knowledge sharing sebagai upaya dan solusi · pdf filereferensi, dari pengetahuan bersifat...

24
KNOWLEDGE SHARING SEBAGAI UPAYA DAN SOLUSI PUSTAKAWAN REFERENSI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN INFORMASI PEMUSTAKA DI PDII-LIPI Wahid Nashihuddin (Pustakawan PDII-LIPI) ABSTRAK Tulisan ini dikaji untuk mengidentifikasi dan mengetahui berbagai kebutuhan informasi pemustaka serta proses dan pendokumentasian hasil berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antara pustakawan dengan pemustaka dan pustakawan dengan staf lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI. Kajian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan diskusi (tanya-jawab) antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan staf lain. Sampel data kajian ini adalah data hasil diskusi dengan pemustaka yang telah mendapatkan pelayanan (baik pemustaka yang datang maupun via-online), dan pustakawan lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI. Data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi dan dianalisis dengan konsep The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer Process, yaitu socialization, externalization, combination dan internalization. Kesimpulan kajian ini yaitu: a) knowledge sharing dengan pemustaka dan staf lain perlu dibudayakan oleh pustakawan referensi PDII-LIPI guna peningkatan layanan perpustakaan; 2) perlunya pendokumentasian hasil knowledge sharing di perpustakaan untuk membantu pustakawan referensi dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Pendokumentasian hasil knowledge sharing ini dapat berupa informasi Frequently Asked Question (FAQ) di website PDII-LIPI, panduan informasi perpustakaan, ataupun informasi lain yang bertujuan untuk memudahkan pustakawan untuk melayani pemustaka. Keywords: Knowledge; Knowledge sharing; Reference librarian; Communication; Information Desk; PDII-LIPI 1. PENDAHULUAN Kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di perpustakaan belum optimal dilakukan oleh para pustakawan dan pengelola perpustakaan. Padahal berbagi pengetahuan merupakan suatu cara yang efektif untuk mengetahui permasalahan organisasi dan sekaligus mencari solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Melalui berbagi pengetahuan, pustakawan dapat mengetahui setiap kebutuhan informasi pemustaka dan mendapatkan masukan dari pemustaka dalam hal peningkatan layanan perpustakaan. Selain itu, berbagi pengetahuan dapat menumbuhkan minat pemustaka untuk menjalin kerja sama dengan pustakawan atau lembaganya. Dari sisi internal, berbagi pengetahuan dengan pustakawan atau staf perpustakaan yang lain juga dapat meningkatkan wawasan dan pengetahuan pustakawan referensi dalam memberikan layanan prima bagi pemustaka. Pentingnya berbagi pengetahuan ini, menjadi dasar bagi pustakawan referensi untuk lebih proaktif menjalin komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan para pemustaka, rekan kerja, pimpinan dan stakeholders dalam rangka peningkatan mutu layanan perpustakaan yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan pustakawan referensi melalui komunikasi inter-personal untuk berbagi pengetahuan dengan pemustaka dan staf

Upload: vuongkiet

Post on 07-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KNOWLEDGE SHARING SEBAGAI UPAYA DAN SOLUSI

PUSTAKAWAN REFERENSI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN

INFORMASI PEMUSTAKA DI PDII-LIPI

Wahid Nashihuddin

(Pustakawan PDII-LIPI)

ABSTRAK Tulisan ini dikaji untuk mengidentifikasi dan mengetahui berbagai kebutuhan informasi pemustaka

serta proses dan pendokumentasian hasil berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antara

pustakawan dengan pemustaka dan pustakawan dengan staf lain yang bertugas di meja informasi

Perpustakaan PDII-LIPI. Kajian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan diskusi

(tanya-jawab) antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan staf lain. Sampel data kajian ini

adalah data hasil diskusi dengan pemustaka yang telah mendapatkan pelayanan (baik pemustaka

yang datang maupun via-online), dan pustakawan lain yang bertugas di meja informasi

Perpustakaan PDII-LIPI. Data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi dan dianalisis dengan

konsep The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer Process, yaitu socialization,

externalization, combination dan internalization. Kesimpulan kajian ini yaitu: a) knowledge

sharing dengan pemustaka dan staf lain perlu dibudayakan oleh pustakawan referensi PDII-LIPI

guna peningkatan layanan perpustakaan; 2) perlunya pendokumentasian hasil knowledge sharing di

perpustakaan untuk membantu pustakawan referensi dalam memenuhi kebutuhan informasi

pemustaka. Pendokumentasian hasil knowledge sharing ini dapat berupa informasi Frequently

Asked Question (FAQ) di website PDII-LIPI, panduan informasi perpustakaan, ataupun informasi

lain yang bertujuan untuk memudahkan pustakawan untuk melayani pemustaka.

Keywords: Knowledge; Knowledge sharing; Reference librarian; Communication; Information

Desk; PDII-LIPI

1. PENDAHULUAN

Kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di perpustakaan belum optimal

dilakukan oleh para pustakawan dan pengelola perpustakaan. Padahal berbagi pengetahuan

merupakan suatu cara yang efektif untuk mengetahui permasalahan organisasi dan

sekaligus mencari solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Melalui

berbagi pengetahuan, pustakawan dapat mengetahui setiap kebutuhan informasi pemustaka

dan mendapatkan masukan dari pemustaka dalam hal peningkatan layanan perpustakaan.

Selain itu, berbagi pengetahuan dapat menumbuhkan minat pemustaka untuk menjalin

kerja sama dengan pustakawan atau lembaganya. Dari sisi internal, berbagi pengetahuan

dengan pustakawan atau staf perpustakaan yang lain juga dapat meningkatkan wawasan

dan pengetahuan pustakawan referensi dalam memberikan layanan prima bagi pemustaka.

Pentingnya berbagi pengetahuan ini, menjadi dasar bagi pustakawan referensi

untuk lebih proaktif menjalin komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan para

pemustaka, rekan kerja, pimpinan dan stakeholders dalam rangka peningkatan mutu

layanan perpustakaan yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan pustakawan referensi

melalui komunikasi inter-personal untuk berbagi pengetahuan dengan pemustaka dan staf

yang lain. Menurut Andayani (2009), komunikasi interpersonal adalah suatu proses

pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun

melalui media. Effendy (2003) mengatakan bahwa komunikasi sangat penting di dalam

perpustakaan untuk menentukan kualitas layanan perpustakaan yang ideal, khususnya

hubungan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan

oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang dengan

berbagai dampak dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Komunikasi

interpersonal di perpustakaan dapat dilakukan antara pustakawan dengan pimpinan,

pustakawan dengan pustakawan, ataupun pustakawan dengan pengguna.

Komunikasi hasil knowledge sharing ini sebaiknya didokumentasikan dengan baik

agar dapat dibaca, diketahui dan digunakan untuk literatur sekunder bagi pustakawan lain

dalam melayani pemustaka. Pendokumentasian hasil knowledge sharing ini merupakan

suatu bentuk cara transfer pengetahuan (knowledge transfer) yang efektif bagi pustakawan

referensi, dari pengetahuan bersifat tacit (lisan) menjadi eksplisit (tertulis). Chen, Chu, dan

Xu (2012) mengatakan ada empat kategori proses transfer pengetahuan, yaitu: a) berbagi

pengetahuan antara pustakawan dengan pengguna untuk saling berbagi sumber informasi;

b) penyebaran informasi melalui berita dan pengumuman yang di update dari

perpustakaan; c) komunikasi yang ditujukan ke individual serta d) percakapan antara

pustakawan dan pemustaka atau antar-pemustaka. Apabila pengetahuan pustakawan telah

didokumentasikan secara eksplisit, kemungkinan besar dapat menjadi aset organisasi.

