knowledge sharing sebagai upaya dan solusi · pdf filereferensi, dari pengetahuan bersifat...
TRANSCRIPT
KNOWLEDGE SHARING SEBAGAI UPAYA DAN SOLUSI
PUSTAKAWAN REFERENSI DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN
INFORMASI PEMUSTAKA DI PDII-LIPI
Wahid Nashihuddin
(Pustakawan PDII-LIPI)
ABSTRAK Tulisan ini dikaji untuk mengidentifikasi dan mengetahui berbagai kebutuhan informasi pemustaka
serta proses dan pendokumentasian hasil berbagi pengetahuan (knowledge sharing) antara
pustakawan dengan pemustaka dan pustakawan dengan staf lain yang bertugas di meja informasi
Perpustakaan PDII-LIPI. Kajian ini bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan diskusi
(tanya-jawab) antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan staf lain. Sampel data kajian ini
adalah data hasil diskusi dengan pemustaka yang telah mendapatkan pelayanan (baik pemustaka
yang datang maupun via-online), dan pustakawan lain yang bertugas di meja informasi
Perpustakaan PDII-LIPI. Data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi dan dianalisis dengan
konsep The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer Process, yaitu socialization,
externalization, combination dan internalization. Kesimpulan kajian ini yaitu: a) knowledge
sharing dengan pemustaka dan staf lain perlu dibudayakan oleh pustakawan referensi PDII-LIPI
guna peningkatan layanan perpustakaan; 2) perlunya pendokumentasian hasil knowledge sharing di
perpustakaan untuk membantu pustakawan referensi dalam memenuhi kebutuhan informasi
pemustaka. Pendokumentasian hasil knowledge sharing ini dapat berupa informasi Frequently
Asked Question (FAQ) di website PDII-LIPI, panduan informasi perpustakaan, ataupun informasi
lain yang bertujuan untuk memudahkan pustakawan untuk melayani pemustaka.
Keywords: Knowledge; Knowledge sharing; Reference librarian; Communication; Information
Desk; PDII-LIPI
1. PENDAHULUAN
Kegiatan berbagi pengetahuan (knowledge sharing) di perpustakaan belum optimal
dilakukan oleh para pustakawan dan pengelola perpustakaan. Padahal berbagi pengetahuan
merupakan suatu cara yang efektif untuk mengetahui permasalahan organisasi dan
sekaligus mencari solusi yang tepat untuk menjawab permasalahan tersebut. Melalui
berbagi pengetahuan, pustakawan dapat mengetahui setiap kebutuhan informasi pemustaka
dan mendapatkan masukan dari pemustaka dalam hal peningkatan layanan perpustakaan.
Selain itu, berbagi pengetahuan dapat menumbuhkan minat pemustaka untuk menjalin
kerja sama dengan pustakawan atau lembaganya. Dari sisi internal, berbagi pengetahuan
dengan pustakawan atau staf perpustakaan yang lain juga dapat meningkatkan wawasan
dan pengetahuan pustakawan referensi dalam memberikan layanan prima bagi pemustaka.
Pentingnya berbagi pengetahuan ini, menjadi dasar bagi pustakawan referensi
untuk lebih proaktif menjalin komunikasi dan kerja sama yang efektif dengan para
pemustaka, rekan kerja, pimpinan dan stakeholders dalam rangka peningkatan mutu
layanan perpustakaan yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan pustakawan referensi
melalui komunikasi inter-personal untuk berbagi pengetahuan dengan pemustaka dan staf
yang lain. Menurut Andayani (2009), komunikasi interpersonal adalah suatu proses
pengiriman pesan dari komunikator kepada komunikan, baik secara langsung maupun
melalui media. Effendy (2003) mengatakan bahwa komunikasi sangat penting di dalam
perpustakaan untuk menentukan kualitas layanan perpustakaan yang ideal, khususnya
hubungan komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah penyampaian pesan
oleh satu orang dan penerimaan pesan oleh orang lain atau sekelompok kecil orang dengan
berbagai dampak dan dengan peluang untuk memberikan umpan balik segera. Komunikasi
interpersonal di perpustakaan dapat dilakukan antara pustakawan dengan pimpinan,
pustakawan dengan pustakawan, ataupun pustakawan dengan pengguna.
Komunikasi hasil knowledge sharing ini sebaiknya didokumentasikan dengan baik
agar dapat dibaca, diketahui dan digunakan untuk literatur sekunder bagi pustakawan lain
dalam melayani pemustaka. Pendokumentasian hasil knowledge sharing ini merupakan
suatu bentuk cara transfer pengetahuan (knowledge transfer) yang efektif bagi pustakawan
referensi, dari pengetahuan bersifat tacit (lisan) menjadi eksplisit (tertulis). Chen, Chu, dan
Xu (2012) mengatakan ada empat kategori proses transfer pengetahuan, yaitu: a) berbagi
pengetahuan antara pustakawan dengan pengguna untuk saling berbagi sumber informasi;
b) penyebaran informasi melalui berita dan pengumuman yang di update dari
perpustakaan; c) komunikasi yang ditujukan ke individual serta d) percakapan antara
pustakawan dan pemustaka atau antar-pemustaka. Apabila pengetahuan pustakawan telah
didokumentasikan secara eksplisit, kemungkinan besar dapat menjadi aset organisasi.
Maksudnya bahwa pengetahuan pustakawan menjadi acuan atau dasar bagi
organisasi/pimpinan untuk menetapan kebijakan peningkatan layanan perpustakaan.
Berdasarkan hal di atas, tulisan ini menekankan bahwa perlunya berbagi
pengetahuan antara pustakawan referensi dengan pemustaka, pustakawan referensi dengan
staf lain, atau pustakawan referensi dengan pemangku kepentingan guna memberikan
pelayanan prima kepada pemustaka. Pustakawan referensi di Perpustakaan Pusat
Dokumentasi dan Informasi Ilmiah – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PDII-LIPI)
adalah staf perpustakaan dan pustakawan yang bertugas di meja informasi (information
desk). Petugas meja informasi atau pustakawan referensi ini menjadi “rujukan utama” bagi
para pemustaka yang datang ke perpustakaan. Tugas mereka tidak hanya sekedar
menyediakan koleksi/literatur perpustakaan, tetapi juga harus mampu menjawab
pertanyaan pemustaka yang bersifat kompleks, seperti masalah yang berkaitan dengan
layanan ISSN, penelusuran informasi, kemasan informasi, jasa kerjasama/pelatihan serta
jasa-jasa lain yang ada di lembaga induknya. Oleh karena itu, pustakawan referensi yang
bertugas di meja informasi dituntut untuk memiliki pengetahuan, ketrampilan dan
wawasan yang luas terhadap akses sumber informasi ilmiah guna memberikan pelayanan
yang memuaskan bagi pemustaka.
Kajian ini fokus membahas dua hal, yaitu: 1) identifikasi kebutuhan informasi
pemustaka hasil knowledge sharing dengan pustakawan referensi di meja informasi
Perpustakaan PDII-LIPI dan 2) bagaimana proses dan pendokumentasian hasil knowledge
sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka PDII-LIPI?. Tujuan kajian ini
untuk mengidentifikasi dan mengetahui berbagai kebutuhan informasi pemustaka serta
proses dan pendokumentasian hasil knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan
pemustaka dan pustakawan dengan staf lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan
PDII-LIPI.
