngigal).................................................................. 120
5.2 Distribusi Ritual Duata...................................................................... 125
5.2.1 Media Massa............................................................................ 126
5.2.2 Komunikasi Lisan.................................................................... 133
5.3 Konsumsi Ritual Duata...................................................................... 136
5.3.1 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan............................. 137
5.3.2 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata............................... 138
BAB VI FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA
PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
6.1 Sikap Terbuka............................................................................. 143
6.2 Kreativitas Masyarakat............................................................... 154
6.3 Media Massa............................................................................... 151
6.4 Ekonomi...................................................................................... 157
6.5 Pariwisata.................................................................................... 161
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA
PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI
PROVINSI SULAWESI TENGGARA
7.1 Dampak Komodifikasi Ritual Duata............................................. 167
7.1.1 Komersialisasi Ritual Duata................................................ 168
7.1.2 Kaburnya Identitas Budaya.................................................. 170
7.2 Makna Komodifikasi Ritual Duata............................................... 174
7.2.1 Pelestarian Budaya................................................................ 175
7.2.2 Identitas Budaya.................................................................... 180
7.2.3 Kreativitas Masyarakat......................................................... 184
7.2.4 Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat............................... 189
BAB VIII STRATEGI RITUAL DUATA
8.1 Pemberdayaan................................................................................. 196
8.2 Pendokumentasian.......................................................................... 200
8.3 Pengembangan................................................................................ 202
Refleksi........................................................................................................... 204
BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Simpulan.......................................................................................... 208
9.2 Saran................................................................................................ 212
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 215
LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................. 222
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut
Umur dan Jenis Kelamin.................................................
48
Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut
Mata Pencaharian............................................................
51
Tabel 5.1 Daftar Harga Peralatan Ritual Duata.............................. 103
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 4.1 Warung sembako di Desa Mola Selatan................................ 55
Gambar 4.2 Aktivitas pertukangan di Desa Mola selatan......................... 57
Gambar 4.3 Memandikan pasien dengan iringan gendang....................... 77
Gambar 4.4 Proses pelarungan sesajian di laut......................................... 79
Gambar 4.5 Dukun menguji mental pasien............................................... 86
Gambar 4.6 Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien........... 87
Gambar 4.7 Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien............. 89
Gambar 5.1 Materi pendukung ritual duata.............................................. 94
Gambar 5.2 Sesajian buas bubu rinti........................................................ 96
Gambar 5.3 Dukun menentukan isi materi sesajian.................................. 99
Gambar 5.4 Materi Ritual Duata (Pariwisata).......................................... 100
Gambar 5.5 Bendera Kebesaran suku Bajo (ula-ula)................................ 105
Gambar 5.6 Kain Berwarna (palisier)....................................................... 107
Gambar 5.7 Palisier dengan tampilan yang lebih meriah......................... 112
Gambar 5.8 Panggung Permanen.............................................................. 114
Gambar 5.9 Pakaian khas etnik Bajo......................................................... 116
Gambar 5.10 Pakaian yang sudah dimodifikasi.......................................... 117
Gambar 5.11 Pakaian dengan sentuhan warna pakaian adat Buton........... 118
Gambar 5.12 Gerakan tari (ngigal)............................................................. 121
Gambar 5.13 Gerakan tari ngigal yang mengalami perubahan................... 123
Gambar 5.14 Promosi ritual duata melalui internet.................................... 128
Gambar 5.15 Koran dan brosur dalam pendistribusian ritual duata........... 131
Gambar 7.1 Kelompok penari ritual duata................................................ 181
Gambar 7.2 Ula-ula sebagai penanda identitas etnik Bajo....................... 183
Gambar 7.3 Kreativitas dalam penyajian isi sesajian................................ 187
GLOSARIUM
arung palakka : raja Bone (manusia yang sering memakai
sarung)
asemmu : namamu
ba’go : kapal penangkap ikan yang menggunakan jala
bangkawa
battu
:
:
atap
tiba
baong sama : bahasa yang dipakai sama-sama orang Bajo
bido : perahu tradisonal yang terbuat dari kayu
boe : air
bonto
daleq
buas bubu rinti
:
:
:
gelar bangsawan Bajo
rezekiku (Bugis)
beras warna-warni
bubura : beras
dansihitang
dooda
:
:
keluarga besar
atap
dewata : Tuhan Yang Maha Esa
duata : Dewata (Tuhan Yang Maha Esa)
darumah : tinggal bersama satu atap
extended family : keluarga luas
gadha
gula nawa-nawamu
:
:
gendang terbuat dari kulit kambing/sapi
gula pikiranmu
ikka : ganggilan kepada saudara yang tua
iko-iko : nyanyian yang mengisahkan suku Bajo dalam
melawan musuh
indi
:
panggilan kepada saudara yang lebih muda
jalunya : alat perangkap ikan (jala)
kadandio : nyanyian pada saat berangkat berlayar atau
melaut
kae pakana : perahu penangkap ikan
kaka : sebutan bagi saudara kembar manusia yang ada
di laut
keke : sebutan bagi penguasa laut
kalongko : batok kelapa
kanjilo : nyanyian suku Bajo saat hendak turun melaut
kasungki : ritual untuk menyembuhkan penyakit tutura
kuneh : warna kuning
kutta : hewan laut berupa gurita yang masih dekat
dengan kehidupan masyarakat Bajo
lama : pola hidup orang Bajo dalam mencari nafkah
yang dilakukan secara nomaden dalam waktu
tertentu beserta anggota keluarganya.
lameh : janur kuning (kelapa)
lekko
lepa taha
:
:
daun sirih
perahu panjang
lolo : gelar bangsawan suku Bajo
lo’o : hitam
majala : menangkap ikan dengan jaring (jala)
manu : ayam
mappandesasi : ritual keselamatan bagi etnik Mandar di Kota
Kendari
mappaleppa
marriage preference
:
:
upacara pemberkatan perahu
perkawinan yang ideal
mayah : buah pinang muda yang masih menempel
ditandannya (kecil-kecil)
mbo : nenek atau penguasa laut
mbo duga : makhluk halus di laut yang bertugas di sebelah
barat
mbo lumu : makhluk halus di laut yang bertugas menjaga
batu
mbo janggo : makhluk halus di laut yang bertugas disebelah
timur
mbo tambirah : makhluk halus yang mengendalikan angin
kencang
mireh : merah
monimbanga di lao ; Dewa di laut
ngigal : gerakan kaki naik turun (tari Bajo)
noan :
penyakit yang bersumber dari roh jahat dari
darat
nucleus family
paddeanganna
:
:
keluarga batih
gelarnya
palemana : rumah di atas laut
panggroak kampoh : setan penggangu dari laut
panggroak sappa : setan penghuni batu di dasar laut
palilibu : pola menagkap ikan, dimana hasil tangkapannya
dapat di bawa pulang pada hari itu untuk
dikonsumsi atau dijual.
palisier : kain persegi panjang kombinasi beberapa warna
palito nyalo : tradisi lisan dalam kesenian drama tari di Kota
Padang
papu : Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Bajo halus)
piddi : Pennyakit
passengng riangnging : penggunaan mantra melalui media angin
passengng ri olokkolo : penggunaan mantra melalui media hewan
pomali : pantangan yang tidak boleh dilanggar
pongka : Pola menangkap ikan dalam waktu 1 minggu
sampai 10 hari dimana hasilnya mereka jual
setelah mereka kembali.
qun fa yaqun : jadi maka jadilah
randai : kesenian tari dari daerah Padang
rumah jage : rumah utama sebagai tempat tinggal setan
pengganggu
sagala : nyanyian yang dilantunkan saat saat pengobatan
sakai : pola mencari ikan berkelompok selama 1 sampai
6 bulan kemudian hasilnya mereka pasarkan
keluar daerah, setelah itu mereka bagi hasilnya.
sama : serupa
sumanga : jiwa
sandro : dukun kampung pemimpin upacara
to sama : orang Bajo yang memiliki banyak kesamaan
tuli : buaya (hewan yang diyakini memiliki hubungan
erat dengan orang Bajo)
tali sumanga : tali yang berasal dari langit ketujuh untuk
mengambil semangat hidup untuk pasien
tomuni : ari-ari
turura : penyakit akibat tidak melaksanakan kasungki
uija : nyanyian Bajo
BAB I
uwwa : panggilan kepada orang tua (ayah)
umma : panggilan kepada orang tua (ibu)
ula-ula : bendera kebesaran suku Bajo/ambar laut
wajalala : perintah untuk membuang sesuatu
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masyarakat dan budaya merupakan dua aspek yang tidak dapat
terpisahkan. Dalam arti bahwa setiap kelompok masyarakat entah itu masyarakat
yang bersifat tradisional maupun modern pasti memiliki suatu budaya yang tidak
dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya. Karena budaya itu melekat
pada individu-individu dalam suatu komunitas yang diwujudkan dalam bentuk
nilai-nilai, sikap, kepercayaan, norma, hukum dan sistem perilaku serta hasil-
hasil karya.
Kebudayaan sebagai identitas komunitas bukan hanya dipahami sebagai
pembeda dengan komunitas lain, melainkan sebagai suatu hal yang dapat
digunakan untuk mengenal kehidupan komunitas, cara-cara kumunitas
menyusun pengetahuan, menampilkan perasaan, dan cara mereka bertindak.
Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi, karena
karakteristik kebudayaan antar komunitas dapat membedakan kebudayaan lisan
dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam
mengkomunikasikan identitasnya.
Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari
tradisi. Tradisi bukanlah dilihat sebagai barang yang menunjukan unsur
kekunoan (sakral) yang harus disimpan yang merupakan warisan dari peradaban
masa lalu, justru sudut pandang seperti ini akan mengangkat citra eksistensi
tradisi khususnya tradisi lisan yang telah diungkapkan dalam berbagai macam
penelitian, dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat
mengaktualkannya dalam ksituasi masa kini.
Pada hakikatnya tradisi lisan dalam perkembangannya mengalami
transformasi yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena
sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami transformasi. Akibat
persinggungan sebuah tradisi dengan modernisasi akan menciptakan sebuah
kedinamisan sebuah tradisi (Sibarani, 2012: 3). Transformasi yang tidak dapat
dielakkan dimasa mendatang adalah transformasi tradisi lisan kearah industri
budaya. Sebuah tradisi lisan diangkat dengan kreativitas yang tinggi melalui
teknologi informasi modern tanpa mematikan tradisi itu, tetapi
menghidupkannya kembali dalam bentuk lain yang lebih disukai baik oleh
masyarakat pemiliknya maupun oleh masyarakat global.
Fenomena yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia adalah peleburan
budaya lokal yang dikendarai oleh kapitalisme yang berkaitan dengan ekonomi,
kekuatan budaya dominan, kekuatan ideologi-ideologi dunia yang tidak terlepas
dari pengaruh globalisasi. Terkait dengan fenomena globalisasi, sejak Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai daerah destinasi
pariwisata nasional, gejala praktik kapitalisme mulai nampak dengan munculnya
industri budaya yang mengacu kepada komodifikasi bentuk-bentuk budaya,
sebagai industri hiburan. Banyak tradisi kebudayaan dan kesenian yang
mengalami komersialisasi seni akibat tuntutan pasar yang berorientasi pada
ideologi kapitalisme dimana ikon, tanda, barang serta indeks dijadikan sebagai
modal prodak sebuah karya untuk dijadikan barang komoditi yang bernilai jual.
Dalam hal ini, sebuah industri budaya telah memproduksi berbagai
bentuk kebudayaan yang seolah-olah telah menjadi kebutuhan massa dan
menjadi faktor penentu dalam proses produksinya, sehingga sebuah budaya yang
sebelumnya dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan
kebenaran (truth), oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi
komoditas yang penuh dengan perhitungan laba (profit).
Etnik Bajo yang ada dikawasan sepanjang pesisir pantai di Kepulauan
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan komunitas masyarakat yang
memiliki tradisi yang kental dengan ritual pemujaan terhadap penguasa laut
(mbo) serta berkenaan dengan permohonan keselamatan dari berbagai bencana
(penyakit) dan kegiatan melaut lainnya. Pada awalnya etnik Bajo di desa Mola
Selatan kurang begitu terbuka dengan perubahan khususnya perkembangan
teknologi dan informasi hal ini terlihat pada struktur masyarakat, adat istiadat,
kebudayaan termasuk ritual-ritual yang pada dasarnya nampak berbeda dalam
pelaksanaannya dengan praktik tradisi diwilayah lain yang ada di kepulauan
Wakatobi.
Salah satu tradisi lisan yang khas yang terdapat di desa Mola Selatan
Kabupaten Wakatobi adalah adalah ritual duata. Ritual ini merupakan warisan
leluhur etnik Bajo sebagai ritual penyembuhan penyakit secara tradisional yang
dilakukan sewaktu-waktu. Ritual duata sebagai sarana permohonan kepada
penguasa alam memiliki prinsip-prinsip yang menjelaskan keyakinan tentang
hubungan manusia dengan makhluk penguasa alam, hubungan manusia dengan
alam sekitarnya serta makhluk-makhluk metafisik lainnya. Kesemuanya terlihat
pada sistem kepercayaan masyarakat lokal dalam memanifestasikan wujud
penghormatan mereka dalam bentuk upacara adat/ritual.
Berkaitan dengan ritual Van Ball, J, (1997:12) menyatakan bahwa
peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah selalu mengingatkan
manusia berkenan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka,
dengan adanya upacara-upacara suatu warga masyarakat bukan hanya selalu
diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang
bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan
sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari.
Sama halnya dengan pernyataan Giddens (2003: 48-50) dimana tradisi
merupakan adat atau kebiasaan (custom or habit), yang merupakan penanda
identitas baik secara pribadi maupun kolektif masyarakat pendukungnya.
Identitas adalah penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang
menghubungkan masa lalu dengan masa depan masyarakat pewarisnya dengan
realitas identitas sosial yang lebih luas, dalam hal ini disebut dengan perhatian
psikologis. Demikian pula dalam ritual duata berkaitan dengan pemujaan
terhadap penguasa alam dan roh-roh leluhur dalam upaya permohonan
keselamatan dan kesejahteraan yang tidak terlepas dari mitos bagi pendukung
kebudayaan untuk menjaga dan mempertahankan keharmonisan dalam
kehidupan etnik Bajo.
Keyakinan etnik Bajo bahwa ritual duata ini berkaitan dengan
pemujaan terhadap penguasa laut dan saudara kembaran (kaka) yang dipercayai
bahwa setiap kelahiran anak memiliki kembaran di laut (kaka) berupa gurita dan
buaya. Sehingga jika salah satu diantara mereka ada yang sedang sakit, itu
berarti sebagian semangat hidupnya (sumanga) telah diambil oleh saudara
kembarnya ke laut dan sebagian lagi diambil oleh Dewata (Tuhan Yang Maha
Esa) dan dibawa ke langit ketujuh.
Secara harfiah ritual duata merupakan sebuah ritual yang berhubungan
dengan tindakan penyelamatan dalam bentuk interaksi secara metafisik dengan
makhluk-makhluk gaib lainnya untuk memohon kesembuhan dan meminta
keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semangat hidup bagi seseorang
yang sedang sakit bisa dimiliki kembali. Jadi, secara filosofis masyarakat etnik
Bajo diajarkan untuk lebih menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesama,
lingkungan dan pencipta, dimana ekosistem dan biota laut berupa gurita (kutta)
dan buaya (tuli) merupakan sebuah mitos yang dibangun oleh masyarakatnya
sebagai perumpamaan hewan laut yang memiliki kekuatan besar untuk menjaga
dan melindungi ekosistem laut dari kerusakan yang diakibatkan ulah manusia.
Melalui nilai-nilai tradisi inilah manusia belajar mengadaptasikan
dirinya dengan keadaan lingkungan supaya tetap menjaga keharmonisan dalam
lingkup sosial dan hubungannya dengan Tuhan serta makhluk gaib lainnya.
Dalam beradaptasi dan mendayagunakan alam lingkungannya itu, maka manusia
berusaha melakukannya dengan cermat, penuh kehati-hatian dan terarah agar
dapat menunjang kebutuhan hidupnya.
Pengetahuan akan nilai-nilai dari mitos tersebut terkandung pula dalam
ritual duata yang telah dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku.
Pengetahuan tersebut secara terus menerus berkembang dan digunakan untuk
dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-
benda yang ada dalam lingkungannya.
Pudentia (1998: 170) mengatakan, bahwa tradisi lisan dapat
menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu
diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran,
perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi
senyatanya dari teks-teks lisan itu. Sejalan dengan itu Hoed (Pudentia
1998:195), menjelaskan tujuan analisis tradisi lisan adalah untuk
mengungkapkan yang terkandung dalam teks lisan itu, yaitu yang disebut
cognate system, yakni hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu
masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang.
Tradisi budaya atau tradisi lisan masa lalu tidak akan mungkin dapat
lagi dihadirkan pada masa kini persis seperti dahulu karena telah mengalami
transformasi sedemikian rupa bahkan mungkin telah mati karena tidak lagi hidup
pada komunitasnya, tetapi nilai dan norma tradisi budaya atau tradisi lisan dapat
juga dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter
mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Untuk
itulah kita seharusnya mampu mnyikapi secara cerdas bagaimana tradisi dalam
aspek kemayarakatan yang bersumber dari nenek moyang diwariskan kegenerasi
selanjutnya agar tidak mengalami kepunahan (Sibarani, 2012: 2).
Tradisi lisan memegang peranan penting dan strategis dalam kehidupan
masyarakat Indonesia, karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya
lokal yang memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat
dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat
pendukungnya. Hanya saja, seiring perkembangan zaman kian banyak tradisi
lisan mengalami perubahan akibat dari persinggungan dari budaya tradisional
dan budaya moderen sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru untuk
menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan akar budaya leluhur.
Akibat globalisasi menyebabkan fungsi ritual duata berubah dari sakral ke
profan dan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat
menjadi tendensi ekonomi, akibatnya ritual pun menjadi alat komoditas dan
dikonsepkan sebagai salah satu bentuk mata pencaharian. Ritual duata yang
merupakan bagian dari prosesi pengobatan adat etnik Bajo sengaja diproduksi
oleh masyarakat Bajo (sandro/seniman) dimana dalam pendistribusiannya
menggunakan media massa dan komunikasi lisan dengan harapan agar
wisatawan baik lokal maupun mancanegara tertarik dan bahkan
mengonsumsinya sehingga mendapatkan keuntungan secara ekonomi.
Proses komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya mengalami
penolakan terhadap perubahan dialektika sakral ritual duata kearah profan
menuju komersialisasi tradisi. Dalam hal ini masyarakat pendukung tradisi yang
menginginkan tradisi ritual duata jangan dikomersialkan harus tetap pada fungsi
utama dengan menjaga nilai dan makna originalitas ritual dari pengaruh budaya
luar namun dilain pihak sebagian masyarakat Bajo menginginkan komodifikasi
ritual duata dengan alih-alih sebagai bentuk penyelamatan tradisi dari
kepunahan sehingga tradisi budaya Bajo dikenal masyarakat luas serta bisa
berkiprah dalam industri pariwisata budaya yang bisa memperbaiki taraf
kehidupannya.
Pada era globalisasi saat ini ditandai dengan perkembangan teknologi
komunikasi yang menyebabkan berubahnya pola pikir msyarakat etnik Bajo
menjadi lebih terbuka dalam mengolah kebudayaannya. Produk ini sebelumnya
tidak dianggap sebagai barang/jasa dagangan dan hanya dimiliki oleh dukun
(sandro) dalam pengobatan. Namun kini menjadi produk komoditas yang
berorientasi ekonomi (pasar). Hal tersebut tentu ada faktor yang
menyebabkannya sehingga komersialisasi ritual duata mengalami transformasi
kearah profan. Hal tersebut menarik untuk dikaji dengan perspektif kajian
budaya.
Dalam penelitian ini aspek yang dikaji berkaitan dengan objek formal
dan objek material. Wujud hakiki dari objek penelitian tersebut berupa segala
aktivitas, perilaku, dan hasil karya berupa komodifikasi ritual duata yang terjadi
pada masyarakat Bajo. Hubungan antara objek penelitian dengan daya tangkap
manusia berkaitan dengan cara berpikir, memahami, dan mengindra ritual duata
yang pada akhirnya membuahkan pengetahuan yang mendalam tentang hal
tersebut. Objek formal dalam penelitian ini, yaitu mengkaji manusia dari aspek
hakikatnya sebagai makhluk yang memiliki tradisi dan budaya. Dari sudut
pandang kajian budaya dikaji adalah pemikiran-pemikiran masyarakat terkait
dengan komodifikasi ritual duata. Untuk itu, maka dalam penelitian digunakan
sudut pandang historis guna merunut peristiwa-peristiwa, sudut pandang
sosiologis untuk mengamati faktor-faktor penyebab masyarakat Bajo membuat
ritual duata. Selanjutnya dalam hubungan dengan objek formal penelitian ini,
maka yang diteliti adalah proses komodifikasi ritual duata hingga menjadi
barang/jasa dagangan. Mengapa hal ini terjadi, apa penyebab dan faktor apa
yang menyebabkan ritual duata menjadi produk yang berorientasi daya jual.
Sehingga dampak dan makna terhadap komodifikasi ritual duata dapat
diketahui. Objek formal dalam penelitian ini mengarah kepada proses
komodifikasi ritual duata, pemikiran tentang faktor penyebab serta pemikiran
tentang dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo sebagai
produk komoditas.
Terjadinya komodifikasi ritual duata sebagai akibat dari persemaian
budaya global bersumber dari berbagai faktor baik dari dalam (tradisi/budaya
etnik Bajo) dan berasal dari luar (budaya global) yang masuk ke dalam
kebudayaan lokal. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena sebuah kebudayaan akan
mengalami perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan konteks kekinian
sehingga sadar dan tidak sadar akan berubah bentuk dari budaya aslinya.
Penyesuaian-penyesuaian budaya tersebut akan melahirkan dampak dan
pemaknaan tersendiri bagi kelangsungan akan eksistensi budaya asli serta
masyarakat pendukungnya.
Dampak negatif dari perubahan ritual duata kelingkup profan jika
perubahan tersebut menuju perubahan yang mengancam tradisi kearah
kepunahan yang menyebabkan penurunan nilai sakralitas dan pendangkalan dari
esensi ritual duata. Selanjutnya dengan adanya profanisasi ritual duata tentunya
melahirkan pemaknaan sebagai usaha pelestarian dan pengembangan potensi
tradisi bagi masyarakat pendukung tradisi.
Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut akan menciptakan
sebuah paradigma baru atau makna baru akan esensi dari ritual duata dalam
kehidupan sekarang. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian khusus untuk bisa
melihat serta memberikan pendampingan agar tradisi leluhur masih bisa eksis
dan hidup berdampingan dengan budaya modernisasi sekarang sehingga harus
ada strategi-strategi pewarisan yang ditanamkan ke generasi penerus tradisi
pendukung budaya Bajo.
Berdasarkan dari observasi di lapangan dan menyimak kenyataan yang
dihadapi oleh masyarakat etnik Bajo khususnya ritual duata, maka peneliti
mempunyai harapan untuk mengetahui lebih dalam praktik ritual duata yang
mengalami pergeseran kearah komodifikasi sehingga perlu pengkajian secara
mendalam mengenai proses komodifikasi ritual duata, faktor penyebab serta
dampak dan makna komodifikasi ritual duata termasuk di dalamnya strategi
perwarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Sebagai kajian sosial-budaya yang kritis, kajian budaya (lubis, 2006:
136) bertujuan untuk menyingkap berbagai kepentingan (ideologi) dominasi,
hegemoni, kuasa, hak, kebebasan, keadilan, kepentingan yang ada di dalamnya.
Untuk itulah peneliti mengambil sebuah judul penelitian: “Komodifikasi Ritual
Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara”.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan
beberapa permasalahan yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini.
Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?
2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan komodifikasi ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?
3. Bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo
di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?
4. Bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?
1.2.1 Tujuan Penelitian
Ada dua tujuan yang mendasar dalam penelitian ini. Tujuan penelitian
ini terdiri dari dua macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
1.3.1 Tujuan Umum
Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
khasanah budaya daerah sebagai hak kekayaan intelektual bangsa Indonesia
dalam usaha untuk memperkokoh persatuan nasional yang tentunya ikut
memperkaya khasanah budaya nasional. Di samping itu pula, secara umum
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami serta mendekskripsikan
tentang proses komodifikasi ritual duata, faktor yang menyebabkan, dampak dan
makna komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik
Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dijadikan
cerminan dan pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya yang berkaitan
dengan nilai religi yang harus dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan
bermasyarakat.
1.3.2 Tujuan Khusus
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan tersebut. Maka
secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :
1. Untuk mendeskripsikan proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo
di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik
Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
3. Untuk menginterpretasi dampak dan makna komodifikasi ritual duata
terhadap kehidupan etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi
Tenggara.
4. Untuk mengidentifikasi strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
1.2.2 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
1.4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah
ilmu pengetahuan secara logis, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan
masyarakat etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Selain itu, hasil penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan cakrawala
keilmuan dari kajian budaya, khususnya dalam pengkajian tradisi lisan yang kini
mulai terlupakan oleh masyarakat.
1.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: (1)
pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi
Tenggara dalam menentukan dan menetapkan kebijakan yang tepat dalam
pelestarian budaya-budaya lokal yang dimiliki masyarakat etnik Bajo pada
khususnya dan masyarakat Wakatobi pada umumnya, (2) pihak-pihak yang
peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal yang berkaitan dengan ritual
yang dimiliki oleh masyarakat yang kian hari kian punah, (3) penelitian lain
yang yang mengkaji kebudayaan etnik Bajo yang diharapkan dapat memberikan
informasi, pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan arti penting menggali
dan memaknai ritual yang merupakan bagian dari masa lalu, (4) membawa
wawasan masyarakat, khususnya masyarakat etnik Bajo akan pentingnya
pelestarian budaya leluhur sebagai identitas dan jati diri etnis secara khusus, (5)
sebagai langkah inventarisasi budaya dan tradisi lisan yang kian hari keadaanya
semakin menurun masyarakat pendukungnya.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian tentang ritual dengan siklus hidup manusia baik berupa
penyembuhan penyakit, permohonan keselamatan dan pemujaan terhadap sang
pencipta, sudah banyak yang melakukan penelitian. Namun penelitian yang
berkaitan dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sejauh peneliti ketahui belum ada yang
meneliti. Dalam penyempurnaan tulisan ini, peneliti menelusuri penulisan-
penulisan terdahulu yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan rujukan dan
pembanding yang relevan dengan penelitian ini.
Kajian buku pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Saleh Buchari (2012) meneliti “Nilai
Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas
Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi”. Tulisan ini merupakan penelitian
tesis pada program studi pendidikan bahasa Indonesia sekolah pasca sarjana
Universitas Pendidikan Indonesia, yang lebih menekankan kepada nilai
pendidikan bermuatan kearifan lokal dalam upacara laut pada komunitas suku
Bajo, bahwasanya dalam komunitas suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi
peranan orang tua terhadap pendidikan anak sangat besar itu diaktualisasikan
dalam kegiatan upacara laut yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang
kuat dan dianggap benar oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai kearifan
lokal tersebut terdapat dalam beberapa doa, mantra (jajampi) dan nyanyian
rakyat suku Bajo yang diikut sertakan dalam upacara laut masyarakat suku Bajo.
Dalam penelitian ini ada beberapa persamaan yakni sama-sama mengkaji
tentang ritual atau upacara dalam tradisi masyarakat suku Bajo di Kabupaten
Wakatobi. Dimana dalam pelaksanaan upacara laut masyarakat suku Bajo di
Bajoe’ Bone dan Wakatobi terdapat beberapa mantra (jajampi) dan berapa media
dan digunakan dalam ritual duata yang peneliti kaji serta teknik analisis data
yang sama menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif serta teknik
pengumpulan data triangulasi yaitu gabungan teknik observasi partisipatif,
teknik wawancara mendalam dan teknik dokumen dengan menggunakan teori-
teori postmoderen sedangkan Buchari mengkaji prosesi upacara laut yang
berkaitan dengan nilai pendidikan bermuatan kearifan lokal pada masyarakat
suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi dengan pendekatan teori-teori post
positivistik. Serta peneliti mengkaji ritual duata sebagai ritual pengobatan
tradisional yang mengalami komodifikasi pada masyarakat etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara
Hardin (2013) meneliti, “Bentuk Ritual Kasungki dan
Keterancamannya Pada Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari
Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis pada program
studi kajian budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Hardin mengkaji
bahwa ritual kasungki merupakan sebuah ritual yang dilaksanakan oleh
masyarakat Muna untuk memohon kesehatan dan keselamatan sekaligus
penyembuhan penyakit akibat terkena penyakit aneh (tutura). Namun pada
perkembangan dan kemajuan zaman yang membawa budaya global
mengakibatkan perubahan dimana gaya hidup dan cara pandang masyarakat
Muna terhadap ritual kasungki ikut mengalami perubahan dan keterancaman
bentuk. Keterancaman yang dimaksud yaitu berkurangnya rutinitas pelaksanaan
ritual, berkurangnya waktu orang yang dilibatkan, tidak utuhnya proses
pelaksanaan ritual, dan sarana prasarana sebagai media berubah. Di samping itu
keterancaman ritual kasungki pada masyarakat Muna diakibatkan karena
beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa teknologi media
sebagai budaya populer ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, tingkat
pendidikan, dan formalisasi syariat islam sedangkan faktor internal berupa
minimnya pengetahuan generasi muda mengenai ritual kasungki dan tidak
adanya pewarisan ritual kasungki secara berkesinambungan dari generasi tua
kepada generasi muda.
Berdasarkan hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti mendapatkan data
awal tentang konsep, penggunaan teori, serta definisi ritual. Penelitian Hardin
dan peneliti mempunyai persamaan yaitu sama-sama mengkaji tentang ritual
yang berkaitan dengan siklus hidup manusia serta permohonan keselamatan,
kesehatan, serta dijauhkan hambatan dalam menjalani kehidupan dengan
pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian
kualitatif. Dengan penggunaan teori dalam menganalisis permasalahan
diantaranya teori semiotika dan teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan.
Penelitian Hardin berbeda dengan penelitian yang peneliti kaji, dimana
Hardin meneliti tentang “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada
Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”
sedangkan peneliti dalam penelitian ini mengkaji tentang “Komodifikasi Ritual
Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara”
kemudian melihat objek dan lokasi penelitian sudah menggambarkan perbedan
yang jauh. Hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti jadikan kepustakaan utama,
bahan pembanding dan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji “Komodifikasi
Ritual Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi
Tenggara”. Serta dari penelitian ini peneliti menemukan beberapa definisi yang
menunjang dan memperkuat penelitian penulis.
Muhamad Alkausar (2011) melakukan penelitian tentang
“Keterancaman Ritual Mappandesasi Pada Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara”. Dalam penelitian Alkausar, ritual
mappandesasi bertujuan sebagai bentuk permohonan keselamatan, dan rezeki
yang banyak bagi para nelayan. Ritual ini dilaksanakan sebelum para nelayan
hendak berlayar agar mendapatkan hasil yang banyak. Namun dalam era
sekarang proses pewarisan yang ada malah terjadi penyusutan terhadap
eksistensi ritual tersebut. Terjadinya pengurangan dan pembaruan terhadap
sarana-sarana dari ritual mappandesasi.
Penelitian di atas, banyak hal memberikan sumbangsih dalam berpikir,
khususnya pemahaman peneliti terhadap konsep, bentuk, faktor-faktor penyebab
penurunan, serta dampak dan makna dari penurunan ritual. Sehingga, penelitian
yang dilakukan oleh Alkausar menjadi sumber masukan yang membangun
sekaligus sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini.
Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan
Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual, mappandesasi sebagai bentuk
perwujudan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap
mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi yang dilakukan oleh etnik Mandar di
Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan kerja
sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar.
Berdasarkan penelitian yang dikakukan oleh Alkausar memiliki
persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang dimaksud
adalah sama-sama mengakaji ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan
dalam kaitannya dengan siklus kehidupan manusia dalam upaya permintaan
keselamatan dan pemberian makanan terhadap penguasa laut dengan pendekatan
penelitian kajian budaya. Sedangkan perbedaannya Alkausar melihat ritual
nelayan yang mengalami keterancaman karena sudah jarang dilakukan oleh
masyarakat pendukungnya. Sementara dalam penelitian ini melihat ritual yang
mengalami komodifikasi. Melihat lokasi dan objeknya sudah tentu menujukan
perbedaan yang jauh.
Dasrul (2013) meneliti, “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada
Kelompok Seni Tradisi Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang”. Penelitian
ini merupakan penelitian tesis pada program kajian budaya Pascasarjana
Universitas Udayana. Dalam penelitiannya ini Dasrul mengemukakan tentang
pertunjukan Randai pada kelompok seni tradisi Palito Nyalo di Kecamatan Pauh
Kota Padang, merupakan proses kreatifitas seniman dan kelompok seni
pertunjukan Randai dalam rangka menarik kunjungan wisatawan bahkan
dijadikan sebagai event promosi pariwisata dalam pekan budaya Sumatera
Selatan dan Padang Fair. Dalam tulisan ini, disimpulkan telah terjadi pergeseran
bentuk, fungsi dan makna pada pertunjukan Randai pada kelompok tradisi Palito
Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang yang lebih berorientasi pada selera pasar
yang tidak lepas dari dari sentuhan budaya kapitalis yang berorientasi pada
kesenian pasar.
Penelitian Dasrul ini akan menjadi sumber rujukan dan referensi untuk
penelitian “Komodifikasi Ritual Duata pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi
Provinsi Sulawesi Tenggara” hal ini dilakukan karena ada persamaan pada
konsep komodifikasi, penggunaan teori komodifikasi dan semiotik serta sama-
sama meneliti tentang tradisi namun perbedaannya terletak pada jenis objek dan
lokasi penelitian. Pada penelitian Dasrul pertunjukan Randai dijadikan sebagai
yang dikomodifikasi sedangkan pada penelitian ini ritual duata sebagai yang
dikomodifikasi sehingga dilihat dari segi obyeknya berbeda dengan penelitian
ini.
2.2 Konsep
Dalam melakukan penelitian ini konsep dilakukan sebagai penggambaran
secara abstrak yang seluruhnya menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui
konsep tersebut sebagai peneliti dapat melihat tujuan dan dapat
menyederhanakan pemikiran dalam penelitian. Dalam kaitannya perumusan
konsep dalam penelitian terhadap komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, ada beberapa konsep terkait
dengan perumusan yang meliputi komodifikasi, ritual duata, etnik Bajo dan
komodifikasi ritual duata.
2.2.1 Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme
dimana objek, tanda-tanda diubah menjadi komoditas yaitu sesuai dengan tujuan
utamanya adalah terjual di pasar (Barker, 2005: 517). Dinyatakan oleh Piliang
(2004: 21) komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang
sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Sedangkan
komodifikasi di dalam kesenian menurut Hasan (Dasrul, 2013: 18) biasanya dari
suatu proses/produsen individual/komunitas akan menjadi suatu produk
komoditi, sehingga pembagian kerja lama pun berubah, dari pembagian kerja
spontan menuju pembagian kerja yang direncanakan.
Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut
masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yaang sangat
sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan. Permasalahan bagaimana
barang-barang tersebut diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi termasuk
juga di dalamnya.
Adapun tiga bentuk proses komodifikasi yang dimaksud dalam penelitian
yakni (1) produksi adalah suatu kegiatan untuk menambah nilai suatu benda atau
menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dan memenuhi kebutuhan
manusia. Dalam penelitian ini produksi ritual duata adalah analisis tentang
mekanisme atau rangkaian tindakan mengenai bagaimana ritual duata
diproduksi atau dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen termasuk di
dalamnya adalah produksi barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mendukung
ritual duata. (2) distribusi adalah proses penyaluran barang dan jasa sehingga
sampai kepada pihak konsumen. Dalam penelitian ini distribusi merupakan
usaha menyalurkan produk ritual duata dalam artian diperkenalkan atau
dipromosikan sehingga sampai atau diketahui oleh masyarakat yang pada
akhirnya masyarakat tertarik dan mau mengonsumsi ritual duata (3) konsumsi
yaitu suatu proses menggunakan atau menghabiskan daya guna suatu benda,
baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan
secara langsung. Dalam penelitian ini konsumsi yaitu tidak hanya sekedar
menggunakan produk ritual duata namun dengan memakai produk ritual duata
berarti mengomunikasikan sesuatu produk ritual duata ke masyarakat luas.
2.2.2 Ritual Duata
Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk upacara atau
perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang
ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam
arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Seperti yang telah dikemukakan
oleh Koentjaraningrat (Hardin, 2013: 24) bahwa sistem upacara merupakan
wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka
macam upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala.
Ritual duata memiliki muatan norma-norma dan nilai-nilai hidup bagi
masyarakat etnik Bajo yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup sehingga
tercipta keharmonisan antara manusia dengan wujud tertinggi, manusia dengan
leluhur, manusia dengan lingkungannya dengan wujud tertinggi, manusia
dengan leluhur, manusia dengan lingkungan alamnya dan manusia dengan
sesamanya.
Berkaitan dengan hal tersebut ritual duata adalah sebuah upacara/ritual
yang dilaksanakan sewaktu-waktu jika masyarakat ada yang terkena penyakit
yang tidak bisa disembuhkan secara medis. Melalui ritual duata penyakit
tersebut bisa disembuhkan dengan jalan melakukan ritual meminta, memohon
akan keselamatan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta makhluk
lainnya (roh).
2.2.3 Etnik
Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan
norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya etnik
bangsa bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah
berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang
mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek
moyang mitologis yang sama.
Barth (1988: 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang
kelompok etnik mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis
mampu berkembang dan bertahan. Ciri-ciri yang dimaksud yaitu (1) mempunyai
nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu
bentuk budaya, (2) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan
(3) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain.
Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah etnik Bajo yang
memiliki ikatan persamaan norma, nilai, kepercayaan, serta memiliki
seperangkat tata cara dalam menjalani kehidupan serta aktivitas kesehariannya.
Etnik minoritas ini sampai sekarang masih kental dengan adat dan tradisi sebagai
identitas keetnikannya yang membedakan dengan etnik-etnik lain yang ada di
kepulauan Wakatobi.
Etnik Bajo merupakan komunitas manusia yang pada umumnya tinggal
di atas permukan laut dengan cara mendirikan rumah yang terbuat dari kayu
dengan beratapkan rumbia (daun kelapa) dan mempunyai ikatan yang sangat erat
dengan kehidupan laut. Umumnya etnik Bajo dijumpai disepanjang perairan/
pesisir pantai di nusantara. Sebagai etnik yang akrab dengan laut, mereka
memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka sadar bagaimana
laut harus diperlakukan atau diberdayakan tanpa merusak ekosistem lainnya.
2.2.4 Komodifikasi Ritual Duata
Dalam kaitannya dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sebuah proses
yang semulanya ritual duata bukan sebuah produk seni (komoditi) yang
tujuannya bukan untuk dikomersialkan. Namun pada kini ritual duata
dikomersialkan dan mengalami komodifikasi karena diciptakan dengan sengaja
sebagai produk barang atau jasa perdagangan. Komodifikasi ritual duata bukan
hanya menyangkut barang/jasa yang sebelumnya bukan komoditas kini
dijadikan barang komoditas namun komodifikasi juga berkaitan dengan dengan
proses produksi, distribusi dan upaya memenuhi permintaan pasar (konsumsi).
Dalam penciptaannya terdapat penyesuaian-penyesuaian unsur budaya
lokal untuk mendapatkan nilai tukar yang tentunya dalam prosesnya dilakukan
bukan hanya pemilik kebudayaan, namun melibatkan banyak pihak. Dalam
proses komodifikasi ritual duata kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan
hanya untuk menggali nilai utilitas (nilai guna) akan tetapi mencari keuntungan
dari nilai tukar yang merupakan bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme.
Dalam hal ini kapitalisme memproduksi komoditi untuk kebutuhan pemakai
yang telah dirasionalisasi dalam sistem ekonomi.
2.3 Landasan Teori
Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan
proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk
menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Ada beberapa
teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini agar diperoleh data yang bisa
dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Adapun teori-teori yang digunakan,
sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan yaitu (1) teori komodifikasi ;
(2) teori semiotik; (3) teori wacana kekuasaan atau pengetahuan;
2.3.1 Teori Komodifikasi
Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di
mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu
yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar (Barker, 2005: 517). Komodifikasi
adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai
karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang
matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni
tersebut (Tester, 2009: 84).
Dinyatakan oleh Piliang (2011: 23) komodifikasi adalah sebuah proses
menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi
komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala sesuatu yang diproduksi dan
dipertukarkan dengan sesuatu lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh
nilai lebih atau keuntungan.
Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut
masalah produksi komoditas tentang barang dan jasa yang diperjual-belikan.
Permasalahan bagaimana barang dan jasa tersebut didistribusikan dan
dikonsumsi juga termasuk di dalamnya (Fairclough, 1995: 207). Komodifikasi,
gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Marx dan Simmel yang sepakat bahwa
akibat ekonomi uang yang berdasarkan kapitalisme, semangat menciptakan
keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala
komodifikasi diberbagai sendi kehidupan masyarakat (Turner, 1992: 115-138).
Jika dikaitkan dengan praktik komodifikasi ritual duata merupakan
sebuah proses menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan komoditi
menjadi produk komoditi. Ritual duata yang semula berfungsi sebagai ritual
pengobatan tradisional namun dalam perkembangannya, ritual duata dijadikan
objek yang memiliki nilai tukar dan kapitalisme melalui industri budaya
memproduksi dan mendistribusikan dan dikonsumsi bersama-sama dengan
industri jasa lainnya sebagai komoditas belaka dengan mengharapkan
keuntungan sebanyak-banyaknya.