Maksudnya bahwa pengetahuan pustakawan menjadi acuan atau dasar bagi

organisasi/pimpinan untuk menetapan kebijakan peningkatan layanan perpustakaan.

Berdasarkan hal di atas, tulisan ini menekankan bahwa perlunya berbagi

pengetahuan antara pustakawan referensi dengan pemustaka, pustakawan referensi dengan

staf lain, atau pustakawan referensi dengan pemangku kepentingan guna memberikan

pelayanan prima kepada pemustaka. Pustakawan referensi di Perpustakaan Pusat

Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI)

adalah staf perpustakaan dan pustakawan yang bertugas di meja informasi (information

desk). Petugas meja informasi atau pustakawan referensi ini menjadi “rujukan utama” bagi

para pemustaka yang datang ke perpustakaan. Tugas mereka tidak hanya sekedar

menyediakan koleksi/literatur perpustakaan, tetapi juga harus mampu menjawab

pertanyaan pemustaka yang bersifat kompleks, seperti masalah yang berkaitan dengan

layanan ISSN, penelusuran informasi, kemasan informasi, jasa kerjasama/pelatihan serta

jasa-jasa lain yang ada di lembaga induknya. Oleh karena itu, pustakawan referensi yang

bertugas di meja informasi dituntut untuk memiliki pengetahuan, ketrampilan dan

wawasan yang luas terhadap akses sumber informasi ilmiah guna memberikan pelayanan

yang memuaskan bagi pemustaka.

Kajian ini fokus membahas dua hal, yaitu: 1) identifikasi kebutuhan informasi

pemustaka hasil knowledge sharing dengan pustakawan referensi di meja informasi

Perpustakaan PDII-LIPI dan 2) bagaimana proses dan pendokumentasian hasil knowledge

sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka PDII-LIPI?. Tujuan kajian ini

untuk mengidentifikasi dan mengetahui berbagai kebutuhan informasi pemustaka serta

proses dan pendokumentasian hasil knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan

pemustaka dan pustakawan dengan staf lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan

PDII-LIPI.

2. TINJAUAN LITERATUR

2.1 Penciptaan Pengetahuan

Sebelum menjadi pengetahuan, terdapat dua wujud hasil olah pikir manusia,

yaitu data dan informasi. Data yang telah diolah dan dapat dipahami disebut sebagai

informasi. Informasi yang memiliki nilai dan makna disebut pengetahuan dan

pengetahuan yang memiliki makna dan dapat diterapkan dalam kehidupan menjadi

suatu kebijakan (wisdom). Dalam konteks penciptaan pengetahuan, hakikatnya

merupakan praktek pada konsep manajemen pengetahuan. Pengetahuan ini dapat

bersumber dari individu maupun kelompok, yang muncul dari pekerjaan atau tugas

rutin, kemudian disampaikan (sharing) kepada pihak lain sehingga muncul ide-ide

dan pemikiran baru yang bermanfaat bagi kemajuan organisasi. Mengacu hal

tersebut, pengetahuan bersumber dari data yang diolah menjadi informasi sehingga

memiliki makna dan manfaat tertentu dalam kehidupan manusia. Omona, Lubega,

and Weide (2012) mengatakan bahwa pengetahuan (knowledge) berasal dari

informasi yang diolah dari data yang tersedia termasuk pengalaman, nilai-nilai,

wawasan dan informasi kontekstual. Perbedaan utama antara informasi dan

pengetahuan adalah bahwa informasi jauh lebih mudah diidentifikasi, diatur dan

didistribusikan, sedangkan pengetahuan lebih sulit dikelola karena berada dalam

pikiran seseorang.

Secara umum, pengetahuan terwujud dalam dua hal, yaitu pengetahuan tidak

tertulis (tacit knowledge) dan pengetahuan tertulis/terekam (explicit knowledge).

Dingsoyr dan Conradi (2002) mengatakan bahwa tacit knowledge adalah

pengetahuan seseorang yang tidak dapat diekspresikan secara eksplisit, tetapi dia

dapat menuntun perilaku manusia sebagai model mental, pengalaman dan skill.

Sedangkan, explicit knowledge adalah pengetahuan yang dapat diekpresikan dalam

bentuk laporan, buku, pembicaraan, komunikasi formal atau informal. Untuk menjadi

suatu “pengetahuan” diperlukan suatu proses penciptaan yang cukup cermat. Proses

penciptaan pengetahuan dapat dimulai dari mengumpulkan dan merekam data,

mengumpulkan dan mengelola informasi, hingga mengolah informasi menjadi

pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi (1995) mengatakan bahwa proses penciptaan

pengetahuan penting bagi karyawan secara individual. Penciptaan pengetahuan dapat

dipandang sebagai proses internalisasi pengetahuan individu ke pengetahuan

organisasi. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi antar individual pada berbagai

level organisasi.

2.2 Knowledge Sharing

Gitanauli (2010) mengutip Hooff dan Ridder (2004) mendefinisikan berbagi

pengetahuan (knowledge sharing) sebagai proses di mana para individu saling

mempertukarkan pengetahuan mereka (tacit knowledge dan explicit knowledge).

Definisi lain juga dikatakan Helmi dan Iman (2009), bahwa berbagi pengetahuan

adalah konsep dasar dari manajemen pengetahuan (knowledge management) dan

telah menjadi fokus penting dalam manajemen pengetahuan karena pengetahuan

dipandang sebagai sumber daya yang paling bernilai stratejik yang dimiliki oleh

organisasi (Cumming, 2003), sumber utama bagi penciptaan nilai (Nonaka dan

Takeuchi, 1995), dan merupakan cara penting bagi keunggulan kompetitif (Liao,

2007; Lin, 2007). Helmi dan Iman (2009) mencontohkan tentang cara berbagi

pengetahuan di dalam jaringan kerja, diantaranya komunikasi, dialog, dan interaksi

individual atau kelompok yang mendukung dan mendorong aktivitas karyawan, baik

melalui jasa teknologi (web, email, portal) maupun melalui tatap muka.

Terkait dengan proses berbagi pengetahuan ini, Nonaka dan Takeuchi (1995)

menjelaskan model transfer pengetahuan (transfer of knowledge) atau proses

penciptaan SECI, yaitu socialization, externalization, combination, dan

internalization. Model SECI ini dijelaskan pada Gambar 1.

Gambar 1. The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer Process

(Nonaka dan Takeuchi, 1995)

Keterangan:

Socialization (sosialisasi): berbagi pengalaman untuk menciptakan pengetahuan tacit, seperti

model mental bersama dan ketrampilan teknis. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi dan

praktek ide.

Externalization (eksternalisasi): proses mengartikulasikan konsep pengetahuan tacit ke

pengetahuan explicit menggunakan metafora, analogi, konsep, hipotesis, atau model.

Combination (kombinasi): proses memadukan sistem konsep ke sistem pengetahuan melalui

jaringan.

Internalization (internalisasi): pengetahuan explicit diwujudkan menjadi pengetahuan tacit.

Hal ini biasa disebut sebagai “learning by doing”. Pengetahuan ini diartikulasikan atau

digambarkan ke dalam bentuk dokumen atau cerita lisan.