2. TINJAUAN LITERATUR
2.1 Penciptaan Pengetahuan
Sebelum menjadi pengetahuan, terdapat dua wujud hasil olah pikir manusia,
yaitu data dan informasi. Data yang telah diolah dan dapat dipahami disebut sebagai
informasi. Informasi yang memiliki nilai dan makna disebut pengetahuan dan
pengetahuan yang memiliki makna dan dapat diterapkan dalam kehidupan menjadi
suatu kebijakan (wisdom). Dalam konteks penciptaan pengetahuan, hakikatnya
merupakan praktek pada konsep manajemen pengetahuan. Pengetahuan ini dapat
bersumber dari individu maupun kelompok, yang muncul dari pekerjaan atau tugas
rutin, kemudian disampaikan (sharing) kepada pihak lain sehingga muncul ide-ide
dan pemikiran baru yang bermanfaat bagi kemajuan organisasi. Mengacu hal
tersebut, pengetahuan bersumber dari data yang diolah menjadi informasi sehingga
memiliki makna dan manfaat tertentu dalam kehidupan manusia. Omona, Lubega,
and Weide (2012) mengatakan bahwa pengetahuan (knowledge) berasal dari
informasi yang diolah dari data yang tersedia termasuk pengalaman, nilai-nilai,
wawasan dan informasi kontekstual. Perbedaan utama antara informasi dan
pengetahuan adalah bahwa informasi jauh lebih mudah diidentifikasi, diatur dan
didistribusikan, sedangkan pengetahuan lebih sulit dikelola karena berada dalam
pikiran seseorang.
Secara umum, pengetahuan terwujud dalam dua hal, yaitu pengetahuan tidak
tertulis (tacit knowledge) dan pengetahuan tertulis/terekam (explicit knowledge).
Dingsoyr dan Conradi (2002) mengatakan bahwa tacit knowledge adalah
pengetahuan seseorang yang tidak dapat diekspresikan secara eksplisit, tetapi dia
dapat menuntun perilaku manusia sebagai model mental, pengalaman dan skill.
Sedangkan, explicit knowledge adalah pengetahuan yang dapat diekpresikan dalam
bentuk laporan, buku, pembicaraan, komunikasi formal atau informal. Untuk menjadi
suatu “pengetahuan” diperlukan suatu proses penciptaan yang cukup cermat. Proses
penciptaan pengetahuan dapat dimulai dari mengumpulkan dan merekam data,
mengumpulkan dan mengelola informasi, hingga mengolah informasi menjadi
pengetahuan. Nonaka dan Takeuchi (1995) mengatakan bahwa proses penciptaan
pengetahuan penting bagi karyawan secara individual. Penciptaan pengetahuan dapat
dipandang sebagai proses internalisasi pengetahuan individu ke pengetahuan
organisasi. Pengetahuan diciptakan melalui interaksi antar individual pada berbagai
level organisasi.
2.2 Knowledge Sharing
Gitanauli (2010) mengutip Hooff dan Ridder (2004) mendefinisikan berbagi
pengetahuan (knowledge sharing) sebagai proses di mana para individu saling
mempertukarkan pengetahuan mereka (tacit knowledge dan explicit knowledge).
Definisi lain juga dikatakan Helmi dan Iman (2009), bahwa berbagi pengetahuan
adalah konsep dasar dari manajemen pengetahuan (knowledge management) dan
telah menjadi fokus penting dalam manajemen pengetahuan karena pengetahuan
dipandang sebagai sumber daya yang paling bernilai stratejik yang dimiliki oleh
organisasi (Cumming, 2003), sumber utama bagi penciptaan nilai (Nonaka dan
Takeuchi, 1995), dan merupakan cara penting bagi keunggulan kompetitif (Liao,
2007; Lin, 2007). Helmi dan Iman (2009) mencontohkan tentang cara berbagi
pengetahuan di dalam jaringan kerja, diantaranya komunikasi, dialog, dan interaksi
individual atau kelompok yang mendukung dan mendorong aktivitas karyawan, baik
melalui jasa teknologi (web, email, portal) maupun melalui tatap muka.
Terkait dengan proses berbagi pengetahuan ini, Nonaka dan Takeuchi (1995)
menjelaskan model transfer pengetahuan (transfer of knowledge) atau proses
penciptaan SECI, yaitu socialization, externalization, combination, dan
internalization. Model SECI ini dijelaskan pada Gambar 1.
Gambar 1. The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer Process
(Nonaka dan Takeuchi, 1995)
Keterangan:
Socialization (sosialisasi): berbagi pengalaman untuk menciptakan pengetahuan tacit, seperti
model mental bersama dan ketrampilan teknis. Hal ini dapat dilakukan melalui observasi dan
praktek ide.
Externalization (eksternalisasi): proses mengartikulasikan konsep pengetahuan tacit ke
pengetahuan explicit menggunakan metafora, analogi, konsep, hipotesis, atau model.
Combination (kombinasi): proses memadukan sistem konsep ke sistem pengetahuan melalui
jaringan.
Internalization (internalisasi): pengetahuan explicit diwujudkan menjadi pengetahuan tacit.
Hal ini biasa disebut sebagai “learning by doing”. Pengetahuan ini diartikulasikan atau
digambarkan ke dalam bentuk dokumen atau cerita lisan.
Subagyo (2007) dalam Herijanto (2008) menjelaskan tentang pelaksanaan model
SECI di atas dapat dilakukan pada beberapa kondisi sebagai berikut:
1) Knowledge sharing merupakan suatu siklus eksternalisasi, objektifikasi dan
internalisasi. Eksternalisasi pengetahuan adalah proses pertukaran pengetahuan
personal dengan anggota yang lain. Objektifikasi pengetahuan adalah proses di
mana pengetahuan menjadi realitas objektif sehingga pengetahuan tersebut
diakui organisasi (komunitas). Internalisasi pengetahuan adalah proses di mana
pengetahuan yang objektif digunakan oleh personal dalam rangka sosialisasi ke
mereka. Internalisasi ini merupakan upaya kegiatan pencarian dan menemukan
kembali pengetahuan yang tersimpan dalam organisasi.
2) Semua personal yang terlibat diharapkan memberikan kontribusinya dengan
menceritakan pemikiran, ide atau pengalamannya. Salah satu karakteristik
knowledge sharing berbasis lokal atau indegenous knowledge ini adalah
menyebarkan pengetahuan secara oral, sistem story telling menjadi
pengetahuan tertulis (terkodifikasi).
3) Komunitas merupakan saluran penyebaran informasi dan pengetahuan yang
efektif. Komunitas biasanya terbentuk karena adanya persamaan kebutuhan
anggota untuk berkumpul, saling berbagi rasa dan berbagi informasi.
Subagyo (2007) mengatakan bahwa masalah terbesar dalam knowledge
sharing adalah bagaimana memotivasi anggota komunitas untuk bersedia berbagi
pengetahuannya. Motivasi merupakan unsur utama dalam konowledge sharing,
sedangkan teknologi hanya media untuk mempermudah dan mempercepat proses
berbagi pengetahuan di antara anggota komunitas. Allameh, et al (2012) menegaskan
bahwa pentingnya motivasi diri bagi pustakawan untuk bersedia berbagi pengetahuan
di sebuah perpustakaan perguruan tinggi di Iran. Staf yang memiliki niat kuat untuk
berbagi pengetahuan akan memiliki sikap yang lebih positif terhadap perilaku berbagi
pengetahuan. Allameh, et al (2012) mengatakan bahwa organisasi akan termotivasi
untuk memberikan reward kepada pustakawan yang aktif melakukan knowledge
sharing.