Dalam penelitian ini, teori komodifikasi digunakan sebagai landasan
untuk mengkaji rumusan masalah pertama dan kedua yaitu bagaimana proses
komodifikasi ritual duata dan faktor apa yang menyebabkan komodifikasi ritual
duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.3.2 Teori Semiotik
Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia,
artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni
sesuatu yang harus kita beri makna. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand
de Saussure (Hoed, 2011:3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk
(yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang
dipahami oleh manusia pemakai tanda). Ferdinand de Saussure menggunakan
istilah signifier (penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signified (petanda)
untuk segi maknanya.
Sebagai penanda adalah bentuk-bentuk atau medium yang diambil oleh
suatu tanda, seperti bunyi, gambar, atau coretan yang membentuk kata disuatu
halaman. Sedangkan petanda adalah konsep dan makna-makna. Hubungan
antara bunyi dan bentuk-bentuk bahasa atau penanda dengan makna yang
disandangnya atau petanda bukan merupakan hubungan yang pasti atau selalu
demikian. Pengaturan hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer
(Barker, 2005: 90-91).
Menurut Piliang (2008: 46) semiotika tidak saja sebagai “metode kajian”
tetapi juga sebagai “metode penciptaan”. Sebagai sebuah disiplin keilmuan,
yaitu ilmu tentang “tanda” (the science of sign) tentu semiotika mempunyai
prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku.
Namun, semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan
dan objektivitas seperti ilmu alam. Semiotika adalah sebuah ranah keilmuan
yang jauh lebih dinamis, lentur, dan terbuka bagai pelbagai bembacaan dan
interpretasi. Sehubungan dengan hal itu semiotika tidak dibangun oleh
kebenaran tunggal, melainkan makna yang jamak. Dalam logika semiotika,
interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan
berdasarkan derajat kelogisannya, interpretasi yang satu lebih masuk akal dari
yang lain.
Karakter arbirter hubungan penanda-penanda menunjukkan bahwa
makna itu mengalir, secara kultural dan historis bersifat spesifik, tidak bersifat
tetap dan universal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Culler (Barker, 2005:
91-92), karena sifatnya yang arbiter, maka tanda sepenuhnya berada di bawah
pengaruh sejarah dan kombinasi dari suatu penanda dan petanda pada saat
tertentu merupakan akibat dari proses sejarah.
Barthes dengan menggunakan pendekatan Saussure dalam mengkaji
makna dimana ada dua macam sistem pemaknaan yakni denotasi dan konotasi.
Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda
dan petanda atau antara tanda dan rujukannya (referent) yang selanjutnya
menghasilkan makna secara eksplisit secara langsung dan pasti. Maka denotatif
ini adalah makna dari apa yang nampak yang bisa disebut juga makna leksikal
atau makna referensial. Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan
hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang
tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti, yang terbuka terhadap berbagai
kemungkinan penafsiran.
Barthes melihat pemaknaan tanda secara lebih dinamis dan
mengembangkannya terutama menjadi teori konotasi yang justru dimiliki
masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik
masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di
dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila
konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi
mantap, akan menjadi sebuah ideologi.
Tekanan teori Barthes ada pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan
bahwa sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang
mendominasi pikiran anggota masyarakat. Melalui kumpulan esainya yang
berjudul Mythologies (1957) ia ingin membebaskan masyarakatnya dari
“penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan
yang seolah-olah sudah diterima di masyarakat itu bisa terjadi (Hoed, 2011: 18).
Apapun di dalam masyarakat ini, pengetahuan, pendidikan, jasa,
informasi, olahraga, tubuh, seks bahkan kematian menjadi komoditi, dan setiap
komoditi ini dimuati dengan tanda-tanda dan makna-makna sosial. Di dalam
masyarakat seperti ini, menurut Baudrillard, justru permainan tanda-tanda
(status, prestise, simbol) yang didambakan dan dibeli, ketimbang nilai guna atau
utilitas seperti yang diinginkan Marx (Piliang, 2003: 163). Sama halnya dalam
ritual duata banyak menggunakan gerakan-gerakan, benda-benda perlengkapan
ritual sebagai media ungkap merupakan ‘penanda’, terdapat lambang/simbol dan
memiliki makna dan ‘petanda’ makna yang dihasilkan oleh pertunjukan ritual
duata. Sistem tanda tersebut tentu saja memiliki berbagai makna dan makna
tersebut tentu saja dapat dianalisa sehingga mendapatkan gambaran terkait
peristiwa budaya masyarakat pendukung dan pemilik kebudayaan tersebut.
Sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan ritual duata merupakan salah
satu wujud kebudayaan yang ada dalam masyarakat etnik Bajo yang sarat
dengan simbol-simbol. Ritual duata harus diinterpretasikan dan diterjemahkan
agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai budaya dapat
menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat (Hoed. 2011:
5). Dalam kajian semiotika data yang dijadikan objek analisis pada umumnya
teks. Teks dalam teori kebudayaan tidak hanya terbatas pada tulisan tetapi
termasuk pula pola perilaku dan tindakan yang mengungkapkan pesan-pesan
budaya yang secara umum menjadi teks kognitif dan teks sosial, baik verbal
maupun non verbal (Hoed, 2008: 41).
Dari teori semiotika di tersebut, sejalan dengan konsep formula Lord dan
Finnegan (Magara, 2012: 27) dalam situasi tertentu penutur yang pewarisannya
mencoba mengingat frasa-frasa yang didengarnya dari pencerita lain dan yang
sebelumnya berkali-kali dipergunakan oleh penutur ritual duata. Penutur
menggunakan ingatan tanpa sadar ungkapan-ungkapan dalam ucapan biasa,
bukan hafalan jadi penutur ritual duata menggunakan sekelompok kata-kata
yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi-kondisi mantra (jajampi) yang
sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki. Hal ini berarti bahwa penutur
ritual duata mampu mengingat formula, dan menggunakanya sesuai dengan
keinginan pada waktu proses penciptaan atau menampilkan kembali tuturan.
Ritual duata merupakan salah satu wujud tradisi yang ada pada
masyarakat Bajo yang sekaligus juga syarat akan simbol-simbol yang harus di
interpretasikan maknanya. Menurut kepercayaan di dalamnya terkandung
berbagai makna dari simbol-simbol ritual duata tersebut. Sehingga dari
interpretasi itulah, generasi muda/remaja sebagai pewaris budaya dan penerus
nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan dapat memahami sekaligus
memetik nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman dan tuntutan
dalam hidupnya dikalangan keluarga dan masyarakat dengan mengacu dari teori
semiotika tersebut.
Dalam konteks penelitian mengenai komodifikasi ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, peneliti akan
mengungkap makna-makna konotatif yang ada pada praktik ritual duata yang
mengalami pergeseran kearah komodifikasi. Seperti yang kita ketahui bahwa
ritual duata merupakan sebuah ritual pengobatan pada etnik Bajo yang sarat
akan nilai, simbol, tanda dan ikon yang berkaitan dengan siklus kehidupan
dalam upaya mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan yang telah dilakukan
secara turun temurun. Ritual duata memiliki dampak makna dalam menyikapi
realita kehidupan yang membutuhkan banyak pengkajian lebih mendalam,
sehingga makna tersebut bisa diungkap terlebih dalam praktik ritual duata yang
mengalami pergeseran kearah komodifikasi ritual yang berorientasi nilai jual.
Teori semiotika dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengungkap
rumusan masalah ketiga dan keempat mengenai dampak dan makna
komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata melalui tanda-tanda
yang ada di dalam ritual duata.
2.3.3 Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan
Dalam arti luas wacana berarti segala sesuatu yang ditulis atau diucapkan
atau yang dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Wacana adalah
pernyataan-pernyataan. Wacana menurut Foucoult merupakan bentuk penuturan
yang sarat dengan kepentingan penutur, yaitu berupa akumulasi ideologi yang
tidak terlepaskan oleh dukungan tradisi, kekuasaan, dan lembaga-lembaga
dengan berbagai modus penyebaran dalam bentuk pengetahuan. Foucoult
menginginkan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus itu
sesungguhnya telah dikontrol, diseleksi, diorganisasi , dan didistribusikan
kembali menurut kemauan pembuatnya. Wacana itu jiga dikonstruksi
berdasarkan aturan-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, Foucoult
menyatakan dengan tegas bahwa “kebenaran memiliki mata rantai dengan
kekuasaan” (Lubis, 2004: 150).
Foucault (Hoed, 2011: 284) berpendapat bahwa melalui wacana,
seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa
(baca: power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, seperti yang dikatakan oleh
Foucault, tidak selalu diperoleh melalui fisik (badaniah, atau senjata) tetapi juga
melalui pengetahuan yang dimiliki. Foucault menempatkan kuasa diperoleh
dengan menguasai pengetahuan. Para penguasa (baik dalam masyarakat primitif,
tradisional, pengetahuan lebih dari pada mereka yang dikuasai (Hoed,
2011:284).
Teori diskursus kekuasaan atau pengetahuan dalam penelitian ini
digunakan untuk menjelaskan praktik-praktik kekuasaan yang berelasi dengan
pengetahuan. Pengetahuan dapat saja berupa teks-teks tulisan yang termuat
dalam lembaran-lembaran, iklan, potret, media elektronik, buku sekolah dan
sebagainya. Dalam implikasinya, pengetahuan ini digunakan untuk menguasai
secara aplikatif, misalnya informasi iklan.
Fenomena sosial budaya selalu terkait dengan praktik-praktik wacana,
karena menyangkut berbagai gagasan, pengetahuan, pernyataan, dan kata-kata,
tulisan dan teks-teks, aturan-aturan, dan praktik-praktik sosial, serta kekuasaan/
kepentingan yang menyertai atau tersembunyi. Diskursus yang non-language
“stuff” dalam pandangan James Paul Gee, dalam Hamad (2004:34) menyangkut
“cara beraksi, interaksi, perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau
mengakui diri sendiri dan orang lain yang bermaka dan penuh arti dengan cara-
cara tertentu”. Dalam diskursus sesungguhnya juga tersembunyi subjektivitas
atau pihak-pihak di balik diskursus. Ideologi apa yang bermain di dalam
masyarakat dan kepentingan-kepentingan apa yang bersembunyi di baliknya.
Foucault menyatakan, relasi kekuasaan dan pengetahuan terdistribusi
dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk
terpusat. Disini diskursus membangun, mendefinisikan, dan memproduksi
objek pengetahuan yang dapat dimengerti,kemudian disisi yang lain
mengesampingkan cara penalaran lain karena tidak masuk akal. Dalam kaitan
ini alam subjektivitas yang terbentuk darinya merupakan relasi kekuasaan yang
ada dibalik pengetahuan dalam pratik sosial ditengah masyarakat saling
berkaitan antara satu dengan yang lainnya.
Dukun yang melakukan ritual menciptakan kekuasaan terhadap diri
sendiri dan terhadap kelompok masyarakat dengan menciptakan simbol yang
berupa bahan-bahan sesajian, bahasa mantra (jajampi), bentuk ritual dan sistem
ritual. Berdasarkan hal tersebut menggambarkan sebuah siklus adanya relasi
kekuasaan terhadap pengetahuan tentang ritual duata.
Selain itu dasar penggunaan teori diskursus kekuasaan atau
pengetahuan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pula bahwa pengetahuan yang
dimiliki oleh dukun selaku yang melaksanakan ritual duata, tentang cara-cara
dan aturan-aturan serta bahasa mantera yang diucapkan dalam prosesi acara
ritual dapat melahirkan sebuah kekuasaan.
Dalam ritual itu juga ada aturan-aturan mengenai cara-cara dalam ritual,
waktu pelaksanaan ritual dan tempat pelaksanaan ritual yang kesemuanya ini
akan melahirkan sebuah kekuasaan karena tempat, waktu dan cara-cara
pelaksanaan prosesi ritual tersebut sudah ditentukan dan tidak boleh dirubah
oleh siapapun. Bentuk kekuasaan seperti inilah yang dimaksud dalam ritual
duata.
Teori Foucault lebih tepat untuk mengungkap pertanyaan kedua dan
keempat yaitu untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah
masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian sekaligus menjadi fokus
penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.
[;
Keterangan Garis :
: Hubungan Langsung (dwiarah)
: Hubungan Searah (searah)
Penjelasan Model Penelitian
Di era globalisasi saat ini sudah mengarah kepada terjadinya pengerutan
dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia, yang berarti pula meningkatnya
koneksi global dalam pemahaman dunia itu sendiri. Kebudayaan etnik Bajo
bersifat dinamis bukan statis yang menerima pengaruh globalisasi sebagai
sesuatu yang positif meskipun disisi lain dapat mengancam tradisi lokal yang
hidup di dalam masyarakat etnik Bajo.
Salah satu tradisi etnik Bajo yang mengalami perubahan akibat
persemaian budaya global yaitu adanya praktik komodifikasi ritual duata yang
Budaya Global
Budaya Lokal
Etnik Bajo
Ritual duata
(Mitos)
Media massa
Ekonomi
pariwisata
Komodifikasi
Ritual Duata
Sikap terbuka
Kreativitas
Proses
Komodifikasi
Faktor
penyebab
Dampak
dan Makna
Strategi
Pewarisan
menjadikan ritual duata berorientasi nilai jual (komoditas). Media massa,
ekonomi dan pariwisata memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan
pertumbuhan ritual duata. Akibatanya kedua kebudayaan ini saling mengisi dan
mempengaruhi sehingga ritual duata yang memiliki nilai kesakralan tinggi ikut
mengalami transformasi kearah komodifikasi yang melahirkan suatu produk
budaya yang berorientasi nilai jual (komoditas) mengikuti selera pasar.
Berdasarkan hal tersebut, maka penggalian tentang proses komodifikasi
ritual duata menjadi sesuatu yang penting untuk menemukan proses
komodifikasi ritual duata, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak
dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi,
Provinsi Sulawesi Tenggara, serta bagaimana strategi pewarisannya.
Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis dengan
menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi,
teori semiotika, dan teori wacana pengetahuan atau kekuasaan. Dengan
demikian, dalam analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal
yang baru tentang komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian ajian budaya yang secara khusus
meneliti tentang tradisi lisan yang berkaitan dengan komodifikasi ritual duata
pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi dengan menggunakan metode kualitatif
dan teknik analisis deskriptif-kualitatif yang berusaha memahami dan
menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut prespektif
peneliti. Bogdan dan Taylor (Ratna, 2010: 94) menyebutkan bahwa penelitian
kulaitatif pada gilirannya menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata,
baik tertulis maupun lisan.
Ciri-ciri terpenting dalam metode kualitatif adalah terletak pada makna
pesan, pada proses, tidak ada jarak antara subyek dan penelitian, bersifat terbuka
dan ilmiah (Ratna, 2009:48). Sedangkan pendekatan historis obyek penelitian
sangat berguna untuk menelusuri apakah terjadi perubahan sosial dan budaya
sesuai konteks zaman dan lingkungannya.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang menjadi informan
kunci baik dalam pengumpulan data maupun analisis data. Selanjutnya ada
beberapa metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu melalui pengamatan,
wawancara mendalam, dan studi dokumen. Pengumpulan data dan analisis data
dilakukan secara simultan dengan mendalami bentuk, faktor-faktor, serta
interpretasi makna melalui teori komodifikasi, teori semiotika dan teori wacana
pengetahuan atau kekuasaan.
3.2 Lokasi Penelitian
Tahapan penenentuan lokasi penelitian dilakukan dengan penjajakan
awal tentang pemanfaatan dan pewarisan tradisi mengenai ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi. Pada tahap ini dikumpulkan informasi awal
tentang kondisi yang menjadi lokasi penelitian serta orang-orang yang
mengetahui tentang ritual duata.
Berdasarkan rancangan dan pemetaan wilayah yang telah ditetapkan,
maka dihasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini dilakukan pada etnik Bajo di
desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan
lokasi dengan didasari atas beberapa pertimbangan antara lain (1) Desa Mola
Selatan merupakan desa tempat keberadaan masyarakat etnik Bajo terbesar di
Kabupaten Wakatobi (2) ikatan kekerabatan etnik Bajo masih sangat kental (3)
praktik ritual duata masih dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo yang menjadi
topik penelitian.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif dan data
kuantitaf. Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata dan tindakan
sedangkan data kuantitatif adalah data penunjang yang berupa angka-angka
misalnya, dalam menyatakan jumlah penduduk, jumlah orang yang terlibat
dalam proses komodifikasi ritual duata dan sebagainya.
Berdasarkan sumbernya data dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua
kategori yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah
data berupa mantra (jajampi) yang bersumber dari hasil wawancara dan
observasi dengan informan yang mengetahui ritual duata pada etnik Bajo.
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil membaca sumber-
sumber tertulis, khususnya dari dokumen dan kajian-kajian pustaka yang
berkaitan dengan penelitian ini baik berupa buku, makalah, jurnal, laporan
penelitian yang dilakukan oleh akademisi lembaga pemerintah mauapun
lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan naskah yang berkaitan dengan ritual
khususnya ritual duata yang menunjang data primer.
3.4 Teknik Penentuan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan
kebutuhan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan informasi
tentang data yang diperlukan. Guna menunjang data maksimal dalam metode
kualitatif ini penentuan informan dilakukan secara purposif (informan sudah
diketahui) yakni cara-cara penentuan subjek atau informan berdasarkan kriteria
dan tujuan tertentu. Sesuai dengan teknik purposif peneliti memilih subjek
sebagai unit analisis, dipilih informan yang punya pengetahuan dan pengalaman
dalam ritual duata.
Selanjutnya dalam teknik penentuan informan ini penulis
mengelompokkan menjadi dua yaitu informan kunci dan informan biasa.
Perbedaan informan kunci dan informan biasa adalah jika informan kunci
merupakan orang yang memberi data serta informasi secara mendetail,
komprehensip dan mempunyai pengetahuan serta pemahaman tentang masalah
yang diteliti sedangkan informan biasa adalah keluarga yang mengalami atau
orang yang dapat memberi informasi tambahan mengenai objek yang diteliti.
Sehubungan dengan penelitian ini, peneliti telah menentukan sejumlah
informan yaitu pemilik ritual (dukun), tokoh adat/masyarakat setempat, kepala
desa, pihak-pihak yang terkait dalam pariwisata (Dinas Pariwisata Kabupaten
Wakatobi). Sedangkan informan biasa dipilih orang-orang yang terlibat langsung
dalam pelaksanaan ritual duata dan melihat praktik ritual duata yang diharapkan
mampu memberikan informasi yang seluas-luasnya dan selengkap-lengkapnya
sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu sumber primer berasal
dari orang yang pertama yang terlibat langsung pada pelaksanaan ritual duata.
3.5 Instrumen Penelitian
Agar penelitian lebih terarah dan tidak kehilangan data dari hasil
pengamatan dan wawancara, penggunaan instrumen penelitian berupa pedoman
wawancara yang disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan data yang
diinginkan. Instrumen penelitian adalah alat yang wajib digunakan untuk
mengumpulkan data-data setiap penelitian ilmiah. Penggunaan instrumen
penelitian yang tepat dan berhubungan dengan objek penelitian yang dikaji
menghasilkan data yang maksimal.
Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah terdiri dari peneliti sendiri.
Sebagai alat penunjang yang digunakan peneliti untuk mempermudah proses
dalam pengambilan dan pengumpulan data di lapangan berupa pedoman
wawancara dan kartu-kartu data. Kartu-kartu data digunakan untuk pencatatan,
kategorisasi, dan klasifikasi data, sedangkan pedoman wawancara digunakan
sebagai panduan peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam hal ini pedoman
wawancara sebagai alat yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan
informan yang berbentuk sejumlah pertanyaan yang dijawab secara lisan oleh
informan yang berkaitan dengan topik pembahasan yang dikaitkan dengan
proses, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak dan makna
komodifikasi ritual duata serta strategi pewarisannya. Selain itu peneliti
dilengkapi pula dengan tape recorder untuk merekam pendapat dan pembicaraan
dengan para informan, kamera untuk mengambil gambar pada saat kegiatan
ritual dan saat wawancara dengan informan, handycam untuk mengambil
gambar hidup berupa sotingan kegiatan ritual.
Muhajir (1994: 143) menegaskan, bahwa manusia merupakan instrumen
penelitian karena lebih mampu menyesuaikan diri pada situasi dan keadaan
tertentu yang kemudian dapat membangun pengetahuan diri yang tak terkatakan,
disamping yang terkatakan. Disamping itu pengamatan secara langsung
diperlukan untuk memperkuat data-data hasil wawancara agar peneliti dapat
meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam penelitian dimana penelitian ini
menggunakan alat perekam dalam bentuk foto maupun vidio.
3.6 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis
dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.
Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan
mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Menurut Sugiyono
(2009: 225) teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu,
observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen.
3.6.1 Teknik Observasi
Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan
panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti
telinga, penciuman, mulut dan kulit. Dengan demikian, sesungguhnya metode
observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun
data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2010: 115).
Observasi dilakukan dengan menggunakan teknik observasi partisipan
atau pengamatan terlibat. Namun keterlibatan peneliti hanya sebatas pada
kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fokus kajian atau pokok masalah
penelitian (Garna, 1999: 63). Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti
tinggal di lokasi penelitian yakni di desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga membaur dengan
masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk dapat melakukan perekaman
secara mendalam terhadap beberapa fenomena kehidupan berkaitan dengan
masalah ritual duata. Dalam melakukan observasi, peneliti dibekali dengan alat
pencatatan secara manual dan elektronik untuk merekam data secara akurat
sebagai pola prilaku dan lingkungan fisiknya. Dengan demikian aspek yang
diamati tidak hanya bentuk/prosesnya, tetapi makna, atau dampak ritual duata
termasuk strategi pewarisannya.
3.6.2 Teknik Wawancara
Wawancara adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan
langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun
individu dengan kelompok. Instrumen pokok yang dipakai dalam penelitian ini
adalah pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara merupakan
instrumen pokok penelitian yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah
dibuat sesuai dengan maksud memperoleh data yang akurat dan mendalam.
Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (interview) dan
menggunakan pola-pola yang tidak kaku dan baku seperti dalam penelitian ilmu
alam tetapi dengan pola wawancara terbuka. Melalui proses tatap muka, tanya
jawab antara peneliti dan informan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan
data secara lisan, baik berupa keterangan, pandangan, dan pendirian informan
yang diteliti. Wawancara sangat berguna untuk melengkapi data yang diperoleh
dari pengamatan di lapangan yang berkaitan dengan ritual duata dan hal-hal lain
yang berkaitan dengan fokus penelitian. Pedoman wawancara (interview guide)
substansi pertanyaan telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka artinya
mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat menjaring
data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan
informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek pebelitian.
Untuk menghindari distorsi data, maka dilakukan pencatatan secara
manual dan perekaman baik menggunakan alat perekam berupa tape recorder,
kamera, pengumpulan data melalui wawancara mendalam dapat diakhiri apabila
informasi yang diperoleh sudah dianggap mencukupi atau sudah mendapatkan
data yang memadai.
3.6.3 Studi Dokumen
Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas
wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang dikaji, maka
peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang
relevan dengan objek kajian yang sudah dipublikasikan. Materi-materi
kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku, koran, majalah, dan
kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah,
laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM), dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan
permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini.
Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dokumen tentang
ritual duata. Apabila data sudah didapatkan dilanjutkan dengan menganalisis
dokumen tersebut. Keseluruhan data sekunder dianalisis seperti dokumen dan
laporan terkait dengan dokumen ritual duata. Dokumen-dokumen yang
dibutuhkan adalah dokumen dalam arti luas, seperti foto, klipping media massa,
dan arsip, warga serta pemerintah daerah yang berkaitan dengan praktik ritual
duata di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
3.7 Teknik Analisis Data
Proses analisis data dalam penelitian kulaitatif ini dilakukan secara terus
menerus sepanjang proses penelitian berlangsung dimana proses dimulai dengan
menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, baik wawancara,
pengamatan langsung yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, foto, gambar,
rekaman, dokumen resmi, dan sebagainya.
Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif dan interpreatif.
Dimana data penelitian yang sudah terkumpul terlebih dahulu dilakukan seleksi
data baik dari hasil observasi, wawancara, studi dokumen maupun studi literatur.
Kemudian dari data tersebut diadakan klasifikasi, kategorisasi dan interpretasi
dengan mencari hubungan antar data guna mengungkapkan unsur-unsur yang
saling terkait sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.
Dalam penelitian ini juga dilakukan interpretasi terhadap data-data
yang diperoleh dari informan mengenai bentuk komodifikasi ritual duata, faktor
yang mempengaruhi komodifikasi ritual duata, dampak dan makna komodifikasi
ritual duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sehingga menghasilkan pemaknaan data
untuk menghasilkan suatu kajian serta simpulan yaang sejalan dengan tujuan
penelitian.
3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini bersifat informal dan
formal. Penyajian hasil analsisis data informal yakni menyajikan analisis data
berupa uraian kata-kata dengan memaparkan keadaan subyek yang diselidiki
sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat penelitian
dilakukan. Penyajian hasil analisis data formal adalah disajikan dalam bentuk
tabel, bagan, atau gambar tentang ritual duata dalam upacara adat masyarakat
etnik Bajo dengan cara mendiskusikan, dan memberikan penafsiran serta
interprestasi. Dalam hal ini interprestasi adalah memberikan arti yang lebih luas
BAB IV
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Keadaan geografis
Secara geografis, Kabupaten Wakatobi terletak di bagian selatan garis
khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000 – 6.250 Lintang
Selatan ( sepanjang ± 160 km ) dan membentang dari Barat ke Timur di antara
123.340 - 124.640 Bujur Timur (sepanjang ± 120 km). Di sebelah utara
berbatasan dengan laut Banda, di sebelah selatan dengan laut Flores, di sebelah
timur berbatasan dengan laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan laut
Flores. Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah daratan ± 823 km² atau
hanya sekitar 4,5 % dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan.
Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ±19.200 km².
Sebelum lebih jauh membahas etnik Bajo di Wakatobi, peneliti lebih
awal menjelaskan bahwa Wakatobi adalah singkatan dari; Wa dari kata Wangi-
Wangi, Ka dari kata Kaledupa, To dari kata Tomia dan Bi dari kata Binongko.
Keempat lokasi ini saling berseberangan karena dipisahkan oleh laut, bentuknya
adalah pulau-pulau kecil dan masing-masing menjadi kecamatan yang terikat
oleh Kabupaten Wakatobi. Keempat pulau itu telah dihuni oleh sebahagian kecil
komunitas etnik Bajo. Namun penelitian ini terkonsentrasi di desa Mola Selatan
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, dengan alasan di lokasi ini lebih banyak
berdomisili komunitas etnik Bajo.
4.1.1 Letak, Luas dan Batas Desa Mola Selatan
Desa Mola Selatan merupakan salah satu dari 21 desa/kelurahan yang
ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak Desa ini dari ibukota Kecamatan
adalah sekitar 1,20 km2. Luas wilayahnya yakni 400 Ha atau 1,80 % dari luas
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Adapun batas wilayahnya yakni sebelah utara
berbatasan dengan desa Mola Utara, sebelah timur berbatasan dengan desa
Numana, sebelah selatan berbatasan dengan desa Mola Nelayan Bakti, dan
sebelah barat berbatasan dengan laut.
Lokasi desa ini terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak
memanjang mengikuti garis pantai. Topografi wilayahnya merupakan dataran
rendah dengan ketinggian hanya 1 sampai 2 meter dari atas permukaan air laut.
Sebagian besar lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal
mulanya merupakan teluk laut dangkal. Karena kebutuhan akan pemukiman,
penduduk kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu
karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk
pemukiman.
4.1.2 Iklim
Kabupaten Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat
berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret yang ditandai
dengan sering terjadi hujan, sementara itu musim angin timur berlangsung bulan
Juni sampai dengan September yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh,
gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim yang biasa disebut
musim pancaroba bulan Oktober sampai November dan bulan April sampai Mei.
Kondisi gelombang laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Data
sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di kepulauan Wakatobi
tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September
(2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai
229,5 mm.
4.2 Kondisi Demografi
Dilihat dari aspek kependudukan etnik Bajo di desa Mola Selatan
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat yang
hidupnya berkelompok dan merupakan masyarakat yang bermigrasi dari etnik
Bajo Kaledupa (Mantigola) dan Nusa Tenggara Timur. Desa Mola Selatan
terdiri dari empat dusun yakni dusun Mekar Satu, dusun Mekar Dua, dusun
Bahari dan dusun Nelayan Bakti yang sebagian wilayahnya mendiami pesisir
pantai di Kabupaten Wakatobi.
4.2.1 Jumlah Penduduk
Penduduk desa Mola Selatan pada akhir tahun 2012 berjumlah 1.280
jiwa, sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2014), berdasarkan data dari
kantor desa Mola Selatan, penduduknya telah mencapai jumlah 1.461 jiwa.
Sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Bajo yaitu sebagai nelayan.
Struktur umur penduduk disuatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat
kelahiran, kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran disuatu
daerah sangat tinggi maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong
sebagai daerah yang berpenduduk usia muda. Keadaan struktur penduduk di
desa Mola Selatan berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tebel
4.1 berikut ini.
Tabel 4.1
Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin.
Kelompok Umur
(tahun)
Laki-Laki
(L)
Perempuan
(P)
Jumlah
(L+P)
0 – 4 91 85 175
5 – 9 91 74 163
10 – 14 67 67 134
15 – 19 78 74 150
20 – 24 75 100 175
24 – 29 78 77 153
30 – 34 57 60 117
35 – 39 55 58 113
40 – 44 42 37 79
45 – 49 33 34 67
50 – 54 29 29 58
55 -59 14 10 24
60 – 64 12 9 21
65 – 69 9 4 13
70 – 74 6 6 12
Jumlah Total 737 724 1.461
Sumber : Kantor Desa Mola Selatan 2014
Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 hampir seperdua jumlah
penduduk desa Mola Selatan, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk desa
Mola Selatan secara keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia
muda yang berumur di bawah 20 tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa
desa Mola Selatan tidak tergolong desa yang berpenduduk usia muda.
Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk desa Mola Selatan
berjumlah 1.461 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk desa
Mola Selatan berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah
perempuan lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 724 jiwa,
sedangkan laki-laki berjumlah 737 jiwa.
Desa Mola Selatan yang memiliki penduduk usia muda berpotensi besar
dalam mensosialisasikan (pewarisan dan pengembangan) warisan budaya Bajo
terutama ritual duata sebagai tradisi lisan yang sangat penting sehingga bisa
bertahan dalam keterancamannya akibat arus modernisasi yang semakin terus
berkembang dan bisa memanfaatkannya dalam industri budaya kreatif yang bisa
memberikan efek positif bagi kebertahanan ritual duata serta peningkatan
ekonomi masyarakat pendukungnya.
4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
Pada hakikatnya pengertian pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada
pengertian proses belajar mengajar, tetapi pendidikan mempunyai makna yang
lebih luas, tugas manusia mengatur manusia baik secara individu maupun
kelompok. Terkait dengan hal ini pendidikan etnik Bajo di desa Mola Selatan
Kabupaten Wakatobi relatif maju. Ditandai dengan sikap masyarakatnya yang
relatif terbuka dengan keadaan disekitar dan kedatangan orang sehingga bisa
mengikuti perkembangan bahkan bisa menyesuaikan dengan situasi yang bisa
menguntungkan dirinya. Utamanya dari segi usaha menyekolahkan anak-anak
dapat memperoleh informasi lebih banyak kepada orang yang sudah sarjana,
memberi masukan agar dipertimbangkan di sekolah dan jurusan mana baik
menyekolahkan anak. Para orang tua memberi prioritas utama kepada anak-
anaknya untuk bersekolah.
Namun ada sebahagian kecil masyarakatnya yang belum juga memahami
pentingnya pendidikan, dan biasanya masyarakat etnik Bajo ini hidupnya
berpindah-pindah. Tepografi wilayah pesisir pantai menjadi salah satu faktor
penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Selain itu pula faktor budaya
etnik Bajo menjadi penyebab utama. Kebiasaan hidup mengembara di laut yang
sejak awal mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Begitulah
dalam kehidupan etnik Bajo nilai anak dalam keluarga khususnya anak laki-laki
sangat penting. Sejak usia dini anak laki-laki disosialisasikan dengan aktivitas
yang berkaitan dengan kehidupan laut termasuk dalam cara menangkap ikan di
laut yang sering kali diikut sertakannya.
Desa Mola Selatan memiliki beberapa unit sekolah dasar (SD) inpres
yang terdiri dari enam kelas. Untuk melanjutkan kejenjang pendidikan sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) anak-anak etnik
Bajo harus bersekolah di darat yakni di ibukota Kabupaten Wakatobi yang
berjarak ± 15 km dari desa Mola Selatan yang ditempuh dengan berjalan kaki
atau kenderaan bermotor. Jauhnya jarak sekolah kelokasi SMP mengakibatkan
banyak anak-anak tamatan SD tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat SMP
sementara yang lanjut merupakan anak-anak dari keluarga yang berekonomi
menengah. Faktor jarak sekolah merupakan faktor utama yang menyebabkan
sebahagian masyarakatnya tidak mengenyam pendidikan di sekolah.
Meskipun tingkat pendidikan masyarakatnya berbeda-beda namun ikatan
solidaritasnya tetap terjaga, yang terpenting bagi mereka bisa saling menghargai
dan menghormati sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan tentram.
Dalam kaitannya dengan keberadaan praktik ritual duata di desa Mola Selatan
meskipun sebahagian telah memiliki pemahaman serta pemikiran yang rasional
namun tetap menghargai praktik ritual duata, bagi masyarakatnya ritual duata
merupakan budaya (tradisi leluhur) yang mesti dijaga kelestariannya dan
merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang
berbudaya. Efek positifnya yang perlu diterima dan yang dianggap berbenturan
dengan pemahaman masyarakatnya tidak begitu dipermasalahkan sehingga
terjadi keharmonisan dalam menjaga solidaritas dalam masyarakatnya.
4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa Mola
Selatan berprofesi sebagai nelayan. Selain mempunyai keahlian kelautan, ada
sebahagian beberapa profesi lainnya yang ditekuni oleh masyarakat Bajo seperti
berdagang dan tukang (pembuat perahu/kapal kayu dan bangunan rumah) yang
dianggap sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan
dan sebagian kecil bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS).
Komposisi mata pencaharian menduduk di desa Mola Selatan dapat dilihat
dalam tabel 4.2.
Tabel 4.2
Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Mata Pencaharian
No Mata Pencaharian Jumlah
(Jiwa)
1 Nelayan 1226
2 Pegawai Negeri Sipil 65
3 Berdagang 32
4 Tukang 14
Jumlah 1337
Sumber: Kantor Desa Mola Selatan 2014
A. Nelayan
Keterampilan penduduk di desa Mola Selatan adalah menangkap ikan
(nelayan) dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas
menunjukkan bahwa hampir seperdua atau berjumlah 1226 jiwa dari jumlah
keseluruhan penduduk di desa Mola Selatan (1337 jiwa) adalah bermata
pencaharian sebagai nelayan.
Cara penangkapan ikan dilakukan dengan pancing dan memburunya di
dalam air dengan menggunakan panah ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal
ini dilakukan karena dianggap penangkapan dengan cara ini tidak merusak
ekosistem laut yang pada akhirnya isi kandungan laut tetap terjaga
kelestariannya. Jika dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Bajo sudah
termasuk dalam kategori nelayan modern karena telah menggunakan alat-alat
penagkapan ikan yang begitu moderen seperti perahu yang menggunakan mesin.
Berkaitan dengan pekerjaan melaut, sebelum pergi menangkap ikan,
terlebih dahulu melakukan upacara/ritual untuk menghindari musibah selama
diperjalanan serta meminta restu terhadap penguasa laut (mbo ma dilao) agar
mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Ritual dilakukan melalui pemberian
sesajian ke laut dengan materi sesajian berupa satu buah telur ayam, ketan putih,
ketan hitam, empat lembar daun sirih bertemu urat, arang kayu yang ada apinya
untuk membakar kemenyan.
Mereka meyakini ketika dilakukan ritual melaut akan mendapatkan
berkah perlindungan, keselamatan dan rezeki yang melimpah sehingga hasil dari
tangkapan ikan tersebut bisa memenuhi kebutuhan keluarga serta pendidikan
anak-anaknya. Masyarakat Bajo sangat menghargai ekosistem laut, bagi mereka
sangat takut dengan pantangan (pemali) untuk melakukan usaha penangkapan
ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman atau pembiusan. Jika hal
tersebut dilanggar maka akan ada musibah yang kelak mereka terima disamping
itu penguasa laut (mbo ma dilao) akan membuatnya sakit sehingga aktivitasnya
terganggu. Untuk itulah upacara laut yang masih berkaitan dengan upaya
penghormatan terhadap penguasa laut sangat erat pula dengan keberadaan ritual
duata yang merupakan ritual dalam meminta keselamatan.
B. Pegawai Negeri Sipil
Selain nelayan penduduk di desa Mola Selatan ada yang berprofesi
sebagai poegawai negeri sipil (PNS). Jumlah penduduk di desa Mola Selatan
yang berprofesi sebagai PNS berjumlah 65 jiwa yang tersebar diseluruh instansi
pemerintah di Kabupaten Wakatobi.
Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di
desa Mola Selatan kuranng begitu banyak ketimbang aktivitas sebagai nelayan
yang lebih banyak digemari oleh warga setempat, khususnya etnik Bajo. Hal ini
diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia dalam komunitas
etnik Bajo, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Bajo yang sejak kecil sudah
melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Bajo gampang untuk mendapatkan uang,
nelayan etnik Bajo dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut.
Pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil menurut masyarakatnya sangat lama
untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru mendapatkan
hasilnya (wawancara 6 Pebruari 2014).
Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara
turun temurun dari nenek moyang orang Bajo, bahwa orang Bajo tidak akan
pernah sukses meraih hidup dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri
sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang halal. Selain itu, didorong oleh
keinginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari. Semua ini
diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakatnya yang cenderung
boros dan royal dalam hal penggunaan uang.
Bagi sebahagian masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai
negeri sipil sekiranya dalam pemenuhan kebutuhannya dianggap mapan namun
mereka masih ada ketergantungannya terhadap nelayan dalam pemenuhan
kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai
negeri sipil bukan pula mereka terlepas dari kehidupan melaut namun mereka
sering pula melakukan aktivitas melaut pada hari libur kerja. Sama halnya
dengan masyarakat yang berprofesi nelayan ketika hendak melaut terlebih
dahulu melakukan ritual melaut. Mereka pantang akan musibah jika tidak
meminta izin kepada menguasa laut (mbo ma dilao). Hal tersebut mereka
lakukan secara turun temurun jika terjadi musibah yang disebabkan oleh
pantangan yang mereka lakukan maka mereka akan melakukan ritual duata
untuk meminta kesembuhan. Namun hal tersebut harus melalui perantaraan
sandro untuk melihat apa yang seharusnya dilakukan dan harus melihat sumber
dari mana penyakit (musibah) tersebut.
C. Pedagang
Penduduk desa Mola Selatan yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah
rendah. Aktivitas bedagang ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan
membuka kios untuk berjualan di dalam rumah. Umumnya jenis barang yang
diperdagangkan seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, telur ayam,
bawang, terigu, makanan siap saji (instant) ikan kering, beberapa jenis peralatan
melaut sederhana seperti yang tampak pada gambar 4.1.
Gambar 4.1 Warung Sembako di Desa Mola selatan
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Pada gambar 4.1 menggambarkan berbagai macam keperluan masyarakat yang
dijual oleh pedagang. Pedagang yang ada di desa Mola Selatan umumnya dalam
kategori peagang konvensional yang menjual barang-barang kebutuhan rumah
tangga saja. Hal tersebut dilakukan karena faktor modal usaha yang tidak begitu
besar sehingga barang-barang yang dianggap keperluan pokoklah yang mereka
bisa jual. Keberadaan pedangang tersebut sangat membantu masyarakat Bajo
karena dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka tidak begitu jauh untuk
mendapatkannya di daerah lain seperti di pasar sentral yang ada di pusat kota.
Bahan-bahan atau sarana upacara/ritual duata umumnya mereka
dapatkan melalui para pedagang tersebut, misalnya beras, minyak kelapa, telur
ayam, pisang, daun sirih dan buah pinang terkecuali pernak-pernik seperti kain
harus membelinya di toko-toko besar yang ada dipusat ibu kota Kabupaten.
D. Tukang Kayu
Keterampilan tukang kayu yang dimiliki orang Bajo diperoleh secara
turun-temurun dari orang tua mereka. Biasanya seorang ayah selalu mengajak
anaknya ikut serta dimana dia bekerja utamanya anak laki-laki. Anak akan
membantu dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai bukti baktinya
terhadap orang tua. Proses tersebut diawali dengan ajakan ayah untuk membuat
sesuatu atau memperhatikan apa yang dikerjakan oleh orang tuanya.
Pengetahuan akan cara membuat bangunan atau perahu didapatkan
melalui petuah atau perintah sang ayah dalam proses pembuatan rumah atau
perahu. Meskipun anak-anak Bajo terlahir dengan budaya kelautan tapi tak
mengurangi semangat mereka untuk memahami atau belajar dengan keahlian
selain profesi nelayan. Mereka sadar bahwa keahlian dalam bidang pertukangan
juga sangat penting mengingat orang Bajo telah memiliki tempat tinggal (rumah)
juga perahu-perahu sebagai sarana untuk melaut dan transportasi.
Oleh karena itu, penduduk senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa
tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau ingin memiliki peralatan
rumah,. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan
melalui saran dari tukang. Biasanya bahannya didatangkan dari pengumpul kayu
bahan rumah untuk rumah panggung dan dari pengumpul bahan bangunan,
seperti batu, pasir, untuk rumah batu.
Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada
aktivitas melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan,
kencang ombak, atau memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan.
Jenis pekerjaan yang dipesan seperti membuat rumah, atau perabot rumah
lainnya. Hal tersebut seperti yang dituturkan Udin (47 tahun) sebagai berikut.
