kliping artikel tksdg

Upload: rafika-khairina

Post on 18-Jul-2015

102 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Dimensi Penebangan Liar Diterbitkan Juni 12, 2008 Artikel Dosen Ditutup Tag:hutan, penebangan liar, Siti Kotijah

Oleh Siti Kotijah Perkembangan dalam menghadapi masalah lingkungan hidup pada sektor kehutanan yaitu penebangan liar atau dikenal dengan illegal logging. Selama dekade terakhir ini semakin banyak terjadi penebangan liar (iIlegal logging), bila dibiarkan akan menimbulkan kemorosatan lingkungan hidup yang berlangsung terus-menerus pada akhirnya membawa implikasi pada kerugian ekonomi yang luar biasa parah disektor kehutanan. Brow (1993) menegaskan bahwa kerugian ekonomi pada rusaknya ligkungan hidup yang paling menonjol adalah penggundulan liar (Ilegal logging), sedang menurut Sptephe Deveni dari Forest law Enforcemen Governance and trade (FLEGT) mengatakan bahwa illegal logging adalah penyebab utama kerusakan hutan di Indonesia dan menjadi masalah serius di dunia. Penebangan liar (Illegal logging) telah menimbulkan masalah multidimensi yang berhubungan dengan aspek ekonomi, sosial , budaya lingkungan. Hal ini merupakan konskwensi logis dari fungsi hutan yang pada hakekatnya adalah sebuah ekosistem yang di dalamnya mengandung fungsi dasar, yaitu fungsi produksi (ekonomi), fungsi lingkungan (ekologi), serta fungsi sosial. Dilihat dari aspek sosial, penebangan liar (illegal logging) menimbulkan konflik seperti konflik hak atas tanah, konflik kewenangan mengelola hutan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta masyarakat setempat. Aspek budaya kegantungan masyarkat terhadap hutan, penghormatan terhadap hutan yang masih dianggap nilai magic juga ikut terpangaruh oleh praktek-praktek illegal logging yang pada akhirnya merubah perspektip dan prilaku masyarakat adat setempat terhadap hutan. Dampak kerusakan ekologi (lingkungan) akibat penebangan liar (illegal logging) bagi lingkungan dan hutan adalah bencana alam, kerusakan flora dan fauna dan punahnya spesias langka. Prinsip pelestraian hutan sebagaiman di indikasikan oleh ketiga fungsi pokok tersebut, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu pemanfatan dan pelastarian sumber daya hutan perlu dilakukan melalui suatu sistem pengelolaan yang dapat menjaga serta meningkatkan fungsi dan perananya bagi kepentingan generasi masa kini maupun generasi dimasa yang mendatang. Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengurangi aktivitas illegal logging. Yang terbaru dengan dikeluarkan Surat edaran Nomor 01 Tahun 2008 tentang petunjuk Penanganan Perkara Tindak pidana Kehutanan dan sebelumnya Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Indonesia merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar (illegal logging) yang diharapakan kelangsungan hutan di Indonesia dapat terselamatkan dan hal sampai keakar-akarnya.

Namun demikian illegal logging semakin marak dan hutan semakin mengalami tingkat kerusakan yang mengkwatirkan, termasuk di Kaltim. Perspektip pengelolahan hutan Indonesia, semuanya bermuara pada maraknya kegiatan penebangan tanpa izin, penebangan liar (illegal logging) yang berdampak negatif terhadap fungsi lindung terhadap konservasi hutan. Beberapa kebijakan pemerintah di bidang kehutanan baik secara nasional maupun internasional dalam rangka penanggulangan kejahatan penebangan liar (Illegal logging) dikeluarkan sejak tahun 2001 tentang pemberantasan Penebangan Kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya si seluruh wilayah Indonesia. Dari laporan hasil Gugus tugas FLEG East Asia and Pasific bahwa penebangan liar (illegal logging) adalah masalah global, komplek dan bervariasi dan tidak ada penyelesian secara cepat dan instan. Maka ada 3 (tiga) hal yang diperlukan kegiatan aksi yaitu : 1. Mekanisme Clearing House FLEG yaitu tempat transaksi cek di bank (Interim Secretariat: Depertemen kehutanan). 2. Collaborative Researh on Timber Supply and demand yaitu Riset Kolaboratif atas Pemerintahan Dan Penawaran Kayu ( Interim Secretariat: CIFOR). 3. Mekanisme Pelaporan untuk Information Sharing.