2.3 Knowledge Sharing di Perpustakaan
Sudarsono dan Imadianti (2012) menjelaskan bahwa istilah knowledge
managament (KM) di kalangan pustakawan telah dibahas International Federation of
Library Associations (IFLA) sejak tahun 2001. Perkembangan minat pada penerapan
KM dalam lingkungan perpustakaan dan jasa informasi menjadi alasan pustakawan
untuk memperdalam pemahaman atas beragam dimensi KM terkait dengan tugas
mereka. IFLA mendefinisikan KM sebagai proses mencipta, menyimpan, membagi,
menerapkan dan menggunakan kembali pengetahuan organisasi untuk mencapai
tujuan dan sasaran organisasi. Penerapan KM (pada Devisi III Library Service-IFLA)
bertujuan untuk (1) mendukung penerapan budaya KM dalam lingkungan
perpustakaan dan informasi; (2) memberikan landasan internasional bagi komunikasi
profesional dan pemahaman yang signifikan atas KM bagi pustakawan dan lembaga
mereka dan (3) mengikuti perkembangan KM dan mempromosikan penerapannya
dalam komunitas IFLA. Sejak saat itu, banyak pustakawan yang tertarik untuk
mendalami pemahaman tentang KM agar dapat diterapkan di organisasi mereka. Hal
penting dari penerapan KM ini yaitu mengumpulkan dan menghubungkan, sehingga
sebaran pengetahuan dalam organisasi menjadi semakin luas dan mendalam.
Keberhasilan penerapan KM di perpustakaan tidak dapat terlepas dari aktivitas
berbagi pengetahuan antar-pustakawan atau dengan pihak lain. Menurut Rodin,
Kismiyati dan Margono (2011) bahwa pengimplementasian knowledge management
tidak bisa terlepas dari kegiatan knowledge sharing. Adanya kemauan untuk membagi
pengetahuan antar-individu sangat diperlukan dan dari pengetahuan individu-individu
disimpan sebagai pengetahuan organisasi. Budaya individualisme harus sudah mulai
ditinggalkan, ilmu yang dimiliki individu sudah mulai di-sharing ke para kolega demi
kemajuan organisasi. Melalui knowledge sharing dimungkinkan terciptanya ide-ide
baru terutama dalam hal peningkatan nilai jual, kualitas produk dan kinerja.
Knowledge Sharing akan meningkatkan pemahaman antara sesama anggota sehingga
antara anggota akan saling mendukung serta meningkatkan kinerja dan akhirnya akan
menemukan proses kerja yang terbaik bagi organsiasi. Knowledge sharing dapat
meningkatkan wawasan seorang pegawai tentang kegiatan-kegiatan yang ada di
lembaganya serta menjaga keharmonisan dan keberlangsungan komunikasi dan kerja
sama suatu lembaga. Sebagai contoh, seorang karyawan yang ahli dalam bidang
otomasi perlu berbagi pengetahuan dengan karyawan bidang sirkulasi dan bagian
pelayanan perpustakaan. Apabila terjadi kendala menyangkut otomasi (sedangkan
karyawan yang paham otomasi sedang dinas luar/tidak ada di tempat), maka karyawan
yang telah mendapat pengetahuan ini dapat memahami kendala pada sistem otomasi
perpustakaan. Kegiatan knowledge sharing ini sebaiknya rutin dilaksanakan oleh
pegawai/petugas perpustakaan, baik melalui kegiatan pertemuan, diskusi, seminar,
maupun media sosial online.
2.4 Pustakawan Referensi
Pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan
tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan
(Perpusnas, 2007). Sementara itu, pustakawan referensi (reference librarian) adalah
seorang pustakawan yang bekerja di pelayanan publik, menjawab pertanyaan yang
diajukan oleh pengunjung perpustakaan di meja referensi, melalui telepon atau e-mail
(Reitz, 2014). Widyawan (2012) mengatakan bahwa kompetensi profesional seorang
pustakawan referensi yaitu mampu memberikan pelayan prima bagi pemustaka.
Kompetensi profesional pustakawan referensi ini dapat dibuktikan dengan perilaku,
kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan referensi dalam memberikan pelayanan
referensi yang bermutu. Beberapa wujud kompetensi profesional dari seorang
pustakawan referensi, yaitu:
1) Akses, pustakawan referensi mampu menganalisis dan menanggapi kebutuhan
pelayanan informasi serta mampu merancang dan mengelola pelayanan
referensi. Fokus utama dalam aspek akses ini yakni tentang pemahaman
pustakawan tentang kebutuhan dan perilaku informasi pemustaka sehingga
pustakawan perlu mengembangkan keterampilan untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemustaka secara efektif.
2) Basis Pengetahuan, pengetahuan pustakawan referensi mencakup (a) struktur
sumber informasi bidang utama pengguna; (b) sarana informasi dasar, seperti
katalogisasi sistem komputer, sistem pencarian, pangkalan data, situs web,
pengelolaan jurnal dan monograf (cetak atau elektronik) dan video/rekaman
suara; (c) pola penelusuran informasi dan perilaku pemustaka; (d) prinsip-
prinsip komunikasi yang interaktif dengan pemustaka; (e) mengetahui
pengaruh teknologi terhadap struktur informasi; (f) hak cipta dan kekayaan
intelektual dan (g) standar kompetensi informasi.
3) Pemasaran, pemasaran ini merupakan aspek perencanaan strategis, yakni
dengan menetapkan promosi. Dalam kegiatan promosi ini, pustakawan harus
menetapkan tujuan, sasaran dan strategi yang tepat untuk meningkatkan
pelayanan kepada pemustaka.
4) Kolaborasi, kolaborasi diartikan sebagai bekerja bersama dengan orang lain.
Kolaborasi berguna untuk memelihara hubungan baik dengan pemustaka dan
sejawat, baik di dalam maupun di luar perpustakaan. Pustakawan harus
bekerjasama dengan sejawat, organisasi profesi dan kelompok lain untuk
memastikan bahwa pemustaka menerima pelayanan yang tepat.
5) Evaluasi dan penilaian sumber daya dan pelayanan, hal ini dilakukan secara
konsisten agar kebutuhan informasi pemustaka dapat terpenuhi dan pelayanan
informasi yang diberikan ke pemustaka hasilnya relevan. Pustakawan referensi
dituntut untuk memiliki kompetensi dalam mengevaluasi pelayanan yang
diberikan ke pemustaka, baik dilakukan secara formal maupun informal.
Menurut Helmi dan Iman (2009), hubungan yang bersifat formal ataupun
informasi di antara karyawan merupakan hal penting dalam berbagi
pengetahuan di dalam organisasi.
Prinsipnya bahwa pustakawan referensi harus tanggap terhadap kebutuhan
pemustaka. Mereka harus mampu bekerjasama dengan sejawat pustakawan maupun
pemustaka untuk meningkatkan mutu pelayanan dan menerapkan pelayanan baru.
Mereka harus dapat mengevaluasi secara efektif terhadap sumber-sumber informasi
yang digunakan sehingga mampu memberikan informasi yang terbaik bagi
pemustaka. Untuk mengenali pemustaka, pustakawan referensi harus mampu
berkomunikasi secara efektif dengan pemustaka untuk menemukan kebutuhan riil dan
menyajikan pelayanan yang berkualitas (Widyawan, 2012).