“Orang Bajo umumnya tidak bisa melakukan aktivitas membuat rumah
atau perahu sendiri, dalam mendesain rumah atau perahu harus ada
bantuan dari orang lain sehingga apa yang dinginkan bisa tercapai dan
ringan dilakukan. Biaya membuat rumah atau perahu sangat berfariasi,
tergantung jenis barang yang dipesan misalnya biaya untuk mengerjakan
rumah mulai dari Rp 3.000.000 sampai Rp 6.000.000/unit. Kalau perahu
terkadang sesuai dengan kesepakan kalau masih keluarga dekat itu bisa
dibahasakanlah tapi kalau kerabat jauh mengingat tenaga dan waktu
terpakai selama ini aku kasi dari harga Rp 500.000 sampai Rp
5.000.000/unit itu sudah termasuk dengan upah teman kerja” (wawancara
7 Pebruari 2014).
Proses pertukangan seperti pembuatan perahu umumnya dilakukan didekat
rumah dengan alasan agar proses pembuatannya cepat dan bisa dilakukan kapan
saja. Terkecuali rumah umumnya dilakukan dilokasi/tempat dimana bangunan
tersebut dibangun. Pernyataan tersebut tampak pada gambar 4.2.
Gambar 4.2 Aktivitas pertukangan di desa Mola Selatan
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Kehidupan ekonomi masyarakat Bajo yang memiliki profesi tukang
cukup menjanjikan mengingat profesi tukang tidak begitu banyak yang
melakukannya sehingga tiap harinya akan ada selalu pekerjaan yang akan
mereka lakukan. Profesi tukang sangat membantu masyarakat Bajo utamanya
masyarakat Bajo yang memiliki keterbatasan untuk membuat rumah sebagai
tempat tinggal apa lagi pemukiman warganya masih ada yang tinggal di atas
permukaan laut sehingga harus ada yang ahli dalam bangunan untuk membuat
fondasi atau peletakan tiang rumah agar tetap koko dan kuat meski diterjang
ombak dan badai.
Terkait dengan sarana upacara/ritual duata sebagian sarana upacara
menggunakan material berupa kayu seperti panggung (pentas) serta perahu kayu
yang dimodifikasi hal tersebut membutuhkan jasa tukang untuk membuatnya
atau mendesain sesuai keinginan dukun (produsen) ataupun konsumen. Seperti
yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.
“Kalau saya bikin perahu atau panggung ritual sama hubungi pak Udin
karna saya tidak bisa buat. Apa lagi panggungnya besar begitu juga
perahunya harus dua perahu dipake sehingga berbentuk empat persegi.
Aku pernah kasi upah sebesar Rp 2.000.000 itu sudah semuanya mau
perahu atau kayu yang aku sengaja pesan untuk membuat rangka
panggung” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukan adanya kerja sama antara sandro dan tukang. Kerja
sama terjalin karena ketidakmampuan sandro untuk membuat sarana upacara
berupa panggung dan perahu sehingga harus memerlukan jasa tukang dalam
pembuatannya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Marx bahwa
komodifikasi berarti transformasi hubungan yang sebelumnya bersih dari
perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan
menjual.
4.3 Agama dan Kepercayaan
Sistem religi dan kepercayaan pada masyarakat Bajo tertuang dalam
kegiatan ritual keseharian. Sebagai tempat dalam kegiatan ritual keagamaan
tersebut terlihat adanya sarana peribadatan seperti masjid sebagai tempat untuk
melakukan peribadatan. Ibadah atau sholat fardhu dilakukan di masjid secara
berjamaah disamping itu masjid juga memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan,
pengajian ataupun acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan
lainnya.
Walaupun masyarakatnya mayoritas beragama Islam, namun
kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus (gaib) selain kepercayaan
terhadap Allah SWT tetap dijalankan oleh masyarakat Bajo. Kepercayaan
tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan
sehari-hari. Agama dan tradisi tumbuh kembang saling melengkapi sehingga
memberikan kesan harmonis dalam menjalankannya. Tradisi budaya etnik Bajo
bersumber dari ajaran agama Islam sehingga banyak persamaan. Begitupun juga
dengan praktek pemujaan terhadap makhluk selain Allah SWT masih dilakukan
oleh masyarakat Bajo namun mereka lebih mempercayai kekuatan yang besar
hanya pada Allah SWT. Mereka menganggap ritual duata merupakan bagian
dari budaya leluhur oleh karena itu antara budaya dan agama memiliki ruang
masing-masing dan berjalan sesuai dengan koridornya.
Indikasi yang menandakan bahwa etnik Bajo masih mempercayai
makhluk lain selain Allah SWT adalah sering dijumpainya praktek ritual yang
berkaitan dengan kepercayaan terhadap enam penjaga laut seperti yang mereka
namakan mbo biba, mbo janggo, mbo tambirah, mbo lumu, mbo duga dan mbo
bubura. Makhluk-makhluk tersebut memiliki tugas dalam menjaga laut sehingga
dalam kepercayaan masyarakat etnik Bajo dalam kaitannya dengan melaut
makhluk-makhluk tersebut bisa mendatangkan rezeki dan bisa membuat
musibah jika masyarakat Bajo lalai akan larangan (pomali) yang membuat
kekacauan atau pengrusakan terhadap lingkungan (laut).
Dalam membangun interaksi dengan makhluk-makhluk tersebut biasanya
masyarakat meminta sandro (dukun) yang merupakan orang yang memiliki
kelebihan di luar jangkauan manusia (supranatural) untuk melakukannya.
Wujudnya dalam bentuk upacara laut seperti duata, i dua tuli dan raki, sesuai
dengan hajat yang diinginkan. Kepercayaan yang mereka miliki tidak terlepas
dari apa yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Etnik Bajo yakin bahwa
makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jahat (pangroak
kampoh). Roh-roh ini berfungsi mengendalikan dunia mereka. Kebahagiaan,
kesedihan, dan bahkan suatu penyakit merupakan pengaruh dari roh tersebut.
Makhluk-makhluk tersebut menempati media seperti pohon, batu-batuan
maupun hewan di air. Pangroak sappa merupakan roh yang tinggal di batu.
Sebagian masyarakat etnik Bajo yang masih percaya menyediakan tempat
tinggal bagi roh ini yang disebut rumah jage. Hal ini dimaksudkan agar roh
tersebut terlindung dan tidak menggangu pada aktivitas hidup mereka.
Mengingat dalam praktik ritual duata memiliki nilai yang dijadikan
sebagai pedoman hidup yang mengatur hubungan manusia. Sekiranya praktik
ritual duata pun dijadikan acuan sehingga menjadi tradisi dalam etnik Bajo.
Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam
kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk
sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat (Ghazali, 2011:
33).
Hubungan kebudayaan dan agama dalam konteks agama dipandang
sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dan
tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan kepercayaan lainnya,
seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat didekati
melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga didekati sebagai
suatu sistem sosial, suatu realitas sosial di antara realitas sosial yang lain.
Sejalan dengan pendapat Parsons (dalam Ghazali, 2011: 33) bahwa agama
merupakan sesuatu komitmen terhadap perilaku, agama tidak hanya
kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia
hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.
4.4 Sistem Kekerabatan
Menurut Koentjaraningrat (Saad 2009: 105), untuk mengetahui lebih
jauh tentang suatu sistem kekerabatan harus dipandang dari tiga sudut, yaitu: (1)
Memandang unit kekerabatan dari segi batas-batas lingkungan pergaulan antar
kerabat (rangers of kinship affiliation); (2) Dari segi prinsip yang menentukan
seleksi untuk berpartisipasi dari suatu kompleks hak dan kewajiban kekerabatan
( principles of descent) dan (3) Dari aspek adat perkawinan yang menentukan
komposisi kaum kerabat yang hidup mengelompok disuatu lingkungan tertentu
(principles of residence).
Ketiga cara pandang tersebut dapat membantu pemahaman yang lebih
jauh tentang unit kekerabatan sebagai kesadaran bersama yang mengandung
tatanan kehidupan yang sakral dan mulia bagi etnik Bajo. Dilihat dari sudut
rangers of kinship affiliation. Etnik Bajo tergolong dalam sistem kekerabatan
berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu (bilateral). Karena tidak bersifat
selektif dalam melihat batas-batas lingkungan tempat tinggal.
Demikian pula bila dilihat dari sudut principles of descent. Etnik Bajo
tergolong bilineal, karena mereka memperhitungkan hak dan kewajiban harta
benda bagi keturunan laki-laki dan perempuan. Misalnya peralatan nelayan dan
mantera-mantera penangkapan ikan diturunkan kepada anak laki-laki, sedangkan
rumah beserta segala isinya diwariskan kepada anak perempuan. Jika dinilai dari
nilai barang yang diwariskan, perempuan memperoleh nilai yang lebih rendah
dari anak laki-laki.
Dalam hal principles of residence, masyarakat etnik Bajo
memberlakukan uxorilokal, karena diharapkan sepasang pengantin tinggal
didekat kaum kerabat istrinya. Tapi pada gilirannya diberi kebebasan untuk
menentukan tempat tinggalnya. Meski tidak dapat dipungkiri pada awalnya
mereka membebani kerabat perempuan. Dalam segi perikatan perkawinan, Etnik
Bajo bertumpu pada landasan nilai agama Islam dan aturan-aturan adat.
Sebagai refleksi dari pandangan hidup yang berorientasi kolektif, maka
sistem kekerabatan dalam etnik Bajo mengenai keluarga inti (darumah) atau
keluarga batih (Nucleus Family) dan keluarga luas (Extended Family).
Sesungguhnya dimasa lalu mereka tidak mengenal rumpun keluarga yang
berbentuk keluarga inti. Karena dalam satu keluarga luas terdapat beberapa
orang anggota rumah tangga yang sudah menikah dan tinggal bersama.
Hubungan antar anggota keluarga inti dalam sistem kekerabatan etnik
Bajo, disesuaikan dengan norma-norma yang mengatur peranan sosial setiap
anggota keluarga yang bersangkutan. Misalnya hubungan ayah atau ibu dengan
anak-anaknya tercermin dalam sapaan uwwa (untuk ayah), umma (untuk ibu)
atau ana’ (untuk anak). Unit keluarga yang lebih luas disebut dansihitang, istilah
ini pada awalnya hanya ditujukan kepada sesama orang Bajo. Keluarga luas
(dansihitang), secara horizontal dan vertikal termasuk dalam tujuh generasi dari
ego, baik berdasarkan garis keturunan ayah maupun ibu. Mereka yang termasuk
pada kriteria keanggotaan keluarga tersebut disebut orang sama yang berarti
orang-orang yang sama dari satu rumpun yakni rumpun Bajo. Begitu pula
bentuk perkawinan pada masyarakat Bajo pada awalnya “endogami kerabat”
(dansihitang) dimana saudara sepupu dua kali hingga sepupu tiga kali
merupakan perkawinan yang ideal (marriage preference) sedangkan kawin
dengan saudara sepupu satu kali dianggap perkawinan baru.
Dalam berinteraksi anggota keluarga tetap memegang teguh
aturan/norma adat yang berhubungan dengan tradisi budaya Bajo. Baik kaum
pria maupun wanita dalam kegiatan ritual melaut maupun upacara laut sama-
sama berperan aktif dan upaya pelestarian tradisi yang berhubungan dengan
ritual duata tidak mengenal kelompok umur maupun jenis kelamin siapa saja
boleh mempelajarinya namun dalam penguasaan ilmu atau keahlian dalam hal
pengobatan melalui ritual duata tidak sembarangan orang untuk bisa
melakukannya karena ilmu ini merupakan sebuah mukzizat (wahyu) pada diri
seseorang yang masih memiliki turunan dari duata yang pewarisannya dari
nenek moyang yang memiliki turunan duata.
4.5.1 Bahasa dan Kesenian
A. Bahasa
Sebagai masyarakat yang dinamis, bahasa merupakan kekuatan yang
tetap bertahan dalam perubahan lingkungan yang cepat dan terjadi secara terus
menerus. Bahasa Bajo secara jelas mengartikan siapa dan bagian dari komunitas
mana yang dapat dituturkan oleh hampir semua lapisan masyarakat mulai dari
anak-anak hingga orang tua.
Pergaulan hidup sehari-hari penduduk di desa Mola Selatan
menggunakan bahasa Bajo sebagai bahasa persatuan (baong sama). Hal ini
diakibatkan oleh dominasi etnik Bajo yang tinggal di desa Mola Selatan dan
tidak ada bahasa daerah dari etnik-etnik tersebut untuk dijadikan bahasa yang
akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan bahasa Bajo (baong
sama) sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah lain tidak bisa
digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat digunakan untuk
berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Mola Selatan tetapi
dilihat dari konteks sama siapa mereka berkomunikasi. Misalnya bahasa Wanci
digunakan berkomunikasi dengan sesama orang darat (Wanci). Bahasa Bajo
memiliki tiga tingkatan penggunaannya, yaitu bahasa paling tinggi (halus), halus
(santun) dan bahasa pasaran (kasar).
1. Bahasa paling halus biasanya digunakan dalam berpantun, doa-doa dan
nyanyian dalam melakukan upacara adat. Nyanyian etnik Bajo seperti
monimbanga di lao (ya dewa laut), wajalala (buanglah), jalunya (jala),
kae pakana (perahu penangkap ikan).
2. Bahasa halus digunakan oleh para ketua adat “lolo” (bangsawan) dalam
acara-acara adat etnik Bajo dalam artian digunakan pula orang yang lebih
muda ketika berinteraksi dengan orang yang lebih tua dengan kesantunan
dalam bahasa misalnya uwwa (bapak), bangkawa (atap), lepa (perahu),
alo (air) serta gadoh (gendang). Umumnya bahasa ini jarang digunakan
dalam kehidupan sehari-hari
3. Bahasa pasaran biasanya terlihat pada penggunaan bahasa Bajo bagi
kalangan anak muda baik laki-laki dan perempuan yang tidak mengenal
usia namun etika dan kesantunan masih terjaga misalnya boe (air), papu
(Tuhan), tinggi (jalan), ambo (bapak), dooda (atap),lepa taha (perahu
panjang) dan lain-lain.
Walaupun ada etnik lain yang mendiami desa Mola Selatan sebagai
penduduk pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat
bahasa Wanci tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di
kalangan masyarakat desa Mola Selatan. Akan tetapi, sekarang bahasa Wanci
sebagai bahasa etnik pribumi sudah dijadikan bahas pergaulan anak muda etnik
Bajo. Dialek bahasa Bajo memiliki penekanan pada akhir huruf kata yang
diucapkan. Contohnya andinta (makanan), dibaca andinnta. Seringkali, kalimat
diucapkan dengan suara tunggal yang nyaring, sementara kata terakhir ditahan
hingga suara menurun.
Terkait dengan praktik ritual duata ketiga bentuk bahasa tersebut
merupakan alat komunikasi lisan yang mereka sering gunakan dalam
berinteraksi, baik sandro maupun keluarga pasien sama-sama menggunakannya.
Orang Bajo lebih senang kita menggunakan bahasa pasaran karena mudah
dipahami meskipun sedikit terkesan kasar namun mereka tetap memiliki jarak
dalam berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Dalam pendistribusian ritual
duata bahasa memiliki peranan penting agar masyarakat memahami maksud dari
esensi ritual duata. Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa pasaran
siapa saja mampu dicerna dan dipahami.
B. Kesenian
Mudah terbukanya hubungan antara masyarakat Bajo di desa Mola
Selatan dengan dunia luar sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat
etnik Bajo. Pengaruh tekhnologi media massa merupakan gejala perubahan yang
besar pengaruhnya terhadap pola pemikiran masyarakat etnik Bajo sehingga
lambat laun ide-ide baru mampu berinovasi terhadap kultur kebudayaan
terutama kesenian masyarakat etnik Bajo.
Masyarakat di desa Mola Selatan yang sebahagian besar didominasi oleh
etnik Bajo yang memiliki kesenian khas seperti daerah-daerah lain di
Indonsesia. Misalnya, kesenian berpantun dimana kesenian ini dipentaskan pada
saat melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu akan tetapi
di zaman sekarang ditampilkan pada saat melakukan acara pernikahan.
Selain seni berpantun, masyarakat etnik Bajo mempunyai seni suara
(nyanyian) yang disebut uija yang terdiri atas empat macam sebagai berikut:
1. Kadandio, yaitu nyanyian yang dilakukan pada saat hendak
berangkat berlayar atau melaut,
2. Iko-iko, yaitu nyanyian yang menceritakan suatu kisah atau sejumlah
orang Bajo dan biasa dinyanyikan pada saat mereka akan berperang
atau bertemu musuh di perjalanan,
3. Sagala, nyanyian yang dilantunkan saat ada anggota masyarakat yang
sakit (pada saat pengobatan), dan
4. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Bajo pada saat mereka
hendak turun melaut
Kesenian orang Bajo yang berupa tari misalnya dero yaitu berpantun
sambil berpegangan tangan. Dero tercipta dari ungkapan rasa syukur istri-istri
nelayan Bajo ketika melihat hasil tangkapan suaminya melimpah ruah dengan
tidak sengaja mereka menari mengitari perahu sambil berpegangan tangan
sambil berpantun. Hal ini dituturkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.
“Tari dero tercipta dari wujud rasa syukur istri-istri nelayan ketika
melihat suami mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak.
Mereka menari mengelilingi perahu sambil berpegang tangan sekarang
tari dero dipakai pada acara hajatan dan umumnya dilakukan oleh muda-
mudi atau anak-anak bajo dengan bergooyang membentuk bundaran
besar sambil berbalas pantun dengan posisi tangan saling
berpegangan.(wawancara 6 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menggambarkan bahwa etnik Bajo memiliki kesenian tari
sebagai identitas budayanya yang membedakan etnik Bajo dengan etnik lainnya.
Tari dero memiliki banyak nilai yang dilakukan dalam bentuk gerakan tari. Nilai
kesyukuran disimbolkan dalam gerakan berpegang tangan wujud rasa
persaudaraan dan menggoyangkan kaki dan tangan melambangkan kesyukuran
atas nikmat dan kebahagiaan yang didapatkan dalam menjalankan roda
kehidupan dilingkungannya.
Pada kegiatan promosi budaya di Kabupaten Wakatobi kesenian tersebut
seringkali diikut sertakan bersama pertunjukan ritual duata sehingga
mengundang nilai lebih terhadap potensi kebudayaan etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi. Adanya berbagai macam kreativitas dalam mengolah potensi
kesenian etnik Bajo ikut memberikan pengaruh besar terhadap pertunjukan ritual
duata yang terkadang gerakan penari mengadopsi gerakan tari dero sehingga
nampak indah dengan memberikan warna seni tari yang unik.
4.6 Sejarah Etnik Bajo Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara
Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi
tentang kehidupan etnik Bajo menunjukkan bahwa pada umumnya merupakan
kelompok manusia yang hidupnya di laut. Dimana tersebar luas diseluruh
nusantara misalnya Kalimantan, Sulawesi, bahkan disekitar negara Singapura,
Philipina, Brunai Darussalam dan Malaysia. Etnik yang umumnya tinggal di atas
rumah-rumah yang diberi tiang di atas laut ini cenderung hidup dekat dengan
laut yang menandakan etnik ini khas dibanding dengan etnik-etnik lain di
Indonesia.
Versi yang cukup melegenda merngenai asal usul etnik Bajo di Sulawesi
Tenggara konon kabarnya berasal dari Johor, Malaysia, mereka adalah
keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang
melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari kesegala penjuru
negeri hingga ke Sulawesi. Menurut cerita sang putri lebih memilih tinggal dan
tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon ceritanya sang putri yang menikah
dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya didaerah yang
sekarang bernama Bajoe. Hal tersebut dituturkan pula oleh Bakri (63 tahun)
sebagai berikut.
“Cerita yang saya tau dari orang tua dulu, Bajo di Wakatobi ini berasal
dari Bugis, daerah Bone Sulawesi Selatan. Konon katanya mereka ini
adalah orang-orang yang ditugaskan oleh seorang raja untuk mencari
putrinya yang hilang, tapi mereka tidak menemukannya yang pada
akhirnya mereka tidak berani kembali ke daratan, kemudian mereka
berpencar menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan untuk tetap
bertahan dalam perjalanan” (wawancara 6 Pebruari 2014).
Di dalam naskah lontarak (dalam aksara lontarak berbahasa Bugis) yang
di tulis oleh orang Bajo di Kendari berasal dari Bajoe Kabupaten Bone yang
sebelumnya mereka berawal dari Ussu Luwu, kemudian setelah terjadi
peperangan, mereka mengungsi ke Kerajaan Gowa (Makassar). Setelah Gowa
jatuh ke tangan Belanda yang bersekutu dengan Bone 1667, maka orang Bajo
mengungsi ke Bone atau Bajoe. Selanjutnya pada saat Kerajaan Bone diserang
Belanda maka sebahagian di antara mereka mengungsi ke berbagai daerah di
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara
Timur.
Ada dua faktor yang menyebabkan orang Bajo sampai ke kepulauan
Wakatobi. Pertama, situasi politik dimana daerah sebelumnya sering dilanda
peperangan sehingga mereka pergi meninggalkan daerah asalnya. Pada
umumnya etnik Bajo cinta damai sehingga peristiwa-peristiwa yang mengancam
dirinya merupakan sebuah alasan untuk pergi jauh meninggalkan daratan. Ke
dua, sosial budaya, etnik Bajo yang dikenal sebagai pelaut ulung sebagai
karakter manusia berbudaya bahari dengan keahlian mereka sebagai nelayan.
Umumnya mereka akan mencari daerah-daerah yang memiliki potensi daerah
yang kaya akan sumber daya laut yakni ikan sehingga mereka selalu bermigrasi
menjelajahi pantai-pantai atau laut yang memiliki sumber daya laut yang
melimpah. Dari pernyataan tersebut kedua faktor ini memungkinkan etnik Bajo
bermigrasi sampai ke Wakatobi.
Berdasarkan catatan sejarah, Etnik Bajo yang tersebar dibanyak tempat
di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan
bahwa kecintaan Etnik Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha
menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad (2010) mencatat bahwa
nenek moyang Etnik Bajo memasuki pulau Sulawesi sekitar tahun 1698.
Penyebaran Etnik Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena
kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup Etnik Bajo sebagai
manusia perahu yang diberikan pada Etnik Bajo dikarenakan kebiasaan mereka
yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950-an Etnik Bajo
mulai menempati Wakatobi (Stanley, 2005). Hal ini didasarkan pada potensi
keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat
memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Di Kepulauan Wakatobi, etnik Bajo menetap mulai terjadi sekitar tahun
1955 yang berpindah dari komunitas awal di pulau Kaledupa karena gangguan
DI/TII dan menempati wilayah adat Mandati. Hal tersebut dituturkan oleh
Mustamin (56 tahun) sebagai berikut.
“Awalnya orang Bajo masih bersatu di sampela waktu itu belum begitu
banyak, orang Bajo masih takut menelusuri pulau-pulau di Wakatobi
sehingga lambat laun orang Bajo meningkat jumlahnya. Ada sebuah
kejadian yang menimpa orang Bajo di Kaledupa waktu itu pasukan
gerombolan Kahar Muzakar datang memberontak sehingga pemukiman
orang Bajo dibakar dan dihancurkan yang pada akhirnya orang Bajo
menyelamatkan diri ke pulau-pulau lainnya seperti Wanci, Tomia dan
daerah lainnya. Orang Bajo yang melarikan diri ke wilayah wanci
menetap dipinggir pantai setelah mereka tau pasukan gerombolan telah
pergi maka orang-orang Bajo kembali lagi ke Kaledupa namun ada juga
yang tidak kembali dan menetap ditempat yang mereka rasa
aman.(wawancara 7 Pebruari 2014).
Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di
Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan
penjelasan dari tokoh adat Mandati, Etnik Bajo yang diijinkan untuk menempati
wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Etnik Bajo terus
bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an
banyak Etnik Bajo dari tempat lain datang dan menetap di pulau Wangi-wangi,
karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu
Etnik Bajo di pulau Wangi-Wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun
1977 perkampungan Etnik Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu
Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Etnik Bajo
terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah
luas. Hingga jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri
dari 1.846 kepala keluarga. Kondisi ini menyebabkan desa Mola saat ini terbagi
lima desa pemerintahan yaitu desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu,
Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti.
4.7 Ritual Duata
Ritual duata adalah salah satu ritual pengobatan adat pada etnik Bajo
dengan memohon/meminta kesembuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(dewata/pappu) serta makhluk halus lainnya (mbo/keke) dengan cara memberi
sesajian berupa beras warna-warni yang dilarungkan ke laut karena masyarakat
Bajo memiliki hubungan dekat dengan makhluk yang ada di laut (kaka).
Etnik Bajo meyakini bahwa dalam pengobatan secara duata tersebut ada
hal-hal yang tentunya harus dipercaya bahwa segala penyakit yang diderita tidak
selamanya disembuhkan dengan menggunakan tenaga medis apa lagi
kebanyakan masyarakat Bajo memiliki penyakit turunan (duata). Pada umumnya
penyakit yang menyerang masyarakat Bajo seperti demam berkepanjangan
(piddi), kolera, ataupun penyakit yang bagi mereka anggap aneh ketika
perkampungan dimasuki wabah penyakit. Kebiasaan masyarakat Bajo dalam
memberikan sesajian terhadap penguasa laut dan saudara kembaran yang dilaut
(kaka) tidak terlepas dari mitos yang dipercaya secara turun temurun
bahwasanya setiap anggota masyarakat etnik Bajo yang dilahirkan memiliki
saudara kembar yang dilaut (kaka) sehingga jika anggota masyarakat etnik Bajo
ada yang mengalami gangguan kesehatan itu menandakan bahwa saudara
kembarnya telah mengganggunya sehingga ada upaya untuk memisahkan
mereka agar tidak saling mengganggu dengan cara pemberian sesajian atau pun
dengan ritual duata.
Ritual duata dilakukan ketika ada masyarakat yang sedang sakit yang
secara medis tidak bisa disembuhkan lagi. Sebelum dukun melakukan ritual
duata, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan yakni mengumpulkan
sarana/materi ritual. Sarana/material ritual biasanya dikumpulkan langsung di
rumah pasien dan disanalah materi itu diproduksi di bawah pengawasan sandro.
Mengingat lamanya prosesi ritual berlangsung biasanya sandro memiliki
beberapa orang yang membantu dalam jalannya ritual sehingga ada pola
pembagian kerja di dalamnya. Ada yang bertugas membuat sesajian, memasang
pernak-pernik ritual, serta penabuh gendang.
Dukun yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam upaya
penyembuhan penyakit memiliki peranan penting sehingga apa yang
diperintahkannya, tentunya masyarakat Bajo akan melakukannya. Dukun
terlebih dahulu memeriksa tubuh pasien yang terkena penyakit (piddi) apakah
bisa disembuhkan atau sebaliknya. Diawali dengan komunikasi antara sandro
dan roh dan itu suatu keharusan yang perlu dilakukan oleh sandro walaupun
setannya sangat jahat karena bisa jadi yang menahan semangat hidup pasien
(sumanga), biasanya ruh yang merasuki jiwa pasien akan meminta sesajian
sehingga demi kesembuhan pasien tersebut sandro akan memberikannya sesuai
dengan apa yang setan (roh) minta.
Jika sebuah penyakit berasal dari darat maka sandro akan berkomunikasi
dengan setan darat (mbo ma di dara) dan sebaliknya jika penyakit tersebut
bersumber dari laut maka sandro akan berkomunikasi dengan setan laut (mbo
ma di lao). Tentunya komunikasi tersebut hanya bisa dilakukan dan dirasakan
oleh sandro sehingga kita hanya bisa melihat aktivitas-aktivitas sandro yang
nyata seperti pengucapan mantra (jajampi) dalam bahasa Arab ataupun Bugis.
Mantra (jajampi) yang biasa diucapkan oleh sandro untuk mencegah agar tidak
terjadi malapetaka dan meminta perlindungan keselamatn bagi masyarakat Bajo.
Mantra (jajampi) yang sering digunakan sebagai berikut.
Jajampi pertama:
Bismillahirrahmanirrahim
Opapu oh mbo madilao
Ombotumbira
Daha aku
Sasapata madilao
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Oh Tuhan oh nenek di laut
dan wakilnya
Jangan saya ditegur
dan jangan saya diganggu di laut
Jajampi kedua:
Embo madilao
Pamopparahta aku 3 x
Terjemahan:
Oh nenek penguasa laut
Maafkanlah saya 3 x
Jajampi ketiga:
Bismillahirahmanirrahim
Opapu bunantu aku dalleq
Dalleq pappara-para
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Oh Tuhan berikanlah rezeki padaku
Rezeki yang banyak.
Dalam pengobatan sandro mengawalinya dengan komunikasi khusus
dengan makhluk yang merasuki pasien dengan media mantra (jajampi) khusus.
Mantra (jajampi) yang diucapkan oleh sandro merupakan sebuah kata-kata dan
suara tertentu yang dianggap memiliki kesaktian dan diyakini secara mendalam.
Mantra (jajampi) selalu dimulai dengan ucapan Bismillahirahmanirrahim dan
umumnya pendek-pendek. Hanya pada mantra (jajampi) tertentu terdapat
pengulangan kata. Jika dikaitkan dengan teori semiotik yang telah
dikembangkan Barthes (Hardin 2013: 36) pandangannya tentang tanda baik
denotatif maupun konotatif terkait dengan bahasa yang mengkomunikasikan
sesuatu pesan (tanda) bermakna. Dalam teorinya secara khusus digunakan untuk
mengungkapkan makna dibalik kata-kata (mantra), ungkapan-ungkapan dan
tindakan-tindakan yang berhubungan dengan tardisi ritual duata.
Prosesi ritual duata pelaksanaanya mulai dari jam 18.00 Wita dengan
ditandai dengan prosesi penyiraman (mamandi) pasien yang sakit dengan
menggunakan air yang sudah diberi mantra oleh dukun sambil diiringi bunyi-
bunyian tetabuhan gendang tanda dimulainya duata. Dalam tahap ini dukun
sendiri yang memandikan pasien setelah itu pasien mengganti pakaiannya
dengan menggunakan sarung dengan catatan pasien tersebut tidak boleh keluar
rumah sampai acara ritual selesai. Selanjutnya pada waktu jam 04.00 dini hari
sandro mulai dengan tahapan selanjutnya dengan memandikan pasien dengan air
yang sama dengan menggunakan buah mayah untuk mengalirkan air keseluruh
tubuh pasien dan berlangsung sampai hari ketiga berturut-turut yang tidak
terlepas dengan bunyi tetabuhan gendang yang berirama sehingga seluruh warga
masyarakat etnik Bajo antusias untuk menjaga jalannya prosesi duata.
Sepanjang prosesi siraman tersebut bunyi gendang tak henti-hentinya
dibunyikan terkadang orang yang mendengarnya kerasukan oleh karena itu
sandro mewaspadai hal tersebut agar prosesi ritual berjalan lancar. Bunyi
gendang juga sebagai penyemangat jiwa pasien dan orang-orang yang terlibat
dalam ritual duata. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut.
“Ketika pasien ini dimandikan oleh sandro, bunyi gendang tak boleh
lepas karena bunyi gendang ini sakral, memiliki kekuatan yang bisa
memberikan kekuatan ke dalam jiwa pasien sehingga ada keinginan kuat
pasien untuk lekas sembuh. Bunyi gendang ini bukan hanya untuk pasien
saja namun ketika bunyi gendang ini terdengar oleh orang yang memiliki
turunan duata akan mengalami kerasukan” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas memberikan penjelasan bahwasanya bunyi gendang sebagai
bagian dari ritual duata memberikan fungsi sebagai penyemangat kepada pasien
yang menurut orang Bajo bunyi yang dihasilkan oleh gendang memiliki
kekuatan magis untuk memperkuat jiwa pasien agar bisa segera sembuh. Bunyi
gendang memberikan tanda sehingga masyarakat ketika mendengar bunyi
gendang bisa memahami dan mengetahui bahwa di kampung mereka ada sebuah
peristiwa atau kegiatan yang sedang terjadi. Seperti yang dijelaskan oleh
Saussure (Hoed, 2008: 3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang
tercitra dalam kognisi seseorang) dan sebuah makna (atau isi, yakni tentang apa
yang dipahami oleh manusia sebagai pemakai tanda). Hal tersebut ditunjukkan
pada gambar 4.3.
Gambar 4.3 Memandikan pasien disertai dengan iringan gendang
(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 4.3 terlihat kepala pasien yang dilapisi buah mayah (pinang muda)
disirami air oleh sandro. Buah mayah memiliki fungsi untuk menetralkan
pengaruh roh jahat yang merasuki tubuh pasien. Terlihat pula tukang pukul
gendang mengiringi prosesi siraman sehingga suasana menjadi hidup. Bunyi-
bunyian yang dihasilkan dari pukulan gendang merupakan penanda simbolik
akan adanya prosesi pengobatan. Ritme atau bunyi memberikan kesan tidak
langsung kepada semua yang berpartisipasi yang memiliki nilai kebersamaan,
kerja sama terbangun, dan keharmonisan. Bunyi gendang (gandha) dan gong
(mbololo) merupakan keharusan dalam proses ritual duata dari awal sampai
akhir prosesi ritual. Tentunya bunyi-bunyian tersebut mengandung makna
tersembunyi selain bisa dinikmati dan membuat suasana hidup.
Tahapan selanjutnya adalah pelarungan sarana ritual berupa sesajian
yang berisi nasi berwarna-warni (buas buburinti), telur (antillo manok), pisang
(pissa) , pinang dan daun sirih untuk dilarung ke laut dalam prosesi ini pasien
bisa saja ikut bersama sandro namun harus memiliki kemampuan fisik yang
sehat. Media yang digunakan untuk menuju ketengah laut biasanya sandro dan
keluarga pasien menggunakan bido (perahu). Lokasi dalam melarung sesaji di
laut dilakukan sepenuhnya atas arahan sandro, tidak selamanya sesajian bisa
dilarung disemua tempat di laut terkecuali sandro memberikan sinyal dan
mendapat petunjuk dari arwah penguasa laut (mbo janggo) dimana tempat yang
tepat untuk sesajian dilarungkan. Terkait dengan hal tersebut diungkapkan oleh
Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.
“Setelah pasien dimandikan maka sesajian di bawa ke laut menggunakan
bido diarah buritan perahu dipasang bendera ula-ula dan dibagian ujung
perahu disimpan sebuah obor. Setelah saya menemukan tempat yang
tepat untuk sesajian dijatuhkan maka saya terlebih dahulu membuat dua
garis berbentuk silang menggunakan pisau supaya apa yang sudah
dihajatkan ini diterima oleh penjaga laut” (wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan di atas menjelaskan bahwasanya dalam prosesi melarung sesaji tidak
semua lokasi di laut bisa dijadikan tempat untuk menyimpan sesajian harus ada
petunjuk dari dukun. Dukun yang memiliki pengetahuan akan tanda yang
diinginkan oleh penguasa laut akan segera melarung sesajian tersebut yang
diawali dengan goresan berbentuk tanda silang ( X ) sebagai tanda membuka
pintu menuju alam penguasa laut. Hal tersebut tampak pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Proses pelarungan sesajian di laut
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa sebelum sesajian dilarungkan ke laut
terlebih dahulu dukun akan membuat goresan untuk memberikan tanda bahwa
sesajian yang dilarungkan akan diteruskan sampai pada penguasa laut. Ula-ula
dan sebuah obor digunakan untuk memberikan tanda kepada masyarakat jikalau
di laut ada prosesi melarung sesajian dan obor dimaksudkan untuk memberi
penerangan jika kondisi dalam keadaan gelap. Hal tersebut sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Alex Sobur dalam Piliang (2003:21) yaitu tanda-tanda adalah
perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di
tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Sehingga simbol dapat
dikatakan sesuatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya
dibagikan oleh masyarakat sendiri yang kemudian akan diwariskan secara turun
temurun.
Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi
adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan
bermasyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai
norma yang dibakukan dalam masyarakat (Ghazali 2011: 32). Ritual duata pada
masyarakat etnik Bajo telah berkembang menjadi sebuah aturan atau acuan
dalam kehidupan masyarakat utamanya yang berkaitan dengan mitos dan konsep
pemali (larangan) yang menimbulkan mala petaka setiap masyarakat yang
melanggarnya.
Jika dihubungkan antara kebudayaan dan agama yang dianut oleh etnik
Bajo yang mayoritas beragama Islam nampaknya akan menimbulkan paradigma
atau perspektif berbeda bagi masyarakat lainnya. Apa lagi dalam ajaran Islam
tidak mengenal yang namanya pemujaan selain memuja Allah SWT. Namun
disinilah keunikan dan berbagai macam bentuk toleransi saling mengisi dan
mengkait antara kebudayaan dan agama. Dalam konteks ini agama dipandang
sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus sebagai sumber nilai dalam tindakan-
tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan juga sistem kepercayaan
lainnyasering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat
didekati melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga dapat
didekati sebagai sistem sosial, suatu realitas sosial di antar realitas sosial
lainnya. Seperti yang diungkapkan Parsons (Ghazali 2011:33) bahwa agama
merupakan suatu komitmen terhadap perilaku, agama tidak hanya kepercayaan,
tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan
termanifestasikan di dalam masyarakat.
Tahapan terakhir dalam ritual duata adalah permohonan keselamatan dan
kesembuhan terhadap penguasa alam (Tuhan Yang Maha Esa), roh-roh penguasa
laut, dan leluhur (keke). Pada dasarnya segala sesuatu yang menimpa manusia
adalah akibat dari apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada sesuatu yang terjadi
tanpa ada sebab, apa yang sudah terjadi kiranya kita bisa mengintrospeksi diri
apa yang sesungguhnya kita perbuat. Perwujudan rasa maaf mereka
diungkapkan dalam bentuk doa (mantra) yang bagi masyarakat Bajo dianggap
memiliki nilai tersendiri apa lagi etnik Bajo masih memegang teguh tradisi
masyarakatnya. Mantra biasanya diucapkan dalam keadaan tertentu seperti
pendapat Sudjiman (Uniawati, 2006: 3) mengatakan bahwa mantra-mantra
mengandung tantangan atau kutukan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat
berisikan bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan.
Mantra yang digunakan dalam pengobatan melaui dua meia yaitu melalui
media angin (passeng rianging) dan melalui media perantara hewan (paseng ri
olokkolo). Bacaan pada mantra diakhiri dengan kalimat qun fa yaqun (jadi maka
jadilah). Dukun (sandro) pada masyarakat Bajo khususnya yang dipercaya
memmbaca mantra, banyak pantangan yang harus dihindari agar mantra yang
diucapkan ampuh. Pantangan (pomali) yang dimaksud adalah tidak boleh
sembarang berbicara, tidak boleh bersenda gurau pada siapapun, bertutur kata
yang santun, tidak boleh berbohong, dan semua yang bisa merugikan orang lain
perlu dihindari.
Mantra dalam prosesi ritual duata dilakukan setelah prosesi larung sesaji
selesai. Beberapa mantra dan doa yang diperuntukkan terhadap penguasa alam
sebagai bentuk interaksi manusia dan dilakukan oleh sandro karena memiliki
keahlian dalam berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa serta makhluk-
makhluk gaib lainnya misalnya.
Mantra (jajampi) I
Bismillahirrahmanirrahim
Juru mudi
Juru batu
Aliyah arliyah
Sitti Sariyani
Raja Mariyani
Lesseqko ri tubunna
Palesseqko ri nyawana
Terjemahan:
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Tukang kemudi
Tukang Batu
Aliyah Arliyah
Sitti Sariyani
Raja Mariyani
Enyah kamu dari tubuhnya
Enyahkan dari nyawanya
Mantra (jajampi) II
Bismillahirrahmanirrahim
Allah taala pukedo nyawaku
Muhammad pukedo atikku
Sininna uniakengnge
Pasitaika karena Allah taala
Sininna balai
Elo natattuppaq ri iya
Mutulakabbalaqka karena
Allah taala
Wa balaq ana wa balagana mamaeng
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Allah SWT yang menggerakanna nyawaku
Muhammad menggerakan hatiku
Semua yang kuniatkan
Mempertemukanku karena Allah SWT
Semua rezeki
Akan tertumpah padaku
Memohon saya karena
Allah SWT
Wa balaq ana wa balagna mamaeng
Mantra (jajampi) III
Bismillahirrahmanirrahim
Aubakkar mata lotonna
Usman mata putenu
Cenning atinnu
Gula nawa-nawanu
Akuali kumpayakum
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Abubakar mata hitmnya
Usman mata hijaunya
Ali mata putihmu
Manis hatimu
Gula pikiranmu
Saya laki-laki
Jadi maka jadilah
Mantra (jajmpi) IV
Bismillahirrahmanirrahim
Raja anggun
Raja turun
Raja Menurun
A
Terjemahan
Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang
Raja Anggun
Raja turun
Raja Menurun
A
Konsep semiotik yang telah dikembangkan, Junus (dalam Muniati 2011:
13) menyatakan mantra adalah keseluruhan yang utuh, yang dirinya sendiri
mempunyai signified. Lebih lanjut, Junus mengungkapkan hakikat mantra
sebagai berikut:
a. Ada bagian rayuan dan perintah
b. Mengungkapkan expression unit kesatuan pengucapan
c. Merupakan sesuatu yang utuh, yang tak dapat dipahami melalui
pemahaman unsur-unsurnya.
d. Merupakan sesuatu yang tak dapat dipahami oleh manusia sesuatu yang
misterius
e. Ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya atau ada hubungan esoteris
f. Terasa merupakan permainan bunyi belaka.
Mantra dapat berupa kata atau suara tertentu yang dianggap memiliki
kesaktian. Pengucapan kata yang diiringi dengan bunyi tertentu terkadang tidak
memiliki makna tetapi sangat erat kaitannya dan memberi pengaruh yang kuat
pada munculnya kekuatan gaib karena mantra merupakan unsur utama dalam
dunia gaib (magis).
