knowledge management_sisi pandang kepustakawanan

13
 KNOWLE DGE MANAGEMENT : SISI PANDANG KE PUSTA KAWANAN Putu Laxman Pendit Sejak Dr. Karl Wiig menggunakannya dalam pidato di International Labor Organization (ILO) di tahun 1986, istilah Knowledge Management (KM) terus menjadi pusat perhatian banyak disiplin. Penerapan prinsip-prinsipnya oleh  peru sah aan besar m u l ti n asi on al sem acam IB M dan Pri ce Waterh ou se (sekara n g ditambahi Cooper), membawa KM secara spesifik ke bidang niaga. Tulisan Nonaka dan Takeuchi di  Harvard Bus iness Review tahun 1991 mengukuhkan KM sebagai  bi dan g stu di n i ag a dan m an ajem en . Sejak 1996, setel ah kon f eren si KM pertam a di tahun 1994, bidang studi ini menjadi semacam silang-kaji teknologi informasi (terutama artificial inteligence dan database), manajemen (terutama organizational change), dan ekonomi. Tidak sedikit orang yang mencibir KM sebagai semata akal-akalan kaum bisnis untuk mencari buzzword  baru, yang dengan cepat diterjemahkan oleh industri teknologi informasi (TI) sebagai keuntungan baru. Salah satu bidang yang menaruh curiga adalah kepustakawanan. Sama halnya ketika Daniel Bell dan kawan-kawan mencuatkan istilah Information Society (IS), kepustakawanan sering berperilaku skeptis terhadap kepopuleran KM. Kita kini tahu, sosiologi dan ilmu komputer telah sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan pengkajian dan penerapan kaidah-kaidah IS, sementara bidang l ainny a (ter m asuk kepusta kawanan) ting gal m engi k ut i. Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, sikap skeptis kepustakawanan sudah pula ditunjukkan ketika Information Retrieval (IR) muncul sebagai pusat perhatian baru dengan adanya Crafield Test. Kalau saja kepustakawanan ikut memusatkan perhatian kepada uji-coba pengindeksan berbasis mesin itu, tentu tidak perlu muncul bidang  baru y an g di n am akan information science. Kita kini tahu, IR lebih diperhatikan oleh ilmu komputer terutama dalam kaitannya dengan database design and development , dan oleh psiko-analisis terutama dalam kaitannya dengan information seeking behaviour . Akan halnya kepustakawanan, sama dengan kedudukannya dalam  pen g kaji an dan pen erapan pri n si p IS, adal ah pen g i ku t dari kedu a bidan g i l mu di at as.

Upload: ahmad-subhan

Post on 18-Jul-2015

400 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Artikel Putu Laxman Pendit mengenai "Knowledge Management" dari perspektif kepustakawanan.

TRANSCRIPT

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 1/13

 

KNOWLEDGE MANAGEMENT : SISI PANDANG KEPUSTAKAWANAN

Putu Laxman Pendit

Sejak Dr. Karl Wiig menggunakannya dalam pidato di International Labor

Organization (ILO) di tahun 1986, istilah Knowledge Management (KM) terus

menjadi pusat perhatian banyak disiplin. Penerapan prinsip-prinsipnya oleh

perusahaan besar multinasional semacam IBM dan Price Waterhouse (sekarang

ditambahi Cooper), membawa KM secara spesifik ke bidang niaga. Tulisan Nonaka

dan Takeuchi di  Harvard Business Review tahun 1991 mengukuhkan KM sebagai

bidang studi niaga dan manajemen. Sejak 1996, setelah konferensi KM pertama di

tahun 1994, bidang studi ini menjadi semacam silang-kaji teknologi informasi

(terutama artificial inteligence dan database), manajemen (terutama organizational

change), dan ekonomi.

