komodifikasi ritual duata pada etnik bajo di kabupaten wakatobi

270
TESIS KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA IRSYAN BASRI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2014 TESIS

Upload: phamcong

Post on 31-Dec-2016

294 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

TESIS

KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO

DI KABUPATEN WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

IRSYAN BASRI

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

TESIS

KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO

DI KABUPATEN WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

IRSYAN BASRI

NIM 1290261015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO

DI KABUPATEN WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Tesis ini untuk Memperoleh Gelar Magister

Pada Program Magister, Program Studi Kajian Budaya,

Program Pascasarjana Universitas Udayana

IRSYAN BASRI

NIM 1290261015

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI KAJIAN BUDAYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2014

LEMBAR PENGESAHAN

TESIS INI TELAH DISETUJUI

TANGGAL MEI 2014

Pembimbing I

Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, SU.

NIP 194409231976021001

Pembimbing II

Prof. Dr. Emiliana Mariyah, M.S.

NIP 194305211983032001

Mengetahui,

Ketua Program Magister (S2)

Kajian Budaya

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Direktur

Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr. I Gst. Ketut Gde Arsana, M.Si

NIP. 195208151981031004

Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S (K)

NIP. 195902151985102001

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

NAMA : IRSYAN BASRI

NIM : 1290261015

PROGRAM STUDI : KAJIAN BUDAYA

JUDUL TESIS/DISERTASI* : Komodifikasi Ritual Duata Pada Etnik

Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis/Disertasi* ini bebas plagiat

Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya

bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan

Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.

Denpasar, 12 Juni 2014

Yang membuat pernyataan

IRSYAN BASRI

Ket : *) Coret yang tidak perlu

UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama saya mengucapkan puji syukur penulis panjatkan ke

hadapan Tuhan Yang Maha kuasa karena berkat rahmat dan kasih-Nya, penulis

dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Komodifikasi Ritual Duata Pada

Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara” selesai tepat

pada waktunya.

Penulisan tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana wujudnya sekarang

ini berkat bantuan dan kerja sama, baik langsung maupun tidak langsung dari

semua pihak. Oleh karena itu, sebagai wujud nyata ucapan terima kasih penulis

kepada semua pihak atas segala bantuan dan kerja sama yang penulis terima

dengan penuh kebaikan dan cinta, pada kesempatan ini penulis menyampaikan

ucapan terima kasih dan penghargaan yang setulus-tulusnya kepada :

1) Prof. Dr. I Nyoman Kutha Ratna, S.U, selaku pembimbing I yang dengan

semangat kekeluargaan membimbing, mengarahkan dan memotivasi penulis

dalam berbagai kesulitan, khususnya dalam mendeskripsikan gagasan-

gagasan yang rumit dan abstrak dengan cara yang lebih sederhana dan

konkret;

2) Prof. Dr. Emiliana Mariyah selaku pembimbing II yang telah meluangkan

waktu dan tenaga untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan,

motivasi yang tak henti-hentinya khususnya di bidang Tradisi Lisan;

3) Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp. PD-KE selaku Rektor Universitas

Udayana ; Ibu Prof. Dr. dr. A.A Raka Sudewi, Sp. S (K), selaku Direktur

Program Pascasarjana Universitas Udayana; Bapak Dr. I Gusti Ketut Gde

Arsana, M.Si., selaku Ketua Program Magister Kajian Budaya Fakultas

Sastra Universitas Udayana, atas segala tuntunan dan petunjuknya dalam

pengerjaan laporan penelitian;

4) Dewan penguji yang telah membaca dan memberikan masukan-masukan

kritis dan objektif terhadap keseluruhan tesis ini. Prof. Dr. I Wayan Ardika,

M.A, Dr. Ni Luh Nyoman Kebayantini dan Dr. I Nyoman Dhana, M.A;

5) Seluruh staf pengajar di Program Pendidikan Magister Kajian Budaya yang

telah membekali penulis dengan berbagai konsep, teori, dan metodologi

sehingga penulis dapat melakukan penelitian dengan baik.

6) Seluruh staf pegawai administrasi dan perpustakaan Program Studi S2

Kajian Budaya : Bapak I Putu Sukaryawan, Bapak Madya, Ibu Luh, Ibu

Aryati, Ibu Cok, Ibu Agung, Bapak Candra, Bapak Hendra yang dengan

semangat kekeluargaan dan persaudaraan melayani berbagai urusan

administrasi akademik dan kemahasiswaan.

7) Para informan dan pegawai kantor desa Mola Selatan dan masyarakat Bajo

Mola Selatan yang telah memberikan data bagi penulis secara langsung

maupun tidak langsung selama masa penelitian dengan penuh semangat

kekeluargaan dan persaudaraan.

8) Teman-teman S2 Kajian Budaya angkatan 2012: Paulus Jeramun, Kadek

Dedy Prawirajaya R, Made Dewi Antari, Ni Putu Ayu Rastiti, Rico Aprisa,

Kemala Taufiq, Ni Ketut Ayu Widiantari, I Ketut Sutarwiyasa, I Putu Puspa

Artayas, Pammuda, Kadek Agus Ardiaka dan Immelfi Mudiarti Mursal

serta teman-teman di asrama Banyusari Denpasar: Sahrun, La Aso, Rahmat

Suraya, La Ode Yusuf, Muhammad Awaluddin, Syarifudin, Hardin,

Awaludin, dan Ali azhar yang telah memberikan dukungan, semangat,

nasehat dan doa sampai penulisan tesis ini.

9) Ayahanda H. Muh. Salihi, A.Ma.Pd, Ibunda Hj.Wa Ode Abda, serta

saudara-saudariku Asrif, S.Pd.M.Hum, Suhardiman SH, Bripda Cahyadi,

Iswahyuddin, S.Pd, Rini Astuti dan yang terspesial dan tercinta keluarga

besar almarhum La Ode Rawa dan almarhum La Madira yang tak henti-

hentinya selalu memberikan perhatian, doa, dan cinta kasih mereka telah

memberikan inspirasi dalam menyelesaikan tesisi ini

10) Keluarga Besar di perkampungan Bajo Mola Selatan Bapak Daud dan

Bapak Dasseng selaku sandro dalam ritual duata, trimakasih nasehat,

petuah dan kesediaannya untuk mendampingi penulis selama di lokasi

penelitian.

Akhirnya, penulis hanya dapat mendoakan semoga Tuhan Yang Maha Pengasih

membalas budi baik mereka dengan balasan yang setimpal.

Denpasar, Juni 2014

Penulis

ABSTRAK

Tesis ini membahas komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian

budaya dan tradisi lisan, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang

empirik yang berkaitan dengan permasalahan komodifikasi. Adanya arus budaya

global pada etnik Bajo berimplikasi terhadap praktik-praktik budaya kapitalisme.

Ritual duata yang merupakan sebuah ritual dalam upaya permohonan

kesembuhan dari penyakit yang secara medis tidak bisa disembuhkan lagi.

Namun dalam perkembangannya ritual duata mengalami pergeseran dari sakral

ke arah profan yang melahirkan praktik komodifikasi.

Masalah yang diteliti dirumuskan dalam empat pertanyaan berikut ini.

(1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (2) faktor apakah yang menyebabkan

komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara? (3) bagaimanakah dampak dan makna komodifikasi ritual

duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara? (4)

bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan kajian

budaya yang bersifat kritis, interdisipliner, multidimensional. Jenis data yang

digunakan adalah data kualitatif dan kuantitatif sedangkan sumber data yaitu

sumber data primer dan sumber data sekunder. Data lapangan diperoleh dari

informan yang dipilih secara purposif. Peneliti bertindak sebagai instrumen

utama, dibantu pedoman wawancara, kamera-foto, dan alat tulis. Data lapangan

dikumpulkan dengan teknik observasi, wawancara mendalam, dan studi

dokumen. Data dianalisis dengan menggunakan teori (1) teori komodifikasi, (2)

teori semiotika dan (3) teori wacana pengetahuan atau kekuasaan dengan teknik

analisis deskriptif kualitatif, dan interpretatif. Hasilnya disajikan secara formal

dan informal.

Komodifikasi ritual duata dalam penelitian ini bukan hanya menjadikan

ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi barang komoditi

tetapi komodifikasi berkaitan pula dengan proses produksi, distribusi dan

konsumsi. Faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu sifat masyarakat yang

terbuka, dan kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi dan pariwisata.

Dampak dan makna komodifikasi ritual duata yaitu berdampak terhadap

kehidupan sosial budaya masyarakat yang cenderung merugikan setelah ritual

duata dikomodifikasi seperti adanya komersialisasi ritual duata dan kaburnya

identitas budaya. Adapun makna komodifikasi ritual duata yaitu sebagai bagian

dari pelestarian budaya, identitas budaya dan kreativitas. Disamping itu strategi

pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara dilakukan dalam tiga bentuk yaitu (1) pemberdayaan (2)

dokumentasi dan (3) pengembangan.

Kata kunci: komodifikasi, ritual duata, dan etnik Bajo.

ABSTRACT

This thesis discussed about the duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi

regency, southeast Sulawesi. In the perspective of cultural study and oral

tradition this thesis raised the facts in field which is empirical that related

problems of commodification. The existance of globalization at Bajo ethnic has

implications for the practices of Capitalism. Duata ritual is an oral tradition that

is full of values and meanings in an effort to suplicate the cure of diseases that

medically cannot be cured anymore. But in its development duata ritual changed

from sacred to profane which raised commodification practice.

The research problems were formulated as follows: (1) how is the

commodification process of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency

Southeast Sulawesi province? (2) What are the factors that led to the

commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast

Sulawesi province? (3) How are the impacts and meanings of the

commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatobi regency Southeast

Sulawesi Province? (4) How the inheritance strategies of the duata ritual at Bajo

ethnic in Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province.

This thesis used the qualitative method with the approach of cultural

study that is critical, interdisciplinary, and multidimensional. The data which is

used are qualitative and quantitative data and the data source of this study are

primary and secondary data.The field data is obtained from informants who were

selected purposively. The researcher acts as an main instrument, assisted with

interview guide, camera, and stationery. The field data is collected by

observation method, interviews, and study of documentation. The data is

analysed by using (1) the commodification theory (2) the semiotic theory, and

(3) the theory of discourse power or knowledge with the technique of descriptive

qualitative analysis, and interpretative. The results are presented in formal and

informal ways.

The commodification of duata ritual in this study not only makes the

ritual before not comodity becoming comodity but the commodification is also

related to the proccess of production, distribution, and consumption. The factors

that caused the commodification of duata ritual at Bajo ethnic in Wakatoby

regency southeast Sulawesi are the characters of the open society, the creativity

of society, mass media, economic, and tourism.

The impacts and meanings of the commodification of duata ritual

impacts on the social and cultural life that tend to harm after duata ritual is

commodificated such as commercialization of duata ritual and the blur of

cultural identity. The meanings of its commodification of duata ritual are the

part of culture preservation, the cultural identity and creativity. In addition, it is

also associated with tourism strategies the duata ritual at Bajo ethnic in

Wakatobi regency Southeast Sulawesi Province is divided into three forms of

inheritance strategies: (1) preservation, (2) documentation, (3) development.

Keywords: commodification, duata ritual and Bajo ethnic

RINGKASAN

Penelitian ini membahas mengenai komodifikasi ritual duata di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam perspektif kajian

budaya, penelitian ini mengangkat realitas lapangan yang empirik berkaitan

dengan praktik komodifikasi. Perkembangan budaya global melahirkan praktik-

praktik budaya kapitalisme. Ritual duata mengalami komodifikasi sebagai

adaptif budaya global yang melahirkan makna baru.

Ritual duata pada awalnya merupakan ritual yang penuh kesakralan

tinggi yang dilakukan hanya pada prosesi pengobatan. Karena adanya pengaruh

budaya global menyebabkan ritual duata tidak hanya berfungsi sakral tetapi juga

berkaitan erat dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat menjadi

bertendensi ekonomi. Akibatnya, terjadi pergeseran pemaknaan terhadap nilai

esensi ritual duata serta perubahan prilaku terhadap praktik-praktik budaya

masyarakat pendukung produk budaya tersebut. Proses modernisasi melalui

pembangunan yang kapitalistik menyebabkan komodifikasi. Komodifikasi yaitu

proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi sehingga kini

menjadi komoditi untuk diperjual-belikan serta menyangkut pula pada proses

produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata.

Tarik menarik kepentingan dalam proses komodifikasi ritual duata

terjadi antara para pelaku produksi, distribusi dan konsumen. Proses

komodifikasi ritual duata dimainkan oleh masyarakat (dukun) yang bekerja

sama dengan seniman Bajo bersama pemerintah dalam mendistribusikannya

sehingga menarik untuk diteliti dalam kajian budaya khususnya tradisi lisan.

Memahami begitu kompleksnya komodifikasi ritual duata dalam konteks

kebudayaan global, maka penelitian ini terfokus pada empat masalah pokok,

yaitu (1) bagaimana proses komodifikasi ritual duata, (2) faktor penyebab ritual

duata (3) bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata dan (4)

strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara.

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami

komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara dengan perspektif kajian budaya, serta strategi pewarisan

ritual duata dalam upaya revitalisasi tradisi lisan yang semakin hari semakin

punah. Selain itu, secara khusus penelitian ini bertujuan menemukan bagaimana

proses komodifikasi ritual duata, memahami faktor-faktor penyebab

komodifikasi dan menginterpretasi apa dampak dan makna komodifikasi ritual

duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Untuk menjawab permasalahan dan tujuan yang ingin dicapai, digunakan

metode kualitatif, dengan format desain pengumpulan data, dan analisis data

bersifat deskriptif kualitatif. Adapun sumber data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer

diperoleh melalui observasi lapangan dan wawancara, sedangkan data sekunder

didapat melalui studi pustaka dan studi dokumen. Selanjutnya data dianalisis

lebih mendalam dengan menggunakan teori-teori yang relevan seperti teori

komodifikasi, teori semiotika, teori wacana kekuasaan atau pengetahuan, dan

hasil analisis disajikan secara informal melalui deskriptif analisis yang

dilengkapi dengan penyajian formal dalam bentuk gambar dan tabel (data

sekunder).

Hasil yang didapat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. Pertama

ritual duata etnik Bajo mengalami komodifikasi akibat dari transformasi budaya

ke ruang budaya global sehingga saling mempengaruhi sehingga menimbulkan

pergeseran nilai sakral ke arah profan. Komodifikasi ritual duata terjadi melalui

proses produksi, distribusi dan konsumsi, baik sebagai satu kesatuan maupun

komodifikasi pada bagian-bagian atau unsur-unsur dalam ritual duata. Produksi

dan distribusi ritual duata dilakukan atas inisiatif sendiri oleh masyarakat Bajo

dalam hal ini dukun dan sanggar seni Bajo dan secara kelembagaan dengan

pemerintah Kabupaten Wakatobi menyebabkan ritual duata mengalami

komodifikasi, yaitu suatu proses menjadi komoditas yang berorientasi nilai jual.

Produk ritual duata yang mengalami komodifikasi terlihat pada peralatan

sarana upacara/ritual seperti sesajian (buas bubu rinti), bendera (ula-ula), kain

berwarna (palisier), panggung, pakaian (busana), dan gerak tari (ngigal). Dalam

proses pendistribusian ritual duata dilakukan dalam dua hal yaitu melalui media

massa dan komunikasi lisan. Media massa merupakan sarana penyebarluasan

informasi atau berita kepada khalayak luas baik secara lokal maupun

internasional dalam hal ini ritual duata disampaikan melalui media televisi,

internet maupun koran (brosur) sebagai media yang cukup efektif sedangkan

komunikasi lisan merupakan salah salah satu cara untuk membantu kelancaran

jual beli produk/jasa ritual duata yang sangat sederhana dan masih sering

digunakan baik secara disengaja maupun tidak. Komunikasi lisan masih cukup

efektif sebagai cara penyampaian atau menginformasikan ritual duata yang

diproduksi sehingga diketahui oleh masyarakat secara umum. Pada proses

konsumsi ritual duata dimaksudkan yaitu suatu tindakan menggunakan atau

menghabiskan suatu barang/jasa (ritual duata) untuk memenuhi kebutuhan dan

kepuasan secara langsung, selain itu juga mengandung makna tindakan

penggunaan simbol untuk menandai posisi sosial tertentu.

Berkenaan dengan konsumsi ritual duata dilihat dalam dua bentuk yaitu

konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan konsumsi ritual duata untuk

pariwisata (hiburan). Ritual duata untuk pengobatan yaitu tindakan memakai

produk/jasa ritual duata sesuai dengan fungsinya sebagai upaya penyembuhan

dari penyakit yang segala sesuatunya mulai dari sarana sesajian sampai pada

prosesi pelarungan sesajian dilakukan oleh dukun (sandro). Pengetahuan

mengenai nilai atau manfaat ritual duata oleh sandro mampu menguasai

konsumen dalam hal ini pasien hanya bisa menerima konsekwensi dari apa yang

dilakukan oleh dukun sehingga terlihat ada interaksi yang melahirkan praktik

komodifikasi dari penggunaan sarana upacara/ritual dan pemberian upah.

Sedangkan konsumsi ritual duata untuk pariwisata yaitu dimaksudkan bahwa

ritual duata sengaja di produksi sebagai pertunjukan hiburan. Konsumsi ritual

duata untuk pariwisata dilihat bagaimana ritual duata dikonsumsi oleh

konsumennya dalam sebuah hiburan (wisatawan asing maupun nusantara) yang

secara umum bertujuan untuk kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan

kesenangan. Jika dilihat dari segi waktu/tempat pelaksanaan serta bentuk

sesajian, ritual duata berorientasi pada hukum pasar yang mengikuti selera

konsumen.

Kedua, hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor yang menyebabkan

komodifikasi ritual duata muncul dari konstruksi budaya lokal sendiri seperti

adanya sikap masyarakat yang terbuka dengan hal-hal yang baru melalui proses

akulturasi budaya/kontak budaya yang menginginkan sebuah perubahan kearah

kemajuan dalam peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan dengan

memanfaatkan produk budaya (ritual duata) sebagai modal untuk dijadikan

sebagai barang komoditi yang bernilai jual, sedangkan kreativitas masyarakat

etnik Bajo yang berusaha mendesain/mendaur ulang potensi budaya (ritual

duata) menjadi sebuah kesenian yang bernilai jual. Kreativitas dalam hal ini

mengubah, menambah yang sudah ada sebelumnya ataupun menciptakan sesuatu

yang belum ada. Ide atau pemikiran baru terlihat pada kreativitas seniman atau

dukun dalam menata gerakan tari dalam ritual duata dengan mengkombinasikan

dengan tari-tarian lainnya, penggunaan ragam hias seperti palisier, sesajian

(buas bubu rinti) dengan tampilan yang lebih semarak dari aslinya serta terlihat

pada busana penari yang selalu mengikiti trend fashion. Selanjutnya didasarkan

pada perkembangan media massa, ekonomi dan pariwisata. Melalui media

massa, banyak opini atau pemikiran baru untuk berimajinasi. Media massa

menjadikan ritual duata menjadi budaya populer sehingga diketahui bahkan

dikonsumsi oleh masyarakat luas dengan berbagai kepentingan baik dalam

pengobatan maupun untuk hiburan. Terkait dengan faktor ekonomi, masyarakat

etnik Bajo mermanfaatkan produk budaya/ritual duata untuk meraih keuntungan

demi meningkatkan kesejahteraannya yang dapat dilihat dari berbagai

produk/jasa ritual yang sengaja didaur ulang dalam bentuk pertunjukkan seni,

sedangkan dalam kaitannya dengan pariwisata, maka dengan adanya praktik

ritual duata kiranya mampu memberikan suguhan dalam bentuk pertunjukkan

hiburan sehingga terjalin kerja sama yang menguntungkan antara wisatawan dan

pelaku seni (dukun) yang mengakibatkan orientasi pemikiran masyarakat Bajo

terpusat pada kegiatan ekonomi kepariwisataan.

Ketiga, komodifikasi ritual duata memiliki dampak dan pemaknaan pada

kehidupan sosial dan budaya etnik Bajo. Dampak komodifikasi ritual duata

terhadap kehidupan sosial budaya cenderung negatif, yaitu terjadinya

komersialisasi ritual duata karena sengaja dijadikan sebagai produk budaya

untuk memenuhi selera pasar dimana ada penyesuaian unsur-unsur tradisi ke

dalam konteks budaya moderen sehingga banyak nilai-nilai tradisi yang

teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai profan yang berorientasi nilai jual.

Dampak selanjutnya yaitu mengakibatkan kaburnya identitas budaya dalam hal

ini tergambar ketika ritual duata dikomersilkan dalam produk

kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang

mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,

sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan

kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global. Ritual duata

yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo dimanfaatkan

sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman

manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk memperoleh

keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang

lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual

duata.

Selanjutnya, mengenai makna komodifikasi ritual duata diartikan

sebagai arti, maksud, yang ditunjukkan oleh masyarakat etnik Bajo dalam

melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya, serta bertindak berdasarkan

nilai-nilai yang sesuai. Terkait dengan praktik komodifikasi ritual duata

masyarakat etnik Bajo memaknainya sebagai bentuk pelestarian budaya,

identitas budaya dan kreativitas. Makna pelestarian budaya terkait dengan

kesadaran budaya yang senantiasa ditumbuh kembangkan agar berkembang

kepekaan untuk menghargai budaya. Makna identitas budaya sebagai ciri khas

sebuah kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan yang lain, terkait dengan

praktik komodifikasi ritual duata maka di dalam pertunjukkan terdapat berbagai

macam penggunaan ornamen ritual seperti bendera (ula-ula), kain berwarna

(palisier), busana, sesajian (buah bubu rinti) dan gerakan tari yang menunjukkan

identitas kebudayaan Bajo dalam praktik ritual sehingga bisa membedakan etnik

Bajo dengan etnik lainnya di Kepulauan Wakatobi. Selanjutnya makna

kreativitas yaitu dengan adanya praktik komodifikasi ritual duata maka akan

melahirkan pemikiran kreatif yang bisa dikembangkan melalui proses produksi

ritual duata dimana di dalam prosesnya memerlukan pemikiran dan jiwa

kreativitas tinggi sehingga bernilai jual dan mengandung daya tarik seni tinggi.

Keempat, mengenai strategi pewarisan ritual duata untuk menghindari

kepunahan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara dalam penelitian ini dijelaskan beberapa bentuk yakni (1)

pemberdayaan yaitu upaya memanfaatkan tradisi ritual duata sebagai modal

budaya serta melibatkan masyarakat pendukung tradisi untuk bisa berpartisipasi

dalam industri budaya yang bisa meningkatkan pendapatan masyarakat (2)

pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan

mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup

berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi berupa inventarisasi

gambar (vidio), (3) pengembangan yaitu upaya pewarisan ritual duata yang

ditata dalam berbagai bentuk kesenian (pertunjukkan) dengan tidak

menghilangkan identitas dan nilai dari tradisi etnik Bajo.

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL...................................................................................... i

PRASARAT GELAR..................................................................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN........................................................................ iii

HALAMAN PERSETUJUAN........................................................................ iv

UCAPAN TERIMA KASIH........................................................................... v

ABSTRAK...................................................................................................... viii

ABSTRACT.................................................................................................... x

RINGKASAN................................................................................................. xi

DAFTAR ISI................................................................................................... xvii

DAFTAR TABEL........................................................................................... xxi

DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxii

GLOSARIUM

.........................................................................................................

xxiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang…………………….......………………………….... 1

1.2 Rumusan Masalah…………………….......……………………...… 10

1.3 Tujuan Penelitan …………………...……….......……………...….. 11

1.3.1 Tujuan Umum………………………………....…….............. 11

1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………........……… 12

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………........…….... 12

1.4.1 Manfaat Teoretis…………………………………...........….. 12

1.4.2 Manfaat Praktis…………………………………....…..….… 12

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN

MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka……………………………………………….…….. 14

2.2 Konsep………………………………………………………........... 19

2.2.1 Komodifikasi .......…............................................................ 19

2.2.2 Ritual Duata.……….......................………………….......... 21

2.2.3 Etnik...................................................................................... 22

2.2.4 Komodifikasi Ritual Duata................................................... 23

2.3 Landasan Teori.................................................................................. 24

2.3.1 Teori Komodifikasi.…....…………………………….............. 24

2.3.2 Teori Semiotik.........................………....... ……..…...…........

2.3.3 Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan............................

25

30

2.4 Model Penelitian………………………………………........……… 33

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian ……………………………………......…….. 36

3.2 Lokasi Penelitian……………………………………...........……..... 37

3.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………....……... 37

3.4 Teknik Penentuan informan .........………………………….........… 38

3.5 Instrumen Penelitian…………………………………….................. 39

3.6 Teknik Pengumpulan Data……....................…………………........ 40

3.6.1 Teknik Observasi.........................………..………………...... 41

3.6.2 Teknik Wawancara……...........……………………………... 42

3.6.3 Studi Dokumen....………………………………….........…... 43

3.7 Teknik Analisis Data………….........…………................................ 43

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…….....................….......…... 44

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan Geografis ........................................................................... 46

4.1.1 Letak, Luas, Batas Desa Mola Selatan..................................... 47

4.1.2 Iklim......................................................................................... 47

4.2 Kondisi Demografi........................................................................... 48

4.2.1 Jumlah Penduduk..................................................................... 48

4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan................... 50

4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian..................... 52

4.3 Agama dan Kepercayaan................................................................ 60

4.4 Sistem Kekerabatan........................................................................ 63

4.5 Bahasa dan Kesenian....................................................................... 65

4.6 Sejarah Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi................................... 70

4.7 Ritual Duata.................................................................................... 73

BAB V PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK

BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

5.1 Produksi Ritual Duata....................................................................... 91

5.1.1 Sesajian (Buas Bubu Rinti)...................................................... 93

5.1.2 Bendera (Ula-ula).................................................................... 101

5.1.3 Kain Berwarna (palisier)......................................................... 106

5.1.4 Panggung (Pentas)................................................................... 113

5.1.5 Pakaian (Busana)..................................................................... 115

5.1.6 Gerak Tari (ngigal).................................................................. 120

5.2 Distribusi Ritual Duata...................................................................... 125

5.2.1 Media Massa............................................................................ 126

5.2.2 Komunikasi Lisan.................................................................... 133

5.3 Konsumsi Ritual Duata...................................................................... 136

5.3.1 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan............................. 137

5.3.2 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata............................... 138

BAB VI FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA

PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

6.1 Sikap Terbuka............................................................................. 143

6.2 Kreativitas Masyarakat............................................................... 154

6.3 Media Massa............................................................................... 151

6.4 Ekonomi...................................................................................... 157

6.5 Pariwisata.................................................................................... 161

BAB VII DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA

PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI

PROVINSI SULAWESI TENGGARA

7.1 Dampak Komodifikasi Ritual Duata............................................. 167

7.1.1 Komersialisasi Ritual Duata................................................ 168

7.1.2 Kaburnya Identitas Budaya.................................................. 170

7.2 Makna Komodifikasi Ritual Duata............................................... 174

7.2.1 Pelestarian Budaya................................................................ 175

7.2.2 Identitas Budaya.................................................................... 180

7.2.3 Kreativitas Masyarakat......................................................... 184

7.2.4 Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat............................... 189

BAB VIII STRATEGI RITUAL DUATA

8.1 Pemberdayaan................................................................................. 196

8.2 Pendokumentasian.......................................................................... 200

8.3 Pengembangan................................................................................ 202

Refleksi........................................................................................................... 204

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan.......................................................................................... 208

9.2 Saran................................................................................................ 212

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 215

LAMPIRAN-LAMPIRAN............................................................................. 222

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 4.1 Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut

Umur dan Jenis Kelamin.................................................

48

Tabel 4.2 Komposisi Penduduk Desa Mola Selatan Menurut

Mata Pencaharian............................................................

51

Tabel 5.1 Daftar Harga Peralatan Ritual Duata.............................. 103

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 4.1 Warung sembako di Desa Mola Selatan................................ 55

Gambar 4.2 Aktivitas pertukangan di Desa Mola selatan......................... 57

Gambar 4.3 Memandikan pasien dengan iringan gendang....................... 77

Gambar 4.4 Proses pelarungan sesajian di laut......................................... 79

Gambar 4.5 Dukun menguji mental pasien............................................... 86

Gambar 4.6 Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien........... 87

Gambar 4.7 Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien............. 89

Gambar 5.1 Materi pendukung ritual duata.............................................. 94

Gambar 5.2 Sesajian buas bubu rinti........................................................ 96

Gambar 5.3 Dukun menentukan isi materi sesajian.................................. 99

Gambar 5.4 Materi Ritual Duata (Pariwisata).......................................... 100

Gambar 5.5 Bendera Kebesaran suku Bajo (ula-ula)................................ 105

Gambar 5.6 Kain Berwarna (palisier)....................................................... 107

Gambar 5.7 Palisier dengan tampilan yang lebih meriah......................... 112

Gambar 5.8 Panggung Permanen.............................................................. 114

Gambar 5.9 Pakaian khas etnik Bajo......................................................... 116

Gambar 5.10 Pakaian yang sudah dimodifikasi.......................................... 117

Gambar 5.11 Pakaian dengan sentuhan warna pakaian adat Buton........... 118

Gambar 5.12 Gerakan tari (ngigal)............................................................. 121

Gambar 5.13 Gerakan tari ngigal yang mengalami perubahan................... 123

Gambar 5.14 Promosi ritual duata melalui internet.................................... 128

Gambar 5.15 Koran dan brosur dalam pendistribusian ritual duata........... 131

Gambar 7.1 Kelompok penari ritual duata................................................ 181

Gambar 7.2 Ula-ula sebagai penanda identitas etnik Bajo....................... 183

Gambar 7.3 Kreativitas dalam penyajian isi sesajian................................ 187

GLOSARIUM

arung palakka : raja Bone (manusia yang sering memakai

sarung)

asemmu : namamu

ba’go : kapal penangkap ikan yang menggunakan jala

bangkawa

battu

:

:

atap

tiba

baong sama : bahasa yang dipakai sama-sama orang Bajo

bido : perahu tradisonal yang terbuat dari kayu

boe : air

bonto

daleq

buas bubu rinti

:

:

:

gelar bangsawan Bajo

rezekiku (Bugis)

beras warna-warni

bubura : beras

dansihitang

dooda

:

:

keluarga besar

atap

dewata : Tuhan Yang Maha Esa

duata : Dewata (Tuhan Yang Maha Esa)

darumah : tinggal bersama satu atap

extended family : keluarga luas

gadha

gula nawa-nawamu

:

:

gendang terbuat dari kulit kambing/sapi

gula pikiranmu

ikka : ganggilan kepada saudara yang tua

iko-iko : nyanyian yang mengisahkan suku Bajo dalam

melawan musuh

indi

:

panggilan kepada saudara yang lebih muda

jalunya : alat perangkap ikan (jala)

kadandio : nyanyian pada saat berangkat berlayar atau

melaut

kae pakana : perahu penangkap ikan

kaka : sebutan bagi saudara kembar manusia yang ada

di laut

keke : sebutan bagi penguasa laut

kalongko : batok kelapa

kanjilo : nyanyian suku Bajo saat hendak turun melaut

kasungki : ritual untuk menyembuhkan penyakit tutura

kuneh : warna kuning

kutta : hewan laut berupa gurita yang masih dekat

dengan kehidupan masyarakat Bajo

lama : pola hidup orang Bajo dalam mencari nafkah

yang dilakukan secara nomaden dalam waktu

tertentu beserta anggota keluarganya.

lameh : janur kuning (kelapa)

lekko

lepa taha

:

:

daun sirih

perahu panjang

lolo : gelar bangsawan suku Bajo

lo’o : hitam

majala : menangkap ikan dengan jaring (jala)

manu : ayam

mappandesasi : ritual keselamatan bagi etnik Mandar di Kota

Kendari

mappaleppa

marriage preference

:

:

upacara pemberkatan perahu

perkawinan yang ideal

mayah : buah pinang muda yang masih menempel

ditandannya (kecil-kecil)

mbo : nenek atau penguasa laut

mbo duga : makhluk halus di laut yang bertugas di sebelah

barat

mbo lumu : makhluk halus di laut yang bertugas menjaga

batu

mbo janggo : makhluk halus di laut yang bertugas disebelah

timur

mbo tambirah : makhluk halus yang mengendalikan angin

kencang

mireh : merah

monimbanga di lao ; Dewa di laut

ngigal : gerakan kaki naik turun (tari Bajo)

noan :

penyakit yang bersumber dari roh jahat dari

darat

nucleus family

paddeanganna

:

:

keluarga batih

gelarnya

palemana : rumah di atas laut

panggroak kampoh : setan penggangu dari laut

panggroak sappa : setan penghuni batu di dasar laut

palilibu : pola menagkap ikan, dimana hasil tangkapannya

dapat di bawa pulang pada hari itu untuk

dikonsumsi atau dijual.

palisier : kain persegi panjang kombinasi beberapa warna

palito nyalo : tradisi lisan dalam kesenian drama tari di Kota

Padang

papu : Tuhan Yang Maha Esa (bahasa Bajo halus)

piddi : Pennyakit

passengng riangnging : penggunaan mantra melalui media angin

passengng ri olokkolo : penggunaan mantra melalui media hewan

pomali : pantangan yang tidak boleh dilanggar

pongka : Pola menangkap ikan dalam waktu 1 minggu

sampai 10 hari dimana hasilnya mereka jual

setelah mereka kembali.

qun fa yaqun : jadi maka jadilah

randai : kesenian tari dari daerah Padang

rumah jage : rumah utama sebagai tempat tinggal setan

pengganggu

sagala : nyanyian yang dilantunkan saat saat pengobatan

sakai : pola mencari ikan berkelompok selama 1 sampai

6 bulan kemudian hasilnya mereka pasarkan

keluar daerah, setelah itu mereka bagi hasilnya.

sama : serupa

sumanga : jiwa

sandro : dukun kampung pemimpin upacara

to sama : orang Bajo yang memiliki banyak kesamaan

tuli : buaya (hewan yang diyakini memiliki hubungan

erat dengan orang Bajo)

tali sumanga : tali yang berasal dari langit ketujuh untuk

mengambil semangat hidup untuk pasien

tomuni : ari-ari

turura : penyakit akibat tidak melaksanakan kasungki

uija : nyanyian Bajo

BAB I

uwwa : panggilan kepada orang tua (ayah)

umma : panggilan kepada orang tua (ibu)

ula-ula : bendera kebesaran suku Bajo/ambar laut

wajalala : perintah untuk membuang sesuatu

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat dan budaya merupakan dua aspek yang tidak dapat

terpisahkan. Dalam arti bahwa setiap kelompok masyarakat entah itu masyarakat

yang bersifat tradisional maupun modern pasti memiliki suatu budaya yang tidak

dapat dilepaskan dari masyarakat pendukungnya. Karena budaya itu melekat

pada individu-individu dalam suatu komunitas yang diwujudkan dalam bentuk

nilai-nilai, sikap, kepercayaan, norma, hukum dan sistem perilaku serta hasil-

hasil karya.

Kebudayaan sebagai identitas komunitas bukan hanya dipahami sebagai

pembeda dengan komunitas lain, melainkan sebagai suatu hal yang dapat

digunakan untuk mengenal kehidupan komunitas, cara-cara kumunitas

menyusun pengetahuan, menampilkan perasaan, dan cara mereka bertindak.

Peranan kebudayaan menjadi sangat besar dalam ekosistem komunikasi, karena

karakteristik kebudayaan antar komunitas dapat membedakan kebudayaan lisan

dan tertulis yang merupakan kebiasaan suatu komunitas dalam

mengkomunikasikan identitasnya.

Kebudayaan di Indonesia merupakan hal yang tidak dapat terlepas dari

tradisi. Tradisi bukanlah dilihat sebagai barang yang menunjukan unsur

kekunoan (sakral) yang harus disimpan yang merupakan warisan dari peradaban

masa lalu, justru sudut pandang seperti ini akan mengangkat citra eksistensi

tradisi khususnya tradisi lisan yang telah diungkapkan dalam berbagai macam

penelitian, dalam sejarah kegemilangan masa lalunya saja tanpa dapat

mengaktualkannya dalam ksituasi masa kini.

Pada hakikatnya tradisi lisan dalam perkembangannya mengalami

transformasi yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, karena

sebuah tradisi tidak akan hidup kalau tidak mengalami transformasi. Akibat

persinggungan sebuah tradisi dengan modernisasi akan menciptakan sebuah

kedinamisan sebuah tradisi (Sibarani, 2012: 3). Transformasi yang tidak dapat

dielakkan dimasa mendatang adalah transformasi tradisi lisan kearah industri

budaya. Sebuah tradisi lisan diangkat dengan kreativitas yang tinggi melalui

teknologi informasi modern tanpa mematikan tradisi itu, tetapi

menghidupkannya kembali dalam bentuk lain yang lebih disukai baik oleh

masyarakat pemiliknya maupun oleh masyarakat global.

Fenomena yang terjadi pada kebudayaan di Indonesia adalah peleburan

budaya lokal yang dikendarai oleh kapitalisme yang berkaitan dengan ekonomi,

kekuatan budaya dominan, kekuatan ideologi-ideologi dunia yang tidak terlepas

dari pengaruh globalisasi. Terkait dengan fenomena globalisasi, sejak Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dijadikan sebagai daerah destinasi

pariwisata nasional, gejala praktik kapitalisme mulai nampak dengan munculnya

industri budaya yang mengacu kepada komodifikasi bentuk-bentuk budaya,

sebagai industri hiburan. Banyak tradisi kebudayaan dan kesenian yang

mengalami komersialisasi seni akibat tuntutan pasar yang berorientasi pada

ideologi kapitalisme dimana ikon, tanda, barang serta indeks dijadikan sebagai

modal prodak sebuah karya untuk dijadikan barang komoditi yang bernilai jual.

Dalam hal ini, sebuah industri budaya telah memproduksi berbagai

bentuk kebudayaan yang seolah-olah telah menjadi kebutuhan massa dan

menjadi faktor penentu dalam proses produksinya, sehingga sebuah budaya yang

sebelumnya dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik (authenticity), dan

kebenaran (truth), oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi

komoditas yang penuh dengan perhitungan laba (profit).

Etnik Bajo yang ada dikawasan sepanjang pesisir pantai di Kepulauan

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, merupakan komunitas masyarakat yang

memiliki tradisi yang kental dengan ritual pemujaan terhadap penguasa laut

(mbo) serta berkenaan dengan permohonan keselamatan dari berbagai bencana

(penyakit) dan kegiatan melaut lainnya. Pada awalnya etnik Bajo di desa Mola

Selatan kurang begitu terbuka dengan perubahan khususnya perkembangan

teknologi dan informasi hal ini terlihat pada struktur masyarakat, adat istiadat,

kebudayaan termasuk ritual-ritual yang pada dasarnya nampak berbeda dalam

pelaksanaannya dengan praktik tradisi diwilayah lain yang ada di kepulauan

Wakatobi.

Salah satu tradisi lisan yang khas yang terdapat di desa Mola Selatan

Kabupaten Wakatobi adalah adalah ritual duata. Ritual ini merupakan warisan

leluhur etnik Bajo sebagai ritual penyembuhan penyakit secara tradisional yang

dilakukan sewaktu-waktu. Ritual duata sebagai sarana permohonan kepada

penguasa alam memiliki prinsip-prinsip yang menjelaskan keyakinan tentang

hubungan manusia dengan makhluk penguasa alam, hubungan manusia dengan

alam sekitarnya serta makhluk-makhluk metafisik lainnya. Kesemuanya terlihat

pada sistem kepercayaan masyarakat lokal dalam memanifestasikan wujud

penghormatan mereka dalam bentuk upacara adat/ritual.

Berkaitan dengan ritual Van Ball, J, (1997:12) menyatakan bahwa

peranan upacara (baik ritual maupun seremonial) adalah selalu mengingatkan

manusia berkenan dengan eksistensi dan hubungan dengan lingkungan mereka,

dengan adanya upacara-upacara suatu warga masyarakat bukan hanya selalu

diingatkan tetapi juga dibiasakan untuk menggunakan simbol-simbol yang

bersifat abstrak yang berada pada tingkat pemikiran untuk berbagai kegiatan

sosial yang nyata yang ada dalam kehidupan sehari-hari.

Sama halnya dengan pernyataan Giddens (2003: 48-50) dimana tradisi

merupakan adat atau kebiasaan (custom or habit), yang merupakan penanda

identitas baik secara pribadi maupun kolektif masyarakat pendukungnya.

Identitas adalah penciptaan konstansi dalam perjalanan waktu, yang

menghubungkan masa lalu dengan masa depan masyarakat pewarisnya dengan

realitas identitas sosial yang lebih luas, dalam hal ini disebut dengan perhatian

psikologis. Demikian pula dalam ritual duata berkaitan dengan pemujaan

terhadap penguasa alam dan roh-roh leluhur dalam upaya permohonan

keselamatan dan kesejahteraan yang tidak terlepas dari mitos bagi pendukung

kebudayaan untuk menjaga dan mempertahankan keharmonisan dalam

kehidupan etnik Bajo.

Keyakinan etnik Bajo bahwa ritual duata ini berkaitan dengan

pemujaan terhadap penguasa laut dan saudara kembaran (kaka) yang dipercayai

bahwa setiap kelahiran anak memiliki kembaran di laut (kaka) berupa gurita dan

buaya. Sehingga jika salah satu diantara mereka ada yang sedang sakit, itu

berarti sebagian semangat hidupnya (sumanga) telah diambil oleh saudara

kembarnya ke laut dan sebagian lagi diambil oleh Dewata (Tuhan Yang Maha

Esa) dan dibawa ke langit ketujuh.

Secara harfiah ritual duata merupakan sebuah ritual yang berhubungan

dengan tindakan penyelamatan dalam bentuk interaksi secara metafisik dengan

makhluk-makhluk gaib lainnya untuk memohon kesembuhan dan meminta

keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar semangat hidup bagi seseorang

yang sedang sakit bisa dimiliki kembali. Jadi, secara filosofis masyarakat etnik

Bajo diajarkan untuk lebih menjaga keharmonisan hubungannya dengan sesama,

lingkungan dan pencipta, dimana ekosistem dan biota laut berupa gurita (kutta)

dan buaya (tuli) merupakan sebuah mitos yang dibangun oleh masyarakatnya

sebagai perumpamaan hewan laut yang memiliki kekuatan besar untuk menjaga

dan melindungi ekosistem laut dari kerusakan yang diakibatkan ulah manusia.

Melalui nilai-nilai tradisi inilah manusia belajar mengadaptasikan

dirinya dengan keadaan lingkungan supaya tetap menjaga keharmonisan dalam

lingkup sosial dan hubungannya dengan Tuhan serta makhluk gaib lainnya.

Dalam beradaptasi dan mendayagunakan alam lingkungannya itu, maka manusia

berusaha melakukannya dengan cermat, penuh kehati-hatian dan terarah agar

dapat menunjang kebutuhan hidupnya.

Pengetahuan akan nilai-nilai dari mitos tersebut terkandung pula dalam

ritual duata yang telah dijadikan sebagai pedoman dalam bertingkah laku.

Pengetahuan tersebut secara terus menerus berkembang dan digunakan untuk

dapat memahami dan menginterpretasi berbagai gejala, peristiwa, dan benda-

benda yang ada dalam lingkungannya.

Pudentia (1998: 170) mengatakan, bahwa tradisi lisan dapat

menghubungkan generasi masa lalu, sekarang dan masa depan. Tradisi lisan itu

diturunkan dari generasi ke generasi. Dalam kehidupan sehari-hari, pemikiran,

perkataan, dan perilaku secara individu dan kelompok adalah implementasi

senyatanya dari teks-teks lisan itu. Sejalan dengan itu Hoed (Pudentia

1998:195), menjelaskan tujuan analisis tradisi lisan adalah untuk

mengungkapkan yang terkandung dalam teks lisan itu, yaitu yang disebut

cognate system, yakni hal-hal yang terlahir dan mentradisi dalam suatu

masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang.

Tradisi budaya atau tradisi lisan masa lalu tidak akan mungkin dapat

lagi dihadirkan pada masa kini persis seperti dahulu karena telah mengalami

transformasi sedemikian rupa bahkan mungkin telah mati karena tidak lagi hidup

pada komunitasnya, tetapi nilai dan norma tradisi budaya atau tradisi lisan dapat

juga dimanfaatkan untuk mendidik anak-anak memperkuat identitas dan karakter

mereka dalam menghadapi masa depan sebagai generasi penerus bangsa. Untuk

itulah kita seharusnya mampu mnyikapi secara cerdas bagaimana tradisi dalam

aspek kemayarakatan yang bersumber dari nenek moyang diwariskan kegenerasi

selanjutnya agar tidak mengalami kepunahan (Sibarani, 2012: 2).

Tradisi lisan memegang peranan penting dan strategis dalam kehidupan

masyarakat Indonesia, karena tradisi lisan sebagai salah satu bentuk budaya

lokal yang memiliki hubungan batin dengan para pewarisnya dan diyakini dapat

dimanfaatkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat

pendukungnya. Hanya saja, seiring perkembangan zaman kian banyak tradisi

lisan mengalami perubahan akibat dari persinggungan dari budaya tradisional

dan budaya moderen sehingga melahirkan pemikiran-pemikiran baru untuk

menciptakan sesuatu yang baru dengan menggunakan akar budaya leluhur.

Akibat globalisasi menyebabkan fungsi ritual duata berubah dari sakral ke

profan dan dalam kaitannya dengan nilai-nilai dalam kehidupan masyarakat

menjadi tendensi ekonomi, akibatnya ritual pun menjadi alat komoditas dan

dikonsepkan sebagai salah satu bentuk mata pencaharian. Ritual duata yang

merupakan bagian dari prosesi pengobatan adat etnik Bajo sengaja diproduksi

oleh masyarakat Bajo (sandro/seniman) dimana dalam pendistribusiannya

menggunakan media massa dan komunikasi lisan dengan harapan agar

wisatawan baik lokal maupun mancanegara tertarik dan bahkan

mengonsumsinya sehingga mendapatkan keuntungan secara ekonomi.

Proses komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya mengalami

penolakan terhadap perubahan dialektika sakral ritual duata kearah profan

menuju komersialisasi tradisi. Dalam hal ini masyarakat pendukung tradisi yang

menginginkan tradisi ritual duata jangan dikomersialkan harus tetap pada fungsi

utama dengan menjaga nilai dan makna originalitas ritual dari pengaruh budaya

luar namun dilain pihak sebagian masyarakat Bajo menginginkan komodifikasi

ritual duata dengan alih-alih sebagai bentuk penyelamatan tradisi dari

kepunahan sehingga tradisi budaya Bajo dikenal masyarakat luas serta bisa

berkiprah dalam industri pariwisata budaya yang bisa memperbaiki taraf

kehidupannya.

Pada era globalisasi saat ini ditandai dengan perkembangan teknologi

komunikasi yang menyebabkan berubahnya pola pikir msyarakat etnik Bajo

menjadi lebih terbuka dalam mengolah kebudayaannya. Produk ini sebelumnya

tidak dianggap sebagai barang/jasa dagangan dan hanya dimiliki oleh dukun

(sandro) dalam pengobatan. Namun kini menjadi produk komoditas yang

berorientasi ekonomi (pasar). Hal tersebut tentu ada faktor yang

menyebabkannya sehingga komersialisasi ritual duata mengalami transformasi

kearah profan. Hal tersebut menarik untuk dikaji dengan perspektif kajian

budaya.

Dalam penelitian ini aspek yang dikaji berkaitan dengan objek formal

dan objek material. Wujud hakiki dari objek penelitian tersebut berupa segala

aktivitas, perilaku, dan hasil karya berupa komodifikasi ritual duata yang terjadi

pada masyarakat Bajo. Hubungan antara objek penelitian dengan daya tangkap

manusia berkaitan dengan cara berpikir, memahami, dan mengindra ritual duata

yang pada akhirnya membuahkan pengetahuan yang mendalam tentang hal

tersebut. Objek formal dalam penelitian ini, yaitu mengkaji manusia dari aspek

hakikatnya sebagai makhluk yang memiliki tradisi dan budaya. Dari sudut

pandang kajian budaya dikaji adalah pemikiran-pemikiran masyarakat terkait

dengan komodifikasi ritual duata. Untuk itu, maka dalam penelitian digunakan

sudut pandang historis guna merunut peristiwa-peristiwa, sudut pandang

sosiologis untuk mengamati faktor-faktor penyebab masyarakat Bajo membuat

ritual duata. Selanjutnya dalam hubungan dengan objek formal penelitian ini,

maka yang diteliti adalah proses komodifikasi ritual duata hingga menjadi

barang/jasa dagangan. Mengapa hal ini terjadi, apa penyebab dan faktor apa

yang menyebabkan ritual duata menjadi produk yang berorientasi daya jual.

Sehingga dampak dan makna terhadap komodifikasi ritual duata dapat

diketahui. Objek formal dalam penelitian ini mengarah kepada proses

komodifikasi ritual duata, pemikiran tentang faktor penyebab serta pemikiran

tentang dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo sebagai

produk komoditas.

Terjadinya komodifikasi ritual duata sebagai akibat dari persemaian

budaya global bersumber dari berbagai faktor baik dari dalam (tradisi/budaya

etnik Bajo) dan berasal dari luar (budaya global) yang masuk ke dalam

kebudayaan lokal. Hal itu tidak bisa dipungkiri karena sebuah kebudayaan akan

mengalami perubahan-perubahan yang menyesuaikan dengan konteks kekinian

sehingga sadar dan tidak sadar akan berubah bentuk dari budaya aslinya.

Penyesuaian-penyesuaian budaya tersebut akan melahirkan dampak dan

pemaknaan tersendiri bagi kelangsungan akan eksistensi budaya asli serta

masyarakat pendukungnya.

Dampak negatif dari perubahan ritual duata kelingkup profan jika

perubahan tersebut menuju perubahan yang mengancam tradisi kearah

kepunahan yang menyebabkan penurunan nilai sakralitas dan pendangkalan dari

esensi ritual duata. Selanjutnya dengan adanya profanisasi ritual duata tentunya

melahirkan pemaknaan sebagai usaha pelestarian dan pengembangan potensi

tradisi bagi masyarakat pendukung tradisi.