Tindakan lain untuk memberantas kejahatan penebangan liar (Illegal logging) dengan kebijakan dalam bentuk kerjaasama dengan negara lain, dimana orientasi kepada upaya pengelolahan hutan secara lestari. Politik hukum yang dilalukan pemerintah secara nasional antara lain: 1. Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Penebangan illegall (illegal Logging ) dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser Taman Nasional Tanjung Puting. 2. Perjanjian Kerjasama antara Depertemen Kehutanan dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perjanjian ini berupa perjanjian kerjasama antara Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Depertemen Kehutanan dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) No.1341/DJIV/LH2004 dan Nomor TNI: R/766/XII/01/SOPS Tentang Penyelenggaran Operassi Wanabahri. 3. Perjanjian Kerjasama antara Depertemen Kehutanan dengan Kepolisian Negara Republik Indinesia ( POLRI). 4. Perjanjian Kejasama antara Dirjen Perlindungan Hutan dan Kanservasi Alam (PHKA) Deperetemen Kehutanan dengan Deputi Kapolri Bidang Operasional Nomor 1342/DJIV/LH/2001 dan No/Pol:B/01/XII/2001 tentang Penyelengaraan Opearsi Wanalaga. 5. Surat keputusan bersama Menteri Kehutanan Nomor 1123/KPTS-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan dengan Nomor 192/MPP/KEP/10/2001 Tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat /Bahan Baku Serpih. 6. Surat Ederan Depetermen Kehutanan Nomor 406/Menhut-IV/3003 tentang Pemberhentian Sementara Waktu Penertibatan Izin Penebangan Kayu (IPK) oleh Pemerintah Daerah (Pemda). 7. Memasukan kejahatan di bidang kehutanan dan lingkungan termasuk di dalamnya penembangan liar (illegal logging) kedalam undang-undang tentang tindak pidana pencucian uang.

8. Perumusan Rencana Peraturan Pemerintah (RAPERPU) tentang pemberentasan tindak pidana penebangan, pengedaran kayu dan hasil hutan illegal.

Komitmen untuk memerangi dan memberantas penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pemerintah, perlu didukung semua pihak yang pada akhirnya hutan diharapkan dapat memberi kesejahteran dan kemakmuran masyarakat . Kedepan dalam pemberantasan ilegal logging perlu langkah aktif dan sinergitas kerjasama seluruh pihak terkait, melalui berbagai forum dan media, baik formal maupun informal dan mengoptimalkan upaya pemberantasan illegal logging dengan langkah- langkah operasional khusus dan rumusan-rumusan program yang jelas. Tentang penulis: Siti Kotijah SH, dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda, peserta Program Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga. Kontak person: 081 347 216635. Email: [email protected]

Penebangan Liar Hutan Di Indonesia Sama Dengan "Harakiri" Senin, 28 Juli 2008 19:21 WIB Yogyakarta (ANTARA News) - Penebangan liar hutan di Indonesia sebagai bentuk eksploitasi terhadap kekayaan sumberdaya alam yang sudah berlangsung lama, tanpa disadari berarti sama dengan melakukan "harakiri". "Tanpa kita sadari, Indonesia tengah melakukan harakiri terhadap sumberdaya hutannya. Dan selama 30 tahun proses eksploitasi hutan nasional, justru terjadi peningkatan sejak era otonomi," kata Kepala Subdit Pemolaan dan Pengembangan Direktorat Konservasi Kawasan Ditjen PHKA, Departemen Kehutanan, Ir. Wiratno MSc,di Yogyakarta, Selasa. Eksploitasi terhadap hutan tropis semakin meningkat bahkan disertai dengan tindakan penebangan liar terjadi karena ketimpangan sebaran sumberdaya alam, selain gaya hidup boros di negara maju yang ditiru masyarakat dunia bahkan menjadi trend gaya hidup modern. "Kondisi tersebut menyebabkan ada aliran energi dari selatan ke utara dan hutan adalah salah satu sumberdaya strategis yang diperebutkan dalam globalisasi seperti ini," katanya. Menurut dia, teknologi satelit bahkan membuat negara-negara maju dapat dengan leluasa mengetahu kondisi kekayaan alam di negara lain, terutama yang terletak di belahan bumi bagian selatan. Pada saat stok kayu di hutan tropis mulai menipis, terjadi perambahan hutan ke kawasan hutan konservasi termasuk di dalamnya taman nasional, seperti Taman Nasional Tanjung Puting di Kalimantan Tengah atau di Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) Langkat Sumatera Utara. "Penebangan kayu secara ilegal di TNGL dapat berjalan lancar karena didukung oleh modal yang kuat, tersedianya peralatan kerja dan tenaga kerja yang mudah didapat serta dilindungi oknum aparat, pejabat, dan lemahnya pengamanan polisi kehutanan di lapangan," ujarnya. Ia mengatakan, rumitnya permasalahan dalam berbagai kasus penebangan liar, perlu mendapat dukungan dari pemerintah yang "legitimate" dan kuat, karena bila tidak maka harakiri hutan akan terus terjadi. "Politik nasional harus berpihak pada konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan dan dikelola dengan nuansa investasi," lanjutnya. Jika rehabilitasi dan konservasi tersebut tidak dapat dilakukan maka hutan Indonesia, yaitu yang berada di dataran rendah Sumatera diperkirakan akan habis pada 2015 dan di Kalimantan pada 2010.