2.5 Komunikasi Pustakawan
Komunikasi merupakan sebuah kompetensi profesional yang harus dimiliki
dan senantiasa ditingkatkan oleh pustakawan. Komunikasi menjadi kunci keberhasilan
layanan perpustakaan dan membangun kerjasama dengan pihak lain. Batubara (2011)
mengatakan bahwa kompetensi komunikasi pustakawan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan layanan perpustakaan, terutama pustakawan yang bertugas di bagian
pelayanan. Kompetensi komunikasi dari seorang pustakawan referensi, yaitu
kemampuan, keterampilan dan pengetahuan dalam membuat jawaban referensi dan
melayani pengguna secara profesional lainnya. Spitzberg (1984:68) menjelaskan
bahwa kompetensi komunikasi sebagai kemampuan untuk berinteraksi, baik
memberikan penjelasan kepada orang lain, menunjuk pada ketepatan, kejelasan,
komprehensibilitas, koherensi, efektivitas keahlian maupun kesesuaian.
Spitzberg dan Cupach (1984) telah merancang tiga dimensi kompetensi
pemahaman komunikasi, yaitu (1) motivasi (pendekatan individu atau orientasi
penghindaran dalam berbagai situasi sosial); (2) pengetahuan (rencana aksi;
pengetahuan tentang bagaimana untuk bertindak; pengetahuan prosedural) dan (3)
keterampilan (perilaku benar-benar dilakukan). Rowley (1999) menjelaskan ada lima
kompetensi dalam berkomunikasi yang baik, yaitu (1) komitmen dan itikad baik; (2)
rasa empati (kemampuan untuk melihat situasi dari sudut pandang orang lain dan
pengalaman bagaimana perspektif yang terasa); (3) fleksibilitas (mampu memilih
respon yang untuk mencapai tujuan bersama); (4) sensitivitas terhadap konsekuensi
dan (5) kecakapan berkomunikasi. Untuk menjalin komunikasi yang baik dengan
orang lain, perlu memperhatikan beberapa hal, yaitu memilih kata-pilihan, penekanan,
nada dan irama secara tepat agar dapat diintegrasikan dengan cara yang nyaman dan
spontan.
Khatibah (2014) menjelaskan bahwa keterampilan komunikasi harus dimiliki
oleh pustakawan untuk meningkatkan kepuasan para pengguna jasa perpustakaan.
Perpustakaan harus menciptakan pelayanan prima yang pada akhirnya tercipta citra
yang positif pada perpustakaan. Komunikasi dalam perpustakaan merupakan alat yang
fundamental digunakan, keberhasilan suatu lembaga organisasi/perpustakaan salah
satunya memiliki komunikasi yang efektif. Menempatkan komunikasi pada tempat
yang sesuai, maksudnya kapan digunakan komunikasi itu bersifak diadik, publik,
kelompok.
2.6 Literatur Sejenis Terdahulu
Di bawah ini diuraikan secara jelas beberapa literatur terdahulu yang berkaitan
dengan penerapan knowledge sharing di perpustakaan dan lembaga dokumentasi-
informasi (dokinfo). Safitri (2014) dalan artikelnya yang berjudul “Penerapan
Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan Perpustakaan Perguruan Tinggi”,
menjelaskan bahwa knowledge sharing merupakan salah satu elemen penting di
perpustakaan akademik. Penerapan knowledge sharing tidak terlepas dari peranan
teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk mempermudah segala aktivitas di
perpustakaan. Penerapan knowledge sharing memberikan beberapa keuntungan, baik
bagi pustakawan maupun pengguna (users). Konsep dasar penerapan knowledge
sharing ini merujuk konsep analisis yang dicetuskan oleh Nonaka dan Takeuchi
(1995), yaitu SECI (Socialization, Externalization, Combination, Internalization).
Pada konsep tersebut, terjadi proses perpindahan pengetahuan dengan aktivitas
berbagi pengetahuan (knowledge sharing). Di Perpustakaan, proses knowledge
sharing dapat dilakukan dengan memanfaatkan situs media sosial. Penerapan
knowledge sharing melalui media sosial dan blog perpustakaan serta motivasi diri
bagi pustakawan untuk meningkatkan layanan perpustakaan menjadi hal yang harus
diperhatikan oleh pustakawan/pengelola perpustakaan. Kesimpulan dari kajian
tersebut, yaitu (1) perpustakaan perlu mengoptimalkan TIK untuk berbagi
pengatahuan dalam rangka peningkatan layanan informasinya, baik melalui media
sosial, blog maupun wiki); (2) perlunya motivasi diri pustakawan untuk berbagi
pengetahuan; (3) perlunya reward (dalam berbagai bentuk) dari organisasi sebagai
bentuk penghargaan kepada pustakawan yang telah bersedia berbagi pengetahuan.
Dong (2008) dalam artikelnya yang berjudul “Using Blog for Knowledge
Management in Libraries”, menjelaskan bahwa media online perpustakaan yang
dianggap efektif untuk berbagi pengetahuan dengan pengguna adalah blog. Blog
sebagai sarana yang lebih efektif untuk berbagi pengetahuan. Blog dapat membantu
perpustakaan membangun kesadaran pemustaka untuk berbagi pengetahuan. Selain
itu, blog dapat menjangkau tujuan dari manajemen pengetahuan (knowledge
management), yaitu berperan sebagai wahana komunikasi internal. Dalam komunikasi
internal, semua pustakawan dapat membagi pengetahuannya, baik yang bersifat tacit
maupun explicit.
Forcier (2013) dalam artikelnya yang berjudul “The Shoemaker’s Son: A
Substantive Theory of Social Media Use for Knowledge Sharing in Academic
Libraries”, yang dilakukan pada beberapa perpustakaan perguruan tinggi di Kanada.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa media sosial telah terintegrasi ke dalam
praktek berbagi pengetahuan. Blog dan Wiki mendukung berbagi pengetahuan secara
internal dengan kategori seperti pengumuman, berita dan informasi ke pustakawan
dan staf. Media sosial dapat digunakan perpustakaan untuk berkomunikasi dan
menyebarkan informasi kepada pemustaka khususya untuk peningkatan layanan
perpustakaan. Selain itu, media sosial dapat digunakan untuk mendukung berbagi
pengetahuan, khususnya tacit knowledge yang dimiliki oleh para praktisi sehingga
pustakawan dan pemustaka dapat memperoleh keuntungan dari proses tersebut.
Sudarsono (2007) dalam bukunya yang berjudul “Menyongsong Fajar Baru
Merancang Masa Depan”, menjelaskan bahwa perlu ada penekanan pada pengaturan
hubungan antara pejabat struktural dan pejabat fungsional di PDII-LIPI. Apabila pola
hubungan tersebut terjalin, maka akan terbentuk tim kerja yang benar-benar handal.