Dengan adanya perubahan-perubahan tersebut akan menciptakan

sebuah paradigma baru atau makna baru akan esensi dari ritual duata dalam

kehidupan sekarang. Untuk itulah diperlukan suatu penelitian khusus untuk bisa

melihat serta memberikan pendampingan agar tradisi leluhur masih bisa eksis

dan hidup berdampingan dengan budaya modernisasi sekarang sehingga harus

ada strategi-strategi pewarisan yang ditanamkan ke generasi penerus tradisi

pendukung budaya Bajo.

Berdasarkan dari observasi di lapangan dan menyimak kenyataan yang

dihadapi oleh masyarakat etnik Bajo khususnya ritual duata, maka peneliti

mempunyai harapan untuk mengetahui lebih dalam praktik ritual duata yang

mengalami pergeseran kearah komodifikasi sehingga perlu pengkajian secara

mendalam mengenai proses komodifikasi ritual duata, faktor penyebab serta

dampak dan makna komodifikasi ritual duata termasuk di dalamnya strategi

perwarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi

Sulawesi Tenggara.

Sebagai kajian sosial-budaya yang kritis, kajian budaya (lubis, 2006:

136) bertujuan untuk menyingkap berbagai kepentingan (ideologi) dominasi,

hegemoni, kuasa, hak, kebebasan, keadilan, kepentingan yang ada di dalamnya.

Untuk itulah peneliti mengambil sebuah judul penelitian: “Komodifikasi Ritual

Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan

beberapa permasalahan yang menjadi fokus bahasan dalam penelitian ini.

Rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?

2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan komodifikasi ritual duata pada

etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?

3. Bagaimana dampak dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo

di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?

4. Bagaimana strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara?

1.2.1 Tujuan Penelitian

Ada dua tujuan yang mendasar dalam penelitian ini. Tujuan penelitian

ini terdiri dari dua macam yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi

khasanah budaya daerah sebagai hak kekayaan intelektual bangsa Indonesia

dalam usaha untuk memperkokoh persatuan nasional yang tentunya ikut

memperkaya khasanah budaya nasional. Di samping itu pula, secara umum

penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, memahami serta mendekskripsikan

tentang proses komodifikasi ritual duata, faktor yang menyebabkan, dampak dan

makna komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik

Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dijadikan

cerminan dan pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya yang berkaitan

dengan nilai religi yang harus dilestarikan dan dikembangkan dalam kehidupan

bermasyarakat.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan tersebut. Maka

secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

1. Untuk mendeskripsikan proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo

di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab komodifikasi ritual duata pada etnik

Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Untuk menginterpretasi dampak dan makna komodifikasi ritual duata

terhadap kehidupan etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi

Tenggara.

4. Untuk mengidentifikasi strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.2.2 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni

manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah

ilmu pengetahuan secara logis, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan

masyarakat etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara.

Selain itu, hasil penelitian ini bisa bermanfaat dalam pengembangan cakrawala

keilmuan dari kajian budaya, khususnya dalam pengkajian tradisi lisan yang kini

mulai terlupakan oleh masyarakat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi: (1)

pemerintah, khususnya pemerintah Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi

Tenggara dalam menentukan dan menetapkan kebijakan yang tepat dalam

pelestarian budaya-budaya lokal yang dimiliki masyarakat etnik Bajo pada

khususnya dan masyarakat Wakatobi pada umumnya, (2) pihak-pihak yang

peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal yang berkaitan dengan ritual

yang dimiliki oleh masyarakat yang kian hari kian punah, (3) penelitian lain

yang yang mengkaji kebudayaan etnik Bajo yang diharapkan dapat memberikan

informasi, pengetahuan, pemahaman dan kesadaran akan arti penting menggali

dan memaknai ritual yang merupakan bagian dari masa lalu, (4) membawa

wawasan masyarakat, khususnya masyarakat etnik Bajo akan pentingnya

pelestarian budaya leluhur sebagai identitas dan jati diri etnis secara khusus, (5)

sebagai langkah inventarisasi budaya dan tradisi lisan yang kian hari keadaanya

semakin menurun masyarakat pendukungnya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang ritual dengan siklus hidup manusia baik berupa

penyembuhan penyakit, permohonan keselamatan dan pemujaan terhadap sang

pencipta, sudah banyak yang melakukan penelitian. Namun penelitian yang

berkaitan dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sejauh peneliti ketahui belum ada yang

meneliti. Dalam penyempurnaan tulisan ini, peneliti menelusuri penulisan-

penulisan terdahulu yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan rujukan dan

pembanding yang relevan dengan penelitian ini.

Kajian buku pustaka yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah

penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Saleh Buchari (2012) meneliti “Nilai

Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal Dalam Upacara Laut Pada Komunitas

Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi”. Tulisan ini merupakan penelitian

tesis pada program studi pendidikan bahasa Indonesia sekolah pasca sarjana

Universitas Pendidikan Indonesia, yang lebih menekankan kepada nilai

pendidikan bermuatan kearifan lokal dalam upacara laut pada komunitas suku

Bajo, bahwasanya dalam komunitas suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi

peranan orang tua terhadap pendidikan anak sangat besar itu diaktualisasikan

dalam kegiatan upacara laut yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang

kuat dan dianggap benar oleh masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai kearifan

lokal tersebut terdapat dalam beberapa doa, mantra (jajampi) dan nyanyian

rakyat suku Bajo yang diikut sertakan dalam upacara laut masyarakat suku Bajo.

Dalam penelitian ini ada beberapa persamaan yakni sama-sama mengkaji

tentang ritual atau upacara dalam tradisi masyarakat suku Bajo di Kabupaten

Wakatobi. Dimana dalam pelaksanaan upacara laut masyarakat suku Bajo di

Bajoe’ Bone dan Wakatobi terdapat beberapa mantra (jajampi) dan berapa media

dan digunakan dalam ritual duata yang peneliti kaji serta teknik analisis data

yang sama menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif serta teknik

pengumpulan data triangulasi yaitu gabungan teknik observasi partisipatif,

teknik wawancara mendalam dan teknik dokumen dengan menggunakan teori-

teori postmoderen sedangkan Buchari mengkaji prosesi upacara laut yang

berkaitan dengan nilai pendidikan bermuatan kearifan lokal pada masyarakat

suku Bajo di Bajoe’ Bone dan Wakatobi dengan pendekatan teori-teori post

positivistik. Serta peneliti mengkaji ritual duata sebagai ritual pengobatan

tradisional yang mengalami komodifikasi pada masyarakat etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara

Hardin (2013) meneliti, “Bentuk Ritual Kasungki dan

Keterancamannya Pada Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari

Sulawesi Tenggara”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis pada program

studi kajian budaya Universitas Udayana. Dalam penelitiannya Hardin mengkaji

bahwa ritual kasungki merupakan sebuah ritual yang dilaksanakan oleh

masyarakat Muna untuk memohon kesehatan dan keselamatan sekaligus

penyembuhan penyakit akibat terkena penyakit aneh (tutura). Namun pada

perkembangan dan kemajuan zaman yang membawa budaya global

mengakibatkan perubahan dimana gaya hidup dan cara pandang masyarakat

Muna terhadap ritual kasungki ikut mengalami perubahan dan keterancaman

bentuk. Keterancaman yang dimaksud yaitu berkurangnya rutinitas pelaksanaan

ritual, berkurangnya waktu orang yang dilibatkan, tidak utuhnya proses

pelaksanaan ritual, dan sarana prasarana sebagai media berubah. Di samping itu

keterancaman ritual kasungki pada masyarakat Muna diakibatkan karena

beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal berupa teknologi media

sebagai budaya populer ekonomi, kemajuan ilmu pengetahuan, tingkat

pendidikan, dan formalisasi syariat islam sedangkan faktor internal berupa

minimnya pengetahuan generasi muda mengenai ritual kasungki dan tidak

adanya pewarisan ritual kasungki secara berkesinambungan dari generasi tua

kepada generasi muda.

Berdasarkan hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti mendapatkan data

awal tentang konsep, penggunaan teori, serta definisi ritual. Penelitian Hardin

dan peneliti mempunyai persamaan yaitu sama-sama mengkaji tentang ritual

yang berkaitan dengan siklus hidup manusia serta permohonan keselamatan,

kesehatan, serta dijauhkan hambatan dalam menjalani kehidupan dengan

pendekatan dan jenis penelitian yang digunakan yaitu metode penelitian

kualitatif. Dengan penggunaan teori dalam menganalisis permasalahan

diantaranya teori semiotika dan teori diskursus kekuasaan dan pengetahuan.

Penelitian Hardin berbeda dengan penelitian yang peneliti kaji, dimana

Hardin meneliti tentang “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada

Masyarakat Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”

sedangkan peneliti dalam penelitian ini mengkaji tentang “Komodifikasi Ritual

Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara”

kemudian melihat objek dan lokasi penelitian sudah menggambarkan perbedan

yang jauh. Hasil penelitian Hardin tersebut, peneliti jadikan kepustakaan utama,

bahan pembanding dan rujukan bagi peneliti untuk mengkaji “Komodifikasi

Ritual Duata Pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi

Tenggara”. Serta dari penelitian ini peneliti menemukan beberapa definisi yang

menunjang dan memperkuat penelitian penulis.

Muhamad Alkausar (2011) melakukan penelitian tentang

“Keterancaman Ritual Mappandesasi Pada Masyarakat Nelayan Etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko Sulawesi Tenggara”. Dalam penelitian Alkausar, ritual

mappandesasi bertujuan sebagai bentuk permohonan keselamatan, dan rezeki

yang banyak bagi para nelayan. Ritual ini dilaksanakan sebelum para nelayan

hendak berlayar agar mendapatkan hasil yang banyak. Namun dalam era

sekarang proses pewarisan yang ada malah terjadi penyusutan terhadap

eksistensi ritual tersebut. Terjadinya pengurangan dan pembaruan terhadap

sarana-sarana dari ritual mappandesasi.

Penelitian di atas, banyak hal memberikan sumbangsih dalam berpikir,

khususnya pemahaman peneliti terhadap konsep, bentuk, faktor-faktor penyebab

penurunan, serta dampak dan makna dari penurunan ritual. Sehingga, penelitian

yang dilakukan oleh Alkausar menjadi sumber masukan yang membangun

sekaligus sebagai bahan pembanding dalam penelitian ini.

Hasilnya menunjukkan bahwa dalam masyarakat di Kelurahan

Bungkutoko tidak lagi ditemukan ritual, mappandesasi sebagai bentuk

perwujudan masyarakat nelayan etnik Mandar terhadap kepercayaan terhadap

mitos penguasa laut. Ritual mappandesasi yang dilakukan oleh etnik Mandar di

Kelurahan Bungkutoko mempunyai fungsi sosial untuk mengintensifkan kerja

sama atau memperkuat rasa solidaritas sesama nelayan etnik Mandar.

Berdasarkan penelitian yang dikakukan oleh Alkausar memiliki

persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan yang dimaksud

adalah sama-sama mengakaji ritual yang dilakukan oleh masyarakat nelayan

dalam kaitannya dengan siklus kehidupan manusia dalam upaya permintaan

keselamatan dan pemberian makanan terhadap penguasa laut dengan pendekatan

penelitian kajian budaya. Sedangkan perbedaannya Alkausar melihat ritual

nelayan yang mengalami keterancaman karena sudah jarang dilakukan oleh

masyarakat pendukungnya. Sementara dalam penelitian ini melihat ritual yang

mengalami komodifikasi. Melihat lokasi dan objeknya sudah tentu menujukan

perbedaan yang jauh.

Dasrul (2013) meneliti, “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada

Kelompok Seni Tradisi Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang”. Penelitian

ini merupakan penelitian tesis pada program kajian budaya Pascasarjana

Universitas Udayana. Dalam penelitiannya ini Dasrul mengemukakan tentang

pertunjukan Randai pada kelompok seni tradisi Palito Nyalo di Kecamatan Pauh

Kota Padang, merupakan proses kreatifitas seniman dan kelompok seni

pertunjukan Randai dalam rangka menarik kunjungan wisatawan bahkan

dijadikan sebagai event promosi pariwisata dalam pekan budaya Sumatera

Selatan dan Padang Fair. Dalam tulisan ini, disimpulkan telah terjadi pergeseran

bentuk, fungsi dan makna pada pertunjukan Randai pada kelompok tradisi Palito

Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang yang lebih berorientasi pada selera pasar

yang tidak lepas dari dari sentuhan budaya kapitalis yang berorientasi pada

kesenian pasar.

Penelitian Dasrul ini akan menjadi sumber rujukan dan referensi untuk

penelitian “Komodifikasi Ritual Duata pada Etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi

Provinsi Sulawesi Tenggara” hal ini dilakukan karena ada persamaan pada

konsep komodifikasi, penggunaan teori komodifikasi dan semiotik serta sama-

sama meneliti tentang tradisi namun perbedaannya terletak pada jenis objek dan

lokasi penelitian. Pada penelitian Dasrul pertunjukan Randai dijadikan sebagai

yang dikomodifikasi sedangkan pada penelitian ini ritual duata sebagai yang

dikomodifikasi sehingga dilihat dari segi obyeknya berbeda dengan penelitian

ini.

2.2 Konsep

Dalam melakukan penelitian ini konsep dilakukan sebagai penggambaran

secara abstrak yang seluruhnya menjadi pusat perhatian ilmu sosial. Melalui

konsep tersebut sebagai peneliti dapat melihat tujuan dan dapat

menyederhanakan pemikiran dalam penelitian. Dalam kaitannya perumusan

konsep dalam penelitian terhadap komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, ada beberapa konsep terkait

dengan perumusan yang meliputi komodifikasi, ritual duata, etnik Bajo dan

komodifikasi ritual duata.

2.2.1 Komodifikasi

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme

dimana objek, tanda-tanda diubah menjadi komoditas yaitu sesuai dengan tujuan

utamanya adalah terjual di pasar (Barker, 2005: 517). Dinyatakan oleh Piliang

(2004: 21) komodifikasi adalah sebuah proses menjadikan sesuatu yang

sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi. Sedangkan

komodifikasi di dalam kesenian menurut Hasan (Dasrul, 2013: 18) biasanya dari

suatu proses/produsen individual/komunitas akan menjadi suatu produk

komoditi, sehingga pembagian kerja lama pun berubah, dari pembagian kerja

spontan menuju pembagian kerja yang direncanakan.

Komodifikasi merupakan konsep yang luas, tidak hanya menyangkut

masalah produksi komoditas dalam pengertian perekonomian yaang sangat

sempit tentang barang-barang yang diperjualbelikan. Permasalahan bagaimana

barang-barang tersebut diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi termasuk

juga di dalamnya.

Adapun tiga bentuk proses komodifikasi yang dimaksud dalam penelitian

yakni (1) produksi adalah suatu kegiatan untuk menambah nilai suatu benda atau

menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dan memenuhi kebutuhan

manusia. Dalam penelitian ini produksi ritual duata adalah analisis tentang

mekanisme atau rangkaian tindakan mengenai bagaimana ritual duata

diproduksi atau dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan konsumen termasuk di

dalamnya adalah produksi barang dan jasa yang dibutuhkan untuk mendukung

ritual duata. (2) distribusi adalah proses penyaluran barang dan jasa sehingga

sampai kepada pihak konsumen. Dalam penelitian ini distribusi merupakan

usaha menyalurkan produk ritual duata dalam artian diperkenalkan atau

dipromosikan sehingga sampai atau diketahui oleh masyarakat yang pada

akhirnya masyarakat tertarik dan mau mengonsumsi ritual duata (3) konsumsi

yaitu suatu proses menggunakan atau menghabiskan daya guna suatu benda,

baik berupa barang maupun jasa untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan

secara langsung. Dalam penelitian ini konsumsi yaitu tidak hanya sekedar

menggunakan produk ritual duata namun dengan memakai produk ritual duata

berarti mengomunikasikan sesuatu produk ritual duata ke masyarakat luas.

2.2.2 Ritual Duata

Menurut Hadi (1999: 29-30) ritual merupakan suatu bentuk upacara atau

perayaan yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama yang

ditandai dengan sifat khusus, yang menimbulkan rasa hormat yang luhur, dalam

arti merupakan suatu pengalaman yang suci. Seperti yang telah dikemukakan

oleh Koentjaraningrat (Hardin, 2013: 24) bahwa sistem upacara merupakan

wujud kelakuan dan religi dan seluruh sistem upacara itu terdiri atas aneka

macam upacara yang bersifat harian, musiman dan kadang kala.

Ritual duata memiliki muatan norma-norma dan nilai-nilai hidup bagi

masyarakat etnik Bajo yang dapat dijadikan sebagai pedoman hidup sehingga

tercipta keharmonisan antara manusia dengan wujud tertinggi, manusia dengan

leluhur, manusia dengan lingkungannya dengan wujud tertinggi, manusia

dengan leluhur, manusia dengan lingkungan alamnya dan manusia dengan

sesamanya.

Berkaitan dengan hal tersebut ritual duata adalah sebuah upacara/ritual

yang dilaksanakan sewaktu-waktu jika masyarakat ada yang terkena penyakit

yang tidak bisa disembuhkan secara medis. Melalui ritual duata penyakit

tersebut bisa disembuhkan dengan jalan melakukan ritual meminta, memohon

akan keselamatan yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta makhluk

lainnya (roh).

2.2.3 Etnik

Konsep etnik adalah konsep kultural yang terpusat pada persamaan

norma, nilai, kepercayaan, simbol, dan praktik kultural. Terbentuknya etnik

bangsa bersandar pada penanda kultural yang dimiliki secara bersama yang telah

berkembang dalam konteks historis, sosial dan politis tertentu dan yang

mendorong rasa memiliki yang sekurang-kurangnya didasarkan pada nenek

moyang mitologis yang sama.

Barth (1988: 11-16) menyatakan bahwa pada umumnya definisi tentang

kelompok etnik mengemukakan ciri-ciri suatu populasi yang secara biologis

mampu berkembang dan bertahan. Ciri-ciri yang dimaksud yaitu (1) mempunyai

nilai-nilai budaya yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam suatu

bentuk budaya, (2) membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri, dan

(3) menentukan ciri kelompok sendiri yang diterima oleh kelompok lain.

Etnik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah etnik Bajo yang

memiliki ikatan persamaan norma, nilai, kepercayaan, serta memiliki

seperangkat tata cara dalam menjalani kehidupan serta aktivitas kesehariannya.

Etnik minoritas ini sampai sekarang masih kental dengan adat dan tradisi sebagai

identitas keetnikannya yang membedakan dengan etnik-etnik lain yang ada di

kepulauan Wakatobi.

Etnik Bajo merupakan komunitas manusia yang pada umumnya tinggal

di atas permukan laut dengan cara mendirikan rumah yang terbuat dari kayu

dengan beratapkan rumbia (daun kelapa) dan mempunyai ikatan yang sangat erat

dengan kehidupan laut. Umumnya etnik Bajo dijumpai disepanjang perairan/

pesisir pantai di nusantara. Sebagai etnik yang akrab dengan laut, mereka

memanfaatkan laut sebagai sumber kehidupan mereka. Mereka sadar bagaimana

laut harus diperlakukan atau diberdayakan tanpa merusak ekosistem lainnya.

2.2.4 Komodifikasi Ritual Duata

Dalam kaitannya dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan sebuah proses

yang semulanya ritual duata bukan sebuah produk seni (komoditi) yang

tujuannya bukan untuk dikomersialkan. Namun pada kini ritual duata

dikomersialkan dan mengalami komodifikasi karena diciptakan dengan sengaja

sebagai produk barang atau jasa perdagangan. Komodifikasi ritual duata bukan

hanya menyangkut barang/jasa yang sebelumnya bukan komoditas kini

dijadikan barang komoditas namun komodifikasi juga berkaitan dengan dengan

proses produksi, distribusi dan upaya memenuhi permintaan pasar (konsumsi).

Dalam penciptaannya terdapat penyesuaian-penyesuaian unsur budaya

lokal untuk mendapatkan nilai tukar yang tentunya dalam prosesnya dilakukan

bukan hanya pemilik kebudayaan, namun melibatkan banyak pihak. Dalam

proses komodifikasi ritual duata kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan

hanya untuk menggali nilai utilitas (nilai guna) akan tetapi mencari keuntungan

dari nilai tukar yang merupakan bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme.

Dalam hal ini kapitalisme memproduksi komoditi untuk kebutuhan pemakai

yang telah dirasionalisasi dalam sistem ekonomi.

2.3 Landasan Teori

Pada hakikatnya, teori merupakan seperangkat konsep, defenisi dan

proposisi yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk

menjelaskan dan meramalkan suatu fenomena atas realitas sosial. Ada beberapa

teori yang menjadi dasar dalam penelitian ini agar diperoleh data yang bisa

dipertanggung jawabkan secara keilmuan. Adapun teori-teori yang digunakan,

sebagai landasan untuk menganalisis permasalahan yaitu (1) teori komodifikasi ;

(2) teori semiotik; (3) teori wacana kekuasaan atau pengetahuan;

2.3.1 Teori Komodifikasi

Komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di

mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu

yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar (Barker, 2005: 517). Komodifikasi

adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai

karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang

matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan

pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni

tersebut (Tester, 2009: 84).

Dinyatakan oleh Piliang (2011: 23) komodifikasi adalah sebuah proses

menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi

komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala sesuatu yang diproduksi dan

dipertukarkan dengan sesuatu lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh

nilai lebih atau keuntungan.

Komodifikasi memiliki makna yang luas dan tidak hanya menyangkut

masalah produksi komoditas tentang barang dan jasa yang diperjual-belikan.

Permasalahan bagaimana barang dan jasa tersebut didistribusikan dan

dikonsumsi juga termasuk di dalamnya (Fairclough, 1995: 207). Komodifikasi,

gejalanya dapat dirujuk dari pemikiran Marx dan Simmel yang sepakat bahwa

akibat ekonomi uang yang berdasarkan kapitalisme, semangat menciptakan

keuntungan sebanyak-banyaknya mengakibatkan munculnya gejala

komodifikasi diberbagai sendi kehidupan masyarakat (Turner, 1992: 115-138).

Jika dikaitkan dengan praktik komodifikasi ritual duata merupakan

sebuah proses menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan komoditi

menjadi produk komoditi. Ritual duata yang semula berfungsi sebagai ritual

pengobatan tradisional namun dalam perkembangannya, ritual duata dijadikan

objek yang memiliki nilai tukar dan kapitalisme melalui industri budaya

memproduksi dan mendistribusikan dan dikonsumsi bersama-sama dengan

industri jasa lainnya sebagai komoditas belaka dengan mengharapkan

keuntungan sebanyak-banyaknya.

Dalam penelitian ini, teori komodifikasi digunakan sebagai landasan

untuk mengkaji rumusan masalah pertama dan kedua yaitu bagaimana proses

komodifikasi ritual duata dan faktor apa yang menyebabkan komodifikasi ritual

duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

2.3.2 Teori Semiotik

Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia,

artinya semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni

sesuatu yang harus kita beri makna. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand

de Saussure (Hoed, 2011:3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk

(yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang

dipahami oleh manusia pemakai tanda). Ferdinand de Saussure menggunakan

istilah signifier (penanda) untuk segi bentuk suatu tanda, dan signified (petanda)

untuk segi maknanya.

Sebagai penanda adalah bentuk-bentuk atau medium yang diambil oleh

suatu tanda, seperti bunyi, gambar, atau coretan yang membentuk kata disuatu

halaman. Sedangkan petanda adalah konsep dan makna-makna. Hubungan

antara bunyi dan bentuk-bentuk bahasa atau penanda dengan makna yang

disandangnya atau petanda bukan merupakan hubungan yang pasti atau selalu

demikian. Pengaturan hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer

(Barker, 2005: 90-91).

Menurut Piliang (2008: 46) semiotika tidak saja sebagai “metode kajian”

tetapi juga sebagai “metode penciptaan”. Sebagai sebuah disiplin keilmuan,

yaitu ilmu tentang “tanda” (the science of sign) tentu semiotika mempunyai

prinsip, sistem, aturan dan prosedur-prosedur keilmuan yang khusus dan baku.

Namun, semiotika bukanlah ilmu yang mempunyai sifat kepastian, ketunggalan

dan objektivitas seperti ilmu alam. Semiotika adalah sebuah ranah keilmuan

yang jauh lebih dinamis, lentur, dan terbuka bagai pelbagai bembacaan dan

interpretasi. Sehubungan dengan hal itu semiotika tidak dibangun oleh

kebenaran tunggal, melainkan makna yang jamak. Dalam logika semiotika,

interpretasi tidak diukur berdasarkan salah atau benarnya, melainkan

berdasarkan derajat kelogisannya, interpretasi yang satu lebih masuk akal dari

yang lain.

Karakter arbirter hubungan penanda-penanda menunjukkan bahwa

makna itu mengalir, secara kultural dan historis bersifat spesifik, tidak bersifat

tetap dan universal. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Culler (Barker, 2005:

91-92), karena sifatnya yang arbiter, maka tanda sepenuhnya berada di bawah

pengaruh sejarah dan kombinasi dari suatu penanda dan petanda pada saat

tertentu merupakan akibat dari proses sejarah.

Barthes dengan menggunakan pendekatan Saussure dalam mengkaji

makna dimana ada dua macam sistem pemaknaan yakni denotasi dan konotasi.

Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda

dan petanda atau antara tanda dan rujukannya (referent) yang selanjutnya

menghasilkan makna secara eksplisit secara langsung dan pasti. Maka denotatif

ini adalah makna dari apa yang nampak yang bisa disebut juga makna leksikal

atau makna referensial. Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan

hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang

tidak eksplisit, tidak langsung dan tidak pasti, yang terbuka terhadap berbagai

kemungkinan penafsiran.

Barthes melihat pemaknaan tanda secara lebih dinamis dan

mengembangkannya terutama menjadi teori konotasi yang justru dimiliki

masyarakat budaya tertentu (bukan secara individual). Barthes mengkritik

masyarakatnya dengan mengatakan bahwa semua yang dianggap sudah wajar di

dalam suatu kebudayaan sebenarnya adalah hasil dari proses konotasi. Bila

konotasi menjadi tetap, itu akan menjadi mitos, sedangkan kalau mitos menjadi

mantap, akan menjadi sebuah ideologi.

Tekanan teori Barthes ada pada konotasi dan mitos. Ia mengatakan

bahwa sebuah kebudayaan selalu terjadi “penyalahgunaan ideologi” yang

mendominasi pikiran anggota masyarakat. Melalui kumpulan esainya yang

berjudul Mythologies (1957) ia ingin membebaskan masyarakatnya dari

“penyalahgunaan ideologi” itu dan memahami mengapa berbagai pemaknaan

yang seolah-olah sudah diterima di masyarakat itu bisa terjadi (Hoed, 2011: 18).

Apapun di dalam masyarakat ini, pengetahuan, pendidikan, jasa,

informasi, olahraga, tubuh, seks bahkan kematian menjadi komoditi, dan setiap

komoditi ini dimuati dengan tanda-tanda dan makna-makna sosial. Di dalam

masyarakat seperti ini, menurut Baudrillard, justru permainan tanda-tanda

(status, prestise, simbol) yang didambakan dan dibeli, ketimbang nilai guna atau

utilitas seperti yang diinginkan Marx (Piliang, 2003: 163). Sama halnya dalam

ritual duata banyak menggunakan gerakan-gerakan, benda-benda perlengkapan

ritual sebagai media ungkap merupakan ‘penanda’, terdapat lambang/simbol dan

memiliki makna dan ‘petanda’ makna yang dihasilkan oleh pertunjukan ritual

duata. Sistem tanda tersebut tentu saja memiliki berbagai makna dan makna

tersebut tentu saja dapat dianalisa sehingga mendapatkan gambaran terkait

peristiwa budaya masyarakat pendukung dan pemilik kebudayaan tersebut.

Sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan ritual duata merupakan salah

satu wujud kebudayaan yang ada dalam masyarakat etnik Bajo yang sarat

dengan simbol-simbol. Ritual duata harus diinterpretasikan dan diterjemahkan

agar generasi muda sebagai pewaris dan penerus nilai-nilai budaya dapat

menjadikannya sebagai pedoman dalam hidupnya di masyarakat (Hoed. 2011:

5). Dalam kajian semiotika data yang dijadikan objek analisis pada umumnya

teks. Teks dalam teori kebudayaan tidak hanya terbatas pada tulisan tetapi

termasuk pula pola perilaku dan tindakan yang mengungkapkan pesan-pesan

budaya yang secara umum menjadi teks kognitif dan teks sosial, baik verbal

maupun non verbal (Hoed, 2008: 41).

Dari teori semiotika di tersebut, sejalan dengan konsep formula Lord dan

Finnegan (Magara, 2012: 27) dalam situasi tertentu penutur yang pewarisannya

mencoba mengingat frasa-frasa yang didengarnya dari pencerita lain dan yang

sebelumnya berkali-kali dipergunakan oleh penutur ritual duata. Penutur

menggunakan ingatan tanpa sadar ungkapan-ungkapan dalam ucapan biasa,

bukan hafalan jadi penutur ritual duata menggunakan sekelompok kata-kata

yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi-kondisi mantra (jajampi) yang

sama untuk mengungkapkan satu ide yang hakiki. Hal ini berarti bahwa penutur

ritual duata mampu mengingat formula, dan menggunakanya sesuai dengan

keinginan pada waktu proses penciptaan atau menampilkan kembali tuturan.

Ritual duata merupakan salah satu wujud tradisi yang ada pada

masyarakat Bajo yang sekaligus juga syarat akan simbol-simbol yang harus di

interpretasikan maknanya. Menurut kepercayaan di dalamnya terkandung

berbagai makna dari simbol-simbol ritual duata tersebut. Sehingga dari

interpretasi itulah, generasi muda/remaja sebagai pewaris budaya dan penerus

nilai-nilai luhur yang ada dalam kebudayaan dapat memahami sekaligus

memetik nilai yang terkandung di dalamnya sebagai pedoman dan tuntutan

dalam hidupnya dikalangan keluarga dan masyarakat dengan mengacu dari teori

semiotika tersebut.

Dalam konteks penelitian mengenai komodifikasi ritual duata pada

etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, peneliti akan

mengungkap makna-makna konotatif yang ada pada praktik ritual duata yang

mengalami pergeseran kearah komodifikasi. Seperti yang kita ketahui bahwa

ritual duata merupakan sebuah ritual pengobatan pada etnik Bajo yang sarat

akan nilai, simbol, tanda dan ikon yang berkaitan dengan siklus kehidupan

dalam upaya mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan yang telah dilakukan

secara turun temurun. Ritual duata memiliki dampak makna dalam menyikapi

realita kehidupan yang membutuhkan banyak pengkajian lebih mendalam,

sehingga makna tersebut bisa diungkap terlebih dalam praktik ritual duata yang

mengalami pergeseran kearah komodifikasi ritual yang berorientasi nilai jual.

Teori semiotika dalam penelitian ini dipergunakan untuk mengungkap

rumusan masalah ketiga dan keempat mengenai dampak dan makna

komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata melalui tanda-tanda

yang ada di dalam ritual duata.

2.3.3 Teori Wacana Kekuasaan atau Pengetahuan

Dalam arti luas wacana berarti segala sesuatu yang ditulis atau diucapkan

atau yang dikomunikasikan dengan menggunakan tanda-tanda. Wacana adalah

pernyataan-pernyataan. Wacana menurut Foucoult merupakan bentuk penuturan

yang sarat dengan kepentingan penutur, yaitu berupa akumulasi ideologi yang

tidak terlepaskan oleh dukungan tradisi, kekuasaan, dan lembaga-lembaga

dengan berbagai modus penyebaran dalam bentuk pengetahuan. Foucoult

menginginkan bahwa ketika sebuah diskursus dilahirkan, maka diskursus itu

sesungguhnya telah dikontrol, diseleksi, diorganisasi , dan didistribusikan

kembali menurut kemauan pembuatnya. Wacana itu jiga dikonstruksi

berdasarkan aturan-aturan (episteme) tertentu. Oleh karena itu, Foucoult

menyatakan dengan tegas bahwa “kebenaran memiliki mata rantai dengan

kekuasaan” (Lubis, 2004: 150).

Foucault (Hoed, 2011: 284) berpendapat bahwa melalui wacana,

seseorang, sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa

(baca: power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, seperti yang dikatakan oleh

Foucault, tidak selalu diperoleh melalui fisik (badaniah, atau senjata) tetapi juga

melalui pengetahuan yang dimiliki. Foucault menempatkan kuasa diperoleh

dengan menguasai pengetahuan. Para penguasa (baik dalam masyarakat primitif,

tradisional, pengetahuan lebih dari pada mereka yang dikuasai (Hoed,

2011:284).

Teori diskursus kekuasaan atau pengetahuan dalam penelitian ini

digunakan untuk menjelaskan praktik-praktik kekuasaan yang berelasi dengan

pengetahuan. Pengetahuan dapat saja berupa teks-teks tulisan yang termuat

dalam lembaran-lembaran, iklan, potret, media elektronik, buku sekolah dan

sebagainya. Dalam implikasinya, pengetahuan ini digunakan untuk menguasai

secara aplikatif, misalnya informasi iklan.

Fenomena sosial budaya selalu terkait dengan praktik-praktik wacana,

karena menyangkut berbagai gagasan, pengetahuan, pernyataan, dan kata-kata,

tulisan dan teks-teks, aturan-aturan, dan praktik-praktik sosial, serta kekuasaan/

kepentingan yang menyertai atau tersembunyi. Diskursus yang non-language

“stuff” dalam pandangan James Paul Gee, dalam Hamad (2004:34) menyangkut

“cara beraksi, interaksi, perasaan, kepercayaan, penilaian, untuk mengenali atau

mengakui diri sendiri dan orang lain yang bermaka dan penuh arti dengan cara-

cara tertentu”. Dalam diskursus sesungguhnya juga tersembunyi subjektivitas

atau pihak-pihak di balik diskursus. Ideologi apa yang bermain di dalam

masyarakat dan kepentingan-kepentingan apa yang bersembunyi di baliknya.

Foucault menyatakan, relasi kekuasaan dan pengetahuan terdistribusi

dalam relasi-relasi sosial dan tidak dapat direduksi ke dalam bentuk-bentuk

terpusat. Disini diskursus membangun, mendefinisikan, dan memproduksi

objek pengetahuan yang dapat dimengerti,kemudian disisi yang lain

mengesampingkan cara penalaran lain karena tidak masuk akal. Dalam kaitan

ini alam subjektivitas yang terbentuk darinya merupakan relasi kekuasaan yang

ada dibalik pengetahuan dalam pratik sosial ditengah masyarakat saling

berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Dukun yang melakukan ritual menciptakan kekuasaan terhadap diri

sendiri dan terhadap kelompok masyarakat dengan menciptakan simbol yang

berupa bahan-bahan sesajian, bahasa mantra (jajampi), bentuk ritual dan sistem

ritual. Berdasarkan hal tersebut menggambarkan sebuah siklus adanya relasi

kekuasaan terhadap pengetahuan tentang ritual duata.

Selain itu dasar penggunaan teori diskursus kekuasaan atau

pengetahuan dalam penelitian ini dapat dijelaskan pula bahwa pengetahuan yang

dimiliki oleh dukun selaku yang melaksanakan ritual duata, tentang cara-cara

dan aturan-aturan serta bahasa mantera yang diucapkan dalam prosesi acara

ritual dapat melahirkan sebuah kekuasaan.

Dalam ritual itu juga ada aturan-aturan mengenai cara-cara dalam ritual,

waktu pelaksanaan ritual dan tempat pelaksanaan ritual yang kesemuanya ini

akan melahirkan sebuah kekuasaan karena tempat, waktu dan cara-cara

pelaksanaan prosesi ritual tersebut sudah ditentukan dan tidak boleh dirubah

oleh siapapun. Bentuk kekuasaan seperti inilah yang dimaksud dalam ritual

duata.

Teori Foucault lebih tepat untuk mengungkap pertanyaan kedua dan

keempat yaitu untuk mengungkap faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

komodifikasi ritual duata dan strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian adalah penyederhanaan pola pikir dalam menelaah

masalah-masalah yang terdapat dalam penelitian sekaligus menjadi fokus

penelitian. Model penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut.

[;

Keterangan Garis :

: Hubungan Langsung (dwiarah)

: Hubungan Searah (searah)

Penjelasan Model Penelitian

Di era globalisasi saat ini sudah mengarah kepada terjadinya pengerutan

dunia dan peningkatan kesadaran akan dunia, yang berarti pula meningkatnya

koneksi global dalam pemahaman dunia itu sendiri. Kebudayaan etnik Bajo

bersifat dinamis bukan statis yang menerima pengaruh globalisasi sebagai

sesuatu yang positif meskipun disisi lain dapat mengancam tradisi lokal yang

hidup di dalam masyarakat etnik Bajo.

Salah satu tradisi etnik Bajo yang mengalami perubahan akibat

persemaian budaya global yaitu adanya praktik komodifikasi ritual duata yang

Budaya Global

Budaya Lokal

Etnik Bajo

Ritual duata

(Mitos)

Media massa

Ekonomi

pariwisata

Komodifikasi

Ritual Duata

Sikap terbuka

Kreativitas

Proses

Komodifikasi

Faktor

penyebab

Dampak

dan Makna

Strategi

Pewarisan

menjadikan ritual duata berorientasi nilai jual (komoditas). Media massa,

ekonomi dan pariwisata memberikan pengaruh terhadap perkembangan dan

pertumbuhan ritual duata. Akibatanya kedua kebudayaan ini saling mengisi dan

mempengaruhi sehingga ritual duata yang memiliki nilai kesakralan tinggi ikut

mengalami transformasi kearah komodifikasi yang melahirkan suatu produk

budaya yang berorientasi nilai jual (komoditas) mengikuti selera pasar.

Berdasarkan hal tersebut, maka penggalian tentang proses komodifikasi

ritual duata menjadi sesuatu yang penting untuk menemukan proses

komodifikasi ritual duata, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak

dan makna komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi,

Provinsi Sulawesi Tenggara, serta bagaimana strategi pewarisannya.

Dengan metodologis yang telah ditentukan, data dianalisis dengan

menggunakan beberapa teori secara eklektik (terpadu), yaitu teori komodifikasi,

teori semiotika, dan teori wacana pengetahuan atau kekuasaan. Dengan

demikian, dalam analisis tahap akhir diharapkan dapat menemukan suatu hal

yang baru tentang komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian ajian budaya yang secara khusus

meneliti tentang tradisi lisan yang berkaitan dengan komodifikasi ritual duata

pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi dengan menggunakan metode kualitatif

dan teknik analisis deskriptif-kualitatif yang berusaha memahami dan

menafsirkan makna suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut prespektif

peneliti. Bogdan dan Taylor (Ratna, 2010: 94) menyebutkan bahwa penelitian

kulaitatif pada gilirannya menghasilkan data deskriptif dalam bentuk kata-kata,

baik tertulis maupun lisan.

Ciri-ciri terpenting dalam metode kualitatif adalah terletak pada makna

pesan, pada proses, tidak ada jarak antara subyek dan penelitian, bersifat terbuka

dan ilmiah (Ratna, 2009:48). Sedangkan pendekatan historis obyek penelitian

sangat berguna untuk menelusuri apakah terjadi perubahan sosial dan budaya

sesuai konteks zaman dan lingkungannya.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti sendiri yang menjadi informan

kunci baik dalam pengumpulan data maupun analisis data. Selanjutnya ada

beberapa metode pengumpulan data yang dilakukan yaitu melalui pengamatan,

wawancara mendalam, dan studi dokumen. Pengumpulan data dan analisis data

dilakukan secara simultan dengan mendalami bentuk, faktor-faktor, serta

interpretasi makna melalui teori komodifikasi, teori semiotika dan teori wacana

pengetahuan atau kekuasaan.

3.2 Lokasi Penelitian

Tahapan penenentuan lokasi penelitian dilakukan dengan penjajakan

awal tentang pemanfaatan dan pewarisan tradisi mengenai ritual duata pada

etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi. Pada tahap ini dikumpulkan informasi awal

tentang kondisi yang menjadi lokasi penelitian serta orang-orang yang

mengetahui tentang ritual duata.

Berdasarkan rancangan dan pemetaan wilayah yang telah ditetapkan,

maka dihasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini dilakukan pada etnik Bajo di

desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Pemilihan

lokasi dengan didasari atas beberapa pertimbangan antara lain (1) Desa Mola

Selatan merupakan desa tempat keberadaan masyarakat etnik Bajo terbesar di

Kabupaten Wakatobi (2) ikatan kekerabatan etnik Bajo masih sangat kental (3)

praktik ritual duata masih dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo yang menjadi

topik penelitian.

3.3 Jenis dan Sumber Data

Jenis data dalam penelitian ini adalah jenis data kualitatif dan data

kuantitaf. Data kualitatif adalah data yang berupa kata-kata dan tindakan

sedangkan data kuantitatif adalah data penunjang yang berupa angka-angka

misalnya, dalam menyatakan jumlah penduduk, jumlah orang yang terlibat

dalam proses komodifikasi ritual duata dan sebagainya.

Berdasarkan sumbernya data dalam sebuah penelitian dibagi menjadi dua

kategori yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. Data primer adalah

data berupa mantra (jajampi) yang bersumber dari hasil wawancara dan

observasi dengan informan yang mengetahui ritual duata pada etnik Bajo.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil membaca sumber-

sumber tertulis, khususnya dari dokumen dan kajian-kajian pustaka yang

berkaitan dengan penelitian ini baik berupa buku, makalah, jurnal, laporan

penelitian yang dilakukan oleh akademisi lembaga pemerintah mauapun

lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan naskah yang berkaitan dengan ritual

khususnya ritual duata yang menunjang data primer.

3.4 Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dalam penelitian ini dilakukan sesuai dengan

kebutuhan penelitian. Informan adalah orang yang memberikan informasi

tentang data yang diperlukan. Guna menunjang data maksimal dalam metode

kualitatif ini penentuan informan dilakukan secara purposif (informan sudah

diketahui) yakni cara-cara penentuan subjek atau informan berdasarkan kriteria

dan tujuan tertentu. Sesuai dengan teknik purposif peneliti memilih subjek

sebagai unit analisis, dipilih informan yang punya pengetahuan dan pengalaman

dalam ritual duata.

Selanjutnya dalam teknik penentuan informan ini penulis

mengelompokkan menjadi dua yaitu informan kunci dan informan biasa.

Perbedaan informan kunci dan informan biasa adalah jika informan kunci

merupakan orang yang memberi data serta informasi secara mendetail,

komprehensip dan mempunyai pengetahuan serta pemahaman tentang masalah

yang diteliti sedangkan informan biasa adalah keluarga yang mengalami atau

orang yang dapat memberi informasi tambahan mengenai objek yang diteliti.

Sehubungan dengan penelitian ini, peneliti telah menentukan sejumlah

informan yaitu pemilik ritual (dukun), tokoh adat/masyarakat setempat, kepala

desa, pihak-pihak yang terkait dalam pariwisata (Dinas Pariwisata Kabupaten

Wakatobi). Sedangkan informan biasa dipilih orang-orang yang terlibat langsung

dalam pelaksanaan ritual duata dan melihat praktik ritual duata yang diharapkan

mampu memberikan informasi yang seluas-luasnya dan selengkap-lengkapnya

sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Oleh karena itu sumber primer berasal

dari orang yang pertama yang terlibat langsung pada pelaksanaan ritual duata.

3.5 Instrumen Penelitian

Agar penelitian lebih terarah dan tidak kehilangan data dari hasil

pengamatan dan wawancara, penggunaan instrumen penelitian berupa pedoman

wawancara yang disusun sedemikian rupa untuk mendapatkan data yang

diinginkan. Instrumen penelitian adalah alat yang wajib digunakan untuk

mengumpulkan data-data setiap penelitian ilmiah. Penggunaan instrumen

penelitian yang tepat dan berhubungan dengan objek penelitian yang dikaji

menghasilkan data yang maksimal.

Instrumen dalam penelitian kualitatif adalah terdiri dari peneliti sendiri.

Sebagai alat penunjang yang digunakan peneliti untuk mempermudah proses

dalam pengambilan dan pengumpulan data di lapangan berupa pedoman

wawancara dan kartu-kartu data. Kartu-kartu data digunakan untuk pencatatan,

kategorisasi, dan klasifikasi data, sedangkan pedoman wawancara digunakan

sebagai panduan peneliti dalam melakukan wawancara. Dalam hal ini pedoman

wawancara sebagai alat yang dipergunakan untuk berkomunikasi dengan

informan yang berbentuk sejumlah pertanyaan yang dijawab secara lisan oleh

informan yang berkaitan dengan topik pembahasan yang dikaitkan dengan

proses, faktor penyebab komodifikasi ritual duata, dampak dan makna

komodifikasi ritual duata serta strategi pewarisannya. Selain itu peneliti

dilengkapi pula dengan tape recorder untuk merekam pendapat dan pembicaraan

dengan para informan, kamera untuk mengambil gambar pada saat kegiatan

ritual dan saat wawancara dengan informan, handycam untuk mengambil

gambar hidup berupa sotingan kegiatan ritual.

Muhajir (1994: 143) menegaskan, bahwa manusia merupakan instrumen

penelitian karena lebih mampu menyesuaikan diri pada situasi dan keadaan

tertentu yang kemudian dapat membangun pengetahuan diri yang tak terkatakan,

disamping yang terkatakan. Disamping itu pengamatan secara langsung

diperlukan untuk memperkuat data-data hasil wawancara agar peneliti dapat

meminimalisir kesalahan-kesalahan dalam penelitian dimana penelitian ini

menggunakan alat perekam dalam bentuk foto maupun vidio.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis

dalam penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.

Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan

mendapatkan data yang memenuhi standar yang ditetapkan. Menurut Sugiyono

(2009: 225) teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu,

observasi, wawancara mendalam, dan studi dokumen.

3.6.1 Teknik Observasi

Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan

panca indra mata sebagai alat bantu utamanya selain panca indra lainnya seperti

telinga, penciuman, mulut dan kulit. Dengan demikian, sesungguhnya metode

observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun

data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan (Bungin, 2010: 115).

Observasi dilakukan dengan menggunakan teknik observasi partisipan

atau pengamatan terlibat. Namun keterlibatan peneliti hanya sebatas pada

kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan fokus kajian atau pokok masalah

penelitian (Garna, 1999: 63). Sehubungan dengan hal tersebut maka peneliti

tinggal di lokasi penelitian yakni di desa Mola Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara, sehingga membaur dengan

masyarakat setempat. Hal ini bertujuan untuk dapat melakukan perekaman

secara mendalam terhadap beberapa fenomena kehidupan berkaitan dengan

masalah ritual duata. Dalam melakukan observasi, peneliti dibekali dengan alat

pencatatan secara manual dan elektronik untuk merekam data secara akurat

sebagai pola prilaku dan lingkungan fisiknya. Dengan demikian aspek yang

diamati tidak hanya bentuk/prosesnya, tetapi makna, atau dampak ritual duata

termasuk strategi pewarisannya.

3.6.2 Teknik Wawancara

Wawancara adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan

langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun

individu dengan kelompok. Instrumen pokok yang dipakai dalam penelitian ini

adalah pedoman wawancara (interview guide). Pedoman wawancara merupakan

instrumen pokok penelitian yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang telah

dibuat sesuai dengan maksud memperoleh data yang akurat dan mendalam.

Teknik wawancara dilakukan secara mendalam (interview) dan

menggunakan pola-pola yang tidak kaku dan baku seperti dalam penelitian ilmu

alam tetapi dengan pola wawancara terbuka. Melalui proses tatap muka, tanya

jawab antara peneliti dan informan penelitian dengan tujuan untuk mendapatkan

data secara lisan, baik berupa keterangan, pandangan, dan pendirian informan

yang diteliti. Wawancara sangat berguna untuk melengkapi data yang diperoleh

dari pengamatan di lapangan yang berkaitan dengan ritual duata dan hal-hal lain

yang berkaitan dengan fokus penelitian. Pedoman wawancara (interview guide)

substansi pertanyaan telah disusun sedemikian rupa dan secara terbuka artinya

mudah dipahami oleh informan dan dengan mudah peneliti dapat menjaring

data, informasi, keterangan melalui pengetahuan, pendapat, dan gagasan

informan mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan objek pebelitian.

Untuk menghindari distorsi data, maka dilakukan pencatatan secara

manual dan perekaman baik menggunakan alat perekam berupa tape recorder,

kamera, pengumpulan data melalui wawancara mendalam dapat diakhiri apabila

informasi yang diperoleh sudah dianggap mencukupi atau sudah mendapatkan

data yang memadai.

3.6.3 Studi Dokumen

Dalam rangka pengumpulan data untuk memperkaya dan memperluas

wawasan dan pengetahuan peneliti tentang objek atau masalah yang dikaji, maka

peneliti menelusuri, mencatat, dan mempelajari kepustakaan-kepustakaan yang

relevan dengan objek kajian yang sudah dipublikasikan. Materi-materi

kepustakaan yang dimaksud oleh peneliti adalah buku-buku, koran, majalah, dan

kebijakan pemerintah untuk pengembangan dan pelestarian budaya daerah,

laporan-laporan instansi pemerintah dan swasta, seperti Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM), dan buku-buku bacaan lain yang relevan dengan

permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini.

Dokumen yang diperlukan dalam penelitian ini adalah dokumen tentang

ritual duata. Apabila data sudah didapatkan dilanjutkan dengan menganalisis

dokumen tersebut. Keseluruhan data sekunder dianalisis seperti dokumen dan

laporan terkait dengan dokumen ritual duata. Dokumen-dokumen yang

dibutuhkan adalah dokumen dalam arti luas, seperti foto, klipping media massa,

dan arsip, warga serta pemerintah daerah yang berkaitan dengan praktik ritual

duata di desa Mola Selatan Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

3.7 Teknik Analisis Data

Proses analisis data dalam penelitian kulaitatif ini dilakukan secara terus

menerus sepanjang proses penelitian berlangsung dimana proses dimulai dengan

menelaah seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, baik wawancara,

pengamatan langsung yang sudah ditulis dalam catatan lapangan, foto, gambar,

rekaman, dokumen resmi, dan sebagainya.