Pada dasarnya, kata Wiratno, dampak kerusakan hutan tidak hanya akan dirasakan oleh masyarakat di sekitarnya tetapi mampu melewati batas negara seperti banjir, tanah longsor, kebakaran dan kabut asap. Sedangkan dampak berantai antara lain adalah menurunnya kesuburan tanah, hama, penyakit, dan kekeringan,katanya.(*) Editor: B Kunto Wibisono COPYRIGHT 2012

Strategi baru untuk melestarikan hutan tropis

Pergeseran alasan penggundulan hutan akibat alasan kemiskinan ke alasan perusahaan memiliki implikasi penting bagi pelestarian. Dalam jangka waktu hanya 1-2 dekade, sifat dari perusakan hutan tropis telah berubah. TIdak lagi didominasi oleh petani desa, kini penggundulan hutan secara substansial digerakkan oleh industri besar dan globalisasi ekonomi, melalui pengumpulan kayu, penambangan minyak, pengembangan minyak dan gas, pertanian skala bear, dan perkebunan pepohonan eksotis yang menjadi sebab-sebab paling sering dari hilangnya hutan. Walau mempengaruhi tantangan serius, perubahan seperti ini juga menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi pelestarian hutan. Menurut kami, dengan lebih mengarahkan target kampanye masyarakat pada korporasi-korporasi dan kelompok-kelompok dagang yang strategis, kepentingan pelestarian bisa saja memberikan pengaruh yang lebih kuat pada nasib hutan tropis. Pendahuluan Hutan tropis, secara biologis, merupakan ekosistem terkaya di bumi dan berperan penting dalam hidrologi regional, penyimpanan karbon, dan iklim global . Namun perusakan hutan tropis dengan cepat terus berlanjut, dengan sekitar 13 juta hektar hutan dihabisi setiap tahunnya. Walau angka ini tidak berubah secara mencolok di dekade-dekade terakhir ini, dasar dari penggerak penggundulan hutan sedang bergeser dari kebanyakan penggundulan hutan yang digerakkan oleh kebutuhan hidup di tahun 1960an-1980an, ke lebih banyak penggundulan hutan yang digerakkan oleh industri akhir-akhir ini. Tren ini, kami tegaskan, memiliki implikasi kunci untuk pelestarian hutan. Dari tahun 1960an-1980an, penggundulan hutan tropis ditiupkan secara luas oleh kebijakankebijakan pemerintah untuk pengembangan pedesaan, yang mencakup peminjaman untuk pertanian, pajak insentif, dan konstruksi jalanan, bersamaan dengan pertumbuhan populasi yang cepat di banyak negara berkembang. Inisiatif-inisiatif ini, terutama terlihat di negaranegara seperti Brazil dan Indonesia, mendorong munculnya gelombang arus yang dramatis para penduduk ke daerah perbatasan dan sering kali menyebabkan kerusakan hutan secara cepat. Dugaan bahwa para petani skala kecil dan peladang yang berpindah-pindah bertanggungjawab pada hilangnya hutan kebanyakan mengarah pada sebuah pendekatan konservasi seperti Integrated Conservation and Development Projects (ICDP), yang berusaha menghubungkan konservasi alam dengan pembangunan desa yang berkelanjutan. Bagaimanapun juga, sekarang ini banyak yang percaya bahwa ICDP telah sering gagal akibat kelemahan pada perencanaan dan implementasi, dan karena masyarakat lokal biasa menggunakan dana ICDP untuk meningkatkan pendapatan mereka, bukan untuk mengganti keuntungan yang telah mereka dapatkan dari mengeksploitasi alam.

Baru-baru ini, pengaruh kuat langsung dari masyarakat pedesaan pada hutan tropis tampaknya telah stabil dan bahkan telah berkurang di beberapa wilayah. Walau banyak negara tropis masih memiliki pertumbuhan populasi yang tinggi, tren urbanisasi yang kuat di negara berkembang (kecuali di Sub-Saharan Afrika) menunjukkan bahwa populasi di pedasaan tumbuh dengan lebih lambat, dan di beberapa negara mulai menurun (Figur 1). Popularitas program perpindahan penduduk ke perbatasan skala besar telah pula menyusut di beberapa negara . Jika tren seperti itu berlanjut, mereka mungkin meringankan tekanan pada hutan dari kegiatan pertanian skala kecil, berburu, dan mengumpulkan kayu bakar .

Pada saat yang bersamaan, pasar finansial yang telah terglobalisasi dan tingginya komoditas dunia menciptakan sebuah lingkungan yang amat menarik bagi sektor swasta. Sebagai hasil, industri penebangan kayu, penambangan, pengembangan minyak dan gas, dan terutama pertanian skala besar semakin muncul sebagai penyebab dominan dari kerusakan hutan tropis. Di Amazonia Brazil, contohnya, pertanian skala besar telah meledak, dengan jumlah hewan ternak yang meningkat lebih dari 3 kali lipat (dari 22 ke 74 juta kepala) sejak 1990, sementara industry penebangan kayu dan pertanian kedelai juga telah tumbuh dengan dramatis. Gelombang permintaan akan padi-padian dan minyak yang dapat dikonsumsi, didorong oleh kebutuhan dunia akan biofuel dan kenaikan standar hidup di negara-negara berkembang, membantu memacu tren ini.