Pada perkembangannya mantra dalam segi penggunaannya dalam
masyarakat Bajo masih terdapat beberapa paradigma terutama masyarakat yang
dibekali dengan pemahaman agama yang mendalam utamanya agama Islam
yang dianut masyarakat Bajo yang menentang penggunaan mantra-mantra itu
dengan dalih bahwa agama Islam melarang meminta dan memohon sesuatu
kecuali terhadap Allah SWT sebab makhluk lain yang ditempati dan ditujukan
untuk memuja tidak lebih mulia kedudukannya daripada manusia.
Mantra Bajo umumnya menggunakan kosakata bahasa Bajo saja, tetapi
juga menggunakan kosakata dari bahasa lain seperti bahasa Arab, Bugis,
Makassar, dan bahasa Indonesia. Penggunaan kosakata dimaksud agar ada
kesesuaian bunyi baris mantra. Kosa kata bahasa Arab banyak terdapat dalam
mantra melaut etnik Bajo terutama dalam pembukaan dan penutupan setiap
mantra. Hal ini terkait dengan agama yang dianut oleh masyarakat etnik Bajo,
yaitu agama Islam.
Demikian halnya dengan kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang
terdapat dalam mantra melaut etnik Bajo. Kosakata bahasa Bugis dan Makassar
dalam mantra itu adalah kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang dilafalkan
dengan fonem bahasa Bugis dan Makassar, misalnya dalleq (rezekiku), asemmu
(namamu), paddeanganna (gelarnya), dan battu (tiba). Hal ini ada hubungannya
dengan sejarah dan cara hidup masyarakat Bajo sebagai pengembara laut
sehingga menjelajah dari satu pulau ke pulau lain.
Pada mantra III setiap barisnya menggunakan simbol-simbol manusia
yang menggambarkan tabiat setiap manusia yang diwakilinya. Misalnya pada
kalimat gula nawa-nawanu yang berarti gula pikiranmu yang secara harfiah
tidak ada orang yang pikirannya terdiri dari gula. Namun, jika dicermati lebih
dalam, kata gula dalam kalimat itu sebagai simbol yang melambangkan pikiran
yang sehat dan jernih serta senantiasa berprilaku baik terhadap sesama manusia.
Dengan demikian, segala sikap benci dan permusuhan ditanggalkan kemudian
diganti dengan rasa persahabatan yang manis.
Mantra IV pada baris akhir mantra di atas hanya terdapat fonem /A/ yang
digunakan dalam mantra tersebut adalah simbol yang memiliki makna
pemerintah. Perintah itu ditujukan kepada suatu wujud yang tidak terlihat.
Dalam mantar tersebut , /A/ diartikan dengan “kembalilah kau ke asalmu”
artinya dalam segala sesuatu yang berwujud akan selalu berakhir dengan
kematian atau kepunahan dan kembali keasalnya.
Masyarakat Bajo pada umumnya mengenal konsep pamali (pantangan).
Biasanya ketika mereka melanggar pamali yaang telah mereka yakini turun
temurun akan berimbas kedirinya sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh sandro
bahwa sesungguhnya dosa atau musibah yang menimpa diri manusia itu akan
kembali kediri manusia sendiri, oleh karena itu kita harus tau apa yang bisa
dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu untuk
mengungkapkan rasa maaf dan bersalah dengan apa yang telah diperbuat maka
banyak cara untuk mempraktekannya seperti dalam ritual duata ini adalah
bentuk permohonan maaf dan meminta pertolongan sehingga apa yang kita
alami segera dihilangkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.
Gambar 4.5 Dukun menguji mental pasien (sakit)
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Selanjutnya untuk menguji mental pasien, dukun akan menancapkan
sebilah keris tepat di atas ubun-ubunnya, meski terasa kuat namun dengan
kekuatan supra natural keris sang dukun tidak melukai bahkan pasien tidak
mengalami luka seditik pun. Itu dimaksudkan agar roh yang telah dipanggil oleh
dukun masuk kejiwa pasien. Prosesi ini sangat sakral karena pasien mengalami
kerasukan sambil menari (ngigal) tak sadarkan diri ditemani sandro suasana
menjadi sangat mistik tak satupun yang berani berbicara hanya bunyi tetabuhan
gendang yang semakin kuat untuk meberikan semangat kepada pasien. Hal
tersebut terlihat pada gambar 4.6.
Gambar 4.6 Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 4.6 menunjukkan pasien memegang ayam yang akan bertarung
dengan ayam yang disediakan oleh dukun. Ayam dalam ritual duata digunakan
sebagai media untuk menguji kekuatan fisik pasien setelah diberi mantra
(jajampi). Hal tersebut dituturkan oleh Mustamin (56 tahun) sebagai berikut.
“Untuk menguji kesembuhan pasien maka ada dua ekor ayam yang
diadu, dimana salah satu ayam pemiliknya adalah pasien yang diobati,
kalau ayam pasien itu menang berarti dia lekas sembuh tapi jika kalah
maka dia dinyatakan tidak bisa disembuhkan lagi, biasanya keluarga
pasien merasa ada kekhawatiran dalam tahap ini karna ini sebuah
penentuan akhir” (wawancara 8 Pebruari 2014).
Tuturan tersebut menunjukkan bahwa dua ekor ayam jantan yang diadu
merupakan mediator untuk membuktikan kekuatan yang dimiliki oleh pasien,
jika ayam pasien menang menandakan pasien lekas sembuh dan jika ayam
pasien kalah, itu menandakan bahwa pasien tidak bisa disembuhkan lagi dengan
cara apapun karena ritual duata ini merupakan langkah terakhir yang ditempuh
ketika cara pengobatan baik medis atau alternatif sudah dilakukan.
Untuk menunjukkan rasa senang akan kesembuhan biasanya dukun akan
melemparkan beras pecah (matang) kearah pasien dikuti oleh keluarga pasien
yang ikut menghambur-hamburkan beras. Tradisi menghamburkan beras dalam
masyarakat Bajo dilakukan turun-temurun jika dalam keadaan bahagia.
Menghamburkan beras bukan membuang rezeki namun disini beras
dihamburkan sebagai perwujudan rasa hormat dan terima kasih kepada penguasa
alam atas keselamatan atau kesuksesan dari sebuah upacara adat/agama. Seperti
yang terlihat pada gambar 4.7.
Gambar 4.7 Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Gambar 4.7 memperlihatkan ekspresi dukun dalam bentuk rasa gembira dengan
menghamburkan beras (beras pecah) kearah tubuh pasien. praktik tersebut
dimaknai bahwa beras melambangkan kesejahteraan atau kemakmuran manusia
serta kain (sarung) memiliki makna pelindung, yaitu melindungi manusia dalam
keadaan apapun.
Dalam kebudayaan etnik Bajo beras merupakan sesuatu barang yang
bernilai karena mereka sadar bahwa mereka hidup di laut tak akan ada tanaman
seperti padi bisa tumbuh sehingga beras memiliki nilai yang sangat mahal untuk
dimiliki. Dalam praktik pengobatan pun beras disimbolkan sebagai barang yang
memiliki nilai kemakmuran atau kesejahteraan sehingga ketika masyarakatnya
terlepas dari masalah baik berupa bencana alam maupun penyakit, tentunya
barang yang bernilai tersebut mereka persembahkan kepada Tuhan Yang Maha
Esa (dewata/papu) sebagai bentuk rasa syukur mereka. Dalam pemaknaannya
tentunya nilai budaya/simbol sifatnya abstrak berada dialam pikiran tiap manusia
ataupun pada masyarakat penganutnya. Mencermati kondisi tersebut maka
budaya atau kebudayaan tidak bisa lepas dari ideologi terutama yang mengatur
medan makna yang selanjutnya dapat diartikulasi sebagai sistem otoritas yang
dapat menentukan identitas pada suatu kelompok masyarakat.
BAB V
PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO
DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA
Dalam bab ini, uraian difokuskan pada pembahasan mengenai masalah
bagaimanakah proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Proses komodifikasi ritual duata dalam
penelitian ini ditinjau dari proses produksi, distribusi dan komsumsi ritual duata.
Untuk mendapatkan pemahaman yang berkaitan dengan hal tersebut, maka
dalam analisis pembahasan digunakan teori komodifikasi.
Dalam kaitan dengan penelitian ini perlu dijelaskan terlebih dahulu
mengenai istilah proses yaitu mengandung arti runtutan perubahan atau peristiwa
dalam perkembangan sesuatu. Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2005: 899) berarti runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu,
rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk.
Perkembangan produk yang dimaksudkan adalah komodikasi ritual duata
menjadi produk komoditas.
Berdasarkan uraian di atas maka proses dalam uraian bab ini mengarah
pada rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan
produk terkait dengan runtutan yang menyebabkan komodifikasi ritual duata,
proses produksinya, varian bentuk yang dihasilkan oleh dukun dan pemasaran
produk hingga konsumen ritual duata.
5.1 Produksi Ritual Duata
Produksi ritual duata pada penelitian ini berarti sebuah rangkaian atau
kegiatan menciptakan atau menghasilkan suatu produk barang/jasa. Sedangkan
produk adalah barang/benda/jasa, yang dalam masyarakat kapitalis adalah
komoditas yang dihasilkan dari suatu sistem produksi untuk suatu kepentingan,
yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi yang paling penting adalah nilai
tukar.
Produk yang dihasilkan dalam proses produksi ritual duata berwujud
barang atau benda, desain dan jasa yang merupakan variabel pertama dari suatu
pemasaran dan dianggap cukup penting karena dapat mempengaruhi tingkat
kepuasaan konsumen. Jika dilihat dari perkembangan ritual duata pada awalnya
berlangsung alamiah seperti kegiatan ritual lain yang ada di Kabupaten
Wakatobi. Masyarakat etnik Bajo melakukan praktik ritual duata secara
konvensional sebagai wujud solidaritas dalam kehidupan masyarakatnya.
Namun sekarang praktik ritual duata semakin banyak diminati dengan berbagai
macam kepentingan khususnya bagi masyarakat etnik Bajo sendiri. Hal tersebut
membuat dukun kewalahan dalam memberikan pelayanan. Dengan keterbatasan
tenaga dan modal material dalam memproduksi sarana ritual duata membuat
dukun harus mengumpulkan tenaga (pekerja) dan biaya produksi material.
Lambat laun praktik ritual duata bergeser kearah pelayanan masyarakat yang
membutuhkan imbalan jasa. Hal tersebut menyebabkan praktik ritual duata
mengalami perubahan kearah komersialisasi.
Komodifikasi disini dapat kita definisikan sebagai proses mengubah nilai
pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi
nilai tukar (nilai jual) dimana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat
harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009: 132). Dalam hal ini
ritual duata yang tadinya hanya memiliki fungsi sebagai ritual pengobatan etnik
Bajo kemudian menjadi nilai tukar (produk budaya) yang berorientasi terhadap
nilai pasar.
Dalam produksi ritual duata untuk menjadi komoditi diperlukan
pembagian kerja yang sesuai dengan keterampilannya. Tentunya pembagian
kerja yang dimaksud hanyalah untuk memudahkan dalam proses pengerjaannya
(produksi). Hal ini mencirikan bahwa ritual duata telah melakukan
komodifikasi. Pembagian kerja yang dilakukan akan berpengaruh pada sistem
produksi, maupun distribusi ritual duata. Dalam hal ini peneliti akan
mengungkap produksi ritual duata dari segi produk ritual duata berupa sesajian
(buah bubu rinti), bendera etnik Bajo (ula-ula), kain berwarna (palisier),
panggung, pakaian dan gerak tari.
5.1.1 Sesajian (Buas Bubu Rinti)
Pembuatan sesajian terdiri dari beras berwarna (merah, putih, kuning,
dan hitam), yang dibuat berbentuk bundar di atas wadah yang dilapisi daun
pisang dengan kombinasi empat warna berlapis-lapis. Buas bubu rinti pada
pelaksanaan ritual duata bermacam ukuran, pada prosesi ritual duata yang lebih
besar dibuat sebanyak tujuh bentuk yang sama (bundar) sehingga dibutuhkan
tenaga dan keahlian dalam membuatnya. Pada penyajian beras berwarna tersebut
ada komponen penting pendukung sesajian yang merupakan barang wajib seperti
daun sirih (leko), pisang tembaga (pissa), telur ayam (antillo manu), kelapa
muda, buah pinang, buah mayah, dan janur kuning (tenda koneh). Hal tersebut
terlihat pada gambar 5.1.
Gambar 5.1 Materi pendukung ritual duata
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi)
Gambar di atas menunjukan proses pembuatan materi ritual duata dilakukan
oleh dukun dan beberapa orang pekerja yang ikut membantu dalam
memproduksi materi sesajian dimana materi ritual seperti telur ayam, daun sirih
dan lain sebagainya merupakan materi pokok selain beras berwarna (buas bubu
rinti). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam pengerjaan materi ritual
duata telah terjadi pembagian kerja. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh
Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.
“Kalau cara berobat secara duata ini saya yang membuatnya, bahan-
bahannya saya kumpul dan dibuat di rumah pasien, tapi kalau acaranya
besar biasanya saya memakai tenaga orang lain tapi selalu juga tetangga
lain ikut membantu. Isi sesajian itu ada telur ayam, daun sirih, beras
warna-warni, daun pisang, pisang, pinang semuanya saya atur juga yang
menyimpannya” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Wawancara di atas menjelaskan bahwa banyaknya materi sesajian yang harus
dipersiapkan maka sandro mempekerjakan beberapa orang untuk membantu
dalam proses pembuatannya meskipun terkadang banyak masyarakat yang
pamrih ikut berpartisipasi. Pada tahapan ini semua sarana ritual diproduksi oleh
sandro beserta beberapa anak buahnya. Sebagai orang yang memiliki
pengetahuan ritual duata maka posisi sandro sangat penting sehingga
masyarakat tunduk dengan apa yang dilakukan atau disarankan oleh sandro.
Pengetahuan yang dimiliki oleh dukun mampu menguasai masyarakat
sehingga tercipta hubungan antara dukun dan pasien. Terkait dengan hal tersebut
dijelaskan oleh Foucault (Hoed, 2011: 284) bahwa melalui wacana, seseorang,
sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa (baca:
power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, tidak selalu diperoleh melalui fisik
(badaniah, atau senjata) tetapi juga melalui pengetahuan yang dimiliki.
Terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh sandro tidak menutup
kemungkinan dalam proses pembuatan sarana ritual duata ideologi sandro turut
berpengaruh yakni ideologi kapitalis yang menginginkan sarana ritual bukan
hanya sebagai pelengkap dalam ritual namun bisa dimanfaatkan sebagai modal
usaha untuk mendapatkan nilai tukar guna mendapatkan keuntungan. Sejalan
dengan pikiran Tester (2009: 84) bahwa komodifikasi adalah proses karya seni
baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk
persembahan, dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang matang dari
seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan
diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut.
Sarana ritual duata berupa beras berwarna bisa dilihat pada gambar 5.2.
Gambar 5.2 Sesajian buas bubu rinti
(Dokumentasi: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Gambar 5.2 menunjukan bahwa beras berwarna warni yang diletakan di atas
wadah yang dilapisi daun pisang, beras berwarna tersebut memiliki kekhasan
dalam tampilannya dan keunikan yang bernilai seni yang pada umumnya
masyarakat di Kabupaten Wakatobi tidak pernah melihatnya terkecuali pada
upacara/ritual duata etnik Bajo. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan
sandro menggunakan pewarna alami dengan tambahan kapur dan arang
tempurung. Warna-warna tersebut disamping memberikan kesan indah dan
perbedaan namun memiliki arti dan makna tersembunyi dibaliknya. Terkait
dengan hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan manusia Bajo yang
mengkonsepsikan alam sekitar sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya
terdapat benda-benda biotik seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ikan yang
terdapat di gunung, bukit, rawa, danau, sungai dan laut serta benda-benda
nonbiotik yaitu air, tanah, api dan cahaya. Menurut keyakinan etnik Bajo, semua
unsur yang ada dalam benda-benda nonbiotik terdapat di dalam diri manusia.
Tanah adalah tubuh, api adalah nafsu amarah, air melambangkan kesabaran,
angin melambangkan nyawa, serta cahaya merupakan Nur Allah dan Nur
Muhammad yang menjadi sumber penciptaan langit dan bumi beserta isinya,
terutama anak manusia (Saad, 2009: 65). Pernyataan tersebut seperti yang
diungkapkan oleh Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut.
“Bubura mirah adalah unsur api dalam diri manusia terbentuk beberapa
unsur sifat dimana hawa nafsu amarah terkadang bisa menjiwai diri
seseorang sehingga sifat-sifat tersebut harus bisa dinetralisir dengan
unsur-unsur lainnya. Bubura puteh yaitu udara dimana jiwa manusia
akan hidup jika memiliki nyawa. Tubuh manusia akan senantiasa bisa
berpikir, begerak karena masih memiliki ruh. Bubura loo adalah unsur
tanah, dalam tubuh manusia dibentuk dari segumpal tanah yang pada
akhirnya jasad akan kembali pada asalnya. Bubura kuneh unsur air dalam
hal ini air sebuah sifat kesabaran dalam diri manusia dan telo mano yaitu
unsur cahaya yang merupakan satu kesatuan dari empat unsur tersebut
(api, angin, tanah, dan air) sehingga tercipta manusia. (wawancara 6
Pebruari 2014).
Ungkapan di atas dijelaskan warna-warna yang ada pada beras yang digunakan
oleh dukun dalam ritual duata dimana memiliki simbol dan makna akan proses
pembentukan manusia yang memiliki unsur-unsur seperti hawa/amarah, ruh
(udara), tanah (jasad), dan cairan (air). Hal tersebut jika dikaitkan dalam konteks
semiotika Geertz bahwa simbol-simbol yang tersedia dikehidupan umum sebuah
masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat
yang bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan
bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai.
Etnik Bajo sangat meyakini bila seseorang memahami karakter
keberadaan benda-benda biotik dan nonbiotik tersebut maka tidak mungkin
malapetaka akan menimpa mereka dimana saja mereka berada, meski di tengah
laut dengan ombak setinggi gunung disertai dengan angin kencang. Sebab angin
kencang dapat diantisipasi dengan cara mengatur keluar masuk nafas, seperti
halnya emosi salah satu anggota keluarga dapat dikendalikan dengan menyiram
api dengan air. Dengan cahaya atau nur ilahi dapat menyingkirkan berbagai
bencana (Saad 2009: 66).
Mencermati penuturan informan Djamrin di atas maka sejalan dengan
pemikiran Geertz (Sibarani, 2012:106), bahwa hidup manusia penuh dengan
lambang dan tanda (semiotika) yang disatu sisi membutuhkan usaha rekonstruksi
pelambangan kehidupan manusia, tetapi disisi lain perlu dekonstruksi untuk
memaknai lambang kehidupan tersebut. Hal ini disebabkan karena kebudayaan
yang di dalamnya termasuk praktek sosial merupakan lambang semiotik yang
mengekspresikan perasaan masyarakat komunitasnya. Selanjutnya pola makna
ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik.
Melalui bentuk simbolik ini manusia berkomunikasi, memantapkan dan
mengemukakan bahwa tanda budaya merupakan sebuah jaringan yang sangat
kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos, rutinitas, kebiasaan-
kebiasaan yang membutuhkan pendekatan tertentu.
Selanjutnya dalam menentukan isi (materi) yang akan dipersembahkan
harus dilakukan oleh dukun begitupun dalam penataannya harus benar-benar
tepat sesuai dengan keinginannya. Tidak sembarangan menempatkan materi
sesajian, ini dimaksudkan agar persembahan yang kelak akan dilakukan sesuai
dengan harapan para penguasa laut. Hal tersebut terlihat pada gambar 5.3.
Gambar 5.3 Dukun menentukan isi dari materi sesajian
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Gambar 5.3 memperlihatkan proses penentuan dan penataan materi ritual duata
yang berisi beras warna-warni, telur, daun sirih dimana penyusunan dan
pembuatannya dilakukan sepenuhnya oleh sandro (dukun) kampung. Hal ini
dimaksudkan karena dukun adalah orang yang memahami apa yang mesti
dipersiapkan dalam melakukan ritual sehingga perangkat-perangkat isi dari
sesajian pun tepat sesuai dengan harapan. Sebagaimana dijelaskan oleh teori
semiotika Saussure (Hoed, 2008: 3) yang melihat tanda sesungguhnya sebuah
pertemuan antara bentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang dengan sebuah
makna dan isi tentang apa yang dipahami manusia sebagai pemakna sebuah
tanda (semiotika). Dalam hal ini ritual duata sebagai sarana untuk membangun
relasi yang baik dalam hubungan manusia dengan sang pencipta serta kekuatan
transenden lainnya.
Dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata dalam hal ini buas
bubu rinti tampak jelas perbedaannya dengan buas bubu rinti pada ritual duata
(sakral). Munculnya sajian beras dengan tampilan dan bentuk baru yang
disajikan merupakan produk kapitalis yang menekankan unsur estetika dari pada
nilai utilitas dari ritual duata. Dalam pertunjukan hal tersebut umum terjadi
dimana ikon, tanda, simbol maupun barang diubah dengan maksud mengubah
tampilan dengan estetika baru sehingga menarik untuk dinikmati. Hal tersebut
tampak pada gambar 5.4.
Gambar 5.4 Materi Ritual Duata Pertunjukkan (pariwisata)
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Gambar 5.4 menunjukkan perbedaan isi materi ritual duata khususnya beras
yang disajikan dengan beras untuk saran ritual duata (sakral). Pada pertunjukan
ritual duata dalam industri pariwisata mengalami perubahan dengan munculnya
warna-warna baru (hijau, merah tua, dan nila) dengan cara penyajian yang
berbeda. Jika dianalisa maka disini terlihat bahwasanya ada perbedaan ideologi
yang dimiliki oleh produsen dalam memberikan penyajian materi ritual terhadap
konsumen. Ideologi yang dimiliki produsen telah mengalami transformasi
kedalam pemikiran kapitalis yang lebih menekankan aspek nilai jual dari pada
aspek nilai esensi dari ritual duata. Tentunya nilai dan makna yang terkandung
dalam sarana ritual akan mengalami pemaknaan yang berbeda dalam ekonomi
pasar.
Perubahan materi ritual duata berupa beras warna-warni dengan tampilan
yang berbeda tidak terlepas dari keinginan pasar. Tentunya sangat berpengaruh
terhadap pemaknaan materi ritual baik bagi masyarakat pendukung materi
maupun penikmat ritual duata. Dalam pemikiran kapitalisme hal tersebut tak
jarang dilakukan demi mendapatkan nilai estetika tinggi sekiranya mampu
menjadikan tampilan ritual mengundang daya tarik yang bisa dipertukarkan
dengan mengharapkan keuntungan lebih.
5.1.2 Bendera (ula-ula)
Bendera ula-ula merupakan simbol identitas etnik Bajo yang terbuat dari
kain berbentuk segit tiga yang merupakan interpretasi sebuah mitos berupa
binatang raksasa (gurita) yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan etnik
Bajo yang bisa membawa keselamatan atau musibah. Dalam kebudayaan etnik
Bajo ula-ula biasa difungsikan pada saat prosesi adat, perkawinan, atau dalam
pengobatan (wabah pennyakit). Hewan laut berwujud gurita (kutta) merupakan
saudara kembar (kaka) yang terlahir bersama bayi (manusia) bersamaan dengan
ari-ari (tomuni). Hubungan antara kedua makhluk yang berbeda alam ini terlihat
ketika manusia (sama) mengalami sakit keras (piddi) atau dalam musibah di
lautan (tenggelam) maka saudara (kutta) akan memberikan tanda terhadap
masyarakat adanya musibah yang kelak menimpa penduduk.
Ula-ula yang digunakan terdiri dari beberapa macam ada yang berwarna
putih, merah, merah putih dan cokelat. Warna merah biasanya digunakan oleh
masyarakat untuk mengusir setan, baik yang berasal dari darat (noana/ mbo ma
di dara) maupun di laut (mbo ma di lao). Ula-ula dengan panjang sisi satu
meter dua puluh, terdiri dari tiga potong kain berbentuk segi tiga. Ujung-
ujungnya yang lancip mengarah ke bawah dan dipasangi rumbai-rumbai.
Bahan kain pembuatan ula-ula dibeli di toko tekstil oleh dukun dan
mengggunakan jasa penjahit dalam menyatukan perpaduan warna dan
bentuknya. Biaya yang dikeluarkan oleh sandro untuk mendesain bendera (ula-
ula) ± Rp 300.000 per lembar. Hal tersebut dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)
sebagai berikut.
“Ula-ula ini terbuat dari kain yang dibentuk meyerupai segitiga terbalik,
fungsinya sebagai tanda kalau ada kegiatan di kampung, kain ini saya
beli di toko terus saya bawa kepenjahit untuk dijahit sesuai dengan
gambar yang aku buat. Harga kainnya waktu itu satu meter masih
seharga Rp 30.000. Satu bendera ula-ula ini kalau dihitung ongkos jahit
dan kainnya bisa mencapai Rp 300.000”.(wawancara 6 Pebruari 2014).
Penuturan informan di atas menjelaskan bahwa bendera (ula-ula) memiliki
makna akan sebuah kegiatan pada masyarakat Bajo. Ula-ula merupakan sebuah
bendera yang terbuat dari kain yang didesain oleh dukun namun dalam
pengerjaannya dukun memakai jasa penjahit untuk membentuknya sesuai
dengan keinginan dan karakter bendera ula-ula dari leluhur sebelumnya. Berikut
ini daftar harga masing-masing perlengkapan dalam ritual duata.
Tabel 5.1
Daftar Harga Peralatan Ritual Duata
Nama Barang Satuan Harga
Ula-ula 1 Rp 300.000/lembar
Gendang 2 Rp 150.000/unit
Tawa-tawa 3 Rp 50.000/unit
Gong besar/kecil 1 Rp 100.000/unit
Palisier 5 Rp 2.000.000
Pakaian 8 Rp 50.000/lembar
Sumber: Data Primer,Wawancara 7 Pebruari 2014
Dalam menyusun konsep warna dalam budaya Bajo warna putih
mewakili keadaan masyarakat yang menginginkan pengharapan lebih akan
sebuah musibah yang menimpa masyarakat. Warna putih merupakan sebuah
warna yang netral (polos) sehingga wabah penyakit (makhluk halus) yang
mengganggu atau membawa malapetaka segera pergi meninggalkan masyarakat
Bajo. Selain warna putih dijumpai pula ula-ula berwarna merah, kuning, merah
putih, dan coklat. Semuanya memiliki fungsi yang sama yang membedakannya
hanya dalam prosesi pengobatan dan yang memutuskannya adalah dukun
sendiri mengenai bendera apa yang sebaiknya digunakan untuk menangkal
pengaruh jahat dari setan pengganggu.
Dalam interpretasi pemaknaan ula-ula dalam keyakinan orang Bajo
merupakan sebuah simbol proses terbentuknya pergantian siang dan malam.
Sejalan dengan apa yang dikatakan Pierce (dalam Dasrul, 2013: 26) bahwa
sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili
sesuatu yang lain dalam beberapa hal dan kapasitas. Sesuatu yang lain itu
dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama- pada
gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian sebuah tanda atau
representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya.
Jadi, Pierce (Piliang, 2003: 226) melihat tanda (representament) sebagai bagian
yang tak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda
(interpretant). Interpretasi dari ula-ula merupakan simbol terjadinya pergantian
waktu di Bumi. Hal tersebut diperjelas dengan penuturan Udin (47 tahun)
sebagai berikut.
“Ula-ula merupakan simbol falsafah budaya sama. Ula-ula merupakan
bahasa simbolik untuk mengungkap dimensi realitas yang tidak
diungkapkan melalui bahasa non simbolik. Ula-ula dikaitkan dengan
mitos hubungan antara matahari dan bumi dimana bentuk bulat pada ula-
ula merupakan matahari sedangkan umbai-umbai tersebut merupakan
pancaran cahaya menuju bumi sehingga pada perputaran bumi pada
matahari menyebabkan adanya pergantian waktu. Setiap waktu matahari
akan mempetakan bumi menjadi empat dimensi yang disimbolkan
dengan empat warna ula-ula. Hari ketujuh merupakan tujuh pandang
matahari pada bumi yang terjadi pada setiap saat. (wawancara 7 Pebruari
2014).
Penuturan informan di atas memberikan penjelasan bahwa hari ketujuh
dianalogikan sebagai tujuh titik simpul kekuatan sekaligus tujuh titik simpul
kekuatan pada diri setiap pribadi. Hal ini menjadi landasan perhitungan waktu
yang kemudian dipilah menjadi hari, bulan, tahun dan di dalamnya berlangsung
proses perubahan (peristiwa) yang berintikan dua hal yaitu baik atau buruk.
Dalam batas-batas tertentu hasil dari proses perubahan itu bisa diukur. Bendera
(ula-ula) dalam kebudayaan etnik Bajo berkaitan dengan simbol-simbol yang
dibangun oleh masyarakatnya. Simbol tersebut memiliki kaitan yang sangat erat
dengan konsep terciptanya manusia ke dunia. Tentunya hubungan-hubungan
tersebut juga menunjukan adanya sebuah mitos yang diwariskan dari generasi ke
generasi berikutnya sehingga ada keterikatan masyarakat dengan sebuah mitos.
Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam
kenderaan yaitu kenderaan bahasa dan tanda (Piliang 2012: 353). Bendera ula-
ula terlihat seperti gambar 5.5.
Gambar 5.5 Bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula)
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 5.5 menggambarkan sebuah bendera kebesaran etnik Bajo (ula-
ula) berwarna p utih berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan
dikaitkan pada buritan perahu (bido). Bendera ula-ula merupakan sebuah
tanda/simbol akan sebuah peristiwa yang merupakan bagian dari produk budaya
leluhur etnik Bajo. Sebagai suatu simbol/tanda tentu memiliki suatu maksud atau
makna akan sebuah nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Pemaknaan terhadap
simbol-simbol atau tanda-tanda atas benda-benda dalam ritual duata sebagai
mana diungkapkan oleh informan di atas, sesuai dengan teori semiotika yang
berorientasi pada pemahaman terhadap berbagai tanda dalam nilai-nilai budaya.
Piliang (Sobur 2003: 15), semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk
mengkaji tanda.
Berdasarkan dari penturan informan di atas, yang memberikan penafsiran
terhadap berbagai simbol dari pelaksanaan ritual duata, sejalan dengan pendapat
Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memaknai hal-hal (things). Setiap kebudayaan memiliki berbagai
kekayaan mitos, yang hidup dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Mitos-mitos tersebut hanya bisa hidup dan diwariskan melalui
semacam kenderaan, kenderaan bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain, mitos
selalu menampakkan dirinya melalui tanda-tanda sebagai kenderaan semiotika
(Piliang, 2012: 353).
Selain itu, mitos pada sebuah kebudayaan berkaitan dengan
perumpamaan atau metafora yang digunakan oleh masyarakat untuk
menyampaikan berbagai pesan secara tidak langsung di dalam berbagai media
ekspresi. Dalam hal ini mitos ula-ula yang dibangun oleh masyarakat Bajo
menggunakan bendera berbentuk umbai-umbai sebagai perumpamaan pancaran
sinar matahari yang menyebabkan pergantian waktu yang sangat berlawanan.
Mitos tersebut merupakan sebuah paradigma masyarakat etnik Bajo yang masih
diyakini sehingga memiliki fungsi dan keyakinan yang sama sehingga tercipta
keharmonisan dan solidaritas sosial pada masyarakat etnik Bajo.
5.1.3 Kain Berwarna (palisier)
Pada umumnya kain berwarna yang biasa mereka sebut palisier memiliki
fungsi untuk memberikan kesan indah serta nuansa kesakralan secara adat
karena kain tersebut jarang digunakan terkecuali pada acara-acara khusus
seperti, keselamatan, perkawinan dan acara-acara adat lainnya. Warna yang ada
pada palisier juga terdiri dari empat warna sama halnya warna yang ada pada
beras berwarna dan itu merupakan satu kesatuan yang saling mengikat. Hal
tersebut tampak pada gambar 5.6.
Gambar 5.6 Palisier
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Gambar 5.6 menunjukkan bahwa palisier dalam ritual duata atau upacara adat
lainnya dilakukan pada saat-saat tertentu. Warna putih, merah, hitam dan kuning
pada palisier umumnya digunakan pula pada materi sesajian berupa beras
berwarna. Ini merupakan satu kesatuan antara yang dipersembahkan untuk di
laut (keke) dan yang diperuntukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa
(pappu/dewata). Tidak ada perbedaan karena bagi mereka yang diharapkan
adalah permohonan keselamatan bagi yang sedang diobati sehingga penguasa
alam dan makhluk gaib lainnya sama-sama memberikan kekuatan.
Palisier diproduksi oleh dukun sendiri yang mendesain dan memadukan
warna sesuai dengan penggunaan warna yang digunakan oleh leluhurnya secara
turun temurun. Bahan-bahan baku pembuatannya berupa kain berwaarna harus
dibeli di pasar. Cara memproduksi palisier dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)
sebagai berikut.
“Jenis kain yang digunakan sebagai bahan dasar palisier dari kain katun,
dulu aku membelinya seharga Rp 35.0000/meter. Jadi kalau dihitung
setiap palisier berbeda-beda ukurannya, untuk palisier besar berukuran
10 x 15 meter, terus palisier sedang 5 x 10 meter untuk setiap warnanya
membutuhkan ukuran 3 meter itu ada empat warna belum lagi kain yang
menutup bagian pinggir itu ± 15 meter, yang jahit itu sama penjahit yang
ada di pasar.(wawancara 7 Pebruari 2014)
Tuturan di atas memberikan gambaran bahwa dalam pembuatan palisier
membutuhkan bahan dasar kain yang begitu banyak tentunya biaya
operasionalnya pun tinggi. Peran dukun dalam pembuatan palisier hanya
mendesain gambar dan mengumpulkan bahan dasarnya, untuk membuatnya
menjadi satu dibutuhkan jasa penjahit. Produksi palisier dilakukan secara
konvensional yang membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu jauh lebih banyak
dalam pembuatannya. Dukun dan penjahit membangun kerja sama sehingga
produk yang dihasilkan merupakan produk desain dukun dimana desain gambar
merupakan hasil rancangan dukun sendiri. Berkenaan dengan itu, menurut Berry
(Kebayantini 2013: 31) pemilikan merupakan salah satu aspek pembagian
pekerjaan merupakan dasar hubungan kekuasaan. Oleh karena itu palisier bukan
hanya tidak diperjual belikan di pasar namun penjahit pun tidak diizinkan untuk
memproduksi palisier persis dengan palisier yang dirancang oleh dukun sendiri.
Tentunya dukun sebagai pihak yang memproduksinya memiliki
kekuasaan dalam menetapkan biaya pemakaian sarana ritual. Memahami praktik
produksi ritual duata yang begitu panjang memungkinkan pemikiran konsumen
akan kepraktisan penggunaan sarana ritual yang telah disediakan oleh sandro.
Konsumen tidak lagi memikirkan bagaimana menyediakan dan mendapatkan
materi ritual duata melainkan kepraktisan yang telah disediakan oleh sandro. Di
dalam fenomenologi (Kebayantini 2013: 35) inilah wilayah kepribadian yang
berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan yang disebut dengan kesadaran
praktis.
Mengingat banyaknya perlengkapan yang akan digunakan dan lamanya
penggunaan waktu dan tenaga dalam pelaksanaan ritual duata maka sandro akan
menentukan bentuk dan patokan harga dalam pelaksanaannya. Patokan harga
pada umumnya bervariasi tergantung siapa dan dimana ritual duata
dipertunjukan. Khususnya dalam mengisi acara pemerintahan atau pariwisata
biasanya pihak terkait/penyelenggara akan berkoordinasi dengan sandro.
Biasanya ritual duata ketika diminta dipertunjukkan di gedung atau hotel,
patokan harga berkisar Rp 7.000.000 sampai 15.000.000 tergantung jenis
tampilan, materi ritual dan lama pertunjukan. Seperti yang diungkapkan oleh
Dasseng (84 tahun) sebagai berikut:
“Ritual duata ini kalau tampil diacara pemerintah patokan harga mulai
dari harga Rp 10.000.000 - Rp 15.000.0000, mengingat ritual ini banyak
sekali prosesnya atau dekorasi yang digunakan terlebih penarinya dan
tukang gendang serta biaya transportasi dan sebagainya sudah termasuk
di dalamnya. Biasanya pihak penyelenggara melakukan nego atas
kecocokan harga dengan kami. (wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata dalam pertunjukannya
dilakukan oleh sandro dan kelompok sanggar kesenian Bajo sebagai media
perantara. Mengenai patokan harga ditentukan sebelumnya oleh sandro. Disini
tampak bahwa ada pengaruh kekuasaan sandro sesuai dengan gagasan Marx
dalam (Berry, 1983: 198) yang melihat kekuasaan bersumber dalam kegiatan
produktif dari hubungan sosial yang terlibat dalam sarana produksi.
Berbeda dengan ritual duata untuk konsumsi pengobatan biasanya
sandro menentukan harga sesuai dengan kondisi yang dialami pasien. Alasan
penggunaan waktu, materi ritual dan besarnya energi/tenaga (supranatural) yang
digunakan sandro dalam mengkomunikasikannya dengan roh-roh tersebut
merupakan bagian dari patokan harga. Dalam kasus seperti ini biasanya keluarga
pasien akan melakukan upaya negosiasi harga sehingga memperoleh kecocokan.
Namun ada juga keluarga pasien yang tidak cocok dengan harga sehingga upaya
penyembuhan tidak dilakukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47 tahun)
sebagai berikut:
“Kalau orang berobat dengan duata memang bajetnya sangat besar mulai
dari harga Rp 3.000.0000 sampai Rp 7.000.000 ada yang sanggup ada
juga yang tidak. Biasanya yang bajetnya besar jenis penyakitnya sudah
sangat parah sekali dan memiliki resiko besar terhadap sandro”
(wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas dianalisis bahwa terkadang bajet yang diberikan oleh sandro
sangat memberatkan pasien sehingga keinginan atau harapan akan kesembuhan
pasien bisa dinilai dari berapa kesanggupan dari pihak pasien. Pemutusan
hubungan ini dilakukan sepenuhnya oleh sandro sebagai pihak produsen karena
tidak ada kesepakatan yang tepat dengan pihak konsumen.
Produksi ritual duata untuk pertunjukan (hiburan) biasanya produsen
memproduksinya dengan mendaur ulang kembali ritual duata yang sakral namun
alat-alat yang digunakan masih alat yang sama yang berbeda adalah gerakan
tarian, kostum, jumlah penari, tempat, materi sesajian, dan waktu pertunjukan.
Dalam pengelolaan ritual duata dalam pertunjukan hak sepenuhnya untuk
melakukan perubahan baik penambahan maupun pengurangan waktu atau
lamanya pertunjukan sepenuhnya dilakukan dukun sekaligus seniman Bajo
sebagai pemilik tradisi ritual duata. Penambahan atau pengurangan materi ritual
atau estetika ritual duata ke dalam pertunjukan dimaksudkan agar tampilan ritual
duata lebih menarik lagi sehingga memunculkan minat dan daya tarik bagi
konsumen. Hal tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.
“Tentunya ritual duata yang sakral dan profan memiliki perbedaan.
Tampak pada perbedaan isi sesajian ada yang dikurangi ada juga yang
malah menambahkan dengan sesuatu yang baru, mengenai panggung
terkadang mengikuti selera konsumen, jumlah penari dan gerakannya
serta pakaian yang dikenakannya. Saya bersama dukun bersepakat untuk
merubah tergantung konteks dimana ritual duata digunakan yang
terpenting orang yang menikmatinya memahami dan tertarik untuk
melihatnya. (wawancara 8 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa tanda atau komponen ritual duata yang
memiliki nilai dan makna di dalamnya sengaja dirubah oleh produsen untuk
mendapatkan tampilan yang baru guna mengundang selera penonton dan
tentunya memiliki nilai guna (ekonomis). Sejalan dengan pemikiran Tester
(2009: 84) komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit
yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran
penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi
untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang
membutukan karya seni tersebut.
Penggunaan palisier dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata
sangat berbeda tampilannya dengan pertunjukan ritual duata untuk pengobatan
(sakral). Terlihat dalam pertunjukan ritual untuk pariwisata nampak berbagai
macam kombinasi warna yang dipadukan dengan berbagai macam warna yang
memperlihatkan kesan kemeriahan atau kemewahan dalam proses jalannya
pertunjukan ritual duata. Tikar yang terbuat dari daun pandan yang biasa
digunakan dalam pengobatan diganti dengan menggunakan karpet yang lebih
praktis. Terlihat pada pertunjukan ritual duata senantiasa mengikuti selera pasar
dimana tanda-tanda, ikon maupun simbol-simbol diolah untuk bisa memperoleh
nilai guna yakni keuntungan. Pernyataan tersebut terlihat pada gambar 5.7.
Gambar 5.7 Palisier dengan tampilan lebih meriah
(Dokumen : Jukni 7 Maret 2012)
Gambar 5.7 menunjukkan adanya perubahan tampilan materi-materi ritual
(palisier) dari keasliannya sehingga menyebabkan komponen-komponen dalam
ritual mengalami perubahan yang lebih mewah yang menandakan praktek
kapitalisme telah mengaduk-aduk nilai-nilai otentik sehingga mengarah kepada
turbelensi budaya. Komodifikasi tanda dalam ritual duata terjadi karena
permintaan pasar yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen.
Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi
dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.
Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas
atau nilai guna, akan tetapi untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar.
Proses komodifikasi yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang
memiliki nilai tukar, menurut Adorno dalam piliang (2011: 87) merupakan satu
bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme.
5.1.4 Panggung (Pentas)
Panggung (pentas) merupakan wadah dimana berlangsungnya sebuah
acara/kegiatan yang dengan sengaja dibuat untuk maksud dan tujuan tertentu.