Pengolahan data menggunakan analisis deskriptif dan interpreatif.

Dimana data penelitian yang sudah terkumpul terlebih dahulu dilakukan seleksi

data baik dari hasil observasi, wawancara, studi dokumen maupun studi literatur.

Kemudian dari data tersebut diadakan klasifikasi, kategorisasi dan interpretasi

dengan mencari hubungan antar data guna mengungkapkan unsur-unsur yang

saling terkait sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi.

Dalam penelitian ini juga dilakukan interpretasi terhadap data-data

yang diperoleh dari informan mengenai bentuk komodifikasi ritual duata, faktor

yang mempengaruhi komodifikasi ritual duata, dampak dan makna komodifikasi

ritual duata serta strategi pewarisan ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara sehingga menghasilkan pemaknaan data

untuk menghasilkan suatu kajian serta simpulan yaang sejalan dengan tujuan

penelitian.

3.8 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data dalam penelitian ini bersifat informal dan

formal. Penyajian hasil analsisis data informal yakni menyajikan analisis data

berupa uraian kata-kata dengan memaparkan keadaan subyek yang diselidiki

sebagaimana adanya, berdasarkan fakta-fakta yang aktual pada saat penelitian

dilakukan. Penyajian hasil analisis data formal adalah disajikan dalam bentuk

tabel, bagan, atau gambar tentang ritual duata dalam upacara adat masyarakat

etnik Bajo dengan cara mendiskusikan, dan memberikan penafsiran serta

interprestasi. Dalam hal ini interprestasi adalah memberikan arti yang lebih luas

dari penemuan penelitian. Akhir dari penyajian analisis data adalah pengambilan

simpulan.

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Keadaan geografis

Secara geografis, Kabupaten Wakatobi terletak di bagian selatan garis

khatulistiwa, memanjang dari utara ke selatan di antara 5.000 – 6.250 Lintang

Selatan ( sepanjang ± 160 km ) dan membentang dari Barat ke Timur di antara

123.340 - 124.640 Bujur Timur (sepanjang ± 120 km). Di sebelah utara

berbatasan dengan laut Banda, di sebelah selatan dengan laut Flores, di sebelah

timur berbatasan dengan laut Banda dan sebelah barat berbatasan dengan laut

Flores. Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah daratan ± 823 km² atau

hanya sekitar 4,5 % dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan.

Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ±19.200 km².

Sebelum lebih jauh membahas etnik Bajo di Wakatobi, peneliti lebih

awal menjelaskan bahwa Wakatobi adalah singkatan dari; Wa dari kata Wangi-

Wangi, Ka dari kata Kaledupa, To dari kata Tomia dan Bi dari kata Binongko.

Keempat lokasi ini saling berseberangan karena dipisahkan oleh laut, bentuknya

adalah pulau-pulau kecil dan masing-masing menjadi kecamatan yang terikat

oleh Kabupaten Wakatobi. Keempat pulau itu telah dihuni oleh sebahagian kecil

komunitas etnik Bajo. Namun penelitian ini terkonsentrasi di desa Mola Selatan

Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, dengan alasan di lokasi ini lebih banyak

berdomisili komunitas etnik Bajo.

4.1.1 Letak, Luas dan Batas Desa Mola Selatan

Desa Mola Selatan merupakan salah satu dari 21 desa/kelurahan yang

ada di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Jarak Desa ini dari ibukota Kecamatan

adalah sekitar 1,20 km2. Luas wilayahnya yakni 400 Ha atau 1,80 % dari luas

Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Adapun batas wilayahnya yakni sebelah utara

berbatasan dengan desa Mola Utara, sebelah timur berbatasan dengan desa

Numana, sebelah selatan berbatasan dengan desa Mola Nelayan Bakti, dan

sebelah barat berbatasan dengan laut.

Lokasi desa ini terletak di wilayah pantai dan bentuk desanya agak

memanjang mengikuti garis pantai. Topografi wilayahnya merupakan dataran

rendah dengan ketinggian hanya 1 sampai 2 meter dari atas permukaan air laut.

Sebagian besar lahannya terbentuk dari timbunan batu karang yang awal

mulanya merupakan teluk laut dangkal. Karena kebutuhan akan pemukiman,

penduduk kemudian sedikit demi sedikit menimbun lahan laut dengan batu

karang dan pasir yang pada akhirnya menjadi lahan yang dapat digunakan untuk

pemukiman.

4.1.2 Iklim

Kabupaten Wakatobi juga mengenal adanya musim angin barat

berlangsung dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret yang ditandai

dengan sering terjadi hujan, sementara itu musim angin timur berlangsung bulan

Juni sampai dengan September yang ditandai dengan kondisi laut yang teduh,

gelombang tenang dan jarang terjadi hujan. Peralihan musim yang biasa disebut

musim pancaroba bulan Oktober sampai November dan bulan April sampai Mei.

Kondisi gelombang laut tidak menentu, sangat tergantung dengan cuaca. Data

sepuluh tahun terakhir menyebutkan jumlah curah hujan di kepulauan Wakatobi

tidak begitu tinggi. Jumlah curah hujan terendah terjadi pada bulan September

(2,5 mm) dan curah hujan tertinggi pada bulan Januari yang dapat mencapai

229,5 mm.

4.2 Kondisi Demografi

Dilihat dari aspek kependudukan etnik Bajo di desa Mola Selatan

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan masyarakat yang

hidupnya berkelompok dan merupakan masyarakat yang bermigrasi dari etnik

Bajo Kaledupa (Mantigola) dan Nusa Tenggara Timur. Desa Mola Selatan

terdiri dari empat dusun yakni dusun Mekar Satu, dusun Mekar Dua, dusun

Bahari dan dusun Nelayan Bakti yang sebagian wilayahnya mendiami pesisir

pantai di Kabupaten Wakatobi.

4.2.1 Jumlah Penduduk

Penduduk desa Mola Selatan pada akhir tahun 2012 berjumlah 1.280

jiwa, sedangkan pada akhir penelitian ini (Februari, 2014), berdasarkan data dari

kantor desa Mola Selatan, penduduknya telah mencapai jumlah 1.461 jiwa.

Sebagian besar mata pencaharian penduduk etnik Bajo yaitu sebagai nelayan.

Struktur umur penduduk disuatu wilayah sangat ditentukan oleh tingkat

kelahiran, kematian, dan migrasi. Oleh karena itu, jika angka kelahiran disuatu

daerah sangat tinggi maka dapat mengakibatkan daerah tersebut tergolong

sebagai daerah yang berpenduduk usia muda. Keadaan struktur penduduk di

desa Mola Selatan berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat dalam tebel

4.1 berikut ini.

Tabel 4.1

Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Umur dan Jenis Kelamin.

Kelompok Umur

(tahun)

Laki-Laki

(L)

Perempuan

(P)

Jumlah

(L+P)

0 – 4 91 85 175

5 – 9 91 74 163

10 – 14 67 67 134

15 – 19 78 74 150

20 – 24 75 100 175

24 – 29 78 77 153

30 – 34 57 60 117

35 – 39 55 58 113

40 – 44 42 37 79

45 – 49 33 34 67

50 – 54 29 29 58

55 -59 14 10 24

60 – 64 12 9 21

65 – 69 9 4 13

70 – 74 6 6 12

Jumlah Total 737 724 1.461

Sumber : Kantor Desa Mola Selatan 2014

Tabel 4.1 menunjukkan bahwa pada tahun 2014 hampir seperdua jumlah

penduduk desa Mola Selatan, yakni 48,06 persen dari jumlah penduduk desa

Mola Selatan secara keseluruhan atau sebanyak 622 jiwa adalah penduduk usia

muda yang berumur di bawah 20 tahun. Tabel di atas, juga menunjukkan bahwa

desa Mola Selatan tidak tergolong desa yang berpenduduk usia muda.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa penduduk desa Mola Selatan

berjumlah 1.461 jiwa. Apabila ditinjau dari besarnya jumlah penduduk desa

Mola Selatan berdasarkan jenis kelamin, maka ternyata bahwa jumlah

perempuan lebih sedikit dari jumlah laki-laki. Perempuan berjumlah 724 jiwa,

sedangkan laki-laki berjumlah 737 jiwa.

Desa Mola Selatan yang memiliki penduduk usia muda berpotensi besar

dalam mensosialisasikan (pewarisan dan pengembangan) warisan budaya Bajo

terutama ritual duata sebagai tradisi lisan yang sangat penting sehingga bisa

bertahan dalam keterancamannya akibat arus modernisasi yang semakin terus

berkembang dan bisa memanfaatkannya dalam industri budaya kreatif yang bisa

memberikan efek positif bagi kebertahanan ritual duata serta peningkatan

ekonomi masyarakat pendukungnya.

4.2.2 Keadaan Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan

Pada hakikatnya pengertian pendidikan sebenarnya tidak terbatas pada

pengertian proses belajar mengajar, tetapi pendidikan mempunyai makna yang

lebih luas, tugas manusia mengatur manusia baik secara individu maupun

kelompok. Terkait dengan hal ini pendidikan etnik Bajo di desa Mola Selatan

Kabupaten Wakatobi relatif maju. Ditandai dengan sikap masyarakatnya yang

relatif terbuka dengan keadaan disekitar dan kedatangan orang sehingga bisa

mengikuti perkembangan bahkan bisa menyesuaikan dengan situasi yang bisa

menguntungkan dirinya. Utamanya dari segi usaha menyekolahkan anak-anak

dapat memperoleh informasi lebih banyak kepada orang yang sudah sarjana,

memberi masukan agar dipertimbangkan di sekolah dan jurusan mana baik

menyekolahkan anak. Para orang tua memberi prioritas utama kepada anak-

anaknya untuk bersekolah.

Namun ada sebahagian kecil masyarakatnya yang belum juga memahami

pentingnya pendidikan, dan biasanya masyarakat etnik Bajo ini hidupnya

berpindah-pindah. Tepografi wilayah pesisir pantai menjadi salah satu faktor

penyebab rendahnya tingkat pendidikan penduduk. Selain itu pula faktor budaya

etnik Bajo menjadi penyebab utama. Kebiasaan hidup mengembara di laut yang

sejak awal mereka tidak pernah mengenyam pendidikan di sekolah. Begitulah

dalam kehidupan etnik Bajo nilai anak dalam keluarga khususnya anak laki-laki

sangat penting. Sejak usia dini anak laki-laki disosialisasikan dengan aktivitas

yang berkaitan dengan kehidupan laut termasuk dalam cara menangkap ikan di

laut yang sering kali diikut sertakannya.

Desa Mola Selatan memiliki beberapa unit sekolah dasar (SD) inpres

yang terdiri dari enam kelas. Untuk melanjutkan kejenjang pendidikan sekolah

menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) anak-anak etnik

Bajo harus bersekolah di darat yakni di ibukota Kabupaten Wakatobi yang

berjarak ± 15 km dari desa Mola Selatan yang ditempuh dengan berjalan kaki

atau kenderaan bermotor. Jauhnya jarak sekolah kelokasi SMP mengakibatkan

banyak anak-anak tamatan SD tidak melanjutkan pendidikannya ketingkat SMP

sementara yang lanjut merupakan anak-anak dari keluarga yang berekonomi

menengah. Faktor jarak sekolah merupakan faktor utama yang menyebabkan

sebahagian masyarakatnya tidak mengenyam pendidikan di sekolah.

Meskipun tingkat pendidikan masyarakatnya berbeda-beda namun ikatan

solidaritasnya tetap terjaga, yang terpenting bagi mereka bisa saling menghargai

dan menghormati sehingga tercipta kehidupan yang rukun, damai dan tentram.

Dalam kaitannya dengan keberadaan praktik ritual duata di desa Mola Selatan

meskipun sebahagian telah memiliki pemahaman serta pemikiran yang rasional

namun tetap menghargai praktik ritual duata, bagi masyarakatnya ritual duata

merupakan budaya (tradisi leluhur) yang mesti dijaga kelestariannya dan

merupakan bukti nyata bahwa masyarakat Bajo sebagai masyarakat yang

berbudaya. Efek positifnya yang perlu diterima dan yang dianggap berbenturan

dengan pemahaman masyarakatnya tidak begitu dipermasalahkan sehingga

terjadi keharmonisan dalam menjaga solidaritas dalam masyarakatnya.

4.2.3 Keadaan Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Secara umum sumber mata pencaharian utama masyarakat di desa Mola

Selatan berprofesi sebagai nelayan. Selain mempunyai keahlian kelautan, ada

sebahagian beberapa profesi lainnya yang ditekuni oleh masyarakat Bajo seperti

berdagang dan tukang (pembuat perahu/kapal kayu dan bangunan rumah) yang

dianggap sebagai pekerjaan sambilan untuk memperoleh penghasilan tambahan

dan sebagian kecil bermata pencaharian sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

Komposisi mata pencaharian menduduk di desa Mola Selatan dapat dilihat

dalam tabel 4.2.

Tabel 4.2

Komposisi Penduduk Mola Selatan Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

(Jiwa)

1 Nelayan 1226

2 Pegawai Negeri Sipil 65

3 Berdagang 32

4 Tukang 14

Jumlah 1337

Sumber: Kantor Desa Mola Selatan 2014

A. Nelayan

Keterampilan penduduk di desa Mola Selatan adalah menangkap ikan

(nelayan) dan mengumpulkan hasil laut lainnya. Tabel 4.2 di atas, secara jelas

menunjukkan bahwa hampir seperdua atau berjumlah 1226 jiwa dari jumlah

keseluruhan penduduk di desa Mola Selatan (1337 jiwa) adalah bermata

pencaharian sebagai nelayan.

Cara penangkapan ikan dilakukan dengan pancing dan memburunya di

dalam air dengan menggunakan panah ikan dan tombak yang dibuat sendiri. Hal

ini dilakukan karena dianggap penangkapan dengan cara ini tidak merusak

ekosistem laut yang pada akhirnya isi kandungan laut tetap terjaga

kelestariannya. Jika dilihat dari peralatan tangkapnya, nelayan etnik Bajo sudah

termasuk dalam kategori nelayan modern karena telah menggunakan alat-alat

penagkapan ikan yang begitu moderen seperti perahu yang menggunakan mesin.

Berkaitan dengan pekerjaan melaut, sebelum pergi menangkap ikan,

terlebih dahulu melakukan upacara/ritual untuk menghindari musibah selama

diperjalanan serta meminta restu terhadap penguasa laut (mbo ma dilao) agar

mendapatkan hasil tangkapan yang banyak. Ritual dilakukan melalui pemberian

sesajian ke laut dengan materi sesajian berupa satu buah telur ayam, ketan putih,

ketan hitam, empat lembar daun sirih bertemu urat, arang kayu yang ada apinya

untuk membakar kemenyan.

Mereka meyakini ketika dilakukan ritual melaut akan mendapatkan

berkah perlindungan, keselamatan dan rezeki yang melimpah sehingga hasil dari

tangkapan ikan tersebut bisa memenuhi kebutuhan keluarga serta pendidikan

anak-anaknya. Masyarakat Bajo sangat menghargai ekosistem laut, bagi mereka

sangat takut dengan pantangan (pemali) untuk melakukan usaha penangkapan

ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pemboman atau pembiusan. Jika hal

tersebut dilanggar maka akan ada musibah yang kelak mereka terima disamping

itu penguasa laut (mbo ma dilao) akan membuatnya sakit sehingga aktivitasnya

terganggu. Untuk itulah upacara laut yang masih berkaitan dengan upaya

penghormatan terhadap penguasa laut sangat erat pula dengan keberadaan ritual

duata yang merupakan ritual dalam meminta keselamatan.

B. Pegawai Negeri Sipil

Selain nelayan penduduk di desa Mola Selatan ada yang berprofesi

sebagai poegawai negeri sipil (PNS). Jumlah penduduk di desa Mola Selatan

yang berprofesi sebagai PNS berjumlah 65 jiwa yang tersebar diseluruh instansi

pemerintah di Kabupaten Wakatobi.

Jumlah penduduk yang berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di

desa Mola Selatan kuranng begitu banyak ketimbang aktivitas sebagai nelayan

yang lebih banyak digemari oleh warga setempat, khususnya etnik Bajo. Hal ini

diakibatkan oleh selain keterbatasan sumberdaya manusia dalam komunitas

etnik Bajo, juga diakibatkan oleh kebiasaan etnik Bajo yang sejak kecil sudah

melaut. Aktivitas melaut menurut etnik Bajo gampang untuk mendapatkan uang,

nelayan etnik Bajo dapat menikmati hasilnya setelah pulang dari melaut.

Pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil menurut masyarakatnya sangat lama

untuk mendapatkan uang karena nanti setiap awal bulan baru mendapatkan

hasilnya (wawancara 6 Pebruari 2014).

Hal ini dipengaruhi oleh faktor budaya yang telah diwariskan secara

turun temurun dari nenek moyang orang Bajo, bahwa orang Bajo tidak akan

pernah sukses meraih hidup dengan bermata pencaharian sebagai pegawai negeri

sipil, kecuali berwiraswasta dalam hal yang halal. Selain itu, didorong oleh

keinginan masyarakat untuk mendapatkan uang pada setiap hari. Semua ini

diakibatkan oleh pola hidup sebagian besar masyarakatnya yang cenderung

boros dan royal dalam hal penggunaan uang.

Bagi sebahagian masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai

negeri sipil sekiranya dalam pemenuhan kebutuhannya dianggap mapan namun

mereka masih ada ketergantungannya terhadap nelayan dalam pemenuhan

kebutuhan rumah tangga. Masyarakat Bajo yang berprofesi sebagai pegawai

negeri sipil bukan pula mereka terlepas dari kehidupan melaut namun mereka

sering pula melakukan aktivitas melaut pada hari libur kerja. Sama halnya

dengan masyarakat yang berprofesi nelayan ketika hendak melaut terlebih

dahulu melakukan ritual melaut. Mereka pantang akan musibah jika tidak

meminta izin kepada menguasa laut (mbo ma dilao). Hal tersebut mereka

lakukan secara turun temurun jika terjadi musibah yang disebabkan oleh

pantangan yang mereka lakukan maka mereka akan melakukan ritual duata

untuk meminta kesembuhan. Namun hal tersebut harus melalui perantaraan

sandro untuk melihat apa yang seharusnya dilakukan dan harus melihat sumber

dari mana penyakit (musibah) tersebut.

C. Pedagang

Penduduk desa Mola Selatan yang berprofesi sebagai pedagang sangatlah

rendah. Aktivitas bedagang ini dilakukan oleh ibu-ibu rumah tangga dengan

membuka kios untuk berjualan di dalam rumah. Umumnya jenis barang yang

diperdagangkan seperti beras, minyak tanah, minyak goreng, telur ayam,

bawang, terigu, makanan siap saji (instant) ikan kering, beberapa jenis peralatan

melaut sederhana seperti yang tampak pada gambar 4.1.

Gambar 4.1 Warung Sembako di Desa Mola selatan

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Pada gambar 4.1 menggambarkan berbagai macam keperluan masyarakat yang

dijual oleh pedagang. Pedagang yang ada di desa Mola Selatan umumnya dalam

kategori peagang konvensional yang menjual barang-barang kebutuhan rumah

tangga saja. Hal tersebut dilakukan karena faktor modal usaha yang tidak begitu

besar sehingga barang-barang yang dianggap keperluan pokoklah yang mereka

bisa jual. Keberadaan pedangang tersebut sangat membantu masyarakat Bajo

karena dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari mereka tidak begitu jauh untuk

mendapatkannya di daerah lain seperti di pasar sentral yang ada di pusat kota.

Bahan-bahan atau sarana upacara/ritual duata umumnya mereka

dapatkan melalui para pedagang tersebut, misalnya beras, minyak kelapa, telur

ayam, pisang, daun sirih dan buah pinang terkecuali pernak-pernik seperti kain

harus membelinya di toko-toko besar yang ada dipusat ibu kota Kabupaten.

D. Tukang Kayu

Keterampilan tukang kayu yang dimiliki orang Bajo diperoleh secara

turun-temurun dari orang tua mereka. Biasanya seorang ayah selalu mengajak

anaknya ikut serta dimana dia bekerja utamanya anak laki-laki. Anak akan

membantu dengan kemampuan yang dimilikinya sebagai bukti baktinya

terhadap orang tua. Proses tersebut diawali dengan ajakan ayah untuk membuat

sesuatu atau memperhatikan apa yang dikerjakan oleh orang tuanya.

Pengetahuan akan cara membuat bangunan atau perahu didapatkan

melalui petuah atau perintah sang ayah dalam proses pembuatan rumah atau

perahu. Meskipun anak-anak Bajo terlahir dengan budaya kelautan tapi tak

mengurangi semangat mereka untuk memahami atau belajar dengan keahlian

selain profesi nelayan. Mereka sadar bahwa keahlian dalam bidang pertukangan

juga sangat penting mengingat orang Bajo telah memiliki tempat tinggal (rumah)

juga perahu-perahu sebagai sarana untuk melaut dan transportasi.

Oleh karena itu, penduduk senantiasa memiliki ketergantungan pada jasa

tukang, bila ingin membangun rumah baru, atau ingin memiliki peralatan

rumah,. Bahan-bahan pembuatan rumah biasanya disediakan oleh pemesan

melalui saran dari tukang. Biasanya bahannya didatangkan dari pengumpul kayu

bahan rumah untuk rumah panggung dan dari pengumpul bahan bangunan,

seperti batu, pasir, untuk rumah batu.

Melakukan aktivitas sebagai tukang, biasanya dijalani pada saat tidak ada

aktivitas melaut. Keadaan tidak melaut umumnya pada musim terang bulan,

kencang ombak, atau memang ada pesanan untuk menyelesaikan pekerjaan.

Jenis pekerjaan yang dipesan seperti membuat rumah, atau perabot rumah

lainnya. Hal tersebut seperti yang dituturkan Udin (47 tahun) sebagai berikut.

“Orang Bajo umumnya tidak bisa melakukan aktivitas membuat rumah

atau perahu sendiri, dalam mendesain rumah atau perahu harus ada

bantuan dari orang lain sehingga apa yang dinginkan bisa tercapai dan

ringan dilakukan. Biaya membuat rumah atau perahu sangat berfariasi,

tergantung jenis barang yang dipesan misalnya biaya untuk mengerjakan

rumah mulai dari Rp 3.000.000 sampai Rp 6.000.000/unit. Kalau perahu

terkadang sesuai dengan kesepakan kalau masih keluarga dekat itu bisa

dibahasakanlah tapi kalau kerabat jauh mengingat tenaga dan waktu

terpakai selama ini aku kasi dari harga Rp 500.000 sampai Rp

5.000.000/unit itu sudah termasuk dengan upah teman kerja” (wawancara

7 Pebruari 2014).

Proses pertukangan seperti pembuatan perahu umumnya dilakukan didekat

rumah dengan alasan agar proses pembuatannya cepat dan bisa dilakukan kapan

saja. Terkecuali rumah umumnya dilakukan dilokasi/tempat dimana bangunan

tersebut dibangun. Pernyataan tersebut tampak pada gambar 4.2.

Gambar 4.2 Aktivitas pertukangan di desa Mola Selatan

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Kehidupan ekonomi masyarakat Bajo yang memiliki profesi tukang

cukup menjanjikan mengingat profesi tukang tidak begitu banyak yang

melakukannya sehingga tiap harinya akan ada selalu pekerjaan yang akan

mereka lakukan. Profesi tukang sangat membantu masyarakat Bajo utamanya

masyarakat Bajo yang memiliki keterbatasan untuk membuat rumah sebagai

tempat tinggal apa lagi pemukiman warganya masih ada yang tinggal di atas

permukaan laut sehingga harus ada yang ahli dalam bangunan untuk membuat

fondasi atau peletakan tiang rumah agar tetap koko dan kuat meski diterjang

ombak dan badai.

Terkait dengan sarana upacara/ritual duata sebagian sarana upacara

menggunakan material berupa kayu seperti panggung (pentas) serta perahu kayu

yang dimodifikasi hal tersebut membutuhkan jasa tukang untuk membuatnya

atau mendesain sesuai keinginan dukun (produsen) ataupun konsumen. Seperti

yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.

“Kalau saya bikin perahu atau panggung ritual sama hubungi pak Udin

karna saya tidak bisa buat. Apa lagi panggungnya besar begitu juga

perahunya harus dua perahu dipake sehingga berbentuk empat persegi.

Aku pernah kasi upah sebesar Rp 2.000.000 itu sudah semuanya mau

perahu atau kayu yang aku sengaja pesan untuk membuat rangka

panggung” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukan adanya kerja sama antara sandro dan tukang. Kerja

sama terjalin karena ketidakmampuan sandro untuk membuat sarana upacara

berupa panggung dan perahu sehingga harus memerlukan jasa tukang dalam

pembuatannya. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Marx bahwa

komodifikasi berarti transformasi hubungan yang sebelumnya bersih dari

perdagangan, menjadi hubungan komersial, hubungan pertukaran, membeli dan

menjual.

4.3 Agama dan Kepercayaan

Sistem religi dan kepercayaan pada masyarakat Bajo tertuang dalam

kegiatan ritual keseharian. Sebagai tempat dalam kegiatan ritual keagamaan

tersebut terlihat adanya sarana peribadatan seperti masjid sebagai tempat untuk

melakukan peribadatan. Ibadah atau sholat fardhu dilakukan di masjid secara

berjamaah disamping itu masjid juga memiliki fungsi sebagai tempat pertemuan,

pengajian ataupun acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan

lainnya.

Walaupun masyarakatnya mayoritas beragama Islam, namun

kepercayaan terhadap makhluk-makhluk halus (gaib) selain kepercayaan

terhadap Allah SWT tetap dijalankan oleh masyarakat Bajo. Kepercayaan

tersebut dimanifestasikan dalam bentuk tindakan dan perilaku dalam kehidupan

sehari-hari. Agama dan tradisi tumbuh kembang saling melengkapi sehingga

memberikan kesan harmonis dalam menjalankannya. Tradisi budaya etnik Bajo

bersumber dari ajaran agama Islam sehingga banyak persamaan. Begitupun juga

dengan praktek pemujaan terhadap makhluk selain Allah SWT masih dilakukan

oleh masyarakat Bajo namun mereka lebih mempercayai kekuatan yang besar

hanya pada Allah SWT. Mereka menganggap ritual duata merupakan bagian

dari budaya leluhur oleh karena itu antara budaya dan agama memiliki ruang

masing-masing dan berjalan sesuai dengan koridornya.

Indikasi yang menandakan bahwa etnik Bajo masih mempercayai

makhluk lain selain Allah SWT adalah sering dijumpainya praktek ritual yang

berkaitan dengan kepercayaan terhadap enam penjaga laut seperti yang mereka

namakan mbo biba, mbo janggo, mbo tambirah, mbo lumu, mbo duga dan mbo

bubura. Makhluk-makhluk tersebut memiliki tugas dalam menjaga laut sehingga

dalam kepercayaan masyarakat etnik Bajo dalam kaitannya dengan melaut

makhluk-makhluk tersebut bisa mendatangkan rezeki dan bisa membuat

musibah jika masyarakat Bajo lalai akan larangan (pomali) yang membuat

kekacauan atau pengrusakan terhadap lingkungan (laut).

Dalam membangun interaksi dengan makhluk-makhluk tersebut biasanya

masyarakat meminta sandro (dukun) yang merupakan orang yang memiliki

kelebihan di luar jangkauan manusia (supranatural) untuk melakukannya.

Wujudnya dalam bentuk upacara laut seperti duata, i dua tuli dan raki, sesuai

dengan hajat yang diinginkan. Kepercayaan yang mereka miliki tidak terlepas

dari apa yang diwariskan oleh nenek moyang terdahulu. Etnik Bajo yakin bahwa

makhluk halus itu ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat jahat (pangroak

kampoh). Roh-roh ini berfungsi mengendalikan dunia mereka. Kebahagiaan,

kesedihan, dan bahkan suatu penyakit merupakan pengaruh dari roh tersebut.

Makhluk-makhluk tersebut menempati media seperti pohon, batu-batuan

maupun hewan di air. Pangroak sappa merupakan roh yang tinggal di batu.

Sebagian masyarakat etnik Bajo yang masih percaya menyediakan tempat

tinggal bagi roh ini yang disebut rumah jage. Hal ini dimaksudkan agar roh

tersebut terlindung dan tidak menggangu pada aktivitas hidup mereka.

Mengingat dalam praktik ritual duata memiliki nilai yang dijadikan

sebagai pedoman hidup yang mengatur hubungan manusia. Sekiranya praktik

ritual duata pun dijadikan acuan sehingga menjadi tradisi dalam etnik Bajo.

Tradisi adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam

kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk

sebagai norma yang dibakukan dalam kehidupan masyarakat (Ghazali, 2011:

33).

Hubungan kebudayaan dan agama dalam konteks agama dipandang

sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus juga sebagai sumber nilai dan

tindakan-tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan kepercayaan lainnya,

seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat didekati

melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga didekati sebagai

suatu sistem sosial, suatu realitas sosial di antara realitas sosial yang lain.

Sejalan dengan pendapat Parsons (dalam Ghazali, 2011: 33) bahwa agama

merupakan sesuatu komitmen terhadap perilaku, agama tidak hanya

kepercayaan, tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia

hidup dan termanifestasikan di dalam masyarakat.

4.4 Sistem Kekerabatan

Menurut Koentjaraningrat (Saad 2009: 105), untuk mengetahui lebih

jauh tentang suatu sistem kekerabatan harus dipandang dari tiga sudut, yaitu: (1)

Memandang unit kekerabatan dari segi batas-batas lingkungan pergaulan antar

kerabat (rangers of kinship affiliation); (2) Dari segi prinsip yang menentukan

seleksi untuk berpartisipasi dari suatu kompleks hak dan kewajiban kekerabatan

( principles of descent) dan (3) Dari aspek adat perkawinan yang menentukan

komposisi kaum kerabat yang hidup mengelompok disuatu lingkungan tertentu

(principles of residence).

Ketiga cara pandang tersebut dapat membantu pemahaman yang lebih

jauh tentang unit kekerabatan sebagai kesadaran bersama yang mengandung

tatanan kehidupan yang sakral dan mulia bagi etnik Bajo. Dilihat dari sudut

rangers of kinship affiliation. Etnik Bajo tergolong dalam sistem kekerabatan

berdasarkan garis keturunan ayah dan ibu (bilateral). Karena tidak bersifat

selektif dalam melihat batas-batas lingkungan tempat tinggal.

Demikian pula bila dilihat dari sudut principles of descent. Etnik Bajo

tergolong bilineal, karena mereka memperhitungkan hak dan kewajiban harta

benda bagi keturunan laki-laki dan perempuan. Misalnya peralatan nelayan dan

mantera-mantera penangkapan ikan diturunkan kepada anak laki-laki, sedangkan

rumah beserta segala isinya diwariskan kepada anak perempuan. Jika dinilai dari

nilai barang yang diwariskan, perempuan memperoleh nilai yang lebih rendah

dari anak laki-laki.

Dalam hal principles of residence, masyarakat etnik Bajo

memberlakukan uxorilokal, karena diharapkan sepasang pengantin tinggal

didekat kaum kerabat istrinya. Tapi pada gilirannya diberi kebebasan untuk

menentukan tempat tinggalnya. Meski tidak dapat dipungkiri pada awalnya

mereka membebani kerabat perempuan. Dalam segi perikatan perkawinan, Etnik

Bajo bertumpu pada landasan nilai agama Islam dan aturan-aturan adat.

Sebagai refleksi dari pandangan hidup yang berorientasi kolektif, maka

sistem kekerabatan dalam etnik Bajo mengenai keluarga inti (darumah) atau

keluarga batih (Nucleus Family) dan keluarga luas (Extended Family).

Sesungguhnya dimasa lalu mereka tidak mengenal rumpun keluarga yang

berbentuk keluarga inti. Karena dalam satu keluarga luas terdapat beberapa

orang anggota rumah tangga yang sudah menikah dan tinggal bersama.

Hubungan antar anggota keluarga inti dalam sistem kekerabatan etnik

Bajo, disesuaikan dengan norma-norma yang mengatur peranan sosial setiap

anggota keluarga yang bersangkutan. Misalnya hubungan ayah atau ibu dengan

anak-anaknya tercermin dalam sapaan uwwa (untuk ayah), umma (untuk ibu)

atau ana’ (untuk anak). Unit keluarga yang lebih luas disebut dansihitang, istilah

ini pada awalnya hanya ditujukan kepada sesama orang Bajo. Keluarga luas

(dansihitang), secara horizontal dan vertikal termasuk dalam tujuh generasi dari

ego, baik berdasarkan garis keturunan ayah maupun ibu. Mereka yang termasuk

pada kriteria keanggotaan keluarga tersebut disebut orang sama yang berarti

orang-orang yang sama dari satu rumpun yakni rumpun Bajo. Begitu pula

bentuk perkawinan pada masyarakat Bajo pada awalnya “endogami kerabat”

(dansihitang) dimana saudara sepupu dua kali hingga sepupu tiga kali

merupakan perkawinan yang ideal (marriage preference) sedangkan kawin

dengan saudara sepupu satu kali dianggap perkawinan baru.

Dalam berinteraksi anggota keluarga tetap memegang teguh

aturan/norma adat yang berhubungan dengan tradisi budaya Bajo. Baik kaum

pria maupun wanita dalam kegiatan ritual melaut maupun upacara laut sama-

sama berperan aktif dan upaya pelestarian tradisi yang berhubungan dengan

ritual duata tidak mengenal kelompok umur maupun jenis kelamin siapa saja

boleh mempelajarinya namun dalam penguasaan ilmu atau keahlian dalam hal

pengobatan melalui ritual duata tidak sembarangan orang untuk bisa

melakukannya karena ilmu ini merupakan sebuah mukzizat (wahyu) pada diri

seseorang yang masih memiliki turunan dari duata yang pewarisannya dari

nenek moyang yang memiliki turunan duata.

4.5.1 Bahasa dan Kesenian

A. Bahasa

Sebagai masyarakat yang dinamis, bahasa merupakan kekuatan yang

tetap bertahan dalam perubahan lingkungan yang cepat dan terjadi secara terus

menerus. Bahasa Bajo secara jelas mengartikan siapa dan bagian dari komunitas

mana yang dapat dituturkan oleh hampir semua lapisan masyarakat mulai dari

anak-anak hingga orang tua.

Pergaulan hidup sehari-hari penduduk di desa Mola Selatan

menggunakan bahasa Bajo sebagai bahasa persatuan (baong sama). Hal ini

diakibatkan oleh dominasi etnik Bajo yang tinggal di desa Mola Selatan dan

tidak ada bahasa daerah dari etnik-etnik tersebut untuk dijadikan bahasa yang

akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Menggunakan bahasa Bajo (baong

sama) sebagai bahasa sehari-hari bukan berarti bahasa daerah lain tidak bisa

digunakan untuk berkomunikasi. Semua bahasa daerah dapat digunakan untuk

berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Mola Selatan tetapi

dilihat dari konteks sama siapa mereka berkomunikasi. Misalnya bahasa Wanci

digunakan berkomunikasi dengan sesama orang darat (Wanci). Bahasa Bajo

memiliki tiga tingkatan penggunaannya, yaitu bahasa paling tinggi (halus), halus

(santun) dan bahasa pasaran (kasar).

1. Bahasa paling halus biasanya digunakan dalam berpantun, doa-doa dan

nyanyian dalam melakukan upacara adat. Nyanyian etnik Bajo seperti

monimbanga di lao (ya dewa laut), wajalala (buanglah), jalunya (jala),

kae pakana (perahu penangkap ikan).

2. Bahasa halus digunakan oleh para ketua adat “lolo” (bangsawan) dalam

acara-acara adat etnik Bajo dalam artian digunakan pula orang yang lebih

muda ketika berinteraksi dengan orang yang lebih tua dengan kesantunan

dalam bahasa misalnya uwwa (bapak), bangkawa (atap), lepa (perahu),

alo (air) serta gadoh (gendang). Umumnya bahasa ini jarang digunakan

dalam kehidupan sehari-hari

3. Bahasa pasaran biasanya terlihat pada penggunaan bahasa Bajo bagi

kalangan anak muda baik laki-laki dan perempuan yang tidak mengenal

usia namun etika dan kesantunan masih terjaga misalnya boe (air), papu

(Tuhan), tinggi (jalan), ambo (bapak), dooda (atap),lepa taha (perahu

panjang) dan lain-lain.

Walaupun ada etnik lain yang mendiami desa Mola Selatan sebagai

penduduk pribumi tetapi jumlahnya sangat minoritas. Hal itu yang mambuat

bahasa Wanci tidak digunakan sebagai bahasa sehari-hari karena tidak populer di

kalangan masyarakat desa Mola Selatan. Akan tetapi, sekarang bahasa Wanci

sebagai bahasa etnik pribumi sudah dijadikan bahas pergaulan anak muda etnik

Bajo. Dialek bahasa Bajo memiliki penekanan pada akhir huruf kata yang

diucapkan. Contohnya andinta (makanan), dibaca andinnta. Seringkali, kalimat

diucapkan dengan suara tunggal yang nyaring, sementara kata terakhir ditahan

hingga suara menurun.

Terkait dengan praktik ritual duata ketiga bentuk bahasa tersebut

merupakan alat komunikasi lisan yang mereka sering gunakan dalam

berinteraksi, baik sandro maupun keluarga pasien sama-sama menggunakannya.

Orang Bajo lebih senang kita menggunakan bahasa pasaran karena mudah

dipahami meskipun sedikit terkesan kasar namun mereka tetap memiliki jarak

dalam berkomunikasi dengan orang-orang tertentu. Dalam pendistribusian ritual

duata bahasa memiliki peranan penting agar masyarakat memahami maksud dari

esensi ritual duata. Umumnya bahasa yang digunakan adalah bahasa pasaran

siapa saja mampu dicerna dan dipahami.

B. Kesenian

Mudah terbukanya hubungan antara masyarakat Bajo di desa Mola

Selatan dengan dunia luar sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat

etnik Bajo. Pengaruh tekhnologi media massa merupakan gejala perubahan yang

besar pengaruhnya terhadap pola pemikiran masyarakat etnik Bajo sehingga

lambat laun ide-ide baru mampu berinovasi terhadap kultur kebudayaan

terutama kesenian masyarakat etnik Bajo.

Masyarakat di desa Mola Selatan yang sebahagian besar didominasi oleh

etnik Bajo yang memiliki kesenian khas seperti daerah-daerah lain di

Indonsesia. Misalnya, kesenian berpantun dimana kesenian ini dipentaskan pada

saat melakukan acara hajatan aqiqah dan pada saat menyambut tamu akan tetapi

di zaman sekarang ditampilkan pada saat melakukan acara pernikahan.

Selain seni berpantun, masyarakat etnik Bajo mempunyai seni suara

(nyanyian) yang disebut uija yang terdiri atas empat macam sebagai berikut:

1. Kadandio, yaitu nyanyian yang dilakukan pada saat hendak

berangkat berlayar atau melaut,

2. Iko-iko, yaitu nyanyian yang menceritakan suatu kisah atau sejumlah

orang Bajo dan biasa dinyanyikan pada saat mereka akan berperang

atau bertemu musuh di perjalanan,

3. Sagala, nyanyian yang dilantunkan saat ada anggota masyarakat yang

sakit (pada saat pengobatan), dan

4. Kanjilo ini selalu dinyanyikan oleh etnik Bajo pada saat mereka

hendak turun melaut

Kesenian orang Bajo yang berupa tari misalnya dero yaitu berpantun

sambil berpegangan tangan. Dero tercipta dari ungkapan rasa syukur istri-istri

nelayan Bajo ketika melihat hasil tangkapan suaminya melimpah ruah dengan

tidak sengaja mereka menari mengitari perahu sambil berpegangan tangan

sambil berpantun. Hal ini dituturkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.

“Tari dero tercipta dari wujud rasa syukur istri-istri nelayan ketika

melihat suami mereka mendapatkan hasil tangkapan ikan yang banyak.

Mereka menari mengelilingi perahu sambil berpegang tangan sekarang

tari dero dipakai pada acara hajatan dan umumnya dilakukan oleh muda-

mudi atau anak-anak bajo dengan bergooyang membentuk bundaran

besar sambil berbalas pantun dengan posisi tangan saling

berpegangan.(wawancara 6 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menggambarkan bahwa etnik Bajo memiliki kesenian tari

sebagai identitas budayanya yang membedakan etnik Bajo dengan etnik lainnya.

Tari dero memiliki banyak nilai yang dilakukan dalam bentuk gerakan tari. Nilai

kesyukuran disimbolkan dalam gerakan berpegang tangan wujud rasa

persaudaraan dan menggoyangkan kaki dan tangan melambangkan kesyukuran

atas nikmat dan kebahagiaan yang didapatkan dalam menjalankan roda

kehidupan dilingkungannya.

Pada kegiatan promosi budaya di Kabupaten Wakatobi kesenian tersebut

seringkali diikut sertakan bersama pertunjukan ritual duata sehingga

mengundang nilai lebih terhadap potensi kebudayaan etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi. Adanya berbagai macam kreativitas dalam mengolah potensi

kesenian etnik Bajo ikut memberikan pengaruh besar terhadap pertunjukan ritual

duata yang terkadang gerakan penari mengadopsi gerakan tari dero sehingga

nampak indah dengan memberikan warna seni tari yang unik.

4.6 Sejarah Etnik Bajo Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara

Beberapa kajian yang telah dilakukan oleh para peneliti dan praktisi

tentang kehidupan etnik Bajo menunjukkan bahwa pada umumnya merupakan

kelompok manusia yang hidupnya di laut. Dimana tersebar luas diseluruh

nusantara misalnya Kalimantan, Sulawesi, bahkan disekitar negara Singapura,

Philipina, Brunai Darussalam dan Malaysia. Etnik yang umumnya tinggal di atas

rumah-rumah yang diberi tiang di atas laut ini cenderung hidup dekat dengan

laut yang menandakan etnik ini khas dibanding dengan etnik-etnik lain di

Indonesia.

Versi yang cukup melegenda merngenai asal usul etnik Bajo di Sulawesi

Tenggara konon kabarnya berasal dari Johor, Malaysia, mereka adalah

keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang

melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari kesegala penjuru

negeri hingga ke Sulawesi. Menurut cerita sang putri lebih memilih tinggal dan

tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon ceritanya sang putri yang menikah

dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya didaerah yang

sekarang bernama Bajoe. Hal tersebut dituturkan pula oleh Bakri (63 tahun)

sebagai berikut.

“Cerita yang saya tau dari orang tua dulu, Bajo di Wakatobi ini berasal

dari Bugis, daerah Bone Sulawesi Selatan. Konon katanya mereka ini

adalah orang-orang yang ditugaskan oleh seorang raja untuk mencari

putrinya yang hilang, tapi mereka tidak menemukannya yang pada

akhirnya mereka tidak berani kembali ke daratan, kemudian mereka

berpencar menelusuri pantai-pantai sambil mencari makanan untuk tetap

bertahan dalam perjalanan” (wawancara 6 Pebruari 2014).

Di dalam naskah lontarak (dalam aksara lontarak berbahasa Bugis) yang

di tulis oleh orang Bajo di Kendari berasal dari Bajoe Kabupaten Bone yang

sebelumnya mereka berawal dari Ussu Luwu, kemudian setelah terjadi

peperangan, mereka mengungsi ke Kerajaan Gowa (Makassar). Setelah Gowa

jatuh ke tangan Belanda yang bersekutu dengan Bone 1667, maka orang Bajo

mengungsi ke Bone atau Bajoe. Selanjutnya pada saat Kerajaan Bone diserang

Belanda maka sebahagian di antara mereka mengungsi ke berbagai daerah di

Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara

Timur.

Ada dua faktor yang menyebabkan orang Bajo sampai ke kepulauan

Wakatobi. Pertama, situasi politik dimana daerah sebelumnya sering dilanda

peperangan sehingga mereka pergi meninggalkan daerah asalnya. Pada

umumnya etnik Bajo cinta damai sehingga peristiwa-peristiwa yang mengancam

dirinya merupakan sebuah alasan untuk pergi jauh meninggalkan daratan. Ke

dua, sosial budaya, etnik Bajo yang dikenal sebagai pelaut ulung sebagai

karakter manusia berbudaya bahari dengan keahlian mereka sebagai nelayan.

Umumnya mereka akan mencari daerah-daerah yang memiliki potensi daerah

yang kaya akan sumber daya laut yakni ikan sehingga mereka selalu bermigrasi

menjelajahi pantai-pantai atau laut yang memiliki sumber daya laut yang

melimpah. Dari pernyataan tersebut kedua faktor ini memungkinkan etnik Bajo

bermigrasi sampai ke Wakatobi.

Berdasarkan catatan sejarah, Etnik Bajo yang tersebar dibanyak tempat

di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan

bahwa kecintaan Etnik Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha

menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad (2010) mencatat bahwa

nenek moyang Etnik Bajo memasuki pulau Sulawesi sekitar tahun 1698.

Penyebaran Etnik Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena

kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup Etnik Bajo sebagai

manusia perahu yang diberikan pada Etnik Bajo dikarenakan kebiasaan mereka

yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950-an Etnik Bajo

mulai menempati Wakatobi (Stanley, 2005). Hal ini didasarkan pada potensi

keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat

memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Di Kepulauan Wakatobi, etnik Bajo menetap mulai terjadi sekitar tahun

1955 yang berpindah dari komunitas awal di pulau Kaledupa karena gangguan

DI/TII dan menempati wilayah adat Mandati. Hal tersebut dituturkan oleh

Mustamin (56 tahun) sebagai berikut.

“Awalnya orang Bajo masih bersatu di sampela waktu itu belum begitu

banyak, orang Bajo masih takut menelusuri pulau-pulau di Wakatobi

sehingga lambat laun orang Bajo meningkat jumlahnya. Ada sebuah

kejadian yang menimpa orang Bajo di Kaledupa waktu itu pasukan

gerombolan Kahar Muzakar datang memberontak sehingga pemukiman

orang Bajo dibakar dan dihancurkan yang pada akhirnya orang Bajo

menyelamatkan diri ke pulau-pulau lainnya seperti Wanci, Tomia dan

daerah lainnya. Orang Bajo yang melarikan diri ke wilayah wanci

menetap dipinggir pantai setelah mereka tau pasukan gerombolan telah

pergi maka orang-orang Bajo kembali lagi ke Kaledupa namun ada juga

yang tidak kembali dan menetap ditempat yang mereka rasa

aman.(wawancara 7 Pebruari 2014).

Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di

Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan

penjelasan dari tokoh adat Mandati, Etnik Bajo yang diijinkan untuk menempati

wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Etnik Bajo terus

bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an

banyak Etnik Bajo dari tempat lain datang dan menetap di pulau Wangi-wangi,

karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu

Etnik Bajo di pulau Wangi-Wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun

1977 perkampungan Etnik Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu

Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Etnik Bajo

terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah

luas. Hingga jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri

dari 1.846 kepala keluarga. Kondisi ini menyebabkan desa Mola saat ini terbagi

lima desa pemerintahan yaitu desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu,

Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti.

4.7 Ritual Duata

Ritual duata adalah salah satu ritual pengobatan adat pada etnik Bajo

dengan memohon/meminta kesembuhan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(dewata/pappu) serta makhluk halus lainnya (mbo/keke) dengan cara memberi

sesajian berupa beras warna-warni yang dilarungkan ke laut karena masyarakat

Bajo memiliki hubungan dekat dengan makhluk yang ada di laut (kaka).

Etnik Bajo meyakini bahwa dalam pengobatan secara duata tersebut ada

hal-hal yang tentunya harus dipercaya bahwa segala penyakit yang diderita tidak

selamanya disembuhkan dengan menggunakan tenaga medis apa lagi

kebanyakan masyarakat Bajo memiliki penyakit turunan (duata). Pada umumnya

penyakit yang menyerang masyarakat Bajo seperti demam berkepanjangan

(piddi), kolera, ataupun penyakit yang bagi mereka anggap aneh ketika

perkampungan dimasuki wabah penyakit. Kebiasaan masyarakat Bajo dalam

memberikan sesajian terhadap penguasa laut dan saudara kembaran yang dilaut

(kaka) tidak terlepas dari mitos yang dipercaya secara turun temurun

bahwasanya setiap anggota masyarakat etnik Bajo yang dilahirkan memiliki

saudara kembar yang dilaut (kaka) sehingga jika anggota masyarakat etnik Bajo

ada yang mengalami gangguan kesehatan itu menandakan bahwa saudara

kembarnya telah mengganggunya sehingga ada upaya untuk memisahkan

mereka agar tidak saling mengganggu dengan cara pemberian sesajian atau pun

dengan ritual duata.

Ritual duata dilakukan ketika ada masyarakat yang sedang sakit yang

secara medis tidak bisa disembuhkan lagi. Sebelum dukun melakukan ritual

duata, ada beberapa tahapan yang mesti dilakukan yakni mengumpulkan

sarana/materi ritual. Sarana/material ritual biasanya dikumpulkan langsung di

rumah pasien dan disanalah materi itu diproduksi di bawah pengawasan sandro.

Mengingat lamanya prosesi ritual berlangsung biasanya sandro memiliki

beberapa orang yang membantu dalam jalannya ritual sehingga ada pola

pembagian kerja di dalamnya. Ada yang bertugas membuat sesajian, memasang

pernak-pernik ritual, serta penabuh gendang.

Dukun yang memiliki kekuatan dan kemampuan dalam upaya

penyembuhan penyakit memiliki peranan penting sehingga apa yang

diperintahkannya, tentunya masyarakat Bajo akan melakukannya. Dukun

terlebih dahulu memeriksa tubuh pasien yang terkena penyakit (piddi) apakah

bisa disembuhkan atau sebaliknya. Diawali dengan komunikasi antara sandro

dan roh dan itu suatu keharusan yang perlu dilakukan oleh sandro walaupun

setannya sangat jahat karena bisa jadi yang menahan semangat hidup pasien

(sumanga), biasanya ruh yang merasuki jiwa pasien akan meminta sesajian

sehingga demi kesembuhan pasien tersebut sandro akan memberikannya sesuai

dengan apa yang setan (roh) minta.