Small-holder deforestation in Suriname (top) and Borneo (bottom)

Walaupun kita dan yang lain khawatir dengan bangkitnya penggundulan hutan skala industri (figure 2), kami berpendapat bahwa itu juga merupakan tanda munculnya kesempatan untuk perlindungan dan manajemen hutan. Daripada berusaha mempengaruhi ratusan juta penduduk hutan di daerah tropis sebuah tantangan yang mengecilkan hati, paling baik pendukung pelestarian sekarang bisa memfokuskan perhatian mereka pada jumlah korporasi pengeksploitasi sumber yang jauh lebih kecil. Banyak dari mereka adalah perusahaan

multinasional atau perusahaan domestik yang mencari akses ke pasar internasional, yang mendorong mereka untuk menunjukkan beberapa sensitifitas terhadap masalah-masalah lingkungan yang tumbuh kepada konsumen global dan pemegang saham. Saat mereka em, korporasi seperti itu menjadi cukup lemah untuk diserang citra publiknya. Melawan Korporasi Saat ini, beberapa korporasi dapat dengan mudah mengabaikan lingkungan. Kelompokkelompok konservasi pun belajar untuk menarget perusahaan-perusahaan yang melanggar, memobilisasi dukungan melalui boikot konsumen dan kampanye kesadaran publik. Sebagai contoh, mengikuti sebuah usaha pemberantasan yang intens dari masyarakat, Greenpeace baru-baru ini menekan penghancur kedelai terbesar di Amazonia untuk melaksanakan sebuah proses penangguhan pada pengolahan kedelai, menunda pengembangan dari sebuah mekanisme pelacakan untuk memastikan hasil panen mereka datang dari produsen-produsen yang bertanggungjawab pada lingkungan [28]. Boikot sebelumnya oleh Rainforest Action Network (RAN) mendorong beberapa rantai retail utama di AS, termasuk Home Depot dan Lowes, untuk mengubah kebijakan belanja mereka untuk menyokong produk-produk kayu yang lebih mendukung. Di bawah ancaman dari publisitas negative, RAN bahkan telah meyakinkan beberapa perusahaan-perusahaan finansial terbesar di dunia, termasuk Goldman Sachs, JP Morgan Chase, Citigroup dan Bank of America, untuk memodifikasi praktekpraktek peminjaman dan pembiayaan untuk proyek-proyek kehutanan. Tren akhir-akhir ini membuat para kelompok konservasi lebih mudah untuk menguasai industriindustri pengeksploitasi sumber alam. Berkat skala ekonomi, korporasi multinasional kerap menemukan bahwa lebih efisien untuk mengkonsentrasikan kegiatan mereka pada beberapa negara besar, karena mengurangi jumlah dari wilayah geografis yang diawasi dengan aktif oleh kelompok-kelompok konservasi. Lebih lagi, banyak industri, yang termotivasi oleh ketakutan akan publisitas negatif, mendirikan koalisi yang mengaku mendukung keberlangsungan lingkungan sesama anggota mereka. Contoh dari kelompok industri seperti ini termasuk Alianca da Terra untuk para peternak di Amazonia, Roundtable on Sustainable Palm Oil di Asia Tenggara, dan Forest Stewardship Council untuk industri kayu global. Karenanya, daripada menargetkan ratusan korporasi yang berbeda, para penggiat konservasi dapat menciptakan dampak besar dengan hanya menyerang beberapa titik tekanan industri.