Tidak sedikit orang yang mencibir KM sebagai semata akal-akalan kaum bisnis untuk 

mencari buzzword  baru, yang dengan cepat diterjemahkan oleh industri teknologi

informasi (TI) sebagai keuntungan baru. Salah satu bidang yang menaruh curiga

adalah kepustakawanan. Sama halnya ketika Daniel Bell dan kawan-kawan

mencuatkan istilah Information Society (IS), kepustakawanan sering berperilaku

skeptis terhadap kepopuleran KM. Kita kini tahu, sosiologi dan ilmu komputer telah

sepenuhnya mengambil alih kepemimpinan pengkajian dan penerapan kaidah-kaidah

IS, sementara bidang lainnya (termasuk kepustakawanan) tinggal mengikuti.

Kalau mau ditarik lebih jauh lagi, sikap skeptis kepustakawanan sudah pula

ditunjukkan ketika Information Retrieval (IR) muncul sebagai pusat perhatian baru

dengan adanya Crafield Test. Kalau saja kepustakawanan ikut memusatkan perhatian

kepada uji-coba pengindeksan berbasis mesin itu, tentu tidak perlu muncul bidang

baru yang dinamakan information science. Kita kini tahu, IR lebih diperhatikan oleh

ilmu komputer terutama dalam kaitannya dengan database design and development ,

dan oleh psiko-analisis terutama dalam kaitannya dengan information seeking

behaviour . Akan halnya kepustakawanan, sama dengan kedudukannya dalam

pengkajian dan penerapan prinsip IS, adalah pengikut dari kedua bidang ilmu di atas.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 2/13

 

Sikap skeptis kepustakawanan bukanlah tanpa alasan. Sejak IR, lalu IS, dan akhirnya

KM dipopulerkan, para akademisi maupun praktisi bidang perpustakaan mendasari

keacuhan dan kecurigaan mereka pada semacam keyakinan bahwa dasar dari semua

 jargon baru itu adalah kepustakawanan jua. Ketika IR muncul, kepustakawanan

menganggap bahwa itu semata-mata penggunaan mesin dalam praktek yang sudah

dari sononya urusan perpustakaan (yakni klasifikasi dan katalogisasi). Ketika IS

populer, kepustakawanan melengos karena yakin bahwa  public librarianships sejak 

baheula adalah akar dari prinsip penyebaran informasi secara sosial. Lalu ketika KM

mencuat, kepustakawanan berkeyakinan bahwa keterlibatan mereka dengan data

bibliografi sejak Abad Pertengahan adalah dasar dari penyebaran dan pemanfaatan

pengetahuan.

Kalau kita simak baik-baik, kepustakawanan memiliki semua justifikasi untuk 

bersikap skeptis, karena memang semua jargon itu bermula dari ketergantungan

peradaban manusia pada bahasa tertulis yang tentu saja bermula sejak teknologi

massalnya (yakni buku!) pertama kali ditemukan manusia. Kepustakawanan boleh

mengaku bahwa mereka sudah duluan ( I was there first!) sebelum berbagai disiplin

lain berbondong-bondong mengurusi data, informasi dan pengetahuan.

Kepustakawanan boleh menunjuk dirinya bapak atau ibu ( founding fathers, founding

mothers), bahkan boleh mengaku moyang dari IR, atau IS, atau KM.

Cuma, tentu saja, mengaku moyang sama saja dengan mengaku bahwa

kepustakawanan telah lama perlaya. Sudah jadi bagian dari masa lampau yang

dimumifikasi seperti layaknya penguasa-penguasa Mesir yang kini berbaring di dalam

piramid-piramid raksasa.

Tulisan pendek ini ingin mengajak pembaca meninggalkan skeptisisme dan keraguan

kepustakawanan kepada semua perkembangan eksternal di atas, tetapi terutama

terhadap KM karena artikel ini dibuat untuk diskusi tentang KM. Penulis ingin

berargumentasi bahwa kepustakawanan seharusnya adalah bidang yang dinamik, dan

bahwa kepustakawanan punya kepribadian, dignity, yang tidak mengharuskannya

menjadi pengikut (untuk tidak mengatakan pengekor). Kepustakawanan mengandung

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 3/13

 

di dalamnya unsur-unsur progresif yang bisa memberi sumbangan besar sekali kepada

semua perkembangan baru di atas, dan juga terutama kepada KM.