Dalam hal ini panggung dalam kaitannya dengan ritual duata yaitu sebuah
tempat dimana ritual duata itu dilakukan. Pada umumnya ritual duata
berlangsung di rumah warga yang membutuhkan pengobatan. Rumah etnik Bajo
berada di atas permukaan laut berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan
papan beratapkan rumbia (daun ijuk) atau kelapa. Hal tersebut dituturkan oleh
Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.
“Untuk pengobatan ritual duata sebenarnya tidak ada panggung makanya
ada kain palisier ini untuk tanda saja, tapi untuk pertunjukkan maka kami
buatkan panngung karena kejadiannya bukan sama lagi dengan di rumah,
akan tetapi kami buat kadang di atas perahu atau di panggung permanen
seperti di gedung.” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan bahwa dalam konteks pertunjukkan ritual duata,
panggung didesain khusus dengan membuat perumpamaan sebuah rumah di atas
laut atau mengikuti selera konsumen. Panggung bisa dilakukan di atas perahu
bisa juga di atas pentas permanen dalam sebuah gedung, tergantung hajatan atau
acara. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses komodifikasi ritual
duata telah terjadi praktek pemalsuan identitas atau tanda. Dalam hal ini objek
yang ditampilkan tidak sesuai dengan esensi ritual duata. Akibat dari
penyesuaian akan unsur-unsur budaya lokal ke dalam industri budaya massa.
Seperti yang dikatakan Piliang (2011:11) bahwa budaya massa merupakan
kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga oleh
Adorno cenderung dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal
atau rendah.
Jika dikaitkan dengan wacana kapitalisme estetika merupakan produk
dari sistem percepatan produksi konsumsi akibat dari komodifikasi produk
secara total (Piliang 2011: 165). Berkaitan dengan komodifikasi ritual duata,
panggung merupakan modal estetik yang sengaja dibentuk, didesain seindah
mungkin sehingga memiliki nilai estetika yang mengundang daya tarik. Terlebih
terkadang komponen pendukung panggung seperti lampu dengan penataan yang
begitu indah memberikan kesan meriah akan tampilan ritual duata. Hal tersebut
ditunjukkan pada gambar 5.8.
Gambar 5.8 Panggung permanen
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 5.8 memberikan penggambaran bahwasanya ritual duata yang
bernilai sakral sebelumnya dilakukan di dalam rumah pasien namun dalam
konteks pertunjukan ritual duata, panggung diubah mengikuti permintaan
konsumen sebagai imitasi dari rumah panggung etnik Bajo. Fasilitas pendukung
lainnya seperti lampu penerangan pada panggung menunjukkan bahwa
panggung telah mengalami komodifikasi. Sesuai dengan konsep komodifikasi,
dimana tanda, indeks, simbol yang sebelumnya bukan barang komoditas karena
permintaan pasar diubah menjadi barang komoditi. Proses komodifikasi yang
menjadikan panggung, pementasan bukan lagi menjadi objek utama yang dibeli
dan mendapatkan nilai guna (sesuai fungsinya) melainkan dibeli (panggung
digunakan) sebagai tanda suatu komoditas (Barker, 2005: 145-146). Tempat
pementasan, panggung ditentukan melalui suatu proses pertukaran yang
menandakan nilai sosial, status, dan kekuasaan dalam konteks makna budaya,
yang mencirikan adanya suatu masyarakat konsumer, masyarakat komodifikasi.
Dalam budaya populer, suatu barang menjadi komoditi untuk dikonsumsi
sebagai bagian dari kapitalisme konsumsi. Dalam hal ini tempat pementasan,
panggung menjadi barang komoditi yang diciptakan kapitalisme sebagai bagian
dari gaya hidup berkesenian. Menurut Sunardi (Robert 2010: 207) kapitalisme
menciptakan massifikasi atau penyeragaman konsumsi, melalui berbagai indera
perasa, pendengaran, penglihatan dan penciuman.
5.1.5 Pakaian (Busana)
Pakaian atau busana merupakan sebuah benda berupa kain yang
berfungsi menutupi diri (aurat) dan melindungi diri dari perubahan cuaca serta
penanda dari identitas diri. Pakaian yang dimaksudkan disini yaitu berupa kain
yang sengaja dibuat untuk dipakai oleh perempuan Bajo dalam ritual duata.
Umumnya pakaian yang digunakan perempuan Bajo berupa sarung adat
berwarna gelap (ungu) yang diikatkan dibagian tubuh bagian atas (sejajar dada)
sehingga bagian tubuh punggung tampak terbuka dengan sehelai kain
(selendang) warna merah muda disempatkan di atas bahu. Busana yang
digunakan dalam pementasan ritual duata disediakan oleh sandro. Namun
terkadang demi memenuhi selera pasar tak jarang pula sandro harus meminjam
pakaian di salon-salon kecantikan guna memenuhi permintaan pasar
(konsumen). Pakaian khas etnik Bajo tampak pada gambar 5.9.
Gambar 5.9 Pakaian khas etnik Bajo
(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)
Pada gambar 5.9 terlihat pakaian khas etnik Bajo yang biasanya digunakan pada
ritual duata. Umumnya pakaian mereka tampil sesederhana mungkin. Dalam
pertunjukan ritual duata (hiburan) perubahan pakaian penari tampak sangat
menonjol disesuaikan dengan selera dan kondisi era kekinian. Perubahan warna
maupun ornamen-ornamen tambahan yang dikenakan penari ikut menghiasi diri
penari seolah-olah memberikan kesan lebih meriah dan memiliki daya tarik bagi
penikmat (konsumen). Perubahan tersebut sebagai bentuk kreativitas seni yang
dihasilkan oleh produsen untuk membuat tampilan ritual duata lebih meriah.
Pakaian penari yang telah mengalami perubahan telihat pada gambar 5.10.
Gambar 5.10 Pakaian yang sudah dimodifikasi
(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Gambar 5.10 menunjukan adanya perbedaan pakaian yang digunakan penari
dalam pementasan. Hal ini terjadi karena permintaan pasar atau keinginan
produsen agar tampilan ritual duata tidak monoton. Mereka mendaur ulang
bentuk pakaian agar lebih menarik dan tampil dengan trend masa kini.
Penyesuaian busana juga harus memperhatikan situasi dan kondisi dimana
mereka tampil. Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan tampilan dalam ritual
duata berkaitan dengan gaya hidup (life style) demi mengikuti selera konsumen.
Terkait dengan hal tersebut nampaknya perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh
kultur kapitalis, tak lain merupakan bentuk manipulasi dan penguasaan yang
secara total meresapi struktur psikis dan sosial Beilharz (dalam Suyanto 2013:
115).
Di era perkembangan masyarakat yang didominasi kekuatan kapitalisme,
sifat kapitalisme akan membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat
dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu masif konsumsi. Ketika
persaingan antar kekuatan kapital makin kuat dan masing-masing berusaha
mencari corak pasar baru dan berusaha memaksimalkan produksi serta
keuntungan, maka yang terjadi adalah bagaimana mencari peluang pasar secara
terus menerus, merawat loyalitas pelanggan, dan mencoba menawarkan produk-
produk termasuk produk budaya secara masif. Komodifikasi bagi Adorno
(dalam Piliang 2010: 87) tidak saja merujuk pada barang-barang kebutuhan
konsumer akan tetapi merambat pada bidang seni dan kebudayaanya. Selain
mengacu pada konsep pakaian khas etnik Bajo, pihak produsen juga
menggunakan corak warna pakaian dan tata cara berpenampilan dari corak
pakaian adat Buton pada umumnya. Seperti yang digambarkan pada gambar
5.11.
Gambar 5.11 Pakaian penari dengan sentuhan warna pakaian adat Buton
(Dokumen: Asrif 6 Maret 2013)
Pada gambar 5.11 terlihat penari duata menggunakan pakaian dengan kombinasi
warna, kuning, hitam, merah dan putih dengan motif bergaris-garis yang
memiliki kemiripan dengan corak pakaian adat khas perempuan Buton pada
umumnya. Pakaian tersebut sengaja didesain dengan mengambil sentuhan kultur
budaya etnik Buton (Wakatobi) untuk menunjukkkan identitas etnik Bajo dari
kepulauan Wakatobi. Hal ini dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.
“Kami khususnya dari pihak produsen dan sanggar tari Bajo mendesain
pakaian penari ini sesuai selera dan acara dimana mereka akan tampil.
Ada beberapa koleksi pakaian yang kami desain khusus, seperti pada
pertunjukan ritual duata yang diadakan di kampung Bajo sendiri maka
kamu menggunakan corak identitas Bajo dengan motif-motif warna
gelap tapi kalau untuk pertunjukan dalam kegiatan pemerintah atau
pariwisata maka kami akan menggunakan pakaian dengan sentuhan etnik
Bajo dan Buton biar ada kolaborasi identitas kami dengan etnik Buton
(Wakatobi) disamping itu juga dengan perpaduan warna tersebut bisa
mengundang daya tarik dan selera penikmat seni’ (wawancara 7 Pebruari
2014).
Tuturan di atas menunjukkan bahwa pada segi pakaian yang digunakan pada
ritual duata untuk pertunjukkan nampaknya produsen telah membuka diri untuk
melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan gaya hidup dan
estetika warna yang dipengaruhi oleh permintaan pasar. Jika ritual duata
dilakukan kampung Bajo maka mereka akan menggunakan sarung dan
selendang tanpa menggunakan baju sedangkan pada pertunjukan pariwisata atau
untuk acara pemerintah maka akan menggunakan berbagai macam pakaian dan
warna-warna menarik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kapital (selera pasar)
mempengaruhi estetika masyarakat sebagaimana yang dinyatakan oleh Piliang
(2012: 98) budaya global (kapital) masuk kesegala lini kehidupan masyarakat
dunia tidak terkecuali pada bidang seni dan estetika masyarakat. Produsen
mampu menempatkan posisi dan melihat kondisi pasar agar ritual duata tetap
diterima oleh masyarakat pendukungnya dan para penikmat seni bisa menerima
sesuai dengan harapan mereka.
5.1.6 Gerak Tari (ngigal)
Gerakan tari pada ritual duata sebenarnya berupa gerakan-gerakan kecil
dengan kaki menjinjit secara bergantian (kiri kanan) mengikuti ketukan bunyi
gendang sebagai pengiringnya. Gerakan tangan diarahkan ke kiri dan ke kanan
dengan posisi kedua tangan searah memutari pasien yang diobati. Sebuah mitos
dalam gerakan ini terkadang makhluk halus merasuki penari dan ikut menari
sesuai dengan kehendaknya. Fungsi gerakan ini dimaksudkan untuk memberikan
semangat hidup bagi pasien serta memanggil roh (arwah) pengganggu yang
menyebabkan pasien sakit serta bentuk ucapan kegirangan ketika sang pasien
dinyatakan sembuh. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai
berikut.
“Ngigal pada dasarnya sebuah gerakan-gerakan loncat secara halus
disertai dengan gerakan tangan yang memegang kipas. Pada saat pasien
dinyatakan sembuh maka keluarga pasien akan bersorak gembira sambil
loncat-loncat dengan berbagai gerakan tangan” (wawancara 7 Pebruari
2014).
Tuturan tersebut memberikan gambaran bahwa gerakan ngigal yang dilakukan
pada saat berlangsungnya ritual duata merupakan gerakan penyemangat agar
pasien tetap kuat melakukan selama prosesi ritual duata. Jiwa pasien yang lemah
akan senantiasa dibangun dengan semangat dari keluarga atau kerabat pasien
yang ada disekelilingnya. Agar tidak tampak sepi maka cara yang dilakukan
keluarganya yaitu dengan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian dari gendang
dan gong.
Pada gerakan tari (ngigal) tidak menutup kemungkinan yang
melakukannya bisa laki-laki ataupun perempuan dengan jumlah tak terbatas.
Pada gerakan ini sandro juga ikut melakukannya dengan menggunakan keris
mempertujukkan kelihaiannya dalam menari diikuti penari lainnya yang
memegang kipas sehingga suasana nampak menjiwai. Hal tersebut tampak pada
gambar 5.12.
Gambar 5.12 Gerakan tari (ngigal)
(Dokumen: Dinas Pariwisata Wakatobi 7 Pebruari 2013)
Gambar 5.12 menunjukkan bahwa gerakan tari dalam ritual duata memiliki
kekuatan dan makna sehingga ritual duata lebih tampak dengan unsur-unsur
magisnya. Namun dalam pertunjukan hiburan mengalami perubahan bentuk baik
formasi maupun jumlah penari dan pada umumnya dilakukan oleh kaum
perempuan Bajo. Banyak gerakan tambahan yang dimasukan atau pengurangan
dalam tarian misalnya gerakan menggunakan selendang, kipas dan gerakan
dalam posisi duduk. Perubahan tersebut memiliki alasan yakni tidak
memberikan kesan monoton akan gerakan tangan dan kaki tapi dengan variasi
posisi penari saling berhadapan dan melingkar membuat suasana hidup dan
menarik perhatian penonton. Dalam formasi gerakan terkadang satu penari
memiliki peran ganda yakni sebagai dukun dan pasien tak jarang juga hanya
gerakan-gerakan kaki dan tangan tanpa ada yang memainkan peran dukun yang
menunjukan ada prosesi pengobatan misalnya pada acara penyambutan tamu.
Disinilah letak perubahan yang sangat jauh dari kesan aslinya yang seharusnya
bendera ula-ula yang menandai berlangsungnya ritual duata adanya di atas
perahu namun dalam pertunjukan dipegang oleh penari. Nampaknya produksi
ritual duata yang mengalami komodifikasi posisi dukun (sandro) sangat penting
dalam mengubah struktur/bentuk ritual duata. Seperti yang diungkapkan oleh
Djamrin (38 tahun) sebagai berikut:
“Jadi pembentukan struktur ritual duata dalam pertunjukan duata
maupun pengobatan, para seniman bekerja sama dengan sandro untuk
menata ulang jalannya ritual. Sandro akan menentukan sendiri apa yang
bisa dipertunjukan dan apa yang tidak boleh, karena mengingat ritual ini
masih sangat sakral sehingga ada batasan untuk bisa dipertontonkan”
(wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukan adanya relasi kerja sama antara seniman dan
sandro dalam mengolah atau memproduksi ritual duata dalam bentuk produk
baru. Struktur atau bentuk ritual duata sengaja dirubah dengan alasan menjaga
esensi nilai kesakralannya. Nampaknya pada proses produksi sandro memiliki
kekuasaan penuh dalam mendesain atau menciptakan desain baru dalam
mendaur ulang ritual duata agar lebih menarik. Perubahan estetika bentuk
gerakan dan pakaian ditunjukkan pada gambar 5.13.
Gambar 5.13 Gerakan tari (ngigal) yang mengalami perubahan
(Sumber: Dinas Pariwisata Wakatobi 2014)
Dalam proses mendaur ulang ritual duata kedalam kreasi seni sandro
memiliki beberapa anggota sanggar yang berpartisipasi didalamnya. Untuk
mendapatkan gerakan tari yang indah maka sandro meminta penata tari
(koreografer) dan penata busana untuk memberikan kesan estetika sehingga
benilai jual untuk di konsumsi oleh penikmat seni. Dalam masyarakat cara
produksi semacam itu disebut hubungan produksi, yang menurut Marx (Berry,
1983: 200) hubungan produksi ini adalah hubungan sosial. Pada masyarakat
kapitalis gagasan cara berproduksi tersebut menggambarkan hubungan antara
pekerja dengan majikannya, peralatan, teman sekerjanya dan kegiatannya
(Kebayantini 2013: 23). Hubungan sandro, dan pelaku seni (koreo dan busana)
serta pekerja lainnya merupakan hubungan kerja yang saling melengkapi dengan
keahlian masing-masing sehingga hubungan ini terjalin dari spesialisasi dan
pembagian kerja sehingga tenaga kerjanya diberikan upah sejalan dengan
konsepsi Marx (dalam Kebayantini 2013: 23) hubungan-hubungan produksi
dalam masyarakat kapitalis tenaga kerjanya diupah uang.
Seni pertunjukan pada umumnya salah satu bentuk produk budaya
kekaryaan manusia yang berbasis pada kegiatan kreatif. Kesenian akan hidup
jika ada kreativitas. Kreatif dalam membuat karya, kreatif dalam menggelar
maupun dalam menyosialisasikan dan menghidupi dirinya, termasuk
menggalang dana dengan berbagai cara. Seniman dapat menjadi mesin uang dari
industri, sebaliknya seniman dapat juga memanfaatkan dunia industri sebagai
sarana promosi dan memasarkan diri dan karya-karyanya.
Ritual duata dalam perkembangannya dari waktu kewaktu mengalami
kesinambungan yang mengalami perubahan. Gencarnya arus globalisasi saat ini
menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan tradisi yang merupakan
kebudayaan adiluhung nenek moyang. Tidak dapat dihindari bahwa dalam
kehidupan dan perkembangan seni tradisi utamanya seni-seni yang berkaitan
dengan unsur tradisional selalu dihadapkan pada dinamika masyarakat dan
zaman yang selalu berdampak pada sebuah perubahan karena pada dasarnya
perubahan tersebut merupakan tanda-tanda kehidupaan akan tradisi tersebut.
namun dilain pihak akan berimbas pada paradigma masyarakat akan esensi nilai
kesakralan dan makna ritual dari ancaman polusi dan pengkaburan makna dalam
tradisi tersebut.
Sejak ritual duata dijadikan sebagai salah satu bentuk kesenian etnik
Bajo tentunya mengalami banyak perubahan. Perubahan yang dimaksud
mengikuti selera pasar. Apa yang pasar inginkan pastinya sandro bersama
seniman Bajo akan melakukan pembaharuan dengan melihat situasi dan kondisi
dimana dipertunjukan sehingga waktu pelaksanaan ritual duata sekarang
mengikuti waktu yang ditentukan oleh konsumen atau panitia penyelenggara.
Hal tersebut nampak pada perubahan waktu yang digunakan sudah sangat
berbeda dengan penggunaan waktu ritual duata yang original. Pada hal dengan
perubahan waktu yang dilakukan tersebut banyak aspek-aspek ritual yang
dikesampingkan sehingga menimbulkan pengaburan makna yang terkandung
didalam prosesnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai
berikut.
“Tentunya dalam penggunaan waktu ritual duata yang asli dengan yang
sudah dijadikan pertunjukan tersebut sangat berbeda. Pada hal dengan
adanya waktu yang lama tersebut ada bagian-bagian ritual yang
semestinya ditampilkan namun karena dibatasi oleh panitia maka bagian-
bagian tersebut tidak ditampilkan yang pada akibatnya akan
menimbulkan pengkaburan tanda atau makna ritual duata” (wawancara 8
Pebruari 2014).
Ungkapan tersebut nampaknya ritual duata dalam pertunjukannya mengikuti
selera pasar sehingga dari segi penggunaan waktu pelaksanaan pun sangat
berpengaruh karena panitia memberikan batasan lama pertunjukan sehingga
dengan keterbatasan waktu tersebut banyak bagian-bagian ritual yang
dihilangkan bahkan dipersingkat sehingga tidak utuh seperti aslinya.
5.2 Distribusi Ritual Duata
Distribusi dalam penelitian ini adalah usaha untuk menyalurkan dalam
arti memperkenalkan, mempromosikan tradisi lisan berupa ritual duata, agar
dapat diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan lokal dan
wisatawan asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan ritual duata pada
masyarakat luas akan mengundang ketertarikan dan berkeinginan untuk
mengetahui lebih dekat bahkan mengonsumsinya.
Dalam penelitian ini, pendistribusian ritual duata bukan hanya sebatas
bagaimana ritual duata bisa sampai pada konsumen atau dinikmati oleh
konsumen namun berkaitan dengan upaya bagaimana ritual duata bisa dikenali
oleh masyarakat luas yang tidak melihat atau menikmati secara langsung. Fungsi
distribusi, menurut Yoeti (1996:110), adalah sebagai penghubung antara
produsen dan konsumen maupun pemakai.
Disamping itu, dalam pendistribusian tidak hanya sebatas
mendistribusikan produk jasa/barang kepada konsumen namun terjadi
pendistribusian ideologi dan kekuasaan dimana pemasaran dan promosi ideologi
dibelakang produk-produk tersebut (Burton 1999: 38). Dalam pengertian ini
orang yang mengkonsumsi ritual duata juga mengonsumsi kepercayaan yang
diminati orang-orang yang mengosumsi ritual duata sebelumnya dalam artian ini
merupakan sebuah prestise sendiri yang dicapai. Proses pendistribusian ritual
duata dalam penelitian ini dibagi melalui dua hal yaitu (1) media massa dan (2)
komunikasi lisan.
5.2.1 Media Massa
Media massa dalam penelitian ini terkait dengan sebuah wadah/saluran
komunikasi yang memberikan informasi secara luas kepada masyarakat dalam
hal ini media massa digunakan sebagai sarana pendistribusian produk/jasa ritual
duata. Media massa terbagi menjadi dua yaitu media elektronik dan media cetak.
Media elektronik merupakan sarana penyebarluasan berita dan informasi
kepada khalayak luas, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini
selaras dengan fungsi media massa sebagai lembaga siaran yang berkepentingan
dengan penyebaran informasi dan bisnis serta upaya mempengaruhi opini publik
internasional (Shoelhi, 2009).
Dalam pendistribusin produk jasa/barang ritual duata bisa melalui iklan
baik melalui internet, radio, koran, brosur, televisi, sehingga berkembanglah apa
yang secara umum diberi label industri budaya. Iklan di media massa bukan lagi
sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme melainkan telah
menjadi salah satu instrumen paling vital. Dikatakan demikian karena iklan telah
terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk nafsu dan hasrat (desire)
konsumen terhadap produk barang ataupun jasa melalui serangkaian asosiasi
ideologi citra yang dibangunnya (Kebayantini, 2013: 63).
Iklan sebagai media perantara cukup efektif bisa dikonsumsi oleh
masyarakat khususnya produk budaya ritual duata sejauh ini hanya pada iklan
pariwisata yang dilakukan oleh dinas pariwisata Kabupaten Waktobi pada
televisi serta internet untuk memberikan informasi layanan jasa pariwisata dan
mensosialisasikan potensi budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Wakatobi
sehingga masyarakat memahami dan ikut serta dalam mengonsumsi,
melestarikan dan mengembangkan produk budaya lokal. Seperti yang dituturkan
oleh Djamrin (38) sebagai berikut.
“Untuk sekarang ini, yang saya ketahui bahwa ritual duata telah dikenal
oleh masyarakat luas waktu itu saya melihat ditayangan iklan pariwisata
Wakatobi di televisi lokal dan di internet sehingga kami juga bangga
bahkan mau berbuat lebih lagi untuk melestarikan dan mengembangkan
budaya Bajo khususnya ritual duata ini” (wawancara 5 Pebruari 2014).
Penuturan Djamrin tersebut menggambarkan bahwa peran iklan yang dilakukan
oleh pemerintah maupun pemerhati tradisi sangat membantu dalam usaha
pelestarian dan pemberian informasi sekaligus memperkenalkan kebudayaan
Bajo dimasyarakat luas yang pada akhirnya orang ataupun wisatawan mau dan
tertarik ingin melihat kebudayaan Bajo di Kabupaten Wakatobi. Peryataan
tersebut seperti pada gambar 5.14.
Gambar 5.14 Promosi ritual duata melalui intenet
(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Gambar di 5.14 menunjukkan bahwa ritual duata dalam pendistribusiannya
menggunakan media internet dalam mengiklankannya. Internet dijadikan alat
untuk mendukung pemasaran produk budaya etnik Bajo agar masyarakat luas
bisa mengenali dan tentunya ada keinginan untuk lebih mengenali ritual duata
lebih dekat lagi. Iklan merupakan bagian teknik komunikasi. Iklan tidak hanya
menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti
gambar dengan citra bergerak (motion picture), warna dan bunyi-bunyi dimana
perpaduan keseluruhan akan menghasilkan komunikasi periklanan yang efektif
(Mulyana, 2007:68).
Iklan mendesain berbagai macam tanda yang mengandung pemaknaan
sehingga masyarakat mau dan berkeinginan untuk mengonsumsi tanda lewat
media tersebut. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Piliang (2003) bahwa
pada era post-industri media terlibat dalam mempengaruhi makna yang termuat
dalam objek-objek seni melalui proses komunikasi. Media bahkan disebut
sebagai bagian dari kekuasaan yang menentukan proses produksi-konsumsi
objek-objek estetik. Objek-objek seni yang merupakan bagian dari kebudayaan
materi yang diproduksi dan dikonsumsi kemudian dijadikan alat untuk
menyampaikan makna-makna dan kepentingan-kepentingan sosial yang ada
dibelakangnya.
Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari
kepentingan yang ada dibalik media tersebut. Di dalam perkembangan media
mutakhir, ada satu kepentingan utama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi
(economic interest). Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk
membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi citra
yang dibangunnya. Sejalan dengan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 186)
Iklan dipahami sebagai aktivitas penyampaian pesan-pesan visual kepada
khalayak dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk
membeli produk barang dan jasa yang direproduksi. Iklan dirancang sebagai
penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima
penawaran produk dengan mengeluarkan biaya.
Iklan televisi menarik bagi konsumen karena keunggulannya menyajikan
audio dan visual secara bersamaan. Televisi sebagai media periklanan,
merupakan salah satu media yang paling mudah untuk mempromosikan produk
barang dan jasa kepada masyarakat. Dalam iklan banyak permainan tanda yang
pada prosesnya harus diinterpetasikan sehingga tanda tersubut mempunyai
makna yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam hal ini komodifikasi ritual
duata dikemas dalam iklan penuh dengan permainan tanda dalam
mempromosikannya.
Iklan sebagai proses pertukaran tanda dan makna adalah sistem tanda
terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap
dan juga keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan ada dua tingkatan makna
yang dinyatakan secara eksplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan
secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi
metode yang sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam iklan
dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melaui
semiotika ideologi- ideologi dibalik iklan bisa dibongkar.
Iklan dalam perkembangannya di era post modernisme bukan sekedar
pengumuman ringan, penyebarluasan informasi, dan promosi barang dan jasa
namun iklan dijadikan sebagai organisasi bisnis bagi kaum kapitalis. Di negara
manapun kehadiran dan peran iklan telah menguasai seluruh lapisan komunikasi
di media massa sehingga keduanya tidak bisa hidup tanpa iklan. Dengan
menguasai media dan merekayasa citra melalui iklan, seseorang yang dekat
dengan media massa akan mampu dengan mudah masuk kedalam pasaran.
Dengan perantaraan iklan melalui media massa maka kekuatan kapitalis
dengan mudah akan memperkenalkan produk barang/jasa mereka hasilkan ke
pasar, menggambarkan sesuatu janji atau keunggulan sebuah barang/jasa yang
sering kali berlawanan dengan kenyataan namun justru disinilah sebenarnya
letak kekuatan iklan. Sesuai dengan pendapat Kasiyan (dalam Suyanto, 2013:
231) iklan tidak hanya menyajikan sebuah fungsi (use value), melainkan juga
menekankan janji atas nilai.
Selain media massa yang digunakan dalam pendistribusian ritual duata
juga digunakan media cetak yang mengutamakan pesan-pesan visual, dan
umumnya media ini berbentuk lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar,
atau foto bagian-bagian yang menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini
terutama berbentuk surat kabar, brosur, dan selebaran seperti pada gambar 5.15.
Gambar 5.15 Koran dan Brosur dalam pendistribusian ritual duata
(Dokumen: Kantor Desa Mola Selatan 2014)
Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan
dengan kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya,
pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang
beroperasi dibaliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari
ideologi yang membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang
digunakan dan pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134).
Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang
tidak lagi mengacu para realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia
menjadi semacam realias kedua yang refrensinya adalah dirinya sendiri yang
disebut simulakra. Simulakra tampil seperti realitas yang sesungguhnya, pada
hal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi
simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realita media ini dipercaya lebih nyata
dari realitas yang sesungguhnya (Piliang, 2009 : 141). Ritual duata sebagai
produk budaya dipromosikan melalui media massa cetak. Hal ini memperjelas
bahwa disisi lain pengaruh modernisasi berdampak positif bagi kelangsungan
dan perkembangan budaya lokal yang semakin terpinggirkan atau terancam
punah. Promo media semacam ini cukup efektif untuk digunakan mengingat
manusia memiliki keterbatasan dalam mempromosikannya. Hal ini sesuai
dengan pendapat Piliang (2012: 63) objek seni dalam kebudayaan moderen dan
post modern merupakan dari kebudayaan materi. Produk seni tidak hanya
diproduksi, dikonsumsi namun juga didistribusikan melalui media khususnya
dalam bentuk iklan atau koran.
Sekiranya melalui media massa ritual duata mampu menjadi sebuah
prodak kesenian disamping bernilai jual juga bisa menjadi benteng
pemertahanan tradisi yang hampir punah, melalui pendokumentasian kiranya
generasi muda penerus tradisi khususnya masyarakat Bajo mampu mewarisi dan
memahami nilai-nilai yang telah dibangun oleh leluhur sebelumnya. Disinilah
bagian-bagian keterkaitan antara budaya tradisional dan budaya moderen yang
saling bersinergi, saling mengisi dan membutuhkan. Tradisi lokal bisa
dikembangkan keruang lingkup budaya moderen dengan berbagai kreativitas
dalam memproduksi, mendesain atau mengembangkannya sehingga mampu
menjadi sumber nilai baik secara ekonomi maupun dalam plestarian budaya
pada konteks era globalisasi.
5.2.2 Komunikasi Lisan
Komunikasi lisan atau verbal atau juga disebut “the word of mouth” yang
diungkapkan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 194) merupakan salah salah
satu cara untuk membantu kelancaran jual beli dalam masyarakat yang masih
sangat sederhana. Meskipun demikian sampai saat ini cara tersebut ternyata
masih bertahan dan masih sering digunakan baik secara disengaja maupun tidak.
Komunikasi lisan masih cukup efektif sebagai cara penyampaian atau
menginformasikan ritual duata yang diproduksi sehingga diketahui oleh
masyarakat secara umum. Komunikasi lisan dapat terjadi karena disengaja
ataupun tidak dan bisa terjadi antara pihak produsen dengan anggota masyarakat
atau antar anggota masyarakat.
Dalam kaitannya dengan distribusi ritual duata maka langkah yang biasa
dilakukan oleh produsen ataupun konsumen yaitu dengan cara bertemu langsung
dan masing-masing melakukan berbagai macam cara agar keinginan kedua pihak
sama-sama diuntungkan. Biasanya pihak produsen sebelumnya melakukan
sosialisasi secara lisan dengan masyarakat Bajo sendiri akan nilai-nilai dan
fungsi ritual duata. Masyarakat Bajo yang memahami manfaat dan pentingnya
ritual duata tersebut melakukan hal yang sama kepada orang lain, kerabat,
keluarga ataupun dimana saja mereka berada dengan maksud agar kebudayaan
Bajo dikenal orang banyak dan memahami esensi dari ritual duata sendiri.
Informasi tersebut didapatkan dari mulut kemulut sehingga rasa penasaran akan
kebenarannya membuat orang mau melihat bahkan mengkonsumsi ritual duata
untuk berbagai kepentingan. Seperti yang diungkapkan oleh Romi (40 tahun)
sebagai berikut.
“Saya sendiri orang di darat (bukan Bajo) mengetahui akan adanya cerita
ritual duata dari teman-teman didekat rumah katanya di Bajo itu ada
dukun yang bisa mengobati orang dan rata-rata sembuh, saya penasaran
maka aku mencoba kerumah dukun itu nampaknya dirumahnya banyak
orang datang berobat dengan berbagai macam keluhan dan menurut
informasi yang saya dapatkan dari pasiennya rata-rata bisa disembuhkan
apapun jenis penyakitnya. (wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa komunikasi lisan yang dilakukan
dari mulut ke mulut memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran informasi
ke masyarakat. Melalui komunikasi lisan yang dilakukan oleh dukun terhadap
pasien memberikan pemahaman baru akan nilai-nilai ritual duata. Konsumen
yang paham dan merasa penting untuk diketahui orang banyak maka konsumen
akan melakukan komunikasi lisan ke konsumen lainnya.
Kebudayaan sebuah masyarakat juga tak bisa dipisahkan dari
komunikasi. Komunikasi penting bagi kelangsungan hidup manusia. Melalui
komunikasi kita membangun budaya, dan ketika kita berkomunikasi, kita
berkomunikasi secara budaya Lull (dalam Ibrahim: 2007: xx). Melalui
komunikasi ideologi budaya bisa menyelinap kepemikiran masyarakat melalui
pemahaman atau cara pandang tentang kebudayaan tersebut. Dalam komunikasi
lisan ide-ide atau gagasan nilai yang dimiliki dukun dengan pemahamannya
tentang ritual duata bisa dikonsumsi pula sebagai sumber informasi penting bagi
masyarakat pemilik/pendukung tradisi ritual duata. Tidak hanya produk dalam
bentuk barang (benda) tapi ide-ide atau gagasan berupa petuah, nilai-nilai
kearifan lokal pun bisa dijadikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi dalam
pemahaman konsep religi.
Dukun selaku pemilik ritual duata memiliki kekuatan/ideologi kuat
dalam mengembangkan ritual duata. Melalui pengetahuan akan nilai-nilai dalam
ritual duata mampu menguasai masyarakat Bajo. Sebagai orang yang memiliki
kemampuan lebih tidak memutup kemungkinan pola pemikirannya dipengaruhi
ide-ide manusia moderen yang mampu merubah sesuatu barang yang
sebelumnya bukan untuk diperjual belikan menjadi sesuatu yang bernilai jual.
Seperti halnya dalam komersialisasi ritual duata tentunya sandro sebagai
manusia akan mengalami perubahan pola pikir untuk mengembangkan ritual
duata kedalam industri budaya kreatif guna menopang kehidupan ekonomi.
Pengaruh globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan yang semakin
maju, ditandai dengan berbagai macam produk kesenian yang berasal dari
budaya tradisional telah dikonsumsi oleh masyarakat melalui media massa.
Tentunya akan mendorong masyarakat yang memiliki produk budaya lokal
untuk mengembangkannya sehingga bisa mendapatkan keuntungan (nilai guna).
Berpikir tentang budaya sebagai aktivitas komunikasi dengan jitu
mencampurkan aspek-aspek abadi dengan unsur-unsur yang dimediakan, yang
lebih dinamis. Oleh karena itu bentuk-bentuk budaya telah menjadi bersifat
simbolik, termediakan, sintetis, dan bergerak, seperti halnya dinamika produk
media dan artefak budaya populer itu sendiri (Ibrahim, 2007: xxi).
Komunikasi lisan merupakan karakteristik manusia dalam
mengungkapkan ide-ide atau maksud tertentu berupa kata-kata agar keinginan
dan harapannya orang lain memahami dan mau berinteraksi. Tentunya
pemikiran atau ide-ide itu berasal dari pemikiran produsen sehingga yang
menyampaikan pesan secara lisan tersebut mengadopsi maksud dengan
menambahkan berbagai gaya penyampaian pesan sehingga mampu membuat
orang tertarik.
Komunikasi lisan yang dilakukan dalam pendistribusian ritual duata ke
masyarakat luas memberikan pengaruh yang begitu besar mengingat sarana
tekhnologi komunikasi yang moderen tidak semua masyarakat memilikinya
sehingga dengan komunikasi lisan mampu memberikan penyebaran informasi
budaya yang efektif bagi masyarakat etnik Bajo. Dalam komunikasi lisan seperti
inilah terkadang ideologi-ideologi produsen menyelinap dalam pemikiran
konsumen sehingga tertarik dan mengkonsumsi ritual duata.
5.3 Konsumsi Ritual Duata
Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kegiatan yang
bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan dan
kepuasan secara langsung, tetapi juga seperti yang dinyatakan Piliang (2005:
189) mengandung makna tertentu, merupakan tindakan penggunaan simbol
untuk menandai posisi sosial tertentu.
Berkenaan dengan itu konsumsi ritual duata ditekankan pada analisis
bagaimana ritual duata dikonsumsi atau digunakan dalam arti dilaksanakan oleh
para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohani serta menunjukan
identitas status tertentu. Membicarakan proses konsumsi ritual duata erat
kaitannya dengan hukum pasar dimana produk yang dihasilkan termasuk produk
ritual duata akan dipengaruhi oleh keinginan pasar atau ideologi pasar. Ideologi
pasar menurut Atmaja (2005: 123) yang disebutnya ‘Agama Pasar’ sebagai salah
satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media utama bagi
pemenuhan segala kebutuhan manusia. ‘Agama Pasar’ tujuannya mengalihkan
modal budaya, mengalihkan tradisi ritual duata menjadi modal ekonomi. Disini
peneliti melihat dua bentuk konsumsi yakni (1) konsumsi ritual duata untuk
pengobatan (2) Konsumsi ritual duata untuk pariwisata (hiburan).
5.3.1 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan
Sesuai dengan fungsinya ritual duata etnik Bajo digunakan dalam hal
upaya penyembuhan penyakit. Dalam prosesi pengobatan melalui ritual duata
masyarakat menyampaikan maksud keinginan mereka melalui komunikasi lisan
dan teknologi komunikasi (telepon) dengan sandro agar bisa melakukan
pengobatan. Banyak hal yang dipersiapkan oleh sandro dalam prosesinya mulai
dari meracik sesajian sampai tahap pelarungan sesajian di laut. Pada proses
konsumsi, praktik pengobatan bisa dilakukan di rumah pasien ataupun di rumah
sandro. Konsumen hanya akan menunggu arahan dari sandro hal-hal apa yang
perlu mereka persiapkan. Disini nampak pola kerja sama antara pihak produsen
(sandro) dan pihak konsumen (pasien) dalam melakukan upaya pengobatan.
Dalam proses konsumsi, semua sarana ritual dipersiapkan oleh sandro
mulai dari pemasangan palisier sampai pada pelarungan sesajian di laut di
bawah perintah dukun. Dalam hal ini sandro memiliki kekuatan dan kekuasaan
besar dalam menjalankan prosesi ritual duata. Segala sesuatu yang berkaitan
dengan persoalan ritual duata harus di bawah pengawasan sandro. Sandro
sebagai oarng yang dipercaya mampu melakukan interaksi dengan makhluk gaib
dengan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat Bajo mampu membuat
pola pikir masyarakat etnik Bajo untuk lebih meyakini keberadaan leluhur dan
roh-roh halus lainnya. Seperti yang dikatakan Faucoult dimana menempatkan
kuasa diperoleh dengan menguasai pengetahuan. Kekuasaan yang dimaksud
adalah pengetahuan yang dimiliki oleh dukun ritual duata sehingga dengan
pengetahuannya tersebut bisa menguasai masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki
dukun bisa membuat orang percaya dan mau mengkonsumsi dengan melakukan
upaya penyembuhan penyakit dengan ritual duata sehingga konsumen tunduk
dan patuh dengan ideologi yang dimiliki oleh sandro.
5.3.2 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata
Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan
kesenangan individu, melainkan seluruh arena kehidupan manusia sehari-hari
(Baudrillard, 2009:18). Konsumsi terkait dengan hasrat atau keinginan individu,
maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar Ritzer berikut
terhadap pandangan Baudrillard tentang konsumsi. Bagi Baudrillard konsumsi
bukan sekedar nafsu untuk membeli berbagai komoditas, satu fungsi
kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri,
kekayaan atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan
pada satu panoply objek, satu sistem, atau kode, tanda, “satu tatanan manipulasi
tanda”, manipulasi objek sebagai tanda, satu sistem komunikasi (seperti bahasa)
satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif) satu moralitas, yaitu satu
sistem pertukaran ideologis, produksi perbedaan, satu generalisasi proses fashion
secara kombinatif”, menciptakan isolasi dan mengindividu, satu pengekang
secara bawah sadar, baik dari sistem tanda dan dari sistem sosio-ekonomi-politik
dan satu logika sosial.
Praktik konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan bahwa ritual duata
sebagai pertunjukan pariwisata. Konsumsi ritual duata dilihat bagaimana ritual
duata dikonsumsi oleh para konsumennya dalam sebuah hiburan para wisatawan
(asing, nusantara) yang mengonsumsi ritual duata secara umum bertujuan untuk
kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan kesenangan. Perubahan tersebut
sesuai dengan pendapat Piliang (Safarudin, 2010: 140) bahwa kapitalisme global
telah memangsa apa saja (artinya menjadikan komoditi apa saja) mulai dari
hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, hingga kebugaran,
kepribadian, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinasi, dan
fantasi demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya
kapital.
Jika dilihat dari segi waktu pelaksanaan ritual duata dilakukan sewaktu
waktu jika ada anggota masyarakat membutuhkannya. Dalam pelaksanaan ritual
duata, dukun selaku produsen berhak menentukan kapan prosesinya dilakukan
dengan melihat situasi dan kondisi. Sementara itu, dilihat berdasarkan tempat
dan keterlibatan konsumennya sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang
(Pebruari 2014) masih dilakukan jika ada yang menginginkan namun dalam
pertunjukan seni ritual duata dilakukan jika ada kunjungan tamu wisatawan
yang berkunjung keperkampungan Bajo bahkan dalam acara penyambutan tamu-
tamu di Kabupaten Wakatobi.
Konsumsi yang pada saat sekarang tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai
kegiatan yang bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi
kebutuhan dan kepuasan secara langsung, tetapi juga mengandung makna
tertentu, yaitu tindakan menggunakan simbol untuk menandai posisi sosial
tertentu (Piliang, 2004:189) yang oleh Douglas & Isherwood (Abdullah,
2006:32) disebut sebagai penanda identitas. Terkait dengan hal tersebut adalah
konsumen yang mengonsumsi ritual duata. Karakteristik konsumen sangat
beragam baik dilihat dari daerah asal/desanya, pendidikannya, status sosial
tradisionalnya, maupun status sosial ekonominya. Konsumennya juga bisa
bersifat orang perorangan, lembaga tradisional baik yang ada di desa Mola
Selatan maupun di luar sampai pada hotel-hotel yang menginginkan pertunjukan
duata sebagai hiburan para tamu.