Subagyo (2007) dalam Herijanto (2008) menjelaskan tentang pelaksanaan model

SECI di atas dapat dilakukan pada beberapa kondisi sebagai berikut:

1) Knowledge sharing merupakan suatu siklus eksternalisasi, objektifikasi dan

internalisasi. Eksternalisasi pengetahuan adalah proses pertukaran pengetahuan

personal dengan anggota yang lain. Objektifikasi pengetahuan adalah proses di

mana pengetahuan menjadi realitas objektif sehingga pengetahuan tersebut

diakui organisasi (komunitas). Internalisasi pengetahuan adalah proses di mana

pengetahuan yang objektif digunakan oleh personal dalam rangka sosialisasi ke

mereka. Internalisasi ini merupakan upaya kegiatan pencarian dan menemukan

kembali pengetahuan yang tersimpan dalam organisasi.

2) Semua personal yang terlibat diharapkan memberikan kontribusinya dengan

menceritakan pemikiran, ide atau pengalamannya. Salah satu karakteristik

knowledge sharing berbasis lokal atau indegenous knowledge ini adalah

menyebarkan pengetahuan secara oral, sistem story telling menjadi

pengetahuan tertulis (terkodifikasi).

3) Komunitas merupakan saluran penyebaran informasi dan pengetahuan yang

efektif. Komunitas biasanya terbentuk karena adanya persamaan kebutuhan

anggota untuk berkumpul, saling berbagi rasa dan berbagi informasi.

Subagyo (2007) mengatakan bahwa masalah terbesar dalam knowledge

sharing adalah bagaimana memotivasi anggota komunitas untuk bersedia berbagi

pengetahuannya. Motivasi merupakan unsur utama dalam konowledge sharing,

sedangkan teknologi hanya media untuk mempermudah dan mempercepat proses

berbagi pengetahuan di antara anggota komunitas. Allameh, et al (2012) menegaskan

bahwa pentingnya motivasi diri bagi pustakawan untuk bersedia berbagi pengetahuan

di sebuah perpustakaan perguruan tinggi di Iran. Staf yang memiliki niat kuat untuk

berbagi pengetahuan akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap perilaku berbagi

pengetahuan. Allameh, et al (2012) mengatakan bahwa organisasi akan termotivasi

untuk memberikan reward kepada pustakawan yang aktif melakukan knowledge

sharing.

2.3 Knowledge Sharing di Perpustakaan

Sudarsono dan Imadianti (2012) menjelaskan bahwa istilah knowledge

managament (KM) di kalangan pustakawan telah dibahas International Federation of

Library Associations (IFLA) sejak tahun 2001. Perkembangan minat pada penerapan

KM dalam lingkungan perpustakaan dan jasa informasi menjadi alasan pustakawan

untuk memperdalam pemahaman atas beragam dimensi KM terkait dengan tugas

mereka. IFLA mendefinisikan KM sebagai proses mencipta, menyimpan, membagi,

menerapkan dan menggunakan kembali pengetahuan organisasi untuk mencapai

tujuan dan sasaran organisasi. Penerapan KM (pada Devisi III Library Service-IFLA)

bertujuan untuk (1) mendukung penerapan budaya KM dalam lingkungan

perpustakaan dan informasi; (2) memberikan landasan internasional bagi komunikasi

profesional dan pemahaman yang signifikan atas KM bagi pustakawan dan lembaga

mereka dan (3) mengikuti perkembangan KM dan mempromosikan penerapannya

dalam komunitas IFLA. Sejak saat itu, banyak pustakawan yang tertarik untuk

mendalami pemahaman tentang KM agar dapat diterapkan di organisasi mereka. Hal

penting dari penerapan KM ini yaitu mengumpulkan dan menghubungkan, sehingga

sebaran pengetahuan dalam organisasi menjadi semakin luas dan mendalam.

Keberhasilan penerapan KM di perpustakaan tidak dapat terlepas dari aktivitas

berbagi pengetahuan antar-pustakawan atau dengan pihak lain. Menurut Rodin,

Kismiyati dan Margono (2011) bahwa pengimplementasian knowledge management

tidak bisa terlepas dari kegiatan knowledge sharing. Adanya kemauan untuk membagi

pengetahuan antar-individu sangat diperlukan dan dari pengetahuan individu-individu

disimpan sebagai pengetahuan organisasi. Budaya individualisme harus sudah mulai

ditinggalkan, ilmu yang dimiliki individu sudah mulai di-sharing ke para kolega demi

kemajuan organisasi. Melalui knowledge sharing dimungkinkan terciptanya ide-ide

baru terutama dalam hal peningkatan nilai jual, kualitas produk dan kinerja.

Knowledge Sharing akan meningkatkan pemahaman antara sesama anggota sehingga

antara anggota akan saling mendukung serta meningkatkan kinerja dan akhirnya akan

menemukan proses kerja yang terbaik bagi organsiasi. Knowledge sharing dapat

meningkatkan wawasan seorang pegawai tentang kegiatan-kegiatan yang ada di

lembaganya serta menjaga keharmonisan dan keberlangsungan komunikasi dan kerja

sama suatu lembaga. Sebagai contoh, seorang karyawan yang ahli dalam bidang

otomasi perlu berbagi pengetahuan dengan karyawan bidang sirkulasi dan bagian

pelayanan perpustakaan. Apabila terjadi kendala menyangkut otomasi (sedangkan

karyawan yang paham otomasi sedang dinas luar/tidak ada di tempat), maka karyawan

yang telah mendapat pengetahuan ini dapat memahami kendala pada sistem otomasi

perpustakaan. Kegiatan knowledge sharing ini sebaiknya rutin dilaksanakan oleh

pegawai/petugas perpustakaan, baik melalui kegiatan pertemuan, diskusi, seminar,

maupun media sosial online.

2.4 Pustakawan Referensi

Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh

melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan

tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan

(Perpusnas, 2007). Sementara itu, pustakawan referensi (reference librarian) adalah

seorang pustakawan yang bekerja di pelayanan publik, menjawab pertanyaan yang

diajukan oleh pengunjung perpustakaan di meja referensi, melalui telepon atau e-mail

(Reitz, 2014). Widyawan (2012) mengatakan bahwa kompetensi profesional seorang

pustakawan referensi yaitu mampu memberikan pelayan prima bagi pemustaka.

Kompetensi profesional pustakawan referensi ini dapat dibuktikan dengan perilaku,

kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan referensi dalam memberikan pelayanan

referensi yang bermutu. Beberapa wujud kompetensi profesional dari seorang

pustakawan referensi, yaitu:

1) Akses, pustakawan referensi mampu menganalisis dan menanggapi kebutuhan

pelayanan informasi serta mampu merancang dan mengelola pelayanan

referensi. Fokus utama dalam aspek akses ini yakni tentang pemahaman

pustakawan tentang kebutuhan dan perilaku informasi pemustaka sehingga

pustakawan perlu mengembangkan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan

informasi pemustaka secara efektif.

2) Basis Pengetahuan, pengetahuan pustakawan referensi mencakup (a) struktur

sumber informasi bidang utama pengguna; (b) sarana informasi dasar, seperti

katalogisasi sistem komputer, sistem pencarian, pangkalan data, situs web,

pengelolaan jurnal dan monograf (cetak atau elektronik) dan video/rekaman

suara; (c) pola penelusuran informasi dan perilaku pemustaka; (d) prinsip-

prinsip komunikasi yang interaktif dengan pemustaka; (e) mengetahui

pengaruh teknologi terhadap struktur informasi; (f) hak cipta dan kekayaan

intelektual dan (g) standar kompetensi informasi.

3) Pemasaran, pemasaran ini merupakan aspek perencanaan strategis, yakni

dengan menetapkan promosi. Dalam kegiatan promosi ini, pustakawan harus

menetapkan tujuan, sasaran dan strategi yang tepat untuk meningkatkan

pelayanan kepada pemustaka.

4) Kolaborasi, kolaborasi diartikan sebagai bekerja bersama dengan orang lain.