Jika sebuah penyakit berasal dari darat maka sandro akan berkomunikasi

dengan setan darat (mbo ma di dara) dan sebaliknya jika penyakit tersebut

bersumber dari laut maka sandro akan berkomunikasi dengan setan laut (mbo

ma di lao). Tentunya komunikasi tersebut hanya bisa dilakukan dan dirasakan

oleh sandro sehingga kita hanya bisa melihat aktivitas-aktivitas sandro yang

nyata seperti pengucapan mantra (jajampi) dalam bahasa Arab ataupun Bugis.

Mantra (jajampi) yang biasa diucapkan oleh sandro untuk mencegah agar tidak

terjadi malapetaka dan meminta perlindungan keselamatn bagi masyarakat Bajo.

Mantra (jajampi) yang sering digunakan sebagai berikut.

Jajampi pertama:

Bismillahirrahmanirrahim

Opapu oh mbo madilao

Ombotumbira

Daha aku

Sasapata madilao

Terjemahan:

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Oh Tuhan oh nenek di laut

dan wakilnya

Jangan saya ditegur

dan jangan saya diganggu di laut

Jajampi kedua:

Embo madilao

Pamopparahta aku 3 x

Terjemahan:

Oh nenek penguasa laut

Maafkanlah saya 3 x

Jajampi ketiga:

Bismillahirahmanirrahim

Opapu bunantu aku dalleq

Dalleq pappara-para

Terjemahan:

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Oh Tuhan berikanlah rezeki padaku

Rezeki yang banyak.

Dalam pengobatan sandro mengawalinya dengan komunikasi khusus

dengan makhluk yang merasuki pasien dengan media mantra (jajampi) khusus.

Mantra (jajampi) yang diucapkan oleh sandro merupakan sebuah kata-kata dan

suara tertentu yang dianggap memiliki kesaktian dan diyakini secara mendalam.

Mantra (jajampi) selalu dimulai dengan ucapan Bismillahirahmanirrahim dan

umumnya pendek-pendek. Hanya pada mantra (jajampi) tertentu terdapat

pengulangan kata. Jika dikaitkan dengan teori semiotik yang telah

dikembangkan Barthes (Hardin 2013: 36) pandangannya tentang tanda baik

denotatif maupun konotatif terkait dengan bahasa yang mengkomunikasikan

sesuatu pesan (tanda) bermakna. Dalam teorinya secara khusus digunakan untuk

mengungkapkan makna dibalik kata-kata (mantra), ungkapan-ungkapan dan

tindakan-tindakan yang berhubungan dengan tardisi ritual duata.

Prosesi ritual duata pelaksanaanya mulai dari jam 18.00 Wita dengan

ditandai dengan prosesi penyiraman (mamandi) pasien yang sakit dengan

menggunakan air yang sudah diberi mantra oleh dukun sambil diiringi bunyi-

bunyian tetabuhan gendang tanda dimulainya duata. Dalam tahap ini dukun

sendiri yang memandikan pasien setelah itu pasien mengganti pakaiannya

dengan menggunakan sarung dengan catatan pasien tersebut tidak boleh keluar

rumah sampai acara ritual selesai. Selanjutnya pada waktu jam 04.00 dini hari

sandro mulai dengan tahapan selanjutnya dengan memandikan pasien dengan air

yang sama dengan menggunakan buah mayah untuk mengalirkan air keseluruh

tubuh pasien dan berlangsung sampai hari ketiga berturut-turut yang tidak

terlepas dengan bunyi tetabuhan gendang yang berirama sehingga seluruh warga

masyarakat etnik Bajo antusias untuk menjaga jalannya prosesi duata.

Sepanjang prosesi siraman tersebut bunyi gendang tak henti-hentinya

dibunyikan terkadang orang yang mendengarnya kerasukan oleh karena itu

sandro mewaspadai hal tersebut agar prosesi ritual berjalan lancar. Bunyi

gendang juga sebagai penyemangat jiwa pasien dan orang-orang yang terlibat

dalam ritual duata. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai berikut.

“Ketika pasien ini dimandikan oleh sandro, bunyi gendang tak boleh

lepas karena bunyi gendang ini sakral, memiliki kekuatan yang bisa

memberikan kekuatan ke dalam jiwa pasien sehingga ada keinginan kuat

pasien untuk lekas sembuh. Bunyi gendang ini bukan hanya untuk pasien

saja namun ketika bunyi gendang ini terdengar oleh orang yang memiliki

turunan duata akan mengalami kerasukan” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas memberikan penjelasan bahwasanya bunyi gendang sebagai

bagian dari ritual duata memberikan fungsi sebagai penyemangat kepada pasien

yang menurut orang Bajo bunyi yang dihasilkan oleh gendang memiliki

kekuatan magis untuk memperkuat jiwa pasien agar bisa segera sembuh. Bunyi

gendang memberikan tanda sehingga masyarakat ketika mendengar bunyi

gendang bisa memahami dan mengetahui bahwa di kampung mereka ada sebuah

peristiwa atau kegiatan yang sedang terjadi. Seperti yang dijelaskan oleh

Saussure (Hoed, 2008: 3), melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang

tercitra dalam kognisi seseorang) dan sebuah makna (atau isi, yakni tentang apa

yang dipahami oleh manusia sebagai pemakai tanda). Hal tersebut ditunjukkan

pada gambar 4.3.

Gambar 4.3 Memandikan pasien disertai dengan iringan gendang

(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Pada gambar 4.3 terlihat kepala pasien yang dilapisi buah mayah (pinang muda)

disirami air oleh sandro. Buah mayah memiliki fungsi untuk menetralkan

pengaruh roh jahat yang merasuki tubuh pasien. Terlihat pula tukang pukul

gendang mengiringi prosesi siraman sehingga suasana menjadi hidup. Bunyi-

bunyian yang dihasilkan dari pukulan gendang merupakan penanda simbolik

akan adanya prosesi pengobatan. Ritme atau bunyi memberikan kesan tidak

langsung kepada semua yang berpartisipasi yang memiliki nilai kebersamaan,

kerja sama terbangun, dan keharmonisan. Bunyi gendang (gandha) dan gong

(mbololo) merupakan keharusan dalam proses ritual duata dari awal sampai

akhir prosesi ritual. Tentunya bunyi-bunyian tersebut mengandung makna

tersembunyi selain bisa dinikmati dan membuat suasana hidup.

Tahapan selanjutnya adalah pelarungan sarana ritual berupa sesajian

yang berisi nasi berwarna-warni (buas buburinti), telur (antillo manok), pisang

(pissa) , pinang dan daun sirih untuk dilarung ke laut dalam prosesi ini pasien

bisa saja ikut bersama sandro namun harus memiliki kemampuan fisik yang

sehat. Media yang digunakan untuk menuju ketengah laut biasanya sandro dan

keluarga pasien menggunakan bido (perahu). Lokasi dalam melarung sesaji di

laut dilakukan sepenuhnya atas arahan sandro, tidak selamanya sesajian bisa

dilarung disemua tempat di laut terkecuali sandro memberikan sinyal dan

mendapat petunjuk dari arwah penguasa laut (mbo janggo) dimana tempat yang

tepat untuk sesajian dilarungkan. Terkait dengan hal tersebut diungkapkan oleh

Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.

“Setelah pasien dimandikan maka sesajian di bawa ke laut menggunakan

bido diarah buritan perahu dipasang bendera ula-ula dan dibagian ujung

perahu disimpan sebuah obor. Setelah saya menemukan tempat yang

tepat untuk sesajian dijatuhkan maka saya terlebih dahulu membuat dua

garis berbentuk silang menggunakan pisau supaya apa yang sudah

dihajatkan ini diterima oleh penjaga laut” (wawancara 7 Pebruari 2014)

Ungkapan di atas menjelaskan bahwasanya dalam prosesi melarung sesaji tidak

semua lokasi di laut bisa dijadikan tempat untuk menyimpan sesajian harus ada

petunjuk dari dukun. Dukun yang memiliki pengetahuan akan tanda yang

diinginkan oleh penguasa laut akan segera melarung sesajian tersebut yang

diawali dengan goresan berbentuk tanda silang ( X ) sebagai tanda membuka

pintu menuju alam penguasa laut. Hal tersebut tampak pada gambar 4.4.

Gambar 4.4 Proses pelarungan sesajian di laut

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Pada gambar 4.4 menunjukkan bahwa sebelum sesajian dilarungkan ke laut

terlebih dahulu dukun akan membuat goresan untuk memberikan tanda bahwa

sesajian yang dilarungkan akan diteruskan sampai pada penguasa laut. Ula-ula

dan sebuah obor digunakan untuk memberikan tanda kepada masyarakat jikalau

di laut ada prosesi melarung sesajian dan obor dimaksudkan untuk memberi

penerangan jika kondisi dalam keadaan gelap. Hal tersebut sesuai dengan yang

diungkapkan oleh Alex Sobur dalam Piliang (2003:21) yaitu tanda-tanda adalah

perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di

tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Sehingga simbol dapat

dikatakan sesuatu yang perlu ditangkap maknanya dan pada giliran berikutnya

dibagikan oleh masyarakat sendiri yang kemudian akan diwariskan secara turun

temurun.

Kebudayaan cenderung menjadi tradisi dalam suatu masyarakat. Tradisi

adalah sesuatu yang sulit berubah karena sudah menyatu dalam kehidupan

bermasyarakat. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai

norma yang dibakukan dalam masyarakat (Ghazali 2011: 32). Ritual duata pada

masyarakat etnik Bajo telah berkembang menjadi sebuah aturan atau acuan

dalam kehidupan masyarakat utamanya yang berkaitan dengan mitos dan konsep

pemali (larangan) yang menimbulkan mala petaka setiap masyarakat yang

melanggarnya.

Jika dihubungkan antara kebudayaan dan agama yang dianut oleh etnik

Bajo yang mayoritas beragama Islam nampaknya akan menimbulkan paradigma

atau perspektif berbeda bagi masyarakat lainnya. Apa lagi dalam ajaran Islam

tidak mengenal yang namanya pemujaan selain memuja Allah SWT. Namun

disinilah keunikan dan berbagai macam bentuk toleransi saling mengisi dan

mengkait antara kebudayaan dan agama. Dalam konteks ini agama dipandang

sebagai realitas dan fakta sosial sekaligus sebagai sumber nilai dalam tindakan-

tindakan sosial maupun budaya. Agama, dan juga sistem kepercayaan

lainnyasering kali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama tidak hanya dapat

didekati melalui ajaran-ajaran atau lembaga-lembaganya, tetapi juga dapat

didekati sebagai sistem sosial, suatu realitas sosial di antar realitas sosial

lainnya. Seperti yang diungkapkan Parsons (Ghazali 2011:33) bahwa agama

merupakan suatu komitmen terhadap perilaku, agama tidak hanya kepercayaan,

tetapi perilaku atau amaliah. Sebagai realitas sosial, tentu saja ia hidup dan

termanifestasikan di dalam masyarakat.

Tahapan terakhir dalam ritual duata adalah permohonan keselamatan dan

kesembuhan terhadap penguasa alam (Tuhan Yang Maha Esa), roh-roh penguasa

laut, dan leluhur (keke). Pada dasarnya segala sesuatu yang menimpa manusia

adalah akibat dari apa yang telah diperbuatnya. Tidak ada sesuatu yang terjadi

tanpa ada sebab, apa yang sudah terjadi kiranya kita bisa mengintrospeksi diri

apa yang sesungguhnya kita perbuat. Perwujudan rasa maaf mereka

diungkapkan dalam bentuk doa (mantra) yang bagi masyarakat Bajo dianggap

memiliki nilai tersendiri apa lagi etnik Bajo masih memegang teguh tradisi

masyarakatnya. Mantra biasanya diucapkan dalam keadaan tertentu seperti

pendapat Sudjiman (Uniawati, 2006: 3) mengatakan bahwa mantra-mantra

mengandung tantangan atau kutukan terhadap sesuatu kekuatan gaib dan dapat

berisikan bujukan agar kekuatan gaib tersebut tidak berbuat yang merugikan.

Mantra yang digunakan dalam pengobatan melaui dua meia yaitu melalui

media angin (passeng rianging) dan melalui media perantara hewan (paseng ri

olokkolo). Bacaan pada mantra diakhiri dengan kalimat qun fa yaqun (jadi maka

jadilah). Dukun (sandro) pada masyarakat Bajo khususnya yang dipercaya

memmbaca mantra, banyak pantangan yang harus dihindari agar mantra yang

diucapkan ampuh. Pantangan (pomali) yang dimaksud adalah tidak boleh

sembarang berbicara, tidak boleh bersenda gurau pada siapapun, bertutur kata

yang santun, tidak boleh berbohong, dan semua yang bisa merugikan orang lain

perlu dihindari.

Mantra dalam prosesi ritual duata dilakukan setelah prosesi larung sesaji

selesai. Beberapa mantra dan doa yang diperuntukkan terhadap penguasa alam

sebagai bentuk interaksi manusia dan dilakukan oleh sandro karena memiliki

keahlian dalam berkomunikasi dengan Tuhan Yang Maha Esa serta makhluk-

makhluk gaib lainnya misalnya.

Mantra (jajampi) I

Bismillahirrahmanirrahim

Juru mudi

Juru batu

Aliyah arliyah

Sitti Sariyani

Raja Mariyani

Lesseqko ri tubunna

Palesseqko ri nyawana

Terjemahan:

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Tukang kemudi

Tukang Batu

Aliyah Arliyah

Sitti Sariyani

Raja Mariyani

Enyah kamu dari tubuhnya

Enyahkan dari nyawanya

Mantra (jajampi) II

Bismillahirrahmanirrahim

Allah taala pukedo nyawaku

Muhammad pukedo atikku

Sininna uniakengnge

Pasitaika karena Allah taala

Sininna balai

Elo natattuppaq ri iya

Mutulakabbalaqka karena

Allah taala

Wa balaq ana wa balagana mamaeng

Terjemahan

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Allah SWT yang menggerakanna nyawaku

Muhammad menggerakan hatiku

Semua yang kuniatkan

Mempertemukanku karena Allah SWT

Semua rezeki

Akan tertumpah padaku

Memohon saya karena

Allah SWT

Wa balaq ana wa balagna mamaeng

Mantra (jajampi) III

Bismillahirrahmanirrahim

Aubakkar mata lotonna

Usman mata putenu

Cenning atinnu

Gula nawa-nawanu

Akuali kumpayakum

Terjemahan

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Abubakar mata hitmnya

Usman mata hijaunya

Ali mata putihmu

Manis hatimu

Gula pikiranmu

Saya laki-laki

Jadi maka jadilah

Mantra (jajmpi) IV

Bismillahirrahmanirrahim

Raja anggun

Raja turun

Raja Menurun

A

Terjemahan

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha

Penyayang

Raja Anggun

Raja turun

Raja Menurun

A

Konsep semiotik yang telah dikembangkan, Junus (dalam Muniati 2011:

13) menyatakan mantra adalah keseluruhan yang utuh, yang dirinya sendiri

mempunyai signified. Lebih lanjut, Junus mengungkapkan hakikat mantra

sebagai berikut:

a. Ada bagian rayuan dan perintah

b. Mengungkapkan expression unit kesatuan pengucapan

c. Merupakan sesuatu yang utuh, yang tak dapat dipahami melalui

pemahaman unsur-unsurnya.

d. Merupakan sesuatu yang tak dapat dipahami oleh manusia sesuatu yang

misterius

e. Ada kecenderungan esoteris dari kata-katanya atau ada hubungan esoteris

f. Terasa merupakan permainan bunyi belaka.

Mantra dapat berupa kata atau suara tertentu yang dianggap memiliki

kesaktian. Pengucapan kata yang diiringi dengan bunyi tertentu terkadang tidak

memiliki makna tetapi sangat erat kaitannya dan memberi pengaruh yang kuat

pada munculnya kekuatan gaib karena mantra merupakan unsur utama dalam

dunia gaib (magis).

Pada perkembangannya mantra dalam segi penggunaannya dalam

masyarakat Bajo masih terdapat beberapa paradigma terutama masyarakat yang

dibekali dengan pemahaman agama yang mendalam utamanya agama Islam

yang dianut masyarakat Bajo yang menentang penggunaan mantra-mantra itu

dengan dalih bahwa agama Islam melarang meminta dan memohon sesuatu

kecuali terhadap Allah SWT sebab makhluk lain yang ditempati dan ditujukan

untuk memuja tidak lebih mulia kedudukannya daripada manusia.

Mantra Bajo umumnya menggunakan kosakata bahasa Bajo saja, tetapi

juga menggunakan kosakata dari bahasa lain seperti bahasa Arab, Bugis,

Makassar, dan bahasa Indonesia. Penggunaan kosakata dimaksud agar ada

kesesuaian bunyi baris mantra. Kosa kata bahasa Arab banyak terdapat dalam

mantra melaut etnik Bajo terutama dalam pembukaan dan penutupan setiap

mantra. Hal ini terkait dengan agama yang dianut oleh masyarakat etnik Bajo,

yaitu agama Islam.

Demikian halnya dengan kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang

terdapat dalam mantra melaut etnik Bajo. Kosakata bahasa Bugis dan Makassar

dalam mantra itu adalah kosakata bahasa Bugis dan Makassar yang dilafalkan

dengan fonem bahasa Bugis dan Makassar, misalnya dalleq (rezekiku), asemmu

(namamu), paddeanganna (gelarnya), dan battu (tiba). Hal ini ada hubungannya

dengan sejarah dan cara hidup masyarakat Bajo sebagai pengembara laut

sehingga menjelajah dari satu pulau ke pulau lain.

Pada mantra III setiap barisnya menggunakan simbol-simbol manusia

yang menggambarkan tabiat setiap manusia yang diwakilinya. Misalnya pada

kalimat gula nawa-nawanu yang berarti gula pikiranmu yang secara harfiah

tidak ada orang yang pikirannya terdiri dari gula. Namun, jika dicermati lebih

dalam, kata gula dalam kalimat itu sebagai simbol yang melambangkan pikiran

yang sehat dan jernih serta senantiasa berprilaku baik terhadap sesama manusia.

Dengan demikian, segala sikap benci dan permusuhan ditanggalkan kemudian

diganti dengan rasa persahabatan yang manis.

Mantra IV pada baris akhir mantra di atas hanya terdapat fonem /A/ yang

digunakan dalam mantra tersebut adalah simbol yang memiliki makna

pemerintah. Perintah itu ditujukan kepada suatu wujud yang tidak terlihat.

Dalam mantar tersebut , /A/ diartikan dengan “kembalilah kau ke asalmu”

artinya dalam segala sesuatu yang berwujud akan selalu berakhir dengan

kematian atau kepunahan dan kembali keasalnya.

Masyarakat Bajo pada umumnya mengenal konsep pamali (pantangan).

Biasanya ketika mereka melanggar pamali yaang telah mereka yakini turun

temurun akan berimbas kedirinya sendiri. Hal tersebut dibenarkan oleh sandro

bahwa sesungguhnya dosa atau musibah yang menimpa diri manusia itu akan

kembali kediri manusia sendiri, oleh karena itu kita harus tau apa yang bisa

dilakukan dan apa yang tidak bisa dilakukan. Oleh karena itu untuk

mengungkapkan rasa maaf dan bersalah dengan apa yang telah diperbuat maka

banyak cara untuk mempraktekannya seperti dalam ritual duata ini adalah

bentuk permohonan maaf dan meminta pertolongan sehingga apa yang kita

alami segera dihilangkan seperti yang ditunjukkan pada gambar 4.5.

Gambar 4.5 Dukun menguji mental pasien (sakit)

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Selanjutnya untuk menguji mental pasien, dukun akan menancapkan

sebilah keris tepat di atas ubun-ubunnya, meski terasa kuat namun dengan

kekuatan supra natural keris sang dukun tidak melukai bahkan pasien tidak

mengalami luka seditik pun. Itu dimaksudkan agar roh yang telah dipanggil oleh

dukun masuk kejiwa pasien. Prosesi ini sangat sakral karena pasien mengalami

kerasukan sambil menari (ngigal) tak sadarkan diri ditemani sandro suasana

menjadi sangat mistik tak satupun yang berani berbicara hanya bunyi tetabuhan

gendang yang semakin kuat untuk meberikan semangat kepada pasien. Hal

tersebut terlihat pada gambar 4.6.

Gambar 4.6 Sabung ayam untuk mengetahui kesembuhan pasien

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Pada gambar 4.6 menunjukkan pasien memegang ayam yang akan bertarung

dengan ayam yang disediakan oleh dukun. Ayam dalam ritual duata digunakan

sebagai media untuk menguji kekuatan fisik pasien setelah diberi mantra

(jajampi). Hal tersebut dituturkan oleh Mustamin (56 tahun) sebagai berikut.

“Untuk menguji kesembuhan pasien maka ada dua ekor ayam yang

diadu, dimana salah satu ayam pemiliknya adalah pasien yang diobati,

kalau ayam pasien itu menang berarti dia lekas sembuh tapi jika kalah

maka dia dinyatakan tidak bisa disembuhkan lagi, biasanya keluarga

pasien merasa ada kekhawatiran dalam tahap ini karna ini sebuah

penentuan akhir” (wawancara 8 Pebruari 2014).

Tuturan tersebut menunjukkan bahwa dua ekor ayam jantan yang diadu

merupakan mediator untuk membuktikan kekuatan yang dimiliki oleh pasien,

jika ayam pasien menang menandakan pasien lekas sembuh dan jika ayam

pasien kalah, itu menandakan bahwa pasien tidak bisa disembuhkan lagi dengan

cara apapun karena ritual duata ini merupakan langkah terakhir yang ditempuh

ketika cara pengobatan baik medis atau alternatif sudah dilakukan.

Untuk menunjukkan rasa senang akan kesembuhan biasanya dukun akan

melemparkan beras pecah (matang) kearah pasien dikuti oleh keluarga pasien

yang ikut menghambur-hamburkan beras. Tradisi menghamburkan beras dalam

masyarakat Bajo dilakukan turun-temurun jika dalam keadaan bahagia.

Menghamburkan beras bukan membuang rezeki namun disini beras

dihamburkan sebagai perwujudan rasa hormat dan terima kasih kepada penguasa

alam atas keselamatan atau kesuksesan dari sebuah upacara adat/agama. Seperti

yang terlihat pada gambar 4.7.

Gambar 4.7 Dukun menghamburkan beras kearah kepala pasien

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Gambar 4.7 memperlihatkan ekspresi dukun dalam bentuk rasa gembira dengan

menghamburkan beras (beras pecah) kearah tubuh pasien. praktik tersebut

dimaknai bahwa beras melambangkan kesejahteraan atau kemakmuran manusia

serta kain (sarung) memiliki makna pelindung, yaitu melindungi manusia dalam

keadaan apapun.

Dalam kebudayaan etnik Bajo beras merupakan sesuatu barang yang

bernilai karena mereka sadar bahwa mereka hidup di laut tak akan ada tanaman

seperti padi bisa tumbuh sehingga beras memiliki nilai yang sangat mahal untuk

dimiliki. Dalam praktik pengobatan pun beras disimbolkan sebagai barang yang

memiliki nilai kemakmuran atau kesejahteraan sehingga ketika masyarakatnya

terlepas dari masalah baik berupa bencana alam maupun penyakit, tentunya

barang yang bernilai tersebut mereka persembahkan kepada Tuhan Yang Maha

Esa (dewata/papu) sebagai bentuk rasa syukur mereka. Dalam pemaknaannya

tentunya nilai budaya/simbol sifatnya abstrak berada dialam pikiran tiap manusia

ataupun pada masyarakat penganutnya. Mencermati kondisi tersebut maka

budaya atau kebudayaan tidak bisa lepas dari ideologi terutama yang mengatur

medan makna yang selanjutnya dapat diartikulasi sebagai sistem otoritas yang

dapat menentukan identitas pada suatu kelompok masyarakat.

BAB V

PROSES KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK BAJO

DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI TENGGARA

Dalam bab ini, uraian difokuskan pada pembahasan mengenai masalah

bagaimanakah proses komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Proses komodifikasi ritual duata dalam

penelitian ini ditinjau dari proses produksi, distribusi dan komsumsi ritual duata.

Untuk mendapatkan pemahaman yang berkaitan dengan hal tersebut, maka

dalam analisis pembahasan digunakan teori komodifikasi.

Dalam kaitan dengan penelitian ini perlu dijelaskan terlebih dahulu

mengenai istilah proses yaitu mengandung arti runtutan perubahan atau peristiwa

dalam perkembangan sesuatu. Proses dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2005: 899) berarti runtutan perubahan (peristiwa) dalam perkembangan sesuatu,

rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk.

Perkembangan produk yang dimaksudkan adalah komodikasi ritual duata

menjadi produk komoditas.

Berdasarkan uraian di atas maka proses dalam uraian bab ini mengarah

pada rangkaian tindakan, pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan

produk terkait dengan runtutan yang menyebabkan komodifikasi ritual duata,

proses produksinya, varian bentuk yang dihasilkan oleh dukun dan pemasaran

produk hingga konsumen ritual duata.

5.1 Produksi Ritual Duata

Produksi ritual duata pada penelitian ini berarti sebuah rangkaian atau

kegiatan menciptakan atau menghasilkan suatu produk barang/jasa. Sedangkan

produk adalah barang/benda/jasa, yang dalam masyarakat kapitalis adalah

komoditas yang dihasilkan dari suatu sistem produksi untuk suatu kepentingan,

yang tidak hanya memiliki nilai guna, tetapi yang paling penting adalah nilai

tukar.

Produk yang dihasilkan dalam proses produksi ritual duata berwujud

barang atau benda, desain dan jasa yang merupakan variabel pertama dari suatu

pemasaran dan dianggap cukup penting karena dapat mempengaruhi tingkat

kepuasaan konsumen. Jika dilihat dari perkembangan ritual duata pada awalnya

berlangsung alamiah seperti kegiatan ritual lain yang ada di Kabupaten

Wakatobi. Masyarakat etnik Bajo melakukan praktik ritual duata secara

konvensional sebagai wujud solidaritas dalam kehidupan masyarakatnya.

Namun sekarang praktik ritual duata semakin banyak diminati dengan berbagai

macam kepentingan khususnya bagi masyarakat etnik Bajo sendiri. Hal tersebut

membuat dukun kewalahan dalam memberikan pelayanan. Dengan keterbatasan

tenaga dan modal material dalam memproduksi sarana ritual duata membuat

dukun harus mengumpulkan tenaga (pekerja) dan biaya produksi material.

Lambat laun praktik ritual duata bergeser kearah pelayanan masyarakat yang

membutuhkan imbalan jasa. Hal tersebut menyebabkan praktik ritual duata

mengalami perubahan kearah komersialisasi.

Komodifikasi disini dapat kita definisikan sebagai proses mengubah nilai

pada suatu produk yang tadinya hanya memiliki nilai guna kemudian menjadi

nilai tukar (nilai jual) dimana nilai kebutuhan atas produk ini ditentukan lewat

harga yang sudah dirancang oleh produsen (Mosco, 2009: 132). Dalam hal ini

ritual duata yang tadinya hanya memiliki fungsi sebagai ritual pengobatan etnik

Bajo kemudian menjadi nilai tukar (produk budaya) yang berorientasi terhadap

nilai pasar.

Dalam produksi ritual duata untuk menjadi komoditi diperlukan

pembagian kerja yang sesuai dengan keterampilannya. Tentunya pembagian

kerja yang dimaksud hanyalah untuk memudahkan dalam proses pengerjaannya

(produksi). Hal ini mencirikan bahwa ritual duata telah melakukan

komodifikasi. Pembagian kerja yang dilakukan akan berpengaruh pada sistem

produksi, maupun distribusi ritual duata. Dalam hal ini peneliti akan

mengungkap produksi ritual duata dari segi produk ritual duata berupa sesajian

(buah bubu rinti), bendera etnik Bajo (ula-ula), kain berwarna (palisier),

panggung, pakaian dan gerak tari.

5.1.1 Sesajian (Buas Bubu Rinti)

Pembuatan sesajian terdiri dari beras berwarna (merah, putih, kuning,

dan hitam), yang dibuat berbentuk bundar di atas wadah yang dilapisi daun

pisang dengan kombinasi empat warna berlapis-lapis. Buas bubu rinti pada

pelaksanaan ritual duata bermacam ukuran, pada prosesi ritual duata yang lebih

besar dibuat sebanyak tujuh bentuk yang sama (bundar) sehingga dibutuhkan

tenaga dan keahlian dalam membuatnya. Pada penyajian beras berwarna tersebut

ada komponen penting pendukung sesajian yang merupakan barang wajib seperti

daun sirih (leko), pisang tembaga (pissa), telur ayam (antillo manu), kelapa

muda, buah pinang, buah mayah, dan janur kuning (tenda koneh). Hal tersebut

terlihat pada gambar 5.1.

Gambar 5.1 Materi pendukung ritual duata

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi)

Gambar di atas menunjukan proses pembuatan materi ritual duata dilakukan

oleh dukun dan beberapa orang pekerja yang ikut membantu dalam

memproduksi materi sesajian dimana materi ritual seperti telur ayam, daun sirih

dan lain sebagainya merupakan materi pokok selain beras berwarna (buas bubu

rinti). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa dalam pengerjaan materi ritual

duata telah terjadi pembagian kerja. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh

Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.

“Kalau cara berobat secara duata ini saya yang membuatnya, bahan-

bahannya saya kumpul dan dibuat di rumah pasien, tapi kalau acaranya

besar biasanya saya memakai tenaga orang lain tapi selalu juga tetangga

lain ikut membantu. Isi sesajian itu ada telur ayam, daun sirih, beras

warna-warni, daun pisang, pisang, pinang semuanya saya atur juga yang

menyimpannya” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Wawancara di atas menjelaskan bahwa banyaknya materi sesajian yang harus

dipersiapkan maka sandro mempekerjakan beberapa orang untuk membantu

dalam proses pembuatannya meskipun terkadang banyak masyarakat yang

pamrih ikut berpartisipasi. Pada tahapan ini semua sarana ritual diproduksi oleh

sandro beserta beberapa anak buahnya. Sebagai orang yang memiliki

pengetahuan ritual duata maka posisi sandro sangat penting sehingga

masyarakat tunduk dengan apa yang dilakukan atau disarankan oleh sandro.

Pengetahuan yang dimiliki oleh dukun mampu menguasai masyarakat

sehingga tercipta hubungan antara dukun dan pasien. Terkait dengan hal tersebut

dijelaskan oleh Foucault (Hoed, 2011: 284) bahwa melalui wacana, seseorang,

sekelompok orang, atau suatu lembaga dapat merealisasikan kuasa (baca:

power). Untuk merealisasikan kuasa tersebut, tidak selalu diperoleh melalui fisik

(badaniah, atau senjata) tetapi juga melalui pengetahuan yang dimiliki.

Terkait dengan pengetahuan yang dimiliki oleh sandro tidak menutup

kemungkinan dalam proses pembuatan sarana ritual duata ideologi sandro turut

berpengaruh yakni ideologi kapitalis yang menginginkan sarana ritual bukan

hanya sebagai pelengkap dalam ritual namun bisa dimanfaatkan sebagai modal

usaha untuk mendapatkan nilai tukar guna mendapatkan keuntungan. Sejalan

dengan pikiran Tester (2009: 84) bahwa komodifikasi adalah proses karya seni

baik abstrak maupun konkrit yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk

persembahan, dengan kesadaran penuh dan perhitungan yang matang dari

seniman maupun konsumen diproduksi untuk memenuhi kebutuhan pasar dan

diperjualbelikan kepada masyarakat yang membutukan karya seni tersebut.

Sarana ritual duata berupa beras berwarna bisa dilihat pada gambar 5.2.

Gambar 5.2 Sesajian buas bubu rinti

(Dokumentasi: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Gambar 5.2 menunjukan bahwa beras berwarna warni yang diletakan di atas

wadah yang dilapisi daun pisang, beras berwarna tersebut memiliki kekhasan

dalam tampilannya dan keunikan yang bernilai seni yang pada umumnya

masyarakat di Kabupaten Wakatobi tidak pernah melihatnya terkecuali pada

upacara/ritual duata etnik Bajo. Untuk mendapatkan warna yang diinginkan

sandro menggunakan pewarna alami dengan tambahan kapur dan arang

tempurung. Warna-warna tersebut disamping memberikan kesan indah dan

perbedaan namun memiliki arti dan makna tersembunyi dibaliknya. Terkait

dengan hal tersebut jika dikaitkan dengan pandangan manusia Bajo yang

mengkonsepsikan alam sekitar sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya

terdapat benda-benda biotik seperti tumbuh-tumbuhan, hewan, dan ikan yang

terdapat di gunung, bukit, rawa, danau, sungai dan laut serta benda-benda

nonbiotik yaitu air, tanah, api dan cahaya. Menurut keyakinan etnik Bajo, semua

unsur yang ada dalam benda-benda nonbiotik terdapat di dalam diri manusia.

Tanah adalah tubuh, api adalah nafsu amarah, air melambangkan kesabaran,

angin melambangkan nyawa, serta cahaya merupakan Nur Allah dan Nur

Muhammad yang menjadi sumber penciptaan langit dan bumi beserta isinya,

terutama anak manusia (Saad, 2009: 65). Pernyataan tersebut seperti yang

diungkapkan oleh Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut.

“Bubura mirah adalah unsur api dalam diri manusia terbentuk beberapa

unsur sifat dimana hawa nafsu amarah terkadang bisa menjiwai diri

seseorang sehingga sifat-sifat tersebut harus bisa dinetralisir dengan

unsur-unsur lainnya. Bubura puteh yaitu udara dimana jiwa manusia

akan hidup jika memiliki nyawa. Tubuh manusia akan senantiasa bisa

berpikir, begerak karena masih memiliki ruh. Bubura loo adalah unsur

tanah, dalam tubuh manusia dibentuk dari segumpal tanah yang pada

akhirnya jasad akan kembali pada asalnya. Bubura kuneh unsur air dalam

hal ini air sebuah sifat kesabaran dalam diri manusia dan telo mano yaitu

unsur cahaya yang merupakan satu kesatuan dari empat unsur tersebut

(api, angin, tanah, dan air) sehingga tercipta manusia. (wawancara 6

Pebruari 2014).

Ungkapan di atas dijelaskan warna-warna yang ada pada beras yang digunakan

oleh dukun dalam ritual duata dimana memiliki simbol dan makna akan proses

pembentukan manusia yang memiliki unsur-unsur seperti hawa/amarah, ruh

(udara), tanah (jasad), dan cairan (air). Hal tersebut jika dikaitkan dalam konteks

semiotika Geertz bahwa simbol-simbol yang tersedia dikehidupan umum sebuah

masyarakat yang sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga masyarakat

yang bersangkutan melihat, merasa, dan berpikir tentang dunia mereka dan

bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai.

Etnik Bajo sangat meyakini bila seseorang memahami karakter

keberadaan benda-benda biotik dan nonbiotik tersebut maka tidak mungkin

malapetaka akan menimpa mereka dimana saja mereka berada, meski di tengah

laut dengan ombak setinggi gunung disertai dengan angin kencang. Sebab angin

kencang dapat diantisipasi dengan cara mengatur keluar masuk nafas, seperti

halnya emosi salah satu anggota keluarga dapat dikendalikan dengan menyiram

api dengan air. Dengan cahaya atau nur ilahi dapat menyingkirkan berbagai

bencana (Saad 2009: 66).

Mencermati penuturan informan Djamrin di atas maka sejalan dengan

pemikiran Geertz (Sibarani, 2012:106), bahwa hidup manusia penuh dengan

lambang dan tanda (semiotika) yang disatu sisi membutuhkan usaha rekonstruksi

pelambangan kehidupan manusia, tetapi disisi lain perlu dekonstruksi untuk

memaknai lambang kehidupan tersebut. Hal ini disebabkan karena kebudayaan

yang di dalamnya termasuk praktek sosial merupakan lambang semiotik yang

mengekspresikan perasaan masyarakat komunitasnya. Selanjutnya pola makna

ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik.

Melalui bentuk simbolik ini manusia berkomunikasi, memantapkan dan

mengemukakan bahwa tanda budaya merupakan sebuah jaringan yang sangat

kompleks dari tanda-tanda, simbol-simbol, mitos-mitos, rutinitas, kebiasaan-

kebiasaan yang membutuhkan pendekatan tertentu.

Selanjutnya dalam menentukan isi (materi) yang akan dipersembahkan

harus dilakukan oleh dukun begitupun dalam penataannya harus benar-benar

tepat sesuai dengan keinginannya. Tidak sembarangan menempatkan materi

sesajian, ini dimaksudkan agar persembahan yang kelak akan dilakukan sesuai

dengan harapan para penguasa laut. Hal tersebut terlihat pada gambar 5.3.

Gambar 5.3 Dukun menentukan isi dari materi sesajian

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Gambar 5.3 memperlihatkan proses penentuan dan penataan materi ritual duata

yang berisi beras warna-warni, telur, daun sirih dimana penyusunan dan

pembuatannya dilakukan sepenuhnya oleh sandro (dukun) kampung. Hal ini

dimaksudkan karena dukun adalah orang yang memahami apa yang mesti

dipersiapkan dalam melakukan ritual sehingga perangkat-perangkat isi dari

sesajian pun tepat sesuai dengan harapan. Sebagaimana dijelaskan oleh teori

semiotika Saussure (Hoed, 2008: 3) yang melihat tanda sesungguhnya sebuah

pertemuan antara bentuk yang tercitra dalam kognisi seseorang dengan sebuah

makna dan isi tentang apa yang dipahami manusia sebagai pemakna sebuah

tanda (semiotika). Dalam hal ini ritual duata sebagai sarana untuk membangun

relasi yang baik dalam hubungan manusia dengan sang pencipta serta kekuatan

transenden lainnya.

Dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata dalam hal ini buas

bubu rinti tampak jelas perbedaannya dengan buas bubu rinti pada ritual duata

(sakral). Munculnya sajian beras dengan tampilan dan bentuk baru yang

disajikan merupakan produk kapitalis yang menekankan unsur estetika dari pada

nilai utilitas dari ritual duata. Dalam pertunjukan hal tersebut umum terjadi

dimana ikon, tanda, simbol maupun barang diubah dengan maksud mengubah

tampilan dengan estetika baru sehingga menarik untuk dinikmati. Hal tersebut

tampak pada gambar 5.4.

Gambar 5.4 Materi Ritual Duata Pertunjukkan (pariwisata)

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Gambar 5.4 menunjukkan perbedaan isi materi ritual duata khususnya beras

yang disajikan dengan beras untuk saran ritual duata (sakral). Pada pertunjukan

ritual duata dalam industri pariwisata mengalami perubahan dengan munculnya

warna-warna baru (hijau, merah tua, dan nila) dengan cara penyajian yang

berbeda. Jika dianalisa maka disini terlihat bahwasanya ada perbedaan ideologi

yang dimiliki oleh produsen dalam memberikan penyajian materi ritual terhadap

konsumen. Ideologi yang dimiliki produsen telah mengalami transformasi

kedalam pemikiran kapitalis yang lebih menekankan aspek nilai jual dari pada

aspek nilai esensi dari ritual duata. Tentunya nilai dan makna yang terkandung

dalam sarana ritual akan mengalami pemaknaan yang berbeda dalam ekonomi

pasar.

Perubahan materi ritual duata berupa beras warna-warni dengan tampilan

yang berbeda tidak terlepas dari keinginan pasar. Tentunya sangat berpengaruh

terhadap pemaknaan materi ritual baik bagi masyarakat pendukung materi

maupun penikmat ritual duata. Dalam pemikiran kapitalisme hal tersebut tak

jarang dilakukan demi mendapatkan nilai estetika tinggi sekiranya mampu

menjadikan tampilan ritual mengundang daya tarik yang bisa dipertukarkan

dengan mengharapkan keuntungan lebih.

5.1.2 Bendera (ula-ula)

Bendera ula-ula merupakan simbol identitas etnik Bajo yang terbuat dari

kain berbentuk segit tiga yang merupakan interpretasi sebuah mitos berupa

binatang raksasa (gurita) yang memiliki keterkaitan dengan kehidupan etnik

Bajo yang bisa membawa keselamatan atau musibah. Dalam kebudayaan etnik

Bajo ula-ula biasa difungsikan pada saat prosesi adat, perkawinan, atau dalam

pengobatan (wabah pennyakit). Hewan laut berwujud gurita (kutta) merupakan

saudara kembar (kaka) yang terlahir bersama bayi (manusia) bersamaan dengan

ari-ari (tomuni). Hubungan antara kedua makhluk yang berbeda alam ini terlihat

ketika manusia (sama) mengalami sakit keras (piddi) atau dalam musibah di

lautan (tenggelam) maka saudara (kutta) akan memberikan tanda terhadap

masyarakat adanya musibah yang kelak menimpa penduduk.

Ula-ula yang digunakan terdiri dari beberapa macam ada yang berwarna

putih, merah, merah putih dan cokelat. Warna merah biasanya digunakan oleh

masyarakat untuk mengusir setan, baik yang berasal dari darat (noana/ mbo ma

di dara) maupun di laut (mbo ma di lao). Ula-ula dengan panjang sisi satu

meter dua puluh, terdiri dari tiga potong kain berbentuk segi tiga. Ujung-

ujungnya yang lancip mengarah ke bawah dan dipasangi rumbai-rumbai.

Bahan kain pembuatan ula-ula dibeli di toko tekstil oleh dukun dan

mengggunakan jasa penjahit dalam menyatukan perpaduan warna dan

bentuknya. Biaya yang dikeluarkan oleh sandro untuk mendesain bendera (ula-

ula) ± Rp 300.000 per lembar. Hal tersebut dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)

sebagai berikut.

“Ula-ula ini terbuat dari kain yang dibentuk meyerupai segitiga terbalik,

fungsinya sebagai tanda kalau ada kegiatan di kampung, kain ini saya

beli di toko terus saya bawa kepenjahit untuk dijahit sesuai dengan

gambar yang aku buat. Harga kainnya waktu itu satu meter masih

seharga Rp 30.000. Satu bendera ula-ula ini kalau dihitung ongkos jahit

dan kainnya bisa mencapai Rp 300.000”.(wawancara 6 Pebruari 2014).

Penuturan informan di atas menjelaskan bahwa bendera (ula-ula) memiliki

makna akan sebuah kegiatan pada masyarakat Bajo. Ula-ula merupakan sebuah

bendera yang terbuat dari kain yang didesain oleh dukun namun dalam

pengerjaannya dukun memakai jasa penjahit untuk membentuknya sesuai

dengan keinginan dan karakter bendera ula-ula dari leluhur sebelumnya. Berikut

ini daftar harga masing-masing perlengkapan dalam ritual duata.

Tabel 5.1

Daftar Harga Peralatan Ritual Duata

Nama Barang Satuan Harga

Ula-ula 1 Rp 300.000/lembar

Gendang 2 Rp 150.000/unit

Tawa-tawa 3 Rp 50.000/unit

Gong besar/kecil 1 Rp 100.000/unit

Palisier 5 Rp 2.000.000

Pakaian 8 Rp 50.000/lembar

Sumber: Data Primer,Wawancara 7 Pebruari 2014

Dalam menyusun konsep warna dalam budaya Bajo warna putih

mewakili keadaan masyarakat yang menginginkan pengharapan lebih akan

sebuah musibah yang menimpa masyarakat. Warna putih merupakan sebuah

warna yang netral (polos) sehingga wabah penyakit (makhluk halus) yang

mengganggu atau membawa malapetaka segera pergi meninggalkan masyarakat

Bajo. Selain warna putih dijumpai pula ula-ula berwarna merah, kuning, merah

putih, dan coklat. Semuanya memiliki fungsi yang sama yang membedakannya

hanya dalam prosesi pengobatan dan yang memutuskannya adalah dukun

sendiri mengenai bendera apa yang sebaiknya digunakan untuk menangkal

pengaruh jahat dari setan pengganggu.

Dalam interpretasi pemaknaan ula-ula dalam keyakinan orang Bajo

merupakan sebuah simbol proses terbentuknya pergantian siang dan malam.

Sejalan dengan apa yang dikatakan Pierce (dalam Dasrul, 2013: 26) bahwa

sebuah tanda atau representamen adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili

sesuatu yang lain dalam beberapa hal dan kapasitas. Sesuatu yang lain itu

dinamakan sebagai interpretan (interpretant) dari tanda yang pertama- pada

gilirannya mengacu kepada objek (object). Dengan demikian sebuah tanda atau

representamen memiliki relasi triadik langsung dengan interpretan dan objeknya.

Jadi, Pierce (Piliang, 2003: 226) melihat tanda (representament) sebagai bagian

yang tak terpisahkan dari objek referensinya serta pemahaman subjek atas tanda

(interpretant). Interpretasi dari ula-ula merupakan simbol terjadinya pergantian

waktu di Bumi. Hal tersebut diperjelas dengan penuturan Udin (47 tahun)

sebagai berikut.

“Ula-ula merupakan simbol falsafah budaya sama. Ula-ula merupakan

bahasa simbolik untuk mengungkap dimensi realitas yang tidak

diungkapkan melalui bahasa non simbolik. Ula-ula dikaitkan dengan

mitos hubungan antara matahari dan bumi dimana bentuk bulat pada ula-

ula merupakan matahari sedangkan umbai-umbai tersebut merupakan

pancaran cahaya menuju bumi sehingga pada perputaran bumi pada

matahari menyebabkan adanya pergantian waktu. Setiap waktu matahari

akan mempetakan bumi menjadi empat dimensi yang disimbolkan

dengan empat warna ula-ula. Hari ketujuh merupakan tujuh pandang

matahari pada bumi yang terjadi pada setiap saat. (wawancara 7 Pebruari

2014).

Penuturan informan di atas memberikan penjelasan bahwa hari ketujuh

dianalogikan sebagai tujuh titik simpul kekuatan sekaligus tujuh titik simpul

kekuatan pada diri setiap pribadi. Hal ini menjadi landasan perhitungan waktu

yang kemudian dipilah menjadi hari, bulan, tahun dan di dalamnya berlangsung

proses perubahan (peristiwa) yang berintikan dua hal yaitu baik atau buruk.

Dalam batas-batas tertentu hasil dari proses perubahan itu bisa diukur. Bendera

(ula-ula) dalam kebudayaan etnik Bajo berkaitan dengan simbol-simbol yang

dibangun oleh masyarakatnya. Simbol tersebut memiliki kaitan yang sangat erat

dengan konsep terciptanya manusia ke dunia. Tentunya hubungan-hubungan

tersebut juga menunjukan adanya sebuah mitos yang diwariskan dari generasi ke

generasi berikutnya sehingga ada keterikatan masyarakat dengan sebuah mitos.

Mitos-mitos tersebut hanya dapat hidup dan diwariskan melalui semacam

kenderaan yaitu kenderaan bahasa dan tanda (Piliang 2012: 353). Bendera ula-

ula terlihat seperti gambar 5.5.

Gambar 5.5 Bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula)

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Pada gambar 5.5 menggambarkan sebuah bendera kebesaran etnik Bajo (ula-

ula) berwarna p utih berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan

dikaitkan pada buritan perahu (bido). Bendera ula-ula merupakan sebuah

tanda/simbol akan sebuah peristiwa yang merupakan bagian dari produk budaya

leluhur etnik Bajo. Sebagai suatu simbol/tanda tentu memiliki suatu maksud atau

makna akan sebuah nilai-nilai dalam kehidupan manusia. Pemaknaan terhadap

simbol-simbol atau tanda-tanda atas benda-benda dalam ritual duata sebagai

mana diungkapkan oleh informan di atas, sesuai dengan teori semiotika yang

berorientasi pada pemahaman terhadap berbagai tanda dalam nilai-nilai budaya.

Piliang (Sobur 2003: 15), semiotika adalah ilmu atau metode analisis untuk

mengkaji tanda.

Berdasarkan dari penturan informan di atas, yang memberikan penafsiran

terhadap berbagai simbol dari pelaksanaan ritual duata, sejalan dengan pendapat

Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan

(humanity) memaknai hal-hal (things). Setiap kebudayaan memiliki berbagai

kekayaan mitos, yang hidup dan berkelanjutan dari satu generasi ke generasi

berikutnya. Mitos-mitos tersebut hanya bisa hidup dan diwariskan melalui

semacam kenderaan, kenderaan bahasa dan tanda. Dengan perkataan lain, mitos

selalu menampakkan dirinya melalui tanda-tanda sebagai kenderaan semiotika

(Piliang, 2012: 353).

Selain itu, mitos pada sebuah kebudayaan berkaitan dengan

perumpamaan atau metafora yang digunakan oleh masyarakat untuk

menyampaikan berbagai pesan secara tidak langsung di dalam berbagai media

ekspresi. Dalam hal ini mitos ula-ula yang dibangun oleh masyarakat Bajo

menggunakan bendera berbentuk umbai-umbai sebagai perumpamaan pancaran

sinar matahari yang menyebabkan pergantian waktu yang sangat berlawanan.

Mitos tersebut merupakan sebuah paradigma masyarakat etnik Bajo yang masih

diyakini sehingga memiliki fungsi dan keyakinan yang sama sehingga tercipta

keharmonisan dan solidaritas sosial pada masyarakat etnik Bajo.

5.1.3 Kain Berwarna (palisier)

Pada umumnya kain berwarna yang biasa mereka sebut palisier memiliki

fungsi untuk memberikan kesan indah serta nuansa kesakralan secara adat

karena kain tersebut jarang digunakan terkecuali pada acara-acara khusus

seperti, keselamatan, perkawinan dan acara-acara adat lainnya. Warna yang ada

pada palisier juga terdiri dari empat warna sama halnya warna yang ada pada

beras berwarna dan itu merupakan satu kesatuan yang saling mengikat. Hal

tersebut tampak pada gambar 5.6.

Gambar 5.6 Palisier

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Gambar 5.6 menunjukkan bahwa palisier dalam ritual duata atau upacara adat

lainnya dilakukan pada saat-saat tertentu. Warna putih, merah, hitam dan kuning

pada palisier umumnya digunakan pula pada materi sesajian berupa beras

berwarna. Ini merupakan satu kesatuan antara yang dipersembahkan untuk di

laut (keke) dan yang diperuntukkan kepada Tuhan Yang Maha Esa

(pappu/dewata). Tidak ada perbedaan karena bagi mereka yang diharapkan

adalah permohonan keselamatan bagi yang sedang diobati sehingga penguasa

alam dan makhluk gaib lainnya sama-sama memberikan kekuatan.

