kliping sejarah kebudayaan bali

24
Kliping sejarah TENTANG PERSEBARAN ADAT/KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA YANG MASIH ADA DI BALI Disusun oleh: DEDE ADI NUGRAHA ( xDLMx_dhansheiA3 ) PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA DINAS PENDIDIKAN SMA NEGERI 1 SUKAHAJI Tahun Pelajaran 2012-2013

Upload: dhan-shei

Post on 26-Jun-2015

12.226 views

Category:

Documents


46 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kliping sejarah kebudayaan Bali

Kliping sejarah TENTANG

PERSEBARAN ADAT/KEBUDAYAAN HINDU-BUDHA

YANG MASIH ADA DI BALI

Disusun oleh:

DEDE ADI NUGRAHA

( xDLMx_dhansheiA3 )

PEMERINTAH KABUPATEN MAJALENGKA

DINAS PENDIDIKAN

SMA NEGERI 1 SUKAHAJI

Tahun Pelajaran 2012-2013

Page 2: Kliping sejarah kebudayaan Bali

KATA PENGANTAR

Puji syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Allah SWT Yang Maha

Pemurah, karena berkat kemurahanNya Kliping ini dapat kami selesaikan sesuai

yang diharapkan. Sebagaimana telah diberikan tugas kepada kami untuk membuat

kliping tentang Persebaran adat/kebudayaan Hindu-Budha yang berada di

Nusantara.

Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang kami

hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan

materi/kliping ini tidak lain berkat bantuan, dorongan dan bimbingan orang tua,

sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi.

Oleh karena itu kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Orang Tua kami yang selalu memberikan fasilitas dan dorongan untuk bisa

membuat kliping/kumpulan artikel-artikel ini.

2. Kepada tim/kelompok yang sangat kompak dalam pengerjaan

kliping/kumpulan artikel-artikel ini dengan baik.

3. Narasumber terpecaya dalam pengerjaan ini yang sudah banyak membantu.

Terima kasih atas semuanya. Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang

masih dalam proses pembelajaran, penulisan karya ilmiah ini masih banyak

kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan ada nya kritik dan

saran yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di

masa yang akan datang. Harapan kami, semoga karya ilmiah yang sederhana ini,

dapat memberi kesadaran tersendiri bagi generasi muda bahwa budaya Indonesia

harus selalu dikenal oleh generasi muda yang akan datang.

Semoga dengan kami membuat karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan

memberikan motivasi bagi para pembacanya, khususnya bagi kami dan bagi para

generasi muda yang akan datang, sehingga di Negara ini Kebudayaan nya masih

sangat terjaga. Amin.

Penyusun,

Page 3: Kliping sejarah kebudayaan Bali

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

A. Upacara Adat Ngaben B. Upacara Mekotek C. Upacara Kajeng Kliwon D. Upacara Melasti

E. Upacara Nyambutin

F. Upacara Tutug Kambuhan G. Upacara Melarung Bumi/Mecaru Bumi H. Ogoh-Ogoh

I. Penjor

J. Ngurek K. Tari Barong & Tari Kecak

DAFTAR PUSTAKA

Page 4: Kliping sejarah kebudayaan Bali

BAB I

PENDAHULUAN

PERKEMBANGAN TRADISI HINDU-BUDHA DI INDONESIA

Fakta tentang Proses Interaksi Masyarakat

Indonesia sebagai daerah yang dilalui jalur perdagangan memungkinkan bagi para

pedagang India untuk sungguh tinggal di kota pelabuhan-pelabuhan di Indonesia

guna menunggu musim yang baik. Mereka pun melakukan interaksi dengan

penduduk setempat di luar hubungan dagang. Masuknya pengaruh budaya dan

agama Hindu-Budha di Indonesia dapat dibedakan atas 3 periode sebagai berikut.

1. Periode Awal (Abad V-XI M)

Pada periode ini, unsur Hindu-Budha lebih kuat dan lebih terasa serta menonjol

sedang unsur/ ciri-ciri kebudayaan Indonesia terdesak. Terlihat dengan banyak

ditemukannya patung-patung dewa Brahma, Wisnu, Siwa, dan Budha di

kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara dan Mataram Kuno.

2. Periode Tengah (Abad XI-XVI M)

Pada periode ini unsur Hindu-Budha dan Indonesia berimbang. Hal tersebut

disebabkan karena unsur Hindu-Budha melemah sedangkan unsur Indonesia

kembali menonjol sehingga keberadaan ini menyebabkan

munculnya sinkretisme (perpaduan dua atau lebih aliran). Hal ini terlihat pada

peninggalan zaman kerajaaan Jawa Timur seperti Singasari, Kediri, dan

Majapahit. Di Jawa Timur lahir aliranTantrayana yaitu suatu aliran religi yang

merupakan sinkretisme antara kepercayaan Indonesia asli dengan agama Hindu-

Budha.

Raja bukan sekedar pemimpin tetapi merupakan keturunan para dewa. Candi

bukan hanya rumah dewa tetapi juga makam leluhur.

3. Periode Akhir (Abad XVI-sekarang)

Pada periode ini, unsur Indonesia lebih kuat dibandingkan dengan periode

sebelumnya, sedangkan unsur Hindu-Budha semakin surut karena

perkembangan politik ekonomi di India. Di Bali kita dapat melihat bahwa

Candi yang menjadi pura tidak hanya untuk memuja dewa. Roh nenek moyang

dalam bentuk Meru Sang Hyang Widhi Wasa dalam agama Hindu sebagai

manifestasi Ketuhanan Yang Maha Esa. Upacara Ngaben sebagai objek

pariwisata dan sastra lebih banyak yang berasal dari Bali bukan lagi dari India.

Page 5: Kliping sejarah kebudayaan Bali

AKULTURASI

Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia menyebabkan munculnya

Akulturasi. Akulturasi merupakan perpaduan 2 budaya dimana kedua unsur

kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak

menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Kebudayaan

Hindu-Budha yang masuk di Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan

melalui proses pengolahan dan penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat

Indonesia tanpa menghilangkan unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:

1. Masyarakat Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup

tinggi sehingga masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah

perbendaharaan kebudayaan Indonesia.

2. Kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local

geniusmerupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur

kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan

kepribadian bangsa Indonesia.

Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat melengkapi kebudayaan yang telah ada

di Indonesia. Perpaduan budaya Hindu-Budha melahirkan akulturasi yang masih

terpelihara sampai sekarang. Akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses

pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia.

Page 6: Kliping sejarah kebudayaan Bali

BAB II

PEMBAHASAN

A. Upacara Adat Ngaben

Upacara Adat Ngaben terletak di pinggir Danau Batur dan dikelilingi

tebing bukit, Desa Trunyan memiliki banyak keunikan sebagai sebuah desa kuna

dan Bali Aga (Bali asli). Konon ada sebuah pohon Taru Menyan yang menebarkan

bau sangat harum. Bau harum itu mendorong Ratu Gede Pancering Jagat untuk

mendatangi sumber bau. Beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit di

sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung. Di sanalah kemudian mereka kawin

dan secara kebetulan disaksikan oleh penduduk desa hutan Landung yang sedang

berburu. Taru Menyan itulah yang telah berubah menjadi seorang dewi yang tidak

Page 7: Kliping sejarah kebudayaan Bali

lain adalah istri dari Ida Ratu Pancering Jagat. Sebelum meresmikan pernikahan,

Ratu Gede mengajak orang-orang desa Cemara Landung untuk mendirikan sebuah

desa bernama Taru Menyan yang lama kelamaan menjadi Trunyan. Desa ini berada

di Kecamatan Kintamani, Daerah Tingkat II Bangli. Ternyata tidak semua umat

Hindu di Bali melangsungkan upacara ngaben untuk pembakaran jenasah. Di

Trunyan, jenasah tidak dibakar, melainkan hanya diletakkan di tanah pekuburan.

Trunyan adalah desa kuna yang dianggap sebagai desa Bali Aga (Bali asli). Trunya

memiliki banyak keunikan dan yang daya tariknya paling tinggi adalah keunikan

dalam memperlakukan jenasah warganya. Trunyan memiliki tiga jenis kuburan

yang menurut tradisi desa Trunyan, ketiga jenis kuburan itu di- klasifikasikan

berdasarkan umur orang yang meninggal, keutuhan jenasah dan cara penguburan

yaitu :

1. Kuburan utama adalah yang dianggap paling suci dan paling baik

yang disebut Setra Wayah. Jenazah yang dikuburkan pada kuburan suci

ini hanyalah jenazah yang jasadnya utuh, tidak cacat, dan jenasah yang

proses meninggalnya dianggap wajar (bukan bunuh diri atau kecelakaan).

2. Kuburan yang kedua disebut kuburan muda yang khusus

diperuntukkan bagi bayi dan orang dewasa yang belum menikah. Namun

tetap dengan syarat jenasah tersebut harus utuh dan tidak cacat.

3. Kuburan yang ketiga disebut Sentra Bantas, khusus untuk jenasah yang

cacat dan yang meninggal karena salah pati maupun ulah pati (meninggal

secara tidak wajar misalnya kecelakaan, bunuh diri).

Dari ketiga jenis kuburan tersebut yang paling unik dan menarik adalah

kuburan utama atau kuburan suci (Setra Wayah). Kuburan ini berlokasi sekitar 400

meter di bagian utara desa dan dibatasi oleh tonjolan kaki tebing bukit. Untuk

membawa jenasah ke kuburan harus menggunakan sampan kecil khusus jenasah

yang disebut Pedau. Meski disebut dikubur, namun cara penguburannya unik yaitu

dikenal dengan istilah mepasah. Jenasah yang telah diupacarai menurut tradisi

setempat diletakkan begitu saja di atas lubang sedalam 20 cm. Sebagian badannya

dari bagian dada ke atas, dibiarkan terbuka, tidak terkubur tanah. Jenasah tersebut

hanya dibatasi dengan ancak saji yang terbuat dari sejenis bambu membentuk

semacam kerucut, digunakan untuk memagari jenasah. Di Setra Wayah ini terdapat

7 liang lahat terbagi menjadi 2 kelompok. Dua liang untuk penghulu desa yang

jenasahnya tanpa cacat terletak di bagian hulu dan masih ada 5 liang berjejer

setelah kedua liang tadi yaitu untuk masyarakat biasa.

Jika semua liang sudah penuh dan ada lagi jenasah baru yang akan dikubur,

jenasah yang lama dinaikkan dari lubang dan jenasah barulah yang menempati

lubang tersebut. Jenasah lama, ditaruh begitu saja di pinggir lubang. Jadi jangan

kaget jika di setra wayah berserakan tengorak-tengkorak manusia yang tidak boleh

ditanam maupun dibuang. Meski tidak dilakukan dengan upacara Ngaben, upacara

Page 8: Kliping sejarah kebudayaan Bali

kematian tradisi desa Trunyan pada prinsipnya sama saja dengan makna dan tujuan

upacara kematian yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali lainnya. Upacara

dilangsungkan untuk membayar hutang jasa anak terhadap orang tuanya. Hutang

itu dibayarkan melalui dua tahap, tahap pertama dibayarkan dengan perilaku yang

baik ketika orang tua masih hidup dan tahap kedua pada waktu orang tua

meninggal serangkaian dengan prilaku ritual dalam bentuk upacara kematian.

B. Upacara Mekotek

Upacara Mekotek dilaksanakan dengan tujuanmemohon keselamatan.

Upacara yang juga di kenaldengan istilah ngerebek. Mekotek ini adalah warisan

leluhur, adat budaya dan tradisi yang secara turun temurun terus dilakukan umat

Hindu di Bali.

Pada awalnya pelaksanaan upacara Mekotek diselenggarakan untuk menyambut

armada perang yang melintas di Munggu yang akan berangkat ke medan laga, juga

penyambutan pasukan saat mendapat kemenangan perang Blambangan pada masa

kerajaan silam.

Dahulunya upacara ini menggunakan tombak yang terbuat dari besi. Namun

seiring perkembangan zaman dan untuk menghindari peserta yang terluka maka

sejak tahun 1948 tombak besi mulai diganti dengan tombak dari bahan kayu pulet.

Tombak yang asli dilestarikan dan disimpan di pura.

Mekotek sendiri diambil dari kata tek-tek yang merupakan bunyi kayu yang diadu

satu sama lain sehingga menimbulkan bunyi.