Dasar dari argumentasi penulis akan diuraikan dalam tiga bagian: (1) hubungan antara

data, informasi, pengetahuan; (2) hubungan antara klasifikasi dengan penemuan

pengetahuan; dan (3) peran teknologi.

DIK bukan KID

DIK adalah aksioma Data Information Knowledge, sedangkan KID adalah

sebaliknya (lihat Tuomi, 2000). Kepustakawanan (dan banyak bidang lainnya!)

sering menyangka bahwa DIK adalah aksioma yang tepat untuk KM. Asumsinya, jika

kita telah mengelola D dengan baik, maka praktis I dan K sudah terkelola. Jika sudah

terkelola, maka praktis sudah mudah dipakai. Jika sudah terpakai, maka praktis sudah

efektif dan efisien dalam konteks pemanfaatan K. Dengan kata lain, KM berbasis

pengelolaan data. Kalau kepustakawanan adalah jagoan dalam pengelolaan data, maka

kepustakawanan adalah jagoan KM.

Penulis berargumentasi lain. Persoalan utama dalam KM bukan pada pengelolaan data

sebagaimana yang selama ini dianut kepustakawanan pada umumnya. Kalau saja

persoalannya adalah pengelolaan data, niscaya praktik-praktik klasik kepustakawanan

sudah cukup untuk mengatasinya.

Sebabnya begini: data mentah (raw data) tidak pernah ada, jika pengertiannya adalah

sesuatu yang terpisah dari I maupun K. Data hanya ada setelah orang punya bayangan

tentang penggunaannya ( potential use), harapan kebergunaan (expectation), konteks,

dan konstruk (theoritical construct ). Contohnya adalah sebuah angka, misalnya

2.000.000. Angka ini tidak pernah ada, kalau kepadanya tidak dilekatkan potensi,

harapan, konteks, dan konstruk. Ia menjadi ada, misalnya, setelah kita

menganggapnya sebagai sejumlah nominal uang, dengan potensi untuk membeli

sesuatu, dalam konteks tertentu untuk suatu keperluan tertentu. Tergantung dari jenis

uangnya, dan untuk apa uang itu, angka 2.000.000 sendiri "tidak ada apa-apanya".

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 4/13

 

Dus, ada yang bilang bahwa kalau sudah diberi harapan, potensi, konteks maupun

konstruk semacam itu maka kita berurusan dengan I, informasi. Dengan kata lain,

sewaktu kita "membuat data" (sebelum menyimpan) kita melepaskan semua harapan,

potensi, konteks maupun konstruk darinya. Bagaimanakah kita bisa memisahkan

sesuatu dari harapan, potensi, konteks maupun konstruknya? Rasanya tidak mungkin

bisa, kecuali sesuatu itu memang tidak ada apa-apanya, dan dengan demikian ia tidak 

ada!

Kunci dari persoalan di atas adalah pada kenyataan bahwa yang sebetulnya kita kelola

ketika kita memakai istilah "mengelola data", adalah representasi dari data, bukan

aslinya. Untuk bisa mengelola representasi data, kita memerlukan harapan, potensi,

konteks, maupun konstruk yang melekat pada data (aslinya). Kalau kita tadi

mengatakan bahwa semua itu adalah atribut dari informasi, maka untuk mengelola

representasi data kita memerlukan informasi. Dengan kata lain, D tidak menentukan I,

tetapi sebaliknya.

Harapan, potensi, konteks maupun konstruk tidak pula pernah ada dalam sebuah

vakum. Bagaimana kita punya harapan tentang kurs rupiah terhadap dollar, lalu

berdagang valuta asing karena melihat potensinya, membangun strategi untuk mencari

pembeli dan penjual uang, dan akhirnya kaya raya seperti George Soros? Satu-satunya

 jalan untuk bisa menjadi seorang George Soros adalah dengan membangun

pengetahuan tentang valuta asing, ditambah moral dan etika tertentu (yang barangkali

tidak kita sepakati), keberanian dan rasa tega. Dengan kata lain, I pun tidak pernah

ada tanpa K yang sebelumnya. Maka bukan DIK yang berlaku, melainkan KID.