Untuk menjalin pola hubungan tersebut, telah diusulkan tema mekanisme kerja di
PDII-LIPI pada tahun 2007, yaitu ”Dengan Semangat Kemitraan, Berbagi Tangung
Jawab dan Fasilitas untuk Mencapai Hasil Terbaik”. Melalui mekanisme kerja
tersebut, diharapkan tidak ada ketimpangan lagi dalam fasilitas kerja antara pejabat
fungsional dan pejabat struktural di PDII-LIPI. Pada konteks tersebut, manusia
menjadi unsur utama organisasi dalam pelaksanaan pelaksanakan knowledge
management. Kegiatan pengelolaan pengetahuan ini harus dilakukan oleh organisasi
agar tetap bertahan (survive) menjadi lembaga terdepan dalam bidang dokumentasi
dan informasi di Indonesia. Penerapan KM di PDII-LIPI perlu berbagi tanggung jawab
dan pengetahuan, yang mencakup:
1) perencanaan, terdiri atas kebijakan, program, dan kegiatan;
2) pengorganisasian, terdiri atas analisis tugas (job analysis) dan penataan tenaga
sesuai beban kerja;
3) pelaksanaan dan pemantauan, dilakukan dengan bekerja sesuai tugas dan
tanggung jawab, rapat/pertemuan dan kontrol mutu (quality control);
4) pelaporan dan evaluasi, terdiri atas membuat laporan dan evaluasi kinerja, rapat
kerja tahunan, penyusunan program dan kebijakan organisasi
Pengelolan hasil dari KM tersebut dapat dilakukan dengan pendekatan atau kerangka
berpikir “teori dokumentasi”. Dokumentasi dapat diartikan sebagai berbagai upaya
untuk mengabadikan objek kerja. Mengabadikan dapat dikatakan dengan memelihara
objek kerja untuk kegunaan dalam usia yang tidak terbatas. Kerangka berpikir
pengelolaan dokumentasi pengetahuan di PDII-LIPI dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses Penciptaan Pengetahuan dengan Pendekatan Dokumentasi
(Sudarsono, 2007)
Sudarsono (2007) mengutip pendapatnya Schultz dan Senge (1999) bahwa PDII-LIPI
harus menjadi organisasi pembelajar (learning organization), yaitu himpunan orang
yang secara terus-menerus meningkatkan kemampuannya untuk menciptakan hal-hal
yang mereka ingin ciptakan. Organisasi perlu memunculkan pemikiran baru dan
wawasan yang luas, cita-cita bersama diperjuangkan dan anggota belajar bersama
dilakukan secara kontinyu untuk memahami permasalahan organisasi secara
keseluruhan. Agar tetap survive, PDII-LIPI perlu belajar lebih lanjut dan
berkesinambungan tentang pengembangan konsep dan teknologi dokumentasi,
manajemen rekaman dan manajemen pengetahuan. Ketiga hal tersebut menjadi core
competency yang harus dijaga dan dikembangkan oleh organisasi. Setiarso (2006)
menjelaskan pemikiran, pengalaman dan hasil studi Szulanski (1996) bahwa
permasalahan dalam proses pengalihan pengetahuan dari individu/kelompok ke
individu/kelompok lain serta pengamatan empiris dari PDII-LIPI dalam proses
penciptaan pengetahuan, dapat dikatakan sebagai berikut (a) kemampuan akses pada
informasi/pengetahuan atau penciptaan pengetahuan organizational tergantung pada
kemampuan semua individu dalam organisasi untuk dapat akses pada gagasan,
informasi, dan pengalaman karyawan lain. Seharusnya dapat melalui intranet atau
pihak lain di luar organisasi; (b) peningkatan akses melalui pemberian saran alternatif
misalnya memakai Decisions Support Systems (DSS); (c) kepada pihak lain
(knowledge sharing) melalui training center secara berkala dan sistematis serta
berkelanjutan sesuai dengan perkembangan terkini dan (d) persepsi bahwa kegiatan
pertukaran/ berbagi knowledge dan kombinasi pengetahuan adalah sangat berharga.
3. METODE
Jenis data kajian ini deskriptif. Pengumpulan data dilakukan dengan cara diskusi
(tanya-jawab), baik antara pustakawan referensi dengan pemustaka maupun pustakawan
referensi dengan staf lain yang bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI.
Diskusi dengan pemustaka dilakukan dengan dua cara, yaitu diskusi ditempat (di meja
informasi perpustakaan) dan via-online (email, instant messenger, media sosial). Hasil
diskusi dengan pemustaka kemudian diidentifikasi berdasarkan jenis pertanyaan atau
permintaan jasa kepada pustakawan. Sementara itu, diskusi dengan staf lain dilakukan
dengan cara meminta masukan atau ide tentang bagaimana cara menyediakan informasi
yang praktis terhadap pemanfaatan sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi pemustaka. Sampel data kajian ini
adalah data hasil diskusi dengan pemustaka yang telah mendapatkan pelayanan dari
petugas meja informasi (baik pemustaka yang datang maupun via-online) dari bulan
Januari – Agustus 2015, serta pustakawan lain yang bertugas di meja informasi
perpustakaan PDII-LIPI. Data yang telah terkumpul, kemudian diidentifikasi dan
dianalisis berdasarkan konsep The SECI Model of Knowledge Creation and Transfer
Process, yaitu socialization, externalization, combination, dan internalization. Hasil
analisis data menjadi dasar penyusunan hasil dan pembahasan, serta kesimpulan kajian
ini.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pustakawan Referensi PDII-LIPI
Berdasarkan data kepegawaian PDII per-Agustus 2015 diketahui ada sekitar
122 orang yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Dari jumlah tersebut,
diketahui ada sekitar 27 orang pustakawan, dengan jabatan: pustakawan penyelia
(11 orang); pustakawan madya (8 orang); pustakawan muda (5 orang) dan
pustakawan pertama (3 orang). Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa
pustakawan penyelia merupakan jabatan fungsional pustakawan dengan jumlah
terbanyak (11 orang). Jika dilihat dari tingkat golongannya, sebagian besar
pustakawan PDII-LIPI berasal dari pustakawan tingkat ahli (16 orang) yang berasal
dari pustakawan pertama, muda dan madya, dengan latar belakang pendidikan
minimal sarjana atau sederajat. Pustakawan tersebut sebagian besar bertugas/bekerja
di Bidang Dokumentasi dan Bidang Diseminasi Informasi. Kegiatan pustakawan di
Bidang Dokumentasi, yaitu pengembangan koleksi/literatur, pengolahan bahan
pustaka dan layanan ISSN. Sedangkan kegiatan pustakawan di Bidang Diseminasi
Informasi, yaitu pelayanan perpustakaan, penelusuran informasi dan kemasan
informasi. Apabila dilihat dari kompetensinya, Pustakawan PDII-LIPI memiliki
tugas dan fungsi pokok sebagai pustakawan referensi, subject specialist, kataloger,
validator dan kompetensi profesional yang lain.
Di PDII-LIPI, pustakawan yang berperan sebagai pustakawan referensi adalah
staf perpustakaan dan pustakawan (menduduki jabatan fungsional) yang bertugas di
meja informasi (information desk). Beberapa persyaratan kompetensi profesional
yang perlu dimiliki oleh pustakawan referensi PDII-LIPI, yaitu:
1) Minimal berpendidikan Sarjana Ilmu Perpustakaan atau ilmu lain yang
sederajat (sebagai pustakawan ahli).
2) Memiliki kompetensi yang memadai dalam pemberian pelayanan prima di
perpustakaan (ramah, cepat, tanggap, empati, dan bertanggung jawab).
3) Memiliki pengetahuan, ketrampilan dan wawasan yang luas terhadap
pemanfaatan sumber-sumber informasi ilmiah, baik sumber informasi yang
dimiliki lembaga maupun lembaga lain.
4) Memiliki ketrampilan dalam melakukan penelusuran informasi secara
kompleks, baik melalui database/katalog perpustakaan maupun database ilmiah
asing yang dilanggan atau open access;
Melalui tagline layanan PDII-LIPI, yaitu “Anda Bertanya, Kami Menjawab”,
pustakawan referensi dituntut harus mampu memberikan jawaban yang jelas, tepat
dan cepat. Apabila mereka tidak dapat menjawab pertanyaan pemustaka seketika
(saat itu), harus mencatatnya pada formulir yang telah tersedia di meja informasi dan
segera menghubungi/bertanya kepada staf dan pustakawan lain yang dianggap
mengetahui dan memahami jawaban atas pertanyaan pemustaka.