Perayaan upacara Mekotek selalu dilakukan oleh warga Desa Munggu, Kecamatan

Mengwi, Kabupaten Badung, Bali, pada setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai

Page 9: Kliping sejarah kebudayaan Bali

simbol kemenangan,Mekotek juga merupakan upaya untuk menolak bala yang

pernah menimpa desa puluhan tahun lalu.

Pada saat itu Perayaan upacara Mekotek dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda

1915 (Ida Bagus Gede Mahadewa) karena takut terjadi pemberontakan, namun

akibat dari larangan tidak boleh mengadakan upacara Mekotek tersebut muncul

wabah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan banyak memakan korban jiwa.

Lalu terjadi perundingan dan akhirnya diizinkan kembali, sejak saat itu tidak

pernah ada lagi bencana.

Upacara ini Makotek ini diikuti sekitar 2000 penduduk Munggu yang

terdiri dari 15 banjar turun ke jalan dari umur 12 tahun hingga 60 tahun. Mereka

mengenakan pakaian adat madya dengan hanya mengenakan kancut dan udeng

batik dan membawa selonjoran kayu 2 meter yang telah dikuliti. Pada tengah hari

seluruh peserta berkumpul di pura Dalem Munggu yang memanjang. Disana

dilakukan upacara syukuran bahwa selama 6 bulan pertanian perkebunan dan

segala usaha penduduk berlangsung dengan baik, setelah serangkaian upacara

berlangsung, keseluruhan peserta melakukan pawai menuju ke sumber air yang ada

di bagian utara kampung. Warga kemudian terbagi dalam beberapa kelompok . Di

setiap pertigaan yang dilewati masing masing kelompok yang terdiri dari 50 orang

akan membuat bentuk segitiga menggabungkan kayu-kayu tersebut hingga

berbentuk kerucut lalu mereka berputar, berjingkrak dengan iringan gamelan. Pada

saat yang tepat seorang yang dianggap punya nyali sekaligus punya kaul akan

mendaki puncak piramid dan melakukan atraksi entah mengangkat tongkatnya atau

berdiri dengan mengepalkan tangan, sambil berteriak laksana panglima perang

mengkomamdoi prajuritnya untuk terus menerjang musuh lalu kemudian

ditabrakkan dengan kelompok yang mendirikan tumpukan kayu yang lain.

Sesampai di sumber air, tameng suci, segala perangkat upacara yang dibawa dari

Pura Dalem diberi tirta air suci dan dibersihkan. Kemudian mereka melakukan

pawai kembali ke Pura Dalem untuk menyimpan semua perangkat yang dibawa

berkeliling tadi.

Ini adalah suatu aktraksi adat budaya yang saat menarik untuk anda saksikan,yang

hanya ada di Bali pulau Dewata

Page 10: Kliping sejarah kebudayaan Bali

C. Upacara Kajeng Kliwon

Upacara Kajeng Kliwon diperingati setiap 15 hari sekali yaitu pada saat

pertemuan Triwara Kajeng dengan Pancawara Kliwon. Kajeng Kliwon termasuk

dalam upacara Dewa Yadnya, Dewa Yadnya sendiri mempunyai arti upacara

korban suci/persembahan yang tulus ikhlaskepada Sang Hyang Widhi

Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi- Nya.

Umat Hindu di Bali mempercayai Kajeng kliwon merupakan hari suci dan keramat

yang harus diupacarai. Setiap 210 hari ada hari kajeng Kliwon khusus yang disebut

Pemelastali atau Watugunung runtuh.

Kajeng kliwon merupakan hari pemujaan terhadap Sanghyang Siwa yang diyakini

pada hari tersebut Sang Hyang Siwa bersemadi. Pada hari kajeng kliwon umat

Hindu di Bali menghaturkan sesajen dan persembahan kepada Sang Hyang Dhurga

Dewi, sedangkan di tanah, sesajen dan persembahan dihaturkan kepada Sang Bhuta

Bucari, Sang Kala Bhucari dan Sang Durgha Bucari.

Sesajen yang dipersembahkan hampir sama dengan upacara kliwon yang dilakukan

pada hari Kliwon biasa, hanya saja sesajen pada Kajeng Kliwon ini ditambah

dengan nasi kepel lima warna, yaitu merah, putih, hitam, kuning dan coklat,

beberapa bawang putih dan tuak/arak berem. pada bagian atas, di ambang pintu

gerbang harus dihaturkan canang burat wangi dan canang yasa. Dengan sesajen

yang dipersembahkan ini diharapkan rumah tangga dan anggota keluarga

mendapatkan keselamatan selain itu juga sebagai ungkapan rasa terima kasih atas

apa yang telah diberikan Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa).

Umat Hindu Bali tetap taat menjalankan adat dan Tradisi agar keseimbanagn alam

terus lestari.

Page 11: Kliping sejarah kebudayaan Bali

D. Upacara Melasti

Pelaksaan Upacara Melasti dilakukan tiga hari (tilem

kesanga) sebelum Hari Raya Nyepi, Upacara Melastibisa juga sebut

upacara Melis atau Mekilis, dimana pada hari ini umat Hindu melakukan

sembahyangan di tepi pantai dengan tujuan untuk mensucikan diri dari segala

perbuatan buruk di masa lalu dan membuangnya kelaut,ini dilaksanakan sebelum

merayakan Tapa Brata penyepian.

Dalam lontar Sundarigama berbunyi seperti ini:"....manusa kabeh angaturaken

prakerti ring prawatek dewata.". Sementara Melasti dalam ajaran Hindu Bali

berbunyi nganyudang malaning gumi ngamet Tirta Amerta atau menghanyutkan

kekotoran alam menggunakan air kehidupan. Laut sebagai simbol

sumberTirtha Amertha (Dewa Ruci, Pemuteran Mandaragiri).

Umat Hindu di Bali melaksanakan upacara Melasti sebagai rangkaian

pelaksanaan perayaan Hari Raya Nyepi.

Selain melakukan sembahyang, Melasti juga adalah hari pembersihan dan

penyucian aneka benda sakral milik Pura (pralingga atau pratima Ida Bhatara dan

segala perlengkapannya) benda benda tersebut di usung dan diarak mengelilingi

desa, ini bertujuan menyucikan desa, selanjutnya menuju samudra, laut, danau,

sungai atau mata air lainnya yang dianggap suci.