Korporasi juga dikuasai oleh wortel dan tongkat. Perusahaan yang membeli keberlangsungan, menikmati pertumbuhan menjadi pilihan konsumen dan harga-harga premium untuk produk ramah lingkungan mereka. Menurut sumber-sumber industri [32], sebagai contoh, produk kayu 'hijau yang diproduksi dengan cara yang bersahabat bagi lingkungan tercatat penjualan sebesar $7,4 milyar di Amerika Serikat di tahun 2005, dan diharapkan akan tumbuh hingga $38 milyar pada tahun 2010. Penghargaan seperti ini mungkin mendapat pengaruh yang lebih besar pada korporasi multinasional, yang harus berusaha menjaga konsumen dan pemegang saham internasional mereka senang, daripada pada perusahaan lokal yang bekerja sendirian di negara-negara berkembang. Tantangan baru Meningkatnya pengaruh kuat para perusahaan penggundul hutan juga memiliki sisi lemah. Industrialisasi dapat mempercepat kerusakan hutan, dengan hutan yang dulunya dipangkas secara langsung oleh petani-petani skala kecil saat ini dengan cepat dilindas oleh bulldozer. Lebih lagi, aktifitas industri seperti penebangan, penambangan, pengembangan minyak dan gas mendukung penggundulan hutan, tak hanya secara langsung tapi juga tak langsung, dengan menciptakan daya dorong ekonomi yang amat kuat untuk pembangunan jalan-hutan. Setelah terbangun, jalan-jalan ini dapat melepaskan berbagai invasi hutan yang tak terkontrol oleh para penduduk, pemburu, dan makelar tanah. Masalah utama lain adalah tak semua pasar merespon pada prioritas lingkungan. Di banyak negara berkembang, kekhawatiran lingkungan terkubur oleh meningkatnya permintaan dari kelas menengah yang sedang tumbuh. Sebagai contoh, konsumen Asia sejauh ini menunjukkan sedikit ketertarikan pada produk-produk kayu yang memiliki sertifikat lingkungan, tidak seperti konsumen di Amerika Utara dan terutama Eropa. Lebih lagi, saat harga untuk material mentah membumbung tinggi, sebuah perebutan akan sumber alam dapat terjadi, membuat kelangsungan lingkungan hanya sebuah pikiran belaka dibandingkan permintaan yang meningkat. Akhirnya, bahkan berlimpahnya konsumen yang sadar lingkungan tak dapat menjamin tingkah laku yang baik dari sebuah perusahaan (lihat Box 1). Banyak korporasi telah dituduh greenwashing berpura-pura memproduksi produk hijau yang sebenarnya hanya memiliki keuntungan kecil bagi lingkungan. Di industri kayu tropis, sebagai contoh, beberapa kelompok meragukan, yang disponsori oleh industri, telah berusaha untuk berkompetisi dengan badan-badan sertifikasi lingkungan legal seperti Forest Stewardship Council. Melacak produk-produk dari hutan ke konsumen terakhir melalui rantai perantara, manufaktur dan penjual retail dapat menjadi sangat sulit. Sebagai contoh, Greenpeace baru-baru ini mengungkapkan bahwa raksasa makanan seperti Nestle, Procter and Gamble, dan Unilever menggunakan minyak kelapa yang ditanam di lahan-lahan yang baru saja gundul, meski ada jaminan sebaliknya dari Roundtable on Sustainable Palm Oil. Kerumitan seperti itu memberikan penghargaan pada mereka yang curang dan menghilangkan keuntungan bagi korporasi yang melakukan usaha-usaha baik mendukung keberlangsungan tersebut. Masa depan

Meskipun ada kerumitan seperti itu, para penggiat konservasi harus belajar untuk menghadapi perusahaan-perusahaan penggerak penggundulan hutan tropis dengan lebih efektif dan bertenaga. Penggerak-penggerak seperti ini di masa depan pasti akan meningkat karena aktifitas industri global diramalkan akan berkembang hingga 300-600% pada tahun 2050, dengan banyaknya negara berkembang . Untuk mereka, sebuah peningkatan angka pada perusahaan menyadarkan bahwa keberlangsungan lingkungan hanyalah sebuah bisnis yang bagus. Dari tren seperti itu, kami melihat banyak dibutuhkan dialog dan debat antara kepentingan industri, keilmuan, dan konservasi di wilayah tropis. Selain dari pengaruh kelompok-kelompok lingkungan, pengaruh kuat dari industri juga akan ditengahi oleh kebijakan-kebijakan pemerintah dan perjanjian internasional, seperti UN Thomaz W. Mendoza-Harrell Framework Convention on Climate Change and the Convention on Biological Diversity. Sebagai contoh, subsidi pemerintah secara besar-besaran untuk ethanol jagung saat ini menciptakan distorsi pasar yang mendukung penggundulan hutan di Amazon, yang mana sebenarnya pertukaran karbon internasional pada akhirnya dapat memperlambat kerusakan hutan di beberapa negara tertentu. Karena kebijakan-kebijakan seperti itu dapat berubah secara cepat dan memiliki pengaruh yang luas, para penggiat konservasi mengabaikan mereka atas resiko sendiri. Perubahan ada di kita. Pada satu sisi, globalisasi dan industri pertanian yang cepat, penebangan, penambangan dan pembuatan biofuel muncul sebagai penggerak dominan dari penggundulan hutan. Di sisi lain, pertumbuhan kepedulian publik mengenai keberlangsungan lingkungan menciptakan kesempatan-kesempatan baru yang penting bagi perlindungan hutan. Dengan menargetkan industri-industri strategis dengan kampanye pendidikan bagi konsumen, kepentingan pelestarian dapat memperoleh senjata baru yang kuat dalam pertempuran untuk memperlambat perusakan hutan. Ucapan terima kasih Kami ucapkan terima kasih pada Thomas Rudel, Robert Ewers, Susan Laurance, Katja Bargum dan tiga referee anonim untuk komentar-komentarnya yang amat membantu.