4.2 Kebutuhan Informasi Pemustaka PDII-LIPI
Pemustaka PDII-LIPI berasal dari berbagai profesi yang berbeda-beda.
Berdasarkan data layanan Perpustakaan PDII-LIPI bulan Januari-Agustus 2015,
diketahui bahwa terdapat sejumlah 2461 orang pemustaka. Berdasarkan jumlah
tersebut, diketahui 1442 mahasiswa S1; 540 peneliti umum; 199 mahasiswa S2; 164
karyawan; 78 wiraswasta (umum); 28 mahasiswa S3 dan 10 peneliti LIPI. Sebagian
besar pemustaka memiliki kebutuhan informasi dan karakter yang berbeda-beda
dalam memanfaatkan jasa perpustakaan. Misalnya, pemustaka yang menghubungi
petugas meja informasi tidak hanya mencari koleksi/literatur perpustakaan, tetapi juga
menanyakan hal lain, seperti masalah yang berkaitan dengan layanan ISSN,
penelusuran informasi, kemasan informasi, jasa kerjasama/pelatihan, serta jasa-jasa
lain yang ada di lembaga induknya.
Berdasarkan hasil identifikasi kegiatan knowledge sharing dengan pemustaka
dan pengguna layanan meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI diketahui beberapa
topik permintaan informasi sebagaimana yang dijelaskan pada Tabel 1.
Tabel 1. Topik Permintaan Informasi Pemustaka PDII-LIPI
No. Identifikasi
Pertanyaan Permintaan Informasi
1 Layanan
Perpustakaan
Sekilas Perpustakaan PDII-LIPI
Lokasi Perpustakaan PDII-LIPI
Waktu layanan perpustakaan
Kontak layanan online perpustakaan
Fasilitas layanan perpustakaan
Pendaftaran anggota perpustakaan
Jenis koleksi perpustakaan
Sistem layanan perpustakaan
Biaya layanan perpustakaan
Permintaan koleksi standar internasional
2 Layanan ISSN Persyaratan Pendaftaran ISSN
Kontak online layanan ISSN
Serah simpan penerbit/pengelola terbitan
Alamat menyerahkan terbitan jurnal ke PDII-LIPI
3 Layanan
Penelusuran
Informasi
Cara memesan literatur via-online
Kontak layanan pemesanan informasi via-online
Nomor rekening transfer layanan
Bentuk penggandaan literatur via-online
4 Layanan Kemasan
Informasi
Jenis paket informasi yang dapat dipesan
Program aplikasi/sofware pembuatan paket informasi
Cara memesan/mendapatkan paket kemasan informasi
5 Layanan
kerjasama/pelatihan
Cara menjalin kerjasama dengan PDII-LIPI
Kegiatan Studi Banding/Magang/PKL di PDII-LIPI
Materi pelatihan yang diselenggarakan PDII-LIPI
Kontak layanan kerjasama PDII-LIPI
Bantuan hibah koleksi dari PDII-LIPI
6 Informasi lain
terkait lembaga
Akreditasi jurnal ilmiah
Alamat dan kontak sekretariat lembaga akreditasi jurnal
Info Beasiswa di LIPI
Info Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI
Publikasi Teknologi Tepat Guna-LIPI
Uji kalibrasi alat hasil penelitian di LIPI
Jasa pengusulan publikasi paten di LIPI
Hasil-hasil penelitian LIPI
Cara mendapatkan buku/terbitan LIPI
Hibah penelitian di LIPI
Persyaratan mendaftar ISBN
Kerjasama dan izin penelitian di di LIPI
Sumber: Data Layanan Meja Informasi PDII-LIPI (Januari-Agustus 2015).
Berdasarkan Tabel 1 di atas, terlihat jelas bahwa permintaan informasi
pemustaka kepada pustakawan referensi sangat kompleks. Hal tersebut
mengindikasikan bahwa untuk menjadi pustakawan referensi tidaklah mudah. Selain
memahami sumber-sumber informasi perpustakaan, pustakawan dituntut untuk
meningkatkan kompetensi diri secara berkesinambungan, serta mampu menjalin dan
meningkatkan komunikasi/kerja sama yang baik dengan pemustaka. Hal tersebut
dilakukan agar pelayanan yang telah diberikan kepada pemustaka hasilnya
memuaskan.
Apabila ditinjau dari karakteristik pemustaka diketahui ada dua karakter
pengguna, yaitu tertutup dan terbuka. Pemustaka yang memiliki karakter tertutup
adalah mereka yang memiliki sifat pemalu atau pendiam, serta tak acuh
(mengabaikan) adanya petugas atau pustakawan di perpustakaan. Pemustaka tipe ini
sebagian besar adalah mereka yang baru datang pertama kali ke perpustakaan dan
langsung mencari koleksi/literatur ke rak perpustakaan tanpa menelusur informasi
terlebih dahulu di katalog /OPAC (LARAS/Library Archive Analysis System dan/atau
ISJD/Indonesian Scientific Journal Database). Hasilnya mereka tidak dapat
menemukan koleksi/literatur yang dibutuhkan, karena kode panggil dan identitas
koleksi tidak dicatat/diketahui oleh pemustaka. Pada kondisi ini, pemustaka merasa
“kebingungan” karena tidaktahuannya tentang bagaimana cara mencari koleksi di
perpustakaan PDII-LIPI. Melihat masalah tersebut, sebagai pustakawan referensi
tentunya akan menanyakan permasalahan yang sedang dihadapi pemustaka. Hal ini
perlu dilakukan karena pemustaka tipe ini tidak akan bertanya terlebih dahulu ke
pustakawan, termasuk untuk meminta bantuan penelusuran informasi di rak
perpustakaan. Sementara itu, pemustaka yang memiliki karakter/sifat terbuka akan
berterus terang (to the point) dalam mengungkapkan kebutuhan informasi yang
mereka butuhkan kepada pustakawan, baik secara lisan maupun tertulis. Jika mereka
mengalami kesulitan dalam menelusur sumber-sumber informasi/literatur
perpustakaan, pemustaka akan langsung bertanya kepada petugas dan meminta untuk
dibimbing dalam pencarian atau penelusuran literatur hingga koleksi ditemukan.
Pemustaka tipe ini dapat dikategorikan sebagai pemustaka yang ingin selalu cepat
(praktis) dalam mendapatkan literatur perpustakaan, tanpa harus bersusah payah
menelusur/mencari literatur sendiri.
4.3 Proses dan Pendokumentasian Hasil Knowledge Sharing
Setelah mengetahui kebutuhan informasi pemustaka PDII-LIPI (Tabel 1),
langkah berikutnya adalah mengidentifikasi proses dan pendokumentasian hasil
knowledge sharing antara pustakawan referensi dengan pemustaka dan pustakawan
dengan staf lain di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI dengan analisis transfer
pengetahuan SECI (socialization, externalization, combination, dan internalization).
Analisis SECI terhadap kebutuhan informasi pemustaka tersebut, dijelaskan pada
Tabel 2.
Tabel 2. Aspek SECI dalam Proses dan Pendokumentasian Hasil Knowledge Sharing
di Meja Informasi Perpustakaan PDII-LIPI
No Aspek SECI Proses Knowledge Sharing Dokumentasi Hasil
Knowledge Sharing
1 Socialization
(dari tacit ke tacit)
Pemustaka dan pustakawan
berdiskusi (tanya-jawab) dengan
mengungkapkan segala
permasalahan dan pengetahuan
untuk mencari solusinya.