Kolaborasi berguna untuk memelihara hubungan baik dengan pemustaka dan

sejawat, baik di dalam maupun di luar perpustakaan. Pustakawan harus

bekerjasama dengan sejawat, organisasi profesi dan kelompok lain untuk

memastikan bahwa pemustaka menerima pelayanan yang tepat.

5) Evaluasi dan penilaian sumber daya dan pelayanan, hal ini dilakukan secara

konsisten agar kebutuhan informasi pemustaka dapat terpenuhi dan pelayanan

informasi yang diberikan ke pemustaka hasilnya relevan. Pustakawan referensi

dituntut untuk memiliki kompetensi dalam mengevaluasi pelayanan yang

diberikan ke pemustaka, baik dilakukan secara formal maupun informal.

Menurut Helmi dan Iman (2009), hubungan yang bersifat formal ataupun

informasi di antara karyawan merupakan hal penting dalam berbagi

pengetahuan di dalam organisasi.

Prinsipnya bahwa pustakawan referensi harus tanggap terhadap kebutuhan

pemustaka. Mereka harus mampu bekerjasama dengan sejawat pustakawan maupun

pemustaka untuk meningkatkan mutu pelayanan dan menerapkan pelayanan baru.

Mereka harus dapat mengevaluasi secara efektif terhadap sumber-sumber informasi

yang digunakan sehingga mampu memberikan informasi yang terbaik bagi

pemustaka. Untuk mengenali pemustaka, pustakawan referensi harus mampu

berkomunikasi secara efektif dengan pemustaka untuk menemukan kebutuhan riil dan

menyajikan pelayanan yang berkualitas (Widyawan, 2012).

2.5 Komunikasi Pustakawan

Komunikasi merupakan sebuah kompetensi profesional yang harus dimiliki

dan senantiasa ditingkatkan oleh pustakawan. Komunikasi menjadi kunci keberhasilan

layanan perpustakaan dan membangun kerjasama dengan pihak lain. Batubara (2011)

mengatakan bahwa kompetensi komunikasi pustakawan sangat berpengaruh terhadap

keberhasilan layanan perpustakaan, terutama pustakawan yang bertugas di bagian

pelayanan. Kompetensi komunikasi dari seorang pustakawan referensi, yaitu

kemampuan, keterampilan dan pengetahuan dalam membuat jawaban referensi dan

melayani pengguna secara profesional lainnya. Spitzberg (1984:68) menjelaskan

bahwa kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi, baik

memberikan penjelasan kepada orang lain, menunjuk pada ketepatan, kejelasan,

komprehensibilitas, koherensi, efektivitas keahlian maupun kesesuaian.

Spitzberg dan Cupach (1984) telah merancang tiga dimensi kompetensi

pemahaman komunikasi, yaitu (1) motivasi (pendekatan individu atau orientasi

penghindaran dalam berbagai situasi sosial); (2) pengetahuan (rencana aksi;

pengetahuan tentang bagaimana untuk bertindak; pengetahuan prosedural) dan (3)

keterampilan (perilaku benar-benar dilakukan). Rowley (1999) menjelaskan ada lima

kompetensi dalam berkomunikasi yang baik, yaitu (1) komitmen dan itikad baik; (2)

rasa empati (kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan

pengalaman bagaimana perspektif yang terasa); (3) fleksibilitas (mampu memilih

respon yang untuk mencapai tujuan bersama); (4) sensitivitas terhadap konsekuensi

dan (5) kecakapan berkomunikasi. Untuk menjalin komunikasi yang baik dengan

orang lain, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu memilih kata-pilihan, penekanan,

nada dan irama secara tepat agar dapat diintegrasikan dengan cara yang nyaman dan

spontan.

Khatibah (2014) menjelaskan bahwa keterampilan komunikasi harus dimiliki

oleh pustakawan untuk meningkatkan kepuasan para pengguna jasa perpustakaan.

Perpustakaan harus menciptakan pelayanan prima yang pada akhirnya tercipta citra

yang positif pada perpustakaan. Komunikasi dalam perpustakaan merupakan alat yang

fundamental digunakan, keberhasilan suatu lembaga organisasi/perpustakaan salah

satunya memiliki komunikasi yang efektif. Menempatkan komunikasi pada tempat

yang sesuai, maksudnya kapan digunakan komunikasi itu bersifak diadik, publik,

kelompok.

2.6 Literatur Sejenis Terdahulu

Di bawah ini diuraikan secara jelas beberapa literatur terdahulu yang berkaitan

dengan penerapan knowledge sharing di perpustakaan dan lembaga dokumentasi-

informasi (dokinfo). Safitri (2014) dalan artikelnya yang berjudul “Penerapan

Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi”,

menjelaskan bahwa knowledge sharing merupakan salah satu elemen penting di

perpustakaan akademik. Penerapan knowledge sharing tidak terlepas dari peranan

teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mempermudah segala aktivitas di

perpustakaan. Penerapan knowledge sharing memberikan beberapa keuntungan, baik

bagi pustakawan maupun pengguna (users). Konsep dasar penerapan knowledge

sharing ini merujuk konsep analisis yang dicetuskan oleh Nonaka dan Takeuchi

(1995), yaitu SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization).

Pada konsep tersebut, terjadi proses perpindahan pengetahuan dengan aktivitas

berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Di Perpustakaan, proses knowledge

sharing dapat dilakukan dengan memanfaatkan situs media sosial. Penerapan

knowledge sharing melalui media sosial dan blog perpustakaan serta motivasi diri

bagi pustakawan untuk meningkatkan layanan perpustakaan menjadi hal yang harus

diperhatikan oleh pustakawan/pengelola perpustakaan. Kesimpulan dari kajian

tersebut, yaitu (1) perpustakaan perlu mengoptimalkan TIK untuk berbagi

pengatahuan dalam rangka peningkatan layanan informasinya, baik melalui media

sosial, blog maupun wiki); (2) perlunya motivasi diri pustakawan untuk berbagi

pengetahuan; (3) perlunya reward (dalam berbagai bentuk) dari organisasi sebagai

bentuk penghargaan kepada pustakawan yang telah bersedia berbagi pengetahuan.

Dong (2008) dalam artikelnya yang berjudul “Using Blog for Knowledge

Management in Libraries”, menjelaskan bahwa media online perpustakaan yang

dianggap efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pengguna adalah blog. Blog

sebagai sarana yang lebih efektif untuk berbagi pengetahuan. Blog dapat membantu

perpustakaan membangun kesadaran pemustaka untuk berbagi pengetahuan. Selain

itu, blog dapat menjangkau tujuan dari manajemen pengetahuan (knowledge

management), yaitu berperan sebagai wahana komunikasi internal. Dalam komunikasi

internal, semua pustakawan dapat membagi pengetahuannya, baik yang bersifat tacit

maupun explicit.

Forcier (2013) dalam artikelnya yang berjudul “The Shoemaker’s Son: A

Substantive Theory of Social Media Use for Knowledge Sharing in Academic

Libraries”, yang dilakukan pada beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Kanada.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa media sosial telah terintegrasi ke dalam

praktek berbagi pengetahuan. Blog dan Wiki mendukung berbagi pengetahuan secara

internal dengan kategori seperti pengumuman, berita dan informasi ke pustakawan

dan staf. Media sosial dapat digunakan perpustakaan untuk berkomunikasi dan

menyebarkan informasi kepada pemustaka khususya untuk peningkatan layanan

perpustakaan. Selain itu, media sosial dapat digunakan untuk mendukung berbagi

pengetahuan, khususnya tacit knowledge yang dimiliki oleh para praktisi sehingga

pustakawan dan pemustaka dapat memperoleh keuntungan dari proses tersebut.