Dengan asumsi baru ini, maka KM harus dibangun dengan prinsip KID. Seseorang

baru bisa membangun sistem yang "mengelola data" kalau ia punya cukup I dan

cukup K. Persoalannya adalah tidak mungkin bagi siapa pun untuk punya semua I dan

semua K. Untuk bisa membuat representasi data (melepaskan harapan, potensi,

konteks dan konstruk dari data) seseorang harus punya semua atribut itu, dan untuk 

punya atribut itu seseorang harus punya semua pengetahuan tentangnya. Ini mustahil.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 5/13

 

Sebab itu pulalah KM tidak pernah bisa didasarkan pada mengelola data (lewat

representasinya). Untuk bisa memiliki KM yang baik, kita memerlukan lebih dari

representasi data, lebih dari sekadar melepaskan atribut-atribut data. Lalu apa

sebetulnya yang dikelola? Jawabannya adalah pada kenyataan bahwa K adalah sebuah

social phenomena, bahwa pengetahuan tak pernah merupakan unit-unit terpisah dalam

satu per satu kepala manusia. Berpikir, berpengetahuan, membangun pengetahuan ...

semua ini tidak dilakukan satu per satu orang. Terlebih-lebih lagi, untuk bisa berpikir,

berpengetahuan dan membangun pengetahuan, manusia memerlukan antar-hubungan

yang didasarkan pada kemauan bersama dan kepercayaan. Jadi dalam KM implisit

ada pengelolaan antar-hubungan manusia (untuk contohnya lihat Gupta dan

Govindarajan, 2000).

Mari kini kita kembali ke kepustakawanan. Dengan jalan berpikir di atas, maka

mustahil bagi profesional di bidang ini untuk memberikan sumbangan kepada

pengembangan KM jika tetap ngotot  bahwa inti (core) dari aktifitasnya adalah

mengelola data (lewat representasinya). Prinsip KID dalam KM mengharuskan

kepustakawanan menunjukkan "sisi manusiawi"-nya. Sesungguhnya prinsip ini sudah

sejak 1960-an coba dibangkitkan secara formal oleh Jesse Shera yang mengusulkan

social epistemology bagi kepustakawanan (sebagaimana diulas Warner, 2001).

Dalam usulan Shera, kepustakawanan dan ilmu perpustakaan harus berhenti

berkonsentrasi kepada klasifikasi dan katalogisasi, dan harus mengembangkan profesi

dan ilmu yang berdasarkan kepada orientasi antar-hubungan manusia. Entah kenapa,

banyak praktisi dan akademisi perpustakaan menganggap remeh usulan ini dan

sampai sekarang masih merasa cukup berkonsentrasi kepada klasifikasi dan

katalogisasi dalam rangka menjernihkan jati diri kepustakawanan.

Penulis sama sekali tidak beranggapan bahwa klasifikasi tidak penting. Bagian yang

berikut ini justru menegaskan pentingnya klasifikasi, sebelum nanti kita kembali

membahas mengapa diperlukan tambahan selain keahlian klasifikasi.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 6/13

 

Klasifikasi dan Pengetahuan

Aristoteles menghubungkan semesta pengetahuan dengan klasifikasi hirarkis. Prinsip

filsuf ini sampai sekarang jadi pegangan pustakawan setelah disempurnakan antara

lain oleh Dewey dan Ranganathan. Pada dasarnya klasifikasi adalah cara paling

sempurna yang selama ini ditemukan oleh manusia untuk mengelola pikirannya.

Aristoteles dan para filsuf lain-lain berhasil membuktikan supermasi manusia atas

pikirannya sendiri, sehingga peradaban bisa terus maju berdasarkan rasio.

Dari kenyataan ini saja, adalah mustahil menafikan pentingnya klasifikasi dalam

dunia pengetahuan manusia, apalagi dalam KM. Berbagai jenis klasifikasi selain

hirarkis, yaitu klasifikasi pohon, paradigma,  facet, bersama-sama maupun sendiri-

sendiri, telah memberikan sumbangan besar untuk mengelola dokumen dalam rangka

pengembangan pengetahuan manusia. Beberapa hal penting yang menyebabkan

klasifikasi mutlak dalam urusan tahu dan pengetahuan adalah (lihat Kwasnik, 1999):

  Mampu meringkas pengetahuan sehingga mudah dicerna,

  Memberikan deskripsi yang kaya terhadap sebuah butir pengetahuan dalam

kaitannya dengan pengetahuan yang lain,

  Memperlihatkan antar-hubungan pengetahuan sehingga memungkinkan

penggunanya memiliki prespektif yang lebih menyeluruh atau holistic.