Palisier diproduksi oleh dukun sendiri yang mendesain dan memadukan

warna sesuai dengan penggunaan warna yang digunakan oleh leluhurnya secara

turun temurun. Bahan-bahan baku pembuatannya berupa kain berwaarna harus

dibeli di pasar. Cara memproduksi palisier dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)

sebagai berikut.

“Jenis kain yang digunakan sebagai bahan dasar palisier dari kain katun,

dulu aku membelinya seharga Rp 35.0000/meter. Jadi kalau dihitung

setiap palisier berbeda-beda ukurannya, untuk palisier besar berukuran

10 x 15 meter, terus palisier sedang 5 x 10 meter untuk setiap warnanya

membutuhkan ukuran 3 meter itu ada empat warna belum lagi kain yang

menutup bagian pinggir itu ± 15 meter, yang jahit itu sama penjahit yang

ada di pasar.(wawancara 7 Pebruari 2014)

Tuturan di atas memberikan gambaran bahwa dalam pembuatan palisier

membutuhkan bahan dasar kain yang begitu banyak tentunya biaya

operasionalnya pun tinggi. Peran dukun dalam pembuatan palisier hanya

mendesain gambar dan mengumpulkan bahan dasarnya, untuk membuatnya

menjadi satu dibutuhkan jasa penjahit. Produksi palisier dilakukan secara

konvensional yang membutuhkan tenaga, pikiran dan waktu jauh lebih banyak

dalam pembuatannya. Dukun dan penjahit membangun kerja sama sehingga

produk yang dihasilkan merupakan produk desain dukun dimana desain gambar

merupakan hasil rancangan dukun sendiri. Berkenaan dengan itu, menurut Berry

(Kebayantini 2013: 31) pemilikan merupakan salah satu aspek pembagian

pekerjaan merupakan dasar hubungan kekuasaan. Oleh karena itu palisier bukan

hanya tidak diperjual belikan di pasar namun penjahit pun tidak diizinkan untuk

memproduksi palisier persis dengan palisier yang dirancang oleh dukun sendiri.

Tentunya dukun sebagai pihak yang memproduksinya memiliki

kekuasaan dalam menetapkan biaya pemakaian sarana ritual. Memahami praktik

produksi ritual duata yang begitu panjang memungkinkan pemikiran konsumen

akan kepraktisan penggunaan sarana ritual yang telah disediakan oleh sandro.

Konsumen tidak lagi memikirkan bagaimana menyediakan dan mendapatkan

materi ritual duata melainkan kepraktisan yang telah disediakan oleh sandro. Di

dalam fenomenologi (Kebayantini 2013: 35) inilah wilayah kepribadian yang

berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan yang disebut dengan kesadaran

praktis.

Mengingat banyaknya perlengkapan yang akan digunakan dan lamanya

penggunaan waktu dan tenaga dalam pelaksanaan ritual duata maka sandro akan

menentukan bentuk dan patokan harga dalam pelaksanaannya. Patokan harga

pada umumnya bervariasi tergantung siapa dan dimana ritual duata

dipertunjukan. Khususnya dalam mengisi acara pemerintahan atau pariwisata

biasanya pihak terkait/penyelenggara akan berkoordinasi dengan sandro.

Biasanya ritual duata ketika diminta dipertunjukkan di gedung atau hotel,

patokan harga berkisar Rp 7.000.000 sampai 15.000.000 tergantung jenis

tampilan, materi ritual dan lama pertunjukan. Seperti yang diungkapkan oleh

Dasseng (84 tahun) sebagai berikut:

“Ritual duata ini kalau tampil diacara pemerintah patokan harga mulai

dari harga Rp 10.000.000 - Rp 15.000.0000, mengingat ritual ini banyak

sekali prosesnya atau dekorasi yang digunakan terlebih penarinya dan

tukang gendang serta biaya transportasi dan sebagainya sudah termasuk

di dalamnya. Biasanya pihak penyelenggara melakukan nego atas

kecocokan harga dengan kami. (wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata dalam pertunjukannya

dilakukan oleh sandro dan kelompok sanggar kesenian Bajo sebagai media

perantara. Mengenai patokan harga ditentukan sebelumnya oleh sandro. Disini

tampak bahwa ada pengaruh kekuasaan sandro sesuai dengan gagasan Marx

dalam (Berry, 1983: 198) yang melihat kekuasaan bersumber dalam kegiatan

produktif dari hubungan sosial yang terlibat dalam sarana produksi.

Berbeda dengan ritual duata untuk konsumsi pengobatan biasanya

sandro menentukan harga sesuai dengan kondisi yang dialami pasien. Alasan

penggunaan waktu, materi ritual dan besarnya energi/tenaga (supranatural) yang

digunakan sandro dalam mengkomunikasikannya dengan roh-roh tersebut

merupakan bagian dari patokan harga. Dalam kasus seperti ini biasanya keluarga

pasien akan melakukan upaya negosiasi harga sehingga memperoleh kecocokan.

Namun ada juga keluarga pasien yang tidak cocok dengan harga sehingga upaya

penyembuhan tidak dilakukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47 tahun)

sebagai berikut:

“Kalau orang berobat dengan duata memang bajetnya sangat besar mulai

dari harga Rp 3.000.0000 sampai Rp 7.000.000 ada yang sanggup ada

juga yang tidak. Biasanya yang bajetnya besar jenis penyakitnya sudah

sangat parah sekali dan memiliki resiko besar terhadap sandro”

(wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas dianalisis bahwa terkadang bajet yang diberikan oleh sandro

sangat memberatkan pasien sehingga keinginan atau harapan akan kesembuhan

pasien bisa dinilai dari berapa kesanggupan dari pihak pasien. Pemutusan

hubungan ini dilakukan sepenuhnya oleh sandro sebagai pihak produsen karena

tidak ada kesepakatan yang tepat dengan pihak konsumen.

Produksi ritual duata untuk pertunjukan (hiburan) biasanya produsen

memproduksinya dengan mendaur ulang kembali ritual duata yang sakral namun

alat-alat yang digunakan masih alat yang sama yang berbeda adalah gerakan

tarian, kostum, jumlah penari, tempat, materi sesajian, dan waktu pertunjukan.

Dalam pengelolaan ritual duata dalam pertunjukan hak sepenuhnya untuk

melakukan perubahan baik penambahan maupun pengurangan waktu atau

lamanya pertunjukan sepenuhnya dilakukan dukun sekaligus seniman Bajo

sebagai pemilik tradisi ritual duata. Penambahan atau pengurangan materi ritual

atau estetika ritual duata ke dalam pertunjukan dimaksudkan agar tampilan ritual

duata lebih menarik lagi sehingga memunculkan minat dan daya tarik bagi

konsumen. Hal tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.

“Tentunya ritual duata yang sakral dan profan memiliki perbedaan.

Tampak pada perbedaan isi sesajian ada yang dikurangi ada juga yang

malah menambahkan dengan sesuatu yang baru, mengenai panggung

terkadang mengikuti selera konsumen, jumlah penari dan gerakannya

serta pakaian yang dikenakannya. Saya bersama dukun bersepakat untuk

merubah tergantung konteks dimana ritual duata digunakan yang

terpenting orang yang menikmatinya memahami dan tertarik untuk

melihatnya. (wawancara 8 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa tanda atau komponen ritual duata yang

memiliki nilai dan makna di dalamnya sengaja dirubah oleh produsen untuk

mendapatkan tampilan yang baru guna mengundang selera penonton dan

tentunya memiliki nilai guna (ekonomis). Sejalan dengan pemikiran Tester

(2009: 84) komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit

yang sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan. Dengan kesadaran

penuh dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi

untuk memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang

membutukan karya seni tersebut.

Penggunaan palisier dalam pertunjukkan ritual duata untuk pariwisata

sangat berbeda tampilannya dengan pertunjukan ritual duata untuk pengobatan

(sakral). Terlihat dalam pertunjukan ritual untuk pariwisata nampak berbagai

macam kombinasi warna yang dipadukan dengan berbagai macam warna yang

memperlihatkan kesan kemeriahan atau kemewahan dalam proses jalannya

pertunjukan ritual duata. Tikar yang terbuat dari daun pandan yang biasa

digunakan dalam pengobatan diganti dengan menggunakan karpet yang lebih

praktis. Terlihat pada pertunjukan ritual duata senantiasa mengikuti selera pasar

dimana tanda-tanda, ikon maupun simbol-simbol diolah untuk bisa memperoleh

nilai guna yakni keuntungan. Pernyataan tersebut terlihat pada gambar 5.7.

Gambar 5.7 Palisier dengan tampilan lebih meriah

(Dokumen : Jukni 7 Maret 2012)

Gambar 5.7 menunjukkan adanya perubahan tampilan materi-materi ritual

(palisier) dari keasliannya sehingga menyebabkan komponen-komponen dalam

ritual mengalami perubahan yang lebih mewah yang menandakan praktek

kapitalisme telah mengaduk-aduk nilai-nilai otentik sehingga mengarah kepada

turbelensi budaya. Komodifikasi tanda dalam ritual duata terjadi karena

permintaan pasar yang menyesuaikan dengan keinginan konsumen.

Dalam kapitalisme, segala bentuk hasil produksi dan reproduksi

dijadikan komoditi, untuk dipasarkan dengan tujuan mencari keuntungan.

Kekuatan produksi dibentuk dalam kaitan bukan untuk menggali nilai utilitas

atau nilai guna, akan tetapi untuk mencari nilai lebih (profit) dari nilai tukar.

Proses komodifikasi yaitu menjadikan objek-objek sebagai sesuatu yang

memiliki nilai tukar, menurut Adorno dalam piliang (2011: 87) merupakan satu

bentuk nyata pencerahan palsu kapitalisme.

5.1.4 Panggung (Pentas)

Panggung (pentas) merupakan wadah dimana berlangsungnya sebuah

acara/kegiatan yang dengan sengaja dibuat untuk maksud dan tujuan tertentu.

Dalam hal ini panggung dalam kaitannya dengan ritual duata yaitu sebuah

tempat dimana ritual duata itu dilakukan. Pada umumnya ritual duata

berlangsung di rumah warga yang membutuhkan pengobatan. Rumah etnik Bajo

berada di atas permukaan laut berbentuk rumah panggung terbuat dari kayu dan

papan beratapkan rumbia (daun ijuk) atau kelapa. Hal tersebut dituturkan oleh

Dasseng (84 tahun) sebagai berikut.

“Untuk pengobatan ritual duata sebenarnya tidak ada panggung makanya

ada kain palisier ini untuk tanda saja, tapi untuk pertunjukkan maka kami

buatkan panngung karena kejadiannya bukan sama lagi dengan di rumah,

akan tetapi kami buat kadang di atas perahu atau di panggung permanen

seperti di gedung.” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan bahwa dalam konteks pertunjukkan ritual duata,

panggung didesain khusus dengan membuat perumpamaan sebuah rumah di atas

laut atau mengikuti selera konsumen. Panggung bisa dilakukan di atas perahu

bisa juga di atas pentas permanen dalam sebuah gedung, tergantung hajatan atau

acara. Hal tersebut mengindikasikan bahwa dalam proses komodifikasi ritual

duata telah terjadi praktek pemalsuan identitas atau tanda. Dalam hal ini objek

yang ditampilkan tidak sesuai dengan esensi ritual duata. Akibat dari

penyesuaian akan unsur-unsur budaya lokal ke dalam industri budaya massa.

Seperti yang dikatakan Piliang (2011:11) bahwa budaya massa merupakan

kategori kebudayaan yang diciptakan untuk massa yang luas, sehingga oleh

Adorno cenderung dilihat sebagai kebudayaan yang menghasilkan selera massal

atau rendah.

Jika dikaitkan dengan wacana kapitalisme estetika merupakan produk

dari sistem percepatan produksi konsumsi akibat dari komodifikasi produk

secara total (Piliang 2011: 165). Berkaitan dengan komodifikasi ritual duata,

panggung merupakan modal estetik yang sengaja dibentuk, didesain seindah

mungkin sehingga memiliki nilai estetika yang mengundang daya tarik. Terlebih

terkadang komponen pendukung panggung seperti lampu dengan penataan yang

begitu indah memberikan kesan meriah akan tampilan ritual duata. Hal tersebut

ditunjukkan pada gambar 5.8.

Gambar 5.8 Panggung permanen

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Pada gambar 5.8 memberikan penggambaran bahwasanya ritual duata yang

bernilai sakral sebelumnya dilakukan di dalam rumah pasien namun dalam

konteks pertunjukan ritual duata, panggung diubah mengikuti permintaan

konsumen sebagai imitasi dari rumah panggung etnik Bajo. Fasilitas pendukung

lainnya seperti lampu penerangan pada panggung menunjukkan bahwa

panggung telah mengalami komodifikasi. Sesuai dengan konsep komodifikasi,

dimana tanda, indeks, simbol yang sebelumnya bukan barang komoditas karena

permintaan pasar diubah menjadi barang komoditi. Proses komodifikasi yang

menjadikan panggung, pementasan bukan lagi menjadi objek utama yang dibeli

dan mendapatkan nilai guna (sesuai fungsinya) melainkan dibeli (panggung

digunakan) sebagai tanda suatu komoditas (Barker, 2005: 145-146). Tempat

pementasan, panggung ditentukan melalui suatu proses pertukaran yang

menandakan nilai sosial, status, dan kekuasaan dalam konteks makna budaya,

yang mencirikan adanya suatu masyarakat konsumer, masyarakat komodifikasi.

Dalam budaya populer, suatu barang menjadi komoditi untuk dikonsumsi

sebagai bagian dari kapitalisme konsumsi. Dalam hal ini tempat pementasan,

panggung menjadi barang komoditi yang diciptakan kapitalisme sebagai bagian

dari gaya hidup berkesenian. Menurut Sunardi (Robert 2010: 207) kapitalisme

menciptakan massifikasi atau penyeragaman konsumsi, melalui berbagai indera

perasa, pendengaran, penglihatan dan penciuman.

5.1.5 Pakaian (Busana)

Pakaian atau busana merupakan sebuah benda berupa kain yang

berfungsi menutupi diri (aurat) dan melindungi diri dari perubahan cuaca serta

penanda dari identitas diri. Pakaian yang dimaksudkan disini yaitu berupa kain

yang sengaja dibuat untuk dipakai oleh perempuan Bajo dalam ritual duata.

Umumnya pakaian yang digunakan perempuan Bajo berupa sarung adat

berwarna gelap (ungu) yang diikatkan dibagian tubuh bagian atas (sejajar dada)

sehingga bagian tubuh punggung tampak terbuka dengan sehelai kain

(selendang) warna merah muda disempatkan di atas bahu. Busana yang

digunakan dalam pementasan ritual duata disediakan oleh sandro. Namun

terkadang demi memenuhi selera pasar tak jarang pula sandro harus meminjam

pakaian di salon-salon kecantikan guna memenuhi permintaan pasar

(konsumen). Pakaian khas etnik Bajo tampak pada gambar 5.9.

Gambar 5.9 Pakaian khas etnik Bajo

(Dokumen: Irsyan Basri 7 Pebruari 2014)

Pada gambar 5.9 terlihat pakaian khas etnik Bajo yang biasanya digunakan pada

ritual duata. Umumnya pakaian mereka tampil sesederhana mungkin. Dalam

pertunjukan ritual duata (hiburan) perubahan pakaian penari tampak sangat

menonjol disesuaikan dengan selera dan kondisi era kekinian. Perubahan warna

maupun ornamen-ornamen tambahan yang dikenakan penari ikut menghiasi diri

penari seolah-olah memberikan kesan lebih meriah dan memiliki daya tarik bagi

penikmat (konsumen). Perubahan tersebut sebagai bentuk kreativitas seni yang

dihasilkan oleh produsen untuk membuat tampilan ritual duata lebih meriah.

Pakaian penari yang telah mengalami perubahan telihat pada gambar 5.10.

Gambar 5.10 Pakaian yang sudah dimodifikasi

(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Gambar 5.10 menunjukan adanya perbedaan pakaian yang digunakan penari

dalam pementasan. Hal ini terjadi karena permintaan pasar atau keinginan

produsen agar tampilan ritual duata tidak monoton. Mereka mendaur ulang

bentuk pakaian agar lebih menarik dan tampil dengan trend masa kini.

Penyesuaian busana juga harus memperhatikan situasi dan kondisi dimana

mereka tampil. Hal tersebut menunjukan bahwa perubahan tampilan dalam ritual

duata berkaitan dengan gaya hidup (life style) demi mengikuti selera konsumen.

Terkait dengan hal tersebut nampaknya perubahan yang terjadi dipengaruhi oleh

kultur kapitalis, tak lain merupakan bentuk manipulasi dan penguasaan yang

secara total meresapi struktur psikis dan sosial Beilharz (dalam Suyanto 2013:

115).

Di era perkembangan masyarakat yang didominasi kekuatan kapitalisme,

sifat kapitalisme akan membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat

dilebur dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu masif konsumsi. Ketika

persaingan antar kekuatan kapital makin kuat dan masing-masing berusaha

mencari corak pasar baru dan berusaha memaksimalkan produksi serta

keuntungan, maka yang terjadi adalah bagaimana mencari peluang pasar secara

terus menerus, merawat loyalitas pelanggan, dan mencoba menawarkan produk-

produk termasuk produk budaya secara masif. Komodifikasi bagi Adorno

(dalam Piliang 2010: 87) tidak saja merujuk pada barang-barang kebutuhan

konsumer akan tetapi merambat pada bidang seni dan kebudayaanya. Selain

mengacu pada konsep pakaian khas etnik Bajo, pihak produsen juga

menggunakan corak warna pakaian dan tata cara berpenampilan dari corak

pakaian adat Buton pada umumnya. Seperti yang digambarkan pada gambar

5.11.

Gambar 5.11 Pakaian penari dengan sentuhan warna pakaian adat Buton

(Dokumen: Asrif 6 Maret 2013)

Pada gambar 5.11 terlihat penari duata menggunakan pakaian dengan kombinasi

warna, kuning, hitam, merah dan putih dengan motif bergaris-garis yang

memiliki kemiripan dengan corak pakaian adat khas perempuan Buton pada

umumnya. Pakaian tersebut sengaja didesain dengan mengambil sentuhan kultur

budaya etnik Buton (Wakatobi) untuk menunjukkkan identitas etnik Bajo dari

kepulauan Wakatobi. Hal ini dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.

“Kami khususnya dari pihak produsen dan sanggar tari Bajo mendesain

pakaian penari ini sesuai selera dan acara dimana mereka akan tampil.

Ada beberapa koleksi pakaian yang kami desain khusus, seperti pada

pertunjukan ritual duata yang diadakan di kampung Bajo sendiri maka

kamu menggunakan corak identitas Bajo dengan motif-motif warna

gelap tapi kalau untuk pertunjukan dalam kegiatan pemerintah atau

pariwisata maka kami akan menggunakan pakaian dengan sentuhan etnik

Bajo dan Buton biar ada kolaborasi identitas kami dengan etnik Buton

(Wakatobi) disamping itu juga dengan perpaduan warna tersebut bisa

mengundang daya tarik dan selera penikmat seni’ (wawancara 7 Pebruari

2014).

Tuturan di atas menunjukkan bahwa pada segi pakaian yang digunakan pada

ritual duata untuk pertunjukkan nampaknya produsen telah membuka diri untuk

melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan perkembangan gaya hidup dan

estetika warna yang dipengaruhi oleh permintaan pasar. Jika ritual duata

dilakukan kampung Bajo maka mereka akan menggunakan sarung dan

selendang tanpa menggunakan baju sedangkan pada pertunjukan pariwisata atau

untuk acara pemerintah maka akan menggunakan berbagai macam pakaian dan

warna-warna menarik. Hal ini menunjukkan bahwa budaya kapital (selera pasar)

mempengaruhi estetika masyarakat sebagaimana yang dinyatakan oleh Piliang

(2012: 98) budaya global (kapital) masuk kesegala lini kehidupan masyarakat

dunia tidak terkecuali pada bidang seni dan estetika masyarakat. Produsen

mampu menempatkan posisi dan melihat kondisi pasar agar ritual duata tetap

diterima oleh masyarakat pendukungnya dan para penikmat seni bisa menerima

sesuai dengan harapan mereka.

5.1.6 Gerak Tari (ngigal)

Gerakan tari pada ritual duata sebenarnya berupa gerakan-gerakan kecil

dengan kaki menjinjit secara bergantian (kiri kanan) mengikuti ketukan bunyi

gendang sebagai pengiringnya. Gerakan tangan diarahkan ke kiri dan ke kanan

dengan posisi kedua tangan searah memutari pasien yang diobati. Sebuah mitos

dalam gerakan ini terkadang makhluk halus merasuki penari dan ikut menari

sesuai dengan kehendaknya. Fungsi gerakan ini dimaksudkan untuk memberikan

semangat hidup bagi pasien serta memanggil roh (arwah) pengganggu yang

menyebabkan pasien sakit serta bentuk ucapan kegirangan ketika sang pasien

dinyatakan sembuh. Hal tersebut dituturkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai

berikut.

“Ngigal pada dasarnya sebuah gerakan-gerakan loncat secara halus

disertai dengan gerakan tangan yang memegang kipas. Pada saat pasien

dinyatakan sembuh maka keluarga pasien akan bersorak gembira sambil

loncat-loncat dengan berbagai gerakan tangan” (wawancara 7 Pebruari

2014).

Tuturan tersebut memberikan gambaran bahwa gerakan ngigal yang dilakukan

pada saat berlangsungnya ritual duata merupakan gerakan penyemangat agar

pasien tetap kuat melakukan selama prosesi ritual duata. Jiwa pasien yang lemah

akan senantiasa dibangun dengan semangat dari keluarga atau kerabat pasien

yang ada disekelilingnya. Agar tidak tampak sepi maka cara yang dilakukan

keluarganya yaitu dengan menari-nari mengikuti bunyi-bunyian dari gendang

dan gong.

Pada gerakan tari (ngigal) tidak menutup kemungkinan yang

melakukannya bisa laki-laki ataupun perempuan dengan jumlah tak terbatas.

Pada gerakan ini sandro juga ikut melakukannya dengan menggunakan keris

mempertujukkan kelihaiannya dalam menari diikuti penari lainnya yang

memegang kipas sehingga suasana nampak menjiwai. Hal tersebut tampak pada

gambar 5.12.

Gambar 5.12 Gerakan tari (ngigal)

(Dokumen: Dinas Pariwisata Wakatobi 7 Pebruari 2013)

Gambar 5.12 menunjukkan bahwa gerakan tari dalam ritual duata memiliki

kekuatan dan makna sehingga ritual duata lebih tampak dengan unsur-unsur

magisnya. Namun dalam pertunjukan hiburan mengalami perubahan bentuk baik

formasi maupun jumlah penari dan pada umumnya dilakukan oleh kaum

perempuan Bajo. Banyak gerakan tambahan yang dimasukan atau pengurangan

dalam tarian misalnya gerakan menggunakan selendang, kipas dan gerakan

dalam posisi duduk. Perubahan tersebut memiliki alasan yakni tidak

memberikan kesan monoton akan gerakan tangan dan kaki tapi dengan variasi

posisi penari saling berhadapan dan melingkar membuat suasana hidup dan

menarik perhatian penonton. Dalam formasi gerakan terkadang satu penari

memiliki peran ganda yakni sebagai dukun dan pasien tak jarang juga hanya

gerakan-gerakan kaki dan tangan tanpa ada yang memainkan peran dukun yang

menunjukan ada prosesi pengobatan misalnya pada acara penyambutan tamu.

Disinilah letak perubahan yang sangat jauh dari kesan aslinya yang seharusnya

bendera ula-ula yang menandai berlangsungnya ritual duata adanya di atas

perahu namun dalam pertunjukan dipegang oleh penari. Nampaknya produksi

ritual duata yang mengalami komodifikasi posisi dukun (sandro) sangat penting

dalam mengubah struktur/bentuk ritual duata. Seperti yang diungkapkan oleh

Djamrin (38 tahun) sebagai berikut:

“Jadi pembentukan struktur ritual duata dalam pertunjukan duata

maupun pengobatan, para seniman bekerja sama dengan sandro untuk

menata ulang jalannya ritual. Sandro akan menentukan sendiri apa yang

bisa dipertunjukan dan apa yang tidak boleh, karena mengingat ritual ini

masih sangat sakral sehingga ada batasan untuk bisa dipertontonkan”

(wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukan adanya relasi kerja sama antara seniman dan

sandro dalam mengolah atau memproduksi ritual duata dalam bentuk produk

baru. Struktur atau bentuk ritual duata sengaja dirubah dengan alasan menjaga

esensi nilai kesakralannya. Nampaknya pada proses produksi sandro memiliki

kekuasaan penuh dalam mendesain atau menciptakan desain baru dalam

mendaur ulang ritual duata agar lebih menarik. Perubahan estetika bentuk

gerakan dan pakaian ditunjukkan pada gambar 5.13.

Gambar 5.13 Gerakan tari (ngigal) yang mengalami perubahan

(Sumber: Dinas Pariwisata Wakatobi 2014)

Dalam proses mendaur ulang ritual duata kedalam kreasi seni sandro

memiliki beberapa anggota sanggar yang berpartisipasi didalamnya. Untuk

mendapatkan gerakan tari yang indah maka sandro meminta penata tari

(koreografer) dan penata busana untuk memberikan kesan estetika sehingga

benilai jual untuk di konsumsi oleh penikmat seni. Dalam masyarakat cara

produksi semacam itu disebut hubungan produksi, yang menurut Marx (Berry,

1983: 200) hubungan produksi ini adalah hubungan sosial. Pada masyarakat

kapitalis gagasan cara berproduksi tersebut menggambarkan hubungan antara

pekerja dengan majikannya, peralatan, teman sekerjanya dan kegiatannya

(Kebayantini 2013: 23). Hubungan sandro, dan pelaku seni (koreo dan busana)

serta pekerja lainnya merupakan hubungan kerja yang saling melengkapi dengan

keahlian masing-masing sehingga hubungan ini terjalin dari spesialisasi dan

pembagian kerja sehingga tenaga kerjanya diberikan upah sejalan dengan

konsepsi Marx (dalam Kebayantini 2013: 23) hubungan-hubungan produksi

dalam masyarakat kapitalis tenaga kerjanya diupah uang.

Seni pertunjukan pada umumnya salah satu bentuk produk budaya

kekaryaan manusia yang berbasis pada kegiatan kreatif. Kesenian akan hidup

jika ada kreativitas. Kreatif dalam membuat karya, kreatif dalam menggelar

maupun dalam menyosialisasikan dan menghidupi dirinya, termasuk

menggalang dana dengan berbagai cara. Seniman dapat menjadi mesin uang dari

industri, sebaliknya seniman dapat juga memanfaatkan dunia industri sebagai

sarana promosi dan memasarkan diri dan karya-karyanya.

Ritual duata dalam perkembangannya dari waktu kewaktu mengalami

kesinambungan yang mengalami perubahan. Gencarnya arus globalisasi saat ini

menimbulkan pertanyaan mengenai keberadaan tradisi yang merupakan

kebudayaan adiluhung nenek moyang. Tidak dapat dihindari bahwa dalam

kehidupan dan perkembangan seni tradisi utamanya seni-seni yang berkaitan

dengan unsur tradisional selalu dihadapkan pada dinamika masyarakat dan

zaman yang selalu berdampak pada sebuah perubahan karena pada dasarnya

perubahan tersebut merupakan tanda-tanda kehidupaan akan tradisi tersebut.

namun dilain pihak akan berimbas pada paradigma masyarakat akan esensi nilai

kesakralan dan makna ritual dari ancaman polusi dan pengkaburan makna dalam

tradisi tersebut.

Sejak ritual duata dijadikan sebagai salah satu bentuk kesenian etnik

Bajo tentunya mengalami banyak perubahan. Perubahan yang dimaksud

mengikuti selera pasar. Apa yang pasar inginkan pastinya sandro bersama

seniman Bajo akan melakukan pembaharuan dengan melihat situasi dan kondisi

dimana dipertunjukan sehingga waktu pelaksanaan ritual duata sekarang

mengikuti waktu yang ditentukan oleh konsumen atau panitia penyelenggara.

Hal tersebut nampak pada perubahan waktu yang digunakan sudah sangat

berbeda dengan penggunaan waktu ritual duata yang original. Pada hal dengan

perubahan waktu yang dilakukan tersebut banyak aspek-aspek ritual yang

dikesampingkan sehingga menimbulkan pengaburan makna yang terkandung

didalam prosesnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai

berikut.

“Tentunya dalam penggunaan waktu ritual duata yang asli dengan yang

sudah dijadikan pertunjukan tersebut sangat berbeda. Pada hal dengan

adanya waktu yang lama tersebut ada bagian-bagian ritual yang

semestinya ditampilkan namun karena dibatasi oleh panitia maka bagian-

bagian tersebut tidak ditampilkan yang pada akibatnya akan

menimbulkan pengkaburan tanda atau makna ritual duata” (wawancara 8

Pebruari 2014).

Ungkapan tersebut nampaknya ritual duata dalam pertunjukannya mengikuti

selera pasar sehingga dari segi penggunaan waktu pelaksanaan pun sangat

berpengaruh karena panitia memberikan batasan lama pertunjukan sehingga

dengan keterbatasan waktu tersebut banyak bagian-bagian ritual yang

dihilangkan bahkan dipersingkat sehingga tidak utuh seperti aslinya.

5.2 Distribusi Ritual Duata

Distribusi dalam penelitian ini adalah usaha untuk menyalurkan dalam

arti memperkenalkan, mempromosikan tradisi lisan berupa ritual duata, agar

dapat diketahui oleh masyarakat umum, termasuk wisatawan lokal dan

wisatawan asing. Dengan diperkenalkan atau dipromosikan ritual duata pada

masyarakat luas akan mengundang ketertarikan dan berkeinginan untuk

mengetahui lebih dekat bahkan mengonsumsinya.

Dalam penelitian ini, pendistribusian ritual duata bukan hanya sebatas

bagaimana ritual duata bisa sampai pada konsumen atau dinikmati oleh

konsumen namun berkaitan dengan upaya bagaimana ritual duata bisa dikenali

oleh masyarakat luas yang tidak melihat atau menikmati secara langsung. Fungsi

distribusi, menurut Yoeti (1996:110), adalah sebagai penghubung antara

produsen dan konsumen maupun pemakai.

Disamping itu, dalam pendistribusian tidak hanya sebatas

mendistribusikan produk jasa/barang kepada konsumen namun terjadi

pendistribusian ideologi dan kekuasaan dimana pemasaran dan promosi ideologi

dibelakang produk-produk tersebut (Burton 1999: 38). Dalam pengertian ini

orang yang mengkonsumsi ritual duata juga mengonsumsi kepercayaan yang

diminati orang-orang yang mengosumsi ritual duata sebelumnya dalam artian ini

merupakan sebuah prestise sendiri yang dicapai. Proses pendistribusian ritual

duata dalam penelitian ini dibagi melalui dua hal yaitu (1) media massa dan (2)

komunikasi lisan.

5.2.1 Media Massa

Media massa dalam penelitian ini terkait dengan sebuah wadah/saluran

komunikasi yang memberikan informasi secara luas kepada masyarakat dalam

hal ini media massa digunakan sebagai sarana pendistribusian produk/jasa ritual

duata. Media massa terbagi menjadi dua yaitu media elektronik dan media cetak.

Media elektronik merupakan sarana penyebarluasan berita dan informasi

kepada khalayak luas, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. Hal ini

selaras dengan fungsi media massa sebagai lembaga siaran yang berkepentingan

dengan penyebaran informasi dan bisnis serta upaya mempengaruhi opini publik

internasional (Shoelhi, 2009).

Dalam pendistribusin produk jasa/barang ritual duata bisa melalui iklan

baik melalui internet, radio, koran, brosur, televisi, sehingga berkembanglah apa

yang secara umum diberi label industri budaya. Iklan di media massa bukan lagi

sebagai elemen pelengkap sistem industrialisasi dan kapitalisme melainkan telah

menjadi salah satu instrumen paling vital. Dikatakan demikian karena iklan telah

terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk membujuk nafsu dan hasrat (desire)

konsumen terhadap produk barang ataupun jasa melalui serangkaian asosiasi

ideologi citra yang dibangunnya (Kebayantini, 2013: 63).

Iklan sebagai media perantara cukup efektif bisa dikonsumsi oleh

masyarakat khususnya produk budaya ritual duata sejauh ini hanya pada iklan

pariwisata yang dilakukan oleh dinas pariwisata Kabupaten Waktobi pada

televisi serta internet untuk memberikan informasi layanan jasa pariwisata dan

mensosialisasikan potensi budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Wakatobi

sehingga masyarakat memahami dan ikut serta dalam mengonsumsi,

melestarikan dan mengembangkan produk budaya lokal. Seperti yang dituturkan

oleh Djamrin (38) sebagai berikut.

“Untuk sekarang ini, yang saya ketahui bahwa ritual duata telah dikenal

oleh masyarakat luas waktu itu saya melihat ditayangan iklan pariwisata

Wakatobi di televisi lokal dan di internet sehingga kami juga bangga

bahkan mau berbuat lebih lagi untuk melestarikan dan mengembangkan

budaya Bajo khususnya ritual duata ini” (wawancara 5 Pebruari 2014).

Penuturan Djamrin tersebut menggambarkan bahwa peran iklan yang dilakukan

oleh pemerintah maupun pemerhati tradisi sangat membantu dalam usaha

pelestarian dan pemberian informasi sekaligus memperkenalkan kebudayaan

Bajo dimasyarakat luas yang pada akhirnya orang ataupun wisatawan mau dan

tertarik ingin melihat kebudayaan Bajo di Kabupaten Wakatobi. Peryataan

tersebut seperti pada gambar 5.14.

Gambar 5.14 Promosi ritual duata melalui intenet

(Dokumen: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Gambar di 5.14 menunjukkan bahwa ritual duata dalam pendistribusiannya

menggunakan media internet dalam mengiklankannya. Internet dijadikan alat

untuk mendukung pemasaran produk budaya etnik Bajo agar masyarakat luas

bisa mengenali dan tentunya ada keinginan untuk lebih mengenali ritual duata

lebih dekat lagi. Iklan merupakan bagian teknik komunikasi. Iklan tidak hanya

menggunakan bahasa sebagai alatnya, tetapi juga alat komunikasi lainnya seperti

gambar dengan citra bergerak (motion picture), warna dan bunyi-bunyi dimana

perpaduan keseluruhan akan menghasilkan komunikasi periklanan yang efektif

(Mulyana, 2007:68).

Iklan mendesain berbagai macam tanda yang mengandung pemaknaan

sehingga masyarakat mau dan berkeinginan untuk mengonsumsi tanda lewat

media tersebut. Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Piliang (2003) bahwa

pada era post-industri media terlibat dalam mempengaruhi makna yang termuat

dalam objek-objek seni melalui proses komunikasi. Media bahkan disebut

sebagai bagian dari kekuasaan yang menentukan proses produksi-konsumsi

objek-objek estetik. Objek-objek seni yang merupakan bagian dari kebudayaan

materi yang diproduksi dan dikonsumsi kemudian dijadikan alat untuk

menyampaikan makna-makna dan kepentingan-kepentingan sosial yang ada

dibelakangnya.

Media, khususnya media elektronik tidak dapat dipisahkan dari

kepentingan yang ada dibalik media tersebut. Di dalam perkembangan media

mutakhir, ada satu kepentingan utama dibalik media, yaitu kepentingan ekonomi

(economic interest). Iklan telah terbukti mempunyai kekuatan dahsyat untuk

membujuk hasrat konsumen terhadap produk melalui serangkaian ideologi citra

yang dibangunnya. Sejalan dengan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 186)

Iklan dipahami sebagai aktivitas penyampaian pesan-pesan visual kepada

khalayak dengan maksud menginformasikan atau mempengaruhi mereka untuk

membeli produk barang dan jasa yang direproduksi. Iklan dirancang sebagai

penyampaian pesan untuk mempersuasi khalayak tertentu, untuk menerima

penawaran produk dengan mengeluarkan biaya.

Iklan televisi menarik bagi konsumen karena keunggulannya menyajikan

audio dan visual secara bersamaan. Televisi sebagai media periklanan,

merupakan salah satu media yang paling mudah untuk mempromosikan produk

barang dan jasa kepada masyarakat. Dalam iklan banyak permainan tanda yang

pada prosesnya harus diinterpetasikan sehingga tanda tersubut mempunyai

makna yang mudah dipahami oleh masyarakat. Dalam hal ini komodifikasi ritual

duata dikemas dalam iklan penuh dengan permainan tanda dalam

mempromosikannya.

Iklan sebagai proses pertukaran tanda dan makna adalah sistem tanda

terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap

dan juga keyakinan tertentu. Setiap pesan dalam iklan ada dua tingkatan makna

yang dinyatakan secara eksplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan

secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi

metode yang sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam iklan

dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melaui

semiotika ideologi- ideologi dibalik iklan bisa dibongkar.

Iklan dalam perkembangannya di era post modernisme bukan sekedar

pengumuman ringan, penyebarluasan informasi, dan promosi barang dan jasa

namun iklan dijadikan sebagai organisasi bisnis bagi kaum kapitalis. Di negara

manapun kehadiran dan peran iklan telah menguasai seluruh lapisan komunikasi

di media massa sehingga keduanya tidak bisa hidup tanpa iklan. Dengan

menguasai media dan merekayasa citra melalui iklan, seseorang yang dekat

dengan media massa akan mampu dengan mudah masuk kedalam pasaran.

Dengan perantaraan iklan melalui media massa maka kekuatan kapitalis

dengan mudah akan memperkenalkan produk barang/jasa mereka hasilkan ke

pasar, menggambarkan sesuatu janji atau keunggulan sebuah barang/jasa yang

sering kali berlawanan dengan kenyataan namun justru disinilah sebenarnya

letak kekuatan iklan. Sesuai dengan pendapat Kasiyan (dalam Suyanto, 2013:

231) iklan tidak hanya menyajikan sebuah fungsi (use value), melainkan juga

menekankan janji atas nilai.

Selain media massa yang digunakan dalam pendistribusian ritual duata

juga digunakan media cetak yang mengutamakan pesan-pesan visual, dan

umumnya media ini berbentuk lembaran kertas dengan sejumlah kata, gambar,

atau foto bagian-bagian yang menarik dari produk tersebut. Media cetak jenis ini

terutama berbentuk surat kabar, brosur, dan selebaran seperti pada gambar 5.15.

Gambar 5.15 Koran dan Brosur dalam pendistribusian ritual duata

(Dokumen: Kantor Desa Mola Selatan 2014)

Media sebagai sebuah diskursus sesungguhnya tidak dapat dipisahkan

dengan kesalingberkaitan antara bahasa yang digunakan di dalamnya,

pengetahuan yang melandasinya, dan bentuk-bentuk kepentingan yang

beroperasi dibaliknya. Dengan kata lain, media tidak dapat dipisahkan dari

ideologi yang membentuknya, yang pada akhirnya mempengaruhi bahasa yang

digunakan dan pengetahuan yang dihasilkan (Piliang, 2009 : 134).

Dalam konteks media, simulasi adalah penciptaan realitas media yang

tidak lagi mengacu para realitas di dunia nyata sebagai referensinya, sehingga ia

menjadi semacam realias kedua yang refrensinya adalah dirinya sendiri yang

disebut simulakra. Simulakra tampil seperti realitas yang sesungguhnya, pada

hal ia adalah realitas artifisial, yaitu realitas yang diciptakan lewat teknologi

simulasi, sehingga pada tingkat tertentu realita media ini dipercaya lebih nyata

dari realitas yang sesungguhnya (Piliang, 2009 : 141). Ritual duata sebagai

produk budaya dipromosikan melalui media massa cetak. Hal ini memperjelas

bahwa disisi lain pengaruh modernisasi berdampak positif bagi kelangsungan

dan perkembangan budaya lokal yang semakin terpinggirkan atau terancam

punah. Promo media semacam ini cukup efektif untuk digunakan mengingat

manusia memiliki keterbatasan dalam mempromosikannya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Piliang (2012: 63) objek seni dalam kebudayaan moderen dan

post modern merupakan dari kebudayaan materi. Produk seni tidak hanya

diproduksi, dikonsumsi namun juga didistribusikan melalui media khususnya

dalam bentuk iklan atau koran.

Sekiranya melalui media massa ritual duata mampu menjadi sebuah

prodak kesenian disamping bernilai jual juga bisa menjadi benteng

pemertahanan tradisi yang hampir punah, melalui pendokumentasian kiranya

generasi muda penerus tradisi khususnya masyarakat Bajo mampu mewarisi dan

memahami nilai-nilai yang telah dibangun oleh leluhur sebelumnya. Disinilah

bagian-bagian keterkaitan antara budaya tradisional dan budaya moderen yang

saling bersinergi, saling mengisi dan membutuhkan. Tradisi lokal bisa

dikembangkan keruang lingkup budaya moderen dengan berbagai kreativitas

dalam memproduksi, mendesain atau mengembangkannya sehingga mampu

menjadi sumber nilai baik secara ekonomi maupun dalam plestarian budaya

pada konteks era globalisasi.

5.2.2 Komunikasi Lisan

Komunikasi lisan atau verbal atau juga disebut “the word of mouth” yang

diungkapkan Kasiyan (dalam Kebayantini, 2010: 194) merupakan salah salah

satu cara untuk membantu kelancaran jual beli dalam masyarakat yang masih

sangat sederhana. Meskipun demikian sampai saat ini cara tersebut ternyata

masih bertahan dan masih sering digunakan baik secara disengaja maupun tidak.

Komunikasi lisan masih cukup efektif sebagai cara penyampaian atau

menginformasikan ritual duata yang diproduksi sehingga diketahui oleh

masyarakat secara umum. Komunikasi lisan dapat terjadi karena disengaja

ataupun tidak dan bisa terjadi antara pihak produsen dengan anggota masyarakat

atau antar anggota masyarakat.

Dalam kaitannya dengan distribusi ritual duata maka langkah yang biasa

dilakukan oleh produsen ataupun konsumen yaitu dengan cara bertemu langsung

dan masing-masing melakukan berbagai macam cara agar keinginan kedua pihak

sama-sama diuntungkan. Biasanya pihak produsen sebelumnya melakukan

sosialisasi secara lisan dengan masyarakat Bajo sendiri akan nilai-nilai dan

fungsi ritual duata. Masyarakat Bajo yang memahami manfaat dan pentingnya

ritual duata tersebut melakukan hal yang sama kepada orang lain, kerabat,

keluarga ataupun dimana saja mereka berada dengan maksud agar kebudayaan

Bajo dikenal orang banyak dan memahami esensi dari ritual duata sendiri.

Informasi tersebut didapatkan dari mulut kemulut sehingga rasa penasaran akan

kebenarannya membuat orang mau melihat bahkan mengkonsumsi ritual duata

untuk berbagai kepentingan. Seperti yang diungkapkan oleh Romi (40 tahun)

sebagai berikut.

“Saya sendiri orang di darat (bukan Bajo) mengetahui akan adanya cerita

ritual duata dari teman-teman didekat rumah katanya di Bajo itu ada

dukun yang bisa mengobati orang dan rata-rata sembuh, saya penasaran

maka aku mencoba kerumah dukun itu nampaknya dirumahnya banyak

orang datang berobat dengan berbagai macam keluhan dan menurut

informasi yang saya dapatkan dari pasiennya rata-rata bisa disembuhkan

apapun jenis penyakitnya. (wawancara 7 Pebruari 2014)

Ungkapan tersebut menggambarkan bahwa komunikasi lisan yang dilakukan

dari mulut ke mulut memberikan pengaruh besar terhadap penyebaran informasi

ke masyarakat. Melalui komunikasi lisan yang dilakukan oleh dukun terhadap

pasien memberikan pemahaman baru akan nilai-nilai ritual duata. Konsumen

yang paham dan merasa penting untuk diketahui orang banyak maka konsumen

akan melakukan komunikasi lisan ke konsumen lainnya.

Kebudayaan sebuah masyarakat juga tak bisa dipisahkan dari

komunikasi. Komunikasi penting bagi kelangsungan hidup manusia. Melalui

komunikasi kita membangun budaya, dan ketika kita berkomunikasi, kita

berkomunikasi secara budaya Lull (dalam Ibrahim: 2007: xx). Melalui

komunikasi ideologi budaya bisa menyelinap kepemikiran masyarakat melalui

pemahaman atau cara pandang tentang kebudayaan tersebut. Dalam komunikasi

lisan ide-ide atau gagasan nilai yang dimiliki dukun dengan pemahamannya

tentang ritual duata bisa dikonsumsi pula sebagai sumber informasi penting bagi

masyarakat pemilik/pendukung tradisi ritual duata. Tidak hanya produk dalam

bentuk barang (benda) tapi ide-ide atau gagasan berupa petuah, nilai-nilai

kearifan lokal pun bisa dijadikan sebagai sesuatu yang dikonsumsi dalam

pemahaman konsep religi.

Dukun selaku pemilik ritual duata memiliki kekuatan/ideologi kuat

dalam mengembangkan ritual duata. Melalui pengetahuan akan nilai-nilai dalam

ritual duata mampu menguasai masyarakat Bajo. Sebagai orang yang memiliki

kemampuan lebih tidak memutup kemungkinan pola pemikirannya dipengaruhi

ide-ide manusia moderen yang mampu merubah sesuatu barang yang

sebelumnya bukan untuk diperjual belikan menjadi sesuatu yang bernilai jual.

Seperti halnya dalam komersialisasi ritual duata tentunya sandro sebagai

manusia akan mengalami perubahan pola pikir untuk mengembangkan ritual

duata kedalam industri budaya kreatif guna menopang kehidupan ekonomi.

Pengaruh globalisasi dalam bidang ilmu pengetahuan yang semakin

maju, ditandai dengan berbagai macam produk kesenian yang berasal dari

budaya tradisional telah dikonsumsi oleh masyarakat melalui media massa.

Tentunya akan mendorong masyarakat yang memiliki produk budaya lokal

untuk mengembangkannya sehingga bisa mendapatkan keuntungan (nilai guna).

Berpikir tentang budaya sebagai aktivitas komunikasi dengan jitu

mencampurkan aspek-aspek abadi dengan unsur-unsur yang dimediakan, yang

lebih dinamis. Oleh karena itu bentuk-bentuk budaya telah menjadi bersifat

simbolik, termediakan, sintetis, dan bergerak, seperti halnya dinamika produk

media dan artefak budaya populer itu sendiri (Ibrahim, 2007: xxi).

Komunikasi lisan merupakan karakteristik manusia dalam

mengungkapkan ide-ide atau maksud tertentu berupa kata-kata agar keinginan

dan harapannya orang lain memahami dan mau berinteraksi. Tentunya

pemikiran atau ide-ide itu berasal dari pemikiran produsen sehingga yang

menyampaikan pesan secara lisan tersebut mengadopsi maksud dengan

menambahkan berbagai gaya penyampaian pesan sehingga mampu membuat

orang tertarik.

Komunikasi lisan yang dilakukan dalam pendistribusian ritual duata ke

masyarakat luas memberikan pengaruh yang begitu besar mengingat sarana

tekhnologi komunikasi yang moderen tidak semua masyarakat memilikinya

sehingga dengan komunikasi lisan mampu memberikan penyebaran informasi

budaya yang efektif bagi masyarakat etnik Bajo. Dalam komunikasi lisan seperti

inilah terkadang ideologi-ideologi produsen menyelinap dalam pemikiran

konsumen sehingga tertarik dan mengkonsumsi ritual duata.

5.3 Konsumsi Ritual Duata

Konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai kegiatan yang

bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi kebutuhan dan

kepuasan secara langsung, tetapi juga seperti yang dinyatakan Piliang (2005:

189) mengandung makna tertentu, merupakan tindakan penggunaan simbol

untuk menandai posisi sosial tertentu.

Berkenaan dengan itu konsumsi ritual duata ditekankan pada analisis

bagaimana ritual duata dikonsumsi atau digunakan dalam arti dilaksanakan oleh

para konsumennya untuk memenuhi kebutuhan rohani serta menunjukan

identitas status tertentu. Membicarakan proses konsumsi ritual duata erat

kaitannya dengan hukum pasar dimana produk yang dihasilkan termasuk produk

ritual duata akan dipengaruhi oleh keinginan pasar atau ideologi pasar. Ideologi

pasar menurut Atmaja (2005: 123) yang disebutnya ‘Agama Pasar’ sebagai salah

satu sistem kepercayaan yang mengagungkan pasar sebagai media utama bagi

pemenuhan segala kebutuhan manusia. ‘Agama Pasar’ tujuannya mengalihkan

modal budaya, mengalihkan tradisi ritual duata menjadi modal ekonomi. Disini

peneliti melihat dua bentuk konsumsi yakni (1) konsumsi ritual duata untuk

pengobatan (2) Konsumsi ritual duata untuk pariwisata (hiburan).

5.3.1 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pengobatan

Sesuai dengan fungsinya ritual duata etnik Bajo digunakan dalam hal

upaya penyembuhan penyakit. Dalam prosesi pengobatan melalui ritual duata

masyarakat menyampaikan maksud keinginan mereka melalui komunikasi lisan

dan teknologi komunikasi (telepon) dengan sandro agar bisa melakukan

pengobatan. Banyak hal yang dipersiapkan oleh sandro dalam prosesinya mulai

dari meracik sesajian sampai tahap pelarungan sesajian di laut. Pada proses

konsumsi, praktik pengobatan bisa dilakukan di rumah pasien ataupun di rumah

sandro. Konsumen hanya akan menunggu arahan dari sandro hal-hal apa yang

perlu mereka persiapkan. Disini nampak pola kerja sama antara pihak produsen

(sandro) dan pihak konsumen (pasien) dalam melakukan upaya pengobatan.