Upacara dilaksanakan dengan melakukan sembahyangan bersama

menghadap laut, seluruh peserta upacara mengenakan baju putih. Setelah

upacara Melasti usai dilakukan, seluruh benda dan perlengkapan tersebut diusung

ke Balai Agung Pura desa. Sebelum Ngrupuk dilakukan nyejer dan selamatan.

Umat Hindu di Bali berharap mendapat kesucian diri lahir batin serta mendapatkan

Page 12: Kliping sejarah kebudayaan Bali

berkah dari Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) untuk menghadapi

kehidupan di masa yang akan datang.

Untuk menyambut Hari Raya Nyepi, pelaksaan upacara Melasti ini di bagi

berdasarkan wilayah, di Ibukota provinsi dilakukan Upacara Tawur. Di tingkat

kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan

upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat

banjar dilakukan upacara Ekasata. Sedangkan di masing-masing rumah tangga,

upacara dilakukan di natar merajan (sanggah).

Makna dari upacara Melasti adalah suatu proses pembersihan diri manusia, alam

dan benda benda yang di anggap sakral untuk dapat suci kembali dengan

melakukan sembahyang dan permohon kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha

Esa), lewat perantara air kehidupan (laut, danau, sungai ), dengan jalan dihayutkan

agar segala kotoran tersebut hilang dan suci kembali. Upacara ini juga bertujuan

memohon kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa agar Umat Hindu diberi kekuatan

dalam melaksanakan rangkaian Hari Raya Nyepi.

Pelaksanaan Ritual dan seluruh perlengkapan (pralingga atau pratima Ida

Bhatara benda benda yang suci dan dianggap Sakral)harus sudah kembaliberada di

bale agung selambat lambatnya menjelang sore.

Pelaksaaan upacara Melasti dilengkapi dengan berbagai sesajen sebagai

simbolis Trimurti, 3 dewa dalam Agama Hindu, yaituWisnu, Siwa, dan Brahma.

serta Jumpana singgasana Dewa Brahma.

Dalam Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang

dipesankan dalam upacara Melasti:

1. Mengingatkan agar terus meningkatkan baktinya kepada Tuhan (ngiring

parwatek dewata).

2. Peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif

melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam

masyarakat (anganyutaken laraning jagat).

3. Membangun sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu

harus melakukan upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan

kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa).

4. Bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).

Pelaksanaan Upacara:

1. Upacara Melasti dimulai iring-iringan umat membawa sarana-sarana

upacara serta jempana dan barong yang akan diarak menuju tempat

sumber air (danau, sungai atau pantai yang letaknya tidak jauh dari

Pura di desa terdekat) dengan diiringi tabuh beleganjur.

2. Setelah tiba di tepi sumber air, upacara Melaspas dilanjutkan dengan

proses pengambilan air suci gunak membersihkan sarana-sarana

Page 13: Kliping sejarah kebudayaan Bali

upacara termasuk jempana dan barong. Dalam pelaksanaan upacara ini

dilakukan sembahyangan bersama. Setelah sembahyangan bersama

seluruh sarana-sarana upacara serta barong dibawa kembali ke pura.

3. Upacara Melaspas kemudian dilanjutkan dengan upacara Tawur

Agung yang dilaksanakan di pelataran parkir Pura. Dalam

upacara Tawur Agung ini dihaturkan persembahan berupa caru yang

ditujukan kepada para bhuta. Setelah penghaturan caru dilanjutkan

dengan pengerupukan dengan membunyikan kentongan dan membakar

obor. Obor dan suara dari kentongan tersebut dibawa berkeliling di

areal Pura. Sesampainya kembali di pelataran parkir semua sarana

upacara tersebut dibakar menjadi satu.

4. Upacara pengerupukan dan Tawur Agung ditutup dengan pelaksanaan

kirtan Tri Murti di tempat pembakaran sarana upacara. Setelah kirtan,

umat berisitirahat sambil menunggu pesiapan persembahyangan tilem.

Persembahyangan tilem berjalan dengan khidmat dan lancar hingga

usai.

Pelaksanaan Upacara Melasti ini menjadi salah satu daya tarik wisata yang saat

menarik untuk disaksikan, bagi anda yang ini melihat keunikannya upacara

Melasti, kita tunggu kedatangan anda ke Bali pulau Dewata.

E. Upacara Nyambutin

Upacara Nyambutin adalah upacara pemujaan dan permohonan kehadapan

Hyang Widhi agar jiwa di si bayi diberkati dan benar-benar menyatu kembali

kepada raganya, juga sebagai penegasan nama si bayi dan memohon izin dan

berkah ke hadapan ibu pertiwi agar diizinkan mengijakkan kaki ke bumi.

Page 14: Kliping sejarah kebudayaan Bali

Kata Nyambutin berasal dari kata sambut, jadi bila diuraikan mempunyai

makna memberikan ucapan salam, selamat datang kepada bayi. Dalam istilah Bali

ada sekala dan niskala, sekala untuk bayi itu sendiri (terlihat) dan niskala tidak

terlihat, saat bayi lahir dipercaya dia tidak sendiri, dia lahir bersama temannya

namun tidak terlihat jadi teman nya itu di namakan niskala.

Upacara Nyambutin ini dilakukan pada saat bayi berumur 105 hari/ 3 bulan sering

juga disebut nelubulanin dan tuun tanah = 3 bulanan dan turun ke tanah, karena

pada saat seumur itu si bayi mulai belajar duduk, dan di mandi kan sebagai

penyucian atas kelahirannya di dunia.

Dalam ajaran Hindu di kenal (Panca Yadnya) yang wajib dilaksanakan di dalam

usaha mencapai kesempurnaan hidup lahir maupun batin, salah satunya adalah

manusa yadnya yaitu suatu upacara pengorbanan suci demi kesempurnaan dan

keselamatan hidup manusia baik saat berada di alam dunia maupun alam baka, Ada

beberapa upacara yang berhubungan dengan Manusa yadnya dan salah satu nya

upacara Nyambutin.