  Memperlihatkan "jarak" antara satu butir pengetahuan dengan yang lainnya

(terutama dalam klasifikasi pohon),

  Dapat membantu menemukan pola atau keteraturan dalam pemberian kriteria

kepada butir-butir pengetahuan.

Namun pada saat yang sama, sistem klasifikasi yang selama ini kita kenal juga

mengandung kelemahan:

  Klasifikasi hirarkis hanya cocok untuk pengetahuan dalam domain yang sudah

mapan, yang masing-masing entitasnya sudah memiliki batas dan definisi

yang jelas,

  Klasifikasi pohon, walaupun mungkin lebih luwes untuk domain yang sedang

berkembang, hanya cocok untuk menggambarkan arah perkembangan

pengetahuan yang satu dimensi,

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 7/13

 

  Klasifikasi paradigma, yang mengandalkan perpotongan (intersection) dua

atribut entitas, seringkali juga membatasi perspektif penggunanya,

  Klasifikasi  facet  yang diperkenalkan Ranganathan, walaupun sangat ampuh

untuk menampung berbagai perspektif (multiple perspectives), sangatbergantung kepada pengetahuan yang lengkap tentang domain yang akan

diklasifikasi dan juga kebutuhan pemakai klasifikasi.

Selain itu, perlu diingat bahwa sistem klasifikasi berkembang dalam sistem sosial-

politik tertentu, sehingga sangatlah naif kalau kita mengatakan bahwa semua ideologi

tercermin dengan adil dalam, misalnya, DDC. Tidak semua agama pula diwakili

secara konprehensif dan setara dalam sistem klasifikasi. Secara intrinsik, sistem

klasifikasi juga melakukan marjinalisasi (penyingkiran) terhadap pandangan-

pandangan tertentu. Penyingkiran ini menimbulkan "wilayah kumuh" (ghetto) dalam

keseluruhan sistem klasifikasi, sebagaimana yang dialami pengetahuan tentang wanita

atau kelompok minoritas lesbian dan homoseksual (Olson, 1998)

Perkembangan pengetahuan yang sangat cepat juga menimbulkan keterbatasan dalam

penggunaan klasifikasi, sebab secara alamiah sistem klasifikasi membutuhkan

standardisasi dan definisi yang mapan sebelum bisa digunakan secara efektif-efisien.

Kesenjangan antara sistem klasifikasi dengan pengetahuan yang sedang berkembang

bisa bertambah parah jika para praktisi yang menggunakan klasifikasi itu sendiri juga

tidak pernah mengikuti perkembangan pengetahuan yang sedang diklasifikas inya.

Pada titik ini kita bisa kembali ke pembahasan di atas tentang DIK dan KID, terutama

ketika kita bicara tentang KM sebagai sistem yang mengkamodasi sistem sosial dan

yang berdasarkan antar-hubungan serta kepercayaan antar manusia.

Sistem klasifikasi sangat berguna dalam pengembangan sistem pengelolaan

representasi data (penulis akan memakai istilah ini selanjutnya, bukan "pengelolaan

data"). Sebagaimana yang telah diuraikan pada bagian sebelumnya, ketika seorang

pengelola memproses representasi data untuk disimpan di sebuah sistem (katakanlah

sebuah pangkalan data), ia memerlukan akses ke semua atribut harapan, potensi,

konteks dan konstruk dari data. Di sinilah sistem klasifikasi berperan, sebab sistem ini

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 8/13

 

memang bertugas meringkas pengetahuan sehingga bisa ditangani oleh seseorang

yang tidak harus memiliki seluruh pengetahuan tentang suatu domain.