Sudarsono (2007) dalam bukunya yang berjudul “Menyongsong Fajar Baru

Merancang Masa Depan”, menjelaskan bahwa perlu ada penekanan pada pengaturan

hubungan antara pejabat struktural dan pejabat fungsional di PDII-LIPI. Apabila pola

hubungan tersebut terjalin, maka akan terbentuk tim kerja yang benar-benar handal.

Untuk menjalin pola hubungan tersebut, telah diusulkan tema mekanisme kerja di

PDII-LIPI pada tahun 2007, yaitu ”Dengan Semangat Kemitraan, Berbagi Tangung

Jawab dan Fasilitas untuk Mencapai Hasil Terbaik”. Melalui mekanisme kerja

tersebut, diharapkan tidak ada ketimpangan lagi dalam fasilitas kerja antara pejabat

fungsional dan pejabat struktural di PDII-LIPI. Pada konteks tersebut, manusia

menjadi unsur utama organisasi dalam pelaksanaan pelaksanakan knowledge

management. Kegiatan pengelolaan pengetahuan ini harus dilakukan oleh organisasi

agar tetap bertahan (survive) menjadi lembaga terdepan dalam bidang dokumentasi

dan informasi di Indonesia. Penerapan KM di PDII-LIPI perlu berbagi tanggung jawab

dan pengetahuan, yang mencakup:

1) perencanaan, terdiri atas kebijakan, program, dan kegiatan;

2) pengorganisasian, terdiri atas analisis tugas (job analysis) dan penataan tenaga

sesuai beban kerja;

3) pelaksanaan dan pemantauan, dilakukan dengan bekerja sesuai tugas dan

tanggung jawab, rapat/pertemuan dan kontrol mutu (quality control);

4) pelaporan dan evaluasi, terdiri atas membuat laporan dan evaluasi kinerja, rapat

kerja tahunan, penyusunan program dan kebijakan organisasi

Pengelolan hasil dari KM tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan atau kerangka

berpikir “teori dokumentasi”. Dokumentasi dapat diartikan sebagai berbagai upaya

untuk mengabadikan objek kerja. Mengabadikan dapat dikatakan dengan memelihara

objek kerja untuk kegunaan dalam usia yang tidak terbatas. Kerangka berpikir

pengelolaan dokumentasi pengetahuan di PDII-LIPI dijelaskan pada Gambar 2.

Gambar 2. Proses Penciptaan Pengetahuan dengan Pendekatan Dokumentasi

(Sudarsono, 2007)

Sudarsono (2007) mengutip pendapatnya Schultz dan Senge (1999) bahwa PDII-LIPI

harus menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yaitu himpunan orang

yang secara terus-menerus meningkatkan kemampuannya untuk menciptakan hal-hal

yang mereka ingin ciptakan. Organisasi perlu memunculkan pemikiran baru dan

wawasan yang luas, cita-cita bersama diperjuangkan dan anggota belajar bersama

dilakukan secara kontinyu untuk memahami permasalahan organisasi secara

keseluruhan. Agar tetap survive, PDII-LIPI perlu belajar lebih lanjut dan

berkesinambungan tentang pengembangan konsep dan teknologi dokumentasi,

manajemen rekaman dan manajemen pengetahuan. Ketiga hal tersebut menjadi core

competency yang harus dijaga dan dikembangkan oleh organisasi. Setiarso (2006)

menjelaskan pemikiran, pengalaman dan hasil studi Szulanski (1996) bahwa

permasalahan dalam proses pengalihan pengetahuan dari individu/kelompok ke

individu/kelompok lain serta pengamatan empiris dari PDII-LIPI dalam proses

penciptaan pengetahuan, dapat dikatakan sebagai berikut (a) kemampuan akses pada

informasi/pengetahuan atau penciptaan pengetahuan organizational tergantung pada

kemampuan semua individu dalam organisasi untuk dapat akses pada gagasan,

informasi, dan pengalaman karyawan lain. Seharusnya dapat melalui intranet atau

pihak lain di luar organisasi; (b) peningkatan akses melalui pemberian saran alternatif

misalnya memakai Decisions Support Systems (DSS); (c) kepada pihak lain

(knowledge sharing) melalui training center secara berkala dan sistematis serta

berkelanjutan sesuai dengan perkembangan terkini dan (d) persepsi bahwa kegiatan

pertukaran/ berbagi knowledge dan kombinasi pengetahuan adalah sangat berharga.

3. METODE

Jenis data kajian ini deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara diskusi

(tanya-jawab), baik antara pustakawan referensi dengan pemustaka maupun pustakawan

referensi dengan staf lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI.

Diskusi dengan pemustaka dilakukan dengan dua cara, yaitu diskusi ditempat (di meja

informasi perpustakaan) dan via-online (email, instant messenger, media sosial). Hasil

diskusi dengan pemustaka kemudian diidentifikasi berdasarkan jenis pertanyaan atau

permintaan jasa kepada pustakawan. Sementara itu, diskusi dengan staf lain dilakukan

dengan cara meminta masukan atau ide tentang bagaimana cara menyediakan informasi

yang praktis terhadap pemanfaatan sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga

yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Sampel data kajian ini

adalah data hasil diskusi dengan pemustaka yang telah mendapatkan pelayanan dari

petugas meja informasi (baik pemustaka yang datang maupun via-online) dari bulan

Januari – Agustus 2015, serta pustakawan lain yang bertugas di meja informasi

perpustakaan PDII-LIPI. Data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi dan

dianalisis berdasarkan konsep The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer

Process, yaitu socialization, externalization, combination, dan internalization. Hasil

analisis data menjadi dasar penyusunan hasil dan pembahasan, serta kesimpulan kajian

ini.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pustakawan Referensi PDII-LIPI

Berdasarkan data kepegawaian PDII per-Agustus 2015 diketahui ada sekitar

122 orang yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Dari jumlah tersebut,

diketahui ada sekitar 27 orang pustakawan, dengan jabatan: pustakawan penyelia

(11 orang); pustakawan madya (8 orang); pustakawan muda (5 orang) dan

pustakawan pertama (3 orang). Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa

pustakawan penyelia merupakan jabatan fungsional pustakawan dengan jumlah

terbanyak (11 orang). Jika dilihat dari tingkat golongannya, sebagian besar

pustakawan PDII-LIPI berasal dari pustakawan tingkat ahli (16 orang) yang berasal

dari pustakawan pertama, muda dan madya, dengan latar belakang pendidikan

minimal sarjana atau sederajat. Pustakawan tersebut sebagian besar bertugas/bekerja

di Bidang Dokumentasi dan Bidang Diseminasi Informasi. Kegiatan pustakawan di

Bidang Dokumentasi, yaitu pengembangan koleksi/literatur, pengolahan bahan

pustaka dan layanan ISSN. Sedangkan kegiatan pustakawan di Bidang Diseminasi

Informasi, yaitu pelayanan perpustakaan, penelusuran informasi dan kemasan

informasi. Apabila dilihat dari kompetensinya, Pustakawan PDII-LIPI memiliki

tugas dan fungsi pokok sebagai pustakawan referensi, subject specialist, kataloger,

validator dan kompetensi profesional yang lain.

Di PDII-LIPI, pustakawan yang berperan sebagai pustakawan referensi adalah

staf perpustakaan dan pustakawan (menduduki jabatan fungsional) yang bertugas di

meja informasi (information desk). Beberapa persyaratan kompetensi profesional

yang perlu dimiliki oleh pustakawan referensi PDII-LIPI, yaitu:

1) Minimal berpendidikan Sarjana Ilmu Perpustakaan atau ilmu lain yang

sederajat (sebagai pustakawan ahli).