Pelaksanaan upacara Nyambutin dipimpin oleh seorang Pemangku, upacara

ini dilakukan di halaman rumah (ngatah), antara dapur dan rumah tengah dimana

plasenta (ari-ari) si bayi di kubur, untuk sesajen (babaten) diletakan disebuah meja

kecil. Sebelum upacara berlangsung, bayi dan orang yang mengikuti kegiatan

upacara duduk dibelakang pimpinan upacara, lalu disiapkan daun dadap, benang

dan kapas putih.

Ritual upacara pemujaan ini di tujukan kepada Bhatara Surya, ini bermakna

agar si bayi mendapat berkah, persembahan ini juga diberikan untuk para dewa,

adapun dewa tersebut I Ratu Taksu Pengijen, I Ratu Gede di Dasar dan I Ratu

Gede, lalu persembahan juga diperuntuk bagi dewa yang berada di bumi yaitu I

Ratu Bagus Blangsingan, persembahan yang terakhir di berikan kepada Dewa

Rajapati, dewa yang menjaga Plasenta (ari-ari) si bayi, semua persembahan ini

mempunyai tujuan agar sang bayi mendapat perlindungan dan keselamatan dari

Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) lewat menifestasinya Bhatara Surya.

(Christian Riemenschneider,Brigitta Hauser-Schäublin).

Berbagai upacara, pemujaan dan persembahan yang dilakukan umat Hindu di Bali

sebagai ungkapan dari rasa terima kasih ke hadapan Sang Pencipta, dengan

melaksanakan upacara Nyambutin ini, dengan ketulus ikhlasan menjalankan nya,

di harapan mendapat berkah dan karunia.

Page 15: Kliping sejarah kebudayaan Bali

F. Upacara Tutug Kambuhan

Upacara Tutug Kambuhan bermakna membersihkan jiwa raga sang bayi

dari pengaruh buruk, sedangkan untuk ibu membersihkan dari segala noda dan

kotoran, ungkapan rasa berterima kasih kepada Nyama Bajang bayi atas

bantuannya menjaga bayi sewaktu masih dalam kandungan juga mohon agar

mereka kembali ke tempat asalnya masing-masing. Tutug Kambuhan bisa juga

disebut Bulan Pitung, Dina atau Macolongan, upacara ini dilaksanakan saat bayi

berumur 42 hari, perhitungan ini mengikuti wuku yaitu selama 6 wuku, satu wuku

7 hari, jadi satu bulan Bali sama dengan 35 hari (5 minggu). Upacara ini termasuk

dalam upacara manusaYadnya, Karena upacara ini dilakukan pada seorang

manusia (bayi), manusa Yadnya adalah upacara persembahan suci yang tulus

ikhlas kepada manusia.

Adapun yang dimaksud dengan Nyama Bajang adalah merupakan

manifestasi kekuatan Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) yang membantu

tugas-tugas Kanda-Pat dalam hal menjaga dan memelihara bayi, sejak mulai

tumbuhnya benih sampai saat kelahiran bayi. Setelah bayi lahir, tugas-tugas

Nyama Bajang ini berakhir sedangkan yang dimaksud dengan Kanda-Pat adalah:

Ari-ari, Lamas, Getih dan Yeh-Nyom. Berbeda dengan Nyama

Bajang, Kanda-Pat selalu senantiasa menemani manusia, sejak bayi masih dalam

kandungan sampai manusia menjadi tua dan akhirnya meninggal dunia.

Upacara Tutug Kambuhan ini sangat penting untuk dilaksanakan tepat pada

waktunya, ini semua berguna unutk pembersihan raga bagi bayi, karena pada usia

42 hari, tali pusar sudah putus, lapisan kulit yang paling tipis sudah berganti,

peredaran darah dan konsumsi makanan sudah lancar sehingga keringat, air mata,

ludah, kencing, dan kotoran sudah keluar dan untuk pembersihan raga ibu ditandai

oleh terhentinya aliran kotoran dari rahim.

Upacara Tutug Kambuhan ini sebaiknya diusahakan terlaksana, walaupun sangat

sederhana. Upacara ini merupakan batas waktu bagi kebersihan jiwa si bayi dan

ibunya yang biasa disebut lepas sesebelan atau cuntaka.

Setelah sesebelan/cuntaka ini bayi dan ibunya boleh diperkenakan masuk ke dalam

Page 16: Kliping sejarah kebudayaan Bali

Pura, namun saat memasuki pura, ibu dilarang menyusui anak, karena air susu

yang menetes membawa “keletehan atau membuat kotor tempat suci. Sedangkan

untuk sang ayah, batas waktu sesebelan/cuntaka adalah ketika si bayi putus tali

pusarnya. Pada saat itu ayah harus melakukan natab bea kala dan ngayab

prayascita.

Upacara Tutug Kambuhan ini dipimpin oleh pendeta/Sulinggih dan dilaksanakan

dirumah, ada 3 tempat lokasi dalam melakukan upacara ini yaitu:

1. Di dapur, pemujaan/persembahan terhadap Dewa Brahma.

2. Di tempat pemandian pemujaan/persembahan terhadap Dewa Wisnu.

3. Di sanggah kamulan pemujaan/persembahan terhadap Dewa Siwa.

Pelaksanaan upacara diawali dengan membaca doa dan menghaturkan puja-

puja oleh Pendeta/Sulinggih dengan mempersembahkan beberapa sesajen yang

berfungsi untuk membersihkan jasmani bayi agar memperoleh kesucian,

kesejahteraan, juga sebagai permohonan agar diberikan kesuksesan hidup, lalu

diadakan upacara byakala untuk pembersihan lahir dan bathin juga menghilangkan

segala bentuk pengaruh-pengaruh negatif, upacara

selanjutnya dilukatdan natab, rangkaian upacara Tutug Kambuhan ini diakhiri

dengan melakukan persembahyangan.

G. Upacara Melarung Bumi/Mecaru Bumi

Upacara Melarung Bumi disebut juga Mecaru Bumi, upacara ini

bermakna membersihkan bumi dari pengaruh buruk dan negatif yang bisa

merusak kehidupan manusia juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan. Dalam

melaksanakan upacara Melarung Bumi ini, umat Hindu di Bali percaya ada 9 dewa

yang di puja, adapun dewa dewa itu : Dewa Wisnu, Dewa Iswara, Dewa

Maheswara, Dewa Brahma, Dewa Rudra, Dewa Mahadewa, Dewa Sangkara,

Dewa Indra/Sambu dan Dewa Siwa.