Jika diamati, selain kemampuan memakai sistem klasifikasi, ia memerlukan pula

pengetahuan lain yang tak kalah penting, yakni tentang siapa yang akan menggunakan

representasi data yang ia buat. Kesadaran di dalam diri pengelola sistem bahwa ada

orang lain yang akan menggunakan representasi data yang dibuatnya, merupakan titik 

menentukan dalam keseluruhan. Mengapa?

Sebagaimana telah diuraikan di atas, pengetahuan manusia tidak pernah merupakan

unit-unit terpisah, melainkan adalah sebuah hasil antar-hubungan yang berdasarkan

kesepakatan dan kepercayaan. Berkembang-tidaknya sebuah pengetahuan, dan bisa

digunakan-tidaknya pengetahuan tersebut di dalam sebuah organisasi manusia (karena

hanya organisasi manusia yang sungguh-sungguh menggunakan pengetahuan secara

sadar), ditentukan oleh kesepakatan dan saling-percaya antar anggota-anggotanya.

Bagi anggota-anggota ini --yang bisa kita kategorikan sebagai pengguna dari

pengetahuan untuk keperluan tertentu-- maka yang pertama-tama mereka inginkan

dari sebuah sistem yang merepresentasi data dari pengetahuan mereka adalah

kepercayaan kepada pengelola sistem tersebut. Kalau sebuah sistem representasi data

ingin menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sebuah institusi dalam konteks

pemanfaatan pengetahuan, maka yang pertama-tama harus tercipta adalah hubungan

berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan antara pengelola sistem dengan pengguna

pengetahuan.

Di sinilah usul Shera tentang social epistemology memerlukan perhatian

kepustakawanan. Hubungan antar manusia sebagaimana digambarkan di atas, tidak 

bisa diciptakan atau dipelihara dengan mempelajari sistem klasifikasi semata.

Kepustakawanan, jika ingin memberikan sumbangan kepada pengembangan KM,

harus memberikan ruang yang cukup bagi pengembangan dan pelatihan kemampuan

menciptakan dan memelihara hubungan antar manusia.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 9/13

 

Davenport, De Long dan Beers (1998), setelah mengkaji berbagai proyek 

pengembangan KM, juga sampai pada kesimpulan yang sama tentang pentingnya

hubungan antar-manusia ini. Mereka mengistilahkannya sebagai "knowledge friendly

culture" yang di dalamnya mengandung unsur keleluasaan dan kemauan untuk saling

berbagi pengetahuan. Jika kita kaitkan hal ini dengan pembahasan di alinea

sebelumnya, maka jelaslah bahwa sebuah sistem representasi data tidak bisa berbuat

apa-apa kalau si pengelolanya tidak mampu menciptakan --atau memberikan

sumbangan kepada-- suasana yang saling percaya dan saling berbagi. Bahkan sebuah

sistem representasi data yang tidak dilengkapi oleh upaya untuk membangun rasa

percaya pemakainya ini akan hanya menjadi penghambat bagi pengembangan KM,

atau menghabiskan biaya besar yang sia-sia.

Sampai di sini barangkali akan timbul pertanyaan: bagaimana "kongkrit"-nya sistem

KM dilihat dari sisi pandang kepustakawanan? Bagi banyak orang, "kongkrit" selalu

dihubungkan dengan benda, terutama mesin, dan terutama lagi teknologi informasi

atau komputer. Penulis berargumentasi bahwa "kongkrit" tidak selalu material. Tetapi

sebelum memberikan alasannya, penulis ingin membahas dulu aspek teknologi

(kongkrit) dari KM.