Tantangan untuk sertifikasi ekologi

Di wilayah tropis, sama seperti di wilayah lain, skema sertifikasi ekologi menghadapi beberapa rintangan tinggi. Bahkan saat para pelanggan memilih produk-produk ramah lingkungan, sertifikasi ekologi ini dapat terhambat oleh korupsi dan pemerintahan yang lemah, ukuran tidak efektif untuk memastikan keberlangsungan lingkungan dan bocornya produk-produk tidak bersertifikat ke pasar. Sebagai contoh, Forest Stewardship Council (FSC), yang kerap dilihat sebagai standar emas untuk sertifikasi produk-produk kayu, mendapatkan kritik besar-besaran dari beberapa kelompok lingkungan . Para pengkritik mengungkapkan bahwa sertifikasi FSC pada produk dari sumber campuran, seperti furnitur yang hanya sebagian bahannya berasal dari kayu bersertifikat, merusak kredibilitasnya. Sertifikasi pada beberapa skema kayu yang meragukan, seperti perkebunan monokultur di lahan-lahan bekas hutan, juga merusak label. Tahun lalu, sebuah penyelidikan dari Wall Street Journal memaksa FSC untuk secara efektif mencabut sertifikasi dari Asia Pulp and Paper Company yang berkantor di Singapura karena melakukan kegiatan yang merusak lingkungan di Pulau Sumatra, Indonesia. Korupsi dan penggelapan juga termasuk dalam kekhawatiran. Berkolaborasi dengan petugas yang korup, bisa membuat beberapa perusahaan memperoleh sertifikasi yang tidak benar atas produk mereka, dimana sebuah perusahaan bisa mengaku memiliki sertifikasi padahal mereka tidak memilikinya. Sebuah laporan baru-baru ini tentang penebangan ilegal di Asia Tenggara, contohnya, menguak bahwa paling tidak dua perusahaan furnitur besar memasarkan produk-produk bersertifikasi ekologi padahal mereka tidak memiliki label tersebut. Tantangan lain adalah mengevaluasi dengan benar berbagai aktifitas perusahaan kayu internasional. Para penyertifikasi ekologi telah dituduh terlalu menyempitkan fokus pada operasidi dalam pusat wilayah konservasi dan mengabaikan operasi perusakan di daerah lain. Sebagai tambahan, perusahaan kayu seringkali membeli kayu dari bermacam-macam sumber dan sub-kontrak ke perusahaan lain, dan itu bisa menjadi sangat sulit untuk ditentukan apakah cabang-cabang dan rekan-rekan mereka tersebut terkait pada penebangan yang merusak. Di akhir, beberapa kritik berpendapat bahwa operasi kayu yang bersertifikasi ekologi jarang sekali memiliki dampak berkelanjutan pada jangka waktu yang panjang. Penebangan yang berulang-ulang di hutan yang pertumbuhannya lama dapat mengurangi stok karbon dan menurunkan habitat untuk spesialisasi hutan, karenanya mengancam keanekaragaman hayati. Lebih jauh, hutan yang ditebangi jauh lebih mudah mengering, terbakar, dan gundul dibandingkan dengan daerah yang tidak ditebangi.

Kerusakan Hutan Tak Dapat Dihindari?

Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Hutan Ku Yang Semakin Sempit Kelangkaan minyak tanah yang kerap mendera penduduk di berbagai daerah akhir-akhir ini dikhawatirkan memacu penduduk untuk menggunakan kayu bakar dan menebang pohon tanaman keras. Jika itu terjadi, kerusakan sumber air (mata air) akan semakin cepat. Setiap tahun rata-rata sekitar 300 mata air mati akibat penebangan terprogram (hutan produksi) maupun penebangan tanaman keras milik penduduk. Di lain pihak, penduduk yang di lahannya terdapat sumber air tidak pernah memperoleh kompensasi sebagai ganti atas kesediaannya untuk tidak menebangi pohonnya. kesulitan penduduk memperoleh minyak tanah berdampak pada peningkatan penggunaan kayu bakar. Penduduk di daerah pedesaan yang jauh dari pangkalan minyak tanah memilih menebang pohon untuk kayu bakar. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. Pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-18, hutan alam di Jawa diperkirakan masih sekitar 9 juta hektar. Pada akhir tahun 1980-an, tutupan hutan alam di Jawa hanya tinggal 0,97 juta hektar atau 7 persen dari luas total Pulau Jawa. Saat ini, penutupan lahan di pulau Jawa masih tinggal 4 %. Pulau Jawa sejak tahun 1995 telah mengalami defisit air sebanyak 32,3 miliar meter kubik setiap tahunnya.

Data yang dikeluarkan Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1985-1997 Indonesia telah kehilangan hutan sekitar 1,5 juta hektar setiap tahun dan diperkirakan sekitar 20 juta hutan produksi yang tersisa. Penebangan liar berkaitan dengan meningkatnya kebutuhan kayu di pasar internasional, besarnya kapasitas terpasang industri kayu dalam negeri, konsumsi lokal, lemahnya penegakan hukum, dan pemutihan kayu yang terjadi di luar kawasan tebangan Berdasarkan hasil analisis FWI dan GFW dalam kurun waktu 50 tahun, luas tutupan hutan Indonesia mengalami penurunan sekitar 40% dari total tutupan hutan di seluruh Indonesia. Dan sebagian besar, kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia akibat dari sistem politik