Page 17: Kliping sejarah kebudayaan Bali

Dari ke 9 dewa ini, semuanya mempunyai peran penting dalam menjaga bumi

beserta isinya, sedangkan maksud dan tujuan dari upacara ini adalah sebagai

perwujudan rasa kepedulian kita manusia terhadap lingkungan alam yang kita

diami dan tempati agar jangan sampai rusak dan binasa.

Upacara Melarung Bumi ini dipimpin oleh seorang pendeta, dilakukan 1

hari, sementara upacara bisa dilakukan kapan saja, tergantung kondisi alam,

apalagi saat terjadi musibah atau bencana, seperti kekeringan, tanah longsor, banjir,

gempa, gunung meletus, maka wajib dilaksanakan upacara Melarung Bumi ini.

Lokasi tempat upacara bisa dilakukan dimana saja, seperti di pura Agung, tempat

suci, dan di rumah.

Sarana upacara Melarung Bumi ini di sebut Banten Pakelem. Yang terdiri dari

beberapa sesajen yang didalamnya termasuk hewan, seperti Ayam, Bebek,

Kambing, Kerbau, Sapi dan lain sebagainya , hewan yang dipersembahkan tersebut

jumlah dan jenisnya disesuaikan dengan tingkat upacara yang akan dilaksanakan.

Umat Hindu di Bali mengenal tiga tingkatan dalam menjalankan upacara ke

agamaan, adapun tingkatan tersebut : Rendah (Nista), sedang (Madya), dan

tinggi (Utama), disesuai dengan tingkat kemampuan yang akan melaksanakannya.

Setelah semua sarana persembahan disediakan, kemudian prosepsi upacara di

mulai, saat upacara , dipanjatkan doa dan puji pujian diiringi dengan suara

gamelan, lalu dilaksanakan sembahyang bersama yang di pimpin oleh pendeta.

Akhir dari kegiatan upacara, semua sesajen yang telah disediakan di bawa

ke laut, danau, sungai, kawah gunung, kemudian sesajen tersebut dilarungkan atau

dihanyutkan. Ini semua bermakna membuang segala macam unsur negatif. Agar

bumi beserta isi nya kembali suci dan lestari(jagaditalohjinawi).

Dari rangakain kegitan upacara Melarung Bumi adalah sebagai ungkapan rasa

terima kasih kehadapan yang Pencipta beserta manifestasinya yang telah

menciptakan alam jagad raya lengkap dengan isi nya.

Bali mempunyai berbagai kegiatan upacara keagamaan, dan salah satu nya adalah

upacaraMelarung Bumi, dan bila anda ingin menyaksikan upacara ini datanglah ke

Bali pulau para Dewata.

Page 18: Kliping sejarah kebudayaan Bali

H. Ogoh-Ogoh

Ogoh-Ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang

menggambarkan kepribadian "Bhuta Kala" dan sudah menjadi ikon ritual yang

secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun

Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran

tahun baru itu dengan mengarak-arakan "ogoh-ogoh" yang dibarengi dengan

perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini. Pada saat

"Pangrupukan" atau sehari menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya

setiap tahunnya sama yaitu pada setiap Banjar (pemangku adat setingkat

Kelurahan) di Bali akan berlomba dalam hal membuat "ogoh-ogoh" semenarik

mungkin. Bila pembuatannya lebih bernilai seni, rumit, dan lebih mutakhir, maka

"ogoh-ogoh" itu diharapkan bisa menaikkan martabat Banjar yang membuatnya.

Fungsi utama "ogoh-ogoh" adalah sebagai representasi Bhuta Kala yang dibuat

menjelang perayaan Hari Raya Nyepi, dimana "ogoh-ogoh" tersebut akan diarak

beramai-ramai keliling banjar atau desa pada senja hari, sehari sebelum Hari Raya

Nyepi (Pangrupukan). Menurut para cendekiawan dan praktisi Hindu Dharma,

prosesi ini melambangkan keinsyafan diri manusia akan kekuatan alam semesta

dan waktu yang maha dashyat. Kekuatan tersebut meliputi kekuatan "Bhuana

Agung" (alam raya) dan "Bhuana Alit" (diri manusia). Dalam pandangan filsafat

(tattwa), kekuatan tersebut dapat mengantarkan makhluk hidup di alam raya,

khususnya manusia dapat menuju kebahagiaan atau kehancuran. Semua itu

tergantung pada niat luhur manusia, sebagai makhluk Tuhan yang paling mulia

dalam menjaga dirinya sendiri serta seisi dunia.

Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala melambangkan kekuatan alam semesta

(bhu) dan waktu (kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan

patung yang dimaksud, "Bhuta Kala" digambarkan sebagai sosok yang besar

menakutkan dan pada umumnya berupa wujud raksasa (rakshasa). Raksasa adalah

bangsa pemakan daging manusia atau kadang-kadang sebagai bangsa kanibal dan

dilukiskan dalam "Yakshagana", sebuah seni populer dari "Karnataka". Menurut

mitologi Hindu dan Budha menyatakan, kata "rakshasa" mempunyai arti

Page 19: Kliping sejarah kebudayaan Bali

"kekejaman", yang merupakan lawan dari kata "raksha" yang artinya

"kesentosaan". Namun tidak semua raksasa memiliki kepribadian yang kejam,

seperti Wibisana, Hiranyaksa, dan Hiranyakasipu, yang mendapat berkah dari

dewa karena mereka memuja Dewa Brahma. Menurut kitab Ramayana

menguraikan, bahwa raksasa diciptakan dari kaki Dewa Brahma. Sedangkan

menurut kisah lain, mereka berasal dari tokoh Pulastya, Khasa, Nirriti, dan Nirrita.

Dengan keberadaan arak-arakan "Ogoh-Ogoh" yang sudah menjadi tradisi

inilah yang menambah daya tarik wisatawan baik mancanegara maupun nusantara.

Karena selain memiliki keindahan tempat-tempat wisata, Balipun memiliki

kekayaan budaya yang menjadi andalan kepariwisataan. Serasa belum lengkap

bilamana wisatawan berkunjung tidak melihat prosesi "Ogoh-Ogoh" pada

penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka.