Dalam proses konsumsi, semua sarana ritual dipersiapkan oleh sandro

mulai dari pemasangan palisier sampai pada pelarungan sesajian di laut di

bawah perintah dukun. Dalam hal ini sandro memiliki kekuatan dan kekuasaan

besar dalam menjalankan prosesi ritual duata. Segala sesuatu yang berkaitan

dengan persoalan ritual duata harus di bawah pengawasan sandro. Sandro

sebagai oarng yang dipercaya mampu melakukan interaksi dengan makhluk gaib

dengan kekuasaan dan pengaruhnya terhadap masyarakat Bajo mampu membuat

pola pikir masyarakat etnik Bajo untuk lebih meyakini keberadaan leluhur dan

roh-roh halus lainnya. Seperti yang dikatakan Faucoult dimana menempatkan

kuasa diperoleh dengan menguasai pengetahuan. Kekuasaan yang dimaksud

adalah pengetahuan yang dimiliki oleh dukun ritual duata sehingga dengan

pengetahuannya tersebut bisa menguasai masyarakat. Pengetahuan yang dimiliki

dukun bisa membuat orang percaya dan mau mengkonsumsi dengan melakukan

upaya penyembuhan penyakit dengan ritual duata sehingga konsumen tunduk

dan patuh dengan ideologi yang dimiliki oleh sandro.

5.3.2 Konsumsi Ritual Duata Untuk Pariwisata

Hakekat konsumsi bukan hanya merupakan objek kepuasan dan

kesenangan individu, melainkan seluruh arena kehidupan manusia sehari-hari

(Baudrillard, 2009:18). Konsumsi terkait dengan hasrat atau keinginan individu,

maupun kolektif terhadap suatu objek sebagaimana komentar Ritzer berikut

terhadap pandangan Baudrillard tentang konsumsi. Bagi Baudrillard konsumsi

bukan sekedar nafsu untuk membeli berbagai komoditas, satu fungsi

kenikmatan, satu fungsi individual, pembebasan kebutuhan, pemuasan diri,

kekayaan atau konsumsi objek. Konsumsi berada dalam satu tatanan pemaknaan

pada satu panoply objek, satu sistem, atau kode, tanda, “satu tatanan manipulasi

tanda”, manipulasi objek sebagai tanda, satu sistem komunikasi (seperti bahasa)

satu sistem pertukaran (seperti kekerabatan primitif) satu moralitas, yaitu satu

sistem pertukaran ideologis, produksi perbedaan, satu generalisasi proses fashion

secara kombinatif”, menciptakan isolasi dan mengindividu, satu pengekang

secara bawah sadar, baik dari sistem tanda dan dari sistem sosio-ekonomi-politik

dan satu logika sosial.

Praktik konsumsi dalam penelitian ini dimaksudkan bahwa ritual duata

sebagai pertunjukan pariwisata. Konsumsi ritual duata dilihat bagaimana ritual

duata dikonsumsi oleh para konsumennya dalam sebuah hiburan para wisatawan

(asing, nusantara) yang mengonsumsi ritual duata secara umum bertujuan untuk

kebutuhan hiburan dan untuk mendapatkan kesenangan. Perubahan tersebut

sesuai dengan pendapat Piliang (Safarudin, 2010: 140) bahwa kapitalisme global

telah memangsa apa saja (artinya menjadikan komoditi apa saja) mulai dari

hiburan, olah raga, pendidikan, informasi, kesehatan, hingga kebugaran,

kepribadian, mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan hingga ilusi, halusinasi, dan

fantasi demi keberlangsungan perputaran kapital, demi menggelembungnya

kapital.

Jika dilihat dari segi waktu pelaksanaan ritual duata dilakukan sewaktu

waktu jika ada anggota masyarakat membutuhkannya. Dalam pelaksanaan ritual

duata, dukun selaku produsen berhak menentukan kapan prosesinya dilakukan

dengan melihat situasi dan kondisi. Sementara itu, dilihat berdasarkan tempat

dan keterlibatan konsumennya sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang

(Pebruari 2014) masih dilakukan jika ada yang menginginkan namun dalam

pertunjukan seni ritual duata dilakukan jika ada kunjungan tamu wisatawan

yang berkunjung keperkampungan Bajo bahkan dalam acara penyambutan tamu-

tamu di Kabupaten Wakatobi.

Konsumsi yang pada saat sekarang tidak lagi dimaksudkan hanya sebagai

kegiatan yang bertujuan menghabiskan suatu barang/jasa untuk memenuhi

kebutuhan dan kepuasan secara langsung, tetapi juga mengandung makna

tertentu, yaitu tindakan menggunakan simbol untuk menandai posisi sosial

tertentu (Piliang, 2004:189) yang oleh Douglas & Isherwood (Abdullah,

2006:32) disebut sebagai penanda identitas. Terkait dengan hal tersebut adalah

konsumen yang mengonsumsi ritual duata. Karakteristik konsumen sangat

beragam baik dilihat dari daerah asal/desanya, pendidikannya, status sosial

tradisionalnya, maupun status sosial ekonominya. Konsumennya juga bisa

bersifat orang perorangan, lembaga tradisional baik yang ada di desa Mola

Selatan maupun di luar sampai pada hotel-hotel yang menginginkan pertunjukan

duata sebagai hiburan para tamu.

Dibalik tindakan konsumen yang mengonsumsi ritual duata memberi

petunjuk tentang identitas konsumennya. Ketika konsumen menggunakan ritual

duata dengan tampilan yang begitu meriah maka seringkali diidentikkan

sebagai orang yang terpandang dan digambarkan sebagai orang glamour. Hal

tersebut seperti pendapa Baudrillard (Wijaya, 2007), menjelaskan fenomena era

Postmodern, dimana masyarakat lebih mengutamakan simbol dan citra sehingga

konsumsi adalah usaha memenuhi keinginan (want) ketimbang kebutuhan

(need).

Kultur konsumerisme adalah sebuah propaganda kaum kapitalis. Ini

sejajar dengan apa yang dikatakan oleh Adorno bahwa kebudayaan juga

diorganisasi dan dikendalikan oleh sistem administrasi industri. Penjelasan Karl

Marx tentang bagaimana kapitalisme membangun kesadaran palsu dalam

mengkonsumsi barang dipertegas oleh Fairclough (1995) bahwa proses

konsumsi menyangkut bagaimana barang didistribusikan dan dikonsumsi. Kaum

kapitalis tidak lagi mencari keuntungan dari nilai guna (utility value) suatu

barang melainkan dari nilai tukarnya (exchange value). Victor Lebow seorang

Retail Analyst (dalam Boot, 2008) mengatakan bahwa budaya konsumsi adalah

agenda kaum kapitalis.

Konsumerisme merupakan sebuah trend global yang menyebar keseluruh

penjuru dunia melalui agen-agen kapitalis. Bahkan kekuatan konsumen menjadi

energi sosial yang sangat kuat dalam merubah struktur masyarakat. Konsumen

global saat ini memiliki bargain position yang mempengaruhi keputusan dalam

proses produksi. Oleh karena itu kaum kapitalis segera mengambil posisi untuk

merekayasa struktur masyarakat konsumtif melalui manipulasi hasrat lewat

penciptaan citra dan imaji. Tujuannya adalah merangsang lahirnya kebutuhan-

kebutuhan palsu untuk kemudian dikonsumsi secara membabi-buta. Akhirnya

tampaklah belanja dan konsumerisme sebagai gaya hidup kekinian masyarakat

kontemporer. Menurut Piliang (2004) transformasi aktifitas ekonomi manufaktur

menuju ekonomi hasrat (libidinal economy) telah menular kesetiap tempat

bahkan untuk tempat yang paling privat sekalipun. Hasrat atau libidinal adalah

konsepsi yang berarti hasrat tubuh kepada sesuatu yang sifatnya immaterial,

berupa citraan, status, kelas sosial, prestise, pujian, dan hal-hal immaterial

lainnya. Ekonomi hasrat oleh Baudrillard dijelaskan sebagai sesuatu yang

berkaitan dengan perkembangbiakan dan naturalisasi hasrat dimana apapuun

diproduksi, apapun normal, apapun nyata. Lyotard (1994) mengganggap bahwa

ekonomi libido dalam budaya konsumerisme memanfaatkan potensi kesenangan

dan gairah yang tersimpan dalam diri individu tanpa takut akan tabu dan adat,

gunakan dan pertotonkan sebebas bebasnya keindahan-keindahan penampilan,

busana, kepribadian, wajah dan tubuh untuk membangkitkan gairah perputaran

modal.

BAB VI

FAKTOR PENYEBAB KOMODIFIKASI RITUAL DUATA PADA ETNIK

BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

Uraian dalam bab ini difokuskan pada faktor penyebab komodifikasi

ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi

Tenggara. Ada beberapa faktor penyebab ritual duata mengalami komodifikasi

diantaranya berupa sikap terbuka, kreativitas masyarakat, media massa, ekonomi

dan pariwisata.

6.1 Sikap Terbuka

Sikap terbuka yang dimaksud dalam penelitian ini adalah transformasi

nilai-nilai yang bersumber dari luar konteks budaya lokal etnik Bajo yang terjadi

melalui kontak budaya (akulturasi) dengan kebudayaan lain. Secara jelas

perubahan yang diinginkan adalah sebuah kemajuan. Dalam hal ini para sosiolog

menyebutkan ada empat faktor penyebab perubahan sosial yaitu lingkungan

alam, perubahan penduduk, isolasi dan kontak sosial, serta struktur suatu

budaya.

Perubahan yang terjadi pada masyarakat Bajo adalah perubahan yang

bersumber dari keterbukaan sikap masyarakat akan menerima berbagai macam

penyesuaian sehingga mereka mampu hidup berdampingan dengan kehidupan

masyarakat moderen. Penyesuaian-penyesuaian tersebut merupakan sebuah

rentetan proses yang panjang dimana ideologi-ideologi baru dan berkembang

pada era globalisasi sekarang merasuki budaya lokal sehingga memungkinkan

perubahan pola pikir masyarakatnya untuk bisa berbuat sesuatu yang lebih

dengan maksud mendapatkan nilai guna. Setiap masyarakat selalu mengalami

transformasi, sehingga tidak ada satu masyarakat pun yang mempunyai potret

yang sama dalam waktu yang berbeda, baik masyarakat tradisional maupun

masyarakat modern (Garna, 1992 : 1-2). Hal tersebut seperti yang diungkapkan

oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.

“Terjadinya perubahan ritual duata ke dalam seni pertunjukkan tidak

terlepas dari adanya akulturasi budaya serta keinginan masyarakat Bajo

untuk mengembangkan ritual duata sebagai kesenian, bukan hanya

dipandang sebagai ritual duata yang sakral namun bisa pula dijadikan

sebagai atraksi seni seperti tari-tarian ataupun pertunjukkan budaya

sehingga bisa menjadi sebuah tuntunan dan tontonan yang bernilai dan

ini juga merupakan tindakan penyelamatan budaya dan ajang promosi

budaya Bajo ke masyarakat luas dan mampu mensejajarkan diri dengan

atraksi budaya yang ada di daerah lainnya”. (wawancara 7 Pebruari

2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa perubahan ritual duata sakral ke arah

profan tidak terlepas dari akulturasi budaya serta keinginan dari masyarakat

pendukung kebudayaan Bajo untuk bisa mensejajarkan diri seperti kebudayaan

lainnya. Perubahan tersebut tentunya dilakukan dengan kesadaran yang rasional

sehingga harapan dari masyarakat etnik Bajo bisa tercapai.

Dengan tindakan-tindakan yang dianggap rasional ini, masyarakat

bergerak dengan sejumlah tindakan untuk memuaskan kebutuhannya,

diantaranya dengan memproduksi, mengkonsumsi, dan mendistribusikan barang

atau jasa dari ritual duata dengan berbagai macam kepentingan. Praktek seperti

ini yang memungkinkan adanya praktek komodifikasi dalam kebudayaan.

Komodifikasi tidak semata-mata dilakukan oleh pelaku ekonomi, masyarakat

lokal pun berpotensi karena mereka mempunyai hak untuk melakukannya

(Ardika, 2008).

Terkait dalam penelitian ini, salah satu tradisi Bajo yaitu ritual duata

mengalami komodifikasi. Baik dukun atau seniman Bajo juga terlibat secara

langsung maupun tidak langsung dalam proses komodifikasi ritual duata. Hal ini

dituturkan oleh Jukni (25 tahun) seorang pelatih tari di desa Mola Selatan.

“Sebenarnya kami tau akan esensi dari ritual duata ini, tapi kami juga

menginginkan ritual duata ini dikenal masyarakat sampai dunia. Sudah

cukup dengan stigma negatif dari pandangan orang lain kalau kami ini

orang tak berbudaya karena dorongan itu juga kami berupaya bagaimana

ritual ini dimodifikasi tanpa harus merubah total sehingga mampu

menjadi sumber pendapatan bagi kami pelaku seni” (wawancara 7

Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan ada motif kesadaran dan dorongan dari masyarakat

Bajo terlebih ada anggapan masyarakat Bajo tak berbudaya sehingga hal itu

memberikan motivasi untuk menjadikan riual duata sebagai ajang promosi

identitas budaya yang pada akhirnya akan membawa nilai ekonomi pada

masyarakatnya. Tentunya perubahan itu dipengaruhi oleh paradigma

masyarakatnya yang menginginkan sesuatu yang lebih baik dari kondisi

sebelumnya. Proses perubahan tersebut nampaknya berasal dari keterbukaan

masyarakat Bajo akan sesuatu yang dianggap baik dan perlu untuk

dikembangkan. Oleh karena itu ideologi atau paradigma yang mereka miliki baik

berasal dari ilmu pengetahuan atau penngalaman hidup mereka mendorong

perubahan tersebut semakin cepat. Paradigma dalam konteks ini diartikan

sebagai seperangkat keyakinan mendasar yang berfungsi untuk menuntun

tindakan-tindakan manusia yang disepakati bersama dalam kehidupan sehari-

hari (Ratna, 2008: 2).

Globalisasi yang masuk ke lingkup kebudayaan etnik Bajo telah

mempengaruhi ideologi tradisional ke arah pemikiran kreatif dan moderen

sehingga menyebabkan perubahan yang sangat struktural bagi masyarakat.

Perubahan karakter masyarakat merupakan hal yang menonjol, sementara pada

saat yang sama individu-individu memiliki otonomi yang lebih besar. Proses

integrasi masyarakat ke suatu tatanan global tidak terelakkan lagi. Tradisi kultur

pribumi atau lokal semakin bergeser ke arah modernisasi, sehingga

menyebabkan kultur konsumen atau budaya model barat menjalar dalam

kehidupan masyarakat. Cara pandang atau paradigma masyarakat yang mampu

mengolah sesuatu yang sebelumnya bukan sebuah komoditas menjadi barang

yang bernilai guna (ekonomis) nampaknya terjadi pada masyarakat Bajo yang

menjadikan ritual duata yang sebelumnya merupakan produk murni pengobatan

secara adat kini menjadi produk pertunjukan bernilai seni tinggi.

6.2 Kreativitas Masyarakat

Kreativitas adalah kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru

(Ratna, 2005 : 313). Suatu kreativitas bisa dikembangkan dari hasil modifikasi

atau mengubah, menambah, yang sudah ada sebelumnya. Terkait dengan

kreativitas masyarakat yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan

masyarakat etnik Bajo untuk menciptakan sesuatu yang baru dengan mengubah,

menambah struktur/bentuk ritual duata sehingga menjadi sebuah pertunjukkan

seni sehingga memiliki daya tarik dari konsumen dengan harapan mendapatkan

keuntungan.

Kreativitas atau berpikir kreatif (creatif thinking) sering disebut juga

dengan berpikir inovatif (innovative thinking) adalah salah satu kemampuan

intelektual manusia yang oleh kebanyakan ahli psikologi kognitif disamakan

dengan proses berpikir, kemampuan memecahkan masalah, berkaitan dengan

usaha menemukan atau menciptakan gagasan-gagasan, hal-hal baru, dan berguna

(Suharman 2005: 373). Munculnya kreativitas telah mendorong pengembangan

kebudayaan etnik Bajo khususnya pengembangan ritual duata. Pengembangan

ritual duata melalui penggalian-penggalian ritual itu sendiri menimbulkan

pemahaman dan kesadaran akan kebudayaan serta menumbuhkan keyakinan

akan kemampuan diri sendiri dan sadar berbudaya.

Dalam perspektif psikologi, sesuatu dikatakan baru atau original, apabila

gagasan atau sesuatu yang dihasilkan oleh pemikir sendiri merasa belum pernah

menghasilkan hal serupa, dan pemikir sendiri merasa bahwa itu memang sesuatu

yaang baru baginya, walaupun di tempat lain hal serupa secara kebetulan sudah

ada dan sama yang tidak diketahuinya. Adapun dalam perspektif budaya, sesuatu

kreativitas dianggap baru atau original apabila memang benar dalam lingkungan

budaya masyarakatnya belum dijumpai atau ada sebelumnya, walaupun di

tempat lain hal serupa tanpa diketahui sudah ada. Boleh jadi, suatu kreativitas

baru itu dikembangkan dari hasil modifikasi atau mengubah, menambah, yang

sudah ada sebelumnya. Apa yang dihasilkan dari proses kreativitas dengan

memodifikasi, secara ideal harus memenuhi satu atau dua kriteria, yaitu kriteria

baru dan juga berguna (Suharman, 2005: 374).

Komodifikasi ritual duata dalam perkembangannya tidak terlepas dari

kreativitas manusia (orang Bajo) yang menjadi satu dalam memenuhi rasa

keindahan. Kreativitas tersebut dituangkan dalam pemikiran-pemikiran

masyarakat Bajo dari dulu hingga sekarang sehingga terangkum dalam seni

pertunjukan yang indah. Seperti yang diungkapkan Dasseng (84 Tahun) sebagai

berikut.

“Ritual duata yang sekarang lebih berbeda tampilannya dengan yang

dulu, ini berkat dari kreativitas orang Bajo dan keinginan untuk tampil

lebih yang menginginkan keindahan yang memiliki unsur-unsur baru

demi pemenuhan keburuhan dalam berkesenian, serta dengan tampil

beda bisa membuat orang tertarik untuk melihatnya namun tak terlepas

dari kulktur budaya Bajo” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukan bahwa dalam berkesenian, ekspresi dan kreatifitas

menjadi bagian yang dimiliki orang Bajo untuk menciptakan sesuatu yang lebih

guna memperoleh nilai estetika yang tinggi. Namun kebebasan berekspresi dan

kreativitas harus pula memiliki tingkat nilai nirsadar dalam lingkup spirit budaya

Bajo. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun).

“Waktu ritual duata ditampilkan dalam perlombaan kesenian tradisional

di Makassar ritual duata sedikit memodifikasi tarian klasik yang ada di

Wakatobi sehingga unsur tampilan dalam koreo dan busana kami

sesuaikan seperti tari-tarian yang lain di Wakatobi. Perpaduan tersebut

memberikan warna baru dalam pertunjukan ritual duata. Karena kalau

tidak dirobah bentuknya akan kelihatan kurang enak dipandang.

(wawancara 7 Pebruari 2014)

Ungkapan di atas jelaslah bahwa para seniman juga mampu berkreasi dengan

berbagai macam tari yang ada di berbagai daerah. Akan tetapi nilai original dan

filosofi dari ritual tersebut harus tetap hidup agar aspek originalitas ritual tetap

tergambar. Pada perkembangannya ritual duata selalu mengalami perubahan

baik bentuk, makna yang merupakan efek dari selera pasar yang telah

mengglobal, bentuk kekaryaan seni tradisi cenderung mengalami keseragaman,

hal tersebut mengakibatkan berbagai macam ide-ide dan inisiatif akan kebutuhan

bermunculan dalam pemikiran manusia. Seni tradisi dalam kaitannya denga

ritual duata etnik Bajo nampaknya mengalami perubahan bentuk, fungsi dan

makna akibat pelaku seni yang memiliki modal kreativitas yang tinggi. Berbagai

bentuk ide kreatif seniman Bajo yang bekerja sama dengan dukun sebagai

pemilik ritual duata untuk memberikan unsur kebaruan dalam segi bentuk

tampilan agar mengundang selera konsumen untuk mengonsumsinya.

Kretivitas adalah wujud kesadaran manusia dalam mencapai apa yang

tidak dapat orang lain lakukan. Kreativitas merupakan kemampuan untuk

mencipta, guna menghasilkan sesuatu yang baru Rusyana dalam (Erlinda, 2011:

255). Kreativitas diperlukan oleh semua pihak yang terlibat dalam kerja sama

sebelum dan sesudah pembuatan serta penyajian ritual duata. Kreatif bukan

hanya berurusan dengan dengan masalah inovatif dan kebaruan dalam membuat

(menciptakan) dan menggelar sebuah atraksi budaya namun berkaitan pula

dengan kualitas karya, berguna dan bermakna yang disertai dengan rasa

tanggung jawab. Kualitas berurusan dengan masalah estetis, fungsi, manfaat dan

guna untuk berbagai hal dan pihak, bermanfaat bagi kehidupan kesenian dan

kemaslahatan manusia, sedangkan tanggung jawab berurusan dengan masalah

etika dan akademik.

Sanggar seni etnik Bajo yang beranggotakan orang-orang lokal yang

bergerak di bidang seni mulai intens dalam berbagai kreativitas dan inovasi.

Sebagai salah satu organisasi yang bergerak di bidang kesenian khususnya ritual

duata, para anggota ritual duata mulai mengomodifikasi bentuk tatanan

koreografi pada ritual duata. Perobakan bentuk ritual duata tampak dalam hal

durasi penyajian, tata tari, jumlah penari serta media untuk pertunjukan

(panngung). Hal tersebut dilakukan untuk mendaur ulang dengan berusaha

mendapatkan kembali unsur kebaruan dalam fungsi keaslian ritual duata,

misalnya fungsi ekonomi, fungsi hiburan dan pendidikan.

Dalam pementasan ritual duata kreativitas tersebut terjadi pada durasi

waktu ritual duata dilakukan dimana biasnya ritual duata dilakukan selama tiga

hari tiga malam sekarang bisa menghabiskan waktu 10 sampai 15 menit. Terkait

deengan hal tersebut sama yang diungkapkan oleh Dasseng (84 tahun).

“Ritual duata asli kalau dilakukan memakan waktu tiga hari tiga malam,

prosesinya panjang sekali, butuh waktu dalam pengerjaanya, tapi

sekarang kalau diminta orang untuk dipentaskan biasanya paling lama 15

menit saja jadi banyak yang diubah-ubah sebagian tidak kaya aslinya”

(wawancara 7 pebruari 2014).

Ungkapan di atas menandakan bahwa dalam pementasan ritual duata yang

murni pengobatan dengan pertunjukan untuk kesenian sangat jauh perbedaannya

jika dilihat dari lamanya waktu yang dibutuhkan. Hal tersebut tentulah akan

mengurangi nilai keaslian ritual duata karena dengan waktu yang singkat

tersebut banyak komponen ritual yang mesti dihilangkan. Pementasan ritual

duata yang mengikuti selera pasar sangat mempengaruhi bagian-bagian pokok

ritual duata sehingga pelaku seni juga mengkondisikan bentuk tampilan penari

bahkan jumlah penari dalam ritual tersebut tergantung dimana mereka

dipentaskan. Pernyataan tersebut diungkapkan oleh Jukni (25 Tahun)

“Kami sebagai seniman Bajo bersama sandro ketika diminta oleh pihak

hotel selalu mengkondisikan jumlah pemain dan ada beberapa bentuk

tampilan yang kami ubah sehingga bisa menyesuaikan dengan harapan

pihak panitia, tentunya kalau duata dipentaskan diperahu nelayan akan

berbeda dengan panggung yang disediakan oleh pihak hotel karen itu

struktur penari bahkan bentuk gerakan akan sangat berpengaruh.

(wawancara 7 Pebruari 2014)

Ungkapan di atas memberikan gambaran bahwasanya ketika ritual duata

mengikuti selera pasar ada bagian-bagian ritual yang dirubah yang

mengkondisiskan dengan permintaan konsumen (acara). Kreativitas dalam

perombakan ritual duata selalu berkaitan dengan dunia pariwisata. Seperti yang

dikatakan Nurhayati (2004: 19), bahwa dilihat dari sudut pandang kesenian,

maka berkembangnya industri pariwisata secara nyata telah mendorong

tumbuhnya kreativitas pelaku seni untuk mengembangkan karya ciptanya

sehingga mampu menarik minat pengunjung atau wisatawan. Untuk memenuhi

kebutuhan ekonomi dan hasrat ekonomi maka produsen ritual duata harus

memenuhi permintaan pasar dengan cara berkreativitas meskipun tidak terlepas

dari peniruan tarian lain.

Nampaknya globalisasi yang melanda berbagai sendi kehidupan

masyarakat merupakan sebuah fenomena transformasi budaya yang tak perlu

dihindari namun harus mampu menyeimbangkan bagaimana budaya lokal dan

budaya global mampu saling mengisi sehingga tercipta hubungan yang saling

menguntungkan. Di satu sisi globalisasi menuntut keseragaman, tetapi di sisi

lain membutuhkan perbedaan dan kekhasan sebagai suatu identitas.

6.3 Media Massa

Era globalisasi yang menempatkan media sebagai salah satu faktor

komodifikasi yang penting dalam dimensi perubahan sosial budaya. Melalui

media massa, banyak imaji, opini tentang dunia dapat diciptakannnya. Media

dapat diartikan sebagai suatu institusi yang kompleks, multidimensional yang

melahirkan banyak relasi, dan segala sesuatu yang dapat dijadikan agen

publikasi, baik secara visual maupun secara tertulis.

Dalam konteks media massa saat ini, menurut Adorno (1979: 123) media

telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan industri budaya yaitu budaya

yang sudah mengalami komodifikasi karena produk budaya yang dihasilkan

pertama, tidak otentik dimana, kebudayaan yang diproduksi secara

otonom/murni tidak lagi dihasilkan oleh rakyat atau masyarakat yang

memilikinya, akan tetapi ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar

dalam proses produksinya. Benda budaya, yang dipenuhi dengan nilai-nilai

tinggi, otentik dan kebenaran telah mengalami pergeseran makna, diproduksi

secara massal berdasarkan selera pasar. Kedua, manipulatif dimana kebudayaan

yang diproduksi oleh industri budaya dengan tujuan agar dibeli di pasar, bukan

lagi pada daya kreativitas sang kreator sehingga telah menghasilkan kebudayaan

semu/palsu. Ketiga, terstandarisasi dimana, adanya bentuk penyeragaman yang

terjadi dalam mekanisme industri budaya. Semua produk budaya yang dihasilkan

telah diseragamkan dengan kriteria-kriteria tertentu untuk mudah diterima dan

dipahami oleh masyarakat atau berdasarakan selera pasar. Hal tersebut dikarenakan

semua prosedur organisasi produksi diarahkan hanya pada satu tujuan, yaitu

keuntungan/laba (profit oriented). Argumen yang melatarbelakangi standarisasi

adalah tidak adanya spontanitas dalam peoses produksi. Semua mekanisme sudah

diatur sedemikian rupa secara rutin dengan mengaplikasikan formula-formula

tertentu. Industri budaya telah menyingkirkan produk-produk budaya yang

mempunyai kualitas-kualitas yang unik/khas.

Sebagai wahana penyampaian pesan, media massa mempunyai kekuatan

tersendiri karena daya pengaruhnya yang besar terhadap khalayak ramai. Media

massa adalah sarana pembudayaan (proses penanaman nilai-nilai budaya) yang

efektif, ia sama kuat, atau bahkan lebih kuat dari pada pendidikan formal sebagai

sarana pembudayaan. Dalam hal ini media massa memegang peran penting

dalam proses komodifikasi ritual duata. Melalui media massa ritual duata

dikomodifikasi sehingga menjadi budaya populer. Media massa, di satu sisi

merupakan salah satu hasil budaya dan di sisi lain juga merupakan sarana ritual

pengobatan bagi masyarakat etnik Bajo yang diyakini bisa menyembuhkan

segala macam penyakit.

Dengan kedekatan manusia dengan media menjadikan dunia semakin

sempit, tanpa batas yang memiliki pola hubungan yang bebas dan terbuka. Hal

tersebut berpegaruh terhadap kehidupan masyarakat etnik Bajo di Kabupaten

Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dengan adanya modernisasi yang

semakin merambah kesegala aspek kehidupan manusia menimbulkan efek baru

dalam tradisi, budaya dan adat istiadat masyarakat. Tampaknya dengan berbagai

macam kecanggihan teknologi mutakhir yang mengglobal menjadikan jiwa

manusia menjadi lebih kreatif untuk memanfaatkan media sebagai sarana untuk

berkreativitas.

Di dalam perkembangan media, setidak ada dua kepentingan utama di

balik media, yaitu kepentingan ekonomi (economie interest) dan kepentingan

kekuasaan (power interest). Kuatnya kepentingan ekonomi dan kekuasaan

politik menjadikan media tidak netral, jujur, adil, dan objektif. Akibatnya,

informasi yang disuguhkan oleh media telah menimbulkan persoalan

objektivitas pengetahuan yang serius pada media itu sendiri. Di satu pihak,

ketika ranah publik dikuasai oleh politik informasi (politics of information) yang

menjadikan informasi sebagai alat kekuasaan politik, media menjelma menjadi

perpanjangan tangan penguasa dengan menguasai ruang publik tersebut. Di

pihak lain, ketika media dikuasai oleh ekonomi politik informasi (political-

economy of information), informasi menjadi alat kepentingan mencari

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengeksploitasi publik sebagai

satu prinsip dasar dari kapitalisme (Piliang, 2009 : 134).

Kemampuan alami media massa dalam menyebarkan pesan dengan

karakter one-to-many menciptakan penerimaan pesan yang efektif. Fenomena

perubahan adat tradisi menuju era kekinian melanda hampir semua etnik hal

tersebut disadari mengalami dinamika perubahan yang harus ada demi

menyesuaikan dengan perkembangan jaman.

Pengaruh tekhnologi dan media yang begitu pesat selain membawa

pengaruh positif dilain pihak membawa pengaruh negatif pada tataran sosial

tradisional terhadap budaya lokal dalam kelompok masyarakat. Banyak tradisi

yang mengalami dinamika yang memberikan perubahan baik nilai maupun

bentuknya. Ritual duata dalam hal ini mengalami perubahan akibat

perkembangan media hari ini. Keterkaitan antara keduanya sangat

menguntungkan bagi kalangan pelaku karya seni pada etnik Bajo. Lewat media

terutama televisi yang memberikan sajian berita tentang kebudayaan etnik-etnik

lain berimbas terhadap keinginan masyarakat etnik Bajo untuk mengekspos

ritual duata untuk lebih dikenal pada masyarakat umum lainnya. Hal ini sesuai

dengan penuturan Dasseng (84 tahun) sebagai berikut:

“Dulu kalau orang berobat tidak ada orang meliput, tapi sekarang

tekadang orang membawa kamera untuk ambil vidionya, katanya untuk

disimpan dan bisa ditonton nanti. Tapi kalau ritual duata dipanggil oleh

pemerintah tampil dipanggung biasanya banyak wartawan atau orang

yang mendokumentasikannya yang nantinya dimasukan di TV kabel

untuk diperlihatkan kemasyarat” (Wawancara 6 Pebruari 2014).

Dewasa ini, media tidak hanya diartikan secara sempit, tetapi telah

berkembang maju sebagai ruang publik, yang setiap saat dikonsumsi dan

menggiring manusia menciptakan berbagai imajinasi dan opini. Sebagai bagian

dari kehidupan manusia, media sangat mempengaruhi pola pikir manusia. Media

massa sebagai bagian dari ruang publik yang di dalamnya bahasa dan simbol-

simbol diproduksi dan disebarluaskan bukanlah sebuah hegemoni.

Media massa membentuk sebuah ruang tempat berlangsungnya perang

bahasa atau perang simbol untuk memperebutkan penerimaan publik atas

gagasan-gagasan ideologis yang diperjuangkan. Dalam upaya memperebutkan

penerimaan publik, maka kekuatan bahasa dan kekuatan simbol mempunyai

peranan penting. Bahwa makna (meaning) dan nilai (value) dominan yang

dihasilkan lewat media sangat menentukan pembentukan proses dominasi sosial

(Ritzer dan Goodman, 2007 : 599).

Laju perkembanagan teknologi dan media sekarang mampu merubah

cara berpikir masyarakat etnik Bajo. Dengan adanya media surat kabar terlebih

dunia pertelevisian dengan sajian berbagai macam perkembangan life style,dan

modifikasi berbagai bentuk kebudayaan nampaknya mampu menyulap para

pelaku seni untuk bisa memulai dengan bentuk seni karya baru dengan mencoba

mengangangkat sebuah seni tinggi untuk dijadikan jasa untuk pertunjukan yang

benilai ekonomi. Hal tersebut nampak pada para pelaku seni di perkampungan

Bajo yang berusaha dan mecoba meraih keuntungan dengan memodifikasi dan

menkomersialkan berbagai seni dan tradisi mereka diantaranya ritual duata.

Ritual duata yang bernilai seni tinggi dan disakralkan dalam hal

pengobatan dalam etnik Bajo perlahan-lahan memiliki fungsi lain dari

pengobatan yakni untuk kepentingan seni pertunjukan. Alasan utama para

seniman Bajo memodifikasi ritual duata yaitu untuk menunjukan eksistensi

keberadaan dan kekuatan etnik Bajo dalam berkesenian serta dengan adanya

tontonan karya seni tersebut mampu menarik peminat seni untuk mau datang

berkunjung di Kabupaten Wakatobi khususnya diperkampungan Bajo sehingga

roda perekonomian masyarakatnya meningkat. Hal ini sesuai dengan penuturan

seorang Bakri (63 tahun) sebagai berikut:

“Duata sering digunakan sampai sekarang untuk pengobatan,masyarakat

masih yakin akan kekuatan pengobatan bisa menyembuhkan segala

penyakit namun sekarang orang Bajo banyak yang menggunakan duata

untuk dijadikan pertunjukan tari, karena biasanya pemerintah

mengundang kami untuk melakukan atraksi duata seperti kalau ada tamu

daerah, tamu hotel atau dalam acara-acara adat. Kami senang karena

degan sering kami diundang jadi kami juga dikenali banyak orang.

(wawancara, 8 Pebruari 2014).

Teknologi sebagai hasil kebudayaan yang bersifat fisik dan tanpa

sipritualitas nilai-nilai yang terkandung dalam adat, agama, dan kesenian, sudah

kehilangan fungsinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Kehidupan di era

global yang ditandai dengan kemajuan iptek telah mempercepat tercabutnya akar

budaya dari komunitasnya, terserabut dari landasan dasarnya, berupa nilai-nilai,

norma, dan etika (Wibowo, 2007:30). Lebih lanjut Geertz (dalam Wibowo,

2007:31) menjelaskan bahwa kapitalisme sepenuhnya telah menguasai

teknologi, sementara ideologi-ideologi lain yang merupakan simbol-simbol

kebudayaan tidak dapat lagi berfungsi sebagai referensi orientasi dunia dalam

nilai-nilai karena didominasi kapitalisme.

Media merupakan salah satu saluran yang berpengaruh dalam distribusi

kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup (Abdullah,

2009:50). Saling ketergantungan hidup yang difasilitasi oleh kemudahan

komunikasi dan kedalaman interaksi antar warga masyarakat lintas etnik bahkan

dengan masyarakat dunia umumnya merupakan kekuatan pengubah dan

pengembang kebudayaan.

6.4 Ekonomi

Salah satu wujud globalisasi adalah kapitalisme dalam fokus

penekanannya dalam bidang ekonomi. Wacana globalisasi ini turut memberikan

kekacauan baru dalam konteks perubahan budaya yang secara multidimensional

saling terkait dengan bidang ekonomi, teknologi, politik, dan identitas (Barker

2005 : 133). Pengaruh arus budaya global berimplikasi pada praktik-praktik

budaya kapitalisme bentuk-bentuk budaya untuk mengikuti ideologi pasar. Pada

awalnya ritual duata bukan produk budaya yang sengaja dibuat untuk tujuan

komersil.

Kita ketahui bahwa dengan adanya pengaruh globalisasi terhadap bidang

kehidupan manusia tak luput menggerogoti pemikiran manusia kearah

kapitalisme. Dimana dengan mengandalkan dan memberdayakan segala

kekuatan yang bersumber dari tradisi dan budaya leluhur mampu mendongkrak

dan memperbaiki taraf ekonomi masyarakat lokal. Khusus pada masyarakat

etnik Bajo para pelaku seni termasuk dukun ritual duata telah menjadikan ritual

sebagai barang komoditas yang bisa memperbaiki tingkat ekonomi keluarga.

Dengan membutuhkan ide-ide kreatif dengan jiwa seni yang tinggi banyak hal

yang bisa diberdayakan melalui tradisi yang kita miliki.

Dampak globalisasi ekonomi telah menggiring manusia ke dalam suatu

arena interaksi sosial baru yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Model

komunikasi global yang ada sekarang ini telah mengubah karakter, gaya hidup,

dan perilaku masyarakat menjadi lebih kritis dan lebih peka. Kondisi yang

mengharuskan setiap bidang meningkatkan persaingan dengan biaya yang

seminim-minimnya. Maka dibutuhkanlah suatu strategi yang ditawarkan dalam

pembangunan ekonomi kreatif.

Kreativitas seni, berasal dan lahir ide serta pikiran manusia, Ia

bermodalkan ide-ide kreatif, talenta dan keterampilan yang harus ditumbuh-

kembangkan, tetapi tidak berarti bahwa manusia (Indonesia) memiliki kebebasan

mutlak menuangkan kreativitasnya seperti apa yang ada dalam otaknya,

Kreativitas tetap punya aturan, nilai-nilai dan tanggung jawab. Karena hasil

kreativitas itu akan bertemu dan dinikmati oleh masyarakat sekitarnya yang

punya aturan nilai-nilai dan tanggung jawab terhadap lingkungannya,

kebudayaannya, serta terhadap negara dan bangsa.

Ritual duata yang sekarang mengalami profan dalam atraksi budaya di

Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara, tidak terlepas dari adanya

pengaruh globalisasi ekonomi. Nampaknya pemikiran masyarakat Bajo telah

terkontaminasi dengan ide-ide kapitalisme yang ingin mendapatkan keuntungan

sebanyak-banyaknya melalui pemberdayaan budaya lokal. Dengan banyaknya

tingkan konsumsi masyarakat yang berkaitan dengan seni tradisi menjadikan

ritual duata semakin menunjukan eksistensinya.

Komodifikasi ritual duata dilakukan perubahan agar ritual duata

mempunyai nilai ekonomis sehingga memunculkan pemenejemenan yang lebih

baru dalam mengolah suatu produksi, pelayanan dalam pendistribusian dan

pengikutan terhadap selera pasar. Komodifikasi ritual duata ini mulai

mendorong masyarakat setempat, karena ada dorongan kebutuhan ekonomi.

Seniman dan sandro mulai menekuni ritual duata sebagai pekerjaan yang dapat

memberikan kesejahteraan. Oleh karena itu para seniman Bajo mulai mengemas

dan memikirkan unsur-unsur ritual duata yang dapat dijadikan sebagai sumber

komoditi.

Seperti yang peneliti ketahui bahwa Dasseng (84 tahun) sebelumnya

hanya seorang dukun namun sekarang merangkap menjadi pelaku seni. Biasanya

dalam mementaskan ritual duata diberikan bajet sebanyak Rp 15.000.000. dan

itu sangat menunjang pendapatan para pelaku karya seni ritual duata. Biasanya

sekali mentas dibayar Rp15.000.000 oleh yang meminta, dan itu bisa saja

berubah tergantung dimana dan bagaiamana kami mementaskannya. (wawancara

7 Pebruari 2014).

Dalam komodifikasi ritual duata sudah ada pembagian kerja dan sistem

penggajian. Pembagian kerja dan sistem penggajian ini juga berpengaruh pada

pola kerja para anggotanya. Di sini terlihat para pelatih dan penari tari ritual

duata antusias berlatih karena melihat bajet yang didapatkannya begitu banyak.

Hal tersebut seperti yang dikatakan oleh Piliang (2010:23) dan Hasan

(2011:188), bahwa komodifikasi itu ditandai dengan adanya pembagian kerja di

dalam proses memproduksi suatu komoditi. Sedangkan komoditi adalah segala

sesuatu yang diproduksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasnya

uang, dalam rangka memperoleh keuntungan atau nilai lebih.

Faktor ekonomi sebagai salah satu pendorong terhadap komersialisasi

ritual duata menjadi suatu pro dan kontra pada masyarakat pendukungnya. Akan

tetapi dikarenakan faktor ekonomi yang melekat kuat pada masyarakat setempat,

pengomodifikasian ritual duata semakin kuat. Hal ini seperti yang diungkapkan

oleh Dasseng (84 tahun):

“Karena pariwisata perekonomian di kampung Bajo mengalami

kemajuan terutama dengan datangnya orang-orang kekampung kami jadi

sering diminta pertunjukan duata untuk tampil sehingga pedagang

makanan dan kerajian banyak yang berjualan dan dibeli sama orang yang

datang” (wawancara 6 Pebruari 2014).

Dalam kenyataanya kehadiran pariwisata di Kabupaten Wakatobi

terlebih dahulu sejak perkampungan Bajo menjadi daya tarik bagi wisatawan

dengan budaya yang unik maka kesempatan tersebut tidak disia-siakan untuk

meraih manfaat ekonomi yang dibawa oleh pariwisata itu sendiri. Masyarakat

seharusnya sadar bahwa dunia bisnis, termasuk sumber daya dalam hal

berbisnis. Perdagangan dan uang tidak bisa dipisahkan karena saling melengkapi

antara satu dengan yang lain.

Secara sosiologis uang memiliki dua wajah, disatu sisi berwajah normatif

dan pada sisi lain berwajah pragmatis. Dalam wajah normatif uang dapat

dipandang dari sisi das sollen (seharusnya), dan sisi pragmatisnya uang dapat

dipandang dari sisi das sein (kenyataannya). Diantara keduanya terjadi

diskrepansi atau kesenjangan yang tajam, yakni bagaimana uang seharusnya

digunakan tentunya berdasarkan pada norma-norma sosial dengan uang yang

digunakan oleh warga untuk kepentingan praktis sehari-hari (Nugroho, 2001 :

xi).

Dalam kaitannya dengan masyarakat etnik Bajo uang memiliki fungsi

penting sehingga berbagai cara dilakukan untuk mendapatkan uang. Apapun

layak untuk dijual untuk mendapatkan uang termasuk menjual harta warisan

untuk mendapatkan uang. Ritual duata sebagai warisan budaya dari leluhur etnik

Bajo lambat laun berubah bentuk kerah komoditas yang layak untuk dijadikan

barang komoditas yang berorientasi nilai jual.

Uang merupakan sarana ekonomi tetapi saat digunakan dalam

masyarakat dipahami sebagai fenomena sosiologis, yakni cenderung kehilangan

material dasarnya karena menjadi alat interaksi. Fenomena di kalalangan

masyarakat etnik Bajo berkembang pemikiran bahwa dengan mendapatkan uang

maka status sosial kita akan semakin tinggi dan dihargai oleh masyarakat.

Semangat kapitalisme nampaknya muncul dalam pemikiran masyarakat Bajo

yang memnginginkan pola interaksi yang berorioentasi ekonomi. Dalam upaya

pemenuhan kebutuhan ekonomi maka pemilik modal berusaha untuk menumpuk

kekayaan yang akan beribas terhadap peningkatan ekonomi.

6.5 Pariwisata

Pariwisata adalah suatu fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu

bentuk kegiatan manusia, yaitu suatu kegiatan yang lazim disebut perjalanan

(travel). Ada beberapa tujuan manusia melakukan perjalanan misalnya ingin

mendapatkan pengalaman baru, kerena menghindari konflik dan peperangan,

bencana alam, atau musibah lainnya. Perjalanan yang dilakukan dapat saja

didorong oleh sekedar rasa ingin tahu untuk keperluan-keperluan yang bersifat

rekreatif, atau yang bersifat edukatif. Namun ada yang melakukan perjalanan

karena ada alasan-alasan yang bersifat praktis dan pragmatis, yaitu mencari dan

menemukan sumber kehidupan atau mencari nafkah untuk keberlangsungan

hidup.

Pariwisata berkembang karena adanya gerakan manusia di dalam mencari

sesuatu yang sebelumnya belum pernah diketahuinya, seperti menjelajahi

wilayah yang baru, mencari perubahan suasana, atau untuk mendapatkan

perjalanan yang baru. Sejak Kabupaten Wakatobi ditetapkan menjadi daerah

tujuan wisata maka menimbulkan peluang baru bagi masyarakat lokal untuk

membuka lapangan pekerjaan baru dalam dunia kepariwisataan. Wakatobi

memiliki daya tarik tersendiri selain pariwisata alam dengan potensi

kebahariannya juga dikembangkannya wisata budaya dengan potensi nilai tradisi

dan kesenian masyarakatnya.

Kehadiran wisatawan dengan sistem budaya yang mereka anut dari daerah

asalnya menciptakan sebuah interaksi antara pendatang dengan penduduk

setempat sehingga ada perubahan pola pemikiran baru dengan berpusat pada

kegiatan ekonomi kepariwisataan. Mereka yang berinteraksi disini

sesungguhnya tanpa disadari telah terikat oleh sistem ekonomi pasar yakni jual-

beli barang / jasa dengan mata uang asing.

Efek lain yang dimunculkan oleh pariwisata di Kabupaten Wakatobi

adalah semakin tingginya permintaan jasa dalam bentuk art shop, hiburan dan

hotel-hotel. Kontribusi lainnya memberikan ruang baru bagi masyarakat lokal

untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam seni pertunjukan tardisional.

Keinginan wisatawan yang datang berkunjung di Kabupaten Wakatobi

diantaranya melihat masih banyaknya potensi budaya utamanya ritual yang

memiliki sisi nilai yang begitu tinggi untuk dinikmati bahkan dimanfaatkan

untuk kepentinan rohani.

Ritual duata yang merupakan yang merupakan sebuah ritual pengobatan

etnik Bajo yang semula digunakan untuk kebutuhan dalam hal pengobatan

dengan berkembangnya pariwisata budaya di kawasan Wakatobi lambat laun

ritual tersebut mengalami pergeseran fungsi dan makna serta mampu dijadikan

sebagai komoditas yang bisa meningkatkan taraf kehidupan masyarakat

sekitarnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai berikut.

“Semula ritual duata hanya digunakan untuk pengobatan jika ada yang

sakit, tapi sekarang duata sudah berubah fungsi karena duata dipandang

unik oleh turis yang datang sehingga turis mau melihat bagaimana duata

itu sebenarnya dan itu bagi masyarakat Bajo mau dipertunjukan karena

setelah mereka tampil mereka di kasi uang”. (wawancara 7 Pebruari

2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa pergeseran fungsi ritual duata karena

pengaruh wisatawan (pariwisata) yang menginginkan sebuah suguhan

pertunjukkan dari potensi tradisi masyarakat lokal, hal ini memotivasi dan

mendorong kreativitas masyarakat Bajo untuk mengembangkan ritual duata

dalam industri budaya dalam hal ini pertunjukkan seni. Nampaknya dalam

hubungan antara pihak wisatawan yang berkunjung keperkampungan Bajo di

Mola Selatan memberikan keuntungan positif terhadap masyarakatnya. Bukan

hanya para pelaku seni ataupun dukun yang diuntungkan namun masyarakat

sekitarnya pun merasa diuntungkan karena dengan adanya beberapa wisatawan

yang berkunjung barang dagangan mereka seperti minuman ataupun pernak-

pernik hasil kerajinan tangan orang Bajo laris dibeli oleh wisatawan. Senada

dengan yang diungkapkan oleh Hasna (34 tahun) sebagai berikut.

“Mereka datang untuk melihat budaya Bajo itu dan kesempatan kami ibu-

ibu untuk menjual barang dagangan kami misalnya kalung-kalung,

gelang, sarung atau gantungan kunci dan kami merasa untung dengan apa

yang mereka inginkan tentunya keuntungan dagangan kami bisa

dimanfaatkan untuk kebutuhan keluarga” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas jelas menggambarkan adanya tuntutan akan kebutuhan

disatu pihak dan terbukanya peluang disisi lain. Industri pariwisata sebagai

bagian dari globalisasi menciptakan peluan lapangan usaha dan pekerjaan di

sektor pariwisata. Peluang dan kesempatan dalam upaya memenuhi kebutuhan

hidup harus dimanfaatkan secara optimal agar menghasilkan barang dan jasa

untuk memenuhi kebutuhan.

Untuk memenuhi kepentingan pariwisata selain terpacunya kreativitas

seniman ritual duata maka bermuncullah sanggar-sanggar seni tari yang

berkecimpung dalam dunia pariwisata. Tidak tanggung-tanggung terkadang

pihak sanggar seni bekerja sama dengan pihak hotel atau penyelenggara sebuah

acara/festival untuk saling bekerja sama dalam menunjang layanan terhadap

kosumen dengan suguhan atraksi seni. Sebagai suatu industri, tentu ada produk

pariwisata, konsumen, permintaan, dan penawaran. Dalam bisnis pariwisata

konsumennya adalah wisatawan, kebutuhan dan permintaan-permintaan

wisatawanlah yang harus dipenuhi oleh produsen.

Komersialisasi seni tradisi karena tuntutan ekonomi telah menjadi suatu

realitas di masyarakat. Penanganan komersialisasi seni tradisi dengan baik

berpotensi membawa dampak positif bagi seni tradisi yang menjadi komoditas

itu sendiri maupun para pihak-pihak yang terkait, seperti halnya berbagai tari

klasik, musik klasik, maupun opera yang dikelola dan dibisniskan secara baik di

negara-negara maju. Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas

bahwa komersialisasi seni tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan

pelecehan terhadap seni tradisi itu sendiri.

Meskipun faktor yang cenderung kepada standarisasi budaya datang dari

luar, yang mempengaruhi dan mendorong terjadinya komodifikasi ritual duata.