Dibalik tindakan konsumen yang mengonsumsi ritual duata memberi
petunjuk tentang identitas konsumennya. Ketika konsumen menggunakan ritual
duata dengan tampilan yang begitu meriah maka seringkali diidentikkan
sebagai orang yang terpandang dan digambarkan sebagai orang glamour. Hal
tersebut seperti pendapa Baudrillard (Wijaya, 2007), menjelaskan fenomena era
Postmodern, dimana masyarakat lebih mengutamakan simbol dan citra sehingga
konsumsi adalah usaha memenuhi keinginan (want) ketimbang kebutuhan
(need).
Kultur konsumerisme adalah sebuah propaganda kaum kapitalis. Ini
sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Adorno bahwa kebudayaan juga
diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi industri. Penjelasan Karl
Marx tentang bagaimana kapitalisme membangun kesadaran palsu dalam
mengkonsumsi barang dipertegas oleh Fairclough (1995) bahwa proses
konsumsi menyangkut bagaimana barang didistribusikan dan dikonsumsi. Kaum
kapitalis tidak lagi mencari keuntungan dari nilai guna (utility value) suatu
barang melainkan dari nilai tukarnya (exchange value). Victor Lebow seorang
Retail Analyst (dalam Boot, 2008) mengatakan bahwa budaya konsumsi adalah
agenda kaum kapitalis.
Konsumerisme merupakan sebuah trend global yang menyebar keseluruh
penjuru dunia melalui agen-agen kapitalis. Bahkan kekuatan konsumen menjadi
energi sosial yang sangat kuat dalam merubah struktur masyarakat. Konsumen
global saat ini memiliki bargain position yang mempengaruhi keputusan dalam
proses produksi. Oleh karena itu kaum kapitalis segera mengambil posisi untuk
merekayasa struktur masyarakat konsumtif melalui manipulasi hasrat lewat
penciptaan citra dan imaji. Tujuannya adalah merangsang lahirnya kebutuhan-
kebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya
tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat
kontemporer. Menurut Piliang (2004) transformasi aktifitas ekonomi manufaktur
menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat
bahkan untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah
konsepsi yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial,
berupa citraan, status, kelas sosial, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial
lainnya. Ekonomi hasrat oleh Baudrillard dijelaskan sebagai sesuatu yang
berkaitan dengan perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat dimana apapuun
diproduksi, apapun normal, apapun nyata. Lyotard (1994) mengganggap bahwa
ekonomi libido dalam budaya konsumerisme memanfaatkan potensi kesenangan
dan gairah yang tersimpan dalam diri individu tanpa takut akan tabu dan adat,
gunakan dan pertotonkan sebebas bebasnya keindahan-keindahan penampilan,
busana, kepribadian, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran
modal.
BAB VI
FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK
BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI
TENGGARA
Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor penyebab komodifikasi
ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi
Tenggara. Ada beberapa faktor penyebab ritual duata mengalami komodifikasi
diantaranya berupa sikap terbuka, kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi
dan pariwisata.
6.1 Sikap Terbuka
Sikap terbuka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah transformasi
nilai-nilai yang bersumber dari luar konteks budaya lokal etnik Bajo yang terjadi
melalui kontak budaya (akulturasi) dengan kebudayaan lain. Secara jelas
perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan. Dalam hal ini para sosiolog
menyebutkan ada empat faktor penyebab perubahan sosial yaitu lingkungan
alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak sosial, serta struktur suatu
budaya.
Perubahan yang terjadi pada masyarakat Bajo adalah perubahan yang
bersumber dari keterbukaan sikap masyarakat akan menerima berbagai macam
penyesuaian sehingga mereka mampu hidup berdampingan dengan kehidupan
masyarakat moderen. Penyesuaian-penyesuaian tersebut merupakan sebuah
rentetan proses yang panjang dimana ideologi-ideologi baru dan berkembang
pada era globalisasi sekarang merasuki budaya lokal sehingga memungkinkan
perubahan pola pikir masyarakatnya untuk bisa berbuat sesuatu yang lebih
dengan maksud mendapatkan nilai guna. Setiap masyarakat selalu mengalami
transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret
yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun
masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2). Hal tersebut seperti yang diungkapkan
oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.
“Terjadinya perubahan ritual duata ke dalam seni pertunjukkan tidak
terlepas dari adanya akulturasi budaya serta keinginan masyarakat Bajo
untuk mengembangkan ritual duata sebagai kesenian, bukan hanya
dipandang sebagai ritual duata yang sakral namun bisa pula dijadikan
sebagai atraksi seni seperti tari-tarian ataupun pertunjukkan budaya
sehingga bisa menjadi sebuah tuntunan dan tontonan yang bernilai dan
ini juga merupakan tindakan penyelamatan budaya dan ajang promosi
budaya Bajo ke masyarakat luas dan mampu mensejajarkan diri dengan
atraksi budaya yang ada di daerah lainnya”. (wawancara 7 Pebruari
2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa perubahan ritual duata sakral ke arah
profan tidak terlepas dari akulturasi budaya serta keinginan dari masyarakat
pendukung kebudayaan Bajo untuk bisa mensejajarkan diri seperti kebudayaan
lainnya. Perubahan tersebut tentunya dilakukan dengan kesadaran yang rasional
sehingga harapan dari masyarakat etnik Bajo bisa tercapai.
Dengan tindakan-tindakan yang dianggap rasional ini, masyarakat
bergerak dengan sejumlah tindakan untuk memuaskan kebutuhannya,
diantaranya dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang
atau jasa dari ritual duata dengan berbagai macam kepentingan. Praktek seperti
ini yang memungkinkan adanya praktek komodifikasi dalam kebudayaan.
Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, masyarakat
lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak untuk melakukannya
(Ardika, 2008).
Terkait dalam penelitian ini, salah satu tradisi Bajo yaitu ritual duata
mengalami komodifikasi. Baik dukun atau seniman Bajo juga terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam proses komodifikasi ritual duata. Hal ini
dituturkan oleh Jukni (25 tahun) seorang pelatih tari di desa Mola Selatan.
“Sebenarnya kami tau akan esensi dari ritual duata ini, tapi kami juga
menginginkan ritual duata ini dikenal masyarakat sampai dunia. Sudah
cukup dengan stigma negatif dari pandangan orang lain kalau kami ini
orang tak berbudaya karena dorongan itu juga kami berupaya bagaimana
ritual ini dimodifikasi tanpa harus merubah total sehingga mampu
menjadi sumber pendapatan bagi kami pelaku seni” (wawancara 7
Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan ada motif kesadaran dan dorongan dari masyarakat
Bajo terlebih ada anggapan masyarakat Bajo tak berbudaya sehingga hal itu
memberikan motivasi untuk menjadikan riual duata sebagai ajang promosi
identitas budaya yang pada akhirnya akan membawa nilai ekonomi pada
masyarakatnya. Tentunya perubahan itu dipengaruhi oleh paradigma
masyarakatnya yang menginginkan sesuatu yang lebih baik dari kondisi
sebelumnya. Proses perubahan tersebut nampaknya berasal dari keterbukaan
masyarakat Bajo akan sesuatu yang dianggap baik dan perlu untuk
dikembangkan. Oleh karena itu ideologi atau paradigma yang mereka miliki baik
berasal dari ilmu pengetahuan atau penngalaman hidup mereka mendorong
perubahan tersebut semakin cepat. Paradigma dalam konteks ini diartikan
sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun
tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan sehari-
hari (Ratna, 2008: 2).
Globalisasi yang masuk ke lingkup kebudayaan etnik Bajo telah
mempengaruhi ideologi tradisional ke arah pemikiran kreatif dan moderen
sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat.
Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol, sementara pada
saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Proses
integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi. Tradisi kultur
pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga
menyebabkan kultur konsumen atau budaya model barat menjalar dalam
kehidupan masyarakat. Cara pandang atau paradigma masyarakat yang mampu
mengolah sesuatu yang sebelumnya bukan sebuah komoditas menjadi barang
yang bernilai guna (ekonomis) nampaknya terjadi pada masyarakat Bajo yang
menjadikan ritual duata yang sebelumnya merupakan produk murni pengobatan
secara adat kini menjadi produk pertunjukan bernilai seni tinggi.
6.2 Kreativitas Masyarakat
Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru
(Ratna, 2005 : 313). Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi
atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya. Terkait dengan
kreativitas masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan
masyarakat etnik Bajo untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan mengubah,
menambah struktur/bentuk ritual duata sehingga menjadi sebuah pertunjukkan
seni sehingga memiliki daya tarik dari konsumen dengan harapan mendapatkan
keuntungan.
Kreativitas atau berpikir kreatif (creatif thinking) sering disebut juga
dengan berpikir inovatif (innovative thinking) adalah salah satu kemampuan
intelektual manusia yang oleh kebanyakan ahli psikologi kognitif disamakan
dengan proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah, berkaitan dengan
usaha menemukan atau menciptakan gagasan-gagasan, hal-hal baru, dan berguna
(Suharman 2005: 373). Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan
kebudayaan etnik Bajo khususnya pengembangan ritual duata. Pengembangan
ritual duata melalui penggalian-penggalian ritual itu sendiri menimbulkan
pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan serta menumbuhkan keyakinan
akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya.
Dalam perspektif psikologi, sesuatu dikatakan baru atau original, apabila
gagasan atau sesuatu yang dihasilkan oleh pemikir sendiri merasa belum pernah
menghasilkan hal serupa, dan pemikir sendiri merasa bahwa itu memang sesuatu
yaang baru baginya, walaupun di tempat lain hal serupa secara kebetulan sudah
ada dan sama yang tidak diketahuinya. Adapun dalam perspektif budaya, sesuatu
kreativitas dianggap baru atau original apabila memang benar dalam lingkungan
budaya masyarakatnya belum dijumpai atau ada sebelumnya, walaupun di
tempat lain hal serupa tanpa diketahui sudah ada. Boleh jadi, suatu kreativitas
baru itu dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang
sudah ada sebelumnya. Apa yang dihasilkan dari proses kreativitas dengan
memodifikasi, secara ideal harus memenuhi satu atau dua kriteria, yaitu kriteria
baru dan juga berguna (Suharman, 2005: 374).
Komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya tidak terlepas dari
kreativitas manusia (orang Bajo) yang menjadi satu dalam memenuhi rasa
keindahan. Kreativitas tersebut dituangkan dalam pemikiran-pemikiran
masyarakat Bajo dari dulu hingga sekarang sehingga terangkum dalam seni
pertunjukan yang indah. Seperti yang diungkapkan Dasseng (84 Tahun) sebagai
berikut.
“Ritual duata yang sekarang lebih berbeda tampilannya dengan yang
dulu, ini berkat dari kreativitas orang Bajo dan keinginan untuk tampil
lebih yang menginginkan keindahan yang memiliki unsur-unsur baru
demi pemenuhan keburuhan dalam berkesenian, serta dengan tampil
beda bisa membuat orang tertarik untuk melihatnya namun tak terlepas
dari kulktur budaya Bajo” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukan bahwa dalam berkesenian, ekspresi dan kreatifitas
menjadi bagian yang dimiliki orang Bajo untuk menciptakan sesuatu yang lebih
guna memperoleh nilai estetika yang tinggi. Namun kebebasan berekspresi dan
kreativitas harus pula memiliki tingkat nilai nirsadar dalam lingkup spirit budaya
Bajo. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun).
“Waktu ritual duata ditampilkan dalam perlombaan kesenian tradisional
di Makassar ritual duata sedikit memodifikasi tarian klasik yang ada di
Wakatobi sehingga unsur tampilan dalam koreo dan busana kami
sesuaikan seperti tari-tarian yang lain di Wakatobi. Perpaduan tersebut
memberikan warna baru dalam pertunjukan ritual duata. Karena kalau
tidak dirobah bentuknya akan kelihatan kurang enak dipandang.
(wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan di atas jelaslah bahwa para seniman juga mampu berkreasi dengan
berbagai macam tari yang ada di berbagai daerah. Akan tetapi nilai original dan
filosofi dari ritual tersebut harus tetap hidup agar aspek originalitas ritual tetap
tergambar. Pada perkembangannya ritual duata selalu mengalami perubahan
baik bentuk, makna yang merupakan efek dari selera pasar yang telah
mengglobal, bentuk kekaryaan seni tradisi cenderung mengalami keseragaman,
hal tersebut mengakibatkan berbagai macam ide-ide dan inisiatif akan kebutuhan
bermunculan dalam pemikiran manusia. Seni tradisi dalam kaitannya denga
ritual duata etnik Bajo nampaknya mengalami perubahan bentuk, fungsi dan
makna akibat pelaku seni yang memiliki modal kreativitas yang tinggi. Berbagai
bentuk ide kreatif seniman Bajo yang bekerja sama dengan dukun sebagai
pemilik ritual duata untuk memberikan unsur kebaruan dalam segi bentuk
tampilan agar mengundang selera konsumen untuk mengonsumsinya.
Kretivitas adalah wujud kesadaran manusia dalam mencapai apa yang
tidak dapat orang lain lakukan. Kreativitas merupakan kemampuan untuk
mencipta, guna menghasilkan sesuatu yang baru Rusyana dalam (Erlinda, 2011:
255). Kreativitas diperlukan oleh semua pihak yang terlibat dalam kerja sama
sebelum dan sesudah pembuatan serta penyajian ritual duata. Kreatif bukan
hanya berurusan dengan dengan masalah inovatif dan kebaruan dalam membuat
(menciptakan) dan menggelar sebuah atraksi budaya namun berkaitan pula
dengan kualitas karya, berguna dan bermakna yang disertai dengan rasa
tanggung jawab. Kualitas berurusan dengan masalah estetis, fungsi, manfaat dan
guna untuk berbagai hal dan pihak, bermanfaat bagi kehidupan kesenian dan
kemaslahatan manusia, sedangkan tanggung jawab berurusan dengan masalah
etika dan akademik.
Sanggar seni etnik Bajo yang beranggotakan orang-orang lokal yang
bergerak di bidang seni mulai intens dalam berbagai kreativitas dan inovasi.
Sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang kesenian khususnya ritual
duata, para anggota ritual duata mulai mengomodifikasi bentuk tatanan
koreografi pada ritual duata. Perobakan bentuk ritual duata tampak dalam hal
durasi penyajian, tata tari, jumlah penari serta media untuk pertunjukan
(panngung). Hal tersebut dilakukan untuk mendaur ulang dengan berusaha
mendapatkan kembali unsur kebaruan dalam fungsi keaslian ritual duata,
misalnya fungsi ekonomi, fungsi hiburan dan pendidikan.
Dalam pementasan ritual duata kreativitas tersebut terjadi pada durasi
waktu ritual duata dilakukan dimana biasnya ritual duata dilakukan selama tiga
hari tiga malam sekarang bisa menghabiskan waktu 10 sampai 15 menit. Terkait
deengan hal tersebut sama yang diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun).
“Ritual duata asli kalau dilakukan memakan waktu tiga hari tiga malam,
prosesinya panjang sekali, butuh waktu dalam pengerjaanya, tapi
sekarang kalau diminta orang untuk dipentaskan biasanya paling lama 15
menit saja jadi banyak yang diubah-ubah sebagian tidak kaya aslinya”
(wawancara 7 pebruari 2014).
Ungkapan di atas menandakan bahwa dalam pementasan ritual duata yang
murni pengobatan dengan pertunjukan untuk kesenian sangat jauh perbedaannya
jika dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan. Hal tersebut tentulah akan
mengurangi nilai keaslian ritual duata karena dengan waktu yang singkat
tersebut banyak komponen ritual yang mesti dihilangkan. Pementasan ritual
duata yang mengikuti selera pasar sangat mempengaruhi bagian-bagian pokok
ritual duata sehingga pelaku seni juga mengkondisikan bentuk tampilan penari
bahkan jumlah penari dalam ritual tersebut tergantung dimana mereka
dipentaskan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun)
“Kami sebagai seniman Bajo bersama sandro ketika diminta oleh pihak
hotel selalu mengkondisikan jumlah pemain dan ada beberapa bentuk
tampilan yang kami ubah sehingga bisa menyesuaikan dengan harapan
pihak panitia, tentunya kalau duata dipentaskan diperahu nelayan akan
berbeda dengan panggung yang disediakan oleh pihak hotel karen itu
struktur penari bahkan bentuk gerakan akan sangat berpengaruh.
(wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwasanya ketika ritual duata
mengikuti selera pasar ada bagian-bagian ritual yang dirubah yang
mengkondisiskan dengan permintaan konsumen (acara). Kreativitas dalam
perombakan ritual duata selalu berkaitan dengan dunia pariwisata. Seperti yang
dikatakan Nurhayati (2004: 19), bahwa dilihat dari sudut pandang kesenian,
maka berkembangnya industri pariwisata secara nyata telah mendorong
tumbuhnya kreativitas pelaku seni untuk mengembangkan karya ciptanya
sehingga mampu menarik minat pengunjung atau wisatawan. Untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi dan hasrat ekonomi maka produsen ritual duata harus
memenuhi permintaan pasar dengan cara berkreativitas meskipun tidak terlepas
dari peniruan tarian lain.
Nampaknya globalisasi yang melanda berbagai sendi kehidupan
masyarakat merupakan sebuah fenomena transformasi budaya yang tak perlu
dihindari namun harus mampu menyeimbangkan bagaimana budaya lokal dan
budaya global mampu saling mengisi sehingga tercipta hubungan yang saling
menguntungkan. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi di sisi
lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas.
6.3 Media Massa
Era globalisasi yang menempatkan media sebagai salah satu faktor
komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui
media massa, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media
dapat diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang
melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen
publikasi, baik secara visual maupun secara tertulis.
Dalam konteks media massa saat ini, menurut Adorno (1979: 123) media
telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan industri budaya yaitu budaya
yang sudah mengalami komodifikasi karena produk budaya yang dihasilkan
pertama, tidak otentik dimana, kebudayaan yang diproduksi secara
otonom/murni tidak lagi dihasilkan oleh rakyat atau masyarakat yang
memilikinya, akan tetapi ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar
dalam proses produksinya. Benda budaya, yang dipenuhi dengan nilai-nilai
tinggi, otentik dan kebenaran telah mengalami pergeseran makna, diproduksi
secara massal berdasarkan selera pasar. Kedua, manipulatif dimana kebudayaan
yang diproduksi oleh industri budaya dengan tujuan agar dibeli di pasar, bukan
lagi pada daya kreativitas sang kreator sehingga telah menghasilkan kebudayaan
semu/palsu. Ketiga, terstandarisasi dimana, adanya bentuk penyeragaman yang
terjadi dalam mekanisme industri budaya. Semua produk budaya yang dihasilkan
telah diseragamkan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mudah diterima dan
dipahami oleh masyarakat atau berdasarakan selera pasar. Hal tersebut dikarenakan
semua prosedur organisasi produksi diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu
keuntungan/laba (profit oriented). Argumen yang melatarbelakangi standarisasi
adalah tidak adanya spontanitas dalam peoses produksi. Semua mekanisme sudah
diatur sedemikian rupa secara rutin dengan mengaplikasikan formula-formula
tertentu. Industri budaya telah menyingkirkan produk-produk budaya yang
mempunyai kualitas-kualitas yang unik/khas.
Sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai kekuatan
tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai. Media
massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya) yang
efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat dari pada pendidikan formal sebagai
sarana pembudayaan. Dalam hal ini media massa memegang peran penting
dalam proses komodifikasi ritual duata. Melalui media massa ritual duata
dikomodifikasi sehingga menjadi budaya populer. Media massa, di satu sisi
merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan sarana ritual
pengobatan bagi masyarakat etnik Bajo yang diyakini bisa menyembuhkan
segala macam penyakit.
Dengan kedekatan manusia dengan media menjadikan dunia semakin
sempit, tanpa batas yang memiliki pola hubungan yang bebas dan terbuka. Hal
tersebut berpegaruh terhadap kehidupan masyarakat etnik Bajo di Kabupaten
Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan adanya modernisasi yang
semakin merambah kesegala aspek kehidupan manusia menimbulkan efek baru
dalam tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat. Tampaknya dengan berbagai
macam kecanggihan teknologi mutakhir yang mengglobal menjadikan jiwa
manusia menjadi lebih kreatif untuk memanfaatkan media sebagai sarana untuk
berkreativitas.
Di dalam perkembangan media, setidak ada dua kepentingan utama di
balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest) dan kepentingan
kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan
politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif. Akibatnya,
informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan
objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak,
ketika ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang
menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi
perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di
pihak lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (political-
economy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai
satu prinsip dasar dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134).
Kemampuan alami media massa dalam menyebarkan pesan dengan
karakter one-to-many menciptakan penerimaan pesan yang efektif. Fenomena
perubahan adat tradisi menuju era kekinian melanda hampir semua etnik hal
tersebut disadari mengalami dinamika perubahan yang harus ada demi
menyesuaikan dengan perkembangan jaman.
Pengaruh tekhnologi dan media yang begitu pesat selain membawa
pengaruh positif dilain pihak membawa pengaruh negatif pada tataran sosial
tradisional terhadap budaya lokal dalam kelompok masyarakat. Banyak tradisi
yang mengalami dinamika yang memberikan perubahan baik nilai maupun
bentuknya. Ritual duata dalam hal ini mengalami perubahan akibat
perkembangan media hari ini. Keterkaitan antara keduanya sangat
menguntungkan bagi kalangan pelaku karya seni pada etnik Bajo. Lewat media
terutama televisi yang memberikan sajian berita tentang kebudayaan etnik-etnik
lain berimbas terhadap keinginan masyarakat etnik Bajo untuk mengekspos
ritual duata untuk lebih dikenal pada masyarakat umum lainnya. Hal ini sesuai
dengan penuturan Dasseng (84 tahun) sebagai berikut:
“Dulu kalau orang berobat tidak ada orang meliput, tapi sekarang
tekadang orang membawa kamera untuk ambil vidionya, katanya untuk
disimpan dan bisa ditonton nanti. Tapi kalau ritual duata dipanggil oleh
pemerintah tampil dipanggung biasanya banyak wartawan atau orang
yang mendokumentasikannya yang nantinya dimasukan di TV kabel
untuk diperlihatkan kemasyarat” (Wawancara 6 Pebruari 2014).
Dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi telah
berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan
menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini. Sebagai bagian
dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi pola pikir manusia. Media
massa sebagai bagian dari ruang publik yang di dalamnya bahasa dan simbol-
simbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah sebuah hegemoni.
Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang
bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas
gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan
penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai
peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang
dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial
(Ritzer dan Goodman, 2007 : 599).
Laju perkembanagan teknologi dan media sekarang mampu merubah
cara berpikir masyarakat etnik Bajo. Dengan adanya media surat kabar terlebih
dunia pertelevisian dengan sajian berbagai macam perkembangan life style,dan
modifikasi berbagai bentuk kebudayaan nampaknya mampu menyulap para
pelaku seni untuk bisa memulai dengan bentuk seni karya baru dengan mencoba
mengangangkat sebuah seni tinggi untuk dijadikan jasa untuk pertunjukan yang
benilai ekonomi. Hal tersebut nampak pada para pelaku seni di perkampungan
Bajo yang berusaha dan mecoba meraih keuntungan dengan memodifikasi dan
menkomersialkan berbagai seni dan tradisi mereka diantaranya ritual duata.
Ritual duata yang bernilai seni tinggi dan disakralkan dalam hal
pengobatan dalam etnik Bajo perlahan-lahan memiliki fungsi lain dari
pengobatan yakni untuk kepentingan seni pertunjukan. Alasan utama para
seniman Bajo memodifikasi ritual duata yaitu untuk menunjukan eksistensi
keberadaan dan kekuatan etnik Bajo dalam berkesenian serta dengan adanya
tontonan karya seni tersebut mampu menarik peminat seni untuk mau datang
berkunjung di Kabupaten Wakatobi khususnya diperkampungan Bajo sehingga
roda perekonomian masyarakatnya meningkat. Hal ini sesuai dengan penuturan
seorang Bakri (63 tahun) sebagai berikut:
“Duata sering digunakan sampai sekarang untuk pengobatan,masyarakat
masih yakin akan kekuatan pengobatan bisa menyembuhkan segala
penyakit namun sekarang orang Bajo banyak yang menggunakan duata
untuk dijadikan pertunjukan tari, karena biasanya pemerintah
mengundang kami untuk melakukan atraksi duata seperti kalau ada tamu
daerah, tamu hotel atau dalam acara-acara adat. Kami senang karena
degan sering kami diundang jadi kami juga dikenali banyak orang.
(wawancara, 8 Pebruari 2014).
Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa
sipritualitas nilai-nilai yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah
kehilangan fungsinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era
global yang ditandai dengan kemajuan iptek telah mempercepat tercabutnya akar
budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan dasarnya, berupa nilai-nilai,
norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam Wibowo,
2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai
teknologi, sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol
kebudayaan tidak dapat lagi berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam
nilai-nilai karena didominasi kapitalisme.
Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi
kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah,
2009:50). Saling ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan
komunikasi dan kedalaman interaksi antar warga masyarakat lintas etnik bahkan
dengan masyarakat dunia umumnya merupakan kekuatan pengubah dan
pengembang kebudayaan.
6.4 Ekonomi
Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dalam fokus
penekanannya dalam bidang ekonomi. Wacana globalisasi ini turut memberikan
kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional
saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker
2005 : 133). Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik
budaya kapitalisme bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada
awalnya ritual duata bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan
komersil.
Kita ketahui bahwa dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap bidang
kehidupan manusia tak luput menggerogoti pemikiran manusia kearah
kapitalisme. Dimana dengan mengandalkan dan memberdayakan segala
kekuatan yang bersumber dari tradisi dan budaya leluhur mampu mendongkrak
dan memperbaiki taraf ekonomi masyarakat lokal. Khusus pada masyarakat
etnik Bajo para pelaku seni termasuk dukun ritual duata telah menjadikan ritual
sebagai barang komoditas yang bisa memperbaiki tingkat ekonomi keluarga.
Dengan membutuhkan ide-ide kreatif dengan jiwa seni yang tinggi banyak hal
yang bisa diberdayakan melalui tradisi yang kita miliki.
Dampak globalisasi ekonomi telah menggiring manusia ke dalam suatu
arena interaksi sosial baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Model
komunikasi global yang ada sekarang ini telah mengubah karakter, gaya hidup,
dan perilaku masyarakat menjadi lebih kritis dan lebih peka. Kondisi yang
mengharuskan setiap bidang meningkatkan persaingan dengan biaya yang
seminim-minimnya. Maka dibutuhkanlah suatu strategi yang ditawarkan dalam
pembangunan ekonomi kreatif.
Kreativitas seni, berasal dan lahir ide serta pikiran manusia, Ia
bermodalkan ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan yang harus ditumbuh-
kembangkan, tetapi tidak berarti bahwa manusia (Indonesia) memiliki kebebasan
mutlak menuangkan kreativitasnya seperti apa yang ada dalam otaknya,
Kreativitas tetap punya aturan, nilai-nilai dan tanggung jawab. Karena hasil
kreativitas itu akan bertemu dan dinikmati oleh masyarakat sekitarnya yang
punya aturan nilai-nilai dan tanggung jawab terhadap lingkungannya,
kebudayaannya, serta terhadap negara dan bangsa.
Ritual duata yang sekarang mengalami profan dalam atraksi budaya di
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, tidak terlepas dari adanya
pengaruh globalisasi ekonomi. Nampaknya pemikiran masyarakat Bajo telah
terkontaminasi dengan ide-ide kapitalisme yang ingin mendapatkan keuntungan
sebanyak-banyaknya melalui pemberdayaan budaya lokal. Dengan banyaknya
tingkan konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan seni tradisi menjadikan
ritual duata semakin menunjukan eksistensinya.
Komodifikasi ritual duata dilakukan perubahan agar ritual duata
mempunyai nilai ekonomis sehingga memunculkan pemenejemenan yang lebih
baru dalam mengolah suatu produksi, pelayanan dalam pendistribusian dan
pengikutan terhadap selera pasar. Komodifikasi ritual duata ini mulai
mendorong masyarakat setempat, karena ada dorongan kebutuhan ekonomi.
Seniman dan sandro mulai menekuni ritual duata sebagai pekerjaan yang dapat
memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu para seniman Bajo mulai mengemas
dan memikirkan unsur-unsur ritual duata yang dapat dijadikan sebagai sumber
komoditi.
Seperti yang peneliti ketahui bahwa Dasseng (84 tahun) sebelumnya
hanya seorang dukun namun sekarang merangkap menjadi pelaku seni. Biasanya
dalam mementaskan ritual duata diberikan bajet sebanyak Rp 15.000.000. dan
itu sangat menunjang pendapatan para pelaku karya seni ritual duata. Biasanya
sekali mentas dibayar Rp15.000.000 oleh yang meminta, dan itu bisa saja
berubah tergantung dimana dan bagaiamana kami mementaskannya. (wawancara
7 Pebruari 2014).
Dalam komodifikasi ritual duata sudah ada pembagian kerja dan sistem
penggajian. Pembagian kerja dan sistem penggajian ini juga berpengaruh pada
pola kerja para anggotanya. Di sini terlihat para pelatih dan penari tari ritual
duata antusias berlatih karena melihat bajet yang didapatkannya begitu banyak.
Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Piliang (2010:23) dan Hasan
(2011:188), bahwa komodifikasi itu ditandai dengan adanya pembagian kerja di
dalam proses memproduksi suatu komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala
sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasnya
uang, dalam rangka memperoleh keuntungan atau nilai lebih.
Faktor ekonomi sebagai salah satu pendorong terhadap komersialisasi
ritual duata menjadi suatu pro dan kontra pada masyarakat pendukungnya. Akan
tetapi dikarenakan faktor ekonomi yang melekat kuat pada masyarakat setempat,
pengomodifikasian ritual duata semakin kuat. Hal ini seperti yang diungkapkan
oleh Dasseng (84 tahun):
“Karena pariwisata perekonomian di kampung Bajo mengalami
kemajuan terutama dengan datangnya orang-orang kekampung kami jadi
sering diminta pertunjukan duata untuk tampil sehingga pedagang
makanan dan kerajian banyak yang berjualan dan dibeli sama orang yang
datang” (wawancara 6 Pebruari 2014).
Dalam kenyataanya kehadiran pariwisata di Kabupaten Wakatobi
terlebih dahulu sejak perkampungan Bajo menjadi daya tarik bagi wisatawan
dengan budaya yang unik maka kesempatan tersebut tidak disia-siakan untuk
meraih manfaat ekonomi yang dibawa oleh pariwisata itu sendiri. Masyarakat
seharusnya sadar bahwa dunia bisnis, termasuk sumber daya dalam hal
berbisnis. Perdagangan dan uang tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi
antara satu dengan yang lain.
Secara sosiologis uang memiliki dua wajah, disatu sisi berwajah normatif
dan pada sisi lain berwajah pragmatis. Dalam wajah normatif uang dapat
dipandang dari sisi das sollen (seharusnya), dan sisi pragmatisnya uang dapat
dipandang dari sisi das sein (kenyataannya). Diantara keduanya terjadi
diskrepansi atau kesenjangan yang tajam, yakni bagaimana uang seharusnya
digunakan tentunya berdasarkan pada norma-norma sosial dengan uang yang
digunakan oleh warga untuk kepentingan praktis sehari-hari (Nugroho, 2001 :
xi).
Dalam kaitannya dengan masyarakat etnik Bajo uang memiliki fungsi
penting sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan uang. Apapun
layak untuk dijual untuk mendapatkan uang termasuk menjual harta warisan
untuk mendapatkan uang. Ritual duata sebagai warisan budaya dari leluhur etnik
Bajo lambat laun berubah bentuk kerah komoditas yang layak untuk dijadikan
barang komoditas yang berorientasi nilai jual.
Uang merupakan sarana ekonomi tetapi saat digunakan dalam
masyarakat dipahami sebagai fenomena sosiologis, yakni cenderung kehilangan
material dasarnya karena menjadi alat interaksi. Fenomena di kalalangan
masyarakat etnik Bajo berkembang pemikiran bahwa dengan mendapatkan uang
maka status sosial kita akan semakin tinggi dan dihargai oleh masyarakat.
Semangat kapitalisme nampaknya muncul dalam pemikiran masyarakat Bajo
yang memnginginkan pola interaksi yang berorioentasi ekonomi. Dalam upaya
pemenuhan kebutuhan ekonomi maka pemilik modal berusaha untuk menumpuk
kekayaan yang akan beribas terhadap peningkatan ekonomi.
6.5 Pariwisata
Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu
bentuk kegiatan manusia, yaitu suatu kegiatan yang lazim disebut perjalanan
(travel). Ada beberapa tujuan manusia melakukan perjalanan misalnya ingin
mendapatkan pengalaman baru, kerena menghindari konflik dan peperangan,
bencana alam, atau musibah lainnya. Perjalanan yang dilakukan dapat saja
didorong oleh sekedar rasa ingin tahu untuk keperluan-keperluan yang bersifat
rekreatif, atau yang bersifat edukatif. Namun ada yang melakukan perjalanan
karena ada alasan-alasan yang bersifat praktis dan pragmatis, yaitu mencari dan
menemukan sumber kehidupan atau mencari nafkah untuk keberlangsungan
hidup.
Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari
sesuatu yang sebelumnya belum pernah diketahuinya, seperti menjelajahi
wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapatkan
perjalanan yang baru. Sejak Kabupaten Wakatobi ditetapkan menjadi daerah
tujuan wisata maka menimbulkan peluang baru bagi masyarakat lokal untuk
membuka lapangan pekerjaan baru dalam dunia kepariwisataan. Wakatobi
memiliki daya tarik tersendiri selain pariwisata alam dengan potensi
kebahariannya juga dikembangkannya wisata budaya dengan potensi nilai tradisi
dan kesenian masyarakatnya.
Kehadiran wisatawan dengan sistem budaya yang mereka anut dari daerah
asalnya menciptakan sebuah interaksi antara pendatang dengan penduduk
setempat sehingga ada perubahan pola pemikiran baru dengan berpusat pada
kegiatan ekonomi kepariwisataan. Mereka yang berinteraksi disini
sesungguhnya tanpa disadari telah terikat oleh sistem ekonomi pasar yakni jual-
beli barang / jasa dengan mata uang asing.
Efek lain yang dimunculkan oleh pariwisata di Kabupaten Wakatobi
adalah semakin tingginya permintaan jasa dalam bentuk art shop, hiburan dan
hotel-hotel. Kontribusi lainnya memberikan ruang baru bagi masyarakat lokal
untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam seni pertunjukan tardisional.
Keinginan wisatawan yang datang berkunjung di Kabupaten Wakatobi
diantaranya melihat masih banyaknya potensi budaya utamanya ritual yang
memiliki sisi nilai yang begitu tinggi untuk dinikmati bahkan dimanfaatkan
untuk kepentinan rohani.
Ritual duata yang merupakan yang merupakan sebuah ritual pengobatan
etnik Bajo yang semula digunakan untuk kebutuhan dalam hal pengobatan
dengan berkembangnya pariwisata budaya di kawasan Wakatobi lambat laun
ritual tersebut mengalami pergeseran fungsi dan makna serta mampu dijadikan
sebagai komoditas yang bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat
sekitarnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai berikut.
“Semula ritual duata hanya digunakan untuk pengobatan jika ada yang
sakit, tapi sekarang duata sudah berubah fungsi karena duata dipandang
unik oleh turis yang datang sehingga turis mau melihat bagaimana duata
itu sebenarnya dan itu bagi masyarakat Bajo mau dipertunjukan karena
setelah mereka tampil mereka di kasi uang”. (wawancara 7 Pebruari
2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pergeseran fungsi ritual duata karena
pengaruh wisatawan (pariwisata) yang menginginkan sebuah suguhan
pertunjukkan dari potensi tradisi masyarakat lokal, hal ini memotivasi dan
mendorong kreativitas masyarakat Bajo untuk mengembangkan ritual duata
dalam industri budaya dalam hal ini pertunjukkan seni. Nampaknya dalam
hubungan antara pihak wisatawan yang berkunjung keperkampungan Bajo di
Mola Selatan memberikan keuntungan positif terhadap masyarakatnya. Bukan
hanya para pelaku seni ataupun dukun yang diuntungkan namun masyarakat
sekitarnya pun merasa diuntungkan karena dengan adanya beberapa wisatawan
yang berkunjung barang dagangan mereka seperti minuman ataupun pernak-
pernik hasil kerajinan tangan orang Bajo laris dibeli oleh wisatawan. Senada
dengan yang diungkapkan oleh Hasna (34 tahun) sebagai berikut.
“Mereka datang untuk melihat budaya Bajo itu dan kesempatan kami ibu-
ibu untuk menjual barang dagangan kami misalnya kalung-kalung,
gelang, sarung atau gantungan kunci dan kami merasa untung dengan apa
yang mereka inginkan tentunya keuntungan dagangan kami bisa
dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas jelas menggambarkan adanya tuntutan akan kebutuhan
disatu pihak dan terbukanya peluang disisi lain. Industri pariwisata sebagai
bagian dari globalisasi menciptakan peluan lapangan usaha dan pekerjaan di
sektor pariwisata. Peluang dan kesempatan dalam upaya memenuhi kebutuhan
hidup harus dimanfaatkan secara optimal agar menghasilkan barang dan jasa
untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk memenuhi kepentingan pariwisata selain terpacunya kreativitas
seniman ritual duata maka bermuncullah sanggar-sanggar seni tari yang
berkecimpung dalam dunia pariwisata. Tidak tanggung-tanggung terkadang
pihak sanggar seni bekerja sama dengan pihak hotel atau penyelenggara sebuah
acara/festival untuk saling bekerja sama dalam menunjang layanan terhadap
kosumen dengan suguhan atraksi seni. Sebagai suatu industri, tentu ada produk
pariwisata, konsumen, permintaan, dan penawaran. Dalam bisnis pariwisata
konsumennya adalah wisatawan, kebutuhan dan permintaan-permintaan
wisatawanlah yang harus dipenuhi oleh produsen.
Komersialisasi seni tradisi karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu
realitas di masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik
berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas
itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari
klasik, musik klasik, maupun opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di
negara-negara maju. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas
bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan
pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri.
Meskipun faktor yang cenderung kepada standarisasi budaya datang dari
luar, yang mempengaruhi dan mendorong terjadinya komodifikasi ritual duata.
Ritual duata sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam proses akumulasi
sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi masyarakat Bajo
sebagai pemilik budaya. Ritual duata sebagai representasi masyarakat telah
dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang dibangun sendiri untuk
kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai ideologi baru. Dengan
semangat kapitalisme, ritual duata telah menjadi komoditas produk yang
diupayakan untuk mengikuti selera pasar.
BAB VII
DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA
PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI
SULAWESI TENGGARA
Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna
komodifikasi ritual duata. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam penelitian
ini, adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya rencana atau pada
suatu aktivitas tertentu. Menurut Soemarwoto (dalam Puspa 2011: 286) dampak
dapat bersifat negatif dan positif. Di Indonesia pun dampak sering memiliki
konotasi negatif. Oleh karena itu dalam tulisan ini dampak komodifikasi ritual
duata ada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah
dampak yang berkonotasi negatif. Dampak negatif akan dilihat dari adanya
perubahan ritual duata setelah terjadi praktik komodifikasi. Oleh karena itu
dalam pembahasan ini dampak komodifikasi ritual duata yang cenderung
merugikan (berkonotasi negatif). sedangkan makna dalam pembahasan ini
diartikan sebagai arti dari suatu tanda, keadaan, teks yang diartikan,
diinterpretasi oleh pelaku ataupun yang melihatnya. Apa saja yang dilakukan
seseorang dapat diberikan makna tertentu baik oleh si pelakunya sendiri maupun
orang lain. Makna merupakan arti dari suatu objek. Barthes (Barker, 2005: 93;
Sibarani, 2006: 31-32) membagi sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat yaitu
tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Lebih lanjut, Barthes dan Gadamer (dalam
Ratna, 2008: 261) menyatakan bahwa makna tidak ada di dalam teks, tetapi ada
di dalam kompromi antara teks dan penafsir.
Berkenaan dengan itu, dalam tulisan ini digunakan sistem pemaknaan
konotasi dari Barthes, yaitu memberikan makna terhadap simbol-simbol atau
tanda-tanda yang ada dalam ritual duata berdasarkan penafsir (produsen dalam
hal ini sandro berserta rekan usaha/kerjanya, konsumen dan penulis) dengan
cara mengaitkan dengan sikap, keyakinan, kerangka kerja dan ideologi yang
dianut dan berkembang di masyarakat sekitarnya. Komodifikasi ritual duata
pada etnik Bajo sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya dapat diberi beragam
makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai taanda-tanda budaya
yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan terhadap berbagai tanda
terkandung berbagai makna.
7.1 Dampak Komodifikasi Ritual Duata
Dalam sub bab ini akan dibahas dampak komodifikasi ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dampak dalam
penelitian ini yaitu sesuatu yang muncul setelah terjadi sebuah
kejadian/peristiwa. Jadi dampak komodifikasi ritual duata merupakan sesuatu
yang muncul setelah terjadinya perubahan sebuah tradisi (ritual duata) ke dalam
konteks budaya moderen (global) sehingga memunculkan perubahan bagi
eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung tradisi (Bajo) serta
masyarakat penikmat ritual duata.
Adapun dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi ritual duata pada
etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu perubahan
terhadap kehidupan sosial budaya etnik Bajo sebagai pemilik tradisi ritual duata
yaitu komersialisasi ritual duata dan kaburnya identitas budaya.