I. Ngurek

Ngurek adalah atraksi menusuk diri dengan menggunakan senjata keris, ini

berlangsung ketika para pelaku berada dalam keadaan kerasukan (diluar

kesadaran). Ngurek berkaitan erat dengan ritual keagamaan bahkan disejumlah

desa adat di Bali tradisi ini wajib dilangsungkan. Ngurek bisa disebut juga

dengan Ngunying, Ngurek merupakan wujud bakti seseorang yang

dipersembahkan kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Ngurek termasuk dalam upacara Dewa Yadnya yaitu pengorbanan/persembahan

suci yang tulus ihklas. Menurut ajaran agama Hindu, Tuhan Yang Maha Esa

menciptakan manusia, mahluk hidup beserta isinya berdasarkan atas Yadnya, maka

dengan itu manusia di harapkan dapat memelihara, mengembangkan dan

mengabdikan diri nya kepada Sang Pencipta yakni Hyang Widhi Wasa (Tuhan

Yang Maha Esa).

Ngurek berasal dari kata ‘urek’ yang berarti lobangi atau tusuk, jadi Ngurek dapat

diartikan berusaha melobangi atau menusuk bagian tubuh sendiri dengan keris,

Page 20: Kliping sejarah kebudayaan Bali

tombak atau alat lainnya saat berada dalam kondisi kerasukan. Karena Ngurek

dilakukan dalam kondisi kerasukan atau diluar kesadaran, maka roh lain yang

masuk ketubuh akan memberi kekuatan, sehingga orang yang melakukan Ngurek

ini menjadi kebal, dan ini merupakan suatu keunikan sekaligus misteri yang sulit

dijelaskan.

Tradisi Ngurek tidak tahu kapan mulai dilakukan, konon ini terjadi pada jaman

kejayaan kerajaan. Saat itu sang raja ingin membuat pesta yang tujuannya untuk

menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta dan sekaligus menyenangkan hati

para prajuritnya. Setelah dilakukan sejumlah upacara, kemudian memasuki tahap

hiburan, mulai dari sabung ayam, hingga tari-tarian yang menunjukkan

kedigdayaan para prajurit, maka dari tradisi ini munculah Tari Ngurek atau Tari

Ngunying.

Ngurek, menusuk diri dengan keris dalam keadaan kerasukan atau tidak

sadar ini pada zamannya hanya dilakukan oleh para pemangku, namun kini orang

yang melakukan Ngurek tak lagi dibedakan statusnya,bisa pemangku,

penyungsung pura, anggota krama desa, tokoh masyarakat, laki-laki dan

perempuan. Tapi suasananya tetap yaitu mereka melakukannya dalam keadaan

kerasukan atau trance. Kendati keris yang terhunus itu ditancapkan ketubuh,

namun tidak setitikpun darah yang keluar atau terluka.

Ngurek ini biasa dilakukan di luar kompleks pura utama.

Sebelum Ngurek dilakukan, biasanyaBarong dan Rangda serta para pepatih yang

kerasukan itu keluar dari dalam kompleks pura utama dan mengelilingi wantilan

pura sebanyak 3 kali. Saat melakukan hal itulah, para pepatih mengalami titik

kulminasi spiritual tertinggi.

Kerasukan dalam Ngurek, biasanya terjadi setelah melakukan proses ritual.

Untuk mencapai klimaks kerasukan, mereka harus melakukan beberapa tahapan.

Tahapan-tahapan tersebut secara garis besar dibagi menjadi tiga yang terdiri dari:

1. Nusdus adalah merangsang para pelaku ngurek dengan asap yang

beraroma harum menyengat agar segera kerasukan.

2. Masolah merupakan tahap menari dengan iringan lagu-lagu dan koor

kecak atau bunyi-bunyian gamelan.

3. Ngaluwur berarti mengembalikan pelaku ngurek pada jati dirinya

Masuknya roh kedalam diri para pengurek ini ditandai oleh keadaan: badan

menggigil, gemetar, mengerang dan memekik, dengan di iringi suara gending

gamelan, para pengurek yang kerasukan, langsung menancapkan senjata,

biasanya berupa keris pada bagian tubuh di atas pusar seperti dada, dahi, bahu,

leher, alis dan mata, walaupun keris tersebut ditancapkan dan ditekan kuat kuat

secara berulang ulang, jangankan berdarah, tergores pun tidak kulit para pengurek

tersebut, roh yang ada didalam tubuh para pengurek ini menjaga tubuh mereka agar

kebal, tidak mempan dengan senjata. Ngurek mempunyai gaya masing-masing, ada

yang berdiri sembari menancapkan keris ke bagian tubuh, seperti dada atau mata,

Page 21: Kliping sejarah kebudayaan Bali

ada pula yang bersandar di pelinggih. Setelah upacara selesai, para pelaku ngurek

kembali ke kompleks pura utama.

Tradisi Ngurek ini merupakan kebiasaan masyarakat Bali, dimana saat upacara

mengundang roh leluhur dilakukan, para roh diminta untuk berkenan memasuki

badan orang-orang yang telah ditunjuk, dan menjadi sebuah tanda, bahwa roh-roh

yang diundang telah hadir di sekitar mereka. Tradisi Ngurek juga dipercaya, untuk

mengundang Ida Bhatara dan para Rencang-Nya, berkenan menerima persembahan

ritual saat upacara. Jika orang-orang yang ditunjuk sudah kerasukan dan mulai

Ngurek, maka masyarakat bisa mengetahui dan meyakini kalau Ida Bhatara sudah

turunnya ke marcapada (dunia), maka umat yang mengikuti prosesi ritual kian

mantap dengan semangat bhaktinya.

Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, apa pun yang kita lakukan

dengan pasrah, berserah diri dan ihklas kepada Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha

Esa), maka akan mendapat anugrah dan karunia.