Ritual duata sebagai salah satu produk budaya dibangun dalam proses akumulasi

sejarah dan budaya dengan pijakan berbagai representasi masyarakat Bajo

sebagai pemilik budaya. Ritual duata sebagai representasi masyarakat telah

dikomodifikasi sesuai dengan konstruksi yang dibangun sendiri untuk

kepentingan politik, ekonomi, dan sosial budaya sebagai ideologi baru. Dengan

semangat kapitalisme, ritual duata telah menjadi komoditas produk yang

diupayakan untuk mengikuti selera pasar.

BAB VII

DAMPAK DAN MAKNA KOMODIFIKASI RITUAL DUATA

PADA ETNIK BAJO DI KABUPATEN WAKATOBI PROVINSI

SULAWESI TENGGARA

Dalam bab ini pembahasan difokuskan mengenai dampak dan makna

komodifikasi ritual duata. Perlu dikemukakan bahwa dampak dalam penelitian

ini, adalah suatu perubahan yang terjadi sebagai akibat adanya rencana atau pada

suatu aktivitas tertentu. Menurut Soemarwoto (dalam Puspa 2011: 286) dampak

dapat bersifat negatif dan positif. Di Indonesia pun dampak sering memiliki

konotasi negatif. Oleh karena itu dalam tulisan ini dampak komodifikasi ritual

duata ada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara adalah

dampak yang berkonotasi negatif. Dampak negatif akan dilihat dari adanya

perubahan ritual duata setelah terjadi praktik komodifikasi. Oleh karena itu

dalam pembahasan ini dampak komodifikasi ritual duata yang cenderung

merugikan (berkonotasi negatif). sedangkan makna dalam pembahasan ini

diartikan sebagai arti dari suatu tanda, keadaan, teks yang diartikan,

diinterpretasi oleh pelaku ataupun yang melihatnya. Apa saja yang dilakukan

seseorang dapat diberikan makna tertentu baik oleh si pelakunya sendiri maupun

orang lain. Makna merupakan arti dari suatu objek. Barthes (Barker, 2005: 93;

Sibarani, 2006: 31-32) membagi sistem pemaknaan ke dalam dua tingkat yaitu

tingkat denotasi dan tingkat konotasi. Lebih lanjut, Barthes dan Gadamer (dalam

Ratna, 2008: 261) menyatakan bahwa makna tidak ada di dalam teks, tetapi ada

di dalam kompromi antara teks dan penafsir.

Berkenaan dengan itu, dalam tulisan ini digunakan sistem pemaknaan

konotasi dari Barthes, yaitu memberikan makna terhadap simbol-simbol atau

tanda-tanda yang ada dalam ritual duata berdasarkan penafsir (produsen dalam

hal ini sandro berserta rekan usaha/kerjanya, konsumen dan penulis) dengan

cara mengaitkan dengan sikap, keyakinan, kerangka kerja dan ideologi yang

dianut dan berkembang di masyarakat sekitarnya. Komodifikasi ritual duata

pada etnik Bajo sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya dapat diberi beragam

makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai taanda-tanda budaya

yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan terhadap berbagai tanda

terkandung berbagai makna.

7.1 Dampak Komodifikasi Ritual Duata

Dalam sub bab ini akan dibahas dampak komodifikasi ritual duata pada

etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara. Dampak dalam

penelitian ini yaitu sesuatu yang muncul setelah terjadi sebuah

kejadian/peristiwa. Jadi dampak komodifikasi ritual duata merupakan sesuatu

yang muncul setelah terjadinya perubahan sebuah tradisi (ritual duata) ke dalam

konteks budaya moderen (global) sehingga memunculkan perubahan bagi

eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung tradisi (Bajo) serta

masyarakat penikmat ritual duata.

Adapun dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi ritual duata pada

etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara yaitu perubahan

terhadap kehidupan sosial budaya etnik Bajo sebagai pemilik tradisi ritual duata

yaitu komersialisasi ritual duata dan kaburnya identitas budaya.

7.1.1 Komersialisasi Ritual Duata

Ritual duata dari waktu ke waktu mengalami transformasi ke era

kekinian yang mampu menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat

pendukungnya. Transformasi tata nilai sosial dalam suatu kebudayaan tentulah

membawa dampak sosial bagi kehidupan masyarakat. Ritual duata pada awalnya

bukan produk budaya yang sengaja diciptakan untuk tujuan komersial. Namun,

dalam perkembangannya ritual duata mengalami komersialisasi karena sengaja

dijadikan produk budaya untuk memenuhi selera pasar. Hal seperti itu menurut

Saifullah (1994: 12) menunjukkan adanya kaitan antara tradisi dan modernitas

yang telah diubah menjadi hubungan komersial.

Adanya berbagai kepentingan kapitalisme yang menjadikan ritual duata

sebagai alat komoditas yang bernilai jual, dimana dalam hal ini, pasar turut

menentukan arah ritual duata dalam penampilannya, yakni objek, kualitas tari,

ornamen, pewarnaan material, dan penataan yang semua dikemas untuk

dijadikan komoditas dengan tujuan utamanya adalah memenuhi selera pasar.

Akibat penyesuaian unsur-unsur tradisi ke dalam konteks budaya moderen

banyak nilai-nilai tradisi yang teralihkkan dari nilai magis religius ke nilai

profan.

Pergeseran dari nilai sakralitas ke profanitas tentunya tidak dengan

sendirinya terjadi, tetapi melalui proses pertentangan-pertentangan, sejalan

dengan perubahan sosial masyarakat. Jika dikaitkan dengan perkembangan

zaman dengan majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta terbukanya akses

pengaruh luar dalam bentuk pariwisata terhadap pandangan hidup manusia,

maka perlahan-lahan mulai terjadi pergeseran nilai-nilai tradisi. Dalam hal ini

ritual duata mengalami komersialisasi sehingga menimbulkan perubahan dalam

bentuk dan fungsi ritual.

Komersialisasi ritual duata terlihat pada proses produksi produk ritual

duata seperti buas bubuh rinti (beras berwarna), palisier, ula-ula dan produk

ritual lainnya yang sengaja diproduksi oleh dukun kemudian dilakukan

penyewaan terhadap konsumen. Produk ritual di distribusikan dalam berbagai

bentuk produk barang/jasa sehingga terjalin orientasi jual-beli antara produsen

dan konsumen. Seperti dalam praktek pengobatan pasien memberikan upah

sebesar Rp 3.000.000 setiap kali pengobatan (paket). Dengan demikian ritual

duata bukan hanya sebagai bagian dari tradisi etnik Bajo yang difungsikan

sebagai ritual pengobatan namun juga dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomi

masyarakat pendukungnya. Begitu juga pada konteks pertunjukkan ritual duata

untuk pariwisata menunjukkan upah yang begitu berlipat ganda dari biaya ritual

pengobatan fenomena tersebut sehingga menunjukkan logika pasar

memunculkan pemaknaan baru terhadap nilai sakralitas ritual duata sebagai

komoditas atau barang/jasa dagangan. Hal tersebut diungkapkan oleh Romi (40

tahun) sebagai berikut.

“Ritual duata ini saya lihat kayaknya dimanfaatkan oleh masyarakat Bajo

khususnya dukun, bukan hanya jasa pengobatan saja tapi ada semacam

transaksi jual-beli produk sehingga dukun diuntungkan kalau banyak

yang berobat karena makin banyak pasien dia makin banyak dapat uang,

apa lagi semua bahan-bahan untuk obat itu dukun sendiri yang

membuatnya. Orang Bajo sangat pantang kalau tidak berobat duata,

mereka merasa tidak puas kalau tidak memalui pengobatan duata”

(wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa ritual duata sengaja dimanfaatkan oleh

dukun melalui pengobatan dengan memanfaatkan produk material ritual untuk

memperoleh keuntungan secara ekonomis. Material ritual duata berupa palisier,

buas bubu rinti, ula-ula dan panggung sengaja dibuat sehingga melalui produk

ritual duata mereka bisa meraih keuntungan. Sesuai dengan pemikiran Barker

(2005: 517) komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme,

di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda diubah menjadi komoditas, yaitu

sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar.

Dalam hal ini sistem ekonomi kapitalis telah merasuki ideologi produsen,

dimana pasar adalah tempat membeli dan menjual komoditas. Ritual duata

merupakan komoditas bagi masyarakat etnik Bajo khususnya dukun. Masyarakat

etnik Bajo sadar apa yang telah mereka lakukan yang memanfaatkan produk

ritual duata untuk kepentingan ekonomi. Ritual duata mengalami perubahan

fungsi kearah pemanfaatan secara ekonomi dan masyarakat pun menerima hal

tersebut. Hal ini didasarkan atar dorongan ekonomi yang memanfaatkan produk

budaya untuk dikembangkan kearah industri budaya kreatif yang melahirkan

perubahan baru yang memungkinkan ritual duata mengundang selera konsumen

baik untuk pengobatan maupun pertunjukkan (pariwisata) dengan desain khusus

seindah mungkin sehingga memperoleh keuntungan dalam peningkatan

kesejahteraan masyarakat Bajo.

7.1.2 Kaburnya Identitas Budaya

Identitas adalah penanda benda, baik secara individual maupun secara

kolektif, terlebih benda tersebut dianggap bernilai dan bersejarah yang

membedakan dengan identitas lainnya. Dala hal ini identitas budaya terkait

dengan produk ritual duata pada etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi provinsi

Sulawesi Tenggara.Pesatnya arus globalisasi yang masuk ke dalam sendi

kehidupan masyarakat tak henti-hentinya ikut membawa perubahan. Tumbuhnya

kesadaran dan motivasi manusia merupakan perwujudan dari sebuah perubahan

paradigma masyarakat akan sesuatu yang baru dari sebelumnya. Tak terkecuali

kesadaran akan identitas sebuah masyarakat khususnya etnik Bajo yang

memiliki warisan budaya yang berwujud praktik ritual duata, dimana dalam

prosesinya mampu membedakan kebudayaannya dengan kebudayaan etnik lain

di Indonesia.

Ritual duata yang merupakan warisan leluhur etnik Bajo mempunyai

peranan yang penting dalam kehidupan masyarakat pendukungnya. Sebagai

ritual pengobatan tentunya masyarakat Bajo masih meyakini sakralitas ritual

duata sehingga nilai ritual tersebut tetap dijaga kelestariannya. Sebagai

masyarakat yang masih mengonsumsi ritual tersebut tidak menginginkan adanya

pengaruh dari luar maupun dalam yang mengancam bahkan memusnahkan ritual

tersebut dengan berbagai alasan demi tuntutan pemikiran manusia moderen yang

maju dan berpikir rasional.

Paham lama yang menginginkan akan keaslian ritual duata berharap

ritual tersebut jangan dikomersilkan karena akan memecahkan tatanan sosial dan

keharmonisan masyarakat Bajo, yang menyebabkan penurunan kekuatan yang

terkandung dalam ritual duata. Pandangan tersebut bertolak belakang dengan

pemikiran baru masyarakat etnik Bajo yang berharap akan perubahan sakralitas

kearah profan sebagai tindakan penyelamatan ritual duata dengan alasan

tuntutan pembanguanan sekarang yang menginginkan penggalian potensi

sumber daya yang berasal dari tradisi lokal untuk bisa dikembangkan kearah

industri budaya kreatif. Hal tersebut seperti yang dituturkan oleh Djamrin (38

tahun) sebagai berikut.

“Memang kami menyadari sendiri yang hari ini kami lakukan bukan

bermaksud semata-mata untuk mau dikenal masyarakat dengan ritual

duata, namun ini dilakukan karena ritual duata kalau tidak dijdikan

sebuah pertunjukan banyak yang tidak tau. Tetapi ritual duata ketika

dijadikan sebagai hiburan banyak yang menolaknya khususnya generasi

tua yang menentang keras hal tersebut dilakukan. Akibatnya banyak

perselisihan dikampung ini karena kekurang pahaman antara dua

generasi ini”. (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan bahwa transformasi ritual duata keranah profan

sangat berlawananan dengan pemikiran generasi tua yang menginginkan ritual

duata jangan dikomersilkan. Perbedaan tersebut menimbulkan problema bagi

keharmonisan dan solidaritas masyarakat Bajo sendiri yang pada akhirnya

mengancam bahkan merusak sistem tatanan sosial masyarakatnya. Sementara

itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan oleh kecenderungan

pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme, dan

permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah menyeret berbagai

realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya. Ketika ritual

keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut (komoditi,

konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di dalam sifat-

sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya dari makna dan

nilai-nilai hakikatnya.

Ritual duata mengalami proses komodifikasi karena dijadikan komoditas

untuk dijual kepada wisatawan. Richards (1996: 262) mengidentifikasi hal

seperti itu sebagai komodifikasi budaya, yaitu bergesernya batas-batas budaya

dan ekonomi sebagaimana telah terjadi dalam praktik-praktik kepariwisataan,

khususnya pariwisata budaya. Hal penting dari keberadaan ritual duata adalah

sebuah identitas diri, tercermin dari perpaduan unsur-unsur budaya Bajo yang

terkandung di dalamnya. Komodifikasi ritual duata menyebabkan kaburnya

sebuah identitas budaya. Hal tersebut diungkapkan oleh Udin (47 tahun) sebagai

berikut.

“Ritual duata ini sebenarnya harus pada fungsinya sebagai pengobatan

adat, sekarang ini masyarakat membuat pertunjukan seni dengan

berbagai macam bentuk, banyak variasi yang dibuat-buat, saya heran

termasuk masyarakat Bajo sendiri bingung apa yang ada dalam perangkat

ritual itu, yang menghawatirkan saking banyaknya penambahan atau

pengurangan dari unsur ritual duata akan melunturkan bahkan

memudarkan kekhasan nilai-nilai yang menunjukkan identitas orang

Bajo sendiri”, (wawancara 8 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan ada ketidaksesuaian ritual duata dikomersilkan

(komodifikasi) yang mengarah kepada proses pengkaburan sebuah identitas

yang berimbas kepada generasi penwaris ritual duata sendiri. Ritual duata yang

mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar

budaya semestinya. Sungguh disayangkan kalau ritual duata hanya

meninggalkan nama namun nilai esensinya terlupakan akbiat komersialisasi

tradisi yang berkiblat kepada produk budaya massa. Fenomena memudarnya

identitas budaya Bajo tergambar ketika ritual duata dikomersilkan dalam produk

kesenian/pertunjukkan melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata yang

mengikuti selera pasar. Hal ini terjadi karena ada kesempatan dan peluang,

sehingga masyarakat pemilik kebudayaan ritual duata, termotivasi melahirkan

kreativitas dalam menyambut “pasar” peradaban masyarakat global, seperti

industri pariwisata yang berciri kekuatan kapitalisme dibidang ekonomi. Ritual

duata yang merupakan bagian dari identitas kebudayaan etnik Bajo

dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau

pengalaman manusia yang sifatnya ritual dan kepentingan praktis untuk

memperoleh keuntungan ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah

mungkin yang lambat laun akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung

dalam ritual duata.

7. 2 Makna Komodifikasi Ritual Duata

Makna dalam konteks penelitian ini diartikan sebagai, arti, maksud, yang

ditunjukkan masyarakat dalam melihat, merasa, dan berpikir tentang budayanya,

serta bertindak berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Makna dihasilkan melalui

proses interaksi antara objek dengan subjek. Makna merupakan arti dari suatu

objek. Untuk memahami makna komodifikasi ritual duata, teori semiotika

menjadi sangat penting, karena semiotika merupakan ilmu yang mengkaji

tentang makna sebagai bagian dari kehidupan sosial. Penggunaan teori

semiotika dalam berbagai cabang keilmuan dimungkinkan, karena ada

kecenderungan dewasa ini untuk memandang berbagai diskursus sosial, politik,

ekonomi, budaya, seni, dan lain-lain sebagai fenomena bahasa.

Barthes (dalam Piliang, 2003 : 261) mengembangkan sistem pemaknaan

ke dalam dua tingkat, yaitu tingkat denotasi (denotation) dan tingkat konotasi

(connotation). Denotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan

tanda dengan rujukannya yang menghasilkan makna langsung dan pasti.

Sedangkan konotasi adalah tingkat pemaknaan yang menjelaskan hubungan

antara

penanda dan petanda yang menghasilkan makna tidak pasti, artinya terbuka

terhadap berbagai kemungkinan.

Berkenaan dengan itu, dalam penelitian ini digunakan sistem pemaknaan

konotasi, yaitu memberikan makna terhadap tanda-tanda yang ada dalam

konteks komodifikasi duata berdasarkan penafsir dengan cara mengaitkan

dengan sikap, keyakinan, dan ideologi yang berkembang dalam masyarakat

sekitarnya. Komodifikasi ritual duata sebagai sebuah tanda dalam ruang budaya

dapat diberi beragam makna dengan menciptakan tafsir-tafsir baru mengenai

tanda-tanda budaya yang mengitarinya. Melalui tafsir-tafsir yang diciptakan

terhadap berbagai tanda terkandung berbagai makna. Makna komodifikasi ritual

duata berkaitan erat dengan proses terjadinya komodifikasi budaya, yaitu

produksi, distribusi, dan konsumsi.

Proses berlangsungnya industrialisasi terhadap produk budaya ritual

duata telah menjadikan duata sebagai barang komoditi. Untuk kepentingan

industri pariwisata, duata dikonstruksi kapitalisme sebagai suatu bentuk

representasi budaya masyarakat etnik Bajo dengan tujuan komersial.

Pembangunan kebudayaan dalam rangka untuk kepentingan pariwisata sebagai

bagian dari upaya pelestarian menyebabkan ritual duata menjadi produk budaya

tontonan. Sadar atau tidak sadar masyarakat sesungguhnya telah ikut ambil

bagian dalam proses komodifikasi ritual duata. Makna komodifikasi ritual duata

terkait dengan penelitian ini dapat didasarkan pada upaya pelestarian budaya,

identitas budaya, kreativitas masyarakat dan peningkatan kesejahteraan

masyarakat.

7.2.1 Pelestarian Budaya

Kebudayaan adalah pemikiran ideal mengenai apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia untuk menyempurnakan keberlangsungan hidupnya.

Dalam perjalanannya kebudayaan akan selalu mengalami penyesuaian dan

penyempurnaan dengan harapan memperbaiki apa yang belum sempurna tanpa

merusak akar kebudayaan. Kebudayaan yang terus mengalami dinamika

berdasarkan pada ideologi yang berasal dari diri manusia sendiri namun dalam

prosesnya dibutuhkan sebuah aturan (norma) agar bisa mengendalikan dan

memahami apa yang semestinya dilakukan dan sebaliknya demi kebertahanan

kebudayaan tersebut. Namun tidak bisa dipungkiri terkadang hasil dari berbagai

inovasi kebudayaan melahirkan efek baru yang bertentangan dengan kebudayaan

yang sebelumnya.

Patut disayangkan jika kebudayaan lokal yang diwariskan oleh nenek

moyang kita jika tidak dilestarikan akan mengalami kepunahan akibat gempuran

kebudayaan global. Pada hal kebudayaan memiliki filosofi makna yang identik

dengan simbol-simbol yang memiliki kaitan dengan perjalanan peradaban

manusia pada masa itu. Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks,

yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan yang lain yang didapat

seorang sebagai anggota masyarakat. Sesuai dengan pendapat Suparlan (dalam

Ghazali 2011: 32) menjelaskan bahwa kebudayaan merupakan cetak biru bagi

kehidupan, atau pedomanan bagi kehidupan masyarakat, yaitu merupakan

perangkat-perangkat acuan yang berlaku umum dan menyeluruh dalam

menghadapi lingkungan untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan para warga

masyarakat pendukung kebudayaan tersebut. Untuk memahami makna dibalik

simbol yang digambarkan oleh pemilik kebudayaan diperlukan pemikiran kritis

yang harus diterjemahkan sehingga generasi muda bisa mewarisi dan

memahami makna kebudayaan tersebut.

Ritual duata memiliki banyak simbol-simbol yang tidak begitu saja

ditentukan namun memiliki sumber dan kaitan terhadap komponen-komponen

yang dianggap baik oleh leluhur. Seiring dengan perkembangan zaman simbol-

simbol tersebut mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan konteks

kebutuhan manusia. Simbol yang memiliki nilai makna begitu saja diubah,

diperlakukan sehingga menimbulkan berbagai macam pemaknaan baru akan

filosofi nilai-nilai yang digambarkan dalam ritual duata. Oleh karena itu sudah

saatnya ada upaya pelestarian ritual duata kegenerasi selanjutnya sebagai hak

kekayaan intelektual lokal masyarakat Bajo yang memiliki makna simbolik yang

mampu menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan manusia, alam dan

sang pencipta (Tuhan Yang Maha Esa).

Terkait denga praktik komodifikasi ritual duata merupakan fenomena

budaya yang mengalami transformasi budaya yang menjadikan budaya sebagai

komoditinya. Transformasi ritual duata ke arah profanisasi bukan hanya

didasarkan pada pemanfaatan produk ritual sebagai modal untuk dijadikan

barang/jasa untuk dijual, namun masyarakat harus menyikapinya bahwa

komersialisasi ritual duata adalah bagian dari upaya pelestarian tradisi/ritual dari

ancaman kepunahan. Untuk itulah masyarakat etnik Bajo dengan adanya praktik

komodifikasi ritual duata bisa melestarikan tradisi/ritual dan disisi lain bisa

memanfaatkannya guna meningkatkan perbaikan kesejahteraan masyarakatnya.

Hal tersebut terkait dengan pendapat Sibarani (2012: 71) mengatakan bahwa

dalam konteks Indonesia yang sangat kaya akan keberagaman budaya, Indonesia

sangat penting, bukan hanya dari segi pelestarian sebagai warisan budaya yang

perlu dijaga dan dilindungi demi jati diri, harkat dan harga diri bangsa, tetap dari

segi modal budaya dapat diolah hingga dapat memberi nilai tambah yang dapat

meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut sesuai dengan

ungkapan Manan (46 tahun) sebagai berikut.

“Masyarakat Bajo sendiri harus sadar bahwa ritual duata ini tidak disalah

gunakan seperti isu yang berkembang selama ini. Tetapi ritual duata

kenapa dijadikan sebagai pertunjukan seperti tari-tarian ini sebagai

tindakan penyelamatan budaya Bajo, karena kalau tidak dijadikan seperti

ini, makan duata ini lama-kelamaan hilang, bisa dilihat buktinya

sekarang orang Bajo dipandang lebih oleh masyarakat di darat dan

akhirnya juga membawa keberuntungan bagi masyarakat dari segi

ekonomi dan budaya” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa praktik komersialisasi ritual duata bukan

hanya untuk mendapatkan keuntungan semata secara ekonomi namun dengan

adanya praktik ritual duata ke arah profan akan memberikan upaya pelestarian

budaya dari ancaman kepunahan.

Dalam perkembangannya tradisi lisan diarahkan pada suatu karya

bersifat estetik dan profan. Oleh karena itu tradisi lisan dianggap sebuah karya

yang dapat dikomunikasikan di dalam masyarakat yang dimaksudkan bahwa

tradisi lisan bisa dinikmati, ditonton dan didengar oleh penikmat. Ritual duata

semenjak dijadikan sebagai salah satu kesenian dalam bentuk atraksi budaya

sangat menguntungkan banyak pihak khususnya masyarakat etnik Bajo sebagai

pendukung kebudayaan tersebut. Nampaknya masyarakat antusias menerima

perubahan ritual duata dijadikan sebagai bentuk kesenian yang membuka

lapangan pekerjaan dan melahirkan seniman-seniman kreatif yang mampu

memperbaiki taraf kehidupannya yang pada akhirnya ritual duata bisa eksis pada

era modernisasi. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun) sebagai berikut.

“Ritual duata sebagai tradisi pengobatan Bajo ini dulu sebelum adanya

wisatawan yang datang ke kampung kami, belum begitu dikenal jadi

tampaknya hanya orang Bajo saja yang mengetahui dan

mengkonsumsinya. Tetapi sekarang setelah dikenal oleh orang banyak

jadinya ritual ini sering dipanggil mengisi acara-acara pemerintah atau

tamu-tamu yang datang ke Wakatobi. Saya sendiri sangat bangga

tentunya bagi masyarakat Bajo juga sehingga budaya kami sedikit demi

sedikit bisa dikenal, bahkan upah yang diberikan dari jasa pertunjukan

kami ini bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, disamping itu ritual duata

bisa bertahan” (wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan kehadiran wisatawan/penikmat seni khususnya

tradisi lokal masyarakat Bajo membawa manfaat yang begitu besar terhadap

eksistensi kebudayaan dan kesejahteraan masyarakat Bajo. Dimana dengan

semakin dipertunjukan ritual duata mereka bisa menunjukan eksitensi diri dan

budaya Bajo kemasyarakat luas sehingga mampu melakukan kreativitas dan

pelestarian dalam bentuk pertunjukkan yang mengundang daya tarik bagi

wisatawan dan tentunya jerih payah yang mereka lakukan benilai guna untuk

kesejahteraan keluarganya. Hal tersebut nampaknya telah memberikan

perubahan bagi tatanan sosial masyarakat etnik Bajo karena ritual duata bukan

saja merupakan hak milik atau budaya Bajo namun sekarang berubah menjadi

sebuah produk yang tentunya bisa dikonsumsi oleh siapa saja termasuk

wisatawan mancanegara sehingga bukan hanya menimbulkan jiwa kosumerisme

bagi penikmat seni namun sebuah prestise tersendiri.

Oleh karena itu, komodifikasi ritual duata hendaknya dilakukan melalui

pendekatan terpadu yang melibatkan berbagai bidang keilmuan (multi disiplien).

Pendekatan terpadu ini pada dasarnya bersifat knowledge based dan

mengintegrasikan beberapa bidang pengetahuan sebagai landasannya (Spillane,

1994: 3). Mengingat pentingnya nilai-nilai ritual duata pada etnik Bajo maka

perlu dibawah pengawasan yang tentunya melibatkan masyarakat lokal (pemilik

tradisi) serta praktisi budaya (pemerintah) sehingga dalam komodifikasi ritual

duata, akar budaya dan nilai-nilai pendidikan dan kearifan lokal yang

mencerminkan jati diri masyarakat Bajo tidak hilang akibat dari komersialisasi

tradisi.

7.2.2 Identitas Budaya

Perkembangan tekhnologi dan informatika yang semakin pesat

membawa perubahan signifikan bagi eksistensi nilai tradisi lokal yang dimiliki

bangsa kita. Hal tersebut bukan lagi sebuah gejala perubahan nilai namun akan

membawa kepada perubahan nilai tradisi kearah konteks kebudayaan global.

Terjadinya komersialisasi berbagai bentuk kebudayaan leluhur yang dilakukan

oleh masyarakat pendukung kebudayaan nampaknya lebih memperhatikan nilai

ekonomi ketimbang filosofi nilai, makna dari tradisi tersebut.

Ritual duata sebagai warisan leluhur syarat akan berbagai macam makna,

nilai yang bisa dijadikan sebagai pegangan dan pedoman dalam membina

keharmonisan dalam kehidupan masyarakat Bajo. Sebagai ritual pengobatan adat

etnik Bajo sepatutnya bisa menjaga dan memelihara kelestarian ritual tersebut

dari kepunahan. Bukan hanya dalam upaya penyembuhan berbagai pennyakit,

namun ritual duata erat kaitannya dengan kearifan lokal serta hubungan antara

manusia dengan sesamanya, lingkungan alam, dan penguasa alam. Namun di era

globalisasi sekarang ini eksitensi ritual duata berangsur-angsur mengalami

perubahan nilai namun juga pemaknaan yang berbeda bagi masyarakat

pendukung juga pihak konsumen (penikmat tradisi).

Representasi ritual duata yang syarat akan tanda-tanda yang melekat

pada prosesinya memberikan corak yang unik terhadap kehidupan pemilik

kebudayaan etnik Bajo. Tanda-tanda tersebut bisa dikatakan sebagai identitas

etnik Bajo yang hidup dengan budaya lautnya. Dalam memproduksi makna

ritual duata sebagai identitas etnik Bajo terlihat dari penanda (signifier), pakaian

yang dipakai oleh penari maupun dukun (sandro), gendang, sesajian, serta

bendera kebesaran (ula-ula) sebagai tanda (semiotik) yang mempunyai petanda

(signified) untuk menjelaskan makna. Produksi makna disini bersifat implisit,

tersembunyi yang disebut makna konotatif (Piliang, 2004 aa:90). Makna

konotasi berdasarkan latar budaya etnik pemberi konotasi (Hoed, 161-162).

Selanjutnya bagaimana teks-teks budaya dapat memunculkan makna

representasi identitas etnik Bajo melalui sistem penandaan yang dalam konteks

ini misalnya: berupa pakaian tradisional, tari, suara gendang, ula-ula, jenis

sesajian, maupun doa (jajampi). Pakaian penari sebagai identitas suku Bajo

terlihat pada gambar 7.1.

Gambar 7.1 Kelompok penari ritual duata (ngigal)

(Dokumen, Irsyan Basri: 6 Pebruari 2014)

Gambar 7.1 menunjukkan para penari (ngigal) dengan pakaian yang seragam

memberikan identitas etnik Bajo. Nampak sarung yang digunakan oleh penari

duata berwarna gelap karena pada umumnya kehidupan etnik Bajo dulu masih

tinggal di atas perahu (bido) sehingga apapun media yang digunakan masih

bersifat natural yang berasal dari alam mereka belum menyukai warna terang.

Sarung yang mereka pakai memiliki kemiripan dengan sarung songket etnik

Bugis karena mereka masih mempunyai garis keturunan yang sama. Umumnya

orang Bajo baik pria maupun wanita senang memakai sarung. Sarung pada

zaman dahulu memiliki banyak fungsi dalam kehidupan masyarakat etnik Bajo

terutama bagi kaum wanita. Seperti yang diungkapkan oleh Ambe (51 Tahun)

sebagai berikut.

“Dulu kami orang Bajo belum memakai Baju seperti sekarang ini, untuk

menutupi aurat kami menggunakan kain atau sarung. Sarung ini bukan

hanya bisa menutup aurat namun bisa digunakan sebagai layar untuk

membantu kami dalam mengarungi laut. Kami tidak memakai baju hanya

sarung saja sama juga dengan laki-laki, sehingga bagi orang bagai

memandang kami seperti orang aneh apa lagi warna kulit kami ini tidak

seperti orang di darat. Sarung ini biasanya kami dapat dari kerabat kami

dari Bugis jadi dulu sarung ini penting juga karena bisa orang kenal kita

dari motif sarung yang digunakan. (wawancara 5 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa etnik Bajo pada kehidupannya di

atas perahu baik pria maupun wanita hanya menggunakan sarung. Sarung

memiliki manfaat dan sangat penting disamping untuk melindungi mereka dari

cuaca panas atau dingin juga bisa sewaktu-waktu dijadikan sebagai layar untuk

membangkitkan kekuatan tenaga angin dalam mengarungi samdera. Sebagai

identitas etnik Bajo sarung tersebut memiliki corak yang sama dengan etnik

Bugis karena masih mempunyai garis keturunan yang sama menurut sejarahnya.

Disamping itu bendera (ula-ula) merupakan unsur pokok dalam ritual duata

seperti pada gambar di 7.2.

Gambar 7.2 Ula-ula sebagai penanda identitas suku Bajo

(Sumber: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi 2014)

Pada gambar 7.2 terlihat bendera kebesaran etnik Bajo (ula-ula). Ada beberapa

bendera yang digunakan oleh masyarakat etnik Bajo sehingga bisa dibedakan

jenis bendera untuk pengobatan maupun acara-acara adat lainnya. Kain yang

berbentuk segi tiga yang disimpan diujung tongkat dan biasanya dikaitkan pada

buritan perahu (bido). Sudah bisa digambarkan bahwasanya ketika pada saat-

saat tertentu bendera (ula-ula) bisa dikibarkan sehingga masyarakat Bajo

memahami kalau di desanya akan ada sebuah kegiatan atau peritiwa. Bendera

sebagai identitas etnik Bajo memiliki makna yang mendalam dengan warna dan

bentuk yang unik memggambarkan sebuah mitos yang diyakini dari leluhurnya

akan keperkasaan dan kekuatan hewan laut berupa gurita raksasa yang erat

kaitannya dengan kehidupan masyarakat Bajo.

Sejalan dengan penggambaran di atas, Maunati (2004: 23) dan Ardhana

(2004:101-102) menjelaskan beberapa hal yang berkaitan dengan persoalan

identitas. Ia menyebut bahwa penanda-penanda identitas budaya misalnya bisa

berasal dari sebuah kekhasan yang diyakini ada pada agama, bahasa, adat serta

tradisi pada budaya yang bersangkutan. Selanjutnya dalam pandangan semiotika

simbol atau benda menjadi tanda yang sekaligus sebagai identitas yang memiliki

makna. Identitas sebenarnya sebuah kontruksi, dalam artian identitas budaya

dapat dengan sengaja dibentuk atau dibangun. Dalam proses pembentukan

identitas tersebut tergantung pada pengalaman masa lalu atau sejarah yang

berbeda.

7.2.3 Kreativitas Masyarakat

Kebudayaan telah mengalami perubahan fungsi menjadi sesuatu yang

bisa sewaktu-waktu berubah mengikuti apa yang diharapkan oleh masyarakat

(konsumen). Dalam hal ini ritual duata bisa menjadi suguhan untuk kepentingan

pariwisata dimana kebudayaan yang berkembang bukan hanya didasarkan pada

nilai esensi yang terkandung didalamnya melainkan efektifitasnya dan nilai jual

yang terkandung di dalamnya. Dalam tataran ekonomi kebudayaan merupakan

tontonan yang dapat diperjual belikan dimana komunitas atau pendukung

kebudayaan diharuskan mendaur ulang atau mengemasnya sehingga ada unsur

kebaruan dalam tampilannya. Hal tersebut sejalan dengan Tester (2009:84)

komodifikasi adalah proses karya seni baik abstrak maupun konkrit yang

sebelumnya sebagai karya sakral untuk persembahan dengan kesadaran penuh

dan perhitungan yang matang dari seniman maupun konsumen diproduksi untuk

memenuhi kebutuhan pasar dan diperjualbelikan kepada masyarakat yang

membutukan karya seni tersebut. Hal tersebut dituturkan oleh Jukni (25 tahun)

sebagai berikut.

“Kalau ritual duata untuk kepentingan pertunjukkan kami selalu

mengikuti perkembangan tari-tarian yang sudah ada. Kebetulan di

Wakatobi ini banyak sekali tari-tarian sehingga untuk gerakan tari dalam

ritual ini terkadang mengikuti tari daerah lain sama halnya busana pasti

akan selalu tampil dengn perkembangan gaya masa kini” (wawancara 7

Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan bahwa untuk menarik minat atau daya tarik

konsumen/wisatawan tentunya harus memiliki modal kreativitas seperti halnya

pelatih atau penari selalu mengikuti konsep perkembangan tari kontenporer yang

tentunya bertolak pada tradisi sebelumnya begitu juga pada perkembangan

busana harus siap dengan tampilan baru sehingga nampak berbeda dan

mengundang daya tarik.

Dalam rangka mencari keuntungan lebih kekuatan kapitalis di era

postmodernisme tidak lagi hanya mengandalkan pada ekspansi dan misifikasi

komoditas, tetapi sudah lebih berorientasi dan kemunculan inovasi atau ide-ide

baru yang dibutuhkan dan diinginkan pasar. Karena tanpa melakukan inovasi-

inovasi terbaru akan mengalami ketertinggalan yang pada akhirnya tidak

diminati oleh konsumen. Hal tersebut nampak pada praktek ritual duata dimana

dalam memenuhi tuntutan pasar selalu melakukan perubahan-perubahan

tampilan baik dalam bentuk materi ritual atau formasi gerakan-gerakan ritual.

Persaingan-persaingan dalam industri budaya melahirkan juga potensi

persaingan dibidang ekonomi lainnya sehingga karakter masyarakat Bajo

semakin tertantang dengan budaya persaingan.

Kedua sisi itu tampak berlawanan, tetapi berjalan berdampingan saling

melengkapi dan memperkokoh eksistensi masing-masing. Sekat yang

menjadikan ritual duata sebagai ritual pengobatan adat etnik Bajo dan daya tarik

wisata dibangun oleh kebiasaan atau pengalaman manusia yang sifatnya ritual

dan kepentingan praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi.

Ritual duata yang mengalami komodifikasi tentunya tunduk pada selera

konsumen (pasar) sehingga dalam perubahannya dibutuhkan pemikiran dan

modal kreativitas seni tinggi sehingga mengundang daya tarik seni terhadap

penikmat atau konsumennya. Kretivitas sandro dan seniman Bajo dalam

mendesain struktur tari, sesajian dan pakaian yang digunakan dalam ritual

memberikan kesan tersendiri karena apa yang mereka tunjukan akan bernilai

seni dihadapan penikmat seni/konsumen.

Makna kreativitas dalam komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh

sandro dan pelaku seni di etnik Bajo dilihat dari beberapa bentuk yang memiliki

perubahan dari media aslinya yakni pada awalnya ritual duata dilakukan oleh

masyarakat Bajo dalam hal pengobatan. Namun pada perkembangannya kearah

komodifikasi, ritual duata mengalami perubahan dalam konteks tempat, dan

waktu pelaksanaanya. Ritual duata sebagai ritual pengobatan adat kini bisa

dilakukan kapan saja dan dimana tergantung pengoder/selera konsumen

sehingga dilihat dari prosesnya ritual duata terkesan berubah dalam bentuk

penggunaan waktu pelaksanaan, dan fungsinya. Ritual duata yang seharusnya

menggunakan waktu selama tiga hari dengan mengikuti selera pasar bisa

dipadatkan menjadi 10 sampai 15 menit sehingga ada perubahan karakter dan

tampilan yang menyesuaikan dengan keadaan dimana mereka tampilkan. Hal ini

juga akan berimbas pada materi-materi ritual seperti sesajian, pakaian yang

digunakan oleh pelaku dalam ritual, serta identitas-identitas yang ditunjukan

mengalami perubahan. Perubahan tersebut menunjukan bahwa eksisatensi ritual

duata serkarang lebih kepada tuntutan ekonomi pasar yang mengikuti apa yang

diinginkan oleh pasar sehingga terjadi pemaknaaan baru dalam

perkembangannya.

Sisi lain dari kreativitas akan melahirkan sebuah karya seni yang penuh

dengan pemalsuan karena pada dasarnya yang diharapkan adalah mengejar

estetika dengan harapan mendapatkan keuntungan lebih. Perubahan tampilan isi

materi sesajian seperti pada gambar 7.3.

Gambar 7.3 Kreativitas dalam penyajian isi sesajian

(Dokumentasi: Dinas Pariwisata Kabupaten Wakatobi)

Gambar 7.3 menunjukkan bahwa ritual duata bukan saja merupakan sebuah

ritual yang memiliki makna kesakralan tinggi namun dengan adanya pengaruh

pariwisata dan ekonomi maka ritual duata merupakan sebuah tuntunan dan

tontonan sebagai sajian seni yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan

dalam jasa yang mengikuti selera pasar. Hal tersebut menumbuhkan modal

kreativitas bagi seniman untuk lebih menginginkan hal-hal baru yang bisa

memperkaya dan membuat ritual duata tampil lebih dan tentunya bernilai jual.

Sementara itu, perkembangan masyarakat kontemporer yang dicirikan

oleh kecenderungan pada budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup

konsumerisme, dan permainan citra pada tingkat kedalaman tertentu, telah

menyeret berbagai realitas ritual keagamaan dalam ruang-ruang pengaruhnya.

Ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang-ruang pengaruh tersebut

(komoditi, konsumerisme, citra), maka ritual keagamaan akan terperangkap di

dalam sifat-sifat kedangkalan, dan sebaliknya, akan semakin menjauhkannya

dari makna dan nilai-nilai hakikatnya (Piliang, 2009 : 336).

Fenomena seperti itu oleh Baudrillard (1997 : 36-37) disebut dengan

simulakra yang menyatakan bahwa semua sistem, semua hal yang ada,

merupakan kehampaan. Tidak ada apapun, kecuali kepurapuraan atau simulasi.

Seseorang tidak pernah benar-benar menjadi dirinya sendiri, tetapi hanya pura-

pura menjadi dirinya sendiri. Ketradisionalan mereka hanya sekedar tampilan

fisik sebagai suatu bentuk kepura-puraan. Secara sepintas dapat dilihat bahwa

masyarakat masih kuat melakukan tradisi spiritualnya. Namun sesungguhnya

ternyata merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh orang-orang modern yang

berpura-pura tradisional.

Dalam konteks kekinian, komodifikasi ritual duata yang dilakukan oleh

masyarakat Bajo dianggap sebagai bentuk kreatifitas masyarakat Bajo untuk

menciptakan atau berinovasi dengan hal-hal baru sehingga mengundang daya

tarik tersendiri dan ini merupakan bagian dari sebuah pengembangan kreativitas

seniman Bajo dalam melestarikan ritual duata. Kreativitas dijadikan sebagai

modal utama dalam mendaur ulang ritual duata sehingga membangkitkan

libido/hasrat untuk mengonsumsinya kembali sehingga nilai-nilai yang

terkandung didalam ritual duata mampu diterima oleh masyarakat yang

menikmatinya.

7.2.4 Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat

Komodifikasi ritual duata mengandung makna kesejahteraan bagi

masyarakat pendukung maupun sekitarnya. Ritual duata tampil dengan estetika

baru yang sengaja diproduksi untuk menarik wisatawan guna meningkatkan

pendapatan secara ekonomi. Dengan demikian para seniman berlomba-lomba

untuk menggali dan mengembangkan kreatifitasnya dengan memanfaatkan

potensi tradisi sebagai objek bernilai jual.

Kesejahteraan (Kebayantini, 2013: 192) yaitu menyangkut berbagai

aspek yang kompleks. Sejahtera tidak hanya dipandang dari segi terpenuhinya

kebutuhan ekonomi semata, tetapi juga kebutuhan sosial dan mental spritual.

Terkait dengan hal ini makna kesejahteraan adalah dalam penelitian ini

menyangkut terpenuhinya kebutuhan ekonomi, sosial, dan mental spritual para

pelau ritual duata.

Ritual duata pada hakikatnya dikonsumsi oleh masyarakat

pendukungnya karena nilai esensinya yang membawa manfaat bagi masyarakat.

Manfaat tersebut dirasakan ketika apa yang mereka inginkan dalam upaya

penyembuhan dari penyakit terkabulkan. Ritual duata umumnya diperuntukkan

atau dikonsumsi oleh orang-orang Bajo sendiri, namun pada perkembangannya

mengalami transformasi yang menyesuaikan dengan budaya yang dibawa oleh

kapitalisme sehingga ritual duata yang sebelumnya bukan barang komoditas

menjadi barang komoditas yang berorientasi nilai jual. Pada masyarakat

moderen hal apapun berpotensi menjadi komoditas, memiliki nilai moneter, dan

diperjualbelikan sehingga melahirkan apa yang disebut komodifikasi. Hal

tersebut sejalan dengan konsep Barker (2005: 517) komodifikasi yaitu proses

yang diasosiasikan dengan kapitalisme, di mana objek, kualitas, dan tanda-tanda

diubah menjadi komoditas, yaitu sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di

pasar.

Perkembangan kreativitas seni masyarakat Bajo dalam pertunjukan

ritual duata secara ekonomi sangat diuntungkan mengingat dalam prosesnya ada

ketetapan harga yang diberikan oleh konsumennya sehingga secara ekonomi

akan mampu mensejahterakan pemilik ritual duata (pelaku dalam pertunjukan)

dan masyarakat Bajo pada umumnya. Senada dengan apa yang dikatakan Ardika

dalam (Dasrul, 2013: 151) bahwa praktek budaya global memberikan pengaruh

positif bagi kelangsungan ekonomi. Dengan penetapan harga/upah tersebut akan

memberikan modal dalam segi pembiayaan dalam proses produksi dan distribusi

ritual duata. Tentunya bukan hanya diuntungkan secara ekonomi namun dengan

adanya komodifikasi ritual duata yang diperuntukan kepada masyarakat luas

dianggap sebagai ajang promosi dan pelestarian akan kebudayaan etnik Bajo.

Masyarakat Bajo yang telah diboncengi pemikiran kapitalis dengan

menjadikan ritual duata sebagai modal untuk ditukarkan dengan uang memiliki

harapan akan peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan nilai tukar berupa uang

maka mereka bisa memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Hal tersebut

diungkapkan oleh Hapsa (45 tahun) seperti berikut.

“Ritual duata ini setelah sering dipertunjukkan pada acara pemerintah

kami merasakan ada perubahan ekonomi keluarga dengan hasil upah

setiap kali kami tampilkan. Lumayan untuk makan sehari-hari juga

meyekolahkan anak-anak kami. Setiap kali tampil saya terkadang dikasi

uang Rp300.000 belum lagi tip-tip dari bapak ibu yang beri saweran”

(wawancara 7 Pebruari 2014)

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa dorongan ekonomi kapital yang

dilakukan oleh masyarakat Bajo untuk mengkomersialkan ritual duata sangat

bermanfaat dalam perbaikan ekonomi keluarganya. Dengan memanfaatkan

produk budaya ritual duata nampaknya melahirkan paradigma berpikir kritis

untuk memanfaatkan sesuatu yang sebelumnya bukan barang bernilai yang pada

akhirnya memberi manfaat dengan nilai tukar dari barang/jasa tersebut.

Komodifikasi ritual duata jika dikaitkan dengan ekonomi erat

hubungannya karena oleh produsen sengaja memproduksinya dengan menata

ulang (daur ulang) dari apa yang sebelumnya kurang menarik untuk dinikmati

(jual) yang pada akhirnya menjadi barang/jasa untuk dikonsumsi sebagai produk

budaya massal yang berorientasi pada pasar. Dalam melakukan daur ulang

tentunya harus dipertimbangkan aspek penting yang bisa memiliki nilai guna,

dalam artian produk yang kita hasilkan dapat bermanfaat atau memuaskan

kebutuhan tertentu. Disamping itu sebuah komoditas harus bisa dipertukarkan

dengan barang atau jasa lain yang disebut nilai tukar (Suyanto 2013: 176).

Komodifikasi ritual duata bukan saja dinikmati berdasarkan fungsi esensinya

sebagai ritual penyembuhan namun disisi lain harus ada nilai lebih yang

berorientasi pada pemenuhan selera konsumen.

Etnik Bajo yang dominan bermata pencaharian sebagai nelayan lambat

laun mengalami perubahan pola mata pencaharian ke bidang pekerjan yang lain

seperti bidang kesenian atau usaha perdagangan sehingga memberikan variasi

pekerjaan bagi masyarakatnya. Seiring dengan perkembangan waktu dan

perubahan sosial budaya maka adat, tradisi, dan budaya masyarakat juga

mengalami perubahan. Hal tersebut diungkapkan oleh Bakri (63 tahun) sebagai

berikut.

“Orang Bajo dulu semua pekerjaannya melaut, boleh dikata kami ini

orang yang hidup mati dengan namanya laut. Pekerjaan melaut ini kami

dapat dari leluhur sebelum kami, jadi yang namanya gejala alam atau

perubahan iklim yang berkaitan dengan kegiatan melaut orang Bajo

sangat pintar. Tapi sekarang setelah adanya pariwisata di Wakatobi anak-

anak udah banyak yang sekolah bahkan menjadi orang besar. Terlebih di

kampung ini sudah banyak terlihat perubahan rumah-rumah sudah

permanen bukan kaya dulu masih di atas laut. Semuanya itu karena orang

Bajo sudah menghargai yang namanya uang sehingga bisa bekerja

mencari uang untuk berdagang atau pekerja seni, bahkan membuat

kerajianan khas Bajo dan itu sangat menunjang perekonomian keluarga.

(wawancara 8 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa kehadiran industri pariwisata yang ada di

kawasan kepulauan Wakatobi berimbas terhadap pola pekerjaan masyarakat

Bajo dari profesi nelayan bergeser kepekerjaan lainnya seperti berdagang,

pekerja seni ataupun penjual kerajian khas suku Bajo. Dengan adanya berbagai

macam profesi masyarakatnya membuat tingkat kesejahteraan masyarakatnya

pun maju dan lebih meningkat.

Bagi pelaku seni khususnya dukun pemilik ritual duata merespon baik

adanya praktik komodifikasi. Hal tersebut membuat perubahan bagi kondisi

keluarganya kearah yang lebi baik. Ritual duata baik dijadikan sebagai

pengobatan atau atraksi seni sangat membantu perekonomian terlihat dalam

sekali pertunjukan terkadang dukun memperoleh keuntungan bersih Rp

5.000.000 sekali pertunjukan dan itu dirasakan sangat diuntungkan. Hal ini

seperti yang dituturkan oleh dukun (Dasseng) sebagai berikut.

“Kalau dulu pengobatan saya kasi harga mulai dari Rp 3.000.000 sekali

pengobatan dan itu tidak tiap hari tapi sekarang kalau ada tamu datang

pertunjukan duata pasti akan diminta dan dibayar mahal karna kalau

untuk pertunjukan saya banyak gunakan tenaga yah taksiran untung saya

Rp 5.000.000 jadi saya merasa untung bisa berjalan keduanya”

(wawancara 7 Pebruari 2014).

Tuturan di atas menunjukkan ritual duata dapat dijadikan sebagai mata

pencaharian. Terbukti apa yang dilakukan oleh dukun bisa mendapatkan

keuntungan yang begitu besar. Perubahan ritual duata dari sakral ke profan tidak

terlepas dari pengaruh golbalisasi. Ideologi dan tingkat pengetahuan masyarakat

yang bervariasi ikut berperan dalam mengubah pemaknaan ritual duata.

Masyarakat Bajo memainkan peranan penting dalam industri budaya

dengan memanfaatkan dan memberdayakan tardisi/ritual duata sebagai

komoditi. Pemberdayaan tradisi/ritual mengakibatkan pola pikir masyarakatnya

untuk menekuni profesi sebagai pekerja seni yang dapat mendatangkan

keuntungan. Terbukti setelah ritual duata dikomersialkan masyarakat pendukung

ritual khususnya dukun dan pelaku seni lainnya mengalami perubahan

perekonomian yang begitu besar serta masyarakat sekitarnya pun ikut merasakan

manfaatnya. Kedatangan wisatawan keperkampungan Bajo mendorong

masyarakatnya untuk membuka jasa layanan seperti penginapan, penyewaan

perahu serta pedagang yang menawarkan barang produk seni kepada

tamu/wisatawan yang berkunjung. Hal tersebut diungkapkan oleh Daud (47

tahun) sebagai berikut.