2) Memiliki kompetensi yang memadai dalam pemberian pelayanan prima di

perpustakaan (ramah, cepat, tanggap, empati, dan bertanggung jawab).

3) Memiliki pengetahuan, ketrampilan dan wawasan yang luas terhadap

pemanfaatan sumber-sumber informasi ilmiah, baik sumber informasi yang

dimiliki lembaga maupun lembaga lain.

4) Memiliki ketrampilan dalam melakukan penelusuran informasi secara

kompleks, baik melalui database/katalog perpustakaan maupun database ilmiah

asing yang dilanggan atau open access;

Melalui tagline layanan PDII-LIPI, yaitu “Anda Bertanya, Kami Menjawab”,

pustakawan referensi dituntut harus mampu memberikan jawaban yang jelas, tepat

dan cepat. Apabila mereka tidak dapat menjawab pertanyaan pemustaka seketika

(saat itu), harus mencatatnya pada formulir yang telah tersedia di meja informasi dan

segera menghubungi/bertanya kepada staf dan pustakawan lain yang dianggap

mengetahui dan memahami jawaban atas pertanyaan pemustaka.

4.2 Kebutuhan Informasi Pemustaka PDII-LIPI

Pemustaka PDII-LIPI berasal dari berbagai profesi yang berbeda-beda.

Berdasarkan data layanan Perpustakaan PDII-LIPI bulan Januari-Agustus 2015,

diketahui bahwa terdapat sejumlah 2461 orang pemustaka. Berdasarkan jumlah

tersebut, diketahui 1442 mahasiswa S1; 540 peneliti umum; 199 mahasiswa S2; 164

karyawan; 78 wiraswasta (umum); 28 mahasiswa S3 dan 10 peneliti LIPI. Sebagian

besar pemustaka memiliki kebutuhan informasi dan karakter yang berbeda-beda

dalam memanfaatkan jasa perpustakaan. Misalnya, pemustaka yang menghubungi

petugas meja informasi tidak hanya mencari koleksi/literatur perpustakaan, tetapi juga

menanyakan hal lain, seperti masalah yang berkaitan dengan layanan ISSN,

penelusuran informasi, kemasan informasi, jasa kerjasama/pelatihan, serta jasa-jasa

lain yang ada di lembaga induknya.

Berdasarkan hasil identifikasi kegiatan knowledge sharing dengan pemustaka

dan pengguna layanan meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI diketahui beberapa

topik permintaan informasi sebagaimana yang dijelaskan pada Tabel 1.

Tabel 1. Topik Permintaan Informasi Pemustaka PDII-LIPI

No. Identifikasi

Pertanyaan Permintaan Informasi

1 Layanan

Perpustakaan

Sekilas Perpustakaan PDII-LIPI

Lokasi Perpustakaan PDII-LIPI

Waktu layanan perpustakaan

Kontak layanan online perpustakaan

Fasilitas layanan perpustakaan

Pendaftaran anggota perpustakaan

Jenis koleksi perpustakaan

Sistem layanan perpustakaan

Biaya layanan perpustakaan

Permintaan koleksi standar internasional

2 Layanan ISSN Persyaratan Pendaftaran ISSN

Kontak online layanan ISSN

Serah simpan penerbit/pengelola terbitan

Alamat menyerahkan terbitan jurnal ke PDII-LIPI

3 Layanan

Penelusuran

Informasi

Cara memesan literatur via-online

Kontak layanan pemesanan informasi via-online

Nomor rekening transfer layanan

Bentuk penggandaan literatur via-online

4 Layanan Kemasan

Informasi

Jenis paket informasi yang dapat dipesan

Program aplikasi/sofware pembuatan paket informasi

Cara memesan/mendapatkan paket kemasan informasi

5 Layanan

kerjasama/pelatihan

Cara menjalin kerjasama dengan PDII-LIPI

Kegiatan Studi Banding/Magang/PKL di PDII-LIPI

Materi pelatihan yang diselenggarakan PDII-LIPI

Kontak layanan kerjasama PDII-LIPI

Bantuan hibah koleksi dari PDII-LIPI

6 Informasi lain

terkait lembaga

Akreditasi jurnal ilmiah

Alamat dan kontak sekretariat lembaga akreditasi jurnal

Info Beasiswa di LIPI

Info Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI

Publikasi Teknologi Tepat Guna-LIPI

Uji kalibrasi alat hasil penelitian di LIPI

Jasa pengusulan publikasi paten di LIPI

Hasil-hasil penelitian LIPI

Cara mendapatkan buku/terbitan LIPI

Hibah penelitian di LIPI

Persyaratan mendaftar ISBN

Kerjasama dan izin penelitian di di LIPI

Sumber: Data Layanan Meja Informasi PDII-LIPI (Januari-Agustus 2015).

Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat jelas bahwa permintaan informasi

pemustaka kepada pustakawan referensi sangat kompleks. Hal tersebut

mengindikasikan bahwa untuk menjadi pustakawan referensi tidaklah mudah. Selain

memahami sumber-sumber informasi perpustakaan, pustakawan dituntut untuk

meningkatkan kompetensi diri secara berkesinambungan, serta mampu menjalin dan

meningkatkan komunikasi/kerja sama yang baik dengan pemustaka. Hal tersebut

dilakukan agar pelayanan yang telah diberikan kepada pemustaka hasilnya

memuaskan.

Apabila ditinjau dari karakteristik pemustaka diketahui ada dua karakter

pengguna, yaitu tertutup dan terbuka. Pemustaka yang memiliki karakter tertutup

adalah mereka yang memiliki sifat pemalu atau pendiam, serta tak acuh

(mengabaikan) adanya petugas atau pustakawan di perpustakaan. Pemustaka tipe ini

sebagian besar adalah mereka yang baru datang pertama kali ke perpustakaan dan

langsung mencari koleksi/literatur ke rak perpustakaan tanpa menelusur informasi

terlebih dahulu di katalog /OPAC (LARAS/Library Archive Analysis System dan/atau

ISJD/Indonesian Scientific Journal Database). Hasilnya mereka tidak dapat

menemukan koleksi/literatur yang dibutuhkan, karena kode panggil dan identitas

koleksi tidak dicatat/diketahui oleh pemustaka. Pada kondisi ini, pemustaka merasa

“kebingungan” karena tidaktahuannya tentang bagaimana cara mencari koleksi di

perpustakaan PDII-LIPI. Melihat masalah tersebut, sebagai pustakawan referensi

tentunya akan menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi pemustaka. Hal ini

perlu dilakukan karena pemustaka tipe ini tidak akan bertanya terlebih dahulu ke

pustakawan, termasuk untuk meminta bantuan penelusuran informasi di rak

perpustakaan. Sementara itu, pemustaka yang memiliki karakter/sifat terbuka akan

berterus terang (to the point) dalam mengungkapkan kebutuhan informasi yang

mereka butuhkan kepada pustakawan, baik secara lisan maupun tertulis. Jika mereka

mengalami kesulitan dalam menelusur sumber-sumber informasi/literatur

perpustakaan, pemustaka akan langsung bertanya kepada petugas dan meminta untuk

dibimbing dalam pencarian atau penelusuran literatur hingga koleksi ditemukan.

Pemustaka tipe ini dapat dikategorikan sebagai pemustaka yang ingin selalu cepat

(praktis) dalam mendapatkan literatur perpustakaan, tanpa harus bersusah payah

menelusur/mencari literatur sendiri.