dan ekonomi yang menganggap sumber daya hutan sebagai sumber pendapatan dan bisa dieksploitasi untuk kepentingan politik serta keuntungan pribadi. Menurut data Departemen Kehutanan tahun 2006, luas hutan yang rusak dan tidak dapat berfungsi optimal telah mencapai 59,6 juta hektar dari 120,35 juta hektar kawasan hutan di Indonesia, dengan laju deforestasi dalam lima tahun terakhir mencapai 2,83 juta hektar per tahun. Bila keadaan seperti ini dipertahankan, dimana Sumatera dan Kalimantan sudah kehilangan hutannya, maka hutan di Sulawesi dan Papua akan mengalami hal yang sama. Menurut analisis World Bank, hutan di Sulawesi diperkirakan akan hilang tahun 2010. Praktek pembalakan liar dan eksploitasi hutan yang tidak mengindahkan kelestarian, mengakibatkan kehancuran sumber daya hutan yang tidak ternilai harganya, kehancuran kehidupan masyarakat dan kehilangan kayu senilai US$ 5 milyar, diantaranya berupa pendapatan negara kurang lebih US$1.4 milyar setiap tahun. Kerugian tersebut belum menghitung hilangnya nilai keanekaragaman hayati serta jasa-jasa lingkungan yang dapat dihasilkan dari sumber daya hutan. Penelitian Greenpeace mencatat tingkat kerusakan hutan di Indonesia mencapai angka 3,8 juta hektar pertahun, yang sebagian besar disebabkan oleh aktivitas illegal logging atau penebangan liar (Johnston, 2004). Sedangkan data Badan Penelitian Departemen Kehutanan menunjukan angka Rp. 83 milyar perhari sebagai kerugian finansial akibat penebangan liar (Antara, 2004). Source : http://id.wikipedia.org

Penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 19851997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Semakin meluasnya lahan kosong atau gundul akibat penebangan liar yang melibatkan oknum tertentu tidak dapat dipungkiri. Sudah saatnya aksi penebangan liar yang terjadi di sejumlah hutan lindung harus segera mendapat perhatian lebih serius dari semua pihak. Kejadian ini akan menyebabkan timbulnya deforensi hutan, yang merupakan suatu kondisi dimana tingkat luas area hutan yang menunjukkan penurunan baik dari segi kualitas dan kuantitas. Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia yang masih tersisa. Luas hutan alam asli Indonesia menyusut dengan kecepatan yang sangat mengkhawatirkan. Hingga saat ini, Indonesia telah kehilangan hutan aslinya sebesar 72 persen. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius terhadap kondisi perekonomian masyarakat.

Penebangan hutan skala besar dimulai pada tahun 1970 dan dilanjutkan dengan dikeluarkannya izin-izin pengusahaan hutan tanaman industri di tahun 1990, yang melakukan tebang habis (land clearing). Selain itu, areal hutan juga dialihkan fungsinya menjadi kawasan perkebunan skala besar yang juga melakukan pembabatan hutan secara menyeluruh, menjadi kawasan transmigrasi dan juga menjadi kawasan pengembangan perkotaan. Di tahun 1999, setelah otonomi dimulai, pemerintah daerah membagi-bagikan kawasan hutannya kepada pengusaha daerah dalam bentuk hak pengusahaan skala kecil. Di saat yang sama juga terjadi peningkatan aktivitas penebangan hutan tanpa ijin yang tak terkendali oleh kelompok masyarakat yang dibiayai pemodal (cukong) yang dilindungi oleh aparat pemerintah dan keamanan. Untuk saat ini, penyebab deforestasi hutan semakin kompleks. Kurangnya penegakan hukum yang terjadi saat ini memperparah kerusakan hutan. Penyebab kerusakan hutan tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Hak Penguasaan Hutan Banyak perusahaan HPH yang melanggar pola-pola tradisional hak kepemilikan atau hak penggunaan lahan. Kurangnya pengawasan dan akuntabilitas perusahaan berarti pengawasan terhadap pengelolaan hutan sangat lemah dan, lama kelamaan, banyak hutan produksi yang telah dieksploitasi secara berlebihan. Menurut klasifikasi pemerintah, pada saat ini hampir 30 persen dari konsesi HPH yang telah disurvei, masuk dalam kategori "sudah terdegradasi".

2. Hutan tanaman industri Hutan tanaman industri telah dipromosikan secara besar-besaran dan diberi subsidi sebagai suatu cara untuk menyediakan pasokan kayu bagi industri pulp yang berkembang pesat di Indonesia, tetapi cara ini mendatangkan tekanan terhadap hutan alam. 3. Perkebunan Lonjakan pembangunan perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit, merupakan penyebab lain dari deforestasi.