Pustakawan mengidentifikasi setiap
pertanyaan dan informasi yang
dibutuhkan pemustaka.
Pustakawan
menjelaskan/menjawab kebutuhan
informasi pemustaka dengan
mengoptimalkan sumber daya
informasi perpustakaan dan
lembaga.
Pemustaka memahami jawaban
pustakawan dan mendapatkan
informasi yang dibutuhkan.
Ide/gagasan dalam bentuk
ucapan (lisan) yang
disampaikan oleh
pustakawan.
Pernyataan/jawaban
bentuk ucapan (lisan)
pustakawan yang dipahami
oleh pemustaka.
Hasil dokumentasi:
Pengetahuan tidak
terekam/tertulis (tacit
knowledge)
2 Externalization
(dari tacit ke
explicit)
Pemustaka memahami jawaban
pustakawan dan mendapatkan
informasi yang dibutuhkan.
Pemustaka memberikan feedback
(umpan balik) terhadap jawaban
pustakawan hingga merasa puas.
Pustakawan menanggapi respon
pemustaka dan mencatatnya
sebagai informasi penting yang
Saran berupa feedback
(umpan balik) dan
ungkapan kepuasan
(satisfied) dari pemustaka
Tanggapan/jawaban
pustakawan
Data pertanyaan (rekaman
referensi) hasil diskusi
Data diskusi yang telah
harus disimpan dan disampaikan
kepada petugas perpustakaan yang
lain.
Pustakawan mengelompokkan dan
mengidentifikasi setiap pertanyaan
dan jawaban terkait informasi yang
dibutuhkan pemustaka.
Pustakawan merekam/mencatat
hasil diskusi dan berbagi
pengetahuan dengan pemustakan
dalam bentuk FAQ pada Website
PDII dan buku panduan praktis
layanan perpustakaan..
Pustakawan menyampaikan ke
pemustaka dan staf lain petugas
meja informasi untuk menggunakan
panduan informasi yang telah
dibuat.
diidentifikasi dan
dikelompokkan berdasarkan
jenis pertanyaan pemustaka.
Publikasi hasil knowledge
sharing
Hasil dokumentasi:
Pengetahuan terekam/tertulis
(explicit knowledge) dalam
bentuk Panduan Informasi
perpustakaan (FAQ dan
panduan praktis
perpustakaan)
3 Combination
(dari explicit ke
explicit)
Pustakawan mendokumentasikan
hasil diskusi dan berbagi
pengetahuan dengan pemustaka .
Pustakawan menyampaikan
informasi-informasi yang
dibutuhkan pemustaka kepada
petugas perpustakaan/pustakawan
yang lain.
Petugas perpustakaan/pustakawan
yang lain dapat menggunakan
informasi tersebut untuk menjawab
berbagai pertanyaan dan
permasalahan pemustaka (sebagai
informasi sekunder).
Pustakawan meng-update informasi
FAQ dan buku panduan informasi
perpustakaan sesuai perkembangan
kebutuhan informasi pemustaka.
Pemustaka, petugas perpustakaan,
dan pustakawan lain dapat
menggunakan hasil dokumentasi
berbagi pengetahuan untuk literatur
Publikasi hasil knowledge
sharing.
Pemanfaatan hasil publikasi
knowledge sharing.
Perbaikan dan update
informasi dokumentasi
hasil knowledge sharing
Pemanfaata publikasi untul
literatur sekunder.
Hasil dokumentasi:
Pengetahuan terekam/tertulis
(explicit knowledge) dalam
bentuk Panduan Informasi
perpustakaan ter-update
(FAQ dan panduan praktis
perpustakaan)
sekunder.
4 Internalization
(dari explicit ke
tacit)
Pustakawan menyampaikan/
mensosialisasikan publikasi hasil
knowledge sharing ter-update
kepada pemustaka dan staf lain
yang bertugas di meja informasi.
Pemustaka dan pihak-pihak lain
yang berkepentingan menggunakan
panduan informasi perpustakaan
sesuai kebutuhan (digunakan untuk
literatur sekunder dan referensi
penulisan ilmiah)
Panduan informasi
perpustakaan dimanfaatkan
sesuai kebutuhan
Hasil dokumentasi:
Pengetahuan terekam/tertulis
(explicit knowledge) digunakan
untuk pemenuhan kebutuhan
pemustaka
Sumber: Data Layanan Meja Informasi PDII-LIPI (2015)
Berdasarkan model transfer pengetahuan model SECI di atas, diketahui bahwa hasil
dari kegiatan knowledge sharing adalah dokumentasi terekam/tertulis untuk
pemenuhan kebutuhan informasi pemustaka dan memudahkan bagi staf lain untuk
menjawab berbagai pertanyaan pemustaka (literatur sekunder). Output dari kegiatan
knowledge sharing ini yaitu panduan informasi perpustakaan, berupa informasi tanya-
jawab online/FAQ (Frequently Asked Questions) yang tercantum pada Website PDII-
LIPI dan buku panduan praktis layanan perpustakaan.
Adapun tujuan kegiatan knowledge sharing melalui analisis SECI di atas, yaitu
(1) mengetahui berbagai permintaan pemustaka; (2) mengetahui karakteristik
pemustaka dalam memanfaatkan jasa perpustakaan; (3) memotivasi pustakawan
referensi untuk menyediakan panduan tertulis untuk memudahkan pemustaka dan staf
lain menelusur sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga serta (4)
menyediakan bahan evaluasi bagi pimpinan dalam rangka peningkatan layanan
perpustakaan yang berorientasi pada kepuasan pemustaka.
Mengacu pada analisis SECI di atas, proses kegiatan knowledge sharing di
meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI dapat digambarkan sebagai berikut (Gambar
3).
Gambar 3. Proses Knowledge Sharing di Meja Informasi Perpustakaan PDII-LIPI
Berdasarkan hasil identifikasi kebutuhan informasi pemustaka dan proses
kegiatan knowledge sharing di atas, dapat dikatakan bahwa pustakawan referensi perlu
membangun budaya knowledge sharing, baik dengan pustakawan, staf lain maupun
pimpinan perpustakaan/lembaga. Hal tersebut dilakukan guna mencari solusi bersama
atas setiap masalah yang dihadapi pemustaka serta menetapkan tindakan perbaikan
dalam peningkatan layanan perpustakaan.
5. KESIMPULAN
Knowledge sharing merupakan salah satu upaya dan solusi yang efektif bagi
pustakawan referensi untuk mengatasi permasalahan pemustaka dalam mendapatkan
sumber-sumber informasi perpustakaan dan lembaga. Dalam rangka pemenuhan
kebutuhan informasi pemustaka, pustakawan referensi dituntut untuk memiliki
kompetensi yang memadai dalam pelayanan perpustakaan. Hasil analisis SECI di atas
menunjukkan bahwa knowledge sharing dapat mengetahui saran dan masukan dari
pemustaka dalam rangka peningkatan layanan pepustakaan. Selain itu, pustakawan
referensi dapat mengembangkan pengetahuannya untuk memenuhi kebutuhan
informasi pemustaka. Adanya pendokumentasian hasil knowledge sharing ini diharapkan
dapat membantu pemustaka dalam pencarian/penelusuran sumber-sumber informasi di
perpustakaan dan lembaga.