4.3 Proses dan Pendokumentasian Hasil Knowledge Sharing

Setelah mengetahui kebutuhan informasi pemustaka PDII-LIPI (Tabel 1),

langkah berikutnya adalah mengidentifikasi proses dan pendokumentasian hasil

knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan pustakawan

dengan staf lain di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI dengan analisis transfer

pengetahuan SECI (socialization, externalization, combination, dan internalization).

Analisis SECI terhadap kebutuhan informasi pemustaka tersebut, dijelaskan pada

Tabel 2.

Tabel 2. Aspek SECI dalam Proses dan Pendokumentasian Hasil Knowledge Sharing

di Meja Informasi Perpustakaan PDII-LIPI

No Aspek SECI Proses Knowledge Sharing Dokumentasi Hasil

Knowledge Sharing

1 Socialization

(dari tacit ke tacit)

Pemustaka dan pustakawan

berdiskusi (tanya-jawab) dengan

mengungkapkan segala

permasalahan dan pengetahuan

untuk mencari solusinya.

Pustakawan mengidentifikasi setiap

pertanyaan dan informasi yang

dibutuhkan pemustaka.

Pustakawan

menjelaskan/menjawab kebutuhan

informasi pemustaka dengan

mengoptimalkan sumber daya

informasi perpustakaan dan

lembaga.

Pemustaka memahami jawaban

pustakawan dan mendapatkan

informasi yang dibutuhkan.

Ide/gagasan dalam bentuk

ucapan (lisan) yang

disampaikan oleh

pustakawan.

Pernyataan/jawaban

bentuk ucapan (lisan)

pustakawan yang dipahami

oleh pemustaka.

Hasil dokumentasi:

Pengetahuan tidak

terekam/tertulis (tacit

knowledge)

2 Externalization

(dari tacit ke

explicit)

Pemustaka memahami jawaban

pustakawan dan mendapatkan

informasi yang dibutuhkan.

Pemustaka memberikan feedback

(umpan balik) terhadap jawaban

pustakawan hingga merasa puas.

Pustakawan menanggapi respon

pemustaka dan mencatatnya

sebagai informasi penting yang

Saran berupa feedback

(umpan balik) dan

ungkapan kepuasan

(satisfied) dari pemustaka

Tanggapan/jawaban

pustakawan

Data pertanyaan (rekaman

referensi) hasil diskusi

Data diskusi yang telah

harus disimpan dan disampaikan

kepada petugas perpustakaan yang

lain.

Pustakawan mengelompokkan dan

mengidentifikasi setiap pertanyaan

dan jawaban terkait informasi yang

dibutuhkan pemustaka.

Pustakawan merekam/mencatat

hasil diskusi dan berbagi

pengetahuan dengan pemustakan

dalam bentuk FAQ pada Website

PDII dan buku panduan praktis

layanan perpustakaan..

Pustakawan menyampaikan ke

pemustaka dan staf lain petugas

meja informasi untuk menggunakan

panduan informasi yang telah

dibuat.

diidentifikasi dan

dikelompokkan berdasarkan

jenis pertanyaan pemustaka.

Publikasi hasil knowledge

sharing

Hasil dokumentasi:

Pengetahuan terekam/tertulis

(explicit knowledge) dalam

bentuk Panduan Informasi

perpustakaan (FAQ dan

panduan praktis

perpustakaan)

3 Combination

(dari explicit ke

explicit)

Pustakawan mendokumentasikan

hasil diskusi dan berbagi

pengetahuan dengan pemustaka .

Pustakawan menyampaikan

informasi-informasi yang

dibutuhkan pemustaka kepada

petugas perpustakaan/pustakawan

yang lain.

Petugas perpustakaan/pustakawan

yang lain dapat menggunakan

informasi tersebut untuk menjawab

berbagai pertanyaan dan

permasalahan pemustaka (sebagai

informasi sekunder).

Pustakawan meng-update informasi

FAQ dan buku panduan informasi

perpustakaan sesuai perkembangan

kebutuhan informasi pemustaka.

Pemustaka, petugas perpustakaan,

dan pustakawan lain dapat

menggunakan hasil dokumentasi

berbagi pengetahuan untuk literatur

Publikasi hasil knowledge

sharing.

Pemanfaatan hasil publikasi

knowledge sharing.

Perbaikan dan update

informasi dokumentasi

hasil knowledge sharing

Pemanfaata publikasi untul

literatur sekunder.

Hasil dokumentasi:

Pengetahuan terekam/tertulis

(explicit knowledge) dalam

bentuk Panduan Informasi

perpustakaan ter-update

(FAQ dan panduan praktis

perpustakaan)

sekunder.

4 Internalization

(dari explicit ke

tacit)

Pustakawan menyampaikan/

mensosialisasikan publikasi hasil

knowledge sharing ter-update

kepada pemustaka dan staf lain

yang bertugas di meja informasi.

Pemustaka dan pihak-pihak lain

yang berkepentingan menggunakan

panduan informasi perpustakaan

sesuai kebutuhan (digunakan untuk

literatur sekunder dan referensi

penulisan ilmiah)

Panduan informasi

perpustakaan dimanfaatkan

sesuai kebutuhan

Hasil dokumentasi:

Pengetahuan terekam/tertulis

(explicit knowledge) digunakan

untuk pemenuhan kebutuhan

pemustaka

Sumber: Data Layanan Meja Informasi PDII-LIPI (2015)

Berdasarkan model transfer pengetahuan model SECI di atas, diketahui bahwa hasil

dari kegiatan knowledge sharing adalah dokumentasi terekam/tertulis untuk

pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka dan memudahkan bagi staf lain untuk

menjawab berbagai pertanyaan pemustaka (literatur sekunder). Output dari kegiatan

knowledge sharing ini yaitu panduan informasi perpustakaan, berupa informasi tanya-

jawab online/FAQ (Frequently Asked Questions) yang tercantum pada Website PDII-

LIPI dan buku panduan praktis layanan perpustakaan.

Adapun tujuan kegiatan knowledge sharing melalui analisis SECI di atas, yaitu

(1) mengetahui berbagai permintaan pemustaka; (2) mengetahui karakteristik

pemustaka dalam memanfaatkan jasa perpustakaan; (3) memotivasi pustakawan

referensi untuk menyediakan panduan tertulis untuk memudahkan pemustaka dan staf

lain menelusur sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga serta (4)

menyediakan bahan evaluasi bagi pimpinan dalam rangka peningkatan layanan

perpustakaan yang berorientasi pada kepuasan pemustaka.

Mengacu pada analisis SECI di atas, proses kegiatan knowledge sharing di

meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar

3).

Gambar 3. Proses Knowledge Sharing di Meja Informasi Perpustakaan PDII-LIPI

Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan informasi pemustaka dan proses

kegiatan knowledge sharing di atas, dapat dikatakan bahwa pustakawan referensi perlu

membangun budaya knowledge sharing, baik dengan pustakawan, staf lain maupun

pimpinan perpustakaan/lembaga. Hal tersebut dilakukan guna mencari solusi bersama

atas setiap masalah yang dihadapi pemustaka serta menetapkan tindakan perbaikan

dalam peningkatan layanan perpustakaan.