7.1.1 Komersialisasi Ritual Duata
Ritual duata dari waktu ke waktu mengalami transformasi ke era
kekinian yang mampu menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat
pendukungnya. Transformasi tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah
membawa dampak sosial bagi kehidupan masyarakat. Ritual duata pada awalnya
bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun,
dalam perkembangannya ritual duata mengalami komersialisasi karena sengaja
dijadikan produk budaya untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut
Saifullah (1994: 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas
yang telah diubah menjadi hubungan komersial.
Adanya berbagai kepentingan kapitalisme yang menjadikan ritual duata
sebagai alat komoditas yang bernilai jual, dimana dalam hal ini, pasar turut
menentukan arah ritual duata dalam penampilannya, yakni objek, kualitas tari,
ornamen, pewarnaan material, dan penataan yang semua dikemas untuk
dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.
Akibat penyesuaian unsur-unsur tradisi ke dalam konteks budaya moderen
banyak nilai-nilai tradisi yang teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai
profan.
Pergeseran dari nilai sakralitas ke profanitas tentunya tidak dengan
sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan
dengan perubahan sosial masyarakat. Jika dikaitkan dengan perkembangan
zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses
pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan hidup manusia,
maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi. Dalam hal ini
ritual duata mengalami komersialisasi sehingga menimbulkan perubahan dalam
bentuk dan fungsi ritual.
Komersialisasi ritual duata terlihat pada proses produksi produk ritual
duata seperti buas bubuh rinti (beras berwarna), palisier, ula-ula dan produk
ritual lainnya yang sengaja diproduksi oleh dukun kemudian dilakukan
penyewaan terhadap konsumen. Produk ritual di distribusikan dalam berbagai
bentuk produk barang/jasa sehingga terjalin orientasi jual-beli antara produsen
dan konsumen. Seperti dalam praktek pengobatan pasien memberikan upah
sebesar Rp 3.000.000 setiap kali pengobatan (paket). Dengan demikian ritual
duata bukan hanya sebagai bagian dari tradisi etnik Bajo yang difungsikan
sebagai ritual pengobatan namun juga dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi
masyarakat pendukungnya. Begitu juga pada konteks pertunjukkan ritual duata
untuk pariwisata menunjukkan upah yang begitu berlipat ganda dari biaya ritual
pengobatan fenomena tersebut sehingga menunjukkan logika pasar
memunculkan pemaknaan baru terhadap nilai sakralitas ritual duata sebagai
komoditas atau barang/jasa dagangan. Hal tersebut diungkapkan oleh Romi (40
tahun) sebagai berikut.
“Ritual duata ini saya lihat kayaknya dimanfaatkan oleh masyarakat Bajo
khususnya dukun, bukan hanya jasa pengobatan saja tapi ada semacam
transaksi jual-beli produk sehingga dukun diuntungkan kalau banyak
yang berobat karena makin banyak pasien dia makin banyak dapat uang,
apa lagi semua bahan-bahan untuk obat itu dukun sendiri yang
membuatnya. Orang Bajo sangat pantang kalau tidak berobat duata,
mereka merasa tidak puas kalau tidak memalui pengobatan duata”
(wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata sengaja dimanfaatkan oleh
dukun melalui pengobatan dengan memanfaatkan produk material ritual untuk
memperoleh keuntungan secara ekonomis. Material ritual duata berupa palisier,
buas bubu rinti, ula-ula dan panggung sengaja dibuat sehingga melalui produk
ritual duata mereka bisa meraih keuntungan. Sesuai dengan pemikiran Barker
(2005: 517) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,
di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu
sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.
Dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis telah merasuki ideologi produsen,
dimana pasar adalah tempat membeli dan menjual komoditas. Ritual duata
merupakan komoditas bagi masyarakat etnik Bajo khususnya dukun. Masyarakat
etnik Bajo sadar apa yang telah mereka lakukan yang memanfaatkan produk
ritual duata untuk kepentingan ekonomi. Ritual duata mengalami perubahan
fungsi kearah pemanfaatan secara ekonomi dan masyarakat pun menerima hal
tersebut. Hal ini didasarkan atar dorongan ekonomi yang memanfaatkan produk
budaya untuk dikembangkan kearah industri budaya kreatif yang melahirkan
perubahan baru yang memungkinkan ritual duata mengundang selera konsumen
baik untuk pengobatan maupun pertunjukkan (pariwisata) dengan desain khusus
seindah mungkin sehingga memperoleh keuntungan dalam peningkatan
kesejahteraan masyarakat Bajo.
7.1.2 Kaburnya Identitas Budaya
Identitas adalah penanda benda, baik secara individual maupun secara
kolektif, terlebih benda tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang
membedakan dengan identitas lainnya. Dala hal ini identitas budaya terkait
dengan produk ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi provinsi
Sulawesi Tenggara.Pesatnya arus globalisasi yang masuk ke dalam sendi
kehidupan masyarakat tak henti-hentinya ikut membawa perubahan. Tumbuhnya
kesadaran dan motivasi manusia merupakan perwujudan dari sebuah perubahan
paradigma masyarakat akan sesuatu yang baru dari sebelumnya. Tak terkecuali
kesadaran akan identitas sebuah masyarakat khususnya etnik Bajo yang
memiliki warisan budaya yang berwujud praktik ritual duata, dimana dalam
prosesinya mampu membedakan kebudayaannya dengan kebudayaan etnik lain
di Indonesia.
Ritual duata yang merupakan warisan leluhur etnik Bajo mempunyai
peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Sebagai
ritual pengobatan tentunya masyarakat Bajo masih meyakini sakralitas ritual
duata sehingga nilai ritual tersebut tetap dijaga kelestariannya. Sebagai
masyarakat yang masih mengonsumsi ritual tersebut tidak menginginkan adanya
pengaruh dari luar maupun dalam yang mengancam bahkan memusnahkan ritual
tersebut dengan berbagai alasan demi tuntutan pemikiran manusia moderen yang
maju dan berpikir rasional.
Paham lama yang menginginkan akan keaslian ritual duata berharap
ritual tersebut jangan dikomersilkan karena akan memecahkan tatanan sosial dan
keharmonisan masyarakat Bajo, yang menyebabkan penurunan kekuatan yang
terkandung dalam ritual duata. Pandangan tersebut bertolak belakang dengan
pemikiran baru masyarakat etnik Bajo yang berharap akan perubahan sakralitas
kearah profan sebagai tindakan penyelamatan ritual duata dengan alasan
tuntutan pembanguanan sekarang yang menginginkan penggalian potensi
sumber daya yang berasal dari tradisi lokal untuk bisa dikembangkan kearah
industri budaya kreatif. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh Djamrin (38
tahun) sebagai berikut.
“Memang kami menyadari sendiri yang hari ini kami lakukan bukan
bermaksud semata-mata untuk mau dikenal masyarakat dengan ritual
duata, namun ini dilakukan karena ritual duata kalau tidak dijdikan
sebuah pertunjukan banyak yang tidak tau. Tetapi ritual duata ketika
dijadikan sebagai hiburan banyak yang menolaknya khususnya generasi
tua yang menentang keras hal tersebut dilakukan. Akibatnya banyak
perselisihan dikampung ini karena kekurang pahaman antara dua
generasi ini”. (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan bahwa transformasi ritual duata keranah profan
sangat berlawananan dengan pemikiran generasi tua yang menginginkan ritual
duata jangan dikomersilkan. Perbedaan tersebut menimbulkan problema bagi
keharmonisan dan solidaritas masyarakat Bajo sendiri yang pada akhirnya
mengancam bahkan merusak sistem tatanan sosial masyarakatnya. Sementara
itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh kecenderungan
pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan
permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah menyeret berbagai
realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya. Ketika ritual
keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi,
konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-
sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan
nilai-nilai hakikatnya.
Ritual duata mengalami proses komodifikasi karena dijadikan komoditas
untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996: 262) mengidentifikasi hal
seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya batas-batas budaya
dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan,
khususnya pariwisata budaya. Hal penting dari keberadaan ritual duata adalah
sebuah identitas diri, tercermin dari perpaduan unsur-unsur budaya Bajo yang
terkandung di dalamnya. Komodifikasi ritual duata menyebabkan kaburnya
sebuah identitas budaya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai
berikut.
“Ritual duata ini sebenarnya harus pada fungsinya sebagai pengobatan
adat, sekarang ini masyarakat membuat pertunjukan seni dengan
berbagai macam bentuk, banyak variasi yang dibuat-buat, saya heran
termasuk masyarakat Bajo sendiri bingung apa yang ada dalam perangkat
ritual itu, yang menghawatirkan saking banyaknya penambahan atau
pengurangan dari unsur ritual duata akan melunturkan bahkan
memudarkan kekhasan nilai-nilai yang menunjukkan identitas orang
Bajo sendiri”, (wawancara 8 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan ada ketidaksesuaian ritual duata dikomersilkan
(komodifikasi) yang mengarah kepada proses pengkaburan sebuah identitas
yang berimbas kepada generasi penwaris ritual duata sendiri. Ritual duata yang
mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar
budaya semestinya. Sungguh disayangkan kalau ritual duata hanya
meninggalkan nama namun nilai esensinya terlupakan akbiat komersialisasi
tradisi yang berkiblat kepada produk budaya massa. Fenomena memudarnya
identitas budaya Bajo tergambar ketika ritual duata dikomersilkan dalam produk
kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang
mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,
sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan
kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global, seperti
industri pariwisata yang berciri kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Ritual
duata yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo
dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau
pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk
memperoleh keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah
mungkin yang lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung
dalam ritual duata.
7. 2 Makna Komodifikasi Ritual Duata
Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang
ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya,
serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui
proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu
objek. Untuk memahami makna komodifikasi ritual duata, teori semiotika
menjadi sangat penting, karena semiotika merupakan ilmu yang mengkaji
tentang makna sebagai bagian dari kehidupan sosial. Penggunaan teori
semiotika dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, karena ada
kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik,
ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena bahasa.
Barthes (dalam Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan
ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi
(connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan
tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti.
Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan
antara
penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka
terhadap berbagai kemungkinan.
Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan
konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam
konteks komodifikasi duata berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan
dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat
sekitarnya. Komodifikasi ritual duata sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya
dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai
tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan
terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna komodifikasi ritual
duata berkaitan erat dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu
produksi, distribusi, dan konsumsi.
Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya ritual
duata telah menjadikan duata sebagai barang komoditi. Untuk kepentingan
industri pariwisata, duata dikonstruksi kapitalisme sebagai suatu bentuk
representasi budaya masyarakat etnik Bajo dengan tujuan komersial.
Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata sebagai
bagian dari upaya pelestarian menyebabkan ritual duata menjadi produk budaya
tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah ikut ambil
bagian dalam proses komodifikasi ritual duata. Makna komodifikasi ritual duata
terkait dengan penelitian ini dapat didasarkan pada upaya pelestarian budaya,
identitas budaya, kreativitas masyarakat dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
7.2.1 Pelestarian Budaya
Kebudayaan adalah pemikiran ideal mengenai apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan keberlangsungan hidupnya.
Dalam perjalanannya kebudayaan akan selalu mengalami penyesuaian dan
penyempurnaan dengan harapan memperbaiki apa yang belum sempurna tanpa
merusak akar kebudayaan. Kebudayaan yang terus mengalami dinamika
berdasarkan pada ideologi yang berasal dari diri manusia sendiri namun dalam
prosesnya dibutuhkan sebuah aturan (norma) agar bisa mengendalikan dan
memahami apa yang semestinya dilakukan dan sebaliknya demi kebertahanan
kebudayaan tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri terkadang hasil dari berbagai
inovasi kebudayaan melahirkan efek baru yang bertentangan dengan kebudayaan
yang sebelumnya.
Patut disayangkan jika kebudayaan lokal yang diwariskan oleh nenek
moyang kita jika tidak dilestarikan akan mengalami kepunahan akibat gempuran
kebudayaan global. Pada hal kebudayaan memiliki filosofi makna yang identik
dengan simbol-simbol yang memiliki kaitan dengan perjalanan peradaban
manusia pada masa itu. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,
yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain yang didapat
seorang sebagai anggota masyarakat. Sesuai dengan pendapat Suparlan (dalam
Ghazali 2011: 32) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi
kehidupan, atau pedomanan bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan
perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam
menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga
masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Untuk memahami makna dibalik
simbol yang digambarkan oleh pemilik kebudayaan diperlukan pemikiran kritis
yang harus diterjemahkan sehingga generasi muda bisa mewarisi dan
memahami makna kebudayaan tersebut.
Ritual duata memiliki banyak simbol-simbol yang tidak begitu saja
ditentukan namun memiliki sumber dan kaitan terhadap komponen-komponen
yang dianggap baik oleh leluhur. Seiring dengan perkembangan zaman simbol-
simbol tersebut mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan konteks
kebutuhan manusia. Simbol yang memiliki nilai makna begitu saja diubah,
diperlakukan sehingga menimbulkan berbagai macam pemaknaan baru akan
filosofi nilai-nilai yang digambarkan dalam ritual duata. Oleh karena itu sudah
saatnya ada upaya pelestarian ritual duata kegenerasi selanjutnya sebagai hak
kekayaan intelektual lokal masyarakat Bajo yang memiliki makna simbolik yang
mampu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, alam dan
sang pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).
Terkait denga praktik komodifikasi ritual duata merupakan fenomena
budaya yang mengalami transformasi budaya yang menjadikan budaya sebagai
komoditinya. Transformasi ritual duata ke arah profanisasi bukan hanya
didasarkan pada pemanfaatan produk ritual sebagai modal untuk dijadikan
barang/jasa untuk dijual, namun masyarakat harus menyikapinya bahwa
komersialisasi ritual duata adalah bagian dari upaya pelestarian tradisi/ritual dari
ancaman kepunahan. Untuk itulah masyarakat etnik Bajo dengan adanya praktik
komodifikasi ritual duata bisa melestarikan tradisi/ritual dan disisi lain bisa
memanfaatkannya guna meningkatkan perbaikan kesejahteraan masyarakatnya.
Hal tersebut terkait dengan pendapat Sibarani (2012: 71) mengatakan bahwa
dalam konteks Indonesia yang sangat kaya akan keberagaman budaya, Indonesia
sangat penting, bukan hanya dari segi pelestarian sebagai warisan budaya yang
perlu dijaga dan dilindungi demi jati diri, harkat dan harga diri bangsa, tetap dari
segi modal budaya dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat
meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai dengan
ungkapan Manan (46 tahun) sebagai berikut.
“Masyarakat Bajo sendiri harus sadar bahwa ritual duata ini tidak disalah
gunakan seperti isu yang berkembang selama ini. Tetapi ritual duata
kenapa dijadikan sebagai pertunjukan seperti tari-tarian ini sebagai
tindakan penyelamatan budaya Bajo, karena kalau tidak dijadikan seperti
ini, makan duata ini lama-kelamaan hilang, bisa dilihat buktinya
sekarang orang Bajo dipandang lebih oleh masyarakat di darat dan
akhirnya juga membawa keberuntungan bagi masyarakat dari segi
ekonomi dan budaya” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa praktik komersialisasi ritual duata bukan
hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara ekonomi namun dengan
adanya praktik ritual duata ke arah profan akan memberikan upaya pelestarian
budaya dari ancaman kepunahan.
Dalam perkembangannya tradisi lisan diarahkan pada suatu karya
bersifat estetik dan profan. Oleh karena itu tradisi lisan dianggap sebuah karya
yang dapat dikomunikasikan di dalam masyarakat yang dimaksudkan bahwa
tradisi lisan bisa dinikmati, ditonton dan didengar oleh penikmat. Ritual duata
semenjak dijadikan sebagai salah satu kesenian dalam bentuk atraksi budaya
sangat menguntungkan banyak pihak khususnya masyarakat etnik Bajo sebagai
pendukung kebudayaan tersebut. Nampaknya masyarakat antusias menerima
perubahan ritual duata dijadikan sebagai bentuk kesenian yang membuka
lapangan pekerjaan dan melahirkan seniman-seniman kreatif yang mampu
memperbaiki taraf kehidupannya yang pada akhirnya ritual duata bisa eksis pada
era modernisasi. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.
“Ritual duata sebagai tradisi pengobatan Bajo ini dulu sebelum adanya
wisatawan yang datang ke kampung kami, belum begitu dikenal jadi
tampaknya hanya orang Bajo saja yang mengetahui dan
mengkonsumsinya. Tetapi sekarang setelah dikenal oleh orang banyak
jadinya ritual ini sering dipanggil mengisi acara-acara pemerintah atau
tamu-tamu yang datang ke Wakatobi. Saya sendiri sangat bangga
tentunya bagi masyarakat Bajo juga sehingga budaya kami sedikit demi
sedikit bisa dikenal, bahkan upah yang diberikan dari jasa pertunjukan
kami ini bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, disamping itu ritual duata
bisa bertahan” (wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan kehadiran wisatawan/penikmat seni khususnya
tradisi lokal masyarakat Bajo membawa manfaat yang begitu besar terhadap
eksistensi kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat Bajo. Dimana dengan
semakin dipertunjukan ritual duata mereka bisa menunjukan eksitensi diri dan
budaya Bajo kemasyarakat luas sehingga mampu melakukan kreativitas dan
pelestarian dalam bentuk pertunjukkan yang mengundang daya tarik bagi
wisatawan dan tentunya jerih payah yang mereka lakukan benilai guna untuk
kesejahteraan keluarganya. Hal tersebut nampaknya telah memberikan
perubahan bagi tatanan sosial masyarakat etnik Bajo karena ritual duata bukan
saja merupakan hak milik atau budaya Bajo namun sekarang berubah menjadi
sebuah produk yang tentunya bisa dikonsumsi oleh siapa saja termasuk
wisatawan mancanegara sehingga bukan hanya menimbulkan jiwa kosumerisme
bagi penikmat seni namun sebuah prestise tersendiri.
Oleh karena itu, komodifikasi ritual duata hendaknya dilakukan melalui
pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien).
Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan
mengintegrasikan beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane,
1994: 3). Mengingat pentingnya nilai-nilai ritual duata pada etnik Bajo maka
perlu dibawah pengawasan yang tentunya melibatkan masyarakat lokal (pemilik
tradisi) serta praktisi budaya (pemerintah) sehingga dalam komodifikasi ritual
duata, akar budaya dan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang
mencerminkan jati diri masyarakat Bajo tidak hilang akibat dari komersialisasi
tradisi.
7.2.2 Identitas Budaya
Perkembangan tekhnologi dan informatika yang semakin pesat
membawa perubahan signifikan bagi eksistensi nilai tradisi lokal yang dimiliki
bangsa kita. Hal tersebut bukan lagi sebuah gejala perubahan nilai namun akan
membawa kepada perubahan nilai tradisi kearah konteks kebudayaan global.
Terjadinya komersialisasi berbagai bentuk kebudayaan leluhur yang dilakukan
oleh masyarakat pendukung kebudayaan nampaknya lebih memperhatikan nilai
ekonomi ketimbang filosofi nilai, makna dari tradisi tersebut.
Ritual duata sebagai warisan leluhur syarat akan berbagai macam makna,
nilai yang bisa dijadikan sebagai pegangan dan pedoman dalam membina
keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Bajo. Sebagai ritual pengobatan adat
etnik Bajo sepatutnya bisa menjaga dan memelihara kelestarian ritual tersebut
dari kepunahan. Bukan hanya dalam upaya penyembuhan berbagai pennyakit,
namun ritual duata erat kaitannya dengan kearifan lokal serta hubungan antara
manusia dengan sesamanya, lingkungan alam, dan penguasa alam. Namun di era
globalisasi sekarang ini eksitensi ritual duata berangsur-angsur mengalami
perubahan nilai namun juga pemaknaan yang berbeda bagi masyarakat
pendukung juga pihak konsumen (penikmat tradisi).
Representasi ritual duata yang syarat akan tanda-tanda yang melekat
pada prosesinya memberikan corak yang unik terhadap kehidupan pemilik
kebudayaan etnik Bajo. Tanda-tanda tersebut bisa dikatakan sebagai identitas
etnik Bajo yang hidup dengan budaya lautnya. Dalam memproduksi makna
ritual duata sebagai identitas etnik Bajo terlihat dari penanda (signifier), pakaian
yang dipakai oleh penari maupun dukun (sandro), gendang, sesajian, serta
bendera kebesaran (ula-ula) sebagai tanda (semiotik) yang mempunyai petanda
(signified) untuk menjelaskan makna. Produksi makna disini bersifat implisit,
tersembunyi yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004 aa:90). Makna
konotasi berdasarkan latar budaya etnik pemberi konotasi (Hoed, 161-162).
Selanjutnya bagaimana teks-teks budaya dapat memunculkan makna
representasi identitas etnik Bajo melalui sistem penandaan yang dalam konteks
ini misalnya: berupa pakaian tradisional, tari, suara gendang, ula-ula, jenis
sesajian, maupun doa (jajampi). Pakaian penari sebagai identitas suku Bajo
terlihat pada gambar 7.1.
Gambar 7.1 Kelompok penari ritual duata (ngigal)
(Dokumen, Irsyan Basri: 6 Pebruari 2014)
Gambar 7.1 menunjukkan para penari (ngigal) dengan pakaian yang seragam
memberikan identitas etnik Bajo. Nampak sarung yang digunakan oleh penari
duata berwarna gelap karena pada umumnya kehidupan etnik Bajo dulu masih
tinggal di atas perahu (bido) sehingga apapun media yang digunakan masih
bersifat natural yang berasal dari alam mereka belum menyukai warna terang.
Sarung yang mereka pakai memiliki kemiripan dengan sarung songket etnik
Bugis karena mereka masih mempunyai garis keturunan yang sama. Umumnya
orang Bajo baik pria maupun wanita senang memakai sarung. Sarung pada
zaman dahulu memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat etnik Bajo
terutama bagi kaum wanita. Seperti yang diungkapkan oleh Ambe (51 Tahun)
sebagai berikut.
“Dulu kami orang Bajo belum memakai Baju seperti sekarang ini, untuk
menutupi aurat kami menggunakan kain atau sarung. Sarung ini bukan
hanya bisa menutup aurat namun bisa digunakan sebagai layar untuk
membantu kami dalam mengarungi laut. Kami tidak memakai baju hanya
sarung saja sama juga dengan laki-laki, sehingga bagi orang bagai
memandang kami seperti orang aneh apa lagi warna kulit kami ini tidak
seperti orang di darat. Sarung ini biasanya kami dapat dari kerabat kami
dari Bugis jadi dulu sarung ini penting juga karena bisa orang kenal kita
dari motif sarung yang digunakan. (wawancara 5 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa etnik Bajo pada kehidupannya di
atas perahu baik pria maupun wanita hanya menggunakan sarung. Sarung
memiliki manfaat dan sangat penting disamping untuk melindungi mereka dari
cuaca panas atau dingin juga bisa sewaktu-waktu dijadikan sebagai layar untuk
membangkitkan kekuatan tenaga angin dalam mengarungi samdera. Sebagai
identitas etnik Bajo sarung tersebut memiliki corak yang sama dengan etnik
Bugis karena masih mempunyai garis keturunan yang sama menurut sejarahnya.
Disamping itu bendera (ula-ula) merupakan unsur pokok dalam ritual duata
seperti pada gambar di 7.2.
Gambar 7.2 Ula-ula sebagai penanda identitas suku Bajo
(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)
Pada gambar 7.2 terlihat bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula). Ada beberapa
bendera yang digunakan oleh masyarakat etnik Bajo sehingga bisa dibedakan
jenis bendera untuk pengobatan maupun acara-acara adat lainnya. Kain yang
berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan biasanya dikaitkan pada
buritan perahu (bido). Sudah bisa digambarkan bahwasanya ketika pada saat-
saat tertentu bendera (ula-ula) bisa dikibarkan sehingga masyarakat Bajo
memahami kalau di desanya akan ada sebuah kegiatan atau peritiwa. Bendera
sebagai identitas etnik Bajo memiliki makna yang mendalam dengan warna dan
bentuk yang unik memggambarkan sebuah mitos yang diyakini dari leluhurnya
akan keperkasaan dan kekuatan hewan laut berupa gurita raksasa yang erat
kaitannya dengan kehidupan masyarakat Bajo.
Sejalan dengan penggambaran di atas, Maunati (2004: 23) dan Ardhana
(2004:101-102) menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan
identitas. Ia menyebut bahwa penanda-penanda identitas budaya misalnya bisa
berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa, adat serta
tradisi pada budaya yang bersangkutan. Selanjutnya dalam pandangan semiotika
simbol atau benda menjadi tanda yang sekaligus sebagai identitas yang memiliki
makna. Identitas sebenarnya sebuah kontruksi, dalam artian identitas budaya
dapat dengan sengaja dibentuk atau dibangun. Dalam proses pembentukan
identitas tersebut tergantung pada pengalaman masa lalu atau sejarah yang
berbeda.
7.2.3 Kreativitas Masyarakat
Kebudayaan telah mengalami perubahan fungsi menjadi sesuatu yang
bisa sewaktu-waktu berubah mengikuti apa yang diharapkan oleh masyarakat
(konsumen). Dalam hal ini ritual duata bisa menjadi suguhan untuk kepentingan
pariwisata dimana kebudayaan yang berkembang bukan hanya didasarkan pada
nilai esensi yang terkandung didalamnya melainkan efektifitasnya dan nilai jual
yang terkandung di dalamnya. Dalam tataran ekonomi kebudayaan merupakan
tontonan yang dapat diperjual belikan dimana komunitas atau pendukung
kebudayaan diharuskan mendaur ulang atau mengemasnya sehingga ada unsur
kebaruan dalam tampilannya. Hal tersebut sejalan dengan Tester (2009:84)
komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang
sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan dengan kesadaran penuh
dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk
memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang
membutukan karya seni tersebut. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun)
sebagai berikut.
“Kalau ritual duata untuk kepentingan pertunjukkan kami selalu
mengikuti perkembangan tari-tarian yang sudah ada. Kebetulan di
Wakatobi ini banyak sekali tari-tarian sehingga untuk gerakan tari dalam
ritual ini terkadang mengikuti tari daerah lain sama halnya busana pasti
akan selalu tampil dengn perkembangan gaya masa kini” (wawancara 7
Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan bahwa untuk menarik minat atau daya tarik
konsumen/wisatawan tentunya harus memiliki modal kreativitas seperti halnya
pelatih atau penari selalu mengikuti konsep perkembangan tari kontenporer yang
tentunya bertolak pada tradisi sebelumnya begitu juga pada perkembangan
busana harus siap dengan tampilan baru sehingga nampak berbeda dan
mengundang daya tarik.
Dalam rangka mencari keuntungan lebih kekuatan kapitalis di era
postmodernisme tidak lagi hanya mengandalkan pada ekspansi dan misifikasi
komoditas, tetapi sudah lebih berorientasi dan kemunculan inovasi atau ide-ide
baru yang dibutuhkan dan diinginkan pasar. Karena tanpa melakukan inovasi-
inovasi terbaru akan mengalami ketertinggalan yang pada akhirnya tidak
diminati oleh konsumen. Hal tersebut nampak pada praktek ritual duata dimana
dalam memenuhi tuntutan pasar selalu melakukan perubahan-perubahan
tampilan baik dalam bentuk materi ritual atau formasi gerakan-gerakan ritual.
Persaingan-persaingan dalam industri budaya melahirkan juga potensi
persaingan dibidang ekonomi lainnya sehingga karakter masyarakat Bajo
semakin tertantang dengan budaya persaingan.
Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling
melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang
menjadikan ritual duata sebagai ritual pengobatan adat etnik Bajo dan daya tarik
wisata dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual
dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi.
Ritual duata yang mengalami komodifikasi tentunya tunduk pada selera
konsumen (pasar) sehingga dalam perubahannya dibutuhkan pemikiran dan
modal kreativitas seni tinggi sehingga mengundang daya tarik seni terhadap
penikmat atau konsumennya. Kretivitas sandro dan seniman Bajo dalam
mendesain struktur tari, sesajian dan pakaian yang digunakan dalam ritual
memberikan kesan tersendiri karena apa yang mereka tunjukan akan bernilai
seni dihadapan penikmat seni/konsumen.
Makna kreativitas dalam komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh
sandro dan pelaku seni di etnik Bajo dilihat dari beberapa bentuk yang memiliki
perubahan dari media aslinya yakni pada awalnya ritual duata dilakukan oleh
masyarakat Bajo dalam hal pengobatan. Namun pada perkembangannya kearah
komodifikasi, ritual duata mengalami perubahan dalam konteks tempat, dan
waktu pelaksanaanya. Ritual duata sebagai ritual pengobatan adat kini bisa
dilakukan kapan saja dan dimana tergantung pengoder/selera konsumen
sehingga dilihat dari prosesnya ritual duata terkesan berubah dalam bentuk
penggunaan waktu pelaksanaan, dan fungsinya. Ritual duata yang seharusnya
menggunakan waktu selama tiga hari dengan mengikuti selera pasar bisa
dipadatkan menjadi 10 sampai 15 menit sehingga ada perubahan karakter dan
tampilan yang menyesuaikan dengan keadaan dimana mereka tampilkan. Hal ini
juga akan berimbas pada materi-materi ritual seperti sesajian, pakaian yang
digunakan oleh pelaku dalam ritual, serta identitas-identitas yang ditunjukan
mengalami perubahan. Perubahan tersebut menunjukan bahwa eksisatensi ritual
duata serkarang lebih kepada tuntutan ekonomi pasar yang mengikuti apa yang
diinginkan oleh pasar sehingga terjadi pemaknaaan baru dalam
perkembangannya.
Sisi lain dari kreativitas akan melahirkan sebuah karya seni yang penuh
dengan pemalsuan karena pada dasarnya yang diharapkan adalah mengejar
estetika dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih. Perubahan tampilan isi
materi sesajian seperti pada gambar 7.3.
Gambar 7.3 Kreativitas dalam penyajian isi sesajian
(Dokumentasi: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi)
Gambar 7.3 menunjukkan bahwa ritual duata bukan saja merupakan sebuah
ritual yang memiliki makna kesakralan tinggi namun dengan adanya pengaruh
pariwisata dan ekonomi maka ritual duata merupakan sebuah tuntunan dan
tontonan sebagai sajian seni yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan
dalam jasa yang mengikuti selera pasar. Hal tersebut menumbuhkan modal
kreativitas bagi seniman untuk lebih menginginkan hal-hal baru yang bisa
memperkaya dan membuat ritual duata tampil lebih dan tentunya bernilai jual.
Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan
oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup
konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah
menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya.
Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut
(komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di
dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya
dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).
Fenomena seperti itu oleh Baudrillard (1997 : 36-37) disebut dengan
simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem, semua hal yang ada,
merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepurapuraan atau simulasi.
Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri, tetapi hanya pura-
pura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya sekedar tampilan
fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa
masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun sesungguhnya
ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang modern yang
berpura-pura tradisional.
Dalam konteks kekinian, komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh
masyarakat Bajo dianggap sebagai bentuk kreatifitas masyarakat Bajo untuk
menciptakan atau berinovasi dengan hal-hal baru sehingga mengundang daya
tarik tersendiri dan ini merupakan bagian dari sebuah pengembangan kreativitas
seniman Bajo dalam melestarikan ritual duata. Kreativitas dijadikan sebagai
modal utama dalam mendaur ulang ritual duata sehingga membangkitkan
libido/hasrat untuk mengonsumsinya kembali sehingga nilai-nilai yang
terkandung didalam ritual duata mampu diterima oleh masyarakat yang
menikmatinya.
7.2.4 Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Komodifikasi ritual duata mengandung makna kesejahteraan bagi
masyarakat pendukung maupun sekitarnya. Ritual duata tampil dengan estetika
baru yang sengaja diproduksi untuk menarik wisatawan guna meningkatkan
pendapatan secara ekonomi. Dengan demikian para seniman berlomba-lomba
untuk menggali dan mengembangkan kreatifitasnya dengan memanfaatkan
potensi tradisi sebagai objek bernilai jual.
Kesejahteraan (Kebayantini, 2013: 192) yaitu menyangkut berbagai
aspek yang kompleks. Sejahtera tidak hanya dipandang dari segi terpenuhinya
kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga kebutuhan sosial dan mental spritual.
Terkait dengan hal ini makna kesejahteraan adalah dalam penelitian ini
menyangkut terpenuhinya kebutuhan ekonomi, sosial, dan mental spritual para
pelau ritual duata.
Ritual duata pada hakikatnya dikonsumsi oleh masyarakat
pendukungnya karena nilai esensinya yang membawa manfaat bagi masyarakat.
Manfaat tersebut dirasakan ketika apa yang mereka inginkan dalam upaya
penyembuhan dari penyakit terkabulkan. Ritual duata umumnya diperuntukkan
atau dikonsumsi oleh orang-orang Bajo sendiri, namun pada perkembangannya
mengalami transformasi yang menyesuaikan dengan budaya yang dibawa oleh
kapitalisme sehingga ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditas
menjadi barang komoditas yang berorientasi nilai jual. Pada masyarakat
moderen hal apapun berpotensi menjadi komoditas, memiliki nilai moneter, dan
diperjualbelikan sehingga melahirkan apa yang disebut komodifikasi. Hal
tersebut sejalan dengan konsep Barker (2005: 517) komodifikasi yaitu proses
yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda
diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di
pasar.
Perkembangan kreativitas seni masyarakat Bajo dalam pertunjukan
ritual duata secara ekonomi sangat diuntungkan mengingat dalam prosesnya ada
ketetapan harga yang diberikan oleh konsumennya sehingga secara ekonomi
akan mampu mensejahterakan pemilik ritual duata (pelaku dalam pertunjukan)
dan masyarakat Bajo pada umumnya. Senada dengan apa yang dikatakan Ardika
dalam (Dasrul, 2013: 151) bahwa praktek budaya global memberikan pengaruh
positif bagi kelangsungan ekonomi. Dengan penetapan harga/upah tersebut akan
memberikan modal dalam segi pembiayaan dalam proses produksi dan distribusi
ritual duata. Tentunya bukan hanya diuntungkan secara ekonomi namun dengan
adanya komodifikasi ritual duata yang diperuntukan kepada masyarakat luas
dianggap sebagai ajang promosi dan pelestarian akan kebudayaan etnik Bajo.
Masyarakat Bajo yang telah diboncengi pemikiran kapitalis dengan
menjadikan ritual duata sebagai modal untuk ditukarkan dengan uang memiliki
harapan akan peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan nilai tukar berupa uang
maka mereka bisa memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Hal tersebut
diungkapkan oleh Hapsa (45 tahun) seperti berikut.
“Ritual duata ini setelah sering dipertunjukkan pada acara pemerintah
kami merasakan ada perubahan ekonomi keluarga dengan hasil upah
setiap kali kami tampilkan. Lumayan untuk makan sehari-hari juga
meyekolahkan anak-anak kami. Setiap kali tampil saya terkadang dikasi
uang Rp300.000 belum lagi tip-tip dari bapak ibu yang beri saweran”
(wawancara 7 Pebruari 2014)
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dorongan ekonomi kapital yang
dilakukan oleh masyarakat Bajo untuk mengkomersialkan ritual duata sangat
bermanfaat dalam perbaikan ekonomi keluarganya. Dengan memanfaatkan
produk budaya ritual duata nampaknya melahirkan paradigma berpikir kritis
untuk memanfaatkan sesuatu yang sebelumnya bukan barang bernilai yang pada
akhirnya memberi manfaat dengan nilai tukar dari barang/jasa tersebut.
Komodifikasi ritual duata jika dikaitkan dengan ekonomi erat
hubungannya karena oleh produsen sengaja memproduksinya dengan menata
ulang (daur ulang) dari apa yang sebelumnya kurang menarik untuk dinikmati
(jual) yang pada akhirnya menjadi barang/jasa untuk dikonsumsi sebagai produk
budaya massal yang berorientasi pada pasar. Dalam melakukan daur ulang
tentunya harus dipertimbangkan aspek penting yang bisa memiliki nilai guna,
dalam artian produk yang kita hasilkan dapat bermanfaat atau memuaskan
kebutuhan tertentu. Disamping itu sebuah komoditas harus bisa dipertukarkan
dengan barang atau jasa lain yang disebut nilai tukar (Suyanto 2013: 176).
Komodifikasi ritual duata bukan saja dinikmati berdasarkan fungsi esensinya
sebagai ritual penyembuhan namun disisi lain harus ada nilai lebih yang
berorientasi pada pemenuhan selera konsumen.
Etnik Bajo yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan lambat
laun mengalami perubahan pola mata pencaharian ke bidang pekerjan yang lain
seperti bidang kesenian atau usaha perdagangan sehingga memberikan variasi
pekerjaan bagi masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan waktu dan
perubahan sosial budaya maka adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga
mengalami perubahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai
berikut.
“Orang Bajo dulu semua pekerjaannya melaut, boleh dikata kami ini
orang yang hidup mati dengan namanya laut. Pekerjaan melaut ini kami
dapat dari leluhur sebelum kami, jadi yang namanya gejala alam atau
perubahan iklim yang berkaitan dengan kegiatan melaut orang Bajo
sangat pintar. Tapi sekarang setelah adanya pariwisata di Wakatobi anak-
anak udah banyak yang sekolah bahkan menjadi orang besar. Terlebih di
kampung ini sudah banyak terlihat perubahan rumah-rumah sudah
permanen bukan kaya dulu masih di atas laut. Semuanya itu karena orang
Bajo sudah menghargai yang namanya uang sehingga bisa bekerja
mencari uang untuk berdagang atau pekerja seni, bahkan membuat
kerajianan khas Bajo dan itu sangat menunjang perekonomian keluarga.
(wawancara 8 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kehadiran industri pariwisata yang ada di
kawasan kepulauan Wakatobi berimbas terhadap pola pekerjaan masyarakat
Bajo dari profesi nelayan bergeser kepekerjaan lainnya seperti berdagang,
pekerja seni ataupun penjual kerajian khas suku Bajo. Dengan adanya berbagai
macam profesi masyarakatnya membuat tingkat kesejahteraan masyarakatnya
pun maju dan lebih meningkat.
Bagi pelaku seni khususnya dukun pemilik ritual duata merespon baik
adanya praktik komodifikasi. Hal tersebut membuat perubahan bagi kondisi
keluarganya kearah yang lebi baik. Ritual duata baik dijadikan sebagai
pengobatan atau atraksi seni sangat membantu perekonomian terlihat dalam
sekali pertunjukan terkadang dukun memperoleh keuntungan bersih Rp
5.000.000 sekali pertunjukan dan itu dirasakan sangat diuntungkan. Hal ini
seperti yang dituturkan oleh dukun (Dasseng) sebagai berikut.
“Kalau dulu pengobatan saya kasi harga mulai dari Rp 3.000.000 sekali
pengobatan dan itu tidak tiap hari tapi sekarang kalau ada tamu datang
pertunjukan duata pasti akan diminta dan dibayar mahal karna kalau
untuk pertunjukan saya banyak gunakan tenaga yah taksiran untung saya
Rp 5.000.000 jadi saya merasa untung bisa berjalan keduanya”
(wawancara 7 Pebruari 2014).
Tuturan di atas menunjukkan ritual duata dapat dijadikan sebagai mata
pencaharian. Terbukti apa yang dilakukan oleh dukun bisa mendapatkan
keuntungan yang begitu besar. Perubahan ritual duata dari sakral ke profan tidak
terlepas dari pengaruh golbalisasi. Ideologi dan tingkat pengetahuan masyarakat
yang bervariasi ikut berperan dalam mengubah pemaknaan ritual duata.
Masyarakat Bajo memainkan peranan penting dalam industri budaya
dengan memanfaatkan dan memberdayakan tardisi/ritual duata sebagai
komoditi. Pemberdayaan tradisi/ritual mengakibatkan pola pikir masyarakatnya
untuk menekuni profesi sebagai pekerja seni yang dapat mendatangkan
keuntungan. Terbukti setelah ritual duata dikomersialkan masyarakat pendukung
ritual khususnya dukun dan pelaku seni lainnya mengalami perubahan
perekonomian yang begitu besar serta masyarakat sekitarnya pun ikut merasakan
manfaatnya. Kedatangan wisatawan keperkampungan Bajo mendorong
masyarakatnya untuk membuka jasa layanan seperti penginapan, penyewaan
perahu serta pedagang yang menawarkan barang produk seni kepada
tamu/wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47
tahun) sebagai berikut.
“Saya sendiri merasakan efeknya ketika banyak orang yang datang
keperkampungan Bajo, diantaranya saya menyewakan perahu kalau ada
tamu yang mau jalan-jalan disekitar kampung sekali pakai aku beri harga
Rp 250.000 dan kebetulan istri saya membuka usah kecil-kecilan seperti
gorengan atau makanan dan ada sedikit dagangan seperti kalung atau
cincin yang terbuat dari kulit penyu dan itu laku terjual kalau ada
wisatawan, hitung-hitung keuntungan yang kami dapat ini mampu
menyekolahkan anak-anak kami sampai kuliah” (wawancara, 7 Pebruari
2014).
Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bukan hanya pemilik ritual duata yang
diuntungkan dalam hal ini masyarakat sekitar turut andil dalam mendukung
praktik komodifikasi ritual duata. Dengan kehadiran wisatawan untuk melihat
praktik ritual duata, oleh masyarakat etnik Bajo memanfaatkannya untuk
memberi layanan jasa atau dagangan untuk ditawarkan kepada wisatawan yang
pada akhirnya terjadi transaksi jula-beli yang sangat menguntungkan.
BAB VIII
STRATEGI PEWARISAN RITUAL DUATA
Strategi pewarisan merupakan suatu upaya atau cara untuk
melindungi/memanfaatkan budaya/tardisi khususnya tradisi lisan dari berbagai
macam ancaman kepunahan akibat dari arus budaya global yang merambah ke
dalam kebudayaan lokal. Tradisi lisan yang berisi tontonan dan tuntunan tersebut
sekiranya perlu mendapat perhatian khusus sehingga mampu bertahan dan
dimanfaatkan dalam konteks kehidupan sekarang. Sebuah tradisi tidak akan
hidup jika tidak mengalami transformasi dimana terdapat penyesuaian antara
tradisi dengan modernisasi yang merupakan sebuah kewajaran karena
kebudayaan merupakan sebuah aspek yang akan senantiasa mengalami
dinamika.