Kunci keberhasilan knowledge sharing di perpustakaan ini sangat tergantung
pada pola komunikasi interpesonal dari pustakawan ke pemustaka dan staf lain yang
bertugas di meja informasi Perpustakaan PDII-LIPI. Melalui analisis SECI dalam
penerapan knowledge sharing ini, pustakawan referensi dapat mengidentifikasi dan
Knowledge Sharing (Upaya&Solusi)
Knowledge Transfer (Model SECI)
Dokumentasi Pengetahuan
Pemenuhan Kebutuhan Informasi Pemustaka
Identifikasi Kebutuhan
menganalis setiap permasalahan yang dihadapi pemustaka. Pendokumentasian hasil
knowledge sharing ini dapat berupa informasi Frequently Asked Question (FAQ) di website
PDII-LIPI, panduan informasi perpustakaan, ataupun informasi lain yang bertujuan untuk
memudahkan pustakawan dalam memenuhi kebutuhan informasi pemustaka.
DAFTAR PUSTAKA
Allameh, Sayyed Mohsen, Ahmed Abedini, Javad Khazei Pool, Ali Kazemi. (2012). An
Analysis of Factors Affecting Staffs Knowledge Sharing in The Central Library of The
University of Isfahan Using the Extension of Theory of Reasoned Action. International
Journal of Human Resources Studies, Vol.2, No.1.
Andayani, Tri Rejeki. (2009). Efektifitas Komunikasi Interpersonal. Semarang: UNDIP.
Batubara, Abdul Karim. (2011). Urgensi Kompetensi Komunikasi Pustakawan dalam
Memberikan Layanan Kepada Pemustaka. Jurnal Iqra’, Vol. 05, No.01, Mei.
Chen, Dora Yu-Thing, Samuel Kai-Wah Chu, Shu-Qin Xu. (2012). How Do Libraries Use
Social Networking Sites to Interact with Users. ASIST October 28-31.
Cummings, Jeffrey. (2003). Knowledge Sharing: A Review of the Literature. Washington:
The World Bank.
Dingsoyr, T., dan Conradi, R. (2002). A Survey of Case Studies of the Use of Knowledge
Management in Software Engineering. International Journal of Software Engineering
and Knowledge Engineering, 12 (4), 391-414.
Dong, Elaine Xiaofen. (2008). Using Blog for Knowledge Management in Libraries. CALA
Occasional Paper Series No.2.
Effendy, Onong Uchjana. (2002). Dinamika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Forcier, Eric. (2013). The Shoemaker’s Son: a Substantive Theory of Social Media Use for
Knowledge Sharing in Academic Libraries. Tesis. Kanada: Universitas Alberta.
Gitanauli, Tiurma K.F.P. (2010). Pengaruh Knowledge Sharing dan Absorptive Capacity
Terhadap Innovation Capability pada Direktorat Corporate Services dan Direktorat
Marketing di PT Indosat Tbk. Journal of Management and Business Review, Vol.7 No.1
January, page.59-71.
Helmi, Avin Fadila dan Iman Ari Sudana. (2009). Kepemimpinan Transformasional,
Kepercayaan dan Berbagi Pengetahuan dalam Organisasi. Jurnal Psikologi, Vol
36,No.2, Desember, hlm.95-105.
Herijanto. Pudji. (2008). Kajian tentang Konowledge Sharing secara Berkelanjutan sebagai
Media untuk Meningkatkan Kualitas Performance Organisasi. Adbis Jurnal
Administrasi dan Bisnis, Vol.2, No.2. Desember, hlm.88-97.
Khatibah. (2014). Komunikasi Pustakawan. Jurnal Iqra’,Vol. 08 No.01, Mei.
Liao, S. H., Fei, W. C., dan Chen, C. C. (2007). Knowledge Sharing, Absorptive Capacity,
and Innovation Capability: an Empirical Study of Taiwan's Knowledge-Intensive
Industries. Journal of Information Science, 33(3), 340e359.
Lin, H.-F. (2007). Effects of Extrinsic and Intrinsic Motivation on Employee Knowledge
Sharing Intentions. Journal Journal of Information Science , 33 (2), 135-149.
Nonaka, I dan Takeuchi, H. (1995). The Knowledge Creating Company: How Japanese
Companies Create the Dynamics of of Innovation. New York: Oxford University Press.
Omona, W., Lubega, J. T., dan Weide, T. V. (2012). Enhancing Knowledge Management
Using ICT in Higher Education: An Empirical Assessment. Journal of Knowledge
Management Practic , 13 (3), 1-16.
Perpusnas. (2007). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang
Perpustakaan. Jakarta: Kementerian Hukum dan HAM RI.
Reitz, Joan M. (2014). Reference Librarian. Online Dictionary for Library and Information
Science. http://www.abc-clio.com/ODLIS/odlis_r.aspx (19 September 2015).
Rodin, Rhoni, Titiek Kismiyati, dan Tri Margono. (2011) Implementasi Knowledge Sharing
Sebagai Upaya Peningkatan Efektifitas Keprofesionalan Pustakawan (Studi Kasus Di
Perpustakaan STAIN Curup). http://pustakawan.pnri.go.id/jurnal/ (19 September 2015).
Rowley, Richard D. (1999). Interpersonal Competence. http://www.uky.edu/~drlane. (19
September 2015).
Safitri, Dyah. (2014). Penerapan Knowledge Sharing untuk Peningkatan Layanan
Perpustakaan Perguruan Tinggi. Jurnal KHIZANAH AL-HIKMAH, Vol.2, No.2, Juli-
Desember.
Schultz, J. R. (1999). Peter Senge: Master of change Executive Update Online,
http://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/1999/June_July/CoverStory2.htm
Senge, Peter. (1999). Peter Senge Master of Change: Interviewed by Jane R.Schultz.
Executive update on-line, June-July.
http://www.gwsae.org/ExecutiveUpdate/1999/June_July/CoverStory2.htm
Setiarso, Bambang. (2006). Pengelolaan Pengetahuan (Knowledge-Management) dan Modal
Intelektual (Intellectual Capital) untuk Pemberdayaan UKM. Makalah disampaikan
pada Konferensi Teknologi Informasi dan Komunikasi ke 2, Bandung, 3-4 Mei 2006: 5
hal.
Setiarso, Bambang. (2006). Teori, Pengembangan dan Model“ Organizational Knowledge
Management Systems (OKMS). Makalah yang disampaikan pada Seminar “Knowledge
Management and Competitive Values: Key Success Factor in Business” . Bandung: ITB
dan Unversitas Widyatama, 5 Agustus 2006.
Spitzberg, B. H., & Cupach, W. R. (1984). Interpersonal Communication
Competence.Beverly Hills, CA: Sage.
Subagyo, Hendro. (2007). Pengantar Konowledge Sharing untuk Community Development,
Modul Pelatihan. Jakarta. PDII-LIPI.
Sudarsono, Blasius dan Prafita Imadianti. (2012). Pustakawan Memandang Knowledge
Management. Makalah ini telah disampaikan dalam “Kuliah Umum, Terbuka, dan
Gratis ke XII”, PDII-LIPI, 29 Juni 2012.
Sudarsono, Blasius. (2007). Menyongsong Fajar Baru Merancang Masa Depan. Jakarta: PDII
– LIPI.
Szulanski , Gabriel . (1996). Exploring Internal Stickiness: Impediments to the Transfer of
Best Practice Within the Firm. Strategic Management Journal, Vol.17, Issue S2, pages
27–43.
Widyawan, Rosa. (2012). Pelayanan Referensi Berawal dari Senyuman. Bandung: CV
Bahtera Ilmu.