J. Tari Barong & Tari Kecak

Tari Barong dan Tari Kecak adalah dua jenis tarian tradisional Bali yang

sangat terkenal di dunia kepariwisataan baik di tanah air maupun dunia. Kedua

Page 22: Kliping sejarah kebudayaan Bali

tarian ini seringkali dijadikan media promosi paket-paket wisata Bali oleh setiap

agen atau biro perjalanan wisata sehingga kedua tarian tradisional itu menjadi ikon

yang melambangkan budaya Bali. Hampir semua agen atau biro perjalanan wisata

yang menyelenggarakan paket wisatanya di Bali, selalu mebawa tamu mereka atau

wisatawan untuk menyaksikan Tari Barong dan Tari Kecak. Ada beberapa tempat

yang menyelenggarakan kedua tarian tersebut, di antaranya salah satu tempat

terkenal yang setiap harinya mengadakan pertunjukkannya adalah di desa

Batubulan, kabupaten Gianyar. Selain itu, ada juga beberapa tempat lain, seperti di

kawasan obyek wisata Pura Uluwatu, dan tempat lainnya yang digelar di daerah

Kesiman serta Suwung, yang masih termasuk dalam wilayah ibukota Denpasar.

Pada umumnya tari Kecak ataupun tari Barong itu diadakan oleh suatu

kelompok (sekeha) seni tari tradisional yang ada di setiap desa-desa atau banjar-

banjar di Bali. Seperti di desa Batubulan kecamatan Gianyar, terdapat

beberapa sekeha yang memiliki jenis tarian yang sama dengansekeha lainnya.

Perbedaan masing-masing kelompok itu hanya pada bentuk pelayanan dan tempat

pertunjukkannya. Pada umumnya pertunjukkan di Batubulan, tarian pertama yang

digelar untuk pengunjung atau wisatawan adalah tarian Barong yang digabung

dengan tari lain yaitu tari Keris, sehingga tarian itu dikenal juga dengan nama "Tari

Barong dan Keris". Untuk menyaksikan tarian ini setiap akan diberikan semacam

panduan cerita tarian dalam bentuk tulisan. Panduan cerita ini ditulis dalam

berbagai bahasa di dunia sehingga memudahkan bagi setiap pengunjung yang

umumnya datang dari berbagai bangsa.

Tari Barong menggambarkan pertarungan antara kebaikan melawan

kejahatan. Barong melambangkan kebaikan sedangkan pihak musuhnya adalah

Rangda yang mewakilkan kejahatan. Tari Barong ini diperankan oleh dua orang

penari yang memakai topeng binatang mirip harimau, sama seperti

pertunjukkan barongsai pada kebudayaan Cina. Sedangkan Rangda berupa topeng

yang berwajah menyeramkan dengan dua gigi taring runcing di mulutnya. Tarian

ini dibuka dengan gending pembuka (gamelan) yang dibawakan

oleh sekeha gamelan. Para penabuh gamelan ini berada di sebelah kanan panggung

yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pertunjukkan tarian tersebut secara

keseluruhan. Sebab tari Barong sangat tergantung pada irama-irama tabuh dari alat

musik gamelan tersebut. Seperti halnya pertunjukkan-pertunjukkan drama,

pertunjukkan tari Barong ini dari awal hingga akhir terdiri dari lima babak, yang

pada babak pertama diawali dengan fragmen atau semacam pengantar cerita. Alur

dari pertunjukkan tari ini mengartikan nilai filosofi yang menyatakan bahwa

peperangan antara kebaikan dan kejahatan di dunia ini selalu ada serta berlangsung

terus menerus. Pertunjukkan tari Barong ini biasanya hanya berlangsung selama

satu jam.

Sedangkan "Tari Kecak" merupakan pertunjukan kesenian tari khas Bali yang

diciptakan sekitar tahun 1930 dan dimainkan oleh laki-laki. Tari ini diperankan

Page 23: Kliping sejarah kebudayaan Bali

oleh banyak (puluhan atau lebih) penari laki-laki yang posisinya duduk berbaris

membentuk suatu lingkaran dengan diiringi irama tertentu yang menyerukan "cak"

secara berulang kali, sambil mengangkat kedua lengan. Tari Kecak ini

menggambarkan kisah Ramayana di mana saat barisan kera membantu Rama

melawan Rahwana. Pada mulanya tari Kecak ini berasal dari ritual tarian "Sang

Hyang, yaitu tradisi tarian yang penarinya akan berada dalam kondisi yang tidak

sadar (trance). Dalam hal ini penari tersebut sedang melakukan komunikasi dengan

Tuhan atau kepada para roh leluhur yang kemudian menyampaikan keinginan dan

harapan kepada masyarakatnya. Para penari yang duduk melingkar itu mengenakan

kain bermotif kotak-kotak seperti papan catur yang mengikat pada pinggang

mereka. Selain penari tersebut, ada pula beberapa penari lainnya yang memerankan

tokoh-tokoh Ramayana, seperti Rama, Shinta, Rahwana, Hanoman, dan Sugriwa.

Iring-iringan lagu atau musik yang mengiringi tari Kecak selama berlangsung

diambil dari ritual tarian Sanghyang, yang tidak menggunakan alat musik. Akan

tetapi hanya menggunakan kincringan yang dikenakan pada kaki penari yang

memerankan tokoh-tokoh Ramayana. Sekitar tahun 1930-an seniman Wayan

Limbak bekerja sama dengan pelukis asal Jerman yaitu Walter Spies menciptakan

kreasi tari Kecak berdasarkan tradisi tari Sanghyang yang digabungkan dengan

mengambil bagian-bagian dari kisah Ramayana. Wayan Limbak memperkenalkan

dan mempopulerkan tari Kecak ini saat ia berkeliling dunia bersama rombongan

penari Balinya.

Page 24: Kliping sejarah kebudayaan Bali

DAFTAR PUSTAKA

R. Soekmono, Dr., 1995, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2,

Yogyakarta: Penerbit Kanisius

Sartono Kartodirdjo, dkk., 1977, Sejarah Nasional Indonesia II, Jakarta: Balai

Pustaka

Chalif Latif dan Irwin Lay, Atlas Sejarah, Jakarta: Pembina Praga, 1993.

Edhie Wurjantoro, Sejarah Nasional dan Umum I, Jakarta: Depdikbud, 1996.

Soekmona R., Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia II , Yogyakarta:

Kanisius,1973.Sartono Kartodirjo, Marwati Djoned Poeponegoro, Nugroho

Notosusanto, SejarahNasional Indonesia II, Jakarta: Depdikbud, 1973.

Supartono Widyosiswoyo, Sejarah I, Klaten: Intan, 1979.

Truyana, Sejarah Nasional dan Sejarah Umum SMU I, Jakarta: Sumber

bahagia,1995.

[email protected]