Setiap tradisi memiliki nilai budaya yang sebahagian besar dimanfaatkan
pada generasi masa kini demi masa depan yang sejahtera dan bermartabat,
sehingga dibutuhkan ahli yang dapat menggali, menginterpretasi, dan
menerapkan nilai budaya itu dengan baik. Nilai budaya yang dimaksud disini
adalah nilai luhur yang ada pada tradisi lisan dan yang menjadi pedoman
komunitas pada zaman itu. Harus diakui juga bahwa nilai luhur yang dahulu
menjadi pedoman leluhur belum tentu sepenuhnya relevan dengan kehidupan
masa kini, bahkan mungkin ada yang telah bertentangan dengan kehidupan
sekarang. Nilai budaya yang masih relevan dapat dimanfaatkan untuk menata
kehidupan sosial suatu komunitas dengan arif. Oleh karena itu tradisi lisan yang
mengandung kearifan perlu dilakukan pewarisan untuk diterapkan dan diajarkan
pada generasi muda sekarang demi penciptaan kedamaian dan peningkatan
kesejahteraan bangsa di masa depan. Sebagai langkah strategi pewarisan yang
dilakukan oleh masyarakat Bajo terhadap keberadaan ritual duata yaitu dalam
upaya (1) pemberdayaan, (2) pendokumentasian dan (3) pengembangan
8.1 Pemberdayaan
Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber
menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya
kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat
sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan yang
dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya memberikan kebebasan kepada
masyarakat pendukung tradisi untuk memanfaatkan modal budaya berupa ritual
duata untuk dijadikan sebagai produk budaya yang bernilai guna sehingga bisa
meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.
Melihat kuatnya pengaruh globalisasi dalam bidang kehidupan manusia
seakan-akan nilai-nilai dan ideologi global meruntuhkan segala tatanan sosial
yang bersumber dari tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Nilai keluhuran yang
bersumber dari tradisi kebudayaan nenek moyang yang dijunjung tinggi sebagai
aturan adat yang ampuh dalam memperbaiki dan menjaga keharmonisan dalam
kehidupan manusia diperhadapkan dengan pemikiran praktis yang berdasarkan
dari budaya global. Tradisi seakan-akan kurang andil dijadikan sebuah nilai yang
bisa difungsikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Seolah-olah tradisi
dianggap sebuah unsur kekunoan yang membuat masyarakat semakin tertutup
(koservatif) jauh dari perkembangan manusia-manusia moderen seperti di
negara barat. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap nilai tradisi
leluhur akan mengalami keterancaman (punah) yang lambat laun masyarakat
bisa meninggalkannya. Hal tersebut mendorong pihak-pihak terkait pemerhati
kebudayaan untuk melakukan upaya dalam perlestarian tradisi lokal baik lisan
maupun tulisan untuk bisa dipertahankan dan diberdayakan dalam budaya
kekinian.
Budaya global (moderen) yang semakin berkembang tidak bisa dihindari
dalam perkembangan kebudayaan lokal. Harus kita sadari bersama bahwa
kebudayaan akan terus mengalami dinamika kearah tingkat peradaban manusia
yang moderen. Tradisi budaya (lisan) selalu mengalami transformasi akibat
perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman
(Sibarani , 2012: 3). Tradisi akan selalu hidup dalam sebuah transformasi
sebagai bentuk penyesuaian budaya lokal (tradisi lisan) dengan unsur
modernisasi sehingga menciptakan sebuah kedinamisan budaya.
Terkait dengan hal tersebut ritual duata sebagai tradisi lisan masyarakat
etnik Bajo yang sekarang ini mengalami transformasi dari unsur kesakralan
menuju profan merupakan bagian dari pengaruh praktik kapitalisme global.
Sebagai warisan budaya leluhur masyarakat etnik Bajo masih berusaha menjaga
kesakralannya, karena dinilai sesuatu yang tabuh yang tidak boleh disalah
gunakan terkecuali dalam koridor yang semestinya (pengobatan). Namun dilain
pihak timbul pemikiran baru dari sebagian masyarakat pendukung kebudayaan
tersebut untuk memanfaatkan potensi yang diwariskan oleh leluhur untuk bisa
diberdayakan dalam upaya melestarikan dan mengangkat kebudayaan tersebut
keranah pertunjukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai
berikut:
“Kami memang sadar akan kesakralan ritual duata yang bagi kami
memiliki kekuatan supranatural yang ampuh dalam hal pengobatan.
Pemikiran-pemikiran akan nilai gaib dalam pengobatan itu membuat
kami masyarakat Bajo ini terpecah-pecah untuk membuat ritual ini
sebagai bentuk kesenian. Banyak orang Bajo yang tidak menginginkan
akan hal tersebut namun ada juga yang setuju, dengan alasan kalau yang
dipertunjukan ini bukan yang asli tapi sebuah karya seni dengan
menggunakan unsur-unsur dalam prosesi duata. Terlebih kalau duata
tidak dijadikan kesenian akan punah bahkan orang-orang diluar sana
tidak tau apa yang dimiliki orang Bajo hari ini. Jadi, dengan pertunjukan
saya kira bisa menghidupkan ritual tersebut dan bisa dimanfaatkan
sehingga diharapkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan suguhan
kesenian dari kami ini bisa mensejahterakan pemilik ritual dan
masyarakat sekitar etnik Bajo.(wawancara 7 Pebruari 2014).
Ungkapan di atas menunjukkan kesadaran akan pentingnya ritual duata
dijadikan sebuah pertunjukan bukan begitu saja terjadi namun ada perbedaan
pendapat dari pihak pendukung tradisi dengan pihak yang menginginkan
perubahan kearah profan. Alasan kedua belah pihak memiliki kekuatan untuk
melestarikan tradisi masyarakat yang bersumber dari leluhurnya.
Budaya merupakan suatu komponen yang sangat berarti bagi suatu
bangsa karena budaya merupakan perekat bangsa dan menjadi ciri khas dari
suatu negara. Dengan adanya kebudayaan maka suatu negara dapat dibedakan
dengan negara lainnya. Karena peranan kebudayaan sangat penting maka
dilakukan upaya pelestariannya agar tidak mengalami kepunahan. Hal ini
dilakukan karena generasi muda sekarang ini kurang berminat mempelajari
sejarah tradisi kehidupan leluhur masa lampau. Adanya sosialisasi dan
penanaman nilai-nilai budaya sejak kecil perlu ditanamkan serta upaya dalam
memberdayakan masyarakat pendukung kebudayaan demi kelestarian tradisi dan
nilai budaya.
Ritual duata sebagai kekayaan budaya yang dimiliki etnik Bajo perlu
diberdayakan disamping sebagai ritual pengobatan juga bisa diberdayakan dalam
sektor industri budaya kreatif yang mengundang daya tarik wisatawan. Oleh
karena itu dengan memberdayakan ritual duata masyarakat etnik Bajo berarti
menyelamatkan tradisi dari gempuran globalisasi budaya yang berusaha
melumpuhkan bahkan bisa memusnahkan berbagai macam tardisi termasuk
ritual duata dengan budaya moderen yang lebih praktis dan ekonomis.
Memberdayakan ritual duata bersama masyarakat pendukungnya
sejatinya bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan taraf kesejahteraan
masyarakat etnik Bajo. Salah satu bentuk pemberdayaan tradisi ritual duata yaitu
dengan melakukan pelatihan tari-tarian dari unsur ritual duata yang dilakukan
oleh remaja putri etnik Bajo serta mendorong usaha jasa pembuatan pernak-
pernik yang digunakan dalam ritual duata sebagai oleh-oleh khas etnik Bajo
yakni sarung tenun, gelang, dan kerajian tangan lainnya yang bisa meningkatkan
taraf kesejahteraan masyarakat etnik Bajo. Seperti yang diungkapkan oleh
Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut:
“Salah satu model pemberdayaan ritual duata yang dilakukan oleh
seniman Bajo bersama sandro sejauh ini dilakukan dengan cara melatih
remaja-remaja putri Bajo untuk menari ngigal yang merupakan
komponen penting dalam ritual duata, serta memberdayakan ibu-ibu
untuk bisa membuat aksesoris khas etnik Bajo yang kiranya bisa
ditawarkan kepada wisatawan yang datang ke perkampungan Bajo, dan
ini sangat membantu perekonomian keluarga. (wawancara 7 Pebruari
2014).
Berdasarkan ungkapan di atas bahwa dengan modal kreativitas tangan-tangan
seniman mampu membuat tampilan ritual duata bernilai jual yang berisi
tuntunan dan nilai-nilai yang begitu tinggi yang menggugah mata bagi para
pecinta seni pertunjukan budaya. Dengan semakin dilakukannya perberdayaan
ritual dengan menyajikannya sebagai atraksi seni akan semakin dikenal oleh
masyarakat luas dan generasi muda etnik Bajo semakin mengenali tradisinya dan
mampu mewarisi ritual tersebut dimasa akan mendatang.
Dalam teori relasi kuasa, Foucoult dalam struktur relasi kuasa yakni ada
pihak menguasai dan dikuasai (Hoed, 2011:284). Sebagai ritual yang diwariskan
secara turun temurun tentunya ada agen-agen yang berpengaruh dalam hal ini.
Sandro sebagai pemimpin ritual duata dalam hal ini memiliki kekuasaan penuh
dan pengetahuan yang banyak akan ritual pengobatan (duata) untuk itu sebagai
sosok yang ditokohkan dalam etnik Bajo beliau tidak henti-hentinya
memberikan pemahaman terhadap keluarga, kerabat bahkan pasien-pasiennya
akan pentingnya melakukan pengobatan adat seperti duata. Tentunya ketika
masyarakat Bajo memahami dan mengkonsumsi ritual tersebut mereka semakin
berusaha menjaga kelestarian ritual duata tersebut. Bila mana mereka sendiri
yang menghancurkan tradisi tersebut itu akan mengancam keselamatan dan
solidaritas diantara sesama orang Bajo. Disnilah terlihat bagaimana peran kuasa
yang dimiliki oleh sandro dengan pengetahuan dan kemampuannya maka
wacana yang dibangun akan selalu diyakini dan dikembangkan oleh masyarakat
etnik Bajo.
Bukanlah hal yang mudah dalam memberdayaan ritual duata dalam
peningkatan kesejahteraan masyarakat etnik Bajo harus ada pengawasan dan
pendampingan sehingga tujuan dari masyarakat pendukung bahkan pemerintah
sebagai pihak pemeberi kebijakan dalam hal ini dinas pariwisata dalam
pemberdayaan ritual duata bisa tercapai. Dalam k
8.2 Pendokumentasian
Berbagai macam pengaruh globalisasi hingga menembus kehidupan
terkecil bagi manusia tak dapat terelakkan. Tidak sedikit masyarakat yang masuk
ke dalam kehidupan yang semakin praktis dalam diri mereka. Sehingga kondisi
tersebut berimplikasi pada kurangnya pemahaman terhadap suatu tradisi yang
telah dibangun sejak dahulu oleh pemiliknya. Arus globalisasi membuat peranan
tradisi lisan semakin tersisihkan sehingga menimbulkan hilangnya seperangkat
sistem kebudayaan lokal berimplikasi pada tatanan kebudayaan masyarakat.
Untuk menghindari dan menyelamakan tradisi lisan yang mengalami
keterancaman harus dilakukan upaya penyelamatan dalam bentuk
pendokumentasian agar tidak hilang ditelan zaman.
Pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan
mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup
berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi. Pengumpulan
informasi dan menyimpan data-data yang berkaitan dengan ritual duata
merupakan suatu bentuk usaha dalam menyelamatkan warisan leluhur etnik Bajo
tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan oleh sanggar seni yang dilakukan
sandro yaitu dengan cara setiap kali ritual duata dilakukan, pihak pengelola
diminta untuk bisa mendokumentasikan prosesi ritual dari awal sampai akhir
seperti rekaman vidio ataupun gambar (foto) sehingga ada arsip ataupun
dokumentasi yang nantinya akan menjadi bukti konkrit bagi masyarakat etnik
Bajo ke generasi penerus kelak. Seperti yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)
sebagai berikut:
“Saya kalau ada pertunjukan ritual duata yang diminta oleh pemerintah
selalu saya bilang kalau bisa diliput atau difoto, karena saya sendiri mau
juga melihat jalannya ritual ini. Juga untuk pegangan bagi saya, keluarga
dan masyarakat di Desa Mola Selatan karena sering orang datang mau
lihat bagaimana itu ritual duata” (wawancara 7 Pebruari 2014)
Tuturan diatas nampaknya sandro (dukun) ritual duata sudah melakukan upaya
untuk mendokumentasikan ritual duata agar dikemudian hari kalau keluarga atau
masyarakat mau merlihat jalannya ritual duata bisa diperlihatkan melalui
dokumentasi sebelumnya berupa rekaman vidio atau pun berupa foto (gambar).
Sejauh peneliti lihat dilapangan, hasil dari pendokumentasian ritual duata
ini masih jauh dari yang sempurna seperti perpustakaan modern. Foto-foto
jalannya ritual duata hanya disimpan di dalam album foto selebihnya dijadikan
hiasan rumah sehingga jika masyarakat atau orang yang berkepentingan mau
melihat dokumentasi ritual duata maka bisa langsung dilihat. Pendokumentasian
yang dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo sangat penting mengingat
kemampuan daya ingat manusia serta keterbatasan penutur ritual duata dalam
menjaga dan mewariskan kegenerasi selanjutnya sehingga adanya dokumentasi
berupa tulisan, foto ataupun vidio akan sangat membantu sebagai media
sosialisasi dan pembelajaran kepada generasi muda Bajo pemilik dan pedukung
ritual duata.
8.3 Pengembangan
Secara konkret kebudayaan mengacu pada adat istiadat, bentuk tradisi
lisan, karya seni, bahasa, pola, interaksi dan sebagainya. Dengan kata lain,
kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada
batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal.
Dalam pengembangan kebudayaan termasuk tradisi lisan adalah sebagai
langkah pelestarian yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Garis-garis
besar haluan negara (GBHN) menetapkan kewajiban pemerintah untuk
“memajukan kebudayaan nasional Indonesia” dalam pasal 32 Undang-Undang
Dasar 1945. Dimana di dalamnya tercantum “Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah dan berbagai kekhasan sebagai kekayaan budaya
bangsa”. Hal ini berarti bahwa berbagai kebudayaan termasuk tradisi lisan yang
interaksinya melalui media verbal maupun non verbal mendapat pengakuan yang
semestinya harus dijaga, dilestarikan maupun dikembangkan.
Ritual duata sebagai warisan budaya tidaklah harus selalu statis dengan
kemurniannya dalam era modernisasi. Dalam konteks kekinian ritual duata
harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian namun tidak harus merusak
nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya, namun ritual duata harus
mampu dikembangkan dalam proses yang dinamis. Hal ini sejalan dengan apa
yang diungkapkan oleh Giddens (2003:72) bahwa mempertahankan tradisi
secara murni atau tradisional berarti menegaskan keterpisahaan. Menurutnya,
tradisi harus dikreasi sehingga melahirkan corak baru yang sesuai dengan
konteks zaman sehingga memiliki nilai tawar demi kelangsungan tradisi
tersebut. hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.
“Saya kira dengan adanya praktik ritual duata dijadikan sebagai bentuk
atraksi budaya ini, bisa melindungi bahkan melestarikan ritual duata dan
kami juga sebagai masyarakat Bajo merespon positif namun harus
disadari bahwa dalam penggarapannya harus benar-benar serius tanpa
menghilangkan unsur nilai filosofi dari ritual duata yang sakral dan ke
depannya dengan adanya ritual duata ini identitas Bajo dan
kesejahhteraan masyarakat Bajo labih baik dengan mengandalkan potensi
budaya sebagai modal dalam pengembangannya” (wawancara 7 Pebruari
2014)
Oleh karena itu pengembangan tradisi lisan ritual duata harus
direkonstruksi kearah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap apa
yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual
duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar
budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi
ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya.
Sajian tersebut dikembangkan dengan kreativitas tinggi dalam penyajiannya
sehingga masyarakat tertarik dan berinisiatif untuk mempelajarinya. Hal tersebut
dengan yang diungkapkan Sedyawati dalam Hardin (2013: 208) bahwa warisan
budaya tak terkecuali tradisi lisan, baik yang tangible maupun intangible tidak
boleh dibiarkan terbengkalai, namun harus terus ditumbuhkan dan
dikembangkan dalam iklim yang sehat.
Mengingat peran tradisi lisan dalam masyarakat sangat penting sebagai
sumber kearifan lokal, digali dari nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh
tradisi lisan maka kedudukan tradisi lisan memiliki fungsi sebagai alat
penyampai pengetahuan dan informasi yang menghidupkan sejarah dan budaya
komunitasnya dalam bentuk populer dan menghibur (Sibarani 2012: 50). Terkait
dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo merupakan wujud
transformasi atau pengembangan dari tradisi lisan dalam konteks kekinian yang
melahirkan apa yang dikatakan sebagai budaya populer. Sejalan dengan apa
yang dikatakan Fiske (Ibrahim 2007: xxv) bahwa “kebudayaan” (dalam kajian
budaya) seharusnya “tidak sekedar menekankan pada aspek estetis atau humanis,
tetapi juga aspek politis”. Jadi objek kajian budaya populer bukanlah
kebudayaan dalam pengertian sempit (yang dikacaukan dengan istilah kesenian
atau kegiatan intelektual atau spritual) melainkan kebudayaan dengan pengertian
cara hidup tertentu bagi sekelompok orang yang berlaku pada suatu periode
tertentu.
Pengembangan tradisi/ritual duata untuk kepentingan pariwisata harus
melibatkan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun implementasinya.
Pemanfaatan ritual duata untuk pariwisata harus menguntungkan masyarakat
lokal dengan memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata maka
sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian ritual atau
budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan pariwisata. Kode etik telah
mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk menghormati dan
mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah.
Refleksi
Ritual duata merupakan salah satu ritual pada etnik Bajo dimana ritual
ini bertujuan dalam upaya meminta keselamatan, kesembuhan dari berbagai
macam pennyakit akibat sebuah pantangan (pomali) yang telah dilanggar oleh
anggota masyarakat Bajo. Biasanya penyakit ini tidak bisa disembuhkan secara
medis maka langkah terakhir yang harus dilakukan dalam penyembuhannya
harus melalui ritual duata. Duata yang merupakan kata saduran dari kata dewata
(Bajo) dimana dalam keyakinan masyarakat Bajo akan sesuatu yang berkaitan
dengan mitos saudara kembar (keke) manusia (orang Bajo) berupa gurita raksasa
(kutta) dan buaya (tuli) yang merupakan jelmaan dari penguasa laut yang biasa
disebut mbo ma dilao. Makhluk-makhluk inilah yang bisa mendatangkan
keselamatan dan bencana bagi masyarakat Bajo. Oleh karena itu masyarakat
Bajo harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan makhluk-makhluk
tersebut sehingga tercipta hubungan harmonis antara sesama manusia baik
lingkungan alam maupun sang pencita (Tuhan) serta makhluk gaib lainnya
(mbo). Jalinan interaksi tersebut berwujud pada upacara-upacara adat sebagai
bentuk rasa hormat dan ucapan maaf ketika terjadi ketidaksesuaian dengan apa
yang mereka lakukan.
Sebagai bagian dari tradisi lisan, ritual duata dalam perkembangannya
mengalami transformasi kearah profan sehingga melahirkan parktik
komodifikasi. Ritual duata oleh masyarakatnya serta pemerintah selaku pemberi
kebijakan telah menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan barang
komoditi kini menjadi barang komoditi yang bisa bernilai jual. Hal tersebut
merupakan sebuah fenomena perubahan budaya karena kebudayaan merupakan
sesuatu yang dinamis dalam artian budaya selalu meyesuaikan diri dengan era
perkembangan zaman. Dalam pandangan kajian tradisi lisan merupakan sesuatu
hal yang dapat diterima karena ternyata budaya global dan budaya tradisional
sekarang ini perlu disikapi lebih bijak lagi. Hal tersebut dapat hidup
berdampingan, saling melengkapi dimana masing-masing bentuk memiliki
habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan
dan dicampuradukkan. Kalau masing-masih bentuk tradisi dapat berkembang di
habitatnya masing-masing dan tidak saling bertentangan, terdapat potensi sinergi
yang baik antar keduanya.
Pengomodifikasian jelas terlihat ketika ritual duata mengalami
perubahan pada proses produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata. Ritual
duata yang sebelumnya bukan untuk dikomersilkan menjadi usaha yang
dikomersilkan. Hal tersebut didasari karena hasrat yang mendorong sehingga
terjadi tuntutan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baik dari dalam maupun di
luar masyarakat.
Komodifikasi ritual duata dimana pada perkembangannya dapat
melestarikan tradisi sendiri serta meningkatkan kesejahteraan para pelakunya.
Komersialisasi kebudayaan disebabkan pula karena karena tuntutan ekonomi
telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Namun dengan penanganan
komersialisasi tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni
tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang
terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, ritual yang dikelolah
dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju akan berdampak baik pada
perkembangan kebudaaannya bahkan mensejahterakan pelaku budaya tersebut.
Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi
tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu
sendiri.
Sungguh disayangkan fenomena perubahan budaya kekonteks
kebudayaan moderen selalu diperdebatkan karena sejatinya kedua budaya
tersebut mampu bersinergi dan bekerja sama demi memenuhi tuntutan masing-
masing. Ritual duata sebagai warisan budaya etnik Bajo tanpa dikembangkan
kedalam industri budaya kreatif perlahan-lahan akan mati (punah) bahkan akan
ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Untuk itu tradisi leluhur yang kaya
akan nilai-nilai kearifan lokal perlu mendapat tempat untuk dilindungi dan
dilestarikan. Hal ini bisa dijadikan acuan dan renungan bagi kita generasi
pewaris kebudayaan untuk berbuat lebih terhadap segala bentuk warisan
kebudayaan leluhur.
BAB IX
KESIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Ritual duata pada dasarnya dilaksanakan pada etnik Bajo yang memiliki
garis ketururunan yang sama (Bajo). Ritual duata memiliki tujuan untuk
meminta kesembuhan atau kekuatan dalam pengobatan dari berbagai penyakit
yang secara medis tidak bisa disembuhkan. Untuk memohon permintaan
keselamatan, diwujudkan dalam bentuk upacara keagamaan/ritual. Ritual duata
memiliki banyak nilai dan makna yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat
laut yang pada proses pelaksanaannya memerlukan waktu yang relatif lama.
Seiring dengan kemajuan zaman, ritual duata mengalami perubahan
akibat persinggungan budaya lokal (Bajo) dan budaya moderen (global) yang
mengakibatkankan ritual duata mengalami pergeseran dari sakralitas menuju
profanisasi. Ideologi kapitalisme yang masuk ke ranah nilai-nilai tradisi
masyarakat Bajo ikut mempengaruhi ideologi masyarakat Bajo akan sebuah nilai
budaya yang dapat dijadikan sebuah komoditi yang pastinya bernilai jual
sehingga ritual duata mengalami pergeseran sehingga memunculkan praktik
komodifikasi.
Proses komodifikasi ritual duata bukan saja menjadikan barang/jasa
ritual duata sebagai produk yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi
barang komoditi, namun terlihat pula pada proses produksi, distribusi dan
konsumsi. Pada proses produksi ritual duata produsen melibatkan dukun dan
seniman dalam mendesain, merancang bentuk dan struktur ritual agar bernilai
jual dimana sebelumnya produk ritual duata merupakan produk budaya yang
bersifat sakral yang di produksi oleh dukun sendiri namun pada konteks
komodifikasi produk ritual duata melibatkan banyak pihak dalam pengerjaannya
sehingga terjalin hubungan kerja yang didasarkanpada pemberian upah.
Distribusi ritual duata yaitu cara memasarkan, mempromosikan dan
memperkenalkan produk ritual duata agar dikenal dan dikonsumsi oleh
masyarakat dengan menggunakan media massa yakni internet dan koran serta
komunikasi lisan sehingga dalam pendistribusiannya ritual duata diketahui oleh
orang banyak. Sedangkan proses konsumsi ritual duata yaitu kegiatan yang
bertujuan menghabiskan barang/jasa ritual duata untuk memenuhi kebutuhan
dan kepuasan secara langsung dan merupakan tindakan memakai simbol untuk
menandai posisi sosial tertentu. Konsumsi ritual duata terbagi dalam dua bentuk
yakni konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan kosumsi ritual duata untuk
pariwisata dalam hal ini ritual duata dijadikan sebagai hiburan.
Adapun faktor yang meyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik
Bajo yaitu sikap masyarakatnya yang terbuka dengan hal-hal baru melalui
kontak budaya yang menimbulkan akulturasi sehingga mengakibatkan
paradigma masyarakatnya berubah menyesuaikan dengan konteks masyarakat
moderen yang memanfaatkan produk budaya (ritual duata) untuk dijadikan
barang/jasa yang bernilai jual. Paradigma masyarakat etnik Bajo yang
didasarkan pada perolehan keuntungan dari produk ritual duata melahirkan
kreativitas seni yang berusaha melakukan daur ulang atau inovasi yang
mengarah kepada estetika yang bernilai jual. Kreativitas tentunya merupakan
unsur pokok dalam merubah tampilan ritual duata sehingga mengundang daya
tarik wisatawan. Media massa telah berelasi kedalam industri budaya, banyak
imaji, opini tentang dunia diciptakannya. Sebagai agen publikasi, media massa
mampu mempengaruhi paradigma masyarakat Bajo. Paradigma masyarakat yang
memanfaatkan produk kebudayaan tentunya tidak terlepas pada keinginan akan
perubahan pada tataran kesejahteraanya. Hal ini terkait dengan orientasi
perbaikan ekonomi yang merupakan wujud orientasi kapitalisme dengaan
mengharapkan keuntungan dari produk ritual duata. Selain itu tidak terlepas dari
adanya perkembangan kepariwisataan, dimana Kabupaten Wakatobi sebagai
daerah tujuan destinasi pariwisata dunia telah mempengaruhi masyarakatnya
dengan nilai-nilai yang digandeng oleh wisatawan yang masuk. Interaksi antara
wisatawan dan penduduk lokal nampaknya menghaslkan kerja sama dalam
memanfaatkan produk ritual duata sebagai bagian dari atraksi budaya untuk
kepentingan pariwisata sehingga lambat laun akan menggeser nilai sakralitas
ritual ke arah profanisasi demi mendapatkan keuntungan.
Pergeseran nilai sakralitas ke arah profan tersebut menimbulkan dampak
dan pemaknaan terhadap eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung dan
masyarakat penikmat ritual duata. Dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi
ritual duata pada etnik Bajo cenderung merugikan (negatif) misalnya terjadinya
komersialisasi ritual yang lambat laun mengakibatkan kadar nilai sakralitas ritual
duata menurun akibat unsur-unsur ritual selalu di daur ulang demi tuntutan nilai
estetika pertunjukan yang bernilai jual yang berorientasi pada selera konsumen.
Disamping itu identitas etnik Bajo menjadi kabur akibat ritual duata yang
mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar
budaya semestinya. Melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata
dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau
pengalaman manusia yang sifatnya praktis untuk memperoleh keuntungan
ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang lambat laun
akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual duata.
Makna komodifikasi ritual duata dengan adanya praktik komodifikasi
ritual duata mampu melestarikan atau menghidupkan tradisi lokal dalam
penciptaan/daur ulang produk ritual duata seperti sesajian, palisier, ula-ula ,tari
dan sebagainya sehingga menunjukan eksistensi identitas etnik Bajo melalui
tanda dan simbol dalam prosesi ritual duata. Adanya praktik komodifikasi ritual
duata mendorong semangat dan kreativitas masyarakat untuk mendesain seindah
mungkin perlngkapan ritual yang pada akhirnya bernilai jual sehingga mampu
menciptakan perbaikan kesejahteraan masyarakat bagi pemilik tradisi.
Untuk menjaga agar eksistensi ritual duata tetap bertahan meskipun pada
perkembangannya telah mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan
tuntutan zaman namun sekiranya perlu dilakukan upaya strategi pewarisan agar
nantinya generasi muda penerus tradisi Bajo mampu memahami, mengajarkan
dan mengamalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam ritual duata
yang mencerminkan sikap dan karakter identitans etnik Bajo. Strategi pewarisan
yang dilakukan melalui (1) pemberdayaan, yaitu memberikan kebebasan kepada
masyarakat etnik Bajo menggunakan produk ritual duata untuk dimanfaatkan
sebagai bentuk kreativitas seni sehingga mampu memberikan manfaat bagi
masyarakat pendukungnya terlebih ritual duata terselamatkan dari kepunahan
(2) pendokumentasian yaitu salah satu cara untuk melestarikan ritual duata
dalam bentuk film (vidio), gambar atau inventarisasi produk ritual sehingga
mampu dijadikan alat/barang bukti dalam upaya pelestarian budaya. agar
mampu bertahan dan hidup berdampingan dengan kemajuan tekhnologi
modernisasi (3) pengembangan yaitu tradisi lisan ritual duata harus
direkonstruksi ke arah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap
apa yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual
duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar
budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi
ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya.
Sajian tersebut dikembangkan dalam industri budaya kreatif dimana dalam
penyajiannya harus tetap menggambarkan unsur-unsur identitas budaya Bajo
meskipun telah ada perubahan dalam desain tampilan.
9.2 Saran
Globalisasi bukanlah sebuah mimpi buruk. Tetapi bukan pula sebuah
hadiah kemajuan zaman yang tanpa cela. Suka atau tidak, setuju atau menolak,
gejala perubahan yang cepat ini telah hadir di tengah-tengah kita. Namun dilain
pihak mungkin bingung, ketakutan bahkan mengalami kegoncangan budaya
(culture shock). Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menyikapinya agar
kita dapat memanfaatkan nilai dan produk yang menyertainya dan terhindar dari
dampak negatif yang ditimbulkannya.
Globalisasi tidak harus dilawan atau dihindari melainkan harus disikapi
dengan arif agar kita dapat memanfaatkan dan menghindari konsekuensi yang
dilahirkannya. Fenomena yang dihadirkan dari produk budaya lokal bukan
sesuatu yang harus disesali namun harus pula disyukuri. Sebagaimana dalam
pandangan kajian budaya, produk budaya lokal memiliki dua peran yang
strategis yakni peran yang bermuatan politis dan peran yang bermuatan
ekonomis. Peran yang bermuatan politis yaitu berkaitan dengan adat-istiadat,
budi pekerti, sikap dan pandangan hidup, sopan santun, dan perilaku sosial lain
yang produktif dan kondusif bagi bertumbuhnya kehidupan berbangsa dan
bernegara yang penuh persatuan dan kesatuan. Sedangkan peran strategis yang
bermuatan ekonomis berkaitan dengan produk-produk budaya lokal yang
memiliki nilai ekonomis yakni yang dapat dijadikan komoditas untuk menunjang
pembangunan ekonomi bangsa seperti kerajinan rakyat, pakaian adat, perhiasa,
obat-obatan, makanan, minuman aupacara/ritual tradisional.
Dalam hal ini terjadinya pada praktik komodifikasi ritual duata pada etnik
Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian
yang terlahir dari budaya kapitalisme global. Dengan kata lain produk ritual
duata yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dapat memberikan
kontribusi yang berarti bagi kelangsungan hidupnya. Produk-produk kebudayaan
yang berupa cipta dan karya kreatif dapat dijadikan komoditas untuk menunjang
pemberdayaan ekonomi rakyat sedangkan produk-produk kebudayaan yang
berupa nilai dapat digunakan untuk memperkokoh integrasi dan integritas dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Produk budaya lokal termasuk tradisi lisan yang di dalamnya banyak
mengandung ajaran, tuntunan dapat digunakan sebagai perekat untuk
membangun harmoni, empati, dan toleransi serta menyatukan kelompok
masyarakat. Selama ini kita selalu bergantung pada kekuatan asing, baik secara
politik maupun ekonomi, dan budaya. Ketergantungan kita ini telah membuat
kita tidak kreatif dan daya tahan kita lemah. Untuk itulah melalui pendekatan
kajian budaya kiranya harus disikapi dengan cara-cara kritis dan bijaksana
melalui penggunaan produk-produk budaya sebagai sebuah produk alternatif
yang efektif yang bisa mendorong tumbuhnya pemahaman lintas budaya, empati,
toleransi antar kelompok, menumbuh kembangkan pemahaman kita terhadap
budaya lokal melalui penelitian yang sungguh-sungguh sehingga kekuatan
budaya lokal dapat kita manfaatkan dan kelemahannya bisa dihindarkan serta
mengangkat budaya lokal ke dalam khazanah budaya nasional untuk
pemberdayaan ekonomi dan kebanggan pemiliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Alkausar, Muhammad. 2011. “Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam
Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi
Tenggara” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Asosiasi Tradisi Lisan. 2009. Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan:
Pengembangan Kajian Langka, Kajian Tradisi Lisan sebagai kekuatan
Kultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional.
Barker, Chirs. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terjemahan).
Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.
Barth, Fredrik. 1998. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Pers.
Buchari, Saleh Muhammad. 2012. “Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal
Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan
Wakatobi” (tesis). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.
Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan
Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Pranada Media Group.
Burton, Graeme. 1999. Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya
Populer. Yogyakarta: Jala Sutra.
Darmadi, I G.N.A. Eka. 2006. “Pariwisata antara Kewirausahaan dan
Kewirabudayaan”, Jurnal Kajian Budaya, Vol. 3, No. 5, Januari, Hal.
67-87.
Dasrul. 2013. “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada Kelompok Seni Tradisi
Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang” (tesis). Denpasar:
Universitas Udayana.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Erlinda. 2011. “Diskursus Estetika Tari Minangkabau di Kota Padang Sumatera
Barat dalam Era Globalisasi” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Fairclough, Norman. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity
Press.
Garna, Judistira K, 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung:
CV. Primaco Academia.
Ghazali, Adeng Mukhtar.2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta
Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD
Hadi, Y Sumandiyo. 1999. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan
untuk Indonesia.
Hardin, 2013. “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada Masyarakat
Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”(tesis).
Denpasar: Universitas Udayana.
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: sebuah
studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta:
Granit.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI
_______2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.
Ibrahim. Idi Subandi. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi.Yogyakarta:
Jalasutra.
Kebayantini, Ni Luh Nyoman. 2010. “Komodifikasi Upacara Ngaben Gotong
Royong di Gerya Tamansari Lingga, Kelurahan Banyusari, Kabupaten
Buleleng” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
.................... 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana
University Press.
Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari
Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural studies.
Jakarta: Pustaka Indonesia Satu
Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan.
Yogyakarta: LKiS.
Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nugroho, Heru. 2001. Uang Renteiner dan Hutang Piutang di Jawa.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta :
Kepustakaan Populer Gramedia.
Piliang, Amir Yasraf. 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas
Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
_____, 2011, Dunia yang Dilipat. Tamasya Melampaui Batas-Batas
Kebudayaan. Bandung. Matahari.
Pudentia MPSS. ed. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan
Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.
Ratna, Nyoman Kutha, 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
______, .2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial
Humaniora Pada Umumnya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural
Tourism”.
Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283.
Kaunang, I.R.B.2010. “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara
Di Era globalisasi”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Muhajir, Noeng. 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Telaah Poistivistik,
Rasionalistik, Phenomenalogik, Realism Methaphisik. Yogyakarta: Rake
Sarasian.
Saad, Sudirman. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Jakarta. Coremap II
Safaruddin, Balok. 2013. Komodifikasi Wayang Topeng Malangan Di
Pedepokan Seni Asmoro Bangun Kecamatan Pakisaji Kabupaten
Malang” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.
Setiawan, I Ketut. 2011. “Komodifikasi Pusaka Tirta Empul Dalam Konteks
Pariwisata Global”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.
Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam
Majalah
Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41.
Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi
Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).
Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung.
Alfabeta.
Suherman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.
Soekanto, Soerjono. 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada
Sutarto, Ayu.2004. Menjinakkan Globalisasi Tentang Peran Strategis Produk-
Produk Budaya Lokal. Jawa Timur: Kelompok Peduli Budaya dan
Wisata Daerah.
Sobur.Alex. 2009. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis
Wacana, Analisis Semiotika & Analisa Framing.Remaja Rosdakarya:
Bandung.
Tary Puspa, Ida Ayu. 2011. “Komodifikasi Upacara Ngaben Di Desa Pakraman
Sanur Denpasar Dalam Era Globalisasi” (disertasi). Denpasar:
Universitas Udayana.
Thompson, John B. 2006. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Krisis Tentang
Relasi dan Komunikasi Massa. (Terjemahan). Yogyakarta: IRCiSoD.
Tester, Keith 2009. Immor(t)alitas Media. Yogyakarta: Juxtapose.
Turner, Bryan S. 1992. Max Weber: From History to Modernity, London:
Routledge.
Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta: Gramedia.
Yoeti, H. Oka A. 1996. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa
Yunus. Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.
Zacot, Francius R. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
PEDOMAN WAWANCARA
Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara
dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Ritual
Duata Pada Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.
Sebagai pedoman dalam bentuk bahan pertanyaan, seluruh pertanyaan yang
ditulis tidak disampaikan secara kaku, melainkan disesuaikan dengan situasi dan
kondisi pada saat melakukan wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku
catatan yang telah disiapkan sebelumnya.
A. Pertanyaan Mengenai Gambaran Umum
1. Bagaimana pola pemukiman masyarakat etnik Bajo?
2. Bagaimana bahasa dan dan tradisi budaya yang berkembang dalam
masyarakat etnik Bajo?
3. Bagaimana mata pencaharian penduduk masyarakat etnik Bajo?
4. Bagaimana agama dan kepercayaan masyarakat etnik Bajo?
5. Bagaimana asal mula etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi?
6. Bagaimana prosesi ritual duata?
B. Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Ritual Duata?
1. Sejak kapan ritual duata dikenal oleh masyarakat luas?
2. Materi apa saja yang ada di dalam sesajian ritual duata?
3. Pada sesajian itu ada beberapa warna yang jelas digunakan pada beras,
apa ada artinya?
4. Disamping persembahan berupa sesajian apa ada perlengkapan
pendukung lainnya yang digunakan dalam ritual duata dan apa fungsinya
?
5. Berapa harga masing-masing perlengkapan tersebut?
6. Bagian-bagian apa saja yang diubah dalam ritual duata baik untuk
pengobatan maupun pertunjukkan?
7. Siapa saja pihak yang terlibat dalam membuat tampilan ritual duata baik
untuk pengobatan atau pertunjukan?
8. Bagaimana cara mempromosikan atau memasarkan ritual duata?
9. Dalam hal apa ritual duata dipertunjukkan?
10. Bagaimana proses/cara menarik konsumen?
11. Siapa saja yang mengonsumsi ritual duata?
C. Pertanyaan Mengenai Faktor Komodifikasi Ritual Duata
1. Faktor apa yang membuat anda melakukan inovasi/perubahan terhadap
ritual duata?
2. Mengapa ritual duata dalam pertunjukan mengikuti permintaan
konsumen?
3. Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan ritual duata yang
sekarang ini?
D. Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Ritual Duata
1. Apa yang terjadi setelah ritual duata mengalami perubahan fungsi?
2. Seberapa besar perubahan ritual duata terhadap kehidupan sosial
masyarakat Bajo?
3. Adakah kecenderungan identitas Bajo menjadi kabur setelah ritual duata
dijadikan pertunjukkan seni?
4. Bagaimana pemaknaan ritual duata yang berkembang saat ini?
5. Apa yang membuat anda sehingga ada keinginan untuk merubah ritual
duata ke dalam pertunjukkan seni?
6. Apakah ada penguatan identitas setelah ritual duata dipertunjukkan?
7. Apakah yang memotivasi anda sehingga melakukan perubahan tampilan
ritual duata pada pertunjukkan seni?
8. Apakah ritual duata dapat menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat?
E. Pertanyaan tentang strategi pewarisan ritual duata
1. Bagaimana usaha anda dalam mewariskan ritual duata agar tidak
mengalami kepunahan?
2. Cara apa yang anda lakukan dalam menyelamatkan tradisi ritual duata
bisa diwariskan tanpa harus diceritakan?
3. Bagaimana harapan anda mengenai ritual duata ke depannya?
4. Bagaimana pengembangan ritual duata agar tetrap hidup di masyarakat!
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Abdul Manan
Umur : 46
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : S2
Alamat : Jabal
2. Nama : Ambe
Umur : 51
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : -
Alamat : Dusun Mekar Dua
3. Nama : Bakri
Umur : 63
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Nelayan
Pendidikan : -
Alamat : Desa Lamanggau
4. Nama : Daud
Umur : 47
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Tukang Bangunan
Pendidikan : SMA
Alamat : Dusun Mekar Dua
5. Nama : Djamrin
Umur : 38
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SI
Alamat : Dusun Nelayan Bakti
6. Naman : Dasseng
Umur : 84
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Dukun
Pendidikan : -
Alamat : Dusun Mekar Dua
7. Nama : Hapsa
Umur : 45
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : -
Alamat : Dukun Mekar Satu
8. Nama : Hasna
Umur : 34
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pedagang
Pendidikan : -
Alamat : Dusun Mekar Satu
9. Nama : Jukni
Umur : 25
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelatih Tari/Seniman
Pendidikan : SI
Alamat : Dusun Mekar Satu
10. Nama : La Ode Mustamin
Umur : 56
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Pendidikan : SMA
Alamat : Dusun Mekar Satu
11. Nama : Romi
Umur : 40
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Wiraswasta
Pendidikan : SMA
Alamat : Mandati
12. Nama : Udin
Umur : 47
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Tukang Kayu
Pendidikan : SMA
Alamat : Dusun Mekar Satu