Teknologi untuk KM

Beckman (1999) meringkas perspektif teknologi untuk KM sebagai berikut:

  Knowledge repository, pada umumnya berupa database 

  Direktori sumber

  Direktori sumberdaya pembelajaran

  Groupware 

  Ditambah dengan "business model" yang dipengaruhi unsur:

o  Arsitektur TI

o  Platform TI (hardware)

o  Komunikasi

o  Interfaces

o  Software

o  User support

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 10/13

 

 

Sistem pakar merupakan salah satu teknologi andalan dalam KM, terutama melalui

empat skema penerapan: (1) case-based reasoning (CBS) yang merupakan

representasi pengetahuan berdasarkan pengalaman, termasuk kasus dan solusinya, (2)

rule-based reasoning (RBS) mengandalkan serangkaian rules yang merupakan

representasi dari pengetahuan manusia dalam memecahkan kasus-kasus yang rumit,

(3) model-based reasoning (MBR) melalui representasi pengetahuan dalam bentuk 

atribut, perilaku, antar-hubungan maupun simulasi proses terbentuknya pengetahuan,

dan (4) constraint-satisfaction reasoing yang merupakan kombinasi dari RBS dan

MBR.

Sepintas mungkin dapat dilihat bahwa tidak ada satu pun dari teknologi di atas,

kecuali database, yang akrab dengan dunia kepustakawanan. Salah satu sebabnya

adalah keengganan kepustakawanan dalam melangkah lebih jauh dari sekadar

mengelola representasi data. Prinsip-prinsip interface dan user support , yang oleh

Beckman di atas dianggap sebagai bagian dari "business model" untuk KM, tidak 

terlalu dikenal dalam kepustakawanan. Sistem pakar yang dikaitkan langsung dengan

IR sebenarnya juga pernah coba dimasukkan kedalam kepustakawanan, tetapi tidak 

ditanggapi secara antusias.

Keengganan ini sebenarnya bukan ciri intrinsik kepustakawanan. Prinsip-prinsip

layanan rujukan bisa dikatakan sebagai bentuk  interface dan user support  yang

pertama kali ada dalam sebuah sistem yang berurusan dengan informasi dan

pengetahuan. Boleh dikatakan, kepustakawanan sudah mengandung benih-benih

tetapi tampaknya luput menumbuh-kembangkan. Salah satu sebabnya, menurut

penulis, adalah karena layanan rujukan lebih banyak berorientasi kepada menemukan

dokumen katimbang membantu pemakai memecahkan masalah. Hal ini tidak bisa

dilepaskan dari pandangan bahwa ketersediaan dokumen setara dengan ketersediaan

informasi. Apalagi jika kemudian skema pengetahuan yang dipakai oleh petugas

rujukan ketika menjalankan wawancara adalah skema kaku yang dipakai untuk 

mengklasifikasi dokumen atau representasi data.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 11/13

 

Masalah kekakuan (rigidity) skema yang dipakai untuk menata representasi data

sebenarnya bukan hanya masalah kepustakawanan, melainkan juga sudah diakui oleh

para pengembang database. Berbagai upaya pendekatan dalam pengembangan

database kini sangat memperhatikan keluwesan dalam re-interpretasi representasi

data setelah ia ditemukan kembali lewat proses pencarian. Sebaliknya,

kepustakawanan kurang memperhatikan persoalan yang timbul dari perbedaan skema

petugas rujukan dengan pengguna jasa. Bahkan ketika database mulai umum dipakai

di perpustakaan pun, kepustakawanan tetap menganggap bahwa interface tidak 

problematik sehingga tidak perlu dipermasalahkan (dalam banyak hal,

kepustakawanan bahkan bersikeras memakai luaran tercetak katalog dari sebuah

database management system).

Kesan bahwa kepustakawanan tidak kritis terhadap teknologi yang akhirnya diadopsi,

sama kuatnya dengan kesan bahwa kepustakawanan enggan menerima teknologi baru.

Di dalam paradigma KM, sikap seperti ini akan menimbulkan masalah. Terutama jika

kita ingat bahwa KM bermaksud pula mengurus tacit knowledge (lawan dari explicit 

knowledge). Teknologi informasi yang telah selama ini dikembangkan adalah

teknologi yang lebih cocok untuk pengetahuan eksplisit yang oleh Nonaka dan

Takeuchi dikatakan sebagai pengetahuan yang rasional, sequential, dan dengan

demikian bisa digital. Untuk bisa berurusan dengan tacit knowledge para pengembang

teknologi tidak bisa hanya mengandalkan representasi data dari pengetahuan yang

sudah menjadi eksplisit (misalnya dalam bentuk dokumen). Diperlukan pemahaman

yang lebih dalam tentang cara kerja otak manusia berpindah-pindah dari tacit  ke

explicit tanpa kehilangan konteks dan konstruk pengetahuan.