“Saya sendiri merasakan efeknya ketika banyak orang yang datang

keperkampungan Bajo, diantaranya saya menyewakan perahu kalau ada

tamu yang mau jalan-jalan disekitar kampung sekali pakai aku beri harga

Rp 250.000 dan kebetulan istri saya membuka usah kecil-kecilan seperti

gorengan atau makanan dan ada sedikit dagangan seperti kalung atau

cincin yang terbuat dari kulit penyu dan itu laku terjual kalau ada

wisatawan, hitung-hitung keuntungan yang kami dapat ini mampu

menyekolahkan anak-anak kami sampai kuliah” (wawancara, 7 Pebruari

2014).

Ungkapan di atas menunjukkan bahwa bukan hanya pemilik ritual duata yang

diuntungkan dalam hal ini masyarakat sekitar turut andil dalam mendukung

praktik komodifikasi ritual duata. Dengan kehadiran wisatawan untuk melihat

praktik ritual duata, oleh masyarakat etnik Bajo memanfaatkannya untuk

memberi layanan jasa atau dagangan untuk ditawarkan kepada wisatawan yang

pada akhirnya terjadi transaksi jula-beli yang sangat menguntungkan.

BAB VIII

STRATEGI PEWARISAN RITUAL DUATA

Strategi pewarisan merupakan suatu upaya atau cara untuk

melindungi/memanfaatkan budaya/tardisi khususnya tradisi lisan dari berbagai

macam ancaman kepunahan akibat dari arus budaya global yang merambah ke

dalam kebudayaan lokal. Tradisi lisan yang berisi tontonan dan tuntunan tersebut

sekiranya perlu mendapat perhatian khusus sehingga mampu bertahan dan

dimanfaatkan dalam konteks kehidupan sekarang. Sebuah tradisi tidak akan

hidup jika tidak mengalami transformasi dimana terdapat penyesuaian antara

tradisi dengan modernisasi yang merupakan sebuah kewajaran karena

kebudayaan merupakan sebuah aspek yang akan senantiasa mengalami

dinamika.

Setiap tradisi memiliki nilai budaya yang sebahagian besar dimanfaatkan

pada generasi masa kini demi masa depan yang sejahtera dan bermartabat,

sehingga dibutuhkan ahli yang dapat menggali, menginterpretasi, dan

menerapkan nilai budaya itu dengan baik. Nilai budaya yang dimaksud disini

adalah nilai luhur yang ada pada tradisi lisan dan yang menjadi pedoman

komunitas pada zaman itu. Harus diakui juga bahwa nilai luhur yang dahulu

menjadi pedoman leluhur belum tentu sepenuhnya relevan dengan kehidupan

masa kini, bahkan mungkin ada yang telah bertentangan dengan kehidupan

sekarang. Nilai budaya yang masih relevan dapat dimanfaatkan untuk menata

kehidupan sosial suatu komunitas dengan arif. Oleh karena itu tradisi lisan yang

mengandung kearifan perlu dilakukan pewarisan untuk diterapkan dan diajarkan

pada generasi muda sekarang demi penciptaan kedamaian dan peningkatan

kesejahteraan bangsa di masa depan. Sebagai langkah strategi pewarisan yang

dilakukan oleh masyarakat Bajo terhadap keberadaan ritual duata yaitu dalam

upaya (1) pemberdayaan, (2) pendokumentasian dan (3) pengembangan

8.1 Pemberdayaan

Pemberdayaan berasal dari kata “daya” yang mendapat awalan ber

menjadi kata “berdaya” artinya memiliki atau mempunyai daya. Daya artinya

kekuatan, berdaya artinya memiliki kekuatan. Pemberdayaan artinya membuat

sesuatu menjadi berdaya atau mempunyai kekuatan. Pemberdayaan yang

dimaksud dalam penelitian ini adalah upaya memberikan kebebasan kepada

masyarakat pendukung tradisi untuk memanfaatkan modal budaya berupa ritual

duata untuk dijadikan sebagai produk budaya yang bernilai guna sehingga bisa

meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

Melihat kuatnya pengaruh globalisasi dalam bidang kehidupan manusia

seakan-akan nilai-nilai dan ideologi global meruntuhkan segala tatanan sosial

yang bersumber dari tradisi dan kebudayaan leluhurnya. Nilai keluhuran yang

bersumber dari tradisi kebudayaan nenek moyang yang dijunjung tinggi sebagai

aturan adat yang ampuh dalam memperbaiki dan menjaga keharmonisan dalam

kehidupan manusia diperhadapkan dengan pemikiran praktis yang berdasarkan

dari budaya global. Tradisi seakan-akan kurang andil dijadikan sebuah nilai yang

bisa difungsikan dalam kehidupan sosial masyarakat. Seolah-olah tradisi

dianggap sebuah unsur kekunoan yang membuat masyarakat semakin tertutup

(koservatif) jauh dari perkembangan manusia-manusia moderen seperti di

negara barat. Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran terhadap nilai tradisi

leluhur akan mengalami keterancaman (punah) yang lambat laun masyarakat

bisa meninggalkannya. Hal tersebut mendorong pihak-pihak terkait pemerhati

kebudayaan untuk melakukan upaya dalam perlestarian tradisi lokal baik lisan

maupun tulisan untuk bisa dipertahankan dan diberdayakan dalam budaya

kekinian.

Budaya global (moderen) yang semakin berkembang tidak bisa dihindari

dalam perkembangan kebudayaan lokal. Harus kita sadari bersama bahwa

kebudayaan akan terus mengalami dinamika kearah tingkat peradaban manusia

yang moderen. Tradisi budaya (lisan) selalu mengalami transformasi akibat

perkembangan zaman dan akibat penyesuaiannya dengan konteks zaman

(Sibarani , 2012: 3). Tradisi akan selalu hidup dalam sebuah transformasi

sebagai bentuk penyesuaian budaya lokal (tradisi lisan) dengan unsur

modernisasi sehingga menciptakan sebuah kedinamisan budaya.

Terkait dengan hal tersebut ritual duata sebagai tradisi lisan masyarakat

etnik Bajo yang sekarang ini mengalami transformasi dari unsur kesakralan

menuju profan merupakan bagian dari pengaruh praktik kapitalisme global.

Sebagai warisan budaya leluhur masyarakat etnik Bajo masih berusaha menjaga

kesakralannya, karena dinilai sesuatu yang tabuh yang tidak boleh disalah

gunakan terkecuali dalam koridor yang semestinya (pengobatan). Namun dilain

pihak timbul pemikiran baru dari sebagian masyarakat pendukung kebudayaan

tersebut untuk memanfaatkan potensi yang diwariskan oleh leluhur untuk bisa

diberdayakan dalam upaya melestarikan dan mengangkat kebudayaan tersebut

keranah pertunjukan. Hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai

berikut:

“Kami memang sadar akan kesakralan ritual duata yang bagi kami

memiliki kekuatan supranatural yang ampuh dalam hal pengobatan.

Pemikiran-pemikiran akan nilai gaib dalam pengobatan itu membuat

kami masyarakat Bajo ini terpecah-pecah untuk membuat ritual ini

sebagai bentuk kesenian. Banyak orang Bajo yang tidak menginginkan

akan hal tersebut namun ada juga yang setuju, dengan alasan kalau yang

dipertunjukan ini bukan yang asli tapi sebuah karya seni dengan

menggunakan unsur-unsur dalam prosesi duata. Terlebih kalau duata

tidak dijadikan kesenian akan punah bahkan orang-orang diluar sana

tidak tau apa yang dimiliki orang Bajo hari ini. Jadi, dengan pertunjukan

saya kira bisa menghidupkan ritual tersebut dan bisa dimanfaatkan

sehingga diharapkan kepada pihak-pihak yang membutuhkan suguhan

kesenian dari kami ini bisa mensejahterakan pemilik ritual dan

masyarakat sekitar etnik Bajo.(wawancara 7 Pebruari 2014).

Ungkapan di atas menunjukkan kesadaran akan pentingnya ritual duata

dijadikan sebuah pertunjukan bukan begitu saja terjadi namun ada perbedaan

pendapat dari pihak pendukung tradisi dengan pihak yang menginginkan

perubahan kearah profan. Alasan kedua belah pihak memiliki kekuatan untuk

melestarikan tradisi masyarakat yang bersumber dari leluhurnya.

Budaya merupakan suatu komponen yang sangat berarti bagi suatu

bangsa karena budaya merupakan perekat bangsa dan menjadi ciri khas dari

suatu negara. Dengan adanya kebudayaan maka suatu negara dapat dibedakan

dengan negara lainnya. Karena peranan kebudayaan sangat penting maka

dilakukan upaya pelestariannya agar tidak mengalami kepunahan. Hal ini

dilakukan karena generasi muda sekarang ini kurang berminat mempelajari

sejarah tradisi kehidupan leluhur masa lampau. Adanya sosialisasi dan

penanaman nilai-nilai budaya sejak kecil perlu ditanamkan serta upaya dalam

memberdayakan masyarakat pendukung kebudayaan demi kelestarian tradisi dan

nilai budaya.

Ritual duata sebagai kekayaan budaya yang dimiliki etnik Bajo perlu

diberdayakan disamping sebagai ritual pengobatan juga bisa diberdayakan dalam

sektor industri budaya kreatif yang mengundang daya tarik wisatawan. Oleh

karena itu dengan memberdayakan ritual duata masyarakat etnik Bajo berarti

menyelamatkan tradisi dari gempuran globalisasi budaya yang berusaha

melumpuhkan bahkan bisa memusnahkan berbagai macam tardisi termasuk

ritual duata dengan budaya moderen yang lebih praktis dan ekonomis.

Memberdayakan ritual duata bersama masyarakat pendukungnya

sejatinya bertujuan untuk melestarikan dan meningkatkan taraf kesejahteraan

masyarakat etnik Bajo. Salah satu bentuk pemberdayaan tradisi ritual duata yaitu

dengan melakukan pelatihan tari-tarian dari unsur ritual duata yang dilakukan

oleh remaja putri etnik Bajo serta mendorong usaha jasa pembuatan pernak-

pernik yang digunakan dalam ritual duata sebagai oleh-oleh khas etnik Bajo

yakni sarung tenun, gelang, dan kerajian tangan lainnya yang bisa meningkatkan

taraf kesejahteraan masyarakat etnik Bajo. Seperti yang diungkapkan oleh

Djamrin (38 Tahun) sebagai berikut:

“Salah satu model pemberdayaan ritual duata yang dilakukan oleh

seniman Bajo bersama sandro sejauh ini dilakukan dengan cara melatih

remaja-remaja putri Bajo untuk menari ngigal yang merupakan

komponen penting dalam ritual duata, serta memberdayakan ibu-ibu

untuk bisa membuat aksesoris khas etnik Bajo yang kiranya bisa

ditawarkan kepada wisatawan yang datang ke perkampungan Bajo, dan

ini sangat membantu perekonomian keluarga. (wawancara 7 Pebruari

2014).

Berdasarkan ungkapan di atas bahwa dengan modal kreativitas tangan-tangan

seniman mampu membuat tampilan ritual duata bernilai jual yang berisi

tuntunan dan nilai-nilai yang begitu tinggi yang menggugah mata bagi para

pecinta seni pertunjukan budaya. Dengan semakin dilakukannya perberdayaan

ritual dengan menyajikannya sebagai atraksi seni akan semakin dikenal oleh

masyarakat luas dan generasi muda etnik Bajo semakin mengenali tradisinya dan

mampu mewarisi ritual tersebut dimasa akan mendatang.

Dalam teori relasi kuasa, Foucoult dalam struktur relasi kuasa yakni ada

pihak menguasai dan dikuasai (Hoed, 2011:284). Sebagai ritual yang diwariskan

secara turun temurun tentunya ada agen-agen yang berpengaruh dalam hal ini.

Sandro sebagai pemimpin ritual duata dalam hal ini memiliki kekuasaan penuh

dan pengetahuan yang banyak akan ritual pengobatan (duata) untuk itu sebagai

sosok yang ditokohkan dalam etnik Bajo beliau tidak henti-hentinya

memberikan pemahaman terhadap keluarga, kerabat bahkan pasien-pasiennya

akan pentingnya melakukan pengobatan adat seperti duata. Tentunya ketika

masyarakat Bajo memahami dan mengkonsumsi ritual tersebut mereka semakin

berusaha menjaga kelestarian ritual duata tersebut. Bila mana mereka sendiri

yang menghancurkan tradisi tersebut itu akan mengancam keselamatan dan

solidaritas diantara sesama orang Bajo. Disnilah terlihat bagaimana peran kuasa

yang dimiliki oleh sandro dengan pengetahuan dan kemampuannya maka

wacana yang dibangun akan selalu diyakini dan dikembangkan oleh masyarakat

etnik Bajo.

Bukanlah hal yang mudah dalam memberdayaan ritual duata dalam

peningkatan kesejahteraan masyarakat etnik Bajo harus ada pengawasan dan

pendampingan sehingga tujuan dari masyarakat pendukung bahkan pemerintah

sebagai pihak pemeberi kebijakan dalam hal ini dinas pariwisata dalam

pemberdayaan ritual duata bisa tercapai. Dalam k

8.2 Pendokumentasian

Berbagai macam pengaruh globalisasi hingga menembus kehidupan

terkecil bagi manusia tak dapat terelakkan. Tidak sedikit masyarakat yang masuk

ke dalam kehidupan yang semakin praktis dalam diri mereka. Sehingga kondisi

tersebut berimplikasi pada kurangnya pemahaman terhadap suatu tradisi yang

telah dibangun sejak dahulu oleh pemiliknya. Arus globalisasi membuat peranan

tradisi lisan semakin tersisihkan sehingga menimbulkan hilangnya seperangkat

sistem kebudayaan lokal berimplikasi pada tatanan kebudayaan masyarakat.

Untuk menghindari dan menyelamakan tradisi lisan yang mengalami

keterancaman harus dilakukan upaya penyelamatan dalam bentuk

pendokumentasian agar tidak hilang ditelan zaman.

Pendokumentasian merupakan salah satu cara untuk melestarikan dan

mewariskan ritual duata pada generasi muda agar mampu bertahan dan hidup

berdampingan dengan kemajuan tekhnologi modernisasi. Pengumpulan

informasi dan menyimpan data-data yang berkaitan dengan ritual duata

merupakan suatu bentuk usaha dalam menyelamatkan warisan leluhur etnik Bajo

tersebut. Salah satu langkah yang dilakukan oleh sanggar seni yang dilakukan

sandro yaitu dengan cara setiap kali ritual duata dilakukan, pihak pengelola

diminta untuk bisa mendokumentasikan prosesi ritual dari awal sampai akhir

seperti rekaman vidio ataupun gambar (foto) sehingga ada arsip ataupun

dokumentasi yang nantinya akan menjadi bukti konkrit bagi masyarakat etnik

Bajo ke generasi penerus kelak. Seperti yang dituturkan oleh Dasseng (84 tahun)

sebagai berikut:

“Saya kalau ada pertunjukan ritual duata yang diminta oleh pemerintah

selalu saya bilang kalau bisa diliput atau difoto, karena saya sendiri mau

juga melihat jalannya ritual ini. Juga untuk pegangan bagi saya, keluarga

dan masyarakat di Desa Mola Selatan karena sering orang datang mau

lihat bagaimana itu ritual duata” (wawancara 7 Pebruari 2014)

Tuturan diatas nampaknya sandro (dukun) ritual duata sudah melakukan upaya

untuk mendokumentasikan ritual duata agar dikemudian hari kalau keluarga atau

masyarakat mau merlihat jalannya ritual duata bisa diperlihatkan melalui

dokumentasi sebelumnya berupa rekaman vidio atau pun berupa foto (gambar).

Sejauh peneliti lihat dilapangan, hasil dari pendokumentasian ritual duata

ini masih jauh dari yang sempurna seperti perpustakaan modern. Foto-foto

jalannya ritual duata hanya disimpan di dalam album foto selebihnya dijadikan

hiasan rumah sehingga jika masyarakat atau orang yang berkepentingan mau

melihat dokumentasi ritual duata maka bisa langsung dilihat. Pendokumentasian

yang dilakukan oleh masyarakat etnik Bajo sangat penting mengingat

kemampuan daya ingat manusia serta keterbatasan penutur ritual duata dalam

menjaga dan mewariskan kegenerasi selanjutnya sehingga adanya dokumentasi

berupa tulisan, foto ataupun vidio akan sangat membantu sebagai media

sosialisasi dan pembelajaran kepada generasi muda Bajo pemilik dan pedukung

ritual duata.

8.3 Pengembangan

Secara konkret kebudayaan mengacu pada adat istiadat, bentuk tradisi

lisan, karya seni, bahasa, pola, interaksi dan sebagainya. Dengan kata lain,

kebudayaan merupakan fakta kompleks yang selain memiliki kekhasan pada

batas tertentu juga memiliki ciri yang bersifat universal.

Dalam pengembangan kebudayaan termasuk tradisi lisan adalah sebagai

langkah pelestarian yang telah dicanangkan oleh pemerintah pusat. Garis-garis

besar haluan negara (GBHN) menetapkan kewajiban pemerintah untuk

“memajukan kebudayaan nasional Indonesia” dalam pasal 32 Undang-Undang

Dasar 1945. Dimana di dalamnya tercantum “Negara menghormati dan

memelihara bahasa daerah dan berbagai kekhasan sebagai kekayaan budaya

bangsa”. Hal ini berarti bahwa berbagai kebudayaan termasuk tradisi lisan yang

interaksinya melalui media verbal maupun non verbal mendapat pengakuan yang

semestinya harus dijaga, dilestarikan maupun dikembangkan.

Ritual duata sebagai warisan budaya tidaklah harus selalu statis dengan

kemurniannya dalam era modernisasi. Dalam konteks kekinian ritual duata

harus mampu melakukan penyesuaian-penyesuaian namun tidak harus merusak

nilai-nilai dan makna yang terkandung di dalamnya, namun ritual duata harus

mampu dikembangkan dalam proses yang dinamis. Hal ini sejalan dengan apa

yang diungkapkan oleh Giddens (2003:72) bahwa mempertahankan tradisi

secara murni atau tradisional berarti menegaskan keterpisahaan. Menurutnya,

tradisi harus dikreasi sehingga melahirkan corak baru yang sesuai dengan

konteks zaman sehingga memiliki nilai tawar demi kelangsungan tradisi

tersebut. hal tersebut diungkapkan oleh Manan (46 tahun) sebagai berikut.

“Saya kira dengan adanya praktik ritual duata dijadikan sebagai bentuk

atraksi budaya ini, bisa melindungi bahkan melestarikan ritual duata dan

kami juga sebagai masyarakat Bajo merespon positif namun harus

disadari bahwa dalam penggarapannya harus benar-benar serius tanpa

menghilangkan unsur nilai filosofi dari ritual duata yang sakral dan ke

depannya dengan adanya ritual duata ini identitas Bajo dan

kesejahhteraan masyarakat Bajo labih baik dengan mengandalkan potensi

budaya sebagai modal dalam pengembangannya” (wawancara 7 Pebruari

2014)

Oleh karena itu pengembangan tradisi lisan ritual duata harus

direkonstruksi kearah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap apa

yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual

duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar

budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi

ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya.

Sajian tersebut dikembangkan dengan kreativitas tinggi dalam penyajiannya

sehingga masyarakat tertarik dan berinisiatif untuk mempelajarinya. Hal tersebut

dengan yang diungkapkan Sedyawati dalam Hardin (2013: 208) bahwa warisan

budaya tak terkecuali tradisi lisan, baik yang tangible maupun intangible tidak

boleh dibiarkan terbengkalai, namun harus terus ditumbuhkan dan

dikembangkan dalam iklim yang sehat.

Mengingat peran tradisi lisan dalam masyarakat sangat penting sebagai

sumber kearifan lokal, digali dari nilai dan norma budaya yang dimiliki oleh

tradisi lisan maka kedudukan tradisi lisan memiliki fungsi sebagai alat

penyampai pengetahuan dan informasi yang menghidupkan sejarah dan budaya

komunitasnya dalam bentuk populer dan menghibur (Sibarani 2012: 50). Terkait

dengan komodifikasi ritual duata pada etnik Bajo merupakan wujud

transformasi atau pengembangan dari tradisi lisan dalam konteks kekinian yang

melahirkan apa yang dikatakan sebagai budaya populer. Sejalan dengan apa

yang dikatakan Fiske (Ibrahim 2007: xxv) bahwa “kebudayaan” (dalam kajian

budaya) seharusnya “tidak sekedar menekankan pada aspek estetis atau humanis,

tetapi juga aspek politis”. Jadi objek kajian budaya populer bukanlah

kebudayaan dalam pengertian sempit (yang dikacaukan dengan istilah kesenian

atau kegiatan intelektual atau spritual) melainkan kebudayaan dengan pengertian

cara hidup tertentu bagi sekelompok orang yang berlaku pada suatu periode

tertentu.

Pengembangan tradisi/ritual duata untuk kepentingan pariwisata harus

melibatkan masyarakat lokal, baik dalam perencanaan maupun implementasinya.

Pemanfaatan ritual duata untuk pariwisata harus menguntungkan masyarakat

lokal dengan memperhatikan prinsip-prinsip kode etik pariwisata maka

sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran terhadap kelestarian ritual atau

budaya lokal dalam kaitannya dengan kegiatan pariwisata. Kode etik telah

mengharuskan pelaku pariwisata dan wisatawan untuk menghormati dan

mengapresiasi budaya masyarakat tuan rumah.

Refleksi

Ritual duata merupakan salah satu ritual pada etnik Bajo dimana ritual

ini bertujuan dalam upaya meminta keselamatan, kesembuhan dari berbagai

macam pennyakit akibat sebuah pantangan (pomali) yang telah dilanggar oleh

anggota masyarakat Bajo. Biasanya penyakit ini tidak bisa disembuhkan secara

medis maka langkah terakhir yang harus dilakukan dalam penyembuhannya

harus melalui ritual duata. Duata yang merupakan kata saduran dari kata dewata

(Bajo) dimana dalam keyakinan masyarakat Bajo akan sesuatu yang berkaitan

dengan mitos saudara kembar (keke) manusia (orang Bajo) berupa gurita raksasa

(kutta) dan buaya (tuli) yang merupakan jelmaan dari penguasa laut yang biasa

disebut mbo ma dilao. Makhluk-makhluk inilah yang bisa mendatangkan

keselamatan dan bencana bagi masyarakat Bajo. Oleh karena itu masyarakat

Bajo harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan makhluk-makhluk

tersebut sehingga tercipta hubungan harmonis antara sesama manusia baik

lingkungan alam maupun sang pencita (Tuhan) serta makhluk gaib lainnya

(mbo). Jalinan interaksi tersebut berwujud pada upacara-upacara adat sebagai

bentuk rasa hormat dan ucapan maaf ketika terjadi ketidaksesuaian dengan apa

yang mereka lakukan.

Sebagai bagian dari tradisi lisan, ritual duata dalam perkembangannya

mengalami transformasi kearah profan sehingga melahirkan parktik

komodifikasi. Ritual duata oleh masyarakatnya serta pemerintah selaku pemberi

kebijakan telah menjadikan ritual duata yang sebelumnya bukan barang

komoditi kini menjadi barang komoditi yang bisa bernilai jual. Hal tersebut

merupakan sebuah fenomena perubahan budaya karena kebudayaan merupakan

sesuatu yang dinamis dalam artian budaya selalu meyesuaikan diri dengan era

perkembangan zaman. Dalam pandangan kajian tradisi lisan merupakan sesuatu

hal yang dapat diterima karena ternyata budaya global dan budaya tradisional

sekarang ini perlu disikapi lebih bijak lagi. Hal tersebut dapat hidup

berdampingan, saling melengkapi dimana masing-masing bentuk memiliki

habitat, pendukung, dan aturan main sendiri, yang tidak perlu dipertentangkan

dan dicampuradukkan. Kalau masing-masih bentuk tradisi dapat berkembang di

habitatnya masing-masing dan tidak saling bertentangan, terdapat potensi sinergi

yang baik antar keduanya.

Pengomodifikasian jelas terlihat ketika ritual duata mengalami

perubahan pada proses produksi, distribusi dan konsumsi ritual duata. Ritual

duata yang sebelumnya bukan untuk dikomersilkan menjadi usaha yang

dikomersilkan. Hal tersebut didasari karena hasrat yang mendorong sehingga

terjadi tuntutan kebutuhan-kebutuhan masyarakat baik dari dalam maupun di

luar masyarakat.

Komodifikasi ritual duata dimana pada perkembangannya dapat

melestarikan tradisi sendiri serta meningkatkan kesejahteraan para pelakunya.

Komersialisasi kebudayaan disebabkan pula karena karena tuntutan ekonomi

telah menjadi suatu realitas di masyarakat. Namun dengan penanganan

komersialisasi tradisi dengan baik berpotensi membawa dampak positif bagi seni

tradisi yang menjadi komoditas itu sendiri maupun para pihak-pihak yang

terkait, seperti halnya berbagai tari klasik, musik klasik, ritual yang dikelolah

dan dibisniskan secara baik di negara-negara maju akan berdampak baik pada

perkembangan kebudaaannya bahkan mensejahterakan pelaku budaya tersebut.

Walaupun demikian tidak bisa ditolak pula adanya realitas bahwa komersialisasi

tradisi juga berakibat pada pendangkalan dan pelecehan terhadap seni tradisi itu

sendiri.

Sungguh disayangkan fenomena perubahan budaya kekonteks

kebudayaan moderen selalu diperdebatkan karena sejatinya kedua budaya

tersebut mampu bersinergi dan bekerja sama demi memenuhi tuntutan masing-

masing. Ritual duata sebagai warisan budaya etnik Bajo tanpa dikembangkan

kedalam industri budaya kreatif perlahan-lahan akan mati (punah) bahkan akan

ditinggalkan oleh masyarakat pendukungnya. Untuk itu tradisi leluhur yang kaya

akan nilai-nilai kearifan lokal perlu mendapat tempat untuk dilindungi dan

dilestarikan. Hal ini bisa dijadikan acuan dan renungan bagi kita generasi

pewaris kebudayaan untuk berbuat lebih terhadap segala bentuk warisan

kebudayaan leluhur.

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

8.1 Simpulan

Ritual duata pada dasarnya dilaksanakan pada etnik Bajo yang memiliki

garis ketururunan yang sama (Bajo). Ritual duata memiliki tujuan untuk

meminta kesembuhan atau kekuatan dalam pengobatan dari berbagai penyakit

yang secara medis tidak bisa disembuhkan. Untuk memohon permintaan

keselamatan, diwujudkan dalam bentuk upacara keagamaan/ritual. Ritual duata

memiliki banyak nilai dan makna yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat

laut yang pada proses pelaksanaannya memerlukan waktu yang relatif lama.

Seiring dengan kemajuan zaman, ritual duata mengalami perubahan

akibat persinggungan budaya lokal (Bajo) dan budaya moderen (global) yang

mengakibatkankan ritual duata mengalami pergeseran dari sakralitas menuju

profanisasi. Ideologi kapitalisme yang masuk ke ranah nilai-nilai tradisi

masyarakat Bajo ikut mempengaruhi ideologi masyarakat Bajo akan sebuah nilai

budaya yang dapat dijadikan sebuah komoditi yang pastinya bernilai jual

sehingga ritual duata mengalami pergeseran sehingga memunculkan praktik

komodifikasi.

Proses komodifikasi ritual duata bukan saja menjadikan barang/jasa

ritual duata sebagai produk yang sebelumnya bukan barang komoditi menjadi

barang komoditi, namun terlihat pula pada proses produksi, distribusi dan

konsumsi. Pada proses produksi ritual duata produsen melibatkan dukun dan

seniman dalam mendesain, merancang bentuk dan struktur ritual agar bernilai

jual dimana sebelumnya produk ritual duata merupakan produk budaya yang

bersifat sakral yang di produksi oleh dukun sendiri namun pada konteks

komodifikasi produk ritual duata melibatkan banyak pihak dalam pengerjaannya

sehingga terjalin hubungan kerja yang didasarkanpada pemberian upah.

Distribusi ritual duata yaitu cara memasarkan, mempromosikan dan

memperkenalkan produk ritual duata agar dikenal dan dikonsumsi oleh

masyarakat dengan menggunakan media massa yakni internet dan koran serta

komunikasi lisan sehingga dalam pendistribusiannya ritual duata diketahui oleh

orang banyak. Sedangkan proses konsumsi ritual duata yaitu kegiatan yang

bertujuan menghabiskan barang/jasa ritual duata untuk memenuhi kebutuhan

dan kepuasan secara langsung dan merupakan tindakan memakai simbol untuk

menandai posisi sosial tertentu. Konsumsi ritual duata terbagi dalam dua bentuk

yakni konsumsi ritual duata untuk pengobatan dan kosumsi ritual duata untuk

pariwisata dalam hal ini ritual duata dijadikan sebagai hiburan.

Adapun faktor yang meyebabkan komodifikasi ritual duata pada etnik

Bajo yaitu sikap masyarakatnya yang terbuka dengan hal-hal baru melalui

kontak budaya yang menimbulkan akulturasi sehingga mengakibatkan

paradigma masyarakatnya berubah menyesuaikan dengan konteks masyarakat

moderen yang memanfaatkan produk budaya (ritual duata) untuk dijadikan

barang/jasa yang bernilai jual. Paradigma masyarakat etnik Bajo yang

didasarkan pada perolehan keuntungan dari produk ritual duata melahirkan

kreativitas seni yang berusaha melakukan daur ulang atau inovasi yang

mengarah kepada estetika yang bernilai jual. Kreativitas tentunya merupakan

unsur pokok dalam merubah tampilan ritual duata sehingga mengundang daya

tarik wisatawan. Media massa telah berelasi kedalam industri budaya, banyak

imaji, opini tentang dunia diciptakannya. Sebagai agen publikasi, media massa

mampu mempengaruhi paradigma masyarakat Bajo. Paradigma masyarakat yang

memanfaatkan produk kebudayaan tentunya tidak terlepas pada keinginan akan

perubahan pada tataran kesejahteraanya. Hal ini terkait dengan orientasi

perbaikan ekonomi yang merupakan wujud orientasi kapitalisme dengaan

mengharapkan keuntungan dari produk ritual duata. Selain itu tidak terlepas dari

adanya perkembangan kepariwisataan, dimana Kabupaten Wakatobi sebagai

daerah tujuan destinasi pariwisata dunia telah mempengaruhi masyarakatnya

dengan nilai-nilai yang digandeng oleh wisatawan yang masuk. Interaksi antara

wisatawan dan penduduk lokal nampaknya menghaslkan kerja sama dalam

memanfaatkan produk ritual duata sebagai bagian dari atraksi budaya untuk

kepentingan pariwisata sehingga lambat laun akan menggeser nilai sakralitas

ritual ke arah profanisasi demi mendapatkan keuntungan.

Pergeseran nilai sakralitas ke arah profan tersebut menimbulkan dampak

dan pemaknaan terhadap eksistensi ritual duata bagi masyarakat pendukung dan

masyarakat penikmat ritual duata. Dampak yang ditimbulkan dari komodifikasi

ritual duata pada etnik Bajo cenderung merugikan (negatif) misalnya terjadinya

komersialisasi ritual yang lambat laun mengakibatkan kadar nilai sakralitas ritual

duata menurun akibat unsur-unsur ritual selalu di daur ulang demi tuntutan nilai

estetika pertunjukan yang bernilai jual yang berorientasi pada selera konsumen.

Disamping itu identitas etnik Bajo menjadi kabur akibat ritual duata yang

mengalami perubahan setiap tampilan, lambat laun akan tercabut dari akar

budaya semestinya. Melalui ornamen perlengkapan dalam ritual duata

dimanfaatkan sebagai daya tarik wisata yang dibangun oleh kebiasaan atau

pengalaman manusia yang sifatnya praktis untuk memperoleh keuntungan

ekonomi dengan kesadaran penuh didesain seindah mungkin yang lambat laun

akan melunturkan akar budaya Bajo yang terkandung dalam ritual duata.

Makna komodifikasi ritual duata dengan adanya praktik komodifikasi

ritual duata mampu melestarikan atau menghidupkan tradisi lokal dalam

penciptaan/daur ulang produk ritual duata seperti sesajian, palisier, ula-ula ,tari

dan sebagainya sehingga menunjukan eksistensi identitas etnik Bajo melalui

tanda dan simbol dalam prosesi ritual duata. Adanya praktik komodifikasi ritual

duata mendorong semangat dan kreativitas masyarakat untuk mendesain seindah

mungkin perlngkapan ritual yang pada akhirnya bernilai jual sehingga mampu

menciptakan perbaikan kesejahteraan masyarakat bagi pemilik tradisi.

Untuk menjaga agar eksistensi ritual duata tetap bertahan meskipun pada

perkembangannya telah mengalami perubahan yang menyesuaikan dengan

tuntutan zaman namun sekiranya perlu dilakukan upaya strategi pewarisan agar

nantinya generasi muda penerus tradisi Bajo mampu memahami, mengajarkan

dan mengamalkan nilai-nilai dan makna yang terkandung dalam ritual duata

yang mencerminkan sikap dan karakter identitans etnik Bajo. Strategi pewarisan

yang dilakukan melalui (1) pemberdayaan, yaitu memberikan kebebasan kepada

masyarakat etnik Bajo menggunakan produk ritual duata untuk dimanfaatkan

sebagai bentuk kreativitas seni sehingga mampu memberikan manfaat bagi

masyarakat pendukungnya terlebih ritual duata terselamatkan dari kepunahan

(2) pendokumentasian yaitu salah satu cara untuk melestarikan ritual duata

dalam bentuk film (vidio), gambar atau inventarisasi produk ritual sehingga

mampu dijadikan alat/barang bukti dalam upaya pelestarian budaya. agar

mampu bertahan dan hidup berdampingan dengan kemajuan tekhnologi

modernisasi (3) pengembangan yaitu tradisi lisan ritual duata harus

direkonstruksi ke arah lebih baik, menarik, dan masyarakat mampu menyerap

apa yang ditampilkan dalam ritual duata. Tentunya dengan pengembangan ritual

duata harus dilakukan dengan kesadaran yang tinggi tanpa menghilangkan akar

budaya etnik Bajo dan identitasnya sehingga konsep, makna bentuk dan fungsi

ritual masih tergambar walaupun dengan sajian yang berbeda dengan aslinya.

Sajian tersebut dikembangkan dalam industri budaya kreatif dimana dalam

penyajiannya harus tetap menggambarkan unsur-unsur identitas budaya Bajo

meskipun telah ada perubahan dalam desain tampilan.

9.2 Saran

Globalisasi bukanlah sebuah mimpi buruk. Tetapi bukan pula sebuah

hadiah kemajuan zaman yang tanpa cela. Suka atau tidak, setuju atau menolak,

gejala perubahan yang cepat ini telah hadir di tengah-tengah kita. Namun dilain

pihak mungkin bingung, ketakutan bahkan mengalami kegoncangan budaya

(culture shock). Yang terpenting adalah bagaimana cara kita menyikapinya agar

kita dapat memanfaatkan nilai dan produk yang menyertainya dan terhindar dari

dampak negatif yang ditimbulkannya.

Globalisasi tidak harus dilawan atau dihindari melainkan harus disikapi

dengan arif agar kita dapat memanfaatkan dan menghindari konsekuensi yang

dilahirkannya. Fenomena yang dihadirkan dari produk budaya lokal bukan

sesuatu yang harus disesali namun harus pula disyukuri. Sebagaimana dalam

pandangan kajian budaya, produk budaya lokal memiliki dua peran yang

strategis yakni peran yang bermuatan politis dan peran yang bermuatan

ekonomis. Peran yang bermuatan politis yaitu berkaitan dengan adat-istiadat,

budi pekerti, sikap dan pandangan hidup, sopan santun, dan perilaku sosial lain

yang produktif dan kondusif bagi bertumbuhnya kehidupan berbangsa dan

bernegara yang penuh persatuan dan kesatuan. Sedangkan peran strategis yang

bermuatan ekonomis berkaitan dengan produk-produk budaya lokal yang

memiliki nilai ekonomis yakni yang dapat dijadikan komoditas untuk menunjang

pembangunan ekonomi bangsa seperti kerajinan rakyat, pakaian adat, perhiasa,

obat-obatan, makanan, minuman aupacara/ritual tradisional.

Dalam hal ini terjadinya pada praktik komodifikasi ritual duata pada etnik

Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan bagian

yang terlahir dari budaya kapitalisme global. Dengan kata lain produk ritual

duata yang dilakukan oleh masyarakat pendukungnya dapat memberikan

kontribusi yang berarti bagi kelangsungan hidupnya. Produk-produk kebudayaan

yang berupa cipta dan karya kreatif dapat dijadikan komoditas untuk menunjang

pemberdayaan ekonomi rakyat sedangkan produk-produk kebudayaan yang

berupa nilai dapat digunakan untuk memperkokoh integrasi dan integritas dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara.

Produk budaya lokal termasuk tradisi lisan yang di dalamnya banyak

mengandung ajaran, tuntunan dapat digunakan sebagai perekat untuk

membangun harmoni, empati, dan toleransi serta menyatukan kelompok

masyarakat. Selama ini kita selalu bergantung pada kekuatan asing, baik secara

politik maupun ekonomi, dan budaya. Ketergantungan kita ini telah membuat

kita tidak kreatif dan daya tahan kita lemah. Untuk itulah melalui pendekatan

kajian budaya kiranya harus disikapi dengan cara-cara kritis dan bijaksana

melalui penggunaan produk-produk budaya sebagai sebuah produk alternatif

yang efektif yang bisa mendorong tumbuhnya pemahaman lintas budaya, empati,

toleransi antar kelompok, menumbuh kembangkan pemahaman kita terhadap

budaya lokal melalui penelitian yang sungguh-sungguh sehingga kekuatan

budaya lokal dapat kita manfaatkan dan kelemahannya bisa dihindarkan serta

mengangkat budaya lokal ke dalam khazanah budaya nasional untuk

pemberdayaan ekonomi dan kebanggan pemiliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Alkausar, Muhammad. 2011. “Keterancaman Ritual Mappandesasi Dalam

Masyarakat Nelayan Etnik Mandar Kelurahan Bungkutoko Sulawesi

Tenggara” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Asosiasi Tradisi Lisan. 2009. Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan:

Pengembangan Kajian Langka, Kajian Tradisi Lisan sebagai kekuatan

Kultural. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan Nasional.

Barker, Chirs. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik (terjemahan).

Yogyakarta: PT. Bentang Pustaka.

Barth, Fredrik. 1998. Kelompok Etnik dan Batasannya. Jakarta: UI-Pers.

Buchari, Saleh Muhammad. 2012. “Nilai Pendidikan Bermuatan Kearifan Lokal

Dalam Upacara Laut Pada Komunitas Suku Bajo di Bajoe’ Bone dan

Wakatobi” (tesis). Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Burhan, Bungin. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan

Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Pranada Media Group.

Burton, Graeme. 1999. Pengantar Untuk Memahami Media dan Budaya

Populer. Yogyakarta: Jala Sutra.

Darmadi, I G.N.A. Eka. 2006. “Pariwisata antara Kewirausahaan dan

Kewirabudayaan”, Jurnal Kajian Budaya, Vol. 3, No. 5, Januari, Hal.

67-87.

Dasrul. 2013. “Komodifikasi Pertunjukan Randai Pada Kelompok Seni Tradisi

Palito Nyalo Kecamatan Pauh Kota Padang” (tesis). Denpasar:

Universitas Udayana.

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta :

Gadjah Mada University Press.

Erlinda. 2011. “Diskursus Estetika Tari Minangkabau di Kota Padang Sumatera

Barat dalam Era Globalisasi” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Fairclough, Norman. 1995. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity

Press.

Garna, Judistira K, 1999. Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Bandung:

CV. Primaco Academia.

Ghazali, Adeng Mukhtar.2011. Antropologi Agama. Bandung: Alfabeta

Giddens, A. 2003. Masyarakat Post Tradisional. Yogyakarta: IRCiSoD

Hadi, Y Sumandiyo. 1999. Seni Dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Yayasan

untuk Indonesia.

Hardin, 2013. “Bentuk Ritual Kasungki dan Keterancamannya Pada Masyarakat

Muna di Kecamatan Abeli Kota Kendari Sulawesi Tenggara”(tesis).

Denpasar: Universitas Udayana.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik Dalam Media Massa: sebuah

studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta:

Granit.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: FIB-UI

_______2011. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Komunitas Bambu.

Ibrahim. Idi Subandi. 2007. Budaya Populer sebagai Komunikasi.Yogyakarta:

Jalasutra.

Kebayantini, Ni Luh Nyoman. 2010. “Komodifikasi Upacara Ngaben Gotong

Royong di Gerya Tamansari Lingga, Kelurahan Banyusari, Kabupaten

Buleleng” (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

.................... 2013. Komodifikasi Upacara Ngaben di Bali. Denpasar: Udayana

University Press.

Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: dari

Postmodernisme, Teori Kritis, Poskolonialisme hingga Cultural studies.

Jakarta: Pustaka Indonesia Satu

Maunati, Yekti. 2004. Identitas Dayak Komodifikasi Dan Politik Kebudayaan.

Yogyakarta: LKiS.

Moleong, Lexy J. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Nugroho, Heru. 2001. Uang Renteiner dan Hutang Piutang di Jawa.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata. Jakarta :

Kepustakaan Populer Gramedia.

Piliang, Amir Yasraf. 2003, Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas

Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

_____, 2011, Dunia yang Dilipat. Tamasya Melampaui Batas-Batas

Kebudayaan. Bandung. Matahari.

Pudentia MPSS. ed. 1998. Metodologi Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan

Obor dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Ratna, Nyoman Kutha, 2009. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra dari

Strukturalisme Hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

______, .2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial

Humaniora Pada Umumnya.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Richard, G. 1996. “Production and Consumption of European Cultural

Tourism”.

Dalam Annal of Tourism Research. Vol. 23. No. 2. hal. 261-283.

Kaunang, I.R.B.2010. “Komodifikasi Tari Maengket Minahasa, Sulawesi Utara

Di Era globalisasi”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Muhajir, Noeng. 1994. Metode Penelitian Kualitatif, Telaah Poistivistik,

Rasionalistik, Phenomenalogik, Realism Methaphisik. Yogyakarta: Rake

Sarasian.

Saad, Sudirman. 2009. Bajo Berumah di Laut Nusantara. Jakarta. Coremap II

Safaruddin, Balok. 2013. Komodifikasi Wayang Topeng Malangan Di

Pedepokan Seni Asmoro Bangun Kecamatan Pakisaji Kabupaten

Malang” (tesis). Denpasar: Universitas Udayana.

Setiawan, I Ketut. 2011. “Komodifikasi Pusaka Tirta Empul Dalam Konteks

Pariwisata Global”. (disertasi). Denpasar: Universitas Udayana.

Sifullah. 1994. ”Mobilitas Penduduk dan Perubahan di Pedesaan”, dalam

Majalah

Prima, No. x, Edisi Juli, hal. 32-41.

Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi

Lisan. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Sugiyono, 2009. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung.

Alfabeta.

Suherman. 2005. Psikologi Kognitif. Surabaya: Srikandi.

Soekanto, Soerjono. 1993. Struktur Masyarakat. Jakarta: PT Grafindo Persada

Sutarto, Ayu.2004. Menjinakkan Globalisasi Tentang Peran Strategis Produk-

Produk Budaya Lokal. Jawa Timur: Kelompok Peduli Budaya dan

Wisata Daerah.

Sobur.Alex. 2009. Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotika & Analisa Framing.Remaja Rosdakarya:

Bandung.

Tary Puspa, Ida Ayu. 2011. “Komodifikasi Upacara Ngaben Di Desa Pakraman

Sanur Denpasar Dalam Era Globalisasi” (disertasi). Denpasar:

Universitas Udayana.

Thompson, John B. 2006. Kritik Ideologi Global: Teori Sosial Krisis Tentang

Relasi dan Komunikasi Massa. (Terjemahan). Yogyakarta: IRCiSoD.

Tester, Keith 2009. Immor(t)alitas Media. Yogyakarta: Juxtapose.

Turner, Bryan S. 1992. Max Weber: From History to Modernity, London:

Routledge.

Van Ball, J. 1997. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Budaya, Jakarta: Gramedia.

Yoeti, H. Oka A. 1996. Pemasaran Pariwisata. Bandung: Penerbit Angkasa

Yunus. Umar. 1983. Dari Peristiwa ke Imajinasi. Jakarta: Gramedia.

Zacot, Francius R. 2008. Orang Bajo Suku Pengembara Laut. Jakarta:

Kepustakaan Populer Gramedia.

LAMPIRAN-LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA

Pedoman wawancara ini merupakan bahan pertanyaan untuk wawancara

dengan para informan yang terkait dengan penelitian “Komodifikasi Ritual

Duata Pada Etnik Bajo Di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sebagai pedoman dalam bentuk bahan pertanyaan, seluruh pertanyaan yang

ditulis tidak disampaikan secara kaku, melainkan disesuaikan dengan situasi dan

kondisi pada saat melakukan wawancara. Seluruh jawaban dicatat dalam buku

catatan yang telah disiapkan sebelumnya.

A. Pertanyaan Mengenai Gambaran Umum

1. Bagaimana pola pemukiman masyarakat etnik Bajo?

2. Bagaimana bahasa dan dan tradisi budaya yang berkembang dalam

masyarakat etnik Bajo?

3. Bagaimana mata pencaharian penduduk masyarakat etnik Bajo?

4. Bagaimana agama dan kepercayaan masyarakat etnik Bajo?

5. Bagaimana asal mula etnik Bajo di Kabupaten Wakatobi?

6. Bagaimana prosesi ritual duata?

B. Pertanyaan Mengenai Proses Komodifikasi Ritual Duata?

1. Sejak kapan ritual duata dikenal oleh masyarakat luas?

2. Materi apa saja yang ada di dalam sesajian ritual duata?

3. Pada sesajian itu ada beberapa warna yang jelas digunakan pada beras,

apa ada artinya?

4. Disamping persembahan berupa sesajian apa ada perlengkapan

pendukung lainnya yang digunakan dalam ritual duata dan apa fungsinya

?

5. Berapa harga masing-masing perlengkapan tersebut?

6. Bagian-bagian apa saja yang diubah dalam ritual duata baik untuk

pengobatan maupun pertunjukkan?

7. Siapa saja pihak yang terlibat dalam membuat tampilan ritual duata baik

untuk pengobatan atau pertunjukan?

8. Bagaimana cara mempromosikan atau memasarkan ritual duata?

9. Dalam hal apa ritual duata dipertunjukkan?

10. Bagaimana proses/cara menarik konsumen?

11. Siapa saja yang mengonsumsi ritual duata?

C. Pertanyaan Mengenai Faktor Komodifikasi Ritual Duata

1. Faktor apa yang membuat anda melakukan inovasi/perubahan terhadap

ritual duata?

2. Mengapa ritual duata dalam pertunjukan mengikuti permintaan

konsumen?

3. Bagaimana pendapat anda dengan perkembangan ritual duata yang

sekarang ini?

D. Pertanyaan Mengenai Dampak dan Makna Komodifikasi Ritual Duata

1. Apa yang terjadi setelah ritual duata mengalami perubahan fungsi?

2. Seberapa besar perubahan ritual duata terhadap kehidupan sosial

masyarakat Bajo?

3. Adakah kecenderungan identitas Bajo menjadi kabur setelah ritual duata

dijadikan pertunjukkan seni?

4. Bagaimana pemaknaan ritual duata yang berkembang saat ini?

5. Apa yang membuat anda sehingga ada keinginan untuk merubah ritual

duata ke dalam pertunjukkan seni?

6. Apakah ada penguatan identitas setelah ritual duata dipertunjukkan?

7. Apakah yang memotivasi anda sehingga melakukan perubahan tampilan

ritual duata pada pertunjukkan seni?

8. Apakah ritual duata dapat menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat?

E. Pertanyaan tentang strategi pewarisan ritual duata

1. Bagaimana usaha anda dalam mewariskan ritual duata agar tidak

mengalami kepunahan?

2. Cara apa yang anda lakukan dalam menyelamatkan tradisi ritual duata

bisa diwariskan tanpa harus diceritakan?

3. Bagaimana harapan anda mengenai ritual duata ke depannya?

4. Bagaimana pengembangan ritual duata agar tetrap hidup di masyarakat!

PETA LOKASI PENELITIAN

ETNIK BAJO KABUPATEN WAKATOBI

SULAWESI TENGGARA

DAFTAR INFORMAN

1. Nama : Abdul Manan

Umur : 46

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : PNS

Pendidikan : S2

Alamat : Jabal

2. Nama : Ambe

Umur : 51

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pedagang

Pendidikan : -

Alamat : Dusun Mekar Dua

3. Nama : Bakri

Umur : 63

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Nelayan

Pendidikan : -

Alamat : Desa Lamanggau

4. Nama : Daud

Umur : 47

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Tukang Bangunan

Pendidikan : SMA

Alamat : Dusun Mekar Dua

5. Nama : Djamrin

Umur : 38

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : PNS

Pendidikan : SI

Alamat : Dusun Nelayan Bakti

6. Naman : Dasseng

Umur : 84

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Dukun

Pendidikan : -

Alamat : Dusun Mekar Dua

7. Nama : Hapsa

Umur : 45

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pedagang

Pendidikan : -

Alamat : Dukun Mekar Satu

8. Nama : Hasna

Umur : 34

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pedagang

Pendidikan : -

Alamat : Dusun Mekar Satu

9. Nama : Jukni

Umur : 25

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pelatih Tari/Seniman

Pendidikan : SI

Alamat : Dusun Mekar Satu

10. Nama : La Ode Mustamin

Umur : 56

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Pendidikan : SMA

Alamat : Dusun Mekar Satu

11. Nama : Romi

Umur : 40

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan : SMA

Alamat : Mandati

12. Nama : Udin

Umur : 47

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Tukang Kayu

Pendidikan : SMA

Alamat : Dusun Mekar Satu