4. Ilegal logging (Pembalakan Liar)

Pembalakan liar atau penebangan liar (bahasa Inggris: illegal logging) adalah kegiatan penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang tidak sah atau tidak memiliki izin dari otoritas setempat. Walaupun angka penebangan liar yang pasti sulit didapatkan karena aktivitasnya yang tidak sah, beberapa sumber terpercaya mengindikasikan bahwa lebih dari setengah semua kegiatan penebangan liar di dunia

terjadi di wilayah-wilayah daerah aliran sungai Amazon, Afrika Tengah, Asia Tenggara, Rusia dan beberapa negara-negara Balkan. Sebuah studi kerjasama antara Britania Raya dengan Indonesia pada 1998 mengindikasikan bahwa sekitar 40% dari seluruh kegiatan penebangan adalah liar, dengan nilai mencapai 365 juta dolar AS. Studi yang lebih baru membandingkan penebangan sah dengan konsumsi domestik ditambah dengan ekspor mengindikasikan bahwa 88% dari seluruh kegiatan penebangan adalah merupakan penebangan liar. Malaysia merupakan tempat transit utama dari produk kayu ilegal dari Indonesia. Source : http://id.wikipedia.org

5. Program Transmigrasi

Tujuan resmi program ini adalah untuk mengurangi kemiskinan dan kepadatan penduduk di pulau Jawa [1], memberikan kesempatan bagi orang yang mau bekerja, dan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk mengolah sumber daya di pulau-pulau lain seperti Papua, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi. Kritik mengatakan bahwa pemerintah Indonesia berupaya memanfaatkan para transmigran untuk menggantikan populasi lokal, dan untuk melemahkan gerakan separatis lokal. Program ini beberapa kali menyebabkan persengketaan dan percekcokan, termasuk juga bentrokan antara pendatang dan penduduk asli setempat. Seiring dengan perubahan lingkungan strategis di Indonesia, transmigrasi dilaksanakan dengan paradigma baru sebagai berikut: 1. Mendukung ketahanan pangan dan penyediaan papan 2. Mendukung kebijakan energi alternatip (bio-fuel) 3. Mendukung pemerataan investasi ke seluruh wilayah Indonesia 4. Mendukung ketahanan nasional pulau terluar dan wilayah perbatasan 5. Menyumbang bagi penyelesaian masalah pengangguran dan kemiskinan Transmigrasi tidak lagi merupakan program pemindahan penduduk, melainkan upaya untuk pengembangan wilayah. Metodenya tidak lagi bersifat sentralistik dan top down dari Jakarta, melainkan berdasarkan Kerjasama Antar Daerah pengirim transmigran dengan daerah tujuan transmigrasi. Penduduk setempat semakin diberi kesempatan besar untuk menjadi transmigran penduduk setempat (TPS), proporsinya hingga mencapai 50:50 dengan transmigran Penduduk Asal (TPA). Dasar hukum yang digunakan untuk program ini adalah Undang-Undang Republik Indonesia]] Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian (sebelumnya UU Nomor 3 Tahun 1972)dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi (Sebelumnya PP Nomor 42 Tahun 1973), ditambah beberapa Keppres dan Inpres pendukung Source : http://id.wikipedia.org

6. Kebakaran Hutan Akibat dari itu semua memberi dampak buruk pada kita sendiri dan orang lain yang mana kita tahu hutan dapat menyerap polusi, erosi dan juga dapat mencegah terjadinya banjir, tetapi tidak dapat memberikan kita kehidupan yang lebih mengarah ke tingkat kesehatan yang lebih baik, sehingga banyak nya wabah penyakit yang terjangkit disekitar kita, Hutan merupakan paru-paru dunia yang fungsinya sangat banyak sekali manfaatnya bagi mahkluk hidup di dunia ini, salah satu nya yang sangat tergantung oleh hutan yaitu kehidupan fauna,hutan merupakan tempat tinggal, tempat mencari makan, berkembang biak, berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kalau setiap hari hutan ditebang dan diberantas apa jadinya kehidupan fauna disekitar kita,karena hidup mereka sangat tergantung dengan hutan.

Tidak hanya fauna yang hidupnya tergantung pada hutan seluruh kehidupan yang ada didunia ini hidupnya akan tergantung dengan hutan bagi manusia hutan sangat diperlukan untuk berlangsungnya kehidupan, misalnya bagi yang hidup di daerah pelosok pelosok sana mereka hanya hidup tergantung dengan hutan, tempat mencari makan, berladang, dan lainlain. Sebelum hutan habis ditebang, hutan biasa menjadi sahabat bagi kita tetapi setelah hutan banyak ditebang dimana-mana,hutan menjadi musuh terbesar bagi kita,m karena hutan akan menjadi sebuah bencana yang tidak dapat kati duga kapan datang. Seperti binatang yang hidup dihutan, mereka tidak punya tempat tinggal lagi untuk bernaung, sekian banyak dari mereka banyak yang hampir punah, dan kalau tempat tinggal mereka tidak ada lagi dimana mereka tinggal, dan bencana itu sendiri akan datang atas amukan dari binatang buas yang marah,ini akan menjadi masalah baru.

Artikel Universitas Bangka Belitung. Pangkal Pinang. http://ubb.ac.id.

TUGAS KLIPING ARTIKEL KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUTAN

OLEH : Rizia Yasminda R. (0910480274) Jurusan Pemuliaan Tanaman Kelas A

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2012