Karena belum ada teknologi yang bisa meniru kecepatan dan keakuratan otak manusia

dalam mengubah tacit  menjadi explicit  dan sebaliknya, maka teknologi yang sekarang

ada hanya berhasil mengekstrasi representasi data pengetahuan eksplisit sambil

mengorbankan fleksibilitas re-interpretasi. Sebab itulah, bantuan manusia (bukan

bantuan mesin!) sangat dibutuhkan untuk mengkompensasi keterbatasan teknologi ini.

Kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi bantuan jika ia, pertama-tama dan

terutama, bersikap kritis terhadap teknologi informasi yang tersedia dan mau

melakukan eksplorasi terhadapnya secara terus menerus. Sikap ini bisa dimulai

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 12/13

 

dengan memperluas orientasi dari semata-mata menemukan dokumen (setelah

menyimpannya dengan baik) ke membantu memecahkan masalah. Dari orientasi ini

akan timbul tuntutan kepada teknologi yang dapat mengakomodasi pengetahuan yang

diperlukan untuk memahami representasi data yang tersimpan di dalam sistem.

Sampai di sini maka tulisan ini telah berputar penuh kembali ke isu utama, yakni

perubahan paradigma dalam memandang data, informasi, dan pengetahuan. Penulis

berharap uraian di atas cukup jelas mengetengahkan argumentasi pokok : bahwa

kepustakawanan memiliki potensi untuk memberi kontribusi penting kepada

pengembangan KM, jika ia terlebih dahulu mengubah pandangannya tentang data,

informasi dan pengetahuan, dan jika ia berhenti mengutamakan klasifikasi sebagai

kegiatan intinya.

Implikasi dari argumentasi ini pada bidang pendidikan dan pelatihan adalah pada

perubahan cukup mendasar dalam kurikulum dan orientasi pendidikan

kepustakawanan. Harus ada semakin banyak mata-ajaran tentang antar-hubungan

manusia dalam konteks sistem yang berurusan dengan informasi dan pengetahuan.

Juga harus ada upaya konsisten untuk menanamkan prinsip pengembangan sistem

yang berorientasi kepada fleksibilitas, sebagai lawan dari sistem yang serba

terstandar, rigid , dan formal. Ini hanya bisa dilakukan jika social epistemology 

sebagaimana diusulkan Jesse Shera dikembalikan ke dalam kepustakawanan secara

utuh.

Pembahasan yang lebih rinci tentang hal ini memerlukan diskusi yang berbeda.

Sampai di sini penulis berharap agar tulisan di atas dapat menjadi picu bagi diskusi

yang lebih dalam lagi tentang sumbangan dan peran kepustakawanan dalam

pengembangan KM. Juga diharapkan, sikap untuk mau memberi kontribusi ini

meletakkan kepustakawanan pada kedudukan yang lebih terhormat, katimbang hanya

mengikuti perkembangan atau mengabaikannya.

5/16/2018 KNOWLEDGE MANAGEMENT_Sisi Pandang Kepustakawanan - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/knowledge-managementsisi-pandang-kepustakawanan 13/13

 

Referensi:

Gupta, Anil K. dan Vijay Govindarajan (2000). Knowledge management's social

dimension: lessons from Nucor Steel. Sloan Management Review, fall 2000,

71 - 80.

Kwasnik, Barbara H. (1999). The role of classification in knowledge representation

and discovery.  Library Trends, 48 (1), 22 - 47.

Olson, Hope A. (1998). Mapping beyond Dewey's boundaries: constructing

classificatory space for marginalized knowledge domains.  Library Trends. 47

(2), 233 - 254.

Tuomi, Ilkka (2000). Data is more than knowledge: implications of the reversed

knowledge hierarchy for knowledge management and organizational memory.

 Journal of Management Information System, 16 (3), 103 - 117.

Warner, Julian (2001). W(h)ither information sciences?  Library Quarterly, 71 (2),

243 - 255).