5. KESIMPULAN

Knowledge sharing merupakan salah satu upaya dan solusi yang efektif bagi

pustakawan referensi untuk mengatasi permasalahan pemustaka dalam mendapatkan

sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga. Dalam rangka pemenuhan

kebutuhan informasi pemustaka, pustakawan referensi dituntut untuk memiliki

kompetensi yang memadai dalam pelayanan perpustakaan. Hasil analisis SECI di atas

menunjukkan bahwa knowledge sharing dapat mengetahui saran dan masukan dari

pemustaka dalam rangka peningkatan layanan pepustakaan. Selain itu, pustakawan

referensi dapat mengembangkan pengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan

informasi pemustaka. Adanya pendokumentasian hasil knowledge sharing ini diharapkan

dapat membantu pemustaka dalam pencarian/penelusuran sumber-sumber informasi di

perpustakaan dan lembaga.

Kunci keberhasilan knowledge sharing di perpustakaan ini sangat tergantung

pada pola komunikasi interpesonal dari pustakawan ke pemustaka dan staf lain yang

bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI. Melalui analisis SECI dalam

penerapan knowledge sharing ini, pustakawan referensi dapat mengidentifikasi dan

Knowledge Sharing (Upaya&Solusi)

Knowledge Transfer (Model SECI)

Dokumentasi Pengetahuan

Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemustaka

Identifikasi Kebutuhan

menganalis setiap permasalahan yang dihadapi pemustaka. Pendokumentasian hasil

knowledge sharing ini dapat berupa informasi Frequently Asked Question (FAQ) di website

PDII-LIPI, panduan informasi perpustakaan, ataupun informasi lain yang bertujuan untuk

memudahkan pustakawan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka.

DAFTAR PUSTAKA

Allameh, Sayyed Mohsen, Ahmed Abedini, Javad Khazei Pool, Ali Kazemi. (2012). An

Analysis of Factors Affecting Staffs Knowledge Sharing in The Central Library of The

University of Isfahan Using the Extension of Theory of Reasoned Action. International

Journal of Human Resources Studies, Vol.2, No.1.

Andayani, Tri Rejeki. (2009). Efektifitas Komunikasi Interpersonal. Semarang: UNDIP.

Batubara, Abdul Karim. (2011). Urgensi Kompetensi Komunikasi Pustakawan dalam

Memberikan Layanan Kepada Pemustaka. Jurnal Iqra’, Vol. 05, No.01, Mei.

Chen, Dora Yu-Thing, Samuel Kai-Wah Chu, Shu-Qin Xu. (2012). How Do Libraries Use

Social Networking Sites to Interact with Users. ASIST October 28-31.

Cummings, Jeffrey. (2003). Knowledge Sharing: A Review of the Literature. Washington:

The World Bank.

Dingsoyr, T., dan Conradi, R. (2002). A Survey of Case Studies of the Use of Knowledge

Management in Software Engineering. International Journal of Software Engineering

and Knowledge Engineering, 12 (4), 391-414.

Dong, Elaine Xiaofen. (2008). Using Blog for Knowledge Management in Libraries. CALA

Occasional Paper Series No.2.

Effendy, Onong Uchjana. (2002). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Forcier, Eric. (2013). The Shoemaker’s Son: a Substantive Theory of Social Media Use for

Knowledge Sharing in Academic Libraries. Tesis. Kanada: Universitas Alberta.

Gitanauli, Tiurma K.F.P. (2010). Pengaruh Knowledge Sharing dan Absorptive Capacity

Terhadap Innovation Capability pada Direktorat Corporate Services dan Direktorat

Marketing di PT Indosat Tbk. Journal of Management and Business Review, Vol.7 No.1

January, page.59-71.

Helmi, Avin Fadila dan Iman Ari Sudana. (2009). Kepemimpinan Transformasional,

Kepercayaan dan Berbagi Pengetahuan dalam Organisasi. Jurnal Psikologi, Vol

36,No.2, Desember, hlm.95-105.

Herijanto. Pudji. (2008). Kajian tentang Konowledge Sharing secara Berkelanjutan sebagai

Media untuk Meningkatkan Kualitas Performance Organisasi. Adbis Jurnal

Administrasi dan Bisnis, Vol.2, No.2. Desember, hlm.88-97.

Khatibah. (2014). Komunikasi Pustakawan. Jurnal Iqra’,Vol. 08 No.01, Mei.

Liao, S. H., Fei, W. C., dan Chen, C. C. (2007). Knowledge Sharing, Absorptive Capacity,

and Innovation Capability: an Empirical Study of Taiwan's Knowledge-Intensive

Industries. Journal of Information Science, 33(3), 340e359.

Lin, H.-F. (2007). Effects of Extrinsic and Intrinsic Motivation on Employee Knowledge

Sharing Intentions. Journal Journal of Information Science , 33 (2), 135-149.

Nonaka, I dan Takeuchi, H. (1995). The Knowledge Creating Company: How Japanese

Companies Create the Dynamics of of Innovation. New York: Oxford University Press.

Omona, W., Lubega, J. T., dan Weide, T. V. (2012). Enhancing Knowledge Management

Using ICT in Higher Education: An Empirical Assessment. Journal of Knowledge

Management Practic , 13 (3), 1-16.

Perpusnas. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang

Perpustakaan. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.

Reitz, Joan M. (2014). Reference Librarian. Online Dictionary for Library and Information

Science. http://www.abc-clio.com/ODLIS/odlis_r.aspx (19 September 2015).

Rodin, Rhoni, Titiek Kismiyati, dan Tri Margono. (2011) Implementasi Knowledge Sharing

Sebagai Upaya Peningkatan Efektifitas Keprofesionalan Pustakawan (Studi Kasus Di

Perpustakaan STAIN Curup). http://pustakawan.pnri.go.id/jurnal/ (19 September 2015).

Rowley, Richard D. (1999). Interpersonal Competence. http://www.uky.edu/~drlane. (19

September 2015).

Safitri, Dyah. (2014). Penerapan Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan

Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jurnal KHIZANAH AL-HIKMAH, Vol.2, No.2, Juli-

Desember.

Schultz, J. R. (1999). Peter Senge: Master of change Executive Update Online,

http://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/1999/June_July/CoverStory2.htm

Senge, Peter. (1999). Peter Senge Master of Change: Interviewed by Jane R.Schultz.

Executive update on-line, June-July.

http://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/1999/June_July/CoverStory2.htm

Setiarso, Bambang. (2006). Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge-Management) dan Modal

Intelektual (Intellectual Capital) untuk Pemberdayaan UKM. Makalah disampaikan

pada Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi ke 2, Bandung, 3-4 Mei 2006: 5

hal.

Setiarso, Bambang. (2006). Teori, Pengembangan dan Model“ Organizational Knowledge

Management Systems (OKMS). Makalah yang disampaikan pada Seminar “Knowledge

Management and Competitive Values: Key Success Factor in Business” . Bandung: ITB

dan Unversitas Widyatama, 5 Agustus 2006.

Spitzberg, B. H., & Cupach, W. R. (1984). Interpersonal Communication

Competence.Beverly Hills, CA: Sage.

Subagyo, Hendro. (2007). Pengantar Konowledge Sharing untuk Community Development,

Modul Pelatihan. Jakarta. PDII-LIPI.

Sudarsono, Blasius dan Prafita Imadianti. (2012). Pustakawan Memandang Knowledge

Management. Makalah ini telah disampaikan dalam “Kuliah Umum, Terbuka, dan

Gratis ke XII”, PDII-LIPI, 29 Juni 2012.

Sudarsono, Blasius. (2007). Menyongsong Fajar Baru Merancang Masa Depan. Jakarta: PDII

– LIPI.

Szulanski , Gabriel . (1996). Exploring Internal Stickiness: Impediments to the Transfer of

Best Practice Within the Firm. Strategic Management Journal, Vol.17, Issue S2, pages

27–43.

Widyawan, Rosa. (2012). Pelayanan Referensi Berawal dari Senyuman. Bandung: CV

Bahtera Ilmu.